DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL.pdf

24
  NIRMANA Vol . 5, No. 1, Jan uari 2003: 48 - 71  Jurusa n Desain Komu nikasi Vis ual, Fakultas Seni dan Des ain –Univer sitas Kri sten Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/design/ 48 DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN KEMUNGKINAN Studi Kasus Desain Iklan Rokok A-mild Freddy H. Istanto Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra ABSTRAK Dekonstruksi hadir dengan latar-belakang post-modernisme yang berdasarkan pemikiran filsafat bahwa susunan pemikiran yang begitu terpadu, yang tersusun rapi, kini dipilah-pilah sampai ke dasar-dasarnya. Kehadiran dekonstruksi dilihat sebagai bagian dari posmodernisme yang secara epistemologi atau filsafat pengetahuan, harus menerima suatu kenyataan bahwa manusia tidak boleh terpaku pada suatu sistim pemikiran yang begitu ketat dan kaku. Tulisan ini mencoba untuk mencari kemungkinan penerapan dekonstruksi pada disiplin Desain Komunikasi Visual utamanya dengan menghadirkan desain iklan rokok A-mild sebagai studi kasus. Kata kunci: dekonstruksi, desain komunikasi visual, iklan, iklan A-mild.  A B STR AC T  Deconstr uction, al ong with its po st-mod ernism back ground tha t rooted in the ph ilosoph ical thinking, appears to show that the set of the integrated and solid thought is now being sorted into its basis. The existence of the deconstruction can be seen as a part of the post-modernism which epistemologically has to acknowledge the reality that people should not follow inflexible way of thinking. This writing is trying to seek for the possibility of applying the deconstruction into the Visual Communication Design through analyzing A-Mild, a cigarette commercial. Ke yw ords:  Deconst ruction, Visual Communication Design, Advertisement, A-Mild Advertisement. PENDAHULUAN Akhir-akhir ini dunia periklanan Indonesia semakin marak saja. Kehadirannya tidak hanya di media cetak dan media elektronik saja, tetapi bahkan meramaikan wajah kota. Layar televisi semakin sempit ketika iklan berebut inchi demi inchi , iklan melalui radio melahap detik demi detik menjelajah ruang angkasa, semarak iklan di media cetak demikian gencar berebut kolom demi kolom dan dalam bentuk iklan outdoor  mereka  bereb ut jengk al demi jengkal tanah perko taan. Melalu i media ini bahkan merambah dan

Transcript of DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL.pdf

  • NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    48

    DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL:SEBUAH PENJELAJAHAN KEMUNGKINAN

    Studi Kasus Desain Iklan Rokok A-mild

    Freddy H. IstantoDosen Jurusan Desain Komunikasi Visual

    Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra

    ABSTRAK

    Dekonstruksi hadir dengan latar-belakang post-modernisme yang berdasarkan pemikiranfilsafat bahwa susunan pemikiran yang begitu terpadu, yang tersusun rapi, kini dipilah-pilahsampai ke dasar-dasarnya. Kehadiran dekonstruksi dilihat sebagai bagian dari posmodernismeyang secara epistemologi atau filsafat pengetahuan, harus menerima suatu kenyataan bahwamanusia tidak boleh terpaku pada suatu sistim pemikiran yang begitu ketat dan kaku.

    Tulisan ini mencoba untuk mencari kemungkinan penerapan dekonstruksi pada disiplinDesain Komunikasi Visual utamanya dengan menghadirkan desain iklan rokok A-mild sebagaistudi kasus.

    Kata kunci: dekonstruksi, desain komunikasi visual, iklan, iklan A-mild.

    ABSTRACT

    Deconstruction, along with its post-modernism background that rooted in the philosophicalthinking, appears to show that the set of the integrated and solid thought is now being sorted intoits basis. The existence of the deconstruction can be seen as a part of the post-modernism whichepistemologically has to acknowledge the reality that people should not follow inflexible way ofthinking.

    This writing is trying to seek for the possibility of applying the deconstruction into theVisual Communication Design through analyzing A-Mild, a cigarette commercial.

    Keywords: Deconstruction, Visual Communication Design, Advertisement, A-Mild Advertisement.

    PENDAHULUAN

    Akhir-akhir ini dunia periklanan Indonesia semakin marak saja. Kehadirannya

    tidak hanya di media cetak dan media elektronik saja, tetapi bahkan meramaikan wajah

    kota. Layar televisi semakin sempit ketika iklan berebut inchi demi inchi, iklan melalui

    radio melahap detik demi detik menjelajah ruang angkasa, semarak iklan di media cetak

    demikian gencar berebut kolom demi kolom dan dalam bentuk iklan outdoor mereka

    berebut jengkal demi jengkal tanah perkotaan. Melalui media ini bahkan merambah dan

  • DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    49

    merasuk kedalam wilayah pedesaan. Insan periklanan semakin ditantang mencari

    alternatif-alternatif baru untuk lebih menjadi yang terbaik. Para kreatif periklanan di

    tuntut untuk mendapatkan solusi-solusi lain desain iklan mereka. Ribuan produk menanti

    untuk dipasarkan, lewat tangan-tangan para kreatif mereka menanti untuk dipublikasikan.

    Para kreatif di bidang periklanan berlomba, bertarung, beradu untuk berkreasi sebisa

    mungkin untuk memenangkan dengan merebut hati masyarakatnya.

    Segala kemungkinan bentuk desain iklan diekspresikan dengan berbagai cara agar

    tercapai sasaran yang akan dituju. Iklan tidak muncul tanpa hambatan, kaidah-kaidah,

    norma-norma, peraturan yang berlaku tertulis atau tidak tertulis, ikut memaksa para

    kreator periklanan untuk lebih berkreasi ditengah hiruk-pikuk persaingan idea dan

    gagasan. Adalah iklan rokok yang menjadi bahan perbincangan, karena ditengah carut-

    marut peraturan yang sangat ketat, muncul berbagai bentuk iklan yang kreatif dan

    inovatif. Dengan pembatasan yang sangat ketat, tidak mengurangi munculnya gebrakan-

    gebrakan baru, bahkan melawan pakem-pakem yang ada; namun tetap menampilkan

    kreatifitas luarbiasa.

    Akhir-akhir ini muncul iklan-iklan rokok yang menampilkan gagasan baru yang

    mengagumkan. Iklan-iklan yang tampil menunjukan sebuah nuansa yang berbeda dari

    kebanyakan iklan yang ada di Indonesia. Sebuah fenomena baru di desain periklanan ?.

    Biasanya iklan tampil dengan wajah yang bersih, rapi, teratur, terbaca, terstruktur dengan

    norma-norma standar. Kali ini muncul iklan dengan penampilan lain, hadir dengan tulisan

    yang tidak bersih, terkesan asal-asalan, penuh dengan lelehan cat seolah hasil kerja

    serampangan; bahkan muncul ilustrasi semacam kertas terkoyak dengan bentuk yang

    tidak teratur, seolah sebuah robekan kertas dan bagian ini ditempel dengan menggunakan

    staples, seolah sebuah elemen desain yang terlupakan (ketinggalan). Hurufpun

    diekspresikan dengan kesan guratan benda tajam yang tidak jelas sehingga perlu diulang-

    ulang, yang menimbulkan torehan-torehan kasar pada sebuah bidang cat yang tidak rapi

    juga. Pada versi lain, muncul pula kesan pewarnaan yang tidak bersih, kasar, tidak teratur

    dan tidak rajin eksekusinya. Elemen desain yang lain juga hadir, seperti sebuah pekerjaan

    yang tidak rapi, asal-asalan yang tidak seperti iklan-iklan pada umumnya. Gejala apakah

    ini ?. Menarik pula untuk disimak bahwa slogan-slogan yang dimunculkan menimbulkan

    tandatanya, sindiran, kontradiksi, pertentangan, ketidakadilan, tidak masuk akal, penuh

  • NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    50

    dengan plesetan namun disana-sini tampil dengan tingkat humor yang tinggi. Beberapa

    iklan menampilkan kalimat-kalimat seperti, Daripada Curang, Mending Ganti

    Peraturannya, Ringan Sama Dijinjing, Berat Elo Yang Pikul, Jangan Tunda Besok

    Apa Yang Bisa Dikerjakan Lusa, Jadi Tua Itu Pasti, Jadi Dewasa Itu Pilihan dan

    Setiap Gue Dapet Jawabannya, Ada Yang Ganti Pertanyaannya. Sekalilagi kehadiran

    iklan A-mild versi ini mampu menghadirkan pertanyaan, gejala apakah ini?. Terlihat

    adanya sebuah usaha untuk keluar dari tatanan yang baku, muncul kesan adanya

    keinginan untuk keluar dari tatanan formal, dihadirkan rancangan yang acak-acakan,

    memunculkan estetika yang tidak lazim, statement-statement yang menimbulkan

    kontradiksi-kontradiksi. Ada ketidakaturan atau semrawut, tetapi apabila diamati

    muncul pula adanya keteraturan. Ada pembalikan posisi, yang penting (pesan iklan) tidak

    terlihat, tetapi yang tidak penting (kalimat-kalimat yang tidak ada hubungannya dengan

    produk yang diiklankan) justru diposisikan untuk menjadi penting. Yang menonjol

    (statement-statement) dihadirkan dalam sajian yang tidak teratur; sedang yang tidak

    menonjol dihadirkan dengan teratur, jelas dan tajam. Demikian pula serial iklan ini hadir

    melalui pemunculan-pemunculan yang cepat dan berganti-ganti. Pembalikan-pembalikan

    dan beberapa tampilan beberapa desain iklan ini mengingatkan adanya tanda-tanda suatu

    pendekatan desain tertentu. Inikah desain iklan yang hadir dalam roh jaman saat ini yaitu

    jaman dekonstruksi ?.

