DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

20
1 | Page DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK Disusun oleh : Imanina Eka D. Diajukan untuk memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah Ekonomi Politik dan Kelembagaan MAGISTER ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015

description

Ekonomi

Transcript of DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

Page 1: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

1 | P a g e

DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI

INDONESIA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI

POLITIK

Disusun oleh :

Imanina Eka D.

Diajukan untuk memenuhi Tugas UAS

Mata Kuliah Ekonomi Politik dan Kelembagaan

MAGISTER ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2015

Page 2: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

2 | P a g e

A. Defisit Anggaran dan Utang Luar Negeri

Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi merupakan salah satu tujuan

utama bagi negara sedang berkembang seperti Indonesia dalam rangka

peningkatan kesejahteraan, kemakmuran, serta kualitas sumberdaya termasuk

sumberdaya manusia dan lingkungan hidup. Dalam pertumbuhan ekonomi,

diperlukan kebijakan yang kondusif agar tercapai peningkatan pertumbuhan

ekonomi setiap tahun sesuai dengan yang sudah ditargetkan. Salah satu senjata

pemerintah dalam mewujudkan kelangsungan pembangunan bangsa adalah

porsi dan kondisi Anggaran Pendapatan dan Belajan Negara (APBN) yang sehat.

Dalam penyusunan anggaran kita mengenal adanya Surplus anggaran

dan defisit anggaran, yang di Amerika dikenal dengan on & off budget. Surplus

anggaran adalah kelebihan penerimaan pemerintah, pajak dari total

pengeluarannya termasuk untuk belanja barang dan jasa dan transfer payment.

Sebaliknya, defisit anggaran ialah kondisi penerimaan pemerintah lebih besar

daripada pengeluarannya.

Defisit sendiri muncul bukan tanpa sebab. Adapun beberapa sebab

terjadinya defisit anggaran (Barro, 1989; Pamuji, 2008):

1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi

Ekspansi dalam pembangunan perlu adanya dukungan investasi dan

dana yang besar. Jika suatu negara tidak memiliki kecukupan dana untuk

melakukan ekspansi tersebut, maka anggaran nasional yang defisit akan

dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Hal serupa juga diungkapkan oleh

Domar (1950) dalam Maltritz dan Molchanov (2014) bahwa sering terjadi

untuk mengembangan suatu negara memerlukan utang luar negeri.

2. Pemerataan pendapatan masyarakat

Pengeluaran ekstra juga diperlukan dalam rangka menunjang

pemerataan di seluruh wilayah, sehingga pemerintah mengeluarkan

biaya yang besar untuk pemerataan pendapatan tersebut

3. Melemahnya nilai tukar

Apabila suatu negara melakukan pinjaman luar negeri, maka

permasalahan gejolak nilai tukar akan rentan dihadapi karena pinjaman

luar negeri dihitung berdasarkan valuta asing.

4. Pengeluaran akibat krisis ekonomi

Page 3: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

3 | P a g e

Krisis ekonomi menimbulkan kelesuan dalam aktivitas ekonomi, sehingga

pengangguran bertambah dan penerimaan negara melalui pajak

menurun. Dalam hal ini negara berkewajiban mengeluarkan dana ekstra

untuk program-program kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat

5. Realisasi yang menyimpang dari rencana

Ketika realisasi penerimaan negara tidak sesuai dengan yang

direncanakan, maka negara harus menutup kekurangan agar kinerja

pembangunan dapat dicapai sesuai dengan rencana semula.

6. Pengeluaran karena inflasi

Ketika terjadi inflasi dalam suatu negara, maka harga-harga mengalami

peningkatan yang selanjutnya biaya program pembangunan juga akan

meningkat, sedangkan anggaran tetap sama. Sehingga, negara perlu

mengeluarkan dana untuk menambah standar harga tersebut.

Lebih lanjut, kekurangan antara kebutuhan anggaran dan pengumpulan

pendapatan yang khususnya diperoleh melalui pajak dalam negeri tersebut

memunculkan pilihan bagi suatu negara untuk mengandalkan bantuan asing

(Hisali dan Ssentamu, 2013). Berbeda kasus untuk Jepang. Secara tradisional,

peningkatan defisit anggaran atau utang pemerintah dikatakan untuk menaikkan

suku bunga.Sehingga dalam studi kasus Ketika jepang mengalami defisit

anggaran pada tahun 2008 silam menyebabkan peningkatan sekitar 2-3 % di

hasil obligasi pemerintah Jepang (JGB), yang pada akhirnya menekan nyata

PDB sebesar 0,39-0,63 persen pada tahun 2008 (Kameda, 2014).

