Dakwah Kultural Muhammadiyah
-
Upload
rizka-adianti-hutami -
Category
Documents
-
view
139 -
download
0
Transcript of Dakwah Kultural Muhammadiyah
5/14/2018 Dakwah Kultural Muhammadiyah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/dakwah-kultural-muhammadiyah 1/6
Dakwah Kultural Muhammadiyah
Ketika berbicara masalah Dakwah Kultural di Muhammadiyah, tentu tidak akan bisa
melupakan keberadaan Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus, Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam, serta Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah. MajelisTabligh berbicara masalah Dakwahnya, Majelis Tarjih berbicara masalah batas-batas yang
mungkin dilakukan sesuai syariah dan Lembaga Seni Budaya berbicara mengenai
implementasinya.
Dakwah Muhammadiyah, menurut Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PPMuhammadiyah, sebagai upaya menjadikan Islam agama rahmatan lil- 'alamin idealnya
menyentuh segala lapisan dan kelompok masyarakat. Untuk konteks Indonesia khususnya
Jawa) misalnya, meminjam kategorisasi Clifford Geertz, dakwah Islam seyogyanyamenyentuh tiga varian masyarakat yaitu abangan, santri dan priyayi. Atau dengan
kategorisasi Muhammadiyah sendiri, dakwah itu haruslah menyentuh umat ijabah dan umat
dakwah sekaligus.Ada kesadaran bersama bahwa selama ini dakwah Muhammadiyah lebih banyak berkutat
dalam lingkaran varian santri dibanding dengan dua varian lainnya. Padahal pada
kenyataannya umat Islam yang abangan merupakan mayoritas dari komposisi umat Islam
Indonesia. Kesadaran akan hal itu muncul dengan aksentuasi yang lebih kuat ketika dalamaspek politik, partai yang diidentikkan dengan partai abangan (yaitu PDI Perjuangan)
temyata mampu mengungguli partai-partai yang mengusung simbol-simbol Islam dalam
perolehan suara, sebagaimana tercermin dari hasil pemilu tahun 1999 yang lalu.Kalau diasumsikan bahwa komitmen keislaman seorang muslim antara lain bisa diukur dari
komitmennya terhadap Islam sebagai salah satu sumber ideologi, maka kemenangan partai
abangan itu bisa mengindikasikan dua hal. Perlama, dakwah Islam telah gagal dalammembangun salah satu aspek komitmen beragama muslim (baca: muslim abangan),
khususnya komitmen kepada Islam sebagai ideologi. Kedua, sesungguhnya dakwah Islam
memang belum banyak menyentuh varian umat Islam yang mayoritas itu, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali.
Kesadaran yang demikian, menurut Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus, tampak jelas
dalam pidato iftitah Ketua PP Muhammadiyah dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di
Denpasar ini. Lebih jauh, pidato ini secara lebih tajam memperlihatkan beberapa hal. Pertama, kesadaran bahwa Muhammadiyah hanya berkutat dalam kandangnya sendiri,
hingga tidak tahu apa yang terjadi pada bangsa ini secara keseluruhan. Kedua, keinginan
untuk mencari langkah-langkah strategis yang harus dilakukan dalam gerak dakwahMuhammadiyah'. Ketiga, hasrat untuk menjalin hubungan dengan kekuatan-kekuatan
politik formal dan kelornpok-kelompok lain yangjuga sangat menentukan peta budaya
bangsa.
Dakwah Dalam Perspektif Tabligh
Muatan dakwah berbanding lurus dengan rahmatan lil-'alamm. Pada hakikatnya RasulullahSAW sendiri diutus sebagai rahmatan lil-'alamm (Q.S. AI-Anbiya', 21: 107) Dengan
demikian dakwah adalah tugas kenabian dan kerasulan (profetik). Pada kenyataan, praktek
dakwah diwujudkan dalam bentuk tabligh (penyampaian) yang dapat berupa lisan (bil-lisan) atau dengan tindakan (bil-hal). Dengan kata lain, dakwah merupakan potensi
kenabian dan kerasulan, sedangkan tabligh adalah aktualisasi kenabian dan kerasulan.
5/14/2018 Dakwah Kultural Muhammadiyah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/dakwah-kultural-muhammadiyah 2/6
Muatan rahmatan lil- 'alamin tidak hanya berupa hal-hal yang berwujud produk (hasil)
yang langsung dapat dinikmati, melainkan juga berupa hal-hal yang menyangkut proses,
yakni petunjuk yang memancing diternukannya cara, teknik dan metoda yang diperlukanuntuk mencapai kebahagiaan hidup yang bersifat duniawi (sekular), apalagi yang bersifat
keakhiratan (eskatologis). Dengan demikian muatan rahmatan til- 'alamin bernuansa
dinamis, bukan pasif, apalagi meninabobokkan. Muatan rahmatan lil-'alamin bukanuntuk membentuk atau menciptakan manusia-manusia yang manja, melainkan untuk
membentuk dan menciptakan manusia-manusia aktif dan senang berusaha serta berikhtiar.
Sejalan dengan dengan hal ini, dakwah pun merupakan potensi yang dinarnik. Tablighsebagai aktualisasi dakwah, juga harus bersifat dinamik. Logikanya, kalau potensinya
dinamik apalagi aktualisasinya.
Dalam bahasa yang lebih teknis, muatan dakwah adalah segala apa yang dibutuhkan
manusia dan bernilai ma’ruf (baik). Seperti diketahui, kebutuhan manusia tidak pemah berhenti baik dari segi kuantitas (jumlah), maupun kualitas (mutu), yang keduanya sesuai
dengan tuntutan zaman dan tempat. Oleh sebab itu, menjadi sebuah keniscayaan jika
aktualisasi dakwah dalam ujud tabligh juga harus berbanding lurus dengan tuntutan
kuantitas, kualitas, zaman dan tempat tersebut.Karena arah dakwah adalah kebutuhan yang bersifat ma 'ruf, maka dalam tabligh harus ada
muatan yang bisa membentengi agar yang ma'riifitu tetap terjaga. Benteng tersebut disebutal-nahyu 'an al-munkar (menghentikan yang munkar). Logikanya apa saja yang tidak
munkar, tentu ma 'ruf, dan sebaliknya. Jadi, dakwah sebagai potensi bernuansa al-amar bi
al-ma 'rufwa al-nahy 'an al-munkar. Demikianjuga tabligh sebagai aktualisasijuga bernuansa sama.
Dengan memperhatikan urutan kalimat al-amar bi al-ma 'ruf yang berada sebelum kalimat
al-nahy 'an al-munkar, semestinya pemaknaannya adalah bahwa penonjolan hal-hal
(bersifat produk maupun proses) yang ma’ruf (baik)jauh lebih nyata dan intensifdaripadaal-nahy 'an al-munkar. Dalam bahasa lebih teknis, kiranya lebih ditonjolkan "memberikan
kebebasan-kebebasan dalam berkreasi" daripada sekadar "melarang-larang ini-itu".
Dakwah Kultural: Pengertian dan Arah
Dakwah kultural, atau bisa juga disebut dakwah kebudayaan, adalah dakwah yangmenekankan perlunya pergulatan dan pergumulan langsung dengan persoalan-persolan
kongkret kesejarahan komunitas muslim dalam arti yang seluas-luasnya. Dakwah model ini
dengan demikian bersifat historis-praktis, open-ended, dan membutuhkan dedikasi (dalamkacamata Al-Qur'an disebut keikhlasan) yang prima.
Secara historis, mekanisme kerja strategi kebudayaan Muhammadiyah memiliki empat ciri
yang melekat pada dirinya. Pertama, senantiasa menyatukan dimensi "kembali kepada Al-
Qur'an dan As-Sunnah" dengan dimensi "ijtihad" dan "tajdid" sosial keagamaan. Hal ini
tercermin dan predikat yang diberikan masyaTakat kepada Muhammadiyah sebagai fahamyang tidak bermazhab. Kedua, dalam mengaktualisasikan cita-cita perjuangannya
strategi kebudayaan Muhammadiyah menggunakan sistem organisasi. Dengan modelkedua ini Muhammadiyah ingin mengangkat kepentingan dan keselamatan pribadi ke
wilayah kepentingan dan keselamatan sosial. Sistem organisasi juga menuntut kolegialitas
dan transparansi. Ketiga, bercorak "antikemapanan" kelembagaan agama yang terlalu bersifat rigid-kaku. Keempat, adaptif terhadap tuntutan perubahan zaman.
5/14/2018 Dakwah Kultural Muhammadiyah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/dakwah-kultural-muhammadiyah 3/6
Perubahan sosial sebagai konsekuensi logis dari perkembangan ilmu dan teknologi
mengandaikan perlunya bahasa, metodologi, teknologi, materi dan manajemen dakwah
yang berbeda. Tentu hal ini berimplikasi terhadap strategi kebudayaan. Nilai-nilai yanghendak disampaikan dalam berdakwah tetap bersumber pada Al-Qur'an dan As-sunnah.
tetapi cara penyampaian, pengolahan, pengemasan dan pemasaran nilai-nilai itu perlu
disesuaikan dengan tuntutan pasar dan masyarakatkonsumennya. Kegiatan dakwah al-amar bi al-ma 'ruf wa al-nahi 'an al-munkar tidak harus menggunakan bahasa dan cara
yang persis sama antara sebelum dan sesudah terjadinya perubahan sosial.
Agar bahasa dakwah dapat berjalan sinkron dengan perubahan pola berpikir dan perilakumasyarakat konsumen maka aktivitas dakwah perlu membaur dan menyatu dalam derap
langkah dan seluk beluk kebudayaan setempat. Dengan demikian, kebiasaan dakwah
secara deduktif perlu diimbangi dengan cara berpikir dan pendekatan dakwah yang
induktif. Lebih lanjut, bahasa dakwah keagamaan akan dapat menggunakan bahasa sepertiyang dipakai oleh para konsumen, sehingga akan terasa hidup dan aktual, bukan seperti
bahasa 'pengamat' dari luar yang sering terkesan sangat teoretis.
Pada sisi lain, ada dua arah pemikiran dalam masalah dakwah bercorak kultural ini.
Pertama, dakwah kultural berarti dakwah yang diaktualisasikan dalam kegiatan tablighdengan memanfaatkan bentuk-bentuk kegiatan yang tergolong kegiatan kultural, seperti
kegiatan kesenian. Hal ini berarti kegiatan kultural sebagai metode. Kedua, dakwahkultural berarti bahwa dakwah yang diaktualisasikan dalam kegiatan tabligh memang
dimaksudkan untuk menghasilkan kultur baru yang bernuansa Islami. Arah kedua ini,
berarti kegiatan kultural sebagai substansi. Kedua arah ini harus dipilih, apakah salah satudi antaranya, atau kedua-duanya.
Kalau kegiatan kultural sebagai metode, maka sikap terhadap kultur setempat akan lebih
lentur, karena bagaimanapun juga proses dakwah tersebut akan menggunakan kultur yang
sudah ada. Sebaliknya, kalau kegiatan kultural dimaksudkan sebagai substansi, makaada kecenderungan membabat habis kultur setempat (purifikasi). Kalau yang dipilih
merupakan gabungan antara keduanya, maka kegiatan kultural yang dilaksanakan biasanyaselektif dan sekaligus dilakukan modifikasi baru sehingga muncul kegiatan kultural baruyang bernuansa Islami.
Untuk pilihan yang pertama, kegiatan kultural sebagai metode, diperlukan pemahaman
kebudayaan setempat yang sangat intensif sehingga harus ada sumber daya manusia (SDM)yang cukup untuk itu. Di sini, lembaga perguruan tinggi Islam dapat dimanfaatkan sebaik-
baiknya, dalam bentuk kerja sama, misalnya. Sementara itu, untuk pilihan yang kedua,
kegiatan kultural sebagai substansi, diperlukan pemikiran dan kreativitas budaya yang
lumayan besar.Sebab, tidak pada tempatnya hasil pemikiran dan kreativitas budaya yang akan ditawarkan
malahan lebih rendah mutunya jika dibandingkan dengan kultur setempat. Kalau ini terjadi,
maka tawaran budaya tersebut, misalnya kesenian, tentu tidak akan laku. Untuk pilihankedua ini jelas memerlukan SDM yang sangat banyak dalam segala macam cabang
kebudayaan. Kalau pilihan dijatuhkan untuk menggabungkan antara kedua corak kegiatan
budaya tersebut, sebagai metode dan substansi, kerumitannya dan penyediaan sumber dayamanusianya juga akan berlipat.
Namun yang pasti, dalam konteks tabligh, dakwah bercorak kultural ini jelas sangat perlu.
Di Jawa, konon dakwah semacam ini telah membuktikan keberhasilannya. Tentu saja kalau
diteliti secara lebih cermat di sana-sini masih mengandung banyak resiko (yang di atas
5/14/2018 Dakwah Kultural Muhammadiyah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/dakwah-kultural-muhammadiyah 4/6
diberi istilah TBC). Tetapi kalau kita tidak menggunakan dakwah bercorak kultural maka
bisa dikatakan ganjil, karena masyarakat dunia dewasa ini bukan hanya bertarung dalam
bidang ekonomi, militer dan hegemoni politik, narnun lebih dari pada itu adalah pertarungan budaya.
Oleh sebab itu, dakwah bercorak kultural merupakan sebuah pilihan yang bersifat niscaya.
Logika lain adalah bahwa kegiatan agama dalam masyarakat, di mana saja dan kapan saja, pasti akan berhadapan dengan fenomena budaya, terutama budaya setempat. Tidak ada
satu dalil pun yang menggugurkan kenyataan ini.
Syirik dan TBC dalam Pandangan Tarjih
Untuk melakukan dakwah kultural, menurut Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Islam, yang patut diperhatikan adalah masalah syirik, TBC (Takhayul, Bid’ah dan
Churafat). Selain itu masalah Berkumpul dan Silaturahmi.Syirik, menurut Majelis Tarjih, berasal dari kata syarika yang berarti bersekutu atau
berkongsi. Jadi syirik mempersekutukan Allah SWT dengan makhluk. Syirik dalam
dimensi rububiyah, seperti mempercayai bahwa ada mahluk yang mampu menolak segala
kemudharatan dan meraih segala kemanfaatan, dapat memberi berkat, sehingga orangmeminta bantuan kepada makhluk tersebut untuk menolak petaka atau meraih keuntungan.
Syirik dalam dimensi mulkiya yaitu mematuhi sepenuhnya penguasa muslim atau nonmuslim di samping menyatakan patuh kepada Allah padahal pemimpin itu menghalalkan
apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah serta mengajak
untuk melakukan kemaksiyatan. Syirik ilahiyah, misalnya berdoa kepada Allah melalui perantaraan orang yang sudah meninggal dunia.
Di samping itu, ada kepercayaan yang terlalu besar akan benda atau upacara tertentu untuk
dengan demikian mendapat bantuan dari Tuhan. Artinya, orang lebih percaya kepada
benda dan upacara-upacara tertentu dari pada Tuhannya sendiri. Perilaku seperti ini seringdisebut Tahayul dan Churafat. Orang, hampir selalu, dengan perantaraan orang pintar atau
dukun atau paranormal kemudian melakukan pengorbanan, persembahan, penyiksaan, bertapa, mati geni mencegah pengaruh ruh jahat dan sebagainya. Tempat-tempat dan hari-hari tertentu dianggap keramat dan bertuah, angker sehingga harus melakukan pembacaan
mantra, memberi sesajen seolah-olah memaksa Tuhan untuk melayani kepentingan
manusia.Jadi syirik itu sesungguhnya adalah sikap dan perilaku menduakan Allah dengan yang lain,
padahal seorang muslim harus pasrah dan tunduk hanya kepada Allah semata. Ia harus
percaya dan iman yang dibaktikan dengan jalan melakukan penyembahan (ibadah) dan
mentaati segala hukum-hukumnya (syariah) yang telah digariskan lewat wahyuNyamelalui RasulNya Muhammad SAW. Syirik inilah yang harus dihindarkan dalam dakwah
kultural, termasuk juga TBC.
Walaupun zaman sudah modern, teknologi sudah canggih namun orang masih mengikutitradisi lama, membuat patung, kemudian mencintai berbagai seni budaya yang indah-
indah. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa kebudayaan atau kultur berupa hasil cipta, rasa
dan karsa manusia dan keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia adalah suatukarunia yang dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidupnya. Namun kadang-kadang
dalam masyarakat banyak juga yang menjauhinya seperti berbagai macam seni budaya dan
keindahan.
5/14/2018 Dakwah Kultural Muhammadiyah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/dakwah-kultural-muhammadiyah 5/6
Islam adalah agama fitrah, segala yang bertentangan dengan fitrah ditolak dan yang
mendukung kesuciannya ditopang. Seni budaya adalah fitrah, kemampuan berseni
merupakan salah satu perbendaan manusia dengan makhluk lain. Jika demikian Islam pastimendukung seni, tradisi budaya selama penampilan lahirnya mendukung fitrah manusia
yang suci itu dan karena itu pula Islam bertemu dengan seni dalam jiwa manusai
sebagaimana seni budaya ditemukan oleh jiwa manusia di dalam Islam asalkan semuanyaitu tidak mendominasi kehidupan manusia.
Namun timbul pertanyaan mengapa warna Islam tidak nampak pada masa Nabi SAW dan
sahabatnya dan mengapa terasa atau terdengar adanya semacam pembatasan yangmenghambat? Boleh jadi sebabnya adalah karena seniman baru berhasil dalam karyanya
jika ia dapat berinteraksi dengan gagasan, menghayatinya secara sempurna sehingga
menyatu dengan jiwanya lalu kemudian mencetuskannya dalam bentuk karya seni. Pada
masa Nabi dan sahabatnya proses penghayatan nilai islami baru dimulai bahkan sebagianmereka baru dalam tahap upaya “pembersihan” gagasan-gagasan jahiliyah yang telah
meresap dalam benak mereka. Untuk itulah kita harus memahami larangan yag ada kalau
kita menerima adanya larangan penampilan karya seni tertentu. Apalagi sesungguhnya
apresiasi al-Qur’an terhadap seni demikian besar.Problem pembuatan patung misalnya, al-Qur’an berbicara pada 3 tempat: Pertama, QS al-
Anbiya’ 51-58: patung yang disembah oleh ayah Nabi Ibrahim tidak hanya ditolak tetapi bahkan dihancurkan. Kedua, QS Saba 12-13: zaman Nabi Sulaiman orang membuat patung
dari kaca, marmer, tembaga dan konon menampilkan para ulama dan nabi-nabi. Ketiga, QS
Ali Imran 48-49: diuraikan mukjizat Nabi Zakaria antara lain menciptakan patung berbentuk burung dari tanah liat dan setelah ditiupnya, kreasinya itu menjadi burung yang
sebenarnya atas izin Allah.
Di sini kekhawatiran yang mengantar kepada penyembahan berhala atau syirik tidak
ditemukan dan karena itu Allah membenarkannya. Jadi penolakan al-Qur’an bukandisebabkan karena patungnya tetapi kemusyrikan dan penyembahnya. Apakah kultur yang
berupa seni dan tradisi Islami itu harus berbicara tentang Islam?Kasus lainnya yang ada di masyarakat misalnya Tahlilan. Tahlilan tidak harus dilihatsebagai acara ritual agama, warga Muhammadiyah tidak mengadakannya tetapi tidak salah
jika menghadiri tetangga berkumpul-kumpul mengadakan tahlilan, di sini kehadiran
dimaknai sebagai silaturahim dan mendengarkan atau membaca al-Qur’an. Di siniartikulasi format pemikiran realistik dengan reinterprestasi wujud dalam menunjukkan
akseptabilitas Islam yang bersumber dari doktrin yang universal, dihadapkan pada realitas-
realitas sosiokultural masyarakat pemeluknya. Tentu masih banyak persoalan-persoalan
lain yang harus dijawab.
Harus Ada Kesinambungan
Dalam hal dakwah kultural ini, Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah mengingatkan jikamenggunakan jalur adat, tradisi dan budaya lokal. Penggunaan jalur adat, tradisi dan
budaya lokal dalam berdakwah sungguh sangat mengandung resiko yang cukup besar,
mengingat pengalaman masa lampau yang tidak pernah tuntas sehingga malahmenimbulkan kesesatan-kesesatan baru dalam pemahaman beragama, di samping akan
menambah label-label baru dalam kelompok-kelompok umat, seperti misalnya Islam Jawa,
Islam Sunda, Islam Ambon dan sebagainya yang pada ujungnya justru akan menimbulkan
perpecahan di kalangan umat Islam sendiri. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena
5/14/2018 Dakwah Kultural Muhammadiyah - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/dakwah-kultural-muhammadiyah 6/6
demikian kuatnya adat, tradisi maupun budaya lokal melekat di kehidupan masyarakat,
sementara kita sendiri baru akan mempelajarinya.
Karenanya jika betul ingin terjun dalam dakwah kultural, Muhammadiyah haruslah betul- betul bisa melahirkan SDM-SDM yang berkualitas dalam bidang ini jika dakwahnya ingin
benar-benar tuntas. Pendidikan itu kuncinya, pendidikan berkesenian, pendidikan kesenian.
Entah sudah berapa juta sarjana dalam bidang ilmu pengetahuan umum maupun ilmuagama yang sudah dilahirkan melalui lembaga-lembaga pendidikan di Muhammadiyah,
namun sedikitpun Muhammadiyah tidak pernah memikirkan pendidikan di bidang
kesenian. Jangankan melahirkan seniman-seniman, bahkan pendidikan apresiasi kesenian pun sama sekali tidak pernah terdengar. Padahal melalui media inilah kerusakan moral dan
akhlak bangsa lebih cepat tercipta. Namun melalui media seni pulalah dakwah lebih bisa
menawarkan kultur-kultur yang kita kehendaki, terutama media yang bernama audio
visual. Stasiun-stasiun Televisi bermunculan. Mereka membutuhkan tayangan-tayangan.Tayangan berbentuk apapun mungkin akan mudah mereka terima untuk memenuhi jam
siaran. Demikian pula seandainya kita menawarkan produk-produk kita, merekapun akan
menerimanya tanpa banyak usulan. Namun pertanyaannya adalah Mampukah kita
membuatnya sementara SDM kita tidak pernah kita siapkan. (lut)
Sumber: SM-02-2005