Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD...

82
Laporan Penelitian Penurunan Kadar Glutamat pada Cedera Otak Traumatik Pascapemberian Agonis Adrenoseptor Alpha-2 Dexmedetomidin sebagai Indikator Proteksi Otak MM. Rudi Prihatno, M Sofyan Harahap, Ieva B. Akbar, Tatang Bisri............................. 69–79 Laporan Kasus Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik Rebecca S. Mangastuti, Bambang J. Oetoro, Sudadi ............................................................ 80–87 Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Cedera Medula Spinalis Segmen Cervicalis Tomas Ari Kurniawan Komala, I Putu Pramana Suarjaya, I Ketut Sinardja ........................ 88–95 Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien dengan Tumor Supratentorial Berukuran Besar Suspek Konveksitas Meningioma Caroline Wullur, Dewi Yulianti Bisri ..................................................................................... 96–102 Penatalaksanaan Anestesi pada Kehamilan dengan Tumor Medula Spinalis Ni Made Supradnyawati, I Putu Pramana Suarjaya, I Ketut Sinardja .................................... 103–11 Penatalaksanaan Perioperatif Perdarahan Intraserebral Sandhi Christanto, Nazaruddin Umar, A. Himendra Wargahadibrata .................................... 112–20 Tinjauan Pustaka Efek Anestesia Aliran Rendah Sevofluran terhadap Respon Inflamasi pada Susunan Saraf Pusat Kusuma Harimin, Tatang Bisri .............................................................................................. 121–31 Gangguan Koagulasi dan Hubungannya dengan Luaran Pascacedera Otak Traumatik Kenanga Marwan, Nazaruddin Umar, Siti Chasnak Saleh, A. Himendra Wargahadibrata..... 132–40 Daftar Isi

Transcript of Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD...

Page 1: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

Laporan Penelitian

Penurunan Kadar Glutamat pada Cedera Otak Traumatik Pascapemberian Agonis Adrenoseptor Alpha-2 Dexmedetomidin sebagai Indikator Proteksi OtakMM. Rudi Prihatno, M Sofyan Harahap, Ieva B. Akbar, Tatang Bisri............................. 69–79

Laporan Kasus

Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke HemoragikRebecca S. Mangastuti, Bambang J. Oetoro, Sudadi ............................................................ 80–87

Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Cedera Medula Spinalis Segmen CervicalisTomas Ari Kurniawan Komala, I Putu Pramana Suarjaya, I Ketut Sinardja ........................ 88–95

Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien dengan Tumor Supratentorial Berukuran Besar Suspek Konveksitas Meningioma Caroline Wullur, Dewi Yulianti Bisri ..................................................................................... 96–102

Penatalaksanaan Anestesi pada Kehamilan dengan Tumor Medula SpinalisNi Made Supradnyawati, I Putu Pramana Suarjaya, I Ketut Sinardja .................................... 103–11

Penatalaksanaan Perioperatif Perdarahan IntraserebralSandhi Christanto, Nazaruddin Umar, A. Himendra Wargahadibrata .................................... 112–20

Tinjauan Pustaka

Efek Anestesia Aliran Rendah Sevofluran terhadap Respon Inflamasi pada Susunan Saraf PusatKusuma Harimin, Tatang Bisri .............................................................................................. 121–31

Gangguan Koagulasi dan Hubungannya dengan Luaran Pascacedera Otak TraumatikKenanga Marwan, Nazaruddin Umar, Siti Chasnak Saleh, A. Himendra Wargahadibrata..... 132–40

Daftar Isi

Page 2: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

69

Penurunan Kadar Glutamat pada Cedera Otak Traumatik Pascapemberian Agonis Adrenoseptor Alpha-2 Dexmedetomidin sebagai Indikator Proteksi Otak

MM Rudi Prihatno*), M. Sofyan Harahap**), Ieva B Akbar***), Tatang Bisri****)*)Lab. Anestesiologi &Terapi Intensif FKIK Unsoed–RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto,

**)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Undip–RSUP Dr. Kariadi Semarang***)Departemen Ilmu Faal dan Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, ****)Departemen

Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–RSUP Dr. Hasan Sadikin

Abstrak

Latar Belakang dan Tujuan: Dexmedetomidin untuk kasus-kasus neurotrauma masih kontroversi, antara yang setuju dan menolak. Dexmedetomidin sebagai agonis adrenoseptor α2 memiliki beberapa keuntungan dalam kaitannya dengan kemampuannya sebagai neuroprotektan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek neuroproteksi dari dexmedetomidin yang dilihat dari pengaruhnya terhadap penurunan kadar glutamat.Subjek dan Metode Penelitian single blind randomized controlled trial dilakukan pada 16 orang yang datang ke IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan GCS ≤8 pada Mei–Desember 2013. Subjek dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok dexmedetomidin dan NaCl 0,9%. Pembedahan dilakukan dalam rentang waktu 9 jam pascatrauma. Pemeriksaan kadar glutamat dengan menggunakan metode ELISA. Analisis data menggunakan uji-t dan uji Mann-Whitney.Hasil: Kelompok yang mendapatkan dexmedetomidin menunjukkan bahwa pemberian dexmedetomidin 0,4 μg/kgBB/jam secara kontinyu, menunjukkan penurunan kadar glutamat yang diukur mulai dari awal perlakuan hingga jam ke-24 sebanyak 27,9% (p=0,025), dari jam ke-24 hingga jam-72 sebanyak 9,6% (p=0,208), serta dari awal perlakuan hingga jam ke-72 sebanyak 57,1% (p=0,036). Kelompok yang tidak mendapatkan dexmedetomidin mengalami peningkatan kadar glutamat. Simpulan: Pemberian dexmedetomidin 0,4 μg/kgBB/jam dapat menurunkan kadar glutamat pada pasien cedera otak traumatik dengan GCS ≤ 8.

Kata kunci: dexmedetomidin, glutamat, neuroproteksi, cedera otak traumatikJNI 2014;3 (2): 69‒79

Decreased Level of Glutamate after Administration of Dexmedetomidine (Alpha-2 Adrenoreceptor Agonist) as Neuroprotective Indicator in Traumatic Brain Injury

Abstract

Background and Objective: The usage of Dexmedetomidine in neurotrauma cases is still controversial, between the pros and cons. Dexmedetomidine as α2-adrenoceptor agonist has several benefits in concomitant with its properties as neuroprotector. This study aims to evaluate the neuroprotection effect of dexmedetomidine based on the decline in glutamate level. Subject and Method: This single blind randomized controlled trial was done in 16 TBI patients with GCS ≤ 8, recruited from May-December 2013. Subjects were equally divided into 2 groups: dexmedetomidine and 0.9% NaCl group. Surgery was performed within 9 hours post TBI. Glutamate level was examined using ELISA method. Data were analyzed using t-test and Mann-Whitney test. Result: This study showed that glutamate levels in patient who received continuous intravenous dexmedetomidine 0.4 mcg / kg / h were decreased, starting from baseline to 24 h (27.9%, p=0.025), 24 to 72 h (9.6%, p= 0.208) and baseline to 72 h (57.1%, p= 0.036). All patients in NaCl 0.9% group experienced an increase in glutamate level.Conclusion: Administration of dexmedetomidine 0.4 mcg/kg/h in TBI patient with GCS ≤ 8 could decrease glutamate level.

Key words: dexmedetomidine, glutamate, neuroprotective, traumatic brain injury

JNI 2014;3 (2): 69‒79

Page 3: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

70 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Cedera otak traumatik (COT) berdasarkan penelitian World Health Organisation (WHO) yang dilakukan di negara maju, didapatkan data antara 150–250 kejadian per 100.000 penduduk. Data tersebut didasarkan pada pasien yang mendapatkan penatalaksanaan di rumah sakit. Data WHO yang diambil dari tahun 1994–2006 mengenai kecelakaan lalu lintas yang berakibat fatal berupa kematian di beberapa negara Asia-Pasifik per 100.000 penduduk, menunjukkan bahwa kejadian di Malaysia (25–35 kasus), Brunei Darussalam (40–60 kasus), Australia (5–30 kasus), Singapura (4–6 kasus), dan Jepang (5–20 kasus). Data tersebut menunjukkan angka kematian yang cenderung menurun per tahunnya. Berdasarkan jenis kelamin maka laki-laki lebih tinggi (75–85%) dibandingkan wanita (15–25%), dengan umur terbanyak adalah dibawah 45 tahun.1 Proses - proses spesifik yang terjadi di dalam sel saraf pascatrauma dapat bermacam-macam, diantaranya terjadi pelepasan neurotransmiter dan terjadi aliran ion yang cepat. Perubahan aliran elektrik pada jaringan saraf di otak berhubungan dengan komponen kimiawi serta berpengaruh terhadap membran yang akhirnya akan mempengaruhi potensinya, yaitu ikatan transmiter eksitatorik, seperti glutamat, ke N-methyl D-aspartat (NMDA) yang mengakibatkan depolarisasi neuronal dengan efluks K dan influks kalsium.2 Pergeseran ionik tersebut, mengakibatkan perubahan akut dan subakut terhadap fisiologi seluler. Pompa Na-K bekerja sepanjang waktu sebagai upaya untuk mempertahankan potensial membran. Pompa Na-K memerlukan adenosine triphosphate (ATP) dalam jumlah yang besar, mengakibatkan peningkatan kadar glukosa.2

Kejadian cedera otak traumatik akan mengakibatkan terjadinya iskemik, deplesi ATP, kemudian mengakibatkan produksi glutamat yang berlebihan dan berkaitan dengan tingginya influks Ca2+ intraseluler dan akan menjadi suatu circulus vitiosus bila tidak tertatalaksana dengan baik.Kainat dan AMPA berkaitan dengan saluran ion Na+ dan ketika glutamat berikatan dengan reseptor ini akan menghasilkan potensial

eksitatorik pascasinap. NMDA berikatan dengan yang permeabel antara Ca2+ dan Na+. Sinap glutamat NMDA dibentuk untuk mendeteksi adanya aktifitas yang diluar perkiraan pada dua jalur neural, respon ketika dipasangkan akan mempengaruhi kekuatan sambungan sinaptiknya.3

Glutamat dirilis terus-menerus ke dalam ruang ekstraselular melalui eksositosis terstimulasi dan spontan vesikel sinaptik, dan dengan pembawa yang dimediasi oleh pertukaran dengan asam amino lainnya. Karena tidak ada enzim dalam cairan ekstraselular untuk menurunkan glutamat, konsentrasi sinaptik glutamat diturunkan oleh difusi yang jauh dari sinaps dan melalui penyerapan glutamat. Karena difusi glutamat dibatasi oleh anatomi extrasinap, serapan glutamat merupakan mekanisme yang utama untuk menjaga konsentrasi glutamat ekstraseluler. Dalam susunan saraf pusat, hampir semua klirens glutamat dicapai oleh exitatoric aminoacid transporters (EAATs), glutamat-aspartat transporter (GLAST) dan glutamat transporter (GLT)-1, sebagian besar terdapat didalam glia.4

Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya telah melaporkan peningkatan beberapa kali lipat konsentrasi ekstraseluler glutamat yang dipicu oleh COT, yang berkurang dalam waktu 2 jam.4 Pengaturan sinyal glutamat sangat penting untuk eksitasi saraf yang tepat dalam sistem saraf pusat. Tanpa regulasi yang tepat, peningkatan glutamat ekstraseluler dapat memberikan kontribusi pada patofisiologi dan disfungsi neurologis yang terlihat pada kasus COT. Cedera otak sedang, meningkatkan kadar tonik glutamat ekstraseluler secara signifikan hingga 256% pada gyrus dentatus dan 178% di striatum dorsal. Dalam striatum dorsal, pasien dengan cedera otak ringan meningkatkan secara signifikan kadar tonik glutamat hingga 200%. Kadar tonik glutamat secara signifikan berkorelasi dengan keparahan cedera dalam gyrus dentatus dan striatum.4

Overaktivasi reseptor glutamat menyebabkan masuknya Ca2+ melalui N-methyl-D-aspartate (NMDA) reseptor (NMDARs), tegangan-jembatan kanal Ca2+ dan konduktansi kation non-spesifik. Ca2+ masuk melalui NMDARs yang mengaktifkan kaskade sinyal neurotoksik.5

Page 4: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

71 Penurunan Kadar Glutamat pada Cedera Otak Traumatik Pascapemberian Agonis Adrenoseptor Alpha-2 Dexmedetomidin sebagai Indikator Proteksi Otak

Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatorik yang utama di otak dan terdapat di tulang belakang. Ada 4 tipe reseptor pascasinap glutamat yang teridentifikasi, dimana ketiga diantaranya bersifat ionotropik yang berhubungan dengan saluran ionik (Kainat, AMPA, dan NMDA), sedangkan tipe yang lain bersifat metabotropik.3

Transmiter glutamat bila berikatan dengan tipe metabotropik, maka inositol 1,4,5 triphosphate (IP3) dan diacylglyserol (DAG) akan dilepaskan, yang akan menaikkan kadar Ca2+ intrasel dan mempengaruhi fungsi dan struktur neuronal.3

Aktivasi sinap glutamatergik dalam jumlah yang sangat besar dapat mengakibatkan influks Ca2+ ke dalam neuron dan mengakibatkan kerusakan sel saraf. Dikarenakan glutamat merupakan transmiter eksitatorik, pelepasan glutamat yang berlebihan kemungkinan mengarahkan eksitasi sirkuit saraf lebih lanjut oleh umpan balik positif, mengakibatkan kerusakan depolarisasi yang besar dan influks kalsium ke dalam neuron.3

Peningkatan konsentrasi glutamat setelah cedera otak traumatik berhubungan dengan outcome neurologik yang buruk.17 Setelah cedera otak, transporter glutamat didalam sel endotel kapiler otak berperanan penting dalam pengaturan redistribusi glutamat dari otak ke dalam darah. Pada hewan coba (tikus), menunjukkan bahwa efluks glutamat dari otak ke darah dapat diakselerasi oleh peningkatan gradien konsentrasi antara cairan cerebrospinal dan plasma.6

Penurunan konsentrasi glutamat darah, melalui bersihan glutamat darah seperti piruvat dan oksaloasetat, meningkatkan efluks otak ke darah dan meningkatkan outcome neurologik setelah cedera otak traumatik.7 Piruvat dan oksaloasetat masing-masing merupakan kosubstrat untuk enzim glutamate-pyruvate transaminase (GPT) dan glutamate-oxaloacetate transaminase (GOT), yang mengkonversi glutamat menjadi 2-ketoglutarat. Peningkatan konsentrasi glutamat plasma juga menunjukkan peningkatan konsentrasi glutamat pada cairan serebrospinalis.6

Aktifasi yang berlebihan reseptor glutamat menyebabkan masuknya Ca2+ melalui reseptor NMDA (NMDARs), tegangan-jembatan kanal Ca2+ dan konduktansi kation non-spesifik. Ca2+ masuk melalui NMDARs yang mengaktifkan

kaskade sinyal neurotoksik. Selama cedera saraf akut, oksida nitrat yang berlebihan dapat mengakibatkan pembentukan peroksinitrit, radikal bebas beracun yang menyebabkan kerusakan langsung pada struktur selular, mengaktifkan konduktansi kation lebih jauh dan merangsang pembentukan dan pelepasan protein pro-apoptosis [PARP-1 poli (ADP-ribosa) polimerase].8

Efek neuroproteksi dexmedetomidin dapat terjadi melalui beberapa jalur, salah satunya adalah dengan mempengaruhi produksi glutamat. Proses yang yang berhubungan dengan glutamat pada hewan coba dapat diamati dengan menilai kadar glutamat yang diambil dari dialisa sel-sel saraf otak.9 Berkenaan dengan produksi glutamat pada cedera otak traumatik, norepinefrin mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pemberian dexmedetomidin efektif mencegah kematian neuron, bila telah diberikan 30 menit sebelum iskemi dan dilanjutkan 48 jam setelah reperfusi. Iskemi dapat dicegah karena dexmedetomidin mengurangi pelepasan norepinefrin, mekanisme ini berhubungan dengan kemampuan proteksi otak dari dexmedetomidin.7 Kerja utama reseptor agonis-α2 adalah menghambat pelepasan norepinefrin yang menyebabkan berkurangnya eksitasi pada sistem saraf pusat.7

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji apakah dexmedetomidin dapat menurunkan peningkatan glutamat akibat cedera otak traumatik.

II. Subjek dan Metode

Subjek penelitian adalah pasien cedera kepala berat dengan GCS ≤8, umur 18–60 tahun, yang datang ke Instalasi Rawat Darurat RSUD Prof. Margono Soekarjo (RSMS) Purwokerto, kurang dari 9 jam pascatrauma serta direncanakan untuk dilakukan tindakan operatif.Penelitian dilakukan setelah mendapat izin dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr. Kariadi Semarang. Sampel dibagi dalam 2 kelompok masing-masing 8 pasien.

Kelompok 1 sebagai kelompok perlakuan diberikan dexmedetomidin 0,4ug/kgBB/jam

Page 5: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

72 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dengan lama pemberian tidak lebih dari 72 jam dan kelompok 2 sebagai kelompok kontrol diberikan NaCl 0,9% dengan jumlah yang sama dengan menggunakan syringe pump.Bahan penelitian diambil dari sampel darah vena jugularis interna, untuk dilakukan pemeriksaan Hb, leukosit, hematokrit, trombosit, ureum, kreatinin, natrium, kalium, klorida, kalsium, gula darah sewaktu, glutamat. Pemeriksaan kadar glutamat menggunakan assay kit dengan metode ELISA. Darah diambil sebelum pemberian dexmedetomidin, 24 jam dan 72 jam setelah pemberian dexmedetomidin.Induksi anestesi dengan propofol 1–3mg/kg, rocuronium 0,5 mg/kg, fentanyl 2 ug/kg, rumatan anestesi dengan isofluran 0,6–0,8%, oksigen, air, vekuronium 0,4 ug/kg/jam. Data hasil penelitian diuji dengan uji-t dan uji Mann-Whitney.

III. Hasil

Berdasarkan tabel dibawah tampak gambaran karakteristik kedua kelompok perlakuan dari segi umur, jenis kelamin, dan berat badan tidak menunjukkan ada perbedaan yang bermakna (p>0,05); sehingga karakteristik umur dan jenis kelamin tidak akan diperhitungkan sebagai variabel perancu.

Pemeriksaan darah rutin sebelum perlakuan pada subjek dengan dexmedetomidin, menunjukkan

rerata peningkatan lekosit yang lebih tinggi (20.172,5μL) dibandingkan yang tidak mendapatkan dexmedetomidin (18.403,7μL). Rerata peningkatan kadar gula darah sewaktu pada pasien pasca neurotrauma (<6 jam) yang tidak mendapatkan dexmedetomidin lebih tinggi (150,2 mg/dL) dibandingkan yang mendapatkan dexmedetomidin (132,6 mg/dL). Semua hasil pengukuran darah rutin di atas secara statistik tidak menunjukkan ada perbedaan yang bermakna diantara kedua kelompok perlakuan (tabel 2). Semua subjek penelitian, sebagaimana terlihat dalam tabel 3, dilakukan pemeriksaan laboratorium 24 jam perlakuan. Pemeriksaan darah rutin subjek yang tidak diberikan dexmedetomidin menunjukkan rerata hemoglobin cenderung lebih baik (10,5 gr/dL), dibandingkan yang mendapatkan dexmedetomidin.Peningkatan kadar gula darah sewaktu (GDS), pada subjek yang tidak mendapatkan dexmedetomidin tetap lebih tinggi dibandingkan yang mendapatkan dexmedetomidin. Secara keseluruhan, hasil pemeriksaan tersebut dilakukan analisa secara statistik dan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna (p>0,05) antara kedua kelompok tersebut.Pemeriksaan darah rutin 72 jam pada kedua kelompok perlakuan dalam tabel 4, menunjukkan bahwa rerata kadar hemoglobin pada kelompok yang mendapatkan dexmedetomidin lebih rendah (9,8 gr/dL) dibandingkan

Tabel 1. Karakteristik Subjek pada Pasien Cedera Kepala Berat

PerlakuanDexmedetomidin NaCl 0,9%

Karakteristik (n=8) (n=8) Nilai p1. Umur (tahun) : 0,315 < 40 5 2 ≥ 40 3 62. Jenis kelamin Laki-laki 6 6 1,0 Perempuan 2 23. Berat badan (kg) Rerata (SD) 51,9(5,0) 54,9(8,4) 0,412 Rentang 45-60 45-70

Keterangan: Nilai p untuk umur dan jenis kelamindihitung berdasarkan uji eksak Fisher; untuk berat badan dengan uji t

Page 6: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

73

KelompokVariabel Dexmedetomidin NaCl 0,9% Nilai p**)

(n=8) (n=8)

Hb (g/dL) 12,9(2,4)*) 13,1(1,4) 0,883Leukosit (μL) 20172,5(8945,2) 18403,7(9269,7) 0,704Hematokrit (%) 38,0(5,8) 38,9(3,4) 0,705Trombosit (x1000/ μL) 290,6 (71,6) 267,8(131,8) 0,673Ureum (mg/dL) 24,16(7,92) 30,72(18,57) 0,573Kreatinin (mg/dL) 0,83(0,15) 0,88(0,14) 0,556Natrium (mmol/L) 141,4(2,4) 142,4(2,7) 0,452Kalium (mmol/L) 3,99(0,44) 4,09(0,28) 0,596Klorida (mmol/L) 99,7(3,4) 100,2(3,2) 0,768Kalsium (mmol/L) 8,77(0,47) 8,73(0,51) 0,872GDS (mg/dL) 132,6(36,8) 150,2(24,7) 0,279

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Laboratorium pada Kedua sebelum Kelompok Perlakuan

Keterangan:*) Nilai rerata dan standar deviasi; **) dihitung berdasarkan uji t kecuali untuk Ureum diuji dengan Mann-Whitney.

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 24 Jam pada Kedua Kelompok Perlakuan Kelompok

Variabel Dexmedetomidin NaCl 0,9% Nilai p**)(n=8) (n=8)

Hb (g/dL) 9,2(1,8)*) 10,5(1,9) 0,193Leukosit (μL) 12671,2(4053,7) 14611,2(4519,5) 0,381Hematokrit (%) 27,37(5,90) 31,75(5,95) 0,162

Trombosit (x1000/ μL) 188,0(44,2) 172,6(66,2) 0,594Ureum (mg/dL) 20,71(5,02) 28,46(21,23) 0,333Kreatinin (mg/dL) 0,89(0,38) 0,84(0,29) 0,813Natrium (mmol/L) 141,0(6,12) 143,8(3,15) 0,277Kalium (mmol/L) 4,16 (0,84) 4,56(0,55) 0,309Klorida (mmol/L) 105,25(4,43) 106,2(4,65) 0,667Kalsium (mmol/L) 7,97(0,64) 8,15(0,80) 0,644GDS (mg/dL) 150,1(21,2) 154,6(23,0) 0,715

Keterangan:*) Nilai rerata dan standar deviasi ; **) dihitung berdasarkan uji t.

dengan kelompok kontrol (10,2gr/dL). Kadar lekosit pada kelompok yang tidak mendapatkan dexmedetomidin lebih tinggi (12.511,4) dibandingkan yang mendapatkan dexmedetomidin (10.606,2). Pemeriksaan kadar elektrolit 72 jam perlakuan, kadar kalsium pada kelompok yang mendapatkan dexmedetomidin memiliki rerata lebih rendah (7,74mmol/L)

dibandingkan yang tidak mendapatkan dexmedetomidin (8,36). Kadar kalsium pada kedua kelompok, dilakukan analisa statistik dengan menggunakan uji t, menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dimana p=0,029 (p<0,05). Perbedaan kadar kalsium yang muncul pada 72 jam perlakuan, dimungkinkan terjadi karena adanya efek dari dexmedetomidin yang

Penurunan Kadar Glutamat pada Cedera Otak Traumatik Pascapemberian Agonis Adrenoseptor Alpha-2 Dexmedetomidin sebagai Indikator Proteksi Otak

Page 7: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

74 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

KelompokVariabel Dexmedetomidin NaCl 0,9% Nilai p**)

(n=8) (n=8)Hb (g/dL) 9,8(1,5)*) 10,2(1,3) 0,557Leukosit (μL) 10606,2(2502,1) 12511,4(2963,4) 0,200Hematokrit (%) 29,5(4,96) 32,8(1,83) 0,146

Trombosit (x1000/ μL) 188,2(42,5) 211,4(119,8) 0,616Ureum (mg/dL) 16,1(7,4) 21,0(11,1) 0,517

Kreatinin (mg/dL) 0,76(0,19) 0,72(0,23) 0,770Natrium (mmol/L) 141,2(6,4) 139,0(3,2) 0,417Kalium (mmol/L) 3,72(0,62 4,24(0,79) 0,181Klorida (mmol/L) 104,9(8,4) 100,6(3,4) 0,230Kalsium (mmol/L) 7,74(0,43) 8,36(0,50) 0,029GDS (mg/dL) 141,8(22,2) 143,6(20,5) 0,883

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 72 Jam pada Kedua Kelompok Perlakuan

Keterangan:*) Nilai rerata dan standar deviasi ; **) dihitung berdasarkan uji t

Tabel 5. Perbandingan Kadar Glutamat pada Kedua Kelompok PerlakuanKelompok

Kadar Glutamat (μM/L) Dexmedetomidin NaCl 0,9% Nilai p**)(Normal:5-100μM/L)

(n=8) (n=8)Sebelum perlakuan 16,78*)

(8,13-45,7) (2,82-23,77)Sesudah perlakuan (jam ke 24)

12,76 19,49 0,195

(5,22-36,76) (6,68-38,12)Sesudah perlakuan (jam ke 72)

9,09 21,04 0,281

(4,84-38,71) (6,11-31,70)Perbandingan (nilai p***)Sebelum vs jam ke 24 0,025 0,123- Sebelum vs jam ke 72 0,036 0,176- Jam ke 24 vs jam ke 72 0,208 0,398

Keterangan:*) Nilai median dan rentang; **) berdasarkan uji Mann-Whitney; ***) berdasarkan uji Wilcoxon.

Tabel 6. Perbandingan Persentase Penurunan Kadar GlutamatDexmedetomidin NaCl 0,9%* Nilai p

Sebelum ke jam 24 27,9 % -49,0 % 0,038Sebelum ke jam 72 57,1 % -94,1 % 0,029Jam 24 ke jam 72 9,6 % 15,0 % 0,152

Keterangan: *)menggambarkan kenaikan kadar

Page 8: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

75

dapat mempengaruhi kadar kalsium.

Penilaian kadar glutamat dalam plasma darah, sebagaimana terlihat dalam tabel 5, yang dilakukan sebelum perlakuan hingga 72 jam perlakuan, menunjukkan tidak adanya perbedaan diantara dua kelompok perlakuan (p>0,05) yang diuji dengan menggunakan uji Mann-Whitney. Nilai normal kadar glutamat berkisar antara 5-100 μM/liter.

Perbandingan kadar glutamat berdasarkan waktu yang diuji dengan menggunakan uji Wilcoxon terhadap kedua kelompok berpasangan dengan distribusi yang tidak normal, menunjukkan adanya berbagai interpretasi. Pada kelompok subjek yang mendapatkan dexmedetomidin, ada perbedaan yang bermakna antara sebelum perlakuan dibandingkan dengan jam ke-24 (p=0,025) perlakuan dan jam ke-72 perlakuan (p=0,036), akan tetapi perbedaan tidak terjadi pada perbandingan antara jam ke-24 dan jam ke-72 (p=0,208).Penelitian ini menunjukkan besaran persentase penurunan kadar glutamat pada kedua kelompok perlakuan. Angka negatif dalam persentase, menunjukkan adanya besaran persentase kenaikan kadar. Persentase penurunan di masing-masing kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang bermakna antara kelompok yang mendapatkan dexmedetomidin dan yang tidak.

Penilaian nilai p terhadap persentase penurunan diuji dengan Mann-Whitney, menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p<0,05) antara kedua kelompok pada awal perlakuan hingga jam ke-24, antara awal perlakuan hingga jam ke-72, sedangkan pada 24 ke jam ke-72 tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna.

IV. Pembahasan

Penelitian ini belum pernah dilakukan terhadap manusia ataupun hewan coba sebelumnya, akan tetapi penelitian yang sering dilakukan adalah menilai salah satu komponen dalam penelitian ini yaitu glutamat. Pemanfaatan dexmedetomidin di Indonesia sudah banyak dilakukan bukan hanya untuk kepentingan operasi bedah saraf saja, akan tetapi pemanfaatannya juga digunakan untuk

operasi bedah yang lain. Selain itu, pemanfaatan dexmedetomidin di ruang perawatan intensif untuk sedasi juga sudah sering dilakukan.4,7,10

Pemanfaatan dexmedetomidin di RSMS dimulai tahun 2010 yang awal mulanya spesifik hanya untuk kasus-kasus operasi bedah saraf dengan tumor otak, kemudian pemanfaatan tersebut mulai dilakukan di ruang perawatan intensif hanya untuk kasus pascaoperasi bedah saraf. Perkembangannya kemudian, penggunaan dexmedetomidin tidak saja pada kasus tumor otak, tapi juga untuk kasus-kasus tindakan operasi tulang belakang, operasi digestif, operasi vitreoretina. Hingga saat ini belum ditemukan adanya kejadian yang tidak diharapkan akibat penggunaan dexmedetomidin untuk berbagai kasus yang ada di RSMS. Pemanfaatan dexmedetomidin untuk operasi bedah saraf pada kasus cedera kepala, mulai dilakukan pada tahun 2012 dengan tetap mempertimbangkan derajat kesadaran pasien (GCS>8) dan setelah itu dilanjutkan di ruang perawatan intensif.Kasus yang terjadi di RSMS untuk kepentingan penelitian ini, memiliki variasi lokasi cedera, perbedaan banyaknya darah yang tertampung berdasarkan pemeriksaan CT-scan, serta jenis trauma dan penyebabnya. Kepentingan penelitian ini tidak hanya terbatas bagaimana melindungi otak dari kerusakan sekunder dengan menggunakan obat, tetapi diperlukan informasi yang mengenai patofisiologi dari COT.Patofisiologi COT terdiri dari dua tahap utama, primer (mekanik) fase kerusakan dan sekunder (tertunda) kerusakan. Kerusakan primer terjadi pada saat cedera dan termasuk memar dan lecet, cedera aksonal yang menyebar, dan perdarahan intrakranial. Kerusakan sekunder mencakup proses yang dimulai pada saat cedera, tapi tidak muncul secara klinis selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari setelah cedera. Proses tersebut meliputi kerusakan otak akibat iskemia, pembengkakan (edema), perubahan mekanisme neurokimia, dan aktivasi enzim degradatif. Keseluruhan kegiatan yang merupakan kerusakan sel sekunder atau tertunda setelah COT bersifat kompleks.3,11-13

Berbagai macam mekanisme berkontribusi terhadap kerusakan sekunder setelah trauma. Iskemia, disebabkan oleh penurunan aliran darah

Penurunan Kadar Glutamat pada Cedera Otak Traumatik Pascapemberian Agonis Adrenoseptor Alpha-2 Dexmedetomidin sebagai Indikator Proteksi Otak

Page 9: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

76 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

serebral, merupakan mekanisme yang mendasari kerusakan otak sekunder yang penting, terutama pada individu yang terluka parah. Penurunan aliran darah otak merusak mitokondria, yang diikuti dengan pergeseran metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik dalam neuron. Selain itu, homeostasis ion menjadi terganggu dan terjadi peningkatan Na+, K+, dan Ca2+ intraseluler yang menyebabkan pembengkakan sel dan reduksi aliran darah serebral yang lebih besar. Kerusakan mitokondria menyebabkan pelepasan reactive oxygen species (ROS), seperti superoksida dan hidroksil radikal. Oksigen radikal bebas ini dapat merusak membran sel dengan menyebabkan peroksidasi lipid, dapat menyebabkan kerusakan DNA dan kerusakan purin dan basa pirimidin, dan juga umpan balik dan kerusakan membran mitokondria yang lebih lanjut menyebabkan perubahan fungsi. Peradangan berperan penting pada kerusakan otak sekunder setelah COT. Neuron dan glia mensintesis dan melepaskan sitokin seperti tumor necrotizing factor (TNF) dan interleukin, yang dapat menyebabkan respon kekebalan setelah COT. Peningkatan inflamasi akibat pelepasan sitokin dan akumulasi sel kekebalan bisa mengakibatkan penurunan lebih lanjut aliran darah otak karena pembengkakan otak.14

Tingkat ekstraselular glutamat, yang merupakan neurotransmiter eksitatorik utama dalam sistem saraf mamalia, diketahui meningkat secara dramatis setelah COT in vivo. Glutamat mengaktifkan berbagai reseptor pada neuron termasuk saluran ion permeabel Ca2+. Pelepasan glutamat yang berlebihan dan stimulasi yang berlebihan reseptor eksitatorik asam amino, dikenal dengan “eksitotoksisitas”, diyakini berperan utama dalam cedera sekunder dan kematian sel-sel dari SSP setelah luka trauma. Selain itu, aktifasi voltage-gated calcium channel (VGCCs) atau kebocoran melalui membran sel yang rusak, dapat menyebabkan elevasi Ca2+ dalam sel setelah cedera. Masuknya Ca2+ ke dalam sel akan menyebabkan elevasi kalsium bebas intraseluler, yang dapat mengaktifkan berbagai enzim, pengaturan pergerakan kaskade kejadian yang akhirnya menyebabkan sel cedera dan kematian. Perubahan dalam homeostasis Ca2+ seluler mungkin salah satu

mekanisme kunci yang berkontribusi pada kerusakan saraf sekunder dan perubahan fisiologi yang mengikuti cedera otak traumatik.14

Perubahan metabolik yang terjadi pascacedera otak traumatik melibatkan banyak faktor yang saling berkaitan dan mengarah kepada terjadinya kerusakan sel saraf yang permanen. Glutamat, sebuah neurotransmiter eksitatorik yang dikenal dalam Susunan Saraf pusat (SSP), merupakan asam amino non-esensial, dan merupakan yang paling berlimpah asam amino bebas dalam SSP, terhitung sekitar 60 persen dari total aktivitas neurotransmiter di otak. Glutamat memiliki beberapa peran penting dalam pengembangan dan fungsi dari kegiatan otak normal, diantaranya: regulasi dari proses komunikasi antara neuron, pengembangan plastisitas dalam SSP, dan berfungsi sebagai cadangan energi.15-16

Aktivasi reseptor N-Methyl D-aspartate (NMDA) oleh glutamat sangat penting untuk fungsi otak. Mereka adalah pusat untuk banyak perubahan kegiatan-tergantung dalam kekuatan sinaptik dan konektivitas yang dianggap mendasari pembentukan memori dan belajar. Ada bukti yang berkembang bahwa kadar fisiologis aktivasi reseptor NMDA sinaptik memacu kelangsungan hidup berbagai jenis neuron atau membuat mereka lebih tahan terhadap trauma. Efek menguntungkan dari glutamat sangat tergantung pada homeostasis yang ketat, mempertahankan konsentrasi glutamat pada cairan ekstraselular otak (CES) di bawah kisaran toksiknya. Konsentrasi rendah (0,3–2μM/L) glutamat dalam CES otak dipertahankan oleh mekanisme tetap kompartementalisasi glutamat. Glutamat dilepaskan dari neuron sebagai neurotransmiter yang merangsang reseptor glutaminergik (reseptor ionotropik NMDA dan AMPA atau reseptor glutamat metabotropik). Aktivasi berlebihan dari reseptor ionotropik mengarah ke pembukaan reseptor ionofor-berpasangan, termasuk saluran kalsium, yang sangat penting. Efluks kalsium ke dalam neuron, yang mengaktifkan enzim proteolitik plasma, mengakibatkan kematian sel neuronal melalui apoptosis atau nekrosis. Penelitian dengan menggunakan hewan coba dan studi klinis pada manusia mengungkapkan

Page 10: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

77

hubungan patologis kadar glutamat CES yang tinggi dan beberapa gangguan neurodegeneratif akut dan kronis, termasuk stroke, cedera otak traumatis, perdarahan intraserebral, meningitis, hipoksia otak, amyotropik lateral sklerosis (ALS), glaukoma, demensia HIV, glioma dan banyak lainnya. Bagian-bagian tersebut ditandai dengan elevasi beberapa ratus kali lipat dari konsentrasi glutamat dalam CES otak difasilitasi oleh kerusakan sawar darah otak, yang memungkinkan gerakan bebas glutamat antara plasma dan CES, sepanjang gradien konsentrasi.16

Modalitas pengobatan alternatif yang berfokus pada eliminasi glutamat beracun yang berlebihan, daripada antagonis reseptor yang telah dikembangkan. Dinyatakan bahwa kelebihan kadar glutamat dalam CES otak mungkin aman dan efektif dipindahkan ke plasma melalui sistem transporter endotel.