Terkait besaran jumlah dana bantuan, Cordella dan Missale (2013)

dalam paper-nya menyatakan bahwa dalam desain bantuan resmi, kebijakan

bantuan yang optimal tergantung pada karakteristik penerima dan kemurahan

hati dari pendonor. Dilihat dari kecenderungannya, donor cenderung memberikan

lebih banyak bantuan untuk negara-negara miskin dengan prospek

pertumbuhan. Beberapa penelitian terbaru menggunakan strategi identifikasi

yang sangat berbeda telah menghasilkan bukti bahwa bantuan memiliki efek

kecil tapi positif dan signifikan terhadap pertumbuhan(Clemens et al.,2012;

Bruckner, 2011; Frot dan Perrotta, 2012; Dang, et al., 2013). Namun,bantuan

akan lebih rendah bila defisit anggaran dan stok utang publik yang tinggi(Putaran

dan Odedokun, 2004; Boschini dan Olofsgard, 2007; Dang, et al., 2013).

Page 4: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

4 | P a g e

Anggaran bantuan berkembang perlahan-lahan. kemurahan hati donor juga

meningkat dengan meningkatnya pendapatan per kapita (Fuchs,et al., 2014).

Meskipun konsep kebijakan defisit anggaran dalam suatu negara kerap

digunakan dan memiliki alasan tersendiri, namun berbagai kritik dan pernyataan

kontra terkait konsep defisit anggaran banyak bermunculan. Cordella dan

Missale (2013) menyatakan bahwa tidak ada hutang pemerintah yang peduli

terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Tak hanya itu, literatur ekonomi

makro berpendapat bahwa mendapatkan utang akan menyebabkan lebih banyak

uang yang beredar sehingga menyebabkan tingkat inflasi yang lebih tinggi.

Namun, diketahui bahwa dalam lingkungan resesi pelaku ekonomi cenderung

untuk memegang uang tunai daripada mengalokasikannya untuk konsumsi.

Sebagai contoh, selama krisis keuangan global tahun 2008, bank swasta di

Eropa menumpuk likuiditas tanpa menggunakan ekspansi kredit atau penciptaan

uang (Neaime, 2015). Akan tetapi, di lain pihak, ada pula pendapat yang

menyatakan bahwa hubungan utang - pertumbuhan negatif bisa bergantung

pada negara faktor-faktor tertentu, seperti kualitas kebijakan dan lembaga (Imbs

dan Ranciere, 2005; Cordella dan Missale, 2013).

Selanjutnya,berbicara mengenai resiko gagal bayar yang sangat

mungkin dialami oleh negara manapun yang melakukan kegiatan utang. Terkait

hal tersebut, Maltritz dan Molchanov (2014) dalam paper-nya menyebutkan

bahwa hanya dua variabel yang di kedua sampel sangat mungkin mempengaruhi

risiko default, pertumbuhan PDB dan jumlah utang terhadap PDB, kita

menemukan perbedaan yang cukup besar dalam mereka efek pada spread.

Untuk negara-negara maju, faktor penentu lanjut yang paling penting adalah :

Inflasi, keterbukaan, tingkat pertumbuhan impor dan kebebasan perdagangan.

Untuk sampel negara-negara berkembang, pengaruh tambahan berasal dari

sejarah standar baru-baru ini, debt service ratio, dan rasio cadangan mata uang

asing untuk impor.

B. Efisiensi dan Penyehatan Fiskal

Banyak negara telah mendapatkan pengalaman dengan program

konsolidasi fiskal dalam dua atau tiga dekade terakhir. Analisis pengaruh dari

konsolidasi fiskal juga telah besar dalam agenda banyak peneliti sejak karya-

karya Giavazzi and Pagano (1990) dan Alesina dan Perotti (1995). Sebagian

besar peneliti ini telah mencoba untuk menjelaskan probabilitas keberhasilan

Page 5: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

5 | P a g e

dalam utang atau pengurangan defisit (e.g.Afonso and Jalles, 2012; Alesina and

Ardagna, 1998; Ardagna, 2004; Guichard et al., 2007; Larch and Turrini, 2011;

McDermott and Wescott, 1996; Schaltegger and Feld, 2009; Tagkalakis, 2009;

Heylen, et al., 2013). Angelopoulos et al (2008 ) dan Heylen, et al (2013)

memberikan bukti pertumbuhan bahwa hubungan antara ukuran sektor publik

dan pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada efisiensi sektor publik .

