DEFINISI
-
Upload
dian-permata-sari -
Category
Documents
-
view
51 -
download
5
Transcript of DEFINISI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Abses hatiadalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekbrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus di dalam parenkim hati. Dan sering timbul sebagai komplikasi
dari peradangan akut saluran empedu.1
II. EPIDEMIOLOGI
Hampir 10% pendudukduniaterutama di
negaraberkembangterinfeksi E. histolytica, tetapi hanya
sepersepuluh yang memperlihatkan gejala.Insiden
amoebiasishati di RS di Indonesia berkisarantara 5-15 pasien
pertahun. Penelitian epidemiologi di Indonesia menunjukkan
perbandingan pria :wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang
tersering pada dekade IV. Penularan pada umumnya melalui jalur
oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal.Kebanyakan amoebiasis
hati yang dikenai adalah pria. Usia yang dikenai berkisar antara
20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak.2
Pada umumnya abses hati dibagi dua yaitu abses hati amebik (AHA) dan
abses hati pyogenik (AHP). AHA merupakan komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang sering dijumpai di daerah tropik/ subtropik, termasuk
indonesia. Abses hepar pyogenik (AHP) dikenal juga sebagai hepatic abscess,
bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic
abscess.1,3Pada era pre-antibotik, AHP terjadi akibat komplikasi appendisitis
bersamaan dengan pylephlebitis. Bakteri phatogen melalui arteri hepatika atau
melalui sirkulasi vena portal masuk ke dalam hati, sehingga terjadi bakteremia
4
sistemik, ataupun menyebabkan komplikasi infeksi intra abnominal seperti
divertikulitis, peritonitis dan infeksi post operasi.1
Abses hati sudah lama dikenal berabad yang lalu dan pada saat itu selalu
berakhir dengan kematian, Ochsner dkk. pada 1938 melaporkan sebanyak 62%
kasus abses hati yang dilakukan drenase dengan pembedahan dan pemberian
terapi antibiotika dapat bertahan hidup.20 Sejak saat itu sampai dengan 4 dasa
warsa kemudian kombinasi pemberian antibiotika dengan drenase secara
pembedahan menjadi standar pengobatan abses hati.
Meningkatnya insiden AHP sering dihubungkan dengan latar belakang
meningkatnya penyakit dan keganasan hepatobilier, gangguan imunologi,
semakin agresifnya tindakan kasus hepatobilier dan peningkatan usia.
Perkembangan terbaru dari alat diagnostik termasuk penggunaan ultrasonografi
dan CT scan menyebabkan semakin akuratnya diagnosa .
Abses hati amubik (AHA) dapat dijumpai diseluruh dunia dengan insiden
tertinggi didaerah tropis dan subtropis seperti Meksiko, Afrika Selatan, Amerika
Tengah dan Selatan, India dan Asia Tenggara. Insiden lebih spesifik lagi pada
kondisi dimana angka kemiskinan yang tinggi dan kondisi sanitasi, hygiene yang
jelek.AHA merupakan tampilan amubik ekstra intestinal yang paling sering
ditemukan. Tidak seperti AHP , AHA mempunyai pola geografi dan distribusi
tertentu. Sering terjadi pada usia muda dimana pada laki dapat mencapai 3
sampai 10 kali lebih sering dibandingkan pada wanita.11 Alasan perbedaan insiden
pada jenis kelamin ini tidak jelas, pengaruh alkohol pada laki-laki, efek hormonal
dan efek defisiensi anemia pada wanita masa subur perlu dipertimbangkan.
Meskipun insiden amubiasis tinggi, AHA didapatkan hanya pada 3% - 10%
penderita amubiasis.1 Tidak didapatkan predisposisi rasial dan tingginya AHA
lebih ditujukan pada distribusi geografi dan akibat perjalanan dari area endemik.
III. ETIOLOGI
Abses Hati Amebik (AHA) merupakan infeksi Hepar oleh Amuba yang
menghasilkan bentuk pus. Dari semua spesies amuba, hanya Entamoeba
Hystolitica yang patogen terhadap manusia. Infeksi dari organisme ini biasanya
terjadi setelah menelan air atau sayuran yang terkontaminasi, selain itu transmisi
5
seksual juga dapat terjadi. Kista adalah bentuk infektif dari organisme ini yang
dapat bertahan hidup di feses, tanah atau air yang sudah diberi klor. Infeksi amuba
ini umumnya terjadi pada daerah dengan sanitasi yang buruk yang hal ini dapat
dilihat pada negara-negara berkembang dengan suplai air yang terkontaminasi dan
higiene perorangan yang jelek. Daerah endemic penyakit ini terletak pada daerah
tropis dan subtropis dari belahan bumi, khususnya di daerah Afrika, Amerika
Latin, Asia Tenggara dan India.5Abses Hepar Piogenik (AHP) umumnya
polimikrobial. Sebagian besar kuman penyebabnya ditemukan dalam saluran
cerna, seperti : E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Bacteroides sp, Enterococcus,
Anaerobic sreptococcus sp, Streptococcus ³milleri´ group Kuman lain yang dapat
menyebabkan Abses piogenik yang tidak berasal dari saluran cerna adalah
staphylococcus sp dan haemolytic streptococcus sp.Secara historis abses hepar
piogenik lebih banyak menyerang pria daripada wanita. Infeksi terutama
disebabkan oleh kuman gram negatif dan penyebab yang terbanyak adalah E. coli,
penyebab lainnya adalah :
Organisme Insiden (%) Organisme Insidensi
(%)
Aerob gram-negatif
Escherichia coli
Klebsiella
Proteus
Serratia
Morganella
Actinolbacter
Aerobgaram-positif
Streptococcus
faecalis
Streptokokus – B
Sterptokokus – A
Stafilokokus
50 – 70
35 – 45
25
Anaerob
Fusdaacterium
nucleatum
Bacteroides
Bacteroides fragil
Peptostreptococus
Actinomyces
Clostridium
40 – 50
`
IV. PATOFISIOLOGI
Hati adalah organ yang paling sering terjadinya abses. Abses hati dapat
berbentuk soliter atau multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran hematogen
6
maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga
peritoneum. Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena
portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut.2,6Akibat
masuknya bakteri atau amoeba ke hepar, menyebabkan jaringan yang sehat
menjadi rusak dan menimbulkan reaksi radang karena adanya kerusakan jaringan
dan radang yang berlangsung lama menyebabkan jaringan hepar menjadi nekrosis.
Hati tampak membengkak dan daerah yang abses menjadi pucat kekuningan,
berbeda dengan hati sehat yang berwarna merah tua. Sel hepar yang jauh dari
fokus infeksi juga mengalami sedikit perubahan meskipun tidak ditemukan
amoeba. Abses tersebut dikelilingi oleh jaringan ikat yang membatasi perusakan
lebih jauh kecuali bila ada infeksi tambahan.
Gambar 2.1Bagan Patofisiologi Terjadinya Abses Hati
V. MANIFESTASI KLINIS
Keluhan awal: demam/menggigil, nyeri abdomen, anokresia/malaise,
mual/muntah, penurunan berat badan, keringan malam, diare, demam (T >
38°), hepatomegali, nyeri tekan kuadran kanan atas, ikterus, asites, serta sepsis
yang menyebabkan kematian.5Manifestasi sistemik AHP lebih berat dari pada
7
abses hati amebik. Dicurigai adanya AHP apabila ditemukan sindrom klinis klasik
berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang di tandai dengan jalan membungkuk
kedepan dengan kedua tangan diletakan di atasnya.3
Demam/panas tinggi merupakan keluhan yang paling utama, keluhan lain
yaitu nyeri pada kuadran kanan atas abdomen, dan disertai dengan keadaan syok.
Apabila AHP letaknya dekat digfragma, maka akan terjadi iritasi diagfragma
sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektesis,
rasa mual dan muntah, berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan
yang unintentional.5,12
Cara timbulnya abses hati amoebik biasanya tidak akut, menyusup yaitu
terjadi dalam waktu lebih dari 3 minggu. Demam ditemukan hampir pada seluruh
kasus. Terdapat rasa sakit diperut atas yang sifat sakit berupa perasaan ditekan
atau ditusuk. Rasa sakit akan bertambah bila penderita berubah posisi atau batuk.
Penderita merasa lebih enak bila berbaring sebelah kiri untuk mengurangi rasa
sakit. Selain itu dapat pula terjadi sakit dada kanan bawah atau sakit bahu bila
abses terletak dekat diafragma dan sakit di epigastrium bila absesnya dilobus kiri.
Anoreksia, mual dan muntah, perasaan lemah badan dan penurunan berat badan
merupakan keluhan yang biasa didapatkan. Batuk-batuk dan gejala iritasi
diafragma juga bisa dijumpai walaupun tidak ada ruptur abses melalui diafragma.
Riwayat penyakit dahulu disentri jarang ditemukan. Ikterus tak biasa ada dan jika
ada ia ringan. Nyeri pada area hati bisa dimulai sebagai pegal, kemudian mnjadi
tajam menusuk. Alcohol membuat nyeri memburuk dan juga perubahan sikap.
Pembengkakan bisa terlihat dalam epigastrium atau penonjolan sela iga. Nyeri
tekan hati benar-benar menetap. Limpa tidak membesar.
Gambaran klinik tidak klasik dapat berupa :
a. benjolan didalam perut, seperti bukan kelainan hati misalnya diduga
empiema kandung empedu atau tumor pancreas.
b. gejala renal. Adanya keluhan nyeri pinggang kanan dan ditemukan massa
yang diduga ginjal kanan. Hal ini disebabkan letak abses dibagian
posteroinferior lobus kanan hati.
c. Ikterus obstruktif. Didapatkan pada 0,7% kasus, disebabkan abses terletak
didekat porta hepatis.
8
d. colitis akut. Manifestasi klinik colitis akut sangat menonjol, menutupi
gambaran klasik absesnya sendiri.
e. gejala kardiak. Ruptur abses ke rongga pericardium memberikan gambaran
klinik efusi pericardial.
f. gejala pleuropulmonal. Penyulit yang terjadi berupa abses paru menutupi
gambaran klasik abses hatinya.
g. abdomen akut. Didapatkan bila abses hati mengalami perforasi ke dalam
rongga peritoneum, terjadi distensi perut yang nyeri disertai bising usus
yang berkurang.
h. gambaran abses yang tersembunyi. Terdapat hepatomegali yang tidak jelas
nyeri, ditemukan pada 1,5 %.
i. demam yang tidak diketahui penyebabnya. Secara klinik sering dikacaukan
dengan tifus abdominalis atau malaria.
VI. DIAGNOSA
Abses Hati Amebik
Diagnosis AHA didaerah endemik dapat dipertimbangkan, jika terdapat
demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali yang juga ada nyeri tekan.
Disamping itu bila didapatkan leukositosis, fosfatase alkali meninggi
disertai letak diafragma yang tinggi dan perlu dipastikan dengan
pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes serologi. Untuk diagnosis abses
hati amebik juga dapat menggunakan kriteria Sherlock (1969), kriteria
Ramachandran (1973) atau kriteria Lamont dan Pooler.
a. Kriteria Sherlock (1969)
- Hepatomegali yang nyeri tekan
- Respon baik terhadap obat amebisid
- Leukositosis
- Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
- Aspirasi pus
- Pada USG didapatkan rongga dalam hati
- Tes hemaglutinasi positif
9
b. Kriteria Ramanchandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari :
- Hepatomegali yang nyeri
- Riwayat disentri
- Leukositosis
- Kelainan Radiologis
- Respon terhadap terapi amebisid
c. Kriteria Lamont dan Pooler :
Bila didapatkan 3 atau lebih dari :
- Hepatomegali yang nyeri
- Kelainan Hematologis
- Kelainan Radiologis
- Pus amebik
- Tes serologi positif
- Kelainan sidikan hati
- Respon terhadap terapi amebisid
Kriteria diagnosi :
1. Hati membesar dan nyeri
2. Leukositosis, tanpa anemia pada pasien AHA yang akut, atau
leukositosis ringan disertai anemi pada abses tipe kronik.
3. Adanya “pus amebik” yang mungkin mengandung tropozoit E.
Hystolitica.
4. Pemeriksaan serologis terhadap E. Hystolitica positif.
5. Gambaran radiologi yang mencurigakan terutama pada foto thorax
postoanterior kanan.
6. Adanya ”filling defect” pada sidik hati
7. Respon yang baik terhadap terapi dengan metronidazole.
Abses Hati Pyogenik
Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesa, pemeriksaan
fisik dan laboratorium serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP
kadang-kadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak
10
spesifik. Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT Sscan saja,
meskipun pada akhirnya dengan CT Scan mempunyai nilai prediksi yang
tinggi untuk diagnosis AHP, demikian juga dengan tes serologi yang
dilakukan. Tes serologi negatif menyingkirkan diagnosis AHA. Meskipun
terdapat sedikit kasus, tes ini menjadi positif beberapa hari kemudian.
Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri
penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standart
emas untuk diagnosis.
Kriteria diagnosis :
1. Gejala klinis mendukung
2. Kultur darah positif
3. Alkali fosfatase dan WBC meningkat pada anemia
4. Hiperbilirubinemia dengan atau tanpa ikterus.
5. Hasil CT Scan, USG dan MRI menunjukan adanya abses hepar.
6. Serologis amuba positif
7. Hasil aspirasi positif
Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium tidak spesifik dan sering didapatkan
gambaran lekositosis tanpa eosinofilia. Sedikit ada peningkatan transaminase hati.
Ikterus jarang terjadi, bila timbul ikterus maka menunjukkan terjadi derajad abses
hati yang berat.Pemeriksaan mikrobiologi amuba pada feses masih dipertanyakan
efektivitasnya. Secara mikroskopis sulit membedakan E. histolytica dengan E.
dispar didalam feses. Tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) cukup
sensitif dan banyak digunakan untuk mengidentifikasi antigen E.histolytica pada
feses dan sekaligus membedakan dengan E.dispar yang secara morfologi sulit
dibedakan. Deteksi antibodi terhadap E. histolytica dapat dilakukan dengan tes
indirect hemagglutination assay (IHA) . Pemeriksaan berbasis biologi molekuler
atau DNA based antara lain polymerase chain reaction (PCR) juga dapat
membantu tetapi hal ini sulit diintrepretasikan sebagai diagnosa pada daerah
endemis. Tes serologi untuk amuba mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang
11
tinggi terhadap terjadinya infeksi amuba, sehingga penting untuk membedakan
antara abses pyogenik atau abses amuba.
Foto Roentgen
Foto toraks sering tidak spesifik, 49% menujukkan ada kelainan dibawah
diafragma, 21% atelektasis, 20% elevasi diafragma, 18% efusi pleura dan 10%
pneumonia.20Foto polos abdomen menunjukkan hepatomegali atau gambaran
cairan dengan udara pada hati dan tanda aerobilia pada pasca tindakan bilier Bila
tanda tersebut tidak dijumpai tidak berarti menyingkirkan adanya AHP.
Ultrasonografi
Mudah dan relatif murah, perlu peran radiologis yang berpengalaman,
berguna untuk diagnostik, terapi dan evaluasi pengelolaan AHP. Ultrasonografi
dapat mengidentifikasi abses dengan lesi bila diameter lebih dari 2 cm dan dapat
melakukan identifikasi antara masa padat dan cair. Pada penelitian sensitivitas
diagnosa mencapai sekitar 83% - 95%.9,15,23 Pada AHP stadium awal didapatkan
gambaran hyperehoic yang sulit dibedakan dengan kelainan dari masa padat hati
yang lain. Selanjutnya pada stadium maturasi dimana sudah terjadi pembentukan
pus maka tampak gambaran hypoechoic yang berbatas jelas. Bila pus pekat,
gambaran pada ultrasonografi sulit dibedakan dengan lesi yg padat yang
lain.Ultrasonografi juga dapat identifikasi adanya batu kandung empedu, batu
saluran empedu yang lain dan dapat menunjukkan adanya dilatasi sistem
bilier.Ultrasonografi kurang sensitif untuk diagnosa kelainan di kubah hati dan
pada keadaan dimana AHP kecil yang multipel.
Pada abses hati amubik, gambaran abses tergantung stadium lesi. Pada fase
awal terjadi peningkatan ekogenisitas dibandingkan jaringan sekitarnya. Pade fase
nekrosis maka sentral abses menjadi echoluscent. Abses biasanya terletak perifer
dengan tepi abses bulat, oval atau berlobus dan ultrasonografi dapat menunjukkan
jumlah dan ukuran abses. Isi rongga abses biasanya hypoechoic dan tidak
homogen. Pada 78% sampai 80% berupa abses tunggal dan terletak pada lobus
kanan dan 10% pada lobus kiri, sedangkan sisanya berupa abses yang
multipel.11Abses hati amubik bentuk cenderung bulat dengan batas jelas dan
letaknya sering sub kapsuler.Perlu dipikirkan kelainan yang lain seperti karsinoma
12
hepatoseluler, proses metastase karsinoma yang pada keadaan tertentu secara
ultrasonografi sulit dibedakan dengan AHA.
Gambar 2.2 Ultrasonografi Abses Hati Amubik
Computed Tomography Scan
CT scan lebih akurat dalam mendeteksi AHP dibandingkan ultrasonografi
maupun scaning hati dengan senstivitas mencapai 93% – 100%.8,9,15CT Scan dapat
mendeteksi kelainan dengan diameter mulai 0.5 cm dan dapat mendeteksi
kelainan abdominal yang lain yang menyertai abses. Mikro abses tampak sebagai
lesi kecil dengan densitas rendah diseluruh bagian hati. Pemakaian kontras media
akan memperjelas densitas dinding abses sehingga dapat membedakan dengan
keganasan yang mengalami nekrosis sentral. Pada pemeriksaan CT scan AHP
menunjukkan gambaran lesi kistik yang hipoden dengan dinding tebal, ireguler
yang dikelilingi area dengan densitas rendah karena edema. Secara klasik
didapatkan “ daughter abscess “ yang mengelompok disekeliling abses besar yang
letaknya cenderung kearah sentral hati. Hal ini menunjukkan adanya
penggabungan abses kecil-2. Tanda pengelompokan ini menunjukkan bakteri
sebagai penyebab.Cincin transisi antara daerah sentral abses dengan jaringan
sekitarnya adalah tipis dan ini yang membedakan dengan area nekrosis dari
metastase.CT scan merupakan tehnik imaging pilihan untuk evaluasi abses hati
yang selanjutnya juga dapat berfungsi sarana terapi sebagai penuntun tindakan
aspirasi dan biopsi. CT scan mempunyai keterbatasan membedakan abses hati
dengan penyakit kistik dan tumor hati yang mengalami proses nekrosis.
13
Keunggulan CT scan dibandingkan ultrasonografi adalah dalam hal
kemampuannya untuk deteksi lesi yang lebih kecil, meskipun pada AHA lesi
biasanya cukup besar untuk dapat dideteksi dengan ultrasonografi. Selain deteksi
AHA CT scan mempunyai kelebihan untuk dapat mengevaluasi kelainan intra
abdominal yang lain.CT scan tidak berbeda hasilnya dengan ultrasonografi untuk
diagnosa abses hati, tetapi CT scan mempunyai kelebihan dapat deteksi ruptur hati
yang iminen.CT scan lebih sensitif dalam menentukan kelainan kronis dan atypik
dari hati, karena kontras dapat menunjukkan penebalan tepi abses hati piogenik
dan peningkatan densitas dari tumor hati yang mengalami nekrosis.
Gambar 2.3 Abses hati piogenikGambar 2.4 Abses hati piogenik
Magnetic Resonance Imaging
14
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat mengevaluasi anatomi
pembuluh darah dari hati tanpa menggunakan kontras sehingga secara
karakteristik dapat melakukan diagnosa lesi hati lebih baik dibandingkan CT scan.
MRI dapat membedakan abses hati terhadap lesi hati yang lain seperti tumor
kistik dan nekrosis hati. Untuk keperluan diagnosa cara ini terhitung mahal,
memerlukan waktu yang lebih lama dan mempunyai keterbatasan untuk drenase
abses hati.9MRI tidak lebih unggul dalam melakukan diagnosis abses hati amuba
dan membedakan dengan kelainan neoplasma hati yang lain, tetapi tidak dapat
digunakan sarana terapi. Pada abses hati yang belum mendapat terapi, MRI akan
menunjukkan rongga abses yang heterogen yang hypointense pada T1 dan
hyperintense pada T2. Sedangkan cincin hyperintense pada T2 menunjukkan batas
abses. Keberhasilan terapi ditunjukkan rongga abses menjadi homogen dan
terbentuk fibrosis dinding abses.
Kolangiografi
Endoscopic retrograde cholangiopancreaticography (ERCP) dan
percutaneous transhepatic cholangiography (PTC) dapat digunakan untuk
evaluasi penderita abses hati. ERCP dapat menunjukkan hubungan terjadinya
abses hati yang diakibatkan oleh kolangitis yang asending. PTC dapat
dipergunakan untuk drenase abses hati, khususnya pada sistem bilier yang
berhubungan dengan abses hati.10
VII. PENATALAKSANAAN
Prinsip terapi adalah pemberian antibiotika yang tepat, drenase pus dan
terapi terhadap penyakit dasar yang menyebabkan terjadinya AHP.Perkembangan
ultrasonografi dan CT scan membuat diagnosa dapat ditegakkan lebih awal serta
akurat dan dengan sarana ini terapi aspirasi dan drenase dapat segera dilakukan.
Sarana tersebut merubah pengelolaan AHP dari tindakan pembedahan yang
invasif menjadi tehnik invasif yang lebih minimal. Drenase percutan dengan
pemberian antibiotika yang adekwat menjadi terapi utama dalam pengelolaan
AHP.
Sebelum mendapatkan hasil kultur organisme dari darah maupun pus maka
antibiotika spektrum luas secara empirik diberikan untuk mengatasi gram-negatif
dan gram-positif aerob dan anaerob. Terapi antibiotika yang biasa diberikan
15
golongan amoksisilin, aminoglikosida dan metronidazol atau cefalosporin
generasi 3 dan metronidazol biasanya dapat mengatasi organisme penyebab. Bila
mikro organisme penyebab diketahui maka antibiotika disesuikan dengan
organisme penyebab. Terapi antibiotika saja efektifitasnya kurang, dan
kebanyakan memerlukan tindakan aspirasi atau drenase.Drenase percutan
dilakukan dengan tuntunan ultrasonografi atau CT scan. Aspirasi dari AHP
dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dengan memeriksa kultur pus dan
sensitivitas bakteri dan dilanjutkan dengan aspirasi pus atau drenase dengan
memasang dren pada saat itu juga. Georgio dkk. (1995) melakukan aspirasi pada
115 kasus dengan keberhasilan mencapai 98%, dimana separuh kasus cukup
dengan sekali tindakan aspirasi sedangkan sisanya memerlukan 2 atau 3 kali
aspirasi.20
Pada beberapa studi aspirasi percutan dapat dilakukan pada abses
unilokuler dengan diameter kurang dari 5 cm, akan memberikan hasil baik
terkecuali bila abses tersebut kental dengan dinding abses yang tebal atau abses
yang multipel. Sedangkan drenase abses dilakukan bila pus kental, dinding abses
yang tebal dan tidak kolaps saat aspirasi, diameter lebih besar dari 5 cm dan
multilokuler. Pada abses yang multilokular dapat dilakukan pemasang beberapa
dren. Kegagalan drenase AHP berkisar 10% dimana hal ini dapat disebabkan dren
terlalu kecil untuk drenase pus yang kental, sedangkan dren yang besar memang
lebih efektif tetapi sering menimbulkan komplikasi perdarahan. Kegagalan
drenase juga terjadi pada peletakan dren yang kurang tepat dan pencabutan dren
terlalu dini menyebabkan kekambuhan. Zenda dkk (2001) menganjurkan irigasi
rongga abses melalui dren memberikan hasil baik.20
Sugiyama dkk. mendapatkan 70% AHP yang berhubungan dengan sistem
bilier dan tanpa obtruksi ternyata mengalami kekambuhan bila hanya dilakukan
drenase saja, tetapi dengan pemasangan sten bilier secara endoskopi hasilnya lebih
efektif.21 Sehingga AHP yang berhubungan dengan sistem bilier dengan obstruksi,
setelah dilakukan drenase percutan dianjurkan koreksi penyebab obstruksi.Kontra
indikasi aspirasi adalah pada keadaan gangguan pembekuan darah, pada aspirasi
tidak didapatkan pus, penderita tidak kooperatif dan secara teknis lokasi abses
sulit dijangkau.12
16
Pada abses hati amubik, Setelah diagnosa ditegakkan diberikan
metronidazol sebagai obat tunggal. Kelainan seperti hypoprothrombinemia,
hypoproteinemia dan anemia yang timbul perlu dikoreksi. Bila terjadi perbaikan
dalam 48 sampai 72 jam maka terapi metronidazol dilanjutkan. Pada penderita
yang tidak memberikan respon terhadap metronidazol dapat ditambahkan emetine
atau dehydroemetine.Terapi eradikasi untuk amubiasis intestinal diberikan setelah
terapi metronidazol.Tindakan aspirasi dilakukan bila dengan terapi konservatif
gagal, didapatkan tanda ekstensi keparu, peritoneal atau pericardia.10Tindakan
laparotomi dilakukan bila terdapat ruptur abses yang ditandai dengan peritonitis,
terjadi fistulasi keorgan berongga dan terjadi infeksi sekunder dengan
septikemia.10Medikamentosa yang digunakan meliputi:
Metronidazol
Telah terbukti sebagai obat pilihan untuk terapi abses hati amubik sejak 1966.
Metronidazol efektif terhadap amuba, toksisitasnya rendah dan dapat digunakan
untuk intestinal maupun ekstra intestinal amubiasis. Respon tampak setelah hari
ketiga terapi dan diatas hari kelima respon terapi mencapai 85% dan menjadi 95%
setelah hari kesepuluh.22Sekitar 5% sampai 15% kasus resisten terhadap
metronidazol. Beberapa penulis menyatakan tidak ada “drug resistent” terhadap
metronidazol melainkan terjadi delayed respons terhadap metronidazol.
Emetine Hydrochloride
Merupakan obat tertua untuk terapi amubiasis dimana sangat efektif untuk
mengatasi tropozoid dibandingkan dengan bentuk kista ameba. Potensial untuk
mengatasi infeksi amuba pada jaringan dibandingkan amuba pada lumen
usus.Kontraindikasi pemakaian bila ada gangguan ginjal, jantung dan pada
penyakit otot. Perlu perhatian bila digunakan pada anak dan orang tua. Dapat
diberikan secara kombinasi bila response terapi dengan metronidazol
jelek.Dehydroemetin merupakan analog emetin hydrochloride dengan toksisitas
lebih rendah dan lebih cepat dieliminasi dijaringan dibandingkan dengan emetin
hydrochloride.
Chloroquin Phosphate
Pertama digunakan sebagai anti abses hati amubik tahun 1948, digunakan bila anti
amubik lain resisten. Efek anti amubik tidak sekuat emetine hydrochloride.
17
Diloxanide Furoate
Diloxanide efektif untuk terapi kolitis amubik dan efektif untuk amuba bentuk
kista dan tidak efektif untuk terapi amubik yang berat. Diloxanide
direkomendasikan untuk pengobatan carrier yang asimptomatik.
Terapi Pembedahan.
Terapi pembedahan dilakukan bila terjadi kegagalan dalam pengelolaan
secara non operative, terjadi komplikasi perdarahan dan kebocoran pus pada saat
dilakukan drenase percutan. Tindakan pembedahan juga dilakukan untuk
mengatasi penyakit dasar yang mendasari terjadinya AHP tesebut.18Diagnosa
kelainan intra abdominal memerlukan visualisasi secara laparoskopik. Tindakan
laparoskopi dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Tindakan laparoskopi
sekarang dipergunakan untuk pengelolaan penyakit hati.
Indikasi penggunaan tindakan laparoskopi pada abses hati 7:
1. Penderita dengan abses hati dan disertai adanya masa diluar hati
2. Pennderita hepatomegali dengan tanda yang tidak cocok dengan diagnosa
abses hati.
3. Diagnosa abses hati dengan hasil aspirasi negatif
4. Kecurigaan kebocoran abses atau perdarahan setelah aspirasi
5. Menyingkirkan keganasan.
Indikasi pembedahan langsung sebagai terapi awal adalah AHP yang
mengalami ruptur ke intraperitoneal, penderita dengan abses multipel dan abses
yang menyebabkan obstruksi saluran empedu yang tidak dapat diatasi dengan
tindakan non operative.Tindakan pembedahan ini dimulai dengan identifikasi
rongga abses dengan pungsi yang dilakukan sebelum melakukan pungsi hati
secara tumpul. Penentuan lesi lain juga dapat dilakukan dengan tuntunan
ultrasonografi pada saat pembedahan. Setelah rongga abses dibuka dan pus
dievakuasi dilakukan explorasi dengan jari untuk melepaskan debris dari dinding
abses dan memecah rongga abses yang berdekatan. Dren dengan kaliber yang
besar diletakkan pada rongga abses. Tindakan irigasi melalui drain menurut
beberapa penulis cukup bermanfaat. Reseksi hati dilakukan pada AHP tunggal
18
atau multipel yang menyebabkan kerusakan hati, atrofi hati dengan obstruksi
bilier akibat striktur dan hepatolithiasis.4Aspirasi dan drenase mempunyai
keberhasilan sampai 90% kasus AHP. Bila dengan cara ini gagal dapat dilakukan
tindakan aspirasi atau drenase secara laparoskopi.7Tindakan reseksi juga
direkomendasikan pada AHP yang secara sekunder disebabkan penyakit radang
kronik granulomatous, karena pus pada abses tesebut pekat, dengan dinding septa
terdiri dari jaringan fibrous yang tebal sehingga sulit dilakukan drenase.8,13
Pada abses hati amubik, terapi pembedahan dimulai dengan identifikasi
rongga abses dan selanjutnya rongga abses dibuka secara tumpul , abses
dievakuasi dan debri dilepas dari dinding abses , septa dipecah. Didalam septa
sering berisi pembuluh darah dan saluran empedu sehingga dapat terjadi
perdarahan yang sulit dikontrol terutama bila terjadi gangguan pembekuan darah
dan juga dapat terjadi kebocoran empedu. Dilakukan irigasi rongga abses dengan
menggunakan larutan saline dan disusul instalasi larutan emetine hydrochloride
65 mg dalam 100 mL normal saline selama 3 – 5 menit. Bila perlu dipasang dren
yang besar. Perforasi organ berongga diatasi dengan eksteriorisasi, diversi
proksimal lesi, atau menutup lubang perforasi.Pasca bedah diberikan obat anti
amuba intra vena dikombinasi dengan dengan antibiotika yang berspektrum luas.
Efusi pleura tidak memerlukan tindakan sebab bila abses hati amebik dapat diatasi
maka efusi pleura akan mereda sendiri.
Abses hati dapat ruptur kedalam rongga pleura dan bila terjadi dapat cepat
meluas sehingga abses akan mengisi rongga pleura dan terjadi kolaps paru.
Keadaan ini memerlukan tindakan thoracocentesis dan disusul dengan
pemasangan dren rongga thoraks dan dilakukan aspirasi. Drenase yang tidak
efektif akan menyebabkan infeksi sekunder yang dikemudian hari memerlukan
tindakan pembedahan yang lebih agresif seperti dekortikasi paru.Ruptur abses hati
ke bronkus akan menyebabkan batuk dengan sputum yang banyak dan berwarna
coklat. Meskipun hal tersebut disebabkan oleh abses hati tetapi dapat terdrenase.
Abses biasanya disertai pendindingan terhadap pleura dan rongga thoraks,
sehingga tidak memerlukan tindakan pembedahan dan perlu dijaga kelangsungan
drenase secara postural , disertai pemberian bronkodilator dan terapi anti amubik.
19
Abses hati pada lobus kiri cenderung menyebabkan komplikasi pada
perikard yang dimulai dengan efusi intra perikard sampai terjadinya tamponade
jantung akibat ruptur abses hati lobus kiri. Abses hati lobus kiri dapat mengalami
resolusi dengan pemberian anti amuba, tetapi bila diagnosa menunjukkan adanya
efusi perikard maka harus dilakukan aspirasi abses hati lobus kiri tersebut. Bila
ada tanda tamponade perlu dilakukan aspirasi perikardium melalui pungsi sub
xyphoid dan sekaligus drenase abses hati yang menjadi penyebabnya.
Terapi aspirasi
Sampai saat ini ada kontroversi tentang aspirasi yang dilakukan pada abses
hati yang tidak mengalami komplikasi dimana diagnosa dapat dikonfirmasi
dengan riwayat dan tampilan klinik yang khas, pemeriksaan ultrasound
pemeriksaan serologi amuba yang positip. Tidak ada bukti penelitian acak
terkontrol bahwa aspirasi memperbaiki survival, lama rawat inap dan
mempercepat hilangnya panas badan dibandingkan dengan pemberian obat anti
amuba saja. Aspirasi mempunyai manfaat untuk menegakkan diagnosa yang
masih belum pasti dengan memeriksa kultur pus atau darah yang diperoleh.
Sedangkan bila diagnosa yang didapatkan adalah keganasan maka tindakan
aspirasi tersebut merupakan kontraindikasi.
Terapi aspirasi pada pengelolaan abses hati amubik pada masa kini
merupakan tindakan yang dapat dilakukan dengan cepat, aman dan efektif untuk
terapi AHA. Tindakan aspirasi sebagai prosedur rutin pada AHA tidak
dianjurkan .Abses hati amuba dengan diameter 5 cm atau kurang 80% berhasil
diterapi dengan metronidazol.1Aspirasi dilakukan pada abses dengan volume lebih
dari 300 ml, resiko ruptur dan tidak ada respon dengan terapi anti amuba.25
Aspirasi AHA hanya dilakukan pada keadaan berikut ini:22
1. Dari pemeriksaan serologi tidak dapat ditentukan diagnosa, diagnosa perlu
waktu yang lama atau tidak dapat dilakukan, sedangkan diagnosa
bandingnya adalah abses hati pyogenik.
2. Pengobatan dengan anti amubik perlu dipertimbangkan misalnya pada
kehamilan.
20
Kecurigaan klinis
Terapi empirik dengan antibiotik spektrum luas IVResusitasi cairanCT ScanAspirasi diagnostik
Sumber intraabdomen +
Sumber intraabdomen -
Kelola sumber dan drainase abses operatif
Abses kecil / multipel
Abses tunggal atau beberapa abses besar
Antibiotika IV saja dan pertimbangkan drainase operatif bila gagal terapi
Drainase perkutaneus
Operatif bila gagal
3. Ada kecurigaan timbulnya infeksi sekunder pada abses hati
4. Bila panas tetap terjadi pada 3 sampai 5 hari setelah terapi yang tepat
5. Dikawatirkan terjadi ruptur pada abses yang besar, khususnya ruptur
perikardial pada abses hati lobus kiri.
Untuk diagnosis cukup dilakukan sekali aspirasi, tetapi bila untuk terapi
hal tersebut tidak adekwat. Bila ternyata memerlukan aspirasi yang berulang
mungkin perlu dipertimbangkan pemasangan dren untuk menghindari resiko
kekambuhan.Aspirasi untuk tujuan diagnosis saat ini dianggap tidak akurat karena
karakteristik “anchovy souce” mungkin tidak didapatkan. Sehingga untuk
menghilangkan subyektivitas tersebut maka cairan aspirasi dapat diperiksa dengan
tes PCR atau dengan tes indirect hemaglution assay (IHA).
ALGORITMA PENGELOLAAN ABSES HATIPYOGENIK
21
Kecurigaan klinis AHA (nyeri di RUQ, demam, hepatomegali pada pasien pria muda)
Terapi empirikamebisidalCT ScanIndirek Hemaglutination Assay
Serologi - Serologi +=+
Ulang tes serologi bila kecurigaan klinis kuat, pertimbangkan aspirasi diagnostik dengan panduan image
Teruskan terapi amebisid sampai 10 hari
Absen tanpa komplikasi tidak perlu terapi lebih lanjut
Ruptur ke perikardial, pleura atau peritoneum perlu drainase bedah
Abses besar, superinfeksi, resiko tinggi, atau tidak respon dengan amebisid perlu drainase perkutan
ALGORITMA PENGELOLAAN ABSES HATI AMUBIK
22
VIII. PROGNOSA
Drenase dan pemberian antibiotika sistemik menurunkan mortalitasAHP
dibawah 50%. Perkembangan ultrasound dan CT scan membuat diagnosa dapat
ditegakkan lebih dini dan drenase dapat dilakukan lebih awal akan menurunkan
mortalitas dibawah 20%.3Resiko yang sering menyebabkan kematian antara lain
syok septik, joundice, koagulopati, lekositosis, hipoalbumin, pecahnya abses
kerongga peritoneum, kondisi immunodeficiency dan keganasan yang
menyertai.12,24 Chou dkk 1995 mendapatkan kematian akibat ruptur AHP
mencapai 43,5% dibandingkan 15,5% bila tidak mengalami ruptur.20 Kematian
akibat abses multiple 22% yang secara signifikan berbeda dibandingkan 13%
pada abses tunggal.4
Dengan pengobatan masa kini prognosis lebih tergantung pada penyakit
dasar dan penyakit yang menyertai dibandingkan dengan akibat dari AHP sendiri,
meskipun demikian keterlambatan diagnosis dan tindakan juga akan memperjelek
prognosis. Ketahanan hidup abses hati amubik lebih baik dibanding abses hati
pyogenik. Kematian abses hati amuba tanpa komplikasi mencapai 5,9%. Study
cohort secara prospektif, di India pada tahun 1996, bila didapatkan bilirubin >3.5
mg/L, encephalopathy, volume abses >500 ml, albumin<2 g/dl dan jumlah abses
akan berpengaruh pada peningkatan mortalitas.6
23