definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

33
I. PENDAHULUAN Metode kontrasepsi hormonal pada pria belum banyak kita kenal dan belum memasyarakat sebagai salah satu metode kontrasepsi, dibandingkan metode kontrasepsi pada wanita yang sudah dikenal dan diterima secara luas. Walaupun penelitian-penelitian sudah banyak dilakukan tentang kontrasepsi hormonal pada pria, disamping kontrasepsi dengan memakai kondom atau dengan melakukan vasektomi. 1,2 Pria merupakan fokus baru untuk program KB yang selama ini belum banyak diperhatikan. Kontrasepsi pria mempunyai harapan perkembangan yang cukup luas di masa datang, dengan ditemukannya hasil penelitian baru. WHO sebagai badan kesehatan dunia telah membentuk suatu Task Force untuk mencari atau mengembangkan metode pengaturan kesuburan pria yang aman, efektif, reversibel dan dapat diterima, serta memonitor keamanan dan efektifitas metode yang ada. 2,3 Secara garis besar cara kontrasepsi pria dapat dibagi menjadi cara mekanis dan cara medikamentosa. Secara mekanis dengan pemakaian kondom dan secara operatif dengan vasektomi. Salah satu cara pengaturan kesuburan pria dengan cara medikamentosa adalah dengan hormon. Sampai saat ini telah diketahui beberapa hormon yang dapat menekan produksi spermatozoa, antara lain analog gonadotropin releasing hormon (GnRH), hormon steroid seperti androgen, progestin dan estrogen. Beberapa jenis androgen yang mudah diperoleh dan diketahui dapat

description

menjelaskan definsi dan faal hormon testosteron

Transcript of definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

Page 1: definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

I. PENDAHULUAN

Metode kontrasepsi hormonal pada pria belum banyak kita kenal dan belum

memasyarakat sebagai salah satu metode kontrasepsi, dibandingkan metode

kontrasepsi pada wanita yang sudah dikenal dan diterima secara luas.

Walaupun penelitian-penelitian sudah banyak dilakukan tentang kontrasepsi

hormonal pada pria, disamping kontrasepsi dengan memakai kondom atau

dengan melakukan vasektomi.1,2

Pria merupakan fokus baru untuk program KB yang selama ini belum

banyak diperhatikan. Kontrasepsi pria mempunyai harapan perkembangan

yang cukup luas di masa datang, dengan ditemukannya hasil penelitian baru.

