DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

151
DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP DISKRESI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN Tesis Diajukan kepada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum Oleh KRISHNA DJAYA DARUMURTI NPM. 322008017 Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2011

Transcript of DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Page 1: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden)

TERHADAP DISKRESI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Tesis

Diajukan kepada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum

Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum

Oleh

KRISHNA DJAYA DARUMURTI NPM. 322008017

Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga 2011

Page 2: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden)

TERHADAP DISKRESI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

Tesis

Oleh:

KRISHNA DJAYA DARUMURTI NPM. 322008017

Telah disetujui untuk diuji:

Tanggal

Pembimbing, Pembimbing,

PROF. DR. TEGUH PRASETYO, SH., MSi TITON SLAMET KURNIA, SH., MH

Page 3: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Nama Mahasiswa : Krishna Djaya Darumurti NPM : 322008017 Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui,

PROF. DR. TEGUH PRASETYO, SH., MSi TITON SLAMET KURNIA, SH., MH

Pembimbing Pembimbing

Mengesahkan, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum

DR. TRI BUDIYONO SH., MHum

Dinyatakan Lulus Ujian tanggal:

Page 4: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

iv

ABSTRAK

Kekuasaan diskresi adalah jenis kekuasaan pemerintah

yang spesifik. Dari perspektif analitik, perluasan fungsi

pemerintahan merupakan dasar lahirnya konsep kekuasaan

diskresi sebagai kebebasan pemerintah. Dari perspektif yuridis,

kekuasaan diskresi adalah sebuah keharusan karena kurang

memadainya legislasi dari legislator untuk diimplementasikan

oleh pemerintah. Dari perspektif filosofis, kekuasaan diskresi

adalah pengupayaan ketercapaian tujuan hidup yang paling

fundamental dari negara yaitu salus populi atau public good,

yang mana asas legalitas merupakan sarananya.

Kekuasaan diskresi pemerintah beroperasi di bawah

suatu sistem hukum yaitu the Rule of Law dan berdampingan

dengan asas responsible government. Oleh karena itu terdapat

dasar-dasar pengujian HUKUM terhadap tindakan diskresi

pemerintah, dalam hal ini adalah Principles of Good

Governance dan Asas-asas Efisiensi dan Efektivitas. Dasar-

dasar pengujian tersebut memiliki tiga fungsi dalam

hubungan dengan kekuasaan diskresi pemerintah. Pertama,

kompensasi atas hilangnya jaminan dari asas legalitas. Kedua,

sebagai dasar argumen bagi tindakan. Ketiga, sebagai dasar

legitimasi kemasyarakatan yang menuntut adanya fairness

dan justice bagi tindakan diskresi pemerintah. Tindakan

diskresi pemerintah tidak boleh menghalalkan segala cara

untuk mencapai tujuan yang dicanangkannya meskipun

tujuan tersebut legitimate.

Page 5: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

v

KATA PENGANTAR

Kekuasaan pemerintah bagaikan sebuah misteri yang

nyata. Berada di dalam hasrat yang tidak terhindarkan di

dalam bentuk hubungan ada pihak yang memerintah dan ada

pihak yang diperintah (the ruler and the ruled). Berada dalam

kenyataan yang tidak ada persamaan martabat, selalu yang

satu lebih tinggi daripada yang lain dan selalu dipakai

paksaan pada hubungan itu. Tidak terhindarkan pula

kecenderungan syahwat penggunaan kekuasaan dari

pemerintah akan berkorelasi mengorbankan kepentingan

umum dari yang diperintah.

Dalam kegalauan persoalan intrinsik atas kekuasaan

pemerintah tersebut di atas, mencuat kecenderungan kuat

dipraktekkannya kekuasaan diskresi di dalam pemerintahan.

Kekuasaan diskresi adalah jenis kekuasaan pemerintah yang

memiliki karakter tersendiri. Ia tidak semata-mata terlihat

telanjang sebagai hanya kekuasaan saja, sebab kekuasaan

diskresi berakar pada dasar adanya perluasan fungsi

pemerintahan yang melahirkan kebebasan pemerintah.

Kompleksitas permasalahan penggunaan kekuasaan

diskresi – yang adalah kebebasan bertindak pemerintah –

inilah yang menjadi pokok bahasannya. Untuk itu di dalam

analisisnya, sebagai kajian dari disiplin Hukum Administrasi

Negara maka bertumpu pada dasar-dasar pengujian hukum

terhadap tindakan diskresi pemerintah. Pengujian hukum

diperlukan untuk mengukur agar tindakan diskresi tidak

Page 6: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

vi

menjadi penyalahgunaan wewenang dan sewenang-wenang.

Kekuasaan diskresi pemerintah dengan demikian akan diuji

keabsahannya secara hukum.

Apa saja yang tersaji pada tesis ini tidak bisa

dilepaskan dari bantuan ke dua pembimbing tesis saya.

Untuk itu saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.

DR. Teguh Prasetyo, SH., MSi. yang telah memberikan

masukan-masukan berarti terhadap isi dan pembuatan tesis

ini, terlebih pula beliau dengan segala pengertiannya telah

berkenan memahami kondisi dan situasi penulis sehingga

tesis ini dapat terselesaikan. Demikian pula kepada Bapak

Titon Slamet Kurnia, SH., MH yang telah memberikan

pertolongan dan memasok bacaan buku dan jurnal-jurnal

hukum asing. Beliau bersedia pula untuk mendiskusikan,

melakukan koreksi, memperhalus–mempertajam pemahaman

dan argumen hukum penulis atas isu hukum kekuasaan

diskresi dalam tesis ini. Untuk kesemuanya itu, saya amat

berterima kasih kepada Bapak Titon Slamet Kurnia, SH., MH.

Tak terlupakan kepada Bapak DR. Tri Budiyono, SH., MHum

sebagai sahabat maupun Ketua Program Studi Magister Ilmu

Hukum Program Pascasarjana UKSW, semua sahabat dan

rekan sejawat lainnya di FH UKSW, dan Bapak Marthen Toelle,

SH., MH., saya berterima kasih untuk bantuan dan

dorongannya yang telah diberikan hingga memungkinkan saya

dapat menyelesaikan studi saya sekarang ini.

Salatiga, Pebruari 2011

Krishna D. Darumurti

Page 7: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

vii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i HALAMAN PERSETUJUAN ii HALAMAN PENGESAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR

iii iv

v DAFTAR ISI vii DAFTAR PERATURAN DAN KASUS ix

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................

1

A. Latar Belakang ............................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ....................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 6 D. Landasan Teori ............................................................................ 6

1. Teori Lingkup Kekuasaan Pemerintahan ................................. 7 2. Teori Situasi-Kondisi Keberlakuan Asas Legalitas ................. 9 3. Teori Kontrol terhadap Pemerintah .......................................... 11

E. Metode Penelitian ........................................................................ 1. Pendekatan Penelitian 2. Sumber Penelitian

14 14 18

F. Sistematika ................................................................................... 19 BAB II. KONSEP KEKUASAAN DISKRESI PEMERINTA-HAN ...................................................................................................

21

A. Pendekatan Analitik …………………………………………… 22 1. Akar dari Konsep Diskresi: Konsep Perluasan Kekuasaan Pemerintahan ................................................................................

22

2. Diskresi sebagai Kebebasan Bertindak Pemerintah ................. 29 3. Konsep Kebijakan .................................................................... 34

B. Pendekatan Yuridis (Legal) ........................................................ 36 1. Hakikat dari Kekuasaan Legislatif …………………………... 37 2. Delegasi dari Pembentuk Undang-undang …………………... 39 3. Perbedaan dengan Emergency Power ……………………….. 47 4. Perlindungan Hukum bagi Pembuat Tindakan Diskresi .......... 50

C. Pendekatan Filosofis ................................................................... 53 1. Nilai di dalam Asas Legalitas .................................................. 53 2. Nilai di dalam Kekuasaan Diskresi .......................................... 57

Page 8: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

viii

3. Pemerintah sebagai Interpreter Paling Tepat atas Public Good …………………………………………………………….

64

BAB III. DASAR-DASAR PENGUJIAN TERHADAP TIN-DAKAN DISKRESI PEMERINTAH ……………………………

73

A. Kekuasaan Diskresi Versus Legalitas: Pertanggungja-waban? ..............................................................................................

75

1. Kekuasaan Diskresi di dalam Koridor the Rule of Law ……………………………………………………………...

76

2. Pertanggungjawaban atas Tindakan Diskresi Pemerin- tah ……………………………………………………………….

80

B. Pendekatan Right-Based dan Goal-Based sebagai Dasar Pengujian Tindakan Diskresi ……………………………………..

83

1. Tinjauan Umum Pendekatan Rule-Based, Right-Based dan Goal-Based ……………………………………………………...

84

2. Principles of Good Governance ……………………………... 87 2.1. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (General Principles of Proper Administration) ………………………

90

2.2. Asas-asas Pemerintahan berdasarkan HAM (Principles of Human Rights Administration) …………………………..

109

3. Asas-asas Efisiensi dan Efektivitas .......................................... 113 C. Sarana Kontrol terhadap Tindakan Diskresi Pemerintah ….. 115

1. Kontrol Yudisial ……………………………………………... 116 2. Kontrol Politik ...……………………………………………... 127 3. Kontrol Administratif ..………………………………………. 129

BAB IV. PENUTUP ………………………………………………. 133 A. Kesimpulan ……………………………………………………..

133

B. Saran ……………………………………………………………. 135 DAFTAR BACAAN ………………………………………………. 137

Page 9: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

ix

DAFTAR PERATURAN DAN KASUS Peraturan UUD 1945. UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme UU No. 39 Tahun 1999. UU No. 9 Tahun 2004. UU No. 10 Tahun 2004 International Covenant on Civil and Political Rights. Kasus Indonesia Putusan Mahkamah Agung RI No. 157/Sip/1960 (Lebanus Tambunan) Putusan Mahkamah Agung RI No. 319K/Sip/1968 (mbok Kromoredjo) Putusan Mahkamah Agung RI No. 42K/Kr/1965 (Machroes Effendi) Putusan Mahkamah Agung RI No. 572K/Pid/2003 (Akbar Tandjung) AS Madison v. Marbury 5 U.S. (1 Cranch) 137 (1803) Chevron, U.S.A., Inc. v. Natural Res. Def. Council, Inc., 467 U.S. 837, 865 (1984) Hamdi v. Rumsfeld 542 U.S. 507 (2004) Hamdan v. Rumsfeld 126 S. Ct. 2749 (2006) Roe v. Wade, 410 US 113 (1965) Jerman Schleyer Kidnapping Case Chemical Weapons Case Inggris R v Hull University Visitor ex p Page (The House of Lords). De Freitas v. Permanent Secretary of Agriculture, Fisheries, Lands and Housing (The Privy Council).

Page 10: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

1

BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendayagunaan kekuasaan diskresi (discretionary

power; pouvoir discretionnaire; discretionaire bevoegdheden;

freis ermessen) dalam penyelenggaraan pemerintahan sudah

menjadi notoir feit. Hal itu sangat berkaitan erat dengan

konsepsi pemerintahan (bestuur) yang disebut dengan istilah

bestuurzorg, yaitu suatu fungsi pemerintahan yang tidak

hanya mengatur tetapi juga sekaligus mengurus, ordenede en

verzorgende taken. 1 Tetapi dalam koridor the Rule of Law,

keniscayaan pendayagunaan kekuasaan diskresi dalam

penyelenggaraan pemerintahan ini mengandung suatu

masalah inheren yaitu kompatibilitas. Karena itu isu yang

sangat mendasar ialah batas-batas pelaksanaan kekuasaan

diskresi dalam rangka the Rule of Law.

Terkait dengan hal itu maka yang diangkat sebagai isu

utama dalam penelitian ini adalah tentang dasar-dasar

pengujian (toetsingsgronden) terhadap pendayagunaan

kekuasaan diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Dasar-dasar pengujian yang dimaksudkan di sini tentunya

adalah Hukum. Maka yang akan dipermasalahkan lebih lanjut

adalah apakah yang akan menjadi tolok ukur Hukum bagi

1 N.M. Spelt & J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, Surabaya: Yuridika, 1993, h. 1.

Page 11: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

2

pembenaran suatu tindak pemerintahan yang disebut diskresi

itu.

Kekuasaan diskresi merupakan konsep yang

kontroversial. 2 Sumber kontroversi tersebut adalah adanya

inisiatif sendiri dari pemegang kekuasaan, dalam hal ini

pemerintah, untuk mencapai tujuan negara. Penggunaan

kekuasaan diskresi berpotensi menabrak asas the Rule of Law

mengingat diskresi mempunyai sifat bawaan kekuasaan yang

dijalankan tanpa ada peraturan perundang-undangannya atau

tidak menunggu adanya peraturan perundang-undangannya

terlebih dahulu. Memang senyatanya dalam praktik,

penggunaan kekuasaan diskresi berpotensi menimbulkan

dampak negatif merugikan warga negara atau akan

berbenturan dengan kepentingan dan hak warga negara.

Dalam penyelenggaraan negara, kekuasaan diskresi

tidak hanya menjadi tuntutan kebutuhan bagi

penyelenggaraan pemerintahan dalam arti sempit, tetapi juga

dalam ranah penyelenggaraan kekuasaan yudisial. Sebagai

contoh adalah perdebatan klasik antara Hart versus Dworkin

mengenai yang harus dilakukan hakim dalam situasi hard-

cases di mana terjadi ketidakjelasan atau ketiadaan rules.3

Secara konseptual, latar belakang munculnya tuntutan

kebutuhan atas diskresi baik pada ranah pemerintahan

maupun yudisial adalah sama: sebuah tindakan harus

dilakukan meskipun dalam situasi rules-nya membisu, tidak 2 Misalnya di Indonesia terjadi dalam kasus kebijakan release and discharge terhadap obligor BLBI yang kooperatif oleh Presiden Megawati Soekarnoputeri. 3 Hilaire McCoubrey & Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, London: Blackstone Press Limited, 1996, h. 147-149.

Page 12: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

3

menyediakan suatu preskripsi (lacunae), atau sekurang-

kurangnya tidak jelas atau kabur (vague). Di sinilah pangkal

tolak dari isu tentang pengujian tersebut.

Tindakan diskresi sangatlah subjektif, yaitu bergantung

pada wisdom dari pemegang/penggunanya serta atas dasar

pertimbangan case by case yang sangat sulit digeneralisasi.

Dengan demikian, kejelasan konsep diskresi itu sendiri (what,

when, where, why and how) sesuatu yang tidak terelakkan

ketika pada saat yang sama berbicara tentang isu uji

keabsahan Hukum-nya.

Tuntutan pengujian adalah konsekuensi niscaya dari

asas the Rule of Law, yaitu keharusan bagi adanya suatu

pemerintahan yang bertanggung jawab atau responsible

government. Tetapi pertanyaannya kemudian: Pengujian

seperti apakah yang memadai terhadap pertanyaan keabsahan

Hukum dari suatu tindakan diskresi yang dilakukan

pemerintah? Tentu pertanyaan itu baru bisa terjawab setelah

ada kejelasan tentang konsep kekuasaan diskresi itu sendiri.

Melalui formulasi lain dapat dinyatakan bahwa kekhasan

konsep kekuasaan diskresi menentukan parameter pengujian

keabsahannya sebagai bentuk implementasi asas the Rule of

Law. Di sinilah urgensi kejelasan konsep kekuasaan diskresi.

Karena berada dalam ranah vague rules atau lacunae,

maka konsep kekuasaan diskresi sendiri menjadi problematik

dan menimbulkan masalah dalam praktik hukum. Salah satu

contoh terkait soal isu tentang kejelasan konsep diskresi

nampak dari pendapat Hadjon dalam anotasinya atas Putusan

Page 13: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

4

Perkara Akbar Tandjung (Putusan Nomor 572K/Pid/2003)

yang menyoroti masih jumbuhnya pemahaman discretionary

power dalam konsep Hukum Administrasi dengan konsep

staatsnoodrecht dalam konsep Hukum Tata Negara.4

Kesulitan lain adalah syarat-syarat pemberlakuan

kekuasaan diskresi yang sangat abstrak sehingga hal itu perlu

dikonkretisasi seperti: reasonableness 5 dan doelmatigheid. 6

Hal ikhwal melakukan konkretisasi ini juga masalah: tidak

hanya bagi pelaku tindakan diskresioner, tetapi juga bagi

pihak yang harus melakukan uji keabsahannya. Atas dasar

itulah, di samping isu dasar-dasar pengujian, isu konsep

kekuasaan diskresi juga penting dalam penelitian ini.

Dalam praktik, isu tentang kekuasaan diskresi menjadi

semakin kompleks dalam kaitan dengan bidang keamanan

nasional (national security). Contoh kompleksitas sekaligus

pelajaran berharga atas kasus ini adalah kebijakan perang

melawan terorisme 7 yang dipraktikkan oleh pemerintahan

Presiden George Walker Bush Jr. di Amerika Serikat. Dalam

langkah-langkah represifnya terhadap para teroris,

pemerintahan Bush mendalilkan justifikasi tindakan

diskresioner-nya: ‘in a crisis, executive action validates itself’.

4 Philipus M. Hadjon, Analisis atas Putusan Perkara Ir. Akbar Tandjung Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum Administrasi Negara, dalam Amir Syamsuddin, et.al., Putusan Perkara Akbar Tandjung (Analisis Yuridis Para Ahli Hukum), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004, h. 70-71. 5 P.P. Craig, Administrative Law, London: Sweet & Maxwell, 1983, h. 353-360. 6 Indriyanto Seno Adji, Catatan Terhadap Perkara Ir. Akbar Tandjung, dalam Amir Syamsuddin, et.al., Op.cit., h. 32. 7 Kata ‘perang’ di sini bukan kata perang sebagai konsep hukum dalam the law of war, tetapi jargon politik untuk memberi nama kebijakan pemberantasan terorisme oleh pemerintahan Bush.

Page 14: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

5

The Supreme Court of the U.S. dalam kasus Hamdan v.

Rumsfeld 126 S. Ct. 2749 (2006) memberikan pendirian

menentang klaim pemerintahan Bush atas kebutuhan

perluasan kekuasaan pemerintahan di bidang isu keamanan

nasional tanpa campur tangan Congress serta tanpa dapat

dinilai secara yudisial (dikenal sebagai doktrin Presidential

Unilateralism). Justice Breyer (concurring) menyatakan

pendapatnya atas isu ini:

Where, as here, no emergency prevents consultation with Congress, judicial insistence upon that consultation does not weaken our Nation’s ability to deal with danger. To the contrary, that insistence strengthens the Nation’s ability to determine—through democratic means—how best to do so. The Constitution places its faith in those democratic means. Our Court today simply does the same (Hongju Koh, Yale Law Journal, Vol. 115: 2360-2367).8

Kasus Hamdan, dan kasus-kasus lain yang berkaitan

(Hamdi v. Rumsfeld dan Rasul v. Bush), pada pokoknya adalah

tentang perintah sepihak dari Presiden Bush untuk

melakukan penahanan terhadap para tersangka teroris

dengan status sebagai alien enemy combatants untuk

kemudian diadili atas pelanggaran terhadap the law of war

dan applicable laws yang lain di depan military tribunals.

Namun begitu, pendirian the Supreme Court of the United

States berkenaan dengan tindakan diskresioner Presiden

selaku the Commander in Chief sangatlah jelas: “even in times

of war or national crisis, the executive branch may not deprive

suspected enemies of their rights absent explicit congressional

8 Harold Hongju Koh, Setting the World Right, Yale Law Journal, Vol. 115, No. 9, 2006, h. 2360-2367.

Page 15: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

6

approval.” Sekalipun dalam kasus tersebut, subjek yang

bersangkutan adalah orang asing. Hal ini adalah sebuah

contoh penting bahwa kepentingan sangat besar seperti

keamanan nasional tidak dapat serta merta dijadikan alasan

untuk dengan mudah melakukan tindakan diskresioner.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan penjelasan singkat dalam Sub-judul di

atas maka yang menjadi isu hukum dalam penelitian ini ada

dua, yaitu:

1. Apa pengertian konsep kekuasaan diskresi dalam

penyelenggaraan pemerintahan?

2. Apa dasar-dasar pengujian terhadap penggunaan

kekuasaan diskresi dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan:

1. Memberikan kejelasan mengenai konsep kekuasaan

diskresi secara analitik, yuridis dan filosofis.

2. Memberikan kejelasan mengenai dasar-dasar pengujian

(toetsingsgronden) terhadap penggunaan kekuasaan

diskresi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

D. Landasan Teori

Isu sentral penelitian ini adalah kekuasaan atau

kewenangan diskresi pemerintah dan dasar-dasar pengujian

atas keabsahan dalam penggunaannya. Penelitian ini ratione

Page 16: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

7

loci adalah penelitian tentang kekuasaan atau kewenangan

diskresi pemerintah dan dasar-dasar pengujian atas

keabsahan dalam penggunaannya dari perspektif hukum

Indonesia.

Isu teoretis yang relevan dengan penelitian ini adalah

tentang lingkup kekuasaan pemerintahan, keberlakuan asas

legalitas dan kontrol terhadap pemerintah. Teori lingkup

kekuasaan pemerintahan dimaksudkan untuk menjelaskan

ruang lingkup keberlakuan kekuasaan diskresi pemerintah

atau dalam bidang-bidang apakah tindakan diskresi

pemerintah dapat terjadi. Teori situasi-kondisi keberlakuan

asas legalitas akan menjelaskan mengenai latar belakang

tuntutan bagi lahirnya kekuasaan diskresi pemerintah.

Sementara teori kontrol terhadap pemerintah sangat

terkait dengan isu dasar-dasar pengujian terhadap tindakan

diskresi pemerintah. Artinya, dalam rangka kontrol terhadap

pemerintah tersebut maka dasar-dasar pengujian di sini

merupakan alat ukur untuk menentukan keabsahan bagi

tindakan diskresi pemerintah. Sedasar dengan itu, maka teori

kontrol terhadap pemerintah di sini akan mendiskusikan asas

the Rule of Law sebagai basis dari asas responsible government

(pemerintahan yang bertanggung jawab).

1. Teori Lingkup Kekuasaan Pemerintahan

Kekuasaan diskresi yang menjadi isu di sini adalah

kekuasaan pemerintah dalam arti sempit, yaitu bestuur.

Dalam pengertian demikian maka lingkup dari kekuasaan

diskresi yang dibahas di sini adalah didefinisikan oleh konsep

lingkup kekuasaan pemerintahan itu sendiri. Sehingga

Page 17: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

8

konsekuensinya kemudian, karena kekuasaan diskresi di sini

meng-ada sebagai kekuasaan pemerintah maka di dalam

lingkup kekuasaan pemerintahan tersebut berpotensi untuk

terjadi tindakan diskresi oleh pemerintah.

Diskusi mengenai konsep lingkup kekuasaan

pemerintahan di sini mau tidak mau harus mengacu pada

treatise hukum administrasi. Konsep lingkup kekuasaan

pemerintahan (bestuur) yang dimaksudkan di sini adalah

lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan

legislatif dan kekuasaan yudisial. Pemaknaan demikian,

mengapa tidak digunakan istilah kekuasaan eksekutif,

mengandung suatu pengertian fungsional tertentu. Kekuasaan

pemerintahan, dalam praktik, tidak pernah murni kekuasaan

eksekutif, yaitu murni hanya melaksanakan undang-undang

(dalam praktiknya, pemerintah juga melakukan aktivitas rule-

making, tidak sebatas rule-executing belaka). Tetapi, konsep

kekuasaan pemerintahan tersebut juga bersifat aktif; tidak

hanya kekuasaan terikat, tetapi juga kekuasaan bebas. Hal ini

berarti bahwa lapangan kekuasaan pemerintahan lebih luas

dibandingkan dengan lapangan kekuasaan eksekutif belaka

(berdasar konsepsi asas trias politica).9

Konsepsi lingkup kekuasaan pemerintahan dengan

formulasi yang negatif tersebut, dengan pola residu,

menunjukkan keluasan bidang atau lapangan dari kekuasaan

pemerintahan yang tidak dapat dirumuskan dengan pola

positif-enumeratif. Minus bidang kekuasaan legislatif dan 9 Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet – En Rechtmatig Bestuur), Surabaya: Yuridika, 1992, h. 1-5.

Page 18: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

9

kekuasaan yudisial, itulah bidang dari kekuasaan

pemerintahan, dan dijalankan melalui tindak pemerintahan

(bestuurshandelingen). Di dalam bidang tersebut, yang sangat

luas cakupannya, terbuka peluang sangat lebar untuk terjadi

tindakan diskresi oleh pemerintah: kekuasaan regulasi

(delegated legislation); dengan keputusan-keputusan

pemerintah (KTUN); dengan tindakan-tindakan faktual;

tindakan-tindakan polisionil dan penegakan hukum;

pengenaan sanksi pemerintahan, dan lain-lain.10

Pemerintah yang dimaksudkan di sini adalah alat

perlengkapan negara (tingkat pusat dan daerah) yang

menjalankan seluruh kegiatan bernegara dalam

menyelenggarakan pemerintahan.11 Pemerintah tingkat pusat

dan daerah tersebut, dapat merupakan seorang

petugas/pejabat (fungsionaris) maupun badan (lembaga)

pemerintahan.12

2. Teori Situasi-Kondisi Keberlakuan Asas Legalitas

Latar belakang dari kekuasaan diskresi adalah

perubahan situasi-kondisi yang tidak dapat diprediksi oleh

keberlakuan peraturan perundang-undangan, di mana dalam

rangka kontinuitas pemerintahan pemerintah tetap harus

melakukan tindakan. Oleh karena itu, justifikasi bagi

kekuasaan diskresi adalah pembedaan antara situasi-kondisi 10 Philipus M. Hadjon, Pengertian-pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan (Bestuurshandeling), Surabaya: Djumali, 1985; Philipus M. Hadjon, et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002, h. 124-179 & 245-265. 11 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara, Bandung: Alumni.1986, h. 2. 12 Koentjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan Dan Peradilan Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1978, h. 42.

Page 19: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

10

yang normal dengan situasi-kondisi yang abnormal berkenaan

dengan keberlakuan hukum. Pernyataan ini mengacu pada

pendapat Carl Schmitt:

Every general norm demands a normal, everyday frame of life to which it can be factually applied and which is subjected to its regulations. The norm requires a homogeneous medium. This effective normal situation is not a mere “superficial presupposition” that a jurist can ignore; that situation belongs precisely to [the norm’s] immanent validity. There exists no norm that is applicable to chaos. For a legal order to make sense, a normal situation must exist, and he is sovereign who definitely decides whether this normal situation actually exists. All law is ‘situational law’.13

Dalam situasi-kondisi normal di mana hukum ceteris

paribus (semua variabel dalam keadaan sama) berlaku, maka

asas legalitas yang berlaku, dan kekuasaan pemerintah di

bawah asas legalitas adalah kekuasaan terikat. Dalam situasi-

kondisi abnormal di mana hukum ceteris paribus tidak

berlaku, maka, demi hukum, asas legalitas tidak berlaku, dan

kekuasaan pemerintah dalam situasi demikian adalah

kekuasaan bebas/diskresi.

Pembedaan antara situasi-kondisi normal dan abnormal

berkenaan dengan keberlakuan asas legalitas adalah hal yang

wajar atau alami.14 Sebagai bukti bahwa pembedaan demikian

make sense adalah Art. 4 (1) the International Covenant on

Civil and Political Rights:

13 Pendapat tersebut dinyatakan dalam bukunya berjudul Political Theology: Four Chapters of Sovereignty. Pendapat tersebut diacu oleh Kim Lane Scheppele, Law in a Time of Emergency: States of Exception and the Temptations of of 9/11, Public Law and Legal Theory Research Papers Series, University of Pennsylvania Law School, Research Paper No. 60, 2004, h. 10. 14 Seperti dikenalnya pembedaan antara Hukum Biasa dan Hukum Darurat. Periksa Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta: Rajawali Press, 2007.

Page 20: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

11

In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed, the States Parties to the present Covenant may take measures derogating from their obligations under the present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their other obligations under international law and do not involve discrimination solely on the ground of race, colour, sex, language, religion or social origin.

Situasi-kondisi kemasyarakatan tidaklah konstan, dan

perubahan situasi-kondisi kemasyarakatan tidak selalu

mampu diantisipasi oleh asas legalitas, oleh keberlakuan

peraturan perundang-undangan. 15 Sehingga, kekuasaan

diskresi pemerintah untuk mengantisipasi situasi-kondisi

demikian sifatnya niscaya (sine qua non).

3. Teori Kontrol terhadap Pemerintah

Menurut Tamanaha, asas the Rule of Law mengandung

konsepsi bahwa “government officials and citizens be bound by

and to act consistently with the law.” 16 Isu keterikatan dan

keharusan untuk bertindak secara konsisten sesuai dengan

hukum yang berlaku bagi subjek hukum sangat erat

kaitannya dengan konsep tanggung jawab atau tanggung

gugat (responsibility or liability).

Di bawah preskripsi the Rule of Law, hukum merupakan

instrumen dalam rangka kontrol terhadap setiap subjek

hukum, termasuk pemerintah. Asas the Rule of Law

15 Penjelasan lebih luas atas asumsi-asumsi ini akan menjadi isu untuk dibahas secara spesifik oleh Bab II. Pembahasan di sini sebatas dalam konteks menjelaskan bahwa pembedaan situasi-kondisi normal dengan situasi-kondisi abnormal adalah landasan teori bagi kekuasaan diskresi. 16 Brian Z. Tamanaha, A Concise Guide to the Rule of Law, dalam Gianluigi Palombella & Neil Walker, eds., Relocating the Rule of Law, Oxford-Portland: Hart Publishing, 2009, h. 3.

Page 21: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

12

mengkaidahi bahwa pemerintah sekalipun, dalam kedudukan

strukturalnya yang superior terhadap warga negara, tetap

harus bertindak dalam koridor hukum seperti halnya warga

negara biasa. Artinya, baik kepada warga negara maupun

kepada pemerintah, hukum harus berlaku sama sebagai

panglima. Konsepsi ini dikenal sebagai asas supremasi hukum

(supremacy of the law).

