Dari Teks Ke Ekonomi Politik_ Critical Discourse Analysis Dalam Kajian Media _ Abunavis's Weblog

13
1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 1/13 Abunavis’s Weblog blog-nya Anang Hermawan Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media Posted on Desember 24, 2007 | 10 Komentar Oleh : Anang Hermawan [1] The political economy of information, as reference, for a communication scientific field, is widely used as a generic term for the political and economic investigation of media discourse. As media construction, an information, frequently represent political and economical interests. Critical Discourse Analysis (CDA) become one important model to analyse relationship between reality,, ideology and power relation in media. Interdiciplinary combination of linguistic theory, critical theory, and political economics thought used to analyse how political or economical interests play in media appearance. Pendahuluan: Kajian tentang ekonomi politik informasi boleh jadi merupakan kajian yang relatif baru dalam studi ilmu komunikasi. Istilah ’ekonomi politik informasi’ atau acapkali dipertukarkan dengan istilah ’ekonomi politik media’ merupakan istilah generik yang digunakan secara luas untuk mengkombinasikan kerangka teoritik komunikasi dengan kerangka teoritik politik dan ekonomi. Keterikatan pada dimensi ekonomi dan politik menjadikan informasi menjadi ajang yang rentan terhadap pengaruh keduanya. Sebagai entitas yang dikonstruksi media, apa yang disebut sebagai ’informasi’ acapkali merepresentasikan kepentingan ekonomi sekaligus politik tertentu. Oleh karenanya tulisan ini akan mencoba memulai dari perspektif mikro, yakni bagaimana kita terlebih dahulu memandang informasi untuk lantas manapaki level yang lebih makro yakni bagaimana perspektif ekonomi politik lazim digunakan dalam melihat media. Secara epistemologis, menemukan relasi antara dimensi ekonomi dan politik dalam kerja media tentu saja menjadi pertanyaan paling menarik. Berangkat dari apa yang kita konsumsi sehari- hari-hari melalui media; berita, iklan, film, atau berbagai tayangan hiburan, kita akan menengarai terlebih dahulu pandangan ilmuwan sosial terhadap isi dari produk media itu. Sederhananya, apapun yang kita terima dari media itulah yang dalam tulisan ini kita sebut sebagai informasi. Informasi tersusun atas serangkaian bahasa yang terstruktur menurut aturan kelaziman pemakaian, sehingga antara iklan dan berita tentu mempunyai jenis, kadar dan muatan tersendiri. Sehingga dalam kajian mengenai ekonomi politik informasi, penekanan terhadap bahasa menjadi penting. Bahkan tulisan ini mencoba menengarai problem ekonomi dan politik media dengan berpijak pada analisis bahasa. Bahasa menempati posisi terpenting dalam proses produksi dan distribusi informasi. Isi media notabene merupakan sekumpulan bahasa yang terangkai menjadi satuan-satuan struktural yang dapat dimaknai dan dipertautkan dengan realitas. Kendati demikian, bahasa itu sendiri pada dasarnya adalah realitas tersendiri. Bahasa bukan saja mampu mengkorup realitas sedemikian rupa sehingga ia tidak selalu sama persis dengan realitas yang sesungguhnya, melainkan juga mampu

Transcript of Dari Teks Ke Ekonomi Politik_ Critical Discourse Analysis Dalam Kajian Media _ Abunavis's Weblog

Page 1: Dari Teks Ke Ekonomi Politik_ Critical Discourse Analysis Dalam Kajian Media _ Abunavis's Weblog

1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog

abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 1/13

Abunavis’s Weblogblog-nya Anang Hermawan

Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysisdalam Kajian MediaPosted on Desember 24, 2007 | 10 Komentar

Oleh : Anang Herm awan[1]

The political economy of information, as reference, for a communication scientific field, is

widely used as a generic term for the political and economic investigation of media discourse. As

media construction, an information, frequently represent political and economical interests.

Critical Discourse Analysis (CDA) become one important model to analyse relationship between

reality,, ideology and power relation in media. Interdiciplinary combination of linguistic theory,

critical theory, and political economics thought used to analyse how political or economical

interests play in media appearance.

Pendahuluan:

Kajian tentang ekonomi politik informasi boleh jadi merupakan kajian y ang relatif baru dalam

studi ilmu komunikasi. Istilah ’ekonomi politik informasi’ atau acapkali dipertukarkan dengan istilah

’ekonomi politik media’ merupakan istilah generik y ang digunakan secara luas untuk

mengkombinasikan kerangka teoritik komunikasi dengan kerangka teoritik politik dan ekonomi.

Keterikatan pada dimensi ekonomi dan politik menjadikan informasi menjadi ajang y ang rentan

terhadap pengaruh keduany a. Sebagai entitas y ang dikonstruksi media, apa y ang disebut sebagai

’informasi’ acapkali merepresentasikan kepentingan ekonomi sekaligus politik tertentu. Oleh

karenany a tulisan ini akan mencoba memulai dari perspektif mikro, y akni bagaimana kita terlebih

dahulu memandang informasi untuk lantas manapaki level y ang lebih makro y akni bagaimana

perspektif ekonomi politik lazim digunakan dalam melihat media.

Secara epistemologis, menemukan relasi antara dimensi ekonomi dan politik dalam kerja

media tentu saja menjadi pertany aan paling menarik. Berangkat dari apa y ang kita konsumsi sehari-

hari-hari melalui media; berita, iklan, film, atau berbagai tay angan hiburan, kita akan menengarai

terlebih dahulu pandangan ilmuwan sosial terhadap isi dari produk media itu. Sederhanany a, apapun

y ang kita terima dari media itulah y ang dalam tulisan ini kita sebut sebagai informasi. Informasi

tersusun atas serangkaian bahasa y ang terstruktur menurut aturan kelaziman pemakaian, sehingga

antara iklan dan berita tentu mempuny ai jenis, kadar dan muatan tersendiri. Sehingga dalam kajian

mengenai ekonomi politik informasi, penekanan terhadap bahasa menjadi penting. Bahkan tulisan ini

mencoba menengarai problem ekonomi dan politik media dengan berpijak pada analisis bahasa.

