Degradasi Etika dan Moral dalam Jejaring Sosial Online.docx

download Degradasi Etika dan Moral dalam Jejaring Sosial Online.docx

of 11

Transcript of Degradasi Etika dan Moral dalam Jejaring Sosial Online.docx

Degradasi Etika dan Moral dalam Jejaring Sosial OnlineNadya Syifana, Norman Lie16 April 2013AbstrakPerkembangan teknologi jejaring sosial online telah menciptakan pergeseran paradigma dalam masyarakat. Jejaring sosial mampu mendekatkan yang jauh, memudahkan proses yang sulit. Segala kemudahan ini tentunya bukan tidak berkonsekuensi. Tanpa disadari, segala kemudahan dan kebebasan disediakan oleh jejaring online telah menjebak kita dalam penurunan nilai etika dan moral, bahkan membawa hal tersebut ke dunia nyata. Hal ini bila dibiarkan terus berlanjut dapat mengakibatkan kebobrokan moral masyarakat yang sulit dibangun kembali.Kata kunci: Jejaring Sosial Online, Etika, Moral, Pergeseran Paradigma SosialI. PendahuluanPerkembangan teknologi dari masa ke masa terbukti telah memberi banyak perubahan pada manusia. Perubahan yang terjadi umumnya ke arah lebih baik, seperti mempermudah melakukan suatu pekerjaan, memberikan berbagai pilihan atau preferensi baru dalam melakukan sesuatu, dan bahkan mampu membuka lapangan pekerjaan. Pengembangan teknologi terus dilakukan untuk dapat menjangkau segala kebutuhan hidup manusia. Tidak jarang juga pengembangan teknologi mendorong untuk penemuan serta pengembangan teknologi baru.II. Etika dalam Jejaring SosialJejaring sosial online dapat diibaratkan sebagai miniatur kehidupan nyata kita. Terdapat interaksi antar individu dalam jejaring. Dalam media sosial kita dapat terhubung dengan orang-orang yang benar-benar kita kenal, melakukan pembicaraan atau berbagi data untuk keperluan tertentu. Melalui itu kita juga dapat berkenalan dengan orang-orang baru mungkin berada pada daerah terkenal luas, atau memiliki ketertarikan akan suatu hal yang sama. Dengan demikian, seharusnya aturan-aturan berinteraksi di dunia nyata dan dunia maya juga tetap sama, tentunya dengan berbagai penyesuaian terkait bentuk media komunikasi yang terbatas pada layar gadget, tidak berjumpa secara langsung.Media internet menjadi wadah populer untuk menuangkan pendapat atau berbagi informasi dengan menyebarkannya pada lingkungan yang lebih luas. Karena dilihat oleh kalangan luas dengan pandangan atau status berbeda, informasi yang disampaikan harus dijaga agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atau bahkan menyinggung pihak-pihak tertentu.Menggunakan identitas orang lain atau suatu organisasi tertentu tanpa izin sepengetahuan pihak terkait juga merupakan perbuatan yang melanggar hukum maupun etika. Apalagi jika penggunaan identitas tersebut bertujuan untuk menipu, sanksi diberikan bisa lebih berat.III. Degradasi Etika dan Moral dalam Jejaring SosialKemudahan, keleluasaan, kebebasan dalam penggunaan internet telah membuat pengguna kelepasan bagaimana sepantasnya ia bertindak. Ketika bermain-main dalam dunia maya, seseorang terkadang merasa lebih bebas berekspresi karena ia merasa tidak ada orang secara langsung melihat apa yang dilakukannya. Cara penyaluran ekspresi tersebut juga bukan menggunakan kemampuan tubuh sepenuhnya, seperti berbicara, sehingga menjadikan orang dengan frekuensi bicara sedikit merasa lebih nyaman untuk mengungkapkan pikirannya. Hal ini bisa menjadi efek psikologis baik dari penggunaan jejaring sosial Online, namun dapat menjebak jika mengabaikan etika atau nilai moral yang berlaku.Info dari jaringan online dapat menyebar secara cepat dan massive, menjadikan media online sarana propaganda efektif. Informasi dapat cepat terbit berganti. Kecepatan aliran info ini memancing meningkatnya minat pengguna untuk menyebarkan informasi. Jika pada penyebaran informasi konvensional informasi penting dan mendesak diutamakan, dalam media online segala bentuk informasi dapat mengalir dengan derasnya. Karena kemudahannya serta perasaan bebas berekspresi tadi, pemberi informasi terkadang mengabaikan aspek kepentingan dan etika dari informasi tersebut. Tidak heran jika saat ini kita sering kebanjiran info tidak penting, tidak tepat sasaran.IV. Menjaga Etika dalam Jejaring SosialKerusakan moral akibat jejaring menyebar luas dikarenakan sifat media sosial itu sendiri terbuka untuk umum, atau sekelompok besar orang. Dengan terbiasa melihat perilaku-perilaku menyimpang etika, bukan tidak mungkin seseorang menjadi terbiasa, menganggap biasa, dan kemudian menjadikannya kebiasaan. Oleh karena itu, menjaga etika berinteraksi di online sangatlah penting.Dengan berjejaring berlandaskan pada etika dan moral, kita bisa mendapatkan dan memberikan informasi bermanfaat bagi kita maupun orang lain. Kasus-kasus pencemaran nama baik karena kelepasan penggunaan media juga dapat terhindar karena adanya rasa ingin menghargai orang lain siapa pun, di mana pun, kapan pun. Terakhir, kasus-kasus kriminal yang melibatkan perangkat digital (cyber crime) dapat diminimalisir dengan kesadaran akan penyaringan informasi dari setiap orang.V. KesimpulanJejaring sosial memberikan banyak kemudahan dan kebebasan bagi kita, terutama dalam hal terkait penyebaran informasi. Namun juga ada konsekuensi harus diwaspadai, seperti banyaknya informasi yang dapat merusak pola berpikir, atau pemalsuan identitas dapat berujung pada perusakan nama baik seseorang. Penanaman etika sangat penting agar media sosial dapat digunakan dengan bijak dan tidak menganggu kenyamanan orang lain.VI. Referensi[1] Nicholson, Sean. InfoGraphic: The History Of ONLINE Social Networking. Social Media Today Community. 27 April 2011. . Diakses pada 14 April 2013.[2] Vinjamuri, David. Ethics and the Five Deadly Sins of Social Media. Forbes.com. 11 Maret 2011. . Diakses pada 14 April 2013.[3] Online Social Networking. The Australian Communications and Media Authority. < http://www.acma.gov.au/ WEB/STANDARD/pc=PC_311748>. Diakses pada 14 April 2013.