    Gambar 1. Gambar 2. (repro. Poster asli) (repro. Poster asli)

  • DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    51

    APA ITU DEKONSTRUKSI ?

    Dekonstruksi merupakan reaksi terhadap modernisme dalam perkembangan ilmu

    pengetahuan, seni dan filsafat. Modernisme dalam perkembangan filsafat ilmu berdasar

    pada rasio, logos dalam intelektual manusia. Dekonstruksi hadir dengan latar-belakang

    pos-modernisme yang berdasarkan pemikiran filsafat bahwa susunan pemikiran yang

    begitu terpadu, yang tersusun rapi, kini dipilah-pilah sampai ke dasar-dasarnya.

    Kehadiran dekonstruksi dilihat sebagai bagian dari posmodernisme yang secara

    epistemologi atau filsafat pengetahuan, harus menerima suatu kenyataan bahwa manusia

    tidak boleh terpaku pada suatu sistim pemikiran yang begitu ketat dan kaku.

    Filsafat dalam sejarah perkembangannya membuat suatu rumusan yang jelas dan

    tepat mengenai apa yang ada di dunia ini. Dalam perumusan ini, hal-hal yang kabur,

    pengalaman-pengalaman pribadi harus dibersihkan, yang dalam istilah filsafat disebut

    sebagai di-abstraksi-kan; sehingga dapat dicapai suatu bentuk yang benar-benar jelas dan

    dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan logis. Sedangkan dalam sikap

    dekonstruksi, suatu tatanan yang begitu teratur, yang telah diusahakan oleh modernisme,

    ingin dikembalikan ke dasar-dasar yang begitu jamak. Apabila ada sesuatu yang tertutup

    (closer) harus ada yang terbuka (discloser), sehingga menjadi majemuk, kembali kedasar.

    Dalam kaitan ini, dekonstruksi ingin memilah atau memecahkannya.

    Selama ini banyak karya desain komunikasi visual terbatas menggali kapasitas

    tersebut melalui komposisi tradisional seperti simetri, keterukuran, unity/kesatuan,

    keutuhan dan kestabilan. Sementara kapasitas lainnya seperti unsur-unsur kontradiksi dan

    oposisi tidak terangkum. Disinilah tugas dekonstruksi mempertanyakan adanya

    kemapanan, netralitas, ketunggalan dan kebakuan definisi. Pertanyaan dekonstruksi

    mengajak orang untuk memperhitungkan hal-hal yang semula nampak marjinal dan tak

    terkatakan, antara lain yang berada diantara dua posisi yang kontradiktif dan oposisional.

    Dekonstruksi menghidupkan wacana segala yang diantara dan bergerak diantara dua

    posisi tersebut. Maka keragaman makna menjadi penting dibandingkan konvensi untuk

    memegang pemahaman tunggal.

    Label dekonstruksi secara luas digunakan dalam lingkungan intelektual di

    Perancis dan Inggris, berlandas pada asumsi bahwa gejala dekons secara langsung atau

    tidak langsung berkaitan dengan filsafat kritis Jaques Derrida. Label tersebut secara resmi

  • NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    52

    dikukuhkan dalam International Symposium on Deconstruction yang diselenggarakan

    oleh Academy Group di Tate Gallery, London tanggal 18 April 1988. 1 Dari simposium ini

    diperoleh kesepakatan bahwa dekonstruksi bukanlah sebuah gerakan yang tunggal,

    meski banyak diwarnai kemiripan-kemiripan formal diantara karya-karya yang ada.

    Dekonsruksi lebih merupakan sikap, suatu metoda kritis yang berwajah majemuk,

    dekonstruksi tidak memiliki ideologi ataupun tujuan formal, kecuali semangat untuk

    membongkar kemapanan dan kebakuan.

    DEKONSTRUKSI DERRIDA

    Adalah suatu fakta bahwa konsep dasar dekonstruksi secara teoritis dikembangkan

    dari sudut pandang bahasa, namun dalam perkembangannya kemudian ternyata

    dekonstruksi relevan juga untuk bidang-bidang seni lainnya. Dekonstruksi yang

    dipergunakan oleh filsuf Perancis Jacques Derrida, tidak lain merupakan karya-karya tulis

    yang berargumentasi filosofis. Gagasan Derrida ini kemudian banyak digunakan oleh

    kritikus Sastra, terutama di Amerika. Konsep Derrida ini menggambarkan metoda

    membaca teks yang memperlihatkan adanya konflik dalam interpretasi makna teks

    tersebut; selanjutnya metoda ini bukan hanya digunakan untuk meng-interpretasi teks,

    tetapi juga dipergunakan dalam memberikan tafsiran terhadap karya seni visual.

    Jacques Derrida mengajukan sebuah konsep penting yang berkaitan dengan bahasa

    yaitu under eraser; yang diturunkan dari Martin Heidegger : being. Kata dianggap tidak

    akurat dan tidak memadai, maka harus dicoret, tetapi karena masih dibutuhkan maka

    harus tetap dapat dibaca.

    Penanda/signifier menurut Derrida tidak secara langsung menggambarkan

    petanda/signified seperti kaca memantulkan bayangannya. Hubungan penanda-petanda

    tidak seperti dua sisi sehelai mata uang yang digambarkan Saussure,2 karena tidak ada

    pemisahan yang jelas antara penanda dan petanda. Saussure mengemukakan bahwa tanda

    1 Simposium ini membahas masalah dekonstruksi tidak hanya pada seni visual, tetapi juga beberapa tema-tema desainarsitektural. Acara ini diawali dengan tayangan video berupa wawancara Christopher Norris (seorang arsitek) denganJacques Derrida. Andreas Papadakis (1988), Deconstructions in Architecture, Architectural Design, New York, AcademyEdition, halaman.72 Winfried Noth (1990), Ferdinand de Saussure adalah salah satu pemuka Semiotika Modern yang mendasarkanpemikirannya pada formalisme dan strukturalisme,Handbook of Semiotics, Indiana University Press. Lihat juga PanutiSudjiman & Aart Van Zoest Serba-serbi Semiotika, Gramedia Pustaka Utama.

  • DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    53

    adalah kesatuan antara pola suara dan konsep, yang oleh Roland Barthes dikembangkan

    menjadi penanda dan petanda. Konsep ini dianggap bersifat stabil. Konsep (petanda),

    meskipun bukan merupakan bagian intrinsik dari tanda, menurut Saussure ia dianggap

    hadir sebagai bagian tak terpisahkan dari tanda. Konsep itu sendiri mempunyai referensi

    pada realitas. Semiotika struktural Saussure dengan demikian, menganggap tanda sebagai

    tak lebih dari refleksi dari realitas yang ada. Semiotika dalam pandangan poststrukturalis

    tidak lagi menaruh perhatian pada sistim tanda-tanda melainkan dengan pembentukan

    subyek serta peranannya dalam perubahan bahasa. Bagi pemikir postrukturalis, bahasa

    tidak lagi semata sistim pembedaan (difference) akan tetapi jejak (differance); penanda

    dan petanda tidak lagi satu kesatuan bagai dua sisi dari selembar mata uang, melainkan

    terpisah; petanda tidak dengan begitu saja hadir, melainkan ia selalu di-dekonstruksi.

