D2049-Tintin Sukartini.pdf

233
UNIVERSITAS INDONESIA PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN KEPATUHAN BERBASIS TEORI SISTEM INTERAKSI KING DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DISERTASI NAMA: TINTIN SUKARTINI NPM: 0806475630 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI DOKTOR KEPERAWATAN DEPOK APRIL 2015 Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Transcript of D2049-Tintin Sukartini.pdf

Page 1: D2049-Tintin Sukartini.pdf

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN KEPATUHAN

BERBASIS TEORI SISTEM INTERAKSI KING DAN

PENGARUHNYA TERHADAP KEPATUHAN

PASIEN TUBERKULOSIS PARU

DISERTASI

NAMA: TINTIN SUKARTINI

NPM: 0806475630

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI DOKTOR KEPERAWATAN

DEPOK

APRIL 2015

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 2: D2049-Tintin Sukartini.pdf

i

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN KEPATUHAN

BERBASIS TEORI SISTEM INTERAKSI KING DAN

PENGARUHNYA TERHADAP KEPATUHAN

PASIEN TUBERKULOSIS PARU

DISERTASI

NAMA: TINTIN SUKARTINI

NPM: 0806475630

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI DOKTOR KEPERAWATAN

DEPOK

APRIL 2015

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 3: D2049-Tintin Sukartini.pdf

ii

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGEMBANGAN MODEL PENINGKATAN KEPATUHAN

BERBASIS TEORI SISTEM INTERAKSI KING

DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEPATUHAN

PASIEN TUBERKULOSIS PARU

Disertasi ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Doktor Keperawatan pada Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Indonesia

NAMA: TINTIN SUKARTINI

NPM: 0806475630

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI DOKTOR KEPERAWATAN

DEPOK

APRIL 2015

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 4: D2049-Tintin Sukartini.pdf

iii

NAMA PEMBIMBING DAN PENGUJI DISERTASI

PEMBIMBING DISERTASI

Promotor : Prof. Dr. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc

Ko-Promotor : Agung Waluyo, S.Kp., MSc, PhD

: Dr. Ede Surya Darmawan, SKM, MDM

PENGUJI DISERTASI:

Penguji : Kusman Ibrahim, S.Kp., MNS, Ph.D

: Dr. Erlina Burhan, dr, MSc, Sp.P(K)

: Dr. Hotma Rumahorbo, S.Kp., M.Epid

: Dr. Kusnanto, S.Kp., M.Kes

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 5: D2049-Tintin Sukartini.pdf

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 6: D2049-Tintin Sukartini.pdf

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 7: D2049-Tintin Sukartini.pdf

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 8: D2049-Tintin Sukartini.pdf

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 9: D2049-Tintin Sukartini.pdf

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-

Nya, saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Penulisan disertasi ini dilakukan

dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Doktor

Keperawatan pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Saya

menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan semua pihak, sangat sulit bagi

saya untuk menyelesaikan disertasi ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Rektor Universitas Airlangga yang telah memberikan ijin dan kesempatan

kepada saya untuk mengikuti perkuliahan di Program S3 Ilmu

Keperawatan.

2. Rektor Universitas Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada

saya untuk mengikuti perkuliahan di Program S3 Ilmu Keperawatan.

3. Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang telah

memberikan ijin dan kesempatan kepada saya untuk mengikuti

perkuliahan di Program S3 Ilmu Keperawatan

4. Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah

memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti perkuliahan di

Program S3 Ilmu Keperawatan

5. Ketua Program Studi S3 Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan

Universitas Indonesia telah memberikan kesempatan kepada saya untuk

mengikuti perkuliahan di Program S3 Ilmu Keperawatan

6. Prof. Dr. Ratna Sitorus, SKp, M.App.Sc selaku Promotor yang telah

menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam

menyelesaikan disertasi ini;

7. Agung Waluyo, SKp, MSc, PhD dan Dr. Ede Surya Darmawan, SKM,

MDM selaku ko-promotor yang telah menyediakan waktu, tenaga dan

pikiran untuk mengarahkan saya dalam menyelesaikan disertasi ini;

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 10: D2049-Tintin Sukartini.pdf

vii

8. Kusman Ibrahim, SKp, MNS, PhD selaku penguji dan konsultan pakar

yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan

saya dalam menyelesaikan disertasi ini;

9. Dr. Erlina Burhan, dr, MSc, SpP(K) selaku penguji disertasi yang telah

menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam

menyelesaikan disertasi ini;

10. Dr. Hotma Rumahorbo, S.Kp, M.Epid selaku penguji disertasi yang telah

menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam

menyelesaikan disertasi ini;

11. Dr. Kusnanto, S.Kp., M.Kes selaku penguji dan konsultan pakar yang

telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya

dalam menyelesaikan disertasi ini;

12. Suryani, S.Kp., M.H.Sc., Ph.D selaku konsultan pakar yang telah banyak

memberikan masukan dalam proses pengembangan model untuk disertasi.

13. Endro Sukmono, dr, SpP selaku Ka.SMF Paru RS Haji Surabaya terdahulu

dan Nur Indah, dr, SpP selaku Ka.SMF Paru RS Haji Surabaya dan

pembimbing klinik yang telah memberi arahan sehingga terlaksananya

penelitian.

14. Puji Rahayu, S.Kep, Ns, M.Kep selaku Kepala Bidang Keperawatan

RS.Haji Surabaya dan staf poli paru Siti Kholifah, A.Md.Kep, Mat Sahari

A.Md.Kep, dan Rita, A.Md.Kep yang telah banyak membantu

memfasilitasi untuk terlaksananya penelitian;

15. Wahyu Handayani, S.K.M selaku Kasie Litbang RS Haji Surabaya dan

staf: mbak Laras dan mbak Widi yang telah banyak membantu

memfasilitasi untuk terlaksananya penelitian

16. Haryanto, S.Kep, Ns selaku Kasie. Litbang RS.Ibnu Sina Gresik, Nur Hadi

A.Md.Kep dan Mulyati A.Md.Kep selaku perawat poli paru RS. Ibnu Sina

Gresik yang telah banyak membantu memfasilitasi untuk terlaksananya

penelitian;

17. Dr. Muhit, S.Kep, Ns.,M.Kes selaku staf Ahli Bupati Gresik yang telah

membantu memfasilitasi penelitian ini.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 11: D2049-Tintin Sukartini.pdf

viii

18. Kepala Badan perencanaan pembangunan, penelitian dan pengembangan

daerah kabupaten Gresik telah membantu memfasilitasi untuk

terlaksananya penelitian;

19. Orang tua, anak Nada Nur Zahra dan seluruh keluarga yang telah

memberikan bantuan material dan moral;

20. Teman-teman di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga yang telah

banyak memberikan dukungan moral

21. Teman-teman S3 Keperawatan Angkatan II Fakultas Ilmu Keperawatan

Universtas Indonesia yang telah banyak memberikan dukungan dalam

menyelesaikan proposal disertasi;

22. Staf Administrasi S3 Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas

Indonesia yang telah banyak membantu selama proses perkuliahan;

23. Seluruh responden penelitian

Akhir kata saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan

semua pihak yang telah membantu. Semoga disertasi ini membawa manfaat

bagi pengembangan ilmu.

Depok, 1 April 2015

Tintin Sukartini

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 12: D2049-Tintin Sukartini.pdf

ix Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Tintin Sukartini

Program Studi : Program Doktor Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu

Keperawatan Universitas Indonesia

Judul : Pengembangan Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis

Teori Sistem Interaksi King dan Pengaruhnya terhadap

Kepatuhan Pasien Tuberkulosis Paru

.

Faktor utama penyebab kegagalan pengobatan TB paru adalah ketidakpatuhan

pasien. Perawat berperan penting dalam meningkatkan kepatuhan pasien melalui

proses interaksi. Berdasarkan hal ini maka perlu dikembangkan model intervensi

berbasis sistem interakasi untuk meningkatkan kepatuhan. Tujuan penelitian yaitu

menghasilkan model yang dapat meningkatkan kepatuhan pasien TB paru berbasis

teori sistem interaksi King. Penelitian melalui dua tahap penelitian yaitu, tahap I:

Penelitian kualitatif dan pengembangan model peningkatan kepatuhan berbasis

teori sistem interaksi King yang dihasilkan melalui penelitian kualitatif, studi

literatur dan konsultasi pakar; Tahap II: Validasi model dengan desain quasy

eksperimen dengan kelompok kontrol. Metode sampling yang digunakan adalah

consecutive sampling dengan sample sebanyak 50 pasien. Uji statistik

menggunakan uji chi square, independent t-test, Mancova dan GLM-RM. Hasil

didapatkan 1) Tahap I: diperoleh 12 tema kepatuhan dan model peningkatan

kepatuhan berbasis teori sistem interaksi dengan 1 modul untuk pasien; 2) Tahap

II: terdapat perbedaan bermakna dalam pengetahuan, self efficacy, motivasi,

pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi dan kepatuhan pengobatan. Kesimpulan,

model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti efektif

meningkatkan kepatuhan pasien TB paru. Rekomendasi: Model peningkatan

kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dapat diintegrasikan dalam clinical

pathway pada pasien TB paru di poli paru. Penelitian lebih lanjut mengenai

pengembangan model kepatuhan pada pasien TB paru yang memiliki keterbatasan

sistem interpersonal dengan keluarga yaitu pada pasien yang tidak memiliki

keluarga atau tinggal terpisah jauh dari keluarga.

Kata kunci: Model peningkatan kepatuhan, sistem interaksi King, kepatuhan.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 13: D2049-Tintin Sukartini.pdf

x Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Tintin Sukartini

Program : Doctoral Program of Nursing Science, Faculty of

Nursing Science, University of Indonesia

Title/Topic : Development Adherence Improvement Model Based on

King’s Interaction System Theory and The Effect on

TB Patient’s Adherence

The main factor cause the failure of Tuberculosis (TB) treatment was the patient’s

non-adherence. Nurses play an important role in improving patient’s adherence

through interaction nurse-patient. It is necessary to develop interaction model

based on interaction system theory to improve patient’s adherence. The purpose of

the study was to develop adherence improvement model based on King’s

inetraction system theory. This study was divided into 2 phase, Phase 1:

qualitative study and development adherence improvement model based on

King’s interaction system theory resulted from qualitative study, literature review

and expert consultation. Phase II: validation of the model by quasy experiment

design with control group. Sampling used in the study was consecutive sampling

to select 50 patients. Data were analyzed using chi square, independent t-test,

Mancova and GLM-RM. Result shows: Phase I: There were found 12 themes and

adherence improvement model based on King’s interaction system. Phase II:

There were significant different on knowledge, self efficacy, motivation,

prevention transmission, nutrition adherence and treatment adherence.

Conclusion, Adherence improvement model based on King’s interaction system

theory is effective on improving TB patient’s adherence. Development adherence

improvement model based on King’s interaction system theory can be integrated

into clinical pathway in TB patients. Further study on adherence improvement

model with limited interpersonal system, namely patient without family and

separated.

Key word: Adherence improvement model, King’s interaction system theory,

treatment adherence.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 14: D2049-Tintin Sukartini.pdf

xi Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. vii

ABSTRAK ......................................................................................................... x

DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xv

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvi

DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xviii

BAB 1PENDAHULUAN .................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 9

1.3 Tujuan ........................................................................................................... 11

1.3.1 Tujuan umum ....................................................................................... 11

1.3.2 Tujuan khusus ...................................................................................... 11

1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 13

2.1 Tuberkulosis Paru ........................................................................................ 13

2.2 Teori Perilaku ............................................................................................... 26

2.3 Kerangka Kerja Sistem Interaksi dan Middle Range Teori Pencapaian

Tujuan dari King ........................................................................................... 45

2.4 Health Promotion Model Nola J.Pender ...................................................... 52

2.5 Model Partnership ....................................................................................... 59

2.6 Hubungan Teori Sistem Interaksi King, Health Promotion Model, Pender

dan Model Partnership ................................................................................. 69

2.7 Kerangka Teori Penelitian ............................................................................ 71

BAB 3 KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN

DEFINISI OPERASIONAL ................................................................. 74

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ......................................................................... 74

3.2 Hipotesis ........................................................................................................ 76

3.3 Definisi Operasional...................................................................................... 77

BAB 4 METODE PENELITIAN ..................................................................... 80

4.1 Penelitian Tahap I: Penelitian Kualitatif ...................................................... 80

4.1.1 Desain Penelitian ........................................................................................ 80

4.1.2 Partisipan Penelitian ................................................................................... 80

4.1.3 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... 81

4.1.4 Etika Penelitian .......................................................................................... 81

4.1.5 Prosedur Pengumpulan Data ...................................................................... 82

4.1.6 Alat Pengumpul Data ................................................................................. 83

4.1.7 Analisis ....................................................................................................... 84

4.1.8 Penyusunan Model ..................................................................................... 84

4.2 Penelitian Tahap II : Validasi Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori

Sistem Interaksi King ......................................................................................... 85

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 15: D2049-Tintin Sukartini.pdf

xii Universitas Indonesia

4.2.1 Desain Penelitian ....................................................................................... 85

4.2.2 Populasi dan Sampel ................................................................................. 86

4.2.3 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 87

4.2.4 Etika Penelitian .......................................................................................... 87

4.2.5 Alat Pengumpul Data ................................................................................ 89

4.2.6 Prosedur Pengumpulan Data ...................................................................... 92

4.2.7 Analisis Data ............................................................................................. 92

4.2.8 Kerangka Kerja Penelitian ......................................................................... 94

BAB 5 HASIL PENELITIAN .......................................................................... 95

5.1 Hasil Penelitian Tahap I ................................................................................ 95

5.1.1 Hasil Penelitian Kualitatif .......................................................................... 95

5.1.2 Pengembangan Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem

Interakasi King .......................................................................................... 103

5.2 Hasil Penelitian Tahap II ............................................................................... 110

5.2.1 Perbedaan Karakteristik Responden antar Kelompok................................ 110

5.2.2 Pengetahuan Pasien TB paru Sebelum dan Setelah Intervensi Model

Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King

(akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi) ................................... 113

5.2.3 Self Efficacy Pasien TB paru Sebelum dan Setelah Intervensi Model

Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King

(akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi) ................................... 114

5.2.4 Motivasi Pasien TB paru Sebelum dan Setelah Intervensi Model

Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King

(akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi) ................................... 116

5.2.5 Pencegahan Penularan Pasien TB paru Sebelum dan Setelah Intervensi

Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King

(akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi) ................................... 117

5.2.6 Kepatuhan Nutrisi Pasien TB paru Sebelum dan Setelah Intervensi

Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King

(akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi) ................................... 119

5.2.7 Kepatuhan Pengobatan Pasien TB paru Sebelum dan Setelah Intervensi

Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem Interaksi King

(akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi) ................................... 122

5.2.8 Pengaruh Variabel Perancu terhadap Pengetahuan, Self Efficaccy,

Motivasi, Pencegahan Penularan dan Kepatuhan Nutrisi ......................... 123

BAB 6 PEMBAHASAN .................................................................................... 125

6.1 Pembahasan Hasil Penelitian ........................................................................ 125

6.1. 1 Pengaruh Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem

Interaksi King terhadap Pengetahuan Pasien TB paru ............................. 125

6.1. 2 Pengaruh Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem

Interaksi King terhadap Self Efficacy Pasien TB paru ............................. 129

6.1. 3 Pengaruh Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem

Interaksi King terhadap MotivasiPasien TB paru .................................... 132

6.1. 4 Pengaruh Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem

Interaksi King terhadap Pencegahan Penularan Pasien TB paru ............. 135

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 16: D2049-Tintin Sukartini.pdf

xiii Universitas Indonesia

6.1. 5 Pengaruh Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem

Interaksi King terhadap Kepatuhan Nutrisi Pasien TB paru .................... 138

6.1. 6 Pengaruh Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem

Interaksi King terhadap Kepatuhan Pengobatan Pasien TB paru ............ 141

6.1. 7 Hubungan variabel perancu: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,

status perkawinan dan pekerjaan dengan pengetahuan, self efficacy,

motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi. .......................... 145

6.2 Implikasi Keperawatan.................................................................................. 147

6.3 Keterbatasan Penelitian ................................................................................. 148

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 150

7.1 Simpulan ....................................................................................................... 150

7.2 Saran .............................................................................................................. 152

7.2.1 Aplikatif ..................................................................................................... 152

7.2.2 Perkembangan Keilmuan ........................................................................... 153

7.2.3 Penelitian Selanjutnya ................................................................................ 153

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 154

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 17: D2049-Tintin Sukartini.pdf

xiv Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Metode pengukuran kepatuhan minum obat 44

Tabel 3.1 Definisi operasional variabel 77

Tabel 4.1 Hasil Uji coba instrumen 91

Tabel 5.1 Penyusunan model bedasarkan tema 104

Tabel 5.2 Karakterstik responden kelompok intervensi dan kelompok kontrol

(n=100)

110

Tabel 5.3 Perbedaan pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan

penularan dan kepatuhan nutrisi kelompok intervensi dan

kelompok kontrol sebelum intervensi (n=100)

111

Tabel 5.4 Uji normalitas data 112

Tabel 5.5 Pengetahuan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi

model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King

(n=97)

113

Tabel 5.6 Self efficacy pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (n=97)

114

Tabel 5.7 Motivasi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (n=97)

116

Tabel 5.8 Pencegahan penularan pasien TB paru sebelum dan sesudah

intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King (n=97)

118

Tabel 5.9 Kepatuhan nutrisi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi

model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King

(n=97)

120

Tabel 5.10 Perbedaan berat badan pasien sebelum dan sesudah intervensi

model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King

121

Tabel 5.11 Kepatuhan pengobatan kelompok intervensi dan kelompok kontrol

(n=97)

122

Tabel 5.12 Hasil uji variabel perancu terhadap intervensi model diantara

kelompok

124

Tabel 5.13 Hasil uji variabel perancu terhadap intervensi model diantara

kelompok berdasarkan variabel

124

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 18: D2049-Tintin Sukartini.pdf

xv Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Theory of reasoned action 28

Gambar 2.2 Theory of planned behaviour 28

Gambar 2.3 Sumber-sumber self efficacy dan proses pegubahannya 34

Gambar 2.4 Dynamic interacting system 48

Gambar 2.5 Proses human interaction yang menuntun pada transaksi: sebuah

model transaksi

49

Gambar 2.6 Model promosi kesehatan menurut Pender 53

Gambar 2.7 Revisi model promosi kesehatan dari Pender 55

Gambar 2.8 Empat tahap partnership Mohammadi 64

Gambar 2.9 Antecedans, atribut dan konsekuen partnership 66

Gambar 2.10 Kerangka teori penelitian 73

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian tahap I 74

Gambar 3.2 Kerangka konsep penelitian tahap II 75

Gambar 4.1 Tahapan proses penelitian 86

Gambar 4.2 Kerangka kerja penelitian 94

Gambar 5.1 Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King 107

Gambar 5.2 Grafik interaksi nilai rata-rata pengetahuan diantara waktu

pengukuran dan diantara kelompok

114

Gambar 5.3 Grafik interaksi nilai rata-rata self efficacy diantara waktu

pengukuran dan diantara kelompok

115

Gambar 5.4 Grafik interaksi nilai rata-rata motivasi diantara waktu pengukuran

dan diantara kelompok

117

Gambar 5.5 Grafik interaksi nilai rata-rata pencegahan penularan diantara

waktu pengukuran dan diantara kelompok

119

Gambar 5.6 Grafik interaksi nilai rata-rata kepatuhan nutrisi diantara waktu

pengukuran dan diantara kelompok

121

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 19: D2049-Tintin Sukartini.pdf

xvi Universitas Indonesia

DAFTAR SINGKATAN

ARDS : Acute respiratory distress syndrome

ARTI : Annual risk of tuberculosis infection

BMI : Body mass index

BP4 : Balai pencegahan dan pengobatan penyakit paru

BTA : Bakteri tahan asam

DOTS : Directly observed treatment short-course

ETPT : Energi tinggi protein tinggi

FDC : Fixed-dose combination

Gerdunas : Gerakan terpadu nasional

HIV/AIDS : Human immunodeficiency virus/ acquired immune

deficiency syndrome

HPM : Health promotion model

HRZ : Isoniazid, rifampicin, pirazinamid

HRZE : Isoniazid, rifampicin, pirazinamid, etambutol

HRZES : Isoniazid, rifampicin, pirazinamid, etambutol, streptomicin

IMT : Indeks massa tubuh

MDGs : Millenium development goals

MDR : Multidrug-resistant

OAT : Obat anti tuberkulosis

PPOK : Penyakit paru obstruksi kronis

RS : Rumah sakit

RSUD : Rumah sakit umum daerah

SOPT : sindrom obtstruksi pasca tuberkulosis

SPS :sewaktu-pagi-sewaku

TB : Tuberkulosis

TRA : Theory of reasoned action

TPB : Theory of planned behaviour

TURP : Trans urethral resection of prostate

WHO : World health organization

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 20: D2049-Tintin Sukartini.pdf

xvii Universitas Indonesia

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Surat ijin penelitian

Lampiran 2: Surat keterangan lolos kaji etik

Lampiran 3: Surat keterangan telah melakukan penelitian

Lampiran 4: Informed consent/penjelasan penelitian tahap I

Lampiran 5: Lembar persetujuan menjadi partisipan

Lampiran 6: Data demografi

Lampiran 7: Petunjuk pelaksanaan wawancara mendalam

Lampiran 8: Lembar catatan lapangan (field note)

Lampiran 9: Informed consent/penjelasan penelitian tahap II

Lampiran 10: Lembar kuesioner

Lampiran 11: Analisis tema dan subtema berdasarkan penelitian kualitatif

Lampiran 12: Panduan implementasi model

Lampiran 13: Format evaluasi model

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 21: D2049-Tintin Sukartini.pdf

1 Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan penyumbang terbesar ketiga di dunia untuk penyakit

tuberkulosis (TB) setelah India dan Cina (Depkes, 2007). Peringkat ini turun

menjadi peringkat ke 4 di dunia pada tahun 2012 dengan jumlah kasus baru

sekitar 400.000-500.000 kasus, setelah India (2,0 juta - 2,5 juta), Cina (900.000-

1.100.000) dan Afrika Selatan (400.000-600.000) kasus (WHO, 2012). Menurut

Survei kesehatan nasional tahun 2001 penyakit TB merupakan penyakit rakyat

nomor satu dan sebagai penyebab kematian nomor tiga di Indonesia (Depkes,

2001).

Berdasarkan data Sub Direktorat TB Departemen Kesehatan RI dan WHO (2008)

bahwa sampai Januari 2007, 37% rumah sakit (RS) melaksanakan DOTS dengan

kualitas pelaksanaan yang berbeda. TB menduduki peringkat rata-rata nomor 2

pada klinik rawat jalan di Rumah Sakit Umum dan peringkat 1 di Rumah Sakit

Paru. Pada Rumah Sakit umum ditemukan hampir 6.5% kasus pengobatan

kategori II yang gagal pengobatan dan menunjukkan MDR-TB (multidrug

resistant TB). Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi TB

yang diantaranya adalah rencana global penanggulangan TB yang diarahkan untuk

mencapai target Global TB yang sejalan dengan WHO DOTS (directly observed

treatment, short-course) dan strategi baru stop TB. Menurut Depkes pada tahun

2008 TB Prevalence adalah 253 per 100.000 populasi sedangkan MDGs

(millenium development goals) target pada tahun 2015 untuk TB adalah 222 per

100.000 populasi artinya hal ini kondisi di Indonesia mendekati target yang

diharapkan. Pada tahun 2009 deteksi kasus mencapai 71% dan tingkat

keberhasilan pengobatan mencapai 90% (Kemkes, 2011).

Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di

Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2 %. Pada daerah dengan

ARTI sebesar 1%, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh)

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 22: D2049-Tintin Sukartini.pdf

2

Universitas Indonesia

orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan

menjadi pasien TB, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi pasien TB.

Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI

1%, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) pasien

tuberkulosis setiap tahun, dimana 50% pasien adalah BTA positif. Faktor yang

mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan

tubuh yang rendah; diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS (Depkes,

2009).

Penyakit TB merupakan salah satu penyakit yang masuk dalam prioritas untuk

pengendalian penyakit karena berdampak luas terhadap kualitas hidup dan

ekonomi serta dapat mengakibatkan kematian. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan

Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2010, periode prevalensi TB Paru 2009/2010

adalah sebesar 725/100.000 penduduk, dengan kasus tertinggi pada usia di atas 54

tahun, jenis kelamin laki-laki, tinggal di desa, pendidikan tidak sekolah dan pada

kelompok petani/nelayan/buruh. Cakupan penggunaan OAT FDC (obat anti

tuberkulosis Fixed dose combination) dan kombipak sebesar 83.2%. Upaya yang

dilakukan oleh suspek TB Paru yaitu kembali ke tenaga kesehatan (32.2%),

pengobatan program TB (11.1%), beli obat di apotek/toko obat (31.9%), minum

obat herbal/tradisional (7.8%) dan tidak diobati (16.9%). Alasan suspek TB Paru

tidak datang ke fasilitas kesehatan yang paling besar adalah dapat diobati dan

sembuh sendiri (38.2%), tidak ada biaya (26.4%), penyakit tidak berat (16.3%),

akses ke fasilitas kesehatan sulit (4.4%), tidak ada waktu (5.7%) dan lainnya 9%.

(Kemkes, 2010)

Pada tahun 2011 World Health Organization (WHO) memperkirakan terjadi 8,7 juta

kasus baru TB secara global, yang setara dengan 125 kasus per 100.000

penduduk. Sebagian besar dari perkiraan jumlah kasus pada tahun 2011 terjadi di

Asia (59%) dan Afrika (26%). WHO menetapkan 22 negara di dunia sebagai

negara dengan masalah penyakit TB yang tinggi (high burden countries), yaitu

negara-negara yang mencakup 63% dari populasi dunia dan menyumbang sekitar

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 23: D2049-Tintin Sukartini.pdf

3

Universitas Indonesia

80% dari perkiraan jumlah kasus TB baru yang terjadi di seluruh dunia setiap

tahunnya (WHO, 2012).

Estimasi prevalensi kasus TB di Indonesia adalah sebesar 600.000 atau setara 281

per 100.000 penduduk dan estimasi insidensi berjumlah 450.000 kasus baru per

tahun atau setara 187 kasus baru per 100.000 penduduk, dengan jumlah kematian

akibat TB diperkirakan 65.000 kematian per tahunnya. Sedangkan keberhasilan

pengobatan pada tahun 2010 mencapai 90 % (WHO, 2012). Walaupun cakupan

keberhasilan pengobatan ini mencapai target WHO namun ada kecenderungan

pasien berhenti minum obat karena ada perbaikan gejala dalam 2-4 minggu.

Keadaan tersebut akan bertambah parah jika tidak ada suatu upaya penanganan

yang komprehensif dengan melibatkan beberapa pihak dan model asuhan yang

efektif dalam menangani pasien TB paru. Dampak yang diperoleh jika pasien

tidak melakukan pengobatan secara tuntas diantaranya adalah bisa terjadi MDR

yaitu resisten terhadap OAT primer, bahkan sekarang bisa menjadi XDR

(Extensive drug resistant) yaitu kuman TB resisten terhadap OAT lini kedua.

(Depkes RI & WHO, 2008)

Jawa Timur merupakan penyumbang kedua kasus Tuberkulosis positif di

Indonesia setelah Jawa Barat. Berdasarkan data Dinas Jawa Timur pasien TB di

Jawa Timur mencapai 20 ribu per tahun, dari total 41.472 pasien TB di provinsi

ini, sebanyak 25.618 diantaranya merupakan pasien baru BTA + yang ditemukan

selama 2012. Adapun tingkat keberhasilan pengobatan mencapai 90% (Dinkes

Jatim, 2013).

Pada berbagai studi tentang TB paru diperoleh hasil bahwa pasien yang berobat

menunjukkan ketidakpatuhan dalam pengobatan. Studi yang dilakukan Daud

(2001) di poliklinik RS.Ahmad Muchtar Bukit Tinggi menunjukkan

ketidakpatuhan pasien berobat sebesar 31% (n=100), sedangkan studi yang

dilakukan Aisyah (2003) di puskesmas Jatinegara menunjukkan ketidakpatuhan

pasien sebesar 26,1% (n=92). Selain faktor ketidakpatuhan faktor keterlambatan

pengobatan menjadi faktor yang penting dalam pengobatan TB Paru. Berdasarkan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 24: D2049-Tintin Sukartini.pdf

4

Universitas Indonesia

studi yang dilakukan Wahyono (2003) didapatkan hasil bahwa pasien TB yang di

kecamatan Ciracas Jakarta Timur mengalami keterlambatan diagnostik pada

pasien selama 2 minggu, keterlambatan pada pelayanan kesehatan selama 1

minggu dan keterlambatan total selama 6,05 minggu. Berdasarkan data di atas

dapat disimpulkan bahwa puskesmas atau poliklinik yang menjadi struktur utama

pelayanan kesehatan dalam penanggulangan TB Paru masih mengalami kesulitan

dalam menangani pasien. Saat pasien TB tidak patuh berobat atau pasien

terlambat dilakukan diagnostik, maka bisa muncul gejala yang berat yang

mengharuskannya sampai di rawat inap.

Berdasarkan studi yang dilakukan Darmadi (2000) pasien TB paru yang aktif

berobat menunjukkan sikap yang positif dan motivasi yang tinggi untuk mencapai

kesembuhan sedangkan pasien yang tidak aktif berobat memiliki sikap yang buruk

dan motivasi yang rendah untuk sembuh. Demikian pula yang terjadi pada

pengawas menelan obat (PMO), PMO pada pasien TB yang aktif berobat

memiliki pengawasan yang baik sedangkan PMO pada pasien yang tidak aktif

berobat memiliki pengawasan yang buruk. PMO untuk pasien TB paru terbanyak

adalah keluarga (suami, istri, orangtua, anak, menantu) yaitu sebanyak 93%,

sebanyak 4,7% petugas kesehatan dan sebanyak 2,3% adalah lainnya

(Rachmawati & Turniani, 2006)

Pada studi yang dilakukan oleh Syahrizal (2004) tentang kepatuhan pasien TB

Paru dalam menelan obat di Rumah Sakit Khusus Paru-paru propinsi Sulawesi

Selatan tahun 2002, diperoleh hasil bahwa pasien yang tidak patuh sebanyak

36,7% (n=190) dan prosentase terbanyak dari responden adalah umur muda

(58,9%), laki-laki (75,6%), bekerja (77,8%), pendidikan rendah (58,9%),

pengetahuan kurang baik (65,6%), jumlah anggota keluarga besar (62,2%), jarak

dekat (90%), transportasi mudah (94,4%), ketersediaan obat banyak (91,1%),

PMO (91,1%), pelayanan petugas baik (70%), penyuluhan petugas (97,8%).

Hasil studi Craig, dkk (2007) menunjukkan bahwa faktor risiko sosial dapat

menyulitkan pengobatan TB paru. Penambahan jangka waktu pengobatan,

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 25: D2049-Tintin Sukartini.pdf

5

Universitas Indonesia

melewatkan janji dengan layanan kesehatan dan peningkatan durasi rawat inap

semuanya terkait dengan penggunaan alkohol dan narkoba. Riwayat pengobatan

TB sebelumnya dikaitkan dengan perpanjangan masa perawatan dan melewatkan

janji dengan layanan kesehatan. Faktor risiko sosial menunjukkan pentingnya

kebutuhan layanan yang responsif untuk mempertahankan pasien pada

pengobatan. Tunawisma tidak memiliki orang untuk mengingatkan pasien untuk

meminum obat mereka, hal ini sebagai tanda kurangnya dukungan sosial yang

dikaitkan dengan lamanya waktu rawat inap (Craig. Story, Hayward, Hall,

Goodburn & Zumla, 2007) .

Berdasarkan hasil studi pendahuluan bulan Februari-Maret 2012 di RSU Dr.

Soetomo terhadap 19 pasien dengan kasus lama dan 11 pasien dengan kasus baru,

17 dari 19 pasien kasus lama (89%) menyatakan tidak menyelesaikan pengobatan

pada kondisi sakit terdahulu. Dalam melakukan pencegahan penularan sebanyak

14 pasien (47%), masih jarang atau tidak pernah menutup mulut saat batuk atau

bersin, 17 pasien (57%) ludah dan dahak yang keluar tidak dibuang dalam tempat

tertutup yang diberi desinfektan dan 15 pasien (50%) dahak yang keluar saat

batuk selama di rumah sakit tidak dibuang ke tempat khusus yang telah

disediakan. Sedangkan untuk keyakinan diri, sebanyak 15 pasien (50%) merasa

tidak atau kurang yakin bisa mendapatkan informasi tentang penyakit TB, 22

pasien (73%) merasa tidak atau kurang yakin mampu melakukan kegiatan sesuai

kondisi sakitnya, dan 24 pasien (80%) merasa tidak atau kurang yakin dalam

mengatasi sesak napas dalam melakukan kegiatan yang diinginkan. Dari hasil

studi di atas menunjukkan bahwa kepatuhan pasien dalam pengobatan TB paru

masih sangat rendah.

Dari beberapa hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa ketidakpatuhan

pasien dalam berobat masih dirasakan cukup tinggi. Walaupun peran keluarga

sebagai PMO sudah dilakukan tetapi masih menunjukkan adanya ketidakpatuhan

dari pasien untuk menjalankan pengobatan. PMO bagi pasien merupakan faktor

motivasi eksternal bagi pasien untuk patuh berobat. Program ini sudah dijalankan

oleh pemerintah namun dari hasil studi di atas masih terdapat pasien yang tidak

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 26: D2049-Tintin Sukartini.pdf

6

Universitas Indonesia

patuh yang cukup signifikan sehingga selain peran PMO perlu ditambahkan

intervensi yang menekankan pada sistem interaksi perawat pasien yang terus

menerus dengan meningkatkan sistem personal, sistem interpersonal dan sistem

sosial pada pasien TB paru agar memiliki motivasi yang kuat untuk patuh dalam

melakukan pengobatan

Pengobatan TB saat ini bukan lagi berfokus pada mencegah kematian tetapi

pengobatan harus berfokus pada peningkatan kualitas hidup pada pasien yang

dilakukan pengobatan TB. Pada hasil studi Marra, dkk (2004) diperoleh 4 tema

yang berkaitan dengan kualitas hidup pada pasien TB yaitu isu yang berkaitan

dengan TB dengan subtema “gejala”, “ketersediaan fasilitas kesehatan” dan

“dampak emosional”; tema kedua yaitu faktor pengobatan TB dengan subtema

“efek yang merugikan”, “kemudahan administrasi” dan “kepatuhan” ; tema ketiga

yaitu isu dukungan sosial dan fungsional untuk pasien TB; dan tema keempat

yaitu perilaku kesehatan dengan subtema “modifikasi perilaku” dan “pengetahuan

TB” (Marra, Marra, Cox, Palepu & Fitzgerald, 2004)

Secara umum asuhan keperawatan pada pasien TB di Indonesia sudah

melaksanakan program untuk peningkatan kepatuhan diantaranya melakukan

penyuluhan kepada pasien tentang TB Paru, penularan, pentingnya pengobatan

dan kontrol yang teratur. Penyuluhan di poliklinik biasanya dilaksanakan secara

berkelompok dan belum menekankan pada interaksi antara pasien dan perawat

yang intensif untuk merubah persepsi dan keyakinan diri pasien sehingga patuh

dalam melaksanakan pengobatan atas kesadaran dari diri sendiri.

Perawat merupakan faktor yang mempunyai peran penting pada pengelolaan

pasien TB dalam memfasilitasi terapi dan mengarahkan perilaku pasien yang

konstruktif agar pasien dapat termotivasi untuk patuh. Peran serta perawat untuk

ikut program pemerintah sangat diperlukan agar tidak terjadi gagal pengobatan

yang menyebabkan terjadinya MDR-TB atau XDR-TB. Selain dengan

mendukung program pemerintah yang salah satunya adalah dengan program

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 27: D2049-Tintin Sukartini.pdf

7

Universitas Indonesia

PMO, perawat perlu melakukan suatu pendekatan agar pasien patuh dalam

menjalankan pengobatan.

Saat ini perawat sudah memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien tetapi

masih belum optimal terbukti dari hasil studi pendahuluan masih banyak pasien

yang belum patuh melaksanakan pengobatan. Dari kajian tersebut dapat dijelaskan

bahwa ada kesenjangan antara pendidikan kesehatan yang sudah diberikan oleh

perawat dengan kepatuhan pasien yaitu masih kurang optimalnya interaksi antara

perawat dan pasien untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Berdasarkan fakta

tersebut perlu adanya suatu pendekatan baru yang menekankan adanya sistem

interaksi perawat dengan pasien agar pasien memiliki kemampuan sendiri untuk

mencapai kepatuhan. Model interaksi King digunakan untuk meningkatkan

interaksi perawat dan pasien sehingga meningkatkan kepatuhan melaksanakan

pengobatan untuk mencapai kesembuhan.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka teori kerangka kerja sistem interaksi dan

Middle range teori pencapaian tujuan dari King digunakan sebagai kerangka teori

dalam penelitian ini yang berfokus pada interaksi dinamis sistem personal, sistem

interpersonal dan sistem sosial dalam mencapai tujuan yaitu peningkatan

kepatuhan pasien TB Paru. Sistem personal menurut King menggambarkan

karakteristik individu dan individu dipandang sebagai sistem terbuka (Alligood &

Tomey, 2006). Sistem interpersonal menggambarkan interaksi dua orang atau

lebih seperti hubungan antara pasien, dan perawat. Sistem sosial adalah interaksi

yang menggambarkan hubungan yang lebih luas dari interpersonal seperti

hubungan antara pasien dan perawat dengan keluarga atau kelompok masyarakat.

King memandang manusia sebagai sistem personal yang terdiri dari konsep

persepsi, diri, pertumbuhan dan perkembangan, gambaran diri, pembelajaran,

waktu, ruang dan koping. Sistem interpersonal terbentuk ketika dua atau lebih

individu berinteraksi, bisa dua orang (dyad) atau tiga orang (triad). Dalam

memahami sistem interpersonal diperlukan pengetahuan mengenai komunikasi,

interaksi, peran, stres, stresor dan transaksi. Sedangkan sistem sosial merupakan

sistem interaksi kelompok yang membentuk masyarakat.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 28: D2049-Tintin Sukartini.pdf

8

Universitas Indonesia

Selain kajian tentang teori sistem interaksi dari King, model partnership

digunakan dalam melengkapi pengembangan model aplikasi King yang akan

dibangun pada pasien TB Paru. Model partnership menurut Notoatmojo (2010)

adalah model hubungan pasien dan perawat yang menekankan pada persamaan

(equity), keterbukaan (transparency) dan saling menguntungkan (mutual benefit).

Dari berbagai kajian model partnership, model partnership caring pada pasien

kanker dan partnership care pada pasien hipertensi menunjukan pengaruh yang

positif dalam menjalankan asuhan keperawatan. Model partnership memiliki

kesamaan dengan model sistem interaksi King yaitu merupakan suatu hubungan

yang sejajar antara perawat dan pasien dan merupakan hubungan yang bersifat

terbuka.

