Daging Tumis Taoge - Ditjen Cipta Karyaciptakarya.pu.go.id/ppkeu/file/Permen_PU_09_2006.doc · Web...

81
PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 09/PRT/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

Transcript of Daging Tumis Taoge - Ditjen Cipta Karyaciptakarya.pu.go.id/ppkeu/file/Permen_PU_09_2006.doc · Web...

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM

NOMOR : 09/PRT/M/2006

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUMSEKRETARIAT JENDRAL

BIRO KEUANGAN

MENTERI PEKERJAAN UMUMREPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM

NOMOR : 09//PRT/M/2006

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PEKERJAAN UMUM

Menimbang : a. bahwa untuk kelancaran pemulihan kerugian Negara yang terjadi karena perbuatan lalai/salah atau melanggar hukum, dan untuk menegakkan disiplin bagi Bendahara/Pegawai Negeri bukan Bendahara dalam melaksanakan tugasnya, maka setiap kasus kerugian Negara perlu segera diselesaikan;

b. bahwa untuk keseragaman dalam Pelaksanaan Penyelesaian Kerugian Negara tersebut pada butir a, perlu diatur dan ditetapkan tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Kerugian Negara di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum.

Mengingat : 1. Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;

2. Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;

3. Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;

4. Peraturan Pemreintah Republik Indoensia Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil;

5. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;

7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;

8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia;

9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 51/M Tahun 2005 tentang Pengangkatan Pejabat Eselon I di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum;

10. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Megara;

11. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 286/PRT/M/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pekerjaan Umum;

12. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per-66/PB/2006 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran Atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

M E M U T U S K A N

Menetapkan : PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN PEKEJAAN UMUM

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :1. Kekurangan Perbendaharaan (Comptable Tekort) adalah selisih kurang

antara saldo buku kas dengan saldo (uang) kas yang sesungguhnya atau selisih kurang antara buku persediaan barang dengan saldo barang yang sesungguhnya terdapat didalam gudang, yang berada dalam pengurusan Bendahara.

2. Tuntutan Perbendaharaan (TP) adalah merupakan suatu proses tatacara perhitungan (rekenings proces) terhadap bendahara, jika dalan pengurusannya terjadi kekurangan perbendaharaan.

3. Kerugian Negara adalah berkurangnya kekayaan Negara yang disebabkan oleh suatu tindakan melanggar hokum/kelalaian seseorang dan/atau disebabkan suatu keadaabn diluar dugaan dan diluar kemampuan manusia (force majeure).

4. Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas untuk dan atas nama Negara/daerah menerima, menyimpan dan membayarkan, menatausahakan dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja Negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada kantor/ satker Kementerian Negara/ Lembaga/ Pemerintah Daerah.

5. Menteri adalah Menteri Pekerjaan Umum.

BAB II

RUANG LINGKUP, MAKSUD DAN TUJUAN

Pasal 2

Ruang lingkup yang diatur dalam Peraturan Menteri, meliputi aspek-aspek :a. Aspek pengamanan dokumen keuangan/Barng Milik Negara.b. Aspek penyebab terjadinya kerugian Negara.c. Aspek penyelesaian kerugian Negara.d. Aspek tuntutan akibat kerugian Negara. e. Aspek administrasi penyelesaian kerugian Negara.

Pasal 3

Maksud ditetapkannya petunjuk pelaksanaan penyelesaian kerugian Negara di lingkunangan departemen adalah tersedianya pedoman dalam pelaksanaan penyelesaian kerugian Negara untuk menyelesaikan kerugian negara sesuai dengan pedoman dan peraturan perundang-indangan yang berlaku.

Pasal 4

Tujuan dari pelaksanaan penyelesaian kerugian negara adalah untuk mengusahakan pengembalian yang diderita atau menuntut kembali atas kerugian negara baik yang dilakukan dengan sengaja maupun akibat kelalaian para pelaku yang terkait perlu diambil tindakan hukum sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IIIPasal 5

Sebagai tindak lanjut ketentuan dalam pasal 2 terhadap aspek-aspek tersebut perlu dilakukan tindakan sebagai berikut :a. Dalam hal ini penyelesaian kerugian Negara diusahakan dilakukan

pencocokan penyebab terjadinya kerugian Negara, apakah terdapat salah penulisan, tanda bukti belum dibukukan, salah penjumlahan atau salah perhitungan.

b. Dalam hal terjadinya kerugian Negara yang menyebabkan kekayaan Negara berkurang, maka Atasa Langsung Bendahara, Kepala Satuan Kerja atau pejabat Eselon I segera membuat Surat Keputusan Tim Pemeriksa untuk dilakukan pemeriksaan terhadap terjadinya penyebab kerugian Negara.

c. Hasil pelaksanaan penyelesaian kerugian Negara yang dilakukan oleh tim pemeriksa, apabila terdapat temuan berupa kekurangan/kerugian Negara, tim pemeriksa mengirimkan laporan hasil pemeriksaan kepada atasan langsung untuk diteruskan kepada Menteri melalui Sekretaris Jenderal dengan tembusan Inspektur Jenderal dan Eselon I terkait, kemudian ditindak lanjuti dan ditetapkan untuk penyelesaian penggantian kerugian Negara dengan penanda tanganan Surat Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) sebagai surat pernyataan kesanggupan.

BAB IVKETENTUAN PENUTUP

Pada saat ditetapkannya peraturan ini, Keputusan Menteri Pemukimam dan Prasarana Wilayah Nomor 428/KPTS/M/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Kerugian Negara di lingkungan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah tanggal 31 Desember 2002 dinyatakan tidak berlaku.

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Peraturan ini disebarluaskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk diketahui dan dilaksanakan

Ditetapkan di JakartaPada tanggal 20 April 2006

MENTERI PEKERJAAN UMUM

DJOKO KIRMANTO

BAB I

PENDAHULUAN

1. UMUM

1.1. Barang Milik/Kekayaan Negara baik berupa uang, barang dan atau hak Negara yang dapat dinilai dengan uang harus dilindungi, dikelola dan diadministrasikan secara baik dan tertib, sehingga dapat ditanggung jawabkan setiap saat.

Untuk itu dituntut pengabdian, kejujuran, dan disiplin yang tinggi dari para pengelola barang milik/kekayaan Negara dan para pihak yang terkait dengan berpegang pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1.2. Setiap peristiwa yang mengakibatkan kerugian negara perlu segera diambil tindakan untuk memulihkan kembali kekayaan negara, sesuai ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Usaha tersebut harus dilakukan semaksimal mungkin melalui proses penyelesaian Tuntutan Perbendaharaan (TP) dan Tuntutan Gantu Rugi (TGR).

1.3. Setiap perbuatan yang menimbulkan kerugian Negara, baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun akibat kelalaian para pelaku yang terkait perlu diambil tindakan hukum sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1.4. Setaiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan Negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud. (psl 35 ayat (1) UU No. 17 Thn 2003).

1.5. Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan/atau menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang Negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan. (Psl 35 ayat (2) UU No. 17 Thn 2003).

1.6. Setiap bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bertanggungjawab secara pribadi atas kerugian keuangan Negara yang berada dalam pengurusannya. (Psl 35 ayat (3) UU No. 17 Thn 2003).

1.7. Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 59 ayat (1) UU No, 1 Thn 2004 tentang Pembendaharaan Negara).

1.8. Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan Negara, wajib mengganti kerugian tersebut. (Pasal 59 ayat (2) UU No. 1 Thn 2004 tentang Perbendaharaan Negara).

1.9. Setiap pemimpin kementerian Negara/lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui bahwa dalam kementerian Negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi kerugian akibat dari perbuatan dari pihak manapun. (Pasal 59 ayat (3) UU No. 1 Thn 2004 tentang Perbendaharaan Negara).

1.10.Setiap pejabat Negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan Negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

1.11.Pengenaan ganti kerugian Negara/darah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

1.12.Pengenaan ganti kerugian Negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/ pimpinan lembaga/ gubernur/ bupati/ walikota.

2. PENGERTIAN

Di dalam buku petunjuk ini yang dimaskud dengan :

2.1. Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara/ Kuasa Pengguna AnggaranKepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara/ Kuasa Pengguna Anggaran adalah pegawai negeri baik yang memangku jabatan structural dan/atau tidak memangku jabatan structural yant setiap awal tahun anggaran ditetapkan dengan Keputusan Menteri bertugas melaksanakan dan bertanggungjawab atas tercapainya produk dan hasil sesuai dengan yang tertuang dalam DIPA.

2.2. Bendahara

Bendahara menurut pasal 1 angka 14 Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah setiap orang atau Badan yang diberi tugas dan untuk atas nama Negara/Daerah, menerima,

menyimpan, dan membayar/menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang Negara/daerah.

2.3. Bendahara Penerimaan

Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan memepertanggungjawabkan uang utnuk keperluan belanja Negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada kantor/satuan kerja kementerian Negara/Lembaga Pemerintah/Daerah.

2.4. Bendahara Pengeluaran

Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, membayarkan, dan memepertanggungjawabkan uang utnuk keperluan belanja Negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada kantor/satuan kerja kementerian Negara/Lembaga Pemerintah/Daerah.

2.5. Kekurangan Perbendaharaan

Kekurangan Perbendaharaan (comptable tekort) adalah selisih kekurangan antara saldo bukui kas dengan saldo (uang) kas yang sesungguhnya atau selisish kurang antara buku persediaan barang dengan saldo barang yang sesungguhnya terdapat di dalam dugang, dan berada dalam pengurusan Bendahara.

2.6. Tuntutan Perbendaharaan (TP)

Tuntutan Perbendaharaan merupakan suatu tatacara perhitungan (rekening proses) terhadap bendahara, jika dalam pengurusanny terjadi kekurangan perbendaharaan.

2.7. Penghapusan Kekurangan Perbendaharaan

Dengan penghapusan kekurangan perbendaharaan dimaksudkan penghapusan suatu kekurangan perbendaharaan dari perhitungan Bendahara, bilamana kekurangan itu terjadi diluar kesalahan, kelalaian ataupun kealpaan Bendahara yang bersangkutan dan dapat dilakukan berdasarkan Bbl. 1678 (spillage/penyusutan), berdasarkan Stbl. 1910 No. 197 (compensatie/imbalan) atau berdasarkan LN 1956 No. 35 dan 36 (penghapusan).

2.8. Penghapusan Piutang/ Tagihan Negara

Dengan penghapusan piutang/tagihan Negara dimaksudkan penghapusan suatu piutang/tagihan Negara dari administrasi piutang dan dilakukan karena piutang/tagihan Negara itu berdasarkan alasan-alasan tertentu tidak dapat ditagih. (Stbl. 1907 No. 327, 328, dan 329), namun dengan dilakukannya penghapusan itu, hak tagih Negara masih tetap ada.

Apabila kehilangan/ kekurangan barang dimaksud dapat dibuktikan bukan karena kelalaian/kesalahan Bendahara/Pengurus Barang, maka penanggungjawabnya dapat mengajukan permohonan untuk menghapuskan barang tersebut kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala Kantor Wilayah Anggaran setempat untuk mendapatkan keputusan.

Pengahapusan barang tersebut tidak menutup kemungkinan adanya pelaksanaan tuntutan ganti rugi apabila di kemudian hari dapat dibuktikan lain yaitu adanya unsur kesengajaan kesalahan/kelalaian dari endahara/ Pengurus Barang.

Kepmenkeu No. 470/KMK.01/1994, tanggal 20 September 1994, tentang Tata Cara Penghapusan dan Pemanfaatan Barnag Milik Negara, Bab III, angka 4.a.4) Bagian Kelima.

2.9. Pembebasan Tagihan Negara

Pembebasan atas Tagihan Negara dimaksudkan meniadakan kewajiban seseorang untuk membayar hutang kepada Negara yang menurut hukum menjadi tanggungannya tetapi atas dasar pertimbangan keadilan atau alasan penting tidak layak ditagih daripadanya. Dalam hal ini Negara melepaskan “hak tagih”nya sehingga “hak tagih” itu menjadi hapus sama sekali atau suatu bagian tertentu.

2.10.Pegawai Negeri

Pegawai Negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas Negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan dan digaji menurut perundang- undangan yang berlaku.

Selanjutnya untuk dapat dilakukan TGR Pegawai Negeri yang bersangkutan harus berkedudukan sebagai demikian (alszodanig), artinya bahwa perbuatan melanggar hukum/melalaikan kewajiban itu dilakukan dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri dan bukan sebagai orang partikulir, atau tidak/bukan dalam tugas sebagai Bendahara sebagaimana diatur dalam Pasal 77 dan Pasal 55 ICW.