    Hubungan antara penanda dan petanda tidak lagi bersifat simetris dan stabil berdasarkan

    konvensi, akan tetapi terbuka bagi permainan bebas penanda (Piliang 1998:266)

    Apabila kita ingin mengetahui makna penanda-penanda, maka kita harus melihatkamus. Didalam kamus dapat ditemukan penanda-penanda lainnya yang petandanya

    harus dicari kembali. Jadi proses interpretasi selalu bersifat tanpa batas dan sirkuler.Penanda beralih bentuk menjadi petanda, demikian pula sebaliknya, sehingga kita

    sebenarnya tidak pernah sampai pada petanda terakhir yang bukan penanda. Interpretasi,dengan demikian merupakan aktifitas tanpa akhir dan tanpa dasar. Struktur tanda

    ditentukan oleh jejak yang senantiasa absen. Tanda dibawa ke tanda yang lain danseterusnya tanpa batas, yang secara bergiliran menjadi penanda dan petanda. Tanda tidakdapat dipelajari sebagai unit homogen yang menjembatani obyek (referent) dan tujuan

    akhir (makna) seperti dianjurkan semiotika,3 tetapi sebagai under eraser karena tandaselalu diisi oleh jejak tanda lain.

    Postrukturalis tidak mementingkan kualitas komunikatif pada semiotika. Tanda-tanda diproduksi bukan dengan tujuan untuk menyampaikan pesan-pesan, dan konvensi-

    konvensi sosial, melainkan dilandasi kegairahan dan kesenangan dalam permainan tandasemata. Model semiotika postrukturalis merupakan model yang tak konvensional, dimana

    tanda digunakan secara kreatif, secara anarkis dan terkadang tak bertanggungjawab.Tanda-tanda yang diproduksi oleh postrukturalis, menurut Richard Hartland mensubversi

    3 Pada semiotika dikenal model triadik dalam pembacaan tanda (Noth,1990) : yang berupa segitiga semiotika yang terdiridari penanda/signifier, petanda/signified dan acuan/referent.

  • NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    54

    sistim makna atau setiap sistim apapun yang dikontrol secara sosial. Tanda-tanda tidakdibiarkan terpancang pada posisinya sebagai media komunikasi kesepakatan dan identitas

    sosial. Tanda-tanda tersebut selalu di dekonstruksi sehingga ia kehilangan sifatkomunikasi sosialnya, kehilangan makna sosialnya.4

    Dekonstruksi menurut Derrida adalah metoda membaca teks secara teliti, sehingga

    premis-premis yang melandasinya dapat digunakan untuk meruntuhkan argumentasi

    yang disusun atas premise tersebut. Derrida mengkaitkan metoda Dekonstruksi dengan

    kritik terhadap metaphysics of presence yang menjadi asumsi dasar bagi filosof

    tradisional. Derrida menolak gagasan bahwa ada yang disebut present dalam pengertian

    suatu saat yang terdefinisikan sebagai sekarang (now).

    Jonathan Culler (dalam Benedikt,1991) memaparkan sejumlah proses atau prinsip

    Dekonstruksi atas pemikiran-pemikiran Derrida.5 Prinsip-prinsip Derrida tersebut antara

    lain :

    Differance

    Differance adalah suatu kata dalam kata dalam bahasa Perancis, tapi tidak ada

    dalam kamus. Kata itu dibentuk sendiri oleh Derrida; yang ada adalah kata difference

    (dalam bahasa Inggris) yang berarti perbedaan dan kata differer (dari bahasa Inggris:

    differ). Kata differer ini memiliki dua arti, yang pertama sebagai kata kerja intransitif

    yang artinya berbeda atau bertolak belakang, sama dengan arti kata difference. Yang

    kedua sebagai kata kerja transitif, mempunyai arti menunda, menangguhkan atau

    mengundurkan waktu (Bertens 1985:500). Kata differance menggabungkan kedua kata

    asal tersebut sehingga memiliki makna yang mengacu pada adanya perbedaan dan

    penangguhan waktu. Namun dalam bahasa Perancis pengucapan differance (dengan huruf

    a) tidak berbeda dengan pengucapan kata differance. Derrida memperbandingkan huruf a

    yang diam ini serupa dengan diamnya makam Firaun, yaitu Piramid di Mesir.

    It remains silent, secret and discreet as a tomb 6

    4 Oleh sebab itulah Hartland menyebut tanda-tanda berdasrkan konsep postrukturalis ini sebagai tanda anti sosial (Piliang1998)5 Jonathan Culler dalam bukunya On Deconstruction : Theory and Criticism After Structuralism , dalam Benedikt, Michael,Deconstructing The Kimbell, New York, SITES Book, 19916 Dikutip Setiawan dari Derrida 1982:3-27

  • DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    55

    Differance secara harafiah terdiri dari tiga pengertian:

    The universal system of differences : berbeda

    The process of deferral : menunda, meneruskan

    The sense of differing berbeda pendapat/tidak setuju.

    Konsep differance digunakan untuk melihat tanda-tanda, artinya makna-makna

    suatu tanda dimungkinkan karena setiap tanda berbeda dengan semua tanda lainnya

    dalam sistim tanda bersangkutan. Konsep ini sejajar dengan pendapat aliran linguistik

    struktural yang menganggap the language is a difference methode of meaning. Dengan

    konsep differance proses dekonstruksi merupakan suatu proses men-deferensiasi-kan atau

    produksi perbedaan-perbedaan yang merupakan syarat timbulnya setiap makna dan sistim

    struktur. Derrida menjelaskan menunda kehadiran ada dalam suatu pencarian terus

    menerus makna yang terjalin dalam jaringan tanda. Dekonstruksi mengandung dimensi

    waktu (temporization) dan antara (spacing) (Sumaryono 1993:115, Setiawan

    1994:17). Arti-arti kata yang ada dalam differance hampir sama dengan Ma dalam

    bahasa Jepang. Suatu kata yang mempunyai arti interval jarak (interval in space) dan

    interval waktu (interval in time); peristiwa, tempat, kejadian dalam suatu waktu. Ma

    terletak pada celah diantara batu pijakan, pada saat manusia melangkah dengan

    tenangnya. Ma bisa juga diartikan ketenangan antara not-not suatu lagu ketika irama

    legato dinyanyikan. Ma diartikan pula sebagai suatu posisi dimana pendulum mencapai

    puncaknya dan berhenti tanpa berhenti atau stop without stopping.7

    Menurut Derrida, kata atau tanda kini tidak mampu lagi menghadirkan makna

    sesuatu yang dimaksud secara serta-merta. Makna harus dicari dalam rangkaian tanda

    yang lain yang mendahului tanda yang pertama. Sifat men-diferensiasi tidak cukup bagi

    suatu tanda, realitas makna juga harus dicari dalam tanda-tanda lain yang mendahului dan

    saling terkait (tissue of sign) yang mungkin hanya nampak jejak-jejaknya saja (traces).

    pencarian ini membutuhkan waktu, karena itu pemahaman makna menjadi tertunda

    menanti pengalaman dan konteks lain yang perlu diciptakan.

    Untuk memahami differance maka harus ada dua elemen, dua anggota dari suatu

    sistim tanda-tanda. Dua ide yang saling melengkapi atau tanda yang sama namun

    7 dalam ilmu komputer semua informasi dapat dikodekan dengan suatu sequence binari dari 0 dan 1. Diantara 0 dan 1berada Ma. Karena differance inilah 0 dan 1 menjadi penting.

  • NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    56

    dipindahkan menuju konteks yang berbeda. Ada perbedaan fundamental dan universal,

    perbedaan anatara presence dan absence. Keduanya menunjukan bagaimana perbedaan

    nya adalah juga menunjukan ketergantungannya. Tidak ada absence tanpa kehadiran

    presence, seperti juga tidak ada hitam kalau tidak ada putih. Demikian pula tidak ada

    naik tanpa turun dan tidak ada kanan kalau tanpa kiri. Presence tidak memiliki

    nilai, tanpa makna kecuali adanya absence.

    Pembalikan Hirarki,

    Differance berbicara tentang ruang gerak bermain antara hitam-putih, utara-selatan,

    lelaki-perempuan dan seterusnya. Gejala ini selalu hidup dan ada tetapi tidak terangkum

    dalam konsp metafisika. Inilah mungkin yang membuat orang lupa akan gejala meng-

    ada.8 Derrida mengikuti jalan yang dibuka oleh Heiddeger untuk meniti kembali

    pemikiran tentang ada. Derrida melihat konsep ada, dari sudut pandang metafisika

    Barat yang memiliki dua masalah. Pertama, ada tidak sesederhana yang dibayangkan,

    bahkan merupakan sesuatu yang kompleks. Derrida menolak gagasan bahwa ada yang

    disebut present dalam pengertian suatu saat yang terdefinisikan sebagai sekarang/now.