Selain kajian model partnership dan teori King, health promotion model (HPM)

Pender pada penelitian ini digunakan sebagai kerangka teori. HPM pada dasarnya

merupakan konsep yang didasarkan pada upaya memberdayakan kemampuan

seseorang dalam meningkatkan derajat kesehatannya. Teori HPM memandang

pentingnya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit sebagai sesuatu yang

logis dan ekonomis. Komitmen pada rencana tindakan merupakan faktor yang

sangat penting dalam perubahan perilaku yaitu tercapainya peningkatan kepatuhan

pada pasien TB paru. HPM memungkinkan pasien menilai keuntungan apa yang

diharapkan sehingga patuh dalam pengobatan. Dalam pengembangan model ini

komitmen pada rencana tindakan berdasarkan teori HPM adalah adanya motivasi

dan keyakinan diri pada pasien TB paru untuk mencapai perilaku kepatuhan.

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dikembangkan satu pendekatan atau model

baru yang dapat mengoptimalkan pelaksanaan asuhan keperawatan pada TB paru

yang berfokus pada sistem interaksi pasien TB paru untuk meningkatkan

kepatuhan pasien TB paru. Pengembangan model keperawatan peningkatan

kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King akan dikembangkan sehingga

tercapai tujuan yaitu meningkatnya kepatuhan pasien.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 29: D2049-Tintin Sukartini.pdf

9

Universitas Indonesia

Dalam pengembangan model ini, poli Paru RSU (Rumah Sakit Umum) Haji

Surabaya menjadi pilihan untuk lokasi penelitian kelompok intervensi dengan

beberapa pertimbangan yaitu RSU Haji Surabaya merupakan rumah sakit

pendidikan milik pemerintah daerah Jawa Timur dan rumah sakit tipe B di

wilayah Indonesia Timur. Pertimbangan lain adalah banyak pasien TB yang

berobat di Poli Paru sehingga sangat memungkinkan untuk dikembangkannya

model peningkatan kepatuhan. Sedangkan untuk kelompok kontrol dipilih RS.

Ibnu Sina Gresik dengan pertimbangan RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Ibnu

Sina Gresik setara dengan RSU Haji Surabaya, yaitu sama-sama milik pemerintah

daerah, melaksanakan program TB-DOTS dan memiliki karakteristik pasien yang

hampir sama. Dengan terpilihnya Poli Paru RSU Haji Surabaya dan RSUD Ibnu

Sina Gresik sebagai tempat penelitian, diharapkan model peningkatan kepatuhan

berbasis teori sistem interaksi King dapat dikembangkan dan dapat diterapkan

secara optimal sesuai kondisi poli serta dapat dijadikan rujukan oleh rumah sakit

lainnya.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian

Tuberkulosis paru merupakan penyakit kronis yang sejak tahun 1993 dinyatakan

sebagai kegawatdaruratan global oleh WHO. Walau terjadi penurunan kasus TB

selama kurun waktu 20 tahun terakhir dimana pada tahun 1990 prevalensi TB

adalah 443 per 100.000 penduduk menjadi 281 per 100.000 penduduk pada tahun

2011, namun beban penyakit TB masih sangat tinggi di masyarakat. Menurut

WHO tahun 2011 diperkirakan masih ditemukan sekitar 8.7 juta kasus TB paru

dan 1.4 juta meninggal akibat TB paru di dunia. Walaupun kasus baru ditemukan

dan diberi pengobatan namun pada pasien TB ada kecenderungan untuk

mengalami putus obat karena adanya perbaikan gejala dalam 2-4 minggu. Jika hal

ini dibiarkan maka akan menimbulkan dampak yang buruk bagi pasien. Masalah

yang masih ditemukan pada pasien TB di RS adalah ketidakpatuhan dalam

pengobatan. Petugas perawat masih belum optimal melaksanakan peran untuk

membuat pasien patuh dalam berobat. Program penyuluhan yang dilakukan pada

pasien terbukti belum efektif meningkatkan kepatuhan pasien sehingga perlu

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 30: D2049-Tintin Sukartini.pdf

10

Universitas Indonesia

dicari model yang lebih baik untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Pada saat ini

walaupun pemerintah sudah melaksanakan program PMO bagi pasien TB paru,

namun masih terdapat pasien yang tidak patuh dalam menjalankan pengobatan.

Keluarga sebagai PMO terbanyak pada pasien TB paru belum banyak

memberikan kontribusi yang maksimal agar pasien patuh untuk berobat.

Berdasarkan pertimbangan di atas maka selain dilaksanakannya program PMO

maka perlu alternatif intervensi keperawatan yang menekankan pada sistem

interaksi perawat dan pasien. Teori sistem interaksi King digunakan untuk

menekankan interaksi pasien dan perawat dimana perawat berfokus pada sistem

personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien sehingga pasien mampu

berkomitmen pada rencana tindakan sesuai dengan teori HPM untuk mencapai

kepatuhan. Berdasarkan pemaparan di atas maka peneliti merumuskan masalah

penelitian: Bagaimanakah efektifitas pengembangan Model peningkatan

kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan pada pasien

TB paru.

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat diuraikan pertanyaan penelitian

sebagai berikut:

1) Bagaimanakah pengembangan model peningkatan kepatuhan berbasis

teori sistem interaksi King pada pasien TB paru?

2) Adakah pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King terhadap pengetahuan pasien TB paru?

3) Adakah pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King terhadap self efficacy pasien TB paru?

4) Adakah pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King terhadap motivasi pasien TB paru?

5) Adakah pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King terhadap kepatuhan: pencegahan penularan pasien TB paru?

6) Adakah pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King terhadap kepatuhan nutrisi pasien TB paru?

7) Adakah pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King terhadap kepatuhan pengobatan pasien TB paru?

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 31: D2049-Tintin Sukartini.pdf

11

Universitas Indonesia

8) Adakah hubungan variabel perancu: usia, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan dengan pengetahuan, self

efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Didapatnya model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King

yang efektif terhadap kepatuhan pada pasien TB paru.

1.3.2 Tujuan Khusus:

Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1) Dikembangkannya model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King.

2) Mengidentifikasi pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori

sistem interaksi King terhadap pengetahuan pasien TB paru.

3) Mengidentifikasi pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori

sistem interaksi King terhadap self efficacy pasien TB paru.

4) Mengidentifikasi pengaruh model keperawatan peningkatan kepatuhan

berbasis teori sistem interaksi King terhadap motivasi pasien TB paru.

5) Mengidentifikasi pengaruh model keperawatan peningkatan kepatuhan

berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan: pencegahan

penularan pasien TB paru.

6) Mengidentifikasi pengaruh model keperawatan peningkatan kepatuhan

berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan:nutrisi pasien TB

paru.

7) Mengidentifikasi pengaruh model keperawatan peningkatan kepatuhan

berbasis teori sistem interaksi King terhadap kepatuhan pengobatan pasien

TB paru.

8) Mengidentifikasi hubungan variabel perancu: usia, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan dengan pengetahuan, self

efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 32: D2049-Tintin Sukartini.pdf

12

Universitas Indonesia

1.4. Manfaat Penelitian

1. Manfaat aplikatif

Penjelasan yang diperoleh dalam penelitian ini dapat digunakan

sebagai dasar terapi berbasis teori sistem interaksi King yang sangat

diperlukan perawat untuk melaksanakan asuhan keperawatan pada

pasien penyakit kronis dengan kepatuhan melaksanakan pengobatan

yang rendah.

2. Manfaat keilmuan

Hasil penelitian ini menunjang ilmu keperawatan khususnya

keperawatan medikal bedah. Penjelasan pengaruh model keperawatan

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap

kepatuhan pasien TB paru memberi kontribusi terhadap pengembangan

keilmuan khususnya teori aplikasi yang bisa langsung diterapkan

dalam asuhan kepada pasien.

3. Manfaat Metodologis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber referensi yang bermanfaat

bagi penelitian selanjutnya dan sebagai masukan untuk mendukung

pelaksanaan program pemerintah dalam mencapai target Global TB

yaitu penemuan kasus baru sebesar 90% dan angka angka kesembuhan

95%.

4. Manfaat kebijakan kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam

pengambilan keputusan yang terkait dengan peningkatan pelayanan

keperawatan TB paru di tatanan klinik dan membantu program

pengentasan TB paru dan menurunkan angka putus obat.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 33: D2049-Tintin Sukartini.pdf

13 Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab 2 ini menguraikan landasan teori yang berkaitan dengan teori

tuberkulosis paru, teori perilaku, framework sistem interaksi dan middle range

teori pencapaian tujuan dari King, health promotion model Pender, model

partnership, teori perilaku dan kerangka teori penelitian.

2.1 Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit kronis yang sudah sejak lama

diketahui keberadaannya. Keberadaan TB paru sering dihubungkan dengan daerah

urban yang padat dan kumuh. TB paru adalah suatu penyakit menular yang

disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosae dan merupakan salah satu

penyakit saluran pernafasan bagian bawah (Alsagaff & Mukti, 2005). Penyebab

TB paru adalah Mycobacterium tuberculosae, sejenis kuman berbentuk batang

dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um (Bahar & Amin, 2006).

A. Manifestasi Klinis dan Patofisiologi

Keluhan yang dirasakan oleh pasien dengan TB paru dapat bermacam-macam dan

kadang-kadang dijumpai tanpa keluhan. Beberapa manifestasi klinis TB paru

menurut Alsagaff dan Mukty (2005), yaitu:

1) Batuk

Gejala batuk adalah gejala yang paling banyak ditemukan. Gejala batuk

timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan.

Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa atau akibat rokok.

Proses yang paling ringan ini menyebabkan sekret akan terkumpul pada waktu

pasien tidur dan dikeluarkan saat pasien bangun pagi hari.

Bila proses destruksi berlanjut, sekret dikeluarkan terus menerus sehingga

batuk menjadi lebih dalam dan sangat mengganggu pasien pada waktu siang

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 34: D2049-Tintin Sukartini.pdf

14

Universitas Indonesia

maupun malam hari. Bila yang terkena trakea dan atau bronkus, batuk akan

terdengar sangat keras, lebih sering atau terdengar berulang-ulang

(paroksismal). Bila laring yang terserang, batuk terdengar sebagai hollow

sounding cough, yaitu batuk tanpa tenaga dan disertai suara serak.

2) Dahak

Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian

berubah menjadi mukoporulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen dan

kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi pengkejuan. Jarang

berbau busuk, kecuali bila terjadi infeksi anaerob.

3) Batuk darah

Darah yang dikeluarkan pasien mungkin berupa garis atau bercak-bercak

darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah yang sangat

banyak (profus). Batuk darah jarang merupakan tanda permulaan dari

penyakit tuberkulosis atau initial symptom karena batuk darah merupakan

tanda telah terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada

dinding kavitas. Oleh karena itu, proses tuberkulosis harus cukup lanjut untuk

dapat menimbulkan batuk dengan ekspektorasi.

4) Nyeri dada

Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Bila

nyeri bertambah berat telah terjadi pleuritik luas (nyeri dipelukan daerah

aksila, diujung scapula atau di tempat lain).

5) Wheezing

Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan

oleh sekret, bronkostenosis, peradangan, jaringan granulasi, ulserasi dan lain-

lain (pada tuberkulosis lanjut).

6) Dispneu

Dispneu merupakan late symptom dari proses lanjut tuberkulosis paru akibat

adanya restriksi dan obstruksi saluran pernafasan serta loss of vascular

bed/vascular trombosis yang dapat mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi

pulmonal dan korpulmonal.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 35: D2049-Tintin Sukartini.pdf

15

Universitas Indonesia

Usman (2008) menjelaskan bahwa faktor berat badan mempengaruhi gejala klinis,

berat badan yang kurang memiliki gejala yang lebih berat dibandingkan dengan

berat badan normal. Gejala klinis yang ditemukan secara umum adalah batuk

berat, sesak napas, sakit dada dan demam.

Alsagaff dan Mukty (2005) menjelaskan bahwa proses awal TB paru menahun

berupa satu atau lebih pneumonia lobuler yang juga disebut fokus dari “asman”.

Fokus ini mengambil tempat di daerah subklavikula yang sesuai dengan daerah

posterolateral dari lobus superior atau di lapangan tengah paru yang sesuai dengan

segmen superior dari lobus inferior, walaupun lokalisasi ini lebih jarang terjadi.

Lesi infiltrat dini ini selalu tidak stabil, dapat sembuh dengan jalan reabsorbsi

menjadi fibrosis, mengalami kalsifikasi atau dapat menjadi progresif yang proses

eksudatifnya menjadi bertambah luas, disertai dengan perkejuan-perlunakan dan

berakhir dengan timbulnya kavitas. Proses dikatakan menahun apabila

progresifitasnya berjalan perlahan-lahan atau ada kavitas yang disertai

penyembuhan di satu bagian, sedangkan di bagian lain dari paru proses masih

tetap aktif dan meluas.

B. Diagnosis TB Paru

Menurut Depkes RI (2007) diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat

ditegakkan dengan ditemukanya basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan dahak

secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua

dari tiga spesimen sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) BTA hasilnya positif. Bila hanya

1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto

rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau hasil rontgen

mendukung TB, maka pasien di diagnosis sebagai pasien TB BTA positif. Kalau

hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.

Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan lain,

misalnya biakan. Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik

spektrum luas (misalnya kotrimoksasol atau amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila

tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 36: D2049-Tintin Sukartini.pdf

16

Universitas Indonesia

pemeriksaan dahak SPS. Kalau hasil SPS positif, di diagnosis sebagai pasien TB

BTA positif. Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen

dada, untuk mendukung diagnosis TB. Bila hasil rontgen mendukung TB,

didiagnosis sebagai pasien TB BTA negatif rontgen positif. Bila hasil rontgen

tidak mendukung TB, pasien tersebut bukan TB.

Menurut Depkes (2007) tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu: kasus baru, kambuh pindahan,

setelah lalai dan lain-lain. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati

dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 Dosis

harian). Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian

kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. Pindahan

(transfer In) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten

lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Pasien pindahan tersebut

harus membawa surat rujukan/pindah (form TB. 09). Setelah lalai (pengobatan

setelah default/drop-out) adalah pasien yang sudah berobat paling kurang 1 bulan,

dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya

pasien tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. Di kategori

lain-lain ada kasus gagal dan kasus kronis. Dikatakan gagal jika pasien BTA

positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5

(satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih dan pasien dengan hasil BTA

negatif rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.

Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah

selesai pengobatan ulang kategori 2.

Menurut Alsagaff & Mukty (2005) aktifitas penyakit tuberkulosis paru dinyatakan

dalam aktif dan tenang. Aktif bila dahak mengandung basil tuberkulosis, bila ada

kavitas (kecuali open case dengan basil tahan asam dalam dahak negatif) dan

gambaran radiologis berbeda dengan foto tunggal maupun serial. Tenang

(quiescant) jika dahak tidak mengandung basil untuk jangka waktu paling sedikit

6 bulan, gambaran radiologis, tampak proses stabil atau hanya mengalami sedikit

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 37: D2049-Tintin Sukartini.pdf

17

Universitas Indonesia

perubahan. Dan masih ada kavitas (tetapi open case dengan basil tahan asam

negatif). Tidak aktif (in active) jika bakteriologis negatif pada pemeriksaan dahak

setiap bulan untuk jangka waktu paling sedikit 6 bulan, gambaran radiologi yang

dibuat serial menunjukkan proses stabil atau bertambah bersih sedikit atau

berkerut dan tidak tampak ada kavitas baik pada foto polos maupun pada

tomogram.

Penularan yang sering terjadi ialah melalui saluran pernafasan yang dikenal

sebagai droplet infection, dimana basil tuberkulosis dapat masuk sampai ke

alveoli. Penularan lebih mudah terjadi bila ada hubungan yang erat dan lama

dengan pasien tuberkulosis paru aktif, yakni golongan pasien yang dikenal sebagai

open case, bentuk penularan yang lain adalah melalui debu yang beterbangan

diudara yang mengandung basil tuberkulosis (Alsagaff & Mukty, 2005).

C. Komplikasi TB Paru

Menurut Bahar dan Amin (2006) penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani

dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi

dini dan komplikasi lanjut. Komplikasi dini meliputi pleuritis, efusi pleura,

empiema, laryngitis, menjalar ke organ lain: usus dan Poncet’s arthropath.

Komplikasi lanjutan: obstruksi jalan nafas: SOPT (sindrom obstruksi pasca

tuberkulosis) kerusakan parenkim berat: SOPT/fibrosis paru, kor pulmonal,

amiloidosis, karsinoma paru dan sindrom gagal nafas dewasa: acute respiratory

distress syndrome (ARDS).

Menurut Alsegaff dan Mukty (2005) sebelum ditemukan obat anti tuberkulosis,

pasien tuberkulosis paru mempunyai masa depan yang suram, seperti halnya

pasien kanker paru pada saat ini. Tetapi sejak ditemukan obat anti tuberkulosis,

maka masa depan pasien tuberkulosis paru sangat cerah. Kecuali pasien yang

telah mengalami relaps (kekambuhan), atau terjadi penyulit pada organ paru dan

organ lain di dalam organ dada, maka banyak pasien yang jatuh ke dalam

korpulmonal. Bila terbentuk kaverne yang cukup besar, kemungkinan batuk darah

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 38: D2049-Tintin Sukartini.pdf

18

Universitas Indonesia

hebat dapat terjadi dan keadaan ini sering menimbulkan kematian, walaupun

secara tidak langsung.

D. Faktor Risiko TB Paru

Menurut Achmadi (2008) faktor resiko adalah semua variabel yang berperan

menimbulkan kejadian penyakit. Faktor resiko TB saling berkaitan satu sama lain

dan dikelompokkan ke dalam kelompok faktor resiko kependudukan dan faktor

lingkungan. Banyak variabel kependudukan yang memiliki peran dalam

timbulnya atau kejadian penyakit TB paru, yaitu: jenis kelamin, umur, status gizi

dan kondisi sosial ekonomi. Faktor resiko lingkungan meliputi: kepadatan, lantai

rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban dan ketinggian.

1. Faktor resiko Kependudukan:

1) Jenis kelamin

Achmadi (2008) menyatakan bahwa berdasarkan catatan statistik meski

tidak selamanya konsisten mayoritas pasien TB paru adalah wanita. Hal ini

masih memerlukan penyelidikan dan penelitian lebih lanjut, baik pada

tingkat behavioural, tingkat kejiwaan, sistem pertahanan tubuh, maupun

tingkat molekuler. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Depkes (2008)

bahwa wanita termasuk kelompok rentan terserang TB selain anak, usia

lanjut, kelompok resiko penularan tinggi seperti tahanan dan kaum

pendatang.

2) Umur

Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit TB paru. Menurut Depkes

(2008) anak dan usia lanjut termasuk dalam kelompok rentan terkena TB

paru. Namun di Indonesia sebagian besar pasien TB Paru adalah usia

produktif, yakni 15 hingga 55 tahun.

3) Status Gizi

Status gizi, merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya

kejadian TB. Seperti diketahui, kuman TB paru merupakan kuman yang

suka “tidur” hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk

bangun dan menimbulkan penyakit, maka timbulah kejadian penyakit TB

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 39: D2049-Tintin Sukartini.pdf

19

Universitas Indonesia

Paru. Salah satu kekuatan daya tangkal untuk mencegah hal tersebut adalah

status gizi yang baik.

4) Kondisi sosial ekonomi

WHO dalam Achmadi (2008) menyebutkan 90% pasien TB didunia

menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Kondisi

sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya berhubungan secara

langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya

kondisi gizi buruk, serta kondisi rumah yang tidak sehat, dan akses terhadap

pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya.

2. Lingkungan

Faktor lingkungan yang memiliki peran dalam timbulnya atau kejadian penyakit

TB paru yaitu:

1) Kepadatan tempat tinggal

Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit.

Semakin padat, maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui

udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan dalam

rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian TB

paru

2) Lantai rumah

Secara hipotesis jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian

TB paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung

menimbulkan kelembaban, dengan demikian pertumbuhan kuman TB paru

di lingkungan juga sangat dipengaruhi.

3) Ventilasi

Menurut Budiyono (2003) ventilasi merupakan faktor yang berhubungan

dengan kejadian TB paru. Achmadi (2005) menyatakan bahwa ventilasi

bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta mengurangi

kelembaban. Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, dengan kata lain

mengencerkan konsentrasi kuman TB paru dan kuman lain, terbawa keluar

dan mati terkena sinar matahari.

4) Pencahayaan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 40: D2049-Tintin Sukartini.pdf

20

Universitas Indonesia

Menurut Achmadi (2008) rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup,

khususnya cahaya alam berupa cahaya matahari yang berisi antara lain sinar

ultraviolet. Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat tidak

menyilaukan. Budiyono (2003) menyatakan bahwa cahaya matahari masuk

rumah merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru.

5) Kelembaban

Mulyadi dalam Achmadi (2008) berdasarkan hasil penelitian di Kota Bogor

menjelaskan bahwa penghuni rumah yang mempunyai kelembaban ruang

keluarga lebih besar dari 60% beresiko terkena TB paru 10,7 kali dibanding

penduduk yang tinggal pada perumahan yang memiliki kelembaban lebih

kecil atau sama dengan 60%.

Faktor resiko TB paru juga didukung oleh studi yang dilakukan Tobing (2009)

yang menemukan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap potensi TB

adalah sikap, kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan, pendidikan, pengetahuan,

pembinaan petugas dan dukungan keluarga.

E. Pengobatan dan Penatalaksanaan

Menurut Achmadi (2008) sejak tahun 1995 program pemberantasan paru telah

dilaksanakan dengan strategi DOTS (directly observed treatment shortcourse)

yang direkomendasikan oleh WHO. Pelaksanaannya di Indonesia dibentuk

gerakan terpadu nasional (Gerdunas) TB yang dicanangkan oleh Presiden RI pada

tanggal 24 maret 1999 bertepatan dengan hari TB sedunia. Bank Dunia

menyatakan bahwa strategi DOTS ini adalah suatu strategi yang sangat cost

effective.

Ada 5 komponen kegiatan strategi DOTS ini yaitu:

1. Harus ada komitmen politik pada berbagai tingkatan, baik nasional maupun

kabupaten. Komitmen ini harus ditumbuhkan pada semua pihak, khususnya

yang dapat memberikan kontribusi sumber daya dan keputusan bersama.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 41: D2049-Tintin Sukartini.pdf

21

Universitas Indonesia

2. Diagnosis tuberkulosis paru harus dilaksanakan dengan metode pemeriksaan

dahak untuk mencari ada tidaknya kuman tahan asam TB yaitu BTA.

3. Pengobatan yang dilakukan adalah dengan paduan obat yang telah ditetapkan

dan disepakati, yaitu obat anti tuberkulosis (OAT) jangka pendek yang harus

diawasi oleh pengawas minum obat (PMO). Anggota PMO adalah keluarga

dekat, atau kerabat, kenalan, tokoh masyarakat yang bisa mengawasi

pelaksanaan minum obat bagi pasien yang bersangkutan.

4. Ketersediaan OAT dengan mutu yang baik harus terjamin selama pengobatan.

5. Pencatatan dan pelaporan yang baik, disertai analisis untuk evaluasi dan

pengembangan program.

Menurut Depkes (2007) prinsip pengobatan TB Paru adalah sebagai berikut:

Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah

cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman

persister) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan

sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat

yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman

TB akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin

kepatuhan pasien menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan

langsung (DOTS).

Pengawasan menelan obat adalah salah satu komponen DOTS untuk pengobatan

panduan OAT dengan pengawasan langsung. Dibawah ini akan diuraikan

mengenai persyaratan PMO, siapa yang bisa menjadi PMO, tugas PMO dan

informasi penting yang perlu disampaikan PMO pada pasien dan keluarganya

(Depkes, 2007).

a. Persyaratan PMO

Seseorang yang dikenal, yang dipercaya dan disetujui oleh petugas

kesehatan maupun pasien dan harus disegani serta dihormati oleh

pasien.

Seseorang yang tinggal dekat pasien

Bersedia membantu pasien dengan sukarela

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 42: D2049-Tintin Sukartini.pdf

22

Universitas Indonesia

Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan

pasien

b. Siapa yang menjadi PMO

Petugas kesehatan: bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru

immunisasi dan lain-lain.

Kader kesehatan, guru, anggota PKK (pembinaan kesejahteraan

keluarga), PPTI (perhimpunan pemberantasan tuberkulosis Indonesia)

atau tokoh masyarakat

Anggota keluarga.

c. Tugas PMO

Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai

pengobatan

Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat secara teratur

Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah

ditentukan

Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang

mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera

memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan

d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada

pasien dan keluarganya:

TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan

TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur

Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara

pencegahannya.

Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur

Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera

meminta pertolongan UPK (unit pelayanan kesehatan).

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 43: D2049-Tintin Sukartini.pdf

23

Universitas Indonesia

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

1. Tahap intensif

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung

untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin.

Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien

menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar

pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif.

2. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka

waktu yang lebih lama.

Menurut Depkes (2007) Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia

menggunakan paduan OAT: Kategori 1: 2HRZE/4H3R3; Kategori2:

2HRZES/HRZE/5H3R3E3; dan Kategori 3: 2HRZ/4H3R3. Disamping ketiga

kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk

memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)

pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1)

masa pengobatan.

1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari isoniosid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z) dan

etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan

(2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari

isoniasid (H) dan rifampisisn (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4

bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk: pasien baru TB paru BTA positif,

pasien TB paru BTA negatif rontgen positif yang sakit berat dan pasien TB

ekstra paru berat.

2. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3)

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yaitu terdiri dari 2 bulan dengan

isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), etambutol (E) dan suntikan

streptomisin setiap hari di UPK (unit pelayanan kesehatan). Dilanjutkan 1 bulan

dengan isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), dan etambutol (E) setiap

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 44: D2049-Tintin Sukartini.pdf

24

Universitas Indonesia

hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE

yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan

streptomisin diberikan setelah pasien selesai minum obat. Obat ini diberikan

untuk: pasien kambuh (relaps), pasien gagal (failure) dan pasien dengan

pengobatan setelah lalai (after default)

3. Kategori 3 (2HRZ/ 4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ),

diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali

seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan untuk: pasien baru BTA negatif dengan

rontgen positif sakit ringan, pasien ekstra paru ringan, yaitu kelenjar limfe

(limfadenitis), pleuritis eksudativa unilateral, TB kulit, TB tulang (kecuali

tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

4. OAT Sisipan (HRZE)

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan pasien baru BTA positif dengan

kategori 1 atau pasien BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil

pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap

hari selama 1 bulan.

Menurut Bahar dan Amin (2006) pasien kambuh adalah pasien yang telah

menjalani pengobatan secara teratur dan adekuat sesuai dengan rencana, tetapi

dalam kontrol ulangan ternyata sputum BTA kembali positif baik secara

mikroskopik langsung ataupun secara biakan. Umumnya kekambuhan terjadi pada

tahun pertama setelah pengobatan selesai, dan sebagian besar kumannya masih

sensitif terhadap obat-obat yang digunakan semula.

Menurut Bahar dan Amin (2006) penatalaksanaan terhadap pasien kambuh

adalah:

1. Lakukan pemeriksaan bakteriologis optimal yakni periksa sputum BTA

mikroskopis langsung 3 kali, biakan dan resistensi.

2 Evaluasi secara radiologis luasnya kelainan paru.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 45: D2049-Tintin Sukartini.pdf

25

Universitas Indonesia

3. Identifikasi adakah penyakit lain yang memberatkan tuberkulosis seperti

diabetes miletus, alkoholisme atau pemberian kortikosteroid yang lama.

4. Sesuaikan obat-obat dengan hasil tes kepekaan/resistensi.

5. Nilai kembali secara ketat hasil pengobatan secara klinis, radiologis, dan

bakteriologis tiap bulan selama pengobatan.

Menurut Depkes RI (2007) obat yang diberikan untuk pasien kambuh

menggunakan paduan OAT kategori 2 yaitu tahap intensif diberikan selama 3

bulan, yaitu terdiri dari 2 bulan dengan isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid

(Z), etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1

bulan dengan isoniasid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), dan etambutol (E)

setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan

HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.

Menurut Bahar dan Amin (2006) yang dapat menyebabkan kegagalan

pengobatan/kekambuhan adalah lesi paru yang terlalu luas/sakit berat, penyakit

lain yang menyertai seperti diabetes melitus, infeksi HIV serta adanya gangguan

imunologis. Terjadinya gangguan imunologis ini adalah akibat adanya kebiasaan

merokok dan minum alkohol serta pemakaian obat-obatan sejenis imunosupresan

dan kortikosteroid. Pada pasien tuberkulosis paru yang mempunyai penyakit

penyerta perlu mendapat perhatian atau pengawasan sesudah pengobatan selesai,

untuk mengontrol atau mendeteksi.

Pokok permasalahan pada perawatan pasien TB paru pada umumnya adalah

ketidakpatuhan menggunakan OAT, hal ini dapat terlihat dari studi yang

dilakukan oleh Castelnuovo (2010) bahwa faktor yang menyebabkan kegagalan

dalam berobat adalah jauh dari rumah sakit, tidak hadir saat pengarahan pertama

pengobatan TB, kurangnya pemeriksaan dahak berulang, tidak melanjutkan

pengobatan setelah fase intensif, mengalami efek samping obat, tidak ada

dukungan keluarga, pengetahuan yang buruk tentang pengobatan TB, usia lebih

dari 25 tahun dan penggunaan transportasi umum.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 46: D2049-Tintin Sukartini.pdf

26

Universitas Indonesia

Studi lain yang dilakukan oleh Daryatno (2003) menjelaskan faktor-faktor yang

mempengaruhi kekambuhan pasien TB paru adalah status gizi dengan indeks

masa tubuh (IMT) < 18.5, riwayat minum obat tidak teratur dan kebiasaan

merokok. Status gizi dengan IMT < 18.5 memiliki risiko untuk kambuh 20 kali

dibanding status gizi > 18.5. Status gizi yang buruk mengakibatkan kelemahan

fisik dan penurunan daya tahan tubuh yang meningkatkan risiko kekambuhan.

Riwayat minum obat tidak teratur memiliki risiko 43.46 kali untuk kambuh

dibandingkan dengan yang minum obat teratur. Kebiasaan merokok 1-10 batang

memiliki risiko 15 kali, merokok 20-30 batang memiliki risiko 40-50 kali dan

merokok 40-50 batang memiliki risiko 70-80 kali untuk kambuh dibanding yang

tidak merokok.

Ketidakpatuhan atau ketidakteraturan dalam pengobatan (dosis, jangka waktu dan

panduan obat) pada pasien TB paru dapat mengakibatkan terhalangnya

kesembuhan. Kepatuhan minum obat diukur dari kesesuaian dengan aturan yang

ditetapkan, dengan pengobatan lengkap sampai selesai dalam jangka waktu yang

telah ditentukan. OAT harus ditelan secara teratur sesuai dengan jadwal untuk

menghindari terjadinya kegagalan pengobatan dan terjadinya kekambuhan.

Ketidakpatuhan pasien dalam meminum obat dipengaruhi salah satunya oleh

perilaku pasien tersebut. Berikut akan diulas teori perilaku yang mendasari

perilaku seseorang.

2.2 Teori Perilaku

Perilaku pada dasarnya adalah aktivitas atau tindakan manusia. Perilaku

merupakan faktor penting dari pendidikan kesehatan yang bertujuan untuk

merubah perilaku seseorang. Menurut Notoatmojo (2010) perilaku kesehatan

sebagai tujuan dari pendidikan kesehatan sekurang-kurangnya harus memiliki 3

dimensi yaitu:

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 47: D2049-Tintin Sukartini.pdf

27

Universitas Indonesia

a. Mengubah perilaku negatif (tidak sehat) menjadi perilaku positif (sesuai

nilai-nilai kesehatan)

b. Mengembangkan perilaku positif (pembentukan dan pengembangan

perilaku sehat)

c. Memelihara perilaku yang sudah positif atau perilaku yang sudah sesuai

dengan norma/nilai kesehatan (perilaku sehat).

Perubahan perilaku memerlukan waktu yang relatif lama. Menurut Notoatmojo

(2007) secara teori perubahan perilaku terjadi melalui 3 tahap yaitu: pengetahuan,

sikap dan tindakan. Pengetahuan berarti sebelum seseorang mengadopsi perilaku

maka harus tahu dulu apa arti dan manfaat perilaku tersebut bagi dirinya dan

keluarganya, misalnya: pengetahuan tentang sakit dan penyakitnya. Sikap adalah

menilai atau bersikap terhadap obyek kesehatan tersebut. Indikator untuk sikap

sejalan dengan dengan indikator pengetahuan kesehatan. Praktik adalah perilaku

kesehatan yang terlihat. Praktik kesehatan muncul setelah seseorang mengetahui

stimulus kesehatan dan setelah melakukan penilaian terhadap stimulus tersebut.

Indikator praktik atau perilaku kesehatan mencakup tindakan (praktik)

sehubungan dengan penyakit misalnya: pencegahan penyakit dan penyembuhan

penyakit; tindakan (praktik) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan misalnya

mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang, melakukan olahraga secara teratur,

tidak merokok; tindakan (praktik) kesehatan lingkungan seperti membuang air

besar di jamban dan membuang sampah di tempat sampah.

Karena perubahan perilaku merupakan tujuan akhir dari pendidikan kesehatan,

maka di bawah ini akan dibahas teori perubahan perilaku dalam keperawatan,

teori pengetahuan, teori self efficacy, teori motivasi, kebutuhan nutrisi pasien TB

paru dan teori kepatuhan.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 48: D2049-Tintin Sukartini.pdf

28

Universitas Indonesia

A. Theory of Reasoned Action (TRA) dan Theory of Planned Behavior

(TPB)

TRA dikembangkan pertama kali tahun 1967 yang bertujuan untuk mempelajari

hubungan antara sikap dan perilaku. TRA telah banyak digunakan pada berbagai

studi namun kemudian dikritik oleh Ajben yaitu mengenai perilaku yang

dipengaruhi langsung oleh intensi, Ajben dan Fishben membatasi intensi hanya

pada perilaku yang dikontrol oleh kehendak. Pada tahun 1985 Ajzen membuat

TPB untuk mengatasi kekurangan tersebut (Peterson dan Brewdow, 2004). Pada

dasarnya TRA dan TPB mengasumsikan bahwa individu memiliki pertimbangan

rasional mengenai dampak dari tindakan mereka. Sebelum mereka memutuskan

terlibat atau tidak terlibat dalam perilaku spesifik tertentu maka mereka

mempertimbangkan secara cermat dan mencari informasi yang tersedia kemudian

memutuskan perilaku mereka. Hubungan antara konstruksi TRA dan TPB dapat

dilihat pada gambar 2.1 dan 2.2 di bawah ini:

Gambar 2.1 Theory of Reasoned Action menurut Ajzen dan Fishben (Peterson dan

Brewdow, 2004)

Variabel

eksternal

Keyakinan

perilaku

Keyakinan

normatif

Sikap

Norma

subyektif

Intensi

perilaku Perilaku

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 49: D2049-Tintin Sukartini.pdf

29

Universitas Indonesia

Gambar 2.2 Theory of Planned Behavior menurut Ajzen (Peterson dan Brewdow,

2004)

a. Intensi perilaku

Intensi perilaku adalah motivasi individu untuk terlibat dalam perilaku

yang spesifik. Hal ini mengindikasikan upaya individu untuk berinvestasi

dalam perilaku. Determinan dari intensi perilaku adalah sikap, norma

subyektif dan persepsi kontrol perilaku.

b. Determinan intensi perilaku

Determinan intensi perilaku meliputi sikap, norma subyektif dan persepsi

kontrol perilaku.

Sikap: secara umum sikap didefinisikan sebagai tendensi

psikologis yang dilakukan seseorang berkenaan dengan suatu

obyek. Misalnya, menyukai atau tidak menyukai, menyetujui atau

tidak menyetujui.

Norma subyektif: norma subyektif mengacu pada penilaian

subyektif seseorang tentang preferensi/rujukan lain yang signifikan

dan dukungan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku

yang spesifik.

Variabel

eksternal

Keyakinan

perilaku

Keyakinan

normatif

Sikap

Norma

subyektif

Intensi

perilaku Perilaku

Keyakinan

kontrol

Persepsi

kontrol

perilaku

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 50: D2049-Tintin Sukartini.pdf

30

Universitas Indonesia

Persepsi kontrol perilaku: TPB menambahkan perilaku yang

dipersepsikan sebagai determinan ketiga dari intensi perilaku.

Konstruksi ini ditambahkan dalam upaya untuk memperluas

kesesuaian TRA untuk perilaku yang dibawah kendali kehendak,

yaitu perilaku yang tidak hanya tergantung keputusan seseorang

tapi juga berdasarkan kemampuan, sumber daya dan kesempatan

yang tidak selalu tersedia. Persepsi kontrol perilaku didefinisikan

sebagai persepsi individu tentang kemudahan dan kesulitan bagi

dia untuk melakukan perilaku.

B. Pengetahuan

Pengetahuan menurut Notoatmojo (2003) pengetahuan adalah hasil tahu dari

manusia yang sekedar menjawab pertanyaan “apa”. Pengetahuan merupakan hasil

dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu

obyek tertentu. Pengindraan, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan kognitif

merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk perilaku seseorang.

Dalam domain kognitif menurut Benyamin Bloom yang direvisi oleh Anderson

dan Krathwohl (2001 dalam Widodo, 2006) mencakup 6 (enam) tingkat, yaitu :

1) Mengingat (remember)

Mengingat adalah usaha mendapatkan kembali pengetahuan dari

memori atau ingatan. Memori bisa yang baru saja didapatkan atau

sudah lama didapatkan.Mengingat meliputi mengenali (recognition)

dan memanggil kembali (recalling).

2) Memahami/mengerti (understand)

Memahami adalah membangun sebuah pengertian dari berbagai

sumber. Memahami mencakup tujuh proses kognitif yaitu menafsirkan

(interpreting), memberikan contoh (exemplifying), mengklasifikasikan

(classifying), meringkas (summarizing), menarik inferensi (inferring),

membandingkan (comparing), dan menjelskan (explaining).

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 51: D2049-Tintin Sukartini.pdf

31

Universitas Indonesia

3) Menerapkan (apply)

Menerapkan merupakan proses kognitif memanfaatkan atau

mempergunakan suatu prosedur untuk melaksanakan percobaan atau

menyelesaikan permasalahan. Menerapkan berkaitan dengan dengan

dimensi pengetahuan prosedural (procedural knowledge) yaitu

menjalankan prosdur (executing) dan mengimplementasikan

(implementing).

4) Menganalisis (analyze)

Menganalisis adalah memecahkan atau misahkan tiap-tiap bagian dari

suatu permasalahan dan mencari keterkaitan dari tiap-tiap bagian

tersebut dan mencari tahu bagaimana keterkaitan tersebut

menimbulkan permasalahan. Menganalisis berkaitan dengan proses

kognitif menguraikan (differentiating), mengorganisasikan

(organizing) dan memberi atribut (atributting).