Bahasa menempati posisi terpenting dalam proses produksi dan distribusi informasi. Isi

media notabene merupakan sekumpulan bahasa y ang terangkai menjadi satuan-satuan struktural

y ang dapat dimaknai dan dipertautkan dengan realitas. Kendati demikian, bahasa itu sendiri pada

dasarny a adalah realitas tersendiri. Bahasa bukan saja mampu mengkorup realitas sedemikian rupa

sehingga ia tidak selalu sama persis dengan realitas y ang sesungguhny a, melainkan juga mampu

Page 2: Dari Teks Ke Ekonomi Politik_ Critical Discourse Analysis Dalam Kajian Media _ Abunavis's Weblog

1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog

abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 2/13

menciptakan citra y ang berlebihan terhadap realitas y ang sesungguhny a. Bahasa mampu

mengkonstruksi realitas, demikian ungkapan y ang lay ak digunakan untuk memperlihatkan

bekerjany a bahasa di dalam mereproduksi realitas y ang disampaikan pada khalay ak melalui media.

dalam ungkapan singkat, bahasa memproduksi wacana, y akni ketika suatu informasi direproduksi

melalui praktik berbahasa tertentu untuk menghubungkan antara realitas y ang diinformasikan

dengan khalay ak media.

Bahasa dan Representasi: Pergeseran T eoritik

Kemampuan bahasa untuk memproduksi wacana menjadi satu bahasan menarik untuk dikaji,

bukan saja karena penampilan realitas y ang boleh jadi berbeda akibat dari pemakaian bahasa,

melainkan juga karena pengguna bahasa (media) tak jarang menjadi suby ek y ang patut

dipertany akan posisiny a atas informasi y ang direproduksi. Isi media bukan saja menampilkan citra

realitas, melainkan sesungguhny a citra media itu sendiri. Oleh karenany a, kajian wacana bahasa

menjadi tolok ukur untuk menguji sejauh mana bahasa digunakan di dalam membentuk konstruksi

sosial. Informasi y ang tersaji dalam bentuk berita misalny a, pada tingkat tertentu dapat

mempengaruhi sudut pandang manusia tentang dunia di sekitarny a. Sementara, jika dipahami secara

mendetail, berita sendiri pada dasarny a merupakan serangkaian interpretasi y ang telah terolah

berdasar fakta atau peristiwa. Sehingga untuk mengatakan bahwa berita adalah sebuah entitas

oby ektif tentu masih meny impan sejumlah pertany aan. Di sisi lain, untuk mengatakan bahwa sebuah

berita disebut sebagai realitas suby ektif murni tentu juga tak beralasan karena untuk menuangkan

suatu peristiwa menjadi teks berita tentu menmbutuhkan persy aratan y ang disepakati bersama dan

dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Terkait dengan kajian wacana bahasa itu sendiri, pertama kali harus dipahami bahwa model

ini merupakan salah satu bagian dari pemikiran y ang memandang berita sebagai konstruksi sosial

y ang bersifat suby ektif. Pemikiran tentang wacana memperlihatkan wilay ah teoritik tersendiri dalam

mengkaji isi media. dalam catatan Eriy anto (2001: 4), setidakny a terdapat tiga pandangan mengenai

keterkitan antara bahasa dalam analisis wacana. Pandangan pertama berasal dari kaum posistiv isme

empiris y ang mey akini bahwa bahasa merupakan jembatan antara manusia dengan oby ek. Bahasa

dianggap sebagai sebuah realitas oby ektif y ang merefleksikan realitas begitu saja, oleh karenany a sisi

suby ektif pengguna bahasa diekslusikan sedemikian rupa. Distorsi realitas tentu saja tidak mendapat

tempat untuk diperhitungkan dalam pemahaman ini, karena bahasa dianggap telah merefleksikan

begitu saja realitas. Dalam kaitanny a dengan informasi alias produk media, paradigma posistiv isme-

empiris mey akini bahwa apa y ang dilakukan media seolah sekadar memindah realitas pertama

(realitas sosial) ke realitas kedua (realitas media) tanpa tendensi untuk melakukan distorsi.. Seolah-

olah, media adalah cermin dari realitas masy arakat y ang sesungguhny a. Dalam kajian media,

pandangan reflektif ini mendapat tempat melalui analisis isi kuantitatif y ang notabene merupakan

analisis struktural sederhana y ang tak mau terlibat jauh dengan kontek di luar bahasa.

Pada sisi lain, isi media tidak mungkin lagi dilihat sebagai cermin dari realitas. Key akinan ini

muncul dalam paradigma konstruktiv isme. Media tidak lay ak lagi disebut sebagai refleksi, melainkan

media sekadar ‘representasi’ apa y ang berlangsung dalam masy arakat, sehingga klaim-klaim oby ektif

untuk memahami bahasa media tidak lay ak lagi diterapkan. Pikiran manusia membawa konstruksi

nilai tertentu y ang kemudian dalam mewujud sebagai produk media. Dalam perspektif

konstruktiv isme, produk media adalah man made; sehingga suby ektiv itas manusia pembuatny a

adalah hal y ang wajar terjadi sehingga untuk disebut sebagai realitas oby ektif adalah tidak mungkin.

Menurut Eriy anto (2001:5), pandangan ini berasal dari tradisi fenomenologi y ang menolak

pemisahan antara suby ek dan oby ek bahasa. Suby ek atau pengguna bahasalah y ang menjadi faktor

IkutiFollow“Abunavis's Weblog”

Get every new post delivered

to your Inbox.

Enter your email address

Sign me up

Pow ered by WordPress.com

Page 3: Dari Teks Ke Ekonomi Politik_ Critical Discourse Analysis Dalam Kajian Media _ Abunavis's Weblog

1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog

abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 3/13

sentral dalam kegiatan wacana, karena suby eklah y ang mula-mula memilih dan menggunakan bahasa

untuk meny ampaikan maksud tertentu.

Perbedaan klaim dalam memandang produk media boleh jadi memang tak akan berakhir

karena berbedany a paradigma y ang digunakan. Lantas bagaimana dengan “makna” akhir dari suatu

informasi atau produk media? Jika dinaikkan ke tingkat epistemologis, paradigma posistiv isme

empirik dan paradigma konstruktiv is berimplikasi pada sejauh mana tingkat pemaknaan y ang dapat

dihasilkan praktik berbahasa media. Sebuah informasi akan berbeda makna ketika menengarainy a

menggunakan paradigma y ang berbeda dan sesungguhny a inilah y ang menjadi salah satu basis

perbedaan pemahaman di antara kedua paradigma tersebut.