    The present bagi hampir semua orang adalah daerah yang dikenali. Manusia tidak pernah

    yakin tentang apa yang terjadi dimasa lampau dan apa yang akan terjadi di masa depan,

    atau apa yang terjadi di tempat lain. Manusia mengandalkan diri pada pengetahuan yang

    ada sekarang dan disini, dunia perseptual yang dialami sekarang. Kedua, idealisasi dari

    ada menyebabkan semua sistim kategori menjadi ber-hirarki, dalam arti yang satu

    mendominasi yang lain. Ada lebih berarti dibandingkan dengan tidak ada meskipun

    secara logika dibutuhkan dan menjadi prasyarat. Dalam hal ini dekonstruksi bertujuan

    untuk (1) meng-identifikasi apa yang disepelekan/disembunyikan sehingga (2) hirarki

    yang terjadi dapat dibatalkan, dibalik atau diproses mundur.

    8 Bagoes P.Wiryomartono, Majalah Kalam edisi 5, 1995, halaman 58

  • DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    57

    Pusat dan Marjinal

    Pusat dan marjinal dapat diartikan sebagai yang tidak-penting dan yang penting.

    Perbedaan antara pusat dan marjinal merupakan konsekuensi dari adanya hirarki yang

    ditimbulkan oleh oposisi binari. Yang marjinal adalah yang berada pada batas atau

    dekat dengan batas, pada tepian, berada diluar (outside) karena itu dianggap tidak

    penting. Sementara pusat menunjukan sesuatu yang terdalam, yang di jantung, daya

    tarik dan makna dimana setiap gerakan berasal dan merupakan tujuan gerakan dari yang

    marjinal. Pusat dan marjin hanya masalah posisi dalam geometrika, namun apabila

    pusat dan marjin saling bergerak untuk bertukar tempat, dipertentangkan atau

    disembunyikan secara dekonstruksi, maka semuanya akan mempunyai arti. Derrida

    mempertanyakan keabsahan posisi ini dalam konsep parergon, dalam kasus ini Derrida

    mengambil contoh bingkai suatu lukisan. Bingkai lukisan, menurut Derrida, lebih penting

    posisinya dibandingkan dengan lukisannya sendiri. 9 Mendekonstruksi yang marjinal

    menjadi pusat berarti mengangkat yang ekstra, yang merupakan tambahan pada posisi

    yang setara dengan yang utama dan mempunyai otonomi sendiri serta merta dengan

    keabsahan yang utama atau yang asli. 10

    Pengulangan (Iterabilitas) dan Makna

    Suatu kata atau tanda memperoleh maknanya dalam suatu proses berulang (iteratif)

    pada konteks yang berbeda dimana secara konotatif maupun denotatif artinya akan

    memperoleh struktur yang stabil. Karakter bahasa memungkinkan penciptaan kalimat-

    kalimat baru yang tak terbatas pada aturan permutasian kata-kata. Kata itu sendiri sebagai

    kata atau berfungsi sebagai kata harus berbunyi sama dan tetap, dapat beradaptasi dan

    digunakan kembali dalam bermacam konteks (kalimat). Untuk itu juga diperlukan

    stabilitas dari konotasi serta mudah-dikenalinya sebagai kata yang sama. Dengan

    penundaan permaknaan tanda, terbuka kemungkinan yang lebih luas dalam suatu

    permainan penelusuran jejak-jejak tanda yang lain dalam konteks yang berbeda-beda.

    9 para berarti tepi, ergon diartikan sebagai karya., Benedikt (1991)10 dalam teks, parergon ini berupa, kata pengantar, pendahuluan, catatan kaki, lampiran dan sebagainya. Sebagai yangmarjinal, parergon diberi peranan yang penting untuk menunjukan sikap pembalikan hirarki, sebagai contoh

  • NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    58

    Penggunaan metafor secara berulang-ulang akan membuka pemahaman yang lebih baik

    terhadap makna yang dimaksudkannya.11

    PEMBACAAN DEKONSTRUKSI ATAS KARYA DESAIN IKLAN A-MILD

    Didalam situasi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang masih belum sepenuhnya

    baik di Indonesia saat ini, hadir fenomena baru yakni munculnya iklan-iklan A-mild yang

    dalam penampilannya mengundang beragam pertanyaan. Desain Iklan ini terkesan

    urakan serta corat-coret bergaya grafiti. Sajian iklan yang dihadirkan tidak

    memperlihatkan adanya hubungan antara pesan-pesan yang disampaikan dengan produk

    yang dipasarkan, sesuatu yang terlihat janggal dalam dunia iklan pada umumnya. Iklan

    ini seolah menghadirkan keterkaitannya antara isi dan pesan iklan tersebut dengan kondisi

    keseharian bangsa ini, apakah demikian maksud kehadiran iklan ini ?

    Gambar 3. Gambar 4. (repro. Poster asli) (repro. Poster asli)

    11 Desain Komunikasi Visual terbentuk dari pengulangan-pengulangan seperti elemen-elemen desain seperti warna, huruf,bentuk dan lain sebagainya. Desain Komunikasi Visual hampir tidak mungkin tanpa pengulangan. Perancang biasanyamenggunakan teknik pengulangan dalam mencari bentuk desain rancangannya; dengan teknik pengulangan desainer lebihmudah mencapai maksudnya. Untuk mencapai konfigurasi yang berarti, hal ini tidak secara otomatis atau refleksif,cerminan dari konteksnya. Dengan cara duplikasi dan pemindahan terhadap latar-belakang (background), dengan merujukpada tertarik akan, ketidak-alamiahan dan non-fungsionalitas, akan menjadi konfigurasi tadi lebih berarti.

  • DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    59

    Tulisan ini akan membahas fenomena tersebut yang dalam pembacaannya atas

    karya-karya desain iklan A-mild yang dipublikasikan sekitar Agustus-Oktober 2002, akan

    digunakan tema-tema dekonstruksi. Tema-tema tersebut dirangkum oleh Benedikt (1991)

    sebagai hasil pemikiran filosofi Derrida, seperti (1) konsep (non konsep) differance, (2)

    proses pembalikan hirarki, (3) permainan Pusat dan Marjinal serta (4) fungsi Iterabilitas

    dan Fungsinya dalam membangkitkan makna. Dalam bulan-bulan sekitar Agustus sampai

    Oktober 2002-an bermunculan iklan-iklan A-mild yang silih berganti dengan penampilan

    yang berbeda dari iklan-iklan biasa. Iklan-iklan hadir baik melalui iklan di media cetak,

    elektronik, maupun di media outdoor. Beberapa tampilan iklan versi ini sangat menarik

    perhatian bahkan menimbulkan banyak pertanyaan.

    Sebagai media promosi Desain Komunikasi Visual, menurut Christine Suharto

    (1999:5) dimaksudkan untuk menyampaikan pesan, mendapatkan perhatian (atensi) dari

    mata (secara visual) dan membuat pesan tersebut dapat diingat. Penggunaan gambar dan

    kata-kata mempunyai makna dan mengesankan. Untuk mencapai tujuan ini digunakan

    gambar dan kata-kata yang bersifat persuasif dan menarik, karena tujuan akhirnya adalah

    menjual suatu produk atau jasa.12

    KERAPIAN VERSUS KETIDAK-RAPIAN

    Dekonstruksi menurut Wiryomartono (1995:50) mempertanyakan adanya

    kemapanan, netralitas, ketunggalan dan kebakuan definisi. Pertanyaan dekonstruktif

    mengajak orang untuk memperhitungkan kembali hal-hal yang semula nampak marjinal

    dan tak terkatakan, antara lain yang berada diantara dua posisi yang kontradiktif dan

    oposisional. Dekonstruksi menghidupkan wacana segala yang diantara dan bergerak

    diantara dua posisi tersebut. Maka keragaman makna menjadi penting ketimbang

    konvensi untuk memegang pemahaman tunggal.

    Penghadiran oposisi binari pada desain iklan A-mild segera terlihat antara

    kerapian dan ketidak-rapian. Banyak sekali unsur oposisi binari dimunculkan pada

    desain iklan ini. Pesan-pesan iklan dihadirkan dalam ketidak-rapian, contoh pada tulisan

    Daripada Curang, Mending Ganti Peraturannya (lihat gambar 1). Tipografi pada pesan 12 Suharto, Christine (1999), Elemen-elemen Dalam Desain Komunikasi Visual, NIRMANA Jurnal Ilmiah DesainKomunikasi Visual, Universitas Kristen Petra. Volume 1 nomor 1 Januari 1999.

  • NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    60

    iklan dihadirkan dengan teknik awut-awutan (tidak rapi), terkesan asal-asalan,

    dihadirkan dengan teknik visualisasi yang tidak lazim, sedang logo produk dihadirkan

    dengan sangat rapi dan elegan. Pada versi yang lain muncul juga ilustrasi (background

    ilustrasi tanda seru dan tanda tanya) yang teknik visualisasinya dihadirkan dengan kesan

    sangat tidak rapi. Hal ini juga terlihat pada garis-garis yang dimunculkan pada ilustrasi ini

    yang terkesan tidak rapi, putus-putus, tidak selesai, tidak lurus (lihat gambar 5) sedang

    pada background desain iklan ini ada garis-garis yang lurus, rapi dan teratur. Pada versi

    lain (lihat gambar 3 dan 4), ilustrasi ini juga dihadirkan dengan kesan teknik airbrush

    yang tidak rajin, tidak rapi dan asal-asalan. Dalam teknik penggambaran juga dihadirkan

    oposisi antara garis-garis yang teratur sebagai latar, dengan kehadiran cat yang seolah

    meleleh (yang terkesan sebagai pekerjaan yang jorok/tidak bersih, berlepotan dan tidak

    rajin. Oposisi binari (antara kerapian dan ketidak-rapian) ini memperlihatkan kepaduan

    dengan konsep dekonstruksi seperti yang dihadirkan dalam konsep Im dan yang.13

    Gambar 5. Gambar 6. (repro. Poster asli) (repro. Poster asli)

    13 Dua posisi kontradiktif dalam sebuah lingkaran yang terdiri dari dua bentukan yang saling berkejaran, saling terkamantara hitam dan putih, antara kebaikan dan keburukan, antara positif dan negatif dan seterusnya; juga memperlihatkanadanya hitam dalam putih (meskipun kecil/sedikit) demikian pula adanya sedikit putih yang dihadirkan dalam hitam.

  • DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    61

    Penghadiran dua elemen (teknik kerapian dan ketidak-rapian) ini mempertunjukan

    bahwa dekonstruksi menawarkan kekayaan dalam dunia desain, bahwa estetika atau

    teknik penyajian dalam Desain Komunikasi Visual tidak hanya berkutat dalam kerapian,

    kebersihan, hasil kerja yang mempertunjukan kehati-hatian, tetapi juga pengkayaan

    teknik lain atau bahkan Dekonstruksi menawarkan yang tidak rapi, penyajian yang tidak

    rajin, kesan yang asal-asalan adalah suatu yang sah-sah saja. Dengan demikian desain

    iklan A-mild ini menjadi menarik ketika keragaman teknik penyajian disajikan demikian

    vulgar dan kaya ketimbang konvensi untuk memegang pemahaman tunggal. Dengan

    Dekonstruksi akan disadari bahwa cat tidak harus bersih rapi, tetapi yang meleleh dan

    berlepotan merupakan sisi lain dari sebuah desain yang perlu digarap dan dikembang

    serta diberi peluang sebagai elemen penting (juga) dalam Desain Komunikasi Visual.

    Dengan demikian, dengan berdekonstruksi kita belajar tentang kekayaan dalam

    mendesain, dimana unsur-unsur terkecil (teknik penyajian) sekalipun berpeluang untuk

    self-referensial dan sekaligus menjadi unsur integral dalam Desain Komunikasi Visual.

    Penghadiran dua posisi kontradiktif secara bersamaan, namun dengan tema-tema,

    kondisi-kondisi yang berbeda menghasilkan oposisi binari dalam suatu keadaan; namun

    perulangan yang berbeda merupakan suatu iterabilitas seperti yang diisyaratkan oleh

    dekonstruksi. Oposisi binari antara kerapian dan ketidak-rapian menghidupkan

    wacana segala yang diantara dan bergerak diantara dua posisi tersebut.14

    MARJINALITAS-SENTRALITAS DAN PEMBALIKAN HIRARKI

    Membaca desain iklan A-mild ini membangkitkan banyak pertanyaan bukan

    hanya pada statement-statement-nya yang menarik perhatian, tetapi kaidah-kaidah

    perancangannya yang patut juga dipertanyakan. Dalam kaidah perancangan, bagian

    utama (yang terpenting) biasanya sangat ditonjolkan baik melalui pewarnaan yang

    menyolok, dimensi yang berbeda (kontras) ataupun teknik penyajian yang menarik.

    Namun dalam tampilan iklan A-mild ini justru dihadirkan dengan komposisi yang tidak

    biasa. Pesan (slogan-slogan yang tidak ada hubungannya dengan produk) yang dalam

    14 Maksud kata di antara bukanlah secara vulgar menyatakan ditengah-tengah. Kenaifan berfikir diantara dua posisibukanlah sebagaimana membentuk kategorisasi : atas-tengah-bawah, sign-(de)sign- (re)sign, direct-(mis)direct-(re)direct,compose-(de)compose-(re)compose dan seterusnya (Wiryomartono, 1995:62).

  • NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    62

    konteks pesan iklan berada pada posisi yang tidak penting (marjinal) diberi tempat utama,

    ditengah bidang desain (poster, brosur, baliho). Sedang produk yang di-iklan-kan (logo)

    di posisikan di pinggiran. Dalam pembacaan ini segera terlihat adanya pembalikan hirarki

    antara yang penting (ilustrasi/logo produk ) diletakan di pinggiran, sedang pesan yang

    tidak penting justru diutamakan. Yang utama, yakni logo produk, adalah titik utama atau

    fokus iklan (sentral) diberi tempat di pinggiran, sedang pesan atau slogan yang tidak

    terbaca memiliki keterkaitan dengan produk (pinggiran/marjinal/tidak penting) justru

    diletakan sebagai point of interest. Yang marjinal (pesan seperti pada contoh versi: Jadi

    Tua itu Pasti, Jadi Dewasa itu Pilihan, terbaca tidak ada kaitannya dengan produk yang

    di-iklan-kan) menjadi penting, sedang yang di-iklan-kan, yang penting sentral-- (ilustrasi

    logo A-mild) justru dipinggirkan. Keberadaan moda marjinalitas dan sentralitas serta

    pembalikan hirarki ini juga dimunculkan dalam sajian dimana pesan atau slogan menjadi

    bagian yang dominan (dengan huruf yang tidak teratur, terkesan kotor, tidak rapi, asal-

    asalan) tetapi tampil dengan skala besar dan mendominasi; sedang logo atau produk yang

    di-iklan-kan yaitu ilustrasi A-mild dibuat dalam bentuk dan tipografi yang rapi, bersih,

    teratur dan masih diperkuat lagi dengan kesan ilustrasi ini adalah barang tempelan,

    dilekatkan dengan klip. Ilustrasi logo ini terkesan sesuatu yang ketinggalan, darurat

    dan asal tempel dan terkesan seolah berasal dari kertas yang kumal. Bahkan tampilan

    iklan ini dengan berani menunjukan bahwa desain atau garapan yang salah, tidak perlu

    diperbaiki dan dibiarkan hadir apa adanya (perhatikan bagian kanan bawah iklan A-mild

    yang memperlihatkan beberapa saputan cat darurat seolah sebuah usaha menutup

    kesalahan, lihat pada gambar 8). Tampilan seperti tumpahan cat, lelehan cat yang belum

    kering, luberan semburan cat yang tidak terkontrol menghadirkan pengkayaan elemen

    desain, bahkan mempertanyakan kembali sampai kedasar-dasarnya baik tentang kaidah-

    kaidah desain termasuk didalamnya kaidah-kaidah estetika. Desain iklan A-mild ini

    sekalilagi memperlihatkan dan menimbulkan pertanyaan akan sikap dekonstruktif yang

    mengajak orang untuk memperhitungkan kembali hal-hal yang semula tampak marjinal

    (slogan yang terbaca tidak terkait dengan tujuan iklan) dan tak terkatakan (desain yang

    tidak rapi, tidak selesai, terkesan asal-asalan, berlepotan yang sering dianggap bukan

    desain, keluar dari tatanan baku/standar/tunggal).

  • DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    63

    Pembacaan kritis pada iklan A-mild ini, menunjukan pula sebuah bentukan yangumum dari sebuah surat. Kertas surat yang bergaris, sapaan dengan hormat (diwakilioleh ilustrasi Bukan Basa-Basi), isi surat (slogan atau ungkapan, kalimat-kalimat) danpengirim (ilustrasi A-mild). Dalam perkembangan model pemasaran akhir-akhir ini,beberapa pakar marketing menawarkan model promosi yang tidak lagi bersifat umum(kepada masyarakat) tetapi kembali pada pendekatan personal. Kehadiran iklan A-mildversi-versi ini menunjukan adanya usaha pendekatan personal (dalam bentuksurat/pribadi), tetapi jejak oposisional dan kontradiktifnya tetap dimunculkan, yaitudihadirkan secara terbuka dan umum (untuk khalayak ramai). Dalam konteks parergon,nampak sekali bahwa garis-garis lurus yang hanya terlihat berfungsi latar desain saja,mampu mensejajarkan diri sebagai yang utama.

