Daftar Isi - mbojoysaluta.files.wordpress.com  · Web viewPengertian berikutnya dapat disimak...

54
PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 (STUDI DI KOTA BIMA) TESIS BIMA FATHURRAHMAN i

Transcript of Daftar Isi - mbojoysaluta.files.wordpress.com  · Web viewPengertian berikutnya dapat disimak...

PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004

(STUDI DI KOTA BIMA)

TESIS

BIMA FATHURRAHMAN

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUMPROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MATARAM

MATARAM2009

i

PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004

(STUDI DI KOTA BIMA)

TESIS

Diajukan untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh GelarMagister Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Universitas Mataram

BIMA FATHURRAHMAND2A.003.097

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUMPROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MATARAM

MATARAM2009

ii

Halaman Persetujuan Pembimbing

JUDUL

PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004

(STUDI DI KOTA BIMA)

OLEH :

BIMA FATHURRAHMAND2A.003.097

DISETUJUI OLEH :

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Dr. Gatot Dwi Hendro SH.,MH Hj.Nuralam Abdullah, SH.,M.Hum. NIP : 131 763 419 NIP : 131 483996

iii

RINGKASANProses Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ( Study Di Kota Bima )

Nama : Bima FathurrahmanNIM : D2a.003.097

Reformasi Pemerintahan yang terjadi di Indonesia saat ini telah mengakibatkan terjadinya pergeseran Paradigma dari sentralistik kearah Desentralisasi yang ditandai dengan Pemberian Otonomi kepada daerah. Peran Peraturan Perundang-undangan khususnya Peraturan Daerah sangan urgen fungsi dan kedudukannya dalam mengatur dan menata kehidupan masyarakat di masing-masing daerah.

Peraturan Daerah memiliki kedudukan dan peran yang strategis baik dalam system peraturan perundang-undangnan secara nasional maupun perannya sebagai norma hukum yang mengatur kehidupan masyarakat ditiap Daerah. Dalam tata urutan perturan perundang-undangn sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 2004 pada pasal 7 ayat (1), bahwa Perturan daerah berada pada urutan ke-5. Hal ini menunjukan bahwa Peraturan daerah harus selaras dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada tingkat yang diatasnya. Dan peran Peraturan Daerah terhadap daerah yang bersangkutan adalah dalam mengatur kehidupan masyarakatnya sekalugus berperan dalam menyerap aspirasi dalam pembentukan Peraturan daerah tersebut.

Konsistensi dalam kedudukan dan peran Peraturan Daerah baik terhadap tata urutan perturan perundang-undangan

iv

maupun terhadap daya jangkaunya terhadap pengaturan di daerah tentunya akan dikaji lebih jauh dalam tesis ini.

Penelitan ini merupakan penelitian hukum Normatif dengan pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan Doctrinal (Doctrinal approach) serta mengkaji bahan hukum premier, maupun sekunder, dan tersier. Tekhnik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan melalui studi kepustakaan dan inventarisasi peraturan hukum dengan proses identifikasi secara kritis analitis, selanjutnya dengan melalui proses klasifikasi yang kemudian melahirkan sistematisasi pokok masalah. Dan analisis bahan hukum menggunakan analisis dengan pendekatan deduktif yaitu berangkat dari kerangka teori yang umum untuk selanjutnya dikorelasikan dengan kenyataan-kenyataan obyektif.

Dari hasil penelitian, bahwa pembentukan peraturan daerah di Kota Bima masih menunjukan adanya kekurangan dari segi kejelasan bahasa dalam ketentuan pasal, serta adanya keselahan dalam penentuan orang pribadi dan atau badan sebgai objek peraturan daerah tersebut. Hal lainnya juga adalah masih adanya kalimat atau kata-kata yang multi interpertasi, sehingga mengaburkan makna dan sasaran dari peraturan daerah tersebut.

v

ABSTRAKProses Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ( Study Di Kota Bima )

Nama : Bima FathurrahmanNIM : D2a.003.097

Dalam penelitian ini mengetahui apakah asas materi muatan dan teknik pembentukan peraturan perundang-undangan yang tercermin dalam peraturan daerah yang ada di kota Bima. Kedua asas ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang kemudian menjadi alat analisa dalam mengamati beberapa peraturan daerah.

Pada penelitian ini menggunakan pendekatan normatif yang mengkaji beberapa bahan hukum berupa asas-asas dalam pembentukan peraturan daerah. Dalam pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan melalui studi kepustakaan dan inventarisasi peraturan hukum dengan proses identifikasi secara kritis analitis, selanjutnya dengan melalui proses klasifikasi yang kemudian melahirkan sistematisasi pokok masalah. Dan analisis bahan hukum menggunakan analisis dengan pendekatan deduktif yaitu berangkat dari kerangka teori yang umum untuk selanjutnya dikorelasikan dengan kenyataan-kenyataan obyektif.

Dari hasil penelitian, bahwa pembentukan peraturan daerah di Kota Bima masih menunjukan adanya kekurangan dari segi kejelasan bahasa dalam ketentuan pasal, serta adanya keselahan dalam penentuan orang pribadi dan atau badan sebgai objek peraturan daerah tersebut. Hal lainnya juga adalah masih adanya kalimat atau kata-kata yang multi interpertasi, sehingga mengaburkan makna dan sasaran dari peraturan daerah tersebut.

vi

ABSTRACTProses Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ( Study Di Kota Bima )

Nama : Bima FathurrahmanNIM : D2a.003.097

In this research know what is payload items ground and technique forming of law and regulation which is mirror in by law exist in town of Bima. Both of this ground of mirror in Law Number 10 Year 2004 which later;then become appliance analyse in perceiving some by law.

At this research use approach of normatif which studying some materials punish in the form of grounds in by law forming. In gathering of law materials conducted by through bibliography study and stocktaking regulation of law with process identify critically is analytical, hereinafter through classification process which later, then bear the root of the matter systematization. And law materials analysis use analysis with deductive approach that is leaving from common theory framework henceforth correlation with facts of objective.

