Dampak Sosial Ekonomi Lingkungan Akibat Runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara

16
Kolokium Jalan dan Jembatan Achmad Helmi 1 , Bambang Sudjatmiko 2 , Bangkit A. Wiryawan 3 1 DAMPAK SOSIAL EKONOMI LINGKUNGAN AKIBAT RUNTUHNYA JEMBATAN KUTAI KARTANEGARA Achmad Helmi 1 , Bambang Sudjatmiko 2 , Bangkit A. Wiryawan 3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Jl. Sapta Taruna Raya no. 26 Komplek PU Pasar Jumat, Jakarta Selatan Email : 1 [email protected], 2 [email protected], 3 [email protected] ABSTRAK Jembatan Kutai Kartanegara merupakan prasarana transportasi yang vital menghubungkan Kabupaten Kutai Kartanegara dengan wilayah-wilayah lain di seberangnya, terutama Kota Samarinda. Runtuhnya jembatan tersebut Pada akhir 2011 lalu memberikan dampak secara luas terhadap mobilitas masyarkat di wilayah kabupaten Kutai Kartanegara. Tulisan ini mencoba meneliti dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang muncul akibat perubahan mobilitas ini. Secara umum, aktivitas responden penelitian tidak terganggu dengan runtuhnya jembatan ini karena cepatnya adaptasi masyarakat dan tersedianya sarana dan prasarana mobilitas alternatif untuk menggantikan jembatan, seperti pemanfaatan jembatan Mahalu yang terletak di Selatan. Namun demikian, terjadi perubahan intensitas aktivitas di beberapa sektor seperti perdagangan dan pertambangan, munculnya aktivitas baru di sektor jasa penyeberangan, serta berkurangnya secara drastis aktivitas pariwisata di sekitar jembatan. Munculnya dampak-dampak sosial ekonomi dan lingkungan ini harus mampu dikendalikan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar. Kata Kunci : Jembatan, Kutai Kartanegara, Dampak, Mobilitas ABSTRACT Kutai Kartanegara Bridge is a vital transportation infrastructure that connects Kutai Kartanegara Regent with outside region, especially Samarinda City. The collapse of the bridge in the late 2011 had brought wide impact on the mobility of Kutai Kartanegara people. This paper tries to study the social, economic, and environtmental impact that arose because of the change of mobility. Generally, respondent activities wasn’t disrupted by the event, much to do with rapid adaptation capacity of the people and the availability of alternative facilities replacing the bridge. Nonetheles, there are several change in the intensity of their activity in several sector such as trade and mining, the emergence of new activity in the form of transportation service, and the drastically diminishing activities of tourism near the bridge. The emergence such social, economic and environmental impact must be managed properly to averse bigger losses. Keywords: Bridge, Kutai Kartanegara, Impact, Mobility 1. PENDAHULUAN Runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara (JKK) pada tanggal 26 November 2011 silam mengundang keprihatinan. Selain merenggut korban jiwa dan mengakibatkan kerugian materi, peristiwa tersebut juga menimbulkan perubahan pola mobilitas orang dan barang terkait dengan berbagai kegiatan sosial ekonomi di Kabupaten Kutai Kartanegara dan sekitarnya. Dampak tersebut diperkirakan berlangsung dalam beberapa tahun ke depan, sampai berdirinya kembali jembatan baru yang menggantikan yang runtuh tersebut.

description

Dalam konteks studi ini, JKK ditempatkan sebagai sarana yang memfasilitasi mobilitas orang dan barang dari titik origin ke titik destination tertentu terkait dengan kegiatan-kegiatan masyarakat tersebut. Sedangkan dampak sosial ekonomi dikonsepsikan sebagai selisih antara kondisi sosial ekonomi masyarakat ketika jembatan masih normal (before) dan setelah jembatan tersebut runtuh (after). Ketika jembatan masih normal (sebelum runtuh), mobilitas orang atau barang dari origin ke destination berada pada suatu titik (posisi) tertentu. Titik (posisi) tersebut diasumsikan mengalami pergeseran setelah JKK runtuh. Dengan kata lain, setelah jembatan runtuh terjadi perubahan pola mobilitas orang dan barang terkait dengan kegiatan pendidikan, kesehatan, layanan pemerintahan, perdagangan, perkebunan dan pariwisata.

Transcript of Dampak Sosial Ekonomi Lingkungan Akibat Runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara

  • Kolokium Jalan dan Jembatan

    Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko

    2, Bangkit A. Wiryawan

    3 1

    DAMPAK SOSIAL EKONOMI LINGKUNGAN AKIBAT RUNTUHNYA JEMBATAN KUTAI KARTANEGARA

    Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko 2, Bangkit A. Wiryawan 3

    Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

    Jl. Sapta Taruna Raya no. 26 Komplek PU Pasar Jumat, Jakarta Selatan Email :

    1 [email protected],

    2 [email protected],

    3 [email protected]

    ABSTRAK Jembatan Kutai Kartanegara merupakan prasarana transportasi yang vital menghubungkan Kabupaten Kutai Kartanegara dengan wilayah-wilayah lain di seberangnya, terutama Kota Samarinda. Runtuhnya jembatan tersebut Pada akhir 2011 lalu memberikan dampak secara luas terhadap mobilitas masyarkat di wilayah kabupaten Kutai Kartanegara. Tulisan ini mencoba meneliti dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang muncul akibat perubahan mobilitas ini. Secara umum, aktivitas responden penelitian tidak terganggu dengan runtuhnya jembatan ini karena cepatnya adaptasi masyarakat dan tersedianya sarana dan prasarana mobilitas alternatif untuk menggantikan jembatan, seperti pemanfaatan jembatan Mahalu yang terletak di Selatan. Namun demikian, terjadi perubahan intensitas aktivitas di beberapa sektor seperti perdagangan dan pertambangan, munculnya aktivitas baru di sektor jasa penyeberangan, serta berkurangnya secara drastis aktivitas pariwisata di sekitar jembatan. Munculnya dampak-dampak sosial ekonomi dan lingkungan ini harus mampu dikendalikan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar. Kata Kunci : Jembatan, Kutai Kartanegara, Dampak, Mobilitas

    ABSTRACT Kutai Kartanegara Bridge is a vital transportation infrastructure that connects Kutai Kartanegara Regent with outside region, especially Samarinda City. The collapse of the bridge in the late 2011 had brought wide impact on the mobility of Kutai Kartanegara people. This paper tries to study the social, economic, and environtmental impact that arose because of the change of mobility. Generally, respondent activities wasnt disrupted by the event, much to do with rapid adaptation capacity of the people and the availability of alternative facilities replacing the bridge. Nonetheles, there are several change in the intensity of their activity in several sector such as trade and mining, the emergence of new activity in the form of transportation service, and the drastically diminishing activities of tourism near the bridge. The emergence such social, economic and environmental impact must be managed properly to averse bigger losses. Keywords: Bridge, Kutai Kartanegara, Impact, Mobility

    1. PENDAHULUAN Runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara (JKK) pada tanggal 26 November 2011 silam mengundang keprihatinan. Selain merenggut korban jiwa dan mengakibatkan kerugian materi, peristiwa tersebut juga menimbulkan perubahan pola mobilitas orang dan barang terkait dengan berbagai kegiatan sosial ekonomi di Kabupaten Kutai Kartanegara dan sekitarnya. Dampak tersebut diperkirakan berlangsung dalam beberapa tahun ke depan, sampai berdirinya kembali jembatan baru yang menggantikan yang runtuh tersebut.

  • Kolokium Jalan dan Jembatan

    Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko

    2, Bangkit A. Wiryawan

    3 2

    Selama 10 tahun beroperasi, jembatan dengan bentang 710 meter di atas Sungai Mahakam tersebut menjadi infrastruktur vital bagi masyarakat di sekitarnya. Manfaat yang sangat dirasakan adalah menjadi pendukung mobilitas keseharian masyarakat karena mampu mereduksi jarak dan waktu tempuh perjalanan dari wilayah Tenggarong ke Samarinda maupun sebaliknya.