    Gambar 7. Gambar 8. (repro. Poster asli) (repro. Poster asli)

    PEMBACAAN MAKNA DAN ITERABILITAS

    Desain iklan A-mild terbaca menampilkan kesamaan-kesamaan yang selalu

    menampilkan oposisi dan kontradiksi dimana-mana. Sebagai titik fokus utama (point of

  • NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    64

    interest) slogan-slogan iklan versi ini juga menawarkan pernyataan yang oposisional dan

    kontradiktif. Dalam versi pertamanya muncul slogan Daripada Curang, Mending Ganti

    Peraturannya, orang akan sangat kesulitan membaca apa makna dibalik statement itu.

    Orang bisa sambil lalu mengamati iklan ini, tetapi ada juga yang mengkaitkan dengan

    kondisi sosial-politik di Indonesia utamanya tentang peraturan atau hukum, dimana

    produk hukum di Indonesia saat ini oleh berbagai pihak dinilai sangat kacau. Dan iklan-

    pun mempertanyakan keberadaan kondisi ini dalam pesan-pesan ke masyarakatnya.

    Berkaitan dengan hal tersebut, iklan A-mild ini ternyata tidak semata-mata

    mempunyai fungsi untuk mendorong, membujuk kepada khalayak ramai tentang produk

    yang diiklankan (yang mempunyai nilai-guna sebuah iklan saja) melainkan iklan ini

    menghadirkan sebuah perspektif dari fragmen-fragmen, dari suara-suara, dari teks-teks

    lain dan kode-kode lain, karena sebuah teks masakini (iklan A-mild) bukanlah sebuah

    produk yang dihasilkan melalui suatu aturan atau kode yang kaku, yang bukan menjadi

    model yang tunggal. Sebuah teks pos-modern (iklan A-mild), menurut Barthes (dalam

    Piliang 1998), bukanlah sebuah produk (Desain Komunikasi Visual umumnya dan desain

    Iklan khususnya) yang menghasilkan makna yang tunggal atau pesan pengarangnya

    melainkan sebuah ruang yang multidimensional, yang didalamnya bercampur aduk dan

    berinteraksi berbagai macam tulisan, yang tak satupun diantaranya orisinal. 15

    Dalam lingkup terbatas (di kalangan mereka yang bergerak di bisnis periklanan dan

    rokok atau pengamat yang lain), iklan A-mild versi Daripada Curang, Mending Ganti

    Peraturannya, ada yang mengkaitkannya dengan kasus tergusurnya iklan A-mild versi

    kepiting (bentuk iklan yang kartunal). Dimana iklan tersebut akhirnya harus ditarik

    kembali, ketika muncul berbagai kritik dari masyarakat. Saat itu sebagian masyakarat

    mempermasalahkan bahwa bentuk-bentuk kartunal diasumsikan hanya cocok untuk anak-

    anak; sehingga di khawatirkan akan mengajak anak-anak mengkonsumsi rokok. Padahal

    pendapat tersebut belum teruji kebenaranya (Bing Bedjo Tanujaya 2002:170). Untuk

    menghindari polemik maka akhirnya iklan tersebut ditarik baik iklan di media cetak,

    maupun di media elektronik dan juga iklan di media ruang luar (outdoor).16 Kasus ini

    15 Baca juga Iklan Dalam Wacana Postmodern, Studi Kasus Iklan Rokok A-mild , Freddy H Istanto (1999), NIRMANA,Jurnal Desain Komunikasi Visual UK Petra, volume satu nomor satu Januari 1999.16 Tanudjaja, Bing Bedjo (2002), Bentuk-bentuk Kartunal Sebagai Medium Penyampaian Pesan Dalam Iklan,NIRMANA Jurnal Desain Komunikasi Visual UK Petra, volume 4 nomor 2 Juli 2002.

  • DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    65

    tentu berdampak kerugian yang sangat besar bagi perusahaan rokok A-mild yang dengan

    mudah orang akan mengkaitkan masalah ini dengan produk iklan A-mild yang

    mempertanyakan keabsahan peraturan lewat iklannya Daripada Curang, Mending

    Ganti Peraturannya. Apabila ditelusuri melalui pendekatan iterabilitas, maka dapat juga

    ditemukan sebuah struktur makna yang stabil, ketika dalam beberapa versi lainnya bisa

    dikaitkan antara ketidak puasan perusahaan rokok A-mild atas masalah iklan versi

    kepiting tersebut. Beberapa versi seperti Jadi Tua Itu Pasti, Jadi Dewasa Itu Pilihan,

    apabila dikaitkan bisa dimunculkan makna bahwa peraturan di Indonesia itu sudah bisa

    dikategorikan tua (beberapa bahkan masih produk Belanda), tetapi produk dan pranata

    hukum itu bisa dibaca belum cukup dewasa. Untuk menjadi dewasa memang sebuah

    pilihan. Yaitu apakah pelaksanaan hukum (juga dan terutama yang berlaku di dunia

    periklanan) mau untuk menjadi dewasa, maka itu adalah pilihan.

    Pada versi yang lain, Jangan Tunda Besok Apa Yang Bisa Dikerjakan Lusa,

    inipun bisa dikaitkan dengan problematika utama bangsa ini, yaitu agar bangsa ini segera

    berbenah dalam menangani produk hukumnya. Konteks tersebut juga sangat relevan

    dikaitkan dengan peraturan-peraturan tentang periklanan (yang juga berlaku untuk

    penghakiman atas iklan A-mild versi kepiting). Demikian juga A-mild versi Setiap Gue

    Dapat Jawabannya, Ada Yang Ganti Pertanyaannya, statement ini mampu dibaca sebagai

    tidak konsistennya peraturan di Indonesia, sehingga banyak orang yang telah menemukan

    jawaban atas permasalahannya, menjadi kecewa karena ternyata hal itu tidak menjamin

    kebenaran atas jawaban tersebut. Itulah yang disebut oleh Derrida bahwa Dekonstruksi

    menawarkan kata atau tanda yang akan memperoleh maknanya dalam suatu proses tanda

    yang berulang (iteratif) pada konteks yang berbeda dimana secara konotatif maupun

    denotatif artinya akan memperoleh struktur yang stabil.

    Keberadaan/presence slogan-slogan oposisional yang kontradiktif tersebut

    memang bukanlah sesuatu yang sederhana. Menurut Derrida, keberadaan/presence adalah

    sesuatu yang sangat kompleks, tidak ada petanda/signified oleh suatu penanda/signifier,

    bahkan oleh penanda/ signifier itu sendiri. Keberadaan slogan-slogan iklan A-mild versi-

    versi ini sebagai penanda menimbulkan bermacam-macam interpretasi, sehingga

    hadirnya slogan-slogan tersebut sebagai signifier tidak mampu menghadirkan signified-

    nya seperti ditulis Benedikt (1991:15) : nothing signified by a signifier is not also a

  • NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    66

    signifier itself, claims Derrida. Orang dapat mengkaitkan apapun slogan-slogan tersebut

    dan menggabungkan dengan serial-serial lainnya sesuai interpretasi yang berkembang di

    alam pikirnya dan sesuai pula dengan segala intelektual dan konteks dari dirinya masing-

    masing. Demikian pula makna harus dicari pada tanda-tanda yang lain, karena

    dekonstruksi tidak menawarkan petanda riel, karena semua penanda mengalami proses

    penundaan (differance yang berarti the process of defferal, menunda).

    Slogan-slogan iklan A-mild sebagai penanda/signifier menurut Derrida tidak secara

    langsung menggambarkan petanda/signified seperti kaca memantulkan bayangannya.

    Menurut Derrida :Hubungan penanda-petanda tidak seperti dua sisi sehelai mata uang yangdigambarkan Saussure, karena tidak ada pemisahan yang jelas antara penanda danpetanda. Apabila kita ingin mengetahui makna penanda-penanda, maka kita harusmelihat kamus. Didalam kamus dapat ditemukan penanda-penanda lainnya yangpetandanya harus dicari kembali. Jadi proses interpretasi selalu bersifat tanpa batasdan sirkuler. Penanda beralih bentuk menjadi petanda, demikian pula sebaliknya,sehingga kita sebenarnya tidak pernah sampai pada petanda terakhir yang bukanpenanda. Interpretasi, dengan demikian merupakan aktifitas tanpa akhir dan tanpadasar. Struktur tanda ditentukan oleh jejak yang senantiasa absen. Tanda dibawa ketanda yang lain dan seterusnya tanpa batas, yang secara bergiliran menjadi penandadan petanda. Tanda tidak dapat dipelajari sebagai unit homogen yangmenjembatani obyek (referent) dan tujuan akhir (makna) seperti dianjurkansemiotika, tetapi sebagai under eraser karena tanda selalu diisi oleh jejak tandalain.Dekonstruksi menurut Derrida adalah metoda membaca teks secara teliti, sehinggapremis-premis yang melandasinya dapat digunakan untuk meruntuhkanargumentasi yang disusun atas premise tersebut.

