daftar pustaka

38
BAB I PENDAHULUAN Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penelitian restropektif di RSUP Persahabatan Jakarta tahun 1997- 1999 ditemukan kasus demam tifoid yang terbukti dari kultur darah, rata-rata dalam 1 bulan sebesar 5-18 kasus. (Iskandar, 2000) Morbiditas dan mortalitas penyakit ini masih cukup tinggi dan terjadi perluasan dari daerah endemik ke daerah non-endemik. Penyakit ini juga banyak menimbulkan masalah terutama pada kelompok dewasa muda, karena tidak jarang disertai komplikasi dan dapat berakhir dengan kematian. Dari laporan penelitian yang dilakukan RSUP Persahabatan Jakarta, ditemukan usia penderita demam tifoid berkisar 12-74 tahun, dengan usia rata-rata 14-35 tahun. (Iskandar, 2000) Diagnosis dini demam tifoid sangat bermanfaat agar dapat diberikan pengobatan yang tepat dan dapat dihindari terjadinya komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini penyakit ini. Walaupun demikian pada kasus-kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis. Pada keadaan demikian peranan labolatorium dalam diagnosis menjadi sangat penting. (Iskandar, 2000) 1

description

daftar pustaka

Transcript of daftar pustaka

Page 1: daftar pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia Penelitian restropektif di

RSUP Persahabatan Jakarta tahun 1997-1999 ditemukan kasus demam tifoid yang terbukti dari

kultur darah rata-rata dalam 1 bulan sebesar 5-18 kasus (Iskandar 2000)

Morbiditas dan mortalitas penyakit ini masih cukup tinggi dan terjadi perluasan dari

daerah endemik ke daerah non-endemik Penyakit ini juga banyak menimbulkan masalah

terutama pada kelompok dewasa muda karena tidak jarang disertai komplikasi dan dapat

berakhir dengan kematian Dari laporan penelitian yang dilakukan RSUP Persahabatan Jakarta

ditemukan usia penderita demam tifoid berkisar 12-74 tahun dengan usia rata-rata 14-35 tahun

(Iskandar 2000)

Diagnosis dini demam tifoid sangat bermanfaat agar dapat diberikan pengobatan yang

tepat dan dapat dihindari terjadinya komplikasi Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat

penting untuk membantu mendeteksi secara dini penyakit ini Walaupun demikian pada kasus-

kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis Pada

keadaan demikian peranan labolatorium dalam diagnosis menjadi sangat penting (Iskandar

2000)

1

BAB II

DEMAM TIFOID

Definisi

Demam tifoid merupakan penyakit akut yang sering disebabkan bakteri Salmonella typhi

Demam tifoid dapat disebabkan juga oleh Salmonella paratyphi akan tetapi gejalanya kurang

berat dibandingkan dengan infeksi bakteri S typhi (Badrijah 2009)

Etiologi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi

B dan S paratyphi C ( Aulia 2010) Demam tifoid merupakan penyakit endemis di beberapa

Negara berkembang dimana sanitasi lingkungan kurang dijaga dengan baik (Badrijah 2009)

Epidemiologi

Di seluruh dunia setiap tahun terdapat 13 juta orang menderita demam tifoid dengan

lebih dari 500 ribu orang mengalami keadaan kritis Insiden demam tifoid di amerika menurun

tajam sejak awal tahun 1900 an Saat ini kira-kira ada 400 kasus tifoid dilaporkan di amerika

serikat terutama menyerang orang-orang yang telah bepergian ke tempat-tempat endemis Hal

ini terjadi karena adanya perbaikan sanitasi di Amerika Serikat Amerika selatan Mexico

Pakistan Mesir merupakan daerah endemis bagi demam tifoid ( Balentine 2011)

Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik tetapi lebih sering bersifat

sporadik terpencar-pencar disuatu daerah dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada

orang-orang serumah Sumber penularannya biasanya tidak dapat ditemukan ( Aulia 2010)

Sementara ada pendapat yang mengatakan bahwa demam tifoid merupakan penyakit

endemik di Indonesia Penyakit ini termasuk penyakit menular dan mewabah sejak tahun

Laporan dari Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular Penyehatan Lingkungan

Pemukiman Departemen Kesehatan (Ditjen P2MLP Depkes) dari survey berbagai rumah sakit di

Indonesia dari tahun 1981 sampai 1986 memperlihatkan jumlah penderita sekitar 358 yaitu

19596 menjadi 26606 kasus Data dari Sub Direktorat Surveilans Depertemen Kesehatan

frekuensi demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 1991 1992 1993 1994 berturut-turut 92

134 158 174 154 per 10000 penduduk (Budi 2000)

2

Data dari rumah sakit di Jakarta menunjukan proporsi penderita demam tifoid yang

dirawat di rumah sakit meningkat dari 114-189 (tahun 1983-1990) menjadi 22-365 (1991-

1996) Laporan kejadian demam tifoid dari rumah sakit pusat kesehatan juga meningkat dari 92

kasus (1994) menjadi 125 kasus per 100000 orang per tahun (1996) (Budi 2000)

Pada tahun 1986 case fatality rate (CRF) demam tifoid menurut laporan Ditjen P2MPLP

Depkes tahun 1996 sebesar 108 dari seluruh kematian di Indonesia Namun demikian

berdasarkan hasil survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes

RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi

(Budi 2000)

Transmisi

Ada dua sumber penularan S typhi pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering

karier Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 bakteri pergram tinja (Aulia 2010)

Bakteri yang menyebabkan demam tifoid terdapat pada air atau makanan yang terkontaminasi

melalui kontak langsung dengan orang yang sudah terinkeksi tifoid Pada negara berkembang

daerah endemis demam tifoid sebagian kasus tifoid disebabkan oleh sanitasi yang buruk dan air

minum yang terkontaminasi Sementara sebagian besar penderita di Negara industri menderita

tifoid setelah bepergian ke daaerah endemis Hal ini berarti S typhi terdapat pada feces dan urine

penderita Seseorang dapat terinfeksi jika mengkonsumsi makanan yang disentuh oleh tangan

penderita demam tifoid yang tidak mencuci tangan dengan bersih setelah ke toilet Seseorang

juga dapat terinfeksi setelah minum air minum yang sudah terkontaminasi bakteri Styphi (

Balentine 2011)

Bakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita Penyebaran bakteri ke

dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat pencucian tangan yang kurang bersih setelah

buang air besar maupun setelah berkemih Dengan kata lain penyebarannya melalui fecal-oral

Lalat juga bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan (Badrijah et al

2009)

Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa masuk ke dalam

peredaran darah Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan pada usus halus dan usus besar

Pada kasus yang berat yang bisa berakibat fatal jaringan yang terkena bisa mengalami

perdarahan dan perforasi (perlubangan) Sekitar 3 penderita yang terinfeksi oleh Salmonella

3

typhi dan belum mendapatkan pengobatan di dalam tinjanya akan ditemukan bakteri ini selama

lebih dari 1 tahun Beberapa dari pembawa bakteri ini tidak menunjukkan gejala-gejala dari

demam tifoid Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun kejadian

meningkat setelah umur 5 tahun Pada minggu pertama sakit demam tifoid sangat sukar

dibedakan dengan penyakit demam lainnya Untuk memastikan diagnosis diperlukan

pemeriksaan biakan bakteri untuk konfirmasi (Badrijah 2009)

Patofisiologi

Masuknya bakteri Salmonella Typhi dan Salmonella Parathypi ke dalam tubuh manusia

terjadi melalui makanan yang terkontaminasi bakteri Sebagian bakteri dimusnahkan di dalam

lambung oleh asam lambung dan sebagian lainnya lolos ke usus halus kemudian akan

berkembang biak (Sudoyo et al 2002)

Bila respon imunitas humoral mukosa usus yakni IgA kurang baik maka bakteri akan

menembus sel-sel epitel (sel M) dan selanjutnya ke lamina propia Di lamina propia bakteri

berkembang baik dan di fagosit oleh makrofag Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di

dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal kemudian ke kelenjar

getah bening mesenterika Selanjutnya melalui duktus torakikus bakteri yang terdapat dalam

makrofag ini akan masuk ke srkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang

asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ di RES terutama hati dan limpa Di organ-organ

ini bakteri meninggalkan sel-sel fagosit kemudian berkembang biak di luar sel atau di ruang

sinusoid dan selanjutnya masuk kembali ke sirkulasi darah dan menyebabkan bakterimia kedua

disertai tanda-tanda penyakit infeksi (Sudoyo et al 2002)

4

Gambar 1 Patofisiologi Demam Tifoid diambil dari Christoper 2002

Di dalam hati bakteri masuk ke dalam kantung empedu Bakteri kemudian berkembang

biak dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus

Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses sementara sebagian lainnya masuk kedalam sirkulasi

setelah menembus usus Proses yang sama terulang lagi berhubung makrofag sudah teraktivasi

sebelumnya maka saat fagositosis bakteri salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator

inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sitemik seperti demam

malaise mialgia sakit kepala gangguan gastrointestinal instabilitas vaskuler gangguan mental

dna koagulasi (Sudoyo et al 2002)

Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan hyperplasia jaringan (S thypi

intra makrofag menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak

peyeri uyang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel mononuclear di dinding

usus Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskular

pernapasan dan gangguan organ lainnya (Sudoyo et al 2002)

5

Perjalanan Penyakit dan Manifestasi Klinis

1 Masa inkubasi Masa inkubasi berlangsung 7-21 hari walaupun pada umumnya adalah

10-12 hari Gejala awal yang biasa terjadi adalah (Rahman 2010)

- Anoreksia

- Malaise

- Cephalgia

- Myalgia

- Tiphoid Tongue

- Gangguan gastroinstestinal (diare konstipasi kembung)

2 Minggu pertama Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari gejala infeksi sama seperti

penyakit infeksi akut lainnya seperti demam tinggi berkepanjangan 39 derajat sampai 40

derajat sakit kepala pusing pegal-pegal anoreksia mual muntah batuk dengan nadi

antara 80-100 kali per menit denyut lemah pernapasan makin cepat perut kembung dan

merasa tidak nyaman diare dan konstipasi Rose Spot umumnya muncul di hari ke tujuh

dan hanya terdapat di dada tidak merata bercak-bercak ini berlangsung 3-5 hari

kemudian hilang dengan sempurna Roseola terjadi terutama pada penderita golongan

kulit putih yaitu berupa macula merah tua ukuran 2-4 mm berkelompok timbul paling

sering pada kulit perut lengan atas atau dada bagian bawah kelihatan memucat bila

ditekan Pada infeksi yang berat purpura kulit yang difus dapat dijumpai Limpa menjadi

teraba dan abdomen mengalami distensi (Rahman 2010)

3 Minggu ke-2 Jika pada minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap

hari yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam

hari Karena itu pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan

tinggi (demam) Suhu badan yang tinggi dengan penurunan sedikit pada pagi hari

berlangsung Terjadi bradikardia relatif nadi penderita Yang semestinya nadi meningkat

bersama dengan peningkatan suhu saat ini relative nadi lebih lambat dibandingkan

peningkatan suhu tubuh Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan

penderita yang mengalami delirium Gangguan pendengaran umumnya terjadi Lidah

tampak keringmerah mengkilat Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun

sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi

perdarahan Pembesaran hati dan limpa Perut kembung dan sering berbunyi Gangguan

6

kesadaran Mengantuk terus menerus mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain

(Rahman 2010)

4 Minggu ke-3 Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu

Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati Bila keadaan membaik gejala-

gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat

ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat lepasnya kerak

dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin memburuk dimana toksemia memberat

dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorismus dan timpani masih terjadi juga

tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut Penderita kemudian

mengalami kolaps Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal

maupun umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan

keringat dingin gelisah sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya

member gambaran adanya perdarahan dan merupakan penyebab umum dari terjadinya

kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Rahman 2010)

5 Minggu ke-4 Merupakan stadium penyembuhan (Rahman 2010)

Diagnosis

Kriteria Mansoni 1987

- Demam lebih dari 7 hari

- Bradikardia relative

- Coated Tongue

- Hepatosplenomegali

- Roseola spot

- Aneosinofilia

- Gangguan GI tract konstipasi diare

Minimal 5 dari 7 kriteria diatas terpenuhi maka seorang penderita dapat di diagnosis demam

tifoid Selain itu berbagai pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis demam

tifoid meliputi (Maripaandi 2010)

7

1 Pemeriksaan Darah dan Kimia Klinik

- Menunjukkan leukopenia dan neutropenia pada 50 pasien

- Seringkali terdapat peningkatan SGOT dan SGPT

- Adanya aneosinofilia

2 Gall culture Kultur darah Uji ini merupakan baku emas (Gold Standard) untuk

pemeriksaan Demam tifoidparatifoid Kultur darah merupakan metode diagnostik

standar Menunjukkan hasil positif pada 60-80 pasien Sensitivitas kultur darah lebih

tinggi pada minggu pertama sakit atau dilakukan pengambilan setelah minggu

pertamaberkurang dengan penggunaan antibiotik dan meningkat dengan banyaknya

volume darah kultur serta rasio darah dan kaldu (Maripaandi et al 2010) Kultur

organisme penyebab tetap menjadi prosedur diagnostik yang paling efektif dalam

mendiagnosis dugaan demam tifoid Penelitian menunjukkan bahwa 10 suspensi

empedu sapi adalah media terbaik untuk kultur darah Media ini tidak hanya memiliki

keuntungan dengan menghambat pertumbuhan kontaminan kulit tetapi juga menghambat

pertumbuhan bakteri paling patogen dari aliran darah lain sehingga tidak dapat digunakan

sebagai tes diagnostik rutin untuk bakteremia (John 2008) Di banyak laboratorium

diagnostik media kultur darah atau sering disebut botol untuk media kultur darah

mungkin tidak tersedia Pemeriksaan langsung dari buffy coat telah digunakan untuk

deteksi bakteri dalam darah tetapi dilaporkan memiliki nilai yang kecil karena kesalahan

tergantung operator Kultur langsung dan sentrifugasi darah bagaimanapun telah sangat

sukses Kultur langsung dengan buffy coat yang sebelumnya terbukti mengandung

hampir semua S Typhi yang ditemukan dalam darah karena itu harus dipikirkan

kemungkinan isolasi S Typhi tanpa perlu menggunakan media kultur darah atau botol

(John et al 2008) Interpretasi hasil Bila positif maka diagnosis pasti untu penyakit

demam tifoid Sebaliknya bila hasil negatif belum tentu bukan demam tifoid karena

hasil biakan negatif palsu disebabkan beberapa faktor yaitu jumlah darah lt2ml darah

tidak segar atau dibiarkan membeku terlebih dahulu sebelum dikultur pasien saat diambil

darah sudah diberi terapi antibiotika atau pasien sudah mendapat vaksinasi Kekurangan

uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk

pertumbuhan bakteri yakni 7 hari (Christoper 2002)

8

3 Uji Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di

dalam darah) terhadap antigen bakteri Salmonella typhi Paratyphi (reagen) Antibodi

aglutinin yang dicari yaitu (Salih 2008)

o Aglutinin 0 (dari tubuh bakteri)

o Aglutinin H (flagela bakteri)

o Aglutinin Vi (simpai bakteri)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi bakteri ini

(Rao 2010) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering

diminta terutama di Negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia Sebagai uji

cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui Hasil positif palsu dapat disebabkan

oleh faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan

spesies lain (enterobacter) adanya faktor rheumatoid Hasil negatif palsu disebabkan

oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotik pengobatan dini dengan

antibiotik pemberian kortikosteroid waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu

dan teknik pemeriksaan labolatorium (Salih 2008) Saat ini belum ada kesamaan

pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic Batas titer yang sering

dipakai hanya kesepakatan saja berlaku setempat dan berbeda-beda di masing-masing

labolatorium Nilai cut off yang sering dipakai adalah titer O = 1160 titer H 1160

dengan peningkatan titer 4 kali setelah 2 kali pemeriksaan Pemeriksaan pertama di hari

ke-7 dan pemeriksaan berikutnya pada minggu ke-2 Aglutinin O akan bertahan 4-6 bulan

setelah sembuh sementara agglutinin H menetap 6-12 bulan Reaksi widal tunggal

agglutinin O 1320 atau agglutinin H 1640 dapat menyokong 12 (Iskandar 2000)

4 Kultur Sumsum Tulang Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif

dalam mengisolasi Styphi Menunjukkan hasil positif pada 80-85 pasien bahkan pada

pasien yang telah mendapat terapi antibiotik dalam beberapa hari (Agarwal 2004)

Isolasi S Typhi dari aspirasi sumsum tulang merupakan suatu prosedur yang sangat

invasif tetapi dianggap sebagai metode standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan

dilaporkan lebih sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar tetapi tidak

semua peneliti Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri dalam darah dan sumsum

tulang dan menemukan bahwa pada isolasi S Typhi dari sumsum tulang ditemukan

9

jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume

sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah

memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang

maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)

5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas

tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan

durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang

mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya

Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan

yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan

standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan

Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan

(John 2008)

6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah

dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)

Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering

terjadi (Christoper 2002)

7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari

sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe

typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada

penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid

menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen

tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan

titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas

tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays

(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi

dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal

TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)

(Brush 2010)

10

Terapi

1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid

yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari

daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan

yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan

antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda

untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis

mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali

lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa

komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan

teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang

lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi

Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)

2 Medika Mentosa

Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua

obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat

yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-

rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari

pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones

harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari

Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang

dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan

cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam

tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam

waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat

kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)

Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan

azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan

kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini

11

ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan

pilihan (Agarwal2004)

Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan

untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab

demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana

fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan

gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7

hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka

kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)

Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah

sebagai berikut (Suhendro 2000)