    Dalam konteks studi ini, JKK ditempatkan sebagai sarana yang memfasilitasi mobilitas orang dan barang dari titik origin ke titik destination tertentu terkait dengan kegiatan-kegiatan masyarakat tersebut. Sedangkan dampak sosial ekonomi dikonsepsikan sebagai selisih antara kondisi sosial ekonomi masyarakat ketika jembatan masih normal (before) dan setelah jembatan tersebut runtuh (after). Ketika jembatan masih normal (sebelum runtuh), mobilitas orang atau barang dari origin ke destination berada pada suatu titik (posisi) tertentu. Titik (posisi) tersebut diasumsikan mengalami pergeseran setelah JKK runtuh. Dengan kata lain, setelah jembatan runtuh terjadi perubahan pola mobilitas orang dan barang terkait dengan kegiatan pendidikan, kesehatan, layanan pemerintahan, perdagangan, perkebunan dan pariwisata.

    Pengumpulan data dan observasi lapangan untuk kajian ini dilakukan selama

    empat hari, 7-10 Desember 2011 di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur. Ketersediaan waktu yang relatif singkat tersebut sekaligus merupakan keterbatasan dalam penelitian ini. Pasca penelitian ini dilakukan, sangat terbuka kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan kondisi masyarakat maupun kebijakan pemerintah daerah setempat.

    2. PROFIL RESPONDEN Responden yang menjadi sasaran dalam tulisan ini adalah anggota masyarakat yang bertempat tinggal di Tenggarong dan Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya). Mereka dipilih secara purposif, dan diupayakan orang-orang yang selama ini sering menggunakan jembatan Kutai Kartanegara (user), serta orang-orang yang paling merasakan dampak negatif runtuhnya jembatan tersebut, yang juga meliputi pejabat-pejabat pemerintah dari berbagai Dinas/Instansi Kabupaten Kutai Kartanegara dan petugas yang terlibat dalam operasi tanggap darurat Selama penelitian ini berlangsung, tim peneliti berhasil mewawancarai sebanyak 82 responden, terdiri dari 57 orang di Tenggarong dan 25 orang di Tenggarong Seberang yang dicatat dalam lembaran kuesioner sebagai panduan. Selain itu tim juga mengumpulkan informasi secara kualitatif dari sejumlah nara sumber dengan beragam latar belakang. Berikut ini sebagian profil dari responden. Dari 57 responden di Tenggarong, sebanyak 67% di antaranya berjenis kelamin laki-laki dan sisanya perempuan. Sedangkan dari 25 responden di Tenggarong Seberang, sebanyak 84% laki-laki dan 16% perempuan. Dilihat dari latar belakang pendidikan untuk responden di Tenggarong, 5% berpendidikan sekolah dasar (SD), 18% SLTP, 37% SLTA dan 40

    Gambar 1. Jembatan Kutai Kartanegara sebelum runtuh (kiri) dan sesudah runtuh

  • Kolokium Jalan dan Jembatan

    Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko

    2, Bangkit A. Wiryawan

    3 3

    lulus perguruan tinggi. Sedangkan responden di Tenggarong Seberang, 24% berpendidikan SD, 20% SLTP, 24% SLTA dan 32% perguruan tinggi. Berdasarkan usia reponden, sebanyak 47% persen di Tenggarong berusia antara 41-55 tahun, 42% berusia 26-40 tahun, 7% berusia kurang dari 26 tahun dan 4% berusia di atas 55 tahun. Sedangkan responden di Tenggarong Seberang, sebanyak 45% berusia antara 41-55 tahun, 43% berusia 26-40 tahun, 7% berusia kurang dari 26 tahun dan sisanya 5% berusia di atas 55 tahun. Dilihat dari jenis pekerjaan, sebanyak 63% responden di Tenggarong bekerja sebagai PNS, 24% sebagai pedagang, 7% sebagai pegawai swasta, 2% sebagai nelayan, 2% sebagai buruh dan 2% sebagai petani. Sedangkan di Tenggarong Seberang, sebanyak 36% bekerja sebagai PNS, 24% pedagang, 16% pegawai swasta, 8% petani, 8% buruh, 4% pelajar dan 4% nelayan. 3.DAMPAK TERHADAP MOBILITAS DALAM KEGIATAN SOSIAL 3.1. Kegiatan Pendidikan

    Sebelum runtuh 26 November 2011 silam, Jembatan Kutai Kartanegara (JKK) berperan penting memfasilitasi masyarakat dalam kegiatan pendidikan. Dalam penelitian ini diketahui dari 44 orang responden yang tinggal di wilayah Tenggarong, sebanyak 62% di antaranya mengaku melewati JKK setiap hari, 9% menyatakan sering, 11% menyatakan jarang dan 18% mengatakan sangat jarang.

    Sedangkan masyarakat di wilayah Tenggarong Seberang, dari survei ini sebanyak 20 orang responden, 55% di antaranya mengaku setiap hari melewati jembatan tersebut, 5% menyatakan sering, 20% jarang dan 20% sangat jarang (lihat gambar 2.).

    Frekuensi mobilitas masyarakat dalam kegiatan pendidikan mengalami perubahan setelah JKK runtuh, terutama mereka yang tinggal di wilayah Tenggarong. Dari 43 responden, hanya 26% warga Tenggarong yang tetap menyeberang Sungai Mahakam setiap hari, 2% sering, 28% jarang dan 44% sangat jarang. Sedangkan kecenderungan yang berbeda ditunjukkan oleh masyarakat di wilayah Tenggarong Seberang. Mereka tampak memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap keberadaan JKK dan kota Tenggarong dalam memfasilitasi kegiatan pendidikan. Hal itu ditunjukkan oleh hasil survei pasca runtuhnya JKK. Dari 20 responden, 63% di antaranya menyatakan tetap melakukan mobilitas setelah runtuhnya JKK.

    Hal ini berarti tingkat mobilitas masyarakat Tenggarong Seberang dalam kegiatan pendidikan tidak mengalami perubahan yang berarti pasca runtuhnya JKK. Sedangkan 6% responden lainnya menyatakan sering, 12% mengatakan jarang dan 19% sisanya menyatakan sangat jarang, seperti yang ditunjukkan oleh grafik di bawah ini.

    20%

    20%

    5%

    55%

    Tenggarong Seberang

    Sangat jarang Jarang

    Sering Setiap Hari

    44%

    28%

    2%

    26%

    Tenggarong

    Sangat jarang Jarang

    Sering Setiap Hari

    Gambar 2. Frekuensi mobilitas warga Kutai Kartanegara melintasi jembatan

  • Kolokium Jalan dan Jembatan

    Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko

    2, Bangkit A. Wiryawan

    3 4

    Meskipun JKK merupakan sarana vital dalam memfasilitasi kegiatan pendidikan, namun masyarakat di Tenggarong maupun Tenggarong Seberang tidak terlalu terganggu akibat runtuhnya JKK. Hal itu terlihat dari hasil survei yang menunjukkan perbedaan tipis antara warga yang terganggu dengan warga yang tidak terganggu. Dari 41 responden di wilayah Tenggarong, 56% di antaranya mengaku terganggu, sedangkan dari 19 responden di wilayah Tenggarong Seberang 58% di antaranya juga menyatakan terganggu.

    Akibat gangguan mobilitas tersebut masyarakat di Kutai Kartanegara mampu beradaptasi dengan melakukan beberapa pilihan tindakan untuk tetap dapat melangsungkan kegiatan di bidang pendidikan. Dari 34 responden di wilayah Tenggarong, 71% di antaranya menggunakan ferry, 20% memilih rute lain, 3% pindah sekolah dan 6% sisanya menyatakan tidak tahu.

    Sedangkan warga di sisi Tenggarong Seberang, dari 15 responden yang diwawancarai, 60% di antaranya menyatakan menggunakan ferry, 6% memilih rute lain, 7% pindah sekolah, 20% pindah tempat tinggal (sewa rumah, kos, menumpang di rumah milik saudara) dan sisanya 7% menyatakan tidak tahu, seperti terlihat pada grafik di bawah ini.