From result of research, that by law forming in Town of Bima still of menunjukan the existence of lacking of from facet clarity of Ianguage in rule of section, and also the existence of keselahan in determination of personal people and or body of sebgai by law object. Its something else also is there is still its of words or sentence which is multi interpretation, so that blur target and meaning of by law.

vii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Penulis Panjatkan Kehadirat Allah SWT, Raja Manusia Penguasa Alam Semesta atas segala Limpahan Rahmat, Hidayah dan Inayahnya serta Shalawat dan Salam kepada Sang Nabi Akhirul Zaman, Sang pembawa Cahaya Islam Nabi Besar Muhammad SAW sehingga Tesis Penulis yang diberi judul “ Proses Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ( Study Di Kota Bima ) “ dapat selesai dirampungkan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Penulisan Tesis ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister di bidang hukum pada Program Pasca Sarjana Univeritas Mataram.

Pada kesempatan ini pula penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Manshur Ma’shum, M.Sc, PhD, Selaku

Rektor Universitas Mataram2. Bapak Prof. Dr. Galang Asmara, SH, M.Hum, selaku Dekan

Fakultas Hukum Universitas Mataram.

viii

3. Bapak Dr. Idrus Abdullah, SH selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram atas segala bantuan, kebijaksanaan dan pandangannya kepada penulis

4. Bapak Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram beserta staff atas segala bantuannya selama ini kepada Penulis

5. Bapak Dr. gatot Dwi Hendro Wibowo, SH. MH selaku Pembimbing I dan Bunda Hj. Nuralam Abdullah, SH.M.Hum, selaku Pembimbing II atas segala bimbingan dan masukannya selama proses pembuatan Tesis ini.

6. Bapak Ibu Dosen Pengajar yang maaf tak bias penulis sebut satu persatu namanya disini, terima kasih banyak atas bimbingannya selama ini.

7. Bapak Ketua STIH Muhammadiyah Bima, serta Jajaranya dan Rekan-Rekan Pengajar STIH Muhammdiyah Bima atas dukungan Moril dan Sprituilnya selama ini kepada Penulis.

8. Sahabat-Sahabatku Terbaik ( Thessa, Yuddi, Fadly, Vita, Alm. Iwan Ardiansyah ) atas dukungan dan semangat yang diberikan kepada Penulis hinga penulis bisa mengakhiri penulisan tesis ini.

9. Secara Khusus Kepada Kedua Orang Tuaku, Adik-adikku Tersayang, serta Bunga Hatiku Tercinta Yanti Kusnawati, atas semua dukungan, do’a dan pengertiannya selama penulis menyelesaikan perkuliahan.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari suatu kesempurnaan, karena itu sarandan masukan guna penyempurnaan Tesis ini sangat penulis Harapkan.

ix

Harapan Penulis apa yang termuat dalam Tesis ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua, amin ya rabbal alamiin.

Mataram, 20 Mei 2009Penulis,

Bima Fathurrahman

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………….. iHALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………….. iiHALAMAN PENGUJI………………………………………………………………. iiiRINGKASAN…………………………………………………………………………. ivABSTRAK…………………………………………………………….................. viKATA PENGANTAR……………………………………………………………….. viii

x

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………. x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ......................................................... 1B. Perumusan Masalah ................................................. 7C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................ 8D. Ruang Lingkup

Penenlitian……………………………………………. ......9E. Landasan Teoritis .........................................................

9 F. Metode Penelitian ........................................................

27

BAB II ASPEK ASPEK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

A. Landasan Pembentukan Peraturan Daerah.............. 32B. Prinsip-prinsip Pembentukan Peraturan Daerah....... 37C. Tahapan Dalam Pembentukan Peraturan Daerah .... 40

BAB III ASAS MATERI MUATAN DAN TEKNIK PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

A. Asas Materi Muatan ................................................. 47B. Asas Tehknik Pembentukan ..................................... 60

BAB IV ANALISA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DI KOTA BIMA A. Analisa Terhadap Peraturan Daerah Nomor 21

Tahun 2004 tentang Pajak Hotel dan Restoran ................... 93

xi

B. Analisa Terhadap Peraturan Daerah Nomor 13Tahun 2005 tentang Retribusi Pelayanan Pasar.................... 96

BAB V PENUTUPA. Kesimpulan ......................................................................

99B. Saran-saran ...................................................................

102

DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

xii

A. Latar Belakang Permasalahan

Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia saat

ini telah mengakibatkan pula terjadinya pergeseran

paradigma dari sentralistik kearah desentralisasi, yang

ditandai dengan pemberian otonomi kepada daerah.

Bagaimanapun juga sentralisasi mengakibatkan

terjadinya ketimpangan pertumbuhan pembangunan yang

hanya terpusat pada pulau jawa dengan hegemoni

“Jakarta”nya pembangunan di berbagai sektor di daerah-

daerah mengalami ketimpangan dengan adanya

desentralisasi seperti sekarang diharapkan daerah dapat

melakukan pembangunan secara maksimal di daerahnya

sendiri sehingga tercipta pemerataan pembangunan.

Pengalaman dari banyak Negara mengungkapkan

bahwa pemberian otonomi kepada daerah-daerah merupakan

salah satu resep politik penting untuk mencapai sebuah

stabilitas system dan sekaligus membuka kemungkinan bagi

proses demokratisasi yang pada gilirannya nanti akan

semakin mengukuhkan stabilitas sistim secara keseluruhan.

Pelaksanaan desentralisasi dengan pemberian otonomi

kepada daerah tidak demikian mudahnya memenuhi

keinginan daerah bahwa dengan otonomi daerah segalanya

xiii

akan berjalan dengan lancar dan mulus. Keberhasilan otonomi

daerah sangat tergantung kepada pemerintah daerah dalam

hal ini yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan

Kepala Daerah dan Perangkat daerah lainnya, artinya perlu

adanya hubungan yang harmonis antara Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) dengan Kepala daerah, antara

eksekutif dengan legislatif.