Contoh Jurnal PerkuliahanMarch 1, 2013 | Tulisan Hukum | 0 Mata Kuliah : Hukum Perlindungan KonsumenDosen : Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.Tanggal : 21 Februari 2013 (Kuliah Minggu I)Topik : Pengantar Hukum Perlindungan KonsumenSubtopik : Definisi KonsumenMetode : Tatap muka (F2F) dengan presentasi dan diskusi.Substansi:Konsumen adalah terminologi penting sebagai pintu masuk untuk mempelajari hukum perlindungan konsumen. Dengan memahami arti konsumen dapat ditetapkan apakah suatu peristiwa hukum dapat dimasukkan ke dalam area perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (disingkat UUPK).Menurut Pasal 1 butir 2 UUPK, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa;ang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk lain dan tidak untuk diperdagangkan. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumen yang dilindungi dalam UUPK adalah konsumen akhir (end user/ultimate consumer). Apa yang disebut konsumen antara (intermediate consumer), yaitu para agen, penyalur (distributor), dan pedagang lain di bawahnya, pada hakikatnya bukan konsumen sebagaimana dimaksud oleh UUPK. Mereka adalah pelaku usaha juga.UUPK tidak memberi pernyataan tegas tentang siapa yang dimaksud dengan unsur orang ini. Di banyak negara, unsur orang dibatasi hanya pada orang perseorangan (orang natural), sementara badan usaha tidak termasuk di dalamnya. Lain halnya dengan unsur pelaku usaha. Ada pengertian yang tegas tentang siapa pelaku usaha menurut Pasal 1 butir 3 UUPK, yaitu setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dengan demikin, istilah pelaku usaha mencakup baik orang perserorangan maupun badan usaha. Sementara istilah konsumen tidak diberikan pembedaan demikian. Artinya, jika diinterpretasikan secara luas, konsumen dapat mencakup pula badan usaha.Kata pemakai dalam definisi konsumen memberi penegasan kembali bahwa orang yang dilindungi sebagai konsumen dalam UUPK ini adalah konsumen akhir. Namun, hubungan hukum yang menjadi sebab dari posisi seseorang sebagai pemakai tidaklah harus berupa perjanjian jual-beli. Konsumen tidak sama dengan pembeli. Sebagai contoh, seseorang yang menerima hadiah (parsel) dari rekan bisnisnya, akan tetap memenuhi syarat sebagai konsumen selama ia menjadi pemakai.Objek yang dipakai adalah barang dan/atau jasa. Menurut UUPK, barang adalah setiap benda baik berwujud rnaupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sementara jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.Satu unsur yang ditambahkan adalah yang tersedia dalam masyarakat. Unsur ketersediaan ini kembali mengaburkan makna konsumen karena barang/jasa yang dinikmati oleh konsumen dapat saja belum ada saat transaksi dilakukan. Sebagai contoh, seseorang yang hendak membeli apartemen untuk dihuni oleh keluarganya sendiri, sangat mungkin belum mendapati bangunan apartemennya. Ia harus membayar lebih dulu dan dijanjikan bangunan akan selesai beberapa bulan kemudian. Jadi, ketersediaan barang belum ada. Rasanya tidak adil apabila pembeli seperti ini tidak ikut dilindungi.Unsur berikutnya adalah peruntukan dari barang/jasa yang dikonsumsi. Pemakai barang/jasa itu bisa diri si konsumen itu sendiri, namun bisa juga pihak lain, bahkan mahluk hidup lain. Hanya saja, UUPK ternyata memakai kata kepentingan yang bermakna abstrak. Misalnya, seseorang yang membeli makanan untuk kucing kesayangannya pada hakikatnya adalah konsumen menurut UUP, mengingat ia membeli makanan itu bagi kepentingan mahluk hidup lain (kucing). Sekalipun kucingnya yang menikmati makanan itu, orang ini tetap saja mempunyai kepentingan pribadi, yaitu ia berkepentingan memiliki kucing yang sehat. Artinya, ada sekian