WHO sebagai badan kesehatan dunia telah membentuk suatu Task Force

untuk mencari atau mengembangkan metode pengaturan kesuburan pria yang

aman, efektif, reversibel dan dapat diterima, serta memonitor keamanan dan

efektifitas metode yang ada.2,3

Secara garis besar cara kontrasepsi pria dapat dibagi menjadi cara mekanis

dan cara medikamentosa. Secara mekanis dengan pemakaian kondom dan

secara operatif dengan vasektomi. Salah satu cara pengaturan kesuburan pria

dengan cara medikamentosa adalah dengan hormon. Sampai saat ini telah

diketahui beberapa hormon yang dapat menekan produksi spermatozoa, antara

lain analog gonadotropin releasing hormon (GnRH), hormon steroid seperti

androgen, progestin dan estrogen. Beberapa jenis androgen yang mudah

diperoleh dan diketahui dapat menekan spermatogenesis, misalnya testosteron

enanthate (TE) dan 19 nortestosteron (nandrolon).1,2,3,4

Kadar testosteron yang normal dalam darah berfungsi memelihara dan

mempertahankan spermatogenesis. Sebaliknya kadar testosteron yang tinggi

diatas kadar fisiologis akan menghambat spermatogenesis. Akibatnya terjadi

oligozoospermia atau azoospermia. Hal ini menjadi dasar pemikiran

perkembangan kontrasepsi pada pria.2

Page 2: definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

2

Kontrasepsi hormonal pria lebih sulit dilakukan untuk menekan produksi

sperma dibandingkan dengan kontrasepsi hormonal pada wanita. Secara teori

lebih mudah menekan ovulasi pada wanita sebulan sekali dari pada menekan

produksi sperma yang diproduksi terus menerus. Produksi sperma tergantung

dari stimulasi gonadotropin terus menerus, bila ingin menekan sekresi

gonadotropin diperlukan dosis steroid seks yang tinggi.1,4

Tujuan penulisan referat ini untuk dapat memberikan informasi dan

pengetahuan arah pengembangan kontrasepsi testosteron yang dapat

menyebabkan azoospermia dan oligozoospermia pada pria normal.

II. SPERMATOGENESIS

Di dalam testis terjadi proses spermatogenesis yaitu proses terbentuknya

spermatozoa sel primordial. Di dalam proses spermatogenesis termasuk pula

proses spermiogenesis yaitu perubahan dari spermatid menjadi spermatozoa.

Proses spermatogenesis ini terjadi di dalam tubulus semineferus.

Spermatogenesis yang baik juga tergantung pada bentuk, besar, konsistensi

dan kedudukan testis dalam skrotum.5,6

Tubulus semineferus yang berbentuk kumparan-kumparan terdiri atas

sejumlah besar epitel germinal yang disebut dengan spermatogonia, terletak

didua sampai tiga lapisan sepanjang perbatasan luar epitel tubulus. Jaringan

diantara tubulus mengandung jaringan ikat yang berisi pembuluh darah, limfe

dan sel Leydig. Bagian tepi tubulus semineferus tersusun oleh jaringan epitel

yang berasal dari sel primordial pada masa embrio, dan sel-sel Sertoli yang

berfungsi sebagai penyokong dan pemelihara. 5,6

Page 3: definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

3

Gambar 1: Potongan tubulus seminiferus testis manusia. Dikutip dari Rosenfield 9

Pada masa puber seorang pria mulai terjadi proses spermatogenesis secara

teratur. Sel primordial yang bersifat diploid mengalami pembelahan miotik

dan menjadi besar dinamakan spermatogonium. Spermatogonium akan

tumbuh menjadi spermatocyt I yang segera mengalami pembelahan miotik

menjadi spermatocyt II yang haploid, dan selanjutnya akan menghasilkan 4

buah spermatid pada akhir proses miosis.5,6

Setelah mengalami proses spermiogenesis (deferensiasi dan maturasi)

lebih lanjut spermatid akan menjadi spermatozoa. Jadi dari satu sel

spermatogenium yang 2 n pada akhir spermatogenesis akan menghasilkan 4

buah spermazoa yang 1 n. proses ini terjadi secara teratur dan membutuhkan

waktu kurang lebih 74 ± 5 hari.5,6

Page 4: definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

4

Gambar 2: Diagram pembentukan spermatozoa dari 1 spermatogonium. Dikutip dari

Rosenfield 9

III. PERAN HORMON PADA SPERMATOGENESIS

Proses spermatogenesis dipengaruhi oleh hormon-hormon yang dihasilkan

oleh organ hipothalamus, hipofise dan testis sendiri. Hormon yang terlibat

adalah testosteron, hormon lutein (LH), hormon perangsang folikel (FSH:

follicle stimulating hormone), estrogen, dan hormon pertumbuhan

lainnya.6,7,8,9

Testis selain sebagai organ penghasil sperma juga menghasilkan hormon-

hormon seperti testosteron, dihydrotestosteron, estradiol, estrone,

pregnenolone, 17-hydroxypregnenolone, 5-androstenadiol, 17-hyroxy

progestrone dan progestrone. Hormon-hormon ini selain testosteron tidak jelas

apakah diproduksi oleh sel Leydig atau oleh sel-sel dari tubulus

seminiferus.6,7,8,9

Page 5: definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

5

Gambar 3: Kontrol endokrin pada spermatogenesis. Dikutip dari Speroff8

A. Testosteron

Sekresi hormon ini oleh sel-sel Leydig yang terletak diintersisium testis.

