Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Daerah
-
Upload
prayudha-esc -
Category
Documents
-
view
218 -
download
0
Transcript of Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Daerah
-
8/2/2019 Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Daerah
1/3
Dampak Desentralisasi FiskalTerhadap Daerah
Written by Nurdin Tappa
Monday, 29 November 2010
Sembilan tahun otonomi daerah berjalan. Sejak diberlakukan 1 Januari 2001 lalu, banyak capaianyang diraih kendati juga masih banyak yang mesti dilakukan. Undang-Undang (UU) No.
25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Daerah masih syarat
perdebatan. Lalu apakah dengan desentralisasi fiskal, daerah sudah merasakan dampaknya?
Laporan A. Mattingaragau T.
Peneliti FIPO
Sangat disayangkan jika kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat (pempus) untuk
mendukung kontinuitas pembangunan Pemerintahan Propinsi (pemprof) dan PemerintahanDaerah (pemda) tidak terakomodir seperti yang diharapkan. UU No. 25/1999 yang diharapkanpemda mampu memberikan harapan dianggap belum dapat memberikan jawaban atas keluhan
yang dihadapi daerah selama ini.
Otonomi lahir untuk mendorong kreatifitas daerah guna menyiasati keterbatasan dan
mengoptimalkan setiap kemampuan yang dimiliki. Objek utama dari kebijakan ini adalah
keberdayaan masyarakat dalam memperoleh akses dan kesempatan yang sama mengelola sumber
berdaya yang tersedia guna satu tujuan akhir, yaitu kesejahteraan.
Kesejahteraan adalah tolak ukur dari kebijakan otoda. Tapi mungkinkah kesejahteraan yang
disyaratkan UU No.22/1999 dan UU No. 25/1999 yang disempurnakan menjadi UU No. 32/2004
dan 33/2004 dapat dicapai? Tentunya dibutuhkan beberapa indikator dalam melihat kondisikekinian secara utuh.
Jika mencermati kondisi makro Indonesia, setelah desentralisasi diberlakukan, ternyata belummemberikan dampak pemerataan yang signifikan. Penyebaran PDB (product domestic bruto)
saja masih didominasi tiga provinsi yaitu DKI, Jabar, dan Jawa Timur sebesar sekitar 60% yang
nota bene semuanya di berada Jawa dan sisanya sekitar 40 persen tersebar di provinsi lain.
Penyebaran PDB banyak disumbangkan penduduk yang tinggal diperkotaan. Jika dipetakan,
penyebaran pendudukan terbesar berada di 15 kota sekitar 15 persen. Diantara kota ini, Jakarta
dan Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) mempunyai penyebaran penduduktertinggi masing-masing empat dan 6,5 persen. 15 kota tersebut menyumbang sekitar 30 persen
dari PDB, di mana Jakarta dan Bodetabek masing-masing 15 persen dan 18 persen.
Sementara itu, jika dilihat dari sisi Penerimaan Dalam Negeri (PDN) mengalami tren
peningkatan dalam 10 tahun terakhir sejak 2001 hingga 2010 dengan rata-rata sebesar 16,49
persen. Hanya saja, tren peningkatan PDN ini sedikit terkoreksi pada 2010 yang mengalami
penurunan minus 4,44 persen dari Rp941,1 triliun pada 2009 menjadi 984,8 pada 2010.
http://fipofajar.org/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=50&itemid=1http://fipofajar.org/index2.php?option=com_content&task=view&id=50&pop=1&page=0&Itemid=1http://fipofajar.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=50http://fipofajar.org/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=50&itemid=1http://fipofajar.org/index2.php?option=com_content&task=view&id=50&pop=1&page=0&Itemid=1http://fipofajar.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=50http://fipofajar.org/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=50&itemid=1http://fipofajar.org/index2.php?option=com_content&task=view&id=50&pop=1&page=0&Itemid=1http://fipofajar.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=50 -
8/2/2019 Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Daerah
2/3
Demikian juga transfer keuangan daerah mengalami peningkatan sejak 2001 hingga 2010 rata-rata 16,85 persen, tetapi mengalami penurunan pada 2010 sebesar minus 0,67 dibanding 2009.
Bias Ke Sulsel
Tren peningkatan transfer keuangan ke daerah kurun waktu 2001 hingga 2010 telah memberikan
dampak signifikan terhadap beberapa akun keuangan utama dan beberapa sektor di daerahkhususnya di Sulawesi Selatan (Sulsel). Dari total pendapatan pada Anggaran Pendapatan danBelanja Daerah (APBD) 23 kabupaten dan kota (minus Toraja Utara), terjadi peningkatan 9,77
persen dari Rp10,88 triliun pada 2008 menjadi Rp11,95 triliun pada 2009.
Jika dipetakan berdasarkan struktur APBD 2009, dari tiga akun utama, Dana Perimbangan (DP)memenpati posisi teratas sebesar 82 persen disusul Lain-Lain Pendapatan Yang Sah (LLPS) 11
persen dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 7 persen. Dari ketiga akun utama tersebut, DP
masih mendominasi struktur APBD 2009.
Tingginya DP ini menunjukkan masih kuatnya peran Pempus terhadap daerah. Sementara di sisi
lain, daerah masih dianggap belum mampu mengoptimalkan perannya dalam mengelolah sumberdaya yang dimiliki lantaran keterbatasan yang dimiliki. Di sini daerah dituntut lebih kreatif agartren PAD juga memperlihatkan kinerja yang lebih baik dari tahun ke tahun. Hanya saja,
kekhawatiran jangan sampai upaya untuk meningkatkan PAD justru berbuah high cost dan
kentalnya birokrasi di daerah.
Jika apa yang dikhawatirkan tersebut terjadi, maka kuat dugaan bahwa otonomi gagal dalam
mewujudkan tujuannya dan desentralisasi fiskal hanya sebatas lipstick belaka. Daerahdiberikan kewenangan mengelola keuangan, namun lemah dalam melahirkan kebijakan dan
strategi baru guna mendorong kemajuan di daerah. Otonomi dilahirkan bukan untuk
meningkatkan PAD yang tidak berpihak terhdap masyarakat, melainkan keberpihakan
masyarakat terhadap daerah mampu mendorong naiknya kinerja PAD.
Jika dilihat berdasarkan proporsi total anggaran dari keempat indikator utama tersebut terhadap
total pendapatan dalam APBD 23 kabupaten dan kota di Sulsel, maka anggaran sektor
pendidikan mengalami penurunan. Pada 2008, proporsi anggaran sektor pendidikan sebesar 59persen menurun menjadi 49 persen pada 2009. Sementara sektor kesehatan dan ekonomi
mengalami peningkatan masing-masing 22 persen dan 15 persen pada 2008 menjadi 25 persen
dan 22 persen pada 2009. Adapun sektor lingkungan masih berada pada posisi semula, 4 persenpada 2008 dan 2009.
Namun, dilihat dari total anggaran Dinas Pendidikan 23 kabupaten/kota di Sulsel, memang
mengalami peningkatan 30,63 persen dari Rp3,10 triliun pada 2008 menjadi Rp4,06 pada 2009.Rendahnya proporsi total anggaran sektor pendidikan dibanding sektor kesehatan, ekonomi, dan
lingkungan mengundang kekhawatiran akan dampak buruk terhadap kinerja pendidikan di Sulsel
secara keseluruhan. Dinas Pendidikan hanya mampu berbuat sebatas kemampuan anggarandalam APBD saja sementara tidak mampu mendorong pihak lain berpartisipasi dalam proses
pembangunan sektor kesehatan.
Anggaran pendidikan sebenarnya bukan hanya bersumber dari anggaran Dinas Pendidikan
-
8/2/2019 Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Daerah
3/3
seperti yang tertuang pada APBD semata, melainkan bisa bersumber dari seluruh Satuan KerjaPerangkat Daerah (SKPD) dan seluruh elemen yang berpartisipasi dan konsen terhadap
kemajuan sektor pendidikan di daerah termasuk dana-dana dari luar negeri dan donor lainnya
yang sah.
Ketergantungan Fiskal
Ketergantungan fiskal ditandai dengan tingginya kontrol pusat terhadap proses pembangunan di
daerah. Hal ini ditandai dari rendahnya PAD 23 kabupaten dan kota di Sulsel dibandingkan
besarnya subsidi (grants) yang diberikan dari pusat.
Guna menghindari masalah ini, maka mau tidak mau daerah harus mampu berfikir cerdas danbertindak kreatif guna mentransformasikan segala kemampuan dan mengoptimalkan sumber-
sumber pendanaan potensial, baik internal maupun eksternal.
Dengan demikian, daerah tidak hanya sebagai penonton dan penggembira saja dalam prosespembangunan, melainkan sebagai pelakon utama. Jika upaya ini dapat dilakukan, daerah lebih
berdaya dan mandiri yang ditandai dengan kinerja pada sektor-sektor utama yang menjadiprioritas pembangunan