Fiscal episodes (konsolidasi dan stimulus) adalah hasil dari upaya

pemerintah untuk mengubah posisi anggaran pemerintah: konsolidasi fiskal atau

stabilisasi bertujuan mengadopsi diskresioner kebijakan fiskal yang memotong

defisit anggaran, sementara stimulus fiskal yang terdiri dari kebijakan kebebasan

fiskal yang meningkatkan defisit anggaran. Dorongan fiskal adalah perubahan

kebijaksanaan dalam posisi anggaran dan dapat diukur sebagai perbedaan

antara posisi anggaran yang sebenarnya dan apa yang akan ada dalam siklus

tersebut ( Alesina & Perotti, 1995; Gnangnon, 2013). Konsolidasi fiskal

mengurangi upaya bantuan, apa pun variabel bantuan dipertimbangkan, dengan

efek negatif kadang-kadangberkurang dari waktu ke waktu. Efek dari konsolidasi

fiskal pada pasokan bantuan tergantung juga pada kelompok negara yang

dipertimbangkan (Gnangnon, 2013.

Pada dasarnya, program kebijakan fiskal yang ketat mungkin memiliki

efek negatif (Keynesian) pada permintaan dan pertumbuhan ekonomi,

setidaknya dalam jangka pendek. Akan tetapi Heylen, et al (2013) berpendapat

bahwa jika karakteristik program konsolidasi terjadi dengan baik, maka

penyesuaian fiskal juga dapat membawa efek yang menguntungkan. Tak hanya

itu, Pentingnya komposisi program konsolidasi telah ditekankan khususnya oleh

Alesina dan Perotti (1995, 1996) dalam Heylen, et al (2013). Mereka memandang

bahwa program yang terutama bergantung pada pemotongan konsumsi

pemerintah (terutama memotong dalam pembayaran gaji) dan pemotongan

transfer sosial memiliki probabilitas keberhasilan yang tinggi, yaitu probabilitas

tinggi untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan mengurangi rasio utang.

hipotesis baru menekankan peran efisiensi sektor publik. Ia mengatakan bahwa

pemotongan gaji dapat berkontribusi untuk pengurangan utang jika efisiensi

sektor publik rendah, tetapi itu tidak akan memberikan kontribusi ketika efisiensi

sektor publik yang tinggi. Dalam kasus terakhir, perampingan sektor publik

mungkin memiliki efek negatif pada produktivitas secara keseluruhan dan

pertumbuhan . Efek negatif tersebut dapat merusak daya saing, dan menurunkan

Page 6: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

6 | P a g e

harga aset dan pendapatan permanen agen-agen swasta, Investasi dan

konsumsi maka akan jatuh (Heylen, et al.,2013). Gnangnon (2013) menyebutkan

bahwa ada kemungkinan bahwa selama ekonsolidasi fiskal, maka belanja

pemerintah kemungkinan akan dibatasi, bantuan pembangunan yang diberikan

oleh negara-negara OECD DAC (Development Assistance Committee) yang

merupakan kategori pengeluaran pemerintah juga akan berkurang.

Heylen, et al (2013) dari hasil penelitiannya menemukan bahwa

pemotongan pengeluaran tetap dan kenaikan pajak permanen kontribusi yang

signifikan terhadap utang pengurangan jangka panjang. Komposisi yang tepat

dari pemotongan belanja sangat penting. Hasil dalam tulisannya lebih memilih

pemotongan subsidi dan (kondisional) pembayaran gaji sektor publik.

Pemotongan gaji memberikan kontribusi pada pengurangan rasio utang, tapi

hanya jika efisiensi sektor publik dalam administrasi rendah. Efektivitas yang

diberikan konsolidasi program untuk mengurangi rasio utang ketika pemerintah

lebih efisien. Pemerintah yang efisien berhasil memotong pengeluaran secara

signifikan lebih dari pemerintah lain.

C. Ekonomi Politik dalam Utang Luar Negeri

Adanya defisit APBN mengundang adanya transaksiutang luar negeri

antar negara guna membiayai kekurangan anggaran negara tersebut. Dalam

kegiatan pinjam-meminjam uang tersebut juga tak hanya berbicara terkait

ekonomi dan nominal uang saja, melainkan di dalam transaksi tersebut juga

kental dengan unsur politik. Hisali dan Ssentamu (2013) menulis bahwa Bantuan

luar negeri juga dapat berdampak pada penerimaan pajak dalam negeri melalui

perubahan jangka pendek untuk aspek-aspek tertentu dari pajak dasar seperti

impor dan gaji. Ada juga efek sekunder dari bantuan luar negeri terhadap

pendapatan pajak yang bekerja melalui aspek donor persyaratan seperti

privatisasi dan reformasi kebijakan perdagangan. Efek dari privatisasi tergantung

pada Kondisi pra - privatisasi perusahaan yang terkena dampak. Bagaimanapun

ada risiko kehilangan pendapatan jika perusahaan publik yang menguntungkan

yang diprivatisasi.