Perbedaan cara pandang itu dapat kita tilik dengan menggunakan pola Lasswellian y ang

mengandaikan komunikasi sebagai who says what in which channel to whom with what effect

(McQuail & Windahl, 1993:13-14). Oleh Harold D. Lasswell, komunikasi digambarkan sebagai proses

transmisi pesan (isi media/produki media) dari komunikator (media) kepada komunikan

(pembaca/khalay ak) melalui media dengan efek tertentu. Muncul semenjak tahun 1948, rumusan

komunikasi Laswellian bertahan selama puluhan tahun. Model tersebut memperkuat diriny a dengan

beragam metodologi y ang mengindikasikan sejauh mana pengaruh media terhadap khalay ak. Model

komunikasi tersebut memperlihatkan perlakuan awal dari perilaku komunikasi pada paruh pertama

tahun 40-an y ang kurang lebih melibatkan komunikasi sebagai kegiatan persuasif. Secara implisit,

dapat dikatakan setiap pesan (isi media / informasi) memiliki efek sehingga dalam kaitanny a dengan

media massa, komunikasi mempuny ai kecenderungan untuk menggerakkan efek bagi khalay ak

(McQuail & Windahl, 1993: 14). Oleh karenany a dapat dikatakan bahwa peran penguasaan makna ada

pada komunikator. Jika terdapat kegagalan komunikasi, maka diperiksalah letak kegagalan itu pada

salah satu unsur y ang terdapat pada rumusan itu, entah pada komunikator atau isi pesanny a. Maka

metode analisis ini (content ananlysis) mendapat sandaran epistemologis dari paradigma ini.

Berbeda halny a dengan pendekatan posistiv isme empirik, perspektif konstruktiv is justru

memperhatikan peran penguasaan makna dari y ang semula condong pada komunikator, kini beralih

pada komunikan atau receiver. Peran lebih untuk memaknai diberikan kepada penerima pesan y ang

dalam konteks ini istilahny a bukan lagi komunikan melainkan reader atau ’pembaca’. Setiap khalay ak

y ang dikenai message adalah pembaca. Membalik model komunikasi Laswellian, peran y ang aktif

dari pembacalah y ang kini menentukan makna, sehingga produk media tidak lay ak lagi menduduki

peran sebagai message, melainkan justru sebagai ”teks” y ang maknany a akan sangat tergantung

kepada kemampuan pembaca untuk menafsirkan. Oleh karenany a, dalam perspektif ini tidak ada lagi

apa y ang disebut sebagai kegagalan komunikasi, karena komunikator pada hakikatny a telah

kehilangan kekuasaan untuk memaksa makna sesuai keinginan. Komunikator boleh saja mempuny ai

maksud tertentu atas teks y ang ditransmisikan, tetapi persoalan pemahaman terhadap makna akhir

dari teks akan sangat tergantung pada kemampuan pembaca y ang puny a kebebasan penuh

menafsirkan. Isi dari media bukan lagi sebuah produk y ang selalu lentur terhadap perubahan dan

perbedaan makna, karena setiap ’reader’ secara bebas memaknai apa y ang mereka baca.

Dari perspektif terakhir, pengertian komunikasi pun sewajarny a berubah. Dalam bahasa

Fiske, komunikasi adalah produksi dan pertukaran makna (Fiske, 1990: 1). Paralel dengan pengertian

itu, sebuah produk media lantas tidak lay ak lagi untuk disebut sebagai refleksi, melainkan

representasi. Konsep mengenai ’representasi’ itu sendiri hadir menempati tempat baru dalam studi

komunikasi dan kebuday aan buday a. Tumbuhny a kajian kebuday aan dalam studi ilmu sosial dan

humaniora cenderung menempatkan pentingny a makna. Berkaitan dengan komunikasi, secara

Page 4: Dari Teks Ke Ekonomi Politik_ Critical Discourse Analysis Dalam Kajian Media _ Abunavis's Weblog

1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog

abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 4/13

khusus Alan O’Connor bahkan menggambarkan buday a sebagai proses komunikasi dan pemahaman

y ang aktif dan terus-menerus (O.Connor, 1990: 29). Dari gambaran ini kita dapat mengambil satu

pengertian bahwa pemaknaan terhadap teks-teks kebuday aan (termasuk produk media) tergantung

pada pemahaman suby ektif di antara aktor atau suby ek di dalam lingkungan kebuday aanny a.

Realitas y ang tampil dalam produk media merupakan hasil konstruksi y ang boleh jadi telah

mengalami penambahan maupun pengurangan karena turut campurny a faktor suby ektiv itas dari

pelaku representasi alias orang-orang y ang terlibat dalam media. Tidaklah sesederhana pandangan

reflektif, penggunaan istilah representasi berangkat dari kesadaran bahwa apa y ang tersaji di media

seringkali tidak selalu persis dengan apa y ang ada di realitas empirik. Mey akini realitas media

sebagai hasil konstruksi sama halny a dengan memandang suatu fenomena y ang diibaratkan seperti

gunung es. Permukaan y ang terlihat seringkali hany a sebagian kecil dari keny ataan sesungguhny a,

dan sebalikny a apa y ang ada di bawah permukaan itu justru lebih besar. Pada giliranny a peran

pemaknaan oleh ‘pembaca’ menjadi hal penting karena pembacalah y ang mempuny ai otoritas untuk

melihat sejauh mana bagian y ang tidak tampak dari gunung es itu dapat diketemukan. Dalam bahasa

konstruktiv is, peran pembaca untuk mengidentifikasi bagian-bagian y ang (seringkali) tak terlihat itu

disebut sebagai ‘memaknai’.

Persoalanny a adalah ketika realitas media telah tersaji ke ruang publik maka media tidak lagi

mempuny ai otoritas untuk memaksa makna-makna y ang mereka kehendaki sehingga peran

pemaknaan pun berpindah pada pembaca. Pada saat pembaca mempuny ai kekuasaan penuh untuk

memaknai sebuah berita, maka peran bahasa menjadi penting. Bahasa menjadi medium istimewa

y ang melaluiny a sebuah makna diproduksi. Bahasa beroperasi sebagai simbol y ang mengartikan atau

merepresentasikan makna y ang ingin dikomunikasikan oleh pelakuny a, atau dalam istilah y ang

dipakai Stuart Hall untuk meny atakan hal ini, fungsi bahasa adalah sebagai tanda (Hall, 1997 : 5).

Tanda mengartikan atau merepresentasikan (menggambarkan) konsep-konsep, gagasan atau

perasaan sedemikian rupa y ang memungkinkan seseorang ‘membaca’, men-decode atau

menginterpretasikan maknany a.

Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam pikiran seorang pemberi makna melalui

bahasa. Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep dan bahasa y ang memungkinkan

pembaca menunjuk pada dunia y ang sesungguhny a dari suatu oby ek, realitas, atau pada dunia

imajiner tentang oby ek fiktif, manusia atau peristiwa. Dengan cara pandang seperti itu, Hall

memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama, y akni mental representations dan

bahasa (Hall, 1997 :17 ). Mental representations bersifat suby ektif, indiv idual; masing-masing orang

memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus

menetapkan hubungan diantara semua itu. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi

karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama.

Istilah umum y ang seringkali digunakan untuk kata, suara, atau kesan y ang membawa makna adalah

tanda (sign).

