Daerah Pesisir Mandiri Energi Sebagai Langkah Untuk Mewujudkan Kedaulatan Indonesia Sebagai Negara...
-
Upload
aagista2404 -
Category
Documents
-
view
14 -
download
8
description
Transcript of Daerah Pesisir Mandiri Energi Sebagai Langkah Untuk Mewujudkan Kedaulatan Indonesia Sebagai Negara...
Daerah Pesisir Mandiri Energi: Langkah untuk Mewujudkan Kedaulatan Indonesia
sebagai Negara Kepulauan
Disusun oleh: Afifah Zahra Agista
Indonesia adalah negara kepulauan. Kata-kata itu telah sering kita dengar dari
dulu. Dan konsep negara kepulauan bagi Indonesia berbeda dari negara lainnya yang
memiliki struktur wilayah yang mirip dengan Indonesia, yaitu negara yang terdiri atas
banyak pulau. Negara kepulauan atau archipelago di wilayah Barat khususnya,
menjadikan laut sebagai pemisah antar pulau. Sementara Indonesia menganut paham
bahwa sebagai negara kepulauan berarti Indonesia adalah satu.. Cara pandang ini
bararti bahwa seharusya kita tidak memandang lautan sebagai daerah pemisah antara
satu pulau dengan lainnya, tapi justru sebagai penghubung antar pulau, sehingga baik
daratan dan lautan menjadi sebuah kesatuan yang disebut ‘Tanah Air’ . Dalam pidato
Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 di hadapan sidang BPUPKI, beliau menyatakan
bahwa,” Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat dipisahkan rakyat dari
bumi yang ada di bawah kakinya. …tempat itu yaitu Tanah-Air. Tanah-Air itu suatu
kesatuan…” (Rangkuti, 2007).
Para pendahulu kita, orang-orang yang menggagaskan bentuk negara
kepulauan bagi Indonesia, memahami betul konsep negara kepulauan ini. Karena itulah
mereka berjuang mati-matian untuk menjadikan lautan yang ada di sekeliling Indonesia
menjadi bagian dari Indonesia. Perjuangan para pelopor bangsa Indonesia dalam
menjadikan lautan sebagai bagian dari Indonesia dapat dilihat mulai dari pengumuman
akan Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember1957, yang sekarang kita kenang
sebagai Hari Nusantara. Deklarasi Djuanda ini kemudian diajukan kepada PBB,
tepatnya pada Konverensi Hukum Laut PBB, dengan tujuan supaya dunia mengakui
NKRI sebagai negara kepulauan. Di dalam Deklarasi Djuanda tertulis bahwa segala
perairan di sekitar, baik yang menghubungkan maupun terletak di antara pulau-pulau
Indonesia adalah milik Indonesia, dan Indonesia berhak atas kedaulatan penuh di
perairan-perairan yang bersangkutan. Banyak negara yang mempunyai kepentingan
terhadap laut Indonesia menyatakan keberatan atas Deklarasi Djuanda ini. Namun,
pada Konverensi Hukum Laut PBB yang ke 4, pada tahun 1982, akhirnya pokok-pokok
yang diajukan Indonesia tentang bentuk negara kepulauan berhasil mendapat
pengakuan. Namun, perjuangan Indonesia tidak berhenti sampai di situ saja. Pada
tanggal 17 Februari 1969 Pemerintah mengeluarkan Deklarasi Landas Kontinen
Indonesia. Deklarasi ini kemudian disusul oleh Deklarasi Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) pada tanggal 21 Maret 1980.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang
terdiri atas lebih dari tujuh belas ribu pulau, baik yang kecil maupun yang luas. Di antara
masing-masing pulau tersebut terbentanglah lautan, mulai dari yang luas maupun yang
sempit. Bahkan pada kenyataannya sebesar 65% wilayah Indonesia terdiri atas lautan.
Panjang garis pantai di Indonesia mencapai lebih dari 80 ribu km, lebih panjang dari
negara ASEAN manapun. Bahkan, garis pantai Indonesia lebih panjang dari panjang
garis pantai dari negara ASEAN lain yang dijumlahkan. Perluasan wilayah laut yang
diakibatkan oleh Deklarasi Djuanda memberikan keuntungan bagi negara kita, terutama
karena semakin luasnya wilayah yang memungkinkan untuk dieksploitasi dan
dikembangkan sumber daya alamnya. Namun perluasan wilayah ini juga berarti bahwa
kerawanan atas pertahanan dan keamanan Indonesia juga semakin besar, karena
semakin sulit untuk mengontrol wilayah yang sedemikian luas.
Masih segar dalam ingatan kita, ketika negara tetangga kita sendiri, Malaysia,
mengklaim blok Ambalat sebagai milik mereka. Selama ini memang cukup sering terjadi
bentrok antara Indonesia dengan Malaysia mengenai batas-batas wilayah negara.
Konflik mengenai blok Ambalat sendiri didahului oleh persengketaan antara Indonesia
dan Malaysia mengenai hak kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan, yang terjadi di
tahun 1969 dulu. Waktu itu, dengan berat hati bangsa kita akhirnya terpaksa
menyerahkan kedua pulau itu kepada Malaysia, setelah konklusi atas konflik tersebut
diputuskan melalui Mahkamah Internasional. Selain sengketa dengan Malaysia, pernah
juga kita merasakan pengalaman pahit lainnya, yaitu kehilangan bagian lain dari
Indonesia. Kasus ini terjadi ketika terjadi persilangan kepentingan antara Indonesia
dengan Australia di Celah Timor, yang berakibat lepasnya Timor Leste dari Indonesia.
Masih banyak kasus-kasus lain yang dapat menunjukkan lemahnya pertahanan
Indonesia sebagai negara maritime, contohnya kasus intimidasi atas pekerja suar
Indonesia di Karang Unarang, yang dilakukan oleh kepolisian laut Malaysia. Belum lagi
menyebut kasus-kasus dimana kapal-kapal asing seenaknya memasuki dan
mengeksploitasi sumberdaya alam di daerah perairan Indonesia. Memang, mengawal
sedemikian luas wilayah lautan yang hanya diselingi oleh pulau-pulau kecil tentulah
merupakan tugas yang sangat sulit. Apalagi banyak di antara pulau-pulau tersebut
adalah pulau yang tak berpenghuni. Namun walaupun sulit, sebenarnya
mempertahankan keamanan wilayah Indonesia seutuhnya bukanlah hal yang mustahil
untuk dilakukan.
Hal yang kurang kita miliki dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara
kita adalah integrasi antar pulau. Padahal, seperti yang disebut dalam lagu Indonesia
Raya, keselamatan Indonesia hanya akan terjamin jika seluruh pulau-pulau di Indonesia
mampu berinteraksi secara berkesinambungan, sehingga terbentuk jalur komunikasi
yang efektif. Dengan cara ini, laut pun tidak akan lagi terasa sebagai pemisah antar
pulau, melainkan sebagai penghubung diantaranya. Namun integrasi antar pulau ini
masih merupakan hal yang sulit bagi kita, antara lain disebabkan oleh kurangnya
informasi yang dapat diakses dari pulau-pulau terluar Indonesia, kurangnya komunikasi
dari pusat ke pinggir, dan kurangnya akses masyarakat antar pulau, terutama pulau-
pulau terpencil di Indonesia, atas layanan tranportasi antar pulau.
Kurangnya informasi, komunikasi, dan transportasi yang dapat diakses oleh
masyarakat di pulau terpencil di Indonesia kemungkinan disebabkan oleh proses
sentralisasi yang telah diterapkan sedemikian lama di Indonesia. Dengan adanya
sentralisasi, semua sumberdaya alam dan kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia harus
masuk dulu ke pusat, yaitu pulau Jawa, sebelum akhirnya disalurkan ke daerah. Karena
itulah pembangunan di daerah-daerah, terutama pulau yang posisinya terpencil dan
termasuk daerah ‘pinggiran’, menjadi terhambat. Di daerah seperti itu, untuk makan
memang bukan masalah. Dengan mudah mereka bisa mengambil ikan dan hasil laut
lainnya. Namun, untuk keperluan lain seperti pendidikan, pasokan bahan bakar dan
lainnya, masyarakat terpaksa menunggu respon dari pemerintah pusat. Kurangnya
informasi dan akses transportasi ke pulau selain pulau Jawa dan pulau-pulau besar
lainnya menyebabkan akses masyarakat terhadap pendidikan tidak memadai. Bahkan
kemudian muncul stigma yang menyatakan bahwa masyarakat yang tinggal di daerah-
daerah tersebut adalah masyarakat kelas dua. Stigma tersebut tetap melekat hingga
saat ini, dimana sentralisasi telah dihapuskan dan otonomi daerah ditegakkan (Sutisna,
2006). Akibatnya pertahanan Indonesia menjadi sangat rentan terhadap pengaruh dari
luar, karena pulau-pulau kecil yang menjadi pembatas wilayah Indonesia, pulau-pulau
yang seharusnya dapat menjadi pangkal pertahanan Indonesia, pada kenyataannya
terkesan jauh dari peradaban.
Jika ditilik lebih jauh, sebenarnya permasalahan akan kurangnya komunikasi,
informasi, dan sistem transportasi yang tersedia di pulau-pulau terpencil bersumber dari
satu masalah, yaitu tidak memadainya sumber energi. Jangankan mengharapkan listrik
dari PLN, untuk mendapatkan solar sebagai bahan bakar untuk alat transportasi pun
susahnya bukan main. Kalaupun tersedia, biasanya harga yang dikenakan selangit,
tidak terjangkau oleh masyarakat setempat. Maklum saja, solar yang dipakai oleh
penduduk biasanya harus menempuh perjalanan panjang dulu sebelum sampai di
pulau. Belum lagi cadangan minyak bumi yang semakin menipis, menyebabkan harga
bahan bakar semisal solar atau minyak tanah menjadi barang yang cukup mewah bagi
masyarakat yang tinggal di pulau perbatasan. Hal ini mengakibatkan penduduk
setempat menjadi terisolir dari dunia luar. Hubungan antar pulau juga tidak akan dapat
berjalan dengan sempurna jika transportasi antar pulau tidak dapat dilaksanakan.Selain
itu, kekurangan sumber energi ini tentunya sangat berpengaruh pada pembangunan
daerah setempat. Saat ini, alat-alat yang digunakan untuk dapat berkomunikasi pun
membutuhkan sumber listrik yang memadai. Apalagi untuk memperoleh informasi.
Jaringan informasi hanya dapat dibentuk jika daerah cabangnya telah memiliki sumber
energi yang cukup, serta peralatan yang memadai. Padahal informasi yang memadai
adalah salah satu syarat untuk membangun daerah yang sejahtera.
Sebetulnya banyak sekali bentuk-bentuk energi alternatif yang dapat diterapkan
di pulau-pulau terpencil seperti itu. Saat ini telah dikembangkan berbagai sumber energi
terbarukan di Indonesia seperti Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro, Pembangkit
Listrik Tenaga Piko Hidro, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu, Pembangkit Listrik Tenaga
Surya, Biomassa, Biogas, Bioetanol, bahkan Biodiesel. Pada kenyataannya sumber-
sumber energi alternatif ini telah berhasil diterakan pada berbagai daerah di Indonesia.
Tentu masing-masing dari sumber energi terbarukan ini memiliki spesifikasinya masing-
masing, namun pasti ada setidaknya satu sumber energi terbarukan dapat diterapkan
untuk masing-masing pulau di Indonesia
.Sumber energi terbarukan ini kemudian diharapkan dapat dikelola dengan
PSADBM (Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat), yaitu suatu
pendekatan pengelolaan sumber daya alam yang meletakkan pengetahuan dan
kesadaran lingkungan masyarakat local sebagai dasar pengelolaan. Selain itu,
masyarakat lokal umumnya memiliki tradisi yang sudah mengakar (Darmawan et all,
2004). PSADBM ini pada intinya bertujuan untuk meminimalisir efek dari proses
sentralisasi yang sudah membudidaya di Indonesia. Dan sesungguhnya, banyak
sumber energi terbarukan di Indonesia yang dapat dikelola dengan sistem PSADBM ini.
Sebut saja PLTMH. Sumber energi terbarukan ini kini sudah dapat diterapkan
dalam skala kecil oleh masyarakat setempat, seperti yang terjadi di Desa Batanguru di
Sulawesi Barat atau Desa Lantan di Lombok Tengah. Jika pun arus sungai yang
tersedia belum cukup untuk menggerakkan turbin PLTMH , kini telah tersedia PLTPH,
seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat Jorong Rumbai, Kabupaten Sijunjung,
Sumatera Barat. Untuk menggerakkan turbin pada PLTPH yang berkapasitas 2-5 kW,
hanya dibutuhkan debit air sekitar 40-70 liter per detik atau setara dengan menuangkan
3-4 galon isi ulang setiap detik. Jika debit air belum juga mencukupi, maka ada baiknya
bila sungai tempat air berasal dibendung terlebih dahulu, baru kemudian dialirkan ke
bak penampung. Dari bak itulah nantinya air akan jatuh dan menggerakkan turbin.
Untuk wilayah Indonesia yang rata-rata memiliki pasokan air berlimpah dan dinaungi
hujan sepanjang tahun, pembangkit listrik bertenaga air ini merupakan sumber energi
terbarukan yang sangat potensial. Tetangga kita, sesama negara kepulauan Fiji, sudah
menerapkan PLTMH ini sejak cukup lama, dan kini bisa mengurangi ketergantungan
terhadap energi yang dihasilkan dari minyak bumi.
Sebaliknya, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu memang kurang potensial untuk
diterapkan di Indonesia. Masalahnya, tidak semua daerah di Indonesia memenuhi
kriteria yang dibutuhkan untuk menjalankan kincir pada pembangkit listrik ini.
Kecepatan angin di Indonesia pada umumnya berkisar di bawah 5,9 m per detik,
kurang ekonomis untuk dimanfaatkan sebagai PLTB (. Selain itu,kecepatan angin yang
dihasilkan dalam setahun pun bervariasi, sehingga pasokan listrik yang dapat
dihasilkan dari PLTB tidak dapat dipreiksikan dengan tetap. Namun ada beberapa
daerah yang telah berhasil menerapkan pembangkit listrik tenaga angin ini. Contohnya
adalah Kepulauan Selayar di Sulawesi Selatan dan Desa Klumpu di Bali. Khusus untuk
Desa Klumpu, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu ini tidak beroperasi sendiri, namun
dikombinasikan dengan dua unit Pembangkit Listrik Tenaga Surya.
Selanjutnya ada Biodiesel, Bioetanol, dan Biomassa. Sayangnya untuk saat ini
produksi biodiesel baru dapat dilakukan dengan pabrik besar, sehingga kurang layak
untuk diterapkan pada pulau-pulau di perbatasan yang letaknya cukup terpencil. Namun
untuk produksi bioetanol saat ini sudah dapat dilakukan dalam skala rumah tangga.
Begitu pula dengan biomassa dan biogas. Dahulu, sempat ada pihak-pihak yang
mengkhawatirkan bahwa ketahanan pangan Indonesia akan terancam jika produksi
bioetanol dan biomassa dijalankan, karena lahan yang seharusnya dapat dipakai untuk
menanam bahan pangan justru dialihkan untuk budidaya tanaman yang akan dijadikan
bahan untuk produksi sumber energi terbarukan ini. Kenyataannya, produksi bioetanol
dan biomassa dapat menggunakan bahan-bahan yang berasal dari limbah hasil
pertanian pangan, seperti limbah dari pabrik tebu yang dapat dialihkan untuk
pembuatan bioetanol. Bahkan saat ini telah dikembangkan pembuatan biomassa yang
berasal dari sampah-sampah organik
Pembangkit Listrik Tenaga Surya juga merupakan sumber energi yang menarik
untuk diterapkan di Indonesia. Pasalnya, wilayah Indonesia yang terletak di daerah
khatulistiwa otomatis tersinari matahari sepanjang tahun, meskipun sinar matahari
kerap terhalang oleh awan mendung. Pembangkit listrik tenaga surya ini saat ini sudah
berhasil diterapkan di Desa Silu, Kupang, dan Desa Nanuhe di Sulawesi Utara.
Banyak dari desa-desa yang disebutkan di atas awalnya adalah desa terpencil
dan terpinggirkan. Ada kesan tak tersentuh pada masyarakatnya, karena tidak adanya
akses terhadap jaringan komunikasi. Namun, sejak sumber-sumber energi alternatif itu
diterapkan, saat ini banyak dari desa-desa tersebut yang dapat dengan nyamannya
mendirikan sekolah, menikmati pendidikan yang tersedia. Bahkan banyak dari
penduduk desa-desa tersebut yang kini sudah memiliki handphone dan bisa
mengakses jaringan internet untuk mendapatkan informasi. Komunikasi berjalan lancar,
dan aspek sosial budaya pada masyarakat desa pun membaik akibat pendidikan yang
memadai dan melimpahnya informasi yang dapat diakses warga desa. Dari segi
ekonomi, pendapatan mereka pun rata-rata meningkat, disebabkan oleh banyaknya
warga yang kini dapat membuka usaha sendiri, mengolah hasil alam yang tersedia di
desanya dan menjualnya keluar desa. Semuanya bisa tercapai akibat energi yang
diperlukan untuk menjalankan usaha itu, baik itu berupa listrik maupun panas, kini
dapat terpenuhi dengan adanya sumber energi alternatif di desa mereka. Kini desa
mereka, pulau mereka, bukan lagi desa terpencil yang lemah akan pengaruh-pengaruh
dari luar.
Setelah penjabaran di atas, jelaslah bahwa desa mandiri energi merupakan
jawaban untuk meningkatkan pertahanan NKRI. Jikaseluruh daerah pesisir di Indonesia
mampu menghidupi dirinya sendiri dan mampu berintegrasi antara satu dan lainnya,
daerah-daerah itu pastinya layak untuk menjadi basis pertahanan Indonesia dalam
menghadapi ancaman apapun yang mungkin datang dari luar. Kemudian, seperti yang
telah dinyatakan dalam Deklarasi Djuanda, kedaulatan mutlak Indonesia atas wilayah
laut dan daratan pun akan bisa tercapai dengan mudah. Saat itu tentu kita semua,
bangsa Indonesia, akan mampu menyanyikan lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya,
dengan bangga.
Daftar Pustaka
Budi, Darmawan Setia, et all. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis
Masyarakat. Jakarta: Pt Haftindo Prima
Djalal, Hasjim. 2006. Ambalat, Diplomasi dan Hukum Internasional. Pandang
Wilayah Perbatasan Indonesia: Aspek Permasalahan Batas Maritim Indonesia.
Halaman 13: Edisi II
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2010. Succes Story
Pemanfaatan Energi Terbarukan di Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral
Rangkuti, Parlaungan Adil. 2007. Membangun Kesadaran Bela Negara. Bogor:
IPBPress
Simbolon, Effendi M S. 2006. Perspektif Soial Politik dan Pertahanan Keamanan
Batas Wilayah Negara. Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia: Aspek Permasalahan
Batas Maritim Indonesia. Halaman 141: Edisi II
Sutisna, Sobar. 2006. Menghapus Stigma Warga Negara Kelas Dua pada
Masyarakat di Wilayah Perbatasan. Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia: Aspek
Permasalahan Batas Maritim Indonesia. Halaman 117: Edisi II