darah.pdf

download darah.pdf

of 11

Transcript of darah.pdf

  • 3

    TINJAUAN PUSTAKA

    Puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica)

    Karakteristik Puyuh

    Puyuh jepang merupakan salah satu jenis burung yang berukuran kecil,

    umumnya kecepatan berlarinya lebih tinggi dibandingkan terbang ketika mnghindari

    bahaya. Japanese quail merupakan spesies yang telah didomestikasi untuk

    dimanfaatkan daging dan telurnya. Keuntungan dalam memelihara puyuh antara lain

    tidak memiliki desain kandang yang khusus, ukuran lantai yang tidak terlalu besar,

    sudah siap dipasarkan umur 5 minggu dan sudah mulai bertelur umur 7 minggu,

    waktu pengembalian modal relatif lebih cepat, lebih resisten terhadap penyakit

    dibandingkan ayam walaupun tidak diberi vaksin yang sesuai dengan kebutuhan

    normalnya sehingga manajemen pemeliharaannya relatif mudah (Prabakaran, 2003).

    Prabakaran (2003) menambahkan bahwa puyuh relatif lebih resisten terhadap

    infeksi penyakit seperti kolera, coli bacillous, enteritis dan micotoxicosis. Kematian

    biasanya diakibatkan karena brooding age (0-14 minggu) yaitu sebesar 20%-25%.

    Hal ini dapat disebabkan kesalahan dalam manajemen pemeliharaan, terutama suhu

    dan kepadatan dalam satu unit kandang. Adapun klasifikasi zoologi burung puyuh

    menurut Radiopoetro (1996) adalah sebagai berikut :

    Kingdom : Animalia

    Phylum : Chordata

    Sub phylum : Vertebrata

    Class : Aves

    Family : Phasianidae

    Sub family : Phasianidae

    Genus : Coturnix

    Species : Coturnix coturnix japonica

    Kondisi Fisiologis dan Kebutuhan Nutrien Puyuh

    Puyuh mempunyai dua fase pemeliharaan yaitu fase pertumbuhan dan fase

    produksi (bertelur). Fase pertumbuhan dibagi menjadi dua fase yaitu starter (0-3

    minggu) dan grower (3-5 minggu), sedangkan fase produksi berumur diatas 5

    minggu. Anak puyuh yang baru berumur 0-3 minggu membutuhkan protein 25% dan

  • 4

    energi metabolisme 2900 kkal/kg. Pada umur 3-5 minggu kadar protein dikurangi

    menjadi 20% dan energi metabolisme 2600 kkal/kg. Kebutuhan energi dan protein

    puyuh lebih dari 5 minggu sama dengan kebutuhan energi dan protein puyuh umur 3-

    5 minggu (Listiyowati dan Roospitasari, 2000). Jumlah ransum yang disarankan

    untuk diberikan sesuai dengan umur puyuh.

    Tabel 1. Jumlah Ransum yang Diberikan Berdasarkan Umur Puyuh

    Umur Puyuh Jumlah Ransum yang Diberikan (gram/ekor/hari)

    1 hari-1 minggu

    1-2 minggu

    2-3 minggu

    3-4 minggu

    4-5 minggu

    Lebih dari 5 minggu

    2

    4

    8

    10

    12-15

    >15

    Sumber : Sritharet (2002)

    Ransum yang diberikan untuk unggas terdiri atas beberapa bentuk, yaitu

    bentuk pelet, crumble dan tepung. Ransum terbaik adalah berbentuk tepung sebab

    puyuh mempunyai sifat khas yang sering mematuk kawannya dan mempunyai

    kesibukan lain dengan mematuk pakannya (Listiyowati dan Roospitasari, 2000).

    Selain kuantitas, kualitas ransum pun perlu diperhatikan untuk memenuhi kebutuhan

    nutrien puyuh. Berikut adalah kebutuhan nutrien puyuh berdasarkan status faalnya.