Kondisi normal, konsentrasi plasma glutamat adalah 5–100 μM/L, konsentrasi darah keseluruhan adalah 150–300 μM/L, sementara di CES otak hanya 0,3–2 μM/L. Pembuangan kelebihan glutamat di otak ke dalam darah melibatkan gradien konsentrasi yang signifikan. Penurunan konsentrasi glutamat plasma/darah mengurangi gradien yang tidak menguntungkan ini, dan memfasilitasi efluks glutamat dari otak ke dalam darah, yang disebut "neuroproteksi oleh scavenger glutamat darah". Komponen yang mampu mengurangi kadar glutamat darah yang ditunjuk "scavenger glutamat darah". Aktivitas buangan glutamat darah dalam merangsang efluks pembuangan glutamat otak ke darah bersifat self-limiting, dimana proses akan melambat dan berhenti ketika kelebihan kadar glutamat menurun di bawah ambang aktivasi transporter glutamat pembuluh darah otak yang memediasi efluks glutamat ke dalam darah. Hal ini berarti scavenger glutamat darah harus menjaga efek fisiologis dari glutamat dalam mengatur metabolisme dan keseimbangan elektrolit, menjaga fungsi saraf.16

Penelitian yang dilakukan menunjukkkan bahwa para subjek yang mendapatkan dexmedetomidin menunjukkan rerata penurunan kadar glutamat plasma dan masih dalam rentang normal glutamat plasma (5–100 μM/L). Pada saat terjadi trauma sebelum diberikan dexmedetomidin, rerata

kadar glutamat 16,78 μM/L, sedangkan subjek tanpa dexmedetomidin rerata kadar glutamat 14,76 μM/L. Peningkatan glutamat sangat tinggi sekali hanya terjadi pada awal-awal trauma, kemudian mengalami penyesuaian.3,14

Penelitian yang pernah dilakukan pada kasus-kasus neurotrauma dengan menggunakan mikrodialisis, menunjukkan hasil kadar glutamat rerata dalam 24 jam pertama dari monitoring adalah <10 μM/L pada 31 pasien (18,8%), antara 10 dan 20 μM/L pada 58 pasien (35,1%), dan >20 μM/L pada 76 pasien (46,1%). Ada kecenderungan yang jelas dari tingkat kematian lebih tinggi di antara pasien dengan tingkat glutamat rata-rata >20 μM/L (30%) dibandingkan dengan 18% untuk ≤20 μM/L). Namun, perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (p=0,08). Tidak ada korelasi yang ditemukan antara tingkat awal glutamat dan usia, hasil CT-scan, atau ISS. Kadar glutamat cenderung kembali normal dari waktu ke waktu (diamati pada 71% pasien dalam penelitian ini), tingkat mortalitas adalah 17,1%. Sedangkan 41,2% dari mereka yang selamat pada akhirnya mencapai hasil fungsional yang baik. Ketika kadar glutamat cenderung meningkat dari waktu ke waktu atau tetap abnormal (diamati pada 29% pasien dalam penelitian ini), tingkat mortalitas adalah 39,6%. Sedangkan 20,7% dari mereka yang selamat memiliki hasil fungsional yang baik.17

Tingkat glutamat per jam tidak akan terpengaruh oleh hemodinamik atau tekanan intrakranial perubahan sementara karena tidak ada korelasi antara glutamat dan parameter per jam diukur lain seperti rerata tekanan darah, tekanan intrakranial, PO2 jaringan otak, atau SjvO2. Namun, elevasi terus-menerus dalam tekanan intrakranial atau oksigenasi yang sangat sedikit dan persisten jaringan otak terkait erat dengan peningkatan kadar glutamat.Penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan kadar glutamat terjadi pada subjek yang mendapatkan dexmedetomidin. Pengamatan 24 jam setelah mendapatkan dexmedetomidin, rerata kadar glutamat menurun menjadi 12,76 μM/L (27,9%) dibandingkan pemeriksaan awal. Evaluasi kadar glutamat pada jam ke-72 pasca pemberian dexmedetomidin, menunjukkan rerata kadar glutamat 9,09 μM/L atau menurun 57,1% dibandingkan dengan pemeriksaan awal

Penurunan Kadar Glutamat pada Cedera Otak Traumatik Pascapemberian Agonis Adrenoseptor Alpha-2 Dexmedetomidin sebagai Indikator Proteksi Otak

Page 11: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

78 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

atau turun 9,6% dibandingkan pemeriksaan jam ke-24. Rerata kadar glutamat pada subjek yang tidak mendapatkan dexmedetomidin mengalami peningkatan secara bertahap, dimana rerata kadar jam ke-24 menjadi 19,49 μM/L dan meningkat lebih tinggi pada jam ke-72 menjadi 21,06 μM/L.

Penurunan kadar glutamat karena pemberian dexmedetomidin pada penelitian ini menunjukkan kemampuan dexmedetomidin mengurangi rangsang pelepasan neurotransmiter, mengurangi penekanan konsentrasi norepinefrin, tidak menekan peningkatan konsentrasi glutamat sentral.12

Peningkatan kadar glutamat pada kedua kelompok penelitian merupakan suatu hal yang berbeda dengan penelitian-penelitian pada hewan coba. Banyak faktor yang mempengaruhi kondisi subyek, sehingga didapatkan rerata hasil yang meningkat akan tetapi masih dalam rentang normal. Kecenderungan peningkatan kadar glutamat pada penelitian ini diperlihatkan pada kelompok yang tidak mendapatkan dexmedetomidin, sehingga perlu dilakukan evaluasi lebih jauh lagi untuk mengetahui seberapa tinggipeningkatan kadar glutamat tersebut berlangsung dan berapa lama peningkatannya bertahan sebelum kadarnya turun kembali dalam rentang normal.

V. Simpulan

Pemberian dexmedetomidin, menurunkan kadar glutamat pada pasien cedera otak traumatik dengan GCS ≤8. Dexmedetomidin dengan dosis 0,4 μg/kgBB/jam yang diberikan secara kontinyu dengan menggunakan syringe pump pada pasien cedera otak traumatik berat (GCS≤8), menurunkan kadar glutamat sebanyak 57,1% yang dievaluasi dari awal pasien datang hingga jam ke-72.

Daftar Pustaka

1. World Health Organisation. Injuries. Country profile on road traffic injuries. Tersedia dari: UR : http://www.wpro.who.int/mnh/data

2. Hovda DA, Giza CC. The neurometabolic

cascade of concussion. Journal of Athletic Training. 2001; 36(3): 228–35

3. Tagliaferri F, Compagnone C, Gennarelli TA. Head trauma. Dalam: Torbey MT, ed. Neurocritical care. Cambridge: Cambridge University Press; 2010, 209–19.

4. Hinzman JM, Thomas TC, Burmeister JJ,Quintero JE, Huettl P, Pomerleau F, et al. Diffuse brain injury elevates tonic glutamate levels and potassium-evoked glutamate release in discrete brain regions at two days post-injury: an enzyme-based microelectrode array study. J Neurotrauma. 2010;27:889–99.

5. Saatman KE, Creed J, Raghupathi R. Calpain as a therapeutic target in traumatic brain injury. J Neurotherapeutics.2010;7(1):31–42.

6. Zlotnik A, Ohayon S, Gruenbaum BF, Gruenbaum SE, Mohar B, Boyko M, dkk. Determination of factors affecting glutamate concentrations in the whole blood of healthy human volunteers. JNSA. 2011;23:45–9

7. Nakano T, Okamoto H. Dexmedetomidine-induced cerebral hypoperfusion exacerbates ischemic brain injury in rats. J Anesth. 2009; 23:378–84.

8. Aarts MM, Tymianski M. TRPMs and neuronal cell death. Eur J Physiol. 2005;451:243–49

9. Gurbet A, Mogal EB. Intraoperative infusion of dexmedetomidine reduces perioperative analgesic requirement. Can J Anesth. 2006; 53(7):646–52

10. Gertler R, Brown HC, Mitchel DH, Silvius

EN. Dexmedetomidine: a novel sedative-analgesic agent. BUMC Proceedings. 2001;14:13–21

11. McAllister TW. Neurobiological consequences of traumatic brain injury. J Dialogues Clin Neurosci. 2011;13:287–300.

Page 12: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

79

12. Kass IS. Brain metabolism and mechanisms of cerebral ischemia. Dalam: Schwartz AJ, Butterworth JF, Gross JB, editor. American Society of Anesthesiologist. Pennsylvania: Lippincott Williams-Wilkins; 2006, 83–93

13. Hawkins AR. The blood-brain barrier and glutamate. Am J Clin Nut. 2009;90: 867–74

14. Leibowitz A, Boyko M, Shapira Y, Zlotnik A. Blood glutamate scavenging: insight into neuroprotection. Int JMol Sci. 2012;13:10041–66

15. Alves JL, Pinto AM. Glutamate and post-traumatic cerebral excitoxicity as possible

therapeutic targets. Arq Bras Neurocir. 2013;32(2):80–5

16. Mellergard P, Sjorgen F, Hillman J. The cerebral extracellular release of glycerol, glutamate, and FGF2 is increased in older patients following severe traumatic brain injury. J Neurotrauma. 2012;29:112–18

17. Chamoun R, Suki D, Gopinath SP, Goodman JC, Robertson C. Role of extracellular glutamate measured by cerebral microdialysis in severe traumatic brain injury. J Neurosurg. 2010;113:564–70.

Penurunan Kadar Glutamat pada Cedera Otak Traumatik Pascapemberian Agonis Adrenoseptor Alpha-2 Dexmedetomidin sebagai Indikator Proteksi Otak

Page 13: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

80

Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik

Rebecca S. Mangastuti*), Bambang J. Oetoro**), Sudadi***)*)RSIA St. Carolus Sumarecon Serpong Tangerang, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Rumah Sakit Mayapada Tangerang, ***)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah

Mada–RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta

Abstrak

Stroke terjadi akibat terganggunya aliran darah ke otak secara tiba-tiba. Penyebab terbanyak stroke adalah berkurangnya pasokan darah ke otak (stroke iskemik). Penyebab stroke lainnya adalah perdarahan (stroke hemoragik). Perdarahan intraserebral (ICH) terjadi akibatnya pecahnya pembuluh darah otak. Lokasi terjadinya stroke dapat di basal ganglia, cerebelum, batang otak atau kortek serebri. Penyebab perdarahan intraserebral adalah hipertensi, trauma, infeksi, tumor, defisiensi faktor pembekuan darah, terapi antikoagulan, malformasi arterivena (AVM). Laki-laki, 67 tahun dengan GCS 5 (E1M3V1) dengan terapi rutin antikoagulan menderita serangan stroke hemoragik. CT scan memperlihatkan adanya perdarahan intraparenkim lobus parieto-temporo-oksipital kanan 53,3 ml, perifokal edema, herniasi subflacin kiri 13,9 mm dan herniasi central downward. Pasien dilakukan kraniotomi evakuasi hematom dan dekompresi dengan anestesi umum. Pasien dalam kondisi umum stabil saat operasi berlangsung. Postoperasi, pasien dirawat di Intensive Care Unit. Pasien dinyatakan mati batang otak pada hari kedua pasca operasi dan meninggal pada hari keempat.

Kata Kunci: anestesi, perdarahan intrakranial, stroke

JNI 2014;3 (2): 80‒87

Anesthetic Management in Patients with Hemorrhagic Stroke

Abstract

Stroke is triggered by a sudden interruption of blood supply to the brain. The most frequent etiology of stroke is decrease blood supply to the brain (ischemic stroke). Another stroke is caused by rupture of blood brain vessel (hemorrhagic stroke). Intracerebral hemorrhage (ICH) occurs when a blood vessel within the brain bursts. Stroke locates mainly in basal ganglia, cerebellum, brain stem or cerebral cortex. The common cause of intracerebral hemorrhage are hypertension, trauma, infection, tumors, blood coagulation factor deficiencies, anticoagulant therapy, or arteriovenous malformations. We reported a 67-years old, man with, GCS 5 (E1M3V1) on routine anticoagulant therapy who experienced hemorrhagic stroke. Brain CT-scan examination showed bleeding in intra parenchimal right parieto-temporo-occipital lobe about 53,3 mL, perifokal edema, subflacin sinistra 13,9 mm and central downward herniation. Patient was performed craniotomy to evacuate the hematome and decompresion with general anesthesia. During surgery patient had a relatively stable condition. After surgery, the patient was treated in intensive care unit but declared brain stem dead on day-2 post surgery an died day-4.

Key words: anesthesia, intracranial hemorrhage, stroke

JNI 2014;3 (2): 80‒87

Page 14: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

81 Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik

I. Pendahuluan

WHO mencatat 20,5 juta jiwa didunia terjangkit stroke pada tahun 2001, yang mana 5,5 juta dinyatakan meninggal dunia. Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga, setelah penyakit jantung dan kanker, dan merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian.Di Indonesia, stroke menduduki posisi ketiga setelah penyakit jantung dan kanker.1,2

Stroke dapat dibedakan menjadi stroke hemoragik dan stroke non hemoragik (stroke infark/iskemik). Pada stroke non hemoragik terjadi penyumbatan pembuluh darah otak yang disebabkan oleh emboli ektrakranial atau trombosis intrakranial.l.2 Penyumbatan ini akan menganggu aliran darah menuju otak sehingga menimbulkan kaskade iskemik yang berujung pada terjadinya kematian neuron dan infark cerebri.3 Stroke hemoragik ditandai pecahnya satu atau lebih pembuluh darah otak. Pecahnya pembuluh darah dapat disebabkan oleh faktor traumatik dan faktor non traumatik. Faktor traumatik terjadi akibat benturan hebat kepala pada benda padat, umumnya akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja dan pukulan hebat benda keras langsung pada kepala. Faktor non traumatik pada intracranial hemoragik adalah hipertensi, komplikasi terapi rutin antikoagulan, defisiensi faktor pembekuan darah, pecahnya aneurisma arteri cerebri pada AVM (arteriovenous malformation), pecahnya pembuluh darah spontan pada tumor otak, cerebral amyloid angiopathy dan vasculopathies (vaskulitis pada otak). Gejala pada stroke hemoragik umumnya nyeri kepala hebat, mual, muntah, kejang, defisit neurologis dan penurunan kesadaran.

Morbiditas dan mortalitas stroke hemoragik sangat tinggi, hanya 30% dari pasien yang dapat bertahan hidup secara mandiri dalam waktu 6 bulan pasca serangan stroke hemoragik.

II. Kasus

Pasien laki-laki dewasa berusia 67 tahun, berat badan 60 kg dengan perdarahan intrakranial et causa stroke hemoragik.

Anamnesa (Alloanamnesa)Pasien dirujuk dari Rumah Sakit Binawaluyo, Jakarta, dengan keluhan utama sakit kepala tiba-tiba dan muntah 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Saat di emergensi Rumah Sakit Binawaluyo, Jakarta, kesadaran composmentis E4M6V5, pupil isokor dengan diameter kanan 2 mm, kiri 2 mm. Tekanan darah 130/80 mmHg, laju nadi 80/menit, laju nafas 12 x/menit, temperatur 36,7 0C. Dalam perjalanan ke rumah sakit rujukan, selama kurang lebih 1 jam perjalanan, kesadaran pasien menurun. Pasien menderita hipertensi dan rutin berobat jalan. Pasien memiliki riwayat coronary artery disease (CAD) dan riwayat pemasangan 2 sten jantung tahun 2010, mendapat terapi rutin Aptor 1x1 tablet dan Plavix 1x1 tablet. Riwayat diabetes melitus, alergi dan asma disangkal.

Pemeriksaan FisikKeadaan umum tampak sakit berat, kesadaran soporo coma, E1M3V1, pupil anisokor, diameter pupil kanan 4 mm, kiri 2 mm, reflek cahaya kedua mata negatif. Konjungtiva mata tidak ikterik dan tidak anemis. Tekanan darah 157/64 mmHg, laju nadi 48 x/menit, laju nafas 8 x/menit, suhu 36,70 C. Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdapat gallop dan murmur. Suara nafas paru kanan dan kiri sama, vesikuler, tidak terdapat ronchi dan wheezing. Abdomen soepel, lemas, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak membesar. Ekstremitas hangat, tidak ada edema dan sianosis. Motorik sulit dinilai. Kaku kuduk tidak ada.

Pemeriksaan LaboratoriumDarah: Hb 14,8 gr/dl, Ht 42,5 vol%, Leukosit 15,84/mm3, Trombosit 207.000/mm3. Gula darah sewaktu 203, ureum 28,8 kreatinin 0,70 SGOT 58 SGPT 60 natrium 136 kalium 3,7 chlorida 96 bleeding time 2’30” clotting time 14’ PT 12,20 APTT 34,30 Analisa Gas Darah: pH 7,408 pO2 159,5 pCO2 41,6 HCO3 24,9 BE 0,8 Saturasi O2 99,6%.Foto thorax: cor tidak membesar, pulmo tidak ada kelainan, ETT ujung distal proyeksi 1,5 corpus diatas carina. EKG sinus ritme, laju nadi 48 x/menit, tidak ada ventrikel ekstrasistole (VES).CT-scan didapatkan perdarahan intraparenkim lobus parieto-tempro-occipital kanan dengan

Page 15: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

82 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

volume diperkirakan 53,3 ml disertai perifokal edema yang menyebabkan pendesakan ventrikel lateral kanan ke kiri, penyempitan ventrikel III dan ventrikel lateral kiri cornu lateral, ventrikulomegali ventrikel lateral kiri cornu posterior, herniasi central downward, edema serebri signifikan terutama kanan. Diagnosa kerja: penurunan kesadaran et causa stroke hemoragik regio parieto-oksipital dextra dan herniasi cerebral. Dan direncanakan untuk dilakukan kraniotomi evakuasi hematoma dan dekompresi cito.

Manajemen AnestesiPasien sudah terintubasi dengan pipa endotrakhea (Endotracheal Tube/ETT) kinking saat masuk kamar operasi. Dilakukan pemasangan elektroda EKG, manset non invasif tekanan darah, saturasi O2, end tidal CO2. Didapatkan nilai tekanan darah 150/100 mmHg, laju nadi 50 x/menit, laju nafas 12 x/menit, suhu 360C. Laju nafas dikendalikan dengan mild hiperventilasi menggunakan O2 100%, target end tidal CO2 30 mmHg.

Dilakukan pemasangan kateter vena sentral 3 lumen di vena subclavia kanan. Diberikan premedikasi ondansentron 4 mg iv, induksi dengan fentanil 100 ug iv, profopol 50 mg

iv, rocuronium 8 mg iv, lidokain 1,5 mg/kgBB, inhalasi gas O2: air dengan perbandingan 2 liter : 2 liter. Sevoflurane 2 MAC. Setelah dipastikan anestesi cukup dalam dan adekuat, dilakukan pergantian ETT kinking dengan ETT non kinking. Tidak didapatkan gejolak tekanan darah dan tidak ada reflek batuk saat pergantian ETT berlangsung. Pasien diposisikan tengkurap (prone) dengan elevasi kepala 300. Saat pemasangan pin kepala, diberikan fentanil 50 ug iv. Diberikan manitol drip 0,5 gr/kgBB dalam 20 menit. Intraoperatif dilakukan rumatan dengan syringe pump fentanil 1–2 ug/jam, propofol 60–80 mg/jam, rocuronium 6–8 mg/jam, inhalasi dengan gas O2 : air : sevoflurane dengan perbandingan 2 : 2 : 0,8–1. Durante operasi, diberikan FFP (fresh frozen plasma) 300 ml dan tidak didapatkan gejolak peningkatan atau penurunan tekanan darah, frekwensi jantung dan saturasi O2. End tidal CO2 dipertahankan 25–30 mmHg dengan mengatur frekwensi pernafasan. Balans cairan intraoperatif dipertahankan balans imbang (balans nol).

PascaoperasiPascaoperatif didapatkan GCS E1M3V1, diameter pupil isokor, dengan diameter pupil kanan 3 mm, kiri 3mm, reflek cahaya kedua mata positif lemah. Tekanan darah sistolik 110–140 mmHg, diastolik 60–80 mmHg, laju

Gambar 1. CT- Scan Perdarahan Intra Parenkim Lobus Parieto-Temporo-Oksipital Kanan. Jumlah Perdarahan diperkirakan 53,3 ml

Page 16: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

83 Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik

nadi 80–90 x/menit, laju nafas 12 x/menit, SpO2 98–100% dan end tidal CO2 30 mmHg. Pasien dirawat di ruang ICU (Intensive Care Unit). Dilakukan resusitasi otak selama 6 jam. Target tekanan darah sistolik 130–140 mmHg,

diatolik 90 mmHg, saturasi O2 98–100%, end tidal CO2 30 mmHg. Hindari terjadinya hipotensi atau hipertensi. Balans imbang (balans nol), hindari balans negatif. Berikan intake oral via nasogastric tube (NGT) bila NGT jernih.

III. Pembahasan

Stroke Stroke adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di dunia. Dua pertiga stroke terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Pecahnya pembuluh darah otak pada stroke hemoragik, menyebabkan darah akan terakumulasi dan menekan daerah sekitar perdarahan. Gumpalan darah dapat menghentikan pasokan darah ke jaringan otak lainnya.4,5

Lokasi perdarahan pada stroke hemoragik umumnya terjadi pada basal ganglia, thalamus, pons dan serebelum. Perdarahan di basal ganglia, berasal dari arteri ascending lenticulostriate, cabang middle cerebral artery. Perdarahan di thalamus berasal dari arteri ascending thalmogeniculote, cabang posterior cerebral artery. Perdarahan di pons berasal dari arteri paramedian, cabang arteri basilaris. Perdarahan di serebelum berasal dari arteri posterior inferior serebri atau arteri anterior inferior serebri atau arteri serebralis superior.4

Gambar 4. Lokasi tersering terjadinya hemoragik intrakranial(A) Basal Ganglia, (B) dan (C) Talamus, (D) Pons, (E) Cerebelum5

Grafik 1. Pemantauan Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik Durante Operasi

Grafik 2. Pemantauan Laju Nadi dan Laju Nafas Durante Operasi

Grafik 3. Pemantauan Saturasi O2 dan End Tidal CO2 Durante Operasi

Page 17: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

84 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

DiagnosisDiagnosis intracranial hemoragik (ICH) dapat ditegakkan berdasarkan pada anamnesa (alloanamnesa), pemeriksaan fisik dan CT-scan. Pada anamnesa (alloanamnesa), dijumpai adanya keluhan sakit kepala hebat, mual, muntah, dan penurunan kesadaran yang terjadi mendadak. Pemeriksaan fisik, didapatkan nilai GCS yang menurun, peningkatan tekanan darah, penurunan laju nadi, penurunan laju nafas (trias cushing). Peningkatan tekanan darah ini merupakan mekanisme untuk mempertahankan aliran darah otak yang terjadi akibat peningkatan kadar adrenalin, noradrenalin, dopamin dalam sirkulasi. Penurunan laju nadi (bradikardi) tidak selalu terjadi pada setiap pasien. Bradikardi dapat juga terjadi selintas, yang paling sering adalah takikardia dan atau aritmia ventrikel.5,6 CT-scan pada intracranial hemoragik akan memperlihatkan area yang hyperdence (radioopak). Jumlah perdarahan dapat diperkirakan dengan melihat potongan gambar CT-scan.7

Pada kasus ini, perdarahan intrakranial bersifat sekunder, diduga akibat terapi antikoagulan rutin yang dikonsumsi dan hipertensi yang tidak terkontrol. Perdarahan intrakranial akibat suatu hipertensi emergensi, sampai saat ini masih belum dapat dipahami betul, namun diketahui disebabkan oleh berbagai etiologi. Fenomena yang mudah dikenali adalah peningkatan resistensi vaskuler sistemik yang terjadi akibat sirkulasi vasokonstriktor humoral. Juga terdapat bukti bahwa tekanan arterial kritis yang tercapai meliputi kemampuan organ target untuk mengkompensasi peningkatan tekanan arterial dan pembatasan aliran darah ke organ target. Stroke hemoragik terutama disebabkan oleh penyakit hipertensi serebrovaskuler dan terjadi kebanyakan pada regio otak subkortikal akibat angiopati amiloid, seiring dengan pertambahan usia. Morbiditas dan mortalitas akibat stroke hemoragik sangat tinggi, hanya 30% dari pasien-pasien yang dapat bertahan hidup secara mandiri dalam waktu 6 bulan pasca serangan.7,8,14,15

Didapatkan peningkatan tekanan intrakranial, edema serebri dan herniasi yang ditandai dengan: penurunan kesadaran dalam waktu singkat dari

E4M6V5 menjadi E1M3V1, perubahan diameter pupil dari isokor 2 mm kanan, 2 mm kiri menjadi anisokor 4 mm kanan, 2 mm kiri, perubahan reflek cahaya pupil dari positip di kedua mata menjadi negative di kedua mata, peningkatan tekanan darah: 130/80 mmHg menjadi 157/64 mmHg, trias cushing pada pasien yaitu peningkatan tekanan darah, penurunan laju nadi dan penurunan laju nafas, CT-scan menunjukkan adanya perdarahan intraparenkim lobus parieto-tempro-occipital kanan dengan volume diperkirakan 53,3 ml disertai perifokal edema yang menyebabkan pendesakan ventrikel lateral kanan ke kiri, penyempitan ventrikel III dan ventrikel lateral kiri cornu lateral, ventrikulomegali ventrikel lateral kiri cornu posterior, herniasi central downward, edema serebri signifikan terutama kanan.Adanya data, usia 67 tahun (<80 tahun), GCS 5, volume perdarahan 53,3 ml, tidak adanya IVH (intraventrikuler hemorrhage), tidak adanya ICH (intracranial hemorrhage), didapatkan nilai skor ICH pasien 2 (dua), dengan tingkat mortalitas

Komponen Skor ICH

N i l a i Penjumlahan nilai dari setiap komponen skoring

Skor GCS3–4 2 05–2 1 113–15 0 2Volume ICH (cm3)>30 1 4˂30 0 5IVHya 1tidak 0Umur>80 1<80 0

Tabel 1. Skor ICH

dikutip dari Rost N9

ICH: intra cerebal hemorrhageSkor GCS: saat pertama kali diperiksaVolume ICH: volume hematoma saat pertama kali di CTIVH: adanya intra ventrikular hemorrhage

Page 18: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

85

30 hari 26%, tindakan kraniotomi merupakan tindakan yang tepat untuk kasus ini.9

Pada pengelolaan anestesia pastikan jalan nafas tidak tersumbat oleh sekret, muntahan atau darah. Berikan O2 100% dan usahakan saturasi O2 98–100%. Laju nafas diusahakan hiperventilasi ringan, terutama jika telah terjadi hernisasi. Anestesi harus dipastikan cukup dalam saat dilakukan intubasi, supaya tidak terjadi batuk atau peningkatan tekanan darah yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Hati-hati pada pasien dengan fraktur cervical, usahakan kepala tidak hiperekstensi, cukup jaw thrust saja. Saat induksi diberikan fentanil 100 ug dan propofol 0,5–2,5 mg/kg BB. Manfaat profopol selain untuk induksi juga berguna untuk menurunkan tekanan darah dan tekanan intrakranial. Dilanjutkan pemberian pelumpuh otot vecuronium 0,1 mg/kgBB. Anestesi harus dipastikan cukup dalam supaya tidak terjadi peningkatan gejolak tekanan darah saat intubasi dan selama operasi berlangsung.9,10

Penurunan tekanan intrakranial yang cepat dapat dicapai dengan pemberian diuretik. Dua macam diuretika yang umum digunakan yaitu osmotik diuretik manitol dan loop diuretik furosemide. Manitol diberikan secara bolus intravena dengan dosis 0,25–1 gr/kgBB. Diberikan secara perlahan dalam infus selama 10–20 menit dan dilakukan bersama-sama dengan manuver yang menurunkan volume intrakranial (misalnya hiperventilasi). Masa kerja manitol 10–15 menit dan efektif kira-kira selama 2 jam.12

Furosemid mengurangi tekanan intrakranial dengan menimbulkan diuresis, menurunkan produksi cairan serebrospinal dan memperbaiki edema serebral dengan mengurangi transport air seluler. Furosemid menurunkan tekanan intrakranial tanpa meningkatkan volume darah otak atau osmolalitas darah, akan tetapi tidak seefektif manitol dalam menurunkan tekanan intrakranial. Furosemid dapat diberikan tersendiri dengan dosis 0,5–1 mg/kgBB atau dengan manitol dengan dosis yang lebih rendah yaitu 0,15–0,3 mg/kg BB. Kombinasi manitol dengan furosemid lebih efektif daripada manitol saja dalam mengurangi edema otak (brain bulk) dan

tekanan intrakranial tetapi lebih menimbulkan dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit. Bila dilakukan kombinasi terapi, diperlukan pemantauan serum elektrolit dan osmolalitas dan mengganti kalium bila ada indikasi.12

Rumatan anestesi digunakan syringe pump propofol 60–80 mg/jam, fentanil 1–2 ug/kgBB/jam, vecuronium 0,08–0,1 mg/kgBB/jam kombinasi dengan inhalasi O2: air : sevoflurane = 2 : 2 : 1. Intraoperasi, diperlukan pengontrolan tekanan intrakranial dan usahakan otak tidak makin membengkak. Perfusi dan oksigenasi otak harus adekuat. Vasopresor atau epinephrin bolus harus siap jika dibutuhkan. Jika memungkinkan, dapat dipasang monitor invasif untuk mengukur tekanan darah arteri, tekanan vena central dan tekanan intrakranial selama operasi berlangsung. Pemeriksaan gula darah sewaktu dilakukan perjam untuk menghindari terjadinya hipo atau hiperglikemia.

Gunakan obat-obat anestesi yang bersifat neuroprotektif dimana dapat meningkatkan cerebro vascular resistance (CVR), menurunkan cerebral blood flow (CBF), menurunkan cerebral blood volume (CBV), menurunkan CMRO2. Dosis sevoflurane yang dianjurkan tidak melebihi 1,5 MAC. Hindari terjadinya arterial hipotensi. Penurunan cerebral perfusion pressure (CPP) akan menyebabkan reflek vasodilatasi cerebal dan akan meningkatkan ICP. Berikan fresh frozen plasma (FFP), transamine, adona, vitamin K untuk mengurangi perdarahan. Perhatikan produksi urine. Usahakan balans imbang (balans nol).9-11

Pascaoperasi, pasien dirawat di ruang Intensive Care Unit.

Dilakukan resusitasi otak minimal 6 jam. Target saturasi O2 98–100%, end tidal CO2 30 mmHg. Hindari terjadinya hipotensi atau hipertensi. Balans imbang (balans nol), hindari balans negatif. Berikan intake oral via nasogastric tube (NGT) bila NGT jernih.13,14 End tidal CO2 dipertahankan 30–35 mmHg. Hindari hipotensi dan hipovolemik preoperatif, durante operasi dan pasca operasi. Adanya penurunan kesadaran dengan GCS E1M3V1, perdarahan intracranial, peningkatan tekanan intrakranial, menyimpulkan

Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik

Page 19: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

86 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

prognosis pasien dubia ad malam.

IV. Simpulan

Stroke terbagi menjadi stroke non hemoragik (stroke infark/iskemik) dan stroke hemoragik. Morbiditas dan mortalitas stroke hemoragik lebih tinggi daripada stroke non hemoragik. Pemilihan obat anestesi yang digunakan harus bersifat neuroprotektif, meningkatkan CVR, menurunkan CBF, menurunkan CBV, menurunkan CMRO2. Durante operasi dan selama perawatan di ICU, saturasi O2 dipertahankan 98–100% dan end tidal CO2 dipertahankan 30–35 mmHg. Hindari hipotensi dan hipovolemik preoperatif, intraoperatif dan pascaoperatif. Prognosis ditentukan oleh tingkat kesadaran saat pasien masuk rumah sakit. Makin tinggi menilai skor Glascow Coma Scale, makin rendah tingkat mortalitas dan morbiditas pasien. Makin cepat dilakukan tindakan operatif evakuasi hematoma, makin baik prognosis pasien.

Daftar Pustaka

1. Rosmiati H, Gan VHS. Antikoagulan, antitrombotik, trombolitik dan hemostatik. Dalam: Gan S, Setiabudy R, Sjamsudin U, Bustami ZS, editor. Farmakologi dan Terapi, 3th ed. Jakarta: Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1987, 675–82

2. Adam D. Cerebrovasculer diseases. Dalam: Principles of Neurology, 8th ed, Mc Graw Hill Proffesional; 2005, 660–67

3. Bisri T. Neurofisiologi. Dalam: Bisri T. Penanganan neuroanestesia dan critical care: cedera otak traumatik. 1st ed. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2012, 1–6

4. Naidesch AM. Intracranial hemorrhage. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine 2011;184(9):998–1006

5. Qureshi AI, Tuhren S. Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. The N Eng J Med

2001;144: 1450–60

6. Bisri T. Tekanan intrakranial. Dalam: Bisri T, 2nd ed. Dasar-dasar neuroanestesi. Bandung: Saga Olahcitra; 2011, 12

7. Ledezma CJ, Wintermark M. Modern Neuroradiology relevant to anesthetic and perioperative management. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and Young neuroanesthesia, 5th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2011, 101.

8. Kotapka MJ, Flamm ES. Cerebral aneurysms: surgical considerations. Dalam: Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and neurosurgery, 4th ed. Philadelphia: Mosby; 2001, 355

9. Mc. Donagh DL, Matthew JP. Perioperative stroke. Where we go from here? Editorial views. The American Society of Anesthesiologists, Inc. Lippincott Williams & Wilkins. Anesthesiology 2011; XXX (V): 1–3

10. Bruder N, Ravussin PA. Anesthesia for intracranial hematoma. Dalam: Cotrell JE, Young WL, eds. Cottrell and Young neuroanesthesia, 5th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2011, 198–199

11. Jabbour PM, Awad IA, Huddle D. Intracerebral hemorrhage. Dalam: Layon AJ, Gabrielli A, Friedman WA, eds. Textbook of neurointensive care,1st ed. Philadelphia: Elsevier; 2004, 171–77

12. Laine FJ, Smoker WRK. Intracranial disease. Dalam: Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and neurosurgery, 4th ed. Philadelphia: Mosby; 2001, 164–65.

13. Bisri T. Diuretika. Dalam: Bisri T, 2nd ed. Dasar-dasar neuroanestesi. Bandung: Saga Olahcitra, 2011, 62.

14. Boop BS, Sherman DG. Hematologic causes of stroke. Dalam: Albin MS, ed. Textbook of neuroanesthesia with neurosurgical and

Page 20: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

87

neuroscience perspectives. 1st ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 1997, 508

15. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial hemorrhage: intensive care management. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of neuroanesthesia and neurointensive care. 1st ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229–30

16. Lalenoh CD. Pengelolaan anestesi pada perdarahan intrakranial akibat stroke hemoragik. JNI 2012;1(4): 262–67

17. Rincon F, Mayer SA. Clinical review: critical care management of spontan intracerebral hemorrhage. Crit Care 2008; 12; 237.

Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik

Page 21: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

88

Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Cedera Medula Spinalis Segmen Cervicalis

Tomas Ari Kurniawan Komala, I Putu Pramana Suarjaya, I Ketut SinardjaBagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

RSUP Sanglah Denpasar

Abstrak

Manajemen medula spinalis, terutama bagian cervical selama operasi dan resusitasi pasien dengan cedera spinal, memiliki banyak pertimbangan penting untuk ahli anestesi, antara lain dengan memperhitungkan hal-hal yang berpotensi menyebabkan cedera berat irreversibel selama dilakukan intubasi trakeal. Pasien laki-laki usia 57 tahun, datang ke Rumah Sakit Sanglah Denpasar dalam kondisi sadar mengeluh nyeri pada leher dan tidak bisa menggerakkan ke empat anggota geraknya segera setelah kecelakaan. Pengelolaan anestesi untuk membantu tindakan operasi ini dilakukan dengan anestesi umum inhalasi dengan pemasangan pipa nasotrakheal non kinking, nafas kendali. Untuk premedikasi diberikan midazolam intravena, induksi dengan propofol dan fentanyl intravena, dan fasilitasi intubasi dengan menggunakan vekuronium intravena. Intubasi dikerjakan dengan bantuan glidescope untuk meminimalisasi ekstensi kepala. Pemeliharaan anestesi dengan menggunakan N2O, O2, sevofluran dan vekuronium intermitten. Monitoring tanda vital tekanan darah, laju nadi, EKG, SaO2, dan ET CO2. Operasi dikerjakan dengan posisi telungkup, pendekatan dari posterior. Selama operasi hemodinamik pasien relatif stabil. Hari I pascaoperasi dimulai program diet enteral, hari II pascaoperasi penderita dipindahkan ke ruangan biasa. Penilaian nyeri dengan Numeric Rating Scale (NRS) dengan hasil 1–2. Fungsi motorik pasien meningkat 1 point dibandingkan pre op, hari IX pascaoperasi penderita diprogram rawat jalan oleh sejawat Bedah Saraf. Cedera pada medulla spinalis segmen cervical memerlukan penanganan yang cermat. Penanganan jalan nafas definitif dengan melakukan intubasi trakheal harus sangat berhati–hati, dan harus dijaga agar tidak terjadi cedera lebih jauh akibat tindakan laryngoscopy.

Kata kunci: anestesi umum dengan pipa nasotrakheal, cedera spinal segmen cervical, glidescope

JNI 2014;3 (2): 88‒95

Anesthetic Management for Patient with Cervicalis Spinal Cord Injury

Abstract

Management for spinal cord injury, especially the cervical part during surgery and also resuscitation of patients with spinal injuries, has many important considerations for anesthesiologists,which is also have potential to cause severe irreversible injury during tracheal intubation. Patient male, 57 years old, came to Sanglah Hospital with chief complain neck pain and could not move all extremities immediately after an accident. Anesthesia performed by general anesthesia inhalation with insertion nasotracheal tube. For premedication was given IV midazolam. Induction with IV propofol and fentanyl, and vecuronium used as muscle relaxant. Intubation performed with glidescope guidance to minimize the extension of the head. Maintenance of anesthesia with N2O, O2, sevoflurane and intermittent IV vecuronium. Monitoring during anesthesia and surgery such as blood pressure, pulse rate, ECG, SaO2, and ET CO2. The surgery was done with prone position and posterior approach. During surgery the patient’s hemodynamic relative stable. Day I post operation, patient start to have enteral diet, and the next day patient was transferred to regular ward. Pain assesment was done with Numeric Rating Scale (NRS) with score 1–2. Motor function of the patients increased 1 point compared to preoperation. Day IX post operation, patient was discharged from the hospital. Cervical spinal cord injury requires careful handling. Definitive airway by endotracheal intubation should be done with extreme careful, and shall not cause further injury due to laryngoscopy.

Key words: cervical spinal injury, general anesthesia with nasotracheal tube, glidescope

JNI 2014;3 (2): 88‒95

Page 22: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

89 Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Cedera Medula Spinalis Segmen Cervicalis

I. Pendahuluan

Manajemen medula spinalis, terutama bagian cervical selama operasi dan juga resusitasi pasien dengan cedera spinal, memiliki banyak pertimbangan penting untuk ahli anestesi, juga dengan memperhitungkan berbagai hal yang berpotensi menyebabkan cedera berat irreversibel selama dilakukan intubasi trakeal. Trauma adalah yang paling sering menjadi penyebab cedera medula spinalis dengan insidens 3–4 dalam setiap 100.000 populasi per tahun di US., sedangkan di UK diperkirakan 8,1 kasus trauma per 1.000.000 populasi. Cedera ini dapat merusak dan berpengaruh pada dewasa muda yang memiliki harapan hidup panjang. Biaya cedera spinal besar sekali, bukan hanya karena biaya perawatan pasien dengan cedera spinal sangat tinggi dan dapat memanjang hingga bertahun-tahun, namun juga karena korban cedera ini biasanya individu yang muda, sehat, dan produktif.1 Seorang ahli anestesiologi akan terlibat secara langsung dengan resusitasi pada pasien dengan cedera spinal, baik tindakan operasi elektif maupun emergensi.1,2

Vertebra cervicalis atas memiliki unit occipioatlantoaxial yang merupakan struktur tulang-sendi yang paling kompleks dalam tubuh manusia. Fungsinya untuk menyangga kepala dan untuk melindungi medula spinalis dari struktur di sekitarnya di samping juga berfungsi sebagai sendi untuk fleksi, ekstensi dan rotasi. Vertebra cervical yang pertama, atlas, memiliki arcus anterior dan posterior yang tebal yang menyatu membentuk massa yang besar di bagian lateral. Bagian superior yang cembung akan bersendi dengan condylus occipitalis. Bagian inferior yang lebih rata akan bersendi dengan facet joint bagian superior dari tulang vertebra kedua, axis.1

Lima vertebra leher bagian bawah sesuai dengan bentuk umum dari vertebra cervical. Vertebra ini berfungsi sebagai pelindung dari medulla spinalis dan pada saat yang bersamaan juga berfungsi sebagai sarana fleksi, ekstensi dan rotasi dari leher. Processus lateralis mengandung fenestra sehingga dapat dilalui oleh arteri vertebralis. Facet joint antara vertebra cervical menghadap ke caudal dan ke anterior.3 Penyebab utama cedera medulla spinalis adalah kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh,

perkelahian, dan kecelakaan olahraga, terutama menyelam dan berkuda. Cedera medulla spinalis mungkin dapat terjadi segera, terjadi sesaat setelah kecelakaan, atau mungkin juga tidak terjadi cedera dengan disertai kolumna vertebralis yang tidak stabil (unstable) yang berpotensi untuk terjadinya cedera medula spinalis jika gerakan yang tidak terkontrol terjadi selama dilakukan resusitasi dan perawatan. Pengetahuan tentang potensi terjadinya cedera ini sangat penting. Vertebra cervical rentan terhadap cedera, 50% dari cedera spinal disertai dengan cedera pada cervical spine dan dari jumlah itu 32–45% mengalami tetraplegi pada saat kejadian. Di bawah cervical spine, 54% cedera bermanifestasi sebagai paraplegia. Cedera pada medulla spinalis thorakalis berhubungan dengan cedera spinal pada 62–80% kasus, disebabkan dibutuhkan kekuatan yang signifikan untuk mencederai area ini, karena area ini cukup terlindung dan cedera dapat terjadi disebabkan karena kanal spinalis yang relatif lebih sempit pada level ini. Cedera pada fraktur lumbal dan thorakolumbal, akan mencederai cauda equina.1

Identifikasi secara klinis seringkali sulit dikerjakan. Pada sebuah penelitian, residen bedah mampu untuk mengidentifikasikan cedera spinal cervical dengan pemeriksaan klinis saja (nyeri leher, bengkak pada leher, atau adanya defisit neurologis) dengan spesifisitas 94% namun dengan sensitivitas hanya 46%. Tiga kelompok pasien yang harus menjalani pemeriksaan radiografi, seperti yang telah diklasifikasikan oleh Ivy dan Cohn4,5: 1. Pasien yang datang dengan defisit neurologis

yang sesuai dengan lesi spinal2. Semua pasien dengan sensoris yang berubah3. Pasien dengan nyeri leher dan pembengkakan

Tujuan utama penanganan cedera spinalis akut adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan lebih jauh pada medula spinalis yang dapat meningkatkan ketinggian level cedera spinalis. Penanganan dengan hati-hati pada pasien – pasien ini dan pencegahan hipoksemia dan hipovolemia sangat penting. Dosis tinggi metilprednisolon (30 mg/kg dalam 8 jam setelah terjadinya cedera diikuti dengan drip 5,4 mg/kg selama 23 jam) menunjukkan peningkatan pemulihan fungsi motorik dan sensorik sedikit lebih baik namun signifikan pada pasien dengan cedera komplit dan

Page 23: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

90 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

inkomplit dalam waktu 6 bulan. Namun efikasi regimen ini masih dipertanyakan, terutama pada pasien dengan trauma tembus medula spinalis.1

Spinal shock adalah istilah untuk fase akut setelah terjadinya kerusakan medulla spinalis karena terputusnya jalur autonomic descenden dengan hilangnya aktivitas somatik dan refleks, yang berlangsung dalam beberapa hari hingga beberapa minggu. Cedera spinal level tinggi akan menghasilkan respirasi dan kardiovaskuler yang tidak stabil.6 Lesi cervical yang sangat tinggi akan mengganggu fungsi diafragma (C3,4,5) dan mungkin akan muncul sebagai respiratory arrest. Cedera cervical yang lebih rendah dan thorakal menghasilkan gangguan pernafasan karena kelumpuhan otot-otot intercostalis.7

Edema pulmoner neurogenik mungkin juga berhubungan dengan trauma medulla spinalis akut. Mekanismenya diperkirakan karena pelepasan autonomic secara berlebihan pada cedera medula spinalis akut yang menyebabkan hipertensi, bradikardia dan vasokonstriksi yang berlebihan. Peningkatan afterload jantung yang cepat akan mempresipitasi kegagalan jantung kiri dan tekanan darah sistolik yang tinggi akan merusak endotel kapiler paru dan akan menyebabkan perdarahan atau edema paru.1

Kerusakan pada saraf-saraf jantung (T1– 4) akan menghasilkan bradikardia karena efek vagal yang tidak terkompensasi dan hilangnya tonus vasokonstriktor simpatis akan menyebabkan hipotensi dan vasodilatasi perifer. Kondisi hipotensi dan bradikardia yang berhubungan dengan cedera spinal tinggi disebut sebagai neurogenic shock, yang seharusnya tidak disalah artikan sebagai spinal shock. Manajemen awal neurogenic shock antara lain dengan penggantian cairan secara hati-hati dengan bantuan dari monitor CVP, penggunaan vagolitik seperti sulfas atropin 0,3–0,6 mg dan vasopressor seperti metoksamin, fenileprin atau noradrenalin. Potensi instabilitas kardiovaskuler meningkat selama anestesi dan pasien memerlukan pengawasan kardiovaskuler dengan monitor invasif dan ventilasi tekanan positif.6

II. Kasus

AnamnesisPasien laki-laki usia 57 tahun, datang ke RS Sanglah Denpasar dalam kondisi sadar mengeluh nyeri pada leher dan tidak bisa menggerakkan keempat anggota geraknya setelah kecelakaan tanggal 13 – 04 – 2011. Segera setelah kecelakaan pasien tidak bisa menggerakkan keempat anggota geraknya. Riwayat pingsan (-), mual (-), muntah (-), berat saat bernafas (+). Mekanisme terjadinya cedera: pasien mengendarai sepeda motor, terperosok ke dalam lubang di jalan, kemudian jatuh terduduk. Riwayat hipertensi (+) namun pasien lupa sejak kapan, tidak pernah kontrol, tidak pernah minum obat, Tekanan Darah: 160/90 mmHg, Diabetes Melitus (-), asma (-), alergi (-), sesak nafas (-). Riwayat operasi (-).

Pemeriksaan FisikDari pemeriksaan fisik didapatkan pasien dengan berat badan ± 60 kg dan tinggi badan 170 cm, indeks masa tubuh 20,76 kg/m2.

a. Pemeriksaan Sistem OrganSistem saraf pusat : GCS E4 V5 M6Sirkulasi : S1S2 tunggal, regular,

murmur (-), Tekanan Darah: 150/90 mmHg, Nadi: 78 x / menit

Respirasi : Laju nafas 20–24 x/me-nit, suara vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/- , nafas thorakoabdominal

Saluran cerna : Inkontinensia AlviHepatobilier : NormalUrologi : Inkontinensia Uri,

terpasang kateterMetabolik : NormalHematologi : NormalOtot rangka : Malampati satu, fleksi/

defleksi leher terbatas, terpasang penyangga leher paresthesia setinggi N spinalis segmen Thorakal 2

Page 24: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

91 Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Cedera Medula Spinalis Segmen Cervicalis

Motorik

222 222

111 111

Sensorik N N↓ ↓

Tonus N N

↓ ↓

Refleks Patologis

- -

+ +

b. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan darahPemeriksaan Keterangan Pemeriksaan KeteranganLeukosit 10 x 103/uL pH 7,42Hemoglobin 13,4 g/dL pCO2 45 mmHgHematokrit 40% pO2 136 mmHgTrombosit 191 x 103/uL HCO3- 29,3 mmol/LUreum 19,51 mg/dL BE 4,1Kreatinin 0,87 mg/dL SaO2 99%SGOT 64,4 U/LSGPT 33,7 U/L Waktu Perdarahan 1 menitAlbumin 3,6 g/dL Waktu Pembekuan 7 menitNatrium 134 mmol/LKalium 3,2 mmol/L

1. Fraktur C1–C2 dengan displacement fragmen fraktur ke posterior, menekan thecal sac, menyebabkan central canal stenosis berat dan kompresi spinal cord pada level tersebut disertai spinal cord edema setinggi C2–C4

2. Spondilosis Cervicalis

Sistem RespirasiRo Thorak PA: pulmo terdapat gambaran perselubungan di apex paru kanan-kiriRontgen Cervical

Gambar 1. Rongent Cervical Lateral

Sistem SSP: MRI

3. Degenerative Disc Disease dengan gambaran: Bulging disc pada level C3 – C4 dan C4 – C5 ke posteromedial dan posterolateral kanan – kiri menyebabkan penekanan ke thecal sac dan penyempitan foramina neuralis kanan-kiri serta kompresi exiting nerve root C4 – C5 kanan – kiri, Loss of intens pada discus intervertebralis di level C2 – 3, C3– 4, C4 – 5, C5 – 6, dan C6 – 7

Pengelolaan anestesi untuk membantu tindakan operasi ini dikerjakan dengan anestesi umum inhalasi dengan pemasangan pipa nasotrakheal non kinking no 7,0, nafas kendali. Untuk premedikasi diberikan midazolam 1 mg iv. Co induksi dengan fentanyl 150 mcg iv, kemudian induksi dengan propofol 150 mg iv. Fasilitasi intubasi dengan menggunakan vekuronium 10 mg iv. Intubasi dikerjakan dengan bantuan glidescope untuk meminimalisasi ekstensi kepala. Pemeliharaan anestesi dengan menggunakan N2O, O2 dan sevofluran dan vekuronium intermitten 2 mg. Monitoring tanda vital tekanan darah, laju nadi, EKG, SaO2, dan ET CO2. Operasi dikerjakan dengan posisi telungkup, dengan pendekatan operasi dari posterior. Selama operasi hemodinamik pasien relatif stabil dengan kisaran laju nadi berkisar antara 63–80 x/menit, Saturasi O2 98–100%, tekanan darah sistolik antara 69–105 mmHg, tekanan darah diastolik antara 55–83 mmHg.

Page 25: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

92 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

PascaoperasiPukul 13.05 penderita istirahat di ruang terapi intensif dengan nafas spontan, NRS 2–3, hemodinamik stabilHari I pascaoperasi dimulai program diet enteral,

Gambar 2. MRI Cervical

Gambar 3. Pemasangan Sublaminar Wire

mual (-), muntah (-), penderita masih bisa makan.Hari II pascaoperasi penderita dipindahkan ke ruangan biasa. NRS 1–2. Fungsi motorik pasien meningkat 1 point dibandingkan pre opHari IX pascaoperasi penderita diprogram rawat jalan oleh TS Bedah Saraf.

Gambar 4. Gambaran Radiologis dengan C – Arm setelah Terpasang

Page 26: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

93 Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Cedera Medula Spinalis Segmen Cervicalis

III. Pembahasan

Cedera medulla spinalis disebut upper injuries bila terkena pada kompleks C1–C2 dan lower injuries bila terkena pada C3 hingga C7. Manifestasi cedera spinalis yang berhubungan dengan cedera spinal C1–C2 lebih serius dibandingkan dengan cedera pada cervical spine bagian bawah. Hal ini menggambarkan tingginya angka kematian pada cervical atas. Cedera pada upper spine merupakan hasil dari kekuatan trauma yang dihantarkan ke bawah dari kepala. Penyebab utama dari kematian mendadak setelah terjadi cedera spinal adalah gagal nafas. Pusat pernafasan medulla spinalis, terutama motor nucleus C4 dengan sedikit kontribusi dari C3 dan C5, keluar sebagai nervus phrenicus yang menginnervasi diafragma. Jika C4 masih utuh dibawah kontrol kesadaran pasien, maka kesadaran untuk bernafas masih dapat dipertahankan dengan kapasitas vital 20–25% normal.1

Pasien dengan Spinal Cord Injury (SCI) Cervical ASIA B, memerlukan penanganan awal yang adekuat. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi sejak awal cedera, disebutkan dapat meningkatkan outcome pasien-pasien dengan SCI. Pada pasien ini sudah diberikan kortikosteroid sejak awal cedera oleh TS Bedah Saraf, dimana diharapkan outcome menjadi lebih baik. Fungsi motorik ekstremitas pasien pascaoperasi meningkat 1 poin, dimana secara empiris yang dikerjakan oleh TS Bedah Saraf di Denpasar, target peningkatan fungsi motorik pasien SCI 1–2 poin pascaoperasi. Selain itu, pasien memerlukan monitoring pasca operasi dimana cedera yang terjadi pada C1–2, dengan adanya tetraparese. Diperkirakan juga sudah ada gangguan dalam fungsi motorik otot-otot intercostalis dan otot diafragma, yang merupakan otot penting pernafasan. Dengan adanya manipulasi pada area cervicalis, terutama di bagian proximal dari C3,4,5, dikhawatirkan terjadi lesi yang akan menyebabkan terjadinya kelumpuhan pada kedua otot pernafasan tersebut. Diafragma mendapatkan innervasi dari nervus phrenicus yang dibentuk oleh C3–5, sehingga lesi pada C1–2, ada kemungkinan seluruh segmen nervus spinalis di distal dari C1–2 akan terganggu.

Pasien ini masih mampu bernafas spontan, namun diperlukan pemeriksaan analisa gas darah (AGD) untuk memastikan bahwa fungsi respirasi tidak menurun, sehingga dapat diperkirakan kemampuan pasien untuk bernafas kembali pascaoperasi. Pasien ini masih memiliki fungsi respirasi yang cukup baik, maka perencanaan pascaoperasi, pasien akan dilakukan ekstubasi.1

Sistem kardiovaskuler pasien masih stabil, diperkirakan belum terjadi gangguan otonom spinal shock. Namun pasien masih terancam dengan adanya komplikasi kronis autonomic dysreflexia, dimana karena rangsangan berulang pada bagian distal tubuh yang mengalami gangguan sensoris, tetap akan memberikan rangsangan yang direspon oleh tubuh. Tubuh dapat mengalami autonomic discharge yang hebat dengan gejala-gejala yang dapat mengancam keselamatan pasien.1

Monitoring yang sebaiknya dilakukan selama operasi meliputi ”wake up test” dan monitoring neurofisiologis dengan menggunakan ”somatosensory evoked potentials” (SSEP). Wake up test melibatkan pengurangan kedalaman anestesia hingga pada suatu titik selama prosedur tindakan dan mengobservasi kemampuan pasien untuk menggerakkan ekstremitas sesuai perintah. Namun monitoring ini hanya akan memberikan informasi selama pasien dibangunkan dan tidak dapat memberikan informasi sewaktu-waktu selama prosedur tindakan. SSEP memberikan gambaran yang lebih berkesinambungan dan memberikan monitoring yang lebih lengkap. Namun penggunaan alat SSEP ini lebih sulit dan seringkali meskipun digunakan oleh orang yang sudah ahli, tetap saja ada kemungkinan kesalahan interpretasi dan tetap membutuhkan wake up test. SSEP hanya sedikit dipengaruhi oleh obat anestesi inhalasi, namun sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan obat anestesi lokal.8 Pasien dengan SCI rentan terjadi static pneumonia, yang disebabkan oleh prolonged bedridden. Pada sebagian besar pasien yang dirawat di rumah, keluarga yang awam tidak mengetahui komplikasi ini, sehingga prolonged bedridden karena kelumpuhan ini akan memberikan komplikasi yang cukup serius pada pasien.1

Page 27: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

94 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Protokol untuk mengelola pasien dengan potensi cedera cervical yang harus segera dilakukan intubasi trakeal.1

Protokol CatatanI Assesment airway segera dan pemberian

oksigen aliran tinggiII Rigid Collar harus dibuka sebelum intu-

basiIII eknik RSI aman untuk dikerjakan pada

pasien dengan cedera cervical yang me-merlukan kontrol airway segera

Jangan melakukan laringoskopi berulang pada pasien dengan cedera kepala, karena ini akan me-ningkatkan tekanan intrakranial

IV Preoksigenasi vital sebelum intubasi trakeal dan mungkin efektif dikerjakan dengan cricoid pressure

V Cricoid pressure sebagai bagian dari teknik RSI tidak memperburuk cedera cervical spine

VI Agen induksi anestesi untuk memfasili-tasi intubasi dan mengurangi peningka-tan tekanan intracranial

Dosis obat dikurangi pada pasien dengan hipovole-mik

VII Suksametonium (1,5–2,0 mg/kgBB) merupakan obat pilihan untuk membuat kondisi intubasi dalam waktu 30 detik

Keuntungan mengamankan jalan nafas dan mem-fasilitasi ventilasi lebih besar daripada potensi efek samping dari suksametonium

VIII Suksametonium sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada pasien trauma maksilofasial atau cedera lain yang membuat intubasi tidak mungkin diker-jakan

Konsekuensi dari melumpuhkan pasien yang masih bernafas dengan airway yang masih paten parsial dan kemudian tidak sanggup melakukan ventilasi atau intubasi adalah buruk sekali

IX Pasien yang tidak sesuai untuk RSI me-merlukan metode alternatif lain untuk mengamankan jalan nafas

Dikutip dari: Heath dan Erskine.1

RSI: Rapid Sequence Induction

Skala Kelumpuhan dari ASIA7

ASIA Grade Tipe Cedera Definisi Tipe CederaGrade A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorikGrade B Inkomplit Di bawah level cedera masih terdapat fungsi sensorik namun fungsi

motorik tidak adaGrade C Inkomplit Ada fungsi motorik, namun mayoritas otot – otot utama di bawah

level cedera memiliki kekuatan motorik kurang dari 3Grade D Inkomplit Ada fungsi motorik, namun mayoritas otot – otot utama di bawah

level cedera memiliki kekuatan motorik lebih dari 3Grade E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal

Dikutip dari: Rao GSU.7

Page 28: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

95 Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Cedera Medula Spinalis Segmen Cervicalis

IV. Simpulan

Cedera pada medulla spinalis memerlukan penanganan yang cermat. Terutama apabila cedera tersebut meliputi cedera medulla spinalis segmen cervical. Perhatian khusus diperlukan untuk pasien dengan cedera spinal segmen cervical terutama apabila harus dikerjakan dalam situasi gawat darurat. Penanganan airway definitive dengan melakukan intubasi endotrakheal harus sangat berhati-hati, karena tindakan laryngoscopy untuk intubasi endotrakheal biasanya memerlukan pergerakan dari sendi – sendi atlanto – occipital dan atlanto – axial, dimana apabila cedera terjadi pada segmen cervical atas, maka harus dijaga agar tidak terjadi cedera lebih jauh akibat tindakan laryngoscopy. Dalam hal ini seorang dokter ahli anestesi memegang peranan penting, dimana tindakan laryngoscopy dapat dikerjakan dengan pergerakan yang minimal dari sendi–sendi pada vertebra cervicalis. Pilihan pertama untuk penatalaksanaan jalan nafas tetap awake intubation dengan panduan fiberoptic bronchoscopy, laryngoscopy menggunakan glidescope, atau dengan manual inline intubation.9,10 Perawatan pascaoperasi juga memegang peranan penting untuk kesejahteraan pasien, dimana komplikasi dari cedera medulla spinalis ini dapat mengakibatkan kelumpuhan yang permanen, sehingga edukasi untuk perawatan jangka panjang pascaoperasi kepada pasien dan keluarga diperlukan.

Daftar Pustaka

1. Heath KJ, Erskine RE. The anesthetic man-agement of spinal injury and surgery to the cervical spine. Dalam: Matta BF, Menon DK, Turner JM, eds. Textbook of neuroanaesthe-sia and critical Care. 1st ed. London: Green-wich Medical Media Ltd; 2000,239–50

2. Singh AP. Airway management of the cervi-cal spine injured patients. PowerPoint Pre-sentation. 10 March 2007. Tersedia dari: http://clinicaldepartments.musc.edu/anesthe-sia/intranet/education/resident%20research/files/singh.pdf

3. Crosby ET. Considerations for airway man-agement for cervical spine surgery in adults. Anesthesiology Clin 25:511–23, 2007

4. Fitzgerald RD. Anaesthesia and cervical spine injury. Anaesthesia Tutorial, Depart-ment of Anaesthesia and Intensive Care, City of Vienna Hospital, Vienna, 2006 [Diunduh 28 Februari 2014]. Tersedia dari :http://www.kuleuven.be/anesthesie/congressen/2006/sat-urday/kul2006_fitzgerald.pdf

5. Ivy ME, Cohn SM. Addressing the myths of cervical spine injury management. Amer J Emerg Med 1997; 15: 591–5

6. Raw DA, Beattie JK, Hunter JM. Anesthesia for spinal surgery in adults. Br. J. Anaesth. 2003, 91 (6): 886–904

7. Rao GSU. Anaesthetic and intensive care management of traumatic cervical spine injury. Indian Journal of Anaesthesia 2008; 52 (1): 13–22

8. Crabb I. Anaesthesia for spinal surgery. Dalam: Anesthesia and Intensive Care Medi-cine. The Medicine Publishing Company; 2003,80–4

9. Samantaray A. Anesthesia for spine surgery. Indian Anaesthetists’ Forum. Januari 2006. Tersedia dari: http://www.theiaforum.org.

10. Cowie P, Andrews P. The unstable cervical spine. Anaesthesia Tutorial of The Week 292. 9 September 2013. Tersedia dari: http://www.totw.anesthesiologists.org

Page 29: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

96

Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien dengan Tumor Supratentorial Berukuran Besar Suspek Konveksitas Meningioma

Caroline Wullur, Dewi Yulianti BisriDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran – RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Penatalaksanaan anestesi untuk kasus meningioma memiliki beberapa hal khusus yang penting untuk dilaksanakan. Jaringan otak tertutup oleh tulang kranium. Karena hubungan kontinu dari aliran darah dan volume jaringan otak, maka resiko perdarahan dan edema sangat tinggi. Tanpa pendekatan anestesi yang tepat, maka dapat meningkatkan resiko edema dan perdarahan otak karena manipulasi operasi. Pada kasus ini dilaporkan pasien berusia 35 tahun dengan keluhan nyeri kepala di daerah frontal disertai dengan penurunan penglihatan sejak 1 tahun sebelum masuk rumah sakit. Pasien tidak pernah mengalami kejang ataupun penurunan kesadaran. Pasien didiagnosa dengan tumor supratentorial ec suspek conveksitas meningioma yang direncanakan dilakukan pembedahan kraniotomi untuk pengangkatan tumor. Status fisik ASA 2 dengan defisit neurologis. Pasien dilakukan dengan anestesi umum dengan intubasi. Induksi dengan fentanil, propofol dan vecuronium. Operasi berlangsung selama 7,5 jam. Pascabedah, pasien dirawat di Unit Perawatan Intensif selama 2 hari sebelum pindah ke ruangan. Perlakuan anestesi dan pengaturan faktor fisiologi mempunyai dampak yang besar terhadap jaringan otak. Dokter anestesi harus mempunyai pengetahuan mengenai efek obat dan manipulasi lainnya untuk mencapai hasil operasi yang baik.