Pada akhirny a, persoalan membaca dan memaknai tanda itu tidaklah hadir dari ruang

kosong. Hal ini mengingatkan kita pada pendekatan strukturalisme y ang secara khusus memulai

pemaknaan dari relasi antartanda. Dalam cakupan y ang lebih luas, sebuah teks tidaklah berdiri

sendiri. Selalu ada teks-teks lain y ang mengiringi teks atau lazim disebut sebagai konteks. Apapun

fenomena sosial sesungguhny a bisa disebut sebagai konteks, sepanjang memang masih secara

struktural bertalian dengan wilay ah tanda y ang tengah dibaca. Dalam kaitan ini, kajian komunikasi

mampu menembus dimensi lain y ang tidak mungkin dijangkau dengan metode hubungan pengaruh

Page 5: Dari Teks Ke Ekonomi Politik_ Critical Discourse Analysis Dalam Kajian Media _ Abunavis's Weblog

1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog

abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 5/13

y ang bersifat positiv istik. Terdapat terobosan penting di mana kajian komunikasi menerima

linguistik sebagai satu model untuk membaca fenomena lain y ang bukan terbatas pada bahasa.

Sejumlah konsep y ang berasal dari tradisi lingusitik dalam penerapanny a terny ata mampu

digunakan sebagai model untuk melihat fenomena lain y ang fenomena lain y ang bukan hany a

bahasa; dan dalam pendekatan ini lantas disebut sebagai konteks. Pada ranah metodologis, tradisi

konstruktiv isme melahirkan apa y ang disebut sebagai metode analisis wacana (discourse analysis).

Pada aras ini muncul paradigma ketiga y ang disebut sebagai pandangan kritis / critical

theory (Eriy anto, 2001: 6). Paradigma ini muncul sebagai sebentuk koreksi terhadap paradigma

konstruktiv isme y ang dianggap kurang sensitif terhadap proses produksi dan reproduksi makna y ang

terjadi secara historis maupun institusional. Dalam studi media, meski masih dalam kerangka kerja

analisis wacana, paradigma kritis mencoba menggapai sejumlah kemungkinan lain y ang

mempengaruhi proses produksi dan reproduksi makna. Para penganut paradigma ini percay a bahwa

produksi dan reproduksi makna dipengaruhi pula oleh konstelasi kekuatan y ang ada di balik teks.

Maka bahasa tidak mungkin menjadi medium y ang netral dalam merepresentasikan realitas, bahasa

sesungguhny a terlibat dalam hubungan kekuasaan. Karena mendapat pengaruh y ang sangat kuat

dari teori kritis, maka pendekatan wacana pada paradigma terakhir ini disebut sebagai analisis

wacana kritis (critical discourse analysis / CDA).

Dari sinilah sesungguhny a diskusi mengenai ekonomi dan politik media akan kita mulai. Pada

saat seluruh fenomena sosial –termasuk fenomena ekonomi dan politik- berkelindan membentuk

jalinan makna teks, maka samar-samar sisi ekonomi dan politik media mulai kelihatan di balik isi

media. Sebagaimana halny a isi media, media pun sebagai sebuah lembaga ekonomi tidaklah hadir

dalam ruang kosong. Media acapkali menjadi ajang pertarungan bagi kepentingan ekonomi dan

politik tertentu. Persoalanny a adalah bahwa metode struktural murni y ang kerap diwakili oleh

analisis semiotika dan analisis wacana konvensional belum tentu cukup untuk dijadikan sebagai

penjalin analisis di dalam rangka menemukan keterikatan maupun kepentingan ekonomi politik dari

media. Terdapat sejumlah keterbatasan pada saat analisis struktural konvensional hany a meny elami

konteks ’bahasa’ semata tanpa terlalu jauh meny entuh aspek lain di luar bahasa.

Dalam perjalananny a, analisis semiotika mengalami perkembangan y akni di perluasanny a

y ang mencakup konteks ’bahasa’. Keny ataanny a praktik penggunaan bahasa dalam seringkali

mengandung unsur politis, sehingga mengandaikan bahasa sebagai sebuah satuan struktural y ang

bebas dari kepentingan politik adalah sebuah pandangan y ang bukan saja naif, melainkan justru

meny ingkirkan bahasa itu sendiri dari potensiny a y ang lay ak untuk dianalisis dari sudut pandang

politik dan ekonomi. Maka perhatian analisis struktural y ang memandang bahasa sebagai wilay ah

apolitis pelan-pelan tergantikan dengan gay a baru analisis struktural y ang menandaikan bahasa

sebagai sebuah alat politik sekaligus ekonomi. Pada aras ini, metode penelitian semiotika mulai

ditinggalkan, dan muncullah metode analisis baru y ang disebut sebagai analisis wacana media

(discourse analysis).

Berangkat dari bahasa, analisis mutakhir ini memampukan diriny a untuk memahami

bagaimana realitas dibingkai alias direproduksi dan didistribusikan ke khalay ak ’pembaca’. Produk

media adalah sebentuk konstruksi sosial y ang melaluiny a pembaca merumuskan pandanganny a

tentang dunia. Analisis ini memampukan pembaca melakukan rekonstruksi, bukan hany a peristiwa

atau informasi y ang disajikan oleh produk media, melainkan juga aspek politis bahasa. Dan ini adalah

sebuah kerja y ang sangat menarik, seorang pembaca beranjak dari perspektif mikro menuju makro,

dari wilay ah struktur bahasa ke struktur kognitif pelaku representasi (media). Lazimny a, analisis ini

Page 6: Dari Teks Ke Ekonomi Politik_ Critical Discourse Analysis Dalam Kajian Media _ Abunavis's Weblog

1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog

abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 6/13

bekerja menggali praktek-praktek bahasa bawah sadar (undermine) untuk menemukan posisi

ideologis dari narasi, dan mempertautkanny a dengan struktur y ang lebih luas. Dengan demikian

metode analisis wacana media merupakan salah satu model analisis kritis y ang memperkay a

pandangan pembaca bahwa ada keterkaitan antara produk media, ekonomi dan politik. Keterkaitan

ini dapat dimunculkan pada saat analisis wacana bergerak menuju pertany aan tentang ’bagaimana’

bahasa bekerja dalam konteks tertentu dan ’mengapa’ bahasa digunakan dalam konteks tertentu dan

bukan untuk konteks y ang lain.

Bahasa dan Ekonom i Politik Media: Dari T eks ke Ideologi?

Dengan analisis wacana media, maka pemikiran kritis dalam keilmuan sosial mendapatkan

tempat untuk diadopsi. Selain sebagai semacam alat ukur, pemikiran kritis meny ediakan beragam

perspektif baru y ang acapkali tak terduga, karena jalinan produksi, distribusi dan konsumsi teks

ny atany a bukan saja melay ani kepentingan ekonomi produsenny a. Bahkan kepentingan politik dari

’sang pengarang’ pun lazim dijumpai. Pada akhirny a posisi ideologis ’sang pengarang’ (the author)

lazimny a dapat ditilik dari analisis wacana. Sehingga posisi pembaca pada dasarny a adalah

mengkritisi realitas lain y ang tersembuny i dari teks. Realitas itu biasany a tetap tersembuny i, dan

sepanjang kejelian untuk menemukanny a akan menghadirkan jalinan ideologis y ang hadir di balik

representasi produk media.