Sedasar dengan asas the Rule of Law maka asas

responsible government merupakan tuntutan yang niscaya

supaya makna hakiki dari asas the Rule of Law dapat

berdampak. Yang dimaksudkan di sini adalah keterikatan dan

keharusan untuk bertindak konsisten sesuai hukum yang

berlaku sebagai basis dari the Rule of Law akan hilang

maknanya manakala perilaku sebaliknya dari subjek hukum,

i.c. pemerintah, tidak dapat dipertanggungjawabkan. Isu

kontrol terhadap pemerintah dimaksudkan supaya

pemerintah terikat pada hukum yang berlaku dan bertindak

konsisten sesuai dengannya dapat terjadi baik ex ante yang

fungsinya preventif maupun ex post yang fungsinya represif.17

Penelitian ini, dengan bertolak secara sadar dari isu

sentral dasar-dasar pengujian terhadap tindakan diskresi

pemerintah, meyakini pendirian bahwa tindakan diskresi

pemerintah di Indonesia, selain tindakan terikat, adalah

tindakan yang harus selalu dapat dipertanggungjawabkan

ketika dipermaklumkan bahwa the Rule of Law merupakan

asas fundamental dalam pengorganisasian negara di bawah

17 Ibid., h. 8.

Page 22: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

13

sistem konstitusional UUD 1945 (vide Pasal 1 Ayat (3) UUD

1945). Pokok pendirian ini tidak seyogianya dipahami dengan

pengertian bahwa kekuasaan diskresi merupakan sesuatu

yang tidak diperbolehkan di dalam sistem konstitusional yang

dibangun berdasarkan asas the Rule of Law ini. Tetapi karena

kekuasaan diskresi merupakan kekuasaan hukum, bukan

kekuasaan buta, maka a fortiori konklusinya ialah kekuasaan

diskresi ini harus digunakan secara bertanggung jawab dan

penggunaannya pun juga dapat dipertanggungjawabkan,

dalam pengertian dapat dikenakan kontrol.

Isu yang problematik dalam kasus ini adalah

ketegangan (tension) antara asas legalitas dengan tindakan

diskresi pemerintah di bawah preskripsi asas the Rule of Law.

Diskresi merupakan pengecualian atas asas legalitas dalam

situasi yang sangat spesifik. Hal ini yang menjadikan isu

kontrol terhadap tindakan diskresi pemerintah, begitu juga

halnya dasar-dasar pengujiannya, menjadi isu yang

problematik, yaitu menentukan batas atas dan batas bawah

bagi keabsahan tindakan diskresi pemerintah. Manakala

tindakan diskresi dilakukan pemerintah secara patut maka

tindakan diskresi tersebut justru diinginkan. Oleh karena itu,

yang berlaku kemudian di sini adalah kaidah a contrario:

Bilamanakah diskresi tidak dilakukan secara patut? Preskripsi

bagi isu ini adalah tentang dasar-dasar pengujian bagi

tindakan diskresi pemerintah sebagai landasan kontrol baik ex

ante maupun ex post yang merupakan fokus utama penelitian

ini.

Page 23: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

14

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Untuk menjawab dua isu hukum di atas, sebagaimana

terumus pada rumusan masalah, maka penelitian ini

merupakan penelitian hukum (legal research) 18 dan akan

menggunakan beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan

konseptual. Kedua, pendekatan perbandingan. Ketiga,

pendekatan filosofis. Keempat, pendekatan kasus.

Pendekatan konseptual (conceptual approach) diperlukan

mengingat belum atau tidak ada aturan hukum 19 untuk

masalah kekuasaan diskresi dan dasar-dasar pengujian

hukumnya di Indonesia. Di dalam upaya membangun ke dua

konsep tersebut, penulis beranjak dari pandangan-pandangan

sarjana dan doktrin-doktrin hukum yang berkembang di

dalam Ilmu Hukum. Dengan mempelajari pandangan-

pandangan sarjana dan doktrin-doktrin hukum, berarti: a.

Penulis akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-

pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas

hukum yang relevan dengan isu hukum kekuasaan diskresi;

b. Menjadi sandaran penulis di dalam membangun argumen-

argumen hukum dalam memecahkan isu dasar-dasar

18 Pemahaman dan pengertian penelitian hukum dimaksud adalah sebagai berikut. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum, jika pada keilmuan yang bersifat deskriptif jawaban yang diharapkan adalah true atau false, jawaban yang diharapkan di dalam penelitian hukum adalah right, appropriate, inappropriate atau wrong. Oleh karena itu hasil yang diperoleh di dalam penelitian hukum sudah mengandung nilai. Lihat dalam Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2009, h. 35. 19 Ibid., h. 137.

Page 24: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

15

pengujian hukum terhadap kekuasaan diskresi pemerintah.

Dalam rangka pendekatan konseptual ini penulis perlu

merujuk prinsip-prinsip hukum. Prinsip-prinsip ini dapat

diketemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun

doktrin-doktrin hukum.20

Terkait dengan konsep hukum dari batasan hukum atau

pengujian terhadap tindakan diskresi pemerintah dapat juga

ditemukan di dalam undang-undang, meskipun tidak secara

eksplisit sebab memang tidak diatur secara spesifik untuk hal

tersebut. Untuk itu dalam mengidentifikasi prinsip tersebut,

penelitian ini memang perlu memahami terlebih dahulu

konsep tersebut melalui pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin yang ada.

Konsep hukum dapat juga diketemukan di dalam

putusan-putusan pengadilan.21 Terkait dengan itu di dalam

upaya memtertajam pemahaman dan argumen terhadap

dasar-dasar pengujian yang digunakan atas kekuasaan

diskresi, maka penelitian ini juga memakai pendekatan

perbandingan (comparative approach). Untuk itu pendekatan

perbandingan dilakukan dengan membandingkan putusan

pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan lainnya

untuk masalah yang sama atau putusan pengadilan di negara

lain untuk kasus yang serupa, 22 dalam hal ini kasus

pengujian hukum kekuasaan diskresi.

20 Ibid., h. 138. 21 Ibid., h. 139. 22 Ibid., h. 133, 95.

Page 25: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

16

Pendekatan perbandingan demikian dalam penelitian ini

berguna untuk memperoleh persamaan dan perbedaan di

antara putusan-putusan pengadilan tersebut. Hal ini untuk

menjawab mengenai pengertian diskresi dalam kasus yang

melahirkan putusan pengadilan itu. Dengan melakukan

perbandingan putusan-putusan pengadilan tersebut, maka

penelitian ini akan memperoleh gambaran mengenai

konsistensi pengertian tindakan diskresi pemerintah dan

batasan hukum dari pelaksanaan kekuasaan diskresi

pemerintah. Demikian pula dengan memperbandingkan

pandangan-pandangan sarjana dan keberadaan doktrin-

doktrin hukumnya, akan bermanfaat bagi penyikapan latar

belakang terjadinya diskresi pemerintah dan dasar-dasar

pengujian hukumnya, baik menurut sistem hukum Indonesia

maupun negara lain.

Pendekatan filosofis (philosophical approach) digunakan

untuk menangkap makna nilai yang terkandung dalam

diskresi itu sendiri dan hukum sebagai tolok ukur dalam

pendayagunaan tindakan diskresi pemerintah. Pendekatan ini

bertujuan untuk melihat konsep kekuasaan diskresi

pemerintah sebagai suatu konsep normatif produk dari sistem

nilai tertentu. Oleh karena itu penelitian ini juga akan

menjawab isu mengapa diskresi dalam penyelenggaraan

pemerintahan menjadi keharusan (aspek aksiologis). Melalui

pendekatan filosofis maka penulis akan meletakkan dasar

argumen pembenaran keberadaan diskresi pemerintah yang

menimbulkan antinomi dengan asas legalitas.

Page 26: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

17

Tahapan berikutnya dalam pendekatan ini akan menjawab isu

apakah kekuasaan diskresi digunakan untuk mencapai

tujuannya (aspek teleologis). Hal ini diperlukan oleh karena

makna filosofis tujuan kekuasaan diskresi di dalam

pemerintahan adalah hukum itu sendiri, yakni nilai keadilan

dan kemanfaatan. Tahapan terakhir penggunaan pendekatan

ini untuk menjawab isu pentingnya dasar pengujian terhadap

penggunaan kekuasaan diskresi. Dalam hal ini apakah

pemerintah dalam melakukan tindakan diskresinya dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum. Dengan demikian

pendekatan filosofis dalam penelitian ini adalah dalam rangka

supaya konsep kekuasaan diskresi dan tanggungjawab

pemerintah atas penggunaannya dapat diterima dan diakui

keberadaannya secara luas dan umum (make sense to the

world).

Pendekatan kasus (case approach) juga diperlukan

mengingat undang-undang tidak mengatur secara spesifik isu

hukum penelitian.23 Pendekatan kasus dilakukan dengan cara

melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan

dengan masalah kekuasaan diskresi dan asas-asas hukum

pengujiannya dalam putusan-putusan pengadilan. Dalam

penelitian ini yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan

kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu

pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu

putusan, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh

23 Lihat dalam Ibid., h. 124.

Page 27: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

18

hakim untuk sampai kepada putusannya.24 Analisis hukum

dengan pendekatan kasus ini dilakukan dalam dua tahap.

Tahap pertama, inventarisasi putusan yang relevan dengan isu

hukum penelitian ini sebagai referensi dalam menganalisis isu

hukum penelitian. Tahap kedua, menemukan ratio decidendi

sebagai referensi bagi penulis untuk penyusunan argumentasi

dalam pemecahan isu hukum penelitian.

Pendekatan kasus ini penting karena terkait dengan

penerapan dasar-dasar pengujian yang sifatnya abstrak ke

dalam kasus-kasus konkret sehingga hal itu merupakan

bahan yang sangat berharga dalam rangka melakukan

generalisasi untuk membangun suatu pengertian. Pendekatan

kasus juga akan mencakup putusan-putusan pengadilan

asing. Sebagaimana telah dikemukakan, hal ini dilakukan

juga dalam kaitan dengan pendekatan perbandingan.

2. Sumber Penelitian

Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus

memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya,

diperlukan sumber-sumber penelitian. 25 Merujuk kepada

macam pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini,

maka sumber penelitiannya dapat dibedakan yang berupa

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

24 Ibid., h. 94. Ratio decidendi inilah yang menunjukkan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif. Oleh karena itulah pendekatan kasus (case approach) bukanlah merujuk kepada diktum putusan pengadilan, melainkan merujuk kepada ratio decidendi. Dengan demikian pendekatan kasus (case approach) dibedakan dengan studi kasus (case study). Di dalam pendekatan kasus, beberapa kasus ditelaah untuk referensi bagi suatu isu hukum. Sedangkan studi kasus merupakan suatu studi terhadap kasus tertentu dari berbagai aspek hukum. Lihat dalam Ibid., h. 94, 119. 25 Ibid., h. 141.

Page 28: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

19

Bahan hukum primer sebagai sumber dalam penelitian

ini adalah putusan-putusan pengadilan, baik dari putusan

pengadilan di Indonesia maupun putusan pengadilan asing –

terutama terkait dengan penggunaan pendekatan kasus.

Sedangkan bahan hukum sekunder sebagai sumber penelitian

ini adalah tulisan-tulisan hukum (treatise) terutama buku-

buku hukum dan artikel dalam jurnal-jurnal hukum, di

samping itu juga dari kamus-kamus hukum dan komentar-

komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder

ini, baik yang berasal dari penulis Indonesia maupun asing.

Memperhatikan operasionalisasi macam-macam pendekatan

yang dipakai dalam penelitian ini, maka bahan-bahan hukum

yang digunakan akan didominasi oleh bahan hukum

sekunder.

F. Sistematika

Penelitian ini akan mengulas hal-hal sebagai berikut.

Bab II akan membahas mengenai konsep kekuasaan

diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tataran

analitik, yuridis dan filosofis. Tataran analitik akan

menjelaskan konsep diskresi itu dari sudut pandang

fungsional pemerintahan. Tataran yuridis akan menjelaskan

konsep diskresi itu sebagai sebuah keharusan dalam

penyelenggaraan pemerintahan (discretionary power as a

must). Dalam kaitan dengan itu maka pada tataran yuridis ini

akan dikaji kompatibilitas konsep kekuasaan diskresi dengan

asas the Rule of Law. Sementara tataran filosofis akan

menyoroti aspek aksiologis mengapa diskresi dalam

Page 29: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

20

penyelenggaraan pemerintahan menjadi sebuah keharusan

(keharusan bagi keharusan diskresi).

Bab III akan membahas mengenai dasar-dasar

pengujian terhadap kekuasaan diskresi dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Beberapa hal yang terkait

dengan pembahasan tersebut antara lain: konteks the Rule of

Law sebagai asas yang harus tetap menjadi acuan bagi

pelaksanaan kekuasaan diskresi dalam penyelenggaraan

pemerintahan; hubungan antara diskresi dengan asas

legalitas; Principles of Good Governance dan Asas-asas

Efisiensi dan Efektivitas sebagai dasar pengujian terhadap

tindakan diskresi pemerintah serta metode dan sarana

pengujian yang memadai terhadap tindakan diskresi

pemerintah. Bahasan mengenai hal ini dimaksudkan agar

asas the Rule of Law tidak menimbulkan kebuntuan bagi

penyelenggaraan pemerintahan (konsep marginal review atau

marginal toetsing).

Bab IV merupakan bab penutup yang akan berisi

kesimpulan dan saran dikaitkan dengan pembahasan yang

telah dilakukan sebelumnya.

Page 30: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

21

BAB II.

KONSEP KEKUASAAN DISKRESI

PEMERINTAHAN

Bab ini membahas isu konsep kekuasaan diskresi

pemerintahan. Pembahasan ini memiliki tujuan untuk

memberikan kejelasan atas konsep kekuasaan diskresi dalam

penyelenggaraan pemerintahan yang masih kontroversial dari

berbagai aspek supaya konsep kekuasaan diskresi tersebut

make sense in the context of the legal system dan sekaligus

make sense in the world.1 Maksud dari pernyataan ini adalah

pembahasan tentang konsep kekuasaan diskresi dilakukan

sedemikian rupa supaya konsep tersebut tidak hanya

akseptabel secara kekuasaan per se, tetapi juga sekaligus

akseptabel secara yuridis dan secara moral/etis.

Untuk itu, pembahasan ini dilakukan dalam tiga tataran

analisis. Pertama, konsep kekuasaan diskresi akan dianalisis

dari perspektif pendekatan analitik untuk meletakkan batasan

pengertian mengenai apa yang dimaksudkan dengan konsep

kekuasaan diskresi pemerintahan tersebut dan apa yang tidak

(Sub-judul II.A). Kedua, dari pendekatan yuridis, konsep

kekuasaan diskresi akan dilihat sebagai produk hukum, suatu

kondisi yang dituntut oleh hukum untuk diadakan.

Pembahasan pada tataran ini akan menganalisis konsep

kekuasaan diskresi pemerintahan sebagai bentuk delegasi dari 1 Neil MacCormick, Legal Reasoning and Legal Theory, Oxford: Oxford University Press, 1978, h. 103. Rujukan kepada pendapat MacCormick ini adalah tentang kriteria bagaimana seharusnya suatu legal decisions.

Page 31: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

22

legislatif berkenaan dengan kekosongan ketentuan dalam

legislasi, berkenaan dengan norma/kaidah kabur dalam

ketentuan legislasi atau berkenaan dengan kontradiksi dalam

ketentuan legislasi atau berkenaan dengan suatu situasi

tertentu. Pendekatan yuridis akan mengetengahkan kaidah

perlindungan hukum dalam penggunaan kekuasaan diskresi

(Sub-judul II.B). Untuk memperluas insight, pembahasan

pada tataran ini juga akan mengacu pada teori/doktrin yang

berkembang di negara lain. Ketiga, dari pendekatan filosofis

konsep kekuasaan diskresi pemerintahan akan dilihat sebagai

suatu konsep normatif produk dari sistem nilai tertentu.

Dalam pengertian demikian pembahasan di sini akan

mengulas mengenai aspek aksiologis dari konsep kekuasaan

diskresi pemerintahan (Sub-judul II.C).

A. Pendekatan Analitik

1. Akar dari Konsep Diskresi: Konsep Perluasan Kekuasaan

Pemerintahan

Konsep kekuasaan tidak pernah berada dalam makna

yang hampa, bahkan dalam pengertiannya yang sederhana

sekalipun, “kemampuan berbuat atau bertindak”. 2

Pemahaman kekuasaan oleh umum itu berbicara tentang

kekuasaan dalam hubungannya dengan interaksi sosial.

Kekuasaan memperlihatkan suatu kemampuan yang terdapat

di dalam hubungan antar manusia, suatu hubungan sosial

sebagai wadah penerapan kekuasaan.

2 A.S. Hornby, Oxford Advanced Dictionary, Oxford: Oxford University Press, 1983, h. 652.

Page 32: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

23

Kekuasaan dengan demikian memperoleh makna di

dalam hubungan sosial sebagai kekuasaan sosial. Bagian dari

kekuasaan sosial yang ditujukan kepada negara, oleh Ossip K.

Flechtheim disebut sebagai kekuasaan politik. 3 Miriam

Budiardjo mengartikan kekuasaan politik sebagai kemampuan

untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum, baik

terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan

tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri.4

Kekuasaan politik, dengan demikian bertujuan untuk

mempengaruhi tindakan dan aktifitas negara dengan

menjalankan penyelenggaraan pemerintahan. 5 Oleh karena

kekuasaan politik ditujukan kepada negara, maka

pelaksanaan kekuasaan politik berada dalam bingkai fungsi

negara. Terkait ini, negara menyelenggarakan minimum fungsi

yang mutlak perlu, yaitu mengusahakan kesejahteraan dan

kemakmuran rakyatnya. Fungsi ini dianggap penting,

terutama bagi negara-negara baru dan berkembang.6

Dalam rangka pencapaian tujuan bersama ini maka

negara mempunyai tugas mengintegrasikan kegiatan manusia

dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari

masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana

3 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1981, h. 38. 4 Ibid., h. 13. 5 Negara dipandang sebagai asosiasi manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mengejar beberapa tujuan bersama, yang mana tujuan terakhirnya ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya atau bonum publicum/common good/common wealth. Ibid., h. 45. 6 Patuan Sinaga, Hubungan Antara Kekuasaan dengan Pouvoir Discretionaire dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2004, h. 72.

Page 33: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

24

kegiatan-kegiatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan

kepada tujuan nasional.

Pengendalian dan pengorganisasian fungsi negara

mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat

tersebut dilakukan dengan perantaraan pemerintah beserta

segala alat-alat perlengkapannya.7 Sebab dalam kenyataannya,

pihak atau organ yang menyelenggarakan kekuasaan negara

adalah pemerintah, baik dalam arti sempit – lembaga eksekutif

– maupun dalam arti luas, meliputi seluruh badan kenegaraan

yang terdapat di dalam negara.8

Dilihat dari sudut pandang Hukum Administrasi, fungsi

negara untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran

rakyatnya ini terjelmakan sebagai kekuasaan pemerintahan.

Menurut Lemaire terdapat kekuasaan yang kelima dalam

pemerintahan, yaitu penyelenggara kesejahteraan umum. 9

Sehingga pemerintahan dalam arti luas mencakup kekuasaan

atau fungsi penyelenggara kesejahteraan umum (bestuurszorg).

Salah satu alasan nyata bagi pertumbuhan kekuasaan

pemerintah di negara-negara demokrasi modern adalah

perluasan peranan negara di setiap sektor kehidupan

masyarakat. Campur tangan negara, terutama di bidang

7 Miriam Budiardjo, Op.cit., h. 38-39. Pemahaman tersebut mewakili salah satu pengertian negara yang didefiniskan sebagai “A body of people occupying a definite territory and politically organized under one government.” Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St. Paul-Minn.: West Publishing Co., 1983, h. 731. 8 Parlin M. Mangunsong, Pembatasan Kekuasaan Melalui Hukum Administrasi Negara, dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Op.cit., h. 43. 9 Empat kekuasaan atau fungsi pemerintahan lainnya adalah pemerintahan dalam arti sempit atau bestuur; peradilan atau rechtspraak; polisi atau politie; membuat peraturan atau regel-geven. Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990, h. 100.

Page 34: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

25

sosial-ekonomi, menyebabkan semakin besarnya keterlibatan

pemerintah di dalamnya. 10 Keterlibatan pemerintah yang

sedemikian luas dalam tugas negara ini menempatkan dirinya

sebagai servis publik, yakni menyelenggarakan dan

mengupayakan suatu kesejahteraan sosial bagi

masyarakatnya.

Dengan demikian fungsi memajukan kesejahteraan

umum yang melekat pada negara, 11 menimbulkan

konsekuensi yang mendasar terhadap penyelenggaraan

pemerintahan. Pemerintah (bestuur), berkewajiban

memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial

dalam arti seluas-luasnya. Pemerintah wajib meningkatkan

seluruh kepentingan masyarakat, sehingga berakibat

pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang

kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Untuk itu kepada

pemerintah dilimpahkan fungsi servis publik, bestuurszorg.12

Pemerintah sebagai organ kekuasaan negara

menjalankan tugas negara, yaitu melaksanakan fungsi negara

mensejahterakan rakyatnya. Dalam rangka menjalankan

fungsi negara ini pemerintah, sebagaimana kewajiban negara,

aktif terlibat dalam setiap aspek kehidupan masyarakat.

Campur tangan negara ini, sebagaimana ditunjukkan oleh

pemerintah, untuk menjamin terselenggaranya kesejahteraan

sosial. 10 Saut P. Panjaitan, Makna dan Peranan Freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara, dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Op.cit., h. 105-106. 11 Dalam literatur Hukum Administrasi dikenal dengan sebutan tipe negara hukum welfare State. 12 Patuan Sinaga dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Op.cit., h. 73. Menurut pemahaman Lemaire dikerjakan bestuurszorg.

Page 35: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

26

Akan tetapi mengingat sedemikian luasnya aspek

kehidupan sosial dan kesejahteraan masyarakat yang digeluti

itu, membawa pemerintah kepada suatu konsekuensi khusus,

yaitu memerlukan kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan

kebijaksanaannya sendiri. Dengan kata lain, agar servis publik

dapat dilaksanakan dan mencapai hasil maksimal, kepada

pemerintah diberikan suatu kemerdekaan tertentu untuk

bertindak atas inisiatif sendiri.13 Kemerdekaan bertindak atas

inisiatif dan kebijaksanaan sendiri ini, di dalam Hukum

Administrasi dikenal dengan sebutan pouvoir discretionnaire,

Perancis ataupun freies ermessen, Jerman.14 Dengan demikian

dalam perspektif hukum administrasi, pouvoir discretionnaire

atau kekuasaan diskresi dapat ditelusuri melalui

perkembangan peranan negara dalam bidang sosial-ekonomi.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, salah satu

alasan nyata bagi pertumbuhan kekuasaan pemerintah di

negara-negara demokrasi modern adalah dengan

meningkatnya peranan negara dalam bidang sosial-ekonomi.

Perkembangan hingga menjadi demikian tersebut memiliki

sejarah panjang, dimulai dari konsep negara nomoi (negara

hukum) dari Plato. Kemudian muncul polizeeistaat atau

nachtwakerstaat yang mana negara tidak diperkenankan turut

serta dalam kehidupan sosial masyarakat. Konsepsi ini

dikenal juga dengan istilah negara hukum formal; negara

13 Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, Op.cit., h. 120. 14 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta: Ichtiar, 1962, h. 24; Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni., 1985, h. 12.

Page 36: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

27

hukum klasik atau rechtsstaat in engere zin; 15 formal

conceptions of the Rule of Law. 16 Berdasarkan konsepsi ini,

peranan negara/pemerintah adalah minimalis mengikuti dikte

asas laissez faire laissez aller. Asas laissez faire laissez aller

mengandung pengertian peranan minimalis negara dalam

mengontrol usaha-usaha pribadi dalam masyarakat dan

besarnya peranan individu dalam melakukan kebebasan

berkontrak. Falsafah ini ternyata justru menimbulkan

penderitaan bagi manusia, karena ia mengakibatkan

terjadinya eksploitasi oleh yang kuat terhadap kelompok

orang-orang yang lemah. Dengan demikian, pada polizeeistaat

atau nachtwakerstaat, negara sepenuhnya hanya

mempertahankan staatsonthouding, yaitu pemisahan antara

negara dengan masyarakat. Sebagaimana diketahui sekarang

ini perkembangan konsep negara hukum–disifatkan sebagai

negara hukum material–sangat dipengaruhi oleh konsep

welvaarstaat atau negara hukum kesejahteraan (welfare State;

social service State); substantive conceptions of the Rule of

Law.17 Pergeseran konsepsi tentang the Rule of Law ini adalah

sesuai dengan perkembangan tuntutan kemasyarakatan, yang

tergambar dalam matriks sebagai berikut:18

15 E. Utrecht, Ibid., h. 21. Pemahaman yang tidak berbeda mengenai negara hukum klasik ini dapat dijumpai pula dalam pendapat Saut P. Panjaitan dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Op.cit., h. 105-106. 16 Brian Z. Tamanaha, On the Rule of Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, h. 91. 17 Ibid., 102. 18 Ibid., h. 91.

Page 37: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

28

Pada masa setelah abad ke-17 (abad pencerahan atau

aufklarung), Montesquieu mengemukakan teori trias politica

yang bertujuan membatasi penyelenggaraan kekuasaan

negara, dengan memisahkan kekuasaan pemerintahan atas

tiga bagian: legislatif, eksekutif dan yudisial. Dalam

perkembangannya teori pemisahan kekuasaan di dalam

praktik tidak dapat diterapkan secara utuh dan konsekuen

oleh karena yang terjadi cenderung menyerupai pembagian

kekuasaan. Kini dengan dianutnya konsep negara

kesejahteraan (welfare State) mengakibatkan terjadinya

pergeseran sebagian kekuasaan penyelenggaraan

pemerintahan negara.

Apabila sebelumnya kekuasaan penyelenggara

pemerintahan, dalam hal ini pemerintah (bestuur), diatur agar

tidak demikian dominan; maka di dalam negara kesejahteraan

justru diberi peluang untuk menjadi dominan dengan

penyebabnya adalah pemberian legitimasi bagi adanya

Page 38: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

29

kekuasaan diskresi pemerintah.19 Dalam hal ini, kekuasaan

penyelenggara pemerintahan menjadi bersifat bebas dan luas

dalam menjalankan fungsi dan tugas negara. Penjelasan

untuk ini oleh Utrecht diartikulasikan sebagai fungsi servis

publik di dalam penyelenggaraan pemerintahan welfare State

yang mengakibatkan terjadinya pergeseran sebagian

kekuasaan antar lembaga negara yakni dari lembaga legislatif

kepada lembaga eksekutif (pemerintah). Supremasi legislatif

digantikan oleh supremasi eksekutif.20

Dengan demikian terdapat hubungan antara supremasi

eksekutif – yang tercermin pada kemerdekaan bertindak atau

pouvoir discretionnaire, dengan luas bidang kehidupan sosial-

ekonomi dan kepentingan masyarakat – yang mencerminkan

perluasaan kekuasaan pemerintah. Pengertian ini sejalan

dengan pernyataan Tanamaha: “Owing to the overall expansion

of government activities, much of it policy oriented requiring that

discretionary judgments be made, there may have been a

reduction in the total proportion of government actions bound by

legal rules.”21

2. Diskresi sebagai Kebebasan Bertindak Pemerintah

Istilah diskresi yang dipergunakan di sini merupakan

sinonim istilah discretion dalam bahasa Inggris. Konsep

diskresi yang dipergunakan di sini adalah konsep tentang

19 Pada welvaarstaat peranan Hukum Administrasi menjadi semakin luas dan dominan. Hal ini menunjukkan semakin aktifnya negara terlibat dan melakukan campur tangan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat, sukar membayangkan suatu negara modern saat ini tanpa adanya Hukum Administrasi di dalamnya. Saut P. Panjaitan dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Op.cit., h. 106. 20 E. Utrecht, Op.cit., h. 24. 21 Brian Z. Tamanaha, Op.cit., h. 98.

Page 39: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

30

kekuasaan (dalam bahasa Inggris disebut discretionary power

dan dalam bahasa Perancis disebut pouvoir discretionnaire).

Sebagaimana nampak di atas, secara terminologis makna

intrinsik diskresi selalu mengandung konotasi kekuasaan.

Kekuasaan di sini dimaknai dalam bentuk hubungan antara

pihak yang memerintah (the ruler) dan pihak yang diperintah

(the ruled). Satu pihak yang memberi perintah, satu pihak

yang mematuhi perintah.22

Kekuasaan dalam hubungan yang memerintah dan yang

diperintah (the ruler and the ruled) di dalam kehidupan politik

disebut kekuasaan politik. Di dalam kekuasaan politik harus

ada penguasa yaitu pelaku yang memegang kekuasaan, dan

harus ada alat atau sarana kekuasaan agar penggunaan

kekuasaan itu dapat dilakukan dengan baik. Oleh Ossip K.

Flechtheim dikatakan bahwa kedua syarat kekuasaan politik

itu terwujud dalam negara (State power) dan ditujukan kepada

negara.23 Hal ini dapat dimengerti karena negara sebagai satu-

satunya pihak berwenang yang mempunyai otoritas untuk

mengendalikan tingkah laku sosial-politik (dengan paksaan).

Dengan demikian pemahaman kekuasaan tidak bisa tidak

harus pula mengkaitkan dengan negara sebagai sumber

kewenangan dari mana kekuasaan memperoleh

kewenangannya.24

22 Miriam Budiardjo, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1984, h. 35-36. 23 Ibid., h. 37-38. 24 Negara merupakan integrasi dan organisasi kekuasaan politik, sebab negara merupakan alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Ibid., h. 39.

Page 40: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

31

Di dalam konteks demikian itu, maka kekuasaan politik

merupakan cerminan dari kekuasaan negara. Sedangkan

negara, dalam hal ini dirumuskan terbatas hanya sebagai

pemerintah atau lembaga eksekutif dari sistem pemerintahan,

termasuk juga perangkat-perangkat (negara) yang menunjang

pelaksanaan berbagai fungsi eksekutif.25

Sebagaimana dijelaskan di atas, konsep diskresi adalah

konsep tentang kekuasaan, dalam hal ini adalah kekuasaan

pemerintah dalam arti sempit (bestuur). Diskresi sebagai

konsep kekuasaan adalah kekuasaan dalam pengertian

spesifik, tidak dalam pengertian rutin. Kekuasaan diskresi di

sini adalah kebebasan bertindak pemerintah. Kebebasan di

sini memiliki pengertian yang netral, yaitu menggambarkan

adanya suatu kekuasaan memilih berbagai tindakan

sebagaimana diungkapkan oleh Stanley de Smith, “…. implies

power to choose between alternative courses of action.” 26

Karena merupakan suatu kebebasan, maka dalam arti

demikian kekuasaan ini tidak dapat diperlakukan sebagai hal

yang tindak lanjutnya bersifat rutin.

Memaknai diskresi dalam pengertian sebagai jenis

kekuasaan yang spesifik ini, kebebasan dalam memilih atau

menentukan suatu tindakan, sangat problematik. Cox lewat

pernyataannya berikut berupaya menggambarkan problematik

tersebut:

Put most simply, discretion represents the judgment as to what activities in an agency are to receive priority. The common

25 Patuan Sinaga dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Op.cit., h. 71. Negara, dengan demikian dirumuskan secara luas yaitu sistem pemerintahan. 26 Ibid., h. 79.

Page 41: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

32

assumption is that, at any moment in time, administrative officials have a choice of what to do, and that the choice affects the agency and the public. The exercise of discretion presumes both the need for and the capacity to exercise judgment. The situation and circumstances drive the decision to exercise discretion. This is not about simply implementing the “routine.” The fundamental question is how to ensure that the discretionary decision-making by bureaucrats is done “rightly.” What will be argued here is that the capacity to exercise discretion well is not merely the result of thinking or wanting to do things well. It involves a priori judgments of what is right that includes an accurate assessment of the situation, an ethical and political framework that defines the boundaries of behavior and the capacity to act.27

Ada beberapa butir pengertian dari pendapat Cox yang penting

untuk ditegaskan kembali di sini. Pertama, pilihan dalam

melakukan tindakan mempengaruhi tidak hanya pembuat

tindakan tetapi juga pihak lain (publik). Kedua, apakah

tindakan diskresi dilakukan secara benar tidak semata hasil

dari pemikiran atau keinginan untuk melakukannya secara

benar, tetapi sangat bergantung pada pertimbangan a priori

mengenai apa yang benar yang menuntut penilaian secara

akurat terhadap situasi yang dihadapi, kerangka etik dan

politik yang menentukan batasan bagi perilaku, dan kapasitas

untuk melakukan tindakan. Dalam pengertian demikian,

memang tepat ketika Cox menyatakan bahwa tindakan

diskresi ini bukan hal yang rutin untuk dilakukan.

Dasar teori dari diskresi adalah pertimbangan mengenai

perkembangan situasi dan kondisi (sikon). Perubahan sikon

adalah keniscayaan. Sementara perubahan peraturan tidak

27 Raymond W. Cox III, Accountability and Responsibility in Organizations: The Ethics of Discretion, Paper presented at the “Ethics and Integrity in Governance Conference Leuven, Belgium June 2-5, 2005, h. 4-5.

Page 42: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

33

niscaya serta merta dapat terjadi. Dalam konteks demikian

Fatovic memberikan kaidah: “Designed for the ordinary and the

normal, law cannot always provide for such extraordinary

occurrences in spite of its aspiration to comprehensiveness.”28

Hakikat kekuasaan diskresi pada pemerintah memperlihatkan

fungsinya dalam hal: (a) menyelesaikan berbagai

permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara

cepat; (b) penyelesaian soal-soal genting yang timbul dengan

sekonyong-konyong dan yang peraturan penyelesaiannya

belum ada.29

Kekuasaan diskresi pemerintah dalam pengertian

sebagai kebebasan bertindak pemerintah memiliki dua bentuk,

yaitu kebebasan kebijakan (beleidsvrijheid) dan kebebasan

penilaian (beoordelingsvrijheid). Kebebasan kebijakan

(wewenang diskresi dalam arti sempit) ada manakala

peraturan perundang-undangan memberikan wewenang

tertentu kepada organ pemerintahan sementara organ

tersebut bebas untuk tidak menggunakannya meskipun

syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi.

Kebebasan penilaian (wewenang diskresi tidak dalam arti

sesungguhnya) ada manakala sejauh menurut hukum

diserahkan kepada organ pemerintahan untuk menilai secara

mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan

suatu wewenang secara sah telah dipenuhi.30

28 Clement Fatovic, Outside the Law: Executive and Emergency Power, Baltimore: The John Hopkins University Press, 2009, h. 2. 29 Saut P. Panjaitan dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Op.cit., h. 107. 30 Menurut N.M. Spelt & J.B.J.M. ten Berge dalam Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet – En Rechtmatig Bestuur), Surabaya: Yuridika, 1992, h. 6-7.

Page 43: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

34

3. Konsep Kebijakan

Konsep kebijakan acapkali digunakan sinonim dengan

konsep diskresi di kalangan Sarjana Hukum Indonesia.

Apakah konsep diskresi sama dengan konsep kebijakan

(beleids; policy); ataukah pada kedua konsep ada nuansa

pengertian?

Konsep kebijakan di sini, menurut Thomas R. Dye,

adalah whatever government choose to do or not to do.31 Per

definisi, konsep kebijakan di atas nampak mengandung

elemen diskresi (dengan penggunaan kata whatever), sehingga

oleh karena itu menyamakan kebijakan dengan diskresi

adalah tidak keliru. Pendapat lebih eksplisit dikemukakan

oleh Peter Cane dengan mengatakan bahwa yang dimaksud

dengan policy tidak lain adalah the non-statutory criteria yang

menjadi dasar suatu keputusan (dan tindakan) pemerintah

yang seyogianya dasarnya statutory.32

Pengertian yang bernuansa dikemukakan oleh Laica

Marzuki berkenaan dengan eksistensi policy rule atau

beleidsregel: “Beleidsregel tidak lain dari freies Ermessen, atau

discretionary power dalam wujud tertulis dan dipublikasi

keluar.” 33 Kebijakan tidak selalu direalisir dalam bentuk

peraturan, tetapi juga dengan tindakan (atau tidak melakukan

tindakan). Khusus dalam konteks peraturan kebijakan,

maksud daripada adanya tindakan ini adalah supaya 31 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya: Airlangga University Press, 2000, h. 107. 32 Peter Cane, Administrative Tribunals and Adjudication, Oxford-Portland: Hart Publishing, 2009, h. 147. 33 H.M. Laica Marzuki, Sambutan, dalam Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel), Yogyakarta: UII Press, 2005, h. xi.

Page 44: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

35

kebijakan pemerintah tersebut dapat diketahui oleh khalayak

(publik); naar buiten gebracht schriftelijk beleid (harafiahnya

berarti: menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis). 34

Sarjana lain yang juga menyamakan begitu saja konsep

kebijakan dengan diskresi adalah Indriyanto Seno Adji,

meskipun dengan alasan-alasan yang kurang spesifik (jelas).35

Mempertimbangkan paparan yang telah dilakukan di

atas maka secara konseptual kekuasaan diskresi pemerintah

merupakan kekuasaan yang timbul karena perkembangan

atau perluasan konsep fungsi pemerintahan. Diskresi adalah

kebebasan bertindak pemerintah dalam kaitan untuk

menjawab perkembangan tuntutan dalam hidup

kemasyarakatan terkait dengan fungsi pemerintah sebagai

penyelenggara kepentingan umum di dalam sebuah negara.

Kebebasan bertindak pada pemerintah ini lahir karena situasi

keterbatasan pengaturan hukum sebagai landasan bertindak

bagi pemerintah untuk situasi tertentu (antara lain: kaidah

kabur, kekosongan pengaturan atau kontradiksi dalam

pengaturan) padahal aktivitas pemerintahan dalam rangka

penyelenggaraan negara sifatnya adalah terus menerus atau

kontinyu dan tidak boleh terhenti.

Dalam pengertian demikian, diskresi adalah kekuasaan

yang mengandung pengertian sangat spesifik, yaitu

pengecualian bagi situasi normal di mana tuntutan mengenai

tindakan yang harus dilakukan oleh pemerintah sudah 34 Philipus M. Hadjon, et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002, h. 152. 35 Indriyanto Seno Adji, Perspektif Ajaran Perbuatan Melawan Hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 25, No. 4, Oktober 2007, h. 283-304.

Page 45: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

36

tercakup dalam pengaturan hukum. Dalam situasi normal

maka jenis kekuasaan yang berlaku bagi pemerintah adalah

kekuasaan atau kewenangan terikat. Artinya, dalam situasi

demikian asas legalitas dari asas the Rule of Law akan selalu

menjadi panglima. Pengertian demikian tidak a-historis. Hal

ini dapat dibandingkan dengan pendapat Aristoteles dalam

bukunya Politics (book III, ch xi, § 19):

Rightly constituted laws should be the final sovereign; and personal rule, whether it is exercised by a single person or a body of persons, should be sovereign only in those matters on which law is unable, owing to difficulty of framing general rules for all contingencies, to make an exact pronouncement.36

B. Pendekatan Yuridis (Legal)

Tesis utama pembahasan atas isu konsep kekuasaan

diskresi dengan pendekatan yuridis adalah bahwa konsep

kekuasaan diskresi merupakan legal concept yang eksis di

dalam legal system yang mengkaidahi suatu political system

(baca: asas the Rule of Law) — dalam hal ini penyelenggaraan

negara dan pemerintahan. Dengan demikian konsep yuridis

kekuasaan diskresi berhimpitan dan tarik-menarik dengan

konsep legalitas. Oleh karena itu, isu kekuasaan diskresi

pemerintah tidak dapat dilepaskan dari isu power relations

antara pemerintah dengan legislator (pembentuk undang-

undang).

Sedasar dengan itu, konsepsi yuridis atas konsep

kekuasaan diskresi yang penulis kembangkan di sini adalah

36 Antonin Scalia, The Rule of Law as a Law of Rules, The University of Chicago Law Review, Vol. 56, No. 4, 1989, h. 1176.

Page 46: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

37

bentuk delegasi dari pembentuk undang-undang kepada

bestuur untuk melakukan suatu tindakan baik berupa

tindakan nyata maupun tindakan yuridis (membentuk

keputusan atau peraturan). Diskresi pada bestuur dalam

pengertian ini adalah residu dari kekuasaan pembentuk

undang-undang yang tidak seluruhnya tercakup di dalam

legislasi. Pengertian demikian yang hendak penulis jabarkan

dalam pembahasan pada paragraf-paragraf berikut di bawah

ini.

1. Hakikat dari Kekuasaan Legislatif

Kekuasaan legislatif dalam negara modern merupakan

kebutuhan institusional yang niscaya. Kekuasaan legislatif

dibutuhkan dalam rangka rule-making untuk menghasilkan

legislasi. Menurut Crabbe, legislasi sangat dibutuhkan oleh

negara modern karena: “to accomplish certain political

objectives and certain particular public policies.” 37 Legislasi

merupakan sarana yang lazim digunakan oleh pemerintah

untuk memerintah.38

Kebutuhan akan hadirnya legislasi dalam negara

modern dipertegas dengan asas the Rule of Law yaitu asas

legalitas. Dalam kaitan dengan itu pengertian minimal tentang

the Rule of Law yang disepakati secara universal ialah: “law is

the means by which the State conducts its affairs, that whatever

a government does, it should do through laws.”39

37 V.C.R.A.C Crabbe, Legislative Drafting, London: Cavendish Publishing Ltd., 1994, h. 1 38 Ibid., h. 4. 39 Brian Z. Tanamaha, Op.cit., h. 92.

Page 47: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

38

Kekuasaan melakukan rule-making pada lembaga

legislatif merupakan isu ketatanegaraan yang serius. Crabbe

mengemukakan mengenai dilema dalam rule-making legislasi

sebagai berikut:

They have to think of the past, the present and the future. They consider the conduct of society in the past. They write in the present to deal with present particular problems. They speak to the future by laying down rules of conduct for the guidance of society. They have to think of the problems involved from as many different angles as possible – the simple as well as the complex. It is not just a question of changing a few ideas around. They have to think of the legal practitioners who will try to read the law – even if in bad faith – to suit a particular case and who will take advantage of a loophole.40

Pernyataan Crabbe di atas menggambarkan tugas berat yang

harus dihadapi oleh legislator guna menghasilkan legislasi

yang memadai. Pengaturan yang dilakukan oleh legislator

melalui legislasi harus mampu menjawab kebutuhan

pengaturan tidak hanya pada masa kini tetapi juga pada masa

depan, serta harus senantiasa antisipatif atas berbagai

kemungkinan perubahan situasi dan kondisi, termasuk

tindakan memanfaatkan celah di dalam legislasi itu sendiri

baik untuk maksud baik maupun buruk.

Suatu masyarakat selalu berubah adalah sebuah

keniscayaan. Menangani perubahan tersebut, dalam situasi

normal sesuai hukum ceteris paribus, seharusnya adalah

dengan menyesuaikan peraturan yang ada supaya asas

legalitas berlaku sebagai panglima. Tetapi, sebuah

pemerintahan tidak bisa berhenti menunggu penyesuaian

40 V.C.R.A.C. Crabbe, Op.cit., h. 11.

Page 48: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

39

peraturan tersebut. Legislator dan legislasi yang tidak

antisipatif terhadap isu ini akan menimbulkan kemandegan

dalam pemerintahan yang secara sifat harus selalu kontinyu.

Oleh karena itu, diskresi adalah tindakan antisipatif yang

secara yuridis sifatnya adalah keniscayaan. Konsepsi

antisipatif dari legislator tersebut yang akan dijabarkan

selanjutnya di bawah ini.

2. Delegasi dari Pembentuk Undang-undang

Penulis berpendirian bahwa basis teori hukum atas

kekuasaan diskresi adalah delegasi dari pembentuk undang-

undang. Untuk menjustifikasi argumen tersebut penulis

mengacu pada teori yang berkembang tentang praktik

ketatanegaraan mengenai isu emergency power di AS dalam

kaitan dengan hubungan kekuasaan antara legislatif dengan

eksekutif. Menurut teori ini,

Legislators themselves know that Congress is not well suited for emergency action. Rather than trying to legislate for emergencies during emergencies, legislators act beforehand, authorizing the president and executive agencies to act if an emergency arises and generally granting them massive discretion. Legislative action during emergencies consists predominantly of ratifications of what the executive has done, authorizations of whatever it says needs to be done, and appropriations so that it may continue to do what it thinks is right. Aware of their many institutional disadvantages — lack of information about what is happening, lack of control over the police and military, inability to act quickly and with one voice — legislators confine themselves to expressions of support or concern.”41

41 Eric A. Posner & Adrian Vermeule, Terror in Balance: Security, Liberty and the Courts, Oxford: Oxford University Press, 2007, h. 47.

Page 49: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

40

Teori yang dikemukakan di atas perlu dimodifikasi

supaya kompatibel dengan penelitian ini. Terkait dengan

modifikasi tersebut ada dua isu yang menjadi perhatian

penulis. Pertama, teori tersebut adalah teori yang menjelaskan

praktik AS yang belum tentu cocok dengan kondisi Indonesia,

sehingga otoritas dari teori tersebut dalam mengkaidahi

adalah pada level komparasi, yaitu sebagai sumber

pengetahuan tambahan belaka. Kedua, teori tersebut

berbicara tentang diskresi dalam konteks emergency power,

sehingga ruang lingkup aplikabilitasnya perlu dibatasi karena

diskresi secara umum dengan diskresi yang lahir dari

emergency power adalah dua konsep berbeda meskipun pada

analisis akhir implikasinya adalah berkenaan dengan

pelaksanaan tindak pemerintahan (governmental action).

Mengacu pada pendapat Posner-Vermeule di atas, poin

argumen yang relevan dengan penelitian ini, sehingga

aplikabel, adalah tentang hubungan kekuasaan antara

legislatif dengan eksekutif (pemerintah) berkenaan dengan

kekuasaan diskresi pemerintah. Pendapat Posner-Vermeule di

atas menjustifikasi argumen penulis bahwa kekuasaan

diskresi sesungguhnya diotorisasi oleh pembentuk undang-

undang melalui praktik delegasi dengan pertimbangan

pembentuk undang-undang mengalami sejumlah kondisi yang

dinamakan institutional disadvantages sehingga darinya tidak

mungkin dituntut untuk melakukan tindakan. Hal ini berarti

bahwa secara prinsip konsepsi yuridis mengenai kekuasaan

diskresi sebagai delegasi dari pembentuk undang-undang

memperoleh pembenaran secara teoretis meskipun teori yang

Page 50: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

41

dirujuk adalah teori yang menjelaskan praktik ketatanegaraan

negara lain.

Tindakan diskresi tidak bertentangan dengan asas

legalitas (wetmatigeheid van bestuur) dalam pengertian bahwa

semua tindakan pemerintah harus berdasarkan pada

wewenang bertindak yang diberikan oleh peraturan

perundang-undangan (khususnya legislasi atau undang-

undang). Terhadap hal ini dapat dikemukakan argumen,

selain bersetuju dengan pendirian di atas, bahwa di dalam

penyelenggaraan negara (pemerintahan) ditemui kenyataan

yang terjadi yang tidak terhindarkan, yaitu:

a. Semakin banyak, luas, dan kompleksnya masalah yang

dihadapi oleh negara dalam kerangka welfare State yang

menuntut tindakan penyelesaian dari pemerintah;

b. Seringkali pemerintah berbuat sesuatu bukan berdasar

pada ketentuan peraturan perundang-undangan,

melainkan berdasar pada yang ditentukan, digariskan

(penggarisan-penggarisan) atau petunjuk-petunjuk dari

instansi atasan;

c. Dalam hal-hal lain, wewenang pemerintah melakukan

perbuatannya berdasarkan wewenang yang ditetapkan

dalam peraturan, tetapi kerapkali rumusan wewenang

tersebut demikian samar-samar atau demikian luas;

d. Apabila asas legalitas dijalankan secara kaku maka

pemerintah akan sulit mengantisipasi setiap

perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, oleh

karena setiap saat harus menunggu peraturan

perundang-undangannya terlebih dulu;

Page 51: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

42

e. Di pihak lain, yaitu badan legislatif memiliki sejumlah

kelemahan bawaan, seperti: tidak dapat sepenuhnya

menangani semua perkembangan yang terjadi, tidak

sepenuhnya menguasai persoalan, mengalami

hambatan proses (prosedural) dan kesulitan-kesulitan

dalam setiap kali mengambil keputusan.

Sejumlah kenyataan tersebut menunjukkan posisi

dominan peranan pemerintah dibandingkan peranan legislatif

pada negara modern. Atau bahkan terdapat kekhasan dari

karakteristik kekuasaan pemerintah dibanding dengan

kekuasaan pembentuk undang-undang atau bahkan cabang

kekuasaan negara yang lain untuk menanggapi situasi

keabnormalan. Fatovic mengatakan:

Not only is the executive the authority most directly responsible for enforcing the law and maintaining order in ordinary circumstances, it is also the authority most immediately responsible for restoring order in extraordinary circumstances. But while the executive is expected to uphold and follow the law in normal times, emergencies sometimes compel the executive to exceed the strict letter of the law. Given the unique and irrepressible nature of emergencies, the law often provides little effective guidance, leaving executives to their own devices. Executives possess special resources and characteristics that enable them to formulate responses more rapidly, flexibly, and decisively than can legislatures, courts, and bureaucracies. Even where the law seeks to anticipate and provide for emergencies by specifying the kinds of actions that public officials are permitted or required to take, emergencies create unique opportunities for the executive to exercise an extraordinary degree of discretion. And when the law seems to be inadequate to the situation at hand, executives often claim that it necessary to go beyond its dictates by consolidating those powers ordinarily exercised by other branches of

Page 52: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

43

government or even by expanding the range of powers ordinarily permitted.42

Sehingga pemerintah tidak hanya sekedar

melaksanakan undang-undang (legisme), melainkan demi

terselenggaranya the Rule of Law dalam pengertian substantif

diperlukan adanya kekuasaan diskresi. Pemerintah tidak

dapat bertindak pasif menunggu perintah dari badan-badan

kenegaraan yang diserahi fungsi legislatif; pemerintah lah

yang membuat peraturan penyelesaian yang diperlukan itu

beserta tindakan pelaksanaannya. 43 Ini berarti bahwa

sebagian kekuasaan yang dipegang oleh badan legislatif,

diserahkan kepada pemerintah dengan satu syarat bahwa

keberadaan kekuasaan diskresi ini tetap harus dalam koridor

the Rule of Law, tidak dalam pengertian legalitas semata.

Sedasar dengan itu ada beberapa batasan yang sifatnya

prinsipiil atas isu demikian seperti yang dikemukakan oleh

Sunstein:

the executive must follow the law when it is clear, and agency decisions are invalid if they are genuinely arbitrary. I have also emphasized that in some domains, Congress must provide explicit authorization to executive officials. When the executive is raising serious constitutional questions, statutory ambiguity does not constitute adequate authorization, and the executive branch should not be permitted to act on its own. But if the governing statute is ambiguous, the executive should usually be permitted to interpret it as it reasonably sees fit.44

Sunstein mengemukakan isu ini dari perspektif

ketatanegaraan AS tetapi pendapat tersebut dapat 42 Clement Fatovic, Loc.cit. 43 Saut P. Panjaitan, dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Op.cit., h. 111. 44 Cass R. Sunstein, Beyond Marbury: The Executive’s Power To Say What the Law Is, Yale Law Journal Vol. 115, No. 9, 2006, h. 2610.

Page 53: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

44

digeneralisir aplikabilitasnya, termasuk bagi Indonesia, karena

sifat umum dari isu yang menjadi perhatian, yaitu hubungan

antara legislatif dan eksekutif.

Amrah Muslimin menguraikan bentuk-bentuk delegasi

dari pembentuk undang-undang sebagai dasar yuridis

tindakan diskresi pemerintah menjadi tiga jenis. Pertama,

delegasi bersyarat (voorwaardelijke delegatie). Ketentuan

undang-undang memberikan kewenangan kepada pemerintah

untuk mengadakan atau membentuk suatu peraturan ketika

negara dalam keadaan sangat terdesak (darurat). Kedua,

delegasi dalam bentuk undang-undang penugasan

(machtigingswet). Di dalam undang-undang penugasan hanya

dicantumkan satu atau dua pasal yang mengatur asas-asas

pokok, sedangkan pengaturan dan pengurusannya

sepenuhnya diserahkan kepada pihak pemerintah. Ketiga,

delegasi dalam bentuk undang-undang yang memberikan

kerangka dan batas-batas tertentu (Kaderwet/Raamwet).

Pembentuk undang-undang hanya memberikan kerangka dan

sendi-sendi pokok secara politis di dalam undang-undang,

sedangkan pengkhususannya secara teknis sepenuhnya

diserahkan kepada pihak pemerintah. 45

Teori lain yang juga penting untuk dipertimbangkan

guna memperkaya wawasan teori hukum tentang kekuasaan

diskresi di sini adalah teori completion power. Teori ini diusung

oleh Jack Goldsmith dan John F. Manning, ahli Hukum Tata

Negara AS dari Harvard Law School. Menurut kedua ahli: 45 Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Bandung: Alumni, 1985, h. 72-73.

Page 54: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

45

The completion power is the President’s authority to prescribe incidental details needed to carry into execution a legislative scheme, even in the absence of any congressional authorization to complete that scheme. The completion power complements but does not derive from particular statutory commands. It is a defeasible power; Congress can limit it, for example, by denying the President the authority to complete a statute through certain means or by specifying the manner in which a statute must be implemented. But in the absence of such affirmative legislative limitation or specification, courts and Presidents have recognized an Article II power of some uncertain scope to complete a legislative scheme.46

Teori ini pada hakikatnya adalah teori mengenai

kekuasaan Presiden AS menurut Konstitusi AS. Teori ini

mengkaji hubungan antara Presiden, sebagai kepala

pemerintahan (Chief of Executive), dalam hubungan dengan

Congress (sebagai legislator) dan kekuasaan yudisial. Menurut

teori ini, sebagaimana dikutip di atas, completion power pada

Presiden hanya dapat terjadi/tidak dapat terjadi bergantung

sepenuhnya pada Congress dalam me-legislasi. Completion

power akan terjadi manakala skema legislasi yang dibangun

oleh Congress tidak merumuskan/menjabarkan secara

lengkap dan limitatif kaidah-kaidah tentang langkah-langkah

dalam rangka pengeksekusiannya. Presiden, dalam

pengeksekusiannya, sebagai kepala pemerintahan yang harus

melaksanakan legislasi, akan melengkapinya supaya legislasi

implementatif. Pengertian a contrario, jika Congress telah

secara lengkap dan limitatif menetapkan skema pelaksanaan

legislasinya, maka completion power tidak akan terjadi.

Sumber bagi kekuasaan ini adalah klausul konstitusional “to 46 Jack Goldsmith & John F. Manning, The President’s Completion Power, Yale Law Journal, Vol. 115, No. 9, 2006, h. 2282.

Page 55: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

46

take Care that the Laws be faithfully executed” dalam Art. II.

Sec. 3 the United States Constitution, sehingga delegasi dari

pembentuk undang-undang di sini, dalam kerangka teori

completion power, adalah delegasi secara tersirat atau diam-

diam demi hukum.

Lebih lanjut Goldsmith & Manning menjelaskan:

The essence of the completion power is that it confers upon the executive a discretion that is neither dictated nor meaningfully channeled by legislative command. Cabining this power in a principled way depends on the capacity to identify a meaningful line between implementation (which belongs to the President) and legislation (which belongs to Congress). Many of the examples of the completion power outlined above—including the presumption of deference to administrative interpretations of law, the President’s use of military force without congressional authorization, and the Supreme Court’s decision in Dames & Moore—are contested, and these examples illustrate how easily claims of completion power drift into governmental action that, to many, intuitively feels like lawmaking rather than execution.47

Dalam kaitan dengan itu, Goldsmith & Manning menunjuk

beberapa kasus untuk menjelaskan posisi atau pendirian

lembaga yudisial dalam memberi penilaian terhadap

keberadaan tindakan pemerintah dalam kerangka completion

power. Salah satu kasus yang dirujuk keduanya adalah kasus

Chevron.48 Goldsmith & Manning menjelaskan tentang kasus

ini sebagai berikut:

Chevron’s famous two-step framework counsels courts (1) to use “traditional tools of statutory construction” to determine whether Congress has “directly spoken to the precise question at issue,” and then (2) if the statute is ambiguous, to ask only whether the agency interpretation is “permissible” or

47 Ibid., h. 2309. 48 Chevron, U.S.A., Inc. v. Natural Res. Def. Council, Inc., 467 U.S. 837 (1984).

Page 56: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

47

“reasonable.” This doctrine recognizes that administrative agencies have significant discretion to fill in the details of vague or ambiguous regulatory statutes.49

Dengan menggunakan teori delegasi sebagai basis dari

kekuasaan diskresi pemerintah maka isu yang akan dibahas

selanjutnya ialah tentang pertanggungjawaban. Dalam

delegasi, kekuasaan delegant hilang dengan peralihannya

kepada delegataris. Delegataris dapat melakukan tindakan

secara mandiri berkenaan dengan kekuasaan yang telah

didelegasikan kepadanya oleh delegant. Karena dapat

melakukan tindakan secara mandiri maka implikasi

yuridisnya, a fortiori, delegataris bertanggung jawab secara

mandiri. 50 Dalam kerangka penelitian ini, isu yang sifatnya

konsekuensi logis dari isu sentral penelitian tentang dasar-

dasar pengujian terhadap tindakan diskresi pemerintah

adalah isu kontrol dan pertanggungjawaban. Sehingga terkait

dengan itu, dapat dipertanggungjawabkan atau tidaknya

tindakan diskresi pemerintah secara otomoatis akan

melahirkan pertanyaan tentang pertanggungjawabannya

sendiri dan dasar-dasar pengujian dalam koridor

pertanggungjawaban tersebut. Isu tentang

pertanggungjawaban tersebut akan dibahas dalam infra Sub-

judul 4.

3. Perbedaan dengan Emergency Power

Kekuasaan diskresi dengan kekuasaan darurat secara

prinsipiil saling berhimpitan. Kekuasaan diskresi dengan 49 Ibid., h. 2298. 50 Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoretis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997, h. 42-44.

Page 57: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

48

kekuasaan darurat secara situasional adalah sama-sama

bukan merupakan kekuasaan rutin. Situasi darurat negara

merupakan justifikasi untuk lahirnya kekuasaan darurat

(emergency power), dan jenis kekuasaan ini mengandung

elemen diskresi. Satu contoh adalah dalam keadaan darurat

negara dapat melakukan langkah derogasi atas kewajiban-

kewajiban hukum HAM-nya, i.c. terhadap HAM yang tidak

non-derogable.51

Namun demikian, tidak semua kekuasaan diskresi dan

pelaksanaannya bersumber dari situasi darurat. Sehingga

adalah tepat, meskipun secara hakiki ada kesamaan, namun

Hadjon membedakan kedua konsep ini: kekuasaan darurat

terjadi pada aras Hukum Tata Negara, sementara kekuasaan

diskresi terjadi pada aras Hukum Administrasi. Dari perspektif

Hukum Tata Negara Indonesia, pembenaran bagi pembedaan

di atas adalah kekuasaan darurat merupakan ranah

kekuasaan Presiden sebagai kepala negara (Pasal 12 UUD

1945). 52 Satu pengertian yang perlu dikritisi di sini adalah

sejauhmana ketepatan dalam pengkonsepsian tersebut dapat

dipertanggungjawabkan. Penetapan situasi darurat memang

adalah tindakan Presiden sebagai kepala negara. Tetapi tindak

lanjutnya, apakah tindakan-tindakan yang diambil dalam

rangka situasi darurat tepat diasosiasikan sebagai tindakan

kepala negara, bukan tindakan pemerintahan? Apakah dalam

situasi darurat pemerintah menjadi tiada?