    Tabel 2. Kebutuhan Nutrien Puyuh Fase Grower dan Layer

    Kebutuhan Nutrien Grower Layer

    Kadar Air (%)

    Abu (%)

    Protein kasar (%)

    Lemak kasar (%)

    Serat kasar (%)

    EM (kkal/kg)

    Lysine (%)

    Methionine (%)

    Methionine + Cystine (%)

    Ca (%)

    P total (%)

    P tersedia (%)

    Maks. 14,0

    Maks. 8,0

    Min. 17,0

    Maks. 7,0

    Maks. 7,0

    Min. 2600

    Min. 0,80

    Min. 0,35

    Min. 0,50

    0,90 1,20

    0,60 1,00

    Min. 0,40

    Maks. 14,0

    Maks.14,0

    Min. 17

    Maks. 7,0

    Maks. 7,0

    Min. 2700

    Min. 0,90

    Min. 0,40

    Min. 0,60

    2,50 3,50

    0,60 1,00

    Min. 0,40

    Sumber : SNI (2006)

  • 5

    Katuk (Sauropus androgynus L. Merr)

    Nama lokal tanaman katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dikenal dengan

    nama katuk (Sunda, Melayu): babing atau katukan (Jawa), simanis (Minang Kabau),

    kerakur (Madura) (Departemen Kesehatan RI, 1998). Daun katuk mengandung

    klorofil yang cukup tinggi, untuk daun tua sebesar 65,8 spa d/mm2 sedangkan daun

    muda sebesar 41,6 spa d/mm2 dapat digunakan sebagai pewarna alam memberi

    warna hijau (Rahayu dan Limantara, 2005).

    Gambar 1. Katuk (Sauropus androgynus L. Merr) Sumber : Brooks (2008)

    Azis dan Muktiningsih (2006), menyatakan bahwa kandungan zat makanan

    katuk per 100 gram mengandung kalori 59 kal; protein 6,4 g; lemak 1 g; hidrat arang

    9,9 g; serat 1,5 g; abu 1,7 g; kalsium 233 mg; fosfor 98 mg; besi 3,5 mg; karoten

    10.020 g; vitamin B dan C 164 mg; air 81 g. Selain itu, daun katuk mengandung

    beberapa senyawa kimia antara lain asam amino, tannin, flavonoid, saponin (Malik,

    1997).

    Penelitian tentang pemanfaatan daun katuk sebagai pakan unggas telah

    dilakukan. Telah diteliti efek penambahan tepung daun katuk pada ransum ayam

    kampung oleh Subekti (2003) yang menyatakan bahwa pada taraf 9% penambahan

    tepung daun katuk dapat meningkatkan produksi telur, mempercepat umur dewasa

    kelamin dan meningkatkan kualitas telur serta karkas. Hal ini diduga karena adanya

    kandungan karoten dan mineral yang tinggi dalam katuk. Piliang et al. (2001)

    melaporkan bahwa kandungan tepung daun katuk berbeda dengan ekstraksi daun

    katuk. Tepung daun katuk memiliki kandungan gizi yang lebih baik dibandingkan

    dengan ekstrak daun katuk kering.

  • 6

    Murbei (Morus alba)

    Terdapat enam jenis murbei yang banyak ditanam dan daunnya digunakan

    sebagai pakan ulat sutera di Indonesia, yaitu Morus nigra, Morus multicaulis, Morus

    australis, Morus alba, Morus alba var macrophulla, dan Morus bombycis. Dari

    keenam jenis murbei, jenis Morus alba tidak digunakan sebagai pakan ulat sutera

    karena jenis ini umumnya ditanam untuk dimanfaatkan buahnya (Atmosoedarjo et

    al., 2000). Spesies ini berasal dari Cina, namun saat ini telah ditemukan juga di Asia

    Tenggara (Saddul et al., 2004).

    Gambar 2. Daun Murbei (Morus alba) Sumber : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (2005)

    Daun murbei (Morus alba) mengandung 15-35% protein; 2,42-4,17% Ca;

    0,23-0,97% P dan ME 1.130-2.240 kkal/kg serta tidak mengandung anti nutrisi

    (Omar et al., 1999; Sanchez, 2000; Saddul et al., 2004; Srivastava et al., 2006).

