DAMPAK TEKNOLOGI GERAKAN PENERAPAN...
Transcript of DAMPAK TEKNOLOGI GERAKAN PENERAPAN...
LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN
DAMPAK TEKNOLOGI GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN (GP-PTT) TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN
PETANI
Oleh:
Tri Bastuti Purwantini Saptana
Amar Kadar Zakaria Sunarsih
Endro Gunawan
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PERTANIAN
2016
i
KATA PENGANTAR
Peningkatan produksi padi nasional dihadapkan tantangan yang makin berat,
yaitu konversi lahan, perubahan iklim global yang berdampak terhadap cekaman
biotik dan abiotik, dan fluktuasi harga pangan global. Terkait dengan kondisi
tersebut diperlukan berbagai terobosan inovasi teknologi untuk peningkatan
produksi padi dan kesejahteraan petani. Salah satu program terobosan dalam
peningkatan produksi padi nasional adalah melalui inovasi teknologi dalam bentuk
Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT) padi sebagai
transformasi dan penyempurnaan dari program SL-PTT.
Dengan diterapkannya program GP-PTT ini diharapkan usaha tani padi akan
lebih efisien dan produksi dapat meningkat. Dengan indikasi peningkatan produksi
dan usaha tani yang lebih efisiien, diharapkan tingkat kesejahteraan petani juga
akan meningkat dengan catatan adanya dukungan kebijakan pemerintah dalam hal
harga dan penyediaan sarana produksi. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu
dilakukan pengkajian dampak inovasi teknologi dalam program GP-PTT terhadap
pendapatan dan kesejahteraan petani, selain itu melihat kecenderungan dan
peluang keberlanjutan penerapan teknologi tersebut pascaprogram.
Laporan ini menyajikan analisis kebijakan tentang prospek GP-PTT, dengan
memahami permasalahan dan kendala tersebut di atas. baik peran terhadap adopsi
teknologi PTT, peningkatan produksi dan pendapatan petani peserta. Dalam
analisis, data dan informasi yang digunakan berasal dari data sekunder dari instansi
terkait, wawancara kelompok dengan kelompok tani di lapangan dan dari hasil-hasil
penelitian sebelumnya.
Tim menyadari laporan ini belum sempurna, dan karena itu itu masukan dan
saran konstruktif dari semua pihak dalam upaya mempertajam laporan ini sangat
diharapkan. Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada berbagai
pihak yang telah memberikan kontribusi dan dukungan/bantuan sehingga laporan
akhir Anjak ini dapat diselesaikan. Semoga hasil kajian yang disampaikan dalam
laporan akhir ini bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan.
Bogor, September 2016
Kepala Pusat
Dr. Ir Abdul Basit, MS
ii
DAFTAR ISI
Hal KATA PENGANTAR ........................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................. iv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... vi I. PENDAHULUAN .................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ................................................................. 1
1.2. Tujuan ............................................................................ 3 1.3. Keluaran .......................... ............................................... 4
1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak ......................................... 4 II. METODOLOGI ....................................................................... 4
2.1. Lokasi Penelitian .............................................................. 4 2.2. Sumber dan Jenis Data..................................................... 4 2.3. Metode Analisis................................................................ 5
III.
KONSEP SL-PTT DAN GP-PTT .............................................. 5
3.1. Tinjauan Program Peningkatan Produksi Padi................... 5 3.2. Tinjauan Konseptual SL-PTT dan GP-PTT........................... 11
3.3. Hasil Kajian Empiris SL-PTT dan GP-PTT............................. 14 IV. KINERJA PELAKSANAAN PROGRAM GP-PTT........................ 29 4.1. Kinerja Pelaksanaan Program GP-PTT................................. 29
4.1.1. Nasional................................................................. 29 4.1.2. Jawa Barat............................................................. 31
4.1.3. Jawa Tengah......................................................... 32 4.2. Kendala-Kendala dan Alternatif Pemecahan....................... 33
4.3. Prospek dan Keberlanjutan Program GP-PTT....................... 36 V. DAMPAK PROGRAM GP-PTT...................................... .......... 38 5.1. Dampak Program GP-PTT terhadap Adopsi Teknologi dan
Kelembagaan..................................................................
38
5.1.1. Dampak Program GP-PTT Terhadap Adopsi
Teknologi................................................................
39 5.1.2. Dampak Program GP-PTT terhadap Kelembagaan.. 46 5.2. Dampak Program GP-PTT terhadap Produksi Padi............. 51
5.2.1. Dampak Program GP-PTT Terhadap Produksi Padi Nasional................................................................
51
5.2.2. Dampak Program GP-PTT Terhadap Produksi Padi di Subang , Jawa Barat............................................
53
5.2.3. Dampak Program GP-PTT Terhadap Produksi Padi di Klaten, Jawa Tengah..........................................
54
5.3. Dampak Program GP-PTT Terhadap Pendapatan Petani.... 56
5.3.1. Dampak Program GP-PTT Terhadap Pendapatan Petani di Kabupaten Subang, Jawa Barat................
56
5.3.2. Dampak Program GP-PTT Terhadap Pendapatan Petani di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah...............
60
iii
VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN........................ 64
6.1. Kesimpulan ..................................................................... 64 6.2. Implikasi Kebijakan .......................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 67 LAMPIRAN .................................................................................... 70
iv
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 3.1. Jenis komoditas yang dikembangkan dalam program SL-PTT
di Indonesia selama 2008-2014..........................................
15
Tabel 3.2. Komponen PTT Padi 2008-2014.......................................... 16
Tabel 3.3. Plafon stimulan/bantuan sapprodi GP-PTT Padi Tahun 2015.................................................................................
22
Tabel 3.4. Produktivitas padi di lokasi LL, SLPTT, dan Non-SLPTT di 5
Agroekosistem, 2012........................................................
27
Tabel 3.5.. Produktivitas padi di lokasi LL, SLPTT, dan Non-SLPTT di 5
Agroekosistem, 2012........................................................
28
Tabel 4.1. Sasaran dan realisasi areal GP-PTT Nasional, 2015............... 30
Tabel 4.2. Sasaran dan realisasi luas areal GP-PTT menurut lokasi (kecamatan sasaran) di Kabupaten Subang, 2015................
31
Tabel 4.3.. Sasaran dan realisasi luas areal GP-PTT menurut lokasi
(kecamatan sasaran) di Kabupaten Klaten, 2015.................
32
Tabel 4.4. Kendala-Kendala Teknis dan Alternatif Pemecahan
Pelaksanaan Program GP-PTT ............................................
33
Tabel 4.5. Kendala-Kendala Ekonomi dan Alternatif Pemecahan
Pelaksanaan Program GP-PTT............................................
,
35
Tabel 4.6. Kendala-Kendala Kelembagaan dan Alternatif Pemecahan Pelaksanaan Program GP-PTT.............................................
36
Tabel 5.1. Adopsi Komponen PTT Padi Dasar pada padi sawah irigasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat, 2016.................................
39
Tabel 5.2. Adopsi Komponen PTT Padi Pilihan pada padi sawah irigasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat, 2016.............................
41
Tabel 5.3. Adopsi Komponen PTT Padi Dasar pada padi sawah irigasi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, 2016................................
43
Tabel 5.4. Adopsi Komponen PTT Padi Pilihan pada padi sawah irigasi
di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, 2016 ..........................
45
Tabel 5.5. Peran kelompok tani dalam kegiatan pertanian di Kabupaten
Subang, Jawa Barat, 2016..................................................
48
Tabel 5.6. Peran kelompok tani dalam kegiatan pertanian di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, 2016................................................
50
Tabel 5.7. Realisasi Produksi dan Produktivitas Padi Program GP-PTT Nasional menurut Provinsi, 2015........................................
52
v
Hal
Tabel 5.8. Realisasi panen dan produktivitas padi sebelum dan hasil
GP-PTT di Kabupaten Subang.............................................
54
Tabel 5.9. Realisasi panen dan produktivitas padi sebelum dan hasil GP-PTT di Kabupaten Klaten..............................................
55
Tabel 5.10. Struktur biaya usahatani padi sawah (per ha) di tingkat kelompok tani hasil GP-PTT dan sebelum GP-PTT di
Kabupaten Subang...........................................................
57
Tabel 5.11. Tingkat profitabilitas usahatani padi sawah per hektar di kelompok tani antara GP-PTT dan sebelum GP-PTT di
Kabupaten Subang, MT. 2015 dan MT. 2014........................
59
Tabel 5.12. Tingkat BEP produktivitasdan harga jual usahatani padi
antara GP-PTT dan sebelum GP-PTT di Kabupaten Subang.............................................................................
60
Tabel 5.13. Struktur biaya usahatani padi sawah (per ha) di tingkat kelompok tani hasil GP-PTT dan sebelum GP-PTT di Kabupaten Klaten..............................................................
61
Tabel 5.14 Tingkat profitabilitas usahatani padi sawah per hektar antara GP-PTT dan sebelum GP-PTT di Kabupaten Klaten, MT. 2015
dan MT. 2014....................................................................
62
vi
DAFTAR GAMBAR
Hal
Tabel 1. Perbandingan SL-PTT (2014) Dengan GP-PTT (2015)..... 20
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Lampiran 1. Analisis Usahatani Padi Sawah sebelum dan saat Program GP- PTT di wilayah Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang 3014/2015.................................
70
Lampiran 2. Analisis Usahatani Padi Sawah sebelum dan saat Program GP- PTT di wilayah Kecamatan Cipunagara,
Kabupaten Subang 3014/2015.................................
71
Lampiran 3. Analisis Usahatani Padi Sawah sebelum dan saat Program GP-PTT di wilayah Kecamatan Karangdowo,
Kabupaten Subang 3014/2015.................................
72
Lampiran 4. Analisis Usahatani Padi Sawah sebelum dan saat
Program GP- PTT di wilayah Kecamatan Prambanan, Kabupaten Subang 3014/2015.................................
73
Lampiran 5. Analisis Usahatani Padi Sawah sebelum dan saat Program GP- PTT di wilayah Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang 3014/2015.................................
74
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan pertanian ditujukan untuk meningkatkan peran strategis
pertanian dalam perekonomian nasional yaitu kontribusinya dalam penyediaan
bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bioenergi, pembentukan kapital,
penyerapan tenaga kerja, sumber devisa, sumber pendapatan dan pelestari
lingkungan melalui praktek pertanian yang ramah lingkungan (Biro Perencanaan
Pertanian dan PSEKP 2013). Komoditas padi merupakan komoditas strategis
karena merupakan makanan pokok bagi hampir seluruh penduduk Indonesia.
Usaha tani merupakan sumber mata pencaharian bagi sebagian besar penduduk
Indonesia, karena sebagian besar petani mengusahakan padi sebagai komoditas
utama dalam struktur usaha taninya.
Selama kurun waktu lima tahun mendatang, kebutuhan beras akan terus
meningkat seiring dengan proyeksi laju pertambahan penduduk. Jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan telah mencapai 259 juta (BPS
2015). Berbagai permasalahan dan tantangan akan menyulitkan upaya
peningkatan produksi padi nasional. Berbagai permasalahan yang dihadapi
mencakup masalah teknis, ekonomi, dan sosial-kelembagaan. Beberapa
permasalahan teknis antara lain adalah masalahan sempitnya luas penguasaan
lahan garapan petani, degradasi sumber daya lahan sawah, dan lambannya proses
difusi dan adopsi teknologi. Sedangkan beberapa permasalahan ekonomi adalah
masalah keterbatasan modal petani, meningkatnya harga-harga input produksi,
dan fluktuasi harga output hasil pertanian. Sementara itu, masalah sosial-
kelembagaan adalah masalah rendahnya konsolidasi kelembagaan petani, kurang
efektifnya penyuluhan pertanian di perdesaan, dan kurangnya gerakan bersama
dalam berbagai kegiatan usaha tani.
Peningkatan produksi padi nasional dihadapkan tantangan yang makin
berat, yaitu penurunan luas lahan baku akibat konversi lahan, perubahan iklim
global yang berdampak terhadap cekaman biotik dan abiotik, dan fluktuasi harga
pangan global. Terkait dengan kondisi tersebut diperlukan berbagai terobosan
inovasi teknologi untuk peningkatan produksi padi dan kesejahteraan petani.
2
Salah satu program terobosan dalam peningkatan produksi padi nasional adalah
melalui inovasi teknologi dalam bentuk Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman
Terpadu (GP-PTT) padi sebagai transformasi dan penyempurnaan dari program
SL-PTT. Kegiatan SL-PTT menerapkan berbagai teknologi usaha tani melalui
penggunaan input produksi yang efisien menurut spesifik lokasi, sehingga mampu
menghasilkan produktivitas yang tinggi untuk menunjang peningkatan produksi
yang bekelanjutan (Ditjentan 2008).
Program GP-PTT mulai dilaksanakan pada tahun 2015 dengan pendekatan
kawasan tanaman pangan terpadu. GP-PTT adalah program nasional untuk
meningkatkan produksi padi melalui pendekatan gerakan massal kepada
petani/kelompok tani untuk melaksanakan teknologi Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) dalam mengelola usaha tani padi dengan tujuan peningkatan
produktivitas, pendapatan petani dan kelestarian lingkungan (Ditjentan 2015).
Pada program GP-PTT ini petani/kelompok tani difasilitasi bantuan sarana
produksi, bantuan untuk tanam jajar legowo dan pertemuan kelompok pada
seluruh areal program GP-PTT sebagai instrumen stimulan disertai dengan
dukungan pembinaan, pengawalan teknologi dan pemantauan dari berbagi pihak
yang terkait.
Melalui GP-PTT petani dapat langsung menerapkan teknologi budi daya
spesifik lokasi yang merupakan hasil rekomendasi Balai Pengkajian Teknologi
(BPTP) setempat. Petani diharapkan mampu mengelola potensi sumber daya
yang tersedia secara terpadu untuk budi daya padi dalam suatu kawasan tertentu.
Dengan berbagai stimulan yang diberikan pemerintah, diharapkan pelaksanaan
GP-PTT dapat meningkatkan produksi dan pendapatan.
Penelitian Supriyadi et al. (2010) menyebutkan kelemahan program SL-PTT
adalah tidak adanya sinkronisasi antara ujung tombak pelaksana di lapangan yaitu
penyuluh pertanian dan mantri tani akibat perbedaan instansi. Kondisi ini
menyebabkan pelaksanaan program menjadi kurang berhasil secara optimal.
Pengembangan SL-PTT harus mengikuti proses pembelajaran secara
kesinambungan dan bukan pendekatan keproyekan (Nurasa dan Supriyadi, 2012).
3
Penelitian Ariani et al. (2014) menyatakan bahwa pertumbuhan rencana
luas areal SL-PTT yang sangat cepat dibandingkan pertumbuhan luas panen padi
nasional menggambarkan bahwa perencanaan luas areal SL-PTT tidak didasarkan
kepada evaluasi keberhasilan. Keberhasilan program SLPTT dicerminkan dari
adanya peningkatan tambahan produktivitas antara 0,5 ton–0,75 ton per hektar.
Tambahan produktivitas ini tergantung pada keberhasilan petani/kelompok tani
menerapkan teknologi PTT secara sinergis. Penyuluhan pertanian dan
pendampingan penerapan teknologi menjadi hal yang esensial.
Dengan diterapkannya program GP-PTT ini diharapkan usaha tani padi akan
lebih efisien dan produksi dapat meningkat. Dengan peningkatan produksi dan
usaha tani yang lebih efisien, diharapkan tingkat kesejahteraan petani juga akan
meningkat dengan catatan adanya dukungan kebijakan pemerintah dalam hal
harga dan penyediaan sarana produksi. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu
dilakukan pengkajian dampak inovasi teknologi dalam program GP-PTT terhadap
pendapatan dan kesejahteraan petani, selain itu melihat kecenderungan
keberlanjutan penerapan teknologi tersebut pascaprogram.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak penerapan program
GP-PTTterhadap kesejahteraan petani. Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Menganalisis kinerja pelaksanaan program GP-PTT.
2. Menganalisis dampak Program GP-PTT terhadap adopsi teknologi dan
Kelembagaan, peningkatan produksi pendapatan petani padi.
3. Menyusun rekomendasi kebijakan guna mendukung keberhasilan
pelaksanaan Program GP-PTT.
1.3. Keluaran
Secara umum keluaran penelitian ini adalah laporan analisis dampak Program
GP-PTT terhadap kesejahteraan petani padi. Keluaran khusus penelitian adalah :
1. Informasi kinerja program GP-PTT
2. Hasil analisis dampak Program GP-PTT terhadap adopsi teknologi dan
kelembagaan, peningkatan produksi dan pendapatan petani padi
4
3. Rekomendasi kebijakan yang mampu mendukung keberhasilan
pelaksanaan GP-PTT.
1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak
Hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan dan
memperkaya pelaksanaan program GP-PTT sehingga ke depan menjadi lebih
efektif dalam pencapaian tujuan program. Selain itu hasil kajian ini akan
merupakan pembelajaran bagi semua pihak terkait dengan pelaksanaan Program
GP-PTT. Dampak yang diharapkan adalah adanya perbaikan dari saran-saran
dalam aspek teknis, ekonomi, dan sosial-kelembagaan, sehingga kegiatan
Program GP-PTT mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani padi.
II. METODOLOGI
2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di lokasi yang sudah melaksanakan program GP-PTT,
yaitu di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah. Kunjungan ke beberapa instansi terkait dilakukan baik di instansi pusat
maupun daerah. Kunjungan di instansi pusat dilakukan di Ditjen Prasarana dan
Sarana Pertanian, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian,
Biro Perencanaan Kemtan, dan Badan Pusat Statistik. Sementara itu, di institusi
daerah dilakukan kunjungan ke Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Badan
Pelaksana Penyuluhan Pertanian atau Kelompok Jabatan Fungsional Penyuluh
Pertanian sebagai pelaksana dan pendampingan Program GP-PTT.
2.2. Sumber dan Jenis Data
Sumber data sekunder diperoleh dari berbagai instansi pusat yaitu Ditjen
Prasarana dan Sarana Pertanian, Ditjen Tanaman Pangan, Badan Litbang
Pertanian, dan Pusdatin. Data sekunder juga diperoleh melalui penelusuran
dokumen berupa laporan penelitian, laporan program dan publikasi ilmiah. Data
primer diperoleh melalui wawancara dengan aparat pertanian tingkat
provinsi/kabupaten, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), kelompok petani
penerima program GP-PTT. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi
keragaan program (luas areal, produksi dan produktivitas hasil GP-PTT, kinerja
5
usaha tani dan mekanisme pelaksanaan program, serta dampak program),
kendala-kendala pokok dan alternatif pemecahannya dalam pelaksanaan Program
GP-PTT, dan analisis kinerja usaha tani padi pada lokasi Program GP-PTT.
2.3. Metode Analisis
Analisis data dan informasi dilakukan dengan pendekatan deskriptif
kualitatif dengan mengungkapkan keragaan pelaksanaan program, kinerja usaha
tani, kendala-kendala pokok yang dihadapi, serta prospek keberlanjutan Program
GP-PTT ke depan. Kajian deskriptif juga diharapkan dapat menggambarkan kinerja
mengenai implementasi kebijakaan saat ini, kendala-kendala pokok yang dihadapi,
dan dampak program GP-PTT. Dari keseluruhan analisis diharapkan dapat
dirumuskan kebijakan penyempurnaaan pelaksanaan Program GP-PTT kedepan.
III. KONSEP SL-PTT DAN GP-PTT
3.1. Tinjauan Program Peningkatan Produksi Padi
Dengan mencermati berbagai pelaksanaan program pembangunan
pertanian khususnya program peningkatan produksi padi dari aspek
kelembagaannya, diperoleh kecenderungan penggunaan strategi pengembangan
kelembagaan sebagai berikut (Saptana et al. 2003): pertama, tujuan
pembentukan kelembagaan kelompok tani dan Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan) masih terbatas pada peningkatan produksi jangka pendek dengan
penerapan teknologi produksi, khususnya penggunaan benih/bibit unggul, pupuk,
dan obat-obatan dan belum berorientasi pada peningkatan pendapatan petani
melalui peningkatan nilai tambah secara berkelanjutan.
Kedua, pembentukan kelembagaan lebih untuk memperkuat ikatan-ikatan
horizontal, namun lemah dalam ikatan vertikal. Kelompok tani misalnya adalah
kelompok orang yang setingkat, yaitu pada kegiatan budi daya komoditas padi.
Kelembagaan tersekat-sekat, tanpa ada struktur yang komprehensif, khususnya
untuk jaringan sistem dan usaha agribisnis secara utuh. Kelembagaan kelompok
tani dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas
kontrol dari pelaksana program, bukan untuk meningkatkan posisi tawar petani.
6
Bentuk kelembagaan yang dikembangkan cenderung seragam berbasis usaha tani
padi sawah, khususnya komoditas padi sawah pada irigasi teknis.
Ketiga, pada awalnya (1970-1998) pembinaan untuk kelembagaan
kelompok tani yang telah terbentuk cenderung individual, misalnya dengan
memfokuskan pembinaan kepada kontak-kontak tani. Ini sesuai dengan prinsip
trickle down effect dalam penyebaran informasi yang dianut dalam penyuluhan.
Namun program-program peningkatan produksi padi dewasa ini (2000-2015)
dilakukan melalui pendekatan kelompok dan partisipatif.
Keempat, pengembangan kelembagaan (kelompok tani dan P3A)
cenderung menggunakan jalur struktural. Struktur dibangun lebih dahulu, untuk
kemudian berharap agar perilaku orang-orang di dalamnya bisa mengikuti.
Introduksi lebih melalui budaya material dibanding nonmaterial, atau merupakan
perubahan yang materialistik. Hal ini misalnya terlihat dalam pengembangan
kelembagaan irigasi pada komoditas padi.
Kelima, introduksi kelembagaan baru telah merusak kelembagaan lokal
yang ada sebelumnya, dan merusakkan hubungan-hubungan horizontal. Hal itu
karena proyek yang bersifat sektoral, jangka pendek dan tidak berkelanjutan,
padahal pengembangan kelembagaan membutuhkan waktu yang lama.
Keenam, pengembangan kelembagaan kurang memanfaatkan kelembagaan
yang telah ada di lapangan. Dengan membentuk kelembagaan baru seolah-olah
pelaksana program telah menggunakan pendekatan kelembagaan, padahal yang
diutamakan adalah teknologi serta bantuan sarana produksi dan alsintannya.
Teknologilah entry point-nya, bukan kelembagaan. Penyebabnya adalah
membangun suatu kelembagaan jelas jauh lebih sulit dan lama daripada hanya
mengintroduksikan suatu paket teknologi tertentu. Kelembagaan pendukung tidak
dikembangkan dengan baik, karena pembangunan yang bersifat sektoral atau
subsektoral, kurang terintegrasi secara vertikal.
Sebelum tahun 1998, kebijakan peningkatan produksi padi di Indonesia
cukup protektif dan propetani (Suryana dan Kariyasa 2008). Selanjutnya
diungkapkan bahwa pada saat itu, instrumen kebijakan perberasan nasional dapat
digolongkan ke dalam dua tingkatan, yaitu tingkat usaha tani dan tingkat
7
pasar/konsumen. Untuk tingkat usaha tani, kebijakan yang terpenting adalah
berupa subsidi harga ouput (harga dasar), subsidi harga input (pupuk, benih dan
pestisida) dan subsidi bunga kredit usaha tani (KUT). Sementara itu di tingkat
pasar, kebijakan yang dilaksanakan berupa manajemen stok dan monopoli impor
beras oleh BULOG, penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk
operasional pengadaan beras oleh Bulog, Kredit Pengadaan Pangan bagi
Koperasi/KUD, dan operasi pasar oleh BULOG pada saat harga beras tinggi. Sejak
tahun 1998, kebijakan padi atau perberasan Indonesia mengalami perubahan
drastis, dimana seluruh instrumen pendukung kecuali harga dasar telah dihapus
oleh pemerintah. Penghapusan instrumen pendukung kebijakan perberasan
nasional menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling liberal
dalam perdagangan berasnya.
Pemerintah Indonesia melalui Inpres No.9 tahun 2001 tentang penetapan
kebijakan perberasan telah menetapkan hal-hal sebagai berikut (Suryana dan
Kariyasa, 2008): (a) memberikan dukungan bagi peningkatan produktivitas petani
padi dan produksi padi atau beras nasional, (b) memberikan dukungan
diversifikasi bagi kegiatan ekonomi padi dalam rangka meningkatkan pendapatan
petani, (c) melaksanakan kebijakan harga dasar pembelian pemerintah (HDP) oleh
BULOG, yang sekarang menjadi Harga Pembelian Pemerintah (HPP), (d)
menetapkan kebijakan impor beras dalam rangka memberikan perlindungan
kepada petani dan konsumen melalui evaluasi besaran tarif impor yang ditetapkan
secara berkala, dan (e) memberikan jaminan bagi penyediaan dan penyaluran
beras bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan.
Hasil kajian Supriadi dan Purwantini (2015) mengemukakan bahwa
permasalahan utama dalam peningkatan produksi padi di Indonesia untuk dapat
mencapai swasembada pangan secara absolut ada empat, yaitu: a) kurang
luasnya lahan yang ditanami padi, b) adopsi teknologi tepat guna masih kurang,
c) efektivitas pendampingan oleh penyuluh/dinas terkait masih kurang, dan d)
program-program peningkatan produksi padi selama ini dinilai masih kurang
efektif. Salah satu strategi yang dilakukan dalam upaya memacu peningkatan
produksi dan produktivitas usaha tani padi adalah dengan mengintegrasikan
8
dukungan kegiatan antar sektor dan antarwilayah dalam pengembangan usaha
pertanian yang berkelanjutan.
Pada aspek produksi peningkatan produksi padi dilakukan melalui
pendekatan Pengelolaan Tanaman Sumber daya Terpadu (PTT). Pendekatan ini
adalah salah satu alternatif pengelolaan padi secara intensif dan holistik pada
lahan sawah irigasi yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas padi.
Dikatakan secara holistik karena diimplementasikan secara terpadu mencakup
(Supriadi et al. 2012; Rusastra, et al. 2013) : (1) komponen pengelolaaan
tanaman secara terpadu: Integrated Pest Management (IPM), Integrated Water
Management (IWM), Integrated Weed Management (IWEM); (2) keterpaduan
antarinstansi; (3) keterpaduan ilmu pengetahuan dan keterpaduan analisis dan
interprestasi. Tujuan PTT pada usaha tani padi adalah meningkatkan
produktivitas, meningkatkan pendapatan atau keuntungan usaha tani padi melalui
efisiensi penggunaan input dan melestarikan sumber daya untuk keberlanjutan
sistem produksi pertanian.
Pelaksanaan SL-PTT sebagai pendekatan pembangunan tanaman pangan,
khususnya dalam mendorong peningkatan produksi padi nasional telah terbukti
mengungkit pencapaian produksi. Namun ke depan dengan adanya berbagai
tantangan yang lebih beragam, perlu penyempurnaan dengan peningkatan
kualitas, baik pada tatanan perencanaan dan opersionalisasi di lapangan.
Dalam rangka pemantapan upaya mencapai dan mempertahankan
swasembada beras ke depan dibutuhkan analisis kebijakan program SL-PTT,
dengan keluaran memberikan informasi mengenai strategi dan program indikatif
pengembangan SL-PTT menunjang peningkatan produksi padi nasional.
Penentuan siapa saja pelaksana SL-PTT dan di mana lokasi laboratorium
lapangan (LL), pada kenyataannya ditentukan dengan cara musyawarah mufakat.
Umumnya, lokasi LL ditempatkan pada lahan milik ketua/pengurus kelompok tani
ataupun gapoktan dengan pertimbangan untuk mempermudah pelaksanaan dan
koordinasi. Hasil kajian (Rahman, et al. 2009) menyarankan bahwa : (a) dalam
pemilihan lokasi SL-PTT diprioritaskan pada luasan areal yang memadai,
produktivitasnya masih rendah sehingga berpotensi untuk ditingkatkan; dan (b)
9
Peserta SL-PTT dianjurkan adalah pemilik lahan, agar dapat mengambil keputusan
secara penuh.
Perencanaan pembangunan pertanian pada Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) 2015-2019 telah ditetapkan fokus pada lokasi pengembangan.
Dalam hal ini, komoditas strategis dan unggulan nasional dikembangkan pada
kawasan-kawasan andalan secara utuh, sehingga menjadi satu kesatuan dalam
sistem pertanian berindustri. Dalam pelaksanaan aktivitas usaha tani dikelola
dengan prinsip pertanian lestari dengan memanfaatkan agro-input yang ada di
sekitar lingkungan usaha tani. Pendekatan pengembangan kawasan dirancang
untuk meningkatkan efektivitas kegiatan, efisiensi anggaran dan mendorong
keberlanjutan kawasan komoditas unggulan dengan pendekatan agoekosistem
agribisnis, partisipatif dan terpadu.
Untuk memenuhi kebutuhan beras dari produksi dalam negeri, maka telah
ditetapkan sasaran produksi padi tahun 2015 sebesar 73.445.034 ton gabah
kering giling (GKG). Pada dasarnya banyak tantangan yang harus dihadapi untuk
mencapai sasaran produksi tersebut. Oleh karena itu diperlukan upaya
peningkatan produksi yang luar biasa. Berbagai upaya peningkatan produksi
melalui peningkatan produktivitas telah dilaksanakan, salah satunya melalui
Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) yang dilaksanakan
sejak tahun 2008. Dengan melalui PTT tersebut, pada dasarnya sebagai
peningkatan mutu intensifikasi pada tahun-tahun sebelumnya (Ditjentan, 2015).
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dengan mempertimbangkan sumber
daya yang ada (terpadu dengan sumber daya dan lingkungan) merupakan
pendekatan teknologi yang memfokuskan pada tanaman dan pengelolaan
kesehatan tanaman pada suatu sistem budi daya. Dengan demikian kegiatan
pengendalian hama dan penyakit tanaman dilaksanakan secara terintegrasi untuk
mencapai hasil yang maksimal dengan mutu panen yang optimal dan keuntungan
yang maksimal serta terjaminnya keseimbangan agroekosistem yang
berkelanjutan. PTT sebagai suatu pendekatan inovatif dalam upaya meningkatkan
produktivitas dan efisiensi usaha tani dengan menerapkan komponen teknologi
PTT yang sinergis dan efisien (Zakaria 2004).
10
Dinamika perkembangan sistem dan usaha agribisnis dan pergeseran
orientasi kegiatan pertanian yang semakin bergeser ke arah kegiatan pertanian
terpadu (dari hulu ke hilir) mulai dari bertanam sampai ke pemasaran produk
olahan harus disikapi dengan mengevolusikan posisi tenaga penyuluh dari posisi
agen perubahan ke posisi pendamping petani dan kelompok tani sasaran yang
berorientasi agribisnis. Baik UU No.16/2006 tentang sistem penyuluhan pertanian,
adanya Badan Koordinasi Penyuluh Pertanian dan Badan Pelaksana Penyuluh
Pertanian, maupun kondisi operasional di lapangan belum menunjukkan arah
perubahan status dan posisi penyuluh sebagai pendamping petani dalam
menjalankan usahanya.
Instrumen UU No. 16/2006 dan beberapa produk peraturan turunannya
(PP, Perpres, Permentan, Perda, Pergub, dan Perbup), telah mampu mendukung
pencapaian swasembada beras dengan catatan apabila program-program yang
telah dicanangkan oleh pemerintah dapat dijalankan secara sinergis dan
terintegrasi lintas sektoral dengan dukungan anggaran yang memadai. Dalam hal
ini termasuk kegiatan penyuluhan dan pendampingan pelaksanaan program-
program pembangunan pertanian. Produksi padi yang dihasilkan petani peserta
program (SL-PTT, GP-PTT, kaji terap, denfarm) meningkat sekitar 29-32,7 %
dibandingkan petani nonpeserta yang tidak mengikuti teknologi anjuran yang
diterapkan petani peserta program dan tanpa pendampingan/pengawalan
penyuluh pertanian.
Permasalahan pokok dalam pembangunan pertanian terkait pelaksanaan
Program Upaya Khusus Padi Jagung dan Kedelai dalam rangka swasembada
pangan nasional adalah ketersediaan benih varietas unggul, ketersediaan pupuk,
infrastruktur pengairan, ketersediaan alsintan dan ketersediaan penyuluhan
(PSEKP 2015). Revitalisasi sistem penyuluhan pertanian tidak semata-mata dapat
ditempuh hanya melalui perbaikan kelembagaan internal penyuluhan dengan cara
pembentukan Bakorluh dan Bapeluh semata, melainkan juga harus ada revitalisasi
SDM penyuluh dan materi penyuluhan pertanian. Revitalisasi SDM dilakukan baik
dari aspek keterampilan teknis maupun kapabilitas manajerialnya mengikuti sub-
sistem agribisnis. Revitalisasi materi penyuluhan terkait dengan inovasi teknologi,
11
pembentukan dan penguatan kelembagaan, serta keluasan cakupan yang
mengacu pada subsistem agribisnis secara terpadu.
Puslitbangtan (2014) mengemukakan bahwa operasionalisasi peningkatan
produksi padi sampai tahun 2020 ditempuh dengan strategi: 1) pemanfaatan
sumber daya lahan dan air, dan 2) pemanfaatan sumber daya teknologi. Lebih
lanjut dikatakan bahwa strategi pemanfaatan sumber daya lahan dan teknologi
dapat dijabarkan dalam beberapa kebijakan. Strategi pemanfaatan sumber daya
lahan dan air dijabarkan dalam kebijakan: (1) peningkatan IP, dan (2) pembukaan
lahan baru bagi persawahan. Strategi pemanfaatan sumber daya teknologi
dijabarkan dalam kebijakan: (1) peningkatan produktivitas, (2) peningkatan
stabilitas hasil, (3) penekanan tingkat kehilangan hasil pada saat panen dan
pascapanen, dan (4) penekanan senjang hasil antara tingkat penelitian dengan
tingkat petani dan antarlokasi. Pada dasarnya upaya peningkatan produksi padi
harus dikaitkan dengan upaya peningkatan pendapatan petani yang bermuara
pada peningkatan kesejahteraan keluarga petani.
3.2. Tinjauan Konseptual SL-PTT dan GP-PTT
Berbagai upaya peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas
telah dilaksanakan antara lain melalui Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SL-PTT) sejak tahun 2008 maupun melalui PTT atau peningkatan mutu
intensifikasi pada tahun-tahun sebelumnya. Pelaksanaan SL-PTT sebagai
pendekatan pembangunan tanaman pangan, khususnya dalam mendorong
peningkatan produksi padi nasional telah terbukti mengungkit pencapaian
produksi, namun ke depan dengan berbagai tantangan yang lebih beragam maka
diperlukan penyempurnaan dan atau peningkatan kualitas baik pada tatanan
perencanaan dan operasionalisasi di lapangan.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka pada tahun 2015 upaya
peningkatan produksi padi difokuskan pada kawasan tanaman pangan, melalui
Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT) dengan fasilitasi
bantuan sarana produksi (saprodi), biaya tanam jajar legowo dan pertemuan
kelompok pada seluruh areal program GP-PTT sebagai instrumen stimulan disertai
dengan dukungan pembinaan, pengawalan dan pemantauan oleh berbagai pihak.
12
Subbab ini membahas tentang tinjauan konseptual SL-PTT sejak tahun
2008-2014 sebagaimana tercantum dalam Pedoman Pelaksanaan 2008-2009 dan
Pedoman Teknis 2010-2014 (Ditjentan 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013,
2014), kemudian transformasinya menjadi GP-PTT pada tahun 2015 (Ditjentan
2015). Konsep SL-PTT mengalami perubahan dalam kurun waktu tersebut, dan
ketika ditransformasi menjadi GP-PTT terdapat beberapa bagian SL-PTT yang
tetap dipertahankan selain tentu saja terdapat perbedaan di antara kedua konsep
tersebut.
3.2.1. Konsep SL-PTT
SL-PTT pertama kali dikembangkan pada tahun 2008. SL-PTT berfungsi
sebagai pusat belajar pengambilan keputusan para petani/kelompok tani,
sekaligus tempat tukar menukar informasi dan pengalaman lapangan, pembinaan
manajemen kelompok serta sebagai percontohan bagi kawasan lainnya. Melalui
SL-PTT diharapkan petani/kelompok tani nantinya akan mampu mengambil
keputusan atas dasar pertimbangan teknis dan ekonomis dalam setiap tahapan
budi daya usaha taninya serta mampu mengaplikasikan teknologi secara benar
sehingga meningkatkan produksi dan pendapatannya.
SL-PTT dilaksanakan oleh kelompok tani yang sudah terbentuk dan masih
aktif. Kelompok tani yang dimaksud diupayakan kelompok tani yang dibentuk
berdasarkan hamparan, atau lokasi lahan usaha taninya diupayakan masih dalam
satu hamparan setiap kelompok. Hal ini perlu untuk mempermudah interaksi antar
anggota karena mereka saling mengenal satu sama lainnya dan diharapkan
tinggal saling berdekatan sehingga bila teknologi SL-PTT sudah diadopsi secara
individu akan mudah ditiru petani lainnya.
Tiap unit SL-PTT terdiri dari petani peserta yang berasal dari satu kelompok
tani yang sama dan atau dengan kelompok tani lain terdekat. Dalam setiap unit
SL-PTT perlu ditetapkan seorang ketua yang bertugas mengkoordinasikan aktivitas
anggota kelompok, seorang sekretaris yang bertugas sebagai pencatat kegiatan–
kegiatan yang dilaksanakan pada setiap pertemuan dan seorang bendahara yang
bertugas mengurusi masalah yang berhubungan dengan keuangan.
13
Dalam SL-PTT terdapat satu unit Laboratorium Lapangan (LL) yang
merupakan bagian dari kegiatan SL-PTT sebagai tempat bagi petani anggota
kelompok tani dapat melaksanakan seluruh tahapan SL-PTT pada lahan tersebut.
Peserta SL-PTT akan mengadakan pengamatan bersama–sama di petak
percontohan/Laboratorium Lapangan (LL), mendiskripsikan dan membahas
temuan–temuan lapangan. Pemandu Lapangan berperan sebagai fasilitator untuk
mengarahkan jalannya diskusi kelompok.
Peserta SL-PTT wajib mengikuti setiap tahap pertanaman dan
mengaplikasikan kombinasi komponen teknologi yang sesuai spesifik lokasi mulai
dari pengolahan tanah, budi daya, penanganan panen dan pascapanen. Pada
setiap tahapan pelaksanaan, petani peserta diharapkan melakukan serangkaian
kegiatan yang sudah direncanakan dan dijadwalkan, baik dipetak LL maupun di
lahan usaha taninya.
Terdapat empat strategi peningkatan produksi dalam implementasi SL-
PTT: (i) Peningkatan produktivitas. Dilakukan melalui pemakaian benih varietas
unggul bermutu produktivitas tinggi termasuk benih padi hibrida dan jagung
hibrida, 13ocial jarak tanam jajar legowo, pemupukan berimbang dan pemakaian
pupuk 13ocial13 serta pupuk bio-hayati, pengelolaan pengairan dan perbaikan
budi daya disertai pengawalan, pendampingan, pemantauan dan koordinasi, dll.
Strategi ini terutama dilaksanakan di wilayah dimana perluasan areal sudah sulit
dilakukan, sehingga dengan penerapan teknologi spesifik lokasi diharapkan masih
dapat ditingkatkan produktivitasnya. Hal lain yang dapat diterapkan adalah
dengan mengurangi potensi kehilangan hasil melalui penanganan panen dan
pascapanen yang lebih baik. (ii) Perluasan areal tanam. Dilakukan melalui upaya
optimalisasi lahan, melalui upaya perbaikan seperti JITUT, JIDES, dan Tata Air
Mikro, pompanisasi dan penambahan baku lahan sawah (cetak sawah baru),
disertai konservasi lahan yang berkelanjutan serta peningkatan indeks
pertanaman, pengelolaan air irigasi, dll. (iii) Pengamanan produksi. Pengamanan
produksi dimaksudkan untuk mengurangi dampak perubahan iklim seperti
kebanjiran dan kekeringan serta pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan
(OPT), dan pengamanan kualitas produksi dari residu pestisida serta mengurangi
14
kehilangan hasil pada saat penanganan panen dan pascapanen yang masih cukup
besar. (iv) Pemandu Lapangan. Penyempurnaan manajemen tersebut berupa
dukungan kebijakan dan regulasi, penyempurnaan manajemen teknis serta
penyempurnaan data dan informasi.
Penerapan PTT didasarkan pada empat prinsip (Ditjentan 2008), yaitu (i)
Terpadu : PTT merupakan suatu pendekatan agar sumber daya tanaman, tanah
dan air dapat dikelola dengan sebaik-baiknya secara terpadu; (ii) Sinergis : PTT
memanfaatkan teknologi pertanian terbaik, dengan memperhatikan keterkaitan
yang saling mendukung antar komponen teknologi; (iii) Spesifik lokasi : PTT
memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun 14ocial
budaya dan ekonomi petani setempat; dan (iv) Partisipatif : Petani turut
berperanserta dalam memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan kondisi
setempat dan kemampuan petani melalui proses pembelajaran dalam bentuk
laboratorium lapangan (LL).
Ketentuan pelaksanaan SL-PTT mencakup empat hal yaitu: (i) Syarat lokasi.
Lokasi SL-PTT diusahakan berada pada satu hamparan atau kawasan, mempunyai
potensi untuk ditingkatkan produktivitas dan/atau IP-nya, serta anggota kelompok
taninya respons terhadap penerapan teknologi.; (ii) Luas per unit. Luas satu unit
SL-PTT padi dan jagung adalah 25 ha yang di dalamnya terdapat satu unit LL
seluas 1 ha. Pertanaman di areal SL-PTT padi ditargetkan mampu meningkatkan
produksi sebesar 0.5-1 ton/ha dan target di areal LL sebesar 1-1.5 ton/ha; (iii)
Jumlah peserta tiap unit. Peserta tiap unit SL-PTT diupayakan para petani yang
berasal dari hamparan seluas 25 ha; (iv) Memiliki Pemandu Lapangan. Pemandu
lapangan untuk SL-PTT awalnya hanya dilakukan oleh penyuluh/POPT/PBT dan
petugas dinas pertanian setempat. Sejak 2010 pengawalan dan pendampingan
SL-PTT melibatkan pelaku yang lebih lengkap mencakup penyuluh, POPT, PBT,
dan peneliti. Peran peneliti pada tahun 2010 terbatas sebagai narasumber, namun
mulai tahun 2011 60% dari lokasi SL-PTT harus didampingi oleh peneliti. Tugas-
tugas yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pelaku yang terlibat dalam
pendampingan dan pengawalan telah dirinci dalam Pedoman Teknis GP-PTT.
15
Bahkan pada kurun waktu selanjutnya, aparat TNI juga terlibat dalam
pendampingan dan pengawalan SL-PTT.
Komoditas yang menjadi target untuk ditingkatkan produksinya melalui SL-
PTT awalnya adalah padi, jagung, kedele. Namun dalam perjalanan implementasi
program dalam kurun waktu 2008-2014, terdapat beberapa perubahan komoditas
(Tabel 3.1). Pada tahun 2010, kacang tanah pernah ditambahkan sebagai
komoditas yang tercakup dalam SL-PTT, namun tahun berikutnya tidak lagi
dimunculkan. Sejak 2012 komoditas yang dikembangkan hanya dua yaitu padi dan
jagung.
Tabel 3.1. Jenis komoditas yang dikembangkan dalam program SL-PTT di Indonesia selama 2008-2014
Tahun Komoditas
2008 Padi, jagung, kedelai
2009 Padi, jagung, kedelai
2010 Padi, jagung, kedelai, kacang tanah
2011 Padi nonhibrida, pada hibrida, padi gogo, jagung, kedelai
2012 Padi (nonhibrida, nonhibrida spesifik lokasi peningkatan produktivitas, nonhibrida spesifik lokasi peningkatan IP; hibrida, hibrida spesifik lokasi peningkatan produktivitas, hibrida spesifik lokasi peningkatan IP), jagung
hibrida.
2013 Padi. Kawasan pertumbuhan : padi inbrida sawah, padi inbrida pasang surut, padi inbrida rawa lebak, padi inbrida lahan kering. Kawasan Pengembangan :
padi inbrida sawah, padi inbrida lahan kering, padi hibrida. Kawasan Pemantapan : padi inbrida sawah, padi inbrida lahan kering. Jagung. Kawasan pertumbuhan : jagung hibrida, jagung komposit. Kawasan Pengembangan :
jagung hibrida. Kawasan Pemantapan : jagung hibrida.
2014 Kawasan pertumbuhan : padi inbrida sawah, padi inbrida pasang surut, padi inbrida rawa lebak, padi inbrida lahan kering. Kawasan Pengembangan : padi inbrida sawah, padi inbrida lahan kering, padi hibrida. Kawasan Pemantapan :
padi inbrida sawah, padi inbrida lahan kering. Jagung. Kawasan pertumbuhan : jagung hibrida, jagung komposit. Kawasan Pengembangan : jagung hibrida.
Kawasan Pemantapan : jagung hibrida.
Sumber: Ditjentan 2008-2014.
Dalam perjalanannya, komponen teknologi SL-PTT juga mengalami
perubahan (Tabel 3.2). Pada awal kemunculannya terdapat 12 jenis komponen
teknologi yang diterapkan, dan hal ini berlangsung hingga tahun berikutnya. Sejak
tahun 2010, komponen teknologi dipisahkan menjadi komponen teknologi dasar
dan pilihan. Pembagian ini terus digunakan hingga 2014, namun komponen
teknologi yang terdapat di dalamnya kadangkala berubah. Misalnya bahan organik
16
pada tahun 2010 termasuk dalam komponen dasar, pada tahun berikutnya masuk
dalam komponen pilihan. Sistem tanam yang diterapkan dalam SL-PTT
sebenarnya mengacu pada sistem tanam legowo, namun istilah ini tidak selalu
muncul secara eksplisit dalam pedoman teknis. Beberapa istilah sistem tanam
yang digunakan istilah yaitu: sistem legowo (2008-2009, 2013-2014), populasi
tanaman optimum (2010-2011), Populasi tanaman 66.000-75.000 tan/ha (2012).
Tabel 3.2. Komponen PTT Padi 2008-2014
Tahun Komponen teknologi
2008 Varietas benih unggul, benih berlabel, olah tanah, peningkatan populasi dengan sistem legowo, bibit muda dan 1-3 bibit per lubang, pengaturan tata tanam
secara tepat, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status tanah, pemberian air secara efektif dan efisien, pengendalian HPT secara terpadu, pengendalian gulma, penanganan panen dan pascapanen.
2009 sda
2010 Komponen dasar : VUB, inbrida, hibrida; benih bermutu dan berlabel;
pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami; populasi tanaman optimum; pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah; pengendalian OPT. Komponen teknologi pilihan : OT sesuai musim dan pola
tanam; bibit muda (<21 hari); 1-3 bibit per lubang; pengairan secara efektif dan efisien; penyiangan dengan landak atau gasrok; panen tepat waktu dan gabah segera dirontok.
2011 sda
2012 Komponen dasar : VUB, inbrida, hibrida; benih bermutu dan berlabel; Populasi
tanaman 66.000-75.000 tan/ha; pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah. Komponen teknologi pilihan : Penyiapan lahan; pemberian pupuk organik; pembuatan saluran draenase pada lahan kering atau
saluran irigasi pada lahan sawah; pengendalian gulma secara mekanis atau dengan herbisida kontak; pengendalian hama dan penyakit; panen tepat waktu
dan pengeringan segera.
2013 Komponen dasar : varietas modern (VUB, PH, PTB); benih bermutu dan
berlabel; pengaturan cara tanam (jarwo); pemupukan Berimbang dan efisien; PHT sesuai OPT sasaran. Komponen teknologi pilihan : bahan organik/pupuk
kandang/amelioran; umur bibit; OT yang baik, pengelolaan air optimal; pupuk cair; penangan panen dan pascapanen.