    Dalam tampilan iklan A-mild, terbaca jejak-jejak yang ada yaitu disamping slogan-

    slogan yang oposisional dan kontradiktif, pembalikan hirarki serta moda marjinal-

    sentralitas terlihat bahwa kata atau tanda kini tidak mampu lagi menghadirkan makna

    sesuatu yang dimaksud secara serta-merta. Makna harus dicari dalam rangkaian tanda

    yang lain yang mendahului tanda yang pertama. Sifat men-diferensiasi tidak cukup bagi

    suatu tanda, realitas makna juga harus dicari dalam tanda-tanda lain yang mendahului dan

    saling terkait (tissue of sign) yang mungkin hanya nampak jejak-jejaknya saja (traces).

    pencarian ini membutuhkan waktu, karena itu pemahaman makna menjadi tertunda

    menanti pengalaman dan konteks lain yang perlu diciptakan. Serial iklan A-mild ini

    mampu menjejajarkan desain ini dalam konteks dekonstruksi yang nyata. Karena apabila

  • DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    67

    tidak dimunculkan tanda atau seri yang lain, akan sulit membaca makna dari tanda

    tersebut. Jejak-jejak itulah yang membuat makna menjadi tertunda, karena orang akan

    mengkaitkan satu versi dengan versi yang lain dan akan menafsirkan arti dari tanda atau

    slogan tersebut.17

    PARERGON

    Dalam pemikiran Dekonstruksinya Derrida memperkenalkan konsep parergon,

    dalam kasus ini Derrida mengambil contoh bingkai suatu lukisan. Para berarti tepi,

    ergon diartikan sebagai karya..18 Bingkai lukisan, menurut Derrida, lebih penting

    posisinya dibandingkan dengan lukisannya sendiri. Pembacaan teks (iklan A-mild)

    dekonstruksi harus dilakukan secara teliti dan membuka cakrawala pemikiran yang

    seluas-luasnya. Dalam desain iklan A-mild versi-versi ini, selalu terbaca adanya garis-

    garis lurus seperti garis-garis di buku tulis. Dari konteks parergon, garis-garis lurus

    sebagai latar sebuah desain terlihat menonjol; karena kehadirannya mampu memperkuat

    tampilnya elemen ilustrasi yang lain. Dengan latar garis-garis yang lurus, teratur dan rapi

    maka elemen yang berseberangan akan tampil secara nyata. Kehadiran garis lurus,

    membuat ilustrasi yang acak-acakan, tidak lurus, tidak rapi menjadi lebih terbaca.

    Demikian pula dengan saputan cat yang tidak rata, berlelehan, berlepotan serta semburan

    cat (semacam teknik airbrush) yang tidak rajin, semakin mencatatlan kehadirannya ketika

    disampingkan langsung dengan garis-garis rapi tersebut. Garis-garis mendatar ini juga

    mengingatkan kembali keberadaan iklan A-mild yang selalu tampil dengan ciri tertentu

    ini. Sehingga kehadiran garis-garis lurus tersebut menjadi penting ketika dia menjadi

    bagian aktif dari jejak masa lalu. Disamping ilustrasi bukan basa-basi dan logo A-

    mild, maka kehadiran garis-garis lurus adalah bagian dari citra A-mild secara

    keseluruhan. 19 Dengan demikian latar (garis-garis lurus) menjadi penting dalam desain

    iklan tersebut.

    17 Jejak-jejak secara riel juga dihadirkan oleh A-mild sebagai suatu identifikasi adalah jejak-jejak khas A-mild yaituilustrasi bukan basa-basi, logo A-mild dan garis-garis lurus sebagai latar. Ketiganya sebenarnya juga elemen pentingsebagai suatu iklan tetapi justru ditampilkan secara sederhana, tidak rapi, asal-asalan bahkan kabur.18 Benedikt (1991)19 tanda ini telah dihadirkan oleh A-mild sejak 1993 (Swa 2002:28). A-mild adalah pioner rokok rendah Tar pertama diIndonesia. A-mild aktif berpromosi dengan pesan How Low Can You Go untuk mengingatkan konsumen akan rendahnya(low) kandungan Tar bagi konsumennya, pada awal pemunculannya. Dengan melihat kandungan tar Star-mild (rokok

  • NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    68

    PARODI

    Meskipun langkah serial dari iklan a-mild ini dapat dianalisa dan dibaca dengan

    cermat (sifat teks dekonstruksi menurut Derrida adalah membaca dengan teliti teks-teks

    yang ada), namun peluang untuk membuka interpretasi pada slogan-slogan yang

    dihadirkan oleh iklan A-mild ini sangat besar. Dalam pendekatan kaitan penanda-petanda

    (signifier-signified) postmodern, Baudrillard menyatakan bahwa petanda itu sudah mati;

    demikian pula dengan iklan A-mild versi ini yang membuka interpretasi yang demikian

    besar bagi mereka yang mengamati. Makna dalam sajian iklan A-mild tersebut tidak

    memiliki ikatan-ikatan yang ideologis, stabil dan mapan, bahkan yang ditampilkan

    cenderung untuk ironis (kontradiktif dan oposisional). Dalam beberapa versi ini slogan-

    slogan tersebut memiliki unsur-unsur humor yang tinggi, yang terkadang absurd. Piliang

    (1998:307) menguraikan tentang bahasa estetik postmodernisme. Salah satu bahasa

    estetika tersebut adalah parodi, menurut Piliang parodi adalah sebuah komposisi dalam

    karya sastra, seni atau arsitektur yang didalamnya kecenderungan pemikiran dan

    ungkapan khas dalam diri seorang pengarang, seniman, arsitek atau gaya tertentu yang di-

    imitasi sedemikian rupa untuk membuatnya humoristik atay absurd. Efek-efek kelucuan

    atau absurditas biasanya dihasilkan dari distorsi atau plesetan ungkapan yang ada.

    Meskipun parodi adalah suatu bentuk imitasi, akan tetapi imitasi yang ditandai oleh

    kecenderungan ironik. Parodi adalah penggunaan kembali karya masa lalu yang dimuati

    dengan ruang kritik, yang menekankan pada kritik, sindiran, kecaman, sebagai ungkapan

    rasa tidak puas atau sekedar menggali rasa humor dari karya rujukan yang bersifat serius.

    Pembacaan tanda pada iklan A-mild memang tidak sederhana, karena untuk memahami

    makna tanda, kita harus menarik kembali atau menelusuri jejak-jejak tanda yang lain

    seperti yang diamanatkan dekonstruksi. Pada serial versi iklan A-mild ini dihadirkan

    slogan Ringan Sama Dijinjing, Berat Elo Yang Pikul,20 ungkapan ini menawarkan

    sejenis pesaingnya) yang lebih rendah, A-mild mengusung slogan baru Bukan Basa-Basi Muncul kemudian slogan baruOther Can Only Follow dan tahun (2002) ini menggunakan banyak tagline untuk para remaja.20 menurut majalah SWA no.20 30 September-9 Oktober 2002, iklan A-mild versi-versi ini menggambarkan perangsesungguhnya menghadapi musuh-musuh baru A-mild. Kutipan hasil wawancara SWA dengan Go Siang Chen, DirekturIntegrity Consulting antara lain bahwa setelah lima tahun lebih bertempur habis-habisan dengan Star-mild (PT BentoelPrima) giliran A-mild menantang Gudang Garam yang dalam waktu dekat meluncurkan rokok ringan Signature. Maksudpesan itu secara berturut-turut Ayo bersama-sama memasuki pasar mild, tapi kalau Gudang Garam merasa berat, tanggungsendiri (Ringan Sama Dijinjing, Berat Elo Yang Tanggung); Sampoerna dan Gudang Garam adalah sahabat sejati, mari kitaberbagi, tetapi Pacar (konsumen) tidak bisa dibagi (Sahabat Sejati Selalu Berbagi, Emangnya Pacar Bisa Dibagi?). KalauGudang Garam bilang kaya, coba tanya hasil kerja keras siapa (Kalau Dia Bilang Kaya, Coba Tanya Hasil Kerja Keras

  • DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    69

    distorsi sikap sosial manusia sekaligus mampu membuat orang tertawa karena ungkapan

    ini telah diplesetkan dari ungkapan aslinya Ringan Sama Dijinjing, Berat Sama

    Dipikul. Misi parodi ini jelas dapat dibaca sebagai kritik, sindiran kecaman atau bahkan

    rasa tidak puas. Beberapa slogan yang dihadirkan pada serial versi ini tidak hanya dapat

    dibaca sebagai plesetan, tetapi kalimat demi kalimat juga menghadirkan kesan

    oposisional dan kontradiktif (Sahabat Setia Selalu Berbagi, Memang Pacar Dapat Dibagi)

    atau kecaman (Kalau Dia Bilang Kaya, Coba Tanya Hasil Kerja Keras Siapa? ). Parodi

    lain sangat menonjol muncul dalam versi Kalau Cinta Itu Buta, Buat Apa Ada Bikini?

