Data Sungai

43
BAB I PENDAHULUAN 1.1Kondisi Secara Umum Daerah Aliran Sungai Jangkok Sungai Jangkok merupakan salah satu sungai besar yang terdapat di Pulau Lombok. Sungai ini mengalir dari lereng Gunung Rinjani bagian barat melewati daerah Narmada Lombok Barat sampai dengan hilir di pantai Ampenan. Secara administratif daerah aliran Sungai Jangkok terletak di Kabupaten Lombok Barat (bagian hulu dan kota Mataram (bagian hilir). Gambaran umum Sungai Jangkok seperti dikutip di dalam Laporan Data Base Sungai tahun 2005 diuraikan di bawah ini. Luas daerah aliran sungai Panjang sungai Kemiringan rata- rata Tipe Lebar sungai bagian hilir : : : : : 155,55 km 2 46,70 km Hulu Tengah Hilir Kipas 26,8 m = 0,06 = 0,02 = 0,004 1

description

data-data sungai

Transcript of Data Sungai

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Kondisi Secara Umum Daerah Aliran Sungai Jangkok

Sungai Jangkok merupakan salah satu sungai besar yang terdapat di Pulau

Lombok. Sungai ini mengalir dari lereng Gunung Rinjani bagian barat

melewati daerah Narmada Lombok Barat sampai dengan hilir di pantai

Ampenan. Secara administratif daerah aliran Sungai Jangkok terletak di

Kabupaten Lombok Barat (bagian hulu dan kota Mataram (bagian hilir).

Gambaran umum Sungai Jangkok seperti dikutip di dalam Laporan Data

Base Sungai tahun 2005 diuraikan di bawah ini.

Luas daerah aliran sungai

Panjang sungai

Kemiringan rata-rata

Tipe

Lebar sungai bagian hilir

:

:

:

:

:

155,55 km2

46,70 km

Hulu

Tengah

Hilir

Kipas

26,8 m

= 0,06

= 0,02

= 0,004

1.2 Lokasi Lokasi Administrasi dan Geografis

Secara geografis posisi daerah aliran Sungai Jangkok terletak antara 116° 04’

00” BT s/d 116° 23’ 00” BT dan 8° 24’ 00” LS s/d 8° 35’ 00” LS, yang

berarti dekat dengan khatulistiwa menyebabkan tidak adanya perbedaan iklim

yang mencolok sepanjang tahunnya.

1.3 Curah Hujan

Untuk daerah aliran Sungai Jangkok data curah hujan diambil berdasarkan

pencatatan di 4 buah stasiun penakar hujan, yaitu Stasiun Selaparang, Stasiun

Sesaot, Stasiun Lingkok Lime dan Stasiun Santong. Hujan tahunan untuk

1

kawasan Jangkok berkisar antara 1.339 mm sampai dengan 2.729 mm,

dengan curah hujan maksimum adalah 63 mm sampai dengan 116 mm.

Tabel 1.1 Hujan Maksimum Tahunan Pada DAS Jangkok

(Metode Thiessen)

No. Tahun Curah Hujan Maksimum (mm)

1 2006 63

2 2005 110

3 2004 84

4 2003 69

5 2002 75

6 2001 73

7 2000 81

8 1999 116

9 1998 81

10 1997 47

Sumber : Hasil Perhitungan

2

Tabel 1.2 Hujan Total Tahunan Pada DAS Jangkok

(Metode Thiessen)

No. Tahun Curah Hujan Tahunan (mm)

1 2006 2,042

2 2005 2,729

3 2004 2,460

4 2003 2,749

5 2002 1,387

6 2001 1,820

7 2000 2,202

8 1999 2,490

9 1998 2,045

10 1997 1,339

Sumber : Hasil Perhitungan

BAB II

ANALISA HIDROLOGI

2.1 ANALISA HIDROLOGI

2.1.1 PENGERTIAN

Analisa hidrologi merupakan satu bagian analisa awal dalam perancangan

bangunan-bangunan hidrolik. Pengertian yang terkandung di dalamnya

adalah bahwa informasi dan besaran-besaran yang diperoleh dalam analisa

hidrologi merupakan masukan penting dalam analisa selanjutnya. Sebelum

diperoleh informasi yang jelas dari analisa hidrologi, hampir tidak mungkin

dilakukan analisa untuk menetapkan berbagai sifat dan besaran hidroliknya.

2.2 HIDROKLIMATOLOGI

2.2.1 CURAH HUJAN RERATA DAERAH

Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses

hidrologi, karena nilai curah hujan ini yang diproses menjadi aliran di

sungai, baik melalui limpasan permukaan (runoff), aliran antara (interflow)

3

maupun aliran air tanah (groundwater flow). Data hujan yang digunakan

adalah data hujan rerata daerah yaitu hujan yang berpengaruh terhadap suatu

DAS yang diperoleh dari satu atau lebih stasiun penakar hujan yang terdapat

di sekitar DAS. Untuk menghitung besaran hujan rerata daerah dapat

ditempuh dengan berbagai cara yang lazim digunakan, yaitu :

Rerata Hujan

Merupakan cara perhitungan yang paling sederhana, namun hasil yang

diberikan tidak teliti. Hal ini dikarenakan setiap stasiun dianggap memiliki

bobot yang sama. Cara ini hanya dapat digunakan bila hujan yang terjadi

pada suatu DAS adalah homogen dan variasi tahunannya tidak terlalu besar.

