DEFINISI EKOWISATA

40
DEFINISI EKOWISATA Apa yang disebut dengan ekowisata atau sering juga ditulis atau disebut dengan ekoturisme, wisata ekologi, ecotoursism, eco-tourism, eco tourism, eco tour, eco-tour dsb? Rumusan 'ecotourism' sebenarnya sudah ada sejak 1987 yang dikemukakan oleh Hector Ceballos-Lascurain yaitu sbb: "Nature or ecotourism can be defined as tourism that consist in travelling to relatively undisturbed or uncontaminated natural areas with the specific objectives of studying, admiring, and enjoying the scenery and its wild plantas and animals, as well as any existing cultural manifestations (both past and present) found in the areas." "Wisata alam atau pariwisata ekologis adalah perjalanan ketempat-tempat alami yang relatif masih belum terganggu atau terkontaminasi (tercemari) dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini." Rumusan di atas hanyalah penggambaran tentan kegiatan wisata alam biasa. Rumusan ini kemudian disempurnakan oleh The International Ecotourism Society (TIES) pada awal tahun 1990 yaitu sebagai berikut: "Ecotourism is responsible travel to natural areas which conserved the environment and improves the welfare of local people." "Ekowisata adalah perjalanan yang bertanggung jawab ketempat- tempat yang alami dengan menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahtraan penduduk setempat”. Definisi ini sebenarnya hampir sama dengan yang diberikan oleh Hector Ceballos-Lascurain yaitu sama-sama menggambarkan kegiatan wisata di alam terbuka, hanya saja menurut TIES dalam kegiatan ekowisata terkandung unsur-unsur kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahtraan penduduk setempat. Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan pontensi sumber-sumber alam dan budaya untuk dijadikan sebagai sumber

description

ekowisata

Transcript of DEFINISI EKOWISATA

DEFINISI EKOWISATAApa yang disebut dengan ekowisata atau sering juga ditulis atau disebut dengan ekoturisme, wisata ekologi, ecotoursism, eco-tourism, eco tourism, eco tour, eco-tour dsb?Rumusan 'ecotourism' sebenarnya sudah ada sejak 1987 yang dikemukakan oleh Hector Ceballos-Lascurain yaitu sbb:"Nature or ecotourism can be defined as tourism that consist in travelling to relatively undisturbed or uncontaminated natural areas with the specific objectives of studying, admiring, and enjoying the scenery and its wild plantas and animals, as well as any existing cultural manifestations (both past and present) found in the areas.""Wisata alam atau pariwisata ekologis adalah perjalanan ketempat-tempat alami yang relatif masih belum terganggu atau terkontaminasi (tercemari) dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini."Rumusan di atas hanyalah penggambaran tentan kegiatan wisata alam biasa. Rumusan ini kemudian disempurnakan oleh The International Ecotourism Society (TIES) pada awal tahun 1990 yaitu sebagai berikut:"Ecotourism is responsible travel to natural areas which conserved the environment and improves the welfare of local people.""Ekowisata adalah perjalanan yang bertanggung jawab ketempat-tempat yang alami dengan menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahtraan penduduk setempat. Definisi ini sebenarnya hampir sama dengan yang diberikan oleh Hector Ceballos-Lascurain yaitu sama-sama menggambarkan kegiatan wisata di alam terbuka, hanya saja menurut TIES dalam kegiatan ekowisata terkandung unsur-unsur kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahtraan penduduk setempat. Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan pontensi sumber-sumber alam dan budaya untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan. Dengan kata lain ekowisata adalah kegiatan wisata alam plus plus. Definisi di atas telah telah diterima luas oleh para pelaku ekowisata.Adanya unsur plus plus di atas yaitu kepudulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahtraan masyarakat setempat ditimbulkan oleh:1. Kekuatiran akan makin rusaknya lingkungan oleh pembangunan yang bersifat eksploatatif terhadap sumber daya alam. 2. Asumsi bahwa pariwisata membutuhkan lingkungan yang baik dan sehat. 3. Kelestarian lingkungan tidak mungkin dijaga tanpa partisipasi aktif masyarakat setempat. 4. Partisipasi masyarakat lokal akan timbul jika mereka dapat memperoleh manfaat ekonomi ('economical benefit') dari lingkungan yang lestari. 5. Kehadiran wisatawan (khususnya ekowisatawan) ke tempat-tempat yang masih alami itu memberikan peluas bagi penduduk setempat untuk mendapatkan penghasilan alternatif dengan menjadi pemandu wisata, porter, membuka homestay, pondok ekowisata (ecolodge), warung dan usaha-usaha lain yang berkaitan dengan ekowisata, sehingga dapat meningkatkan kesejahtraan mereka atau meningkatkan kualitas hidpu penduduk lokal, baik secara materiil, spirituil, kulturil maupun intelektual.Sedangkan pengertian Ekowisata Berbasis Komunitas (community-based ecotourism) merupakan usaha ekowisata yang dimiliki, dikelola dan diawasi oleh masyarakat setempat. Masyarakat berperan aktif dalam kegiatan pengembangan ekowisata dari mulai perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Hasil kegiatan ekowisata sebanyak mungkin dinikmati oleh masyarakat setempat. Jadi dalam hal ini masyarakat memiliki wewenang yang memadai untuk mengendalikan kegiatan ekowisata.PENGERTIAN DAN KONSEP DASAR EKOWISATAPengertian dan konsep dasar ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempatIndonesia sebagai negara megabiodiversity nomor dua di dunia, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Para explorer dari dunia barat maupun timur jauh telah mengunjungi Indonesia pada abad ke lima belas vang lalu.Perjalanan eksplorasi yang ingin mengetahui keadaan di bagian benua lain telah dilakukan oleh Marcopollo, Washington, Wallacea, Weber, Junghuhn dan Van Steines dan masih banyak yang lain merupakan awal perjalanan antar pulau dan antar benua yang penuh dengan tantangan. Para adventnrer ini melakukan perjalanan ke alam yang merupakan awal dari perjalanan ekowisata. Sebagian perjalanan ini tidak memberikan keuntungan konservasi daerah alami, kebudayaan asli dan atau spesies langka (Lascurain, 1993).Pada saat ini, ekowisata telah berkembang. Wisata ini tidak hanya sekedar untuk melakukan pengamatan burung, mengendarai kuda, penelusuran jejak di hutan belantara, tetapi telah terkait dengan konsep pelestarian hutan dan penduduk lokal. Ekowisata ini kemudian merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial. Ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan konservasi. Oleh karenanya, ekowisata disebut sebagai bentuk perjalanan wisata bertanggungjawab.Belantara tropika basah di seluruh kepulauan Indonesia merupakan suatu destinasi. Destinasi untuk wisata ekologis dapat dimungkinkan mendapatkan manfaat sebesarbesarnya aspek ekologis, sosial budaya dan ekonomi bagi masyarakat, pengelola dan pemerintah.Ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Bahkan dalam strategi pengembangan ekowisata juga menggunakan strategi konservasi. Dengan demikian ekowisata sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistem di areal yang masih alami. Bahkan dengan ekowisata pelestarian alam dapat ditingkatkan kualitasnya karena desakan dan tuntutan dari para eco-traveler.Silakan KLIK DISINI untuk melanjutkan membacanya...Dikutip dari tulisan yang dibuat oleh Chafid Fandeli yang bersumber pada Buku Pengusahaan Ekowisata (2000), Chafid Fandeli., Mukhlison., Fakultas Kehutanan Univ. Gadjah Mada YogyakartaGARIS BESAR PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA INDONESIAGaris Besar Pedoman Pengembangan Ekowisata Indonesia yang merupakan draft dari Direktorat Jenderal Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya,1999Indonesia memiliki potensi sumber daya alam dan peninggalan sejarah, seni dan budaya yang sangat besar sebagai daya tarik pariwisata dunia. Ahli biokonservasi memprediksi bahwa Indonesia yang tergolong negara Megadiversity dalam hal keaneka ragaman hayati akan mampu menggeser Brasil sebagai negara tertinggi akan keaneka jenis, jika para ahli biokonservasi terus giat melakukan pengkajian ilmiah terhadap kawasan yang belum tersentuh.

Bayangkan saja bahwa Indonesia memiliki 10% jenis tumbuhan berbunga yang ada di dunia, 12% binatang menyusui, 16% reptilia and amfibia, 17% burung, 25% ikan, dan 15% serangga, walaupun luas daratan Indonesia hanya 1,32% seluruh luas daratan yang ada di dunia (BAPPENAS, 1993). Di dunia hewan, Indonesia juga memiliki kedudukan yang istimewa di dunia. Dari 500-600 jenis mamalia besar (36% endemik), 35 jenis primata (25% endemik), 78 jenis paruh bengkok (40% endemik) dan 121 jenis kupu-kupu (44% endemik) (McNeely et.al. 1990, Supriatna 1996). Sekitar 59% dari luas daratan Indonesia merupakan hutan hujan tropis atau sekitar 10% dari luas hutan yang ada di dunia (Stone, 1994). Sekitar 100 juta hektar diantaranya diklasifikasikan sebagai hutan lindung, yang 18,7 juta hektarnya telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi.Namun Demikian sampai saat ini kita harus menanggung beban berat sebagai negara terkaya keaneka ragaman hayati di kawasan yang sangat sensitif, karena biota Indonesia tersebar di lebih dari 17,000 pulau. Oleh karena itu bukan saja jumlah populasi setiap individu tidak besar tetapi juga distribusinya sangat terbatas. Ini harus disadari oleh pemerintah, sehingga Indonesia harus merumuskan suatu kebijakan dan membuat pendekatan yang berbeda di dalam pengembangan sistem pemanfaatan keaneka ragaman hayatinya, terutama kebijakan dalam pengembangan pariwisata yang secara langsung memanfaatkan sumber daya alam sebagai aset. Pengembangan sumber daya alam yang non-ekstraktif, non-konsumtif dan berkelanjutan perlu diprioritaskan dan dalam bidang Pariwisata pengembangan seperti ekowisata harus menjadi pilihan utama.VISI EKOWISATA INDONESIAMelihat potensi yang dimiliki Indonesia, maka Visi Ekowisata Indonesia adalah untuk menciptakan pengembangan pariwisata melalui penyelenggaraan yang mendukung upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya), melibatkan dan menguntungkan masyarakat setempat, serta menguntungkan secara komersial. Dengan visi ini Ekowisata memberikan peluang yang sangat besar, untuk mempromosikan pelestarian keaneka-ragaman hayati Indonesia di tingkat internasional, nasional, regional maupun lokal.Penetapan Visi Ekowisata di atas di dasarkan pada beberapa unsur utama:1. Ekowisata sangat tergantung pada kualitas sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya.Kekayaan keaneka-ragaman hayati merupakan daya tarik utama bagi pangsa pasar ekowisata, sehingga kualitas, keberlanjutan dan pelestarian sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya menjadi sangat penting untuk ekowisata. Pengembangan ekowisata juga memberikan peluang yang sangat besar, untuk mempromosikan pelestarian keaneka-ragaman hayati Indonesia di tingkat internasional, nasional, regional dan lokal. 2. Pelibatan Masyarakat.Pada dasarnya pengetahuan tentang alam dan budaya serta kawasan daya tarik wisata, dimiliki oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu pelibatan masyarakat menjadi mutlak, mulai dari tingkat perencanaan hingga pada tingkat pengelolaan. 3. Ekowisata meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya.Ekowisata memberikan nilai tambah kepada pengunjung dan masyarakat setempat dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman. Nilai tambah ini mempengaruhi perubahan perilaku dari pengunjung, masyarakat dan pengembang pariwisata agar sadar dan lebih menghargai alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. 4. Pertumbuhan pasar ekowisata di tingkat internasional dan nasional.Kenyataan memperlihatkan kecendrungan meningkatnya permintaan terhadap produk ekowisata baik ditingkat internasional maupun nasional. Hal ini disebabkan meningkatnya promosi yang mendorong orang untuk berprilaku positif terhadap alam dan berkeinginan untuk mengunjungi kawasan-kawasan yang masih alami agar dapat meningkatkan kesadaran, penghargaan dan kepeduliannya terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya setempat. 5. Ekowisata sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan.Ekowisata memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi penyelenggara, pemerintah dan masyarakat setempat, melalui kegiatan-kegiatan yang non-ekstraktif dan non-konsumtif sehingga meningkatkan perekonomian daerah setempat. Penyelenggaraan yang memperhatikan kaidah-kaidah ekowisata, mewujudkan ekonomi berkelanjutan. TUJUAN EKOWISATA INDONESIATujuan Ekowisata Indonesia adalah untuk (1) Mewujudkan penyelenggaraan wisata yang bertanggung jawab, yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan alam, peninggalan sejarah dan budaya; (2) Meningkatkan partisipasi masyararakat dan memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat; (3) Menjadi model bagi pengembangan pariwisata lainnya, melalui penerapan kaidah-kaidah ekowisata.KARAKTERISTIK EKOWISATAPengertian/Definisi EkowisataSecara konseptul ekowisata dapat didefinisikan sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat. Sementara ditinjau dari segi pengelolaanya, ekowisata dapat didifinisikan sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam dan secara ekonomi berkelanjutan yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatnkan kesejahtraan masyarakat setempat.Prinsip dan Kriteria EkowisataPRINSIP EKOWISATAKRITERIA EKOWISATA

1. Memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan alam dan budaya, melaksanakan kaidah-kaidah usaha yang bertanggung jawab dan ekonomi berkelanjutan. Memperhatikan kualitas daya dukung lingkungan kawasan tujuan, melalui pelaksanaan sistem pemintakatan (zonasi). Mengelola jumlah pengunjung, sarana dan fasilitas sesuai dengan daya dukung lingkungan daerah tujuan. Meningkatkan kesadaran dan apresiasi para pelaku terhadap lingkungan alam dan budaya. Memanfaatkan sumber daya lokal secara lestari dalam penyelenggaraan kegiatan ekowisata. Meminimumkan dampak negatif yang ditimbulkan, dan bersifat ramah lingkungan. Mengelola usaha secara sehat. Menekan tingkat kebocoran pendapatan (leakage) serendah-rendahnya. Meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.

2. Pengembangan harus mengikuti kaidah-kaidah ekologis dan atas dasar musyawarah dan pemufakatan masyarakat setempat. Melakukan penelitian dan perencanaan terpadu dalam pengembangan ekowisata. Membangun hubungan kemitraan dengan masyarakat setempat dalam proses perencanaan dan pengelolaan ekowisata. Menggugah prakarsa dan aspirasi masyarakat setempat untuk pengembangan ekowisata. Memberi kebebasan kepada masyarakat untuk bisa menerima atau menolak pengembangan ekowisata. Menginformasikan secara jelas dan benar konsep dan tujuan pengembangan kawasan tersebut kepada masyarakat setempat. Membuka kesempatan untuk melakukan dialog dengan seluruh pihak yang terlibat (multi-stakeholders) dalam proses perencanaan dan pengelolaan ekowisata.

3. Memberikan manfaat kepada masyarakat setempat. Membuka kesempatan keapda masyarakat setempat untuk membuka usaha ekowisata dan menjadi pelaku-pelaku ekonomi kegiatan ekowisata baik secara aktif maupun pasif. Memberdayakan masyarakat dalam upaya peningkatan usaha ekowisata untuk meningkatkan kesejahtraan penduduk setempat. Meningkatkan ketrampilan masyarakat setempat dalam bidang-bidang yang berkaitan dan menunjang pengembangan ekowisata. Menekan tingkat kebocoran pendapatan (leakage) serendah-rendahnya.

4. Peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat. Menetapkan kode etik ekowisata bagi wisatawan, pengelola dan pelaku usaha ekowisata. Melibatkan masyarakat setempat dan pihak-pihak lainya (multi-stakeholders) dalam penyusunan kode etik wisatawan, pengelola dan pelaku usaha ekowisata. Melakukan pendekatan, meminta saran-saran dan mencari masukan dari tokoh/pemuka masyarakat setempat pada tingkat paling awal sebelum memulai langkah-langkah dalam proses pengembangan ekowisata. Melakukan penelitian dan pengenalan aspek-aspek sosial budaya masyarakat setempat sebagai bagian terpadu dalam proses perencanaan dan pengelolaan ekowisata.

5. Memperhatikan perjanjian, peraturan, perundang-undangan baik ditingkat nasional maupun internasional. Memperhatikan dan melaksanakan secara konsisten: Dokumen-dokumen Internasional yang mengikat (Agenda 21, Habitat Agenda, Sustainable Tourism, Bali Declaration dsb.). GBHN Pariwisata Berkelanjutan, Undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku. Menyusun peraturan-peraturan baru yang diperlukan dan memperbaiki dan menyempurnakan peraturan-peraturan lainnya yang telah ada sehingga secara keseluruhan membentuk sistem per-UU-an dan sistem hukum yang konsisten. Memberlakukan peraturan yang berlaku dan memberikan sangsi atas pelanggarannya secara konsekuen sesuai dengan ketentuan yang berlaku (law enforcement). Membentuk kerja sama dengan masyarakat setempat untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap dilanggarnya peraturan yang berlaku.

ISU-ISU UMUM EKOWISATA Kepemilikan Kemitraan Skala/Konsesi Gender Partisipasi Transparansi Proses Perencanaan dan Pengambilan Keputusanmakalah ekowisata

EKOWISATA SEBAGAI WAHANA PELESTARIAN ALAMPerkembangan dalam sektor kepariwisataan pada saat ini melahirkan konsep pengembangan pariwisata alternatif yang tepat dan secara aktif membantu menjaga keberlangsungan pemanfaatan budaya dan alam secara berkelanjutan dengan memperhatikan segala aspek dari pariwisata berkelanjutan yaitu; ekonomi masyarakat, lingkungan, dan sosial-budaya. Pengembangan pariwisata alternatif berkelanjutan khususnya ekowisata merupakan pembangunan yang mendukung pelestarian ekologi dan pemberian manfaat yang layak secara ekonomi dan adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Ekowisata merupakan salah satu produk pariwisata alternatif yang mempunyai tujuan seiring dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan yaitu pembangunan pariwisata yang secara ekologis memberikan manfaat yang layak secara ekonomi dan adil secara etika, memberikan manfaat sosial terhadap masyarakat guna memenuhi kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian kehidupan sosial-budaya, dan memberi peluang bagi generasi muda sekarang dan yang akan datang untuk memanfaatkan dan mengembangkannya. Menurut The International Ecotourism Society (2002) dalam www.world-toirism.org.omt/ecotourism2002.html mendifinisikan ekowisata sebagai berikut: Ecotourism is responsible travel to natural areas that conserves the environment and sustains the well-being of local people. Dari definisi ini, disebutkan bahwa ekowisata merupakan perjalanan wisata yang berbasiskan alam yang mana dalam kegiatannya sangat tergantung kepada alam, sehingga lingkungan, ekosistem, dan kerifan-kearifan lokal yang ada di dalamnya harus dilestarikan keberadaanya.Ekowisata merupakan suatu kegiatan wisata berbasis alam yang informatif dan partisipatif yang bertujuan untuk berinteraksi langsung dengan alam, mengetahui habitat dan ekosistem yang ada dalam suatu lingkungan hidup, memberikan manfaat ekonomi kepada lingkungan untuk pelestarian lingkungan hidupnya, menyediakan lapangan kerja dan memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal guna meningkatkan taraf hidupnya, dan menghormati serta melestarikan kebudayaan masyarakat lokal. Ekowisata merupakan perjalanan wisata ke suatu lingkungan baik alam yang alami maupun buatan serta budaya yang ada yang bersifat informatif dan partisipatif yang bertujuan untuk menjamin kelestarian alam dan sosial-budaya. Ekowisata menitikberatkan pada tiga hal utama yaitu; keberlangsungan alam atau ekologi, memberikan manfaat ekonomi, dan secara psikologi dapat diterima dalam kehidupan sosial masyarakat. Jadi, kegiatan ekowisata secara langsung memberi akses kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati pengalaman alam, intelektual dan budaya masyarakat lokal (Khan, 2003). Ekowisata memberikan kesempatan bagi para wisatawan untuk menikmati keindahan alam dan budaya untuk mempelajari lebih jauh tentang pantingnya berbagai ragam mahluk hidup yang ada di dalamnya dan budaya lokal yang berkembang di kawasan tersebut. Kegiatan ekowisata dapat meningkatkan pendapatan untuk pelestarian alam yang dijadikan sebagai obyek wisata ekowisata dan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi kehidupan masyarakat setempat. Drumm (2002) menyatakan bahwa ada enam keuntungan dalam implementasi kegiatan ekowisata yaitu: (1) memberikan nilai ekonomi dalam kegiatan ekosistem di dalam lingkungan yang dijadikan sebagai obyek wisata; (2) menghasilkan keuntungan secara langsung untuk pelestarian lingkungan; (3) memberikan keuntungan secara langsung dan tidak langsung bagi para stakeholders; (4) membangun konstituensi untuk konservasi secara lokal, nasional dan internasional; (5) mempromosikan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan; dan (6) mengurangi ancaman terhadap kenekaragaman hayati yang ada di obyek wisata tersebut. Atraksi ekowisata dapat berupa satu jenis kegiatan wisata atau merupakan gabungan atau kombinasi kegiatan wisata seperti; flora dan fauna, marga satwa, formasi geomorfologi yang spektakuler dan manifestasi budaya yang unik yang berhubungan dengan konteks alam.Pengembangan ekowisata juga tidak bisa terlepas dari dampak-dampak negatif seperti; tertekannya ekosistem yang ada di obyek ekowisata apabila dikunjungi wisatawan dalam jumlah yang banyak dan konflik kepentingan antara pengelola atau operator ekowisata dengan masyarakat lokal terutama mengenai pembagian keuntungan dan aksesibilitas. Untuk mengantisipasi dampak negatif dari pengembangan wisata, perlu pendekatan daya dukung dalam pengelolaan ekowisata sesuai dengan batas-batas kewajaran. Daya dukung ekowisata dipengaruhi faktor motivasi wisatawan dan faktor lingkungan biofisik lokasi ekowisata. Daya dukung ekowisata tidak hanya terbatas pada jumlah kunjungan, namun juga meliputi aspek-aspek lainnya seperti : (1) kapasitas ekologi yaitu kemampuan lingkungan alam untuk memenuhi kebutuhan wisatawan; (2) kapasitas fisik yaitu kemampuan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan wisatawan; (3) kapasitas sosial yaitu kemampuan daerah tujuan untuk menyerap pariwisata tanpa menimbulkan dampak negatif pada masyarakat lokal; (4) dan kapasitas ekonomi yaitu kemampuan daerah tujuan untuk menyerap usaha-usaha komersial namun tetap mewadahi kepentingan ekonomi lokal. Kesuksesan pengembangan ekowisata sangat ditentukan oleh peran dari masing-masing pelaku ekowisata yaitu; industri pariwisata, wisatawan, masyarakat lokal, pemerintah dan instansi non pemerintah, dan akademisi. Para pelaku ekowisata mempunyai peran dan karakter tersendiri yaitu: (1) industri pariwisata yang mengoperasikan ekowisata merupakan industri pariwisata yang peduli terhadap pentingnya pelestarian alam dan keberlanjutan pariwisata dan mempromosikan serta menjual program wisata yang berhubungan dengan flora, fauna, dan alam; (2) wisatawannya merupakan wisatawan yang peduli terhadap lingkungan; (3) masyarakat lokal dilibatkan dalam perencanaan, penerapan dan pengawasan pembangunan, dan pengevaluasian pembangunan; (4) pemerintah berperan dalam pembuatan peraturan-peraturan yang mengatur tentang pembangunan fasilitas ekowisata agar tidak terjadi eksploitasi terhadap lingkungan yang berlebihan; (5) akademisi bertugas untuk mengkaji tentang pengertian ekowisata dan mengadakan penelitian untuk menguji apakah prinsip-prinsi yang dituangkan dalam pengertian ekowisata sudah diterapkan dalam prakteknya. Pembangunan ekowisata yang berkelanjutan dapat berhasil apabila karakter atau peran yang dimiliki oleh masing-masing pelaku ekowisata dimainkan sesuai dengan perannya, bekerjasama secara holistik di antara para stakeholders, memperdalam pengertian dan kesadaran terhadap pelestarian alam, dan menjamin keberlanjutan kegiatan ekowisata tersebut. (France, 1997). Lebih lanjut Drumm (2002) menyatakan bahwa dalam pengembangan ekowisata harus: (1) memiliki dampak yang rendah terhadap sumber daya alam yang dijadikan sebagai obyek wisata; (2) melibatkan stakeholders (perorangan, masyarakat, eco-tourists, tour operator dan institusi pemerintah maupun non pemerintah) dalam tahap perencanaan, pembangunan, penerapan dan pengawasan; (3) menghormati budaya-budaya dan tradisi-tradisi lokal; (4) menghasilkan pendapatan yang pantas dan berkelanjutan bagi para masyarakat lokal, stakeholders dan tour operator lokal; (5) menghasilkan pendapatan untuk pelestarian alam yang dijadikan sebagai obyek wisata; (6) dan mendidik para stakeholders mengenai peranannya dalam pelestarian alam. Pengembangan obyek ekowisata harus selalu berpedoman pada prinsip-prinsip ekowisata dan pariwisata berkelanjutan agar tercapai tujuan pengembangan ekowisata yakni ekowisata yang berkelanjutan (sutainable ecotourism). Ada tujuh hal penting yang harus dilakukan oleh operator ekowisata dalam upaya mewujudkan ekowisata yang berkelanjutan sebagaimana yang disebutkan oleh The Ecotravel Center (2002) dalam www.world-toirism.org.omt/ecotourism2002.html, yaitu; (1) mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan yang dijadikan sebagai obyek ekowisata, (2) meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan di sekitar obyek ekowisata dan mendukung program pembangunan berkelanjutan, (3) pengurangan konsumsi terhadap sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, (4) melestarikan kearifan-kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat lokal, (5) mengutamakan usaha-usaha pendukung kegiatan ekowisata yang dimiliki oleh masyarakat lokal, (6) mendukung usaha-usaha pelestarian lingkungan, dan (7) memberikan kontribusi terhadap pelestarian biodiversitas yang ada di lingkungan yang dijadikan sebagai obyek ekowisata.Ekowisata sebagai konsep PengembanganBatasan ekowisata secara nasional dirumuskan oleh Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia dalam rencana strategis ekowisata nasional adalah suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negative minimal, memberikan kontribusi positip terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan alam binaan, serta kawasan budidaya (Sekartjakrarini & Legoh 2004).Menurut Wight (1993) bahwa prinsip-prinsip dasar ekowisata lestari (ekowisata berkelanjutan), yaitu : (1) ekowisata tidak merusak sumberdaya dan harus dikembangkan dalam pola yang selalu didasarkan pada prinsip ramah lingkungan; (2) kegiatan ekowisata harus ditangani langsung oleh pihak pertama, berpartisipasi penuh dan mengutamakan pada pengalaman; (3) ekowisata harus melibatkan pendidikan semua pihak yang meliputi masyarakat lokal, pemerintah, organisasi non pemerintah, industri dan wsiatawan sebelum, selama dan sesudah perjalanan; (4) ekowisata melibatkan penerimaan dan sumberdaya dengan keterbatasannya; (5) kegiatan ekowisata mampu mendorong pemahaman dan melibatkan kemitraan antara berbagai pelaku yang mencakup pemerintah, organisasi non pemerintah, industry, ilmuwan dan masyarakat lokal (sebelum/selama operasi); (6) pengoperasian ekowisata harus menjamin bahwa pokok-pokok etika bagi praktek yang bertanggungjawab terhadap lingkungan tidak hanya diterapkan pada sumberdaya (alam dan budaya) yang menarik wisatawan tetapi juga diterapkan pada operasional internalnya; (7) ekowisata harus mampu mendorong tanggungjawab moral dan etika serta perilaku terhadap lingkungan alam dan budaya yang dilaksanakan oleh semua pihak yang berperan; (8) ekowisata harus memberikan manfaat dalam jangka panjang bagi sumberdaya masyarakat lokal dan bagi industry (manfaat tersebut dapat berupa konservasi, ilmiah, sosial, budaya dan ekonomi).Tiga dimensi ekowisata menurut Hafild (1995) yaitu : (1) Konservasi ; (2) pendidikan (3) sosial . Menurut Hadinoto (1996) mengemukakan bahwa berdasarkan pengalaman dari wisata umum, ekowisata memiliki pola sebagai berikut : 1. Ekowisata merupakan bagian dari wisata alam. Wisata ini mengutamakan keadaan alam sebagai atraksinya. Aset budaya masyarakat yang ada dalam kawasan ekowisata harus dijaga;2. Ekowisata disebut juga wisata minat khusus. Kegiatan ini merupakan wisata petualangan di kawasan terpencil, dimana keadaan alam relatif masih asli;3. Ekowisata berskala kecil. Jumlah wisatawan merupakan kelompok yang kecil dan menggunakan tempat-tempat kecil untuk akomodasi yang tidak terkonsentrasi (satu tempat);4. Daya dukung (carrying capacity) kawasan yang dilalui terus di pantau dan tidak boleh dilewati. Wisatawan yang melintasi kawasan harus berjalan kaki melewati jalan setapak dan tidak boleh keluar jalur. Daya dukung lingkungan merupakan tingkat kehadiran wisatawan yang menciptakan dampak terhadap masyarakat lingkungan dan ekonomi yang dapat diterima oleh wisatawan dan masyarakat setempat sebagai tuan rumah dan lestari pada periode yang akan datang;5. Ekowisata berdampak kecil karena dilaksanakan dikawasan yang dilindungi, maka tingkah laku wisatawan terkendali sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga tidak merusak tau mengganggu flora da fauna.6. Sarana wisata di kawasan wisata harus menerapkan eco-engineering dengan arsitektur lokal, tukang dari masyarakat lokal dan dikelola oleh mereka.7. Agar kegiatan ekowisata berjalan sukses, wisatawan harus didampingi oleh pemandu yang ahli dibidangnya, dapat menjelaskan bagaimana pengunjung berperan serta melestarikan kawasan. Interpretasi adalah proses untuk mengembangkan daya tarik pengunjung dengan cara menarik dalam menjelaskan suatu lokasi atau dengan mendekripsikan dan menerangkan karakteristik lokasi tersebut;8. Kawasan ekowisata merupakan kawasan lindung, harus mampu mendatangkan pendapatan, sehingga dapat digunakan untuk pemeliharaan, rehabilitasi dan peningkatan konservasi kawasan lindung tersebut.Supriatna (1997) menyatakan bahwa penyelenggaraan industry pariwisata alam yang berwawasan lingkungan dilaksanakan dengan memperhatikan faktor-faktor : (1) konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya; (2) kelestarian budaya dan mutu lingkungan; (3) kemampuan untuk mendorong dan meningkatkan perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial budaya; (4) nilai-nilai agama adat-istiadat serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.Berdasarkan definsi ekowisata, Masyarakat Ekowisata Indonesia (1997) mengemukakan bahwa ada lima elemen penting yang menjadi prinsip kegiatan ekowisata yaitu : (1) perjalanan wisata yang bertanggungjawab. Semua pihak pelaku ekowisata harus bertanggungjawab untuk meniadakan/meminimalkan dampak negatif kegiatan ini terhadap lingkungan alam dan budaya di daerah tujuan ekowisata; (2) kearah atau di daerah yang masih alami atau dikelola secara kaidah alam; (3) tujuannya selain untuk menikmati pesona alam, juga untuk mendapatkan tambahan pengetahuan dan pemahaman mengenai daerah tujuan ekowisata; (4) dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam; (5) meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.Kabupaten Kepulauan Yapen salah satu kabupaten di Provinsi Papua mempunyai potensi sangat besar dalam pengembangan ekowisata kawasan hutan tropika yang tersebar dikepulauan sangat menjanjikan untuk ekowisata dan wisata minat khusus. Ekowisata di beri batasan sebagai kegiatan yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat serta bagi kelestarian sumberdaya dan berkelanjutan. Lima aspek utama berkembangnya ekowisata adalah : (1) adanya keaslian lingkungan alam dan budaya, (2) keberadaan dan dukungan masyarakat, (3) pendidikan dan pengalaman, (4) keberlanjutan dan (5) kemampuan manajemen pengelolaan ekowisata (Choy 1997).Menurut Heriawan (1998) sektor pariwisata di percaya akan menjadi sektor potensial dalam pembangunan ekonomi masa depan yang berkaitan dengan persaingan global. Ada empat pusat perhatian dalam pengembangan sektor ini, yaitu (1) perluasan dan obyek dan tujuan wisata dengan mempertimbangkan kekayaan alam dan beragam budaya bangsa; (2) pengembangan berbagai fasilitas seperti hotel, restoran, transportasi termasuk program pengembangan sumberdaya manusia; (3) peningkatan promosi dan pemasaran terutama pada negara-negara berpotensi serta pengembangan wisata potensial; (4) perbaikan kualitas jasa pelayanan yang terkait dengan pariwisata dan (5) karena bersifat multi dimensional maka diperlukan keterpaduan pembangunan lintas sektoral.Ginzo Aoyama (2000) mengemukakan ekowisata dalam teori prakteknya tumbuh dari kritik terhadap pariwisata masal, yang di pandang merusak terhadap landasan sumberdayanya, yaitu lingkungan dan kebudayaan. Kritik ini melahirkan berbagai istilah baru, antara lain pariwisata alternatif, pariwisata yang bertanggungjawab, pariwisata berbasis komunitas, dan eco-tourism. Alasan umum penggunaan konsep ini adalah karena dapat menggambarkan pariwisata yang termasuk : (1) bukan pariwisata berskala besar/ masal; (2) menciptakan suatu alternatif untuk menghadapi ekploitasi sumberdaya alam baik oleh industrinya maupun penduduk setempat, (3) mempererat hubungan antar bangsa.Diantara konsep-konsep ini, eco-tourism dianggap paling popular, karena bisa mengkaitkan kebutuhan-kebutuhan dari gerakan lingkungan yang mencari cara-cara dan alat untuk menterjemahkan prinsip-prinsip ekologi kedalam praktek pengelolaan berkelanjutan, dengan trend pasar terbaru seperti perjalanan petualangan dan gaya hidup kembali kealam (back to nature). Karena itu gerakan lingkungan menganggap konsep pariwisata ini sebagai instrument konservasi yang bersifat mandiri karena : (1) bisa memodali sendiri kegiatan usahanya; (2) menciptakan suatu alternative untuk menghadapi sumber-sumberdaya alam baik oleh industry maupun masyarakat setempat; (3) sarana pendidikan masyarakat dengan memperluas basis gerakannya.Sementara itu, industri pariwisata umumnya memahami ekowisata sebagai trend menguntungkan serta satu cara menciptakan citra yang mendukung kesadaran akan lingkungan. Tentu terdapat banyak green entrepreneurs yang berada di garis depan usaha konservasi ini, tetapi mereka pada umumnya belum memahami ekowisata sebagai sebagai sesuatu yang lebih daripada suatu bentuk pariwisata masal yang berdampak relatif kecil. Keadaan tersebut dapat dilihat dari bentuk-bentuk promosi penjualan tiket perjalanan ke kawasan pelestarian alam yang disebut ekowisata. Hal ini terjadi karena ekowisata adalah konsep sangat rentan terhadap interpretasi, tergantung siapa yang menginterpretasikan.Agar suatu obyek pariwisata tetap berkelanjutan, menurut Supriatna et al (2000) menyatakan bahwa secara konseptual ekowisata dapat dikatakan sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat. Apabila ditinjau dari segi pengelolaannya, ekowisata merupakan penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggungjawab di tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam dan secara ekonomi berkelanjutan yang mendukung upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.Kaharuddin (2001) menempatkan ekowisata sebagai konsep wisata baru yang didasarkan atas :1. Daerah tujuannya ke kawasan alami dengan adanya pelibatan masyarakat yang memiliki kebudayaan, sehingga juga melibatkan jenis wisata budaya;2. Kelompok kecil wisatawan bukan jaminan terciptanya kelestarian kawasan tanpa ada gangguan dari pengunjung. Jumlah pengunjung yang banyak, tetapi mereka sadar lingkungan maka kerusakan yang ditimbulkan juga kecil;3. Akar dari ekowisata, menempatkan manusia sebagai salahs atu komponen penyusunnya, wajib untuk menyadarkan wisatawan terhadap kelestarian kawasan/lingkungan, yang selama ini manusia cenderung menempatkan diri sebagai penguasa atas alam dan bukan setara dengan alam.4. Penyadaran lingkungan dapat ditempuh melalui pemahaman terhadap obyek melalui pengetahuan terhadap makna/filosofi di balik obyek atau atraksi wisata. Penyadaran ini tidak hanya bisa dilakukan pada obyek wisata alam, tetapi juga pada obyek wisata budaya. Pesan yang disampaikan ekowisata lebih kepada makna persahabatan, perdamaian antara wisatawan dengan penduduk lokal dan wisatawan dengan lingkungan.Dari beberapa pengertian tentang ekowisata, maka penulis dapat memberi gambaran bahwa ekowisata, merupakan suatu konsep pengembangan pariwisata dimana konsep-konsep tersebut diterapkan dalam penyelenggaraan kegiatan wisata yaitu perjalanan yang bertanggungjawab dan berwawasan lingkungan, kegiatan wisata dilakukan tidak merusak lingkungan, ada unsure pendidikan dan dapat memberikan manfaat terhadap kawasan itu sendiri serta bermanfaat terhadap masyarakat di sekitar kawasan. Sedangkan kriteria pemilihan lokasi untuk wisata adalah kawasan yang memiliki keunikan yang khusus, memiliki atraksi budaya yang unik, ada kesiapan masyarakat setempat, peruntukan kawasan tidak meragukan dan tersedia aksesibilitas dan akomodasi yang memadai. Apa yang kamu ketahui tentang ekowisataBerbagai pendapat pengertian dan batasan tentang ekowisata, diungkapkan berbagai pihak adalah Lascurain & Ceballos (1998) yang lebih menekankan perjalanan pada daerah yang masih alami, oleh The Ecotourism Society (1993) sebagai suatu perjalanan yang bertanggungjawab kelingkungan alami yang mendukung konservasi dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Ziffer (1989) menekankan pada sektor sejarah dan budaya, Whelan (1991) pada faktor etnis, Boo (1992) pada faktor pendidikan lingkungan, Steele (1993) tentang proses ekonomi, Cater & Lowman (1994) tentang pemanfaatan bertanggungjawab dan imbuhan kata eco (seperti ecotour, ecotravel, ecosafari, ecovacation, ecocruise, dll). Hudman et al (1989) pada faktor budaya, Lindberg (1991) pada faktor pelestarian, Gunn (1994) pada faktor petualangan, Brandon (1996) pada faktor pengetahuan dan konservasi. Kususdianto (1996) memberikan batasan ruang lingkup usaha ekowisata, dan Silver (1997) memberikan batasan ekowisata sebagai berikut : (1) menginginkan pengalaman asli; (2) layak dijalani secara pribadi maupun sosial; (3) tak ada rencana perjalanan yang ketat; (4) tantangan fisik dan mental; (5) interaksi dengan budaya dan penduduk setempat; (6) toleran pada ketidaknyamanan; (7) bersikap aktif; (8) lebih suka petualangan daripada pengalaman. Sedangkan Choy et al (1996) memberikan batasan lima faktor pokok yang mendasar yaitu : lingkungan, masyarakat, pendidikan dan pengalaman, keberlanjutan dan manajemen. Menurut Lindberg (1991) ekowisata merupakan perjalanan yang bertanggungjawab kewilayah-wilayah alami, yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan lingkungan sedemikian rupa sehingga menekan sekecil mungkin dampak terhadap lingkungan dan sosial budaya, membangkitkan pendanaan bagi kawasan-kawasan yang dilindungi serta meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat, kegiatan ini merupakan gabungan dari rasa cinta terhadap alam dan memiliki rasa tanggungjawab sosial terhadap masyarakat.Banyaknya definisi ekowisata yang ada menunjukan bahwa ekowisata sebenarnya masih merupakan suatu konsep yang akan terus berkembang. Perkembangan konsep ekowisata di Indonesia juga mengalami perkembangan yang cukup signifikan dengan perubahan pola pikir masyarakat. Menurut hasil rumusan Simposium dan Semiloka INDECON (1996), ekowisata didefinisikan sebagai perjalanan wisata yang bertanggungjawab di daerah yang masih alami atau di daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam dimana tujuannya selain untuk menikmati keindahannya juga melibatkan unsure pendidikan, pemahaman dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam serta peningkatan pendapatan masyarakat setempat sekitar daerah tujuan wisata.Ekowisata menurut KMNLH (1996) disebut dengan istilah wisata ekologia yang berarti wisata dalam bentuk perjalanan ke tempat-tempat di alam terbuka yang relatif belum terjamah atau tercermar dengan tujuan khusus untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan dengan tumbuh-tumbuhan serta satwa liarnya (termasuk kawasan berupa ekosistem, keadaan iklim, fenomena alam, kekhasan jenis tumbuhan dan satwa liar) juga semua manifestasi kebudayaan yang ada (termasuk tatanan lingkungan sosial budaya), baik dari masa lampau maupun masa kini ditempat-tempat tersebut dengan tujuan untuk melestarikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.Menurut Alikodra (1997) ekowisata merupakan salah satu kegiatan strategis bagi implementasi konservasi sumberdaya alam dan lingkungan di Indonesia. Program ini selain dapat meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat, meningkatkan devisa negara, juga dapat melindungi dan melestarikan sumberdaya alam khususnya bagi sumberdaya alam hayati dan lingkungannya. Selanjutnya menurut Ridwan (2000) ekowisata juga dapat dikembangkan di kawasan hutan produksi, lindung dan di desa-desa yang mempunyai kekhasan/keunikan. Ada empat prinsip yang harus menjadi pegangan dalam pengembangan hutan untuk ekowsiata yaitu konservasi, edukasi, partisipasi masyarakat dan ekonomi. Selanjutnya menurut Sekartjakrarini & Legoh(2004) ekowisata adalah suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, berintikan partisipasi aktif masyarakat dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan, pembelajaran, meminimalkan dampak negatif, memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah dan diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan alam binaan, serta kawasan budaya.Dari beberapa pengertian tentang ekowisata maka dapat disimpulkan ekowisata bukan pariwisata masal, bukan pariwisata untuk bermain-main atau hanya sekedar berkunjung. Ekowisata adalah mengunjungi daerah-daerah yang masih alami, tidak menimbulkan atau sedikit efek samping terhadap daerah tujuan wisata, perlindungan alam (konservasi), pendidikan lingkungan bagi wisatawan dan masyarakat setempat, pemberdayaan masyarakat setempat serta adanya saling menghormati terhadap budaya yang berbeda antara wisatawan dan masyarakat setempat. Permasalahan Pengelolaan Hutan di IndonesiaSesuai dengan UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan terdiri dari kegiatan-kegiatan perencanaan kehutanan , pengelolaan , penelitian dan pengembangan, Diklat dan penyuluhan serta pengawasan. Dari keseluruhan tersebut, implementasi kegiatan perencanaan dilapangan masih cukup lemah, sehingga menyebabkan lemahnya kontrol penyelenggaraan kehutanan secara keseluruhan. Kegiatan perencanaan tersebut meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana kehutanan. Di antara kegiatan pengelolaan hutan yaitu terdiri dari kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi alam, kegiatan pemanfaatan hutan (terutama dalam hal penerbitan perijinan-perijinan dan peredaran hasil hutan) masih lebih dominan daripada kegiatan rehabilitasi, sehingga kerusakan hutan produksi terus-menerus meningkat.Menurut Rencana Strategi Departemen Kehutanan RI tahun 2005-2009, permasalahan pembangunan kehutanan pada saat ini diwarnai dengan tingginya tingkat gangguan terhadap sumberdaya hutan (SDH) milik negara (state forest) seperti maraknya illegal logging, penyerobotan lahan, meluasnya kawasan hutan yang tidak dibebani hak (tidak ada pengelola), buruknya kinerja pemegang IUPHHK, perambahan/konflik kawasan dan sebagainya yang menyebabkan terdegradasinya hutan. Dalam jangka menengah dan panjang, investasi yang kini sedang dijalankan Departemen Kehutanan berupa gerakan rehabilitasi hutan dan lahan, proyek-proyek social forestry, dan pengembangan unit manajemen hutan meranti (PUHM), maupun investasi swasta dalam pembinaan hutan alam dan pembangunan hutan tanaman juga belum dapat mewujudkan pengelolaan hutan lestari untuk kesejahteraan masyarakat.Menurut Kartodihardjo (2006), berdasarkan hasil evaluasi terhadap pengelolaan hutan, masalah-masalah pokok kehutanan Indonesia adalah : (1) Lemahnya kinerja birokrasi, (2) Ketidakpastian hak atas hutan negara, (3) implementasi berbagai undang-undang yang tidak sinkron, (4) Ketidaktegasan upaya pemberdayaan masyarakat adat dan lokal lainnya, (5) Lemahnya penegakan hukum. Berbagai permasalahan tersebut, salah satu masalah mendasar yang sampai saat ini masih belum diselesaikan adalah masalah kelembagaan (Kartodihardjo, 2006), yang antara lain belum terbentuknya unit pengelolaan hutan dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) baik pada kawasan hutan produksi, lindung maupun konservasi, khususnya di luar P. Jawa. Kehadiran KPH tersebut merupakan konsekuensi logis dari struktur aturan main penguasaan hutan dan situasi yang melingkupi kesalingterkaitan (interdepency) para aktor dalam pengelolaan SDH saat ini.Struktur aturan main yang bekenaan dengan penguasaan hutan dapat dijabarkan berdasarkan UU nomor 41 tahun 1999 (pasal 4) yang antara lain menjelaskan bahwa : (1) semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (2) penguasaan hutan oleh negara tersebut, selanjutnya memberi kewenangan kepada pemerintah untuk : (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (c) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.Sedangkan situasi yang melingkupi kesalingterkaitan para aktor dalam pengelolaan SDH saat ini yang paling menonjol adalah : (a) Pengelolaan hutan melibatkan kepentingan multipihak seperti birokrasi, politisi, pengusaha dan masyarakat bahkan penegak hukum; (b) kepentingan-kepentingan tersebut (interest) cukup beragam mulai dari kepentingan ekploitatif di satu sisi dan kepentingan konservasi di sisi lain; (c) Di dalam pengelolaannya, biaya-biaya yang diperlukan untuk penegakan hak-hak atas SDH sangat mahal sebagai implikasi dari luas wilayah (wide), penyebaran areal hutan (disperse) dan keterpencilan (remote); (d) Keperluan biaya untuk penegakan hak-hak atas SDH tidak mampu tertanggulangi oleh pemerintah karena keterbatasan pendanaan, terlebih bila pengelolaan dilakukan dari tempat yang sangat jauh dari pusat-pusat kegiatan.

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah, karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan.Dalam makalah ini kami membahas ekowisata, etika, & pembangunan ekonomi, suatu permasalahan yang selalu dialami bagi masyarakat yang berada di dalam suatu lingkungan hidup. Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman masalah lingungan hidup yang sangat diperlukan dalam kehidupan berlingkungan

Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat,Pengertian Pendidikan Lingkungan HidupAugust 3, 2010 | In: ilmuPengertian Pendidikan Lingkungan Hidup Manusia terdiri atas pikiran dan rasa dimana keduanya harus digunakan. Rasa menjadi penting digerakkan terlebih dahulu, karena seringkali dilupakan. Bagaimana memulai pendidikan lingkungan hidup? Pendidikan Lingkungan Hidup harus dimulai dari HATI. Tanpa sikap mental yang tepat, semua pengetahuan dan keterampilan yang diberikan hanya akan menjadi sampah semata.Untuk membangkitkan kesadaran manusia terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, proses yang paling penting dan harus dilakukan adalah dengan menyentuh hati. Jika proses penyadaran telah terjadi dan perubahan sikap dan pola pikir terhadap lingkungan telah terjadi, maka dapat dilakukan peningkatan pengetahuan dan pemahaman mengenai lingkungan hidup, serta peningkatan keterampilan dalam mengelola lingkungan hidupPendidikan Lingkungan Hidup: dalam buku catatanPada tahun 1986, pendidikan lingkungan hidup dan kependudukan dimasukkan ke dalam pendidikan formal dengan dibentuknya mata pelajaran ?Pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup (PKLH)?. Depdikbud merasa perlu untuk mulai mengintegrasikan PKLH ke dalam semua mata pelajaranPada jenjang pendidikan dasar dan menegah (menengah umum dan kejuruan), penyampaian mata ajar tentang masalah kependudukan dan lingkungan hidup secara integratif dituangkan dalam sistem kurikulum tahun 1984 dengan memasukkan masalah-masalah kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam hampir semua mata pelajaran. Sejak tahun 1989/1990 hingga saat ini berbagai pelatihan tentang lingkungan hidup telah diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan Nasional bagi guru-guru SD, SMP dan SMA termasuk Sekolah Kejuruan.Di tahun 1996 terbentuk Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL) antara LSM-LSM yang berminat dan menaruh perhatian terhadap pendidikan lingkungan. Hingga tahun 2004 tercatat 192 anggota JPL yang bergerak dalam pengembangan dan pelaksanaan pendidikan lingkungan.Selain itu, terbit Memorandum Bersama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 0142/U/1996 dan No Kep: 89/MENLH/5/1996 tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup, tanggal 21 Mei 1996. Sejalan dengan itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Depdikbud juga terus mendorong pengembangan dan pemantapan pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah antara lain melalui penataran guru, penggalakkan bulan bakti lingkungan, penyiapan Buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) untuk Guru SD, SLTP, SMU dan SMK, program sekolah asri, dan lain-lain. Sementara itu, LSM maupun perguruan tinggi dalam mengembangkan pendidikan lingkungan hidup melalui kegiatan seminar, sararasehan, lokakarya, penataran guru, pengembangan sarana pendidikan seperti penyusunan modul-modul integrasi, buku-buku bacaan dan lain-lain.Pada tanggal 5 Juli 2005, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan SK bersama nomor: Kep No 07/MenLH/06/2005 No 05/VI/KB/2005 untuk pembinaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup. Di dalam keputusan bersama ini, sangat ditekankan bahwa pendidikan lingkungan hidup dilakukan secara integrasi dengan mata ajaran yang telah ada.Pendidikan Lingkungan Hidup: bahan dasar yang dilupakanSalah satu puncak perkembangan pendidikan lingkungan adalah dirumuskannya tujuan pendidikan lingkungan hidup menurut UNCED adalah sebagai berikut:Pendidikan lingkungan Hidup (environmental education EE) adalah suatu proses untuk membangun populasi manusia di dunia yang sadar dan peduli terhadap lingkungan total (keseluruhan) dan segala masalah yang berkaitan dengannya, dan masyarakat yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, sikap dan tingkah laku, motivasi serta komitmen untuk bekerja sama , baik secara individu maupun secara kolektif , untuk dapat memecahkan berbagai masalah lingkungan saat ini, dan mencegah timbulnya masalah baru [UN - Tbilisi, Georgia - USSR (1977) dalam Unesco, (1978)]PLH memasukkan aspek afektif yaitu tingkah laku, nilai dan komitmen yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan (sustainable). Pencapaian tujuan afektif ini biasanya sukar dilakukan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran guru perlu memasukkan metode-metode yang memungkinkan berlangsungnya klarifikasi dan internalisasi nilai-nilai. Dalam PLH perlu dimunculkan atau dijelaskan bahwa dalam kehidupan nyata memang selalu terdapat perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh individu. Perbedaan nilai tersebut dapat mempersulit untuk derive the fact, serta dapat menimbulkan kontroversi/pertentangan pendapat. Oleh karena itu, PLH perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun ketrampilan yang dapat meningkatkan ?kemampuan memecahkan masalah?.Beberapa ketrampilan yang diperlukan untuk memecahkan masalah adalah sebagai berikut ini.* Berkomunikasi: mendengarkan, berbicara di depan umum, menulis secara persuasive, desain grafis;* Investigasi (investigation): merancang survey, studi pustaka, melakukan wawancara, menganalisa data;* Ketrampilan bekerja dalam kelompok (group process): kepemimpinan, pengambilan keputusan dan kerjasama.Pendidikan lingkungan hidup haruslah:1. Mempertimbangkan lingkungan sebagai suatu totalitas alami dan buatan, bersifat teknologi dan sosial (ekonomi, politik, kultural, historis, moral, estetika);2. Merupakan suatu proses yang berjalan secara terus menerus dan sepanjang hidup, dimulai pada jaman pra sekolah, dan berlanjut ke tahap pendidikan formal maupun non formal;3. Mempunyai pendekatan yang sifatnya interdisipliner, dengan menarik/mengambil isi atau ciri spesifik dari masing-masing disiplin ilmu sehingga memungkinkan suatu pendekatan yang holistik dan perspektif yang seimbang.4. Meneliti (examine) issue lingkungan yang utama dari sudut pandang lokal, nasional, regional dan internasional, sehingga siswa dapat menerima insight mengenai kondisi lingkungan di wilayah geografis yang lain;5. Memberi tekanan pada situasi lingkungan saat ini dan situasi lingkungan yang potensial, dengan memasukkan pertimbangan perspektif historisnya;6. Mempromosikan nilai dan pentingnya kerjasama lokal, nasional dan internasional untuk mencegah dan memecahkan masalah-masalah lingkungan;7. Secara eksplisit mempertimbangkan/memperhitungkan aspek lingkungan dalam rencana pembangunan dan pertumbuhan;8. Memampukan peserta didik untuk mempunyai peran dalam merencanakan pengalaman belajar mereka, dan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan dan menerima konsekuensi dari keputusan tersebut;9. Menghubungkan (relate) kepekaan kepada lingkungan, pengetahuan, ketrampilan untuk memecahkan masalah dan klarifikasi nilai pada setiap tahap umur, tetapi bagi umur muda (tahun-tahun pertama) diberikan tekanan yang khusus terhadap kepekaan lingkungan terhadap lingkungan tempat mereka hidup;10. Membantu peserta didik untuk menemukan (discover), gejala-gejala dan penyebab dari masalah lingkungan;11. Memberi tekanan mengenai kompleksitas masalah lingkungan, sehingga diperlukan kemampuan untuk berfikir secara kritis dengan ketrampilan untuk memecahkan masalah.12. Memanfaatkan beraneka ragam situasi pembelajaran (learning environment) dan berbagai pendekatan dalam pembelajaran mengenai dan dari lingkungan dengan tekanan yang kuat pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya praktis dan memberikan pengalaman secara langsung (first hand experience).Karena langsung mengkaji masalah yang nyata, PLH dapat mempermudah pencapaian ketrampilan tingkat tinggi (higher order skill) seperti :1. Berfikir kritis2. Berfikir kreatif3. Berfikir secara integratif4. Memecahkan masalah.Persoalan lingkungan hidup merupakan persoalan yang bersifat sistemik, kompleks, serta memiliki cakupan yang luas. Oleh sebab itu, materi atau isu yang diangkat dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan lingkungan hidup juga sangat beragam. Sesuai dengan kesepakatan nasional tentang Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan dalam Indonesian Summit on Sustainable Development (ISSD) di Yogyakarta pada tanggal 21 Januari 2004, telah ditetapkan 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.Ketiga pilar tersebut merupakan satu kesatuan yang bersifat saling ketergantungan dan saling memperkuat. Adapun inti dari masing-masing pilar adalah :1. Pilar Ekonomi: menekankan pada perubahan sistem ekonomi agar semakin ramah terhadap lingkungan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Pola konsumsi dan produksi, Teknologi bersih, Pendanaan/pembiayaan, Kemitraan usaha, Pertanian, Kehutanan, Perikanan, Pertambangan, Industri, dan Perdagangan2. Pilar Sosial: menekankan pada upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Kemiskinan, Kesehatan, Pendidikan, Kearifan/budaya lokal, Masyarakat pedesaan, Masyarakat perkotaan, Masyarakat terasing/terpencil, Kepemerintahan/kelembagaan yang baik, dan Hukum dan pengawasan3. Pilar Lingkungan: menekankan pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Pengelolaan sumberdaya air, Pengelolaan sumberdaya lahan, Pengelolaan sumberdaya udara, Pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, Energi dan sumberdaya mineral, Konservasi satwa/tumbuhan langka, Keanekaragaman hayati, dan Penataan ruangKesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi dialektis yang ajeg (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu, bisa menjebak kita ke dalam kerancuan berfikir. Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan dialek tersebut tidak berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni: Pengajar, Pelajar atau anak didik, dan Realitas dunia. Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.Dengan kata lain, langkah awal yang paling menentukan dalam upaya pendidikan pembebasannya Freire yakni suatu proses yang terus menerus, suatu ?commencement?, yang selalu ?mulai dan mulai lagi?, maka proses penyadaran akan selalu ada dan merupakan proses yang sebati (in erent) dalam keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Maka, proses penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang memang tidak boleh berhenti, mandeg, ia senantiasa harus terus berproses, berkembang dan meluas, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat ?kesadaran naif? sampai ke tingkat ?kesadaran kritis?, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni ?kesadarannya kesadaran? (the consice of the consciousness).Joseph Cornell, seorang pendidik alam (nature educator) yang terkenal dengan permainan di alam yang dikembangkannya sangat memahami psikologi ini. Sekitar tahun 1979 ia mengembangkan konsep belajar beralur (flow learning).Berbagai kegiatan atau permainan disusun sedemikian rupa untuk menyingkronkan proses belajar di dalam pikiran, rasa, dan gerak. Ia merancang sedemikian rupa agar kondisi emosi anak dalam keadaan sebaik-baiknya pada saat menerima hal-hal yang penting dalam belajar.Aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah:* Aspek afektif: perasaan nyaman, senang, bersemangat, kagum, puas, dan bangga* Aspek kognitif: proses pemahanan, dan menjaga keseimbangan aspek-aspek yang lain* Aspek sosial: perasaan diterima dalam kelompok* Aspek sensorik dan monotorik: bergerak dan merasakan melalui indera, melibatkan peserta sebanyak mungkin* Aspek lingkungan: suasanan ruang atau lingkunganPendidikan Lingkungan Hidup: terjerumus di jurang pembebanan baruPendidikan saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi.Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing.Pada dua tahun terakhir, PLH di Kalimantan Timur sangatlah berjalan perlahan ditengah hiruk pikuk penghabisan kekayaan alam Kaltim. Inisiatif-inisiatif baru bermunculan. Kota Balikpapan memulai, dengan dibantu oleh Program Kerjasama Internasional, lahirlah kurikulum pendidikan kebersihan dan lingkungan yang menjadi salah satu muatan lokal. Diikuti kemudian oleh Kabupaten Nunukan. Sementara saat ini sedang dalam proses adalah Kota Samarinda, Kabupaten Malinau dan Kota Tarakan. Kesemua wilayah ini terdorong ke arah ?jurang? hadirnya muatan lokal beraroma pendidikan lingkungan hidup.Tak ada yang salah dengan muatan lokal. Namun sangat disayangkan dalam proses-proses yang dilakukan sangat meninggalkan prinsip-prinsip dari Pendidikan Lingkungan Hidup itu sendiri. Nuansa hasil yang berwujud (buku, modul, kurikulum), sangat terasa dalam setiap aktivitas pembuatannya. Perangkat-perangkat pendukung masih sangat jauh mengikutinya.Pendidikan Lingkungan Hidup hari ini, bisa jadi mengulang pada kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika PKLH mulai diluncurkan. Statis, monolitik, membunuh kreatifitas. Prasyarat yang belum mencukupi yang kemudian dipaksakan, berakhir pada frustasi berkelanjutan.Sangat penting dipahami, bahwa pola Cara Belajar Siswa Aktif, Kurikulum Berbasis Kompetensi, dan berbagai teknologi pendidikan lainnya yang dikembangkan, kesemuanya bermuara pada kapasitas seorang guru. Kemampuan berekspresi dan berkreasi sangat dibutuhkan dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Bila tidak, lupakanlah.Demikian pula dengan PLH, sangat dibutuhkan kapasitas guru yang mampu membangitkan kesadaran kritis. Bukan sekedar untuk memicu kreatifitas siswa. Kesadaran kritis inilah yang akhirnya akan tereliminasi disaat PLH diperangkap dalam kurikulum muatan lokal. Siswa akan kembali berada dalam ruang statis, mengejar nilai semu, dan memperoleh pembebanan baru.Pendidikan Lingkungan Hidup: duduk, diam, dan bercerminlahSejak 2001, disaat pertama kali kawan-kawan pegiat PLH di Kaltim berkumpul, telah lahir berbagai gagasan dan agenda yang harus diselesaikan. Namun karena bukan menjadi PRIORITAS, maka hal ini menjadi bagian yang dilupakan.Di tahun 2005 ini, geliat PLH masih bergerak-gerak ditempat. Bagi yang memiliki dana, muatan lokal menjadi sebuah pilihan, karena akan lebih mudah mengukur indikator keberhasilannya. Bagi yang tidak memiliki dana, mencoba tertatih-tatih di ruang sempit untuk tetap berjalan sesuai dengan cita-cita sebenarnya dari PLH, yaitu membangun generasi yang memiliki KESADARAN KRITIS sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni ?KESADARANNYA KESADARAN?.Kepentingan untuk PERCEPATAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP, haruslah dimaknai bukan untuk mengELIMINASI pondasi dasar PLH. Tidak kokohnya pondasi akan mengakibatkan kehancuran sebuah bangunan, semewah apapun ia. Kehausan akan target proyek, capaian indikator, pekerjaan, hanya akan menjadikan PLH sebagai sebuah obyek mainan baru, bukan lagi sebagai sebuah nilai yang sedang dibangun bagi generasi kemudian negeri ini.BERCERMINLAH untuk sekedar meREFLEKSIkan diri. Ini yang penting dilakukan oleh pegiat PLH. Bukan untuk berlari mengejar ketertinggalan. Tidak harus cepat mencapai garis akhir. Berjalan perlahan dengan semangat kebersamaan akan lebih menghasilkan nilai yang tertancap pada ruang yang terdalam di diri. APAKAH YANG SEDANG KITA LAKUKAN HANYA AKAN MENJADI PEMBEBANAN BARU BAGI GENERASI KEMUDIAN?