    Adapun kandungan tanin (18 g/kg) pada daun murbei dapat diabaikan sehingga

    berpotensi untuk disukai ternak (Singh dan Makkar, 2000). Pada daun murbei juga

    teridentifikasi adanya kandungan asam askorbat, karotene, vitamin B1, asam folat,

    pro vitamin D, mineral Mg, P, K, Ca, Al, Fe dan Si. Tingginya kandungan protein

    kasar pada daun murbei diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber pakan ternak di

    daerah beriklim sedang, sub-tropik dan agak kering. Penelitian mengenai

    penggunaan Morus alba sebagai pakan unggas telah dilakukan oleh Al-kirshi et al.

    (2010), yang menyatakan bahwa penggunaan 10% tepung daun murbei dalam

    ransum tidak mempengaruhi produksi dan kualitas telur pada ayam petelur.

    Kebutuhan Protein

    Protein merupakan senyawa organik yang sebagian besar unsurnya terdiri

    atas karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur dan fosfor. Ciri khusus protein

    adalah adanya kandungan nitrogen. Berdasarkan bentuknya, protein dapat

  • 7

    diklasifikasikan dalam tiga bagian, yaitu protein berbentuk bulat, serat dan gabungan

    ke duanya (Widodo, 2005).

    Fungsi protein meliputi banyak aspek, diantaranya 1) sebagai struktur penting

    untuk jaringan urat daging, tenunan pengikat, kolagen, rambut, bulu, kuku dan

    bagian tanduk serta paruh, 2) sebagai komponen protein darah, albumin dan globulin

    yang dapat membantu mempertahankan sifat homeostatis dan mengatur tekanan

    osmosis, 3) sebagai komponen fibrinogen dan tromboplastin dalam proses

    pembekuan darah sebagai komponen fibrinogen, tromboplastin, 4) sebagai karrier

    oksigen ke sel dalam bentuk sebagai hemoglobin, 5) sebagai komponen enzim yang

    bertugas mempercepat reaksi kimia dalam sistem metabolisme, 6) sebagai

    nukleoprotein, glikoprotein dan vitellin (Widodo, 2005).

    Kebutuhan protein untuk masing-masing unggas berbeda-beda. Faktor-faktor

    yang mempengaruhi kebutuhan unggas akan protein antara lain suhu lingkungan,

    umur, spesies/bangsa/strain, kandungan asam amino, kecernaan. Kebutuhan protein

    maupun asam amino dapat diukur dengan memperhatikan kebutuhan protein untuk

    hidup pokok, pertumbuhan jaringan bulu dan produksi telur. Perhitungan kebutuhan

    protein harus memperhitungkan tingkat efisiensi penggunaan protein pada masing-

    masing unggas (Widodo, 2005).

    Mineral Besi (Fe)

    Besi merupakan mineral mikro esensial yang paling melimpah. Zat ini

    terutama diperlukan dalam homeophoiesis (pembentukan darah), yaitu dalam

    mensintesa hemoglobin (Hb) (Sediaoetama, 2006). Sebanyak kurang lebih 2/3 dari

    besi beredar sebagai hemoglobin, 1/10 sebagai mioglobin dan kurang dari 1%

    terdapat pada transferin dari semua enzim besi dan protein redoks. Sisanya terdiri

    atas simpanan besi feritin dan hemosiderin yang terutama ada pada hati, limpa dan

    sumsum tulang. Fungsi utama besi adalah untuk transport oksigen oleh hemoglobin.

    Di dalam tubuh, sebagian besar Fe terdapat konjugasi, seperti (hemoglobin,

    myoglobin, transferin, ferritin dan hemosiderin) dengan protein dan terdapat dalam

    bentuk ferro atau ferri. Bentuk aktif zat besi biasanya terdapat sebagai ferro,

    sedangkan bentuk inaktif adalah sebagai ferri (misalnya bentuk storage)

    (Sediaoetama, 2006).