Pada saat kita berupay a untuk memahami relasi antara sistem ekonomi dan politik y ang

berkelindan dalam proses produksi dan distribusi produk media (bahasa), maka sesungguhny a

’pembacaan’ atau ’pemaknaan’ y ang kita lakukan itu telah masuk dalam wilay ah ekonomi politik

media. Berjalinny a semangat ekonomi dan politik dalam teks memungkinkan terintegrasiny a bahasa

ke dalam proses ekonomi, politik, sosial, dan buday a dalam masy arakat. Ekonomi politik media

komunikasi / media berupay a untuk membuat media bukan hany a sebagai pusat perhatian pokok,

melainkan sebagai bagian dari suatu struktur y ang terkait dengan ekonomi dan politik. Oleh

karenany a, memulai kajian ekonomi politik media dari kajian bahasa media merupakan sebentuk

analisis kritis, karena dari analisis teks dimungkinkan munculny a perhatian pada kritisisme terhadap

aspek ekonomi dan politik media. Maka bukan hal aneh jika Mohammadi dan Mohammadi

meny atakan bahwa sudut pandang ekonomi politik media merupakan bagian dari perspektif kritis

selain cultural studies, teori kritis Frankfurt School, teori resepsi pesan, dan semiotika. (Downing,

1990: 15). Ambillah satu contoh, bagaimana kajian dari penggunaan bahasa tertentu oleh media

tertentu memunculkan pertany aan: mengapa isu tertentu ditenggelamkan dengan penggunaan

bahasa tertentu di media X, sementara y ang lain kok tidak, atau oleh media lain justru dimunculkan

secara terang-terangan? Mengapa pemberlakuan sensorship dilakukan dengan cara itu? Siapa

pemilikny a? Bagaimana dinamika politis dari bahasa media X? Seribu satu pertany aan dapat

dimunculkan untuk sekadar mempertalikan wilay ah bahasa dengan ekonomi dan politik media.

Dari struktur bahasa ke struktur eknomi dan politik. Demikian kira-kira alur pertany aan y ang

lay ak dikedepankan dalam melihat teks sebagai sebuah infrastruktur kepentingan ekonomi dan

politik. Dari sekadar pertany aan sekitar bagiamana bekerjany a struktur bahasa dan struktur kognitif

creator-ny a, perhatian ekonomi politik media kemudian beralih kepada sejauh mana kepemilikan,

kontrol dan kekuatan operasional pasar media. Dari sudut pandang ini, perhatian perspektif ekonomi

olitik media mengarah pada sejauh mana produksi dan pertukaran isi media berlangsung di dalam

situasi ekonomi dan politik tertentu. Menjadi satu rahasia umum, bahwa kekuatan pemilik modal dan

pembuat kebijakan media mempuny ai pengaruh langsung terhadap produksi dan distribusi bahasa

media. Mengambil satu contoh, bagaimana wacana bahasa media pada masa Orde Baru dahulu

Page 7: Dari Teks Ke Ekonomi Politik_ Critical Discourse Analysis Dalam Kajian Media _ Abunavis's Weblog

1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog

abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 7/13

cenderung dicirikan dengan eufemisme. Di satu sisi, eufemisme adalah gejala struktural teks,

sementara tekanan politik dan kepentingan bisnis pemilik media adalah konteksny a. Keny ataanny a,

dengan membaca konteks itu, pembaca akan mafhum bahwa terny ata kepentingan politik penguasa

dan kepentingan ekonomi pemilik modal mengambil peran utama dalam penciptaan eufemisme.

Konon, dalam bahasa Ben Anderson, realitas eufemistik dalam bahasa Orde Baru sejatiny a adalah

peny embuny ian terhadap realitas y ang sesungguhny a begitu ‘keras’ (Latif dan Ibrahim, 1996: 36).

Bahasa eufemistik sebenarny a bukan hany a menutupi realitas y ang sesungguhny a, melainkan

menciptakan realitas baru bagi penciptany a. Peny embuny ian realitas itu sesungguhny a

menampilkan ideologi dari pemakai bahasa alias produsen media.

Akan halny a dengan ideologi sendiri, terdapat bany ak varian pengertian ideologi, meski

secara singkat dapat dapat dimengerti bahwa ideologi menunjuk pada serangkaian ide y ang

meny usun realitas kelompok, sebuah sistem representasi atau kode y ang menentukan bagaimana

sesorang menggambarkan dunia atau lingkunganny a. Varian lain dapat pula diambil dari Marxisme

klasik y ang menggambarkan ideologi sebagai kesadaran palsu (false conciousness) y ang diabadikan

oleh kekuatan-kekuatan dominan dalam masy arakat (Littlejohn, 1996: 228). Pengertian lain dapat

pula diambil dari post-Marxisme y ang menjadi cikal bakal teori kritis.

Teoritisi kritis kontemporer cenderung percay a bahwa sekarang ini tidak lagi terdapat

ideologi tunggal y ang bermain dalam masy arakat. Ideologi bukan sesuatu y ang pejal, rigit dan

diperjuangkan dalam suasana heroik sehingga seakan terpisah dari sistem sosial masy arakat. Dalam

pandangan terotisi kritis, ideologi justru melekat dalam seluruh proses sosial dan kultural, dan

bahasa menjadi ciri terpenting bagi bekerjany a sebuah ideologi. Ideologi bergerak melalui bahasa,

sehingga apa y ang nampak dari struktur bahasa diandaikan sebagai struktur dari masy arakat y ang

mewadahi sebuah idelogi tertentu. Ambillah misalny a pendapat seorang penganut Marxis terkenal,

Louis Althusser, y ang meny atakan bahwa ideologi tampil dalam struktur masy arakat dan timbul

dalam praktik ny ata y ang dilakukan oleh beragam institusi dalam masy arakat (Littlejohn, 1996: 29).

