Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

80
Dampak Privatisasi di Indonesia 1 Dampak Privatisasi di Indonesia: Studi Kasus: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia Oleh Oswar Mungkasa

Transcript of Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Page 1: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 1 1

Dampak Privatisasi di Indonesia: Studi Kasus: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Oleh

Oswar Mungkasa

Page 2: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 2 2

DAFTAR ISI

Hal

Daftar Isi ………………………………………………………………. i

Daftar Tabel …………………………………………………………… iv

Daftar Gambar ………………………………………………………….. v

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang …………………………………………………. 1

1.2 Tujuan dan Ruang Lingkup Penulisan ………………………….. 3

2. Privatisasi: Definisi, Konsep dan Pengalaman Negara Lain

2.1 Definisi Privatisasi …………….…………………………………. 5

2.2 Peran Pemerintah dan Sektor Publik ……………………………... 7

2.2.1 Dikotomi Pasar-Pemerintah dan Sektor Publik-Swasta ….. 7

2.2.2 Latar Belakang dan Tujuan Keberadaan BUMN …………. 9

2.2.3 Kendala Sektor Publik ……………………………………. 11

2.2.4 Beberapa Bukti Empiris Kinerja BUMN ………………… 12

2.3 Konsep Privatisasi ………………………………………………… 14

2.3.1 Alasan dan Tujuan Privatisasi …………………………….. 14

2.3.2 Metode Privatisasi ………………………………………… 15

2.3.3 Proses Privatisasi ………………………………………….. 18

2.3.4 Penilaian Kinerja Sektor Publik …………………………… 19

.2.3.5 Masalah dan Hambatan Privatisasi ……………………….. 21

2.3.6 Kritik terhadap Privatisasi ………………………………… 22

2.4 Dampak Privatisasi ………………………………………………... 22

2.4.1 Manfaat dan Penggunaan Hasil Privatisasi ……………….. 22

2.4.2 Metode Penilaian Dampak Privatisasi ……………………. 24

2.4.3 Dampak Fiskal ……………………………………………. 24

2.4.4 Dampak Ekonomi Makro …………………………………. 24

2.4.5 Dampak Pemerataan ………………………………………. 24

2.5 Kunci Kesuksesan Privatisasi …………………………………….. 25

2.6 Pengalaman dan Perbandingan dengan Negara Lain ……………... 27

2.6.1 Peran BUMN ……………………………………………… 27

2.6.2 Perkembangan Privatisasi Dunia …………………………. 28

2.6.3 Inggris …………………………………………………….. 29

Page 3: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 3 3

hal

2.6.4 Perancis …………………………………………………… 32

2.6.5 Italia ………………………………………………………. 32

2.6.6 Korea Selatan ……………………………………………… 32

2.6.7 Chili ………………………………………………………. 33

2.6.8 Negara Transisi …………………………………………… 34

2.6.9 Perbandingan Antarnegara ………………………………… 35

2.6.10 Dampak Privatisasi per Sektor ……………………………. 36

2.6.11 Beberapa Fakta Penting …………………………………… 38

3. Privatisasi di Indonesia

3.1 Latar Belakang dan Sejarah BUMN ………………………………..39

3.2 Pengertian BUMN ………………………………………………… 39

3.3 Tujuan Pendirian BUMN …………………………………………. 40

3.4 Kontribusi BUMN dalam Perekonomian Nasional ………………. 41

3.5 Profil BUMN ……………………………………………………… 42

3.5.1 Jumlah dan Pengelompokan BUMN per Bidang Usaha ….. 42

3.5.2 Jumlah dan Pengelompokan BUMN berdasar Nilai

Penjualan ………………………………………………….. 42

3.5.3 Jumlah dan Pengelompokan BUMN berdaasar Nilai Aset 42

3.5.4 Jumlah dan Pengelompokan BUMN berdasar Jumlah Laba 44

3.6 Kinerja BUMN ………………………………………………….. 44

3.7 Perkembangan Privatisasi ………………………………………. 44

3.7.1 Latar Belakang Privatisasi ………………………………. 44

3.7.2 Tujuan dan Manfaat Privatisasi …………………………. 46

3.7.3 Kebijakan dan Strategi Privatisasi ………………………. 46

3.7.4 Masalah dan Hambatan Privatisasi ……………………… 49

4. Metode Penilaian Dampak Privatisasi

4.1 Kriteria Dasar ……………………………………………………. 51

4.1.1 Nilai Tambah ……………………………………………. 51

4.1.2 Efisiensi …………………………………………………. 51

4.2 Dampak Ekonomi Makro ………………………………………. 52

4.2.1 Nilai Tambah Agregat ………………………………….. 52

Page 4: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 4 4

hal

4.2.2 Efek Tenaga Kerja ………………………………………. 53

4.2.3 Gaji dan Upah ……………………………………………. 54

4.2.4 Surplus Sosial …………………………………………….. 55

4.2.5 Dampak pada Anggaran ………………………………….. 55

4.2.6 Dampak pada Tabungan dan Konsumsi …………….. 56

5. Dampak Privatisasi: Kasus Studi PT. Telekomunikasi Indonesia

5.1 Profil PT. Telekomunikasi Indonesia …………………………… 57

5.2 Kinerja PT. Telekomunikasi Indonesia (1995-1997) …………… 57

5.2.1 Kinerja Operasi (jaringan dan Pelayanan) ……………… 57

5.2.2 Kinerja Keuangan ……………………………………….. 59

5.3 Dampak Privatisas ……………………………………………… 63

5.3.1 Nilai Tambah dan Efisiens ……………………………….. 63

5.3.2 Dampak Ekonomi Makro …………………………………. 64

5.4 Beberapa fakta penting tentang Kinerja Perusahaan dan Dampak

Privatisasi ………………………………………………………… 69

6. Kesimpulan ……………………………………………………………… 70

LAMPIRAN ……………………………………………………………………. 72

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 75

Page 5: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 5 5

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1 Metode Privatisasi (Pengalaman Inggris)……………………… 16

Tabel 2 Metode Privatisasi …………………………………………… 17

Tabel 3 Tahapan Privatisasi …………………………………………… 18

Tabel 4 Peran BUMN terhadap PDB dan Tenaga Kerja berdasar

Kelompok Negara Tahun 1978-1991 …………………………. 28

Tabel 5 Kinerja BUMN Inggris (Sebelum dan Setelah Privatisasi) ……. 30

Tabel 6 Tingkat Penjualan dan Output BUMN di Inggris (Sebelum dan

Setelah Privatisasi) ……………………………………………. 30

Tabel 7 Tingkat Pengembalian BUMN di Inggris (Sebelum dan Setelah

Privatisasi) ……………………………………………………… 31

Tabel 8 Pertumbuhan Produktifitas Tenaga Kerja BUMN di Inggris …… 32

Tabel 9 Beberapa Hasil Penelitian Perbandingan BUMN Antarnegara ….. 35

Tabel 10 Pengelompokan BUMN per Sektor Tahun 1998 ………………… 43

Tabel 11 Pengelompokan BUMN berdasar Nilai Penjualan ………………. 42

Tabel 12 Pengelompokan BUMN berdasar Nilai Aset ……………………. 42

Tabel 13 Pengelompokan BUMN berdasar Jumlah Laba …………………. 44

Tabel 14 Program Privatisasi BUMN Tahun 2002 ………………………… 49

Tabel 15 Rangkuman Dampak Privatisasi PT. Telkom …………………….. 67

Tabel 16 Rangkuman Profil Kinerja dan Dampak Privatisasi PT. Telkom … 70

Page 6: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 6 6

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 1 Kapsitas dan Tambahan Kapasitas Telepon …………………. 58

Gambar 2 Tingkat Keberhasilan Panggil ………………………………… 59

Gambar 3 Produktifitas Karyawan ……………………………………… 59

Gambar 4 Gambaran Kemampulabaan …………………………………… 60

Gambar 5 Gambaran Solavabilitas ………………………………………. 61

Gambar 6 Gambaran Likuiditas …………………………………………. 62

Gambar 7 Gambaran Efisiensi ……………………………………………. 62

Page 7: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 7 7

Page 8: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 8 8

Dampak Privatisasi di Indonesia: Studi Kasus: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Dalam literatur awal ekonomi pembangunan, ekonom melihat negara sebagai

pelaku yang baik dan pemersatu, dengan tujuan tindakannya selalu bersifat sosial.

Pemerintah dipandang mempunyai kemampuan mendapatkan informasi dan dilengkapi

dengan pengetahuan dan instrumen kebijakan yang memadai, dapat mencampuri pasar

untuk membenahi kegagalan pasar dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Pandangan tersebut dinodai oleh kenyataan bahwa campur tangan pemerintah

(baik di negara maju maupun negara berkembang) sering malah berakibat buruk. Tentu

saja, kegagalan pemerintah menunjukkan hasil yang lebih buruk dari kegagalan pasar.

Birokrat pemerintah sering dipaksa membuat keputusan bisnis dengan informasi yang

kurang dibanding sektor swasta. Selain kemudian tindakan politisi dan birokrat

menjadi dimotivasi oleh ambisi pribadi yang tidak memperhatikan kepentingan publik.

Kekuasaan pemerintah dimanipulasi oleh sektor swasta untuk kepentingan kelompok

tertentu, bahkan sering dengan menggunakan dana publik (Krause, 1987).

Hal tersebut di atas menjadikan campur tangan pemerintah khususnya dalam

bentuk banyaknya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada berbagai bidang usaha

kemudian dianggap berdampak negatip bagi perekonomian nasional. Kondisi ini

kemudian menyuburkan pandangan agar pemerintah mengurangi campur tangannya

dalam perekonomian melalui BUMN. Akhirnya privatisasi BUMN dilihat sebagai

salah satu cara yang efektif mengurangi campur tangan tersebut. Walaupun kemudian

ternyata alasan privatisasi tidak melulu karena adanya campur tangan pemerintah.

Namun pada akhirnya privatisasi telah menjadi suatu gejala yang umum dimanapun di

dunia saat ini.

Program privatisasi dimulai oleh Konrad Adenauer dari negara Federal Jerman

pada tahun 1961 dengan menjual sebagian besar saham pemerintah pada perusahaan

mobil Volkswagen (VW) (Siahaan, 2000). Namun program privatisasi sendiri mulai

menjadi program yang diminati oleh berbagai negara setelah sukses yang dicapai pada

program privatisasi di Inggris pada era Perdana Menteri Thatcher (1970-an). Setelah

masa tersebut, maka program privatisasi tidak hanya terjadi di negara maju seperti

Page 9: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 9 9

Inggris, Perancis dan Jepang tetapi juga telah menjadi elemen kunci reformasi

struktural pada berbagai negara berkembang selama satu dekade terakhir (Davis,

2000). Hal ini terbukti dari jumlah BUMN1 yang telah diprivatisasi sampai tahun 1995,

berdasar data International Organization of Supreme Audit Institution (INTOSAI)2,

yang telah mencapai lebih dari 196.000 BUMN (Gandhi, 1996).

Gelombang privatisasi yang terjadi di mancanegara ternyata juga mendorong

terjadinya proses privatisasi di Indonesia. Usaha privatisasi dimulai pada tahun 1988

setelah secara formal pemerintah menuangkan program privatisasi tersebut melalui

Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1988 yang ditindaklanjuti dengan Keputusan

Menteri Keuangan Nomor 740/KMK.00/1989. Program privatisasi ini dilaksanakan

dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas BUMN. Langkah awal

pemerintah ini kemudian dimanifestasikan dalam bentuk pelaksanaan ‘go public’

beberapa BUMN yang besar seperti PT. Semen Gresik (1991), PT. Indosat (1994), PT.

Tambang Timah (1995), PT. Telkom (1995), PT. Bank BNI (1996).

Memasuki tahun 1997, seiring dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia,

maka proses privatisasi menjadi mengemuka kembali dengan dimensi yang lain.

Privatisasi menjadi salah satu program prioritas pemerintah bahkan menjadi salah satu

persyaratan dalam Letter of Intent (LOI) dengan IMF. Keberhasilan program

privatisasi menjadi salah satu harapan pemerintah dalam menutupi defisit anggaran.

Selama satu tahun setelah berjalannya privatisasi tahap II3 program privatisasi

belum menunjukkan hasil yang menggembirakan paling tidak dari segi pencapaian

target jumlah BUMN yang diprivatisasi maupun jumlah dana yang disetor pada

APBN. Beberapa faktor ditengarai menjadi kendala program privatisasi antaranya (i)

ideologis, yang menyatakan bahwa privatisasi bertentangan dengan jiwa Undang-

undang Dasar 1945 khususnya Pasal 37 ayat 2; (ii) politis, yang berkaitan dengan

kemungkinan berkurangnya secara signifikan peran pemerintah dalam perekonomian

nasional; (iii) penolakan internal, khususnya dari pihak manajemen dan karyawan

terkait dengan kemungkinan terjadinya perubahan manajemen dan pemutusan

hubungan kerja setelah privatisasi; (iv) finansial, terkait dengan hilangnya sumber

pendapatan pemerintah di masa datang; (v) otonomi daerah, yang berujung pada

1 BUMN selanjutnya merupakan padanan dari istilah State Owned Enterprise (SOE).

2 Organisasi Badan Pemeriksa Keuangan sedunia

3 Privatisasi tahap I sebelum 1997; privatisasi tahap II setelah 1997 (pembagian versi penulis)

Page 10: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 10 10

penolakan pemerintah daerah terhadap privatisasi BUMN di daerahnya; (vi) persepsi

masyarakat bahwa privatisasi hanya menjual aset untuk menutup defisit anggaran

pemerintah.

Kendala tersebut di atas secara implisit menggambarkan adanya penolakan

terhadap privatisasi karena ketidakjelasan dampak privatisasi itu sendiri. Dari 7 (tujuh)

BUMN yang telah di privatisasi belum pernah dijelaskan secara jelas pada masyarakat

dampak privatisasi selain besarnya hasil penjualan yang masuk ke kantong pemerintah.

Dampak privatisasi jauh lebih luas dari sekedar adanya pemasukan pemerintah dari

penjualan saham BUMN.

Secara umum, menurut Andic (1990), selain perubahan kinerja perusahaan itu

sendiri, maka terdapat beberapa dampak privatisasi yang dikenali sebagai dampak

ekonomi makro antaranya yaitu (a) dampak ekonomi makro yang menjelaskan

pengaruh privatisasi terhadap nilai tambah agregat baik langsung maupun tidak

langsung, (b) dampak pada tenaga kerja yang berupa dampak langsung yaitu

penambahan/pengurangan pegawai perusahaan bersangkutan atau dampak tidak

langsung yaitu penambahan/pengurangan tenaga kerja pada sektor lain, (c) dampak

pada penghasilan pegawai yang berupa dampak langsung terhadap penghasilan

pegawai BUMN dan dampak tidak langsung terhadap penghasilan pegawai pemerintah

lainnya, (d) dampak terhadap surplus sosial yaitu berupa dividen, laba ditahan,

sumbangan sosial; (e) dampak pada anggaran pemerintah berupa

penambahan/pengurangan besar subsidi, pinjaman, dan pajak; serta (f) dampak pada

tabungan dan konsumsi. Belum adanya kajian yang mendalam tentang dampak

privatisasi, yang tidak hanya terfokus pada hasil penjualan, tetapi mencakup segala

aspek yang terkait menjadikan program privatisasi rentan terhadap penolakan baik dari

masyarakat, maupun kalangan internal perusahaan.

Makalah ini berusaha menjawab beberapa isu terkait dengan dampak privatisasi

di Indonesia, khususnya dampak ekonomi makro seperti yang dijelaskan di atas

dengan menggunakan BUMN PT. Telekomunikasi Indonesia sebagai kasus studi.

1.2 Tujuan dan Ruang Lingkup Penulisan

Memperhatikan beberapa hal yang dikemukakan sebelumnya, maka tujuan

penulisan makalah ini adalah mengemukakan dampak privatisasi di Indonesia dari

aspek ekonomi makro, berupa dampak terhaap nilai tambah agregat, tenaga kerja, gaji

Page 11: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 11 11

dan upah, surplus sosial, anggaran pemerintah, serta tabungan dan konsumsi. dengan

menggunakan PT. Telekomunikasi Indonesia (selanjutnya disebut Telkom) sebagai

kasus studi.

Penetapan PT. Telekomunikasi Indonesia sebagai kasus studi didasarkan pada

pertimbangan (i) Besarnya nilai saham yang dialihkan ke publik; (ii) Data-data

perusahaan publik (perusahaan yang tercatat sahamnya di Bursa Efek Jakarta) relatif

lebih mudah di akses; (iii) Dari 7 (tujuh) BUMN yang tercatat di Bursa Efek Jakarta

(BEJ) sampai tahun 1999, maka tercatat saham Telkom yang memberikan kontribusi

kapitalisasi terbesar (9,55 persen dari total kapitalisasi saham di BEJ) dibanding

BUMN lainnya. Sebagai bandingan PT. Indosat sebesar 4,53 persen, PT. Semen

Gresik 2,13 persen, PT. Tambang Timah 1,08 persen, PT. Bank BNI 0,6 persen, dan

PT. Aneka Tambang 0,52 persen (Artjan, 2000). Total kontribusi BUMN tersebut

mencapai 18,41 persen, dan sekitar 50 persen disumbangkan oleh PT. Telkom.

Dampak privatisasi dilakukan dengan membandingkan kondisi sebelum

privatisasi (tahun 1995) dan setelah privatisasi (tahun 1996). Adapun lingkup

kajian/perbandingan dalam makalah ini mencakup beberapa aspek yaitu:

(i) Kinerja perusahaan yang ditinjau dari nilai tambah perusahaan dan

efisiensi;

(ii) Ekonomi makro, berupa

(a) Nilai tambah agregat, yaitu mengkaji perubahan nilai tambah netto baik

langsung maupun tidak langsung;

(b) Tenaga kerja, yaitu mengkaji perubahan jumlah tenaga kerja baik

langsung (internal perusahaan) maupun tidak langsung (di luar

perusahaan)

(c) Gaji dan upah, yaitu mengkaji perubahan gaji dan upah baik langsung

(internal perusahaan) maupun tidak langsung (di luar perusahaan);

(d) Surplus sosial, yaitu mengkaji perubahan pajak, dividen, laba ditahan,

bantuan/kegiatan sosial;

(e) Anggaran Pemerintah, yaitu mengkaji perubahan penerimaan bersih

pemerintah diluar hasil penjualan saham. Penerimaan pemerintah

difokuskan pada subsidi, pinjaman pemerintah, dan besarnya pajak.

Page 12: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 12 12

(f) Tabungan dan konsumsi, yaitu mengkaji perubahan tabungan dan

konsumsi.

2. P rivatisasi: Definisi, Konsep dan Pengalaman Negara Lain

2.1 Definisi dan Konsep Privatisasi

Privatisasi biasanya merujuk pada pengalihan pemilikan dan kendali dari

publik ke sektor swasta khususnya penjualan aset. Ini mencakup pengalihan sebagian

atau seluruhnya (Hemming dan Mansoor, 1988). Privatisasi tidak selalu melibatkan

penjualan. Konsepnya telah diperluas mencakup perubahan struktural yang lebih luas

seperti ‘leasing’ dan kontrak manajemen, waralaba sektor publik, kontrak umum

sektor publik (IBRD, 1988). Dikatakan juga bahwa privatisasi sebagai proses

memperkenalkan disiplin kekuatan pasar (Ramandham, 1989). Konsep ‘marketisasi’

mendorong penghilangan monopoli atau pengurangan langsung dan tidak langsung

hambatan keluar-masuk pasar (PBB, 1989). Sementara Ramamurti (1992),

menambahkan bahwa pengertian luas privatisasi adalah mencakup satu atau lebih

kombinasi dari pengalihan peranan pemerintah pada swasta dalam hal pemilikan,

pembiayaan, pelaksanaan produksi, manajemen dan lingkungan bisinis.

Menurut Savas (1987), sebagai proses, privatisasi berarti mengurangi peran

pemerintah, dan meningkatkan peran sektor swasta, dalam kegiatan atau pemilikan

aset. Namun konsep sektor publik dan swasta tidak ‘mutually exclusive’ atau statis.

Pertama, beberapa aspek pemerintahan bertumbuh sementara lainnya tidak berubah,

bahkan berkurang. Misalnya privatisasi penjara mengakibatkan perlunya dibuat

regulasi baru untuk memastikan dihormatinya hak narapidana. Kedua, pertumbuhan

produktifitas sektor swasta bergantung signifikan pada investasi sektor publik seperti

jalan, pelabuhan. Ketiga, sektor swasta terbagi dalam banyak dimensi. Sektor swasta

termasuk sektor informal dan sektor swasta nirlaba, asosiasi profesi, dan sektor

ekonomi rumah tangga (Gayle, 1990).

Sementara Kolderie (1990) mengajukan beberapa isu mengenai konsep

privatisasi. Dimulai dengan pemahaman bahwa pemerintah melakukan dua kegiatan

yang berbeda, yaitu penyediaan (provide) pelayanan dan produksi (produce)

pelayanan.

Menurut Pirie (1988), privatisasi bukan sebuah formula tetapi sebuah

pendekatan. Pelaksanaannya sangat beragam. Pendekatan kasus-per-kasus adalah

Page 13: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 13 13

esensi dari privatisasi. Fleksibilitas dari privatisasi sebagai sebuah pendekatan

memungkinkannya digunakan pada beragam situasi di berbagai sistem ekonomi4.

Cara pandang lain adalah bahwa privatisasi memungkinkan BUMN dan pihak

swasta mempunyai kesempatan dan perilaku yang sama. Lebih jelasnya Mar’ie (1996)

menyatakan bahwa privatisasi tidak sekedar menjual aset BUMN pada swasta.

Pengertian lainnya adalah (i) memberikan kesempatan swasta menjadi pemain utama

dalam bidang bisnis; (ii) menjadikan BUMN bertingkahlaku sebagai suatu

‘entrepreneur’; (iii) BUMN bisa bertingkahlaku sebagai swasta.

Whitshire (1987) mengklasifikasikan privatisasi kedalam 5 (lima) bagian yaitu:

(i) Privatisasi pembiayaan atas suatu jasa yang diproduksi oleh sektor publik.

Contohnya jalan tol, Build Operate Transfer (BOT), Build Operate Lease (BOL); (ii)

Privatisasi produksi atas suatu jasa yang dibiayai oleh sektor publik. Contohnya

‘contracting out’. (iii) Denasionalisasi yaitu menjual sebagian atau seluruh aset

perusahaan. Contohnya go public, direct placement; (iv) Liberalisasi yaitu

menghilangkan monopoli dan berbagai lisensi yang menghambat masuknya swasta; (v)

Korporatisasi yaitu privatisasi manajemen yang berupa pengalihan manajemen pada

pihak swasta berdasar perjanjian kerjasama.