  • 8

    Sumber makanan yang relatif kaya akan kandungan Fe diantaranya daging

    merah, sayuran dengan warna hijau gelap, buah yang dikeringkan dan buncis

    (Gropper et al., 2009). Warna hijau pada sayuran mengindikasikan kandungan zat

    besi didalamnya. Skema metabolisme besi dalam tubuh ditunjukkan pada Gambar 3.

    Profil Darah

    Gambaran Umum

    Darah adalah jaringan yang bersirkulasi melalui pembuluh darah, membawa

    zat-zat penting untuk kehidupan semua sel tubuh dan menerima produk buangan

    hasil metabolisme untuk dibawa ke organ sekresi (Jain, 1993). Darah memiliki

    banyak fungsi, diantaranya adalah sebagai 1) penyerap dan pembawa nutrien dari

    saluran pencernaan menuju ke jaringan, 2) pembawa oksigen (O2) dari paru-paru ke

    jaringan dan karbondioksida (CO2) dari jaringan ke paru-paru, 3) pembawa produk

    buangan metabolisme, 4) pembawa hormon yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin,

    dan 5) pengatur kandungan cairan jaringan tubuh (Sturkie dan Griminger, 1976).

    Gambaran darah ternak akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan

    fisiologisnya. Perubahan fisiologis secara internal tersebut dapat disebabkan seperti

    pertambahan umur, status gizi, latihan, kesehatan, stress, siklus estrus, dan suhu

    tubuh, sedangkan secara eksternal akibat kuman dan perubahan suhu lingkungan

    (Guyton dan Hall, 2010).

    Transferin Fe3+

    Plasma

    Fe2+

    Nonheme enzymes

    Heme enzymes

    Fe2+

    Fe3+

    Other cell uses

    Ferritin - Fe3+

    Hemosiderin - Fe3+

    Jaringan

    Hemoglobin - Fe2+

    Sel darah merah

    Fe2+

    degraded Hb

    Ferritin - Fe3+

    Hemosiderin - Fe3+

    Retikulum endoplasma

    Gambar 3. Metabolisme Zat Besi di dalam Tubuh Sumber : Gropper et al. (2009)

  • 9

    Komponen Darah

    Menurut Guyton dan Hall (2010), darah adalah jaringan khusus yang terdiri

    dari plasma darah yang kaya akan protein (55%) dan sel-sel darah (45%). Sel-sel

    darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping

    darah (trombosit). Bentuk komponen dalam darah terlihat pada Gambar 4.

    Komponen sel darah yang terkandung dalam darah merupakan sel darah

    merah. Trombosit bertanggung jawab dalam proses pembekuan darah. Komponen

    leukosit dalam darah sebesar 0,2%. Leukosit bertanggung jawab terhadap sistem

    imun dan bertugas untuk memusnahkan benda-benda yang dianggap asing dan

    berbahaya oleh tubuh, misalnya virus atau bakteri.

    Eritrosit

    Eritrosit merupakan sel darah merah yang berperan membawa hemoglobin di

    dalam sirkulasi. Eritrosit pada unggas intinya terletak di tengah dan berbentuk oval.

    Eritrosit dibentuk di sumsum tulang dan limfa. Limfa turut berperan dalam

    membentuk eritrosit tetapi dalam jumlah yang sedikit. Pada kondisi tertentu setelah

    lahir, hati dan kelenjar limfe dapat berfungsi sebagai penghasil eritrosit (Swenson,

    1984).

    Eritrosit bersifat pasif dan melaksanakan fungsinya dalam pembuluh darah

    sebagai pembawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan ke jaringan

    tubuh, pembawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida ke paru-

    paru, pembawa sisa-sisa metabolisme dari jaringan ke ginjal untuk dieksresikan serta

    mempertahankan sistem keseimbangan dan buffer (Guyton dan Hall, 2010). Skema

    erythropoiesis disajikan pada Gambar 5.