51 Nihal Jayawickrama, The Judicial Application of Human Rights Law: National, Regional and International Jurisprudence, Cambridge: Cambridge Univerity Press, 2002, h. 202-214. 52 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta: Rajawali Press, 2007, h. 206.

Page 58: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

49

Dalam kasus ini penulis memiliki pendirian bahwa

pembedaan tersebut lebih tepat manakala ditujukan untuk

membedakan bobot dari kekuasaan diskresi itu sendiri, yang

secara arbitrer penulis golongkan sebagai diskresi kuat dan

lemah. Dalam situasi darurat pun yang tetap berlangsung di

sana adalah kekuasaan pemerintahan, tetapi tindak

pemerintahan yang ditempuh tidak bisa dipersamakan dengan

tindakan pemerintah dalam situasi normal, tetapi adalah, per

definisi, tindakan diskresi. Dalam situasi darurat jenis

kekuasaan diskresinya adalah diskresi kuat dengan

pengertian rentang kendali atasnya semakin lemah. Dalam

kasus ini kebebasan bertindak yang dimiliki pemerintah

sangat luas (a.l. dapat men-derogasi pelaksanaan

kewajibannya di bidang HAM). Sementara dalam diskresi

lemah tidak selalu berujung pada tindakan penderogasian

HAM.

Pembedaan mengenai diskresi kuat dan diskresi lemah

juga dapat mengacu pada pembedaan ratione materiae atau

subject matter dari tindakan diskresi yang dilakukan. Misalnya,

pada lapangan national security dan foreign relations,

manakala terjadi tindakan diskresi, maka hal itu adalah jenis

diskresi kuat.53

53 Praktik AS di lapangan Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi menempatkan isu national security dan foreign affairs sebagai diskresi kuat dengan konsekuensi bagi pengadilan hal ini akan diperlakukan sebagai political questions. Namun hal ini tidak selamanya berlaku absolut. Misalnya kasus Hamdan v. Rumsfeld 126 S. Ct. 2749 (2006) yang mana putusan atas kasus tersebut oleh Koh diklaim setting the world of public law right. Harold Hongju Koh, Setting the World Right, Yale Law Journal, Vol 115, No. 9, 2006, h. 2350-2379.

Page 59: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

50

4. Perlindungan Hukum bagi Pembuat Tindakan Diskresi

Berdasarkan pembahasan di atas, kekuasaan diskresi

merupakan suatu produk yuridis. Oleh karena itu

implikasinya adalah manakala kekuasaan ini digunakan

dalam tindakan, maka berlaku perlindungan hukum kepada

pembuat tindakan. Asas umum perlindungan hukum bagi

badan/pejabat pemerintah yang melakukan tindakan diskresi

adalah jaminan imunitas dari tindakan judicial review oleh

hakim. Hal ini terkenal dengan adagium ’kebijakan tidak

dapat diadili’ 54 atau dalam Hukum Tata Negara/Hukum

Administrasi AS isu ini akan masuk ke dalam

katagori ’political question’ atau ’non-justicable issue’ di mana

pengadilan akan menahan diri untuk tidak melakukan

intervensi (self-restraint) atas kekuasaan pemerintah yang

sifatnya sangat teknikal ini. Di AS, kasus tentang isu political

question yang kemudian menjadi landmark dan menjadi

preseden bagi kasus-kasus selanjutnya adalah putusan

Marbury v. Madison 5 U.S. (1 Cranch) 137 (1803), di mana

dalam putusan ini Chief Justice Marshall memberikan legal

opinion secara spesifik atas isu tersebut:

By the constitution of the United States, the President is invested with certain important political powers, in the exercise of which he is to use his own discretion, and is accountable only to his country in his political character and to his own conscience … The acts of such an officer, as an officer, can never be examinable by the courts.55

54 Periksa: Surat Edaran Mahkamah Agung No. : M.A./Pemb./0159/77 (25 Februari 1977); Rumusan Kesimpulan-Kesimpulan Lokakarya ”Pembangunan Hukum Melalui Peradilan”, Lembang 31 Mei 1977. 55 Thomas M. Franck, Political Questions/Judicial Answers: Does the Rule of Law Apply to Foreign Affairs, New Jersey: Princeton University Press, 1992, h. 3.

Page 60: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

51

Sunstein mengemukakan bahwa dasar pertimbangan

pengadilan untuk tidak intervensi terhadap tindakan diskresi

pemerintah adalah argumen pragmatisme, yaitu judges lack

expertise and they are not politically accountable. Satu contoh

sebagai perdekatan perbandingan kasus adalah putusan the

Supreme Court of the U.S. dalam kasus Chevron: “In

interpreting law, the agency may “properly rely upon the

incumbent administration’s views of wise policy to inform its

judgments. While agencies are not directly accountable to the

people, the Chief Executive is …” Chevron, U.S.A., Inc. v.

Natural Res. Def. Council, Inc., 467 U.S. 837, 865 (1984).56

Lebih lanjut menurut Sunstein:

In the Court’s view, it would be appropriate for agencies operating under the Chief Executive, rather than judges, to resolve “the competing interests which Congress itself either inadvertently did not resolve, or intentionally left to be resolved by the agency charged with the administration of the statute in light of everyday realities. 865-86657

Secara umum, sebagai pedoman, isu non-yustisiabilitas

tindakan diskresi adalah karena yang menjadi pokok sengketa

bukan isu rechtmatigheid tetapi doelmatigheid. Lingkup dari

kekuasaan yudisial hanyalah menentukan apakah suatu

tindakan sesuai hukum ataukah melanggar hukum, bukan

apakah suatu tindakan itu bermanfaat/tepat guna ataukah

tidak. Selain itu, lingkup dari pengujian oleh hakim hanyalah

sebatas hal-hal yang terkait dengan situasi pada saat tindakan

56 Cass R. Sunstein, Op.cit., h. 2596-2597. Bandingkan dengan Thomas M. Franck, Ibid., h. 45-60 yang mengemukakan empat prudential reasons: the factual evidence is too difficult, no applicable legal standards, too much at stake, judges cannot compel the executive. 57 Cass R. Suntein, Ibid.

Page 61: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

52

itu dilakukan (ex tunc), bukan situasi kemudian terkait

dengan tindakan itu (ex nunc).58

Namun demikian, asas umum ini tidak berlaku absolut,

atau seyogianya diabsolutkan, terutama dalam perkaitan isu

responsibility atau accountability yang disalurkan melalui

lembaga peradilan, asas ini dapat direlativisir. Yang menjadi

isu di sini adalah apakah terjadi penyalahgunaan

kewenangan/kekuasaan atau apakah terjadi tindakan

sewenang-wenang. Dalam situasi demikian, tindakan diskresi

pemerintah akan luruh menjadi tindakan individual/pribadi

pejabat yang melakukan tindakan tersebut, dan hal ini dapat

dipertanggungjawabkan secara yudisial sebagai tindak

pidana.59

Isu responsibility atau accountability di sini secara

kelembagaan tidak seyogianya dilokalisir hanya menjadi

yurisdiksi lembaga peradilan. Isu responsibility atau

accountability atas tindakan diskresi pemerintah juga dapat

diuji oleh lembaga kuasi-peradilan atau bahkan oleh lembaga

politik. Secara struktural dalam kelembagaan pemerintahan

sendiri, isu pengawasan internal, pengawasan oleh atasan

terhadap bawahan juga merupakan bagian tidak terpisahkan

di dalam sistem responsibility atau accountability tindak

pemerintahan (infra BAB III Sub-judul C).

58 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987, h. 192-194. 59 Isu ini akan dibahas secara lebih spesifik pada Bab III.

Page 62: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

53

C. Pendekatan Filosofis

Sebagaimana telah dipaparkan dalam pembahasan

sebelumnya di atas baik secara tersurat maupun tersirat,

hadirnya kekuasaan diskresi pada pemerintah adalah

tuntutan yang sangat kuat, adalah sebuah necessity.

Kekuasaan diskresi pada pemerintah adalah pelengkap bagi

kekuasaan terikat pemerintah yang dipreskripsikan oleh asas

legalitas. Kekuasaan diskresi pemerintah merupakan

keharusan dalam rangka kontinuitas pemerintahan dalam

rangka penyelenggaraan negara. Pemerintah sebagai pelayan

publik secara terus menerus oleh karenanya harus melakukan

tindakan berdasarkan penilaian kepentingan terbaik bagi

publik tanpa pernah terputus dengan alasan tindakan yang

diperlukan tidak memperoleh otorisasi dari undang-undang.

Pembahasan yang hendak dilakukan di sini adalah

memberikan pertanggungjawaban filosofis atas aspek

aksiologis dari kekuasaan diskresi. Yang menjadi isu di sini

adalah nilai-nilai yang saling bersaing (competing values),

tentang nilai mengapa kekuasaan diskresi menjadi keharusan,

dengan konsekuensi bahwa keberadaannya akan

menimbulkan antinomi dengan asas legalitas. Pembahasan ini

adalah dalam rangka supaya konsep kekuasaan diskresi

‘make sense to the world’.

1. Nilai di dalam Asas Legalitas

Asas legalitas sangat vital dalam rangka

pengejawantahan konsep konstitusionalisme, yaitu limited

government (pemerintahan yang terbatas). Sub-judul ini akan

memaparkan aspek nilai di dalam asas legalitas, hal-hal baik

Page 63: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

54

atau positif yang dapat disumbangkannya sebagai asas dalam

rangka mengkaidahi penyelenggaraan negara. Pembahasan ini

penting untuk menjawab isu mengapa asas legalitas begitu

didambakan, serta hal-hal negatif apa yang mungkin akan

terjadi dalam penyelenggaraan negara tanpa pengkaidahan

oleh asas legalitas.

Sarjana yang secara spesifik meyakini aspek nilai di

dalam asas legalitas adalah Lon L. Fuller. Nilai yang pertama

adalah asas legalitas memajukan kebebasan individu

(individual autonomy). Kedua, warga dapat menuntut

ketidakadilan yang terjadi dan meminta pemerintah

bertanggung jawab. Ketiga, asas legalitas mengharuskan

pemerintah untuk bertindak sesuai peraturan yang berlaku

dan tidak boleh bertindak arbitrer menuruti kehendaknya

sendiri. Keempat, warga dari sebuah pemerintahan di bawah

asas legalitas lebih dimungkinkan untuk memperoleh

peraturan yang adil dan wajar (just and fair) ketimbang

pemerintahan yang sebaliknya.60

Sarjana yang juga membahas secara cukup luas aspek

nilai dalam asas legalitas adalah Cass R. Sunstein. Sunstein

mengemukakan tujuh nilai di dalam asas legalitas. Pertama,

rules minimize the informational and political costs of reaching

decisions in particular cases. Kedua, rules are impersonal and

blind; they promote equal treatment and reduce the likelihood of

bias and arbitrariness. Ketiga, rules serve appropriately both to

embolden and constrain decision-makers in particular cases.

60 Brian Z. Tamanaha, Op.cit., h. 95.

Page 64: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

55

Keempat, rules promote predictability and planning for private

actors and for the government. Kelima, rules increase visibility

and accountability. Keenam, rules avoid the humiliation of

subjecting people to exercises of official discretion in their

particular case. Ketujuh, rules promote equal application of the

law.61

Sebuah pemerintahan tanpa asas legalitas

membutuhkan seorang penguasa dengan kapasitas filsuf

(philosopher king) atau bahkan malaikat. Penguasa yang

menjalankan kekuasaan tanpa self-interest. Tetapi ini sangat

tidak mungkin. Pemikiran yang dikembangkan Plato tentang

philosopher king adalah pemikiran utopis.62 James Madison

dalam the Federalist No. 51 memberikan caveat sangat

terkenal atas isu ini:

If men were angels, no government would be necessary. If angels were to govern men, neither external nor internal controuls on government would be necessary. In framing a government which is to be administered by men over men, the great difficulty lies in this: You must first enable the government to controul the governed; and in the next place, oblige it to controul itself.63

Dan memang penguasa adalah manusia biasa, bukan

malaikat. Adalah supererogatif menuntut manusia bertindak

laksana malaikat. Asas legalitas, dengan segala

kekurangannya, diperlukan sebagai prasyarat minimal untuk

mencegah penguasa bertindak arbitrer. 61 Cass R. Sunstein, Problems with Rules, California Law Review, Vol. 83, No. 4, 1995, h. 972-977. 62 Tentang Plato dan konsep philosopher king-nya periksa Hilaire McCoubrey & Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, London: Blackstone Press Limited, 1996, h. 62. 63 Terence Ball, ed., Hamilton, Madison and Jay: The Federalist with Letters of Brutus, Cambridge: Cambridge University Press, 2003, h. 252.

Page 65: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

56

Ketika kekuasaan diskresi lahir, tidak berarti bahwa

asas legalitas kemudian hilang. Kekuasaan diskresi hanyalah

pelengkap dan memberi penyelesaian bagi asas legalitas yang

tidak mampu mengantisipasi perubahan keadaan krusial yang

terjadi. Sehingga, sedasar dengan hal itu, E. Utrecht

menegaskan bahwa kemerdekaan dalam hal itu adalah untuk

membuat penyelesaian, dan bukan kemerdekaan terhadap

undang-undang. 64 Fatovic maupun Tamanaha memberikan

pendapat yang konsisten satu sama lain. Menurut Fatovic,

“However, the possibility – and desirability – of collaboration

between the executive and the legislature in dealing with such

crises does not altogether preclude the possibility or desirability

of unilateral extralegal action by the executive in genuine cases

of emergency. In fact, such action is often necessary.”65

Sementara menurut Tanamaha:

Administrative discretion can be contained within restraints imposed by legislative mandates and procedural requirements. Asking judges to apply broad standards like fairness or reasonableness, or to make policy decisions or engage in interest balancing, does not inevitably destroy the legal character of an otherwise predominantly rule-based legal system. Predictability can still come about if there are shared background understandings or customs – either within society or within the legal culture – that inform the application of the broad standards. As long as the orientation of government officials remains rule-bound when governing rules exist, discretion allowed to government officials to further policy goals is not necessarily a start down a headlong slide to lawless oppression.66

64 E. Utrecht, Op.cit., h. 24. 65 Clement Fatovic, Op.cit., h. 257. 66 Brian Z. Tanamaha, Op.cit., h. 98-99.

Page 66: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

57

2. Nilai di dalam Kekuasaan Diskresi

Kekuasaan diskresi layak diperjuangkan sebagai

keharusan karena di dalam kekuasaan tersebut terkandung

kebenaran nilai yang fundamental, terkandung virtue

(kebajikan), yang tidak lain adalah HUKUM itu sendiri. Dalam

menjawab isu aspek nilai di dalam kekuasaan diskresi ini

penulis mengacu pada doktrin filsafat hukum Lockean.

Jatuhnya pilihan pada pemikiran John Locke adalah

didasarkan pertimbangan objektif dengan alasan persetujuan

atas opinio doctorum yang dikemukakan oleh Fatovic. Menurut

Fatovic: “Lockean constitutionalism can perhaps best be

understood as an attempt to respond to the necessities and

exigencies of political life that the strictest legal formalism

cannot accommodate.”67

Dari hasil kajiannya terhadap pemikiran Locke, Fatovic

merumuskan sejumlah tesis penting dalam pemikiran Locke

untuk memudahkan memahami teori dan kerangka

berpikirnya. Pertama, prerogative is not supposed to be used to

undermine the law even when it contradicts the law. But the

law that is most relevant for Lockean constitutionalism is

contained in the substantive principles of natural law, not the

formal rules of human law. 68 Kedua, In Locke’s political

67 Clement Fatovic, Op.cit., h. 81. 68 Ibid. Sebagai catatan, istilah prerogatif di sini penulis perlakukan sinonim dengan diskresi. Jeferson Kameo yang menelusuri segi etimologis istilah prerogatif mengatakan: “konsep prerogatif berasal dari perkataan prae dan rogo. Berarti sesuatu yang dituntut atau sesuatu yang harus ada sebelumnya. Maksudnya, sesuatu yang harus didahulukan atau diprioritaskan daripada yang lain. Oleh karena itu hak prerogatif berarti suatu hak yang harus didahulukan, eksklusif, sebelum hak-hak lain memperoleh pemenuhan.” Jeferson Kameo, Dapatkah Presiden Abaikan UU?, Suara Merdeka, 11 Mei 2007. Konsepsi Locke sendiri tentang kekuasaan prerogatif adalah “Power to act according to discretion, for the publick good,

Page 67: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

58

universe, the higher purposes of law are never subordinated to

formal rules or juridical formulas. It is a constitutional vision in

which legal rules serve ends higher than themselves.69 Ketiga, it

was possible to pursue legitimate ends through unauthorized

means without making a sacrifice of morality on the altar of

necessity as long as the governor presiding over the delicate

process was virtuous.70

Sebagai kaidah, Locke adalah penganut sejati asas the

Rule of Law, i.c. asas legalitas. Pernyataan ini dapat

dibuktikan dengan mengacu pada pernyataan langsung dari

Locke:

For all the power the government has, being only for the good of society, as it ought not to be arbitrary and at pleasure, so it ought to be exercised by established and promulgated laws: that both the people may know their duty, and be safe and secure within the limits of the law, and the rulers too kept within their bounds, and not to be tempted, by the power they have in their hands, to imploy it to such purposes, and by such measures, and they would not have known, and own not willingly (II, § 137).71

Tetapi dalam pernyataannya yang kemudian Locke

mengatakan pendirian yang sebaliknya:

For since in some Governments the Law-making Power is not always in being, and is usually too numerous, and too slow, for the dispatch requisite to Execution: and because also it is impossible to foresee, and so by laws to provide for, all Accidents and Necessities, that may concern the publick; or to make such Laws, as will do no harm, if they are executed with an inflexible rigour, on all occasions, and upon all Persons,

without the prescription of the Law, and sometimes even against it.” Pendapat ini dimuat dalam buku Locke berjudul Two Tretises of Government, Buku II, § 160 sebagaimana dikutip oleh Clement Fatovic, Ibid., h. 38. 69 Ibid., h. 82. 70 Ibid. 71 Ibid., h. 39.

Page 68: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

59

that may come in their way, therefore there is a latitude left to the Executive power, to do many things of choice, which the Laws do not prescribe (II, § 160).72

Hubungan antara dua pernyataan yang saling

bertentangan tentang satu isu ini tidak seyogianya

ditundukkan pada asas derogasi, lex posterior derogat lex priori.

Pernyataan pertama tetap valid, sementara pernyataan kedua

bersifat pengecualian atas pernyataan pertama, dan sifat

pengecualian itu sementara. Terhadap pernyataan kedua

Fatovic memberikan anotasi:

This passage is remarkable not just for its blunt pessimism about the inadequacies of legislative action but even more so for its evident aversion to uniformly rigorous execution of the law. Locke suggested that even where an applicable law exists, strict enforcement of that law might be harmful to a particular individual or even to the community as a whole.73

Analisis dari perspektif Lockean atas isu aspek nilai di dalam

kekuasaan diskresi pemerintah akan bertolak dari dua

pernyataan Locke sebagaimana dikutip di atas.

Dalam kerangka berpikir teori Locke, tujuan negara

merupakan isu sentral. Pemahaman mengenai tujuan negara

akan memberikan pemahaman mengenai hakikat sebuah

pemerintahan. Tujuan negara oleh Locke diletakkan pada

pertimbangan mengapa manusia memilih mendirikan sebuah

negara, yaitu dalam rangka: “for the mutual Preservation of

their Lives, Liberties and Estates” (II, § 123). 74 Supaya

preservasi terhadap ‘lives, liberties and estates’ dapat terjadi

72 Ibid., h. 50-51. 73 Ibid. 74 Ibid., h. 46.

Page 69: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

60

maka the Rule of Law merupakan keniscayaan. Di dalam

koridor the Rule of Law, Locke menjelaskan: “all private

judgment of every particular Member [is] excluded, [and] the

Community comes to be Umpire, by settled standing Rules,

indifferent, and the same to all Parties” (II, § 87).75

Untuk mendukung terselenggaranya the Rule of Law,

maka kaidah fundamental bagi negara adalah “the establishing

of the Legislative Power” (II, § 134). 76 Locke memposisikan

kekuasaan legislatif dengan eksekutif terpisah secara

fungsional dalam rangka menegakkan asas bahwa seseorang

tidak boleh menjadi hakim bagi dirinya sendiri (nemo iudex in

causa sua). 77 Dalam hubungannya dengan kekuasaan

legislatif inilah, kekuasaan eksekutif (pemerintah) Lockean

memiliki kekuasaan prerogatif.

Fatovic memberikan interpretasi atas teori kekuasaan

prerogatif Lockean pada pemerintah dengan keyakinan bahwa

hal itu tidak untuk menjadikan situasi supremasi eksekutif

atas legislatif, dan hanya dalam konteks “the contingent nature

of politics — and perhaps life more generally — leaves few other

options.” 78 Keyakinan tersebut didasarkan pada pernyataan

Locke sendiri bahwa kekuasaan prerogatif pada pemerintah

sebatas hanya: “a Fiduciary Trust, placed in him, for the safety

of the People, in a Case where the uncertainty, and variableness

of humane affairs could not bear a steady fixed rule” (II, §

75 Ibid. 76 Ibid., h. 47. 77 Ibid. 78 Ibid., h. 49.

Page 70: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

61

156). 79 Locke mempercayai efektivitas kinerja pemerintah

(eksekutif) dalam situasi kedaruratan ketimbang institusi lain

dengan mengatakan: “the best remedy [that] could be found for

this defect, was to trust this to the prudence of one, who was

always to be present, and whose business it was to watch over

the publick good” (II, § 156).80

Supaya tidak dikelirukan, pemahaman atas konsepsi

Locke tentang kekuasaan prerogatif di sini seyogianya

mengacu pada pendapat Fatovic yang menjelaskan bahwa

rationale bagi kekuasaan prerogatif didasarkan: “the

shortcomings and failures of ordinary legal norms. But the

inapplicability of positive legal norms did not result in the

abandonment of norms altogether.”81 Sementara Larry Arnhart

lebih eksplisit lagi, yaitu: “is not ‘a substitute for law’ but ‘a

supplement to law’, where the relevant law is to be understood

as natural law.”82 Basis dari argumentasi di atas adalah sifat

instrumental asas legalitas, sehingga, a fortiori, tujuan tidak

boleh dikorbankan oleh sarana atau alat untuk mencapai

tujuan itu sendiri. (the ends should never be subordinated to

the means).83 Tujuan pada akhirnya merupakan HUKUM itu

sendiri, yang pada analisis akhir akan menjadi dasar

pengujian dalam memberikan judgment apakah kekuasaan

prerogatif memang digunakan untuk mencapai tujuan dari

kekuasaan itu atau tidak. 79 Ibid. 80 Ibid. 81 Ibid., h. 36. 82 Ibid., h. 41. 83 Ibid., h. 51. Hal ini juga disetujui oleh Nomi Claire Lazar, States of Emergency in Liberal Democracies, Cambridge: Cambridge University Press, 2009, h. 136.

Page 71: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

62

Memperhatikan pendapat di atas, kekuasaan prerogatif

Lockean bukan kekuasaan buta. Dalam kekuasaan prerogatif

Lockean terkandung aspek tanggung jawab moral yang kuat

pada pemegangnya; bukan asas legalitas yang harus menjadi

panglima, tetapi HUKUM itu sendiri. Hal ini tersirat dalam

analisis yang dilakukan oleh Fatovic berikut ini:

It is that distinction between law and morality that made the character of the executive a matter of vital constitutional significance. If the law could not always provide the proper moral guidance or serve as an effective check against abuses of power, it was imperative that the person who had to decide when it was necessary to exceed the law possess the right virtues. The expectation was that those virtues would harmonize with the spirit of the law without being in thrall to the letter of the law.84

HUKUM di sini, the spirit of the law, bukan legalitas, adalah

salus populi suprema lex. Pemerintah, dalam rangka

penyelenggaraan negara terikat dan didikte oleh asas

fundamental dari natural law yang sifatnya supreme,

incontrovertible, universal, and unexceptionable yaitu the

preservation of society. Dalam kalimat Locke sendiri: “the first

and fundamental natural Law, which is to govern even the

Legislative it self, is the preservation of the Society, and (as far

as will consist with the publick good) of every person in it” (II, §

134).85 Berdasarkan penjelasan Locke di atas, tindakan dalam

kerangka kekuasaan prerogatif bertentangan dengan asas

legalitas, tetapi tidak bertentangan dengan HUKUM sepanjang

tindakan itu melayani tujuan the preservation of society. Lebih

tegas lagi Locke mengatakan: “Salus Populi Suprema Lex, is 84 Clement Fatovic, Ibid., h. 37. 85 Ibid., h. 40.

Page 72: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

63

certainly so just and fundamental, a Rule, that he, who

sincerely follows it, cannot dangerously err” (II, § 158).86 Hal ini

konsisten dengan pendapat Arnhart di atas, bahwa kekuasaan

prerogatif “is not ‘a substitute for law’ but ‘a supplement to

law’.”

Setelah mempertimbangkan penjelasan filosofis di atas

berdasarkan pemikiran Locke, maka penulis sampai pada satu

kesimpulan yang mendasar bahwa di dalam kekuasaan

prerogatif Lockean (atau kekuasaan diskresi sebagai istilah

yang digunakan secara umum di sini) nilai yang hendak

diperjuangkan adalah keadilan dan kemanfaatan.

Pertimbangan kemanfaatan adalah mengacu pada

ketercapaian atas apa yang menjadi tujuan dari negara, yaitu

inheren berkenaan dengan kedayagunaan dan kehasilgunaan

kekuasaan prerogatif itu sendiri. Sementara pertimbangan

keadilan adalah mengacu pada the spirit of the law itu sendiri,

yaitu perlindungan kepentingan fundamental manusia, yaitu

pemenuhan legitimate expectations hidup bernegara secara

sama bagi semua. Hukum ‘salus populi’ mendikte “the best

interests of the community as a whole and not simply for the

benefit of the executive or one segment of that community” yang

harus dipreservasi oleh kekuasaan prerogatif. Sebagaimana

dinyatakan secara langsung oleh Locke: “ ’tis fit that the Laws

86 Ibid., h. 61. Fatovic memberi catatan epistemologis tentang teori Locke sebagai berikut: “Locke consistently maintained a distinction between two systems of law, the human law and the natural law. While human laws are historically contingent, changing, fallible, and potentially breakable, the laws of nature are permanent, unvarying, inerrant, and inviolable … Natural law provides the ultimate standard of legitimacy even after a full-fledged system of positive law has been established. The first commandment of natural law is the welfare of the people.”

Page 73: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

64

themselves should in some Cases give way to the Executive

Power, or rather to this Fundamental Law of Nature and

Government, viz. That as much as may be, all the Members of

the Society are to be preserved” (kursif – penulis) (II, § 159).87

3. Pemerintah sebagai Interpreter Paling Tepat atas Public

Good

Dengan kekuasaan diskresi di tangannya, pemerintah

memiliki tempat yang unik dalam situasi ketegangan antara

asas legalitas dengan pertimbangan mengenai salus populis

atau public good. Asas legalitas penting dalam rangka

mencegah potensi kesewenang-wenangan pemerintah karena

dua alasan: “First, government officials are required to consult

and conform to the law before and during actions. Second, legal

rules provide publicly available requirements and standards

that can be used to hold government officials accountable both

during and after their actions.”88 Tetapi hal ini hanya dapat

terjadi dan berlangsung dalam situasi normal/rutin. Dalam

situasi normal, kaidah tentang kekuasaan/kewenangan yang

berlaku adalah kaidah kekuasaan/kewenangan terikat.

Situasi sebaliknya, “Legal rules are general prescriptions

that cannot anticipate every aspect of every situation in advance,

and legal rules can become obsolete as social views and

circumstances change.” Sehingga yang menjadi isu kemudian

adalah solusi atau jalan keluar atas situasi ini. Tamanaha

berpendapat:

87 Ibid. 88 Brian Z. Tamanaha, A Concise Guide to the Rule of Law, dalam Gianluigi Palombella & Neil Walker, eds., Relocating the Rule of Law, Oxford-Portland: Hart Publishing, 2009, h. 8.

Page 74: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

65

The application of existing rules to unanticipated situations or changed circumstances can have harmful or unfair consequences or lead to socially undesirable outcomes. In such contexts, allowing the decision-maker to use her expertise, wisdom or judgement may produce better results than insisting that she comply with the legal rules ... Underlying this benefit of the Rule of Law is the fear of potential abuse at the hands of government officials, but every functional polity must accord some degree of trust and discretion to government officials.89

Sedasar dengan itu maka yang menjadi isu ialah filosofi

tentang kekuasaan pemerintahan: Mengapa kepada

pemerintah dipercayakan kekuasaan diskresi sementara di sisi

lain asas legalitas ini penting dalam rangka ‘restricts the

discretion of government officials, reducing willfulness and

arbitrariness’?90 Serta filosofi mengenai bagaimana seharusnya

tindakan diskresi pemerintah itu dijalankan, yaitu: Apakah

pemerintah sanggup bertindak amanah dengan kekuasaan

diskresi di tangannya?