5) Mengevaluasi (evaluate)

Mengevaluasi adalah proses kognitif memberikan penilaian

berdasarkan kriteria dan standar yang sudah ada. Evaluasi meliputi

mengecek (checking) dan mengkritisi (critiquing). Mengecek

mengarah pada kegiatan pengujian hal-hal yang tidak konsisten atau

kegagalan dari suatu operasi atau produk. Mengkritisi mengarah pada

penilaian suatu operasi atau produk berdasarkan pada kriteria atau

standar eksternal.

6) Menciptakan (create)

Menciptakan merupakan kegiatan menggabungkan beberapa unsur

menjadi suatu bentuk kesatuan. Ada tiga macam proses kognitif yang

tergolong dalam kategori ini adalah membuat (generating),

merencanakan (planning), atau memproduksi (producing).

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 52: D2049-Tintin Sukartini.pdf

32

Universitas Indonesia

C. Self Efficacy

Bandura (1997) mendefinisikan self efficacy sebagai suatu keyakinan seseorang

tentang kemampuannya dalam melakukan aktivitas tertentu yang akan

berpengaruh terhadap kehidupannya. Self efficacy akan menentukan bagaimana

seseorang merasa, berpikir, dan memotivasi dirinya sendiri untuk bertindak atau

berperilaku.

Menurut Bandura (1997) self efficacy seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Self efficacy tersebut dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan

melalui salah satu atau kombinasi empat faktor yang terdiri atas :

1) Performance accomplishment

Merupakan suatu pengalaman menguasai sesuatu prestasi atau prestasi yang

pernah dicapai oleh individu tersebut di masa lalu. Faktor ini adalah pembentuk

self efficacy yang paling kuat. Prestasi yang baik pada masa lalu yang pernah

dialami oleh subyek akan membuat peningkatan pada ekspektasi efikasi,

sedangkan pengalaman kegagalan akan menurunkan efikasi individu.

2) Vicarious experience

Seseorang dapat belajar dari pengalaman orang lain, dan meniru perilaku mereka

untuk mendapatkan seperti apa yang orang lain peroleh. Self efficacy akan

meningkat jika mengamati keberhasilan yang telah dicapai oleh orang lain,

sedangkan sebaliknya self efficacy akan menurun apabila individu mengamati

seseorang yang memiliki kemampuan setara dengan dirinya mengalami

kegagalan. Pengaruh yang diberikan faktor ini terhadap self efficacy adalah

berdasarkan kemiripan orang yang diamati dengan diri pengamat itu sendiri.

Semakin orang yang diamati memiliki kemiripan dengan dirinya, maka semakin

besar potensial self efficacy yang akan disumbangkan oleh faktor ini.

3) Verbal persuasion

Persuasi verbal dapat mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak atau

berperilaku. Individu mendapat pengaruh atau sugesti bahwa ia mampu mengatasi

masalah-masalah yang akan dihadapi. Seseorang yang senantiasa diberikan

keyakinan dan dorongan untuk sukses, maka akan menunjukkan perilaku untuk

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 53: D2049-Tintin Sukartini.pdf

33

Universitas Indonesia

mencapai kesuksesan tersebut, begitupun sebaliknya. Faktor ini sifatnya berasal

dapat berasal dari luar atau dalam diri individu sendiri, namun yang membedakan

dengan vicarious experience adalah pada faktor ini subyek mendapatkan feedback

langsung dari pihak lain, sedangkan pada vicarious experience subyek sendirilah

yang secara aktif mengamati pihak lain tanpa intervensi dari pihak yang diamati.

Besar pengaruh yang dapat diberikan oleh pemberi persuasi adalah rasa percaya

kepada pemberi persuasi serta kriteria kerealistisan tentang apa yang

dipersuasikan. Selain itu, subyek dapat memberikan persuasi kepada dirinya

sendiri dengan semacam self talk kepada dirinya sendiri.

4) Emotional arousal

Kondisi emosional (mood) juga mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang

terkait self efficacy-nya. Keadaan emosi yang menyertai individu ketika dirinya

sedang melakukan suatu kegiatan akan mempengaruhi self efficacy seseorang

pada bidang tersebut. Emosi yang dimaksudkan adalah emosi yang kuat seperti

takut, stres, cemas dan gembira. Emosi-emosi tersebut dapat meningkatkan

ataupun menurunkan self - efficacy seseorang.

Menurut Bandura (1994) self efficacy akan mempengaruhi proses dalam diri

manusia, yaitu :

1) Proses kognitif

Self efficacy mempengaruhi bagaimana pola pikir yang dapat mendorong atau

menghambat perilaku seseorang. Self efficacy yang tinggi mendorong

pembentukan pola pikir untuk mencapai kesuksesan, dan pemikiran akan

kesuksesan akan memunculkan kesuksesan yang nyata, sehingga akan semakin

memperkuat self efficacy seseorang.

2) Proses motivasional

Self efficacy merupakan salah satu hal terpenting dalam mempengaruhi diri sendiri

untuk membentuk sebuah motivasi. Kepercayaan self efficacy mempengaruhi

tingkatan pencapaian tujuan, kekuatan untuk berkomitmen, seberapa besar usaha

yang diperlukan, dan bagaimana usaha tersebut ditingkatkan ketika motivasi

menurun.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 54: D2049-Tintin Sukartini.pdf

34

Universitas Indonesia

3) Proses afektif

Self efficacy berperan penting dalam mengatur kondisi afektif. Self efficacy

mengatur emosi seseorang melalui beberapa cara, yaitu seseorang yang percaya

bahwa mereka mampu mengelola ancaman tidak akan mudah tertekan oleh diri

mereka sendiri, dan sebaliknya seseorang self efficacy yang rendah cenderung

memperbesar resiko. Seseorang dengan self efficacy yang tinggi memiliki kontrol

pemikiran yang lebih baik, dan self efficacy yang rendah dapat mendorong

munculnya depresi.

4) Proses seleksi

Proses kognitif, motivasional, dan afektif akan memungkinkan seseorang untuk

membentuk tindakan dan sebuah lingkungan yang membantu dirinya dan

bagaimana mempertahankannya.

Menurut Bandura (1994) suatu perubahan tingkah laku hanya akan terjadi apabila

adanya perubahan self efficacy pada individu yang bersangkutan. Perubahan self

efficacy perlu dilakukan untuk memperbaiki kesulitan dan adaptasi tingkah laku

individu yang memiliki masalah perilaku. Berikut adalah gambar skema proses

pengubahan self efficacy.

Gambar 2.3 Sumber-sumber self efficay dan proses pegubahannya

(Bandura, 1994)

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 55: D2049-Tintin Sukartini.pdf

35

Universitas Indonesia

1) Performance accomplishment

(1) Participant modelling. Hal ini dilakukan dengan menirukan model yang

telah berprestasi atau sukses dalam bidang tertentu.

(2) Performance desensitization, merupakan upaya menghilangkan pengaruh

buruk akibat kegagalan pada masa lalu. Apabila cara yang ditempuh

berhasil untuk bangkit dari kebangkrutan terdahulu, maka self efficacy

akan meningkat.

(3) Performance exposure. Menonjolkan keberhasilan yang pernah diraih

dibandingkan kegagalan. Contohnya jika seseorang pernah tidak naik

kelas, maka hal yang dilakukan adalah dengan mengingatkan kembali

prestasi lain pada masa lalu pernah dicapainya.

4) Self-instructed performance. Melatih diri untuk melakukan yang terbaik

sehingga seseorang mampu untuk menekan dirinya sendiri sampai ke batas

maksimalnya.

2) Vicarious experience

(1) Live modelling, dengan cara mengamati model yang nyata di dunia atau

lingkungan yang mempunyai kemiripan tujuan dan karakteristik.

(2) Symbolic modelling, dengan cara mengamati model simbolik, film, komik,

cerita yang menceritakan keberhasilan atau kesuksesan mencapai tujuan

yang mempunyai kemiripan dengan karakteristik individu .

3) Verbal persuasion

(1) Sugestion. Mempengaruhi dengan kata-kata berdasarkan kepercayaan

subyek terhadap pemberi persuasi. Contohnya hipnoterapis yang

memberikan sugesti kepada seorang siswa yang takut pelajaran

matematika agar ketakutannya tersebut hilang.

(2) Exhortation. Nasihat atau peringatan yang mendesak/memaksa seperti

yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya ketika masih kecil.

(3) Self-instruction. Selain dapat diberikan oleh orang lain, persuasi juga dapat

diberikan oleh subyek kepada diriya sendiri dengan berkomunikasi dengan

dirinya sendiri untuk dapat melakukan sesuatu.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 56: D2049-Tintin Sukartini.pdf

36

Universitas Indonesia

(4) Intrepretive treatment. Menggunakan interpretasi baru yang berdasarkan

fakta lebih meyakinkan daripada memperbaiki interpretasi lama yang salah

dan cenderung menurunkan self - efficacy.

4) Emotional arousal

(1) Attribution. Mengubah atribusi atau penanggungjawab suatu kejadian

emosional. Hal ini berkaitan dengan cara pandang yang biasa digunakan

oleh subyek. Contohnya subyek yang merasa bahwa kemampuan

matematikanya rendah adalah dikarenakan pengajarnya di sekolah tidak

menyenangkan (eksternal), dapat diubah dengan memberikan gambaran

detil tentang teori atribusi.

(2) Relaxation biofeedback. Relaksasi digunakan untuk menurunkan

gelombang otak subyek sehingga lebih mudah untuk menerima sesuatu

dibandingkan ketika seseorang berada pada kondisi sadar penuh

(gelombang otak beta). Dengan melakukan relaksasi, gelombang otak akan

turun sampai ke level alpha.

(3) Symbolic desensilization. Menghilangkan sikap emosional dengan

modeling simbolik seperti benda-benda mati yang memiliki karakteristik

sama dengan sikap emosional positif yang diharapkan.

(4) Symbolic exposure. Memunculkan emosi secara simbolik yang

menguntungkan (meningkatkan self - efficacy) meskipun sedang tidak

dalam kondisi yang semestinya. Contohnya ketika sedang melakukan

pekerjaan yang kantor yang berat, seseorang diminta untuk

membayangkan keadaan emosinya ketika sedang berlibur.

D. Motivasi

Menurut Jhon Elder (dalam Notoatmojo, 2007), motivasi adalah sebagai interaksi

antara perilaku dan lingkungan sehingga dapat meningkatkan, menurunkan atau

mempertahankan perilaku. Menurut Terry G. (dalam Notoatmodjo, 2007),

motivasi adalah keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu yang

mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan (perilaku), sedangkan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 57: D2049-Tintin Sukartini.pdf

37

Universitas Indonesia

menurut Stooner (dalam Notoatmodjo, 2007), motivasi adalah sesuatu hal yang

menyebabkan dan yang mendukung tindakan atau perilaku seseorang.

Menurut Notoatmodjo (2007), motivasi mempunyai 3 (tiga) fungsi yaitu:

1. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor

yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor

penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.

2. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai.

Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang

harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuan yang sudah direncanakan

sebelumnya.

3. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang

harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan

perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Pilihan

perbuatan yang sudah ditentukan atau dikerjakan akan memberikan

kepercayaan diri yang tinggi karena sudah melakukan proses penyeleksian.

Dibawah ini akan diuraikan beberapa teori motivasi:

1) Teori motivasi Abraham Maslow (1943)

Abraham Maslow (1943 dalam Nursalam, 2014) mengemukakan bahwa

pada dasarnya semua manusia memiliki kebutuhan pokok. Ia

menunjukkannya dalam 5 tingkatan yang berbentuk piramid, orang

memulai dorongan dari tingkatan terbawah. Lima tingkat kebutuhan itu

dikenal dengan sebutan Hirarki Kebutuhan Maslow, dimulai dari

kebutuhan biologis dasar sampai motif psikologis yang lebih kompleks;

yang hanya akan penting setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan

pada suatu peringkat paling tidak harus terpenuhi sebagian sebelum

kebutuhan pada peringkat berikutnya menjadi penentu tindakan yang

penting.

(1) Kebutuhan fisiologis (rasa lapar, rasa haus, dan sebagainya)

(2) Kebutuhan rasa aman (merasa aman dan terlindung, jauh dari

bahaya)

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 58: D2049-Tintin Sukartini.pdf

38

Universitas Indonesia

(3) Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (berafiliasi dengan

orang lain, diterima, memiliki)

(4) Kebutuhan akan penghargaan (berprestasi, berkompetensi, dan

mendapatkan dukungan serta pengakuan)

(5) Kebutuhan aktualisasi diri (kebutuhan kognitif: mengetahui,

memahami, dan menjelajahi; kebutuhan estetik: keserasian,

keteraturan, dan keindahan; kebutuhan aktualisasi diri:

mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya)

2) Teori motivasi Herzberg (1966)

Menurut teori motivasi Herzberg (1966 dalam Nursalam, 2014) ada dua

jenis faktor yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai

kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan. Dua faktor itu

disebutnya faktor higiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor

intrinsik). Faktor higiene memotivasi seseorang untuk keluar dari

ketidakpuasan, termasuk didalamnya adalah hubungan antar manusia,

imbalan, kondisi lingkungan, dan sebagainya (faktor ekstrinsik),

sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang untuk berusaha

mencapai kepuasan, yang termasuk didalamnya adalah achievement,

pengakuan, kemajuan tingkat kehidupan, (faktor intrinsik).

3) Teori Vroom (1964 dalam Nursalam, 2014) menerangkan tentang

cognitive theory of motivation yang menjelaskan mengapa seseorang tidak

akan melakukan sesuatu yang ia yakini jika ia tidak dapat melakukannya,

sekalipun hasil dari pekerjaan itu sangat dapat ia inginkan. Menurut

Vroom, tinggi rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga

komponen, yaitu:

(1) Ekspektasi (harapan) keberhasilan pada suatu tugas

(2) Instrumentalis, yaitu penilaian tentang apa yang akan terjadi jika

berhasil dalam melakukan suatu tugas (keberhasilan tugas untuk

mendapatkan outcome tertentu).

(3) Valensi, yaitu respon terhadap outcome seperti perasaan positif,

netral, atau negatif. Motivasi tinggi jika usaha menghasilkan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 59: D2049-Tintin Sukartini.pdf

39

Universitas Indonesia

sesuatu yang melebihi harapan motivasi rendah jika usahanya

menghasilkan kurang dari yang diharapkan.

4) Theory Achievement Mc Clelland (1961)

Teori Mc Clelland (1961 dalam Nursalam, 2014) menyatakan bahwa ada

tiga hal penting yang menjadi kebutuhan manusia, yaitu:

(1) Need for achievement (kebutuhan akan prestasi)

(2) Need for afiliation (kebutuhan akan hubungan sosial)

(3) Need for Power (dorongan untuk mengatur)

E. Nutrisi

Kebanyakan pasien TB paru mengalami penurunan berat badan karena proses

penyakit. Peningkatab berat badan pasien diperlukan sebagai salah satu upaya

untuk meningkatkan daya tahan tubuh dalam melawan penyakit maka diperlukan

gizi yang seimbang. Menurut Instalasi Gizi Perjan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo

dan Asosiasi Dietisien Indonesia (2010) gizi seimbang adalah gizi yang

dibutuhkan untuk memelihara kesehatan dan mencapai status gizi seimbang.

Berdasarkan gizi seimbang makanan dikelompokkan dalam tiga fungsi utama zat

gizi yaitu:

1. Sumber energi atau tenaga: yaitu padi-padian seperti beras, jagung, dan

gandum, sagu, umbi-umbian seperti ubi, singkong, talas serta hasil

olahannya seperti tepung-tepungan, mi, roti, makaroni dan bihun

2. Sumber protein yaitu sumber protein hewani seperti daging, ayam, telur,

susu dan keju, serta sumber protein nabati seperti kacang-kacangan berupa

kacang kedelai, kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, dan kacang

tolo serta hasil olahannya seperti tempe, tahu, susu kedelai dan oncom.

3. Sumber zat pengatur berupa sayuran dan buah. Sayuran diutamakan yang

berwarna hijau dan kuning jingga seperti bayam, daun singkong, katuk,

kangkung, wortel dan tomat serta sayur kacang-kacangan seperti kacang

panjang, buncis dan kecipir. Buah-buahan diutamakan yang berwarna

kuning jingga seperti pepaya, mangga, apel dan jeruk.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 60: D2049-Tintin Sukartini.pdf

40

Universitas Indonesia

Diet pada pasien TB Paru adalah diet Energi Tinggi Protein Tinggi (ETPT) yaitu

diet yang mengandung energi dan protein di atas kebutuhan normal. Makanan

yang diberikan dalam bentuk biasa ditambah protein tinggi seperti susu, telur dan

daging. Adapun tujuan diet ETPT adalah untuk:

1. Memenuhi Kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk

mencegah, mengurangi dan memperbaiki kerusakan pada jaringan paru.

2. Menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal.

Dibawah ini ada bahan makanan yang dianjurkan yang dianjurkan pada pasien TB

paru:

1. Sumber karbohidrat: nasi, roti, mi, ubi, makaroni dan hasil olah tepung-

tepungan seperti cake, puding, dodol.

2. Sumber protein hewani: daging sapi, ayam, ikan, telur, susu dan hasil olahan

seperti keju, yougurt dan es krim

3. Sumber protein nabati: Semua jenis kacang-kacangan dan hasil olahnya

seperti tahu dan tempe.

4. Sayur: semua jenis sayuran seperti bayam, buncis, daun singkong, kacang

panjang, labu siam dan wortel, dikukus dan ditumis

5. Buah-buahan: Semua jenis buah-buahan segar, buah kaleng dan jus buah

6. Lemak dan minyak: minyak goreng, mentega, margarin, santan encer.

7. Minuman: madu, sirup, teh dan kopi encer

8. Bumbu: bumbu tidak tajam seperti bawang merah, bawang putih, laos, salam,

kecap.

Pada dasarnya tidak ada pantangan pada pasien TB paru, tapi ada beberapa bahan

makanan yang tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan asam lambung

sehingga dapat mengakibatkan pasien mudah terangsang untuk batuk saat asam

lambung mengiritasi tenggorokan. Bahan makan yang tidak dianjurkan

diantaranya:

1. Dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan kental

2. Bumbu yang tajam seperti cabe dan merica

3. Gorengan dan es terutama saat batuk.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 61: D2049-Tintin Sukartini.pdf

41

Universitas Indonesia

F. Kepatuhan

Kepatuhan menurut Sacket dan Haynes (1976 dalam Rankin & Stallings, 2001)

didefinisikan sebagai perilaku pasien (minum obat, mengikuti diet dan perubahan

gaya hidup lainnya) yang berkaitan dengan resep klinis. Lebih lanjut lagi mereka

menjelaskan bahwa penyajian data kepatuhan memiliki relevansi klinis jika hal

tersebut berkaitan dengan pencapaian dari tujuan pegobatan. Pertama terkait

dengan kepatuhan terhadap pengendalian penyakit yang berkaitan dengan

pengobatan dokter (kontrol hasil mematuhi resep pengobatan). Dokter

menentukan dosis dan waktu pengobatan, diet khusus yang harus diikuti dan jenis

pemantauan tubuh yang harus dilakukan. Kepatuhan diukur melalui pencapaian

pasien dalam kegiatan ini.

Kedua, kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang ditentukan dalam kepatuhan

atau ketidakpatuhan. Menurut Hays dan Dimatteo (1987 dalam Rankin &

Stallings, 2001) ketidakpatuhan didefinisikan sebagai kegagalan pasien untuk

memenuhi resep klinis seperti yang dimaksudkan oleh praktisi kesehatan.

Menurut Leventhal, Zimmerman, dan Guttman, 1984; Trostle (1988 dalam

Rankin & Stallings, 2001) ketidakpatuhan pasien akan resep medis disebabkan

oleh kurang pengetahuan, pemberontakan atau ketidakstabilan emosional.

Menurut teori Feuerstein (1986 dalam Niven, 2000) terdapat 5 faktor yang

mendukung kepatuhan pasien antara lain:

1. Pendidikan

Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa

pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan

buku-buku dan kaset oleh pasien secara mandiri.

2. Akomodasi

Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang

dapat mempengaruhi kepatuhan. Sebagai contoh, pasien yang lebih mandiri

harus dapat merasakan bahwa ia dilibatkan secara aktif dalam program

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 62: D2049-Tintin Sukartini.pdf

42

Universitas Indonesia

pengobatan, sementara pasien yang lebih mengalami ansietas dalam

menghadapi sesuatu, harus diturunkan dahulu tingkat ansietasnya dengan

cara meyakinkan dia atau dengan teknik-teknik lain sehingga ia termotivasi

untuk mengikuti anjuran pengobatan.

3. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial

Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman.

Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan

terhadap program-program pengobatan.

4. Perubahan model terapi

Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien

terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.

5. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien

Adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah

memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan

tentang diagnosisnya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka

lakukan dengan kondisi seperti itu.

Menurut Taylor (1991 dalam Niven, 2000), ada beberapa variabel yang

berhubungan dengan kepatuhan:

1. Ciri-ciri kesehatan dan pengobatan

Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis karena tidak ada akibat

buruk yang langsung dirasakan pengobatan yang komplek dan pengobatan

dengan efek samping. Tingkat kepatuhan rata-rata minum obat untuk

penyembuhan penyakit akut (kasus baru) dengan pengobatan jangka pendek

adalah sekitar 78%. Pada penyakit kronis dengan pengobatan jangka panjang,

tingkat kepatuhan minum obat menurun sampai 54%.

2. Ciri-ciri individu

Variabel demografi juga digunakan untuk meramal kepatuhan seseorang,

sebagai contoh di Amerika Serikat para wanita kulit putih dan orang tua

cenderung mematuhi aturan dokter.

3. Komunikasi antara penderita dengan petugas kesehatan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 63: D2049-Tintin Sukartini.pdf

43

Universitas Indonesia

Berbagai aspek komunikasi antara penderita dengan petugas mempengaruhi

tingkat kepatuhan, misalnya informasi dengan pengawasan dari petugas yang

cukup, kepuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan petugas,

kepuasan terhadap pengobatan yang diberikan, frekuensi pengawasan,

dukungan dan tindak lanjut juga penting.

4. Variabel sosial

Hubungan antara dukungan sosial dengan kepatuhan telah dipelajari secara

luas. Secara umum orang-orang yang merasa menerima perhatian dan

pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau sekelompok orang

biasanya cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis dari pada pasien

yang kurang mendapat dukungan sosial. Keluarga memegang peran yang

sangat penting dalam pengelolaan medis, baik pada anak, remaja ataupun

dewasa misalnya pengangguran pengaruh normatif pada pasien yang mungkin

memudahkan atau menghambat perilaku kepatuhan. Becker (1987) bahkan

menyarankan bahwa interaksi keluarga harus diintegrasikan pada proses

pengobatan dini.

5. Persepsi dan harapan penderita

Variabel-variabel health belief model bahwa kepatuhan sebagai fungsi dari

keyakinan tentang kesehatan, ancaman yang dirasakan, persepsi kekebalan,

pertimbangan mengenai hambatan/kerugian (biaya, waktu) dan keuntungan

(efektifitas pengobatan).

Menurut Smeltzer dan Bare (2002) beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat

kepatuhan adalah: (a) faktor demografi seperti usia, jenis kelamin, status sosio

ekonomi dan pendidikan, (b) faktor penyakit seperti keparahan penyakit dan

hilangnya gejala akibat terapi, (c) faktor program pelayanan seperti kompleksitas

program dan efek samping yang tidak menyenangkan, (d) faktor psikososial

seperti intelegensia atau tingkat pengetahuan, sikap terhadap tenaga kesehatan,

penerimaan atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya

dan biaya finansial lainnya.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 64: D2049-Tintin Sukartini.pdf

44

Universitas Indonesia

Kepatuhan pengobatan pada pasien TB paru adalah tindakan atau kegiatan yang

dilakukan pasien agar sembuh dari penyakit. Sesuai buku pedoman

penanggulangan tuberkulosis (Kemkes, 2011), pasien dapat dikatakan patuh

berobat jika pasien berobat secara teratur selama minimal 6 bulan dalam 2 fase

pengobatan dan sesuai panduan obat. Tidak patuh jika pasien tidak berobat secara

teratur dalam 2 fase pengobatan dan tidak sesuai panduan obat.

Dibawah ini akan diuraikan metode pengukuran kepatuhan minum obat menurut

Osterberg dan Blaschke (2005).

Tabel 2.1 Metode pengukuran kepatuhan minum obat

Test Keuntungan Kerugian

Metode langsung

Pengawasan langsung

menelan obat

Lebih akurat Pasien dapat menyembunyikan

obat dalam mulut dan tidak

praktis untuk kegiatan rutin

Pengukuran level obat atau

metabolit dalam darah

Obyektif Ada variasi metabolisme

sehingga dapat terjadi

kesalahan penilaian; mahal

Pengukuran “biologic

marker” dalam darah

Obyektif

Mahal

Metode tidak langsung

Kuesioner pasien, laporan

diri pasien

Sederhana, murah, metode

yang paling berguna dalam

tatanan klinik

Rentan terhadap kesalahan

dengan peningkatan waktu

antara kunjungan; hasil mudah

terdistorsi oleh pasien

Menghitung pil Obyektif, dapat dihitung,

mudah dilaksanakan

Data mudah diubah oleh

pasien

Jumlah ulangan resep Obyektif Ulangan resep tidak setara

dengan konsumsi obat-obatan;

membutuhkan sistem farmasi

tertutup

Pengkajian respons klinis

pasien

Sederhana, secara umum

mudah dilaksanakan

Faktor lain selain kepatuhan

pengobatan dapat

mempengaruhi respons klinis

Monitoring pengobatan

elektronik

Presisi, secara umum

mudah dilaksanakan

Mahal; membutuhkan

kunjungan kembali dan unduh

data dari pengobatan

Pengukuran “physiologic

markers” (seperti denyut

jantung pada pasien dengan

pengobatan beta blocker)

Mudah dilakukan “markers” mungkin tidak

nampak (misal: peningkatan

metabolisme, kurang

penyerapan, kurang respons)

Diari pasien Membantu menilai bagi

yang susah mengingat

Mudah diubah oleh pasien

Pasien anak, kuesioner

pada pengasuh atau guru

Sederhana, obyektif Rentan terhadap distorsi

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 65: D2049-Tintin Sukartini.pdf

45

Universitas Indonesia

2.3 Kerangka Kerja Sistem Interaksi dan Middle Range Teori Tencapaian

Tujuan dari King

Imogene King memformulasikan kerangka kerja sistem personal, sistem

interpersonal, dan sistem sosial sebagai domain dari keperawatan (Alligood &

Tomey, 2006)

1. Sistem personal

King mengatakan bahwa setiap individu adalah personal, sehingga

diperlukan pemahaman tentang konsep gambaran diri, pertumbuhan dan

perkembangan, persepsi, diri, ruang, dan waktu untuk memandang secara

komprehensif bahwa manusia adalah personal.

Persepsi merupakan konsep mayor dari sistem personal. Persepsi adalah

suatu proses dimana data diperoleh, diorganisasikan, diinterpretasikan dan

ditransformasikan dalam perilaku. Persepsi dipengaruhi oleh emosi dan

pengalaman masa lalu. Diri adalah bagian dalam diri seseorang yang berisi

benda-benda dan orang lain. Karakteristik diri adalah individu yang dinamis,

sistem terbuka dan orientasi pada tujuan. Konsep diri dipengaruhi oleh

perubahan tumbuh kembang. Gambaran diri merupakan komponen dari

tumbuh kembang yang berubah seiring berjalannya waktu dan dipengaruhi

oleh konsep diri. Tumbuh kembang dapat didefinisikan sebagai proses

diseluruh kehidupan seseorang dimana dia bergerak dari potensial untuk

mencapai aktualisasi diri. Ruang adalah universal sebab semua orang punya

konsep ruang, personal atau subjektif, individual, situasional, dan tergantung

dengan hubunganya dengan situasi, jarak dan waktu, transaksional, atau

berdasarkan pada persepsi individu terhadap situasi. King mendefinisikan

waktu sebagai lama antara satu kejadian dengan kejadian yang lain

merupakan pengalaman unik setiap orang dan hubungan antara satu kejadian

dengan kejadian yang lain. Konsep pada sistem personal kemudian oleh

King ditambahkan dua konsep baru yaitu pembelajaran dan koping

(Alligood, 2010).

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 66: D2049-Tintin Sukartini.pdf

46

Universitas Indonesia

2. Sistem interpersonal

Sistem interpersonal terbentuk ketika dua atau lebih individu berinteraksi,

bisa dua orang (dyad) atau tiga orang (triad). Hubungan antara pasien dan

perawat adalah salah satu tipe sistem interpersonal. Keluarga ketika dalam

kelompok kecil juga bisa dikatakan sebagai sistem interpersonal. Dalam

memahami sistem interpersonal diperlukan pengetahuan mengenai

komunikasi, interaksi, peran, stres dan transaksi.

Interaksi didefinisikan sebagai tingkah laku yang dapat diobservasi oleh

dua orang atau lebih di dalam hubungan timbal balik. King mendefinisikan

komunikasi sebagai proses dimana informasi yang diberikan dari satu orang

ke orang lain baik langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui

telpon, televisi atau tulisan kata. ciri-ciri komunikasi adalah verbal, non

verbal, situasional, perseptual, transaksional, tidak dapat diubah, bergerak

maju dalam waktu, personal, dan dinamis. Komunikasi dapat dilakukan

secara lisan maupun tertulis dalam menyampaikan ide-ide satu orang ke

orang lain. Aspek perilaku non verbal yang sangat penting adalah sentuhan.

Aspek lain dari perilaku adalah jarak, postur, ekspresi wajah, penampilan

fisik dan gerakan tubuh. Transaksi adalah interaksi yang berorientasi

tujuan. Ciri-ciri transaksi adalah unik, karena setiap individu mempunyai

realitas personal berdasarkan persepsi mereka. Peran mengacu kepada

serangkaian set perilaku seseorang dalam posisi yang spesifik di dalam

sistem sosial. Stres menurut King adalah suatu keadaan yang dinamis

dimanapun manusia berinteraksi dengan lingkungannya untuk memelihara

keseimbangan pertumbuhan, perkembangan dan perbuatan yang melibatkan

pertukaran energi dan informasi antara seseorang dengan lingkungannya

untuk mengatur stresor. Konsep stresor merupakan konsep yang

ditambahkan pada sistem interpersonal (Alligood, 2010)

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 67: D2049-Tintin Sukartini.pdf

47

Universitas Indonesia

3. Sistem sosial

Sistem sosial adalah sistem interaksi yang berisi kelompok yang membentuk

masyarakat. Contoh dari sistem sosial adalah sistem keagamaan, pendidikan,

dan pelayanan kesehatan. Untuk memahami sistem sosial diperlukan

pengetahuan tentang otoritas, pembuat keputusan, organisasi, kekuasaan dan

status.

Organisasi bercirikan struktur posisi yang berurutan dan aktifitas yang

berhubungan dengan pengaturan formal dan informal seseorang dan kelompok

untuk mencapai tujuan personal atau organisasi.

King mendefinisikan otoritas atau wewenang, bahwa wewenang itu aktif,

proses transaksi yang timbal balik dimana latar belakang, persepsi, nilai-nilai

dari pemegang mempengaruhi definisi, validasi dan penerimaan posisi di

dalam organisasi berhubungan dengan wewenang.

Kekuasaan adalah universal, situasional, atau bukan sumbangan personal,

esensial dalam organisasi, dibatasi oleh sumber-sumber dalam suatu situasi,

dinamis dan orientasi pada tujuan. Pembuatan atau pengambilan keputusan

bercirikan untuk mengatur setiap kehidupan dan pekerjaan, orang, universal,

individual, personal, subjektif, situasional, proses yang terus menerus, dan

berorientasi pada tujuan. Status bercirikan situasional, posisi ketergantungan,

dapat diubah. King mendefinisikan status sebagai posisi seseorang didalam

kelompok atau kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lain di dalam

organisasi dan mengenali bahwa status berhubungan dengan hak-hak

istimewa, tugas-tugas, dan kewajiban.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 68: D2049-Tintin Sukartini.pdf

48

Universitas Indonesia

Adapun ketiga komponen sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial

digambarkan oleh King sebagai berikut:

Gambar 2.4 Dynamic interacting system (Alligood & Tomey, 2006)

Untuk menguji teorinya King menggambarkan proses interaksi perawat-pasien

untuk mencapai tujuan. Riset King menggambarkan proses yang menuntun pada

pencapaian tujuan dan studi interaksi perawat-pasien untuk menentukan kapan

perawat membuat transaksi.

Social system (socie

Interpersonal system

(society)

Personal systems

(individual)

Interpersonal systems

(groups)

Social systems (society)

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 69: D2049-Tintin Sukartini.pdf

49

Universitas Indonesia

Gambar 2.5 Proses human Interaksi yang menuntun pada transaksi :

sebuah model transaksi (Alligood & Tomey , 2006)

Filosofi personal King tentang manusia (human being) dan kehidupan

mempengaruhi asumsinya termasuk dalam hal yang berkaitan dengan lingkungan,

kesehatan, keperawatan, dan interaksi perawat-pasien. Kerangka kerja sistem

interaksi dan teori pencapaian tujuan “berlandaskan pada asumsi bahwa fokus

keperawatan adalah interaksi manusia dan lingkungannya yang menuntun pada

tingkat kesehatan individu, yaitu kemampuan dalam peran sosial” (Alligood &

Tomey, 2006)

1. Konsep Manusia

King memandang manusia sebagai suatu sistem terbuka yang berinteraksi

dengan lingkungan yang memungkinkan benda, energi, dan informasi dengan

leluasa mempengaruhinya. Dalam kerangka kerjanya meliputi tiga sistem

interaksi yang dinamis sebagai individu disebut sebagai sistem personal, ketika

individu ini bersatu dalam kelompok disebut sistem interpersonal. Sistem sosial

tercipta ketika kelompok mempunyai ketertarikan dan tujuan yang sama dalam

satu komunitas atau masyarakat.

2. Konsep Lingkungan

Menurut King lingkungan adalah sistem sosial yang ada dalam masyarakat

yang saling berinteraksi dengan sistem lainnya secara terbuka. Lingkungan

transaction

Nurse

Patient

Perception

Jugdement

Action

Action

Jugdement

Perception

Reaction interaction

feedback

feedback

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 70: D2049-Tintin Sukartini.pdf

50

Universitas Indonesia

merupakan suatu sistem terbuka yang menunjukkan penukaran masalah, energi,

informasi dengan keberadaan manusia. Manusia tersebut akan berinteraksi

dengan lingkungan internal dengan penukaran energi yang diatur secara terus

menerus terhadap perubahan lingkungan eksternal.

3. Konsep Sehat

King mendefinisikan sehat sebagai pengalaman hidup manusia yang dinamis,

yang secara berkelanjutan melakukan penyesuaian terhadap stresor internal dan

eksternal melewati rentang sehat sakit, dengan menggunakan sumber-sumber

yang dimiliki oleh seseorang atau individu untuk mencapai kehidupan sehari-

sehari yamg maksimal.

4. Konsep Keperawatan

King menyampaikan pola intervensi keperawatan adalah proses interaksi

pasien dan perawat meliputi komunikasi dan persepsi yang menimbulkan aksi,

reaksi, dan jika ada gangguan, menetapkan tujuan dengan maksud tercapainya

suatu persetujuan dan membuat transaksi.

Teori pencapaian tujuan King berfokus pada sistem interpersonal dan interaksi

yang membutuhkan tempat antara individu, khususnya hubungan perawat-pasien.

Dalam proses keperawatan tiap anggota dyad saling mempersepsikan, membuat

keputusan dan bertindak bersama-sama. Bersama-sama aktivitas ini memuncak

dalam reaksi. Hasil interaksi dan jika persepsi sama maka terbentuk transaksi.

Sistem ini terbuka untuk umpan balik karena tiap fase dipengaruhi oleh persepsi.

Hubungan dari proses dan outcome/hasil adalah fokus keperawatan dan pelayanan

kesehatan. Proses adalah sistem fungsi dinamik dan outcome/hasil diasumsikan

sebagai proses yang menyediakan informasi untuk mengevaluasi keefektifan

asuhan keperawatan. Outcome/hasil berpusat pada pasien, berorientasi tujuan

yang realistis dan dapat diukur.

King (dalam Alligood & Tomey, 2006) mengembangkan delapan proposisi dalam

teori pencapaian tujuan, yaitu: jika persepsi akurat dalam interaksi perawat-pasien,

transaksi terjadi. Jika perawat-pasien membuat transaksi maka tujuan akan

tercapai. Jika tujuan tercapai, kepuasan akan terjadi. Jika tujuan tercapai, asuhan

keperawatan yang efektif terjadi. Jika transaksi terjadi dalam interaksi perawat-

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 71: D2049-Tintin Sukartini.pdf

51

Universitas Indonesia

pasien, pertumbuhan dan perkembangan akan meningkat. Jika perkiraan peran dan

penampilan peran dipersepsikan sama oleh perawat dan pasien, transaksi akan

terjadi. Jika konflik peran dialami oleh perawat atau pasien atau keduanya maka

stres dalam interaksi perawat-pasien akan terjadi. Jika perawat dengan

pengetahuan khusus dan teknik komunikasi yang memadai menginformasikan ke

pasien secara tepat maka tujuan yang diharapkan dan pencapaian tujuan akan

dicapai.

Beberapa hasil penelitian yang menggunakan kerangka teori dari King adalah

persepsi pasien bedah tentang peran dan tanggung jawab perawat. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan pasien bedah

tentang peran dan tanggung jawab perawat. Penerapan teori King melibatkan

identifikasi persepsi pasien tentang peran dan tanggung jawab perawat. Persepsi

adalah salah satu konsep utama King. Persepsi didefinisikan sebagai representasi

realitas manusia melalui proses pengorganisasian, menafsirkan dan mengubah

informasi dari data sensori dan memori. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pengetahuan pasien tentang peran dan tanggung jawab perawat adalah sesuai.

(Sivaramalingan, 2008).

Reck (2010) meneliti tentang kepuasaan dan harapan pasien dengan pelayanan

keperawatan dan kesadaran perawat akan harapan mereka. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui hubungan antara dua variabel prediktor (harapan pasien

yang diantisipasi diterima dari perawat) dan penilaian perawat tentang harapan

pasien dan variabel hasil yaitu kepuasan pasien. Teori pencapaian tujuan dari

King digunakan dalam penelitian ini sebagai fokus interaksi antara perawat dan

pasien. Konsep interaksi dyad dipergunakan dimana penelitian ini menggunakan

109 sampel pasangan pasien-perawat, yaitu 1 pasien dengan 1 perawat, perawat

dalam konsep ini adalah perawat yang merawat pasien. Hasil penelitian

menunjukkan tidak ada hubungan antara harapan pasien dan penilaian harapan

pasien dengan kepuasaan. Hasil penting dari penelitian ini adalah pengembangan

ukuran yang memungkinkan pasien untuk menilai harapan mereka dan ukuran

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 72: D2049-Tintin Sukartini.pdf

52

Universitas Indonesia

lain yang memungkinkan perawat untuk memberi penilaian tentang harapan

pasien.

Khowaja (2006) melakukan studi yang menggunakan kerangka kerja sistem

interaksi dan teori pencapaian tujuan King dengan mengintegrasikan dengan

model multidisiplin clinical pathway pada pasien TURP (transurethral resection

of prostate) di Pakistan. Khowaja menjelaskan bahwa teori King memerlukan

kemampuan perawat untuk berfikir kritis, observasi perilaku dan mengumpulkan

informasi penting yang spesifik untuk menemukan kebutuhan pasien. Clinical

pathway menyediakan untuk memenuhi tujuan tersebut. Pencapaian tujuan

memerlukan evaluasi yang terus menerus. Teori pencapaian tujuan dapat untuk

meningkatkan atau mempertahankan kesehatan, mengontrol sakit atau

memfasilitasi pasien meninggal dalam damai. Sesuai dengan proses ini, clinical

pathway adalah alat atau cara untuk mencapai tujuan.

Berdasarkan uraian di atas dijelaskan bahwa manusia terdiri dari sistem personal,

sistem interpersonal dan sistem sosial dalam melakukan interaksi untuk mencapai

tujuan. Proses pencapaian tujuan dimulai dari tahap reaksi, interaksi dan transaksi.

Dasar teori inilah yang akan digunakan untuk mencapaian tujuan perawatan pada

pasien TB melalui sistem interaksi personal, sistem interpersonal dan sistem

pasien melalui tahapan proses sampai mencapai fase transaksi.

2.4 Health Promotion Model

Pender (dalam Alligood & Tomey, 2006) mengemukakan health promotion

model (HPM) yang merupakan konsep yang didasarkan pada upaya

memberdayakan kemampuan seseorang dalam meningkatkan derajat

kesehatannya. Model promosi kesehatan menggabungkan 2 teori yaitu teori nilai

harapan (expectancy value) dan teori kognitif sosial (social cognitif theory) yang

konsisten dengan semua teori yang memandang pentingnya promosi kesehatan

dan pencegahan penyakit adalah suatu yang logis dan ekonomis.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 73: D2049-Tintin Sukartini.pdf

53

Universitas Indonesia

Adapun model health promotion model (HPM) menurut Pender dapat dilihat di

bagan berikut:

Gambar 2.6 Model Promosi Kesehatan menurut Pender

(Alligood & Tomey, 2006)

Adapun komponen elemen dari teori ini adalah sebagai berikut :

a. Teori nilai harapan (expectancy-value theory)

Menurut teori nilai harapan, perilaku sehat bersifat rasional dan ekonomis.

Seseorang akan mulai bertindak dan perilakunya akan tetap digunakan

dalam dirinya, ada 2 hal pokok yaitu :

1) Hasil tindakan bernilai positif

2) Pengambilan tindakan untuk menyempurnakan hasil yang diinginkan.

b. Teori kognitif sosial (social cognitive theory)

Teori model interaksi yang meliputi lingkungan, manusia dan perilaku yang

saling mempengaruhi. Teori ini menekankan pada: pengarahan diri (self

direction), pengaturan diri (self regulation) dan persepsi terhadap keyakinan

diri (self efficacy).

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 74: D2049-Tintin Sukartini.pdf

54

Universitas Indonesia

Teori ini mengemukakan bahwa manusia memiliki kemampuan dasar:

1) Simbolisasi yaitu proses dan transformasi pengalaman sebagai petunjuk

untuk tindakan yang akan datang.

2) Pikiran ke depan, mengantisipasi kejadian yang akan muncul dan

merencanakan tindakan untuk mencapai tujuan yang bermutu.

3) Belajar dari pengalaman orang lain. Menetapkan peraturan untuk

generasi dan mengatur perilaku melalui observasi tanpa perlu melakukan

trial dan error.

4) Pengaturan diri menggunakan standar internal dan reaksi evaluasi diri

untuk memotivasi dan mengatur perilaku, mengatur lingkungan eksternal

untuk menciptakan motivasi dalam bertindak.

5) Refleksi diri, berpikir tentang proses pikir seseorang dan secara aktif

memodifikasinya.

Menurut teori ini kepercayaan diri dibentuk melalui observasi dan refleksi diri.

Kepercayaan diri terdiri dari :pengenal diri (self atribut), evaluasi diri (self

evaluation) dan keyakinan diri (self efficacy).

Dari uraian teori di atas dapat disimpulkan bahwa seorang pasien akan bertindak

dan tetap berperilaku jika hasil tindakan bernilai positif. Teori di atas juga

menekankan pada persepsi pasien tentang keyakinan diri. Berdasarkan hal

tersebut konsep ini dapat digunakan perawat untuk membentuk perilaku yang

positif pada pasien TB paru dengan meningkatkan self efficacy pasien agar pasien

memiliki motivasi yang tinggi untuk mencapai kesembuhan.

Pada perkembangan selanjutnya Pender melakukan revisi pada kerangka

konseptual model promosi kesehatan dari model sebelumnya menjadi sebagai

berikut:

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 75: D2049-Tintin Sukartini.pdf

55

Universitas Indonesia

Kerangka Konseptual Model Promosi Kesehatan

Sifat-sifat Perilaku spesifik Hasil Perilaku

dan pengalaman individu pengetahuan dan sikap

Gambar 2.7 Revisi Model Promosi Kesehatan

dari Pender, N.J, Murdaugh, C.L., dan Parsons, M.A (2002).

Promosi kesehatan dalam praktik keperawatan dikutip dari Alligood

&Tomey (2006) hal 458.

Adapun definisi konsep mayor health promotion model revisi menurut Pender

diuraikan sebagai berikut:

a. Prior related behavior (hubungan dengan perilaku sebelumnya) adalah

frekwensi perilaku yang sama atau mirip masa lalu. Perilaku sebelumnya

mempunyai pengaruh langsung atau tidak langsung dalam pelaksanaan

perilaku promosi kesehatan.

b. Personal factors (faktor personal) meliputi aspek biologis, psikologis, dan

sosial budaya. Faktor-faktor ini merupakan prediksi dari perilaku yang didapat

dan dibentuk secara alami oleh target perilaku.

Hubungan

dengan perilaku

sebelumnya

Manfaat dari tindakan yang

dirasakan

Faktor personal,

biologis,

psikologis, sosial

budaya

Hambatan untuk melakukan

tindakan

Keyakinan diri yang

dirasakan

Tindakan terkait yang

mempengaruhi

Pengaruh hubungan

interpersonal (Keluarga,

kelompok, provider), norma,

dukungan , model.

Pengaruh situasional: pilihan,

sifat kebutuhan, estetika.

Komitmen

pada

rencana

tindakan

Model

perilaku

kesehatan

Kebutuhan

bersaing rendah

atau tinggi dan

preferensi

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 76: D2049-Tintin Sukartini.pdf

56

Universitas Indonesia

c. Perceived benefits of actions (manfaat tindakan) adalah hasil positif dari

tindakan yang diharapkan terjadi dari perilaku kesehatan.

d. Perceived bariers to actions (hambatan tindakan yang dirasakan) adalah dapat

diantisipasi dan dibayangkan. Hambatan yang diantisipasi secara berulang

terlihat dalam penelitian empiris, mempengaruhi intensitas untuk terlibat

dalam suatu perilaku yang nyata yang dilaksanakan.

e. Perceived self efficacy (keyakinan diri) adalah judgment/keputusan dari

kapabilitas seseorang untuk mengorganisasi dan menjalankan tindakan secara

nyata.

f. Activity-related affect (afek/sikap yang berhubungan dengan aktivitas).

Perasaan subjektif muncul sebelum, saat dan setelah suatu perilaku, didasarkan

pada sifat stimulus perilaku itu sendiri.

g. Interpersonal influences (pengaruh interpersonal) adalah kesadaran mengenai

perilaku, kepercayaan atau pun sikap terhadap orang lain. Pengaruh

interpersonal termasuk di dalamnya adalah norma (harapan dari orang

terdekat), dukungan sosial (instrument dan emosional) dan modeling (belajar

melalui observasi dari orang lain yang melakukan perilaku tertentu). Sumber

utama pengaruh interpersonal adalah keluarga, kelompok dan pemberi layanan

kesehatan

h. Situational influences (pengaruh situasional) adalah persepsi dan kesadaran

personal terhadap berbagai situasi atau keadaan dapat memudahkan atau

menghalangi suatu perilaku.

i. Commitment to a plan of action (komitmen pada rencana tindakan), komitmen

menggambarkan konsep intensi dan identifikasi strategi perencanaan. Rencana

kegiatan dikembangkan oleh perawat dan pasien dengan pelaksanaan perilaku

kesehatan.

j. Immediate competing demands and preferences (kebutuhan bersaing dan

preferensi) adalah perilaku alternatif yang masuk ke dalam kesadaran

sehingga tindakan yang mungkin dilakukan segera sebelum kejadian terjadi.

k. Health promoting behavior (perilaku peningkatan kesehatan) adalah tindakan

akhir atau hasil tindakan. Perilaku ini akhirnya secara langsung ditujukan pada

pencapaian hasil kesehatan positif untuk pasien.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 77: D2049-Tintin Sukartini.pdf

57

Universitas Indonesia

Komponen paradigma health promotion model menurut Pender pada model revisi

telah banyak dilakukan penelitian misal untuk menilai persepsi manfaat dan

hambatan tindakan pada perilaku melakukan olahraga, deteksi dini kanker

payudara, perilaku promosi kesehatan. Grubbs dan Carter (2002) menjelaskan

bahwa manfaat tindakan olahraga yang dilakukan oleh mahasiswa adalah

meningkatkan tingkat fitnes fisik, penampilan, kekuatan otot dan tonus otot.

Sedangkan hambatan yang dirasakan oleh mahasiswa adalah olah raga membuat

lelah, mengalami kelelahan, butuh kerja keras dan tidak ada dukungan keluarga

untuk melakukan olahraga. Menurut Gasalberti (2002) tidak ada hubungan antara

tingkat kesehatan dengan perilaku melakukan pemeriksaan payudara untuk

deteksi dini kanker payudara. Hambatan yang dirasakan oleh pasien adalah berupa

ketakutan dan kecemasan terkena kanker. Johson dan Nies (2005) menjelaskan

bahwa biaya, kurangnya disiplin dan kurangnya motivasi merupakan faktor

hambatan dalam perilaku promosi kesehatan.

Berdasarkan uraian revisi health promotion model di atas, dapat dijelaskan bahwa

selain faktor yang mempengaruhi seseorang untuk bertindak selain dipengaruhi

oleh hasil tindakan yang diperoleh ternyata dipengaruhi oleh faktor lain yang

diantaranya adalah hambatan dalam melaksanakan tindakan dan faktor personal

pada seseorang. Faktor personal ini perlu mendapat kajian lebih lanjut untuk

menilai pengaruh perilaku pasien TB paru dalam mengambil tindakan perawatan.

Dalam health promotion model, Pender berasumsi bahwa manusia menciptakan

kondisi agar tetap hidup dimana mereka dapat mengekspresikan keunikannya.

Manusia mempunyai kapasitas untuk merefleksikan kesadaran dirinya, termasuk

penilaian terhadap kemampuannya. Mampu menilai perkembangan sebagai suatu

nilai yang positif dan mencoba mencapai keseimbangan antara perubahan dan

stabilitas. Secara aktif berusaha mengatur perilakunya dan melakukan perubahan

perilaku dimana mereka mengharapkan keuntungan yang bernilai bagi dirinya

(Alligood & Tomey, 2006). Model revisi HPM Pender merupakan model yang

lebih fit dibandingkan model original. Model revisi ini lebih mampu menjelaskan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 78: D2049-Tintin Sukartini.pdf

58

Universitas Indonesia

perilaku promosi kesehatan dibandingkan model aslinya (Ronis, Hong & Lusk,

2006).

Pender berasumsi bahwa individu terdiri dari biopsikososial yang kompleks

berinteraksi dengan lingkungannya secara terus menerus, menjelmakan

lingkungan yang diubah secara terus menerus. Profesional kesehatan merupakan

bagian dari lingkungan interpersonal yang berpengaruh terhadap manusia

sepanjang hidupnya. Pembentukan kembali konsep diri manusia dengan

lingkungan adalah penting untuk perubahan perilaku (Alligood & Tomey, 2006).

Menurut Alligood dan Tomey (2006) Pender mengemukakan asumsi kesehatan

dalam beberapa hal. Perilaku sebelumnya dan karakteristik yang diperoleh

mempengaruhi kepercayaan dan perilaku untuk meningkatkan kesehatan. Manusia

lebih suka melakukan promosi kesehatan ketika model perilaku itu menarik,

perilaku yang diharapkan terjadi dan dapat mendukung perilaku yang sudah ada.

Keluarga, kelompok dan pemberi layanan kesehatan adalah sumber interpersonal

yang penting yang mempengaruhi, menambah atau mengurangi keinginan untuk

berperilaku promosi kesehatan. Pengaruh situasional pada lingkungan eksternal

dapat menambah atau mengurangi keinginan untuk berpartisipasi dalam perilaku

promosi kesehatan. Komitmen terbesar pada suatu rencana kegiatan yang spesifik

lebih memungkinkan perilaku promosi kesehatan dipertahankan untuk jangka

waktu yang lama. Seseorang dapat memodifikasi kognisi, mempengaruhi

interpersonal dan lingkungan fisik yang mendorong melakukan tindakan

kesehatan.

Menurut Rankin dan Stallings (2001) model revisi promosi kesehatan Pender

membuat kontribusi untuk pendidikan kesehatan pasien melalui fokus baru yaitu

komitmen pada rencana tindakan dan kebutuhan bersaing dan preferensi.

Mengevaluasi komitmen pasien pada rencana tindakan adalah kunci untuk

melaksanakan intervensi pendidikan. Jika penyedia layanan kesehatan

menentukan komitmen besar untuk mempromosikan gaya hidup sehat atau

skrining preventif, maka adalah suatu yang logis untuk menentukan kontrak

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 79: D2049-Tintin Sukartini.pdf

59

Universitas Indonesia

dengan pasien untuk menentukan tindakan yang seharusnya serta menyediakan

beberapa penghargaan untuk pasien. Kebutuhan bersaing dan preferensi juga

sangat penting bagi perawat atau penyedia layanan kesehatan lainnya yang harus

dipertimbangkan sebelum melakukan pendidikan kesehatan. Contoh seorang ayah

muda yang khawatir kehilangan pekerjaan, mungkin tidak akan mengambil cuti

untuk melakukan kontrol ke layanan kesehatan dibandingkan orang lain dengan

pekerjaan yang lebih stabil.

2.5 Model Partnership

Partnership adalah suatu konsep yang menjelaskan suatu model tentang hubungan

yang antara perawat dan pasien. Partnership dalam hal hubungan ini ditandai

oleh suatu kerjasama dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan. Kerjasama ini

menganggap bahwa setiap individu adalah sederajat dan memiliki kompetensi

yang diakui dan dapat dimanfaatkan.

Hook (2006) menyatakan bahwa faktor yang melatarbelakangi partnership adalah

profesionalisme staf dan lingkungan. Profesionalisme staf meliputi

pengetahuan/keterampilan dalam membangun hubungan, komunikasi, kompetensi

klinis dan instrospeksi. Lingkungan meliputi aman, waktu, dukungan pimpinan

dan hubungan interdisiplin.

Model partnership adalah suatu proses yang memiliki tahapan yang saling

berhubungan. Setiap tahapan memiliki tujuan khusus dan memiliki interelasi yang

dinamis. Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa untuk membangun partnership

dibutuhkan 3 prinsip kunci yaitu persamaan (equity), keterbukaan (transparency)

dan saling menguntungkan (mutual benefit). Persamaan berarti siapa yang

menjalin partnership dalam hal ini perawat, pasien dan keluarga harus merasa

sama atau sederajat dan tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain

karena merasa lebih tinggi. Keterbukaan yang dimaksud adalah setiap anggota

membuka diri untuk menjelaskan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, hal ini

bertujuan untuk saling melengkapi dan saling membantu dalam mencapai tujuan.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 80: D2049-Tintin Sukartini.pdf

60

Universitas Indonesia

Saling menguntungkan dalam partnership bukanlah menguntungkan dalam segi

materi atau uang tetapi keuntungan dalam hal mencapai tujuan secara bersama-

sama sehingga lebih efektif.

Jonsdottir, dkk (2004) menjelaskan inti dari praktik keperawatan relasional

sebagai partnership. Inti dari praktik keperawatan relasional adalah proses

partnership profesional. Dialog terbuka, caring, saling responsif dan non-direktif

terjadi dalam partnership. Perawat ada untuk memberi perhatian kepada pasien

dalam kaitannya dengan kesehatan mereka yang sulit dan makna pengalaman

kesehatan mereka yang terungkap. Perawat sepenuhnya hadir dan berhubungan

dengan pasien dengan perhatian terbuka dalam partnership. Perawat menjaga

pasien sebagai sesama manusia. Kemitraan tidak hanya terbuka tetapi merupakan

proses caring yang terus menerus. Dibawah ini diuraikan berbagai studi tentang

partnership:

A. Model partnership pada pasien dengan kanker menurut Endo, dkk.

Model partnership yang dibuat oleh Endo, Nitta, Inayoshi, Saito, Takemura,

Minegishi, Kubo dan Kondo (2000) pada dasarnya hampir sama dengan pedoman

penelitian yang dikembangkan oleh Neuman (1994) dan telah dilakukan pilot

study. Tujuan penelitian adalah untuk mengatasi proses partnership caring dengan

mengelaborasi pengenalan pola keluarga sebagai intervensi keperawatan dengan

keluarga dengan kanker. Penelitian dilakukan pada keluarga di Jepang dimana

istri atau ibu mereka mengalami kanker ovarium. Pengembangan model ini

dilakukan melalui empat tahap yaitu: (1) menetapkan mutualitas proses

penyelidikan, (2) memfokuskan wawancara pada peristiwa yang paling berarti

bagi seseorang dan kejadian dalam kehidupan keluarga, (3) berbagi

penggambaran peneliti mengenai pola keluarga yang telah ditransmutasikan dari

wawancara ke diagram yang sekuensial sebagai pola dari waktu ke waktu, (4)

identifikasi kejadian pola pengakuan keluarga dan wawasan ke dalam makna pola

hidup keluarga.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 81: D2049-Tintin Sukartini.pdf

61

Universitas Indonesia

Perawat peneliti melakukan partnership dengan keluarga yang berbeda dan

melakukan 3 wawancara dengan keluarga masing-masing. Pada pertemuan

pertama peserta diminta menggambarkan orang yang bermakna dan peristiwa

dalam sejarah keluarga mereka. Cerita keluarga ditransformasikan ke dalam

diagram pola sekuensial konfigurasi interaksional dan berbagi dengan keluarga di

pertemuan kedua. Bukti pengenalan pola dan wawasan makna dari pola keluarga

diidentifikasi lebih lanjut dalam pertemuan ketiga

Hasil yang diperoleh menunjukkan 5 dimensi transformasi proses pengenalan pola

keluarga. Sebagian besar keluarga menemukan makna dalam pola keluarga

mereka, keluarga menunjukkan keterbukaan meningkat, keterhubungan dan

kepercayaan dalam partnership caring. Adapun 5 dimensi transformasi atau 5 fase

pola keluarga yang ditemukan adalah sebagai berikut:

1) Tahap 1: Perhatian utama keluarga-perawat dan evolusi pola keluarga

Tahap ini dimulai dari setiap anggota keluarga mengemukakan pendapat

dan anggota keluarga lain mendengarkan sehingga setiap anggota keluarga

dapat memahami diri sendiri dan anggota keluarga yang lain. Keluarga

menjadi suatu pola yang melekat dimana perawat dan seluruh anggota

keluarga dapat berpartisipasi dalam setiap pertemuan.

2) Tahap 2: Pengakuan pola keluarga sebagai keseluruhan dan pola anggota

keluarga sebagai bagian dari keseluruhan.

Fase ini mengacu pada pengenalan pola anggota keluarga sebagai bagian

dari pola keluarga. Pada fase ini mulai ditemukan makna dan saling

pengertian terhadap pola keluarga. Perawat dan keluarga saling menerima

dan penuh perhatian.

3) Tahap 3: Penerapan makna dalam pola keluarga

Setiap anggota keluarga memiliki makna yang berasimilasi menjadi makna

bersama dalam pola keluarga. Ketika proses mungkin akan terjadi

berbagai ketegangan tetapi pada saat makna bersama ditemukan maka

ketegangan ini perlahan akan menurun.

4) Tahap 4: Caring dan potensi aksi

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 82: D2049-Tintin Sukartini.pdf

62

Universitas Indonesia

Ketika terjadi pengakuan adanya kesamaan makna dalam pola keluarga

maka masing-masing anggota keluarga akan saling peduli dan berbagi

dalam setiap tindakan. Anggota keluarga akan percaya diri dengan

keberadaannya dan percaya diri dalam melakukan tindakan.

5) Tahap 5: Transformasi

Tahap ini mengacu kepada ekspresi keluarga akan tindakan perubahan

keadaan dan realisasi pertumbuhan diri. Keadaan keluarga yang biasanya

saja akan terlihat lebih harmonis.

Dalam partnership caring setiap perawat-peneliti memahami pola keluarga

sebagai makna keseluruhan dari caring. Pengenalan pola keluarga sebagai

intervensi keperawatan adalah proses pembentukan makna transformasi dalam

partnership keluarga dan perawat. Penelitian ini memberikan kontribusi untuk

pemahaman proses pengenalan pola sebagai partnership caring dengan keluarga.

B. Partnership care model pada pasien hipertensi menurut Mohammadi,

dkk.

Model partnership yang dikembangkan oleh Mohammadi, dkk (2002) didahului

dengan studi kualitatif dengan metode grounded theory untuk menggambarkan

dan menjelaskan masalah hipertensi pada pasien di Iranian. Tujuan utama

penelitian partnership caring ini adalah untuk menentukan struktur penting dalam

mengontrol tekanan darah pada pasien hipertensi dan mengidentifikasi penjelasan

teoritis dari masalah tersebut. Partisipan yang dipilih adalah pasien yang

mengalami hipertensi minimal 4 tahun dan berada dalam perawatan, dokter dan

perawat yang bertanggung jawab dalam pengobatan dan perawatan selama

minimal 2 tahun. Tahap awal dipilih 4 partisipan kemudian dipilih delapan,

sepuluh dan dua belas dengan konsekuensi sudah terjadi saturasi data.

Data dikumpulkan melalui dua wawancara terbuka (3 minggu setiap bagian), field

notes, observasi, dokumen, jurnal dan review literatur. Dalam wawancara terbuka

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 83: D2049-Tintin Sukartini.pdf

63

Universitas Indonesia

(pasien, dokter dan perawat), diwawancara dengan pertanyaan yang mengacu

pada pertanyaan riset untuk menentukan struktur penting dalam mengontrol

hipertensi. Hasil wawancara direkam melalui tape recorder. Observasi langsung

dan catatan dibuat ketika kunjungan ke klinik berkenaan dengan dokter,

pengobatan, perawatan yang diberikan di rumah sakit dan perencaan pulang oleh

perawat. Wawancara, observasi dan review catatan digunakan sebagai triangulasi

untuk meningkatkan kredibilitas penelitian. Data yang terkumpul di analisis

dengan metode analisis komparatif konstan.

Partnership caring theory yang berhasil digeneralisasikan dari penelitian meliputi

konsep dan proses: ketidakpatuhan pasien, tidak efektif hubungan perawatan

antara pasien, dokter dan perawat, kurangnya kesadaran dan pengertian pasien

akan sifat penyakit dan efek samping yang membahayakan dari penyakitnya, perlu

kesadaran dan partisipasi aktif pasien dalam mengontrol hipertensi seperti yang

dilakukan oleh dokter dan perawat dalam proses mengontrol hipertensi tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, Mohammadi, dkk (2002) menekankan bahwa

variabel tidak efektifnya hubungan pasien, dokter dan perawat merupakan

variabel inti. Berdasarkan hal tersebut Mohammadi, dkk berkeyakinan bahwa

perlu dibuat model atau mekanisme yang menjamin kepatuhan pasien selama

pengobatan dan proses perawatan. Pendekatan partnership dapat meningkatkan

keterlibatan, motivasi dan komitmen individu dalam kelompok. Peneliti pada

tahap selanjutnya merancang “partnership care model”. Pada model ini

partnership meliputi seluruh tim yang meliputi pasien, dokter dan perawat

sementara riset sebelumnya lebih banyak menekankan pada pasien.

Model partnership care model adalah model yang merupakan suatu tahap yang

berkesinambungan seperti dijelaskan oleh Mohammadi, Abedi, Jalali, Gofranifour

dan Kazemnejad (2006) bahwa model partnership adalah tahap-tahap yang

mengikuti suatu tujuan khusus dan memiliki keterkaitan yang dinamis seperti

yang dijelaskan pada gambar 2.5. Tahap-tahap ini terdiri dari motivasi

(motivation), kesiapan (readying), keterlibatan (involvement) dan evaluasi

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 84: D2049-Tintin Sukartini.pdf

64

Universitas Indonesia

(evaluation). Penelitian dilakukan secara clinical trial pada pasien hipertensi di

Iran untuk mengontrol hipertensi. Tahap pertama pada model partnership pada

pasien dengan hipertensi ini adalah motivasi. Motivasi sangat diperlukan pada

pasien hipertensi karena penyakit hipertensi adalah termasuk penyakit silent

disease dan banyak pasien tidak menyadari memiliki penyakit hipertensi.

Motivasi sangat diperlukan untuk mendorong pasien agar mau terlibat secara aktif

dalam proses pengendalian penyakit. Setelah melalui tahap motivasi maka tahap

kesiapan pasien menjadi pertimbangan berikutnya. Pada tahap ini menyiapkan

desain program dan anggota tim partnership sangat diperlukan serta menyiapkan

pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan. Mereka menyiapkan diri untuk

berpartisipasi dalam perawatan diri. Hal ini dicapai selama proses pendidikan

selama kegiatan partnership dilakukan. Tahap selanjutnya adalah keterlibatan

yang berarti proses yang terus menerus dan partisipasi aktif anggota serta

kepatuhan pasien dalam menjalankan perawatan diri selama pertemuan-pertemuan

partnersip. Proses evaluasi dan modifikasi dilakukan selama situasi pengamatan

yang diperoleh dari pertemuan berkala. Secara keseluruhan tujuan praktis dari

model partnership ini adalah untuk membentuk hubungan yang efektif antara

anggota kelompok dan meningkatkan kerjasama, motivasi dan tanggung jawab

anggota dalam proses perawatan dalam rangka meningkatkan kesehatan, kualitas

pelayanan, kepuasan pasien dan mengurangi faktor resiko.

Gambar 2.8 Empat tahap partnership Mohammadi (2006)

Motivation

Partnership

for health

promotion

Involvement

Evaluation Readying

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 85: D2049-Tintin Sukartini.pdf

65

Universitas Indonesia

Mohammadi (2006) menjelaskan bahwa proses dari model partnership yang

digunakan terdiri dari dua tahap yaitu (1) pertemuan pendidikan partnership

(educational partnership meeting), (2) tindak lanjut pertemuan partnership

(follow-up partnership meeting). Pada tahap pertama dilakukan empat pertemuan

yang terdiri dari 5-7 pasien dengan 1 orang perawat dan 1 orang dokter. Perawat

berperan sebagai pemimpin dan dokter hadir sebagai pendukung dan memberi

kontribusi dalam proses diskusi. Pertemuan pertama pada pertemuan pendidikan

partnership berisi topik mengenai sifat, penyebab dan komplikasi hipertensi.

Pertemuan kedua berisi topik terapi non-obat, pertemuan ketiga berisi topik terapi

obat dan pada pertemuan terakhir berisi topik pentingnya pengukuran dan

pencatatan tekanan darah secara terus menerus.

Pada tahap kedua dilakukan 11 pertemuan dalam 1 tahun. Pertemuan ini

dilakukan seperti pada pertemuan tahap pertama yang terdiri dari 5-7 pasien, 1

orang perawat dan 1 orang dokter. Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk

memberi motivasi dan mengevaluasi kepatuhan pasien dan partisipasi selama

proses perawatan dan terapi. Dalam setiap pertemuan dilakukan pengukuran

tekanan darah, program pendidikan pasien, evaluasi medis dan pemberian resep

yang dilakukan selama 40-45 menit. Program pendidikan yang diberikan

dirancang sesuai dengan kebutuhan pasien. Hasil dari model partnership selama 1

tahun ini diperoleh hasil terdapat penurunan yang signifikan dari tekanan darah

sistolik dan tekanan darah diastolik pada kelompok intervensi dibandingkan

dengan kelompok kontrol. Selain penurunan yang signifikan pada penurunan

tekanan darah, pada kelompok intervensi memiliki BMI (body mass index), HDL

(high density lipoprotein), kecemasan, kualitas hidup dan skor kepatuhan yang

lebih baik dibandingkan kelompok kontrol.

C. Model partnership Hook

Hook (2006) melakukan analisis konsep dari model partnership dalam konteks

hubungan seorang profesional dengan pasien. Adapun alasan Hook melakukan

analisis ini karena dirasakan konsep partnership sebelumnya belum matang

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 86: D2049-Tintin Sukartini.pdf

66

Universitas Indonesia

sehingga dibutuhkan konsensus dan konsistensi. Metode yang digunakan oleh

Hook adalah metode analisa dari Roger dengan mencari literatur dari berbagai

disiplin dan ditemukan 62 literatur dari tahun 2000-2004. Pencarian dilakukan

melalui CINAHL, Medline, Social science index dan PsyINFO. Dari 62 literatur

ini sebanyak 42% adalah literatur keperawatan, 5% dari terapi okupasi, 5% dari

pengunjung kesehatan, 2% dari kesehatan jiwa dan sitasi tunggal dari terapi fisik,

kedokteran holistik, sosiologi, pastoral care dan pemasaran.

Adapun hasil analisis dapat dilihat pada gambar berikut:

Antecedants; Atribut partnership Konsekuen

(Proses dan struktur)

Gambar 2.9 Antecedans, atribut dan konsekuen partnership (Hook, 2006)

Dalam penerapan model partnership dapat ditemukan beberapa hambatan dalam

pelaksanaanya. Partnership adalah hubungan kerjasama yang sederajat, saling

mengakui kompetensi dan bersama-sama bekerja untuk mencapai tujuan. Bila

salah satu pihak merasa memiliki kekuasaan yang lebih dari yang lainnya maka

akan terjadi kekuasaan yang tidak seimbang. Perawat akan memberi pengetahuan

Staf professional:

-Nilai

-Pengetahuan/keterampilan

dalam membangun hubungan

dan komunikasi

-kompetensi klinik

-introspeksi

Lingkungan:

-aman

-waktu

-dukungan kepemimpinan

-hubungan interdisiplin

Kompetensi

profesional

Komunikasi

Partisipasi pasien

H

U

B

U

N

G

A

N

Berbagi

pengetahuan

Berbagi

kekuasaan

Otonomi

pasien

Berbagi

pengambilan

keputusan

P

E

M

B

E

R

D

A

Y

A

A

N

Peningkatan

Manajemen

diri

Peningkatan

utilisasi

pelayanan

kesehatan

Peningkatan

outcome

kesehatan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 87: D2049-Tintin Sukartini.pdf

67

Universitas Indonesia

yang merasa dibutuhkan pasien dan mengambil keputusan untuk pasien dan bukan

membantu pasien untuk mengambil keputusan. Henderson (2003) menemukan

beberapa faktor yang menyebakan terjadinya kekuasaan yang tidak seimbang

yaitu perawat memberi informasi, perawat mengontrol interaksi dengan pasien

dan perawat menggunakan kekuasaan.

D. Partnership Keperawatan Keluarga

Penelitian Jondottsir, dkk (2007), menggambarkan proses partnership antara

perawat peneliti dan pasangan yang memiliki istri mengalami kesulitan bernafas

yang parah karena PPOK (penyakit paru obstruksi kronis). Hidup dengan gejala

penyakit paru-paru adalah tantangan. Dampak sulit bernafas pada individu dan

keluarga sering diabaikan oleh pelayanan kesehatan yang terbatas dalam

mengelola manifestasi klinis dan penyebab pernafasan yang sulit. Penelitian ini

menggambarkan pendekatan yang berbeda untuk praktik keperawatan keluarga

yang dinamakan partnership. Partnership adalah pendekatan praktik keperawatan

dimana perawat berhubungan dengan individu, keluarga, kelompok dan

komunitas sebagai “pasien”.

Jondottsir, dkk meneliti pengalaman pasangan dengan berpartisipasi dalam

konteks praktik (researcher-as-if practitioner). Partisipan dalam studi ini adalah

pasangan yang memiliki istri mengalami kesulitan bernafas, hidup satu rumah

dengan suami, usia 45-60, dan masuk rumah sakit berulang dalam 2 tahun

terakhir. Lima pasangan berpartisipasi sebagai partisipan. Data yang dihasilkan

didasarkan pada dialog yang mencerminkan research-as-if practice.

Dari hasil didapatkan tiga tema yang berkaitan dengan proses partnership antara

perawat sebagai peneliti dan pasangan dengan istri yang mengalami kesulitan

bernafas. Tema yang didapatkan yaitu: koherensi hidup dengan gejala dan

regimen pengobatan, hidup sepenuhnya dan mengambil hal-hal saat mereka

datang, dan efisiensi penggunaan pelayanan kesehatan.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 88: D2049-Tintin Sukartini.pdf

68

Universitas Indonesia

Tema menemukan koherensi dalam kehidupan dengan gejala dan regimen

pengobatan, mengungkapkan sifat dialog relasional yang mencirikan partnership.

Memiliki kesempatan untuk terlibat dalam dialog dengan perawat tentang hidup

dengan penyakit merupakan suatu hal baru dan sangat berharga bagi pasangan.

Dalam dialog, perawat empati dan aktif mendengar. Tema hidup sepenuhnya dan

mengambil hal-hal sebagaimana mereka datang mencerminkan tantangan keluarga

dalam menemukan diri mereka, membuat mereka ingin hidup, meminimalkan

penyakit dan mengambil hal-hal sebagaimana mereka datang. Interaksi dengan

professional kesehatan, khususnya dokter memiliki signifikansi yang tak terduga

dalam penelitian dan tercermin dalam tema efisiensi penggunaan fasilitas

kesehatan. Mengartikulasikan partnership dalam penelitian ini tidak dimaksudkan

menjadi resep atau instruksi bagi perawat untuk bagaimana terlibat dengan pasien

tetapi saran untuk “transformasi praktik keperawatan”.

Dari beberapa studi tentang model di atas dapat disimpulkan bahwa masing-

masing model memiliki fokus sentral yang berbeda-beda. Model partnership care

dari Endo, 2000 menekankan pada pola pengenalan keluarga dalam hal ini pada

pengenalan pola keluarga pada pasien kanker. Dalam pengenalan pola keluarga ini

ditemukan 5 proses transformasi dari pola keluarga yang dimulai dari perhatian

terhadap evolusi pola keluarga, pengakuan pola keluarga, penerapan makna pola

keluarga, caring dan potensi, dan transformasi pola keluarga. Pola keluarga ini

merupakan transformasi proses partnership sebagai intervensi keperawatan dalam

merawat pasien kanker. Dari model partnership ini dapat disimpulkan bahwa

pola pehamanan yang sama dalam hal ini pola keluarga merupakan inti dari model

partnership untuk mencapai tujuan yaitu merawat keluarga dengan pasien kanker.

Pengenalan pola keluarga merupakan hal yang penting dalam proses patnership

tetapi masih memiliki kelemahan bahwa model ini belum menjelaskan tahapan

proses partnership dalam proses asuhan keperawatan.

Model partnership caring dari Mohammadi, 2002 menekankan pada struktur

penting dalam membentuk model partnership untuk merubah perilaku pasien

dalam mengontrol hipertensi. Studi ini dilanjukan oleh Mohammadi, 2006 dengan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 89: D2049-Tintin Sukartini.pdf

69

Universitas Indonesia

menguraikan tahapan-tahapan proses dalam mengontrol hipertensi. Tahapan ini

terdiri dari motivasi, readying, involvement dan evaluasi. Kelemahan model ini

adalah belum menjelaskan proses interaksi antara perawat dan pasien yang

seharusnya merupakan hal penting dalam proses partnership.

2.6 Hubungan Teori Sistem Interaksi King, Health Promotion Model Pender

dan Model Partnership.

Menurut King setiap individu adalah personal yang tercermin melalui persepsi,

diri, pertumbuhan dan perkembangan, gambaran diri, pembelajaran, ruang, waktu

dan koping. King menekankan bahwa manusia memiliki perasaan dan persepsi,

makhluk sosial, rasional, memiliki kontrol, bertujuan dan berorientasi pada

tindakan dan berorientasi pada waktu. Diri merupakan konsep kedua dari sistem

personal yang merupakan individu secara keseluruhan. Pengalaman dan persepsi

yang tersimpan dalam diri seseorang adalah apa yang membentuk diri. Sikap,

gagasan, kebutuhan, nilai, tujuan dari individu dan sifat genetik merupakan faktor

yang mempengaruhi diri. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan konsep

ketiga dari sistem personal King, King mengidentifikasi bahwa pengalaman hidup

dan lingkungan yang positif maupun negatif mempengaruhi perubahan individu.

Gambaran diri merupakan konsep sistem personal yang dipengaruhi oleh

lingkungan dan persepsi, dengan demikian gambaran diri dianggap suatu hal yang

subyektif. Ruang adalah lingkungan dimana perawat dan pasien berinteraksi,

waktu digambarkan sebagai periode dari peristiwa yang dialami oleh setiap

individu. Pembelajaran dan koping adalah konsep yang ditambahkan terakhir oleh

King.

Sistem interpersonal terjadi ketika individu berinteraksi satu dengan yang lain

seperti interaksi antara perawat, pasien dan keluarga. Konsep yang berhubungan

dengan sistem interpersonal adalah peran, stres, stresor, interaksi, transaksi dan

komunikasi. Peran merujuk pada seperangkat perilaku yang diharapkan seseorang

dalam posisi spesifik dalam sistem sosial. Peran dalam sistem interpersonal

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 90: D2049-Tintin Sukartini.pdf

70

Universitas Indonesia

memerlukan komunikasi dan hubungan yang interaktif. Stres adalah perubahan

energi posistif dan negatif antara individu dan lingkungan, obyek, kejadian atau

orang lain. Stres dapat berupa fisiologik, psikologis dan sosial. Interaksi

didefinisikan sebagai tindakan 2 orang atau lebih, proses interaksi ini melibatkan

proses yang dipengaruhi oleh situasi. Transaksi adalah interaksi yang berorientasi

tujuan dimana individu berkomunikasi satu dengan lainnya atau dengan

lingkungan untuk mencapai tujuan. Ketika transaksi terjadi maka tujuan tercapai.

Komunikasi adalah transmisi informasi verbal dan non verbal antara 2 atau lebih

individu dalam lingkungan dan komunikasi dinamis terus terjadi dalam proses

interaksi ini.

Sistem sosial berkembang sebagai hasil dari sistem personal yang lebih besar

seperti keluarga, kelompok, organisasi, komunitas atau masyarakat. Dalam sistem

sosial terdapat konsep kekuasaan, otoritas, pengambilan keputusan, organisasi dan

status. Sistem sosial dapat digunakan sebagai sistem pendukung bagi pasien yaitu

berupa dukungan keluarga dan dukungan dari sistem pelayanan kesehatan.