Hormon ini memegang peranan penting pada satu tahap penting proses

pembelahan sel-sel germinal untuk pembentukan sperma, terutama

pembelahan miosis untuk membentuk spermatosit sekunder. Hormon ini

Page 6: definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

6

mengontrol perkembangan organ reproduksi pria dan tanda seks sekunder

pada pria berupa pembesaran laring, perubahan suara, pertumbuhan

rambut ketiak,pubis, dada, kumis dan jenggot. Juga untuk pertumbuhan

otot dan tulang.

B. Hormon Lutein

Hormon ini disekresikan oleh sel karminofil dari kelenjar hipofisis bagian

anterior. Berperan dalam stimulasi sel-sel Leydig untuk meproduksi

testosteron, juga menyebabkan dihasilkannya estradiol.

C. FSH

Dihasilkan oleh sel basofil lobus anterior hipofise. Pada testis hormon ini

mengakibatkan terpacunya adenyl cyclase di dalam sel sertoli yang

berperan dalam meningkatkan produksi cyclic AMP, memacu produksi

androgen binding protein (ABP) di dalam tubuli semeniferus dan di dalan

epididymis. Dengan demikian FSH bekerja menyiapkan kadar androgen

yang cukup untuk sel germinal dan memacu pendewasaan spermatozoa di

dalam epididymis.

D. Estrogen

Dibentuk oleh sel-sel sertoli ketika sedang distimulasi oleh FSH. Hormon

ini kemungkinan diperlukan pada proses spermiasi. Sel-sel sertoli juga

mengsekresikan suatu protein pengikat androgen. Yang mengikat baik

testosteron dan estrogen maupun keduanya ke dalam cairan tubulus

seminiferus, yang diperlukan untuk maturasi sperma.

E. Hormon pertumbuhan lainnya

Seperti juga pada sebagian besar hormon lainnya diperlukan untuk

mengatur latarbelakang fungsi metabolisme testis. Hormon pertumbuhan

secara khusus meningkatkan pembelahan awal spermatogenesis.

Page 7: definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

7

IV. PERANAN TESTOSTERON PADA SPERMATOGENESIS 5,6,9

Pada pria testorsteron merupakan androgen utama dalam system peredaran.

Biosintesis testosteron berlangsung dalam sel Leydig di jaringan inter tubuler,

sedangkan proses spermatogenesis berlangsung dalam epitel tubulus

semineferus. Di dalam tubulus semineferus , testosteron berfungsi dalam

mengontrol proses spermatogenesis pada pembelahan miosis dan proses

spermiogenesis. Hormon lain yang berhubungan dengan spermatogenesis

adalah FSH dan LH. FSH bekerja langsung pada epitel germinal atau melalui

sel Sertoli, sedangkan LH berpengaruh pada sel Leydig untuk memproduksi

testosteron.

GnRH dari hipotalamus merangsang hipofisis untuk melepaskan FSH dan

LH. FSH bekerja pada sel germinal untuk memulai proliferasi dan diferensiasi

serta meningkatkan sensitifitas sel Leydig terhadap LH untuk memproduksi

testosteron (steroidogenesis). Testosteron dan FSH secara sinergis diperlukan

secara normal untuk proses spermatogenesis.

Testosteron bekerja pada sel sertoli untuk menghasilkan zat gizi yang

diperlukan dalam proliferasi dan diferensiasi sel germinal untuk membentuk

spermatozoa yang fungsional. Disamping itu testosteron yang berdifusi ke sel

peritubuler diperlukan untuk menghasilkan faktor pemacu sel sertoli (P-mod-

S) yang penting untuk meningkatkan aktifitas sel sertoli untuk menghasilkan

zat-zat gizi bagi sel germinal.