2014 sda Sumber: Ditjentan 2008-2014.
Plafon bantuan untuk peserta SL-PTT berupa benih: padi nonhibrida
25kg/ha, hibrida 15 kg/ha, padi gogo 25 kg/ha, jagung hibrida 15 kg/ha, kedelai
40 kg/ha, kacang tanah 120 kg polong kering/ha. Bantuan untuk pembelian pupuk
Urea, NPK, pupuk organik, dan atau yang lainnya disesuaikan dengan
rekomendasi dosis pemupukan setempat. Bantuan tersebut merupakan stimulan,
kekurangannya diharapkan dipenuhi secara swadaya.
17
Upaya pencapaian sasaran produksi awalnya dilakukan dalam unit-unit SL-
PTT. Luas satu unit SL-PTT awalnya berkisar 10-25 ha, di dalamnya terdapat
minimal 1 ha LL. Sejak tahun 2013 kegiatan peningkatan produktivitas dilakukan
dengan menggunakan pendekatan kawasan. Kawasan adalah suatu daerah
tertentu dengan ciri-ciri tertentu. Dalam konteks pertanian kawasan yang
dimaksud adalah suatu areal (sawah, lahan kering, tadah hujan, rawa lebak, rawa
pasang surut) di lokasi tertentu tanpa memperhitungkan batas-batas administrasi
wilayah (desa/kampung), sungai, jalan, atau batas-batas lainnya.
Terdapat tiga jenis kawasan yang menjadi fokus pengembangan SL-PTT
yaitu kawasan pertumbuhan, pengembangan dan pemantapan. Kawasan
Pertumbuhan merupakan daerah yang tingkat produktivitasnya masih di bawah
rata-rata produktivitas provinsi (daerah-daerah suboptimal), pemanfaatan lahan
belum optimal, tingkat kehilangan hasil masih tinggi. Kawasan Pengembangan
merupakan daerah yang tingkat produktivitasnya sama dengan rata-rata
produktivitas provinsi, pemanfaatan lahan hampir optimal, tingkat kehilangan hasil
sedang tetapi mutu hasil belum optimal. Kawasan Pemantapan merupakan daerah
yang tingkat produktivitasnya di atas rata-rata produktivitas provinsi dan atau
nasional, mutu hasil belum optimal, efisiensi usaha belum berkembang dan
optimalisasi pendapatan melalui produksi subsektor tanaman sudah maksimal
(kecuali ada introduksi teknologi baru).
Luas satu kawasan 1.000 ha diutamakan dalam satu desa dalam satu
kecamatan dan penuhi terlebih dahulu areal dalam satu desa dalam satu
kecamatan. Namun apabila areal di desa tersebut belum mencukupi, maka
kekurangannya dapat ditambah/dipenuhi dari desa terdekat, dan seterusnya
hingga kawasan seluas 1.000 ha dapat terpenuhi. Apabila kawasan 1.000 ha
belum dapat dipenuhi dari satu kecamatan, maka kekurangannya dapat dipenuhi
dari kecamatan terdekat, dan seterusnya hingga kawasan seluas 1.000 ha
terpenuhi. Pada setiap 25 ha dalam kawasan seluas 1.000 ha, dilaksanakan 1 unit
Laboratorium Lapangan (LL) seluas 1 ha sehingga jumlah LL dalam kawasan
1.000 ha sebanyak 40 unit (40 ha LL).
18
Perubahan pendekatan kawasan juga membawa konsekuensi terhadap
plafon bantuan saprodi, secara rinci sebagai berikut : (i) Areal laboratorium
Lapangan (LL) pada kawasan pertumbuhan, pengembangan, dan pemantapan
mendapatkan bantuan saprodi (urea, NPK, pupuk organik, herbisida dan kapur
pertanian); (ii) Areal SL di luar LL pada kawasan pertumbuhan dan
pengembangan mendapatkan bantuan saprodi yang volume dan jenisnya tidak
sebesar pada lokasi LL. Kekurangan saprodi agar dapat dipenuhi secara swadana;
(iii) Areal SL di luar LL pada kawasan pemantapan tidak mendapatkan bantuan
saprodi. Untuk itu, saprodi pada areal tersebut diharapkan dapat disediakan
melalui swadana dan/atau dari sumber-sumber lainnya. Pengunaan saprodi
(volume dan jenisnya) di tingkat lapangan disesuaikan dengan kondisi di masing-
masing daerah (spesifik lokasi) dan telah disetujui oleh PPL serta Dinas Pertanian
Kabupaten/Kota dan BPTP Provinsi setempat.
3.2.2. Transformasi SLPTT menjadi GP-PTT
Implementasi SL-PTT signifikan dalam mengungkit peningkatan produksi
dan produktivitas, sehingga pada tahun 2015 ditingkatkan menjadi gerakan, yang
disebut Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu disingkat GP-PTT.
Konsep GP-PTT tidak banyak berbeda dengan konsep SL-PTT 2013-2014. Strategi
dan prinsip peningkatan produksi yang diacu masih sama, demikian pula
komoditasnya, yaitu padi dan jagung.
Pendekatan kawasan dalam GP-PTT berbeda dengan kawasan pada SL-
PTT, yaitu tidak lagi ada pembagian kawasan pertumbuhan, pengembangan, dan
pemantapan, hanya ada Kawasan dan GP-PTT non-Kawasan. GP-PTT Kawasan
adalah program dan kegiatan GP-PTT pada kawasan padi yang telah eksis atau
calon lokasi baru, dapat berupa hamparan atau spot parsial yang terhubung
dengan aksesibilitas yang memadai, dengan luas agregat kawasan 2500 ha. GP-
PTT non-Kawasan program dan kegiatan GP-PTT pada areal padi yang baru
dibentuk atau lokasi yang telah eksis, yang bersifat spot parsial maupun hamparan
dengan luas agregat areal sesuai potensi daerah. Kriteria khusus tanaman
pangan/padi dalam aspek luas agregat adalah 5.000 ha/2-4 kecamatan dan atau
disesuaikan dengan kondisi di lapangan, dengan fasilitasi GP-PTT seluas 2.500 ha.
19
Pelaksanaan GP-PTT juga mensyaratkan adanya Pemandu Lapangan (PL).
Pemandu Lapangan adalah Penyuluh Pertanian, Pengawas Organisme
Pengganggu Tanaman (POPT), Pengawas Benih Tanaman (PBT) yang telah
mengikuti pelatihan SL-PTT dan berperan sebagai pendamping dan pengawal
pelaksanaan GP-PTT. Selain itu, juga dilakukan pengawalan dan pendampingan
oleh petugas dinas, aparat TNI, peneliti. Pengawalan dan Pendampingan oleh
Petugas Dinas adalah kegiatan yang dilakukan oleh petugas Dinas Pertanian
Provinsi dan Kabupaten/Kota termasuk Penyuluh, POPT, PBT, Mantri Tani dan
atau petugas lainnya sesuai dengan kebutuhan di lapangan dalam melakukan
pengawalan dan pendampingan, guna lebih mengoptimalkan pelaksanaan
kegiatan GP-PTT. Pengawalan dan Pendampingan oleh Aparat adalah kegiatan
yang dilakukan oleh TNI-AD beserta jajarannya (Babinsa), Camat, Kades dan atau
petugas lainnya sesuai dengan kebutuhan di lapangan dalam melakukan
pengawalan dan pendampingan, guna lebih mengoptimalkan pelaksanaan
kegiatan GP-PTT. Pengawalan dan Pendampingan oleh Peneliti adalah kegiatan
yang dilakukan oleh peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) didukung
oleh peneliti UK/UPT Lingkup Badan Litbang Pertanian guna meningkatkan
pemahaman dan akselerasi adopsi PTT dengan menjadi narasumber pada
pelatihan, penyebaran informasi, melakukan uji adaptasi varietas unggul baru,
demplot, dan supervisi penerapan teknologi. Pengawalan dan Pendampingan oleh
Penyuluh adalah kegiatan yang dilakukan oleh Penyuluh guna meningkatkan
penerapan teknologi spesifik lokasi sesuai rekomendasi BPTP dan secara berkala
hadir di lokasi GP-PTT dalam rangka pemberdayaan kelompok tani sekaligus
memberikan bimbingan kepada kelompok dalam penerapan teknologi. Penyuluh
diharapkan hadir pada setiap pertemuan kelompok tani di lapangan. Pengawalan
dan Pendampingan oleh POPT (Pengawas Organisme Pengganggu Tanaman)
adalah kegiatan pendampingan oleh Pengawas OPT dalam rangka pengendalian
hama terpadu (PHT). Pengawalan dan Pendampingan oleh PBT (Pengawas Benih
Tanaman) adalah kegiatan pendampingan oleh Pengawas Benih dalam rangka
pengawasan mutu benih.
20
Perbedaan mendasar antara SL-PTT dengan GP-PTT adalah tidak ada lagi
pembagian areal LL dan SL. Seluruh petani peserta program mendapat bantuan
berupa saprodi lengkap, ditambah biaya pertemuan, dan tambahan biaya tanam
jarwo. Secara ringkas transformasi tersebut disajikan pada gambar berikut.
Gambar 1. Perbandingan SL-PTT Tahun 2014 dengan GP-PTT Tahun 2015
(Ditjentan 2015)
Plafon stimulan/bantuan saprodi untuk pelaksanaan GP-PTT Padi Tahun
2015 berbeda untuk wilayah Papua dan di Luar Papua, namun untuk kawasan
dengan nonkawasan nilai bantuan sama (Tabel 3.3). Kawasan dan non-Kawasan
untuk wilayah Luar Papua memperoleh alokasi bantuan senilai Rp2,9 juta/ha,
sedangkan untuk wilayah Papua Rp3,11 juta/ha. Bantuan saprodi yang diberikan
dalam pelaksanaan GP-PTT Padi, digunakan untuk:
1. Pembelian benih varietas unggul bersertifikat, dengan harga nonsubsidi. Tidak
dibolehkan memanfaatkan/menggunakan benih bersubsidi yang disediakan
Pemerintah. Jumlah dan varietas yang akan digunakan disesuaikan dengan
kondisi setempat (spesifik lokasi), serta disetujui dan atau diketahui oleh
Petugas Lapangan/Penyuluh, Dinas Pertanian Kabupaten/Kota dan BPTP
setempat. Sumber benih dapat berasal dari kios benih, penangkar benih,
21
produsen BUMN/BUMD/Swasta, dan atau dari sumber lain yang jelas, dll.
Selanjutnya kemasan dan label benih agar disimpan dengan baik.
2. Pembelian pupuk bersubsidi (Urea, NPK, Organik) dengan harga yang
ditetapkan Pemerintah. Untuk itu pastikan petani pelaksana GP-PTT telah
tergabung dalam kelompok tani dan telah menyusun RDK dan RDKK. Adapun
jenis pupuk dan dosis yang akan digunakan di lapangan, disesuaikan dengan
rekomendasi dan kondisi di masing-masing daerah (spesifik lokasi) serta
disetujui dan atau diketahui oleh Petugas Lapangan/Penyuluh, Dinas Pertanian
Kabupaten/Kota dan BPTP setempat. Di samping itu, anggaran yang tersedia,
digunakan pula untuk pembelian pestisida yang jumlah dan dosis, disesuaikan
dengan kebutuhan di lapangan. Apabila rekomendasi di suatu lokasi
memerlukan pupuk/pestisida jenis lainnya, maka apabila dana masih
memungkinkan dapat dibiayai dari dana yang tersedia tersebut. Selanjutnya,
apabila seluruh komponen telah dipenuhi dan masih tersedia dana, maka sisa
dana dapat dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pupuk anorganik (sesuai
rekomendasi). Pupuk yang belum digunakan agar disimpan dan dijaga dengan
sebaik-baiknya agar mutunya tetap terjaga saat digunakan. Selanjutnya
kemasan pupuk disimpan dengan baik.
3. Membiayai pertemuan kelompok tani, yang jumlahnya minimal empat kali dan
atau disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Dari empat kali pertemuan,
satu kali pertemuan dilaksanakan sebelum tanam untuk mendukung
penyusunan Kajian Kebutuhan dan Peluang (KKP) atau Pemahaman Masalah
dan Peluang (PMP), satu kali pertemuan untuk penyusunan Rencana Usaha
Kelompok (RUK) dan sisanya disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan.
Pertemuan dilakukan oleh kelompok tani peserta GP-PTT dan bertempat di
areal yang ditunjuk dan disepakati bersama (musyawarah mufakat). Peserta
pertemuan adalah petani peserta dipandu oleh Pemandu Lapangan (Penyuluh,
POPT, PBT, Peneliti, Aparat dan petugas). Apabila dibutuhkan dan dengan
mempertimbangkan berbagai hal, anggaran yang tersedia dapat pula
digunakan untuk pelaksanaan Temu Lapangan Petani (FFD) dalam rangka
sosialisasi kepada masyarakat akan keberhasilan pelaksanaan, dengan
22
mengundang petani sekitarnya, pemuda/i tani, tokoh masyarakat, petugas
lapangan, aparat, stake holder, dll.
Tabel 3.3. Plafon stimulan/bantuan saprodi GP-PTT Padi Tahun 2015
No Uraian Areal
(Ha)
Biaya
(Rp 000/Ha)
Instrumen
I Kawasan
GP-PTT Padi Hibrida
1. Di luar Papua 70.000 2.900 - Saprodi (benih, pupuk, pestisida)
- Bantuan biaya tanam jarwo - Pertemuan kelompok minimal 4 kali
2. Papua 5.000 3.110 - Saprodi (benih, pupuk, pestisida)
- Bantuan biaya tanam jarwo - Pertemuan kelompok minimal 4 kali
II Non-Kawasan/Rintisan/Reguler
GP-PTT Padi Inbrida
3. Di luar Papua 220.000 2.900 - Saprodi (benih, pupuk, pestisida) - Bantuan biaya tanam jarwo - Pertemuan kelompok minimal 4 kali
4. Papua 5.000 3.110 - Saprodi (benih, pupuk, pestisida)
- Bantuan biaya tanam jarwo - Pertemuan kelompok minimal 4 kali
GP-PTT Padi Hibrida
5. Di luar Papua 50.000 2.900 - Saprodi (benih, pupuk, pestisida) - Bantuan biaya tanam jarwo
- Pertemuan kelompok minimal 4 kali
6. Papua - - - Sumber: Ditjentan 2015
4. Membantu biaya penerapan teknologi tanam jajar legowo. Untuk itu, GP-PTT
Padi (kawasan maupun nonkawasan) di lahan beririgasi wajib meningkatkan
optimalisasi popuplasi tanaman persatuan luas melalui penerapkan tanam jajar
legowo baik 2:1 atau 4:1.
Semua jenis pengeluaran saprodi, dituangkan dalam RUK (Rencana Usaha
Kelompok), masing-masing Kelompok tani pelaksana GP-PTT baik kawasan
maupun nonkawasan/rintisan/regular. Kebutuhan sarana produksi dan pendukung
lainnya yang tidak difasilitasi Pemerintah Pusat maupun kekurangannya, agar
ditanggung dan diusahakan secara swadaya oleh anggota kelompok tani atau dari
sumber lainnya.Hal ini dimaksudkan agar petani/kelompok tani ikut memiliki
sehingga mempunyai tanggungjawab moral untuk mensukseskan GP-PTT Padi
dalam rangka mendukung pencapaian sasaran produksi tahun 2015. Teknologi
23
yang akan diterapkan pada GP-PTT (kawasan maupun nonkawasan/
rintisan/reguler), dikomunikasikan dan atau dikonsultasikan dengan BPTP
setempat dan sesuai dengan kondisi di lapangan (spesifik lokasi) guna menjamin
keberhasilan pelaksanaan kegiatan sehingga dapat menjadi mengungkit
peningkatan produktivitas dan produksi.
Bantuan sarana produksi merupakan Belanja Bantuan Sosial (Bansos) dan
penggunaannya dengan mekanisme transfer langsung ke rekening kelompok tani
dalam bentuk uang dan sesuai pedoman serta peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Di samping itu, guna mendukung pelaksanaan GP-PTT Padi,
pemerintah memberikan pula stimulan berupa anggaran untuk penyediaan papan
nama, pendampingan dan ubinan, dengan rincian penggunaan seperti berikut:
1. Digunakan untuk penyediaan papan nama. Papan nama merupakan identitas
lokasi dimana kegiatan tersebut dilaksanakan. Papan nama diberikan setiap
unit (@ 25 ha) atau disesuikan dengan kondisi di lapangan. Bahan dan ukuran
disesuaikan dengan anggaran yang tersedia (tidak harus dalam bentuk papan,
namun dapat berupa tripleks, plastik sablon, dan atau lainnya) dan atau
disesuaikan dengan kondisi di masing-masing lokasi. Apabila dipandang perlu
menambah biaya untuk keperluan tersebut, dapat diupayakan dari swadaya
petani/kelompok tani atau dari sumber-sumber lain yang sah dan diketahui
petugas lapangan dan Dinas Pertanian Kabupaten/Kota.
2. Digunakan untuk membiayai pendampingan dan pengawalan, kegiatan GP-PTT
baik kawasan maupun nonkawasan di lapangan. Pendampingan dan atau
pengawalan, dilakukan oleh petugas dinas kabupaten/kota termasuk penyuluh/
PPL, POPT, PBT, mantri tani atau petugas lainnya sesuai kebutuhan di lapangan
serta aparat (babinsa, camat, kades atau lainnya). Khusus pendampingan dan
atau pengawalan oleh aparat, keterlibatannya (kebutuhan) disesuaikan dengan
kebutuhan di lapangan. Jumlah kunjungan/pendampingan dan atau
pengawalan ke lapangan, disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Untuk
itu, diperlukan koordinasi antara dinas pertanian kabupaten/kota dengan
bapelluh, kodim, korem, babinsa dan aparat kecamatan sampai desa.
24
3. Digunakan untuk membiayai pelaksanaan ubinan bersama. Ubinan dilaksanakan
pada kawasan maupun non kawasan/rintisan/reguler GP-PTT Padi. Setiap 25 ha
dan atau disesuaikan dengan kondisi di lapangan, difasilitasi 1 unit ubinan
dengan anggaran yang disediakan sebesar Rp 180.000,-/unit, yang
diperuntukkan untuk honor petugas ubinan (masing-masing 1 orang Mantri
Tani dan 1 orang KSK) serta fasilitasi untuk pencatatan hasil ubinan dan
pengirimannya ke Pusat. Untuk itu, koordinasi dan sinergitas antara Dinas
Pertanian Kabupaten/Kota dan BPS Kabupaten sangat diperlukan. Data ubinan
merupakan salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan GP-PTT baik pada
kawasan maupun nonkawasan/rintisan/reguler.
3.3. Hasil Kajian Empiris SL-PTT dan GP-PTT
Beras merupakan komoditas strategis yang berperan penting dalam
memenuhi kebutuhan pangan nasional dan tercapainya ketahanan pangan
nasional. Produksi padi sawah secara garis besar ditentukan oleh dua faktor,
yaitu (1) produktivitas padi sawah, dan (2) luas panen. Di tengah persaingan
pemanfaatan lahan diantara komoditas pangan yang semakin ketat, peningkatan
produksi padi sawah seharusnya mengandalkan pada peningkatan produktivitas
padi sawah daripada peningkatan luas panen.
Peningkatan produksi padi nasional bersumber dari peningkatan luas panen
dan produktivitas, sementara penambahan luas panen dapat bersumber dari
kenaikan IP padi maupun pencetakan sawah. Peningkatan produktivitas sangat
erat kaitannya dengan adopsi teknologi. Oleh karena itu, penerapan inovasi
teknologi budi daya padi di tingkat petani sesuai anjuran merupakan salah satu
strategi dalam program peningkatan produksi beras nasional menuju swasembada
berkelanjutan (Deptan 2008). Menurut Syahyuti (2008) bahwa partisipasi petani
sangat diperlukan dalam mengadopsi teknologi budi daya sebagai upaya untuk
keberlanjutan pebangunan pertanian dengan peningkatan produksi dan
produktivitas komoditas padi. Inovasi teknologi padi yang tersedia saat ini dalam
bentuk varietas unggul, pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT),
penanganan panen dan pascapanen dapat diandalkan untuk mendukung program
peningkatan produksi padi (Puslitbangtan 2014).
25
Program PTT pada wilayah yang produktivitas padinya di bawah rata-rata
provinsi, maka pelaksanaan Program PTT dipadukan dengan Integrasi Sistem Padi
Ternak (ISPT) dan diseminasi dilakukan melalui pilot proyek sehingga lahir
percontohan Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) (Rusastra et al.
2013). Tujuan P3T adalah: (1) terselenggaranya intensifikasi berlandaskan
teknologi pertanian, (2) lahirnya lembaga-lembaga berazaskan kemandirian petani
dalam memperkuat modal sendiri, dan (3) terbukanya peluang bagi pelaku usaha
swasta dalam kegiatan usaha agribisnis.
Teknologi yang dikembangkan dalam P3T terdiri atas tiga paket utama
yaitu pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) padi sawah irigasi,
Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT) dan Teknologi produksi benih dan padi
hibrida. Hasil uji coba PTT di tiga provinsi menunjukkan peningkatan produksi padi
berkisar antara 8-22% dibanding cara yang diterapkan petani (Puslitbangtan 2002
dalam Supriadi et al. 2012). Sementara itu hasil dari delapan provinsi naik 7-38%
dengan jumlah penggunaan input yang lebih rendah dari pada praktik petani yaitu
R/C ratio antara 1,4 – 2,9 (Fagi et al. 2002 dalam Supriadi et al. 2012).
Berdasarkan pencapaian hasil dan dampak dari PTT terhadap produksi maka
teknologi PTT mempunyai prospek untuk diperluas. Namun demikian perlu
diperhatikan mengingat sifat PTT yang spesifik lokasi dan partisipatif sangat
berbeda dengan pendekatan yang digunakan dalam program intensifikasi
sebelumnya, seperti BIMAS, INMAS, INSUS sampai SUPRA-INSUS, di mana
teknologi yang dianjurkan bersifat paket dan berlaku umum dimana saja serta
dilaksanakan sepenuhnya dengan insisasi petugas (top down). Dalam penerapan
PTT, petani dan petugas harus duduk bersama memilih komponen teknologi yang
akan diterapkan, sesuai dengan keinginan petani dan lingkungannya. Bimbingan
dan pendampingan yang intensif diperlukan agar petani dapat menerapkan PTT
dengan benar (Sembiring daan Abdurahman 2008).
Permasalahan program SL-PTT mencakup tataran konsepsi, implementasi,
kebijakan dan pendanaan program dalam peningkatan produksi padi nasional
(Supriadi et al. 2012; Rusastra et al. 2013). Dalam tataran konsepsi, SL-PTT
dengan filosofi tetesan minyak, dengan harapan teknologi PTT akan menyebar
26
dari LL ke wilayah SL dan seterusnya ke wilayah di luar SL-PTT, nampak kurang
berjalan seperti yang diharapkan. Konsepsi SL-PTT yang cenderung bersifat
sentralistik dalam bentuk BLM, seperti bantuan langsung benih unggul (BLBU) dan
bantuan langsung pupuk (BLP) berdampak negatif terhadap kinerja pelaksanaan
dan dampak terhadap peningkatan produksi.
Permasalahan pokok yang dihadapi dalam pelaksanaan program SL-PTT
padi diantaranya adalah (Rusastra et al. 2013): (a) Penyeragaman alokasi jumlah
bantuan benih dan pupuk berimplikasi negatif terhadap perakitan/paket teknologi
spesifik lokasi; (b) Pengadaan benih yang bersifat sentralistik oleh BUMN,
berpotensi negatif terhadap peran kelompok tani penangkar benih; (c) intensitas
dan koordinasi pengawalan/pendampingan antara LL, SL-PTT, dan di luar areal
SL-PTT diduga akan berdampak terhadap kinerja dan pencapaian target program.
Hasil kajian (Hotimah 2011) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang
berpengaruh nyata terhadap keberhasilan SL-PTT adalah: umur petani, tingkat
kehadiran petani dalam SL-PTT, luas lahan, pendapatan usaha tani padi SL-PTT.
Oleh karena itu karakteristik petani peserta perlu diperhatikan, selain partisipasi
kehadiran petani dalam kegiatan SL-PTT. Hasil kajian Ariani et al. (2015)
mengungkapkan bahwa salah satu aspek belum optimalnya kinerja pelaksanaan SL-
PTT adalah terbatasnya jumlah peneliti dan penyuluh untuk mengawal dan
mendampingi petani dalam mempraktekkan komponen teknologi PTT di lahannya
sendiri. Penyuluh sebagai ujung tombak dalam mendukung keberhasilan program,
maka pemberdayaan penyuluh dalam rangka pendampingan dan pengawalan dalam
penerapan teknologi di lapangan sangat diperlukan.
Permasalahan lainnya adalah terkait dengan keterlambatan dan kualitas
benih serta permasalahan teknis kurangnya ketersediaan air saat diperlukan. Dari
capaian peningkatan produktivitas, maka introduksi berupa penggunaan varietas
unggul baru dan benih padi hibrida dapat menjadi terobosan yang perlu
mendapat dukungan semua pihak. Menurut Sumarno (2011) penggunaan
varietas unggul baru (VUB) yang memiliki potensi daya hasil tinggi sangat
berpengaruh nyata dalam peningkatan produktivitas, seperti varietas Cigeulis,
Ciherang, Sinta Nur dan Mikongga, hanya saja ketersediaan benih yang
27
berkualitas dengan harga yang terjangkau di tingkat usaha tani masih menjadi
kendala utama.
Sasaran luas areal panen dan tambahan (deviasi) produktivitas padi selama
pelaksanaan tahun 2009-2014 diprediksi mencapai 6,94 juta ton gabah (Tabel
3.4.). Rencana luas panen makin meningkat, namun sasaran produktivitas dalam
kurun 2009 -2011 namun menurun pada tahun berikutnya, dan meningkat lagi
pada tahun-tahun setelahnya sekali pun peningkatannya belum setinggi tahun
2009 saat program baru berjalan tahun ke-2.
Tabel 3.4. Prediksi tambahan produksi padi Nasional selama pelaksanaan SL-PTT
(2009-2014)
Tahun Rencana luas panen
SL-PTT (Ha)
Sasaran produktivitas
SL-PTT
(ku/ha)
Deviasi produktivitas
SL-PTT
(ku/ha)
Prediksi tambahan produksi hasil SL-PTT
(ton)
2009 2.051.000 56,37 5,33 1.093.183
2010 2.500.000 59,50 3,94 985.000
2011 2.778.980 58,57 3,11 864.263
2012 3.400.650 54,76 4,74 1.611.908
2013 4.625.000 55,21 3,21 1.484.625
2014 4.632.000 55,44 1,94 898.608
Total tambahan produksi hasil SL-PTT selama 2009-2014 6.937.587 Sumber: Ditjentan 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014.
Kajian Supriadi et al. (2012) yang menggunakan data agregat di tingkat
Kabupaten Subang, Madiun, dan OKU menunjukkan bahwa dampak Program SL-
PTT dapat meningkatkan produktivitas yang nyata. Dampak terhadap peningkatan
produktivitas cukup bervariasi antar kabupaten yaitu antara 0,50 ton/ha di
Kabupaten Madiun, Serang dan Gunung Kidul hingga mencapai 2,20 ton/ha di
Kabupaten Subang. Dampak tertinggi ditemukan pada penggunaan benih padi
hibrida. Secara rinci dampak Program SL-PTT terhadap peningkatan produktivitas
di lokasi kajian (Supriadi et al. 2012) dapat dilihat pada Tabel 3.4.
Hasil perhitungan dampak program SL-PTT terhadap produksi dan
keuntungan usaha tani padi (Supriadi et al. 2012) dapat dikemukakan sebagai
berikut: (a) usaha tani peserta SL-PTT inhibrida di Kabupaten Madiun
menunjukkan peningkatan produktivitas yang lebih baik dibandingkan di Subang,
yaitu 1,25 ton Vs 1,0 – 1,8 ton/ha; (b) tingkat keuntungan yang diterima petani
dalam satu musim tanam setelah SL-PTT dapat mencapai Rp 14,9 juta (inbrida)
28
dan Rp18,3 juta (hibrida) atau meningkat Rp 2,6 juta/Ha dibandingkan sebelum
SL-PTT (inbrida) dan Rp 2,5 juta untuk padi hibrida; dan (c) Nilai B/C padi hibrida
sesudah SL-PTT sebesar 1,56 sedikit lebih efisien dari hinbrida sebelumnya 1,51,
akan tetapi keduanya cukup lebih efisien dari padi inbrida baik sebelum maupun
sesudah SL-PTT dengan nilai B/C berturut-turut 1,23 dan 1,41.
Tabel 3.5. Produktivitas padi di lokasi LL, SLPTT, dan Non-SLPTT di 5
Agroekosistem, 2012
Agroekosistem/Kabupaten Jenis Produktivitas (t/ha) Kenaikan
(ton/ha) LL SL Non-SL
1. Sawah Irigasi -Subang
- Madiun
- Oku Timur
Inhibrida
Hibrida Inhibrida Hibrida
Inhibrida
6,86
7,47 8,20
11,75
6,93
6,38
6,98 7,50 8,10
6,50
5,48
4,96 7,00 7,00
5,96
Naik 0,90
Naik 2,02 Naik 0,50 Naik 1,10
Naik 0,54
2. Tadah hujan draenase baik - Sukabumi
Inbrida hibrida
6,90 10,80
6,20 9,00
5,50 8,20
Naik 0,70 Naik 0,80
3. Tadah hujan draenase buruk - Serang
inbrida 6,00 4,50 4,00 Naik 0,50
4. Pasang surut
- Banyuasin
inbrida 5,00 4,70 3,40 Naik 1,30
5. Lahan kering - Gunung Kidul
inbrida 4,40 3,50 3,00 Naik 0,50
Sumber: Supriyadi et al. (2012)
Hasil kajian Asnawi (2014) yang berlokasi di Kabupaten Pesawahan
(Lampung) menunjukkan bahwa produktivitas rata-rata padi sawah pada lokasi
SLPTT (LL) VUB adalah 6.737 kg/ha lebih tinggi dari lokasi SLPTT (LL) non-VUB
7.174 kg/ha dan non-SLPTT 4.587 kg/ha. Penggunaan varietas unggul pada lokasi
SLPTT (LL) VUB meningkatkan produktivitas sebesar 8,85% dibandingkan dengan
SLPTT (LL) non-VUB dan 47,13% dibandingkan dengan lokasi non-SLPTT. Rata-
rata pendapatan usaha tani padi pada lokasi SLPTT (LL) VUB adalah
Rp.17.410.000,-/ha (R/C=3,15), lokasi SLPTT (LL) non VUB Rp. 13.488.806,-/ha
(R/C=2,46) dan lokasi non-SLPTT Rp.9.885.625,-/ha (R/C=2,34). Melalui
penerapan VUB pada lokasi SLPTT (LL) VUB mampu meningkatkan pendapatan
petani sebesar 29,07% sampai 76,12%.
Terdapat perbedaan produktivitas dan pendapatan antara sistem tanam
jajar legowo (Jarwo) dengan sistem tanam nonjarwo menurut strata luas lahan
29
(Melasari et al. 2013). Selanjutnya dikemukakan bahwa produktivitas usaha tani
dengan sistem tanam jarwo (6.485,13 kg/ka) lebih tinggi dibandingkan dengan
produktivitas pada sistem tanam nonjarwo (5.573,13 kg/ha); sedangkan
pendapatan pada sistem tanam jarwo (Rp11.627.931) lebih tinggi dibandingkan
dengan pendapatan pada sistem tanam nonjarwo (Rp9.839.869).
Terdapat sejumlah peluang yang apabila dimanfaatkan dengan baik akan
memberikan konstribusi pada upaya peningkatan produksi. Peluang tersebut
antara lain: 1) Kesenjangan hasil antara potensi dan kondisi di lapangan masih
tinggi, 2) Tersedia teknologi untuk meningkatkan produktivitas, 3) Potensi sumber
daya lahan sawah yang masih luas, 4) Pengetahuan dan ketrampilan sumber daya
manusia (SDM) yang masih dapat dikembangkan, 5) Tersedianya potensi
pengembangan produksi selain beras, 6) Dukungan Pemerintah Daerah dan 7)
Ketersediaan sumber genetik.
IV. KINERJA PELAKSANAAN PROGRAM GP-PTT
Kinerja pelaksanaan program GP-PTT merupakan bahasan agregat untuk
tingkat nasional dan kabupaten contoh (Subang dan Klaten). Oleh karena itu data
yang disajikan dalam bahasan ini adalah data sekunder hasil evaluasi dari instansi
terkait. Dalam bahasan ini juga dikemukakan kendala dan permasalahan serta
peluang keberlanjutan program. Sementara implementasi teknologi dan dampak
serta peluang keberlanjutan dibahas pada subbab 5.1.
4.1. Kinerja Pelaksanaan Program GP-PTT
Bahasan kinerja pelaksanaan Program GP-PTT dalam bab ini lebih
difocuskan pada implementasi terkait dengan sasaran dan realisasi kegiatan.
Dalam hal ini dibahas sasaran termasuk CPCL dan sebarannya serta realisasi areal
sebagai basis kegiatan baik di tingkat nasional maupun lokasi contoh.
4.1.1. Nasional
Menurut SK penetapan sasaran Luas GP-PTT Padi nasional tahun 2015
tercatat 350 ribu ha, namun demikian realisasi penyaluran Bansos mencapai 346,8
ribu ha (99,1%), sisa Bansos tersebut dikembalikan. Beberapa lokasi yang tidak
mencapai 100% diantaranya adalah di wilayah Jawa Barat, Riau, Jambi, Sumsel
30
dan provinsi lain di luar Jawa. Berdasarkan capaian luas tanam areal GP-PTT
(Tabel 4.1), sedangkan realisasi tanam mencapai sekitar 325,59 ribu ha (93,8%).
Tabel 4.1. Sasaran dan realisasi areal GP-PTT Nasional, 2015
NO.
SK Penetapan CPCL Realisasi
Bansos (SP2D) Realisasi Tanam
Provinsi
(Ha) (%) (000 Ha) (%) (000 Ha) (%)
1 Aceh 21,0 100 21 100 20,2 96,0
2 Sumut 15,0 100 15 100 15,0 99,8
3 Sumbar 10,0 100 10 100 10,0 100,0
4 Riau 7,5 96,2 7,3 97 7,4 98,9
5 Jambi 7,5 98,7 7,4 98,7 6,9 92,0
6 Sumsel 21,5 98,3 21,2 98,8 20,0 93,0
7 Bengkulu 9,5 100 10 100 7,4 74,4
8 Lampung 17,0 100 17 100 17,0 100,0
9 Jabar 17,5 94,7 16,5 94,3 16,2 92,4
10 Jateng 15,0 100 21 100 20,1 95,7
11 Di Y 5,0 100 5 100 5,0 100,0
12 Jatim 14,0 100 17,5 100 16,9 96,4
13 Kalbar 15,5 99,8 15,5 99,8 15,5 99,8
14 Kalteng 17,0 100 17 100 15,1 88,6
15 Kalsel 12,5 100 12,5 100 12,5 100,0
16 Kaltim 7,5 100 7,5 100 5,5 73,0
17 Sulut 11,5 99,2 11,4 99,3 11,1 96,1
18 Sulteng 5,0 100 5 100 5,0 100,0
19 Sulsel 25,5 100 25,5 100 25,2 98,8
20 Sultra 7,4 99,7 7,5 99,7 7,5 99,7
21 Bali 7,5 100 7,5 100 7,0 93,2
22 Ntb 11,5 100 11,5 100 10,8 94,0
23 Ntt 16,5 100 16,5 100 11,6 70,3
24 Maluku 3,7 95 5,7 94,8 5,5 92,2
25 Papua 5,0 100 5 100 4,1 81,2
26 Malut 7,5 88,3 6,6 88,3 5,3 70,0
27 Banten 5,0 100 5 100 4,9 98,0
28 Gorontalo 8,5 100 8,5 100 8,3 97,6
29 Papua Barat
5,0 94,5 4,7 94,5 3,9 78,5
30 Sulbar 1,0 100 2,5 100 2,5 100,0
31 Kaltara 2,5 100 2,5 100 2,5 98,3
Nasional 350,0 99,1 346,83 99,1 325,6 93,8
Sumber: Ditjentan 2015
31
Program GP-PTT padi nasional dilaksanakan di lahan sawah irigasi, pasang
surut, rawa/lebak dan tadah hujan, selain itu juga di beberapa wilayah lahan
kering (Kaltim, Sulut dan Papua Barat). Dari luasan lahan tersebut (Ditjentan,
2016), menunjukkan bahwa pangsa terbesar di lahan sawah irigasi (baik teknis,
semi teknis maupun sederhana) yang mencapai 72,5 %, kedua terbesar di lahan
tadah hujan (15,8%), sementara untuk pasang surut dan rawa/lebak masing-
masing 6,8 % dan 4,2 %, sisanya lahan kering/ladang (0,7%).
4.1.2. Jawa Barat
Luas GP-PTT Padi yang dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat 17.500 ha,
dan di Kabupaten Subang seluas 1.000 ha padi inbrida nonkawasan. Sasaran
kegiatan ini yaitu kelompok tani padi sebanyak 34 kelompok tani yang tersebar di
11 kecamatan (Tabel 4.2).
Tabel 4.2. Sasaran dan realisasi luas areal GP-PTT menurut lokasi (kecamatan sasaran) di Kabupaten Subang, 2015
No Kecamatan
Jumlah Sasaran Realisasi Tanam
Desa Poktan Luas Tanam
(ha) Luas (ha)
(%)
1 Pusakanagara 1 2 100 100 100
2 Pabuaran 2 2 100 100 100
3 Pagaden 1 4 100 100 100
4 Kasomalang 4 4 100 100 100
5 Tanjungsiang 4 4 100 100 100
6 Cisalak 4 4 100 100 100
7 Purwadadi 2 2 50 50 100
8 Cipunagara 2 2 100 100 100
9 Dawuan 2 2 50 50 100
10 Cibogo 4 4 100 100 100
11 Cikaum 4 4 100 100 100
Jumlah Subang 30 34 1000 1000 100
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang (2016)
Dana bantuan sosial GP-PTT Padi total sebesar Rp 2.900.000.000 terealisasi
100 % untuk pembelian sarana produksi dan biaya pertemuan dalam bentuk
transfer uang melalui rekening kelompok tani. Pelaksanaan GP-PTT Padi di
Kabupaten Subang hanya untuk Padi Inbrida. Realisasi pelaksanaan kegiatan
program GP-PTT di Kabupaten Subang adalah seluas 1.000 ha (100%) yang Dana
32
bantuan sosial GP-PTT Padi total sebesar Rp 2.900.000.000 terealisasi 100 %
untuk pembelian sarana produksi dan biaya pertemuan dalam bentuk transfer
uang melalui rekening kelompok tani. Pelaksanaan GP-PTT Padi di Kabupaten
Subang hanya untuk Padi Inbrida. Realisasi pelaksanaan kegiatan program GP-
PTT di Kabupaten Subang adalah seluas 1.000 ha (100%) yang dilaksanakan pada
MT. 2015 seluas 975 ha di 34 desa pada 10 kecamatan dan seluas 25 ha pada MT.
2015/2016 di Kelompok Tani Tunas Harapan, Desa Sukamelang, Kecamatan
Kasomalang.
4.1.3. Jawa Tengah
Dukungan peningkatan produksi padi di Kabupaten Klaten pada tahun 2015
dilaksanakan melalui kegiatan peningkatan Indeks Pertanaman (IP) dan
peningkatan produktivitas, melalui kegiatan Gerakan Penerapan Pengelolaan
Tanaman Terpadu (GP-PTT), Optimasi Lahan, Perbaikan Jaringan Irigasi, fasilitasi
Alat mesin Pertanian, Subsisi Benih dan Pupuk.
Kegiatan GP-PTT dilaksanakan dengan fasilitasi bantuan sarana produksi
(saprodi) dan biaya tambah tanam karena menggunakan sistem tanam jajar
legowo. Besarnya bantuan saprodi dan biaya tanam sebesar Rp 2.900.000,-/Ha.
Dilaksanakan oleh Kelompok Tani dengan dukungan pembinaan dan pengawalan
oleh petugas pertanian yang terdiri dari forth in one (PPL, Mantri Tani, POPT dan
Babinsa). Pelaksanaan GP-PTT di Kabupaten Klaten pada tahun 2015 seluas
2500 ha yang tersebar di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Manisrenggo,
Prambanan dan Karangdowo, meliputi 48 desa dan 90 kelompok tani (Tabel 4.3)
Tabel 4.3. Sasaran dan realisasi luas areal GP-PTT menurut lokasi (kecamatan
sasaran) di Kabupaten Subang, 2015
No Kecamatan
Jumlah Sasaran Realisasi Tanam
Desa Poktan Luas Tanam
(Ha) Ha (%)
1 Prambanan 15 23 100 100 100
2 Manisrenggo 15 37 100 100 100
3 Karangdowo 18 30 100 100 100
Jumlah Klaten 48 90 1000 1000 100
Sumber: Dinar Pertanian Kabupaten Klaten, 2016
33
Dalam penentuan CPCL kecamatan didasarkan pada potensi daerah
tersebut masih dapat ditingkatkan provitas padinya dengan asumsi bila dilakukan
perbaikan teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Sementara untuk
kelompok tani sasaran antara lain: (a) kelompok tani aktif, memiliki struktur
organisasi dan AD/ART; (b) kelompok tersebut harus mau menggunakan
teknologi sistem tanam jajar legowo (Jarwo), karena teknologi Jarwo merupakan
komponen utama dalam Program GP-PTT; (c) kelompok tani mau memenuhi
syarat administrasi dalam pengajuan program dan dalam palaporan pelaksanaan
program. Penerapan Jarwo di Kabupaten Klaten bervariasi antar lokasi, di
Kecamatan Manisrengga dan Prambanan didominasi Jarwo 4:1, sedangkan di
Karangdowo 2:1.
Pelaksanaan GP-PTT di Kabupaten Klaten 100 % sesuai target dari sisi luas
areal. Namun demikian karena areal GP-PTT hanya sekitar 4% dari areal lahan
sawah di Kabupaten Klaten, sehingga relatif kecil dalam berkonstribusi terhadap
areal tanam padi di Kabupaten Klaten, karena selain GP-PTT juga diimplementasi
program pembangunan dalam rangka peningkatan produksi padi
4.2. Kendala-Kendala dan Alternatif Pemecahan
Beberapa kendala pokok dalam pelaksanaan program GP-PTT mencakup
aspek teknis, ekonomi, dan kelembagaan. Kendala aspek teknis terkait dengan
aspek biofisik, teknologi dan teknis pelaksanaan program. Secara lebih terperinci
kendala teknis dan alternatif pemecahannya dapat disimak pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Kendala-kendala teknis dan alternatif pemecahan pelaksanaan program GP-PTT
No. Permasalahan pokok Alternatif Pemecahan Masalah
1. Penetapan sasaran produktivitas pelaksanaan program GP-PTT yang
terlalu tinggi (over estimate)
Pentingnya menggali sumber-sumber peningkatan produktivitas: (a)
penggunaan teknologi maju/G-PTT secara baik, (b) perbaikan efisiensi teknis, dan (c) pendekatan kawasan
2. Belum diketahuinya prinsip-prinsip
PTT dan GP-PTT secara utuh oleh kelompok sasaran, terutama dari aspek keterpaduan dan sinergitas
antarunsur teknologi
Pembekalan tenaga pendamping secara
lebih baik dan pelaksanaan pendampingan secara lebih intensif dan berkelanjutan
34
No. Permasalahan pokok Alternatif Pemecahan Masalah
3. Kurang tersedianya teknologi spesifik lokasi di masing-masing daerah dan rendahnya partisipasi kelompok dalam
merakit teknologi spesifik lokasi
Adanya demplot dan demfarm dimasing-masing lokasi (kawasan/kecamatan/desa) yang dilakukan secara partisipatif
4. Lemahnya kemampuan dalam identifikasi akar permasalahan, terutama masalah rendahnya
produktivitas hasil
Mencari akar permasalahan di setiap lokasi program : (a) masalah kesuburan lahan, (b) ketersediaan air irigasi, (c)
mutu benih, (d) penggunaan pupuk lengkap dan berimbang, (e) pengendalian
OPT dengan PHT, serta (f) panen dan penanganan pascapanen secara prima
5. Belum dipahaminya teknologi pemupukan secara lengkap dan
berimbang
Pendamping difasilitasi dengan pengetahuan (ciri-ciri tanaman) dan alat
(BWD) untuk metahui status hara tanah dan tanaman sehingga dapat memberikan saran pemupukan secara lengkap dan
berimbang secara lebih tepat
6. Beberapa daerah sentra produksi dengan pola tanam (padi-padi-padi) merupakan daerah endemik OPT
tertentu terutama tikus, wereng, keong emas, blast, beluk dan sundep
Introduksi varietas padi tahan OPT yang bersangkutan dan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, terutama
melalui tanaman pelindung dan musuh alaminya
7. Lemahnya konservasi tanah dan air
pada daerah aliran sungai, sehingga menyebabkan bencana banjir dan MH dan kekeringan pada MK II
Melakukan konservasi tanah melalui
penanaman tanaman dihulu sungai, pengerukan sedimentasi, dan rehabilitasi infrastruktur jaringan irigasi, serta saluran
draenasenya
8 Kurangnya pemahaman tentang manfaat dan keuntungan menerapkan teknologi PTT/G-PTT
Perlu pembekalan tentang manfaat G-PTT terhadap produksi, pendapatan petani, dan kelestarian lingkungan
9 Sulitnya menentukan lokasi program
G-PTT yang memenuhi persyaratan yang bukan daerah endemik OPT tertentu
Pengaturan pola tanam yang
memasukkan tiga komoditas pangan utama (padi, jagung dan kedelai) dengan pengendalian OPT secara terpadu
10 Sulitnya menentukan lokasi program
G-PTT yang memenuhi persyaratan yang bukan daerah terkena banjir
Melakukan pengerukan sedimentasi,
rehabilitas jaringan irigasi, dan membangun bendungan/check dam pengendali banjir dan menanam varietas
yang tahan terhadap genangan
11 Sulitnya menentukan lokasi program G-PTT yang memenuhi persyaratan yang bukan daerah kekeringan
Pengaturan pola tanam yang memasukkan tiga komoditas pangan (padi, jagung dan kedelai) dengan
menanam varietas yang tahan kekeringan
12 Kurangnya ketersediaan alat dan mesin pertanian (traktor, pompa air,
tranplanter, combine harvester, serta power thressher dan driyer)
Bantuan alat dan mesin pertanian sesuai kebutuhan secara lebih merata
Sumber: Laporan Upus Pajale, Kabupaten Klaten, 2015 (dilengkapi).
35
Kendala ekonomi terkait dengan ketersediaan anggaran pemerintah, harga
input, upah tenaga kerja, harga output, tingginya harga mesin tanam
(transplanter), dan permodalan petani. Pelaksanaan program GP-PTT terutama
dalam penerapan sistem tanam Jajar Legowo sangat terkendala oleh regu tanam
yang rata-rata wanita dan sudah tua, sehingga sulit menerima perubahan baru
dan merasa tergusur dengan introduksi transplanter. Secara terperinci kendala
ekonomi dan alternatif pemecahannya dapat disimak pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Kendala-Kendala Ekonomi dan Alternatif Pemecahan Pelaksanaan Program GP-PTT
No Permasalahan pokok Alternatif Pemecahan Masalah
1. Tingginya harga benih padi unggul bersertifikat
Subsidi benih unggul dan pemberdayaan kelompok penangkar
benih padi
2. Tingginya harga pestisida dan herbisida Pengenalan dan penggunaan pestisida dan herbisida nabati
3. Tingginya upah borongan menanam padi melalui kelompok tanam secara manual
Bantuan alat tanam (transplanter) baik transplanter biasa maupun
indojarwo
4. Kurangnya kapabilitas manajerial dan jiwa kewirausahaan, sehingga sebagian besar petani kurang berani mengambil
risiko
Peningkatan kapabilitas manajerial dan kewirausahaan melalui pelatihan kewirausahaan agribisnis
5. Tujuan Upsus lebih pada peningkatan produksi jangka pendek dengan penerapan teknologi produksi, dan
belum berorientasi pada peningkatan pendapatan petani melalui peningkatan nilai tambah secara berkelanjutan
Program Upsus perlu ditintak lanjuti dengan penaganan pasca panen, pengembangan produk beras
berkualitas, serta promosi produk beras berkualitas
6. Kecilnya dana operasional
pendampingan bagi tenaga penyuluh pertanian
Meningkatkan alokasi anggaran bagi
tenaga penyuluh pertanian khusnya penyuluh pertanian PNS dan THL.
7. Jatuhnya harga gabah pada saat musim panen raya
Stabilisasi harga melalui peningkatan dayaserap Bulog (> 10 %) dari
produksi
Sumber: Laporan Upus Pajale, Kabupaten Klaten, 2015 (dilengkapi).
Kendala aspek kelembagaan terkait dengan eksistensi dan dinamika
kelembagaan, baik kelembagaan pemerintah, kelembagaan petani, dan
kelembagaan pendukungnya. Pelaksanaan program GPPTT dibeberapa lokasi
terkendala oleh kurang aktif dan dinamisnya kelembagaan kelompok tani dan
36
Gapoktan. Secara lebih terperinci kendala kelembagaan dan alternatif
pemecahannya dapat disimak pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Kendala-Kendala Kelembagaan dan Alternatif Pemecahan Pelaksanaan Program GP-PTT
No. Permasalahan pokok Alternatif Pemecahan Masalah
1. Proses sosialisasi program GP-PTT yang
kurang melalui proses sosial yang matang secara berjenjang dan bertahap
Proses sosialisasi program GP-PTT
dilakukan melalui proses sosial yang matang secara berjenjang dan bertahap
2. Pemahaman terhadap tujuan pelaksanaan
program GP-PTT belum dipahami secara utuh oleh pendamping dan kelompok sasaran, terutama aspek peningkatan
kesejahteraan petani
Memberikan pemahaman tentang
sumber-sumber peningkatan kesejahteraan petani baik dari sisi peningkatan produktivitas maupun
tingkat harga yang layak
3. Sebagian besar petani berstatus sebagai petani penggarap sehingga tidak dapat mengambil keputusan terkait program-
program pemerintah.
Perlu melibatkan pemilik lahan dan penggarap dengan sistem bagi hasil yang adil
4. Keberadaan kelembagaan kelompok kerja penanam padi, menghambat penerapan sistem tanam Jajar Legowo dan introduksi
transplanter untuk menanam padi
Pelatihan penggunaan transplanter baik yang biasa maupun Indojarwo, sehingga dapat meningkatkan
efeisiensi dan efektivitas
5. Pengembangan kelembagaan lebih untuk memperkuat ikatan-ikatan horizontal,
lemah dalam ikatan vertikal, khususnya untuk jaringan agribisnis secara vertical.
Memperkuat kelembagaan baik melalui ikatan-ikatan horisontal
maupun vertikal
6. Kelembagaan kelompok tani dan gapoktan untuk tujuan memudahkan
distribusi bantuan dan memudahkan tugas kontrol dari pelaksana program upsus Pajale, namun masih kurang dalam
peningkatan posisi tawar masyarakat petani.
Pemberdayaan kelembagaan di tingkat petani baik dari aspek
keanggotaan, kepengurusan, manajemen, permodalan sehingga dapat meningkatkan posisi tawar
petani
7 Kurangnya jumlah dan kualitas tenaga penyuluh pertanian
Menambah tenaga pendamping dari Babinsa dan Mahasiswa serta
dilakukan pelatihan secara terprogram
Sumber: Laporan Upus Pajale, Kabupaten Klaten, 2015 (dilengkapi).
4.3. Prospek dan Keberlanjutan Program GP-PTT
Keberlanjutan Program GP-PTT pada komoditas padi secara berkelanjutan
sangat ditentukan oleh aspek pelaksanaan program, aspek pendukung, dan aspek
promosi (PSEKP 2015). Pada aspek pelaksanaan program perlu memperhatikan :
37
(1) adanya pedum, juklak, juknis, dan buku panduan yang mudah dipahami dan
diimplementasikan oleh perencana pembangunan dan pelaksana program di
lapangan; (2) sosialisasi program GP-PTT dilakukan secara berkala agar pelaksana
dan pendamping termotivasi untuk melaksanakan perannya dengan sebaik-
baiknya; (3) pelaksana dan pendamping Program GP-PTT memiliki kompetensi
baik dalam aspek keterampilan teknis, kapabilitas manajerial, dan dalam
melakukan koordinasi secara efektif guna menggerakkan kelompok sasaran secara
dinamis; (4) pendampingan secara berkala sehingga tujuan program GP-PTT
tercapai sesuai rencana dan target yang ditetapkan; (5) monitoring dan evaluasi
program GP-PTT secara berkala untuk mendapatkan data dan informasi serta
umpan balik (feed back) yang berguna untuk pemecahan permasalahan-
permasalahan di lapangan, baik permasalahan teknis, ekonomi, sosial-
kelembagaan dan aspek kebijakan, serta penyempurnaan program GP-PTT.
Pada aspek pendukung Program GP-PTT perlu dilakukan : (1) perencanaan
kebutuhan benih/bibit, pupuk kimia, pupuk organik, pestisida, serta alsintan dalam
satu kelompok sasaran, satu kawasan, dan satu wilayah, perlu diidentifikasi siapa
yang menyiapkan, jumlah dan waktu yang tepat; (2) perlu pembangungan
infrastruktur irigasi dalam suatu sistem keseluruhan (primer, sekunder dan
tersier), jalan usaha tani, serta alat dan mesin pertanian; (3) perlu ketersedian
dana atau anggaran dari pemerintah secara tepat musim dan waktu kegiatan; (4)
pengembangan lembaga pasar untuk menampung kelebihan produksi pada saat
panen raya (pasar tani/pasar desa, Toko Tani Indonesia/TTI, BUMD); dan (5)
tersedianya alokasi anggaran untuk pengawalan dan pendampingan Penyuluh
Pertanian Lapangan secara cukup dan tepat sasaran.
Pada aspek promosi Program GP-PTT perlu dilakukan : (1) temu teknis dan
temu lapangan secara berkala untuk memotivasi pelaksana, pendamping, dan
petani peserta program dalam melaksanakan Program GP-PTT padi secara baik;
(2) advokasi program GP-PTT secara berkala ke Pemangku kebijakan tingkat
provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa, tentang manfaat dan pentingnya
Program GP-PTT padi dalam mendukung pencapaian swasembada pangan di
daerahnya secara berkelanjutan, (3) di samping penentuan harga pembelian
38
pemerintah/HPP gabah dan penampungan hasil oleh BULOG, perlu adanya
kegiatan promosi bersama bagi produk-produk beras berkualitas yang dihasilkan
petani. Ke depan perlu membangun dan memperluas jaringan bisnis dan
membangun kemitraan usaha antara komunitas petani, pemerintah, dan
perusahaan swasta terkait produk beras berkualitas hasil Program GP-PTT.
V. DAMPAK PROGRAM GP-PTT
5.1. Dampak Program GP-PTT terhadap Adopsi Teknologi dan Kelembagaan
Pembahasan dampak program terhadap adopsi inovasi teknologi GP-PTT
difokuskan pada komponen dasar dan komponen pilihan yang diadopsi oleh petani
peserta GP-PTT di Subang, Jawa Barat dan di Kalten, Jawa Tengah. Pembahasan
dampak program terhadap adopsi inovasi teknologi GP-PTT pada kedua lokasi
dilakukan secara terpisah agar kecenderungan tingkat adopsi pada masing-masing
bisa terlihat, dan nantinya bisa dikaitkan dengan berbagai elemen kelembagaan
pada masing-masing lokasi yang akan dibahas pada bagian berikutnya.
5.1.1. Dampak Program GP-PTT Terhadap Adopsi Teknologi
Inovasi teknologi dalam GP-PTT dibagi menjadi dua, yaitu komponen dasar
dan pilihan. Komponen dasar/compulsory dan pilihan disesuaikan spesifik wilayah
setempat yang paling tepat diterapkan. Komponen teknologi pilihan dapat menjadi
komponen dasar apabila hasil KKP memprioritaskan komponen teknologi dimaksud
menjadi keharusan untuk pemecahan masalah utama suatu wilayah, demikian
pula sebaliknya bagi komponen teknologi dasar. Termasuk ke dalam komponen
dasar adalah varietas modern (VUB, PH, PTB), bibit bermutu dan sehat,
pengaturan cara tanam (jajar legowo), pemupukan berimbang dan efisien, PHT
sesuai OPT sasaran, sedangkan yang termasuk pada komponen pilihan yaitu
bahan organik/pupuk kandang/amelioran, pengelohan tanah yang baik,
pengelolaan air optimal (pengairan berselang), pupuk cair (PPC, organik, bio
hayati)/ZPT, pupuk mikro, enanganan panen dan pascapanen.
39
Jawa Barat
Petani di Subang sudah terbiasa menggunakan berbagai varietas modern,
sehingga adopsi teknologinya tinggi (100%), baik sebelum, selama dan sesudah
program. Namun hal tersebut tidak serta merta membuat petani menggunakan
benih berlabel setiap musim tanam. Sebagian petani ada yang menggunakan
benih hasil sendiri maupun tukar dengan petani lain yang kondisi pertanamannya
menunjukkan performa dan hasil yang baik. Calon benih tersebut kemudian
diseleksi oleh petani, dan umumnya petani sudah memiliki pengetahuan untuk
menyeleksi benih. Benih hasil sendiri biasanya digunakan 2-3 kali. Tabel
5.1.menyajikan partisipasi petani di Subang dalam adopsi teknologi PTT dasar.
Tabel 5.1. Adopsi Komponen PTT Padi Dasar pada padi sawah irigasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat, 2016
Komponen teknologi
Partisipasi petani dalam adopsi teknologi (%)
Sebelum GP-PTT Sesudah
Varietas Modern (VUB, PH, PTB) 100 100 100
Bibit bermutu dan sehat 60 90 75
Pengaturan cara tanam (Jajar
Legowo)
20 80 40
Pemupukan berimbang dan efisien menggunakan BWD dan PUTS/petak
omisi/Permentan No. 4/2007
60 90 80
PHT sesuai OPT sasaran 20 90 70
Penerapan sistem tanam jarwo sudah dikenalkan sejak implementasi
program SL-PTT, SRI, dan program lain sesbelumnya. Namun ternyata
penerapannya oleh petani masih rendah, hanya meningkat saat implementasi GP-
PTT, kemudian menurun lagi sesudahnya. Penyebabnya ternyata bersumber pada
buruh tanam, yang sudah terbiasa dengan sistem tanam setempat dan sulit untuk
berubah menggunakan sistem jarwo, sekali pun ditambah ongkos tanamnya.
Petani setempat awalnya menerapkan sistem tanam tidak teratur (tanpa
baris dan lajur), kemudian berubah mengikuti baris (ada jarak antarbaris, namun
tidak ada lajur). Setelah diperkenalkan sistem tanam jarwo, petani setempat
mengkombinasikan sistem tanam yang biasa dilakukan dengan sistem tanam
jarwo, dan wujudnya adalah ada semacam blok dengan lebar 1,2-2 m dan
panjangnya mengikuti panjang lahan, di dalamnya terdapat baris dengan ada
40
jarak antarbaris 18-25 cm. Antarblok diberi jarak sekitar 25-30 cm, untuk
memudahkan kegiatan pemeliharaan dan panen. Jumlah lubang tanam di dalam
baris 11-14 lubang dan jaraknya kurang teratur. Sistem ini sudah diterapkan
petani setempat sekitar lima tahun terakhir.
Buruh tani juga terbiasa menanam bibit dengan jumlah yang banyak per
lubang (5-13 bibit/ per lubang). Inovasi berupa tanam 1-3 bibit per lubang
umumnya tidak diadopsi karena buruh tanam tidak terbiasa dan tidak mau
berubah. Alasan yang dikemukakan adalah khawatir bibit tidak semuanya bisa
hidup dan tumbuh, palagi jika menggunakan bibit muda (<21 hari), oleh karena
itu perlu dicadangkan dengan tanam dalam jumlah banyak per lubang. Selain itu,
aktivitas tanam padi merupakan keterampilan yang sudah menjadi kebiasaan, dan
buruh sudah biasa mengambil bibit dalam jumlah banyak, sehingga agak kesulitan
jika setiap kali hanya mengambil 1-3 bibit.
Pengendalian HPT dilakukan oleh petani peserta dan nonpeserta GP-PTT
secara individu, dan secara rutin. Hama yang paling meresahkan petani saat ini
adalah hama sundep dan tikus. Pencegahan dilakukan petani dengan
menggunakan obat kimiawi yang dijual di kios-kios tani, maupun dengan berbagai
jenis bahan lain yang menurut logika petani bisa mencegah berjangkitnya hama.
Ketika salah seorang petani mengaplikasikan oli untuk pencegahan HPT, dan
padinya selamat dari gagal panen, petani yang lain kemudian mengikuti jejaknya,
sekali pun belum ada rekomendasi formal mengenai hal tersebut. Saat ini cukup
banyak petani yang mengaplikasikan oli untuk pertanaman padinya dengan tujuan
mencegah HPT, namun kondisi tersebut dikhawatirkan menimbulkan dampak lain
berupa pencemaran tanah dan air.
Petani belum semuanya menerapkan pemupukan berimbang dan
penggunaan pupuk melebih anjuran. Sejak tiga tahun yang lalu penggunaan
pupuk turun dari 600 kg/ha menjadi 500 kg/ha, sebagai dampak keikutsertaan
petani dalam program SRI. Aplikasi pupuk pada pertanaman belum seluruhnya
didasarkan penggunaan BWD dan PUTS.
Komponen teknologi pilihan yang paling tinggi penerapannya adalah
pengelolaan air optimal dan pengolahan tanah. Lahan sawah di lokasi tersebut
41
berasal dari Tarum Timur, namun karena posisi dan lokasi lahan berbeda-beda,
maka kondisi pengairannya juga demikian. Pada kasus di Simpar, sekitar 60 ha
lahan sawah selalu kekurangan air saat musim gadu, sehingga harus didukung
dengan pompanisasi. Pengairan dengan pompa ini tentu saja menambah biaya
usaha tani, besarannya sekitar Rp600.000,-/ha/musim.
Pengolahan lahan seluruhnya dilakukan menggunakan traktor roda dua.
Namun petani menyatakan bahwa belum seluruhnya bisa menerapkan pengolahan
lahan dengan baik, karena masalah air.
Panen dilakukan sesuai umur panen padi, dengan cara manual maupun
menggunakan alsin (power thresser) untuk merontok. Sekitar 60-70% petani
menjual hasil panennya dengan cara tebasan, sehingga tidak melakukan
pengelolaan panen sendiri.
Penerapan komponen teknologi pilihan di Kabupaten Subang menunjukkan
pola yang sama, yaitu mengalami peningkatan adopsi yang tinggi saat program
dilaksanakan, kemudian menurun lagi setelah program selesai namun %tasenya
relatif masih sedikit lebih tinggi dibandingkan sebelum pelaksanaan program. Hal
ini menunjukkan adanya dampak positif dari implementasi program, sekali pun
keberlanjutannya masih perlu mendapat perhatian lebih lanjut pada musim-musim
tanam berikutnya. Secara rinci perbandingan partisipasi petani dalam adopsi PTT
pilihan di Kabupaten Subang, sebelum pelaksanaan GP-PTT, saat program dan
setelah program dirangkum pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Adopsi Komponen PTT Padi Pilihan pada padi sawah irigasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat, 2016
Komponen teknologi Partisipasi petani dalam adopsi teknologi (%)
Sebelum GP-PTT Sesudah
Bahan organik/pupuk kandang/amelioran
0 40 0
Pengolohan tanah yang baik 70 90 80
Pengelolaan air optimal (pengairan berselang)
70 90 85
Pupuk cair (PPC, organik, bio hayati)/ZPT, pupuk mikro
0 100 35
Penanganan panen 30 70 35
Penanganan pascapanen 50 50 50
42
Petani Subang umumnya tidak mau mengaplikasikan pupuk kandang
sehingga penerapannya rendah, dengan alasan pupuk kandang menjadi sumber
pertumbuhan gulma. Pupuk kandang banyak mengandung biji rumput, dan
penggunaan pupuk kandang membuat pertumbuhan rumput lebih banyak
dibandingkan jika tidak menggunakan pupuk kandang. Jika pembelian pupuk
organik menjadi paket dalam pembelian pupuk kimia sehingga petani terpaksa
membelinya, maka petani memilih tetap tidak menggunakan pupuk tersebut pada
pertanaman padinya dan mengaplikasikannya untuk tanaman lainnya (pisang atau
tanaman buah yang lain).
Jawa Tengah
Tingkat penerapan komponen teknologi dasar oleh petani sasaran di Klaten
berkisar 60-100%, dengan tingkat penerapan tertinggi pada penggunaan varietas
modern, disusul PHT sesuai OPT dan penggunaan benih bermutu dan sehat. Dua
komponen dasar lainnya juga diterapkan dalam %tase yang juga tinggi. Petani di
Klaten sudah biasa menggunakan benih berlabel, karena sebelum masuknya
program GP-PTT beberapa petani (dalam kelompok tani) sudah pernah menerima
program dengan muatan teknologi yang hampir sama.
Varietas padi yang banyak ditanam adalah Ciherang, namun jarang
menerapkan pergiliran varietas, kecuali beberapa orang saja (biasanya ketua dan
pengurus kelompok tani). Petani pernah menanam varietas jenis lain (Impari 13)
namun hasilnya tidak mudah dijual (pedagang tidak berminat membeli) sehingga
varietas ini tidak lagi diminati. Varietas lain yang diminati petani di wilayah ini
adalah Situ Bagendit, jika air tersedia dengan cukup, varietas ini memiliki potensi
hasil yang tinggi. Menurut petani, terdapat dua syarat bagi suatu varietas bisa
diminati untuk ditanam yaitu rasa nasi enak (karena sebagian hasilnya untuk
konsumsi sendiri) dan laku dijual di pasaran. Impari 30 (Sidenuk) memenuhi
syarat tersebut, produksi tinggi dan rasanya enak, namun varietas ini menurut
petani memiliki malai yang mekar sehingga menarik perhatian dan disukai burung.
Komponen teknologi penggunaan benih bermutu dan sehat diterapkan
dalam %tase yang tinggi, sebelum, selama maupun sesudah implementasi GP-
PTT. Petani di wilayah ini sudah terbiasa menggunakan benih berlabel, baik yang
43
dibeli sendiri dari kios maupun dari bantuan program. Bahkan ketika benih padi
bantuan GP-PTT kurang dari kebutuhan, maka masyarakat secara swadaya
bersedia menambah kekurangannya. Bantuan benih yang diperoleh untuk padi
inhibrida sebanyak 25 kg/ha, sedangkan kebutuhan 30 kg/ha karena disiapkan
untuk menyulam tanaman akibat serangan keong pada tanaman muda (anjuran
tanam bibit muda <21 hari masih diterapkan, namun sulit menerapkan tanam
bibit 1-3 per lubang karena buruh tanam merasa itu terlalu sedikit apalagi bibitnya
masih kecil).
Tabel 5.3. Adopsi Komponen PTT Padi Dasar pada padi sawah irigasi di
Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, 2016
Komponen teknologi
Partisipasi petani dalam adopsi teknologi (%)
Sebelum GP-PTT Sesudah
Varietas Modern (VUB, PH, PTB) 100 100 100
Bibit bermutu dan sehat 80 100 90
Pengaturan cara tanam (Jajar
Legowo)
40 95 60
Pemupukan berimbang dan efisien
menggunakan BWD dan PUTS/petak omisi/Permentan No. 4/2007
60 95 80
PHT sesuai OPT sasaran 90 100 95
Tanam jajar legowo (jarwo) sudah diperkenalkan kepada petani sejak
implementasi SL-PTT tahun 2008. Menurut petani pemilik penggarap, mereka
sebenarnya bersedia mengadopsi sistem tanam jarwo, namun kendala adopsi
sitem tanam jarwo terletak pada buruh tanamnya. Buruh tanam yang usianya
sudah tua-tua menurut para petani agak sulit untuk diajak berubah dari sistem
tanam tegel menjadi jarwo, apalagi dengan sisipan. Saat penerapan GP-PTT,
penerapan jarwo dipaksa dengan cara “petani yang tidak bersedia menerapkan
sistem tanam jarwo, tidak diberi bantuan”, namun akhirnya bantuan tetap
diberikan sekali pun tidak menerapkan jarwo untuk memenuhi target luas. Ongkos
tanam dengan sistem tanam jarwo tanpa sisipan di Desa Sukorini, Kecamatan
Manisrenggo sebesar Rp1.500.000,-/ha ditambah biaya konsumsi sebesar
Rp500.000,-/ha. Jika tanam dengan sistem tanam jarwo dengan sisipan, maka
biaya tersebut harus ditambah sebesar Rp500.000,-/ha, dan dari program GP-PTT
petani menerima bantuan tanam sebesar Rp600.000,-/ha. Jika buruh tidak
44
bersedia melakukan sisipan, maka petani pemilik penggarap sendirilah yang harus
melakukannya. Sesudah GP-PTT, sebagian petani masih ada yang menerapkan
sistem tanam jarwo, sekali pun %tasenya menurun dibandingkan saat
implementasi program GP-PTT berlangsung, yaitu sebanyak 60% pada MT
berikutnya, dan terus menurun menjadi 40 % pada MT kedua setelah GP-PTT.
Sebagian petani menerapkan sistem tanam jarwo sesuai anjuran yaitu dengan
sisipan, sebagian lagi kembali menggunakan sistem tanam tegel yang dibuat
lorong setiap 4 baris, atau kembali lagi ke sistem tanam tegel. Jarwo yang paling
banyak diterapkan adalah jarwo 4:1.
Pemupukan berimbang sudah diketahui petani sejak seblum
diimplementasikan program GP-PTT, namun penerapannya diperkirakan baru
sekitar 60%. Sebagian petani hanya menggunakan pupuk Urea untuk tanaman
padinya dengan dosis yang tinggi melebihi anjuran, yaitu 500-650 kg/ha.
Tingginya aplikasi pupuk Urea ini karena dampaknya bisa teramati secara
langsung dan relatif cepat, yaitu daun terlihat hijau. Aplikasi pemupukan
umumnya juga didasarkan pada penggunaan BWD dan PUTS/petak omisi. Inovasi
ini sebagian sudah diterapkan saat implementasi GP-PTT. Saat pelaksanaan GP-
PTT, terdapat beberapa petani yang tidak sepenuhnya melakukan pemupukan
sesuai anjuran, dengan memberi tambahan pupuk, terutama Urea dan pupuk jenis
lainnya, yang diyakini petani bisa meningkatkan produksi padinya. Satu musim
tanam setelah pelaksanaan GP-PTT, sebagian petani kembali pada aplikasi
pemupukan sebelumnya dengan alasan tidak memiliki modal yang cukup untuk
membeli pupuk sesuai jenis dan jumlah seperti yang dianjurkan.
Sebagian petani sudah pernah mengikuti pelatihan SL-PHT, hasil pelatihan
ini diterapkan dalam budi daya padi, sebelum, selama, dan sesudah GP-PTT.
Petani telah memproduksi pestisida organik untuk treatment benih, dan menurut
perhitungan hanya memakan biaya Rp2.250/ha. Aplikasi obat-obatan untuk
pengendalian OPT dilakukan secara bersama-sama melalui “gerakan semprot
massal”. Pengadukan bahan obat dengan dilakukan terpusat untuk satu
kelompok, dan petani tinggal mengambil obat-obatan yang dibutuhkan sesuai
kebutuhan untuk diaplikasikan pada areal pertanaman masing-masing. Aplikasi
45
obat-obatan secara serentak, dinilai lebih efektif dari pada dilakukan sendiri-
sendiri. Petani yang tergabung dalam kelompok tani Makmur, Desa Sukorini,
Kecamatan Manisrenggo sedang berupaya untuk mengubah penggunaan obat-
obatan kimiawi menjadi organik secara perlahan.
Selain komponen teknologi dasar, program GP-PTT juga menawarkan
komponen teknologi pilihan. Terdapat enam komponen teknologi pilihan dalam
implementasi GP-PTT (Tabel 5.4).
Tabel 5.4. Adopsi Komponen PTT Padi Pilihan pada padi sawah irigasi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, 2016
Komponen teknologi Partisipasi petani dalam adopsi teknologi (%)
Sebelum GP-PTT Sesudah
Bahan organik/pupuk kandang/amelioran
60 100 80
Pengelohan tanah yang baik 70 90 70
Pengelolaan air optimal (pengairan berselang)
100 100 100
Pupuk cair (PPC, organik, bio
hayati)/ZPT, pupuk mikro
20 95 40
Penanganan panen 85 95 90
Penanganan pascapanen 40 40 40
Penggunaan bahan organik dalam bentuk pupuk kandang sudah biasa
dilakukan oleh sekitar 60% petani di lokasi tersebut, khususnya petani yang
memiliki ternak sapi. Pada saat pelaksanaan GP-PTT, petani peserta juga
mengaplikasikan pupuk kandang Petroganik dengan dosis 1 ton/ha. Pada musim
tanam berikutnya, petani yang mengaplikasikan bahan organik mengalami
penurunan. Sekalipun mengetahui bahwa aplikasi pupuk kandang berdampak
baik terhadap struktur tanah, namun sebagian petani yang tidak memiliki ternak
sendiri tidak dapat mengaplikasikannya karena terbentuk masalah dana, baik dana
untuk membeli pupuk organik maupun untuk biaya aplikasinya di lahan.
Petani sebenarnya sudah memiliki pengetahuan bahwa salah satu penentu
suksesnya budi daya padi adalah pengolahan lahan yang baik. Namun tidak
semua petani melakukannya. Penyebabnya keterbatasan waktu dan dana. Pada
awal tanam petani harus berpacu dengan waktu dalam menyiapkan lahan karena
ketersediaan air yang terbatas, lahan harus secepatnya siap karena jika tidak
segera maka tidak mendapatkan air yang cukup (nguber banyu). Alasan lainnya,
46
untuk pengolahan lahan dengan baik sesuai anjuran, petani harus mengeluarkan
tambahan biaya sebesar Rp125.000;/patok atau sekitar Rp625.000;/ha.
Berdasarkan pengalamannya ditambah dengan berbagai kegiatan
penyuluhan yang pernah diikutinya, petani mengetahui tanaman padi
membutuhkan air yang berbeda untuk setiap fasenya. Pemberian air secara
berselang sudah diterapkan oleh petani, sebelum, selama, dan sesudah GP-PTT.
Saat pelaksanaan GP-PTT sebagian petani bahkan menggunakan pengairan
dengan pompa, karena saat itu air tidak mencukupi.
Penggunaan pupuk cair relatif tinggi saat pelaksanaan GP-PTT, namun
sebelum dan sesudahnya relatif rendah. Petani belum terbiasa dan sebagian
merasa tidak perlu menggunakan pupuk cair. Selain hal ini memperbesar biaya,
petani juga belum meyakini manfaatnya untuk tanaman, dan keberadaan unsur ini
menurut petani sudah terpenuhi oleh aplikasi pupuk yang lain.
Panen dilakukan dengan cara manual dengan cara diarit. Kemudian
dilakukan perontokan dengan menggunakan mesin thresser. Menurut petugas
lapangan dan petani, kehilangan hasil masih tinggi, yaitu sekitar 3% dalam proses
diarit dan 9-10% saat proses perontokan, sehingga total kehilangan panen sampai
tahap tersebut sekitar 12-13%, belum termasuk di dalamnya kehilangan saat
proses penjemuran, pengangkutan, dan penggilingan.
5.1.2. Dampak Program GP-PTT Terhadap Kelembagaan
Implementasi GP-PTT melibatkan instansi di tingkat pusat hingga lapangan.
Mengingat bahwa sasaran GP-PTT ini adalah petani yang bernaung dalam wadah
kelompok tani maka pembahasan tentang dampak terhadap kelembagaan akan
difokuskan pada kelompok tani dan pelaku lainnya yang berinteraksi dengan
kelompok tani dan anggotanya. Dampak implementasi GP-PTT akan dilihat dari
adanya dinamika peran kelompok tani untuk menjalankan fungsinya sebagai: (i)
wahana untuk pendidikan, (ii) kegiatan komersial dan organisasi sumber daya
pertanian, (iii) pengelolaan properti umum, (iv) membela kepentingan kolektif,
dan (v) lain-lain (Mosher 1991).
Selain petani dan kelompok tani, pelaku lainnya yang terlibat dalam
pelaksanaan GP-PTT di Kabupaten Subang adalah pemandu lapangan yang terdiri
47
dari Ppetugas lapangan/penyuluh, POPT, PBT dan peneliti. Pemandu Lapangan
(PL) secara normatif sebagaimana tercantum dalam Pednis mempunyai fungsi
sebagai : (i) pemandu yang paham terhadap permasalahan, kebutuhan dan
kekuatan yang ada di lapangan dan desa, (ii) dinamisator proses pertemuan
kelompok sehingga menimbulkan ketertarikan dan lebih menghidupkan latihan,
(iii) motivator yang kaya akan pengalaman dalam berolah tanam dan dapat
membantu membangkitkan kepercayaan diri para peserta GP-PTT; (iv) konsultan
bagi petani peserta GP-PTT untuk mempermudah menentukan langkah-langkah
selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan usaha taninya setelah kegiatan GP-PTT
selesai. Interaksi antara petani (kelompok tani) dengan pemandu lapangan ini
juga akan menjadi fokus pembahasan karena diduga hal tersebut menjadi salah
satu kunci lancarnya pelaksanaan program.
Jawa Barat
Dilihat dari sejarah terbentuknya, kelompok tani yang menjadi peserta GP-
PTT telah terbentuk sebelum program diimplementasikan. Kelompok tani ini
memiliki aktivitas berupa pertemuan rutin setiap bulan, dan dalam pertemuan
tersebut dibahas tentang berbagai permasalahan yang dihadapi oleh anggota.
Saat implementasi program aktivitas kelompok sebagai wahana belajar meningkat
dengan adanya kegiatan pertemuan (sekolah lapangan) yang telah terjadwal,
minimal enam kali pertemuan dalam semusim. Setelah program selesai, kegiatan
pertemuan kelompok kembali seperti semula dan tidak ada lagi kegiatan semacam
sekolah lapangan.
Saat program GP-PTT sedang berlangsung, kelompok tani berperan dalam
mengorganisasikan bantuan berupa sarana produksi (benih, pupuk, obat-obatan)
dan lain-lain. Namun setelah program selesai, peran ini umumnya tidak lagi
dilakukan, dan anggota kelompok kembali melakukan pemenuhan kebutuhan
sarana usaha taninya secara individu.
Kelompok tani juga belum berperan dalam pemasaran bersama hasil
pertanian, baik sebelum, selama maupun sesudah implementasi program GP-PTT.
Masing-masing petani berhadapan langsung dengan pedagang pembeli hasil
48
pertanian, sehingga kekuatan tawarnya seringkali lemah terhadap pedagang,
apalagi jika ada ikatan dalam bentuk hutang piutang di dalamnya.
Tabel 5.5. Peran kelompok tani dalam kegiatan pertanian di Kabupaten Subang, Jawa Barat, 2016
Peran kelompok tani Sebelum GP-PTT Sesudah
Wahana untuk pendidikan
- Pertemuan rutin v v v
- Sekolah lapangan/pertemuan lapangan
x v x
Kegiatan komersial dan organisasi
sumber daya pertanian
- Pengadaan sarana produksi x v x
- Pekerjaan bersama: pengendalian HPT
x x x
- Pemasaran hasil bersama x x x
Pengelolaan properti umum
- Membersihkan saluran irigasi v v v
- Membangun jalan usaha tani x x x
- Mengelola alsin (UPJA) x x x
Membela kepentingan kolektif
- Memediasi masyarakat dan negara v v v
Lain-lain
Keterangan: v = dilakukan
X = tidak dilakukan
Kelompok tani di Subang melakukan pengelolaan properti umum dalam
bentuk pemeliharaan saluran irigasi (saluran tersier, cacing). Gotong royong
membersihkan saluran dilakukan walau tidak secara rutin, misalnya menjelang
musim turun ke sawah (menjelang musim tanam). Belum ada usaha pengelolaan
jasa alsintan yang dikelola oleh kelompok tani peserta GP-PTT di wilayah ini.
Kebutuhan alsintan untuk usaha tani dipenuhi secara individu atau menyewa jasa
alsin dari pemilik perorangan.
Program-program pemerintah untuk masyarakat mensyaratkan kelompok
sebagai sasaran program. Dalam hal ini, kelompok tani berperan dalam
memediasi kepentingan masyarakat dan pemerintah. Kelompok tani bagi
pemerintah berperan sebagai wadah untuk memasukkan program kepada
masyarakat, sebaliknya bagi masyarakat kelompok tani berperan sebagai wadah
untuk bisa mendapatkan bantuan program dari pemerintah. Tidak semua
kelompok tani bisa memperoleh bantuan program pemerintah, namun bisa saja
49
terjadi kelompok tani dibentuk dalam rangka penyaluran program bantuan
pemerintah.
Kelancaran pelaksanaan program juga ditentukan oleh interaksi yang baik
antara petani (kelompok tani) dengan berbagai pihak yang menjadi bagian dari
pelaksana program, khususnya pemandu dalam program GP-PTT. Interaksi yang
intensif dan terpola umumnya hanya terjadi saat program tengah
diimplementasikan. Saat itu berbagai pihak terkait akan meningkat frekuensi
interaksinya dengan petani (kelompok tani) demi kelancaran program, namun
sesudahnya hanya petugas lapangan yang memang memiliki tugas rutin untuk
membina dan membimbing petani yang tetap intens dalam berinteraksi dengan
petani. Sebaliknya, petani umumnya bersifat pasif dalam membangun interaksi
dengan para petugas/aparat pemerintah/lainnya, kecuali hanya sedikit petani
dalam kelompok tani yang aktif, dan mereka umumnya adalah pengurus (inti)
kelompok. Pengurus kelompok tani berperan sebagai motivator yang mampu
memberikan respon yang cepat terhadap inovasi dan mampu mendorong anggota
kelompok lainnya untuk mampu memberikan respon yang sama.
Jawa Tengah
Kelompok tani peserta program GP-PTT di Klaten, Jawa Tengah berperan
sebagai wahana belajar bagi anggotanya maupun masyarakat sekitarnya. Proses
belajar terjalin dalam pertemuan rutin kelompok maupun pertemuan informal di
lapangan. Proses pembelajaran dalam bentuk sekolah lapangan yang terjadwal
dengan topik yang sudah disepakati, secara faktual hanya dilakukan saat
pelaksanaan program, sesudahnya proses pembelajaran di lapangan terjadi secara
insidentil sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh petani dan dillakukan
secara orang ke orang bukan dalam kelompok.
Kelompok tani di Klaten umumnya belum berperan dalam pengadaan sarana
produksi pertanian secara kolektif. Petani mengadakan saprodi yang dibutuhkan
secara individu. Pemasaran hasil pertanian juga dilakukan secara individu,
sehingga dijumpai berbagai bentuk pemasaran hasil seperti penjualan per unit dan
tebasan. Namun dalam hal pemberantasan HPT, terdapat satu kelompok tani
yang melakukannya secara bersama-sama. Pembelian obat-obatan dilakukan oleh
50
kelompok, demikian pula proses pencampuran obat dengan bahan tambahan
lainnya (air), dan anggota kelompok tinggal mengambil dan mengaplikasikan di
lahan masing-masing pada saat yang bersamaan. Pemberantasan HPT secara
serentak dalam suatu hamparan, dinilai lebih efektif dan efisien.
Tabel 5.6. Peran kelompok tani dalam kegiatan pertanian di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, 2016
Peran kelompok tani Sebelum GP-PTT Sesudah
Wahana untuk pendidikan
- Pertemuan rutin v v v
- Sekolah lapangan/pertemuan
lapangan x v x
Kegiatan komersial dan organisasi sumber
daya pertanian
- Pengadaan sarana produksi x v x
- Pekerjaan bersama:
pengendalian HPT v v v
- Pemasaran hasil bersama x x x
Pengelolaan properti umum
- Membersihkan saluran irigasi v v v
- Membangun jalan usaha tani x x x
- Mengelola alsin (UPJA) x v v
Membela
kepentingan kolektif
- Memediasi masyarakat dan
negara v v v
Lain-lain
Keterangan: v = dilakukan X = tidak dilakukan
Salah satu kelompok tani contoh di wilayah ini telah memiliki UPJA, dan
juga telah mendapatkan bantuan alsin. Penggunaan alsin oleh anggota dan
pembayaran jasanya ditentukan berdasarkan kesepakatan angggota. Alsin yang
dikelola yaitu traktor, transplanter, dan pompa air. Di luar alsintan tersebut,
pengadaannya masing dilakukan secara individu.
Peran pemandu lapangan, khususnya penyuluh lapangan, besar perannya
dalam menentukan kelancaran pelaksanaan program di wilayah ini. Penyuluh
lapangan dengan dedikasi yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya terbukti
menjadi kunci kesuksesan program. Para petugas lapangan ini tidak terikat
dengan jam kerja, sewaktu-waktu bersedia saat dibutuhkan petani untuk
mendampingi. Bahkan petugas tersebut tidak segan-segan untuk turun ke sawah
dan memberikan contoh langsung. Aktivitas tersebut ternyata berhasil memotivasi
51
petani untuk melaksanakan program sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
Pelaku lain yang tak kalah penting perannya dalam melancarkan
pelaksanaan program adalah aparat desa, khususnya kepala desa. Kasus tersebut
dijumpai di salah satu desa yang kelompok taninya menjadi sasaran program GP-
PTT di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Wujud perhatian kepala desa adalah
membangun balai pertemuan untuk berbagai kegiatan pertemuan kelompok dalam
rangka GP-PTT, sumbangan benih untuk memenuhi kekurangan benih bantuan
pemerintah, dan dukungan dalam bentuk lainnya. Pelaksanaan GP-PTT di desa
tersebut dinilai lancar dan berhasil, bahkan sesudahnya kepala desa juga
mendorong dilakukannnya duplikasi penerapan berbagai komponen teknologi
pada lahan petani bukan penerima program GP-PTT. Keberhasilan program yang
dilaksanakan di desa tersebut, menjadi daya tarik pihak pemilik program dari
sumber lainnya untuk menempatkan programnya di desa ini.
5.2. Dampak Program GP-PTT terhadap Produksi Padi
Dampak Program GP-PTT terhadap produksi padi didekati dengan
menganalisis penambahan produksi dari peningkatan produktivitas hasil ubinan
dari lahan peserta GP-PTT. Adapun data yang dianalisis berasal dari evaluasi dan
laporan Ditjen Tanaman Pangan untuk tingkat nasional, sedangkan untuk
kabupaten contoh berasal dari data sekunder Dinas Pertanian masing-masing
kabupaten contoh. Sementara data peningkatan produktivitas dari hasil penelitian
primer hasil wawancara kelompok dibahas pada sub bab dampak terhadap
pendapatan petani.
5.2.1. Dampak Program GP-PTT Terhadap Produksi Padi Nasional
Secara nasional realisasi luas panen Program GP-PTT tercatat mencapai
227,6 ribu ha (Tabel 5.7), rendahnya areal panen dibanding areal tanam
menunjukkan bahwa sebagian tanaman dipanen pada tahun berikutnya (2016),
sehingga tidak tercatat pada tahun berjalan. Data sementara BPS tahun 2015
(BPS 2016) menunjukkan bahwa luas panen padi nasional mencapai 14.115.475
ha, berarti luas tersebut hanya berkonstribusi sekitar 1,61 %. Produksi hasil GP-
PTT menyumbangkan sekitar 1,95 % dari total produksi nasional (data Asem
52
75,36 juta ton). Menurut BPS (2016) produksi padi nasional naik 6,37 %
dibanding tahun 2014, kenaikan tersebut terutama dampak dari kebijakan upaya
khusus (UPSUS) dalam peningkatan produksi padi seperti GP-PTT, Optimalisasi
Lahan (Olah), Rehabilitasi Jaringan Irigasi Tersiser (RJIT) dll.
Tabel 5.7. Realisasi Produksi dan Produktivitas Padi Program GP-PTT Nasional menurut Provinsi, 2015
NO.
Realisasi Panen Produktivitas (ku/ha GKG)
Deviasi
Produktivitas GP-PTT
Provinsi Luas
(000 Ha) Produksi (000 Ha)
Realiasasi Provitas
(Ku/Ha)
Sebelum GPPTT pd
MT yg sama
1 Aceh 11,2 71,5 64,00 65,07 -1,07
2 Sumut 9,3 65,9 71,14 55,74 15,40
3 Sumbar 9,2 59,2 64,36 54,77 9,59
4 Riau 3,0 16,7 56,59 40,38 16,21
5 Jambi 4,0 21,3 52,83 tad tad
6 Sumsel 19,4 121,6 62,57 50,96 11,61
7 Bengkulu 5,8 32,8 57,14 tad tad
8 Lampung 15,1 101,4 66,99 60,82 6,17
9 Jabar 14,6 107,6 73,84 60,20 13,64
10 Jateng 13,6 101,5 74,41 62,34 12,07
11 Di Y 2,5 18,2 72,60 63,78 8,82
12 Jatim 11,2 92,1 82,26 tad tad
13 Kalbar 8,2 30,9 37,63 33,46 4,17
14 Kalteng 7,7 36,6 47,78 33,44 14,34
15 Kalsel 5,4 30,1 55,88 tad tad
16 Kaltim 2,9 15,6 53,63 tad tad
17 Sulut 7,8 48,9 62,67 53,80 8,87
18 Sulteng 4,0 24,8 62,38 46,91 15,47
19 Sulsel 23,6 167,8 71,19 63,97 7,22
20 Sultra 5,4 30,7 56,53 48,25 8,28
21 Bali 4,3 32,1 75,00 tad tad
22 Ntb 10,8 81,7 76,02 tad tad
23 Ntt 3,1 27,5 90,09 53,19 36,90
24 Maluku 4,6 25,1 54,13 tad tad
25 Papua 2,2 7,2 33,11 43,00 -9,89
26 Malut 2,7 12,1 45,79 38,78 7,01
27 Banten 4,1 25,5 62,48 55,09 7,39
28 Gorontalo 8,1 46,2 57,34 51,11 6,23
29 Papua
Barat 3,2 13,8 43,50 34,49 9,01
30 Sulbar 0,2 0,3 15,00 tad tad
31 Kaltara 0,8 1,9 25,34 27,83 -2,49
Nasional 227,55 1,468,4 64.53
Sumber: Ditjen Tanaman Pangan, 2016 (diolah)
53
Peningkatan produktivitas padi merupakan salah satu dampak dari Program
GP-PTT, secara umum peningkatan signifikan pada usaha tani yang menggunakan
padi hibrida. Namun demikian usaha tani padi hibrida sangat responsip terhadap
penggunaa input (terutama pupuk), sedangkan petani belum biasa dengan budi
daya padi hibrida, petani pada umumnya masih cenderung menanam padi inbrida.
Berdasarkan data ubinan hasil GP-PTT rata-rata nasional mencapai 64,53
kuintal/ha, produktivitas tersebut cukup tinggi dibandingkan rata-rata nasional
(Data Asem) tahun yang sama (53,39 kuintal/ha). Peningkatan produktivitas
sekitar 11,14 kuintal (20,9%), rata-rata peningkatan tersebut sudah melebihi
sasaran yang ditargetkan meningkat minimal 0,5 ton/ha untuk padi inbrida dan
minimal 1,0 ton/ha untuk padi hibrida.
Terdapat pula beberapa provinsi yang mengalami penurunan produktivitas
padi, seperti Provinsi Aceh, Papua dan Kalimantan Utara (Tabel Lampiran 1).
Sementara di beberapa provinsi seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Tengah peningkatan
produksi >10 kuintal per hektar. Beberapa data produktivitas sebelum GP-PTT
tidak tersedia (tad), seperti Jawa Timur dll., namun cenderung meningkat dengan
adopsi teknologi GP-PTT. Mengingat sifat kegiatan GP-PTT lebih ditekankan pada
spesifik lokasi, maka jenis varietas yang diadopsi juga disesuaikan dengan minat
petani dan yang lebih baik diarahkan ke penggunaan VUB yang produksi tinggi
sesuai lingkungan usaha budi daya padi.
5.2.2. Dampak Program GP-PTT Terhadap Produksi Padi di Subang, Jawa Barat
Seluruh lokasi program GP-PTT di Subang (11 kecamatan) rata-rata
produktivitas padi telah melebihi target dari kegiatan GP-PTT (>5 ku/ha), kecuali
di kecamatan Pabuaran meningkat 5 ku/ha. Namun bila mengacu dari target yang
dicanangkan setelah GP-PTT, maka terdapat enam kecamatan sudah mencapai
target sasaran produktivitas, sedangkan lima kecamatan lainnya (Pusakanegara,
Pabuaran, Pagaden, Cisalah dan Cipunagara) belum mencapai target setelah GP-
PTT, secara agregat Kabupaten Subang sudah mencapai target sasaran dari rata-
rata produktivitas sebelum GP-PTT sebesar 53,83 ku/ha, meningkat menjadi 73,67
54
ku/ha, sementara target produktivitas setelah GP-PTT agregat Subang adalah
73,02 ku/ha (Tabel 5.8).
Tabel 5.8. Realisasi panen dan produktivitas padi sebelum dan hasil GP-PTT di Kabupaten Subang, 2016
No Kecamatan
Realisasi Panen Produktivitas (ku/ha) Deviasi Produktivitas
GP-PTT (ku/ha) Luas (ha)
Produksi (ton)
Lokasi GP-PTT
Sebelum GPPTT
1 Pusakanagara 100 721 72,11 63,00 9,11
2 Pabuaran 100 660 66,00 61,00 5,00
3 Pagaden 100 693 69,34 60,18 9,17
4 Kasomalang 100 773 81,60 55,25 26,35
5 Tanjungsiang 100 737 74,73 56,00 18,73
6 Cisalak 100 747 78,90 61,25 17,65
7 Purwadadi 50 345 69,04 38,50 30,54
8 Cipunagara 100 789 78,90 60,00 18,90
9 Dawuan 50 344 68,78 35,00 33,78
10 Cibogo 100 781 78,10 50,25 27,85
11 Cikaum 100 777 77,65 51,75 25,90
Kabupaten Subang 1000 7.367 73,67 53,83 19,84
Sumber: Dinas Pertanian Tanama Pangan Kabupaten Subang, 2016
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa produktivitas hasil GP-PTT
meningkat, demikian halnya bila dibandingkan dengan produktivitas non GP-PTT
di sekitarnya pada musim yang sama. Dengan demikian meningkatnya
produktivitas tersebut mengindikasikan bahwa program GP-PTT dapat
meningkatkan produksi padi di Subang. Sebagai ilustrasi bahwa dengan
peningkatan produktivitas 19,84 ku/ha, sedangkan luas panen GP-PTT 1000 ha
maka penambahan produksi hasil GP-PTT sebesar 1984 ton. Dengan mengacu
data produksi padi Subang tahun 2014 (1.159.815 ton) maka tambahan produksi
hasil GP-PTT hanya berkonstribusi sekitar 0,17%. Mengingat senjang
produktivitas antara GP-PTT dengan rata-rata produktivitas sebelum GP-PTT
cukup besar (36,86%) maka bila adopsi teknologi GP-PTT diterapkan lebih luas
maka berpeluang untuk meningkatkan produksi padi di Kabupaten Subang.
5.2.3. Dampak Program GP-PTT Terhadap Produksi Padi di Klaten, Jawa Tengah
Luas lahan sawah di Kabupaten Klaten seluas 33.230 Ha. Program GP- PTT
di Kabupaten Klaten ditujukan untuk komoditas padi dan kedelai. Program GP-PTT
55
untuk padi ditargetkan seluas 2.500 ha dan telah direalisasikan sepenuhnya atau
teralisasi (100 %). Demikian juga halnya untuk komoditas kedelai, Program GP-
PTT untuk Kededalai ditargetkan 1.000 ha dan telah realisasi 1.000 ha atau
terealisasi (100 %).
Capaian kegiatan GP-PTT di Kabupaten Klaten dilihat dari sisi luas panen,
terealisasi 100%. Sementara hasil produktivitas hasil ubinan usaha tani padi
pada kegiatan GP-PTT bervariasi antar lokasi (Tabel 5.9). Dari tiga kecamatan
sasaran (Prambanan, Manisrenggo dan Karangdowo) menunjukkan bahwa rata-
rata produktivitas tertinggi ditemukan di Karangdowo (kisaran 69,2 – 87,2 ku/ha),
demikian juga peningkatan produktivitas tertinggi. Daerah sawah di wilayah
Karangdowo adalah dataran rendah dan sawah irigasi tehnis, sementara wilayah
Kecamatan Manisrenggo dan Prambanan termasuk sawah dataran sedang dan
sawah irigasi semi teknis dan sederhana. Kondisi lahan (kesuburan dan
kecukupan/ketersediaan air irigasi) tersebut juga berpengaruh terhadap perolehan
produksi padi.
Tabel 5.9. Realisasi panen dan produktivitas padi sebelum dan hasil GP-PTT di
Kabupaten Klaten, 2016
Kecamatan
Realisasi panen Produktivitas (ku/ha) Deviasi produktivitas
GP-PTT (ku/ha)
Luas
(ha)
Produksi
(ton)
Lokasi GP-PTT
sebelum GP-PTT
Karangdowo 750 600,7 80.09 63.07 17.02
Prambanan 800 583,6 72.95 61.58 11.37
Manisrenggo 950 599,1 63,06 53.12 9.94
Kabupaten Klaten 2500 1783,4 71.34 59.26 12.08
Sumber: Laporan akhir GP-PTT, Dinas Pertanian Kabupaten Klaten, 2016
Secara agregat rataan produktivitas padi di Kabupaten Klaten hasil GP-PTT
71,34 ku/ha. Dibandingkan rataan produktivitas padi sebelum GP-PTT terdapat
deviasi sebesar 12,08 ku/ha, kenaikan ini jauh melebihi target dari program GP-
PTT. Namun demikian peningkatan produktivitas tersebut lebih rendah bila
dibandingkan kinerja peningkatan produktivitas GP-PTT di Kabupaten Subang.
Dengan peningkatan produktivitas 12,08 ku/ha, sementara luas panen GP-
PTT 2500 ha maka penambahan produksi hasil GP-PTT sebesar 3020 ton. Dengan
56
mengacu data produksi padi Kabupaten tahun 2014 (368.310 ton) maka
peningkatan produksi hasil GP-PTT memberikan konstribusi terhadap produksi
padi total Kabupaten Klaten sekitar 0,82 %.
5.3. Dampak Program GP-PTT Terhadap Pendapatan Petani
Dampak Program GP-PTT terhadap pendapatan petani dilihat dengan
menganalisis usaha tani pada kelompok tani peserta Program GP-PTT. Untuk itu
analisis dilakukan dengan membandingkan hasil analisis usaha tani saat program
dan sebelum program untuk musim tanam yang sama (tahun sebelumnya) sesuai
dengan musim tanam saat program (MKI 2015 dan MKI 2014).
Biaya usaha tani padi yang diperhitungkan secara garis besar dipilah atas
tiga kelompok, yaitu: (a) biaya sarana produksi; (b) biaya tenaga kerja; dan (c)
biaya lain-lain. Biaya sarana produksi terdiri dari: biaya untuk pengadaan benih,
biaya untuk berbagai macam pupuk (pupuk anorganik, pupuk organik, pupuk
kandang, kompos, dan lainnya), biaya berbagai jenis pestisida. Biaya tenaga kerja
mencakup dari kegiatan pengolahan tanah dengan traktor sampai dengan
kegiatan panen dan pascapanen. Khusus untuk kegiatan panen yang dipakai
sistem bawon akan dikonversikan pada nilai harga gabahnya. Sedangkan untuk
biaya lain-lain meliputi biaya bayar pajak, iuran air irigasi atau sumbangan-
sumbangan yang berkaitan dengan usaha tani padi. Dalam struktur biaya usaha
tani padi atas biaya tunai ini tidak memasukkan komponen biaya sewa lahan.
Namun untuk analisis atas biaya total, sewa lahan diperhitungkan, dalam analisis
usaha tani dalam bahasan ini diasumsikan bahwa tenaga kerja seluruhnya berasal
dari luar keluarga.
5.3.1. Dampak Program GP-PTT Terhadap Pendapatan Petani di Kabupaten Subang, Jawa Barat
Hasil evaluasi dari kelompok tani pelaksana GP-PTT menunjukkan bahwa
pada kegiatan usaha tani MT 2015 (musim gadu), dilihat dari struktur biayanya
komponen yang terbesar teralokasi untuk biaya tenaga kerja dengan proporsi
sebesar 76 %. Sedangkan untuk biaya sarana produksi proporsinya sebesar 20 %,
terutama untuk pengadaan pupuk anorganik dan sekitar 4 % biaya lainnya.
Apabila dibandingkan dengan kegiatan usaha tani MT. 2014, proporsi struktur
57
biaya usaha tani padi sebelum GP-PTT keragaannya relatif sama. Namun jika
dilihat dari nilai faktor biaya yang dikeluarkan pada usaha tani padi dengan pola
GP-PTT menunjukkan bahwa total biaya usaha tani yang dikeluarkan adalah
berkisar Rp 10.620.000 – Rp 11.434.000 dengan agregatnya sebesar Rp
10.895.000. Sedangkan sebelum GP-PTT, total biaya usaha taninya berkisar Rp
9.510.000 – Rp 9.917.000 sehingga terjadi kenaikan sekitar Rp 978.000, yaitu
sebagai akibat adanya kenaikan produksi maka nilai bawon meningkat. Namun,
jika diukur dari nilai persentase maka antara usaha tani GP-PTT dan sebelum GP-
PTT adalah relatif sama. Mengenai keragaan struktur biaya usaha tani padi secara
rinci pada kelompok tani contoh rata-rata di Kecamatan Pagaden dan Cipunagara
disajikan pada Tabel Lampiran 1 dan 2. Namun untuk bahasan lebih lanjut
mengacu dari rekapitulasi dari rata-rata seluruh kelompok tani di kedua
kecamatan tersebut, untuk itu Tabel 5.10 menyajikan analisis struktur biaya di
lokasi Kabupaten Subang.
Tabel 5.10. Struktur biaya usaha tani padi sawah (per ha) di tingkat kelompok
tani hasil GP-PTT dan sebelum GP-PTT di Kabupaten Subang, 2016
No. Kelompok tani
Sarana
produksi Tenaga kerja Lainnya Total
Rp 000 % Rp 000 % Rp 000 % Rp 000 %
A.
Dengan GP-PTT
1. Ranca Mandar
2. Sarilat
3. Jaya Tani
4. Sinar Tani
5. Sumber Rejeki
6. Dewi Sri
2.080
2.120
2.260
2.165
2.090
2.280
20
20
20
20
19
21
8.080
8.210
8.660
8.240
8.180
8.040
76
76
76
76
76
74
460
438
514
486
524
546
4
4
4
4
5
5
10.620
10.768
11.434
10.891
10.794
10.866
100
100
100
100
100
100
Agregat A 2.165 20 8.235 76 495 4 10.895 100
B.
Sebelum GP-PTT
1. Ranca Mandar
2. Sarilat
3. Jaya Tani
4. Sinar Tani
5. Sumber Rejeki
6. Dewi Sri
1.945
1.930
2.110
1.985
1.960
2.210
20
20
21
20
20
22
7.125
7.380
7.678
7.440
7.406
7.460
75
76
75
75
75
73
440
432
486
486
508
524
5
4
4
5
5
5
9.510
9.742
10.274
9.911
9.874
10.194
100
100
100
100
100
100
Agregat B 2.023 20 7.415 75 479 5 9.917 100
Beda Aregat (A-B) 142 820 16 978
58
Untuk mengukur tingkat profitabilitas (keuntungan) usaha tani diperlukan
dua peubah, yaitu: (a) penerimaan total, dan (b) biaya total. Penerimaan total
merupakan perkalian antara hasil produksi dan tingkat harga jual produknya.
Biaya total adalah penjumlahan seluruh biaya yang mencakup biaya sarana
produksi, tenaga kerja, dan biaya lainnya, dalam evaluasi ini nilai sewa lahan tidak
diperhitungkan.
Berdasar kedua peubah tersebut, ukuran profitabilitas (keuntungan) usaha
tani padi sawah adalah selisih antara penerimaan total dengan biaya total per
hektar, apabila selisih bertanda positif (+) berarti menguntungkan dan bila selisih
bertanda negatif (-) berarti rugi. Di samping itu, untuk mengukur tingkat
kelayakan usaha taninya diukur dengan nilai ratio penerimaan dan biaya total.
Dalam hal ini, jika R/C > 1 berarti kegiatan usaha tani secara ekonomi layak
diusahakan.
Hasil evaluasi pada kelompok tani di wilayah Kabupaten Subang untuk
tingkat produktivitas yang dicapai pada musim tanam gadu/MT. 2015 adalah
berkisar dari 6.240 kg GKP (gabah kering panen) pada kelompok tani Dewi Sri
sampai yang tertinggi yaitu sebesar 7.220 kg GKP per hektar di kelompok tani
Jaya Tani. Sedangkan agregat dari ke enam kelompok tersebut adalah 6.523 kg
GKP/ha. Selanjutnya jika dibandingkan dengan tingkat hasil yang dicapai sebelum
GP-PTT yaitu kegiatan usaha tani MT. 2014 tingkat produktivitasnya adalah
berkisar 5.570 kg – 6.080 kg GKP dan agregatnya 5.750 kg GKP/ha. Berdasar
kondisi tersebut, maka dapat diartikan bahwa dengan penerapan teknologi budi
daya GP-PTT dapat meningkatkan produktivitas padi secara agregat sebesar 773
kg GKP per hektar. Dengan demikian maka dengan GP-PTT dapat meningkatkan
produktivitas sebesar 13 %. Peningkatan produktivitas agregat Kabupaten
Subang, seperti yang telah dibahas pada bab 5.2.
Dilihat dari besaran penerimaan usaha tani padi MT. 2015 (dengan GP-PTT)
secara agregat diperoleh sekitar 26,09 juta rupiah dan pada MT. 2014 (sebelum
GP-PTT) sebesar 20,70 juta rupiah. Artinya, dengan GP-PTT terjadi peningkatan
penerimaan nominal sebesar 5,39 juta rupiah dalam setiap hektarnya atau terjadi
peningkatan pendapatan petani sebesar 26 %.
59
Tabel 5.11. Tingkat profitabilitas usaha tani padi sawah per hektar sebelum dan
selama GP-PTT di Kabupaten Subang, MT. 2015 dan MT. 2014
No. Kelompok tani Produk-tivitas
(kg/ha)
Harga GKP
(Rp/kg)
Peneri-maan
(Rp 000)
Total biaya
(Rp000)
Profita-bilitas
(Rp 000) R/C
A.
Dengan GP-PTT
1. Ranca Mandar
2. Sarilat
3. Jaya Tani
4. Sinar Tani
5. Sumber Rejeki
6. Dewi Sri
6.260
6.380
7.220
6.580
6.460
6.240
4.000
4.000
4.000
4.000
4.000
4.000
25.040
25.520
28.880
26.320
25.840
24.960
10.620
10.768
11.434
10.891
10.794
10.866
14.420
14.752
17.446
15.429
15.046
14.094
2,36
2,37
2,53
2,39
2,30
Agregat A 6.523 4.000 26.092 10.895 15.197 2,39
B.
Sebelum GP-PTT
1. Ranca Mandar
2. Sarilat
3. Jaya Tani
4. Sinar Tani
5. Sumber Rejeki
6. Dewi Sri
5.570
5.610
6.080
5.830
5.690
5.720
3.600
3.600
3.600
3.600
3.600
3.600
20.052
20.196
21.888
20.988
20.484
20.592
9.510
9.742
10.274
9.911
9.874
10.194
10.542
10.454
11.614
11.077
10.610
10.398
2,11
2,07
2,13
2,12
2,07
2,02
Agregat B 5.750 3.600 20.700 9.917 10.783 2,09
Beda Aregat (A-B) 773 400 5.392 978 4.414 0,30
Selanjutnya dilihat dari tingkat profitabilitasnya menunjukkan bahwa usaha
tani padi dengan pola GP-PTT secara agregat diperoleh sebesar Rp 15.197.000,
sedangkan sebelum GP-PTT sebesar Rp 10.783.000. Hasil usaha tani dengan GP-
PTT dapat meningkatkan pendapatan peningkatan profitabilitas sebesar Rp
4.414.000/ha, bila diperhitungkan dengan luasan panen GP-PTT (1000 ha), maka
dampak GP-PTT diperkirakan dapat meningkatkan pendapatan nominal sekitar Rp
8,75 milyar. Akan tetapi jika dilihat dari tingkat efisiensi usaha tani, maka
kegiatan usaha tani dengan pola GP-PTT dan sebelum GP-PTT secara ekonomi
keduanya layak diusahakan karena nilai imbangan biaya dan penerimaan (ratio
cost) lebih dari dua (>2). Secara rinci disajikan pada Tabel 5.11.
Hasil perhitungan BEP (Break Even Point) dari usaha tani padi pola GP-PTT,
sebesar 2.724 kg dari realisasinya sebesar 6.523 kg atau lebih efisien sebesar
3.799 kg dari aktualnya. Demikian juga untuk usaha tani padi sebelum GP-PTT,
yaitu sebesar 2.995 kg ke BEP-produknya. Artinya lebih efisien sebesar 2.995 kg
dari produktivitas aktualnya. Selanjutnya untuk BEP harga jual produk pada pola
GP-PTT adalah sebesar Rp 1.670 dari aktual Rp 4.000 dan untuk pola sebelum GP-
60
PTT diperoleh sebesar Rp 1.725 dari aktualnya Rp 3.600. Dengan keragaan
tersebut jelas kedua pola menunjukkan usaha tani padi yang dilaksanakan
memiliki keunggulan komparatif (Tabel 5.12).
Tabel 5.12. Tingkat BEP produktivitas dan harga jual usaha tani padi antara GP-
PTT dan sebelum GP-PTT di Kabupaten Subang, 2016
No. Kelompok tani Produktivitas
(kg/ha)
Harga
(Rp/kg)
Total
biaya
(Rp000)
BEP
produk
BEP
harga
1.
2.
Dengan GP-PTT
Sebelum GP-PTT
6.523
5.750
4.000
3.600
10.895
9.917
2.724
2.755
1.670
1.725
5.3.2. Dampak Program GP-PTT Terhadap Pendapatan Petani di Klaten,
Jawa Tengah
Dalam bahasan analisis usaha tani disini terutama untuk melihat dampat
GP-PTT terhadap pendapatan petani. Secara rinci dan detail analisis usaha tani
rata-rata di 3 (tiga) kecamatan contoh disajikan pada Tabel Lampiran 3, 4 dan 5.
Untuk lebih sederhana analisis usaha tani di tiga kecamatan contoh dirangkum
pada Tabel 5.13. dan Tabel 5.14 Dari struktur biaya usaha tani tampak bahwa
komponen biaya usaha tani agregat Kabupaten Klaten (rataan) menunjukkan
bahwa alokasi biaya terbesar adalah untuk tenaga kerja dengan proporsi sebesar
69 % saat GP-PTT, sedangkan sebelum GP-PTT lebih kecil (sekitar 63%).
Sementara untuk biaya sarana produksi proporsinya sebesar 29 %, dan sisanya
(sekitar 2%) untuk biaya lainnya.
Relatif rendahnya biaya saprodi bahkan biaya saprodi lebih rendah
dibanding sebelum GP-PTT, rendahnya saprodi terutama untuk obat, mengingat
obat/pestisida dikelola kelompok dan aplikasinya secara serentak, sehingga
penggunaannya lebih efisien, selain itu lebih efektif karena dilakukan
pengendalian OPT bersama-sama. disebabkan adanya subsidi pemerintah
terutama untuk benih, pupuk kimia dan organik. Disisi lain makin tingginya upah
tenaga kerja serta biaya sewa alat dan mesin pertanian. Namun bila dicermati
tampak bahwa biaya total (tunai) pada usaha tani GP-PTT relatif lebih (sekitar 7%
lebih rendah), kondisi ini terutama dalam penerapan pupuk berimbang,
sebelumnya petani cenderung berlebih dalam pemakaian pupuknya.
61
Tabel 5.13. Struktur biaya usaha tani padi sawah (per ha) di tingkat kelompok
tani hasil GP-PTT dan sebelum GP-PTT di Kabupaten Klaten, 2016
No. Kelompok
tani/Kecamatan
Sarana
produksi Tenaga kerja Lainnya Total
Rp 000 % Rp 000 % Rp 000 % Rp 000 %
Dengan GP-PTT
1. Karangdowo 4510 38.58 7100 60.74 80 0.68 11690 100
A 2. Prambanan 2213 18.21 9505 78.20 436 3.59 12154 100
3. Manisrenggo 3674 31.40 7950 67.95 75 0.64 11699 100
Agregat A 3466 29.25 8185 69.09 197 1.66 11848 100
Sebelum GP-PTT
0
1. Karangdowo 6165 48.00 6600 51.38 80 0.62 12845 100
B 2. Prambanan 2030 16.82 9604 79.57 436 3.61 12070 100
3. Manisrenggo 5565 41.25 7850 58.19 75 0.56 13490 100
Agregat B 4587 35.83 8018 62.63 197 1.54 12802 100
Rata-rata produktivitas usaha tani padi program GP-PTT yang dikelola
petani responden sebesar 7370 kg/ha/musim, dengan tingkat harga rataan
Rp4080/kg, maka penerimaan petani sebesar Rp30 juta/ha/musim. Dengan
demikian tingkat keuntungan/pendapatan petani sekitar Rp18 juta/ha/musim
(Tabel 5.14). Petani di lokasi contoh (Karangdowo) umumnya menanam padi 3
kali (5 kali/2 tahun).
Berdasarkan perbandingan analisis biaya dan keuntungan usaha tani padi
antara sebelum dan saat Program GP-PTT rata-rata di tiga Kecamatan contoh,
Kabupaten Klaten dapat disarikan beberapa hal pokok sebagai berikut:
- Tingkat adopsi teknologi usaha tani padi baik sebelum maupun saat
pelaksanaan program sudah menerapkan teknologi dengan cukup baik
(mengingat sebagian petani pada kelompok tani sasaran, sebagian besar
pernah mengikuti SL-PTT). Indikasi ini juga ditunjukkan dari tingkat
produktivitas yang dicapai masing-masing sebesar 6,12 ton/ha dan 7,37
ton/ha jauh di atas rata-rata nasional. Masih terdapat kesenjangan
produktivitas yang tergolong tinggi yaitu sebesar 1,25 ton/ha.
- Penerapan teknologi GP-PTT telah berdampak meningkatkan efisiensi biaya
usaha tani, meskipun relatif kecil. Biaya usaha tani padi sebelum GP-PTT
sebesar Rp12.802.000,-/ha dan biaya usaha tani padi GP-PTT sebesar
Rp11.848.000,-/ha atau terjadi penghematan biaya Rp954.000,-/ha.
62
Penurunan biaya terutama disebabkan penggunaan benih dan pupuk kimia
yang lebih rendah. Pada sisi lain makin tingginya upah tenaga kerja serta
biaya sewa alat dan mesin pertanian.
Tabel 5.14. Tingkat profitabilitas usaha tani padi sawah per hektar antara GP-PTT
dan sebelum GP-PTT di Kabupaten Klaten, MT. 2015 dan MT. 2014
No. Kelompok
tani/Kecamatan
Produk-
tivitas (kg/ha)
Harga
GKP (Rp/kg)
Peneri-maan
(Rp 000)
Total
biaya (Rp000)
Profita-
bilitas
(Rp 000)
R/C
Dengan GP-PTT
1. Karangdowo 8010 4300 34443 11690 22,753 2.95
A 2. Prambanan 7800 4000 31200 12154 19,046 2.57
3. Manisrenggo 6300 3900 24570 11699 12,871 2.10
Agregat A 7370 4080 30071 11848 18,223 2.54
Sebelum GP-PTT
1. Karangdowo 6299 4000 25100 12845 12,255 1.95
B 2. Prambanan 6500 3800 24700 12070 12,630 2.05
3. Manisrenggo 5572 3800 21173.6 13490 7,684 1.57
Agregat B 6124 3863 23658 12802 10,856 1.85
- Adanya peningkatan tingkat produktivitas sebesar 1,25 ton/ha dan
pengurangan biaya usaha tani padi menyebabkan terjadinya peningkatan
pendapatan usaha tani, yaitu dari Rp. 14.480.700,-/ha (sebelum Program
GP-PTT) menjadi Rp. 22.203.000,-/ha (Peserta Program GP-PTT) atau
terjadi peningkatan pendapatan sebesar Rp. 7.367.000,-/ha.
- Adanya peningkatan tingkat produktivitas sebesar 1,24 ton/ha dan
pengurangan biaya usaha tani padi juga menyebabkan terjadinya
peningkatan efektivitas pengembalian modal yang ditunjukkan peningkatan
R/C ratio dari 1.95 menjadi 2,54.
- Skala luasan Program GP-PTT Padi di Kabupaten Klaten seluas 2500 Ha,
maka ada potensi peningkatan produksi padi sebesar 3125 ton gabah
kering panen (GKP), ada perbedaan kecil dari analisis data sekunder
(Kabupaten) peningkatan produksi diperkirakan mencapai 3020 ton GKP.
Dengan logika yang sama maka akan terjadi peningkatan pendapatan dari
usaha tani padi dengan adanya Program GP-PTT sebesar Rp 18,47 Milayar
di Kabupaten Klaten.
63
VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
6.1. Kesimpulan
1. Beberapa kendala dalam pelaksanaan program GP-PTT : (1) Proses sosialisasi
program kurang dilakukan melalui proses sosial yang matang; (2)
Pemahaman terhadap tujuan pelaksanaan program GP-PTT belum dipahami
secara utuh; (3) Penetapan sasaran produktivitas pelaksanaan program GP-
PTT terlalu tinggi (over estimate); (4) Belum diketahuinya prinsip-prinsip PTT
dan GP-PTT secara utuh oleh kelompok sasaran; (5) Belum dipahaminya
teknologi pemupukan secara lengkap dan berimbang serta manfaat
penggunaan pupuk organik; 6) Kurangnya pemahaman tentang manfaat dan
keuntungan menerapkan teknologi GP-PTT; ( (7) Makin langka tenaga kerja
buruh tanam dan terbatasnya ketersediaan tranplanter dan mini combine
harvester untuk padi; (8) Kurangnya jumlah dan kualitas tenaga penyuluh
pertanian dalam pendampingan pelaksanaan Program GP-PTT.
2. Adopsi komponen teknologi dasar maupun pilihan mengikuti pola : tinggi
penerapannya saat ada bantuan, kemudian menurun tingkat adopsinya satu
musim berikutnya, dan menurun lagi pada musim berikutnya lagi. Ini
menunjukkan bahwa adopsi teknologi tersebut tidak berkelanjutan. Kendala
adopsi teknologi bisa ditelusuri dari petani sendiri (persoalan keterbatasan
modal, kurangnya pengetahuan dan pengalaman), maupun adanya faktor luar
seperti kasus yang terjadi pada penerapan jarwo oleh buruh tanam.
3. Adopsi komponen teknologi yang tinggi, bukan semata merupakan dampak
program GP-PTT, karena ternyata komponen tersebut sudah pernah
diperkenalkan kepada masyarakat melalui program-pprogram sebelumnya
seperti pada kasus penggunaan varietas modern. Ini menunjukkan bahwa
proses adopsi inovasi merupakan suatu proses yang panjang dan perlu waktu
lama untuk benar-benar diadopsi oleh petani.
4. Aktivitas kelompok tani juga mengikuti pola kurva normal, meningkat saat
pelaksanaan. Petani sebagai anggota kelompok tani umumnya merupakan
pelaku pasif dalam pelaksanaan program, kecuali beberapa orang yang
biasanya merupakan pengurus kelompok. Selain ketani dan kelompok tani,
64
pemandu dan aparat desa memiliki posisi dan peran penting dalam
menentukan kelancaran dan kesuksesan suatu program.
5. Peningkatan produktivitas dari program GP-PTT sekitar 19,84 ku/ha
(36,86%), sedangkan luas panen GP-PTT 1000 ha maka penambahan
produksi hasil GP-PTT sebesar 1984 ton, sehingga diperkirakan berkonstribusi
sekitar 0,17% dari total produksi padi di Subang.
6. Dengan peningkatan produktivitas 12,08 ku/ha, sementara luas panen GP-PTT
2500 ha maka penambahan produksi hasil GP-PTT sebesar 3020 ton, maka
peningkatan produksi hasil GP-PTT memberikan konstribusi terhadap produksi
padi total Kabupaten Klaten sekitar 0,82 %.
7. Hasil usaha tani dengan GP-PTT di Kabupaten Subang dapat meningkatkan
pendapatan/profitabilitas sebesar Rp 4.414.000/ha, bila diperhitungkan
dengan luasan panen GP-PTT (1000 ha), maka dampak GP-PTT diperkirakan
dapat meningkatkan pendapatan nominal sekitar Rp 8,75 milyar.
8. Dengan memperhitungkan luas areal panen dan tambahan peningkatan
produksi, maka akan terjadi peningkatan pendapatan dari usaha tani padi
dengan adanya Program GP-PTT sebesar Rp 18,47 Milayar di Kabupaten
Klaten.
6.2. Implikasi Kebijakan
1. Keberlanjutan Program GP-PTT Padi sangat ditentukan oleh aspek
perencanaan, pelaksanaan program, aspek pendukung, dan aspek promosi.
Pada aspek pelaksanaan perlu memperhatikan : (1) Adanya Pedum, Juklak,
Juknis, dan buku panduan yang mudah dipahami dan diimplementasikan di
lapangan, (2) Pelaksana dan pendamping perlu memiliki kompetensi baik
dalam aspek keterampilan teknis, kapabilitas manajerial, dan dalam
melakukan koordinasi secara efektif dan menggerakkan kelompok sasaran
secara dinamis, (3) Peningkatan kapasitas pelaksana dan pendamping
program perlu dilakukan secara berkala agar pelaksana dan pendamping
termotivasi untuk melaksanakan perannya dengan sebaik-baiknya, (4)
Pendampingan secara berkesinambungan sehingga tujuan tercapai sesuai
rencana dan target yang ditetapkan, (5) Monitoring dan evaluasi secara
65
berkala untuk mendapatkan data dan informasi serta umpan balik (feed back)
yang berguna untuk perbaikan model dan pemecahan permasalahan-
permasalahan di lapangan, baik permasalahan teknis, ekonomi, sosial-
kelembagaan dan aspek kebijakan.
2. Proses sosialisasi program GP-PTT seyogyanya dilakukan melalui proses sosial
yang matang, secara bertahap dan berjenjang, sehingga program tersebut
berhasil dan berkelanjutan. Memberikan pemahaman tentang sumber-sumber
peningkatan kesejahteraan petani baik dari sisi peningkatan produktivitas
maupun tingkat harga yang layak.
3. Adopsi inovasi faktanya merupakan proses yang panjang, tidak cukup hanya
satu kali pengenalan dan praktik melalui implementasi sebuah program untuk
bisa diadopsi secara berkelanjutan. Oleh karena itu, implementasi suatu
program seyogyanya disertai dengan pembinaan dan bimbingan serta fasilitasi
yang berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan sasaran. Perlu pembekalan
tentang manfaat G-PTT baik secara teknis, ekonomi dan aspek ekologi
lingkungan, sehingga mampu meningkatkan produktivitas, produksi, dan
pendapatan petani. Bantuan alat dan mesin pertanian terutama transplanter,
power thressher, power weeder, dan mini combine harvester sesuai dengan
kebutuhan masyarakat petani dan kondisi ketersediaan tenaga kerja
setempat. Dukungan alokasi anggaran dan fasilitasi sarana transportasi untuk
tenaga pendampingan pelaksanaan Program GP-PTT di lapangan.
4. Keberhasilan suatu program memerlukan peran dari berbagai pihak terkait.
Di tingkat lapangan, selain petani dan kelompok tani sebagai sasaran
program, pemandu lapangan dan aparat desa berperan penting dalam
memotivasi dan melancarkan jalannya program sehingga dapat mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, melibatkan pihak-pihak
tersebut sejak awal hingga akhir program sangat penting. Komunikasi dan
interaksi semua pihak terkait perlu dibangun, sehingga terbentuk jaringan
kerjasama dengan tujuan yang sama dan berinteraksi secara terpola sebagai
sebuah tim yang solid dengan didasarkan aturan main yang dibuat dan
disepakati bersama.
66
5. Stabilisasi harga gabah dan beras melalui peningkatan daya serap gabah dan
beras oleh BULOG (> 10 %) dari produksi, pengembangan produk beras
berkualitas, dan promosi produk beras berkualitas sehingga diharapkan dapat
meningkatkan pendapatan petani.
6. Keberlanjutan program GP-PTT dari aspek pendukung perlu dilakukan : (1)
Perencanaan kebutuhan benih/bibit, pupuk, dan pestisida, serta alsintan
dalam satu kelompok sasaran, satu kawasan, dan satu wilayah secara enam
tepat; (2) Perlu pembangungan infrastruktur irigasi dan bantuan alsintan
terutama transplanter, power thresher dan mini combine harvester; (3) Perlu
ketersedian dan akses terhadap sumber permodalan dengan bunga rendah;
(4) Lembaga pasar untuk menampung hasil produksi pada saat panen raya;
dan (5) Tersedianya alokasi anggaran untuk pengawalan dan pendampingan
secara memadai.
7. Keberlanjutan Program GP-PTT dari aspek diseminasi/promosi perlu dilakukan
: (1) Temu teknis dan temu lapangan secara berkala; (2) Advokasi program
secara berkala ke seluruh pemangku kepentingan tentang manfaat program;
(3) Penentuan harga pembelian pemerintah untuk gabah dan penampungan
hasil oleh BULOG; (4) Adanya kegiatan pengembangan produk dan promosi
produk beras berkualitas di wilayah pelaksanaan Program GP-PTT; dan (5)
Perlu membangun dan memperluas jaringan bisnis dan membangun
kemitraan usaha agribisnis beras.
67
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, Mewa. A. Suryana. K. Kariyasa. R. D. Yofa. 2014. Mendukung Gerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu Melalui Tinjauan Kritis SL-PTT. Laporan
Kebijakan. Bogor (ID): Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Asnawi, R. 2014. Bogor (ID): Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan Petani
melalui Penerapan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di Kabupaten Pesawaran, Lampung. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. 14 (1):44-52
[Balitbangtan] Badan Litbang Pertanian. 2009. Membangun Kemampuan Pengelolaan Terpadu Sumber daya Pertanian. Jakarta (ID): Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapangan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi. Departemen Pertanian. Jakarta
Dinas Pertanian Kabupaten Klaten. 2015. Laporan Akhir Program Peningkatan
Produksi, Produktivitas dan Mutu Hasil Tanaman Pangan. Klaten (ID): Dinas Pertanian Kabupaten Klaten.
Dinas Pertanian Kabupaten Klaten. 2015. Upsus Pajale: Upaya Khusus Peningkatan Produksi Padi, Jagung dan Kedelai Kabupaten Klaten Tahun 2015. Klaten (ID): Dinas Pertanian Kabupaten Klaten.
[Ditjentan] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2008. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung
dan Kedelai Tahun 2009. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Departemen Pertanian. Jakarta.
[Ditjentan] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2009. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2009. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan, Departemen Pertanian.
[Ditjentan] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2010. Pedoman Teknis Sekolah
Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung dan Kedelai tahun 2010. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Tanaman Pangan,
Kementerian Pertanian.
[Ditjentan] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2011. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai
dan Kacang Tanah Tahun 2011. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian.
[Ditjentan] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan [Ditjentan]. 2012. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2012. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Tanaman Pangan,
Kementerian Pertanian.
68
[Ditjentan] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan [Ditjentan]. 2013. Pedoman
Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2013. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Tanaman Pangan,
Kementerian Pertanian.
[Ditjentan] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan [Ditjentan].. 2014. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan
Jagung Tahun 2014. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian.
[Ditjentan] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan [Ditjentan]. 2015. Pedoman Teknis GP-PTT) Padi 2015. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian.
Hotimah, H. 2011.Dampak Program Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) Dari Aspek Produksi Dan Pendapatan Serta Strategi
Pengembangannyadi UPTD Wilayah VII Tanggul. Tesis. Program Magister Jurusan Sosial Ekonomi PertanianFakultas Pertanian. Jember (ID):
Universitas Jember.
Melasari, A, T. Supriana, R. Ginting. 2013. Analisis Komparasi Usaha Tani Padi Sawah Melalui Sistem Tanam Jajar Legowo dengan Sistem Tanam Non
Jajar Legowo. Journal on Social Economic of Agriculture and Agribusiness. Vol 2, No. 8(2013).
Mosher, Arthur T. 1965. Getting Agriculture Moving. Frederick A. Praeger, Inc. Publishers. New York
Nurasa, T dan H. Supriyadi. 2012. Program Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi : Kinerja dan Antisipasi Kebijakan Mendukung Swasembada Pangan Berkelanjutan. Analisis Kebijakan
Pertanian. 10(4): 313-329
[PSEKP] Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2015. Laporan
Pelaksanaan Pendampingan Program Upsus Padi, Jagung dan Kedelai di POKJA IV Jawa Tengah. Bogor (ID): Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Rusastra, I.W., H. Supriadi, dan Ashari. 2013. Kinerja Program SL-PTT Padi Nasional: Analisis Persepsi dan Reorientasi Kebijakan Pengembangan
Kedepan. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 11 No. 2, Desember 2013 : 129-147.
Saptana, T. Pranadji, Syahyuti, dan R. Elyzabet. 2003. Transformasi Kelembagaan Tradisional untuk Memperkuat Jaringan Ekonomi Kerakyatan di Pedesaan. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Sumarno. 2010. Green Agriculture dan Green Food sebagai Strategi Branding dalam Usaha Pertanian. FAE. 28(2):81-90
Sumarno. 2011. Peningkatan Produksi Beras Nasional dan Peran Teknologi. Sinar Tani. Edisi 16-22 Maret 2011. No: 3397. Tahun XLI.
69
Suryana A., dan K Kariyasa. 2008. Ekonomi Padi di Asia: Suatu Tinjauan Berbasis
Kajian Komparatif. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 26 No. 1, Juli 2008 : 17 – 31.
Supriadi, H., I. W. Rusastra, dan Ashari. 2012. Analisis Kebijakan dan Program SL-PTT Menunjang Peningkatan Produksi Padi Nasional. Laporan Teknis Penelitian. Bogor (ID): Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Supriadi dan Purwantini. 2015. Sistem Usaha tani Padi Terpadu Yang Berdaya Saing Untuk Mencapai Swasembada Pangan Absolut. Dalam Mulyo JH,
Sugiyarto, Muslimin.Editor. Prosiding Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Pertanian. UGM, Yogyakarta.
Syahyuti. 2008. Peranan Modal Sosial (Social Capital) dalam Perdagangan Hasil
Pertanian. FAE. 26(1):
Zakaria, AK. 2014. Evaluasi Adopsi Teknologi Budi daya dan Kelayakan Usaha
tani Padi di Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis 10(2):217-228
70
Tabel Lampiran 1. Analisis usaha tani Padi Sawah sebelum dan pelaksanaan
Program GP-PTT di wilayah Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang, 2014/2015
Sebelum (MK I 2014) Saat program (MK I 2015)
No Uraian
Volume
(unit)
Harga
(Rp./unit)
Nilai
(Rp.)
Volume
(unit)
Harga
(Rp./unit)
Nilai
(Rp.) I Produksi (kg) 5580 3,600 20,088,000 6375 4,000 25,500,000
II Biaya Produksi
2.1 Input
1 Benih (kg) 38 5,000 190,000 25 12,000 300,000
2 Pupuk Kimia
a. Urea
300 1,900 570,000 200 1,900 380,000
b. SP 36
200 2,100 420,000 150 2,100 315,000
c. KCL
- - - - - -
d. ZA
- - - - - -
e. NPK/Ponska 100 2,600 260,000 200 2,600 520,000
Total pupuk kimia 600
1,250,000 550
1,215,000
3 Pupuk lainnya
-
-
a. Pupuk organik (kg)
- 200 500 100,000
b. ZPT
- - - - - -
c. PPC
- - - - - -
Total Pupuk lainnya
-
-
4 Pestisida (Kg/Liter)
385,000
275,000
5 Herbisida (ltr)
195,000
195,000
6 Total Inputs
2,020,000
1,985,000
2.2 Tenaga Kerja
-
-
1 Traktor (Rp./ha)
- 1,500,000
1,500,000
2 Tenaga kerja Pra Panen
3,030,000
3,455,000
3 Tenaga Panen dan
Pasca Panen 2,880,000
3,280,000
Total Upah Tenaga Kerja
7,410,000
8,235,000
2.3. Biaya Lainnya
1 Sewa lahan
3,800,000
3,800,000
2 PBB
120,000
120,000
3 Iuran irigasi
360,000
360,000
Total biaya lainnya
4,280,000
4,280,000
2.4. Total Biaya Produksi
Biaya Tunai
9,910,000
10,700,000
Total Biaya Produksi
13,710,000
14,500,000
III Pendapatan
3.1. Atas Biaya Tunai
(Rp/ha) 10,178,000
14,800,000
3.2. Atas Biaya Total (Rp/ha)
6,378,000
11,000,000
IV R/C rasio
4.1. Atas Biaya Tunai
2.03
2.38
4.2. Atas Biaya Total
1.47
1.76
71
Tabel Lampiran 2. Analisis usaha tani padi sawah sebelum dan saat Program GP-
PTT di wilayah Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang, 2014/2015
Sebelum (MK I 2014) Saat program (MK I 2015)
No Uraian Volume (unit)
Harga (Rp./unit)
Nilai (Rp.)
Volume (unit)
Harga Nilai
(Rp./unit) (Rp.)
I Produksi (kg) 5590 3,600 20,124,000 6320 4,000 25,280,000
II Biaya Produksi
2.1 Input
1 Benih (kg) 40 5,000 200,000 25 12,000 300,000
2 Pupuk Kimia
a. Urea
250 1,900 475,000 200 1,900 380,000
b. SP 36
150 2,100 315,000 150 2,100 315,000
c. KCL
- - - - - -
d. ZA
- - - - - -
e. NPK/Ponska 150 2,600 390,000 200 2,600 520,000
Total pupuk kimia 550
1,180,000 550
1,215,000
3 Pupuk lainnya
-
-
a. Pupuk organik (kg)
- 200 500 100,000
b. ZPT
- - - - - -
c. PPC
- - - - - -
Total Pupuk lainnya
-
-
4 Pestisida (Kg/Liter)
396,000
231,000
5 Herbisida (ltr)
260,000
273,000
6 Total Inputs
2,036,000
2,019,000
2.2 Tenaga Kerja
-
-
1 Traktor (Rp./ha)
- 1,500,000
- 1,500,000
2 Tenaga kerja Pra Panen
2,900,000
3,000,000
3 Tenaga Panen dan Pasca Panen
2,800,000
3,600,000
Total Upah Tenaga Kerja
7,200,000
8,100,000
2.3. Biaya Lainnya
1 Sewa lahan
3,800,000
3,800,000
2 PBB
76,000
76,000
3 Iuran irigasi
360,000
360,000
Total biaya lainnya
4,236,000
4,236,000
2.4. Total Biaya
Biaya Tunai
9,672,000
10,555,000
Total Biaya Produksi
13,472,000
14,355,000
III Pendapatan
3.1. Atas Biaya Tunai (Rp/ha)
10,452,000
14,725,000
3.2. Atas Biaya Total (Rp/ha)
6,652,000
10,925,000
IV R/C rasio
4.1. Atas Biaya Tunai
2.08
2.40
4.2. Atas Biaya Total
1.49
1.76
72
Tabel Lampiran 2. Analisis usaha tani padi sawah sebelum dan saat Program GP-
PTT di wilayah Kecamatan Karangdowo, Kabupaten Klaten, 2014/2015
Sebelum (MK I 2014) Saat program (MK I 2015)
No Uraian
Volume (unit)
Harga (Rp./unit)
Nilai (Rp.)
Volume (unit)
Harga Rp./unit)
Nilai (Rp.)
I Produksi (kg) 6299 4,000 25,196,000 8010 4,300 34,443,000
II Biaya Produksi
2.1 Input
1 Benih (kg) 50 11,000 550,000 40 10,500 420,000
2 Pupuk Kimia
a. Urea
400 1,800 720,000 200 1,800 360,000
b. SP 36
200 2,200 440,000 - - -
c. KCL
- - - - - -
d. ZA
- - - - - -
e. NPK/Ponska 200 2,300 460,000 300 2,300 690,000
Total pupuk kimia 800 - 1,620,000 500 - 1,050,000
3 Pupuk lainnya
-
-
a. Pupuk organik (kg) 500 250 125,000 1000 500 500,000
b. ZPT
- - - - - -
c. PPC
- - - - - -
Total Pupuk lainnya
3,365,000
2,600,000
4 Pestisida (ltr/Kg) 6 95,000 570,000 4 95,000 380,000
5 Herbisida (ltr/Kg) 0.5 120,000 60,000 0.5 120,000 60,000
6 Total Inputs
6,165,000
4,510,000
-
-
2.2 Tenaga Kerja
-
-
1 Traktor (Rp./ha) 3 - 1,500,000 3 - 1,500,000
2 Tenaga kerja Pra Panen 60 50,000 3,000,000 62 50,000 3,100,000
3 Tenaga Panen dan Pasca
Panen 2,100,000 37 50,000 2,500,000
Total Upah Tenaga Kerja
6,600,000
7,100,000
2.3. Biaya Lainnya
1 Sewa lahan 1 3,800,000 3,800,000 1 3,800,000 3,800,000
2 PBB
1 80,000 80,000 1 80,000 80,000
3 Iuran irigasi
-
-
Total biaya lainnya
3,880,000
3,880,000
2.4. Biaya Produksi
Biaya Tunai
12,845,000
11,690,000
Total Biaya Produksi
16,680,029
16,680,029
III Pendapatan :
3.1. Atas Biaya Tunai (Rp/ha)
12,351,000
22,753,000
3.2. Atas Biaya Total (Rp/ha)
8,515,971
17,762,971
IV R/C rasio
4.1. Atas Biaya Tunai
1.96
2.95
4.2. Atas Biaya Total
1.51
2.06
73
Tabel Lampiran 4. Analisis usaha tani padi sawah sebelum dan saat Program GP-
PTT di wilayah Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, 2015/2015
Sebelum (MK I 2014) Saat program (MK I 2015)
No Uraian Volume (unit)
Harga (Rp./unit)
Nilai (Rp.)
Volume (unit)
Harga (Rp./unit)
Nilai (Rp.)
I Produksi (kg) 6500 3,800 24,700,000 7800 3,900 30,420,000
II Biaya Produksi
2.1 Input
1 Benih (kg) 65 10,000 650,000 30 10,500 315,000
2 Pupuk Kimia
a. Urea
200 1,900 380,000 250 1,900 475,000
b. SP 36
c. KCL
d. ZA
- - - - - -
e. NPK/Ponska 200 2500 500.000 300 2,500 750,000
Total pupuk kimia 200
380,000 550
1,225,000
3 Pupuk lainnya
-
-
a. Pupuk organik (kg)
- 600 500 300,000
b. ZPT
- - - - - -
c. PPC
- - - - - -
Total Pupuk lainnya
-
-
4 Pestisida (Kg/Liter)
525,000
400000-
5 Herbisida (ltr)
300,000 4.2 65,000 273,000
6 Total Inputs
2,030,325
2,213,000
2.2 Tenaga Kerja
-
-
1 Traktor (Rp./ha)
- 1,820,000 5 - 1,820,000
2 Tenaga kerja Pra Panen
3,600,000 60 60,000 3,200,000
3 Tenaga Panen dan Pasca Panen
4,485,000
4,485,000
Total Upah Tenaga Kerja
9,905,000
9,505,000
2.3. Biaya Lainnya
1 Sewa lahan
3,900,000
3,900,000
2 PBB
76,000
76,000
3 Iuran irigasi
360,000
360,000
Total biaya lainnya
4,336,000
4,336,000
2.4 Biaya Produks
. Biaya Tunai
12,671,325
12,154,000
Total Biaya Produksi
16,571,325
16,054,000
III Pendapatan
3.1. Atas Biaya Tunai (Rp/ha)
12,028,675
18,266,000
3.2. Atas Biaya Total (Rp/ha)
8,128,675
14,366,000
IV R/C rasio
4.1. Atas Biaya Tunai
1.95
2.50
4.2. Atas Biaya Total
1.49
1.89
74
Tabel Lampiran 5. Analisis usaha tani padi sawah sebelum dan saat Program GP-
PTT di wilayah Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten, 2014/2015
Sebelum (MK I 2014) Saat program (MK I 2015)
No Uraian
Volume
(unit)
Harga
(Rp./unit)
Nilai
(Rp.)
Volume
(unit)
Harga
(Rp./unit)
Nilai
(Rp.) I Produksi (kg) 5572 3,800 21,173,600 6300 4,000 25,200,000
II Biaya Produksi
2.1 Input
1 Benih (kg) 50 11,400 570,000 37.5 10,500 393,750
2 Pupuk Kimia
a. Urea
500 1,900 950,000 200 1,900 380,000
b. SP 36
- - - - - -
c. KCL
- - - - - -
d. ZA
250 1,600 400,000 - - -
e. NPK/Ponska - - - 200 2,300 460,000
Total pupuk kimia 750 - 1,350,000 400
840,000
3 Pupuk lainnya
-
-
a. Pupuk organik/pupuk
kandang (kg) 1200 250 300,000 1000 500 500,000
b. ZPT
- - - - - -
c. PPC
- - - - - -
Total Pupuk lainnya
3,000,000
2,180,000
4 Pestisida (ltr/Kg)
285,000
225,000
5 Herbisida (ltr)
360,000
36,000
6 Total Inputs
5,565,000
3,674,750
-
-
2.2 Tenaga Kerja
-
-
1 Traktor (Rp./ha)
- 1,750,000
- 1,750,000
2 Tenaga kerja Pra Panen 74 50,000 3,700,000 78 50,000 3,900,000
3 Tenaga Panen dan Pasca Panen
2,400,000
2,300,000
Total Upah Tenaga Kerja
7,850,000
7,950,000
2.3. Biaya Lainnya
1 Sewa lahan
1 3,800,000 3,800,000 1 3,800,000 3,800,000
2 PBB
1 75,000 75,000 1 75,000 75,000
3 Iuran irigasi
0 - -
-
Total biaya lainnya
3,875,000
3,875,000
2.4. Biaya Produksi
Biaya Tunai
13,490,000
11,699,750
Total Biaya Produksi
17,290,000
15,499,750
III Pendapatan :
3.1. Atas Biaya Tunai (Rp/ha)
7,683,600
13,500,250
3.2. Atas Biaya Total (Rp/ha)
3,883,600
9,700,250
IV R/C rasio
4.1. Atas Biaya Tunai
1.57
2.15
4.2. Atas Biaya Total
1.22
1.63