DAFTAR ISI -...

72
Vol. 5, No. 3, Januari 2010 ISSN 0216-0544 DAFTAR ISI ALGORITMA PEMUTUSAN SIKLUS ITERATIF PADA 137-146 ESTIMASI ROTASI CITRA DENGAN MENGGUNAKAN PSEUDO-POLAR FOURIER TRANSFORM Arya Yudhi Wijaya, Agus Zainal Arifin, dan Diana Purwitasari PENGENALAN CITRA WAJAH MENGGUNAKAN 147-156 METODE TWO-DIMENSIONAL LINEAR DISCRIMINANT ANALYSIS DAN SUPPORT VECTOR MACHINE Fitri Damayanti, Agus Zainal Arifin, dan Rully Soelaiman ESTIMASI BENTUK STRUCTURING ELEMENT 157-165 BERDASAR REPRESENTASI OBYEK Sri Huning Anwariningsih, Agus Zainal Arifin, dan Anny Yuniarti OPTIMASI METODE DISCRIMINATIVELY 166-174 REGULARIZED LEAST SQUARE CLASSIFICATION DENGAN ALGORITMA GENETIKA Ariadi Retno Tri Hayati Ririd, Agus Zainal Arifin, dan Anny Yuniarti PERBAIKAN STRUKTUR WEIGHTED TREE DENGAN 175-185 METODE PARTISI FUZZY DALAM PEMBANGKITAN FREQUENT ITEMSET Budi Dwi Satoto, Daniel O Siahaan, dan Akhmad Saikhu SIMULASI PERGERAKAN PENGUNJUNG MALL 186-196 MENGGUNAKAN POTENTIAL FIELD Arik Kurniawati, Supeno MS Nugroho, dan Moch Hariadi DETEKSI OUTLIER BERBASIS KLASTER PADA SET DATA 197-204 DENGAN ATRIBUT CAMPURAN NUMERIK DAN KATEGORIKAL Dwi Maryono dan Arif Djunaidy

Transcript of DAFTAR ISI -...

Page 1: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Vol. 5, No. 3, Januari 2010 ISSN 0216-0544

DAFTAR ISI

ALGORITMA PEMUTUSAN SIKLUS ITERATIF PADA 137-146

ESTIMASI ROTASI CITRA DENGAN MENGGUNAKAN

PSEUDO-POLAR FOURIER TRANSFORM Arya Yudhi Wijaya, Agus Zainal Arifin, dan Diana Purwitasari

PENGENALAN CITRA WAJAH MENGGUNAKAN 147-156

METODE TWO-DIMENSIONAL LINEAR DISCRIMINANT

ANALYSIS DAN SUPPORT VECTOR MACHINE Fitri Damayanti, Agus Zainal Arifin, dan Rully Soelaiman

ESTIMASI BENTUK STRUCTURING ELEMENT 157-165

BERDASAR REPRESENTASI OBYEK Sri Huning Anwariningsih, Agus Zainal Arifin, dan Anny Yuniarti

OPTIMASI METODE DISCRIMINATIVELY 166-174

REGULARIZED LEAST SQUARE CLASSIFICATION

DENGAN ALGORITMA GENETIKA Ariadi Retno Tri Hayati Ririd, Agus Zainal Arifin, dan Anny Yuniarti

PERBAIKAN STRUKTUR WEIGHTED TREE DENGAN 175-185

METODE PARTISI FUZZY DALAM PEMBANGKITAN

FREQUENT ITEMSET Budi Dwi Satoto, Daniel O Siahaan, dan Akhmad Saikhu

SIMULASI PERGERAKAN PENGUNJUNG MALL 186-196

MENGGUNAKAN POTENTIAL FIELD Arik Kurniawati, Supeno MS Nugroho, dan Moch Hariadi

DETEKSI OUTLIER BERBASIS KLASTER PADA SET DATA 197-204

DENGAN ATRIBUT CAMPURAN NUMERIK DAN KATEGORIKAL Dwi Maryono dan Arif Djunaidy

Page 2: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,
Page 3: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Vol. 5, No. 3, Januari 2010 ISSN 0216 - 0544

137

ALGORITMA PEMUTUSAN SIKLUS ITERATIF PADA

ESTIMASI ROTASI CITRA DENGAN MENGGUNAKAN

PSEUDO-POLAR FOURIER TRANSFORM

*Arya Yudhi Wijaya, **Agus Zainal Arifin, ***Diana Purwitasari

Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS

Jl. Raya ITS, Kampus ITS, Sukolilo, Surabaya, 60111

E-Mail: *[email protected], **[email protected], ***[email protected]

Abstrak

Registrasi citra adalah proses sistematik untuk menempatkan citra yang terpisah

dalam sebuah kerangka acuan yang sama, sehingga informasi yang dikandung oleh

citra tersebut dapat diintregasikan atau dibandingkan secara optimal. Estimasi sudut

rotasi dan translasi untuk registrasi citra dilakukan menggunakan Pseudo-polar

Fourier Transform (PPFT). Akurasi akan dicapai secara optimal apabila dilakukan

iterasi pada estimasi dengan batasan tingkat kesalahan sesuai nilai threshold yang

ditentukan sebelumnya. Proses iterasi membuat kompleksitas registrasi menjadi

kurang efisien. Penelitian ini bertujuan mengoptimasi registrasi citra dengan

mengusulkan estimasi rotasi citra non-iteratif dengan PPFT. Optimasi dilakukan

dengan menghapus sejumlah iterasi pada estimasi rotasi citra iteratif dengan PPFT

menjadi satu kali proses estimasi, yaitu dengan menjadikan nilai-nilai sekitar estimasi

sudut rotasi sebagai kandidat yang baru. Selanjutnya, I1 dirotasi dengan kandidat

sudut estimasi. Sudut estimasi yang paling akurat adalah sudut estimasi yang

menghasilkan penghitungan nilai phase correlation tertinggi antara I2 dan citra-citra

hasil rotasi I1 oleh kandidat sudut estimasi. Uji coba menunjukkan bahwa nilai iterasi

yang dapat dihapus pada registrasi citra iteratif menggunakan PPFT adalah sebesar 3-

11. Metode yang diusulkan juga memiliki kekuatan estimasi pada citra ber-noise jenis

gaussian noise yang memiliki mean µ = 0 hingga varian σ sebesar 0,13.

Kata kunci: registrasi citra, Pseudo-polar Fourier Transform, phase-correlation.

Abstract

Image registration is a systematic process to put the separated image in a frame, so

the information of the image can be integrated or compared optimally. The estimation

of rotation and translation to register image is done by using Pseduo-polar Fourier

Transform (PPFT). The accuracy will be reached optimally if iteration on estimation

by the limitation in the level of mistake according to treshold which is determined.

The iteration process creates the complexity of registration less efficient. This

research purposes to optimize the image registration by giving suggestion estimation

of non interactive of image rotation by using PPFT. The optimum which is done by

deleting a number of estimation of iterative image rotation with the PPFT becomes

once of estimation process. The deletion of iteration value which is done by uniting

the surround of estimation of rotation side as a new candidate. Furthermore, I1 is

rotated with estimation of estimation side. The most accurate side is the side resulting

in the calculation of the highest phase correlation value between I2 and rotation

image I1, candidate estimation side. The try out shows that the iteration value which

is deleted on registration of iterative image using PPTF is 3–11. The method

pruposed has estimation on image of noise of gaussian noise having mean u=0 till

variant 0 for 0,13.

Key words: image registration, Pseudo-polar Fourier Transform, phase-correlation.

Page 4: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

138 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 137-146

PENDAHULUAN

Registrasi citra adalah proses menemukan

kembali titik-titik yang bersesuaian antara citra

I1 dengan citra I2. Citra I2 adalah citra I1 yang

mengalami transformasi geometri antara lain

translasi (translation), rotasi, perbesaran

(scaling), pembalikan (fliping), dan penarikan

(stretching). Registrasi citra memainkan peran

utama dalam banyak aplikasi misalnya

kompresi video [1], perbaikan kualitas video

[2], scene representation [3], dan analisa citra

medis [4]. Beberapa metode telah diusulkan untuk

registrasi citra. Registrasi citra pada domain

spasial dilakukan dengan cara mencari nilai

rata-rata, median, atau ukuran statistika lainnya

pada setiap nilai derajat keabuan (grayscale)

atau RGB citra [5]. Registrasi citra pada

domain frekuensi spasial bekerja dengan baik

ketika diaplikasikan terhadap citra yang

memiliki tingkat ketidakteraturan kecil.

Registrasi citra pada domain frekuensi

dilakukan dengan menggunakan Transformasi

Fourier. Metode berbasis Transformasi

Fourier mampu memperkirakan skala

perbesaran, rotasi, dan translasi lebih akurat

dibandingkan dengan metode pada domain

spasial. Sebagian besar pendekatan yang

dilakukan berdasarkan Transformasi Fourier

memanfaatkan nilai translasi pada domain yang

dapat diestimasi dengan akurat oleh phase

correlation [6]. Phase correlation adalah

metode dalam registrasi citra untuk

mengestimasi translasi dua citra yang mirip

dengan memanfaatkan nilai puncak fase pada

domain frekuensi.

Metode mutahir yang diusulkan dalam

registrasi citra pada domain frekuensi adalah

estimasi skala rotasi dan translasi

menggunakan Pseudo-polar Fourier Transform

(PPFT) [7,8]. Perbedaan mendasar pada

penelitian yang dilakukan Reddy dkk [7] dan

Guo dkk [8] adalah penggunaan metode

penghitungan translasi PPFT pada koordinat

polar. Penghitungan translasi PPFT dapat

dilakukan dengan menggunakan Analytical

Fourier-Mellin Transform [7] maupun phase

correlation [8].

Langkah pertama yang dilakukan untuk

estimasi rotasi dengan PPFT adalah dengan

melakukan mapping citra dari domain spasial

ke domain frekuensi di atas pseudopolar-grid.

Rotasi diestimasi dengan mengubah basis

koordinat kartesian (x,y) ke basis koodinat

polar (r,θ). Sudut rotasi adalah translasi I2

terhadap I1 pada sumbu θ. Estimasi rotasi dan

translasi dengan PPFT memiliki akurasi yang

tinggi. Akan tetapi, akurasi akan dicapai secara

optimum apabila dilakukan iterasi dengan

batasan tingkat kesalahan sesuai nilai threshold

yang ditentukan sebelumnya. Proses iterasi ini

menjadikan registrasi menjadi boros dalam hal

komputasi.

Penelitian ini mengusulkan suatu metode

untuk meningkatkan efisiensi komputasi

dengan cara mengubah cara iteratif menjadi

non-iteratif tanpa mengurangi akurasi dari hasil

estimasi rotasi dan translasi. Cara non-iteratif

dilakukan dengan dua tahap utama yaitu tahap

representasi PPFT dan tahap estimasi dengan

memanfaatkan phase correlation. Tahap

representasi melakukan perbaikan representasi

PPFT, sehingga phase correlation akan dapat

mengestimasi translasi dengan lebih akurat.

Sedangkan tahap estimasi dilakukan tanpa

iterasi karena menggunakan kandidat lain

sebagai sudut rotasi yang merupakan tetangga

dari sudut yang ditemukan.

KONSEP REGISTRASI CITRA PADA

DOMAIN SPASIAL DAN FREKUENSI

Estimasi Pergeseran

I2 adalah citra I1 yang mengalami translasi pada

sumbu x dan sumbu y sebesar (∆x,∆y) sehingga

didapatkan Persamaan (1).

∆y)+y∆x,+(xI=y)(x,I 21 (1)

maka besar translasi I2 terhadap I1 sebesar

(∆x,∆y) dapat ditemukan secara akurat dengan

phase correlation [9]. Metode estimasi

translasi dengan phase correlation dapat

dilakukan dengan Transformasi Fourier 2D

pada I1 dan I2 sehingga secara berturut-turut

menghasilkan 1I dan 2I . 1I dan 2I berturut-

turut adalah citra I1 dan I2 dalam domain

Fourier Transform yang dinotasikan dengan

Persamaan (2).

11ˆ I=I ℑ ; 22

ˆ I=I ℑ (2)

Selanjutnya dilakukan penghitungan phase

correlation dengan Persamaan (3).

Page 5: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Wijaya dkk, Algoritma Pemutusan Siklus Iteratif… 139

|II|

II=

∗ℜ

21

21 ˆˆ

ˆˆ (3)

dimana ℜ adalah phase correlation dari 1I

dan 2I . Sedangkan I2* adalah complex

conjugate dari I2. Selanjutnya dicari phase

correlation R pada domain spasial dimana R

adalah seperti yang ditunjukkan oleh

Persamaan (4).

ℜℑ−1=R (4)

Translasi citra I2 terhadap I1 dapat ditemukan

dengan mencari letak puncak dari R yaitu

degan menggunakan Persamaan (5).

R=∆y)(∆∆xy)(x,

xamgra (5)

∆x adalah besar translasi I2 terhadap I1 pada

arah sumbu x, sedangkan ∆y adalah besar

translasi I2 terhadap I1 pada arah sumbu y.

Estimasi Rotasi

Apabila I2 adalah citra I1 yang mengalami

rotasi sebesar ∆θ, maka cara untuk menemukan

sudut rotasi relatif I2 terhadap I1 sebesar ∆θ

adalah dengan mengubah sistem koordinat

kartesian pada citra I1 dan I2 menjadi sistem

koordinat polar sehingga didapatkan

Persamaan (6).

∆θ)+θ(r,I=θ)(r,I 21 (6)

),(1 θrI adalah citra I1 pada koordinat polar

dan ),(2 θθ ∆+rI adalah citra I2 pada

koordinat polar dimana I2 memiliki sudut rotasi

relatif sebesar ∆θ terhadap I1. r adalah jarak

suatu titik dengan pusat koordinat dan θ adalah

rotasi relatif terhadap sumbu x positif dengan

pusat rotasi pangkal koordinat.

Gambar 1(a) dan (b) adalah I1 dan I2 pada

koordinat kartesian. Dilakukan transformasi I1

dan I2 menuju sistem koordinat polar sehingga

secara berurutan I1 dan I2 berubah menjadi

seperti pada Gambar 1(c) dan (d). Sumbu

horisontal pada Gambar 1(c) dan (d)

merupakan sumbu r. Sedangkan sumbu vertikal

pada Gambar 1(c) dan (d) merupakan sumbu θ.

Dapat diamati bahwa ∆θ)+θ(r,I2 yang

ditunjukkan oleh Gambar 1(d) merupakan versi

translasi sepanjang sumbu θ dari θ)(r,I1 yang

ditunjukkan Gambar 1(c). Besar translasi

sepanjang sumbu θ ∆θ)+θ(r,I2 terhadap

θ)(r,I1 dapat ditemukan secara akurat dengan

phase correlation. Sehingga, sudut rotasi

relatif I2 terhadap I1 sebesar ∆θ dapat dicari

dengan mereduksi peristiwa rotasi menjadi

peristiwa translasi pada koordinat polar.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 1. Estimasi rotasi. (a) Citra I1, (b) Citra I2 yang merupakan versi rotasi sebesar ∆θ

terhadap I1, (c) I1 pada sistem koordinat polar, dan (d) I2 pada sistem koordinat polar.

(a) (b) (c)

Gambar 2. Pseudopolar-grid (contoh: masukan citra 8x8). (a) P1, (b) P2, dan (c) P = P1UP2.

Page 6: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

140 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 137-146

Kendala Estimasi Rotasi pada Domain

Spasial

Konsep estimasi translasi dan rotasi dengan

phase correlation yang dipaparkan pada bagian

sebelumnya akan menghasilkan estimasi yang

akurat apabila I1 dan I2 memiliki pusat rotasi

yang sama, dimana pusat tersebut telah

didefinisikan terlebih dahulu (secara default

pusat perbesaran berada di titik tengah citra).

Akan tetapi, hasil estimasi rotasi I2 terhadap I1

tidak akurat apabila diterapkan pada citra yang

memiliki pusat rotasi yang tidak sama. Kendala

ini terjadi akibat adanya translasi citra I2

terhadap I1, sehingga pusat rotasi dan

perbesaran yang seharusnya sama menjadi

bergeser. Peristiwa ini seharusnya tidak akan

menjadi kendala apabila pengerjaannya

dilakukan pada domain frekuensi. Domain

frekuensi menjadi solusi karena adanya sifat

shift invariant pada domain frekuensi, yang

berarti bahwa domain frekuensi tidak

dipengaruhi oleh translasi.

Berdasarkan konsep ini, maka diusulkan

metode yang mengadopsi prinsip yang

dilakukan pada sub bagian sebelumnya, akan

tetapi dilakukan pada domain frekuensi [8].

Domain frekuensi yang diusulkan adalah

Pseudo-polar Fourier Transform (PPFT)

seperti yang diperlihatkan dalam Persamaan

(7).

21 PPP ∪≡ (7)

dimana

≤≤−≤≤−

−≡ NkN,N

lN

|kk,N

P22

2l1

dan (8)

≤≤−≤≤−

−≡ NkN,N

lN

|kN

k,P22

2l2

(9)

P adalah pseudopolar-grid yang tersusun

dari gabungan P1 dan P2. P1 adalah komponen

P pada arah vertikal dan P2 adalah komponen P

pada arah horisontal. k disebut sebagai

pseudoradius dan l disebut sebagai

pseudoangle. Resolusi dari pseudopolar-grid

untuk citra ukuran N x N adalah 2N +1 pada

bagian angular dan N + 1 pada bagian radial.

Ilustrasi himpunan P1 dan P2 dapat dilihat

pada Gambar 2(a) dan (b). Pseudopolar-grid P

diilustrasikan pada Gambar 2(c). Dengan

representasi pada koordinat polar (r,θ),

pseudopolar-grid didefinisikan dengan

Persamaan (10).

)θ,(r=l)(k,P lk

11

1dan

)θ,(r=l)(k,P lk

22

2 (10)

Dimana

14

2

1+

N

lk=rk

, 14

2

2 +N

lk=rk

(11)

−N

π=θl

2larctan2/1 dan

N

=θl

2larctan2 (12)

Nilai k = –N, …, N dan l = – N/2, …, N/2.

Nilai PPFT didefinisikan sebagai sampel

dari Transformasi Fourier di atas pseudopolar-

grid P yang diberikan pada Persamaan (8) dan

(9). Secara detil, PPFT )=(jI j

pp 1,2ˆ adalah

sebuah transformasi linear, dimana terdefinisi

untuk k = –N,…,N dan l = – N/2,…,N/2,

sebagai Persamaan (13) dan (14).

∑−

−−

−≡

12/

2/

1

1

2i2πexp ˆ

2lˆˆ

N

N=vu,

pp

pp

kv+kuNM

v)I(u,=I

kk,N

II (13)

.2i2π

expˆ

2lˆˆ

12/

2/

2

2

∑−

−−

−≡

N

N=vu,

pp

pp

kvN

kuM

v)I(u,=I

kN

k,II (14)

I adalah I pada domain frekuensi. 1ˆppI

adalah

nilai PPFT yang akan diberikan di atas P1 dan 2ˆppI adalah nilai PPFT yang akan diberikan di

atas P2.

Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar

2(c), untuk setiap sudut yang telah ditentukan

sebesar l, sampel dari pseudopolar-grid

memiliki space yang sama pada bagian radial.

Akan tetapi, space ini berbeda untuk sudut

yang berbeda. Demikian pula, grid memiliki

space yang tidak sama dalam bagian angular,

tetapi memiliki space kemiringan yang sama

(lihat Persamaan (15) dan (16)).

N=θθ(l)θ∆ l+lpp

2cotcottan 11

1

1 −≡ (15)

N=θθ(l)θ∆ l+lpp

2cotcottan 22

1

2 −≡ (16)

dimana θpp

1

dan θpp

2

diberikan pada

Persamaan (12).

Properti penting PPFT adalah bahwa

transformasi ini memiliki kemampuan invert.

Page 7: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Wijaya dkk, Algoritma Pemutusan Siklus Iteratif… 141

Selain itu, PPFT forward dan invert dapat

diaplikasikan dengan sebuah komputasi yang

cepat dengan bantuan FrFT. Dan yang lebih

penting lagi, algoritma ini tidak membutuhkan

regriding atau interpolasi sehingga memiliki

keakuratan yang tinggi.

Fractional Fourier Fourier (FrFT)

Kompleksitas penghitungan PPFT dapat

ditekan dengan bantuan FrFT. FrFT adalah

algoritma cepat dengan komputasi O(N logN)

yang dapat memetakan Transformasi Fourier

Diskrit (DFT) di atas beberapa himpunan dari

N titik pada sebuah keliling lingkaran [8].

Sehingga FrFT menjadikan kompleksitas

komputasi keseluruhan PPFT pada Persamaan

(13) dan (14) yang semula adalah O(N3)

kemudian dapat direduksi menjadi O(N2 logN).

Lebih spesifik, diberikan sebuah vektor C

dengan panjang N+1, )(uCC = ,

)2/,...,2/( NNu −= , Rα∈ . FrFT

didefinisikan sebagai Persamaan (17).

∑−

−2/

2/

1 1/2ππiexpN

N=u

α

+N )]+(Nku[C(u)=C)(k)(F

N/2 ,N2,.......k −= (17)

Algoritma Estimasi Rotasi Iteratif dengan

PPFT

Algoritma estimasi rotasi iteratif dengan

menggunakan PPFT [8] dapat dilihat pada

Gambar 3. Penjelasan algoritma pada Gambar

3 adalah sebagai berikut:

1. Magnitude PPFT dihitung setelah dilakukan

zero-padding pada citra masukan sehingga

memiliki ukuran yang sama.

2. θ ditemukan dengan melakukan 1D phase

correlation sepanjang sumbu θ pada domain

pseudo-polar. 3. Salah satu dari citra masukan diputar

dengan sudut akumulasi θn.

4. Dilakukan iterasi langkah 1-3 hingga ∆θ

lebih kecil dari threshold yang ditentukan

yaitu sebesar εθ.

5. Ambiguitas θ diselesaikan dengan

menggunakan 2D phase correlation, yaitu

dengan memutar salah satu citra sebesar θ

dan θ+π. Ambiguitas ini disebabkan oleh

ambiguitas nilai arctan p yang dapat

bernilai θ atau θ + π.

6. Pergeseran ditemukan dengan menggunakan

2D phase correlation.

Gambar 3. Algoritma Estimasi Rotasi Iteratif dengan PPFT.

Page 8: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

142 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 137-146

Gambar 4. Estimasi Rotasi Non-iteratif dengan PPFT.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 5. (a) Citra I1, (b) Citra I2, (c) θ)(r,IG p1ˆ , dan (d) θ)(r,IG p2

ˆ .

Gambar 6. Sudut Tetangga αT yang Menjadi Kandidat Baru Sudut Rotasi.

Page 9: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Wijaya dkk, Algoritma Pemutusan Siklus Iteratif… 143

(a) (b) (c) (d)

Gambar 7. Salah Satu Contoh Uji Coba. (a) Citra I1, (b) Citra I2 Memiliki Rotasi Relatif 66°

terhadap I1, (c) PPFT I1 dan I2 dalam Representasi Grayscale, dan (d) Citra I1

Ditambah Hasil Estimasi Rotasi.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 8. Salah Satu Contoh Hasil Uji Coba. (a) Citra I1, (b) Citra I2 Memiliki Rotasi Relatif

33,7° terhadap I1, gaussian noise µ = 0 dan Varian σ = 0,09, (c) PPFT I1 dan I2 dalam

Representasi Grayscale, dan (d) Citra I1 Ditambah Hasil Estimasi Rotasi Citra I2.

ALGORITMA PEMUTUSAN SIKLUS

ITERATIF ESTIMASI ROTASI

DENGAN PPFT

Algoritma yang diusulkan yaitu estimasi rotasi

non-iteratif dengan PPFT akan memperbaiki

algoritma estimasi rotasi iteratif dengan PPFT

yang terdapat pada Gambar 3. Perbaikan

dilakukan dengan membuang iterasi untuk

menemukan sudut rotasi optimum. Secara

keseluruhan algoritma yang diusulkan dapat

dilihat pada Gambar 4.

Algoritma memiliki dua tahap utama, yaitu

tahap representasi dan tahap estimasi. Tahap

representasi bertujuan melakukan pemrosesan

PPFT sehingga siap untuk dilakukan pencarian

nilai translasinya pada koordinat polar.

Sedangkan tahap estimasi bertujuan

mengestimasi translasi maupun mengukur

tingkat kesamaan dua buah citra dengan

memanfaatkan kemampuan phase correlation.

Tahap Representasi

Masukan dari tahap representasi adalah dua

buah citra grayscale I1 dan I2. Dilakukan

penghitungan magnitude PPFT pada masing-

masing citra I1 dan I2 sehingga menghasilkan

ppIM untuk I1 dan menghasilkan 2

ˆppIM

untuk

I2. Representasi PPFT dalam pseudopolar-grid

ditransformasikan pada koordinat polar

sehingga 1

ˆppIM dan

ppIM

masing-masing

diubah menjadi θ)(r,IM p1ˆ dan θ)(r,IM p2

ˆ pada

koordinat polar.

Dikarenakan jangkauan nilai yang sangat

besar pada θ)(r,IM p1ˆ dan θ)(r,IM p2

ˆ , maka

dilakukan operasi logaritma pada θ)(r,IM p1ˆ dan

θ)(r,IM p2ˆ sehingga menghasilkan θ)(r,IL p1

ˆ dan

θ)(r,IL p2ˆ sebagaimana Persamaan (18).

θ))(r,I(Mln+=θ)(r,IL ppˆ1ˆ (18)

θ)(r,IL p1ˆ dan θ)(r,IL p2

ˆ masih terlalu kasar

untuk dilakukan pemrosesan berikutnya karena

nilai kontras yang kecil. Oleh karena itu,

θ)(r,IL p1ˆ dan θ)(r,IL p2

ˆ

perlu diinterpolasikan

nilainya dalam interval grayscale sesuai

Persamaan (19).

=θ)(r,IG

θ)(r,IL:jika,

>IL:jika;

xθ)(r,IL

<θ)(r,IL:jika;

p

p

p

p

p

ˆ

14ˆ4

14ˆ255

255414

4ˆ0

≤≤

(19)

Page 10: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

144 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 137-146

),( θrIG p

∧ adalah representasi PPFT dalam

grayscale yang telah dinormalisasi. ),(1 θrIG p

dan ),(2 θrIG p

adalah PPFT milik citra

masukan I1 dan I2 yang siap diestimasi

translasinya dengan phase correlation. Ilustrasi

mengenai representasi ),( θrIG p

∧ dapat dilihat di

Gambar 5. Gambar 5(a) dan (b) masing masing

adalah citra masukan I1 dan I2. Gambar 5(c)

dan (d) adalah representasi PPFT pada

grayscale yang telah dinormalisasi dengan

Persamaan 19. Terlihat dengan jelas bahwa

Gambar 5(d) adalah versi translasi dari Gambar

5(c) pada sumbu θ (vertikal).

Tahap Estimasi

Tahap estimasi diawali dengan melakukan

estimasi translasi relatif p1IG ˆ terhadap

p2IG ˆ

sepanjang sumbu θ dengan phase correlation

sebagaimana Persamaan (3). Sudut rotasi

relatif I2 terhadap I1 sebesar α ditemukan

dengan mencari besar translasi sepanjang

sumbu θ. pIG ˆ memiliki periode 180º, yang

berarti bahwa selain sudut rotasi α masih

terdapat kandidat sudut rotasi yang lain yaitu

sebesar α + 180º. Sehingga terdapat dua

kadidat sudut rotasi sebesar α1 dan α2 yang

nilainya ditunjukkan pada Persamaan (20) dan

(21).

α=α1 (20)

°+α=α 1802 (21)

Sudut rotasi sebenarnya sebesar αT dapat

dihitung dengan memanfaatkan phase

correlation 2D. I1 masing-masing diputar

sebesar α1 dan α2. Sudut rotasi sebenarnya

sebesar αT adalah sudut yang menghasilkan

puncak phase correlation terbesar.

Penghalusan sudut rotasi dengan

pembandingan sudut tetangga bertujuan untuk

meningkatkan akurasi estimasi rotasi sebesar

αT. Ide langkah ini adalah adanya

ketidakpercayaan bahwa sudut rotasi yang

sebenarnya adalah αT. Mungkin saja sudut

rotasi yang sebenarnya adalah sudut di sekitar

αT. Langkah ini akan menghemat biaya

komputasi dibandingkan dengan iterasi yang

dilakukan oleh registrasi citra iteratif dengan

PPFT. Penghematan terjadi karena iterasi yang

dilakukan akan digantikan dengan

pembandingan sudut tetangga sehingga tidak

diperlukan lagi iterasi. Gambaran mengenai

pembandingan sudut tetangga disajikan pada

Gambar 6. Jika banyaknya tetangga di atas

sudut αT adalah p dan banyaknya tetangga di

bawah sudut αT juga berjumlah p, maka

terdapat himpunan kandidat sudut rotasi yang

baru yaitu αK. Sudut rotasi akhir hasil

penghalusan adalah αR yang merupakan elemen

αK yang memiliki puncak phase correlation

tertinggi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Uji Coba untuk Menentukan Banyak

Iterasi yang Dihilangkan dan Akurasi

Estimasi

Uji coba pertama bertujuan untuk menentukan

banyak iterasi metode estimasi rotasi iteratif

dengan PPFT yang dapat dihapus oleh metode

yang diusulkan. Selain itu, uji coba juga

bertujuan untuk menentukan akurasi estimasi

rotasi algoritma iteratif maupun non-iteratif.

Uji coba dilakukan dengan melakukan

registrasi terhadap empat pasang citra berbeda

dimana masing-masing pasang memiliki sudut

rotasi relatif sesamanya. Sudut rotasi

sebenarnya pada masing-masing pasang citra

telah diketahui sebelumnya yaitu: 66°; 33,7°;

0,8°; dan 177°. Sudut 66° diharapkan mewakili

rotasi pada kondisi umum dengan sudut rotasi

berupa bilangan bulat di kuadran I. Selanjutnya

sudut 33,7° diharapkan mewakili rotasi pada

kondisi umum dengan sudut rotasi berupa

bilangan desimal di kuadran I. Kemudian sudut

rotasi 0,8° diharapkan dapat mewakili pada

kondisi sudut rotasi yang kecil yaitu ±1°

dimana pada umumnya sudutnya merupakan

bilangan desimal. Terakhir, sudut 177°

diharapkan mewakili rotasi pada kondisi umum

dengan sudut rotasi > 90°.

Tabel 1. Jumlah Iterasi dan Akurasi Estimasi

Rotasi Iteratif dengan PPFT.

Sudut

(deg)

Jumlah

Iterasi

Estimasi

Rotasi (deg)

Error

(deg)

066,0 11 066,09 0,09

033,7 08 033,49 0,21

000,8 03 000,68 0,12

177,0 05 177,26 0,26

Page 11: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Wijaya dkk, Algoritma Pemutusan Siklus Iteratif… 145

Tabel 2. Akurasi Estimasi Rotasi Non-Iteratif

dengan PPFT.

Sudut

(deg)

Jumlah

Iterasi

Estimasi

Rotasi (deg)

Error

(deg)

066,0 1 066,09 0,09

033,7 1 033,75 0,05

000,8 1 000,70 0,10

177,0 1 177,19 0,19

Tabel 3. Akurasi Estimasi Rotasi pada Citra

ber-noise (Gaussian noise, mean µ

= 0).

Rotasi

(derajat) Varian (σ)

Estimasi

Rotasi Error

0.01 34.10 0.40

0.02 33.40 0.30

0.03 34.10 0.40

0.04 33.75 0.05

0.05 34.10 0.40

0.06 34.10 0.40

0.07 34.10 0.40

0.08 34.10 0.40

0.09 33.40 0.30

0.10 33.05 0.65

0.11 33.40 0.30

0.12 33.05 0.65

0.13 34.10 0.40

0.14 34.45 0.75

0.15 33.05 0.65

33.70

0.16 08.09 25.61*)

*)nilai error estimasi rotasi terlalu besar sehingga tidak

dilanjutkan untuk nilai varian berikutnya.

Salah satu contoh uji coba dengan metode

yang diusulkan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7(a) dan (b) adalah citra masukan I1

dan I2. I2 memiliki rotasi relatif 66° terhadap I1.

Gambar 7(c) adalah PPFT I1 dan I2 dalam

representasi grayscale. Gambar 7(d) adalah

Citra I1 ditambah hasil estimasi rotasi citra I2.

Hasil uji coba dengan metode iteratif dapat

dilihat pada Tabel 1. Iterasi yang dilakukan

untuk mencapi tingkat kesalahan terkecil

adalah sebesar 3-11 kali. Tingkat kesalahan

terbesar adalah 0,26°. Sedangkan hasil uji coba

dengan metode yang diusulkan yaitu estimasi

rotasi non-iteratif dengan PPFT yang hanya

memerlukan satu kali iterasi dapat diamati pada

Tabel 2. Tingkat kesalahan maksimum estimasi

rotasi yang diusulkan adalah sebesar 0,19°.

Hasil uji coba pada Tabel 1 dan 2

menunjukkan bahwa metode yang diusulkan

mampu memutus siklus iteratif pada estimasi

rotasi iteratif dengan PPFT. Tingkat akurasi

metode yang disulkan juga menunjukkan

tingkat kesalahan yang lebih kecil

dibandingkan metode iteratif.

Hasil Uji Coba Ketahanan Terhadap Noise

Uji coba kedua bertujuan untuk menentukan

akurasi estimasi rotasi oleh metode yang

diusulkan pada citra yang memiliki noise.

Noise yang dipilih adalah Gaussian Noise

dengan mean µ = 0 dan varian σ = 0,01; 0,02;

hingga metode yang diusulkan tidak mampu

lagi mengestimasi rotasi secara akurat.

Gaussian Noise dipilih karena lebih umum

terjadi pada dunia nyata. Sudut rotasi yang

dipilih adalah 33,7°.

Salah satu contoh uji coba kedua dapat

dilihat pada Gambar 8. Gambar 8(a) dan (b)

masing-masing adalah citra masukan I1 dan I2.

I2 adalah versi rotasi 33,7° terhadap I1 dan I2

diberi Gaussian Noise dengan mean µ = 0 dan

varian σ = 0,09. Gambar 8(c) adalah PPFT

milik I1 dan I2 pada representasi grayscale.

Sedangkan Gambar 8(d) adalah hasil estimasi

rotasi I2 terhadap I1 yang merupakan

penjumlahan I1 dan I2 hasil rekonstruksi dari

rotasi dan translasi yang ditemukan.

Hasil uji coba kedua dapat diamati pada

Tabel 3. Tingkat kesalahan tetap bernilai kecil

(di bawah 1°) hingga gaussian noise memiliki

varian 0,15. Uji coba ini membuktikan bahwa

metode yang diusulkan memiliki ketahanan

terhadap noise. Hal ini dikarenakan bahwa

dengan pengamatan visual citra yang memiliki

Gausian noise dengan mean µ = 0 dan varian σ

= 0,10 sudah tidak nampak lagi bentuk aslinya.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil uji dan pembahasan yang

dilakukan, maka dapat ditarik simpulan:

1. Algoritma yang diusulkan mampu memutus

siklus iterasi berkisar 3-11 dibanding

Page 12: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

146 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 137-146

algoritma registrasi citra untuk estimasi

rotasi dengan menggunakan PPFT.

2. Algoritma registrasi citra dengan PPFT

yang sebelumnya memiliki kompleksitas

komputasi O(MN2 logN), dimana M

menunjukkan banyak iterasi dan N

menyatakan ukuran citra masukan ukuran

NxN, dapat direduksi menjadi O(N2 logN)

dikarenakan iterasi sebanyak M bernilai 1.

3. Ditinjau dari segi akurasi, hasil registrasi

citra dengan metode yang diusulkan

memiliki tingkat akurasi yang signifikan

yang didapatkan secara otonom tanpa

pendefinisian nilai threshold sebelumnya.

Berbeda dengan metode registrasi PPFT

yang menggunakan iterasi, akurasi

didefinisikan sebagai nilai threshold dan

iterasi akan berhenti ketika nilai estimasi

rotasi mencapai nilai threshold yang

ditentukan.

4. Metode yang diusulkan juga memiliki

ketahanan terhadap gaussian noise yang

memiliki mean µ = 0 hingga varian σ

sebesar 0,13.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Dufaux F and Konrad J. Efficient, Robust,

and Fast Global Motion Estimation for

Video Coding. IEEE Transaction on

Image Processing. 9: 497-501. 2000.

[2] Kuglin CD and Hines DC. The Phase

Correlation Image Alignment Method.

Proc. IEEE Conf. Cybernetics and

Society. 163-165. 1975.

[3] Irani M and Peleg S. Motion Analysis for

Image Enhancement: Resolution,

Occlusion, and Transparency. J Visual

Comm and Image Representation. 4: 324-

335. 1993.

[4] Mann S and Picard R. Virtual Bellows:

Constructing High Quality Stills from

Video. Proc IEEE Int’l Conf Image

Processing. 363-367. 1994.

[5] Wan R and Li M. An Overview of

Medical Image Registration. Fifth

International Conference on

Computational Intelligence and

Multimedia Applications (ICCIMA'03).

385. 2003.

[6] Wolberg G and Zokai S. Robust Image

Registration using Log-Polar Transform.

Proc. IEEE Int. Conf. Image Processing.

493-496. 2000.

[7] Reddy S and Chatterji BN. An FFT-Based

Technique for Translation, Rotation, and

Scale-Invariant Image Registration. IEEE

Trans. Image Processing. 3: 1266-1270.

1996.

[8] Guo X, Xu Z, Lu Y, Liu Z, and Pang Y.

Image Registration Based on Pseudo-

Polar FFT and Analytical Fourier-Mellin

Transform. Lecture Notes in Computer

Science. Berlin: Springer Berlin. 2005.

[9] Keller Y, Averbuch A, and Israeli M.

Pseudopolar-Based Estimation of Large

Translations, Rotation, and Scalings in

Images. IEEE Transactions on Image

Processing. 14: 12-22. 2005.

Page 13: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Vol. 5, No. 3, Januari 2010 ISSN 0216 - 0544

147

PENGENALAN CITRA WAJAH MENGGUNAKAN

METODE TWO-DIMENSIONAL LINEAR DISCRIMINANT

ANALYSIS DAN SUPPORT VECTOR MACHINE

*Fitri Damayanti, Agus Zainal Arifin, Rully Soelaiman

Program Magister Teknik Informatika,ITS

Jl. Raya ITS, Kampus ITS, Sukolilo, Surabaya, 60111

E-Mail: *[email protected]

Abstrak

Linear Discriminant Analysis telah digunakan secara luas dalam pola linier

pengenalan terhadap fitur ekstraksi dan pengurangan dimensi. Hal ini dimaksudkan

untuk membuat seperangkat vektor proyeksi yang sangat berbeda untuk dipadatkan

sepadat mungkin pada jenis yang sama. Projection vector bekerja dalam hitungan

jenis Sw dan antara jenis Sh matrix scatter. Umumnya pada aplikasi pengenalan wajah

jumlah dimensi data lebih besar dibandingkan jumlah sampelnya, hal ini

menyebabkan tunggalnya isi jenis scatter matrix Sw, sehingga fitur wajah tidak

diekstraksi dengan baik. Dalam penelitian ini digunakan metode Two Dimensional

Linier Discrimination Analysis (TDLDA) untuk ekstraksi fitur, yang menilai secara

langsung isi jenis scatter matrix tanpa pencitraan terhadap transformasi vektor,

sehingga mengurangi masalah tunggal dalam isi jenis scatter matrix. Penelitian ini

akan mengembangkan aplikasi pengenalan wajah yang dintegrasikan dengan metode

TDLDA dan SVM untuk pengenalan wajah. Dengan kombinasi kedua metode tersebut

terbukti dapat memberikan hasil yang optimal dengan tingkat akurasi pengenalan

antara 84,18% sampai 100% dengan uji coba menggunakan basis data ORL, YALE,

dan BERN.

Kata kunci: Linear Discriminant Analysis, Two Dimensional Linear Discriminant

Analysis, Support Vector Machine.

Abstract

Linear Discriminant Analysis (LDA) has been widely used in linear pattern

recognition for feature extraction and dimension reduction. It aims to find a set of

projection vector that separate the different as far as possible while compressing the

same class as compact as possible. It works by calculated the within class Sw and

between class Sb scatter matrices. In face recognition application, generally the

dimension of data larger than the number of samples, this causes the within class

scatter matrix Sw is singular, that can make the face features’s not well extracted.

Two Dimensional Linear Discriminant Analysis (TDLDA) is used on this research for

feature extraction, that evalutes directly the within class scatter matrix from the

image matrix without image to vector transformation, and hence dilutes the singular

problem of within class scatter matrix. This research will develop a face recognition

application that combined Two Dimensional Linear Discriminant Analysis and

Support Vector Machine. The combination of two methods give optimal results that

have high accuracy of recognition between 84.18% until 100% with the ORL, YALE,

and BERN database.

Key words: Linear Discriminant Analysis, Two Dimensional Linear Discriminant

Analysis, Support Vector Machine.

Page 14: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

148 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 147-156

PENDAHULUAN

Pengenalan wajah dewasa ini telah menjadi

salah satu bidang yang banyak diteliti dan juga

dikembangkan oleh para pakar pengenalan

pola. Hal ini disebabkan karena semakin

luasnya penggunaan teknik identifikasi wajah

dalam aplikasi yang digunakan oleh

masyarakat. Para peneliti telah melakukan

penelitian terhadap teknik yang sudah ada dan

mengajukan teknik baru yang lebih baik dari

yang lama, meskipun banyak teknik baru telah

diajukan, akan tetapi teknik-teknik tersebut

masih belum dapat memberikan akurasi yang

optimal. Dua hal yang menjadi masalah utama

pada identifikasi wajah adalah proses ekstraksi

fitur dari sampel wajah yang ada dan juga

teknik klasifikasi yang digunakan untuk

mengklasifikasikan wajah yang ingin dikenali

berdasarkan fitur-fitur yang telah dipilih.

Ekstraksi fitur adalah proses untuk

mendapatkan ciri-ciri pembeda yang

membedakan suatu sampel wajah dari sampel

wajah yang lain. Bagi sebagian besar aplikasi

pengenalan pola, teknik ekstraksi fitur yang

handal merupakan kunci utama dalam

penyelesaian masalah pengenalan pola. Metode

Analisa Komponen Utama (PCA) untuk

pengenalan wajah dikenalkan oleh Turk dan

Pentland pada tahun 1991. Metode tersebut

bertujuan untuk memproyeksikan data pada

arah yang memiliki variasi terbesar

(ditunjukkan oleh vektor eigen) yang

bersesuaian dengan nilai eigen terbesar dari

matrik kovarian. Kelemahan dari metode PCA

adalah kurang optimal dalam pemisahan antar

kelas. Pada tahun 1991, Cheng dkk

memperkenalkan metode Analisa Diskriminan

Linier (LDA) untuk pengenalan wajah. Metode

ini mencoba menemukan sub ruang linier yang

memaksimalkan perpisahan dua kelas pola

menurut Fisher Criterion JF. Hal ini dapat

diperoleh dengan meminimalkan jarak matrik

sebaran dalam kelas yang sama (within-class)

Sw dan memaksimalkan jarak matrik sebaran

antar kelas (between-class) Sb secara simultan

sehingga menghasilkan Fisher Criterion JF

yang maksimal. Diskriminan Fisher Linier

akan menemukan sub ruang dimana kelas-kelas

saling terpisah linier dengan memaksimalkan

Fisher Criterion JF. Jika dimensi data jauh

lebih tinggi daripada jumlah sample training,

maka Sw menjadi singular. Hal tersebut

merupakan kelemahan dari metode LDA [1].

Telah banyak metode yang ditawarkan

untuk mengatasi kovarian kelas yang sama

(within class) yang selalu singular karena

small sample size problem. Pada tahun 1997,

Belheumeur memperkenalkan metode

fisherface untuk pengenalan wajah. Metode ini

merupakan penggabungan antara metode PCA

dan LDA. Proses reduksi dimensi dilakukan

oleh PCA sebelum melakukan proses LDA. Hal

ini dapat mengatasi singular problem. Tetapi

kelemahan dari metode ini adalah pada saat

proses reduksi dimensi PCA akan

menyebabkan kehilangan beberapa informasi

diskriminan yang berguna dalam proses LDA

[1]. Metode-metode lainnya yang dapat

mengatasi singular problem adalah Direct-

LDA, Null-space based LDA, Pseudo-inverse

LDA, Two-stage LDA, dan Regularized LDA

[2]. Semua teknik LDA tersebut memakai

model representasi data berdasarkan vektor

yang menghasilkan vektor-vektor yang

biasanya memiliki dimensi tinggi. Metode Two

Dimensional Linear Discriminant Analysis

(TDLDA) menilai secara langsung matrik

within-class scatter dari matrik citra tanpa

transformasi citra ke vektor, dan hal itu

mengatasi singular problem dalam matrik

within-class scatter [3]. TDLDA memakai

fisher criterion untuk menemukan proyeksi

diskriminatif yang optimal.

Dalam pengenalan wajah, proses klasifikasi

sama pentingnya dengan proses ekstraksi fitur.

Setelah fitur-fitur penting data atau citra wajah

dihasilkan pada proses ekstraksi fitur, fitur-

fitur tersebut nantinya akan digunakan untuk

proses klasifikasi. Metode klasifikasi yang

digunakan adalah pengklasifikasi Support

Vector Machine (SVM). Pengklasifikasi SVM

menggunakan sebuah fungsi atau hyperplane

untuk memisahkan dua buah kelas pola. SVM

akan berusaha mencari hyperplane yang

optimal dimana dua kelas pola dapat

dipisahkan dengan maksimal.

Penelitian ini mengintegrasikan TDLDA dan

SVM untuk pengenalan wajah. TDLDA sebagai

metode ekstraksi fitur yang dapat mengatasi

singular problem dan SVM sebagai metode

klasifikasi yang mempunyai kemampuan

generalisasi yang tinggi dibanding metode

klasifikasi KNN.

Page 15: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Damayanti dkk, Pengenalan Citra Wajah… 149

Two-Dimensional Linear Discriminant

Analysis (TDLDA)

TDLDA adalah pengembangan dari metode

LDA. Di dalam LDA, matrik 2D terlebih dahulu

ditransformasikan ke dalam bentuk citra vektor

satu dimensi. Sedangkan pada TDLDA atau

disebut teknik proyeksi citra secara langsung,

matrik citra wajah 2D tidak perlu

ditransformasikan ke dalam bentuk citra

vektor. Matrix scatter citra dapat dibentuk

langsung dengan menggunakan matrik citra

aslinya.

A1,….,An adalah n matrik citra, dimana Ai

(i=1,…,k) adalah r x c matrik. Mi (i=1,…,k)

adalah rata-rata citra pelatihan dari kelas ke i,

M adalah rata-rata citra dari semua data

pelatihan dan X adalah matrik masukan.

Menganggap 1l x 2l ruang dimensi

(dimensional space) L⊗ R, dimana ⊗

menunjukkan tensor product, L menjangkau

u1,…,u1l dan R menjangkau v1,..,v 2l .

Sehingga didefinisikan dua matrik L =

[u1,…,u1l ] dan R = [v1,..,v 2l ].

Metode ekstraksi fitur adalah untuk

menemukan L dan R sehingga ruang citra asli

(original image space) Ai diubah ke dalam

ruang citra dimensi rendah (low-dimensional

image) menjadi Bi=LTAiR. Ruang dimensi

rendah (low-dimensional space) diperoleh

dengan transformasi linier L dan R, sedangkan

jarak between-class Db dan jarak within-class

Dw didefinisikan dalam Persamaan (1) dan (2).

Db = RMMLnk

i

i

T

i )(1

−∑=

2

F (1)

Dw = 2

1

)(Fi

k

i x

T RMXLi

−∑∑= Π∈

(2)

Dimana F merupakan Frobenius norm.

Meninjau bahwa 2

FA = Ptrace(AT

A) =

trace(AAT) untuk matrik A. Sedemikian hingga

Persamaan (1) dan (2) dapat direpresentasikan

lebih lanjut sebagai Persamaan (3) dan (4).

))()((1

LMMRRMMLntraceD T

i

Tk

i

i

T

ib −−= ∑=

(3)

))()(( LMXRRMXLtraceDT

i

T

i

k

1i Πx

T

w

i

−−= ∑∑= ∈

(4)

Sama halnya dengan LDA, metode TDLDA

digunakan untuk menemukan matrik L dan R,

sedemikian hingga struktur kelas dari ruang

orisinil tetap di dalam ruang proyeksi.

Sehingga patokan (criterion) dapat

didefinisikan sebagai Persamaan (5).

J1(L,R) = max

W

b

D

D (5)

Hal tersebut jelas bahwa Persamaan (9)

terdiri dari matrik transformasi L dan R. Matrik

transformasi optimal L dan R dapat diperoleh

dengan memaksimalkan Db dan

meminimumkan Dw. Namun, sangatlah sulit

untuk menghitung L dan R yang optimal secara

simultan. Dua fungsi optimasi dapat

didefinisikan untuk memperoleh L dan R.

Untuk sebuah R yang pasti, L dapat diperoleh

dengan menyelesaikan fungsi optimasi pada

Persamaan (6).

J2(L) = maxtrace((LTS

R

W L)-1

(LTS

R

b L)) (6)

dimana

T

i

Tk

i

ii

R

b MMRRMMnS )()(1

−−=∑=

(7)

T

i

T

i

k

i x

R

W MXRRMXSi

)()(1

−−=∑∑= Π∈

(8)

Dengan catatan bahwa ukuran matrik R

WS dan

R

bS adalah r x r yang lebih kecil daripada

ukuran matrik Sw dan Sb pada LDA klasik.

Untuk sebuah L yang pasti, R dapat

diperoleh dengan menyelesaikan fungsi

optimasi pada Persamaan (9).

J3(R) = maxtrace((RTSL

W R)-1(RTSL

b R)) (9)

Dimana

)()(1

MMLLMMnS i

TTk

i

ii

L

b −−=∑=

(10)

)()(1

i

TT

i

k

i x

L

W MXLLMXSi

−−=∑∑= Π∈

(11)

Ukuran matrik SL

w dan SL

b adalah c x c yang

lebih kecil daripada ukuran matrik Sw dan Sb

pada LDA klasik.

Secara khusus, untuk sebuah R yang pasti, L

yang optimal dapat diperoleh dengan

menyelesaikan generalized eigenvalue problem

dari Persamaan (6). Demikian pula, R dapat

diperoleh dengan menyelesaikan generalized

eigenvalue problem dari Persamaan (9) pada L

yang pasti.

Page 16: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

150 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 147-156

Gambar 1. Hard Margin Hyperplane.

Support Vector Machine (SVM)

SVM berusaha menemukan hyperplane yang

terbaik pada input space. Prinsip dasar SVM

adalah linear classifier yang selanjutnya

dikembangkan agar dapat bekerja pada

problem non-linear dengan memasukkan

konsep kernel trick pada ruang kerja

berdimensi tinggi [4].

SVM dapat melakukan klasifikasi data yang

terpisah secara linier (linearly separable) dan

non-linier (nonlinear separable) [5]. Linearly

separable data merupakan data yang dapat

dipisahkan secara linier. Misalkan x1,..., xn

adalah dataset dand

ix ℜ∈ , serta yi ∈+1,−1

adalah label kelas dari data xi.. Anggap ada

beberapa hyperplane yang memisahkan sampel

positif dan negatif, maka x yang berada pada

hyperplane akan memenuhi persamaan

0. =+ bxw . Untuk permasalahan data linier,

algoritma support vector hanya mencari

hyperplane dengan margin yang terbesar (jarak

antara dua kelas pola). Hard margin

hyperplane ditunjukkan pada Gambar 1.

Hyperplane terbaik tidak hanya dapat

memisahkan data dengan baik tetapi juga yang

memiliki margin paling besar. Data yang

berada pada bidang pembatas ini disebut

support vector.

Untuk menyelesaikan permasalahan data

non-linier dalam SVM adalah dengan cara

memetakan data ke ruang dimensi lebih tinggi

(ruang fitur atau feature space) [5], dimana

data pada ruang tersebut dapat dipisahkan

secara linier, dengan menggunakan

transformasi Ф pada Persamaan (12).

ΗΦ: daℜ (12)

Dengan demikian algoritma pelatihan

tergantung dari data melalui dot product dalam

H. Sebagai contoh Ф(xi). Ф(xj). Jika terdapat

fungsi kernel K, sedemikian hingga K(xi,xj) =

Ф(xi). Ф(xj), maka algoritma pelatihan hanya

memerlukan fungsi kernel K, tanpa harus

mengetahui transformasi Ф secara pasti.

SVM pertama kali dikembangkan oleh

Vapniks untuk klasifikasi biner, namun

selanjutnya dikembangkan untuk klasifikasi

multiclass (banyak kelas). Pendekatannya

adalah dengan membangun multiclass

classifier, yaitu dengan cara menggabungkan

beberapa SVM biner. Pendekatan ini terdiri

dari metode satu lawan semua (One Against

All) dan metode satu lawan satu (One Against

One) [6].

PERANCANGAN SISTEM

Secara garis besar sistem terdiri dari dua

bagian, yaitu proses pelatihan citra dan proses

pengujian. Gambar 2 merupakan gambaran

garis besar sistem pengenalan wajah. Pada

proses pelatihan terdapat proses TDLDA yang

digunakan untuk mengekstraksi fitur. Fitur-

fitur yang terpilih pada saat proses pelatihan

digunakan dalam proses klasifikasi dan juga

digunakan untuk mendapatkan fitur-fitur yang

terpilih pada data uji coba. Masing-masing

basisdata wajah yang digunakan dibagi

menjadi dua, yaitu satu bagian digunakan untuk

proses pelatihan (training) dan sisanya

digunakan untuk proses pengujian (testing).

Ekstraksi Fitur

Ekstraksi fitur pada proses pelatihan dilakukan

dengan menggunakan metode TDLDA. Tahap

ini bertujuan untuk mendapatkan fitur-fitur

yang terpilih dari masukan data-data pelatihan.

Fitur-fitur yang terpilih nantinya digunakan

untuk proses klasifikasi pelatihan dan

digunakan untuk ekstraksi fitur data pengujian.

Ekstraksi fitur pada proses pengujian

dilakukan dengan cara mengambil hasil

ekstraksi fitur pada proses pelatihan untuk

diterapkan pada data pengujian. Hasil ekstraksi

fitur pada data pengujian ini nantinya

digunakan sebagai masukan pada proses

klasifikasi pengujian.

Support vector

Kelas 2

Kelas 1

xi.w+b = -1

xi.w+b = +1

-b/w

m

Page 17: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Damayanti dkk, Pengenalan Citra Wajah… 151

Proses Pelatihan Proses Pengujian

Gambar 2. Sistem Pengenalan Wajah.

Klasifikasi

Proses klasifikasi pelatihan dilakukan setelah

data-data pelatihan diambil fitur-fitur khusus.

Fitur-fitur khusus ini berupa vektor fitur yang

dimensinya lebih kecil. Penelitian ini

menggunakan SVM metode satu lawan semua

dengan kernel gaussian. Pada proses

klasifikasi, pelatihan variabel hyperplane untuk

setiap pengklasifikasi (classifier) yang didapat

akan disimpan dan nantinya akan digunakan

sebagai data tiap pengklasifikasi dalam proses

pengujian. Dengan kata lain proses klasifikasi

pelatihan adalah untuk mencari support vector

dari data masukan (dalam hal ini digunakan

quadratic programming).

Pada proses klasifikasi pengujian

menggunakan hasil ekstraksi fitur data

pengujian dan hasil proses klasifikasi

pelatihan. Hasil dari proses ini berupa nilai

indeks dari fungsi keputusan yang terbesar

yang menyatakan kelas dari data pengujian.

Jika kelas yang dihasilkan dari proses

klasifikasi pengujian sama dengan kelas data

pengujian, maka pengenalan dinyatakan benar.

Hasil akhirnya berupa citra wajah yang sesuai

dengan nilai indeks dari fungsi keputusan yang

terbesar hasil dari proses klasifikasi pengujian.

Algoritma TDLDA

Berikut ini adalah langkah-langkah dalam

proses TDLDA terhadap suatu basisdata citra

pelatihan:

1. Jika dalam suatu basisdata citra wajah

terdapat himpunan sebanyak n citra

pelatihan Ai = [A1,A2,…,An] (i = 1,2,…,n)

dengan dimensi citra (r x c), maka

himpunan total matrik dari semua citra

tersebut adalah:

An =

rcnrnrn

cnnn

cnnn

AAA

AAA

AAA

)(2)(1)(

2)(22)(21)(

1)(12)(11)(

...

............

...

...

2. Menentukan nilai 1l (dimensi proyeksi

baris) dan 2l (dimensi proyeksi kolom).

Nilai 1l ≤ r dan 2l ≤ c.

Memasukkan basis data pelatihan

Ekstraksi fitur TDLDA

Pengklasifikasi SVM

Memasukkan data

pengujian

Ekstraksi fitur data

pengujian

Pengklasifikasi SVM

Data hyperplane

Hasil identifikasi

Page 18: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

152 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 147-156

3. Tahapan berikutnya adalah perhitungan

rata-rata citra pelatihan dari kelas ke-I

dengan menggunakan Persamaan (13).

∑ Π∈=

iXi

i Xn

M1

(13)

4. Menghitung rata-rata semua citra pelatihan

dengan menggunakan Persamaan (14).

∑ ∑= Π∈=

k

i X i

Xn

M1

1 (14)

5. Menetapkan matrik transformasi R ukuran

(c, 2l ) yang diperoleh dari gabungan antara

matrik identitas ukuran ( 2l , 2l ) dengan

matrik nol ukuran (c- 2l , 2l ).

6. Menghitung matrik between class scatter R

sesuai dengan Persamaan (7).

T

i

Tk

i

ii

R

b MMRRMMnS )()(1

−−=∑=

, ukuran

matriknya (r x r).

7. Menghitung matrik within class scatter R

sesuai dengan Persamaan (8).

,)()(1

T

i

T

i

k

i x

R

b MXRRMXSi

−−=∑∑= Π∈

ukuran

matriknya (r x r).

8. Hitung generalized eigenvalue ( iλ ) dari SR

b

dan SR

W menggunakan SVD sesuai dengan

Persamaan (6).

))())( 1

4 LSLLSLmaxtrace((LJ R

b

TR

W

T −= ,

ukuran matriknya (r x r).

9. Ambil sebanyak 1l eigenvector dari

langkah 8 sebagai matrik transformasi baris

],...,[).( 11

LLLL lφφ= , ukuran matriknya

)( 1l×r .

10. Menghitung matrik between class scatter L

sesuai dengan Persamaan (10).

)()(1

MMLLMMnS i

TTk

i

ii

L

b −−=∑=

, ukuran

matriknya (c x c).

11. Menghitung matrik within class scatter L

sesuai dengan Persamaan (11).

),()(1

i

TT

i

k

i x

L

W MXLLMXSi

−−=∑∑= Π∈

ukuran matriknya (c x c).

12. Hitung generalized eigenvalue ( iλ ) dari SL

b

dan SL

W menggunakan SVD sesuai dengan

Persamaan (9).

))()(()( 1

5 RSRRSRmaxtraceRJ L

b

TL

W

T −= ,

ukuran matriknya (c x c).

13. Ambil sebanyak 2l eigenvector dari

langkah 12 sebagai matrik transformasi

kolom (R). R = [R

1φ , ..., R

2lφ ], ukuran

matriknya (c x 2l ).

14. Hitung matrik fitur ekstraksi adalah

RALB i

T

i = , ukuran matriknya ( 1l x 2l ).

15. Keluaran: matrik fitur ektraksi Bi, matrik

transformasi baris L, dan matrik

transformasi kolom R.

Tabel 1. Hasil Uji Coba Menggunakan

TDLDA-KNN.

Prosentase Pengenalan Basisdata

Uji 3 Uji 4 Uji 5

ORL 92,14 % 94,58 % 97,00 %

Yale 91,67 % 97,14 % 98,89 %

Bern 82,65 % 92,26 % 95,71 %

Tabel 2. Hasil Uji Coba Menggunakan

TDLDA-SVM.

Prosentase Pengenalan Basisdata

Uji 3 Uji 4 Uji 5

ORL 92,86 % 96,67 % 97,50 %

Yale 95,00 % 99,05 % 100 %

Bern 84,18 % 94,05 % 97,14 %

Tabel 3. Perbandingan Hasil Uji Coba

dengan Basis Data ORL.

Prosentase Pengenalan Variasi Pengujian TDLDA-

SVM

TDLDA-

KNN

2DPCA* Fisherface**

Uji ORL 3 92,86 % 92,14 % 91,80 % 84,50 %

Uji ORL 4 96,67 % 94,58 % 95,00 % 91,46 %

Uji ORL 5 97,50 % 97,00 % 96,00 % 95,15 %

Ket: *) diperoleh dari sumber [7]

**) diperoleh dari sumber [8].

Page 19: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Damayanti dkk, Pengenalan Citra Wajah… 153

Gambar 3. Blok Diagram Proses Pelatihan dan Klasifikasi Menggunakan SVM.

Rancangan Algoritma SVM

Blok diagram proses pelatihan dan pengujian

SVM dapat ditunjukkan pada Gambar 3.

Pengklasifikasian dengan SVM dibagi menjadi

dua proses, yaitu proses pelatihan dan proses

pengujian. Pada proses pelatihan SVM

menggunakan matrik fitur yang dihasilkan pada

proses ekstraksi fitur sebagai masukan.

Sedangkan pada pengujian SVM memanfaatkan

matrik proyeksi yang dihasilkan pada proses

ekstraksi fitur yang kemudian dikalikan dengan

data uji (sampel pengujian) sebagai masukan.

Pengklasifikasian SVM untuk multiclass

One Against All akan membangun sejumlah k

SVM biner (k adalah jumlah kelas). Fungsi

keputusan yang mempunyai nilai maksimal

menunjukkan bahwa data xd merupakan

angggota dari kelas fungsi keputusan tersebut.

Proses pengujian pada setiap SVM biner

Memetakan input space ke feature space menggunakan kernel Gaussian

K(x,y) = exp ))2(

||(

2

2

σyx −−

Menghitung fungsi keputusan :

iidii bwxxKf += ),(

Dimana : i = 1 sampai k; xi = support vector; xd = data pengujian

Membangun sejumlah k SVM biner (k adalah jumlah kelas)

Menentukan nilai fi yang paling maksimal. Kelas i dengan fi terbesar adalah kelas dari data

pengujian

Memetakan input space ke feature space menggunakan kernel Gaussian

K(x,y) = exp ))2(

||(

2

2

σyx −−

Menentukan sejumlah support vector dengan cara menghitung nilai alpha α1, ..., αN (

N = sejumlah data pelatihan) menggunakan quadratic programming

∑∑==

−=l

ii

jijiji

l

i

i xxyyQ1,1 2

1)(

rrαααα

Subject to: 0),...,2,1(01

==≥ ∑=

i

l

i

ii yli αα

Data ixr

yang berkorelasi dengan αi > 0 inilah yang disebut sebagai support vector

Solusi bidang pemisah didapatkan dengan rumus w =Σαiyixi ; b = yk- wTxk untuk

setiap xk , dengan αk≠ 0.

Proses pelatihan pada setiap SVM biner

Page 20: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

154 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 147-156

75,00

80,00

85,00

90,00

95,00

100,00

ORL3 ORL4 ORL5

Jumlah Data Pelatihan Per Kelas

Prosentase Pengenalan

2DLDA+SVM

2DLDA+K-NN

2DPCA

Fisherface

Gambar 4. Grafik Tingkat Keberhasilan Pengenalan untuk Tiap Variasi Pengujian pada Basisdata

ORL Menggunakan Metode TDLDA-SVM dan Metode Lainnya.

Data pelatihan yang sudah diproyeksikan

oleh TDLDA selanjutnya menjadi data

pelatihan SVM. Jika sebaran data yang

dihasilkan pada proses TDLDA mempunyai

distribusi yang tidak linier, maka salah satu

metode yang digunakan SVM untuk

mengklasifikasikan data tersebut adalah dengan

mentransformasikan data ke dalam dimensi

ruang fitur (feature space), sehingga dapat

dipisahkan secara linier pada feature space.

Feature space biasanya memiliki dimensi yang

lebih tinggi dari vektor masukan (input space).

Hal ini mengakibatkan komputasi pada feature

space mungkin sangat besar, karena ada

kemungkinan feature space dapat memiliki

jumlah feature yang tidak terhingga.

Metode SVM menggunakan ”kernel trick”.

Fungsi kernel yang digunakan pada penelitian

ini adalah Gaussian (Persamaan (15)).

))2(

||(),(

2

2

σyx

expyxK−−

= (15)

Sejumlah support vector pada setiap data

pelatihan harus dicari untuk mendapatkan

solusi bidang pemisah terbaik. Persoalan solusi

bidang pemisah terbaik dapat dirumuskan

dalam Persamaan (16).

∑∑==

−=l

ii

jijiji

l

i

i xxyyQ1,1 2

1)(

rrαααα (16)

dimana: 0),...,2,1(01

==≥ ∑=

i

l

i

ii yli αα

Data ixr

yang berkorelasi dengan αi > 0

inilah yang disebut sebagai support vector.

Dengan demikian, dapat diperoleh nilai yang

nantinya digunakan untuk menemukan w.

Solusi bidang pemisah didapatkan dengan

rumus iii xyaw ∑= ; k

T

k xwyb −= untuk

setiap kx , dengan αk≠ 0.

Proses pengujian atau klasifikasi dilakukan

juga pada setiap SVM biner menggunakan nilai

w, b, dan xi yang dihasilkan pada proses

pelatihan di setiap SVM biner. Fungsi yang

dihasilkan untuk proses pengujian

didefinisikan dalam Persamaan (17).

iidii bwxxKf += ),( (17)

Dimana:

i = 1 sampai k

xi = support vector

xd = data pengujian.

Keluarannya adalah berupa indeks i dengan fi

terbesar yang merupakan kelas dari data

pengujian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji coba terhadap sistem pengenalan wajah

pada penelitian ini dilakukan pada tiga jenis

basisdata wajah baku, yaitu Olivetti Research

Laboratorium atau Basis Data ORL, dan The

Yale Face Database atau Basisdata Yale, dan

The University of Bern atau Basisdata Bern.

Untuk masing-masing basisdata wajah,

pelatihan menggunakan tiga wajah (uji 3),

empat wajah (uji 4), lima wajah (uji 5). Sisa

Page 21: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Damayanti dkk, Pengenalan Citra Wajah… 155

wajah yang tidak di-training digunakan sebagai

data pengenalan.

Metode yang digunakan dalam pengujian ini

ada dua kelompok. Kelompok pertama

menggunakan metode TDLDA untuk ekstraksi

fitur dan metode SVM untuk klasifikasi.

Kelompok yang kedua menggunakan metode

TDLDA sebagai ekstraksi fitur dan metode K-

Nearest Neighbor (KNN) menggunakan

Euclidean Distance sebagai klasifikasi. Tabel 1

dan Tabel 2 menunjukkan bahwa prosentase

pengenalan TDLDA-SVM lebih tinggi

dibandingkan dengan TDLDA-KNN.

Untuk melihat kelebihan algoritma TDLDA-

SVM, dibuat perbandingan dengan beberapa

metode lain. Perbandingan hasil uji coba antara

metode TDLDA-SVM dengan TDLDA-KNN,

2DPCA, dan Fisherface menggunakan

basisdata ORL dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 menunjukkan bahwa prosentase

pengenalan TDLDA-SVM lebih tinggi

dibanding dengan metode lainnya (TDLDA-

KNN, 2DPCA, Fisherface).

Untuk mempermudah melihat perbedaan

hasil uji coba antara metode TDLDA-SVM

dengan metode lainnya digunakan diagram

batang. Gambar 4 menunjukkan hasil uji coba

terhadap basisdata ORL untuk metode TDLDA-

SVM dengan metode lainnya.

Berikut adalah keunggulan metode TDLDA-

SVM dibanding metode lainnya:

1. TDLDA-SVM dibanding dengan TDLDA-

KNN.

KNN tidak memperhatikan distribusi dari

data hanya berdasarkan jarak data baru itu

ke beberapa data/tetangga terdekat. Boleh

jadi, merupakan data/tetangga terdekat

bukan kelompoknya, sehingga klasifikasi

yang dihasilkan salah.

SVM memperhatikan distribusi data

sehingga berusaha untuk menemukan fungsi

pemisah (classifier) yang optimal yang

dapat memisahkan dua set data dari dua

kelas yang berbeda. Setiap kelas memiliki

pola yang berbeda dan dipisahkan oleh

fungsi pemisah. Sehingga, jika ada data

baru yang akan diklasifikasikan maka akan

diketahui kelas yang sesuai dengan data

baru tersebut. Dengan demikian klasifikasi

yang dihasilkan lebih sempurna dibanding

dengan metode klasifikasi lainnya.

2. TDLDA-SVM dibandingkan dengan 2DPCA.

2DPCA lebih fokus pada pengoptimalan

representasi data daripada pengoptimalan

diskriminan data, sehingga data-data tidak

terpisah dengan sempurna.

TDLDA mengoptimalkan diskriminan data

dengan lebih baik jika dibandingkan dengan

2DPCA. Sehingga TDLDA dapat

mengelompokkan vektor data dari kelas

yang sama dan memisahkan kelas yang

berbeda.

3. TDLDA-SVM dibandingkan dengan

Fisherface.

Pada Fisherface prosedur pre-processing

untuk mereduksi dimensi menggunakan

PCA dapat menyebabkan kehilangan

beberapa informasi diskriminan yang

penting untuk algoritma LDA yang

diterapkan setelah PCA.

TDLDA mengambil keuntungan penuh dari

informasi yang diskriminatif dari ruang

lingkup wajah (face space), dan tidak

membuang beberapa subruang (subspace)

yang mungkin berguna untuk pengenalan.

SIMPULAN

Dari uji coba yang sudah dilakukan dapat

diambil simpulan sebagai berikut:

1. Metode TDLDA-SVM mampu menunjukkan

akurasi pengenalan yang optimal

dibandingkan dengan metode lainnya

(TDLDA-KNN, 2DPCA, Fisherface). Hal ini

dikarenakan TDLDA mampu mengatasi

singular problem, mempertahankan

keberadaan informasi diskriminatif, serta

memaksimalkan jarak antar kelas dan

meminimalkan jarak inter kelas. Sedangkan

SVM mempunyai kemampuan menemukan

fungsi pemisah (classfier) yang optimal.

2. Terdapat tiga variabel penting yang

mempengaruhi tingkat keberhasilan

pengenalan, yaitu variasi urutan dari sampel

pelatihan per kelas yang digunakan, jumlah

sampel pelatihan per kelas yang digunakan,

dan jumlah dimensi proyeksi.

3. Dari hasil uji coba menggunakan metode

TDLDA-SVM dengan memvariasi urutan

data pelatihan didapatkan tingkat akurasi

pengenalan antara 84,18% sampai 100%

untuk basisdata ORL, YALE, dan BERN.

Page 22: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

156 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 147-156

DAFTAR PUSTAKA

[1] Belhumeur PN, Hespanha JP and

Kriegman DJ. Eigenfaces vs Fisherfaces

Recognition Using Class Specific Linear

Projection. IEEE Transactions on Pattern

Analysis and Machine Intelligence. 19:

711-720. 1997.

[2] Kong H, Wang L, Teoh EK, Wang JG,

and Venkateswarlu R. A framework of 2D

Fisher Discriminant Analysis: Application

to Face Recognition with Small Number

of Training Samples. IEEE Conf. CVPR.

2005.

[3] Quan XG, Lei Z and David Z. Face

Recognition Using FLDA With Single

Training Image Per Person. Applied

Mathematics and Computation. 205: 726-

734. 2008.

[4] Nugroho AS, Witarto BA dan Handoko D.

Support Vector Machine - Teori dan

Aplikasinya Dalam Bioinformatika.

Kuliah Umum Ilmu Komputer.com. 2003.

URL: http://www.ilmukomputer.com/

anto-SVM.pdf, diakses tanggal 16 Maret

2008.

[5] Burges JC. A Toturial on Support Vector

Machines for Pattern Recognition. Data

Mining and Knowledge Discovery. 2: 955-

974. 1998.

[6] Hsu CW and Lin CJ. A Comparison of

Methods for Multi-class Support Vector

Machines. IEEE Transactions on Neural

network. 13: 415-425. 2002.

[7] Yang J, Zhang D, Frangi AF, and Yang

JY. Two-dimensional PCA: A New

Approach to Appearance-based Face

Representation and Recognition. IEEE

Transactions on Pattern Analysis and

Machine Intelligence. 26: 131-137. 2004.

[8] Liang Z, Li Y, and Shi P. A Note on Two-

Dimensional Linear Discriminant

Analysis. Pattern Recogn. 29: 2122-2128.

2008.

Page 23: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Vol. 5, No. 3, Januari 2010 ISSN 0216 - 0544

157

ESTIMASI BENTUK STRUCTURING ELEMENT

BERDASAR REPRESENTASI OBYEK

*Sri Huning Anwariningsih, **Agus Zainal Arifin, ***Anny Yuniarti Program Magister Teknik Informatika, ITS

Jl. Raya ITS, Kampus ITS, Sukolilo, Surabaya, 60111

E-Mail: *[email protected], **[email protected], ***[email protected]

Abstrak

Pemrosesan citra secara morfologi dilakukan dengan cara menerapkan sebuah

structuring element (strel) terhadap sebuah citra dengan cara yang hampir sama

dengan konvolusi. Structuring element memegang peranan penting dalam pengolahan

citra dengan morfologi. Pemilihan bentuk dan ukuran structuring element sangat

berpengaruh terhadap hasil pengolahan citra. Sebuah structuring element yang sesuai

digunakan pada sebuah obyek, belum tentu sesuai digunakan pada obyek lain.

Umumnya pemilihan structuring element hanya didasarkan pada kemiripan bentuk

dengan obyek yang diteliti yang ditentukan secara manual. Pada penelitian ini

diusulkan suatu metode estimasi bentuk structuring element berdasar pada

representasi bentuk obyek yang diteliti. Representasi bentuk yang digunakan berbasis

shape matrix. Representasi obyek ini akan membantu menentukan bentuk structuring

element pada obyek yang diteliti karena bentuk structuring element yang digunakan

akan sesuai dengan representasi obyek yang diteliti. Untuk menguji kinerjanya,

bentuk structuring element yang didapatkan diujicobakan untuk deteksi tepi dengan

menggunakan operasi morfologi gradien. Hasil uji coba pada 30 sampel data citra

sintetis menunjukkan bahwa algoritma deteksi tepi menggunakan metode shape

descriptor berbasis shape matrix ini terbukti dapat diandalkan dengan akurasi rata-

rata sebesar 99,6 %.

Kata kunci: deteksi tepi, morfologi gradien, representasi bentuk, structuring element,

shape matrix.

Abstract

Basic concept of morphology is conducted by passing a structuring element (strel) to

an image. In morphology, structuring element plays an important role in image

processing. The selection the shape and size of structuring element can influence the

result of image processing. An appropriate structuring element which is used at an

object is not always appropriate to be used at other objects. Generally, the selection

of structuring element only relies on similarity with shape of observed object that is

determined manually. This paper proposes a method to estimate the shape of

structuring element based on the representation of observed object. Every

representation can describe the internal dan exsternal characteristic of object. So this

object representation will help to determine the shape of structuring element at

observed object because the shape of structuring element used is appropriate to the

representation of the obseved object. Therefore, to measure its performance, the

shape of structuring element can be tried out in detecting the side by using the

gradient morphology operation. Testing for this method uses 30 samples of synthetic

image shows that detection of algorithm using method of shape descriptor based on

shape matrix is reliable with the average accuration 99.6% .

Key words: edge detection, morphological gradient, structuring element, shape

matrix, shape representation.

Page 24: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

158 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 157-165

PENDAHULUAN

Operasi morfologi banyak digunakan dalam

pengolahan dan analisis citra, misalkan untuk

operasi perbaikan citra (image enhancement)

ekstrasi fitur, deteksi tepi, analisis bentuk, dan

beberapa implementasi operasi pengolahan

citra lain. Dalam operasi morfologi, pemilihan

structuring element (strel) sangat

mempengaruhi hasil pemrosesan citra.

Penggunaan dua buah structuring element yang

berbeda akan menghasilkan hasil yang berbeda

meski obyek/citra yang dianalisa adalah sama

[1].

Ada beberapa bentuk structuring element

yang biasa digunakan, yaitu rectangle, square,

disk, linear, dan diamond. Setiap bentuk

structuring element tersebut memiliki

kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Structuring element berbentuk rectangle dan

square dapat digunakan untuk mendeteksi tepi

bagian atas, bawah, pinggir kiri, dan kanan dari

sebuah obyek. Sedangkan structuring element

berbentuk disk dapat digunakan untuk

melakukan operasi dilasi/rotasi yang tidak

berhubungan dengan arah. Hal ini dikarenakan

structuring element berbentuk disk simetris

terhadap obyek aslinya. Structuring element

berbentuk line/linear hanya dapat mendeteksi

single border [2].

Bentuk structuring element yang sesuai

untuk satu obyek belum tentu sesuai untuk

obyek lain. Deteksi sel tumor gastric lebih

tepat menggunakan structuring element

berbentuk rectangle dibanding menggunakan

structuring element berbentuk diamond atau

linear [2]. Sedangkan deteksi adanya retakan

kecil (microcrack) pada batu dolomit lebih

cocok menggunakan structuring element

berbentuk linear karena microcrack pada batu

dolomit berbentuk garis-garis [3].

Belum ada pedoman baku dalam pemilihan

bentuk structuring element. Umumnya

pemilihan bentuk structuring element hanya

didasarkan pada kemiripan dengan bentuk

obyek yang diteliti [2]. Salah satu atribut yang

penting untuk mengenali sebuah obyek adalah

shape (bentuk) karena ia merupakan

representasi dari sebuah obyek [4]. Shape

adalah salah satu atribut yang penting untuk

mengenali sebuah obyek. Pemilihan bentuk

stucturing element lebih didasarkan pada

kemiripan dengan bentuk obyek. Oleh karena

itu bentuk obyek dapat digunakan sebagai

penentuan bentuk stucturing element.

Shape descriptor adalah teknik untuk

merepresentasikan bentuk obyek. Sebuah

representasi yang baik akan dapat

menggambarkan karakteristik intrinsik dari

sebuah shape secara eksplisit. Representasi

sebuah shape juga harus invarian terhadap

rotasi, scaling dan transformasi [4]. Salah satu

teknik shape descriptor adalah shape matrix.

Shape matrix menggunakan informasi global

dari sebuah shape, kemudian mengubahnya

menjadi sebuah matrik yang mendeskripsikan

sebuah shape. Beberapa penelitian

mengemukakan bahwa shape matrix dapat

menggambarkan bentuk obyek serta invarian

terhadap scaling, rotasi, dan translasi [5,6].

Representasi bentuk obyek ini dapat digunakan

untuk mendeteksi bentuk structuring element

yang mendekati bentuk obyek yang diteliti.

Oleh karena itu, penelitian ini mengusulkan

metode baru untuk estimasi bentuk structuring

element yang dapat digunakan mendeteksi

sebuah obyek. Estimasi ini dilakukan dengan

menganalisa representasi shape sebuah obyek.

Representasi shape yang digunakan pada

penelitian ini adalah berbasis shape matrix.

Shape matrix memiliki keunggulan yaitu telah

teruji invarian terhadap translasi, rotasi, dan

scaling [7]. Selain itu shape matrix dapat

merepresentasikan region yang memiliki hole.

Shape matrix memiliki karakteristik yang mirip

dengan karakteristik structuring element.

Dengan melakukan proses resizing terhadap

bentuk dari shape matrix diharapkan dapat

menentukan bentuk structuring element yang

mirip dengan obyek yang sedang diteliti.

MORFOLOGI

Matematika morfologi merepresentasikan citra

obyek dua dimensi sebagai suatu himpunan

matematika dalam ruang Euclidean E2, dimana

ia dapat berupa ruang kontinyu R2 atau ruang

diskrit Z2. Dahulu, sebuah citra dipandang

sebagai suatu fungsi intensitas terhadap posisi

(x,y), sedangkan dengan pendekatan morfologi,

suatu citra dipandang sebagai himpunan.

Sebuah obyek citra A dapat direpresentasikan

dalam bentuk himpunan dari posisi-posisi (x,y)

yang bernilai 1 atau 0, dimana nilai-nilai

Page 25: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Anwariningsih dkk, Estimasi Bentuk Structuring Element… 159

tersebut menunjukkan tingkat gray scale setiap

posisi. Nilai 1 untuk gray level warna putih dan

nilai 0 untuk gray level warna hitam.

Gambar 1. Contoh Structuring Element.

(a) Titik “O” adalah Titik Poros

dan (b) Representasi Biner Strel.

Gambar 2. Citra Hasil Deteksi Tepi

Menggunakan Morfologi Gradien.

Gambar 3. Taksonomi Representasi Shape

[6].

Prinsip dasar dari matematika morfologi

adalah penggunaan structuring element yaitu

bentuk dasar dari suatu obyek yang digunakan

untuk menganalisis struktur geometri dari

obyek lain yang lebih besar dan kompleks [8].

Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi

mengenai bentuk dari suatu citra dengan

mengatur bentuk dan ukuran suatu structuring

element.

Structuring Element

Structuring element dapat diibaratkan dengan

mask pada pemrosesan citra biasa (bukan

secara morfologi). Structuring element juga

memiliki titik poros (disebut juga titik origin/

titik asal/titik acuan). Gambar 1 menunjukkan

contoh structuring element dengan titik poros

di (0,0) yang ditunjukkan dengan huruf “O”.

Bentuk structuring element pada Gambar

1(a) dapat direpresentasikan dalam bentuk

matrik biner seperti pada Gambar 1(b), dimana

angka “1” dan angka “0” menunjukkan nilai

gray level.

Dalam morfologi, yang menjadi kunci

penting adalah pemilihan structuring element.

Structuring element memiliki dua komponen

penting yaitu bentuk dan ukuran, yang

mempengaruhi hasil pengujian. Pemilihan

bentuk structuring element juga mempengaruhi

citra hasil operasi morfologi.

Operasi-operasi Morfologi

Dalam morfologi ada beberapa operasi yang

dapat dilakukan, yaitu:

1. Translasi

Translasi artinya sebuah citra yang digeser

pada arah (x,y), dimana (x,y) adalah

koordinat matrik. Operasi translasi

dinyatakan sebagai Persamaan (1).

)(:)()( Aba,yx,ba,wA ∈+= (1)

2. Dilasi

Operasi dilasi dilakukan untuk

memperbesar ukuran segmen obyek dengan

menambah lapisan di sekeliling obyek.

Operasi ini menyebabkan citra hasil dilasi

cenderung menebal [9].

Dilasi A oleh B dinotasikan dengan

BA⊕ dan didefinisikan sebagai Persamaan

(2).

IBx

xABA∈

=⊕ (2)

(a) (b)

=

010

111

010

B

Page 26: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

160 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 157-165

3. Erosi

Operasi erosi adalah kebalikan dari operasi

dilasi. Pada operasi ini, ukuran obyek

diperkecil dengan mengikis sekeliling obyek

sehingga citra hasil cenderung diperkecil

menipis [9]. Erosi A oleh B dinotasikan

BAΘ didefinisikan sebagai Persamaan (3).

: ABwBA w ⊆=Θ (3)

IBb

bABA∈

=Θ (4)

4. Opening

Proses opening pada sebuah citra A oleh

strel B dinotasikan dengan BA o dan

didefinisikan sebagai proses erosi. Proses

ini dilanjutkan dengan proses dilasi dimana

kedua proses tersebut dilakukan secara

berulang untuk semua titik (x,y), seperti

yang ditunjukkan oleh Persamaan (5).

BBABAA opening ⊕Θ== )()( o (5)

Persamaan (5) dapat dituliskan ke dalam

bentuk Persamaan (6).

Uo ):( AxBxBBA ⊂++= (6)

Operasi opening digunakan untuk memutus

bagian-bagian dari obyek yang hanya

terhubung dengan satu atau dua buah titik

saja, dan menghilangkan obyek yang sangat

kecil. Operasi opening bersifat

memperhalus kenampakan citra,

menyambung fitur yang terputus (break

narrow joins), dan menghilangkan efek

pelebaran pada obyek (remove protrusions).

5. Closing

Operasi closing adalah kombinasi antara

operasi dilasi dan erosi yang dilakukan

secara berurutan. Citra asli didilasi terlebih

dahulu dan kemudian hasilnya dierosi.

Proses closing pada sebuah citra A oleh

strel B dinotasikan dengan BA • dan

didefinisikan sebagai Persamaan (7).

BBABA Θ⊕=• )( (7)

Beberapa kegunaan operasi closing

adalah menutup atau menghilangkan

lubang-lubang kecil yang ada dalam segmen

obyek; menggabungkan dua segmen obyek

yang saling berdekatan (menutup sela antara

dua obyek yang sangat berdekatan); dan

juga dilakukan dalam beberapa rangkaian

dilasi-erosi (misalnya tiga kali dilasi, lalu

tiga kali erosi) apabila ukuran lubang atau

jarak antar obyek cukup besar.

Operasi closing juga cenderung akan

memperhalus obyek pada citra, yaitu

dengan cara menyambung pecahan-pecahan

(fuses narrow breaks and thin gulf) dan

menghilangkan lubang-lubang kecil pada

obyek.

6. Morphological Gradient

Operasi dilasi dan erosi seringkali

dikombinasikan untuk memaksimalkan

operasi morfologi pada image processing.

Soille menyatakan bahwa terdapat tiga jenis

morphological gradient [10], yaitu:

a Basic morphological gradient dimana

dilated_image – eroded_image

b Internal gradient dimana original_image

– eroded_image

c External gradient dimana dilated_image

– original_image.

Dilated_image adalah citra hasil dilasi,

sedangkan eroded_image adalah citra hasil

erosi.

Persamaan untuk Morphological gradient

didefinisikan dalam Persamaan (8), Internal

gradient dalam Persamaan (9), dan External

gradient dalam Persamaan (10).

)()( BABAMG Θ−⊕= (8)

)( BAAIG Θ−= (9)

ABAEG −⊕= )( (10)

Internal gradient akan mempertajam

internal boundary dari obyek sehingga

obyek akan lebih terang dibandingkan

dengan backgroundnya. Sedangkan pada

eksternal gradient, boundary obyek akan

lebih gelap dibanding dengan background-

nya (Gambar 2). Pada citra biner, internal

gradient akan menjadi mask dari internal

boundary dari obyek [10].

Morfologi gradien dapat disebut citra

tepi, karena dengan mengurangkan operasi

hasil penebalan dan penipisan maka akan

diperoleh citra yang menonjolkan tepi

obyek, karena daerah non-tepi obyek sudah

hilang karena pengurangan tersebut.

REPRESENTASI OBYEK

Pengenalan bentuk menjadi faktor yang penting

dalam pengenalan suatu obyek.

Page 27: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Anwariningsih dkk, Estimasi Bentuk Structuring Element… 161

Gambar 4. Taksonomi Teknik Representasi Shape Menggunakan Region-Based [6].

Gambar 5. (a) Contoh Shape dan (b) Shape Matrix [7].

Gambar 6. (a) Contoh Shape dengan Hole, (b) Shape Matrix [5].

Gambar 7. Rancangan Sistem untuk Pengujian Estimasi Bentuk Structuring Element Berbasis

Shape Matrix.

A

mulai Menentukan Citra Uji dan

citra ground truth

Menetukan shape

matrix dari citra uji

Melakukan operasi morfologi

gradient untuk deteksi tepi

Menghitung Kinerja Algoritma selesai

Page 28: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

162 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 157-165

Bentuk 1 Bentuk 2 Bentuk 3 Bentuk 4 Bentuk 5

entuk 6 Bentuk 7 Bentuk 8 Bentuk 9 Bentuk 10

Bintang Kotak Flag Bunga Kotaktumpul

Layang Lingkaran 1 Lingkaran 2 Oval Persegi

PMI Segienam Segitiga 1 Segitiga 2 Kepala

Trapesium Trapesium 2 Tanjakan Segilima Daun

Gambar 8. Citra Uji (Berupa Citra Buatan) dengan Ukuran 140 x 140 piksel.

Representasi Shape

Sebuah representasi yang baik akan dapat

menggambarkan karakteristik intrinsik dari

sebuah shape secara eksplisit. Sebuah

representasi shape yang bagus harus dapat

menggambarkan sebuah obyek secara akurat

sehingga akan memudahkan menemukan

bentuk asli sebuah obyek setelah obyek

tersebut telah di-rekonstruksi. Pada dasarnya

bentuk sebuah obyek dapat direpresentasikan

dalam bentuk karakteristik internal dan

eksternal.

Pendekatan shape secara struktural

merupakan salah cara representasi shape yang

umum digunakan pada metode representasi

shape pada morfologi [5,11]. Shape

didefinisikan sebagai sekumpulan titik yang

saling terhubung [6]. Jadi sebuah obyek

dikatakan mempunyai bentuk jika semua titik

pada obyek tersebut terhubung.

Secara taksonomi, ada beberapa teknik

dalam representasi shape yaitu dalam bentuk

contours, region, dan transforms. Contour-

based sama dengan boundary-based yaitu

merepresentasikan shape berdasar boundary-

nya. Region-based berdasar area dari suatu

obyek, sedangkan teknik transform

merepresentasikan shape dalam bentuk

koefisien transform. Teknik ini biasanya

menggunakan transformasi fourier maupun

wavelet (Gambar 3). Teknik region-based

dibagi menjadi beberapa metode (Gambar 4).

Page 29: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Anwariningsih dkk, Estimasi Bentuk Structuring Element… 163

Tabel 1. Nilai Akurasi Deteksi Tepi.

Nama Obyek Akurasi (%) No Ukuran

140 x 140 SM Square Diamond Disk

1 Bentuk 1 99,99 99,99 98,33 98,33

2 Bentuk 2 97,98 97,97 98,00 98,00

3 Bentuk 3 98,28 98,28 98,20 98,20

4 Bentuk 4 99,61 99,61 98,51 98,51

5 Bentuk 5 99,97 99,98 99,31 99,31

6 Bentuk 6 99,76 99,76 99,34 99,34

7 Bentuk 7 99,98 99,98 99,15 99,15

8 Bentuk 8 99,97 99,97 98,88 98,88

9 Bentuk 9 99,97 99,97 98,57 98,57

10 Bentuk 10 99,99 99,99 99,41 99,41

11 Bintang 99,99 99,98 98,51 98,51

12 Kotak 100,00 100,00 99,98 99,98

13 Flag 99,92 99,92 99,62 99,62

14 Bunga 98,29 98,26 98,28 98,28

15 Kotak

tumpul

100,00 100,00 99,82 99,82

16 Layang 99,27 99,27 97,76 97,76

17 Lingkaran 1 99,99 99,99 99,00 99,00

18 Lingkaran 2 99,97 99,97 98,83 98,83

19 Oval 99,99 99,99 99,37 99,37

20 Persegi 100,00 100,00 99,98 99,98

21 PMI 100,00 100,00 99,94 99,94

22 Segienam 99,99 99,99 99,28 99,28

23 Segitiga 1 100,00 100,00 99,05 99,05

24 Segitiga 2 99,91 99,91 98,73 98,73

25 Kepala 95,40 95,39 95,40 95,40

26 Trapesium 100,00 100,00 99,42 99,42

27 Tanjakan 99,69 99,69 99,39 99,39

28 Segilima 100,00 100,00 99,22 99,22

29 Trapesium 2 100,00 100,00 99,30 99,30

30 Daun 99,99 99,99 99,27 99,27

Representasi Shape Matrix

Shape Matrix dapat digunakan untuk

merepresentasikan sebuah shape. Shape matrix

adalah kuantisasi polar dari sebuah bentuk

(Gambar 5a) yang dianalogikan sama dengan

sistem koordinat. Titik tengah koordinat (0,0)

merupakan titik tengah dari shape obyek dan

sumbu axis x merupakan sumbu yang ditarik

dari titik tengah menuju titik terjauh dari

shape. Jika shape diubah ke dalam bentuk

koordinat polar (r, θ) maka shape tidak akan

dipengaruhi oleh posisi dan sudut rotasinya [7].

Shape matrix juga tidak dipengaruhi oleh skala

dari shape obyek tersebut. Shape matrix

invariant terhadap translasi, rotasi, dan scaling

dari shape tersebut [7].

Pada konsep shape matrix, sebuah shape

akan diubah menjadi bentuk matrik dengan

melakukan kuantisasi polar pada shape tersebut

(Gambar 5b). Asumsikan titik O adalah titik

tengah dari shape dan garis OA dengan panjang

L adalah radius terjauh shape dihitung dari titik

tengah O. Untuk mendapatkan shape matrix

m x n, garis OA dibagi menjadi )1( −n bagian

dengan jarak yang sama. Kemudian dibuat

lingkaran dengan titik pusat O dengan nilai

radius lingkaran masing-masing adalah

)1/()1(...,),1/(2),1/( −−−− nLnnLnL . Maka

akan didapatkan titik potong antara masing-

masing lingkaran dengan garis OA pada

121 ,...,, −niii . Misalkan didapatkan titik

potong (1), (2), (3), dan (4), maka dari setiap

titik potong tersebut, dengan arah berlawanan

jarum jam setiap lingkaran, dibagi menjadi

m busur yang sama dengan sudut

md /360=θ derajat.

Untuk menentukan nilai-nilai elemen pada

shape matrix dijelaskan pada algoritma berikut:

1. Bentuk sebuah matrik M berukuran nxm .

2. For i = 0 to (n – 1)

For j = 0 to (m – 1)

If titik dengan koordinat polar

( ))/360(),1/( mjniL − berada di

dalam shape, then 1:),( =jiM

otherwise 0:),( =jiM

Selain memuat informasi tentang region,

shape matrix juga memuat informasi tentang

boundary sehingga shape matrix juga dapat

merepresentasikan sebuah region obyek yang

memiliki hole (Gambar 6).

Pada shape matrix, sebuah obyek akan

direpresentasikan dalam sebuah bentuk matrik

ukuran m x n. Karakteristik shape matrix mirip

dengan karakteristik structuring element.

Keduanya sama berbentuk matrik m x n dengan

nilai elemen “1” atau “0”, dimana nilai-nilai

tersebut menunjukkan posisi piksel dalam

sebuah obyek. Bentuk shape matrix akan

berubah-ubah menyesuaikan bentuk obyek

yang diteliti. Hal ini menunjukkan bahwa ada

kemiripan antara representasi obyek dengan

Page 30: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

164 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 157-165

obyek yang diteliti. Fakta ini sesuai dengan

alasan pemilihan bentuk structuring element.

Pemilihan bentuk structuring element berdasar

kemiripan dengan obyek yang diteliti.

Representasi obyek berbasis shape matrix

dengan berbagai keunggulannya dapat

digunakan untuk menentukan bentuk

structuring element.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rancangan pengujian secara umum untuk

estimasi bentuk structuring element berbasis

shape matrix dari penelitian dapat dilihat pada

Gambar 7. Langkah-langkah yang dilakukan

adalah:

1. Menentukan citra uji dan citra ground truth.

2. Menentukan shape matrix dari citra uji dan

melakukan proses resizing pada shape

matrix untuk dapat menentukan bentuk

structuring element.

3. Melakukan operasi morfologi gradien pada

citra uji dengan structuring element hasil

langkah (2).

4. Menghitung akurasi citra hasil operasi

morfologi gradien berbasis shape matrix

dengan citra ground.

Gambar 9. Citra Hasil Deteksi Tepi, (a) Ground

Truth, (b) Shape Matrix.

Tabel 2. Perbandingan Rata-rata Akurasi Uji

Coba Normal.

No Structuring Element Rata-rata Akurasi (%)

1 shape matrix 99,6

2 square 99,5

3 diamond 98,9

4 disk 98,9

Pada penelitian ini digunakan 30 citra uji

sebagai bahan uji coba. Citra uji ini berupa

citra buatan (sintetis). Ukuran citra uji normal

adalah 140 x 140 piksel. Tipe citra adalah citra

hitam putih (citra BW), dengan warna putih

menunjukkan obyek dan warna hitam

menunjukkan warna latar belakang. Gambar 8

menunjukkan semua citra uji yang digunakan.

Citra uji normal dibuat menggunakan

aplikasi Paint. Citra uji terdiri dari berbagai

bentuk baik bentuk yang beraturan maupun

bentuk yang tidak beraturan. Hal ini bertujuan

untuk menguji apakah bentuk structuring

element yang diusulkan dalam penelitian ini

dapat digunakan untuk mendeteksi tepi

sembarang bentuk bangun.

Uji coba pada penentuan bentuk structuring

element berbasis algoritma shape matrix yang

dikembangkan pada penelitian ini dilakukan

pada semua kelompok sampel data citra uji.

Pada masing-masing citra uji, secara garis

besar akan dilakukan tiga tahap pengujian.

Langkah pertama adalah mencari ukuran shape

matrix dari obyek pada citra uji. Penentuan

ukuran shape matrix yang digunakan dalam

pengujan berdasarkan ukuran minimal shape

matrix yang sudah mampu mendeteksi obyek.

Langkah kedua adalah melakukan pengujian

proses deteksi tepi untuk mencari boundary

dari obyek citra asli. Langkah terakhir adalah

melakukan evaluasi tingkat keberhasilan

algoritma dengan menghitung akurasi sistem

dalam melakukan deteksi tepi. Akurasi ini akan

dibandingkan dengan algoritma yang

menggunakan structuring element yang

berbentuk disk, diamond, dan square.

Setelah dilakukan pengujian terhadap 30

citra uji dengan ukuran structuring element

3x3, didapatkan hasil perbandingan tingkat

akurasi deteksi tepi menggunakan bentuk

structuring element berbasis shape matrix

dengan structuring element berbentuk square,

diamond, dan disk (Tabel 1).

Secara keseluruhan nilai akurasi rata-rata

menggunakan structuring element berbasis

shape matrix ukuran 3x3 adalah 99,6%, square

99,5%, sedangkan diamond dan disk memiliki

akurasi yang sama yaitu sebesar 98,9%.

Selanjutnya, nilai akurasi yang memiliki rata-

rata tertinggi dibanding dengan structuring

element pembanding (Tabel 2).

(a) (b)

Page 31: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Anwariningsih dkk, Estimasi Bentuk Structuring Element… 165

Secara visual, citra hasil deteksi tepi

menggunakan bentuk structuring element

berbasis representasi obyek juga berhasil

mendeteksi tepi obyek pada citra uji (Gambar

9). Pada penelitian ini, salah satu faktor yang

mempengaruhi akurasi hasil adalah bentuk dari

obyek dan citra ground truth. Dari penelitian

didapatkan fakta bahwa metode shape

descriptor berbasis shape matrix dapat

diandalkan untuk estimasi bentuk structuring

element. Kelebihan dari metode ini adalah

bentuk structuring element menyesuaikan

dengan obyek yang diteliti, sehingga bentuk

structuring element yang didapatkan benar-

benar merupakan representasi bentuk obyek

yang diteliti. Akan tetapi pemilihan ukuran

shape matrix m x n sangat mempengaruhi hasil

representasi bentuk obyek. Oleh karena itu

diperlukan penelitian lebih lanjut untuk

membahas tentang metode pemilihan ukuran

shape matrix yang tepat.

SIMPULAN

Beberapa simpulan yang dapat diambil

berdasarkan uji coba yang telah dilakukan:

1. Representasi obyek berbasis shape matrix

dengan berbagai keunggulannya dapat

digunakan untuk menentukan bentuk

structuring element.

2. Uji coba yang dilakukan pada 30 citra uji

untuk mendeteksi tepi menggunakan

structuring element berbasis shape matrix,

menghasilkan akurasi rata-rata sebesar

99,6%. Hal ini menunjukkan bahwa metode

ini dapat diandalkan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Cun Jin X, Fen Zhen S, and Jun-qi Z. An

Adaptive Algorithm to Define Optimal

Size of Structuring Element. Journal of

Image and Graphics. 11: 317-324. 2006.

[2] Gang Li T, Su-pin Wang and NanZhao.

Gray-scale Edge Detection for Gastric

Tumor Pathologic Cell Images by

Morphological Analysis. Biology and

Medicine Journal. 39: 947-952. 2009.

[3] Obara B. Identification of Transcrystalline

Microcracks Observed in Microscope

Images of a Dolomite Structure using

Image Analysis Methods Based on Linear

Structuring Element Processing. Journal

Computers & Geosciences. 33: 151-158.

2007.

[4] Loncaric S. A Survey of Shape Analysis

Techniques, Thesis PhD. Zagreb:

University of Zagreb. 1999.

[5] Goshtasby A. Description and

Discrimination of Planar Shapes Using

Shape Matrices. IEEE Transaction On

Pattern Analysis and Machine

Intelligence. 7: 738-743. 1985.

[6] Costa LF dan Cesar RM Jr. Shape

Representation and Analysis: Theory and

Practice, 2nd Edition. London: CRC

Press. 2009.

[7] Goshtasby A. Intersience 2-D and 2-D

and 3-D Image Registration for Medical,

Remote Sensing, and Industrial

Applications. New York: John Wiley &

Sons, Inc. 2005.

[8] Serra J. Image Analysis and Mathematical

Morphology. London: Academic Press,

Inc. 1982.

[9] Murni A. Pengolahan Citra Digital.

Diktat kuliah. Jakarta: Universitas

Indonesia. 2004.

[10] Soille P. Morphological Image Analysis:

Principles and Applications. Berlin,

Heidelberg: Springer Verlag. 1999.

[11] Haralick RM, Sternberg SR, dan Zhuang

X. Image Analysis Using Mathematical

Morphology. IEEE Transactions on

PAMI. 9: 532-550. 1987.

Page 32: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Vol. 5, No. 3, Januari 2010 ISSN 0216 - 0544

166

OPTIMASI METODE DISCRIMINATIVELY

REGULARIZED LEAST SQUARE CLASSIFICATION

DENGAN ALGORITMA GENETIKA

*Ariadi Retno Tri Hayati Ririd, **Agus Zainal Arifin, ***Anny Yuniarti

*Program Studi Manajemen Informatika, Gedung AH, Politeknik Negeri Malang

Jl. Soekarno Hatta No.9 Malang 65141 **&***Program Pasca Sarjana Jurusan Teknik Informatika, ITS

Jl. Raya ITS, Kampus ITS, Sukolilo, Surabaya, 60111

E-Mail: *[email protected], **[email protected], ***[email protected]

Abstrak

Metode regularisasi dianalisa untuk mengklasifikasi data sehingga diperoleh hasil

pengklasifikasian yang lebih tepat dalam pengenalan pola. Metode Discriminatively

Regularized Least Square Classification (DRLSC) digunakan sebagai metode

pengklasifikasian data berdasarkan informasi diskriminatif dengan menerapkan

penghitungan matrik Laplacian. Kelemahan DRLSC adalah hasil dari

pengklasifikasian data dipengaruhi oleh jumlah tetangga terdekat dari setiap data (K)

dan parameter regularisasi(η). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jumlah

tetangga terdekat dan parameter regularisasi secara otomatis dengan meminimalkan

fitness berdasarkan kesalahan pembelajaran untuk menghasilkan bobot dengan

kualitas yang baik. Penentuan nilai dilakukan dengan menggunakan Algoritma

Genetika (GA) sebagai metode optimasi. GA menggunakan probabilitas crossover

100% dan mutasi gaussian dengan probabilitas 20%. Seleksi dalam operasi crossover,

dilakukan berdasarkan urutan data yang memiliki nilai fitness terbaik hingga nilai

fitness terburuk. Metode GA yang diterapkan untuk mengoptimalkan metode DRLSC

menghasilkan nilai fitness yang lebih baik jika dibandingkan dengan metode DRLSC

tanpa optimasi, dengan perbedaan nilai fitness antara 1.0796e-004 hingga 0,0048.

Kata Kunci: Algoritma Genetika, Discriminatively Regularized Least Square

Classification, Pengenalan Pola.

Abstract

Regularization method has been applied in pattern recognition which aims at

producing of classification data in order to obtain a more accurate classification. The

classification of data based on the information discriminating based on Laplacian

matrix method has been applied with Discriminatively Regularized Least Squares

Classification (DRLSC). The weakness of DRLSC is that the result of data

classification is strongly influenced by the amount of the nearest neighbors on each

data and regularization parameter. The purpose of this study is to determine the

number of the nearest neighbors and the regularization parameters automatically by

minimizing the fitness based on the learning error to produce good quality.

Optimization method used in this study is the learning method of Genetic Algorithm

(GA). GA uses crossover probability 100% and random gaussian mutation with a

probability 20%. The selection in the crossover operation is based on sequence of the

data from best to worst fitness value. GA method which is applied to optimize DRLSC

method produces better fitness value if it is compared with DRLSC method without

optimization. The difference fitness value is between 1.0796e-004 and 0.004.

Key words: Genetic Algorithm, Discriminatively Regularized Least Squares

Classification, Pattern Recognition.

Page 33: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Ririd dkk, Optimasi Metode Discriminatively… 167

PENDAHULUAN

Metode regularisasi pada pengenalan pola telah

mengalami perkembangan misalkan untuk

pengklasifikasian dan pengelompokan data

(clustering). Tujuan dari pengklasifikasian data

adalah kemampuan komputer dalam mengenali

pola secara otomatis untuk menghasilkan data-

data berdasarkan kategori yang berbeda [1].

Pada beberapa metode regularisasi seperti

metode Support Vector Machine (SVM),

Regularization Network (RN), Least Square

Support Vector Machine (LS SVM),

Generalized Radial Basis Function (GRBF)

dan Manifold Regularization (MR), belum

mengklasifikasikan data berdasarkan informasi

diskriminatif. Selain itu, metode-metode

tersebut membutuhkan lebih dari satu

parameter regularisasi. Pada pengklasifikasian,

informasi diskriminatif bertujuan untuk

memaksimalkan jarak data-data yang berbeda

kelasnya agar menghasilkan pengklasifikasian

yang lebih akurat [2].

Metode Discriminatively Regularized Least

Square Classification (DRLSC) menggunakan

dua grafik berdasarkan konsep keterhubungan

data-data pada kelas yang sama (intraclass)

dan keterhubungan data-data pada kelas yang

berbeda (interclass) yang bertujuan untuk lebih

memaksimalkan pengklasifikasian data

berdasarkan informasi diskriminatif.

Sedangkan pada metode SVM,

pengklasifikasian data yang terbagi pada

banyak kelas (multiclass) dilakukan dengan

beberapa kali pengklasifikasian data

berdasarkan dua kelas (binaryclass). Kelebihan

dari metode DRLSC selain berdasarkan

informasi diskriminatif adalah dapat

mengklasifikasikan data secara multiclass

dengan serangkaian persamaan linear.

Multiclass tidak perlu diklasifikasikan ke

dalam bentuk beberapa binaryclass dengan

menggunakan metode Least Square [2].

Metode DRLSC membutuhkan satu parameter

regularisasi untuk mengklasifikasikan data,

sedangkan pada metode sebelumnya, yaitu MR

membutuhkan dua parameter regularisasi.

Kelemahan dari metode DRLSC adalah

pada hasil pengklasifikasiannya sangat

dipengaruhi oleh jumlah tetangga terdekat

setiap data sebanyak K dan parameter

regularisasi. Berdasarkan hal ini maka perlu

adanya optimasi pada penentuan jumlah

tetangga terdekat pada setiap data (K) dan

parameter regularisasi ( η ). Penelitian ini

mengoptimasikan parameter K dan η dengan

Algoritma Genetika yang bertujuan untuk

mendapatkan nilai dari kedua parameter ini

secara otomatis dengan meminimumkan fitness

pembelajaran.

DISCRIMINATIVE REGULARIZED

LEAST SQUARE CLASSIFICATION

(DRLSC)

Penelitian ini dalam pengklasifikasiannya

menggunakan metode Discriminative

Regularization Least Square Classification

(DRLSC) yang dibangun berdasarkan graph

dan operasi matrik. Konsep graph pada metode

DRLSC diterapkan ketika membangun matrik

adjacency dan matrik Laplacian sedangkan

konsep penghitungan matrik diterapkan sebagai

dasar dalam penghitungan Least Square.

Konsep dasar pembangunan graph (G)

dengan menggunakan metode K Nearest

Neighbor digunakan untuk menentukan

hubungan antara data. Pada setiap data ix ,

maka dicari K data yang memiliki jarak yang

terdekat kemudian dibangun edge yang

menghubungkan data ix dengan K data. K data

yang terdekat disimpan pada variabel

ne(i)= k

i

1

i x,...,x . Pada DRLSC dibangun dua

graph berdasarkan intraclass (Gw) dan

interclass (Gb).

Sebelum membangun graph maka perlu

dibagi data ne menjadi dua subset, yaitu seperti

yang ditunjukkan dalam Persamaan (1) dan (2).

new (i) =j

ix | jika j

ix dan ix

masuk pada kelas yang sama, 1≤j≤K (1)

neb (i) =j

ix | jika j

ix dan ix

masuk pada kelas yang berbeda, 1≤j≤K (2)

Pembangunan graph Gw dan Gb berdasarkan

matrik adjacency dengan keanggotaan dari new

dan neb. Setelah pembangunan matrik Gw dan

Gb, maka dilanjutkan dengan pembangunan

matrik Laplacian. Matrik Laplacian dibangun

sebagaimana Persamaan (3) dan (4).

www GDL −= (3)

Page 34: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

168 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 166-174

bbb GDL −=, (4)

dimana wD adalah matrik diagonal dengan

elemen diagonalnya merupakan jumlah seluruh

j elemen dari wG . Sedangkan bD merupakan

matrik diagonal dimana elemen diagonalnya

merupakan jumlah seluruh j elemen dari bG .

Pada pengklasifikasian binary class dimana

parameter γ∈RN, dapat dirumuskan

sebagaimana Persamaan (5).

N

T

N

N Iη

1

1

0

γb

=

y

0 (5)

Dimana b adalah variabel bias, iγ merupakan

variabel perkalian Langrange (Langrange

multiplier), dan ηS didapatkan dari

Persamaan (6).

( )[ ] T

bw XLLXS ηηη −−= 1 (6)

Dimana

( ) [ ] [ ] NxN

N

T

N

T

Ni

T

jij RIxSx ∈===Ω +,,...,,1,...,11, 1, γγγηη , I

merupakan matrik identitas dan X adalah

kumpulan dari data-data x. Jika data

diproyeksikan berdasarkan kernel, maka perlu

pembangunan matrik kernel dengan cara data

diproyeksikan ke dalam fungsi kernel

kemudian dilanjutkan dengan penyelesaian

persamaan linier [2]. Kernel yang digunakan

adalah kernel gaussian [2]. Persamaan (7)

adalah persamaan untuk kernel gaussian

[3][4][5].

.2σ

exp2

2

−−

ji

ji

xx=)x,K(x (7)

Penghitungan bobot (w) berdasarkan

Persamaan (8).

i

N

i

i xSw

+

=∑=

1

)( ηγ (8)

Untuk pengklasifikasian multiclass, maka

pada label kelas dibangun secara vektor dengan

tujuan dapat mengatasi permasalahan

multiclass. Jika data ix termasuk pada kelas k

maka target kelas adalah Yi=[0,...,1,...,0]T ∈ Rc,

dimana kelas ke-k bernilai 1 dan yang lain

bernilai 0. Penghitungan actual output pada

multiclass dapat dilakukan dengan

menggunakan Persamaan (9).

bxwxf T +=)( (9)

Dimana w∈Rnxc, b∈Rc

Persamaan multiclass didefinisikan dalam

Persamaan (10).

[ ] [ ]YI

b N

N

T

N

N

01

1

0=

η

γ (10)

Dimana

[ ] [ ] [ ]N

T

cN yyY ,...,,0,...,00,,..., 11 === γγγ ,

parameter yang lain termasuk ηΩ memiliki

penyelesaian yang sama dengan penyelesaian

pada binary class.

Algoritma Genetika (GA)

Algoritma Genetika memiliki konsep natural

selection untuk permasalahan search dan

optimasi. Dalam hal ini mencari data dengan

nilai terbaik dari suatu kumpulan data.

Ruangan dari semua kumpulan nilai ini

dinamakan search space. Setiap point pada

search space mampu memberikan suatu solusi.

Dengan demikian setiap point pada search

space dapat diberikan nilai fitness tergantung

dari definisi permasalahan. GA berusaha

mencari satu point terbaik dari search space.

Permasalahan dalam hal ini adalah local

minima dan nilai awal dari pencarian data.

Penggunaan random pada GA merupakan

hal yang sangat penting, karena pada proses

seleksi dan pada reproduksi membutuhkan

random. Setiap iterasi pada pembelajaran

dengan metode GA akan selalu menyimpan

populasi yang memiliki informasi yang terbaik.

Kelebihan dari algoritma ini adalah tidak

adanya pembatasan dalam menentukan

permasalahan pada setiap gennya. Dengan

kelebihan ini, maka GA mampu menyelesaikan

semua permasalahan. Kelemahan GA adalah

pada search space. Ia dapat mengalami

kegagalan jika search space tidak tepat atau

tidak adanya point solusi yang tepat pada

search space. Maka perlu adanya batasan pada

search space yaitu batas atas dan batas bawah

pada setiap gen.

GA tidak hanya menggunakan proses mutasi

tetapi juga recombination atau dikenal dengan

istilah crossover. Tujuan dari crossover adalah

reproduksi dua kromosom untuk menghasilkan

kromosom baru dengan karakteristik dari kedua

parent. Pada ilmu biologi, metode

recombination yang umum dengan crossover

Page 35: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Ririd dkk, Optimasi Metode Discriminatively… 169

adalah dengan menentukan satu titik potong

pada setiap kromosom dan dilanjutkan dengan

menggabungkan pada setiap setengah

kromosom. Hasil dari crossover adalah

mendapatkan individu baru yang dihasilkan

dari kedua parent yaitu bapak dan ibu.

Pembentukan individu baru ini sangat penting,

karena kedua individu baru akan memiliki

karakteristik dari kedua parent. Jika kedua

parent memiliki karakteristik yang baik maka

diharapkan individu baru yang terbentuk juga

memiliki karakteristik yang baik. Pada GA,

parent adalah data-data yang dibelajarkan yang

telah terpilih melalui proses seleksi.

Metode mutasi pada GA merupakan cara

lain untuk mendapatkan perubahan dalam

individu baru dalam hal perubahan gen.

Kegunaan dari mutasi adalah membantu

mempercepat proses pencarian nilai optimal.

Selain itu, mutasi bertujuan untuk menghindari

terjadinya local minima [6]. Jika crossover

bertujuan untuk mendapatkan kemungkinan

individu yang baru dengan nilai fitness yang

lebih baik, maka mutasi meningkatkan wilayah

search point setelah individu baru terbentuk

[6]. GA berusaha menangani permasalahan

dengan menganalisa setiap solusi pada masing-

masing populasi. Langkah pertama adalah

dengan melakukan kode pada setiap kromosom

sesuai dengan permasalahan yang akan

diselesaikan. Berikutnya adalah persiapan

pembelajaran dengan operator GA. Operator

reproduksi pada GA dilakukan dengan mutasi

dan crossover.

Seleksi berdasarkan fitness digunakan untuk

mengetahui kualitas dari data yang terseleksi.

Semakin besar nilai fitness maka semakin baik

kualitas data. Namun dalam permasalahan

minimum cost, konsep tersebut dibalik menjadi

bahwa semakin kecil nilai fitness maka kualitas

data semakin baik. Berikut adalah penjelasan

dari proses-proses yang merupakan

pembelajaran GA pada setiap iterasinya (lihat

Gambar 1):

1. Dilakukan random sebesar n populasi yang

merupakan n kromosom.

2. Mengevaluasi fitness dari setiap kromosom.

3. Membangun populasi baru hingga dicapai

nilai optimal dengan perulangan

sebagaimana berikut:

a. Selection: memilih dua parent

kromosom berdasarkan fitness. Semakin

bagus nilai fitness, maka kemungkinan

untuk dipilih semakin besar.

b. Crossover: crossover kedua parent

untuk mendapatkan generasi baru.

c. Mutation: dengan adanya mutation

probability, setiap locus dilakukan

mutasi.

d. Accepting: populasi lama diganti dengan

populasi baru.

e. Replace: populasi baru digunakan untuk

pembelajaran iterasi berikutnya.

f. Test: jika telah memenuhi hasil yang

diinginkan proses berhenti, jika tidak

maka lakukan Loop.

g. Loop: kembali ke langkah dua untuk

mengevaluasi fitness.

Crossover adalah proses penggabungan genetik

dari kedua parent untuk mendapatkan satu atau

lebih anak yang merupakan generasi baru.

Sedangkan mutasi adalah perubahan genetik

dari individu dengan cara beberapa genetik

awal dari individu mengalami perubahan

secara random.

Berdasarkan analisa proses dari GA, maka

dapat disimpulkan beberapa hal yang penting

dalam pembelajaran GA, yaitu:

1. Permasalahan yang akan diselesaikan.

2. Penghitungan fitness.

3. Variasi dari variabel dan parameter pada

kromosom.

4. Hasil akhir dan cara untuk pemberhentian

pembelajaran (pemberhentian iterasi).

Penghitungan fitness adalah cara

pembelajaran GA mendapatkan solusi untuk

mendapatkan data yang menghasilkan suatu

nilai yang mendekati optimal. Penentuan nilai

fitness berdasarkan permasalahan yang akan

dipecahkan. Penentuan nilai fitness memiliki

tujuan untuk mengoptimasi parameter

pembelajaran sebagaimana pada Gambar 1.

Dalam penelitian ini, analisa fitness

berdasarkan Mean Square Error digunakan

dalam menganalisa optimasi kualitas bobot dan

real code diterapkan dalam proses

pembelajaran. Kelebihan dari real code [7]

adalah:

1. Meningkatkan tingkat efisiensi dengan tidak

perlu adanya proses pengubahan dari nilai

binary ke nilai real ataupun sebaliknya. 2. Meningkatkan presisi nilai.

Page 36: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

170 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 166-174

Gambar 1. Flowchart Pembelajaran GA.

Gambar 2. Konsep Optimasi Metode DRLSC

dengan GA.

PERANCANGAN SISTEM

Rancangan sistem pengklasifikasian data

dengan metode DRLSC, penentuan jumlah K

tetangga terdekat pada metode KNN, dan

penentuan nilai regularization parameter

secara otomatis ditunjukkan dalam Gambar 2.

Garis titik-titik pada Gambar 2. merupakan

proses GA untuk mengoptimasi DRLSC. Data

yang dimasukkan adalah data-data yang akan

dianalisa, yaitu berupa dataset IRIS, WINE dan

LENSA. Sebelum data dibelajarkan perlu

adanya proses normalisasi data sebagaimana

Persamaan (11).

(j) feature nilai minimum - (j) feature nilai maximumx

(f) feature nilai minimumij

x

ij = (11)

Normalisasi data dilakukan dengan cara

setiap fitur dikurangi nilai minimum pada fitur

tersebut kemudian dibagi dengan nilai

maksimum fitur dan dikurangi dengan nilai

minimum fitur. Tujuan dari proses normalisasi

data adalah menghindari nilai yang terlalu

besar antara data pembelajaran dan data uji

coba.

Inisialisasi Parameter

Langkah awal untuk memperoleh nilai

parameter K dan parameter regularization yang

optimum adalah dengan inisialisasi. Inisialisasi

pada penelitian ini dilakukan secara random

sebagaimana pada GA. Inisialisasi awal adalah

sebesar N data untuk parameter K dan

regularization parameter. Pada penelitian ini

jumlah masukan data sebesar 20 data. Setiap

data terdiri dua bagian, berupa parameter yang

akan dioptimasi, yaitu nilai K dan Ita (η).

Langkah inisialisasi data adalah sebagai

berikut:

1. Random 20 data dengan perintah berikut: Populasi = rand(20,2)

Maka akan dihasilkan 20 data dimana setiap

data memiliki dua parameter yang akan

dioptimasi dengan rancangan kromosom/

partikel sebagaimana Tabel 1. 2. Pengubahan menjadi nilai sebenarnya pada

20 data berdasarkan batas atas dan batas

bawah sebagaimana perintah berikut:

X(:,1)=round(Batas Bawah + (Batas

Atas-Batas Bawah)*Populasi(:,1));

X(:,2)=Batas Bawah + (Batas Atas-

Batas Bawah)*Populasi(:,2);

Page 37: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Ririd dkk, Optimasi Metode Discriminatively… 171

Pengertian dari X(:,1) adalah variabel yang

menyimpan hasil dari pemetaan nilai

random populasi pada kolom pertama

terhadap Batas Atas dan Batas Bawah yang

sesuai dengan parameter X(:,1). Nilai X(:,1)

adalah data-data yang memiliki nilai K.

Pengertian dari X(:,2) adalah variabel yang

menyimpan hasil pemetaan pada parameter

kedua. Nilai X(:,2) adalah parameter Ita

yang memiliki batasan lebih kecil atau sama

dengan 1 (Tabel 2).

Pengklasifikasian DRLSC dilakukan setelah

penentuan inisialisasi ke-20 parameter.

Mendapatkan Fitness Hasil Pembelajaran

DRLSC

Hasil pembelajaran DRLSC adalah penentuan

data-data pembelajaran yang terkelompokkan

pada kelas ke-i, dimana i=1 hingga C yang

merupakan jumlah kelas dengan menerapkan

Persamaan (1) hingga (10). Nilai actual output

yang merupakan nilai keluaran sebenarnya

digunakan sebagai dasar menghitung error

minimum dengan cara mencari selisih target

kelas dikurangkan dengan nilai actual output

pada seluruh data kelas. Fitness yang

digunakan adalah Mean Square Error (MSE).

Berdasarkan nilai MSE, akan didapatkan nilai

parameter K dan Ita yang paling tepat dengan

memperkecil error untuk mendapatkan kualitas

bobot. Hasil dari pembelajaran DRLSC adalah

mendapatkan fitness berdasarkan actual output,

dengan persamaan fitness sebagaimana

Persamaan (12).

∑ − 2f(x))(yN

1=Error(MSE)MeanSquare (12)

Optimasi Metode DRLSC dengan GA

Operator GA berperan penting dalam

mendapatkan optimasi kromosom. Penelitian

ini menggunakan crossover dan mutasi sebagai

operator GA. Persamaan crossover M data

didefinisikan dalam Persamaan (13).

,)1(*

1,......,2,1)1(*

1

'

1

'

Mixxx

Mixxx

ii

iii

=−+=

−=−+= +

αα

αα (13)

Nilai α dari Persamaan (13) adalah nilai yang

dapat bernilai konstan atau random. α dan M

didapatkan dari jumlah inisialisasi parameter.

Berdasarkan Persamaan (13), maka kedua

parent menghasilkan satu anak. Dimulai dari

data pertama crossover dengan pola kedua,

dilanjutkan data kedua crossover dengan data

ketiga demikian berlanjut hingga pola ke-M

crossover dengan pola pertama. Metode ini

sesuai dengan tujuan seleksi yaitu

mendapatkan parent yang baik untuk generasi

berikutnya.

Tabel 1. Rancangan Kromosom pada

Penelitian.

Parameter 1 Parameter 2

K η

Tabel 2. Rancangan 20 Partikel yang

Digunakan.

Data Populasi (data,1) Populasi (data,2)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

Page 38: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

172 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 166-174

Dengan pengurutan fitness, pola pertama

dan kedua adalah populasi dengan nilai fitness

yang terbaik. Diharapkan generasi berikutnya

akan mendapatkan search point yang lebih baik

dibandingkan kedua parent. Untuk menyimpan

individu terbaik pada generasi sebelumnya,

maka proses crossover dimulai pada data ke-2

(Gambar 3). Jika tidak menyimpan generasi

terbaik sebelumnya, maka dapat terjadi naik

turunnya nilai fitness.

Proses selanjutnya adalah mutasi. Proses

mutasi adalah mengubah satu atau seluruh gen

berdasarkan probabilitas random yang

bertujuan untuk menghindari local minimum.

Jika probabilitas sebesar 100%, maka seluruh

data dan seluruh gen pada data dimutasi. Jika

probabilitas mutasi 0%, maka populasi

berikutnya sama dengan populasi sebelumnya.

Metode mutasi yang digunakan berdasarkan

random gaussian. Metode ini didefinisikan

dalam Persamaan (14).

])[(0,1, gen jumlahnormrandk

xk

x' = (14)

Setiap gen ditambahkan dengan bilangan

random dan dikalikan dengan nilai gaussian.

Nilai gaussian didapatkan sepanjang jumlah

gen yang dibelajarkan. Pada gen pertama, maka

gen ditambahkan dengan nilai gaussian yang

pertama, dan demikian seterusnya. Penentuan

nilai gaussian dilakukan berdasarkan

normrand, yaitu penghitungan nilai gaussian

dari sejumlah data sepanjang jumlah gen yang

telah di-random. Proses optimasi dilakukan

dengan melakukan proses crossover dan mutasi

pada setiap iterasinya hingga mendapatkan

nilai dari kedua parameter, yaitu parameter K

dan , untuk menghasilkan nilai fitness yang

terbaik (meminimumkan fitness).

Stopping Criteria

Berdasarkan Gambar 2, proses akan kembali

pada penentuan nilai K dan η jika belum

memenuhi proses stopping criteria. Jjika telah

memenuhi stopping criteria, maka proses

berhenti (pembelajaran telah konvergen).

Tabel 3. Hasil Percobaan 1 Tanpa Optimasi.

Data Set Fitness Jumlah iterasi Prosentase uji coba K Ita

Iris 1,1e-004 24 93,33% 6 1

Wine 0,0012 24 98,89% 3 0,95

Lensa 0,0049 2 81,82% 3 0,95

Tabel 4. Hasil Percobaan 1 dengan GA.

Data Set Fitness Jumlah iterasi Prosentase uji coba K Ita

Iris 2,04e-006 14 93,33% 8 0,9984

Wine 0,002 20 98,89% 11 0,9757

Lensa 5,6e-005 18 81,82% 3 0.9937

Tabel 5. Hasil Percobaan 2 Tanpa Optimasi.

Data Set Fitness Jumlah iterasi Prosentase uji coba K Ita

Iris 6,7e-005 24 74,67% 6 1

Wine 2,9e-004 24 93,33% 2 0.95

Lensa 0,005 2 92,31% 2 0.95

Tabel 6. Hasil Percobaan 2 dengan GA.

Data Set Error pembelajaran Jumlah iterasi Prosentase uji coba K Ita

Iris 6,7e-005 16 74,67% 6 1

Wine 1,4e-007 17 93,33% 9 0,9004

Lensa 2,8e-004 21 92,31% 3 0.9915

Page 39: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Ririd dkk, Optimasi Metode Discriminatively… 173

Gambar 3. Proses Crossover.

(a)

(b)

(c)

Gambar 4. Grafik Hasil Pembelajaran GA Pada Tabel 6. (a) Grafik Metode GA Data IRIS,

(b) Grafik Metode GA Data WINE, dan (c) Grafik Metode GA Data LENSA.

Page 40: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

174 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 166-174

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan dataset uji coba

IRIS, WINE, dan LENSA. Hasil uji coba tanpa

optimasi didapatkan dengan jumlah iterasi

dipengaruhi oleh jumlah data terkecil dari kelas

yang ada dengan lambang N. Sehingga nilai K

dimulai dari 2 hingga N + 1. Untuk nilai η, uji

coba tanpa optimasi menggunakan batas bawah

bernilai 0 dan batas atas bernilai 1. Tabel 3 dan

Tabel 4 menunjukkan hasil uji coba dengan

data pembelajaran sebesar 50% dan data uji

coba sebesar 50% pada setiap kelas.

Fitness yang didapatkan dari hasil tanpa

optimasi memiliki error pembelajaran yang

lebih besar jika dibandingkan dengan hasil

pembelajaran yang dioptimasi dengan GA

(Tabel 4). Maka, untuk meningkatkan kualitas

bobot yang lebih baik dibutuhkan optimasi

untuk mendapatkan nilai parameter K dan η

terbaik. Hasil pembelajaran dengan

menggunakan data yang sama sebagaimana

data-data dari Tabel 3 yang telah dioptimasi

dengan GA ditampilkan pada Tabel 4.

Hasil fitness pada Tabel 4 memiliki

kecenderungan lebih kecil jika dibandingkan

dengan uji coba pada Tabel 3. Hasil fitness

pada Tabel 5 diperoleh dengan menggunakan

data pembelajaran yang merupakan data uji

coba pada Tabel 3 dan Tabel 4. Nilai fitness

memiliki kecenderungan menghasilkan nilai

fitness yang lebih besar jika dibandingkan

error pembelajaran pada Tabel 6. Hal ini

disebakan parameter K dan η pada Tabel 5

belum dioptimasi dengan metode GA.

Hasil fitness pembelajaran data IRIS, WINE

dan LENSA pada Tabel 6 memiliki

kecenderungan menghasilkan nilai fitness yang

lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil pada

Tabel 3 yang belum dioptimasi. Gambar 4

menunjukkan terjadi penurunan nilai fitness

pada setiap iterasinya. Proses pembelajaran

akan berhenti jika nilai fitness telah

mendapatkan n iterasi dengan nilai fitness yang

sama. Nilai fitness pada penelitian adalah

Mean Square Error, dimana semakin kecil

nilai error maka diharapkan kualitas bobot

yang didapatkan semakin baik.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil uji coba dan pembahasan,

dapat diambil simpulan sebagaimana berikut:

1. Parameter K dan η dapat secara otomatis

didapatkan dengan menerapkan metode

optimasi GA.

2. GA yang diterapkan untuk mengoptimasi

metode DRLSC memiliki kecenderungan

mampu menghasilkan nilai fitness yang

lebih baik jika dibandingkan metode

DRLSC tanpa optimasi yaitu antara

1.0796e-004 dan 0.0048.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Bishop CM. Pattern Classification and

Machine Learning. New York: Springer

Berlin Heidelberg. 2006.

[2] Xue H, Chen S, and Yang Q.

Discriminatively Regularized Least-

Squares Classification. Science Direct,

Pattern Recognition. 42: 93-104. 2009.

[3] Rifkin RM and Lippert RA. Computer

Science and Artificial Intelligence

Laboratory Technical Report. Notes on

Regularized Least Squares. 2007.

URL: http://cbcl.mit.edu/projects/cbcl/pub

lications/ps/MIT-CSAIL-TR-2007-

025.pdf, diakses tanggal 10 Agustus 2009.

[4] Arune K and Gopal M. Least Squares

Twin Support vector machines for pattern

classification. Science Direct, Expert

Systems with Applications. 36:7535-

7543.2009.

[5] Schölkopf B, Guyon I and Weston J.

Statistical Learning and Kernel Methods

in Bioinformatics. Proceedings NATO

Advanced Studies Institute on Artificial

Intelligence and Heuristics Methods for

Bioinformatics. 1-21. 2001.

[6] Sivanandam SN and Deepa SN.

Introduction to Genetic Algorithms.

NewYork: Springer Berlin Heidelberg.

2008.

[7] Wright AH. Genetic Algorithms for Real

Parameter Optimization. Montana

Missoula: Department of Computer

Science, University of Montana Missoula.

1991.

Page 41: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Vol. 5, No. 3, Januari 2010 ISSN 0216 - 0544

175

PERBAIKAN STRUKTUR WEIGHTED TREE DENGAN

METODE PARTISI FUZZY DALAM PEMBANGKITAN

FREQUENT ITEMSET

*Budi Dwi Satoto, **Daniel O Siahaan, ***Akhmad Saikhu

* Jurusan Teknik Informatika, Universitas Trunojoyo

Jl. Raya Telang PO. BOX 2, Kamal, Bangkalan, Madura, 69162 **&*** Jurusan Teknik Informatika, ITS

Jl.Raya ITS, Kampus ITS, Sukolilo, Surabaya, 60111

E-Mail: *[email protected], **[email protected], ***[email protected]

Abstrak

Association Rule (AR) merupakan salah satu metode untuk menemukan nilai asosiasi

hubungan antar barang. AR meliputi pembangkitan frequent itemset dan penggalian

kaidah asosiasi. Kelemahan proses sebelumnya pada metode AR yang menggunakan

algoritma generasi kandidat maupun stuktur tree adalah saat pembangkitan frequent

itemset tidak memperhatikan jumlah jenis barang dalam satu transaksi. Struktur

Weighted Tree merupakan salah satu metode untuk membangkitkan frequent itemset.

Kelebihan struktur data ini adalah memperbaiki kebutuhan jumlah data yang diolah di

dalam FPTree. Adapun kelemahan Weighted Tree adalah apabila variasi nilai weight

berupa quantity terlalu tinggi, maka variasi node yang muncul menjadi tinggi.

Sehingga ada kemungkinan node menjadi banyak dan mempengaruhi kecepatan

proses apabila seluruh data disisipkan. Untuk mengatasi kelemahan tersebut,

penelitian ini memperbaiki Weighted Tree dengan menambahkan Metode Partisi

Fuzzy dimana data weight berupa quantity item akan dibagi menjadi lima kelompok

label yaitu very Low, Low, Medium, Height dan very Height. Hasilnya adalah apabila

variasi data weight quantity cukup tinggi, maka data akan menjadi lebih mudah untuk

dilihat dalam pengamatan pengguna dan perhitungan jumlah node yang digunakan

dalam proses pencarian dan penggalian frequent itemset menjadi minimal (nilai

prosentase penurunan jumlah node adalah 37,18%).

Kata kunci: Association Rule, Weighted Tree, Metode Partisi Fuzzy.

Abstract

Association Rule is one of methods to find relationship value between two different

products. AR method consists of the frequent itemset generation and Association Rule

Mining among frequent itemset. The weakness of the previous process for A.R method

using candidate generation or tree structure is it doesn’t note the amount of variety of

goods in transaction. Weighted Tree structure is one of data structures to generate

frequent itemset. The advantage of this data structure is to repair the needs of the

data required by Frequent Pattern Tree. Inevitably, the weakness is if there are many

variation of weight quantity, It will increase the number of node, and influence to

speed of computation process when all data are inserted. To solve the weakness, this

research purposes to repair Weighted Tree by adding Fuzzy Partition Method that

will be splited the weight quantity item into five group labels. The labels are Very

Low, Low, Medium, Height and Very Height. The result is if the data variation

become high, the data will be viewed easily by the users, and the calculation the

number of node which is used in the process of finding and creating frequent itemset

becomes minimal (number of nodes reduction procentage is 37.18%).

Key word: Association Rule, Weighted Tree, Fuzzy Partition Method.

Page 42: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

176 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 175-185

PENDAHULUAN

Association Rule (AR) merupakan salah satu

metode untuk menemukan nilai hubungan antar

barang. Contoh analisa asosiasi adalah market

basket analysis dimana dua barang berbeda, a

dan b, dikatakan mempunyai nilai asosiasi jika

dibeli bersama dalam satu transaksi. Metode

AR memiliki dua buah algoritma yaitu

algoritma pembangkitan frequent itemset dan

algoritma penggalian kaidah asosiasi.

Weighted Tree adalah salah satu struktur

data untuk membangkitkan frequent itemset

dengan cara menampung data ke dalam sebuah

tree berdasarkan weight berupa quantity item.

Teknik penyisipan dan penelusuran data

menggunakan konsep tree menyusun informasi

nama item, nomor transaksi dan quantity ke

dalam suatu wadah secara berurut sehingga

data frequent itemset menjadi lebih mudah dan

cepat untuk ditelusuri [1].

Penelitian Weighted Tree dalam

pembangkitan frequent itemset diajukan oleh

Kumar untuk meminimalkan jumlah data dan

jumlah node yang diolah Frequent Pattern

Tree. Pembangkitan frequent itemset pada

penelitian sebelumnya masih menggunakan

Algoritma Generasi Kandidat (Algoritma

Apriori) dan Algoritma Frequent Pattern

Growth (FP-Growth).

Hasil dari perbaikan Weighted Tree adalah

frequent itemset yang telah dilakukan seleksi

berdasar weight minimum support, min_length,

Top-K item, dan gradient. Selain itu, dihasilkan

rule generation yang akan menjadi bahan

pertimbangan pengguna dalam menentukan

item yang akan dicari tingkat asosiasinya.

Dalam penelitian ini dilakukan pengembangan

terhadap Metode Weighted Tree, yaitu adanya

penambahan Metode Partisi Fuzzy dan

pengembangan untuk mendapatkan balancing

tree. Terdapat beberapa alasan sehingga

Metode Partisi Fuzzy [2] dibutuhkan pada

struktur data Weighted Tree [3], di antaranya

adalah:

1. Apabila nilai weight berupa quantity terlalu

bervariasi maka data menjadi sulit untuk

diamati dan hasil algoritma sorting untuk

mencari rute terpendek menjadi lebih

panjang. Selain itu akan membuat jumlah

node menjadi tinggi.

2. Apabila quantity dalam transaksi berbeda

adalah sama, misalnya item mangga dengan

quantity pembelian 4 dengan item jambu

dengan quantity 4, maka dapat dipastikan

bahwa kedua item tersebut saling frequent.

3. Ketidakpastian muncul apabila terdapat

item dengan jumlah quantity yang

jumlahnya sedikit lebih banyak. Misal item

mangga dengan quantity 4 dan jambu

dengan quantity 6. Keduanya dapat

dikatakan saling frequent dengan nilai

support dan confidence yang berbeda.

Permasalahannya adalah apabila data

masukan besar dan cukup variatif, maka

selisih quantity tersebut akan menjadi sulit

untuk diamati pengguna.

Di dalam Metode Association Rule terdapat

algoritma pembangkitan frequent itemset yang

merupakan algoritma untuk mendapatkan

itemset yang memiliki nilai asosiasi dalam satu

transaksi berdasarkan nilai support dan

confidence. Selain itu terdapat algoritma

penggalian kaidah asosiasi yang merupakan

algoritma untuk mendapatkan rule pembelian

itemset berdasarkan kaidah frequent closed dan

frequent maximal [4].

Gambar 1. Blok Diagram Association Rule.

Page 43: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Satoto dkk, Perbaikan Struktur Weighted Tree… 177

Tabel 1. Tabel Transaksi dengan Count

Weight Quantity.

TID KodeItem i1 i2 i3 i4 i5

100 2 6 4

200 4 6 3

300 3 4

400 3 6 8

500 6 2

600 2 7

700 4 5

800 3 4 6 2

900 6 3 2

Tabel 2. Contoh Tabel Itemset Weighted

Tree dengan Tiga Item dan Tiga

Transaksi.

A1 A2 A3

T1 3 2 1

T2 6 2 1

T3 2 2 4

Tabel 3. Tabel Dataset dengan Informasi

Weight.

Kode Item TID i1 i2 i3 i4 i5

100 6 4

200 4 6

300 4

400 6 8

500 6

600 7

700 4 5

800 4 6

900 6

Tabel 4. Sorting Transaksi dan Count Weight.

Nama Item Sorting Transaksi Count Diff

Weight

i1 4:7 6:5:9 2

i2 4:2:8 6:1:4 2

i3 4:3 5:7 6:8 7:6 4

i4 6:2 8:4 2

i5 4:1 1

Tabel 5. Mapping Matrik Pencarian Rute

Terpendek.

Nama Item i1 i2 i3 i4 i5

i1 2 2 4 3 2

i2 2 2 4 3 2

i3 4 4 4 5 4

i4 3 3 5 2 3

i5 2 2 4 3 1

Tabel 6. Perbandingan Jumlah Node FP Tree

dan Weighted Tree.

Jumlah

Transaksi FPTree

Weighted

Tree

Tingkat

Kompresi

9 10 7 30%

ANALISA KAIDAH ASOSIASI

Association Rule menganalisa kebiasaan

pelanggan dalam membeli barang dan

menemukan nilai hubungan antar barang yang

disimpan dalam record transaksi. Secara

umum, sebuah basisdata transaksi terdiri dari

file dimana setiap record-nya berisi daftar

barang yang dibeli dalam sebuah transaksi

seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 1 [5].

Gambar 1 menunjukkan blok diagram

Association Rule dalam menggunakan struktur

Weighted Tree untuk mendapatkan frequent

itemset dan nilai kaidah asosiasi. Algoritma

Apriori dan FP tree pada saat pembangkitan

frequent itemset diganti dengan struktur data

weighted tree [1].

Nilai Support count (σ) adalah frekuensi

munculnya itemset tertentu dalam tabel

transaksi. Secara matematis, nilai support dapat

dinyatakan dengan Persamaan (1).

|,||)( TttXtX iii ∈⊆=σ (1)

Dimana:

X = itemset

ti = transaksi ke i

T = set transaksi

Itemset I=i1, i2,…, id adalah set dari semua

item pada data market basket dan T=t1, t2,…,

tN adalah set dari semua transaksi. Tiap

transaksi ti mengandung subitemset dari I. Pada

analisa asosiasi kumpulan dari satu atau lebih

item disebut dengan itemset. Apabila itemset

mengandung k item, maka disebut k-itemset.

Page 44: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

178 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 175-185

Gambar 2. Pilihan Node pada Weighted Tree.

Gambar 3. Struktur Weighted Tree.

Null set adalah itemset yang tidak

mengandung item. Lebar transaksi

didefinisikan sebagai banyaknya item yang ada

dan tidak kosong dalam transaksi. Contoh

itemset: i1, i2, i3. Strategi umum pada Metode

Association Rule adalah sebagai berikut:

1. Frequent Itemset Generation, yang

bertujuan untuk menemukan semua itemset

yang memenuhi batasan threshold weight

minimum support, minimum length dan Top-

K Nilai support Item.

2. Rule Generation, bertujuan untuk

mengekstrak semua frequent itemset

menjadi sebuah rule.

WEIGHTED TREE

Pembangkitan frequent itemset menggunakan

struktur Weighted Tree menguraikan kaidah

asosiasi antar atribut dengan menyisipkan nilai

weight berupa quantity per transaksi dengan

mempertimbangkan nilai support dan

confidence masing-masing itemset [1].

Jika A adalah satu item set, suatu transaksi

T dikatakan berisi A hanya jika A⊆T. Suatu

kaidah asosiasi adalah suatu implikasi format

A→B, dimana A⊆I, B⊆I, dan A∩B=Ø. Kaidah

A→B menetapkan D dengan support s, dimana

s merupakan prosentase dari transaksi pada D

yang berisi A ∪ B (keduanya A dan B). Nilai ini

merupakan nilai probabilitas, P(A∩B).

Kaidah A→B mempunyai nilai ”confidence

c” di dalam transaksi D, jika c adalah

prosentase dari transaksi pada D yang di

dalamnya terdapat A dan juga terdapat item B.

Dengan mempertimbangkan probabilitas,

P(B|A), maka Support(A→B) = P(A∩B)=s,

confidence(A→B) = P(B|A)=

Support(A→B)/Support(A) = c [1].

Optimal order merupakan penentuan

sequence order terbaik di dalam tree dengan

jumlah node minimal (lihat dataset Tabel 2)

yang mempunyai tiga atribut. Nilai total

pencarian kombinasi yang dapat dilakukan

adalah sebesar 3!, yaitu enam kombinasi

seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.

Unsur atribut tertentu ditemukan di

tingkatan yang ditetapkan sebagai posisi atribut

dalam atribut-sequence. Jika catatan total

jumlah node adalah n, dan di dalam tree

terdapat kombinasi atribut berbeda, maka nilai

optimal order yang terbaik dari weighted tree

di atas adalah atribut sequence 2-3-1 dengan

jumlah node terkecil yaitu 6 [1].

Page 45: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Satoto dkk, Perbaikan Struktur Weighted Tree… 179

Gambar 4. Senarai Weighted Tree.

Struktur Weighted Tree

Weighted Tree memiliki dua jenis node:

1. Jenis node pertama berupa label dengan

atribut berisi nama atribut dan dua pointer

penunjuk node berisi ID transaksi dan

weight. Sedangkan yang lainnya adalah

anak pointer menunjuk pada atribut

berikutnya. Node ini mewakili kepala

cabang tertentu.

2. Jenis node kedua mempunyai dua bagian.

Bagian pertama diberi label TID yang

mewakili suatu jumlah transaksi atau ID

transaksi. Bagian kedua diberi label weight

yang menunjukkan quantity pembelian

dalam transaksi atau cost. Node ini hanya

mempunyai satu pointer yang menunjuk

pada obyek berikutnya dari atribut [1].

Adapun penjelasan konstruksi Weighted Tree

ditunjukkan dalam Gambar 3.

Beberapa definisi yang perlu diketahui

sebelum masuk pada partisi fuzzy adalah

sebagai berikut:

1. Probe item merupakan item yang akan

dijadikan acuan untuk mengetahui tingkat

asosiasi item lain. Isi item ini adalah items

yang sama dalam transaksi atau kumpulan

item transaksi yang sudah pasti nilai

asosiasinya 100%.

2. Top-K merupakan urutan items yang

memiliki nilai count item tertinggi dan

selalu muncul dalam tiap transaksi setelah

dikurangi probe item [4].

3. Projected database merupakan item dan

transaksi yang akan dicari nilai asosiasinya.

Adapun item-nya adalah item total

dikurangi probe item.

4. Minimum length merupakan batas minimum

panjang transaksi yang akan dipantau

tingkat asosiasinya.

5. Weight minimum support adalah batas

maximum pembelanjaan yang memenuhi

syarat yang telah ditentukan pada awal

proses.

Data yang ditunjukkan pada Tabel 1

dipotong berdasarkan nilai weight minimum

support. Contoh, ketika ditentukan weight

minimum support adalah 4, maka weight

quantity 2 dan 3 akan dihapus (seperti yang

ditunjukkan Tabel 3). Setelah itu pemotongan

dilakukan terhadap transaksi yang hanya

mengandung satu item saja, yaitu transaksi

nomor 300, 500, 600 dan 900. Langkah

selanjutnya adalah menyusun senarai Weighted

Tree seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4 menerangkan bahwa kode item

yang dihapus karena batasan minimum support

dan nomor transaksi tidak disertakan dalam

penyusunan weighted tree [1]. Langkah

berikutnya adalah pencarian rute terpendek,

dimana idenya adalah jika dalam transaksi

berbeda memiliki nilai weight sama. Maka,

urutan order sequence akan menjadi prioritas

bagi transaksi yang memiliki weight sama

terlebih dahulu seperti pada Tabel 4. Cara

penyelesaian adalah dengan melakukan sorting

terhadap transaksi berdasarkan quantity per

itemname. Untuk Tabel 4, misal, arti dari 6:5:9

adalah “quantity= 6, transaksi= 5 dan 9”.

Dari hasil sorting dan merge prefik pada

Tabel 4 didapatkan nilai count different weight.

Nilai ini selanjutnya akan digunakan untuk

membuat mapping matrik pencarian rute

terpendek, seperti tampak pada Tabel 5 dimana

hasil urutan sequence-nya adalah i5, i1, i2, i4,

i3.

Langkah selanjutnya adalah melakukan

penyisipan ke dalam Weighted Tree dan

hasilnya dapat dilihat pada Gambar 5(b).

Gambar 5(a) menunjukkan jumlah node FP

Tree dan Gambar 5(b) adalah node weighted

tree dari senarai Gambar 4.

Data yang telah disisipkan pada weighted

tree akan ditelusuri sesuai keinginan user pada

waktu melakukan query atau permintaan.

Tampak dari Tabel 6 bahwa jumlah node yang

digunakan oleh Weighted Tree adalah 30%

lebih sedikit dibandingkan dengan FP Tree.

Page 46: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

180 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 175-185

Gambar 5. (a) Node FP Tree dan (b) Node Weighted Tree.

Gambar 6. Pencarian Maximal dan Closed Frequent Itemset.

Gambar 7. Membership Function untuk Quantity Item.

(a) (b)

Page 47: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Satoto dkk, Perbaikan Struktur Weighted Tree… 181

Penggalian Kaidah Asosiasi

Konsep penggalian adalah sebuah pendekatan

terhadap hasil pembangkitan frequent itemset

untuk lebih meningkatkan validitas hasil

terdapat acuan pada saat menentukan frequent

itemset. Itemset dikatakan frequent closed

apabila itemset tersebut memenuhi dua kondisi

berikut:

1. Itemset X adalah itemset yang frequent.

2. Tidak ada satupun superset langsung

(immediate supperset) X yang memiliki

count sama dengan X. Jika nilai count-nya

sama maka itemset tersebut dikatakan

frequent not closed.

Pencarian maximal dan closed frequent itemset

ini ditunjukkan dalam Gambar 6. Sebagai

contoh, itemset (11,15) memiliki count 2 dan

superset (11,12,15) juga memiliki count 2,

sehingga dapat dikatakan bahwa itemset

(11,15) adalah itemset yang frequent maximal

but not closed [4].

PEMBANGKITAN FREQUENT

ITEMSET DENGAN METODE

PARTISI FUZZY WEIGHTED TREE

Saat ini teknik pembangkitan frequent itemset

mulai dikembangkan untuk menggantikan

teknik pembangkitan generasi kandidat seperti

metode apriori yang antara lain menggunakan

FP Tree dan Weighted Tree.

Metode Partisi Fuzzy

Metode Partisi Fuzzy melakukan partisi

terhadap weight quantity masing-masing item.

Masing-masing item dibagi menjadi lima label,

yaitu label A, B, C, D dan E. Partisi fuzzy

membantu menyelesaikan masalah pada

Weighted Tree apabila nilai quantity terlalu

bervariasi. [2] Membership function untuk

quantity item yang akan diolah ditunjukkan

oleh Gambar 7.

Dapat dinyatakan setiap kandidat k-itemset,

Ik, sebagai fuzzy set pada transaksi M. Fuzzy

membership function µ dipetakan sebagai kIµ :

M→[0,1], seperti yang dinyatakan dalam

Persamaan (2).

MTTcard

iT T

Iii kk ∈∀

=∈

,)(

)(inf)(

ηµ (2)

Dimana:

T = transaksi yang memenuhi syarat

card(T) = jumlah jenis barang pada transaksi T

η = boolean membership function dan

ηT → 0,1 yang menyatakan

boolean MF (Persamaan (3)).

=lainnya,0

,1)(

TiiTη (3)

Dengan:

i = barang pada transaksi

T = transaksi yang memenuhi syarat

Perhitungan Nilai Support dan confidence

didefinisikan dalam Persamaan (4).

∑∈

=MT

I

k TIsupport k )()( µ (4)

Dimana:

Ik = barang I pada k-itemset

kIµ = fuzzy membership function

T = transaksi yang memenuhi syarat

Sementara nilai Confidence didefinisikan

dalam Persamaan (5).

)(

)()|()(

Asupport

BAsupportABPBAcf

∪==⇒ (5)

dimana:

A,B = k-itemset

Nilai Efisiensi Jumlah Node

Nilai efisiensi didefinisikan sebagai

perbandingan jumlah node sesudah partisi fuzzy

dengan jumlah node sebelum dilakukan partisi

fuzzy. Sedangkan (nilai efisiensi yang

didapatkan pada penelitian sebelumnya

merupakan perbandingan jumlah node

Weighted Tree terhadap jumlah node FP Tree).

Kedua jumlah node tersebut didapatkan dari

matrik m x n senarai Weighted Tree yang

dihasilkan. Sehingga persamaan fungsi fitness

dapat dituliskan dalam nilai efisiensi seperti

pada Persamaan (6).

∑ = ∑ =

∑ = ∑==

m1i

n1j partisi sebelumji,NNode

m1i

n1 partisi setelahji,NNode

node jumlah efisiensi Nilai (6)

Page 48: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

182 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 175-185

Gambar 8. Class Diagram Fuzzy Weighted Tree.

Gambar 9. Struktur Data Weighted Tree Partisi Fuzzy.

Gambar 10. Rancangan Weighted Tree.

Page 49: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Satoto dkk, Perbaikan Struktur Weighted Tree… 183

Gambar 11. Projected Database.

Gambar 12. Konversi Data Weight ke Label Fuzzy.

Gambar 13. Rule Generation.

Page 50: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

184 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 175-185

Tabel 7. Tabel Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya.

No Perbandingan Penelitian Penelitian kumar

Spec (waktu,node) Penelitian ini

1 Rata-rata waktu untuk konstruksi tree untuk

tiap sequence (dalam detik)

1.2 detik 0.7detik

2 Total waktu untuk mencari sequence terbaik

untuk optimal tree menggunakan metode

pengecekan iterative

45!*1.2=

1.722*10^56 sec

45!*0.7=

8.37356E+55

3 Total jumlah node pada tree menggunakan

serial order attribute (S1)

7729 7729

4 Total jumlah node yang dibentuk tree

menggunakan best sequence dari atribut yang

digunakan menggunakan algoritma ini (S2)

6651 4855

5 Hemat jumlah node 1078 node 2865

HASIL DAN PEMBAHASAN

Masukan Weighted Tree adalah Dataset

SPECTF Heart Data. Data ini diklasifikasikan

menjadi dua kelompok kategori, yaitu normal

dan abnormal. Basisdata ini merupakan 267 set

gambar dengan perincian jumlah atribut 45

(terdiri dari 44 continues class dan satu binary

class), dimana nilai atribut terletak di antara

range 0 sampai dengan 100. Dataset ini dibagi

menjadi SPECTF train 80 item dan SPECTF

test 187 item. Dengan klasifikasi dataset class

0 adalah 15 sample dan class 1 adalah 172

sample.

FuzzyWT adalah sebuah class yang

dibangun untuk melakukan partisi quantity

sebuah item dalam suatu transaksi. Method

utama yang ada pada class FuzzyWT adalah

FuzzyWT(). Method ini adalah constructor

yang digunakan untuk melakukan inisialisasi

object FuzzyWT dengan parameter berupa

array of integer. Class diagram Weighted Tree

ditunjukkan oleh Gambar 8. Parameter yang

ditunjukkan dalam Gambar 8 ini adalah tabel

transaksi yang merupakan keluaran dari

method, yaitu dengan membuat Tabel

Transaksi() pada class

DataSetIO.ProsesKonversiTransToWeight().

Method ini bertugas untuk melakukan

persiapan konversi dari tabel transaksi yang

berisi data array of integer menjadi nilai fuzzy

A sampai E. Struktur data Weighted Tree yang

digunakan dalam penyisipan transaksi pada

penelitian ini ditunjukkan dalam Gambar 9.

Penelitian ini menggunakan struktur linked

list untuk menyimpan informasi weight, item

name, dan nomor transaksi (Gambar10).

Gambar 11 menggambarkan keluaran program

setelah pembacaan dataset SPECTF, yaitu

Projected database disertai probe item.

Informasi yang disimpan meliputi kode biner

SPECTF, nomor transaksi TrID, panjang

transaksi length, dan rata-rata keuntungan

average profit. Pada sampling data tersebut

digunakan probe item i67 dengan weight = 4.

Selanjutnya penentuan weight minimum

support, min_length dan Top-K support item

disertai pemotongan item yang hanya

mengandung satu item akan menentukan data

yang akan disisipkan ke dalam struktur data

Weighted Tree. SPECTF Heart DATA

dikonversikan ke dalam bentuk tabel count

weight quantity, yaitu dalam bentuk label fuzzy

seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 12.

Untuk mendapatkan rule generation dicari

Nilai optimum order yang terbaik. Penyisipan

ke dalam weighted tree dan result rule yang di-

generate meliputi nilai support dan confidence

(Gambar 13).

Dari data penelitian sebelumnya dikatakan

terjadi penghematan jumlah node senilai 1078

node dari total node yang disusun

menggunakan teknik serial order atribut.

Dalam hal ini, penghematan mengacu pada

jumlah node pada FPTree dari 7729 node

menjadi 6651 node apabila disusun dengan

menggunakan best sequence order atribut.

Detil perbandingan penelitian dapat dilihat

pada Tabel 7. Nilai perbandingan penurunan

Page 51: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Satoto dkk, Perbaikan Struktur Weighted Tree… 185

jumlah node yang dihasilkan penelitian

sebelumnya adalah [1]:

86052529407729

6651.

node

node anperbandingNilai

a sebelumnypenelitian==

Dari data Tabel 7 maka dapat dicari nilai

perbandingan penurunan berdasarkan jumlah

node yang digunakan penelitian ini yaitu 4855

terhadap jumlah node awal yang digunakan

Kumar [1] yaitu 7729.

62818346507729

4855 .

anperbanding Nilai

ini penelitian==

SIMPULAN

Dari hasil penelitian perbaikan struktur

Weighted Tree menggunakan partisi fuzzy

dapat diambil simpulan sebagai berikut:

1. Penelitian ini memberikan kontribusi

terhadap perbaikan struktur Weighted Tree

dalam penelusuran frequent itemset dengan

adanya penambahan partisi fuzzy untuk

weight dan penambahan keseimbangan di

dalam penyusunan struktur tree. Hal ini

menyebabkan jumlah node yang digunakan

dapat diminimalisasi.

2. Keluaran dari penelitian ini merupakan

hasil obyektif dari sistem. Keluaran

frequent itemset yang dihasilkan

mempunyai frequent itemset yang tetap bila

diberikan masukan dataset yang sama

dengan atau tanpa partisi fuzzy. Perbedaan

proses ditunjukkan oleh jumlah node yang

digunakan dan waktu proses dalam

penelusuran frequent itemset tersebut.

3. Nilai prosentase penurunan jumlah node

yang dihasilkan penelitian ini lebih besar

jika dibandingkan dengan hasil penelitian

sebelumnya, yaitu 37,18% terhadap 13,9%.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Kumar P. Discovery of Frequent Itemsets

Using Weighted Tree Approach. IJCSNS

International Journal of Computer

Science and Network Security. 8: 195-200.

2008.

[2] Wang CH. Finding Fuzzy Association

Rules using FWFP Growth with

Linguistic Supports and Confidences.

WORLd Academy of Science, Engineering

and Technology. 53: 1139-1147. 2009.

[3] Kumar P. Discovery of Frequent Itemsets

Based on Minimum Quantity and Support.

International Journal of Computer

Science and Security. 3: 216-225. 2009.

[4] Absari DT. Penggalian Top-K Frequent

Closed Constrained Gradient itemsets

pada basis data retail, Januari 2009. URL:

http://mmt.its.ac.id/library/?p=4737,

diakses tanggal 16 Agustus 2009.

[5] Anbalagan E. Building E-shop using

Incremental Association Rule Mining and

transaction clustering. International

Journal of Computational Intelligence

Research. 5: 11-23. 2009.

Page 52: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Vol. 5, No. 3, Januari 2010 ISSN 0216 - 0544

186

SIMULASI PERGERAKAN PENGUNJUNG MALL

MENGGUNAKAN POTENTIAL FIELD

*Arik Kurniawati, **Supeno MS Nugroho, ***Moch Hariadi Pasca Sarjana Jaringan Cerdas Multimedia (Game Teknologi), Jurusan Teknik Elektro, ITS

Jl. Raya ITS, Kampus ITS, Sukolilo, Surabaya, 60111

E-Mail: *[email protected], **[email protected], ***[email protected]

Abstrak

Simulasi kerumunan manusia yang real-time sulit untuk dilakukan karena perilaku

yang dipamerkan pada kelompok besar ini sangat kompleks dan pelik. Beberapa hal

yang perlu dicermati antara lain penanganan terhadap permasalahan path planning

(perencanaan jalur), collision avoidance (penghindaran tabrakan), serta separation

(pemisahan jarak). Salah satu metode untuk perencanaan jalur adalah potential field

yang berbasis grid. Metode ini memiliki prinsip seperti medan magnet yang menarik

atau menolak partikel besi yang ada di sekitarnya. Berdasarkan karakteristiknya, maka

metode ini dapat digunakan untuk mensimulasikan pergerakan simulasi kerumunan

manusia. Perilaku menolak partikel besi diaplikasikan untuk menghindari halangan

dinding dan perilaku menarik diaplikasikan untuk keluar menuju pintu utama. Selain

itu, diatur juga agar pergerakan antar orang tidak menimbulkan tabrakan. Setelah

diadakan simulasi dan penelitian, maka pergerakan kerumunan manusia yang tersebar

dalam ruang-ruang dan lorong-lorong di mall dengan menggunakan metode potential

field dapat menghindari halangan dinding dan dapat bergerak keluar menuju pintu

utama tanpa terjebak local minima. Namun, hasil penelitian ini masih memiliki

kelemahan, yaitu akan tejadi tabrakan dengan orang lain jika daerah yang dituju sama.

Tingkat frekuensi tabrakan semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah populasi.

Untuk jumlah populasi sebanyak 10 dapat terjadi satu kali tabrakan. Bahkan tabrakan

dapat mencapai 9558 kali untuk jumlah populasi sebanyak 500.

Kata kunci: path planning, collision avoidance, separation, potential field, local

minima.

Abstract

Real-time crowd simulation is complicated because large groups of people exhibit

behavior of enormous complexity and subtlety. In crowd simulation, there are many

factors that must be seriously addressed, such as: path planning, collision avoidance,

and separation. Potential field is path planning with grid based. This method works

as magnet field that attract or repulse iron particle. Based on itscharacteristic, it cn

be assumed that this method can be applied to figure the simulation of crowd people

movement. Repulsing iron particle behavior is applied to avoid static obstacles and

attracting is applied to drive the crowd to target. Beside, it also arranges the process

the collision prediction to avoid collision with the others. After the simulation using

potential field method, it can be known that the movement of the human crowd

scattered in the rooms and hallways in the mall can avoid obstacles (walls) and able

to find a target without trapped local minima. However, the possibility in collisison

with others in the same destination. The collision frequency is increasing as number

of population developed, population 10 to 1 times the crash happened and could

reach 9558 for a population of 500.

Key words: path planning, collision avoidance, separation, potential field, local

minima.

Page 53: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Kurniawati dkk, Simulasi Pergerakan Pengunjung Mall… 187

PENDAHULUAN

Salah satu aspek dalam animasi adalah

bagaimana memodelkan sesuatu agar mirip

dengan aslinya di dunia nyata. Menampilkan

perilaku kerumunan yang alami sebagai

peningkatan kualitas animasi menjadi tren

utama dalam film dan game.

Mensimulasikan kerumunan manusia seperti

di dunia nyata menjadi sesuatu kebutuhan

pemodelan yang interaktif dan realistis.

Simulasi kerumunan yang real-time ini sulit

dilakukan karena perilaku yang dipamerkan

pada kelompok besar ini sangat kompleks dan

pelik.

Sebuah model kerumunan tidak hanya

meliputi pergerakan individu manusia dalam

lingkungannya dengan rintangan/batasan yang

ada, akan tetapi juga interaksi dinamis antara

orang-orangnya. Lebih jauh lagi, model harus

dapat mencerminkan Intelligent Path Planning

melalui perubahan lingkungannya. Dan

selanjutnya, orang-orang yang berada di

dalamnya harus dapat menyesuaikan jalan

mereka secara dinamis. Bahkan perubahan

tiba-tiba dari gerakan individu harus dapat

ditangkap dalam efek simulasi ini [1].

Pada prinsipnya pergerakan kerumunan

adalah bagaimana penanganan terhadap

permasalahan Path Planning (Perencanaan

Jalur), Collision Avoidance (Penghindaran

Tabrakan), serta Separation (Pemisahan Jarak).

Jika hanya menggunakan penghindaran

tabrakan, maka model kerumunan yang nyata

tidak akan dapat dihasilkan saat sekelompok

orang tersebut mencapai tujuan.

Konsekuensinya, banyak model kerumunan

yang menggabungkan antara menghindari

tabrakan (collision avoidance) dan

perencanaan global (global navigation).

Gambar 1. Pergerakan dengan Tanda Khas

[3].

Salah satu perencanaan global adalah

potential field statis (static potential field)

dengan berbasis grid. Prinsip kinerjanya adalah

seperti kelereng yang menggelinding menuruni

bukit. Kondisi lingkungan yang dilewati

menjadi penentu arah dan pergerakannya, atau

dapat juga digambarkan seperti medan magnet

yang menarik atau menolak partikel besi [2].

BEHAVIOUR KERUMUNAN

Path finding

Pergerakan dalam suatu simulasi sangat erat

kaitannya dengan path finding (pencarian

jalan). Path finding adalah salah satu dasar

algoritma dalam konsep menggerakkan

karakter. Pergerakan obyek menuju sasaran

dengan mengambil nilai potential field yang

lebih besar diperlihatkan dalam Gambar 1.

Collision Prediction

Dalam setiap frame simulasi kerumunan

(crowd simulation), kebutuhan untuk

memprediksi tabrakan dengan orang lain

menjadi sebuah keharusan. Setelah seseorang

berhasil menghindari tabrakan, maka ia akan

kembali ke jalur aslinya.

Jika sebuah tabrakan telah dapat

diprediksikan, maka jenis tabrakan yang terjadi

harus ditentukan. Ada tiga kemungkinan jenis

tabrakan, yakni:

1. Toward collision atau face-to-

face/berhadap-hadapan, yaitu terjadi ketika

seseorang berjalan menuju satu sama lain

(Gambar 2a).

2. Away collision atau rear/di belakangnya.

Tabrakan ini akan terjadi ketika seseorang

berjalan di belakang orang lain atau ada

hambatan di depannya (Gambar 2(b)). 3. Glancing collision, yaitu tabrakan yang

berasal dari samping kanan atau samping

dan berjalan menuju daerah yang sama

(Gambar 2(c)).

Collision Avoidance

(Penghindaran Tabrakan)

Penghindaran tabrakan antar orang ternyata

dapat menimbulkan banyak permasalahan

ketika berurusan dalam kerumunan. Sebuah

metode untuk menghindari tabrakan antar

individu menjadi tidak efisien ketika digunakan

Page 54: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

188 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 186-196

dalam kerumunan banyak orang. Ada lebih

banyak kendala yang terjadi dalam sebuah

variabel lingkungan yang kompleks (dengan

hambatan yang tetap, rintangan

mobile/bergerak dan daerah yang kecil untuk

berjalan) dan mencakup banyak orang [5].

Namun, jika struktur grup dalam kelompok

harus dipertahankan, maka harus ada

penambahan parameter lain dalam kerumunan

kompleksitas untuk menghindari tabrakan [6].

Walaupun collision avoidance

(penghindaran tabrakan) terlihat begitu

kompleks dalam realitanya, namun hal ini

dapat didefinisikan menjadi beberapa aturan

yang sederhana. Berikut ini adalah cara-cara

bagaimana mengantisipasi berbagai jenis

tabrakan:

1. Toward Collisions

Tahap pertama adalah menentukan apakah

akan bertabrakan di sebelah kiri atau kanan

dari seseorang. Pengamatan menunjukkan

bahwa seseorang akan memiliki tiga cara

yang berbeda untuk menghindari tabrakan:

a. Mengubah arah saja

b. Mengubah kecepatan saja

c. Mengubah arah dan kecepatan

Jika tidak ada perilaku yang ditemukan

untuk menghindari tabrakan, maka

seseorang tersebut hanya akan berhenti

berjalan. Setelah orang lain keluar dari jalur

tabrakan maka seseorang tersebut akan

melanjutkan jalannya.

2. Away Collisions

Jika seseorang berjalan di belakang orang

lain atau dengan kata lain seseorang

tersebut tepat di belakang orang lain,

sehingga akan terjadi tabrakan dengan

orang lain yang ada di depannya. Untuk

mengatasi situasi ini, maka seseorang

tersebut ada dua pilihan:

a. Menyesuaikan kecepatan dengan orang

yang ada di depannya dengan

memperlambat kecepatan berjalannya.

b. Berjalan dengan kecepatan tinggi dengan

mengambil jalur di samping depan orang

lain.

3. Glancing Collisions

Cara untuk mengantisipasi jenis tabrakan ini

sama seperti dengan metode nomor 1

(toward collisions).

Potential Field

Konsep dasar metode potential field

digambarkan seperti partikel besi yang

bergerak menuju objek melalui medan magnet

yang dibuat oleh objek yang dituju. Pergerakan

ini tergantung dari medan magnet yang ada,

yaitu partikel akan ditarik ke arah tujuan atau

justru sebaliknya partikel tersebut akan ditolak

oleh medan magnet pada saat bertemu

halangan [7].

Potential Field Aktraktif

Potential field atraktif adalah potential field

yang mengatur bagaimana setiap agen yang ada

bergerak mengarah ke tujuan, seperti yang

diperlihatkan dalam Gambar 3.

Perhitungan nilai potential field tujuan,

didapatkan dari konsep potential field dari

elektrostatika [8], yaitu dengan menggunakan

Persamaan (1).

Vga = V * exp (-λ * Xga) (1)

Dimana:

V = Konstanta potential field

Λ = Konstanta

Vga = Potential field untuk tujuan

Xga = Jarak ke tujuan

Gambar 2. Tipe-tipe Tabrakan [4]. (a) Toward

Collision, (b) Away Colliso, dan (c)

Glancing Collision.

Gambar 3. Potential Field Aktraktif.

Page 55: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Kurniawati dkk, Simulasi Pergerakan Pengunjung Mall… 189

(a) (b)

Gambar 4. Implementasi Fungsi Eksponensial

untuk Potential Field Aktraktif.

(a) Potential Field Aktraktif dan

(b) Grafik Eksponen Potential

Field Aktraktif.

Gambar 5. Potential Field Repulsif.

(a) (b)

Gambar 6. Implementasi Fungsi Eksponensial

untuk Potential Field Aktraktif.

(a) Potential Field Repulsif dan

(b) Grafik Eksponen Potential Field

Repulsif.

Gambar 7. Potential Field Gabungan.

Gambar 8. Permasalahan Local Minima.

Persamaan (1) dapat digunakan untuk

menentukan nilai potential field aktraktif

dengan memanfaatkan puncak gundukan.

Dalam artian, semua partikel yang berada di

bawah nilai puncak gundukan tersebut akan

tertarik ke puncak gundukan (yang mempunyai

nilai tertinggi). Jadi dapat diibaratkan puncak

gundukan adalah target yang akan dituju.

Ilustrasi ini seperti yang diperlihatkan dalam

Gambar 4.

Potential Field Repulsif

Potential field repulsif adalah potential field

yang mengatur bagaimana setiap agen dapat

menghindari halangan (obstacle) yang ada,

seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 5.

Perhitungan nilai potential field halangan,

didapatkan dari konsep potential field dari

elektrostatika [8], dengan menggunakan

Persamaan (2).

Vgo= -V * exp (-λ * Xgo) (2)

Dimana:

V = Konstanta potential field halangan

Λ = Konstanta

Vgo = Potential field untuk obstacle

Xgo = Jarak ke obstacle

Persamaan (2) jika dimanfaatkan untuk

menghitung nilai potential repulsif, maka

partikel tidak akan tertarik ke puncak

gundukan. Namun sebaliknya, partikel akan

menolak dan berlari menuju nilai yang lebih

tinggi. Jadi dapat diibaratkan garis yang

membentuk fungsi eksponensial itu, harus

dijauhi atau dalam artian halangan harus

dihindari seperti yang diperlihatkan dalam

Gambar 6.

Page 56: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

190 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 186-196

Gambar 9. Bentuk Grid.

Setiap potential field dapat dirancang

tersendiri untuk digunakan dalam

menghadirkan suatu perilaku khusus. Dengan

mengkombinasikan beberapa potential field

yang ada maka pergerakannya dapat mencapai

tingkat perilaku yang beragam [7].

Potential Field total = Potential Field Atraktif + Potential Field Repulsif

Akibat dari penggabungan ini adalah nilai

potential field yang didapat pada daerah tujuan

merupakan nilai paling tinggi dari sekitarnya

sehingga partikel akan bergerak menuju tujuan.

Sedangkan pada halangan nilai-nilainya adalah

lebih rendah, dengan tujuan agar partikel dapat

menghindari halangan (Gambar 7).

Permasalahan Local Minima

Permasalahan local minima merupakan

permasalahan yang melekat pada potential

field. Tidak ada solusi standar untuk

menyelesaikan permasalahan local minima [9].

Local minima terjadi ketika agen terjebak

pada penghalang karena nilai dari posisinya

mengarahkan ke daerah itu. Hal ini berarti agen

tidak dapat mengakses nilai yang lebih tinggi

dari posisinya sekarang karena agen berada

pada nilai terendah dibanding sekelilingnya.

Sehingga agen tidak dapat menemukan target

yang dituju (Gambar 8).

Grid

Cara pengorganisasian potential field adalah

dengan membuat area menjadi grid. Tiap kotak

pada grid adalah sebuah posisi dan setiap

posisi memiliki sebuah nilai yang

merepresentasikan sedekat apa posisi tersebut

dengan target.

Grid seperti yang diperlihatkan dalam

Gambar 9 mempunyai fungsi untuk menyimpan

resultan potential field dari seluruh vektor

repulsive halangan. Vektor resultan ini

kemudian ditambahkan dengan vektor dari

target. Sehingga pergerakan seseorang hanya

mengikuti arah vektor resultan tersebut menuju

target.

PERANCANGAN SISTEM

Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa hal

tentang mengenai proses perancangan simulasi

yang dibuat. Diagram penelitian ditunjukan

dalam Gambar 10, yaitu menggambarkan

sebuah sistem simulasi yang akan dibuat.

Simulasi ini menggambarkan pergerakan

kerumunan manusia mencari jalan keluar lewat

pintu utama di sebuah mall. Goal dari simulasi

ini adalah semua orang yang berada dalam

ruangan dapat keluar menuju pintu utama.

Masing-masing orang yang berhasil sampai

menuju pintu utama tidak sama waktunya. Hal

ini tergantung dari panjang lintasan seseorang,

kecepatan berjalan dan jalur lintasan yang

dilewati. Pemilihan jalur menuju pintu utama

menggunakan Algoritma Potential Field.

Halangan

Halangan statis dalam simulasi adalah dinding

pembatas ruangan dan halangan permanen

lainnya yang terdapat di tengah-tengah

ruangan. Halangan statis diibaratkan sebagai

potential field repulsif, seperti yang

diperlihatkan dalam Gambar 11.

Gambar 10. Diagram Blok Penelitian.

Kerumunan

manusia dalam

mall dengan

posisi cak

Kerumunan manusia

dalam mall dengan

posisi acak

Pemilihan Jalur

Potential Field

Collision Avoidance

Pemilihan Jalur

Potential Field

Collision Avoidance

Semua orang

berhasil keluar

menuju pintu

utama

Semua orang berhasil

keluar menuju pintu

utama

(3)

Page 57: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Kurniawati dkk, Simulasi Pergerakan Pengunjung Mall… 191

Gambar 11. Halangan Statis sebagai Potential

Field Repulsive.

(a) (b)

Gambar 12. Pergerakan Seseorang ketika

akan Menabrak Halangan Statis.

(a) Kondisi Awal dan

(b) Kondisi Setelah Berputar.

Gambar 13. Nilai Potential Field Jalur

Penghubung antar Ruangan.

Agar seseorang dapat keluar dari ruangan-

ruangan kecil dalam mall tersebut, maka

rancangan potential field jalur-jalur

penghubung antar ruangan dijadikan potential

field aktraktif atau dibuat lebih tinggi dari

lingkungan sekitarnya (Gambar 13).

Selain halangan statis tersebut, ada

halangan lain yang bersifat dinamis yakni

orang-orang di sekitarnya yang juga berusaha

mencari jalur keluar ke pintu utama. Jika

seseorang menemui halangan dinamis, maka

ada beberapa jenis pergerakan yang mungkin

dilakukan, antara lain:

1. Jika di depannya ada orang lain:

a. Jika orang lain tersebut bergerak searah

dengan seseorang yang ada di

belakangnya, maka pergerakan orang

tersebut akan menyesuaikan orang yang

dihadapannya (Gambar 14).

Aturan yang digunakan pada kondisi

Gambar 14, antara lain:

i. Simpan kecepatan bergerak orang

yang di depannya.

ii. Kecepatan orang di depannya

dikurangi dan menjadi kecepatan

bergerak orang di belakangnya. iii. Bergerak searah.

b. Jika orang lain tersebut bergerak tidak

searah dengan seseorang yang ada di

belakangnya maka pergerakan orang

tersebut akan berputar arah haluan

mencari tempat yang kosong (Gambar

15). Namun, jika tidak ada tempat

kosong, maka orang yang tersebut akan

berhenti sampai mendapatkan tempat.

2. Jika daerah yang dituju sama dengan daerah

yang dituju oleh orang lain, maka hal ini

dapat menyebabkan tabrakan jika tidak

dihindari. Untuk mengantisipasinya, arah

pergerakannya diputar mencari tempat yang

kosong, seperti yang diilustrasikan dalam

Gambar 16.

Target

Target adalah area yang harus dituju oleh

semua orang, yang tak lain adalah potential

field atraktif. Area tersebut mempunyai

pengaruh atau influence yang meliputi seluruh

area.

Nilai pada

daerah ini

dibuat lebih

tinggi dari

sebelumnya.

Nilai pada daerah ini

dibuat lebih tinggi dari sekitarnya

Page 58: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

192 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 186-196

(a) (b)

Gambar 14. Pergerakan yang Searah. (a) Kondisi Awal dan (b) Kondisi Setelah Bergerak.

(a) (b)

Gambar 15. Pergerakan 450 ke Kiri Depan. (a) Kondisi Awal dan (b) Kondisi Setelah Bergerak.

Gambar 16. Jika Daerah yang Dituju Sama.

Page 59: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Kurniawati dkk, Simulasi Pergerakan Pengunjung Mall… 193

Gambar 17. Rancangan Posisi Setiap Orang.

Gambar 18. Rancangan Perhitungan Potential

Field Jalur Penghubung ke-1.

Skenario Pergerakan Kerumunan Manusia

Menuju Pintu Utama

Posisi orang-orang di dalam mall diatur secara

random. Posisi setiap orang tidak ada yang

sama dan tidak boleh menempati area dinding

yang berwarna merah. Selain itu, posisi

menghadap setiap orang diatur menghadap

pintu utama seperti yang ditunjukkan dalam

Gambar 17.

Algoritma Pemilihan Jalur Menggunakan

Potential Field

Pemilihan jalur alternatif menuju pintu utama

menggunakan Algoritma Potential Field.

Rancangan skenario Algoritma Potential Field,

adalah sebagai berikut:

1. Potential field halangan statis diberi nilai

= 0.

2. Potential field jalur-jalur penghubung di

setiap ruangan dijadikan potential field

aktraktif sehingga diberi nilai lebih tinggi

dari sekitarnya. Sedangkan dinding-dinding

dalam ruangan diberi nilai potential field

repulsif. Agar orang-orang dalam ruangan

tersebut dapat keluar menuju jalur

penghubung dan bergerak menjauhi

dinding, maka kedua nilai potential tersebut

digabungkan sesuai dengan Persamaan (4)

dan (5).

Vgo = - V * exp (-λ * Xgo) (4)

Vg1 = V * exp (-λ * Xg1) (5)

Dimana:

V = Konstanta potential field, V=2

(Pemilihan angka 2 agar nilai hasil

tidak terlalu besar)

Λ = Konstanta 0,05 (Pemilihan angka

0.05 agar grafik eksponensialnya

tidak terlalu landai dan tidak

terlalu runcing)

Vg1 = Potential Field aktraktif untuk

jalur penghubung ke-1

Vgo = Potential Field repulsif untuk

dinding-dinding dalam ruangan

tersebut

Xg1 = Jarak ke jalur penghubung ke-1

Xgo = Jarak ke Obstacle

Rancangan perhitungan diilustrasikan dalam

Gambar 18.

Jika nilai Potential field jalur

penghubung ke-1 sudah didapatkan, maka

nilai Potential field jalur penghubung ruang

ke-2 adalah nilai potential field jalur

penghubung ke-2 ditambah dengan nilai

Potential field repulsif dari dinding-dinding

sekitarnya. Nilai-nilai tersebut kemudian

digabungkan dengan nilai Potential field

sebelumnya (jalur penghubung ke-1), dan

berikut seterusnya sesuai dengan Persamaan

(6), (7), dan (8).

Vg2 = Vg2 + Vgo (6)

Vg2 = Vg2 + Vg1 (7)

Vgi = Vgi + Vgi-1 (8)

Jadi, nilai potential field yang ada dalam

peta ruangan mall tersebut adalah

penjumlahan potential field jalur-jalur

penghubung antar ruangan. Urutan

penjumlahan berdasarkan letak ruangan

Page 60: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

194 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 186-196

dimulai dari yang paling dalam sampai

dengan mendekati pintu utama, seperti

dalam Gambar 19.

3. Potential field target diset dengan nilai

paling tinggi dari sekitarnya. Jadi,

perhitungan nilai potential field untuk

target merupakan nilai potential field target

ditambah dengan perhitungan nilai-nilai

potential field jalur-jalur penghubung

sebelumnya sesuai dengan Persamaan (9).

Vga = V * exp (-λ * Xga) (9)

Dimana:

V = Konstanta potential field, V=2

Λ = Konstanta 0,05

Vga = Potential field untuk tujuan

Xga = Jarak ke tujuan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji coba dirancang dalam beberapa skenario

uji coba untuk melihat faktor keberhasilan dari

rancangan simulasi yang dirancang

sebelumnya.

Gambar 19. Urutan Perhitungan Potential

Field Jalur Penghubung antar

Ruangan.

Skenario Pertama

Skenario pertama adalah jika seseorang dalam

perjalanannya menemui halangan statis, yakni

akan menabrak dinding. Pengamatan dilakukan

dengan memvariasi berbagai arah gerak orang

yang akan menabrak dinding. Hasil uji coba ke-

1 sampai dengan ke-4 menunjukkan bahwa jika

seseorang akan menabrak dinding, maka dia

akan berputar ke kanan sebesar (180 + random

180)0 seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 1.

Skenario Kedua

Skenario kedua adalah pengamatan tentang

terhadap pergerakan seseorang jika berpapasan

dengan orang lain, yaitu:

1. Jika ada orang lain di depannya dengan arah

yang sama, maka orang yang berjalan di

belakangnya menyesuaikan kecepatannya

dengan orang yang di depannya. Sedangkan

arah geraknya tergantung pada tempat yang

kosong di depannya.

2. Hasil uji coba ditampilkan dalam Tabel 2.

Jika ada orang lain di depannya dengan arah

yang berbeda, maka orang yang berjalan di

belakangnya menyesuaikan kecepatannya

dengan orang yang di depannya. Sedangkan

arah geraknya tergantung pada tempat yang

kosong di depannya.

3. Hasil uji coba ditampilkan dalam Tabel 3.

Tampak dari hasil uji coba untuk skenario

ini (Tabel 4), masih terjadi tabrakan antar

orang. Terlebih lagi jika jumlah populasinya

sangat besar, maka frekuensi tabrakan juga

semakin besar.

Jika daerah yang dituju sama, maka uji coba

simulasi dilakukan dengan variasi jumlah

populasi.

Skenario Ketiga

Skenario ketiga ini adalah perbandingan

pengamatan pergerakan kecepatan seseorang

untuk sampai tujuan. Uji coba dilakukan

dengan memvariasi daerah asal. Kecepatan

berjalan orang dewasa lebih cepat dari orang

tua. Hasil simulasi seperti yang diperlihatkan

dalam Tabel 5.

Skenario Keempat

Skenario keempat ini adalah skenario utama

pencapaian hasil simulasi, yaitu mengenai

Page 61: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Kurniawati dkk, Simulasi Pergerakan Pengunjung Mall… 195

Tabel.1. Data Uji Perputaran Sudut

Menghindari Rintangan.

No

Uji

coba

ke-n

Sudut

Kedatangan

Sudut

Perputaran

Keberhasilan

Menghindari

Rintangan

1 1 45 o 225 o Ya

2 2 135 o 315 o Ya

3 3 125 o 305 o Ya

4 4 30 o 210 o Ya

Tabel 2. Data Uji Pergerakan skenario ke-2(1).

No Uji coba

ke-n

Berhasil Mencari

Tempat Kosong

Kecepatan

Lebih Pelan

1. 1 Bergerak lurus Ya

2. 2 Berputar Ya

3. 3 Bergerak lurus Ya

4. 4 Berputar Ya

Tabel 3. Data Uji Pergerakan skenario ke-2(2).

No Uji coba

ke-n

Berhasil Mencari

Tempat Kosong

Kecepatan

Lebih Pelan

1. 1 Bergerak lurus Ya

2. 2 Berputar Ya

3. 3 Berputar Ya

4. 4 Berputar Ya

Tabel 4. Data Uji Pergerakan skenario ke-2(3).

No Uji coba

ke-n

Jumlah

Populasi

Jumlah

Tabrakan

1. 1 10 1

2. 2 50 37

3. 3 100 197

4. 4 200 1046

5. 5 400 3957

6. 6 500 9558

Tabel 5. Data Uji Skenario ke-3.

No Uji Coba

ke-n

Waktu Orang

Dewasa

Waktu

Orang Tua

1. 1 68.1 82.4

2. 2 100 105

3. 3 84 93

4. 4 47.1 58

Tabel 6. Data Uji Skenario ke-4.

Jumlah

Populasi

Jumlah

Orang

Sampai

di Tujuan

Jumlah

Orang

Masih di

Ruangan

Waktu

Keluar

Rata-Rata

%

Keberhasilan

yang keluar

10 10 0 124.3 100

50 50 0 126.95 100

100 100 0 142.35 100

200 200 0 182.75 100

400 400 0 252 100

pergerakan orang keluar menuju pintu utama.

Uji coba dilakukan dengan memvariasi jumlah

populasi. Tampak dalam Tabel 6 bahwa semua

orang (dalam berbagai jumlah populasi yang

berbeda) yang terdapat dalam mall berhasil

keluar menuju pintu utama tanpa ada yang

tertinggal di dalam ruangan. Hanya saja waktu

yang diperlukan akan semakin lama jika jumlah

populasinya semakin besar.

SIMPULAN

Dari penelitian penggunaan metode potential

field dalam simulasi kerumunan untuk

pergerakan orang-orang keluar menuju pintu

utama dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dalam kemampuan menghindari halangan

statis (dinding), tingkat keberhasilan

mencapai 100%.

2. Jika dilihat dari collision avoidance dengan

orang lain, tingkat keberhasilannya sudah

mencapai 100% untuk kondisi jika ada

orang lain di depannya. Akan tetapi jika

daerah yang dituju adalah sama maka masih

terjadi tabrakan. Tingkat frekuensi tabrakan

semakin meningkat seiring meningkatnya

jumlah populasi. Untuk jumlah populasi 10,

terjadi satu kali tabrakan dan dapat

mencapai tabrakan 9558 untuk jumlah

populasi 500.

3. Kemampuan pergerakan orang keluar

menuju pintu utama memiliki tingkat

keberhasilannya 100% (tidak terjadi local

minima). Hal ini terjadi karena gaya tarik

yang diberikan oleh potential field aktraktif

di jalur penghubung lebih kuat dari pada

gaya tolak dari dinding yang diberikan oleh

potential field repulsif.

Page 62: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

196 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm. 186-196

DAFTAR PUSTAKA

[1] Treuille A, Cooper S, and Popovi Z.

Continuum Crowds. URL: http://grail.cs.

washington.edu/projects/crowd-flows/

continuum-crowds.pdf, diakses tanggal 20

Oktober 2009.

[2] Michael A and Goodrich. Potential fields

Tutorial. URL: http://students.cs.byu.edu

/~cs470ta/readings, diakses tanggal 11

Desember 2009.

[3] Thurau C, Bauckhage C, and Sageger G.

Learning Human Like Movement Behavior

for Computer Games. URL: http://www.

airesearch.techfak.uni-bielefeld.de/files/

papers/Thurau2004-LHL.pdf, diakses

tanggal 15 Desember 2009.

[4] Foudil C, Noureddine D, Sanza C, and

Duthen Y. Path Finding and Collision

avoidance in Crowd Simulation. Journal

of Computing and Information

Technology. 17: 217-228. 2009.

[5] Lightfoot TJ and Milne GJ. Modelling

Emergent Crowd Behaviour. URL:

http://www.csse.uwa.edu.au/ComplexSyst

ems/Literature/Modelling%20Emergent%

20Crowd%20Behaviour.pdf, diakses

tanggal 18 Desember 2009.

[6] Wolff M, Birenbaum A, and Sagar E.

Crowd Notes on the behaviour of

pedestrians, In People in Places: The

Sociology of the Familiar. New York:

Praeger. 1973.

[7] Villena HC. Multiple Potential field In

Quake 2 Multiplayer, Master Thesis

Department of Software Engineering and

Computer Science Blekinge Institute of

Technology. URL: http://www.

bth.se/fou/cuppsats.nsf/all/5a0cf1e001ac9

489c12571f100512ae6/$file/MasterThesis

HectorVillena.pdf, diakses tanggal 1

Desember 2009.

[8] NetLogo User Community Models. OBS.

URL: http://ccl.northwestern.edu/netlogo

/community/OBS.nlogos, diakses tanggal

1 November 2009.

[9] Laue T and Rover T. A Behavior

Architecture for Autonomous Mobile

Robots Based on Potential field, in

RoboCup 2004: Robot World Cup VIII.

Lecture Notes in Artificial Intelligence,

Springer. (Nr. 3276,S): 122-133. 2005.

URL: http://www.informatik.uni-bremen.

de/kogrob/papers/rc05-potentialfields.pdf,

diakses tanggal 17 Desember 2009.

Page 63: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Vol. 5, No. 3, Januari 2010 ISSN 0216 - 0544

197

DETEKSI OUTLIER BERBASIS KLASTER PADA SET DATA

DENGAN ATRIBUT CAMPURAN NUMERIK DAN KATEGORIKAL

*Dwi Maryono, **Arif Djunaidy Program Magister Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Informasi, ITS

Jl. Raya ITS, Kampus ITS, Sukolilo, Surabaya, 60111

E-Mail: *[email protected], **[email protected]

Abstrak

Deteksi outlier merupakan salah satu bidang penelitian yang penting dalam topik data

mining. Penelitian ini bermanfaat untuk mendeteksi perilaku yang tidak normal

seperti deteksi intrusi jaringan, diagnosa medis, dan lain-lain. Banyak metode telah

dikembangkan untuk menyelesaikan masalah ini, namun kebanyakan hanya fokus

pada data dengan atribut yang seragam, yaitu data numerik atau data kategorikal saja.

Kenyataan di lapangan, set data seringkali merupakan gabungan dari dua nilai atribut

seperti ini. Dalam penelitian ini diajukan sebuah metode untuk mendeteksi outlier

pada set data campuran yaitu MixCBLOF. Algoritma ini merupakan gabungan dari

beberapa teknik, seperti klasterisasi subset data, deteksi outlier berbasis klaster, dan

penggunaan Multi-Atribute Decision Making (MADM). Uji coba dilakukan pada

beberapa set data dari UCI Machine Learning Repository. Evaluasi dilakukan dengan

membandingkan rata-rata pencapaian coverage untuk top ratio antara jumlah outlier

eksak dengan jumlah data. Dari uji coba yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa

MixCBLOF cukup efektif untuk mendeteksi outlier pada set data campuran dengan

rata-rata pencapaian coverage 73,54%. Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan

algoritma CBLOF yang diterapkan pada set data yang telah didiskritisasi dengan rata-

rata pencapaian coverage 67,98%, untuk diskritisasi dengan K-Means, dan 59,48%

untuk diskritisasi dengan equal width.

Kata kunci: data campuran, deteksi outlier, Outlier berbasis klaster, CBLOF,

MixCBLOF.

Abstract

Outlier detection is one of most the important research on mining data. This data is

useful to detect abnormal behaviour such as networking detection, medical diagnosis

and the others. Such methods have been developed to solve these problems, yet mostly

focus on the data in similar attribute like numerical and categorical. Set data, in fact,

is combination of the two attributes. This research purposes a method to detect the

outlier at mix data set, like Mix CBLOF. Furthermore, algorithm is combination of

several techniques such as subset cluster, outlier detection cluster based, and Multi-

attribute Decision Making (MADM). A test was done of a set of data from UCI

Machine Learning Repository. The Evaluation is conducted to compare the means of

coverage achieiving for top ratio between the amount of exact outlier and the amount

of data. From the test, it can be concluded that MixCBLOF is effective to detect

outlier at set of mix data of means of coverage achieiving 73.54%. This result is

better with CBLOF algorithm which is applied at the data set discridit with coverage

achieiving 67.98% for discreet with K-Means, and 59.48% for equal width discreet.

Key words: mix data, outlier detection, outlier cluster based, CBLOF, MixCBLOF

.

Page 64: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

198 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm.197-204

PENDAHULUAN

Deteksi outlier pada sekumpulan data adalah

salah satu bidang penelitian yang terus

berkembang dalam topik data mining.

Penelitian ini sangat bermanfaat untuk

mendeteksi adanya perilaku atau kejadian yang

tidak normal seperti deteksi penipuan

penggunaan kartu kredit, deteksi intrusi

jaringan, penggelapan asuransi, diagnosa

medis, segmentasi pelanggan, dan sebagainya.

Bermacam-macam metode telah

dikembangkan baik berdasarkan teknik ataupun

jenis data yang dijadikan obyek. Untuk set data

numerik, ada banyak teknik yang telah

dikembangkan seperti statistic-based, distance-

based, density-based, clustering-based,

subspace-based, dan lain-lain. Sedangkan

untuk set data kategorikal teknik yang dapat

digunakan di antaranya adalah CBLOF, FPOF

dan LSA. Namun demikian kebanyakan metode

tersebut hanya fokus pada set data yang

seragam, yaitu hanya terdiri dari salah satu tipe

atribut saja. Adanya tipe atribut yang berbeda

biasanya diatasi dengan melakukan

transformasi dari salah satu tipe data menjadi

tipe data yang lain, seperti diskritisasi atribut

numerik. Namun demikian metode diskritisasi

atribut numerik ini terdapat kekurangan seperti

yang disebutkan Tan dkk [1]. Kekurangannya,

antara lain adalah sulitnya menetapkan jumlah

interval yang tepat sehingga dapat

menyebabkan banyak pola yang redundant atau

sebaliknya banyak pola yang hilang. Ini akan

sangat berpengaruh jika atribut numerik cukup

banyak dalam set data.

Sejauh ini tidak banyak penelitian yang

bekerja pada data campuran seperti ini. He dkk

[2] telah melakukan klasterisasi pada data

campuran dengan pendekatan divide and

conquer. Ia membagi set data menjadi dua

subset data, yaitu numerik dan kategorikal.

Masing-masing subset data diklasterisasi,

kemudian hasilnya digabungkan. Data hasil

penggabungan keduanya kemudian diklaster

lagi untuk mendapatkan hasil akhir. Hasil

eksperimen menunjukkan bahwa metode ini

cukup efektif untuk melakukan klasterisasi.

Jika klasterisasi dapat dilakukan dengan

partisi data numerik dan kategorikal [2], maka

tentunya cara ini juga memungkinkan untuk

deteksi outlier.

Mengingat penelitian lain juga menunjukkan

bahwa deteksi outlier pada subset data tertentu

dapat digunakan untuk mendeteksi outlier dari

keseluruhan set data [3,4] Selain itu,

penggabungan klasterisasi subset data juga

digunakan untuk menemukan outlier pada data

numerik dengan konsep cluster uncertainty [5].

Dari beberapa penelitian yang disebutkan di

atas, dimungkinkan untuk melakukan beberapa

pendekatan yang dapat diusulkan dalam

penelitian ini. Di antaranya adalah pembagian

set data menjadi numerik dan kategorikal,

deteksi outlier pada subset data, dan

pemanfaatan klasterisasi untuk untuk deteksi

outlier. Untuk dapat menerapkan ide tersebut

digunakan definisi outlier yang paling tepat.

Outlier didefinisikan berbasis klaster, dimana

sebuah outlier didefinisikan sebagai sembarang

obyek yang tidak berada pada klaster yang

”cukup besar” [6]. Meskipun konsep ini

diusulkan untuk data kategorikal, tapi sangat

memungkinkan untuk diterapkan dengan data

numerik dengan menggunakan konsep jarak.

Penelitian ini dilakukan untuk

menggabungkan beberapa pendekatan di atas

dengan langkah-langkah sebagai berikut.

Pertama, bagi set data menjadi dua bagian,

yaitu subset data numerik dan kategorikal [2].

Selanjutnya dilakukan teknik klasterisasi dan

deteksi outlier pada masing-masing partisi

secara terpisah. Untuk meningkatkan hasil

deteksi outlier pada keseluruhan data,

dilakukan teknik persilangan. Hasil klasterisasi

sub data numerik digunakan untuk menentukan

derajat outlier berbasis klaster dengan atribut

sub data kategorikal. Dan sebaliknya hasil

klasterisasi sub data kategorikal digunakan

untuk menentukan derajat outlier dengan

menggunakan atribut numerik. Selanjutnya,

untuk menggabungkan hasil langkah-langkah

ini dapat digunakan multi-atribut decision

making (MADM) yaitu dengan menggunakan

fungsi atau operator agregat tertentu [7].

DETEKSI OUTLIER BERBASIS

KLASTER

Metode yang diajukan dalam penelitian ini

adalah pengembangan dari konsep outlier

berbasis klaster yaitu dengan mendefinisikan

konsep baru mengenai deteksi outlier berbasis

klaster [6] (Gambar 1).

Page 65: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Maryono dan Djunaidy, Deteksi Outlier Berbasis Klaster… 199

Gambar 1. Set Data DS1 [8].

Gambar 2. Jarak Obyek dari Centroid

Terdekat [10].

Gambar 3. Jarak Relatif Obyek dari Centroid

Terdekat [10].

Gambar 1 memperlihatkan data dua dimensi

yang terdiri dari empat klaster C1, C2, C3, dan

C4. Dari sudut pandang klaster, obyek-obyek

data pada C1 dan C3 dapat dianggap sebagai

outlier karena tidak terdapat pada klaster yang

besar yaitu C2 dan C4. C2 dan C4 disebut klaster

besar karena C2 dan C4 merupakan klaster yang

dominan pada set data, yaitu memuat sebagian

besar obyek pada set data [9].

Konsep CBLOF digunakan untuk

menyelesaikan masalah deteksi outlier pada

data kategorikal [6]. Namun, dalam penelitian

ini dapat ditunjukkan bahwa konsep ini juga

dapat dikembangkan untuk data numerik juga.

CBLOF (Cluster-Based Outlier Factor)

Untuk mengidentifikasi signifikansi fisik dari

definisi outlier, setiap obyek didefinisikan

dengan sebuah derajat yang disebut dengan

CBLOF (Cluster Based Local Outlier Factor)

yang diukur dengan ukuran klaster di mana ia

berada dan jaraknya terhadap klaster terdekat

(jika ia terdapat dalam obyek kecil) [6].

Definisi 1: Misalkan A1, A2, ..., Am adalah

himpunan atribut dengan domain D1, D2, ...,

Dm. Set data D terdiri dari record atau transaksi

t: t∈D1 × D2 × …×Dm. Hasil klasterisasi pada

D dinotasikan sebagai C= C1, C2, …, Ck

dimana Ci ∩ Cj = ∅ dan C1∪ C2∪ …∪Ck=D,

dengan k adalah jumlah klaster.

Masalah yang penting pada tahap selanjutnya

adalah pendefinisian klaster besar (large

cluster) dan klaster kecil (small cluster).

Definisi 2: Misalkan C= C1, C2, …, Ck

adalah himpunan klaster pada set data dengan

urutan ukuran klaster adalah |C1| ≥ |C2 |≥ …≥

|Ck|. Diberikan dua parameter numerik α dan

β. Didefinisikan b sebagai batas antara klaster

besar dan kecil jika memenuhi formula pada

Persamaan (1) dan (9).

(|C1|+|C2|+...+|Cb|)≥|D|*α (1)

|Cb|/|Cb+1|≥β (2)

Didefinisikan himpunan klaster besar (large

cluster) sebagai LC = Ci, / i ≤ b dan klaster

kecil (small cluster) didefinisikan dengan SC =

Ci, / i >b.

Definisi 2 memberikan ukuran kuantitatif

untuk membedakan klaster besar dan kecil.

Persamaan (1) menunjukkan bahwa sebagian

besar data bukan outlier. Oleh karena itu

Page 66: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

200 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm.197-204

klaster besar mempunyai porsi yang jauh besar.

Sebagai contoh jika α diberikan 90% maka

artinya lebih klaster besar memuat lebih dari

90% dari total obyek data pada set data.

Persamaan (2) menunjukkan fakta bahwa

klaster besar dan kecil harus memiliki

perbedaan yang signifikan. Jika diberikan β =

5, artinya setiap klaster besar minimal 5 kali

lebih besar dari klaster kecil.

Definisi 3: Misalkan C = C1, C2, …, Ck

adalah himpunan klaster dengan urutan ukuran

|C1| ≥ |C2| ≥ … ≥ |Ck|. Didefinisikan LC dan SC

sebagaimana Definisi 2. Untuk sembarang

record t, didefinisikan cluster-based local

outlier factor sebagaimana Persamaan (3).

∈∈

∈∈∈=

C ,Cuntuk t )),(s*(||

Cdan C ,Cuntuk t ),( smax(*||)(

ii

jii

LCtCimC

LCSCtCimCtCBLOF

ii

ji (3)

Fungsi sim(C,t) pada Persamaan (3) adalah

fungsi kemiripan transaksi t terhadap kelas C

sebagaimana dalam algoritma Squeezer [8].

Meskipun CBLOF diperuntukkan untuk data

kategorikal dan dapat dikembangkan untuk

data numerik. Ini dilakukan dengan

mendefinisikan CBLOF dengan perhitungan

derajat outlier sebagaimana Persamaan (3).

NCBLOF (Implementasi CBLOF pada Data

Numerik)

Salah satu pendekatan deteksi outlier berbasis

klaster adalah dengan mengesampingkan

klaster-klaster kecil yang jauh dari klaster yang

lain. Pendekatan ini dapat digunakan dengan

menggunakan sembarang teknik klasterisasi,

namun memerlukan threshold berapa jumlah

minimum ukuran klaster dan jarak antara

klaster kecil dengan klaster yang lebih besar.

Pendekatan lain adalah dengan menentukan

derajat dimana sebuah obyek berada pada

sembarang klaster. Sebagai perwakilan klaster

dapat digunakan centroid untuk menghitung

jarak antara obyek dengan klaster.

Ada beberapa cara untuk mengukur jarak

sebuah obyek ke sebuah klaster, yaitu dengan

mengukur jarak sebuah obyek terhadap

centroid terdekat, atau dapat juga dengan

mengukur jarak relatif obyek dengan centroid

terdekat. Jarak relatif adalah rasio jarak obyek

terhadap centroid dibagi dengan jarak rata-rata

semua titik terhadap centroid klaster di mana ia

berada.

Hasil derajat outlier dapat dilihat

berdasarkan shading. Pendekatan hanya

berdasarkan jarak saja akan menyebabkan

masalah jika set data mempunyai kerapatan

yang berbeda-beda. Pada Gambar 2, dengan

menggunakan jarak saja, obyek D tidak

dianggap sebagai outlier, padahal obyek

tersebut cenderung sebagai outlier lokal dari

klaster terdekatnya. Sedangkan pendekatan

pada Gambar 3, akan mengidentifikasikan A,

C, dan D sebagai outlier sebagaimana

Algoritma LOF [9].

Namun demikian jika sebuah obyek berada

dalam klaster yang kecil, maka untuk

perhitungan dengan jarak relatif seperti di atas

ia tidak akan terdeteksi sebagai outlier. Oleh

karena itu, pada penelitian ini digunakan

pendekatan sebagaimana pada CBLOF yang

menganggap obyek-obyek dalam klaster yang

kecil sebagai kandidat outlier. Deteksi outlier

menggunakan konsep mengenai klaster besar

dan klaster kecil juga, dimana derajat outlier

dihitung sebagai Numerical Cluster-based

Local Outlier Factor (NCBLOF).

Dalam CBLOF ada dua komponen

pembentukan derajat outlier, yaitu jumlah

anggota klaster besar terdekat dan

kemiripannya terhadap klaster terdekat

tersebut. Dua komponen ini digunakan juga

untuk mendefinisikan NCBLOF sebagaimana

Persamaan (4).

∈∈

=

∈∈∈

=

C ,Cuntuk t )),(distance relatif

1|C|

))(,min(argC

,Cdan C ,Cuntuk t ),(distance relatif

1||

)(

iii

j

jii

LCCt

Ccentroidt

LCSCCt

C

tNCBLOF

i

j

j

j

Rumus NCBLOF pada Persamaan (4)

didefinisikan dengan menyesuaikan

interprestasi derajat outlier pada CBLOF pada

Persamaan (3).

MULTI CRITERIA DECISION

MAKING (MCDM)

MCDM adalah cabang dari masalah

pengambilan keputusan, yang berkaitan dengan

pengambilan keputusan, di bawah keberadaan

sejumlah kriteria keputusan. Metode ini dibagi

menjadi Multi-objective Decision making

(MODM) dan Multi-attribute decision making

(MADM). Metodologi ini mencakup adanya

(4)

Page 67: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Maryono dan Djunaidy, Deteksi Outlier Berbasis Klaster… 201

konflik antar kriteria, incomparable unts, dan

kesulitan dalam pemilihan alternatif. Dalam

MODM, alternatif-alternatif solusi tidak

ditentukan lebih dahulu. Melainkan

sekumpulan fungsi obyektif dioptimasi

terhadap sekumpulan konstrain atau batasan.

Dalam MADM, alternatif dievaluasi dengan

mengatasi sekumpulan kriteria atau atribut

yang saling konflik. Masalah penggabungan

outlier dalam permasalahan penelitian ini

termasuk dalam kategori ini. Masing-masing

sub data numerik dan kategorikal dianggap

sebagai sebuat atribut dalam MADM. Teori

yang banyak digunakan dalam MADM adalah

multi-atribut value theory (MAVT), dimana

perangkingan alternatif keputusan

dibangkitkan. Dalam prakteknya, metode

berbasis MAVT menggunakan operator

agregasi yang dirasa cocok untuk mendapatkan

faktor outlier dari seluruh obyek. Operator

tersebut di antaranya adalah operator product

(kali), sum (tambah), dan operator S∞.

Berikut adalah macam-macam operator

agregat yang dapat digunakan dalam MAVT:

1. Operator Perkalian ∏

Operator perkalian juga dikenal sebagai

metode perkalian berbobot. Operator ini

menggunakan perkalian untuk

menghubungkan rating dari atribut sebagai

berikut:

⊕( a1, a2, ..., am) = ∏ (a1w1, a2

w2, ..., amwm) =

a1w1 a2

w2 ... amwm = ∏ ai

wi

2. Operator Penjumlahan

Operator penjumlahan juga disebut dengan

metode penjumlahan berbobot. Operator ini

menggunakan penambahan untuk

menghubungkan rating dari atribut sebagai

berikut:

⊕( a1, a2, ..., am) = +(w1 a1, w2 a2, ..., wm am)

= w1 a1+w2 a2, ... +wm am = Σwi ai

3. Operator S∞

Operator S∞ juga dikenal dengan operator

maksimum atau operator agregasi dasar.

Operator ini memberikan nilai terbesar dari

sekumpulan nilai yang diberikan sebagai

berikut:

⊕( a1, a2, ..., am) = S∞ (w1 a1, w2 a2, ..., wm

am) = max wi ai

ALGORITMA MIXCBLOF

Penelitian ini mengusulkan metode MixCBLOF

untuk menyelesaikan masalah deteksi outlier

pada set data campuran. Misalkan diberikan

sebuah set data D yang terdiri dari n obyek

dengan atribut campuran numerik dan

kategorikal. Langkah-langkah Algoritma

MixCBLOF adalah sebagai berikut:

1. Bagi set data campuran menjadi dua bagian,

yaitu set data numerik, D1 dan set data

kategorikal, D2.

2. Lakukan klasterisasi pada subset data

numerik D1 sehingga diperoleh sejumlah

klaster C11, C12, ..., C1p dengan ukuran

berturut-turut:

|C11| ≥ |C12| ≥ ... ≥ |C1p|

Tentukan klaster besar (LC) dan klaster

kecil (SC) menggunakan Definisi 2.

3. Terapkan deteksi outlier berbasis klaster

menggunakan atribut numerik, NCBLOF,

terhadap obyek-obyek dalam klaster pada

langkah 2 sebagaimana Persamaan (4).

4. Terapkan deteksi outlier berbasis klaster

menggunakan atribut kategorikal terhadap

obyek-obyek dalam klaster pada langkah 2

dengan CBLOF pada Persamaan (3).

5. Lakukan klasterisasi pada sub set data

kategorikal sehingga diperoleh sejumlah

klaster C21, C22, ..., C2q dengan ukuran

berturut-turut:

|C21| ≥ |C22| ≥ ... ≥ |C2q|

Tentukan klaster besar (LC) dan klaster

kecil (SC) menggunakan Definisi 2.

6. Terapkan deteksi outlier berbasis klaster

menggunakan atribut kategorikal terhadap

obyek-obyek dalam klaster pada langkah 2

dengan CBLOF pada Persamaan (3).

7. Terapkan deteksi outlier berbasis klaster

menggunakan atribut numerik terhadap

obyek-obyek dalam klaster pada langkah 5

dengan NCBLOF pada Persamaan (4).

8. Susun derajat outlier pada langkah 3, 4, 6,

dan 7 dalam matrik keputusan A=[aij].

9. Lakukan pembobotan secara default (bobot

sama) atau dengan metode Entropy.

10. Gabungkan bobot outlier tiap obyek t1, t2, ..,

tn pada langkah 9 dengan fungsi agregat

untuk mendapatkan derajat outlier akhir OF

dari sebuah obyek ti.

OF(ti ) = ⊕ (a1i, a2i, a3i, a4i)

Page 68: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

202 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm.197-204

HASIL DAN PEMBAHASAN

Algoritma MixCBLOF diimplemetasikan pada

beberapa set data nyata yang diperoleh dari

UCI Machine Learning Repository dengan

beberapa karakteristik khusus. Set data uji coba

terdiri dari atribut campuran numerik dan

kategorikal serta memiliki beberapa kelas atau

klaster dimana sebagian di antaranya adalah

kelas dengan ukuran yang relatif lebih kecil

sehingga dapat dianggap sebagai sekumpulan

outlier. Data yang digunakan pada uji coba ini

adalah Set data Cleveland (Heart Disease),

Hypothyroid, Hepatitis, dan Annealing. Dalam

algoritma MixCBLOF ini melibatkan

Algoritma Squeezer dan CBLOF untuk sub

data kategorikal, sedangkan untuk data

numerik digunakan Algoritma CLUTO [10]

dan NCBLOF.

Uji coba dijalankan sesuai dengan skenario

yang telah dirancang, yaitu:

1. Menentukan parameter yang tepat utuk

Algoritma MixCBLOF meliputi penentuan

α, β, operator agregat, dan pembobotan

yang tepat untuk masing-masing set data

2. Membandingkan MixCBLOF dibandingkan

dengan algoritma lain, yaitu algoritma

CBLOF yang diterapkan pada set data yang

sudah didiskritisasi.

Evaluasi dilakukan dengan menggunakan

top ratio dan coverage. Top ratio adalah

perbandingan antara jumlah k outlier yang

dihasilkan oleh algoritma (n top ratio) dengan

jumlah keseluruhan obyek dalam data.

Sedangkan coverage adalah rasio antara jumlah

outlier eksak yang terdeteksi dengan jumlah

keseluruhan outlier eksak yang dicari. Agar

lebih mudah dalam melakukan analisa hasil,

evaluasi dilakukan dengan melihat rata-rata

pencapaian coverage untuk top ratio antara

jumlah outlier eksak dengan jumlah

keseluruhan data.

Hasil uji coba algoritma MixCBLOF dapat

dilihat pada Tabel 1. Pencapaian coverage

terbaik untuk top ratio antara jumlah outlier

eksak dengan jumlah keseluruhan data dicetak

dengan huruf tebal. Jika dilakukan rata-rata,

algoritma MixCBLOF mencapai coverage

73.54%. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa di

antara operator yang ada, operator perkalian

menghasilkan kinerja yang lebih baik jika

dibandingkan dengan dua operator lainnya,

yaitu penjumlahan dan maksimum. Selain itu,

pembobotan sama menghasilkan kinerja yang

lebih baik jika dibandingkan pembobotan

dengan pembobotan berdasaran entropy.

Salah satu parameter yang juga penting,

selain operator agregat dan pembobotan,

adalah α dan β yang mempengaruhi

dipenuhinya konsep klaster besar dan kecil.

Pada Tabel 2 dapat dilihat hasil pencapaian

coverage untuk dua kasus, yaitu dipenuhinya

konsep klaster besar dan kecil atau tidak.

Berdasarkan hasil Tabel 2, tidak ada perbedaan

yang signifikan terhadap dipenuhinya konsep

klaster besar dan kecil. Namun demikian

konsep ini tetap dibutuhkan berdasarkan

definisi CBLOF yang dijelaskan di awal.

Tabel 1. Pencapaian Coverage untuk n = Jumlah Outlier Eksak pada Keseluruhan Set Data

Berdasarkan Operator dan Pembobotan.

Coverage

(+) ∏ S∞ Set data

wi=1 entropy wi=1 entropy wi=1 entropy

Sub data Cleveland I 76.90% 53.80% 92.30% 76.90% 53.80% 23.10%

Sub data Cleveland II 77.00% 77.00% 89.00% 86.00% 66.00% 66.00%

Dataset Cleveland 73.00% 74.00% 76.00% 75.00% 69.00% 68.00%

Hypothyroid 72.10% 73.00% 47.50% 63.90% 9.00% 54.90%

Hepatitis 52.40% 33.30% 66.70% 47.60% 33.30% 19.00%

Annealing 35.30% 32.40% 47.10% 47.10% 26.50% 26.50%

Rata-rata 64.45% 57.25% 69.77% 66.08% 42.93% 42.92%

Page 69: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Maryono dan Djunaidy, Deteksi Outlier Berbasis Klaster… 203

Tabel 2. Perbandingan Kinerja MixCBLOF

Dilihat dari Pemenuhan Konsep

Klaster Besar dan Kecil.

Dipenuhi Konsep Klaster

Besar/Kecil Set data

Iya Tidak

Sub Cleveland I 61.50% 53.80%

Hypothyroid 67.20% 72.10%

Hepatitis 66.70% 66.7%

Annealing 47.10% 47.10%

Rata-rata Coverage 60.63% 59.93%

Tabel 3. Perbandingan Pencapaian Coverage

Terbaik untuk Top Ratio, N=Jumlah

Outlier Eksak, Antara Mixcblof

dengan CBLOF Berbasis

Diskritisasi Set Data.

Best Coverage

CBLOF Set data

MixCBLOF K-Means Equal

Width

Sub data

Cleveland I

92.30% 84.60% 92.30%

Sub data

Cleveland II

88.60% 82.90% 88.60%

Hypothyroid 73.00% 66.40% 16.40%

Hepatitis 66.70% 61.90% 61.90%

Annealing 47.10% 44.10% 38.20%

Rata-rata 73.54% 67.98% 59.48%

Tabel 4. Running Time Algoritma

MixCBLOF dilihat dari Jumlah

Atribut dan Record.

Set data Jumlah

record

Jumlah

atribut

Running

time

(detik)

Sub data

Cleveland I

177 14 0.125

Sub data

Cleveland II

199 14 0.1563

Hypothyroid 2000 17 0.4688

Hepatitis 118 16 0.1406

Annealing 535 6 0.1406

Pada uji coba juga dilakukan perbandingan

MixCBLOF terhadap Algoritma CBLOF

dengan diskritisasi atribut numerik. Hasil dari

keseluruhan uji coba dirangkum pada Tabel 3.

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa Algoritma

MixCBLOF dapat menyelesaikan masalah

deteksi outlier pada set data campuran dengan

cukup baik. Top ratio antara jumlah outlier

eksak dengan jumlah keseluruhan data mampu

mencapai rata-rata coverage sebesar 73.54 %.

Hasil ini lebih baik jika dibandingkan CBLOF

dengan diskritisasi numerik yang hanya mampu

mencapai rata-rata coverage 67.98% untuk

diskritisasi dengan K-Means dan 59.48% untuk

diskritisasi dengan equal width.

Tabel 4 menampilkan informasi mengenai

running time dari algoritma MixCBLOF jika

dilihat dari jumlah atribut dan record pada

masing-masing kasus. Uji coba ini dilakukan

pada lingkungan sebagai berikut.

1. Hardware:

a. Processor: Dual Core Genuine Intel

(R) CPU T2080 @ 1.73 GHz

b. Memory: DDR 512 MB

c. Hard disk: 80 GB

2. Software:

a. Microsoft Windows XP Professional

Version 2002 Service Pack 2

b. MATLAB Versi 7.0

SIMPULAN DAN SARAN

Dari uji coba dan pembahasan yang telah

dilakukan dapat ditarik simpulan sebagai

berikut:

1. Berkaitan dengan penggunaan parameter

Algoritma MixCBLOF:

a. Penetapan nilai α dan β yang tepat

diperlukan untuk mendapatkan konsep

klaster besar dan kecil. Hal ini berguna

untuk mendapatkan definisi outlier yang

sesungguhnya sesuai dengan konsep

outlier berbasis klaster. Mengenai

besaran nilai α dan β dapat ditentukan

dengan melihat hasil klasterisasi pada

kedua subset data numerik dan

kategorikal.

b. Operator perkalian menghasilkan rata-

rata coverage lebih baik dibandingkan

dua operator penjumlahan dan

maksimum untuk top ratio sejumlah

outlier eksak.

c. Pembobotan sama (wi=1) menghasilkan

rata-rata coverage lebih baik daripada

pembobotan berdasarkan entropy untuk

top ratio sejumlah outlier eksak.

Page 70: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

204 Jurnal Ilmiah KURSOR Vol. 5, No. 3, Januari 2009, hlm.197-204

2. Algoritma MixCBLOF dapat menyelesaikan

masalah deteksi outlier pada set data

dengan atribut campuran dengan baik, yaitu

dengan rata-rata coverage 73.54%. Hasil ini

lebih baik daripada menggunakan metode

diskritisasi atribut numerik yang hanya

mencapai coverage 67.98% dengan

menggunakan metode unsupervised seperti

K-Means dan 59.48% dengan menggunakan

equal width.

Untuk pengembangan lebih lanjut, dapat

dilakukan dengan mencari sebuah metode yang

dapat secara otomatis menentukan parameter

treshold s dan k pada metode klasterisasi. Ide

yang dapat digunakan adalah dengan

mengoptimalkan hasil klasterisasi yang mampu

menghasilkan klaster-klaster besar dan kecil

dengan ukuran yang jauh berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Tan PN, Steinbach M, and Kumar V.

Introduction to Data Mining. Boston:

Pearson Addison Weisley. 2006.

[2] He Z, Deng X, and Xu X. Clustering

Mixed Numeric and Categorical Data: A

Cluster Ensemble Approach. eprint

arXiv:cs/0509011. 2005. URL:

http://arxiv.org/ftp/cs/papers/0509/050901

1.pdf, diakses tanggal 20 November 2009.

[3] Assent I, Krieger R, Muller E, and Seidl

T. Subspace Outlier Mining in Large

Multimedia Databases. Dagstuhl Seminar

Proceedings 07181: Parallel Universes

and Local Patterns. 2007. URL:

http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/downl

oad?doi=10.1.1.90.4039&rep=rep1&type

=pdf, diakses tanggal 20 Nopember 2009.

[4] Aggarwal C and Yu P. An Effective and

Efficient Algorithm for High-dimensional

Outlier Detection. VLDB Journal. 14:

211-221. 2005.

[5] Hong Y, Kwong S, Chang Y and Ren Q.

Unsupervised Data Pruning for Clustering

of Noisy Data. Elvesier: Knowledge-

Based System. 21: 612-616. 2008.

[6] He Z, Xu X and Deng S. Discovering

Cluster-based Local Outliers. Pattern

Recognition Letter. 24: 1641-1650. 2003.

[7] Climaco J. Multicriteria analysis. New

York: Springer-Verlag. 1997.

[8] He Z, Xu X and Deng S. Squeezer: An

Efficient Algorithm for Clustering

Categorical Data. Journal of Computer

Science and Technology. 17: 611-624.

2002.

[9] Breunig M M. Kriegel. HP, Ng RT and

Sander J. LOF: Identifying Density-based

Local Outliers. Proceedings of the 2000

ACM SIGMOD International Conference

on Management of Data. 93-104. 2000.

[10] Anonim. CLUTO 2.1.1. Software for

Clustering High-Dimensional Dataset.

URL: http://www.cs.umn.edu/~karpys,

diakses tanggal 20 November 2009.

Page 71: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

PEDOMAN BAGI (CALON) PENULIS KURSOR

1. Naskah yang ditulis untuk KURSOR meliputi hasil pemikiran dan hasil penelitian di bidang

Informatika dan Teknologi Informasi. Naskah harus diketik rapi pada kertas A4 sepanjang

maksimum 15 halaman (satu kolom) dan setiap lembar tulisan harus diberi nomor halaman.

Penulisan naskah menggunakan huruf Times New Roman ukuran 12 poin, dengan margin

kanan 2 cm, margin kiri 3 cm, margin atas 2 cm, dan margin bawah 3 cm, serta format dengan

1.5 spasi. Berkas (file) dibuat dengan menggunakan Microsoft Word. Naskah dapat dikirimkan

sewaktu-waktu melalui email ke alamat: [email protected].

2. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, disertai dengan judul pada

masing-masing bagian naskah. Judul naskah dicetak dengan huruf besar di tengah-tengah,

dengan huruf sebesar 14 poin. Peringkat judul bagian dinyatakan dengan jenis huruf yang

berbeda (semua judul bagian dan sub-bagian dicetak tebal atau tebal dan miring), dan tidak

menggunakan angka nomor pada judul bagian:

PERINGKAT 1 (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, RATA TEPI KIRI)

Peringkat 2 (Huruf Besar Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri)

Peringkat 3 (Huruf Besar Kecil, Tebal-Miring, Rata Tepi Kiri)

3. Sistematika naskah hasil pemikiran adalah: judul yang harus ditulis secara ringkas, tetapi

cukup informatif untuk menggambarkan isi naskah; nama penulis (tanpa gelar akademik);

instansi penulis beserta alamat pos; alamat email; abstrak (150-200 kata); kata kunci (minimal

tiga buah); pendahuluan yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan;

bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-bagian); penutup atau simpulan; daftar

pustaka (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).

4. Sistematika naskah hasil penelitian adalah: judul yang harus ditulis secara ringkas, tetapi

cukup informatif untuk menggambarkan isi naskah; nama penulis (tanpa gelar akademik);

instansi penulis beserta alamat pos; alamat email; abstrak (150-200 kata) yang berisi latar

belakang, tujuan, metode, dan hasil penelitian; kata kunci (minimal tiga buah); pendahuluan

yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian; metode (dapat terdiri

lebih dari satu buah metode); hasil dan pembahasan; simpulan dan atau saran; daftar pustaka

(hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).

5. Tabel dan gambar harus diberi nomor dan judul lengkap serta harus diacu dalam tulisan.

Contoh: Tabel 1, Tabel 2(a), Gambar 1, Gambar 2(a).

6. Persamaan matematika harus diberi nomor urut dalam kurung biasa dengan penulisan rata

kanan dan harus diacu dalam tulisan.

7. Sumber pustaka/rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun

terakhir. Pustaka yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian

(termasuk Skripsi/Tugas Akhir, Tesis, Disertasi) atau naskah-naskah penelitian dalam jurnal

dan/atau majalah ilmiah.

8. Daftar Pustaka disusun dengan menggunakan cara penomoran (pemberikan angka) yang

berurutan untuk menunjukkan rujukan pustaka (sitasi). Dalam daftar pustaka, pemunculan

sumber rujukan dilakukan secara berurut menggunakan nomor sesuai kemunculannya sebagai

sitasi dalam naskah tulisan, sehingga memudahkan pembaca untuk menemukannya. Berikut

adalah contoh penulisan daftar pustaka:

Page 72: DAFTAR ISI - viplab.if.its.ac.idviplab.if.its.ac.id/wp-content/uploads/2010/07/kursor_0503_jan2010...Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Informatika, ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS,

Jurnal:

[1] Nama_Belakang_Penulis Singkatan_Nama_Depan_Penulis. Judul_Naskah. Nama_Jurnal.

Volume: Halaman. Tahun.

Contoh:

[1] Priyambodo TK. Infrastruktur Teknologi Informasi dalam Implementasi e-Government.

KURSOR. 1: 9-14. 2005.

Buku:

[2] Nama_Belakang_Penulis Singkatan_Nama_Depan_Penulis. Judul_Buku. Nama_Kota:

Nama_Penerbit. Tahun.

Contoh:

[2] Hoffer JA, George JF and Valacich JS. Modern Systems Analysis and Design 4th Edition.

New Jersey: Pearson Prentice Hall. 2005.

Naskah dari internet:

[3] Nama_Belakang_Penulis Singkatan_Nama_Depan_Penulis. Tahun. Judul_Naskah. URL,

Tanggal_Akses.

Contoh:

[3] Ahmed K and Moore G. An Introduction to Topic Maps. July 2005. URL:

http://msdn2.microsoft.com/en-us/library/aa480048.aspx, diakses tanggal 14 Agustus

2007.

9. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewers) yang ditunjuk oleh redaksi

menurut bidang kepakarannya. Penulis naskah diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan

(revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari dan redaksi pelaksana.

Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis melalui email.

10. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh redaksi dan/atau dengan melibatkan

penulis. Naskah yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh

redaksi jika diketahui bermasalah.

11. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer

untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh

penulis naskah, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi

tanggung jawab penuh penulis naskah tersebut.

12. Penulis yang naskahnya dimuat wajib membayar kontribusi biaya cetak sebesar Rp.

100.000,00 (seratus ribu rupiah) per judul. Sebagai imbalannya, penulis menerima nomor bukti

pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar dan cetak lepas sebanyak 2 (dua) eksemplar. Naskah

yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.