Kata kunci: anestesi umum, supratentorial tumor, konveksitas meningioma

JNI 2014;3 (2): 96‒102

Anaesthetic Management of a Patient with Large Supratentorial Brain Tumor Suspected Convexity Meningioma

Abstract

Anesthesia for meningioma cases has several specific important considerations. The brain is enclosed in a rigid skull. Brain tissue is highly vascularized therefore the risk of bleeding and edema are very high. Without the correct anaesthetic approach, the risk of bleeding and edema due to surgical manipulation may be increased. This phenomenon may have negative impact since the visual of surgical field will be limited. In this case, we reported a 35-year old female patient with severe headache at the frontal region accompanied with visual impairment since 1 year prior to hospital admittance. This patient was never experienced any seizures or inconsiousness. Patient was diagnosed with supratentorial tumor caused by suspect of convexity meningioma and was planned tumor removal craniotomy. ASA II physical status with neurological deficit. The patient was on general anaesthesia with intubation. Induction was performed using fentanyl, propofol and vecuronium while continuous propofol and vecuronium were used for maintenance. The surgery lasted for 7.5 hours. After surgery, the patient was treated in the Intensive Care Unit for 2 days prior to inpatient ward transfer. Anaesthetic management and physiological factors control have a positive impact on the brain tissue. Anaesthesiologist must have the comprehensive knowledge on drug effects and other manipulations to achieve positive result of a surgery.

Keywords: general anaesthesia, supratentorial tumor, convexity meningioma

JNI 2014;3 (2): 96‒102

Page 30: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

97

I. Pendahuluan

Meningioma merupakan tantangan bagi ahli bedah saraf di seluruh dunia karena sifatnya yang jinak alami dan hasil operasi yang diharapkan sempurna setelah eksisi total. Rentang kesalahan yang sangat tipis menjadikan pembedahan pada konveksitas meningioma lebih menarik. Namun terkadang konveksitas ini memberikan gambaran yang beragam dan komplikasi yang tidak biasa.1 Meningioma adalah suatu tumor ekstra-aksial yang berasal dari sel selaput araknoid. Tumor ini sering terjadi di berbagai lokasi yang terdapat sel araknoid antara otal dan tulang, ventrikel, dan sepanjang tulang belakang. Lesi ini dapat terjadi pada berbagai usia, namun yang tersering pada usia lanjut. Insidensi meningioma pada wanita lebih banyak daripada pria, dengan perbandingan 2 : 1 di intrakranial, dan 10 : 1 di tulang belakang. Kebanyakan meningioma bersifat jinak, terbatas, berkembang lambat, dan dapat ditangani dengan pembedahan sesuai lokasi lesi. Lokasi tersering adalah di daerah parasagital. Gejala-gejala klinis yang timbul umumnya tergantung pada lokasi anatomi yang terlibat. Tiga gejala utama yang sering terjadi yaitu nyeri kepala, perubahan status mental, dan kelumpuhan.1,2

Selain memfasilitasi dilakukannya pembedahan, dokter anestesi juga perlu melakukan tindakan neuroanestesi yang dapat mengendalikan tekanan intrakranial dan volume otak, melindungi jaringan saraf dari cedera dan iskemia dengan melakukan teknik "brain protection", serta mengurangi jumlah perdarahan yang terjadi selama operasi berlangsung.3,4

Ada beberapa hal yang penting untuk dihindari selama pembedahan, yaitu hipoksemia, hiperkapnia, anemia, dan hipotensi karena akan berdampak negatif terhadap susunan saraf pusat dan juga hasil operasi. Sebagai upaya mencegah hal-hal tersebut, autoregulasi otak dan respon terhadap CO2 penting untuk dipertahankan. Aliran darah otak (Cerebral blood flow/CBF) dipertahankan konstan pada MAP 50–150 mmHg. Melebihi batas ini, walaupun dengan dilatasi maksimal atau kontriksi maksimal dari pembuluh darah otak, CBF akan mengikuti tekanan perfusi

otak (Cerebral Perfusion Pressure/CPP) secara pasif. Bila CBF sangat berkurang (MAP <50 mmHg) bisa terjadi serebral iskemia. Di atas batas normal (MAP >150 mmHg), tekanan akan merusak daya kontriksi pembuluh darah dan CBF akan naik tiba-tiba. Terjadilah kerusakan sawar darah otak dan terjadi edema serebral dan kemungkinan perdarahan otak.3,4 Terdapat tiga komponen intrakranial, yaitu jaringan otak, darah dan cairan serebrospinal. Komposisi volume ketiga komponen tersebut dapat berubah sesuai hukum Monroe Kellie, akan tetapi volume totalnya selalu konstan karena volume intrakranial selalu sama. Maka dari itu peningkatan salah satu volume komponen akan diikuti dengan penurunan volume komponen lain. Neuroanestesi yang baik mencakup pencegahan dari gangguan pada masing-masing komponen intrakranial.3,4 Pada laporan kasus ini, kami akan membahas penatalaksanaan neuroanestesi pada pasien dengan tumor otak yang dilakukan kraniektomi tumor removal.

II. Kasus

AnamnesaSeorang wanita, usia 35 tahun mengalami penurunan penglihatan pada kedua matanya, terutama mata kanan sejak 1 tahun sebelum masuk rumah sakit. Keluhan ini disertai dengan nyeri kepala hebat terutama di daerah frontal kanan, disertai dengan mual dan muntah. Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial dan defisit neurologis lainnya. Tiga bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami gangguan penglihatan pada kedua matanya. Riwayat penyakit darah tinggi dan kencing manis disangkal. Riwayat asma dan alergi terhadap makanan dan obat-obatan juga disangkal. Pasien belum pernah menjalani operasi sebelumnya.

Pemeriksaan fisikPada pemeriksaan fisik, didapatkan berat badan 60 kg, tinggi badan 155 cm. Keadaan umum pasien composmentis dengan tekanan darah 120/70 mmHg, laju nadi 82 x/menit reguler, laju nafas 16 x/menit dan saturasi oksigen 98% dengan udara bebas. Mallampati I, pergerakan fleksi dan ekstensi leher dan sendi temporomandibular

Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien dengan Tumor Supratentorial Berukuran Besar Suspek Conveksitas Meningioma

Page 31: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

98 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

baik, auskultasi wheezing (-), serta ronki (-). Visus mata kanan 1/∞ dan mata kiri 1/300. Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal.

Pemeriksaan Laboratorium PraoperasiHb 13,7 Na 142Ht 42 K 3,8Leuko 9.700 Cl 103Trombo 235.000 Ca 4,61PT 11,5 Mg 1,99INR 0,77 Ur 25aPTT 23,7 Kr 0,5SGOT 13 SGPT 13

Foto toraks AP normal, tes faal paru restriktif ringan, EKG irama sinus 94 x/menit. Pemeriksaan MRI menunjukkan massa solid inhomogen, berukuran 7,5x8x5,5cm, di konkavitas frontoparietalis kanan, basis kranii fosa anterior disertai edema perifokal di sekitarnya, sugestif suatu konkavitas meningioma.

Pasien didiagnosa SOL supratentorial a/r frontal dextra due to suspect convexitas meningioma, dengan status fisik ASA.2

Pengelolaan AnestesiDi kamar operasi, pasien diposisikan dalam posisi head up 30° netral. Dilakukan volunteer hiperventilasi dengan meminta pasien bernafas cepat dan dalam, kira-kira 20x/menit sambil diberikan O2 melalui sungkup muka. Induksi dilakukan dengan 150 mcg fentanil, 100 mg propofol dan 6 mg vekuronium, diventilasi dengan O2 100% dan isofluran 1 MAC, satu menit sebelum tindakan intubasi diberikan tambahan propofol 50 mg. Intubasi dilakukan menggunakan laringoskop Macintosh dengan endotracheal tube (ETT) non-kinking ukuran 7.0 dengan balon. Rumatan anestesi dengan 0,8–1,2% isofluran dengan perbandingan 50 oksigen: 50 udara, propofol kontinu dengan dosis 25‒75 mcg/kg/menit dan vekuronium kontinu.

Monitoring selama operasi dilakukan evaluasi terhadap tekanan darah sistolik, diastolik, arteri rerata, end-tidal CO2, saturasi oksigen, gelombang EKG, produksi urine melalui kateter urine. Operasi berlangsung selama lima jam, dengan posisi pasien supinasi. Jumlah perdarahan 3.500cc dan diuresis 1.400cc. Pasien mendapatkan 4000cc kristaloid, 1500cc koloid, 40 gram manitol dan 10mg dexamethasone, 900cc PRC (Packed Red Cell) dan 300cc FFP (Fresh Frozen Plasma). Dilakukan pembedahan selama 7,5 jam dengan pendekatan transbasal, saat periosteum dibuka, dura tidak tampak tegang dan saat dura dibuka, tampak slack brain. Dilakukan eksisi tumor dengan bantuan mikroskop. Dilakukan penutupan duramater dan lapisan lainnya hingga operasi selesai. Tanda-tanda vital selama operasi dapat dilihat pada gambar 2 dan gambar 3.

PascabedahPascabedah pasien dirawat di Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ICU) selama 2 hari sebelum pindah ke ruangan. Hari pertama di ICU, pasien masuk ICU pukul 18:00 malam dalam kontrol ventilator (pressure control, FiO2 50%, RR 14x/menit, P-inspirasi 14, PEEP 5, VT 350‒370 cc, SatO2 99%) selama 8 jam dan

Page 32: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

99 Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien dengan Tumor Supratentorial Berukuran Besar Suspek Conveksitas Meningioma

Hb 11,2 Na 138Ht 34 K 3,4Leuko 11.200 Cl 107Trombo 175.000 Ca 4,51PT 12,3 Mg 1,79INR 0,90 Ur 50aPTT 25,8 Kr 0,67SGOT 20 SGPT 22

Pemeriksaan Laboratorium di ICU Pascabedah

III. Pembahasan

Neoplasma supratentorial diklasifikasikan berdasarkan sumber dari tumor, derajat anaplasia dan letak tumor. Seluruh faktor tersebut mempengaruhi prognosis dan strategi penatalaksanaan. Sekitar 35.000 kasus tumor baru

dilakukan weaning bertahap sampai ekstubasi pukul 10:00 pagi. Selama di ICU pasien mendapatkan fentanyl 25 mcg/jam. Terapi lain di ICU mencakup ceftriaxone, ranitidin,

Gambar 2. Grafik Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik (mmHg) dengan Waktu (menit) selama Operasi

Gambar 3. Grafik Laju Nadi dengan Waktu (menit) selama Operasi

dexamethasone, mannitol dan asam tranexamat. Hari kedua di ICU, pasien sudah bernafas spontan dengan binasal kanul, kondisi hemodinamik stabil, status neurologis tidak ada penurunan. Pasien lalu dipindahkan ke ruangan dan dirawat selama 4 hari sebelum dipulangkan.

terdiagnosa setiap tahunnya di Amerika Serikat, dimana 85% di antaranya adalah tumor otak primer. Tumor otak primer mencakup 55‒60% dari semua tumor supratentorial. Tumor otak primer mencakup tumor neuroepitelial (35%), meningioma (15%) dan adenoma pituitari (8%). Angka kejadian meningioma adalah 7,8 setiap 100.000 per tahun, tetapi hanya 2,5% saja yang bergejala.1,2

Konveksitas meningioma merupakan tumor ekstra-aksial yang sering dihadapi oleh bedah saraf, dan telah diteliti sejak 2 dekade terakhir. Meningioma berasal dari sel yang melapisi bagian luar membran araknoid, meninges, ataupun stem sel. Secara umum meningioma berasal dari meninges dan terhubung langsung ke meninges pada permukaan otak. Sebagian besar dari meningioma tumbuh secara perlahan, dan keluhan serta kelainan terjadi akibat penekanan pada daerah sekitar massa tersebut. Tiga keluhan utama yang paling sering terjadi adalah nyeri kepala, perubahan status mental dan kelemahan anggota gerak. Sebagian besar dari meningioma dapat diatasi dengan pembedahan, terutama bila lokasi tumor memungkinkan untuk dilakukan ekstripasi tumor secara utuh dan disertai adanya perlengketan dura.3-6

Page 33: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

100 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Neoplasma pada susunan saraf pusat dapat menyebabkan gangguan neurologis yang menyeluruh maupun fokal. Pasien dengan tumor yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dapat mengalami nyeri kepala, mual dan muntah, ataksia, sinkop, serta gangguan penglihatan dan kognitif. Tanda-tanda neurologis fokal disebabkan oleh penekanan massa pada daerah sekitarnya. Gangguan penglihatan terjadi dengan pola yang dapat diprediksi menurut letak massa terhadap nervus optikus, traktus optikus, radiasi optikus, dan area visual kortikal.3,4 Evaluasi pasien yang diduga memiliki massa intrakranial dimulai dari anamnesa dan pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan radiologi sangat penting untuk menentukan diagnosa pasien dan lokasi tumor dan untuk penilaian postoperatif pada pasien dengan masa supratentorial. Dibandingkan dengan CT, gambaran MRI untuk jaringan lunak memberikan hasil yang lebih baik.3-5 Tujuan utama anestesi pada kasus ini selain memfasilitasi dilakukannya tindakan pembedahan juga untuk mengendalikan tekanan intrakranial dan volume otak, mencegah cedera otak sekunder, serta mengurangi terjadinya perdarahan selama pembedahan. Faktor-faktor yang harus dihindari meliputi hipoksemia, hiperkapnia, anemia, dan hipotensi. Untuk mencegah hal ini, autoregulasi otak dan respon terhadap CO2 harus dipertahankan. Tiga komponen intrakranial mencakup jaringan otak, darah dan cairan serebrospinal. Komposisi volume ketiga komponen tersebut dapat berubah sesuai hukum Monroe Kellie, akan tetapi volume totalnya selalu konstan karena volume intrakranial selalu sama, peningkatan salah satu volume komponen akan diikuti dengan penurunan volume komponen lain.3-6

Autoregulasi aliran darah ke otak pada kondisi normal berkisar 50cc/100 gram/menit dengan konsumsi basal oksigen otak 3,3cc/100gram/menit dan konsumsi glukosa 4,5mg/100gram/menit. Kondisi tersebut dapat terjadi bila tekanan arteri rerata (Mean Arterial Pressure/MAP) dipertahankan antara 50‒150 mmHg. Tekanan arteri rerata di bawah 50 mmHg dapat menyebabkan iskemia pada jaringan otak, sementara tekanan di atas 150 mmHg akan menyebabkan kerusakan sawar darah otak sehingga terjadi edema otak atau perdarahan yang hebat. Pada kasus

pengangkatan tumor otak, diharapkan target PaO2 antara 100‒200 mmHg. Pemberian kadar oksigen tinggi dengan PaO2 >200 mmHg harus dihindari karena dapat terjadi vasokonstriksi serebral dan menyebabkan iskemi jaringan otak.3,6,10

Perubahan tekanan parsial CO2 pada arteri (PaCO2) akan mengakibatkan perubahan aliran darah otak karena CO2 merupakan vasodilator kuat pada pembuluh darah otak. Setiap perubahan 1 mmHg PaCO2 antara 25‒80 mmHg akan mengakibatkan perubahan aliran darah otak sekitar 4%. Pada operasi tumor otak, PaCO2 dipertahankan antara 25‒30 mmHg dengan tujuan untuk menurunkan aliran darah otak. Tekanan PaCO2 di bawah 20 mmHg harus dihindari karena dapat menyebabkan vasokonstriksi hebat dan menyebabkan iskemi jaringan otak.4

Propofol banyak digunakan dalam induksi anestesi dan sedasi di perawatan neurointensif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa propofol memiliki efek proteksi terhadap otak. Propofol menurunkan aliran darah otak (sebanyak 30%), CMRO2 (30%), dan tekanan intrakranial. Tekanan perfusi otak juga menurun karena propofol memiliki efek hipotensi yang hebat. Mekanisme kerja propofol yaitu memfasilitasi inhibisi neurotransmisi yang dimediasi oleh gamma-aminobutyric acid (GABA). Pada kasus ini diberikan propofol titrasi 100mg pada pasien dengan berat badan 60 kg. Efek pemberian propofol pada sistem kardiovaskular dapat menyebabkan penurunan tekanan darah rata-rata 20% dan penurunan systemic vacular resistance (SVR) sebesar 26%, dan hasl akhirnya adalah penurunan perfusi serebral. Namun penurunan tersebut dapat dicegah dengan pemberian propofol secara titrasi dan pemberian cairan sebelum induksi. Pada pasien ini diberikan cairan co-loading sebesar 10 cc/kgBB atau 600cc 8‒10.Obat pelumpuh otot bersifat meningkatkan aliran darah otak, namun yang paling sedikit meningkatkan aliran darah otak adalah vekuronium dan rokuronium, sehingga obat-obat tersebut menjadi pilihan untuk operasi bedah saraf. Pada kasus ini diberikan pelumpuh otot vekuronium 60 mg pada pasien dengan berat badan 60 kg. Vekuronium dipilih pada kasus ini karena tidak menyebabkan pelepasan histamin yang dapat mencetuskan asma dan

Page 34: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

101 Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien dengan Tumor Supratentorial Berukuran Besar Suspek Conveksitas Meningioma

tidak meningkatkan aliran darah ke otak.4,6

Anestesi inhalasi yang digunakan adalah isofluran 0,8% dengan perbandingan 50 oksigen: 50 udara. Penggunaan aliran oksigen 50% dilakukan untuk mencegah tekanan PaO2 di atas 200 mmHg. Penggunaan N2O dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak secara langsung dan meningkatkan aliran darah otak, namun efek tersebut dapat dikurangi dengan tindakan hiperventilasi (PaCO2 30‒35 mmHg). Pada beberapa penelitian, penggunaan N2O tidak memiliki efek protektif terhadap neuron otak dan dapat menyebabkan vakuolisasi retikulum endoplasma serta mitokondria. N2O juga dapat menyebabkan disinhibisi pada reseptor GABA secara menyeluruh. Pada pasien dengan defisiensi asam folat, penggunaan N2O dapat menyebabkan degenerasi medula spinalis serta menghambat pemulihan elektrofisiologis sel. Akan tetapi, pengaruh negatif tersebut bervariasi bila N2O digunakan bersama anestetika inhalasi lain, dengan atau tanpa hipokapnia.4-7

Isofluran dapat menekan metabolisme otak dengan kuat seperti halnya barbiturat. Namun bila gambaran EEG sudah isoelektrik, tidak akan terjadi depresi lebih jauh lagi. Isofluran menekan aktivitas listrik otak pada titik isoelektrik pada dosis klinis (2 MAC). Cadangan energi otak dipelihara sesuai tingkatan depresi metabolisme yang setara dengan barbiturat. Isofluran menyebabkan penurunan CMRO2 yang lebih besar pada konsentrasi klinis. Oleh kaena itu, diperkirakan bahwa isofluran juga memiliki efek proteksi otak selama pembedahan. Isofluran menghambat eksitotoksisitas akibat akumulasi glutamat pada ruangan ekstraseluler selama iskemia, sebagai antagonis reseptor glutamat karena menghambat masuknya ion kalsium ke dalam sel.4

Lidokain merupakan anestesi lokal golongan amida. Lidokain dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1‒1,5 mg/kgBB untuk mencegah respon peningkatan hemodinamik dan jalan nafas pada waktu intubasi. Mula kerja lidokain adalah 60‒90 detik. Pada kasus ini tidak dilakukan pemberian lidokain.5

Manitol 20% merupakan osmotik diuretik dengan osmolaritas 1086 mosm/L, dengan

dosis 0,25–0,5 gram/kgBB, dapat menurunkan tekanan intrakranial dengan cepat. Manitol diberikan sebelum saat pengeboran tulang kranium dilakukan. Frusemide atau loop diuretik dapat juga diberikan dengan dosis 0,5‒1 mg/kgBB. Pada kasus ini, frusemide tidak diberikan karena jaringan otak telah terlihat slack dengan diberikannya manitol.l4,7 Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial adalah dengan memposisikan kepala pasien elevasi 15°‒30°.

Hipotermia ringan, yaitu suhu 33‒350C dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak sekitar 5% pada setiap perubahan 10C.4,7 Pascaoperasi, kepala pasien dipertahankan pada posisi head up 300, dengan posisi netral, tidak miring ke kiri atau kanan dan tidak hiperekstensi atau hiperfleksi. Tekanan darah dipertahankan dalam batas autoregulasi dan hematokrit dipertahankan tidak jauh dari 33%.3,10

IV. Simpulan

Kondisi optimal untuk pembedahan tumor supratentorial merupakan tantangan bagi dokter anestesi. Hal ini dapat dicapai dengan berbagai pendekatan neuroanestesi mencakup posisi pasien, manajemen neuroanestesi yang optimal sehingga edema dan perdarahan dapat diminimalkan. Berbagai macam obat tersedia untuk managemen anestesi umum karena itu dokter anestesi harus mempunyai pengetahuan mengenai efek masing -masing obat yang dipakai sehingga kondisi hemodinamik pasien tetap terjaga disamping pencapaian kondisi jaringan otak yang slack.

Daftar Pustaka

1. Barnholtz-Sloan JS and Kruchko C. Meningiomas, causes and risk factors. Neurosurg Focus 2007; 23(4): E2–7

2. Sanai N, Surghrue ME, Shangari G, Chung K, Berger MS, McDermott MW. Risk profile associated with convexity meningioma resection in the modern neurosurgical era. J Neurosurg 2010; 112: 913–919

Page 35: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

102 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

3. Bisri T. Dasar-dasar neuroanestesi, edisi ke-2. Bandung: Saga Olah Citra; 2008

4. Cottrell JE, Young WL. Cottrell and Young’s Neuroanaesthesia. 5th Edition. St Louis: Mosby; 2010

5. Dinsmore J. Anaesthesia for elective neurosurgery. Br. J. Anesth 2007; 99(1):68–74

6. Warner DS. Anesthesia for craniotomy. IARS Review Course Lectures. 2004: 107–11

7. Flower O, Hellings S. Sedation in traumatic brain injury. Emergency Medicine Int 2012;2

8. Roosiati B, Yarlitasari D, Harahap S, Rahardjo S. TIVA pada kraniotomi pengangkatan tumor residif. JNI 2012; 1(4):269–77

9. Hemmings HC. The pharmacology of intravenous anaesthetic induction agent: the primer. Anaesthesia 2010; 12:6–7

10. Rasmussen M, Bundgaard H, Cold GE. Craniotomy for supratentorial brain tumors: risk factors for brain swelling after opening dura matter. J Neurosurg 2004; 101:621–626

Page 36: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

103

Penatalaksanaan Anestesi pada Kehamilan dengan Tumor Medula Spinalis

Ni Made Supradnyawati, I Putu Pramana Suarjaya, I Ketut SinardjaBidang Studi Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana

Abstrak

Anestesi pada pembedahan nonobstetri dalam kehamilan merupakan tantangan khusus bagi ahli anestesi. Sekitar 0,75%–2% pembedahan nonobstetri dilakukan selama masa kehamilan. Setiap tahunnya di AS diperkirakan sekitar 75.000 wanita hamil menjalani anestesi dan pembedahan. Penatalaksanaan anestesi optimal memerlukan pemahaman mengenai perubahan fisiologi maternal, pertimbangan terhadap fetus akibat pembedahan dan anestesi, dan upaya mempertahankan perfusi uteroplasenta dan oksigenasi maternal-fetus. Tujuan yang ingin dicapai adalah anestesi yang aman kepada ibu dan memelihara kesejahteraan janin. Kami melaporkan kasus wanita berusia 29 tahun dengan G4P1A2–1 25‒26 minggu janin tunggal hidup yang mengalami kelemahan motorik akut pada kedua tungkai bawah, gangguan sensibilitas semua kualitas setinggi Th6, serta inkontinensia urine dan alvi. Hasil pemeriksaan penunjang magnetic resonance imaging thorakolumbal menunjukkan suatu massa di daerah epidural setinggi C7–Th1 sisi kanan dan hambatan aliran likuor serebrospinal. Pasien dilakukan anestesi umum dengan intubasi endotrakeal. Induksi menggunakan propofol dan fentanyl, diikuti dengan penekanan krikoid. Fasilitas intubasi menggunakan vecuronium. Pemeliharaan menggunakan isofluran, oksigen, compressed air, bolus fentanyl dan vecuronium intravena intermitten. Posisi operasi adalah posisi prone. Intraoperatif ditemukan tumor ekstradura setinggi level C7–Th1, dilakukan laminektomi total dan stabilisasi dengan pemasangan pedicle screw. Pascabedah pasien menunjukkan perbaikan status neurologis dan kehamilan dapat dipertahankan sampai aterm.

Kata kunci: anestesi, kehamilan, pembedahan non obstetrik, tumor medula spinalis

JNI 2014;3 (2): 103‒11

Anesthesia Management for Spinal Cord Tumor in Pregnancy

Abstract

Anesthesia management for non-obstetric surgery in pregnancy was considered a specific challenge for anesthesiologist. About 0,75–2% of non-obstetric surgery is performed during pregnancy. Annually in the US, about 75.000 pregnant women are exposed to anesthesia and surgery. Optimal anesthetic management requires comprehensive understanding on maternal physiologic changes, fetal consideration due to effect of surgery and anesthesia, and maintaining uteroplacental perfusion and maternal-fetal oxygenation. The endpoint is to provide safe anesthesia for both the mother and fetal well being. We reported a case of a 29-year old pregnant woman G4P1021 single fetus with 25–26 weeks of gestation, acute weakness of lower limbs, and sensibility impairment on all qualities at Th 6 level, as well as urine and alvi incontinence. Thoraco lumbal MRI examination showed epidural mass at C 7–Th 1 level of the right side vertebrae, and cerebrospinal fluid flow obstruction. The patient underwent general anesthesia with endotracheal intubation. Induction with propofol and fentanyl, followed by cricoid pressure. Intubation was facilitated with vecuronium. Maintenance with isoflurane, oxygen, compressed air, intermittent IV bolus of fentanyl and vecuronium. Surgery was performed on prone position. Extradural tumor at C7–Th1 vertebrae level was found intraoperatively and total laminectomy and stabilization with pedicle-screw were performed. Patient showed improvement in neurological status after the surgery, and the pregnancy was survived until aterm period.

Keywords: anesthesia, nonobstetric surgery, pregnancy, spinal cord tumor

JNI 2014;3 (2): 103‒11

Page 37: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

104 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Sekitar 0,75%–2% pembedahan nonobstetrik dilakukan selama masa kehamilan.1 Di United States, diperkirakan sekitar 75.000 wanita hamil menjalani anestesi dan pembedahan setiap tahunnya. Sekitar 42% prosedur pembedahan terjadi pada trimester pertama, 35% pada trimester kedua, dan 23% pada trimester ketiga.1,2 Di Swedia, dilaporkan sekitar 42% prosedur pembedahan terjadi pada trimester pertama, 35% pada trimester kedua, dan 23% pada trimester ketiga.1,2 Laparoskopi merupakan prosedur pembedahan terbanyak yang dikerjakan pada trimester pertama, sedangkan appendisektomi adalah prosedur pembedahan yang paling sering dikerjakan pada trimester selanjutnya. Tindakan pembedahan lainnya yang umum dikerjakan diantaranya pembedahan akibat inkompetensi servik, komplikasi kista ovarium, trauma, penyakit kantung empedu, obstruksi usus, pengangkatan tumor payudara ataupun keganasan lainnya. Pembedahan mayor adakalanya harus dikerjakan bila terjadi keadaan yang mengancam nyawa ibu, seperti bedah kardiak atau bedah saraf.2 Pembedahan nonobstetri selama periode kehamilan dapat memberi kontribusi terjadinya morbiditas dan mortalitas perinatal, akibat perjalanan penyakit dasarnya sendiri atau efek terapi, kemungkinan paparan anestetika yang teratogenik, gangguan perfusi uteroplasenta dan atau oksigenasi fetal, serta adanya risiko terjadi abortus atau persalinan prematur. Penatalaksanaan anestesi optimal memerlukan pemahaman ahli anestesi mengenai perubahan fisiologi maternal, pertimbangan terhadap fetus akibat pembedahan dan anestesi, serta upaya mempertahankan perfusi uteroplasenta dan oksigenasi maternal-fetus.3

II. Laporan Kasus

AnamnesisSeorang wanita berusia 29 tahun, berat badan 60 kg, tinggi badan 158 cm dengan G4P1A2–1 janin tunggal hidup 25–26 minggu dengan observasi paraparesis upper motor neuron, dirujuk dari RS Premagana dengan kelemahan pada kedua ekstremitas bawah sejak 12 jam sebelumnya.

Pada awalnya didahului oleh rasa kesemutan pada ujung jari kaki semakin lama dirasakan sampai ke perut. Keluhan ini disertai dengan buang air kecil dan buang air besar yang tidak terasa. Riwayat trauma (-), riwayat demam (-), batuk (-), dan sesak napas (-).

Pemeriksaaan FisikKeadaan umum: kesan sakit sedang, kesadaran komposmentis

Survei primer Airway : bebas, frekuensi napas 16x/

menitBreathing : nafas spontanCirculation : laju nadi 78x/menit, regular,

S1S2 tunggal murmur (-), dan tekanan darah 110/70 mmHg

Disability : tingkat kesadaran GCS E4V5M6, pupil isokor bulat 3 mm. Reflek cahaya +/+

Survei sekunderKepala : buka mulut 3 jari, gigi utuh,

Mallampati I, pergerakan temporomandibular joint baik, fleksi ekstensi leher baik

Thorak : soufle, bising usus (+), pemeriksaan obstetri: tinggi fundus uteri 2 jari diatas umbilikus, dan pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan denyut jantung janin 140x/menit

Urogenitalia : terpasang kateter urine, inkontinensia alvi (+)

Ekstremitas : deformitas (-), hangat (+), temperatur aksila 36,7°C, capilary refill test <2 detik, Allen test radialis dektra/sinistra <5 detik. Pemeriksaan neurologis: level sensorik semua kualitas didapatkan menurun sampai setinggi segmen thorakal 6

Page 38: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

105 Penatalaksanaan Anestesi pada Kehamilan dengan Tumor Medula Spinalis

Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) thorakolumbal menunjukkan lesi di daerah epidural setinggi C7–Th1 sisi kanan yang tampak hipointens pada T1W1 menjadi slight hiperintens pada T2W1 dan pada pemberian kontras, tampak slight contrast enchancement di bagian tepinya. Sebagian lesi tampak menginfiltrasi kanalis sentralis dan menyebabkan kompresi spinal cord setinggi level tersebut. Kesan: 1. suspek massa di daerah epidural setinggi C7‒Th1 sisi kanan yang sebagian tampak menginfiltrasi kanalis sentralis dan menyebabkan kompresi spinal cord setinggi level tersebut, diagnosis banding a. epidural abses, b. epidural lymphoma, 2. Hambatan aliran likuor serebrospinalis setinggi level C7–Th1 (Gambar 1).

Tenaga 5555 5555

1111 2222

Tonus N N

↓ ↓

Trofik

N N

N N

Refleks Fisiologis

++ ++

+ +

Refleks Patologis - - + +

Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan darah

Pemeriksaan Keterangan Pemeriksaan KeteranganLeukosit 7,36 x 103/ul Albumin 2,86 g/dLHemoglobin 11,4 g/dL Natrium 134,3mmol/LHematokrit 33,4% Kalium 4,06mmol/LTrombosit 161 x 103/ul Waktu perdarahan 1 menitUreum 7,2 mg/dL Waktu pembekuan 9 menitKreatinin 0,35 mg/dL Waktu protrombin 10,1 detikSGOT 21,3 U/L Waktu tromboplastin parsial 21,0 detikSGPT 19,45 U/L INR (international normalized ratio) 0,9Gula darah sewaktu 83 mg/dL

Pasien didiagnosis dengan status fisik ASA 2 dengan gravida dan terdapat massa epidural setinggi C7–Th1 yang telah menimbukan defisit neurologis. Pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan anestesi umum pemasangan pipa endotrakeal dengan posisi prone. Untuk persiapan operasi, pasien dan keluarga diberikan informed consent mengenai rencana tindakan anestesi, rencana perawatan pascaoperasi, serta risiko yang mungkin dapat terjadi. Pasien dipuasakan 8 jam praoperatif, diberikan antasida syrup 30 ml. Saat mulai puasa, dipasang kanul intravena G 18 di vena dorsalis manus kiri dan kebutuhan cairan disesuaikan dengan kebutuhan rumatan selama puasa (100 ml/jam).

Pengelolaan AnestesiDi ruang persiapan pasien diposisikan supine dengan tilt lateral kiri sekitar 15° dengan diganjal kain. Premedikasi diberikan ranitidine 1 mg/kg, ondansetron 0,15 mg/kg, dan metilprednisolon 2 mg/kg bolus intravena. Di kamar operasi, pemantauan menggunakan EKG, saturasi oksigen perifer, arterial line di arteri radialis kiri, dan end tidal CO2. Preoksigenasi selama 3 menit dengan oksigen 100% dilanjutkan dengan induksi dengan propofol 2 mg/kg dan fentanyl 3 mcg/kg, diikuti oleh penekanan kartilago krikoid. Fasilitas intubasi menggunakan vecuronium 0,12 mg/kg. Intubasi dengan pipa endotrakeal 7,0 kedalaman 21 cm pada tepi bibir. Pemeliharaan menggunakan isofluran 0,8–1 vol% dengan fresh gas flow menggunakan kombinasi oksigen

Page 39: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

106 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dan compressed air 3 L/menit, bolus fentanyl dan vecuronium intravena intermitten. Sebelum dilakukan insisi, diberikan paracetamol 10 mg/kg intravena. Pasien diposisikan prone dengan posisi bantalan menyangga bagian bahu dan pinggul sehingga tidak terjadi penekanan pada abdomen (Gambar 2).

Intraoperatif ditemukan tumor ekstradura setinggi level C7–Th1, dilakukan laminektomi

Gambar 1. MRI Thorakolumbal Praoperatif

Gambar 2. Posisi Operasi Prone Pada Pasien Wanita Hamil

total segmen C7–Th2 serta dilakukan stabilisasi dengan pemasangan pedicle screw C7–Th2 (Gambar 4). Operasi berlangsung selama 2 jam 25 menit dengan jumlah perdarahan kurang lebih 500 ml. Pemberian cairan intraoperatif menggunakan ringer laktat sebanyak 1500 ml dan hydroxyethyl starch 6% sebanyak 500 ml. Selama operasi hemodinamik stabil, tekanan darah sistolik berkisar 89–130 mmHg, tekanan darah diastolik 50-82 mmHg, laju nadi 60–88x/menit, SaO2 99-100%, ETCO2 32 mmHg (Gambar 3). Pada akhir operasi diberikan reversal pelumpuh otot yaitu sulfas atropin 0,01 mg/kg dan neostigmin 0,04 mg/kg kemudian pasien dilakukan ekstubasi.

Pengelolaan PascabedahPascabedah pasien dirawat di ruang terapi intensif. Suplementasi oksigen diberikan nasal kanul 3 L/menit. Terapi yang diberikan adalah ceftriaxon, metylcobalamine, analgetika sistemik fentanyl 0,35 mcg/kg/jam intravena kontinyu, paracetamol 10 mg/kg oral setiap interval waktu 6 jam, dan fisioterapi. Dokter obgyn tetap memantau kesejahteraan janin dengan ultrasonografi Doppler secara berkala. Hari kedua, kondisi hemodinamik stabil, mulai tampak perbaikan status neurologis, pasien dipindahkan ke ruangan. Follow-up pascabedah terjadi

Page 40: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

107

perbaikan terhadap defisit neurologis pasien. Kekuatan motorik meningkat pada level 3. Pasien tetap menjalani rawat inap sampai usia kehamilan 37 minggu untuk dilakukan seksio sesarea. Seksio sesarea dilakukan dengan regional anestesi blok subaraknoid, lahir bayi laki-laki, berat badan 2410 gram, panjang badan 46 cm, dengan skor Apgar 8–9. Pada hari ke-4 pascaseksio sesarea, pasien diperbolehkan menjalani rawat jalan.

III. Pembahasan

Tumor Medula SpinalisTumor intrakranial dan spinal jarang dijumpai

Gambar 3. Pemantauan Hemodinamik

Gambar 4. Tindakan laminektomi dan Stabilisasi dengan Pemasangan Pedicle Screw

pada periode kehamilan.4 Tumor medula spinalis dapat dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu tumor intramedula dan ekstramedula. Tumor intramedula terletak di dalam medula spinalis dengan insiden sekitar 10% tumor medula spinalis, dimana sebagian besar adalah glioma dan ependymoma. Tumor ekstramedula dapat dibagi menjadi intradura dan ekstradura. Neurofibroma dan meningioma adalah sebagian besar tumor intradura, sedangkan ekstradura umumnya berasal dari lesi metastase kanker paru, mammae, prostat atau pun myeloma. Lesi medula spinalis lainnya adalah vertebral hemangioma, abses atau hematoma. Literatur menyebutkan insiden tumor sistem saraf pusat meningkat dengan kehamilan, khususnya meningioma. Glioma dan spinal vaskular tumor meningkat pada trimester pertama dan ketiga. Pengaruh hormonal diduga berperan dimana terjadi peningkatan vaskularisasi dan adanya retensi cairan. Gejala klinis umumnya timbul akibat kompresi medula spinalis. Nyeri, gangguan motorik, gangguan sensorik, dan gangguan otonom. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang radiologis medula spinalis, yaitu MRI. Penatalaksanaan dan prognosis tergantung dari lesi yang ditemukan, dapat berupa medikamentosa dengan pemberian kortikosteroid, radiasi, kemoterapi, dan pembedahan dekompresi atau eksisi.4,5

Jika operasi harus dilakukan selama kehamilan,

Penatalaksanaan Anestesi pada Kehamilan dengan Tumor Medula Spinalis

Page 41: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

108 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

waktu operasi harus mempertimbangkan resiko ibu, fetus dan urgensi dari operasi (Gambar 5). Operasi elektif sebaiknya tidak dilakukan selama kehamilan. Dari sisi fetus, trimester kedua adalah waktu yang optimal untuk operasi. Secara teoritis, resiko teratogenik meningkat selama periode organogenesis pada trimester pertama dan resiko persalinan prematur tinggi selama trimester ketiga. Resiko terhadap ibu lebih besar selama trimester ketiga yang dipengaruhi perubahan fisiologis kehamilan.4 Resiko terjadinya abortus selama trimester pertama sekitar 12% dan resiko ini berkurang pada trimester kedua menjadi sekitar 0%–5,6%. Resiko persalinan prematur selama trimester kedua adalah 5%.2,6 Pada pasien ini tindakan pembedahan tergolong urgent karena telah terjadi defisit neurologis akut pada pasien.

Tunda sampai postpartum

Trimester pertama

Trimester kedua/ketiga

Jika tidak ada atau minimal risiko terhadap ibu, operasi dapat ditunda sampai pertengahan usia getasi. Konsultasi perinatologist atau obstetrician. Monitoring uterine dan fetal intraoperatif dan postoperatif

Jika melebihi risiko minimal terhadap ibu, lakukan pembedahan

Dilakukan dengan anestesi optimal untuk ibu, pertimbangan mengenai perubahan fisiologis ibu dan kesejahteraan janin.

Pasien hamil yang menjalani pembedahan

Emergency Esensial Elektif

Gambar 5. Rekomendasi Penatalaksanaan Prosedur Pembedahan pada Pasien HamilDikutip dari: Braveman FR6

Pemilihan Waktu Pembedahan

Perfusi Uteroplasenta7

Mempertahankan aliran darah uteroplasenta merupakan penanda bagi kesejahteraan janin. Aliran darah uteroplasenta dapat dirumuskan sebagai berikut:

Maka semua keadaan yang menurunkan tekanan darah rata-rata maternal atau meningkatkan resistensi vaskuler uterus akan menurunkan aliran darah uterine dan akhirnya menurunkan aliran darah umbilikal.

Penatalaksanaan AnestesiSeorang ahli anestesi mutlak harus memahami perubahan fisiologis kehamilan, implikasi yang

Aliran darah Uterine= tekanan uterine-tekanan vena uterine reistensi vaskuler uterine

Page 42: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

109

ditimbulkan, serta risiko anestesi terhadap kehamilan. Tehnik anestesi dipilih berdasarkan indikasi maternal dan disesuaikan dengan jenis pembedahannya. Tidak ada penelitian yang menyatakan bahwa outcome fetal lebih baik dengan suatu tehnik anestesi tertentu. Jika memungkinkan dipilih tehnik anestesi lokal atau regional (kecuali blok paraservikal), mengurangi kemungkinan paparan obat yang berefek teratogenik dan risiko komplikasi respirasi maternal dapat diminimalkan.2

Mulai usia kehamilan 18–20 minggu, pasien diposisikan tilt kiri minimal 15° dengan penyangga panggul atau pengaturan meja operasi untuk meminimalkan kompresi aortokaval. Pencegahan aspirasi maternal dapat dilakukan dengan pemberian antagonis reseptor H2 dan clear antasid sebanyak 30 mL 30 menit sebelum induksi anestesi. Selama kehamilan, kebutuhan oksigen meningkat dan terjadi perubahan mekanika respirasi akibat efek uterus yang bertambah besar. Penurunan kapasitas residu fungsional dapat menyebabkan desaturasi maternal yang cepat selama periode hipoventilasi atau apneu. Preoksigenasi dengan O2 100% selama 3–4 menit atau 4 kali kapasitas vital sangat esensial sebelum rapid-sequence induction dengan penekanan krikoid. Pipa endotrakeal dipilih ukuran yang lebih kecil akibat oedem dan pembesaran mukosa jalan napas atas. Obat

premedikasi yang bersifat sedasi dapat diberikan untuk mengurangi kecemasan maternal karena katekolamin yang meningkat dapat menurunkan aliran darah uterus.2

Tidak ada obat anestesi yang terbukti teratogenik terhadap manusia. Pada pasien ini kami tidak menggunakan nitrous oxide saat pemeliharaan anestesi. Nitrous oxide tergolong teratogenik lemah pada tikus pada keadaan tertentu melalui inhibisi methionine synthetase yang menyebabkan penurunan tetrahydrofolate (THF), yang selanjutnya menurunkan sintesis DNA. Pada pasien dengan tumor medula spinalis, obat pelumpuh otot succinylcholine mendapat perhatian khusus karena dapat meningkatkan risiko hiperkalemi. Adanya gangguan upper motor neuron dapat menimbulkan up-regulation reseptor asetilkolin, sehingga menyebabkan ekstremitas relatif resisten terhadap pelumpuh otot nondepolarisasi. Menghindari keadaan hipoksemia, hipotensi, asidosis, dan hiperventilasi merupakan elemen penting dalam penatalaksanaan anestesi pada kasus ini.2

Posisi PronePasien ini diposisikan prone. Setelah dilakukan induksi dan intubasi endotrakeal, pipa endotrakeal harus dipastikan telah terfiksasi baik agar tidak longgar dan terlepas saat perubahan posisi. Saat perpindahan posisi merupakan kondisi

Tabel 1. Faktor Penyebab Penurunan Aliran Darah Uterine

Penyebab Penurunan Airan Darah UterinePenurunan tekanan perfusi Peningkatan resistensi vaskuler uterusPenurunan tekanan arteri uterine Vasokonstriktor endogen- Posisi supine (kompresi aortocaval) - Katekolamin (stres)- Perdarahan/hipovolemi - Vasopresin (sebagai respon terhadap hipovolemi)- Obat yang menyebabkan hipotensi- Hipotensi akibat blokade simpatisPeningkatan tekanan vena uterine Vasokonstriktor eksogen- Kompresi vena cava - Epinefrin- Kontraksi uterus - Vasopresor (phenylephrine>ephedrin)- Obat yang menyebabkan hipertonus uterus (oksitosin, anestesi lokal)

- Anestesi lokal (dalam konsentrasi tinggi)

- Hipertonus otot skelet (kejang, Valsava)Dikutip dari: Weiner CP, Eisenach JC.7

Penatalaksanaan Anestesi pada Kehamilan dengan Tumor Medula Spinalis

Page 43: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

110 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

kritis. Koordinasi seluruh staf diperlukan untuk menjaga kepala tetap pada posisi netral, leher dijaga tetap segaris dengan tulang belakang selama pergerakan. Risiko hipotensi akibat hilangnya reflek simpatis postural. Perhatian khusus ditujukan untuk menghindari abrasi kornea atau iskemi retina akibat penekanan bola mata atau nekrosis penekanan pada hidung, telinga, dahi, dagu, mammae pada wanita, atau genetalia pada pria. Padding diletakkan di atas pelvis dan klavikula. Penekanan eksternal pada dinding abdomen dihindari karena dapat menimbulkan gangguan aliran darah balik vena dan terjadi pelebaran vena epidural sehingga meningkatkan risiko perdarahan. Kedua lengan diletakkan disisi pasien pada posisi yang nyaman, atau ekstensi dengan fleksi pada siku, hindari abduksi berlebih pada sendi bahu.8,9 Posisi prone sendiri secara teknis memberikan kesulitan untuk pemantauan fetal, persalinan sesar secara emergensi, serta meningkatkan risiko perdarahan venous epidural. Namun dilaporkan posisi prone ini dapat meningkatkan perfusi plasenta pada 23 wanita hamil.9

Pemantauan IntraoperatifPemantauan intraoperatif meliputi pengukuran tekanan darah noninvasif maupun invasif, EKG, pulse oksimetri, kapnografi, suhu, dan penggunaan stimulator saraf. Pemantauan neuromuskular dengan train-of-four sebaiknya digunakan jika tersedia. Idealnya jika secara teknis memungkinkan dilakukan pemantauan denyut jantung janin dan aktivitas uterine selama pembedahan berlangsung.2,6 Pemantauan denyut jantung janin digunakan untuk menentukan oksigenasi serebral yang adekuat untuk fetus. Pengaturan jantung oleh otak, dimana penurunan denyut jantung mencerminkan oksigenasi serebral fetus yang tidak adekuat. Secara sederhana, dapat digunakan monitor denyut jantung janin eksternal dengan Doppler. Tehnik lainnya meliputi pergerakan fetus, nonstress test, contraction stress test, biophysical profile, dan umbilical artery Dopplerflow velocimetry.2

Penatalaksanaan PascabedahAnalgetika pascabedah memegang peranan penting. Adanya level katekolamin dalam

sirkulasi yang meningkat akibat nyeri akan menurunkan perfusi uteroplasenta.2,4,10 Pada pasien ini diberikan analgetika sistemik fentanyl 0,35 mcg/kg/jam intravena kontinyu kombinasi dengan paracetamol 10 mg/kg intravena setiap interval waktu 6 jam.Pemantauan ketat terhadap denyut jantung janin dan aktivitas uterin tetap dilakukan pascabedah. Pemberian obat tokolitik untuk mencegah persalinan prematur dapat diberikan. Pemberian profilaksis trombosis vena sebaiknya dipertimbangkan. Pencegahan tromboemboli menjadi pertimbangan mengingat fisiologi kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulabel dan meningkatkan risiko penyakit tromboemboli. Dapat dilakukan mobilisasi dini, hidrasi yang adekuat, penggunaan stoking atau alat kompresi lain, dan profilaksis farmakologik.2,4,6,9,10

Tidak ada penelitian yang menyatakan bahwa outcome fetal lebih baik dengan suatu tehnik anestesi tertentu. Tujuan yang ingin dicapai adalah memberikan anestesi yang aman kepada ibu dan tetap memelihara kesejahteraan janin.

IV. Simpulan

Telah dilakukan penatalaksanaan anestesi untuk pembedahan nonobstetri pada kehamilan, yang hasilnya tergantung dari assesment preoperatif yang komprehensif, pemahaman perubahan fisiologi maternal dan fetal perioperatif, upaya mempertahankan perfusi uteroplasenta dan oksigenasi maternal-fetus, serta penatalaksanaan supportif periode pascabedah.

Daftar Pustaka

1. Mhuireachtaigh RN, O’Gorman DA. Anesthesia in pregnant patients for nonobstetric surgery. Journal of Clinical Anesthesia 2006;18:60–66.

2. Naughton NN, Cohen SE. Nonobstetric surgery during pregnancy. Dalam: Chesnut DH, editor. Obstetric Anesthesia Principles and Practice. Third edition. Philadelphia: Elsevier Mosby. 2004, 255–69.

3. Birnbach DJ, Browne IM. Anesthesia for

Page 44: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

111

obstetrics. Dalam: Miller RD, editor. Miller’s Anesthesia. Edisi ke-7. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2010, 2203–36.

4. Goma HM. Management of brain tumor in pregnancy-an anesthesia window. Dalam: Lichtor T, editor. Clinical Management and Evolving Novel Therapeutic Strategies for Patients with Brain Tumors. Egypt: Intech; 2013, 555–68.

5. Pasternak JJ, Lanier WL. Spinal cord disorders. Dalam: Hines RL, Marschall KE, editor. Hines & Marschall: Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease. Edisi ke-5. Philadelphia: Churchill Livingstone. 2008.

6. Braveman FR. Pregnancy-associated diseases. Dalam: Hines & Marschall: Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease. Edisi ke-5. Philadelphia: Churchill Livingstone. 2008.

7. Weiner CP, Eisenach JC. Uteroplacental blood flow. Dalam: Chesnut DH, editor. Obstetric Anesthesia Principles and Practice. Third edition. Philadelphia: Elsevier Mosby. 2004, 37–46.

8. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for neurosurgery. Dalam: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editor. Clinical Anesthesiology. Edisi ke-4. United States of America: the McGraw-Hill Companies. 2006, 631–46.

9. Wang LP, Paech MJ. Neuroanesthesia

for the pregnant woman. Anesth Analg. 2008;107:193–200.

10. Tsen LC. Anesthesia for obstetric care and gynecologic surgery. Dalam: Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM, editor. Anesthesiology. United States of America: the McGraw-Hill Companies. 2008, 1471–97.

Penatalaksanaan Anestesi pada Kehamilan dengan Tumor Medula Spinalis

Page 45: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

112

Penatalaksanaan Perioperatif Perdarahan Intraserebral

Sandhi Christanto*), Nazaruddin Umar**), A. Himendra Wargahadibrata***)*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Mitra Keluarga Sidoarjo, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara–RSUP H. Adam Malik Medan, ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–RSUP

Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Perdarahan intraserebral spontan nontraumatik didefinisikan sebagai ekstravasasi spontan darah ke dalam parenkim otak yang dapat meluas ke ventrikel otak atau pada kasus yang jarang dapat sampai ke ruang subarachnoid. Perdarahan intraserebral merupakan penyakit yang sering dijumpai, di Amerika Serikat tiap tahunnya terdapat sekitar 37 ribu sampai 52 ribu orang mengalami perdarahan intraserebral.1,2 Tercatat sekitar 10–30% dari semua kasus stroke di rumah sakit merupakan akibat perdarahan intraserebral, angka mortalitas mencapai 30–50% pada 30 hari pertama perawatan dan hanya sekitar 20% pasien yang mendapatkan kembali kemampuan dan kemandirian fungsionalnya dalam jangka waktu 6 bulan.2,3,4Faktor resiko paling penting dan paling sering untuk PIS adalah hipertensi, yang rata-rata mencapai 60–70% dari semua kasus PIS.1,3 Seorang wanita, 41 tahun berat badan 60 kg datang dengan kesadaran menurun sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit disertai bagian tubuh sebelah kanan yang terasa lemas. Keluhan tersebut dirasa semakin lama semakin berat sampai keesokan harinya kesadaran makin menurun dan bagian tubuh kanan tidak bisa digerakkan. Pada pemeriksaan didapatkan jalan napas bebas, laju napas 18–20 x/menit, tekanan darah 200/100 mmHg, laju nadi 70x/menit, skor GCS E2M5V–, Hasil CT-scan menunjukkan adanya perdarahan intraserebral di basal ganglia kiri volume 52 ml dengan midLine shift ke kanan sejauh 1,1 cm, skor PIS 2. Keputusan kraniotomi evakuasi hematoma dilakukan untuk keselamatan pasien. Penatalaksanaan berkesinambungan dengan memperhatikan prinsip neuroresusitasi, neuroanestesia, neurointensive care serta neuroproteksi sangat penting dilakukan dalam menangani pasien dengan perdarahan intraserebral.

Kata kunci: perdarahan intraserebral, penatalaksanaan perioperatif

JNI 2014;3 (2): 112‒20

Perioperative Management of Intracerebral Hemorrhage

Abstract

Spontaneous non traumatic intracerebral hemorrhage is devined as an extravasation of blood into the brain parenchym that may extend into the ventricles and, in a rare case, to the subarachnoid space. Each year, approximately 37,000 to 52,000 people in the United States are suffered from an intracerebral hemorrhage. Intracerebral hemorrhage accounts for 10 to 30 percent of all cases of stroke with the 30-days mortality rate, ranges from 30%–50% and only 20% of survivors expected to have full functional recovery within 6 months. Hypertension is by far the most important and prevalent risk factor, directly accounted for about 60–70% of cases. A 41-year old woman weighted 60 kgs was admitted to the hospital with decreased level of conciousness and weak right side of her body, which became worsen in the next morning. On examination, airway was clear, respiratory rate was 18–20 x/min, blood pressure was 200/100 mmHg, heart rate was 70 bpm, GCS score was E2M5V–, CT-scan examination showed a 52 cc of intracerebral hemorrhage in left basal ganglia, mid line shifted 1,1 cm to the right and ICH score was 2. The decision of emergency hematoma evacuation was immediately made for life saving. Continuous and comprehensive management with neuro-resuscitation, neuroanestesia, neuro intensive care and brain protection principles are important in managing patient with intracerebral hemorrhage.

Key words: intracerebral hemorrhage, perioperative management

JNI 2014;3 (2): 112‒20

Page 46: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

113 Penatalaksanaan Perioperatif Perdarahan Intraserebral

I. Pendahuluan

Perdarahan intraserebral (PIS) spontan non traumatik didefinisikan sebagai ekstravasasi spontan darah ke dalam parenkim otak yang dapat meluas ke ventrikel otak atau pada kasus yang jarang dapat sampai ke ruang subarachnoid.1 PIS merupakan penyakit yang cukup sering dijumpai, di Amerika Serikat tiap tahunnya terdapat sekitar 37 ribu sampai 52 ribu orang mengalami perdarahan intraserebral dan diperkirakan kasusnya akan meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun ke depan seiring dengan bertambahnya usia harapan hidup.1,2 Berdasarkan kausa yang mendasari, PIS diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder.1 PIS primer terjadi akibat ruptur spontan pembuluh darah kecil yang telah mengalami kerusakan akibat proses hipertensi kronis atau amyloid angiopathy dan kasusnya mencapai sekitar 80% dari semua kasus PIS.1 PIS sekunder berkaitan dengan adanya abnormalitas pembuluh darah (malformasi arteri-vena, aneurisma), gangguan koagulasi, dan perdarahan pada tumor otak.1 Tercatat sekitar 10–30% dari semua kasus stroke di rumah sakit merupakan akibat perdarahan intraserebral, angka mortalitas mencapai 30–50% pada 30 hari pertama perawatan dan hanya sekitar 20% pasien yang mendapatkan kembali kemampuan dan kemandirian fungsionalnya dalam jangka waktu 6 bulan.2-4

Sebuah metaanalisis berbasis populasi baru-baru ini menunjukkan bahwa insiden PIS banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki, usia tua, etnis Asia-Afrika.1,3 Faktor resiko paling penting dan paling sering untuk PIS adalah hipertensi, yang rata-rata mencapai 60–70% dari semua kasus PIS.1,3 Faktor-faktor resiko lain yang dapat memicu timbulnya PIS antara lain konsumsi alkohol, hipokolesterolemia, pemakaian antikoagulan dan antitrombotik, penyalahgunaan obat-obatan seperti kokain, obat-obat simpatomimetik serta genetik tertentu.2

Patofisiologi dari PIS banyak mengalami perubahan beberapa tahun terakhir ini, dahulu dianggap sebagai suatu kejadian perdarahan yang cepat dan sederhana dan saat ini dipahami

sebagai suatu proses yang dinamis dan kompleks.2 Terdapat dua hal baru yang penting dan dipahami saat ini, yang pertama adalah banyak dari perdarahan tersebut akan terus berkembang dan membesar dalam beberapa jam setelah onset gejala pertama yang dikenal dengan early hematoma growth, hal kedua adalah edema dan cedera otak dapat timbul beberapa hari setelah PIS sebagai akibat proses inflamasi yang disebabkan trombin dan produk akhir dari proses pembekuan (perihematomal injury).1,2 Perubahan konsep ini mempengaruhi penatalaksanaan PIS yang juga berkembang pesat.

Tanda dan gejala klinis dari PIS dapat berupa defisit neurologis yang cepat serta tanda klinis peningkatan tekanan intrakranial (TIK) seperti nyeri kepala, muntah, penurunan kesadaran. Hampir semua pasien disertai peningkatan tekanan darah dan dapat juga mengalami disautonomia seperti bradikardia, takikardia, hiperventilasi, febris, dan hiperglikemia.5 Gejala klinis ini biasanya muncul pada 24 jam pertama dan disebabkan oleh kombinasi antara ekspansi perdarahan, edema perihematoma, kejang dan hidrocephalus.5

II. Kasus

Seorang wanita berusia 41 tahun dengan berat badan 60 kg, tinggi badan 155 cm datang dengan kesadaran menurun sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien jatuh di kamar mandi saat malam hari, saat itu pasien masih sadar namun tidak bisa bicara dan bagian tubuh sebelah kanan terasa lemas. Keesokan harinya kesadaran pasien makin menurun dan bagian tubuh kanan tidak bisa bergerak.

Pemeriksaan FisikJalan napas dan pernapasan: jalan napas bebas, laju napas 18‒20 x/menit, suara napas vesikuler, tidak didapatkan ronki maupun wheezing.Sirkulasi: perfusi hangat, kering, merah, tekanan darah 200/100mmHg, laju nadi 70–75x/menit.Status neurologik: kesadaran pascaresusitasi dengan skor Glasgow Coma Scale (GCS) E2M5V–, pupil isokor, diameter 2mm/2mm, refleks cahaya +/+, terdapat lateralisasi kanan.

Page 47: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

114 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Jejas di tempat lain tidak didapatkan.

Penatalaksanaan di Unit Gawat DaruratPasien diberikan O2 masker 6 L/menit, posisi kepala head up 15–300, terpasang infus NaCl 0,9% 100 cc/jam. Pasien dilakukan evaluasi ulangan 15 menit kemudian didapatkan tekanan darah menjadi 230/140 mmHg, laju nadi 55–60 x/menit, GCS turun menjadi E1M4V–, refleks cahaya +/+ lambat. Terjadi perburukan kondisi maka diputuskan dilakukan intubasi sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis. Proses induksi dan intubasi diusahakan sehalus mungkin untuk mencegah gejolak hemodinamik dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) serta menurunkan resiko terjadinya aspirasi. Digunakan obat seperti fentanyl 100 mg, propofol 100 mg, rocuronium 50 mg, lidokain 80 mg, dan dosis propofol ulangan sebesar 30 mg.

Selama intubasi dilakukan penekanan krikoid untuk mengurangi resiko aspirasi. Selama intubasi hemodinamik stabil dengan tekanan darah rerata berkisar antara 70–90 mmHg, laju nadi antara 70–80 x/menit. Pasien dilakukan ventilasi kendali, posisi kepala head up, diberikan sedasi propofol 100 mg/jam, vecuronium bolus dan dilanjutkan dengan 4 mg/jam, manitol 20 gram dalam 20 menit, dipasang pipa nasogastrik dan kateter. Pascainduksi dan pemberian sedasi, tekanan darah rerata masih diatas 130 mmHg lalu diberikan nicardipin 0,5 µg/kg/menit dengan target tekanan darah rerata antara 100–130 mmHg.

Pemeriksaan PenunjangHasil CT-scan didapatkan adanya perdarahan intraserebral di basal ganglia kiri dengan volume kurang lebih 52 cc, midLine shift sejauh 1,1 cm. Pemeriksaan foto thoraks tidak didapatkan kelainan, pemeriksaan elektrokardiografi dengan irama sinus 70x/menit. Skor PIS 2. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 11,7 g%, leukosit 11.840/mm3, trombosit 280.000/mm3, hematokrit 33%, masa perdarahan 1 menit, masa pembekuan 9 menit, masa prothrombin 10 detik, APTT 27 detik, SGOT/SGPT 18/14, kreatinin 1,1 mg/dL, Natrium 141 mmol/L, kalium 4,9 mmol/L, gula darah sewaktu 122 mg/dL.

Gambar 1. Gambaran Perdarahan Intraserebral Kiri di Basal Gangli

Pembedahan dan Penatalaksanaan AnestesiPasien masuk kamar operasi jam 12.30 (+1jam setelah intubasi), dilakukan evaluasi ulang posisi pipa endotrakeal, ventilasi dan hemodinamik, didapatkan posisi pipa endotrakeal baik, tidak terdapat gangguan ventilasi, saturasi oksigen 100%, tekanan darah rerata antara 100 mmHg dengan nicardipin 0,5µg/kg/menit.Rumatan anestesia dilanjutkan dengan sevoflurane 1–1,5%, O2–udara tekan medik, propofol 100 mg/jam (syringe pump), vecuronium 4 mg/jam, tambahan bolus fentanyl 100 µg. Ventilasi mekanik dengan volume tidal 8 mL/kg, frekuensi napas 12 x/menit, FiO2 0,5, PEEP 0, I : E rasio 1 : 2. Terpasang 3 jalur infus dengan cairan rumatan ringerfundin 1,5 mL/kg/jam, dan tambahan manitol 100 ml. Pada tindakan-tindakan yang menimbulkan rangsangan nyeri seperti insisi kulit sampai membuka duramater diberikan tambahan bolus propofol 30–50 mg dan fentanyl 25–50 µg.Saat membuka duramater hemodinamik stabil dengan tekanan darah rerata 70–80 mmHg, laju nadi 70–80 x/menit, saturasi oksigen 99–100% serta slack brain. Operasi berlangsung 2,5 jam, dilakukan evakuasi hematoma dengan total perdarahan 600 mL, keluaran urin 1100 mL, cairan masuk ringerfundin 1500 mL, whole blood 350 mL. Hasil analisa gas darah (BGA) intraoperatif pH 7,50; PaCO2 30,8; PaO2 204; SaO2 98,6; BE 2,0 dari hasil ini pengaturan ventilasi disesuaikan

Page 48: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

115 Penatalaksanaan Perioperatif Perdarahan Intraserebral

agar didapatkan keadaan normokapnia.

Perawatan PascaoperasiPasien dirawat di ruang perawatan intensif pascaoperasi, pernapasan dibantu dengan ventilasi mekanik dengan moda Synchronized Intermitten Mandatory Ventilation (SIMV) kontrol volume, sedasi dan analgetik diberikan propofol 200 mg/jam, fentanyl 25 µg/jam dan dexketoprofen. Kontrol tekanan darah diberikan nicardipin dengan target tekanan darah dibawah 100 mmHg, kontrol TIK diberikan manitol serta posisi kepala diatur head up. Cairan rumatan diberikan ringerfundin 2000 ml dalam 24 jam pertama serta ranitidin sebagai profilaksis terhadap peptic ulcer. Pemeriksaan darah lengkap, gula darah acak, elektrolit pascaoperasi serta ulangan CT-scan esok paginya (12 jam pascaoperasi). Hasil laboratorium pascaoperasi Hb 12,9 g%, leukosit 18.800, trombosit 256.000/mm3, gula darah acak 110 mg/dL, natrium 147 mmol/L, kalium 3,3 mmol/dL.

Perawatan Hari PertamaHemodinamik stabil dengan tekanan darah rerata antara 80–110 mmHg, laju nadi 70 x/menit, saturasi oksigen 99%, temperatur 36–36,50C. Hasil CT-scan ulangan didapatkan perdarahan yang berkurang, tidak terdapat perdarahan baru. Status neurologis E3M6V–, pupil isokor, hemiparese kanan motorik 3/5, aphasia motorik.

Dosis propofol turun 80mg/jam, weaning ventilator, sonde dekstrose 5% 6x 100 mL, terapi lain tetap.

Perawatan Hari KeduaStatus generalis dengan keadaan umum baik, tekanan darah rerata terkontrol nicardipin dan captopril antara 80-90 mmHg, laju nadi 70–75x/menit, saturasi oksigen 99%, temperatur 36–36,5o. Skor GCS E4M6V–, pupil isokor refleks cahaya +/+, hemiparese kanan. Pasien di ekstubasi diberi oksigen via nasal 2 L/menit, posisi head up, infus ringer dekstrose 5% 1500 mL dalam 24 jam, sonde peptisol 6x100 mL, propofol dan fentanyl dihentikan, terapi lain tetap.

Perawatan LanjutanPasien hari ke empat dipindah ke ruangan, hari ke enam pasien sudah dapat makan dan minum dan mulai dapat berbicara satu suku kata dan terdapat peningkatan fungsi motorik pada hari ke delapan. Setelah hari ke duabelas pasien dipulangkan.

III. Pembahasan

Perdarahan intraserebral spontan non traumatik didefinisikan sebagai ekstravasasi spontan darah ke dalam parenkim otak yang dapat meluas ke ventrikel otak atau pada kasus yang jarang dapat sampai ke ruang subarachnoid.1 Hipertensi

Gambar 2. A. Gambar CT-Scan sebelum Operasi. B. Gambaran CT-scan Pascaoperasi.

Page 49: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

116 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

merupakan faktor resiko paling penting dan paling sering menyebabkan perdarahan intraserebral.2 Kasus PIS akibat hipertensi mencapai 70% dari semua kasus perdarahan intraserebral. Hipertensi meningkatkan resiko terjadinya PIS menjadi lebih dari 2 kali lipat terutama pada pasien dengan umur kurang dari 55 tahun, yang tidak mendapat terapi anti hipertensi.4

Hipertensi kronis memicu terjadinya perubahan pada dinding pembuluh darah serebral yang berukuran kecil sampai sedang (diameter 100-600 µm) berupa degenerasi otot polos dinding pembuluh darah, pembentukan mikroaneurisma yang berhubungan dengan trombosis atau perdarahan mikro dan hyalinisasi intima di pembuluh darah tersebut.5 Perubahan ini diberi suatu istilah sebagai lipohyalinosis yang biasanya terjadi pada struktur-struktur bagian dalam dari otak seperti thalamus, basal ganglia, pons, cerebellum dan periventricular gray matter.5,6

Penjelasan secara teoritis mengapa hal tersebut terjadi di tempat-tempat diatas adalah karena pada lokasi tersebut di vaskularisasi oleh pembuluh darah lenticulostriata dan paramedian yang mempunyai dinding tipis dan terpapar langsung oleh tekanan intravaskular yang tinggi karena merupakan cabang langsung dari pembuluh darah utama atau cabang utama.7 Perdarahan dari basal ganglia berasal dari arteri lenticulostriata cabang dari arteri cerebri media, perdarahan di thalamus berasal dari arteri thalamogeniculata cabang dari arteri cerebri posterior, perdarahan dari pons berasal dari arteri paramedian cabang arteri basilaris, perdarahan di cerebellum berasal dari arteri penetrating cabang dari arteri cerebellaris.1

Pengertian akan patofisiologi dari PIS telah banyak berubah pada tahun-tahun terakhir. Dahulu PIS dianggap sebagai kejadian yang cepat dan sederhana namun saat ini dipahami sebagai suatu proses yang dinamis dan kompleks.1 Anggapan bahwa PIS merupakan kejadian monofasik dimana perdarahan akan cepat berhenti sebagai hasil dari mekanisme pembekuan darah dan mekanisme tampon ternyata terbukti tidak benar, hampir semua kasus menunjukkan adanya ekspansi hematoma dan hal ini disebabkan oleh perdarahan yang masih aktif yang didukung oleh kondisi hipertensi serta defisit

koagulasi lokal.1 Hematoma memicu terjadinya cedera sekunder berupa edema dan cedera otak melalui proses keradangan yang dikenal sebagai cedera otak perihematomal.1 Edema awal timbul disekitar hematoma terjadi akibat pelepasan dan akumulasi protein dari bekuan darah yang bersifat osmotik. Edema vasogenik dan sitotoksik muncul beberapa hari kemudian akibat disrupsi sawar darah otak, kegagalan pompa natrium, dan pelepasan mediator karena adanya kerusakan dan kematian sel.1,2 Pada kasus ini pasien mengalami defisit neurologis yang bertambah berat dan pada akhirnya diikuti penurunan kesadaran, hal ini menunjukkan adanya ekspansi dari hematoma yang dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang CT-scan. Penatalaksanaan pasien dengan perdarahan intraserebral dilakukan secara berkesinambungan mulai dari ruang gawat darurat, kamar operasi, ruang perawatan intensif maupun sampai pada tahap rehabilitasi di ruangan atau poliklinis. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal mengingat angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada pasien-pasien dengan PIS.

3.1 Penatalaksanaan di Ruang Gawat DaruratPenatalaksanaan di ruang gawat darurat difokuskan pada 4:Pengelolaan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi (ABC’s control), kontrol tekanan darah, pengelolaan tekanan intrakranial, terapi anti kejang, identifikasi dan pengelolaan koagulopati

Penurunan kesadaran seperti pada kasus ini memicu hilangnya refleks-refleks protektif normal yang menjaga patensi jalan napas. Kegagalan mengetahui adanya gangguan jalan napas dapat mengakibatkan komplikasi berupa aspirasi, hipoksemia, hiperkarbia.2,4 Pasien dengan skor GCS dibawah 8 sebaiknya dilakukan intubasi untuk mencegah komplikasi tersebut diatas.1 Proses intubasi sebaiknya tidak menggunakan obat dan tehnik yang dapat meningkatkan TIK dan mempertimbangkan adanya resiko aspirasi yang dapat terjadi.2 Laju napas dan volume tidal diatur untuk mendapatkan kondisi normokapnia. Hiperventilasi yang agresif dengan hasil PaCO2

Page 50: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

117 Penatalaksanaan Perioperatif Perdarahan Intraserebral

dibawah 28 mmHg dihindari karena dapat menyebabkan vasokonstriksi serebral hebat dan memicu terjadinya iskemia.2 Peningkatan tekanan darah yang ekstrim setelah PIS harus dikendalikan secara hati-hati. Pengendalian tekanan darah berguna dalam menurunkan resiko ekspansi hematoma namun tetap diperhatikan pemeliharaan tekanan perfusi otak (TPO) yang adekuat, karena penurunan tekanan darah berlebih dapat memicu terjadinya iskemia.1,2,4

Pedoman rujukan American Heart Association (AHA) dan American Stroke Association (ASA) merekomendasikan agar tekanan darah rerata dipertahankan dibawah 130mmHg untuk pasien dengan PIS dan riwayat hipertensi, dibawah 100 mmHg untuk yang telah menjalani kraniotomi.2,4 Untuk semua kasus tekanan darah sistolik dipertahankan diatas 90 mmHg dan pasien yang telah dipasang monitor TIK, TPO dipertahankan diatas 70 mmHg.2 Tekanan darah dapat dikontrol dengan obat anti hipertensi seperti esmolol, labetalol, nicardipin, yang dalam kasus ini digunakan nicardipin sebagai pilihan karena kedua obat lainnya tidak tersedia di Indonesia.2,4,7

Pengelolaan TIK dapat dilakukan dengan cara melakukan elevasi kepala 15–300, pemberian manitol 20%. Tehnik hiperventilasi (mencapai PaCO2 30–35 mmHg) dilakukan terutama pada pasien yang menunjukkan tanda-tanda herniasi.4

Pengelolaan TIK ini dapat digunakan untuk memberi waktu lebih (buy time) sebelum dapat dilakukan prosedur definitif seperti pembedahan.4

Pada kasus ini terdapat penurunan kesadaran dari skor awal ditambah dengan peningkatan tekanan darah serta penurunan laju nadi yang menunjukkan adanya dekompensasi pengaturan TIK dan bahaya herniasi, maka ketiga tindakan pengelolaan TIK diatas dilakukan sebelum pembedahan. Gangguan hemostasis harus segera diatasi mengingat bahaya ekspansi dari hematoma. Pemeriksaan fungsi koagulasi perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya koagulopati yang memperberat kondisi pasien.2-4 Pemberian obat-obatan anti kejang seperti phenitoin dapat diberikan untuk pasien PIS, namun sampai saat ini tidak ada penelitian yang menunjukkan ketepatgunaan dari obat anti kejang

sebagai profilaksis, dilain pihak efek samping anti kejang dapat memperberat kondisi pasien.4 Saat ini AHA dan ASA merekomendasikan untuk tidak menggunakan secara rutin obat-obatan anti kejang sebagai profilaksis dan hanya untuk indikasi yang jelas seperti munculnya kejang klinis, untuk itu pada pasien ini tidak diberikan anti kejang profilaksis.3

3.2 Pembedahan dan Penatalaksanaan AnestesiIntervensi pembedahan dapat berupa evakuasi hematoma, pemasangan drain ventrikular eksternal (EVD), intraventrikular trombolisis ataupun pembedahan stereotactic minimal invasif, yang masing-masing memiliki tujuan dalam membantu memperbaiki kondisi pasien.1-4 Evakuasi hematoma, seperti pada kasus ini bertujuan untuk mengurangi efek massa, mencegah pelepasan produk neuropatik dari hematoma, dan mencegah interaksi berkepanjangan antara hematoma dan jaringan otak normal yang dapat memicu proses patologis.1,8,9 Bagaimanapun juga keuntungan dari tindakan ini di basal ganglia, thalamus dan pons dapat tertutupi akibat resiko kerusakan yang dapat terjadi saat pembedahan dilakukan.1 Penelitian internasional Surgical Trial in Intracerebral Hemorrhage (STICH) bahkan menunjukkan bahwa intervensi pembedahan dalam 72 jam pertama gagal menunjukkan adanya peningkatan luaran dibandingkan pasien yang dilakukan pendekatan medikal saja.1,4,5

Sasaran utama penatalaksanaan anestesi pasien dengan perdarahan intraserebral adalah mengendalikan TIK dan pemeliharaan tekanan perfusi otak, melindungi jaringan saraf dari iskemia dan cedera, stabilitas sistem kardiovaskular serta menyediakan kondisi pembedahan yang adekuat (slack brain). Untuk dapat mencapai sasaran diatas maka diperlukan pendekatan sesuai prinsip neuroanestesi pada umumnya yaitu antara lain10 :• Jalan napas yang selalu bebas sepanjang

waktu• Ventilasi kendali untuk mendapatkan

oksigenasi adekuat dan normokapnea• Menghindari peningkatan atau penurunan

tekanan darah yang berlebih, menghindari faktor mekanis yang meningkatkan tekanan vena serebral, menjaga kondisi normoglikemia, isoosmoler selama anestesi

Page 51: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

118 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

• Menghindari obat dan tehnik anestesi yang dapat meningkatkan TIK dan memberi obat yang mempunyai efek proteksi otak

Tehnik dan pemilihan obat yang ideal untuk rumatan anestesi sebaiknya mempunyai kemampuan seperti yang disebutkan pada sasaran penatalaksanaan anestesi diatas. Obat anestesi intravena seperti propofol dan barbiturat mempunyai efek menurunkan aliran darah otak (ADO) dan metabolisme otak (CMRO2) sehingga dapat menurunkan TIK, selain itu obat anestesi intravena memiliki efek minimal pada autoregulasi dan reaktifitas terhadap CO2.

11 Obat anestesi inhalasi memiliki efek menurunkan CMRO2 namun memiliki efek vasodilator serebral sehingga mempunyai kapabilitas dalam meningkatkan TIK.11 Efek vasodilatasi ini dapat diminimalkan dengan cara membatasi konsentrasi penggunaannya tidak lebih dari 1 Minimum Alveolar Concentration (MAC). Nitrous oxide dapat meningkatkan CMRO2 dan menyebabkan vasodilatasi serebral yang menyebabkan peningkatan TIK serta pada konsentrasi tertentu dapat menghilangkan sifat neuroprotektif dari obat lain yang digunakan bersamaan, sehingga penggunaannya sebaiknya dihindari.12 Pada kasus ini digunakan kombinasi obat inhalasi sevoflurane dibawah 1 MAC dan propofol infus kontinyu dengan dosis antara 3–4 mg/kg/jam. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan level anestesi yang adekuat dengan menghindari efek yang tidak diinginkan (propofol infusion syndrome, depresi kardiovaskular, peningkatan TIK) dan mendapatkan efek yang menguntungkan (neuroproteksi oleh sevoflurane) dari masing-masing obat.

Pasien dengan tindakan neurosurgikal sebaiknya dibangunkan dari anestesi secepatnya sehingga dapat segera dilakukan penilaian status neurologisnya sebagai evaluasi dari hasil pembedahan, namun secara umum bila kondisi pasien mempunyai potensi gangguan homeostasis intrakranial pascaoperasi maka slow weaning dan delayed extubation merupakan pilihan yang dilakukan.12,13 Pada kasus ini derajat kesadaran preoperatif yang buruk menunjukkan keadaan homeostasis intrakranial yang sangat terganggu

serta adanya potensi iskemi dan edema otak pascaoperasi maka diputuskan untuk dilakukan delayed extubation untuk memberi waktu pemulihan kondisi pasien tersebut.

3.3 Penatalaksanaan di Ruang Perawatan IntensifPasien dengan penurunan kesadaran yang memerlukan bantuan pernapasan, monitoring kardiovaskular dan tekanan intrakranial seperti pada kasus ini memerlukan pengelolaan terapi di ruang perawatan intensif (RPI). Namun pengawasan ketat di lingkungan RPI juga diperlukan pada pasien-pasien yang tidak menggunakan bantuan pernapasan, paling tidak selama 24 jam pertama karena adanya resiko deteriorasi neurologis selama periode ini.4,5,13 Terdapat bukti yang substansial bahwa penatalaksanaan di neuro–RPI untuk pasien PIS memberikan luaran yang lebih baik.5 Perawatan di RPI mencakup beberapa hal antara lain5:• Pemberian bantuan pernapasan mekanik dan

sedasi• Pengaturan tekanan darah• Pengaturan dan pengawasan TIK• Pengelolaan cairan dan nutrisi• Pengawasan gula darah dan suhu tubuh• Pencegahan terhadap resiko peptic ulcer dan

deep vein thrombosis• Terapi antikejang (bila diperlukan)

Pengelolaan jalan napas, bantuan napas, kontrol tekanan darah serta pengelolaan TIK di RPI merupakan kelanjutan pengelolaan di ruang gawat darurat dan kamar operasi. Jalan napas harus selalu bebas untuk mencegah hipoksia dan hiperkarbia yang dapat menyebabkan peningkatan aliran darah otak (ADO) dan TIK. Bantuan napas diatur agar didapatkan kondisi normokapnea namun hiperventilasi terkadang dilakukan untuk beberapa waktu lamanya, untuk mencegah dan mengobati pasien yang akan mengalami herniasi.4 Hiperventilasi agresif (PaCO2<25mmHg) harus dihindari karena dapat menyebabkan vasokonstriksi serebral dan memicu terjadinya iskemia. Kontrol pernapasan dapat ditunjang dengan pengawasan terhadap saturasi oksigen vena jugularis (SJVO2), dan partial brain tissue oxygenation monitoring untuk memberi gambaran tentang kondisi

Page 52: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

119 Penatalaksanaan Perioperatif Perdarahan Intraserebral

intrakranial hubungannya dengan terapi yang diberikan.4 Kontrol tekanan darah pada pasien yang telah dilakukan kraniotomi (evakuasi hematoma) seperti pada kasus ini diharapkan mencapai target tekanan darah rerata pada atau dibawah 100 mmHg, tekanan darah sistolik diatas 90 mmHg dan TPO diatas 70 mmHg sesuai yang direkomendasikan AHA/ASA.2,4 Pengelolaan tekanan darah dapat digunakan nicardipine yang diberikan secara titrasi, obat lain seperti labetalol dan esmolol dapat juga digunakan namun tidak tersedia di Indonesia.

Pengelolaan dan pengawasan TIK terus dilakukan dan diatur bersama tekanan darah rerata untuk mendapatkan TPO yang optimal diatas 70 mmHg.2 Posisi kepala netral dan head up 15–300 untuk memaksimalkan aliran darah balik dari otak yang berguna untuk pengaturan TIK dan juga mengurangi resiko pneumonia terkait ventilator (VAP).2,4,5 Pemberian manitol 20% dapat membantu menurunkan TIK dengan mengurangi edema otak namun pengawasan ketat terhadap status hidrasi serta osmolaritas plasma diperlukan untuk mencegah efek samping yang merugikan.1,2,4,13

Cairan isotonik seperti NaCl 0,9% dan ringerfundin (1 ml/kg/jam) diberikan sebagai standar cairan pemeliharaan untuk pasien PIS.2 Cairan hipotonis seperti dekstrose 5% atau NaCl 0,45% dapat memicu terjadinya edema serebri karena perbedaan osmotik yang dihasilkan menyebabkan cairan tersebut masuk ke dalam jaringan otak yang sakit.2,4 Cairan yang mengandung glukosa sebaiknya dihindari dalam 24 jam pertama (kecuali terjadi keadaan hipoglikemia), karena dapat menyebabkan hiperglikemia yang memperburuk keadaan pada otak yang sudah mengalami cedera.4 Pemberian cairan pada pasien PIS ditujukan untuk tercapainya keadaan normovolemia dengan jalan mengawasi secara ketat keseimbangan cairan, tekanan vena sentral, dan mengukur berat badan pasien secara berkala.2,4 Pemberian nutrisi pada pasien PIS dapat diberikan dalam 24–48 jam setelah onset kejadian untuk menurunkan resiko malnutrisi. Pemberian nutrisi enteral lewat pipa nasogastrik memiliki keuntungan karena selain

memenuhi kebutuhan nutrisi pasien juga menjaga integritas mukosa gastrointestinal sehingga membantu mempertahankan imunitas pasien dan menurunkan resiko terjadinya peptic ulcer.14,15 Dalam pemberian nutrisi, pengawasan kadar gula darah dilakukan untuk memastikan kadar gula stabil dan dalam rentang harga yang normal.

Pasien dengan PIS mempunyai resiko tinggi untuk terjadi deep vein thrombosis (DVT) yang dapat menyebabkan komplikasi yang fatal. Hal ini dikarenakan pasien dalam keadaan imobilisasi dan paresis dari ekstremitas.2,3,4 Penggunaan kompresi stocking dalam usaha pencegahan DVT sebaiknya digunakan sejak awal pasien masuk. Penggunaan heparin dosis rendah (5000 U) 2 kali sehari dapat menurunkan resiko DVT tanpa meningkatkan resiko terjadinya perdarahan intrakranial.1,2,13,15

Peningkatan suhu tubuh dihubungkan dengan perburukan luaran, karena dapat menyebabkan kerusakan dan kematian sel neuron menjadi lebih luas.2 Pengawasan suhu tubuh dan usaha mempertahankannya harus dilakukan terus menerus. Parasetamol dan cooling blanket dapat diberikan sebagai usaha dalam mempertahankan suhu sambil mencari penyebab peningkatan suhu tersebut. Sistem adhesive surface cooling dan endovascular exchange catheter dikatakan lebih baik dalam usaha mempertahankan keadaan normotermia, meskipun tindakan ini masih belum jelas kaitannya dalam peningkatan luaran pasien.2

Tindakan-tindakan umum seperti perpindahan posisi pasien, suctioning, fisioterapi napas, usaha pencegahan infeksi seperti pasien RPI lainnya tetap dilakukan untuk mengurangi resiko dan komplikasi yang dapat memperburuk keadaan pasien dengan perdarahan intraserebral.1

IV. Simpulan

Perdarahan intraserebral merupakan penyakit yang sering dijumpai dan diprediksi akan mengalami peningkatan jumlah kasus seiring dengan peningkatan usia harapan hidup. Meskipun sampai saat ini angka morbiditas dan mortalitas pasien PIS tetap tinggi, namun

Page 53: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

120 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

pengelolaan PIS tampaknya akan banyak mengalami perubahan seiring pengertian yang lebih baik dari patofisiologi dari penyakit ini.Pengelolaan PIS yang berkelanjutan mulai dari ruang gawat darurat sampai ruang perawatan intensif didasarkan pada neuroresusitasi, neuroanestesia, dan neurointensive care yang baik serta penggunaan obat dan tehnik yang menunjang proteksi otak, diharapkan akan meningkatkan luaran, mengurangi morbiditas maupun angka mortalitas

Daftar Pustaka

1. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneous intracerebral hemorrhage. N Engl J Med 2001;344(19):1450–58.

2. Mayer S, Rincon F. Treatment of intracerebral haemorrhage. Lancet Neurol 2005;4:662–72.

3. Caceres A, Goldstein J. Intracranial hemorrhage. Emerg Med Clin N Am 2012;30:771–94.

4. Mayer S, Rincon F. Clinical review: ritical care management of spontaneous intracerebral hemorrhage. Critical Care 2008;12:237.

5. Elliot J, Smith M. The acute management of intracerebral hemorrhage: a clinical review. Anesth Analg 2010,110;5:1419–25.

6. Yong NP. Spontaneous intracerebral haemorrhage. Dalam: Desmon YHT, Lew WK, ed. Bedside ICU Handbook Tan Tock Seng Hospital. Singapore: Armour Publishing;2007,305–7.

7. Greer DM. Acute stroke and other neurologic emergencies. Dalam: Layon AJ, Gabrielli A, Friedman WA, eds. Neurointensive Care. Philadelphia:Saunders Elsevier; 2004,411–18.

8. Steiner T, Bosel J. Options to restrict hematoma expansion after intracerebral hemorrhage. Stroke. 2010;41:402–9.

9. Hua Y, Keep RF, Hoff JT, Xi GH. Brain injury after intracerebral hemorrhage: the role of thrombin and iron. Stroke. 2007;38:759–62.

10. Bisri T. Penanganan neuroanestesia dan critical care: cedera otak traumatik. Bandung: Universitas Padjadjaran; 2012.

11. Sakabe T, Nakakimura K. Effects of anesthetic agents and other drugs on cerebral blood flow, metabolism, and intracranial pressure. Dalam: Cotrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery. Missouri:Mosby Inc;2001, 129–39.

12. Ravussin P, Wilder OHG. Supratentorial masses: anesthetic considerations. Dalam: Cotrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery. Missouri: Mosby Inc;2001,297–318.

13. Goldstein JN, Gilson AJ. Critical care management of acute intracerebral hemorrhage. Curr Treat Options Neurol 2011 April;13(2):204–16.

14. Taylor JM, Wang B. Nutritional support in the critically ill patient. Dalam: Newfield P, Cotrell JE,eds. Handbook of Neuroanesthesia.Philadelphia:Lippincott Williams and Wilkins;2012,405–18.

15. Hanley DF. Intraventricular hemorrhage and ICH outcomes: severity factor and treatment target. Stroke 2009 April;40(4): 1533–38.

Page 54: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

121

Efek Anestesia Aliran Rendah Sevofluran terhadap Respon Inflamasi pada Susunan Saraf Pusat

Kusuma Harimin*), Tatang Bisri**)*)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang,

**)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas PadjadjaranRumah Sakit Dr.Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Anestesi aliran rendah adalah teknik anestesi yang menggunakan aliran gas <1L/menit. Oleh karena adanya rebreathing, maka pada anestesi aliran rendah yang menggunakan sevofluran akan terjadi produk degradasi dengan CO2 absorber sehingga terbentuk senyawa A dan senyawa B. Senyawa A bersifat neprotoksik pada ginjal tikus, karena enzim β liase 30 kali lebih aktif pada tikus dari pada manusia, sedangkan pada manusia tidak terbukti senyawa A berefek neprotoksik. Anestesia sevofluran dapat menimbulkan respons inflamasi yang diawali dengan pelepasan interleukin (IL)–1 dan TNF–α, kemudian menstimulasi IL–6 yang sangat berperan pada respons fase akut. Akan terjadi interaksi antara sistem imun dengan sistem neuroendokrin, yang mana IL–1 dan IL–6 dapat menstimulasi adrenocorticotrophic hormone (ACTH) sehingga terjadi peningkatan pelepasan kortisol. Metabolit sevofluran dan senyawa A tidak dapat menembus sawar darah otak sehingga pengaruh negatif dari metabolit dan produk degradasi sevofluran terhadap otak tidak ada. Bahkan, melalui penelitian lebih lanjut, sevofluran diketahui mempunyai efek neuroproteksi.

Kata kunci: anestesia aliran rendah, sevofluran, senyawa A, neuroproteksi.

JNI 2014;3 (2): 121‒31

The Effect of Sevoflurane Low Flow Anesthesia to Inflammatory Response on Central Nervous System

Abstract

Low flow anesthetic is an anesthesia technique using gas flow less than 1 L/ min. Due to the rebreathing system, a low flow anaesthesia using sevoflurane will produce degradation products through reaction with the CO2 absorber which will form compound A and compound B. Compound A is nephrotoxic to rat kidney because the β -lyase enzyme in rat is 30-fold more active than in human, and this compound has been proven to be not nephrotoxic in human. Sevoflurane can cause inflammatory response which started with the release of interleukin (IL)-1 and TNF-α followed by stimulation of IL-6, which plays important part in the acute phase. Interaction between the neuroendocrine and immune systems will occur where IL-1 and IL-6 cytokines will stimulate the production of adrenocorticotrophic hormone (ACTH), which in turn will increase the production of cortisol. Sevoflurane metabolites and compound A can not penetrate blood brain barrier, therefore, the negative effects of sevoflurane metabolites and degradation products to the brain does not happen. Further advanced studies even showed that sevoflurane has a neuroprotective effect.

Key words: low flow anaesthesia, sevoflurane, compound-A, neuroprotection

JNI 2014;3 (2): 121‒31

Page 55: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

122 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Pada rapat tahunan ASA 1994, dilaporkan hasil suatu survei bahwa 90% spesialis anestesiologi melakukan anestesi umum inhalasi dengan menggunakan aliran gas 2‒5 L/menit. Di Rumah Sakit Pendidikan sebesar 12,7% dan di Rumah Sakit Umum sebesar 15,2% menggunakan teknik anestesi aliran rendah. Hanya satu dari 15 anestesiolog yang menggunakan low atau minimal flow anaesthesia di rumah sakit umum Ottawa selama rumatan anestesia, dengan aliran gas 2,5 L/menit dengan sirkuit sirkuler.1

Keuntungan dari anestesi aliran rendah hanya menduduki sebagian kecil dari pengeluaran rumah sakit karena nitrous oxide dan halotan relatif tidak mahal, namun bila menggunakan anestetika inhalasi lain yang lebih mahal, bisa menempati 20% dari biaya pengeluaran anestetika.1

Sebagian besar spesialis anestesiologi hanya mengetahui sedikit bahkan tidak sama sekali, tentang penggunaan aliran rendah selama masa mereka masih menjalani pendidikan spesialisasi anestesi, dan tetap menggunakan aliran tinggi tanpa mempertimbangkan limbah dan polusi. Popularitas anestesi aliran rendah bervariasi dari tahun ke tahun, yang kemudian meningkat kembali beberapa tahun terakhir karena pertimbangan ekonomi, faktor lingkungan, kemajuan dalam teknologi monitoring dan pengenalan serta pemakaian anestetika yang mahal.1 Modifikasi dari klasifikasi Simionescu mengenai aliran gas adalah:Metabolic flow bila diberikan aliran gas 250 ml/menit, minimal flow 250–500 mL/menit, low flow 500‒1000 mL/menit, medium flow 1‒2 L/menit, high flow, 2‒4 L/menit, very high flow >4 L/menit.1

Kondisi metabolic flow hanya akan tercapai dengan injeksi dari cairan anestestik ke dalam sirkuit sirkel, sangat mungkin untuk memaksimalkan ini dengan pengetahuan farmakokinetik dari up take. Metabolic flow hanya menggunakan oksigen tanpa menggunakan N2O.1, 2

Inspirasi dari gas yang kering dan dingin dapat merusak mukosiliar, bersamaan dengan terjadinya mikroatelektasis, yang berpotensi menimbulkan

infeksi dan mengganggu pertukaran gas. Sekret respiratorik dan hilangnya panas berkontribusi pada hipotermia postoperatif setelah pemberian anestesia yang lama, namun penggunaan aliran gas yang benar dapat memperbaiki kelembaban dan suhu dari gas inspirasi.3 Untuk semua jenis anestetika volatil, penggunaan aliran gas rendah <1 L/menit untuk rumatan anestesia memiliki keuntungan secara ekonomis dan ekologis, serta memperbaiki humidifikasi dan suhu dari gas inspirasi. Tidak terdapat permasalahan keamanan bila dibandingkan dengan penggunaan aliran tinggi, khususnya apabila dilakukan dengan monitoring yang ketat.3 Sevofluran didegradasi menjadi senyawa A oleh absorben karbon dioksida yang mengandung basa kuat. Senyawa A adalah penta fluoro isopropenyl fluoromethyl ether (PIFE, C4H4F6O) suatu derivat haloalken. Selain senyawa A, juga terbentuk sejumlah senyawa B penta fluoromethoxyisopropyl fluoro-methyl ether (PMFE, C5H6F6O) pada degradasi tersebut. Senyawa A bersifat neprotoksik pada tikus, sedangkan pada manusia nefrotoksik ini tidak terjadi karena tanpa adanya βliase, senyawa A tidak bersifat nefrotoksik.4,5,6 Paparan senyawa A meningkat pada aliran gas yang rendah, pemakaian baralyme, dan konsentrasi sevofluran yang tinggi. Pembentukan senyawa A selama anestesi sevofluran aliran rendah dan sirkuit setengah tertutup tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap ginjal pada pasien yang dioperasi dengan fungsi ginjal yang normal. Insufisiensi ginjal yang sudah ada sebelumnya merupakan suatu faktor risiko terjadinya disfungsi ginjal pascabedah. Meskipun insufisiensi ginjal yang sudah ada sebelumnya tidak dipengaruhi sevofluran aliran tinggi, efek sevofluran aliran rendah pada pasien-pasien penderita insufisiensi ginjal tidak diketahui. 4,5,6

II. Efek Sevofluran terhadap Kejadian Inflamasi

Respons trauma yang mulai banyak diteliti adalah pelepasan sitokin, suatu mediator utama pada awal proses inflamasi terhadap trauma. Ada beberapa jenis sitokin yang telah diteliti antara lain sitokin proinflamasi, misalnya interleukin–1 (IL–1), IL–6, dan tumor necrosis factor–α (TNF-α). Setelah anestesi umum aliran rendah

Page 56: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

123 Efek Anestesia Aliran Rendah Sevofluran Terhadap Respon Inflamasi pada Susunan Saraf Pusat

sevofluran dilepaskan IL–6 dan TNF–α. Anestesi dan operasi, akan merangsang pembentukan radikal bebas dan asam arakidonat serta meningkatkan aktivitas molekul adesi yang akan mengganggu mikrosirkulasi.7 Respons terhadap stres dan trauma ditandai dengan peningkatan sekresi hormon hipofisis dan aktivasi sistem saraf simpatis, kedua hal ini terjadi karena impuls saraf aferen baik somatik maupun otonom dari daerah trauma atau cedera diteruskan lewat kornu dorsalis medula spinalis naik ke medula untuk mengaktifkan hipotalamus. Perubahan sekresi hormon hipofisis sangat berpengaruh terhadap sekresi hormon di target organ, misalnya peningkatan sekresi kortikotropin dari hipofisis akan menstimulasi sekresi kortisol di korteks adrenal. Kortisol mempunyai efek metabolik yang kompleks terhadap karbohidrat lemak dan protein, disamping efek glukokortikoid yang bersifat antiinflamasi serta menghambat sintesis mediator inflamasi khususnya prostaglandin.8-11

Reaksi diawali dengan pelepasan IL–1 dan TNF-α yang kemudian akan menstimulasi IL–6 yang sangat berperan pada respons fase akut. Akan terjadi interaksi antara sistem imun dengan sistem neuroendokrin, yang mana sitokin IL‒1 dan IL-6 dapat menstimulasi adrenocorticotrophic hormone (ACTH) sehingga akan meningkatkan pelepasan kortisol. Anestetika dan pembedahan mempunyai efek terhadap respons imun secara tidak langsung melalui modulasi respons neurohumoral, maupun secara langsung melalui supresi immune competent cell dan ekspresi gen mediator inflamasi.12,13

III. Produk Degradasi Sevofluran Sevofluran mengalami degradasi katalis dalam penyerap karbon dioksida untuk membentuk sebuah vinyl eter yang disebut "Senyawa A". Produksi senyawa A meningkat pada aliran rendah atau sistem pernafasan sirkuit tertutup (closed circuit breathing systems) dan CO2 absorbents hangat atau sangat kering. Barium hydroxide lime memproduksi lebih banyak senyawa A daripada soda lime dan ini dapat dihubungkan dengan suhu yang sedikit lebih tinggi selama ekstraksi CO2.

14,15 Senyawa A telah

lama menjadi subjek penelitian dan diperdebatkan di Amerika Serikat sejak sevofluran digunakan dalam dunia kedokteran pada tahun 1995. Morio dan kawan-kawan menemukan konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kerusakan ginjal pada tikus. Peneliti lain mengkonfirmasi penelitian Morio dan didapatkan kerusakan ginjal dapat terjadi level senyawa A mencapai 25‒50 ppm atau lebih.14 Penelitian yang lain pada tikus didapatkan senyawa A pada gas inspirasi dan diidentifikasi ambang batas untuk nekrosis tubular ginjal antara 290 dan 340 bagian per juta (ppm) x jam (misalnya, 50 ppm x 6 jam = 300 ppm.jam). Nefrotoksisitas ini ditandai oleh nekrosis sel tubulus medula kortikal yang terletak di tubulus proksimal. Penanda biokimia terkait termasuk peningkatan BUN dan kreatinin serum, glukosuria, dan proteinuria. Selain itu, beberapa enzim dari sel-sel tubulus telah digunakan sebagai penanda cedera sel termasuk peningkatan ekskresi urin n-asetil-beta-glucosaminidase D–(NAG) dan alpha-glutathione S–transferase (αGST).14

Ada perbedaan ambang batas yang jelas pada beberapa spesies mengenai senyawa A yang menyebabkan nefrotoksisitas. Ambang batas adalah sekitar 300 ppm.jam pada tikus 250‒gm, 181.262 lebih besar dari 612 ppm.jam pada babi, dan antara 183.600 dan 800 ppm.jam pada monyet. Pada pasien dan relawan yang menerima sevofluran di sirkuit tertutup atau sistem aliran rendah, konsentrasi inspirasi senyawa A rata-rata 8 hingga 24 dan 20 sampai 32 ppm dengan soda lime dan barium hydroxide lime. Total paparan setinggi 320‒400 ppm.jam tidak memiliki efek yang jelas tentang penanda fungsi ginjal. Penelitian prospektif dan acak pada pasien dan sukarelawan, tidak ada efek terhadap ginjal dari aliran rendah (0,5 hingga 1,0 L/menit) atau sirkuit tertutup pada anestesi pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum dan konsentrasi BUN), juga penelitian dengan aliran gas segar 1 L/menit, barium hydroxide absorbent yang digunakan dan adjuvant anestesi minimal diberikan untuk memaksimalkan dosis sevofluran dan produksi senyawa A, ternyata tidak ada efek samping dari sevofluran yang ditemukan dengan standar penanda klinis biokimia fungsi ginjal.14

Page 57: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

124 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Bukti terbaru dari pasien yang menjalani operasi elektif menunjukkan terjadinya proteinuria, glukosuria, dan enzymuria, setelah anestesi dengan desfluran, isofluran, dan propofol, tanpa perubahan BUN dan serum kreatinin. Meskipun bukti kuat tentang keamanan ginjal dari sevofluran aliran rendah yang diketahui dari studi prospektif acak, keamanan ginjal pada anestesi dengan sevofluran masih dipertanyakan dan diperdebatkan.14,15

Selain dari probabilitas yang tinggi bahwa tidak adanya cedera ginjal pada pasien, selama penggunaan klinis sevofluran dalam sistem aliran rendah karena level senyawa A rendah, akan tetapi, kemungkinan penjelasan lain harus dipertimbangkan. Senyawa A tidak dengan sendirinya toksik bagi organ, tetapi merupakan biodegradasi senyawa A menjadi konjugasi sistem dan tindak lanjut dari enzim ginjal yang disebut beta-lyase pada konjugat yang dapat mengakibatkan pembentukan thioacyl halide, yang berpotensi toksik. Ada bukti yang jelas atas perbedaan spesies dalam biotransformasi senyawa A ke sistein-s conjugates. Bukti terbaru menunjukkan bahwa sistein dapat ditangani

dalam satu (atau keduanya) dari dua jalur, yaitu asetat menjadi asam mercapturik melalui jalur detoksikasi, yang mengakibatkan tidak ada toksisitas organ, atau aksi enzim pada ginjal disebut beta-lyase, untuk membentuk intermediet reaktif (jalur toxifikasi).14,15

Intermediet reaktif ini bertanggung jawab atas nekrosis sel ginjal pada tikus. Jalur metabolisme beta-lyase dependent pada manusia jauh lebih luas daripada jalur beta-lyase pada tikus (8–30 kali kurang aktif). Dengan demikian, dibandingkan dengan tikus, manusia menerima dosis senyawa A yang lebih rendah dan metabolisme fraksi yang lebih rendah dari senyawa A melalui jalur beta-lyase ginjal. Akhirnya, ahli farmakologi menyatakan sevofluran tidak nefrotoksik. Anestesi ini telah digunakan secara klinis selama hampir satu dekade, dan banyak negara di luar Amerika Serikat tidak memiliki pembatasan aliran sevofluran, dan belum ada laporan satu kasus pun tentang kerusakan ginjal akibat sevofluran.14,15

Sevofluran didegradasi dengan CO2 absorben (baralime>sodalime) untuk membentuk senyawa A. Metabolit produk ini potensial toksik

Gambar 1. Jalur Bioaktivasi Senyawa ADikutip dari: Morgan GE, et al. 14

Page 58: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

125 Efek Anestesia Aliran Rendah Sevofluran Terhadap Respon Inflamasi pada Susunan Saraf Pusat

pada ginjal tikus pada konsentrasi >100 ppm. Nefrotoksik senyawa A memerlukan enzym intrarenal beta-liase yang tidak dijumpai pada ginjal manusia. Jadi tidak mengherankan bahwa tidak ada kerusakan ginjal akibat senyawa A pada manusia setelah dianestesi dengan sevofluran pada pasien yang prabedah terdapat kelainan ginjal yang nyata. Tetapi karena produksi senyawa A lebih besar pada low-flow teknik maka Food and Drug Administration/FDA dari USA mengatakan sevofluran jangan digunakan pada sistem setengah tertutup dengan aliran gas <2 L/menit, tetapi setelah dilakukan penelitian lebih jauh lagi, sekarang sevofluran telah dipakai untuk sistem tertutup, dimana jumlah aliran gas hanya 250 mL/menit, tanpa ditemukan kelainan. Walaupun demikian, FDA tetap menganjurkan aliran gas jangan kurang dari 2 L/menit bila menggunakan sevofluran.14,15

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan senyawa A pada sirkuit anestesi adalah konsentrasi sevofluran, tipe CO2 absorben (soda-lime atau baralime), kecepatan aliran gas anestesi, produksi CO2 (temperatur), waktu (lama anestesi) dan kekeringan CO2 absorben (water content).14,15

IV. Jalur Metabolisme Sevofluran

Sevofluran dimetabolisme dengan hepatic cytochrome P450 2 EL sebanyak 2–5% dengan metabolik produk utama fluorida inorganik dan

hexafluoroisopropanol (HFIP). Kontras dengan TFA, HFIP tidak diikat oleh protein hepar dan tidak menunjukkan bukti adanya toksisitas pada hati. HFIP dengan cepat dikonyugasi oleh asam glukoronide dan kemudian diekskresi. Konyugasi oleh asam glukoronide dan kemudian diekskresi. Konyugasi ini demikian cepat, sehingga konsentrasi HFIP tidak dapat diukur (karena sangat rendah) pada manusia. Konyugasi HFIP dikeluarkan melalui urine dan dikeluarkan secara lengkap dalam 24 jam.14,16 Metabolit sevofluran yang paling penting adalah fluorida inorganik.

Pada 0,8–1,1 MAC-hour anestesi dengan sevofluran pada anak menunjukkan peningkatan serum ion fluorida rata-rata 10–13 mMol/liter. Nilai paling tinggi mencapai 45 mMol/liter tanpa adanya efek nefrotoksik.14,16 Ada beberapa alasan mengapa konsentrasi ion fluorida yang tinggi setelah anestesi dengan sevofluran tidak nefrotoksik pada manusia sedangkan konsentrasi ion fluorida yang sama setelah anestesi dengan metoksifluran bersifat nefrotoksik. Pertama, konsentrasi puncak ion fluorida terjadi dalam 1–2 jam dan menurun kenilai normal dalam waktu 24–48 jam setelah anestesi dengan sevofluran, sedangkan setelah anestesi dengan metoksifluran, konsentrasi puncak terjadi dalam 1–3 hari dan kembali kenilai normal dalam waktu 1–3 minggu. Kedua, defluorinisasi sevofluran tidak terlihat pada ginjal manusia.14,16

Gambar 2. Metabolisme SevofluranDikutip dari: Morgan GE, et al.14

Page 59: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

126 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Puncak konsentrasi fluorida inorganik pada serum setelah pemberian sevofluran adalah 2 jam setelah ahir anestesi, sedangkan metoksifluran sampai 1–3 hari. Konsentrasi fluorida ini kembali ke asal dalam waktu 48 jam, sedangkan dengan metoksifluran dalam 7 hari. Cepat dan banyaknya eliminasi sevofluran melalui paru mengurangi jumlah obat yang dimetabolisme. Tidak nefrotoksiknya sevofluran dapat diterangkan sebagai berikut:1. Koefisien partisi blood/gas dan oil/

gas sevofluran lebih rendah daripada metoksifluran.

2. Metabolisme sevofluran <5% sedangkan metabolisme metoksifluran 50%.

3. Jumlah deflourinasi pada ginjal lebih sedikit daripada metoksifluran.

4. Peningkatan konsentrasi fluorida inorganik lebih rendah.14,16

V. Efek Metabolit dan Produk Degradasi terhadap Otak

Metabolisme SerebralBerat otak hanya 2–3% berat badan. Pada istirahat otak mengkonsumsi 20% oksigen yang diambil. Basal metabolic rate (BMR) untuk oksigen adalah 3,3 ml/100 gr/menit dan untuk glukosa 4,5 mg/100 gr/menit. Keadaan ini relatif konstan pada saat tidur dan bangun. Otak memerlukan pasokan substrat yang konstan karena metabolismenya yang tinggi. Glukosa merupakan bahan bakar untuk jaringan saraf walaupun keton dapat dipakai selama periode puasa dan ketoasidosis.17

Aliran darah otak dan metabolisme otak berlangsung bersama-sama.

Peningkatan metabolisme akan meningkatkan aliran darah otak. Anestetika inhalasi menyebabkan peningkatan aliran darah otak dan penurunan metabolisme otak. Dari semua anestetika inhalasi, isofluran merupakan serebral metabolik depresesant yang paling kuat dan menurunkan 50% metabolisme otak pada konsentrasi end-tidal isofluran 2,5%. Semua obat anestesi intravena (kecuali ketamin) menurunkan metabolisme otak. Barbiturat menurunkan metabolisme otak dan aliran darah otak paling kuat.17

Hipotermi menurunkan metabolism otak 7% per 10C dan hipertermi meningkatkan metabolisme otak. Suhu di atas 420C akan menyebabkan kematian sel neuron. Kejang-kejang akan meningkatkan aliran darah otak dan metabolisme otak.17

Dua penelitian terkini telah meneliti farmakokinetik dari sevofluran pada orang dewasa. Konsentrasi awal dari jugular bulb sevofluran meningkat cepat secara tidak terduga dan mencapai konsentrasi arteri secara lambat, yang mengindikasikan bahwa terjadi difusi pada sawar darah otak. Gradien alveolar-arterial sevofluran, yang diduga bahwa terdapat difusi pada sawar alveolar-arteri, tidak menemukan adanya difusi pada sawar. Digunakan model yang dirancang dengan komputer untuk menganalisa data dari kedua penelitian tersebut dan hasil analisis menunjukkan bahwa hasil penelitian dipengaruhi oleh kontaminasi dari sampel pembuluh darah jugular oleh darah ekstraseluler. Hal ini mungkin diakibatkan oleh gradien alveolar-arteri yang diamati ditimbulkan oleh selisih konversi antara konsentrasi darah dan tekanan gas parsial. Penelitian lain menunjukkan bahwa tidak terdapat difusi sevofluran pada sawar darah otak.18

Efek metabolit dan produk degradasi terhadap otak tidak dapat menembus sawar darah otak sehingga disimpulkan bahwa efek metabolit dan produk degradasi sevofluran terhadap otak tidak ada.17

Sevofluran adalah suatu obat anestesi inhalasi derivat methyl isoprophylether dengan kelarutan dalam darah yang rendah (0,63). Uptake dan eliminasi cepat, induksi inhalasi cepat tanpa disertai iritasi jalan nafas, batuk, nahan nafas, spasme laring dengan sevofluran konsentrasi tinggi.17

Induksi inhalasi berlangsung cepat, tanpa iritasi jalan nafas, batuk menahan nafas, spasme laring dengan konsentrasi tinggi sevofluran (8%). Secara umum anestetika inhalasi menyebabkan dilatasi pembuluh darah serebral. Keseluruhan efek pada aliran darah otak bergantung pada keseimbangan antara efek vasodilatasi langsung dengan efek tidak langsung dari penurunan metabolisme otak. Respons autoregulasi tetap utuh sampai 1,5 MAC sevofluran sedangkan dengan 1,5 MAC isofluran

Page 60: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

127 Efek Anestesia Aliran Rendah Sevofluran Terhadap Respon Inflamasi pada Susunan Saraf Pusat

dan desfluran autoregulasi sudah terganggu.17

Sevofluran memberikan pemulihan yang lebih cepat dan penilaian neurologis pascabedah yang lebih cepat dari pada isofluran pada kasus bedah saraf yang memerlukan operasi yang lama.17,18 Anestetika inhalasi pada umumnya menyebabkan vasodilatasi serebral, dan meningkatkan aliran darah otak. Bila dibandingkan antara semua obat anestesi inhalasi yang ada di Indonesia, efek vasodilatasi serebral sevofluran <isofluran<ethran<halothan. Efek vasodilatasi serebral sevofluran 0,6 kali efek isofluran. Efek akhir dari aliran darah otak bergantung pada keseimbangan efek langsung vasodilatasi dan efek tidak langsung akibat penurunan metabolisme otak.17,18

Keuntungan utama sevofluran adalah kelarutannya yang rendah sehingga onsetnya cepat, serta mudah mengatur kedalaman anestesi, selain itu mempunyai efek proteksi otak, serta paling kecil menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak dibandingkan dengan obat anestesi inhalasi lainnya.17,18

Sevofluran merupakan obat yang baik untuk neuroanestesi karena mempertahankan autoregulasi sentral, menurunkan CMRO2, analog dengan obat anestetika inhalasi dan intravena, pengaruh terhadap tekanan intrakranial dan respons pada hipokapnia sama dengan isofluran, tidak mengaktivasi sistem saraf simpatis manusia, tidak menyebabkan aktivitas epileptiform seperti enfluran, koefisien parsial lebih rendah daripada isofluran sehingga induksi dan pemulihan lebih cepat serta lebih baik daripada isofluran bila pasien perlu dibangunkan ketika operasi sedangkan berlangsung serta mudah menilai fungsi neurologis pascabedah, tidak ada peningkatan denyut jantung, seperti halnya isofluran, sensitivitas terhadap katekholamin tidak meningkat, dan pengaruh pada EEG sama dengan isofluran.17,18

VII. Efek Aliran Rendah Sevofluran pada Susunan Saraf Pusat

Konsep iskemia preconditioning diperkenalkan di dalam literatur pada tahun 1986. Konsep ini menjelaskan fenomena di mana periode singkat

dari iskemia sebelum episode iskemia yang memanjang memberikan perlindungan terhadap perburukan yang diakibatkan oleh iskemia yang memanjang. Secara bersamaan, beragam stimuli pada episode singkat dari iskemia menunjukkan induksi preconditioning effect. Sangat menarik bagi anestesiolog bahwa anestetika volatil dapat menginduksi preconditioning effect pada berbagai organ dan sistem, termasuk sistem saraf pusat. Isofluran, sevofluran, dan desfluran, anestetik volatil yang banyak digunakan saat ini, telah menunjukkan mengakibatkan preconditioning pada otak hewan yang diteliti. Berbagai molekul signaling intraseluler telah ditemukan berperan di dalam efek anestetika volatil dalam proteksi otak.19

Aktivasi dari canonical notch signalling pathway mungkin terlibat di dalam proteksi otak sevoflurane pada otak tikus. Oleh karena keterlibatan dari Notch signalling pathway di dalam efek yang ditimbulkan oleh anestetik volatil terhadap otak belum diketahui sebelumnya, penelitian ini membantu mengidentifikasi jalur ini sebagai sebuah mekanisme baru bagi efek neuroproteksi sevofluran, juga beberapa efek lain dari sevofluran terhadap otak dalam ruang lingkup yang lebih luas.19

Notch signalling system sangat kompleks. Terdapat empat protein Notch receptor (Notch 1 sampai Notch 4) dan berbagai ligan Notch pada sel mamalia. Reseptor Notch berada dalam bentuk heterodimer ketika berada di membran plasma. Ligan-ligan tersebut umumnya adalah protein transmembrane. Dua jenis ligan utama disebut sebagai δ-like ligands dan Jagged, yang keduanya masing-masing memiliki subtipe. Ketika reseptor-reseptor tersebut berikatan dengan ligan yang terdapat pada sel di dekatnya, reseptor-reseptor akan teraktivasi. Reseptor yang teraktivasi akan mengalami dua tahap pemotongan: pertama oleh disintegrin dan metalloproteinase dan kemudian oleh γ-secretase. Proses ini akan menghasilkan intracellular Notch domain yang akan berjalan ke nukleus untuk berikatan dengan DNA-binding protein (RBP-J). Kompleks ini mengatur ekspresi dari protein target, seperti Hes dan Hey, yang merupakan faktor transkripsi. Oleh karena berbagai hal tersebut, Notch signalling

Page 61: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

128 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

pathway sangat unik karena tidak membutuhkan molekul penghantar sinyal yang terpisah untuk menghantarkan sinyal ke nukleus. Selain itu, aktivasi dari Nocth signalling pathway mungkin membutuhkan interaksi fisik antara kedua sel yang berdekatan karena ligan Notch umumnya merupakan protein transmemberan dan bukan merupakan protein dan peptida sekretorik.19

Disregulasi dari Notch signalling pathway terlibat di dalam banyak penyakit pada manusia, seperti kanker, penyakit kongenital, dan penyakit dengan onset usia dewasa.19

Pada penelitian yang telah dilakukan, C57BL/6 tikus dipaparkan dengan sevoflurane (2,5%) 1 jam per hari selama 5 hari berturut-turut. Tikus dibuat mengalami oklusi arteri serebri media selama 60 menit pada 24 jam setelah terpapar dengan sevofluran. Midle cerebral artery occlussion (MCAO) merupakan model iskemia fokal yang klasik. Tikus yang terpapar dengan sevoflurane sebelum MCAO memiliki volume infark yang lebih kecil dan fungsi neurologis yang lebih baik dibandingkan dengan tikus yang hanya terpapar dengan membawa gas atau udara ketika penilaian dilakukan 3 hari setelah MCAO.

Hasil ini secara jelas menunjukkan adanya efek proteksi otak sevofluran. Para peneliti telah menunjukkan bahwa sevoflurane preconditioning meningkatkan protein notch intracellular domain (NICD) dan Hes messenger RNA di dalam jaringan penumbra iskemik. Inhibitor γ-secretase, N-[N-(3,5-difluorophenacetyl)-1-alanyl]-S-phenyglycine t-butyl ester, menghambat peningkatan preconditioning-induced NICD and neuroprotection. Sevofluran menginduksi efek preconditioning pada otak tikus yang memiliki satu alel intact dan satu alel yang terganggu dari RBP-J gene pada neuronnya (tikus RBP-J+/-). Namun, paparan sevoflurane tidak menginduksi efek preconditioning pada otak tikus yang mengalami defisit RBP-J (tikus RBP-J+/-; kedua alel dari RBP-J gene pada tikus rusak). Secara keseluruhan, hasil-hasil ini menunjukkan bahwa aktivasi dari Notch signalling pathway dibutuhkan untuk sevofluran preconditioning-induced protection.19

Hasil dari penelitian mengindikasikan bahwa

sevofluran dapat mengaktivasi Notch signalling pathway. Masih belum diketahui cara sevofluran mengaktifkan jalur ini. Mekanisme yang mungkin meliputi meningkatkan ikatan antara reseptor Notch dan ligan, meningkatkan aktivitas dari protease yang memotong reseptor Notch, dan memfasilitasi ikatan NICD ke RBP-J. Para peneliti juga belum mengidentifikasi protein-protein dari NOCD untuk sevofluran preconditioning induced neuroprotection. Oleh karena Notch signalling pathway terlibat dalam berbagai fungsi biologis, perubahan dari jalur ini akan berdampak pada gangguan fungsi dari berbagai sel. Oleh karenanya, orang dapat berpikiran bahwa pengaturan dari protein merupakan pokok dari Notch signalling pathway untuk menginduksi neuroproteksi dapat menjadi lebih spefisik dan lebih aman daripada mengaktivasi seluruh Notch signalling pathway. Pemikiran ini menandakan pentingnya mengidentifikasi efektor untuk sevofluran preconditioning-induced neuroprotection.19

Terdapat satu hal yang perlu diperhatikan di dalam penelitian tikus RBP-J+/- memiliki volume infark yang lebih sedikit, apoptosis sel yang lebih sedikit, dan fungsi neurologis yang lebih baik dibandingkan dengan tikus wild-type setelah MCAO. Efek-efek yang menguntungkan ini terjadi pada sevofluran preconditioning pada tikus wild-type dan tikus RBP-J+/-. Namun, paparan tikus RBP-J+/- dengan sevofluran memperburuk kondisi neurologis pada tingkat seperti pada tikus wild-type apabila tanpa preconditioning sevoflurane setelah MCAO. Hasil-hasil ini mungkin sulit untuk dipahami. Alasan dari temuan-temuan ini masih belum jelas. Namun, hasil-hasil tersebut menandakan bahwa Notch signalling pathway dapat berbahaya setelah iskemia otak dan reperfusi. Oleh karena itu, waktu mungkin merupakan hal yang pokok dalam menentukan apakah aktivasi dari Notch signalling pathway dapat bersifat protektif atau justru membahayakan setelah serangan akut pada otak. Apabila alasan ini benar, maka sangat mungkin dengan menghalangi efek menguntungkan dari sevoflurane preconditioning melalui Notch signalling pathway pada tikuts PBPJ+/- akan menimbulkan dampak berbahaya

Page 62: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

129 Efek Anestesia Aliran Rendah Sevofluran Terhadap Respon Inflamasi pada Susunan Saraf Pusat

dari paparan berulang sevofluran muncul pada tikus-tikus ini.19

Sevofluran merupakan salah satu anestetik volatil yang paling sering digunakan. Meskipun sevofluran preconditioning induced neuroprotection telah diketahui selama beberapa tahun terakhir, menunjukkan sebuah mekanisme baru bagi proteksi tersebut. Masih diperlukan banyak penelitian untuk memastikan temuan tersebut dan menjelaskan suatu mekanisme bagaimana neuroproteksi ini dapat terjadi. Selain itu, Notch signalling pathway mungkin merupakan mediator bagi efek-efek lain dari sevoflurane terhadap otak.19

Proteksi OtakSemua anestetika inhalasi telah diteliti untuk melihat sifat neuroprotektif pada penelitian hewan yang menggunakan berbagai model iskemia yang berbeda dan pada spesies yang berbeda pula. Hasilnya menunjukkan bahwa anestetik inhalasi menunjukkan sifat neuroprotektif dan bahwa potensi neuroprotektif tersebut tidak berhubungan

dengan potensi anestesi. Penelitian hewan dengan iskemia hemisferium fokal atau parsial menunjukkan bahwa isoflurane, sevoflurane, dan desflurane menurunkan ukuran infark dan memperbaiki kondisi neurologis ketika diberikan sebelum iskemia terjadi. Masih dipertanyakan apakah efek antinekrotik dari anestetika volatil terlihat pada berbagai model dengan iskemia yang permanen. Penelitian pada tikus dengan iskemia serebri fokal telah menunjukkan bahwa nekrosis sel berkurang dalam dua hari pada tikus yang dianestesi menggunakan isoflurane dibandingkan dengan tikus yang sadar. Namun, 14 hari setelah kerusakan iskemia cerebri dan kortikal tidak jauh berbeda pada penggunaan isoflurane maupun tanpa penggunaan isoflurane.19,20

Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai efek neuroprotektif dari anestetik volatil. Sedangkan pada penelitian menggunakan model iskemia otak depan unilateral yang menghasilkan cedera iskemik ringan, menunjukkan bahwa sevoflurane bersifat neuroprotektif selama 28 hari.19,20

Gambar 3. Jalur Sinyal Notch berubah menjadi Mediator untuk Berbagai Efek Sevofluran pada Otak.19

Page 63: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

130 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

PreconditioningPaparan dari serangan-serangan iskemia akut minor atau anestetika sebelum iskemia serebri dapat menurunkan ukuran infark dan memperbaiki aktivitas neuronal. Toleransi yang diperoleh ini diduga merupakan hasil dari berbagai mekanisme karena efek yang menguntungkan tersebut dapat diinduksi sementara dan cepat atau secara lambat. Pada beberapa model penelitian dengan hewan iskemik serebri yang diberikan anestetika volatil menunjukkan efek neuroprotektif oleh preconditioning ketika diberikan 15 menit atau 24 jam sebelum serangan. Mekanisme yang mungkin dari preconditioning adalah pembukaan dan aktivasi dari mitochondria KATP channel, yang nampaknya menurunkan pembentukan radikal bebas, mengurangi akumulasi CA2+ intraiskemik, dan memperbaiki produksi energi mitokondria setelah produksi energi. Selain itu, aktivasi dari adenosine A1 receptor atau peningkatan dari p38MAPK akan dibahas.19,20

VIII. Simpulan

Anestesi aliran rendah sevofluran mempunyai banyak keuntungan yaitu dari segi ekonomi, lingkungan kamar operasi, pengurangan polusi kamar operasi dan petugas, konservasi dari panas dan kelembaban saluran napas pasien. Diperlukan monitoring yang ketat tekanan darah, nadi, EKG, saturasi oksigen, end-tidal CO2, oxigen inspirasi, tidal volume, kantong reservoir, ventilator bellow, pneumotachograph, atau spirometer, peralatan mendeteksi kebocoran circle circuit dengan CO2 absorben, flow meters yang telah dikalibrasi untuk aliran <1 L/menit, ascending bellows ventilator. Strategi mengurangi senyawa A adalah dengan menggunakan absorber generasi baru seperti Dregersorb 800, Amsorb, sehingga respon inflamasi dapat dikurangi.

Apabila cedera saraf ringan, akan diperoleh efek neuroprotektif dari anestetika volatil, sementara pada cedera saraf sedang sampai berat dapat berakibat pada masa penyembuhan yang lebih panjang. Hal ini memperkuat kebutuhan akan penelitian mengenai efek neuroprotektif yang lebih lama dibandingkan yang singkat. Anestetik volatil tidak memiliki sifat neuroprotektif pada

keadaan iskemia serebri global berat dan pada pemberian setelah terjadi serangan.

Daftar Pustaka

1. Baxter, AD. Low and minimal flow inhalational anaesthesia. Can J Anaesth 1997; 44(6):643–53.

2. Baum JA, Atkinhead AR. Low-flow anesthesia. Br. J Anaesth 1991;46:10009–12.

3. Honemann C, Hagemann O, Dietrich D. Inhalational anaesthesia with low fresh gas flow. Indian J Anaesth 2013; 57:345–50.

4. Geoffrey N. Low-flow anaesthesia. Br. J Anaesth 2008; 8:1.

5. Parthasaraty S. The closed circuit and the low flow systems. Indian J Anaesth 2013; 57: 516–24.

6. Koksal GM, Sayilgan C, Guncor G. Effects of sevoflurane and desflurane on cytokine response during tympanoplasty surgery. Acta Anaesthesiologica Scandinavica 2005; 49:835-39.

7. Wrigge H, Zinseng J, Stuber F. Effects of mechanical ventilation on release of cytokine into system circuit in patient with normal pulmonary function. Anesthesiology 2000; 93:1413-7.

8. Conzen PF, Nucheler, Mellote A, Verhaegen M, Leuplt T, Van-Aken H, Peter K. Renal function and serum fluoride concentration in patiens with stable renal insufficiency after anesthesia with sevoflurane or enflurane. Anesth Analg 1995;81:569–75.

9. Bito H, Ikade K. Plasma inorganic fluoride and intracircuit degradation product concentrations in long-duration, low flow sevoflurane anesthesia. Anesth Analg 1994;79:946–51.

10. Bito H, Ikade K. Closed-circuit anesthesia

Page 64: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

131 Efek Anestesia Aliran Rendah Sevofluran Terhadap Respon Inflamasi pada Susunan Saraf Pusat

with sevoflurane in human effects on renal and hepatic function and concentration of breakdown products with sodalime in the circuit. Anesthesiology 1994;80:708–16.

11. Bito H, Ikade K. Renal and hepatic function in surgical patients after low-flow sevoflurane or isoflurane anesthesia. Anesth Analg 1996;82:176–86.

12. Tsukamato N, Harabayashi SR, Sekiguch H. Serum and urinary inorganic fluoride concentration prolonged inhalation of sevoflurane in humans. Anesth Analg 1992;74:745–7.

13. Bedford RF, Ives HE. The renal safety of sevoflurane. Anesth Analg 2000;90:505.

14. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4th ed, New York: A Lange Medical Book; 2006:172–74.

15. Miller RD. Anesthesia. 7th ed, New York: Churchil Livingstone 2009;220–35.

16. Brown BR Jr, Frink EJ Jr. Sevoflurane: An

Update, Bailliere's Clinical Anesthesiology 1995: 9 (1): 1–14.

17. Nakajima Y, Moriwaki G, Ikeda K, Fujise Y. The effect of sevoflurane on recovery of brain energy metabolisme after cerebral ischemia in the rat: a comparison with isoflurane and halothane. Anesth Analg 1997; 55: 593–99.

18. Nakamura M, Sanjo Y, Ikeda K. Predicted sevoflurane partial pressure in the brain with an uptake and distribution model: Comparison with the measured value in internal jugular vein blood. Journal of Clinical Monitoring and Computing 1999; 15: 299–305.

19. Zuo Z. A novel mechanism for sevoflurane preconditioning-induced neuroprotection. Anesthesiology 2012;117:942

20. Yang Q, Yan W, Li X, Hou L, Dong H, Wang Q, Dong H, Wang S, Zhang X, Xiong L. Activation of canonical notch sig¬naling pathway is involved in the ischemic tolerance induced by sevoflurane preconditioning in mice. Anesthesiology 2012: 117:996–1005

Page 65: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

132

Gangguan Koagulasi dan Hubungannya dengan Luaran Pascacedera Otak Traumatik

Kenanga Marwan S*), Nazaruddin Umar**), Siti Chasnak Saleh***), A. Himendra Wargahadibrata****)*)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat-RSUD Ulin Banjarmasin, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara-RSUP H. Adam Malik Medan, ***)Departemen Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD. Dr. Soetomo Surabaya, ****)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Padjadjaran–RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak Gangguan koagulasi umum terjadi pada cedera otak traumatik (COT) dan seringkali memperburuk luaran. Gangguan ini diawali dengan lepasnya faktor jaringan dan trombin secara berlebihan pada bagian otak yang rusak, yang selanjutnya mengaktifkan jalur koagulasi. Gangguan koagulasi pada COT bersifat kompleks dan berupa kombinasi koagulopati dan hiperkoagulabilitas. Hiperkoagulabilitas dikaitkan dengan terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC) secara sistemik dan secara lokal dengan terbentuknya mikrotrombi di area penumbra daerah yang mengalami kontusi. Nilai abnormal fungsi koagulasi dapat terjadi karena kerusakan endotel saat cedera langsung dan tidak langsung oleh proses inflamasi, toksin dan iskemia. Koagulopati terjadi akibat turunnya jumlah platelet dan faktor pembekuan akibat kehilangan darah atau karena kosumsi oleh DIC, dan dipercepat dengan dilusi, asidosis dan hipotermi. DIC merupakan prediktor penting luaran COT yang buruk.

Kata kunci: cedera otak traumatik (COT), gangguan koagulasi, DIC, luaran

JNI 2014;3 (2): 132‒40

Coagulation Disorders Post Traumatic Brain Injury Related Outcome

Abstrack Traumatic disorder of hemocoagulation is common in traumatic brain injury (TBI) and frequently related to poor outcome. It begins with the massive release of thrombin or tissue factor from damage brain cells, following the activation of coagulation pathway. Coagulation disorder in TBI are complex and characterised by combination of coagulopathy and hypercoagulability. A hypercoagulable state may be generalised in the case of disseminated intravascular coagulation (DIC) or local with the development of microthrombi in the penumbra of a contusion. The presence of abnormal coagulation test in traumatic brain injury may be caused by cerebral vascular endothelial damage after direct injury, as well as indirect damage through inflammation, toxins, and ischaemia. Coagulopathy may result from depletion of platelets and clotting factors following blood loss or comsumption due to DIC, and may further be enhanced by dilution, acidosis and hypothermia. DIC is an important predictor of poor outcome in TBI.

Keywords: TBI, coagulation disorder, DIC, outcome

JNI 2014;3 (2): 132‒40

Page 66: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

133 Gangguan Koagulasi dan Hubungannya dengan Luaran Pascacedera Otak Traumatik

I. Pendahuluan

Gangguan koagulasi akibat cedera umum terjadi pada cedera otak traumatik (COT) dan seringkali dikaitkan dengan luaran yang buruk. Insidensi dilaporkan bervariasi antara 15% dan 100% tegantung tingkat keparahan cedera.1,2 Suatu metaanalisis menyatakan keseluruhan prevalensi koagulopati pada COT sekitar 33% dan terdapat hubungan erat antara gangguan hemostatik dengan luaran yang tidak diinginkan. Diawali dengan dengan lepasnya trombin atau faktor jaringan (tissue factor) secara masif dari sel otak yang rusak diikuti dengan aktifnya mekanisme hemostasis/jalur koagulasi.1

Koagulasi abnormal terjadi bukan hanya hasil dari cedera, tapi juga dapat menyebabkan cedera sekunder selanjutnya. Gangguan koagulasi ini bersifat komplek dan dicirikan oleh adanya kombinasi koagulopati dan hiperkoagulabilitas. Hiperkoagulabilitas adalah meningkatnya kapasitas formasi fibrin pada pembuluh darah. Kondisi hiperkoagulabilitas menyeluruh di gambarkan dengan terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC) atau secara lokal dengan berkembangnya mikrotrombi di zona penumbra pada otak yang mengalami kontusi.

II. Mekanisme Hemostasis Normal

Pemahaman tentang mekanisme hemostasis normal sangat penting untuk memahami gangguan koagulasi pada pasien COT. Sistem hemostasis adalah aktifitas yang berlangsung seimbang antara pembentukan lokal hemostasis dan pencegahan terjadinya trombosis menyeluruh. Kedua hal ini berlangsung sejalan sehingga darah tetap berada di dalam pembuluh darah dan mengalir pada pembuluh darah normal yang utuh dan perdarahan hanya terjadi di daerah pembuluh darah yang cedera.

Hemostasis normal tergantung interaksi yang kompleks, seimbang dan baik antara pembuluh darah, platelet, protein koagulasi plasma, inhibitor koagulasi dan sistem fibrinolisis. Saat pembuluh darah cedera akibat trauma, plak hemostasis

terbentuk dalam beberapa menit. Proses ini melibatkan respon vaskular, adhesi platelet dan agregasi serta pengaktifan mekanisme koagulasi darah.5

Kontraksi pembuluh darah yang mengandung otot polos terjadi karena adanya spasme neurogenik dan kekakuan miogenik pembuluh darah, sedangkan kontraksi mikrosirkulasi terjadi akibat lepasnya substansi vasokonstriktif.5

Sel endotel pembuluh darah menghasilkan faktor trombosis dan antitrombosis, adanya keseimbangan aktifitas kedua hal tersebut berguna untuk mempertahankan permukaan yang bersifat non trombosis. Faktor anti trombosis sel endotel adalah thrombomodulin dan molekul mirip heparin, yang berfungsi proteksi terhadap aksi trombin yang tidak terdeteksi.5

Koagulasi adalah proses fisiologis yang kompleks dan melibatkan berbagai protein dan komponen darah lainnya dalam serial reaksi yang bertujuan untuk membentuk fibrin dan agregasi platelet. Pembentukan bekuan darah dimulai sebagai respon terhadap cedera. Cedera vaskular menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan lepasnya kolagen, faktor Von Willebrand dan faktor jaringan dari sel endotel yang rusak. Spasme vaskular membantu migrasi platelet dari lumen pembuluh darah menuju dinding pembuluh darah yang cedera. Agregasi platelet pada tempat cedera menghasilkan plak yang tujuannya untuk mengurangi kehilangan darah. Hanya saja,

Gambar 1. Kaskade Koagulasi Normal dan Pembentukan Fibrin.Dikutip dari: D'Angelo MR.6

Page 67: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

134 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

kekuatan plak dari platelet tidak adekuat untuk mempertahankan hemostasis.6

Untuk menarik platelet ke tempat cedera, faktor jaringan mempercepat aktifnya faktor VII yang pada gilirannya akan mengaktifkan faktor IX. Kaskade berlanjut dengan aktifnya faktor VIII dan X yang akhirnya mengawali konversi prothrombin (II) menjadi trombin (IIa) membentuk 'trombin burst' di permukaan platelet dan mengubah fibrinogen menjadi fibrin (Ia). Polimerase fibrin menghasilkan matriks kuat yang menyelubungi plak platelet. Bekuan darah ini menjadi stabil ketika fibrin berhubungan dengan faktor XIIIa. Pada kondisi normal, aktifnya jalur fibrinolisis akan mempertahankan ukuran dan lokasi bekuan darah, meminimalkan kejadian trombosis dan emboli. Mekanisme umpan balik negatif ini dapat terganggu akibat trauma yang selanjutnya mengeksaserbasi koagulopati.6

III. Gangguan Koagulasi Pascacedera Otak Traumatik

Ada 4 faktor utama penyebab terjadinya gangguan koagulasi pada trauma, (1) hipotermia/asidosis, (2) faktor dilusi, (3) COT berat, (4) syok hemoragik. Kurang dari 9% pasien trauma datang dengan hipotermia. Suhu inti tubuh di bawah 34oC meningkatkan morbiditas dan mortalitas meski jarang terjadi. Hipotermia yang terjadi di rumah sakit dapat menggangu proses koagulasi. Baju yang dilepas saat pemeriksaan, relaksasi otot, cairan infus dingin saat resusitasi dan pemeriksaan berulang dengan membuka penghangat menyebabkan hilangnya panas tubuh dengan cepat. Sedikitnya 65% pasien mengalami hipotermia secara radiasi karena perbedaan suhu tubuh dengan suhu lingkungan. Hipotermia menyebabkan perubahan fisiologis, diantaranya mengganggu pembentukan platelet oleh hepar, mengubah fungsi dan morfologi platelet, dan mengurangi enzim kinetik fibrin. Efek klinisnya bekuan darah terbentuk dengan lambat dan rapuh sehingga tidak adekuat saat mengambat perdarahan.6

Asidosis sering menyertai cedera masif dan hipotermia. Asidosis tunggal tidak menganggu

koagulasi. Saat terjadi hipotermia, asidosis secara potensial menyebabkan trias kematian, yaitu asidosis, hipotermia dan koagulopati. Asidosis diyakini mengganggu koagulasi protease dan secara klinis bermakna bila pH di bawah 7,1. Pemberian natrium bikarbonat untuk mengkoreksi asidosis masih belum efektif untuk meningkatkan fungsi koagulasi.6

Cedera akibat trauma seringkali memerlukan resusitasi masif untuk mengganti volume darah dan meningkatkan perfusi. Panduan Advance Traumatic Life Support (ATLS) saat ini adalah dengan pemberian cairan kristaloid sebanyak 2 L untuk resusitasi segera dan transfusi Packed Red Cell (PRC) untuk mengatasi perdarahan lebih dari 100 ml/menit. Tapi ATLS tidak memberikan panduan yang jelas mengenai pemberian produk prokoagulan seperti fresh frozen plasma (FFP), kriopresipitat dan platelet. Pemberian kristaloid diyakini mendilusi faktor koagulasi, meningkatkan tekanan hidrostatik, mengurangi pembentukan dan kualitas bekuan darah.6

Penelitian yang dilakukan oleh Brohi dkk menggambarkan peran hipoperfusi dan syok hemoragik pada trauma yang menginduksi koagulopati. Syok hemoragik mengaktifkan jalur protein antikoagulan (APC), menyebabkan koagulopati massal. Serin protease yang tergantung vitamin K, APC yang menghambat faktor V dan VIII memiliki efek fibrinolisis. Meski mekanismenya belum jelas, perdarahan dalam jumlah besar akan menstimulasi APC dan mengurangi fungsi kaskade koagulasi.6

Pasien dengan COT memiliki risiko terjadinya abnormalitas baik koagulasi dan fibrinolisis. Sifat abnormal koagulasi berbeda antara pasien dengan cedera otak tunggal dan pasien dengan banyak cedera. Ada bukti yang menyatakan luasnya cedera jaringan otak memegang peranan penting terjadinya gangguan koagulasi pasca COT dibanding syok traumatik atau hipoksia.4 Cedera otak traumatik menyebabkan lepasnya faktor jaringan dari bagian otak yang cedera, mengaktifkan jalur protein C dan memicu lepasnya mediator antikoagulan.6

Page 68: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

135

Pada manusia, otak merupakan organ yang kaya faktor jaringan. Penyelidikan tentang aktifitas koagulasi dan fibrinolisis di otak mengkonfirmasi adanya aktifitas yang tinggi faktor jaringan di otak dan aktifitas fibrinolisis di bagian otak yang kaya pembuluh darah seperti pleksus koroideus dan meningen. Lokasi faktor jaringan di otak adalah pada substansia grisea. Sumber utama penghasil faktor jaringan adalah astrosit. Tissue plasminogen activator (t–PA) ditemukan di bagian otak yang kaya kapiler dan menandai adanya aktifitas fibrinolisis di otak.7

Mekanisme patofisiologi yang mendasari terjadinya koagulopati pada COT tunggal bersifat multifaktorial dan masih menjadi perdebatan. Cedera otak tunggal diperkirakan menjadi penyebab lepasnya faktor jaringan secara masif ke sirkulasi sistemik dan memicu terjadinya koagulasi abnormal intravaskular. Gangguan keseimbangan antara pembentukan bekuan darah dan hiperfibrinolisis sebagai akibat hipoperfusi sistemik dan antikoagulasi selanjutnya menyebabkan terjadinya konsumtif koagulopati dan gangguan perdarahan. Hipoperfusi memunculkan ekspresi trombomodulin endotel yang berikatan dengan trombin, dimana hal ini akan menghambat perubahan fibrinogen menjadi fibrin. selanjutnya kompleks trombomodulin-trombin mengaktifkan protein C, yang akan menghambat plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1) dan faktor koagulasi Va dan VIIIa. Secara simultan, t–PA endotel dilepas untuk mengawali terjadinya fibrinolisis. Sebagai tambahan, pasien COT seringkali mengalami hipotermia dan asidosis dimana keduanya akan mengganggu hemostasis dan memperburuk luaran.3

Di awal tahun tujuhpuluhan, lepasnya faktor jaringan, yang sebelumnya disebut tromboplastin atau trombokinase, dari otak yang cedera dianggap sebagai penyebab terjadinya gangguan koagulasi. Faktor jaringan adalah protein yang terdapat pada sel endotel, platelet dan leukosit dan diperlukan untuk mengawali kaskade koagulasi yang selanjutnya membentuk trombin dari protrombin zymogen. Faktor jaringan adalah inisiator fisiologis utama koagulasi dan pelepasan faktor jaringan dapat mengaktifkan

sistem koagulasi secara berlebihan pada pasien cedera otak. Aktifitas ini dikatakan tergantung pada jumlah faktor jaringan yang dilepaskan oleh bagian otak yang rusak.4 Paparan dini faktor jaringan terhadap faktor VII dan VIIa menghasilkan FVIIa/kompleks faktor jaringan. Bentuk kompleks ini menghasilkan sejumlah kecil faktor Xa dan IXa. Faktor Xa bekerjasama dengan permukaan membran mengubah sejumlah kecil protrombin menjadi trombin. Adanya trombin akan mengaktifkan platelet, faktor V dan VIII, yang selanjutnya akan membentuk permukaan yang cocok untuk pembentukan kompleks protrombinase. Selanjutnya trombin dibentuk semakin banyak untuk mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Pengaktifan koagulasi secara independen oleh faktor jaringan yang awalnya disebut jalur ekstrinsik menyebabkan terjadinya mikro dan makrovaskular fibrin trombi.4

Mekanisme kontrol meliputi jalur inhibitor faktor jaringan (TFPI), sistem protein C, antitrombin dan glikosaminoglikan menjadi aktif untuk menghambat pembentukan fibrin dan melokalisasi pembentukan fibrin pada tempat cedera. Meski hal ini sering sekali tidak mencukupi akibat lepasnya faktor jaringan secara berlebihan. Disseminated intravascular coagulation (DIC) yang dicetuskan oleh kerja faktor jaringan,

Gambar 1. Skema Diagram COT dan KoagulopatiDikutip dari: Harhangi BS.4

Gangguan Koagulasi dan Hubungannya dengan Luaran Pascacedera Otak Traumatik

Page 69: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

136 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

menghambat mekanisme antitrombotik ini melalui peningkatan pelepasan sitokin, sehingga jalur antikoagulasi fisiologis menjadi tidak efektif. Hal ini menyebabkan terjadinya nekrosis dan perdarahan di banyak organ hingga terjadi kegagalan multi organ (MOF).4

Baru-baru ini, International Society of Thrombosis and Haemostasis (ISTH) menyederhanakan diagnosis DIC berdasarkan perhitungan skor DIC, yaitu: jumlah platelet, peningkatan penanda fibrin, memanjangnya PT dan kadar fibrinogen.4 Cedera otak traumatik dapat menyebabkan kontusi otak dan kerusakan langsung jaringan otak. Akut subdural dan epidural hematom merupakan akibat adanya kerusakan pembuluh darah otak dan menyebabkan penekanan otak sehingga terjadi iskemik fokal dan kerusakan otak. Turunnya PT, fibrinogen dan aktifitas pembekuan darah, dan pemendekan aPTT telah diwaspadai pada COT. Meningkatnya produk fibrin degradasi (FDP) atau D–dimer adalah fenomena umum yang terjadi pasca COT dan berkorelasi dengan terapi dan prognosis. Penurunan antitrombin III (ATIII) dan alfa 2 antiplasmin (alfa–2 AP) dan meningkatnya penanda trombosis yang sensitif fibrinopeptida A, trombin-antitrombin III (TAT) dan protrombin F1+2 telah ditandai pada COT.7

Disseminated intravascular coagulation (DIC) banyak terjadi pada pasien dengan subdural hematom akut dan kontusio parenkim otak. Kerja aktif hemostasis lebih dominan pada pembuluh darah otak dibanding pembuluh darah perifer. Koagulasi lokal intravaskular otak dipastikan dengan adanya spesimen otak manusia yang mengalami kontusio dan kontusia otak pada tikus dan babi.4

Hiperkoagulabilitas pasca cedera paling sering didapatkan pada 24 jam pertama dan lebih sering ditemukan pada wanita. Anak-anak dengan GCS <14 pasca COT berisiko tinggi terkena koagulopati, dan risiko ini bahkan semakin meningkat dengan semakin turunnya GCS. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar fibrin degradation product (FDP) berkorelasi positif dengan derajat kerusakan otak.4

Tatalaksana dini COT seharusnya meliputi

pemberian plasma secara cepat. Tujuan pemberian plasma adalah untuk menormalkan PT dan INR. Kebutuhan akan jumlah plasma yang diberikan untuk memulihkan COT yang menginduksi koagulopati tidak bisa diprediksi (kadang diperlukan plasma dalam jumlah besar untuk mengurangi perdarahan dan menormalkan bekuan darah), karena itu dianjurkan pemberian plasma segera bahkan sebelum ada hasil pemeriksaan nilai PT atau INR. Pemberian plasma dapat memakan waktu sehingga memperlambat intervensi pembedahan. Karena itu beberapa penelitian menyarankan pemberian segera Faktor VIIa rekombinan (fFVIIa) pada kasus COT yang terkait koagulopati untuk menghindari perdarahan selanjutnya dan sekuele. Diyakini bahwa rFVIIa bekerja dengan cara meningkatkan pembentukan trombin pada platelet yang bekerja di dekat pembuluh darah yang cedera sebaik faktor X pada kondisi tidak adanya faktor jaringan.6 Meski masih kontroversi, penggunaan rFVIIa pada beberapa penelitian memperlihatkan pengurangan 80% pemberian produk darah, mempercepat waktu intervensi pembedahan, dan menurunkan angka masuk ke unit terapi intensif pada pasien COT. Sulit untuk merekomendasikan temuan ini, karena belum ada data dari penelitian prospektif.4,6

IV. Prognosis

Adanya trauma yang menginduksi koagulopati menggambarkan perluasan dan tingkat keparahan cedera dan berhubungan dengan mortalitas. Hubungan antara hasil pemeriksaan koagulasi yang abnormal dan luaran yang buruk pada pasien COT pertama kali dilaporkan oleh Pondaag pada tahun 1979. Setelah itu, beberapa penelitian berskala besar dengan metodologi yang baik mengkonfirmasi hubungan antara koagulopati dengan luaran yang tidak diinginkan pada pasien COT. Meskipun belum sepenuhnya dipahami, dikatakan abnormalnya pemeriksaan koagulasi pada COT dikarenakan adanya kerusakan endotel pembuluh darah secara langsung akibat trauma, dan kerusakan secara tidak langsung yang terjadi akibat inflamasi, toksin dan iskemia.2,10 DIC yang sepertinya terjadi pada pasien COT. Diasumsikan bahwa pemeriksaan rutin koagulasi

Page 70: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

137

dapat mengindentifikasi tanda awal adanya koagulopati, menilai tingkat keparahan pasien COT, mengawasi akibat yang ditimbulkan dan memprediksi luaran jangka pendek dan jangka panjang pasien COT berat.2

Pengenalan dini adanya koagulopati menjadi berharga dalam memprediksi terjadinya cedera otak yang terlambat dan dapat mencegah timbulnya gangguan perdarahan. Banyak penelitian melaporkan kombinasi adanya koagulopati dini dan koagulopati yang terlambat pada COT tunggal, karenanya masih terbatas data prognostik dengan adanya koagulopati akut yang ditemukan secara dini. Evaluasi trauma di Jerman menyatakan 23% pasien COT tunggal disertai dengan koagulopati akut saat masuk ke unit gawat darurat, yang dikaitkan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas.3

Koagulopati tidak saja terkait dengan berkembangnya cedera selanjutnya tapi juga dengan luaran yang buruk. Perdarahan yang berlanjut adalah salah satu faktor, tapi bukan satu-satunya hal yang bertanggung jawab terhadap luaran yang buruk. DIC yang terlibat dan didefinisikan sebagai koagulasi intravaskular, menyebabkan gagal multi organ akibat iskemik tromboemboli dan memperburuk luaran. Hal ini

menyerupai DIC pasca COT yang menyebabkan koagulasi intravaskular yang menimbulkan iskemia otak dan menyebabkan perburukan luaran. Bahkan dikatakan risiko kematian pasien COT dengan koagulopati sekitar 10 kali lebih tinggi dari pasien COT tanpa koagulopati. Beberapa penelitian klinis berskala besar memperlihatkan bahwa DIC merupakan prediktor penting luaran yang buruk pada COT.4

Secara klinis tingkat keparahan cedera intrakranial diindikasikan oleh tingkat kesadaran yang dinilai dengan glasgow coma scale (GCS). Banyak penelitian memperlihatkan hubungan antara rendahnya skor GCS dengan luaran yang buruk. Komponen morik pada GCS memberikan nilai prediksi yang lebih baik pada pasien dengan cedera yang lebih berat, karena terkadang respon mata dan verbal tidak dapat dinilai. Dari sudut pandang prognosis, penilaian GCS harus dilakukan pada waktu tertentu, biasanya setelah stabilisasi pernapasan dan hemodinamik. Meskipun hal ini dapat terganggu bila pasien mendapatkan sedasi, pelumpuh otot atau intoksikasi.11 Reaksi pupil abnormal mengindikasikan kerusakan atau penekanan batang otak dan sangat berhubungan dengan luaran yang buruk. Reaksi pupil adalah variabel yang lebih stabil dibandingkan GCS karena tidak

Gambar 3. Komponen Prognostik pada COTDikutip dari: Lingsma HF, Roozenbeek B, Steyberg EW, Murray GD, Maas AIR. 11

Gangguan Koagulasi dan Hubungannya dengan Luaran Pascacedera Otak Traumatik

Page 71: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

138 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dipengaruhi oleh sedasi dan pelumpuh otot.11

Penanda biologis dapat digunakan untuk mendeteksi dan menelusuri fenomena patofisiologis sebagai tanda tingkat keparahan cedera, dan dapat membantu untuk menentukan prognosis. Pada COT ringan, penanda biologis dapat digunakan untuk memastikan diagnosis atau memprediksi kerusakan sekunder dan ini akan akan digunakan secara luas di klinis. Pada cedera yang parah, penggunaan penanda biologis

Kriteria Memburuknya NeurologisPenurunan spontan skor motorik GCS ≥2 angka (dibandingkan penilaian sebelumnya)Hilangnya reaksi pupilAsimetri pupil ≥ 2 mmPerubahan status neurologis lain yang memerlukan penanganan medis atau intervensi bedah segera

Tabel 1. Kriteria Memburuknya Neurologis

Dikutip dari: Lingsma HF, Roozenbeek B, Steyerberg EW, Murray GD, Maas AIR.11

dapat membantu bila mengalami intoksikasi atau diintubasi. Beberapa serum putatif, LCS, penanda mikrodialisat sedang diteliti. Konsentrasi penanda biologis mungkin berhubungan dengan indikator klinis seperti GCS, tapi nilai prognostiknya terbatas dibanding prediktor yang lain dan masih perlu penelitian lebih lanjut.11

Kategori DefinisiCedera difus tidak terlihat patologi intrakranial pada CT-scanCedera difus II cisterna masih terlihat dengan pergeseran garis tengah 0-5 mm

dan atau disertai densitas lesi; tidak didapatkan densitas tinggi atau lesi campuran >25 cm3, termasuk fragmen tulang atau benda asing

Cedera difus III (edema) cisterna terdesak atau hilang disertai pergeseran garis tengah 0-5 mm; tidak ada densitas tinggi atau lesi campuran > 25 cm3

Cedera difus IV (bergeser) pergeseran garis tengah >5 mm, tidak ada densitas tinggi atau lesi campuran >25 cm3

Evakuasi lesi massa (V) setiap lesi yang harus dievakuasi dengan pembedahanNon-evakuasi lesi massa (VI) densitas tinggi atau lesi campuran >25 cm3 yang tidak bisa di-

evakuasi dengan pembedahan

Tabel 2. Klasifikasi CT Marshall pada COT

Dikutip dari: Reynolds S.12

Nilai prognostik pengukuran variabel laboratoris yang rutin dilakukan saat ini sedang diteliti secara luas. Konsentrasi gula darah yang tinggi, rendahnya nilai hemoglobin, rendahnya platelet dan gangguan koagulasi merupakan prediktor terkuat untuk luaran, dan secara independen berhubungan dengan buruknya luaran. Variabel laboratoris memiliki keuntungan karena mudah dimodifikasi. Variabel laboratoris yang memiliki nilai prognostik tinggi saat pasien masuk (seperti glukosa, platelet dan gangguan koagulasi) juga memiliki nilai selama pasien menjalani perawatan.

Konsentrasi gula darah yang tetap tinggi dikaitkan dengan luaran yang buruk, dan menjadi tambahan untuk prediktor penting lainnya. Nilai platelet terendah selama 24 jam pertama saat masuk merupakan prediktor luaran independen setelah 6 bulan.11

Suatu penelitian yang mencari hubungan antara temuan klinis dengan gambaran CT-scan, dan parameter koagulasi sistemik dalam 2 jam pertama pasca trauma otak menemukan 71% pasien memiliki parameter koagulasi yang abnormal dimana 32% dari kasus ini memenuhi kriteria laboratorium untuk DIC atau sindrom fibrinogen. Angka mortalitas pasien dengan parameter koagulasi abnormal 4 kali lebih tinggi dibanding pasien dengan parameter koagulasi

Page 72: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

139

normal dan prognosis menjadi buruk bagi pasien COT berat sesuai hasil CT-scan dan kelainan pemeriksaan neurologis yang ditemukan.8

Penelitian multistudi menemukan perubahan parameter koagulasi dalam 24 jam pada pasien COT berat sebagai indikator yang dipercaya akan timbulnya komplikasi perdarahan di waktu yang akan datang. Turunnya nilai hitung platelet secara dramatik pada pasien COT berat dikaitkan dengan memanjangnya waktu penggunaan ventilasi mekanik. Perubahan penanda koagulasi berhubungan dengan luas kerusakan otak seperti yang terlihat pada gambaran CT-scan.8 Koagulopati pada COT seringkali tidak berhubungan dengan kehilangan darah yang kasat mata, sementara rencana terapi berfokus pada jumlah darah yang hilang sebagai indikator terjadinya koagulopati akibat trauma. Pada dekade terakhir, DIC diajukan sebagai penanda dini koagulopati pada COT oleh ISTH dan kriteria diagnosis DIC disederhanakan. Meskipun hingga saat ini skor DIC masih jarang digunakan. Banyak penelitian klinis masih berdasarkan parameter laboratorium klasik seperti activated partial thromboplastin time (aPTT), the prothrombin time (PT), the international normalized ratio (INR) pada PT, kadar fibrinogen, dan hitung platelet. Perubahan ringan pada aPTT (>34 detik) dan hitung platelet (<150.000) dapat menjadi indikasi awal koagulopati pada COT tunggal. Selanjutnya dilaporkan nilai aPTT dan PT antara 34–60 detik dan 13–18 detik dengan INR >1,1–1,5 dan hitung platelet 100.000–150.000/mm3 sebagai definisi koagulopati pada COT tunggal.3

Infark otak pascatrauma (PTCI) telah dikenal sebagai komplikasi pasien pasca COT. Telah dilaporkan bahwa hipertensi intrakranial, cedera pembuluh darah otak, rendahnya skor GCS, hipotensi, herniasi otak atau kraniektomi dekompresi merupakan faktor resiko terjadinya infark otak pascatrauma pada pasien dengan COT sedang-berat. Infark otak pascatrauma dapat terjadi sekunder akibat efek lokal massa, negatif efek pembuluh darah pada lobus otak yang mengalami herniasi, vasospasme pembuluh darah otak, atau bendungan vena pada tempat dekompresi. Tromboemboli biasanya menjadi penyebab terjadinya infark otak pascatrauma

akibat koagulopati pascatrauma.1

Faktor risiko independen lainnya sebagai penyebab terjadinya infark otak pascatrauma dini adalah DIC. DIC adalah gangguan koagulasi berat setelah cedera trauma masif, khususnya di otak. Awal berkembangnya DIC diinduksi oleh ledakan pembentukan trombin sistemik, bergabung dengan hiperagregasi pletelet, hipotermi, hipoperfusi jaringan yang menyebabkan gangguan hemostasis dan mengganggu fibrinolisis endogen. Sehingga terjadi kerusakan mikrovaskular yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya trombosis.1

V. Simpulan

Gangguan koagulasi pasca COT sering terjadi dan dikaitkan dengan luaran yang buruk. Gangguan koagulasi yang terjadi dapat berupa hiperkoagulasi atau fibrinolisis. DIC merupakan bentuk umum gangguan koagulasi pasca COT. Parameter laboratoris yang digunakan untuk mendeteksi adanya gangguan koagulasi adalah nilai aPTT, PT, INR, hitung platelet. Cedera otak traumatik menyebabkan lepasnya faktor jaringan dari bagian otak yang cedera, mengaktifkan jalur protein C dan memicu lepasnya mediator antikoagulan. Risiko kematian pasien COT dengan koagulopati sekitar 10 kali lebih tinggi dari pasien COT tanpa koagulopati. Beberapa penelitian klinis berskala besar memperlihatkan bahwa DIC merupakan prediktor penting luaran yang buruk pada COT. Infark otak pasca COT merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat koagulopati pasca trauma.

Daftar Pustaka

1. Chen H, Xue LX, Guo Y, Chen SW, Wang G, Cao HL, et al. Clinical Study: The influence of hemocoagulation disorders on the development of posttraumatic cerebral infarction and outcome in patients wit moderate or severe head trauma. Hindawi Publishing Corporation. Biomed Research International. 2013; 2013: 1–9.

2. Salehpour F, Bazzazi AM, Porhomayon J, Nader ND. Correlation between coagulopathy

Gangguan Koagulasi dan Hubungannya dengan Luaran Pascacedera Otak Traumatik

Page 73: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

140 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

and outcome in severe head trauma in neurointensive care and trauma units. Journal of critical care. 2011; 1–5.

3. Greuters SG, van den Berg A, Franschman G, Viersen VA, Beishuizen A, et al. Acute and delayed mild coagulopathy are related to outcome in patients with isolated traumatic brain injury. Critical care. 2011; 15: 1–7

4. Harhangi BS, Kompanje EJO, Leebeek FWG, Maas AIR. Coagulation disorders after traumatic brain injury. Acta Neurochirurgica (Wien). 2008; 150: 165–75.

5. Cheema MF, Ashraf M. Head injury: incidence of haemostatic abnormalities. Professonal Med J. 2008; 15(4): 445–8.

6. D'angelo MR. Management of trauma-induced coagulopathy: trends and practice. AANA journal. 2010; 78 (1): 35–40.

7. Antovic J, Bakic M, Ignjatovic G, Milenkovich Z, Djuric S, Tasic J, et al. Blood coagulation and fibrinolysis parameter changes after various types of brain damage.

Medicine and Biology. 1998; 5(1): 44–9.

8. Bayir A, Kalkan E, Kocak S, Ahmet Ak, Cander B, Bodur S. Fibrinolytic markers and neurologic outcome in traumatic brain injury. Neurology India. 2006; 54: 363–5.

9. Fries D, Martini WZ. Role of fibrinogen in trauma-induced coagulopathy. Br. J. Anaesth. 2010; 105(2): 116–21.

10. Rhind SG, Crnko NT, Baker AJ, Morrison LJ, Shek PN, et al. Prehospital resuscitation with hypertonic saline-dextran modulates inflammatory, coagulation and endothelial activation marker profiles in severe traumatic brain injury patients. Journal of Neuroinflammation. 2010; 7(5): 1–17.

11. Lingsma HF, Roozenbeek B, Steyberg EW, Murray GD, Maas AIR. Early prognosis in traumatic brain injury: from prophecies to predictions. Diunduh dari www.thelancet.com/neurology. 2010; 9: 543–54.

12. Reynold S. Predicting outcome after traumatic brain injury. JICS. 2011; 12(3): 196–9.

Page 74: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

Indeks Penulis

AA. Himendra Wargahadibrata, 112, 132

BBambang J. Oetoro, 80

CCaroline Wullur, 96

DDewi Yulianti Bisri, 96

IIeva B. Akbar, 69I Ketut Sinardja, 88, 103I Putu Pramana Suarjaya, 88, 103

KKenanga Marwan S, 132Kusuma Harimin, 121

MMM Rudi Prihatno, 69M. Sofyan Harahap, 69

NNazaruddin Umar, 112, 132Ni Made Supradnyawati, 103

RRebecca S. Mangastuti, 80

SSandhi Christanto, 112Sudadi, 80Siti Chasnak Saleh, 132

TTatang Bisri, 69, 121Tomas Ari Kurniawan Komala, 88

Page 75: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

Indeks Subjek

AAnestesi, 80, 103Anestesia aliran rendah, 121Anestesi umum dengan pipa nasotrakheal, 88Anestesi umum, 96

CCedera spinal segmen cervical, 88Cedera otak traumatik (COT), 69, 132

DDexmedetomidin, 69DIC, 132

GGangguan koagulasi, 132Glidescope, 88Glutamat, 69

KKehamilan, 103Konveksitas meningioma, 96

LLuaran, 132

NNeuroproteksi, 69, 121

PPerdarahan intraserebral, 112Pembedahan non obstetrik, 103Perdarahan intrakranial, 80Penatalaksanaan perioperatif, 112

SSenyawa A, 121Sevofluran, 121Supratentorial tumor, 96Stroke, 80

TTumor medula spinalis, 103

Page 76: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

1. Ketentuan Umum

Redaksi majalah Jurnal Neuroanestesi Indonesia menerima tulisan Neurosains dalam bentuk Laporan Penelitian, Laporan Kasus, Tinjauan Pustaka, serta surat ke editor. Naskah yang dipertimbangkan dapat dimuat adalah naskah lengkap yang belum dipublikasikan dalam majalah nasional lainnya. Naskah yang telah dimuat dalam proceeding pertemuan ilmiah masih dapat diterima asalkan mendapat izin tertulis dari panitia penyelenggara.

2. Judul

Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata, judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata.

3. Abstrak

Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata.

Abstrak Penelitian:

Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method, Result, and Discussion). Dalam introduction mengandung latar belakang dan tujuan penelitian. Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan.

Contoh Penulisan Abstrak Penelitian:

Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi dan menjadi masalah serius karena dapat menurunkan kualitas hidup pasien yang menjalani pembedahan dan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya.Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan 50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih yang menjalani pembedahan lebih dari dua jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi.

Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan memori. Faktor yang diduga mempengaruhi kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi.Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel mengalami gangguan atensi, 36% sampel mengalami gangguan memori dan 52% sampel mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi. Pemeriksaan kognitif yang mengalami penurunan bermakna adalah digit repetition test, immediate recall, dan paired associate learning. Analisa logistik regresi variabel usia (p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian DKPO menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Namun bila dianalisa pada masing masing kelompok usia tampak bahwa persentase pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan ≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menitSimpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO meskipun secara statistik tidak signifikan.

Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif pascaoperasi, memori

Abstrak Laporan Kasus:

Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan, simpulan

Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus:

Abstrack

Meningoencephaloceles are very rare congenital malformations in the world that have a high incidence in the population of Southeast Asia, include in Indonesia. Children with anterior meningoencephaloceles should have surgical correction as early as possible because of the facial dysmorphia, impairment of binocular vision,

Pedoman Bagi Penulis

Page 77: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

increasing size of the meningoencephalocele caused by increasing brainprolapse, and risk of infection of the central nervous system. In the report, we presented a case of a 9 months-old baby girl with naso-frontal encephalocele and hydrocepahalus non communicant, posted for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt) and cele excision. Becaused of the mass, nasofrontal or frontoethmoidal and occipital meningoencephalocele leads the anaesthetist to problems since the anaesthesia during the operation until post operative care. Anaesthetic challenges in management of meningoencephalocele, which most of the patients are children, include securing the airway with intubation with the mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its associated complications and accurate assessment of blood loss and prevention of hypothermia

Key words: Anaesthesia, difficult ventilation, difficult intubation, naso-frontal, meningoencephalocele, padiatrics

Abstrak Tinjauan Pustaka:

Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan

Abstrak

Stroke hemoragik merupakan penyakit yang mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum dari perdarahan intracranial adalah subarachnoid haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM), atau perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral sering dihubungkan dengan hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma, atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala, mual muntah, kejang dan defist neurologic fokal yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologic dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1)

pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologic dan kebutuhan pemantauan tekanan intracranial atau drainase ventrikel atau keduanya.

Kata kunci: perdarahan intracranial, stroke perdarahan

Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang ditulis berurutan secara alphabet, 3-5 buah.

4. Cara Penulisan Makalah Penulisan Daftar Pustaka:

• Nomor Kepustakaan berdasarkan ürutan dating”di dalam teks, Vancouver style.

• Jumlah kepustakaan minimal 8 dan maksimal 20 buah.

Contoh cara penulisannya:

Dari Jurnal:

1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and head trauma. Common effect and common mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl 1):S107-S110.

2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus intracerebral haemorrhage. N Engl J Med 2001,344(19):1450-58.

Dari Buku:

1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial hemorrhage: Intensive care management. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229-36.

2. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage. Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical Care. New York: Cambridge University Press;2010,143-56.

Materi Elektronik

Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B, Fosha D. Attachment as a transformative process in AEDP: operationalizing the intersection of

Page 78: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

attachment theory and affective neuroscience. Journal of Psychotherapy Integration [Online Journal] 2011 [diunduh 25 November 2011]. Tersedia dari: http://www.sciencedirect.com

5. Jumlah halaman

Laporan Kasus : 10-12 halamanLaporan Penelitian : 15 halamanTinjauan Pustaka : 15-20 halamanSurat Pembaca : 1 halamanDitik 1,5 spasi, Times New Roman, 11 font.

Page 79: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus

kepada mitra bebestari:

Dr. M. Sofyan Harahap, dr., SpAnKNA(Universitas Diponegoro ‒ Semarang)

Abdul Lian, dr., SpAnKNA(Universitas Diponegoro ‒ Semarang)

MH. Sudjito, dr., SpAnKNA(Universitas Sebelas Maret ‒ Surakarta)

Bambang Suryono, dr., SpAnKNA, KAO, M.Kes(Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta)

Prof. Dr. Nancy Margarita Rehatta, dr., SpAnKNA,KMN(Universitas Airlangga ‒ Surabaya)

Dr. Sri Rahardjo, dr., SpAnKNA, KAO(Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta)

Dr. Sudadi, dr., SpAnKNA(Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta)

Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan

datang

Redaksi

Page 80: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan

FORMULIR PESANAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:Nama Lengkap : ………………………………………………………………...Alamat Rumah : ………………………………………………………………... ………………………………………………………………... ……………….. Kode pos…………………………................. Telepon …………………………Faks …………………......... HP ………………………………E-mail…………...................Alamat Praktik : ………………………………………………………………... Telepon …………………………Faks ……………….............Alamat Kantor : ………………………………………………………................ ……………………….. Kode pos…………………………….. Telepon …………………………Faks ……………………......Mulai berlangganan : ………………………………. s.d ……………………………...

Saya bermaksud untuk berlangganan JNI secara teratur dengan mengirimkan biaya berlangganan sebesar Rp. 250.000,00 per tahun**

Pembayaran melalui : □ Langsung ke Sekretariat Redaksi Jl. Prof. Dr. Eijkman No. 38 – Bandung 40161 Mobile : 087722631615

JNI dikirimkan ke* : □ Alamat Rumah □ Alamat praktik □ Alamat Kantor

Bandung, ………………………………… Hormat Saya

( )

* pilih salah satu** foto kopi bukti transfer mohon segera dikirimkan/faks ke Sekretariat Redaksi*** termasuk ongkos kirim untuk wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten

Page 81: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan
Page 82: Daftar Isi Laporan Penelitian · Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Stroke Hemoragik ... IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan ... yang dilakukan