Pemikiran Althusser ini mendapat pengaruh kuat dari strukturalisme, terutama atas pandangan y ang

mengatakan bahwa esensi ideologi dapat ditengarai melalui struktur bahasa. Ideologi bermain di

belakang penetapan representasi. Pemaknaan ideologis dimulai dengan memahami bagaimana

bekerjany a sistem bahasa dalam struktur sosial. Kombinasi dan disposisi menjadi kata-kata kunci

untuk mengurai sejauh mana ideologi bermain dalam bahasa, sehingga untuk membongkar bahasa

ideologis maka sebuah representasi harus dibongkar terlebih dahulu strukturny a, kemudian makna

dipertalikan dengan keberadaan struktur sosial y ang melandasi penggunaan struktur bahasa (prinsip

intertekstualitas)

Tentu saja tak ada y ang benar-benar oby ektif di sini, kita tidak dapat mengatakan bahwa

pembongkaran terhadap struktur bahasa beserta temuan ideologi dalam bahasa merupakan jaminan

terhadap kepastian akhir suatu ideologi. Berubahny a struktur boleh jadi akan mengubah makna

ideologis, karena dalam term Althuserrian ideologi ditentukan oleh strukturny a (Takwin, 1999).

Sehingga ideologi merupakan realitas suby ektif y ang hadir di masy arakat, lentur, cair dan siap

berubah. Ideologi hadir dalam tiap orang sebagai sesuatu y ang sifatny a halus dan seringkali tidak

disadari, sehingga ideologi tidak lagi dipandang dalam tradisi Marxisme klasik y ang mengatakanny a

sebagai kesadaran palsu (false conciousness). Ini y ang kemudian membedakan pengertian ideologi

antara Marx dan Althusser. Tokoh terakhir ini justru memaknai ideologi sebagai ketidaksadaran

y ang begitu mendalam (profoundly unconciousness) y ang praktikny a dalam diri manusia

berlangsung dalam kehidupan sehari-hari.

Page 8: Dari Teks Ke Ekonomi Politik_ Critical Discourse Analysis Dalam Kajian Media _ Abunavis's Weblog

1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog

abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 8/13

Lebih jauh, Althusser melihat bahwa ideologi seringkali disebarkan oleh struktur sosial

seperti y ang ia sebut sebagai ideological state apparatus / ISA dan reppresive state apparatus /

RSA (Althusser, 1994: 151). Melalui gagasanny a ini Althusser hendak mengatakan bahwa seluruh

lembaga sosial dan politik terlibat puny a andil dalam peny ebaran ideologi dan dominasi distribusi

makna. Melalui Althusser, sebuah model analisis struktural dapat dikembangkan pada penglihatan

pada bagimana bekerjany a hubungan kekuasaan antar struktur masy arakat, y ang, tentu saja sebatas

penggunaanny a pada bahasa. Media, sebagai bagian struktur y ang berurusan dengan bahasa

seringkali ditunjuk sebagai biang keladi dari peny ebar ideologi. Dalam paandanganny a, media

komunikasi merupakan communication ISA , di mana mereka bekerja pada wilay ah privat atau tanpa

menggunakan kekerasan fisikal. Kerja ideilogi pada wilay ah ini berlangsung seperti halny a proses

cuci otak y ang menenggelamkan kesadaran masy arakat sehingga masy arakat dibawa pada

ketidaksadaran y ang begitu mendalam.

Teori Althusser memang dibangun dari tradisi Marxis tentang ideologi sebagai kesadaran

palsu, y ang mana penekanan pran ideologi dalam memelihara kekuatan politik maupuh ekonomi

berkaitan dengan penggunanny a y ang non koersif. Seorang Marxis dari generasi kedua, Antonio

Gramsci, kemudian memperkenalkan konsep ideologi ini dalam istilah y ang berbeda: hegemoni.

Singkatny a, hegemoni merupakan upay a pemenangan y ang terus-menerus (winning and rewinning)

konsensus secara tetap bagi may oritas bagi sistem y ang berada di bawahny a (Kleden, 1987 : 17 6).

Gramsci sendiri memandang bahwa masy arakat terdiri atas dua struktur utama, y akni kelas dominan

dan kelas subordinat. Kelas dominan diny atakanny a sebagai kelas y ang leading dan dominant. Y ang

pertama menunjuk pada kepemimpinan dari kelas berkuasa untuk menunjuk pada “musuh” bersama,

sedangkan y ang kedua adalah dengan mendominasi musuh bersama itu (Gramsci, 1994: 215).

Konsep tentang musuh dan kawan di dalam hegemoni merupakan kerja ideologis, karena dia

ditetapkan oleh kelas y ang berkuasa melalui konsensus. Dalam kaitanny a dengan kerja media, media

merupakan alat untuk memperjuangkan konsensus agar sesuai benar dengan keinginan penguasa di

dalam menentukan siapa kawan siapa lawan, apa y ang baik dan apa y ang buruk.

Dalam konteks politik media, Gramsci meletakkan pengertian hegomoni ini dalam dua arti

y akni dalam tindak kekerasan dan penguasaan intelektual. Dalam arti y ang terakhir, Gramsci

menempatkan kerja ideologi sebagai alat untuk melumpuhkan kesaran kritis masy arakat. Dan media

adalah salah satu instrumen y ang digunakan oleh kelas y ang berkuasa untuk memaksakan

ideologiny a. Dengan konsep hegemoni ini, Gramsci menolak ideologi sebagai hasil kreasi indiv idu

y ang arbitrer dan psikologis. Publik alias ‘pembaca’ sesungguhny a tidak mempuny ai kebebasan

untuk memaknai apa y ang mereka ‘baca’, karena makna telah dipaksakan ke benak melalui struktur

bahasa. Dari sudut pandang politik media, hubungan media vis a vis negara ini sangat mungkin

memperlihatkan bekerjany a media sebagai pelay an kepentingan ideologi negara selaku kelas paling

dominan dalam struktur politik. Suatu saat media sangat mungkin memproduksi serangkaian

ideologi y ang terpadu, merangkai nilai dan norma y ang masuk akal, kendati itu sebenarny a hany alah

untuk melegitimasi struktur sosial politik di mana kelas y ang dikuasai pada akhirny a secara tidak

sadar berpartisispasi dalam lingkungan kelas dominan. Dalam bahasa Gitlin, hegemoni berlangsung

melalui “keahlian sistematik untuk menegakkan ‘aturan’ melalui persetujuan massa” (Shoemaker dan

D. Reese: 1996: 237 ).

Wacana Media Dalam Perspektif Ekonom i Politik

Bagaimana konstelasi media di tengah situasi ekonomi dan politik? Itu barangkali merupakan

pertany aan terakhir y ang harus dijawab pada saat seorang reader hendak mengakhiri pembacaan

Page 9: Dari Teks Ke Ekonomi Politik_ Critical Discourse Analysis Dalam Kajian Media _ Abunavis's Weblog

1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog

abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 9/13

terhadap produk media. Makna akhir dari sebuah “pembacaan” sebenarny a adalah sebuah gambaran

tentang sejauh mana media mengambil posisi di tengah pergulatan kepentingan dan ideologi dalam

seting kepemilikan (ekonomi) dan seting kekuasaan (politik). Wilay ah ini barangkali adalah abstraksi

y ang paling advanced. Penelusuran dari taraf mikro (tekstual) tiba-tiba dihadapkan pada

serangkaian konsep teoritik tentang relasi sosial, ekonomi dan jalinan kekuasaan y ang berlangsung

dalam produksi dan distribusi bahasa media. Dalam menjelaskan relasi ini, Vincent Mosco

menawarkan tiga konsep penting untuk mendekatiny a y akni: komodifikasi (commodification),

spasialisasi (spatialization) dan strukturasi( structuration) (Mosco, 1996:139).

Komodifikasi berhubungan dengan bagaimana proses transformasi barang dan jasa beserta

nilai gunany a menjadi suatu komoditas y ang mempuny ai nilai tukar di pasar. Memang terasa aneh,

karena produk media umumny a adalah berupa informasi dan hiburan. Sementara kedua jenis produk

tersebut tidak dapat diukur seperti halny a barang bergerak dalam ukuran-ukuran ekonomi

konvensional. Aspek tangibility-ny a akan relatif berbeda dengan ‘barang’ dan jasa lain. Kendati

keterukuran tersebut dapat dirasakan secara fisikal, tetap saja produk media menjadi barang

dagangan y ang dapat dipertukarkan dan berilai ekonomis. Dalam lingkup kelembagaan, awak media

dilibatkan untuk memproduksi dan mendistribusikanny a ke konsumen y ang beragam. Boleh jadi

konsumen itu adalah khalay ak pembaca media cetak, penonton telev isi, pendengar radio, bahkan

negara sekalipun y ang mempuny ai kepeny ingan denganny a. Nilai tambahny a akan sangat ditentukan

oleh sejauh mana produk media memenuhi kebutuhan indiv idual maupun sosial.

Spasialisasi, berkaitan dengan sejauh mana media mampu meny ajikan produkny a di depan

pembaca dalam batasan ruang dan waktu. Pada aras ini maka struktur kelembagaan media

menentukan peranny a di dalam memenuhi jaringan dan kecepatan peny ampaian produk media di

hadapan khalay ak. Perbincangan mengenai spasialisasi berkaitan dengan bentuk lembaga media,

apakah berbentuk korporasi y ang berskala besar atau sebalikny a, apakah berjaringan atau tidak,

apakah bersifat monopoli atau oligopoli, konglomerasi atau tidak. Acapkali lembaga-lembag ini

diatur secara politis untuk menghindari terjadiny a kepemilikan y ang sangat besar dan meny ebabkan

terjadiny a monopoli produk media. Sebagai contoh, diterbitkanny a UU Peny iaran No 32 tahun 2002

merupakan satu bentuk campur tangan politik untuk meniadakan monopoli informasi dan

kepemilikan modal. Undang-undang ini juga mensy aratkan agar ke depan tidak ada lagi telev isi

nasional y ang siaran di daerah sebelum berjaringan dengan stasiun telev isi lokal. Secara politis,

kebijakan ini dijalankan untuk menjamin diversity of content, karena sepanjang stasiun telev isi

nasional masih beroperasi di daerah, maka muatan siaranny a hany a akan didominasi oleh muatan

dari ‘pusat’. Sementara di sisi lain, secara ekonomi diberlakukanny a undang-undang ini adalah untuk

memancing hadirny a media-media baru di tingkat lokal. Sehingga ke depan terjadi diversity of

ownership. Ini akan berbeda dengan kondisi sekarang dimana kepemilikan media telev isi nampakny a

hany a dikuasai oleh sebagian kecil pemilik modal y ang berbasis di pusat politik.

Terakhir, strukturasi berkaitan dengan relasi ide antaragen masy arakat, proses sosial dan

praktik sosial dalam analisis struktur. Strukturasi dapat digambarkan sebagai proses dimana struktur

sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian dari struktur

mampu bertindak melay ani bagian y ang lain. Hasil akhir dari strukturasi adalah serangkaian

hubungan sosial dan proses kekuasaan diorganisasikan di antara kelas, gender, ras dan gerakan sosial

y ang masing-masing berhubungan satu sama lain. Gagasan tentang strukturasi ini pada mulany a

dikembangkan oleh Anthony Giddens (Mosco, 1996: 212).

Terdapat sejumlah pandangan krusial ketika kita menempatkan berkelindanny a media

Page 10: Dari Teks Ke Ekonomi Politik_ Critical Discourse Analysis Dalam Kajian Media _ Abunavis's Weblog

1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog

abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 10/13

dengan dimensi ekonomi politik. Jika Mosco menawarkan tiga perspektif, maka Peter Golding dan

Graham Murdock (dalam James Currant & Michael Gurev itch, 1991: 15) membagi perspektif

ekonomi politik media ke dalam dua perspektif besar y akni perspektif liberal dan perspektif kritis.

Perspektif liberal akan cenderung memfokuskan pada isu pertukaran pasar dimana konsumen akan

secara bebas memilih komoditas media media sesuai dengan tingkat kemanfaatan dan kapuasan y ang

dapat mereka capai berdasarkan penawaran y ang ada. Semakin besar pasar memainkan peran, maka

semakian luas pula pilihan y ang dapat diakses oleh konsumen. Sebagai sebuah produk kebuday aan,

media harsu diberikan kesempatan seluas-luasny a untuk dimiliki oleh siapapun secara bebas dan tak

kenal batas.

Golding dan Murdock kemudian lebih memberatkan kajian ekonomi politik media dari

perspektif kedua, y akni perspektif kritis. Pertimbanganny a adalah bahwa media semestiny a dilihat

secara lebih holistik, karena produksi, distribusi dan konsumsi media berada dalam sebuah

lingkungan sosial, ekonomi dan politik y ang strukturny a saling mempengaruhi. Boleh jadi media

kemudian mengambil peran di dalam di dalam mendominasi isi pesan dan melegitimasi kelas

dominan. Pemilik modal bisa mengambil keuntungan atas preferensiny a terhadap komodifikasi

produk media. Pada aras inilah maka sesungguhny a perbincangan mengenai ideologi, kepentingan

kekuasaan mendapat tempat. Dalam sudut pandang Marxis, preferensi pemilik modal memampukan

lembaga media mengambil peran sebagai peny ebar kesadaran palsu y ang meninabobokan khalay ak

(reader). Atau, media dapat digunakan untuk melancarkan hegemoni dengan menutupi atau

merepresentasikan kepentingan kelas berkuasa. Pada wilay ah terakhir ini, produksi teks hakikatny a

merupakan bentuk latent dari kekuasaan y ang bekerja dalam lembaga media.

******

SENARAI PUSTAKA ACUAN

Currant, James and Michael Gurevitch, Mass Media and Society, Edward Arnold,

London, 1991

Downing, John, Ali Mohammadi & Annabele Srebery-Mohammadi (Eds.), Questioning

The Media: A Critical Introdustion, Sage Publication, Newbury Park, California,

1990.

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, LkiS, Yogyakarta, 2001.

Fiske, John,Introductions to Communication Studies, Routledge, London, 1990.

Hall, Stuart (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices,

Sage Publications, London, 1997.

Kleden, Ignas, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, 1987

Latif, Yudi dan Idi Subandi Ibrahim, Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di

Panggung Orde Baru, Mizan, Bandung, 1996.

McQuail, Denis & Sven Windahl, Communication Models For The Study of Mass

Page 11: Dari Teks Ke Ekonomi Politik_ Critical Discourse Analysis Dalam Kajian Media _ Abunavis's Weblog

1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog

abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 11/13

Communications, Longman, London, 1993.

Littlejohn, Stephen W., Theories of Human Communication, Wardsworth, Belmont,

California, 1996.

Mosco, Vincent The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal,

Sage, London, 1996

Storey, John (ed.), Cultural Theory and Popular Culture, Harvester Wheatsheaf, New

York, 1994

Shoemaker, Pamela J. & Stephen D. Reese, Mediating The Message: Theories of

Influences on Mass Media Content, Longman, 1996

Takwin, Bagus: “Cuplikan-cuplikan Ideologi”, dalam Jurnal Filsafat Universitas Indonesia Volume I

No. 2, Agustus 1999.

[1] Staf pengajar Program Studi Ilm u Kom unikasi Universitas Islam Indonesia. T ulisan

ini diterbitkan dalam Jurnal Kom unikasi UII Volum e 1 Nom or 1, Oktober 2006.

Memuat...

10 RESPON UNTUK DARI TEKS KE EKONOMI POLITIK: CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS DALAM

KAJIAN MEDIA

You May Like

1.

About these ads

Suka

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel dan tag analisis wacana kritis, critical discourse analy sis,

discourse, diversity of content, diversity of ownership, ekonomi politik, ekonomi politik informasi,

ekonomi politik komunikasi, ekonomi politik media, false conciousness, Frankfurt School, Graham

Murdock, ideologi, ideological state apparatus, intertekstualitas, John Fiske, komodifikasi, Peter

Golding, profoundly unconciousness, reppresive state apparatus, representasi, semiotika,

spasialisasi, strukturasi, tanda, teks, teori kritis, Vincent Mosco, wacana media. Tandai permalink.

fitri diani | Februari 16, 2008 pada 1:56 am | Balas

Page 12: Dari Teks Ke Ekonomi Politik_ Critical Discourse Analysis Dalam Kajian Media _ Abunavis's Weblog

1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog

abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 12/13

ekonomi politik media duh ap y a…

blm ngerti tuch cz baru balajar semester 6 ini…

nah dosenny a ini y g nulis blog ini pak anang..

sukses buat pak anang…

Setyawati | April 18, 2008 pada 6:56 am | Balas

Say a suka artikel Bung Anang. Sekarang say a sedang menulis skripsi tentang discourse

anally sis. Say a pengen….sepengen pengenny a conrtact Bung Anang buat discuss masalah

say a.

I’m looking forwrd to it

Tengky u…..

dyah | April 24, 2008 pada 12:28 am | Balas

kay akny a ada satu lagi y ang monta dibimbing.

say a juga sedang menulis skripsi tentang analisa media

Suci Pramanisa | Oktober 14, 2008 pada 2:43 pm | Balas

assalamualaikum wr wb

blog ini memberikan informasi y ang sy a butuhkan untuk TA krn sy a meneliti tentang

Kuasa kepemilikan media.

kebetulan pk Anang adL dosen pembimbing sy a.

suksess buat pk Anang

sy a sangat mebutuhkan teori2 apa sja y ang relevan dpakai dlm ekopol??

sy a mohon bimbingan na

trimakasii

wassalamualaikum wr wb

onndz | Oktober 27, 2008 pada 12:17 pm | Balas

let me request something that could probably migth adapt to this real world particularly

in global economics politic..i would be pleased if u could make a particular article on

economy politic in term of current problems especially focus on asean politics

environment..malay sia-indonesia probably , but not american politic which only burden

up in term of real implementation..atleast i could adapt it in hometown soon

love to read it sooner or later..thanx lot

david | November 11, 2008 pada 9:41 am | Balas

bagus sih pak anang, uraianny a

tentang ekonomi poltik media.

apa benar inti dari tulisanny a berkisar pada idiologi dari penguasa media?

Page 13: Dari Teks Ke Ekonomi Politik_ Critical Discourse Analysis Dalam Kajian Media _ Abunavis's Weblog

1/2/14 Dari Teks Ke Ekonomi Politik: Critical Discourse Analysis dalam Kajian Media | Abunavis's Weblog

abunavis.wordpress.com/2007/12/24/dari-teks-ke-ekonomi-politik-critical-discourse-analysis-dalam-kajian-media/ 13/13

Blog pada WordPress.com. Tema: Coraline oleh WordPress.com.

atau media sebagai representasi penguasa

tx y a pa anang

bedjo | Februari 13, 2009 pada 10:06 am | Balas

say a sgt tertarik sm ekopolmed…

di kmpusku matkul itu uda kelar smt5, tp ku pgn bgt bisa gunakan pendekatan eko-pol-

med buat skripsi say a…

tp say angny a, di kmpus say a dosenny a jg ngaku baru blajar ttg ilmu y ang tergolong baru

di dunia ilmu komunikasi tsb.

kalo pak anang sedia bimbing say a,

step by step. wah alangkah bahagiany a say a…

rara | Mei 8, 2009 pada 8:49 am | Balas

asslmkm, wr, wb.

say a tercengang ketika membaca artikel ini, karena rupany a inilah artikel y ang say a

perlukan. selain itu say a juga merasa sangat berkeinginan untuk berdiskusi langsung

dengan bapak Anang Hermawan, itupun jika bapak berkenan membalas email say a..

Pemilik modal bisa mengambil keuntungan atas preferensiny a terhadap komodifikasi

produk media (kalimat y ang say a ambil dari artikel bapak)

komodifikasi berita adalah penelitian y ang say a sedang lakukan saat ini,untuk itu mohon

kirany a bapak membalas email say a..

terima kasih

wasalm..

beasiswa s1 | Juni 2, 2009 pada 7:07 pm | Balas

CDA emang unik, tapi agak pusing juga waktu nerapin dalam skripsi. maksih y a udah

share, jadi bahan referensi neh..

yoi | Juni 16, 2009 pada 6:06 pm | Balas

salam kenal, jika ada kesempatan kunjungi blog say a si bujang lapuk thx..