1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah

4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata

dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang

2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya

saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya

Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6

3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol

Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol

400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu

4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah

dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150

mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu

5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam

dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari

6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4

a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari

b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari

c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari

d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari

e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari

12

Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan

tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2

macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)

Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe

13

(diambil dari Agarwal 2004)

3 Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid

yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)

4 Demam tifoid pada wanita hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat

terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates

Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik

Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan

adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)

5 Perawatan Bedah

Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan

ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum

Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan

antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi

Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang

persisten (Duncan 2008)

6 Konsultasi

14

Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi

Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal

perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal

(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)

7 Diet

Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral

dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus

(Duncan 2008)

8 Aktivitas

Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan

demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien

harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan

2008)

Diferensial Diagnosis

Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya

Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara

lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)

1 malaria

2 abses dalam

3 tuberkulosis

4 abses hati amebic

5 ensefalitis

6 influenza

7 demam berdarah

8 leptospirosis

9 infeksi mononucleosis

10 endokarditis

11 brucellosis

15

12 tipus

13 visceral leishmaniasis

14 toksoplasmosis

15 penyakit lymphoproliferative

16 penyakit jaringan ikat

Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah

2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK

3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam

Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah

endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi

secara umum (Christoper 2002)

Komplikasi

Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada

pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)

Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid

Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric

Gastrointestinal

Haemorrhage

Gastrointestinal

perforation

Hepatitis

Cholecystitis

Asymptomatic ECG

change

Myocarditis

Shock

Encephalopathy

Delirium

Psychotic states

Meningitis

(diambil dari Duncan 2008)

Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid

16

Pernafasan Hematologi Lain-lain

Bronchitis

Pneumonia

(Salmonella Staph

aureus)

Anemia

DIC

Focal Abses

Pharingitis

Abortus

Relaps

Chronic karier

(diambil dari Duncan 2008)

Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada

penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi

juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan

2008)

Penderita Karier

Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada

10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama

seperti semula (Ferdinando2007)

Kronik karier

Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor

predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa

dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis

mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)

Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium

obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason

pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap

enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)

Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan

oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah

17

reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan

penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier

intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)

Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik

Carier tanpa batu

empedu

Terapi Dosis harian

(mgKg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

(diambil dari Hellena 2008)

Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien

demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada

beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)

Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk

menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan

kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap

masyarakat (Jhon 2010)

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)

- Sanitasi lingkungan

18

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 2: daftar pustaka

BAB II

DEMAM TIFOID

Definisi

Demam tifoid merupakan penyakit akut yang sering disebabkan bakteri Salmonella typhi

Demam tifoid dapat disebabkan juga oleh Salmonella paratyphi akan tetapi gejalanya kurang

berat dibandingkan dengan infeksi bakteri S typhi (Badrijah 2009)

Etiologi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi

B dan S paratyphi C ( Aulia 2010) Demam tifoid merupakan penyakit endemis di beberapa

Negara berkembang dimana sanitasi lingkungan kurang dijaga dengan baik (Badrijah 2009)

Epidemiologi

Di seluruh dunia setiap tahun terdapat 13 juta orang menderita demam tifoid dengan

lebih dari 500 ribu orang mengalami keadaan kritis Insiden demam tifoid di amerika menurun

tajam sejak awal tahun 1900 an Saat ini kira-kira ada 400 kasus tifoid dilaporkan di amerika

serikat terutama menyerang orang-orang yang telah bepergian ke tempat-tempat endemis Hal

ini terjadi karena adanya perbaikan sanitasi di Amerika Serikat Amerika selatan Mexico

Pakistan Mesir merupakan daerah endemis bagi demam tifoid ( Balentine 2011)

Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik tetapi lebih sering bersifat

sporadik terpencar-pencar disuatu daerah dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada

orang-orang serumah Sumber penularannya biasanya tidak dapat ditemukan ( Aulia 2010)

Sementara ada pendapat yang mengatakan bahwa demam tifoid merupakan penyakit

endemik di Indonesia Penyakit ini termasuk penyakit menular dan mewabah sejak tahun

Laporan dari Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular Penyehatan Lingkungan

Pemukiman Departemen Kesehatan (Ditjen P2MLP Depkes) dari survey berbagai rumah sakit di

Indonesia dari tahun 1981 sampai 1986 memperlihatkan jumlah penderita sekitar 358 yaitu

19596 menjadi 26606 kasus Data dari Sub Direktorat Surveilans Depertemen Kesehatan

frekuensi demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 1991 1992 1993 1994 berturut-turut 92

134 158 174 154 per 10000 penduduk (Budi 2000)

2

Data dari rumah sakit di Jakarta menunjukan proporsi penderita demam tifoid yang

dirawat di rumah sakit meningkat dari 114-189 (tahun 1983-1990) menjadi 22-365 (1991-

1996) Laporan kejadian demam tifoid dari rumah sakit pusat kesehatan juga meningkat dari 92

kasus (1994) menjadi 125 kasus per 100000 orang per tahun (1996) (Budi 2000)

Pada tahun 1986 case fatality rate (CRF) demam tifoid menurut laporan Ditjen P2MPLP

Depkes tahun 1996 sebesar 108 dari seluruh kematian di Indonesia Namun demikian

berdasarkan hasil survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes

RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi

(Budi 2000)

Transmisi

Ada dua sumber penularan S typhi pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering

karier Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 bakteri pergram tinja (Aulia 2010)

Bakteri yang menyebabkan demam tifoid terdapat pada air atau makanan yang terkontaminasi

melalui kontak langsung dengan orang yang sudah terinkeksi tifoid Pada negara berkembang

daerah endemis demam tifoid sebagian kasus tifoid disebabkan oleh sanitasi yang buruk dan air

minum yang terkontaminasi Sementara sebagian besar penderita di Negara industri menderita

tifoid setelah bepergian ke daaerah endemis Hal ini berarti S typhi terdapat pada feces dan urine

penderita Seseorang dapat terinfeksi jika mengkonsumsi makanan yang disentuh oleh tangan

penderita demam tifoid yang tidak mencuci tangan dengan bersih setelah ke toilet Seseorang

juga dapat terinfeksi setelah minum air minum yang sudah terkontaminasi bakteri Styphi (

Balentine 2011)

Bakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita Penyebaran bakteri ke

dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat pencucian tangan yang kurang bersih setelah

buang air besar maupun setelah berkemih Dengan kata lain penyebarannya melalui fecal-oral

Lalat juga bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan (Badrijah et al

2009)

Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa masuk ke dalam

peredaran darah Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan pada usus halus dan usus besar

Pada kasus yang berat yang bisa berakibat fatal jaringan yang terkena bisa mengalami

perdarahan dan perforasi (perlubangan) Sekitar 3 penderita yang terinfeksi oleh Salmonella

3

typhi dan belum mendapatkan pengobatan di dalam tinjanya akan ditemukan bakteri ini selama

lebih dari 1 tahun Beberapa dari pembawa bakteri ini tidak menunjukkan gejala-gejala dari

demam tifoid Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun kejadian

meningkat setelah umur 5 tahun Pada minggu pertama sakit demam tifoid sangat sukar

dibedakan dengan penyakit demam lainnya Untuk memastikan diagnosis diperlukan

pemeriksaan biakan bakteri untuk konfirmasi (Badrijah 2009)

Patofisiologi

Masuknya bakteri Salmonella Typhi dan Salmonella Parathypi ke dalam tubuh manusia

terjadi melalui makanan yang terkontaminasi bakteri Sebagian bakteri dimusnahkan di dalam

lambung oleh asam lambung dan sebagian lainnya lolos ke usus halus kemudian akan

berkembang biak (Sudoyo et al 2002)

Bila respon imunitas humoral mukosa usus yakni IgA kurang baik maka bakteri akan

menembus sel-sel epitel (sel M) dan selanjutnya ke lamina propia Di lamina propia bakteri

berkembang baik dan di fagosit oleh makrofag Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di

dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal kemudian ke kelenjar

getah bening mesenterika Selanjutnya melalui duktus torakikus bakteri yang terdapat dalam

makrofag ini akan masuk ke srkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang

asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ di RES terutama hati dan limpa Di organ-organ

ini bakteri meninggalkan sel-sel fagosit kemudian berkembang biak di luar sel atau di ruang

sinusoid dan selanjutnya masuk kembali ke sirkulasi darah dan menyebabkan bakterimia kedua

disertai tanda-tanda penyakit infeksi (Sudoyo et al 2002)

4

Gambar 1 Patofisiologi Demam Tifoid diambil dari Christoper 2002

Di dalam hati bakteri masuk ke dalam kantung empedu Bakteri kemudian berkembang

biak dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus

Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses sementara sebagian lainnya masuk kedalam sirkulasi

setelah menembus usus Proses yang sama terulang lagi berhubung makrofag sudah teraktivasi

sebelumnya maka saat fagositosis bakteri salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator

inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sitemik seperti demam

malaise mialgia sakit kepala gangguan gastrointestinal instabilitas vaskuler gangguan mental

dna koagulasi (Sudoyo et al 2002)

Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan hyperplasia jaringan (S thypi

intra makrofag menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak

peyeri uyang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel mononuclear di dinding

usus Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskular

pernapasan dan gangguan organ lainnya (Sudoyo et al 2002)

5

Perjalanan Penyakit dan Manifestasi Klinis

1 Masa inkubasi Masa inkubasi berlangsung 7-21 hari walaupun pada umumnya adalah

10-12 hari Gejala awal yang biasa terjadi adalah (Rahman 2010)

- Anoreksia

- Malaise

- Cephalgia

- Myalgia

- Tiphoid Tongue

- Gangguan gastroinstestinal (diare konstipasi kembung)

2 Minggu pertama Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari gejala infeksi sama seperti

penyakit infeksi akut lainnya seperti demam tinggi berkepanjangan 39 derajat sampai 40

derajat sakit kepala pusing pegal-pegal anoreksia mual muntah batuk dengan nadi

antara 80-100 kali per menit denyut lemah pernapasan makin cepat perut kembung dan

merasa tidak nyaman diare dan konstipasi Rose Spot umumnya muncul di hari ke tujuh

dan hanya terdapat di dada tidak merata bercak-bercak ini berlangsung 3-5 hari

kemudian hilang dengan sempurna Roseola terjadi terutama pada penderita golongan

kulit putih yaitu berupa macula merah tua ukuran 2-4 mm berkelompok timbul paling

sering pada kulit perut lengan atas atau dada bagian bawah kelihatan memucat bila

ditekan Pada infeksi yang berat purpura kulit yang difus dapat dijumpai Limpa menjadi

teraba dan abdomen mengalami distensi (Rahman 2010)

3 Minggu ke-2 Jika pada minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap

hari yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam

hari Karena itu pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan

tinggi (demam) Suhu badan yang tinggi dengan penurunan sedikit pada pagi hari

berlangsung Terjadi bradikardia relatif nadi penderita Yang semestinya nadi meningkat

bersama dengan peningkatan suhu saat ini relative nadi lebih lambat dibandingkan

peningkatan suhu tubuh Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan

penderita yang mengalami delirium Gangguan pendengaran umumnya terjadi Lidah

tampak keringmerah mengkilat Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun

sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi

perdarahan Pembesaran hati dan limpa Perut kembung dan sering berbunyi Gangguan

6

kesadaran Mengantuk terus menerus mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain

(Rahman 2010)

4 Minggu ke-3 Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu

Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati Bila keadaan membaik gejala-

gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat

ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat lepasnya kerak

dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin memburuk dimana toksemia memberat

dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorismus dan timpani masih terjadi juga

tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut Penderita kemudian

mengalami kolaps Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal

maupun umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan

keringat dingin gelisah sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya

member gambaran adanya perdarahan dan merupakan penyebab umum dari terjadinya

kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Rahman 2010)

5 Minggu ke-4 Merupakan stadium penyembuhan (Rahman 2010)

Diagnosis

Kriteria Mansoni 1987

- Demam lebih dari 7 hari

- Bradikardia relative

- Coated Tongue

- Hepatosplenomegali

- Roseola spot

- Aneosinofilia

- Gangguan GI tract konstipasi diare

Minimal 5 dari 7 kriteria diatas terpenuhi maka seorang penderita dapat di diagnosis demam

tifoid Selain itu berbagai pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis demam

tifoid meliputi (Maripaandi 2010)

7

1 Pemeriksaan Darah dan Kimia Klinik

- Menunjukkan leukopenia dan neutropenia pada 50 pasien

- Seringkali terdapat peningkatan SGOT dan SGPT

- Adanya aneosinofilia

2 Gall culture Kultur darah Uji ini merupakan baku emas (Gold Standard) untuk

pemeriksaan Demam tifoidparatifoid Kultur darah merupakan metode diagnostik

standar Menunjukkan hasil positif pada 60-80 pasien Sensitivitas kultur darah lebih

tinggi pada minggu pertama sakit atau dilakukan pengambilan setelah minggu

pertamaberkurang dengan penggunaan antibiotik dan meningkat dengan banyaknya

volume darah kultur serta rasio darah dan kaldu (Maripaandi et al 2010) Kultur

organisme penyebab tetap menjadi prosedur diagnostik yang paling efektif dalam

mendiagnosis dugaan demam tifoid Penelitian menunjukkan bahwa 10 suspensi

empedu sapi adalah media terbaik untuk kultur darah Media ini tidak hanya memiliki

keuntungan dengan menghambat pertumbuhan kontaminan kulit tetapi juga menghambat

pertumbuhan bakteri paling patogen dari aliran darah lain sehingga tidak dapat digunakan

sebagai tes diagnostik rutin untuk bakteremia (John 2008) Di banyak laboratorium

diagnostik media kultur darah atau sering disebut botol untuk media kultur darah

mungkin tidak tersedia Pemeriksaan langsung dari buffy coat telah digunakan untuk

deteksi bakteri dalam darah tetapi dilaporkan memiliki nilai yang kecil karena kesalahan

tergantung operator Kultur langsung dan sentrifugasi darah bagaimanapun telah sangat

sukses Kultur langsung dengan buffy coat yang sebelumnya terbukti mengandung

hampir semua S Typhi yang ditemukan dalam darah karena itu harus dipikirkan

kemungkinan isolasi S Typhi tanpa perlu menggunakan media kultur darah atau botol

(John et al 2008) Interpretasi hasil Bila positif maka diagnosis pasti untu penyakit

demam tifoid Sebaliknya bila hasil negatif belum tentu bukan demam tifoid karena

hasil biakan negatif palsu disebabkan beberapa faktor yaitu jumlah darah lt2ml darah

tidak segar atau dibiarkan membeku terlebih dahulu sebelum dikultur pasien saat diambil

darah sudah diberi terapi antibiotika atau pasien sudah mendapat vaksinasi Kekurangan

uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk

pertumbuhan bakteri yakni 7 hari (Christoper 2002)

8

3 Uji Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di

dalam darah) terhadap antigen bakteri Salmonella typhi Paratyphi (reagen) Antibodi

aglutinin yang dicari yaitu (Salih 2008)

o Aglutinin 0 (dari tubuh bakteri)

o Aglutinin H (flagela bakteri)

o Aglutinin Vi (simpai bakteri)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi bakteri ini

(Rao 2010) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering

diminta terutama di Negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia Sebagai uji

cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui Hasil positif palsu dapat disebabkan

oleh faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan

spesies lain (enterobacter) adanya faktor rheumatoid Hasil negatif palsu disebabkan

oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotik pengobatan dini dengan

antibiotik pemberian kortikosteroid waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu

dan teknik pemeriksaan labolatorium (Salih 2008) Saat ini belum ada kesamaan

pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic Batas titer yang sering

dipakai hanya kesepakatan saja berlaku setempat dan berbeda-beda di masing-masing

labolatorium Nilai cut off yang sering dipakai adalah titer O = 1160 titer H 1160

dengan peningkatan titer 4 kali setelah 2 kali pemeriksaan Pemeriksaan pertama di hari

ke-7 dan pemeriksaan berikutnya pada minggu ke-2 Aglutinin O akan bertahan 4-6 bulan

setelah sembuh sementara agglutinin H menetap 6-12 bulan Reaksi widal tunggal

agglutinin O 1320 atau agglutinin H 1640 dapat menyokong 12 (Iskandar 2000)

4 Kultur Sumsum Tulang Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif

dalam mengisolasi Styphi Menunjukkan hasil positif pada 80-85 pasien bahkan pada

pasien yang telah mendapat terapi antibiotik dalam beberapa hari (Agarwal 2004)

Isolasi S Typhi dari aspirasi sumsum tulang merupakan suatu prosedur yang sangat

invasif tetapi dianggap sebagai metode standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan

dilaporkan lebih sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar tetapi tidak

semua peneliti Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri dalam darah dan sumsum

tulang dan menemukan bahwa pada isolasi S Typhi dari sumsum tulang ditemukan

9

jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume

sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah

memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang

maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)

5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas

tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan

durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang

mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya

Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan

yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan

standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan

Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan

(John 2008)

6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah

dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)

Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering

terjadi (Christoper 2002)

7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari

sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe

typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada

penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid

menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen

tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan

titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas

tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays

(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi

dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal

TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)

(Brush 2010)

10

Terapi

1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid

yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari

daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan

yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan

antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda

untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis

mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali

lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa

komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan

teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang

lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi

Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)

2 Medika Mentosa

Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua

obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat

yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-

rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari

pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones

harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari

Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang

dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan

cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam

tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam

waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat

kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)

Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan

azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan

kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini

11

ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan

pilihan (Agarwal2004)

Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan

untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab

demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana

fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan

gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7

hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka

kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)

Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah

sebagai berikut (Suhendro 2000)