    Gambar 4. Bentuk Komponen dalam Darah

    Sumber : Shier (2004)

  • 10

    Gambar 5. Skema Erythropoiesis Sumber : Harris (1990)

    Eritrosit merupakan produk erythropoiesis dan proses tersebut terjadi dalam

    sumsum tulang merah (medulla asseum rubrum) yang antara lain terdapat dalam

    berbagai tulang panjang. Erythropoiesis membutuhkan bahan dasar berupa protein,

    glukosa dan bebagai aktivator. Beberapa aktivator erythropoiesis adalah

    mikromineral berupa Cu, Fe dan Zn. Pemberian mineral Cu dan Fe dengan rasio

    tertentu mampu meningkatkan status hematologis dan pertumbuhan ayam (Praseno,

    2005). Mineral Cu, Fe dan Zn berperan dalam metabolisme protein, khususnya Cu

    akan berperan dalam pembentukan protein kollagen, Fe berperan dalam

    pembentukan senyawa heme dan Zn berperan dalam pembentukan protein pada

    umumnya. Selain itu, dalam pembentukannya eritrosit juga dipengaruhi oleh

    konsentrasi hemoglobin dan hematokrit. Faktor lain yang juga turut mempengaruhi

    erythrophoeiesis yaitu umur, jenis kelamin, aktivitas, nutrisi, produksi telur, bangsa,

    suhu lingkungan dan faktor iklim (Swenson, 1984).

    Salah satu gejala yang terjadi akibat pengaruh kadar eritrosit adalah anemia.

    Anemia merupakan suatu keadaan pada tubuh yang mengalami kekurangan eritrosit

    akibat hilangnya darah terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi eritrosit.

    Indeks eritrosit, yaitu MCV, MCH dan MCHC dapat mempengaruhi anemia secara

    morfologi, yaitu ukuran eritrosit (normositik, makrositik dan mikrositik) dan kadar

    hemoglobin (normokritik dan hipokromik atau pucat).

    PROGENITOR

    S

    PRECURSORS RBCS

    CFU - GEMM BFU - U

    CFU - E

    Erythrocyte

    Reticulocyte

    Orthochromatic

    Normoblast

    Polychromatophilic

    Normoblast Basophilic

    Normoblast

    Pronormoblast

  • 11

    Hemoglobin

    Hemoglobin (Hb) merupakan pigmen eritrosit yang terdiri dari protein

    kompleks terkonjugasi yang mengandung besi. Protein Hb adalah globin, sedangkan

    warna merah disebabkan oleh warna heme. Heme adalah suatu sanyawa metalik

    yang mengandung satu atom besi (Guyton, 1993).

    Hemoglobin tidak hanya dipengaruhi oleh suatu rangsangan tapi juga oleh

    hematokrit dan eritrosit per unit volume. Rendahnya oksigen dalam darah

    menyebabkan peningkatan produksi hemoglobin dan eritrosit (Swenson, 1984). Alur

    sintesis hemoglobin diperlihatkan pada Gambar 6.

    Hematokrit

    Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah persentase sel darah

    merah dalam 100 ml darah. Pada hewan normal, PCV sebanding dengan jumlah

    eritrosit dan kadar hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Nilai hematokrit

    dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Nilai hematokrit juga akan bertambah jika

    terjadi keadaan hipoksia atau polisitemia dimana jumlah eritrosit lebih banyak

    dibandingkan dengan jumlah normal (Guyton dan Hall, 2010). Nilai hematokrit

    dipengaruhi oleh jumlah sel dan ukuran sel. Volume sel mungkin mengalami

    perubahan akibat peningkatan air plasma (hemodilition) atau penurunan air plasma

    (hemoconcentration) tanpa mempengaruhi jumlah sel sepenuhnya.

    2 Suksinil-KoA + 2 Glisin Gugus Pirol

    4 gugus Pirol Protoporfirin IX

    Protoporfirin IX + Fe2+

    Heme

    Heme + Polipeptida Rantai hemoglobin

    2 rantai + 2 rantai Hemoglobin A

    Gambar 6. Sintesis Hemoglobin Sumber :Guyton dan Hall (2010)

  • 12

    Leukosit

    Morfologi leukosit sangat beragam antar spesies unggas. Keragaman ini

    dapat dilihat dari penampakan morfologi granula, warna eosinofil dan bentuk granula

    heterofil pada setiap spesies unggas. Melalui identifikasi diferensiasi leukosit, dapat

    diketahui status kesehatan dan penyakit yang mungkin menyerang ternak.