Pendekatan lain yang digunakan untuk meningkatkan pengetahuan pasien agar

memiliki kepatuhan berobat berkaitan dengan penyakit dan masalah fisik salah

satunya menggunakan pendekatan promosi kesehatan. Teori HPM digunakan

sebagai kerangka teori untuk membangun penelitian ini. HPM secara konseptual

terdiri dari tiga komponen yaitu karakteristik individu, sikap dan perilaku spesifik,

dan hasil perilaku. Karakteristik individu dan pengalaman berhubungan dengan

perilaku dan faktor personal (biologis, psikologis, sosiokultural) yang merupakan

dasar pengalaman dari individu untuk memilih terikat dengan perilaku promosi

kesehatan. Sikap dan perilaku spesifik berkaitan dengan persepsi manfaat dan

hambatan tindakan, persepsi keyakinan diri, sikap yang berhubungan dengan

aktivitas, pengaruh interpersonal dan pengaruh situasional merupakan pusat dari

HPM dimana komponen tersebut dapat dirubah.

Dalam promosi kesehatan pasien seringkali pasif dan sedikit bertanya, dengan

pendekatan sistem interaksi pasien dapat termotivasi untuk terlibat secara aktif

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 91: D2049-Tintin Sukartini.pdf

71

Universitas Indonesia

dan berdiskusi tentang manfaat dan hambatan untuk melaksanakan tindakan untuk

mencapai kepatuhan. Kerangka teori yang digunakan dalam membangun model

peningkatan kepatuhan adalah model partnership, dalam model partnership

menekankan adanya persamaan, kesejajaran dan keterbukaan, prinsip ini

digunakan dalam interaksi perawat-pasien dimana perawat harus memposisikan

diri sebagai fasilitator yang memiliki persamaan tujuan yaitu kepatuhan pasien

untuk mencapai kesembuhan. Sistem interaksi harus menekankan keterbukaan

antara perawat pasien sehingga akan mudah untuk mengkaji, menganalisis dan

melakukan intervensi segala permasalahan. Aspek kesejajaran ditekankan bahwa

walaupun perawat lebih tahu tentang masalah kesehatan, akan tetapi yang

memiliki permasalahan adalah pasien. Sehingga pasienlah yang berhak

memutuskan apa yang terbaik untuk mereka dan perawat hanya sebagai fasilitator

dan edukator.

2.7 Kerangka Teori Penelitian

Kerangka teori disusun berdasarkan teori yang sudah dijelaskan pada bahasan

sebelumnya, kerangka teori merupakan panduan teoritis untuk melaksanakan

penelitian. Teori, konsep dan model yang digunakan untuk membangun kerangka

teori ini adalah teori sistem interaksi King, health promotion model Pender dan

model partnership Mohammadi.

Teori pencapaian tujuan King digunakan untuk mengembangkan model

peningkatan kepatuhan pasien dengan memperhatikan sistem personal dan

interpersonal pasien pasien. Kebutuhan pasien akan dinilai berdasarkan sistem

personal dengan memperhatikan persepsi, diri, gambaran diri, pembelajaran,

ruang, waktu dan koping. Sistem interpersonal pasien dinilai dengan

memperhatikan komunikasi, peran, stres dan stresor yang terjadi dalam interaksi

diantara pasien dan perawat sehingga tercapai transaksi. Dalam proses mencapai

tujuan peningkatan kepatuhan pasien diperlukan komitmen pasien yang sesuai

dengan teori health promotion model Pender. Komitmen dapat dinilai dari self

efficacy dan motivasi pasien. Model partnership diintegrasikan ke dalam teori

King sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan. Model partnership digunakan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 92: D2049-Tintin Sukartini.pdf

72

Universitas Indonesia

dalam proses intervensi dengan menggunakan azas persamaan, kesejajaran dan

keterbukaan.

Aplikasi kerangka kerja sistem interaksi King, health promotion model (HPM)

Pender dan model partnership sangat dimungkinkan untuk mengembangkan

model peningkatan kepatuhan pada pasien TB paru. Dalam penelitian ini teori

HPM Pender dan model partnership digunakan sebagai kerangka teori untuk

membangun model. Faktor biologis pada HPM merupakan faktor yang

mempengaruhi terbentuknya perilaku digunakan sebagai faktor perancu yang

mempengaruhi hubungan model dengan variabel dependen. Model partnership

diterapkan sebagai salah satu komponen komunikasi dalam interaksi yang

menanamkan adanya kesejajaran antara perawat-pasien. Berdasarkan hal tersebut

di atas penulis merasa perlu menggunakan teori-teori tersebut sebagai landasan

teori untuk penelitian.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 93: D2049-Tintin Sukartini.pdf

73

Universitas Indonesia

KERANGKA TEORI PENELITIAN

Gambar 2.10 Kerangka Teori Penelitian

Model

peningkatan

Kepatuhan

Sistem Interaksi Pasien berdasarka teori

King

Sstem personal: persepsi, diri,

tumbuh kembang, gambaran diri,

ruang dan waktu

Sistem interpersonal: komunikasi,

stress, peran, interaksi dan transaksi

Sistem sosial: otoritas, pembuat

keputusan, organisasi, kekuasaan dan

status

Health Promotion Model Nola J.Pender

Sifat dan pengalaman individu

Perilaku spesifik pengetahuan dan

sikap

Komitmen pada rencana tindakan

Perilaku promosi kesehatan

Model partnership perawat pasien dalam

mencapai tujuan:

Persamaan

Kesejajaran

keterbukaan

Pasien:

1. Pengetahuan

2. Intensi perilaku:

self efficacy dan

motivasi

3. Kepatuhan:

pencegahan

penularan, nutrisi,

pengobatan

Variabel yang

berhubungan:

1. Ciri-ciri

kesehatan dan

pengobatan

2. Ciri-ciri individu

3. Komunikasi

antara penderita

dengan petugas

kesehatan

4. Variabel sosial

5. Persepsi dan

harapan

penderita

Faktor pendukung

1. Pendidikan

2. Akomodasi

3. Modifikasi

faktor

lingkungan dan

sosial

4. Perubahan model

terapi

5. Meningkatkan

interaksi

profesional

kesehatan

dengan pasien

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 94: D2049-Tintin Sukartini.pdf

74 Universitas Indonesia

BAB 3

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

PENELITIAN

Dalam bab 3 ini akan menguraikan tentang kerangka konsep penelitian, hipotesis

penelitian dan definisi operasional dari variabel pengembangan model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dan variabel dependen

yaitu pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan kepatuhan nutrisi

dan kepatuhan pengobatan pasien TB paru.

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep merupakan struktur dari konsep dan atau teori yang diletakkan

secara bersama-sama dengan menggunakan skema pada suatu penelitian. Dalam

kerangka konsep menjelaskan hubungan atau keterkaitan antara variabel model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dan variabel

pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi dan

kepatuhan pengobatan.

Kerangka konsep pada penelitian terbagi menjadi dua bagian yaitu kerangka

konsep penelitian tahap 1 dan kerangka konsep penelitian tahap 2. Di bawah ini

digambarkan kerangka konsep penelitian tahap 1 sebagai berikut:

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian Tahap 1

Model

peningkatan

kepatuhan

berbasis teori

sistem interaksi

King

Studi

literatur

Studi

kualitatif

Konsultasi

pakar

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 95: D2049-Tintin Sukartini.pdf

75

Universitas Indonesia

Adapun kerangka konsep penelitian tahap II dapat digambarkan pada skema di

bawah ini:

Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian Tahap II.

Berdasarkan kerangka konsep yang sudah dibuat, penelitian tahap 1 adalah

pembentukan model melalui studi literatur, studi kualitatif dan konsultasi pakar.

Penelitian tahap 2 adalah validasi model dengan variabel penelitian sebagai

berikut:

1. Variabel independen

Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King

2. Variabel dependen

Pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan, kepatuhan

nutrisi dan kepatuhan pengobatan.

3. Variabel perancu

Usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan.

Variabel independen

Variabel dependen

Pengetahuan

Self efficacy

Motivasi

Pencegahan penularan

Kepatuhan nutrisi

Kepatuhan pengobatan

Variabel perancu

Usia

Jenis kelamin

Tingkat pendidikan

Status perkawinan

Pekerjaan

Model peningkatan

kepatuhan berbasis

teori sistem interaksi

King

Perawat Pasien

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 96: D2049-Tintin Sukartini.pdf

76

Universitas Indonesia

3.2 Hipotesis

Hipotesis mayor:

Intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King

efektif meningkatkan kepatuhan pasien TB paru

Hipotesis Minor:

1) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King terhadap pengetahuan pasien TB paru.

2) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King terhadap self efficacy pasien TB paru.

3) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King terhadap motivasi pasien TB paru.

4) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King terhadap pencegahan penularan pasien TB paru.

5) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King terhadap kepatuhan nutrisi pasien TB paru.

6) Terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King terhadap kepatuhan pengobatan pasien TB paru.

7) Terdapat hubungan variabel perancu:usia, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan dengan pengetahuan, self

efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 97: D2049-Tintin Sukartini.pdf

77

Universitas Indonesia

3.3 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi operasional variabel:

VARIABEL

DEFINISI OPERASIONAL ALAT UKUR CARA UKUR HASIL UKUR SKALA UKUR

Variabel Independen/

Intervensi

Model peningkatan

kepatuhan berbasis teori

sistem interaksi King

Serangkaian intervensi

keperawatan yang bertujuan

untuk meningkatkan

kepatuhan pasien TB paru

dengan memperhatikan

sistem interaksi pasien yaitu

sistem personal, sistem

interpersonal dan sistem

sosial

Model yang

dikembangkan dan

diujicobakan kepada

pasien TB Paru.

Peneliti sendiri yang

menerapkan uji coba

model kepada pasien

TB Paru

1. Pasien yang

mendapatkan

model peningkatan

kepatuhan

2. Pasien yang

tidak mendapatkan

model kepatuhan

kategorik

Variabel dependen:

pengetahuan Pengetahuan pasien tentang

TB paru yang meliputi

pengetahuan sakit dan

penyakit, pemeliharaan

kesehatan dan kesehatan

lingkungan

Kuesioner Pasien mengisi

kuesioner

Skor (0-100)

Numerik

Self Efficacy Keyakinan pasien bisa

mencapai hasil yang baik

dalam pengobatan

kuesioner Pasien mengisi

kuesioner

Skala Likert (1-5)

Skor 10-50

Numerik

Motivasi

Dorongan untuk bertindak

melakukan pengobatan dan

perawatan untuk mencapai

kesembuhan

Kuesioner Pasien mengisi

kuesioner

Skala Likert (1-5)

Skor 10-50

Numerik

Kepatuhan: Pencegahan

penularan

Tindakan pasien mencegah

penularan kepada orang lain

Kuesioner Pasien mengisi

kuesioner

Skala Likert (1-5)

Skor 10-50 Numerik

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 98: D2049-Tintin Sukartini.pdf

78

Universitas Indonesia

Kepatuhan: nutrisi

Tindakan pasien

untuk menkonsumsi

diet ETPT (energi

tinggi protein tinggi)

PARAMETER

Kuesioner Pasien mengisi

kuesioner

Skala Likert (1-5)

Skor (10-50)

numerik

Perubahan berat

badan pada akhir

bulan ke-2 dan ke-5

pengobatan

Timbangan BB

Penimbangan BB

pasien

BB dalam kg numerik

Kepatuhan pengobatan

Ketepatan pasien minum

obat sesuai waktu, dosis, dan

lama pengobatan

Dosis Menghitung pil 1. Sesuai

2. tidak sesuai

kategorik

Cara Kuesioner 1. Satu kali

satu waktu

2. Beberapa

waktu

kategorik

Waktu kuesioner 1. Sebelum

makan

2. Setelah

makan

kategorik

Formulir TB-01 dan

formulir TB-02

Pendataan pasien

melalui

kunjungan,

menghitung

jumlah obat,

bungkus dan sisa

obat

1. Patuh

2. Tidak patuh

(drop out)

kategorik

Variabel perancu

Faktor personal

usia Umur pasien sejak lahir

sampai hari penelitian

Angket Wawancara

tentang usia

Golongan usia

menurut depkes,

kategorik

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 99: D2049-Tintin Sukartini.pdf

79

Universitas Indonesia

responden dalam

tahun

yang kemudian

dibuat dalam 2

kategori

1. 18-45 th

2. 45-65 th

jenis kelamin

Pengelompokan responden

menjadi laki-laki dan

perempuan

Angket Wawancara

tentang jenis

kelamin

responden

1.Laki-laki

2.Perempuan

kategorik

tingkat pendidikan terakhir Jenjang pendidikan yang

ditempuh responden secara

formal

Angket Wawancara

tentang

pendidikan

responden

1. pendidikan

formal < 9

tahun

2. Pendidikan

formal > 9

tahun

kategorik

Status kawin Status perkawinan

responden

Angket Wawancara

tentang status

perkawinan

responden

1.Kawin

2.Belum

Kawin/Janda/duda

kategorik

Pekerjaan Sesuatu yang sengaja

dilakukan oleh seseorang

untuk mendapatkan

penghasilan

Angket Wawancara

tentang pekerjaan

responden

1.Bekerja

2.Tidak

Bekerja

kategorik

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 100: D2049-Tintin Sukartini.pdf

80 Universitas Indonesia

BAB 4

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap penelitian yaitu tahap pertama adalah

pengembangan model melalui studi literatur, studi kualitatif dan konsultasi pakar

dan tahap kedua adalah validasi model menggunakan desain quasi eksperimen.

4.1 Tahap I: Penelitian Tahap 1

Pada pengembangan model melalui penelitian kualitatif bertujuan untuk

menghasilkan model dari hasil temuan pengalaman pasien TB paru dalam upaya

mencapai kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King. Adapun tujuan khusus

penelitian ini adalah menguraikan sistem personal, menguraikan sistem

interpersonal dan menguraikan sistem sosial pada pasien patuh.

4.1.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif

eksploratif. Metode ini digunakan untuk mengeksplorasi, memahami dan

menafsirkan pengalaman pasien yang menyebabkan pasien patuh dalam

menjalankan pengobatan TB paru berbasis teori sistem interaksi King.

4.1.2 Partisipan Penelitian

Partisipan penelitian ini adalah pasien TB yang berobat di Poli Paru RS Haji

Surabaya pengobatan dengan melihat catatan medik, dengan kriteria:

1. Pasien meyatakan bersedia menjadi responden penelitian dengan

menanda tangani surat persetujuan atau informed consent

2. Pasien dewasa (umur 18 - 65 tahun)

3. Pasien yang patuh berobat selama 5-6 bulan dengan kriteria hasil

BTA menunjukkan negatif.

4. Mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang dapat dipahami

oleh peneliti.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 101: D2049-Tintin Sukartini.pdf

81

Universitas Indonesia

Pemilihan sampel dilakukan melalui metoda purposive sampling, yaitu

memilih sampel sebagai informan penelitian sesuai dengan tujuan

penelitian. Informan atau partisipan dalam penelitian ini adalah 8 pasien

yang memenuhi kriteria inklusi. Pemilihan 8 partisipan ini karena saat

pengambilan data telah terjadi saturasi. Pada penelitian ini partisipan

adalah pasien TB paru yang telah menjalani pengobatan selama 6 bulan.

4.1.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di poli paru RSU Haji Surabaya, waktu penelitian

pada bulan Maret-April 2013. Pemilihan dilakukan di RSU Haji Surabaya

karena RSU Haji surabaya merupakan RS Pemerintah Provinsi Jatim

dimana banyak pasien TB paru yang berobat.

4.1.4 Etika Penelitian

Penelitian telah mendapatkan persetujuan etik dari Komite Etik Fakultas

Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan Komite Etik RSU Haji

Surabaya. Etika penelitian yang diterapkan memenuhi prinsip etik

beneficence, prinsip menghargai harkat dan martabat manusia serta prinsip

keadilan sesuai polit dan Beck (2008). Yang dapat dijelaskan sebagai

berikut:

4.1.4.1 Prinsip beneficence

Untuk memenuhi prinsip beneficence peneliti memastikan penelitian yang

dilakukan menjamin bahwa manfaat yang didapatkan dari penelitian ini jauh lebih

besar daripada risiko yang mungkin ditimbulkan. Peneliti menjelaskan bahwa

penelitian ini hanya menggali pengalaman selama menjalankan pengobatan TB

paru dan tidak melakukan tindakan apapun yang dapat merugikan partisipan.

Selama proses wawancara peneliti melakukan wawancara senyaman mungkin dan

partisipan dapat mengungkapkan pengalamannya secara terbuka dan leluasa.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 102: D2049-Tintin Sukartini.pdf

82

Universitas Indonesia

4.1.4.2 Prinsip menghargai harkat dan martabat manusia.

Untuk menghargai harkat martabat manusia dalam penelitian ini partisipan

mendapat informasi secara lengkap terlebih dahulu dan berhak untuk menerima

atau menolak terlibat dalam penelitian ini. Peneliti menjelaskan tujuan penelitian

yaitu untuk menggal faktor-faktor yang menyebabkan pasien patuh dalam

pengobatan TB paru. Peneliti juga menjelaskann alasan pemilihan partisipan yaitu

karena partisipan patuh berobat selama 5-6 bulan ini, kemudian peneliti meminta

kesedian partisipan untuk wawancara dan dilakukan penanda tanganan informed

consent sebagai bukti partisipan bersedia dilakukan wawancara. Wawancara

dilakukan di poli paru RSU Haji sekitar 45 menit untuk setiap partisipan.

4.1.4.3 Prinsip keadilan

Prinsip keadilan adalah hak mendapatkan perlakuan yang adil dan hak

mendapatkan keleluasaan pribadi (privacy). Peneliti memberi perlakuan yang

sama kepada partisipan tanpa membeda-bedakan usia, jenis kelamin, pekerjaan,

suku, agama dan status sosial. Perlakuan yang sama diterapkan pada saat

wawancara yaitu, waktu yang hampir sama, tempat dan suasana ruangan yang

hampir sama. Peneliti menjelaskan bahwa hasil wawancara akan dipublikasikan

namun identitas dari partisipan akan dijaga kerahasiaannya dan tidak akan

dipublikasikan. Semua nama akan diganti dengan kode yang diketahui hanya oleh

peneliti. Peneliti juga menjelaskan bahwa hasil penelitian ini akan memberi

manfaat pada pasien TB paru yang nanti akan menjalani pengobatan selama 6-9

bulan.

4.1.5 Prosedur Pengumpulan Data

Langkah pertama yang dilakukan adalah melihat catatan medik pasien yang

berobat di poli paru. Pasien yang dipilih adalah pasien yang terakhir kontrol

ke rumah sakit yaitu akhir bulan ke-5 dan menunjukkan BTA negatif . Hal

lain yang disiapkan adalah ruangan untuk wawancara. Setelah itu dilakukan

wawancara pada pasien yang memenuhi kriteria dengan sebelumnya

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 103: D2049-Tintin Sukartini.pdf

83

Universitas Indonesia

memberikan penjelasan dan penandatanganan surat persetujuan penelitian.

Wawancara dilakukan antara 30-45 menit.

Persiapan lain yang dilakukan selain menyiapkan partisipan adalah

persiapan alat. Peneliti memastikan bahwa alat rekam mampu merekam

dengan baik. Hal yang dilakukan peneliti adalah memastikan alat memiliki

baterai yang cukup untuk merekam, posisi volume suara adalah posisi

terendah dan memori alat rekam masih banyak.

Pada saat wawancara, peneliti menggunakan tehnik wawancara jenis

pertanyaan terstruktur untuk menggali pengalaman partisipan. Peneliti

selalu mengajukan pertanyaan terbuka di awal wawancara. Saat ada

jawaban partisipan belum jelas, peneliti memvalidasi jawaban partisipan

dengan tehnik pertanyaan klarifikasi.

Seluruh wawancara dilakukan dengan posisi berhadapan antara peneliti dan

partisipan. Dengan posisi ini peneliti tidak mengalami hambatan saat

membuat catatan lapangan yang berisi respon non verbal partisipan. Jarak

antara partisipan dan peneliti sekitar satu meter. Alat perekam diletakkan

sekitar 50 cm dari peneliti dan partisipan, dengan arah mikropon ke arah

partisipan. Wawancara dilakukan rata-rata sekitar 30-45 menit. Kegiatan

wawancara pada satu partisipan diakhiri pada saat semua informasi yang

dibutuhkan sesuai tujuan penelitian telah diperoleh. Setelah dilakukan

wawancara dibuat kontrak kembali yaitu apabila ada data yang kurang

lengkap atau perlu klarifikasi maka informan akan dilakukan wawancara

kembali. Seluruh partisipan dilakukan wawancara kembali melalui telpon

untuk melakukan klarifikasi atas data yang telah disusun.

4.1.6 Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang akan digunakan adalah peneliti sendiri,

pedoman wawancara, catatan lapangan dan tape recorder.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 104: D2049-Tintin Sukartini.pdf

84

Universitas Indonesia

4.1.7 Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan hanya dilakukan untk

menemukan tema yang digunakan sebagai dasar untuk membangun model,

adapun langkah-langkah análisis sebagai berikut:

1. Membaca seluruh transkrip partisipan dan catatan lapangan untuk

memperoleh gambaran umum tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi kepatuhan pengobatan TB paru

2. Mendengarkan hasil wawancara dan membaca transkrip secara

berulang-ulang untuk memilih pernyataan yang bermakna.

3. Mengidentifikasi kata kunci melalui penyaringan pernyataan

partisipan yang signifikan dengan fenomena yang diteliti.

4. Mengorganisasikan makna yang telah teridentifikasi kedalam

beberapa kelompok tema.

5. Mengintegrasikan semua hasil penelitian dalam suatu narasi.

6. Memvalidasi hasil penelitian dengan kembali ke partisipan dan

mengecek kembali apakah data yang ditampilkan sudah sesuai

dengan yang dialami partisipan dan menambah data baru pada proses

validasi untuk mendapatkan gambaran penelitian secara utuh.

4.1.8 Penyusunan Model

Setelah dilakukan studi kualitatif tahap selanjutnya adalah konsultasi pakar untuk

menambah masukkan agar terbentuk model yang fit untuk dilakukan uji coba.

Konsultasi dilakukan kepada pakar keperawatan. Konsultan yang dipilih adalah

pakar keperawatan yang memiliki pengetahuan yang mumpuni dalam ilmu

keperawatan dan atau masalah tuberkulosis paru. Konsultan yang dipilih sebanyak

3 orang. Langkah pertama yang dilakukan adalah menetapkan pakar yang dipilih

untuk dilakukan konsultasi. Setelah melakukan kontrak untuk pertemuan dengan

pakar yang dimaksud kemudian menjelaskan maksud dan tujuan konsultasi.

Konsultasi dilakukan 1 kali untuk masing-masing pakar. Hasil dari konsultasi

pakar dinarasikan, di analisis dan sintesis dengan hasil studi kualitatif sehingga

tercapai model peningkatan kepatuhan berdasarkan sistem interaksi King yang fit

dan siap untuk dilakukan uji coba.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 105: D2049-Tintin Sukartini.pdf

85

Universitas Indonesia

4.2 Penelitian Tahap II: Validasi Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis

Teori Sistem Interaksi King

Validasi dilakukan dengan melaksanakan uji coba pengembangan model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King pada pasien TB paru

di Poli Paru RSU Haji Surabaya untuk kelompok intervensi dan RSUD Ibnu Sina

Gresik untuk kelompok kontrol selama 6 bulan (akhir bulan ke-5 pengobatan).

Pertimbangan waktu 6 bulan disesuaikan dengan periode waktu dimana

pengobatan TB paru adalah selama 6 bulan sehingga dapat dinilai kepatuhan

pasien dalam pengobatan.

4.2.1 Desain penelitian

Penelitian pada tahap 2 menggunakan desain penelitian quasy eksperimen dengan

pre-post test control group design, yaitu subyek yang memenuhi kriteria inklusi

dimasukkan ke dalam kelompok intervensi dan kelompok kontrol sesuai dengan

RS yang dipilih. Subyek dilakukan intervensi model peningkatan kepatuhan

berbasis teori sistem interaksi King pada saat berobat di poli paru dimana

sebelumnya dilakukan pengukuran awal (pre test). Pengukuran selanjutnya

dilakukan pada 2 bulan setelah pengobatan atau setelah fase intensif pengobatan

(post test 1) dan pengukuran ketiga dilakukan pada akhir bulan ke-5 (post test 2).

Selanjutnya hasil pengukuran awal (pre-test) dibandingkan dengan hasil

pengukuran akhir (post test1 dan post test2) untuk menentukan perbedaan

pengetahuan, motivasi, self efficacy, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi

antara sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok yang mendapatkan

penerapan model dan yang tidak diberi perlakuan. Sedangkan untuk variabel

kepatuhan hanya dilakukan pengukuran pada akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-

5 intervensi.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 106: D2049-Tintin Sukartini.pdf

86

Universitas Indonesia

Gambar 4.1 Tahapan proses penelitian

4.2.2 Populasi dan Sampel

Populasi yang diteliti adalah pasien TB paru yang tinggal di Kota Surabaya

berdasarkan data pasien yang masuk rumah sakit dan kontrol rutin di Poli Paru RS

Haji Surabaya dan RS Ibu Sina Gresik tahun 2014.

1. Pasien meyatakan bersedia menjadi responden penelitian dengan menanda

tangani surat persetujuan atau informed consent baik sebagai subyek

penelitian maupun tindakan keperawatan/pengambilan sampel darah.

2. Pasien dewasa (umur 18 - 65 tahun)

3. Tidak terdapat penyakit lain yang dapat mengganggu pengukuran,

misalnya diabetes melitus, sirosis hepatis, hepatitis; penyakit

kardiovasuler, pasien luluh paru, pasien tidak kooperatif dan tidak

mempunyai tempat tinggal yang tetap.

4. Pasien baru terdiagnosis TB paru.

Penentuan besar sampel dalam penelitian ini menggunakan penentuan besar

sampel untuk uji hipotesis beda dua proporsi (uji 1 sisi) dari Ariawan (1998) dan

Lemeshow S, Hosmer DW, Klar J, Lwanga SK (diterjemahkan oleh Promono D

dan Kusnanto H, 2002).

Populasi

(Pasien Tuberkulosis Paru)

Populasi

Sampel

Kontrol

Observasi 3

Post2 Model

Peningkatan

Kepatuhan

Observasi 1

Pre

Observasi 3

Post2 Observasi 1

Pre

Observasi 2

Post1

Observasi 2

Post1

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 107: D2049-Tintin Sukartini.pdf

87

Universitas Indonesia

Formulasi rumus tersebut adalah sebagai berikut:

Keterangan:

= level of significance (%)

1- = Power of test (%)

P1 = Proporsi kelompok intervensi

P2 = Proporsi kelompok kontrol

n = sample size

Pada penelitian sebelumnya ditemukan : P1= 33.3%, P2=10.7% (Mohammadi

dkk, 2006). Berdasarkan rumus di atas, peneliti ingin menguji hipotesis dengan

derajat kemaknaan 5% (Z1-α/2 =1.96) dan kekuatan uji 90% (Z1-β = 0.84).

Dengan memasukkan angka-angka tersebut kedalam rumus menggunakan

software maka diperoleh besar sampel sebesar 50. Pada penelitian ini

menggunakan besar sampel 50 untuk kelompok intervensi dan 50 untuk kelompok

kontrol. Sehingga total sampel adalah 100 responden. Kelompok intervensi adalah

pasien TB paru di RS Haji Surabaya dan kelompok kontrol adalah pasien TB paru

di RS Ibnu Sina Gresik.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah consecutive sampling yaitu

memasukkan responden yang memenuhi kriteria sampai kuota terpenuhi.

4.2.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Poli Paru RS Haji Surabaya Surabaya dan RS Ibnu Sina

Gresik dengan waktu penelitian Februari – Juli tahun 2014.

4.2.4 Etika penelitian

Sesuai dengan pedoman nasional etik penelitian kesehatan Depkes (2005) maka

penelitian kesehatan harus mempertimbangkan prinsip utama etik yaitu (1)

kerahasiaan (confidenciality) , (2) menghargai martabat manusia (respect for

(Z1-/2 √2P(1-P)+ Z1-β√P1(1-P1)+P2(1-P2))² n = _______________________________________

(P1 – P2)²

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 108: D2049-Tintin Sukartini.pdf

88

Universitas Indonesia

persons), (3) Kemanfaatan (beneficence) dan tidak merugikan (non-maleficence),

dan (4) keadilan (justice). Sebelum dilakukan penelitian peneliti mendapatkan

ethical clearance dari Komite Etik Fakultas Imu Keperawatan Universitas

Indonesia dan Komite Etik RS. Haji Surabaya. Ethical clearance yang didapat

hanya 1 kali untuk seluruh rangkaian penelitian dari tahap 1 dan tahap 2.

1. Kerahasiaan ( Confidentially)

Di dalam penelitian ini aspek kerahasiaan dilakukan dengan cara: Peneliti

menjelaskan kepada responden bahwa semua data yang diperoleh dijaga

kerahasiaanya oleh peneliti. Hanya data-data mengenai demografi,

pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi,

kepatuhan pengobatan dan berat badan yang disampaikan tanpa menyebutkan

nama responden. Peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar

pengumpulan data, peneliti hanya menggunakan kode yang diketahuinya,

dengan tujuan untuk menjaga kerahasiaan identitas responden.

2. Menghargai martabat manusia (respect for persons)

Dalam menghargai martabat manusia peneliti memberikan penjelasan tentang

penelitian kepada responden dan diminta kesediannya untuk menjadi

responden penelitian. Peneliti menjelaskan bahwa keikutsertaaan dalam

penelitian bersifat suka rela dan tanpa paksaan. Pasien TB paru sebagai

responden memiliki hak untuk mengikuti atau menolak penelitian setelah

memperoleh penjelasan dan menandatangani surat persetujuan penelitian

(informed consent). Pada penelitian ini tidak ada pasien yang menolak

keikutsertaannya dalam penelitian.

3. Kemanfaataan (beneficence) dan tidak merugikan (non-maleficence)

Prinsip kemanfaataan dalam penelitian ini dipenuhi dimana hasil penelitian

yang diperoleh bermanfaat dalam peningkatan kepatuhan pasien untuk asuhan

keperawatan pasien berikutnya. Prinsip tidak merugikan dalam penelitian ini

terpenuhi dimana penelitian ini hanya memberikan model peningkatan

kepatuhan, pemberian kuesioner dan observasi yang tidak memberikan

tindakan invasif atau apapun yang dapat merugikan pasien.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 109: D2049-Tintin Sukartini.pdf

89

Universitas Indonesia

4. Keadilan (justice)

Untuk melaksanakan prinsip keadilan dalam penelitian ini maka kelompok

kontrol dalam hal ini pihak RS Ibnu Sina Gresik akan diberikan penawaran

untuk memperoleh intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori

sistem interaksi King setelah selesai penelitian.

4.2.5 Alat Pengumpul data

Pengumpulan data primer pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

instrumen penelitian sebagai berikut:

4.2.5.1 Instrumen pengukuran pada pasien

Karakteristik pasien meliputi jenis kelamin, pendidikan, umur, status perkawinan

dan pekerjaan. Kuesioner tentang pengetahuan disusun oleh peneliti berdasarkan

literatur yang ada. Pertanyaan merupakan pertanyaan positif benar salah.

Pertanyaan terdiri dari 8 item untuk kemudian di prosentase sehingga diperoleh

skor minimal 0 dan skor maksimal 100. Pertanyaan berisi pengetahuan tentang

gejala, penularan, pengobatan, cara batuk, membuang dahak dan lingkungan

rumah bagi pasien TB paru.

Kuesioner tentang self efficacy dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan

literatur yang ada. Kuesioner ini terdiri dari 10 item pertanyaan menggunakan

skala likert 1-5, yang ini memuat pertanyaan-pertanyaan tentang keyakinan diri

pasien dalam menjalankan pengobatan TB paru yang meliputi keyakinan

mendapatkan sumber informasi, keyakinan mendapatkan dukungan sosial serta

keyakinan mengatasi gangguan fisik dan emosi. Skor yang diperolah adalah 10-

50.

Kuesioner tentang motivasi dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan

literatur yang ada. Kuesioner ini terdiri dari 10 item pernyataan menggunakan

skala likert 1-5, terdiri dari 9 pernyataan positif dan 1 pernyataan negatif yaitu no.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 110: D2049-Tintin Sukartini.pdf

90

Universitas Indonesia

2, kuesioner ini memuat pernyataan tentang motivasi pasien dalam menjalankan

pengobatan TB paru. Skor yang diperolah adalah 10-50.

Kuesioner tentang pencegahan penularan dikembangkan sendiri oleh peneliti

berdasarkan literatur yang ada. Kuesioner ini terdiri dari 10 item pernyataan

menggunakan skala likert 1-5, yang ini memuat pernyataan tentang keyakinan diri

pasien dalam menjalankan pengobatan TB paru yang meliputi keyakinan

mendapatkan sumber informasi, keyakinan mendapatkan dukungan sosial serta

keyakinan mengatasi gangguan fisik dan emosi. Skor yang diperolah adalah 10-

50. Pernyataan terdiri dari 7 pernyataan positif dan 3 pernyataan negatif (no. 1,3,

dan 9).

Kuesioner tentang kepatuhan nutrisi dikembangkan sendiri oleh peneliti

berdasarkan literatur yang ada. Kuesioner ini terdiri dari 10 item pernyataan

menggunakan skala likert 1-5, yang ini memuat pernyataan tentang kepatuhan

nutrisi dalam menjalankan pengobatan TB paru yang meliputi pola makan,

makanan 4 sehat 5 sempurna dan pantangan makan saat mengalami gejala batuk.

Skor yang diperolah adalah 10-50. Pernyataan terdiri dari 9 pernyataan positif dan

1 pernyataan negatif (no 10).

Untuk mengukur kepatuhan minum obat dilakukan penghitungan pil sehingga

pasien diminta membawa kembali blister obat dan juga digunakan formulir TB-01

dan formulir TB-02. Selain itu pada pasien juga ditanyakan mengenai dosis yang

diminum, cara minum dan waktu minum obat.

4.2.5.2 Uji coba instrumen

Uji coba instrumen dilakukan untuk mengukur validitas dan reliabilitas instrumen.

Suatu pengukuran dapat dikatakan memiliki keterandalan apabila ia memberikan

hasil yang sama atau hampir sama pada pemeriksaan yang dilakukan berulang-

ulang (Sastroasmoro, 2008).

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 111: D2049-Tintin Sukartini.pdf

91

Universitas Indonesia

Pengujian reliabilitas dilakukan untuk mengetahui konsistensi atau keteraturan

hasil pengukuran suatu instrumen apabila instrumen tersebut digunakan lagi

sebagai alat ukur dari responden. Hasil uji mencerminkan dapat dipercaya atau

tidaknya suatu instrument penelitian berdasarkan ketepatan suatu alat ukur.

metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Alpha-Cronbach.

Tingkat reliabilitas diukur berdasarkan skala Alpha 0 sampai dengan 1. Dikatakan

reliable Alpa-Cronbach 0.6-0.8 dan sangat sangat reliable jika Alpa-Cronbach

lebih besar dari 0.8.

Validitas atau disebut juga kesahihan menunjukkan berapa dekat suatu alat ukur

menyatakan apa yang seharusnya diukur. Kesahihan pengukuran dipengaruhi oleh

bias pengukuran (bias pengamat, bias subyek dan bias instrument), makin besar

bias maka akan makin kurang sahih pengukuran. Instrumen yang digunakan diuji

tingkat kevalidan dengan melakukan analisis item. Alat ukur yang digunakan

menggunakan alat ukur yang telah terstandar dan telah dilakukan kalibrasi

(peneraan ulang). Dilakukan pelatihan pada semua tenaga pengumpul data

sehingga memiliki keseragaman dalam melakukan pengukuran. Uji validitas

dilakukan melalui perbandingan nilai r hitung tiap item dengan nilai r tabel.

Intrumen valid jika r hitung masing-masing pernyataan lebih besar dari r tabel.

Instrumen di uji cobakan kepada 30 responden maka diperoleh nilai r tabel dengan

degree of freedom 28 (30-2) adalah 0.2407.

Tabel 4.1 Hasil uji coba instrumen

No Variabel Jumlah

pertanyaan

Validitas Reliabilitas

1 Pengetahuan 8 0.630-0.910 0.905

2 Self efficacy 10 0.496-0.880 0.872

5 Motivasi 10 0.463-0.786 0.666

4 Pencegahan

penularan

10 0.508-0.841 0.834

5 Kepatuhan

nutrisi

10 0.375-0.735 0.632

Uji keseluruhan 48 0.939-0.950 0.943

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 112: D2049-Tintin Sukartini.pdf

92

Universitas Indonesia

4.2.6 Prosedur pengumpulan data

Prosedur penelitian terdiri dari prosedur administratif dan prosedur teknis.

1. Prosedur administratif dalam penelitian ini adalah mengurus perijinan

kepada pihak RSU Haji sebagai kelanjutan penelitian kualitatif tahap 1

dan mengurus perijinan baru kepada Badan Perencanaan, Penelitian

dan Pengembangan Daerah Kabupaten Gresik untuk kemudian

dilanjutkan mengurus perijinan ke RSUD Ibnu Sina Gresik.

2. Prosedur teknis proses pengumpulan data diawali dengan memberikan

penjelasan tentang penelitian dan responden diminta kesediannya

untuk menjadi responden penelitian selama 6 bulan. Keikutsertaaan

dalam penelitian ini bersifat suka rela dan tanpa paksaan. Peneliti tetap

menghargai dan menghormati hak-hak responden. Sosialisasi program

kepada kepala ruang dan perawat di Poli Paru RSU Haji Surabaya dan

RSUD Ibnu Sina Gresik. Kegiatan ini dilaksanakan melalui pertemuan

yang dilaksanakan secara khusus atas persetujuan kepala ruang.

3. Adapun pelaksanaan intervensi model dilakukan sebanyak 8 kali

pertemuan. Pertemuan pertama dilakukan saat pasien terdiagnosis TB

paru, pertemuan ke-2 pada akhir minggu ke-2, pertemuan ke-3 pada

akhir minggu ke-4, pertemuan ke-4 pada akhir minggu ke-6,

pertemuan ke-5 pada akhir bulan ke-2, pertemuan ke-6 pada akhir

bulan ke-3, pertemuan ke-7 pada akhir bulan ke-4 dan pertemuan ke-8

pada akhir bulan ke-5 intervensi. Panduan lengkap bisa dilihat pada

buku model.

4.2.7 Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan setiap variabel

yang diukur dalam penelitian yaitu dengan distribusi frekuensi. Pada

penelitian ini, variabel yang dianalisis secara univariat adalah

karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin, umur, pendidikan,

pekerjaan dan status perkawinan. Variabel penelitian dengan data

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 113: D2049-Tintin Sukartini.pdf

93

Universitas Indonesia

numerik disajikan dengan nilai mean dan median pada kedua

kelompok.

2. Analisis Bivariat

Uji bivariat dilakukan untuk melihat perbedaan proporsi dan

perbedaan rata-rata pada kedua kelompok. Uji yang digunakan

adalah uji chi square dan independent t test. Uji chi square digunakan

untuk melihat perbedaan proporsi jenis kelamin, usia, pendidikan,

status perkawinan dan pekerjaan.. Uji chi square juga digunakan

untuk melihat perbedaan proporsi kepatuhan dalam pengobatan TB

paru. Uji independent t test digunakan untuk melihat perbedaan rata-

rata pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan

kepatuhan nutrisi.

3.Analisis Multivariat

Uji general linier model repeated measure (GLM-RM) digunakan

untuk melihat adanya perbedaan pada variabel yang diukur secara

berulang. Pengukuran terhadap pengetahuan, self efficacy, motivasi,

pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi dilakukan sebanyak tiga

kali yaitu sebelum diberikan intervensi, pada akhir bulan ke-2 dan

akhir bulan ke-5 setelah intervensi. Uji multivariat analysis of

covariance (Mancova) digunakan untuk menguji apakah variabel usia,

jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan

merupakan variabel perancu atau bukan.

Keseluruhan proses peneltian tahap 1 dan tahap 2 dapat dijelaskan pada kerangka

kerja di bawah ini:

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 114: D2049-Tintin Sukartini.pdf

94

Universitas Indonesia

KERANGKA KERJA PENELITIAN

TAHAP I

TAHAP II : Validasi

Studi Literatur

1.Teori sistem interaksi

dan pencapaian tujuan,

King (1971, 1981)

2. Model partnership,

Mohammadi, (2006)

3. Kepatuhan pasien TB

Assesment dengan

studi kualitatif :

Pengalaman pasien

TB paru dalam upaya

mencapai kepatuhan

berbasis teori sistem

interaksi King

Terbentuknya model

peningkatan kepatuhan

berbasis teori sistem

interaksi King

(Uji coba)

Model peningkatan

kepatuhan berbasis teori

sistem interaksi King

Kepatuhan pasien:

Pengetahuan

self efficacy,

motivasi

pencegahan

penularan

kepatuhan nutrisi

kepatuhan

pengobatan

Faktor perancu

1. Usia

2. Jenis kelamin

3. Tingkat pendidikan

4. Status perkawinan

5. Pekerjaan

Konsultasi pakar

Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 115: D2049-Tintin Sukartini.pdf

95 Universitas Indonesia

BAB 5

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian diuraikan ke dalam 2 tahap penelitian yaitu tahap I: penelitian

kualitatif untuk menggali pengalaman pasien TB paru dalam upaya mencapai

kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dan pengembangan model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King; tahap II: validasi

model.

5. 1 Hasil Penelitian Tahap I

Di bawah ini akan diuraikan hasil penelitian tahap I yaitu pengembangan model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King berdasarkan studi

literatur, penelitian kualitatif dan konsultasi pakar.

5.1.1. Hasil penelitian kualitatif

5.1.1.1 Karakteristik partisipan

Partisipan dalam penelitian ini yaitu 8 pasien TB yang telah berobat selama 6

bulan yaitu pasien yang pada masa akhir pengobatan. Usia pasien berkisar antara

18 sampai dengan 60 tahun, terdiri dari 7 laki-laki dan 1 perempuan. Tingkat

pendidikan bervariasi mulai dari SD sampai SMA. Suku berasal dari suku yang

sama yaitu Jawa. Pekerjaan swasta, ibu rumah tangga dan pelajar.

5.1.1.2 Tema

Setelah data dianalisis ditemukan 12 tema sebagai hasil penelitian. Tema-tema

tersebut diuraikan berdasarkan tujuan penelitian yaitu kepatuhan pasien TB paru

dalam pengobatan berbasis sistem personal, kepatuhan pasien TB paru dalam

pengobatan berbasis sistem interpersonal dan kepatuhan pasien dalam pengobatan

berbasis sistem sosial. Pada tema yang luas teridentifikasi melalui subtema-

subtema dan subtema teridentifikasi melalui kategori-kategori. Sedangkan pada

tema yang spesifik hanya teridentifikasi melalui ketegori-kategori.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 116: D2049-Tintin Sukartini.pdf

96

Universitas Indonesia

Tema 1 : Persepsi yang positif tentang TB paru

Tema persepsi yang positif atau benar tentang TB paru diidentifikasi melalui

subtema pengobatan TB paru, pencegahan penularan dan nutrisi yang tepat untuk

menunjang kesembuhan. Subtema pengobatan TB paru terdiri dari ketegori

penyebab TB paru, lama pengobatan, cara minum obat, efek samping obat dan

sembuh jika dokter yang mengatakan sembuh. Subtema pencegahan penularan

diidentifikasi melalui kategori cara batuk dan bersin dan cara buang dahak.

Subtema nutrisi yang tepat untuk menunjang kesembuhan diidentifikasi melalui

kategori makanan yang membantu penyembuhan dan makanan yang dilarang.

Subtema pengobatan TB paru pada kategori penyebab didukung oleh pernyataan:

didukung oleh pernyataan:

“Ya penyakit karena kuman...” (P2)

“penyebabnya bakteri, harus jaga kesehatan”, (P7)

Kategori lama pengobatan didukung oleh pernyataan:

“Ya bisa 6 sampai 9 bulan” (P5)

“...pengobatan harus rutin 6 sampai 9 bulan”(P8)

Kategori cara minum obat didukung oleh pernyataan:

“sekali langsung 3 tablet” (P2)

“3 tablet sekali minum” (P4)

Kategori efek samping obat didukung oleh pernyataan:

“ ...dijelaskan saya lupa, kalo tidak salah mual-mual, muntah dan kulit

merah-merah, kalo saya tidak merasakan apa-apa” (P1)

“....gak mbak saya gak merasakan apa-apa,biasa saja malah badan

tambah enakan” (P6)

Katogori sembuh jika dokter yang menyatakan sembuh didukung oleh pernyataan:

“...diingatkan kalo sembuh itu harus kata dokter bukan oleh diri sendiri

atau orang lain.” (P2)

“....Sembuh itu harus kata dokter....” (P4)

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 117: D2049-Tintin Sukartini.pdf

97

Universitas Indonesia

Subtema pencegahan penularan pada kategori cara batuk dan buang dahak

didukung oleh pernyataan:

“...komunikasinya pakai masker, ...batuk ditutup, buang dahak gak

sembarangan” (P1)

“kalo batuk dan bersin menutup mulut, buang dahak ke saluran air” (P6)

Subtema nutrisi yang tepat untuk menunjang kesembuhan yang didukung oleh

pernyataan:

“Ya biasa saja mbak, nasi, sayur tahu tempe, gak macam-macam” (P5)

“...nasi, sayur, ikan, tahu, tempe,asalkan goreng-gorengan dikurangi” (P8)

Tema 2: Kesadaran diri

Tema kesadaran diri teridentifikasi melalui kategori yakin TB paru dapat

disembuhkan dan rajin berobat walau harus datang sendiri.

Kategori yakin untuk sembuh didukung dengan pernyataan:

“ ya karena saya punya keinginan untuk sembuh, karena ada cita-cita yang

belum tercapai” (P2)

“ya pengen sembuh, orang mana sih yang gak pengen sembuh, ya

kesadaran sendiri mbak” (P7)

Kategori datang sendiri ke rumah sakit:

“iya sendiri” (P3)

“dulu sih tiga bulan pertama diantar bapak sekarang tidak, wis sudah besar

saja saya datang sendiri, bapak tak suruh kerja”. (P8)

Tema 3: Tumbuh kembang yang optimal

Tema tumbuh kembang optimal teridentifikasi melalui dua subtema yaitu

subtema harapan masa depan yang lebih baik dan subtema mampu menjalankan

tugas perkembangan secara optimal. Subtema harapan masa depan yang lebih baik

didukung oleh pernyataan:

“...ada cita-cita yang belum tercapai” (P2)

“...masih ingin punya anak mbak” (P4)

Subtema mampu menjalankan tugas perkembangan di dukung oleh pernyataan:

“...selain sekolah paling main sepakbola” (P3)

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 118: D2049-Tintin Sukartini.pdf

98

Universitas Indonesia

“....di rumah ya seperti biasa merawat suami, paling ikut pengajian” (P4)

Tema 4: Gambaran diri positif

Tema mampu menerima perubahan gambaran diri secara positif langsung

diidentifikasi langsung dalam kategori: Tidak malu memakai masker dan tidak

malu berat badan turun. Didukung oleh pernyataan:

“ gak mbak, sayakan orangnya gak pernah minder, gak pernah putus asa,

saya percaya diri saja” (P2)

“ya sempat minder mbak, ada rasa-rasa malu makanya dari situ saya

pengen sembuh...” (P8)

Tema 5: Lingkungan yang sehat

Tema Lingkungan yang sehat terdiri dari subtema lingkangan poli paru yang

tenang dan lingkungan rumah yang sehat.

Subtema lingkungan poli paru yang nyaman didukung oleh pernyataan;

“....cukup luas dan nyaman mbak” (P3)

“......ya enak mbak, apalagi ruangnya di pojok dekat kamar mandi kalo mau

buang dahak tinggal langsung ke kamar mandi” (P5)

Subtema lingkungan rumah yang sehat didukung oleh pernyataan:

“...saya masih ngontrak 1 kamar, tapi kalo matahari tiap pagi masuk kamar

kok mbak, terus dari halaman belakang juga masuk” (P2)

“ sama suster disini disuruh bikin genteng kaca, akhirnya sama suami

dibuatkan genteng kaca” (P4)

Tema 6: Disiplin minum obat

Tema disiplin minum obat terdiri dari kategori waktu minum obat 1 jam sebelum

makan dan menggunakan alarm sebagai pengingat.

Kategori waktu minum obat didukung oleh pernyataan:

“minum obat harus rutin, minum jam 6 malam 1 jam sebelum makan” (P1)

“....jam 6 sore habis magrib” (P2)

Kategori menggunakan alarm sebagai pengingat didukung oleh pernyataan:

“ ...saya pakai alarm..” (P2)

“konsep saya ya di alarm” (P8)

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 119: D2049-Tintin Sukartini.pdf

99

Universitas Indonesia

Tema 7: Koping yang efektif

Tema koping yang efektif selama pengobatan TB paru terdiri dari subtema

menerima kondisi yang dialami dan berfikir positif.

Subtema menerima kondisi yang dialami didukung oleh pernyataan:

“ya banyak-banyak berdoa mbak...mau bagaimana lagi, namanya dikasih

musibah harus sabar, mendekatkan diri sama Allah, ya kadang ada

jenuhnya minum obat tapi kan mau sembuh jadi harus sabar, harus ikhlas,

minta sama Allah supaya lekas sembuh dan dikasih kesabaran” (P1)

“ya harus sabar, harus telaten, harus ikhlas, harus rutin. Ya namanya

dikasih sakit mbak, dikasih sama yang di Atas ya sabar saja” (P2)

Subtema berfikir positif ditunjang dengan pernyataan:

“Gak mbak saya anggap ujian saja” (P3)

“.......Insya Allah saya bisa sembuh mbak asal rajin berobat”(P4)

Tema 8: Komunikasi terbuka pasien dengan tenaga kesehatan dan keluarga.

Tema komunikasi terbuka pasien dengan tenaga kesehatan dan keluarga

diidentifikasi melalui subtema komunikasi terbuka pasien dengan tenaga

kesehatan dan subtema komunikasi terbuka pasien dengan keluarga

Subtema komunikasi terbuka pasien dengan tenaga kesehatan didukung oleh

pernyataan:

” ya lancar mbak, suka ngasih tahu kalo berobat lagi kapan, minum

obatnya harus rutin, makan sediki-sedikit tapi sering biar nambah

beratnya” (P1)

“...ya dokter biasanya ngasih tahu mbak”, “perawat sih pasti ngasih tahu,

ya kalo semua demi kebaikan kita, ya kita nurut saja mbak”.(P7)

Subtema komunikasi terbuka pasien dengan keluarga didukung oleh pernyataan:

” ya sama mbak, harus rajin-rajin beribadah, ya cobaan diambil

hikmahnya saja, berobat harus telaten” (P1)

“Ayah ibu kerja, paling mengingatkan saja untuk berobat” (P3)

Tema 9: Menjalankan perannya secara optimal

Tema menjalankan perannya selama sakit terbagi dalam subtema melakukan

pekerjaan sehari-hari dan sutema melakukan kegiatan di masyarakat. Subtema

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 120: D2049-Tintin Sukartini.pdf

100

Universitas Indonesia

melakukan pekerjaan sehari-hari dengan kategori bersekolah, bekerja seperti biasa

dan mengerjakan pekerjaan rumah yang didukung oleh pernyataan:

“iya sekolah boleh ijin” (P3)

“pernah gak masuk 1 bulan tapi dianggap cuti, sekarang sudah kerja lagi”

(P8)

Subtema melakukan kegiatan di masyarakat dengan kategori ikut arisan dan ikut

pengajian didukung oleh pernyataan:

“...ya kalo badan sudah sehat sudah mulai ikut aktif lagi pengajian di

masjid” (P1)

“...ikut pengajian, ikut arisan RT mbak” (P4)

Tema 10: Mengelola stres selama sakit

Tema mengelola stres yang dialami selama sakit terbagi menjadi tiga subtema

yaitu stres yang dialami dengan kategori penurunan berat badan, jenuh minum

obat dan jenuh bolak-balik ke RS, subtema penyebab stress dengan kategori

waktu pengobatan yang lama dan subtema penanganan stres dengan kategori

menganggap sebagai rekreasi, berdiskusi dengan keluarga dan berdiskusi dengan

sesama pasien. Subtema stres yang dialami didukung oleh pernyataan:

“jenuhnya minum obat tapikan mau sembuh jadi harus sabar”(P5)

“...awal-awal sempat stres karena berat badan turun mbak, tapi justru itu

yang memacu saya untuk segera sembuh supaya tidak kurus lagi” (P8)

Subtema penyebab stres diidentifikasi dengan kategori waktu pengobatan yang

lama didukung dengan pernyataan:

“...ya karena berobatnya kan lama...minum obatnya lama...tapi yak

diikhlaskan saja mbak” (P6)

“Berobatnya lama, harus bolak-balik” (P8)

Subtema penanganan stres didukung oleh pernyataan:

“...ya dianggap rekreasi saja mbak” (P2)

“...jenuh sih wajar ya mbak, tapi gak apa-apa, lama-lama juga biasa” (P8)

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 121: D2049-Tintin Sukartini.pdf

101

Universitas Indonesia

Tema 11: Mengetahui prosedur pelayanan kesehatan

Tema mengetahui prosedur pelayanan kesehatan terdiri dari subtema mengetahui

organisasi pelayanan di poli paru, subtema mengetahui wewenang RS di poli paru

dan sub tema menyadari statusnya sebagai pasien di poli paru. Subtema

mengetahui organisasi pelayanan di poli paru terdiri dari kategori: fasilitas yang

dimiliki rumah sakit, SDM yang dimiliki RS dan alur penerimaan pasien di poli,

hal ini didukung dengan pernyataan:

”....katanya dokternya bagus, terus fasilitas disini tempatnya dekat-dekat

saja jadi bolak-baliknya cepet dan gak susah”. (P2)

“....kata anak saya fasilitasnya lebih lengkap daripada di puskesmas....”.

(P6)

Subtema mengetahui wewenang poli paru terdiri dari kategori pemberian OAT

sesuai program pemerintah didukung oleh pernyataan:

“dari awal sudah dijelaskan kalo sakit paru seperti saya masuk dalam

program pemerintah dan akan dipantau terus”. (P2)

“...awal sakit didata sama perawat kalo masuk program pemerintah,

diawasi terus, kalo gak balik ke RS akan dicari” (P6)

Subtema menyadari status sebagai pasien rumah sakit dengan kategori patuh pada

aturan RS didukung oleh pernyataan:

“ya kalo berobat sesuai jadwal mbak, selasa dan rabu” (P1)

”....kalo berobat setiap selasa-rabu”, “kalo keluar kota sama perawatnya

boleh datang sebelum waktu kontrol asal di selasa atau rabu” (P2)

Tema 12: Mampu mengambil keputusan

Tema mampu mengambil keputusan terdiri dari kategori: pengobatan di poli paru

dan kategori dirujuk ke tempat lain hal ini didukung oleh pernyataan:

“...dari awal memang saya niat berobat di RS”(P3)

“...awalnya saya mau pindah puskesmas, tapi kata perawatnya kalo berobat

disini mau pindah harus nunggu dulu 2 bulan baru boleh pindah, akhirnya

karena enak disini ya gak jadi pindah”. (P4)

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 122: D2049-Tintin Sukartini.pdf

102

Universitas Indonesia

Keseluruhan analisis tema dan subtema dapat dilihat pada tabel di bawah ini dapat

dilihat pada lampiran 8.

Dari hasil tema di atas dapat digambarkan sistem personal, sistem interpersonal

dan sistem sosial pasien yang patuh. Pada sistem personal, pasien TB paru yang

patuh memiliki presepsi yang positif, memiliki kesadaran diri untuk sembuh,

tumbuh kembang yang optimal, gambaran diri yang positif , lingkungan yang

sehat, disiplin minum obat dan memiliki koping yang efektif. Pasien yang patuh

memiliki persepsi yang positif mengenai pengobatan TB paru, pencegahan

penularan dan nutrisi yang tepat untuk menunjang kesembuhan. Pasien juga

memiliki kesadaran diri kalo penyakitnya dapat disembuhkan dan rajin berobat

walau harus datang sendiri. Pasien yang patuh memiliki tumbuh kembang

optimal karena masih meemiliki harapan akan masa depan yang lebih baik dan

mampu menjalankan tugas perkembangan secara optimal. Pasien memiliki

gambaran diri yang positif yaitu tidak malu memakai masker dan tidak malu berat

badan turun. Pasien disiplin minum yaitu selalu minum obat 1 jam sebelum makan

dan menggunakan alarm sebagai pengingat. Pasien juga memiliki koping yang

efektif selama pengobatan TB paru karena mampu menerima kondisi yang

dialami dan selalu berfikir positif.

Pada sistem interpersonal, pasien yang patuh adalah pasien yang memiliki

komunikasi yang terbuka dengan tenaga kesehatan dan keluarga, yang mampu

menjalankan perannya secara optimal, yang mampu menyeimbangkan stres

selama sakit. Pasien mengatakan bahwa selama sakit dan berobat selalu

berkomunikasi dan berinteraksi dengan perawat dan dokter. Perawat dan dokter

bersikap ramah dan selalu terbuka dan mau mendengarkan keluhan pasien dan

memberikan informasi yang dibutuhkan. Keluarga dapat menerima pasien dan

selalu mendukung pasien untuk menjalani pengobatan. Selama berobat tidak ada

kendala peran yang terlalu berarti dalam sekolah ataupun pekerjaan. Sekolah dan

kantor menerima ijin selama ada surat keterangan istirahat/sakit dari dokter.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 123: D2049-Tintin Sukartini.pdf

103

Universitas Indonesia

Pasien yang patuh mengatakan bahwa pada awal pengobatan yang menyebabkan

stres adalah jenuh minum obat dan jenuh bolak balik ke RS tetapi lama kelamaan

menjadi hilang dan ringan menjalani pengobatan.

Pada sistem sosial, pasien yang patuh memiliki pengetahuan mengenai prosedur

pelayanan kesehatan di RS dan mampu mengambil keputusan untuk berobat di

RS. Pengetahuan mengenai prosedur pelayanan kesehatan meliputi pengetahuan

organisasi pelayanan di poli paru, dan mengetahui kekuasaan dan wewenang yang

dimiliki poli paru serta pasien menyadari status dirinya sebagai pasien yang harus

patuh dengan peraturan RS. Dalam kemampuan pengambilan keputusan, pasien

yang patuh memilih melanjutkan pengobatan di RS karena lokasi rumah yang

lebih dekat dan karena RS memiliki dokter spesialis paru, perawat yang ahli dan

lokasi RS yang dekat dari rumah.

Berdasarkan 12 tema yang teridentifikasi dari hasil penelitian kemudian disusun

model intervensi untuk meningkatkan sistem interaksi perawat pasien berdasarkan

sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien.

5.1.2 Pengembangan Model Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori Sistem

Interaksi King

Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interkasi King dikembangkan

dengan beberapa alasan diantaranya: 1) Penyakit TB paru sampai hari ini masih

merupakan permasalahan dalam bidang kesehatan di Indonesia. Walaupun ada

kecenderungan terjadi penurunan kasus dari tahun ke tahun tetapi beban di

masyarakat masih sangat tinggi. Perawat sebagai sebagai salah satu tim kesehatan

wajib berperan serta dalam membantu pemerintah menuntaskan kasus TB paru; 2)

perlu pendekatan asuhan kepada pasien dengan menggunakan teori-teori

keperawatan. Teori keperawatan berperan dalam membedakan keperawatan

dengan disiplin ilmu lain dan bertujuan untuk menggambarkan, menjelaskan,

memperkirakan, dan mengontrol hasil asuhan keperawatan yang dilakukan; 3)

program ini selaras dengan program pemerintah yaitu program TB DOTS.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 124: D2049-Tintin Sukartini.pdf

104

Universitas Indonesia

Pengembangan model peningkatan kepatuhan didasarkan pada hasil studi literatur

penelitian tahap 1, dan konsultasi pakar, diuraikan seperti di bawah ini.

Tabel 5.1 Penyusunan model bedasarkan tema

No Tema Model Intervensi Metode

1. Sistem personal

Persepsi yang

positif tentang TB

paru

Kesadaran diri

Lingkungan yang

sehat

Disiplin minum

obat

Mengelola stres

selama sakit

Tumbuh kembang

yang optimal

Gambaran diri

positif

Menumbuhkan persepsi yang

positif atau benar tentang TB

paru; pembelajaran tentang TB

paru dan disiplin minum obat

Menumbuhkan persepsi yang

positif: pembelajaran tentang

pencegahan penularan

Pembelajaran tentang lingkungan

yang sehat

Menumbuhkan persepsi yang

tepat tentang TB paru:

pembelajaran tentang nutrisi

Meningkatkan kesadaran diri

untuk sembuh

Membantu menyeimbangkan stres

Mengoptimalkan tumbuh

kembang

Menumbuhkan gambaran diri

yang positif

Wawancara, ceramah

dan diskusi dilengkapi

media booklet yang

berisi:

Konsep TB paru

Pengobatan TB paru

Praktik minum obat

Pencegahan

penularan pada

pasien TB paru

Nutrisi pada pasien

TB paru

Lingkungan pada

pasien TB paru

Stres dan

penanganannya

Tumbuh kembang

dan gambaran diri.

Sistem

Interpersonal

Komunikasi

terbuka pasien

dengan tenaga

kesehatan dan

keluarga

Koping yang

efektif

Menjalankan

perannya secara

optimal

Meningkatkan komunikasi yang

terbuka perawat-pasien, pasien-

keluarga

Membantu meningkatkan koping

Stres dan

penanganannya

Peran

Sistem sosial

Mampu

mengambil

keputusan.

Mengetahui

prosedur

pelayanan

kesehatan

Memfasilitasi pengambilan

keputusan pasien untuk menjalani

pengobatan

Meningkatkan pengetahuan

tentang prosedur pelayanan RS:

wewanang dan kekuasaan RS,

prosedur dan fasilitas RS.

Menjelaskan tentang prosedur

pelayanan RS: menumbuhkan

kesadaran akan status sebagai

pasien

Pelayanan dan

fasilitas RS Haji

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 125: D2049-Tintin Sukartini.pdf

105

Universitas Indonesia

5.1.2.1 Deskripsi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King.

Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King adalah model

yang dikembangkan untuk meningkatkan kepatuhan pada pasien TB paru dengan

meningkatkan sistem interaksi perawat-pasien secara terus menerus berdasarkan

sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien. Media

pembelajaran yang dibuat dalam bentuk booklet yang representatif dan sesuai

dengan tingkat pemahaman pasien.

Model yang diberikan kepada pasien adalah bertujuan untuk meningkatkan sistem

personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien. Dalam model ini terdiri

dari 8 kali pertemuan yaitu dari awal pasien terdiagnosis sampai akhir bulan ke-5

pengobatan. Pertemuan pertama pada pasien dimulai saat awal pasien terdiagnosis

TB paru. Pada pertemuan ini yang perlu ditingkatkan pada sistem personal adalah:

menciptakan lingkungan yang nyaman untuk interaksi perawat-pasien di RS,

menumbuhkan persepsi yang positif atau benar tentang TB paru dan

meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh. Pada sistem interpersonal yang perlu

dilakukan pada pertemuan pertama adalah meningkatkan komunikasi perawat-

pasien dan pasien keluarga. Pada sistem sosial yang perlu ditingkatkan adalah

memfasilitasi pengambilan keputusan pasien untuk menjalankan pengobatan

meningkatkan pengetahuan tentang prosedur pelayanan RS.

Pertemuan ke-2 dilakukan pada akhir minggu ke-2 pengobatan, pada pertemuan

ini yang dilakukan adalah meningkatkan sistem interpersonal yaitu meningkatkan

komunikasi perawat-pasien secara terus menerus dan untuk meningkatkan sistem

personal adalah menumbuhkan persepsi yang positif dengan memberikan

pembelajaran tentang pencegahan penularan dan lingkungan yang sehat untuk

penyembuhan pasien TB paru dan sistem sosial untuk menjelaskan prosedur

pelayanan kesehatan dengan meningkatkan kesadaran pasien akan statusnya

sebagai pasien untuk patuh pada peraturan RS. Pada pertemuan ke-3 yaitu pada

akhir minggu ke-4 meningkatkan sistem interpersonal yaitu komunikasi perawat-

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 126: D2049-Tintin Sukartini.pdf

106

Universitas Indonesia

pasien dan meningkatkan sistem personal yaitu menumbuhkan persepsi yang

positif dengan memberikan pembelajaran tentang nutrisi yang dibutuhkan oleh

pasien TB paru. Pada pertemuan ke-4 atau akhir minggu ke-6 adalah

meningkatkan sistem personal pasien yaitu meningkatkan koping pasien dan pada

sistem interpersonal adalah meningkatkan komunikasi perawat-pasien serta

membantu pasien menyeimbangkan stres yang dialami. Pada pertemuan ke-5 atau

akhir minggu ke-8/akhir bulan ke-2, intervensi yang diberikan pada sistem

personal adalah membantu pasien menerima perubahan gambaran diri secara

positif dan mengoptimalkan pencapaian tumbuh kembang. Sedangkan pada sistem

interpersonal adalah meningkatkan komunikasi antara perawat-pasien dan

membantu pasien mengoptimalkan atau menjalankan peran selama sakit. Pada

pertemuan ke-6 (akhir bulan ke-3), pertemuan ke-7 (akhir bulan ke-4) dan

pertemuan ke-8 (akhir bulan ke-5), intervensi difokuskan hanya untuk

meningkatkan komunikasi dan interaksi perawat pasien dan motivasi pasien agar

selalu patuh.

Di bawah ini akan digambarkan mengenai skema model peningkatan kepatuhan

berbasis teori sistem interaksi King.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 127: D2049-Tintin Sukartini.pdf

107

Universitas Indonesia

1.1.2.2 Skema Model

Berikut ini skema model keperawatan peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King :

Gambar:5.1 Model Peningkatan Kepatuhan berbasis Teori Sistem Interaksi King

Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King adalah model

sistem interaksi yang dinamis. Fokus keperawatan dalam meningkatkan sistem

personal adalah menumbuhkan persepsi yang positif tentang TB paru,

meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh, mengoptimalkan tumbuh kembang,

meningkatkan gambaran diri yang positif, mengoptimalkan lingkungan yang

sehat, menumbuhkan disiplin minum obat dan meningkatkan koping pasien. Pada

sistem interpersonal adalah meningkatkan komunikasi perawat-pasien dan pasien

keluarga, mengoptimalkan peran pasien selama sakit serta menyeimbangkan stres

yang dialami pasien. Sedangkan fokus pada sistem sosial adalah perawat

Social system (socie

Interpersonal system

(society)

Meningkatkan Sistem personal

Menumbuhkan persepsi yang

positif

Meningkatkan kesadaran diri

untuk sembuh

Mengoptimalkan tugas tumbuh

kembang

Meningkatkan gambaran diri

Mengoptimalkan lingkungan

yang sehat

Menjelaskan disiplin minum

obat

Meningkatkan koping pasien

Meningkatkan Sistem interpersonal

Meningkatkan komunikasi perawat-

pasien, pasien-keluarga

Mengoptimalkan peran selama sakit

Mengelola stress selama sakit

Meningkatkan Sistem sosial

Meningkatkan pengetahuan birokrasi

pelayanan RS

Meningkatkan kemampuan Pengambilan

keputusan

Perawat

Pasien

Transaksi Peningkatan

sistem

personal

Sistem

interpersonal

Sistem sosial

Sistem Interaksi Perawat-Pasien

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 128: D2049-Tintin Sukartini.pdf

108

Universitas Indonesia

melakukan interaksi untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang prosedur

pelayanan RS dan meningkatkan kemampuan pasien dalam pengambilan

keputusan. Semua intervensi di atas bertujuan untuk mencapai kepatuhan pasien

dalam pengobatan. Dalam melakukan interaksi perawat bertugas sebagai pemberi

pelayanan, motivator dan edukator bagi pasien dengan meningkatkan sistem

personal sistem interpersonal dan sistem sosial pasien.

1.1.2.3 Panduan Implementasi Model

Panduan ini menjelaskan tentang prosedur intervensi model yang dilakukan oleh

perawat kepada pasien yang terdiri dari intervensi untuk meningkatkan sistem

personal pasien, intervensi untuk meningkatkan sistem interpersonal pasien dan

intervensi untuk meningkatkan sistem sosial pasien. Model peningkatan

kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King secara keseluruhan terdiri dari

delapan kali pertemuan yaitu 8 kali pemberian edukasi dan 2 kali monitoring dan

evaluasi yaitu pada akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5. Model ini dilakukan

oleh peneliti sendiri, tetapi secara umum model ini harus dilakukan oleh perawat

dengan pendidikan minimal S1 Ners. Namun dalam pelaksanaannya jika terdapat

kekurangan sumber daya perawat maka dapat dilakukan oleh perawat dengan

minimal pendidikan D III dan telah mendapat sertifikasi atau pelatihan tentang TB

paru. Materi pendidikan kesehatan disusun berdasarkan kebutuhan pasien. Berikut

ini adalah uraian kegiatan implementasi model:

Pada sistem personal, pasien TB paru agar patuh harus diberikan pembelajaran

dan motivasi agar persepsi menjadi positif atau benar. Pembelajaran yang

diberikan meliputi konsep TB paru, lama pengobatan, pencegahan penularan dan

nutrisi yang dibutuhkan untuk menunjang kesembuhan pasien. Pasien diberikan

keyakinan dan kesadaran diri bahwa sakitnya bisa disembuhkan asalkan pasien

patuh. Pasien dibantu untuk mengoptimalkan tumbuh kembang dengan cara

berdiskusi bahwa walaupun kondisi sakit tapi masih bisa meraih cita-cita atau

merawat anak asal tahu cara mencegah penularan. Pasien diberikan penjelasan

walaupun sakit dan harus memakai masker atau terjadi penurunan berat badan,

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 129: D2049-Tintin Sukartini.pdf

109

Universitas Indonesia

tidak perlu malu karena perubahan tersebut sifatnya sementara, dan justru harus

patuh agar berat badan bisa kembali normal dan tidak harus menggunakan

masker. Pasien diajak berdiskusi dan diberikan penjelasan agar menerima sakit

sebagai ujian, lebih mendekatkan diri dengan Tuhan, dengan keluarga dan rajin

berdiskusi dengan pasien lain agar bisa berbagi pengalaman mengenai sakit yang

dialami.

Pada sistem interpersonal, pasien intervensi yang diberikan meliputi

meningkatkan komunikasi yang terbuka antara perawat pasien dan pasien

keluarga. Setiap pertemuan perawat meningkatkan komunikasi yang terbuka agar

pasien merasa percaya dan mampu mengungkapkan segala permasalahan

kesehatan yang dialami. Pasien juga ditingkatkan agar terus terbuka dan mencari

dukungan dari keluarga. Pasien diajak diskusi untuk mengidentifikasi stres,

penyebab dan solusi agar mampu menyeimbangkan stres selama sakit. Pasien

diajak diskusi agar tidak ada kendala peran yang terlalu berarti dalam sekolah

ataupun pekerjaan. Pihak RS atau dokter dapat memberikan surat keterangan

istirahat/sakit dari dokter untuk diberikan pada instansi tempat pasien sekolah atau

bekerja.

Pada sistem sosial, pasien diberikan intervensi pengetahuan mengenai prosedur

pelayanan RS, seperti pelayanan TB paru hanya dilaksanakan tiap selasa dan rabu,

fasilitas yang dimiliki seperti pelayanan laboratorium, radiologi dan farmasi. Tata

cara alur pelayanan baik pasien umum, BPJS maupun asuransi lainnya dan

sumber daya yang dimiliki seperti dokter spesialis dan perawat yang ahli dibidang

TB paru. Pasien juga diberikan penjelasan mengenai program TB paru, bahwa

setiap pasien yang sakit akan di data dan dilaporkan pada dinas kesehatan. Obat

yang diberikan adalah obat gratis dari pemerintah, jika pasien membeli sendiri

harganya mahal sehingga pasien harus patuh karena pemerintah sudah membantu

memfasilitasi biaya. Pasien juga diberikan penjelasan bahwa jika ingin pindah ke

puskesmas, maka harus setelah 2 bulan pengobatan atau setelah melewati

pengobatan fase intensif. Dengan diberikan penjelasan tersebut pasien dapat

mengambil keputusan untuk berobat di RS atau pindah setelah 2 bulan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 130: D2049-Tintin Sukartini.pdf

110

Universitas Indonesia

pengobatan. Pemberian intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori

sistem interaksi King dilengkapi dengan 1 buku model dan 1 booklet yang

diberikan kepada pasien sesuai dengan pokok bahasan yang tercantum di panduan

implementasi model. Panduan lengkap intervensi model tercantum pada lampiran

9.

5.2 Hasil Penelitian Tahap II

Penelitian tahap II merupakan validasi model peningkatan kepatuhan berbasis

teori sistem interaksi King. Pada Tahap ini digambarkan tentang perbedaan

karakteristik responden, tingkat pengetahuan, motivasi, self efficacy, pencegahan

penularan, kepatuhan nutrisi dan kepatuhan pasien dalam pengobata sebelum dan

sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi

King.

5.2.1 Perbedaan karakteristik responden antar kelompok

Berikut ini adalah gambaran perbedaan karakteristik responden, tingkat

pengetahuan, motivasi, self efficacy, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi

antar kelompok sebelum perlakuan.

Tabel.5.2 Karakteristik responden kelompok intervensi dan kelompok kontrol

Variabel Intervensi (n=50) Kontrol (n=50)

Nilai p* N % n %

1. Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

36

14

72

28

27

23

54

46

0.062

2. Umur

18-45

45-60

34

16

68

32

31

19

62

38

0.675

3. Pekerjaan

Tidak bekerja

Bekerja

8

42

16

84

25

25

50

50

0.01

4. Pendidikan

Pend.formal < 9 th

Pend.formal > 9 th

12

38

24

76

27

23

54

46

0.004

5. Status perkawinan

Menikah

Belum menikah/

Janda/Duda

37

13

74

26

40

10

80

20

0.635

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa jenis kelamin dengan proporsi terbesar adalah laki-

laki pada kedua kelompok. Usia responden pada kelompok intervensi maupun

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 131: D2049-Tintin Sukartini.pdf

111

Universitas Indonesia

kelompok kontrol proporsi terbanyak pada usia 18-45 tahun yaitu pada kelompok

intervensi sebesar 68% dan pada kelompok kontrol sebesar 62%. Pekerjaan pada

kelompok intervensi memiliki proporsi tertinggi pada bekerja yaitu sebesar 84%

sedangkan pada kelompok kontrol memiliki proporsi yang sama pada kelompok

bekerja maupun tidak bekerja yaitu sebesar 50%. Tingkat pendidikan pada

kelompok intervensi memiliki proporsi tertinggi yaitu pada pendidikan SMA dan

PT yaitu sebesar 76% sedangkan kelompok kontrol memiliki proporsi terbesar

pada tingkat pendidikan SD dan SMP yaitu sebesar 54%. Status perkawinan pada

kelompok intervensi maupun kelompok kontrol memiliki proporsi terbesar pada

status perkawinan sudah menikah, pada kelompok intervensi sebesar 74% dan

80% pada kelompok kontrol.

Berdasarkan hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan

karakteristik responden pada jenis, umur, status perkawinan dengan nilai p>0.05,

berarti kedua kelompok setara. Sedangkan status pekerjaan dan tingkat pendidikan

tidak memiliki nilai kesetaraan sehingga variabel ini berpotensi sebagai variabel

perancu. Untuk selanjutnya keselurahan variabel ini diuji apakah mempengaruhi

pengaruh model intervensi terhadap pengetahuan, self efficacy, motivasi,

pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.

Pada tabel di bawah ini akan ditampilkan hasil uji variabel pengetahuan, self

efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi pada kelompok

intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi model.

Tabel. 5.3 Perbedaan pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan

dan kepatuhan nutrisi kelompok intervensi dan kelompok kontrol

sebelum intervensi (n=100)

Variabel Intervensi Kontrol

Nilai p* Mean Median Mean Median

1. Pengetahuan 51.75 50 48.80 50 0.299

2. Self efficacy 29.50 30 30.40 30 0.134

3. Motivasi 31.80 32 32.32 32 0.396

4. Pencegahan

penularan

24.80 24 24.16 24 0.069

5. Kepatuhan nutrisi 31.42 31 32.10 32 0.288

* uji independent t-test

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 132: D2049-Tintin Sukartini.pdf

112

Universitas Indonesia

Dari hasil uji independent t test menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat

pengetahuan, motivasi, self efficacy, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi

dengan nilai p>0.05 sehingga kedua kelompok setara. Kepatuhan pengobatan

tidak dilakukan karena pengukuran kepatuhan dilakukan hanya pada pengukuran

post test1 dan pos test 2.

Di bawah ini akan diuraikan hasil uji normalitas data pengetahuan, self efficacy,

motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi sebelum dan setelah

intervensi.