Page 8: definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

8

V. TESTOSTERON SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN

KONTRASEPSI PRIA

Metoda kontrasepsi hormonal bertujuan untuk mengurangi atau mencegah

produksi spermatozoa secara reversibel yaitu hambatan sekresi gonadotropin

sehingga kadar testosteron intra-testikuler menjadi rendah. Pemberian

testosteron dari luar ditambah dengan produksi hormon testosteron dari tubuh

menyebabkan testosteron dalam darah tinggi. Hal ini akan menyebabkan

mekanisme umpan balik negatif terhadap hipofisis sehingga produksi LH dan

FSH menurun. Penurunan kadar FSH dan LH akan menghambat proses

spermatogenesis. Oleh karena itu testosteron dapat diharapkan sebagai bahan

kontrasepsi karena sangat efektif untuk menginduksi terjadinya azoospermia

dan oligozoospermia.10

Meskipun produksi spermatozoa turun 95% pada relawan yang mendapat

injeksi testosteron dosis suprafisiologis, tetapi tidak semua relawan menjadi

azoospermia. Hasil penelitian dari berbagai tempat menunjukkan azoospermia

dicapai setelah pemberian TE. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan

testosteron plasma 40% di atas normal.

Untuk lebih meningkatkan efektifitas testosteron menurunkan produksi

sperma sampai mencapai azoospermia, digunakan kombinasi androgen/

testosteron dengan progesteron. Progestron digunakan untuk kontrasepsi

wanita karena dapat menekan gonadotropin. Mekanisme kerja inilah yang

dipakai pada kontrasepsi pria untuk menekan gonadotropin, sehingga dapat

menekan produksi sperma.10

Page 9: definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

9

VI. KEAMPUHAN TESTOSTERON SEBAGAI KONTRASEPSI

Penelitian pendahuluan dengan menggunakan injeksi testosteron propionat

dengan dosis 25 mg perhari telah diteliti oleh Reddy dan Rao. Mereka

mempelajari dengan penyuntikan tersebut dapat menjadikan pria menjadi

oligozoospermia sampai menjadi azoospermia.

Berbagai penelitian lainnya telah dilakukan sejak tahun 1970-an untuk

menekan produksi sperma dengan menggunakan testosteron. Pada tahun 1990

WHO mempublikasikan hasil penelitian keampuhan TE untuk kontrasepsi

hormon pada pria. Peneltian dilakukan di 10 pusat penelitian andrologi di 7

negara dengan menyuntikkan 200 mg TE tiap minggu pada 271 relawan. Pria

fertile yang disuntik TE mencapai azoospermia selama 6 bulan dan diteruskan

selama 1 tahun fase keampuhan. Dari 157 pria azospermia yang memasuki

fase keampuhan ternyata 1 orang pasangan mereka yang hamil (0,8%). Hal ini

menunjukkan bahwa bila pemberian testosteron menyebabkan azospermia

keampuhannya lebih besar daripada kontrasepsi wanita, tetapi hanya 70% pria

yang menjadi azospermia.10,11,12

Untuk mengetahui apakah penurunan sperma sehingga mencapai kurang

dari 5 juta/ml, ampuh sebagai kontrasepsi pria, WHO mengkoordinasikan

penelitian selanjutnya. Pada tahun 1996 WHO mempublikasikan hasil

penelitian keampuhan TE sebagai kontrasepsi pria yang dilakukan oleh 15

pusat penelitian andrologi di 9 negara, yaitu 6 pusat penelitian di Asia dan 9

pusat penelitian di Eropa. Amerika dan Australia. Pada penelitian multisenter

ini ternyata jika penyuntikan 200 mg TE tiap minggu menyebabkan

penurunan konsentrasi < 5 juta/ml. Pada konsentrasi sperma < 5 juta/.ml,

terjadi kehamilan pasangannya 15,9 %, sehingga keampuhan kontrasepsi ini

lebih kecil dibandingkan kondom karena pemakaian kontrasepsi kondom

kehamilan yang terjadi 12%. Sebagian besar kehamilan terjadi pada suami

yang mempunyai konsentrasi sperma 4-5 juta/ml. Oleh karena itu nilai dasar

Page 10: definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

10

keampuhan diturunkan dari 5 juta/ml ke konsentrasi sperma , 3 juta/ml . Hal

ini dilakukan supaya keampuhan TE sebagai kontrasepsi pria sebanding

dengan kontrasepsi wanita. Perlu ditambahkan bahwa suatu kontrasepsi

dikatakan ampuh bila angka kegagalan dimana terjadi kehamilan kurang

dari 3%.12

Ternyata jika konsentrasi sperma mencapai 3 juta/ml, keampuhan TE

sebagai kontrasepsi lebih besar dari pada kontrasepsi wanita, terutama

kontrasepsi hormonal secara oral. Dengan rincian kehamilan 1,4% pada

pemakaian TE dan 3% dengan kontrasepsi hormonal pada wanita secara oral.

Namun jika dibandingkan dengan antara TE sebagai kontrasepsi pria ternyata

keampuhannya lebih kecil dibandingkan dengan pemakaian IUD sebagai

kontrasepsi wanita (kegagalan 1%). Pada penelitian multisenter di 98% pria

relawan mancapai konsentrasi sperma <3 juta/ml. Kehamilan pada

pasangannya sekitar 1,4% pada pria yang mencapai azospermia dan

oligozoospermia dengan konsentrasi sperma 0-3 juta/ml. Dengan perincian

jika terjadi azospermia kehamilan 0% dan bila konsentrasi sperma antara 0-3

juta/ml kehamilan sekitar 8,1%.12

Pada penelitian multisenter tersebut menunjukkan bahwa pria dari Asia

berbeda dengan pria non Asia, dalam responnya terhadap testosteron. Pada

pria Asia azospermia terjadi lebih cepat dibandingkan dengan non Asia, yaitu

91 hari (nilai median) dihitung dari penyuntikan TE pertama kali sedangkan

pria non Asia 112 hari. Tetapi terjadi oligozoospermia lebih lama pada pria

Asia (77 hari) diandingkan dengan non Asia (57 hari), untuk konsentrasi

sperma 3 juta/ml. Pria fertile yang disuntik TE menjadi azospermia pada pria

Asia 109 dari 115 pria (95%) dan pria non Asia 159 dari 134 (68%). 12

Page 11: definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

11

Untuk terjadi peningkatan sperma kembali konsentrasi normal 20 juta/ml

antara pria Asia dan prioa non Asia ada perbedaan. Pada pria Asia setelah 1

tahun fase keampuhan dan dihentikan penyuntikan TE, terjadi peningkatan

sperma kembali lebih lambat dari pria Asia yaitu 126 hari, sedangkan pria non

Asia 105 hari.

Pada pria relawan akan terjadi kenaikan berat badan, hemoglobin,

kreatinin, estradiol serta penurunan ukuran testis, tetapi hal ini kembali lagi

pada ukuran semula setelah penyuntikan dihentikan.

Dengan melihat hasil penelitian multisenter ini penyuntikan TE setiap

minggu sekali ternyata cukup efektif untuk pria Asia, sehingga penggunaan

TE sebagai kontrasepsi untuk pria Asia akan lebih efektif karena terjadi nya

azospermia pada pria Asia lebih besar dibandingkan dengan pri non Asia.