    SIMPULAN

    Berdekonstruksi dalam Desain Komunikasi Visual (yang salah satunya adalah

    desain iklan) bukanlah semata-mata menunjukan bahwa Desain Komunikasi Visual

    adalah permainan elemen-elemen desain yang bersandar ada bentuk-bentuk standar, nilai-

    nilai estetika yang baku saja, tetapi berdekonstruksi dalam Desain Komunikasi Visual

    adalah ber- Desain Komunikasi Visual dengan menggunakan dekonstruksi sebagai

    metoda atau strategi penanganan Desain Komunikasi Visual. Kehadiran dekonstruksi

    dalam Desain Komunikasi Visual diarahkan agar Desain Komunikasi Visual dapat

    memiliki makna yang lebih kaya; dapat menjadikan Desain Komunikasi Visual lebih

    Siapa?). Go Siang Chen juga menterjemahkan salah satu versi yang lain sebagai : Cepat Luncurkan Produk Baru Mild-mu,Gudang Garam Jangan ditunda-tunda (Jangan Tunda Besok Apa Yang Bisa Dikerjakan Lusa.). Dalam interpretasi yangdemikian terbuka di era postmodernisme, maka pembacaan makna oleh Go Siang Chen ini menjadi wajar dan mampumenjawab pandangan Rosalin Coward (dalam Piliang 1998:276), juga menurut Richard Hartland. Dalam dekonstruksidikenal istilah diseminasi. Diseminasi adalah keadaan kehampaan makna disebabkan telah dibongkarnya petanda/logos.Dengan membongkar petanda dan dengan demikian makna- maka lenyap pula fungsi komunikasi dari bahasa. Dalamketiadaan petanda/logos maka bahasa berkembang lewat energi dan kreativitasnya sendiri (Hartland 1987 dalam Piliang1998). Melalui diseminasi, bahasa menolak tanggungjawab sosialnya, yakni tangungjawab sebagai media penyampaianpesan dan makna-makna (ideologis, mitologis, spiritual). Dalam diseminasi sistim bahasa yang telah dibongkar ataudidekonstruksi, berubah menjadi suatu penjelajahan anarkis melalui ungkapan bahasa. Bahasa menjadi sebentuk subversidan parodi terhadap semua makna-makna yang dianggap mapan pada tingkat kontrol sosial yang biasa. Dekonstruksi telahmampu membongkar pandangan dominan dalam semiotika (tanda-makna-konsep) tak dapat memfungsikan bahasa sebagaisatu wacana sosial, yaitu wacana komunikasi bermakna diantara subyek-subyek. Interpretasi Go Siang Chen menjadi wajar(dalam konteks dekonstruksi) yang membuka bebas sebuah interpretasi, penundaan makna (makna dapat dibaca darimakna-makna lain yang tertunda) juga menjadi kontekstual ketika dibaca dalam lingkaran subyek-subyek tertentu (orang-orang periklanan atau orang-orang yang terlibat dalam industri rokok atau menjadi berkembang dalam konteks keterikatansubyek-subyek tertentu). Tanda-tanda dekonstruksi disebut Hartland sebagai tanda anti sosial. Antisosial yangdimaksudkan oleh Hartland tidak sama dengan kecenderungan antisosial pada konteks seni modernisme, yang menjauhkandirinya dari konvensi dan makna sosial yang ada sebelumnya, dalam rangka membangun konvensinya sendiri yang bersifatotonom. Menurut Piliang (1998) antisosial yang dimaksud adalah wacana seni dan kebudayaan tidak menolak konvensi danmakna-makna sosial serta ideologis, akan tetapi menyelusup ke dalam sistimnya dalam rangka mensubversi danmendekonstruksinya.Bahasan dalam Catatan Kaki (footnote) ini dihadirkan senafas dengan konsep Parergon. Dimana pigura lukisan lebihpenting dari lukisannya, dalam sudut pandang dekonstruksi. Bahasan ini penting untuk dihadirkan dalam halaman utama,dengan semangat dekonstruksi bahasan ini dihadirkan sebagai catatan-kaki.

  • NIRMANA Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 48 - 71

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    70

    komunikatif dan menawarkan makna-makna yang lebih beragam dan variatif. Dengan

    mendekonstruksi diharapkan Desain Komunikasi Visual dapat memberi penghargaan atas

    keberadaan dan kekuatan yang dimiliki unsur-unsur yang membentuk Desain Komunikasi

    Visual. Dengan demikian, dengan ber-dekonstruksi kita belajar tentang kekayaan yang

    dimiliki Desain Komunikasi Visual, dimana unusr-unsur terkecilnya sekalipun atau

    elemen-elemen yang terpinggirkan dapat berpeluang untuk self-referensial dan sekaligus

    menjadi unsur integral Desain Komunikasi Visual.

    Iklan-iklan A-mild versi ini menunjukan pula kehadirannya yang keluar dari pakem

    iklan yang selalu menekankan pada komunikasi-sosialnya. Tampilan iklan versi ini

    menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat beragam dan kadang sulit dimengerti

    apa maksud (pesan-pesan)-nya. Dengan dekonstruksi, bahasa memang menolak

    tanggungjawabnya sebagai media penyampaian pesan dan makna-makna. Dengan

    dekonstruksi, sistim bahasa telah dibongkar atau di-dekonstruksi, berubah menjadi suatu

    penjelajahan anarkis melalui ungkapan bahasa. Bahasa menjadi sebentuk subversi dan

    parodi terhadap semua makna-makna yang dianggap mapan pada tingkat kontrol sosial

    yang biasa.

    KEPUSTAKAAN

    Benedikt, Michael, Deconstructing The Kimbell, New York, SITES Book, 1991

    Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX, Inggris-Jerman, Jakarta, PT Gramedia PustakaUtama, 1990

    Istanto, Freddy H., Rumah Tinggal Frank O. Gehry, Sebuah Tinjauan Dari SudutDekonstruksi, Makalah Isyu Rancangan Kiwari, Program Studi Arsitektur InstitutTeknologi Sepluluh Nopember Surabaya, 1997.

    __________, Iklan Dalam Wacana Postmodern, Studi Kasus Iklan Rokok A-mild,NIRMANA, Jurnal Desain Komunikasi Visual UK Petra, volume satu nomor satu Januari1999.

    Noth, Winfried, Handbook of Semiotics, Indiana University Press.1990.

    Papadakis, Andreas, Deconstructions in Architecture, Architectural Design, New York,Academy Edition, (1988)

  • DEKONSTRUKSI DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL: SEBUAH PENJELAJAHAN KEMUNGKINAN (Freddy H. Istanto)

    Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petrahttp://puslit.petra.ac.id/journals/design/

    71

    Piliang, Jasraf Amir, Sebuah Dunia Yang Dilipat, Realitas Kebudayaan MenjelangMilenium Ketiga Dan Matinya Modernisme, Penerbit Mizan, Bandung, 1998

    __________, Jurnal Seni Rupa, Volume I/95, 1995

    Setiawan, A.J, Konsep Derridean Dan Non-Derridean Dalam Dekonstruksi Arsitektur,Seminar Dekonstruksi Arsitektur, Jurusan Arsitektur FTSP Universitas Kristen PetraSurabaya.

    Sudjiman, Panuti & Aart Van Zoest Serba-serbi Semiotika, Jakarta, Gramedia PustakaUtama.1992

    Suharto, Christine, Elemen-elemen Dalam Desain Komunikasi Visual, NIRMANA JurnalIlmiah Desain Komunikasi Visual, Universitas Kristen Petra. Volume 1 nomor 1 Januari1999.

    SWA, Majalah, Perang Badar Produk Massal, no.20, edisi 30 September-9 Oktober2002

    Tanudjaja, Bing Bedjo, Bentuk-bentuk Kartunal Sebagai Medium Penyampaian PesanDalam Iklan, NIRMANA Jurnal Desain Komunikasi Visual UK Petra, volume 4 nomor2 Juli 2002.

    Wiryomartono, Bagoes P., Dekonstruksi Dalam Arsitektur : Sebuah PenjelajahanKemungkinan, Majalah Kebudayaan Kalam edisi 5, 1995.