Rumus cara rerata adalah :

P = 1n

(P1 + P2 +…+Pn)

Dengan :

P : hujan rerata daerah (mm)

P1 ,P2,Pn : curah hujan masing-masing stasiun (mm)

n : jumlah stasiun hujan

karena curah hujan di Indonesia sangat bersifat setempat dengan variasi ruang

yang sangat besar, maka cara ini tidak dapat digunakan.

Polygon Thiessen

Prinsip dari cara poligon thiessen adalah memberikan bobot tertentu

untuk setiap stasiun hujan dengan pengertian bahwa setiap stasiun hujan

dianggap mewakili hujan dalam suatu daerah dengan luas tertentu. Luas

tersebut merupakan faktor koreksi (weighing factor) bagi hujan di stasiun

yang bersangkutan.

Perhitungan curah hujan daerah dengan cara ini dirumuskan sebagai berikut:

4

P = A 1. P 1+A 2. P 2+…+ An .Pn

A 1+A 2+…+ An

R = A 1. R 1+ A 2. R 2+…+An . Rn

A 1+ A 2+…+ An

R = W1.R1+W2.R2+…+Wn.Rn

dengan :

R : Curah hujan daerah

R1,R2, …,Rn : Curah hujan di tiap titik pengamatan dan n adalah jumlah

titik- titik pengamatan

A1,A2, …,An : Bagian daerah yang mewakili tiap titik pengamatan

W1,W2, …,Wn : A1/A,A2/A, …An/A

Cara ini dipandang cukup baik karena memberikan koreksi terhadap

kedalaman hujan sebagai fungsi luas daerah yang mewakili. Kelemahan dari

cara ini adalah tidak nampaknya pengaruh topografi dan juga bila salah satu

stasiun tidak berfungsi misalnya rusak atau data yang tercatat tidak benar,

maka bentuk polygon thiessen harus diubah.

Isohyet

Isohyet adalah garis yang menghubungkan tempat-tempat yang memiliki

curah

hujan yang sama pada saat yang bersamaan. Pada dasarnya cara

perhitungannya sama dengan cara poligon thiessen, kecuali dalam penetapan

besaran faktor koreksinya. Hujan ditetapkan sebagai hujan rerata antara dua

buah isohyet. Faktor koreksi dihitung sebagai luas relatif bagian DAS yang

dibatasi oleh isohyes derhadap luas DAS. Kesulitan dari cara ini adalah

kesulitan dalam setiap kali harus menggambar kan garis isohyet dan juga

masuknya unsur subyektifitas dalam penggambaran isohyet.

Dalam perakteknya, cara yang terbaik yang digunakan dalam penghitungan

curah hujan rerata daerah adalah dengan cara poligon thiessen karena cara ini

mempertimbangkan/memperhitungkan daerah pengaruh tiap-tiap titik

5

pengamatan yang notabene tiap titik pengamatan didalam daerah studi tidak

tersebar merata.

2.2.2 UJI DATA HUJAN

Jika data hujan tidak konsisten yang diakibatkan oleh berubahnya atau

terganggunya lingkungan di sekitar tempat di mana alat ukur penakar

hujan di pasang, misalnya antara lain karena terlindungi oleh pohon,

terletak berdekatan dengan gedung tinggi, perubahan cara penakaran dan

pencatatannya, pemindahan letak penakar hujan dan sebagainya, maka

seolah-olah terjadi penyimpangan terhadap trend data hujan yang semula

atau sebenarnya.

Pengujian data hujan dapat diselidiki dengan menggunakan metode sebagai

berikut:

Metode Rescaled Adjusted Partial Sums (RAPS)

Dipakai untuk mengatasi ketidakkonsistenan suatu data hujan dari

suatu stasiun dengan data hujan dari stasiun itu sendiri, dengan cara

mendeteksi pergeseran nilai rata-rata (mean). Data hujan yang tidak

konsisten sering terjadi akibat beberapa hal seperti :

Alat diganti dengan alat yang berspesifikasi lain

Perubahan lingkungan yang mendadak

Lokasi pencatatan data hujan dipindahkan

Sk = ∑ (Yi – Yrerata)2

Sk ** = Sk / Dy

Dy2 = ∑ (Yi – Yrerata)2 / n

Q = / Sk ** maks/

R = Sk ** maks - Sk ** min

6

Tabel berikut ini merupakan batasan yang diberikan untuk metode

RAPS, yakni menunjukkan hubungan antara jumlah runtun data “ n “

(tahun) dengan nilai Q/n0.5 dan R/n0.5.

Tabel 2.1 Hubungan Antara Jumlah Runtun Data dengan Nilai Q/n0.5 dan

R/n0.5

Hasil uji konsistensi data dengan metode Rescalled Adjusted Partial Sums

(RAPS) untuk data hujan pada DAS Jangkok adalah seperti ditabelkan berikut

ini.

Tabel 2.2 Hasil perhitungan uji konsistensi data pada DAS jangkok (metode

RAPS)

No. Uraian

Hasil Uji

C.H. Total

Tahunan

C.H. Max.

Tahunan

1 Jumlah data (n) 10 10

7

nQ/n0.5 R/n0.5

90% 95% 99% 90% 95% 99%

10 1.050 1.140 1.290 1.210 1.280 1.380

20 1.100 1.220 1.420 1.340 1.430 1.600

30 1.120 1.240 1.480 1.400 1.500 1.700

40 1.140 1.270 1.520 1.440 1.550 1.780

100 1.170 1.290 1.550 1.500 1.620 1.850

2 Dy 476.95 19.57

3 Sk ** mak 1.306 1.829

4 Sk ** min -1.651 -1.693

5 Q 1.306 1.829

6 R 2.957 0.136

7 Q/n0.5 hitung 0.413 0.578

8 R/n0.5 hitung 0.935 0.136

9 Q/n0.5 kritis 1.05 1.05

10 Q/n0.5 kritis 1.21 1.21

Keputusan diterima diterima

Dari hasil pengujian terlihat bahwa data hujan total tahunan dan maksimum

tahunan dapat diterima karena nilai hitung lebih kecil daripada nilai kritis,

sehingga data tersebut dinyatakan tidak mengalami penyimpangan terhadap

nilai rata-ratanya dan bisa digunakan sebagai dasar perhitungan selanjutnya.