1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah

4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata

dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang

2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya

saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya

Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6

3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol

Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol

400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu

4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah

dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150

mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu

5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam

dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari

6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4

a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari

b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari

c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari

d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari

e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari

12

Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan

tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2

macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)

Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe

13

(diambil dari Agarwal 2004)

3 Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid

yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)

4 Demam tifoid pada wanita hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat

terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates

Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik

Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan

adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)

5 Perawatan Bedah

Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan

ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum

Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan

antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi

Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang

persisten (Duncan 2008)

6 Konsultasi

14

Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi

Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal

perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal

(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)

7 Diet

Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral

dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus

(Duncan 2008)

8 Aktivitas

Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan

demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien

harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan

2008)

Diferensial Diagnosis

Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya

Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara

lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)

1 malaria

2 abses dalam

3 tuberkulosis

4 abses hati amebic

5 ensefalitis

6 influenza

7 demam berdarah

8 leptospirosis

9 infeksi mononucleosis

10 endokarditis

11 brucellosis

15

12 tipus

13 visceral leishmaniasis

14 toksoplasmosis

15 penyakit lymphoproliferative

16 penyakit jaringan ikat

Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah

2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK

3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam

Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah

endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi

secara umum (Christoper 2002)

Komplikasi

Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada

pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)

Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid

Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric

Gastrointestinal

Haemorrhage

Gastrointestinal

perforation

Hepatitis

Cholecystitis

Asymptomatic ECG

change

Myocarditis

Shock

Encephalopathy

Delirium

Psychotic states

Meningitis

(diambil dari Duncan 2008)

Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid

16

Pernafasan Hematologi Lain-lain

Bronchitis

Pneumonia

(Salmonella Staph

aureus)

Anemia

DIC

Focal Abses

Pharingitis

Abortus

Relaps

Chronic karier

(diambil dari Duncan 2008)

Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada

penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi

juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan

2008)

Penderita Karier

Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada

10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama

seperti semula (Ferdinando2007)

Kronik karier

Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor

predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa

dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis

mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)

Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium

obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason

pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap

enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)

Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan

oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah

17

reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan

penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier

intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)

Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik

Carier tanpa batu

empedu

Terapi Dosis harian

(mgKg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

(diambil dari Hellena 2008)

Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien

demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada

beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)

Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk

menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan

kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap

masyarakat (Jhon 2010)

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)

- Sanitasi lingkungan

18

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 3: daftar pustaka

Data dari rumah sakit di Jakarta menunjukan proporsi penderita demam tifoid yang

dirawat di rumah sakit meningkat dari 114-189 (tahun 1983-1990) menjadi 22-365 (1991-

1996) Laporan kejadian demam tifoid dari rumah sakit pusat kesehatan juga meningkat dari 92

kasus (1994) menjadi 125 kasus per 100000 orang per tahun (1996) (Budi 2000)

Pada tahun 1986 case fatality rate (CRF) demam tifoid menurut laporan Ditjen P2MPLP

Depkes tahun 1996 sebesar 108 dari seluruh kematian di Indonesia Namun demikian

berdasarkan hasil survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes

RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi

(Budi 2000)

Transmisi

Ada dua sumber penularan S typhi pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering

karier Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 bakteri pergram tinja (Aulia 2010)

Bakteri yang menyebabkan demam tifoid terdapat pada air atau makanan yang terkontaminasi

melalui kontak langsung dengan orang yang sudah terinkeksi tifoid Pada negara berkembang

daerah endemis demam tifoid sebagian kasus tifoid disebabkan oleh sanitasi yang buruk dan air

minum yang terkontaminasi Sementara sebagian besar penderita di Negara industri menderita

tifoid setelah bepergian ke daaerah endemis Hal ini berarti S typhi terdapat pada feces dan urine

penderita Seseorang dapat terinfeksi jika mengkonsumsi makanan yang disentuh oleh tangan

penderita demam tifoid yang tidak mencuci tangan dengan bersih setelah ke toilet Seseorang

juga dapat terinfeksi setelah minum air minum yang sudah terkontaminasi bakteri Styphi (

Balentine 2011)

Bakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita Penyebaran bakteri ke

dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat pencucian tangan yang kurang bersih setelah

buang air besar maupun setelah berkemih Dengan kata lain penyebarannya melalui fecal-oral

Lalat juga bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan (Badrijah et al

2009)

Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa masuk ke dalam

peredaran darah Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan pada usus halus dan usus besar

Pada kasus yang berat yang bisa berakibat fatal jaringan yang terkena bisa mengalami

perdarahan dan perforasi (perlubangan) Sekitar 3 penderita yang terinfeksi oleh Salmonella

3

typhi dan belum mendapatkan pengobatan di dalam tinjanya akan ditemukan bakteri ini selama

lebih dari 1 tahun Beberapa dari pembawa bakteri ini tidak menunjukkan gejala-gejala dari

demam tifoid Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun kejadian

meningkat setelah umur 5 tahun Pada minggu pertama sakit demam tifoid sangat sukar

dibedakan dengan penyakit demam lainnya Untuk memastikan diagnosis diperlukan

pemeriksaan biakan bakteri untuk konfirmasi (Badrijah 2009)

Patofisiologi

Masuknya bakteri Salmonella Typhi dan Salmonella Parathypi ke dalam tubuh manusia

terjadi melalui makanan yang terkontaminasi bakteri Sebagian bakteri dimusnahkan di dalam

lambung oleh asam lambung dan sebagian lainnya lolos ke usus halus kemudian akan

berkembang biak (Sudoyo et al 2002)

Bila respon imunitas humoral mukosa usus yakni IgA kurang baik maka bakteri akan

menembus sel-sel epitel (sel M) dan selanjutnya ke lamina propia Di lamina propia bakteri

berkembang baik dan di fagosit oleh makrofag Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di

dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal kemudian ke kelenjar

getah bening mesenterika Selanjutnya melalui duktus torakikus bakteri yang terdapat dalam

makrofag ini akan masuk ke srkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang

asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ di RES terutama hati dan limpa Di organ-organ

ini bakteri meninggalkan sel-sel fagosit kemudian berkembang biak di luar sel atau di ruang

sinusoid dan selanjutnya masuk kembali ke sirkulasi darah dan menyebabkan bakterimia kedua

disertai tanda-tanda penyakit infeksi (Sudoyo et al 2002)

4

Gambar 1 Patofisiologi Demam Tifoid diambil dari Christoper 2002

Di dalam hati bakteri masuk ke dalam kantung empedu Bakteri kemudian berkembang

biak dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus

Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses sementara sebagian lainnya masuk kedalam sirkulasi

setelah menembus usus Proses yang sama terulang lagi berhubung makrofag sudah teraktivasi

sebelumnya maka saat fagositosis bakteri salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator

inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sitemik seperti demam

malaise mialgia sakit kepala gangguan gastrointestinal instabilitas vaskuler gangguan mental

dna koagulasi (Sudoyo et al 2002)

Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan hyperplasia jaringan (S thypi

intra makrofag menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak

peyeri uyang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel mononuclear di dinding

usus Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskular

pernapasan dan gangguan organ lainnya (Sudoyo et al 2002)

5

Perjalanan Penyakit dan Manifestasi Klinis

1 Masa inkubasi Masa inkubasi berlangsung 7-21 hari walaupun pada umumnya adalah

10-12 hari Gejala awal yang biasa terjadi adalah (Rahman 2010)

- Anoreksia

- Malaise

- Cephalgia

- Myalgia

- Tiphoid Tongue

- Gangguan gastroinstestinal (diare konstipasi kembung)

2 Minggu pertama Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari gejala infeksi sama seperti

penyakit infeksi akut lainnya seperti demam tinggi berkepanjangan 39 derajat sampai 40

derajat sakit kepala pusing pegal-pegal anoreksia mual muntah batuk dengan nadi

antara 80-100 kali per menit denyut lemah pernapasan makin cepat perut kembung dan

merasa tidak nyaman diare dan konstipasi Rose Spot umumnya muncul di hari ke tujuh

dan hanya terdapat di dada tidak merata bercak-bercak ini berlangsung 3-5 hari

kemudian hilang dengan sempurna Roseola terjadi terutama pada penderita golongan

kulit putih yaitu berupa macula merah tua ukuran 2-4 mm berkelompok timbul paling

sering pada kulit perut lengan atas atau dada bagian bawah kelihatan memucat bila

ditekan Pada infeksi yang berat purpura kulit yang difus dapat dijumpai Limpa menjadi

teraba dan abdomen mengalami distensi (Rahman 2010)

3 Minggu ke-2 Jika pada minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap

hari yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam

hari Karena itu pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan

tinggi (demam) Suhu badan yang tinggi dengan penurunan sedikit pada pagi hari

berlangsung Terjadi bradikardia relatif nadi penderita Yang semestinya nadi meningkat

bersama dengan peningkatan suhu saat ini relative nadi lebih lambat dibandingkan

peningkatan suhu tubuh Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan

penderita yang mengalami delirium Gangguan pendengaran umumnya terjadi Lidah

tampak keringmerah mengkilat Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun

sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi

perdarahan Pembesaran hati dan limpa Perut kembung dan sering berbunyi Gangguan

6

kesadaran Mengantuk terus menerus mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain

(Rahman 2010)

4 Minggu ke-3 Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu

Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati Bila keadaan membaik gejala-

gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat

ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat lepasnya kerak

dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin memburuk dimana toksemia memberat

dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorismus dan timpani masih terjadi juga

tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut Penderita kemudian

mengalami kolaps Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal

maupun umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan

keringat dingin gelisah sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya

member gambaran adanya perdarahan dan merupakan penyebab umum dari terjadinya

kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Rahman 2010)

5 Minggu ke-4 Merupakan stadium penyembuhan (Rahman 2010)

Diagnosis

Kriteria Mansoni 1987

- Demam lebih dari 7 hari

- Bradikardia relative

- Coated Tongue

- Hepatosplenomegali

- Roseola spot

- Aneosinofilia

- Gangguan GI tract konstipasi diare

Minimal 5 dari 7 kriteria diatas terpenuhi maka seorang penderita dapat di diagnosis demam

tifoid Selain itu berbagai pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis demam

tifoid meliputi (Maripaandi 2010)

7

1 Pemeriksaan Darah dan Kimia Klinik

- Menunjukkan leukopenia dan neutropenia pada 50 pasien

- Seringkali terdapat peningkatan SGOT dan SGPT

- Adanya aneosinofilia

2 Gall culture Kultur darah Uji ini merupakan baku emas (Gold Standard) untuk

pemeriksaan Demam tifoidparatifoid Kultur darah merupakan metode diagnostik

standar Menunjukkan hasil positif pada 60-80 pasien Sensitivitas kultur darah lebih

tinggi pada minggu pertama sakit atau dilakukan pengambilan setelah minggu

pertamaberkurang dengan penggunaan antibiotik dan meningkat dengan banyaknya

volume darah kultur serta rasio darah dan kaldu (Maripaandi et al 2010) Kultur

organisme penyebab tetap menjadi prosedur diagnostik yang paling efektif dalam

mendiagnosis dugaan demam tifoid Penelitian menunjukkan bahwa 10 suspensi

empedu sapi adalah media terbaik untuk kultur darah Media ini tidak hanya memiliki

keuntungan dengan menghambat pertumbuhan kontaminan kulit tetapi juga menghambat

pertumbuhan bakteri paling patogen dari aliran darah lain sehingga tidak dapat digunakan

sebagai tes diagnostik rutin untuk bakteremia (John 2008) Di banyak laboratorium

diagnostik media kultur darah atau sering disebut botol untuk media kultur darah

mungkin tidak tersedia Pemeriksaan langsung dari buffy coat telah digunakan untuk

deteksi bakteri dalam darah tetapi dilaporkan memiliki nilai yang kecil karena kesalahan

tergantung operator Kultur langsung dan sentrifugasi darah bagaimanapun telah sangat

sukses Kultur langsung dengan buffy coat yang sebelumnya terbukti mengandung

hampir semua S Typhi yang ditemukan dalam darah karena itu harus dipikirkan

kemungkinan isolasi S Typhi tanpa perlu menggunakan media kultur darah atau botol

(John et al 2008) Interpretasi hasil Bila positif maka diagnosis pasti untu penyakit

demam tifoid Sebaliknya bila hasil negatif belum tentu bukan demam tifoid karena

hasil biakan negatif palsu disebabkan beberapa faktor yaitu jumlah darah lt2ml darah

tidak segar atau dibiarkan membeku terlebih dahulu sebelum dikultur pasien saat diambil

darah sudah diberi terapi antibiotika atau pasien sudah mendapat vaksinasi Kekurangan

uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk

pertumbuhan bakteri yakni 7 hari (Christoper 2002)

8

3 Uji Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di

dalam darah) terhadap antigen bakteri Salmonella typhi Paratyphi (reagen) Antibodi

aglutinin yang dicari yaitu (Salih 2008)

o Aglutinin 0 (dari tubuh bakteri)

o Aglutinin H (flagela bakteri)

o Aglutinin Vi (simpai bakteri)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi bakteri ini

(Rao 2010) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering

diminta terutama di Negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia Sebagai uji

cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui Hasil positif palsu dapat disebabkan

oleh faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan

spesies lain (enterobacter) adanya faktor rheumatoid Hasil negatif palsu disebabkan

oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotik pengobatan dini dengan

antibiotik pemberian kortikosteroid waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu

dan teknik pemeriksaan labolatorium (Salih 2008) Saat ini belum ada kesamaan

pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic Batas titer yang sering

dipakai hanya kesepakatan saja berlaku setempat dan berbeda-beda di masing-masing

labolatorium Nilai cut off yang sering dipakai adalah titer O = 1160 titer H 1160

dengan peningkatan titer 4 kali setelah 2 kali pemeriksaan Pemeriksaan pertama di hari

ke-7 dan pemeriksaan berikutnya pada minggu ke-2 Aglutinin O akan bertahan 4-6 bulan

setelah sembuh sementara agglutinin H menetap 6-12 bulan Reaksi widal tunggal

agglutinin O 1320 atau agglutinin H 1640 dapat menyokong 12 (Iskandar 2000)

4 Kultur Sumsum Tulang Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif

dalam mengisolasi Styphi Menunjukkan hasil positif pada 80-85 pasien bahkan pada

pasien yang telah mendapat terapi antibiotik dalam beberapa hari (Agarwal 2004)

Isolasi S Typhi dari aspirasi sumsum tulang merupakan suatu prosedur yang sangat

invasif tetapi dianggap sebagai metode standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan

dilaporkan lebih sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar tetapi tidak

semua peneliti Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri dalam darah dan sumsum

tulang dan menemukan bahwa pada isolasi S Typhi dari sumsum tulang ditemukan

9

jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume

sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah

memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang

maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)

5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas

tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan

durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang

mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya

Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan

yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan

standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan

Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan

(John 2008)

6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah

dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)

Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering

terjadi (Christoper 2002)

7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari

sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe

typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada

penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid

menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen

tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan

titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas

tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays

(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi

dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal

TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)

(Brush 2010)

10

Terapi

1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid

yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari

daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan

yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan

antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda

untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis

mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali

lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa

komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan

teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang

lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi

Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)

2 Medika Mentosa

Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua

obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat

yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-

rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari

pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones

harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari

Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang

dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan

cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam

tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam

waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat

kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)

Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan

azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan

kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini

11

ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan

pilihan (Agarwal2004)

Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan

untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab

demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana

fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan

gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7

hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka

kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)

Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah

sebagai berikut (Suhendro 2000)

1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah

4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata

dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang

2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya

saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya

Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6

3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol

Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol

400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu

4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah

dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150

mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu

5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam

dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari

6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4

a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari

b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari

c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari

d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari

e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari

12

Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan

tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2

macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)

Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe

13

(diambil dari Agarwal 2004)

3 Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid

yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)

4 Demam tifoid pada wanita hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat

terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates

Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik

Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan

adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)

5 Perawatan Bedah

Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan

ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum

Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan

antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi

Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang

persisten (Duncan 2008)

6 Konsultasi

14

Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi

Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal

perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal

(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)

7 Diet

Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral

dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus

(Duncan 2008)

8 Aktivitas

Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan

demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien

harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan

2008)

Diferensial Diagnosis

Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya

Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara

lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)

1 malaria

2 abses dalam

3 tuberkulosis

4 abses hati amebic

5 ensefalitis

6 influenza

7 demam berdarah

8 leptospirosis

9 infeksi mononucleosis

10 endokarditis

11 brucellosis

15

12 tipus

13 visceral leishmaniasis

14 toksoplasmosis

15 penyakit lymphoproliferative

16 penyakit jaringan ikat

Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah

2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK

3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam

Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah

endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi

secara umum (Christoper 2002)

Komplikasi

Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada

pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)

Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid

Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric

Gastrointestinal

Haemorrhage

Gastrointestinal

perforation

Hepatitis

Cholecystitis

Asymptomatic ECG

change

Myocarditis

Shock

Encephalopathy

Delirium

Psychotic states

Meningitis

(diambil dari Duncan 2008)

Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid

16

Pernafasan Hematologi Lain-lain

Bronchitis

Pneumonia

(Salmonella Staph

aureus)

Anemia

DIC

Focal Abses

Pharingitis

Abortus

Relaps

Chronic karier

(diambil dari Duncan 2008)

Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada

penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi

juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan

2008)

Penderita Karier

Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada

10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama

seperti semula (Ferdinando2007)

Kronik karier

Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor

predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa

dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis

mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)

Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium

obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason

pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap

enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)

Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan

oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah

17

reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan

penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier

intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)

Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik

Carier tanpa batu

empedu

Terapi Dosis harian

(mgKg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

(diambil dari Hellena 2008)

Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien

demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada

beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)

Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk

menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan

kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap

masyarakat (Jhon 2010)

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)

- Sanitasi lingkungan

18

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 4: daftar pustaka

typhi dan belum mendapatkan pengobatan di dalam tinjanya akan ditemukan bakteri ini selama

lebih dari 1 tahun Beberapa dari pembawa bakteri ini tidak menunjukkan gejala-gejala dari

demam tifoid Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun kejadian

meningkat setelah umur 5 tahun Pada minggu pertama sakit demam tifoid sangat sukar

dibedakan dengan penyakit demam lainnya Untuk memastikan diagnosis diperlukan

pemeriksaan biakan bakteri untuk konfirmasi (Badrijah 2009)

Patofisiologi

Masuknya bakteri Salmonella Typhi dan Salmonella Parathypi ke dalam tubuh manusia

terjadi melalui makanan yang terkontaminasi bakteri Sebagian bakteri dimusnahkan di dalam

lambung oleh asam lambung dan sebagian lainnya lolos ke usus halus kemudian akan

berkembang biak (Sudoyo et al 2002)

Bila respon imunitas humoral mukosa usus yakni IgA kurang baik maka bakteri akan

menembus sel-sel epitel (sel M) dan selanjutnya ke lamina propia Di lamina propia bakteri

berkembang baik dan di fagosit oleh makrofag Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di

dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal kemudian ke kelenjar

getah bening mesenterika Selanjutnya melalui duktus torakikus bakteri yang terdapat dalam

makrofag ini akan masuk ke srkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang

asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ di RES terutama hati dan limpa Di organ-organ

ini bakteri meninggalkan sel-sel fagosit kemudian berkembang biak di luar sel atau di ruang

sinusoid dan selanjutnya masuk kembali ke sirkulasi darah dan menyebabkan bakterimia kedua

disertai tanda-tanda penyakit infeksi (Sudoyo et al 2002)

4

Gambar 1 Patofisiologi Demam Tifoid diambil dari Christoper 2002

Di dalam hati bakteri masuk ke dalam kantung empedu Bakteri kemudian berkembang

biak dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus

Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses sementara sebagian lainnya masuk kedalam sirkulasi

setelah menembus usus Proses yang sama terulang lagi berhubung makrofag sudah teraktivasi

sebelumnya maka saat fagositosis bakteri salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator

inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sitemik seperti demam

malaise mialgia sakit kepala gangguan gastrointestinal instabilitas vaskuler gangguan mental

dna koagulasi (Sudoyo et al 2002)

Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan hyperplasia jaringan (S thypi

intra makrofag menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak

peyeri uyang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel mononuclear di dinding

usus Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskular

pernapasan dan gangguan organ lainnya (Sudoyo et al 2002)

5

Perjalanan Penyakit dan Manifestasi Klinis

1 Masa inkubasi Masa inkubasi berlangsung 7-21 hari walaupun pada umumnya adalah

10-12 hari Gejala awal yang biasa terjadi adalah (Rahman 2010)

- Anoreksia

- Malaise

- Cephalgia

- Myalgia

- Tiphoid Tongue

- Gangguan gastroinstestinal (diare konstipasi kembung)

2 Minggu pertama Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari gejala infeksi sama seperti

penyakit infeksi akut lainnya seperti demam tinggi berkepanjangan 39 derajat sampai 40

derajat sakit kepala pusing pegal-pegal anoreksia mual muntah batuk dengan nadi

antara 80-100 kali per menit denyut lemah pernapasan makin cepat perut kembung dan

merasa tidak nyaman diare dan konstipasi Rose Spot umumnya muncul di hari ke tujuh

dan hanya terdapat di dada tidak merata bercak-bercak ini berlangsung 3-5 hari

kemudian hilang dengan sempurna Roseola terjadi terutama pada penderita golongan

kulit putih yaitu berupa macula merah tua ukuran 2-4 mm berkelompok timbul paling

sering pada kulit perut lengan atas atau dada bagian bawah kelihatan memucat bila

ditekan Pada infeksi yang berat purpura kulit yang difus dapat dijumpai Limpa menjadi

teraba dan abdomen mengalami distensi (Rahman 2010)

3 Minggu ke-2 Jika pada minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap

hari yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam

hari Karena itu pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan

tinggi (demam) Suhu badan yang tinggi dengan penurunan sedikit pada pagi hari

berlangsung Terjadi bradikardia relatif nadi penderita Yang semestinya nadi meningkat

bersama dengan peningkatan suhu saat ini relative nadi lebih lambat dibandingkan

peningkatan suhu tubuh Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan

penderita yang mengalami delirium Gangguan pendengaran umumnya terjadi Lidah

tampak keringmerah mengkilat Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun

sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi

perdarahan Pembesaran hati dan limpa Perut kembung dan sering berbunyi Gangguan

6

kesadaran Mengantuk terus menerus mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain

(Rahman 2010)

4 Minggu ke-3 Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu

Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati Bila keadaan membaik gejala-

gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat

ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat lepasnya kerak

dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin memburuk dimana toksemia memberat

dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorismus dan timpani masih terjadi juga

tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut Penderita kemudian

mengalami kolaps Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal

maupun umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan

keringat dingin gelisah sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya

member gambaran adanya perdarahan dan merupakan penyebab umum dari terjadinya

kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Rahman 2010)

5 Minggu ke-4 Merupakan stadium penyembuhan (Rahman 2010)

Diagnosis

Kriteria Mansoni 1987

- Demam lebih dari 7 hari

- Bradikardia relative

- Coated Tongue

- Hepatosplenomegali

- Roseola spot

- Aneosinofilia

- Gangguan GI tract konstipasi diare

Minimal 5 dari 7 kriteria diatas terpenuhi maka seorang penderita dapat di diagnosis demam

tifoid Selain itu berbagai pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis demam

tifoid meliputi (Maripaandi 2010)

7

1 Pemeriksaan Darah dan Kimia Klinik

- Menunjukkan leukopenia dan neutropenia pada 50 pasien

- Seringkali terdapat peningkatan SGOT dan SGPT

- Adanya aneosinofilia

2 Gall culture Kultur darah Uji ini merupakan baku emas (Gold Standard) untuk

pemeriksaan Demam tifoidparatifoid Kultur darah merupakan metode diagnostik

standar Menunjukkan hasil positif pada 60-80 pasien Sensitivitas kultur darah lebih

tinggi pada minggu pertama sakit atau dilakukan pengambilan setelah minggu

pertamaberkurang dengan penggunaan antibiotik dan meningkat dengan banyaknya

volume darah kultur serta rasio darah dan kaldu (Maripaandi et al 2010) Kultur

organisme penyebab tetap menjadi prosedur diagnostik yang paling efektif dalam

mendiagnosis dugaan demam tifoid Penelitian menunjukkan bahwa 10 suspensi

empedu sapi adalah media terbaik untuk kultur darah Media ini tidak hanya memiliki

keuntungan dengan menghambat pertumbuhan kontaminan kulit tetapi juga menghambat

pertumbuhan bakteri paling patogen dari aliran darah lain sehingga tidak dapat digunakan

sebagai tes diagnostik rutin untuk bakteremia (John 2008) Di banyak laboratorium

diagnostik media kultur darah atau sering disebut botol untuk media kultur darah

mungkin tidak tersedia Pemeriksaan langsung dari buffy coat telah digunakan untuk

deteksi bakteri dalam darah tetapi dilaporkan memiliki nilai yang kecil karena kesalahan

tergantung operator Kultur langsung dan sentrifugasi darah bagaimanapun telah sangat

sukses Kultur langsung dengan buffy coat yang sebelumnya terbukti mengandung

hampir semua S Typhi yang ditemukan dalam darah karena itu harus dipikirkan

kemungkinan isolasi S Typhi tanpa perlu menggunakan media kultur darah atau botol

(John et al 2008) Interpretasi hasil Bila positif maka diagnosis pasti untu penyakit

demam tifoid Sebaliknya bila hasil negatif belum tentu bukan demam tifoid karena

hasil biakan negatif palsu disebabkan beberapa faktor yaitu jumlah darah lt2ml darah

tidak segar atau dibiarkan membeku terlebih dahulu sebelum dikultur pasien saat diambil

darah sudah diberi terapi antibiotika atau pasien sudah mendapat vaksinasi Kekurangan

uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk

pertumbuhan bakteri yakni 7 hari (Christoper 2002)

8

3 Uji Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di

dalam darah) terhadap antigen bakteri Salmonella typhi Paratyphi (reagen) Antibodi

aglutinin yang dicari yaitu (Salih 2008)

o Aglutinin 0 (dari tubuh bakteri)

o Aglutinin H (flagela bakteri)

o Aglutinin Vi (simpai bakteri)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi bakteri ini

(Rao 2010) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering

diminta terutama di Negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia Sebagai uji

cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui Hasil positif palsu dapat disebabkan

oleh faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan

spesies lain (enterobacter) adanya faktor rheumatoid Hasil negatif palsu disebabkan

oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotik pengobatan dini dengan

antibiotik pemberian kortikosteroid waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu

dan teknik pemeriksaan labolatorium (Salih 2008) Saat ini belum ada kesamaan

pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic Batas titer yang sering

dipakai hanya kesepakatan saja berlaku setempat dan berbeda-beda di masing-masing

labolatorium Nilai cut off yang sering dipakai adalah titer O = 1160 titer H 1160

dengan peningkatan titer 4 kali setelah 2 kali pemeriksaan Pemeriksaan pertama di hari

ke-7 dan pemeriksaan berikutnya pada minggu ke-2 Aglutinin O akan bertahan 4-6 bulan

setelah sembuh sementara agglutinin H menetap 6-12 bulan Reaksi widal tunggal

agglutinin O 1320 atau agglutinin H 1640 dapat menyokong 12 (Iskandar 2000)

4 Kultur Sumsum Tulang Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif

dalam mengisolasi Styphi Menunjukkan hasil positif pada 80-85 pasien bahkan pada

pasien yang telah mendapat terapi antibiotik dalam beberapa hari (Agarwal 2004)

Isolasi S Typhi dari aspirasi sumsum tulang merupakan suatu prosedur yang sangat

invasif tetapi dianggap sebagai metode standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan

dilaporkan lebih sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar tetapi tidak

semua peneliti Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri dalam darah dan sumsum

tulang dan menemukan bahwa pada isolasi S Typhi dari sumsum tulang ditemukan

9

jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume

sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah

memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang

maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)

5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas

tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan

durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang

mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya

Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan

yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan

standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan

Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan

(John 2008)

6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah

dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)

Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering

terjadi (Christoper 2002)

7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari

sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe

typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada

penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid

menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen

tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan

titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas

tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays

(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi

dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal

TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)

(Brush 2010)

10

Terapi

1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid

yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari

daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan

yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan

antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda

untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis

mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali

lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa

komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan

teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang

lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi

Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)

2 Medika Mentosa

Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua

obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat

yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-

rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari

pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones

harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari

Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang

dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan

cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam

tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam

waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat

kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)

Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan

azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan

kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini

11

ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan

pilihan (Agarwal2004)

Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan

untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab

demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana

fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan

gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7

hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka

kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)

Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah

sebagai berikut (Suhendro 2000)

1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah

4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata

dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang

2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya

saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya

Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6

3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol

Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol

400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu

4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah

dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150

mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu

5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam

dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari

6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4

a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari

b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari

c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari

d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari

e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari

12

Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan

tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2

macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)

Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe

13

(diambil dari Agarwal 2004)

3 Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid

yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)

4 Demam tifoid pada wanita hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat

terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates

Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik

Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan

adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)

5 Perawatan Bedah

Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan

ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum

Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan

antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi

Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang

persisten (Duncan 2008)

6 Konsultasi

14

Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi

Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal

perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal

(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)

7 Diet

Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral

dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus

(Duncan 2008)

8 Aktivitas

Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan

demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien

harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan

2008)

Diferensial Diagnosis

Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya

Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara

lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)

1 malaria

2 abses dalam

3 tuberkulosis

4 abses hati amebic

5 ensefalitis

6 influenza

7 demam berdarah

8 leptospirosis

9 infeksi mononucleosis

10 endokarditis

11 brucellosis

15

12 tipus

13 visceral leishmaniasis

14 toksoplasmosis

15 penyakit lymphoproliferative

16 penyakit jaringan ikat

Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah

2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK

3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam

Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah

endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi

secara umum (Christoper 2002)

Komplikasi

Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada

pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)

Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid

Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric

Gastrointestinal

Haemorrhage

Gastrointestinal

perforation

Hepatitis

Cholecystitis

Asymptomatic ECG

change

Myocarditis

Shock

Encephalopathy

Delirium

Psychotic states

Meningitis

(diambil dari Duncan 2008)

Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid

16

Pernafasan Hematologi Lain-lain

Bronchitis

Pneumonia

(Salmonella Staph

aureus)

Anemia

DIC

Focal Abses

Pharingitis

Abortus

Relaps

Chronic karier

(diambil dari Duncan 2008)

Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada

penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi

juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan

2008)

Penderita Karier

Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada

10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama

seperti semula (Ferdinando2007)

Kronik karier

Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor

predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa

dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis

mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)

Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium

obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason

pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap

enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)

Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan

oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah

17

reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan

penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier

intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)

Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik

Carier tanpa batu

empedu

Terapi Dosis harian

(mgKg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

(diambil dari Hellena 2008)

Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien

demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada

beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)

Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk

menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan

kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap

masyarakat (Jhon 2010)

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)

- Sanitasi lingkungan

18

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 5: daftar pustaka

Gambar 1 Patofisiologi Demam Tifoid diambil dari Christoper 2002

Di dalam hati bakteri masuk ke dalam kantung empedu Bakteri kemudian berkembang

biak dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus

Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses sementara sebagian lainnya masuk kedalam sirkulasi

setelah menembus usus Proses yang sama terulang lagi berhubung makrofag sudah teraktivasi

sebelumnya maka saat fagositosis bakteri salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator

inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sitemik seperti demam

malaise mialgia sakit kepala gangguan gastrointestinal instabilitas vaskuler gangguan mental

dna koagulasi (Sudoyo et al 2002)

Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan hyperplasia jaringan (S thypi

intra makrofag menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak

peyeri uyang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel mononuclear di dinding

usus Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskular

pernapasan dan gangguan organ lainnya (Sudoyo et al 2002)

5

Perjalanan Penyakit dan Manifestasi Klinis

1 Masa inkubasi Masa inkubasi berlangsung 7-21 hari walaupun pada umumnya adalah

10-12 hari Gejala awal yang biasa terjadi adalah (Rahman 2010)

- Anoreksia

- Malaise

- Cephalgia

- Myalgia

- Tiphoid Tongue

- Gangguan gastroinstestinal (diare konstipasi kembung)

2 Minggu pertama Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari gejala infeksi sama seperti

penyakit infeksi akut lainnya seperti demam tinggi berkepanjangan 39 derajat sampai 40

derajat sakit kepala pusing pegal-pegal anoreksia mual muntah batuk dengan nadi

antara 80-100 kali per menit denyut lemah pernapasan makin cepat perut kembung dan

merasa tidak nyaman diare dan konstipasi Rose Spot umumnya muncul di hari ke tujuh

dan hanya terdapat di dada tidak merata bercak-bercak ini berlangsung 3-5 hari

kemudian hilang dengan sempurna Roseola terjadi terutama pada penderita golongan

kulit putih yaitu berupa macula merah tua ukuran 2-4 mm berkelompok timbul paling

sering pada kulit perut lengan atas atau dada bagian bawah kelihatan memucat bila

ditekan Pada infeksi yang berat purpura kulit yang difus dapat dijumpai Limpa menjadi

teraba dan abdomen mengalami distensi (Rahman 2010)

3 Minggu ke-2 Jika pada minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap

hari yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam

hari Karena itu pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan

tinggi (demam) Suhu badan yang tinggi dengan penurunan sedikit pada pagi hari

berlangsung Terjadi bradikardia relatif nadi penderita Yang semestinya nadi meningkat

bersama dengan peningkatan suhu saat ini relative nadi lebih lambat dibandingkan

peningkatan suhu tubuh Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan

penderita yang mengalami delirium Gangguan pendengaran umumnya terjadi Lidah

tampak keringmerah mengkilat Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun

sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi

perdarahan Pembesaran hati dan limpa Perut kembung dan sering berbunyi Gangguan

6

kesadaran Mengantuk terus menerus mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain

(Rahman 2010)

4 Minggu ke-3 Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu

Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati Bila keadaan membaik gejala-

gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat

ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat lepasnya kerak

dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin memburuk dimana toksemia memberat

dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorismus dan timpani masih terjadi juga

tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut Penderita kemudian

mengalami kolaps Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal

maupun umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan

keringat dingin gelisah sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya

member gambaran adanya perdarahan dan merupakan penyebab umum dari terjadinya

kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Rahman 2010)

5 Minggu ke-4 Merupakan stadium penyembuhan (Rahman 2010)

Diagnosis

Kriteria Mansoni 1987

- Demam lebih dari 7 hari

- Bradikardia relative

- Coated Tongue

- Hepatosplenomegali

- Roseola spot

- Aneosinofilia

- Gangguan GI tract konstipasi diare

Minimal 5 dari 7 kriteria diatas terpenuhi maka seorang penderita dapat di diagnosis demam

tifoid Selain itu berbagai pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis demam

tifoid meliputi (Maripaandi 2010)