Sehingga pada pemakaian kontrasepsi TE di Indonesia kadar keampuhannya

lebih besar.12,14

Kontrasepsi pria yang ideal adalah aman, efektif, reversibel dan dapat

diterima. Pemakaian TE dapat dikatakan aman karena mempunyai efek

samping yang minimum. Penyuntikan TE sebagai penurunan kesuburan pria

adalah efektif dengan angka kegagalan terjadi kehamilan pada pasangannya

<3%. Sehingga keampuhannya sebanding dengan kontrasepsi wanita. Bila

penyuntikan TE dihentikan akan terjadi peningkatan sperma kembali sampai

konsentrasi >20 juta/ml. Sehingga penyuntikan TE bersifat reversible. Hanya

sayangnya penyuntikan tiap minggu tidak praktis untuk dipakai sebagai

kontrasepsi pria sehingga belum dapat diterima masyarakat.

Pada pemberian regimen secara oral dengan menggabungkan cyproterone

asetat dengan testosterone undecanoate telah diteliti oleh Meringgiola, dkk di

bagian Obstetrik dan Ginekologi, unit reproduktif kedokteran, Universitas

Bologna, Italia pada tahun 1997. Mereka meneliti terhadap delapan pria kulit

putih fertil dengan usia antara 25-42 tahun dengan pemberian 80 mg T

Page 12: definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

12

undecanoate dengan dosis 2 kali sehari dan cyproteron asetat 12,5 mg 2 kali

sehari. 1 orang pria menjadi azoospermia pada minggu ke sepuluh sampai

dihentikannya pemberian regimen oral ini. Sedangkan 5 pria lainnya

menghasilkan 0,1 sampai 2,5 juta/ml, dan dua lainnya mempunyai konsentrasi

azoosperma 5 dan 6 juta/ml. Mereka juga meneliti tentang pengaruh hormon

terhadap kadar LH, FSH dan testosteron. Dimana didapatkan penurunan kadar

hormon-hormon tersebut secara bermakna.14

Gambar: Konsentrasi sperma dengan pemberian kontrasepsi oral kombinasi cyproterone

asetat dengan testosterone undecanoate. Dikutip dari Meriggiola 13

Pada penelitian ini didapatkan efektifitas dari kontrasepsi oral dengan

menggunakan kombinasi cyproterone asetat dengan testosteron undecanoate

pada pria cukup bermakna menekan produksi sperma. Semua pria yang

mengikuti penelitian ini menunjukkan kadar sperma yang menurun, walaupun

hanya satu pria yang menjadi azoospermia.

Page 13: definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

13

Gambar: Rata-rata serum LH, FSH dan Testosteron. Dikutip dari Meriggiola 13

Untuk mengetahui adanya efek samping dari kombinasi kontrasepsi oral ini

dilakukan pemeriksaan hematologik sebelum, selama dan sesudah pemberian

regimen. Hasilnya tidak ada perbedaan bermakna secara statistik perubahan

hasil pemeriksaan tersebut. Juga tidak ada perubahan bermakna terhadap berat

badan, tetapi volume testis menurun pada semua subyek penelitian.

Sayangnya penelitian ini tidak melakukan penelitian lanjutan mengenai efek

Page 14: definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

14

samping jangka panjang terhadap efek metabolik termasuk metabolisme

tulang, kekuatan otot, dan beberapa aspek fungsi seksual.

Hasil penelitian ini memberikan harapan yang luas untuk pemakaian

kombinasi kontrasepsi oral pada pria. Hal ini perlu mendapat perhatian

terhadap perkembangannya dengan ditemukannya efektifitas yang cukup

tinggi dan tidak ditemukannya efek samping yang berbahaya. Penelitian

lanjutan perlu dilakukan untuk melihat efek jangka panjang dan untuk

pengembangan kontrasepsi tersebut sehingga bisa diterima oleh masyarakat

secara luas.

VII. PENGGUNAAN TESTOSTERON DENGAN DAYA KERJA JANGKA

PANJANG

Karena penyuntikan TE tiap minggu dipandang tidak praktis untuk

penggunaan kontrasepsi pria, maka perlu dicari testosteron dengan daya kerja

jangka panjang. Salah satu testosteron dengan daya kerja jangka panjang

yang sedang dikembangkan adalah testosteron busiklat. Testosteron ini telah

digunakan untuk pengobatan pria dengan hipogonadisme yang hasilnya

menunjukkan bahwa injeksi dosis tunggal 600 mg dapat meningkatkan kadar

androgen plasma secara bermakna, dan dipertahankan pada kadar normal

selama 12 minggu., Dari analisis farmakokinetik terlihat bahwa waktu paruh

testosteron busiklat dalam uji klinik 29,5 hari dan bioaktifitasnya rata –rata 65

hari.12,14

Pada penelitian pria di Indonesia dengan penyuntikan tiap bulan depot-

medroxyprogesteron acetat (DMPA, 200 mg atau 100 mg) dan testosteron

enanthate (250 mg atau 100 mg) dapat menyebabkan supresi spermatogenesis

sampai azoospermia pada 19 dari 20 pria Indonesia. Pada lima senter

penelitian telah dibandingkan dua androgen yaitu testosteron enanthane dan

long acting 19-nortestosteron-hexyl-oxyphenylpropionate yang dikombinasi

Page 15: definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

15

dengan DMPA. Penelitian ini meperlihatkan kedua androgen tersebut

menyebabkan azoospermia lebih 97% selama enam bulan pemberian obat.

Penggunaan kombinasi testosteron/androgen dengan progestrone telah

diteliti, tetapi hanya 70% pria non Asia yang mencapai azospermia selama 6

bulan. Namun penelitian pada 20 orang Indonesia selama 3 bulan dengan

penyuntikan kombinasi TE dan DMPA tiap bulan memakai dosis tinggi dan

rendah, semua pria tersebut mencapai azospermia. Dari penelitian selanjutnya

yang telah dilakukan membuktikan bahwa penyuntikan TE dan DMPA dosis

tinggi tiap bulan dapat mempertahankan azospermia pada pria Indonesia

selama lebih dari 1 tahun dan bersifat reversible.

Penggunaan testosteron dengan daya kerja jangka panjang lainnya ialah

testosteron implan, dikenal sebgai metode lepas lambat. Disini terjadi

pelepasan testosteron kedalam sirkulasi darah secara bertahap, sehingga kadar

testosteron yang tinggi dapat dipertahankan lebih lama. Walaupun testosteron

implan lebih efektif untuk mencapai azospermia tetapi dalam pemakaiannya

masih sulit diterima. Testosteron jangka panjang jenis lain adalah testosteron

undecanoate (TU). Penelitian tentang TU sedang dilakukan di negara Jerman

dan Cina dan akan dilakukan di Indonesia.1,10

Kontrasepsi dengan metode implan ini telah diteliti dengan menggunakan

peneltian pendahuluan pada tikus dan kelinci percobaan. Dapat digunakan

sebagai kontrasepsi yang efektif, non toksik, dapat menekan fertilitas dan

bersifat reversibel. Pada penelitian kepada pria dewasa sehat yang fertil

dengan pemberian 7α-methyl-19-nortestosterone secara transdermal dapat

diberikan sebagai kontrasepsi pada pria tanpa mempengaruhi libido dan

karakteristik seks sekunder.

Page 16: definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

16

VIII. KEAMANAN METODE KONTRASEPSI HORMONAL PRIA

Penggunaan kontrasepsi hormonal pada pria perlu mendapat perhatian untuk

keamanan pemakaiannya seperti juga pada kontrasepsi pada wanita. Seleksi

testosteron enanthate selama 30 tahun pengalaman klinik sebagai kontrasepsi

hormonal pada pria yang aman. Dengan pemberian yang hati-hati dan

monitoring dengan pemeriksaan laboratorium klinik dilakukan untuk

mengetahui status pasien secara keseluruhan, merupakan suatu protokol

pemberian kontrasepsi hormonal pada pria. Pengaruh terhadap libido dan

karakteristik sex sekunder harus diperhatikan. Kadang-kadang pada keadaan

tertentu dimana diperlukan pemeriksaan khusus dengan prosedur tertentu

termasuk ukuran prostat dengan ultrasound atau pemeriksaan antigen prostat

spesifik.1,10

IX. RINGKASAN

1. Pria merupakan fokus baru untuk program KB yang selama ini belum

banyak diperhatikan. Kontrasepsi pada pria selain dengan metode mekanik

yaitu dengan metode hormonal sudah banyak dilakukan penelitian.

2. Testosteron dan FSH secara sinergis diperlukan secara normal untuk

proses spermatogenesis. Pada kadar yang tinggi di dalam darah

menyebabkan terjadi umpan balik negatif sehingga terjadi penekanan

produksi sperma. Dasar inilah yang dipakai pada metode kontrasepsi

hormonal pada pria.

3. Kontrasepsi pria dengan suntikan depot-medroxyprogesteron acetat

(DMPA, 200 mg atau 100 mg) dan testosteron enanthate (250 mg atau 100

mg) dapat menyebabkan supresi spermatogenesis sampai azoospermia.

4. Pemakaian testosteron implan dengan daya kerja jangka panjang masih

sulit diterima sebagai metode kontrasepsi pada pria, walaupun memiliki

efektifitas yang cukup tinggi.

Page 17: definisi, struktur, fungsi dari hormon testosteron.doc

17

5. Kontrasepsi pria dengan secara oral dengan menggunakan cyproterone

asetat dengan testosterone undecanoate juga sudah dibuktikan baik untuk

kontrasepsi hormonal pada pria tetapi penelitian jangka panjang mengenai

efek samping perlu dilaksanakan.

X. RUJUKAN

1. Baziad A. Kontrasepsi hormonal. Edisi pertama. Jakarta, Bina Pustaka 2002:98-1022. Handelsman DJ. A hormonal male contraceptive: from wish to reality. Med Journ of Aust

2000;176:204-2053. Wu FC, Farley TM, Peregoudov A, Waites GM. Effects of testosterone enanthate in

normal men: experience from a multicenter contraceptive efficacy study. Fertility and Sterility 1996;65:626-635

4. Waites GMH. Male contraception: recent developments. Special programme research, development and research training in human reproduction. Switzerland, WHO. 1996:1-8

5. Arsyad KM. Reproduksi. Dalam: Gadjahnata KHO. Biologi Kedokteran. Bogor, Lembaga Sumber Daya IPB. 1989:229-277

6. Guyton AC. Fungsi reproduksi dan hormonal pria. Jakarta, EGC. 1994: 309-3247. Malley BW, Strofat CA. Steroid hormon: metabolism and mechanism of action. In: Yen

SC, Jaffe RB. Reproductive endocrinology. 3rd ed. Philadelphia, Saunders WB 1991:8. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Clinical gynecologic endocrinology and infertility. 6th ed.

Philadelphia, William and Wilkins L. 1999:1075-10969. Rosenfiel A, Fathalla MA. Reproductive physiology. New Jersey, The Parthenon

publishing group. 1997 ; 1:55-6910. Reddy PR. Hormonal contraception for human males: prospects. Asian J Androl 2000; 2:

46-5011. Handelsman DJ, Farley TMM, Waites GMH. Factors in nonuniform induction of

azoospermia by testosteron enanthate in normal men. Fertility and Sterility 1995; 63:125-133

12. Wu FC, Aitken RJ. Suppression of sperm function by depot medroxyprogesterone acetate and testosterone ananthate in steroid male contraception. Fertility and Sterility 1989; 51:691-697

13. Meriggiola MC, Bremner WJ, Constantino A, et all. An oral regimen of cyproterone acetate and testosterone undecanoat for spermatogenic suppression in men. Fertility and Sterility 1997; 68: 844-850

14. Houten ME, Gooren LJ. Differences in reproductive endocrinology between asian man and Caucasian men : a literature review. Asian J Androl 2000; 2: 13-20