Tabel. 5.4 Uji normalitas data pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan

penularan dan kepatuhan nutrisi kelompok intervensi dan kelompok

kontrol sebelum dan setelah intervensi Variabel Signifikansi

1. Pengetahuan pre p=0.140

2. Pengetahuan post 1 p=0.030

3. Pengetahuan post 2 p=0.000

4. Self efficacy pre p=0.204

5. Self efficacy post 1 p=7.660

6. Self efficacy post 2 p=0.000

7. Motivasi pre p=0.524

8. Motivasi post 1 p=0757

9. Motivasi post 2 p=0.010

10. Pencegahan penularan pre p=0.032

11. Pencegahan penularan post 1 p=0.000

12. Pencegahan penularan post 2 p=0.558

13. Kepatuhan nutrisi pre p=0.000

14. Kepatuhan nutrisi post 1 p=0.226

15. Kepatuhan nutrisi post 2 P=0.816

Dari hasil uji normalitas data di atas dapat terlihat sebagian besar data

berdistribusi normal atau p>0.05. Untuk selanjutnya data diuji dengan GLM-RM

untuk melihat pengaruh model dan uji mancova untuk melihat pengaruh variabel

perancu.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 133: D2049-Tintin Sukartini.pdf

113

Universitas Indonesia

5.2.2 Pengetahuan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (akhir

bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi)

Pengetahuan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan

kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 5.5 Pengetahuan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.(n=97)

Variabel Intervensi (n=50) Kontrol (n=47) Nilai

p* R

2

Mean Median 95% CI Mean Median 95% CI

Pengetahuan

Sebelum 51.75 50 47.91-53.8 48.80 50.00 46.34-54.27 0.607

Post test1 88.25 87.5 84.28-92.21 65.42 62.50 61.33-69.51

<0.001

0.400

Post test 2 94.00 100 90.37-97.63 67.28 75.00 63.54-71.03 <0.001 0.521

p1 (p<0.001,R2=0.581), p2 (p=0.013 R,

2=0.064)

p interaksi < 0.001,R2=0.555.

Dari tabel 5.5 menunjukkan nilai rata-rata pengetahuan mengalami peningkatan

antara sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi maupun

kelompok kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan

pengetahuan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan

intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King

(p=0.607), akan tetapi terdapat perbedaan pengetahuan setelah 2 bulan intervensi

(p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 40% dan sesudah 5 bulan intervensi

(p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 52.1%.

Terdapat perbedaan pengetahuan antar pengukuran sebelum intervensi terhadap

pengukuran setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan

58.1% dan terdapat perbedaan pengetahuan antar pengukuran setelah 2 bulan

terhadap pengukuran setelah 5 bulan (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan

sebesar 6.4%. Perbedaan pengetahuan lebih tinggi pada pengukuran sebelum

intervensi terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi dibandingkan

pengukuran setelah 2 bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan intervensi. Hal

ini menunjukkan bahwa pengaruh model peningkatan kepatuhan terhadap

pengetahuan terlihat jelas pada 2 bulan setelah intervensi (Gambar 5.2)

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 134: D2049-Tintin Sukartini.pdf

114

Universitas Indonesia

Gambar 5.2. Grafik interaksi nilai rata-rata pengetahuan diantara waktu

pengukuran dan diantara kelompok

Secara umum terdapat perbedaan pengetahuan antar pengukuran (sebelum

intervensi, setelah 2 bulan intervensi dan setelah 5 bulan intervensi) diantara

kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan

sebesar 55.5%.

5.2.3 Self efficacy pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (akhir

bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi)

Self efficacy pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan

kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 5.6 Self efficacy pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.(n=97)

Variabel Intervensi (n=50) Kontrol (n=47)

Nilai p R2

Mean Median 95% CI Mean Median 95% CI

Self efficacy

Sebelum 29.78 30.50 28.92-30.63 30.12 30.00 29.20-30.96 0.623

Post test 1 44.46 44.00 43.71-45.20 37.38 38.00 36.61-38.15 <0.001 0.646

Post test 2 49.06 50.00 48.63-49.48 46.79 46.00 46.35-47.28 <0.001 0.364

p1 (p<0.001, R2=0.475), p2 (p<0.001, R

2=0.526)

P interaksi < 0.001, R2=0.406

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 135: D2049-Tintin Sukartini.pdf

115

Universitas Indonesia

Dari tabel 5.6 menunjukkan nilai rata-rata self efficacy mengalami peningkatan

antara sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi maupun

kelompok kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan self

efficacy antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan

intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King

(p=0.623), akan tetapi terdapat perbedaan self efficacy setelah 2 bulan intervensi

(p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 64.6% dan sesudah 5 bulan intervensi

(p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 36.4%.

Terdapat perbedaan self efficacy antar pengukuran sebelum intervensi terhadap

pengukuran setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan

47.5% dan terdapat perbedaan self efficacy antar pengukuran setelah 2 bulan

terhadap pengukuran setelah 5 bulan (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan

sebesar 52.6%. Perbedaan self efficacy lebih tinggi pada pengukuran setelah 2

bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan intervensi dibandingkan pada

pengukuran sebelum intervensi terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi.

Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh model peningkatan kepatuhan terhadap self

efficacy terlihat pada 2 bulan setelah intervensi namun lebih jelas terlihat setelah 5

bulan intervensi (Gambar 5.3)

Gambar 5.3. Grafik interaksi self efficacy diantara waktu pengukuran

dan diantara kelompok

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 136: D2049-Tintin Sukartini.pdf

116

Universitas Indonesia

Secara umum terdapat perbedaan self efficacy antar pengukuran (sebelum

intervensi, setelah 2 bulan intervensi dan setelah 5 bulan intervensi) diantara

kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan

sebesar 40.6%.

5.2.4 Motivasi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (akhir

bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi)

Motivasi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model peningkatan

kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 5.7 Motivasi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.(n=97)

Variabel Intervensi (n=50) Kontrol (n=47)

Nilai p R2

Mean Median 95% CI Mean Median 95% CI

Motivasi

Sebelum 32.08 33 31.21-32.95 32.04 32.00 31.20-33.00 0.967

Post test 1 45.26 45 44.54-45.97 37.98 38.00 37.24-38.71 <0.001 0.675

Post test 2 47.28 47 46.61-47.94 36.13 35.00 35.44-36.81 <0.001 0.850

p1(p<0.001, R2=0.434), p2(p<0.001, R

2=0.243)

p interaksi < 0.001, R2=0.524

Dari tabel 5.7 menunjukkan nilai rata-rata motivasi mengalami peningkatan antara

sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi maupun kelompok

kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan motivasi antara

kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King (p=0.967), akan tetapi

terdapat perbedaan motivasi setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan

perbedaan 67.5% dan sesudah 5 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan

perbedaan 85%.

Terdapat perbedaan motivasi antar pengukuran sebelum intervensi terhadap

pengukuran setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan

54.34% dan terdapat perbedaan motivasi antar pengukuran setelah 2 bulan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 137: D2049-Tintin Sukartini.pdf

117

Universitas Indonesia

terhadap pengukuran setelah 5 bulan (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan

sebesar 24.3%. Perbedaan motivasi lebih tinggi pada pengukuran sebelum

intervensi terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi dibandingkan

pengukuran setelah 2 bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan ntervensi. Hal ini

menunjukkan bahwa pengaruh model peningkatan kepatuhan terhadap motivasi

terlihat jelas pada 2 bulan setelah intervensi (Gambar 5.4)

Gambar 5.4. Grafik interaksi motivasi diantara waktu pengukuran

dan diantara kelompok

Secara umum terdapat perbedaan motivasi antar pengukuran (sebelum intervensi,

setelah 2 bulan intervensi dan setelah 5 bulan intervensi) diantara kelompok

intervensi dan kelompok kontrol (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan sebesar

52.4%.

5.2.5 Pencegahan penularan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi

model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King

(akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi)

Pencegahan penularan pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King didapatkan hasil

sebagai berikut:

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 138: D2049-Tintin Sukartini.pdf

118

Universitas Indonesia

Tabel 5.8 Pencegahan penularan sebelum dan sesudah intervensi model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King.(n=97)

Variabel Intervensi (n=50) Kontrol (n=47)

Nilai p* R

2

Mean Median 95% CI Mean Median 95% CI

Pencegahan

penularan

Sebelum 24.80 25.00 24.30-25.29 24.16 24.00 23.68-24.70 0.093

Post test 1 45.28 45.00 44.58-45.98 37.74 38.00 37.02-38.47 <0.001 0.699

Post test 2 49.12 50.00 48.38-49.85 41.60 40.00 40.84-42.35 <0.001 0.679

p1 (p<0.001, R2=0.607), (p=0.987)

p interaksi < 0.001, R2=0.454

Dari tabel 5.8 menunjukkan nilai rata-rata pencegahan penularan mengalami

peningkatan antara sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi

maupun kelompok kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat

perbedaan pencegahan penularan antara kelompok intervensi dan kelompok

kontrol sebelum dilakukan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori

sistem interaksi King (p=0.093), akan tetapi terdapat perbedaan pencegahan

penularan setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 69.9%

dan sesudah 5 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 67.9%.

Terdapat perbedaan pencegahan penularan antar pengukuran sebelum intervensi

terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan

perbedaan 60.7%, namun tidak terdapat perbedaan pencegahan penularan antar

pengukuran setelah 2 bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan (p=0.987). Hal

ini menunjukkan bahwa pengaruh model peningkatan kepatuhan terhadap

pencegahan penularan terlihat pada 2 bulan setelah intervensi namun tidak

terdapat perbedaan setelah 5 bulan intervensi (Gambar 5.5)

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 139: D2049-Tintin Sukartini.pdf

119

Universitas Indonesia

Gambar 5.5. Grafik interaksi pencegahan penularan diantara waktu pengukuran

dan diantara kelompok.

Secara umum terdapat perbedaan pencegahan penularan antar pengukuran

(sebelum intervensi, setelah 2 bulan intervensi dan setelah 5 bulan intervensi)

diantara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p<0.001) dengan kekuatan

perbedaan sebesar 45.4%.

5.2.6 Kepatuhan nutrisi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi

model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King

(akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5 intervensi)

Kepatuhan nutrisi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King didapatkan hasil

sebagai berikut:

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 140: D2049-Tintin Sukartini.pdf

120

Universitas Indonesia

Tabel 5.9 Kepatuhan nutrisi pasien TB paru sebelum dan sesudah intervensi

model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi

King.(n=97)

Variabel Intervensi (n=50) Kontrol (n=47) Nilai

p* R

2

Mean Median 95% CI Mean Median 95% CI

Kepatuhan

nutrisi

Sebelum 31.42 31.00 30.58-32.30 32.10 32.00 31.43-33.25 0.153

Post test 1 44.52 44.00 43.78-45.25 37.60 38.00 36.84-38.35 0.001 0.641

Post test 2 47.08 48.00 46.43-47.73 39.13 40.00 38.46-39.80 0.001 0.750

p1(p<0.001, R2=0.778), p2 (p=0.011, R

2=0.065)

p interaksi < 0.001, R2=0.703

Dari tabel 5.9 menunjukkan nilai rata-rata kepatuhan nutrisi mengalami

peningkatan antara sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi

maupun kelompok kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat

perbedaan kepatuhan nutrisi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol

sebelum dilakukan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King (p=0.153), akan tetapi terdapat perbedaan kepatuhan nutrisi setelah

2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 64.1% dan sesudah 5

bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan 75%.

Terdapat perbedaan kepatuhan nutrisi antar pengukuran sebelum intervensi

terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi (p<0.001) dengan kekuatan

perbedaan 77.8% dan terdapat perbedaan kepatuhan nutrisi antar pengukuran

setelah 2 bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan (p=0.011) dengan kekuatan

perbedaan sebesar 6.5%. Perbedaan kepatuhan nutrisi lebih tinggi pada

pengukuran sebelum intervensi terhadap pengukuran setelah 2 bulan intervensi

dibandingkan pengukuran setelah 2 bulan terhadap pengukuran setelah 5 bulan

ntervensi. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh model peningkatan kepatuhan

terhadap kepatuhan nutrisi terlihat jelas pada 2 bulan setelah intervensi (Gambar

5.5)

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 141: D2049-Tintin Sukartini.pdf

121

Universitas Indonesia

Tabel 5.10 Perbedaan berat badan pasien sebelum dan sesudah intervensi model

peningkatan kepatuhan nutrisi berbasis teori sistem interaksi

King.(n=97)

Variabel Intervensi Kontrol

Mean Median Mean Median p

1. BB awal 51.83 52.00 50.06 50.00 0.246

2. BB1 54.30 54.00 51.81 52.00 0.104

3. BB2 56.08 56.00 53.32 53.00 0.067

4. ∆BBawal-BB1 2.36 2.00 1.96 2.00 0.012

5. ∆BB1-BB2 1.80 2.00 1.51 1.00 0.039

Tabel 5.10 mendukung perbedaan kepatuhan nutrisi pada pasien TB paru, dalam

tabel dapat dilihat peningkatan berat badan pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol. Setelah 2 bulan intervensi kelompok intervensi mengalami

rata-rata peningkatan berat badan sebesar 2.36 kg sedangkan kelompok kontrol

mengalami rata-rata peningkatan berat badan sebesar 1.96 kg (p=0.012),

sedangkan setelah 5 bulan intervensi rata-rata peningkatan berat badan pada

kelompok intervensi sebesar 1.80 kg dan pada kelompok kontrol sebesar 1.51 kg

(p=0.039)

Gambar 5.6. Grafik interaksi kepatuhan nutrisi diantara waktu pengukuran

dan diantara kelompok.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 142: D2049-Tintin Sukartini.pdf

122

Universitas Indonesia

Secara umum terdapat perbedaan kepatuhan nutrisi antar pengukuran (sebelum

intervensi, setelah 2 bulan intervensi dan setelah 5 bulan intervensi) diantara

kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p<0.001) dengan kekuatan perbedaan

sebesar 70.3%.

5.2.7 Kepatuhan pengobatan (cara, dosis, waktu dan kepatuhan pengobatan

selama 6 bulan) sesudah intervensi model peningkatan kepatuhan

berbasis teori sistem interaksi King (akhir bulan ke-2 dan akhir bulan

ke-5 intervensi)

Kepatuhan pengobatan pasien TB paru berdasarkan cara minum obat (satu kali

dalam satu waktu atau beberapa kali dalam beberapa waktu), dosis pengobatan,

waktu minum obat (1 jam sebelum makan atau sesudah makan) dan kepatuhan

pengobatan selama 6 bulan didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel.5.11 Kepatuhan pengobatan kelompok intervensi dan kelompok kontrol

(n=97)

Variabel Intervensi (n=50) Kontrol (n=47) Nilai p

n % n %

1. Cara

Satu kali satu

waktu

Beberapa kali

beberapa waktu

0

50

0

100

36

11

76.6

23.4

0.001

2. Dosis

Sesuai

Tidak sesuai

50

0

100

0

47

0

100

0

1

3. Waktu

sebelum makan

Sesudah makan

50

0

100

0

40

7

85.1

14.9

0.005

4. Kepatuhan

Tidak drop out

Drop out

50

0

100

0

47

3

94

6

0.242

Dari tabel 5.10 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan cara minum OAT pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah 2 bulan pemberian intervensi

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 143: D2049-Tintin Sukartini.pdf

123

Universitas Indonesia

(p=0.001). Pada kelompok intervensi 100% responden minum OAT dalam satu

waktu sedangkan pada kelompok kontrol ada 11 responden (23.4%) yang masih

minum OAT dalam beberapa waktu (pagi, siang dan malam). Dosis minum OAT

pada kelompok intervensi atau kelompok kontrol tidak ada perbedaan, kedua

kelompok minum obat sesuai dengan dosis yang diberikan. Terdapat perbedaan

waktu minum obat antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah 2

bulan intervensi (p=0.005), setelah 2 bulan intervensi 100% kelompok intervensi

minum OAT 1 jam sebelum makan, sedangkan pada kelompok kontrol 7 (14.9%)

responden minum OAT setelah makan. Pada akhir intervensi (setelah 5 bulan)

tidak terdapat perbedaan kepatuhan pengobatan pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol, namun pada kelompok intervensi tidak ada responden yang

drop out sedangkan pada kelompok kontrol ada 3 (6%) responden yang drop out

pengobatan.

5.2.8 Pengaruh variabel perancu terhadap pengetahuan, self efficacy,

motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.

Intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King

terhadap pengetahuan, self effiacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan

nutrisi perlu dipertimbangkan adanya variabel lain yang mengganggu hasil atau

disebut juga variabel perancu. Variabel yang diduga sebagai variabel perancu

pada penelitian ini adalah jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan dan status

perkawinan.

Di bawah ini akan dijelaskan hasil uji statistik untuk menilai adanya varaibel

perancu pada pengukuran hasil penelitian akhir bulan ke-2 dan akhir bulan ke-5.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 144: D2049-Tintin Sukartini.pdf

124

Universitas Indonesia

Tabel 5.12. Hasil uji variabel perancu terhadap intervensi model diantara

kelompok

Pengukuran

Akhir bulan ke-2 Akhir bulan ke-5

Jenis kelamin p=0.275 p=0.943

Umur p=0.255 p=0.189

Pekerjaan p=0.403 p=0.915

Pendidikan p=0.001 p=0.000

Status perkawinan p=0.722 p=0.242

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa hanya variabel pendidikan (p<0.05)

yang merupakan variabel perancu. Untuk selanjutnya varaiabel mana saja yang

dipengaruhi oleh variabel pendidikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.13. Hasil uji variabel perancu terhadap intervensi model diantara

kelompok berdasarkan variabel

Pengukuran

Akhir bulan ke-2 Akhir bulan ke-5

Pengetahuan p=0.000 Pengetahuan p=0.000

Self efficacy p=0.918 Self efficacy p=0.913

Pendidikan Motivasi p=0.756 Motivasi p=0.376

Pencegahan

penularan

p=0.261 Pencegahan

penularan

p=0.327

Kepatuhan

nutrisi

p=0.108 Kepatuhan

nutrisi

p=0.428

Dari tabel 5.13 di atas dapat dilihat bahwa variabel pendidikan merupakan

variabel perancu bagi pengaruh model intervensi peningkatan kepatuhan berbasis

teori sistem interaksi King terhadap pengetahuan pasien TB paru.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 145: D2049-Tintin Sukartini.pdf

125 Universitas Indonesia

BAB 6

PEMBAHASAN

Bab ini membahas tentang hasil penelitian efektifitas model peningkatan

kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terhadap pengetahuan, self efficacy,

motivasi, pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi, implikasi penelitian terhadap

ilmu keperawatan dan keterbatasan penelitian.

6.1 Pembahasan Hasil Penelitian

6.1.1 Pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi

King terhadap pengetahuan pasien TB paru.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan

berbasis teori sistem interaksi King terhadap pengetahuan. Pengaruh ini dapat

dicapai dengan meningkatkan sistem personal pasien yaitu menumbuhkan

persepsi yang benar tentang TB paru melalui pembelajaran yang tepat tentang TB

paru. Dengan intervensi yang reguler selama 2 bulan pertama, dimana perawat

dan pasien berinteraksi dengan rentang 2 minggu sekali yaitu saat pasien datang

ke poli paru untuk kontrol, pasien memperoleh pengetahuan dan dapat berdiskusi

dan berbagi pengalaman tentang TB paru. Pasien pada akhirnya menemukan

perspektif baru mengenai apa dan bagaimana TB paru.

Peningkatan pengetahuan terjadi pada kelompok kontrol. Walaupun pada

kelompok kontrol tidak mendapatkan intervensi model peningkatan kepatuhan

berbasis teori sistem interaksi King, kelompok kontrol mengalami peningkatan

pengetahuan walaupun tidak sebesar kelompok intervensi. Peningkatan

pengetahuan pada kelompok kontrol dapat disebabkan karena pasien menerima

informasi tentang TB paru dari sumber lain. Sumber yang dapat dijadikan sumber

pengetahuan dapat diperoleh melalui berbagai sumber seperti media cetak,

elektronik maupun dari petugas kesehatan (Notoatmodjo, 2007).

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 146: D2049-Tintin Sukartini.pdf

126

Universitas Indonesia

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Pembronia (2012) yang meneliti

tentang pengaruh motivational interviewing terhadap motivasi dan kemandirian

penderita TB paru. Pada hasil ditemukan bahwa motivational interviewing

meningkatkan pengetahuan pasien TB paru. Penelitian senada dilakukan Prayogi

(2014) yang meneliti pengaruh psychoeducative family therapy terhadap

kepatuhan pasien TB paru, dari hasil didapatkan bahwa pasien yang diberi

psychoeducative family therapy memiliki pengetahuan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan yang tidak memperoleh perlakuan. Walaupun intervensi

dari penelitian ini berbeda dengan dengan intervensi model peningkatan

kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King, namun masih memiliki kesamaan

yaitu sama-sama memberikan pembelajaran yang tepat ke pasien mengenai TB

paru.

Penelitian yang hampir sama yaitu penelitian Sekarsari (2013) yang meneliti

tentang efektifitas model “ProMise” integrasi edukasi dan konseling terhadap

perawatan mandiri, pengetahuan, tahap perubahan, readmission dan atau kematian

pasien gagal jantung. Persamaan dengan model peningkatan interaksi King

adalah sama-sama memberikan edukasi dan interaksi kepada pasien selama kurun

waktu 6 bulan. Pasien yang diberikan edukasi secara terus menerus akan

meningkatkan pengetahuannya.

Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Aini, Fatmaningrum & Yusuf

(2011) yang meneliti tentang upaya meningkatkan perilaku pasien dalam

tatalaksana Diabetes Mellitus dengan pendekatan teori model behavioral system

Dorothy E.Johnson. Persamaan dengan model peningkatan kepatuhan berbasis

teori sistem interaksi King adalah sama-sama memberikan intervensi berupa

edukasi dan pemberian motivasi. Dari hasil didapatkan bahwa pasien yang

diberikan edukasi dan motivasi akan meningkat tingkat pengetahuannya

dibandingkan kelompok yang tidak mendapatkan intervensi.

Penelitian lain yang hampir sama adalah penelitian Ibrahim, Mardiah dan

Priambodo (2014) yang meneliti tentang pengetahuan, sikap, dan praktik

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 147: D2049-Tintin Sukartini.pdf

127

Universitas Indonesia

kewaspadaan universal perawat terhadap penularan HIV/AIDS, pada hasil

menunjukkan adanya hubungan yang positif antara pengetahuan dan praktik.

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi

setelah melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Pengetahuan/kognitif

merupakan domain penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan

didefinisikan sebagai pengakuan secara intelektual dengan fakta kebenaran/prinsip

di tambah dengan pengamatan, pengalaman dan laporan. Adanya pengetahuan di

perlukan sebelum terjadinya tindakan pada seseorang. Tingkat pengetahuan

dipengaruhi oleh pembelajaran, dalam hal ini pembelajaran yang diberikan pada

pasien TB paru yang menjalani pengobatan diberikan melalui peningkatan sistem

personal yaitu memberikan pembelajaran yang tepat mengenai konsep TB paru.

Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Lamak, Kusnanto dan Dewi

(2014) tentang pengetahuan, self efficacy dan stres pasien kusta melalui penerapan

support group dengan pendekatan teori adaptasi, pada hasil didapatkan bahwa

support group dapat meningkatkan pengetahuan pasien. Walaupun intervensi

yang diberikan berbeda dengan model peningkatan kepatuhan berbasis teori

sistem interaksi King namun masih memiliki persamaan yaitu pada intervensi

pasien mendapatkan informasi mengenai penyakit dan penanganannya.

Hasil penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Loriana, Thaha dan

Ramdan (2007) yang meneliti tentang efek konseling terhadap pengetahuan, sikap

dan kepatuhan berobat pada penderita TB paru. Pada hasil ditemukan bahwa ada

pengaruh efek konseling terhadap peningkatan pengetahuan pasien TB paru.

Konseling pada pasien TB pada intinya adalah memberikan pembelajaran kepada

pasien TB paru, hal ini hampir sama dengan yang intervensi pada model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King yaitu memberikan

informasi yang dibutuhkan pasien. Sesuai pendapat Corones, dkk (2009) bahwa

kebutuhan akan informasi pada pasien yang menjalankan pengobatan adalah

sangat tinggi.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 148: D2049-Tintin Sukartini.pdf

128

Universitas Indonesia

Hal ini didukung berdasarkan hasil penelitian tahap 1 dalam tema persepsi yang

positif atau benar mengenai TB paru. Pada penelitian ini pasien mendapatkan

pembelajaran yang tepat mengenai konsep TB paru dan pengobatan TB paru.

Pengetahuan adalah suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang

setiap saat mengalami reorganisasi karena ada pemahaman-pemahaman baru.

Peningkatan pengetahuan pada pasien dapat dipengaruhi karena pasien selalu

berinteraksi dengan perawat dan dokter, sehingga dimungkinkan melalui interaksi

yang terus menerus dan pembelajaran yang tepat maka pasien mendapatkan

pengetahuan dan pemahaman yang tepat.

Gagne (1988) dalam information processing learning theory berpendapat bahwa

dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah

sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Pemrosesan

informasi melalui interaksi antara kondisi internal dan kondisi eksternal individu.

Untuk mengingat sesuatu manusia harus melakukan 3 hal yaitu mendapatkan

informasi, menyimpannya dan mengeluarkan kembali.

Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King adalah model

intervensi yang menekankan adanya interaksi antara perawat dan pasien. King

(dalam Alligood & Tomey, 2006) mengembangkan proposisi dalam teori

pencapaian tujuan, yaitu: jika persepsi akurat dalam interaksi perawat-pasien

maka akan terjadi transaksi. Jika perawat-pasien membuat transaksi maka tujuan

akan tercapai. Dalam model ini perawat menumbuhkan persepsi yang tepat agar

pengetahuan pasien dapat meningkat. Menurut Rogers (1974) dalam Notoatmodjo

(2003), perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada

perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Dalam model ini untuk mencapai

transaksi atau tujuan maka interaksi harus dilakukan secara terus menerus.

Peningkatan pengetahuan pada pasien TB paru diperlukan sebagai dasar untuk

meningkatkan perilaku yaitu kepatuhan pasien.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 149: D2049-Tintin Sukartini.pdf

129

Universitas Indonesia

6.1.2 Pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi

King terhadap self efficacy pasien TB paru.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan

berbasis teori sistem interaksi King terhadap self efficacy pasien TB paru.

Peningkatan self efficacy dicapai dengan cara meningkatkan sistem personal dan

sistem interpersonal. Intervensi yang diberikan adalah meningkatkan kesadaran

diri untuk sembuh, mengoptimalkan tumbuh kembang pasien, menumbuhkan

gambaran diri pasien agar positif, mengoptimalkan peran selama sakit,

meningkatkan komunikasi antara pasien dengan keluarga dan petugas kesehatan,

membantu pasien menyeimbangkan stres yang dialami dan meningkatkan koping

pasien.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Muhtar (2013) tentang pengaruh

pemberdayaan keluarga dalam meningkatkan self efficacy dan self care activity

keluarga dan penderita tuberkulosis paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pasien yang bersama-sama keluarga mendapatkan intervensi pemberdayaan

keluarga memiliki self efficacy yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol.

Walaupun intervensi ini berbeda dengan model peningkatan kepatuhan berbasis

teori sistem interaksi King namun masih memiliki intervensi yang hampir sama.

Pada model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King pasien

mendapatkan intervensi untuk meningkatkan sistem interpersonal yaitu

meningkatkan komunikasi dan interaksi pasien dengan keluarga. Pasien yang

dapat melakukan komunikasi dan interaksi yang terbuka dengan keluarga akan

memperoleh dukungan yang sangat kuat untuk meningkatkan keyakinan diri

sehingga merasa yakin untuk patuh menjalankan pengobatan sehingga mencapai

kesembuhan.

Sejalan dengan hasil penelitian Hendiani, Sakti dan Widayanti (2012) yang

meneliti tentang hubungan antara persepsi dukungan keluarga sebagai PMO

dengan self efficacy pasien TB paru. Hasil menunjukkan bahwa pasien yang

memiliki persepsi positif tentang dukungan keluarga sebagai PMO memiliki

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 150: D2049-Tintin Sukartini.pdf

130

Universitas Indonesia

keyakinan diri yang lebih tinggi. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian tahap 1

yang mendukung yaitu subtema komunikasi dan interaksi pasien dan keluarga

selama pengobatan dengan kategori pasien merasa nyaman berinteraksi dengan

keluarga, pasien mendapat perhatian dari pasangan dan keluarga memberi

motivasi. Pasien yang memiliki komunikasi dan interaksi yang baik dengan

keluarga akan memiliki keyakinan diri yang lebih baik dibandingkan yang tidak

memiliki komunikasi dan interaksi yang terbuka dengan keluarga.

Tema lain yang mendukung adalah kesadaran diri untuk sembuh yang memiliki

kategori yakin TB paru dapat disembuhkan dan rajin berobat walau harus datang

sendiri. Pasien yang patuh memiliki keyakinan yang kuat bahwa sakit TB paru

dapat disembuhkan. Pada pasien yang patuh yang tidak memiliki atau jauh dari

keluarga, mereka memiliki keyakinan yang kuat untuk sembuh dan rajin datang

berobat di poli paru walaupun harus datang sendiri ke rumah sakit.

Pada model intervensi King salah satu intervensi yang diberikan adalah

meningkatkan sistem personal yaitu meningkatkan kesadaran diri. Pasien yang

kurang mendapat dukungan keluarga diberikan keyakinan bahwa mereka harus

mampu dan harus yakin untuk patuh hingga mencapai kesembuhan. Beberapa

komponen yang penting dalam menumbuhkan self efficacy adalah meningkatnya

pengetahuan dan sikap , tingginya harga diri, merasa mempunyai kemampuan

yang cukup, mempunyai keyakinan untuk mengambil tindakan serta kepercayaan

akan kemampuan untuk mengubah situasi (Notoatmojo, 2010). Berdasarkan hal

tersebut pasien harus diyakinkan bahwa diri mereka sendiri yang mampu merubah

situasi dari sakit menjadi sehat walau tanpa dukungan keluarga. Pasien masih

berhak meraih cita-cita di masa depan saat sudah sembuh dari TB paru.

Pada intervensi untuk meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh, pasien TB paru

diberikan contoh pasien-pasien yang patuh berobat dan mencapai kesembuhan

agar memiliki keyakinan bahwa mereka juga sanggup untuk patuh supaya dapat

mencapai kesembuhan. Dengan memberikan contoh pasien yang sembuh, sesuai

dengan pendapat Bandura (1994) di atas salah satu faktor yang mempengaruhi self

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 151: D2049-Tintin Sukartini.pdf

131

Universitas Indonesia

efficacy seseorang adalah vicarious experience, yaitu seseorang dapat belajar dari

pengalaman orang lain, dan meniru perilaku mereka untuk mendapatkan seperti

apa yang orang lain peroleh. Self efficacy akan meningkat jika mengamati

keberhasilan yang telah dicapai oleh orang lain, sebaliknya self efficacy akan

menurun apabila individu mengamati seseorang yang memiliki kemampuan setara

dengan dirinya mengalami kegagalan.

Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Kholifah (2014) yang meneliti

tentang self management intervention sebagai upaya peningkatan kepatuhan pada

penderita DM. Pada hasil didaptkan bahwa self management intervention terbukti

meningkatkan pengetahuan, self efficacy dan kepatuhan pada pasien DM.

Persamaan intervensi dengan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King adalah memberikan intervensi berupa pendidikan kesehatan dan

pemberian motivasi.

Sejalan dengan penelitian Hidayati (2012) yang meneliti tentang Pengaruh

hypertension self-management program terhadap perubahan self efficacy, self care

behaviour dan tekanan darah penderita hipertensi di puskesmas Mojo. Persamaan

dengan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dengan

penelitian ini adalah sama-sama memberikan edukasi dan meningkatkan

kesadaran diri pasien. Pada hasil ditemukan bahwa pasien yang diberikan edukasi

dan kesadaran diri memiliki self efficacy yang meningkat.

Dalam model ini perawat melakukan interaksi yang terus menerus dengan pasien

dan meningkatkan komunikasi yang terbuka dengan pasien dari awal intervensi

sampai terminasi. King (dalam Alligood & Tomey, 2006) menjelaskan jika

perawat dengan pengetahuan khusus dan teknik komunikasi yang memadai

menginformasikan ke pasien secara tepat maka tujuan yang diharapkan dan

pencapaian tujuan akan dicapai. Dalam penelitian ini terbukti bahwa self efficacy

pasien terjadi peningkatan. Self efficacy sangat diperlukan bagi pasien TB paru

agar memiliki keyakinan bahwa sakit TB paru dapat disembuhkan.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 152: D2049-Tintin Sukartini.pdf

132

Universitas Indonesia

6.1.3 Pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi

King terhadap motivasi pasien TB paru.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan

berbasis teori sistem interaksi King terhadap motivasi pasien TB paru.

Pengaruh terhadap motivasi diperoleh dengan cara meningkatkan kesadaran diri

untuk sembuh, mengoptimalkan tumbuh kembang pasien, menumbuhkan

gambaran diri pasien agar positif, mengoptimalkan peran selama sakit,

meningkatkan komunikasi antara pasien dengan keluarga dan petugas kesehatan,

membantu pasien menyeimbangkan stres yang dialami dan meningkatkan koping

pasien.

Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Kamil, Ibnu dan Rachman (2013) yang

melakukan penelitian kualitatif tentang media cetak komunikasi, informasi dan

edukasi (KIE) dalam pengobatan pasien tuberkulosis type multidrug resistant

tuberculosis. Pada hasil ditemukan tema diantaranya media cetak KIE

memberikan dampak yang positif terhadap pasien yaitu motivasi untuk lebih giat

berobat. Persamaan dengan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori

sistem interaksi King adalah pada intervensi model menggunakan media booklet

untuk meningkatkan sistem personal dimana salah satunya adalah meningkatkan

motivasi pasien untuk patuh dalam pengobatan.

Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Sutarno dan Utama (2012) yang

meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berobat penderita

tuberkulosis. Pada hasil ditemukan bahwa dukungan sosial dari keluarga dan

petugas, pengetahuan dan persepsi tentang TB memberi pengaruh yang positif

terhadap motivasi untuk berobat. Pada intervensi model peningkatan kepatuhan

berbasis teori sistem interaksi King terjadi interaksi yang terus menerus antara

perawat dan pasien beserta keluarga jika keluarga turut datang ke poli paru.

Perawat selalu melibatkan keluarga dalam memberikan intervensi terutama untuk

meningkatkan sistem interpersonal pasien yaitu meningkatkan komunikasi antara

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 153: D2049-Tintin Sukartini.pdf

133

Universitas Indonesia

pasien dengan keluarga dan perawat serta dokter. Senada dengan pendapat

Mohammadi (2006) bahwa motivasi sangat diperlukan untuk mendorong pasien

agar mau terlibat secara aktif dalam proses pengendalian penyakit. Persamaan lain

model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dengan model

partnership Mohammadi adalah menekankan adanya proses kerjasama yang terus

menerus antara perawat dan pasien dalam proses perawatan.

Hasil ini juga didukung oleh hasil penelitian tahap 1 yaitu dalam persepsi yang

positif atau benar tentang TB paru dimana pasien memperoleh pembelajaran yang

tepat tentang TB paru dan pengobatan TB paru. Pasien yang patuh memperoleh

pembelajaran yang tepat sehingga merasa termotivasi untuk patuh dan mencapai

kesembuhan karena tahu mengenai penyakitnya. Tema lain yang berkaitan dengan

peningkatan motivasi adalah tema mencapai tumbuh kembang yang optimal, tema

gambaran diri yang positif dan tema komunikasi yang terbuka antara pasien

dengan tenaga kesehatan dan pasien dengan keluarga.

Pasien yang memiliki persepsi yang positif atau benar akan meyakini walaupun

gejala fisik sudah hilang namun penyakit TB paru belum sembuh. Hanya dokter

yang berhak menyatakan sembuh setelah melalui serangkaian pengobatan dan

pemeriksaan untuk menyatakan bahwa sakit benar-benar sembuh. Pasien yang

memiliki persepsi yang positif merasa yakin akan sembuh dan memiliki motivasi

yang kuat untuk sembuh walaupun harus menjalankan pengobatan dalam jangka

waktu yang lama.

.

Pasien yang patuh menjalankan pengobatan adalah pasien mampu mencapai

tumbuh kembang yang optimal. Tema mencapai tumbuh kembang yang optimal

terbagi menjadi dua subtema yaitu subtema harapan masa depan yang lebih baik

dan subtema mampu menjalankan tugas perkembangan secara optimal. Pasien

yang patuh memiliki motivasi yang kuat karena harus sembuh untuk mencapai

cita-cita di masa depan seperti mencapai gelar sarjana, mendapatkan pekerjaan

yang layak dan mewujudkan harapan untuk memiliki anak. Pasien yang patuh

juga memiliki motivasi yang kuat untuk sembuh karena harus menjalankan tugas

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 154: D2049-Tintin Sukartini.pdf

134

Universitas Indonesia

perkembangan secara optimal seperti mengasuh anak. Pasien yang memiliki balita

namun memiliki sakit TB paru memiliki motivasi yang lebih untuk segera sembuh

dan patuh berobat agar tidak was was anaknya tertular TB paru.

Pada tema gambaran diri yang positif, pasien yang yang patuh memiliki gambaran

diri yang positif, Walaupun pada awalnya merasa minder dengan penurunan berat

badan namun akhirnya penurunan berat badan ini menjadikan motivasi yang kuat

untuk patuh dalam pengobatan agar mencapai berat badan normal. Pasien yang

patuh juga tidak pernah merasa malu kalo harus memakai masker kemana-mana

karena tujuan memakai masker adalah untuk melindungi orang lain dari tertular

TB paru dan melindungi diri agar tidak terkontaminasi udara kotor yang dapat

menyebabkan penyakit lain atau mempeparah kondisi sakit. Pasien merasa yakin

dan termotivasi untuk sembuh agar terbebas dari memakai masker dan terbebas

dari kekhawatiran menulari orang lain.

Tema komunikasi terbuka diidentifikasi menjadi dua subtema yaitu komunikasi

dengan petugas kesehatan dan subtema komunikasi dengan keluarga. Pasien yang

mendapat dukungan yang positif dari keluarga maupun petugas memiliki motivasi

yang kuat untuk mencapai kesembuhan dan patuh dalam menjalankan

pengobatan. Menurut King (dalam Alligood & Tomey, 2006) jika perawat dengan

pengetahuan khusus dan teknik komunikasi yang memadai menginformasikan ke

pasien secara tepat maka tujuan yang diharapkan dan pencapaian tujuan akan

dicapai. Dengan komunikasi dan interaksi yang terus menerus pasien mampu

mencurahkan segala perasaan dan permasalahan selama sakit sehingga merasa

nyaman dan memiliki dukungan yang positif yang membantunya untuk selalu

termotivasi mencapai kesembuhan.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 155: D2049-Tintin Sukartini.pdf

135

Universitas Indonesia

6.1.4 Pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi

King terhadap pencegahan penularan pasien TB paru.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh model peningkatan kepatuhan

berbasis teori sistem interaksi King terhadap pencegahan penularan pasien TB

paru. Pengaruh ini terbukti pada akhir bulan ke-2 intervensi namun tidak terbukti

pada akhir bulan ke-5 intervensi. Hal ini terjadi bisa disebabkan pada kelompok

kontrol mendapatkan informasi yang sama tentang pencegahan penularan dari

petugas kesehatan atau media lainnya. Pengaruh model terhadap pencegahan

penularan diperoleh melalui peningkatan sistem personal pasien yaitu

menumbuhkan persepsi yang positif atau benar melalui pembelajaran yang tepat

tentang pencegahan penularan dan memberikan penjelasan tentang lingkungan

rumah yang mendukung kesembuhan

Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Kaona, dkk (2004) yang

meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan dan

pengetahuan tentang transmisi penularan pada pasien TB paru. Hasil

menunjukkan bahwa pasien lebih banyak pasien pria dibandingkan pasien wanita

yang melakukan transmisi atau penularan TB paru (memakai tempat makan yang

sama). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyak pasien yang tidak

mengetahui bagaimana pencegahan penularan tuberkulosis paru. Pada intervensi

model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King, salah satu

intervensi yang diberikan adalah pembelajaran yang tepat mengenai pencegahan

penularan. Pasien diberikan pembelajaran bagaimana cara batuk dan bersin yang

benar, cara membuang dahak dan menggunakan alat-alat makan dan minum agar

tidak terjadi penularan.