Metode Uji F

Uji F dengan analisa variansi yang bersifat dua arah,dengan hipotesa sebagai

berikut :

Hipotesa 1 : H0 = hujan homogen dari bulan ke bulan

H1 = hujan tidak homogen dari bulan ke bulan

Hipotesa 2 : H0 = hujan homogen dari tahun ke tahun

H1 = hujan tidak homogen dari tahun ke tahun

Terdapat dua nilai F yang dihitung dengan rumus-rumus berikut:

F1 = [(n-1).∑n(X’i - X’)2] / [ ∑(Xij-X’i-X’j+X’)2]

F2 = [(k-1).∑k(X’j - X’)2] / [ ∑(Xij-X’i-X’j+X’)2]

dengan :

X’i : harga rata-rata untuk bulan i

8

X’j : harga rata-rata untuk tahun j

X’ : harga rata-rata untuk keseluruhan

Xij : harga pengamatan untuk bulan i pada tahun j

n : banyaknya pengamatan perbulan (tahun)

k : banyak bulan

H0 diterima jika harga F hitung < F kritis

H0 ditolak jika harga F hitung > F kritis

Hasil uji konsistensi data dengan metode uji F untuk data hujan pada DAS

jangkok ditabelkan berikut ini :

Tabel 2.3 Hasil perhitungan uji-F terhadap data hujan pada DAS

jangkok

No. UraianHasil Uji

C.H. Total Tahunan C.H. Max. Tahunan

1 Jumlah tahun (n) 10 10

2 Jumlah bulan (k) 12 12

3 a 0.05 0.05

4 F1 hitung 17.02 18.17

5 F2 hitung 2.60 21.99

6 F kritis 3.10 3.10

Keputusan

antar tahun antar bulan antar tahun antar bulan

data

homogen

data tidak

homogen

data tidak

homogen

data tidak

homogen

Hasil uji-F sebagaimana terlihat pada tabel di atas menunjukkan bahwa data

curah hujan total tahunan adalah tidak homogen untuk data anyar bulan

sedangkan untuk data antar tahunannya adalah homogeny. Untuk data curah

9

hujan maksimum tahunan bahwa baik data antar tahun maupaun antar

bulannya merupakan data yang tidak homogen.

Sebagai kesimpulan bahwa data hujan untuk semua stasiun hujan dapat

digunakan sebagai dasar perencanaan sebagaimana telah disimpulkan pada

pengujian RAPS.

2.3 DEBIT BANJIR RANCANGAN

2.3.1 UMUM

Banjir rencana pada daerah aliran sungai mudah diselesaikan apabila

mempunyai pola banjir (flood patterns) dan data debit maksimum dalam

jangka panjang (minimal 10 tahun) yang didapat dari alat pencatat fluktuasi

aliran otomatis. Seperti diketahui bahwa pada Daerah Aliran sungai

Jangkok pemasangan alat ini tidak ada, hingga kini yang terpenuhi adalah

pencatat curah hujan harian yaitu oleh lima buah stasiun hujan.

Dalam keadaan demikian banjir rencana untuk Daerah Aliran Sungai

Jangkok diformulasikan memakai data hujan harian maksimum kemudian

diubah menjadi denit banjir yang dipengaruhi oleh pola hujan pada daerah

aliran yang bersangkutan.

2.3.2 CURAH HUJAN RANCANGAN

A. Analisa Frekuensi

Analisa frekuensi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kemungkinan

curah hujan harian maksimum yang terjadi.

Analisa frekuensi dapat dihitung denganmenggunakan dua metode yaitu

Metode E. J. Gumbel dan Metode Log Pearson Type III.

Metode E.J.Gumbel

Persamaan Metode Gumbel adalah :

Xt=X+K . δ

Dengan :

Xt = Variate yang diekstrapolasi dari besarnya hujan rancangan

untuk periode ulang T tahun

10

X = harga rerata dari data

=1n∑

1

n

Xi

δ = standar deviasi

K = factor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang

(return periode) dan tipe distribusi frekuensi.

K=Yt−YnSn

dengan,

Yt = reduced variate sebagai fungsi periode ulang T

= - Ln (- Ln (T-1) / T)

Yn = reduced mean sebagai fungsi banyaknya data n

Sn = reduced standart deviasi sebagai fungsi dari banyaknya data

Dengan mensubstitusikan persamaan di atas maka diperoleh :

Xt=X+¿δ / Sn¿(Yt−Yn)

Jika :

1/a = Sx / Sn dan b = Xrt – (Sx / Sn) . Yn

Persamaan di atas menjadi :

Xt = b + (1/a) . Yt

Dengan menggunakan persamaan di atas, maka dapat dihitung

besarnya curah hujan dalam suatu daerah pengaliran sungai dengan

periode ulang yang diperlukan.