    Sejumlah warga yang ditanya tentang masalah yang dihadapi akibat gangguan

    mobilitas dalam kegiatan pendidikan, memberikan jawaban yang bervariasi. Dari 65 responden di Tenggarong, 40% di antaranya mengaku biaya yang dikeluarkan menjadi lebih tinggi, 37% menyatakan waktu tempuh lebih lama, 5% mengatakan kualitas layanan menurun, 12% menyatakan tidak mengalami kendala yang berarti dan sisanya 6% tidak menjawab.

    Jawaban yang tak jauh beda didapati dari warga di wilayah Tenggarong Seberang. Dari 25 responden, 44% menyatakan waktu tempuh lebih lama, 28% mengaku biaya yang dikeluarkan menjadi lebih tinggi, 4% tidak menjawab dan 24% menyatakan tidak mengalami kendala yang berarti, seperti ditunjukkan grafik berikut ini.

    3.2. Layanan Kesehatan

    Dilihat dari mobilitas terhadap akses kesehatan masyarakat Tenggarong Seberang mengaku terganggu akibat runtuhnya JKK (52% dari 25 responden) karena mereka biasa mengakses layanan kesehatan di Tenggarong. Selebihnya (48%) masih bisa memanfaatkan fasilitas kesehatan seperti Puskesmas dan Polindes atau Rumah Sakit di Samarinda. Di sisi Tenggarong, 55% dari 57 responden justru tidak terganggu.

    60%6%

    7%

    20%7%

    Tenggarong Seberang

    Menggunakan Feri

    Melalui Rute Lain

    Pindah Sekolah

    Pindah Tempat Tinggal

    Tidak Tahu

    71%

    20%3%0%6%

    Tenggarong

    Menggunakan Feri

    Melalui Rute Lain

    Pindah Sekolah

    Pindah Tempat Tinggal

    Tidak Tahu

    Gambar 3. Pilihan transportasi alternatif pasca runtuhnya jembatan

  • Kolokium Jalan dan Jembatan

    Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko

    2, Bangkit A. Wiryawan

    3 5

    Untuk tetap mendapatkan layanan kesehatan, sebagian warga Tenggarong

    Seberang (42% dari 25 responden) memanfaatkan ferry penyeberangan. Pindah fasilitas seperti berobat ke Puskesmas dan Polindes setempat yang tak perlu menyeberang juga menjadi alternatif sebanyak 37% responden. Melalui rute lain untuk ke rumah sakit di Samarinda juga dilakukan oleh 11% responden. Selebihnya (5%) menjawab tidak tahu dan (5%) menjawab lainnya. Sedangkan masyarakat Tenggarong yang memerlukan pelayanan kesehatan seperti ke RS di Samarinda sebagian besar dari 57 responden (44%) memilih menggunakan rute darat yang lebih jauh, menggunakan ferry penyeberangan (36%), pindah fasilitas seperti memanfaatkan layanan kesehatan yang tersedia di Tenggarong (11%), tidak tahu (6%) dan lainnya (3%) sebagaimana dapat dilihat pada gambar 4.

    Kendala yang dihadapi responden di Tenggarong Seberang untuk mendapatkan

    fasilitas kesehatan adalah waktu tempuh menjadi lebih lama (38%) dari 25 responden, biaya yang dikeluarkan lebih besar untuk transportasi (25%), tidak tahu (25%), tidak menghadapi kendala berarti (8%) dan mengeluhkan kualitas layanan menjadi menurun (4%).

    Kendala yang sama juga dihadapi masyarakat Tenggarong seperti biaya perjalanan mejadi lebih besar (31%) dari 25 responden, waktu tempuh menghabiskan waktu lebih lama (26%), tidak tahu (21%), kualitas layanan menjadi menurun (18%) dan menjawab tidak ada kendala (4%). 4. DAMPAK TERHADAP MOBILITAS DALAM KEGIATAN EKONOMI 4.1. Kegiatan Perdagangan

    JKK selama ini juga memfasilitasi masyarakat di Kutai Kartanegara dalam menjalankan kegiatan di sektor perdagangan. Dari penelitian ini diketahui frekuensi mobilitas masyarakat di Tenggarong maupun Tenggarong Seberang melewati JKK cukup tinggi sebelum JKK runtuh. Dari 56 responden di Tenggarong, sebanyak 57% di antaranya mengaku setiap hari melewati JKK, 18% sering melewati, 9% jarang dan 16% sangat jarang. Sedangkan dari 16 responden di Tenggarong Seberang, sebanyak 63% menyatakan setiap hari melewati JKK, 6% mengaku sering, 12% mengatakan jarang dan 19% sangat jarang, seperti yang terlihat pada grafik di bawah ini.

    Namun frekuensi mobilitas masyarakat di sektor perdagangan berubah setelah JKK runtuh. Perubahan paling menyolok terjadi pada masyarakat di Tenggarong. Dari 56 responden di Tenggarong, hanya tinggal 24% yang menyatakan setiap hari melewati JKK, 7% sering, 20% jarang dan 49% sangat jarang. Sedangkan bagi

    42%

    11%37%

    0%5%5%

    Tenggarong Seberang

    Menggunakan Feri

    Melalui Rute Lain

    Gunakan Fasilitas Lain

    Pengobatan Alternatif

    Tidak Tahu

    36%

    44%

    11%0%6%3%

    Tenggarong

    Menggunakan Feri

    Melalui Rute Lain

    Gunakan Fasilitas Lain

    Pengobatan Alternatif

    Tidak Tahu

    Gambar 4. Pilihan transportasi alternatif untuk layanan kesehatan pasca runtuhnya jembatan

  • Kolokium Jalan dan Jembatan

    Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko

    2, Bangkit A. Wiryawan

    3 6

    masyarakat di Tenggarong Seberang, dari 16 responden yang diwawancarai, sebanyak 44% menyatakan setiap hari, 6% sering, 25% jarang dan 44% sangat jarang.

    Penelitian ini juga menelusuri mobilitas masyarakat di sektor perdagangan setelah JKK runtuh. Dari 56 responden di Tenggarong, 39% di antaranya menyatakan memilih rute memutar yang lebih jauh, 29% tetap menyeberang sungai Mahakam menggunakan feri, 15% menyatakan tetap berdagang tapi tanpa harus menyeberang dan sisanya 17% tidak menjawab.

    Sedangkan bagi masyarakat Tenggarong Seberang, mobilitas pasca runtuhnya JKK tetap tinggi. Dari 16 responden, sebanyak 38% di antaranya menggunakan feri, 6% memilih rute memutar dan 56% sisanya tidak menjawab.

    Baik masyarakat di Tenggarong maupun Tenggarong Seberang, mayoritas menyatakan mobilitas di bidang perdagangan terganggu dengan runtuhnya JKK. Yaitu 60% dari 53 responden di Tenggarong mengaku terganggu, demikian pula 62% dari 13 responden di Tenggarong Seberang menyatakan terganggu..

    Akibat gangguan mobilitas setelah runtuhnya JKK tersebut, sebagian masyarakat mampu beradaptasi dengan melakukan beberapa pilihan tindakan agar mampu bertahan di sektor perdagangan. Dari 42 responden di Tenggarong, 12% di antaranya menyatakan mengubah pola pemasaran, 17% mencari pasar alternatif dan 59% sisanya tidak memberikan jawaban. Sedangkan 13 responden di Tenggarong Seberang, sebanyak 8% di antaranya memilih menimbun komoditas, 46% menjawab tidak tahu dan sisanya 46% memberikan jawaban lain seperti berhenti dari aktivitasnya, seperti terlihat pada grafik di bawah ini.