Mengapa kepada pemerintah? Pertama, pemerintah

memiliki legitimasi demokratis yang kuat selaku

penyelenggara public good, dibandingkan dengan cabang-

cabang kekuasaan pemerintahan yang lain (pemerintah dalam

arti luas), yaitu legislatif dan yudisial. Argumentasi ini

didukung oleh pemikiran Thomas Jefferson: “The execution of

laws is more important than the making of them.”91 Kekuasaan

pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan penting

karena pemerintah berurusan dengan persoalan-persoalan

89 Ibid. 90 Ibid., h. 7. 91 Jeremy D. Bailey, Thomas Jefferson and the Executive Power, Cambridge: Cambridge University Press, 2007, h. 11.

Page 75: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

66

penyelenggaraan kepentingan umum yang bersifat konkret

(dibandingkan legislatif yang fungsi utamanya melakukan

legislasi dan yudisial yang fungsi utamanya melakukan

ajudikasi).

Dalam hubungan dengan cabang-cabang kekuasaan

pemerintahan yang lain, meskipun dikaidahi oleh asas

pemisahan kekuasaan, kekuasaan pemerintah adalah yang

paling besar tanggung jawabnya selaku representasi negara.

Sehingga sangat wajar ketika Fatovic mengatakan: “Not only is

the executive the authority most directly responsible for

enforcing the law and maintaining order in ordinary

circumstances, it is also the authority most immediately

responsible for restoring order in extraordinary

circumstances.”92

Kedua, pemerintah memiliki keunggulan komparatif

institusional dibandingkan dengan lembaga legislatif dan

peradilan/yudisial, khususnya untuk melakukan tindakan

secara cepat dan tepat. Menurut Fatovic:

Executives possess special resources and characteristics that enable them to formulate responses more rapidly, flexibly, and decisively than can legislatures, courts, and bureaucracies. Even where the law seeks to anticipate and provide for emergencies by specifying the kinds of actions that public officials are permitted or required to take, emergencies create unique opportunities for the executive to exercise an extraordinary degree of discretion. And when the law seems to be inadequate to the situation at hand, executives often claim that it necessary to go beyond its dictates by consolidating those powers ordinarily exercised by other branches of

92 Clement Fatovic, Op.cit., h. 2.

Page 76: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

67

government or even by expanding the range of powers ordinarily permitted.93

Dalam menjawab isu tersebut penulis mengacu pada

konsepsi kekuasaan pemerintah (eksekutif) menurut Thomas

Jefferson dalam memberikan pemaknaan mengenai

kedudukan Presiden AS sebagai kepala pemerintahan.

Pendekatan ini menurut penulis sangat rasional karena yang

menjadi isu bukan isu hukum positif yang spesifik, tetapi isu

umum tentang konsepsi kekuasaan pemerintahan yang di

manapun tempatnya konsepsi ini dapat memperoleh

penerimaan (khususnya negara yang secara spesifik menganut

asas demokrasi dalam pemerintahannya).

Menurut Bailey, konsepsi Jefferson tentang kekuasaan

pemerintah dibangun dengan berdasarkan tiga prinsip.

First, the president unifies the will of the nation and thereby embodies it. The source of the president’s claim to embody the will of the nation is his mode of election; because the president is the single nationally elected officer, the president can claim, more than members of Congress, to represent the national will. Because the president must be able to execute that will, it must be surprisingly strong, or energetic. Second, because a constitution can never be adequate for the opportunities and emergencies that will arise, and because the executive is caretaker of the public good, the executive must sometimes act outside the law, or even against it, on behalf of the public good. But the condition for such discretionary action is that the executive “throw himself” on the people for judgment, and, in order to make that judgment as accessible as possible, the executive must avoid broad constructions of the Constitution. Third, in order to provide a standard by which the people can judge executive action, the executive provides “declarations of principle.” Such declarations allow for political change but also

93 Ibid.

Page 77: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

68

preserve constitutional limitations on power by enabling the people to judge executive discretion.94

Konsepsi tersebut oleh Jefferson dibangun bukan

berdasarkan teori, tetapi berdasarkan praktik. Pada tataran

teori, Jefferson adalah penganut teori kekuasaan pemerintah

yang lemah. Tetapi ketika menjadi Presiden, Jefferson

menjalankan kekuasaan pemerintahan yang ’energik’. Basis

dari kekuasaan pemerintah yang energik ini terletak di dalam

legitimasi demokratis Presiden sebagai kepala pemerintahan,

dan itu menjadi ruh bagi jajaran birokrasi pemerintahan yang

dipimpinnya. Legitimasi itu, pada satu sisi, memberikan

kedudukan istimewa kepada pemerintah di bawah pimpinan

Presiden selaku caretaker of the public good. Tetapi di sisi lain,

legitimasi tersebut juga tetap diimbangi dengan mekanisme

kontrol dan pertanggungjawaban di mana rakyat sebagai

sumber legitimasi kekuasaan pemerintah akan menjadi hakim

bagi tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam

fungsinya sebagai penjaga dan interpreter public good.

Isu terakhir yang masih harus dijawab di sini ialah

filosofi mengenai bagaimana seharusnya tindakan diskresi

pemerintah itu dijalankan. Locke yakin bahwa pemerintah

sanggup, sepanjang batasan untuk itu dipatuhi. Sebagaimana

sudah dikutip sebelumnya, salah satu tesis dari teori Lockean

yang dirumuskan oleh Fatovic berkenaan dengan kekuasaan

prerogatif ialah: “it was possible to pursue legitimate ends

through unauthorized means without making a sacrifice of

94 Jeremy D. Bailey, Op.cit., h. 9-10.

Page 78: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

69

morality on the altar of necessity as long as the governor

presiding over the delicate process was virtuous.”

Dalam teorinya Locke sudah mengantisipasi bahwa

kekuasaan prerogatif sangat mudah diselewengkan. Tetapi

tidak berarti bahwa kekuasaan prerogatif tidak dapat

digunakan di jalur yang benar oleh pemerintah. Locke

mengatakan: “Salus Populi Suprema Lex, is certainly so just

and fundamental a Rule, that he, who sincerely follows it,

cannot dangerously err” (II, § 158). Salus populi adalah sumber

kekuasaan diskresi pemerintah, sehingga pada analisis akhir

kontrol terhadap tindakan diskresi harus dikembalikan

kepadanya. Sedasar dengan itu, dalam memberikan penilaian

atas pemikiran Locke, Fatovic menyatakan:

The exercise of prerogative for the public good demands evidence of certain dispositions and characteristics that allow the executive to manage the affairs of government skillfully and in a manner consistent with its ends. Not surprisingly, familiar attributes of leadership, such as prudence and experience (being “acquainted with the state of public affairs”), are among the most important of these traits (II, § 156). What Locke seems to have in mind is not just the technical ability to deal with emergencies but also the perspicacity to recognize that such a state exists in the first place. However, the greatest stress is placed on moral virtues. The presence of virtue provides some assurance that what prudence and ability initiate will be carried out in the best interests of the community as a whole and not simply for the benefit of the executive or one segment of that community.95

Sehingga yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana

supaya salus populi menjadi suprema lex bagi tindakan

diskresi pemerintah? Asas good faith adalah jawaban hukum

95 Clement Fatovic, Op.cit., h. 65.

Page 79: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

70

atas pertanyaan tersebut; 96 secara lebih spesifik asas

legitimate expectations. Ketika pemerintah memutuskan untuk

melakukan tindakan diskresi, maka rakyat berhak memiliki

pengharapan yang sah bahwa tindakan tersebut semestinya

menghasilkan salus populi. Situasi ex ante maupun ex post

akan dapat memberikan gambaran akurat apakah pemerintah

dalam melakukan tindakan didasari good faith atau tidak.

Pada tahap ex ante yang menjadi pertanyaan adalah apakah

pemerintah bertindak ‘prudence’ dan ‘experience’ atau tidak;

apakah terjadi conflict of interest atau tidak97. Sementara pada

tahap ex post yang menjadi pertanyaan adalah apakah

berhasil guna dan berdaya guna atau tidak (aspek

doelmatigheid; expediency).

Dengan beban tanggung jawab yang sangat besar,

tindakan diskresi adalah sebuah dilema bagi pemerintah, bagi

pejabatnya. Atas dasar pernyataan tersebut maka keberanian

pemerintah untuk melakukan tindakan diskresi juga harus

diapresiasi. Hanya pemerintahan otoriter yang

memperlakukan tindakan diskresi sebagai bentuk kesenangan.

Tetapi dalam pemerintahan berdasarkan asas the Rule of Law

dan demokrasi, tindakan diskresi dipenuhi dengan tuntutan

tanggung jawab. Ketika segala prasyarat bagi tindakan

diskresi telah terpenuhi maka tidaklah elok kalau tindakan ini

96 Good faith sebagai asas hukum umum bagi sebuah tindakan artinya, menurut Anthony D’Amato, sebuah tindakan dilakukan: ‘honestly and fairly’ and be guided by truthful motives and purposes, dalam Marion Panizzon, Good Faith in the Jurisprudence of the WTO: The Protection of Legitimate Expectations, Good Faith Interpretation and Fair Dispute Settlement, Oxford-Portland: Hart Publishing, 2006, h. 20. 97 Isu tentang conflict of interest sangat fundamental karena satu-satunya kepentingan yang harus dilayani oleh pemerintah adalah salus populi.

Page 80: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

71

diungkit-ungkit karena ketidaksesuaiannya dengan asas

legalitas atau lebih serius lagi karena tidak sesuai dengan

kepentingan politik segelintir elit demi power game.

Page 81: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

72

Page 82: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

73

BAB III.

DASAR-DASAR PENGUJIAN

TERHADAP

TINDAKAN DISKRESI PEMERINTAH

Pembahasan dalam Bab ini bertolak dari argumen

bahwa tidak ada kebebasan yang absolut, termasuk pilihan

untuk menggunakan tindakan diskresi dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Argumen ini tidak

menyangkal bahwa kekuasaan diskresi dalam

penyelenggaraan pemerintahan merupakan sebuah

keniscayaan. Argumen ini berusaha untuk mendudukkan

konsep kekuasaan diskresi secara proporsional, yaitu sebagai

sesuatu hal yang sifat penggunaannya sangat spesifik dan

tidak boleh diberlakukan sebagai hal yang rutin (business as

usual).

Mengacu pada pembahasan Bab I tentang lingkup

kekuasaan pemerintah, konsep kekuasaan diskresi dalam

penyelenggaraan pemerintahan sangat luas, seluas bidang

urusan yang dicakup oleh konsep pemerintahan itu sendiri

(dalam pengertian sebagai bestuur). 1 Itu berarti, hampir di

semua sektor kehidupan yang dapat dimasuki oleh

pemerintah maka di situ potensi penggunaan kekuasaan

diskresi sangat besar. Mengantisipasi mendalam-meluasnya

penggunaan kekuasaan diskresi, termasuk di dalamnya

adalah penyalahgunaannya, maka isu tentang pengujian atas 1 Supra Bab I Sub-judul D.1.

Page 83: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

74

validitas atau keabsahan tindakan diskresi merupakan

tuntutan yang niscaya dalam koridor asas responsible

government sebagai konsekuensi dari asas the Rule of Law. A

fortiori, pembahasan mengenai dasar-dasar pengujian dan

metode pelaksanaan pengujiannya dengan demikian

merupakan isu yang sangat fundamental.

Terkait dengan rasionalisasi di atas maka Bab ini akan

membahas beberapa hal sebagai berikut. Pertama,

pembahasan ini akan mengklarifikasi terlebih dahulu asas the

Rule of Law sebagai asas yang harus tetap menjadi acuan bagi

pelaksanaan kekuasaan diskresi dalam penyelenggaraan

pemerintahan dan secara spesifik hubungan antara diskresi

dengan asas legalitas. Pembahasan ini hendak menegaskan

kembali pembahasan pada Bab II Sub-judul B bahwa

kekuasaan diskresi merupakan pengecualian dari asas

legalitas, tetapi tidak berarti bahwa dalam koridor the Rule of

Law pengecualian ini bersifat absolut tanpa dapat dikontrol

(infra Sub-judul A).

Sebagai bentuk pengecualian atas asas legalitas, maka

dasar pengujian terhadap tindakan diskresi pemerintah tidak

mungkin didasarkan pada peraturan perundang-undangan

(legislasi maupun regulasi). Oleh karena itu, dasar pengujian a

quo adalah apa yang dalam Hukum Administrasi dikenal

dengan istilah Principles of Good Governance yang terdiri dari

General Principles of Proper Administration (Asas-asas Umum

Pemerintahan yang Baik) dan Principles of Human Rights

Administration (Asas-asas Pemerintahan Berdasarkan HAM).

Page 84: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

75

Sebagai kaidah di sini, keterpenuhan Principles of Good

Governance akan menjadikan tindakan diskresi pemerintah

valid. Selain segi rechtmatigheid, segi doelmatigheid juga

merupakan dasar pengujian dengan asas-asas efisiensi dan

efektivitas (infra Sub-judul B).

Isu terakhir yang akan dibahas dalam Bab ini adalah

metode dan sarana pengujian. Isu tentang metode dan sarana

pengujian selayaknya juga mendapat tempat dalam

pembahasan di sini dengan pertimbangan agar asas the Rule

of Law tidak menimbulkan kebuntuan bagi penyelenggaraan

pemerintahan. Dalam pembahasan di sini penulis akan juga

fokus pada kontroversi konsep marginal review atau marginal

toetsings untuk diaplikasikan di dalam proses yudisial (infra

Sub-judul C).

A. Kekuasaan Diskresi Versus Legalitas:

Pertanggungjawaban?

Argumen penulis atas isu ini adalah kekuasaan diskresi

merupakan keniscayaan, begitu pula dengan implementasinya

melalui tindakan diskresi. Hukum memberikan imunitas

kepada yang melakukan tindakan diskresi, tetapi imunitas

tersebut bersyarat, yaitu keterpenuhan kriteria hukum, tidak

kehendak sewenang-wenang pembuat tindakan diskresi.

Dalam perspektif the Rule of Law, tindakan diskresi dapat

dipertanggungjawabkan keabsahannya maupun dampaknya

yang merugikan. Asas ini tidak untuk men-discourage

pemerintah/pejabat pemerintah. Asas ini bersifat umum, tidak

Page 85: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

76

dalam arti mutlak sebagai konsekuensi dari the Rule of Law.

Manakala syarat-syarat terpenuhi, tindakan diskresi yang

bertentangan dengan asas legalitas tidak dapat diminta

pertanggungjawabnya.

1. Kekuasaan Diskresi di dalam Koridor the Rule of Law

Kekuasaan diskresi lahir karena adanya tujuan

kehidupan bernegara yang harus dicapai, dalam hal ini tujuan

bernegara tersebut adalah untuk menciptakan kesejahteraan

rakyat (konsepsi welfare State). Negara Indonesia adalah

negara kesejahteraan modern seperti tercermin dalam

Pembukaan UUD 1945. Dalam Paragraf Keempat Pembukaan

UUD 1945 tersebut tergambarkan secara tegas tujuan

bernegara yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan

bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiban

memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial

dalam arti seluas-luasnya, terutama kewajiban untuk

mewujudkan kesejahteraan umum (bestuurszorg).

Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif

berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi

masyarakat (public service) yang mengakibatkan pemerintah

tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun

bertindak dengan dalih terjadi kekosongan pengaturan hukum.

Untuk itu kepada pemerintah diberikan kewenangan untuk

campur tangan dalam segala lapangan kehidupan masyarakat,

pemerintah dituntut untuk bertindak aktif di tengah dinamika

kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak,

diberikan kepada pemerintah suatu kebebasan bertindak,

Page 86: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

77

yaitu kemerdekaan pemerintah untuk dapat bertindak atas

inisiatif sendiri dalam menyelesaikan persoalan-persoalan

sosial. Karena sifatnya yang demikian maka diskresi

merupakan salah satu sarana yang memberikan ruang

bergerak bagi pemerintah untuk melakukan tindakan tanpa

harus terikat sepenuhnya pada undang-undang (legislasi). 2

Diskresi dapat dikatakan sebagai bentuk wewenang pada

badan atau pejabat pemerintah yang memungkinkan mereka

untuk melakukan pilihan-pilihan dalam mengambil tindakan

hukum dan/atau tindakan faktual dalam lingkup

pemerintahan.

Apa yang penulis kemukakan di atas merupakan isu

yang universal, dan isu itu sendiri telah ditanggapi dengan

sebuah konsensus. Salah satu justifikasi bagi argumen ini

adalah pernyataan Thomas Jefferson, salah seorang dari the

Founding Fathers AS, “to lose our country by a scrupulous

adherence to written law, would be to lose the law itself, with

life, liberty, property and all those who are enjoying them with

us; thus absurdly sacrificing the end to the means.” 3

Pernyataan Jefferson di atas menegaskan satu pengertian

yang fundamental yaitu tidak segala hal mampu ditampung di

dalam peraturan perundang-undangan sebagai preskripsi bagi

perilaku pemerintah (asas legalitas). Yang tidak mampu

tercakup di dalam peraturan perundang-undangan itulah

2 Markus Lukman sebagaimana dikutip oleh Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Press, 2008, h. 242. 3 Dalam Clement Fatovic, Outside the Law: Emergency and Executive Power, Baltimore: The John Hopkins University Press, 2009, h. 253.

Page 87: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

78

ranah dari kekuasaan diskresi pemerintah untuk bertindak

manakala syarat objektif mengharuskannya untuk bertindak.

Ada beberapa manfaat atau kelebihan dalam

penggunaan diskresi atau kebebasan bertindak oleh pejabat

pemerintah. Pertama, kebijakan pemerintah yang bersifat

emergency terkait hajat hidup orang banyak dapat segera

diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah meskipun

masih debatable secara yuridis atau bahkan terjadi

kekosongan pengaturan hukum sama sekali. Kedua, badan

atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme

hukum, dalam arti tidak ada kekosongan pengaturan hukum

bagi setiap kebijakan publik (policy) sepanjang berkaitan

dengan kepentingan umum atau masyarakat luas. Ketiga, sifat

dan roda pemerintahan menjadi makin fleksibel, sehingga

sektor pelayanan publik makin hidup dan pembangunan bagi

peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi tidak statis, tetap

dinamis seiring dengan dinamika masyarakat dan

perkembangan zaman.

Meskipun demikian, dengan berbagai segi positifnya,

kekuasaan diskresi bukan cek kosong yang dapat diisi

sesukanya oleh badan atau pejabat pemerintah. Manakala

tindakan diskresi badan atau pejabat pemerintah uncheck

atau unreviewable maka tirani yang akan terjadi; seolah di sini

pemerintah paling benar dan paling tahu apa yang benar.

Situasi demikian sama artinya dengan mendudukkan

pemerintah sebagai pihak dan hakim sekaligus, dan

konsekuensi membahayakan yang paling mungkin terjadi

Page 88: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

79

adalah bias dalam mempertimbangkan diambilnya tindakan

diskresi itu sendiri.

Secara bernuansa pengertian tersebut nampak dari

pendapat bijak James Madison dalam the Federalist No. 10:

“No man is allowed to be a judge in his own cause because his

interest would certainly bias his judgment, and, not improbably,

corrupt his integrity. With equal, nay with greater reason, a

body of men are unfit to be both judges and parties, at the same

time.”4 Artinya, yang tidak disepakati di sini bukan tentang

validitas kekuasaan diskresi per se dari sudut pandang the

Rule of Law, tetapi pemerintah, pembuat tindakan diskresi,

sebagai pemberi kata final tentang segala apa yang dipandang

sebagai kepentingan terbaik bagi bangsa, bukan institusi lain

yang netral, yang tidak bertindak sebagai pihak maupun

hakim sekaligus.

Di dalam konsepsi the Rule of Law, diskresi adalah

keharusan. Konsepsi the Rule of Law yang digunakan di sini

adalah the Rule of Law dalam arti luas (thick; substantive),

bukan dalam arti sempit (thin; formal), yaitu legalitas. Hasil

Konferensi the International Commission of Jurists di New

Delhi tahun 1959 merumuskan konsepsi the Rule of Law

dalam arti luas:

The “dynamic concept” which the Rule of Law became in the formulation of the Declaration of Delhi does indeed safeguard and advance the civil and political rights of the individual in a free society; but it is also concerned with the establishment by

4 Dalam Thomas M. Franck, Political Questions/Judicial Answers: Does the Rule of Law Apply to Foreign Affairs, New Jersey: Princeton University Press, 1992, h. 156. Pernyataan Madison di atas adalah asas umum hukum yang universal bahwa seseorang tidak boleh bertindak sebagai hakim bagi kasusnya (nemo iudex in causa sua).

Page 89: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

80

the state of social, economic, educational and cultural conditions under which man’s legitimate aspirations and dignity may be realized. Freedom of expression is meaningless to an illiterate; the right to vote may be perverted into an instrument of tyranny exercised by demagogues over an unenlightened electorate; freedom from government interference must not spell freedom to starve for the poor and destitute.5

Dalam analisis penulis, konsepsi the Rule of Law dalam arti

luas ini adalah basis justifikasi kekuasaan diskresi

pemerintah, di mana di sini lebih familiar dengan predikat

negara kesejahteraan. Diletakkan di dalam koridor the Rule of

Law, kekuasaan diskresi adalah kekuasaan yang bertujuan.

Tujuan tersebut adalah hukum yang mengontrol, membatasi

dan mengawasi tindakan diskresi, yang secara absah

membolehkan pemerintah bertindak menyimpangi asas

legalitas.

2. Pertanggungjawaban atas Tindakan Diskresi Pemerintah

Penyelenggaraan pemerintahan, dalam arti sebagai

proses kegiatan dari pemerintah, adalah untuk merealisasikan

tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam welfare

State, tujuan itu adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat

(umum). Pada keadaan seperti itu pemerintah menjadi mandiri,

paling tidak dalam hal menentukan dan menetapkan prioritas-

prioritas operasionalisasi. Dengan perkataan lain,

pengakomodasian kekuasaan diskresi menyebabkan

5 Brian Z. Tamanaha, On the Rule of Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, h. 112-113.

Page 90: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

81

terjadinya perluasan kekuasaan pemerintah.6 Setidaknya ada

dua isu penting yang perlu diperhatikan dari perluasan

kekuasaan pemerintah, sebagai dampak pemberian diskresi;

dan sekaligus menyiratkan betapa penting dan dibutuhkannya

Hukum Administrasi.

Pertama, perluasan tersebut dapat menimbulkan

ketegangan (spanningen) dalam kehidupan masyarakat.

Ketegangan itu menurut W.F. Prins adalah antara kekuasaan

(gezag) dengan kemerdekaan (vrijheid). Sedangkan menurut

Wiarda adalah antara kekuasaan (gezag) dengan keadilan

(gerechtigheid). 7 Kedua, seperti dikatakan Geraint Parry,

kemungkinan timbulnya praktik-praktik pemerintahan negara

organis, yaitu negara yang mempunyai kemauan dan

kepentingan sendiri, sebagaimana halnya seorang individu.

Negara mengadakan campur tangan ke dalam segala urusan

masyarakat atas dasar kepentingan dan kemauannya sendiri.

Patuan Sinaga, menunjukkan dua aspek yang

bertentangan dari suatu negara organis, aspek positif

merupakan inisiatif secara aktif dan agresif dalam

mencampuri seluruh bidang kehidupan sosial-ekonomi

masyarakat, akan dapat memacu atau mempercepat upaya

pencapaian tujuan (ide-ide) negara. Sebaliknya aspek negatif,

antara lain dalam menetapkan prioritas-prioritas yang harus

ditingkatkan.8 Apa yang dimaksudkan terhadap hal ini adalah

6 Patuan Sinaga, Hubungan Antara Kekuasaan dengan Pouvoir Discretionaire dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2004, h. 84. 7 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta: Ichtiar, 1962, h. 37. 8 Patuan Sinaga, Op.cit., h. 85.

Page 91: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

82

sebagaimana tercermin dalam slogan dari Sjachran Basah:

“memang kemakmuran dibutuhkan, akan tetapi keadilan lebih

dibutuhkan!” 9 Oleh karena itu dalam negara organis ini,

kepentingan dan kemauan negara – yang diselenggarakan

pemerintah – diinginkan untuk selalu identik dengan

kesejahteraan maupun kemajuan masyarakatnya.

Kebebasan pada pemerintah adalah fitur utama dari

konsep kekuasaan diskresi. Isu apakah kebebasan tersebut

kompatibel dengan asas the Rule of Law telah dibahas

sebelumnya di Bab II (khususnya Sub-judul B) dan disinggung

pula dalam supra Sub-judul A.1. Pembahasan di sini tidak

akan mengulang apa yang sudah dikerjakan sebelumnya,

tetapi lebih banyak pada penajaman-penajaman dan

pengembangan dari analisis sebelumnya. Isu yang perlu lebih

dipertajam di sini pertanggungjawaban dalam tindakan

diskresi pemerintah.

Tesis penulis adalah dalam koridor the Rule of Law,

pertanggungjawaban merupakan keniscayaan. Tidak ada

kebebasan di bawah preskripsi the Rule of Law yang

menimbulkan imunitas mutlak. Perkecualian atas asas

legalitas bukan tanpa pertanggungjawaban. Tanpa

pertanggungjawaban maka tindakan diskresi sangat rawan

untuk disalahgunakan. Pengertian ini merupakan pintu

masuk untuk menjustifikasi pembahasan selanjutnya

mengenai dasar-dasar pengujian bagi tindakan diskresi

pemerintah. 9 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara, Bandung: Alumni.1986, h. 11.

Page 92: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

83

Pertanggungjawaban adalah konsep hukum yang sangat

fundamental. Pertanggungjawaban bekerja di bagian hilir,

yaitu secara ex post. Pertanggungjawaban berfungsi

menghubungkan antara asas/kaidah hukum apriori dengan

tindakan a posteriori, dengan memberikan kualifikasi hukum

pada tindakan a posteriori tersebut (apakah sesuai dengan

hukum atau tidak sesuai dengan hukum), dan sekaligus

menentukan akibat hukumnya (pengenaan sanksi atau tidak).

Dengan pengertian demikian, keberadaan asas/kaidah

pertanggungjawaban sangat vital bagi hukum, yaitu supaya

asas/kaidah perilaku hukum bermakna sebagai ‘hukum’

dalam fungsinya yang basic sebagai sarana kontrol.

Asas/kaidah pertanggungjawaban merupakan sebuah

sistem. Di dalamnya terkandung berbagai asas/kaidah sub-

sistem seperti alasan pembenar dan alasan pemaaf sebagai

asas/kaidah pengecualian dari pertanggungjawaban.

Pertanggungjawaban atas tindakan diskresi pemerintah

adalah keniscayaan (sine qua non). Akan tetapi yang lebih

menjadi isu kemudian adalah apakah atas setiap tindakan

diskresi pemerintah dapat dipertanggungjawabkan atau tidak?

Apakah terhadap tindakan diskresi pemerintah terdapat

alasan pembenar yang adekuat secara hukum atau tidak? Isu

ini sangat operasional berkenaan dengan fungsionalitas

kekuasaan dan tindakan diskresi di dalam sistem hukum

yang dikaidahi oleh asas the Rule of Law, bukan apakah

tindakan diskresi melanggar hukum atau tidak karena secara

Page 93: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

84

prinsipiil di dalam asas the Rule of Law dalam arti luas

kekuasaan diskresi merupakan kekuasaan hukum yang sah.

B. Pendekatan Right-Based dan Goal-Based sebagai Dasar

Pengujian Tindakan Diskresi

1. Tinjauan Umum Pendekatan Rule-Based, Right-Based

dan Goal-Based

Isu tentang dasar-dasar pengujian tindakan diskresi

pemerintah tidak dapat dipisahkan dengan isu tentang

pengujiannya sendiri. Isu tentang pengujian secara spesifik

adalah tentang proses penerapan dasar-dasar pengujian

tersebut dalam melakukan tindakan pengujian yang secara

konsepsional disebut dengan konsep pertanggungjawaban.

Ruang lingkup isu pengujian di sini meliputi pengujian hukum

(wetmatigheidstoetsing dan rechtmatigheidstoetsing) serta

pengujian kehasil gunaan dan kedaya gunaan

(doelmatigheidstoetsing).

Yang menjadi isu sentral dalam mendiskusikan isu

tentang dasar pengujian tindakan diskresi pemerintah di sini

tiada lain adalah konsepsi tentang HUKUM. Bentuk-bentuk

pengujian ratione materiae yang dikenal yaitu

wetmatigheidstoetsing, rechtmatigheidstoetsing dan

doelmatigheids-toetsing pada analisis akhir merupakan

representasi perkembangan konsepsi tentang HUKUM sebagai

dasar pengujian. Pada pengujian dengan bentuk

wetmatigheidstoetsing, yang merupakan dasar pengujian

adalah undang-undang (legislasi) dan peraturan-peraturan

Page 94: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

85

pelaksanaannya (regulasi) (wet; lex). Sehingga metode yang

demikian dikenal dengan istilah pengujian dengan pendekatan

rule-based. Pendekatan rule-based hanya adekuat dalam

kasus tindakan pemerintah dalam koridor

kekuasaan/kewenangan terikat.

Dasar pengujian pada rechtmatigheidstoetsing adalah

Hukum (recht; ius), yaitu dengan pengertian a body of ideals,

principles, and precepts for the adjusment of the relations of

human beings and the ordering of their conduct in society.10 Hal

ini lazim dikenal dengan istilah pengujian dengan pendekatan

right-based. Konsep Right di sini dalam bahasa filosofis

mengandung konsepsi: good or just law, which is binding on us

because it is good or just.11

Perbedaan antara rule-based dengan right-based ini

hanya terjadi di dalam diskursus hukum di negara-negara

yang menggunakan bahasa Inggris karena di dalam kosakata

bahasa Inggris tidak diketemukan perbedaan antara ius dan

lex secara spesifik. Kedua konsep berbeda ini hanya terwakili

dalam satu kata yaitu law. Untuk mengatasi kesulitan

membedakan law dalam pengertian lex dengan law dalam

pengertian ius digunakan istilah Right (dengan pengertian

good or just law). Sehingga oleh karena itu, pengujian

berdasarkan Hukum atau ius lebih dikenal dengan istilah

pengujian right-based.

10 Roscoe Pound, Law Finding Through Experience and Reason, Athens: University of Georgia Press, 1960, h. 1-2. 11 George P. Fletcher, Basic Concepts of Legal Thought, New York-Oxford: Oxford University Press, 1996, h. 11-12.

Page 95: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

86

Pengujian right-based ini adalah pengujian dalam

koridor asas the Rule of Law dalam arti luas (thick;

substantive). Hal ini nampak eksplisit dalam pendirian Ronald

Dworkin berikut ini:

I shall call the second conception of the Rule of Law the “rights” conception. It is in several ways more ambitious than the rule book conception. It assumes that citizens have moral rights and duties with respect to one another, and political rights against the State as a whole. It insists that these moral and political rights be recognized in positive law, so that they may be enforced upon the demand of individual citizens through courts or other judicial institutions of the familiar type, so far as this is practicable. The Rule of Law on this conception is the ideal of rule by an accurate public conception of individual rights. It does not distinguish, as the rule book conception does, between the Rule of Law and substantive justice; on the contrary it requires, as a part of the ideal of law, that the rules in the rule book capture and enforce moral rights.12

Mengacu pada Dworkin, pendekatan right-based sering

dipertukarkan pemakaiannya dengan pendekatan principle-

based; antonim pendekatan rule-based. 13 Ratione temporis,

pengujian hukum (dalam arti sempit maupun luas) hanya

dapat dilakukan secara ex tunc, yaitu memperhitungkan

semua fakta atau keadaan pada saat tindakan itu

dilakukan.14

Dasar pengujian pada doelmatigheidstoetsing adalah

doel atau tujuan dari tindakan. Sehingga pengujian yang

12 Brian Z. Tamanaha, On the Rule of Law, Op.cit., h. 102. 13 Hal ini mengacu pada konsepsi Dworkinian tentang hukum sebagai sistem, yaitu sebagai sistem rule dan principle, sebuah konsepsi untuk menentang konsepsi Hartian tentang hukum sebagai sistem ‘rules’ primer dan sekunder. Hilaire McCoubrey & Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, London: Blackstone Press Limited, 1996, h. 166. 14 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987, h. 193-194.

Page 96: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

87

demikian lebih dikenal dengan penamaan pendekatan goal-

based. 15 Hal ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan

konsepsi hukum yang instrumental (law as a means to an

end).16 Yang menjadi isu dalam doelmatigheidstoetsing ialah

segi hasil guna (pertimbangan efisiensi) dan daya guna

(pertimbangan efektivitas) dari tindakan dikaitkan dengan

tujuan (goal; doel) yang hendak dicapai melalui tindakan itu.

Ratione temporis, pengujian kedaya gunaan dan kehasil

gunaan dapat dilakukan baik ex tunc maupun ex nunc. Yang

dimaksud dengan ex nunc yaitu perubahan fakta dan keadaan

termasuk dalam penilaian suatu tindakan.17

2. Principles of Good Governance

Principles of Good Governance di sini adalah sebuah asas

hukum (legal principle) dalam Hukum Administrasi, yang

merupakan genus dari: General Principles of Proper

Administration (Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik),

Principles of Human Rights Administration (Asas-asas

Pemerintahan Berdasarkan HAM), Principles of Public

Participation Administration (Asas-asas Partisipasi Publik

dalam Pemerintahan) dan Principles of Transparent

15 Tentang perbedaan antara pendekatan right-based (principles) dengan pendekatan goal-based (policies) Dworkin memiliki ilustrasi sebagai berikut: “arguments of policy justify a … decision by showing that the decision advances or protects some collective goal of the community as a whole. The argument in favour of a subsidy for aircraft manufacturers, that the subsidy will protect national defence, is an argument of policy. Arguments of principle jutify a … decision by showing that the decision respects or secures some individual or group right. The argument in favour anti-discrimination statutes, that a minority has a right to equal respect and concern, is an argument of principle.”Dalam Hilaire McCoubrey & Nigel D. White, Op.cit., h. 150-151. 16 Brian Z. Tamanaha, Law as a Means to an End: Threat to the Rule of Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2006. 17 Philipus M. Hadjon, Op.cit., h. 194.

Page 97: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

88

Administration (Asas-Asas Transparansi Pemerintahan). 18

Urgensi Principles of Good Governance terletak secara

kontekstual dalam fungsinya sebagai jembatan antara

discretionary power pemerintah dengan perlindungan

kepentingan banyak orang yang terkait. Peranannya dalam

Hukum Administrasi ialah bahwa Principles of Good

Governance ini aplikabel dalam different legal contexts by

different institutions and instruments sebagai dasar pengujian

dalam proses kontrol terhadap pemerintah. Principles of Good

Governance memperluas cakupan pertanggungjawaban

pemerintah kepada rakyat/warga negara tidak hanya

mencakup segi rechtmatigheid tindakan pemerintah tetapi juga

keharusan memberikan kesempatan secara langsung kepada

rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan

memperluas peranan peradilan dalam menguji tindakan-

tindakan pemerintah termasuk memperluas cakupan dasar-

dasar pengujian yang aplikabel.19

Hubungan antara Principles of Good Governance dengan

tindakan diskresi pemerintah dapat dijelaskan melalui dua

teori. Pertama, teori kompensasi. Kedua, teori tentang fungsi

dalam hukum dan masyarakat. Teori kompensasi menjelaskan

bahwa Principles of Good Governance merupakan kompensasi

atas hilangnya jaminan dalam peraturan perundang-

undangan sebagai dasar pengujian keabsahan tindak

pemerintahan karena legislator mendelegasikan kekuasaan 18 G.H. Addink, From Principles of Proper Administration to Principles of Good Governance, dalam G.H. Addink, Principles of Good Governance Reader, Utrecht: Faculteit Rechtsgeleerheid-Universiteit Utrecht, 2003 (Diktat), h. 13. 19 Ibid., h. 15.

Page 98: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

89

diskresi kepada pemerintah. Penjelasan demikian masih

kurang memadai. Menurut teori fungsi dalam hukum,

Principles of Good Governance adalah argumen bagi aktor

utama dalam Hukum Administrasi ketika mereka harus

mengambil keputusan/tindakan. Asas-asas tersebut

membantu memberikan kemungkinan interpretasi terbaik

dalam rangka argumen. Sementara menurut teori fungsi

dalam masyarakat, Principles of Good Governance membantu

dalam menjaga/mengawasi suatu kebijakan supaya

terlegitimasi di dalam masyarakat yang pada saat bersamaan

memiliki tuntutan akan fairness and justice.20

Dalam pembahasan tentang Principles of Good

Governance ini penulis hanya akan fokus pada Asas-asas

Umum Pemerintahan yang Baik (General Principles of Proper

Administration) dan Asas-asas Pemerintahan Berdasarkan

HAM (Principles of Human Rights Administration). Dasar

pertimbangannya ialah karena Principles of Transparent

Administration dan Principles of Public Participation

Administration tidak dapat menjadi dasar pengujian secara

langsung berkenaan dengan rechtmatigheidstoetsing. Principles

of Transparent Administration merupakan instrumen dalam

rangka prosedur pengambilan keputusan atau tindakan yang

mengikutsertakan masyarakat dengan maksud supaya pihak-

pihak yang kepentingannya terkait mengetahui akan adanya

keputusan atau tindakan tersebut sehingga yang

bersangkutan dapat berpartisipasi untuk melindungi 20 G.M.A. van der Heijden dalam Titon Slamet Kurnia, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di Indonesia, Bandung: Alumni, 2007, h. 35.

Page 99: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

90

kepentingannya (dengan turut mendengar, berpikir, berbicara

dan memutuskan atau meeweten, meedenken, meespreken en

meebeslissen21). Principles of Public Participation Administration

secara substansial berkenaan dengan konsep legal interest i.c.

legal standing. Di Belanda misalnya, sebagai perbandingan,

dalam praktik berdasarkan General Administrative Law Act,

setiap orang dapat menggugat setiap izin yang diterbitkan oleh

pejabat yang berwenang hanya jika yang bersangkutan

berpartisipasi dalam persiapan atau preparasi izin tersebut,

misalnya dengan mengajukan pendapat.22

2.1. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (General

Principles of Proper Administration)

Hukum Administrasi menempati posisi yang amat

strategis bahkan memegang kendali sepenuhnya bagi

pengaturan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Oleh

karena itu dalam penyelenggaraan pemerintahan dikenal

beberapa asas yang dijadikan batu-uji (tolok ukur) terhadap

baik atau tidak baiknya pemerintahan suatu negara.

Terdapat dua rumpun atau pengelompokan atas asas-

asas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di

Indonesia. Rumpun pertama adalah yang tercantum dalam UU

No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dengan

sebutan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara.

21 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya: Airlangga University Press, 2000, h. 277. 22 Suparto Wijoyo, Refleksi Mata Rantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan secara Terpadu: Studi Kasus Pencemaran Udara, Surabaya: Airlangga University Press, 2005, h. 336.

Page 100: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

91

Sedangkan rumpun yang kedua terdapat dalam ajaran

(doktrin) di dalam Hukum Administrasi, yang dikenal dengan

sebutan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Dengan

demikian kedua asas umum itu, dapat dikelompokkan ke

dalam satu nama dengan sebutan Asas Pemerintahan yang

Baik (disingkat dengan APB), yang terdiri dari: (1) Asas-Asas

Umum Penyelenggaraan Negara (disingkat AAUPN); dan (2)

Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (disingkat AAUPB).

Berdasarkan Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999, Asas-Asas

Umum Penyelenggaraan Negara terdiri dari tujuh asas:

1. Asas kepastian hukum.

Prinsip dalam negara hukum yang mengutamakan

landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan,

dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara

negara;

2. Asas tertib penyelenggaraan negara.

Prinsip yang menjadi landasan keteraturan, keserasian,

dan keseimbangan dalam pengendalian

penyelenggaraan negara;

3. Asas kepentingan umum.

Prinsip untuk mendahulukan kesejahteraan umum

dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;

4. Asas keterbukaan.

Prinsip yang membuka diri terhadap hak masyarakat

untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan

tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara

dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak

asasi pribadi, golongan dan rahasia negara;

Page 101: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

92

5. Asas proporsionalitas.

Prinsip yang mengutamakan keseimbangan antara hak

dan kewajiban penyelenggara negara;

6. Asas profesionalitas.

Prinsip yang mengutamakan keahlian yang

berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

7. Asas akuntabilitas.

Prinsip yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan

hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus

dapat dipertanggungjawabakan kepada masyarakat atau

rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Kelompok asas yang kedua dari Asas Pemerintahan

yang Baik, yaitu Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik

(AAUPB) untuk pertama kalinya dikenal melalui hasil laporan

komisi de Monchy dengan penamaan Algemene Beginselen van

Behoorlijk Bestuur.23

Di Indonesia terdapat berbagai perbedaan penerjemahan

Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur ini. Kata

beginselen diterjemahkan menjadi: prinsip-prinsip, asas-asas,

dasar-dasar; sedangkan kata behoorlijk diterjemahkan: yang

sebaiknya, yang baik, yang layak, yang patut. Dalam hal ini,

penulis lebih memilih menggunakan kata “asas-asas”, dengan 23 Komisi de Monchy adalah sebuah komisi yang dipimpin oleh de Monchy yang dibentuk oleh pemerintah Belanda pada tahun 1946 yang bertugas memikirkan peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan pemerintah yang menyimpang. Lihat dalam Ridwan H.R., Op.cit., h. 245.

Page 102: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

93

alasan kata asas merupakan serapan dari bahasa Arab yang

tidak berbeda artinya dengan kata prinsip yang berasal dari

bahasa Inggris; di samping kata asas lebih banyak digunakan

oleh para ahli Hukum Administrasi. Sedangkan untuk pilihan

kata “yang baik”, penulis memilihnya semata-mata alasan

praktis yaitu mengingat kata yang baik sudah dikenal akrab di

kalangan masyarakat maupun pengemban Hukum

Administrasi. Bahkan kata yang baik ini telah menjadi bahasa

peraturan perundang-undangan, yaitu digunakan pada UU

Peradilan Tata Usaha Negara.24 Di samping itu arti kata yang

baik dan yang layak sebenarnya tidak ada perbedaan

pengertiannya secara prinsipil di dalam Hukum Administrasi.

Sementara pilihan kepada kata yang layak, semata-mata

hanya persoalan kepentingan kesesuaian dari segi

kebahasaan saja.25

Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB),

digunakan bagi penilaian terhadap pemerintahan tetapi secara

khusus sejak semula ditujukan pada pemerintahan dalam arti

sempit. Hal ini sesuai dengan istilah bestuur pada Algemene

Beginselen van Behoorlijk Bestuur, bukan regering atau

overheid yang mengandung arti pemerintahan dalam arti

luas. 26 Crince Le Roy mengemukakan mengenai asas-asas

sebagai kriteria pemerintahan yang baik:

24 UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang pada Pasal 53 Ayat (2) huruf a disebutkan: “Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik”. 25 Periksa dalam Ridwan H.R., Op.cit., h. 245-246. 26 Ibid., h. 255.

Page 103: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

94

1. Asas kepastian hukum (rechtzekerheids beginsel,

principle of legal security);

2. Asas keseimbangan (evenredigheids beginsel, security

principle of proportionality);

3. Asas kesamaan dalam pengambilan keputusan

(gelijkheids beginsel, principle of equality));

4. Asas bertindak cermat (zorgvuldigheids beginsel,

principle of carefulness);

5. Asas motivasi untuk setiap keputusan (motiverings

beginsel, principle of motivation);

6. Asas tidak mencampuradukkan wewenang (verbod van

detournement de pouvoir, principle of nonmisuse of

competence);

7. Asas permainan yang layak (fair play beginsel, principle

of fairplay);

8. Asas pemenuhan pengharapan yang ditimbulkan atau

menanggapi pengharapan yang wajar (principle van

opgewekte verwarchtingen, principle of meeting raised

expectation);

9. Asas keadilan atau kewajaran (redelijkeheids beginsel,

principle of reasonableness or prohibition of

arbitrariness);

10. Asas meniadakan akibat dari keputusan yang batal

(herstel beginsel, principle of undoing the consequences

of an annulled decision);

11. Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup

pribadi (principle van beskerning van de persoonlijke

Page 104: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

95

levenssfeer, principle of protecting the personal way of

life).27

Masing-masing dari asas itu, pengertiannya dijelaskan

secara singkat sebagaimana berikut ini.

a. Asas kepastian hukum (principle of legal security). Asas

ini mengandung pengertian setiap keputusan yang

dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut

kembali, sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses

peradilan. Dasar bagi asas ini adalah asas yang dalam

Hukum Administrasi disebut presumptio iustae causa,

yaitu setiap tindakan atau keputusan pemerintah harus

dianggap benar menurut hukum (het vermoeden van

rechtmatigheid); dan kerenanya dapat dilaksanakan

demi kepastian hukum selama belum dibuktikan

sebaliknya atau dinyatakan tidak sah oleh hakim

administrasi.

b. Asas keseimbangan (principle of proportionality), Asas ini

mengandung tuntutan agar ada keserasiaan dan/atau

keseimbangan tindakan pemerintah dalam segala

aspeknya; demikian juga atas kelalaian atau kesalahan

yang dilakukan oleh pemerintah harus diberikan

tindakan atau hukuman yang proporsional oleh

atasannya. Suatu tindakan atau keputusan selayaknya

mempertimbangkan atau mengakomodir kepentingan-

kepentingan dan menyeimbangkan kepentingan-

kepentingan tersebut, yakni antara kepentingan 27 Koentjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1978, h. 29-30.

Page 105: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

96

keduniaan dan akhirat, antara kepentingan materiil dan

spiritual, antara kepentingan jiwa dan raga, antara

kepentingan individu dan masyarakat, antara

kepentingan perikehidupan darat, laut dan udara,

antara kepentingan nasional dan internasional.28

c. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle

of equality). Asas ini mengandung pengertian bahwa

terhadap fakta atau kasus yang sama harus dilakukan

tindakan atau keputusan pemerintah yang sama pula –

dalam arti tidak bertentangan; dan memperlakukan

setiap orang dan subyek pemerintah mempunyai

kedudukan yang sama di dalam hukum (equality before

the law). Asas ini berlaku juga terhadap tindakan

pemerintah yang meskipun bersifat kasuistis, tetapi

tindakannya itu harus tetap berlandaskan pada asas

kesamaan, 29 dengan cara ia harus bertindak cermat

untuk mempertimbangkan titik-titik persamaannya.30

d. Asas bertindak cermat atau asas kecermatan (principle

of carefulness). Asas ini mengandung pengertian bahwa

pemerintah harus bertindak secara hati-hati dan cermat

sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga

masyarakat. Tindakan atau keputusan pemerintah

diambil atas dasar semua faktor atau fakta dan keadaan

yang relevan yang telah dikumpulkan, dipersiapkan 28 S.F. Marbun, Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Di Indonesia, dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Op.cit., h. 221. Pengertian ini tidak dijumpai dalam pendapat Ridwan H.R., Op.cit., h. 259. 29 Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni, 1985, h. 223. 30 Ridwan H.R, Op.cit., h. 261.

Page 106: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

97

serta dipertimbangkan secara cermat dan teliti,

termasuk harus mempertimbangkan akibat-akibat

hukum yang muncul dari keputusan/tindakannya.

e. Asas motivasi untuk setiap tindakan atau keputusan

(principle of motivation). Asas ini mengandung pengertian

bahwa atas setiap tindakan/keputusannya, pemerintah

harus mengungkapkan motivasi atau alasan-alasan

tindakannya; dan alasan itu harus jelas, benar serta

adil. Alasan-alasan itu merupakan motivasi dilakukan

tindakan atau dikeluarkannya keputusan pemerintah

dan dijadikan sebagai dasar pertimbangannya. Ruang

lingkup asas pemberian alasan meliputi: (a). syarat

bahwa suatu ketetapan harus diberi alasan; (b).

ketetapan harus memiliki dasar fakta yang teguh; (c).

pemberian alasan harus cukup dapat mendukung.31

f. Asas tidak mencampuradukkan kewenangan (principle of

nonmisuse of competence). Asas ini mendalilkan bahwa

wewenang yang ada atau diberikan kepada pemerintah

dipergunakan sesuai maksud dan tujuan semula

diberikannya wewenang itu. Suatu prinsip yang

menghendaki pemerintah tidak menggunakan

wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah

ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau

menggunakan wewenang yang melampaui batas.

Penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir),

apabila perbuatan pemerintah itu masih terletak dalam

31 Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip dalam Ridwan H.R., Ibid., h. 264-265.

Page 107: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

98

lingkungan ketentuan perundang-undangan, sedangkan

tindakan yang sewenang-wenang (willekeur) apabila

tindakan pemerintah tersebut di luar lingkungan

ketentuan perundang-undangan. 32 Mungkin

dikarenakan asas ini berisikan dua hal tersebut, SF

Marbun menyebut juga sebagai asas larangan

menyalahgunakan wewenang dan larangan sewenang-

wenang.33

g. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal

(principle of undoing the consequences of an annulled

decision) Asas ini menghendaki dilakukan cara-cara

untuk meniadakan akibat keputusan yang batal atau

tidak sah melalui pemulihan kembali hak-hak,

menempatkan kembali pada pekerjaan atau

kedudukannya semula, pemberian ganti rugi atau

kompensasi, dan pemulihan atau rehabilitasi kembali

nama baiknya. Peniadaan akibat keputusan yang batal

ini lazimnya terjadi terhadap orang atau pemerintah

yang ditangkap, ditahan, diadili karena kekeliruan

mengenai orangnya atau karena tidak terbukti

melakukan suatu kesalahan atau kejahatan.

h. Asas permainan yang layak (principle of fairplay). Asas

ini menghendaki setiap tindakan pemerintah dilakukan

dan dilaksanakan secara jujur, tidak curang dengan

menjunjung kebenaran dan keadilan (fairness); dan

memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada 32 Sjachran Basah, Eksistensi ..., Op.cit., h. 248-249. 33 S.F. Marbun, Op.cit., h. 218.

Page 108: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

99

warga negara (termasuk pada pemerintah sendiri) untuk

membela diri dengan memberikan argumentasi-

argumentasi sebelum dijatuhkannya putusan

pemerintah; dan mencari dan mendapatkan kebenaran

dan keadilan kepada atasannya, instansi banding

(instansi pemerintah yang lebih tinggi atau melalui

administratief beroep), maupun badan peradilan

administrasi atas perlakuan atau penjelasan yang tidak

menyenangkan dari pemerintah.

i. Asas keadilan dan kewajaran (principle of

reasonableness or prohibition of arbitrariness). Asas ini

menghendaki agar setiap tindakan pemerintah selalu

memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran. Asas

keadilan menuntut tindakan secara proporsional,

sesuai, seimbang, dan selaras dengan hak setiap orang.

Sedangkan prinsip kewajaran menekankan agar setiap

kegiatan pemerintah memperhatikan nilai-nilai yang

berlaku di tengah masyarakat, baik itu berkaitan

dengan agama, moral, adat istiadat, maupun nilai-nilai

lainnya.34

j. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang

wajar (principle of meeting raised expectation). Asas ini

menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh

pemerintah harus menimbulkan harapan-harapan bagi

warga negara. Asas ini juga mendalilkan bahwa suatu

harapan yang sudah terlanjur diberikan kepada warga

34 Ridwan H.R., Op.cit., h. 271.

Page 109: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

100

negara tidak boleh ditarik kembali meskipun tidak

menguntungkan bagi pemerintah. 35

k. Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup

pribadi (principle of protecting the personal way of life).

Asas ini menghendaki pemerintah melindungi hak atas

kehidupan pribadi, baik bagi individu pemerintah

sendiri maupun pribadi setiap warga negara, sebagai

konsekuensi dari negara hukum demokratis yang

menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi. Di

Indonesia asas ini acapkali dikaitkan dengan sistem

keyakinan, kesusilaan, dan norma-norma yang

dijunjung tinggi oleh masyarakat; artinya pandangan

hidup seseorang merupakan hak asasi yang harus

dihormati, tetapi penggunaan hak itu sendiri akan

berhadapan dengan norma dan sistem keyakinan orang

lain yang diakui dan dijunjung tinggi dalam suatu

masyarakat.36

Berkenaan dengan Keputusan TUN (beschikking), ruang

lingkup Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik

sebagaimana dipaparkan di atas dapat dikelompokkan

menjadi dua bagian, yaitu asas yang bersifat formal

(prosedural) dan asas yang bersifat material (substansial). 37

Asas yang bersifat formal, yaitu: (a) berkenaan dengan

prosedur yang harus dipenuhi dalam setiap pembuatan

ketetapan; atau (b) asas-asas yang berkaitan dengan cara-cara 35 Ibid., h. 272. 36 Ibid., h. 275-276. 37 Menurut P. Nicolai, urgensi dari pembedaan ini adalah untuk perlindungan hukum. Lihat dalam Ibid., h. 257.

Page 110: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

101

pengambilan keputusan, seperti: asas kecermatan dan asas

permainan yang layak. Sedangkan Indroharto memberikan

pemahaman bahwa asas-asas yang bersifat formal, yaitu asas-

asas yang penting artinya dalam rangka mempersiapkan

susunan dan motivasi dari suatu beschikking (yang

menyangkut segi lahiriahnya) yang meliputi asas-asas yang

berkaitan dengan proses persiapan dan pembentukan

keputusan, dan asas-asas yang berkaitan dengan

pertimbangan serta susunan keputusan. Adapun yang

dimaksudkan dengan asas-asas yang bersifat material tampak

pada isi dari keputusan pemerintah, seperti asas kepastian

hukum, asas persamaan, asas tidak mencampuradukkan

kewenangan (larangan sewenang-wenang dan larangan

penyalahgunaan kewenangan).38

SF Marbun menambahkan satu asas ke dalam Asas-

Asas Umum Pemerintahan yang Baik, yaitu asas musyawarah.

Namun patut disayangkan, Marbun tidak memberikan

penjelasan atau argumen mengapa asas tersebut dimasukkan

sebagai Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Menurut

Marbun, asas musyawarah menghendaki agar dalam hal

timbul sengketa akibat dari tindakan atau keputusan

pemerintah yang dianggap melanggar dan merugikan hak-hak

warga negara maka dalam penyelesaiannya harus

mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat yang

diliputi semangat kekeluargaan.39

38 Ibid. 39 Asas ini dikutip dari Marbun yang mana merupakan pendapat dan pengertiannya dari dirinya sendiri. Periksa S.F. Marbun, Op.cit., h. 224.

Page 111: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

102

Koentjoro Purbopranoto, menambahkan dua asas yang

dipandang sesuai dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan

semangat UUD 1945, yaitu: asas kebijaksanaan (sepientia)

dan asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of

public service). 40 Asas kebijaksanaan (sapientia) merupakan

perpaduan jiwa idealistis-realistis dengan pragmatis yang

sesuai dan selaras dengan cita-cita pemerintah, karenanya

asas kebijaksanaan adalah suatu pandangan jauh ke depan

dari pihak pemerintah (gouverner c’est prevoir), yakni:

a. Pemerintah dalam segala sikap-tindak harus selalu

berpandangan luas, serta selalu dapat menghubungkan

berbagai gejala yang terjadi dalam kehidupan

masyarakat.

b. Pemerintah harus pandai memperhitungkan lingkup

akibat-akibat sikap-tindak pemerintahannya dengan

penglihatan jauh ke depan.41

Lebih lanjut Koentjoro Purbopranoto berpendapat bahwa

oleh karena diskresi merupakan kebebasan pemerintah untuk

bertindak dalam suatu situasi yang konkret (kasuistis), maka

diskresi harus didasarkan kepada asas kebijaksanaan, yaitu

dalam pengertian memperhitungkan dampak-dampak negatif

yang mungkin terjadi di dalam kehidupan masyarakat.

Dengan demikian secara tidak langsung, asas kebijaksanaan

dapat dijadikan arah bagi penerapan diskresi (pouvoir

discretionnaire).42

40 Koentjoro Purbopranoto, Op.cit., h. 30. 41 Ibid., h. 34. 42 Patuan Sinaga, Op.cit., h. 86-87.

Page 112: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

103

Terhadap hal tersebut, muncul keberatan jika diskresi

mutlak digantungkan sepenuhnya kepada asas kebijaksanaan.

Pertama, bahwa teramat sulit menentukan secara teoritis

(konsepsional), bagaimana kriteria bijaksana atau tidak

bijaksananya suatu tindakan pemerintah. Apakah hal itu

didasarkan pada hasil akhir yang dicapai, ataukah pada cara-

cara pencapaian tujuan? Kedua, secara praktis, bahwa

keterikatan mutlak justru akan mengurangi eksistensi

maupun hakekat diskresi. Keadaan demikian pada gilirannya

dapat mempengaruhi maksud dan tujuan pemberian diskresi

pada pemerintah.43 Walaupun dirasakan kurang tepat, namun

asas kebijaksanaan dapat dipertimbangkan sebagai dasar

pengujian bagi tindakan diskresi pemerintah.

Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of

public service) mengharuskan pemerintah menjalankan

kekuasaannya untuk mencapai atau memenuhi berbagai

kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Kepentingan

umum mengatasi kepentingan seluruh individu, kepentingan

golongan, maupun kepentingan daerah-daerah di dalam

negara. Akan tetapi cakupan maupun hirarki kepentingan

umum tersebut, pada dasarnya masih belum menjawab

permasalahan, yaitu kepentingan umum yang bagaimana

yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam

menyelenggarakan kekuasaannya? Prajudi Atmosudirdjo

mengemukakan empat teori dasar kepentingan umum, yaitu:

1. Teori Keamanan.

43 Ibid.

Page 113: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

104

Di dalam teori ini yang terpenting bagi suatu

masyarakat adalah kehidupan yang aman dan sentosa;

2. Teori Kesejahteraan.

Kepentingan untuk kehidupan masyarakat yang

difokuskan teori ini ialah, kesejahteraan dalam

pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan pokok (utama)

secara cepat serta murah. Kebutuhan pokok tersebut

mencakup sandang, pangan, kesehatan dan

kesempatan kerja;

3. Teori Efisiensi Kehidupan.

Fokus utama yang dipentingkan dalam teori ini adalah

keharusan agar masyarakat dapat hidup secara efisien

supaya kemakmuran dan produktivitas dapat

ditingkatkan;

4. Teori Kemakmuran Bersama.

Geraint Parry menyebutnya dengan welfare-society

theory. Bagi teori ini yang terpenting bagi masyarakat

adalah kebahagiaan dan kemakmuran bersama, di

mana berbagai ketegangan sosial (social-tension) dapat

ditanggulangi dengan mantap, serta diikuti oleh upaya

pemerataan tingkat pendapatan masyarakat.44

Untuk sementara ini teori kepentingan kemakmuran

bersama (welfare-society) dapat dijadikan sebagai kerangka

acuan dari kepentingan umum. Dengan demikian pemerintah

harus memperhatikan dan mendasarkan sikap-tindak,

termasuk di dalamnya penggunaan diskresi, pada 44 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, h. 28.

Page 114: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

105

kemakmuran bersama; tidak hanya untuk segelintir anggota

masyarakat saja.45 Asas penyelenggaraan kepentingan umum

sebagai kemakmuran bersama menjadi pilihan kuat sebagai

dasar pengujian tindakan diskresi pemerintah.

Sampai di sini agaknya sudah dianggap memadai

bilamana selama tindakan atas inisiatif sendiri dari

pemerintah memberi atau membawa manfaat bagi

kesejahteraan umum, maka tindakan itu dapat ditolelir.

Namun demikian sebagaimana telah disinggung di muka,

berkembang luasnya inisiatif sendiri dalam menyelenggarakan

kekuasaan dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan,

atau di dalam doktrin judicial review di Inggris hal ini disebut

dengan istilah ultra vires. Konsepsi ultra vires tergambar

dalam pendapat Lord Browne-Wilkinson, the House of Lords,

dalam putusan atas kasus R v Hull University Visitor ex p Page

(1993):

Over the last 40 years the courts have developed general principles of judicial review. The fundamental principle is that the courts will intervene to ensure that the powers of public decision making bodies are exercised lawfully. In all cases, save possibly one, this intervention ... is based on the proposition that such powers have been conferred on the decision maker on the underlying assumption that the powers are to be exercised only within the jurisdiction conferred, in accordance with fair procedures and, in a Wednesbury sense ... reasonably. If the decision maker exercises his powers outside the jurisdiction conferred, in a manner which is procedurally irregular or is Wednesbury unreasonable, he is acting ultra vires his powers and therefore unlawfully.46

45 Patuan Sinaga, Op.cit., h. 88. 46 Andrew Le Sueur, Javan Herberg & Rosalind English, Principles of Public Law, London: Cavendish Publishing Company, 1999, h. 231.

Page 115: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

106

Berdasarkan putusan di atas, suatu tindakan pemerintah

masuk ke dalam katagori ultra vires manakala: (a) pejabat

pemerintah bertindak melampaui batas kekuasaan yang

dimilikinya; (b) bertindak tidak mengikuti prosedur yang

seharusnya (procedurally irregular); atau (c) bertindak

unreasonable.

Mempertimbangkan potensi terjadinya penyalahgunaan

kekuasaan atas pelaksanaan tindakan diskresi oleh

pemerintah tersebut, Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan

dua asas sebagai tolok ukur, yaitu:47

1. Asas legalitas (wetmatigeheid).

Setiap tindakan (keputusan) pemerintah harus diambil

berdasarkan atas suatu ketentuan undang-undang.

2. Asas yuridisitas (rechtmatigeheid).

Setiap tindakan (keputusan) yang diambil oleh

pemerintah tidak boleh melanggar hukum

(onrechtmatige overheidsdaad).

Dengan demikian setiap tindakan atau keputusan pemerintah

harus wetmatig dan rechtmatig. Pendapat Prajudi

Atmosudirdjo di atas kurang tepat. Tolok ukur wetmatigheid

tidak relevan dalam kasus tindakan diskresi. Karena itu,

Principles of Good Governance i.c. Asas-Asas Umum

Pemerintahan yang Baik dalam hubungannya dengan

tindakan diskresi pemerintah dipertimbangkan sebagai

kompensasi atas ketidakadekuatan asas legalitas sebagai

dasar pengujian keabsahan tindakan diskresi pemerintah.

47 Prajudi Atmosudirdjo, Op.cit., h. 85.

Page 116: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

107

Dasar pengujian lain yang layak dipertimbangkan

adalah asas moralitas. Asas ini agaknya dipengaruhi

pandangan yang membedakan atau memisahkan antara

hukum dengan moral (separation thesis). Atas dasar

pemahaman ini maka agar tindakan pemerintah tidak

mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, maka tindakan

itu tidak hanya harus dapat dipertanggungjawabkan secara

hukum – asas yuridisitas – dan juga secara moral (asas

moralitas).

Pertanggungjawaban pemerintah secara moral atas

tindakan yang dilakukannya adalah ditujukan kepada Tuhan

Yang Maha Esa.48 Patuan Sinaga memberikan alasan terhadap

urgensi tuntutan moralitas ini. Pertama, dasar pertimbangan

diterapkannya diskresi lebih merupakan ide-ide moralitas

dibandingkan yuridis (hukum). Kedua, keberadaan dari

diskresi itu sendiri yang mendasarkan, menyesuaikan dan

menyelaraskan tindakan-tindakan dengan tujuan-tujuan

beserta akibat yang timbul secara lebih manusiawi. 49 Atas

dasar hal itu maka asas moralitas dapat diperlakukan sebagai

dasar pengujian atas tindakan diskresi pemerintah.

Disadari atau tidak, dalam praktik, banyaknya tindakan

diskresi yang dilakukan pemerintah dalam rangka

pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan berpotensi

menimbulkan permasalahan hukum dan administratif. Ada

beberapa kerugian yang bisa saja terjadi jika diskresi tidak

dilakukan di dalam koridor hukum administrasi. Pertama, 48 Sjachran Basah, Eksistensi ..., Op.cit., h. 151. 49 Patuan Sinaga, Op.cit., h. 100.

Page 117: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

108

tindakan aparatur atau pejabat pemerintah yang merugikan

masyarakat karena terjadi ambivalensi kebijakan yang tidak

dapat dipertanggujawabkan kepada masyarakat. Sikap tindak

dari pemerintah yang berakibat terjadi kerugian pada

masyarakat merupakan perbuatan melanggar hukum oleh

penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), baik berupa

tindakan penyalahgunaan wewenang (detournement de

pouvoir), atau tindakan sewenang-wenang (willekeur).

Kedua, sektor pelayanan publik menjadi terganggu atau

malah makin buruk akibat kebijakan yang tidak populer dan

non-responsif diambil oleh pejabat atau aparatur pemerintah

yang berwenang. Ketiga, sektor pembangunan justru menjadi

terhambat akibat sejumlah kebijakan (policy) pejabat atau

aparatur pemerintah yang kontra produktif dengan keinginan

rakyat atau para pelaku pembangunan lainnya. Keempat,

aktivitas perekonomian masyarakat justru menjadi pasif dan

tidak berkembang akibat sejumlah kebijakan (policy) yang

tidak pro-masyarakat dan terakhir adalah terjadi krisis

kepecayaan publik terhadap penguasa dan menurunnya

wibawa pemerintah di mata masyarakat sebagai akibat

kebijakan-kebijakannya yang dinilai tidak simpatik dan

merugikan masyarakat.

Terhadap masalah yang dapat timbul dikarenakan

tindakan diskresi ini, maka pemerintah dalam menjalankan

aktivitasnya, terutama dalam mewujudkan tujuan-tujuan

negara (atau mengupayakan bestuurszorg) melalui

pembangunan, tidak dapat bertindak semena-mena,

melainkan sikap tindak itu harus dapat

Page 118: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

109

dipertanggungjawabkan.50 Argumen atas pernyataan demikian

adalah meskipun intervensi pemerintah dalam kehidupan

warga negara merupakan kemestian dalam konsepsi welfare

State, tetapi pertanggungjawaban setiap tindakan pemerintah

juga merupakan kemestian dalam the Rule of Law yang

menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. 51

Artinya, harus ada akuntabilitas, responsibilitas maupun

liabilitas terhadap tindakan diskresi pemerintah.

Untuk itu beberapa tolok ukur untuk menilai apakah

tindakan pemerintah itu sejalan dengan the Rule of Law atau

tidak haruslah diletakkan dalam tempatnya yang semestinya,

yaitu batasan-batasan yang diberikan oleh Hukum

Administrasi. Diskresi dengan demikian, tidak bisa tidak,

harus dipahami serta dilaksanakan berpijak dan sesuai

dengan ranah bidangnya yaitu Hukum Administrasi. Hukum

Administrasi memberikan parameter atau tolok ukur, yakni

batasan toleransi bagi badan atau pejabat pemerintah dalam

menggunakan kekuasaan diskresinya.

2.2. Asas-asas Pemerintahan Berdasarkan HAM (Principles

of Human Rights Administration)

Hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan elemen yang

sangat fundamental dalam negara modern berdasarkan asas

the Rule of Law dalam arti luas (thick; substantive). 52 HAM

50 Sjachran Basah sebagaimana dikutip oleh Ridwan H.R., Loc.cit. 51 Ibid. 52 Brian Z. Tamanaha, On the Rule of Law, Op.cit., h. 102-113. Dalam arti sempit, the Rule of Law (thin; formal) tidak selalu kompatibel dengan HAM. Tamanaha mengatakan secara reflektif: “It should be recalled, however, that the USA adhered to the rule of law even when slavery was legally enforced, and racial segregation legally imposed. What makes this

Page 119: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

110

meletakkan batasan terhadap negara dalam hubungan dengan

rakyat/warga negara, berkenaan dengan kekuasaan rule-

making, rule-executing maupun rule-adjudicating. Sehingga

merupakan kaidah yang normal bahwa tindakan diskresi

pemerintah tidak boleh melanggar HAM (baik sipil, politik,

ekonomi, sosial dan budaya).

Dalam sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia, Asas-

asas Pemerintahan Berdasarkan HAM ini perlu ditonjolkan

dalam kaitan dengan positivisasi HAM ke dalam UUD 1945

dan UU No. 39 Tahun 1999. Dengan positivisasi tersebut

maka pengujian tindakan diskresi pemerintah berdasarkan

kaidah-kaidah HAM secara spesifik telah menjadi pendekatan

rule-based. Pendekatan rule-based HAM ini sendiri sangat

adekuat sebagai dasar pengujian terhadap tindakan diskresi

pemerintah meskipun di depan penulis selalu beropini bahwa

pendekatan rule-based tidak adekuat sebagai dasar pengujian

tindakan diskresi pemerintah.

Dasar pertimbangan penulis adalah karena bobot relatif

dari HAM dalam situasi competing interests yang harus lebih

didahulukan dari pertimbangan kepentingan yang lain karena

hakikat HAM sendiri menyangkut nilai manusia yang sangat

fundamental yaitu human dignity. 53 Satu-satunya

pengecualian dalam kasus ini ialah klausul limitations of rights

(Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945): “Dalam menjalankan hak dan

kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan account of the rule of law compatible with evil is the absence of any separate criteria of the good or just with respect to the content of the law.” Ibid., h. 93. 53 James W. Nickel, Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, h. 4-5.

Page 120: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

111

yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud

semata-mata untuk menjamin pengakuann serta

penghormatan atas dan kebebasan orang lain dan untuk

memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan

moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum

dalam suatu masyarakat demokratis.”54

Asas-asas Pemerintahan Berdasarkan HAM harus

mendapatkan tempat yang layak di dalam sistem Hukum

Ketatanegaraan Indonesia karena UUD 1945 tidak secara

spesifik memberikan preskripsi mengenai status positivisasi

HAM yang di dalam UUD 1945. Dengan formulasi berbeda,

asas ini sangat fundamental dalam fungsinya sebagai gap filler

ketentuan HAM dalam UUD dan legislasi (undang-undang).

Kondisi ini sangat berbeda dengan teknik positivisasi HAM di

dalam sistem konstitusional AS, yaitu The U.S. Constitution

Amend. IX yang menentukan: “The enumeration in the

Constitution, of certain rights, shall not be construed to deny or

disparage others retained by the people.” Ketentuan tersebut

lazim dikenal dengan sebutan klausul unenumerated rights55

yang mengandung interpretasi: “there are certain rights of so

fundamental a character that no free government may trespass

54 Dalam teori, “A limitation clause is clearly an exception to the general rule. The general rule is the protection of the right; the exception is its restriction.” Nihal Jayawickrama, The Judicial Application of Human Rights Law: National, Regional and International Jurisprudence, Cambridge: Cambridge University Press, 2002, h. 184. 55 Untuk kajian mengenai aspek historikal konsep unenumerated rights, pro-kontra dan prospek aplikabilitasnya dalam putusan pengadilan, periksa Randy E. Barnett, Who’s Afraid of Unenumerated Rights?, University of Pennsylvania Journal of Constitutional Law, Vol. 9, No. 1, 2006, h. 1-22.

Page 121: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

112

upon them whether they are enumerated in the Constitution or

not.”56

Asas-asas Pemerintahan Berdasarkan HAM dapat

diperlakukan sebagai klausul unenumerated rights dalam

kasus Indonesia. Dalam hubungan dengan positivisasi HAM di

dalam UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999, asas ini akan

memberikan efek kepada positivisasi HAM di Indonesia yang

bersifat ‘opened - end’. Hal ini sesuai dengan asas hukum HAM

sendiri yaitu asas natural dan inherent, di mana asas-asas

tersebut mengandung pengertian bahwa HAM bukan

pemberian negara melalui produk hukum positifnya, tetapi

kodrati dan melekat dalam diri setiap manusia semata-mata

karena sifatnya sebagai manusia. 57 Sehingga, mutatis

mutandis, interpretasi The U.S. Constitution Amend. IX yaitu

“there are certain rights of so fundamental a character that no

free government may trespass upon them whether they are

enumerated in the Constitution or not” juga berlaku bagi

Indonesia, untuk mengisi gap yang mungkin terjadi dalam

positivisasi HAM di dalam UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun

1999.58

56 Edward S. Corwin, The Constitution and What It Means Today, New Jersey: Princeton University Press, 1978, h. 440. 57 Paul Sieghart, The International Law of Human Rights, Oxford: Clarendon Press, 1983, h. 17; Louis Henkin, The Rights of Man Today, New York: Columbia University Press, 1988, h. 2-3. 58 Di AS, kasus landmark berkenaan dengan klausul unenumerated rights dalam fungsinya sebagai gap filler dari Bill of Rights misalnya: Roe v. Wade, 410 US 113 (1965), tentang hak seorang perempuan untuk melakukan tindakan aborsi berdasarkan hak atas privasi yang tidak dikenal di dalam Konsitusi AS tetapi diturunkan berdasarkan klausul unenumerated rights.

Page 122: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

113

Persinggungan antara tindakan diskresi pemerintah

dengan aspek-aspek HAM sangat terbuka berkenaan dengan

kekuasaan untuk melakukan pembatasan terhadap HAM,

terutama melalui upaya pengaturan. The Privy Council sebagai

pengadilan banding atas putusan the Court of Appeal of

Antigua and Barbuda dalam kasus De Freitas v. Permanent

Secretary of Agriculture, Fisheries, Lands and Housing (1998)

meletakkan tiga kaidah dalam rangka menguji apakah

tindakan pengaturan oleh pemerintah untuk membatasi hak

merupakan pengaturan yang sewenang-wenang atau eksesif:

“(i) the legislative objective is sufficiently important to justify

limiting a fundamental right; (ii) the measures designed to meet

the legislative objective are rationally connected to it; and (iii) the

means used to impair the right or freedom are no more than is

necessary to accomplish the objective.”59

3. Asas-asas Efisiensi dan Efektivitas

Pengertian asas-asas efisiensi dan efektivitas di sini

sejajar dengan pengertian yang diberikan oleh Pasal 5 UU No.

10 Tahun 2004 tentang asas kedayagunaan dan

kehasilgunaan sebagai Asas-asas Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yang Baik, yaitu setiap peraturan

perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar

dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengertian ini

berlaku mutatis mutandis untuk pengertian efisiensi dan

efektivitas yang penulis gunakan dalam konteks pengujian

59 Nihal Jayawickrama, Op.cit., h. 185.

Page 123: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

114

tindakan diskresi pemerintah, yaitu pada aspek kebutuhan

dan kemanfaatannya.

Asas-asas efisiensi dan efektivitas sebagai dasar

pengujian bagi tindakan diskresi pemerintah dimaksudkan

untuk menjawab isu apakah tindakan diskresi tersebut

mencapai tujuan/sasarannya atau tidak; apakah hasil yang

diperoleh sepadan dengan biaya yang ditanggung; apakah

tindakan tersebut tidak terhindarkan ataukah masih ada

alternatif tindakan lainnya dengan hasil yang lebih baik.

Sehingga yang ditekankan di sini adalah aspek ‘impact’ dari

tindakan, yang tidak hanya berlaku pada waktu tindakan

terjadi, tetapi juga untuk jangka waktu tertentu, yaitu pendek,

menengah dan panjang. Pengujian yang demikian ratione

temporis disebut pengujian ex nunc.

Praktik di Swiss berkenaan dengan regulatory impact

assessment dapat menjadi bahan pertimbangan dalam

pengujian efisiensi dan efektivitas tindakan diskresi

pemerintah secara mutatis mutandis. Mengacu pada regulasi

yang dibuat oleh the Swiss Federal Council 15 September

1999, ada lima tolok ukur dalam rangka melakukan regulatory

impact assessment: (1) Necessity and possibility of State action;

(2) Impacts on individual social groups; (3) Impacts on the whole

economy; (4) Alternative regulations; (5) Expediency in

enforcement. 60 Kelima parameter di atas dapat dijadikan

sebagai definisi operasional pengujian berdasarkan asas-asas

efisiensi dan efektivitas. 60 Klaus Mathis, Efficiency Instead of Justice? Searching for the Philosophical Foundations of the Economic Analysis of Law, Dordrecht: Springer, 2009, h. 205.

Page 124: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

115

Asas-asas efisiensi dan efektivitas sebagai dasar

pengujian tindakan diskresi pemerintah sangat relevan karena

tindakan diskresi sangat berorientasi pada tujuan (goal-

oriented) (supra Bab II khususnya Sub-judul C). Sehingga

apakah pada akhirnya tindakan diskresi tersebut mencapai

tujuannya atau tidak menjadi relevan jika diuji dengan asas-

asas efisiensi dan efektivitas. Asas-asas efisiensi dan

efektivitas ini merupakan dasar pengujian bagi tindakan

pengujian dengan pendekatan goal-based. Rasio dari

pengujian demikian ialah tujuan tidak boleh dicapai dengan

menghalalkan segala cara meskipun tujuan memiliki

kedudukan yang superior.

Namun demikian, pengujian dengan pendekatan goal-

based yang mengacu pada asas-asas efisiensi dan efektivitas

harus diimbangi dengan satu kaidah bahwa tujuan yang

hendak dicapai harus tujuan yang benar, atau dapat

dibenarkan, secara objektif sebagai dasar bagi tindakan yang

dilakukan yang diuji secara ex ante. Temuan dari pengujian

yang demikian ialah apakah pejabat pemerintah bertindak

menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) ataukah

bertindak sewenang-wenang (arbitrariness).

Bagaimana mengukur kebenaran objektif dari suatu

tujuan bagi tindakan? Hart & Sachs menetapkan dua standar

yang berlaku bagi legislasi, yaitu:

First, the interpreter should assume that the legislature is composed of reasonable people seeking to achieve reasonable goals in a reasonable manner; and second, the interpreter should accept the non-rebuttable presumption that members of

Page 125: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

116

the legislative body sought to fulfill their constitutional duties in good faith.61

Pengertian tersebut berlaku mutatis mutandis untuk

mengukur kebenaran dan kesahihan tujuan dari tindakan

diskresi pemerintah sebelum dilakukan pengujian apakah

tindakan diskresi pemerintah tersebut sesuai asas-asas

efisiensi dan efektivitas atau tidak. Pertama, penguji harus

meletakkan asumsi dasar bahwa pemerintah reasonable,

berusaha mencapai tujuan yang reasonable, dan dilakukan

dengan cara-cara yang reasonable pula. Sehingga bagaimana

seharusnya yang reasonable itu ditentukan oleh perhitungan

orang yang reasonable pula dalam menyikapi suatu situasi-

kondisi bagi sebuah tindakan. Kedua, penguji harus

mempertimbangkan apakah dalam melakukan tindakan

tersebut pemerintah bertindak good faith atau tidak.

C. Sarana Kontrol terhadap Tindakan Diskresi Pemerintah

Pejabat pemerintah dituntut harus dapat bertanggung

jawab atas tindakan diskresi yang dibuatnya kepada

masyarakat baik dengan atau tanpa adanya proses hukum

berupa gugatan. Dasar pertimbangan dari argumentasi ini

adalah bahwa hal tersebut merupakan kewajiban yang

sifatnya melekat (inheren) pada kewenangan/kekuasaan yang

menjadi dasar akan adanya tindakan diskresi itu sendiri.

Dengan pengertian lain, pertanggungjawaban merupakan

konsekuensi niscaya dari asas the Rule of Law.

61 Aharon Barak, Purposive Interpretation in Law, New Jersey: Princeton University Press, 2005, h. 87.

Page 126: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

117

Isu yang secara spesifik hendak dibahas di sini adalah

tentang sarana kontrol, yaitu institusi yang memiliki

yurisdiksi dalam melakukan pengujian (review; toetsing)

terhadap tindakan diskresi pemerintah. Isu ini penting karena

secara institusional yurisdiksi untuk melakukan pengujian

sangat spesifik dikaitkan dengan bentuk atau metode

pengujian yang ada. Sehingga yang akan menjadi fokus di sini

adalah kompatibilitas institusional dalam rangka melakukan

pengujian dengan rumus atau formula: bentuk atau metode

pengujian menentukan keadekuatan institusi yang akan

melakukan pengujian.

Isu tentang sarana juga penting supaya tidak terjadi

kemacetan dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga

tanpa mengurangi pertimbangan perlunya kontrol terhadap

pemerintah, fleksibilitas bagi pelaksanaan tindakan kontrol

tersebut juga niscaya harus dipertimbangkan. Sehingga pada

analisis akhir akan muncul pertanyaan tentang prospek kasus

demikian di Indonesia. Pembahasan tentang sarana kontrol di

sini dibatasi hanya berkaitan dengan sarana kontrol formal,

yaitu institusi dalam rangka fungsi kontrol yang dibentuk oleh

negara dalam koridor asas legalitas.

1. Kontrol Yudisial

Sarana kontrol yang independensi dan imparsialitasnya

paling kuat adalah lembaga peradilan (yudisial). Upaya hukum

yudisial dalam rangka pengujian ini disebut judicial review.

Terkait dengan itu maka pertanyaan dasar untuk diajukan

adalah apakah judicial review merupakan sarana yang

memadai dalam rangka pengujian terhadap tindakan diskresi

Page 127: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

118

pemerintah, terutama segi efisiensi dan efektivitasnya sebagai

aktivitas yang bersifat goal-based? Hadjon memiliki pendirian

spesifik sebagai prinsip umum atas kasus ini sebagai berikut:

Dari segi sejarah lahirnya pemikiran untuk membedakan rechtmatigheidstoetsing dan doelmatigheidstoetsing ternyata bahwa pemikiran itu beranjak dari pemikiran tentang pemisahan kekuasaan antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan yudisial. Sebagai imbangan terhadap kekuasaan eksekutif untuk tidak mencampuri kekuasaan kehakiman (asas kekuasaan kehakiman yang merdeka), kekuasaan kehakiman pun tidak boleh mencampuri bidang kehidupan penguasa. Oleh karena itu peradilan tidak boleh melakukan doelmatigheidstoetsing.62

Hadjon selanjutnya memberikan pendapat yang bersifat

pengecualian atas pendapat sebelumnya di atas:

Pada prinsipnya peradilan tidak mencampuri kebijakan, jadi tidak mengukur perbuatan pemerintah yang berdasarkan kebijakan (op grond van beleidsmatigheid) namun hal itu hendaklah dilihat secara relatif, karena seperti telah disinggung dalam uraian sebelumnya, perbuatan penguasa (dengan memperhatikan asas keserasian yang bertumpu atas asas kerukunan) tidak hanya dinilai berdasarkan norma-norma yang zakelijk tetapi juga dinilai berdasarkan kepatutan yang berlaku dalam masyarakat.63

Pengertian untuk digaris bawahi dari pernyataan di atas

adalah asas yang menyatakan bahwa kebijakan tidak dapat

diganggu gugat tidak absolut, terutama jika kebijakan

tersebut adalah yang dimaksudkan di sini sebagai tindakan

diskresi. Manakala tindakan diskresi mengandung unsur

penyalahgunaan wewenang atau sewenang-wenang maka

imunitas tersebut menjadi hilang dan badan peradilan

memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian. Tetapi 62 Philipus M. Hadjon, Op.cit., h. 193. 63 Ibid.

Page 128: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

119

tatkala yang disengketakan adalah isu efisiensi atau

efektivitas (misalnya: apakah dalam pelaksanaannya tindakan

tersebut menemui tujuan/sasaran yang digariskan atau tidak;

apakah konsekuensi tindakan tersebut setara dengan biaya

atau energi yang dialokasikan – hal ini kaitannya dengan

pilihan atas sarana/cara; pilihan antara melakukan/tidak

melakukan tindakan), maka peran badan peradilan adalah

nihil belaka.

Berkenaan dengan aspek tujuan dari tindakan, yang

dapat diuji adalah apakah tujuan yang menjadi dasar dari

tindakan tepat atau tidak. Di sini pengujian adalah

berdasarkan tolok ukur Asas-asas Umum Pemerintahan yang

Baik, yaitu asas larangan penyalahgunaan wewenang dan

asas larangan bertindak sewenang-wenang dengan satu isu

sentral apakah pejabat pemerintah bertindak good faith. Asas

larangan penyalahgunaan wewenang memiliki parameter: (1)

tindakan bertentangan dengan tujuan

kekuasaan/kewenangan; (2) tujuan yang tidak tepat; (3)

penggunaan kewenangan secara patut; (4) penggunaan

kewenangan sesuai dengan tujuannya. Sementara parameter

asas larangan bertindak sewenang-wenang meliputi: (1)

tindakan terbukti unreasonable; (2) tindakan sesuai dengan

kepentingan yang dituju tetapi tidak dapat

diterima/unacceptable; (3) tindakan tidak dilakukan dengan

reasonableness; (4) tindakan harus dilakukan in fairness. 64

Tetapi manakala tujuan tidak mengandung elemen

64 Principles and Criteria for the Administration dalam G.H. Addink, Op.cit.

Page 129: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

120

penyalahgunaan wewenang atau tindakan sewenang-wenang

menurut parameter di atas, dan dalam pelaksanaan tujuan

melalui tindakan dipermasalahkan apakah tujuan tercapai

atau tidak, atau apakah ada alternatif tindakan lain untuk

mencapai tujuan, maka secara tegas hal itu di luar

kompetensi lembaga yudisial; hal itu murni isu political

questions (kebijakan pemerintah tidak dapat diganggu gugat

oleh pengadilan).

Menentukan apakah yang menjadi pokok sengketa

merupakan political questions atau legal questions merupakan

isu yang sulit dalam praktik. Tetapi paling tidak, pembedaan

tersebut sangat membantu mempermudah pekerjaan lembaga

peradilan (khususnya untuk menghindari ketegangan dengan

pemerintah yang memiliki legitimasi demokratis sangat kuat

dan dipercaya sebagai pemangku public good). Dalam konteks

demikian, ada banyak contoh perbandingan kasus yang layak

dijadikan sebagai pedoman. Pertama, Schleyer Kidnapping

Case, sebuah kasus yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi

Jerman berkenaan dengan tindakan pemerintah Jerman

melakukan negosiasi dengan teroris untuk pembebasan

sandera. Tindakan pemerintah Jerman tersebut oleh

penggugat dipermasalahkan berdasarkan Art. 2.2 UUD

Jerman tentang jaminan terhadap hak untuk hidup. Dalam

kasus ini Mahkamah Konstitusi Jerman berpendirian bahwa

isu taktikal dalam rangka pembebasan sandera dari tangan

teroris merupakan diskresi pemerintah kecuali terbukti

sebaliknya bahwa pemerintah bertindak dengan itikad buruk

Page 130: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

121

dengan tindakan diskresinya tersebut, maka hal ini

merupakan tindakan sewenang-wenang.65

Kedua, Chemical Weapons Case, yang juga diajukan ke

Mahkamah Konstitusi Jerman. Yang menjadi isu dalam kasus

ini adalah upaya penggugat untuk menghalangi penyimpanan

gas saraf dan bahan-bahan berbahaya lainnya untuk

kepentingan militer di dalam wilayah Jerman berdasarkan Art.

2.2. UUD Jerman. Konsisten dengan kasus pertama, dalam

kasus ini Mahkamah Konstitusi mengakui bahwa UUD

Jerman memberikan kekuasaan diskresi kepada pemerintah

untuk mengadakan perjanjian dalam rangka penyimpanan gas

saraf dan bahan berbahaya lainnya tersebut. Oleh karena itu,

yang dipermasalahkan kemudian adalah: whether its political

judgment had been exercised without mendacious arbitrariness

or willful disregard of the facts. Jika yang terjadi adalah

sebaliknya, maka tindakan diskresi tersebut akan

dipersalahkan dengan basis ‘bad faith’ atau ‘arbitrariness’.66

Franck menyimpulkan prinsip umum berkenaan dengan

kasus-kasus pengujian tindakan diskresi pemerintah oleh

pengadilan di Jerman, berdasarkan analisis kasus yang

dilakukannya sebagai berikut:

The judges will reverse the political decision only where the petitioner can demonstrate that the government was acting in bad faith: if, for example, it can be shown that an action purportedly taken to pursue a lawful objective (to strength NATO defenses) was actually motivated by an unlawful one (to enrich the minister of defense or one of his constituents).67

65 Thomas M. Franck, Political Questions/Judicial Answers: Does the Rule of Law Apply to Foreign Affairs, New Jersey: Princeton University Press, 1992, h. 117. 66 Ibid., h. 119. 67 Ibid., h. 118.

Page 131: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

122

Metode pengujian demikian, mengacu pada prinsip

umum/doktrin yang dikemukakan Franck, sangat mungkin

diterapkan di Indonesia.

Berkenaan dengan isu HAM, pengadilan nampak lebih

sensitif berkenaan dengan pengujian tindakan diskresi

pemerintah.68 Misalnya di AS, contoh mutakhir adalah kasus

Hamdi v. Rumsfeld 542 U.S. 507 (2004). Dalam kasus ini,

Supreme Court of the U.S. tidak memasalahkan kebijakan

perang melawan teror yang dijalankan oleh pemerintahan

Bush karena kebijakan tersebut secara teknis sangat sulit

dinilai oleh pengadilan (dan para sarjana sepakat dengan isu

ini 69 ). Berkenaan dengan isu kapasitas pengadilan untuk

menangani isu ini, Supreme Court of the U.S. mengatakan: “it

does not infringe on the core role of the military for the courts to

exercise their own time-honored and constitutionally mandated

roles of reviewing and resolving claims like those presented

here.” (535) 70 Selanjutnya Supreme Court of the U.S.

mengatakan:

we necessarily reject the Government’s assertion . . . that the courts must forego any examination of the individual case. . . . [Such an assertion] cannot be mandated by any reasonable view of separation of powers, as this approach serves only to condense power into a single branch of government. We have long since made clear that a state of war is not a blank check for the President

68 Ibid., h. 63-90. 69 Eric A. Posner & Adrian Vermeule, Terror in Balance: Security, Liberty and the Courts, Oxford: Oxford University Press, 2007, h. 273-275. 70 Jordan J. Paust, Beyond the Law: The Bush Administration’s Unlawful Responses in the ‘War’ on Terror, Cambridge: Cambridge University Press, 2007, h. 81.

Page 132: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

123

when it comes to the rights of the Nation’s citizens. (535-536)71

Argumen tersebut diperkuat oleh Justice Souter dalam posisi

concurring: “In a government of separated powers, deciding

finally on what is a reasonable degree of guaranteed liberty

whether in peace or war (or some condition in between) is

notwell entrusted to the Executive.” (545)72 Bahkan juga Justice

Scalia dalam posisi dissenting: “Absent suspension [of

habeas], . . . the Executive’s assertion of military exigency has

not been thought sufficient to permit detention without charge”

and “[t]he very core of liberty secured by our Anglo-Saxon

system of separated powers has been freedom from indefinite

imprisonment at the will of the Executive.” (554–55)73

Prinsip penting berkenaan dengan paparan di atas

adalah bahwa kontrol yudisial tidak terelakkan dalam rangka

menanggulangi penyalahgunaan kekuasaan diskresi

pemerintah. Meskipun tindakan diskresi dapat dirasionalisasi

oleh tujuan yang tepat namun tidak berarti bahwa pemerintah

boleh menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang

dicanangkannya. Pemerintah (pejabat pemerintah) terikat oleh

asas good faith dalam melakukan tindakan diskresi (yaitu

untuk tidak melakukan tindakan menyalahgunakan

wewenang atau tidak bertindak sewenang-wenang).

Pengadilan juga memiliki kapasitas yang memadai

untuk menangani perkara demikian (tindakan diskresi

71 Ibid. 72 Ibid., h. 230. 73 Ibid.

Page 133: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

124

pemerintah dalam situasi sulit seperti apapun). Henkin et.al.,

memberikan argumen yang elokuen atas kapasitas pengadilan

dalam rangka ‘to say what the law is’ meskipun dalam kasus-

kasus sulit seperti peristiwa 9/11:

Throughout the history of this Republic, the Judiciary has adjudicated cases under the law, and in doing so has ensured the Executive’s compliance with constitutional and statutory protections. However untrained the federal judiciary may be ‘in executing war plans’, it is fully capable of interpreting the Constitution, domestic and international law, and articulating the legal principles that restrain executive overreaching in times of security threat.74

Belajar dari pengalaman beberapa kasus penting di

Indonesia seperti: kasus release and discharge BLBI,

Bulog/Akbar Tandjung, maupun bail out Bank Century, di

mana kasus-kasus ini sarat muatan politik dan menimbulkan

opini publik yang kuat, maka yang dapat direkomendasikan

oleh studi ini ialah keadekuatan aplikabilitas dari dasar-dasar

pengujian yang ada terhadap kasus-kasus tersebut,

khususnya untuk menjawab apakah tindakan diskresi yang

dilakukan pemerintah justifiabel atau tidak (ada/tidak

tindakan penyalahgunaan wewenang atau tindakan sewenang-

wenang). Apabila terbukti ex nunc terdapat ketidaksesuaian

antara outcome tindakan dengan tujuan dan kemudian terjadi

debat publik yang mengarah pada tuntutan

pertanggungjawaban individual maka dalam kasus ini hukum

memberikan jalan keluar kepada hakim untuk berani

menerapkan asas in dubio pro reo dan menerapkan apa yang 74 Louis Henkin et.al., Brief of Louis Henkin, Harold Hongju Koh, and Michael H. Posner as Amici Curiae in Support of Respondents in Donald Rumsfeld v. Jose Padilla & Donna R. Newman, the Supreme Court of the United States No. 03-1027, h. 4.

Page 134: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

125

selama ini sudah berjalan dalam yurisprudensi Indonesia

yaitu sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang

negatif.

Menutup pembahasan di sini penulis akan mengutip

sebuah yurisprudensi kasus penyalahgunaan DO Gula,

Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 8 Januari 1966, No.

42K/Kr/1965 atas diri Machroes Effendi yang dituntut sebagai

pegawai negeri memakai kekuasaan yang diperoleh dari

jabatannya melakukan penggelapan berkali-kali (vide Pasal

372 jo. 64(1) KUHP). 75 Duduk perkara kasus ini sebagai

berikut:

Terdakwa sebagai Patih pada Kantor Bupati/Kepala Daerah Tingkat II Sambas, pada kira-kira bulan Juni 1962, telah mengeluarkan D.O. gula insentif padi yang menyimpang dari tujuannya. Sesungguhnya gula insentif tadi hanya boleh dikeluarkan dalam rangka pembelian pada untuk Pemerintah dari para petani dan menjual gula kepada mereka yang menjual padi kepada Pemerintah. Ternyata terdakwa telah mengeluarkan D.O. gula insentif padi tersebut kepada seorang pemborong, PKPN Singkawang, keperluan Hari Natal, para pegawai Kabupaten, untuk Front Nasional, Kodim, dan untuk keperluan-keperluan lain, seperti untuk ongkos pengangkutan, giling, buruh, dan jasa-jasa lain. Kelebihan harga penjualannya oleh terdakwa digunakan untuk pembangunan-pembangunan daerah, diantaranya untuk menyelesaikan rumah milik Pemerintah Daerah.

Pengadilan Negeri Singkawang dalam putusannya tanggal 24

September 1964 No. 6/1964/Tolakan menghukum terdakwa

dengan hukuman 1 tahun 6 bulan. Pengadilan Tinggi Jakarta

dalam putusannya tanggal 27 Januari 1965 No. 146/1964 75 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 2002, h. 137-139.

Page 135: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

126

PT.Pidana melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum,

dan Mahkamah Agung menyetujui pertimbangan Pengadilan

Tinggi.

Pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi:

Pengeluaran-pengeluaran D.O. di atas sesungguhnya merupakan tindakan-tindakan terdakwa yang menyimpang dari tujuan yang ditentukan yang berwajib. Akan tetapi perbuatan-perbuatan terdakwa tersebut, jika ditinjau dari sudut kemasyarakatan, yang dengan perbuatan terdakwa tersebut mendapat pelayanan, menurut Pengadilan Tinggi merupakan perbuatan yang menguntungkan masyarakat daerah itu dan karenanya melayani kepentingan umum, meskipun yang mendapat pelayanan bukan kepentingan ang dimaksud. Kebijaksanaan semacam itu, mengingat akan keadaan di sementara daerah, yang dihadapi oleh aparatur pemerintah daerah, kadang-kadang terpaksa ditempuh demi kelancaran pembangunan daerah atau demi kepentingan masyarakat daerah, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa kebijaksanaan tersebut tidak menguntungkan Pemerintah Daerah. Tidak terbukti bahwa terdakwa mengambil atau mendapatkan keuntungan dari perbuatannya itu. Tidak pula terbukti bahwa negara mendapat kerugian dari perbuatan-perbuatan terdakwa tersebut, yang dapat dibuktikan dari fakta:

1. Pembelian padi untuk pemerintah tidak menjadi kurang oleh tindakan terdakwa tersebut; 2. Gula yang oleh terdakwa diberikan kepada orang-orang yang tidak haknya, tidak dijual dengan melanggar harga resmi.

Faktor-faktor kepentingan umum yang terlayani serta faktor-faktor tidak adanya keuntungan yang masuk ke dalam saku terdakwa dan akhirnya faktor tidak dideritanya kerugian oleh Negara, merupakan faktor-faktor yang mempunyai nilai lebih dari cukup guna menghapuskan sifat bertentangan dengan hukum pada perbuatan-perbuatan terdakwa, yang terbukti formil masuk dalam rumusan tindak pidana.

Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung:

Bukanlah Pengadilan Tinggi dalam putusannya menganggap 3 faktor tersebut sebagai unsur-unsur, melainkan adanya 3

Page 136: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

127

faktor tadi dianggap menghapuskan sifat melawan hukum dari tindakan terdakwa. Mahkamah Agung pada asasnya dapat membenarkan pendapat dari Pengadilan Tinggi tersebut, bahwa sesuatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana misalnya 3 faktor tersebut di atas yang oleh Pengadilan Tinggi76 dianggap ada dalam perkara penggelapan yang formil terbukti dilakukan oleh terdakwa itu. Berhubung dengan itu dengan tepat Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya menyatakan perbuatan-perbuatan yang terbukti dilakukan oleh terdakwa bukanlah merupakan suatu tindak pidana.

Berdasarkan pembahasan di atas, penulis akan melakukan

restatement atas beberapa poin yang prinsip berkenaan

dengan isu kontrol yudisial terhadap tindakan diskresi

pemerintah. Pertama, prinsip umum yang berlaku adalah

kebijakan (tindakan diskresi) tidak dapat digugat. 77 Kedua,

prinsip umum ini direlativisir dengan prinsip khusus yaitu

sepanjang terjadi tindakan penyalahgunaan wewenang atau

tindakan sewenang-wenang maka imunitas tersebut luruh.

Ketiga, manakala tindakan penyalahgunaan wewenang

dan/atau tindakan sewenang-wenang tidak terbukti dan ex

nunc dipermasalahkan segi efisiensi-efektivitas, maka

pengadilan dapat memilih mengikuti pendekatan political

questions untuk menolak mengadili kasus tersebut. Keempat,

marginal toetsings tentang tujuan sebagai dasar tindakan 76 Maksudnya: faktor-faktor: negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung. 77 Putusan-putusan Mahkamah Agung RI yang mengukuhkan isu ini: Putusan No. 157/Sip/1960 (perkara Lebanus Tambunan); Putusan No. 319K/Sip/1968 (perkara mbok Kromoredjo).

Page 137: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

128

diskresi sangat dimungkinkan berdasarkan kriteria

penyalahgunaan wewenang atau tindakan sewenang-wenang

dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Kelima,

sanksi pidana sebagai bentuk pertanggungjawaban individual

pejabat yang melakukan tindakan diskresi sangat

dimungkinkan sepanjang terbukti unsur tindakan

penyalahgunaan wewenang atau tindakan sewenang-wenang

(i.c. tidak mungkin lagi diterapkan ajaran sifat melawan

hukum materiel dalam fungsinya yang negatif untuk kasus

tersebut). Jika terbukti sebaliknya, maka ranah

pertanggungjawabannya jatuh pada pemerintah/negara.

Prinsip-prinsip yang dikemukakan di atas sekaligus juga

dimaksudkan untuk memberikan tempat yang layak bagi

tindakan diskresi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan yang dikaidahi oleh asas the Rule of Law.

Tindakan diskresi dibutuhkan karena semakin kompleksnya

tuntutan kepada pemerintah dalam rangka salus populi. Oleh

karena itu itikad baik pada pejabat pemerintah yang

melakukan tindakan diskresi harus diberikan encouragement,

bukan sebaliknya.

2. Kontrol Politik

Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, lembaga yang

memiliki kekuasaan secara spesifik untuk melakukan

pengawasan terhadap pemerintah adalah DPR (Dewan

Perwakilan Rakyat). Berdasarkan Pasal 20A Ayat (1) UUD

1945: “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi,

fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.” Kemudian Pasal

20A Ayat (2) UUD 1945: “Dalam melaksanakan fungsinya,

Page 138: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

129

selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang

Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak

interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.” Hak-

hak DPR yang disebutkan di dalam Pasal 20A Ayat (2) UUD

1945 adalah hak-hak yang sangat fundamental fungsinya

dalam rangka pelaksanaan pengawasan DPR terhadap

pemerintah.

Secara teori, ada enam bidang pengawasan yang dapat

dijalankan oleh DPR terhadap. Pertama, pengawasan terhadap

penentuan kebijakan (control of policy making). Kedua,

pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy

executing). Ketiga, pengawasan terhadap penganggaran dan

belanja negara (control of budgeting). Keempat, pengawasan

terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja negara (control of

budget implementation). Kelima, pengawasan terhadap kinerja

pemerintahan (control of government performances). Keenam,

pengawasan terhadap pengangkatan pejabat public (control of

political appointment of public officials) dalam bentuk

persetujuan atau penolakan, ataupun dalam bentuk

pemberian pertimbangan oleh DPR.78

Pengawasan yang dijalankan oleh DPR kepada

pemerintah adalah pengawasan politik. Dalam pengertian

bahwa pengawasan oleh DPR adalah terkait fungsinya sebagai

representasi aspirasi rakyat. Pertanggungjawaban pemerintah

melalui proses pengawasan politik ini adalah juga

pertanggungjawaban politik. Sehingga adalah lazim jika dasar 78 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, h. 36.

Page 139: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

130

pengujian dalam pengawasan politik ini adalah pertimbangan

politik (political considerations).

Problematik dari pengawasan demikian adalah

objektivitas, walaupun starting point DPR dalam melakukan

pengawasan selalu berkedok hukum (peraturan perundang-

undangan, asas-asas hukum, asas efisiensi dan efektivitas).

Tetapi karena proses dalam pengawasan adalah proses politik,

maka pertimbangan-pertimbangan hukum sering menjadi

kabur. Misalnya, pengawasan tersebut kemudian menjadi alat

untuk menaikkan bargaining position.

Dalam bentuknya yang paling kuat, mekanisme

pengawasan yang dilakukan oleh DPR kepada pemerintah

dapat berujung pada langkah pemakzulan Presiden sebagai

Chief of Executive melalui Mahkamah Konstitusi. Proses

demikian sangat panjang dan rumit, serta dengan batasan-

batasan yuridis-konstitusional yang ketat (vide Pasal 7A, 7B,

Pasal 24C UUD 1945). Peranan Mahkamah Konstitusi dalam

kasus ini dapat menjadi puncak dari seluruh mekanisme

kontrol yang dijalankan oleh DPR kepada pemerintah guna

mengakhiri seluruh kontroversi politik yang terjadi dan untuk

menciptakan situasi kepastian hukum kembali.

3. Kontrol Administratif

Kontrol administratif atas tindakan diskresi pemerintah

dapat dilakukan baik secara internal maupun eksternal. 79

Basis rasionalisasinya ialah tindakan pemerintah, termasuk di 79 Dasar pembedaan internal dan eksternal ini adalah: “review is internal if it takes place within the institution in which the original decision-maker was located at the time the decision was made, but external if it takes place within a different institution.” Peter Cane, Administrative Tribunals and Adjudication, Oxford-Portland: Hart Publishing, 1999, h. 7.

Page 140: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

131

dalamnya tindakan diskresi, sangat teknis, sehingga

memerlukan keahlian teknis pemerintahan untuk melakukan

pengujian tindakan diskresi pemerintah tersebut. Sehingga

pemerintah sendiri yang paling kompeten dan paling

berpengalaman untuk melakukan pengujian. Misalnya

berkenaan dengan pengujian atas dasar asas-asas efisiensi

dan efektivitas.

Dalam unit-unit pemerintahan, model kontrol demikian

sifatnya adalah inheren dalam pola hubungan hirarkis atasan-

bawahan. Dengan atau tanpa kewenangan atributif,

kewenangan kontrol dari atasan kepada bawahan senantiasa

merupakan keniscayaan dengan berdasarkan kaidah

hubungan kerja. Kontrol demikian memiliki satu keunggulan

yaitu untuk menghindari ketegangan dengan badan

pemerintahan yang lain. Sementara kelemahannya ialah soal

objektivitas. Karena berada dalam satu korps maka yang

menjadi isu ialah inkompatibilitas dengan asas nemo iudex in

causa sua.

Satu hal yang prinsip untuk ditegaskan di sini ialah

selemah apapun sarana kontrol tersebut namun dia tetap

adalah sarana kontrol. Setidaknya ada hal-hal tertentu yang

dapat dilakukan dengan itu, misalnya mengurangi potensi

penyalahgunaan kekuasaan, tindakan sewenang-wenang, atau

setidak-tidaknya meminimalisir inefisiensi dan inefektivitas

dalam tindakan-tindakan pemerintah (khususnya tindakan

diskresi). Kalau terdapat kekurangan-kekurangan, maka yang

seharusnya dilakukan adalah bagaimana supaya dapat

dilakukan penguatan fungsi.

Page 141: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

132

Di Indonesia, keberadaan sarana kontrol administratif

ini secara umum dikenal dengan istilah upaya administratif

(Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986). Upaya administratif ini

memiliki dua jenis, yaitu keberatan (ditujukan kepada instansi

yang sama) dan banding administratif (ditujukan kepada

instansi atasan atau instansi lain). Lembaga ini memiliki

hubungan yang erat dengan Peradilan Tata Usaha Negara.

Manakala suatu kasus diperiksa terlebih dahulu melalui

upaya administratif maka gugatan langsung ditujukan kepada

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (Pasal 51 Ayat (3) UU No.

5 Tahun 1986). Namun karena yurisdiksi ratione materiae

Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia terbatas hanya

untuk tindakan pemerintah dalam bentuk Keputusan TUN,

maka lembaga ini tidak dapat menjangkau bentuk

perlindungan hukum selain atas tindakan pemerintah dalam

wujud Keputusan TUN.

Page 142: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

133

BAB IV.

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kekuasaan diskresi adalah jenis kekuasaan pemerintah

yang spesifik dan make sense tidak hanya secara kekuasaan,

tetapi juga secara yuridis dan filosofis.

Dari perspektif analitik, perluasan fungsi pemerintahan

dalam menjawab makin meluasnya tuntutan kemasyarakatan

terhadap pemerintah merupakan dasar lahirnya konsep

kekuasaan diskresi sebagai kebebasan pemerintah.

Dari perspektif yuridis, kekuasaan diskresi adalah

sebuah keharusan karena kurang memadainya skema legislasi

dari legislator untuk diimplementasikan oleh pemerintah (a.l.

adanya kaidah kabur dan gap atau lacunae dalam legislasi).

Dalam pengertian ini kekuasaan diskresi pada pemerintah

adalah bentuk delegasi dari legislator kepada pemerintah di

mana pemerintah dapat bertindak secara mandiri dan

sekaligus bertanggung jawab secara mandiri atas tindakannya

dalam skema kekuasaan diskresi. Sebagai bentuk kekuasaan

yuridis, pemerintah selaku pembuat tindakan diskresi

memiliki imunitas atas tindakannya tersebut.

Dari perspektif filosofis, kekuasaan diskresi adalah

kekuasaan yang bertujuan, bukan kekuasaan buta. Aspek

aksiologis dari kekuasaan diskresi adalah pengupayaan

ketercapaian tujuan hidup paling fundamental dari negara

yaitu salus populi atau public good. Pengertian yang

Page 143: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

134

fundamental di sini adalah asas legalitas merupakan sarana

dalam rangka salus populi/public good. Oleh karena itu,

kedudukan salus populi/public good tidak dapat

dikesampingkan oleh asas legalitas (tujuan tidak boleh

dikesampingkan oleh sarana).

2. Kekuasaan diskresi pemerintah beroperasi di bawah

suatu sistem hukum yaitu the Rule of Law. Di bawah

preskripsi asas the Rule of Law, kekuasaan diskresi

pemerintah hidup berdampingan dengan asas responsible

government. Sehingga oleh karena itu terdapat dasar-dasar

pengujian HUKUM terhadap tindakan diskresi pemerintah,

dalam hal ini adalah Principles of Good Governance dan Asas-

asas Efisiensi dan Efektivitas.

Dasar-dasar pengujian yang dikemukakan di atas

memiliki tiga fungsi dalam hubungan dengan kekuasaan

diskresi pemerintah.

Pertama, kompensasi atas hilangnya jaminan dari asas

legalitas.

Kedua, sebagai dasar argumen bagi tindakan.

Ketiga, sebagai dasar legitimasi kemasyarakatan yang

menuntut adanya fairness dan justice bagi tindakan diskresi

pemerintah.

Dalam pengertian demikian maka tindakan diskresi

pemerintah tidak boleh menghalalkan segala cara untuk

mencapai tujuan yang dicanangkannya meskipun tujuan

tersebut legitimate. Dasar-dasar pengujian HUKUM terhadap

Page 144: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

Dasar-Dasar Pengujian (Toetsingsgronden) Terhadap Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

135

tindakan diskresi pemerintah ini aplikabel baik dalam rangka

kontrol yudisial, politik maupun administratif.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas penulis menyarankan

dua hal berkenaan dengan pendayagunaan kekuasaan

diskresi oleh pemerintah.

1. Kekuasaan diskresi adalah kekuasaan yang bertujuan

legitimate. Sedasar dengan itu maka penetapan tujuan

berkenaan dengan tindakan diskresi haruslah tujuan yang

benar (supaya tidak terjadi tindakan penyalahgunaan

wewenang). Selain itu, pejabat pemerintah harus memiliki

sikap batin good faith dalam melakukan tindakan diskresi

(supaya tidak terjadi tindakan sewenang-wenang).

2. Berdasarkan asas responsible government, kekuasaan

diskresi pemerintah bukan kekuasaan absolut. Oleh karena

itu tindakan diskresi pemerintah dapat diuji keabsahannya

secara HUKUM. Terkait dengan hal itu maka penulis

menyarankan supaya pengujian tindakan diskresi pemerintah

atas keabsahannya secara HUKUM harus dilakukan:

a. Secara cermat dan berhati-hati,

b. Selalu mempertimbangkan persoalan teknis

pemerintahan yang sangat kompleks serta sikon sangat sulit

yang menjadi latar belakang dari tindakan diskresi pemerintah,

c. Kasus per kasus (case by case) dengan tidak

melakukan generalisasi atas suatu tindakan diskresi

pemerintah dan dasar-dasar pengujiannya.

Page 145: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

136

Page 146: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

137

DAFTAR BACAAN Buku Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006

_____, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta: Rajawali Press, 2007. Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1986. Bailey, Jeremy D., Thomas Jefferson and the Executive Power, Cambridge:

Cambridge University Press, 2007. Ball, Terence, ed., Hamilton, Madison and Jay: The Federalist with Letters

of Brutus, Cambridge: Cambridge University Press, 2003 Barak, Aharon, Purposive Interpretation in Law, New Jersey: Princeton

University Press, 2005. Basah, Sjachran, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi

di Indonesia, Bandung: Alumni, 1985. _____, Perlindungan Hukum terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara,

Bandung: Alumni.1986. Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1981. _____, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar

Harapan, 1984. Cane, Peter, Administrative Tribunals and Adjudication, Oxford-Portland:

Hart Publishing, 2009. Corwin, Edward S., The Constitution and What It Means Today, New Jersey-

Princeton: Princeton University Press, 1978. Crabbe, V.C.R.A.C., Legislative Drafting, London: Cavendish Publishing

Ltd., 1994.

Page 147: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

138

Craig, P.P., Administrative Law, London: Sweet & Maxwell, 1983. Fatovic, Clement, Outside the Law: Executive and Emergency Power,

Baltimore: The John Hopkins University Press, 2009. Fletcher, George P., Basic Concepts of Legal Thought, New York-Oxford:

Oxford University Press, 1996. Franck, Thomas M., Political Questions/Judicial Answers: Does the Rule of

Law Apply to Foreign Affairs, New Jersey: Princeton University Press, 1992.

Hadjon, Philipus M., Pengertian-pengertian Dasar tentang Tindak

Pemerintahan (Bestuurshandeling), Surabaya: Djumali, 1985. _____, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu,

1987. _____, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet – En Rechtmatig Bestuur),

Surabaya: Yuridika, 1992. _____, et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 2002. Henkin, Louis, The Rights of Man Today, New York: Columbia University

Press, 1988. Jayawickrama, Nihal, The Judicial Application of Human Rights Law:

National, Regional and International Jurisprudence, Cambridge: Cambridge Univerity Press, 2002

Koesoemahatmadja, Djenal Hoesen, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha

Negara, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990. Kurnia, Titon Slamet, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di

Indonesia, Bandung: Alumni, 2007. Lazar, Nomi Claire, States of Emergency in Liberal Democracies,

Cambridge: Cambridge University Press, 2009. MacCormick, Neil, Legal Reasoning and Legal Theory, Oxford: Oxford

University Press, 1978.

Page 148: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

139

Mathis, Klaus, Efficiency Instead of Justice? Searching for the Philosophical

Foundations of the Economic Analysis of Law, Dordrecht: Springer, 2009.

McCoubrey, Hilaire & Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, London:

Blackstone Press Limited, 1996. Mulyosudarmo, Suwoto, Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoretis dan Yuridis

terhadap Pidato Nawaksara, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997. Muslimin, Amrah, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang

Administrasi dan Hukum Administrasi, Bandung: Alumni, 1985. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2009. Nickel, James W., Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Panizzon, Marion, Good Faith in the Jurisprudence of the WTO: The

Protection of Legitimate Expectations, Good Faith Interpretation and Fair Dispute Settlement, Oxford-Portland: Hart Publishing, 2006.

Paust, Jordan J., Beyond the Law: The Bush Administration’s Unlawful

Responses in the ‘War’ on Terror, Cambridge: Cambridge University Press, 2007.

Posner, Eric A. & Adrian Vermeule, Terror in Balance: Security, Liberty

and the Courts, Oxford: Oxford University Press, 2007. Pound, Roscoe, Law Finding Through Experience and Reason, Athens:

University of Georgia Press, 1960. Purbopranoto, Koentjoro, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan

Peradilan Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1978. Rangkuti, Siti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan

Nasional, Surabaya: Airlangga University Press, 2000. Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Page 149: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

140

Sapardjaja, Komariah Emong, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 2002.

Sieghart, Paul, The International Law of Human Rights, Oxford: Clarendon

Press, 1983. Spelt, N.M. Spelt, & J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan,

Surabaya: Yuridika, 1993. Sueur, Andrew Le, Javan Herberg & Rosalind English, Principles of Public

Law, London: Cavendish Publishing Company, 1999. Tamanaha, Brian Z., On the Rule of Law, Cambridge: Cambridge University

Press, 2004. _____, Law as a Means to an End: Threat to the Rule of Law, Cambridge:

Cambridge University Press, 2006. Utrecht, E., Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta:

Ichtiar, 1962. Wijoyo, Suparto, Refleksi Mata Rantai Pengaturan Hukum Pengelolaan

Lingkungan secara Terpadu: Studi Kasus Pencemaran Udara, Surabaya: Airlangga University Press, 2005

Jurnal Barnett, Randy E., Who’s Afraid of Unenumerated Rights?, University of

Pennsylvania Journal of Constitutional Law, Vol. 9, No. 1, 2006. Indriyanto Seno Adji, Perspektif Ajaran Perbuatan Melawan Hukum

terhadap Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 25, No. 4, Oktober 2007.

Goldsmith, Jack, & John F. Manning, The President’s Completion Power,

Yale Law Journal, Vol. 115, No. 9, 2006. Koh, Harold Hongju, Setting the World Right, Yale Law Journal, Vol. 115,

No. 9, 2006.

Page 150: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

141

Scalia, Antonin, The Rule of Law as a Law of Rules, The University of Chicago Law Review, Vol. 56, No. 4, 1989.

Sunstein, Cass R., Problems with Rules, California Law Review, Vol. 83, No.

4, 1995. _____, Beyond Marbury: The Executive’s Power To Say What the Law Is,

Yale Law Journal Vol. 115, No. 9, 2006. Kontribusi Hadjon, Philipus M., Analisis atas Putusan Perkara Ir. Akbar Tandjung

Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum Administrasi Negara, dalam Amir Syamsuddin, et.al., Putusan Perkara Akbar Tandjung (Analisis Yuridis Para Ahli Hukum), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.

Indriyanto Seno Adji, Catatan Terhadap Perkara Ir. Akbar Tandjung, dalam

Amir Syamsuddin, et.al., Putusan Perkara Akbar Tandjung (Analisis Yuridis Para Ahli Hukum), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.

Mangunsong, Parlin M., Pembatasan Kekuasaan Melalui Hukum

Administrasi Negara, dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2004.

Marzuki, H.M. Laica, Sambutan, dalam Abdul Latief, Hukum dan Peraturan

Kebijaksanaan (Beleidsregel), Yogyakarta: UII Press, 2005. Panjaitan, Saut P., Makna Dan Peranan Freies Ermessen Dalam Hukum

Administrasi Negara, dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2004.

Sinaga, Patuan, Hubungan Antara Kekuasaan dengan Pouvoir Discretionaire

dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, dalam S.F. Marbun, et.al., eds., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2004.

Tamanaha, Brian Z., A Concise Guide to the Rule of Law, dalam Gianluigi

Palombella & Neil Walker, eds., Relocating the Rule of Law, Oxford-Portland: Hart Publishing, 2009.

Page 151: DASAR-DASAR PENGUJIAN (Toetsingsgronden) TERHADAP …

142

Kamus Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, St. Paul-Minn.: West

Publishing Co., 1983. Hornby, A.S., Oxford Advanced Dictionary, Oxford: Oxford University

Press, 1983. Makalah Seminar, Artikel Surat Kabar/Majalah, Lain-lain Addink, G.H., Principles of Good Governance Reader, Utrecht: Faculteit

Rechtsgeleerheid-Universiteit Utrecht, 2003 (Diktat). Cox III, Raymond W., Accountability and Responsibility in Organizations:

The Ethics of Discretion, Paper presented at the “Ethics and Integrity in Governance Conference Leuven, Belgium June 2-5, 2005.

Henkin, Louis, et.al., Brief of Louis Henkin, Harold Hongju Koh, and

Michael H. Posner as Amici Curiae in Support of Respondents in Donald Rumsfeld v. Jose Padilla & Donna R. Newman, the Supreme Court of the United States No. 03-1027.

Kameo, Jeferson, Dapatkah Presiden Abaikan UU?, Suara Merdeka, 11 Mei

2007. Scheppele, Kim Lane, Law in a Time of Emergency: States of Exception and

the Temptations of of 9/11, Public Law and Legal Theory Research Papers Series, University of Pennsylvania Law School, Research Paper No. 60, 2004.

Surat Edaran Mahkamah Agung No. : M.A./Pemb./0159/77 (25 Februari

1977); Rumusan Kesimpulan-Kesimpulan Lokakarya, Pembangunan Hukum Melalui Peradilan, Lembang 31 Mei 1977.