Ramamurti (1992) membuat rangkuman dengan makna yang lebih luas bahwa

privatisasi umumnya mencakup tiga hal yaitu (i) Divestasi pemilikan pemerintah baik

sebagian atau keseluruhan pada swasta. Hal ini mencakup perubahan kontrol dari

negara pada swasta; (ii) Deregulasi ekonomi, yang mencakup pelonggaran ketentuan

BUMN khususnya pada BUMN monopoli; (iii) Liberalisasi, yaitu mencegah kekuatan

tertentu dalam ekonomi yang dapat menghambat kompetisi.

Definisi dan pengertian privatisasi akan sangat beragam tetapi secara umum

tetap dapat dirangkum sebagai berikut (i) Perubahan bentuk usaha dari “perusahaan

negara” menjadi perusahaan berbentuk perseroan terbatas; (ii) Pelepasan sebagian

(besar/kecil) atau seluruh saham dari suatu perusahaan yang dimiliki negara kepada

swasta, baik melalui ‘private placement’ maupun ’public offering’; (iii) Pelepasan hak

atau aset milik negara atau perusahaan yang saham-sahamnya dimiliki negara pada

4 Privatisasi dilaksanakan mulai dari negara maju seperti Inggris, Perancis, Jerman, Itali, Swedia,

Jepang, Korea Selatan, Singapura sampai negara berkembang seperti Pakistan, Malaysia, Srilanka,

Yamaika, bahkan negara komunis seperti Kuba, CinaHungaria, Rusia, Vietnam (Pirie, 1988).

Pembahsan lebih lanjut tentang privatisasi di negara-negara di dunia pada bagian lain makalah ini.

Page 14: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 14 14

swasta, baik pelepasan untuk selamanya (antara lain melalui jual beli, hibah atau tukar

guling) maupun pelepasan untuk sementara waktu (termasuk dengan cara Build

Operate Transfer); (iv) Pemberian kesempatan pada swasta untuk menggeluti bidang

usaha tertentu yang sebelumnya merupakan monopoli pemerintah; (v) Membuat usaha

patungan atau kerjasama dalam bentuk lain dengan memanfaatkan aset pemerintah;

(vi) Membuka dan meningkatkan adanya persaingan sehat dalam dunia usaha

(Soebagjo, 1996).

2.2 Peran Pemerintah dan Sektor Publik

2.2.1 Dikotomi Pasar-Pemeritah dan Sektor Publik-Swasta

Perdebatan tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian telah

berlangsung sejak kira-kira tiga ratus tahun lalu. Adam Smith dan mazhab Neoklasik

percaya akan ‘invisible hand’ dari pasar, berbeda dengan mazhab merkantilisme yang

percaya pada ‘visible hand’ pemerintah.

Perdebatan tentang definisi publik dan swasta dalam konteks perusahaan masih

belum selesai. Salah satu contoh definisi sebagaimana dikemukakan oleh Stern (1999)

yang menekankan kepemilikan (ownership) sebagai karakteristik yang membedakan

publik dan swasta, tetapi kepemilikan sendiri definisinya beragam. Terdapat paling

tidak 4 (empat) aspek kepemilikan yaitu hak mengelola untuk keperluan tertentu, hak

mendapatkan pendapatan dari penggunaan properti, kekuasaan untuk mengalihkan

properti, dan hak untuk membatasi penggunaan oleh orang lain (World Bank, 1990)5

Sen dalam beberapa pernyataannya menekankan bahwa sektor swasta

menghadapi masalah ketika berhadapan dengan barang publik6, situasi dengan tingkat

eksternalitas7 tinggi, ketidakmerataan yang besar dalam distribusi pendapatan, akses,

dan kebebasan, dan sejenisnya. Kondisi ini kemudian dijadikan sebagai pintu masuk

bagi keterlibatan pemerintah langsung atau melalui BUMN dalam perekonomian.

Pada awalnya Adam Smith mengemukakan hanya tiga fungsi pemerintah yaitu

melaksanakan peradilan, pertahanan/kemanan, dan pekerjaan umum. Kemudian peran

5 Sebagian besar bahan tentang debat sektor publik /pemerintah dan Swasta diambil dari hasil diskusi

dengan judul Development Strategies: The Roles of the State and the Private Sector yang

diselenggarakan World Bank. 6 Barang publik adalah barang dengan karakteristik penggunaannya tidak bersaingan (non-rivalry) dan

tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian (non-excludability) 7 Eksternalitas adalah suatu keadaan yang timbul dari tindakan konsumsi atau produksi dari satu pihak

mempunyai pengaruh pada pihak lain dan tidak ada kompensasi yang dibayar oleh pihak penyebab

kepada pihak yang terkena dampak (Mangkoesoebroto, 1991)

Page 15: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 15 15

tersebut dalam perekonomian modern diklasifikasikan dalam 3 (tiga) golongan yaitu

(i) peranan alokasi, mengusahakan agar alokasi sumber-sumber ekonomi dilaksanakan

secara efisien; (ii) peranan distribusi; (iii) peranan stabilisasi. (Mangkoesoebroto,

1991)

Melengkapi peran klasik pemerintah di atas, menurut Stern (1999) keterlibatan

pemerintah didasarkan pada alasan (i) Pertama. Berangkat dari ekonomi kesejahteraan,

yang menunjukkan kegagalan pasar. Diantara alasan tersebut adalah eksternalitas,

barang publik, ketidaksempurnaan informasi, dan hambatan masuk pasar. Alasan ini,

ditetapkan melawan kemungkinan terjadinya kegagalan pemerintah; (ii) Kedua.

Kewajiban menanggulangi kemiskinan; (iii) Ketiga. Hak masyarakat yang perlu

dilindungi dan pemberian kesempatan yang sama. Termasuk dalam hal ini adalah

pendidikan dan kesehatan, bahkan termasuk perumahan; (iv) Keempat. Melindungi

kepentingan umum. Salah satu contoh adalah pelarangan penggunaan senjata,

pembatasan minuman keras; (v) Kelima. Tanggungjawab terhadap masa depan

generasi muda. Contohnya adalah perlindungan lingkungan hidup (hutan, binatang

langka)

Dari sudut pandang distribusi pendapatan dan perlindungan, pemerintah

sebaiknya terlibat dalam jaring pengaman sosial. Dari sudut pandang hak, pemerintah

harus terlibat dalam pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang kegagalan pasar,

pemerintah harus aktif dalam penyediaan infrastruktur. Pada negara berkembang,

kegagalan pasar mungkin lebih besar intensitasnya, sehingga pemerintah sebaiknya

lebih berperan dalam pendidikan, kesehatan, penyediaan infrastruktur.

Pandangan lain yang menyoroti peran negara sebagai deregulator. Negara wajib

menghadirkan mekanisme pasar yang sehat dan tidak terdistorsi dalam berbagai bidang

ekonomi. Negara seharusnya berperan sebagai wasit dan menghindari peran langsung

yang mengganggu pelaku ekonomi swasta. Sehingga ketidakjelasan batasan peran

negara dan swasta menjadikan kekuasaan pengaturan ekonomi yang dimiliki negara

juga dimiliki swasta, merupakan akar terjadinya ketimpangan ekonomi dan timbulnya

penyakit ekonomi seperti kolusi, korupsi, monopoli, oligopoli, kartel. (Rachbini,

1996).

Dikotomi sektor publik-swasta sebenarnya tidaklah terpisah satu sama lain, dan

statis. Hal ini disebabkan pertumbuhan sektor swasta tergantung signifikan pada

Page 16: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 16 16

investasi modal sektor publik pada infrastruktur dasar seperti pelabuhan, jalan raya,

dan irigasi. Sebagai contoh, total produktifitas faktor di AS berkurang dari 1,8 persen

(1950-1970) menjadi 0,8 persen (1970-1985) dikarenakan pertumbuhan infrastruktur

dasar berkurang dari 4,3 persen menjadi 1,5 persen (Gayle, 1990)

Hal ini juga didukung oleh Berg (1990) yang menyatakan sebenarnya tidak ada

pembedaan yang jelas antara sektor publik dan swasta. Malah, setiap kegiatan ekonomi

bercampur antara elemen publik dan swasta, dengan intensitasnya saja yang berbeda.

Jika dikaitkan dengan privatisasi, maka yang dimaksud adalah pengalihan ke swasta

lebih banyak dimensi dari lebih banyak kegiatan dan peningkatan intensitas

‘keswastaan’ dalam setiap dimensi.

Pertanyaan kemudian mungkin beralih menjadi seberapa jauh keterlibatan

negara?. Naya (1990) secara terinci menganjurkan bahwa dalam era globalisasi, fungsi

campur tangan langsung pemerintah hendaknya dibatasi pada berbagai faktor dibawah

ini (i) penyediaan barang publik dan sejumlah kebutuhan dasar lainnya; (ii)

pembangunan infrastruktur; (iii) penyebaran informasi ekonomi sebagai suatu input

yang kritis dalam mendorong efisiensi alokasi sumber daya; (iv) perangkat hukum dan

regulasi yang jelas, fleksibel dan berwibawa; (v) promosi riset dan pengembangan

yang memadai; (vi) penyediaan barang-barang kebutuhan pokok bagi kelompok

berpendapatan rendah (Goeltom, 1995).

2.2.2 Latar Belakang dan Tujuan Keberadaan BUMN

Para ekonom aliran klasik menyatakan BUMN merupakan salah satu instrumen

campur tangan pemerintah, baik dalam pasar faktor maupun pasar produk, yang

merupakan sumber distorsi sehingga menjauhkan pasar dari pareto efisiensi.

Kegagalan sebagai akibat campur tangan pemerintah (bureaucratic failure) dapat lebih

tinggi dari biaya kegagalan pasar (market failure). Dilain pihak, Pigou, Bergson dan

Lerner berpendapat bahwa jika terdapat kegagalan pasar maka intervensi pemerintah

yang tepat dibanding kinerja pasar bebas, atau dikenal dengan second best solution

(Siahaan, 2000).

Hasil kajian Vunylstake (1998) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor

yang dianggap melatar belakangi keberadaan BUMN yaitu (i) mengatasi kegagalan

pasar; (ii) menyalurkan kepentingan politik pemerintah; (iii) menyediakan

fasilitas/prasarana strategis dan penyediaan tenaga kerja; (iv) pelopor karena pihak

Page 17: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 17 17

swasta tidak tertarik; (v) penyeimbang kekuatan swasta besar; (vi) distribusi

pendapatan dan kewajiban layanan sosial; (vii) sumber pendapatan negara; (viii) hasil

nasionalisasi perusahaan.

Sementara Rees (1984) mengemukakan terdapat empat alasan mendasar

keberadaan BUMN yaitu (i) memperbaiki kegagalan pasar; (ii) mengubah

pendistribusian keuntungan; (iii) menunjang perencanaan ekonomi jangka panjang

yang tersentralisasi; (iv) mengubah dasar perekonomian dari sistem kapitalis menjadi

sosialis.

Todaro (1989) mengemukakan beberapa alasan mendirikan BUMN yaitu (i)

keinginan pemerintah mengendalikan pasar; (ii) pembentukan modal, yaitu ketika

tabungan swasta masih rendah, maka investasi prasarana pada tahap ini sangat penting

untuk meletakkan dasar-dasar bagi investasi selanjutnya; (iii) kurangnya insentif bagi

swasta untuk terlibat dalam aktifitas ekonomi; (iv) memperbaiki distribusi pendapatan;

(v) mengendalikan sektor strategis; (vi) motivasi ideologis.

Menyangkut keberadaan BUMN di negara berkembang, maka beberapa ahli

ekonomi mengemukakan alasannya. Pada dasarnya hanya melengkapi beberapa alasan

sebagaimana dikemukakan di atas. Misalnya, tujuan lain juga mencakup mendorong

pembangunan sektor industri, yang di negara berkembang masih rendah

produktifitasnya, angkatan kerja belum terlatih, dan sarana umum masih belum efisien

(Goeltom, 1995). Jones (1982) menambahkan (i) preferensi ideologis; (ii)

pengambilalihan atau konsolidasi kekuatan politis dan ekonomis; (iii) warisan historis.

R Vernon (1987) menambahkan (i) regulasi monopoli alamiah; (ii) melaksanakan

kuasa monopoli atau monopsoni di pasar tertentu; (iii) mengendaliklan kepemilikan

asing; (iv) restrukturisasi perekonomian; (v) pembentukan anak perusahaan.

Tinbergen mengemukakan karakteristik kegiatan yang sesuai bagi keberadaan

BUMN yaitu biaya marjinal lebih rendah dari biaya rata-rata atau terdapat

eksternalitas.

Tujuan BUMN, menurut Gray (1984), dapat dikelompokkan dalam tujuan

komersil dan non-komersil. Tetapi yang menarik dikemukakan adalah tujuan non-

komersil yaitu (i) stabilisasi ekonomi berupa pengendalian inflasi, pengamanan bahan

pangan, menangani pengangguran; (ii) pertumbuhan ekonomi berupa peningkatan nilai

absolut investasi, output, ekspor, lapangan kerja, akselerasi industri; (iii) pemerataan

Page 18: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 18 18

pendapatan berupa promosi industri kecil; (iv) meningkatkan lokalisasi berupa sumber

pengadaan bahan baku, pemerataan kepemilikan.

Keberadaan BUMN tidak hanya berdasar alasan ekonomis tapi juga alasan

lainnya. Namun kemudian, pertimbangan pragmatis ekonomi menjadi dominan,

sehingga privatisasi menjadi marak di seluruh dunia.

2.2.3 Kendala Sektor Publik

Beberapa aspek yang dianggap sering menjadi kendala bagi sektor publik

adalah (i) efisiensi. Kompetisi dan kebutuhan menghasilkan keuntungan mendorong

sektor swasta lebih efisien dari sektor publik. Sektor publik selalu diasumsikan tidak

akan pernah bankrut. Hal ini mengakibatkan kurangnya insentif sektor publik untuk

berperilaku efisien; (ii) input konsumen. Konsumen punya kendali yang relatif lebih

besar terhadap swasta, suatu hal yang ironis karena sebenarnya keberadaan sektor

publik terutama untuk kepentingan masyarakat. Ketidakefektifan kendali publik, maka

sektor publik menjadi kurang berorientasi pada publik tetapi lebih pada keinginan

pengelola; (iii) inovasi. Kurangnya input (kendali) dari konsumen mengakibatkan

sektor publik tidak mengetahui keinginan sebenarnya dari konsumen. Hal ini

mengakibatkan kurangnya insentif untuk melakukan inovasi terhadap pelayanan yang

diberikan; (iv) pengambilan keputusan. Sektor publik mengandalkan tidak hanya

pertimbangan ekonomis tetapi juga pertimbangan politik dalam pengambilan

keputusan. Ini berarti bahwa keputusan sektor publik terpisah dari realitas permintaan-

penawaran. Hal ini berdampak pada tingkat efisiensi; (v) Kondisi peralatan. Hal yang

menyedihkan bahwa masyarakat tidak peduli pada fasilitas publik sebagaimana

terhadap milik pribadi. Hal ini berdampak pada tingginya biaya produksi; (vi) interupsi

pelayanan. Meskipun maksud keberadaan pelayanan publik untuk menjamin

keberlanjutan penyediaan barang publik, tetapi pada kenyataannya sektor publik sangat

rentan terhadap interupsi pelayanan. Sektor publik yang bersifat monopoli

memungkinkan bahwa pemogokan buruh mengakibatkan terjadinya interupsi

pelayanan, karena tidak adanya substitusi produk. Beberapa hal tersebut di atas,

merupakan hal yang kritis dalam sektor publik, yang disebabkan oleh struktur dan

organisasi dari sektor publik. Kesemuanya akan berdampak besar bagi negara yang

mempunyai operasi sektor publik yang dominan (Pirie, 1988).

Page 19: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 19 19

Berkait dengan efisiensi, maka anggapan bahwa BUMN kurang efisien

dibanding BUMN masih menjadi perdebatan. Adam dkk menyatakan bahwa anggapan

tersebut hanya didasari pada hipotesa hubungan antara kepemilikan, infomasi dan

insentif dan pengaruhnya terhadap kinerja usaha. Sementara Galal (1994) perbedaan

kinerja BUMN dan swasta terletak pada perbedaan dalam tujuan dan kendala yang

dihadapi, sehingga perbandingan kinerja tersebut seharusnya memperhatikan juga

struktur pasar dan ukuran usaha. Dilain pihak, terdapat juga ekonom yang menyatakan

bahwa efisiensi BUMN dan swasta relatif sama (Siahaan, 2000)

Diakui juga bahwa terdapat konsekuensi keterlibatan pemerintah seperti

penetapan kuota, pembatasan dan sejenisnya, adalah ‘rent-seeking’8 dan aktifitas yang

tidak produktif. Biayanya menjadi sangat besar.

2.2.4 Beberapa Bukti Empiris tentang Kinerja BUMN

Riset oleh Savas (1974, 1977) dan Stevens (1978) di Amerika Serikat, Hamer

di Jerman, Hartley dan Huby di Inggris menunjukkan hasil yang sama bahwa biaya

produksi sektor publik lebih besar, berkisar rata-rata 20-40 persen dari sektor swasta.

Di Inggris, biaya sektor publik lebih besar 30 persen, di Amerika Serikat lebih besar 40

persen, di Jerman mendekati angka 50 persen. Ketiga penelitian tersebut bermuara

pada kesimpulan bahwa efsiensi sektor swasta lebih baik dari sektor publik (Pirie,

1988). Penelitian Davis (1977) menyimpulkan bahwa perusahaan penerbangan swasta

di Australia secara mencolok lebih superior dari BUMN penerbangan di negara

tersebut. Ayub dan Hegstad dalam majalah Research Observer Volume 2 No. 1 Januari

1987 melakukan penelitian terhadap 500 perusahaan besar yang bukan perusahaan AS.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak satupun perusahaan pemerintah yang

menunjukkan kinerja lebih baik dari perusahaan swasta (Simarmata, 1991).

Perusahaan Boardman dan Vining yang melakukan penelitian terhadap 500 perusahaan

terbesar yang berada di luar AS dan bukan monopolis, menunjukkan kesimnpulan

yang sama swasta lebih unggul dari BUMN dilihat dari segi laba dan efisiensi.

Bukti di atas pada kenyataannya tidak dengan otomatis mengarah pada

kesimpulan sektor swasta lebih efisien dari sektor publik. Beberapa hasil penelitian

empiris membuktikan sebaliknya. Misalnya penelitian oleh Caus dan Christensen

8 Rent seeking diterjemahkan sebagai pencarian keuntungan berdasar pada kewenangan tertentu. Misal

keuntungan yang didapatkan dari memperjualbelikan ijin kuota.

Page 20: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 20 20

(1980) membandingkan perusahaan KA Canadian National (BUMN) dan Canadian

Pacific (swasta). Kinerja Efisiensi Produksi (Productive Efficiency Performance) dari

kedua perusahaan tersebut tidak berbeda secara signifikan.

Hasil studi literatur Siahaan (2000) yang dikemukakan dalam disertasinya

menunjukkan bahwa kesimpulan BUMN mempunyai tingkat biaya yang lebih tinggi

dibanding swasta masih sangat kabur, karena perbandingan dilakukan antara BUMN

monopoli dan swasta yang bersaing mendapatkan proyek (Stevens 1978, Savas 1974,

1977, dan Ahebrand 1973). Karenanya beberapa peneliti (Meyer 1975, Pescutrice dan

Trapani, 1980 dalam bidang listrik; Teeples dan Glyer, 1987 dalam bidang penyediaan

air) membandingkan antara BUMN dan swasta yang sama-sama monopolis, dan

hasilnya menunjukkan bahwa perbedaan biaya antara keduanya sangat kecil bahkan

kadang terbalik. Namun yang kurang dicermati bahawa BUMN tersebut dibandingkan

dengan swasta monopolis yang mengalami regulasi (misal penentuan harga), sehingga

implikasi ‘property rights’ (kepemilikan) terhadap swasta tersebut sama kaburnya.

Alkinsen dan Halvosen (1986) menghitung ‘cost efficiency’ (efisiensi biaya) untuk

sampel 30 monopolis BUMN dan 123 monopolis swasta yang bergerak dalam

pembangkitan listrik, menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan kecuali bahwa

tingkat biaya keduanya lebih tinggi dari seharusnya.

Hal yang menarik lainnya, bahwa perusahaan ‘mixed-enterprise’ (kerjasama

dengan BUMN) ternyata tidak lebih unggul terhadap BUMN. Namun penelitian Jones

(1992) di Malaysia membantah hal tersebut. BUMN yang diprivatisasi secara parsial

tidak kalah dengan BUMN yang diprivatisasi total. Jika mendasari pada kepemilikan,

maka hasil penelitian Vikers dan yarrow (1988), Boardman dan Vinning (1989)

menyatakan bahwa pengaruh kepemilikan badan usaha bukan merupakan hal yang

dominan dibandingkan dengan pengaruh keadaan kompetisi dan regulasi yang harus

dihadapi perusahaan (Siahaan, 2000).

Sementara hasil studi Disertasi Siahaan (2000) tentang efisiensi teknik9 BUMN

di Indonesia menunjukkan bahwa (i) BUMN kurang efisien dibanding swasta; (ii)

BUMN skala usaha besar dan bergerak pada pasar domestik relatif kurang efisien

9 Efisiensi teknik merupakan kapasitas suatu satuan ekonomi untuk menghasilkan output sebesar mungkin dengan

menggunakan seperangkat masukan dan teknologi tertentu; efisiensi alokatif merupakan kapasitas suatu satuan

ekonomi untuk menyamakan nilai produk marjinal dengan biaya marjinal dalam menghasilkan output.

Page 21: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 21 21

dibanding swasta dengan karakteristik yang sama; (iii) perbedaan efisiensi pada

BUMN dan swasta dengan skala usaha kecil tidak signifikan.

Beberapa kesimpulan penelitian di atas mengarahkan kita pada kenyataan

bahwa (i) efisiensi bukan hanya didominasi sektor swasta saja; (ii) sulit untuk

melakukan perbandingan antara BUMN dan swasta karena keduanya tidak berada pada

‘playing field’ yang setara; (iii) kinerja suatu perusahaan baik BUMN maupun swasta

sangat tergantung pada karakteristik perekonomian dimana usaha tersebut berada,

terutama karakteristik kompetisi dan karakteristik regulasi yang berlaku.

2.3 Konsep Privatisasi

2.3.1 Alasan dan Tujuan Privatisasi

Menurut INTOSAI, berdasarkan hasil survei pada negara-negara anggotanya

menyangkut alasan privatisasi, maka terdapat 5 (lima) alasan terbesar yaitu: (I)

mengembangkan ekonomi pasar atau meningkatkan efisiensi bisnis; (ii) mengurangi

beban aktifitas negara; (iii) mengurangi hutang negara atau menutup defisit anggaran;

(iv) mendapatkan dana untuk tujuan lain; (v) memperluas pasar modal dalam negeri.

Khusus negara berkembang terdapat beberapa alasan khusus seperti (i) mendapatkan

peluang usaha dengan dunia internasional, yang diharapkan mendorong masuknya

modal asing dan sekaligus alih teknologi; (ii) membuka kesempatan kerja sebagai

konsekuensi masuknya modal asing dan berkembangnya dunia usaha; (iii)

mendapatkan pengetahuan majerial dan menggantikan birokrat pengelola BUMN

dengan tenaga profesional (Sumarlin, 1996).

Gouri (1991) (1991) mengklasifikasikan alasan privatisasi dalam 4 (empat)

kelompok yaitu (i) tekanan finansial, seperti defisit anggaran, neraca pembayaran; (ii)

tekanan ekonomi, berupa ketidakefisienan BUMN; (iii) tekanan non-ekonomis, berupa

pemerataan pendapatan, meningkatkan motivasi manajer; (iv) tekanan eksternal

misalnya tekanan dari lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan

Asia (Siahaan, 2000)

Menurut Shirley dan Nellis (1972) fenomena privatisasi merupakan akibat dari

(i) kegagalan birokratik yang mengakibatkan lemahnya kinerja BUMN; (ii) sifat

permanen dari kegagalan pasar terlalu dibesar-besarkan (Siahaan, 2000).

Veljanovsky (1990) menekankan bahwa tujuan privatissi tersebut harus

didasari oleh beberapa prinsip yaitu (i) keputusan bisnis harus didepolitisasi; (ii)

Page 22: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 22 22

efisiensi dan persaingan harus ditingkatkan; (iii) mendorong pembiayaan investasi

didasarkan pada prinsip pasar yang mencerminkan biaya modal yang sebenarnya; (iv)

harga jasa harus mencerminkan biaya yang sebenarnya; (v) Pada situasi persaingan

tidak dapat ditingkatkan, pengaturan bisnis dilakukan sehingga pelanggan mendapat

perlindungan dari penyalahgunaan monopoli.

2.3.2 Metode Privatisasi

Berdasar pengalaman privatisasi di Inggris, maka menurut Pirie (1988) metode

privatisasi dapat dikelompokkan dalam 17 jenis yang secara garis besar dapat

diklasifikasikan menjadi penjualan saham, penjualan aset, penyerahan wewenang pada

swasta, penarikan/pengurangan aktifitas, pemberian hak yang lebih besar bagi publik

(lihat Tabel 1).

Selain metode di atas, maka terdapat beberapa metode lain seperti (i) lelang.

Aset BUMN dijual pada penawar tertinggi pada lelang terbuka; (ii) negotiated sale.

Harga dan syarat transaksi disetujui bersama dalam negosiasi langsung; (iii) tender.

Penawaran harga dilakukan melalui amplop tertutup, dan pemenang ditentukan melalui

harga tertinggi; (iv) joint venture. BUMN bersama swasta membentuk perusahaan

baru; (v) Build-Own-Operate-and-Transfer (BOO dan BOT). Biaya pembangunan dari

swasta, kemudian diberi hak pengelolaan untuk jangka waktu panjang, dan setelah

akhir kontrak aset dikembalikan pada negara; (vi) Leasing. Swasta menyewa hak

pengelolaan dari pemerintah; (vii) management contract. Pemerintah menyewa swasta

untuk mengelola BUMN (Sutojo, 1995).

Bank Dunia berdasar pengalaman di beberapa negara mengklasifikasikan

metode privatisasi berdasar kriteria struktur pasar, tingkat efisiensi saat ini, dan tujuan

sosial dan eksternalitas yang perlu diperhitungkan. Selengkapnya pada Tabel 2

Page 23: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 23 23

Tabel 1. Metode Privatisasi (Pengalaman Inggris)

No Jenis Penjelasan

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

Penjualan keseluruhan saham

Penjualan sebagian saham

Penjualan sebagian pada swasta

Penjualan pada Manajemen atau

Pegawai

Penyerahan pada Pegawai

Dikontrakkan pada swasta

Diluting the public sector

Penetapan tarif Pelayanan

Deregulasi melalui asosiasi

Mendorong institusi sejenis

Making small scale trials

Pencabutan monopoli

Pengendalian kekuasaan negara

Likuidasi

Mengundurkan diri dari aktifitas

The right to private substitution

Penggunaan Voucher

Penjualan 100 persen saham pada publik

melalui pasar modal

Penjualan sebagian saham pada publik

melalui pasar modal

Penjualan dilakukan hanya pada pihak

swasta dan tidak melalui pasar modal.

Penjualan dilakukan pada pegawai

dan/atau manajemen

Penyerahan saham pada pegawai dengan

nilai yang sangat kecil

Pembiayaan tetap oleh sektor publik,

tetapi produksi/pelaksanaan dikontrakkan

pada swasta

Penanganan pelaksanaan pemeliharaan

dan ekspansi pada swasta (pekerjaan

eksisting tetap oleh sektor publik)

Produksi dilakukan oleh sektor publik

sementara pembiayaan oleh sektor swasta

Pemberian wewenang pada asosiasi

untuk melakukan pengaturan (misal

asuransi, penerbangan)

Pengembangan institusi alternatif sejenis

(misal universitas)

Melakukan eksperimen skala kecil

sebagai alternatif

Pelepasan hak monopoli untuk

meningkatkan persaingan usaha

Pembatasan kewenangan negara pada

bidang tertentu

Penjualan aset perusahaan sekaligus

melakukan penutupan usaha

Publik berhak mendapatkan pelayanan

dari pihak swasta dengan tagihan dibayar

oleh pemerintah

Publik diberi voucher yang dapat

ditukarkan dengan saham BUMN Sumber: Diolah kembali dari Pirie (1988).

Page 24: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 24 24

Tabel 2 Metode Privatisasi

No

Struktur

Pasar

Efisiensi

Tujuan

Sosial/

Eksternalitas

Metode Privatisasi

1 Kompetitif Tinggi Rendah Menciptakan persaingan lebih ketat

dengan membuka entry barriers atau

dengan penjualan total (divestiture)

2 Kompetitif Tinggi Tinggi Pilihan non-divestiture: pengalihan

manajemen, marketisasi

3 Kompetitif Rendah Rendah Penjualan saham total

4 Kompetitif Rendah Tinggi Pilihan non-divestiture: pencairan

modal, sub contract, joint venture,

marketisasi

5 Monopolistik Tinggi Rendah Menciptakan kompetisi dengan

membuka entry barriers dan

menghadapkan dengan kompetisi

internasional

6 Monopolistik Rendah Rendah Penjualan saham total

7 Monopolistik Rendah Tinggi Menciptakan kompetisi baik

contestable maupun melalui tolok

ukur (yardstick) dengan membagi-

bagi badan usaha ke unit-unit

berbeda.

8 Monopolistik Tinggi Tinggi Regulasi dengan pilihan non-

divestiture atau merangsang

pencairan modal Sumber: Goeltom (1995)

Dalam formulasi tabel di atas, metode privatisasi dapat dikelompokkan dalam

(i) Transfer kepemilikan berupa (a) penjualan total pada swasta langsung dan

melalui pasar modal; (b) penjualan sebagian pada publik, karyawan, atau joint

venture;

(ii) Transfer kendali manajemen berupa (a) transfer sebagian, terdiri dari

pemisahan manajemen dengan kepemilikan, joint venture, perubahan

manajemen total; (b) sub kontrak manajemen;

(iii) Kebebasan pasar. Manajemen BUMN dibebaskan dari kendali pemerintah

dengan pemberian otonomi lebih besar, kebebasan menentukan harga,

kebijakan investasi, pembiayaan, dan rekrutmen tenaga kerja.

Page 25: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 25 25

2.3.3 Proses Privatisasi

Privatisasi paling tidak dapat dilakukan melalui 4 (empat) tahapan yaitu

pengembangan institusi; seleksi target, poses pengalihan, dan pemantauan hasil.

Tahapan ini bukan sesuatu yang mengikat tetapi berdasar hasil pengalaman privatisasi

di Amerika Serikat (Marston, 1987).

Tabel 3 Tahapan Privatisasi

No Tahapan Penjelasan

Tahap I – Pengembangan Institusi

1 Penentuan Tujuan Formalisasi sasaran program, penunjukan

personil, penetapan anggaran, pemilihan

konsultan.

2 Penilaian situasi politik Issue terkait hambatan peraturan, kendala

ekonomi, pemutusan hubungan kerja, untung-

rugi politis, dampak terhadap komunitas bisnis,

3 Penciptaan dukungan Issue terkait pembelajaran masyarakat, mem-

perkuat dukungan privatisasi, membangun

strategi menghadapi oposisi

4 Membangun strategi dan

petunjuk

Issue terkait proses privatisasi, penentuan

kriteria seleksi, penetapan insentif, deregulai

Tahap II – Seleksi target

5 Tinjauan kebijakan Tinjauan terhadap konsistensi kebijakan dengan

rencana kerja privatisasi

6 Survei organisasi Pengkajian bentuk organisasi, sistem kerja,

kinerja perusahaan, masalah perusahaan, dan

peluang perbaikan.

7 Evaluasi bisnis Pengkajian kapasitas bisnis, beban kapitalisasi,

minat komunitas bisnis, efisiensi, kesempatan

kerja.

8 Analisis strategi Pemilihan metode privatisasi mempertimbang-

kan aspek legal, ekonomi, politik, bisnis.

III Proses Pengalihan

9 Perkiraan nilai

10 Persyaratan pengalihan

11 Evaluasi dan memilih calon

pemenang

12 Negosiasi dan penetapan

pemenang

IV Pemantauan hasil

13 Penetapan peraturan dan

mekanisme pemantauan

14 Kinerja pemantauan Sumber: Marston (1987)

Page 26: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 26 26

Tahapan tersebut di atas hasilnya banyak dipengaruhi oleh interaksi 4 (empat)

kelompok yaitu (i) politikus; (ii) publik: konsumen jasa dan produk barang publik; (iii)

pegawai dan manajer pemerintah: kelompok di luar politikus yang sangat terpengaruh

oleh dampak privatisasi; (iv) komunitas bisnis: kalangan bisnis yang berkepentingan

(Berg, 1987).

2.3.4 Penilaian Kinerja Sektor Publik

Masih terjadinya perdebatan tentang perbedaan antara BUMN dan swasta

membawa pada konsekuensi beragamnya cara menilai kinerja BUMN. Sebagian

berpendapat bahwa penilaian kinerja BUMN tidak perlu dibedakan dengan penilaian

terhadap sektor swasta, sehingga penilaian cukup dengan menggunakan metode RLS

(Rentabilitas, Likuditas, Solvabilitas). Sementara bagi mereka yang berpendapat

sebaliknya menggunakan metode yang berbeda.

Metode RLS (Rentabilitas, Likuditas, Solvabilitas) digunakan di beberapa

negara termasuk Indonesia. Perbedaannya hanya pada pembobotan dari masing-masing

rentabilitas, likuiditas dan solvabilitas. Tingkat rentabilitas menggambarkan tingkat

keuntungan (Return on investment-ROI)10

perusahaan. Likuiditas menggambarkan

kemampuan membayar kewajiban jangka pendek, dan Solvabilitas menggambarkan

struktur permodalan.

Menurut Pirie, yang penting dilakukan adalah melakukan perbandingan hasil

penilaian efisiensi, yang secara implisit tidak memperdebatkan metode yang

digunakan. Perbandingan efisiensi sektor publik dinilai dengan dua cara. Pertama,

penggunaan contoh negara lain memungkinkan dilakukan penilaian bahkan pada kasus

monopoli. Kedua, melakukan perbandingan dengan sektor swasta di negara yang

bersangkutan untuk kegiatan yang sama (Pirie, 1988).

Penggunaan metode RLS sebagai alat penilaian kinerja BUMN dikritik oleh

Sjahrir (1990) dengan mengatakan bahwa (i) jika hanya menggunakan metode RLS

maka pemahaman terhadap efisiensi dan efektifitas sebuah BUMN menjadi terbatas.

RLS dengan pasar monopoli cenderung mempunyai RLS tinggi; (ii) menjadi penting

memahami pasar tempat BUMN beroperasi. Baik pasar input maupun pasar produksi;

(iii) BUMN yang bergerak dalam bidang layanan utilitas seperti listrik, air minum, gas

10

ROI laba bersih dibagi aset total; Likuiditas aktiva lancar dibagi kewajiban lancar;

Solvabilitas total kewajiban dibagi total kekayaan. Masing-masing untuk periode tertentu.

Page 27: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 27 27

berbeda dengan BUMN lainnya. Pasar inputnya mungkin sudah ditetapkan tetapi harga

produknya tidak bisa ditetapkan secara otonom; (iv) penilaian BUMN yang telah ‘go

public’ akan berbeda.

Sementara kritik Siahaan (2000) terfokus pada 3 (tiga) hal yaitu (i) tidak

terdapat pemisahan penilaian kinerja perusahaan dan manajemen; (ii) penilaian

dilakukan hanya satu periode sehingga pengeluaran yang memberi manfaat pada

periode berikutnya akan selalu dihindari oleh manajer; (iii) tidak mempertimbangkan

pasar output maupun pasar input yang dihadapi masing-masing BUMN.

Pengalaman di Inggris menunjukkan masih digunakannya metode RLS tetapi

menggunakan beragam indikator penilaian dengan beberapa pertimbangan. Misalnya,

fokus pada laba mungkin tidak menggambarkan adanya monopoli, konsentrasi pada

biaya mengabaikan peran teknologi, penekanan pada perubahan tingkat output

mungkin mengindikasikan penetapan harga yang tidak efisien daripada penggunaan

efektif sumber daya. Akhirnya penilaian kinerja dilakukan dengan beragam cara.

Pertama, Laba. Terdapat indikator utama menilai laba yaitu laba sebelum bunga dan

pajak (Profit before interset and tax-PBIT) yaitu laba operasi yang menunjukkan

keefektifan jangka pendek perusahaan, dan laba setelah bunga dan pajak (Profit after

interest and tax-PAIT), yang menunjukkan kefektifan jangka panjang, tidak hanya

dalam produksi dan penawaran, tetapi juga interaksi dengan pasar modal dan rejim

pajak. Kedua, ‘Turnover’ adalah hasil penjualan selama setahun, dan Output fisik

(physical output), yaitu rata-rata produksi dari setiap jenis produk selama setahun.

Mempunyai turnover dan laba besar tidak langsung berarti kinerja yang bagus.

Perusahaan besar cenderung mempunyai laba lebih besar. Lebih penting seberapa hasil

dari setiap unit yang dijual. Maka laba dibagi turnover untuk menunjukkan marjin

pendapatan untuk setiap poundsterling yang diterima yaitu Return on Sales (RoS).

Laba yang diterima sebaiknya juga dilihat dalam konteks investasi yang dibutuhkan

untuk memproduksi. Kita membagi laba dengan modal (aset tetap tambah stok) untuk

menunjukkan return on capital employed (RoCE).

Namun jika perusahaan menikmati monopoli maka indikator yang digunakan

akan berbeda, yaitu produktifitas tenaga kerja (output dibagi input tenaga kerja).

Namun ini juga dianggap indikator yang kurang tepat, karena tidak menggambarkan

produktifitas sumber daya lain yang digunakan. Bertambahnya produktifitas tenaga

Page 28: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 28 28

kerja mungkin hanya menunjukkan pergeseran kearah produksi modal intensif,

daripada produksi yang lebih efisien. Indikator lebih efektif adalah total factor

productivity. Ini adalah ukuran perubahan jumlah input fisik yang digunakan untuk

memproduksi satu unit output. Sederhananya, jumlah unit output yang diproduksi

dengan menggunakan sejumlah tertentu input (Bishop, 1993)

Para ahli ekonomi yang berpendapat penilaian BUMN berbeda dengan sektor

swasta mengembangkan beragam metode penilaian. Terdapat 3 (tiga) cara pendekatan

yang mendasari penilaian kinerja BUMN yaitu pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan

pendekatan komprehensif. Pendekatan kuantitatif mengandalkan metode kuantitatif

seperti percobaan acak, analisis multivariat. Pendekatan kualitatif hanya menggunakan

metode kualitatif seperti wawancara mendalam, diskusi dengan panel ahli. Pendekatan

komprehensif memadukan kedua pendekatan kuantitatif dan kualitatif (Siahaan, 2000).

2.3.5 Masalah dan Hambatan Privatisasi

Secara garis besar terdapat beberapa hambatan privatisasi yang dikenali oleh

Simandjuntak (1996) yaitu (i) pemikiran bahwa privatisasi akan menjurus pada

timbulnya ketidakadilan; (ii) kurangnya transparansi dan akuntabilitas; (iii) beban

tugas non-ekonomi; (iv) keterbatasan daya serap pasar modal; (v) kekhwatiran

konsentrasi bisnis hanya pada pemodal kuat saja.

Berg (1987) mengemukakan masalah yang dihadapi khususnya di negara

berkembang yaitu (i) Tujuan utama privatisasi di negara berkembang berbeda dengan

negara maju yaitu mengurangi jumlah BUMN yang merugi. Kondisi ini menyulitkan

untuk menjual pada swasta; (ii) Tidak terdapat perusahaan swasta nasional yang

mempunyai modal yang memadai untuk membeli BUMN, sementara perusahaan asing

dengan modal yang cukup masih mendapat hambatan membeli BUMN; (iii) kondisi

peraturan yang kurang mendukung. Misal proteksi industri, akses kredit; (iv) parlemen

kurang memberi dukungan karena dianggap sebagai menjual aset nasional. Termasuk

juga banyaknya penolakan dari militer yang banyak bergantung pada BUMN.

Penilaian harga saham/aset BUMN merupakan salah satu masalah krusial

dalam proses privatisasi. Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa masalah ini

muncul terutama karena dua kondisi yaitu (i) ketika nilai yang ditaksir oleh konsultan

lebih rendah dari nilai buku dari aset; dan (ii) ketika penjualan dilakukan pada harga

yang lebih rendah dari nilai taksiran.

Page 29: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 29 29

2.3.6 Kritik terhadap Privatisasi

Khusus di negara berkembang, Shirley dan Neils (1992) mengemukakan

beberapa kelemahan privatisasi yaitu (i) kurang mampunya pemerintah melakukan

proses privatisasi secara transparan; (ii) terjadinya peralihan monopoli ke tangan

swasta yang tidak mempunyai kepedulian pada kesejahteraan masyarakat (Siahaan,

2000).

Sementara Kagami (1999) mengemukakan kelemahan privatisasi adalah (i)

timbulnya pengangguran dan berkurangnya peran serikat pekerja. Jika tidak tersedia

dana cukup untuk realokasi tenaga kerja yang diberhentikan maka tingkat

pengangguran akan meningkat. Kasus Amerika Latin membuktikan hal ini; (ii)

mengurangi pelayanan daerah terpencil. Pelayanan daerah terpencil dianggap tidak

menguntungkan; (iii) menurunnya stabilitas produksi atau kehandalannya. Kompetisi

harga berpengaruh negatif terhadap kestabilan produksi. Kejadian pemadaman listrik

di Inggris setelah liberalisasi membuktikan hal ini; (iv) dominasi modal asing (disebut

juga ‘efek Wimbledon’). Salah satu contoh kasus adalah liberalisasi sektor keuangan di

London. Jika terjadi di negara berkembang dengan kondisi pasar yang belum memadai

maka akan menyebabkan kemungkinan terjadinya friksi; (v) masalah beban utang

macet. Secara umum BUMN terbebani utang yang besar. Setelah privatisasi,

keuntungan meningkat tetapi beban utang tetap tidak mudah diselesaikan. Contohnya,

beban utang ‘Japan National railways’ belum terselesaikan dan membebani keuangan

negara; (vi) persaingan keras (‘survival of the fittest’) menciptakan kondisi semakin

dominannya perusahaan besar dan tercipta oligopoli. Contohnya, perusahaan

penerbangan Amerika Serikat menjadi oligopolis dengan memberi rabat besar.

Mekanisme pasar tidak menjamin distribusi pendapatan yang adil;.

2.4 Dampak Privatisasi

2.4.1 Manfaat dan Penggunaan Hasil Privatisasi

Beragam manfaat privatisasi antara lain (i) kultur sektor swasta akan mulai

mempengaruhi perusahaan sehingga diharapkan efisiensi dapat ditingkatkan.

Selanjutnya keuntungan meningkat sehingga harga saham akan meningkat (jika

pemerintah masih memegang sebagian saham, maka pemerintah juga akan menikmati

keuntungan dari kenaikan nilai saham). (ii) penjualan saham melalui pasar modal

mengakibatkan berlakunya ketentuan pasar modal terutama menyangkut transparansi

Page 30: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 30 30

perusahaan11

; (iii) keterlibatan pegawai yang lebih jauh dalam pengendalian

perusahaan yang dimungkinkan oleh pemilikan saham oleh pegawai (Gayle, 1990)

Shirley dan Neils (1992) menekankan manfaat privatisasi pada membaiknya

transparansi, lebih berperannya mekanisme kontrol pasar, dan berkurangnya tekanan

dan campur tangan yang bersifat politis (Siahaan, 2000).

Todaro (1989) mengemukakan bahwa selain memacu efisiensi, output dan

menurunkan biaya, privatisasi bisa meredam pertumbuhan pembelanjaan pemerintah,

meningkatkan pemasukan tunai untuk melunasi hutang, serta mempromosikan inisiatif

individual untuk melakukan usaha. Yang terakhir, memperluas kepemilikan dan

partisipasi masyarakat dalam perekonomian nasional.

Berdasar hasil studi mengenai perusahaan yang diprivatisasi menunjukkan

bahwa manfaat yang dihasilkan dari program privatisasi disebabkan oleh beberapa

faktor yaitu (i) keadaan kompetisi yang semakin membaik; (ii) regulasi yang tepat dan

memadai bagi sebagian perusahaan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak;

(iii) perubahan kepemilikan badan usaha (Goeltom, 1995).

Dari segi penggunaan hasil privatisasi, Davis (2000) mengklasifikasikan dalam

4 (empat) kondisi yaitu (i) Pengeluaran yang lebih besar. Penerimaan privatisasi

temporer dan tidak pasti, sehingga tidak disarankan untuk dijadikan sumber

pengeluaran rutin. Penggunaan terbatas untuk melindungi dampak jangka pendek

privatisasi lebih tepat. Penggunaannya untuk pengeluaran modal tambahan tidak akan

mengurangi aset pemerintah, meskipun akan menimbulkan pertanyaan mengenai

kualitas proyek tersebut; (ii) Pengurangan hutang netto. Ini dicapai melalui

pembayaran hutang; (iii) Pematokan penerimaan privatisasi untuk pengeluran tertentu.

Kondisi ini dapat mengganggu manajemen fiskal dan menghambat realokasi

pengeluaran untuk mengantisipasi situasi dan prioritas; (iv) mengurangi kendala fiskal.

Hasil privatisasi dapat mempunyai peran terbatas dalam program reformasi dan

penyesuaian yang agresif..

11

Di Inggris, jika pemilikan saham pemerintah dibawah 51 persen, maka ketentuan sektor publik tidak

berlaku lagi bagi perusahan tersebut (Pirie, 1988).

Page 31: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 31 31

2.4.2 Metode Penghitungan Dampak Privatisasi

Andic (1990) mengembangkan metode evaluasi dampak privatisasi ketika

melakukan penelitian terhadap CONADI Enterprises di Honduras. Menurutnya tidak

terdapat metodologi baku untuk keperluan ini. Sehingga dilakukan sedikit modifikasi

terhadap metodologi tradisional penghitungan tingkat pengembalian (internal rates of

return), nilai sekarang (net present values) dan rasio untung-rugi (cost-benefit ratios),

yang kemudian diaplikasikan kedalam metode evaluasi privatisasi12

.

2.4.3 Dampak Fiskal

Situasi fiskal cenderung diuntungkan oleh privatisasi. Secara khusus, baik pada

tingkat data perusahaan maupun data agregatmendukung dampak positip terhadap

penerimaan, dan berkurangnya defisit. (Davis, 2000)

2.4.4 Dampak Ekonomi Makro

Beberapa hasil studi menunjukkan dampak positip privatisasi terhadap

pertumbuhan dan tenaga kerja. Pertumbuhan dihasilkan dari meningkatnya efisiensi di

tingkat perusahaan. Berkaitan dengan adanya kekhawatiran tentang bertambahnya

pengngguran, bukti empiris memperlihatkan bahwa secara agregat pengangguran

cenderung berkurang. Namun, sekelompok tertentu pekerja dapat mengalami hal yang

sebaliknya (Davis, 2000)13

2.4.5 Dampak Pemerataan

Privatisasi menjadikan perusahaan menerapkan kebijakan yang mengurangi

ketidakmerataan akses pada barang dan jasa dengan melakukan pembatasan KKN.

Dalam jangka panjang pemilikan aset yang lebih luas dan kesempatan yang lebih besar

untuk berusaha mendorong kondisi institusi yang memihak pada pengembangan

ekonomi kompetitif dan sistem politik demokratis.

Harus dikenali juga bahwa walaupun privatisasi menghasilkan peningkatan

keadilan dalam bentuk pengurangan kesenjangan pendapatan dan akses, beberapa

privatisasi akan mengorbankan kaum miskin. Misalnya jika perusahaan kereta api di

India mengurangi subsidinya maka kaum miskin yang paling merasakan akibatnya

secara langsung.

12

Metode ini akan dijelaskan secara detail dalam bab 4. 13

Studi dilakukan pada 8 negara berkembang dan 10 negara transisi.

Page 32: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 32 32

2.5 Kunci Kesuksesan Privatisasi

Kehadiran Undang-Undang Privatisasi penting untuk menjamin privatisasi

berada pada jalur yang benar. Keberadaan UU tersebut paling tidak bisa menghadirkan

tiga prasyarat keberhasilan program privatisasi. Pertama, persyaratan kredibilitas dan

akuntabilitas. Jika ini tidak terjadi, maka privatisasi hanya menghasilkan pengalihan

inefisiensi dari sektor publik ke sektor swasta. Struktur pasar tak berubah sehingga tak

ada perbaikan dalam iklim persaingan. Kedua, persyaratan kecepatan. Proses yang

lama akan mengundang free rider dan pemburu rente. Ketiga, persyaratan organisasi.

Pembentukan komisi privatisasi yang mengawasi jalannya privatisasi, menetapkan

keputusan strategis seperti harga minimum saham jika ditempuh langkah Initial Public

Offering (IPO) (Basri, 2002).

Sementara Pirie (1988) menekankan bahwa kesuksesan privatisasi tidak hanya

terkait dengan aspek ekonomi tetapi yang juga sama pentingnya adalah aspek politik.

Di Inggris, faktor yang menunjang kesuksesan privatisasi tergantung pada

metode yang dipergunakan. Pada metode penjualan seluruh saham publik maka faktor

yang berpengaruh adalah (i) dukungan dari manajemen dan pegawai, (ii) tingkat

penyebaran kepemilikan saham.

Sementara Sumarlin (1996) menekankan prinsip persamaan, transparansi dan

obyektif yang dituangkan dalam 4 (empat) prinsip dasar bagi keberhasilan privatisasi

yaitu (i) Pihak swasta yang membeli saham BUMN tidak diberi hak monopoli maupun

hak privilege lainnya seperti proteksi, kredit bunga rendah. Mereka diperlakukan sama

dengan pihak swasta lainnya; (ii) Privatisasi tidak berarti menomorduakan

kepentingan masyarakat luas; (iii) kesempatan yang sama bagi masyarakat

berpartisipasi; (iv) penetapan harga harus yang paling menguntungkan dengan

memperhatikan harga pasar dan dilakukan dengan transparan.

Veljanovsky (1990) menekankan beragam hal sebagai persyaratan keberhasilan

kebijakan privatisasi, diantaranya adalah (i) pemerintah harus mempunyai komitmen

kuat; (ii) Privatisasi harus dibuat menjadi isu non-politis dengan menekankan efisiensi

dan aspek kebebasan. Berarti juga proses privatisasi harus didepolitisasi; (iii)

Privatisasi dilaksanakan bertahap dimulai dari perusahaan yang beroperasi di pasar

kompetitif; (iv) Diperlukan dukungan dari kelompok berpengaruh/terkait. Hal ini

memerlukan insentif finansial yang diberikan pada pekerja, pelanggan, dan manajer

Page 33: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 33 33

maupun masyarakat; (v) Perusahaan Industri harus direstrukturisasi sebelum privatisasi

dan kompetisi harus dimaksimalkan khususnya pada industri jasa; (vi) Harus ada

komitmen kuat untuk melaksanakan peraturan untuk memastikan pihak ketiga

mempunyai akses yang sama; (vii) Harga mencerminkan biaya, dan jasa tidak di

subsidi silang; (viii) Perusahaan yang merugi harus diprivatisasi, bahkan jika harus

dijual pada harga nominal; (ix) Peraturan harus efektif dan minimal serta harus ditinjau

setiap periode tertentu; (x) Perhatian khusus diberikan pada regulasi, dan memastikan

bahwa intervensi hanya dilakukan jika menyangkut praktek anti-kompetisi; (xi)

Pembatasan pemilikan saham sebaiknya dihindari.

Andic (1990) menekankan pada aspek pengaturan, dan alasan yang rasional

bagi keberhasilan privatisasi. Menurutnya terdapat 4 (empat) aturan yang harus

dilakukan agar privatisasi mencapai tujuannya yaitu (i) Tunjukkan alasan teoritis dan

bukti empiris yang menggambarkan keunggulan sektor swasta, dilengkapi analisis

untung-rugi; (ii) pertahankan agar debat antara pembiayaan swasta dan publik terpisah

dengan produksi swasta dan publik; (iii) jauhkan semua keputusan tentang produksi

swasta versus publik dari tangan birokrat maupun pihak swasta yang pendapatannya

banyak berasal dari pemerintah; (iv) pastikan bahwa deregulasi mengikuti privatisasi.

Menurut Hanke (1987), kesuksesan program privatisasi banyak tergantung

pada strategi yang mengandung hal-hal berikut (i) lingkungan yang kondusif bagi

pelaksanaan privatisasi. Misal pengaturan perpajakan, aturan kepemilikan, dan

pembenahan paar modal; (ii) program penyebarluasan informasi; (iii) pelatihan tenaga

terampil yang akan mengelola proses privatisasi; (iv) pilih target yang meminimalkan

kesulitan dan menjamin kesuksesan; (v) pilih teknik dan stratgei yang akan

memaksimalkan dukungan politis dari konstituante; (vi) persiapkan BUMN,

pembenahan melalui investasi jika diperlukan.

Dalam salah satu hasil penelitian dalam Disertasi berjudul ‘Restrukturisasi

BUMN: Privatisasi atau Korporatisasi’ oleh Marwah M. Diah (1999) dikatakan bahwa

privatisasi baru akan bermanfaat secara maksimal jika (i) pemerintah telah mampu

menciptakan lingkungan kompetisi yang sehat; (ii) memiliki pedoman dan prosedur

pengurangan biaya privatisasi; (iii) mendorong dinamisasi usaha kecil dan menengah;

(iv) efektif memberantas korupsi dan ketidakadilan.

Page 34: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 34 34

Sutojo (1995) menyimpulkan bahwa terdapat 5 (lima) faktor yang menetukan

yaitu (i) perekonomian negara yang kuat dan sehat; (ii) sektor swasta yang dapat

diandalkan; (iii) metode privatisasi yang tepat; (iv) hukum dan perundang-undangan

serta kelembagaan yang menunjang; (v) pasar modal dan pasar uang yang efisien.

Salah satu sumber ketidakefisienan BUMN adalah ‘soft budget constraint’

yaitu kemudahan mendapatkan suntikan dana dari pemerintah sebagai pemegang

saham. Berkaitan dengan itu, penelitian Boycko (1993) menunjukkan privatisasi akan

efektif bila hak kendali dan hak alur dana dialihkan ke swasta (Goeltom, 1995).

Kesuksesan privatisasi juga dikaitkan dengan penggunaan hasil privatisasi

tersebut dengan tepat. Davis (2000) menjelaskan bahwa (i) penggunaan hasil

privatisasi secara ‘off budget’ (non budgeter) dapat mengarah pada penggunaan yang

tidak terpantau. Dana non budgeter seharusnya diatur, dan diumumkan pada publik,

diaudit, dan dibawah pengawasan parlemen; (ii) transaksi privatisasi sebaiknya

transparan dan dilaporkan berdasar penerimaan kotor. Biaya restrukturisasi,

rekapitalisasi atau penghapusan pinjaman BUMN seharusnya dicatat sebagai bagian

pengeluaran dari penerimaan privatisasi.

Berdasar pengalaman Bank Dunia (1992), terdapat beberapa pelajaran penting

bagi kesuksesan privatisasi yaitu (i) privatisasi berhasil jika merupakan bagian dari

program reformasi yang lebih besar; (ii) regulasi bagian penting dari proses privatisasi

BUMN monopoli; (iii) pemerintah dapat menghasilkan keuntungan dari privatisasi

manajemen (korporatisasi) tanpa memprivatisasi kepemilikan aset; (iv) penjualan

perusahaan besar memerlukan persiapan yang matang; (v) keterbukaan adalah penting

bagi kesuksesan ekonomi dan politis; (vi) pengembangan bisnis swasta baru lebih baik

dari perubahan perusahaan campuran swasta-publik di setiap sistem ekonomi.

2.6 Pengalaman dan Perbandingan dengan Negara Lain

2.6.1 Peran BUMN

Peran BUMN terutama dapat dilihat dari sumbangan BUMN terhadap Produk

Domestik Bruto (PDB). Kontribusi BUMN terhadap PDB beragam mulai dari 2-3

persen di Nepal dan Pilipina sampai 50 persen di Arab Saudi. Berdasar

pengelompokan negara, maka peran BUMN terhadap PDB relatif lebih besar pada

negara berpendapatan rendah dibanding negara maju dan negara berpendapatan

Page 35: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 35 35

menengah. Negara-negara di Afrika relatif lebih besar peran BUMN terhadap PDB

dibanding negara Asia dan Amerika Latin. Selengkapnya Tabel 4.

Negara berpendapatan rendah relatif lebih besar kontribusinya terhadap jumlah

tenaga kerja nasional dibanding negara berpendapatan menengah. Sementara negara

Afrika terlihat perannya jauh lebih besar dibanding negara Amerika Latin dan Asia.

Selengkapnya Tabel 4.

Tabel 4 Peran BUMN terhadap PDB dan Tenaga Kerja

berdasar Kelompok Negara tahun 1978-1991

No

Kelompok Negara

Proporsi rata-rata

Periode 1978-1991

(%)

A. Proporsi terhadap PDB

! Negara Berkembang

Negara Maju

10.7

4.9

2 Negara Berpendapatan rendah

Negara Berpendapatan Menengah

12.9

9.7

3 Negara Amerika Latin

Negara Afrika

Negara Asia

9.1

18.4

10.5

B. Proporsi terhadap Jumlah Tenaga Kerja

1 Negara Berkembang

Negara Maju

4.8

tad

2 Negara Berpendapatan rendah

Negara Berpendapatan Menengah

8.7

2.9

3 Negara Amerika Latin

Negara Afrika

Negara Asia

4.1

16.4

4.8 Sumber: World Bank (1995).

2.6.2 Perkembangan Privatisasi Dunia

Berdasar data Bank Dunia, privatisasi berkembang dramatis. Pada tahun 1988

baru 12 negara melakukan privatisasi, tetapi tahun 1995 berkembang menjadi 45

negara.

Periode 1988-1995, sekitar 46 persen dari nilai keseluruhan privatisasi dunia

terjadi di wilayah Amerika Latin, menyusul Asia Timur (25 persen), kawasan Eropa

dan Asia Tengah (17 persen), serta wilayah lainnya (12 persen).

Page 36: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 36 36

Privatisasi yang dominan di sektor primer dan infrastruktur. Metode privatisasi

dominan adalah penawaran umum (40 persen). Metode lainnya yang diminati adalah

‘strategic sale’ (Pranoto, 2000)

2.6.3 Inggris

Pada akhir tahun 1970 BUMN di Inggris menyumbang sekitar 10 persen dari

PDB dan mempekerjakan sekitar 10 persen dari total pekerja. BUMN mendominasi

trasnportasi (bus, KA, penerbangan), komunikasi (pos dan telekomunikasi), dan sektor

energi. Pada akhir 1980, gambaran di atas telah berubah banyak. Sektor komunikasi,

transportasi, dan energi sebagian besar telah dikelola swasta (Bishop, 1993).

Tujuan privatisasi di Inggris adalah (i) peningkatan efisiensi; (ii) mengurangi

‘the public sector borrowing requirement’ (PSBR) yaitu kebutuhan pendanaan yang

tidak dapat ditutup dari tabungan BUMN; (iii) mengurangi keterlibatan pemerintah

dalam pengambilan keputusan BUMN; (iv) memperluas struktur pemilikan saham; (v)

mendorong pemilikan saham oleh karyawan; (vi) meningkatkan kemampuan

pendanaan BUMN; (vii) mendapat keuntungan politis (Vickers, 1997)

Privatisasi berdampak tekanan pada anggaran negara berkurang drastis. Hal

lainnya bahwa populasi pemilikan saham perorangan meningkat tajam. Sebelum

privatisasi, jumlah penduduk yang mempunyai saham hanya 3 juta orang, meningkat

menjadi 9 juta orang dalam waktu 8 tahun setelah privatisasi. Berarti privatisasi

berhasil mempercepat proses pemerataan pendapatan (Swa, Juli 1990).

Dari 13 perusahaan skala besar yang diprivatisasi selama periode 1981-1987,

maka terlihat bahwa 10 perusahaan (75 persen) menunjukkan kinerja yang membaik

secara signifikan. Dari 3 perusahaan lainnya, British Airways dan Rolls-Royce tidak

tersedia data, sementara Britoil cenderung menurun kinerjanya. Selengkapnya Tabel 5

Tingkat penjualan (turnover) dan output BUMN yang diprivatisasi di Inggris,

sebagian besar menunjukkan peningkatan yang signifikan. Walaupun demikian

terdapat 3 (tiga) BUMN yang menunjukkan penurunan tingkat penjualan setelah

privatisasi, dan 3 (tiga) BUMN menunjukkan penurunan pertumbuhan output.

Selengkapnya tabel 6.

Page 37: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 37 37

Tabel 5

Kinerja BUMN Inggris (Sebelum dan Setelah Privatisasi)

Laba Sebelum Pajak Setelah Privatisasi

Perusahaan 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987

British Aerospace (1981) 70.6 84.7 82.3 120 151 182 Tad

Cable and Wireless (1982) 64.1 89.2 157 190 245 287 331

Amersham International (1982) 4.1 8.5 11.2 13.7 17 17.5 22

National Freight Consortium (1982) 4.3 10.1 5.3 14.5 23 35 48

Britoil (1982) 437 259.1 587 686 758 155 Tad

Associated British Port (1983) (10) 5.5 14.5 (6.4) 20.8 17 Tad

Enterprise Oil (1984) - - 83.2 - 1389 111 Tad

Jaguar (1984) (32) 9.6 50 91.5 121 121 Tad

British Telecom (1984) 570 936 1031 990 1480 1810 2067

British Gas (1986) - 430 803 909 712 782 1062

British Airways (1987) (141) (108) 74 185 191 195 Tad

Rolls-Royce (1987) - (93) (115) 26 81 120 Tad

BAA (1987) - 40 29 46 64 76 84 Tad tidak ada data; dalam Juta Poundsterling Laba Sebelum Pajak Sebelum Privatisasi

Sumber: Veljanovsky, 1990

Tabel 6. Tingkat Penjualan dan Output BUMN di Inggris

(Sebelum dan Setelah Privatisasi)

Tingkat Penjualan

(harga Berlaku 1987)

Pertumbuhan Output (%)

1979 Privatisasi 1990 1979-priv Priv-1990

BUMN yang diprivatisasi

Amersham 71 79 170 11 115

ABP 243 185 174 -24 -6

BAA 301 439 610 46 39

BA 3046 3278 3948 8 20

B. Gas 5519 7610 6514 38 -14

B. Steel 6106 3993 4172 -35 4

B T 6024 7853 10049 30 28

C and W 499 519 1890 4 264

Ent Oil tad 288 275 tad -5

NFC 774 614 1328 -21 116

R-Royce 1575 1802 2417 14 34

BUMN yang tidak diprivatisasi

B. Coal 5551 3373 -39

B. Rail 4280 2594 -39

P Office 2721 3639 34

Sumber: Bishop (1995)

Catatan: tad tidak ada data; angka miring dan tebal menunjukkan penurunan

Page 38: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 38 38

Berdasar tingkat pengembalian, digunakan dua metode yaitu Return on Capital

Employed (RoCE) dan Return on Sales (RoS). Menggunakan metode RoCE, terlihat

bahwa 4 (empat) BUMN menunjukkan penurunan RoCE, walaupun demikian

dibandingkan BUMN yang tidak mengalami privatisasi maka BUMN yang telah

diprivatisasi secara rata-rata menunjukkan proporsi RoCE yang lebih besar.

Menggunakan metode RoS, BUMN yang telah diprivatisasi menunjukkan proporsi

RoS yang jauh lebih besar dibanding BUMN yang tidak diprivatisasi, namun demikian

terdapat 4 (empat) BUMN yang menunjukkan proporsi RoS yang menurun setelah

diprivatisasi. Selengkapnya lihat Tabel 7.

Tabel 7.

Tingkat Pengembalian BUMN di Inggris (Sebelum dan Setelah Privatisasi)

Return on Capital Employed (%) Return on Sales (%)

1979 Privatisasi 1990 1979 priv 1990

BUMN yang diprivatisasi

Amersham 16.1 22.5 22.3 22.3 13.6 12.6

ABP 2.1 8.9 18.8 18.8 11.0 25.4

BAA 13.7 6.9 9.8 9.8 20.7 34.3

BA 20.3 25.3 16.6 16.6 7.4 8.9

B. Gas Tad 16.9 17.3 17.3 16.4 13.8

B. Steel 10.7 13 20.0 20.0 11.5 15.3

B T 24.1 16.7 21.0 21.0 22.3 26.3

C and W Tad 16.6 17.9 17.9 14.7 22.8

Ent Oil 1.1 80.6 9.1 9.1 48.6 24.3

NFC Tad 15.7 21.2 21.2 4.6 6.7

R-Royce 27 16.8 16.8 7.8 7.5

BUMN yang tidak diprivatisasi

B. Coal Tad 6.6 6.6 3.2

B. Rail 7.6 5.9 5.9 4.4

P Office 7.6 4.0 2.6 Sumber: Bishop (1995)

Catatan: tad tidak ada data; angka miring dan tebal menunjukkan penurunan

Kajian Bishop (1993) terhadap kinerja 9 (sembilan) BUMN di Inggris berdasar

produktifitas tenaga kerja menunjukkan bahwa 6 (enam) dari 9 (sembilan) BUMN

menunjukkan peningkatan produktifitas tenaga kerja. Sementara selebihnya

menunjukkan penurunan kinerja. Secara keseluruhan kualitas pelayanan tidak

menunjukkan penurunan.

Page 39: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 39 39

Tabel 8 Pertumbuhan Produktifitas Tenaga Kerja di Inggris

Perusahaan

Pertumbuhan/tahun (%)

1979-1980 1980-1990

British Airways 7.4 6.0

BAA 0.6 2.7

British Coal -2.4 8.1

British Gas 4.9 4.9

British rail -2.0 3.2

British Steel -1.7 13.7

British Telecom 4.3 7.1

Electricity Supply 3.7 2.5

Post Office -0.1 3.4 Sumber: Bishop (1993)

2.6.4 Perancis

Privatisasi perusahaan air minum di Perancis menggunakan metode kontrak

manajemen (swa kelola). Pihak swasta melakukan penawaran dan negosiasi secara

individual dengan 36 ribu walikota. Pemerintah Perancis tidak perlu mengeluarkan

dana untuk membangun jaringan pipa, dan tetap memperoleh pemasukan. Pemerintah

bertindak sebagai badan regulasi. Pemerintah menjadi lebih obyektif. Sementara

pelayanan menjadi lebih baik karena pengelola swasta terikat kontrak (Swa, Juli 1990)

2.6.5 Italia

Salah satu metode privatisasi yang dilakukan di Italia dan sangat berhasil

adalah sistem kontrak manajer. Seorang manajer swasta diangkat menjadi pengelola

konglomerat BUMN. Keberhasilan metode ini karena kewenangan yang diberikan

untuk menjalankan bisnis seperti perusahaan swasta (Swa, Juli 1990)

2.6.6 Korea Selatan

Salah satu metode privatisasi yang cukup berhasil di Korea Selatan adalah

dalam bentuk penjualan saham khusus untuk masyarakat golongan ekonomi lemah.

Melalui National Stock Plan (lembaga yang didirikan untuk pemerataan saham

BUMN) pada tahun 1988, 34,1 persen saham Pohang Iron Steel Co (POSCO) dijual

pada masyarakat miskin. Jumlah pemilikan saham melesat dari 7,5 persen menjadi

20,3 persen dari populasi. Hal ini mengakibatkan tidak timbulnya keresahan atau

penolakan di kalangan bawah.

Kondisi di atas ditunjang oleh adanya sistem pemisahan pasar modal. Pasar I

terbuka untuk asing dan orang kaya sementara Pasar II hanya untuk lokal dan

Page 40: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 40 40

penduduk miskin. Privatisasi hanya dilakukan pada pasar II. Inipun masih dilakukan

pembatasan, misalnya dalam satu bulan seorang maksimal cuma boleh membeli 10

saham.Selain itu, saham yang boleh dibeli oleh satu perusahaan atau keluarga paling

maksimal 8 persen dari total saham. Saham yang dianggap penting oleh pemerintah

tetap dipertahankan sebesar 8 persen, tetapi saham Korea Airlines, Korea Elecricity

dan POSCO sudah dimiliki masyarakat 100 persen (Swa, Juli 1990)

2.6.7 Chili

Pembahasan privatisasi di Chili menjadi menarik karena penguasa negara

tersebut adalah rezim militer yang identik dengan penolakan terhadap privatisasi.

Ditambah lagi bahwa privatisasi Chili ternyata sukses yang ditandai dengan

penyebaran kepemilikan saham meningkat, perusahaan swasta menjadi lebih efisien,

membuka kesempatan investasi, berkurangnya ketergantungan pada sektor publik.

Privatisasi di Chili dilakukan dalam 2 (dua) gelombang, yaitu gelombang I

(1974-1979) dan gelombang II (1984-1989). Selama periode tersebut telah berhasil

diprivatisasi sebanyak 550 BUMN, dan sumbangan BUMN terhadap PDB turun dari

39 persen menjadi 16 persen. Pada gelombang I, privatisasi dijual terbatas dalam

bentuk paket untuk mendapatkan harga yang tinggi. Kurangnya modal swasta, maka

pemerintah memberi kredit. Ternyata di kemudian hari pemilik yang baru mengalami

kebankrutan sehingga BUMN yang telah diprivatisasi kemudian dibeli kembali oleh

pemerintah. Kemudian pada gelombang II dilakukan penjualan kembali BUMN secara

lelang, dan sebagian besar dibeli secara patungan oleh perusahaan lokal dan asing.

Selebihnya dijual secara ‘popular capitalism’, berupa penawaran saham pada

masyarakat dengan memberikan kredit tanpa bunga. Sementara BUMN yang baru

pertama kali diprivatisasi, diitawarkan dengan cara ‘labor capitalism’ berupa

penawaran pada karyawan, ‘institutional capitalism’ berupa penawaran pada institusi

seperti yayasan dana pensiun (Siahaan, 2000).

Hachette dan Luders (1993) menganalisis proses privatisasi di Chili dan

menyimpulkan: (i) keberhasilan privatisasi Chili menunjukkan bahwa privatisasi di

negara berkembang dapat berjalan dengan baik. Meskipun pasar tidak sempurna di

negara berkembang tetapi tetap dapat berfungsi baik untuk menghasilkan harga

penjualan saham yang memadai dan mendorong perusahaan privatisasi bekerja efisien.

Sumber daya finansial selalu ada walaupun di negara berkembang. BUMN dapat dijual

Page 41: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 41 41

pada masyarakat atau pihak asing; (ii) Beragam BUMN dan aktifitasnya dapat

diprivatisasi. Pada kasus utilitas publik (monopoli alamiah) dan pelayanan sosial, maka

regulasi dan pengendalian yang memadai, kebijakan ekonomi yang tepat adalah hal

mendasar untuk mencapai efisiensi; (iii) beberapa persyaratan yang harus dipenuhi,

melengkapi persyaratan sebelumnya, untuk mensukseskan privatisasi yang terkait

dengan aspek politis dan intitusi adalah (a) kepemimpinan; (b) dukungan politis; (c)

transparan, pelibatan karyawan dan masyarakat akan meningkatkan dukungan; (d)

pengembangan pasar modal; (iv) privatisasi butuh waktu. Dibutuhkan pembenahan

sistem, kebijakan, penyiapan dana dan personil.

Salah satu kritik terhadap proses privatisasi di Chili adalah kurangnya

transparansi dalam prosesnya. Hal ini mungkin dikondisikan oleh bentuk pemerintahan

yang dikendalikan oleh militer, dan bentuk privatisasi yang dilakukan secara massal.

Walaupun demikian tujuan privatisasi tersebut berupa penyebaran pemilikan saham,

dan peningkatan penerimaan pemerintah dapat dicapai.

2.6.8 Negara Transisi14

Satu dekade lalu, dengan pecahnya Uni Sovyet, dan dimulainya reformasi

orientasi pasar di banyak negara Eropa Timur dan Tengah, maka privatisasi menjadi

suatu jalan keluar dari ketidakefisienan perencanaan terpusat. Ternyata terdapat dua

pelajaran penting yang didapatkan yaitu (i) perusahaan swasta selalu lebih baik

kinerjanya dibanding BUMN. Dengan kata lain, setiap langkah privatisasi lebih baik

dari pada tidak sama sekali, tanpa mempedulikan apakah telah tercipta kestabilan pasar

dan lingkungan yang kompetitif; (ii) perusahaan swasta yang mulai dari bawah

menunjukkan kinerja terbaik, disusul BUMN yang diprivatisasi dan dikendalikan

orang luar (non birokrat), baru kemudian BUMN.

Kendala ‘soft budget’, yang ditandai masih diberikannya subsidi, bunga pinjaman

lunak, penghapusan hutang, menghalangi restrukturisasi perusahaan. Pihak manjemen

akan lebih banyak melakukan lobby dibanding melaksanakan strukturisasi. Terdapat

kecenderungan menyimpulkan bahwa pasar bebas dan lingkungan kompetitif lebih

penting dari pada metode privatisasi (Gardner, 1999)

14

Negara transisi adalah negara yang sedang dalam proses perubahan dari ekonomi terpusat menuju

ekonomi pasar.

Page 42: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 42 42

2.6.9 Perbandingan AntarNegara

Berdasar beberapa hasil survei perbandingan kinerja perusahaan swasta dan

BUMN serta dampak privatisasi BUMN pada berbagai negara, ternyata hasilnya

menunjukkan bahwa (i) kinerja perusahaan swasta bisa lebih efisien dari BUMN dan

sebaliknya; (ii) perubahan pemerintahan tidak berdampak pada kinerja perusahaan

(swasta dan BUMN); (iii) privatisasi dapat meningkatkan pertumbuhan produktifitas

tenaga kerja dan total faktor, dan sebaliknya tidak mempunyai pengaruh yang

signifikan; (iv) perubahan kepemilikan berdampak kecil; (v) BUMN dengan pasar

kompetitif lebih baik kinerjanya (Pollitt, 1999)

Tabel 9. Beberapa Hasil Penelitian Perbandingan BUMN Antarnegara

Penelitian Sasaran Metode Data Hasil Hutchinson

(1991)

Membandingkan

efisiensi perusahaan

swasta dan BUMN

dan dampak

perubahan rezim

terhadap kinerja

perusahaan

Statistik deskriptif

dan analisis OLS

dari produktifitas

tenaga kerja,

keuntungan, dan

paduan teknologi.

17 perusahaan

termasuk 6

BUMN yang

diprivatisasi,

periode 1970-

1986

Perusahaan swasta lebih

efisien dari BUMN

Perubahan pemerintahan

tidak mempunyai

dampak terhadap kinerja

perusahaan dan BUMN

Bishop dan

Thompson

(1992)

Meneliti pengaruh

privatisasi terhadap

perubahan tingkat

efisiensi

Tingkat output,

produktifitas tenaga

kerja, dan

produktifitas total

faktor

9 BUMN,

1970-1990

Peningkatan

pertumbuhan rata-rata

produktifitas tenaga kerja

dan total factor

Haskel dan

Szymanski

(1992)

Menguji 4 hipotesis

tentang dampak

kepemilikan dan

kompetisi terhadap

efisiensi

Regresi

Produktifitas total

factor

12 BUMN

yang

diprivatisasi,

1972-1988

Kompetisi meningkatkan

produktifitas

Perubahan kepemilikan

mempunyai dampak

kecil.

Bishop dan

Green (1995)

Meneliti kinerja

BUMN yang

diprivatisasi

Keuntungan,

penjualan, gaji dan

data tenaga kerja

9 BUMN,

1979-1994

BUMN dengan pasar

kompetitif lebih baik

kinerjanya. Perbandingan

produktifitas total factor

menunjukkan kinerja

swasta dan BUMN sama

saja

Koedijk dan

Kremers

Menghitung

dampak regulasi

pasar tenaga kerja

dan produk

terhadap

pertumbuhan output

Regresi

pertumbuhan output

per kapita terhadap

ukuran tingkat

regulasi

11 negara

masyarakat

ekonomi

Eropa, 1981-

1993

Perubahan regulasi

meningkatkan

pertumbuhan ekonomi

Parker dan

Martin (1997)

Meneliti pengaruh

privatisasi terhadap

kinerja perusahaan

Produktifitas tenaga

kerja, produktifitas

factor total,

pertumbuhan nilai

tambah/tenaga kerja

dan keuntungan

11 BUMN

yang

diprivatisasi,

1973-1995

Tidak ada perbaikan

produktifitas. Tingkat

kompetisi berpengaruh

terhadap kinerja

Sumber:Pollitt, 1999

Page 43: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 43 43

2.6.10 Dampak Privatisasi per Bidang Usaha

Dari beberapa studi terhadap perbandingan kinerja perusahaan negara dan

swasta pada berbagai bidang usaha yang dikumpulkan oleh Hanke (1987) pada

berbagai negara, maka efisiensi perusahaan swasta relatif lebih baik. Adapun hasil

studi tersebut adalah:

A. Administrasi

Di AS, fungsi administrasi lebih murah, lebih cepat dengan kesalahan lebih

sedikit jika dilaksanakan oleh sektor swasta.

B. Penerbangan

Bukti di Australia menunjukkan perusahaan swasta lebih efisien. Mereka

beroperasi dengan peralatan, tarif, rute yang sama. Perusahaan swasta mengangkut dua

kali lebih banyak. Pendapatan per pekerja perusahaan swasta lebih tinggi 12 persen.

C. Perbankan

Studi di Australia menunjukkan bank BUMN mempunyai tingkat keuntungan

terhadap aset, dan keuntungan terhadap modal lebih rendah.

D. Pekerjaan Pemeliharaan dan Pengelolaan Gedung

Pekerjaan pemeliharaan gedung Departemen Pertahanan AS diswastakan dan

menghasilkan penghematan sekitar 5-25 persen. Beberapa sekolah umum di New York

juga melakukan hal yang sama dan menghasilkan penghematan rata-rata 14 persen. Di

Jerman juga menunjukkan hasil yang relatif sama, bahkan dengan penghematan yang

lebih besar.

E. Listrik

Perbandingan 95 perusahaan listrik negara dan 47 perusahaan swasta di AS

menunjukkan biaya per kilowatt-jam lebih tinggi rata-rata 21 persen pada perusahaan

negara.

F. Rumah Sakit

Sistem pelayanan kesehatan terbesar di AS yang dikelola oleh pemerintah

melalui Veterans Administration (V.A.) menunjukkan biayanya lebih mahal dibanding

sistem swasta.

G. Pelayanan Pos

Pelayanan pos di AS ditangani baik oleh perusahaan negara maupun swasta.

Perusahaan swasta menangani dua kali lebih banyak pengiriman, dengan tarif lebih

Page 44: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 44 44

rendah, pengiriman lebih cepat, dan mempunyai tingkat kerusakan yang lebih rendah.

Lebih jauh, perusahaan menghasilkan untung sementara perusahaan negara merugi.

H. Kereta Api

Produktifitas pegawai Amtrak, perusahaan KA milik pemerintah AS, kurang

dibanding produktifitas empat perusahaan swasta lainnya.

I. Jalan Raya

Pemeliharaan jalan raya merupakan salah satu usaha yang dapat

diperbandingkan di negara berkembang. Evaluasi rinci dari biaya pemeliharaan jalan di

Brasil memperlihatkan penanganan oleh swasta melalui sistem kontrak lebih murah

dibanding yang dilakukan oleh Departemen Jalan Raya Nasional Brasil.

J. Transportasi Kota

Di Australia, biaya sistem transportasi perkotaan per kilometer yang ditangani

swasta hampir 42 persen lebih murah dari pada sistem yang ditangani negara. DI

Jerman Barat, biaya rata-rata nasional per kilometer 160 persen lebih mahal jika

ditangani negara. Di New York, biaya lebih murah 10 persen jika ditangani swasta. Di

Istanbul dan Calcutta juga menunjukkan kondisi yang sama,

K. Telekomunikasi

Perusahaan telekomunikasi dimiliki oleh pemerintah di sebagian besar negara

kecuali Amerika Serikat. Tetapi antara tahun 1981 sampai 1998, sebanyak 31 BUMN

di 25 negara diprivatisasi baik total maupun sebagian melalui penawaran saham

umum. Pada sebagian besar kasus, saham yang ditawarkan merupakan penawaran

terbesar di masing-masing negara, bahkan tercatat ada yang mencapai lebih dari 30%

dari keseluruhan kapitalisasi pasar modal di negara yang bersangkutan.

Sebuah studi terbaru menemukan bahwa keuntungan, output, efisiensi

operasional dan investasi modal meningkat signifikan setelah privatisasi, semenrtara

jumlah tenaga kerja dan jumlah hutang berkurang tajam. Hampir seluruh BUMN

telekomunikasi menghadapi regulasi baru pada saat diprivatisasi, dan banyak

pemerintahan mempertahankan sahamnya yang signifikan. Kedua faktor ini

mempengaruhi kinerja keuangan. Beberapa kondisi setelah privatisasi adalah:

Kompetisi mengurangi keuntungan, dan jumlah tenaga kerja dan efisiensi

monopoli pemerintah setelah privatisasi. Sementara pembentukan instansi pengatur

(regulator) independen meningkatkan output.

Page 45: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 45 45

Mempertahankan kepemilikan pemerintah berhubungan dengan peningkatan

hutang dan pengurangan tenaga kerja, sementara pengaturan harga meningkatkan

keuntungan..

Dapat disimpulkan bahwa dampak finansial privatisasi terhadap BUMN

telekomunikasi tergantung sebagian besar pada struktur pasar kompetisi yang baru,

pasar yang setara, pengaturan harga dan instansi pengatur independen. Dampak

tersebut dapat negatip tetapi konsumen dan kondisi ekonomi mendapatkan keuntungan

dari proses ini (Bortolotti, 2001)

Privatisasi di Inggris memperlihatkan bahwa privatisasi British Telecom

menunjukkan kesuksesan dalam banyak hal, harga menjadi murah, sementara

produktifitas dan keuntungan meningkat. British Telecom setelah privatisasi ternyata

mampu meningkatkan jumlah saluran telepon sebesar 30 persen. Pertumbuhan

produktifitasnya naik dari 1,9 persen per tahun (1979-1983) menjadi 3,2 persen per

tahun (1983-1987), yang menunjukkan kenaikan hampir 70 persen. British Gas

berhasil menawarkan harga jual pada pelanggan industri dengan 30 persen lebih murah

dibandingkan tarif sebelumnya (Wibisono, 1996).

Vogelsang dkk, (1994) menyelenggarakan analisis untung-rugi sosial terhadap

privatisasi BT yang menunjukkan dampak positip. Keseluruhan masyarakat

memperoleh keuntungan 10 Miliar Poundsterling, yang sebagian terbesar mengalir ke

konsumen (Pollitt, 1999).

Vogelsang dkk. mencatat bahwa perbaikan produktiftas dihasilkan dari

perbaikan teknik dan bukan hanya privatisasi, meskipun privatisasi mendorong

pembentukan modal. Regulasi mempengaruhi harga. Privatisasi mendorong investasi

dan regulasi menguntungkan konsumen. Privatisasi tidak menunjukkan pengaruh pada

perbaikan efisiensi operasi sampai pada saat dilakukan PHK karena ketatnya

kompetisi. Sebelumnya pertumbuhan produktifitas merupakan fungsi dari

pertumbuhan output, yang merupakan bagian dari pengaruh menurunnya tarif.

Kompetisi merupakan media utama meningkatkan pelayanan dan menurunkan tarif di

sektor telekomunikasi (Pollitt, 1999).

2.6.11 Beberapa Fakta Penting

Dari beberapa pengalaman pelaksanaan privatisasi di manca negara, maka

dapat dikemukakan beberapa fakta yang penting yaitu: (i) Pertama. Privatisasi berjalan

Page 46: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 46 46

lebih lancar jika pemimpin pemerintahan mempunyai komitmen politis yang kuat

terhadap reformasi ekonomi; (ii) Kedua. Privatisasi tidak mudah. Tantangan dari

berbagai pihak yang mempunyai ‘vested interest’, BUMN yang tidak layak jual dan

tidak menarik bagi investor; ketakutan investor asing terhaadap keamanan negara

merupakan beberapa penghambat privatisasi; (iii) Ketiga. Model privatisasi tidak

hanya satu, tetapi beragam dengan kemungkinan sukses/gagal yang sama. Walaupun

tidak ada model yang berlaku untuk semua situasi, tetapi dapat dikatakan bahwa

prospek privatisasi terbaik pada negara yang mempunyai mekanisme finansial yang

mendukung privatisasi; (iv) Keempat. Bahkan negara maju tetap berekprimen dengan

privatisasi. Contohnya Inggris yang telah melakukan privatisasi 40 persen dari BUMN-

nya, namun debat tentang privatisasi tetap hangat.; (v) Kelima. Privatisasi tidak hanya

sekedar menjual aset ke sektor swasta. Tetapi juga berarti meningkatkan kebebasan

pasar, dan mengurangi regulasi pemerintah, dan kebijakan makro lainnya.

3. Privatisasi di Indonesia

3.1 Latar Belakang dan Sejarah BUMN

Cikal bakal BUMN di Indonesia telah dikenal jauh sebelum terbentuknya

negara Republik Indonesia. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, cikal bakal

BUMN tersebut antaranya adalah Pandhuisdinst (pegadaian). Setelah Indonesia

merdeka, usaha negara dimasukkan dalam pasal 33 UUD 1945,. Dalam pasal tersebut

disebutkan 3 pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian nasional yaitu usaha swasta,

usaha negara dan koperasi. Hal ini yang menjadi legitimasi keberadaan BUMN. Selain

itu juga adanya kesadaran keterbatasan kemampuan sektor swasta, dan keinginan

mengurangi ketergantungan pada pihak asing (Anwari, 1998)

Pada awal kemerdekaan, BUMN di Indonesia sebagian besar berasal dari

proses nasionalisasi perusahaan Belanda, yang pada kurun waktu 1957-1963 mencapai

630 buah, bahkan meningkat sampai 822 buah pada tahun 1966. Pada masa Orde Baru

dilakukan penciutan BUMN, sehingga jumlahnya berkurang menjadi sekitar 200

perusahaan (Ruru, 1996). Pada masa setelah Orde Baru jumlah BUMN relatif tetap.

3.2 Pengertian Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1988 memberikan pengertian BUMN

mencakup (i) Badan Usaha yang dimiliki seluruhnya oleh Negara; (ii) Badan usaha

yang tidak seluruhnya dimiliki negara tetapi statusnya disamakan dengan BUMN,

Page 47: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 47 47

yaitu (a) BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dan pemerintah daeah;

(b) BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dan BUMN lain; (c) BUMN

yang merupakan badan usaha patungan dengan pihak swasta (nasional/asing) dengan

negara memiliki saham mayoritas (minimal 51%); (iii) Anak perusahaan BUMN, yaitu

perusahaan yang sahamnya sebagian besar (minimal 51%) atau seluruhnya dimiliki

oleh BUMN.

Pada saat sekarang, BUMN dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) bentuk15

yaitu

(i) Perum, yaitu BUMN yang berusaha dibidang penyediaan pelayanan bagi

kemanfaatan umum disamping mendapatkan keuntungan, dan modal seluruhnya milik

negara; (ii) Persero, yaitu BUMN yang bertujuan memupuk keuntungan dan bergerak

diluar bidang usaha Perum, modal seluruhnya/sebagian milik negara. Disamping itu,

terdapat bentuk lain BUMN yang diatur khusus yaitu bank pemerintah dan Pertamina.

Secara umum penggolongan BUMN dapat diklasifikasikan dalam 6 (enam)

kategori yaitu: (i) usahanya bersifat tugas perintisan dan pembangunan prasarana

tertentu; (ii) menghasilkan barang yang dengan pertimbangan keamanan dan

kerahasiaan harus dikuasai oleh negara; (iii) didirikan atas pertimbangan untuk

melaksanakan kebijakan pemerintah; (iv) didirikan dengan tujuan untuk melindungi

keselamatan dan kesejahteraan masyarakat; (v) didirikan berdasarkan peraturan

perundangan yang berlaku harus dimiliki dan dikelola pemerintah; (vi) usahanya

bersifat komersil dan fungsinya dapat dilakukan oleh swasta.

3.3 Tujuan Pendirian BUMN

Secara umum terdapat 2 (dua) tujuan pendirian BUMN yaitu (i) fungsi

komersil, antaranya memberi sumbangan bagi perekonomian nasional, mengadakan

pemupukan dana; (ii) fungsi non-komersil, antaranya menyelenggarakan kegiatan

usaha yang bersifat melengkapi kegiatan swasta, merintis kegiatan usaha yang belum

dapat dilaksanakan oleh swasta, memberikan bimbingan pada swasta, menunjang

program pemerintah.

Siahaan (2000) berdasar sejarah dan latar belakang pendirian BUMN

menyimpulkan alasan mempertahankan BUMN yaitu: (i) argumen warisan historis,

menunjukkan bahwa keterlibatan pemerintah dalam perekonomian nasional melalui

15

Sebelumnya berdasar UU No. 9 Tahun 1969, BUMN dibagi 3 (tiga) kategori yaitu Perusahaan

Jawatan (perjan), Perusahaan umum (perum), dan perusahaan persero

Page 48: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 48 48

BUMN merupakan warisan sejarah; (ii) preferensi ideologis dan konsolidasi kekuatan

politik dan ekonomis, dimaksudkan bahwa langkah pemerintah mempunyai landasan

ideologis sebagaimana tercantum dalam pasal 3 UUD 1945; (iii) jawaban pragmatis

terhadap masalah ekonomi; (iv) dorongan institusi internasional dan negara donor.

3.4 Kontribusi BUMN dalam Perekonomian Nasional

BUMN beroperasi di hampir seluruh sektor perekonomian dan beberapa

diantaranya bergerak dalam industri hulu. Hal ini menjadikan BUMN tumpuan

harapan kinerja industri hilir. Artinya kinerja industri hilir banyak bergantung pada

tingkat efisiensi BUMN (Ruru, 1996).

Peranan BUMN di Indonesia dalam perekonomian nasional relatif tinggi16

.

Sumbangan BUMN, tidak termasuk migas, pada Produk Domestik Bruto (PDB) adalah

sebesar 12% , melampaui negara-negara di Asia seperti Thailand (3,6%), Korea

(6,4%). Peranan BUMN di Indonesia cenderung menurun, jika dibandingkan dengan

kondisi tahun 1984 dengan kontribusi BUMN masih sekitar 15 persen.

Investasi BUMN menunjukkan penurunan. Pada tahun 1990, proporsi investasi

BUMN non-migas terhadap total investasi adalah sebesar 13 persen, turun dari 23

persen pada tahun 1985.

Walaupun menunjukkan kecenderungan penurunan sumbangan terhadap PDB

dan investasi, tetapi beberapa aspek masih menunjukkan peningkatan yaitu (i)

sumbangan finansial masih menunjukkan peningkatan Dividen dari Rp. 0,75 Triliun

(1990) menjadi Rp. 1,25 triliun (1994); PPh Badan dari Rp. 2,6 Triliun (1990) menjadi

Rp. 3,5 Triliun (1994); PPN (dengan asumsi 10 persen) diperkirakan mencapai Rp. 8,4

triliun (1994); (ii) penyediaan Barang dan Jasa. Kontribusi penyediaan barang/jasa dari

Rp. 62,2 Triliun (1990) menjadi Rp. 83,7 triliun (1994); (iii) Kesempatan Kerja.

Kontribusi kesempatan kerja mencapai 1,02 juta orang (1994); (iv) Kontribusi Sosial.

Kontribusi sosial (dana PUKK) sampai tahun 1994 telah digulirkan sebesar Rp. 500,1

miliar; (v) Total Aset. Total aset BUMN mencapai Rp. 291,9 triliun (1990) atau 82,3

persen dari PDB Indonesia. Dibandingkan dengan total aset konglomerat Indonesia

hanya sebesar Rp. 227,3 Triliun.

16 Perbandingan dengan negara lain dibahas lebih rinci pada sub.bab 2.6 terdahulu.

Page 49: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 49 49

3.5 Profil BUMN

3.5.1 Jumlah dan Pengelompokan BUMN per Bidang Usaha

Jumlah seluruh BUMN pada tahun 1998 adalah 144 perusahaan. Jumlah

BUMN terbesar pada bidang agro industri (22.9%), logistik (22.2%), jasa keuangan

(13.2%), dan konstruksi (12.5%)

Penjualan terbesar diraih BUMN bidang bidang jasa keuangan merupakan

42,4% dari total penjualan BUMN, disusul bidang agroindustri (14,3%), energi (9,9%),

pariwisata (9.7%). Bidang lainnya relatif kecil proporsinya.

Aset terbesar pada kelompok usaha jasa keuangan mencapai 58% dari total aset

BUMN, disusul bidang energi (15%). Bidang lainnya relatif kecil proporsinya.

Selengkapnya pada Tabel 10 (halaman berikut)

3.5.2 Jumlah dan Pengelompokan BUMN berdasar Nilai Penjualan

Proporsi terbesar dari Nilai penjualan BUMN diraih oleh kelompok penjualan

diatas Rp. 1 Trilun, sementara kelompok penjualan lainnya relatif jauh lebih kecil.

Selengkapnya pada Tabel 11.

Tabel 11 Pengelompokan BUMN berdasar Nilai Penjualan

Kelompok Penjualan (Rp. M) Jumlah BUMN Penjualan (Rp.M) Penjualan (%)

> 1000 12 44.536 71.7

500 – 1000 4 2.433 3.9

250 – 500 15 4.810 7.7

100 – 250 46 7.472 12.0

< 100 107 2.860 4.6 Sumber: Profil dan Anatomi BUMn Edisi 3 Volume 1.

3.5.3 Jumlah dan Pengelompokan BUMN berdasar Nilai Aset

Proporsi terbesar dari Nilai aset BUMN didominasi oleh kelompok aset diatas

Rp. 1 Trilun, sementara kelompok aset lainnya relatif jauh lebih kecil.

Tabel 12 Pengelompokan BUMN berdasar Nilai Aset

Kelompok Penjualan (Rp. M) Jumlah BUMN Penjualan (Rp.M) Penjualan (%)

> 1000 20 168.073 83.6

500 – 1000 13 8.363 4.2

250 – 500 20 6.323 3.1

100 – 250 45 7.249 3.6

< 100 86 11.057 5.5 Sumber: Profil dan Anatomi BUMn Edisi 3 Volume 1.

Page 50: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 50 50

Tabel 10 Pengelompokan BUMN per Sektor Tahun 1998 (Triliun Rupiah)

Bidang Usaha Penjualan Aset Jumlah Nama Perusahaan

1. Jasa Keuangan 61.1

(42,4%)

271.5

(58%)

19

(13.2%)

Bank Mandiri, PT. Bank BTN, PT. Bank BNI,

PT. Bank BRI, PT. Danareksa, PT. Bahana,

PT. PANN MF, PT. Kliring JBK, PT AS.

Jasindo, PT. AS. Jiwasraya, PT. AS Jasa

Raharja, PT. ASEI, PT. RUI, PT. Taspen, PT.

ASABRI, PT. Askes, PT. Jamsostek, PT.

Askrindo, PT. PP Berdikari.

2. Agroindustri

Dan konsumer

20.2

(14,3%)

26.3

(5.6%)

33

(22.9%)

PT PN I-XIV, PT RNI, PT Pusri, PT Pupuk

Kaltim, PT Pupuk Kujang, PT PIM, PT

Petrogres, PT AAI, PT Sang Hyang Sri, PT

Pertani, PT perikanan S Besar, PT Perikani,

PT Usaha Mina, PT Tirta Raya Mina, PT Indo

Farma, PT Kimia Farma, PT Bio Farma, PT

Garam, PT Industri Soda Ind, PT Iglas.

3. Energi 14.3

(9.9%)

70

(15%)

3

(2.1%)

PT PLN, PT PGN, PT Kanebo

4. Pariwisata 13.9

(9.7%)

13

(0.6%)

10

(6.9%)

PT garuda, PT Merpati, PT AP I, PT AP II,

PT WNI, PT HII, PT Natour, PT IWC

Borobudur-Prambanan, PT Perhotelan dan

Perkantoran Ind, PT BTDC

5. Telekomunikasi

Dan Media

8.8

(6.1%)

28.8

(6.2%)

4

(2.8%)

PT Indosat, PT Telkom, PT Pradnya Paramita,

PT Balai Pustaka

6. Industri

Strategis

8.4

(5.8%)

14.7

(3.1%)

13

(9%)

PT IPTN, PT PAL Ind, PT IKI, PT Pindad, PT

Dahana, PT INKA, PT LEN Industri, PT

Krakatau Steel, PT Barata Indonesia, PT

Boma Bisma Indra, PT Batan Teknologi, PT

INTI, PT PPLI.

7. Logistik 8.1

(5.6%)

20.3

(4.3%)

32

(22.2%)

PT Pelindo I-IV, PT VIP, PT bahtera Adhi

Guna, PT Djakarta Lloyd, PT PELNI, PT

Rukinda, PT ASDP, PT Dok Kodja Bahari,

PT Dok Perkapalan Sby, PT Jasa Marga, PT

JIEP, PT SIER, PT Pos Ind, PT Suadinda, PT

Surveyor Ind, PT KBN, PT Kaw Industri

Cilacap, PT Kaw Industri Medan, PT Kaw

Industri Makasar, PT PDIP Batam, PT BKI,

PT Survey Udara Peers, PT Sarinah, PT Cipta

Niaga, PT Kerta Niaga, PT Mega Eltra, PT

Pantja Niaga, PT Dharma Niaga, PT BGR.

8. Pertambangan 3.9

(2.7%)

5.8

(1.2%)

4

(2.8%)

PT Timah, PT Aneka Tambang, PT Toba

Bukit Asam, PT Sarana Karya

9. Konstruksi dan

Bhn bangunan

3.4

(2.4%)

13

(2.8%)

18

(12.5%)

PT Istaka Karya, PT Wijaya Karya, PT

Waskita Karya, PT Nindya Karya, PT Hutama

Karya, PT Adhi Karya, PT Amarta Karya, PT

Indra Karya, PT Indah Karya, PT Virama

Karya, PT Yodya Karya, PT Bina Karya, PT

Pembang Perumahan, PT Brantas Abipraya,

PT Rekayasa Industri, PT Semen Gresik, PT

Semen Baturaja, PT Semen Kupang

10. Kehutanan,

Kertas, Kayu

1.9

(1.1%)

3.2

(0.7%)

8

(5.6%)

PT Inhutani I-V, PT Kertas Leces, PT Kertas

Padalarang, PT Kertas Kraft Aceh.

Total 144

(100%)

466.6

(100%)

144

(100)

Daftar diatas tidak termasuk kepemilikan

minoritas seperti Freeport dan lain-lain.

Sumber: Pranoto (2000)

Page 51: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 51 51

3.5.4 Jumlah dan Pengelompokan BUMN berdasar Jumlah Laba

Berbeda dengan proporsi nilai penjualan dan nilai aset yang terlihat senjang

antar kelompok, maka proporsi jumlah laba antar kelompok laba relatif berimbang.

Selengkapnya pada Tabel 13

Tabel 13 Pengelompokan BUMN berdasar Jumlah Laba

Kelompok Laba

(Rp. Miliar)

Jumlah

BUMN

Jumlah laba

(Rp. Miliar)

Proporsi

Aset (%)

> 500 2 1.622 33.1

100 – 500 8 1.253 25.6

50 – 100 13 885 18.1

25 – 50 15 532 10.8

< 25 130 597 12.2 Sumber: Profil dan Anatomi BUMn Edisi 3 Volume 1.

3.6 Kinerja BUMN

Dari sekitar 160 BUMN pada tahun 1997, maka berdasar kriteria RLS terdapat

41 BUMN (25,2 persen) berkategori sangat sehat, 33 BUMN (20,8 persen) sehat, 29

BUMN (18,2 persen) kurang sehat, dan 57 BUMN (35,8 persen) tidak sehat. Dengan

demikian kinerja BUMN di Indonesia masih kurang memadai, terutama jika dikaitkan

dengan return on assets (ROA) rata-rata BUMN periode 1988-1996 tidak pernah

melampaui angka 4 persen, bahkan untuk tahun 1997 hanya 2,7 persen (Suwandi,

2001).

3.7 Perkembangan Privatisasi

3.7.1 Latar Belakang Privatisasi

Privatisasi di Indonesia dimulai dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 5

Tahun 1988 yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 740

dan 741/KMK.00/1989 yang dijadikan landasan pelaksanaan privatisasi. Pelaksanaan

Privatisasi dilatarbelakangi oleh 3 (tiga) hal yaitu (i) kondisi keuangan negara.

Jatuhnya harga minyak sejak tahun 1983 dan mencapai puncaknya tahun 1986

mengakibatkan terjadinya kesulitan keuangan negara. Pendapatan negara dan devisa

semakin berkurang, sementara kewajiban negara membayar hutang semakin besar.

Kondisi ini mendorong pemerintah mencari sumber lain atau mengurangi pengeluaran.

Salah satu cara adalah mengurangi subsidi dan penyertaan modal pemerintah pada

BUMN; (ii) globalisasi. Salah satu ciri globalisasi adalah ‘ekonomi tanpa batas negara’

Page 52: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 52 52

yang mengakibatkan persaingan ketat antar perusahaan baik swasta maupun BUMN.

Peningkatan efisiensi BUMN menjadi keniscayaan; (iii) meningkatnya ekspektasi

masyarakat terhadap pelayanan publik (Ruru, 1996).

Perangkat peraturan yang mendukung program privatisasi bertambah dengan

dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 1990 tentang perusahaan

persero yang menjual sahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal yang

kemudian sebagian dirubah melalui PP Nomor 59 Tahun 1996. Dengan

dikeluarkannya peraturan ini maka terbuka peluang BUMN go public.

Sampai tahun 1996, tepat sebelum terjadinya krisis ekonomi, jumlah BUMN

yang masuk pasar modal telah mencapai 7 (tujuh) BUMN yaitu PT. Semen Gresik

(1991); PT. Indosat (1994), PT. Tambang Timah (1995), PT. Telkom (1995), Bank

BNI (1996), PT. Indofarma; PT. Kimia Farma. Masih terdapat beberapa kegiatan

privatisasi lagi seperti Kerja Sama Operasi (KSO) PT. Telkom.

Memasuki tahun 1997 ditandai dengan terjadinya krisis ekonomi, maka

langkah privatisasi menjadi salah satu prioritas pemerintah terutama setelah Indonesia

menjadi pasien IMF. Program privatisasi bahkan tercantum dalam Letter of Intention

(LOI).

Sejak awal program tahun 1998 sampai Maret 1999 hanya 2 (dua) transaksi

yang terlaksana. Penjualan saham minoritas di PT. Semen Gresik pada Cemex

(Meksiko), dan PT. Indofood Sukses Makmur. Banyak BUMN lainnya yang terhambat

proses privatisasinya karena adanya penolakan dari publik. Salah satunya Privatisasi

PT. Krakatau Steel terhambat karena adanya penolakan dari kalangan direksi sendiri.

Memasuki tahun anggaran 1999/2000, pemerintah mentargetkan pendapatan

sebesar Rp. 13 Triliun. Seperti periode sebelumnya, hasilnya jauh dari harapan,

meskipun terjadi privatisasi PT. Pelindo II (Rp. 1,89 Triliun), PT. Pelindo III (Rp. 1,52

Triliun), PT. Telkom (Rp. 3,27 Triliun).

Tahun anggaran 2000, bahkan tidak terjadi transaksi sama sekali dari target

sebesar Rp. 6,5 Triliun. Target tersebut kemudian dilanjutkan dalam tahun anggaran

berikutnya. Meskipun demikian pemerintah tetap mentargetkan jumlah BUMN yang

akan diprivatisasi cukup besar untuk tahun anggaran 2002 yang mencapai 25 BUMN.

Sebenarnya masih banyak metode privatisasi yang dilakukan selain go public,

tetapi keterbatasan informasi menyebabkan sulitnya mengetahui kemajuannya.

Page 53: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 53 53

Diantaranya tercatat penggunaan metode penjualan langsung dalam privatisasi PT.

Intirubdan PT. Kertas Gowa. BUMN yang terpantau melakukan KSO adalah PT.

Telkom.Privatisasi manajemen dilakukan pada PT. Danareksa dan PT. Bahana dengan

menunjuk direksi dari swasta. Selain itu, dilakukan juga tukar guling pada PT.

Sandang (Bachtiar, 1998).

3.7.2 Tujuan dan Manfaat Privatisasi

Tujuan pemerintah melakukan privatisasi adalah (i) menghimpun dana dari

pemilikan saham di BUMN dan menggunakan hasilnya untuk mengurangi hutang

pemerintah; (ii) menghimpun dana bagi keperluan pengembangan usaha BUMN yang

bersangkutan; (iii) meningkatkan produktifitas, efisiensi dan daya saing BUMN

melalui disiplin pasar; (iv) meningkatkan citra negara melalui keberhasilan privatisasi

BUMN terbaik; (v) mengembangkan pasar modal di Indonesia.

Selain manfaat dari segi ekonomi yang diantaranya berupa tersedianya

tambahan dana untuk pembayaran utang pemerintah, dan BUMN memperoleh

alternatif pendanaan dari masyarakat untuk pengembangan usaha, maka beberapa

manfaat lain yang ditengarai diperoleh dari privatisasi adalah (i) meningkatnya profil

perusahaan di mata publik; (ii) meningkatnya citra negara di lingkungan internasional;

(iii) terciptanya akses pada sumber pndanaan publik; (iv) mengetahui nilai pasar

perusahaan; (v) proses pengambilan keputusan manjemen menjadi lebih sederhana;

(vi) berkurangnya campurtangan sekaligus memperoleh dukungan pemerintah (Ruru,

1996).

3.7.3 Kebijakan dan Strategi Privatisasi

A. Penilaian Kinerja BUMN

Evaluasi kinerja BUMN mengacu pada Keputusan Menteri keuangan No.

826/KMK.013/1992 tentang tingkat kesehatan BUMN. Bobot terbesar adalah tingkat

rentabilitas yakni 52,5 persen. Kriteria lainnya adalah likuiditas, dan solvabilitas..

Penekanan utama adalah kemampuan BUMN mencetak laba.

Cara penilaian dengan menggunakan metode RLS (Rentabilitas, Likuiditas,

Solvabilitas) cukup banyak mendapat kritik. Salah satunya dari PT. Jasa Marga.

Penggunaan metode RLS tersebut kurang tepat untuk perusahaan dengan jangka waktu

investasi lama. Mungkin sebaiknya kalaupun dipergunakan maka nilai RLS tersebut

mempunyai batas ambang yang berbeda-beda untuk berbagai jenis BUMN. Sebagai

Page 54: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 54 54

perbandingan, di Jepang Nihon Doro Kodan merupakan perusahaan tol terbesar di

dunia. Ternyata RLS perusahaan tersebut tidak lebih baik dari PT. Jasa Marga.

B. Metode Privatisasi

Masterplan Reformasi BUMN (1999) memperkenalkan metode privatisasi

antara lain: (i) Penawaran umum. Penjualan saham BUMN melalui pasar modal; (ii)

Penempatan langsung (direct placement, strategic sale, private placement, trade sale).

Penjualan saham BUMN kepada pihak lain dengan cara negosiasi, umumnya melalui

tender; (iii) Management buyout (MBO). Pembelian saham mayoritas BUMN oleh

suatu konsorsium yang diorganisasikan dan dipimpin oleh manajemen yang ada; (iv)

Likuidasi. Menjual perusahaan sebagai usaha yang sedang berjalan atau dengan cara

menjual aset; (v) Penjualan aset. Memisahkan aset BUMN yang bermasalah dan

menjualnya ke swasta; (vi) Voucher schemes. Penduduk diberi voucher atau diberi

kesempatan membeli dengan harga murah, kemudia menukar voucher tersebut dengan

saham BUMN. (vii) Konsesi. Sewa aset untuk jangka waktu panjang, dan pemegang

konsesi berhak menjalankan usaha dan berkewajiban memelihara aset dan juga

menambahkan aset jika diperlukan; (viii) Sewa guna usaha (lease). Pemberian hak

mengelola sekumpulamn aset untuk jangka waktu singkat, namun pemilik tetap

bertanggungjawab memelihara dan menambah aset; (ix) Kontrak manajemen. Metode

ini mirip sewa guna usaha, biaya manajemen berdasar kinerja; (x) contracting out.

Memberikan kesempatan pada pihak swasta melalui kontrak untuk melaksanakan

fungsi tertentu; (xi) Employee Share Ownership Plan (ESOP). Pemberian saham pada

karyawan; (xii) Privatization Trust Fund. Kepemilikan dengan menggunakan Dana

Perwalian Privatisasi. Pengelolaan saham diberikan oleh pemerintah pada dana

perwalian yang akan mengelola portofolio, menerima dividen, dan menjaulnya pada

saat yang tepat (Pranoto, 2000).

C. Rencana Privatisasi tahun 2002

Pada tahun 2002 direncanakan dilakukan privatisasi terhadap 25 BUMN yang

terdiri dari 2 (dua) kelompok yaitu kelompok BUMN yang merupakan kelanjutan

rencana privatisasi BUMN tahun 2001 sebanyak 9 BUMN; dan kelompok usulan tahun

2002 sebanyak 16 BUMN. BUMN yang diprivatisasi tersebut beragam baik dalam

jenis usaha, proporsi kepemilikan pemerintah, maupun metode privatisasi.

Page 55: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 55 55

Berdasar metode privatisasi maka sebanyak 20 BUMN akan menggunakan

metode ‘strategic sale’ yaitu pelepasan saham pada pihak swasta melalui perundingan

langsung, sementara sisanya bervariasi mencakup penawaran terbuka, penjualan saham

lewat pasar modal, penjualan saham pada karyawan/manajemen, atau gabungan

beberapa metode. Hal yang baru terlihat dari adanya BUMN yang akan

dilikuidasi.(PT. Indah Karya).

Bidang usaha yang dominan adalah konsultan (6 BUMN), kertas (3 BUMN),

semen, hotel, bandara, farmasi, (masing-masing 2 BUMN), dan selebihnya bergerak

dalam usaha telekomunikasi, tambang, perabnkan, jasa keuangan, ban, tekstil, gelas

(masing-masing 1 BUMN).

Proporsi kepemilikan pemerintah pada BUMN yang akan diprivatisasi sebagian

besar dalam bentuk pemilikan mayoritas yaitu sebanyak 10 BUMN (100 persen), 5

BUMN (51-99 persen), selebihnya sebanyak 9 BUMN merupakan BUMN dengan

proporsi pemilikan pemerintah minoritas (< 50 persen). PT. Semen Gresik tidak

tercantum proporsi kepemilikannya.

Rencana penjualan saham pemerintah dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga)

kategori yaitu penjualan seluruh saham, penjualan sebagian besar saham (menjadikan

pemerintah menjadi pemegang saham minoritas), penjualan sebagian kecil saham

(pemerintah tetap sebagai pemegang saham mayoritas). Penjualan seluruh saham

direncanakan hampir pada sebagian besar BUMN yang akan diprivatisasi yaitu

sebanyak 15 BUMN, yang mencakup seluruh BUMN dengan pemilikan pemerintah

minoritas, BUMN bidang usaha konsultan. Sementara hanya 2 BUMN dengan

pemilikan pemerintah mayoritas yang termasuk kategori ini. Penjualan sebagian besar

saham direncanakan pada 1 BUMN yang bergerak dalam usaha farmasi. Penjualan

saham sebagian kecil direncanakan pada 6 BUMN yang bergerak dalam usaha farmasi,

tambang, perbankan, bandara, dan jasa keuangan.

Dari proses privatisasi nantinya, maka hanya 6 BUMN yang tetap merupakan

BUMN dengan pemilikan pemerintah mayoritas dari 8 BUMN yang tersisa dalam

program privatisasi tahun 2002. Selengkapnya pada Tabel 14

Page 56: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 56 56

.

Tabel 14 Program Privatisasi BUMN, Tahun 2002

No

Nama BUMN

Usaha

Pemilikan

Pemerintah

(%)

Rencana

Dijual

(%)

Metode

Target

A Lanjutan Tahun 2001

1 PT Wisma Nusantara Internasional Hotel 42 42 SS Maret

2 PT Angkasa Pura II Bandara 100 49 SS Mei

3 PT Indofarma Tbk Farmasi 80.73 29 SS Juni

4 PT Kimia Farma Tbk Farmasi 90.3 51 SS Juni

5 PT. Indosat Tbk Telkom 65 45 Pl/SS Juni/Okt

6 PT. Batubara Bukit Asam Tambang 100 35 SS Agustus

7 PT. Indocement TP Tbk Semen 16.87 16.87 TO Desember

8 PT. Semen Gresik Tbk *) Semen - - SS -

9 PT. Bank Mandiri **) Perbankan 100 30 IPO Juni

B. Usulan Tahun 2002

1 PT. Intirub Produk ban 9.9 9.9 SS Juli

2 PT. Atmindo Konsultan 36.6 36.6 SS Juli

3 PT. Cambrics Primissima Tekstil 52.79 52.79 SS Juli

4 PT. Iglas Prod Gelas 64 64 SS Agustus

5 PT. Jakarta International Hotel Hotel 3.3 3.3 SS Agustus

6 PT. Kertas Blabak Kertas 1.64 1.64 SS Sept

7 PT. Kertas Padalarang Kertas 48.5 48.5 SS Sept

8 PT. Kertas Basuki Rahmat Kertas 10 10 SS Sept

9 PT. Indah Karya Konsultan 100 - L Oktober

10 PT. Indra Karya Konsultan 100 100 AS/SS Oktober

11 PT. Virama Karya Konsultan 100 100 AS/SS Oktober

12 PT. Yodya Karya Konsultan 100 100 AS/SS Oktober

13 PT. Rukindo Pengerukan 100 100 SS Nop

14 PT. Rekayasa Industri Konsultan 4.97 4.97 SS Nop

15 PT. Angkasa Pura I Bandara 100 49 IPO/SS Des

16 PT. Danareksa ***) Jasa Keu 100 49 IPO/SS

/EMBO

-

Keterangan:

*) masih menunggu keputusan pemerintah SS = strategic sale AS = penjualan aset

**) pelepasan saham portepel dari ‘enlarged capital’ IPO = penawarn saham lewat pasar modal

***) menunggu restrukturisasi internal EMBO = penjualan saham pada manajemen/karyawan

Pl = placement L = likuidasi

Sumber: Diolah dari Kompas, 24 Maret 2002

3.7.4 Masalah dan Hambatan Privatisasi

Secara garis besar hambatan dan privatisasi di Indonesia adalah (i) belum

adanya bukti bahwa privatisasi dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat; (ii)

kurangnya sosialisasi tentang rencana privatisasi; (iii) belum adanya dasar hukum yang

kuat paling tidak setingkat undang-undang bagi privatisasi BUMN; (iv) faktor internal

termasuk kekhawatiran terjadinya PHK besar-besaran, hilangnya kemudahan yang

dinikmati oleh direksi dan komisaris; (v) ketakutan pemda akan kehilangan sumber

pemasukan (Kompas, 2002).

Page 57: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 57 57

Prawiro (1989) mengemukakan masalah yang lebih terkait pada kinerja BUMN

dan ideologi yaitu (i) kinerja BUMN yang kurang baik mengakibatkan nilai jual

BUMN yang relatif rendah; (ii) kinerja yang kurang baik juga menjadi hambatan untuk

memenuhi persyaratan masuk pasar modal; (iii) salah satu tugas BUMN adalah

mendidik tenaga Indonesia, dan dengan privatisasi menjadi tidak tertangani; (iv)

BUMN diberi hak monopoli karena beban sosial yang ditanggungnya tetapi dengan

privatisasi maka beban tersebut tidak ada lagi sehingga seharusnya hak monopoli

dihilangkan. Tetapi hak monopoli inilah yang sebenarnya menarik minat swasta

membeli BUMN

Sadli menekankan faktor ideologi yang menjadi hambatan proses privatisasi di

Indonesia. Ada dua hal yang disorot yaitu (i) latar belakang sejarah bahwa BUMN

merupakan hasil nasionalisasi perusahaan Belanda; (ii) terbentuknya BUMN sebagai

amanat pasal 33 UUD 194517

.

Hambatan lainnya adalah proses privatisasi yang tidak transparan dan sepihak

serta tidak terpantau oleh lembaga legislatif dan masyarakat yang menyebabkan

terciptanya kuasi BUMN (Wibisono, 1987)18

.

Aviliani selain menyoroti faktor internal seperti penolakan manajemen dan

pegawai, dan faktor keterbukaan sebagai kendala privatisasi, juga mengaitkan dengan

konteks otonomi daerah yang menjadi alasan pemerintah daerah menolak privatisasi

BUMN yang berlokasi di daerahnya.(Jurnal, 2002).

4. Metode Penilaian Dampak Privatisasi

Metode penilaian dampak privatisasi yang dikemukakan oleh Andic (1990)

akan dipergunakan dalam studi ini dengan beberapa penyesuaian sesuai dengan

kondisi data yang tersedia. Sebagaimana telah dijelaskan sekilas pada bagian

terdahulu, maka pada dasarnya metode ini merupakan modifikasi terhadap metodologi

tradisional penghitungan tingkat pengembalian (internal rates of return), nilai

sekarang (net present values) dan rasio untung-rugi (cost-benefit ratios), yang

kemudian diaplikasikan kedalam metode evaluasi privatisasi.

17

Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 menyatakan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup

orang banyak dikuasai negara. 18

Kuasi BUMN adalah perusahaan swasta dengan kewenangan menyerupai BUMN karena kedekatan

pemilik perusahaan dengan pengamboil kebijakan di pemerintahan.

Page 58: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 58 58

Andic membagi metodologinya dalam beberapa bagian yaitu:

4.1 Kriteria Dasar.

Untuk menguji keakuratan dampak langsung dan tidak langsung privatisasi,

maka dua kriteria dasar dipertimbangkan:

4.1.1 Nilai Tambah.

Dalam mengevaluasi privatisasi harus ditentukan apakah nilai sekarang dari

nilai tambah netto setelah privatisasi lebih besar dari nilai sekarang dari nilai tambah

netto sebelum privatisasi. Ini merupakan kriteria dasar menilai dampak keseluruhan

terhadap perekonomian. Nilai tambah netto adalah nilai gaji dan upah serta surplus

sosial (pajak, dividen, laba ditahan, dana cadangan dan bantuan kegiatan sosial).

Formula kriteria adalah:

Jika hasilnya lebih besar atau sama dengan satu, maka kriteria berikut dapat

dipertimbangkan.

4.1.2 Efisiensi.

Pada konsep ini dilakukan perbandingan antara surplus sosial setelah privatisasi

dengan sebelum privatisasi.. Kriteria tersebut diekspresikan sebagai

P(NVA)p / P(NVA)g > 1

P(NVA)p Nilai tambah netto sekarang setelah privatisasi

P(NVA)g Nilai tambah netto sekarang sebelum privatisasi

NVA Nilai Tambah netto

NVA = [gaji + upah] + surplus sosial

Surplus sosial pajak, dividen, bunga pinjaman modal, sewa,

laba ditahan, dana cadangan, dan bantuan/kegiatan sosial

[P(NVA)p – P(W)p] / [P(NVA)g – P(W)g] > 1

Page 59: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 59 59

Surplus sosial setelah privatisasi harus lebih besar dari sebelum privatisasi

untuk menunjukkan kesuksesan dari privatisasi tersebut.

4.2 Dampak Ekonomi Makro

Dampak ekonomi makro meliputi dampak terhadap nilai tambah agregat,

tenaga kerja, gaji dan upah, surplus sosial, anggaran, tabungan dan konsumsi.

4.2.1 Nilai Tambah Agregat

Dampak terhadap nilai tambah agregat terjadi dalam dua tahap yaitu dampak

langsung dan dampak tidak langsung. Penjumlahan dari dampak langsung dan tidak

langsung merupakan dampak total terhadap nilai tambah agregat.

Nilai tambah agregat dinyatakan sebagai selisih antara output dengan input.dan

depresiasi. Perubahan langsung nilai tambah netto merupakan selisih antara nilai

tambah netto setelah privatisasi dan sebelum privatisasi.

Dampak tidak langsung dihitung dengan menggunakan ‘income multiplier’ dari

sektor angkutan dan telekomunikai mengikuti kategori sektor dalam PDB Nasional.

W gaji dan upah

p menunjukkan setelah privatisasi

g menunjukkan sebelum privatisasi

Langsung

NVAp = Op - (MI + D)p

NVAg = Og - (MI + D)g

NVAd = NVAp - NVAg

NVA nilai tambah netto O output

D depresiasi MI input

NVAd perubahan langsung nilai

tambah netto

Tidak Langsung

NVAd x k = NVAi

Page 60: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 60 60

Dampak total terhadap nilai tambah agregat merupakan penjumlahan dari

dampak langsung dan dampak tidak langsung.

4.2.2 Tenaga Kerja

Dampak privatisasi terhadap tenaga kerja dikelompokkan dalam dampak

langsung dan dampak tidak langsung. Dampak langsung dihitung berdasarkan

pertambahan tenaga kerja setelah privatisasi yang terjadi pada perusahaan yang

bersangkutan dan pemerintah pusat sebagai akibat penambahan penerimaan dari hasil

privatisasi. Formula dampak langsung privatisasi terhadap tenaga kerja adalah:

Dampak tidak langsung dimaksudkan adalah dampak terhadap tenaga kerja di

sektor telekomunikasi dan sektor publik. Adapun formulasi dampak tidak langsung

tersebut sebagai berikut

NVAi perubahan tidak langsung nilai

tambah netto

k ‘income multiplier’ sektor manufaktur

Total

NVA = NVAd + NVAi

Langsung

Ep – Eg + Ec = E

Ep tenaga kerja setelah privatisasi

Eg tenaga kerja sebelum privatisasi

Ec tenaga kerja pemerintah pusat sebagai

hasil penambahan penerimaan

E dampak langsung tenaga kerja

Page 61: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 61 61

Sementara dampak terhadap total tenaga kerja merupakan gabungan antara

dampak langung dan dampak tidak langsung dengan formulasi sebagai berikut;

4.2.3 Gaji dan Upah

Dampak privatisasi terhadap gaji dan upah dihitung dengan membandingkan

kondisi penerimaan gaji dan upah setelah dan sebelum privatisasi, baik pada

perusahaan yang bersangkutan maupun pada pemerintah pusat. Adapun formulasi

dampak langsung privatisasi terhadap gaji dan upah adalah:

Tidak Langsung

(Ep – Eg) x m = Ei

Ec x mc = Ec

m multiplier tenaga kerja sektor telekomunikasi

mc multiplier tenaga kerja sektor publik

Ei dampak tidak langsung tenaga kerja telekomunikasi

Ec dampak tidak langsung tenaga kerja sektor publik

Total

E + Ei + Ec

Langsung

Wp = WBp - WBg

Ec x Wc = Wcd

Wp perubahan gaji dan upah setelah privatisasi

WBp gaji dan upah setelah privatisasi

WBg gaji dan upah sebelum privatisasi

Wc gaji dan upah rata-rata sektor publik

Wcd gaji dan upah pegawai pemerintah pusat hasil

penambahan penerimaan privatisasi

Page 62: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 62 62

Dampak tidak langsung privatisasi terhadap gaji dan upah diperhitungkan dari

penambahan gaji dan upah terhadap perekonomian sebagai akibat privatisasi.

Formulasinya sebagai berikut:

Dampak total privatisasi terhadap gaji dan upah merupakan gabungan dampak

langsung dan tidak langsung, yang berupa tambahan gaji dan upah pada perusahaan

yang bersangkutan, pegawai pemerintah pusat, dan perekonomian.

4.2.4 Surplus Sosial

Dampak privatisasi terhadap surplus sosial dilakukan dengan membandingkan

surplus sosial sebelum dan setelah privatisasi. Formulasinya sebagai berikut:

4.2.5 Dampak pada Anggaran

Dampak privatisasi pada anggaran pemerintah diketahui melalui besarnya

perbedaan subsidi dan hutang yang diberikan pemerintah sebelum dan setelah

privatisasi ditambah dengan tambahan pajak setelah privatisasi. Formulasi

selengkapnya adalah:

Tidak Langsung

(Ei + Ec) We = Wei

We gaji dan upah rata-rata dalam perekonomian

Wei tambahan gaji dan upah dalam perekonomian

Total

Wp + Wcd + Wei

SSp = NVAp – WSp

SSg = NVAg – WSg

SS = SSp - SSg

Page 63: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 63 63

4.2.6 Tabungan dan Konsumsi

Dampak privatisasi pada tabungan dan konsumsi dihitung berdasar besarnya

perubahan konsumsi dan tabungan setelah privatisasi yang diperkirakan berasal dari

privatisasi. Dengan kata lain besarnya perubahan nilai tambah netto hasil privatisasi

yang dipergunakan masing-masing untuk konsumsi dan tabungan. Perkiraan perubahan

tabungan menggunakan marjinal propensities to consume sementara perkiraan

perubahan konsumsi menggunakan marjinal propensity to save.

Gp = (Sg + Dg) – (Sp + Dp) + Tp

Gp penerimaan bersih pemerintah dari privatisasi

Sg Subsidi yang diberikan sebelum privatisasi

Dg utang sebelum privatisasi

Sp subsidi yang dibayar setelah privatisasi

Dp utang tersisa untuk pemerintah

Tp perubahan pajak setelah privatisasi

Perkiraan Dampak terhadap Pajak

NVA x t

NVA perkiraan peningkatan NVA dari privatisasi

t beban pajak rata-rata, yaitu rasio total pajak/nilai tambah

C = NVA x b

S = NVA x (1 – b)

C perubahan konsumsi

S perubahan tabungan

NVA perubahan nilai tambah netto

b marjinal propensity to consume

(1 – b) marjinal propensity to save

Page 64: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 64 64

5. Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom)

5.1 Profil PT. Telkom

Layanan telepon di Indonesia untuk pertamakalinya dikenal sejak 116 tahun

yang lalu, tepatnya tahun 1882. Tahun 1884 Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan

badan usaha swasta yang berfungsi untuk melayani jasa pos dan telegram dalam dan

luar negeri untuk kepentingan masyarakat. Sistem ini terus berjalan hingga tahun 1906

ketika Belanda membentuk sebuah departemen untuk mengelola jasa ini.

Tahun 1965 Pemerintah Indonesia mendirikan PN Telekomunikasi yang

bertindak sebagai penyelenggara layanan jasa telekomunikasi. Tahun 1974 PN

Telekomunikasi dipecah menjadi dua yaitu Perusahaan Umum Telekomunikasi

(Perumtel) dan PT. Industri Telekomunikasi (PT. Inti) sebagai produsen perangkat

telekomunikasi. Tahun 1980, usaha layanan telekomunikasi internasional diserahkan

pada PT. Indonesia Satelit (PT. Indosat). Tahun 1991 pemerintah mengubah Perumtel

menjadi Perusahaan Persero PT. Telekomunikasi Indonesia (Yogaswara, 1998).

Sampai tahun 1991, seluruh kebijaksanaan pengembangan usaha telekomnikasi

berpedoman pada kebijaksanaan yang ditentukan seluruhnya oleh pemerintah. Dana

pembangunan disediakan oleh pemerintah dari alokasi APBN. Memasuki tahun 1995,

Telkom melakukan restrukturisasi perusahaan berupa perampingan organisasi.

Pemerintah menetapkan 7 (tujuh) divisi regional dan 1 (satu) divisi jaringan. Tahun

1996, Telkom melakukan Kerjasama Operasi (KSO) berupa pengalihan 5 (lima) dari 7

(tujuh) divisi regional ke pihak swasta untuk jangka waktu 15 tahun. Sebagai

kompensasi maka Telkom menerima dana pendapatan minimum telkom (PMT)

(Suyono, 2000).

Telkom telah go public pada tanggal 14 Nopember 1995 di Bursa Saham Jakarta

dan New York Stock Exchange. Sampai tahun 1998 komposisi kepemilikan saham

pemerintah sebesar 75,81 persen dan publik 24,19 persen (Yogaswara, 1998).

5.2 Kinerja PT. Telkom (1995-1997)

5.2.1 Kinerja Operasi (Jaringan dan Pelayanan)

Kinerja operasi dapat dinilai dari beragam kriteria tetapi pada kesempatan ini

digunakan (i) penambahan kapasitas telepon; (ii) keberhasilan panggil; (iii) jumlah dan

produktivitas pegawai.

Page 65: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 65 65

A. Kapasitas Telepon

Sebelum privatisasi (1995) penambahan kapasitas telepon per tahun mencapai

937.700 SST. Setelah privatisasi (1996 dan 1997) kapasitas telepon tetap bertambah

tetapi dengan laju pertumbuhan yang berbeda. Pada tahun 1996, tambahan kapasitas

telepon mencapai 1.341.549 SST lebih besar dibanding tahun 1995. Sementara tahun

1997 menurun menjadi hanya 714.875 SST. Selengkapnya pada Gambar 1

Sumber: Laporan Tahunan PT. Telkom, Beragam Tahun

B. Keberhasilan Panggil

Keberhasilan panggil menunjukkan tingkat keberhasilan tersambung untuk

setiap panggilan. Untuk Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ), menunjukkan

peningkatan yaitu sebelum privatisasi (1995) mencapai 47,6% dan setelah privatisasi

mencapai 53,2% (1996) dan 56,7% (1997). Demikian pula halnya untuk sambungan

lokal menunjukkan peningkatan yaitu sebelum privatisasi (1995) mencapai 55,2% dan

setelah privatisasi mencapai 57,9% (1996) dan 59,4% (1997). Selengkapnya pada

Gambar 2.

1995 1996 1997

Kapasitas terpasang 4197300 5538849 6253724

Tambahan SST 1040500 1341549 714875

0

1000000

2000000

3000000

4000000

5000000

6000000

7000000

8000000

SS

T

Gambar 1 Kapasitas dan Tambahan Kapasitas Telepon

Page 66: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 66 66

Sumber: Laporan Tahunan PT. Telkom. Berbagai Tahun

C. Produktivitas Pegawai

Produktivitas pegawai diukur dari kemampuan karyawan melayani SST.

Sebelum privatisasi (1995) tingkat produktifitas mencapai 111,2 SST/karyawan.

Setelah privatisasi menunjukkan peningkatan menjadi 131,2 SST/karyawan (1996) dan

146,2 SST/Karyawan (1997). Selengkapnya pada Gambar 3

Sumber: Laporan Tahunan PT. Telkom. Berbagai Tahun

5.2.2 Kinerja Keuangan

Kinerja keuangan dapat diukur dari beragam kriteria dan kriteria yang paling

sering dipergunakan adalah Rentabilitas, Likuiditas dan Solvabilitas (RLS).

1995 1996 1997

Produktifitas 111.2 131.2 146.2

0

20

40

60

80

100

120

140

160

SS

T/k

ary

aw

an

Gambar 3 Produktifitas Karyawan

1995 1996 1997

Lokal 55.2 57.9 59.4

SLJJ 47.6 53.2 57.6

0

10

20

30

40

50

60

70 %

Gambar 2 Tingkat Keberhasilan Panggil

Page 67: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 67 67

A. Kemampulabaan (Rentabilitas)

Kemampuan PT. Telkom dalam menghasilkan keuntungan dapat diukur dengan

beragam rasio tetapi saat ini hanya dipergunakan 4 (empat) rasio yaitu (i) Return on

Asset – ROA (rasio laba bersih/aset); (ii) Return on Equity – ROE (rasio laba

bersih/modal); (iii) Profit margin (rasio laba bersih/penjualan); (iv) Cost to sale (rasio

biaya/penjualan).

Berdasar kriteria di atas maka didapatkan beberapa hal (i) ROA, ROE dan profit

margin menunjukkan pola yang sama yaitu segera setelah privatisasi (1996) meningkat

dibanding sebelum privatisasi (1995), walaupun kemudian menurun kembali pada

tahun 1997; (ii) Cost to sale menunjukkan penurunan yang konsisten setelah

privatisasi. Selengkapnya pada Gambar 4.

Berdasar standar yang disepakati yaitu World Class Operator, maka kinerja

Telkom dari aspek kemampulabaan masih belum memadai.

Sumber: Hasil Pengolahan

B. Solvabilitas

Solvabilitas adalah rasio kewajiban perusahaan terhadap jumlah aset atau

modalnya. Berdasar rasio ini dapat diketahui tingkat ketergantungan Telkom pada

sumber pembiayaan dari hutang, baik yang berasal dari luar maupun pemilik saham.

Terdapat 5 (lima) kriteria rasio yang dipergunakan yaitu (I) hutang jangka

panjang terhadap total aset; (ii) total hutang terhadap total aset; (iii) hutang jangka

1995 1996 1997

ROA 5.7 8.45 5.77

ROE 12.27 16.95 11.95

Profit Margin 17.76 29.62 19.5

Proporsi Biaya 72.77 57.66 57.25

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Pers

en

Gambar 4 Gambaran Kemampulabaan

Page 68: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 68 68

panjang terhadap modal; (iv) total hutang terhadap modal; (v) hutang jangka panjang

terhadap total hutang.

Berdasar kriteria di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal yaitu (i) Rasio

hutang jangka panjang terhadap aset, rasio total hutang terhadap aset dan rasio hutang

jangka panjang terhadap total hutang relatif sama, baik sebelum dan setelah privatisasi;

(ii) Dilain pihak, rasio hutang jangka panjang terhadap modal dan rasio total hutang

terhadap modal cenderung berfluktuasi. Setelah privatisasi (1996) menurun lalu

meningkat kembali (1997). Selengkapnya pada Gambar 5.

Berdasar World Class Operator (WCO), maka hanya rasio hutang jangka

panjang terhadap aset dan rasio total hutang terhadap aset yang dianggap memadai.

Sumber: Hasil Pengolahan

c. Likuiditas

Likuiditas dimaksudkan sebagai kriteria dalam menentukan kemampuan

membayar kewajiban-kewajibannya tepat pada waktunya, yang diukur dari berbagai

rasio yaitu (i) current ratio (rasio aset/kewajiban lancar); (ii) quick ratio (rasio (aset –

persediaan)/kewajiban lancar); (iii) Cash ratio (rasio dana tunai/kewajiban lancar); (iv)

Cash to operating expenses (rasio tunai/total pengeluaran operasional).

Berdasar beberapa rasio di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu

(I) cash ratio dan cash to operating expenses menunjukkan perbaikan setelah

privatisasi (1996) tetapi kemudian kembali pada kondisi sebelum privatisasi (1997);

1995 1996 1997

Hutang Jk. Pjg/Aset 0.26 0.25 0.28

Total Hutang/Aset 0.38 0.37 0.4

Htg Jk. Pjg/modal 0.55 0.5 0.58

Total hutang/modal 0.82 0.74 0.83

Htg Jk. Pjg/Total Htg 0.67 0.68 0.7

0

0.1

0.2 0.3

0.4

0.5

0.6 0.7

0.8

0.9

Pe

rse

n

Gambar 5 Gambaran Solvabilitas

Page 69: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 69 69

(ii) current ratio dan quick ratio menurun terus setelah privatisasi. Berdasar kriteria

WCO, maka keempat rasio ini dianggap masih belum memadai.

Sumber: Hasil Pengolahan

d. Efisiensi

Efisiensi diukur dengan 3 (tiga) rasio yaitu (i) pendapatan per karyawan; (ii)

pendapatan per sst; (iii) biaya pemeliharaan per sst.

Sumber: Hasil Pengolahan

1995 1996 1997

Current ratio 1.69 1.09 0.95

Quick ratio 1.56 0.99 0.89

Cash ratio 0.38 0.57 0.32

Cash to op. Exp. 0.20 0.42 0.22

0

0.5

1

1.5

2

Gambar 6 Gambaran Likuiditas

1995 1996 1997

Pendap/Kary. (Rp. jt) 135 135 156

Pendap./sst (Rp.

10.000) 150 121 119

Biaya pemelih/sst (Rp.

000) 100 70 50

0

50

100

150

200

Gambar 7 Gambaran Efisiensi

Page 70: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 70 70

Dari ketiga rasio di atas, (i) pendapatan per sst dan biaya pemeliharaan

menunjukkan penurunan setelah privatisasi (1996 dan 1997). Namun tentunya

penurunan biaya pemeliharaan merupakan hal yang positip sementara penurunan

pendapatan per sst bukan hal yang diharapkan; (ii) pendapatan per karyawan

menunjukkan peningkatan setelah privatisasi (1997). Berdasar kriteria WCO, hanya

satu rasio yaitu biaya pemeliharaan per sst yang dianggap memadai. Selengkapnya

Gambar 7

5.3 Dampak Privatisasi

Pada dasarnya kajian sebelumnya dapat juga menjadi kriteria dalam menilai

dampak privatisasi, tetapi sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa

penilaian kinerja dengan dasar RLS dan aspek lain yang bersifat internal kurang dapat

menggambarkan dampak privatisasi khususnya jika dikaitkan dengan pemikiran bahwa

BUMN merupakan perusahaan milik negara. Konsekuensinya dampak privatisasi

BUMN harus dititikberatkan pada aspek eksternalnya.

Beberapa dampak yang akan ditinjau adalah (i) nilai tambah dan efisiensi; (ii)

tenaga kerja; (iii) gaji dan upah; (iv) surplus sosial; (v) anggaran; (vi) tabungan dan

konsumsi.

5.3.1 Nilai Tambah dan Efisiensi

Pada bagian ini akan dibahas tentang nilai tambah dan efisiensi sebagai kriteria

dasar menilai dampak privatisasi. Jikalau rasio nilai tambah dan efisiensi melebihi 1,

maka barulah dampak makro dapat kita perhitungkan.

A. Nilai Tambah

Nilai tambah adalah gaji dan upah yang diterima karyawan ditambah dengan

surplus sosial yang berupa pajak, dividen, laba diatahan dan bantuan sosial. Konsep

yang dipergunakan adalah melakukan perbandingan antara nilai tambah setelah

privatisasi dan sebelum privatisasi.

Berdasar hasil perhitungan, maka terlihat bahwa rasio nilai tambah melebihi 1,

baik untuk tahun 1996 sebesar 1,05 maupun tahun 1997 sebesar 1,11. Walaupun

nilainya hanya sedikit di atas 1, tetapi hal ini telah menunjukkan bahwa kondisi setelah

privatisasi lebih baik dari sebelum privatisasi. Selengkapnya pada Tabel 15.

Page 71: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 71 71

B. Efisiensi

Berbeda dengan konsep efisiensi pada pembahasan kinerja sebelumnya, maka

efisiensi disini dimaksudkan sebagai perbandingan antara surplus sosial setelah

privatisasi dan sebelum privatisasi

Pada Tabel 15, terlihat bahwa rasio efisiensi menunjukkan nilai masing-msing

1,68 (1996) dan 1,83 (1997), yang berarti kondisi setelah privatisasi jauh lebih baik.

5.3.2 Dampak Ekonomi Makro

A. Nilai Tambah Agregat

Secara umum nilai tambah agregat dimaksudkan sebagai perbedaan antara

output dan input setelah memperhitungkan depresiasi. Dampak privatisasi terhadap

nilai tambah agregat berupa dampak langsung, dan tidak langsung. Dampak

keseluruhan merupakan penjumlahan dari dampak langsung dan tidak langsung

Total dampak privatisasi terhadap nilai tambah agregat mencapai Rp. 2,15

Triliun (1996) dan Rp 3,05 Triliun (1997). Selengkapnya pada Tabel 15

B. Tenaga Kerja

Dampak privatisasi terhadap tenaga kerja berupa dampak langsung dan tidak

langsung. Dampak langsung adalah dampak terhadap perubahan jumlah karyawan

internal Telkom, sementara dampak tidak langsung berupa penambahan tenaga kerja di

sektor telekomunikasi. Dampak tidak langusng sebenarnya juga mencakup sektor

publik, tetapi dengan mempertimbangkan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan

tidak menambah pegawai kecuali mengganti yang pensiun, maka dampak terhadap

sektor publik diabaikan (Ec=0).

Dampak keseluruhan terhadap tenaga kerja setelah privatisasi berupa

penambahan tenaga kerja sebanyak 165 orang (1996) dan meningkat menjadi 1.076

orang pada tahun 1997. Selengkapnya Tabel 15

C. Gaji dan Upah

Dampak privatisasi terhadap gaji dan upah berupa dampak langsung dan tidak

langsung. Dampak langsung berupa dampak terhadap perubahan gaji dan upah internal

Telkom, sementara dampak tidak langsung diperhitungkan terhadap kondisi gaji dan

upah diSebagaimana dampak terhadap tenaga kerja, maka dampak terhadap gaji dan

upah juga mengabaikan dampak terhadap sektor publik.

Page 72: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 72 72

Dampak keseluruhan terhadap gaji dan upah menunjukkan jumlah yang

negatip. Hal ini disebabkan pada tahun 1996, Telkom melakukan KSO sehingga beban

pembayaran gaji dan upah pada karyawan yang diperbantukan pada mitra kerja

dialihkan pada mitra kerja tersebut. Namun jumlah karyawan yang diperbantukan tetap

diperhitungkan sebagai karyawan Telkom. Akibatnya terjadi selisih yang sangat ebsar

antara pembayaran gaji dan upah tahun 1995 dan setelah tahun 1995. Kondisi ini

mengakibatkan dampak terhadap gaji dan upah dapat kita abaikan. Selengkapnya pada

Tabel 15

D. Surplus Sosial

Surplus sosial menunjukkan perbedaan yang besar antara kondisi setelah dan

sebelum privatisasi. Pada tahun 1996 perbedaan tersebut mencapai Rp. 1,5 Triliun dan

meningkat menjadi Rp. 2,23 Triliun pada tahun 1997. Selengkapnya pada Tabel 15

E. Anggaran

Dampak anggaran dimaksudkan sebagai penerimaan bersih pemerintah setelah

privatisasi dengan mengabaikan jumlah penerimaan hasil penjualan saham.

Penerimaan bersih mempertimbangkan subsidi yang diberikan pemerintah, hutang

Telkom pada pemerintah dan pajak yang diterima.

Dampak privatisasi pada anggaran menunjukkan perbedaan anatara tahun 1996

yang sebesar Rp. 232 Miliar dan tahun 1997 yang mengalami defisit sebesar Rp. 1,08

Triliun. Kondisi ini disebabkan pada tahun 1997 pinjaman Telkom bertambah cukup

besar. Selengkapnya Tabel 15

F. Tabungan dan Konsumsi

Tabungan dan konsumsi diperhitungkan berdasar perubahan nilai tambah.

Sebagian terbesar nilai tambah dipergunakan untuk konsumsi dan sisanya untuk

tabungan. Pembagian dana untuk tabungan dan konsumsi menggunakan angka

marginal propensity to consume(MPC)) dan marginal propensity to save (MPS).. Nilai

MPS dan MPC diasumsikan masing-masing sebesar 0,8 dan 0,2. Selengkapnya pada

Tabel 15

Page 73: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 73 73

5.4 Fakta Penting tentang Kinerja dan Dampak Privatisasi

Berdasar pada hasil kajian kinerja dan dampak pada bagian sebelumnya maka

secara keseluruhan dapat dirangkum beberapa hal yaitu (i) Kinerja operasi

menunjukkan peningkatan baik tahun 1996 maupun 1997; (ii) kinerja keuangan hanya

menunjukkan peningkatan pada tahun 1996 sementara tahun 1997 menunjukkan

penurunan kinerja pada sebagian besar kondisi; (iii) Dampak privatisasi menunjukkan

hasil yang baik pada tahun 1996 kecuali pada gaji dan upah. Sementara pada tahun

1997 dampak privatisasi menunjukkan hasil yang kurang baik pada gaji dan upah serta

anggaran. Selengkapnya pada Tabel 16

Tabel 16 Profil Kinerja Perusahaan dan Dampak Privatisasi

No Kinerja dan Dampak 1996 1997

I Kinerja

A Kinerja Operasi

1 Kapasitas Telepon

2 Keberhasilan panggil

3 Produktifitas karyawan

B Kinerja Keuangan

1 ROA

2 ROE

3 Profit margin

4 Proporsi Biaya

5 Hutang Jangka Panjang/Aset

6 Total hutang/aset

7 Hiutang jangka panjang/modal

8 Total hutang/modal

9 Hutang jangka panjang/total

hutang

10 Current ratio

11 Quick ratio

12 Cash ratio

13 Cash to operating expenses

14 Pendapatan/karyawan

Page 74: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 74 74

No Kinerja dan Dampak 1996 1997

15 Pendapatan/sst

16 Biaya pemeliharaan/sst

II Dampak

A Kriteria Dasar

1 Nilai Tambah

2 Efisiensi

B Dampak Makro

1 Nilai Tambah agregat

2 Tenaga kerja

3 Gaji dan Upah

4 Surplus sosial

5 Anggaran

6 Konsumsi dan tabungan

Keterangan :

peningkatan penurunan

6. Kesimpulan

Berdasarkan pada hasil kajian di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan

yaitu:

a. Penilaian dampak privatisasi tidak cukup hanya dengan melihat pada kinerja

keuangan perusahaan melalui metode RLS, tetapi perlu dibantu dengan metode

lain yang terkait dengan aspek makro. Aspek makro banyak terkait dengan

kepentingan masyarakat misalnya pemutusan hubungan kerja, surplus sosial,

gaji dan upah, anggaran pemerintah. Aspek makro ini yang pada beberapa

kesempatan menjadi hal-hal yang banyak disoroti oleh publik.

b. Penilaian dampak yang dilakukan dalam studi ini sangat sederhana karena

banyak faktor yang berpengaruh tidak diperhitungkan misalnya kondisi pasar,

jenis privatisasi, proporsi kepemilikan saham pemerintah. Terkait dengan itu,

maka penilaian dampak privatisasi seharusnya lebih kompleks, walaupun

demikian model yang dipergunakan pada studi ini paling tidak bisa

memberikan gambaran awal tentang dampak privatisasi.

Page 75: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 75 75

c. Kinerja operasi lebih menunjukkan peningkatan dibanding kinerja keuangan.

Hal ini mungkin disebabkan oleh karena peningkatan kinerja keuangan lebih

dipengaruhi oleh kinerja operasi dan bukan sebaliknya. Sehingga dibutuhkan

waktu yang lebih lama untuk memperbaiki kinerja keuangan

d. Dampak terhadap gaji dan upah menunjukkan hasil yang tidak biasa karena

adanya Kerjasama Operasi (KSO) dengan beberapa mitra Telkom, sehingga

beban pengeluaran gaji dan upah ditanggung oleh mitra kerja tersebut.

Walaupun demikian dampak terhadap tenaga kerja tetap menunjukkan

peningkatan karena pengalihan karyawan pada mitra kerja hanya dianggap

sebagai tenaga perbantuan.

e. Dampak terhadap anggaran pemerintah menunjukkan penurunan pada tahun

1997 disebabkan adanya penambahan hutang oleh Telkom dalam jumlah yang

signifikan.

f. Secara keseluruhan privatisasi Telkom mempunyai dampak yang positip baik

terhadap internal perusahaan maupuin terhadap perekonomian keseluruhan.

Page 76: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 76 76

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

1. Hachette, Dominique and Rolf Luders. Privatization in Chile. An Economic

Appraisal. Executive Summary. An International Center for Economic Growth

Publication, San Fransisco, 1993.

2. Mangkoesoebroto, Guritno. Ekonomi Publik. Edisi Kedua. BPFE,

Yogyakarta, 1991.

3. Pirie, Madsen. Privatization. Theory, Practice, and Choice. Wildwood

House Limited, England, 1988

4. The World Bank. Bureaucrats in Business. The Economics and Politics of

Government Ownership. A World Bank Policy Research Report. Oxford

University Press New York, 1995.

5. Todaro, Michael P. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Terjemahan.

Edisi Keempat. PT. Gelora Aksara Pratama, Jakarta, 1994.

6. Vickers, John and George Darrow. Privatization: An Economic Analysis.

Cambridge, Massachusets, MIT, 1998.

7. Whitshire, K (1987). Privatization: The British Experience – An Australian

Perspective. Longman Cheshire Pty Limited, Melbourne, 1987.

B. TULISAN dalam BUKU

1 Andic, Fuat M. The Case for Pivatization: Some Methodolical Issues dalam

Dennis J. Gayle and Jonathan N. Goodrich (ed.). Privatization and Deregulation

in Global Perspective. Quorum Books. New York, 1990.

2 Berg, Elliot. Privatization and Equity dalam Berg, Elliot (ed). Policy Reform

and Equity. Extending the Benefits of Development. International Center for

Economic Growth, 1990.

3 Berg, Elliot. The Role of Divestiture in Economic Growth dalam Hanke,

Steve H. Privatization and Development. International Center for Economic

Growth, San Fransisco, 1987.

4 Berg, Sanford dan Luis Gutierrez. Telecommunications Privatization and

Deregulation: Lessons from Latin America dalam Mitsuhiro Kagami dan

Masatsugu Tsuji (ed.) Privatization, Deregulation and Institutional Framework.

Institute of Developing Economies (IDE), Japan External Trade Organization

(JETRO), 1999.

5 Bishop, Matthew dan David Thompson. Privatization in UK. Deregulatory

Reform and Public Enterprise Performance dalam V. V. Ramandham.

Privatization: A Global Perspective. Routledge, London,

6 Gayle, Dennis J. and Jonathan N. Goodrich. Exploring the Implications of

Privatization and Deregulation dalam dalam Dennis J. Gayle and Jonathan N.

Goodrich (ed.). Privatization and Deregulation in Global Perspective. Quorum

Books. New York, 1990.

Page 77: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 77 77

7 Hanke, Steve H. Toward People’s Capitalism dalam Hanke, Steve H.

Privatization and Development. International Center for Economic Growth, San

Fransisco, 1987.

8 Jones, Leroy P. et. al Selling State-Owned Enterprises: A Cost Benefit

Approach dalam Ravi Ranamurti dan Raymond Vernon (ed). Privatization and

Control of Stated-Owned Enterprises. Economic Development Studies

Institute, World Bank, Washington DC, 1991.

9 Kagami, Mitsuhiro. Privatization and Deregulation: The Case of Japan

dalam Mitsuhiro Kagami dan Masatsugu Tsuji (ed.) Privatization, Deregulation

and Institutional Framework. Institute of Developing Economies (IDE), Japan

External Trade Organization (JETRO), 1999.

10 Kolderie, Ted. The Two Different Concepts of Privatization dalam Dennis J.

Gayle and Jonathan N. Goodrich (ed.). Privatization and Deregulation in

Global Perspective. Quorum Books. New York, 1990.

11 Krause, Lawrence B. The Government as Entrepreneur dalam Lawrence B.

Krause et. al (ed.) The Singapore Economy Reconsidered. Institute of

Southeast Asian Studies, 1987..

12 Marston. Lance. Preparing for Privatization: A Decision-Maker’s Checklist

dalam Hanke, Steve H. Privatization and Development. International Center for

Economic Growth, San Fransisco, 1987.

13 Pollitt, Michael. A Survey of the Libaralization of Public Enterprises in the

UK since 1979 dalam Mitsuhiro Kagami dan Masatsugu Tsuji (ed.)

Privatization, Deregulation and Institutional Framework. Institute of

Developing Economies (IDE), Japan External Trade Organization (JETRO),

1999.

14 Ranamurti, Ravi. The Search for Remedies dalam Ravi Ranamurti dan

Raymond Vernon (ed). Privatization and Control of Stated-Owned Enterprises.

Economic Development Studies Institute, World Bank, Washington DC, 1991.

15 The World Bank. Development Strategies: The Roles of the State and the

Private Sector. Round Table Discussion. Proceeding of the World Bank

Annual Conference on Development economics 1991.

16 Veljanovsky, Cento. Privatization: Progress, Issues and Problems dalam

Dennis J. Gayle and Jonathan N. Goodrich (ed.). Privatization and Deregulation

in Global Perspective. Quorum Books. New York, 1990.

17 Vernon, Raymond. A Technical Approach to Privatization Issues: Coupling

Project Analysis with Rules of Thumb dalam Ravi Ranamurti dan Raymond

Vernon (ed). Privatization and Control of Stated-Owned Enterprises. Economic

Development Studies Institute, World Bank, Washington DC, 1991.

MAKALAH/KERTAS KERJA

1. Anwari. Privatisasi dan Populisme BUMN. Usahawan No. 06 Tahun XXVII

Juni 1998.

Page 78: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 78 78

2. Artjan, M. Faisal. IPO sebagai Alternatif Privatisasi BUMN. Usahawan No.

02 Tahun XXIX Februari 2000.

3. Aviliani. Prospek Privatisasi BUMN. Jurnal No. 03 Tahun XIII Maret 2002

4. Bachtiar, Emil. Reformasi BUMN. Usahawan No. 06 Tahun XXVII Juni 1998

5. Barnet, Steven. Evidence on the Fiscal and Macroeconomic Impact of

Privatization. IMF Working Paper, July 2000.

6. Basri, Faisal. Privatisasi. Tempo Maret 2002

7. Bortolotti, Bernardo et al. Sources of Performance Improvements in

Privatized Firms: A Clinical Study of the Global Telecommunications

Industry. FEEM Working Paper No. 26-2001, Fondazione Eni Enrico Mattei,

April 2001.

8. Davis, Jeffrey et. al. Fiscal and Macroeconomic Impact of Privatization.

IMF Working Paper, June 2000.

9. Gandhi. Audit Privatisasi. Makalah pada Seminar Privatisasi BUMN dan

Kekayaan Negara Lainnya 14-15 Mei 1996 di Jakarta.

10. Gardner, Charles S. Privatization in Transition Countries: Lessons of the

First Decade. IMF Working Paper, 1999.

11. Goeltom, Miranda. Perkembangan dan Peranan BUMN dalam Era

Globalisasi. Usahawan No. 9 Tahun XXIV September 1995.

12. Mackenzie, G. A. The Macroeconomic Impact of Privatization. IMF

Working Paper, November 1997.

13. Pranoto, Toto. Konsep dan Perkembangan Privatisasi BUMN. Usahawan

Nomor 02 Tahun XXIX Februari 2000

14. Ramamurti, R. Why are Developing Countries Privatizing. Journal of

International Business Studies No. 23, 1992.

15. Ruru, Bacelius. Arah Kebijakan BUMN: Menghadapi Era AFTA 2003 dan

APEC 2020. Usahawan No 5 Tahun XXV Mei 1996.

16. Ruru, Barcelius. Privatization in Indonesia. Makalah Seminar Indonesian

Capital Market Forum 25-26 April 1996 di Tokyo.

17. Shaikh, Abdul Hafeez. The Rise, Decline and Future of Public Enterprises:

Review of International Experience and Lessons for Indonesia. Usahawan

No. 7 Tahun XXI Juli 1992.

18. Simanjuntak, Djisman. Implikasi AFTA 2003, WTO 2005 dan APEC 2020

terhadap BUMN. Usahawan No.5 Tahun XXV Mei 1996.

19. Simandjuntak, Djisman. Aspek-aspek Ekonomi Swastanisasi. Makalah pada

Seminar Privatisasi BUMN dan Kekayaan Negara Lainnya tanggal 14-15 Mei

1996 di Jakarta.

20. Simarmata, Dj. A. Bagaimana Peran Ekonomi BUMN. Usahawan No.5

Tahun XX Mei 1991.

21. Sjahrir. BUMN dan Sistem Ekonomi Kita. SWA IV/6 Juli 1990

Page 79: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 79 79

22. Soebagjo, Felix O. Privatisasi BUMN dan Kekayaan Negara Lainnya:

Pandangan dari Sudut Hukum. Makalah pada seminar Privatisasi BUMN

dan Kekayaan Negara Lainnya tanggal 14-15 Mei 1996 di Jakarta.

23. Sutojo, Heru. Studi Perbandingan Privatisasi BUMN di Beberapa Negara

Asia. Usahawan No. 11 Tahun XXIV Nopember 1995.

24. Suwandi, Adig. Arah Privatisasi BUMN. Usahawan No. 05 Tahun XXX Mei

2001.

25. Vunylstake, Charles. Techniques of Privatization of State-Owned

Enterprises Vol. I. World bank Technical paper No. 88, 1998.

26. Wibisono, Christianto. Anatomi Efisiensi BUMN. Usahawan No.5 Tahun

XXV Mei 1996.

D. DISERTASI dan THESIS

1. Diah, Marwah M. Restrukturisasi BUMN: Privatisasi atau Korporatisasi.

Disertasi Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1999.

2. Siahaan, Oloan. P. Efisiensi Teknis BUMN: Analisis Panel Data Industri

Manufaktur di Indonesia Tahun 1980-1991. Disertasi. Program Pasca

Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2000.

3. Sujono, D. Penerapan Privatisasi BUMN di Indonesia: dari Tinjauan

Analisis Kinerja Perusahaan (Studi Kasus Telkom). Thesis Magister

Perencanaan dan Kebijakan Publik Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia, 2000

4. Yogaswara, Budhi. Alternatif Strategi Perusahaan dan Pengembangan

Bisnis Jasa Telekomunikasi PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. Thesis

Magister Teknik. Program Studi Teknik Elektro, Program Pasca Sarjana

Universitas Indonesia, 1998.

LAPORAN

1. The World Bank. Privatization: Eight Lessons of Experience. Policy Views

from the Country Economics Department, July 1992.

2. The World Bank. Indonesia. Development Policy Review. The Imperative

for Reform. 2001.

ARTIKEL dalam MEDIA MASSA

1. Go Public Besar-besaran BUMN. Swa IV/6 Juli 1990.

3. BUMN; Lokomotif Ekonomi di Masa Krisis. Wawancara dengan Sofyan

Djalil. Swa IV/6 Juli 1990.

4. Mengintip Swastanisasi BUMN Mancanegara. Swa IV/6 Juli 1990.

5. Pemerataan Saham Ala Seoul. Swa IV/6 Juli 1990.

5. Privatization and Divestment in Indonesia: Where Does It Stand?. Harvest

International’s Journal for Decision Makers, 2001.

Page 80: Dampak Privatisasi PT. Telekomunikasi Indonesia

Dampak Privatisasi di Indonesia 80 80

6. Privatisasi: Asas Manfaat Versus Asas Kepemilikan. Kompas 14 Maret 2002.

INTERNET

1. International Monetary Fund. www.imf.org

2. Kantor Menteri Negara BUMN. www.bumn-ri.com

3. PT. Telekomunikasi Indonesia. www.telkom.co.id

4. Reason Public Policy Institute/RPPI Privatization Center.

www.privatization.org

5. World Bank. www.worldbank.org

DATA

1. --------. Input Output Indonesia. Berbagai Tahun. Makalah Tugas Mata

Kuliah Model Ekonomi Program Pasca Sarjana Ekonomi Universitas

Indonesia, 2001

2. Badan Pusat Statistik. Statistik Indonesia. Berbagai Tahun

3. PT. Telekomunikasi Indonesia. 2000 Annual Report on Form 20-F.

Desember 2000.

4. PT. Telekomunikasi Indonesia. Laporan Tahunan. Berbagai Tahun.