    Sejumlah warga masyarakat yang ditanyai tentang masalah apa yang dihadapi dalam melakukan kegiatan perdagangan setelah JKK runtuh, memberikan jawaban yang beragam. Dari 94 responden di Tenggarong, sebanyak 38% di antaranya menjawab biaya yang dikeluarkan dalam aktivitas perdagangannya menjadi lebih besar, 33% menyaakan waktu tempuh lebih lama, 14% menyatakan harga komoditas naik, 10% mengaku tidak menghadapi kendala yang berarti dan sisanya 5% tidak menjawab.

    Sedangkan masyarakat di Tenggarong Seberang memberikan jawaban yang tidak jauh berbeda. Dari 23 responden, sebanyak 30% di antaranya menyatakan waktu tempuh lebih lama, 22% menyatakan biaya yang dikeluarkan lebih besar, 22% mengaku tidak menemui kendala yang berarti, 17% menyatakan harga komoditas naik dan sisanya 9% tidak memberikan jawaban, seperti yang ditunjukkan grafik di bawah ini.

    30%

    22%17%

    22%9%

    Tenggarong Seberang

    Waktu Tempuh Lebih Lama

    Biaya Lebih Besar

    Harga Komoditas Naik

    Tidak ada kendala Berarti

    Lainnya

    33%

    38%

    14%10%5%

    Tenggarong

    Waktu Tempuh Lebih Lama

    Biaya Lebih Besar

    Harga Komoditas Naik

    Tidak ada kendala Berarti

    Lainnya

    Gambar 5. Permasalahan mobilitas di sektor perdagangan pasca runtuhnya jembatan

  • Kolokium Jalan dan Jembatan

    Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko

    2, Bangkit A. Wiryawan

    3 7

    4.2. Kegiatan Pertambangan Sebelum jembatan Kutai Kartanegara runtuh, setiap hari kapal-kapal ponton

    (tongkang) pengangkut batubara berlalu-lalang di bawah jembatan tersebut dari lokasi penambangan (bagian hulu) menuju ke hilir, tempat bersandarnya kapal besar yang akan mengangkut batubara ke luar Kalimantan. Frekuensi ponton (tongkang) yang melintas di bawah jembatan Kutai Kertanegara cukup padat, yang menurut informasi mencapai 20-30 buah per hari. Kapal ponton ini tergolong besar karena mampu memuat batubara sekitar 40 ribu metrik ton (ukuran 300 feet). Karena itu ombak yang ditimbulkan oleh kapal-kapal tersebut acapkali cukup besar dan bisa berdampak terhadap perjalanan ferry kecil dan ketinting. Setelah sampai di dermaga tepi pantai, muatan batubara tersebut sudah ditunggu oleh kapal-kapal besar. Setiap kapal besar bisa menampung batubara sebanyak volume ponton.

    Setelah jembatan Kutai Kartanegara runtuh, aktivitas tersebut menjadi sangat terganggu. Kapal-kapal ponton yang memuat batubara tidak bisa melewati bekas jembatan, karena masih banyak reruntuhan dan kendaraan (motor dan mobil) yang belum dapat dievakuasi. Pada saat penelitian dilakukan sejumlah ponton tertahan karena tidak bisa melewati bawah jembatan, baik ponton berisi batabura untuk dibawa ke kapal-kapal besar, maupun ponton kosong yang akan mengambil batubara di lokasi-lokasi penambangan. Pada saat penelitian ini dilakukan belum dapat diperoleh informasi seputar kebijakan pemerintah daerah atau pemerintah provinsi untuk mengatasi terhentinya kapal-kapal ponton tersebut. Apabila masalah ini tidak segera terpecahkan, maka kerugian yang terkait dengan kegiatan pertambangan diperkirakan semakin tinggi.

    4.3. Kegiatan Pariwisata

    Keberadaan jembatan Kutai Kartanegara bukan hanya berfungsi memfasilitasi mobilitas pelbagai kegiatan, tetapi jembatan tersebut juga sebagai obyek wisata. Bahkan jembatan yang disebut sebagai golden gate Kalimantan Timur tersebut dalam sepuluh tahun terakhir ini dinyatakan sebagai icon kabupaten Kutai Kartanegara. Pada saat weekend atau hari-hari libur banyak wisatawan dari luar kota Tenggarong berkunjung menikmati keindahan jembatan tersebut. Di sekitar jembatan telah dalam beberapa tahun terakhir ini dibangun ruang terbuka yang lazim dipergunakan untuk pentas seni. Kemudian tidak jauh dari jembatan ini terdapat obyek wisata pulau Kemala yang juga dikunjungi oleh wisatawan dari luar Tenggarong. Kunjungan wisatawan ke Tenggarong telah menghidupkan pedagang-pedagang makanan, minuman, buah-buahan, souvenir yang menjual dagangannya di tepi sungai Mahakam.

    Setelah jembatan runtuh, tidak ada lagi kegiatan pariwisata di sekitar jembatan tersebut. Kegiatan pedagang-pedangan makanan, minuman, buah-buahan dan souvenir memang masih ada tetapi jauh berkurang. Ruang terbuka di bawah jembatan yang runtuh kini merupakan lokasi (spot) yang tertutup, tidak boleh dikunjungi oleh siapapun kecuali petugas-petugas dan pejabat-pejabat yang berkepentingan dengan proses evakuasi reruntuhan dan kendaraan (sepeda motor dan mobil) yang berada di masih berada di bawah jembatan. Sampai dengan penelitian ini dilakukan di lokasi tersebut masih berdiri tenda-tenda pos komando dari berbagai instansi yang bertanggungjawab terhadap kegiatan evakuasi.

    5. ANALISA DAMPAK SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN Selama sepuluh tahun memfasilitasi berbagai aktivitas masyarakat, Jembatan Kutai Kartanegara telah berpengaruh signifikan terhadap pola mobilitas masyarakat di sekitarnya. Setelah jembatan tersebut runtuh, pola mobilitas masyarakat berubah dan mengganggu sebagian dari kegiatan sosial ekonomi.

  • Kolokium Jalan dan Jembatan

    Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko

    2, Bangkit A. Wiryawan

    3 8

    Analisis tentang dampak runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara terhadap mobilitas sosial yang terkait dengan kegiatan masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan, layanan pemerintahan, perdagangan, pertambangan dan pariwisata. 5.1. Kegiatan Pendidikan

    Sejak dioperasikan kurang lebih sepuluh tahun terakhir, Jembatan Kutai Kartanegara (JKK) dipergunakan oleh siswa atau peserta didik, guru dan tenaga kependidikan, baik yang berdomisili di Tenggarong maupun Tenggarong Seberang (dan kecamatan lain di sekitarnya). Siswa yang bersekolah di Tenggarong pada umumnya beralasan kualitas pendidikan di Tenggarong dianggap lebih baik daripada di Tenggarong Seberang.

    Selain itu terdapat pula sejumlah mahasiswa dari Tenggarong Seberang yang kuliah di Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong, maupun sebaliknya warga Tenggarong yang kuliah di Samarinda melewati jembatan tersebut. Kendati kegiatan mereka cukup padat, namun waktu tempuh menuju kampus menjadi relatif lebih singkat dengan melalui JKK hanya sekitar 20-30 menit.

    Setelah jembatan runtuh pola mobilitas dalam kegiatan pendidikan berubah. Siswa-siswa warga Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya) yang bersekolah Tenggarong, serta guru dan tenaga kependidikan yang bekerja di Tenggarong harus menggunakan ferry dan ketinting. Karena itu pada pagi hari ferry dan ketinting dari Tenggarong Seberang ke Tenggarong dipenuhi oleh murid sekolah, guru dan tenaga kependidikan. Demikian pula ketika siang atau sore pada jam pulang sekolah, ferry dan ketinting dari Tenggarong ke Tenggarong Seberang dipenuhi oleh siswa, sejumlah guru dan tenaga kependidikan.