Peningkatan arus masuk donor bantuan dan bahkan didorong di

beberapa kalangan untuk membantu meningkatkan kecepatan di mana beberapa

target sosial dapat dicapai (Brownbridge dan Mutebile, 2007; Hisali dan

Ssentamu, 2013). Pandangan ini menyatakan bahwa arus masuk donor dapat

Page 7: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

7 | P a g e

memiliki banyak konsekuensi yang merugikan bagi perekonomian termasuk

menempatkan tekanan pada negeri tingkat harga (inflasi) dan apresiasi mata

uang domestik dan utang yang berkelanjutan. Ini pada gilirannya dapat menyakiti

daya saing ekspor dan menahan peran sektor swasta dalam kegiatan ekonomi

(Hisali dan Ssentamu, 2013).

Lebih lanjut, pendekatan baru-baru ini secara eksplisit mengakui bahwa

bantuan dapat mempengaruhi arus pendapatan dan struktur pajak. Kontribusi

utama literatur tentang pengaruh bantuan tentang pajak dan tata kelola institusi

domestik termasuk dari Moore (2007), Knack (2008), dan and Besley Persson

(2009a), Hisali dan Ssentamu (2013). Aliran bantuan diperkirakan memiliki

Dampak yang sama (Carter, 2010; Hisali dan Ssentamu, 2013). Knack (2008);

Hisali dan Ssentamu (2013) menunjukkan bahwa peningkatan aliran bantuan

memperlambat pengembangan kualitas yang baik dari lembaga kebijakan pajak

dan administrasi.

Dalampemberian pinjaman atau utang luar negeri, peran utama

dikaitkan dengan lembaga-lembaga internasional seperti IMF untuk penyediaan

likuiditas ke negara-negara yang mengalami tekanan keuangan sementara

karena masalah koordinasi. Sepintas , paket fiskal yang ketat yang diminta oleh

IMF mungkin terlihat seperti campur tangan internasional yang tidak semestinya

di negara-negara berdaulat (Goncalves dan Guimares, 2014).

Secara teori disebutkan bahwa IMF dapat mempengaruhi hasil ekonomi

dengan uangnya. Kondisi kebijakan tersebut tergabung dalam satu paket

pemberian kredit melalui saran kebijakan. Efek keseluruhan dari IMF pada

pertumbuhan ekonomi bergantung pada efek bersih dari saluran tersebut. Bukti

telah ditunjukkan dalam litertaur empiris berdasarkan pada statistik

pengembangan OECD bahwa sedikit negara maju (seperti: Belanda, Norwegia,

swedia, dan denmark) yang menegakkan target ODA internasional 0,7 % dari

GNI. Mengapa negara OECD tidak memenuhi komitmen mereka dalam hal

pasokan bantuan? Halitu terjadi karena faktor politik, geostrategis atau alasan

ekonomi politik internasional. Selain itu juga dapat mencari alasan ekonomi lain,

terutama alasan fiskal. Literatur empiris ini mengenai isu-isu bantuan

pembangunan telah menetapkan bahwa karakteristik negara penerima seperti

tingkat pendapatan, populasi, sistem politik, dan pola suara/voting PBB

mempengaruhi arus masuk bantuan (Gnangnon, 2013).

Page 8: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

8 | P a g e

Selanjutnya terkait hubungan defisit dan utang luar negeri, Faini ( 2006)

dalam Gnangnon (2013) menunjukkan temuan bukti bahwa defisit anggaran

yang lebih tinggi dan saham utang publik yang lebih tinggi akan mengurangi

bantuan. sedangkan Round and Odedokun ( 2004) dan Boschini dan Olofsgård (

2007; Gnangnon, 2013) tidak menemukan hubungan yang signifikan antara

defisit dan pemberian bantuan. kita dapat menyimpulkan dari literatur empiris

bahwa faktor-faktor penentu fiskal pasokan bantuan bertentangan satu sama lain

sehingga cukup bahwa tidak ada bukti signifikan pada hubungan antara

kebijakan fiskal dan aliran bantuan. Hal tersebut diperkuat oleh Hisali dan

Ssentamu (2013) yang menulis bahwa secara intuitif, beban hutang yang sangat

besar yang timbul dari peningkatan bantuan dapat 'memaksa' negara penerima

untuk menemukan jalan meningkatkan total penerimaan pajak dalam rangka

untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk membayar kembali pinjaman.

D. Sejarah Perkembangan Struktur Anggaran dan Utang Indonesia

Struktur anggaran suatu negara dapat berbentuk defisit, surplusmaupun

berimbang sesuai dengan kebijakan fiskal yang dijalankan oleh negara yang

bersangkutan. Anggaran berimbang pernah digunakan dalamsistem keuangan

indonesia sebelum masa reformasi dan menimbulkan kerancuan kapasitas fiskal

indonesia padawaktu itu. Sebagai pengganti dari anggaran berimbang tersebut,

pemerintah menggunakan anggaran defisit. Defisit merupakan kondisi dimana

jumlah belanja negara lebih besar daripada penerimaannya. Hal ini diatasi

melalui pembiayaan. Pengertian pembiayaan menurut UU No. 17 Thn 2003

tentang keuangan negara adalahsetiap penerimaan yang perlu dibayar kembali

dan/atau pengeluaran yangakan diterima kembali, baik pada tahun-tahun

anggaran berikutnya. Jika konteksnya adalah defisit maka pembiayaan yang

dimaksud adalah dengan menggunakan instrumen utang.

Pada masa pemerintahan orde lama, Presiden Soekarno adalah sosok

pemimpin yang sebenarnya anti utang. Salah satu bapak pendiri bangsa ini

pernah memberikan satu pernyataan terkenal yaitu “Go To Hell with Your Aid”

yang menyikapi campur tangan IMF pada peristiwa konfrontasi Indonesia dengan

Malaysia pada 1956. Dari pernyataan tersebut, Soekarno dapat dikategorikan

sebagai pemimpin yang tegas dan berani mengambil sikap untuk menolak

intervensi asing. Namun, pada akhir pemerintahan Soekarno, negara ini ternyata

dibebani oleh utang. Seperti dikutip dari harian Republika (17/4/2006), jumlah

Page 9: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

9 | P a g e

utang Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno sebesar US$6,3 miliar,

terdiri dari US$4 miliar adalah warisan utang Hindia Belanda dan US$2,3 miliar

adalah utang baru. Utang warisan Hindia Belanda disepakati dibayar dengan

tenor 35 tahun sejak 1968 yang jatuh tempo pada 2003 lalu, sementara utang

baru pemerintahan Soekarno memiliki tenor 30 tahun sejak 1970 yang jatuh

tempo pada 1999.

Pada masa Orde Baru, utang didefinisikan menjadi penerimaan negara.

Berarti pemerintah saat itu membiayai program-program pemerintah melalui

instrumen pendapatan yang salah satunya adalah utang. Jika dilihat dari struktur

anggaran pemerintah, maka utang dimasukkan ke dalam porsi penerimaan

selain pajak. Orde Baru “diklaim” berutang sebesar Rp1.500 triliun yang jika

dirata-ratakan selama 32 tahun pemerintahannya maka utang negara bertambah

sekitar Rp46,88 triliun tiap tahun. Sampai 1998, dari total utang luar negeri

sebesar US$171,8 miliar, hanya sekitar 73% yang dapat disalurkan ke dalam

bentuk proyek dan program, sedangkan sisanya (27%) menjadi pinjaman yang

idle dan tidak efektif. Alhasil, di masa Orde Baru, utang negara tidak dapat

dimanfaatkan secara maksimal.

Masa pemerintahan B. J. Habibie merupakan pemerintahan transisi dari

Orde Baru menuju era Reformasi. Habibie hanya memerintah kurang lebih

setahun, 1998 - 1999. Pada 1998 terjadi krisis moneter yang menghempaskan

perekonomian Indonesia dan pada saat yang bersamaan juga terjadi reformasi

politik. Kedua hal ini mengakibatkan rating kredit Indonesia oleh S&P terjun

bebas dari BBB hingga terpuruk ke tingkat CCC. Artinya, iklim bisnis yang ada

tidak kondusif dan cenderung berbahaya bagi investasi. Pada masa

pemerintahan Habibie, utang luar negeri Indonesia sebesar US$178,4 miliar

dengan yang terserap ke dalam pembangunan sebesar 70%, dan sisanya idle.

Pada masa Gus Dur, rating kredit Indonesia mengalami fluktuasi, dari peringkat

CCC turun menjadi DDD lalu naik kembali ke CCC. Salah satu penyebab

utamanya adalah imbas dari krisis moneter pada 1998 yang masih terbawa

hingga pemerintahannya. Saat itu utang pemerintah mencapai Rp. 1.234,28

triliun yang menggerogoti 89% PDB Indonesia. Porsi yang cukup membahayakan

bagi negara berkembang seperti Indonesia. Selain porsi utang yang besar pada

PDB, terjadi pula peningkatan porsi bunga utang terhadap pendapatan dan

belanja negara. Rasio bunga utang terhadap pendapatan pada 2001 meningkat

Page 10: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

10 | P a g e

sekitar 4,6%, dari 24,4% menjadi 29%, sedangkan terhadap belanja meningkat

sebanyak 2,9% menjadi 25,5% pada tahun yang sama.

Masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri hanya berlangsung

selama tiga tahun (2001 - 2004). Namun, pada masa pemerintahan presiden

wanita Indonesia pertama ini banyak terjadi kasus-kasus yang kontroversial

mengenai penjualan aset negara dan BUMN. Tahun 2001 utang Indonesia

sebesar Rp1.273,18 triliun turun menjadi Rp1.225,15 triliun pada 2002, atau

turun sekitar Rp48,3 triliun. Namun, pada tahun-tahun berikutnya utang

Indonesia terus meningkat sehingga pada 2004, total utang Indonesia menjadi

Rp1.299,5 triliun. Rata-rata peningkatan utang pada tiga tahun pemerintahan

Megawati adalah sekitar Rp25 triliun tiap tahunnya. Namun, terdapat hal positif

lain yang terjadi pada masa pemerintahan Megawati, yaitu naiknya tingkat

penyerapan pinjaman luar negeri Indonesia.

Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-

2009)& (2009-2014) pada pemerintahan sebelumnya sebesar Rp. 1.299,5 triliun,

jumlah utang pada masa pemerintahan SBY justru terus bertambah hingga

menjadi Rp 1.700 triliun per Maret 2009. Dengan kata lain, rata-rata terjadi

peningkatan utang sebesar Rp. 80 triliun setiap tahunnya atau hampir setara

dengan 8% PDB tahun 2009. Utang pemerintah sebesar Rp 1.700 triliun itu

terdiri dari Rp 968 triliun utang dalam negeri (57%) dan Rp 732 triliun utang luar

negeri (43%). Pinjaman luar negeri digunakan untuk membiayai program-

program dan proyek-proyek pemerintah yang berkaitan dengan kemanusiaan,

kemiskinan, lingkungan, dan infrastruktur.

E. Data Perekonomian dan Anggaran Indonesia

Pemerintah dan DPR telah menyepakati Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN) 2015 berupa pendapatan sebesar Rp1.793,6 triliun,

belanja sebesar Rp2.039,5 triliun, dan defisit anggaran mencapai Rp245,9

triliun atau 2,21 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Asumsi

makro ekonomi yang ditetapkan dalam APBN Tahun 2015 dapat dilihat

pada Gambar 1 berikut ini.

Page 11: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

11 | P a g e

Gambar 1. Asumsi Dasar Ekonomi Makro Tahun 2015

Sumber: Kementrian Keuangan, 2015

Selanjutnya, pendapatan negara dalam APBN Tahun 2015 sebesar

Rp1.793,5 triliun terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.380 triliun,

penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp410,3 triliun serta hibah

sebesar Rp3,2 triliun. Sementara itu, belanja negara sebesar Rp2.039,5

triliun terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp1.392,4 triliun dan dana

transfer ke daerah serta dana desa sebesar Rp647,1 triliun. Belanja

pemerintah pusat terdiri atas belanja Kementerian/Lembaga Rp647,3 triliun

dan belanja non Kementerian/ Lembaga Rp745,1 triliun

Page 12: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

12 | P a g e

Gambar 2. Postur APBN, 2014-2015

(Miliar Rupiah)

Sumber: Kementrian Keuangan, 2015

Page 13: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

13 | P a g e

Sayangnya dalam APBN 2015 ini pagu subsidi energi sebesar

Rp344,7 triliun (17 persen dari total anggaran) lebih besar dari APBN

Tahun 2014 dengan nilai sebesar Rp282,1 triliun. Dalam APBN-P 2014

besaran subsidi energi meningkat menjadi sebesar Rp392,1 triliun akibat

pelemahan nilai tukar rupiah dan konsumsi BBM bersubsidi meningkat.

Sementara pada APBN Tahun 2015 dana infrastruktur mengecil hanya

sebesar Rp196 triliun dibandingkan pada APBN Tahun 2014 yang sebesar

Rp206,6 triliun. Selain itu, terdapat pula beban subsidi BBM 2014 senilai

Rp45 triliun yang harus dibayarkan pada tahun 2015. Artinya bahwa APBN

Tahun 2015 masih sedikit memberikan stimulus terhadap pertumbuhan

ekonomi nasional.

Gambar 3. Belanja Pemerintah Pusat 2014-2015

(Miliar Rupiah)

Bila dibandingkan dengan negara Malaysia dan Thailand, Indonesia

masih jauh tertinggal dalam anggaran untuk fungsi ekonomi. Malaysia dan

Thailand sudah di atas 20 persen dari total anggaran belanja, sementara di

Indonesia masih berkisar 8-9 persen. Anggaran untuk fungsi ekonomi ini

tercermin dari belanja modal, salah satunya untuk infrastruktur. Dengan

adanya pengembangan infrastruktur diharapkan biaya logistik menurun

sebesar 23,6 persen dari PDB. Berikut ini merupakan anggaran infrastruktur

Indonesia 2009-2014.

Page 14: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

14 | P a g e

Gambar 4. Anggaran Infrastruktur Tahun 2009-2014

Sumber: Kementrian keuangan, 2015

Dalam APBN tahun 2015, pembayaran bunga utang merupakan bagian

dari Program Pengelolaan Utang Negara dari sisi belanja Pemerintah Pusat

yang dialokasikan mencapai Rp151.968,3 miliar, yang terdiri dari dua bagian,

yaitu: (1) pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp137.941,8 miliar,

dan (2) pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp14.026,5 miliar. Jumlah

tersebut sudah termasuk di dalamnya kebutuhan pembayaran belanja terkait

dengan Banking Commission yang diperkirakan sebesar Rp200,0 juta. Alokasi

belanja pembayaran bunga utang pada tahun 2014–2015 dapat dilihat pada

tabelberikut ini:

Page 15: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

15 | P a g e

Tabel 5. Alokasi Program Pengelolaan Utang Negara dalam Rangka

Pembayaran Bunga Utang 2014-2015

(Miliar Rupiah)

Peningkatan pembayaran bunga utang dalam APBN tahun 2015

seiring dengan peningkatan outstanding utang merupakan konsekuensi yang

sulit bagi pemerintah, akan tetapi Pemerintah berupaya untuk tetap konsisten

dalam menjaga dan menurunkan imbal hasil (yield) penerbitan SBN melalui

langkah-langkah, antara lain:

1) efisiensi dalam pengelolaan utang

2) meningkatkan likuiditas pasar SBN dalam negeri

3) meningkatkan kepercayaan pasar melalui pengelolaan fiskal yang

kredibel dan pengelolaan utang yang prudent

4) mengoptimalkan pilihan tenor penerbitan dan pilihan instrumen yang

tepat sehingga dapat mengurangi realisasi diskon yang harus dibayarkan

oleh Pemerintah.

Dalam rangka pembiayaan anggaran melalui utang, strategi pemerintah

diarahkan dalam rangka pencapaian tiga sasaran utama, yaitu: (1) penurunan

rasio utang terhadap PDB; (2) penggunaan utang secara selektif; dan (3)

optimalisasi pemanfaatan utang. Dalam grafik laporan kementrian keuangan,

rasio utang pemerintah terhadap PDB menunjukkan sempat mengalami kenaikan

pada tahun 2003, namun setelahnya berangsur mengalami penurunan. Rasio

utang yang makin mengecil terhadap PDB bukanlah karena utangnya yang

mengecil, melainkan karena PDB-nya yang makin membesar. Berkenaan

Page 16: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

16 | P a g e

dengan upaya penurunan rasio utang terhadap PDB, berikut ini merupakan

grafik terkait rasio utang pemerintah terhadap PDB.

Gambar 6. Rasio Utang Pemerintah Terhadap PDB, 2010-2018

(Miliar, Persen)

Sumber: Kementrian Keuangan, 2015

Dalam perkembangannya, realisasi defisit anggaran dalam periode

2010-2014 selalu lebih rendah dari defisit yang ditetapkan dalam APBNP. Dalam

periode tersebut, beberapa faktor yang menjadi penyebab dari kondisi defisit

antara lain adalah realisasi pendapatan negara lebih besar dari target yang

ditetapkan, sedangkan realisasi belanja negara lebih rendah bila dibandingkan

dengan alokasi anggaran, atau realisasi pendapatan negara dan realisasi belanja

negara lebih rendah dari target/alokasi yang ditetapkan, namun persentase

realisasi pendapatan negara lebih tinggi dibandingkan dengan persentase

realisasi belanja negara (Kementrian Keuangan, 2015). Berikut ini merupakan

grafik perkembangan defisit anggaran Indonesia 2010-2014.

Page 17: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

17 | P a g e

Gambar 7. Perkembangan Defisit Anggaran, 2010-2014

(Persen)

Sumber: Kementrian Keuangan,2015

F. Penutup

Barisan angka yang tercantum dalam APBN 2015 ini masih berada jauh

dari kata efisien. Terbukti dari belanja terbesar dalam RAPBN 2015 adalah

subsidi energi yang subsidi energi sebesar Rp344,7 triliun (17 persen dari

total anggaran) lebih besar dari APBN Tahun 2014 dengan nilai sebesar

Rp282,1 triliun. Dalam APBN-P 2014 besaran subsidi energi meningkat

menjadi sebesar Rp392,1 triliun akibat pelemahan nilai tukar rupiah dan

konsumsi BBM bersubsidi meningkat. Hal tersebut tentu dapat mengganggu

sustainabilitas fiskal.

Di sisi lain, pada APBN Tahun 2015 dana infrastruktur mengecil hanya

sebesar Rp196 triliun dibandingkan pada APBN Tahun 2014 yang sebesar

Rp206,6 triliun. Kebutuhan anggaran infrastruktur tersebut diperlukan untuk

pembenahan infrastruktur perhubungan yang mendukung keterhubungan antar

wilayah yang berguna untuk memperlancar aktivitas ekonomi masyarakat.