Salah satu unsur penting dalam gagasan desentralisasi

dan Otonomi Daerah ini adalah adanya keinginan yang sangat

kuat agar proses pembangunan dimasa depan benar-benar

bertumpu pada kepentingan rakyat kebanyakan terutama

mereka yang ada didaerah daerah. Keinginan yang sangat

kuat ini didasarkan pada kenyataan masa lampau yang lebih

mengedepankan pandangan pusat yang dianggap telah

mencerminkan dan mewakili kepentingan massa rakyat

daerah.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah ini selain

diselenggarakan sesuai dengan amanat undang-undang

otonomi daerah yaitu Undang-Undang no. 32 Tahun 2004

sebagaimana yang telah dirubah dalam Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah tentu saja

memerlukan aturan-aturan perundangan lain yang bersifat

kedaerahan yang disebut dengan peraturan daerah yang

xiv

diharapkan akan mampu menunjang perwujudan otonomi

daerah yang diidamkan selama ini.

Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 jo. Undang-

Undang 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah dalam

Pasal 42 ayat (1) huruf a menjelaskan yang pada intinya

adalah bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

bersama Kepala Daerah membentuk Peraturan Daerah yang

dibahas untuk mendapat persetujuan bersama Junto Pasal 25

butir b dan c yang berbunyi Kepala Daerah mempunyai tugas

dan wewenang mengajukan Peraturan Daerah dan

menetapkan Peraturan Daerah yang telah mendapat

persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD)

Peraturan Daerah ini menjadi sangat penting karena

selain merupakan penjabaran atas peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi, peraturan daerah juga harus

memperhatikan betul kebutuhan dan perkembangan yang

ada di daerah yang bersangkutan, artinya dengan

diterbitkannya Peraturan Daerah ini jangan sampai

mengakibatkan terganggunya kerukunan antar warga

masyarakat, terganggunya pelayanan umum dan

ketentraman/ketertiban umum serta menimbulkan kebijakan

yang bersikap diskriminatif.

xv

Berkaitan dengan Pembentukan Peraturan Daerah telah

pula diatur dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang

mengatur tentang prosedur dan tehnis pembentukan

Peraturan perundang-undangan termasuk didalamnya

Peraturan daerah.

Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah ini

sangat diperlukan sebagai suatu pedoman khusus dalam

membentuk suatu peraturan perundang-undangan, sehingga

akan terjadi keseragaman bentuk aturan perundang-

undangan antara daerah yang satu dengan daerah yang

lainnya.

Sebelumnya perlu kiranya Penulis menjabarkan sedikit

apa sebenarnya yang dimaksud dengan Peraturan Daerah.

Dalam Undang-Undang No. 32 pengertian Perda dijelaskan

dalam BAB I ketentuan umum Pasal 1 angka 10, yaitu :

“Peraturan Daerah selanjutnya disebut Peraturan Daerah

adalah Peraturan Daerah Propinsi dan/atau Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota”.

Menurut Maria Farida Indrati Soerapto membagi

Peraturan Daerah menjadi dua yaitu Peraturan daerah Tk. I

dan Peraturan Daerah Tingkat II.1

1 . Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Penerbit Kanisius, Cet. 11, Tahun 2006, Hal. 102

xvi

“Peraturan Daerah Tingkat I adalah Peraturan yang dibentuk oleh Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I. sedangkan Peraturan Daerah Tingkat II adalah Peraturan yang dibentuk oleh Bupati atau Walikota/Kepala Daerah Tingkat II bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat II dalam melaksanakan Otpnomi Daerah ”.

Pengertian berikutnya dapat disimak dalam Undang-

Undang No. 10 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2008, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan dalam Bab I Pasal 1 angka 7, menjelaskan :

“Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan

yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”.

Dari beberapa pengertian diatas dapatlah disimpulkan

bahwasanya yang dimaksud dengan Peraturan Daerah itu

adalah Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh

Pemerintah Daerah setempat dalam hal ini Kepala Daerah

bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah.

Peraturan daerah sebagaimana yang dimaksud diatas

terbagi dalam tiga bagian, seperti yang telah digariskan

dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pasal 7

ayat (2), yaitu :

xvii

1. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur.

2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama

Bupati/Walikota.

3. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh

Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama

dengan Kepala Desa atau nama lainnya.

Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan

bukanlah hal yang mudah dan sepele karena didalamnya

melibatkan faktor-faktor lain seperti faktor

kemasyarakatan serta faktor cabang pengetahuan hukum dan

pengetahuan lainnya

Pembentukan peraturan perundang-undangan

dimaksudkan sebagai upaya merealisasikan tujuan tertentu,

dalam arti mengarahkan, mempengaruhi pengaturan prilaku

dalam konteks kemasyarakatan yang dilakukan dengan

bersaranakan kaidah-kaidah hukum yang diarahkan kepada

perilaku warga masyarakat atau badan pemerintahan.

Dalam terwujudnya negara hukum, tentu diperlukan

adanya suatu tatanan yang tertib, salah satunya di bidang

pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk

sebuah peraturan daerah. Tertib pembentukan suatu

xviii

peraturan daerah harus diaplikasikan sejak saat perencanaan

sampai dengan pengundangannya.

Untuk membentuk suatu peraturan perundang-

undangan termasuk peraturan daerah yang baik, maka

diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan

sistem, asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, tekhik,

penyusunan maupun pemberlakuannya. Namun justru hal-hal

tersebut diatas banyak yang tidak diwujudkan dalam

pembentukan berbagai peraturan daerah.

Pada kenyataannya saat ini, banyak peraturan daerah

diberbagai daerah yang mengalami ketimpangan, dalam

artian bahwa terdapat ketidaksinkronan antara peraturan

daerah dengan Peraturan Pemerintah (PP), atau Peraturan

Presiden (Perpres), dan berbagai peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Selain itu berbagai

faktor-faktor dan ketentuan lain yang seharusnya menjadi

pertimbangan dalam penyusunan sebuah peraturan daerah

juga turut diabaikan.

Seperti halnya yang terjadi dalam Peraturan Daerah

Kota Bima Nomor 21 Tahun 2004 dan Peraturan Daerah Kota

Bima Nomor 13 Tahun 2005 yang penulis jadikan obyek

analisa dalam penelitian ini.

xix

Kedua buah Peraturan Daerah diatas pada awal

keberlakuannya sempat mendapat pertentangan ini

disebabkan isi materi dalam peraturan daerah tersebut

dianggap terlalu mengedepankan aspek peningkatan

pendapatan daerah, selain itu ada beberapa pasal yang

sangat merugikan masyarakat apalagi memang pada

dasarnya peraturan daerah ini kurang dilakukan sosialisasi

sehingga masyarakat bisa lebih mengetahui maksud

diadakannya Peraturan Daerah ini.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang diuraikan diatas, maka dapat

dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu :

1. apakah pembentukan peraturan daerah di kota Bima sudah

mencerminkan asas Teknik pembentukan peraturan

perundang-undangan sebagaimana yang terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

2. apakah asas materi muatan dalam Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2004 sudah tercermin dalam pembentukan

peraturan daera kota Bima.

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

xx

1. untuk mengetahui dan mengkaji apakah asas teknk

pembentukan peraturan perundang-undangan dalam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di

implementasikan dalam Pembentukan Peraturan Daerah di

Kota Bima.

2. untuk mengetahui apakah asas materi muatan

pembentukan peraturan perundang-undangan sudah

tercermin dalam peraturan daerah yang ada di kota Bima

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah paling

tidak penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif bagi

pihak-pihak yang berkepentingan baik untuk kepentingan

praktis maupun toritis, antara lain sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis.

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah

keilmuan dalam hukum khususnya Hukum Pemerintahan

yang nantinya dapat dijadikan bagian dari sumber-sumber

referensi dalam pengkajian ilmu hukum dan perundang-

undangan.

2. Manfaat Praktis.

Sebagai bahan masukan, baik bagi Pemerintah Daerah

( Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)

maupun bagi Instansi-Instansi terkait yang berhubungan,

xxi

sehingga dalam pembentukan Peraturan perundang-

undangan tidak keluar dari asas-asas dan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. Ruang Lingkup Penelitia n

Dalam penelitian ini akan dititikberatkan pada

pembahasan tentang pembentukan peraturan Daerah,

utamanya menyangkut tentang teknik pembentukan

peraturan Daerah serta materi muatan dalam pembentukan

peraturan daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-

undangan

E. Landasan Teoritis

Ada beberapa hal yang berkaitan dengan pembentukan

Peraturan daerah yang menurut penulis perlu diuraikan dalam

tesis ini sebagai landasan umumnya yakni mengenai Negara

Hukum, Pemerintahan Daerah dan Peraturan Perundang-

Undangan.

1. Negara Hukum

Konsep Negara Hukum telah muncul dalam bentuk yang

bervariasi dalam system hukum yang berbeda-beda. Secara

Historis ada dua istilah yang sangat berpengaruh didunia

untuk gagasan Negara yang berdasarkan atas Hukum, yaitu “

xxii

Rechtstaat” yang berkembang di Eropa Kontinental dan “The

Rule Of law” yang berkembang di Inggris dan Negara-negara

Anglo Saxon.

Konsepsi Rechtstaat bertumpu pada Civil law yang lahir

dari suatu perjuangan menentang Absolutisme kekuasaan

(Machtstaat) sehinga sifatnya Revolusioner dan mempunyai

Karateristik administratif yang dilatar belakangi kekuasaan

raja yang sering membuat peraturan melalui dekrit yang

kemudian didelegasikan kepada para pejabat administratif

yang membuat pengarahan tertulis pada hakim tentang

bagaimana memutus suatu perkara/sengketa.

Sedangkan konsep The Rule Of law bertumpu pada

system Common law bersifat memutus perkara yang

kemudian didelegasikan kepada hakim peradilan umum untuk

memutus perkara kebiasaan umum inggris.1

Burkens seperti dikutip oleh A. Hamid Attamini,2

mengemukakan pengertian dari Negara hukum, yaitu Negara

yang menempatkan hukum sebagai Dasar Kekuasaan dan

penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala

bentuknya dilakukan dibawah kekuasaan hukum.

12 A. mukhtie Fadjar, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik, In-TRANS, Malang 2003, Hal.92 A. Hamid Attamini, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Pidato PengukuhannJabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum UI, 25 April 1992, Hal.8

xxiii

Dari pandangan sederhana ini mengandung arti bahwa

kekuasaan pemerintah dalam suatu Negara bersumber pada

hukum dan sebaliknya untuk melaksanakan hukum dalam

penyelenggaraan pemerintahan suatu Negara harus

berdasarkan pada kekuasaan.

Tepat seperti apa yang dikatakan Hirsch Ballin dalam

tulisannya berjudul “De Mens in de sociale rechstaat “ yang

dikutip Abdul Latief, bahwa : 3

“Niet elke staat is een rechstaat, maar dit betekent geenszins dat staten die geen rechtstaat zijn, niets met recht van doen hebben. Integendeel, onde r’staat’ word gewoonlijk de organisatie van een gemeenschap verstaan die zich van andere organisaties juist daar in onderscheidt dat zij in algemene zin tot taak heft, recht tot gelding te brengen. ( tidak setiap Negara dapat disebut Rechstaat meskipun hal ini tidak berarti bahwa negara yang bukan rechstaat tidak berhubungan dengan hukum. Suatu Negara senantiasa berkewajiban menegakkan hukum, tetapi tidak semua Negara senantiasa tunduk pada hukum ).”

Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa Negara

Hukum sebagai : 4

“ …negara yang berdasarkan hukum, dimana

kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama

dihadapan hukum “.

3 Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta 2005, Hal.164 Mochtar Kusumaatmadja, “ pemantapan cita hukum dan asas asa hukum nasional di Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang, Makalah Jakarta 1995, Hal.1

xxiv

Di Indonesia sendiri ide dasar Negara hukum Indonesia

tidaklah terlepas dari ide dasar tentang rechtstaat sebagai

warisan dari Negara Belanda yang pernah menjajah negeri ini

yang tentu saja menganut konsep Rechtstaat.

Dalam suatu Rechtstaat yang dalam UUD 1945

diterjemahkan sebagai Negara berdasar atas hukum, fungsi

peraturan Perundang-Undangan tidak saja hanya

memberi bentuk pada nilai-nilai dan norma-norma yang

berlaku dan hidup dalam masyarakat, dan Undang-

Undang bukan hanya sekedar produk fungsi Negara dibidang

Pengaturan.

A. Hamid Attamini,5 berpendapat Peraturan perundang-

undangan adalah salah satu metoda dan instrument ampuh

yang tersedia untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan

masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan.

Dalam suatu Negara Hukum terdapat syarat-syarat

yang harus dipenuhi sebagaimana dikemukakan oleh Burkens

seperti dikutip oleh Philipus M. Hadjon dalam tulisannya

adalah :6

1. Asas Legalitas : setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar Peraturan Perundang-Undangan (Wetterlijke Grondslag). Dengan landasan ini, Undang-Undang dalam arti formal dan UUD sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan.

5 A. Hamid Attamini, Op.cit., Hal.86 Philipus M. Hadjon, Ide Negara Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (makalah) 1994, Hal.4

xxv

2. Pembagian Kekuasaan : syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan Negara tidak bertumpu pada satu tangan.

3. Hak-Hak Dasar (Grondrechten) : Hak-hak Dasar merupakan sasaran perlindungan hokum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan Undang-Undang.

4. Pengawasan Pengadilan : Bagi rakyat tersedia saluran melalui Pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindakpemerintahan ( rechtmatigheids toetsing ).

Apa yang dikemukakan oleh Burkens diatas sejalan

dengan pendapat Frederich Julius Stahl yang dikutip oleh Sri

Soemantri dalam bukunya, yang mengemukakan suatu

Negara hukum harus memenuhi unsur-unsur sebagai

berikut :7

1. Bahwa Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban harus berdasarkan atas hukum atau Praturan Perundang-Undangan.

2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia ( Warga Negara ).

3. Adanya Pembagian kekuasaan dalam Negara.4. Adanya Pengawasan dari Badan-badan Peradilan.

Syarat-syarat dasar Rechtstaat diatas secara teoritis

melukiskan dengan teliti kapan dan dibawah syarat-syarat

apa administrasi Negara itu dapat dan harus bertindak.

Dalam kaitannya dengan pembagian kekuasan perlu

pula sedikit penulis singgung disini berkaitan dengan teori

pembagian kekuasaan, sebagaimana diketahui bahwa teori

7 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, 1992, hal. 8

xxvi

pembagian kekuasaan yang dikembangkan oleh Montesquie

yang dikenal dengan Trias Politica.

Dalam Trias politika Montesquie ini memisahkan

kekuasan dalam 3 (tiga) jenis kekuasaan yaitu : Kekuasaan

perundang-undangan (legislatif), yang memilki kekuasaaan

dalam membuat Undang-Undang. Kekuasaan Kehakiman

(Yudikatif), yang memilikikekuasaan dalam menjatuhkan

hukuman (putusan) atas kejahatan-kejahatan ataupun

perselisihan serta Kekuasaan Pemerintahan (Eksekutif) yang

memilki kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan

dan pengambil kebijakan.

2. Peraturan Perundang-undangan

Istilah perundang-undangan ( Legislation, Wetgeving

atau gesetzgebung ) mempunyai dua pengertian yang

berbeda, disatu sisi diartikan sebagai proses

pembentukan/proses membentuk peraturan-

peraturan Negara baik pusat maupun daerah, disatu sisi

diartikan sebagai segala peraturan negara yang merupakan

hasil pembentukan peraturan-peraturan baik pusat maupun

daerah.

xxvii

Mengenai pengertian Peraturan perundang-undangan

dapat disimak pendapat Maria Farida Indrati Soeprapto,

yaitu :8

“Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia yang merupakan Formell Gesetz dan Verordnung Autonome Satzung adalah peraturan-peraturan yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu Undang-Undang dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya yang dibentuk oleh lembaga-lembaga pemerintahan lainnya”

Atau dapat pula disimak definisi yang diberikan dalam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam Pasal 1 angka

2, yang berbunyi :

“ Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan

tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau

pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”

Keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan

mempunyai lingkuan keberlakuan yang disebut dengan istilah

lingkungan kuasa. Lingkungan Kuasa suatu aturuan hukum

Menurut Logemann meliputi empat hal, yaitu: 9

a. Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebied atau territorial sphere).Berlakunya aturan hukum (peraturan perundang-undangan) dibatasi oleh ruang atau tempat. Apakah sesuatu aturan hukum itu berlaku untuk suatu wilayah negara atau hanya berlaku untuk suatu bagian dari wilayah negara. Seperti diketahui, "daerah kekuasaan" berlakunya

8 Maria Farida Indrati Soeprapto, Op. Cit, Hal. 919 Ranggawijaya Rosidi, Pengantar Ilmu perundang-Undangan Indonesia, Penerbit, Mandar Maju, Bandung, 1998

xxviii

suatu Undang-undang dapat meliputi seluruh wilayah negara, tetapi untuk suatu keadaan tertentu atau suatu materi tertentu hanya diberlakukan untuk suatu wilayah tertentu pula. Suatu peraturan daerah hanya berlaku untuk suatu daerah tertentu (Provinsi, dan Kabupaten/Kota) saja.

b. Lingkungan kuasa persoalan (zakengebied atau material sphere).Suatu materi atau persoalan tertentu yang diatur dalam suatu peraturan perudangundangan mengidentifikasi masalah tertentu. Dengan demikian maka persoalan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan menunjukkan lingkup materi yang diatur, apakah persoalannya adalah persoalan publik atau privat, persoalan perdata atau pidana dsb. Materi tersebut menunjukkan lingkup masalah atau persoalan yang diatur.

c. Lingkungan kuasa orang (personengebied).Sesuatu aturan mungkin hanya diberlakukan bagi sekelompok atau segolongan orang atau penduduk tertentu. Dengan ditetapkannya subyek atau orang (orang) tertentu dalam peraturan perundangundangan tersebut maka memperlihatkan adanya pembatasan mengenai orangnya. Undang-undang tentang Pegawai Negeri, Undang-undang tentang Tenaga Kerja. Undangundang tentang Pidana Militer, Undang-undang tentang Pajak Orang Asing,dsb; menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut hanya diberlakukan bagi kelompak orang yang diidenrifikasi dalam peraturan perundang-undangan tersebut.

d. Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied atau temporal sphere).

Lingkungan waktu menunjukkan kapan suatu peraturan perundana-undangan berlaku, apakah beriaku untuk suatu masa tertentu atau untuk masa tidak tertentu. Apakah mulai berlaku sejak ditetapkan atau berlaku surut sebelum ditetapkan. Berlakunya suatu peraturan hukum ditentukan oleh waktu.

Dalam teori tata urutan atau hirarki peraturan

perundang-undangan sebagairnana dikemukakan oleh Hans

xxix

Kelsen, terdapat asas-asas atau prinsip-prinsip tata urutan,

yaitu bahwa:10

a) Perundang-undangan yang rendah derajatnya tidak dapat mengubah atau mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundangundangan yang lebih tinggi;

b) Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh atau dengan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya.

c) Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Sebaliknya ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum serta mengikat, walaupun diubah, ditambah, diganti atau dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.

d) Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh perundng-undangan yang lebih rendah;

Peraturan perundang-undangan memiliki tiga landasan

yaitu: landasan filosofis (filosofische grondslag), landasan

sosiologis (sociologische grondslag) dan landasan yuridis

(yuridische grondslag).12 Suatu peraturan mempunyai

landasan sosiologis apabila ketentuan-ketentuannya sesuai

dengan keyakinan umum atau kesadaran umum masyarakat.

Selain landasan tersebut (filosofis, sosiologis, yuridis,

politis), masih terdapat landasan lain yaitu landasan tehnik

perancangan Peraturan perundang–undangan. Pembentukan

peraturan perundang-undangan yang kurang baik dapat juga 10 ibid12 Bagir Manan, Politik Hukum Otonomi Sepanjang Peraturan Perundang-Undangan Pemerintah Daerah, Pustaka Sinar Harapan Jakarta,1996, hlm.46

xxx

terjadi disebabkan karena tidak jelasnya perumusan sehingga

menimbukan ketidakjelasan dalam arti, maksud, dan

tujuannya (ambigguous) atau rumusannya dapat ditafsirkan

dalam berbagai arti (interpretatif) atau terjadi inkonsistensi

menggunakan peristilahan atau sistematika yang baik, bahasa

yang berbelit-belit sehingga sukar di mengerti dan

sebagainya.13

Untuk memberikan perlindungan hukum, diperlukan

perangkat hukum sebagai tolok ukur yaitu ketentuan-

ketentuan perundang-undangan tertulis maupun tidak

tertulis. Dalam hal hukum tidak tertulis, asas-asas umum

pemerintahan yang baik akan sangat besar artinya dijadikan

sebagai tolok ukur. 14

Asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan

prinsip institusional dalam pembangunan di Indonesia.

Perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan harus

didasarkan pada prinsip-prinsip Good Governance.

Prinsip-prinsip atau asas-asas tersebut adalah: rule of law

(negara hukum), openness (keterbukaan), participatory

(peran serta masyarakat), accountability (tanggung jawab).

13 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1998, Halaman 43-414 S.F. Marbun, “Menggali Dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Di Indonesia”. UII Press,Yogyakarta,2001, Halaman 203

xxxi

Partisipasi merupakan salah satu hal yang esensial

mencapai tujuan hukum, sebab dengan partisipasi maka

hukum dapat diberdayakan, sehingga akan dapat mencapai

tujuan yang diharapkan. Partisipasi masyarakat merupakan

kebutuhan nasional guna menyelesaikan dan memecahkan

permasalahan–permasalahan yang sedang dihadapi, karena

adanya kesenjangan antara budaya hukum penguasa atau

penegak hukum dengan budaya hukum masyarakat. Untuk

mencapai tujuan tersebut perlu diperhatikan beberapa faktor

yaitu:

a. menyangkut persepsi penegak hukum terhadap

masyarakat yang bukan lagi sebagai sasaran

(andreesat hukum) tetapi lebih sebagai pemegang

peran (role accupant)

b. penegak hukum-birokrat seharusnya melakukan

perubahan terhadap makna kedudukan dan fungsi

kekuasaan. Mereka tidak hanya menerapkan

peraturan saja tetapi harus membangun pula

budaya hukum dan membantu masyarakat miskin

agar mengathui hak-hak mereka.

c. Penegak hukum-birokrat hendaknya menyadari

bahwa mereka mengadapi masyarakat yang

pruralistik. Sedangkan hukum dirumuskan dan

xxxii

berlaku universal sehingga penegak hukum-

birokrat perlu mempelajari budaya-budaya lokal

sebagai aset dalam menciptakan tujuan-tujuan

hukum.

d. Penegak hukum-birokrat hendaknya merubah

anggapan bahwa masyarakat lokal adalah

masyarakat yang apatis, miskin sehingga tidak

mampu berbuat,

e. Penegak hukum-birokrat dapat memahami secara

kritis terhadap realitas sosial ekonomi masyarakat

yang dihadapi.