Di dalam pengertian Pegawai Negeri ini, meliputi :

a. PNS Depertemen Pekerjaan Umum

b. PNS Departemen lain yang bekerja di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum

c. Calon PNS di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum

2.11.Kerugian Negara

Kerugian Negara adalah berkurangnya kekayaan Negara yang disebabkan oelh suatu tindakan melanggar hukum/kelalaian seseorang dan/atau disebabkan suatu keadaan diluar dugaan dan diluar kemampuan manusia (force majeure)

Kerugian Negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik disengaja maupun lalai. (Pasal 1 Angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara).

2.12.Perbuatan Melanggar Hukum

Perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melanggar hak orang lain atau berlawanan dengan kewajiban hukum dari orang yang berbuat (Pasal 1365 BW). Sedang dengan hak orang lain dimaksud hak perdata orang lain atau kewajiban hukum perdata orang yang berbuat tersebut.

Catatan :

Dalam Keputusan Mahkaman Agung Belanda tanggal 9 Januari 1919 disebut “Apabila telah terjadi suatu keadaan yang terdiri dari suatu perbuatan atau tidak berbuat, yang melanggar hak orang lain atau yang berlawanan dengan kewajiban hukum dari orang yang berbuat atau berlawanan dengan kaidah kehidupan tata susila yang baik, atau berlawanan dengan kepantasan (betamelijkheid) dari sikap perbuatan terhadap pribadi dan harta benda orang lain”.

2.13.Melalaikan Kewajiban (Wanprestasi)

Melalaikan kewajiban terjadi apabila pihak yang berkewajiban melakukan sesuatu dengan surat perintah atau dengan suatu akta sejenis telah dinyatakan lalai, atau jika perikatannya sendiri menetapkan bahwa pihak

yang berkewajiban itu harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan (Pasal 1238 BW).

2.14.Lalai adalah mengabaikan sesuatu yang semestinya dilakukan, tidak melakukan kewajiban kehati-hatian, ada hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan kerugian yan gtimbul.

2.15.Hubungan Sebab Akibat (Causaal Verbands)

Antara Kerugian yang diderita oleh Negara dan perbuatan melanggar hukum/kelalaian Pegawa Negeri bersangkutan harus terdapat hubungan sebab-akibat (causaal verbands) yakni kerugian Negara itu diakubatkan secara langsung atau tidak langsung oleh perbuatan/kelalaian pegawai negeri tersebut.

2.16.Tuntutan Ganti Rugi (TGR)

Tuntutan Ganti Rugi adalah suatu proses yang dilakukan terhadap Pegawai Negeri bukan bendahara untuk menuntut penggantian atas suatu kerugian yang diderita oelh Negara sebagai akibat langsung ataupun tidak langsung dari suatu perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pegawai negeri tersebut atau kelalaian dalam pelaksanaan tugas kewajibannya.

Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan Negara, wajib mengganti kerugian tersebut. (Pasal 59 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara).

2.17.Penyelesaian Secara Damai

Penyelesaian secara damai adalah penyelesaian kerugian Negara yang dilakukan secara sukarela oleh pelaku, baik yang dilakukan sekaligus maupun dengan mengangsur dalam jangka waktu paling lambat 24 bulan yang dinyatakan dengan surat keterangan tanggung jawab mutlak (SKTJM).

Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM)

Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) merupakan surat keterangan yang tidak dapat ditarik kembali dan memuat pengakuan atas kerugian Negara yang menajdi tanggungjawabnya dang kesanggupan untuk mengganti kerugian Negara itu dengan menyebutkan jumlah uang, cara dan waktu pembayarannya disertai jaminan yang kuat (asli).

2.18.Surat Pernyataan Bertanggungjawab

Surat Pernyataan Bertanggungjawab (SPB) adalah pernyataan tertulis yang dibuat oleh pegawai negeri/pihak ketiga yang merugikan Negara dan merupakan pengakuan serta untuk kesanggupan untuk mengganti secara sukarela walaupun jumlah kerugian Negara belum dapat dipastikan.

2.19.Pihak-pihak yang Terkait

(1) Pihak-pihak yang terkait adalah pegawai di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, meliputi :

- Pegawai Negeri BUMN- Pegawai Harian/Bulanan/Honorer- Purnawirawan TNI/POLRI- Anggota TNI?\/POLRI yang diperbantukan/dikaryakan- Pensiunan/Purnabakti

(2) Pihak Keitga, meliputi :- Kontraktor- Pemasok (Supplier)- Konsultan

2.20.Kadaluwarsa

Kadaluwarsa adalah jangka waktu tertentu yang menyebabkan gugurnya hak untuk melakukan tuntutan ganti rugi terhadap pelaku kerugian Negara dengan tidak mengurangi tanggungjawab Pegawai Negeri yang bersangkutan kepada Negara menurut hukum perdata.

Kewajiban bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain untuk membayar ganti rugi, menjadi kadaluwarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan. (UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara).

Tanggungjawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk membayar ganti rugi Negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada bendahara pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan, atau sejak bendahara, diketahui melarikan diri atau meninggal dunia, pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberitahu oleh pejabat

yang berwenang mengenai adanya kerugian Negara/daerah. (UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara).

3. PENYEBAB TERJADINYA KERUGIAN NEGARA

Timbulnya kerugian Negara dapat disebabkan oleh :

3.1. Perbuatan Manusia :

(1) Dilakukan oleh Bendahara

(2) Pegawai Negeri bukan Bendahara

(3) Pihak-pihak yang terkait

3.2. Kejadian diluar dugaan dan diluar kemampuan manusia (force majeure)

4. TEMUAN KERUGIAN NEGARA

4.1 Hasil pemerikasaan aparat pengawasan fungsional

4.2 Hasil pengawasan melekat

4.3 Pengakuan pelaku/penanggung jawab

4.4 Keerangan dari masyarakat/mass media

BAB II

PENELITIAN DAN TINDAKAN PENDAHULUAN

1. PENGAMANAN DOKUMEN KEUANGAN/BARANG MILIK KEKAYAAN NEGARA

1.1. Setelah diketahui peristiwa yang mengakibatkan kerugian Negara atau terdapat dugaan telah terjadi kerugian Negara oleh seseorang dalam kedudukannya sebagai bendahara, Pegawai Negeri bukan Bendahara atau Pihak Ketiga, maka Kepala Satuan Kerja Sementara segera melakukan penelitian dan tindakan pendahuluan untuk mengamankan kepentingan Negara.

1.2. Tindakan pendahuluan menyangkut hal-hal sebagai berikut :

(1) Mengamankan posisi keuangan/barnag Satuabn Kerja dengan cara menutup Buku Kas Umum dan Buku-buku lainnya dan atau Buku Barang Persediaan serta mencocokkannya dengan Saldo Uang Kas dan Bank atau Barang Persediaan.

(2) Menghentikan semua mutasi Kas/Bank dan atau Barang sampai dengan dilakukannya penelitian lebih lanjut.

(3) Melakukan penyegelan terhadap Brandkas, Lemasi tempat menyimpan dokumen lainnya dalam hal Bendahara meninggal dunia, melarikan diri dan lain sebagainya.

Penyegelan sedapat mungkin disaksikan/dihadiri oleh ahli waris yang bersangkutan dan dibuat Berita Acara Penyegelan.

(4) Melaporkan kepada pihak Kepolisian setempat bila menyangkut peristiwa pencurian atau perampokan.

(5) Mengupayakan penagihan ganti rugi kepada pelaku dan menyetorkan ke Kas Negara.

1.3. Penelitian yang haru dilakukan adalah dalam rangka memperoleh kejelasan serta kepastian mengenai :

(1) Kebenaran terjadinya peristiwa yang mengakibatkan Negara dirugikan.

(2) Dengan cara bagaimana dan sejak kapan perbuatan yang merugikan Negara tersebut dilakukan.

(3) Para pelakunya dan dalam kedudukannya sebagai apa serta berapa besarnya nilai kerugian yang diderita oleh Negara.

2. PENYAMPAIAN LAPORAN

2.1. Hasil Penelitian dan Tndakan Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada butir 1.2. dan 1.3. selanjutnya Kepala Satuan Kerja selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja wajib melaporkan kepada :

(1) Menteri Pekerjaan Umum melalui Sekretaris Jenderal dengan tembusan kepada Inspektorat Jenderal dan Pejabat Eselon I terkait serta kepada Atasan Langsung Kepasa Satuan Kerja yang bersngkutan.

(2) Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI)

(3) Menteri dan Departemen dimana yang bersangkutan bekerja dalam hal melibatkan pegawai Departemen lain.

(4) Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan, dalam hal melibatkan pegawai Pemerintah Daerah

(5) Kejaksaan/ pihak Kepolisian jika diperlukan, bila mengandung unsure tindak pidana.

2.2. Laporan tersebut di atas harus dilengkapi dengan Daftar Pertanyaan (laporan) tentang kerugian yang diderita Negara sesuai Daftar Lampiran 1.a. Tuntutan Perbendaharaan (TP) dan 1.b. Tuntutan Ganti Rugi (TGR).

3. PENELITIAN LEBIH LANJUT OLEH MENTERI

3.1Atas dasar pemberitahuan/laporan sebagaimana dimaksud pada butir 2.1, Meneri Pekerjaan Umum membentuk Tim Peneliti dengan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum atau Sekretaris Jenderal atas nama Menteri Pekerjaan Umum dengan susunan keanggotaan sebagai berikut :

(1) Tim Pengarah, terdiri dari :

Kepala Biro Keuangan Pejabat Eselon II dari Inspektorat Jenderal Pejabat Eselon II dari Satminkal terkait

(2) Tim Pelaksana, terdiri dari :

Pejabat Biro Keuangan Pejabat Inspetorat Jenderal Pejabat Satminkal Terkait Pejabat Unit/ Kantor terkait Pejabat Unit/ Kantor lainnya sesuai kasus yang ditangani

3.2. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penelitian lebih lanjut

(1) Menetapkan jumlah kerugian Negara

Penetapan terhadap kerugian Negara harus berdasrkan jumlah kerugian yang pasti diderita oleh Negara. Dalam penetapan tersebut tidak dibenarkan terjadinya tuntutan melebihi atau kurang dari kerugian Negara yang sebenarnya. Selanjutnya dalam menerapkan nilai kerugian Negara karena hilangnya barang milik Negara, didasarkan kepada :

a. Bila yang hilang berupa investasi perlengkapan kantor, seperti :

Mesin Tik Mesin Hitung Komputer

Dan lain-lain yang sejenis hilang di luar kantor pada saat dipinjam atau digunakan di luar kantor oelh petugas/pegawai, ganti rugi ditetapkan sebagai berikut :

1) Mengganti berupa barang yang sejenis sesuai dengan kondisi barang pada saat hilang, atau,

2) Berupa uang ganti rugi yang besarnya berdasarkan nilai harga pasar untuk barang yang sejenis pada saat hilang.

b. Khusus jenis barang yang hilang berupa kendaraan bermotor, seperti mobil, sepeda motor, ganti rugi ditetapkan sebagai berikut :

1) bila yang menghilangkan pihak ketiga seperti konsultan atau mitra kerja lainnya penggantian dilakukan dengan barang/kendaraan sejenis sesuai dengan kondisi barang/kendaraan pada saat hilang

2) bila yang menghilangkan petugas/pegawai yang diserahi pemegang kendaraan bersangkuitan ganti rugi dapat ditetapkan sebagai berikut :

a) mengganti berupa kendaraan yang sejenis sesuai dengan kondisi yang sama pada saat hilang, atau

b) berupa uang ganti rugi yang nilainya sebesar harga samsat yang berlaku pada Kantor Kepolisian/POLDA setempat.

(2) Menetapkan secara pasti para pelaku yang merugikan negara

Penelitian harus dapat menetapkan secara pasti mereka yang harus mengganti kerugian kepada Negara, sesuai dengan peran dan atau keterlibatannya dalam perbuatan/tindakan-tindakan yang merugikan Negara tersebut.

Dalam penetapan ini harus secara jelas memuat :

a. Status kepegawaian yang berasangkutan(Pegawai Negeri, Bendahara, Bukan Pegawai Negeri, Pihak Ketiga, dsb)

b. Unsur salah dari yang bersangkutan

b.1. Perbuatan langsung, misalnya :

Mencuri Menggelapkan Meruang uang atau barang milik Negara Membeli barnag terlalu mahal Membayar lebih kepada pihak ketiga, dsb

b.2. Perbuatan tidak langsung, misalnya :

Sebagai atasan/atasan langsung atau sebagai pengawas telah lalai dalam tugasnya sehingga memudahkan/memungkinkan pegawai bawahannya melakukan kecurangan-kecurangan.