banyak kata yang mubazir ditambahkan di dalam definisi konsumen tersebut.Kata-kata tidak untuk diperdagangkan sekali lagi mengkonfirmasi pengertian konsumen akhir. Orang yang membeli barang/jasa dan kemudian menjualnya lagi, harus dipersepsikan bukan konsumen akhir. Ia adalah konsumen antara. Namun, dalam praktik tetap terbuka celah penafsiran berbeda. Dosen memberikan contoh di kelas seorang yang membeli kompor dengan teknologi remote control. Beberapa waktu kemudian, seorang tetangganya tetarik dengan kompor ini. Karena didesak, pemilik kompor ini lalu menjual lagi ke tetangganya. Sayangnya, ketika dipakai beberapa waktu, kompor ini rusak. Apakah pembeli pertama kompor tadi tetap dapat mengklaim sebagai konsumen akhir menurut UUPK? Dalam konteks ini, sebenarnya sangat perlu diperhatikan apakah pembeli pertama kompor ini memang benar-benar secara rutin menjual benda tersebut (dan mendapat keuntungan dari kegiatan penjualan itu) atau hanya sekali itu saja secara insidentil.Sebagai perbandingan, dalam Trade Practice Act di Australia (pertama kali diberlakukan tahun 1974), konsumen adalah1. For the purpose of this Act, unless the contrary intention appears(a) A person shall be taken to have acquired particular goods as a consumer if, and only if:(i) the price of goods did not exceed the prescribed amount; or(ii) where that price exceeded the prescribed amountthe goods were of a kind ordinarily acquired for personal, domestic or household use or consumption or the goods consisted of a commercial road vehicle, and the person did not acquire the goods, or hold himself out as acquiring the goods, for the purpose of re-supply or etc.2. For the purpose of sub-section (1)(a) the prescribed amount is $40,000 or, if a greater amount is prescribed for the purpose of this paragraph, that greater amount; Jadi, nilai transaksi konsumen (consumer protection) yang ditetapkan adalah sebesar Aus$40,000. Jika lebih dari nilai itu, posisi sebagai konsumen tetap dimungkinkan sepanjang barang yang dibeli masih tetap berada dalam lingkup barang kebutuhan domestik.Refleksi:Secara substantif, setelah mengikuti perkuliahan Minggu I ini, dapat disampaikan pandangan pribadi saya bahwa pengertian konsumen menurut UUPK ini ternyata tidak cukup komprehensif melindungi masyarakat konsumen. Sebaiknya ada revisi terhadap definisi ini, yakni dengan:1. mempertegas apakah subjek hukum yang dimaksud dengan konsumen itu adalah orang perseorangan ataukah juga dapat mencakup badan usaha;2. menghilangkan unsur yang tersedia dalam masyarakat;3. menghilangkan kata-kata yang berlebihan terkait kepentingan siapa yang ditujukan atas tindakan konsumsi itu.Jika diperhatikan lebih cermat, saya berpendapat bahwa motif konsumsi atas suatu barang/jasa ternyata sangat menentukan. Orang yang semula membeli sebuah apartemen untuk dihuni sendiri, tetapi kemudian berubah pikiran dengan menyewakannya kepada pihak lain, dapat saja diasumsikan sudah kehilangan statusnya sebagai konsumen akhir. Jika hal seperti ini menjadi permasalahan hukum, akan sulit dicarikan alat buktinya, mengingat motif seseorang sangat mudah berubah-ubah.Secara metodis, saya berpendapat dosen masih belum lengkap menjelaskan dengan memberikan contoh-contoh konkret. Akan lebih baik pula jika ada kasus yang didiskusikan di antara mahasiswa, sehingga pemahaman mahasiswa menjadi lebih mendalam.Referensi:1. M. Sadar, Moh. Taufik Makarao, Habloel Mawadi. (2012). Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Edition 1. Akademia, Jakarta, bab I.2. Shidarta. (2006). Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Revised edition 2. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta, bab I.