    Pada jam-jam padat tersebut mereka harus antre, karena jumlah ferry dan ketinting tidak sebanding dengan kebutuhan mereka. Antrean tersebut terlihat semakin panjang ketika ferry dan ketiting juga dipenuhi oleh sepeda motor. Sebuah ketinting dibatasi hanya boleh membawa maksimal sebanyak 12 buah sepeda motor (dengan pengendaranya). Oleh karena itu banyak guru dan orang tua mulai prihatin karena cukup banyak siswa dari Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya) yang sering terlambat masuk kelas.

    Setiap siswa yang menggunakan jasa ferry atau ketinting tersebut dipungut Rp 1.000 untuk sekali menyeberang. Pergi-pulang sekolah mereka harus mengeluarkan Rp 2.000 dan dalam satu bulan orang tua mereka harus menambah pengeluaran sekitar Rp 50 ribu. Bagi kalangan menengah bawah kenaikan pengeluaran tersebut cukup signifikan. Setiap sepeda motor dipungut Rp 2.000 untuk sekali menyeberang, sehingga dalam satu bulan dibutuhkan biaya tambahan bagi pengendara sepeda motor sebesar Rp 100 ribu.

    Dari uraian di atas dapat dilihat dampak dari perubahan mobilitas dalam kegiatan pendidikan tersebut cukup luas secara geografis. Sebab masyarakat yang merasakan dampaknya bukan hanya bertempat tinggal dalam radius dekat, melainkan juga yang bertempat tinggal jauh dari JKK. Namun sejauh penelitian ini dilakukan, masyarakat masih bisa menerima atau menoleransi gangguan yang mereka alami. Dengan demikian dampak yang ditimbulkan dapat dikatakan dalam intensitas atau tingkat yang rendah. Pada saat penelitian ini berlangsung juga belum diketahui adanya siswa yang putus sekolah akibat runtuhnya JKK.

    Hal itu didukung dengan tingkat adaptasi masyarakat yang cukup baik. Misalnya mereka berangkat dari rumah lebih awal agar tidak terlambat masuk sekolah atau kantor. Sejumlah orang tua juga mulai memindahkan sekolah anaknya ke tempat lain yang lebih dekat dan tidak perlu menyeberang. Ada pula orang tua yang memindahkan tempat tinggal anaknya (kos atau menumpang di rumah saudara) agar lebih dekat dengan lokasi sekolah sehingga tidak perlu menggunakan jasa ferry atau ketinting.

    Adaptasi masyarakat tersebut bisa jadi hanya bersifat sementara atau darurat karena hanya dimotivasi untuk menghindari kondisi transportasi yang tidak lancar.

  • Kolokium Jalan dan Jembatan

    Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko

    2, Bangkit A. Wiryawan

    3 9

    Dengan demikian adaptasi secara spontan tersebut diperkirakan tidak memiliki sustainabilitas yang tinggi. Perkembangan berupa terbitnya kebijakan pemerintah daerah dan ketersediaan sarana transportasi yang jumlahnya semakin banyak serta ketersediaan fasilitas pendidikan baru yang dibangun, akan membuka kemungkinan terjadinya perubahan bentuk adaptasi. Untuk mengetahui daya tahan masyarakat beradaptasi dalam jangka panjang masih diperlukan penelitian lanjutan.

    Respons berbagai pihak terhadap gangguan mobilitas pasca runtuhnya JKK dapat dikatakan cukup baik. Dari pihak pemerintah, ditunjukkan dengan pemberian dukungan dibukanya dermaga-dermaga baru yang dikelola sendiri oleh masyarakat. Selain itu juga dikerahkannya sejumlah petugas untuk memperlancar antrean dan arus lalu-lintas di sekitar dermaga. Pemerintah daerah bekerjasama dengan TNI juga membangun dermaga baru yang dapat di gunakan untuk berlabuh ferry ukuran besar. Respons yang baik juga ditunjukkan oleh kalangan pengusaha atau operator ketinting dan ferry dengan menambah jumlah armada. Sehingga antrean penumpang berangsur-angsur menurun dari hari ke hari.

    Meskipun penyeberangan makin lancar, namun sayang penyediaan sarana transportasi tersebut tidak diimbangi dengan jaminan keselamatan bagi para penggunanya. Kekhawatiran terhadap ancaman keselamatan itu terbukti dengan tenggelamnya sebuah ketinting pada hari Sabtu 24 Desember 2011 yang mengakibatkan satu orang hilang dan delapan buah sepeda motor tenggelam ke dasar Sungai Mahakam.

    5.2. Layanan Kesehatan

    Jembatan Kutai Kertanegara (JKK) sebelum runtuh juga dimanfaatkan masyarakat untuk mengakses berbagai macam layanan kesehatan. Rumah Sakit Umum (RSU) di tingkat kabupaten yaitu AM Parikesit terletak di kota Tenggarong. RSU ini memang lebih kecil dibandingkan dengan RSU Samarinda, tetapi memiliki peralatan kedokteran, dokter umum dan spesialis, serta tenaga medis yang cukup memadai. Warga Tenggarong Seberang yang bertempat tinggal tak jauh dari Sungai Mahakam lebih memilih RSU AM Parikesit untuk memperoleh layanan kesehatan. Salah satu penyebabnya, Puskesmas atau Puskesmas Pembantu yang ada di Tenggarong Seberang sering tidak tersedia tenaga medis dan tutup. Sedangkan masyarakat yang tempat tinggalnya semakin jauh dari tepi Mahakam memilih ke RSU Samarinda karena lebih dekat.

    Selain memfasilitasi warga yang sakit, JKK juga menjadi sarana bagi para dokter dan tenaga medis lainnya untuk menuju maupun pulang dari RSU AM Parikesit dan Puskesmas di Tenggarong Seberang. Sebelum JKK runtuh, pada pagi hari sebelum berangkat ke Tenggarong Seberang biasanya sebagian dokter masih bisa praktek atau memberi layanan kesehatan di klinik Tenggarong. Pada sore hari setiba dari Tenggarong Seberang mereka juga masih praktek. Tetapi kini setelah jembatan runtuh, hal semacam itu sangat sulit dilakukan karena mereka harus berangkat ke Puskesmas dan klinik di Tenggarong Seberang lebih pagi, dan pulang ke Tenggarong lebih sore daripada biasanya. Sebagian dokter bahkan memperpanjang tugas jaga di Puskesmas atau Klinik di Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya) satu-dua hari supaya waktu gilir tugas jaganya bisa lebih lama.

    Ibu-ibu warga Tenggarong Seberang yang akan melahirkan biasanya juga memanfaatkan layanan RSU AM Parikesit Tenggarong. Dahulu sebelum jembatan runtuh, mereka yang akan berobat atau ibu-ibu yang akan melahirkan di Rumah Sakit Tenggarong biasanya menggunakan mobil ambulans melewati jembatan Kutai Negara. Sekarang setelah jembatan runtuh, mobil ambulan harus diseberangkan dengan ferry, dan sudah barang tentu waktu tempuh perjalanannya menjadi lebih panjang. Sampai dengan penelitian ini dilakukan tidak ada ferry yang khusus dipergunakan untuk mengangkut mobil ambulans. Artinya mobil ambulan diangkut dengan ferry yang dalam waktu yang sama juga mengangkut mobil-mobil lain. Karena itu ketika terjadi antrean panjang mobil yang mau masuk ferry, perjalanan mobil ambulans tersebut juga ikut

  • Kolokium Jalan dan Jembatan

    Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko

    2, Bangkit A. Wiryawan

    3 10

    terhambat. Mereka masih berharap masalah keterlambatan mobil ambulans tersebut bisa diatasi setelah dermaga darurat yang kini dibangun dapat berfungsi seperti yang direncanakan.

    Berdasarkan uraian di atas, perubahan mobilitas di bidang layanan kesehatan akibat runtuhnya JKK tidak berdampak terlalu luas secara geografis. Sebab masyarakat yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap fasilitas kesehatan hanya mereka yang bertempat tinggal di Tenggarong Seberang. Itupun hanya warga yang tinggal di tepian Sungai Mahakam. Karena warga yang tempat tinggalnya dalam radius yang semakin jauh dari tepi Mahakam lebih banyak mengakses layanan kesehatan ke Samarinda.

