BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Penerjemahan dan Jenis ...
Definisi Dan Jenis Bencana
-
Upload
riorendrarizqi -
Category
Documents
-
view
45 -
download
6
description
Transcript of Definisi Dan Jenis Bencana
Definisi dan Jenis Bencana
Share
Definisi Bencana Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana sebagai berikut:
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
Kejadian Bencana adalah peristiwa bencana yang terjadi dan dicatat berdasarkan tanggal kejadian, lokasi, jenis bencana, korban dan/ataupun kerusakan. Jika terjadi bencana pada tanggal yang sama dan melanda lebih dari satu wilayah, maka dihitung sebagai satu kejadian.
Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif, akitivitas gunung api atau runtuhan batuan.
Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah "erupsi". Bahaya letusan gunung api dapat berupa awan panas, lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir lahar.
Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak lautan ("tsu" berarti lautan, "nami" berarti gelombang ombak). Tsunami adalah serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena adanya pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi.
Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng.
Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah atau daratan karena volume air yang meningkat.
Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit air yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur sungai.
Kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Adapun yang dimaksud kekeringan di bidang pertanian adalah kekeringan yang terjadi di lahan pertanian yang ada tanaman (padi, jagung, kedelai dan lain-lain) yang sedang dibudidayakan .
Kebakaran adalah situasi dimana bangunan pada suatu tempat seperti rumah/pemukiman, pabrik, pasar, gedung dan lain-lain dilanda api yang menimbulkan korban dan/atau kerugian.
Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan di mana hutan dan lahan dilanda api, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan lahan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan seringkali menyebabkan bencana asap yang dapat mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat sekitar.
Angin puting beliung adalah angin kencang yang datang secara tiba-tiba, mempunyai pusat, bergerak melingkar menyerupai spiral dengan kecepatan 40-50 km/jam hingga menyentuh permukaan bumi dan akan hilang dalam waktu singkat (3-5 menit).
Gelombang pasang atau badai adalah gelombang tinggi yang ditimbulkan karena efek terjadinya siklon tropis di sekitar wilayah Indonesia dan berpotensi kuat menimbulkan bencana alam. Indonesia bukan daerah lintasan siklon tropis tetapi keberadaan siklon tropis akan memberikan pengaruh kuat terjadinya angin kencang, gelombang tinggi disertai hujan deras.
Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi.
Kecelakaan transportasi adalah kecelakaan moda transportasi yang terjadi di darat, laut dan udara.
Kecelakaan industri adalah kecelakaan yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu perilaku kerja yang berbahaya (unsafe human act) dan kondisi yang berbahaya (unsafe conditions). Adapun jenis kecelakaan yang terjadi sangat bergantung pada macam industrinya, misalnya bahan dan peralatan kerja yang dipergunakan, proses kerja, kondisi tempat kerja, bahkan pekerja yang terlibat di dalamnya.
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004.
Konflik Sosial atau kerusuhan sosial atau huru hara adalah suatu gerakan massal yang bersifat merusak tatanan dan tata tertib sosial yang ada, yang dipicu oleh kecemburuan sosial, budaya dan ekonomi yang biasanya dikemas sebagai pertentangan antar suku, agama, ras (SARA).
Aksi Teror adalah aksi yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat masal, dengan cara merampas kemerdekaan sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda, mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik internasional.
Sabotase adalah tindakan yang dilakukan untuk melemahkan musuh melalui subversi, penghambatan, pengacauan dan/ atau penghancuran. Dalam perang, istilah ini digunakan untuk mendiskripsikan aktivitas individu atau grup yang tidak berhubungan dengan militer, tetapi dengan spionase. Sabotase dapat dilakukan terhadap beberapa sruktur penting, seperti infrastruktur, struktur ekonomi, dan lain-lain.
FASE BENCANA
Listyo Yuwanto
Fakultas Psikologi Universitas Surabaya
Pembaca tentu masih mengingat beberapa bencana yang terakhir ini terjadi di Indonesia. Mulai dari erupsi Gunung Rokatenda, erupsi Gunung Sinabung, dan erupsi Gunung Kelud. Pada saat awal terjadinya bencana, banyak media massa yang menyiarkan bencana tersebut, bahkan menjadi berita utama di setiap media massa cetak ataupun elektronik. Dampaknya banyak pihak baik secara perseorangan ataupun organisasi merasa tergerak untuk membantu baik dalam bentuk tenaga ataupun material. Fenomena yang terjadi pasca bencana biasanya agak berbeda dengan pada saat bencana. Saat media massa sudah tidak lagi menyiarkan secara intensif tentang bencana, maka mulai berkuranglah bantuan atau perhatian kepada para korban bencana. Terlebih apabila sudah diberitakan bahwa pengungsi sudah kembali ke daerah atau rumah masing-masing.
Namun, seringkali kita masih dapat melihat ataupun mendengar informasi bahwa pengumpulan bantuan kepada korban bencana alam terus dilakukan. Hal demikian memang wajar terjadi dan seharusnya terus dilakukan karena pasca bencana bukan berarti penanganan atau bantuan kepada korban bencana dihentikan. Pemberian bantuan kepada korban bencana alam dilakukan secara berkelanjutan bukan bermaksud membuat korban menjadi ketergantungan kepada pihak lain, namun bencana memiliki tahapan beserta karakteristiknya sehingga korban bencana tidak dapat dilepas begitu saja. Terdapat tahapan dalam bencana yaitu fase heroic, honeymoon, disillusionment, dan reconstruction.
Fase heroic merupakan fase awal terjadinya bencana, banyak korban bencana tinggal di pengungsian-pengungsian karena kehilangan tempat tinggal ataupun tempat tinggalnya termasuk daerah rawan bencana sehingga tidak dapat ditinggali dalam waktu tertentu. Pada fase ini berita terjadinya bencana tersebar ke mana-mana melalui pemberitaan sehingga banyak pihak yang tergerak memberikan bantuan. Pada fase ini pada pihak pemberi bantuan terasa lebih ringan untuk memberikan bantuan karena banyak pihak yang memberikan bantuan. Kebutuhan utama para korban bencana alam adalah adanya perasaan aman secara fisik dan tercukupinya kebutuhan fisiologis sehingga pemenuhan kebutuhan yang bersifat logistik tergolong mendesak untuk dipenuhi. Pada fase heroic banyak bantuan berupa makanan, pakaian, tenda tempat tinggal, ataupun kebutuhan fisik lain yang dapat disalurkan kepada korban. Namun pada fase ini
seringkali terjadi penyaluran bantuan yang tidak merata, sehingga banyak korban yang belum tersentuh. Mengapa hal ini dapat terjadi? Karena informasi lokasi pengungsian yang tidak sama, terdapat lokasi pengungsian yang berada di pelosok daerah yang sulit dijangkau karena kerusakan yang parah sehingga bantuan tidak mampu masuk. Dampaknya banyak bantuan yang menumpuk di suatu lokasi saja yang mudah dijangkau. Penanganan psikologis pada korban bencana pada fase ini tidak boleh dilupakan selain penanganan kesehatan fisik. Kondisi gangguan psikologis dapat terjadi dimulai dari fase heroic, mungkin pembaca akan langsung menebak terjadi trauma pasca bencana. Tidak selalu berupa trauma sebagai bentuk gangguan psikologis, beberapa bukti penanganan psikologis pasca bencana menunjukkan bahwa kebosanan di tempat pengungsian berpotensi menimbulkan kondisi psikologis yang lebih parah misalnya depresi. Sehingga seringkali dilakukan kegiatan yang terkadang hanya berupa permainan terutama untuk anak-anak, ataupun hiburan seperti musik dan kegiatan yang menyenangkan. Tujuannya mencegah kebosanan dan terjadinya kondisi psikologis yang tidak kondusif.
Saat korban bencana mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidupnya yang berasal dari bantuan ataupun perhatian berbagai pihak, korban merasakan beban hidupnya karena bencana mulai berkurang. Hal ini merupakan ciri dari fase honeymoon, berbagai pihak yang memberikan bantuan selau melakukan inventarisasi atau asesmen terhadap kebutuhan korban. Sehingga menumbuhkan harapan bahwa mereka akan dapat hidup seperti kondisi sebelum bencana. Beberapa pihak yang saat bencana kondisi hidupnya tidak menguntungkan bahkan merasakan bencana sebagai berkah karena dengan bencana yang dialami mereka dapat mulai menata hidup yang lebih baik. Banyak pihak yang memberikan perhatian dan fokus pada kondisi korban bencana.