Dalam hal ini terhadap pegawai yang curang maupun terhadap atasan/atasan langsungnya atau pegawai pengawas bersangkutan dilakukan tuntutan ganti rugi bersama-sama.

(3) Lain-lain keterangan yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan tuntutan pengembalian atas kerugian Negara tersebut, misalnya : vonis Hakim, jumlah kerugian Negara yang telah dikembalikan, dsb.

3.3. Hasil penelitian Tim pada butir 3.2. segera dilaporkan kepada Menteri Pekerjaan Umum melalui Sekretaris Jenderal sebagai bahan pertimbangan Keputusan Menteri lebih lanjut dengan tembusan disampaikan kepada Inspektorat Jenderal Departemen Pekerjaan Umum, Pejabat Eselon I terkit dan Atasan Langsung Kepala Satuan Kerja/Satuan Kerja Sementara yang bersangkutan.

BAB III

PROSES PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA

1. TATA CARA PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA

Penyelesaian kerugian Negara, dengan memperhatikan kasusnya dapat ditempuh dengan tata cara :

(1) Penyelesaian secara damai(2) Penyelesaian melalui tata cara Tuntutan Perbendaharaan (TP)(3) Penyelesaian melalui tata cara Tuntutan Ganti Rugi (TGR)(4) Penyelesaian melalui Gugatan Perdata(5) Penyelesaian melalui Gugatan Pidana

2. PENYELESAIAN SECARA DAMAI

2.1. Bila berdasarkan laporan penelitian Tim Peneliti pelaku kerugian Negara telah dapat mengganti kerugian Negara secara keseluruhan dan telah disetorkan ke Kas Negara, maka permasalahan kerugian Negara dimaksudkan dinyatakan selesai.

2.2. Bila berdasarkan laporan penelitian Tim Peneliti pelaku kerugian Negara belum dapat melakukan penggantian kepada Negara atau baru dapat mengganti sebagian dan menyetorkan kepada Negara dengan membuat Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SJTJM) harus disertai dengan suatu jaminan/agunan harta kekayaan secara notarial sekurang-kurangnya senilai kerugian Negara yang menjadi tanggungjawabnya, maka pelaku diberi kesempatan untuk menyelesaikan kewajibannya tersebut dalam jangka waktu yang telah disanggupinya dalam SKTJM, selambat-lambatnya 2 tahun.

2.3. Bila ada alasan yang dapat diterima oleh Tim Peneliti yang dibentuk oleh Menteri atau Sekretaris Jenderal atas nama menteri terhadap keberatan yang diajukan pelaku atas gugatan pembebanan kepada pelaku, dapat diberikan waktu penyelesaian kewajiban selambat-lambatnya 5 (lima) tahun.

2.4. Bila dalam 3 (tiga) bulan berturut-turut pelaku tidak melaksanakan kewajiban, para pelaku didampingi atasan langsungnya dipanggil untuk memberikan alasan kepada Tim Peneliti. Jika alasan tidak dapat diterima selanjutnya dilaporkan kepada Menteri agar kepada pelaku diharuskan membuat surat kuasa pemotongan gaji pelaku kepada Bendahara Gaji melakasanakan kewajibannya sampai lunas.

2.5. Pemotongan gaji sebagaimana butir 2.4 sebesar 1/3 dari gaji yang bersangkutan. Bila belum lunas pada waktu masih aktif, maka berlanjut setelah pensiun dan pemotongan langsung dilakukan oleh KPPN.

2.6. SKTJM dimaksud pada butir 2.2. harus diketahui oleh atasan/atasan langsung serta dilengkapi surat kuasa mutlak untuk menjual barang jaminan apabila yang bersangkutan cedera janji

SKTJM berikut surat jaminan dan surat kuasa mutlak untuk menjual, di tingkat Pusat disimpan di Biro Keuangan dan di tingkat Daerah di Kantor Atasan Langsung yang bersangkutan

2.7. Surat Kuasa Tanggung Jawab Mutlak untuk menjual di tingkat Pusat dikuasakan kepala Biro Keuangan atas nama Menteri dan di tingkat Daerah dikuasakan kepada Atasan Langsung atas nama Menteri.

Hasil penjualan barang harus segera disetor ke Kas Negara sebagai penerimaan Mata Anggaran Departemen Pekerjaan Umum.

2.8. Atasan langsung wajib memamantau pelaksanaan SKTJM yang dimaksud dan wajib mengirimkan laporan atas pelaksanaan dimaksud pada butir 2.2. kepada Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum melalui Biro Keuangan dengan tembusan kepada pejabat eselon I terkait sampai kerugian lunas

2.9. Apabila karena sesuatu hal ternyata SKTJM tidak dapat dilaksanakan, maka segera dilaporkan kepada Menteri Pekerjaan Umum melalui Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum untuk selanjutnya ditempuh melalui tata cara lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku melalui Derektorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara.

3. PENYELESAIAN MELALUI TATA CARA TUNTUTAN PERBENDAHARAAN

3.1. Dalam hal penyelesaian kekurangan Perbendaharaan tidak dapat ditempuh melalui tata cara damai, maka penyelesaian ditempuh melalui tata cara Tuntutan Perbendaharaan.

3.2. Yang berwenang melakukan tuntutan perbendaharaan adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI)

3.3. Proses Tuntutan Perbendaharaan dimulai pada saat Menteri Pekerjaan Umum menyampaikan berkas kasus kekurangan perbendaharaan tersebut kepada BPK-RI dengan data yang lengkap, terdiri dari :

(1) Laporan hasil pemeriksaan

(2) Daftar pertanyaan tentang kerugian Negara, yang antara lain menyatakan bahwa kerugian tersebut dikarenakan kesalahan, kealpaan dan kelalaian Bendahara.

(3) Berita Acara Pemeriksaan Kas dan Register Penutupan Kas yang menyatakan adanya ketekoran kas/jumlah kerugian yang pasti

(4) SKTJM (kalau ada) harus disertai jaminan yan gcukup(5) Khusus untuk Bendahara yang tidak dapat membuat SPJ, maka

harus ada :

a. Surat tegoran dari atasannyab. SK pembentukan panitia ex-officioc. Laporan pemeriksaan ex-officiod. Pemberitahuan kepada yang bersangkutan

(6) Tanda pembayaran yang telah dilakukan oleh Bendahara(7) Surat Gugatan(8) Jawaban dari Bendahara

Apabila Menteri menilai pelaku/ahli warisnya tidak mempunya kemampuan untuk mengganti kerugian kepada Negara, maka Menteri Pekerjaan Umum dapat memohon pertimbangan BPK-RI untuk tidak dilakukan Tuntutan Perbendaharaan dengan melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu yang dibuat oleh pejabat pemerintah setempat dan telah dilakukan penelitian yang dituangkan dalam Berita Acara Hasil Penelitian Sosial Ekonomi yang bersangkutan dari Departemen Pekerjaan Umum.

3.4. BPK-RI akan melakukan proses Perbendaharaan sesuai ketentuan dan perundangan yang berlaku, berdasarkan berkas kasus yang diterima.

3.5. Mendahului Tuntutan Perbendaharaan oleh BPK-RI, Menteri Pekerjaan Umum dapat menerbitkan Surat Keputusan Pembebanan Penggantian kerugian Sementara kepada yang bersangkutan. Surat Keputusan dimaksud mempunyai kekuatan hukum untuk pelaksanaan sita jaminan (conservatoir beslaag). (Penjelasan Pasal 60 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2004).

3.6. BPK-RI melalui Majelis Tuntutan Perbendaharaan Tingkat Pertama akan menerbitkan surat keputusan, berupa :

(1) Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu untuk menjawab jika Bendahara tidak membuat SKTJM.

(Batas waktu, biasanya 14 hari yang diberikan kepada Bendahara untuk mengajukan jawaban/pembelaan kepada BPK-RI).

(2) Surat Keputusan Pembebanan, berisi :

a. Bahwa batas waktu itu telah lewat dan dari Bendahara tidak diterima jawaban, atau

b. Bendahara bersangkutan telah mengajukan pembelaan diri tetapi tidak dapat membutktikan bahwa dia bebas sama sekali dari kesalahan/ kelalaian maupun kealpaan

c. Bahwa jawaban tidak dapat membebaskan Bendahara dari kesalahan

d. Besarnya kekurangan perbendaharaan yang sama harus dipertanggujawabkan Bendahara

e. Batas waktu satu bulan untuk menggunakan banding

3.7. BPK-RI melalui Majelis Tuntutan Perbendaharaan Tingkat Banding akan menerbitkan Surat Keputusan, berupa :

(1) Surat Keputusan Pembebanan tingkat Pertama, yang berisi :Penetapan besarnya kekurangan perbendaharaan sesuai dengan Surat Keputusan Pembebanan, bila permohonan banding dari Bendahara ditolak

(2) Pencabutan Surat Keputusan Pembebanan dalam hal permohonan banding diterima oleh BPK-RI

3.8. Penyampaian Keputusan BPK-RI kepada pelaku dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum melalui Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum.

3.9. Atasan Langsung memantau pelaksanaan Keputusan BPK-RI dan wajib melaporkan pelaksanaan keputusan tersebut kepada Menteri Perkerjaan Umum melalui Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum dengan tembusan kepada pejabar eseli I dan Inspektorat Jenderal Departemen Pekerjaan Umum serta Biro Keuangan.

4. PENYELESAIAN MELALUI TATA CARA TUNTUTAN GANTI RUGI

4.1. Dalam hal penyelesaian ganti rugi kepada Negara oleh Pegawai Negeri bukan Bendahara tidak dapat ditempuh melalui tata cara damai maka penyelesaian kerugian Negara ditempuh dengan tata cara Tuntutan Ganti Rugi.

4.2. Tuntutan Ganti Rugi dimaksud pada bitur 4.1. dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum dengan terlebih dahulu meminta pertimbangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI) yang sifatnya tidak mengikat.

4.3. Proses Tuntutan Ganti Rugi dilakukan sebagai berikut :

(1) Menteri Pekerjaan Umum memberitahukan kepada pelaku atau ahli warisnya tentang kerugian Negara yang menjadi beban pelaku dengan menerbitkan Surat Gugatan/pemberitahuan untuk mengganti kerugian.

(2) Surat gugatan tersebut pada butir 4.3.(1) memuat besarnya kerugian Negara harus diganti, alasan yang bersangkutan harus mengganti dan hak untuk mengajukan pembelaan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diterimanya surat gugatan oleh pembelaan bersangkutan.

(3) Terhadap pembelaan diri yang bersangkutan, Menteri Pekerjaan Umum menginstruksikan kepada Sekretaris Jenderal melalui Biro Keuangan untuk mengadakan penilaian atas pembelaan tergugat.

(4) Bila dari hasil penilaian dimaksud tidak dapat diterima atau hanya diterima sebagian maka Menteri Pekerjaan Umum menerbitkan Surat Keputusan Pembebanan Ganti Rugi Tingkat Pertama dengan menyebutkan secara jelas alasan, jumlah kerugian Negara yang harus diganti serta pemberian kesempatan untuk mengajukan permohonan banding kepda Presiden dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum oleh tergugat.

(5) Bila setelah jangka waktu tersebut pada butir 4.3.(4) tergugat tidak menyampaikan pembelaan, maka tergugat dianggap menerima gugatan dan pembebanan ganti rugi tingkat pertama sesuai dengan tersebut pada butir 4.3.(4)

(6) Dalam hal ini tergugat mengajukan permohonan banding, selanjutnya Menteri Pekrjaan Umum akan melakukan tindakan sebagai berikut :

a) Membatalkan surat keputusan Pembebanan Ganti Rugi Tingkat Pertama bila permohonan banding tersebut butir 4.3.(4) disetujui oleh Presiden

b) Menerbitkan suratkeputusan Pembebanan Ganti Rugi Tingkat Kedua bila permohonan banding dimaksud ditolak oleh Presiden

(7) Keputusan Menteri Pekerjaan Umum tentang Pembebanan Ganti Rugi mulai berlaku efektif sejak :

a) Tanggal dikeluarkannya keputusan Pemebanan ganti Rugi Tingkat Pertama bila yang bersangkuitan tidak mengajukan permohonan banding.

b) Tanggal dikeluarkannya keputusan Pembebanan Ganti Rugi Tingkat Kedua bila yang bersangkutan mengajukan permohonan banding.

(8) Atasan Langsung wajib memantau pelaksanaan yang dimaksud pada butir 4.3.(7) kepada Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum melalui Biro Keuangan dengan tembusan kepada Pejabat Eselon I terkait.

(9) Dalam hal ini terjadi kerugian Negara yang menjadi tanggungjawab Kepala Satuan Kerja berdasarkan hasil perhitungan ex-office, tata cara Tuntutan Ganti RUgi kepada yang bersangkutan dilakukan sebagaimana tersebut diatas.

5. PENYELESAIAN MELALUI GUGATAN PERDATA

5.1. Penyelesaian Kerugian Negara dilakukan melalui Gugatan Perdata, apabila :

(1) Pelaku kerugian Negara tersebut tidak bersedia menyelesaikan kerugian tersebut melalui tata cara damai.

(2) Pelaku kerugian Negara bukan berstatus pegawai negeri (pegawai harian, pegawai honorer, telah berstatus pensiun/purnabakti, pihak ketiga/ swasta)

5.2. Penyerahan perkara kepada Pengadilan dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum yang dalam pelaksanaannnya dapat dikuasakan kepada Pejabat yang ditunjuk dengan melampirkan data sebagai berikut :

(1) Surat Perjanjian atau surat-surat lain sebagai dasar adanya Gugatan Tuntutan

(2) Laporan Pemeriksaan/ kejadian yang menerangkan Negara dirugikan

(3) Bukti-bukti pendukung umpamanya kwitansi/ tanda penerimaan pembayaran, dan lain-lain

(4) Surat teguran/ permintaan untuk pengembalian/ pembayaran

(5) Surat yang menyatakan kesanggupan untuk mengembalikan/membayar dari pihak ketiga

(6) Bukti pembayaran angsuran atau potongan pembayaran yang diterimanya

(7) Dokumen-dokumen lainnya yang dipandang perlu

5.3. Tuntutan Ganti Rugi terhadap Pihak Ketiga

(1) Untuk menyelesaikan tuntutan ganti rugi terhadap pihak ketiga dapat dipergunakan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam KUHP Perdata Buku ke III dan ketentuan perundang-undangan lainnya untuk menjamin kepentingan Negara.

(2) Kerugian Negara tersebut dapat berupa :

a. Denda akibat keterlambatan penyelesaian pekerjaan sesuai jadwal waktu yang telah ditetapkan dalam surat perjanjian.

b. Denda akibat tidak melaksanakan pekerjaan/ penyerahan barang, baik sebagian maupun seluruhnya (wanprestasi KUHP Perdata pasal 1238 dan seterusnya)

c. Kelebihan pembayaran

d. Pemberian uang muka kerja yang tidak dibayar kembali/ tidak diperhitungkan

e. Pemborong yang tidak bertanggungjawab atas tindakan perbuatan orang-orang yang dipekerjakannya yang dapat menimbulkan kerugian Negara (KUHP Perdata pasal 1613)

(3) Tindakan-tindakan yang harus dilakukan jika terjadi kerugian Negara yang dilakukan oleh pihak ketiga :

a. Memerintahkan kepada yang bersangkutan untuk segera mengganti kerugian tersebut (tunai/angsuran)

b. Langsung melakukan pemotongan pembebanan/ kompensasi atas pembayaran pada termin berikutnya (jika ada)

c. Diselesaikan melalui Pengadilan Negeri

d. Diselesaikan melalui Pengadilan Arbitrase

e. Diselesaikan melalui Peradilan Pidana Khusus

5.4. Pemegang kuasa tersebut pada butir 5.2. wajib melaporkan hasil keputusan Pengedilan Perdata dimaksud kepada Menteri Pekerjaan Umum melalui Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum dengan tembusan kepada Inspektorat Jenderal dan pejabat eselon I terkait.

6. PELAKU KERUGIAN NEGARA BERSTATUS BUKAN PEGAWAI DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

Bila pelaku kerugian Negara adalah berstatus pegawai Departemen lain di uar Departemen Pekerjaan Umum, yang karena tugasnya pada Departemen Pekerjaan Umum, tata cara penyelesaian kerugian Negara yang menjadi beban tanggungjawab ditempuh sebagai berikut :

6.1. Dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Bab ini butir 1 sampai dengan butir 5

6.2. Penagihan ganti rugi dari yang bersangkutan berdasarkan surat keterangan tanggungjawab mutlak (SKTJM) atau Keputusan Menteri mengeani Tuntutan Ganti Rugi (TGR) atau Keputusan BPK-RI mengenai Tntutan Perbendaharaan (TP), tetap dilakukan oleh Departemen Pekerjaan Umum melalui Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum dengan bantuan/ pelimpahan Unit Kerja Departemen yang membawahi pegawai tersebut.

BAB IV

TUNTUTAN PERBENDAHARAAN (KHUSUS)

A. PERHITUNGAN PERTANGGUNGJAWABAN EX-OFFICIO TERHADAP BENDAHARA

1. Tata cara Penyusunan Perhitungan Pertanggungjawaban Ex-Officio Bendahara

1.1.Sebagai langkah pertama pengamanan keuangan Negara, bila seorang Bendahara meninggal dunia atau melarikan diri, Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara segera mengambil langkah-langkah pengamanan keuangan Negara yang dikelola oleh Bendahara dengan cara :

a. Buku Kas Umum (BKU) dan Buku Pembantu lainnya diberi batas dengan dua garis penutup agar tidak dapat ditambah oleh yang tidak berkepentingan

b. Semua uang dan surat-surat berharga disimpan di dalam brandkas serta dilakukan penyegelan

c. Semua buku serta dokumen-dokumen bukti penerimaan dan pengeluaran disimpan dalam lemari serta dilakukan penyegelan

d. Dilakukan penyegelan terhadap laci-laci meja kerja Bendahara.

1.2.Tindakan tersebut di atas harus disaksikan oleh ahli waris atau keluarga yang ditinggalkan dan dibuat Berita Acara Penyegelan.

1.3.Pejabat penyusun perhitungan pertanggungjawaban ex-officio yang ditunjuk dengan Surat Keputusan Atasan Langsung Kepala Satuan Kerja melalui tugasnya dengan melakukan perhitungan uang kas Bendahara dengan cara menutup Buku dan mencocokkan saldonya dengan saldo rekening koran pada saat Bendahara bersangkutan meninggal dunia atau melarikan diri.

1.4.Pembukaan segel atau brandkas, lemari dan meja-meja milik Bendahara harus dituangkan ke dalam Berita Acara Pembukaan Segel.

1.5.Pembukaan segel dimaksud pada butir 1 (4) sedapat mungkin disaksikan oleh ahli waris atau keluarga yang ditinggalkannya serta Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara bersangkutan.

1.6.Hasil pemeriksaan kas tersebut harus dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Kas yang diketahui oleh Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara atau ahli waris atau keluarga yang ditinggalkan.

1.7.Perhitungan ex-officio dimaksud disampaikan kepada Menteri melalui Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum dengan tembusan kepada BKN-RI dan kepada ahli waris untuk dimintakan tanggapannya dalam waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya, yang dibuktikan dengan surat tanda bukti penerimaan dari yang bersangkutan.

1.8.Pembelaan atau keberatan yang diajukan oleh ahli waris atas hasil perhitungan ex-officio, oleh Menteri Pekerjaan Umum melalui Sekretaris Jenderal disampaikan kepada BPK-RI untuk diproses lebih lanjut dengan dilengkapi dokumen sebagai berikut :

a. Laporan yang menyatakan Bendahara meninggal dunia, melarikan diri atau di bawah pengampuan dengan dilampiri bukti/ surat keterangan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang

b. Berita Acara Penyegelan Brandkas

c. SK Pembentukan Paniti Ex-Officio

d. Berita Acara Pembukaan Brandkas yang antara lain disaksikan ahli waris

e. Laporan Pemeriksaan/ Perhitungan ex-officio yang menyatakan adanya kerugian Negara yang antara lain diketahui oelh ahli warisnya

f. Penyampaian laporan/ perhitungan ex-officio kepada ahli warisnya

g. Jawaban dari ahli waris tentang kerugian negara yang diakibatkan oelh Bendahara

h. Tanda/Bukti pembayaran yang telah dilaksanakan

1.9.Pengecekan atas kebenaran pembukuan dengan bukti-bukti penerimaan dan pengeluaran uang

1.10.Bila dari hasil pemeriksaan tersebut di atas diketahui adanya ketekoran kas Bendahara, penyelesaiaanya dilakukan sesuai tata cara tuntutan perbendaharaan

1.11.Pejabat penyusun perhitungan pertanggungjawaban ex-officio selanjutnya melakukan serah terima jabatan Bendahara kepada Bendahara penggantinya.

2. Tata cara Penyusunan Perhitungan Ex-Officio

2.1. Bila seorang Bendahara lalai, terlambat atau tidak membuat pertanggungjawaban/SPP-GU meskipun telah diberikan tegoran dan batas waktu yang ditentukan tetap tidak membuat pertanggungjawaban, maka Menteri Pekerjaan Umum melalui Surat Keputusan Atasan Langsung Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara menunjuk pejabat Ex-Officio untuk membuat perhitungan ex-officio

2.2. Hasil perhitungan Ex-Officio tersebut disampaikan kepada Menteri melalui Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum dengan tembusan kepada BPK-RI untuk proses lebih lanjut dengan dilengkapi dokumen berupa :

a. Surat keputusan penunjukan yang bersangkutan sebagai Bendahara

b. Surat tegoran kepada yang bersangkutan

c. Surat keputusan penunjukan pejabat ex-officio

3. Penunjukan Pengganti Bendahara Sementara

Pelaksanan kegiatan pembiayaan Satuan kerja/ Satuan Kerja Sementara tidak boleh terhambat dengan peristiwa Bendahara meninggal atau melarikan diri.

Dengan mengingat bahwa untuk menetapkan pengangkatan Bendahara baru sebagai menggantinya memerlukan waktu yang tidak dapat dilaksanakan dalam waktu singkat, maka untuk kelancaran pembiayaan dan pertanggungjawaban keuangan Satuan Kerja/ Satuan Kerja Sementara, Atasan Langsung Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara untuk melaksanakan fungsi-fungsi Bendahara.

Surat pengangkatan Bendahar Sementara ini disampaikan kepada KPPN setempat dan kepada Menteri Pekerjaan Umum.

Keberadaan Bendahara Sementara tidak boleh terlalu lama dan oleh karena itu Atasan Langsung Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara dalam waktu secepatnya menyampaikan usulan penggantian Bendahara secara definitive kepada Menteri Pekerjaan Umum.

B. PERHITUNGAN PERTANGGUNGJAWABAN EX-OFFICIO TERHADAP KEPALA SATUAN KERJA/ KEPALA SATUAN KERJA SEMENTARA

1. Tata cara Penyusunan Perhitungan Pertanggungjawaban Ex-Officio Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara.

ICW tidak mengatur tentang tatacara Penyusunan Perhitungan Pertanggungjawaban Ex-Officio dalam hal Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara meninggal dunia atau melarikan diri.Namun dengan mengingat bahwa seorang yang menjabat Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara selain bertanggungjawab atas pelaksanaan phisik kegiatan juga bertanggungjawab terhadap pengelolaan keuangannya, maka sudah seharusnya dilakukan Penyusunan Perhitungan Pertanggungjawaban secara Ex-officio bila Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara bersangkutan meninggal dunia atau melarikan diri.

2. Langkah-langkah yang harus dilakukan segera setelah meninggal dunia atau melarikan diri Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara pada prinsipnya sama dengan yang ditempuh dalam melakukan Penyusunan Pertanggungjawaban Ex-Officio untuk Bendahara yang meninggal dunia atau melarikan diri, namun tidak hanya menyangkut aspek keuangannya saja, melainkan meliputi seluruh aspek yang menyangkut keuangan, phisik peklerjaan satuan kerja, peralatan dan kepegawaian serta asset-aset satuan kerja lainnya.

3. Pelaksana Penyusunan Perhitungan Pertanggungjawaban Ex-Officio harus dilakukan oleh suatu tim yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Atasan Langsung Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara dan melaporkan hasil pelaksanaannya kepada Menteri Pekerjaan Umum cq. Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum.

4. Bila dari hasil Perhitungan Pertanggungjawaban Ex-Officio tersebut ternyata terdapat kerugian Negara akibat kelalaian Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara yang bersangkutan maka dilakukan tatacara Tuntutan Ganti Rugi untuk Pegawai Negeri.