    Meskipun berdasarkan cakupan geografis dampaknya tidak terlalu luas, namun dari sisi urgensi hal tersebut tak bisa dianggap ringan. Sebab layanan kesehatan mencakup kecepatan dan ketepatan penanganan karena menyangkut keselamatan jiwa seseorang. Dengan demikian dampak pada layanan kesehatan akibat runtuhnya JKK dapat dikategorikan dalam intensitas atau tingkat sedang.

    Adaptasi masyarakat terhadap gangguan mobilitas di bidang kesehatan dapat dilihat dari data yang diuraikan pada sub bab 4.2 halaman 12 pada laporan ini. Mayoritas responden (44%) di Tenggarong Seberang yang biasa berobat ke kota Tenggarong beralih ke Samarinda meskipun jaraknya lebih jauh. Sedangkan 36% responden tetap ke kota Tenggarong dengan menyeberang menggunakan ferry atau ketinting. Sejauh penelitian ini dilakukan, belum dapat diidentifikasi apakah pilihan tempat berobat warga tersebut berdasarkan tingkat urgensi atau kritisnya penyakit yang membutuhkan penanganan cepat.

    Data lain dari Pusat Data Elektronik RSU AM Parikesit Tenggarong yang diakses pada 8 Desember 2011 atau 12 hari pasca runtuhnya JKK menyebutkan terjadinya penurunan jumlah pasien dari Tenggarong Seberang yang berobat ke RSU AM Parikesit Tenggarong. Selama 12 hari sejak JKK runtuh (periode 26 November 8 Desember 2011), angka kunjungan pasien dari Tenggarong Seberang sebanyak 30 kali kunjungan. Sedangkan pada periode sebelumnya selama satu bulan (1-31 Oktober 2011) sebanyak 128 kali kunjungan. Sehingga secara statistik menunjukkan penurunan hampir 50% jika dihitung dengan rentang waktu yang sama. Namun data tersebut tidak cukup untuk membuat justifikasi penurunan tersebut karena waktu pengamatan yang terlalu singkat.

    Adaptasi masyarakat yang dilakukan secara spontan tersebut bisa jadi hanya bersifat sementara, dengan sustainabilitas yang rendah. Sehingga kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan tersebut dikhawatirkan berdampak buruk, berupa kualitas kesehatan yang cenderung menurun. Oleh sebab itu diperlukan respons dari pemerintah untuk memberikan layanan yang lebih baik.

    Selama penelitian ini berlangsung, pemerintah daerah setempat belum menunjukkan respons yang signifikan terhadap kesulitan masyarakat tersebut. Respons pemerintah daerah yang sudah tampak, baru sebatas pembangunan dermaga dan penyediaan ferry ukuran besar yang diharapkan dapat memfasilitasi penyeberangan ambulan dengan cepat. Masih diperlukan regulasi yang mendukung pengoperasiannya. 5.3. Layanan Pemerintahan

    Tapak jembatan Kutai Kartanegara (JKK) yang di Tenggarong berdekatan dengan pusat pemerintahan. Kantor Kabupaten dan berbagai Dinas terletak tidak jauh dari tapak tersebut. Karena itu keberadaan JKK dapat mempercepat waktu tempuh pejabat-pejabat pemerintah kecamatan Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya) yang sedang menyelesaikan berbagai urusan pemerintahan baik dengan kantor Bupati maupun dengan berbagai Dinas yang ada di sana. Keberadaan jembatan tersebut juga mempercepat waktu tempuh pejabat-pejabat Kantor Bupati dan berbagai Dinas tersebut dengan Kantor Gubernur dan berbagai Instansi/Badan tingkat provinsi di Samarinda. Keberadaan jembatan tersebut juga

  • Kolokium Jalan dan Jembatan

    Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko

    2, Bangkit A. Wiryawan

    3 11

    mempercepat warga Tenggarong (dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya) pada saat mempunyai urusan dengan kantor Bupati dan berbagai Dinas tersebut.

    Setelah JKK runtuh, banyak urusan mereka yang tidak lagi dapat diselesaikan secepat dulu. Urusan pejabat kantor kecamatan Tenggarong (dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya) dengan kantor Bupati dan berbagai Dinas kini harus dilakukan melalui ferry dan ketinting yang memakan waktu lebih lama. Sebelum jembatan tersebut runtuh mereka dapat menyelesaikan urusannya kapan saja ketika dibutuhkan. Tetapi sekarang harus mengatur waktu yang tepat, terutama karena harus menyesuaikan diri dengan perjalanan ferry dan ketinting. Pada waktu pagi hari dan tengah hari perjalanan mereka baik untuk urusan pemerintah di Tenggarong maupun Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan sekitarnya) tidak dapat diselesaikan dengan cepat karena bersamaan dengan perjalanan murid-murid sekolah dan orang-orang yang bekerja.

    Setelah jembatan Kutai Kartanegara runtuh, pejabat-pejabat pemerintah kabupaten Kutai Kartanegara yang menyelesaikan urusan dengan pejabat-pejabat pemerintah provinsi Kalimantan Timur di Samarinda harus melalui jalan darat yang dihubungkan oleh jembatan Mahakam atau jembatan Mahulu. Mereka harus melalui jalan dengan kepadatan tinggi karena jalan tersebut juga dipergunakan kendaraan angkutan umum maupun kendaraan pribadi. Itulah sebabnya setelah jembatan tersebut runtuh banyak urusan yang tidak dapat diselesaikan dengan cepat.

    Seperti telah disampaikan dalam uraian terdahulu bahwa pemerintah kini sedang membangun dermaga penyeberangan darurat yang kelak dipergunan oleh ferry berukuran cukup besar. Dengan adanya penyeberangan ini layanan pemerintahan antara kantor Bupati dan berbagai Dinas dengan pemerintah Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan lain di sekitarnya) diharapkan semakin lancar. Tetapi layanan pemerintahan antara pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dan pemerintah Provinsi Kalimantan Timur di Samarinda masih menghadapi kendala transportasi darat yang melewati jembatan Mahakam.

    Masyarakat tidak punya banyak pilihan, terkait akses layanan pemerintahan. Sejumlah warga dan aparat desa maupun aparat kecamatan di Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan lain di sekitarnya) hanya bisa menerima keadaan. Bentuk adaptasi tersebut ditunjukkan dengan tetap menyeberang menggunakan fasilitas yang ada untuk mengurus keperluan administrasi bagi warganya ke ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara. Meskipun mereka mengaku terganggu, namun sejauh penelitian ini dilakukan kinerja pemerintahan dan layanan pemerintahan bagi masyarakat di tingkat kecamatan dan desa berjalan lancar. Sehingga dampak yang timbul akibat runtuhnya JKK di bidang layanan pemerintahan dapat dikategorikan dalam tingkat rendah.

    Menghadapi kondisi tersebut, respons yang ditunjukkan pemerintah daerah setempat belum cukup signfikan. Pemda masih mengandalkan sarana penyeberangan untuk memfasilitasi mobilitas terkait layanan pemerintahan. Sebenarnya kantor-kantor pemerintah tersebut mempunyai teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang baik dan dapat dipergunakan untuk mempercepat berbagai urusan. Tetapi dalam era Otonomi Daerah ini ternyata masih banyak urusan yang masih harus diselesaikan dengan cara berhubungan langsung face-to-face, atau tidak bisa hanya mengandalkan teknologi informasi dan komunikasi.

    5.4. Kegiatan Perdagangan

    Jembatan Kutai Kartanegara memiliki peran yang amat penting dalam kegiatan perdagangan, terutama sebagai sarana menyalurkan berbagai macam komoditas dari Tenggarong ke Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya). Kebutuhan pelbagai jenis kebutuhan hidup sehari-hari banyak yang dipasok dari agen-agen yang berdomisili di Tenggarong, dan disalurkan ke Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan sekitarnya) melalui jembatan Kutai Kartanegara. Setelah jembatan tersebut runtuh, kini disalurkan melalui ferry atau ketinting. Biaya transportasi kemudian meningkat, dan selisih biaya tersebut dibebankan kepada konsumen. Oleh

  • Kolokium Jalan dan Jembatan

    Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko

    2, Bangkit A. Wiryawan

    3 12

    karena itu menjadi mudah dipahami manakala harga sejumlah barang di Tenggarong Seberang terjadi kenaikan setelah jembatan tersebut runtuh.

    Informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa setelah jembatan Kutai Kartanegara runtuh harga barang di kota Tenggarong tidak mengalami kenaikan. Barang-barang tersebut dipasok dari Samarinda, Kutai Barat dan Kutai Timur melalui jalan darat yang tidak perlu menyebarangi sungai Mahakam. Barang-barang tersebut juga dipasok dengan ferry menyusuri sungai Mahakam.

    Berbeda dengan kondisi di Tenggarong, runtuhnya JKK telah memukul sektor perdagangan di wilayah Tenggarong Seberang terutama dalam radius yang dekat dari jembatan, seperti Desa Loa Lepu, Teluk Dalam dan Jongkang kesemuanya di Kecamatan Tenggarong Seberang yang dilalui jalan raya Tenggarong-Samarinda yang melewati Jembatan Kukar. Sebagian besar pelaku usaha kecil di jalur tersebut seperti warung kelontong, warung makan dan penjual buah-buahan mengaku usahanya redup setelah putusnya JKK.

    Sebelum JKK runtuh banyak kendaraan dan orang berlalu-lalang. Namun sejak JKK runtuh, jalur tersebut berubah sepi yang mengakibatkan jumlah pembeli menurun sangat drastis. Bahkan sejumlah pemilik warung makan memutuskan untuk menutup warungnya dengan alasan selain sepinya pembeli juga kesulitan belanja bahan sayur-mayur karena harus menyeberang sungai ke Tenggarong.

    Mereka berharap jalur Tenggarong-Samarinda yang melewati jembatan Kukar dihidupkan kembali dengan cara menempatkan dermaga penyeberangan di lokasi yang bisa membuat kendaraan dan lalu-lintas orang melewati tempat usaha mereka seperti sebelum JKK runtuh. Sebab jika usaha mereka mati, dikhawatirkan angka pengangguran dan kemiskinan akan meningkat.

    Sementara itu wilayah-wilayah di sisi Tenggarong Seberang yang berada jauh dari JKK tidak terlalu merasakan dampak runtuhnya JKK, misalnya kota Kecamatan Tenggarong Seberang yang berjarak sekitar 20 kilometer dari bekas JKK. Daerah ini tidak memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kota Tenggarong sehingga tidak terlalu merasakan dampak runtuhnya JKK. Demikia pula Kecamatan Sebulu yang berjarak sekitar 75 kilometer dari bekas JKK tidak terlalu merasakan dampak putusnya JKK.

    Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa cakupan dampak yang ditimbulkan oleh perubahan mobilitas terhadap kegiatan perdagangan atau perekonomian secara geografis hanya signifikan di wilayah Tenggarong Seberang. Terutama wilayah yang berada di sekitar tapak JKK atau tidak jauh dari tepi Sungai Mahakam. Meskipun hanya menyangkut sedikit pelaku usaha, namun dikhawatirkan dapat menimbulkan efek berantai berupa bertambahnya angka kemiskinan dan

    Gambar 6. Sejumlah usaha makanan di Tenggarong Seberang tutup karena sepi pembeli sejak runtuhnya JKK

  • Kolokium Jalan dan Jembatan

    Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko

    2, Bangkit A. Wiryawan

    3 13

    pengangguran akibat kehilangan mata pencaharian. Sehingga intensitas dampak yang ditimbulkan dapat dikategorikan dalam tingkat tinggi.

    Sebagian masyarakat yang hidup dari berdagang di Tenggarong Seberang tidak menunjukan kemampuan beradaptasi pasca runtuhnya JKK. Sebagai contoh, pengusaha warung makan di Tenggarong Seberang menutup usahanya. Sebab biasanya mereka berbelanja bahan makanan dan sayuran segar pada pagi buta ke pasar Tenggarong. Setelah JKK tidak berfungsi, mereka tidak berani menyeberang pada pagi buta dengan ketinting. Selain itu biaya produksi makanan menjadi semakin tinggi akibat ongkos tambahan yang dikeluarkan, sementara itu jika harga jual makanan dinaikkan berisiko tidak bisa diterima oleh pelanggannya.

    Sejumlah pemilik toko kelontong, buah-buahan dan bensin eceran di Tenggarong Seberang juga hanya bisa pasrah. Mereka selama ini menggantungkan hidupnya dari keramaian pengguna jalan yang berlalu-lalang melewati JKK. Kini warung-warung mereka kehilangan pelanggan, setelah lalu-lintas kendaraan di jalur Tenggarong-Samarinda sepi. Kegagalan mereka beradaptasi, dalam jangka panjang akan merasakan dampak runtuhnya JKK. Aset dan kapabilitas yang telah mereka bangun dan miliki selama ini akan mengalami perubahan negatif.

    Respons pemerintah telah ditunjukkan cukup baik dengan membangun dermaga ferry ukuran besar di dekat tapak JKK. Pada saat dermaga dan penyeberangan tersebut nantinya beroperasi (direncanakan mulai Januari 2012) diperkirakan akan dapat menghidupkan kembali jalur di Tenggarong Seberang yang sebelumnya mati pasca runtuhnya JKK.

    5.5. Kegiatan Pertambangan

    Sungai Mahakam merupakan jalur transportasi utama untuk pengangkutan batubara. Runtuhnya JKK untuk sementara waktu sangat mengganggu lalu-lintas tongkang atau kapal ponton yang mengangkut batubara. Selama penelitian ini berlangsung sampai hari ke-12 sejak runtuhnya JKK, tongkang-tongkang pengangkut batubara tersebut belum diperbolehkan melewati bekas JKK yang runtuh. Karena di dasar sungai yang berada di bawah bekas JKK masih teronggok reruntuhan jembatan dan sejumlah kendaraan yang masih dalam proses evakuasi. Kondisi tersebut menyulitkan pengusaha batubara dan berpotensi menimbulkan kerugian cukup besar.

    Sebagian besar perusahaan tambang hanya bisa pasrah dengan kebijakan penutupan jalur transportasi Mahakam tersebut. Mereka tak punya pilihan lain kecuali hanya menunggu dibukanya kembali jalur tersebut. Berdasarkan informasi dari beberapa nara sumber, sejumlah perusahaan tambang telah berupaya mengantisipasi kerugian akibat berhentinya pendistribusian batubara dengan berbagai cara. Misalnya bagi perusahaan yang memiliki lapangan eksploitasi di bagian hilir, mereka mengoptimalkan produksi di areal tersebut. Selain itu juga meminjam batubara milik perusahaan lain yang tidak terkendala transportasi di bagian hilir untuk memenuhi pesanan agar tidak terhenti. Kendati demikian perlu disadari bahwa upaya tersebut hanya bersifat sementara dan tidak akan bertahan dalam jangka panjang.

    Dari paparan tersebut, dampak yang ditimbulkan oleh runtuhnya JKK bagi kegiatan pertambangan dapat dikategorikan dalam tingkat tinggi. Sehingga perlu kebijakan pemerintahan untuk menyelesaikannya karena kegiatan pertambangan memberikan kontribusi cukup besar bagi pendapatan daerah. Namun pada saat laporan penelitian ini disusun diperoleh informasi bahwa Pemda Kutai Kartanegara telah membuka kembali jalur transportasi Sungai Mahakam bagi kapal pengangkut batubara. Namun belum diketahui secara pasti besarnya kerugian yang ditimbulkan selama penutupan sementara jalur tersebut.

    5.6. Kegiatan Pariwisata

    Selain berfungsi memfasilitasi mobilitas masyarakat, Jembatan Kutai Kartanegara juga menjadi objek wisata. Bangunan dengan bentang sekitar 710 meter tersebut merupakan pemandangan yang indah sehingga menarik untuk dikunjungi.

  • Kolokium Jalan dan Jembatan

    Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko

    2, Bangkit A. Wiryawan

    3 14

    Pemerintah juga melengkapi area di sekitar jembatan tersebut dengan sejumlah fasilitas misalnya taman, panggung terbuka dan gedung pertemuan.

    Namun setelah JKK runtuh, objek wisata tersebut turut hilang. Bangunan jembatan yang menjadi kebanggaan masyarakat di Kalimantann Timur tersebut lenyap dari pandangan. Selain itu arena publik seperti taman dan panggung terbuka yang sebelumnya disediakan dan menjadi objek kunjungan masyarakat dialihfungsikan untuk tenda-tenda darurat.

    Salah satu pilihan bagi masyarakat maupun pelaku wisata saat ini adalah mengunjungi objek wisata lain terdekat, antara lain Museum Kerajaan Kutai Kartanegara. Sedangkan pelaku usaha yang biasa memanfaatkan area sekitar jembatan untuk berjualan praktis tak bisa lagi membuka usahanya di area tersebut. Dengan demikian dampak runtuhnya JKK bagi sektor pariwisata cukup besar.

    Respons pemerintah terkait kegiatan pariwisata hingga laporan ini disusun belum ditunjukkan secara signifikan. Sebab area terbuka untuk publik di sekitar JKK masih difungsikan untuk tenda-tenda darurat. Untuk mengukur secara pasti dampak ekonomi yang ditimbulkan diperlukan penelitian lebih lanjut. 6.7. Dampak Lingkungan

    Dermaga-dermaga penyeberangan baru yang muncul di beberapa lokasi, merupakan titik keramaian yang baru di tepian Sungai Mahakam. Keramaian itu ditandai dengan lalu-lintas kendaraan di sekitar dermaga maupun di sepanjang jalan menuju dermaga yang meningkat drastis dibanding kondisi sebelum JKK runtuh. Meningkatnya keramaian di lokasi tersebut diperkirakan akan mendorong masyarakat untuk menciptakan aktivitas ekonomi maupun membangun permukiman yang baru dalam beberapa waktu ke depan.

    Gambar 12. Area terbuka untuk publik di sekitar JKK tak lagi dapat difungsikan sebagai objek wisata setelah jembatan tersebut runtuh.

    Gambar 8. Munculnya dermaga-dermaga baru menyebabkan lalu-lintas di sepanjang jalan menuju dermaga yang sebelumnya sepi, berubah sangat ramai setelah JKK runtuh.

    Gambar 7. Hilangnya fungsi jembatan sebagai objek wisata

  • Kolokium Jalan dan Jembatan

    Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko

    2, Bangkit A. Wiryawan

    3 15

    Jika bangunan-bangunan baru di lokasi tersebut bermunculan, dikhawatirkan akan berpotensi melahirkan dampak ikutan yang saat ini belum terlihat namun diperkirakan bisa terjadi pada waktu mendatang. Dampak ikutan tersebut berupa masalah lingkungan seperti sanitasi dan permukiman yang tidak layak huni. Tidak tertutup kemungkinan pula di kemudian hari muncul tempat-tempat hiburan malam yang dapat menimbulkan masalah sosial.

    Persoalan lain yang juga berpotensi muncul adalah pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah maupun alih fungsi lahan. Ketidaksesuaian fungsi lahan di tepian sungai dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem, selain juga masalah estetika. Aliran Sungai Mahakam yang memiliki riwayat pernah meluap juga akan menjadi masalah berikutnya jika di sepanjang tepi sungai terdapat banyak hunian.

    7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian dan analisis sebagaimana uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Setelah jembatan Kutai Kartanegara runtuh, frekuensi dan intensitas penggunaan

    ferry dan ketinting semakin tinggi. Kondisi tersebut akan berlangsung hingga 3-5 tahun kedepan atau sebelum jembatan baru selesai dibangun. Pemerintah Kabupaten perlu membuat regulasi yang mengatur standar keselamatan bagi penyedia dan pengguna jasa layanan ferry dan ketinting. Misalnya perlengkapan berupa pelampung, pembatasan jumlah penumpang dan kelaikan armada.

    2. Intensitas dan frekuensi penggunaan transport dari Tenggarong Loa Janan Samarinda (maupun sebaliknya) semakin tinggi. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur perlu melebarkan jalan di jalur tersebut, disertai regulasi dan dikawal dengan petugas lalu lintas supaya tidak terjadi kemacetan.

    3. Intensitas dan frekuensi penggunaan jembatan Mahakam dan Mahulu semakin tinggi. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur membuat regulasi untuk mengurangi kepadatan kendaran yang melintasi jembatan tersebut. Di kedua ujung jembatan tersebut juga perlu ada fasilitas untuk mengawasi penggunaan jembatan agar tidak terjadi kemacetan di tengah jembatan, disertai penguatan koordinasi antar instansi dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

    4. Pemerintah Kabupaten perlu membuat regulasi tarif penyeberangan ferry dan ketinting, dan memberikan subsidi biaya penyebarangan ferry dan ketinting bagi murid sekolah, guru, tenaga kependidikan lainnya, dokter dan tenaga medis lainnya.

    5. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara perlu mengintensifkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Tenggarong Seberang dengan menghidupkan kembali Puskesmas dan Puskesmas Pembantu (fix facilities) yang selama ini mengalami kekosongan tenaga medis (tidak beroperasi). Jika diperlukan, Pemkab juga dapat memberikan layanan melalui Puskesmas Keliling (mobile facilities).

    6. Keberlanjutan usaha ekonomi masyarakat di Tenggarong Seberang sangat tergantung dari lalu-lintas yang melewati jembatan Kutai Kartanegara menuju Samarinda dan sebaliknya, sebelum jembatan tersebut runtuh. Oleh sebab itu pembangunan dermaga ferry sebaiknya dirancang agar nantinya bisa mengalirkan lalu lintas kendaraan melewati jalur sebelumnya. Dengan demikian jalur darat Tenggarong-Samarinda yang melewati bekas JKK bisa hidup kembali, sehingga dampak munculnya pengangguran bisa dihindari.

    7. Untuk mengantisipasi dampak ikutan berupa munculnya hunian baru baik untuk kegiatan ekonomi maupun tempat tinggal di sekitar dermaga dan di sepanjang jalan menuju dermaga, Pemkab Kutai Kartanegara perlu melakukan pengawasan terhadap perkembangan pemanfaatan lahan di sekitar dermaga tersebut. Agar

  • Kolokium Jalan dan Jembatan

    Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko

    2, Bangkit A. Wiryawan

    3 16

    pengawasan tersebut lebih efektif, Pemkab dapat membuat regulasi tentang tata ruang dan pemanfaatan lahan agar tidak menimbulkan masalah lingkungan di kemudian hari.

    UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih yang setingi-tingginya disampaikan pada Ibu Ir.Lolly Martina Martief,MT Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosekling atas kepercayaan dalam penugasan dan arahan penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr.Sunyoto Usman dan rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Prodi Pengelolaan Infrastruktur dan Pembangunan Masyarakat (PIPM) Universitas Gadjah Mada atas kerjasamanya dalam penelitian di lapangan dan penulisan.

    DAFTAR PUSTAKA Dinas Perhubungan. 2007. Tataran Transportasi Lokal. Jakarta: PT Adhiyasa Decision. Glaser, Barney G dan Anselm L. Strauss. 1967. The Discovery of Grounded Theory;

    Strategis for Qualitative Research. New York: Aldine. MICD UGM dan Puslitbang Sosekling. 2011. Laporan Kajian dampak Runtuhnya

    Jembatan Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Laporan Penelitian. Murzaki. 2007. Mari Mengenal Kaltim. Samarinda: Biro Humas Setdaprov Kaltim.

    Undang-Undang No 38 tahun 2004 tentang Jalan

    Undang-Undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana