DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN i HALAMAN PRASYARAT GELAR ii … · 2017. 9. 9. · 1 daftar isi halaman...
Transcript of DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN i HALAMAN PRASYARAT GELAR ii … · 2017. 9. 9. · 1 daftar isi halaman...
1
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DEPAN ............................................................................................ i
HALAMAN PRASYARAT GELAR .............................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN TELAH DIUJI ............................................... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................ v
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................... vi
ABSTRAK ........................................................................................................ x
ABSTRACT ...................................................................................................... xi
RINGKASAN ................................................................................................... xii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................... 17
1.3. Ruang Lingkup Masalah ............................................................. 17
1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................ 18
1.4.1. Tujuan Umum ................................................................. 18
1.4.2. Tujuan Khusus ................................................................ 19
1.5. Manfaat Penelitian ..................................................................... 19
1.5.1. Manfaat Teoritis ............................................................. 19
1.5.2. Manfaat Praktis ............................................................... 19
1.6. Orisinalitas Penelitian ................................................................. 20
2
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir .................................. 21
1.7.1. Asas – Asas Hukum......................................................... 22
1.7.2. Doktrin ............................................................................ 22
1.7.3. Konsep Hukum ............................................................... 32
1.8. Kerangka Berpikir ...................................................................... 65
1.9. Metode Penelitian ....................................................................... 66
1.9.1. Jenis Penelitian ................................................................ 66
1.9.2. Jenis Pendekatan ............................................................ 68
1.9.3. Sumber Bahan Hukum ................................................... 68
1.9.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................ 70
1.9.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ...................................... 70
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEBIJAKAN FORMULASI
PENGATURAN BATAS WAKTU, PENYIDIKAN, TERSANGKA
DAN TERORIS .................................................................................... 72
2.1. Pemahaman Secara Umum Dari Substansi Variabel Dalam
Judul ............................................................................................... 72
2.1.1. Pengertian Kebijakan dan Formulasi ............................. 72
2.1.2. Maksud Pengaturan Batas Waktu dan Hubungannya
Dengan Tindak Pidana ................................................... 74
2.1.3. Pengertian Penyelidikan Penyidik dan Penyidikan
Tindak Pidana ................................................................. 78
2.1.4. Pengertian Tersangka dan Terorisme ............................. 97
2.1.5. Sejarah, Tipologi dan Dampak Dari Terorisme ............. 101
3
2.2. Prinsip Miranda Rule Sebagai Hak Asasi Tersangka Dalam
Penyidikan .................................................................................... 112
2.3. Pengaturan Prinsip Miranda Rule Dalam Hukum Positif
Indonesia ....................................................................................... 115
2.4. Pengaturan Proses Peradilan Bagi Tersangka Teroris Dalam
Hukum Positif Indonesia .............................................................. 117
2.4.1. Pengaturan Proses Peradilan Menurut Undang – Undang
Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme ........................................................... 117
2.4.2. Badan Pelaksana Teknis Dalam Penyidikan Tersangka
Teroris ............................................................................ 131
2.4.3. Implikasi dan Akibat Hukum Penghentian Penyidikan
Tindak Pidana Terorisme ............................................... 134
BAB III KAJIAN DAN ANALISIS PENGATURAN BATAS WAKTU
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM
PERSPEKTIF IUS CONSTITUTUM TERKAIT PERLINDUNGAN
HAK ASASI TERSANGKA ............................................................... 142
3.1. Ketentuan Pengaturan Batas Waktu Penyidikan Kasus Tindak
Pidana Terorisme Perspektif Sistem Peradilan Pidana ................. 142
3.1.1. Kepastian Hukum Tentang Rintangan Waktu Penyidikan
Tindak Pidana Dalam KUHAP .................................... 142
3.1.2. Berakhirnya Proses Penyidikan Tindak Pidana ............ 157
3.2. Konsep Penegakan dan Penghormatan Hak Asasi Tersangka
Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia ..................................... 167
4
3.2.1. Pengaturan Hak Asasi Tersangka Dalam Konstitusi ........ 167
3.2.2. Hak Asasi Tersangka Teroris Perspektif KUHAP dan
Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Terorisme .......................................................................... 174
3.2.3. Tinjauan Historis dan Kaitannya Pembentukan Undang –
Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP Dengan
Batasan Waktu Penyidikan Tindak Pidana ....................... 182
BAB IV KAJIAN DAN ANALISIS ATAS PENGATURAN BATAS
WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERORISME DALAM
PERADILAN PIDANA PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM .. 187
4.1. Kebijakan Legislatif (Formulasi) Hukum Pidana (Penal Policy)
Sebagai Solusi Mengatasi Kekosongan Norma Hukum
Menyangkut Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Teorisme .. 187
4.1.1. Pembentukan Perundang-Undangan Hukum Acara Pidana
Terkait Kebijakan Penghormatan dan Pemenuhan Hak
Asasi Tersangka Dalam Penyidikan Tindak Pidana
Terorisme .......................................................................... 190
4.1.2. Revisi dan Konstruksi Hukum Pembaharuan Kitab
Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Menyangkut Penyidikan Tindak Pidana Umum ................ 194
4.2. Pengaturan Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Pembaharuan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pada Bidang Penyidikan
Tindak Pidana Umum .................................................................... 207
5
4.2.1. Upaya Kebijakan Pidana Untuk Mengisi Kekosongan
Hukum Dalam KUHAP Khususnya Pada Tahap
Penyidikan Tindak Pidana Umum .................................... 215
4.2.2. Kajian dan Analisis Konstruksi Norma Hukum Pengaturan
Tentang Batas Waktu Penyidikan Bagi Tersangka Teroris
di Masa Yang Akan Datang (Ius Constituendum) ............ 225
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 231
5.1. Simpulan ......................................................................................... 231
5.2. Saran ................................................................................................ 231
DAFTAR PUSTAKA
6
ABSTRAK
Pemberantasan tindak pidana terorisme melalui tahapan proses
penyidikan, penuntutan dan persidangan. Namun yang sering mendapat sorotan
masyarakat adalah pada proses penyidikan. Tindakan upaya paksa terutama
penangkapan dan penahanan oleh penyidik bagi tersangka teroris dipandang
sering terjadi melanggar hak-hak asasi tersangka. Fenomena seperti itu
dikarenakan perundang-undangan terorisme. (Undang – Undang Nomor 15 Tahun
2003) tidak ada mengatur batasan limit waktu tentang penyidikan, atau terjadi
norma hukum yang kosong, termasuk KUHAP pula. Tesis ini berjudul “Kebijakan
Formulasi Pengaturan Batas Waktu Penyidikan Tersangka Teroris Dalam
Peradilan Pidana”. Dengan rumusan masalah : 1. Bagaimana ketentuan
pengaturan batas waktu penyidikan tersangka teroris dalam Undang – Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme ? 2. Bagaimana konstruksi hukum
pengaturan batas waktu penyidikan bagi tersangka teroris dimasa mendatang ?
Adapun penelitian tesis ini dengan jenis penelitian hukum normatif,
dengan jenis pendekatan perundang-undangan dan konseptual, serta sumber bahan
hukum primer perundang-undangan. Dalam mengkaji dan menganalisis konsep
hukum, doktrin serta teori-teori hukum seperti : Teori Kebijakan Hukum Pidana,
Teori Hukum Progresif, Teori Harmonisasi Hukum, Teori Kewenangan dan Teori
Hak Asasi Manusia.
Akhirnya sebagai hasil temuan penelitian berupa tidak ada terdapat
ketentuan pengaturan tentang batas waktu penyidikan terhadap tersangka teroris
baik di Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 maupun di Undang – Undang
Nomor 15 Tahun 2003, serta ke depan di KUHAP dan Undang – Undang
Terorisme di konstruksi aturan pasal tentang batas waktu penyidikan bagi
tersangka teroris dengan rentang waktu tertentu yang cukup.
Kata Kunci : Kebijakan Formulasi, Batas Waktu, Penyidikan, Tersangka
Teroris
7
ABSTRACT
Combating terrorism through the stages of the process of investigation,
prosecution and trial. But that often gets the spotlight is on the investigation
process. Act of forceful measures, especially the arrest and detention by the
investigator for terrorist suspects deemed because common violate the human
rights of suspects. Such a phenomenon because terrorism legislation (Law No. 15
of 2003) there is no set time limit on investigations, there was an empaty legal
norms, including the criminal code is also no set deadline for the investigation.
Then this thesis entitled “Policy Formula in Court Deadline for the Investigation
of Terrorist Suspect in Criminal Justice”. The formulation of the problem : 1.
How is no provision setting a time limit investigations of suspected terrorist in the
law No. 15 of 2003 concerning terrorism ? 2. How is construction law setting time
limits for the investigations of terrorist suspects in the future ?
As for this thesis research with normative law research, with the kind of
approach legislation and conceptual, as well as a source of primary legal materials
legislations. In reviewing and analyzing the problems with the theoretical
foundation as general principles of law, legal concepts, doctrines and theories, law
such as : the theory of criminal law policy, progressive legal theory, the theory of
harmonization of law, the authority theory and the theory of human rights.
Finally as a result of the researsh findings contained no provision on the
time limit setting and interrogate suspected terrorists both in Law No. 8 of 1981 as
well as Law No. 15 of 2003, as well as the fore in the criminal code and the laws
of terrorism in the time limit for the investigation of terrorist suspect at a
particular time frame sufficient.
Keywords : Policy Formulation, Deadline, Investigations, Suspected
Terrorist.
8
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bagi Indonesia kelompok dari jaringan teoris tidak pernah berhenti
melakukan terornya. Modus operandi yang dilakukan melakukan teror terus
berubah – ubah. Mereka melakukan aksinya ketika aparat dianggapnya tidak
lagi gencar melakukan penangkapan atau antisipatipnya. Ketika situasi seperti
itu para bomber bangkit lagi beraksi terutama mengincar kelemahan petugas
negara khususnya kepolisian yang bertugas digarda paling depan dalam
melawan para terorisme khususnya pasukan khusus anti teror dengan sandi 88
anti teror dibawah komando BNPT (Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme) bekerjasama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Penegak hukum khususnya kepolisian selaku penyidik dengan
Detasmen Khusus (Densus) anti teror yang mengemban tugas di bidang
represif untuk penegakan hukum di bidang tindak pidana terorisme, sering
mendapat kritikan tajam dari masyarakat dalam menjalankan tugas dan
fungsinya di lapangan. Hal tersebut menyangkut ketika para penyidik
melakukan tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan bahkan
karena terpaksa harus melakukan tindakan diskresi yang dimilikinya.
Terkadang masyarakat luas mengaitkan dengan konteks Hak Asasi Manusia
(HAM) ketika timbul korban dipihak terduga teroris. Padahal tidak jarang
1
9
terduga teroris ketika akan ditangkap, mereka melawan bahkan mengancam
dan membahayakan nyawa petugas.
Pengaturan secara impulsif menyangkut tindakan upaya paksa seperti
masa penangkapan, penahanan dan yang lainnya sehingga menjadi rentangan
waktu yang cukup panjang, membuat kesan bahwa masa penyidikan tidak ada
ketentuan batas waktu yang jelas. Padahal secara operasional penyidik tidak
mudah untuk secara cepat dapat menangkap tersangkanya. Begitu pula
menyangkut barang bukti, alat – alat bukti yang serba terselubung dan rahasia
sifatnya. Ketentuan hukum secara formal dalam Undang – Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Terorisme tidak memberikan batasan ketentuan yang pasti
menyangkut batas masa waktu lamanya penyidikan. Fenomena dan fakta
seperti itu akan terkesan menggerogoti bahkan cenderung diberi label
pelanggaran hak-hak asasi tersangka.
Kondisi pengaturan norma hukum perspektif ius constitutum (oleh
undang-undang tersebut diatas) sebagai hukum positifnya (ius operatum)
dibidang penanganan terorisme tampak adanya norma hukum yang kosong.
Secara keilmuan teori hukum guna tidak adanya disharmonisasi norma hukum
yang fakum, demi adanya jaminan kepastian hukum ke depan melalui
kebijakan formulasi usaha konstruksi norma hukum sudah menjadi kebutuhan
mendesak. Perlu diciptakan usaha penormaan atas substansi dimaksud.
Aksi teroris terselubung memang telah terjadi sejak awal Indonesia
merdeka. Berbagai aksi ketidakpuasan pada rezim pemerintahan dari kurun
10
waktu ke waktu sering terjadi. Namun dibungkus dengan istilah teknis seperti
subsersif, sabotase, gerakan dibawah tanah dan sebagainya.
Wacana sebagai komitmen dan tekad untuk pemberantasan terorisme
muncul sejak tahun 2001, pasca serangan menara kembar WTC (World Trade
Centre) di Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001. Peristiwa itu
merupakan pukulan telak terhadap supremasi AS sebagai negara adidaya, dan
AS meresponnya dengan slogan "War against terrorism" (perang melawan
teroris). Peristiwa pengeboman WTC dan Pentagon, serta respon AS tersebut
menjadi titik awal politik dunia yang menjadikan terorisme sebagai ancaman
keamanan yang sangat serius, sekaligus mengukuhkan hegemoni AS sebagai
satu-satunya negara adidaya (the only superpower). Hegomoni AS nampak
pada respon AS terhadap terorisme secara umum, dan khususnya pada invasi
ke Afganistan dan Irak. AS cenderung bertindak represif terhadap segala
tindakan yang dianggap mengancam keamanan negaranya.1
Fenonema dan fakta itu kemudian dijadikan kebijakan politik luar
negeri AS dan sekutunya dan berupaya meraih dukungan negara-negara di
dunia. Melalui presidennya, George Walker Bush, dikenal istilah ungkapan
politik "stick and carrot". Dimana setiap negara yang mengikuti agendanya
akan diberikan dukungan (dana), sebaliknya bagi yang menolaknya akan
diperangi. Negara-negara di dunia dihadapkan untuk memilih salah satu dari
dua opsi yang ditawarkan, "You either with us, or with them, against us
1Wibowo Ari, 2012, "Hukum Pidana Terorisme; Kebijakan Formulatif Hukum Pidana
Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Yogyakarta; Graha llmu, 2012,
hal. 1.
11
(Kamu bersama kami, atau bersama mereka,sebagai musuh kami)." Kebijakan
politik inipun kemudian disambut secara luas oleh negara-negara di dunia,
termasuk Indonesia.
Karena Indonesia menyadari akan bahaya terorisme, pasca
terjadinya bom Bali I pada 12 Oktober 2002, pemerintah mulai menanggapi
secara serius isu terorisme, dimana pada saat itu pemerintah
kemudian mengeluarkan instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002
dalam rangka menanggulangi tindakan terorisme.
Peristwa Bom Bali I memberikan akibat yang luar biasa terhadap
Indonesia, bukan hanya dampak traumatis, namun juga merapuhnya
pembangunan sosial-ekonomi dalam skala mikro maupun makro, Indonesia
pada umumnya dan khususnya Bali dianggap sebagai negara yang rawan
terhadap teror dan pada gilirannya terkesan menakutkan bagi siapapun yang
ingin berkunjung.2
Menimbang bahwa terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa
memandang korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau
hilangnya kemerdekaan, serta kerugian harta benda, oleh karena itu perlu
dilaksanakan langkah-langkah pemberantasan.
Suasana dan situasi sebelumnya di Pulau Dewata tersebut biasanya
aman dan tentram, Bali seolah-olah tidak pernah tersentuh aroma kerusuhan,
apalagi teror.
2Ibid, hal. 2
12
Walaupun isu-isu kecil sempat muncul diantaranya ancaman untuk
membakar mobil-mobil yang parkir sembarangan di kawasan Kuta, namun hal
itu tidaksarnpai terjadi.3 Pada saat itu, Menkopolkam (Susilo Bambang
Yudoyono)diamanatkan oleh Presiden Megawati untuk membuat kebijakan
dan strategi nasional dalam penanganan terorisme. Berdasarkan Keputusan
Menkopolkam No. Kep-26/Menko/Polkam/ 11/2002, dibentuklah Desk
Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT). Lembaga ini berada di bawah
Menkopolkam menjalankan tugas dan fungsinya sampai terbentuknya
organisasi BNPT untuk membantu Menkopolkam merumuskan kebijakan
pemberantasan tindak pidana terorisme, yang meliputi aspek penangkalan,
pencegahan, penanggulangan, penghentian penyelesaian dan segala tindakan
hukum yang diperlukan.
Peristiwa Bom Bali II yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 2005 di tiga
lokasi yaitu Raja's Restaurant, Nyoman's Cafe dan Bendega's Cafe telah
menelan korban 22 orang meninggal dunia dan ratusan orang mengalami luka-
luka. Peristiwa tersebut bertepatan dengan dikeluarkannya kebijakan
pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), yang menimbulkan
pro dan kontra sehingga hal tersebut dianggap sebagai upaya pemerintah
untuk mengalihkan perhatian masyarakat terhadap kebijakan pemerintah
menaikkan BBM.
Meskipun dampaknya tidak sebesar peristiwa Bom Bali I tetapi
kejadian tersebut semakin meneguhkan stigma asing bahwa Indonesia bukan
3Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, 2003, Langkah-langkah Penyidikan Ilmiah, Kasus
Bom Bali, Jakarta, 2003, hal. 10.
13
tempat yang aman bagi pariwisata dan investasi. Hal ini terlihat dari tidak
tercapainya sasaran kunjungan wisata 2005 dan pertumbuhan investasi yang
masih tetap bertahan bahkan cenderung menurun.
Aksi teroris yang bernuansa lokal intensitasnya cenderung menurun.
Namun di daerah konflik khususnya Poso dan Ambon aksi-aksi teroris dari
upaya membenturkan kepentingan politik dan SARA (Suku, Ras dan Agama)
antar masyarakat atau antar aparat masih sering dijumpai. Selain teror bom
yang diledakkan di sejumlah tempat ibadah bertepatan dengan acara
keagamaan, serta terjadinya teror individual yang bertujuan menciptakan
konflik merupakan indikasi rumitnya penyelesaian masalah Poso dan
Ambon berlanjut hingga saat ini adanya kelompok pimpinan Santoso yang
belum tertumpas tersebut. Hal yang patut dipuji,masyarakat yang selama
ini terlibat dan berada di wilayah konflik Poso tidak terpengaruh rasa
toleransinya, sehingga upaya teror tersebut tidak berdampak signifikan.
Namun tetap menjadi agenda bagi BNPT untuk diberantas.
Keberhasilan aparat kepolisian menewaskan tokoh utama terorisme di
Indonesia yang diduga terlibat serangkaian peledakan bom di Bali,Jakarta,
Solo dan sejumlah tempat lainnya telah meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap kinerja kepolisian khususnya pasukan khusus antiteror
dengan Sandi 88 dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme. Perhatian
dunia internasional atas tewas dan tertangkapnya beberapa tokoh utama
teroris Indonesia tersebut seperti Hambali, Abu Dujana, Umar Patek, Imam
14
Samudra cukup positif, hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya komitmen
internasional membantu penanganan teroris di Indonesia.
Tahun 2005, Indonesia telah meresmikan kerjasama bilateral
dibidang terorisme diantaranya dengan Polandia telah menandatangani
Kerjasama dalam Penanggulangan Kejahatan Transnasional dan Jenis
Kejahatan Lain, dan dengan Vietnam telah menandatangani MoU
(Memory of Understanding) dalam Pencegahan dan Penangggulangan
Kejahatan. Secara multilateral, Indonesia terlibat dalam ASEAN –
Mendeklarasi Gabungan Republik Korea dalam Kerjasama Penanggulangan
Teroris Internasional, ASEAN - Mendeklarasi Gabungan dalam Kerjasama
untuk penanggulangan Teroris Internasional, dan ASEAN – Mendeklarasi
gabungan New Zealand dalam Kerjasama untuk Penanggulangan Teroris
Internasional.
Tahun 2006, kesungguhan aparat keamanan untuk terus membidik
titik-titik strategis bagi persembunyian teroris senantiasa ditingkatkan
guna membatasi gerak kelompok teroris. Walaupun keberhasilan aparat
keamanan menewaskan gembong teroris Dr. Azhari dan Nurdin M. Top
tampaknya masih terus menghadapi tantangan terkait dengan belum
tertangkapnya anggota Santoso dan pengungkapan jaringannya. Oleh karena
itu, aparat keamanan selalu siap siaga mengantisipasi aksi balasan yang
dilakukan oleh kelompok Santoso dan teman-temannya, yang sementara ini
masih beraksi dan beroperasi di sekitar wilayah Poso.
15
Selanjutnya berbagai upaya terus dilakukan termasuk upaya memutus
jaringan teroris yang melibatkan dan bersentuhan dengan lembaga pendidikan
keagamaan/pesantren, untuk menghindarkan kesalahpahaman umat Islam,
maka upaya pendekatan kepada tokoh-tokoh keagamaan/pesantren
dilaksanakan secara hati-hati agar tidak menimbulkan kesan memojokkan
agama Islam dan penganutnya. Sementara itu kerjasama penanggulangan dan
pencegahan teroris secara lintas negara dilaksanakan melalui peningkatan
kapasitas kelembagaan.
Aksi terorisme dalam jangka pendek seringkali berdampak cukup
signifikan terhadap upaya-upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif di
dalam negeri. Oleh karena itu, kemampuan menangani dan menangkap pelaku
serta mengungkap jaringan terorisme dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan
mengamankan aktivitas dunia usaha, lebih mengkhusus lagi pada sektor
pariwisata.
Belum tertangkapnya semua tokoh utama teroris merupakan tantangan
bagi upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan
penanaman modal asing. Ketidak pastian jaminan keamanan dalam negeri dan
ancaman teroris, barangkali merupakan salah satu jawaban utama mengapa
pertumbuhan investasi asing di bidang industri masih berjalan di tempat dan
menempatkanIndonesia pada jajaran termasuk rendah tujuan investasi
dunia. Dengan demikian tantangan utama dalam pencegahan dan
penanggulangan teroris dalam tahun ini adalah meningkatkan kinerja aparat
16
keamanan dan intelijen serta masyarakat luas dalam mengantisipasi,
menangani, dan evaluasi aksi dan ancaman terorisme.
Masyarakat beradab pada jaman modern sekarang ini tidak ada yang
membenarkan aksi apapun yang tergolong terorisme, secara singkat bisa
dikatakan bahwa terorisme merupakan sebuah bentuk kekerasan langsung atau
tidak langsung yang dikenakan pada sasaran yang tidak sewajarnya mendapat
perlakuan kekerasan tersebut dan dengan aksi tersebut dimaksudkan agar
terjadi rasa takut yang luas di tengah-tengah masyarakat.
Peran pemerintah khususnya Detasmen Khusus 88 Anti Teror
Kepolisian Republik Indonesia dan masyarakat untuk mencegah dan
menanggulangi terorisme sudah menunjukkan keberhasilan yang cukup
berarti, tetapi masih banyak yang perlu dihadapi untuk menciptakan perasaan
aman di masyarakat dari aksi-aksi terorisme. Tragedi ledakan bom belum lama
ini di Jakarta (Bom Jalan Thamrin) menunjukkan bahwa aksiterorisme harus
terus diwaspadai, yang bentuk gerakan dan perkembangan jaringannya
terus berubah sehingga sukar untuk dilacak. Aksi mereka sulit diramal kapan
akan terjadi dan dimana saja obyek sasarannya.
Sulitnya penyelesaian permasalahan terorisme "ini terjadi karena
masih banyak faktor yang menyebabkan terorisme dapat terus berkembang.
Dari faktor perbedaan pemahaman ideologis dan pemahaman tentang agama
yang berbeda-beda sampai kesenjangan sosial dan pendidikan yang membuat
masyarakat lebih mudah untuk disusupi oleh jaringan-jaringan teroris.
Pengaruh terorisme dapat memiliki dampak yang signifikan, baik segi
17
keamanan dan keresahan masyarakat maupun iklim perekonomian dan
pariwisata yang menuntut adanya kewaspadaan aparat intelijen dan keamanan
untuk pencegahan dan penanggulangannya secara berkesinambungan dan
dilakukan secara terpadu.
Aksi terorisme masih menjadi ancaman potensial bagi stabilitas
keamanan nasional, meskipun pasca penangkapan Dr. Azhari dan sejumlah
tokoh utama kelompok Jamaah Islamiyah (JI) dan kelompok-kelompok garis
keras lainnya, aksi-aksi teror dari kelompok tersebut masih selalu ada. Hal ini
dibuktikan dengan terjadinya aksi-aksi teror selama ini baik di Indonsia
maupun di luar negeri yang dapat mempengaruhi stabilitas keamanan nasional
maupun internasional. Demikian juga pelaksanaan eksekusi mati terhadap
3(tiga) terpidana kasus bom Bali (Amrozi, Ali Gufron dan Imam Samudera)
yang diharapkan dapat membawa dampak/efek jera bagi para pelaku terorisme
atau kelompok-kelompok garis keras lainnya, namun tidak menghapus
kegiatan atau perlawanan dari mereka bahkan menimbulkan adanya reaksi
balas dendam dari kelompok radikal tersebut. Ini juga dibuktikan dengan
adanya peledakan bom di Hotel JW. Marriot dan Ritz Carlton yang menelan
korban 9 (sembilan) orang dan puluhan luka-luka, peledakan di Solo serta
tempat-tempat lainnya menunjukkan bahwa kelompok-kelompok teroris
tersebut masih terus bekerja dan melanjutkan aksinya. Terutama sekarang ini
adanya kelompok Santoso di Poso, serta munculnya indikasi adanya bibit-bibit
pengikuti ISIS di Indonesia.
18
Masih adanya ancaman terorisme di Indonesia juga disebabkan oleh
belum adanya pemahaman yang sama bagi masyarakat dalam
mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme, bahkan
adanya pemahaman yang sempit dan keliru dikalangan umat beragama bahwa
perang melawan terorisme dianggap memerangi Islam. Disisi lain kondisi
masyarakat tradisional yang menghadapi persoalan ekonomi, politik dan sosial
sangat mudah dipengaruhi atau direkrut menjadi anggota kelompok teroris
dengan menggunakan modus tipu daya kehidupan yang lebih baik bahkan
adanya pemahaman sesat pemikiran picik bahwa akan terbuka pintu sorga
baginya yang mau melakukan kegiatan tersebut, dengan menyalahartikan
esensi jihad baginya.
Kendala lain dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme adalah
belum adanya pembinaan yang menjamin dapat mengubah pemikiran radikal
menjadi moderat. Sementara itu masih lemahnya sistem pengawasan terhadap
peredaran dan penjualan bebas berbagai bahan pembuat bom, menyebabkan
para teroris masih leluasa melakukan perakitan bom, yang jika tidak terdeteksi
dapat menimbulkan kekacauan di berbagai tempat. Jaringan teroris.yang. sulit
terlacak dan memiliki akses yang luas serta ditopang oleh teknologi dan
komunikasi canggih membuat permasalahan terorisme sulit untuk
diselesaikan. Anggota teroris dapat memanfaatkan berbagai kemajuan
teknologi global, seperti internet dan telepon seluler untuk mempermudah
berkomunikasi dengankelompoknya.
19
Disamping itu, para teroris juga masih leluasa untuk melakukan
perjalanan dan komunikasi lintas batas negara sehingga sangat sulit untuk
memutus rantai jaringan terorisme global tersebut. Oleh karena itu, kualitas
dan kapasitas institusi Kepolisian khususnya dan aparat intelijen ditopang
oleh militer perlu ditingkatkan agar dapat menghadapi tantangan teknologi
aksi terorisme dan skala ancaman yang semakin meningkat. Selanjutnya
kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial yang merupakan media tumbuh
subur dan berkembangnya sel-sel dan jaringan teroris, perlu menjadi perhatian
utama pemerintah dengan program-program yang menyentuh kebutuhan dasar
masyarakat.
Tindakan terorisme merupakan kejahatan yang bersifat lintas batas
negara, dan telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban,
menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, hilangnya kemerdekaan, serta
kerugian harta benda. Oleh karena itu, perlunya dilaksanakan berbagai
langkah pencegahan dan pemberantasan melalui kerjasama regional dan
internasional. Berkaitan dengan hal tersebut, bangsa Indonesia perlu
mempersiapkan diri agar dapat berperan secara optimal dalam pengembangan
kerjasama di kawasan regional, khususnya yang terkait dengan kejahatan
terorisme dan kejahatan lintas batas lainnya. Kerjasama keamanan dalam
penanganan terorisme di ASEAN diperlukan untuk mewujudkan perdamaian
dan stabilitas yang dinamis di kawasan ini dengan tetap mengedepankan
kepentingan nasional Indonesia yang pada akhirnya akan turut menyokong
terwujudnya suatu Komunitas ASEAN yang aman dan damai ditopang oleh
20
tiga pilar seketor kehidupan penting yang saling memperkuat, yaitu
Komunitas Politik dan Keamanan, Komunitas Ekonomi, dan Komunitas
Sosial-Budaya.
Seluruh prinsip yang terkandung dalam Konvensi ASEAN mengenai
Pemberantasan Terorisme antara lain memuat : menghormati kedaulatan,
kesetaraan, integritas wilayah dan identitas nasional, tidak campur tangan
urusan dalam negeri, menghormati yurisdiksi kewilayahan, adanya bantuan
hukum timbal balik atau Mutual Legal Assistence (MLA) dan ekstradisi, serta
mengedepankan penyelesaian perselisihan secara damai. Selain itu, di dalam
konvensi ASEAN ini secara khusus terdapat prinsipyang merupakan nilai
tambah yang tidak dimiliki oleh Konvensi serupa yang memuat ketentuan
mengenai program rehabilitasi bagi tersangka terorisme, perlakuan yang adil
dan manusiawi, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam proses
penanganannya.
Komisi I DPR RI yang membidangi Luar Negeri sering dan telah
memberikan catatan kepada Pemerintah dalam rangka pelaksanaan UU
Terorisme bahwa Upaya-upaya pencegahan, penindakan, dan pemberantasan
terorisme dalam segala bentuk dan manifestasinya harus terlebih dahulu
mengedepankan perangkat peraturan perundang-undangan nasional yang
berlaku. Kebebasan dan keamanan individu adalah hak-hak fundamental
setiap warga negara, selain tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun, juga
bersifat tidak terpisahkan. Oleh sebab itu, setiap bentuk kebijakan negara
mengenai pencegahan, penanggulangan, pemberantasan terorisme harus
21
mampu secara jelas, permanen dan serempak melindungi kebebasan dan
keamanan warga negara.
Peraturan perundang-undangan yang ada harus sering dievaluasi dan
disempurnakan sehingga mampu menjadi media untuk meluruskan negative
perception dunia terhadap negara dan agama sekaligus memulihkan nama baik
Indonesia sebagai negara yang terkenal dengan nilai diversity dan hospitality-
nya. Kepada pemerintah agar terlebih dahulu mempersiapkan infrastruktur
dengan baik, lebih awal agar kelak dalam rangka pelaksanaan amanah UU
Terorisme tersebut dapat mendukung operasionalisasi dengan baik demi
kelancaran tugas di lapangan, khususnya dalam penanganan terorisme.
Kejadian teror dulu sering terjadi hampir serentak seperti di Solo,
Jakarta dan Depok dan beberapa tempat lainnya menunjukkan bahwa sel-sel
teroris baru terus bermunculan. Bak penyakit menahun, makin banyak obat
makin pintar penyakit bermutasi. Kian diburu, para teroris bertambah sigap
dan sel-sel baru kian banyak. Rantai terorisme menjadi semakin panjang. Aksi
teror dan kekerasan tampaknya tak menunjukkan surutnya kasus, sehingga
cukup memeras pikiran para petinggi keamanan negeri ini. Mengapa aksi teror
dan kekerasan di negeri ini tak pernah surut. Untuk itu perlu kajian yang
mendalam mengapa teror dan kekerasan begitu sering terjadi dan dicari "akar
masalah" atau "Roots cause analysis" dari setiap peristiwa / kejadian di negeri
ini. Apakah disebabkan kekecewaan, ras tidak puas, atau hal-hal lain
karena menjalankan misi sesat kelompoknya. Doktrin-doktrin tertentu dari
suatu organisasi nasional atau internasional, untuk memecah kesatuan dan
persatuan bangsa.
22
Rangkaian peristiwa pengeboman yang dilakukan kelompok teroris
berskala internasional dan nasional fenomena dan faktanya menampakkan
dampak yang luas. Korban jiwa dan harta benda tak ternilai jumlahnya.
Berbagai kalangan ilmuwan hukum khususnya menilai tindak pidana
terorisme tersebut sebagai bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime),
dengan ukuran dan kriteria masing-masing berbeda menurut sudut pandang
dan persepsi pribadi-pribadinya, seperti ada yang melihat dari aspek
kuantitas/jumlah korban, dampak yang ditimbulkan, waktu pemulihan yang
panjang dala merehabilitasi korbannya dan lain-lain.
Ketika melihat keadaan korban dan modus operandi yang dilakukan
pelaku, para ahli hukum memandang tindak pidana terorisme layak menurut
mereka dikualifisir sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan (crime against
humanity), karena dilakukan dengan motif dan cara-cara di luar
batasprikemanusiaan, korbannya banyak manusia tanpa dosa, tanpa kesalahan
yang ikut meregang nyawa mereka
Modus operandi terorisme belakangan ini dalam penyerangan terhadap
sasarannya sudah berubah cara – cara kelompok teroris melakukan aksinya
kian membabi – buta. Dahulu teroris dalam mengeksekusi korbannya dengan
menaruh bom pada suatu tempat di dalam tas ransel atau kardus, pelaku
dengan membawa tas dan meledakkan di tempat tertentu, sehingga dirinya
menjadi korban, pelaku mengirim paket bungkusan yang didalamnya ada
rangkaian bom yang siap diledakkan pada waktu yang telah disetting
sebelumnya, pelaku datang ke tempat sasaran dengan menembak orang –
orang yang dituju seperti pos polisi penjagaan, tempat ibadah, tempat
keramaian malam yang banyak dikunjungi wisatawan asing. Kini sasaran
23
teroris lebih menggila dengan menembak pesawat udara yang penuh
penumpang komersial – sipil menjadi sasarannya. Bahkan organisasi terorisme
secara terang-terangan menghimpun diri dalam wadah formal dan fulgar
seperti ISIS (Islamic of States Iraq and Syiria), dengan garang dan brutal
menyerang sasaran – sasarannya diberbagai negara. Dunia menjadi semakin
tercengang dan rasa takut yang kian bertambah akan bahaya setiap saat yang
mengancam kehidupan dan kenyamanan setiap orang.
Dalam Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme
tidak ada mengatur tentang batasan rentang waktu masa penyidikan tindak
pidana terorisme. Kriteria tentang batas waktu dari terorisme tersebut belum
tampak secara implisit dalam Undang – Undang Terorisme tersebut, atau
terjadi kekosongan norma. Untuk adanya kepastian hukum pengaturan tentang
batasan waktu atau kriteria suatu penyidikan tindak pidana terorisme kedepan
perlu adanya penormaan yang pasti dalam undang – undang yang
mengaturnya. Badan Legislatif bersama eksekutif mesti memformulasikan
batasan waktu dimaksud sebagai pedoman dan untuk adanya kepastian hukum
bahwa penyidikan tindak pidana terorisme memiliki batasan waktu yang jelas
dan pasti, sehingga tidak terjadi pelanggaran hak-hak asasi tersangka, atau
tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya di tingkat penyidikan.
Begitu pula dalam KUHAP terjadi kekosongan norma hukum
menyangkut batas waktu penyidikan dalam tindak pidana umum. Berbeda
halnya seperti tahapan proses peradilan HAM telah mengatur batasan limit
waktu secara jelas pada tiap tahapan proses peradilannya.
24
Fenomena dan fakta seperti terurai di atas, penulis tertarik mengangkat
tema terorisme ini ke dalam judul karya ilmiah tesis dengan judul
:“KEBIJAKAN FORMULASI PENGATURAN BATAS WAKTU
PENYIDIKAN TERSANGKA TERORIS DALAM PERADILAN PIDANA”
1.2 Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
penulis dapat merumuskan dua (2) rumusan masalah seperti berikut:
1. Bagaimana ketentuan pengaturan batas waktu penyidikan tersangka teroris
dalam Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme ?
2. Bagaimana kebijakan formulasi hukum pengaturan tentang batas waktu
penyidikan bagi tersangka teroris dimasa yang akan datang ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-Undang, yang
terkaitlainnya merupakan instrumen dalam penanganan masalah kejahatan
terorisme, karena penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana terorisme
di Indonesia tidak semata-mata merupakan masalah hukum dan penegakan
hukum, melainkan juga merupakan masalah sosial, budaya, agama, ekonomi
yang berkaitan erat dengan masalah ketahanan bangsa sehingga kebijakan dan
langkah pencegahan serta pemberantasannyapun ditujukan untuk memelihara
keseimbangan dalam kewajiban melindungi kedaulatan Negara, hak asasi
25
korban dan saksi serta tersangka/terdakwa. Bertitik tolak dari hal tersebut jelas
cakupannya sangat luas, guna mencegah luasnya cakupan dimaksud
diperlukan batasan-batasan, yang menjadi ruang lingkup masalah.
Ruang lingkup masalah menggambarkan luasnya cakupan lingkup
penelitiannya yang akan dilakukan. Ruang lingkup masalah dibuat untuk
mengemukakan ruang lingkup penelitian dan umumnya digunakan untuk
mempersempit pembahasan, untuk itu ruang lingkup dalam permasalahan
pertama akan dibatasi pada tingkat pengaturan penyidikan bagi tersangka
teroris pada saat ini dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Dan
permasalahan kedua dibatasi tentang pengaturan penydiikan tersangka
menyangkut batas waktu penyidikan dimasa yang datang (perspektif ius
constituendum).
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian tentang penanggulangan dan pemberantasan tindak
pidana terorisme bagi Indonesia mempunyai tujuan umum dan tujuan khusus.
1.4.1 Tujuan Umum
Sebagai pengembangan ilmu hukum khususnya di bidang
hukum pidana terkait dengan paradigma Science as a process (Ilmu
sebagai proses). Dengan paradigma ini ilmu akan terus berkembang di
bidang penanggulangan tindak pidana terorisme yang terkait dengan
keberlaku'an Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
26
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia,
menyangkut substansi batas waktu penyidikan bagi tersangka teroris.
1.4.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis batasan waktu
penyidikan bagi tersangka teroris oleh penyidik (perspektif ius
constitutum)
2. Untuk mengkaji dan menganalisis pengaturan ketentuan batas limit
waktu bagi tersangka teroris dimasa yang akan datang (perspektif
ius constitutum)
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis sebagai sumbangan keilmuan dalam bidang
hukum pidana menyangkut aspek hukum acaranya hal-hal yang
bersifat khusus di bidang materi terorisme dalam tahap proses
penyidikan tentang batas waktu penyidikan.
1.5.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis akan berguna bagi aparat penegak hukum,
khususnya kepolisian di dalam melakukan tindakan penyidikan tindak
pidana terorisme. Dan sebagai acuan di dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana terorisme dalam praktek atau penegakan
27
hukum oleh semua aparat penegak hukum terkait, khususnya BNPT
(Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) untuk tidak melanggar
hak-hak asasi tersangka teroris.
1.6 Originalitas Penelitian
Sebagai bandingan originalitas dari penelitian ini, maka dapat
dibandingkan dengan tesis-tesis yang pernah ada sebelumnya. Adapun judul
dan permasalahan dari tesis-tesis tersebut adalah :
1. Agung Patra Wicaksana Gede, Tahun 2008, dengan judul tesis Kebijakan
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Rumusan masalah :
(a) Urgensi penggunaan asas retroaktif dalam kebijakan pemberantasan
tindakpidana terorisme di Indonesia, (b) Peran intelijen dalam
kebijakan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia.
2. Ewit Soetriadi, tahun 2008, dengan judul tesis Kebijakan Penanggulangan
Tindak Pidana Terorisme dengan Hukum Pidana. Rumusan masalah : (a)
Bagaimana kebijakan legislatif dalam penanggulangan Tindak Pidana
Terorisme ? (b) Bagaimana kebijakan aplikatif dalam penanggulangan
Tindak Pidana Terorisme ? (c) Bagaimana kebijakan legislatif dalam
penanggulangan Terorisme pada masa yang akan datang ?
3. Sutjahyo Padmo Wasono, tahun 2009, dengan judul tesis Penanganan
Tindak Pidana Terorisme di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Rumusan masalah : (a)
Bagaimanakah penal dan non penal dalam penanganan tindak pidana
28
Terorisme dewasa ini ? (b) Bagaimanakan peranan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003, tentang pemberantasan tindak pidana terorisme
dalam perlindungan terdakwa tindak pidana terorisme?
4. Tesis ini mengambil judul : Kode sumber (source code) Website Sebagai
Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Terorisme di Indonesia (studi kasus
website Anshar.Net). Dengan rumusan masalah ; (a) Bagaimana
pengaturan penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik dalam
Hukum Acara Pidana di Indonesia ?. (b) Dapatkah sebuah kode sumber
website dijadikan alat bukti di persidangan berdasarkan pasal 27 Undang-
Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme ? (c) Bagaimana dalam prakteknya penerapan ketentuan Hukum
Acara Pidana terhadap informasi elektronik (source code website) di
dalam peristiwa tindak pidana terorisme pada kasus website Anshar.net ?.
Beberapa tesis tersebut di atas, setelah dilakukan penelitian dapat
dijelaskan, bahwa judul dan permasalahan yang dibahas sebagaimana yang
dituangkan dalam rumusan masalah masing-masing tidak ada yang sama
dengan penelitian peneliti.
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
Landasan teoritis sebagai dasar yang prinsip dalam mengkaji
dan menganalisis permasalahan yang meliputi asas-asas hukum, doktrin
(pendapat para ahli), konsep – konsep hukum, yurisprudensi dan hasil
29
penelitian terdahulu, serta teori-teori (hukum) yang relevan untuk memberikan
solusi atas permasalahan yang disajikan.
1.7.1. Asas – Asas Hukum
1. Asas legalitas
Suatu perbuatan dapat dipidana terlebih dahulu harus diatur secara tertulis
dalam undang-undang (terkait tindak pidana teroris diatur oleh Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme)
2. Asas equality before the law (persamaan dimuka hukum)
Bahwa setiap orang diperlakukan sama di depan hukum. (terkait dugaan
seseorang sebagai terduga tindak pidana terorisme dalam proses peradilan
diperlakukan sama di depan hukum tanpa ada diskriminasi perlakuan).
3. Asas presumption of innosence (praduga tidak bersalah)
Bahwa setiap orang baru dapat dinyatakan bersalah setelah ada putusan
pengadilan yang menyatakan seseorang bersalah melakukan suatu tindak
pidana yang dibuktikan didepan persidangan pengadilan
4. Asas access to legal councel / legal aid (pemberian bantuan hukum)
Bahwa setiap orang yang disangka / dituduh sebagai tersangka / terdakwa
wajib diberikan bantuan hukum dalam setiap tahapan proses peradilan
(sekalipun tersangka / terdakwa sebagai teroris wajib diberikan bantuan
hukum oleh negara).
1.7.2. Doktrin
Sehubungan dengan kualifikasi atau penggolongan bahwa tindak
pidana terorisme dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary
30
crime),terhadap hal ini ada beberapa pendapat atau doktrin yang mendukung
statement seperti di atas diantaranya :
- Abdul Wahid menyatakan : "Terorisme ikut ambil bagian
dalarn kehidupan. ..... dan yang tergolong luar biasa (extra ordinary
crime).4
- Nyoman Serikat Putra Jaya menyatakan :
"..... pemberian label pada jenis-jenis kejahatan baru atau kejahatan
konvensional dengan dimensi baru, seperti tindak pidana korupsi, tindak
pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, ataupun pelanggaran hak
asasi manusia yang berat diberi label extra ordinary crime, yang barang
tentu sarana hukum yang ada tidak memadai untuk menanggulanginya
sehingga dibutuhkan extralegal instrument”5
- Dari kalangan praktisi yakni sebagai hakim, Lilik Mulyadi menyatakan
bahwa :
"Tindak pidana terorisme dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 Jo UU No. 15
Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 Jo UU No. 16 Tahun 2003
dikategorikan sebagai tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary
crime)6.
Beberapa pendapat yang memberikan karakteristik dan sifat kejahatan
luar biasa (extra ordinary crime) ini menjabarkan dalam beberapa kriteria
seperti dipaparkan berikut ini.
4Wahid Abdul, Sunardi, Imam Sidik Muhammad, 2004, Kejahatan Terorisme (Perspektif
Agama, HAM dan Hukum), Refika Aditama, Bandung, hal. 2. 5Serikat Putra Jaya, Nyoman, 2008, Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum
Pidana, PT.Citra Aditya Bakti Bandung, hal. 93. 6Lilik Mulyadi, 2007, Peradilan Bom Bali, Cetakan : 1, Penerbit Djambatan, Jakarta,
hal.viii
31
Menurut pendapat Abdul Wahid menyatakan :
Sifat dan karakteristik sebagai ciri dari tindak pidana terorisme. Sifat
dari terorisme/tindak pidana terorisme nampak seperti hal-hal berikut :
- Kejahatan lintas batas negara (interboundary)
- Kejahatan terorganisir (organized crimes)
- Kejahatan dilakukan dengan kekerasan (violence crimes)
- Kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)
- Kejahatan beragam (varied)
- Kejahatan yang canggih (sophisticated)
- Kejahatan/tindak pidana internasional(international crime)
- Memiliki jaringan luas dan sebagainya7
Dari sifat kejahatan terorisme tersebut menampakkan karakteristik
sebagai ciri-ciri utamanya adalah :
1. Aksi yang digunakan menggunakan cara kekerasan dan ancaman
menciptakan ketakutan publik.
2. Ditujukan kepada negara, masyarakat atau individu atau kelompok
masyarakat tertentu;
3. Memerintah anggota-anggotanya dengan cara terror juga;
4. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapat dukungan dengan
cara yang sistematis dan terorganisir.
Selain ciri-ciri tersebut diatas terorisme dalam menjalankan aksi
tindakannya tampak adanya tindakan-tindakan dengan bentuk :
- Mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.
- Serangan sasaran tanpa memandang korban dari segi ras, etnis, agama,
waktu dan tempat (tempus delicti dan locus delicti)
- Aksi teror menimbulkan rasa takut berkepanjangan, dan lain-lainnya.
7 Abdul Wahid, Op. Cit. hal. 32
32
Tindak pidana terorisme sebagai kejahatan yang kualifikasinya khusus
memiliki karakteristik atau menampakkan sifat-sifat yang khas atau khusus
berbeda dengan tindak pidana umum lainnya. Hal tersebut dinyatakan oleh
beberapa pendapat kalangan doktrinal seperti :
Soeharto menyatakan bahwa : "Sifat dan terorisme / tindak pidana
terorisme nampak dengan karakteristik seperti berikut :
a. Kejahatan lintas batas negara (interboundary)
b. Kejahatan terorganisir (organized crimes')
c. Kejahatan dilakukan dengan kekerasan (violence crimes)
d. Kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)
e. Kejahatan beragam (varied)
f. Kejahatan yang canggih (sophisticated)
g. Kejahatan / tindak pidana internasonal .
h. Memiliki jaringan luas dan sebagainya.8
Begitu pula halnya menurut pandangan dari Budi Gunawan dalam
A. Dwi Hendro Sunarko menyatakan bahwa :
Dari sifat kejahatan terorisme tersebut menampakkan karakteristik sebagai
ciri-ciri utamanya adalah :
1. Aksi yang digunakan menggunakan cara kekerasan dan ancaman untuk
menciptakan ketakutan publik.
2. Ditujukan kepada negara, masyarakat atau individu atau kelompok
masyarakat tertentu;
3. Memerintah anggota-anggotanya dengan cara terror juga;
4. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapat dukungan dengan
cara yang sistematis dan terorganisir.9
8Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana
Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Cetakan Pertama, PT. Rafika Aditama,
Bandung, hal. 3. 9A. Dwi Hendro Sunarko, 2006, Terorisme Indonesia, Cetakan 1, Penerbit Pensil 324,
Jakarta, hal. 47.
33
Selain ciri-ciri tersebut di atas terorisme dalam menjalankan aksi
tindakanya menurut A. Dwi Hendro Sunarko tampak adanya tindakan-
tindakan dengan bentuk/corak karakteristik seperti :
- Mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.
- Serangan sasaran tanpa memandang korban dari segi ras, etnis, agama,
waktu dan tempat (tempus delicti dan locus delicti).
- Aksi teror menimbulkan rasa takut berkepanjangan, dan lain-lainnya.10
Menurut Loudewijk F. Paulus karakteristik terorisme dikelompokkan
kedalam empat macam terdiri dari:
- Pertama, Karakteristik organisasi yang meliputi organisasi, rekrutmen,
pendanaan, dan hubungan internasional.
- Kedua, Karakteristik operasi yang meliputi : perencanaan, waktu dan
kolusi.
- Ketiga, Karakteristik prilaku meliputi motivasi, dedikasi, disiplin,
keinginan membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup.
- Keempat, Karakteristik sumber daya meliputi : latihan / kemampuan,
pengalaman, perorangan dibidang tehnologi, persenjataan, perlengkapan
dan transportasi.11
Pendapat menurut Oemar Senoadji karakteristik teroris itu adalah :
1. Terutama ditujukan pada soal-soal yang mengertikan untuk diarahkan
pada jiwa-jiwa orang tak bersalah yang tidak punya sangkut paut dengan
tujuan yang dikehendaki oleh teroris.
2. Terorisme berkehendak untuk memprovosir suatu keadaan tidak pasti
apakah ditujukan pada para pejabat ataupun dengan menempatkan bom
pada kediaman mereka karena posisi politiknya.12
10
Budi Gunawan, 2006, Terorisme, Mitos dan Konspirasi, Forum Media
Utama,Palmerah Barat, Jakarta, hal. 24 11
Norma Permata Ahmad, 2006, Agama dan Terorisme, Cetakan 1, Penerbit
Muhammadiyah University Press, Surakarta, hal. 32. 12
Omar Senoadji, dalam Abdul Latih : Kebijakan Undang-Undang Tindak Pidana
Terorisme (Antara Harapan dan Kenyataan), Makalah Workshop tentang Urgensi Amandemen
Undang-Undang Anti Terorisme, Yogyakarta, 21-23 April 2003, hal. 9.
34
Pandangan lain tentang karakteristik teroris diberikan oleh Hasnan
Habib bahwa karakteristik teroris itu meliputi hal-hal:
1. Pengeksploitasian teror sebagai salah satu kelemahan manusia
secara sistematik,
2. Penggunaan unsur pendadakan dan kejutan perencanaan setiap aksi terror,
3. Mempunyai tujuan-tujuan strategi untuk mencapai tujuan politik dan
sasaran-sasaran spesifik pada umumnya.13
Tentang karakteristik teroris tersebut Abdul Latif mengemukakan
pandangannya bahwa ada beberapa unsur sebagai spesifikasi khas seperti :
1. Membenarkan penggunaan kekerasan
2. Penolakan terhadap adanya moralitas
3. Penolakan terhadap berlakunya proses politik
4. Meningkatnya totaliterisme
5. Menyepelekan kemauan masyarakat beradab untuk mempertahankan
diri.14
Tampak beberapa konsep dari tindak pidana terorisme yang
dipaparkan dari beberapa kalangan teroritisi yang pada intinya menyiratkan
makna bahwa terorisme apapun dalih ataupun alibi yang dilontarkan para
pelakunya tetap secara hukum dan aspek kehidupan lainnya adalah dilarang
serta bertentangandengan prinsip kehidupan umat manusia.
Tindak pidana terorisme yang diakui sebagai bentuk kejahatan
inkonvensional yang sifat dan coraknya memiliki kekhususan tersendiri
beberapa ahli memandang dan memasukkannya ke dalam kualifikasi
kejahatan yang luar biasa atau extra ordinary crime, dengan pertimbangan-
pertimbangan atau alasan-alasan tertentu sesuai dengan sudut pandang mereka
masing-masing seperti kriteria dari aspek sadisme, motif yang sulit diungkap,
13
Ibid
35
tujuannya untuk apa, target menyasar siapa, siapa dan berapa korbannya, dari
kelompok mana, agama dan suku / ras apa, jumlah korban nyawa dan materi
dan lain-lain lagi yang sangat komplek dampak serta kapan dan dimana
terjadi, semua ini sulit diterka bahkan serba misterius.
Beberapa kalangan teoritisi maupun pengamat politik praktek
memberikan argumen bahwa kejahatan terorisme pantas diberi label kejahatan
yang luar biasa (extra ordinary crime) seperti berikut beserta alasannya
mereka itu adalah :
1. N. Serikat Putra Jaya berpendapat bahwa "Tindak pidana terorisme diberi
label extra ordinary crime karena sarana hukum yang ada tidak memadai
untuk menanggulanginya sehingga dibutuhkan extralegal instrument15
Berarti menurut pendapat N. Serikat Putra Jaya tersebut di atas bahwa
tindak pidana terorisme dimasukkan ke dalam kualifikasi kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime) karena dipandang undang-undang yang ada
(sebelumnya) seperti KUHP, tidak mampu menangani kejahatan terorisme,
bahkan sebelum adanya Undang-Undang Np." 15 Tahun 2003 ex Perpu
No. 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme
Indonesia belum memiliki dasar hukum untuk menindak dan memproses
pelaku kejahatan di bidang terorisme, disinilah diperlukan tindakan
kebijakan legislatif dan pemerintah untuk menciptakan landasan hukum di
bidang terorisme sebagai wujud kebijakan pidana (criminal policy) dalam
bentuk menciptakan legislasi di bidang hukum pidana formal khususnya,
15
Sarikat Putra Jaya, loc cit
36
yang oleh N. Serikat Putra Jaya diistilahkan dengan penciptaan /
penanggulangan dengan extralegal irstrument.
2. Pendapat lain dari Abdul Wahid yang memberikan alasan bahwa tindak
pidana terorisme dimasukkan ke dalam bentuk kejahatan yang luar biasa
(extra ordinary crime) dengan pendapatnya mengatakan bahwa :
"Terorisme merupakan bentuk-bentuk aksi kejahatan dengan
menggunakan cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau
kelompok orang yang ditujukan pada sasaran sipil, baik masyarakat
maupun harta kekayaan untuk tujuan politik dengan motivasi yang
berbeda-beda. Bukankah secara akal sehat kita menyadari korban tragedi
yang dibuat oleh para terorisme adalah mereka yang tak tahu apa-apa soal
politik, sang korban adalah mereka yang merindukan damai. Rasa damai
yang mereka rindukan, tetapi yang didapat justru kepedihan hati, hati
mereka terluka sebab mereka tak bersalah tetapidijadikan sebagai korban,
hal itulah yang antara lain mendasari penempatan terorisme sebagai yang
tergolong "istimewa / luar biasa" (extra ordinary crime)"16
3. Begitu pula pendapat Thomas Santoso memaparkan terorisme ini sebagai
kelompok kejahatan luar biasa atau istimewa seperti dinyatakan bahwa
"dari beberapa bentuk kekerasan terdapat apa yang disebut dengan
kekerasan kolektif atau kekerasan yang dilakukan oleh anggota kelompok
secara bersama-sama seperti dalam perang, kerusuhan dari pelaku
teroris.17
4. Selanjutnya pendapat dari Dom Helder Camara yang menyatakan bahwa
"terorisme merupakan jelmaan kejahatan sistemik, ibaratnya kejahatan ini
mencerminkan sebuah lingkaran kekerasan seperti melakukan kekerasan
baru dan selanjutnya menjelma menjadi kejahatan iblis yang gelap...
16
Abdul Wahid, Sumardi, M. Imam Sidik, Op Cit, hal. 59 17
Thomas Santoso, 2003, Teori-teoriKekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 41.
37
dampak yang ditimbulkan sangat kompleks sehingga termasuk bentuk
kejahatan istimewa atau luar biasa (extra ordinary crime).18
5. Beberapa kalangan teoritisi dan praktisi hukum lainnya menyatakan tindak
pidana terorisme sebagai kualifikasi extra ordinary crime seperti :
- M. Joni Santoso, "Dalam sistem peradilan pidana internasional tindak
pidana teroris menjadi materi diskusi yang cukup menarik, hampir
semua ahli hukum pidana dan kriminologi mengatakan bahwa tindak
pidana terorisme merupakan extra ordinary crime dan proses
peradilannya luar biasa. Karena sifatnya yang extra ordinary crime
inilah hampir semua negara menggunakan undang-undang khusus
dalam menanggulangi tindak pidana terorisme.19
- King Faisal Sulaiman, "Terorisme adalah suatu kejahatan yang tidak
dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, secara normatif
terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime) dan dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
(crime against humanity) lebih lanjut dinyatakan pula
berdasarkan........dst, maka dapat disimpulkan bahwa tidak mustahil
kasus-kasus terorisme yang notabene bernuansa crime against
humanity dan masuk dalam kategori extra ordinary crime20
Sehubungan dengan tindak pidana terorisme dikualifikasi ke dalam
extraordinary crime, maka menurut pakar hukum Muladi, kejahatan terorisme
sebagaikejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sebagai paramater
indikatornya menyangkut hal-hal berikut:
1. Membahayakan nilai-nilai hak asasi manusia yang absolut (nyawa, bebas
dari rasa takut dan sebagainya).
2. Serangan terorisme bersifat "random, indiscriminate and non selective''''
yang kemungkinan menimpa orang-orang yang tidak bersalah.
18
Dom Helder Camara dalam Abdul Wahid, dkk. Op.Cit, hal. 52. 19
M. Joni Santoso, Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana, Artikel Harian Tempo,
27Oktober2003,hal. 1-2. 20
King Faisal Sulaiman, 2007, Who is the Reall Terrorist!, Menguak Mitos Kejahatan
Terorisme, Cetakan Pertama, Penerbit: El Mutera Publishing, Yogyakarta, hal. 87.
38
3. Selalu mengandung unsur-unsur kekerasan, ancaman kekerasan koersif
dan intimidasi pada penduduk sipil dan menimbulkan rasa takut yang
bersifat luas.
4. Kemungkinan keterkaitannya dengan kejahatan terorganisasi
bahkan kejahatan transnasional terorganisasi.
5. Kemungkinan digunakan teknologi canggih seperti senjata kimia, biologi,
bahkan nuklir.21
Sehubungan dengan hal di atas sejalan dengan pendapat King Faisal
Sulaiman menyatakan pula bahwa persoalan terorisme sesungguhnya sudah
menjadi fenomena global.... dstnya, dan merupakan tindak pidana luar biasa
(extra ordinary crime), sehingga dari keadaan yang demikian ia
menghubungkannya dengan pandangan Romli Atmasasmita bahwa
pemberantasan tindak pidana terorisme yang digolongkan sebagai kejahatan
yang luar biasa (extra ordinary crime) secara filosofis mengandung 7 (tujuh)
unsur yaitu :
1. Terorisme merupakan musuh umat manusia (hostes humanis generis)
2. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime
againts humanity)
3. Terorisme merupakan kejahatan terhadap peradaban umat manusia (extra
ordinary crime)
4. Terorisme merupakan kejahatan lintas batas (international and
transnational organized crime)
5. Perlindungan masyarakat bangsa dan negara merupakan tujuan
6. Pembatasan hak asasi tersangka atau terdakwa merupakan pengecualian
7. Preemtif dan preventif lebih diutamakan dan represtf.22
Adanya predikat extra ordinary crime dari kejahatan terorisme tersebut
di atas seperti dipaparkan dari beberapa kalangan ahli maka akan
21
Muladi, Aspek Legal dalam Pemberantasan Penyelundvpan Senjata dan Pencvcian
Hang di Indonesia, (Makalah : Seminar yang diselenggarakan oleh Dirjen Kerjasama ASEAN
Deplu RI, Yogyakarta, 31 Oktober 2002, hal. 8-9). 22
Romli Atmasasmita, Kajian Undang-Undang Terorisme dalam Perspektif Hukum
International, (Makalah : Workshop tentang Urgensi Amandemen Undang-Undang Anti
Terorisme, Yogyakarta : 21-23 April2003, hal. 11).
39
menunjukkan adanya jenis-jenis terorisme yang dibedakan ke dalam beberapa
macam, seperti dipaparkan berikut ini dalam uraian selanjutnya.
Menurut Ahwil Lutan, jenis-jenis terorisme dapat dibedakan sebagai
berikut:
1. Irrational Terror, yaitu aksi teror yang dilakukan oleh orang atau
kelompok yang tujuannya kurang masuk akal.
2. Criminal Terror, biasanya dilakukan oleh orang atau kelompok yang
tujuannya untuk kepentingan kelompoknya.
3. Political Terror, merupakan kegiatan teror yang dilakukan oleh kelompok
atau jaringan yang bertujuan politik.
4. State Terror, adalah aksi teror yang dilakukan oleh penguasa suatu negara
terhadap rakyatnya untuk membentuk perilaku dan segenap lapisan
masyarakat.23
1.7.3. Konsep Hukum
Konsep (concept) adalah kata yang merupakan abstraksi
yang digeneralisasikan dari gejala-gejala tertentu.24
Konsep hukum yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Konsep Perlindungan Hukum, Konsep
due process of law dan Konsep tentang Unsur Minimal Proses Hukum yang
Adil.
1.7.3.1.Konsep Perlindungan Hukum
Setiap pembentukan suatu Negara didalamnya akan terdapat hukum
untuk mengatur warganya, sehingga tercipta hubungan antara Negara dengan
warga negaranya. Hubungan tersebut akan melahirkan hak dan kewajiban.
Perlindungan hukum akan menjadi hak bagi warga Negara dan disisi lain
23
Ahwil Lautan, Kerja Penyidik Tidak Tergantung III! Anti Terorisme,
www.hukmanline.com. 24
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008. Pengantar Metode Penelitian Hukum, cetakan
keempai, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 47.
40
perlindungan hukum menjadi kewajiban bagi Negara. Indonesia mengukuhkan
dirinya sebagai Negara hukum sebagaimana terangkum dalam Pasal 1 Ay at
(3) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi : "Indonesia adalah Negara
hukum". Oleh karenanya setiap tindakan pemerintah dan institusinya harus
berlandaskan atas hukum.
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa Perlindungan hukum adalah
memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain
dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat
menikmati semua" hak-hak yang diberikan oleh hukum.25
Philipus M Hadjon
menyatakan perlindungan Hukum adalah perlindungan akan harkat martabat,
serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek
hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.26
Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa Negara Indonesia sebagai
Negara Hukum berdasarkan atas Pancasila haruslah memberikan perlindungan
hukum terhadap warga masyarakatnya yang sesuai dengan Pancasila. Oleh
karena itu perlindungan hukum berdasarkan Pancasila berarti pengakuan dan
perlindungan hukum akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai
Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan, persatuan, Permusyawaratan, serta
Keadilan Sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan
25
Satjipto Rahardjo, 1993. Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang sedang
Berubah” Jurnal Masalah Hukum. 26
Hadjon,Philipus, M., 1987 , Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, h. 37.
41
hak asasi manusia dalam wadah Negara kesatuan yang menjunjung tinggi
semangat kekeluargaan dalam mencapai kesejahteraan bersama.27
Konsep perlindungan hukum relevan untuk membahas masalah
pertama dimana Negara berkewajiban memberikan perlindungan hukum bagi
saksi dan terdakwa terlebih lagi terhadap justice collaborator yang
berkontribusi dalam penegakan hukum Indonesia dalam mengungkap
kejahatan korupsi yang terselubung. Sehingga keselamatan fisik dan psikis
mereka sudah seharusnya diakomodir dalam suatu peraturan perundang-
undangan formil.
1.7.3.2.Konsep due process of law
Secara esensi, pembicaraan mengenai proses hukum yang adil (due
process of law) tentu tidak bisa lepas dengan sistem peradilan pidana, dan juga
terkait dengan perlindungan hukum terhadap tersangka,terdakwa dan
terpidana. Mengenai hal ini Heri Tahir menyatakan bahwa :
"... sistem peradilan pidana merupakan wadah dari proses hukum yang
adil, sehingga tidak mungkin membicarakan proses hukum yang adil tanpa
adanya sistem peradilan pidana. Demikian sebaliknya, proses hukum yang
adil pada hakikatnya merupakan roh dari sistem peradilan pidana itu
sendiri yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak
tersangka dan terdakwa".28
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, dalam proses hukum
yang adil (due process of law) terdapat perlindungan terhadap hak-hak
tersangka dan terdakwa. Dalam mencapai proses hukum yang adil (due
27
Ibid, h. 84 28
Heri Tahir, 2010, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia, cetakan pertama, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, h. 7
42
process of law), peradilan pidana juga harus mencerminkan perlindungan
terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa sebagai persyaratan
terselenggaranya proses hukum yang adil. Konsep hukum ini relevan untuk
membahas permasalahan pertama dan kedua yang terkait dengan perlindungan
hukum dan menilai keakuratan kekuatan pembuktian dari kesaksian seorang
justice collaborator.
Due process of law dapat diartikan sebagai proses hukum yang adil
dan tidak memihak, layak, serta merupakan proses peradilan yang benar, yang
telah melalui mekanisme atau prosedur-prosedur yang ada, sehingga dapat
diperoleh keadilan substantif. Yesmil Anwar dan Adang mengemukakan
bahwa :
Due Process of Law pada dasarnya bukan semata-mata mengenai rule of
law, akan tetapi merupakan unsur yang esensial dalam penyelanggaraan
peradilan yang intinya adalah ia merupakan "...a law which hears before it
condemns, which proceeds upon inquiry, and reders judgement only after
trial..". Pada dasarnya yang menjadi titik sentral adalah perlindungan hak-
hak asasi individu terhadap arbitrary action of the government29
Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa dalam due process of
law mengandung adanya perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia
utamanya terhadap pembahsan mengenai justice collaborator, sekalipun ia
adalah seorang pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa) harus mendapatkan
perlindungan hukum yang dijamin oleh negara, terlebih ia berniat untuk
bekerja sama dengan penegak hukum guna mengungkap kejahatan.
29
Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sisiem Peradilan Pidana; Konsep, Komponen, &
Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, cetakan pertama, Widya Padjajaran. hlm.
113-114.
43
1.7.3.3.Konsep tentang Unsur Minimal Proses Hukum yang Adil
Pendapat Tobias dan Petersen, due process of law (yang berasal dari
Inggris, dokumen Magna Charta, 1215) merupakan constitutional guaranty ...
that no person will be deprived of live, liberty of property for reason that are
arbitrary ... protecs the citizen agints arbitrary actions of the government.
Menurut Tobias dan Petersen, unsur-unsur minimal dari due process of law
adalah hearing, counsel, defence, evidence and a fair and impartil court.30
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa "hearing" adalah salah satu
unsur minimal dalam due process of law.
1.7.3.4.Konsep Hak Asasi Manusia (HAM)
Pengakuan, perlindungan serta pemenuhan terhadap hak-hak asasi
manusia di Negara Indonesia secara konstitusi telah diatur dalam Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 beserta perubahan (amandemen) baik hak asasi
bidang sosial, politik, hukum maupun budaya, kemudian secara substansial
juga telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat
organik. Namun demikian awal mula pengakuan dan penghormatan terhadap
hak-hak asasi manusia secara formil oleh negara pada mulanya berkembang
di negara-negara eropah, salah satu contoh dalam sistem hukum eropah yang
mengatur menganai perlindugan terhadap hak-hak asasi pelaku
30
Ibid, h. 22 – 23
44
kejahatan dapat dilihat dalam ketentuan European Convention on Human
Rights (ECHR), dimana pada Pasal 6 (3) (e) dari ECHR tersebut menyatakan
"Everyone charge with a criminal offence [....] "has the rights to free
assistance of an interpreter if he cannot understand or speak the language
used court, terjemahan bebasnya Setiap orang yang dituduh melakukan
kejahatan [......] punya hak mendapatkan bantuan dalam bentuk penerjemah
gratis jika orang itu tidak bisa mengerti atau tidak bisa bahasa yang digunakan
di pengadilan.31
", (ECHR) berkembang jauh sebelum lahirnya Decleration of
Human Rights, hal ini menandakan bahwa pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak tersangka telah diatur dalam konvensi (Convention) di
Eropah.
Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia sejak tahun 1948
mulai mendapat perhatian secara internasional yang ditandai dengan
dideklarasikannya Piagam Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
atau Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 1948, yang diikuti dengan
deklarasi hak-hak asasi manusia bidang sipil dan politik (International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tahun 1966, deklarasi
tersebut mewajibkan tiap-tiap negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk memberi perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi
manusia dalam keadaan apapun.
31
Ida Elisabeth Koch, 2009, Human Rights as Indivisible Rights, The Protection ofSocio-
Economic Demands under the European Convention on Human Rights, Martinus NijhofT
Publishers, Leiden.Boston, Page 7 Capter 1.
45
Perkembangan konsepsi tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga
mewarnai perkembangan hukum baik dalam tataran internasional dan
domestic, HAM dapat dijadikan sebagai acuan bagi hukum pidana di masing-
masing negara untuk menerapkan konsepsi humanisasi dan civilisasi agar
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan
pertanggung jawaban pidana32
Pengaturan hak-hak asasi manusia bidang hukum dalam konstitusi
negara R.I. dapat di temukan dalam rumusan Pasal 27 UUDNRI Tahun 1945
yang mengatur mengenai persamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, sedangkan dalam Pasal 28 D ayat (1) menyatakan " Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum".
Konsep perlindungan hak asasi manusia khususnya bagi mereka yang
terlibat masalah hukum (tersangka), adalah setiap orang harus diperlakukan
sama dan sederajat dihadapan hukum, mereka memiliki hak-hak sipil maupun
politik.
Upaya pemerintah mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain
dalam pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia bagi
warga negara (bidang sipil dan politik) dilakukan dengan turut meratifikasi
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik tahun 1966 (International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)) melalui Undang-undang
Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil
32
Ali Zaidan, M., Op Cit, h. 133
46
Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119),
dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 point 3.
Pokok-pokok Isi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik,
antara lain menyebutkan:
Pasal 1, bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya
sendiri dan menyerukan kepada semua negara, termasuk negara-negara
yang bertanggung jawab atas Pemerintahan Wilayah yang tidak
Berpemerintahan sendiri dan Wilayah Perwalian, untuk memajukan
perwujudan hak tersebut. dst.
Pasal 6 sampai dengan Pasal 27 pada pokoknya menetapkan bahwa setiap
manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum, dan
bahwa tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-
wenang , tidak seorangpun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau
penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat,
tidak seorangpun boleh diperbudak, bahwa perbudakan dan perdagangan
budak dilarang, dan bahwa tidak seorangpun boleh diperhamba, atau
diharuskan melakukan kerja paksa atau kerja wajib, tidak seorangpun
boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang, tidak seorangpun
boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidak mampuannya memenuhi
kewajiban kontraktualnya.
Orang yang didudukkan sebagai tersangka memiliki hak Previleges
berupa perlindungan dari stigmatisasi praduga bersalah artinya setiap orang
yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana tidak boleh divonis atau
dicap atau dilabelisasi bahwa ia/merekalah sebagai pelakunya, karena dalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menerapkan asas " praduga tidak
bersalah ", maka sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa
benar tersangka tersebut sebagai pelaku tindak pidana dan putusan tersebut
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka tersangka harus tetap
dianggap sebagai orang yang tidak bersalah.
47
Merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk mewujudkan
perlindungan, pemenuhan serta penegakan hak asasi manusia, sebagaimana
dirumuskan dalam ketentuan Pasal 28 J ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negera Republik Indonesia dinyatakan "Perlindungan,pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama
pemerintah ".
Perwujudan komitmen pemerintah dalam pemenuhan hak-hak asasi
manusia dibidang hukum pidana dapat dilihat dalam KUHAP yang telah
mengatur sejumlah hak-hak tersangka dan pemenuhannya bersifat wajib.
Menurut Sofyan Lubis, dalam sistem peradilan pidana di negara kita, terutama
yang ada di dalam KUHAP, pada praktiknya terjadi sangat banyak
pelanggaran terhadap hak-hak tersangka terutama ditingkat penyidikan, dan
setiap pelanggaran terhadap KUHAP ternyata tidak ada aturan yang dengan
jelas memberikan sanksi bagi mereka yang telah melakukan pelanggaran
tersebut, sehingga aparat secara leluasa dapat menyalahgunakan kewenangan
yang berakibat terjadinya pelanggaran hak-hak tersangka
Beberapa konsep HAM yang secara fakta formal yuridis melindungi
setiap individual akan hak-hak kebebasannya secara asasi tertuang dalam
berbagai landasan hukum secara universal maupun nasional, bahkan dari
landasan tersebut meningkat menjadi pendapat kalangan para ahli (doktrin).
Adapun beberapa konsep HAM dimaksud diantaranya adalah sebagai
berikut :
a. Menurut Leach Levin bahwa konsep HAM ada 2 (dua) konsepsi yakni :
48
1. Natural Right (Hak Alamiah atau Hak Moral) yakni HAM tidak bisa
dipisahkan dan dicabut. Karena merupakan hak manusia karena ia
seorang manusia, maka kewajiban oleh negara menjaga martabat setiap
manusia
2. Hak menurut hukum, hak-hak individu menurut hukum dibentuk
melalui proses pembentukan hukum oleh negara, maka hukum
diciptakan untuk melindungi hak-hak setiap orang33
b. Piagam Perjanjian Yang Agung
“Bahwa tersurat salah satunya adanya larangan bagi Polisi, Jaksa tidak
boleh menuduhkan menuntut seseorang tanpa saksi yang dapat
dipercaya, serta melarang penahanan penghukuman, dan perampasan
benda dengan sewenang-wenang.”34
c. Natural Rights (Hak – Hak Alamiah) dari Konsep John Loche (1632 –
1704)
“Bahwa negara harus menghargai dan menjunjung tinggi
hak-hak individu, kepentingan negara atas dasar alasan apapun tidak
bisa menghilangkan hak-hak individu, bahwa setiap manusia atau
individu mempunyai hak-hak dasar yang tidak bisa diganggu
gugat.”35
33
Ny. Nartono, 1987, Hak – Hak Asasi Manusia – Tanya Jawab, Pradnya Paramita,
Jakarta, hlm. 3 34
Ibid 35
Aryanto Ignatius, 2000, Convenant International, Hak Sipil dan Politik, LSPP, Jakarta,
hlm. 198
49
Konsep natural right inilah yang melahirkan hak-hak sipil dan
politik, sebagai pembela dan pelindung hak-hak sipil selaku individu,
salah satunya hak kebebasan setiap orang, tidak dapat dipaksa oleh
siapapun termasuk oleh negara. Maka perlu dalam proses peradilan setiap
orang hak-hak individunya seperti hak untuk diam, hak untuk tidak
dibebani pembuktian, hak untuk tidak dilanggar, hak asasi kehormatannya
seperti hak tidak dituduh bersalah sebelum ada putusan oleh hakim yang
bersifat tetap (inkracht) bahwa ialah telah bersalah atas tuduhan terhadap
dirinya. Atau jangan dilanggar hak atas asas praduga tidak bersalah
(presumption of innosence) tersebut.
d. Konsep HAM dari Presiden Amerika Serikat – Teodore Roosevelt, dalam
amanat tahunannya tahun 1948 di muka Kongres AS mengemukakan
ajakan membangun satu dunia yang didasarkan atas 4 (empat) kebebasan
dasar manusia yaitu :
1. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat di seluruh dunia
2. Kebebasan setiap orang menyembah Tuhan menurut caranya masing-
masing
3. Kebebasan dari ketakutan, yang mengandung arti bebas dari segala
bentuk ancaman kekerasan bagi perorangan maupun bagi suatu bangsa
4. Kebebasan dari kemiskinan yang berarti kewajiban negara untuk
memberi jaminan kepada semua orang untuk hidup dengan sejahtera36
Dalam konsep dari Teodore Rooselvet tersebut menekankan salah satunya
kebebasan setiap individu untuk tidak diancam dengan kekerasan, dalam
artian lebih jauh tanpa ada tekanan pada individu, baik fisik maupun psikis
terutama bila terkait dengan proses hukum dalam peradilan.
36
Ali Said M., Op Cit, hlm. 135
50
e. Konsep HAM Dalam Pengelompokan Generasi HAM
Perkembangan HAM sejak awal muncul pada abad 17 dan 18, pada abad
ini dianggap sebagai kemunculan Generasi HAM I, yakni HAM Sipil dan
Politik (liberte), Generasi HAM II muncul pada abad 19, merupakan
generasi kedua menyangkut kelahiran perjuangan hak-hak sosial ekonomi
dan budaya (egalite). Dan HAM Generasi ke III (ketiga) muncul
perjuangannya diabad 20 (dua puluh), HAM Generasi III merupakan usaha
perjuangan penindasan kelompok berkuasa terhadap kelompok minoritas,
juga perjuangan hak atas perdamaian, pembangunan hak atas lingkungan
hidup di masa mendatang dan lain-lain.37
Dalam konsep HAM Generasi I tampak secara jelas akan konsepsi
HAM di bidang hak sipil dan politik. Artinya ketika abad 17 dan 18 penguasa
adalah raja, jadi negara dibawah raja, kemudian ada kelompok khusus seperti
bangsawan, gereja – gereja dengan hak – haknya tertinda oleh kedua
kelompok sebelumnya terutama oleh kelompok penguasa yakni raja. Hak –
hak sipil dan politik inilah terutama kebebasan individu mulai diperjuangkan.
Mengacu beberapa tipologi atau bentuk aksi terorisme tersebut, maka
sebetulnya terdapat tiga bentuk atau tipologi kejahatan terorisme berdasarkan
motif yang melatarbelakanginya ataupun tujuan yang hendak dicapai oleh para
teroris yaitu :
1. Political Terrorism
Merupakan terorisme yang bersifat politik dimana perilaku atau tindakan
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara sistematik,
menggunakan pola-pola kekerasan, intimidasi, dan ditujukan terutama
37
Meriem Budiardjo, 1990, Dasar – Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, hlm. 37
51
untuk menumbuhkan ketakutan dalam suatu masyarakat demi mencapai
tujuan-tujuan yang bersifat politik.
2. Criminal Terrorism
Terorisme yang tidak diarahkan untuk tujuan-tujuan politik tetapi
dilakukan berdasarkan kepentingan suatu kelompok atau komunitas
tertentu dalam memperjuangkan tujuan kelompok atau organisasinya.
Kelompok yang termasuk dalam pengertian ini adalah kelompok yang
bermotif idiologi, agama, aliran atau mempunyai paham-paham tertentu.
3. State Terrorism
Merupakan kegiatan terorisme yang disponsori oleh negara aau dilakukan
atas nama negara yaitu aksi teror yang dilakukan oleh negara terhadap
individu atau kelompok-kelompok masyarakat tertentu ataupun terhadap
bangsa-bangsa atau negara-negara tertentu.38
Pengklasifikasian tipologi terorisme sebagaimana diuraikan di atas,
dimaksudkan untuk mempertegas pemahaman kita terhadap berbagai tipikal
terorisme itu sendiri. Aksi terorisme dapat dilakukan oleh siapa saja dengan
berbagai corak atau motif yang beragam. Kejahatan terorisme tidaklah identik
dengan kelompok yang bermotif idiologi, agama, aliran atau mempunyai motif
tujuan politis yang bersifat pragmatis tertentu. Tidak dapat dimustahilkan
bahwa kejahatan terorisme dapat pula dilakukan atas nama negara (state
terrorism). Terminologi terorisme masih tetap menjadi fenomena paradoksal
dunia hingga sekarang. Negara-negara Adidaya dan sekutunya selalu
menggunakan terminologi ini untuk menstigmatisasikan sejumlah gerakan
perlawanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang dianggap
berbahaya bagi kepentingan nasionalnya. Sementara itu, tindakan aneksasi dan
agresi militer mereka terhadap sejumlah negara lemah selama ini selalu
bersembunyi, di balik alasan hipokratik seperti demi kepentingan keamanan
dunia atau kenyamanan dunia dan peradaban manusia.Tindakan negara-negara
38
Ibid
52
Super Power itu, sama sekali tidak dianggap sebagai bentuk kejahatan
terorisme.
Terkait dengan kebijakan pemberantasan tindak pidana
terorisme, ada tiga butir paradigma hukum pidana yang patut menjadi bahan
pertimbangan yaitu sebagai berikut:
a. Primat Victim's Protection (VP)
Dalam hal ini kebijakan pencegahan dan pemberantasan yang diambil
harus mengedepankan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan para
korban tindakan teror. Problem ini menyangkut acces to justice,
kompensasi, restirusi dan rehabilitas.
b. Primat Due Process of Law (DPL)
Untuk pencegahan dan pemberantasan yang dimaksud harus selalu
berpedoman secara teguh mengikuti prosedur hukum yang berlaku.
c. Primat Kedaulatan Negara (KN)
Perlindungan atas kedaulatan wilayah negara RI menjadi fakta penting
yang mempengaruhi pemerintah dalam mengambil kebijakan legislasi
terkait usaha pencegahan dan pemberantasan, Keutuhan dan kedaulatan
negara di mata dunia intemasional harus diutamakan di atas faktor yang
lain.39
Ketiga paradigama utama di atas, tentunya harus dikendalikan pada
proporsi yang sebenarnya. Pernerintah kita harus mengambil hikmah dengan
terjadinya tragedi Bom Bali, dan tragedi-tragedi lainnya di Indonesia.
Demikian antara lain beberapa pandangan / pendapat dari para ahli
yang memandang dan memasukkan penggolongan tindak pidana terorisme ke
dalam bentuk kejahatan yang luar biasa (extra ordimary crime) dengan segala
kekhususan serta dimensi yang ditimbulkannya.
39
Romli Atmasasmita, Masalah dan Prospek Pemberantasan Terorisme di Indonesia,
www.Hukumonlinc.
53
1.7.4. Teori – Teori Hukum
Secara keilmuan hukum suatu masalah memerlukan pisau analisis
dalam mengkritisi dan mengkaji substansi masalah atas dasar teori-teori
hukum. Sehubungan dengan permasalahan yang disajikan dalam karya ilmiah
tesis ini, penulis memakai beberapa teori-teori hukum yang relevan dengan
permasalahan yang disajikan.
Adapun teori-teori dimaksud adalah :
1. Teori Kebijakan Hukum Pidana
2. Teori Hukum Progresif
3. Teori Harmonisasi Hukum
4. Teori Kewenangan
5. Teori HAM (Hak Asasi Manusia)
Masing-masing teori di atas secara garis besar dan inti subtansi yang
terkait dengan masalah serta materi tindak pidana terorisme .akan penulis
korelasikan sebagai solusi atau jalan keluar mengkaji masalah yang disajikan.
1.7.4.1.Teori Kebijakan Hukum Pidana
Dalam kaitan teori kebijakan hukum pidana, dalam tesis ini digunakan
pembagian teori kebijakan legislatif (formulasi) dalam rangka mengkonstruksi
norma hukum ke depan tentang batas waktu penyidikan bagi tersangka teroris.
Teori Kebijakan Hukum Pidana dikemukakan oleh Marc Ancel, A.
Mulder, Barda Nawawi Arief dan Sudarto. Menurut Barda Nawawi Arief,
kebijakan penanggulangan tindak pidana tidak bisa lepas dari tujuan Negara
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan
54
kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.40
Sebagai warga Negara berkewajiban untuk memberikan perhatian pelayanan
pendidikan melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Disisi lain perhatian
pemerintah terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat khususnya yang
berdampak dari gangguan dan perbuatan pelaku tindak pidana terorisme.
Barda Nawawi Arief kemudian juga berpendapat bahwa kebijakan
penanggulangan tindak pidana merupakan kebijakan hukum positif yang pada
hakikatnya bukanlah semata-mata pelaksanaan Undang-undang yang dapat
dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik, dogmatik. Di samping
pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan
pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis,
bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu
lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan
nasional pada umumnya.41
Dalam batas – batas yang dimungkinkan perlindungan terhadap hak–
hak asasi warga masyarakat Indonesia, terhadap beberapa prinsip yang
terkandung dalam Undang-undang terorisme adalah :
(a) Bahwa Undang-undang narkotika juga dipergunakan untuk
menegaskan ataupun menegakkan kembali nilai – nilai sosial dasar
prilaku hidup masyarakat dalam negara kesatuan Republik Indonesia
yang dijiwai oleh falsafah Negara Pancasila.
(b) Bahwa Undang-undang terorisme merupakan satu-satunya produk
hukum yang membentengi bagi pelaku tindak pidana terorisme secara
efektif.
40
Arief, Barda Nawawi, 1996, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan
Dengan Pidana Penjara, UNDIP Semarang, h. 6-7, (selanjutnya disebut Arief, Barda Nawawi I). 41
Arief, Barda Nawawi, 2005 Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Aditya
Bakti, Bandung, h. 22 (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II).
55
(c) Dalam menggunakan produk hukum lainnya, harus diusahakan dengan
sungguh – sungguh bahwa caranya seminimal mungkin tidak
mengganggu hak dan kewajiban individu tanpa mengurangi
perlindungan terhadap kepentingan masyarakat yang demokrasi dan
modern.42
Berdasarkan pada prinsip- prinsip yang terkandung dalam perinsip
hukum, maka dapat dipahami bahwa apabila masih ada cara lain untuk
mengendalikan kondisi sosial, maka penggunaan hukum pidana dapat di
tiadakan, kebijakan ini disebut sebagai kebijakan ‘non-penal.
Salah satu jalur “non penal” untuk mengatasi masalah – masalah sosial
adalah lewat “kebijakan sosial” (sosial policy). Kebijakan sosial pada
dasarnya adalah kebijakan atau upaya – upaya rasional untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat, jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan
pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari
pembangunan. Sebaliknya apabila cara pengendalian lain (Social – Control),
yaitu dengan cara menggunakan “Kebijakan Sosial” (Social – Policy) tidak
mampu mengatasi tindak pidana, maka jalan yang dipakai melalui kebijakan
“Penal” (Kebijakan Hukum Pidana)
Dua masalah sentral dalam kebijakan tindak pidana dengan
menggunakan sarana penal (hukum pidana) adalah masalah:
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2. Sanksi apa yang sebaiknya di gunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar.43
42
Reksodiputro, Mardjono, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanan dan
Pengendalian Hukum, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, h 23-2. 43
Ibid, h. 23-24.
56
Analisis terhadap 2 (dua) masalah sentral ini tidak dapat di lepaskan dari
konsepsi integral antara kebijakan criminal dengan kebijakan sosial atau
kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah – masalah di
atas harus pula di arahkan untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu dari
kebijakan sosial- politik pula kebijakan dalam menangani 2 (dua) masalah
sentral tersebut di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).
Kebijakan Penanggulangan Kejahatan atau yang biasa di kenal dengan
istilah “Politik Kriminal” yang dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas.
Maksudnya dalam upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :
a. Penerapan hukum pidana (Criminal law application)
b. Pencegahan tanpa pidana (Prevention without punishment)
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media masa (influencing views of society on crime and
punishment).
Bertolak dari keraguan atas efektivitas sarana penal dari aplikasi Undang
– undang nomor 15 tahun 2003 tentang Terorisme tersebut, perlu dicermati
efektivitas hukum yang tidak dapat dilepaskan dari tipe-tipe penyelewengan
tersebut merupakan kategori secara teoritis terhadap pelbagai jenis
penyelewengan yang terjadi dalam suatu masyarakat tertentu.44
44
Soekanto, Soerjono, 1988, Efektivitas Hukum dan Peraan Saksi, Remaja, Karyawa,
Bandung, h. 68. (selajutnya disebut dengan Soerjono Soekanto III).
57
Teori ini digunakan dalam menganalisis permasalahan pertama
mengenai kebijakan legislatif (formulasi) dalam hukum acara pidana terhadap
tindakan penyidikan, yakni pengaturan batas waktu saat ini baik dalam
undang-undang maupun dalam peraturan teknis yuridis dan kebijakan
legislatif (formulasi) hukum pidana dalam konteks pembaruan hukum
mengenai pengaturan tindakan penyidikan di masa mendatang.
1.7.4.2.Teori Hukum Progresif
Teori hukum progresif merupakan gagasan Satjipto Rahardjo sebagai
kegalauannya atas dasar cara penyelenggaraan hukum di Indonesia.
Gagasan untuk memunculkan hukum progresif dilontarkan pada tahun
2002 lewat sebuah artikel yang ditulis oleh harian Kompas dengan judul
"Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif meski setiap kali
persoalan-persoalan hukum muncul dalam masa transisi suatu rezim
pemerintahan, namun penyelenggaraan penegakan hukumnya terus saja
dijalankan layaknya kondisi normal. Hampir tidak ada terobosan yang
cerdas untuk menghadapi kemelut transisi pasca orde baru. Menurut
Bernard L. Tanya, situasi saat itu dinyatakannya; hukum tidak saja
dijalankan sebagai rutinitas belaka (bussines as usual) tetapi juga
dipermainkan sebagai barang dagangan (business like) akibatnya, hukum
terdorong ke jalur lambat dan mengalami kemacetan yang cukup serius.
Dari sinilah Satjipto Rahardjo menyuarakan perlunya hukum progresif.45
Menurut Satjipto Rahardjo hukum progresif mengandung arti, makna
dan konsep, progresif berasal dari kata "progress'" yang berarti "kemajuan".
Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan jaman, mampu
menjawab perubahan jaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu
45
Bernard L. Tanya, Joan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2007, Teori Hukum Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kuta, Surabaya.
58
melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dan sumber
daya manusia penegak hukum itu sendiri.
Lebih lanjut menurut Satjipto Rahardjo pemikiran hukum perlu kembali
pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi
tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum.
Hukum bertugas melayani manusia bahkan sebaliknya, oleh karena itu
hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan
manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi
pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut
"ideologi": hukum yang pro keadilan dan hukum yang pro rakyat.46
Pernyataan pada sumber lain Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa
"Esensi teori hukum progresif mengandung suatu kualitas kesempurnaannya
dapat diverifikasikan ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan,
kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat "hukum yang selalu
dalam proses menjadi" (law as a process, law in the making) hukum tidak ada
untuk hukum itu sendiri tetapi untuk manusia.47
Hukum progresif secara konseptual berisikan bahwa hukum tidak ada
untuk kepentingannya sendiri, melainkan untuk suatu tujuan yang berada di
luar dirinya sendiri, oleh karenanya hukum progresif meninggalkan tradisi
analitikal yurisprudence atau rechts dogmatik yang hanya berorientasi pada
peraturan yang tersusun secara sistematis dan logis, tanpa memperdulikan
dunia di luarnya seperti keberadaan manusia, masyarakat, kesejahteraan,
keadilan dan lain-lain.
Hukum progresif ingin secara sadar menempatkan kehadirannya dalam
hubungan erat pada kebutuhan manusia dan masyarakat. Konsep ini adalah
46
Satjipto R. (I), 2007, Membedah Hukum Progresif, Buku Kompas, Jakarta, hal. ix. 47
Satjipto R. (III), 2009, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia^ Genta
Publishing, Yogyakarta, hal. 6.
59
sejalan dengan pemikiran Phillipe Nonet dan Phillipe Selznick bahwa hukum
progresif memiliki tipe responsif, bahwa hukum akan selalu dikaitkan pada
tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri.48
Konsepsi hukum progresif yang melandasi teori hukum progresif
tersebut dengan tujuan sosialnya maka memiliki misi kesamaan dengan
Sociological Jurisprudince dari Roscoe Pound yang mengarahkan pula pada
tujuan sosial yang ingin dicapainya.
Begitu pula halnya akan keberadaan aliran realisme hukum (Legal
Realism) yang sama pula berkehendak mencapai tujuan-tujuan sosial guna
kesejahteraan manusia serta akibat-akibat yang timbul dan bekerjanya hukum
tersebut.
Sehubungan dengan hukum progresif dengan kesamaan beberapa konsepsi
aliran tadi "Satjipto Rahardjo menambahkan pernyataannya bahwa,
"Kedekatan hukum progresif kepada teori-teori hukum, khususnya dalam
hal ini pada teori hukum alam, karena teori hukum alam meletakkan
kepeduliannya terhadap hal-hal yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai
"meta juridical', teori hukum alam mengutamakan "the search for justice"
dan pada lainnya, seperti dilakukan oleh aliran analitis. Hukum progresif
mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar daripada penafsiran
hukum dari sudut "logika dan peraturan”49
Teori hukum progresif yang bertujuan guna kepentingan kemanfaatan
manusia seperti salah satunya untuk tercapainya keadilan. Hubungannya
dengan hakikat pemberantasan terorisme oleh Kepolisian mengandung makna
bahwa Polisi harus berpikiran dan bertindak progress dalam mengambil
tindakan di lapangan guna kemanfaatan dan ketepatan tindakan, namun harus
48
Phillipe Nonet dan Phillipe Selznick, 2003, Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi,
HuMa, Jakarta, hal. 23. 49
Satjipto Rahardjo (III), Op.Cit, hal. 8.
60
berdasarkan pertimbangan yang matang agar tidak menyimpang dari norma-
norma hukum, hak asasi manusia, dan pelanggaran etika serta moral. Hukum
progresif yang esensinya bahwa hukum dan penegak hukum khususnya
Kepolisian dalam memerankan fungsi represifnya atau mengadakan
tindakannya menurut hukum yang bertanggung jawab, dimaksudkan agar
bertindak cermat, tepat, profesional atas dasar keilmuan dengan tidak
melanggar hukum.
Kepolisian dalam fungsinya yang represif di tingkat penyelidikan dan
penyidikan tindakan hukum yang dapat dilakukan dengan analisa dan sikap
yang progres dalam arti mengantisipasi kemungkinan terburuk atas tindakan
yang akan dilakukan, dengan resiko negatif sekecil mungkin yang mesti
diperhitungkan.Namun optimal akan hasil yang diperoleh dalam
pemberantasan terorisme tersebut.
1.7.4.3.Teori Harmonisasi Hukum
Harmonisasi hukum telah muncul dalam ilmu hukum di Jerman pada
tahun 1902. Penggagasnya Rudolf Stammler (1856-1938). Harmonisasi
hukum dikembangkan dalam ilmu hukum yang digunakan untuk menunjukkan
bahwa dalam dunia hukum, kebijakan pemerintah dan hubungan diantara
keduanya terdapat keanekaragaman yang dapat mengakibatkan disharmoni.
Rudolf Stammler mengemukakan suatu konsep fungsi hukum, bahwa tujuan
atau fungsi hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan dan
kepentingan antara individu dengan individu dan antara individu dengan
61
masyarakat. Dikatakan oleh Stammler, "a just law aims at harmonizing
individual purposes with that of society.50
Istilah harmonisasi berasal dan bahasa Yunani, asal kata "harmonia"
yang artinya "terlibat secara serasi dan sesuai". Secara filsafat dapat diartikan
kerjasama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa, sehingga faktor-faktor
tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur. Dalam perspektif pshykologi
diartikan sebagai keseimbangan dan kesesuaian, segi-segi alam, perasaan,
alam pikiran dan perbuatan individu, sehingga tidak terjadi hal-hal ketegangan
yang berlebihan.51
Esensi pengertian dan makna harmonisasi hukum tersebut di atas,
dikembangkan oleh para ahli dengan menghubungkan keterkaitannya dengan
fungsi hukum dalam berbagai aspek kepentingan hukum antara individu-
individu dengan negara atau pemerintah. Sehingga menampakkan teori
harmonisasi hukum. Pendapat para ahli tersebut memberikan konsepsi
pemikirannya tentang harmonisasi hukum, diantaranya para ahli tersebut
seperti:
1) L.M. Gandhi, memaknai harmonisasi hukum adalah mencakup
penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah,
keputusan hakim, sistem hukum, dan asas-asas hukum, dengan tujuan
peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan
kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum tanpa mengaburkan
dan mengorbankan pluralisme hukum.52
50
Kusni Goesniadhie S, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata
Femerintahan Yang Baik, Malang,Nusa Media, hal. 2 51
Hasan Sadily, dkk, 1995, Ensiklopedi Indonesia, Ikhtiar Bam. Jakarta, hal. 1262. 52
L.M. Gandhi, 1980, Harmonisasi Hukum Yang Responsif, (Pidato Pengukuhan Guru
Besar Tetap FH UI, dalam : Mohamad Hasan Warga Kusumah, Ensiklopedia Umum, Kanisius,
Yogyakarta, hal. 88.
62
2) Kusnu Goesniadhie, berpendapat bahwa harmonisasi hukum adalah
upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan,
hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya atau
proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian,
kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma hukum di dalam
peraturan perundang-undangan sebagai sistem hukum dalam satu
kesatuan kerangka sistem hukum nasional.53
3) Wicipto Setiadi, pengharmonisasian adalah upaya untuk
menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membulatkan
konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan dengan
peraturan-peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi,
sederajat maupun yang lebih rendah dan hal-hal lain selain peraturan
perundang-undangan sehingga tersusun secara sistematis tidak saling
bertentangan atau tumpang tindih (overlapping).54
4) Juniarso Ridwan, merupakan suatu upaya atau proses melakukan
pembatasan-pembatasan perbedaan yang berkenaan dengan adanya
kejanggalan dan bertentangan dengan hukum-hukum.55
5) Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman
memberikan pengertian harmonisasi hukum sebagai kajian ilmiah
untuk menuju proses pengharmonisasian hukum tertulis yang mengacu
baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis maupun yuridis.
Pengkajian terhadap rancangan peraturan perundang-undangan dalam
berbagai aspek apakah telah mencerminkan keselarasan dan kesesuaian
dengan peraturan perundang-undangan yang lain, hukum tidak tertulis
yang hidup dalam masyarakat..... dstnya.56
Beberapa pendapat kalangan ahli atau doktrin di atas tentang
harmonisasi hukum, yang membangun teori harmonisasi hukum,
untuk menghindari disharmoni hukum, maka tampak unsur-unsur
53
Kusnu Goesniadhie S., Loc.Cit.
54
Wicipto Setiadi, Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Untuk
Memperbaiki Kualitas Perundang-undangan, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol : 2 Juni 2007, hal.
48. 55
Juniarso Ridwan, 2009, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik,
Nuansa, Bandung, hal. 219-220. 56
Ibid, hal. 223
63
yang membangun atau mengkonstruksi teori harmonisasi hukum seperti
adanya :
a. Penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah,
keputusan hakim, sistem hukum, dan asas-asas hukum.
b. Dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum,
kesebandingan kegunaan dan keadilan.
c. Kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme
hukum.
d. Keseimbangan, kesesuaian, keselarasan, keserasian dan kecocokan,
peraturan perundang-undangan secara vertikal dan horizontal.
Disharmoni hukum terjadi jika terdapat ketidakselarasan antara
satu norma hukum dengan norma hukum yang lain. Dapat dinyatakan
bahwa sesungguhnya disharmoni biasanya terjadi dalam tataran normatif,
norma atau kaidah adalah peraturan yang memiliki rumusan yang jelas
untuk dijadikan pedoman perilaku. Terdapat peraturan yang lebih abstrak
dari norma yakni asas, dan diatas asas terdapat aturan yang paling abstrak
yaitu nilai. Jika disusun hierarkis, maka asas sebenarnya lebih tinggi
kedudukannya dari norma. Atas dasar hal itu maka jika terjadi disharmoni
antara norma-norma hukum, solusi penyelesaiannya adalah dengan
menerapkan asas-asas hukum atau kembali pada asas hukumnya.
Menurut Sidharta, dapat terjadi beberapa kemungkinan yang
menyebabkan terjadinya disharmonisasi dalam sistem hukum dan
instrumen penyelesaiannya, yaitu :
64
1. Terjadinya inkonsistensi secara vertikal dari segi format peraturan
yakni peraturan yang hierarkinya lebih rendah bertentangan dengan
hierarki peraturan yang lebih tinggi, misalnya antara peraturan
pemerintah dengan undang-undang. Instrumen penyelesaiannya adalah
asas hukum lex superior derogat lege inferiori, yang artinya adalah
peraturan yang lebih tinggi tingkatannya akan mengesampingkan
peraturan yang lebih rendah.
2. Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi waktu, yakni beberapa
peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi yang satu lebih dulu
berlaku daripada yang lain. Instrumen penyelesaiannya adalah asas
hukum lex posteriori derogat lege priori, yang artinya adalah
peraturan yang lebih belakangan akan mengesampingkan peraturan
yang sebelumnya.
3. Terjadi inkonsistensi secara horizontal dari segi substansi peraturan,
yakni beberapa peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi substansi
peraturan yang satu lebih umum dibandingkan substansi peraturan
lainnya. Instrumen penyelesaiannya adalah asas hukum lex specialist
derogat lege generalis, yang artinya adalah peraturan yang lebih
khusus cakupannya mengesampingkan peraturan yang lebih umum.
4. Terjadi inkonsistensi secara horizontal dari segi substansi dalam satu
peraturan yang sama, misalnya ketentuan Pasal 1 bertentangan dengan
ketentuan Pasal 15 dari satu undang-undang yang sama. Instrumen
penyelesaian adalah asas hukum lex posteriori derogate lege priori,
yang artinya adalah peraturan yang lebih belakangan akan
mengesampingkan peraturan yang sebelumnya.
5. Terjadi inkonsistensi antara sumber formal hukum yang berbeda,
misalnya antara undang-undang dan putusan hakim (instrumen
penyelesaiannya adalah asas hukum res judicate pro veritate habetur,
yang artinya putusan hakim harus dianggap benar sekalipun
bertentangan dengan undang-undang sampai ada putusan hakim lain
yang mengoreksinya). antara undang-undang yang bersifat memaksa
dan kebiasaan (instrumen penyelesaiannya adalah asas hukum lex dura
sed tamen scripta, yang artinya undang-undang tidak dapat diganggu
gugat Pasal 15 AB/Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesie), atau antara undang-undang yang bersifat mengatur dan
kebiasaan (instrumen penyelesaiannya adalah asas hukum die normatie
ven kraft des faktis chen, yang artinya perbuatan yang berulang-ulang
akan memberi kekuatan berlaku normatif).57
57
Sidharta, 2005, Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir
Indonesia (Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Filar Pengelolaan Wilayah Pesisir
Indonesia, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
65
Secara umum, dalam instrumen penyelesaian disharmonisasi
hukum dikenal pula metode penafsiran hukum yaitu metode interpretasi
dan metode konstruksi. Menurut Burght dan Winkeman58
, dimasa lalu
memang telah diperjuangkan suatu pedoman yang kaku pada pemilihan
metode-metode interpretasi, namun berlawanan dengan harapan itu, yang
akhirnya diperoleh sekadar petunjuk yang kabur. Hal ini karena sulit
memperoleh pemahaman tentang motif-motif sesungguhnya dari hakim
dalam mengambil keputusan karena yang terlihat hanya argumen yang
dikemukakan secara eksplisit dalam kamusnya. Selain melalui metode
interpretasi dan konstruksi, yang berkaitan dengan instrumen penyelesaian
disharmonisasi hukum ini adalah melalui penemuan hukum
(rechtsvinding).
Sehubungan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
terorisme oleh Kepolisian khsusunya dilakukan pasukan anti teror Densus
88 yang dibentuk Mabes Polri serta aparat terkait, dengan dasar tindakan
hukum oleh Perpu No. 1 Tahun 2002 yang telah disahkan menjadi UU No.
15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tampak
adanya disharmonisasinorma hukum yang kabur atau tidak jelas tentang
kriteria sebagai ukuran bahwa tindak pidana terorisme dikualifikasi
sebagai bentuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kerjasama dengan Mitra Pesisir/Coostal Resources Management Project II, Jakarta, hal. 62-64. 58
Ibid, hal. 65
66
1.7.4.4.Teori Kewenangan
Guna menjastifikasi tindakan hukum yang dilakukan seseorang,
tindakan kelembagaan karena jabatannya maka dilakukanlah melalui
tindakan yang namanya "wewenang". Secara keilmuan hukum wewenang
merupakan konsep inti dalam ranah hukum tata negara dan hukum
administrasi negara. Wewenang yang dalam konsep keilmuan hukum telah
pula diakui menjadi sebuah teori yang lazimnya disebut dengan "teori
kewenangan".
Secara etimologi kewenangan berasal dari kata wenang, dengan
variasi imbuhan yang menjadi wewenang, kewenangan, berwenang dan
sebagainya. Wewenang berarti hak dan kekuasaan untuk bertindak.
Kewenangan berarti hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan
sesuatu, berwenang artinya mempunyai/mendapat hak dan kekuasaan
untuk melakukan sesuatu.59
Kalangan doktrinal memberikan pengertian sebagai perumusan
makna wewenang tersebut. Para ilmuan hukum dibidangnya seperti :
1. H.D. Stout, wewenang adalah keseluruhan aturan-aturan yang
berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah
oleh subyek hukum publik dalam hubungan hukum publik.60
59
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 415 60
Lukman Hakim, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia, Program
Pascasarjana, Unibraw, Malang, hal. 52
67
2. FPCL. Tonnaer, kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap
sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan
begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan
warga negara.
3. Indoharto, wewenang sebagai suatu kemampuan yang diberikan oleh
suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan
akibat-akibat hukum yang sah.61
4. SF. Marbun, wewenang mengandung arti kemampuan untuk
melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah
kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang
berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.62
5. Bagir Manan, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban.63
6. Kamus Populer Kepolisian, wewenang diartikan sebagai kekuasaan
yang disertai hak untuk melakukan sesuatu dalam jabatan.64
Kalau dicermati dari beberapa pendapat dan rumusan pengertian
dari wewenang tersebut, maka mengandung unsur-unsur seperti:
1. Adanya tindakan hukum yang sifatnya hukum publik.
2. Dilakukan oleh subyek hukum publik.
3. Adanya kemampuan bertindak.
61
Indoharto, 2004, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 94. 62
SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di
Indonesia, Liberty, Jakarta, hal.154-155. 63
Bagir Manan, 2007, (dalam Sadjijono : Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum
Negara), Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, hal. 51. 64
SA. Suhardi, 2007, Kamus Populer Kepolisian, Wira Raharja, Semarang, hal. 306.
68
4. Untuk melakukan hubungan-hubungan hukum publik.
5. Diberikan oleh undang-undang.
6. Mengandung hak dan kewajiban.
7. Menumbuhkan akibat hukum yang sah.
Wewenang dengan unsur-unsur di atas, tidak secara otomatis
diperoleh atau melekat setiap pejabat pemerintahan. Secara teori terdapat
tiga cara untuk memperoleh wewenang pemerintah seperti yang
dikemukakan oleh HD Van Wijk/Willem Konijnembelt melalui cara
atributif, delegatie dan mandat. Yang masing-masing dimaknai sebagai
berikut : Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh
pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan, delegasi adalah
pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada
organ pemerintahan lainnya, mandat adalah terjadi ketika organ
pemerintahan mengijinkan wewenangnya dijalankan oleh organ lain atas
namanya.65
Unsur-unsur atau elemen-elemen seperti tindakan hukum, subyek
hukum/publik, hubungan hukum, akibat hukum, hak dan kewajiban, akibat
hukum yang sah, hal ini semua sebagai elemen fondasi dalam membangun
lahirnya teori kewenangan. Unsur-unsur ini dijastifikasi lagi dengan cara
perolehannya, salah satunya melalui cara atributie (atribusi). Atau
wewenang ini salah satunya diperoleh atas kehendak undang-undang.
65
HD. Van Wijk/Willem Konijnenbelt dalam Sadjijono; Op Cit, hal. 58.
69
Kewenangan yang bersumber dari perundang-undangan (atribusi)
secara jelas dinyatakan diberikan kepada organ pemerintahan. Dalam SPP
(Sistem Peradilan Pidana) salah satu sub sistem struktur yang tergolong ke
dalam aparat penegak hukum termasuk pula organ pemerintahan dalam
hukum publik adalah Kepolisian. Peran Kepolisian adalah sebagai penegak
hukum, selaku penyidik guna mengemban misi penegakan hukum.
Kepolisian Negara Republik Indonesia khususnya dalam
mengemban tugas dan fungsinya diberikan kewenangan secara atributif
oleh Undang-Undang seperti KUHAP dan Undang-Undang No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta UU No. 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Bentuk kewenangan secara atributif yang diberikan kepada
Kepolisian secara langsung dan tidak langsung tersebut dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana terorisme tersurat dan tersirat dalam
berbagaiperundang-undangan dalam tugas, fungsi dan wewenang
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai institusi inti dalam
penanganan tindak pidana terorisme, seperti tertuang dalam :
a. KUHAP atau UU No. 8 Tahun 1981
- Pasal 6 ayat (1) huruf a
- Pasal 7 ayat (1) huruf d
b. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
- Pasal 13 huruf a, b, dan c
- Pasal 14 huruf e, g, i, dan k
70
- Pasal 15 ayat (2) huruf h dan k
- Pasal 16 ayat (1) huruf a dan l
- Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2)
c. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme (sebelumnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang No. 1 Tahun 2002).
- Pasal 25 ayat (1)
Berbagai ketentuan yang tersurat dan tersirat tersebut di atas,
memberikan kewenangan atributif kepada Kepolisian selaku penyidik
dalam tindak pidana terorisme. Secara teoritis-praktis memberi
kewenangan kepada jajaran Kepolisian untuk melakukan tindakan
preventif dan represif dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak
pidana terorisme di Indonesia.
1.7.4.5.Teori Hak Asasi Manusia (HAM)
Menurut Paul Sieghart bahwa dalam kerangka teori HAM Klasik
hak-hak kolektif bukanlah merupakan HAM menyebutkan bahwa hanya
hak-hak yang dimiliki oleh manusia individu yang dapat disebut sebagai
Hak Asasi Manusia (HAM). Sedangkan hak-hak yang dimiliki oleh sebuah
entitas atau jenis-jenis tertentu seperti negara-negara, gereja-gereja,
perusahaan-perusahaan, badan-badan perdagangan dan sebagainya
bukanlah hak asasi manusia dalam pengertian yang sebenarnya.66
66
Suharto, Rahmat Bowo, 2001, Perlindungan Hak Dunia Ketiga Atas Sumber Daya
Alam, Tiara Wacana, Yogyakarta, hlm. 21
71
Sehubungan dengan esensi inti teori HAM Klasik yang
memberikan forsi hak-hak yang diakui sebagai HAM adlah hak – hak
seorang individu sebagai manusia, maka akan terkait esensi teori HAM
klasik dengan perkembangan lahirnya HAM Generasi I (Pertama) yang
lahir pada abad 17 dan 18 di dalamnya mengakomodir hak-hak individu di
bidang hak-hak sipil dan politik sebagai HAM. Hak sipil atau individu tiap
orang diakui sebagai HAM yang paling mendasar salah satunya adalah
dijaminnya serta dilindunginya hak kebebasan. Kebebasan termasuk dalam
hak individu dihadapan hukum ketika seseroang dihadapkan pada proses
peradilan.
Dalam proses peradilan ketika seseorang dihadapkan pada tahapan
pembuktian wajib hak-hak seseorang dalam status sebagai terdakwa untuk
dihormati hak-hak asasi individunya, seperti hak untuk dianggap belum
bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan
hukum tetap (inkracht van geweijsde). Maka asas praduga tak bersalah
(presumption of innosence) tetap dijunjung tinggi da ditegakkan dalam
proses peradilan pidana demi terwujudnya proses hukum yang berkeadilan
(due process of law). Maka terkait dengan penerapan sistem pembuktian
terbalik dalam peradilan pidana mesti selektif dan hati-hati
melaksanakannya untuk menghindari penyerobotan serta pelanggaran
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) selaku individu dihadapan proses
hukum.
72
1.8 Kerangka Berpikir
JUDUL
Kebijakan formulasi
pengaturan batas
waktu penyidikan
tersangka teroris
dalam
Peradilan pidana
LATAR BELAKANG MASALAH
TPT secara kualitas dan kuantitas meningkat
Sangat mengganggu keamanan dan ketertiban
Tanpa memandang korbannya
Sulit ditanggulangi dan diberantas
Jaringan terselubung
Berkedok agama, ideologi yang sesat
Terjadi norma kosong untuk pengaturan penyidikan
terhadap tersangka teroris solusinya penormaan /
konstruksi norma hukum ke depan (ius constituendum)
MASALAH 1
Bagaimana ketentuan pengaturan
batas waktu penyidikan tersangka teroris
dalam Undang – Undang Nomor 15
Tahun 2003 ?
MASALAH 2
Bagaimana konstruksi hukum
pengaturan tentang batas waktu
penyidikan bagi tersangka teroris
dimasa yang akan datang ?
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian – Penelitian
Hukum Normatif
Pendekatan, sumber bahan
hukum, metode pengumpulan
bahan hukum
Teknis analisis bahan hukum
LANDASAN TEORITIS
Asas – asas hukum, konsep hukum, doktrin,
yurisprudensi, hasil penelitian terdahulu
Teori – teori hukum : 1) Teori Kebijakan Hukum
Pidana, 2) Teori Hukum Progresif, 3) Teori
Harmonisasi Hukum, 4) Teori Kewenangan, dan
5) Teori Hak Asasi Manusia (HAM)
SIMPULAN
1. Tidak ada terdapat ketentuan pengaturan batas
waktu penyidikan terhadap tersangka teroris
dalam peraturan perundang-undanngan pidana
(terjadi norma hukum yang kosong)
2. Konstruksi hukum ke depan untuk adanya
kepastian hukum diformulasi aturan tentang
batas waktu penyidikan terhadap tersangka
teroris oleh penyidik
SARAN
1. Agar legislator mengkonstruksi
dalam hukum acara umum dan
khusus tentang batas waktu
penyidikan bagi tersangka teroris
2. Agar ada diformulasi tentang
batas waktu penyidikan bagi
tersangka teroris dalam Undang –
Undang Nomor 5 Tahun 2003
tersebut
73
1.9 Metode Penelitian
1.9.1. Jenis Penelitian
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa ada 2 (dua) jenis penelitian
hukum adalah :
a. Penelitian hukum normatif (normative legal research) yaitu penelitian atas
pasal-pasal aturan hukum untuk menentukan asas-asas hukum, mengetahui
sinkronisasi vertical/horizontal, mengetahui aspek sejarah hukum dan
mengetahui perbandingan antara sistem-sistem hukum.
b. Penelitian hukum empirik (empirical legal research) yaitu penelitian
hukum di lapangan yang ingin mengetahui efektivitas aturan hukum,
ketaatan masyarakat akan hukum, persepsi masyarakat akan hukum dan
ingin mengetahui faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi
pembuatan dan penerapan hukum.
Penelitian hukum normatif meliputi lima jenis penelitian yaitu :
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum
b. Penelitian terhadap sistematika hukum
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal
d. Penelitian perbandingan hukum
e. Penelitian sejarah hukum.67
Soetandyo Wignyosoebroto menyebutkan, penelitian hukum normatif
dengan istilah "Penelitian Hukum Doktrinal" (Doctrinal Legal Research),
sementara penelitian hukum empirik disebutnya dengan istilah "Penelitian
Hukum Non Doktrinal" (Non Doctrinal Legal Research).68
Roni Hanitijo Soemitro membedakan penelitian hukum menjadi dua
yaitu :
a. Penelitian hukum normatif (penelitian hukum doctrinal) yaitu penelitian
hukum yang memakai data sekunder.
67
Soerjono Soekanto, Op Cit, hlm. 40. 68
Soetandyo Wignyosoebroto (I), 1989, Penelitian Hukum Sebuah Tipelogi Masyarakat
Indonesia, Penerbit Unair, Surabaya, hlm. 98.
74
b. Penelitian hukum empiris (penelitian hukum sosiologis) yaitu
penelitian hukum yang memperoleh data dari sumber data primer.69
Penelitian hukum normatif biasanya dikembangkan di Negara-negara
Eropa Kontinental akibat pengaruh aliran (mashab) hukum "positivisme" yang
hanya mengakui hukum tertulis sebagai kaidah hukum. Sedangkan penelitain
hukum sosiologis dikembangkan di Negara-negara Anglo-Saxon akibat
pengaruh mashab "Sociological Jurisprudence". Di pihak sarjana hukum
terkadang kekurangberanian melakukan penelitain hukum normatif
disebabkan jenis penelitian ini relatif berat. Padahal dalam rangka
pengembangan dan bentukan sistem pembinaan hukum menuju kearah
kepastian hukum dan tertib hukum, dalam rangka pembentukan hukum
nasional, penelitian mengenai asas-asas hukum kiranya mutlak diperlukan.70
Jenis penelitian ini tergolong ke dalam penelitian hukum normatif atau
penelitian kepustakaan, karena penelitian hukum ini dilakukan dengan cara
meneliti bahan kepustakaan (library research) yang terdiri dari bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Dalam penulisan ini, penelitian normatif
yang dilakukan beranjak dari ditemukan adanya norma kabur dalam kebijakan
legislatif peraturan perundang-undangan yang mengatur pemberantasan tindak
pidana terorisme serta pula adanya norma kosong tentang ukuran/kriteria
69
Roni Hanitijo Soemitro dan Soejono Abdulrahman, 1997, Metode Penelitian Suatu
Pemikiran dan Penerapan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 56. 70
Pasek Dianta, I Made, 1994, Menemukan asas-Asas hukum Internasional Yang Termuat
Dalam Konvensi PBB HI Tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) dalam : Kertha
Patrika, Edisi Khusus Lustrum VI FH Unud, Denpasar, hlm. 218.
75
tindak pidana klasifikasi luar biasa dan tindak pidana/kejahatan kemanusiaan
tersebut.
1.9.2. Jenis Pendekatan
Sesuai dengan karakteristik dan sifat penelitian normatif (kepustakaan)
maka dalam penelitian ini akan memakai beberapa jenis pendekatan,
diantaranya :
- Pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach) berupa
penelusuran terhadap beberapa peraturan perundang-undangan dalam hal
ini menyangkut perlindungan hukum bagi anak dalam beragam bidang
kehidupan.
- Pendekatan analisis konsep hukum (The Analitical and Conceptual
Approach) yakni berupa penelusuran tentang keberadaan hubungan yang
kontekstual antara peraturan perundang-undangan terkait antara yang satu
dengan yang lainnya menyangkut perlindungan hukum bagi anak.
- Pendekatan perbandingan (Comparative Approach) berupa upaya untuk
mencari perbandingan dengan negara-negara lain mengenai pengaturan
perlindungan hukum sebagai korban tindak pidana terorisme dan
mengenai ganti rugi, restitusi, kompensasi.71
1.9.3. Sumber Bahan Hukum
Jenis penelitian hukum yang normatif maka kualifikasi bahan hukum
yang lazim dipergunakan adalah :
a. Bahan hukum primer terdiri dari asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas
dan kaidah hukum ini dapat berupa : Peraturan Dasar, Konvensi
Ketatanegaraan, Peraturan Perundang-undangan, Hukum yang tidak
tertulis, Putusan Pengadilan.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan
bahan hukum primer, dapat membantu menganalisis dan memahami bahan
hukum primer adalah hasil karya ilmiah para sarjana, hasil-hasil penelitian.
71
Unud, 22013 , Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis llmu Hukum
Program Studi Magister llmu Hukum, Denpasar, hlm. 8.
76
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi
tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder meliputi
bibliografi.72
Sehubungan dengan penelitain hukum normatif ini maka memakai
sumber bahan hukum dari :
a. Bahan hukum primer, berupa beberapa peraturan perundang-undangan
seperti UU RI No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah PenggantiUU No. 5 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, UU No. 16 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan
Atas UU No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme Untuk Peristiwa Bom
Bali, UU No. 5 Tahun 2006 tentang Konvensi Internasional
Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris, PP No. 27 Tahun 2003 tentang
Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, PU dan Hakim dalam
Perkara Tindak Pidana Terorisme.
b. Bahan hukum sekunder yakni memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer dalam hubungan dengan penelitian ini seperti menyangkut
penggunaan buku-buku hukum (text book), jurnal-jurnal hukum, karya
tulis atau pandangan ahli hukum yang dimuat dalam media massa
sepanjang menyangkut tindak pidana terorisme. Kegunaan dari bahan-
bahan sekunder itu antara lain adalah sebagai berikut:
1. Untuk dirujuk pertama-pertama sebagai sumber materiil.
2. Untuk meningkatkan mutu interpretasi atas hukum positif yang
berlaku.
72
Ronny Hanindyo Soemantri, 1988, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hlm. 11-12.
77
3. Untuk mengembangkan hukum sebagai suaru sistem normatif
yang komprehensif dan tuntas, baik dalam maknanya yang formal
maupun dalam maknanya yang materiil.73
c. Bahan hukum tersier dalam hubungan penelitian ini menyangkut seperti
kamus atau ensiklopedi yang memberi batasan pengertian secara
etimologi/artikata atau secara gramatikal untuk istilah-istilah terutama
yang berkait dengankomponen variabel judul.
1.9.4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Penggunaan metode untuk pengumpulan bahan-bahan hukum
sehubungan dengan penulisan ini memakai metode "gabungan" antara metode
"bola salju" dan metode "sistematis".
Metode "bola salju" yaitu dengan cara menggunakan buku-buku
hukum (text book) yang relevan dengan penulisan, yang selanjutnya melihat
daftar pustakanya untukmencari bahan buku-buku hukum lain yang juga
mempunyai relevansi dengan penulisan. Sedangkan metode "sistematis" ialah
dengan sistem kartu (card system) yaitu dengan membaca acuan-acuan bahan
hukum yang digunakan, dan selanjutnya membuat catatan untuk itu dengan
kartu seperti kartu analisis, kartu kutipan, dan seterusnya.
1.9.5. Tehnik Analisis Bahan Hukum
Guna menganalisis bahan hukum yang telah terkumpul dalam
penulisan ini menggunakan beberapa tehnik analisis seperti :
73
Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, PT. Rineka Cipta,
Jakarta
78
a. Tehnik analisis deskripsi, yaitu menguraikan terlebih dahulu kondisi atau
posisi apa adanya dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum.
b. Tehnik analisis evaluasi, yaitu melakukan penilaian apakah tepat atau
tidak tepat, seruju atau tidak seduju, benar atau salah, oleh penulis
terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan, rumusan, norma,
keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam
bahan hukum sekunder.
c. Teknik analisis sistematisasi, berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu
konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-
undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat
d. Tehnik analisis interpretasi, yaitu melakukan penafsiran dari kondisi atau
posisi apa adanya dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum dengan
menggunakan jenis-jenis penafsiran gramatikal, historis, sistematis,
kontekstual, dan lain-lain.
e. Tehnik analisis argumentasi, yaitu sebagai kelanjutan dari tehnik analisis
revaluasi, sebab suatu penilaian haruslah didasarkan pada alasan-alasan
yang bersifat penalaran hukum.74
74
Unud, Op Cit, hlm. 9 – 10