Fase berikutnya adalah fasedisillusionment yang dicirikan dengan banyak masalah terjadi karena para korban mulai ditinggalkan dan dikurangi perhatiannya oleh berbagai pihak pemberi bantuan. Pada fase ini sudah mulai banyak pihak pemberi bantuan yang merasa telah cukup memberikan bantuan dan menghentikan bantuan, pihak-pihak yang semula membuka posko penanganan bencana juga banyak yang kembali karena mulai kekurangan tenaga relawan dan kembali fokus pada kegiatan sebelum bencana. Bagaimana dengan kondisi korban pada fase ini? Mereka belum sepenuhnya siap untuk ditinggalkan, mulai munculah perasaan berputus asa karena kondisinya mulai mengalami kesulitan. Terdapat keinginan bangkit namun sumberdaya yang dimiliki belum siap dan memuhi syarat. Pada fase ini harus segera diikuti dengan fase rekonstruksi yaitu upaya untuk kembali ke kondisi semula sebelum bencana atau paling tidak mengarah pada upaya ke kondisi yang lebih baik dibandingkan saat bencana.
Pada fase rekonstruksi, penanganan secara sistematis dan terstruktur perlu diupayakan. Pemetaan potensi sosial dan psikologis korban bencana dilakukan untuk pemberian berbagai pendampingan dalam bidang kerja ataupun bidang kehidupan yang lainnya. Pembangunan hunian baru bagi korban juga perlu memperhatikan karakteristik sistem sosial korban bencana. Jangan sampai asal dibangun namun pada akhirnya merusak sistem sosial yang selama ini telah tertata dengan baik. Rekonstruksi pendidikan juga perlu diperhatikan tidak hanya bangunan secara fisik namun proses motivasional anak-anak didik dan pendidik. Begitu pula untuk penanganan psikologis pada fase rekonstruksi tetap perlu dilakukan. Fase rekonstruksi ini tidak dapat selesai dalam waktu yang singkat, meskipun berita tentang bencana tersebut sudah tidak lagi terdengar namun fase rekonstruksi tetap berlangsung. Oleh karena itu bantuan dari berbagai
pihak masih dibutuhkan terutama dalam mempercepat fase rekonstruksi. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.
Update: 17-03-2014 | Dibaca 1964 kali | Download versi pdf: Mengenal-Tahapan-Bencana.pdf
Copyright
© 2015 Universitas Surabaya. Artikel yang ada di halaman ini merupakan artikel yang ditulis oleh staf Universitas Surabaya. Anda dapat menggunakan informasi yang ada pada halaman ini pada situs Anda dengan menuliskan nama penulis (apabila tidak tercantum nama penulis cukup menggunakan nama Universitas Surabaya) dan memasang backlink dengan alamat http://www.ubaya.ac.id/2014/content/articles_detail/116/Mengenal-Tahapan-Bencana.html
KEBIJAKAN DAN PENANGANAN BENCANA
Oleh Untung Tri Winarso, M.Si.
Berdasarkan perspektif geografi, geologi, klimatologi, dan demografi,
Indonesia berada pada posisi ke 7 sebagai negeri paling rawan akan risiko
bencana alam (UNESCO). Dua di antara kejadian bencana yang terakhir yang
menyebabkan kerusakan sangat besar, kerugian-kerugian dan korban-
korban adalah Tsunami di Aceh (2004) dan gempabumi di Yogyakarta dan
Jawa Tengah (2006). Oleh karena itu, masyarakat Indonesia dituntut untuk
belajar dari itu pengalaman-pengalaman dengan mengidentifikasi semua
aspek yang berhubungan dengan risiko dan kerentanan untuk meningkatkan
kapasitas mengatasi bencana.
Indonesia terletak pada persimpangan 4 lempeng tektonik utama gempa,
tsunami, termasuk jalurPacific Ring of Fire, > 500 gunung berapi, sekitar 128
aktif, pengaruh perubahan iklim kian parah banjir, kekeringan, kebakaran
hutan, kelaparan. Kerentanan Indonesia 383 dari total 440 kabupaten/kota
merupakan kawasan dengan kerentanan cukup tinggi, dengan faktor-faktor
kerentanan, antara lain: kepadatan tidak merata dan sangat tinggi di kota-
kota, kesenjangan tingkat pendapatan yang tinggi, posisi dan kondisi
(konstruksi) bangunan tidak sesuai tingkat ancaman, kawasan rawan
bencana berpenduduk padat
Belajar dari pengalaman Jepang yang begitu reaktif dan responsif dalam
menghadapi bencana alam, semestinya demikian pula-lah Indonesia.
Sebagai negri yang sarat bencana dengan bentangan alam yang jauh lebih
luas serta jumlah penduduk yang jauh lebih banyak, semestinya kita tak
bertaruh lagi untuk masalah ini.[1]
Bancana sendiri diartikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
[2] Definisi yang sama adalah berlangsungnya suatu kejadian bahaya yang
luar biasa yang menimbulkan dampak pada komunitas-komunitas rentan
dan mengakibatkan kerusakan, gangguan dan korban yang besar, serta
membuat kehidupan komunitas yang terkena dampak tidak dapat berjalan
dengan normal tanpa adanya bantuan dari pihak luar.[3]
Dari dua pengertian diatas dapat disarikan prasyarat suatu kejadian atau
fenomena alam dapat disebut sebagai bencana ketika terjadi kerugian
materi (harta benda, bangunan fisik) dan timbulnya korban jiwa yang besar,
serta dampak psikologis sehingga kehidupan komunitas yang terkena
dampak tidak dapat berjalan normal tanpa adanya bantuan pihak luar.
Ketika suatu kejadian atau fenomena alam tidak memenuhi prasyarat diatas,
maka hanya disebut bahaya yang mengancam kerugian-kerugian diatas.
Kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana sendiri tertuang
dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana. Penanggulangan bencana yang diamanatkan dalam undang-
undang tersebut memuat aktivitas yaitu pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, peringatan dini, tanggap darurat, rehabilitasi, dan
rekonstruksi. Semua aktivitas tersebut dilaksanakan dalam rangkaian kerja
holistik-berkesinambunga dengan kerangka menyukseskan pembangunan.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
[4] Dalam definisi diatas tidak memasukkan kegiatan rekonstruksi. Namun
pada prinsipnya upaya penanggulangan bencana mengacu pada siklus
menejemen bencana yang memuat upaya mitigasi, emergensi, rehabilitasi,
dan rekonstruksi.
Kebijakan ini telah lama ditunggu-tunggu oleh sebagian masyarakat
dan stakeholder yang berkepentingan dalam urusan kebencanaan, terkait
Indonesia belum mempunyai undang-undang tentang kebencanaan. Sangat
riskan kiranya dilihat dengan mempertimbangkan kondisi geografi, geologi,
dan demografi Indonesia yang rawan bencana, mulai dari bencana alam
seperti gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, angin rebut, kebakaran
hutan. Bahkan bencana sosial seperti konflik antar komunitas sebagai
dampak negatif dari keberagaman adat, budaya, agama, disparitas
pendapatan ekonomi, dan sebagainya.
Kebijakan penanggulangan bencana ini termasuk dalam model kebijakan
imperatif. Kebijakan imperatif adalah kebijakan sosial terpusat, yakni seluruh
tujuan-tujuan sosial, jenis, sumber, dan jumlah pelayanan sosial, seluruhnya
telah ditentukan. Seringkali pemerintah di negara-negara berkembang
memilih kebijakan imperatif dimana peran perencanaan pembangunan
sebagian besar dilaksanakan oleh pemerintah.[5]
Berdasarkan keajegan dan keberlanjutannya, kebijakan penanggulangan
bencana termasuk dalam model residual. Menurut model residual, kebijakan
sosial hanya diperlukan apabila lembaga-lembaga alamiah, yang karena
suatu sebab (misalnya keluarga kehilangan pencari nafkah karena
meninggal dunia) tidak dapat menjalankan peranannya. Pelayanan sosial
yang diberikan biasanya bersifat temporer, dalam arti segera dihentikan
manakala lembaga tersebut berfungsi kembali.[6]
Namun, dalam kebijakan tersebut memiliki variable institusional atau
berkesinambungan. Hal tersebut terdapat dalam upaya mitigasi bencana
yang menekankan pada kegiatan-kegiatan pencegahan dan kesiapsiagaan
bencana, meliputi:
a. perencanaan penanggulangan bencana;
b. pengurangan risiko bencana;
c. pencegahan;
d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
e. persyaratan analisis risiko bencana;
f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
g. pendidikan dan pelatihan; dan
h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
Tahap ini di lanjutkan ketika terjadi pada tahap tanggap darurat ketika
terjadi bencana meliputi pengerahan segala sumber daya untuk korban
bencana. Dilanjutkan pada tahap setelah terjadinya bencana yaitu
rehabilitasi dan rekonstruksi yang bersifat pemulihan dan pembangungan
kembali fasilitas-fasilitas sosial dan kehidupan ekonomi masyarakat.
Jika tahap setelah terjadi bencana, kegiatan yang diharapkan terus dilakukan
adalah dengan meningkatkan kesiapsiagaan dan pencegahan dampak/risiko
bencana. Melalui pelatihan dan simulasi tindakan ketika terjadi bencana
pada lembaga-lembaga pendidikan, perusahaan, pemerintahan, dan
sebagainya. Aktivitas tersebut bertujuan untuk menyadarkan masyarakat
untuk mengetahui tentang kebencanaan (awernes) dan pengorganisasian
masyarakat dalam kerangka advokasi. Memang kebijakan ini disiapkan
untuk menangani bencana dengan segala perangkatnya secara holistik dan
berkesinambungan.
Tujuan
Dalam UU No. 24 Tahun 2007, tujuan yang dirumuskan adalah:
1. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana;
2. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
3. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh;
4. menghargai budaya lokal;
5. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;
6. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan
kedermawanan; dan
7. menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana dilakukan dalam
tahap-tahap mitigasi dan kesiapsiagaan bencana untuk mengurangi risiko
bencana. Aktivitas yang dilakukan antara lain pengkajian dan risiko dan
kerentanan, penanggulangan dampak risiko bencana, pendidikan dan
pelatihan kesiapsiagaan bencana. Upaya ini termasuk dalam kebijakan
pencegahan terhadap risiko bencana.
Menyelaraskan kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang ada
adalah menyempurnakan kebijakan sosial kebencanaan yang sebelumnya
ada, kebijakan sebelumnya tersebut masih bersifat parsial. Kemampuan
Indonesia untuk menanggulangi bencana dapat dilihat dari beberapa
dimensi, yaitu dimensi filsafat dan paradigma, kebijakan, struktur,
mekanisme, program dan kegiatan. Dari segi filsafat dan paradigma,
penanggulangan bencana di Indonesia pada masa lalu lebih banyak diwarnai
oleh paradigma fatalistik-responsif. Bencana dianggap sebagai suatu
kutukan dari Tuhan dan tidak terlalu banyak yang dapat dilakukan oleh
rakyat kecuali melakukan tanggapan darurat terhadap peristiwa dan dampak
bencana yang baru saja terjadi.[7]
Regulasi sebelum UU No.24 Tahun 2007 hanyalah setingkat keputusan
presiden, antara lain Keppres No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi
Nasional Penanganan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi, Keppres No.
111 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keppres RI No. 3 tahun 2001, dan
Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang
ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No. 2 tahun 2001.
Keputusan Presiden No. 28 tahun 1979 Tentang Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana Alam (BAKORNAS PBA). Pada tahun 1990, melalui
Keppres No. 43 tahun 1990, Badan tersebut disempurnakan menjadi Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS PB) yang tidak
hanya berfokus pada bencana alam belaka, namun juga berfokus pada
bencana oleh ulah manusia (man-made disaster) (Sekretariat Bakornas PBP,
2001). Selanjutnya, Keppres ini disempurnakan lagi dengan Keppres Nomor
106 tahun 1999 yang memberikan tugas tambahan kepada Bakornas PBP
untuk juga menangani dampak kerusuhan sosial dan pengungsi. Namun usia
Keppres No. 106 tahun 1999–pun tidak bertahan lama. Sebabnya antara lain
pembubaran Departemen Sosial pada era tersebut yang menyebabkan
Bakornas PBP kehilangan salah satu organnya. Menyadari kejadian tersebut,
Pemerintah kemudian menerbitkan Keppres No. 3 tahun 2001 tentang
Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang
diketuai oleh Wakil Presiden dan Sekretaris Wakil Presiden secara ex
officio menjadi Sekretaris Bakornas PBP.[8]
Sedangkan Jepang yang memiliki kerentanan hampir sama dengan Indonesia
telah mempunyi regulasi tentang kebencanaan sejak 1880 yaitu Provision
and Saving Act for Natural Disaster. Dan pada tahun 1961
melahirkan Disaster Countermeasures Basic Act (1961) yang mengatur dan
memiliki sejumlah elemen antara lain :
Pendirian Dewan Penanggulangan Bencana (Disaster Management
Council) di tingkat nasional, prefektur, kota/ municipality berkoordinasi
dengan organisasi-organisasi multi sektoral.
Pemantapan Rencana Penanggulangan Bencana (Disaster Management
Plan) di tingkat nasional, prefektur, dan kota/ municipality.
Pemantapan markas pusat yang bersifat ad hoc dan kerjasama
multisektoral untuk respon gawat darurat.[9]
Regulasi terakhir mengenai penanggulangan bencana bertujuan menagani
bencana secara integral, koodinatif, holistik, dan terencana. Mainstream
yang digunakan adalah menyukseskan pembangunan, sebab ketika terjadi
banyaknya kerugian infrastruktur seperti jembatan, bangunan perkantoran,
pasar, sekolah, rumah sakit tentunya menghambat pembangunan.
Kongkritnya anggaran yang dapat dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat
dikurangi atau paling tidak dialihkan pada pembangunan kembali
infrastruktur yang rusak. Dari dimensi pembangunan manusia, bencana
menghambat pengembangan kualitas manusia pada tersendatnya
penyelenggaraan pendidikan, ekonomi, sosial, dan kesehatan yang lambat
laun akan menurunkan kualitas pembangunan manusia. Angka kemiskinan
sudah barang tentu akan meningkat ketika masyarakat kehilangan harta
benda dan akses sosial.
Pelayanan sosial dan atau perlindungan sosial penanggulangan bencana
yang secara menyeluruh dikaitkan dengan siklus menejemen bencana, yaitu
tahap pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, tanggap darurat
(emergensi/relief), rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman
bencana. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Kesiapsiagaan
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana
melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan
berdaya guna.
Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera
mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada
suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. Tahap taggap darurat adalah
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat
kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang
meliputi kegiatan menyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik
atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah paska bencana
dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar
semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah paska bencana, baik pada tingkat pemerintahan
maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban,
dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah paska bencana.
Standar minimum dalam respon bencana memuat lima hal; (1) Standar
minimum semua sektor, (2) Pasokan air bersih, sanitasi dan penyuluhan
kebersihan (3) Ketahanan pangan, gizi dan bantuan pangan, (4) Hunian,
penampungan dan bantuan non pangan dan (5) Pelayanan Kesehatan.
[10] Terutama dalam masa tanggap darurat perlindungan bagi para
penyintas (survivor) difokuskan pada ketersediaan pangan, sandang,
ketersediaan air bersih dan sanitasi, layananan kesehatan, dan perumahan
sementara untuk para pengungsi. Sementara pada tahap rehabilitasi
diarahkan pada ketersediaan akses ekonomi seperti perbaikan jalan,
pengadaan alat transportasi, pasar, jembatan; pembuatan sekolah dan
rumah sakit darurat. Dan pada tahap rekonstruksi adalah pembangunan
akses ekonomi, sosial, kesehatan seperti pembangunan pasar, gedung
perkantoran, sekolah, rumah sakit/puskesmas, pembagunan rumah bagi
korban.
Kebutuhan dasar dalam kerangka pengembangan manusia (human
development) untuk peningkatan kapasitas dan keberfungsian individu pada
saat bencana harus terpenuhi, pasalnya komunitas tidak berdaya dan tidak
mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan dasar
yang harus terpenuhi yaitu, nutrisi, pelayanan kesehatan, pedidikan, dan
perumahan.[11]
Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan dan proses memberikan
wewenang lebih luas kepada komunitas untuk secara bersama-sama
memecahkan berbagai persoalan, menyediakan kesempaan untuk ikut
bagian dan memiliki kewenangan dalam proses pegambilan keputusan dan
alokasi sumber daya dalam kegiatan menejemen bencana. Tujuannya adalah
memecahkan persoalan dengan lebih baik dengan mempertimbangkan
kontribusi dan peran komunitas.
Partisipasi komunitas bertujuan untuk mencari jawaban atas masalah
dengan cara kebih baik, dengan memberikan kontribusi sehingga
implementsi kegiatan berjalan lebih efektif, efisien, dan berkelanjutan.
Partisipasi komunitas dilakukan mulai dari tahapan kegiatan pembuatan
konsep, konstruksi, operasional-pemeliharaan, serta evaluasi dan
pengawasan.[12]
Secara sederhana pengelompokan stakeholder dikelompokan menjadi aktor
dalam dan aktor dalam. Aktor dalam merujuk pada para individu, organisasi,
dan pemangku kepentingan yang berada dalam komunitas, seperti
karangtaruna dan seluruh anggota komunitas yang tercakup di dalam
organisasi komunitas untuk pengelolaan bencana (Community Based
Disaster Management). Aktor luar merujuk pada sector-sektor dan lembaga-
lembaga yang terletak di luar komunitas dan ingin mengurangi kerentanan
dan meningkatkan kapasitas mereka dalam mengelola bencana, seperti
departemen dan lembaga pemerintah, LSM, PBB, sektor swasta dan lembaga
luar lainnya
Tujuan menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara sesungguhnya mengantisipasi dampak bencana
sosial. Bencana sosial dapat diartikan sebagai bencana yang ditimbulkan
oleh faktor manusia. Seperti konflik bersenjata, penggusuran, terorisme, dan
lain sebagainya. Disebut becana sosial karea disebabkan oleh perilaku atau
ulah manusia, baik dalam pengelolaan lingkungan, perebuatan sumber daya,
permasalahan ras dan kepentingan lainnya yang dapat menimbulkan
ketidakharmonisan dan ketidaksesuaian.
Jenis Cakupan dan Target Group
Menurut Edi Suharto yang mengutip Spicker:1995 dan Thompson:2005
menerangkan bahwa tradisi kebijakan sosial pemerintah di Negara-negara
maju mencakup ketetapan atau regulasi mengenai lima bidang pelayanan
sosial, yaitu, jaminan sosial, pelayanan perumahan, kesehatan, pendidikan
dan pelayanan atau perawatan personal.[13] Pemerintah Republik Indonesia
melalui UU No. 24 Tahun 2007 sebagai wujud kewajiban negara (state
obligation) dalam memenuhi hak-hak sosial warganya. Perwujudan
pemenuhan hak sosial tersebut terdapat dalam pemenuhan kebutuhan dasar
warga negara dalam keadaan paska bencana. Selain itu guna melindungi
warga negara dari ancaman dampak bencana alam ataupun bencana sosial
melalui upaya pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan.
Kelima pelayanan sosial yang dicakup oleh undang-undang tersebut
serentak dilakukan ketika terjadi bencana, tujuannya adalah masyarakat
yang terkena dampak bencana dapat cepat pulih dari kondisi terpuruk
kepada kondisi normal bahkan lebih baik dari sebelumnya. Program bantuan
sosial (social assistance) diberikan kepada keluarga dan individu yang
mengalai kerugian fisik, kehilangan pekerjaan, kehilangan anggota keluarga.
Misalnya jatah hidup (living cost) pada keluarga korban gempa bumi
Yogyakarta tahun lalu yang besarnya Rp. 90.000 selama tiga bulan. Pada
keyataannya tidak terbukti secara pasti, hanya diberikan satu kali dan itupun
pembagiannya belum merata, di sebagian wilayah Bantul besaran yang
diterima warga ada yang mencapai angka 260 ribu perkepala keluarga
sementara dibagian wilayah yang lain rata-rata hanya menerima 90 ribu
rupiah, adapula mereka yang sama sekali tidak mendapatkannya.[14]
Pelayanan perumahan pada masa tanggap darurat disediakan dalam bentuk
posko-posko pengungsian dalam bentuk tenda atau gedung yang dianggap
aman. Pada tahap rehabilitasi disediakan tempat tinggal sementara
(temporary shelter) dari bahan bambu dan terpal plastik. Pada tahap
rekonstruksi, pemerintah menyediakan dana rekonstruksi (dakon) bagi
korban dengan tiga kriteria; rumah roboh atau rusak berat
sebesar Rp.15.000.000,-, rumah rusak sedang Rp. 4.000.000,-, dan rumah
rusak ringan Rp.1.000.000,- melalui skema kelompok masyarakat (pokmas),
penggantian lahan tempat tinggal dan usaha bagi korban luapan lumpur
(Lapindo) di Sidoarjo.
Pelayanan kesehatan gratis untuk korban luka-luka dijamin selama masa
rehabilitasi dan penyembuhan. Begitu pula dengan pendidikan gratis bagi
anak korban bencana gempa bumi di Yogyakarta selama satu semester.
Pelayanan perseorangan terutama penderita gangguan fisik dan mental juga
disediakan beberapa bulan paska gempa maupun perlindungan pada
kelompok rentan; perempuan, anak, manula, dan kaum difable.
Nah, sasaran kebijakan (target group) dari kebijakan ini adalah seluruh
warga negara yang terkena dampak bencana, baik bencana alam maupun
bencana sosial. Tanpa memperhitungkan kontribusi pada negara, mereka
berhak mendapat pelayanan sosial dalam kondisi ketidakberdayaan dan
ketidakberfungsian individu dan institusi.
Kebijakan ini termasuk dalam kategori instrument wajib (compulsory
Instrumen) atau instrument instruksi atau tindakan langsung ke sasaran baik
individu maupun perusahaan. Instrument intruksi yang ada berbentuk
regulasi yang dimaksudkan membatasi perilaku individu, masyarakat, dan
perusahaan baik perusahaan swasta maupun perusahaan publik. Regulasi
juga dapat berbentuk penentan standar, prosedur perijinan, larangan
perilaku tertentu, dan perintah untuk melakukan tindakan.[15] Regulasi
penanggulangan bencana kiranya tepat dikategorikan sebagai perintah
untuk melakukan tindakan.
Dari segi anggaran, perubahan radikal yang diamanatkan oleh undang-
undang tersebut adalah merubah anggaran bencana dari dana tak tersangka
yang aksesnya sangat terbatas menjadi masuk dalam salah satu item pos
anggaran baik APBN dan APBD. Hal ini dirasakan penting berlandaskan
paradigma bahwa bencana dapat menghambat proses pembangunan,
tentunya apabila tidak diantisipasi akan lebih banyak anggaran untuk
membiayai kerugaian yang dialami pemerintah dan masyarakat.
Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, ada empat stakeholder yang
terlibat dalam penanggulangan bencana yang terdapat di dalam
UU No.24 Tahun 2007. yaitu Pemerintah dalam hal ini Badan Nasional
Penaggulangan Bencana, Pemerintah daerah dalam hal ini Badan
Penanggulangan Bencana Daerah, lembaga usaha, dan lembaga
internasional da lembaga asing nonpemerintah. Dua pemangku kepentingan
pertama merupakan bentuk tanggungjawab/kewajiban pemerintah dalam
melindungi dan menyediakan layanan pada warganya, sedangkan dua
pemangku kepentingan terakhir adalah wujud partisipasi dan kemitraan
yang digalang oleh pemerintah untuk menanggulangi bencana. Namun
pemerintah pusat tetap mempunyai wewenang dan tanggungjawab besar
dalam memutuskan dan melaksanakan undang-undang ini, seperti
memutuskan tidakan yang dilakukan waktu bencana terjadi, penetapan
status dan tingkatan bencana nasional dan daerah, penentuan kebijakan
kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan negara lain, badan-
badan, atau pihak-pihak internasional lain, dan sebagainya.
Implementasi
Pelaksanaan kebijakan penanggulangan bencana yang baru ditetapkan pada
26 April 2007 memang masih belum terlihat secara nyata dari segi hasil dan
capaian-capaiannya. Sebagai kebijakan yang menyelaaskan dan
menyempurnakan kebijakan sebelumnya yang bersifat ad hoc. Pelaksanaan
penanggulangan bencana masih terlihat pada upaya tanggap darurat ketika
terjadi bencana, seperti di Bengkulu dan Dompu. Upaya mitigasi dan
kesiapsiagaan terjadi ketika Gunung Kelud meletus di Kediri dan Blitar, Jawa
Timur dengan memindahkan penduduk di kawasan rawan bencana 1 an 2 ke
tempat pengungsian yang lebih aman.
Walau demikian, penanggulangan bencana di kawasan Kelud, yaitu
Kabupaten Kediri dan Blitar belum memadai. Selain tidak fokus, program-
program yang dibuat setiap tahun lebih banyak berbentuk respon daripada
pengurangan risiko. Misalnya, kegiatan monitoring daerah rawan bencana.
Selain itu, program daerah baru sebatas penguatan institusi
penanggulangan bencana. Anggaran yang dialokasikan hanya Rp
270.706.600. Jumlah itu jauh lebih kecil daripada pembiayaan pembangunan
jaringan listrik dan prasarana objek wisata Kelud. Anggarannya sembilan kali
lipat lebih besar atau senilai Rp 2.496.374.200.[16]
Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
seringkali tidak diiringi dengan pengalihan tanggung jawab pelayanan dan
perlindungan kepada rakyat. Akibatnya pada saat bahaya terjadi, tanggapan
pemerintah daerah cenderung lambat dan seringkali mengharapkan
tanggapan langsung dari pemerintah pusat. Di lain pihak, pada saat
bencana, kurangnya koordinasi antar tataran pemerintahan menghambat
pemberian tanggapan yang cepat, optimal, dan efektif.
Sebelum ditetapkannya UU No.24 Tahun 2007 Tentang Penaggulangan
Bencana, pemerintah melalui Bappenas telah menyusun dokumen Rencana
Aksi Nasional Pengurangan Risiko Becana. Tujuan penyusunan rencana aksi
ini adalah untuk mendukung perumusan kebijakan dan pengawasan dalam
pelaksanaan kegiatan pengurangan risiko bencana, sehingga sasaran
dokumen ini lebih pada pengendalian kegiatan yang berkelanjutan, terarah
dan terpadu. Saat ini, di beberapa daerah sedang giat untuk menyusun
rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana.
Sejauh ini belum terdapat aturan atau regulasi pendukung untuk
pelaksanaan yang lebih bersifat teknis. Semisal Kepres pembentukan Badan
Nasional Penanggulangan Bencana dan Kepres yang mengatur keterlibatan
lembaga internasioal dan lembaga asing nonpemerintah yang diamanatkan
undang-undang. Jika aturan pendukung tersebut tidak segera dibentuk,
maka kemungkinan besar pelaksanaan di lapangan akan terhambat, tidak
terkoordinasi dengan baik, dan kendala teknis lainnya akan muncul.
Sebagai negara rawan bencana, Indonesia sangat terlambat dalam
mengantisipasi dan menangani dampak bencana. Hal ini dapat dibuktikan
dengan keterlambatan pemerintah mengeluarkan regulasi berbentuk
undang-undang yang mengatur penanggulangan bencana secara
berkelanjutan atau berkesinambungan. Sebelumnya, regulasi hanya
bersifat ad hoc sehingga penanganan bencana dijalankan parsial dan tidak
terkoordininasi dengan baik sesuai siklus menejemen bencana.
Namun, dengan hadirnya undang-undang bencana dapat mengobati rasa
haus masyarakat sipil yang menambakan penanganan bencana secara
integratif. Pasalnya, telah terjadi beberapa perubahan paradigma dalam
penanggulangan bencana, diantaranya paradigma linear ke siklus, dari
responsif ke pengelolaan, dari karikatif ke pemberdayaan, dan dari
mengelola dampak ke mereduksi risiko.
Dengan hadirnya kebijakan ini, diharapkan penanganan bencana akan lebih
baik dikemudian hari, kapasitas masyarakat meningkat, kehidupan korban
cepat pulih dan dapat lebih baik, masyarakat berdaya dan tanggap akan
bencana dapat tercapai daripada memandang bencana an sich sebagai
takdir. Upaya monitoring dan evaluasi semua pihak yang berkepentingan
terutama masyarakat menjadi elemen yang sangat penting terkait anggaran
dan pelaksanaan kebijakan demi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Daftar Pustaka
Benson, Charlotte, John Twigg, Tiziana Rossetto (2007), Perangakat untuk
Mengarusutamakan Pengurangan Risiko Bencana: Catatan Panduan bagi
Lembaga-Lembaga yang Bergerak dalam Bidang Pembangunan, (Trj.)
Laurentia Sumarni, Valentinus Irawan, Yogyakarta: ProVention
Consortium, Hivos Kantor Regional Asia Tenggara, CIRCLE Indonesia.
Midgley, James, Michael Sherraden (1999), “The Social Development
Perspective in Social Policy”, on James Midgley, Martin B. Tracy, Michelle
Livermore, The Handbook of Social Policy, USA: Sage Publications.
Paripurno, Eko Teguh (ed.) (2007), Berkawan dengan Ancaman: Strategi dan
Adaptasi Mengurangi Risiko Bencana, Jakarta: WALHI.
Subarsono, AG. (2006), Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan
Aplikasi, cet.II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suharto, Edi (2005) , Analisa Kebijakan Publik: Panduan Praktisi Mengkaji
masalah dan Kebijakan Sosial,cet.II, Bandung: Alfabeta.
KELOMPOK RENTAN BENCANA
kelompok rentan yang harus diutamakan saat melakukan evakuasi saat bencana melanda suatu
daaerah. Mereka adalah orang tua lanjut usia, wanita hamil, orang sakit, anak-anak dan penyandang
difabel (cacat tubuh/orang berkebutuhan khusus). Mereka hampir disetiap peristiwa bencana, kelompok
ini paling banyak menjadi korban.” Kata Syamsul Maarif, Kepala BNPB, dalam seminar dengan tema
Peran Pemuda dalam Penanggulangan Bencana, yang berlangsung hari sabtu (21/13).
Pernyataan Pak Syamsul, begitu sapaan akrabnya, tidak terlalu salah, karena semua media massa yang
memuat berita tentang bencana selalu menginformasikan banyaknya jumlah korban, disamping aneka
kerusakan yang diakibatkan oleh bencana, selalu saja korbannya adalah anak-anak dan orang tua,
contohnya korban banjir di Lamongan dan Bojonegoro, belum lagi di daerah lain.
Mereka sering menjadi korban karena ketidak berdayaannya dalam menyelamatkan diri, sedang pada
saat terjadi bencana, masing-masing orang sibuk melakukan penyelamatan harta benda dan diri
pribadinya sendiri. Sementara, para relawan memberi bantuan evakuasi pun masih terbatas pada yang
terlihat dan terdekat dengannya. Setelah kondisi memungkinkan, baru melakukan penyisiran mencari
korban yang tertinggal, khususnya mereka yang tergolong rentan dan terlupakan.
Menurut BNPB, kerentanan itu sebuah kondisi dari seseorang atau masyarakat yang mengarah atau
menyebabkan ketidak mampuan dalam menghadapi bencana. Tidak ada salahnya jika relawan
membantu mengatasi kerentanan untuk mengurangi jumlah korban. Apalagi, dalam banyak kasus,
banyaknya korban jiwa terjadi karena datangnya bencana tidak diantisipasi. Dengan demikian, melalui
seminar semacam ini merupakan langkah nyata untuk menyiapkan diri sedini mungkin menghadapi
berbagai bencana yang kemungkinan muncul, mengingat Indonesia merupakan etalase bencana yang
perlu diwaspadai dan diantisipasi melalui berbagai cara oleh siapa saja, termasuk komunitas relawan
Indonesia sebagai kelompok studi kebencanaan.
Inilah pentingnya sosialisasi pengurangan resiko bencana kepada masyarakat, khususnya di daerah
yang memiliki potensi bencana atau daerah rawan bencana, sehingga masyarakat sendiri memahami
dan siap menghadapi jika terjadi bencana. Mengingat ketika bencana, maka yang pertama kali
merasakan adalah masyarakat itu sendiri. Dengan mengetahui kerawanan dan potensi bencana,
diharapkan masyarakat lebih siap sebelum bantuan dari luar datang. Disinilah peran relawan diperlukan
dalam hal penyadaran akan pentingnya PRB, Kata Ayiek Parabola, anggota Komunitas Relawan
Indonesia (K.R.I).
Seminar yang dihadiri oleh berbagai unsur relawan di Jawa Timur ini, juga diramaikan oleh kedatangan
40 siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Mojosari, Mojokerto, binaan Hajjah Alifiyah Al-Hakim. Sebagai
kader muda yang tergabung dalam Komunitas Relawan Indonesia cabang Mojokerto, mereka sangat
antusias mengikuti seluruh sajian materi seminar.
Semangat mereka perlu mendapat apresiasi dan dipupuk sehingga konsep saling sinau yang
dikembangkan oleh K.R.I, benar-benar terasakan manfaatnya. Sebagai relawan muda, mereka bisa
membantu melakukan sosialisasi kepada teman-teman sebayanya terkait dengan masalah kerentanan
dan potensi bencana di Jawa timur.
Dimana, berdasar tipe bencana yang tercantum di dalam UU nomor 24 tahun 2007, propinsi jawa timur
berpotensi terkena 13 jenis bencana, yaitu, banjir, kekeringan, tsunami, gempa bumi, letusan gunung api,
longsor, cuaca ekstrim (puting beliung), gelombang ekstrim dan abrasi, kebakaran gedung dan
pemukiman, konflik sosial/kerusuhan, epidemik dan wabah penyakit serta kegagalan teknologi.
(htt://dibi.bnpb.go.id). Sedang menurut BPBD Jatim, ada 17 Kabupaten/Kota yang rawan bencana,
seperti Bondowoso, Pasuruan, Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Madiun, dan Ponorogo. Potensi
bencananya adalah banjir, banjir bandang, gempa dan longsor.
Seminar yang diselenggarakan di Rumah Budaya Joglo Kadiren (rumbu joka), Sidorjo ini merupakan
upaya membuka cakrawala baru bahwa peran pemuda (relawan) dalam sosialisasi pengurangan resiko
bencana untuk mengurangi tingkat kerentanan, juga penting dilakukan, sekaligus upaya meningkatkan
koordinasi antar kelompok relawan yang ada agar dicapai kesepahaman dalam upaya penanggulangan
bencana, baik itu sebelum, sesaat dan sesudah terjadi bencana.
“Yang jelas kegiatan seminar semacam ini perlu diadakan secara berkala untuk mempererat pertemanan
sekaligus sebagai media tukar informasi dan berdiskusi untuk memberikan masukan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan terhadap penanggulangan bencana, sehingga keberadaan dan keterlibatan relawan
semakin diperhatikan.” Ujar Echa, peserta seminar dari Unitomo Surabaya. *[eBas]
PENGURANGAN RESIKO BENCANA
Pengurangan Resiko Bencana (PRB)
Pengurangan resiko bencana adalah salah satu system pendekatan untuk mengindentifikasi,
mengevaluasi dan mengurangi resiko yang diakibatkan oleh bencana . Tujuan utamanya untuk
mengurangi resiko fatal dibidang social , ekonomi dan juga lingkungan alam serta penyebab
pemicu bencana: PRB sangat dipengaruhi oleh penelitian masal pada hal-hal yang mematikan,
dan telah dicetak /dipublikasikan sejak pertengahan tahun 1970.
Ini merupakan bentuk tanggung jawab dan perkembangan dari agen sejenis Badan Penyelamat,
dan seharusnya kegiatan ini berkesinambungan, serta menjadi bagian dari kesatuan kegiatan
organisasi ini, tidak hanya melakukannya secara musiman pada sa'at terjadi bencana. Oleh
karenanya jangkauan(PRB) sangat luas. Cakupannya lebih luas dan dalam, dibanding manajemen
penanggulangan bencana darurat yang biasa, PRB dapat melakukan inisiatif kegiatan dalam
segala bidang pembangunan dan kemanusiaan.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merumuskan PRB sebagai agen
sejenis UNISDR dan UNDP:
"Kerangka konsep kerja yang bagian-bagiannya telah mempertimbangkan segala kemungkinan
untuk memperkecil resiko kematian dan bencana melalui lingkungan masyarakat, untuk
menghindari (mencegah) atau untuk membatasi ( menghadapi dan mempersiapkan) kemalangan
yang disebabkan oleh marabahaya, dalam konteks yang lebih luas dari pembangunan yang
berkelanjutan”.
Sejak tahun 1970 evolusi pemikiran dan praktek managemen bencana telah mengalami
kemajuan pengertian yang semakin luas dan dalam, tentang mengapa bencana alam terjadi,
disertai oleh pendekatan dan analisa secara menyeluruh yang lebih terfokus, untuk mengurangi
resikonya pada masyarakat. Paradigma managemen modern – Pengurangan Resiko Bencana
(PRB), merupakan langkah terbaru dalam bidang ini. PRB secara resmi merupakan konsep
baru,Namun pemikiran dan prakteknya telah diterapkan jauh sebelum konsep ini dicetuskan, dan
sekarang PRB telah diterapkan oleh organisasi internasional, pemerintah, perancang bencana
dan organisasi kemasyarakatan.
PRB merupakan konsep yang mencakup segala bidang, dan telah terbukti sulit untuk
mendefinisikan atau menjelaskan secara rinci, namun cakupan idenya sangat jelas. Tak dapat
dihindari, ada beberapa definisi istilah yang dipakai dalam buku pedoman, tetapi pada umumnya
artinya mudah dimengerti dan diterapkan dalam cakupan pembangunan, dalam kebijakan-
kebijakan, strategi dan praktek, untuk mengurangi resiko kematian dan kerugian akibat bencana
pada masyarakat. Istilah "Managemen Pengurangan Resiko Bencana” sering digunakan dalam
konteks dan arti yang sama; pendekatan systematis, untuk mengindentifikasi, mengevaluasi dan
mengurangi segala resiko yang berkaitan dengan malapetaka (marabahaya) dan kegiatan
manusia. Sangat layak diterapkan operasional PRB; Implementasi praktis dari inisiatif PRB.
SELF COMMUNITY
PERMASALAHAN PENANGGULANGAN BENCANA
Tugas Pokok dan Fungsi
Permasalahan Bidang Penanganan Pra BencanaBeberapa permasalahan yang terkait dengan bidang pencegahan dan kesiapsiagaan sebagai berikut:
1. Kondisi geografis Kabupaten Bangli yang rawan akan bencana alam (Gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor, pohon tumbang, banjir, kekeringan, kebakaran dll)
2. Kondisi bangunan rumah penduduk dan sarana Pemerintahan banyak yang rusak dan tidak memadai. Hal ini sangat membahayakan bila terjadi bencana;
3. Pertambahan penduduk yang tinggi akan menyulitkan penanganan penanggulangan bencana;4. Belum sepenuhnya penyelenggaraan penanganan bencana di Kabupaten Bangli dilaksanakan sesuai
dengan UU Nomor 24 Tahun 2007 terutama untuk kewenangan-kewenangan yang sebelumnya sudah ada di SKPD selain BPBD;
5. Terbatasnya anggaran yang tersedia di masing-masing SKPD bagi kegiatan penyelenggaraan penanggulangan bencana di Kabupaten Bangli;
6. Adanya perubahan iklim global yang berpotensi meningkatkan intensitas bencana alam di duni ;7. Adanya keterbatasan sarana komunikasi di daerah sehingga menghambat kecepatan penyebaran arus data
ke pusat maupun daerah lain;8. Luasnya cakupan wilayah penanganan penanggulangan kebencanaan dengan jenis potensi bencana yang
beragam; dan9. Masih rendahnya pemahaman masyarakat dan aparat Pemerintahan dalam menyikapi kondisi alam
yang rawan bencana.
Permasalahan Bidang Penanganan pada saat terjadi bencanaBeberapa permasalahan yang terkait dengan bidang ketanggapdaruratan dan logistik sebagai berikut:
1. Belum memadainya prosedur dan regulasi sebagai pedoman penyelenggaraan penanganan bencana di Indonesia termasuk belum terpenuhinya seluruh amanah aturan dan regulasi yang dikehendaki Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
2. Masih tersebar dan belum terbangun Sistem informasi dan komunikasikebencanaan secara terpadu dan terintegrasi dari tingkat bawah sampai kabupaten;
3. Kurang tersedianya anggaran yang memadai dalamrangka penanggulangan bencana;4. Kurang terpadunya penyelenggaraan penanganan bencana dan masihberjalan secara sektoral;5. Belum optimalnya koordinasi pelaksanaan penanggulangan bencana; dan6. Masih terbatasnya sarana dan prasarana dalampenyelenggaraan penanggulangan7. Belum memiliki SOP (Standar Operational Prosedur) enanggulangan Bencana yang optimal.
Permasalahan Bidang Penanganan Pasca / setelah terjadi bencanaBeberapa permasalahan yang terkait dengan bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi sebagai berikut:
1. Basis data yang tidak termutakhirkan dan teradministrasi secara reguler;2. Penilaian kerusakan dan kerugian setelah terjadi bencana yang tidak akurat;3. Keterbatasan peta wilayah yang meyebabkan terhambatnya elaksanaan analisa kerusakan spasial;4. Koordinasi pinalainkerusakan dan kerugianserta perencanaan rehabilitasi dan rekontruksi yang terpusat;5. Keterbatasan alokasi pendanaan bagi rehabilitasi dan rekontruksi yang berasal dari anggaran daerah
PERAN PERAWAT DALAM MANAJEMEN BENCANA
Peran Perawat dalam Manajemen Bencana
Agu 23
Apa sih peran perawat pada saat bencana??
Hmmm…pastilah ada..hehe,,coz perawat merupakan salah satu dari sekian banyak tenaga
kesehatan yang punya andil besar didunia persilatan,,ehh dunia kesehatan ;)
So,,bwt sobat2 yg ambil jrsan perawat, bkerja sbg perawat, org tua perawat , suami/istri
perawat, kakek nenek perawat *maksa.com*,, pastilah harus tahu deskripsi peran perawat
yg sebenarnya dalam menanggulangi bencana..
Nihh dia,,silahkan diliat SOB ^–^
Fase-Fase Bencana
Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana yaitu;
–fase preimpact,
–fase impact
–fase postimpact
1. Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat
dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan
dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
2. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini terus
berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.
3. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat,
juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal.
Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap respon
psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar, depresi hingga penerimaan.
TIM BANTUAN KESEHATAN (BERDASARKAN KEPMENKES 066/MENKES/SK/II/2006)
Tim yang Diberangkatkan Berdasarkan Kebutuhan setelah Tim Gerak Cepat dan Tim RHA
Kembali dengan Laporan Hasil Kegiatan Mereka di Lapangan
JUMLAH KEBUTUHAN SDM KES DI LAPANGAN UTK JML PENDUDUK/ PENGUNGSI 10.000 –
20.000 ORANG
1. Dokter Umum F 4 orang
2. Perawat F 10 – 20 orang
3. Bidan F 8 – 16 orang
4. Apoteker F 2 orang
5. Asisten Apoteker F 4 orang
6. Pranata Laboratorium F 2 orang
7. Epidemiolog F 2 orang
8. Entomolog F 2 orang
9. Sanitarian F 4 – 8 orang
PERAN PERAWAT KOMUNITAS DALAM MANAJEMEN KEJADIAN BENCANA
Perawat komunitas dalam asuhan keperawatan komunitas memiliki tanggung jawab peran
dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik selama tahap preimpact,
impact/emergency, dan post impact.
Peran perawat disini bisa dikatakan multiple; sebagai bagian dari penyusun
rencana, pendidik, pemberi asuhan keperawatan bagian dari tim pengkajian kejadian
bencana.
Tujuan utama
Tujuan tindakan asuhan keperawatan komunitas pada bencana ini adalah untuk mencapai
kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena bencana tersebut
PERAN PERAWAT
A. Peran dalam Pencegahan Primer
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra bencana ini, antara lain:
1.mengenali instruksi ancaman bahaya;
2.mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat fase emergency (makanan, air, obat-obatan,
pakaian dan selimut, serta tenda)
3.melatih penanganan pertama korban bencana.
4.berkoordinasi berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan, palang merah nasional
maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi
persiapan menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat
Pendidikan kesehatan diarahkan kepada :
1. usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut)
2. pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga
dengan kecurigaan fraktur tulang , perdarahan, dan pertolongan pertama luka bakar
3. memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti dinas kebakaran, RS
dan ambulans.
4. Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa (misal pakaian
seperlunya, portable radio, senter, baterai)
5. Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan atau posko-posko
bencana
B. Peran Perawat dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)
Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan tepat setelah keadaan
stabil. Setelah bencana mulai stabil, masing-masing bidang tim survey mulai melakukan
pengkajian cepat terhadap kerusakan-kerusakan, begitu juga perawat sebagai bagian dari
tim kesehatan.
Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan tindakan pertolongan
pertama. Ada saat dimana ”seleksi” pasien untuk penanganan segera (emergency) akan
lebih efektif. (Triase )
TRIASE
1. Merah — paling penting, prioritas utama. keadaan yang mengancam kehidupan
sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma dada, perdarahan internal,
trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, luka bakar derajat I-II
2. Kuning — penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury dengan efek sistemik
namun belum jatuh ke keadaan syok karena dalam keadaan ini sebenarnya pasien
masih dapat bertahan selama 30-60 menit. Injury tersebut antara lain fraktur tulang
multipel, fraktur terbuka, cedera medulla spinalis, laserasi, luka bakar derajat II
3. Hijau — prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur tertutup, luka bakar
minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan dislokasi
4. Hitam — meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat selamat dari bencana,
ditemukan sudah dalam keadaan meninggal
Peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko bencana
1.Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan sehari-hari
2.Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian
3.Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan penanganan
kesehatan di RS
4.Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian
5.Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus bayi, peralatan
kesehatan
6. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular maupun
kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan lingkungannya berkoordinasi dengan
perawat jiwa
7.Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas, depresi yang
ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi diri) maupun reaksi psikosomatik
(hilang nafsu makan, insomnia, fatigue, mual muntah, dan kelemahan otot)
8.Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan dengan
memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain.
9.Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog dan psikiater
10.Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan kesehatan dan
kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi
C. Peran perawat dalam fase postimpact
Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial, dan psikologis
korban. Selama masa perbaikan perawat membantu masyarakat untuk kembali pada
kehidupan normal. Beberapa penyakit dan kondisi fisik mungkin memerlukan jangka waktu
yang lama untuk normal kembali bahkan terdapat keadaan dimana kecacatan terjadi.
Note: actually,, this my teachings..
Edited by Me,,from all kind source.
Manajemen BencanaManajemen Bencana Oleh : Fallah Adi Wijayanti, NPM.0806457035Mahasiswi Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
I. PendahuluanIndonesia adalah negara tersering mengalami gempa bumi se-Asia Tenggara berdasarkan Natural Disaster Reduction (2007). Hal ini menunjukan Indonesia adalah negara rentan terhadap gempa. Melihat fenomena itu tentu banyak permasalahan fisik, psikologis, spiritual, sosial, dan ekonomi yang terjadi. Manajemen bencana yang cepat perlu dilakukan dalam mengatasi hal yang terjadi karena bencana. Manajemen bencana mencakup interdisiplin, usaha tim kolaborasi, dan jaringan lembaga dan individual untuk mengembangkan perencanaan bencana yang meliputi elemen kebutuhan untuk perencanaan yang efektif. Manajemen bencana memilki beberapa fase, fase dalam manajemen bencana merupakan hal penting yang harus diketahui. Oleh karena itu, pada laporan tugas mandiri ini akan dibahas manajemen bencana dan dikaitkan dengan kasus gempa yang terjadi di padang.
II. Tinjauan TeoriA. Definisi Manajemen Bencana Bencana adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar (Depkes RI). Manajemen bencana adalah proses yang sistematis dimana didalamnya termasuk berbagai macam kegiatan yang memanfaatkan kemampuan dari kebijakan pemerintah, juga kemampuan komunitas dan individu untuk menyeseuaikan diri dalam rangka meminamalisir kerugian. Tindakan-tindakan tersebut pada umumnya meliputi kegiatan-kegiatan perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengarahan, pemantauan, evaluasi dan pengendalian yang dapat teraktualisasi dalam bentuk sekumpulan kebijakan dan keputusan administratif maupun aktivitas-aktivitas yang bersifat operasional. B. Tujuan Manajemen bencanaTujuan manajemen bencana yang baik adalah:1. Menghindari kerugian pada individu, masyarakat, dan Negara melalui tindakan dini. 2. Meminimalisasi kerugian pada individu, masyarakat dan Negara berupa kerugian yang berkaitan dengan orang, fisik, ekonomi, dan lingkungan bila bencana tersebut terjadi, serta efektif bila bencana itu telah terjadi.3. Meminimalisasi penderitaan yang ditanggung oleh individu dan masyarakat yang terkena bencana. Membantu individu dan masyarakat yang terkena bencana supaya dapat bertahan hidup dengan cara melepaskan penderitaan yang langsung dialami. 4. Memberi informasi masyarakat danpihak berwenang mengenai resiko.5. Memperbaiki kondisi sehingga indivudu dan masyarakat dapat mengatasi permasalahan akibat bencana. C. Fase Pada Manajemen BencanaManajemen bencana dapat dibagi menjadi beberapa fase:1. Fase MitigasiMitigasi merupakan kegiatan yang dirancang untuk mengurangi resiko dan potensi kerusakan akibat keadaan darurat. Analisa demografi populasi rentan dan kemampuan komunitas harus dianalisa. Mitigasi mencakup pendidikan kepada publik tindakan untuk menyiapkan bencana pada individu,keluarga,dan komunitas. Dimulai dengan mengidentifikasi hazard potensial yang mempengaruhi operator organisasi.Indonesia kini tengah menuju mitigasi/tindakan preventif. Mitigasi yang dilakukan adalah dengan pembangunan struktural dan non struktural di daerah rentan gempa dan bencana alam lainnya. Tindakan mitigasi struktural contohnya dengan pemasangan sistem informasi peringatan dini tsunami, yang bekerja setelah terjadi gempa. Mitigasi non struktural adalah penataan ulang tata ruang area rentan bencana. 2. Fase kesiapsiagaan dan pencegahan (Prevention phase)Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan yang baik dengan berbagai tindakan untuk meminamalisir kerugian yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana dan menyusun perencanaan agara dapat melakukan kegiatan pertolongan serta perawatan yang efektif saat terjadi bencana. Tindakan terhadap bencana menurut PBB ada 9 kerangka: pengkajian terhadap kerentanan; membuat perencanaan; pengorganisasian; sistem informasi; pengumpulan sumber daya; sistem alarm; mekanisme tindakan; pendidikan dan pelatihan penduduk; gladi resik. Beberapa langkah yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanganan Bencana baik tingkat Nasional dan Daerah telah diusahakan sekeras mungkin. Contohnya pemetaan daerah rawan bencana gempa, regionalisasi daerah bencana gempa, penetapan daerah yang menjadi wilayah basis pencapaian lokasi bencana gempa, serta penetapan daerah lokasi evakuasi saat dilakukan penanganan korban gempa bumi. 3. Fase tindakan (Respon phase)Fase tindakan merupakan fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat yang nyata untuk menjaga diri sendiri atau harta kekayaan. Tujuan dari fase tindakan adalah mengontrol dampak
negatif dari bencana. Aktivitas yang dilakukan: instruksi pengungsiaan; pencarian dan penyelamatan korban; menjamin keamanan dilokasi bencana; pengkajian terhadap kerugian akibat bencana; pembagian dan penggunaan alat perlengkapan pada kondisi darurat; pengiriman dan penyerahan barang material; dan menyediakan tempat pengungsian. Fase tindakan dibagi menjadi fase akut dan fase sub akut. Fase akut, 48 jam pertama sejak bencana terjadi disebut fase penyelamatan dan pertolongan medis darurat sedangkan fase sub akut terjadi sejak 2-3 minggu.4. Fase pemulihanFase pemulihan merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan kemampuannya sendiri dapat memulihkan fungsinya seperti kondisi sebelumnnya. Pada fase ini orang-orang mulai melakukan perbaikan darurat tempat tinggal, mulai sekolah atau bekerja, memulihkan lingkungan tempat tinggalnya. Fase ini merupakan masa peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang.5. Fase RehabilitasiFase Rehabilitasi merupakan fase dimana individu atau masyarakat berusaha mengembalikan fungsi fungsi-fungsinya seperti sebelum bencana dan merencanakan rehabilitasi terhadap seluruh komunitas. Keadaannya mengalami perubahan dari sebelum bencana.D. Pelayanan medis bencana berdasarkan siklus benacanaPelayanan medis akan berubah dalam menanggulangi setiap siklus bencana1. Fase Akut pada siklus bencanaPrioritas di lokasi bencana, pertolongan terhadap korban luka dan evakuasi dari lokasi berbahaya ke tempat yang aman. 3 T (triage, treatment, dan transportation) penting untuk menyelamatkan korban luka sebanyak mungkin. Pada fase ini juga dilakukan perawatan terhadap mayat.2. Fase menengah dan panjang pada siklus bencanaFase perubahan pada lingkungan tempat tinggal. Pada fase ini harus memperhatikan segi keamanan, membantu terapi kejiwaan korban bencana, membantu kegiatan untuk memulihkan kesehatan hidup dan membangun kembali komunitas sosial3. Fase tenang pada siklus bencana Fase tidak terjadi bencana, pada fase ini diperlukan pendidikan penanggulangan bencana saat bencana terjadi, pelatihan pencegahan bencana pada komunitas dengan melibatkan penduduk setempat, pengecekan dan pemeliharaan fasilitas peralatan pencegahan bencana baik di daerah maupun fasilitas medis, serta membangun sistem jaringan bantuanE. Peran perawat dalam manajemen bencana1. Peran dalam Pencegahan PrimerAda beberapa hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra bencana ini, antara lain:a. mengenali instruksi ancaman bahaya;b. mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat fase emergency (makanan, air, obat-obatan, pakaian dan selimut, serta tenda)c. melatih penanganan pertama korban bencana.d. Berkoordinasi berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan, palang merah nasional maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat 2. Peran Perawat dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)
a. Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan tepat setelah keadaan stabil. b. Setelah bencana mulai stabil, masing-masing bidang tim survey mulai melakukan pengkajian cepat terhadap kerusakan-kerusakan, begitu juga perawat sebagai bagian dari tim kesehatan. c. Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan tindakan pertolongan pertama. d. Ada saat dimana ”seleksi” pasien untuk penanganan segera (emergency) akan lebih efektif. (Triase )1) Merah --- paling penting, prioritas utama.keadaan yang mengancam kehidupan sebagian besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma dada, perdarahan internal, trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, luka bakar derajat I-II2) Kuning --- penting, prioritas keduaPrioritas kedua meliputi injury dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena dalam keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama 30-60 menit. Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel, fraktur terbuka, cedera medulla spinalis, laserasi, luka bakar derajat II3) Hijau --- prioritas ketigaYang termasuk kategori ini adalah fraktur tertutup, luka bakar minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan dislokasi 4) Hitam --- meninggalIni adalah korban bencana yang tidak dapat selamat dari bencana, ditemukan sudah dalam keadaan meninggal3. Peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko bencana a. Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan sehari-hari b. Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian c. Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan penanganan kesehatan di RSd. Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian e. Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus bayi, peralatan kesehatanf. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan lingkungannya berkoordinasi dengan perawat jiwa g. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas, depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia, fatigue, mual muntah, dan kelemahan otot)h. Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain.i. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog dan psikiater j. Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi 4. Peran perawat dalam fase postimpact a. Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial, dan psikologis korban.b. Selama masa perbaikan perawat membantu masyarakat untuk kembali pada kehidupan
normal. c. Beberapa penyakit dan kondisi fisik mungkin memerlukan jangka waktu yang lama untuk normal kembali bahkan terdapat keadaan dimana kecacatan terjadi
III. Analisa KasusDari kasus terlihat kota padang mengalami pergeseran lempeng hindia australia yang menyebabkan gempa bumi tektonik berkekuatan di atas 7 scala Riechter. Pergeseran lempeng hindia ini merupakan sebab gempa bumi yang terjadi karena alam. Oleh karena itu, tindakan penghindaran bencana alam lebih diarahkan pada menghilangkan, atau mengurangi kondisi yang dapat menimbulkan bencana. Kondisi dalam menghilangkan, mengurangi kondisi bencana dengan membuat struktur bangunan yang sesuai untuk kondisi gempa yang dapat bangunan tahan terhadap goncangan, sehingga dapat menghidari kerugian fisik, ekonomi, dan lingkungan.Kasus tersebut berada dalam fase tindakan. Fase tindakan dengan adanya kerjasama antara pemerintah kota padang bekerjasama dengan masyarakat dan tim bantuan gempa, menangani korban dan masyarakat. Prioritas pelayanan medis di lokasi bencana adalah pertolongan terhadap korban luka dan evakuasi dari lokasi berbahaya ke tempat yang aman. Pelaksanaan 3 T (triage, treatment, dan transportation) penting untuk menyelamatkan korban luka sebanyak mungkin pada kota Padang. Pendirian RS lapangan juga merupakan dalam fase tindakan karena Rumah sakit M Jamil menderita kerusakan akibat gempa, sehingga bangunan rusak, alat berjatuhan, tidak dapat digunakan.
IV. PenutupDari pembahasan diatas dapat disimpulkan bencana dapat engakibatkan masalah fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan ekonomi. Manajemen bencana perlu dilakukan secara cepat dalam mengatasi bencana. Manajemen yang dilakukan dapat dilakukan sesuai fase. Manajemen yang cepat dan tepat dapat meminimalisir masalah dan kerugian yang terjadi akibat bencana. Peranan pelayanan medis juga penting dalam manajemen bencana. Perawat memilki peranan dan kontribusi pada setiap fase dalam manajemen bencana. Oleh karena itu, manajemen bencana merupakan hal penting yang harus dilakukan dalam mengatasi bencana.
V. ReferensiAnneahira. Korban gempa bumi. http://www.anneahira.com/korban-gempa-bumi.htm diunduh pada 2 Mei 2011Clark, M.J. (1999). Nursing in the community: dimension of community health nursing. 3rd edition. Stamford, Connecticut: Appleton & Lange.Efendi, F & Makfudli. (2009). Keperawatan kesehatan komunitas: Teori dan praktik dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.Nies, M.A & McEwen, M. (2007). Community/public health nursing: promoting the health of population. 4th edition. St.Louis, Missouri: Elselvier. Palang Merah Indonesia. (2009). Keperawatan bencana.Science. Manajemen bencana. http://id.shvoong.com/exact-sciences/earth-sciences/1932953-manajemen-bencana/ diunduh pada 2 Mei 2011