Berbicara terkait anggaran yang sehat akan menuju pada efisiensi. Untuk

menjawab tantangan efisiensi anggaran dalam APBN Indonesia saat

Page 18: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

18 | P a g e

ini,pemerintah perlu memaksimalakan APBN dari sisi penerimaan maupun

pengeluarannya/belanjanya.

Pada sisi penerimaan, perpajakan masih menjadi penyumbang terbesar

dalam penerimaan dalam negeri dari 2007 hingga APBN 2015. Sebagian besar

penerimaan perpajakan masih didominasi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh)

dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sehingga, hal yang perlu diperhatikan dari

sisi penerimaan ialah: (1) peningkatan penegakkan hukum untuk wajib pajak (2)

efektivitas dan efisiensi dalam pengelolaan migas untuk meminimalisasi impor (3)

Peningkatan penerimaan SDA non-migas melalui optimalisasi mekanisme

pengawasan produksi mineral dan batubara, kehutanan, perikanan, serta isu

kelestarian lingkungan hidup.

Selanjutnya pada sisi belanja, untuk mendorong peran APBN sebagai

stimulus pembangunan, pemerintah saat ini perlu menitikberatkan prioritas

kebijakan dalam belanja negara. Prioritas kebijakan tersebut diarahkan untuk

meningkatkan efisiensi, mengurangi berbagai jenis belanja yang kurang

produktif, menghilangkan sumber-sumber kebocoran anggaran yang masih ada,

memperlancar penyerapan anggaran, meningkatkan tingkat kemudahan

berusaha (ease of doing business), dan meningkatkan anggaran infrastruktur

yang mempunyai daya dorong kuat terhadap pertumbuhan ekonomi (listrik, jalan,

pelabuhan, tol laut), serta pengembangan infrastruktur pada semua koridor

ekonomi.

Efisiensianggaran sangat diperlukan agar Indonesia tidak bergantung

pada utang asing. Dalam melakukan pembangunan Indonesia perlu

memaksimalkan potensi penerimaannya dan memaksimalkan penyerapan

belanjanya untuk pemberdayaan dan pembangunan bagi masyarakat. Semakin

besar utang negara, maka tingkat ketergantungan negara pada juga akan

semakin besar. Oleh sebab itu, untuk menguranginya, secara perlahan Indonesia

perlu meminimalisasi utang-utang tersebut melalui efisiensi anggaran.

Page 19: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

19 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

Kameda, Keigo. 2014. Budget Deficits, Government Debt, And Long-Term

Interest Rates In Japan. J.Japanese Int Economies, Vo.32, pp 105-

124. Elsevier.

Maltritz, Dominik dan Molchanov, Alexander. 2014. Country credit risk

determinants with model uncertainty. International review of Eonomics

and Finance, Vol.29, pp 224-234. Elseiver.

Fuchs, Andreas., Dheher, Axel., Nunnenkamp, Peter. 2014. Determinants of

Donor Generosity: A Survey of the Aid Budget Literature. World

Development, Vol. 56, pp.172–199. Elsevier.

Hisali, Eria dan Ssentamu, John Ddumba. 2013. Foreign aid and tax revenue in

Uganda. Economic Modelling, Vol.30, pp 356-365. Elsevier.

Heylen, Freddy., Hoebeeck, Annelies., Busye, Tim. 2013. Government Efficiency,

Institutions, And The Effects Offiscal Consolidation On Public Debt.

European Journal of Political Economy, Vol.31, pp 40-59. Elsevier.

Dreher, Axel. 2006. IMF and Economic Growth: The Effects of Programs, Loans,

and Compliance with Conditionality. World Development, Vol. 34, No.

5, pp. 769–788, 2006. Elsevier.

Dang, Hai-Anh., Knack, Stephen., Rogers, f.Halsey. 2013. International aid

andfinancial crises in donor countries. European Journal of Political

Economy, Vol.32, pp.232-250. Elsevier.

Page 20: DEFISIT ANGGARAN DAN HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA

20 | P a g e

Goncalves, Carlos Eduardo dan Guimaraes, Bernardo. 2014. Sovereign Default

Risk And Commitment Forfiscal Adjustment. Journal of International

Economics. Elsevier.

Neaime, Simon.2015. Sustainability of budget deficits and public debts in

selected

European Union countries. The Journal of Economic Asymmetries, Vol.12, pp.1-

21. Elsevier.

Gnangnon, Sena Kimm. 2013. The consequences of fiscal episodes in OECD

DAC countries for aid supply. The Quarterly Review of

Economics and Finance , Vol.53, pp.302-313. Elsevier.

Cordella, Tito dan Missale, Alessandro. 2013. To give or to forgive? Aid versus

debt Relief. Journal of International Money and Finance, Vol.37,

pp.504-528. Elsevier.

Kementrian Keuangan. 2015. Nota Keuangan dan Anggaran belanja Pendapatan

dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015. Jakarta: Kementrian

Keuangan.