5. Agar penyelenggara pelaksanaan satuan kerja tidak terhambat, maka Atasan Langsung Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara segera menunjuk pengganti Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara, untuk menyelesaikan pekerjaan yang masih berjalan dengan ketentuan Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara yang ditunjuk tersebut tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran.

Surat Pengangkatan Penggantian Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara disampaikan kepada KPPN setempat dan Menteri Pekerjaan Umum. Selanjutnya dalam waktu secepatnya Atasan Langsung Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara menyampaikan usulan pengganti Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara secara definitive.

BAB V

ADMINISTRASI PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA

ADMINISTRASI PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA DISELENGGARAKAN OLEH BIRO KEUANGAN SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

1. Administrasi Penyelesaian Kerugian Negara melalui upaya damai diselenggarakan sebagai berikut :

(1) Mengadministrasikan kerugian Negara yang ditempuh melalui upaya damai atas dasar SKTJM

(2) Mengikuti penyelesaian kerugian Negara dimaksud pada butir 1.(1) berdasarkan laporan yang diterima dari Atasan Langsung yang bersangkutan

(3) Melakukan Penegoran kepada Atasan Langsung apabila tidak menyampaikan laporan atas penyelesaian kerugian Negara tersebut

(4) Mencatat kasus-kasus Negara yang tidak dapat diselesaikan/dilunasi sampai jangka waktu yang disanggupi dalam SKTJM berakhir

2. Administrasi Penyelesaian Kerugian Negara melalui Tuntutan Perbendaharaan diselenggarakan sebagai berikut :

(1) Melakukan pemberkasan dan penyampaian kasus kerugian tersebut kepada BPK-RI, dengan memperhatikan kelengkapan dokumen pada Bab III butir 3.3.

(2) Menyampaikan surat keputusan pembebanan dari Majelis TP BPK-RI kepada Bendahara bersangkutan dengan bukti tanggal penerimaannya.

(3) Membantu pimpinan Departemen untuk melakukan eksekusi atas Surat Keputusan Majelis TP BPK-RI.

(4) Mengadministrasikan secara tertib dan teratur atas pembayaran angsuran dari pemotongan gaji/penghasilan lainnya sebagai pelaksanaan eksekusi Surat Keputusan Pembebanan Majelis TP BPK-RI dan secara periodic melaporkan kepada Pimpinan Departemen dan kepada BPK-RI mengenai penyelesaian kerugian Negara tersebut.

(5) Mengikuti tindaklanjut penyelesaian kerugian Negara berdasarkan laporan yang diterima dari Atasan Langsung yang bersangkutan.

(6) Melakukan penegoran kepada Atasan Langsung yang tidak menyampaikan laporan atas penyelesaian kerugian negara.

(7) Mengajukan permohonan penghapusan Kerugian Negara kepada BPK-RI apabila upaya penagihan dari yang bersangkutan tidak membawa hasil karena keadaan social ekonomi pelaku dalam keadaan tidak mampu atau meninggal dunia dengan tidak meninggalkan warisan, atau tidak dapat diketahui lagi alamatnya dengan dilampiri data-data sebagai berikut :

a. Surat Keterangan Tidak Mampu yang dibuat oleh Lurah/ Kepala Desa diketahui oleh Camat setempat dimana yang bersamgkutan berdomisili.

b. Berita Acara Hasil Penelitian keadaan social ekonomi yang bersangkutan yang dibuat oleh Tim Penyelesaian Kerugian Negara atau oleh suatu tim yang ditugasi oleh pejabat yang berwenang.

c. Copy bukti pembayaran/ angsuran dan/ atau copy bukti pelunasan kerugian Negara tersebut (misalnya bukti setoran hasil lelang barang bukti yang dirampas untuk Negara atas putusan Pengadilan Negeri dan sebagainya).

3. Administrasi Penyelesaian Kerugian Negara melalui Tuntutan Ganti Rugi diselenggarakan sebagai berikut :

(1) Menyelenggarkan proses TGR dari mulai menyampaikan laporan/ pemberitahuan kepada BPK-RI sampai penerbitan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum mengenai pembebanan ganti rugi.

(2) Mengikuti penyelesaian kerugian Negara dimaksud pada butir 3.(1) berdasarkan hasil laporan yang diterima dari Atasan Langsung yang bersangkutan

(3) Melakukan penegoran kepada Atasan Langasung yang tidak menyampaikan laporan atas penyelesaian kerugian Negara.

(4) Menyampaikan permohonan Menteri tentang penghapusan Kerugian Negara kepada BPK-RI apabila upaya penagihan dari yang bersangkutan tidak membawa hasil karena keadaan social ekonomi pelaku dalam keadaan tidak mampu dan atau meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan atau tidak dapat diketahui lagi alamatnya dengan data-data sebagai tersebut pada butir 2.(7).

4. Administrasi Penyelesaian Kerugian Negara melalui Gugatan Perdata diselenggarakan oleh Biro Keuangan Departemen Pekerjaan Umum bekerjasama dengan Biro Hukum, dilaksanakan sebagai berikut :

(1) Memproses instruksi Menteri Pekerjaan Umum kepada Atasan Langsung Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara, Pemimpin Pelaksana Kegiatan/ Pemimpin Pelaksana Bagian Kegiatan untuk melimpahkan perkara kepada Peradilan PErdata dan atau Kejaksaan untuk Perkara Pidana.

(2) Memantau hasil persidangan dimaksud serta melaporkan hasil keputusannya kepada Menteri melalui Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum dengan tembusan kepada Inspektorat Jenderal dan pejabat eselon I terkait serta kepada BPK-RI.

5. Mengadministrasikan dengan tertib dan teratur atas kerugian Negara yang dihapuskan karena :

(1) Penyusutan/ busuk/ rusak

(2) Uang palsu/ uang rusak/ dianggap uang hilang

(3) Pencurian/ perampokan

(4) Bencana alam/ force majeure

6. Tidakan Disiplin Pegawai

(1) Pegawai Negeri yang terbukti bersalah/ lalai sehingga menimbulkan kerugian bagi Negara dapat dikenakan tindakan disiplin sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Tindakan disiplin dilakukan oleh pejabat berwenang

(2) Biro Keuangan membantu pejabat yang berwenang sebagai diuraikan pada butir 6.(1) di atas untuk menyampaikan kelengkapan data kerugian negara dalam kaitannya dengan kasus kerugian Negara tersebut

(3) Biro Keuangan mengadministrasikan dengan tertib surat-surat keputusan hukuman disiplin yang menyangkut kerugian Negara

(4) Tindakan disiplin yang telah dilakukan dilaporkan Sekretaris Jenderal melalui Kepala Biro Keuangan Kepegawaian dengan tembusan kepada eselon I terkait dan Biro Keuangan.

BAB VI

KADALUWARSA

1. KADALUWARSA PEMBEBANAN GANTI RUGI

1.1. Lima tahun setelah akhir tahun dalam mana kerugian Negara diketahui Menjadi kadaluwarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut, atau dalam waktu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan. (UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara)

1.2. Delapan tahun setelah akhir tahun dalam mana perbuatan atau kelalaian yan gmenyebabkan kerugian Negara dilakukan dengan tidak mengurangi tanggungjawab bagi pegawai negeri yang bersangkutan kepada Negara menurut Hukum Perdata

Jika kerugian yang diderita Negara merupakan akibat perbuatan atau kelalaian yang dilakukan terus menerus maka waktu delapan tahun tersebut dihitung mulai akhir tahun dalam mana perbutan atau kelalaian yang terakhir dilakukan.

2. KADALUWARSA TUNTUTAN PERBENDAHARAAN (KHUSUS)

2.1. Tiga tahun telah lewat sejak Bendahara meninggal dunia dan kepada mereka (ahli waris) tidak diberitahukan tentang perhitungan yang dibuat secara ex-officio

2.2. Tiga tahun sejak batas waktu untuk mengajukan pembelaan telah lewat dan BPK-RI tidak mengambil suatu keputusan

Setelah batas waktu sebagai tersebut butir 2.1. dan 2.2. lewat, maka ahli waris bebas dari tanggung jawab.

2.3. Dalam hal bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang dikenai tuntutan ganti kerugian Negara/ daerah berada dalam pengampuan, melarikan diri, atau meninggal dunia, penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih kepada pengampu/ yang memperoleh hak/ ahli waris, terbatas pada kekayaan yang dikelola atau diperolehnya, yang berasal dari bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan. (Pasal 66 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004)

2.4. Tanggungjawab pengampu/ yang memperoleh hak/ ahli waris untuk membayar ganti kerugian Negara/ daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan, atau sejak bendahara , pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal dunia, pengampu/ yang memperoleh hak/ ahli waris tidak diberitahu oleh pejabat yang berwenang mengenai adanya kerugian Negara/ daerah. (Pasal 66 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2004).

3. KADALUWARSA TUNTUTAN PERBENDAHARAAN (BIASA)

Untuk kadaluwarsa Tuntutan Perbendaharaan biasa berpedoman pada KUHP Perdata pasal 1967 yaitu setelah 30 tahun.

BAB VII

TINDAK LANJUT PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA

1. PENGHAPUSAN

1.1. Penghapusan kekurangan perbendaharaan dari perhitungan Bendahara karena dicuri, digelapkan, hilang dan sejenisnya.

Uang yang rusak tidak dapat diminta gantinya dari Bank peredaran yang bersangkutan atau uang yang oleh pihak berwajib dinyatakan sebagai uang palsu, termasuk dalam pengertian uang yang hilang. Lembaran Negara (LN) tahun 1956 No. 35 mengatur bahwa :

(1) Penghapusan dari perhitungan bendahara dilakukan untuk kekurangan uang/ surat bernilai uang karena dicuri, digelapkan atau hilang yang tidak disebabkan oleh kesalahan/ kelalaian/ kealpaan Bendahara.

(2) Penghapusan dilakukan berdasrkan keputusan yang beralasan dari Menteri Peperjaan Umum.

(3) Jika kerugian Negara dibebankan pada lebih dari satu “bagian anggaran”, maka antara Menteri-menteri yang bersangkutan diadakan mufakat tentang penghapusannya. Jika tidak diperoleh kata sepakat, maka penghapusannya diputuskan oleh Menteri Keuangan.

(4) Salinan surat keputusan penghapusan kekurangan perbendaharaan disampaikan kepada BPK-RI.

1.2. Penghapusan atas piutang Negara ini tidak sama dengan penghapusan sebagaimana diatur dalam Lembaran Negara (LN) tahun 1956 No. 35.

Yang dimaksud dengan penghapusan atas piutang Negara ialah penghapusan sebagaimana diatur dalam Stbl 1907 No. 327, 328 dan 329 yakni penghapusan atas piutang Negara dari administrasi piutang Negara, karena alasan-alasan tertentu tidak dapat ditagih, namun hak tagih Negara masih tetap ada.

Menurut ketentuan perundang-undangan tersebut ditetapkan antara lain bahwa penghapusan dimaksud dapat dilakukan, jika :

(1) Tagihan telah lewat waktu (kadaluwarsa)

(2) Yang berhutang meninggal dunia tanpa meninggalkan harta benda atau ahli waris

(3) Apabila upaya penagihan dengan cara apapun tidak membawa hasil karena yang bersangkutan dalam keadaan tidak mampu, yang dibuktikan dengan surat keterangan tidak mampu.

Untuk itu perlu diperhatikan :

(1) Kebenaran formal, yakni : Surat pernyataan/ keterangan tidak mampu oleh aparat pemerintah daerah setempat (Lurah/ Kepala Desa/ dan disahkan oleh Camat)

(2) Kebenaran materiil yakni bahwa surat pernyataan / keterangan tidak mampu tersebut telah diteliti kebenarannya oleh Tim penyelesaian kerugian Negara, berdasarkan hasil pengamatannya atas keadaan social ekonomi yang bersangkutan dan ahli warisnya.

Pernyataan tim tersebut dituangkan dalam bentuk laporan penelitian/ berita acara penelitian.

Penghapusan atas kerugian Negara bagi yang tidak mampu tidak menganggalkan hak tagih Negara kepada orang yang berhutang. Tagihan Negara tersebut untuk sementara waktu tidak dilaksanakan namun jika dikemudian hari diketahui orang yang bersangkutan mampu maka tagihan Negara tersebut dilaksanakan kembali.

Surat keputusan penghapusan ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum setelah memperoleh pertimbangan BPK-RI. Walaupun sudah dihapuskan namun piutang tersebut tetap dicatat dalam buku piutang sehingga tidak terlupakan.

Setelah menerima surat keputusan penghapusan piutang Negara, dilakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :

(1) Membubuhkan catatan pada daftar piutang Negara bahwa piutang tersebur telah dihapuskan dengan surat keputusan Menteri Pekerjaan Umum (Nomor/ Tanggal, dsb)

(2) Melaporkan kepada Skretaris Jenderal melalui Biro Keuangan bahwa piutang Negara dimaksud sudah dihapuskan dari piutang Negara.

(3) Dokumen penghapusan piutang Negara tersebut disimpan dalam file tersendiri.

2. PEMBEBASAN PIUTANG NEGARA

Pembebasan atas piutang Negara mengandung arti meniadakan kewajiban seseorang untuk membayar hutang kepada Negara yang menjadi tanggungjawabnya, berdasarkan pertimbangan keadilan atau alasan penting lainnya bahwa kepadanya tidak layak untuk ditagih. Dalam hal ini Negara telah melepaskan hak tagihnya baik untuk sebagian maupun untuk seluruhnya.

Berdasarkan surat edaran Sekretaris Dewan Menteri No. 16219/52 tanggal 5 Agustus 1952 menetapkan bahwa kekuasaan untuk memberikan pembebasan atas tagihan Negara dilakukan oleh Menteri yang bersangkutan setelah mendengar pertimbangan dari BPK-RI.

3. SURAT KEPUTUSAN PENCATATAN

Surat keputusan pencatatan diterbitkan oleh BPK-RI karena proses tuntutan perbendaharaan (untuk sementara) tidak dapat dilaksanakan/ dilanjutkan misalnya karena Bendahara yang bersangkutan melarikan diri dan alamatnya tidak diketahui atau telah meninggal dunia, dimana ahli warisnya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, juga termasuk dalam hal ini adalah bila Polisi/ Kejaksaan telah menyita barang-barang dari Bendahara bersangkutan dan oleh Hakim diputuskan bahwa hasil penjualan barang-barang tersebut untuk Negara. Dengan demikian pada hakekatnya kerugian Negara sudah terganti.

Badab Pemeriksa Keuangan (BPK-RI) menyelesaikan masalah kekurangan perbendaharaan itu dengan suatu surat keputusan pencatatan.

4. PENYERAHAN PIUTANG NEGARA KEPADA DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA (DJPLN)

Bila suatu piutang Negara macet atau tidak dapat ditagih, maka sesuai dengan surat keputusan Menteri Keuangan RI No. 293/KMK.09/1993 tanggal 26 Pebruari 1993 dapat diserahkan penagihannya melalui DJPLN.

Syarat-syarat dan tatacara penyerahan piutang macet tersebut adalah sebagai berikut :

4.1. Surat penyerahan piutang Negara macet dari Satuan Kerja (Satker) /Satuan Kerja Sementara atas persetujuan atasan langsung setempat kepada DJPLN setempat

4.2. Surat penyerahan piutang macet butir 4.1. di ata dilampiri data penyerahan piutang macet beserta foto copy data/ surat dokumen, antara lain :

(1) Penjelasan singkat mengenai piutang yang memuat identifikasi dan keadaan uasaha Penganggung Hutang, uraian singkat terjadinya piutang dan sebab kemacetannya, kondisi atau keadaan barang jaminan dan upaya-upaya penagihan piutang yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

(2) Perikatan, peraturan atau dokumen lainnya yang membuktikan adanya piutang

(3) Rekening Koran, mutasi piutang atau dokumen lainnya yan gmemuat jumlah piutang dengan rincian hutang pokok, bunga, beban-beban dan atau kewajiban keuangan lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(4) Daftar dan dokumen barang jaminan serta pengikatannya dalam hal piutang yang diserahkan masih didukung oleh barang jaminan.

(5) Surat pemberitahuan kepada penanggung hutang/ penjamin hutang yang menyatakan bahwa pengurusan hutangnya telah diserahkan kepada PUPN.

(6) Data/ dokumen lainnya yang dianggap perlu oleh Penyerah Piutang.

4.3. Bantuan yang harus diberikan Satuan Kerja/ Satuan Kerja Sementara yang menyerahkan piutang Negara dalam rangka proses pengurusan piutang, adalah sebagai berikut :

(1) Petugas DJPLN dan Satker/ Satker sementara yang menyerahkan piutang melakukan pemeriksaan bersama atas barang jaminan/ harta kekayaan penanggung hutang.

(2) Satuan Kerja/ Satuan Kerja Sementara melengkapi data/ dokumen apabila diperlukan oleh DJPLN

(3) Satuan Kerja/ Satuan Kerja Sementara ikut menghadiri leleang barang jaminan

(4) Satuan Kerja/ Satuan Kerja Sementara bersama-sama dengan DJPLN mengadakan pengusutan barang jaminan/ harta kekayaan penanggung hutang.

5. PENIADAAN SELISIH

5.1. Usul Peniadaan Selisih

Peniadaan selisih saldo buku kas adalah suatu proses untuk meniadakan selisih kurang buku kas bendahara yang disebabkan oleh kealpaan/ kelalaian bendahara (Keputusan Pemerintah No. 12 tahun 1937). Untuk meniadakan selisih saldo buku kas tersebut Menteri Pekerjaan Umum mengajukan permohonan peniadaan selisih kepada Menteri Keuangan, sesuai dengan Surat Edaran Ditjen Anggaran No. 139/A/542/1190 tanggal 30 Nopember 1990 dengan dilengkapi bukti/ data sebagai berikut :

(1) Berita Acara Pemeriksaan Kas, Register Penutupan Kas, dan foto copy Buku Kas Umum bulan bersangkutan yang memuat adanya kekurangan kas tersebut.

(2) Jika penggantian secara damai dapat dilakukan, maka harus dilampirkan surat keterangan tanggung jawab mutlak (SKTJM). Apabila upaya damai tidak membawa hasil, amaka harus dilampirkan SUrat Keputusan Pembebanan Sementara.

(3) Penilaian dan pendapat Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum tentang jumlah kerugian Negara yang terjadi dan penjeasan bahwa kerugian tersebut atas kesalahan/ kealpaan Bendahara bersangkutan.

(4) Surat Keterangan dari KPPN, sedangkan untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak keterangan dari Atasan Langsung Bendahara Penerima.

5.2. Penerbitan Surat Keputusan

Menteri Pekerjaan Umum setelah memperoleh persetujuan dari Menteri Keuangan menerbitkan Surat Keputusan Peniadaan Selisih antara Saldo Buku dan Saldo Kas dari administrasi Bendahara.

5.3. Penerbitan Surat Keputusan Otorisasi (SKO)

Atas dasar permintaan penerbitan SKO dari Departemen Pekerjaan Umum, maka Direktur Jenderal Anggaran akan menerbitkan SKO atas beban Bagian Anggaran 62 “Pengeluaran Tak Tersangka”. (Tanggap Darurat).

SKO tersebut digunakan sebagai dasar penerbitan SPM Nihil oleh KPPN.

5.4. Setelah menerima SKO dari Menteri Keuangan, Kepala Satuan Kerja/ Satuan Kerja Sementara bersangkutan segera mengajukan SUrat Permintaan Pembayaran/ SPP kepada KPPN untuk menerbitkan SP2D Nihil.

5.5. Bendahara membukukan SP2D Nihil tersebut sebagai pengeluaran dalam Buku Kas Umum dengan uraian “Penyetoran Kembali sesuai Surat Penghapusan Kekurangan Uang/ Peniadaan Selisih tanggal ……………. No. …………… dan SP2DF Nihil tanggal ……………… No. ……………….

BAB VIII

PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA MELALUI TUNTUTAN PERBENDAHARAAN DAN TUTUTAN GANTI RUGI DAN TUNTUTAN

PERDATA

A. UMUM

1. Pengertian

a) Penyelesaian kerugian negara adalah upaya negara untuk menarik kembali kerugian Negara yang ditimbulkan oleh perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh bendahara, Pegawai Negeri atau Pihak Ketiga melalui cara damai atau prosedur yang berlaku.

b) Tuntutan Perbendaharaan (TP) dan Tuntutan Ganti Rugi (TGR) adalah upaya Negara untuk menarik kembali kerugian yang dideritanya sebagai akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Bendahara dan atau Pegawai Negeri bukan Bendahara tanpa melalui proses hukum acara.

c) Tuntutan Perbendaharaan (TP) adalah tatacara perhitungan (rekening proses) terhadap bendahara dalam pengurusannya mengalami kekurangan perbendaharaan (comptable tekort).

d) Kekurangan perbendaharaan adalah selisih kurang antar saldo buku dengan saldo kas atau antara saldo buku persediaan dengan saldo barang persediaan yang terdapat dalam gudang yang berada dalam pengurusan Bendahara.

e) Tuntutan Ganti Rugi (TGR) adalah proses administrasi yang dilakukan terhadap pegawai negeri bukan bendahara dengan tujuan untuk menuntut pengembalian kerugian Negara yang timbul akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan olehnya.

2. Subyek dan Obyek Kerugian Negara

a. Tuntutan Perbendaharaan1) Subyek : Bendahara Uang Persediaan dan/atau Bendahara

Barang Persediaan

2) Obyek : Kekurangan perbendaharaan (uang, kertas berharga, barang persediaan) yang ada dalam pengurusan Bendahara dan/atau hak Negara yang belum ditagih.

b. Tuntutan Ganti Rugi1) Subyek : Pegawai Negeri bukan Bendahara (PNS, ABRI,

Purnawirawan, Pegawai Satker/ Satker Sementara)

2) Obyek : Kekayaan Negara berupa uang, barang, IKMN, hak dan/atau kewajiban Negara yang belum dipenuhi.

c. Gugatan Perdata1) Subyek : Pihak Ketiga (Orang/ Badan)

2) Obyek : Hak dan atau kewajiban dalam perjanjian yang tidak dipenuhi

3. Sebab-sebab Terjadinya Kerugian Negara

a. Kesengajaan :

1) Penggelapan;

2) Korupsi;

3) Pemborosan;

4) Tindakan tidak sah

b. Kelalaian :

1) Kekeliruan;

2) Kecelakaan

c. Peristiwa di liar kekuasaan manusia :

1) Pencurian/ Perampokan;

2) Bencana Alam;

3) Peristiwa kimia/ fisika

4. Diketahuinya Kerugian Negara

a. Berdasarkan laporan si pelaku/ penanggung jawab uang/ barang;

b. Berdasarkan laporan atasan langsung bersangkutan;

c. Berdasarkan laporan hasil permeriksaan aparat pengawasan fungsional;

d. Berdasarkan hasil pengawasan melekat;

e. Berdasarkan hasil verifikasi pertanggungjawaban pengeluaran;

f. Berdasarkan laporan masyarakat (melalui laporan lisan, surat, surat kaleng, kotak pos 5000)

5. Wajib Lapor

a. Sesuai Bijblad 12454 setiap pejabat yang berdasarkan jabatannya melakukan pengawasan atau pemeriksaan atas keuangan Negara bila mengetahui bahwa Negara dirugikan atau terdapat dugaan Negara akan dirugikan karena suatu perbuatan melanggar hukum wajib melaporkan kepada atasannya.

b. Kewajiban melaporkan tersebut sudah harus dilakukan selambat-lambatnya 1 minggu setelah diketahuinya kerugian Negara atau pada waktu terdapat dugaan kerugian Negara tanpa menunggu hasil pemeriksaan terlebih dahulu.

c. Kerugian Negara tersebut dapat berbentuk :

1) Uang Kas/ surat berharga/ barang persediaan;

2) Uang Negara/ barang/ IKMN;

3) Hak dan/atau kewajiban yang belum dipenuhi oleh pihak ketiga.

d. Kewajiban melaporkan

Kewajiban melaporkan setiap peristiwa yang menyebabkan kerugian Negara kepada Menteri merupakan tanggungjawab dari :

1) Kepala Satuan Kerja/ Kepala Satuan Kerja Sementara.

2) Aparat pengewasan fungsional yang sedang melakukan pemeriksaan.

3) Setiap pejabat yang berdasarkan tugas jabatannya melakukan pengawasan terhadap kekayaan Negara.

6. Penelitian Pelaporan

a. Berdasarkan laporan yang diterima Menteri akan mengadakan penyelidikan untuk mengetahui :

1) Kebenaran terjadinya peristiwa kerugian Negara dan besarnya kerugian yang ditimbulkannya.

2) Faktor penyebab terjadinya peristiwa kerugian Negara tersebut (kesengajaan atau kelalaian).

3) Pelaku kerugian Negara tersebut dan mereka yang diduga terlibat/tersangkut secara langsung atau tidak langsung dalam peristiwa tersebut.

b. Penyelidikan oleh Menteri dilakukan oleh sebuah tim yang susunan anggotanya terdiri dari unsure Inspektorat Jenderal, Biro Keuangan dan Satminkal terkait.

c. Penyelesaian kerugian Negara dilakukan melalui tahapan sebagai berikut :

1) Penyelesaian secara damai, tanpa melalui proses administrasi/hokum acara perdata.

2) Apabila penyelesaian secara damai tidak dapat dilaksanakan maka ditempuh melalui :

a) Proses Tuntutan Perbendaharaan

b) Proses Tuntutan Ganti Rugi

c) Proses Gugatan Perdata.

d. Apabila di dalam peristiwa kerugian Negara tersebut mengandung unsure tindak pidana, wajib dilaporkan kepada pihak kepolisian atau kejaksaan negeri utnuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

e. Kerugian Negara yang ditimbulkan oleh peristiwa di luar kekuasaan manusia dapat dihapuskan dari perbendaharaan tanpa melalui proses Tuntutan Perbendaharaan atau Tuntutan Ganti Rugi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 dan 21 1956 (Lembaran Negara 35 dan 36 tahun 1965).

B. TATA CARA TUNTUTAN PERBENDAHARAAN

1. Pengungkapan Terjadinya Kekurangan Perbendaharaan

a. Laporan Bendahara;

b. Laporan Aparat Pengawasan Fungsional;

c. Laporan Aparat Pengawasan Melekat;

d. Laporan Tim Perhitungan Pertanggung jawaban Ex-Officio.

2. Pengungkapan Peristiwa kekurangan perbendaharaan tersebut diperlukan untuk memperoleh kepastian tentang :

a. Penyebab terjadinya kekurangan perbendaharaan;

b. Jumlah kekurangan perbendaharaan;

c. Para pihak yang diduga terlibat dalam peristiwa kekurangan perbendaharaan tersebut;

d. Informasi lainnya yang dianggap perlu.

3. Untuk mengungkapkan terjadinya kekurangan perbendaharaan yang informasinya diperoleh dari Bendahara, Atasan Langsung Bendahara perlu melakukan tindakan pengamanan sebagai berikut :

a. Apabila bendahara berada di tempat

1) Melakukan peemriksaan kas untuk mengetahui keadaan saldo kas.Apabila keadaan saldo kas (tunai ditambah saldo bank) lebih kecil dari saldo buku berarti terjadi kekurangan perbendaharaan

2) Hasil pemeriksaan kas dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Kas dan Register Penutupan Kas yang menunjukkan jumlah penerimaan dan pengeluaran serta saldo kas yang dikelola bendahara.

b. Apabila Bendahara tidak berada ditempat (karena sebab-sebab tertentu misalnya melarikan diri, meninggal dunia, sakit berat, dibawah pengampuan) :

1) Melakukan pengamanan bukti kas dengan memberikan garis penutup pada semua buku kas kemudian dimasukkan kedalam lemari dan disegel. Demikian pula brandkas/ peti penyimpanan uang disegel. Tindakan pengemanan dan penyegelan tersebut dituangkan dalam Berita Acara Penyegelan.

2) Memberitahukan kepada ahli waris Bendahara tentang pegnamanan yang telah dilakukan dan waktu yang akan dilakukannya pembukaan segel dan perhitungan uang kas

3) Melakukan pembukaan segel dan menghitung uang kas dengan disaksikan oleh ahli warisnya. Pembukaan segel dan perhitungan uang kas dituangkan ke dalam Berita Acara Pembukaan Segel dan Berita Acara Pemerikasaan Kas. Berita Acara ini ditandatangani pula oleh ahli waris.

4) Apabila pemeriksaan kas menunjukkan saldo kas kurang berarti terjadi kekurangan perbendaharaan dan hal ini harus diketahui oleh ahli warisnya.

4. Tindakan Pendahuluan

a. Untuk menjamin kepentingan Negara maka upaya yang pertama kali yang perlu dilakukan oleh Atasan Langsung Bendahara adalah meminta kepada Bendahara atau ahli warisnya untuk mengganti kekurangan perbendaharaan tersebut secara tunai.

b. Apabila tidak diperoleh penyelesaian, Atasan Langsung segera melaporkan kepada Menteri untuk memperoleh penangangan lebih lanjut.

c. Berdasarkan laporan tersebut Menteri akan membentuk Tim Pemeriksa/ Tim Perhitungan Ex-Officio untuk mengetahui secara pasti besarnya kerugian Negara dan mereka yang bertanggung jawab.

5. Penyelesaian Secara Damai

a. Setelah diketahuinya jumlah kekurangan perbendaharaan secara pasti, upaya yang pertama kali dilakukan Aparata Pengawasan adalah

melakukan upaya penyelesaian damai tanpa melalui proses tuntutan perbendaharaan. Penyelesaian damai dilakukan dengan menandatangani Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) dengan disertai jaminan (agunan) yang setara.

b. Dalam hal upaya penyelesaian damai tidak berhasil maka Menteri akan minta pertimbangan BPK-RI tentang perlu tidaknya yang bersangkutan dikenakan Tuntutan Perbendaharaan. Pertimbangan ini sifatnya tidak mengikat.

6. Proses Tuntutan Perbendaharaan

a. Tanpa atau/ dengan pertimbangan BPK-RI Menteri akan menyerahkan semua berkas mengenai kekurangan perbendaharaan tersebut kepada BPK-RI untuk diproses. Sejak penyampaian berkas peristiwa terhadap proses Tuntutan Perbendaharaan dimulai.

b. Bersamaan dengan itu Menteri mengeluarkan Keputusan tentang penggantian sementara dan tindakan lainnya untuk menjamin kepentingan Negara antara lain melalui pemotongan gaji dan penghasilan lainnya dan jika perlu dilakukan sita jaminan atas kekayaan yang bersangkutan.

c. Disamping itu dilakukan pula upaya pembetulan secara admininstrasi melalui peniadaan selisih saldo kas dan saldo buku. Pembetulan buku ini dilakukan dengan penerbitan SP2D Nihil ini.

d. BPK-RI menyampaiakn “surat persilaan” kepada Bendaha yang berisi pemintaan pertanggung jawaban atas kekurangan perbendaharaan seperti dilaporkan oleh Menteri dan memberi waktu 14 hari seterimanya surat persilaan tersebut untuk mengajukan keberatan/pembelaan. Dalam pembelaan ini Bendahara tidak boleh didampingi pembela/pengacara karena proses Tuntutan Perbendaharaan dilakukan secara tertulis dengan perantaraan Menteri.

e. Bendahara harus membuktikan dirinya tidak bersalah dalam peristiwa kekurangan perbendaharaan tersebut. Berdasarkan hal tersebut BPK (Majelis Tingkat I) akan mengeluarkan Surat Keputusan Pembebanan Bendahara dapat mengajukan banding kepada BPK (Majelis Tingakt II).

f. BPK-RI (Majelis TIngkat II) dapat menerima atau menolak upaya banding Bendahara. Penerimaan upaya banding Bendahara baik seluruhnya atau sebagian akan berarti bahwa keberatan Bendahara diterima dan keputusan sebelumnya akan dikoreksi baik sebagian atau seluruhnya khususnya yang menyangkut pembebanan untuk

mengganti. Penolakan upaya banding berarti pengukuhan atas keputusan Majelis Tingkat I.

g. Keputusan Majelis Tingkat II bersifat final artinya keputusan tersebut mempunyai kekuatan eksekotorial (untuk dilaksanakan) sama seperti keputusan Pengadilan Negeri. Pelaksanaan keputusan tersebut diserahkan kepada Menteri.

7. Beban Pembuktian

Beban pembuktian bersalah/tidaknya Bendahara terletak pada bendahara sendiri. Dlalam peristiwa kekurangan perbendaharaan a-priori bersalah kecuali dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.

8. Keputusan BPK-RI

Di dalam pengambilan keputusan BPK dapat mempertimbangkan 3 (tiga) pilihan :

a. Bendahara dinyatakan tidak bersalah dengan demikian tanggung jawab kekurangan perbendaharaan diambil alih Negara.

b. Bendahara dinyatakan sepenuhnya bersalah, sehingga seluruh kekurangan perbendaharaan menjadi tanggung jawab bendahara untuk mengganti.

c. Bendahara dinyatakan tidak sepenuhanya bersalah, sehigga tanggung jawab kekurangan perbendaharaan sebagian menjadi tanggung jawab bendahara untuk mengganti dan sebagian lainnya menjadi tanggung jawab mereka yang dinyatakan ikut bertanggung jawab dalam peristiwa tersebut (tanggung jawab renteng).

9. Penyelesaian Administratif

a. Terjadinya kekurangan perbendaharaan akan mengakibatkan saldo kas kurang pada pembukuannya. Hal ini harus diperbaiki agar bedahara yang akan menggantikannya tidak mewarisi pembukuan yang belum beres. Untuk itu perlu diupayakan penyelesaian secara administrasi melalui peniadaan selisih kas dengan saldo buku.

b. Untuk keperluan tersebut Menteri akan meminta ijin Menteri Keuangan untuk meniadakan selisih kas tersebut secara administratif dan pembukuan dan sekaligus diminta agar diterbitkan SKO sebesar kekurangan perbendaharaan yang akan dijadikan dasar untuk mengajukan penerbitan SPM/ SP2D Nihil ke KPPN setempat

c. Dengan surat ijin Menteri Keuangan tersebut di atas Menteri akan menerbitkan keputusan peniadaan selisih kas dengan saldo buku dan selanjutnya memberikan kuasa kepada KPPN untuk menerbitkan SPM/SP2D Nihil.

d. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri dan SKO dari Menteri Keuangan KPPN akan menerbitkan SP2D Nihil. Dengan SP2D Nihil inilah selisih kas dengan saldo buku secara administratif dihapus dari pembukuan, namun secara materiil tetap akan ditagih terus kepada bendahara atau ahli warisnya sampai lewat waktu 30 tahun.

10.Penyelesaian Secara Material

a. Penyelesaian kerugian Negara secara materiil dilakukan sebagai berikut :

1. Apabila yang bersangkutan masih berstatus pegawai negeri :

a) Dilakukan pemotongan gaji dan penghasilan lainnya, dan atau

b) Penjualan kekayaannya (barnag bergerak/ barang tidak bergerak).

2. Apabila yang bersangkutan sudah tidak berstatus pegawai negeri atau telah meninggal dunia upaya penagihan dilakukan melalui :

a) Tuntutan Perdata kepada yang bersangkutan di Pengadilan Negeri;

b) Tuntutan kepada ahli warisnya.

b. Dalam hal tuntutan diajukan kepada ahli warisnya, maka ahli waris mempunyai 3 (tiga) pilihan :

1) Bertanggung jawab sepenuhnya tanpa syarat

2) Bertanggung jawab hanya sebata harta warisan (menerima warisan dengan syarat)

3) Tidak bertanggung jawab atas kekurangan perbendaharaan (menolak warisan)

Pernyataan menerima atau menolak warisan ini harus dikukuhkan dengan penetapan Hakim Pengadilan Negeri.

c. Kekurangan perbendaharaan yang tidak dapat dilunasi oleh yang bersangkutan atau ahli warisnya yang disebabkan ketidak mampuan ekonominya dapat diambil alih oleh Negara asalkan ada surat keterangan tidak mampu yang dikeluarkan oleh Pamong Praja setempat. Pengambil alihan ini harus dituangkan dalam surat keputusan Menteri bahwa kerugian tersebut menjadi beban Negara.

11. Kadaluarsa

a. Hak negara untuk menuntuk ganti rugi kepada Bendahara akan kadaluwarsa setelah lewat 30 tahun (pasal 1967 KUH Perdata).

b. Batas tanggung jawab ahli waris atas kerugian negara adalah :

1) 3 (tiga) tahun telah lewat sejak Bendahara meninggal dunia, melarikan diri dibawah pengampunan dan kepada ahli warisnya tidak diberitahukan adanya perhitungan yang dibuat secara ex-officio.

2) 3 (tiga) tahun sejak batas waktu untuk mengajukan pembelian telah lewat dan BPK tidak mengambil keputusan.

12. Kekurangan Perbendaharaan yang Terjadi di Luar Kesalahan Bendahara.

Bendahara dapat dihapus dari tanggung jawab Perbendaharaan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 dan 21 tahun 1956 Lembaran Negara Nomor 35 dan 36 tahun 1956 tanggal 8 September 1956 tanpa melalui proses Tuntutan Perbendaharaan.

13. Unsur Pidana

Kekurangan perbendaharaan yang timbul akibat adanya unsur tindak pidana, wajib dilaporkan kepada aparat Kepolisian dan atau Kejaksaan Negeri untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

Keputusan Pengadilan Negeri yang menghukum atau membebaskan Bendahara dari Tuntutan Pidana tidak menghapuskan keputusan BPK yang menghukum yang bersangkutan untuk mengganti kerugian negara bersangkutan.

C. PERHITUNGAN PERTANGGUNGJAWABAN EX-OFFICIO

1. Perhitungan Ex-Officio adalah perhintungan pertangung jawaban yang dilakukan oleh pejabat/tim yang secara jabatan (ex-officio) diangkat oleh

Menteri untuk melakukan perhitungan pertanggung jawaban Bendahara da/atau Kepala Kantor/Satuan Kerja yang karena sesutu hal tidak dapat/lalai membuat pertanggungjawaban.

2. Perhitungan ex-officio dilakukan karena Bendahara dan atau Kepala Kantor/Satuan Kerja :

a. Lalai tidak membuat perhitungan pertanggung jawaban;

b. Merlarikan diri;

c. Diletakkan dibawah pengampuman/perwalian;

d. Menderita sakit berat yang diperkirakan berlagnsung cukup lama;

e. Meninggal dunia.

3. Apabila Bendahara dan atau Kepala Kantor/Satuan Kerja mengalami keadaan seperti butir a. Maka tindakan pendahuluan yang perlu dilakukan oleh Pejabat/Tim Ex-officio adalah sebagai berikut :

a. Apabila pejabat tersebut di atas berada di tempat

Dilakukan pemeriksaan kas dan atau segala sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya. Dari pemeriksaan kas tersebut akan dapat diketahui apakah terjadi kekurangan perbendaharaan atau kerugian negara.

b. Apabila pejabat tersebut di atas tidak dapat hadir di tempat

Dilakukan pengamanan atas buku-buku kas, tempat penyimpanan uang, bukti penerimaan/pengeluaran negara dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kekayaan negara baik uang ataupun barang menurut :1) Untuk Bendahra, menurut tata cara tersebut pada butir 3.a.2) Untuk Kepala Kantor/Satuan Kerja selain dilakukan

pemeriksaan keuangan (kas dan administrasi keuangan) juga dilakukan pemeriksaan fisik yang menjadi tanggung jawabnya.

4. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut butir 3.b Pejabat/Tim Ex-Officio akan menyusun Laporan Hasil Pemeriksaan yang akan dilampirkan pada Perhitungan Pertanggungjawaban dari kedua pejabat tersebut berupa SPP-GUP dan /atau LKKA.

Selembar dari LHP dan Laporan Pertanggung Jawaban pejabat tersebut disampaikan kepada ahli warisnya, sebagai batas tanggung jawab pewaris/ahli waris.

5. Ahli waris dapat mengajukan surat keberatan kepada BPK atas laporan pertanggungjawaban yang disusun oleh Pejabat/Tim Ex-Officio.

6. Proses penyelesaian kekurangan perbendaharaan selanjutnya dilakukan menurut tata cara Tuntutan Perbendaharaan biasa.

D. TATA CARA TUNTUTAN GANTI RUGI

1. Laporan Kerugian Negara

Selambat-lambtnya 1 (satu) minggu setelah diketahuinya kerugian negara, Atasan Langsung Pegawai yang bersangkutan melaporkan kepada Menteri. Laporan Kepada menteri berisi riwayat terjadinya peristiwa kerugian negara dilampiri dengan daftar pertanyaan yang telah diisi jawabannya serta surat-surat lainnya yang dianggap perlu yang berkaitan dengan peristiwa kerugian negara tersebut.

2. Laporan peristiwa terjadinya kerugian negara tersebut sekurang-kurangnya berisi data mengenai :

a. Pelaku atau yang bertanggung jawab atas kerugian negara;

b. Penyebab timbulnya kerugian negara;

c. Besarnya kerugian negara;

d. Kekayaan negara yang dirugikan;

e. Terdapatnya pihak lain yang diuntungkan/dirugikan dalam peristiwa kerugian negara tersebut;

f. Informasi lain yang diperlukan yang berkaitan dengan peristiwa tersebut.

3. Menetapkan besarnya Kerugian Negara

Untuk menetapkan besarnya kerugian negara yang menjadi beban si pelaku atau penanggung jawab perlu dipedomani Surat Perdana Menteri tanggal 13 April 1953 nomor 8487/56 (SE.No.3/RI/1956) yang intinya :

a. Nilai penggantian tidak lebih besar dan tidak boleh kurang dari harga yang sesungguhnya pada waktu barang tersebut hilang.

b. Nilai penggantian adalah sebesar harga baru barang tersebut pada waktu hilang dikurangi jumlah penyusutan selama barang dipakai atau harga taksiran pada waktu barang tersebut hilang.

4. Beban Pembuktian

a. Beban pembuktian bersalah tidaknya pegawai negeri di dalam peristiwa kerugian negara berada pada Menteri yang Bagian Anggarannya dirugikan.

b. Untuk dapat melakukan Tuntutan Ganti Rugi kepada yang bersangkutan Menteri harus membuktikan :1) Besarnya kesalahan/kelalaian pegawai yang akan dituntut;

2) Besanya jumlah kerugaian negara;

3) Hubungan sebab akibat antara kerugian negara dengan perbuatan melanggar hukum tersebut;

4) Pihak-pihak yang ikut bertanggung jawab atas kerugian negara tersebut.

5. Proses Tuntutan Ganti Rugi

a. Proses Tuntutan Ganti Rudi dimulai dengan gugatan dari Menteri kepada si pelaku/penanggung jawab kerugian negara berupa pemberitahuan secara tertulis bahwa pegawai negeri tersebut atau ahli warisnya akan dituntut dengan mengemukakan hal-hal sebagai berikut :

1) Jumlah kerugian negara yang harus diganti;

2) Alasan dilakukannya penuntutan;

3) Jangka waktu yang harus dimanfaatkan untuk mengajukan pembelaan diri.

b. Di dalam menanggapi surat gugatan Menteri tersebut di atas, yang bersangkutan dapat mengambil sikap sebagai berikut :

1) Menyatakan bersedia mengganti kerugian negara secara tunai atau dengan menyicil. Pernyataan kesediaan mengganti secara menyicil harus dituangkan kedalam Surat

Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) dengan disertai agunan yang nilainya setara dengan kerugian negara.

2) Mengajukan keberatan atas gugatan Menteri dan pembebasan ganti ruginya.

3) Tidak memberikan jawaban yang berari setuju dengan gugatan Menteri.

c. Dengan mempertimbangkan besar kecilnya kesalahan serta memperhatikan pembelaan yang bersangkutan menteri menetapkan keputusan yang berisi :

1) Dinyatakan bersalah/lalai dan dibebani ganti rugi;

2) Dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari kewajian untuk mengganti. Dalam hal ini kerugian negara dibebankan pada negara.

d. Keputusan Menteri tersebut di atas dapat dimintakan banding kepada Presiden dalam jangka waktu 30 hari sejak ditermanya keputusan Menteri tersebut oleh yang bersangkutan.

e. Apabila setelah 30 hari yang bersangkutan tidak mengajukan banding maka keputusan Menteri tersebut mempunyai kekuatan hukum pasti dan dapat dilaksanakan.

6. Pelaksanaan Keputusan

a. Pelaksanaan keputusan pembebanan ganti rugi dilakukan melalui pemotongan gaji/penghasilan lain dari yang bersangkutan atau dengan cara lain asal menjamin kepentingan negara.

b. Kerugian negara dalam bentuk hilangnya/musnahnya barang Inventaris Kekayaan Milik Negara (IKMN) tidak dapat diganti secara natura melainkan dengan uang menurut tata cara tersebut pada butir 3.

7. Kadaluarsa

a. Dalam proses Tuntutan ganti rugi berlaku 2 (dua) macam kadaluarsa yaitu :

1) 8 (delapan) tahun setelah terjadinya kerugian negara dihitung mulai tanggal 31 Desember tahun timbulnya kerugian negara.

2) 5 (lima) tahun setelah diketahuinya kerugian negara dihitung dari tanggal 31 Desember tahun diketahuinya kerugian negara.

Di dalam menetapkan waktu kadaluarsa selalu ditetapkan waktu kadaluwarsa yang terpendek demi kepentingan pegawai negeri yang dikenakan proses Tuntutan Ganti Rugi.

b. Apabila pegawai negeri yang merugikan negara meninggal dunia dalam jabatannya maka tanggung jawab untuk mengganti kerugia beralaih kepada ahli warisnya.

E. PROSES PENYELESAIAN SECARA HUKUM PERDATA

1). Kerugian negara akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga diupayakan segera untuk ditarik dari yang bersangkutan.

2) Upaya untuk menarik kembali kerugian negara tersebut pertama kali dilakukan di luar pengadilan melalui penyelesaian secara damai/sukarela baik secara tunai atau menyicil menurut kesepakatan yang telah dicapai.

3) Apabila upaya penyelesaian secara damai tidak berhasil maka penyelesaian dilakukan melalui proses hukum secara perdata dimana menteri akan melakukan gugatan perdata kepada yang bersangkutan melalui Pengadilan Negeri. Apabila diperlukan dan untuk menjamin kepentingan negara menteri dapat mengajukan permohonan untuk meminta sita jaminan atas kekayaan bersangkutan baik bergerak maupun tidak bergerak. Penanganan proses gugatan perdata ini ditingkat Departemen dilakukan oleh Biro Hukum.

4) Pengadilan Perdata akan mengadili pokok perkara dengan terlebih dahulu menawarkan penyelesaian secara damai diantara pihak yang berpekara.

5) Pengadilan Perdata akan mengadili pokok perkara berdasarkan fakta yang diajukan oleh kedua belah pihak, apabila upaya penyelesaian damai tidak dapt dilakukan. Pengadilan perdata akan memutuskan pokok perkara dan keputusan baru akan dapat dilaksanakan apabila telah mempunyai kekuatan hukum pasti (di tingkat pertama, banding atau kasasi).

6) Pelaksanaan keputusan Pengadilan Perdata yang sudah mempunyai kekuatan pasti akan dilaksanakan oleh Pengadilan dengan cara

melelang kekayaan yang bersangkutan khususnya yang dijadikan sita jamin. Hasil lelang akan disetor ke Kas Negara untuk melunasi hutangnya.

7) Apabila upaya damai dan atau keputusan Pengadilan Perdata tidak juga dapat dilaksanakan dan telah dinyatakan macet maka penyelesaian selanjutnya diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) melalui Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) dengan disertai data/dokumen yang diperlukan. Dalam penyerahan pengurusan piutang negara tersebut harus ada barang jaminan yang akan dapat dieksekusi apabila yang bersangkutan tidak melunasi utangnya.

F. TINDAK LANJUT KERUGIAN NEGARA

1. Bidang Kepegawaian

a. Sanksi untuk Bendahara

Bendahara yang melakukan perbuatan melanggar hokum sehingga mengakibatkan kekurangn perbendaharaan sebelum memperoleh keputusan pasti perlu dilakukan tindakan sementara berupa pembebasan dari jabatannya sebagai Bendahara.

b. Sanksi Untuk Pegawai Negeri

Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perbuatan tercela, baik kejahatan mengakibatkan kerugian negara dapat dikenakan sanksi berupa tindakan administrative sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 1985 tentang Disiplin Pegawai Negeri.

c. Rehabilitas

Keputusan Instansi yang berwenang yang membebaskan yang bersangkutan dari tuduhan melakukan kesalahan harus diikuti dengan keputusan pejabat yang berwenang yang merehabilitasi nama baik yang bersangkutan dan mengembalikannya ke dalam status tidak bersalah.

d. Pembebasan dari Tanggung Jawab

Kerugian negara yang timbul di luar kesalahan Bendahara atau Pegawai Negeri harus dihapus dari perhitungan dan atau tanggungjawab Bendahara atau Pegawai Negeri berdasarkan peraturan yang berlaku :

1) Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 20 dan 21 tahun 1956 (Lembaran Negara nomor 35 dan 36 tahun 1956) yang mengatur bahwa kekurangan perbendaharaan yang terjadi di luar kesalahan Bendahara dapat dihapuskan dari perhitungakan Bendahara tanpa melalui proses Tuntutan Perbendaharaan.

2) Berdasarkan Regeling Materiil Beheer (MB) Stbl. 1866 nomor 151 berikut peraturan pelaksanaannya mengenai penghapusan karena susut, musnah, rusak, busuk dan sebagainya yang terjadi karena faktor alam.