Metode Log Pearson III

Metode yang dianjurkan dalam pemakaian distribusi Log Pearson

adalah dengan mengkonversikan rangakaian data menjadi bentuk

logaritmis.

log X=Σ log Xn

Atau dengan cara :

X=Σ¿¿¿

X=n2 Σ ¿¿¿

11

log X=log X−log X

Koefisien asimetri :

Cs=n Σ ¿¿

Nilai x dibagi setiap tingkat probablitas daihitung dari persamaan :

log X=log X+K . δ log X

Dstribusi frekuensi kumulatif akan tergambar sebagai garis lurus

pada kertas log normal jika koefisien asimetri Cs = 0

Pada table di bawah ini disajikan hasil perhitungan curah hujan

rancangan dari kedua metode tersebut di atas.

Tabel 2.4 Curah Hujan Rancangan Daeraah Sliran Sungai

Jangkok

No Kala Ulang (tahun)

Curah Hujan Rancangan (mm)

E.J. Gumbel Log Pearson III

1 2 76.996 78.214

2 5 101.612 96.745

3 10 117.910 107.484

4 25 138.503 119.755

5 50 153.780 128.128

6 100 168.944 135.928

7 200 184.052 143.322

8 500 203.985 149.153

9 1000 219.050 159.405

Sumber : Hasil Perhitungan

B. Uji Kesesuaian Distribusi Frekuensi

Uji kesesuaian distribusi frekuensi didapat dengan menggunakan dua

metode yaitu Metode Smirnov – Kolmogorof dan Metode Chi – Square.

Metode Smirnov – Kolmogorof

12

Pemeriksaan uji kesesuaian ini dimaksudkan untuk mengetahui

suatu kebenaran hipotesa distribusi frekuensi.

Dengan pemeriksaan uji ini akan diketahui :

Kebenaran antara hasil pengamatan dengan model distribusi

yang diharapkan atau yang diperoleh secara teoritis.

Kebenaran hipotesa (diterima/ditolak)

Hipotesa adalah perumusan sementara terhadap suatu hal untuk

menjelaskan hal tersebut, ke arah penyelidikan selanjutnya. Untuk

mengadakan pemeriksaan uji diawali dengan ploting data dari hasil

pengamatan pada kertas probabilitas dan durasi yang sesuai.

Tahapan plotting data dan garis durasi pada kertas probabilitas

sebagai berikut :

Data hujan maksimum harian rerata tiap tahun disusun dari

kecil ke besar.

Probabilitas dihitung dengan Persamaan Weibul.

P= mn+1

x100 %

Dengan,

P = probabilita(%)

m = nomor urut data dari seri data yan telah disusun

n = jumlah data

Plot data hujan Xi dan probabilitas

Plot persamaan analisis frekuensi yang sesuai

Metode Chi – Square.

Dari distribusi Chi – Square, dengan penjabaran seperlunya, dapat

diturunkan persamaan :

X2=∑ (Ef −Of )2

Ef

dengan,

13

X2 = harga Chi – Square

Ef =¿ frekuensi (banyaknya pengamatan) yang diharapkan, sesuai

dengan pembagian kelasnya.

Of = frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama

Nilai X2 yang didapat, harus lebih kecil dari harga X2 kritis untuk

suatu derajat nyata tertentu (level og significance), yang diambil

sebsar 5%.

Derajat kebebasan ini secara umun dapat dihitung dengan

persamaan :

DK=K−(P+1 )

dengan:

DK = Derajat kebebasan

K = Banyak kelas

P = Banyaknya keterikatan atau parameter, untuk sebaran Chi-Square

Disarankan agar banyaknya kelas tidak kurang dari lima dan

frekuensi absolute tiap kelas tidak kurang dari lima pula. Apabila

ada kelas yang frekuensinya kurang dari lima, maka dapat dilakukan

penggabungan dengan kelas yang lain.

Berikut ini ditampilkan hasil pengujian kesesuaian distribusi

frekuensi.

Tabel 2.5 Hasil Pengujian Distribusi Curah Hujan Rancangan

No

.

Smirnov-Kolmogorov Chi-Square

UraianE. J.

Gumbel

Log

Pearson

Type III

UraianE. J.

Gumbel

Log

Pearson

Type III

1 Hitung

maksimum,

Pmax

0.798 0.399Chi-Square

hitung7.00 1.00

2 Derajat 5% 5% Chi-Square 5.991 5.991

14

signifikan, a hitung

3 Kritis,

Pkritis

0.410 0.410Derajat

bebas, v1 1

4 Derajat

signifikasi, a5% 5%

Keputusan ditolak diterima Keputusan ditolak diterima

Sumber: Hasil Perhitungan

Dari hasil pengujian terlihat bahwa curah hujan rancangan untuk metode

E.J.Gumbel tidak dapat diterima atau dipakai dalam perhitungan debit

banjir rancangan.

2.3.3 DISTRIBUSI HUJAN TIAP JAM

Untuk mengubah curah hujan rancangan menjadi debit banjir rancangan,

diperlukan curah hujan jam-jaman. Pada umumnya data hujan tersedia

pada stasiun meteorologi adalah data hujan harian, artinya data yang

tercatat secara kumulatif selama 24 jam.

Pada perencanaan banjir rancangan untuk pekerjaan ini dipilih adalah

Metode Nakayasu, sehingga distribusi hujan yang dipakai adalah metode

rasional supaya waktu terjadinya puncak banjir sesuai dengan hasil

perhitungan.

Rumus rasional yang dipakai untuk menghitung distribusi hujan jam-

jaman adalah sebagai berikut:

Rt=( R24

4 )×( 4T )

23

dengan:

Rt = rata-rata hujan awal sampai dengan jam ke t (mm)

T = waktu hujan dari permulaan hujan sampai jam ke (jam)

R24 = besarnya hujan selama 24 jam (mm)

15

(Angka 4, merupakan lamanya hujan terpusat di DAS Jangkok).

