Dampak Koreika , Alviany Muntaz, FIB UI, 2013lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352071-MK-Alviany...

14
1 Dampak Koreika ..., Alviany Muntaz, FIB UI, 2013

Transcript of Dampak Koreika , Alviany Muntaz, FIB UI, 2013lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352071-MK-Alviany...

Page 1: Dampak Koreika , Alviany Muntaz, FIB UI, 2013lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352071-MK-Alviany Muntaz.pdf · dari 5.3 % menjadi 6,3 persen. Barulah setelah tahun 1955 pertumbuhan

1

Dampak Koreika ..., Alviany Muntaz, FIB UI, 2013

Page 2: Dampak Koreika , Alviany Muntaz, FIB UI, 2013lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352071-MK-Alviany Muntaz.pdf · dari 5.3 % menjadi 6,3 persen. Barulah setelah tahun 1955 pertumbuhan

2

Dampak Koreika ..., Alviany Muntaz, FIB UI, 2013

Page 3: Dampak Koreika , Alviany Muntaz, FIB UI, 2013lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352071-MK-Alviany Muntaz.pdf · dari 5.3 % menjadi 6,3 persen. Barulah setelah tahun 1955 pertumbuhan

3

DAMPAK KOREIKA SHAKAI TERHADAP WANITA LANSIA DI JEPANG

Alviany Muntaz

Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Depok 16424.

[email protected]

Abstrak

Makalah ini membahas dampak Koreika Shakai terhadap wanita lansia di Jepang. Makalah ini menggunakan metode analisis deskriptif dan studi kepustakaan. Hasil analisis dalam makalah ini menunjukan koreika shakai yang terjadi di Jepang sejak tahun 1970 disebabkan oleh faktor angka kelahiran dan kematian yang rendah serta tingkat harapan hidup yang tinggi. Penyebab angka kematian yang rendah dan tingkat harapan hidup yang tinggi adalah asupan nutrisi dan gizi yang baik, pemahaman kesehatan yang tinggi, fasilitas dan pelayanan medis yang baik, serta ilmu kedokteran yang maju. Sedangkan penyebab angka kelahiran yang rendah adalah semakin tingginya tingkat pendidikan wanita Jepang, dan terbukanya kesempatan bekerja yang semakin luas untuk mereka. Koreika Shakai ini kemudian telah menimbulkan berbagai permasalahan pada para penduduk berusia lanjut itu sendiri, terutama pada wanita lansia. Hal ini disebabkan wanita jepang memiliki tingkat harapan hidup yang relatif lebih panjang dibandingkan pria, akibatnya banyak dari mereka yang harus hidup sendiri karena ditinggal meninggal oleh sang suami. Selain itu, para wanita lansia ini juga harus menghadapi berbagai permasalahan lainnya seperti masalah ekonomi, kesehatan, dan psikologis.

The Impact of Koreika Shakai Againts Elderly Women in Japan

Abstract

This paper discusses the impact of Koreika Shakai against elderly women in Japan. This paper using the methods of descriptive analysis and literature study. The results of the analysis in this paper shows koreika shakai that happened in Japan since 1970 occurred due to the factors such as low birth rate, low mortality rate and high life expectancy rate. The root causes of low mortality and high life expectancy rate are good nutrition intake, better undersanding of health importance, good quality of medical facility service, advanced medical science. While the causes of low birth rate are the higher levels of Japanese women’s education, and the greater opportunity for them to get a job. Then, koreika shakai has led to various problems for the elderly population itself, especially for elderly women. This is because Japanese women have longer life expectancy rate than Japanese men, consequently many of them have to live alone since left to die by their husband. In addition, elderly women also have to face other problems such as the economic, health, and psychological problems.

Key Words : Koreika Shakai, Elderly Women.

Dampak Koreika ..., Alviany Muntaz, FIB UI, 2013

Page 4: Dampak Koreika , Alviany Muntaz, FIB UI, 2013lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352071-MK-Alviany Muntaz.pdf · dari 5.3 % menjadi 6,3 persen. Barulah setelah tahun 1955 pertumbuhan

4

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Tingkat asupan nutrisi dan gizi yang baik, pemahaman kesehatan yang tinggi, fasilitas dan pelayanan medis yang bermutu, serta ilmu kedokteran yang maju membuat tingkat harapan hidup tinggi dan rasio angka kematian rendah di Jepang. Namun, sayangnya hal ini tidak diikuti dengan tingkat total fertilitas yang cukup untuk menyeimbangkan populasi Jepang. Ada pun faktor-faktor penyebab angka kelahiran yang rendah di Jepang adalah semakin tingginya tingkat pendidikan wanita jepang, dan terbukanya kesempatan bekerja bagi wanita di Jepang. Akibatnya di Jepang terjadi penurunan jumlah usia produktif dan ledakan populasi lansia, sehingga Jepang memiliki masyarakat yang menua atau disebut juga Koreika Shakai.

Dampak dari koreika shakai ini telah mengakibatkan jumlah angka ketergantungan semakin tinggi. Diperkirakan pada tahun 2050, dua orang pekerja di Jepang akan harus menanggung biaya tunjangan seorang lansia (Higasino, 2005). Akan tetapi, koreika shakai ini tidak hanya menimbulkan beban bagi para penduduk produktif, namun juga menyebabkan permasalahan pada penduduk berusia lanjut itu sendiri.

Dampak permasalahan ini terutama lebih dirasakan oleh para wanita lansia, karena mereka memiliki tingkat harapan hidup relatif lebih panjang dibandingkan pria. Sehingga banyak dari mereka yang harus hidup sendiri karena ditinggal meninggal oleh sang suami. Hidup sendiri tentu saja bukanlah perkara mudah bagi seorang wanita lansia, apalagi mereka juga harus menghadapi berbagai masalah lainnya, kesepian, kesulitan keuangan, kesehatan yang memburuk dan lainnya.

1.2 Masalah Penelitian

Bagaimanakah koreika shakai berdampak pada wanita lansia di Jepang ? Dampak apa saja yang ditimbulkan koreika shakai pada wanita lanjut usia di Jepang ?

1.3 Tujuan Penelitian

Menjelaskan bagaimana koreika shakai berdampak pada wanita lansia di Jepang dan menjabarkan dampak apa saja yang ditimbulkan koreika shakai terhadap wanita lansia di Jepang.

1.4 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian studi pustaka dengan metode penyajian analisis deskriptif, di mana analisis permasalahan dijelaskan melalui data-data yang ada.

2. Dampak Koreika Shakai Terhadap

Wanita Lansia Di Jepang

2.1 Definisi Lanjut Usia

Bertambah tua merupakan sebuah fenomena alami yang berlaku secara universal bagi manusia. Proses penuaan pada manusia ini terjadi bersamaan lanjutnya usia seseorang. Seiring dengan berlanjutnya usia seseorang maka tubuhnya akan mengalami kemunduran secara fisik maupun psikologis. Secara fisik orang yang telah berusia lanjut, atau disebut lansia, akan mengalami kemunduran fungsi alat tubuh. Hal itu terlihat dari kulit yang mulai keriput, rambut yang menipis dan memutih, fungsi alat panca indera yang semakin berkurang, tubuh yang cepat merasa lelah, serta daya tahan tubuh yang berkurang. Sedangkan secara psikologis orang lansia menjadi mudah lupa, semakin kurang berinteraksi, mengalami rasa kesepian, kebosanan dan sebagainya. Perubahan tersebut pada umumnya mengarah pada kemunduran kesehatan fisik yang akhirnya akan berpengaruh pada aktivitas ekonomi dan sosial mereka, sehingga secara umum membuat mereka menjadi tidak produktif lagi.

Batasan usia lanjut sendiri bervariasi Menurut WHO penduduk lansia adalah penduduk yang berusia lebih dari 60 tahun. Selain itu, para ahli demografi juga mengaitkan batasan usia lanjut dengan masa produktif kerja seseorang. Seseorang dikatakan memasuki tahapan lanjut usia, ketika mereka tidak lagi produktif bekerja. Berikut adalah tabel penggolongan usia penduduk berdasarkan produktifitas kerja.

Dampak Koreika ..., Alviany Muntaz, FIB UI, 2013

Page 5: Dampak Koreika , Alviany Muntaz, FIB UI, 2013lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352071-MK-Alviany Muntaz.pdf · dari 5.3 % menjadi 6,3 persen. Barulah setelah tahun 1955 pertumbuhan

5

Tabel 1. Penggolongan Usia Penduduk Berdasarkan Produktifitas Kerja.

(Abdurachim,1973)

Dengan demikian, maka berdasarkan penggolongan diatas, penduduk berusia lanjut adalah penduduk berusia 65 tahun dan ke atas yang sudah tidak produktif lagi. Batasan seperti ini umumnya berlaku di negara-negara maju, termasuk Jepang. Di Jepang sendiri istilah penduduk berusia lanjut disebut dengan Toshiyori. Berikut adalah definisi toshiyori berdasarkan kamus Kojien;

年寄り: 遠回し表現;特に65歳以上の退職した年金活者。

“Toshiyori (atau berusia lanjut) adalah ungkapan halus, khususnya bagi orang berusia 65 tahun keatas yang telah memasuki masa pensiun.”

2.2 Definisi Koreika Shakai

Koreika Shakai ‘ 高齢化社会 ’ adalah sebuah istilah dalam bahasa Jepang yang terdiri dari kanji Takai ‘高い’ yang artinya tinggi, kanji Yowai ‘齢’ yang artinya umur, kanji Fukeru ‘化ける ’ yang artinya tumbuh menjadi berumur, serta kanji Shakai ‘社会 ’ yang memiliki arti masyarakat. Jika dilihat berdasarkan kata-kata pembentuknya tersebut maka istilah koreika shakai memiliki arti masyarakat yang tumbuh menua. Scara lebih spesifik koreika shakai adalah istilah yang digunakan untuk menyebut fenomena peningkatan rasio penduduk berusia lanjut yang cukup signifikan pertahunnya akibat semakin tingginya tingkat harapan hidup serta rendahnya angka kelahiran dan kematian (Forgach, 2009).

Menurut PBB suatu negara dapat dikatakan menua atau memiliki koreika shakai apabila memiliki rasio jumlah penduduk berusia lanjut (umur 65 tahun dan keatas) yang mencapai 7%

dari jumlah penduduk keseluruhan (Chikako Usui, 2001). Berdasarkan definisi tersebut maka Jepang menempati posisi sebagai negara yang memiliki koreika shakai sejak tahun 1970, ketika persentase penduduk berumur 65 tahun ke atas mencapai 7,1 %, seperti yang terlihat dalam tabel berikut :

Tabel 2. Komposisi Populasi Jepang

Sumber : Statistic Bureau, MIC; Ministry of Health, Labour and Welfare Dari tabel 2 terlihat dari tahun 1900 hingga 1965, pertumbuhan penduduk lansia di Jepang masih sangat lambat, yaitu dalam jangka waktu 45 tahun hanya bertambah sekitar 1 % dari 5.3 % menjadi 6,3 persen. Barulah setelah tahun 1955 pertumbuhan penduduk lansia mulai mengalami peningkatan. Dari tahun 1955 sampai tahun 1970 persentase lansia melonjak hingga 1,8 % dan akhirnya menyentuh angka 7 ,1 persen. Pertumbuhan lansia ini terus mengalami percepatan dan meningkat secara drastis. Pada tahun 2011 persentase lansia telah membengkak menjadi 23.3 persen.

Pertumbuhan penduduk lansia ini diprediksi akan terus berlanjut dan diperkirakan mencapai angka 38.8 % pada tahun 2050. Hal itu berarti pada tahun 2050 1 dari 3 penduduk di Jepang adalah orang lanjut usia. Perkiraan pertumbuhan penduduk jepang tersebut dapat dilihat pada table dibawah ini.

Usia Golongan

0-14 Belum Produktif

15-64 Belum Produktif Penuh

20-54 Produktif Penuh

55-64 Tidak Produktif Penuh

65~ Tidak Produktif

Dampak Koreika ..., Alviany Muntaz, FIB UI, 2013

Page 6: Dampak Koreika , Alviany Muntaz, FIB UI, 2013lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352071-MK-Alviany Muntaz.pdf · dari 5.3 % menjadi 6,3 persen. Barulah setelah tahun 1955 pertumbuhan

6

Tabel 3. Prediksi Komposisi Populasi Jepang 2020-2050

Sumber : Statistic Bureau, MIC; Ministry of Health, Labour and Welfare.

2.3 Faktor Penyebab Koreika Shakai di Jepang

Jepang bukanlah satu-satunya negara yang mengalami fenomena koreika shakai. Namun yang membedakan koreika shakai di Jepang dengan negara-negara maju lainnya adalah kecepatan pertumbuhannya yang sangat pesat. Di mulai sejak tahun 1970, Jepang hanya membutuhkan 24 tahun untuk menggandakan jumlah penduduk lansianya dari 7 persen menjadi 14 persen, sedangkan negara-negara seperti Swiss, Perancis, dan Jerman membutuhkan waktu hingga 103, 86 dan 45 tahun untuk menggandakannya (Chikako Usui, 2001). Untuk lebih jelasnya, berikut akan ditampilkan grafik pertumbuhan penduduk berusia 65 tahun dan ke atas di Jepang dan negara-negara lainnya yang memilki koreika shakai.

Grafik 1. Pertumbuhan Populasi Penduduk 65 Tahun Keatas di Negara-Negara yang Memiliki

Koreika Shakai

Sumber : Satistic Bureau, MIC; Ministry of Health, Labour and Welfare; United Nations

Grafik 1 menunjukan bahwa sejak tahun 1950 , Perancis, Swedia, Itali, dan USA telah mengalami koreika shakai. Sedangkan Jepang sendiri baru mendapatkan predikat koreika shakai pada tahun 1970. Namun dalam jangka

waktu 40 tahun (1970-2010) persentase lansia di Jepang telah membengkak lebih dari 3 kali lipat dan menjadi yang tertinggi di dunia mengalahkan keempat negara lainnya. Laju koreika shakai yang begitu cepat di Jepang jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya ini disebabkan oleh berbagai faktor. Namun, pada dasarnya laju perubahan jumlah penduduk di suatu negara sangat dipengaruhi oleh faktor angka kelahiran dan angka kematian.

Angka kelahiran atau Crude Birth Rate (CBR) adalah angka yang menunjukkan bayi yang lahir dari setiap 1000 penduduk per tahunnya. Angka kelahiran ini dipengaruhi oleh tingkat total fertilitas atau Total Fertility Rate (TFR), yaitu jumlah rata-rata anak yang diperkirakan akan dilahirkan seorang wanita sepanjang usia produktifnya (15-54 tahun). Sedangkan angka kematian atau Case Fatality Rate (CFR) adalah angka yang menunjukkan jumlah kematian dari setiap 1000 penduduk per tahun. Selain itu, angka kematian juga di pengaruhi oleh tingkat harapan hidup atau Life Expectancy Rate, yaitu rata-rata tahun hidup yang masih akan dijalani oleh seseorang.

Angka kelahiran yang rendah akibat penurunan tingkat total fertilitas dan angka kematian yang rendah berkat tingkat harapan hidup yang tinggi merupakan faktor utama terjadinya ledakan jumlah penduduk lansia di Jepang. Berikut adalah tabel yang menunjukkan perbandingan angka kelahiran, angka kematian, tingkat kesuburan, serta tingkat harapan hidup di Jepang.

Tabel 4. Angka Kelahiran, Angka Kematian, Tingkat Total Fertilitas, dan Tingkat Harapan

Hidup Penduduk Jepang

Sumber : Ministry of Health, Labour and Welfare

Dampak Koreika ..., Alviany Muntaz, FIB UI, 2013

Page 7: Dampak Koreika , Alviany Muntaz, FIB UI, 2013lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352071-MK-Alviany Muntaz.pdf · dari 5.3 % menjadi 6,3 persen. Barulah setelah tahun 1955 pertumbuhan

7

Dari tabel 4, terlihat bahwa dalam jangka waktu 61 tahun (1950-2011) angka kelahiran di Jepang terus mengalami penurunan yang tajam dan menyusut lebih dari 3 kali lipat, yaitu dari 28.1 per seribu menjadi 8.3 per seribu. Hal tersebut seiring dengan tingkat total fertilitas yang terus menurun, hingga mencapai titik terendah pada tahun 2005 yaitu sebesar 1.26. Meskipun tingkat total fertilitas kembali menunjukan peningkatan sejak tahun 2009, namun jumlah pengingkatannya sangat kecil yakni 0,13, sehingga tidak banyak mempengaruhi angka kelahiran.

Tabel itu juga menunjukan sejak tahun 1950 hingga 1990 angka kematian di Jepang menurun dari 10.9 per seribu menjadi 6.7 per seribu. Namun kembali meningkat sejak tahun 1995 menjadi 7.4 per seribu dan terus meningkat hingga menjadi 9.9 per seribu pada tahun 201. Kemudian sejak tahun 1950, tingkat harapan idup di Jepang terus menunjukan peningkatan yang tajam. Tingkat harapan hidup tertinggi diraih Jepang pada tahun 2009, yakni 79.55 tahun untuk pria dan 86.4 untuk wanita. Berikut akan diuraikan secara lebih rinci faktor-faktor penyebab rendahnya angka kelahiran dan kematian serta tingginya tingkat harapan hidup di Jepang.

2.3.1 Menurunnya Angka Kelahiran dan Tingkat Total Fertilitas

Untuk menyeimbangkan komposis ipopulasi suatu negara, tingkat total fertilitas atau Total Fertility Rate (TFR) harus memenuhi batasan minimal yang disebut Replacement Rates (RR) (Espenshade dkk, 2003). Artinya jumlah populasi akan tetap dan pertambahan jumlah penduduk tua tidak akan terlalu mencolok bila diimbangi oleh pertambahan jumlah kelahiran dalam tingkatan tertentu. Oleh karena itu, kecenderungan penurunan angka kelahiran juga menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya jumlah lansia.

Umumnya pada negara-negara industri yang memiliki tingkat kematian rendah, seperti Jepang, diperlukan TFR minimal sebesar 2.1 pertahunnya (Espenshade dkk, 2003). Namun dapat dilihat dari tabel 4, semenjak tahun 1975 TFR di Jepang selalu dibawah batas RR 2.1. Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan TFR dan angka kelahiran di Jepang semakin

rendah. Faktor-faktor tersebut antara lain pelegalan aborsi dan meningkatnya tingkat pendidikan wanita Jepang yang berujung pada maraknya penundaan pernikahan di Jepang.

a. Pelegalan Aborsi

Setelah PD II Jepang menghadapi ledakan populasi antara tahun 1947 hingga 1950 hingga 6 juta orang, seperti terlihat pada tabel berikut;

Tabel 5. Populasi dan Jumlah Kelahiran Bayi di Jepang (1994-1950).

Sumber : Ministry of Health, Labour and Welfare

Tabel 5 menunjukan sejak tahun 1947 hingga 1950 populasi Jepang meningkat drastis hingga 6 juta jiwa. Ledakan populasi ini disebabkan ledakan pernikahan yang dilakukan oleh para tentara Jepang yang pulang ke tanah air mereka, sehingga jumlah kehamilan meningkat dan terjadilah Baby Boom. Dapat dilihat jumlah kelahiran bayi meningkat drastis dari tahun 1946 ke tahun 1947. Meskipun demikian, tidak semua kehamilan tersebut diinginkan, karena buruknya kondisi ekonomi di Jepang saat itu akibat kalah perang (Sato dan Iwasawa, 2006).

Untuk mengatasi hal ini, pada tahun 1948 pemerintah Jepang mengeluarkan Undang-Undang Perlindungan Egenetika atau Yuusei Hogou Hou. Isi undang-undang ini melegalkan seseorang melakukan aborsi dengan syarat; hamil karena diperkosa, sang ibu penderita lepra, ada penyakit genetis sehingga kehamilan atau kelahiran membahayakan bagi sang anak dan ibu, mendapat persetujuan suami, dan kondisi ekonomi yang buruk akibat memiliki terlalu banyak anak atau sang ibu adalah pencari nafkah tunggal (Sato dan Iwasawa, 2006). Setahun setelah hukum itu direalisasikan pada tahun 1949, angka aborsi mengalami peningkatan

Tahun Total Populasi(1000)

Kelahiran (1000)

1944 74,433 2,274 1945 72,147 1,902 1946 75,750 1,576 1947 78,101 2,623 1948 80,002 2,702 1949 81,773 2,694 1950 84,115 2,447

Dampak Koreika ..., Alviany Muntaz, FIB UI, 2013

Page 8: Dampak Koreika , Alviany Muntaz, FIB UI, 2013lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352071-MK-Alviany Muntaz.pdf · dari 5.3 % menjadi 6,3 persen. Barulah setelah tahun 1955 pertumbuhan

8

pesat, hal tersebut dapat dilihat dari grafik dibawah.

Grafik 2. Jumlah Kasus Aborsi (Legal) di Jepang

Sumber : Maternal Body Protection Statistic Bureau Dapat dilihat dari tahun 1950 ke tahun 1955

angka aborsi meningkat drastis. Kasus aborsi mencapai puncaknya sebesar 1.107.143 kasus pada tahun 1955. Aborsi telah ini sukses menurunkan angka kelahiran di Jepang, hal tersebut dapat dilihat pada tabel 4 angka kelahiran di Jepang dari tahun 1950 hingga tahun 1995 menurun tajam dari 28.1 per seribu menjadi 9.6, per seribu.

b. Meningkatnya Tingkat Pendidikan Wanita dan Penundaan Pernikahan.

Setelah Perang Dunia II, pada tahun 1947 pemerintah Jepang melakukan perbaikan undang-undang mengenai pendidikan, yaitu Kyouiku Kihon Hou. Isi undang-undang ini memperluas pendidikan wajib dari enam tahun menjadi sembilan tahun dan struktur 6-3-3-4 diterapkan, yaitu SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMU 3 tahun, dan Universitas 4 tahun. Kesempatan memperoleh pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi ini diberikan tidak hanya untuk pria namun juga wanita. Bermacam-macam jalur pendidikan yang memisahkan gender digabung menjadi struktur satu jalur yang disebut dengan sistem Kyoogaku (pria dan wanita belajar di sekolah yang sama) dan sistem ini diperluas ke seluruh tingkat pendidikan termasuk universitas (Jepang Dewasa Ini, 1989:99). Adanya perbaikan–perbaikan ini meningkatkan jumlah wanita Jepang yang melanjutkan pendidikan hingga ke tingkat universitas, seperti dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Persentase Pria dan Wanita Melanjutkan Pendidikan ke Universitas dan Akademi.

Sumber : Ministry of Education, Science, Sport and Culture

Pendidikan yang diterima oleh para wanita mempengaruhi presepsi wanita terhadap pernikahan dan anak. Pendidikan yang lebih tinggi membuat pengetahuan dan wawasan mereka lebih luas. Para wanita menjadi cendrung menginginkan anak yang lebih sedikit namun dengan kualitas yang baik. Selain itu, mereka tidak lagi memandang pernikahan sebagai cita-cita dan kebahagiaan hidup tertinggi. sehingga keinginan mereka untuk menikah pun menurun. Oleh karena itu, dengan semakin banyaknya wanita yang melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi semakin banyak juga wanita yang menunda pernikahannya.

Fenomena penundaan pernikahan ini dalam bahasa Jepang disebut dengan Bankonka. Bankonka adalah kecendrungan makin tingginya usia umum rata-rata pernikahan pertama apa bila dibandingkan dengan usia umum rata rata pernikahan sebelumnya. Penundaan pernikahan ini erat kaitannya dengan kelahiran anak, karena karakteristik masyarakat Jepang yang menekankan pada pentingnya seorang anak untuk dilahirkan dalam sebuah lembaga pernikahan (Duhita, 2007:2 ). Oleh karena itu, penundaan pernikahaan akan menyebabkan penundaan kelahiran anak atau Bansanka yang pada akhirnya menyebabkan penurunan angka kelahiran atau Shoushika. Berikut adalah tabel yang menunjuk keterkaitan antara usia rata-rata pernikahan pertama seorang wanita dan usia rata-rata melahirkan anak pertama.

Dampak Koreika ..., Alviany Muntaz, FIB UI, 2013

Page 9: Dampak Koreika , Alviany Muntaz, FIB UI, 2013lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352071-MK-Alviany Muntaz.pdf · dari 5.3 % menjadi 6,3 persen. Barulah setelah tahun 1955 pertumbuhan

9

Tabel 7. Usia Rata-Rata Pernikahan Pertama Wanita dan Usia Rata-Rata Melahirkan Anak

Pertama.

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa

semakin tinggi rata-rata usia pernikahan pertama, maka akan semakin tinggi pula usia melahirkan anak pertama. Jika pada tahun 1975, seorang wanita rata-rata telah memiliki anak pada sekitar umur 26 tahun, maka pada tahun 2003, seorang wanita rata-rata baru memilki anak pada umur hampir 29 tahun. Penundaan ini tentu berdampak pada menurunnya tingkat total fertilitas. Seperti yang telah diketahui, tidak seperti pria yang produktif sepanjang hidupnya, wanita memiliki batasan umur produktif 15 sampai 54 tahun. Dengan demikian, semakin lama wanita menunda untuk memiliki anak, maka akan semakin kecil kemungkinan jumlah anak yang dilahirkan.

c. Terbukanya Kesempatan Kerja Bagi Wanita

Industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi tinggi di Jepang pada tahun 1960, telah membuka kesempatan bagi para wanita untuk dapat bekerja. Selain itu, pada Mei 1985 Diet menyetujui UU Kesempatan Bekerja yang Sama atau Kintou Hou, yang menghapuskan diskriminasi dalam penempatan, gaji dan promosi pekerja berdasarkan gender (Jepang Dewasa Ini, 1989:83). Dengan berlakunya UU ini maka kesempatan kerja wanita telah diperluas ke berbagai sektor, termasuk dalam pekerjaan yang memilki jenjang karir.

Akibatnya semakin banyak wanita yang bekerja untuk meraih kemandirian ekonomi. Maka dengan munculnya kesempatan bekerja ini telah memudahkan wanita untuk membangun

kehidupan mereka sendiri di luar kerangka pernikahan (Yukiko Tanaka, 1995:15-16). Banyak wanita Jepang yang merasa memilki keluarga dan anak akan membatasi kehidupan sosial, ekonomi, dan karir mereka sehingga mereka lebih memilih menunda atau bahkan tidak menikah. Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya wanita Jepang yang bekerja, maka semakin menurun jumlah kelahiran di Jepang. Persentase semakin meningkatnya persentase wanita bekerja dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

Grafik 3. Peningkatan Persentase Pekerja Wanita di Jepang.

Sumber : Ministry of Health, Labour and Welfare

2.3.2 Angka Kematian yang Rendah dan Tingkat Harapan Hidup yang Tinggi.

Selain faktor angka kelahiran yang rendah, koreika shakai juga disebabkan oleh angka kematian yang rendah, dan tingginya tingkat harapan hidup. Seperti yang dapat dilihat pada tabel 4, angka kematian penduduk Jepang menurun setelah Perang Dunia II. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya angka kematian di Jepang, di antaranya adalah masyarakat yang semakin makmur, tingkat pemahaman masyarakat terhadap kesehatan yang tinggi, fasilitas dan pelayanan medis yang baik, serta ilmu kedokteran yang sudah sangat maju.

Indikasi bahwa jepang tergolong negara yang makmur dapat dilihat dari tingkat GDP (Gross Domestic Product) nya yang tinggi, bahkan menempati urutan ke-4 tertinggi di dunia pada tahun 2011 (The Statistical Handbook of Japan, 2012). Kemakmuran ini berdampak pada semakin tercukupinya asupan gizi dan nutrsi. Selain itu, pemahaman masyarakat Jepang terhadap kesehatan pun juga tinggi. Mereka menjaga pola hidup, pola makan, rajin

Dampak Koreika ..., Alviany Muntaz, FIB UI, 2013

Page 10: Dampak Koreika , Alviany Muntaz, FIB UI, 2013lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352071-MK-Alviany Muntaz.pdf · dari 5.3 % menjadi 6,3 persen. Barulah setelah tahun 1955 pertumbuhan

10

berolahraga, dan mendaftarkan diri mereka ke berbagai asuransi

Kondisi ini kemudian ditunjang pelayanan dan fasilitas dan pelayanan medis yang baik seperti tersedianya asuransi kesehatan yang membuat biaya pengobatan menjadi murah. Sekain itu, berkat kemajuan ilmu kedokteran tingkat kematian yang disebabkan oleh penyakit ringan seperti infeksi bisa diminimalisasi. Sebagai contoh, Jepang berhasil menurunkan tingkat kematian penyakit TBC, dan penyakit-penyakit saluran pernafasan yang lain setelah Perang Dunia II.

Dampak yang dihasilkan dari berbagai faktor diatas adalah masyarakat Jepang bisa hidup sehat dan berumur panjang. Berdasarkan data yang ditunjukan pada tabel 4, sejak perang dunia ke-2, tingkat harapan hidup orang Jepang meningkat dengan drastis. Tercatat pada tahun 2011 tingkat harapan hidup untuk wanita jepang adalah 85,9 tahun dan untuk pria 79,4 tahun.

2.4 Dampak Koreika Shakai Terhadap Wanita Lansia di Jepang

Tingkat harapan hidup tinggi dan rasio angka kematian yang rendah memang telah menjadi bukti bahwa pemerintah Jepang telah berhasil meningkatkan standar hidup dan kesehatan rakyatnya. kan tetapi disisi lain, tingkat harapan hidup yang tinggi itu tidak selamanya memberikan kebahagiaan, bahkan kebanyakan justru menimbulkan permasalahan dan penderitaan bagi para lansia itu sendiri.

Penderitaan ini terutama lebih dirasakan oleh para wanita lansia di Jepang. Wanita Jepang memiliki tingkat harapan hidup relatif lebih panjang dibandingkan pria. Sehingga lebih banyak dari mereka yang harus hidup sendiri kesepian karena ditinggal meninggal oleh sang suami. Belum lagi mereka harus menghadapi berbagai masalah lainnya seperti masalah keuangan, dan kesehatan yang berdampak pada memburuknya kondisi psikologis. Berikut ini adalah permasalah-permasalahan utama yang umumnya dihadapi oleh para wanita lansia di Jepang.

2.4.1 Hidup Sendiri

Salah satu faktor yang menyebabkan semakin meningkatnya jumlah lansia yang hidup sendiri terutama wanita lansia adalah bergesernya struktur sistem keluarga tradisional Jepang yang disebut Ie. Sistem keluarga Ie merupakan sebuah struktur rumah tangga yang terdiri dari tiga generasi (San-Sedai Setai) , yakni nenek-kakek, ayah-bu, dan anak. Namun setelah PD II, terjadi industrialisasi besar-besaran di Jepang, banyak masyarakat pedesaan melakukan urbanisasi ke kota. Para pelaku urbanisasi yang awalnya hanya melakukan urbanisasi musiman, mulai menetap secara permanen di sekitar lokasi kerjanya dan membentuk keluarga sendiri, sehingga struktur keluarga inti (Kaku-Kazoku Setai) semakin berkembang.

Kemudian bagi para kakek dan nenek yang ditinggalkan anaknya, ketika salah satu pasangan hidup mereka meninggal, maka yang tersisa tinggalah mereka sendiri tanpa ada orang lain yang membantu merawat mereka. Struktur keluarga yang hanya terdiri dari satu orang saja seperti ini disebut Tandoku-Setai. Tandoku Setai lebih banyak dijalani oleh para wanita lansia, hal ini disebabkan rata-rata usia harapan hidup wanita di Jepang relatif lebih panjang dibandingkan pria, sehingga lebih besar kemungkinan mereka untuk ditinggal suami terlebih dahulu, dan hidup sendiri menjanda. Berikut adalah perbandingan jumlah wanita lansia yang hidup sendiri pada tahun 1980 dan 2011.

Tabel 9. Perbandingan Jumlah Tipe Unit Keluarga Lansia Tahun 1980 dan 2011

Data pada tabel tersebut juga menunjukan bahwa sejak tahun 1980 hingga 2011 tipe keluarga tandoku-setai (One person House Holds) lebih banyak dijalani oleh kaum wanita lansia dibandingkan pria lansia. Pada tahun 1980 jumlah keluarga yang terdiri dari seorang wanita lansia adalah 718.000 keluarga. Kemudian pada tahun 2011 jumlah keluarga tandokusetai pada

Dampak Koreika ..., Alviany Muntaz, FIB UI, 2013

Page 11: Dampak Koreika , Alviany Muntaz, FIB UI, 2013lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352071-MK-Alviany Muntaz.pdf · dari 5.3 % menjadi 6,3 persen. Barulah setelah tahun 1955 pertumbuhan

11

lansia ini juga semakin meroket hingga 5 kali lipat, yaitu untuk wanita jumlahnya 3.394.000 keluarga dan untuk pria jumlahnya 1.303.000 keluarga. Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa diantara para lansia yang hidup sendiri wanita lansia mendominasi.

Dampak dari hidup sendiri tentu bukanlah perkara mudah bagi wanita lansia. Semakin tua seseorang maka kemampuan tubuh seperti daya reflek, keseimbangan tubuh, kelenturan, stamina, dan lainnya pun akan semakin melemah, sehingga menyulitkan untuk melakukan aktifitas sehari-hari. Oleh karena, itu para wanita lansia yang hidup sendiri, harus ekstra hati-hati dalam hal-hal seperti melangkah, mandi, naik tangga dan lainnya agar tidak terjatuh. Karena bagi orang berumur jatuh sedikit saja dapat berakibat fatal hingga mengakibatkan kematian. Apalagi bagi mereka yang tinggal sendiri, jika mereka jatuh atau sakit tidak ada orang yang bisa dimintai tolong dengan segera.

Belakang ini juga tidak jarang ditemukan wanita lansia yang meninggal sendiri di dalam rumah atau kamar sewaan mereka. Menurut Biro Kesejahteraan Sosial dan Kesehatan Masyarakat di Tokyo, sejak tahun 2003 hingga 2010, jumlah lansia yang meninggal di rumah meningkat 61 % yaitu dari 1.364 orang ke 2.194 orang. Untuk mengatasi hal tersebut pada bulan agustus tahun 2011, pemerintah memulai kerja sama dengan Japan Post untuk meminta para tukang pos memeriksa keberadaan para lansia berusia di atas 65 tahun, sebulan sekali dengan menyerahkan kartu ucapan (“Mencegah Lansia Kesepian” diambil 20 Febuari 2013 dari http://www.indonesiango.org/en/international/special-reports/2157-mencegah-lansia-meninggal-dalam-kesepian).

Hidup sendiri juga menyebabkan absennya kehadiran teman untuk berbagi cerita dan keluh kesah sehingga muncul perasaan kesepian dan terkucilkan. Tak jarang perasaan kesepian yang begitu mendalam menyebabkan perasaan depresi yang berujung pada tindakan bunuh diri. Tercatat pada tahun 1975 jumlah bunuh diri yang dilakukan oleh wanita lansia yang hidup sendiri adalah nomor tiga terbanyak di jepang (Ichibangase dalam Kreasia, 2002).

2.4.2 Masalah Keuangan

Dana pensiun merupakan sumber keuangan yang cukup vital bagi para lansia untuk menyokong kehidupan mereka ketika mereka sudah pensiun dan tidak bekerja lagi. Terdapat 2 jenis sistem pensiun di Jepang, yaitu Kokumin Nenkin dan Kosei Nenkin. Kokumin Nenkin atau Pensiun Nasional adalah sistem pensiun yang dikelola negara yang diberlakukan sejak 1957. Pensiun ini berlaku secara umum untuk seluruh penduduk Jepang. Tujuan Kokumin Nenkin adalah untuk menjamin keberlangsungan hari tua warga negara jepang yang tidak bekerja pada sutau perusahaan tertentu seperti petani, wiraswasta, ibu rumah tangga, dan lainnya. Walaupun demikian, jumlah uang pensiun kokumin nenkin ini tidaklah sebanyak kosei nenkin atau kyosai nenkin. (Ichibangase dalam Kreasia, 2002).

Sedangkan Kosei Nenkin adalah sistem pensiun yang diberlakukan hanya untuk karyawan. Untuk para wanita lansia yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga penuh tentu tidak dapat ikut menerima dana pensiun ini. Namun jika sang suami meninggal dan ia adalah peserta Kosei Nenkin maka sang istri bisa mendapatkan setengah dari uang pensiun suaminya dengan syarat ia tidak bercerai dengan sang suami. Selain itu, besarnya uang pensiun Kosei Nenkin ini tegantung pada besarnya gaji dan lamanya masa bekerja seseorang pada suatu perusahaan. Padahal banyak wanita di Jepang yang tidak memilki kesempatan untuk bekerja secara full time hingga memasuki batas usia pensiun pertama, entah karena menikah atau melahirkan anak.

Kondisi-kondisi di atas menyebabkan jumlah uang pensiun yang diterima wanita lansia lebih sedikit dari yang di dapat pria. Padahal hidup mereka rata-rata lebih panjang dari pada pria. Tentu bagi para istri yang secara finansial bergantung penuh pada suami, masalah keuangan adalah hal yang tak terhindarkan ketika sang suami meninggal.

Disisi lain, jika dibandingkan dengan pria, wanita yang memiliki rumah lebih sedikit. Selain itu, banyak dari wanita lansia yang menolak untuk tinggal bersama anak mereka, karena tidak ingin merepotkan sang anak. Akibatnya, banyak dari wanita berusia lanjut hidup sendiri dan tinggal di flat atau kamar sewaan.

Dampak Koreika ..., Alviany Muntaz, FIB UI, 2013

Page 12: Dampak Koreika , Alviany Muntaz, FIB UI, 2013lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352071-MK-Alviany Muntaz.pdf · dari 5.3 % menjadi 6,3 persen. Barulah setelah tahun 1955 pertumbuhan

12

Akan tetapi, akibat uang pensiun yang tidak begitu besar, untuk dapat menyewa sebuah kamar bagi seorang wanita lansia bukan lah perkara yang mudah. Banyak para wanita lansia yang harus bersusah payah bekerja di hari tuanya untuk membayar uang sewa. Namun, karena pekerjaan yang bisa mereka lakukan terbatas pada pekerjaan seperti pada pekerja part timer, sehingga gaji yang mereka terima tidaklah seberapa. Untuk bisa membayar uang sewa mereka sampai harus rela memotong jatah uang makan, tidak menggunakan listrik dan tidak menyalakan lampu.

Belakangan, akibat masalah keuangan dan kelaparan ini, terdapat kecendrungan peningkatan tindak criminal shoplifiting (menucuri barang-barang dari toko dengan berpura-pura belanja di toko tesebut) yang dilakukan oleh para lansia, terutama wanita lansia. Pada tahun 2007, tercatat ada 25,824 shoplifting yang dilakukan oleh para lansia, dan 82% nya dilakukan oleh wanita (Jeffrey Hays, 2009).

2.4.3 Masalah Kesehatan

a. Kepikunan

Salah satu masalah kesehatan yang sering diderita oleh lansia adalah pikun, atau dalam bahasa Jepang sering disebut dengan istilah Chihô-Shô. Pikun bukanlah masalah kesehatan yang timbul karena semakin bertambah usia. Akan tetapi, semakin bertambah usia seseorang, semakin banyak memunculkan faktor-fakor yang membuat seseorang rentan terhadap kepikunan. Pada lansia faktor-faktor tersebut umumnya adalah stress akibat kesepian, merasa terasing, gangguan fisik, dan lainnya.

Di Jepang, kepikunan diderita lebih banyak oleh wanita lansia daripada pria lansia. Perbandingan persentase wanita dan pria pikun di Jepang dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 10. Persentase Jumlah Lansia Pikun 1975

Umur Pria Wanita 65-74 5.2 3.6 75-84 12.2 21.7 85~ 18.9 26.9

(Ichibangase dalam Kreasia, 2002)

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada rentang usia 65 -74 tahun , pria lebih banyak mengalami kepikunan daripada wanita. Namun seiring dengan bertambahnya usia, persentase wanita lansia yang berusia 75 tahun ke atas yang menderita pikun meningkat tajam. Salah satu faktor yang juga menyebabkan wanita lansia lebih banyak mengalami kepikunan adalah disebabkan oleh meninggalnya sang suami.

Ditinggal suami dalam usia lanjut memberikan beban mental yang cukup berat bagi para wanita Pada mulanya ia akan merasa sedih lalu menjadi sangat kesepian. Apa lagi para istri di Jepang pada umumnya masih sangat terikat dan tergantung pada suaminya, baik itu secara finansial maupun secara spiritual. Sehingga ketika suami meninggal banyak istri yang merasa kehilangan peganan hidup sampai dirinya terguncang dan akhirnya menjadi pikun

Kepikunan membuat para wanita lansia ini menjadi sulit untuk menjalani aktifitas sosialnya dengan baik. Mereka lupa banyak hal, mengalami disorientasi, semakin sulit berbicara, emosional, kikuk dan sebagainya. Akibatnya tak jarang seorang wanita lansia yang pikun menganggap suami mereka yang sudah meninggal masih hidup. Selain itu, juga banyak kasus wanita lansia yang nyasar dan tidak bisa pulang kerumahnya kerena kepikunan.

b. Tulang Keropos

Penyakit yang paling sering diderita wanita pada masa tuanya adalah pengeroposan tulang. Faktor utama penyebab pengeroposan tulang ini adalah karena kekurangan konsumsi kalsium semasa muda. Jika tidak mendapatkan perawatan yang baik dan benar maka pengeroposan tulang ini akan berujung pada kelumpuhan, sehingga akhirnya seseorang hanya dapat terbaring saja di tempat tidur seumur hidupnya.

Di jepang pada awalnya istilah untuk menyebut kondisi lansia yang hanya dapat terbaring ditempat tidur seperti ini disebut dengan Netakiri Roujin yang secara literal berarti “lansia yang berakhir (di tempat) tidur”. Namun belakangan, Kementrian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang mengganti istilah Netakiri dengan istilah Nekasekiri yang berarti “ dipaksa berakhir terbaring.“ Penggantian istilah ini

Dampak Koreika ..., Alviany Muntaz, FIB UI, 2013

Page 13: Dampak Koreika , Alviany Muntaz, FIB UI, 2013lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352071-MK-Alviany Muntaz.pdf · dari 5.3 % menjadi 6,3 persen. Barulah setelah tahun 1955 pertumbuhan

13

disebabkan tumbuhnya kesadaran bahwa bukanlah keinginan sesorang untuk terbaring selamanya di tempat tidur (Hikaru Ueki, 2009:4).

Di Jepang wanita lansia lebih banyak menderita nekasekiri dibandingkan dengan pria , salah satu penyebabnya adalah hal ini disebabkan selain konsumsi kalsium yang rendah, wanita lebih mudah mengalami keropos tulang ketika memasuki manopouse karena homon esterogen menurun drastis. Bahkan diperkirakan akan ada 1,4 juta wanita lansia penderita nekasekiri di Jepang pada tahun 2025 (Karan, 2010:173)

Nekasekiri merupakan salah satu penyakit yang paling ditakuti oleh wanita lansia. Hal itu disebabkan begitu seseorang sudah nekasekiri maka sejak saat itu pula hidupnya akan selalu bergantung pada orang lain, padahal dalam masyarakat jepang sangat ditekankan budaya untuk tidak bergantung pada orang lain. Bagi sang perawat, merawat lansia nekasekiri merupakan tugas berat karena orang nekasekiri membutuhkan perawatan penuh setiap hari. Disisi lain, penderita nekasekiri juga terbebani dengan rasa bersalah karena telah merepotkan dan membuat orang lain susah.

3. Kesimpulan

Koreika Shakai yang terjadi sejak tahun 1970 di Jepang telah menimbulkan berbagai permasalahan bagi para lansia. Salah satu penyebab permasalahan lansia ini menjadi begitu pelik adalah semakin banyak menyusutnya jumlah anggota keluarga di dalam keluarga Jepang, hingga menjadi keluarga yang terdiri dari satu orang saja atau disebut dengan Tandoku-Setai. Hal ini membuat para kakek-nenek yang dahulu hidup dan dirawat oleh anak mereka, sekarang menjadi hidup sendiri.

Tandoku setai ini lebih banyak dijalani oleh para wanita lansia. Hal itu disebabkan rata-rata usia harapan hidup wanita di Jepang relatif lebih panjang dibandingkan pria, sehingga kemungkinan wanita untuk hidup sendiri ditinggal meninggal pasangannya menjadi lebih besar. Oleh karena itu, dampak koreika shakai jauh lebih berat dirasakan oleh wanita lansia.

Menjalani tandoku setai dan hidup sendiri tentu bukanlah perkara mudah bagi wanita

lansia. Ketika sesuatu terjadi pada diri mereka atau pun mereka sakit, tidak ada orang yang bisa dimintai tolong dengan segera. Selain itu, absennya kehadiran teman untuk berbagi keluh kesah menimbulkan perasaan kesepian yang terkadang hingga membuat seorang wanita lansia depresi. Belakangan, tidak jarang ditemukan wanita lansia yang meninggal sendiri di dalam rumah atau kamar sewaan mereka.

Di samping itu, banyak wanita lansia yang juga mengalami kesulitan keuangan. Di sisi lain, para wanita lansia yang hidup sendiri ini harus membayarkan sewa rumah atau kamar yang biayanya tidak murah. Sehingga, untuk menghemat biaya mereka memotong uang jatah makan dan sebisa mungkin tidak menggunakan listrik dan penerangan di dalam rumah mereka. Ironinya lagi, belakangan banyak mucul kasus shoplifting yang dilakukan para wanita lansia karena mereka tidak punya uang untuk membeli makanan dan kebutuhan sehari-hari lainnya.

Dengan bertambahnya usia, kemampuan fisik, daya kognitif, dan kesehatan mereka pun semakin menurun, belum lagi jika mereka menderita pikun atau keropos tulang yang membuat mereka hanya bisa terbaring di tempat tidur, atau netakiri. Kondisi ini membuat hidup mereka akan selalu bergantung pada orang lain, sehingga banyak wanita lansia penderita netakiri yang terbebani dengan rasa bersalah karena telah membuat orang lain susah.

4. Saran

Meskipun Jepang adalah negara maju, kurangnya antisipasi dari pemerintah telah membuat dampak koreika shakai terhadap lansia menjadi begitu berat. Walaupun Indonesia masih belum dikategorikan sebagai negara koreika shakai, Indonesia mulai menunjukan gejala yang sama. Jumlah wanita yang tidak menikah di sejumlah kota besar menunjukan peningkatan, begitu pula jumlah lansia di Indonesia juga menunjukan mengalami peningkatan. Namun, kesehatan dan kesejaheraan para lansia di Indonesia masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Berkaca dari Jepang, untuk itu pemerintah Indonesia seharusnya bersiap-siap mengambil kebijakan dan program-program yang lebih memperhatikan permasalahan mengenai lansia.

Dampak Koreika ..., Alviany Muntaz, FIB UI, 2013

Page 14: Dampak Koreika , Alviany Muntaz, FIB UI, 2013lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352071-MK-Alviany Muntaz.pdf · dari 5.3 % menjadi 6,3 persen. Barulah setelah tahun 1955 pertumbuhan

14

Daftar Acuan

Abdurachim,I,I.H.(1973). Pengantar Masalah Penduduk. Bandung:Alumni.

Chesnais, Jean Claude. Terjemahan Elizabeth Kreager and Philip Kreager. (1992). The Demographic Transition : Stages, Pattern, and Economic Implications, Clarendon Press.

Forgach, Nandor. Japan’s Population Decline And Its Implications For Japanese Society. New York: William Smith Colleges Press, 2009. (Tesis).

Hays, Jeffrey. (2009). “Neglect And Problems Taking Care Of The Elderly Japanese.” Diambil Febuari 2013 Dari http://Factsanddetails.Com/Japan.Php?Itemid=620

Higashino, Dia. (2005). “Japan's Changing Labor Market.” JETRO Japan Economic Monthly Special Report.

Karan, Pradyumna. (2010). Japan in the 21st Century: Environment, Economy, and Society. Kentucky. Kousei Roudoshou, Jinkou Doutai Toukei, 2004.diambil Febuari 2013 dari (http://www8.cao.go.jp/shoushi/whittepaper/w-2004/html-h/index.html. “Mencegah Lansia Kesepian” diambil 20 Febuari 2013 dari http://www.indonesiango.org/en/international/special-reports/2157-mencegah-lansia-meninggal-dalam-kesepian

Norgern, Tiana. (2001). Abortion before Birth Control: The Politics of Reproduction in Postwar,Japan. New Jersey:Pricenton.

Sagita, Ririen Restya. (2012). “ Perusahaan Tolak RUU Perpanjangan Usia Pensiun di Jepang.” Asia Berita. Diambil April 2012 dari http://pasardana.com/perusahaan-tolak-ruu-perpanjangan-usia-pensiun-di-jepang-32001/

Samuel Coleman. (1983). Family Planning in Japanese Society. New Jersey

Sato, Ryuzaburo dan Iwasawa, Miho. (2006). “Contraceptive Use and Induced Abortion in Japan: How Is It So Unique among the Developed Countries?.” The Japanese Journal of Population Vol.4, No.1. Tokyo.

Statistics Bureau, Ministry of Education , Sience , Sport and Culture.(2011).” School Basic Survey.” Diambil 20 Febuari 2013 dari http://www.mext.go.jp/english/statistics/index.htm Statistics Bureau, Ministry of Internal Affairs and Communications. (2012). “Chapter 2 Population.” The Statistical Handbook of Japan 2012 Diambil Febuari 2013 dalam http://www.stat.go.jp/english/data/handbook/c02cont.htm. Statistics Bureau, Ministry of Walfare and Health. 2011. Outline of the Fourth Longitudinal Survey of Middle and Elderly Persons. Diambil 20 Febuari 2013 dari http://www.mhlw.go.jp/english/database/db-ls/dl/02.pdf The International Society For Educational Information, Inc. (1989). Jepang Dewasa Ini. Tokyo: Wakaba.

TJ, Espenshade dan Cf, Westoff. (2003). "The Surprising Global Variation in Replacement Fertility," Population Research and Policy Review 22.

Ueki, Hikaru.(2009). End-of-life Care in Japanese Nursing Homes: An Ethnographic Study. Amsterdam.

Usui, Chikako. (2001).“The Misplaced Problems of Aging Society : Crisis or Oppurtunity?.” Intenational House of Japan Bulletin.Tokyo.

Yukiko Tanaka. (1995). Contemporary Potraits of Japanese Women, New York.

Dampak Koreika ..., Alviany Muntaz, FIB UI, 2013