7

1 Pemeriksaan Darah dan Kimia Klinik

- Menunjukkan leukopenia dan neutropenia pada 50 pasien

- Seringkali terdapat peningkatan SGOT dan SGPT

- Adanya aneosinofilia

2 Gall culture Kultur darah Uji ini merupakan baku emas (Gold Standard) untuk

pemeriksaan Demam tifoidparatifoid Kultur darah merupakan metode diagnostik

standar Menunjukkan hasil positif pada 60-80 pasien Sensitivitas kultur darah lebih

tinggi pada minggu pertama sakit atau dilakukan pengambilan setelah minggu

pertamaberkurang dengan penggunaan antibiotik dan meningkat dengan banyaknya

volume darah kultur serta rasio darah dan kaldu (Maripaandi et al 2010) Kultur

organisme penyebab tetap menjadi prosedur diagnostik yang paling efektif dalam

mendiagnosis dugaan demam tifoid Penelitian menunjukkan bahwa 10 suspensi

empedu sapi adalah media terbaik untuk kultur darah Media ini tidak hanya memiliki

keuntungan dengan menghambat pertumbuhan kontaminan kulit tetapi juga menghambat

pertumbuhan bakteri paling patogen dari aliran darah lain sehingga tidak dapat digunakan

sebagai tes diagnostik rutin untuk bakteremia (John 2008) Di banyak laboratorium

diagnostik media kultur darah atau sering disebut botol untuk media kultur darah

mungkin tidak tersedia Pemeriksaan langsung dari buffy coat telah digunakan untuk

deteksi bakteri dalam darah tetapi dilaporkan memiliki nilai yang kecil karena kesalahan

tergantung operator Kultur langsung dan sentrifugasi darah bagaimanapun telah sangat

sukses Kultur langsung dengan buffy coat yang sebelumnya terbukti mengandung

hampir semua S Typhi yang ditemukan dalam darah karena itu harus dipikirkan

kemungkinan isolasi S Typhi tanpa perlu menggunakan media kultur darah atau botol

(John et al 2008) Interpretasi hasil Bila positif maka diagnosis pasti untu penyakit

demam tifoid Sebaliknya bila hasil negatif belum tentu bukan demam tifoid karena

hasil biakan negatif palsu disebabkan beberapa faktor yaitu jumlah darah lt2ml darah

tidak segar atau dibiarkan membeku terlebih dahulu sebelum dikultur pasien saat diambil

darah sudah diberi terapi antibiotika atau pasien sudah mendapat vaksinasi Kekurangan

uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk

pertumbuhan bakteri yakni 7 hari (Christoper 2002)

8

3 Uji Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di

dalam darah) terhadap antigen bakteri Salmonella typhi Paratyphi (reagen) Antibodi

aglutinin yang dicari yaitu (Salih 2008)

o Aglutinin 0 (dari tubuh bakteri)

o Aglutinin H (flagela bakteri)

o Aglutinin Vi (simpai bakteri)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi bakteri ini

(Rao 2010) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering

diminta terutama di Negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia Sebagai uji

cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui Hasil positif palsu dapat disebabkan

oleh faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan

spesies lain (enterobacter) adanya faktor rheumatoid Hasil negatif palsu disebabkan

oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotik pengobatan dini dengan

antibiotik pemberian kortikosteroid waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu

dan teknik pemeriksaan labolatorium (Salih 2008) Saat ini belum ada kesamaan

pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic Batas titer yang sering

dipakai hanya kesepakatan saja berlaku setempat dan berbeda-beda di masing-masing

labolatorium Nilai cut off yang sering dipakai adalah titer O = 1160 titer H 1160

dengan peningkatan titer 4 kali setelah 2 kali pemeriksaan Pemeriksaan pertama di hari

ke-7 dan pemeriksaan berikutnya pada minggu ke-2 Aglutinin O akan bertahan 4-6 bulan

setelah sembuh sementara agglutinin H menetap 6-12 bulan Reaksi widal tunggal

agglutinin O 1320 atau agglutinin H 1640 dapat menyokong 12 (Iskandar 2000)

4 Kultur Sumsum Tulang Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif

dalam mengisolasi Styphi Menunjukkan hasil positif pada 80-85 pasien bahkan pada

pasien yang telah mendapat terapi antibiotik dalam beberapa hari (Agarwal 2004)

Isolasi S Typhi dari aspirasi sumsum tulang merupakan suatu prosedur yang sangat

invasif tetapi dianggap sebagai metode standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan

dilaporkan lebih sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar tetapi tidak

semua peneliti Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri dalam darah dan sumsum

tulang dan menemukan bahwa pada isolasi S Typhi dari sumsum tulang ditemukan

9

jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume

sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah

memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang

maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)

5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas

tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan

durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang

mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya

Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan

yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan

standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan

Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan

(John 2008)

6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah

dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)

Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering

terjadi (Christoper 2002)

7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari

sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe

typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada

penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid

menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen

tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan

titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas

tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays

(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi

dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal

TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)

(Brush 2010)

10

Terapi

1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid

yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari

daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan

yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan

antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda

untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis

mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali

lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa

komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan

teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang

lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi

Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)

2 Medika Mentosa

Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua

obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat

yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-

rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari

pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones

harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari

Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang

dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan

cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam

tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam

waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat

kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)

Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan

azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan

kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini

11

ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan

pilihan (Agarwal2004)

Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan

untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab

demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana

fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan

gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7

hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka

kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)

Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah

sebagai berikut (Suhendro 2000)

1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah

4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata

dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang

2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya

saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya

Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6

3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol

Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol

400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu

4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah

dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150

mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu

5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam

dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari

6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4

a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari

b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari

c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari

d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari

e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari

12

Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan

tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2

macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)

Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe

13

(diambil dari Agarwal 2004)

3 Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid

yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)

4 Demam tifoid pada wanita hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat

terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates

Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik

Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan

adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)

5 Perawatan Bedah

Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan

ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum

Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan

antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi

Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang

persisten (Duncan 2008)

6 Konsultasi

14

Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi

Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal

perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal

(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)

7 Diet

Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral

dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus

(Duncan 2008)

8 Aktivitas

Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan

demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien

harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan

2008)

Diferensial Diagnosis

Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya

Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara

lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)

1 malaria

2 abses dalam

3 tuberkulosis

4 abses hati amebic

5 ensefalitis

6 influenza

7 demam berdarah

8 leptospirosis

9 infeksi mononucleosis

10 endokarditis

11 brucellosis

15

12 tipus

13 visceral leishmaniasis

14 toksoplasmosis

15 penyakit lymphoproliferative

16 penyakit jaringan ikat

Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah

2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK

3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam

Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah

endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi

secara umum (Christoper 2002)

Komplikasi

Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada

pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)

Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid

Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric

Gastrointestinal

Haemorrhage

Gastrointestinal

perforation

Hepatitis

Cholecystitis

Asymptomatic ECG

change

Myocarditis

Shock

Encephalopathy

Delirium

Psychotic states

Meningitis

(diambil dari Duncan 2008)

Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid

16

Pernafasan Hematologi Lain-lain

Bronchitis

Pneumonia

(Salmonella Staph

aureus)

Anemia

DIC

Focal Abses

Pharingitis

Abortus

Relaps

Chronic karier

(diambil dari Duncan 2008)

Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada

penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi

juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan

2008)

Penderita Karier

Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada

10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama

seperti semula (Ferdinando2007)

Kronik karier

Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor

predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa

dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis

mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)

Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium

obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason

pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap

enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)

Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan

oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah

17

reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan

penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier

intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)

Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik

Carier tanpa batu

empedu

Terapi Dosis harian

(mgKg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

(diambil dari Hellena 2008)

Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien

demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada

beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)

Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk

menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan

kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap

masyarakat (Jhon 2010)

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)

- Sanitasi lingkungan

18

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 6: daftar pustaka

Perjalanan Penyakit dan Manifestasi Klinis

1 Masa inkubasi Masa inkubasi berlangsung 7-21 hari walaupun pada umumnya adalah

10-12 hari Gejala awal yang biasa terjadi adalah (Rahman 2010)

- Anoreksia

- Malaise

- Cephalgia

- Myalgia

- Tiphoid Tongue

- Gangguan gastroinstestinal (diare konstipasi kembung)

2 Minggu pertama Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari gejala infeksi sama seperti

penyakit infeksi akut lainnya seperti demam tinggi berkepanjangan 39 derajat sampai 40

derajat sakit kepala pusing pegal-pegal anoreksia mual muntah batuk dengan nadi

antara 80-100 kali per menit denyut lemah pernapasan makin cepat perut kembung dan

merasa tidak nyaman diare dan konstipasi Rose Spot umumnya muncul di hari ke tujuh

dan hanya terdapat di dada tidak merata bercak-bercak ini berlangsung 3-5 hari

kemudian hilang dengan sempurna Roseola terjadi terutama pada penderita golongan

kulit putih yaitu berupa macula merah tua ukuran 2-4 mm berkelompok timbul paling

sering pada kulit perut lengan atas atau dada bagian bawah kelihatan memucat bila

ditekan Pada infeksi yang berat purpura kulit yang difus dapat dijumpai Limpa menjadi

teraba dan abdomen mengalami distensi (Rahman 2010)

3 Minggu ke-2 Jika pada minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap

hari yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam

hari Karena itu pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan

tinggi (demam) Suhu badan yang tinggi dengan penurunan sedikit pada pagi hari

berlangsung Terjadi bradikardia relatif nadi penderita Yang semestinya nadi meningkat

bersama dengan peningkatan suhu saat ini relative nadi lebih lambat dibandingkan

peningkatan suhu tubuh Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan

penderita yang mengalami delirium Gangguan pendengaran umumnya terjadi Lidah

tampak keringmerah mengkilat Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun

sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi

perdarahan Pembesaran hati dan limpa Perut kembung dan sering berbunyi Gangguan

6

kesadaran Mengantuk terus menerus mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain

(Rahman 2010)

4 Minggu ke-3 Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu

Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati Bila keadaan membaik gejala-

gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat

ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat lepasnya kerak

dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin memburuk dimana toksemia memberat

dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorismus dan timpani masih terjadi juga

tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut Penderita kemudian

mengalami kolaps Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal

maupun umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan

keringat dingin gelisah sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya

member gambaran adanya perdarahan dan merupakan penyebab umum dari terjadinya

kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Rahman 2010)

5 Minggu ke-4 Merupakan stadium penyembuhan (Rahman 2010)

Diagnosis

Kriteria Mansoni 1987

- Demam lebih dari 7 hari

- Bradikardia relative

- Coated Tongue

- Hepatosplenomegali

- Roseola spot

- Aneosinofilia

- Gangguan GI tract konstipasi diare

Minimal 5 dari 7 kriteria diatas terpenuhi maka seorang penderita dapat di diagnosis demam

tifoid Selain itu berbagai pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis demam

tifoid meliputi (Maripaandi 2010)

7

1 Pemeriksaan Darah dan Kimia Klinik

- Menunjukkan leukopenia dan neutropenia pada 50 pasien

- Seringkali terdapat peningkatan SGOT dan SGPT

- Adanya aneosinofilia

2 Gall culture Kultur darah Uji ini merupakan baku emas (Gold Standard) untuk

pemeriksaan Demam tifoidparatifoid Kultur darah merupakan metode diagnostik

standar Menunjukkan hasil positif pada 60-80 pasien Sensitivitas kultur darah lebih

tinggi pada minggu pertama sakit atau dilakukan pengambilan setelah minggu

pertamaberkurang dengan penggunaan antibiotik dan meningkat dengan banyaknya

volume darah kultur serta rasio darah dan kaldu (Maripaandi et al 2010) Kultur

organisme penyebab tetap menjadi prosedur diagnostik yang paling efektif dalam

mendiagnosis dugaan demam tifoid Penelitian menunjukkan bahwa 10 suspensi

empedu sapi adalah media terbaik untuk kultur darah Media ini tidak hanya memiliki

keuntungan dengan menghambat pertumbuhan kontaminan kulit tetapi juga menghambat

pertumbuhan bakteri paling patogen dari aliran darah lain sehingga tidak dapat digunakan

sebagai tes diagnostik rutin untuk bakteremia (John 2008) Di banyak laboratorium

diagnostik media kultur darah atau sering disebut botol untuk media kultur darah

mungkin tidak tersedia Pemeriksaan langsung dari buffy coat telah digunakan untuk

deteksi bakteri dalam darah tetapi dilaporkan memiliki nilai yang kecil karena kesalahan

tergantung operator Kultur langsung dan sentrifugasi darah bagaimanapun telah sangat

sukses Kultur langsung dengan buffy coat yang sebelumnya terbukti mengandung

hampir semua S Typhi yang ditemukan dalam darah karena itu harus dipikirkan

kemungkinan isolasi S Typhi tanpa perlu menggunakan media kultur darah atau botol

(John et al 2008) Interpretasi hasil Bila positif maka diagnosis pasti untu penyakit

demam tifoid Sebaliknya bila hasil negatif belum tentu bukan demam tifoid karena

hasil biakan negatif palsu disebabkan beberapa faktor yaitu jumlah darah lt2ml darah

tidak segar atau dibiarkan membeku terlebih dahulu sebelum dikultur pasien saat diambil

darah sudah diberi terapi antibiotika atau pasien sudah mendapat vaksinasi Kekurangan

uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk

pertumbuhan bakteri yakni 7 hari (Christoper 2002)

8

3 Uji Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di

dalam darah) terhadap antigen bakteri Salmonella typhi Paratyphi (reagen) Antibodi

aglutinin yang dicari yaitu (Salih 2008)

o Aglutinin 0 (dari tubuh bakteri)

o Aglutinin H (flagela bakteri)

o Aglutinin Vi (simpai bakteri)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi bakteri ini

(Rao 2010) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering

diminta terutama di Negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia Sebagai uji

cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui Hasil positif palsu dapat disebabkan

oleh faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan

spesies lain (enterobacter) adanya faktor rheumatoid Hasil negatif palsu disebabkan

oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotik pengobatan dini dengan

antibiotik pemberian kortikosteroid waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu

dan teknik pemeriksaan labolatorium (Salih 2008) Saat ini belum ada kesamaan

pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic Batas titer yang sering

dipakai hanya kesepakatan saja berlaku setempat dan berbeda-beda di masing-masing

labolatorium Nilai cut off yang sering dipakai adalah titer O = 1160 titer H 1160

dengan peningkatan titer 4 kali setelah 2 kali pemeriksaan Pemeriksaan pertama di hari

ke-7 dan pemeriksaan berikutnya pada minggu ke-2 Aglutinin O akan bertahan 4-6 bulan

setelah sembuh sementara agglutinin H menetap 6-12 bulan Reaksi widal tunggal

agglutinin O 1320 atau agglutinin H 1640 dapat menyokong 12 (Iskandar 2000)

4 Kultur Sumsum Tulang Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif

dalam mengisolasi Styphi Menunjukkan hasil positif pada 80-85 pasien bahkan pada

pasien yang telah mendapat terapi antibiotik dalam beberapa hari (Agarwal 2004)

Isolasi S Typhi dari aspirasi sumsum tulang merupakan suatu prosedur yang sangat

invasif tetapi dianggap sebagai metode standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan

dilaporkan lebih sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar tetapi tidak

semua peneliti Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri dalam darah dan sumsum

tulang dan menemukan bahwa pada isolasi S Typhi dari sumsum tulang ditemukan

9

jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume

sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah

memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang

maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)

5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas

tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan

durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang

mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya

Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan

yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan

standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan

Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan

(John 2008)

6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah

dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)

Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering

terjadi (Christoper 2002)

7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari

sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe

typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada

penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid

menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen

tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan

titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas

tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays

(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi

dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal

TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)

(Brush 2010)

10

Terapi

1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid

yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari

daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan

yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan

antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda

untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis

mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali

lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa

komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan

teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang

lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi

Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)

2 Medika Mentosa

Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua

obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat

yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-

rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari

pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones

harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari

Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang

dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan

cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam

tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam

waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat

kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)

Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan

azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan

kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini

11

ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan

pilihan (Agarwal2004)

Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan

untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab

demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana

fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan

gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7

hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka

kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)

Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah

sebagai berikut (Suhendro 2000)

1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah

4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata

dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang

2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya

saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya

Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6

3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol

Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol

400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu

4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah

dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150

mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu

5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam

dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari

6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4

a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari

b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari

c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari

d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari

e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari

12

Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan

tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2

macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)

Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe

13

(diambil dari Agarwal 2004)

3 Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid

yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)

4 Demam tifoid pada wanita hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat

terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates

Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik

Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan

adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)

5 Perawatan Bedah

Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan

ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum

Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan

antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi

Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang

persisten (Duncan 2008)

6 Konsultasi

14

Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi

Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal

perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal

(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)

7 Diet

Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral

dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus

(Duncan 2008)

8 Aktivitas

Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan

demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien

harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan

2008)

Diferensial Diagnosis

Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya

Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara

lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)

1 malaria

2 abses dalam

3 tuberkulosis

4 abses hati amebic

5 ensefalitis

6 influenza

7 demam berdarah

8 leptospirosis

9 infeksi mononucleosis

10 endokarditis

11 brucellosis

15

12 tipus

13 visceral leishmaniasis

14 toksoplasmosis

15 penyakit lymphoproliferative

16 penyakit jaringan ikat

Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah

2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK

3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam

Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah

endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi

secara umum (Christoper 2002)

Komplikasi

Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada

pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)

Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid

Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric

Gastrointestinal

Haemorrhage

Gastrointestinal

perforation

Hepatitis

Cholecystitis

Asymptomatic ECG

change

Myocarditis

Shock

Encephalopathy

Delirium

Psychotic states

Meningitis

(diambil dari Duncan 2008)

Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid

16

Pernafasan Hematologi Lain-lain

Bronchitis

Pneumonia

(Salmonella Staph

aureus)

Anemia

DIC

Focal Abses

Pharingitis

Abortus

Relaps

Chronic karier

(diambil dari Duncan 2008)

Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada

penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi

juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan

2008)

Penderita Karier

Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada

10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama

seperti semula (Ferdinando2007)

Kronik karier

Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor

predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa

dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis

mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)

Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium

obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason

pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap

enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)

Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan

oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah

17

reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan

penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier

intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)

Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik

Carier tanpa batu

empedu

Terapi Dosis harian

(mgKg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

(diambil dari Hellena 2008)

Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien

demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada

beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)

Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk

menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan

kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap

masyarakat (Jhon 2010)

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)

- Sanitasi lingkungan

18

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 7: daftar pustaka

kesadaran Mengantuk terus menerus mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain

(Rahman 2010)

4 Minggu ke-3 Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu

Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati Bila keadaan membaik gejala-

gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun Meskipun demikian justru pada saat

ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat lepasnya kerak

dari ulkus Sebaliknya jika keadaan makin memburuk dimana toksemia memberat

dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stuporotot-otot bergerak terus

inkontinensia alvi dan inkontinensia urin Meteorismus dan timpani masih terjadi juga

tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut Penderita kemudian

mengalami kolaps Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal

maupun umum maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan

keringat dingin gelisah sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya

member gambaran adanya perdarahan dan merupakan penyebab umum dari terjadinya

kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Rahman 2010)

5 Minggu ke-4 Merupakan stadium penyembuhan (Rahman 2010)

Diagnosis

Kriteria Mansoni 1987

- Demam lebih dari 7 hari

- Bradikardia relative

- Coated Tongue

- Hepatosplenomegali

- Roseola spot

- Aneosinofilia

- Gangguan GI tract konstipasi diare

Minimal 5 dari 7 kriteria diatas terpenuhi maka seorang penderita dapat di diagnosis demam

tifoid Selain itu berbagai pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis demam

tifoid meliputi (Maripaandi 2010)

7

1 Pemeriksaan Darah dan Kimia Klinik

- Menunjukkan leukopenia dan neutropenia pada 50 pasien

- Seringkali terdapat peningkatan SGOT dan SGPT

- Adanya aneosinofilia

2 Gall culture Kultur darah Uji ini merupakan baku emas (Gold Standard) untuk

pemeriksaan Demam tifoidparatifoid Kultur darah merupakan metode diagnostik

standar Menunjukkan hasil positif pada 60-80 pasien Sensitivitas kultur darah lebih

tinggi pada minggu pertama sakit atau dilakukan pengambilan setelah minggu

pertamaberkurang dengan penggunaan antibiotik dan meningkat dengan banyaknya

volume darah kultur serta rasio darah dan kaldu (Maripaandi et al 2010) Kultur

organisme penyebab tetap menjadi prosedur diagnostik yang paling efektif dalam

mendiagnosis dugaan demam tifoid Penelitian menunjukkan bahwa 10 suspensi

empedu sapi adalah media terbaik untuk kultur darah Media ini tidak hanya memiliki

keuntungan dengan menghambat pertumbuhan kontaminan kulit tetapi juga menghambat

pertumbuhan bakteri paling patogen dari aliran darah lain sehingga tidak dapat digunakan

sebagai tes diagnostik rutin untuk bakteremia (John 2008) Di banyak laboratorium

diagnostik media kultur darah atau sering disebut botol untuk media kultur darah

mungkin tidak tersedia Pemeriksaan langsung dari buffy coat telah digunakan untuk

deteksi bakteri dalam darah tetapi dilaporkan memiliki nilai yang kecil karena kesalahan

tergantung operator Kultur langsung dan sentrifugasi darah bagaimanapun telah sangat

sukses Kultur langsung dengan buffy coat yang sebelumnya terbukti mengandung

hampir semua S Typhi yang ditemukan dalam darah karena itu harus dipikirkan

kemungkinan isolasi S Typhi tanpa perlu menggunakan media kultur darah atau botol

(John et al 2008) Interpretasi hasil Bila positif maka diagnosis pasti untu penyakit

demam tifoid Sebaliknya bila hasil negatif belum tentu bukan demam tifoid karena

hasil biakan negatif palsu disebabkan beberapa faktor yaitu jumlah darah lt2ml darah

tidak segar atau dibiarkan membeku terlebih dahulu sebelum dikultur pasien saat diambil

darah sudah diberi terapi antibiotika atau pasien sudah mendapat vaksinasi Kekurangan

uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk

pertumbuhan bakteri yakni 7 hari (Christoper 2002)

8

3 Uji Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di

dalam darah) terhadap antigen bakteri Salmonella typhi Paratyphi (reagen) Antibodi

aglutinin yang dicari yaitu (Salih 2008)

o Aglutinin 0 (dari tubuh bakteri)

o Aglutinin H (flagela bakteri)

o Aglutinin Vi (simpai bakteri)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi bakteri ini

(Rao 2010) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering

diminta terutama di Negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia Sebagai uji

cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui Hasil positif palsu dapat disebabkan

oleh faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan

spesies lain (enterobacter) adanya faktor rheumatoid Hasil negatif palsu disebabkan

oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotik pengobatan dini dengan

antibiotik pemberian kortikosteroid waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu

dan teknik pemeriksaan labolatorium (Salih 2008) Saat ini belum ada kesamaan

pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic Batas titer yang sering

dipakai hanya kesepakatan saja berlaku setempat dan berbeda-beda di masing-masing

labolatorium Nilai cut off yang sering dipakai adalah titer O = 1160 titer H 1160

dengan peningkatan titer 4 kali setelah 2 kali pemeriksaan Pemeriksaan pertama di hari

ke-7 dan pemeriksaan berikutnya pada minggu ke-2 Aglutinin O akan bertahan 4-6 bulan

setelah sembuh sementara agglutinin H menetap 6-12 bulan Reaksi widal tunggal

agglutinin O 1320 atau agglutinin H 1640 dapat menyokong 12 (Iskandar 2000)

4 Kultur Sumsum Tulang Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif

dalam mengisolasi Styphi Menunjukkan hasil positif pada 80-85 pasien bahkan pada

pasien yang telah mendapat terapi antibiotik dalam beberapa hari (Agarwal 2004)

Isolasi S Typhi dari aspirasi sumsum tulang merupakan suatu prosedur yang sangat

invasif tetapi dianggap sebagai metode standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan

dilaporkan lebih sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar tetapi tidak

semua peneliti Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri dalam darah dan sumsum

tulang dan menemukan bahwa pada isolasi S Typhi dari sumsum tulang ditemukan

9

jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume

sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah

memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang

maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)

5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas

tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan

durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang

mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya

Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan

yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan

standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan

Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan

(John 2008)

6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah

dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)

Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering

terjadi (Christoper 2002)

7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari

sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe

typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada

penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid

menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen

tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan

titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas

tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays

(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi

dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal

TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)

(Brush 2010)

10

Terapi

1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid

yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari

daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan

yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan

antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda

untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis

mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali

lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa

komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan

teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang

lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi

Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)

2 Medika Mentosa

Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua

obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat

yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-

rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari

pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones

harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari

Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang

dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan

cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam

tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam

waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat

kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)

Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan

azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan

kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini

11

ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan

pilihan (Agarwal2004)

Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan

untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab

demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana

fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan

gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7

hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka

kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)

Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah

sebagai berikut (Suhendro 2000)

1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah

4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata

dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang

2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya

saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya

Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6

3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol

Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol

400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu

4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah

dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150

mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu

5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam

dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari

6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4

a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari

b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari

c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari

d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari

e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari

12

Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan

tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2

macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)

Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe

13

(diambil dari Agarwal 2004)

3 Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid

yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)

4 Demam tifoid pada wanita hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat

terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates

Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik

Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan

adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)

5 Perawatan Bedah

Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan

ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum

Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan

antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi

Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang

persisten (Duncan 2008)

6 Konsultasi

14

Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi

Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal

perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal

(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)

7 Diet

Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral

dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus

(Duncan 2008)

8 Aktivitas

Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan

demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien

harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan

2008)

Diferensial Diagnosis

Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya

Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara

lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)

1 malaria

2 abses dalam

3 tuberkulosis

4 abses hati amebic

5 ensefalitis

6 influenza

7 demam berdarah

8 leptospirosis

9 infeksi mononucleosis

10 endokarditis

11 brucellosis

15

12 tipus

13 visceral leishmaniasis

14 toksoplasmosis

15 penyakit lymphoproliferative

16 penyakit jaringan ikat

Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah

2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK

3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam

Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah

endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi

secara umum (Christoper 2002)

Komplikasi

Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada

pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)

Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid

Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric

Gastrointestinal

Haemorrhage

Gastrointestinal

perforation

Hepatitis

Cholecystitis

Asymptomatic ECG

change

Myocarditis

Shock

Encephalopathy

Delirium

Psychotic states

Meningitis

(diambil dari Duncan 2008)

Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid

16

Pernafasan Hematologi Lain-lain

Bronchitis

Pneumonia

(Salmonella Staph

aureus)

Anemia

DIC

Focal Abses

Pharingitis

Abortus

Relaps

Chronic karier

(diambil dari Duncan 2008)

Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada

penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi

juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan

2008)

Penderita Karier

Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada

10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama

seperti semula (Ferdinando2007)

Kronik karier

Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor

predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa

dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis

mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)

Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium

obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason

pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap

enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)

Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan

oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah

17

reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan

penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier

intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)

Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik

Carier tanpa batu

empedu

Terapi Dosis harian

(mgKg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

(diambil dari Hellena 2008)

Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien

demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada

beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)

Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk

menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan

kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap

masyarakat (Jhon 2010)

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)

- Sanitasi lingkungan

18

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 8: daftar pustaka

1 Pemeriksaan Darah dan Kimia Klinik

- Menunjukkan leukopenia dan neutropenia pada 50 pasien

- Seringkali terdapat peningkatan SGOT dan SGPT

- Adanya aneosinofilia

2 Gall culture Kultur darah Uji ini merupakan baku emas (Gold Standard) untuk

pemeriksaan Demam tifoidparatifoid Kultur darah merupakan metode diagnostik

standar Menunjukkan hasil positif pada 60-80 pasien Sensitivitas kultur darah lebih

tinggi pada minggu pertama sakit atau dilakukan pengambilan setelah minggu

pertamaberkurang dengan penggunaan antibiotik dan meningkat dengan banyaknya

volume darah kultur serta rasio darah dan kaldu (Maripaandi et al 2010) Kultur

organisme penyebab tetap menjadi prosedur diagnostik yang paling efektif dalam

mendiagnosis dugaan demam tifoid Penelitian menunjukkan bahwa 10 suspensi

empedu sapi adalah media terbaik untuk kultur darah Media ini tidak hanya memiliki

keuntungan dengan menghambat pertumbuhan kontaminan kulit tetapi juga menghambat

pertumbuhan bakteri paling patogen dari aliran darah lain sehingga tidak dapat digunakan

sebagai tes diagnostik rutin untuk bakteremia (John 2008) Di banyak laboratorium

diagnostik media kultur darah atau sering disebut botol untuk media kultur darah

mungkin tidak tersedia Pemeriksaan langsung dari buffy coat telah digunakan untuk

deteksi bakteri dalam darah tetapi dilaporkan memiliki nilai yang kecil karena kesalahan

tergantung operator Kultur langsung dan sentrifugasi darah bagaimanapun telah sangat

sukses Kultur langsung dengan buffy coat yang sebelumnya terbukti mengandung

hampir semua S Typhi yang ditemukan dalam darah karena itu harus dipikirkan

kemungkinan isolasi S Typhi tanpa perlu menggunakan media kultur darah atau botol

(John et al 2008) Interpretasi hasil Bila positif maka diagnosis pasti untu penyakit

demam tifoid Sebaliknya bila hasil negatif belum tentu bukan demam tifoid karena

hasil biakan negatif palsu disebabkan beberapa faktor yaitu jumlah darah lt2ml darah

tidak segar atau dibiarkan membeku terlebih dahulu sebelum dikultur pasien saat diambil

darah sudah diberi terapi antibiotika atau pasien sudah mendapat vaksinasi Kekurangan

uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk

pertumbuhan bakteri yakni 7 hari (Christoper 2002)

8

3 Uji Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di

dalam darah) terhadap antigen bakteri Salmonella typhi Paratyphi (reagen) Antibodi

aglutinin yang dicari yaitu (Salih 2008)

o Aglutinin 0 (dari tubuh bakteri)

o Aglutinin H (flagela bakteri)

o Aglutinin Vi (simpai bakteri)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi bakteri ini

(Rao 2010) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering

diminta terutama di Negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia Sebagai uji

cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui Hasil positif palsu dapat disebabkan

oleh faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan

spesies lain (enterobacter) adanya faktor rheumatoid Hasil negatif palsu disebabkan

oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotik pengobatan dini dengan

antibiotik pemberian kortikosteroid waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu

dan teknik pemeriksaan labolatorium (Salih 2008) Saat ini belum ada kesamaan

pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic Batas titer yang sering

dipakai hanya kesepakatan saja berlaku setempat dan berbeda-beda di masing-masing

labolatorium Nilai cut off yang sering dipakai adalah titer O = 1160 titer H 1160

dengan peningkatan titer 4 kali setelah 2 kali pemeriksaan Pemeriksaan pertama di hari

ke-7 dan pemeriksaan berikutnya pada minggu ke-2 Aglutinin O akan bertahan 4-6 bulan

setelah sembuh sementara agglutinin H menetap 6-12 bulan Reaksi widal tunggal

agglutinin O 1320 atau agglutinin H 1640 dapat menyokong 12 (Iskandar 2000)

4 Kultur Sumsum Tulang Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif

dalam mengisolasi Styphi Menunjukkan hasil positif pada 80-85 pasien bahkan pada

pasien yang telah mendapat terapi antibiotik dalam beberapa hari (Agarwal 2004)

Isolasi S Typhi dari aspirasi sumsum tulang merupakan suatu prosedur yang sangat

invasif tetapi dianggap sebagai metode standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan

dilaporkan lebih sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar tetapi tidak

semua peneliti Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri dalam darah dan sumsum

tulang dan menemukan bahwa pada isolasi S Typhi dari sumsum tulang ditemukan

9

jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume

sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah

memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang

maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)

5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas

tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan

durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang

mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya

Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan

yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan

standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan

Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan

(John 2008)

6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah

dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)

Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering

terjadi (Christoper 2002)

7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari

sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe

typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada

penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid

menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen

tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan

titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas

tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays

(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi

dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal

TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)

(Brush 2010)

10

Terapi

1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid

yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari

daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan

yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan

antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda

untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis

mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali

lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa

komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan

teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang

lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi

Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)

2 Medika Mentosa

Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua

obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat

yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-

rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari

pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones

harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari

Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang

dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan

cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam

tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam

waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat

kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)

Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan

azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan

kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini

11

ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan

pilihan (Agarwal2004)

Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan

untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab

demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana

fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan

gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7

hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka

kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)

Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah

sebagai berikut (Suhendro 2000)

1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah

4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata

dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang

2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya

saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya

Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6

3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol

Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol

400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu

4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah

dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150

mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu

5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam

dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari

6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4

a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari

b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari

c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari

d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari

e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari

12

Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan

tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2

macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)

Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe

13

(diambil dari Agarwal 2004)

3 Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid

yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)

4 Demam tifoid pada wanita hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat

terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates

Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik

Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan

adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)

5 Perawatan Bedah

Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan

ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum

Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan

antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi

Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang

persisten (Duncan 2008)

6 Konsultasi

14

Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi

Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal

perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal

(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)

7 Diet

Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral

dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus

(Duncan 2008)

8 Aktivitas

Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan

demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien

harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan

2008)

Diferensial Diagnosis

Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya

Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara

lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)

1 malaria

2 abses dalam

3 tuberkulosis

4 abses hati amebic

5 ensefalitis

6 influenza

7 demam berdarah

8 leptospirosis

9 infeksi mononucleosis

10 endokarditis

11 brucellosis

15

12 tipus

13 visceral leishmaniasis

14 toksoplasmosis

15 penyakit lymphoproliferative

16 penyakit jaringan ikat

Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah

2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK

3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam

Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah

endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi

secara umum (Christoper 2002)

Komplikasi

Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada

pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)

Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid

Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric

Gastrointestinal

Haemorrhage

Gastrointestinal

perforation

Hepatitis

Cholecystitis

Asymptomatic ECG

change

Myocarditis

Shock

Encephalopathy

Delirium

Psychotic states

Meningitis

(diambil dari Duncan 2008)

Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid

16

Pernafasan Hematologi Lain-lain

Bronchitis

Pneumonia

(Salmonella Staph

aureus)

Anemia

DIC

Focal Abses

Pharingitis

Abortus

Relaps

Chronic karier

(diambil dari Duncan 2008)

Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada

penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi

juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan

2008)

Penderita Karier

Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada

10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama

seperti semula (Ferdinando2007)

Kronik karier

Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor

predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa

dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis

mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)

Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium

obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason

pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap

enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)

Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan

oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah

17

reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan

penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier

intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)

Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik

Carier tanpa batu

empedu

Terapi Dosis harian

(mgKg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

(diambil dari Hellena 2008)

Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien

demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada

beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)

Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk

menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan

kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap

masyarakat (Jhon 2010)

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)

- Sanitasi lingkungan

18

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 9: daftar pustaka

3 Uji Widal Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (di

dalam darah) terhadap antigen bakteri Salmonella typhi Paratyphi (reagen) Antibodi

aglutinin yang dicari yaitu (Salih 2008)

o Aglutinin 0 (dari tubuh bakteri)

o Aglutinin H (flagela bakteri)

o Aglutinin Vi (simpai bakteri)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi bakteri ini

(Rao 2010) Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering

diminta terutama di Negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia Sebagai uji

cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui Hasil positif palsu dapat disebabkan

oleh faktor-faktor antara lain pernah mendapatkan vaksinasi reaksi silang dengan

spesies lain (enterobacter) adanya faktor rheumatoid Hasil negatif palsu disebabkan

oleh karena penderita sudah mendapatkan terapi antibiotik pengobatan dini dengan

antibiotik pemberian kortikosteroid waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu

dan teknik pemeriksaan labolatorium (Salih 2008) Saat ini belum ada kesamaan

pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna diagnostic Batas titer yang sering

dipakai hanya kesepakatan saja berlaku setempat dan berbeda-beda di masing-masing

labolatorium Nilai cut off yang sering dipakai adalah titer O = 1160 titer H 1160

dengan peningkatan titer 4 kali setelah 2 kali pemeriksaan Pemeriksaan pertama di hari

ke-7 dan pemeriksaan berikutnya pada minggu ke-2 Aglutinin O akan bertahan 4-6 bulan

setelah sembuh sementara agglutinin H menetap 6-12 bulan Reaksi widal tunggal

agglutinin O 1320 atau agglutinin H 1640 dapat menyokong 12 (Iskandar 2000)

4 Kultur Sumsum Tulang Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif

dalam mengisolasi Styphi Menunjukkan hasil positif pada 80-85 pasien bahkan pada

pasien yang telah mendapat terapi antibiotik dalam beberapa hari (Agarwal 2004)

Isolasi S Typhi dari aspirasi sumsum tulang merupakan suatu prosedur yang sangat

invasif tetapi dianggap sebagai metode standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan

dilaporkan lebih sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar tetapi tidak

semua peneliti Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri dalam darah dan sumsum

tulang dan menemukan bahwa pada isolasi S Typhi dari sumsum tulang ditemukan

9

jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume

sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah

memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang

maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)

5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas

tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan

durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang

mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya

Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan

yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan

standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan

Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan

(John 2008)

6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah

dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)

Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering

terjadi (Christoper 2002)

7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari

sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe

typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada

penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid

menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen

tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan

titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas

tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays

(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi

dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal

TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)

(Brush 2010)

10

Terapi

1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid

yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari

daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan

yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan

antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda

untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis

mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali

lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa

komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan

teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang

lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi

Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)

2 Medika Mentosa

Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua

obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat

yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-

rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari

pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones

harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari

Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang

dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan

cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam

tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam

waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat

kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)

Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan

azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan

kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini

11

ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan

pilihan (Agarwal2004)

Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan

untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab

demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana

fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan

gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7

hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka

kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)

Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah

sebagai berikut (Suhendro 2000)

1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah

4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata

dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang

2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya

saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya

Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6

3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol

Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol

400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu

4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah

dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150

mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu

5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam

dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari

6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4

a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari

b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari

c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari

d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari

e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari

12

Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan

tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2

macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)

Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe

13

(diambil dari Agarwal 2004)

3 Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid

yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)

4 Demam tifoid pada wanita hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat

terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates

Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik

Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan

adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)

5 Perawatan Bedah

Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan

ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum

Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan

antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi

Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang

persisten (Duncan 2008)

6 Konsultasi

14

Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi

Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal

perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal

(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)

7 Diet

Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral

dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus

(Duncan 2008)

8 Aktivitas

Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan

demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien

harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan

2008)

Diferensial Diagnosis

Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya

Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara

lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)

1 malaria

2 abses dalam

3 tuberkulosis

4 abses hati amebic

5 ensefalitis

6 influenza

7 demam berdarah

8 leptospirosis

9 infeksi mononucleosis

10 endokarditis

11 brucellosis

15

12 tipus

13 visceral leishmaniasis

14 toksoplasmosis

15 penyakit lymphoproliferative

16 penyakit jaringan ikat

Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah

2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK

3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam

Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah

endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi

secara umum (Christoper 2002)

Komplikasi

Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada

pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)

Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid

Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric

Gastrointestinal

Haemorrhage

Gastrointestinal

perforation

Hepatitis

Cholecystitis

Asymptomatic ECG

change

Myocarditis

Shock

Encephalopathy

Delirium

Psychotic states

Meningitis

(diambil dari Duncan 2008)

Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid

16

Pernafasan Hematologi Lain-lain

Bronchitis

Pneumonia

(Salmonella Staph

aureus)

Anemia

DIC

Focal Abses

Pharingitis

Abortus

Relaps

Chronic karier

(diambil dari Duncan 2008)

Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada

penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi

juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan

2008)

Penderita Karier

Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada

10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama

seperti semula (Ferdinando2007)

Kronik karier

Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor

predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa

dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis

mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)

Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium

obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason

pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap

enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)

Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan

oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah

17

reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan

penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier

intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)

Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik

Carier tanpa batu

empedu

Terapi Dosis harian

(mgKg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

(diambil dari Hellena 2008)

Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien

demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada

beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)

Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk

menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan

kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap

masyarakat (Jhon 2010)

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)

- Sanitasi lingkungan

18

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 10: daftar pustaka

jumlah bakteri yang lebih besar dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume

sumsum tulang daripada per volume darah Namun jika cukup dengan kultur darah

memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur darah daripada kultur sumsum tulang

maka aspirasi sumsum tulang dapat dihindari (John 2008)

5 Kultur Feses Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30 pasien Sensitifitas

tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif akan meningkat bersamaan dengan

durasi penyakit (Agarwal et al2004) Pada kultur tinja media pengayaan yang

mengandung Selenite telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya

Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan tetapi belum ada perbedaan

yang signifikan dengan Selenite yang mengandung kaldu Media Selenite F merupakan

standar emas untuk isolasi Salmonella dari tinja untuk perbandingan Selenite F dan

Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut sebelum digunakan

(John 2008)

6 DNA Probe dan Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA probe dan PCR telah

dikembangkan untuk mendeteksi Styphi langsung dalam darah (Agarwal et al2004)

Metode ini belum banyak digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering

terjadi (Christoper 2002)

7 ELISA Diagnosis demam demam tifoid bergantung pada isolasi Salmonella Typhi dari

sampel klinis atau dari deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe

typhi yakni antigen O (LPS lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal) Pada

penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998 dimana saat itu Demam tifoid

menjadi suatu endemi diketahui bahwa respon antibode terhadap adanya kedua antigen

tersebut sangat bervariasi pada tiap individu yang terinfeksi Dan lagi terjadi peningkatan

titer antibodi pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari komunitas

tersebut Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked immunosorbent assays

(ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi

dan dibandingkan dengan tes dasar lain untuk mendiagnosis demam demam tifoid (Widal

TO dan TH anti-serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick dan IDeaL TUBEX)

(Brush 2010)

10

Terapi

1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid

yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari

daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan

yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan

antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda

untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis

mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali

lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa

komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan

teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang

lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi

Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)

2 Medika Mentosa

Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua

obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat

yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-

rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari

pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones

harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari

Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang

dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan

cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam

tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam

waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat

kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)

Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan

azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan

kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini

11

ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan

pilihan (Agarwal2004)

Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan

untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab

demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana

fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan

gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7

hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka

kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)

Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah

sebagai berikut (Suhendro 2000)

1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah

4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata

dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang

2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya

saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya

Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6

3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol

Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol

400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu

4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah

dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150

mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu

5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam

dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari

6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4

a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari

b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari

c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari

d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari

e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari

12

Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan

tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2

macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)

Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe

13

(diambil dari Agarwal 2004)

3 Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid

yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)

4 Demam tifoid pada wanita hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat

terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates

Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik

Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan

adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)

5 Perawatan Bedah

Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan

ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum

Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan

antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi

Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang

persisten (Duncan 2008)

6 Konsultasi

14

Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi

Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal

perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal

(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)

7 Diet

Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral

dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus

(Duncan 2008)

8 Aktivitas

Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan

demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien

harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan

2008)

Diferensial Diagnosis

Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya

Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara

lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)

1 malaria

2 abses dalam

3 tuberkulosis

4 abses hati amebic

5 ensefalitis

6 influenza

7 demam berdarah

8 leptospirosis

9 infeksi mononucleosis

10 endokarditis

11 brucellosis

15

12 tipus

13 visceral leishmaniasis

14 toksoplasmosis

15 penyakit lymphoproliferative

16 penyakit jaringan ikat

Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah

2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK

3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam

Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah

endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi

secara umum (Christoper 2002)

Komplikasi

Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada

pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)

Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid

Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric

Gastrointestinal

Haemorrhage

Gastrointestinal

perforation

Hepatitis

Cholecystitis

Asymptomatic ECG

change

Myocarditis

Shock

Encephalopathy

Delirium

Psychotic states

Meningitis

(diambil dari Duncan 2008)

Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid

16

Pernafasan Hematologi Lain-lain

Bronchitis

Pneumonia

(Salmonella Staph

aureus)

Anemia

DIC

Focal Abses

Pharingitis

Abortus

Relaps

Chronic karier

(diambil dari Duncan 2008)

Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada

penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi

juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan

2008)

Penderita Karier

Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada

10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama

seperti semula (Ferdinando2007)

Kronik karier

Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor

predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa

dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis

mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)

Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium

obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason

pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap

enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)

Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan

oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah

17

reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan

penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier

intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)

Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik

Carier tanpa batu

empedu

Terapi Dosis harian

(mgKg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

(diambil dari Hellena 2008)

Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien

demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada

beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)

Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk

menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan

kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap

masyarakat (Jhon 2010)

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)

- Sanitasi lingkungan

18

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 11: daftar pustaka

Terapi

1 Perawatan Medis Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid

yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari

daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan

yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid maka penggunaan

antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai Pengobatan tidak boleh ditunda

untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis

mengurangi risiko komplikasi dan kematian Terapi antibiotik harus dipersempit sekali

lagi dari informasi yang tersedia (Levine 2009) Pasien dengan penyakit tanpa

komplikasi dapat diobati secara rawat jalan Mereka harus disarankan untuk menerapkan

teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang

lain selama sakit Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi

Tinja dan urin harus dibuang secara aman (Getenet 2008)

2 Medika Mentosa

Pada 1990-an Styphi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua

obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama Sekarang fluorokuinolon adalah obat

yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid Panas berkurang dalam waktu rata-

rata kurang dari 4 hari dan angka kesembuhan melebihi 96 Kurang dari 2 dari

pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps Fluoroquinolones

harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari

Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang

dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang (Agarwal2004)

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone cefixime cefotaxime dan

cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam

tifoid Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim penurunan demam terjadi dalam

waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10 Tingkat

kekambuhan adalah 3-6 (Agarwal 2004)

Tingkat penyembuhan 95 dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan

azitromisin Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan

kesembuhan adalah lt3 Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini

11

ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan

pilihan (Agarwal2004)

Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan

untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab

demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana

fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan

gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7

hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka

kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)

Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah

sebagai berikut (Suhendro 2000)

1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah

4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata

dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang

2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya

saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya

Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6

3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol

Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol

400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu

4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah

dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150

mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu

5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam

dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari

6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4

a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari

b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari

c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari

d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari

e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari

12

Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan

tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2

macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)

Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe

13

(diambil dari Agarwal 2004)

3 Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid

yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)

4 Demam tifoid pada wanita hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat

terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates

Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik

Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan

adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)

5 Perawatan Bedah

Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan

ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum

Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan

antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi

Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang

persisten (Duncan 2008)

6 Konsultasi

14

Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi

Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal

perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal

(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)

7 Diet

Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral

dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus

(Duncan 2008)

8 Aktivitas

Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan

demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien

harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan

2008)

Diferensial Diagnosis

Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya

Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara

lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)

1 malaria

2 abses dalam

3 tuberkulosis

4 abses hati amebic

5 ensefalitis

6 influenza

7 demam berdarah

8 leptospirosis

9 infeksi mononucleosis

10 endokarditis

11 brucellosis

15

12 tipus

13 visceral leishmaniasis

14 toksoplasmosis

15 penyakit lymphoproliferative

16 penyakit jaringan ikat

Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah

2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK

3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam

Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah

endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi

secara umum (Christoper 2002)

Komplikasi

Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada

pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)

Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid

Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric

Gastrointestinal

Haemorrhage

Gastrointestinal

perforation

Hepatitis

Cholecystitis

Asymptomatic ECG

change

Myocarditis

Shock

Encephalopathy

Delirium

Psychotic states

Meningitis

(diambil dari Duncan 2008)

Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid

16

Pernafasan Hematologi Lain-lain

Bronchitis

Pneumonia

(Salmonella Staph

aureus)

Anemia

DIC

Focal Abses

Pharingitis

Abortus

Relaps

Chronic karier

(diambil dari Duncan 2008)

Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada

penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi

juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan

2008)

Penderita Karier

Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada

10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama

seperti semula (Ferdinando2007)

Kronik karier

Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor

predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa

dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis

mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)

Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium

obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason

pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap

enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)

Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan

oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah

17

reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan

penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier

intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)

Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik

Carier tanpa batu

empedu

Terapi Dosis harian

(mgKg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

(diambil dari Hellena 2008)

Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien

demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada

beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)

Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk

menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan

kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap

masyarakat (Jhon 2010)

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)

- Sanitasi lingkungan

18

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 12: daftar pustaka

ketiga Untuk demam tifoid yang berat fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan

pilihan (Agarwal2004)

Kloramfenikol amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan

untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab

demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana

fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau Obat-obat ini dapat menghilangkan

gejala dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7

hariNamun mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu Meskipun angka

kesembuhan adalah 95 tingkat relaps adalah 1-7 (Agarwal2004)

Sementara itu di Indonesia pemilihan antibiotika terhadapn demam tifoid adalah

sebagai berikut (Suhendro 2000)

1 Kloramenikol merupakan obat pilihan utama Dosis yang diberika adalah

4x500 mg per hari per oral Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata

dalam 7 hari Efek samping berupa depresi sum-sum tulang

2 Tiamfenikol dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya

saja memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya

Dosisnya adalah 4x500mg Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6

3 Kotrimoksazol dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol

Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol

400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu

4 Ampisilin dan amoksisilin kemampuan menurunkan demam lebih rendah

dibandingkan kloramfenikol dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150

mgkgBB dan digunakan selama 2 minggu

5 Sefalosporin generasi ke-3 seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam

dekstrosa 100cc diberikan frac12 jam per infuse per hari Diberikan 3-5 hari

6 Fluorokuinolon Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4

a Ofloxasin 2x400 mghari selama 7 hari

b Siprofloksasin 2x500 mghari selama 6 hari

c Pefloksasin 400 mghari selama 7 hari

d Fleroksasin 400 mghari selama 7 hari

e Norfloksasin 2x400 mghari selama 14 hari

12

Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan

tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2

macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)

Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe

13

(diambil dari Agarwal 2004)

3 Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid

yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)

4 Demam tifoid pada wanita hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat

terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates

Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik

Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan

adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)

5 Perawatan Bedah

Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan

ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum

Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan

antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi

Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang

persisten (Duncan 2008)

6 Konsultasi

14

Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi

Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal

perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal

(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)

7 Diet

Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral

dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus

(Duncan 2008)

8 Aktivitas

Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan

demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien

harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan

2008)

Diferensial Diagnosis

Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya

Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara

lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)

1 malaria

2 abses dalam

3 tuberkulosis

4 abses hati amebic

5 ensefalitis

6 influenza

7 demam berdarah

8 leptospirosis

9 infeksi mononucleosis

10 endokarditis

11 brucellosis

15

12 tipus

13 visceral leishmaniasis

14 toksoplasmosis

15 penyakit lymphoproliferative

16 penyakit jaringan ikat

Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah

2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK

3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam

Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah

endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi

secara umum (Christoper 2002)

Komplikasi

Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada

pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)

Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid

Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric

Gastrointestinal

Haemorrhage

Gastrointestinal

perforation

Hepatitis

Cholecystitis

Asymptomatic ECG

change

Myocarditis

Shock

Encephalopathy

Delirium

Psychotic states

Meningitis

(diambil dari Duncan 2008)

Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid

16

Pernafasan Hematologi Lain-lain

Bronchitis

Pneumonia

(Salmonella Staph

aureus)

Anemia

DIC

Focal Abses

Pharingitis

Abortus

Relaps

Chronic karier

(diambil dari Duncan 2008)

Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada

penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi

juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan

2008)

Penderita Karier

Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada

10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama

seperti semula (Ferdinando2007)

Kronik karier

Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor

predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa

dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis

mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)

Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium

obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason

pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap

enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)

Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan

oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah

17

reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan

penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier

intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)

Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik

Carier tanpa batu

empedu

Terapi Dosis harian

(mgKg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

(diambil dari Hellena 2008)

Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien

demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada

beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)

Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk

menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan

kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap

masyarakat (Jhon 2010)

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)

- Sanitasi lingkungan

18

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 13: daftar pustaka

Kadang perlu pemakaian 2 kombinasi antibiotika yang diindikasikan hanya pada keadaan

tertentu saja seperti toksik tifoid peritonitis atau perforasi septic syok dimana pernah terbukti 2

macam organisme selain bakteri Salmonella (Suhendro2000)

Tabel 1 Terapi Antibiotika Lini Pertama Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 2 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

(diambil dari Agarwal2004)

Tabel 3 Terapi Antibiotika Lini Kedua Pada Demam Tifoid Severe

13

(diambil dari Agarwal 2004)

3 Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid

yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)

4 Demam tifoid pada wanita hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat

terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates

Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik

Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan

adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)

5 Perawatan Bedah

Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan

ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum

Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan

antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi

Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang

persisten (Duncan 2008)

6 Konsultasi

14

Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi

Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal

perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal

(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)

7 Diet

Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral

dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus

(Duncan 2008)

8 Aktivitas

Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan

demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien

harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan

2008)

Diferensial Diagnosis

Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya

Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara

lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)

1 malaria

2 abses dalam

3 tuberkulosis

4 abses hati amebic

5 ensefalitis

6 influenza

7 demam berdarah

8 leptospirosis

9 infeksi mononucleosis

10 endokarditis

11 brucellosis

15

12 tipus

13 visceral leishmaniasis

14 toksoplasmosis

15 penyakit lymphoproliferative

16 penyakit jaringan ikat

Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah

2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK

3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam

Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah

endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi

secara umum (Christoper 2002)

Komplikasi

Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada

pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)

Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid

Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric

Gastrointestinal

Haemorrhage

Gastrointestinal

perforation

Hepatitis

Cholecystitis

Asymptomatic ECG

change

Myocarditis

Shock

Encephalopathy

Delirium

Psychotic states

Meningitis

(diambil dari Duncan 2008)

Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid

16

Pernafasan Hematologi Lain-lain

Bronchitis

Pneumonia

(Salmonella Staph

aureus)

Anemia

DIC

Focal Abses

Pharingitis

Abortus

Relaps

Chronic karier

(diambil dari Duncan 2008)

Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada

penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi

juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan

2008)

Penderita Karier

Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada

10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama

seperti semula (Ferdinando2007)

Kronik karier

Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor

predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa

dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis

mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)

Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium

obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason

pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap

enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)

Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan

oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah

17

reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan

penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier

intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)

Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik

Carier tanpa batu

empedu

Terapi Dosis harian

(mgKg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

(diambil dari Hellena 2008)

Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien

demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada

beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)

Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk

menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan

kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap

masyarakat (Jhon 2010)

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)

- Sanitasi lingkungan

18

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 14: daftar pustaka

(diambil dari Agarwal 2004)

3 Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid diindikasikan pada tifoid toksik atau demam tifoid

yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg (Suhendro 2000)

4 Demam tifoid pada wanita hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dapat

terjadi partus prematurus kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonates

Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik

Klotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh digunakan Obat yang dianjurkan

adalah ampisilin amoksisilin dan seftriakson (Suhendro 2000)

5 Perawatan Bedah

Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus Kebanyakan

ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan drainase peritoneum

Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda Jika perawatan

antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary kandung empedu harus direseksi

Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam pemberantasan karier karena infeksi hati yang

persisten (Duncan 2008)

6 Konsultasi

14

Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi

Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal

perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal

(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)

7 Diet

Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral

dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus

(Duncan 2008)

8 Aktivitas

Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan

demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien

harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan

2008)

Diferensial Diagnosis

Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya

Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara

lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)

1 malaria

2 abses dalam

3 tuberkulosis

4 abses hati amebic

5 ensefalitis

6 influenza

7 demam berdarah

8 leptospirosis

9 infeksi mononucleosis

10 endokarditis

11 brucellosis

15

12 tipus

13 visceral leishmaniasis

14 toksoplasmosis

15 penyakit lymphoproliferative

16 penyakit jaringan ikat

Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah

2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK

3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam

Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah

endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi

secara umum (Christoper 2002)

Komplikasi

Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada

pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)

Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid

Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric

Gastrointestinal

Haemorrhage

Gastrointestinal

perforation

Hepatitis

Cholecystitis

Asymptomatic ECG

change

Myocarditis

Shock

Encephalopathy

Delirium

Psychotic states

Meningitis

(diambil dari Duncan 2008)

Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid

16

Pernafasan Hematologi Lain-lain

Bronchitis

Pneumonia

(Salmonella Staph

aureus)

Anemia

DIC

Focal Abses

Pharingitis

Abortus

Relaps

Chronic karier

(diambil dari Duncan 2008)

Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada

penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi

juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan

2008)

Penderita Karier

Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada

10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama

seperti semula (Ferdinando2007)

Kronik karier

Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor

predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa

dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis

mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)

Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium

obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason

pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap

enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)

Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan

oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah

17

reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan

penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier

intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)

Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik

Carier tanpa batu

empedu

Terapi Dosis harian

(mgKg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

(diambil dari Hellena 2008)

Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien

demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada

beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)

Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk

menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan

kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap

masyarakat (Jhon 2010)

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)

- Sanitasi lingkungan

18

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 15: daftar pustaka

Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit infeksi

Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan perforasi gastrointestinal

perdarahan gastrointestinal yang serius kolesistitis atau komplikasi ekstraintestinal

(arteritis endokarditis abses organ) (Duncan 2008)

7 Diet

Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin Nutrisi oral

dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi perut atau ileus

(Duncan 2008)

8 Aktivitas

Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien dengan

demam tifoid Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien

harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan (Duncan

2008)

Diferensial Diagnosis

Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang endemik lainnya

Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding demam tifoid antara

lain sebagai berikut (Christoper et al 2002)

1 malaria

2 abses dalam

3 tuberkulosis

4 abses hati amebic

5 ensefalitis

6 influenza

7 demam berdarah

8 leptospirosis

9 infeksi mononucleosis

10 endokarditis

11 brucellosis

15

12 tipus

13 visceral leishmaniasis

14 toksoplasmosis

15 penyakit lymphoproliferative

16 penyakit jaringan ikat

Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah

2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK

3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam

Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah

endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi

secara umum (Christoper 2002)

Komplikasi

Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada

pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)

Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid

Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric

Gastrointestinal

Haemorrhage

Gastrointestinal

perforation

Hepatitis

Cholecystitis

Asymptomatic ECG

change

Myocarditis

Shock

Encephalopathy

Delirium

Psychotic states

Meningitis

(diambil dari Duncan 2008)

Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid

16

Pernafasan Hematologi Lain-lain

Bronchitis

Pneumonia

(Salmonella Staph

aureus)

Anemia

DIC

Focal Abses

Pharingitis

Abortus

Relaps

Chronic karier

(diambil dari Duncan 2008)

Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada

penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi

juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan

2008)

Penderita Karier

Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada

10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama

seperti semula (Ferdinando2007)

Kronik karier

Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor

predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa

dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis

mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)

Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium

obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason

pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap

enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)

Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan

oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah

17

reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan

penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier

intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)

Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik

Carier tanpa batu

empedu

Terapi Dosis harian

(mgKg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

(diambil dari Hellena 2008)

Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien

demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada

beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)

Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk

menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan

kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap

masyarakat (Jhon 2010)

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)

- Sanitasi lingkungan

18

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 16: daftar pustaka

12 tipus

13 visceral leishmaniasis

14 toksoplasmosis

15 penyakit lymphoproliferative

16 penyakit jaringan ikat

Berdasarkan etiologinya penyakit-penyakit tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1 Infeksi virus infectious mononucleosis ensefalitis influenza demam berdarah

2 Infeksi bakteri Leptospirosis endokarditis brucellosis TBC ISK

3 Lain-lain penyakit jaringan ikat malaria abses dalam

Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik riwayat bepergian ke daerah

endemik sangat penting ditanyakan Algoritma klinis telah dikembangkan tetapi belum divalidasi

secara umum (Christoper 2002)

Komplikasi

Komplikasi tifoid fever terjadi pada 10-15 pada pasien dan lebih sering terjadi pada

pasien yang telah demam lebih dari dua minggu (Getenet 2008)

Tabel 4 Komplikasi Demam Tifoid

Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric

Gastrointestinal

Haemorrhage

Gastrointestinal

perforation

Hepatitis

Cholecystitis

Asymptomatic ECG

change

Myocarditis

Shock

Encephalopathy

Delirium

Psychotic states

Meningitis

(diambil dari Duncan 2008)

Tabel 5 Komplikasi Demam Tifoid

16

Pernafasan Hematologi Lain-lain

Bronchitis

Pneumonia

(Salmonella Staph

aureus)

Anemia

DIC

Focal Abses

Pharingitis

Abortus

Relaps

Chronic karier

(diambil dari Duncan 2008)

Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada

penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi

juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan

2008)

Penderita Karier

Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada

10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama

seperti semula (Ferdinando2007)

Kronik karier

Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor

predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa

dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis

mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)

Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium

obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason

pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap

enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)

Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan

oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah

17

reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan

penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier

intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)

Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik

Carier tanpa batu

empedu

Terapi Dosis harian

(mgKg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

(diambil dari Hellena 2008)

Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien

demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada

beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)

Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk

menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan

kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap

masyarakat (Jhon 2010)

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)

- Sanitasi lingkungan

18

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 17: daftar pustaka

Pernafasan Hematologi Lain-lain

Bronchitis

Pneumonia

(Salmonella Staph

aureus)

Anemia

DIC

Focal Abses

Pharingitis

Abortus

Relaps

Chronic karier

(diambil dari Duncan 2008)

Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal terjadi hingga 10 pada

penderita akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada pembuluh darah enterik Re-infeksi

juga dapat terjadi dan dapat dibedakan dengan relapse melalui tipe molekulernya (Duncan

2008)

Penderita Karier

Karier temporer mengekskresi Styphi pada feces selama tiga bulan Hal ini tampak pada

10 pasien yang telah sembuh Relapse terjadi pada 5-10 pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama

seperti semula (Ferdinando2007)

Kronik karier

Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun 1-4 pasien menunjukan kronik karier Faktor

predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan pada kelompok usia dewasa

dan cholelithiasis Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal seperti schistosomiasis

mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama (Ferdinando2007)

Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan delirium

obtundation stupor komaatau shock memiliki keuntungan dengan penggunaan deksametason

pada terapi Dosis awal deksametason adalah 3mgkg pelan IV diikuti dengan 1 mgkg setiap

enam jam penambahan dosis mengurangi mortalitas yang signifikan (Anil2008)

Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan air darah dan

oksigen yang sesuai diikuti terapi dari bedah Macam-macam operasi dengan reseksi adalah

17

reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan

penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier

intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)

Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik

Carier tanpa batu

empedu

Terapi Dosis harian

(mgKg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

(diambil dari Hellena 2008)

Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien

demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada

beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)

Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk

menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan

kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap

masyarakat (Jhon 2010)

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)

- Sanitasi lingkungan

18

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 18: daftar pustaka

reseksi usus dan anastomosis primer atau primary wedge resection debridemen ulkus dan

penutupan Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32 (Mohammad et al2008)

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid Mayoritas karier

intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih lama (Hellena et al 2008)

Tabel 5 Terapi Demam Tifoid Karier Kronik

Carier tanpa batu

empedu

Terapi Dosis harian

(mgKg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua kali 28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

(diambil dari Hellena 2008)

Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam menyembuhkan pasien

demam tifoid dengan komplikasi minimal Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada

beberapa faktor misal berat ringan dari penyakit kondisi pasien dan resistensi obat begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung (Tikki 2008)

Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri Untuk

menurunkan insidensi demam tifoid harus diidentifikasi bakteri penyebab meningkatkan

kesehatan umumpersonal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap

masyarakat (Jhon 2010)

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah (Daigle 2008)

- Sanitasi lingkungan

18

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 19: daftar pustaka

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah dengan insidensi tinggi

resissten terhadap antibiotik yang ada Insidensi tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah

Setiap negara demikian dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas (Moehario 2009)

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai (Moehario 2009)

1 Heat-killed phenol extracted typhoid vaccine Diberikan dosis 05 ml injeksi

subcutan dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster diperlukan setiap tiga

ahun

2 Live oral vaccine (Ty21A) Strain ini menimbulkan respon imun protektif

Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1 3 5 dan 7 diberikan cocok untuk

dewasa dan anak lebih dari 6 tahun Booster diperlukan setiap 5 tahun Pada

beberapa penelitian vaksin ini memeberikan proteksi sebesar 65-95

3 Purified Vi Polysaccharide vaccine diberikan secara intra muscular pada anak

lebih dari 2 tahun Proteksi ini sebesar 64-72 selama dua minggu pemberian

dan bertahan selama 2 tahun

19

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 20: daftar pustaka

BAB III

KESIMPULAN

Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama

bakteri S typhi Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang

buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan Host S typhi

yang utama adalah manusia dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat

menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu

intervensi bedah Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya

mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya

20

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 21: daftar pustaka

Daftar Pustaka

Agarwal PK Atul G RK Gupta 2004 Lecture Note Tyfoid Fever JIAM 2004 5 (1) 60-4

Anil P et al 2008 A Patient With Paratyphoid A Fever An Emerging Problem in Asia and Not

Always a Benign Disease Journal of Travel Medicine vol 15 Issue 5 364-365 2008

Aulia D Widiyanto T Demam Tifoid Exomed Indonesia Accessed at

httpwww Medical

journalcocc201003demam-tifoid_04html 2010

Badrijah M Demam tifoid Abdominalis Accessed at

http adulgoparfileswordpresscom

200912demam-tifoidpdf 2009

Balentine Jerry Typhoid Fever Typhoid Fever Causes Symptoms Treatment and Vaccine

Accessed at httpwwwmedicinenetcomtyphoid_feverarticlehtm2011

Budi S Epidemiologi Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian IlmuPenyakitDalam FKUI Hal 1

Brush Jl Typhoid Fever Deferential Diagnoses and work Up 2010 Accessed at

httpemedicinemedscapecomarticle231135-diagnosis

Daigle France 2008 Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis J

Infect Developing Countries 2008 2(6) 431-437

Christopher M et al 2002 Typhoid Fever N Engl J Med 2002 3471770-1782

Duncan S 2008 The Importance of Generating Evidance on Typhoid Fever for Implementing

Vacciation Strategies J Infect Developing Countries 2008 (4) 250-252

Ferdinando R Salvatore NB 2007 Typhoid Fever and Acut Pancreatities Two Cases

(Abstract) Le Infezioni in Medicina n1 63-65 2007

Getenet B et al 2008 Typhoid Fever in Ethiopia J Infect Developing Countries 2008 2(6)

431-437

Hellena M BS Smith 2008 SPI-7 Sallmonellarsquos Vi-Encoding Pathogenicity Island J Infect

Developing Countries 2008 2(4) 267-271

Iskandar Z Diagnosis Demam Tifoid Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000

Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal

6-10

21

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 22: daftar pustaka

John W et al 2008 Specimens and Culture Media for the Laboratory Diagnosis of Typhoid

Fever J Infect Developing Countries 2008 2(6) 469-474

Levine Morgan M 2009 Typoid Vaccines Ready for Implementation N Engl J Med 2009 361

403-405

Manuela R R Paul W Sebastian EW Andreas JB 2008Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever

J Infect Developing Countries 2008 (4) 260-266

Maripaandi A Ali AA 2010 Case-Report Typhoid Fever with Severe Abdominal Pain

Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen Ulsanogram Hematology-Cell Analysis

and the Widal Test J Infect Dev Countries 2010 4 (9) 593-596

Mohammad H Ratnawati 2008 Enteric Fever in Endemi Areas of Indonesia an Increasing

Problem of Resistance J Infect Developing Countries 2008 2(4) 279-282

Moehario Lucky H 2009 The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros Indonesia

Reveals Bacterial Migration J Infect Dev Ctries2009 3(8) 579-58

Rahman A et al 2010 Typhoid Fever in Children-An Update (Review Articles) J Dhaka Med

Coll 2010 19(2) 135-143

Rao S Widal Test 2010 Department of Microbiology Accessed at

httpwwwmicroraocommicronoteswidalpdf

Salih H et al 2008 Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among Culture Proven

Typhoid Fever Cases J Infect Developing Countries 2008 2(6) 475-478

Sudoyo W Setiyohadi B Alwi I et al Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Interna Pubishing Jakarta 2009 Hal 1200-06

Suhendro Inada K Hendrawanto Zulkarnain I Patogenesis Demam Tifoid Dalam Buku

Panduan dan Diskusi Demam Tifoid 2000 Jakarta Subagian Penyakit Tropik Dan

Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI Hal 3

22

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 23: daftar pustaka

REFERAT

DEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

Disusun oleh

Andyan Yugatama

03008028

Dokter Pembimbing

Dr Sunarto SpPD Dr Nurmilawati SpPD Dr Said Baraba SpPD

23

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 24: daftar pustaka

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JANUARI 2013

REFERAT

ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo

Disusun Oleh

Andyan Yugatama

03008028

Referat telah dipresentasikan pada

Tanggal 16 Januari 2013

Tempat RSUD Kardinah Tegal

Referat telah direvisi pada

Tanggal Revisi 17 Januari 2013

Telah Disetujui oleh

Dosen Pembimbing Penguji

24

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 25: daftar pustaka

dr Sunarto SpPD dr Nurmila SpPD dr Said B SpPD

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

berkah dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan referat mengenai ldquoDEMAM

TIFOI DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAANrdquo

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam

menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Trisakti di RSU Kardinah

Tegal periode 18 November 2012-19 Januari 2013

Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi Penulis sendiri dan

kepada Pembaca pada umumnya Penulis juga ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat iniyaitu

1 Dr Sunarto SpPD

2 Dr Nurmilawati SpPD

3 Dr Said Baraba SpPD

4 Rekan ndash rekan anggota kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam RSU

Kardinah Kota Tegal

Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna Oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan Penulis agar reerat ini dapat menjadi lebih baik

Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun

kekurangan dalam referat ini

Tegal Januari 2013

25

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo
Page 26: daftar pustaka

Penulis

26

  • ldquoDEMAM TIFOID DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANANrdquo