Defisiensi Berbagai Zat Gizi Terutama Zat Gizi Makro Akan Mempengaruhi Neuroanatomi

download Defisiensi Berbagai Zat Gizi Terutama Zat Gizi Makro Akan Mempengaruhi Neuroanatomi

of 38

Transcript of Defisiensi Berbagai Zat Gizi Terutama Zat Gizi Makro Akan Mempengaruhi Neuroanatomi

Defisiensi berbagai zat gizi terutama zat gizi makro akan mempengaruhi neuroanatomi, neurokimia dan neurofisiologi perkembangan otak. Pengaruh neuroanatomi berupa berkurangnya jumlah dan ukuran neuron serta pembentukan sinapsis. Pengaruh neurokimia berupa perubahan sintesis neurotransmiter dan jumlah reseptornya. Pengaruh neurofisiologi berupa kemampuan neuron untuk bekerja menghantarkan impuls saraf (Georgieff, 2006). Protein dan energi mendukung perkembangan otak yang cepat. Otak membutuhkan protein untuk sintesis deoxyribonucleic Acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA), produksi neurotransmiter, sintesis faktor pertumbuhan serta untuk perpanjangan neurit sehingga fungsi otak efisien dalam jaringan sinapsis. Defisiensi protein menyebabkan kehilangan struktur dendrit dan gangguan pada dendrit tulang belakang. Efek terberat pada bagian kortek dan hipokampus yang berfungsi sebagai pusat memori (Georgieff, 2006). Penelitian-penelitian pada masyarakat telah membuktikan hal tersebut. Mendez & Adair (1999), di Filipina menemukan bahwa anak dengan perawakan sangat pendek memiliki skor inteligensi lebih rendah daripada anak dengan perawakan normal. Berkman et al. (2002) di Peru menemukan bahwa kurang gizi pada umur di bawah 2 tahun berdampak pada rendahnya fungsi kognitif pada usia 9 tahun. Anak yang sangat pendek memiliki rata-rata skor inteligensi 10 poin lebih rendah daripada anak gizi baik. Liu et al. (2004) menemukan kurang gizi pada usia 3 tahun berpengaruh terhadap kekurangan neurokognitif, di mana jika terus belangsung akan berdampak pada masalah-masalah perilaku sampai usia dewasa. Bagaimana fakta pembangunan gizi di Indonesia saat ini? Pemberian intervensi gizi bersama stimulasi dapat mengurangi dampak kurang gizi terhadap tingkat kecerdasan. Grantham et al. (1991) melakukan penelitian eksperimen pada anak stunted usia 9-24 bulan. Penelitian ini menemukan bahwa pemberian suplementasi bersama dengan stimulasi meningkatkan perkembangan mental anak. Watanabe et al. (2005) di Vietnam melakukan penelitian tentang efek jangka panjang dari intervensi gizi dan stimulasi dini perkembangan anak usia 4-5 tahun terhadap perkembangan kognitifnya pada usia 6,5-8,5 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor kognitif lebih tinggi pada kelompok yang mendapatkan intervensi gizi dan stimulasi daripada kelompok yang mendapatkan intervensi gizi saja. Jadi meskipun perkembangan intelegensia anak mengalami keterlambatan akibat status gizi masa lalunya tetapi jika dilakukan penanganan yang baik yaitu dengan melibatkan semua sector dan ahli maka akan memberikan dampak yang lebih baik daripada hanya dengan intervensi gizi saja. Pemberian stimulasi untuk merangsang perkembangan anak sangat bermanfaat untuk merangsang perkembangan syaraf-syaraf anak. Hal ini telah di buktikan oleh Mendez & Adair (1999) dimana semakin tinggi kelas anak yang berarti semakin lama anak mendapatkan stimulasi dari sekolah perbedaan kecerdasan anak antara anak gizi buruk dan anak normal semakin kecil.

BAB VII PEMBANGUNAN SOSIAL DAN BUDAYA

A.

Permasalahan yang Dihadapi

Permasalahan pembangunan sosial dan budaya yang menjadi perhatian utama pada kurun waktu tahun 2000 sampai dengan tahun 2001 antara lain: masih rendahnya derajat kesehatan dan status gizi serta tingkat kesejahteraan sosial masyarakat; masih rentannya ketahanan budaya dan belum diberdayakannya kesenian dan pariwisata secara optimal; masih rendahnya kedudukan dan peranan perempuan di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan; masih rendahnya partisipasi aktif pemuda dalam pembangunan nasional; serta belum membudayanya olah raga dan masih rendahnya prestasi olah raga. Gambaran keadaan dan masalah tersebut di atas antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:

1. 1.1

Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kesehatan dan Gizi Masyarakat

Derajat kesehatan antara lain dapat diamati dari beberapa indikator seperti angka harapan hidup (AHH), angka kematian bayi (AKB), angka kematian balita (AKABA) dan angka kematian ibu (AKI) waktu melahirkan. Berdasarkan data survai terakhir yang tersedia, AHH waktu lahir penduduk Indonesia tercatat 65,5 tahun (Inkesra, 1999). Rendahnya AHH tersebut erat kaitannya dengan masih tingginya AKB, yaitu sebesar 46 per 1000 kelahiran hidup (Inkesra, 1999), dan AKABA tercatat 63 per 1000 kelahiran hidup (Susenas, 1999). Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) masih memprihatinkan, yaitu 373 per 100.000 kelahiran hidup (SKRT, 1995). Status gizi masyarakat dapat diamati dari prevalensi empat masalah gizi utama, yaitu: kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium (GAKY), dan kurang vitamin A (KVA). Kelompok umur yang paling rawan menderita gizi kurang adalah 6 - 23 bulan. Prevalensi KEP pada anak balita pada 1998 tercatat sekitar 33,4 persen. Sementara itu, prevalensi gizi buruk pada anak balita tercatat 8,1 persen pada tahun 1999. Anemia gizi besi pada ibu hamil pada tahun 1995 tercatat 50,9 persen (SKRT, 1995). Tingginya prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil memberikan kontribusi terhadap masih tingginya AKI. Prevalensi GAKY yang diukur dengan Total Goiter Rate (TGR) menunjukkan penurunan cukup tajam dari 27,7 persen pada tahun 1990 menjadi 9,8 persen pada tahun 1998. Kebutaan karena KVA sudah tidak merupakan masalah kesehatan masyarakat lagi. Namun masih rendahnya kadar vitamin A dalam darah anak balita saat ini berdampak pada peningkatan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi terutama campak dan diare. Selain itu KVA pada ibu hamil dan balita cenderung meningkat. Angka kesakitan beberapa penyakit menular cenderung meningkat, seperti penyakit malaria, tuberculosis (TB), demam berdarah dengue (DBD) dan HIV/AIDS. Jumlah penderita baru penyakit TB setiap tahunnya sekitar 583 ribu orang dan yang meninggal sekitar 140 ribu penderita. Walaupun berbagai

upaya penanggulangan penyakit TB sudah dilakukan tapi hasilnya belum memuaskan. Kasus HIV/AIDS terus menunjukkan peningkatan sejak pertama kali ditemukan (1987) dan pada tahun 2001 (Juni) kasus HIV positif secara kumulatif tercatat sekitar 1.572 penderita dan AIDS positif mencapai 578 penderita. Selain itu, Indonesia perlu mewaspadai timbulnya atau masuknya penyakit-penyakit baru yang berpotensi wabah dan menimbulkan korban seperti Ebola dan radang otak. Beberapa penyakit degeneratif dan penyakit tidak menular yang berkaitan dengan perubahan gaya hidup juga memperlihatkan kecenderungan meningkat. Saat ini angka kesakitan dan kematian yang disebabkan berbagai penyakit berbasis lingkungan seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, penyakit kulit dan kecacingan juga masih tinggi. 1.2 Kesejahteraan Sosial Kemiskinan merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya berbagai masalah kesejahteraan sosial yang tercermin dalam bentuk ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan dasar, keterlantaran, kecacatan dan ketunasosialan. Jumlah penduduk miskin termasuk yang sangat miskin pada tahun 1999 tercatat sebanyak 37,5 juta jiwa atau 18,17 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Masalah lain yang terkait dengan kemiskinan adalah keterpencilan dan keterasingan secara geografis dan sosial budaya, yang dialami oleh sekitar 1,1 juta penduduk Komunitas Adat Terpencil (KAT). KAT tersebut dikhawatirkan akan semakin tertinggal sebagai akibat perubahan sosial yang terjadi di luar komunitasnya. Masalah kesejahteraan sosial lainnya yang menonjol adalah keterlantaran dan kecacatan. Berdasarkan hasil Susenas 2000, jumlah anak terlantar dilaporkan sekitar 3,2 juta, sedangkan jumlah lanjut usia terlantar tercatat sekitar 3,3 juta jiwa. Susenas tahun 2000 juga memperlihatkan bahwa masih terdapat sekitar 1,5 juta penduduk Indonesia yang mengalami kecacatan. Pencacahan anak jalanan yang dilakukan pada tahun 1998 di 12 kota besar mengungkapkan bahwa dari sekitar 40 ribu anak jalanan, 48 persen diantaranya adalah anak-anak yang baru turun ke jalan mulai tahun 1998. Sebagian besar anak-anak bekerja di jalan adalah untuk menambah pendapatan keluarga dan menambah biaya sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa alasan ekonomi keluarga merupakan faktor pendorong utama semakin banyaknya anak-anak yang bekerja di jalan. Sementara itu, perlindungan khusus untuk anak terutama anak jalanan, anak yang diperlakukan salah, dan pekerja anak agar hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang belum dapat sepenuhnya terpenuhi. Masalah lain yang dihadapi dalam pembangunan kesejahteraan sosial adalah dampak krisis mutidimensional terhadap menurunnya kemampuan organisasi sosial (Orsos) dalam menyelenggarakan pelayanan sosial. Masalah HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba juga menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan. Selain mencakup masalah medis, penderita HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba seringkali mengalami perlakuan diskriminatif dari keluarga maupun lingkungannya. Pelayanan sosial dalam bentuk perlindungan khusus bagi mereka agar tetap dapat memperoleh hak dan melaksanakan kewajibannya sebagai individu, anggota keluarga dan masyarakat sesuai harkat dan martabatnya juga belum sepenuhnya tersedia. Dalam kehidupan bermasyarakat, bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman suku bangsa, etnis, agama dan bahasa. Rentannya interaksi sosial antaretnis, adanya kesenjangan sosial, kesenjangan pembangunan antarwilayah, rawannya situasi politik dan keamanan, serta kondisi masyarakat yang mengalami kemiskinan dapat memicu terjadinya kerawanan sosial dan disintegrasi bangsa. Selanjutnya, kondisi sosial ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan pada saat ini, dan diperparah dengan masalah bencana alam dan kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah mengakibatkan sebagian penduduk terpaksa mengungsi ke daerah yang lebih aman. Dengan jumlah pengungsi yang sangat besar dan tersebar di berbagai lokasi, penanganan bagi mereka agar tetap dapat terjaga kelangsungan hidupnya menjadi beban berat baik bagi pemerintah maupun masyarakat. 1.3 Kependudukan

Permasalahan pembangunan kependudukan yang perlu mendapat perhatian adalah jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pertumbuhan yang masih relatif tinggi dan persebarannya yang tidak merata, dan kualitasnya masih relatif rendah. Dewasa ini kualitas penduduk Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia dan Thailand. Berdasarkan Human Development Report 2001, Indonesia menempati urutan ke 102, sedangkan Malaysia dan Thailand masing-masing menempati urutan ke 56 dan ke 66. Kualitas penduduk tersebut juga tergambar dari angka harapan hidup waktu melahirkan (AHH) penduduk Indonesia yang relatif rendah yaitu 65,5 tahun (Inkesra, 1999), sedangkan Malaysia dan Thailand tercatat masing-masing 72,0 tahun dan 68,8 tahun. Rendahnya angka harapan hidup tersebut erat kaitannya dengan masih tingginya angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan. Dalam dimensi kuantitas, jumlah penduduk Indonesia relatif telah dapat dikendalikan pertumbuhannya menjadi 1,35 persen per tahun pada periode 1990-2000 sehingga jumlah penduduk pada Sensus 2000 diperkirakan mencapai 203,4 juta orang, terdiri dari 101,8 juta perempuan dan 101,6 juta laki-laki. Namun demikian, mengingat jumlah penduduk Indonesia saat ini masih besar secara absolut, maka pertambahan jumlah penduduk setiap tahunnya juga masih besar. Salah satu penyebab masih cukup tingginya laju pertumbuhan penduduk adalah masih relatif tingginya angka kelahiran total (TFR). Angka kelahiran total (TFR) Indonesia pada tahun 2000 diperkirakan 2,5 per perempuan, dan cukup bervariasi baik antardaerah maupun antarpropinsi. Permasalahan lain adalah persebaran penduduk yang tidak merata. Sebagian besar penduduk yaitu 59 persen (Sensus 2000) terkonsentrasi di Pulau Jawa. Hal ini berakibat pada kepadatan penduduk yang sangat tinggi di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta dengan 12,6 ribu penduduk per km2, sedangkan Irian Jaya hanya 5 jiwa per km2. Timpangnya persebaran dan kurang terarahnya mobilitas penduduk terkait erat dengan tidak seimbangnya persebaran sumber daya hasil pembangunan antarwilayah. Munculnya berbagai konflik antaretnik, antaragama dan berbagai masalah pengungsian juga telah menimbulkan potensi kerawanan yang menambah permasalahan di dalam mengatasi penataan persebaran penduduk. Masalah administrasi kependudukan diindikasikan oleh masih banyaknya penduduk yang belum mempunyai dokumen kependudukan (lahir, kawin, cerai) dan belum efektifnya lembaga penyelenggaraan administrasi kependudukan. Di samping itu, peraturan perundang-undangan administrasi kependudukan termasuk hak-hak sipil belum terpenuhi. Selain itu, kualitas dan cakupan data penduduk hasil registrasi masih belum memadai, sehingga berpengaruh kepada mutu perencanaan dan kebijakan pembangunan kependudukan. 1.4 Pemberdayaan Keluarga dan Keluarga Berencana Permasalahan lain dalam pembangunan sosial dan budaya adalah sebagian keluarga terutama yang tergolong Pra-Keluarga Sejahtera (Pra-KS) dan Sejahtera I (KS I), belum berdaya dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti pendidikan dan kesehatan termasuk keluarga berencana (KB). Pada tahun 2000, jumlah keluarga Pra-KS dan KS I, yaitu keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya masih sekitar 24,6 juta keluarga. Sementara itu, aspek kesehatan reproduksi remaja yang merupakan salah satu tiang dalam pewujudan keluarga kecil yang berkualitas juga masih tertinggal. Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997 menunjukkan meskipun median usia kawin pertama secara nasional adalah 18,6 tahun, median usia kawin pertama di perdesaan masih relatif muda yaitu 17,9 tahun. Sebagian masyarakat dan keluarga termasuk orang tua dan remaja sendiri juga belum sepenuhnya mempersiapkan anggota keluarga yang berusia remaja dalam kehidupan berkeluarga dan perilaku reproduksi yang bertanggung jawab. Banyak remaja yang masih kurang memahami atau mempunyai pandangan yang tidak tepat tentang masalah kesehatan reproduksi. Pemahaman yang tidak benar tentang hak-hak dan kesehatan reproduksi ini menyebabkan banyak remaja yang berperilaku menyimpang tanpa menyadari akibatnya terhadap kesehatan reproduksi mereka. Selain itu, pusat atau lembaga advokasi dan konseling hak-hak

dan kesehatan reproduksi bagi remaja juga masih terbatas jangkauannya dan belum memuaskan mutunya. Pendidikan kesehatan reproduksi remaja melalui jalur sekolah nampaknya juga belum sepenuhnya berhasil. Tingkat kelahiran yang relatif tinggi merupakan salah satu beban dalam pembangunan sosial dan budaya. Tingkat kelahiran yang relatif tinggi ini mengakibatkan laju pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi dan jumlah anggota keluarga yang relatif besar. Tingginya angka kelahiran dewasa ini berkaitan dengan penyelenggaraan program Keluarga Berencana (KB) yang belum sepenuhnya berkualitas dalam memenuhi hak-hak dan kesehatan reproduksi masyarakat. Pendekatan program KB yang telah diarahkan pada pemenuhan hak-hak dan kesehatan reproduksi, dalam pelaksanaannya masih dijumpai beberapa pelayanan KB yang mencerminkan pendekatan pemenuhan target akseptor. Pendekatan target akseptor mengakibatkan proses dan kualitas penyampaian komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), serta pelayanan KB lebih ditujukan untuk mencapai target akseptor KB melebihi perhatian terhadap kecocokan cara KB dan kepuasan akseptor KB. Kualitas program KB yang belum sepenuhnya memuaskan klien mengakibatkan pemenuhan hak-hak dan kesehatan reproduksi termasuk KB yang merupakan dasar terwujudnya keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera belum dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat dan keluarga. Hal ini diungkapkan oleh data SDKI 1997 yang menunjukkan bahwa baru 57,4 persen pasangan usia subur (PUS) yang ingin ber-KB dapat terpenuhi permintaannya, dan sekitar 9,21 persen PUS yang sebenarnya tidak ingin anak atau menunda kehamilannya, tidak memakai kontrasepsi (unmet need). Permasalahan lainnya dalam program KB adalah partisipasi laki-laki dalam ber-KB yang masih sangat rendah yaitu sekitar 3 persen (SDKI 1997). Hal ini selain dikarenakan keterbatasan macam dan jenis alat kontrasepsi laki-laki, antara lain juga disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan laki-laki di bidang hak-hak dan kesehatan reproduksi. Kelembagaan dan jaringan pelayanan KB juga belum sepenuhnya berkualitas dan mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan oleh keterbatasan kemampuan sumber daya program KB. Peran masyarakat dan pihak di luar Pemerintah juga masih sangat terbatas, walaupun tokoh agama, organisasi profesi dan Lembaga Swadaya dan Organisasi Masyarakat (LSOM) terbukti sangat mempengaruhi keberhasilan program KB di beberapa daerah. Pada tahun 1998/99 jumlah lembaga pelayanan KB non-pemerintah masih relatif rendah yaitu berkisar 44.550 yang melayani sekitar 65 persen PUS peserta KB Aktif. Sementara itu, kemitraan pemerintah dengan masyarakat terutama PUS dan sektor di luar pemerintah dalam penyelenggaraan KB dan kesehatan reproduksi belum sepenuhnya dapat diwujudkan.

2. 2.1

Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata Kebudayaan

Pembangunan di berbagai bidang mempunyai dampak yang berbeda pada setiap kelompok masyarakat. Dengan adanya reformasi, dampak pembangunan pada berbagai bidang semakin nyata dan terbuka. Selanjutnya, dengan adanya globalisasi yang disebabkan oleh makin berkembangnya teknologi komunikasi, mengakibatkan masuknya arus informasi yang sangat beragam yang dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap budaya masyarakat lokal. Permasalahan tersebut semakin rumit, dengan belum siapnya masyarakat dalam persaingan dalam budaya global yang menuntut kemampuan sumber daya manusia yang profesional di bidangnya. Pola sentralisasi yang diterapkan dalam berbagai bidang telah mengikis keragaman budaya masyarakat yang ditandai dengan hilangnya pranata-pranata lokal yang dulu dijadikan acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya otonomi daerah, pembangunan kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan lama dan asli, sebagaimana diamanatkan

dalam UUD 1945, merupakan bagian dari kebudayaan daerah, harus dikembangkan oleh masyarakat pendukungnya, sedangkan pemerintah hanya sebagai fasilitator dalam rangka menjalankan tugas memajukan kebudayaan nasional. Selanjutnya, berkaitan dengan aset budaya, baik yang tangible maupun intangible, yang meskipun keberadaannya tersebar diberbagai daerah, tetap merupakan bagian dari kebudayaan bangsa yang harus dikembangkan dan dimajukan, khususnya budaya yang memiliki nilai luhur. 2.2. 3. Pariwisata Pemberdayaan Perempuan Mengenai pengembangan pariwisata diuraikan dalam Bab III Pembangunan Ekonomi. Pembangunan di berbagai bidang yang diselenggarakan selama ini belum sepenuhnya mampu mengangkat kualitas perempuan. Hal ini, antara lain dapat dilihat dari masih rendahnya nilai Genderrelated Development Index (GDI) Indonesia. Nilai GDI Indonesia adalah 0.671 dan berada pada urutan ke 92, jauh tertinggal dibanding negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan Thailand (Human Development Report, 2001). Kualitas dan kesejahteraan perempuan yang masih relatif rendah juga ditunjukkan oleh berbagai indikator seperti tingginya angka kematian ibu melahirkan, rendahnya status gizi ibu, tingginya penduduk perempuan berumur 10 tahun ke atas yang belum pernah sekolah, dan rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan. Pasal 27 UUD 1945 menjamin kesamaan hak bagi seluruh warganegara di hadapan hukum, baik laki-laki maupun perempuan. Namun demikian, beberapa pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM) seperti penindasan, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan, termasuk anak perempuan sering kali terjadi baik dalam keluarga, lingkungan/tempat kerja, atau dalam masyarakat. Bentuk penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan sering terjadi terutama dikaitkan dengan perdagangan perempuan dan anak perempuan serta pelacuran paksa. Berbagai bentuk pelanggaran tersebut antara lain dipengaruhi oleh materi hukum yang diskriminatif terhadap perempuan dan tidak berkeadilan gender, seperti Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Perkawinan, Undang-undang Kesehatan, dan Undang-undang Kewarganegaraan. Di samping itu, struktur hukum yang terdapat dalam masyarakat juga masih kurang mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Keadaan ini antara lain ditandai oleh masih rendahnya kesadaran gender di kalangan penegak hukum, sedikitnya jumlah penegak hukum yang menangani kasus-kasus ketidakadilan bagi perempuan, dan lemahnya mekanisme pemantauan dan evaluasi, terutama yang dilakukan oleh masyarakat, terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Sementara itu, budaya hukum dalam masyarakat yang kurang menunjang terciptanya keadilan gender antara lain ditandai oleh masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang hukum (hak dan kewajiban), masih terbatasnya akses masyarakat terhadap informasi dan sumberdaya hukum, belum optimalnya peran media massa dalam mensosialisasikan produk hukum kepada masyarakat, dan masih rendahnya peran masyarakat dan organisasi-organisasi masyarakat dalam pengawasan dan diseminasi hukum. Penegakan hukum terutama untuk masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan juga banyak belum terungkap dan sangat sulit ditemukan. Hal ini dikarenakan umumnya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan berkaitan dengan pola hubungan kekuasaan, yang sebagian besar pelaku kekerasan berusia lebih tua di dalam keluarga, orang yang memiliki jabatan lebih tinggi, atau majikan. Belum terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ini diperburuk oleh pendekatan pembangunan yang belum benar-benar mengindahkan kesetaraan dan keadilan gender. Pendekatan pembangunan ini selanjutnya mengakibatkan kebijakan pemerintah yang tidak peka gender yaitu belum mempertimbangkan perbedaan pengalaman, aspirasi dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki serta belum menetapkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai tujuan dan sasaran akhir dari pembangunan. Selain dipengaruhi oleh tidak lengkapnya data dan informasi gender, kebijakan publik yang tidak peka gender juga dipengaruhi oleh terbatasnya jumlah perempuan sebagai pengambil

keputusan kebijakan publik yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, TNI dan Polri yaitu hanya 9,8 persen wakil perempuan dalam lembaga legislatif pada tahun 1999, dan hanya 7 persen pejabat struktural eselon I, II, dan III dalam lembaga eksekutif adalah perempuan. Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dilandaskan pada pasal 27 UUD 1945 dan diperkuat melalui ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/ CEDAW) ke dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984, serta Landasan Aksi dan Deklarasi Beijing hasil Konferensi Dunia tentang Perempuan keempat di Beijing pada tahun 1995. Namun demikian, hal tersebut juga belum dapat menyetarakan kedudukan dan peranan perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Masih kuatnya pengaruh nilai-nilai sosial budaya yang patriarki merupakan salah satu penyebab utama sulitnya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Nilai-nilai ini menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda dan tidak setara yang ditandai dengan adanya pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan. Nilai sosial budaya lainnya dalam masyarakat juga turut berpengaruh adalah penentuan keputusan pada tingkat keluarga yang lebih memilih anak laki-laki mereka daripada anak perempuannya untuk bersekolah. Nilai yang tidak peka gender ini diperburuk oleh materi bahan ajar di berbagai jenjang pendidikan yang bias gender dan atau diskriminatif terhadap perempuan. Berbagai nilai-nilai sosial dan budaya yang tidak menguntungkan bagi terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender selanjutnya mengakibatkan diskriminasi terhadap perempuan, sehingga perempuan tidak memiliki akses, kesempatan dan kontrol atas pembangunan serta tidak memperoleh manfaat dari pembangunan yang adil dan setara dengan laki-laki. Di samping itu, ketidaktepatan pemahaman ajaran agama seringkali juga menyudutkan kedudukan dan peranan perempuan di dalam keluarga dan masyarakat. Media massa juga cenderung turut memperlemah posisi perempuan, karena sering menampilkan gambaran tentang kekerasan, merendahkan harkat dan martabat, serta mempertahankan peran tradisional perempuan. Sementara itu, pengarusutamaan gender belum dilaksanakan secara efektif yang antara lain ditandai oleh rendahnya kesadaran gender di kalangan aparat pemerintah terutama pengambil keputusan. Di samping itu, relatif rendahnya kualitas dan kemandirian lembaga-lembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan serta belum maksimalnya hubungan kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat maupun dengan lembaga-lembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan juga merupakan penghambat dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. 4. 4.1 Pemuda dan Olahraga Pemuda

Generasi muda yaitu kelompok penduduk yang berusia di antara 15-35 tahun pada tahun 2000 diperkirakan berjumlah 74,1 juta atau 36 persen dari jumlah penduduk seluruhnya. Dengan jumlah yang besar, belum seluruh generasi muda memiliki kualitas yang tinggi untuk mengisi dan melaksanakan berbagai upaya pembangunan. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat tingkat intelektualitas pemuda dan kemampuan dalam berorientasi ke masa depan dapat diketahui dari jenjang pendidikan. Dari hasil Susenas tahun 1998 terdapat 36,93 persen pemuda hanya tamat Sekolah Dasar. Di samping itu, masalah lain yang dihadapi pemuda adalah lemahnya pendidikan politik dan hukum bagi pemuda yang berdampak pada terjadinya euforia politik dan hukum dalam proses demokratisasi dan reformasi serta kesalahpengertian tentang kebebasan dan demokrasi di kalangan pemuda. Derasnya penetrasi budaya dan pengaruh global akibat cepatnya perkembangan dan kemajuan teknologi, telekomunikasi dan transportasi cenderung mempengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku pemuda di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Di samping itu, pranata pembangunan

kepemudaan juga belum sepenuhnya kuat yang dicerminkan dari banyaknya organisasi kepemudaan yang belum mandiri dan konsisten dalam menyelenggarakan visi dan misinya. Upaya mempersiapkan, membangun, dan memberdayakan pemuda agar mampu berperan serta sebagai pelaku-pelaku aktif pembangunan bangsa Indonesia dihadapkan pada berbagai permasalahan. Munculnya berbagai permasalahan sosial yang melibatkan atau dilakukan pemuda seperti tawuran dan kriminalitas lainnya, penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif (NAPZA), minuman keras, penyakit HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya yang diderita pemuda, telah mencapai tahap yang mengkawatirkan. 4.2 Olahraga Perwujudan penduduk Indonesia yang berkualitas antara lain ditentukan oleh derajat kesehatan, kesegaran dan kebugaran jasmani serta perilaku terpuji seperti kejujuran dan sportivitas. Namun demikian, penerapan hidup sehat dan kebiasaan olahraga secara teratur dan berkesinambungan belum sepenuhnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari oleh sebagian penduduk Indonesia. Banyaknya sarana dan prasarana umum untuk olahraga yang dikonversi menjadi pusat perdagangan dan fasilitas lainnya juga menjadi penyebab belum membudayanya olahraga. Kurang intensifnya pembibitan dan pembinaan prestasi olahraga antara lain dipengaruhi oleh belum mantapnya kelembagaan olahraga. Terbatasnya jumlah dan sebaran pelatih yang berkualitas serta kurangnya kejuaraan kelompok umur baik dalam skala nasional maupun regional turut menyebabkan pembibitan dan pembinaan prestasi olahraga tidak mengalami kemajuan yang berarti. Di samping itu, Perguruan Tinggi yang diharapkan dapat menjadi basis pembibitan dan pembinaan prestasi belum mampu melaksanakan fungsinya. Sementara itu, sebagai suatu industri, olahraga belum sepenuhnya mampu memberikan nilai tambah bagi olahragawan, masyarakat luas termasuk dunia usaha. Hal ini sangat terkait erat dengan belum mantapnya kelembagaan olahraga dan manajemen olahraga yang belum sempurna. B. Langkah-langkah Kebijakan dan Hasil-hasil yang Dicapai

Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat dan menciptakan ketahanan budaya nasional yang kokoh, telah ditempuh berbagai langkah kebijakan di berbagai bidang pembangunan dengan hasil sebagai berikut. 1. 1.1 1.1.1 Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Program Lingkungan Sehat, Perilaku Sehat, dan Pemberdayaan Masyarakat Lingkungan Sehat

Program ini bertujuan untuk mewujudkan mutu lingkungan hidup yang sehat yang mendukung tumbuh kembang anak dan remaja, memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup sehat, dan memungkinkan interaksi sosial, serta melindungi masyarakat dari ancaman bahaya yang berasal dari lingkungan sehingga tercapai derajat kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat yang optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan yang dilaksanakan antara lain : (1) meningkatkan promosi hygiene dan sanitasi di tingkat individu, keluarga, dan masyarakat; (2) meningkatkan mutu lingkungan perumahan dan permukiman termasuk pengungsian; (3) meningkatkan hygiene dan sanitasi tempat-tempat umum dan pengelolaan makanan; (4) meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja; (5) meningkatkan wilayah/kawasan sehat termasuk kawasan bebas rokok. Hasil pencapaian program lingkungan sehat pada tahun 2001 antara lain: cakupan keluarga yang menghuni rumah sehat sekitar 47 persen, cakupan keluarga yang menggunakan air bersih sekitar 77,5

persen, cakupan keluarga yang menggunakan jamban yang memenuhi syarat kesehatan sekitar 63 persen, persentase tempat-tempat umum yang memenuhi syarat kesehatan mencakup sekitar 72,4 persen, dan persentase kawasan sehat mencakup sekitar 25 persen (Tabel VII-1). 1.1.2 Perilaku Sehat dan Pemberdayaan Masyarakat

Tujuan umum program ini adalah memberdayakan individu, keluarga, dan masyarakat dalam bidang kesehatan untuk memelihara, meningkatkan, dan melindungi kesehatannya sendiri dan lingkungannya menuju masyarakat yang sehat, mandiri, dan produktif. Untuk mencapai tujuan tersebut dilaksanakan kegiatan: (1) meningkatkan kepedulian terhadap perilaku bersih dan sehat; (2) meningkatkan kepedulian terhadap proses perkembangan dini anak; (3) meningkatkan upaya anti tembakau dan narkotika, psikotropika dan zat adiktif (NAPZA); (4) meningkatkan pencegahan kecelakaan dan rudapaksa; (5) meningkatkan upaya kesehatan jiwa masyarakat; (6) memperkuat sistem jaringan dukungan masyarakat sesuai dengan potensi dan budaya setempat. Hasil pencapaian program ini pada tahun 2001 antara lain: persentase penduduk dengan perilaku sehat mencakup sekitar 22 persen; penyebarluasan informasi kesehatan melalui media massa seperti radio sekitar 199,9 ribu kali, televisi sekitar 2,7 ribu kali, dan media cetak sekitar 2,6 juta ribu kali; dan persentase posyandu purnama per desa sekitar 25 persen (Tabel VII-1). 1.2 Program Upaya Kesehatan

Tujuan umum program ini adalah meningkatkan pemerataan dan mutu upaya kesehatan yang berhasil guna dan berdaya guna serta terjangkau oleh segenap anggota masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut antara lain dilaksanakan kegiatan: (1) meningkatkan pemberantasan penyakit menular dan imunisasi; (2) meningkatkan pemberantasan penyakit tidak menular; (3) meningkatkan upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan, yang terdiri dari pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan rujukan; (4) meningkatkan pelayanan kesehatan penunjang; (5) membina dan mengembangkan pengobatan tradisional; (6) meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi; (7) meningkatkan pelayanan kesehatan matra; (8) mengembangkan survailans epidemiologi; (9) melaksanakan penanggulangan bencana dan bantuan kemanusiaan. Dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit, hasil yang dicapai pada tahun 2001 antara lain: cakupan Universal Child Immunization (UCI) telah mencapai sekitar 75 persen dari seluruh bayi; angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) pada tahun 2001 tercatat 5,7 per 100.000 penduduk; angka kesakitan malaria 45 per 1.000 penduduk; angka kesembuhan tuberculosa (TB) tercatat sekitar 85 persen; dan angka kematian diare pada balita 2,3 per 1.000 balita. Angka kesakitan dan kematian yang disebabkan berbagai penyakit berbasis lingkungan seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), diare, penyakit kulit dan kecacingan masih tinggi dan hal tersebut terkait dengan kondisi lingkungan yang belum memadai. Beberapa gerakan untuk memperbaiki kualitas lingkungan seperti Gerakan Jumat Bersih, Pekan Sanitasi, Kota Sehat, Kali Bersih merupakan hal yang positif dan perlu dilestarikan. Dalam kegiatan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan, telah dilakukan upaya untuk menjaga kesinambungan pelayanan rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Berbagai upaya yang dilakukan antara lain pembangunan 2 RS propinsi dan kabupaten, dan 39 RS swasta. Selain itu, telah dilaksanakan peningkatan kelas RS dari kelas D ke kelas C sebanyak 1 RS, dan peningkatan dari kelas C ke kelas B non pendidikan sebanyak 2 RS pada tahun 2000 dan 5 RS pada tahun 2001. Sedangkan akreditasi RS pada tahun 2000 s/d 2001 dilakukan terhadap 55 RS. Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan di RS, pada tahun 2000 2001 telah dilakukan penempatan dokter ahli (4 keahlian pokok dan keahlian lainnya) sebanyak 174 orang.