Disamping itu dalam pembentukan aturan-aturan

hukum harus berpedoman pada norma-norma yang hidup

dalam masyarakat. Norma-norma tersebut diangkat dan

dijadikan sebagai pranata hukum positif dan disesuaikan

dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada masa

sekarang dan masa akan datang, sehingga norma-norma

hukum tersebut dapat diterapkan dan ditegakkan ditengah

kehidupan masyarakat.

Pembangunan hukum hendaknya dilihat secara utuh

melalui pendekatan holistik. Sudah saatnya pembangunan

hukum menggunakan pendekatan kemasyarakatan yang

menyeluruh. Mengingat hukum bukan sekedar formalitas

xxxiii

atau berurusan dengan soal–soal normatif semata melainkan

unsur budaya hukum pun perlu mendapat perhatian yang

lebih disamping struktur dan substansinya.

Keberlakuan secara holistik sangat penting, mengingat

problema yang dihadapi oleh setiap upaya pembangunan

hukum di Indonesia masa mendatang bukan semata-mata

kepatuhan pada hukum semata tetapi bagaimana hukum

benar-benar dapat mewujudkan keadilan masyarakatnya.

Oleh sebab itu, masalah nilai moral dan etis (yang

terkandung dalam asas hukum) sebagai landasan bagi

pembentukan suatu peraturan, perlu mendapat perhatian

yang utama sejak perumusan hukum sampai pada prosesnya

untuk mencapai tujuan hukum yang hakiki.

Persoalan nilai moral dan etis tidak dicari di tempat lain,

melainkan ditempat di dalam masyarakat sebagai pedoman

dalam menentukan perilaku yang hendak diatur.

Hukum merupakan produk politik sehingga karakter

setiap produk hukum akan ditentukan atau diwarnai oleh

imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang

melahirkannya. Asumsi ini dipilih berdasarkan kenyataan

bahwa setiap produk hukum merupakan produk keputusan

politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari

pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan politisi.

xxxiv

Meskipun dari sudut das sollen ada pandangan bahwa

politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dilihat

sudut das sein atau empirik bahwa hukumlah yang dalam

kenyataan ditentukan olek konfigurasi politik yang

melatarbelakanginya.15

Pernyataan demikian ini menunjukkan bahwa hukum

merupakan hasil kompromi dan kebijakan politik dari orang-

orang yang berwenang untuk itu, yaitu legislatif dan eksekutif.

Oleh karena hukum sebagai suatu kompromi politik

maka misi yang diemban oleh hukum sesuai dengan ciri dan

kemauan aparat politik yang berkuasa.

Berikut akan Penulis uraikan pengertian dari beberapa

Peraturan perundang-undangan :

1. Undang-Undang

Undang-Undang adalah peraturan perundang-

undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat

dengan persetujuan bersama Presiden.

Undang-Undang ini ada dalam arti formal, material

dan Undang-Undang Pokok. Istilah Undang-Undang dalam

arti formal dan Undang-Undang dalam arti material

merupakan terjemahan secara harfiah dari Wet in Formele

Zin dan Wet in Materiele Zin yang dikenal di Belanda.

15 Moh. Mahfud.M.D.,Pergulatan Politik Dan Hukum Di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, Halaman 4

xxxv

Di Belanda Wet in Formele Zin ini merupakan

keputusan yang dibuat oleh Regering dan Staten Generaal

bersama-sama (Gezamenlijk) terlepas apakah isinya

peraturan (Regeling) atau penetapan (Beschikking).

Jadi disini kita melihat dari pembentukannya, atau

siapa yang membentuknya, sedangkan Wet in Materiele

Zin adalah setiap keputusan yang mengikat umum

(Algemeen Verbindende Voorschriften), baik yang dibuat

oleh Regering dan Staten Generaal bersama-sama ataupun

yang dibuat oleh lembaga-lembaga lain yang lebih rendah,

seperti Regering/Kroon serta peraturan-peraturan

lainnya yang berisi peraturan yang mengikat umum

(Algemeen Verbindende Voorschriften).

Kalau Undang-Undang Pokok dimaksudkan sebagai

Undang-Undang yang merupakan induk dari Undang-

Undang yang lain, karena semua Undang-Undang berasal

dari Undang-Undang itu.

2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(PERPU).

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(PERPU) sebenarnya merupakan suatu peraturan

pemerintah yang bertindak sebagai suatu undang-undang

atau dengan perkataan lain PERPU ini adalah peraturan

xxxvi

pemerintah yang diberi kewenangan sama dengan Undang-

Undang.

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

Pasal 1 angka 5, menggariskan:

“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

adalah peraturan perundang-undangan yang

ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal keadaan

genting yang memaksa”

Dilihat dari pengertian yang diberikan oleh UU

Nomor 10 Tahun 2004 ini, maka peraturan pemerintah

pengganti Undang-Undang ini ditetapkan sendiri oleh

Presiden tanpa harus ada persetujuan dari Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), apabila terjadi hal ihwal keadaan

genting yang memaksa, inilah yang membedakan antara

peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang ini

dengan Undag-Undang.

3. Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah adalah Peraturan

perundang-undangan yang dibentuk berdasarkan

ketentuan Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, yang

menentukan :

xxxvii

“Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk

menjalankan Undang-Undang sebagaimana

mestinya”.

Dilihat dari ketentuan ini, maka peraturan

pemerintah berisi peraturan-peraturan untuk menjalankan

Undang-Undang atau dengan perkataan lain peraturan

pemerintah merupakan peraturan-peraturan yang

membuat ketentuan-ketentuan dalam suatu Undang-

Undang bisa berjalan/diberlakukan, artinya peraturan

pemerintah ini baru dapat dibentuk apabila sudah ada

Undang-Undangnya.

Menurut A. Hamid S. Attamimi sebagaimana dikutip

oleh Maria Farida Soeprapto ada beberapa karakteristik

dalam peraturan pemerintah, yaitu :16

“- Peraturan pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa terlebih dahulu ada undang-undang yang menjadi induknya.

- Peraturan pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana, apabila undang-undang yang bersangkutan tidak mencantumkan sanksi pidana.

- Ketentuan peraturan pemerintah tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan undang-undang yang bersangkutan.

- Untuk menjalankan, menjabarkan atau merinci ketentuan undang-undang dan peraturan pemerintah dapat dibentuk meski ketentuan undang-undang tersebut tidak memintanya secara tegas.

16 Maria Farida Indrati, op. cit, Hal. 99

xxxviii

- Ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah berisi peraturan atau gabungan peraturan dan penetapan. Peraturan pemerintah tidak berisi penetapan semata-mata”

4. Peraturan Daerah

Pengertian Peraturan Daerah dapat kita simak, baik

dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 maupun dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004. dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

Pasal 1 angka 7, menyatakan :

“Peraturan Daerah adalah Peraturan perundang-

undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan

bersama Kepala Daerah”.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 diatur dalam Pasal 1 angka 10, yaitu :

“Peraturan daerah adalah Peraturan Daerah

Propinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.

Dari pengertian diatas jelaslah bagi kita, bahwa yang

dimaksud dengan Peraturan Daerah (PERDA) itu adalah

peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh

pemerintah daerah setempat, dalam hal ini Kepala Daerah

bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

F. Metode Penelitian

xxxix

Metode dapat diartikan sebagai jalan

(cara,pendekatan,alat) yang harus ditempuh (dipakai) guna

memperoleh pengetahuan tentang sesuatu hal (sasaran

kajian), baik yang lalu, kini, maupun yang akan datang: yang

dapat terjadi dan akan terjadi.17 Sedangkan hasil pengkajian

terhadap berbagai metode menjadi bahan pembentukan

seperangkat pengetahuan tentang metode, disebut

metodologi.

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan ini menggunakan jenis penelitian hukum

normatif, yaitu dengan mengkaji asas-asas atau teori

hukum berdasarkan hukum positif yang berkaitan dengan

Pembentukan perundang-undangan, serta beberapa

peraturan perundang-undangan yang berkaitan, dan

pendapat para pakar.

2. Pendekatan Masalah

Sesuai dengan tipe penelitian yang dilaksanakan maka

dilakukan juga beberapa pendekatan hukum sebagai

berikut :

17 Taliziduhu Ndraha, Metodologi Ilmu Pemerintahan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, halaman 22

xl

1. pendekatan doktrinal18 (doctrinal Approach), dengan

penekanan pada aspek doktrin atau ajaran atau teori

dan asas dan lain–lain disekitar Hukum Pemerintahan.

Pendekatan doktrinal dipergunakan untuk menganalisa

berbagai kebijakan Yang ada dalam Peraturan

perundangan.

2. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach),

yaitu dengan mengamati berbagai peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang

pembentukan peraturan daerah.

3. Sumber dan Jenis Bahan Hukum

Sesuai dengan jenis penelitiannya, maka pada

penelitian ini akan menggunakan bahan-bahan hukum

yang terdiri dari :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah UUD 1945, Undang Undang

Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah,

Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan.

2. Bahan Hukum Sekunder 18 Menurut Soetandyo Wignyosoebroto, penelitian hukum doktrinal adalah penelitian – penelitian atas hukum yang dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang pengkonsep dan atau sang pengembangnya. Di Indonesia metode doktrinal ini terlanjur secara lazim disebut sebagai metode penelitian normatif, untuk melawankan dengan metode penelitian yang dikatakan terbilang empiris (yang alam literatur internasional disebut penelitian non doktrinal), Op Cit, halaman 145-146

xli

Bahan-bahan hukum sekunder ini adalah dapat berupa

buku-buku, teori dan pendapat atau komentar-komentar

ilmiah para sarjana, yang dimuat dalam artikel-artikel,

jurnal-jurnal hukum, dari media masa (koran, majalah,

dan sebagainya) maupun media elektronik (internet).

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier adalah bahan-bahan hukum yang

dimaksudkan untuk menjelaskan bahan-bahan hukum

primer dan sekunder, seperti kamus, indeks, dan

ensiklopedia serta yang lain-lain.

Untuk menunjang penelitian ini, maka akan dilakukan

juga pengumpulan beberapa Peraturan Daerah Kota Bima

serta wawancara ringan sehubungan dengan pembentukan

Pearaturan Daerah di Kota Bima.

4. Tehnik Pengumpulan dan Penelusuran Bahan

Hukum

Mengumpulkan dan menginvetarisir segala bahan hukum

baik primer, skunder, maupun tersier, serta beberapa

Peraturan Daerah. Pengumpulan bahan-bahan hukum

tersebut dilakukan dengan Snow Ball Method, dengan

menggunakan alat bantu kartu kutipan (card system)

berdasarkan pengarang/penulis (subjek) maupun tema

ataupun pokok masalah (objek).

xlii

5. Analisa Bahan Hukum

Dalam menganalisa sumber bahan hukum

menggunakan analisis dengan pendekatan deduktif yaitu

berangkat dari kerangka teori yang umum untuk

selanjutnya dikorelasikan dengan kenyataan-kenyataan

obyektif. Dan bahan-bahan hukum dianalisis dengan

menggunakan teknik interpretatif, evaluatif, dan

argumentatif. Kegiatan yang dilakukan dalam analisis

bahan hukum yaitu dengan:

a. Memilih ketentuan-ketentuan dari peraturan-peraturan

yang berisi kaedah hukum yang berhubungan dengan

kebijakan Otonomi Daerah dan perundang-undangan di

Indonesia.

b. Menyusun sistematika dari ketentuan-ketentuan

tersebut sehingga menghasilkan interpretasi tertentu.

c. Bahan hukum tersebut kemudian dianalisis dan

dievaluasi dengan kenyataan-kenyataan obyektif.

d. Pada akhirnya hasil evaluasi dan analisa tersebut

berguna untuk menarik asas-asas hukum yang

terkandung di dalamnya.

Dengan analisis tersebut akan diketahui kesesuaian antara

peraturan perundang-undangan (das sein) dengan

kenyataan yang ada (das sollen).

xliii

xliv