Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

30
1 Universitas Indonesia DAMPAK PSAK SEWA YANG BARU TERHADAP PLN (Kasus: Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik) ABSTRAK Makalah ini menjelaskan mengenai bagaimana dampak atas penerapan PSAK sewa yang baru, yaitu PSAK 30 “Sewa” terhadap laporan keuangan suatu perusahaan. Kita akan melihat dampak riilnya melalui studi kasus terhadap Laporan Keuangan PT PLN, suatu BUMN yang bertugas menyediakan tenaga listrik untuk kebutuhan masyarakat umum. Menggunakan data dari PT PLN, kita akan temukan bagaimana PT PLN mempertimbangkan untuk memperlakukan perjanjian jual beli tenaga listrik dari produsen swasta sebagai suatu perjanjian sewa berdasarkan panduan ISAK 8 “Penentuan Apakah Suatu Perjanjian Mengandung Suatu Sewa“ sehingga berimplikasi pada penerapan PSAK 30 “ Sewa”, khususnya mengenai sewa pembiayaan. Kemudian, dibahas pula bagaimana pada akhirnya penerapan PSAK 30 “Sewa” secara restrospektif menyebabkan diakuinya aset dan kewajiban terkait perjanjian sewa dalam laporan posisi keuangan serta mengakibatkan perubahan pada saldo laba/rugi pada laporan laba/rugi komprehensif tahun sebelumnya. Dampaknya, rasio-rasio keuangan perusahaan pun ikut berubah dan berpotensi mengakibatkan terjadinya pelanggaran beberapa covenant atas obligasi yang dimiliki. 1. PENDAHULUAN Sewa guna usaha (leasing) pertama kali berkembang sebagai alat pembelanjaan atau pembiayaan perusahaan sejak adanya Accounting Research Bulletin No.38 tentang Disclosure of Long Term Lease on Financial Statement of Lessees. Financial Accounting Standards Board (FASB) menerbitkan FASB Statement No. 13 (Accounting for Leases) pada tahun 1976 yang memberikan panduan akuntansi terhadap sewa guna usaha baik untuk lessor maupun lessee. International Accounting Standards Committee (IASC) pada tahun 1982 menerbitkan standar mengenai Leases” yang hampir sama dengan FASB Statement No. 13. Sewa guna usaha (leasing) pertama kali diperkenalkan di Indonesia melalui surat keputusan bersama antara Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia dengan Nomor Kep-122/MK/2/1974, No.32/M/SK/2/1974 dan No.30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 tentang

description

Dampak perubahan PSAK 30 (Sewa) yang baru terhadap laporan keuangan PLN.

Transcript of Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

Page 1: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

1 Universitas Indonesia

DAMPAK PSAK SEWA YANG BARU

TERHADAP PLN

(Kasus: Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik)

ABSTRAK

Makalah ini menjelaskan mengenai bagaimana dampak atas penerapan

PSAK sewa yang baru, yaitu PSAK 30 “Sewa” terhadap laporan keuangan suatu

perusahaan. Kita akan melihat dampak riilnya melalui studi kasus terhadap

Laporan Keuangan PT PLN, suatu BUMN yang bertugas menyediakan tenaga

listrik untuk kebutuhan masyarakat umum. Menggunakan data dari PT PLN, kita

akan temukan bagaimana PT PLN mempertimbangkan untuk memperlakukan

perjanjian jual beli tenaga listrik dari produsen swasta sebagai suatu perjanjian

sewa berdasarkan panduan ISAK 8 “Penentuan Apakah Suatu Perjanjian

Mengandung Suatu Sewa“ sehingga berimplikasi pada penerapan PSAK 30 “

Sewa”, khususnya mengenai sewa pembiayaan. Kemudian, dibahas pula

bagaimana pada akhirnya penerapan PSAK 30 “Sewa” secara restrospektif

menyebabkan diakuinya aset dan kewajiban terkait perjanjian sewa dalam

laporan posisi keuangan serta mengakibatkan perubahan pada saldo laba/rugi

pada laporan laba/rugi komprehensif tahun sebelumnya. Dampaknya, rasio-rasio

keuangan perusahaan pun ikut berubah dan berpotensi mengakibatkan terjadinya

pelanggaran beberapa covenant atas obligasi yang dimiliki.

1. PENDAHULUAN

Sewa guna usaha (leasing) pertama kali berkembang sebagai alat

pembelanjaan atau pembiayaan perusahaan sejak adanya Accounting Research

Bulletin No.38 tentang Disclosure of Long Term Lease on Financial Statement of

Lessees. Financial Accounting Standards Board (FASB) menerbitkan FASB

Statement No. 13 (Accounting for Leases) pada tahun 1976 yang memberikan

panduan akuntansi terhadap sewa guna usaha baik untuk lessor maupun lessee.

International Accounting Standards Committee (IASC) pada tahun 1982

menerbitkan standar mengenai “Leases” yang hampir sama dengan FASB

Statement No. 13.

Sewa guna usaha (leasing) pertama kali diperkenalkan di Indonesia

melalui surat keputusan bersama antara Menteri Keuangan dan Menteri

Perdagangan Republik Indonesia dengan Nomor Kep-122/MK/2/1974,

No.32/M/SK/2/1974 dan No.30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 tentang

Page 2: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

2 Universitas Indonesia

“Perizinan Usaha Leasing”. Sejak saat itu, perkembangan sewa di Indonesia

dapat terlihat dari munculnya perusahaan-perusahaan sewa guna usaha di

Indonesia. Selanjutnya, antara tahun 1984 sampai dengan tahun 1990, dikeluarkan

Surat Edaran Direktur Jendral Moneter Dalam Negeri No. SE/499/MD/1984

tanggal 24 Januari 1984 tentang ketentuan dan tata cara penyampaian perusahaan

leasing, serta Keputusan Menteri No. 125/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember

1988.

Mengikuti perkembangan usaha sewa dan praktik akuntansi baik di

Indonesia maupun dunia Internasional, maka standar akuntansi terkait dengan

leasing di Indonesia telah mengalami dinamika dan perubahan. Masalah

perlakuan akuntansi terkait sewa secara khusus diaturoleh Ikatan Akuntan

Indonesia dalam PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) 30. Sejak

disahkan tanggal 07 September 1994 dan dinyatakan efektif berlaku 1 Januari

1991 hingga sekarang, PSAK 30 (1994) “ Akuntansi Sewa Guna Usaha” telah

mengalami revisi sebanyak 2 kali. Revisi pertama, PSAK 30 (2007) “Sewa”

disahkan pada tahun 27 Juni 2007 untuk menggantikan PSAK (1994) “ Akuntansi

Sewa Guna Usaha”. Keluarnya PSAK 30 (2007) Sewa disusul dengan keluarnya

ISAK (Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan) 8 “Penentuan Apakah Suatu

Perjanjian Mengandung Suatu Sewa” sebagai panduan menilai apakah suatu

perjanjian dianggap sebagai sewa atau mengandung sewa sehingga harus

menerapkan PSAK 30. Revisi kedua , PSAK 30 (2011) “Sewa” dilakukan untuk

mengadopsi ketentuan IAS 17 per 1 Januari 2009 dan dinyatakan efektif berlaku

per 1 Januari 2012.

Munculnya standar akuntansi mengenai sewa yang baru tersebut membuat

implikasi yang cukup signifikan dalam penyajian laporan keuangan perusahaan.

Hal tersebut terjadi karena penerapan kebijakan akuntansi yang baru tersebut

membawa pengaruh pada perubahan kebijakan akuntansi yang harus dilakukan

perusahaan.

Dalam makalah ini, akan disajikan pembahasan/analisa mengenai

penerapan standar akuntansi yang terkait dengan sewa (PSAK 30 “Sewa” dan

ISAK 8 “Penentuan Apakah Suatu Perjanjian Mengandung Suatu Sewa”) serta isu

yang timbul dalam praktek penyusunan laporan keuangan di Indonesia (kasus PT

Page 3: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

3 Universitas Indonesia

PLN). Pembahasan tersebut akan dibagi dalam beberapa bagian. Pada bagian

pertama, akan diberikan landasan teori mengenai standar akuntansi terkait sewa

yang berlaku di Indonesia sesuai PSAK 30 “Sewa” dan ISAK 8 “Penentuan

Apakah Suatu Perjanjian Mengandung Suatu Sewa”. Pada bagian kedua, akan

diberikan suatu studi kasus penerapan PSAK 30 “Sewa” dan ISAK 8 “Penentuan

Apakah Suatu Perjanjian Mengandung Suatu Sewa” oleh perusahaan PLN, mulai

dari latar belakang penerapan, isu permasalahan yang muncul sampai dampaknya

pada perusahaan. Terakhir, akan diambil kesimpulan mengenai kasus penerapan

PSAK sewa yang baru oleh PT PLN dan dampaknya.

2. STANDAR AKUNTANSI YANG BERLAKU: PSAK 30 DAN

ISAK 8

2.1 ISAK 8 “PENENTUAN APAKAH SUATU PERJANJIAN

MENGANDUNG SUATU SEWA”

Sebelum memasuki pembahasan mengenai leasing, kita akan membahas

dulu mengenai ISAK 8. Dalam menentukan apakah suatu perjanjian mengandung

suatu sewa atau tidak, kita harus menggunakan panduan ISAK 8: “Penentuan

Apakah Suatu Perjanjian Mengandung Suatu Sewa” yang mengadopsi IFRIC 4

“Determining Whether an Arrangement Containts a Leases”. Suatu entitas dapat

melakukan suatu perjanjian, yang terdiri dari satu atau serangkaian transaksi

terkait, dimana bentuk legal perjanjian tersebut bukan sewa tetapi perjanjian itu

memberikan hak kepada pihak lain untuk menggunakan suatu aset, dengan

imbalan suatu atau serangkaian pembayaran. Dalam menentukan apakah suatu

perjanjian merupakan perjanjian sewa atau suatu perjanjian yang mengandung

sewa, perlu diperhatikan substansi perjanjian dan dilakukan evaluasi, apakah:

a. Pemenuhan perjanjian bergantung pada penggunaan aset tertentu

Aset bukan merupakan subjek sewa jika pemenuhan perjanjian tidak

sepenuhnya bergantung pada aset tersebut, walaupun secara eksplisit

diidentifikasikan seperti itu di dalam perjanjian.

b. Perjanjian memberikan hak untuk menggunakan aset

Suatu perjanjian dianggap memberikan hak untuk menggunakan aset jika

perjanjian tersebut memberikan hak kepada lessee untuk mengendalikan

Page 4: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

4 Universitas Indonesia

penggunaan aset tersebut. Di dalam ISAK 8, dijelaskan kondisi-kondisi yang

harus dipenuhi agar terdapat pengalihak hak untuk menggunakan aset, yaitu:

i. Lessee mempunyai kemampuan atau hak untuk mengoperasikan aset atau

mengarahkan pihak lain untuk mengoperasikan aset tersebut sesuai

dengan cara ditentukan pembeli dan pada saat yang bersamaan, pembeli

mendapatkan atau mengendalikan keluaran (output) atau kegunaan

lainnya atas aset tersebut, dalam jumlah yang lebih dari tidak signifikan.

ii. Pembeli mempunyai kemampuan atau hak untuk mengendalikan akses

fisik terhadap aset tersebut dan pada saat yang bersamaan, pembeli

mendapatkan atau mengendalikan keluaran atau kegunaan lainnya atas

aset tersebut, dalam jumlah yang lebih dari tidak signifikan.

iii. Fakta dan kondisi yang ada menunjukkan bahwa kecil kemungkinan bagi

satu atau lebih pihak lain selain pembeli akan mengambil keluaran atau

kegunaan lainnya dalam jumlah yang lebih dari tidak signifikan yang

akan diproduksi atau dihasilkan oleh aset tersebut selama masa

perjanjian; dan harga yang dibayar pembeli untuk keluaran tersebut

bukan harga yang secara kontraktual tetap untuk setiap unit keluaran

ataupun harga yang sama dengan harga pasar per unit keluaran pada saat

penyerahan keluaran tersebut.

2.2 PSAK 30 “SEWA”

Di Indonesia, standar akuntansi yang mengatur mengenai sewa terdapat

pada PSAK No. 30 mengenai Sewa. Dalam Paragraf 04 PSAK No. 30, dijelaskan

arti sewa, yaitu suatu perjanjian yang mana lessor memberikan kepada lessee hak

untuk menggunakan suatu aset selama periode waktu yang disepakati. Sebagai

imbalannya, lessee melakukan pembayaran atau serangkaian pembayaran kepada

lessor. Penyewa Guna Usaha (Lessee) adalah perusahaan atau perorangan yang

menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari pihak Perusahaan Sewa

Guna Usaha (lessor). Di IFRS, leasing diatur dalam IAS 17 mengenai Leases.

Page 5: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

5 Universitas Indonesia

Gambar 1. Hubungan antara Lessee dan Lessor

2.2.1 Klasifikasi Sewa

Di dalam PSAK No. 30 dan IAS 17, leasing diklasifikasikan ke dalam 2

kategori, yaitu sewa pembiayaan (financial lease) dan sewa operasi (operating

lease). Berikut adalah arti dari kedua klasifikasi tersebut:

1. Sewa Pembiayaan

Sewa pembiayaan adalah sewa yang mengalihkan secara substansial seluruh

risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan suatu aset. Hak milik

pada akhirnya dapat dialihkan atau dapat juga tidak dialihkan.

2. Sewa Operasi

Sewa operasi adalah sewa selain sewa pembiayaan, yaitu jika sewa tidak

mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait

dengan kepemilikan aset.

Klasifikasi sewa didasarkan atas sejauh mana risiko dan manfaat yang

terkait dengan kepemilikan aset sewaan berada pada lessor atau lessee. Risiko

termasuk kemungkinan kerugian dari kapasitas tidak terpakai atau keusangan

teknologi dan variasi imbal hasil karena perubahan kondisi ekonomi. Manfaat

dapat tercermin dari ekspektasi operasi yang menguntungkan selama umur

ekonomi aset dan keuntungan dari kenaikan nilai atau realisasi dari nilai residu.

2.2.2 Sewa Dalam Laporan Keuangan Lessee

Sewa Pembiayaan

Pada awal masa sewa, lessee mengakui sewa pembiayaan sebagai aset dan

liabilitas dalam laporan posisi keuangan sebesar nilai wajar aset sewaan atau

sebesar nilai kini dari pembayaran sewa minimum, jika nilai kini tersebut lebih

Page 6: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

6 Universitas Indonesia

rendah daripada nilai wajar. Transaksi dan kejadian dicatat dan disajikan sesuai

dengan substansi dan realitas keuangannya, dan tidak selalu mengikuti bentuk

hukumnya. Meskipun bentuk hukum perjanjian sewa menyatakan bahwa lessee

tidak memperoleh hak secara hukum atas aset sewaan, tetapi dalam hal sewa

pembiayaan, secara substansi dan realitas keuangan lessor memperoleh manfaat

ekonomi dari penggunaan aset sewaan tersebut selama sebagian besar umur

ekonomisnya

Sewa pembiayaan diakui dalam laporan posisi keuangan lessee sebagai

aset dan kewajiban untuk membayar sewa masa depan. Pada awal masa sewa, aset

dan liabilitas untuk membayar sewa masa depan diakui dalam laporan posisi

keuangan pada jumlah yang sama, kecuali untuk biaya langsung awal dari lessee

yang ditambahkan ke jumlah yang diakui awal.

BIAYA LANGSUNG AWAL

Ya Tidak

Biaya Komisi General Overheads

Biaya legal (legal fees) Biaya iklan Biaya yang timbul dari pengevaluasian dan

pencatatan garansi, jaminan dan perjanjian

keamanan lainnya

Biaya yang berhubungan dengan

pembujukan sewa potensial

Biaya yang berhubungan dengan penegosiasian syarat sewa

Biaya yang timbul dari pelayanan sewa yang ada

Biaya yang timbul dalam persiapan dan

memroses dokumen sewa

Biaya yang berhubungan dengan aktivitas

pendukung lainnya Biaya yang timbul dari penyelesaian

transaksi

Tabel 1. Biaya langsung awal yang dapat dan tidak dapat ditambahkan ke jumlah yang

diakui awal

Pembayaran sewa minimum dipisahkan antara mana yang merupakan

beban keuangan dan pengurangan liabilitas. Beban keuangan dialokasikan pada

setiap periode selama masa sewa sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu

suku bunga periodik yang konstan atas saldo liabilitas. Rental kontinjen

dibebankan pada periode terjadinya.

Dalam sewa pembiayaan, terdapat beban penyusutan untuk aset

tersusutkan dan beban keuangan yang timbul pada setiap periode akuntansi.

Kebijakan penyusutan untuk aset sewaan konsisten dengan aset yang dimiliki oleh

perusahaan dan penghitungan penyusutan yang diakui berdasarkan PSAK 16:

Aset Tetap dan PSAK 19: Aset Tak Berwujud. Jangka waktu penyusutan aset

sewaan jika tidak ada kepastian bahwa lessee akan mendapatkan hak kepemilikan

Page 7: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

7 Universitas Indonesia

pada akhir masa sewa adalah jangka waktu yang lebih pendek antara masa sewa

dan umur manfaatnya. Pembayaran utang sewa tidak boleh langsung diakui

sebagai beban, karena jumlah beban penyusutan dan beban keuangan untuk suatu

periode tidak sama nilainya dengan jumlah pembayaran utang sewa untuk periode

tersebut.

Menurut PSAK 30, paragraf 30, lessee mengungkapkan hal berikut untuk

sewa pembiayaan:

a. Jumlah tercatat neto untuk setiap kelompok aset pada tanggal pelaporan.

b. Rekonsiliasi antara total pembayaran sewa minimum masa depan pada akhir

periode pelaporan dan nilai kininya. Selain itu, entitas mengungkapkan total

pembayaran sewa minimum masa depan pada akhir periode pelaporan, dan

nilai kininya untuk setiap periode, sampai dengan satu tahun, lebih dari satu

tahun sampai lima tahun, dan lebih dari lima tahun.

c. Rental kontinjen yang diakui sebagai beban pada periode.

d. Total perkiraan penerimaan pembayaran minimum sewa-lanjut masa depan

dari kontrak sewa-lanjut yang tidak dapat dibatalkan pada akhir periode

pelaporan.

e. Penjelasan umum isi perjanjian sewa yang material yang meliputi, tetapi tidak

terbatas pada, hal dasar penentual utang rental kontinjen, keberadaan dan

persyaratan dari opsi pembaruan atau pembelian dan klausul eskalasi, dan

pembatasan yang ditetapkan dalam perjanjian sewa, misalnya yang terkait

dengan dividen, tambahan utang, dan sewa-lanjut.

Sewa Operasi

Pembayaran sewa dalam sewa operasi diakui sebagai beban dengan dasar

garis lurus selama masa sewa. Menurut PSAK 30, paragraf 34, pengungkapan

untuk sewa operasi, lessee juga mengungkapkan hal berikut untuk sewa operasi:

a. Total pembayaran sewa minimum masa depan dalam sewa operasi yang tidak

dapat dibatalkan untuk setiap peropde sampai dengan satu tahun, lebih dari

satu tahun sampai lima tahun, lebih dari lima tahun.

Page 8: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

8 Universitas Indonesia

b. Total perkiraan penerimaan pembayaran minimum sewa-lanjut masa depan

dari kontrak sewa-lanjut yang tidak dapat dibatalkan pada akhir periode

pelaporan.

c. Pembayaran sewa dan sewa-lanjut yang diakui sebagai beban pada periode,

dengan pengungkapan terpisah untuk jumlah pembayaran minimum sewa,

rental kontinjen, dan pembayaran sewa-lanjut;

d. Penjelasan umum perjanjian sewa lessee yang signifikan, yang meliputi,

namun tidak terbatas pada dasar penentuan utang rental kontinjen, keberadaan

dan persyaratan dari opsi pembaruan atau pembelian dan klausal eskalasi, dan

pembatasan yang ditetapkan dalam perjanjian sewa, seperti pembatasan

dividen utang tambahan, dan sewa-lanjut.

2.2.2 Sewa Dalam Laporan Keuangan Lessor

Sewa Pembiayaan

Dalam sewa pembiayaan dimana seluruh risiko dan manfaat yang terkait

dengan kepemilikan aset dialihkan dari lessor ke lessee, penerimaan piutang sewa

diakui oleh lessor sebagai pembayaran pokok dan pendapatan keuangan sebagai

penggantian dan imbalan atas investasi dan jasanya.

Biaya langsung awal yang dapat diatribusikan langsung pada proses

negosiasi dan pengaturan sewa antara lain, komisi, biaya hukum dan biaya

internal yang bersifat tambahan. Biaya langsung awal tidak termasuk biaya umum

seperti yang lazimnya dikeluarkan oleh tim penjualan dan pemasaran.

Lessor mengalokasikan pendapatan keuangan selama masa sewa dengan

dasar yang sistematis dan rasional. Alokasi pendapatan ini didasarkan pada suatu

pola yang mencerminkan suatu tingkat pengembalian periodik yang konstan atas

investasi neto lessor dalam sewa pembiayaan. Pembayaran sewa dalam suatu

periode diterapkan pada investasi sewa bruto untuk mengurangi pokok dan

pendapatan keuangan yang belum diterima.

Lessor pabrikan atau dealer sering memberikan pilihan penawaran untuk

membeli atau menyewa suatu aset kepada pelanggan. Sewa pembiayaan oleh

lessor pabrikan atau dealer seringkali menimbulkan:

Page 9: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

9 Universitas Indonesia

a. keuntungan/kerugian yang setara dengan laba rugi dari penjualan biasa atas

aset sewaan yang ditentukan pada harga jual normal setelah dikurangi

potongan penjualan, dan

b. pendapatan keuntungan selama masa sewa.

Pendapatan penjualan diakui pada awal masa sewa oleh lessor pabrikan atau

dealer sebesar nilai wajar aset.

Menurut PSAK 30, paragraf 47, lessor mengungkapkan hal berikut untuk

sewa pembiayaan:

a. rekonsiliasi antara investasi sewa bruto dan nilai kini piutang pembayaran

sewa minimum pada akhir periode pelaporan. Di samping itu, lessor

mengungkapkan investasi sewa bruto dan nilai kini piutang pembayaran sewa

minimum pada akhir periode pelaporan untuk setiap periode kurang dari satu

tahun, lebih dari satu tahun sampai lima tahun, dan lebih dari lima tahun.

b. Pendapatan keuangan yang belum diterima.

c. Nilai residu yang tidak dijamin yang diakru sebagai manfaat lessor.

d. Akumulasi penyisihan piutang tidak tertagih atas pembayaran sewa

minimum.

e. Rental kontinjen yang diakui sebagai pendapatan dalam periode; dan

f. Penjelasan umum isi perjanjian sewa lessor yang material.

Sewa Operasi

Menurut PSAK 30, paragraf 56, lessor mengungkapkan hal berikut untuk

sewa operasi:

a. Jumlah agregat pembayaran sewa minimum masa depan dalam sewa operasi

yang tidak dapat dibatalkan untuk setiap periode sampai dengan satu tahun,

lebih dari satu tahun sampai lima tahun, dan lebih dari lima tahun

b. Total rental kontinjen yang diakui sebagai pendapatan pada periode; dan

c. Penjelasan umum isi perjanjian sewa lessor.

Page 10: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

10 Universitas Indonesia

3. STUDI KASUS: PENERAPAN PSAK SEWA YANG BARU

PADA PLN

Penerapan ISAK 8 “Penentuan Apakah Suatu Perjanjian Mengandung

Sewa”, memberikan implikasi pada perusahaan untuk mengevaluasi/melakukan

asessment ulang terhadap perjanjian memberikan hak untuk menggunakan aset

apakah merupakan perjanjian sewa atau perjanjian yang mengandung sewa.

Selanjutnya, setelah dilakukan evaluasi sebagaimana dimaksud diatas, atas

perjanjian yang mengandung sewa maka pihak-pihak yang melakukan perjanjian

harus menerapkan ketentuan PSAK 30 “Sewa” dalam penyusunan dan penyajian

laporan keuangan.

Sesuai PSAK 30 “Sewa” terhadap perjanjian yang ditetapkan mengandung

sewa harus ditentukan apakah termasuk kategori sewa pembiayaan atau sewa

operasi. Jika dalam perjanjian sewa terdapat pengalihan secara substansial seluruh

resiko atau manfaat terkait dengan kepemilikan suatu aset, maka perusahaan

tersebut harus mengakui perjanjian yang mengandung sewa tersebut sebagai sewa

pembiayaan. Disisi lain, apabila dalam perjanjian sewa tersebut tidak terdapat

secara substansial seluruh resiko atau manfaat terkait dengan kepemilikan suatu

aset, maka perjanjian tersebut dianggap sebagai sewa operasi.

Sesuai PSAK 30 “Sewa”, perlakuan akuntansi atas sewa pembiayaan dan

sewa operasi sangatlah berbeda. Pada sewa pembiayaan, Lessee mengakui aset

dan liabilitas sewa di Laporan posisi keuangan serta melakukan amortisasi atas

aset yang dicatat sepanjang umur ekonomis sewa. Kemudian, apabila timbul

bunga atas pembayaran cicilan sewa, maka diakui sebagai biaya bunga di Laporan

Laba/Rugi. Sedangkan atas sewa operasi, Lessee tidak perlu mengakui aset atau

liabilitas pada laporan posisi keuangan dan hanya perlu mengakui setiap

pembayaran sewa sebagai biaya sewa di Laporan Laba/Rugi.

Penerapan retrospektif ISAK 8 dan PSAK 30 tentunya membawa dampak

yang signifikan terhadap kebijakan akuntansi yang digunakan serta

mempengaruhi penyajian dan pengungkapan laporan keuangan untuk tahun

berjalan atau tahun sebelumnya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, perbedaan

kebijakan akuntansi tersebut membawa pengaruh pada perubahan nilai aset dan

kewajiban yang muncul laporan posisi keuangan serta menyebabkan perubahan

Page 11: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

11 Universitas Indonesia

pada saldo laba yang muncul dalam laporan laba/rugi perusahaan. Bahkan secara

ekstrem, perubahan tersebut bisa berdampak pada pelanggaran Covenant

kewajiban perusahaan karena berubahnya besaran rasio keuangan perusahaan

yang tidak sesuai harapan.

Dampak riil atas penerapan retrospektif ISAK 8 dan PSAK 30 pada

laporan keuangan perusahaan dapat ditunjukkan secara jelas melalui sebuah studi

kasus. Salah satu perusahaan yang bisa menjadi contoh nyata adalah PT PLN

(Persero) yang mulai menerapkan ISAK 8 dan PSAK 30 pada tahun 2012

(artinya, laporan tahun 2010 dan 2011 disajikan kembali secara retrospektif).

Diharapkan melalui studi terhadap Laporan Keuangan PT PLN (Persero) tersebut

kita bisa mendapatkan gambaran secara utuh mengenai dampak atas penerapan

PSAK 30 “Sewa” seperti yang diharapkan sebelumnya. Untuk mendapatkan

pemahaman yang lebih jelas mengenai penerapan retrospektif yang terjadi atas

PSAK 30 “Sewa”, maka pembahasan akan lebih berfokus pada data perusahaan

yang meliputi data statistik bisnis maupun laporan keuangan tahun 2011 PT PLN.

Pembahasan studi kasus akan kita bagi dalam beberapa bagian. Pertama,

akan diberikan gambaran umum mengenai kegiatan operasional/bisnis PT PLN.

Kedua, akan dibahas perjalanan panjang menuju penerapan ISAK 8 dan PSAK 30

oleh PT PLN (Persero). Ketiga, akan diperlihatkan bagaimana perlakuan

akuntansi, pelaporan, dan pengungkapan transaksi terkait kegiatan sewa yang

dilakukan PT PLN. Terakhir, akan dilakukan analisa dampak praktek akuntansi

terkait sewa sesuai ISAK 8 dan PSAK 30 yang dilakukan oleh PLN terhadap

gambaran performa perusahaan.

Page 12: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

12 Universitas Indonesia

3.1 GAMBARAN UMUM BISNIS PT PLN

Gambar 2. Struktur Ketenagalistrikan Indonesia

PLN merupakan salah satu BUMN yang berdasarkan anggaran dasar dan

ketentuan perundang-undangan oleh pemerintah diberi amanat untuk

menyediakan barang publik berupa tenaga listrik bagi kepentingan umum dalam

jumlah dan mutu yang memadai serta memupuk keuntungan dan melaksanakan

penugasan Pemerintah di bidang ketenagalistrikan dalam rangka menunjang

pembangunan dengan menerapkan prinsip-prinsip Perseroan Terbatas. Sesuai

dengan UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN, Pemerintah wajib memberikan

kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN termasuk

margin yang diharapkan kepada BUMN yang diberikan penugasan khusus.

Perusahaan merupakan BUMN yang sedang melaksanakan penugasan khusus

berupa penyediaan tenaga listrik bersubsidi kepada masyarakat.

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik bagi kepentingan umum, PT

PLN maupun anak perusahaannya berupaya untuk melakukan produksi sendiri

maupun melakukan perjanjian jual beli tenaga listrik (PPA – Power Purchase

Agreement dan ESC – Energy Sales Contract) dengan penyedia dan pengembang

tenaga listrik swasta (IPP – Independent Power Producers). IPP tersebut

merupakan pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk kepentingan umum,

yang dapat diserahkan kepada entitas usaha lain dengan tanggung jawab untuk

menghasilkan tenaga listrik guna kepentingan umum. Selama tahun 2011, jumlah

Page 13: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

13 Universitas Indonesia

energi yang berhasil disediakan oleh PT PLN melalui kegiatan produksi sendiri

dan sewa, serta pembelian disajikan pada gambar 3 dibawah ini.

Gambar 3. Jumlah Energi Listrik yang Diproduksi PT PLN Tahun 2011

(sumber: Laporan Statistik PLN tahun 2011)

Dari gambar 3 diatas, dapat kita lihat bahwa produksi energi listrik yang

dilakukan sendiri oleh PLN berjumlah 142,739,06 GWh (77,82% total produksi)

dan berasal dari PLTA (pembangkit listrik tenaga air); PLTU (Pembangkit Listrik

Tenaga Uap); PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi); PLTGU

(Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap); PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga

Diesel); PLTMG (Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas); PLTS (Pembangkit

Listrik tenaga Surya); PLT Bayu (Pembangkit Listrik Tenaga Angin); PLTG

(Pembangkit Listrik Tenaga Gas); dan Sewa Pembangkit. Sedangkan energi listrik

yang diperoleh PT PLN melalui pembelian dari pihak IPP berjumlah 40.681,87

GWh (22,18% total produksi) yang didapat melalui PPA/ESC.

Dari total produksi energi listrik PT PLN yang mencapai 183.420,93

GWh sebagaimana disebutkan diatas, jumlah energi yang terjual pada tahun 2011

mencapai 157.992,66 GWh dan didistribusikan kepada sekitar 45.895.145

pelanggan/konsumen yang terdiri dari kelompok industri, rumah tangga, bisnis,

dan lainnya. Selam tahun 2011, energi listrik tersebut dijual kepada pelanggan

dengan harga jual listrik rata-rata per kWh sebesar Rp.714,24,-.

Page 14: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

14 Universitas Indonesia

3.2 PERJALANAN PANJANG MENUJU PENERAPAN ISAK 8 DAN

PSAK 30 OLEH PT PLN

Suatu upaya yang cukup panjang telah dilalui untuk menerapkan ISAK 8

dan PSAK 30 pada laporan keuangan PT PLN. Awalnya, sesuai surat Ketua

Bapepam-LK Nomor S-2366/BL/2009 tertanggal 30 Maret 2009, dinyatakan

bahwa perusahaan dan anak perusahaan PLN dikecualikan dari penerapan ISAK 8

sampai DSAK-IAI menerbitkan intepretasi akuntansi yang secara spesifik

mengatur mengenai akuntansi untuk Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik yang

dimiliki. Sebagai hasilnya, Perusahaan dan entitas anak tetap mengikuti kebijakan

akuntansi yang berlaku, dimana pembelian listrik dianggap sebagai transaksi

pembelian komoditas normal. Namun, pembahasan mengenai apakah perjanjian

mengandung sewa (dalam hal ini terkait perjanjian PPA dan ESC PLN) harus

menerapkan ISAK 8 dan PSAK 30 tetap menjadi sebuah bahan kajian dan bahkan

telah menjadi sebuah tema yang dibahas dalam Kongres IAI XI di Jakarta tanggal

9 Desember 2010. Tujuh Bulan sebelumnya, tepatnya tanggal 8 Mei 2010, pada

acara bertajuk Forum Diskusi IFRS antara BUMN dan Tim Implementasi IFRS

diangkat isu yang serupa. Salah satu sesi diskusi dengan judul “PPA dan ESC:

Transaksi Pembelian, Sewa Pembiayaan, atau Perjanjian Konsesi Jasa dalam Case

PLN” ikut menyeruak dibawakan oleh tim implementasi IFRS maupun pihak PLN

dengan perwakilan BUMN yang hadir dalam forum diskusi di Bandung tersebut.

Kita ketahui bahwa PSAK 30 (2007) “Sewa” disahkan 27 Juni 2007 dan

efektif berlaku sejak 1 Jaanuari 2008, sementara itu ISAK 8 “Penentuan Apakah

Suatu Perjanjian Mengandung Suatu Sewa” ditetapkan tanggal 16 September

2008, lalu mengapa penerapannya pada kasus PLN belum juga dilakukan

memerlukan waktu yang lama. Muncul sebuah pertanyaan “Apa isu permasalahan

yang menjadi dibahas dan menjadi hambatan dalam penerapan PSAK 30 dan

ISAK 8 oleh PLN dalam case perjanjian PPA dan ESC?”. Ringkasan isu

permasalahan yang muncul seputar kasus tersebut dapat dilihat dalam gambar 4 di

bawah ini.

Page 15: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

15 Universitas Indonesia

Gambar 4. Isu Permasalahan yang Dibahas Terkait PPA dan ESC

(sumber: www.IAIglobal.co.id)

Sebagaimana diambil dari bahan presentasi Kongres XI IAI di Jakarta,

berikut akan diberikan uraian kronologis mengenai isu yang dibahas dalam setiap

diskusi yang dilakukan:

1. Dalam ISAK 8 Paragraf 06 dinyatakan bahwa: “Dalam menentukan apakah

suatu perjanjian merupakan perjanjian sewa atau perjanjian yang

mengandung sewa perlu diperhatikan substansi perjanjian dan dilakukan

evaluasi apakah: (1) pemenuhan perjanjian bergantung pada penggunaan

suatu aset atau aset-aset tertentu; dan (2) perjanjian tersebut memberikan

suatu hak untuk menggunakan aset tersebut.”

2. Berdasarkan klausul “take or pay” sebagaimana dimaksud dalam poin 1

diatas, Kemudian atas case perjanjian PPA dan ESC antara PLN dangan IPP

dilakukan evaluasi apakah merupakan perjanjian sewa atau perjanjian yang

mengandung sewa dengan menggunakan 2 kriteria klausul diatas.

3. Untuk menguji klausul “pemenuhan perjanjian bergantung pada penggunaan

aset tertentu”, beberapa pertanyaan dimunculkan terkait perjanjian PPA dan

ESC antara PLN dengan IPP diantaranya:

Page 16: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

16 Universitas Indonesia

a. Apakah aset (pembangkit) diidentifikasikan secara eksplisit dalam

perjanjian?

b. Apakah pemeasok (IPP) tidak mempunyai hak dan kemampuan untuk

menyediakan barang atau jasa (tenaga listrik) dengan menggunakan aset

lain yang tidak disebutkan dalam perjanjian?

c. Apakah tidak terdapat persyaratan untuk mengganti aset lain jika aset

yang disewakan (pembangkit) tidak beroperasi dengan baik?

4. Sedangkan untuk menguji klausul “perjanjian memberikan hak untuk

menggunakan aset”, pertanyaan terkait perjanjian PPA dan ESC antara PLN

dengan IPP yang dimunculkan antara lain:

a. Apakah PLN memiliki kemampuan/hak untuk mengoperasikan

pembangkit sesuai dengan cara yang ditentukan PLN? dan PLN

mendapatkan output dari pembangkit dalam jumlah yang lebih dari tidak

signifikan?

b. Apakah PLN memiliki kemampuan/hak untuk mengendalikan akses fisik

terhadap pembangkit? dan

c. Apakah PLN mendapatkan keluaran dari pembangkit dalam jumlah yang

lebih dari tidak signifikan?

d. Apakah kecil kemungkinan bagi pihak selain PLN untuk mengambil

output dalam jumlah lebih dari tidak signifikan? dan

e. Apakah harga yang dibayar PLN untuk listrik yang dihasilkan secara

kontraktual tetap untuk setiap unit keluaran?

5. Dari hasil evaluasi yang dilakukan berdasarkan panduan ISAK 8 sebagaimana

dilakukan diatas, perjanjian PPA dan ESC hampir semua1

perjanjian

mengandung sewa sehingga berlaku PSAK 30 “Sewa”. Kesimpulan tersebut

diambil atas dasar pertimbangan bahwa perusahaan dan entitas anak PLN

1 Sesuai laporan keuangan PT PLN, sampai saat ini terdapat ± 33 perjanjian jual beli tenaga listrik yang mengandung

sewa, yang terdiri dari 26 perjanjian masuk kategori sewa pembiayaan yang sudah beroperasi; 6 sewa operasi yang

sudah beroperasi, serta 31 perjanjian lainnya masih belum beroperasi . Disisi lain, terdapat juga perjanjian jual beli

listrik yang diperlakukan sebagai transaksi pembelian normal, yaitu Perjanjian jual beli tenaga listrik dengan PT

Cikarang Listrindo dengan kapasitas 300 MW yang berlokasi di Jawa Barat hingga tahun 2018. Rincian mengenai

perjanjian jual beli tenaga listrik yang masuk kategori sewa dan sudah aktif beroperasi tersebut dapat dilihat dalam

tabel di halaman berikutnya.

Page 17: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

17 Universitas Indonesia

dan IPP memiliki perjanjian take or pay, dimana Perusahaan mengambil lebih

dari jumlah yang tidak signifikan dari seluruh listrik dan energi yang

dihasilkan oleh pembangkit listrik.

6. Berikutnya, muncul pembahasan mengenai assessment atas perjanjian PPA

dan ESC yang memenuhi ketentuan perjanjian mengandung sewa tersebut

“apakah dapat dimasukkan kedalam kategori sewa pembiayaan sesuai PSAK

30”.

Tabel 2. Daftar Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik yang masuk kategori sewa

pembiayaan dan sudah beroperasi.

Page 18: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

18 Universitas Indonesia

Tabel 3. Daftar Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik yang masuk kategori sewa operasi

dan sudah beroperasi.

7. Sesuai PSAK 30 Paragraf 08, dinyatakan bahwa “suatu sewa diklasifikasikan

sebagai sewa pembiayaan jika sewa tersebut mengalihkan secara substansial

seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset”. Untuk

menguji klausul tersebut dilakukan assessment dengan menggunakan 5

kriteria situasi (PSAK 30 Paragraf 10) dan 3 indikator situasi (PSAK 30

Paragraf 11) yang mengarahkan suatu sewa diklasiikasikan sebagai suatu

sewa pembiayaan. Kelima kriteria situasi yang secara individual dan

gabungan mengarahkan suatu sewa diklasifikasikan sebagai suatu sewa

pembiayaan tersebut adalah:

a. sewa mengalihkan kepemilikan aset kepada lessee pada akhir masa sewa.

b. lessee memiliki opsi untuk membeli aset pada harga yang diperkirakan

cukup rendah dibandingkan nilai wajar pada tanggal opsi mulai

dilaksanakan, sehingga pada awal sewa dapat dipastikan bahwa opsi

tersebut akan dilaksanakan.

c. masa sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomi aset meskipun hak

milik tidak dialihkan.

d. pada awal sewa, nilai kini dari jumlah pembayaran sewa minimum secara

substansial mendekati nilai wajar aset sewaan.

e. aset sewaan bersifat khusus dan hanya lessee yang dapat

menggunakannya tanpa perlu modifikasi secara material.

Page 19: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

19 Universitas Indonesia

Sedangkan ketiga indikator situasi yang secara individul atau gabungan dapat

juga menunjukkan bahwa sewa diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan

adalah:

a. Jika lessee dapat membatalkan sewa, maka kerugian lessor yang terkait

dengan pembatalan tersebut ditanggung oleh lessee.

b. keuntungan atau kerugian dari fluktuasi nilai wajar residu dibebankan

pada lessee (misalnya, dalam bentuk potongan harga rental yang sama

dengan sebagian besar hasil penjualan penjualan residu pada akhir sewa).

c. lesse memiliki kemampuan untuk melanjutkan sewa untuk periode kedua

dengan nilai rental yang secara substansial lebih rendah daripada nilai

pasar rental.

8. Berdasarkan kriteria dan indikator situasi diatas, maka hampir semua2

perjanjian PPA dan ESC yang dilakukan oleh PLN dengan IPP ternyata

memenuhi persyaratan untuk dikategorikan sebagai sewa pembiayaan. Jenis

perjanjian tersebut ditetapkan sebagai sewa pembiayaan karena porsi

signifikan dari risiko dan manfaat atas sejumlah pembangkit listrik telah

dialihkan ke Perusahaan dan entitas anak PLN dengan dasar bahwa masa

sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomik aset dan terdapat opsi beli

pada akhir masa sewa. Hal tersebut tentu membawa implikasi yang sangat

signifikan dalam penyajian laporan keuangan PT PLN.

9. Setelah disimpulkan bahwa sesuai ISAK 8 dan PSAK 30 PPA dan ESC

masuk kategori sewa pembiayaan, ternyata muncul permasalahan baru yang

cukup membingungkan. Permasalahan tersebut adalah munculnya perdebatan

mengenai penggunaan ISAK 8 sebagai panduan dalam menentukan perjanjian

PPA dan ESC sebagai perjanjian sewa. Mengapa? Hal tersebut terjadi karena

dalam ISAK 8 paragraf 04b dinyatakan bahwa “Interpretasi ini (ISAK 8)

tidak berlaku untuk perjanjian konsesi jasa publik ke swasta dalam ruang

lingkup ISAK 16: Perjanjian Konsesi Jasa”. Akibatnya adalah, sesuai

ketentuan, transaksi penyediaan tenaga listrik oleh IPP ke PLN dikecualikan

dari penerapan ISAK 8 sesuai ISAK 8 paragraf 04b.

2 penjelasan sama dengan yang terdapat pada catatan kaki

1.

Page 20: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

20 Universitas Indonesia

10. Apa konsekuensi atas perdebatan pada poin 10 diatas? muncul perdebatan

untuk menerapkan ISAK 16 “Jasa Konsesi” dalam kasus PPA. Namun,

beberapa pertanyaan diajukan terkait permasalahan tersebut, diantaranya:

a. Apakah PPA merupakan perjanjian jasa konsesi? jawabannya adalah ya.

b. Dengan memperhatikan struktur kelistrikan di Indonesia, PLN merupakan

Grantor atau Operator? Grantor (Pemberi konsesi).

c. Apabila PLN merupakan Grantor, maka bukankah ISAK 16 “Jasa

Konsesi” tidak mengatur mengenai hal itu? Ya, karena dalam ISAK 16

Paragraf 04 dinyatakan bahwa Interpretasi dalam ISAK 16 hanya

memberikan panduan akuntansi untuk operator atas perjanjian konsesi

jasa publik ke swasta.

11. Dikarenakan semua isu diatas, maka kita ketahui bahwa intepretasi akuntansi

yang secara spesifik mengatur mengenai akuntansi untuk Perjanjian Jual Beli

Tenaga Listrik belum ada. Dengan demikian, penerapan ISAK 8 dan PSAK

30 menjadi pilihan yang dapat diambil oleh pihak PT PLN secara sukarela.

Setelah melakukan evaluasi ataspak penerapan PSAK sewa yang baru,

pembahasan dan diskusi yang dilaksanakan diatas akhirnya berujung pada

keputusan PT PLN mulai menerapkan ISAK 8 dan PSAK 30 di tahun 2012,

dimana pada laporan keuangan triwulan pertama 2012 telah disajikan penerapan

retrospektif ISAK 8 dan PSAK 30 pada laporan keuangan tahun 2010 dan 2011.

Sebelum menerapkan ISAK 8 dan PSAK 30 tersebut, PT PLN menulis surat

kepada Kepala Bapepam-LK tanggal 22 Desember 2011 untuk menyatakan

perubahan kebijakan akuntansi secara sukarela dan menerapkan ketentuan ISAK 8

dan PSAK 30 terhadap Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik mulai tanggal 1 Januari

2012.

Sebagai langkah lanjutan penerapan rerospektif ISAK 8 dan PSAK 30, PT

PLN meminta persetujuan dari para pihak yang terkait dengan Laporan Keuangan

PT PLN. Dalam sebuah publikasi yang dapat dilihat melalui situs resmi PT PLN,

diketahui bahwa pada tanggal 09 s/d 12 Januari 2012 PT PLN telah melakukan

Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO) dan Rapat Umum Pemegang Sukuk

Ijarah (RUPSI) untuk mendapat persetujuan pemegang obligasi dan sukuk Ijarah

PT PLN atas perubahan ketentuan kewajiban keuangan (financial covenant)

Page 21: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

21 Universitas Indonesia

dalam Perjanjian Perwaliamanatan sehubungan dengan Penerapan Pernyataan

Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 30, Interpretasi Standar Akuntansi

Keuangan (ISAK) No. 8 dan ISAK No. 16 beserta aturan pelaksanaan terkait.

Gambaran kronologis mengenai perjalanan panjang penerapan ISAK 8 dan

PSAK 30 sebagaimana dibahas pada bagian ini dapat dilihat pada gambar 5

dibawah ini.

Gambar 5. Perjalanan Panjang Penerapan ISAK 8 dan PSAK 30 pada PT PLN

3.2 PERLAKUAN, PELAPORAN, PENGUNGKAPAN PERJANJIAN

TERKAIT SEWA DALAM LK PT PLN

Keputusan yang diambil oleh PT PLN untuk mulai menerapkan ISAK 8

dan PSAK 30 secara retrospektif tentu saja membawa perubahan dalam perlakuan,

pelaporan, serta pengungkapan perjanjian terkait sewa dalam laporan keuangan

PT PLN. Berikut akan diberikan perbandingan mengenai perubahan perlakuan,

pelaporan serta pengungkapan terkait kebijakan akuntansi yang diambil tersebut.

Page 22: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

22 Universitas Indonesia

ASPEK SEBELUM PENERAPAN SESUDAH PENERAPAN

Perlakuan

atas Kontrak

PPA dan ESC

mencatat sebagai pembelian

listrik normal.

melakukan reklasifikasi

pembelian listrik tertentu

sebagai sewa dan beban

bunga.

Pengakuan

dalam

Laporan

Keuangan

mengakui biaya pembelian

tenaga listrik dari IPP sebagai

beban pada saat terjadinya dan

tidak mencatat apapun terkait

pembayaran dimasa depan.

mencatat aset sewa

pembiayaan dan hutang sewa

pembiayaan serta mencatat

beban penyusutan untuk aset

sewa pembiayaan.

Pengungkapan

PPA dan ESC

dalam CALK

Disajikan dalam catatan atas

laporan keuangan dan tidak

berdampak pada laporan

posisi keuangan.

Disajikan dalam catatan atas

laporan keuangan dan

memberikan dampak pada

laporan posisi keuangan.

Struktur

harga

pembelian

tenaga listrik3

1. Komponen Tetap

Komponen A

- pembayaran take or pay

(TOP)

- pembayaran diatas TOP

Komponen B

2. Komponen Variabel

Komponen C

Komponen D

Komponen E

- angsuran minimum lease

payments (terdiri atas sewa

dan bunga)

- sewa kontijen (interest)

Beban pemeliharaan

Beban bahan bakar

Beban pemeliharaan

Beban lain-lain

Tabel 4. Perbedaan Perlakuan Akuntansi Sebelum dan Sesudah Penerapan PSAK30 dan

ISAK8

3.3 DAMPAK PENERAPAN PRAKTEK AKUNTANSI TERKAIT SEWA

SESUAI ISAK 8 DAN PSAK 30 PADA PLN

Terkait dengan perlakuan, pelaporan dan pengungkapan perjanjian yang

mengandung sewa pada laporan keuangan perusahaan sebagai akibat penerapan

PSAK 30 dan ISAK 8, sebagaimana dapat dilihat dalam laporan keuangan parsial

tahun 2011 yang disajikan kembali dalam gambar 6 terjadi perubahan atas nilai

aset dan kewajiban pada laporan posisi keuangan serta perubahan atas saldo

laba/rugi yang ditampilkan pada laporan laba/rugi. Perubahan-perubahan tersebut

3 struktur harga tenaga listrik terdiri dari 2 komponen, yaitu:

pertama, komponen tetap yang terdiri dari (1) komponen A “capacity payment” – merupakan pembayaran atas investasi aset tetap yang telah dilakukan oleh IPP; (2) Komponen B – merupakan pembayaran atas beban tetap dalam pemeliharaan aset yang dilakukan oleh IPP, juga mencakup beban kepegawaian dan administrasi. kedua, komponen variabel yang terdiri dari (1) komponen C – merupakan pembayaran atas beban energi yang bersifat variabel sesuai dengan tingkat pemakaian yang terjadi dan disepakati; (2) komponen D – merupakan beban operasi/pemeliharaan yang bersifat variabel; (3) komponen E merupakan beban selisih kurs dan beban lain-lain.

Page 23: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

23 Universitas Indonesia

secara tidak langsung berimbas pada berubahnya rasio keuangan PT PLN dan

berdampak pula pada kondisi technical default atas financial covenant yang

dibuat perusahaan.

3.3.1 Dampak Terhadap Komponen Laporan Keuangan (Laporan Posisi

Keuangan dan Laporan Laba Rugi Komprehensif)

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa pengakuan perjanjian jual

beli tenaga lisrik (PPA & ESC) sebagai sewa pembiayaan mengakibatkan

penyajian retrospektif yang berakibat prerubahan pada aset dan kewajiban serta

laba usaha.

Dalam membahas dampak perlakuan akuntansi yang terjadi, dimana PT

PLN mulai menerapkan ISAK 8 dan PSAK 30 di awal tahun 2012, laporan

keuangan tahun 2010 dan 2011 telah disajikan kembali pada laporan keuangan

triwulan pertama 2012 sehingga kita dapat membandingkan Laporan Posisi

Keuangan per 31 Desember 2011 dan per 31 Desember 2010 setelah disajikan

kembali dengan laporan yang sama sebelum penerapan ISAK 8 dan PSAK 30.

Adapun untuk laporan laba rugi komprehensif, kita hanya mendapatkan data

pembanding antara laporan laba rugi komprehensif untuk periode yang berakhir

31 Maret 2011 setelah disajikan kembali dengan laporan yang sama sebelum

penerapan.

1. Penyajian kembali Laporan Posisi Keuangan per 31 Desember 2011.

Akun Sebelum

Disajikan

Kembali

Sesudah

Disajikan

Kembali

Kenaikan

(Penurunan)

Aset Lancar 58,252,342 58,252,342 -

Aset Tidak Lancar 368,266,521 416,843,767 48,577,246

Liabilitas 271,169,696 336,846,168 65,676,472

Ekuitas 155,349,167 138,249,941 (17,099,226)

Tabel 5. Penyajian kembali Laporan Posisi Keuangan per 31 Desember 2011.

Page 24: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

24 Universitas Indonesia

Kenaikan (penurunan) di atas berasal dari akun-akun berikut:

Akun Sebelum

Disajikan

Kembali

Sesudah

Disajikan

Kembali

Kenaikan

(Penurunan)

Aset Tetap 261,226,207 309,803,453 48,577,246

Utang Sewa

Pembiayaan 23,922,731 89,599,204 65,676,473

Saldo Laba-tidak

ditentukan

penggunaannya

55,285,174 38,185,947 (17,099,227)

Tabel 6. Penyajian kembali Laporan Posisi Keuangan per 31 Desember 2011 per Akun.

(sumber: LK PT PLN TW. 1 2012 dan LK PLN 2011 (dalam jutaan rupiah).

2. Penyajian kembali Laporan Posisi Keuangan per 31 Desember 2010.

Akun Sebelum

Disajikan

Kembali

Sesudah

Disajikan

Kembali

Kenaikan

(Penurunan)

Aset Lancar 44,773,286 44,773,286 -

Aset Tidak Lancar 324,417,296 372,706,591 48,289,295

Liabilitas 219,507,987 282,252,109 62,744,122

Ekuitas 149,682,595 135,227,768 (14,454,827)

Tabel 7. Penyajian kembali Laporan Posisi Keuangan per 31 Desember 2010.

Kenaikan (penurunan) di atas berasal dari akun-akun berikut:

Akun Sebelum

Disajikan

Kembali

Sesudah

Disajikan

Kembali

Kenaikan

(Penurunan)

Aset Tetap 210,651,868 258,941,163 48,289,295

Utang Sewa

Pembiayaan 14,166,649 76,910,771 62,744,122

Saldo Laba-tidak

ditentukan

penggunaannya

58,107,990 43,653,163 (14,454,827)

Tabel 8. Penyajian kembali Laporan Posisi Keuangan per 31 Desember 2010 per Akun. (sumber: LK PT PLN TW. 1 2012 dan LK PLN 2011 (dalam jutaan rupiah))

Page 25: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

25 Universitas Indonesia

Dari informasi di atas dapat kita lihat bahwa penyajian kembali Laporan

Posisi Keuangan per 31 Desember 2011 mengakibatkan Aset tetap bertambah

sebesar Rp 48,57 T dan Liabilitas bertambah sebesar Rp 65,67 T serta rugi sebesar

Rp 17,09 T. Sedangkan untuk tahun 2010, Aset tetap bertambah sebesar Rp 48,28

T dan Liabilitas bertambah sebesar Rp 62,74 T serta rugi sebesar Rp 14,45 T.

3. Penyajian Kembali Laporan Laba Rugi Komprehensif Untuk Periode Yang

Berakhir 31 Maret 2011.

Sebelum Disajikan

Kembali

Sesudah Disajikan

Kembali

Kenaikan

(Penurunan)

Pendapatan Usaha 44,403,162 44,403,162 -

Beban Usaha

Bahan Bakar dan Pelumas 26,377,813 28,720,959 2,343,146

Pembelian Tenaga Listrik 6,831,249 1,499,249 (5,332,000)

Pemeliharaan 2,203,731 2,623,475 419,744

Kepegawaian 2,370,500 2,370,500 -

Penyusutan 3,310,405 3,983,550 673,145

Lain-lain 939,869 939,869 -

Jumlah Beban Usaha 42,033,567 40,137,602 (1,895,965)

Laba sebelum Pos Keuangan dll 2,369,595 4,265,560 1,895,965

Pos Keuangan dan Lain-lain Bersih

Penghasilan Bunga 151,570 151,570 -

Keuntungan (kerugian) Kurs 1,726,443 3,673,144 1,946,701

Beban Bunga dan Keuangan (1,559,023) (3,986,977) (2,427,954)

Lain-lain - bersih 197,806 197,806 -

Pos Keuangan dan Lain-lain Bersih 536,796 35,543 (501,253)

Laba sebelum pajak 2,906,391 4,301,103 1,394,712

Beban Pajak (81,142) (81,142) -

Laba Tahun Berjalan dan

Jumlah Laba Komprehensif 2,825,249 4,219,961 1,394,712

Akun

Tabel 9. Penyajian kembali Laporan Laba Rugi Komprehensif untuk periode yang berakhir

30 Maret 2011

(sumber: LK PT PLN TW. 1 2012 dan LK PLN TW. 1 2011 (dalam jutaan rupiah)).

Dari informasi di atas, penyajian kembali laporan laba rugi komprehensif tersebut

mengakibatkan beban berkurang sebesar Rp 5,3 T dari pembelian tenaga listrik

namun disisi lain beban bertambah dri beban penyusutan, beban bunga, bahan

bakar dan beban pemeliharaan sebesar +/- 5,8 T.

Page 26: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

26 Universitas Indonesia

3.3.2 Dampak Terhadap Rasio-rasio Keuangan Yang berhubungan dengan

Debt Covenant Obligasi.

Perubahan pada elemen-elemen laporan keuangan tentu saja

mempengaruhi rasio-rasio keuangan perusahaan. Bertambahnya liabilitas secara

significant mengakibatkan turunnya rasio-rasio yang berhubungan dengan

kemampuan membayar bunga hutang sebagaimana yang disyaratkan dalam debt

covenant seperti EICR (EBITDA Interest Coverage) dan CICR (Consolidated

Interest Coverage Ratio). Demikian juga dengan DER (Debt to Equity Ratio) akan

naik dengan bertambahnya hutang perusahaan.

Dalam Forum Diskusi IFRS antara BUMN dan Tim Implementasi IFRS,

yaitu dalam Bahan presentasi “PLN dan ISAK 16 (ED)”, telah disajikan

bagaimana asumsi penyajian kembali dari tahun 2006-2009 menyebabkan rasio-

rasio terkait debt covenant menjadi turun secara signifikan.

Gambar 6. Perbandingan EICR th 2005-2009

Page 27: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

27 Universitas Indonesia

Gambar 7. Perbandingan CICR th 2005-2009

Gambar 8. Perbandingan DER th 2005-2009

CICR yang merupakan kovenan Obligasi Internasional mensyaratkan nilai

minimum 2 (dua). Dengan penerapan ISAK 8 akan menyebabkan nilai CICR < 2.

Page 28: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

28 Universitas Indonesia

Demikian juga dengan EICR dengan syarat yang sama dengan CICR. Dengan

demikian terjadi Potensi Technical Default atas Obligasi (USD & IDR)PLN.

3.3.3 Dampak Terhadap Rasio-rasio Keuangan Lainnya.

Rasio yang berhubungan dengan laporan posisi keuangan, kita akan

digunakan beberapa rasio, yaitu: Intensity of investment (NCA/TA), equity to

assets (E/A), dan debt to equity (D/E). Beberapa studi mengidentifikasi bahwa

rasio tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi resiko operasi maupun resiko

keuangan (e.g., Bowman (1980); Imhoff, Lipe, and Wright (1993); Ely (1995);

Gallery and Imhoff (1998); Beattie, Goodacre, and Thomson (2000b)). Adapun

Untuk rasio-rasio keuangan yang berhubungan dengan laporan laba rugi

komprehensif digunakan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan, yaitu: Profit

Margin, Earning per Share, dan Times Interest Earned.

Karena keterbatasan data, untuk keperluan perbandingan rasio keuangan

setelah disajikan kembali dengan sebelumnya, kita akan menggunakan Laporan

Posisi keuangan adalah per 31 Desember 2011 dan per 31 Desember 2010,

sedangkan untuk laporan laba rugi komprehensif adalah laporan Untuk Periode

Yang Berakhir 31 Maret 2011. Oleh karena itu, rasio-rasio yang memerlukan data

baik laporan posisi keuangan maupun laporan laba rugi komprehensif, seperti:

Return on Asset, Return on Invested Capital, dan Return on Shareholders’ Equity,

belum bisa kami sajikan.

Jenis Rasio Numerator Denominator

Intensity of Investment

(TA)

Non Current asset Total Assets

Debt to Equity (D/E) Total Liabilities Equity

Equity to Assets (E/A) Equity Total Assets

Tabel 10. Rumus Rasio

Rasio dari data Laporan Posisi Keuangan per 31 Des 2011

Rasio Sebelum

Disajikan

Kembali

Sesudah

Disajikan

Kembali

Kenaikan

(penurunan)

Intensity of Investment (TA) 0.14 0.12 -0.01

Debt to Equity (D/E) 1.75 2.44 0.69

Equity to Assets (E/A) 0.36 0.29 -0.07

Tabel 11.Perhitungan Rasio Laporan Posisi Keuangan per 31 Des 2011

Page 29: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

29 Universitas Indonesia

Rasio dari data Laporan Posisi Keuangan per 31 Des 2010

Rasio LK 2010 Sebelum

Disajikan

Kembali

Sesudah

Disajikan

Kembali

Kenaikan

(penurunan)

Intensity of Investment (TA) 0.12 0.11 -0.01

Debt to Equity (D/E) 1.47 2.09 0.62

Equity to Assets (E/A) 0.41 0.32 -0.08

Tabel 12.Perhitungan Rasio Laporan Posisi Keuangan per 31 Des 2010

Dapat dilihat dari data di atas bahwa rasio TA dan EA turun karena bertambahnya

aset sedangkan rasi D/E naik karena bertambahnya liabilitas.

4 KESIMPULAN

Pada studi kasus kali ini, kita menemukan bahwa penerapan PSAK 30

“Sewa” dan ISAK 8 “Penentuan Apakah Suatu Perjanjian Mengandung Suatu

Sewa” pada suatu perusahaan memerlukan pembahasan dan kajian yang panjang.

Hal tersebut ditunjukkan pada pembahasan mengenai kasus perjanjian jual beli

tenaga listrik (PPA dan ESC) yang dilakukan PT PLN dengan IPP.

Setidaknya terdapat 3 isu yang menjadi permasalahan terkait dengan

perjanjian jual beli tenaga listrik. Pertama, penentuan PPA dan ESC dipandang

sebagai perjanjian sewa atau mengandung sewa sesuai panduan ISAK 8. Kedua,

asessment PPA dan ESC sebagai kategori sewa pembiayaan sesuai PSAK 30.

Ketiga, dampak atas perlakuan PPA dan ESC sebagai sewa pembiayaan terhadap

penyajian laporan keuangan, serta perubahan saldo elemen laporan keuangan dan

rasio keuangan perusahaan.

Walaupun penerapan PSAK 30 dan ISAK 8 memberikan manfaat positif

bagi pengguna laporan keuangan, yaitu dengan menyajikan secara penuh

perjanjian jual beli tenaga listrik sebagai aset dan kewajiban sewa dalam halaman

muka laporan posisi keuangan. Namun, hal tersebut memberikan dampak

sebaliknya bagi gambaran kinerja keuangan perusahaan. Munculnya dan naiknya

nilai aset, kewajiban, serta beban penyusutan terkait sewa pembiayaan dalam

laporan keuangan perusahaan mengakibatkan turunnya rasio-rasio keuangan

perusahaan yang dapat berpotensi mengakibatkan technical default atas sebagian

kewajiban perusahaan.

Page 30: Dampak PSAK Sewa yang Baru terhadap PLN

30 Universitas Indonesia

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebelum menerapkan suatu

praktek akuntansi sesuai standar perlu dilakukan evaluasi mengenai dampaknya

terhadap laporan keuangan dan kinerja keuangan suatu perusahaan. Hal tersebut

dilakukan demi meminimalisir terjadinya munculnya kewajiban bagi perusahaan

sehubungan dengan penerapan standar baru tersebut.

REFERENSI

Admin, Akuntansi Sewa dari Sisi Penyewa: Operating, Finance, Right of Use

Lease, 2012, www.JurnalAkuntansiKeuangan.com

Bryan et al., 2010, The Financial Statement Effect of Capitalizing Operating

Leases, The CPA Journal, August, 36-41.

De Martino, Giulia, 2011, Considerations on the Subject of Lease Accounting,

Advances in Accounting, Volume 27, Issue 2, December, 355-365.

Eipstein, B.J., and Eva K. Jermakowicz, IFRS 2011: Interpretation and

Application of IFRS, John Wiley, 2010.

Forum Diskusi IFRS antara BUMN dan Tim Implementasi IFRS, Bahan

presentasi “PLN dan ISAK 16 (ED)”, 2010, www.IAIGlobal.or.id

IAI, Standar Akuntansi Keuangan Per 1 Juni 2012.

Kieso, Donald E., dan Jerry Weygandt, Warfield, Terry., Intermediate

Accounting, Vol. 2, IFRS Edition, John Wiley and Sons, 2011.

Kongres IAI XI, Bahan presentasi “Issue Perpajakan dalam Implementasi PSAK

yang Konvergen dengan IFRS dan KetentuanTransisi PSAK”, 2010,

www.IAIGlobal.or.id

KPMG, News on the Horizon: Leases, September 2010, www.kpmg.com

KPMG, IFRS – Leases Newsletter, May 2011, Issue 6, 2011, www.kpmg.com

Laporan Keuangan PT PLN Tahun 2010,2011,2012 (1Q dan 2Q);

www.PLN.co.id

Laporan tahunan PLN tahun 2011 dan Laporan Statistik PLN tahun 2011;

www.PLN.co.id

Rolf et al., 2008, Impact of Lease Capitalization on Financial Ratios of Listed

German Companies, Sbr 60, April, 122-144.

UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN.