Dakwah Kultural Muhammadiyah

6
 Dakwah Kultural Muhammad iyah Ket ika ber bica ra mas ala h Dak wah Kul tur al di Mu hamm adiy ah, tentu tida k akan bis a me lupakan keberada an Ma jel is Ta bl igh dan Da kwah Khus us , Ma je lis Tarjih da n Pengemba ngan Pemikiran Islam, serta Lembaga Seni Budaya Muhammad iyah. Majelis Tabligh berbicara masalah Dakwahnya, Majelis Tarjih berbicara masalah batas-batas yang mungk in di lakukan sesuai syar ia h da n Le mba ga Se ni Budaya be rbi ca ra me nge nai implementasinya. Dak wa h Muh ammad iy ah , menu ru t Maj el is Tab li gh da n Dak wa h Kh us us PP Muhammadiyah, sebagai upaya menjadikan Islam agama rahmatan lil- 'alamin idealnya menyentuh segala lapisan dan kelompok masyarakat. Untuk konteks Indonesia khususnya Jawa) mis alny a, meminja m kateg oris asi Cli ffo rd Geer tz, dakwah Isla m seyog yany a me nye ntu h ti ga var ia n ma syar aka t yaitu aba nga n, sa ntr i da n pr iyayi. At au de nga n kategorisasi Muhammadiyah sendiri, dakwah itu haruslah menyentuh umat ijabah dan umat dakwah sekaligus. Ada kesadaran bersama bahwa selama ini dakwah Muhammadiyah lebih banyak berkutat dal am li ngk ar an va ri an san tr i dib and ing de nga n dua var ia n la inn ya. Pa dah al pa da kenyataannya umat Islam yang abangan merupakan mayoritas dari komposisi umat Islam Indonesi a. Kesadaran akan hal itu muncul dengan aksentuasi yang lebih kuat ketika dalam aspe k pol iti k, par tai yang diid ent ikka n deng an par tai abang an (ya itu PDI Per juan gan) temyata mampu mengungguli partai-partai yang mengusung simbol-simbol Islam dalam  perolehan suara, sebagaimana tercermin dari hasil pemilu tahun 1999 yang lalu. Kalau diasumsikan bahwa komitmen keislaman seorang muslim antara lain bisa diukur dari komitmennya terhadap Islam sebagai salah satu sumber ideologi, maka kemenangan partai abangan itu bisa mengindikasikan dua hal.  Perlama, dakwah Islam telah gagal dalam membang un sal ah sat u asp ek komitmen ber agama mus lim (bac a: mus lim aba ngan ), khususnya komitmen kepada Islam sebagai ideologi.  Kedua, sesungg uhnya dakwah Islam memang belum banyak menyentuh varian umat Islam yang mayoritas itu, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali. Kesadaran yang demikian, menurut Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus, tampak jelas dalam pidato iftitah Ketua PP Muhammadiyah dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar ini. Lebih jauh, pidato ini secara lebih tajam memperlihatkan beberapa hal.  Pertama, kesadaran bahwa Muhammadiyah hanya berkutat dalam kandangnya sendiri, hingga tidak tahu apa yang terjadi pada bangsa ini secara keseluruhan.  Kedua, keinginan untuk mencar i langkah- langkah strat egis yang harus dilakuk an dalam gerak dakwah Muhammadiyah'.  Ketiga, hasrat untu k men jal in hubu ngan deng an keku ata n-ke kuat an  pol iti k for mal dan kel ornp ok-k elo mpo k lai n yang jug a san gat men ent ukan pet a buda ya  bangsa. Dakwah Dalam Perspektif  Tabligh Muatan dakwah berbanding lurus dengan rahmatan lil-'alamm. Pada hakikatnya Rasulullah SAW sendiri diu tus seb aga i rahmatan lil-'alamm (Q. S. AI- Anb iya' , 21: 10 7) De ngan demikian dakwah  adalah tugas kenabian dan kerasulan (profetik).  Pada kenyataan, praktek dakwah diwujudkan dalam bentuk tabligh (penyampaian) yang dapat berupa lisan (bil- lisan) ata u deng an tind akan (bil-hal). Dengan kata lain, dakwah mer upak an pot ensi kenabian dan kerasulan, sedangkan tabligh adalah aktualisasi kenabian dan kerasulan .

Transcript of Dakwah Kultural Muhammadiyah

Page 1: Dakwah Kultural Muhammadiyah

5/14/2018 Dakwah Kultural Muhammadiyah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/dakwah-kultural-muhammadiyah 1/6

 

Dakwah Kultural Muhammadiyah

Ketika berbicara masalah Dakwah Kultural di Muhammadiyah, tentu tidak akan bisa

melupakan keberadaan Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus, Majelis Tarjih dan

Pengembangan Pemikiran Islam, serta Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah. MajelisTabligh berbicara masalah Dakwahnya, Majelis Tarjih berbicara masalah batas-batas yang

mungkin dilakukan sesuai syariah dan Lembaga Seni Budaya berbicara mengenai

implementasinya.

Dakwah Muhammadiyah, menurut Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PPMuhammadiyah, sebagai upaya menjadikan Islam agama rahmatan lil- 'alamin idealnya

menyentuh segala lapisan dan kelompok masyarakat. Untuk konteks Indonesia khususnya

Jawa) misalnya, meminjam kategorisasi Clifford Geertz, dakwah Islam seyogyanyamenyentuh tiga varian masyarakat yaitu abangan, santri dan priyayi. Atau dengan

kategorisasi Muhammadiyah sendiri, dakwah itu haruslah menyentuh umat ijabah dan umat

dakwah sekaligus.Ada kesadaran bersama bahwa selama ini dakwah Muhammadiyah lebih banyak berkutat

dalam lingkaran varian santri dibanding dengan dua varian lainnya. Padahal pada

kenyataannya umat Islam yang abangan merupakan mayoritas dari komposisi umat Islam

Indonesia. Kesadaran akan hal itu muncul dengan aksentuasi yang lebih kuat ketika dalamaspek politik, partai yang diidentikkan dengan partai abangan (yaitu PDI Perjuangan)

temyata mampu mengungguli partai-partai yang mengusung simbol-simbol Islam dalam

 perolehan suara, sebagaimana tercermin dari hasil pemilu tahun 1999 yang lalu.Kalau diasumsikan bahwa komitmen keislaman seorang muslim antara lain bisa diukur dari

komitmennya terhadap Islam sebagai salah satu sumber ideologi, maka kemenangan partai

abangan itu bisa mengindikasikan dua hal.  Perlama, dakwah Islam telah gagal dalammembangun salah satu aspek komitmen beragama muslim (baca: muslim abangan),

khususnya komitmen kepada Islam sebagai ideologi.  Kedua, sesungguhnya dakwah Islam

memang belum banyak menyentuh varian umat Islam yang mayoritas itu, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali.

Kesadaran yang demikian, menurut Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus, tampak jelas

dalam pidato iftitah Ketua PP Muhammadiyah dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di

Denpasar ini. Lebih jauh, pidato ini secara lebih tajam memperlihatkan beberapa hal. Pertama, kesadaran bahwa Muhammadiyah hanya berkutat dalam kandangnya sendiri,

hingga tidak tahu apa yang terjadi pada bangsa ini secara keseluruhan. Kedua, keinginan

untuk mencari langkah-langkah strategis yang harus dilakukan dalam gerak dakwahMuhammadiyah'.  Ketiga, hasrat untuk menjalin hubungan dengan kekuatan-kekuatan

 politik formal dan kelornpok-kelompok lain yangjuga sangat menentukan peta budaya

 bangsa.

Dakwah Dalam Perspektif  Tabligh

Muatan dakwah berbanding lurus dengan rahmatan lil-'alamm. Pada hakikatnya RasulullahSAW sendiri diutus sebagai rahmatan  lil-'alamm (Q.S. AI-Anbiya', 21: 107) Dengan

demikian dakwah adalah tugas kenabian dan kerasulan (profetik). Pada kenyataan, praktek 

dakwah diwujudkan dalam bentuk  tabligh (penyampaian) yang dapat berupa lisan (bil-lisan) atau dengan tindakan (bil-hal). Dengan kata lain, dakwah merupakan potensi

kenabian dan kerasulan, sedangkan tabligh adalah aktualisasi kenabian dan kerasulan.

Page 2: Dakwah Kultural Muhammadiyah

5/14/2018 Dakwah Kultural Muhammadiyah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/dakwah-kultural-muhammadiyah 2/6

 

Muatan rahmatan  lil-  'alamin tidak hanya berupa hal-hal yang berwujud produk (hasil)

yang langsung dapat dinikmati, melainkan juga berupa hal-hal yang menyangkut proses,

yakni petunjuk yang memancing diternukannya cara, teknik dan metoda yang diperlukanuntuk mencapai kebahagiaan hidup yang bersifat duniawi (sekular), apalagi yang bersifat

keakhiratan (eskatologis). Dengan demikian muatan rahmatan  til-  'alamin bernuansa

dinamis, bukan pasif, apalagi meninabobokkan. Muatan rahmatan  lil-'alamin bukanuntuk membentuk atau menciptakan manusia-manusia yang manja, melainkan untuk 

membentuk dan menciptakan manusia-manusia aktif dan senang berusaha serta berikhtiar.

Sejalan dengan dengan hal ini, dakwah pun merupakan potensi yang dinarnik. Tablighsebagai aktualisasi dakwah, juga harus bersifat dinamik. Logikanya, kalau potensinya

dinamik apalagi aktualisasinya.

Dalam bahasa yang lebih teknis, muatan dakwah adalah segala apa yang dibutuhkan

manusia dan bernilai ma’ruf  (baik). Seperti diketahui, kebutuhan manusia tidak pemah berhenti baik dari segi kuantitas (jumlah), maupun kualitas (mutu), yang keduanya sesuai

dengan tuntutan zaman dan tempat. Oleh sebab itu, menjadi sebuah keniscayaan jika

aktualisasi dakwah dalam ujud tabligh juga harus berbanding lurus dengan tuntutan

kuantitas, kualitas, zaman dan tempat tersebut.Karena arah dakwah adalah kebutuhan yang bersifat ma 'ruf, maka dalam tabligh harus ada

muatan yang bisa membentengi agar yang ma'riifitu tetap terjaga. Benteng tersebut disebutal-nahyu  'an  al-munkar  (menghentikan yang munkar). Logikanya apa saja yang tidak 

munkar, tentu ma 'ruf, dan sebaliknya. Jadi, dakwah sebagai potensi bernuansa al-amar  bi

al-ma  'rufwa al-nahy  'an  al-munkar. Demikianjuga tabligh sebagai aktualisasijuga bernuansa sama.

Dengan memperhatikan urutan kalimat al-amar  bi al-ma 'ruf   yang berada sebelum kalimat

al-nahy  'an  al-munkar, semestinya pemaknaannya adalah bahwa penonjolan hal-hal

(bersifat produk maupun proses) yang ma’ruf (baik)jauh lebih nyata dan intensifdaripadaal-nahy 'an al-munkar. Dalam bahasa lebih teknis, kiranya lebih ditonjolkan "memberikan

kebebasan-kebebasan dalam berkreasi" daripada sekadar "melarang-larang ini-itu".

Dakwah Kultural: Pengertian dan Arah

Dakwah kultural, atau bisa juga disebut dakwah kebudayaan, adalah dakwah yangmenekankan perlunya pergulatan dan pergumulan langsung dengan persoalan-persolan

kongkret kesejarahan komunitas muslim dalam arti yang seluas-luasnya. Dakwah model ini

dengan demikian bersifat historis-praktis, open-ended, dan membutuhkan dedikasi (dalamkacamata Al-Qur'an disebut keikhlasan) yang prima.

Secara historis, mekanisme kerja strategi kebudayaan Muhammadiyah memiliki empat ciri

yang melekat pada dirinya. Pertama, senantiasa menyatukan dimensi "kembali kepada Al-

Qur'an dan As-Sunnah" dengan dimensi "ijtihad" dan "tajdid" sosial keagamaan. Hal ini

tercermin dan predikat yang diberikan masyaTakat kepada Muhammadiyah sebagai fahamyang tidak bermazhab.  Kedua, dalam mengaktualisasikan cita-cita perjuangannya

strategi kebudayaan Muhammadiyah menggunakan sistem organisasi. Dengan modelkedua ini Muhammadiyah ingin mengangkat kepentingan dan keselamatan pribadi ke

wilayah kepentingan dan keselamatan sosial. Sistem organisasi juga menuntut kolegialitas

dan transparansi.  Ketiga,  bercorak "antikemapanan" kelembagaan agama yang terlalu bersifat rigid-kaku. Keempat, adaptif terhadap tuntutan perubahan zaman.

Page 3: Dakwah Kultural Muhammadiyah

5/14/2018 Dakwah Kultural Muhammadiyah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/dakwah-kultural-muhammadiyah 3/6

 

Perubahan sosial sebagai konsekuensi logis dari perkembangan ilmu dan teknologi

mengandaikan perlunya bahasa, metodologi, teknologi, materi dan manajemen dakwah

yang berbeda. Tentu hal ini berimplikasi terhadap strategi kebudayaan. Nilai-nilai yanghendak disampaikan dalam berdakwah tetap bersumber pada Al-Qur'an dan As-sunnah.

tetapi cara penyampaian, pengolahan, pengemasan dan pemasaran nilai-nilai itu perlu

disesuaikan dengan tuntutan pasar dan masyarakatkonsumennya. Kegiatan dakwah al-amar   bi  al-ma  'ruf wa  al-nahi 'an  al-munkar  tidak harus menggunakan bahasa dan cara

yang persis sama antara sebelum dan sesudah terjadinya perubahan sosial.

Agar bahasa dakwah dapat berjalan sinkron dengan perubahan pola berpikir dan perilakumasyarakat konsumen maka aktivitas dakwah perlu membaur dan menyatu dalam derap

langkah dan seluk beluk kebudayaan setempat. Dengan demikian, kebiasaan dakwah

secara deduktif perlu diimbangi dengan cara berpikir dan pendekatan dakwah yang

induktif. Lebih lanjut, bahasa dakwah keagamaan akan dapat menggunakan bahasa sepertiyang dipakai oleh para konsumen, sehingga akan terasa hidup dan aktual, bukan seperti

 bahasa 'pengamat' dari luar yang sering terkesan sangat teoretis.

Pada sisi lain, ada dua arah pemikiran dalam masalah dakwah bercorak kultural ini.

 Pertama, dakwah kultural berarti dakwah yang diaktualisasikan dalam kegiatan tablighdengan memanfaatkan bentuk-bentuk kegiatan yang tergolong kegiatan kultural, seperti

kegiatan kesenian. Hal ini berarti kegiatan kultural sebagai metode.  Kedua, dakwahkultural berarti bahwa dakwah yang diaktualisasikan dalam kegiatan tabligh memang

dimaksudkan untuk menghasilkan kultur baru yang bernuansa Islami. Arah kedua ini,

 berarti kegiatan kultural sebagai substansi. Kedua arah ini harus dipilih, apakah salah satudi antaranya, atau kedua-duanya.

Kalau kegiatan kultural sebagai metode, maka sikap terhadap kultur setempat akan lebih

lentur, karena bagaimanapun juga proses dakwah tersebut akan menggunakan kultur yang

sudah ada. Sebaliknya, kalau kegiatan kultural dimaksudkan sebagai substansi, makaada kecenderungan membabat habis kultur setempat (purifikasi). Kalau yang dipilih

merupakan gabungan antara keduanya, maka kegiatan kultural yang dilaksanakan biasanyaselektif dan sekaligus dilakukan modifikasi baru sehingga muncul kegiatan kultural baruyang bernuansa Islami.

Untuk pilihan yang pertama, kegiatan kultural sebagai metode, diperlukan pemahaman

kebudayaan setempat yang sangat intensif sehingga harus ada sumber daya manusia (SDM)yang cukup untuk itu. Di sini, lembaga perguruan tinggi Islam dapat dimanfaatkan sebaik-

 baiknya, dalam bentuk kerja sama, misalnya. Sementara itu, untuk pilihan yang kedua,

kegiatan kultural sebagai substansi, diperlukan pemikiran dan kreativitas budaya yang

lumayan besar.Sebab, tidak pada tempatnya hasil pemikiran dan kreativitas budaya yang akan ditawarkan

malahan lebih rendah mutunya jika dibandingkan dengan kultur setempat. Kalau ini terjadi,

maka tawaran budaya tersebut, misalnya kesenian, tentu tidak akan laku. Untuk pilihankedua ini jelas memerlukan SDM yang sangat banyak dalam segala macam cabang

kebudayaan. Kalau pilihan dijatuhkan untuk menggabungkan antara kedua corak kegiatan

 budaya tersebut, sebagai metode dan substansi, kerumitannya dan penyediaan sumber dayamanusianya juga akan berlipat.

 Namun yang pasti, dalam konteks tabligh, dakwah bercorak kultural ini jelas sangat perlu.

Di Jawa, konon dakwah semacam ini telah membuktikan keberhasilannya. Tentu saja kalau

diteliti secara lebih cermat di sana-sini masih mengandung banyak resiko (yang di atas

Page 4: Dakwah Kultural Muhammadiyah

5/14/2018 Dakwah Kultural Muhammadiyah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/dakwah-kultural-muhammadiyah 4/6

 

diberi istilah TBC). Tetapi kalau kita tidak menggunakan dakwah bercorak kultural maka

 bisa dikatakan ganjil, karena masyarakat dunia dewasa ini bukan hanya bertarung dalam

  bidang ekonomi, militer dan hegemoni politik, narnun lebih dari pada itu adalah pertarungan budaya.

Oleh sebab itu, dakwah bercorak kultural merupakan sebuah pilihan yang bersifat niscaya.

Logika lain adalah bahwa kegiatan agama dalam masyarakat, di mana saja dan kapan saja, pasti akan berhadapan dengan fenomena budaya, terutama budaya setempat. Tidak ada

satu dalil pun yang menggugurkan kenyataan ini.

Syirik dan TBC dalam Pandangan Tarjih

Untuk melakukan dakwah kultural, menurut Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran

Islam, yang patut diperhatikan adalah masalah syirik, TBC (Takhayul, Bid’ah dan

Churafat). Selain itu masalah Berkumpul dan Silaturahmi.Syirik, menurut Majelis Tarjih, berasal dari kata  syarika yang berarti bersekutu atau

  berkongsi. Jadi syirik mempersekutukan Allah SWT dengan makhluk. Syirik dalam

dimensi rububiyah, seperti mempercayai bahwa ada mahluk yang mampu menolak segala

kemudharatan dan meraih segala kemanfaatan, dapat memberi berkat, sehingga orangmeminta bantuan kepada makhluk tersebut untuk menolak petaka atau meraih keuntungan.

Syirik dalam dimensi mulkiya yaitu mematuhi sepenuhnya penguasa muslim atau nonmuslim di samping menyatakan patuh kepada Allah padahal pemimpin itu menghalalkan

apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah serta mengajak 

untuk melakukan kemaksiyatan. Syirik ilahiyah, misalnya berdoa kepada Allah melalui perantaraan orang yang sudah meninggal dunia.

Di samping itu, ada kepercayaan yang terlalu besar akan benda atau upacara tertentu untuk 

dengan demikian mendapat bantuan dari Tuhan. Artinya, orang lebih percaya kepada

 benda dan upacara-upacara tertentu dari pada Tuhannya sendiri. Perilaku seperti ini seringdisebut Tahayul dan Churafat. Orang, hampir selalu, dengan perantaraan orang pintar atau

dukun atau paranormal kemudian melakukan pengorbanan, persembahan, penyiksaan, bertapa, mati geni mencegah pengaruh ruh jahat dan sebagainya. Tempat-tempat dan hari-hari tertentu dianggap keramat dan bertuah, angker sehingga harus melakukan pembacaan

mantra, memberi sesajen seolah-olah memaksa Tuhan untuk melayani kepentingan

manusia.Jadi syirik itu sesungguhnya adalah sikap dan perilaku menduakan Allah dengan yang lain,

 padahal seorang muslim harus pasrah dan tunduk hanya kepada Allah semata. Ia harus

 percaya dan iman yang dibaktikan dengan jalan melakukan penyembahan (ibadah) dan

mentaati segala hukum-hukumnya (syariah) yang telah digariskan lewat wahyuNyamelalui RasulNya Muhammad SAW. Syirik inilah yang harus dihindarkan dalam dakwah

kultural, termasuk juga TBC.

Walaupun zaman sudah modern, teknologi sudah canggih namun orang masih mengikutitradisi lama, membuat patung, kemudian mencintai berbagai seni budaya yang indah-

indah. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa kebudayaan atau kultur berupa hasil cipta, rasa

dan karsa manusia dan keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia adalah suatukarunia yang dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidupnya. Namun kadang-kadang

dalam masyarakat banyak juga yang menjauhinya seperti berbagai macam seni budaya dan

keindahan.

Page 5: Dakwah Kultural Muhammadiyah

5/14/2018 Dakwah Kultural Muhammadiyah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/dakwah-kultural-muhammadiyah 5/6

 

Islam adalah agama fitrah, segala yang bertentangan dengan fitrah ditolak dan yang

mendukung kesuciannya ditopang. Seni budaya adalah fitrah, kemampuan berseni

merupakan salah satu perbendaan manusia dengan makhluk lain. Jika demikian Islam pastimendukung seni, tradisi budaya selama penampilan lahirnya mendukung fitrah manusia

yang suci itu dan karena itu pula Islam bertemu dengan seni dalam jiwa manusai

sebagaimana seni budaya ditemukan oleh jiwa manusia di dalam Islam asalkan semuanyaitu tidak mendominasi kehidupan manusia.

 Namun timbul pertanyaan mengapa warna Islam tidak nampak pada masa Nabi SAW dan

sahabatnya dan mengapa terasa atau terdengar adanya semacam pembatasan yangmenghambat? Boleh jadi sebabnya adalah karena seniman baru berhasil dalam karyanya

  jika ia dapat berinteraksi dengan gagasan, menghayatinya secara sempurna sehingga

menyatu dengan jiwanya lalu kemudian mencetuskannya dalam bentuk karya seni. Pada

masa Nabi dan sahabatnya proses penghayatan nilai islami baru dimulai bahkan sebagianmereka baru dalam tahap upaya “pembersihan” gagasan-gagasan jahiliyah yang telah

meresap dalam benak mereka. Untuk itulah kita harus memahami larangan yag ada kalau

kita menerima adanya larangan penampilan karya seni tertentu. Apalagi sesungguhnya

apresiasi al-Qur’an terhadap seni demikian besar.Problem pembuatan patung misalnya, al-Qur’an berbicara pada 3 tempat: Pertama, QS al-

Anbiya’ 51-58: patung yang disembah oleh ayah Nabi Ibrahim tidak hanya ditolak tetapi bahkan dihancurkan. Kedua, QS Saba 12-13: zaman Nabi Sulaiman orang membuat patung

dari kaca, marmer, tembaga dan konon menampilkan para ulama dan nabi-nabi.  Ketiga, QS

Ali Imran 48-49: diuraikan mukjizat Nabi Zakaria antara lain menciptakan patung berbentuk burung dari tanah liat dan setelah ditiupnya, kreasinya itu menjadi burung yang

sebenarnya atas izin Allah.

Di sini kekhawatiran yang mengantar kepada penyembahan berhala atau syirik tidak 

ditemukan dan karena itu Allah membenarkannya. Jadi penolakan al-Qur’an bukandisebabkan karena patungnya tetapi kemusyrikan dan penyembahnya. Apakah kultur yang

 berupa seni dan tradisi Islami itu harus berbicara tentang Islam?Kasus lainnya yang ada di masyarakat misalnya Tahlilan. Tahlilan tidak harus dilihatsebagai acara ritual agama, warga Muhammadiyah tidak mengadakannya tetapi tidak salah

  jika menghadiri tetangga berkumpul-kumpul mengadakan tahlilan, di sini kehadiran

dimaknai sebagai silaturahim dan mendengarkan atau membaca al-Qur’an. Di siniartikulasi format pemikiran realistik dengan reinterprestasi wujud dalam menunjukkan

akseptabilitas Islam yang bersumber dari doktrin yang universal, dihadapkan pada realitas-

realitas sosiokultural masyarakat pemeluknya. Tentu masih banyak persoalan-persoalan

lain yang harus dijawab.

Harus Ada Kesinambungan

Dalam hal dakwah kultural ini, Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah mengingatkan jikamenggunakan jalur adat, tradisi dan budaya lokal. Penggunaan jalur adat, tradisi dan

 budaya lokal dalam berdakwah sungguh sangat mengandung resiko yang cukup besar,

mengingat pengalaman masa lampau yang tidak pernah tuntas sehingga malahmenimbulkan kesesatan-kesesatan baru dalam pemahaman beragama, di samping akan

menambah label-label baru dalam kelompok-kelompok umat, seperti misalnya Islam Jawa,

Islam Sunda, Islam Ambon dan sebagainya yang pada ujungnya justru akan menimbulkan

 perpecahan di kalangan umat Islam sendiri. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena

Page 6: Dakwah Kultural Muhammadiyah

5/14/2018 Dakwah Kultural Muhammadiyah - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/dakwah-kultural-muhammadiyah 6/6

 

demikian kuatnya adat, tradisi maupun budaya lokal melekat di kehidupan masyarakat,

sementara kita sendiri baru akan mempelajarinya.

Karenanya jika betul ingin terjun dalam dakwah kultural, Muhammadiyah haruslah betul- betul bisa melahirkan SDM-SDM yang berkualitas dalam bidang ini jika dakwahnya ingin

 benar-benar tuntas. Pendidikan itu kuncinya, pendidikan berkesenian, pendidikan kesenian.

Entah sudah berapa juta sarjana dalam bidang ilmu pengetahuan umum maupun ilmuagama yang sudah dilahirkan melalui lembaga-lembaga pendidikan di Muhammadiyah,

namun sedikitpun Muhammadiyah tidak pernah memikirkan pendidikan di bidang

kesenian. Jangankan melahirkan seniman-seniman, bahkan pendidikan apresiasi kesenian pun sama sekali tidak pernah terdengar. Padahal melalui media inilah kerusakan moral dan

akhlak bangsa lebih cepat tercipta. Namun melalui media seni pulalah dakwah lebih bisa

menawarkan kultur-kultur yang kita kehendaki, terutama media yang bernama audio

visual. Stasiun-stasiun Televisi bermunculan. Mereka membutuhkan tayangan-tayangan.Tayangan berbentuk apapun mungkin akan mudah mereka terima untuk memenuhi jam

siaran. Demikian pula seandainya kita menawarkan produk-produk kita, merekapun akan

menerimanya tanpa banyak usulan. Namun pertanyaannya adalah Mampukah kita

membuatnya sementara SDM kita tidak pernah kita siapkan. (lut)

Sumber: SM-02-2005