Tabel 2.6 Rasio Distribusi Hujan Tiap Jam Pada DAS Jangkok

Jam Ke- Rasio (%) Komulatif rasio (%)

1 63.00 63.00

2 16.37 79.37

3 11.49 90.86

4 9.14 100.00

Sumber: Hasil Perhitungan

2.3.4 KOEFISIEN PENGALIRAN

Berdasarkan kriteria Dr. Mononobe, kondisi DAS Jangkok termasuk

dalam katagori tanah berelief berat dan berhutan kayu sehingga harga

koefisien pengaliran (C) berkisar antara 0,5 sampai dengan 0,75 sedangkan

menurut kriteria Dr. Kawakami bahwa untuk kondisi DAS dalam katagori

sungai biasa, maka angka koefisien pengaliran (f) menurut Dr. Kawakami

adalah:

f =1−( 15,7

Rt

43 )

dengan:

Rt = besarnya curah hujan rancangan pada kala ulang 1 tahun.

Dalam hal ini, koefisien pengaliran akan mengikuti ketentuan dari Dr.

Kawakami karena selain memperhatikan kondisi sungai, nilai koefisiennya

tidak konstan atau terdapat perubahan dimasing-masing kala ulang

tergantung dari besarnya hujan rancangan pada kala ulang tersebut.

Tabel berikut ini menunjukkan besarnya nilai koefisien pengaliran untuk

Daerah Aliran Sungai Jangkok.

16

Tabel 2.7 Nilai Koefisien Pengaliran DAS Jangkok

No. Kala Ulang

(Tahun)

Koef. Pengaliran

(f)

1 2 0.361

2 5 0.426

3 10 0.455

4 25 0.484

5 50 0.501

6 100 0.515

7 200 0.528

8 500 0.537

9 1000 0.552

Sumber: Hasil Perhitungan

2.3.5 HUJAN NETTO

Berdasarkan harga koefisien limpasan diperoleh besarnya hujan netto yang

merupakan bagian dari hujan total yang menghasilkan limpasan langsung

(direct run off). Limpasan langsung ini terdiri atas limpasan permukaan

(surface run off) dan air yang masuk dalam limpasan tipis di bawah

permukaan tanah dengan permeabilitas rendah, yang keluar lagi di tempat

yang lebih rendah dan berubah menjadi limpasan permukaan.

Dengan menganggap bahwa proses perubahan hujan menjadi limpasan

langsung mengikuti proses linier dan tidak berubah oleh waktu, maka

besarnya hujan netto (Rn) adalah koefisien pengaliran (f) dikalikan dengan

intesitas hujan (R) pada masing-masing kala ulang.

17

Hujan netto/efektif untuk Daerah Aliran Sungai Jangkok dapat ditabelkan

sebagai berikut.

Tabel 2.8 Hujan Netto Daerah Aliran Sungai Jangkok

No.Kala Ulang

(Tahun)

Hujan netto

(mm)

1 2 28.246

2 5 41.172

3 10 48.908

4 25 57.926

5 50 64.174

6 100 70.056

7 200 75.682

8 500 80.151

9 1000 88.070

Sumber: Hasil Perhitungan

2.3.6 PERHITUNGAN DEBIT BANJIR RANCANGAN

Debit banjir rancangan pada DAS Jangkok dihitung dengan menggunakan

metode Nakayasu. Pemilihan metode telah disesuaikan dengan

karakteristik daerah tangkapan hujan pada sungai.

Data fisik Daerah Aliran Sungai Jangkok adalah sebagai berikut:

Luas DAS : 155.549 km2

Panjang Sungai Utama : 46.699 km

Karakteristik daerah pengaliran sungai yang diperlukan dalam metode

Nakayasu adalah:

18

1. Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak hidrograf (time

to peak magnitude).

2. Tenggang waktu dari titik berat hujan sampai titik berat hidrograf.

3. Tenggang waktu hidrograf (time base of hydrograph).

4. Panjang alur sungai utama yang terpanjang (length of the longest

channel).

5. Koefisien pengaliran.

Persamaan dari Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu adalah sebagai

berikut: (CD. Soemarto, Ir. 1983, Hidrologi Teknik, FT Unibraw)

Q p=C ∙ A ∙ Ro

3,6 (0,3 T p+T 0,3 )

dengan:

Qp = Debit puncak banjir (m3/dt)

Ro = Hujan satuan (mm)

Tp = Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir

(jam)

T0,3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit dari debit puncak

sampai menjadi 30% dari debit puncak.

Untuk menentukan Tp dan T0,3 digunakan persamaan:

T p=T g+0,8 tr

T 0,3=∝ ∙T g

Tg adalah time log, yaitu waktu antara hujan sampai dengan debit puncak

banjir (jam).

Tg dapat dihitung berdasarkan atas:

1. Sungai dengan panjang lebih dari 15 km

T g=0,40+0,058 L

2. Sungai dengan panjang kurang dari 15 km

19

tg=0,21 ∙ L0,70

∝=parameter hidrograf

tr=satuanwaktu (1 jam)

Persamaan hidrograf satuan adalah:

1. Pada kurva naik

0 ≤ t ≤ T p

Qt=Qmax (t /T p )2,4

2. Pada kurva turun

Untuk, T p≤ t ≤ (T p+T0,3 ) maka

Qt=Qmax ∙ 0,3[( t−T p )/T0,3 ]

Untuk, (T p+T 0,3 )≤ t ≤ (T p+T 0,3+T 0,32 ) maka

Qt=Qmax ∙ 0,3[( t−T p+0,5 ∙T 0,3 )/ (1,5 ∙T 0,3 )]

Untuk, t ≤ (T p+T0,3+1,5∙ T 0,3 ) maka

Qt=Qmax ∙ 0,3[( t−T p+0,5 ∙T 0,3 )/ (2 ∙T 0,3) ]

Hasil perhitungan debit banjir rancangan untuk berbagai kala ulang pada

Daerah Aliran Sungai Jangkok dapat dilihat pada table berikut.

Tabel 2.9 Debit Banjir Rancangan Untuk Berbagai Kala Ulang Pada

Daerah Aliran Sungai Jangkok.

No.Kala Ulang

(Tahun)

Q Banjir

Rancangan (m3/dt)

1 2 125.037

2 5 182.030

3 10 216.136

4 25 255.895

5 50 283.443

6 100 309.378

7 200 334.182

20

8 500 353.887

9 1000 388.803

10 PMP 1139.173

Sumber: Hasil Perhitungan

BAB III

ANALISA HIDROLIKA

3.1 PERHITUNGAN SUNGAI

3.1.1 UMUM

Dalam ilmu hidrolika, diketahui bahwa jumlah energi dalam kaki per pon

air dan setiap aliran yang melalui suatu penampang dapat dinyatakan

sebagai jumlah tinggi air dalam kaki, yang setara dengan jumlah dari

ketinggian di atas suatu bidang persamaan, tinggi tekanan dan tinggi

kecepatan.

Umumnya setiap arus yang melalui suatu penampang akan mempunyai

kecepatan yang berbeda-beda berdasarkan dietribusi kecepatan yang tidak

seragam dalam aliran yang terjadi sesungguhnya. Hanya dalam suatu aliran

ideal sejajar dan distribusi kecepatannya seragam, tinggi kecepatan dapat

benar-benar sama untuk setiap titik pada penampang melintangnya. Namun

untuk aliran berubah beraturan dianggap bahwa tinggi kecepatan adalah

sama, dan untuk mengoreksi semua pengaruh yang di akibatkan oleh

distribusi kecepatan yang tidak seragam dipakai suatu koefisien energy.

Dasar perhitungan yang ideal untuk mengetahui profil aliran ini adalah

dengan mengacu pada teori bahwa kehilangan tinggi tekan pada suatu

21

penampang sama seperti pada aliran seragam dengan kecepatan dan jari-jari

hidrolik yang sama. Namun, kelemahan dari anggapan ini adalah jika pada

suatu section penampang mengalami suatu penurunan kecepatan yang di

akibatkan oleh besar kecilnya penampang sungai ataupun teejadi ketidak

seragaman elevasi dasar sungai, maka anggapan ini akan menyebabkan

kesuliatan seorang perancana dalam menganalisa profil aliran.

3.1.2 CIRI-CIRI PROFIL ALIRAN

Persamaan dianamis aliran berubah lambat laun dipengaruhi juga oleh

kemiringan dasar sungai, oleh sebab itu kemiringan sungai dapat digunakan

untuk menggambarkan cirri-ciri sebagai porfil aliran atau profil permukaan

air dari aliran.

Profil aliran akan menunjukkan lengkung permukaaan (surface curve)

aliran. Bila kedalaman aliran bertambah dalam arah aliran, akan

menggambarkan lengkung alir baik, dan bila kedalamannnya berkurang

maka arah aliran akan menggambarkan lengkung surut muka air.

3.1.3 METODE-METODE PERHITUNGAN

Perhitungan profill aliran lambat laun pada dasarnya meliputi penyelesaian

persamaan dinamis dari aliran berubah lambat laun. Sasaran utama dri

perhitungan ini adalah menentukan bentuk profil aliran. Bila di golongkan

secara umum, ada tiga metode peritungan , yakni metode integrasi grafis,

metode integrasi langsung dam metode pentahapan ataupun lebih di kenal

dengan metode tahap standart.

Dalam pekerjaan ini, perhitungan aliran sungai dilakukan dengan

menggunakan Metode Pentahapan (Tahapan Standart). Metode tahapan

standart dapat dipakai pada penampang ynag tidsk prismatic yna gsama

unsure hidrolik tergantung pada jarak di sepanjang section pengamatan.

Pada saluran alam (sungai) biasanya perlu dilakuakan penelitian lapangan

untuk mengumpulkan data yang di perluakan pada setiap penampang yang

22

perlu dihitung. Perhitungan di lakukan tahap demi tahap dari suatu pos

pengmat ke pos berikutnunya yang sifat-sifat hidroliknya telah di tetapkan.

Dalam hal ini jarak setiap pos diketahui dan dilakukan penentuan

kedalaman aliran di tiap pos. cara seperti ini biasanya dibuat dengan

melakukan perhitungan coba-coba (trial and eror). Untuk menjelasakan hal

ini dianggap bahwa permukaan air terletak pada suatu ketinggian dari

bidang datar.

Gambar 3.1 Pola Aliran Pada Penampang Sungai.

Dari Gambar 3.1 di atas, tinggi muka air diatas bidang pada kedua ujung

penampang adalah :

Z1 = So ∆x + y1 + z2 dan Z2 = y1 + z2

Kehilangan tekanan akibat gesekan adalah :

h1 = Sf ∆x = 0.5 (S1 + S2 ) ∆x

dengan kemiringan gesekan Sf diambil sebagai kemirngan rata-rata pada

kedua ujung penampang, atau Sf.

Persamaan di atas dapat digabungkan dengan ditulis sebagai berikut :

Z1 + β1 (V12/2g) = Z2+ β2 (V2

2/2g) + hf + he

23

Dengan he ditambahkan untuk kehilangan tekanan akibat pusaran, yang

cukup besar pada saluran tak prismatic. Sampai kini belum ada metode

rasional untuk menghitung kehilangan tekanan akibat pusaran . untuk

mempermudah perhitungan , he dianggap seagai bagian dari kehilangan

tekanan akibat gesekan dan nilai n dari manning akan meningkat pula dalam

menghitung hf. lalu dalam menghitung he di ambil nol. Tinggi tekanan total

pada kedua ujung penampang adalah :

H1 = Z1 + β1 (V12/2g) dan H2 = Z2+ β2 (V2

2/2g)

Maka persamaan tersebut menjadi : H1 = H2 + hf + he

3.1.4 HASIL PERHITUNGAN

Hasil perhtiungan yang di dapat adalah aliran pada sungai dengan dua

kondisi yang berbeda yaitu kondisi yang eksisting dan kondisi sungai

setelah dinormalkan. Dan adapun pelakunya yaitu dengan input nilai debit

rancanagan dengan berbagai kala ulang yaitu 10 tahun dan 25 tahun.

Nilai hasil perhitungan yang di peroleh dapat dilihat pada tabel-tabel yang

ada di lampiran.

3.2 PENELUSURAN BANJIR PADA SUNGAI (CHANNEL ROUTING)

Penulusuran banjir pada sungai cukup kompleks karena pengaliran keluar

dari penampungan sungai tidak hanya merupakan fungsi penampungan saja.

Di sungai pengaliran ke luar merupakan fungsi penampungan dan pengaliran

masuk.

Pendekatan penelusuran banjir melalui sungai dapat dihitung dengan

persamaan seri dan persamaan penampungan, yang dalam studi ini memakai

cara Muskingum.

Cara ini berasal dari rumus kontinuitas, kemudian dimodifikasi seperti

persamaan berikut:

I 1+ I 2 . t

2−

Q1+Q2 .t

2=S1−S2

24

Mengingat debit dan besarnya penampungan dapat dinyatakan sebagai

fungsi dari dalamnya air, maka hubungan antara besarnya penampungan “S”

dan debit “Q” dinyatakan sebagai berikut:

S = K . Q

Umpamanya angka perbandingan aliran masuk dan aliran keluar yang

mempengaruhi besarnya penampungan itu berturut-turut X dan (1-X), maka:

S= K . {X + (1 – X) . O}

Pada sungai alam, 0 < X < 0,50

Biasanya pada X berkisar antara 0,1 s/d 0,3, kadang-kadang harga X

menunjukkan harga negatif, yang mana makin curam kemiringan sungai

maka makin besar harga X nya.

Apabila permulaan dan akhir waktu adalah “t” dan besarnya penampungan

adalah “S1” dan “S2”, maka :

S1= K . {X . I1+(1-X).O1}

S2= K . {X . I2+(1-X).O2}

Dengan menghilangkan S1 dan S2, didapat :

Q2 = Co . I2 + C1 . I1 + C2 . Q

dengan :

C0=−K . X−0,5. tK−X+0,5 . t

C1=K . X−0,5. t

K−K . X+0,5 . t

C2=K−K . X−0,5. tK−K . X+0,5 . t

K adalah harga satuan waktu sebagai koefisien penampungan yang kira-kira

sama dengan waktu perpindahan banjir dalam bagian sungai. Harga K dan X

dapat diperoleh dari harga-harga debit I dan O yang diukur Berhubung

kelangkaan data-data debit otomatis pada daerah studi, maka waktu

perambatan banjir dianggap sama dengan periode hujan yang akan

menyebabkan debit banjir, dengan rumus t = K.

T= L / V

dengan :

25

L = Panjang sungai (m)

V = Kecepatan perambatan (m/dt)

T = K = Waktu perambatan banjir (detik)

Berikut ini disajikan hasil perhitungan penelusuran banjir untuk Sungai

Jangkok.

Langkah-langkah perhitungan:

1. Dicari Nilai K dan X

2. Hitung nilai C0, C1, dan C2 dengan rumus berikut :

C0=−K . X−0,5. tK−X+0,5 . t

C1=K . X−0,5. t

K−K . X+0,5 . t

C2=K−K . X−0,5. tK−K . X+0,5 . t

3. Selanjutnya Kontrol : C0 + C1 + C2 = 1

4. Selanjutnya hitung (Co . I2) , (C1 . I1) dan (C2 . Q2)

5. Selanjutnya hitung (Outflow) Q2 = Co . I2 + C1 . I1 + C2 . Q2

Nilai hasil perhitungan yang diperoleh dapat dilihat pada tabel-tabel yang

ada di lampiran.

3.3 PERHITUNGAN POTENSI DEBIT/DEBIT ALIRAN RENDAH 

3.3.1.UMUM

Untuk mengetahui besarnya debit minimum yang mengalir pada suatu sungai

tertentu dapat diketuhi dengan menggunakan alat ukur pencatat muka air dan

dengan beberapa formula maka akan diketahui hubungan antara tinggi muka air

dan besarnya debit yang mengalir pada sungai tersebut, alat pencatat tersebut biasa

dinamakan AWLR (Automatic Water Level Record). Alat ini sudah banyak

dipasang di beberapa sungai besar di Indonesia.

Akan tetapi pada beberapa sungai, seperti pada lokasi embung, tidak didapatkan

alat tersebut. Maka untuk mengetahui besaran debit yang mengalir maka bisa

dilakukan perhitungan secara empiris. Di indonesi metode yang sering dilakukan

adalah metode dari DR. FJ Mock, metode NRECA dan metode Tanki (Tank

26

model). Metode DR FJ Mock paling sering digunakan terutama di daerah dengan

intensitas tinggi sampai sedang seperti daerah Sumatera, Kalimantan, Jawa dan

Bali. Sedangkan metode NRECA banyak dilakukan di daerah dengan curah hujan

rendah seperti di daerah nusa tenggara. Sedangkan metode Tanki jarang digunakan

karena dibutuhkan data yang sangat komplek/detail terutama mengenai jenis tanah

dan vegetasinya. Dalam analisa ini dipakai metode dari DR FJ Mock.

Metode Simulasi Mock

Metode simulasi mock ini memperhitungkan data curah hujan,

evapotranspirasi, dan karakteristik hidrologi daerah pengaliran sungai, dengan

asumsi dan data yang diperlukan sebagai berikut:

1.  Evapotranspirasi terbatas

Evapotranspirasi terbatas adalah evapotraspirasi aktual dengan mempertimbangkan

kondisi vegetasi dan permukaan tanah serta curah hujan.

Untuk menghitung evapotranspirasi terbatas ini diperlukan data:

-   Curah hujan setengah bulanan (P)

-   Jumlah hari hujan setengah bulanan (n)

- Jumlah permukaan kering setengah bulanan (d), dihitung dengan asumsi bahwa

tanah dalam satu hari hanya mampu menahan air 12 mm dan selalu menguap

sebesar 4 mm.

-  Exposed surface (m %), ditaksir dari peta tata guna tanah, atau dengan asumsi:

m = 0% untuk lahan dengan hutan lebat

m = 0% pada akhir musim hujan dan bertambah 10% setiap bulan kering untuk

lahan sekunder

m =  10-40% untuk lahan yang terisolasi

m =  20-50% untuk lahan pertanian yang diolah.

Persamaan Evapotranspirasi terbatas sebagai berikut:

Et =  Ep – E          ………………….(1)

Er =  Ep (d/30)     ………………….(2)

Dari data n dan d stasiun hujan disekitar proyek akan diperoleh persamaan sebagai

berikut:

d  =  a n + b          ………………….(3)

Dimana a dan b adalah konstanta akibat hubungan n (jumlah hari hujan) dan d

(jumlah permukaan kering)

Substitusi dari persamaan (3) dan (2), diperoleh:

27

Er/Ep = m/30 . (a.n + b)   ……….(4)

2.  Keseimbangan Air di permukaan Tanah

Keseimbangan air tanah dipengaruhi oleh jumlah air yang masuk ke dalam

permukaan tanah dan kondisi tanah itu sendiri. Data yang diperlukan adalah:

P – Et , adalah perubahan air yang akan masuk ke permukaan tanah.

Soil storage, adalah perubahan volume air yang ditahan oleh tanah yang

besarnya tergantung pada (P-Et), soil storage bulan sebelumnya.

Soil Moisture, adalah volume air untuk melembabkan tanah yang besarnya

tergantung (P-Et), soil storage, dan soil moisture bulan sebelumnya.

Kapasitas soil moisture, adalah volume air yang diperlukan untuk mencapai

kapasitas kelengasan tanah.

Water Surplus, adalah volume air yang akan masuk kepermukaan tanah,

yaitu  water surplus = (P-Et) – soil storage, dan 0 jika (P-Et)< soil storage.

3.  Ground Water Storage

Nilai run off dan ground water besarnya tergantung dari keseimbangan air dan

kondisi tanahnya. Data yang diperlukan adalah:

Koefisien infiltrasi = I diambil 0,2 – 0,5

Faktor resesi aliran air tanah = k, diambil 0,4-0,7

Initial storage, adalah volume air tanah yang tersedia di awal perhitungan.

Persamaan:

In =  Water Surplus  x I

V        =  k. V(n-1) + 0,5 (1+k) In

A         =  Vn – Vn-1

dimana:

In = infiltrasi volume air yang masuk ke dalam tanah

V  = volume air tanah

dVn = perubahan volume air tanah bulan ke-n

V(n-1)= volume air tanah bulan ke (n-1)

I      = koefisien infiltrasi

A     = volume tampungan per bulan

4.  Aliran sungai

Interflow           = Infiltrasi – Volume air tanah (mm)

Direct Run Off = Water Surplus – Infiltrasi (mm)

28

Base Flow         =  Aliran sungai yang selalu ada sepanjang tahun (m3/dt)

Run Off             =  Interflow + Direct Run Off + Base Flow (m3/dt)

BAB IV

PERMASALAHAN UMUM PADA DAS

Permasalahan yang terjadi di Sungai Jangkok, antara lain :

Umumnya sungai-sungai di Indonesia yang melewati wilayah perkotaan

adalah penyempitan wilayah bantaran sungai oleh perkembangan daerah

pemukiman. Kondisi ini menyebabkan kapasitas tampang sungai

berkurang, sehingga rawan terhadap bahaya banjir.

Penyempitan daerah bantaran sungai juga terjadi akibat sedimentasi yang

cukup besar karena gerusan pada lereng sungai.

Permasalahan umum yang lainnya yaitu masalah sampah dan limbah

industri rumah tangga yang dibuang di sungai sehingga menimbulkan

pencemaran air sungai serta penyumbatan aliran.

Tidak adanya penyuluhan dan sosialisasi dari pemerintah/pemerhati

lingkungan sehingga menyebabkan berkurangnya kesadaran masyarakat

terhadap keadaan sungai Jangkok.

Pengelolaan DAS Jangkok kurang diperhatikan, kegiatan penata-gunaan

lahan dalam ruang lingkup DAS selalu akan melibatkan sumber daya alam

dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya.

29

BAB V

KESIMPULAN

30