    Identifikasi leukosit pada darah unggas lebih sulit karena heterofilnya memiliki

    segmentasi nukleus yang rendah dibandingkan netrofil pada mamalia (Schalm,

    2010).

    Keunggulan leukosit unggas yaitu memiliki heterofil dan limfosit. Kedua sel

    ini dapat dijadikan sebagai indikator stres pada unggas. Sebagai contoh, unggas pada

    masa penetasan akan mengalami stres dan dapat diketahui melalui kadar heterofil

    maupun limfositnya (Schalm, 2010). Jumlah leukosit sangat tergantung pada

    beberapa faktor diantaranya umur, jenis kelamin, stres, penyakit, pemberian

    estrogen, obat tertentu dan pakan. Sel darah putih tersebut akan bekerja secara

    bersama-sama melalui dua cara untuk mencegah penyakit: (1) dengan benar-benar

    merusak bahan yang menyerbu itu melalui proses fagositosis dan (2) dengan

    membentuk antibodi dan limfosit yang peka, sakah satu atau keduanya dapat

    menghancurkan atau membuat penyerbu tidak aktif (Guyton, 1993). Jumlah seluruh

    leukosit jauh dibawah eritrosit dan bervariasi tergantung jenis ternaknya. Fluktuasi

    jumlah leukosit pada tiap individu cukup besar pada kondisi tertentu, seperti

    cekaman (stres), aktivitas fisiologi, gizi, umur dan lain-lain (Dharmawan, 2002).

    Heterofil merupakan bagian terbesar dari granulosit unggas (Schalm, 2010).

    Heterofil berfungsi dalam merespon adanya infeksi dan mampu ke luar dari

    pembuluh darah menuju daerah infeksi untuk menghancurkan benda asing dan

    membersihkan sisa-sisa jaringan yang rusak. Pada saat yang sama, sumsum tulang

    dirangsang untuk lebih banyak melepaskan heterofil ke dalam darah (Ganong, 1998).

    Menurut Day dan Schultz (2010), fungsi utama dari sel ini adalah penghancur

    bahan berbagai produk bakteri, berbagai produk yang dilepaskan oleh sel rusak dan

    berbagai produk reaksi kekebalan. Heterofil bekerja secara cepat sehingga dikenal

    sebagai first line defense, yaitu sebagai sistem pertahanan pertama. Masa hidup

    heterofil di dalam sirkulasi lebih pendek dalam keadaan infeksi berat dibandingkan

    dalam kondisi normal, yakni hanya beberapa jam saja. Heterofil juga mampu

  • 13

    melakukan pinositosis, selain fagositosis. Kombinasi antara fagositosis dan

    pinositosis disebut dengan endositosis.

    Limfosit merupakan jenis leukosit yang unggul pada darah unggas, termasuk

    puyuh (Schalm, 2010). Limfosit dibentuk di jaringan limfoid seperti limpa, tonsil,

    timus dan bursa fabricius. Peningkatan limfosit antara lain disebabkan terjadinya

    penurunan heterofil (sifatnya relatif), leukimia limfositik, inflamasi kronis (infeksi

    bakteri, virus, fungi protozoa), pengeluaran epinefrin, defisiensi korkosteroid

    (hypoadrenokorticism), neoplasia (Dharmawan, 2002; Jackson, 2007).

    Nilai hematologi puyuh disajikan pada Tabel 3.

    Tabel 3. Nilai Hematologi Puyuh

    Parameter hematologi Jumlah

    Eritrosit (juta/mm3)

    Hemoglobin (g%)

    Hematokrit (%)

    Leukosit (ribu/mm3)

    Rasio Heterofil/Limfosit*

    MCV* (femto liter)

    MCHC* (%)

    3,86

    12,3

    37

    20-40

    0,34 0,43

    90- 140

    26 - 35

    Sumber : Sturkie dan Griminger (1976)

    *)

    Schalm (2010)