Dalam rangka peningkatan mutu pelayanan rumah sakit telah ditetapkan 13 rumah sakit menjadi perusahaan jawatan (Perjan). Langkah pertama menetapkan Direksi dan struktur Rumah Sakit. Direncanakan rumah sakit yang telah ditetapkan menjadi Perjan akan mulai beroperasi pada tahun 2002. Dalam rangka pelaksanaan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2000, khususnya mengenai pelayanan kesehatan di daerah pengungsi, telah dilakukan upaya pelayanan kesehatan dan gizi antara lain melalui program jeda kemanusiaan di Propinsi DI Aceh, program akselerasi pembangunan kesehatan di Irian Jaya, Maluku dan Maluku Utara, dan penanganan pengungsi di Jawa Timur. Pelayanan kesehatan dan gizi yang diberikan antara lain meliputi: surveilans epidemiologi, perbaikan kualitas air bersih, pengadaan obat-obatan, penggantian vaksin yang rusak, penyemprotan fokus demam berdarah, penanganan penderita gawat darurat, operasi katarak dan bibir sumbing, khitanan massal, bantuan uang lauk pauk dan beras, pengadaan peralatan RS, peralatan pelayanan dasar bagi puskesmas, pengadaan kapal untuk transportasi daerah terpencil, pendayagunaan tenaga pelayanan kesehatan seperti Dokter Spesialis, Dokter Umum, Dokter Gigi dan Paramedis. Hasil pencapaian program upaya kesehatan pada tahun 2001 antara lain: persentase rujukan pelayanan kesehatan dasar ke rumah sakit mencakup sekitar 15 persen; pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 68,5 persen; cakupan antenatal sekitar 78,5 persen, postnatal dan neonatal sekitar 76,5 persen (Tabel VII-2) . 1.3 Program Perbaikan Gizi Masyarakat

Tujuan umum program ini adalah untuk meningkatkan intelektualitas dan produktivitas sumber daya manusia, sedangkan tujuan khusus adalah: (1) meningkatkan kemandirian keluarga dalam upaya perbaikan status gizi; (2) meningkatkan pelayanan gizi untuk mencapai keadaan gizi yang baik dengan menurunkan prevalensi gizi kurang dan gizi lebih; (3) meningkatkan penganekaragaman konsumsi pangan bermutu untuk memantapkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut antara lain: (1) meningkatkan penyuluhan gizi masyarakat; (2) menanggulangi gizi kurang dan menekan kejadian gizi buruk pada balita serta menanggulangi kurang energi kronik (KEK) pada wanita usia subur termasuk ibu hamil dan ibu nifas; (3) menanggulangi gangguan akibat kurang yodium (GAKY); (4) menanggulangi anemia gizi besi (AGB); (5) menanggulangi kurang vitamin A (KVA); (6) meningkatkan penanggulangan kurang gizi mikro lainnya (misalnya calsium, zink, dsb); (7) meningkatkan penanggulangan gizi lebih; (8) melaksanakan fortifikasi dan keamanan pangan; (9) memantapkan pelaksanaan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG); (10) mengembangkan dan membina tenaga gizi; (11) melaksanakan penelitian dan pengembangan gizi; (12) melaksanakan perbaikan gizi institusi (misalnya sekolah, RS, perusahaan, dan sebagainya); (13) melaksanakan perbaikan gizi akibat dampak sosial, pengungsian, dan bencana alam. Peningkatan status gizi masyarakat, terutama pada wanita dan anak balita terus dilakukan. Pada tahun 2000 penanggulangan GAKY dilaksanakan di 272 kecamatan endemik berat (20 Kabupaten) dan 197 kecamatan endemik sedang (36 kabupaten/kota). Selain itu melalui program JPS-BK, khususnya kegiatan perbaikan gizi, telah dilakukan pemberian makanan tambahan berupa makanan pendamping (MP) ASI terhadap sekitar 401,3 ribu bayi berusia 6-11 bulan, 1 juta anak usia 12-23 bulan, 1,8 juta anak balita dan 383,7 ribu ibu hamil/ibu nifas Kurang Energi Kronik (KEK). Peran serta masyarakat juga ditingkatkan antara lain melalui kegiatan revitalisasi posyandu agar mampu menunjang penyelenggaraan pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil, ibu nifas, bayi dan anak di bawah usia dua tahun. Hasil pencapaian program perbaikan gizi pada tahun 2001 antara lain: persentase wanita usia subur dan anak sekolah di kecamatan endemik yang mendapat kapsul yodium mencakup sekitar 40 persen; persentase ibu hamil yang mendapat tablet besi 49 persen; persentase bayi dan balita yang mendapat vitamin A sebesar 65 persen; dan persentase keluarga yang mengkonsumsi garam beryodium sekitar 65 persen (Tabel VII-3).

1.4

Program Sumber Daya Kesehatan

Program ini bertujuan untuk (1) meningkatkan jumlah, mutu dan penyebaran tenaga kesehatan; (2) meningkatkan jumlah, efektivitas, dan efisiensi penggunaan biaya kesehatan; (3) meningkatkan ketersediaan sarana, prasarana, dan dukungan logistik pada sarana pelayanan kesehatan yang semakin merata, terjangkau, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan yang dilaksanakan adalah: (1) meningkatkan perencanaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan; (2) meningkatkan pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan; (3) mengembangkan sistem pembiayaan praupaya; (4) mengembangkan sarana, prasarana, dan dukungan logistik pelayanan kesehatan. Kegiatan perencanaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan antara lain telah dilaksanakan melalui 18 jenis program pendidikan tenaga kesehatan dengan jumlah institusi sebanyak 866 buah terdiri dari 287 Jenjang Pendidikan Menengah (JPM) dan 579 Jenjang Pendidikan Tinggi (JPT). Pada tahun 2000 jumlah lulusan tenaga kesehatan yang dihasilkan mencapai sekitar 38,4 ribu orang, terdiri dari sekitar 20,8 ribu orang tenaga lulusan jenjang pendidikan tinggi (Diploma 3) dan 17,6 ribu orang tenaga lulusan dari jenjang pendidikan menengah. Selain itu telah dilakukan akreditasi terhadap institusi pendidikan tenaga kesehatan sebanyak 575 institusi. Upaya untuk meningkatkan pendidikan tenaga guru/dosen dilakukan melalui tugas belajar dan pelatihan fungsional. Dalam menunjang pelaksanaan desentralisasi, telah dilatih sebanyak 2.175 orang tenaga kesehatan, meliputi bidang manajemen dan kepemimpinan 165 orang, teknis administrasi 900 orang, jabatan fungsional 900 orang dan pelatihan bagi pelatih sebanyak 210 orang. Dalam upaya mengembangkan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar, telah dilakukan upaya peningkatan pemeliharaan sarana kesehatan yang ada agar tetap dapat berfungsi dengan baik. Dewasa ini terdapat sekitar 7,2 ribu puskesmas, 21 ribu puskesmas pembantu dan 6,8 ribu puskesmas keliling. Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan puskesmas, sekitar 1,7 ribu puskesmas telah ditingkatkan fungsinya menjadi puskesmas perawatan dengan sarana tempat tidur. Puskesmas perawatan ini terutama dikembangkan di lokasi-lokasi yang jauh dari Rumah Sakit, jalur-jalur jalan raya yang rawan kecelakaan dan di daerah-daerah atau pulau-pulau terpencil. Pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu dan anak melalui puskesmas dan puskesmas pembantu makin efektif dengan penempatan bidan di desa yang secara kumulatif sampai tahun 2000 bidan yang telah ditempatkan di desa berjumlah sekitar 67 ribu orang. Upaya peningkatan pemerataan pelayanan kesehatan dasar, utamanya pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk imunisasi dan perbaikan gizi juga ditunjang dengan dukungan peran serta masyarakat dalam bentuk posyandu dan pondok persalinan desa (polindes) yang sampai tahun 2000 telah berjumlah masing-masing 243,7 ribu posyandu dan 15,8 ribu polindes. Hasil pencapaian program ini pada tahun 2001 antara lain: jumlah Badan Pelaksana Sistem Pembiayaan Kesehatan Praupaya yang berijin sebanyak 24 institusi; jumlah pendidikan dan pelatihan kesehatan yang terakreditasi sebanyak 611 institusi; dan jumlah tenaga kesehatan yang dilatih teknis fungsional mencapai sekitar 39,6 ribu orang (Tabel VII-4) . 1.5 Program Obat, Makanan, dan Bahan Berbahaya Program ini bertujuan untuk: (1) melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, zat adiktif (NAPZA), dan bahan berbahaya yang lain; (2) melindungi masyarakat dari penggunaan sediaan farmasi, makanan dan alat kesehatan (farmakes) yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan; (3) menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan pemerataan obat yang bermutu yang dibutuhkan masyarakat; dan (4) meningkatkan potensi daya saing industri farmasi terutama yang berbasis sumber daya alam dalam negeri. Untuk mencapai tujuan tersebut telah dilaksanakan kegiatan: (1) meningkatkan pengamanan bahaya penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, zat adiktif, dan bahan berbahaya lainnya; (2) meningkatkan pengamanan

dan pengawasan makanan dan bahan tambahan makanan (BTM); (3) meningkatkan pengawasan obat, obat tradisional, kosmetika, dan alat kesehatan termasuk pengawasan terhadap promosi/ iklan; (4) meningkatkan penggunaan obat rasional; (5) menerapkan obat esensial; (6) mengembangkan obat asli Indonesia; (7) membina dan mengembangkan industri farmasi; (8) meningkatkan mutu pengujian laboratorium pengawasan obat dan makanan (POM); (9) mengembangkan standar mutu obat dan makanan; (10) mengembangkan sistem dan layanan informasi POM. Penyediaan obat esensial pada unit pelayanan kesehatan dasar sejak tahun 2000 dilaksanakan oleh masing-masing kabupaten/kota. Di tingkat pusat hanya disediakan obat dan alat kesehatan sebagai buffer stock, yang digunakan pada keadaan emergensi terutama untuk penanggulangan bencana, kerusuhan dan pengungsi. Untuk mempertahankan kesinambungan dalam penyediaan dan ketersediaan obat generik dengan harga terjangkau selama masa krisis agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, maka pada tahun 2000 telah diberikan subsidi untuk pengadaan bahan baku obat melalui mekanisme pemberian subsidi terhadap selisih kurs pembelian bahan baku obat. Hasil pencapaian program ini pada tahun 2001 antara lain: persentase cakupan pemeriksaan sarana pelayanan kesehatan mencapai 12,2 persen; proporsi kasus penyalahgunaan obat dan NAPZA dengan tindak lanjut pengamanan sebesar 90 persen dan persentase cakupan pemeriksaan sarana produksi distribusi farmakes dalam rangka Good Manufacturing Practices (GMP) 40 persen. Jumlah iklan yang berhasil diawasi sebanyak 1.600 iklan; jumlah laboratorium pengujian obat dan makanan yang terakreditasi sebanyak 8 unit; jumlah sarana produksi bahan baku farmasi termasuk Obat Asli Indonesia yang dibina mencakup 10 persen, dan jumlah kabupaten/kota yang kekurangan stok obat lebih dari 3 item selama lebih dari 3 bulan menurun menjadi 10 persen (Tabel VII-5). 1.6 Program Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Kesehatan

Untuk penyelenggaraan upaya kesehatan sesuai dengan tujuan, kebijakan, dan strategi yang telah ditetapkan dibutuhkan kebijakan dan manajemen sumber daya yang efektif dan efisien yang didukung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan sehingga dapat tercapai pelayanan kesehatan yang merata dan berkualitas.Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan yang dilaksanakan adalah: (1) mengembangkan kebijakan program kesehatan; (2) mengembangkan manajemen pembangunan kesehatan; (3) mengembangkan dan menyempurnakan hukum kesehatan; (4) mengembangkan sistem informasi kesehatan; (5) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. Dalam upaya mengembangkan hukum kesehatan, pada tahun 2000 telah dilakukan penyusunan 1 RUU, 1 RPP, 2 Keppres, 27 Permenkes/Kepmenkes, dan 7 SKB. Sedangkan, untuk mengembangkan sistem informasi kesehatan nasional, telah dilakukan kegiatan antara lain: (1) integrasi sistem-sistem informasi kesehatan yang ada, (2) penyederhanaan dan integrasi pencatatan dan pelaporan data, (3) peningkatan kemampuan daerah dalam pengembangan sistem informasi kesehatan (SIK), (4) pengembangan sumber daya, khususnya melalui penerapan dan pemeliharaan teknologi informatika serta pengembangan tenaga pengelola SIK, dan (5) pengembangan pelayanan data dan informasi baik untuk para manajer maupun untuk masyarakat. Dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, telah dilakukan berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan kesehatan. Selain itu, pada tahun 2001 telah dilaksanakan Survai Kesehatan Nasional (Surkesnas) yang merupakan kegiatan antar lembaga/ instansi dan berkesinambungan tiap tahun (multi year and multi institution activities). Surkesnas meliputi kegiatan pengembangan modul kesehatan dan pengumpulan data kesehatan melalui Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), kegiatan Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dengan komponen studi

morbiditas, studi mortalitas dan studi tindak lanjut (follow up) ibu hamil dan kegiatan Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) komponen kesehatan ibu dan anak. Hasil pencapaian program ini pada tahun 2001 antara lain: tersedianya sistem informasi kesehatan kabupaten/kota dan propinsi pada 27 propinsi; 38 buah produk hukum bidang kesehatan yang ditetapkan; dan 110 penelitian di bidang kesehatan (Tabel VII-6). 1.7 Program Pengembangan Potensi Kesejahteraan Sosial

Tujuan program ini adalah untuk mengembangkan kesadaran, kemampuan, tanggung jawab, dan peran aktif masyarakat dalam menangani permasalahan sosial di lingkungannya, serta memperbaiki kualitas hidup, dan kesejahteraan penyandang masalah kesejahteraan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh adalah meningkatkan dan memperluas pelayanan kesejahteraan sosial terutama bagi penduduk miskin, anak dan lanjut usia terlantar, anak jalanan, penyandang cacat, tuna sosial, serta korban bencana alam dan kerusuhan. Di samping itu, juga terus dilakukan berbagai upaya untuk lebih meningkatkan partisipasi masyarakat terutama dunia usaha untuk mendukung pelayanan baik yang dilakukan oleh pemerintah utamanya pemerintah daerah maupun masyarakat. Pada tahun 2000 pelayanan sosial bagi anak terlantar telah diberikan bagi 133.844 anak terlantar yang dilakukan antara lain melalui pemberian santunan hidup dan pendidikan bagi anak dalam panti, serta pemberian keterampilan dan modal usaha bagi anak terlantar yang tinggal bersama keluarganya. Agar panti sosial milik masyarakat dapat mempertahankan pelayanan sosialnya diberikan pula bantuan biaya operasional yang dapat digunakan untuk biaya pendidikan anak asuhnya maupun biaya operasional panti. Meningkatnya jumlah anak jalanan di perkotaan, yang merupakan bagian dari populasi anak terlantar, juga membutuhkan prioritas penanganan. Penanganan anak jalanan diberikan melalui media Rumah Singgah yang diselenggarakan bekerja sama dengan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)/organisasi sosial, yang telah memiliki pengalaman memberikan pelayanan serupa. Untuk itu, telah diberikan pelayanan sosial bagi 31.635 anak jalanan di kota-kota besar berupa bimbingan sosial dan budi pekerti, bantuan makanan, beasiswa, pelayanan kesehatan, pelatihan keterampilan dan pelayananpelayanan rujukan lain yang diperlukan. Pelayanan sosial ini bertujuan untuk memberikan alternatif kegiatan bagi anak-anak jalanan agar waktu yang dihabiskan di jalan semakin berkurang, dan diharapkan dengan modal keterampilan yang dimiliki atau tetap terpeliharanya kelangsungan pendidikan mereka, pada akhirnya anak-anak tersebut dapat meninggalkan kehidupan di jalan dan hidup kembali bersama keluarganya. Menyadari bahwa permasalahan sebagian besar anak jalanan adalah ketidakmampuan orang tua dalam memenuhi kebutuhan anak, maka sasaran pelayanan juga menjangkau orang tua anak jalanan, melalui pemberdayaan orang tua. Dengan besarnya jumlah anak jalanan, anak yang diperlakukan salah, dan pekerja anak, telah mulai dilaksanakan sosialisasi tentang hak-hak anak meliputi tumbuh kembang, kelangsungan hidup dan perlindungan di 13 propinsi. Selanjutnya telah pula diberikan bantuan dan penyantunan bagi 12.475 lanjut usia terlantar baik di dalam maupun di luar panti. Bagi lanjut usia terlantar yang masih produktif, diberikan bantuan modal usaha. Dana bantuan operasional diberikan pula secara langsung bagi panti lanjut usia milik masyarakat yang mengalami kesulitan pendanaan, agar kelangsungan penyelenggaraan pelayanan sosial bagi lanjut usia terlantar dapat terpelihara. Pelayanan dan rehabilitasi sosial juga diberikan kepada 12.887 orang penyandang cacat, baik yang berada di dalam panti maupun di lingkungan keluarga. Bantuan pelayanan dan rehabilitasi sosial tersebut ditujukan untuk memulihkan harga diri dan martabat mereka sehingga mereka dapat melaksanakan peran dan fungsi sosialnya secara wajar dan produktif. Selain itu, diupayakan pula bagi

mereka kemudahan untuk mengakses fasilitas umum. Sedangkan pelayanan sosial bagi tuna sosial telah diberikan bagi 11.634 orang termasuk bagi tuna susila, pengemis, gelandangan, eks narapidana, penderita HIV/AIDS dan korban tindak pidana kekerasan. Sementara itu, penanganan anak nakal dan korban penyalahgunaan narkoba ditangani melalui upaya pencegahan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan di dalam panti dan luar panti dengan sasaran tercegahnya, pulih dan berdayanya para penyandang tersebut sehingga dapat menjadi sumber daya yang berkualitas dan produktif. Jumlah korban penyalahgunaan narkoba dan anak nakal yang ditangani sebanyak 3.380 orang. Usaha pemberdayaan terhadap Komunitas Adat Terpencil (KAT) terus diupayakan agar secara bertahap kualitas hidup mereka dapat meningkat. KAT yang memperoleh pemberdayaan sebanyak 9.763 KK. Salah satu upaya pencegahan terhadap terus berkembangnya masalah-masalah sosial yang disebabkan oleh kemiskinan seperti keterlantaran dan tuna sosial dilakukan melalui pemberdayaan bagi keluarga miskin (fakir miskin). Pemberdayaan keluarga sangat miskin dilaksanakan melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) bagi 5.072 KUBE atau 50.720 keluarga, dengan kegiatan antara lain seleksi, bimbingan motivasi, pembentukan dan pemantapan KUBE, dan pemberian bantuan sarana usaha yang sesuai dengan pelatihan keterampilan yang telah diperoleh. Agar KUBE dapat berjalan dengan baik, pendampingan bagi kelompok-kelompok tersebut dilakukan oleh Petugas Sosial Kecamatan (PSK). Diharapkan melalui penanganan yang menyeluruh dan terpadu, dapat dikurangi timbulnya masalahmasalah seperti anak terlantar dan lanjut usia. Dalam rangka penanganan pengungsi yang bersifat konsepsional dan menyeluruh, bagi para pengungsi diberikan bantuan tanggap darurat di lokasi pengungsian dan permukiman kembali para pengungsi baik di tempat asal maupun baru sebagai bagian dari pemberian jaminan sosial dan jaminan keamanan. Bantuan tanggap darurat dilakukan dengan cara memberikan bantuan pangan berupa beras dan lauk pauk bagi rata-rata 1.000.000 jiwa/bulan yang tersebar di 19 propinsi. Selain itu, bagi para pengungsi juga diberikan pelayanan kesehatan dasar termasuk pencegahan dan pemberantasan penyakit, penyediaan sarana air bersih dan sanitasi, serta perbaikan gizi melalui pemberian makanan tambahan. Selanjutnya, penyediaan kesempatan belajar juga diberikan bagi pengungsi anak melalui pendidikan umum dan alternatif di daerah lokasi/daerah pengungsian, bantuan bahan ajar dan perlengkapan siswa, serta paket pelatihan. Penanganan pengungsi ini dilakukan bersama-sama antara pemerintah baik pusat dan daerah bersama-sama masyarakat. Keseluruhan penanganan pengungsi dikoordinir oleh Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB). Dalam menanggulangi dampak sosial dari krisis multidimensional, terutama bagi kelompok rentan, keberadaan organisasi sosial (Orsos) menjadi sangat strategis. Orsos mampu memberikan pelayanan atas dasar sikap ikhlas, pengabdian, kepedulian dan penghargaan kepada sesama manusia yang bentuk perwujudannya adalah upaya menolong dan membantu tanpa pamrih. Motivasi seperti ini menumbuhkan kekuatan yang mengakar pada masyarakat. Mereka tumbuh di tengah-tengah masyarakat, berusaha memahami persoalan yang ada, mengerti yang dibutuhkan sehingga mereka juga dapat memberikan pertolongan dan bantuan baik yang bersifat penyelamatan maupun pemulihan kondisi kesejahteraan sosial dalam suatu krisis. Orsos yang telah menerima bantuan pemberdayaan berupa pelatihan dan paket-paket usaha agar kinerja Orsos dapat terus ditingkatkan yaitu sebanyak 572 Orsos dan 1.561 Karang Taruna. Dalam upaya memberikan kesejahteraan dan pemenuhan jaminan sosial yang dapat menyentuh seluruh warga negara telah dilakukan upaya penyempurnaan sistem jaminan sosial nasional secara terpadu dan terkoordinasi agar setiap warga negara Indonesia mendapat hak atas kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya melalui program sistem jaminan sosial yang menyeluruh terutama untuk keluarga, masyarakat miskin, pekerja sektor informal, petani, nelayan, masyarakat yang terkena musibah/bencana dan penyandang masalah sosial lainnya melalui penelaahan, pengkajian dan perumusan kebijakan dan

langkah-langkah dalam rangka penyelenggaraan program sistem jaminan sosial nasional yang meliputi baik aspek kelembagaan, program, perundang-undangan, pendanaan maupun aspek pelaksanaan lainnya. Khusus untuk sistem jaminan dan asuransi kesejahteraan sosial telah dilakukan uji coba dan penyusunan pedoman pelaksanaan sistem jaminan dan asuransi kesejahteraan sosial. 1.8 Program Peningkatan Kualitas Manajemen dan Profesionalisme Pelayanan Sosial Program ini bertujuan untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme pelayanan sosial melalui pengembangan alternatif-alternatif intervensi di bidang kesejahteraan sosial, peningkatan kemampuan dan kompetensi pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat, serta penetapan standardisasi dan legislasi pelayanan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh adalah meningkatkan profesionalisme pelayanan sosial baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat dan dunia usaha terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial, serta meningkatkan kualitas manajemen pelayanan sosial. Dalam rangka meningkatkan mutu dan profesionalisme pelayanan sosial telah dilakukan berbagai kegiatan antara lain melalui pendidikan tugas belajar program S2 bagi 36 orang dan program S3 sebanyak 5 orang pekerja kesejahteraan sosial untuk bidang ilmu sosial, sosiologi pembangunan dan psikologi. Di samping itu, telah dilakukan pula pelatihan teknis maupun fungsional bagi 150 pegawai Dinas Sosial yang tersebar di 26 propinsi. Selanjutnya, untuk mendukung pengembangan kebijakan dan program di bidang kesejahteraan sosial telah dilakukan beberapa penelitian antara lain mengenai pengembangan standarisasi dan pedoman kompetensi SDM dalam rangka meningkatkan kinerja lembaga pelayanan kesejahteraan sosial; sosialisasi Lembaga Sosial Kemasyarakatan antaretnis dan pola hubungan antarkelompok etnis dan penelitian tentang sistem penanggulangan kesenjangan sosial. Selain itu, telah dilakukan pula penyusunan Standarisasi Panti Sosial sebagai pedoman bagi penyelenggara Panti Sosial baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Dalam upaya menciptakan landasan pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial yang semakin mantap dan mapan, telah dilakukan penyusunan 3 naskah akademis peraturan perundangundangan di bidang kesejahteraan sosial antara lain naskah akademis Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perlindungan Anak, RUU tentang Pengentasan Fakir Miskin dan RUU tentang Undian. 1.9 Program Pengembangan Keserasian Kebijakan Publik dalam Penanganan Masalah-masalah Sosial

Program ini bertujuan untuk mewujudkan keserasian kebijakan publik dalam penanganan masalah-masalah sosial masyarakat dan terlindunginya masyarakat dari dampak penyelenggaraan pembangunan dan perubahan sosial yang cepat melalui wadah jaringan kerja. Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh adalah menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang dilakukan melalui koordinasi dengan instansi terkait terutama untuk masalah pengungsi, kerusuhan, dan disintegrasi bangsa. Penanganan masalah disintegrasi bangsa menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, dan penanganan secara komprehensif memerlukan waktu yang panjang. Berkaitan dengan hal tersebut telah selesai dirumuskan kebijakan pengembangan integrasi bangsa di kalangan pelajar dan pemuda melalui pengenalan wawasan nusantara dengan melibatkan berbagai unsur pemerintah, LSM dan masyarakat termasuk dunia usaha. Di samping itu, dalam upaya mendorong masyarakat dan dunia usaha agar ikut serta menyelenggarakan pelayanan sosial yang berkelanjutan untuk penanganan masalah-masalah kemasyarakatan, telah selesai dirumuskan kebijakan mengenai sumbangan sosial masyarakat melalui media massa dan tanggung jawab sosial dunia usaha.

Untuk penanganan pengungsi akibat bencana alam dan kerusuhan telah selesai dirumuskan kebijakan mengenai pola penyelesaian masalah pengungsi dan perumusan kebijakan dasar masalah pengungsi anak. Demikian pula untuk penanganan masalah narkoba yang terus meningkat baik dilihat dari jumlah korbannya maupun kualitas penyalahgunaannya telah dilakukan perumusan kebijakan mengenai strategi penanggulangan penyalahgunaan narkoba. 1.10 Program Pengembangan Sistem Informasi Masalah-masalah Sosial Program ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis data dan informasi yang diperlukan untuk bahan penentuan kebijakan masalah-masalah sosial, membangun sistem informasi yang diperlukan sebagai alat peringatan dini, dan meningkatkan fungsi dan koordinasi jaringan informasi kelembagaan dalam upaya pembentukan keterpaduan pengendalian masalah-masalah sosial. Tujuan lain program ini adalah untuk menyediakan data dan informasi yang benar dan bertanggung jawab kepada masyarakat dan dunia usaha tentang: (1) perkembangan masalah menyangkut aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya; (2) modal sosial yang dimiliki masyarakat dan dunia usaha serta sumber daya ekonomi; dan (3) perkembangan masalah-masalah sosial itu sendiri. Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh adalah membangun pusat informasi dan layanan masyarakat antara lain untuk mengakomodasi masyarakat yang makin berkembang. Dalam rangka penyediaan data dan informasi masalah-masalah kemasyarakatan masih terus dilanjutkan pengembangan sistem informasi dan pengelolaan informasi masalah-masalah kemasyarakatan. Selanjutnya, telah dilakukan juga pengkajian berbagai masalah laten bangsa bekerja sama dengan berbagai universitas dan lembaga penelitian. 1.11 Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Kependudukan Program pengembangan dan keserasian kebijakan kependudukan bertujuan untuk mewujudkan keserasian kebijakan kependudukan di berbagai bidang pembangunan. Dalam rangka mencapai tujuan program tersebut ditempuh langkah-langkah kebijakan antara lain: (1) meningkatkan kualitas penduduk yang meliputi peningkatan kualitas kehidupan beragama, pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial-budaya, dan peningkatan sektor terkait lainnya; (2) mengendalikan pertumbuhan dan kuantitas penduduk; (3) melakukan pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk sehingga penduduk tidak terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu; dan (4) mengembangkan sistem administrasi kependudukan. Kebijakan tersebut diselenggarakan melalui program pembangunan lintas bidang dan lintas sektor serta pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Hasil pelaksanaan yang dicapai pada tahun 2000 di bidang kebijakan pengendalian kuantitas penduduk adalah penetapan jumlah, struktur dan komposisi penduduk Indonesia tahun 20002005 serta beberapa makalah kebijakan tentang pengendalian pertumbuhan penduduk dan pembangunan berkelanjutan. Sedangkan di bidang kebijakan kualitas penduduk telah dicapai antara lain adalah: pembakuan indikator kependudukan strategis yang dapat memberikan bahan pertimbangan penentuan skala prioritas dalam perencanaan pembangunan yang berwawasan kependudukan; pengembangan pola asuh anak dalam keluarga; serta pedoman peningkatan kualitas anak balita. Di samping itu, telah dirumuskan pula makalah kebijakan mengenai peningkatan kesehatan reproduksi remaja, penurunan morbiditas dan mortalitas bayi, balita, ibu hamil, dan ibu melahirkan. Di bidang persebaran dan mobilitas penduduk telah dilaksanakan beberapa kajian dan studi kebijakan persebaran dan mobilitas penduduk, tata ruang, daya dukung dan daya tampung lingkungan. Dalam upaya mendukung administrasi kependudukan yang tertib, telah disusun RUU tentang Adminstrasi Kependudukan serta pelaksanaan uji coba sistim pendaftaran dan pencatatan penduduk. 1.12 Program Pemberdayaan Keluarga

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan ketahanan keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat. Langkah-langkah kebijakan dalam program ini diarahkan pada penyadaran dan peningkatan kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar, sosial dan psikologisnya. Langkah kebijakan tersebut meliputi: (1) menyelenggarakan pelayanan advokasi, komunikasi, edukasi, informasi (KIE) dan konseling mengenai pengasuhan dan penumbuhkembangan anak serta akses sumber daya ekonomi; (2) mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan kewirausahaan bagi keluarga terutama keluarga Pra-KS dan KS I; (3) menyelenggarakan pelayanan pembinaan ketahanan keluarga khususnya bagi keluarga yang memiliki balita dan remaja; dan (4) melakukan penataan dan melaksanakan pendataan keluarga. Hasil yang dicapai dalam program ini pada tahun 2000 adalah jumlah keluarga terutama keluarga Pra-KS dan KS I yang dapat mengakses informasi dan sumber daya ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan keluarga mencapai sekitar 12,6 juta keluarga. Selain itu, langkah kebijakan ini juga telah menghasilkan data keluarga. 1.13 Program Kesehatan Reproduksi Remaja Program ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku positif remaja tentang kesehatan reproduksi dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan reproduksinya dan mempersiapkan kehidupan berkeluarga guna mendukung upaya peningkatan kualitas generasi mendatang. Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh adalah: (1) melaksanakan promosi kesehatan reproduksi bagi remaja, baik yang bersifat pencegahan maupun penanggulangan; (2) melakukan advokasi, komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) dan konseling reproduksi bagi remaja, keluarga dan masyarakat; (3) menyelenggarakan promosi pendewasaan usia kawin; dan (4) melaksanakan perintisan konseling kesehatan reproduksi bagi remaja termasuk bagi remaja yang hidup dan bekerja di jalan. Pelaksanaan langkah-langkah kebijakan ini mampu meningkatkan kepedulian dan peran aktif remaja, masyarakat dan dunia pers dalam aspek kesehatan reproduksi. Pusat-pusat konseling kesehatan remaja juga semakin meningkat kualitas dan jumlahnya. Pada tahun 2001 jumlah pusat konseling kesehatan reproduksi bagi remaja mencapai 65 pusat.

1.14

Program Keluarga Berencana (KB)

Program KB bertujuan untuk memenuhi permintaan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi yang berkualitas serta mengendalikan angka kelahiran yang pada akhirnya meningkatkan kualitas penduduk dan mewujudkan keluarga-keluarga kecil berkualitas. Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh adalah: (1) mengintegrasikan program KB dalam kerangka pemenuhan hak-hak reproduksi dan kesehatan reproduksi, serta kesetaraan gender termasuk diantaranya adalah promosi, advokasi, komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), dan konseling tentang pemenuhan hak-hak dan kesehatan reproduksi; (2) meningkatkan mutu pelayanan program KB yang menuju pada pencapaian standar yang ditetapkan dan berorientasi kepada kepuasan publik/klien, antara lain melalui peningkatan kualitas lembaga pelayanan KB dan kesehatan reproduksi dan peningkatan profesionalisme sumber daya manusia pada lembaga pelayanan KB; (3) menyediakan alat dan obat serta pelayanan KB yang bermutu termasuk kontrasepsi mantap bagi laki-laki dan perempuan serta pencabutan alat kontrasepsi susuk secara cumacuma bagi keluarga Pra-KS dan KS I; (4) menyediakan jaminan dan perlindungan bagi peserta KB yang diprioritaskan pada penanggulangan efek samping secara medis; (5) melakukan pelatihan, pengkajian, dan penelitian operasional KB serta mengembangkan sistim informasi manajemen program KB, dan (6) melakukan penajaman segmentasi peserta KB yaitu kelompok peserta KB dilayani secara luwes dengan memperhatikan aspek sosial ekonomi, adat istiadat/agama, ciri-ciri demografis dan geografis.

Melalui pelaksanaan langkah-langkah kebijakan ini, pada tahun 2000 program KB mampu memberikan pelayanan KB bagi 3.625.753 peserta KB baru dan 25.537.657 peserta KB aktif. Dengan kemampuan pelayanan KB tersebut, persentase pasangan usia subur (PUS) yang ingin menjadi peserta KB namun tidak terlayani KB (unmet need) pada tahun 2001, diproyeksikan sebesar 8,7 persen. 1.15 Program Penguatan Kelembagaan dan Jaringan KB Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian dan sekaligus meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. Langkah-langkah kebijakan dalam program ini meliputi: (1) meningkatkan kapasitas kelembagaan KB dalam rangka desentralisasi; (2) melaksanakan pelatihan dan bimbingan pelayanan dan manajemen KB dan kesehatan reproduksi bagi institusi dan lembaga berbasiskan masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan KB; (3) menyediakan dukungan manajemen KB terutama di tingkat desa dan kecamatan; (4) menyediakan dan melakukan pertukaran informasi tentang KB dan kesehatan reproduksi; (5) menyelenggarakan pelatihan dan kerja sama internasional di bidang KB dan kesehatan reproduksi; dan (6) menyelenggarakan promosi kemandirian ber-KB bagi peserta KB dan peningkatan kemandirian kelembagaan KB yang berbasis masyarakat. Hasil yang dicapai dalam program ini pada tahun 2001 adalah jumlah lembaga pelayanan KB non-pemerintah sebesar 46.756 yang diperkirakan mampu melayani 68 persen PUS peserta KB Aktif. Hasil lainnya dalam program ini adalah persentase peserta KB mandiri yang diperkirakan telah mencapai 30 persen PUS pada tahun 2001.

2. 2.1

Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata Kebudayaan

Di dalam GBHN 1999 pembangunan kebudayaan diarahkan untuk mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa Indonesia, mengembangkan sikap kritis terhadap nilai-nilai budaya dan mengembangkan kebebasan berkreasi dalam berkesenian. Untuk itu, kebijakan yang ditempuh adalah untuk menanamkan nilai-nilai luhur budaya bangsa dalam rangka menumbuhkan pemahaman dan penghargaan masyarakat pada budaya leluhur, keragaman budaya dan tradisi, meningkatkan kualitas berbudaya masyarakat, menumbuhkan sikap kritis terhadap nilai-nilai budaya, dan memperkokoh ketahanan budaya. Langkah-langkah yang ditempuh adalah: (1) meningkatkan pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan tradisi, peninggalan sejarah dan permuseuman; (2) menciptakan iklim yang kondusif bagi timbulnya kreasi sastra, seni, dan budaya; (3) membina dan mengembangkan kebahasaan dan kesastraan; (4) mengembangkan kepustakaan dan budaya ilmiah; (5) membina dan mengembangkan kesenian dan perfilman nasional; dan (6) meningkatkan apresiasi masyarakat dalam seni dan budaya. Hasil pelaksanaan langkah-langkah kebijakan tersebut diuraikan berikut ini. Dalam rangka meningkatkan pemahaman tentang nilai-nilai luhur budaya nasional, di bidang pendidikan umum mulai ditingkatkan muatan lokal. Dengan adanya muatan lokal ini, siswa berkesempatan untuk mempelajari dan memahami budaya daerahnya masing-masing. Selanjutnya pengenalan dan pemahaman budaya dilakukan pula melalui penyelenggaraan kemah budaya di tingkat nasional. Untuk meningkatkan tersedianya informasi budaya lokal dan mencari masukan untuk pemahaman ragam budaya nasional, dilakukan pula lomba penulisan naskah kebudayaan daerah yang diikuti oleh pengajar SLTA. Selain itu, dilakukan pula pemberdayaan lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan kemampuan serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Selanjutnya, upaya tersebut didukung pula dengan penyelenggaraan pelatihan kepemimpinan dan keterampilan untuk membentuk sikap mandiri generasi muda. Pembinaan keolahragaan juga

mendorong sikap sportif bagi generasi muda. Semua upaya tersebut diharapkan dapat meningkatkan pemahaman nilai budaya, membentuk watak dan sikap mandiri serta sportif di masyarakat khususnya generasi muda. Untuk melestarikan peninggalan budaya-budaya tradisional, terus ditingkatkan pembinaan terhadap museum baik ditingkat nasional dan propinsi. Dengan adanya otonomi daerah, peran pemerintah daerah dalam pembinaan museum dan warisan budaya nasional di tiap-tiap propinsi akan semakin meningkat. Selanjutnya, penemuan situs arkeologi dan benda-benda cagar budaya terus dilakukan untuk memperkaya pemahaman masyarakat mengenai budaya-budaya tradisional yang sudah punah. Sementara itu, situs-situs cagar budaya yang ada terus dijaga kelestariannya dan dipugar agar generasi muda dapat mempelajari kekayaan budaya tradisional yang pernah ada. Dalam upaya untuk menghidupkan seni budaya nasional baik dalam bentuk seni tari, lukis, film dan bidang seni lain, terus dilakukan pameran, pagelaran dan festival di tingkat pusat dan daerah. Beberapa kegiatan tersebut berupa pekan komik dan animasi, pameran terakota dan berbagai kerja sama dengan masyarakat dalam pagelaran kesenian dan pameran kesenian lainnya. Selain itu, untuk melindungi hasil karya cipta seniman telah berhasil diterapkan pemberian royalty yang masih terbatas untuk pencipta lagu. Untuk memperkenalkan kekayaan budaya nasional Indonesia, telah dilakukan pula berbagai misi kesenian ke luar negeri diantaranya Cina dan Kamboja. Selanjutnya, untuk mendorong pengembangan kesenian nasional Indonesia terus mengikuti berbagai kegiatan yang bersifat internasional baik di dalam maupun di luar negeri. Kesempatan untuk bertukar informasi di bidang kesenian akan lebih terbuka dengan penyelenggaraan Art Summit III di Jakarta tahun ini yang diikuti oleh seniman dari berbagai negara.

2.2.

Pariwisata

Mengenai pengembangan pariwisata diuraikan dalam Bab III Pembangunan Ekonomi. 3. 3.1 Pemberdayaan Perempuan Program Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan

Langkah-langkah kebijakan dalam program peningkatan kualitas hidup perempuan dilaksanakan melalui 17 program pembangunan yang mencakup pembangunan hukum, ekonomi, politik, pendidikan, serta sosial dan budaya. Hasil-hasil yang dicapai diuraikan secara terpisah dalam setiap program pembangunan yang berkaitan dengan pembangunan hukum, ekonomi, politik, pendidikan, serta sosial dan budaya. Namun demikian, hasil-hasil yang cukup menonjol dapat diuraikan sebagai berikut. Dalam pembangunan hukum melalui pelaksanaan program pembentukan peraturan perundang-undangan telah dan sedang dilakukan perubahan dan penyempurnaan produk-produk hukum yang bias gender dan atau diskriminatif terhadap perempuan, seperti Undang-undang Perkawinan, Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Kesehatan, Undang-undang Kewarganegaraan, dan KUHP. Di samping itu, berkat kerja sama yang baik antara pemerintah dan LSM telah disusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RAN-PKTP) yang memuat berbagai upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan baik yang terjadi dalam keluarga, tempat kerja, maupun dalam masyarakat. Khusus untuk menangani para korban tindak kekerasan, telah dibentuk 163 Ruang Pelayanan

Khusus (RPK) di 19 Polda, dan bekerja sama dengan Rumah Sakit setempat, serta Crisis Center di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RS Panti Rapih Yogyakarta. Sementara itu, hasil yang dicapai dalam pembangunan ekonomi melalui pelaksanaan program perluasan dan pengembangan kesempatan kerja, program peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, dan program perlindungan dan pengembangan lembaga tenaga kerja adalah telah dilakukannya penyempurnaan beberapa peraturan perlindungan tenaga kerja yang selama ini belum menguntungkan bagi tenaga kerja perempuan, penyempurnaan sistem kredit usaha yang masih cenderung diskriminatif, dan peningkatan kualitas dan jumlah pelatihan yang ditujukan untuk lebih meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja perempuan sekaligus meningkatkan perlindungan bagi tenaga kerja perempuan. Dalam upaya memberikan perlindungan bagi pekerja perempuan yang baru datang dari luar negeri, telah dibentuk Pusat Pelayanan Informasi di empat bandara yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, dan Batam. Dalam pembangunan pendidikan khususnya melalui pelaksanaan program-program pendidikan dasar dan prasekolah, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, dan pembinaan pendidikan luar sekolah, melalui peningkatan pemberian beasiswa dengan mengutamakan pada murid perempuan, maka jumlah penduduk perempuan yang menikmati pendidikan semakin banyak. Selanjutnya, dalam pembangunan politik yaitu melalui program perbaikan struktur politik dan program pengembangan budaya politik telah dirintis pembentukan kaukus perempuan di lembaga legislatif pusat serta terus dilakukan kegiatan-kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) dan advokasi yang ditujukan untuk meningkatkan pendidikan politik perempuan di lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun demikian upaya ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan, karena peningkatan jumlah perempuan yang menduduki posisi pengambil keputusan dan atau jabatan struktural hanya terjadi pada lembaga eksekutif saja, sedangkan pada lembaga-lembaga legislatif dan yudikatif justru mengalami penurunan. 3.2 Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Pemberdayaan Perempuan

Dalam program pengembangan dan keserasian kebijakan pemberdayaan perempuan yang bertujuan untuk mewujudkan keserasian berbagai kebijakan pemberdayaan perempuan di berbagai bidang pembangunan, langkah-langkah kebijakan yang ditempuh adalah: (1) mengintegrasikan kebijakan pembangunan pemberdayaan perempuan ke dalam berbagai kebijakan-kebijakan pembangunan lainnya secara terpadu, baik di tingkat nasional maupun daerah; (2) melakukan pengkajian dan menyempurnakan hukum dan peraturan perundangan-undangan yang masih diskriminatif terhadap perempuan dan tidak berkeadilan jender; (3) melakukan pengkajian kebijakan pembangunan pemberdayaan perempuan dalam rangka mencari alternatif-alternatif kebijakan yang lebih efektif; (4) melaksanakan promosi, advokasi, sosialisasi, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan pemberdayaan perempuan; (5) melakukan penelitian dan pengembangan masalah-masalah gender sesuai dengan kondisi sosial budaya, agama, dan perkembangan masyarakat, termasuk pemanfaatan dan pendayagunaan hasilnya bagi upaya penguatan pengarusutamaan gender. Hasil yang dicapai melalui pelaksanaan program ini adalah telah diintegrasikannya kebijakan pembangunan pemberdayaan perempuan ke dalam lima kebijakan pembangunan ketenagakerjaan, pendidikan, hukum, pertanian, dan koperasi dan usaha kecil menengah pada tingkat nasional. Untuk pembangunan daerah, beberapa propinsi telah melakukan kegiatan serupa yaitu di propinsi Sulawesi Selatan. Hasil lainnya adalah telah dikeluarkannya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, serta telah disusun Panduan Pelaksanaannya. Berbagai pengkajian juga dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai masalah gender, terutama yang menyangkut pola pemberian kredit, kebijakan upah tenaga kerja, kebijakan pengiriman tenaga kerja perempuan, perbaikan materi bahan ajar SD, pemanfaatan perempuan dalam bisnis media, masalah gender dilihat dari sudut pandang agama Islam, hak cuti melahirkan bagi pekerja perempuan di sektor formal, kesehatan reproduksi perempuan, kesempatan melanjutkan sekolah bagi siswi yang hamil, dan jaminan sosial bagi pekerja perempuan di sektor informal.

3.3

Program Peningkatan Peran Pengarusutamaan Gender

Masyarakat

dan

Pemampuan

Kelembagaan

Program peningkatan peran masyarakat dan pemampuan kelembagaan pengarusutamaan gender yang bertujuan untuk meningkatkan peran dan kemandirian lembaga-lembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan terutama organisasi perempuan; memperkuat peran aktif masyarakat dalam upaya pemberdayaan perempuan; meningkatkan kapasitas dan kemampuan institusi-institusi pemerintah dalam melakukan pengarusutamaan gender dalam setiap tahap dan proses pembangunan dilaksanakan dengan serangkaian langkah-langkah kebijakan yang ditempuh melalui: (1) melaksanakan KIE dan advokasi mengenai kesetaraan dan keadilan gender (KKG) di lingkungan lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, TNI dan Polri, dan masyarakat secara keseluruhan; (2) mendorong terbentuknya komisi atau forum kesetaraan dan keadilan gender; (3) meningkatkan kemampuan dan kapasitas institusiinstitusi pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan pengarusutamaan gender dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan, antara lain melalui peningkatan keterampilan dan keahlian serta pembentukan unit pengarusutamaan gender di setiap instansi pemerintah; (4) mengembangkan berbagai alat dan metode, termasuk mengembangkan materi dan bahan KIE untuk pengarusutamaan gender; (5) mengembangkan sistem informasi gender, antara lain melalui penyediaan data dan informasi yang dibedakan menurut jenis kelamin; (6) meningkatkan kemampuan dan kapasitas lembaga-lembaga masyarakat yang memiliki visi pemberdayaan perempuan, termasuk organisasiorganisasi perempuan yang ada di tingkat nasional dan daerah, melalui peningkatan keterampilan dan keahlian untuk lebih dapat menemukenali dan mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan, serta bersama-sama pemerintah merumuskan kebijakan dan program pembangunan; (7) menciptakan hubungan kemitraan yang saling menguntungkan antara pemerintah, masyarakat, pranata dan lembaga-lembaga masyarakat yang memiliki visi pemberdayaan perempuan; dan (8) meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat media dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Hasil yang dicapai melalui pelaksanaan program ini adalah telah disosialisasikannya KKG bagi 5 instansi pemerintah di pusat dan 11 propinsi, anggota DPRD di 26 propinsi, perusahaan swasta/BUMN/ BUMD di 3 kota besar Semarang, Makassar, dan Medan, pimpinan media dan wartawan di Medan, Surabaya, dan Makassar, dan ormas keagamaan. Forum KKG di tingkat pusat juga telah terbentuk dan beranggotakan 12 Departemen/LPND. Di samping itu, juga telah terbentuk lembaga pemberdayaan perempuan di 22 propinsi. Selanjutnya juga telah dibentuk Kelompok Kerja Nasional Pengarusutamaan Gender di tingkat nasional dan focal point KKG di 14 Departemen/LPND dan Mabes Polri. Alat analisis gender juga telah dikembangkan khususnya untuk perencanaan pembangunan, yang dikenal dengan Gender Analysis Pathway (GAP), dan diikuti dengan pengembangan Indikator Gender dan Indeks KKG. Kegiatan perintisan untuk mengembangkan sistem informasi gender juga telah dimulai melalui pengembangan homepage dan web yang menyajikan data dan informasi gender. Sebagai kelengkapan data dan informasi gender juga telah diterbitkan Profil Gender dan Media Perempuan sejak tahun 2000.

4. 4.1

Pemuda dan Olahraga Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Olahraga

Tujuan program ini adalah untuk mewujudkan keserasian kebijakan olahraga di berbagai bidang pembangunan. Untuk mencapai tujuan tersebut langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh adalah: (1) melakukan pengkajian dan menyempurnakan peraturan perundangan-undangan olahraga dan kesegaran jasmani; (2) melakukan pengkajian dan merumuskan kebijakan pembangunan olahraga tentang mekanisme koordinasi pembinaan olahraga, pengembangan olahraga dan kesegaran jasmani, dan pengembangan kelembagaan keolahragaan; dan (3) melaksanakan penelitian olahraga dan kesegaran jasmani.

Hasil yang dicapai dalam program ini adalah terumuskannya konsep kebijakan yang mendukung perkembangan olahraga nasional dan pedoman mekanisme pembinaan olahraga dan kesegaran jasmani. 4.2 Program Pemasyarakatan Olahraga dan Kesegaran Jasmani Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kesegaran jasmani masyarakat dan pelaksanaan kegiatan olahraga termasuk olahraga masyarakat sehingga mendukung pelaksanaan paradigma sehat dan melestarikan olahraga tradisional sebagai potensi budaya nasional. Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh adalah: (1) menyelenggarakan KIE tentang pendidikan jasmani, olahraga rekreasi dan pentingnya olahraga bagi kesegaran jasmani; (2) melaksanakan lomba sekolah sehat dan pengembangan bahan pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah; (3) melaksanakan pembentukan dan pembinaan wadah olahraga yaitu klub olahraga pelajar, dan kelompok berlatih olahraga (KBO); (4) melakukan kegiatan olahraga ekstra kurikuler; (5) melaksanakan invitasi olahraga tradisional; dan (6) meningkatkan peran masyarakat, dunia usaha dan pemerintah daerah dalam mengembangkan sarana dan prasarana olahraga. Hasil yang dicapai dalam program ini antara lain adalah tersusunnya 21 naskah tentang bahan pembelajaran pendidikan jasmani. Bagi para guru dan pembina olahraga di sekolah juga telah tersedia buku pembinaan olahraga SD. Selain itu, bagi sebanyak 234 orang telah diberikan pendidikan dan pelatihan Penjaskes SD dan bagi sebanyak 820 orang juga diberikan pendidikan dan pelatihan teknik pengelolaan kegiatan klub olahraga SD. Sementara itu, untuk beberapa SD dan SMU juga telah tersedia perangkat olahraga dan kesenian. Prasarana dan sarana bagi pengembangan olahraga juga telah dimanfaatkan oleh sekitar 702 SD. Hasil lainnya dalam program ini adalah terbentuknya 650 KBO. Khusus dalam olahraga tradisional, sebanyak 645 orang mengikuti invitasi olahraga tradisional. 4.3 Program Pemanduan Bakat dan Pembibitan Olahraga Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan upaya pemanduan bakat dan pembibitan olahraga sejak usia dini termasuk bagi penyandang cacat terutama di sekolah. Untuk mencapai tujuan tersebut langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh adalah: (1) melakukan bimbingan dan kompetisi olahraga pelajar dalam rangka menanamkan disiplin dan nilai-nilai sportifitas; (2) melakukan penelusuran minat dan bakat olahragawan daerah, serta menyelenggarakan kejuaraan antar Pusat Pendidikan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP); (3) melaksanakan training camp dalam rangka pembinaan dan pembibitan olahragawan pelajar berbakat; (4) menyelenggarakan penataran olahraga bagi pembina dan pelatih wasit; (5) melakukan pelatihan pemanduan bakat dan pembibitan olahraga bagi guru pendidikan jasmani; (6) melakukan KIE dan advokasi bagi olahragawan berbakat; dan (7) meningkatkan kepedulian masyarakat dan dunia usaha untuk mendukung pendanaan olahraga. Hasil yang telah dicapai dalam program ini antara lain adalah sebanyak 654 guru pendidikan jasmani telah diberikan pelatihan tentang pemanduan bakat dan pembibitan olahraga serta peningkatan mutu pemanduan bakat dan pembibitan olahraga. Selain itu, sebanyak 120 orang olahragawan pelajar mengikuti training camp dan 1.081 atlet pelajar ikut serta dalam kejuaraan antar Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) yang merupakan salah satu wadah untuk penelusuran minat dan bakat. 4.4 Program Peningkatan Prestasi Olahraga Program ini bertujuan untuk meningkatkan prestasi olahraga termasuk olahraga bagi penyandang cacat. Untuk mencapai tujuan tersebut langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh adalah: (1) memantapkan prioritas cabang olahraga prestasi di tingkat daerah, nasional, dan internasional; (2) melakukan pemberdayaan PPLP dan SLTP/SMU dalam rangka pembinaan cabang olahraga prestasi prioritas; (3) melakukan pendidikan dan pelatihan bagi atlet termasuk atlet penyandang cacat, serta pelajar dan mahasiswa; (4) menyelenggarakan kompetisi olahraga secara teratur, berjenjang dan berkesinambungan bagi pelajar, mahasiswa, dan masyarakat; (5) melakukan pemberdayaan organisasi olahraga prestasi prioritas di tingkat daerah dan tingkat nasional; (6) menyelenggarakan penataran olahraga bagi pelatih dan wasit dalam rangka peningkatan jumlah dan kualitasnya; (7) melakukan studi

keolahragaan bagi peningkatan iptek dan keahlian pelatih, peneliti, praktisi, dan teknisi olahraga; (8) menyelenggarakan advokasi bagi dunia usaha dan masyarakat untuk mendukung pembinaan olahraga prestasi. Hasil yang dicapai dalam program ini antara lain adalah sebanyak 2.083 atlet termasuk atlet penyandang cacat telah diberikan bekal pengetahuan dan keahlian serta penempaan mental sebagai upaya untuk meningkatkan prestasi mereka. Di samping itu, sebanyak 128 pelatih dan wasit juga telah diberikan pengetahuan sesuai dengan fungsinya. Dalam jangka panjang hasil-hasil ini akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan prestasi olahraga. 4.5 Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Kepemudaan Tujuan program pengembangan dan keserasian kebijakan kepemudaan adalah untuk mewujudkan keserasian kebijakan pemuda di berbagai bidang pembangunan. Untuk mencapai program tersebut langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh adalah: (1) melakukan pengkajian kebijakan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya pemberdayaan pemuda di bidang ekonomi dan bidang sosial budaya serta peraturan perundang-undangan yang menghambat kesempatan berkreasi bagi pemuda; (2) melakukan pengembangan berbagai materi KIE dan advokasi bagi pemuda; (3) melakukan pengintegrasian kebijakan pembangunan kepemudaan ke dalam berbagai kebijakan pemuda lainnya secara terpadu baik di tingkat nasional maupun daerah. Pelaksanaan langkah kebijakan dalam program ini telah menghasilkan 12 kajian kebijaksanaan pembangunan di bidang kepemudaan meliputi antara lain kajian pengembangan sentra pemberdayaan pemuda nasional, regional, dan lokal; evaluasi dan pengembangan Sentra Pemberdayaan Pemuda; kajian kebijakan penanggulangan kenakalan remaja dan tawuran pelajar; dan kajian kebijakan penanggulangan penyalahgunaan narkoba, minuman keras, dan HIV/AIDS. Hasil penelitian dan pengkajian tersebut merupakan masukan dalam merumuskan strategi dan kebijakan pembangunan pemuda secara tepat, di samping merupakan informasi untuk keperluan analisis dan penilaian pelaksanaan pembangunan pemuda serta analisis kecenderungan perkembangan-perkembangan baru di bidang kepemudaan. 4.6 Program Peningkatan Partisipasi Pemuda Tujuan program ini adalah untuk memberi peluang yang lebih besar kepada pemuda guna memperkuat jati diri dan potensinya dengan berpartisipasi aktif dalam pembangunan termasuk upaya penanggulangan berbagai masalah pemuda. Untuk mencapai tujuan tersebut langkah-langkah kebijakan yang telah dilakukan dikelompokkan ke dalam tiga bidang, yaitu ekonomi, agama, dan sosial budaya. Di bidang ekonomi langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh adalah: (1) melaksanakan pemberdayaan pondok pemuda; (2) meningkatkan keterampilan pertanian terpadu di Pusat Latihan Pengembangan Pemuda Rajabasalama di Lampung; (3) melaksanakan magang usaha bagi pemuda; (4) mengembangkan kelompok usaha pemuda produktif; (5) melakukan pelatihan manajemen usaha pemuda; (6) melaksanakan pengerahan pemuda terdidik ke perdesaan; (7) meningkatkan kemampuan pemuda dalam komunikasi negosiasi dan kerja sama terutama yang menggunakan bahasa asing; (8) meningkatkan kemampuan produksi dan pemasaran produk unggulan dari berbagai usaha pemuda yang berorientasi ekspor; (9) melaksanakan pendidikan dan pelatihan iptek dan informatika bagi pemuda; (10) melaksanakan pelatihan pengelolaan lingkungan hidup dan pelestarian sumber daya alam. Di bidang agama dan sosial budaya langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh adalah: (1) memperluas kesempatan dalam berorganisasi dan berkreasi bagi pemuda secara bebas dan bertanggung jawab; (2) meningkatkan apresiasi seni dan budaya bangsa di kalangan pemuda; (3) mengembangkan jaringan kerja sama pemuda antardaerah dan antarbangsa; (4) melaksanakan penyuluhan dan kampanye tentang dampak negatif budaya asing; (5) melaksanakan pertukaran pemuda antarpropinsi dan penyelenggaraan Kemah Kerja Pemuda; (6) meningkatkan peran aktif pemuda dalam penanggulangan

masalah penyalahgunaan NAPZA dan miras serta penyebaran penyakit HIV/AIDS dan penyakit menular seksual di kalangan pemuda; (7) meningkatkan peran aktif pemuda dalam penanggulangan kriminalitas termasuk di kalangan pelajar dan pemuda; (8) memberikan pemahaman, penanaman nilai-nilai, penghormatan terhadap supremasi hukum dan hak asasi manusia (HAM) bagi pemuda; dan (9) melatih tenaga pembina rohani organisasi kepemudaan dan sarasehan agamawan muda. Hasil-hasil yang telah dicapai dalam pembangunan pemuda di bidang ekonomi antara lain adalah sebanyak 215 pemuda telah menjalani pengembangan kelompok usaha pemuda produktif, serta sekitar 3.160 orang Sarjana Penggerak Pembangunan Perdesaan telah mendapatkan pelatihan manajemen usaha, dan 1.090 orang pemuda mendapatkan pelatihan ketrampilan manajeman usaha dan bantuan modal usaha. Sebanyak 360 orang pemuda telah menerima pendidikan dan pelatihan iptek dan informatika dalam upaya untuk meningkatkan kesadaran pemuda akan manfaat dan penggunaan iptek dan informatika di bidang ekonomi.