Hasil senada dengan penelitian Widari (2010) yang meneliti tentang perbandingan

pengaruh penyuluhan kesehatan dan konseling terhadap perubahan perilaku

pencegahan penularan pada penderita tuberkulosis. Pada hasil ditemukan bahwa

tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara pendidikan kesehatan dan

konseling terhadap perubahan pengetahuan, sikap maupun perilaku pencegahan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 156: D2049-Tintin Sukartini.pdf

136

Universitas Indonesia

penularan pasien tuberkulosis paru. Persamaan penelitian ini dengan model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King adalah sama-sama

memberikan pembelajaran. Metode yang digunakan yaitu hampir sama dengan

metode konseling dimana interaksi perawat-pasien dilakukan secara individual

dan bukan dalam kelompok. Pada hasil ditemukan bahwa ada peningkatan

perilaku pencegahan penularan.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan peningkatan secara bermakna pada

pengukuran sebelum intervensi terhadap akhir bulan ke-2 intervensi (60.7%)

sedangkan antar pengukuran akhir bulan ke-2 intervensi terhadap akhir bulan ke-5

intervensi tidak menunjukkan peningkatan yang bermakna. Hal ini dimungkinkan

pembelajaran selama 2 bulan sudah cukup memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap perubahan perilaku pasien. Kondisi ini dimungkinkan karena

pembelajaran yang reguler selama 2 bulan pertama yaitu setiap 2 minggu sekali

saat pasien berobat ke poli paru. Peningkatan ini juga dimungkinkan karena

adanya pembelajaran yang tepat pada model peningkatan kepatuhan berbasis teori

sistem interaksi King yaitu diberikannya pembelajaran mengenai orang yang

memiliki resiko tertular, pencegahan penularan TB paru dan sikap saat bersin dan

batuk. Dengan pembelajaran yang tepat pasien mampu melakukan pencegahan

penularan kepada orang lain sehingga menurunkan jumlah pasien TB paru.

Peningkatan pencegahan penularan juga terjadi pada kelompok kontrol. Walaupun

pada kelompok kontrol tidak mendapatkan intervensi model peningkatan

kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King, kelompok kontrol mengalami

peningkatan pencegahan penularan walaupun tidak sebesar kelompok intervensi.

Peningkatan pencegahan penularan pada kelompok kontrol dapat disebabkan

karena pasien menerima informasi tentang TB paru dari sumber lain, seperti

media cetak, elektronik maupun dari petugas kesehatan (Notoatmodjo, 2007).

.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Asih, Suyanto dan Munir (2014)

yang meneliti tentang gambaran perilaku pasien TB paru terhadap upaya

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 157: D2049-Tintin Sukartini.pdf

137

Universitas Indonesia

pencegahan penyebaran penyakit TB paru pada pasien yang berobat di poli paru.

Pada hasil ditemukan bahwa 43.5% pasien memiliki pengetahuan yang baik,

70.4% memiliki sikap yang baik dan 46.1% memiliki perilaku yang baik tentang

upaya pencegahan penularan. Dari hasil tersebut memberikan gambaran bahwa

masih diperlukan pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan perilaku

pencegahan penularan TB paru. Intervensi model King menyediakan model

pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan perilaku pencugahan penularan.

Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Fatimah (2008), yang meneliti

tentang faktor kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian

TB paru di kabupaten Cilacap. Hasil penelitian ditemukan bahwa ada hubungan

antara kejadian TB paru dengan pencahayaan, ventilasi, keberadaan jendela

dibuka, kelembaban, suhu, jenis dinding dan status gizi. Lingkungan merupakan

faktor yang penting untuk mencegah terjadinya penularan. Lingkungan yang

buruk dapat meningkatkan resiko penularan yang pada akhirnya meningkatkan

angka kejadian TB paru. Pada intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis

teori sistem interaksi King pasien diberikan pembelajaran dan diajak diskusi

mengenai lingkungan rumah yang sehat untuk mencegah terjadinya penularan.

Pasien diajarkan untuk membuka jendela rumah setiap hari agar sinar matahari

dan udara dapat masuk ke dalam rumah, membuat genteng kaca jika kamar tidak

memiliki jendela serta mengajarkan agar selalu menjaga kebersihan rumah.

Hasil penelitian juga didukung oleh hasil penelitian tahap 1, yang menemukan

bahwa pasien yang patuh mendapatkan pembelajaran yang tepat mengenai

pencegahan penularan, dimana pasien menjelaskan cara batuk dan bersin yang

benar, menjelaskan cara membuang dahak yang benar yaitu ke saluran air, dan

saat makan mengunakan alat-alat makan dan minum secara terpisah. Pasien yang

patuh dapat menurunkan resiko orang lain tertular TB paru. Tema lain yang

mendukung adalah tema lingkungan yang sehat yang mendukung kesembuhan.

Pada kategori lingkungan rumah pasien menjelaskan bahwa rumah memiliki

jendela yang dibuka sehingga sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah.

Lingkungan yang sehat membantu mencegah penularan dan penyebaran penyakit

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 158: D2049-Tintin Sukartini.pdf

138

Universitas Indonesia

TB paru. Pada kategori ruang RS, pada ruang poli paru ruangan tidak dilengkapi

AC (air conditioner), memiliki jendela yang banyak dan selalu dibuka mendapat

sinar matahari yang cukup karena tidak terhalang oleh bangunan lain.

King (dalam Alligood & Tomey, 2006) menjelaskan bahwa kerangka kerja

sistem interaksi dan teori pencapaian tujuan berlandaskan pada asumsi bahwa

fokus keperawatan adalah interaksi manusia dan lingkungannya yang menuntun

pada tingkat kesehatan individu. Dalam model ini interaksi antara perawat dan

pasien menuntun pasien untuk berinteraksi dengan lingkungan agar tahu cara

melakukan pencegahan penularan sehingga tidak menulari orang lain disekitarnya,

pasien juga diajarkan bagaimana lingkungan yang sehat agar membantu

penunjang kesembuhan. Pencegahan penularan yang dinilai dalam penelitian ini

adalah penilaian yang dilakukan untuk mengukur persepsi bagaimana melakukan

pencegahan penularan. Dengan persepsi yang tepat diharapkan pasien mampu

menerapkan pencegahan penularan baik saat di hadapan petugas di rumah sakit,

saat di rumah maupun saat berinteraksi dengan lingkungan sosial.

6.1.5 Pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi

King berpengaruh kepatuhan nutrisi pasien TB paru.

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan kepatuhan nutrisi diantara

kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi model

kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King. Pada akhir bulan ke 2 dan akhir

bulan ke 5 setelah intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King menunjukkan hasil adanya perbedaan kepatuhan nutrisi antara

kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan peningkatan secara bermakna lebih besar

antar pengukuran sebelum intervensi terhadap akhir bulan ke-2 intervensi (77.8%)

dibandingkan antar pengukuran akhir bulan ke-2 intervensi terhadap akhir bulan

ke-5 intervensi (0.06%). Pengaruh terhadap kepatuhan nutrisi pada pasien dicapai

dengan cara meningkatkan sistem personal pasien dengan menumbuhkan persepsi

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 159: D2049-Tintin Sukartini.pdf

139

Universitas Indonesia

yang benar tentang TB paru melalui pembelajaran tentang TB paru dengan salah

satunya adalah pembelajaran tentang nutrisi yang menunjang kesembuhan pada

pasien TB paru. Hal ini juga didukung oleh adanya perbedaan peningkatan berat

badan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol yaitu sebesar 2.36 kg

pada kelompok intervensi dan 1.96 kg pada kelompok kontrol. Walaupun pada

kelompok kontrol tidak mendapatkan intervensi model peningkatan kepatuhan

berbasis teori sistem interaksi King, kelompok kontrol mengalami peningkatan

kepatuhan nutrisi dan peningkatan berat badan walaupun tidak sebesar kelompok

intervensi. Hal ini dimungkinkan karena pasien pada kelompok kontrol mendapat

informasi dari media lain atau dari petugas kesehatan. Peningkatan berat badan

juga dipengaruhi oleh pengobatan selama fase intensif dimana perbaikan pada

organ paru akan meningkatkan nafsu makan pasien sehingga terjadi peningkatan

berat badan.

Senada dengan penelitian Nurhanah, Airuddin dan Abdullah (2010) yang meneliti

tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada

masyarakat di provinsi Sulawesi Selatan 2007. Pada hasil penelitian ditemukan

bahwa ada hubungan antara umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status

nutrisi, tempat tinggal dan merokok dengan kejadian tuberkulosis. Status nutrisi

berkorelasi positif dengan kejadian TB paru. Penelitian yang hampir sama

dilakukan oleh Misnadiarly dan Sunarno (2009), yang meneliti tentang analisis

faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya angka kejadian tuberkulosis di

Indonesia tahun 2007. Pada hasil ditemukan bahwa faktor yang mempengaruhi

kejadian TB paru adalah diabetes mellitus, status nutrisi, pendidikan, pekerjaan,

merokok, usia tua dan jenis kelamin. Hal ini juga sesuai dengan penelitian

Fatimah (2008) yang meneliti tentang faktor kesehatan lingkungan rumah yang

berhubungan dengan kejadian TB paru di kabupaten Cilacap. Hasil penelitian

ditemukan bahwa ada hubungan antara kejadian TB paru dengan pencahayaan,

ventilasi, keberadaan jendela dibuka, kelembaban, suhu, jenis dinding dan status

gizi.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 160: D2049-Tintin Sukartini.pdf

140

Universitas Indonesia

Berdasarkan hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa walaupun status nutrisi

bukan penyebab kejadian TB paru akan tetapi status nutrisi berkaitan dengan daya

tahan tubuh seseorang. Saat daya tahan tubuh menurun maka akan mudah sekali

terserang berbagai penyakit termasuk TB paru. Pada pasien TB paru selain

pengobatan status nutrisi menjadi sangat penting karena membantu meningkatkan

daya tahan tubuh sehingga pasien dapat sembuh dengan waktu pengobatan yang

minimal (6 bulan). Status gizi yang buruk dapat memperpanjang waktu

pengobatan. Dalam intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King, pasien diberikan pembelajaran yang tepat mengenai nutrisi yang

penting untuk membantu proses penyembuhan TB paru.

Hasil ini juga didukung oleh hasil penelitian tahap 1 yaitu dalam tema persepsi

yang positif atau benar tentang TB paru dimana pasien mendapatkan

pembelajaran yang tepat tentang nutrisi yang dibutuhkan untuk menunjang

kesembuhan. Dengan pembelajaran yang tepat pasien dapat mengetahui dan

mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang untuk meningkatkan daya tahan

tubuh sehingga dapat membantu proses kesembuhan. Menurut King (dalam

Alligood & Tomey, 2006), dalam hubungan interpersonal perawat dan pasien

saling mempersepsikan, membuat keputusan dan bertindak bersama-sama. Hasil

sebuah interaksi dan jika persepsi sudah sama maka akan terbentuk transaksi.

Dalam hal ini transaksi yang terbentuk adalah kepatuhan nutrisi. Nutrisi bukan

merupakan faktor penyebab terjadinya TB paru tetapi nutrisi adalah faktor yang

dapat menyebabkan seseorang tertular TB paru atau memperberat kondisi

penyakit TB paru.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 161: D2049-Tintin Sukartini.pdf

141

Universitas Indonesia

6.1.6 Pengaruh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi

King terhadap kepatuhan pengobatan pasien TB paru.

Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh model peningkatan kepatuhan

berbasis teori sistem interaksi King terhadap cara minum OAT (satu waktu dan

beberapa waktu), waktu minum obat (sebelum makan dan setelah makan) namun

tidak ada pengaruh terhadap dosis OAT pada akhir bulan ke-2 intervensi. Dari

hasil kepatuhan (drop out pasien selama pengobatan), walau secara statistik tidak

signifikan namun secara teoritis angka 6% ini cukup signifikan karena dari yang

drop out ini dapat menimbulkan efek yang besar seperti terjadinya penularan

kepada orang lain dan terjadinya multidrug resisten yang semakin mempersulit

pengobatan dan menurunkan kualitas hidup pasien.

Penilaian kepatuhan pengobatan dilakukan melalui wawancara dan menghitung

bungkus obat dan sisa obat pada pasien. Metode ini merupakan metode yang

paling murah untuk menilai kepatuhan walaupun memiliki kelemahan yaitu

pasien dapat memanipulasi jumlah obat yang diminum. Metode yang paling tepat

adalah dengan melakukan pengukuran kadar konsentrasi obat dalam darah

sehingga dapat diketahui bahwa pasien memang benar patuh dalam minum obat.

Metode ini sangat sulit dilakukan karena mahal dan kemungkinan adanya

penolakan dari pasien untuk dilakukan pemeriksaan darah.

Pengaruh terhadap kepatuhan pengobatan diperoleh dengan cara meningkatkan

sistem personal pasien melalui disiplin minum obat dan meningkatkan sistem

sosial pasien dengan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan untuk

melaksanakan pengobatan dan meningkatkan pengetahuan tentang birokrasi

pelayanan di rumah sakit. Hasil penelitian di atas sejalan dengan penelitian

Hutapea (2009) yang meneliti tentang pengaruh dukungan keluarga terhadap

kepatuhan minum OAT. Hasil menunjukkan bahwa ada pengaruh dukungan

keluarga terhadap keteraturan minum obat dan cara minum obat. Responden yang

minum obat setiap hari adalah 69.4% sedangkan cara minum obat sekaligus

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 162: D2049-Tintin Sukartini.pdf

142

Universitas Indonesia

sebanyak 72.7%. Persamaan kedua penelitian ini sama-sama menekankan

pentingnya aspek keluarga dalam mempengaruhi kepatuhan pasien.

Senada dengan hasil penelitian Pramonodjati (2010), meneliti tentang pengaruh

pembelajaran tuberkulosis terhadap kepatuhan berobat dan tingkat kesembuhan

penderita tuberkulosis didapatkan hasil bahwa pembelajaran tuberkulosis pada

pasien memberikan kontribusi sebesar 13% terhadap kepatuhan berobat dan

tingkat kesembuhan pasien tuberkulosis paru. Senada dengan hasil penelitian

Senewe (2002), yang meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan

berobat penderita tuberkulosis paru di puskesmas Depok. Pada hasil didapatkan

bahwa sebanyak 33% pasien tidak patuh dalam pengobatan, dari pasien tidak

patuh ini didapatkan bahwa sebanyak 69% tidak mendapat penyuluhan kesehatan

dari petugas kesehatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran

merupakan hal penting yang memberikan kontribusi pada kepatuhan pasien.

Selain pembelajaran yang tepat tentang pengobatan TB paru, pada intervensi

model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King pasien

diberikan pembelajaran tentang efek samping obat. Seperti diketahui bahwa

kebanyakan pasien saat mengalami efek samping obat maka akan menghentikan

sendiri pengobatannya atau akan menganggap bahwa obat yang diberikan tidak

manjur sehingga akan mencari pertolongan pada dokter lain yang berakibat

terputusnya pengobatan atau memulai pengobatan dari awal. Hal ini didukung

oleh penelitian Bagiada dan Primasari (2010) yang meneliti tentang faktor-faktor

yang mempengaruhi tingkat ketidakpatuhan penderita tuberkulosis dalam berobat

di poliklinik DOTS. Pada hasil ditemukan bahwa salah faktor yang paling penting

yang mempengaruhi ketidakpatuhan pengobatan adalah adanya efek samping dari

obat. Pembelajaran tentang efek samping obat dan hal apa yang harus dilakukan

saat timbul efek samping obat menjadi hal yang sangat penting agar pasien tidak

menghentikan pengobatan dan mencari pertolongan yang tepat.

Hasil penelitian ini didukung juga oleh penelitian Bam,Gunneberg, Chabroon,

Sawasdi, Bam, Aalberg dan Kasland (2006) yang meneliti tentang faktor yang

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 163: D2049-Tintin Sukartini.pdf

143

Universitas Indonesia

mempengaruhi kepatuhan pasien akan DOTS. Didapatkan hasil bahwa dari pasien

yang tidak patuh sebanyak 61% menyatakan tidak tahu kalo harus minum obat

setiap hari terutama saat mereka sudah merasa lebih baik. DOTS, usia muda,

pengetahuan tentang TB dan ketersediaan pendidikan kesehatan berhubungan

dengan peningkatan kepatuhan pengobatan. Dari hasil penelitian tersebut sangat

jelas bahwa ketidakpatuhan pengobatan salah satunya adalah dipengaruhi oleh

persepsi pasien yang keliru. Pada intervensi model peningkatan kepatuhan

berbasis teori sistem interaksi King salah satu intervensi yang diberikan adalah

menekankan pentingnya kepatuhan dan kesembuhan. Pasien biasanya setelah 2

bulan pengobatan akan merasa sembuh karena gejala-gejala sudah mulai

berkurang dan tubuh sudah mulai membaik.

Senada dengan penelitian Pasek, Suryani dan Murdani (2013) yang meneliti

tentang hubungan persepsi dan pengetahuan penderita tuberkulosis dengan

kepatuhan pengobatan. Pada hasil ditemukan bahwa penderita TB yang memiliki

persepsi positif memiliki kemungkinan patuh sebesar 21.41 kali dibandingkan

yang memiliki persepsi negatif. Tingkat pengetahuan yang baik memiliki

kemungkinan untuk patuh sebesar 16,81 kali dibandingan dengan yang

pengetahuan kurang. Dilihat dari hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa persepsi

memiliki pengaruh yang besar pada pasien untuk patuh. Pada intervensi model

penigkatan kepatuhan seperti telah diuraikan di atas bahwa membuat persepsi

pasien menjadi benar adalah merupakan faktor yang penting dalam model ini.

Hasil penelitian ini didukung juga oleh penelitian kualitatif Nugroho (2011) yang

meneliti tentang faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan TB paru. Pada

hasil ditemukan bahwa faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan adalah

lama pengobatan melewati tahaf intensif sehingga gejala hilang dan pasien merasa

sembuh, pembiayaan pengobatan tidak secara cuma-cuma, pasien tidak

mengetahui tahapan pengobatan, tidak ada pengawas menelan minum obat,

adanya kesulitan menuju BP4 (Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru),

adanya efek samping obat, dan ketidaktahuan tentang komplikasi penyakit. Dari

uraian di atas tampak bahwa penyebab drop out pengobatan adalah adanya

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 164: D2049-Tintin Sukartini.pdf

144

Universitas Indonesia

persepsi yang tidak tepat tentang sembuh, kurangnya pengetahuan pasien dan

kurangnya dukungan keluarga.

Pada intervensi disiplin minum obat pasien diajarkan bagaimana cara minum obat

yang tepat dan bagaimana agar tidak lupa minum obat. Dengan memberi contoh

yaitu pasien minum obat pertama kali dihadapan perawat, pasien tidak akan lupa

dan bingung cara minum obat, sehingga pasien tidak akan membagi obat dalam

nbeberapa waktu. Pasien juga diajarkan memasang alarm pada telepon selular

atau jam weker sehingga tidak akan lupa saat waktunya tiba untuk minum obat.

Saat ini sudah banyak teknologi yang diciptakan melalui jaringan telepon selular

untuk pengingat minum obat. Beberapa teknologi yang dikembangkan

diantaranya kotak minum obat yang dilengkapi dengan alarm digital, alarm

pengingat pada telepon selular berbasis android maupun blackberry, aplikasi

pengingat berbasis sms (short message service). Diantara banyaknya pilihan tentu

saja disesuaikan dengan kemampuan pasien untuk menggunakan teknologi

tersebut. Alarm pada telepon selular sederhana maupun alarm jam weker

merupakan pilihan yang paling seserhana dan paling mudah untuk diterapkan

pada pasien TB paru.

Pada intervensi menyeimbangkan stres, pasien diajarkan untuk mengatasi

kejenuhan saat berobat dengan cara memotivasinya agar pasien mau berobat dan

menganggapnya sebagai rekreasi serta menganjurkan untuk bersosialisasi dengan

berbagi pengalaman dengan pasien lain. Pada intervensi koping yang efektif

pasien diajarkan untuk sabar, tabah, ikhlas dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Koping yang konstruktif dapat membuat pasien lebih menerima kondisi sakitnya

dan dapat membantu pasien TB paru untuk mencapai kepatuhan. Hal ini sesuai

dengan penelitian Hidayat, Hamid dan Mustikasari (2014) yang meneliti tentang

hubungan koping individu dengan tingkat kepatuhan penyandang diabetes

mellitus, pada hasil ditemukan bahwa ada hubungan koping individu dengan

kepatuhan. Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Sonia, Arifin dan Murni

(2014) yang meneliti tentang hubungan mekanisme koping dengan kepatuhan

kemoterapi pada penderita keganasan yang mengalami ansietas dan depresi, pada

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 165: D2049-Tintin Sukartini.pdf

145

Universitas Indonesia

hasil ditemukan bahwa ada hubungan yang kuat antara mekanisme koping dengan

melakukan kemoterapi. Berdasarkan hal tersebut sangatlah jelas bahwa koping

sangat berhubungan dengan kepatuhan pasien. Meningkatkan koping pasien

menjadi konstruktif sangat menunjang tercapainya kepatuhan pasien.

Hasil penelitian ini sejalan dengan analisis refleksi dari Garcia, Cirina, Elias, Lira

dan Enders (2014) yang menganalisis interaksi profesional-pasien dalam

kepatuhan pengobatan pasien TB paru dalam persepsi model konseptual sistem

interaksi dan teori pencapaian tujuan King. Dari hasil analisis refleksi ini

didapatkan hasil bahwa persepsi, keputusan dan aksi dari profesional-pasien

ketika sudah sama akan menghasilkan transaksi yang mempengaruhi tujuan,

kualitas komunikasi profesional pasien, menjamin kepatuhan pengobatan dan

memiliki pengaruh posistif terhadap kontrol dan pengobatan TB paru. Hasil

penelitian model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King

memiliki kesamaan dengan analisis refleksi dari Garcia, dari hasil penelitian ini

diperoleh bahwa sistem interaksi perawat-pasien meningkatkan kepatuhan

pengobatan pasien TB paru, terbukti bahwa pasien yang diberikan intervensi

memiliki kepatuhan sebesar 100% dibandingkan pada kelompok kontrol yang

memiliki kepatuhan sebesar 94%.

6.1.7 Hubungan variabel perancu: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,

status perkawinan dan pekerjaan dengan pengetahuan, self efficacy,

motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa variabel perancu usia, jenis kelamin,

tingkat pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan tidak berhubungan dengan

pengetahuan, self efficacy, motivasi, pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi

pada pasien TB paru. Hanya variabel tingkat pendidikan yang berhubungan

dengan pengetahuan pasien TB paru. Tingkat pendidikan pada kelompok

intervensi sebanyak 76% berpendidikan SMA dan PT sedangkan pada kelompok

kontrol hanya 46% yang berpendidikan SMA dan PT. Dalam hal ini maka tingkat

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 166: D2049-Tintin Sukartini.pdf

146

Universitas Indonesia

pendidikan memperbesar pengaruh yang sesungguhnya dari model terhadap

pengetahuan. Dapat disimpulkan bahwa peningkatan pengetahuan pada kelompok

intervensi dipengaruhi oleh model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King dan bercampurnya pengaruh dari faktor tingkat pendidikan.

Sejalan dengan penelitian Islami, Asiyah dan Wardoyo (2011) yang menjelaskan

bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan. Pendidikan

dapat membawa pengetahuan seseorang secara umum, seseorang yang

berpendidikan tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan

dengan yang berpendidikan rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dimana responden

yang memiliki tingkat pendidikan SMA-PT memiliki pengetahuan yang lebih baik

dibandingkan pasien dengan tingkat pendidikan SD-SMP.

Sesuai dengan penelitian penelitian Erawatiningsih, Purwanta dan Subekti (2012)

didapatkan bahwa faktor pendidikan merupakan faktor dominan yang

mempengaruhi ketidakpatuhan pengobatan pasien TB paru. Tingkat pendidikan

dapat mempengaruhi pola berpikir seseorang, semakin tinggi pendidikan maka

cara berpikir akan semakin luas sehingga lebih mudah dalam memperoleh

pengetahuan. Tingkat pendidikan turut menentukan seseorang memahami

pengetahuan yang diperoleh. Semakin tinggi pendidikan pada umumnya akan

semakin baik pengetahuannya. Informasi atau pembelajaran akan memberikan

pengaruh terhadap pengetahuan seseorang. Walaupun pendidikan rendah,

seseorang akan meningkat pengetahuannya jika diberikan informasi atau

pembelajaran. Dengan demikian, perawat dalam memberikan pembelajaran

kepada pasien perlu menyesuaikan dengan tingkat pendidikan pasien. Pada pasien

yang berpendidikan rendah perlu digunakan bahasa yang sederhana sehingga

maksud yang disampaikan dapat diterima dengan mudah.

Pemberian intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi

King pada dasarnya adalah mengembalikan peran dan fungsi perawat di poli paru

sebagai pemberi pelayanan keperawatan. Selama ini perawat di poli lebih banyak

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 167: D2049-Tintin Sukartini.pdf

147

Universitas Indonesia

melaksanakan fungsi administratif sehingga dengan model ini peran perawat

sebagai pemberi pelayanan keperawatan dapat kembali dioptimalkan untuk

meningkatkan kepatuhan pasien. Peran perawat meliputi peran pelaksana, peran

pendidik, peran koordinator, peran pembaharu, peran fasilitator. Pelaksanaan

intervensi model meningkatkan peran perawat sebagai pelaksana asuhan

keperawatan dengan meningkatkan sistem personal, sistem interpersonal dan

sistem sosial pasien.

Model peningkatan kepatuhan berbasis teori interaksi King dapat dimasukkan

kedalam pembiayaan BPJS pada tingkat pelayanan lanjut di rumah sakit. Sebagai

salah satu upaya untuk memasukkan dalam pembiayaan asuransi kesehatan BPJS,

maka model ini harus terintegrasi dengan pelayanan keperawatan pada pasien TB

paru. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dapat

digunakan sebagai bentuk asuhan keperawatan pada pasien TB paru di poli paru.

Sehingga pasien TB paru yang mendapatkan intervensi model ini dapat dibiayaai

melalui asuransi BPJS sebagai pelayanan tingkat lanjut di rumah sakit.

6.2. Implikasi terhadap pelayanan keperawatan

1. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King

memberi kesempatan kepada pasien untuk berinteraksi terus menerus

dengan perawat berbagi informasi dan perasaan selama menjalankan

pengobatan. Melalui pertemuan yang rutin akan terbina hubungan saling

percaya sehingga pasien secara terbuka mengungkapkan perasaannya.

Kepatuhan pasien sangat ditunjang oleh interaksi perawat-pasien yang

terus menerus. Model ini efektif meningkatkan kepatuhan pasien melalui

peningkatan sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial pasien.

2. Model ini teruji mampu meningkatkan pengetahuan, self efficacy,

motivasi, pencegahan penularan, kapatuhan nutrisi dan kepatuhan

menjalankan pengobatan khususnya setelah 2 bulan intervensi. Walaupun

model ini memiliki dampak optimum pada akhir bulan ke-2 intervensi

namun interaksi perawat-pasien perlu terus ditingkatkan sampai akhir

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 168: D2049-Tintin Sukartini.pdf

148

Universitas Indonesia

pengobatan. Pengetahuan pasien dapat ditingkatkan melalui intervensi

pembelajaran yang tepat dan persepsi yang benar tentang kepatuhan dan

kepatuhan. Self efficacy dapat ditingkatkan melalui intervensi peningkatan

sikap dan keyakinan nilai diri. Motivasi dapat ditingkatkan melalui

intervensi menumbuhkan persepsi yang positif atau benar tentang TB paru,

mengoptimalkan tumbuh kembang dan memfasilitasi perubahan gambaran

diri menjadi positif. Pencegahan penularan dapat ditingkatkan melalui

pembelajaran tentang pencegahan penularan dan mengajarkan tentang

lingkungan rumah yang mendukung penyembuhan. Kepatuhan nutrisi

dapat ditingkatkan dengan memberikan pembelajaran tentang nutrisi yang

dibutuhkan untuk membantu proses kesembuhan. Sedangkan kepatuhan

pengobatan dapat ditingkatkan dengan memberikan intervensi

menumbuhkan persepsi yang positif atau benar benar tantang TB paru

melalui pembelajaran tentang TB paru, mengajarkan disiplin minum obat,

mengajarkan koping yang efektif dan menyeimbangkan stres yang

dialami, membantu pasien menjalankan perannya selama sakit dan

meningkatkan sistem sosial pasien berupa kemampuan pengambilan

keputusan dan menjelaskan tentang birokrasi pelayanan kesehatan di RS.

3. Penerapan model dan modul ini memerlukan dukungan dari pemerntah

sehingga dapat dijadikan salah satu model intervensi keperawatan pada

pasien TB paru di poli paru. Model ini dapat dijadikan acuan perawat dan

penanggung jawab poli paru untuk menerapkan model peningkatan

kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King untuk meningkatkan

kepatuhan pasien dalam pengobatan dan mencegah drop out pengobatan.

6.3. Keterbatasan penelitian

Ada beberapa hal keterbatasan dalam penelitian ini yaitu: pertama adalah

pemilihan sampel penelitian tidak dapat dilakukan randomisasi. Hal ini

tidak dapat dilakukan karena responden yang dilakukan penelitian dan

kelompok kontrol berasal dari rumah sakit yang berbeda. Kedua, adanya

variabel perancu pada penelitian yang tidak dapat dikendaalikan semuanya

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 169: D2049-Tintin Sukartini.pdf

149

Universitas Indonesia

yaitu variabel pendidikan. Ketiga, pada saat implementasi model ada

beberapa pasien yang harus berobat ke beberapa poli sehingga intervensi

dilakukan saat pasien telah menyelesaikan pengobatan di seluruh poli yang

harus dikunjungi sehingga saat intervensi kadang-kadang pasien sudah

merasa bosan dan mengantuk sehingga waktu intervensi lebih

dipersingkat.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 170: D2049-Tintin Sukartini.pdf

150 Universitas Indonesia

BAB 7

SIMPULAN DAN SARAN

Bab ini membahas tentang simpulan dari hasil penelitian yang diuraikan

berdasarkan tahapan penelitian serta saran sebagai bahan rekomendasi terhadap

kebijakan dan peningkatan pelayanan keperawatan.

7.1 Simpulan

1. Terbentuknya model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi

King berdasarkan hasil temuan penelitian kualitatif, studi literatur dan

konsultasi pakar. Model ini dilengkapi dengan 1 buku model dan 1 modul

yang terdiri dari 8 pokok bahasan.

2. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti

efektif meningkatkan pengetahuan pasien tentang TB paru sebagai dasar

terbentuknya perilaku kepatuhan. Pengetahuan dapat dicapai dengan

meningkatkan sistem personal pasien yaitu menumbuhkan persepsi yang

benar tentang TB paru melalui pembelajaran yang tepat tentang TB paru.

3. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti

meningkatkan self efficacy pasien. Peningkatan self efficacy dicapai

dengan cara meningkatkan sistem personal dan sistem interpersonal pasien

melalui intervensi meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh,

mengoptimalkan tumbuh kembang pasien, menumbuhkan gambaran diri

pasien agar positif, mengoptimalkan peran selama sakit, meningkatkan

komunikasi antara pasien dengan keluarga dan petugas kesehatan,

membantu pasien menyeimbangkan stres yang dialami dan meningkatkan

koping pasien.

4. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti

meningkatkan motivasi pasien. Peningkatan motivasi pasien dicapai

dengan cara meningkatkan sistem personal dan sistem interpersonal pasien

melalui intervensi meningkatkan kesadaran diri untuk sembuh,

mengoptimalkan tumbuh kembang pasien, menumbuhkan gambaran diri

pasien agar positif, mengoptimalkan peran selama sakit, meningkatkan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 171: D2049-Tintin Sukartini.pdf

151

Universitas Indonesia

komunikasi antara pasien dengan keluarga dan petugas kesehatan,

membantu pasien menyeimbangkan stres yang dialami dan meningkatkan

koping pasien.

5. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti

meningkatkan pencegahan penularan pasien. Pencegahan penularan

dicapai dengan cara meningkatkan sistem personal pasien dengan

meningkatkan lingkungan yang sehat melalui pembelajaran tentang

lingkungan yang mendukung kesembuhan dan bagaimana melakukan

pencegahan penularan TB paru.

6. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti

meningkatkan kepatuhan nutrisi pasien. Kepatuhan nutrisi pada pasien

dicapai dengan cara meningkatkan sistem personal pasien dengan

menumbuhkan persepsi yang benar tentang TB paru melalui pembelajaran

tentang TB paru dengan salah satunya adalah pembelajaran tentang nutrisi

yang menunjang kesembuhan pada pasien TB paru.

7. Model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King terbukti

berpengaruh terhadap cara dan waktu minum obat namun tidak terdapat

perbedaan bermakna diantara kedua kelompok tentang kepatuhan

pengobatan ditinjau dari angka drop out. Dengan meningkatkan sistem

personal pasien melalui disiplin minum obat dan meningkatkan sistem

sosial pasien dengan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan

untuk melaksanakan pengobatan dan meningkatkan pengetahuan tentang

birokrasi pelayanan di rumah sakit terbukti dapat meningkatkan kepatuhan

pasien. Walau tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik

dalam hal drop out pengobatan, namun pada kelompok intervensi tidak

ada yang drop out pengobatan sedangkan pada kelompok kontrol ada 3

pasien (6%) yang drop out pengobatan. Walau terlihat kecil tapi dari

angka tersebut dapat menimbulkan permasalahan karena pasien yang putus

obat dapat berisiko mengalami resistensi obat dan menyebabkan

penyebaran infeksi terhadap orang lain.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 172: D2049-Tintin Sukartini.pdf

152

Universitas Indonesia

7.2 Saran

Saran yang diberikan berupa saran aplikatif, perkembangan keilmuan dan saran

untuk penelitian selanjutnya sebagai berikut:

7.2.1 Aplikatif

1. Kepada pihak RS agar memperbaiki manajemen pelayanan keperawatan di

poli paru dengan menerapkan model peningkatan kepatuhan berbasis teori

sistem interaksi King sebagai standar asuhan. Model ini dapat digunakan

sebagai acuan meningkatkan kepatuhan pasien TB paru dalam pengobatan

dengan mengintegrasikan ke dalam asuhan keperawatan sesuai peran dan

fungsi perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan.

2. Menerapkan standar di RS agar perawat di poli paru memiliki sertifikasi

perawat TB paru dan menjadikan buku panduan intervensi model

peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King sebagai salah

satu materi yang diberikan di pelatihan untuk memperoleh sertifikasi

tersebut. .

3. Mengintegrasikan intervensi model peningkatan kepatuhan berbasis teori

sistem interaksi King sehingga kegiatan pelayanan keperawatan di poli

paru dapat dilakukan sesuai jadwal kunjungan pasien ke poli paru,

menghemat biaya, tenaga dan dapat mencapai hasil yang optimal.

Intervensi model dapat diintegrasikan dalam clinical pathway pelayanan di

poli paru yaitu berupa tindakan mandiri keperawatan sehingga tindakan

keperawatan yang dilakukan dapat di klaim melalui asuransi BPJS.

4. Melakukan kajian dan modifikasi pelaksanaan model tanpa mengurangi

substansi materi dan proses interaksi disesuaikan dengan sumber daya

yang ada di poli paru, misal mengurangi lama waktu setiap pertemuan atau

interaksi dilakukan 1 perawat dengan 2 atau 3 pasien dalam setiap

interaksi.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 173: D2049-Tintin Sukartini.pdf

153

Universitas Indonesia

7.2.2 Perkembangan Keilmuan

1. Hasil penelitian ini dapat didesiminasikan pada tingkat nasional maupun

internasional sehingga dapat dijadikan rujukan dan model dapat

direplikasi.

2. Pengembangan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem

interaksi King berkontribusi terhadap perkembangan keilmuan dibidang

keperawatan medikal bedah khususnya terkait intervensi keperawatan

untuk meningkatkan kepatuhan pasien yang berobat di poli paru agar tidak

terjadi putus obat.

3. Kepada institusi pendidikan agar mengintegrasikan model peningkatan

kepatuhan berbasis teori sistem interaksi King dalam kurikulum

pendidikan keperawatan khususnya dalam materi pembelajaran yaitu

keperawatan medikal bedah atau keperawatan sistem respirasi dalam

asuhan keperawatan pada pasien TB paru.

7.2.3 Penelitian selanjutnya

1. Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan responden pasien TB paru

dengan komplikasi seperti Diabetes Mellitus, penyakit kardiovaskuler,

penyakit ginjal atau penyakit lainnya.

2. Penelitian ini perlu dilakukan pada rumah sakit dengan jumlah pasien dan

jumlah perawat pelaksana yang berbeda dengan di RS Haji Surabaya

waktu minimal 2 bulan.

3. Penelitian lanjutan pada pasien TB paru kategori II atau pasien MDR-TB

4. Penelitian lanjutan pengembangan model interaksi keluarga dan pasien

perlu dilakukan karena mengingat pentingnya keluarga dalam

pendampingan pasien dan pengawas menelan obat selama pasien

menjalani pengobatan.

5. Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan metode riset kualitatif

fenomenology terkait sistem interaksi keluarga dan pasien yang

meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengobatan.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 174: D2049-Tintin Sukartini.pdf

154

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U. F. (2008). Manajemen penyakit berbasis wilayah: Universitas

Indonesia Press

Aini, N., Fatmaningrum, W, Yusuf, Ah. (2011). Upaya meningkatkan perilaku

pasien dalam tatalaksana diabetes mellitus dengan pendek atan teori

model behavioral system Dorothy e. Johnson . Jurnal Ners, 6(1)

Aisyah (2003). Hubungan persepsi, pengetahuan TB paru dan PMO dengan

kepatuhan berobat pasien TB paru di puskesmas kecamatan Jatinegara

Jakarta Timur tahun 2001. Tesis, FKM-UI

Alsagaff, H. & Mukty, A (2005). Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya:

Airlangga University Press.

Alligood, M.R & Tomey, A.M (2006). Nursing theory: utilization &

application. Missouri: Mosby Inc

Amin, Z., & Bahar, A. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: FKUI.

Ariawan, I. (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan Jakarta:

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Asih, Suyanto & Munir (2014). Gambaran perilaku pasien TB paru terhadap

upaya pencegahan penyebaran penyakit TB paru pada pasien yang

berobat di poli paru. Jurnal online mahasiswa, Universitas Negeri Riau,

April 2014.

Bagiada & Primasari (2010) Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

ketidakpatuhan penderita tuberkulosis dalam berobat di poliklinik DOTS.

Jurnal Penyakit Dalam vol 11 (3).

Bandura, A., (1994). Self Efficacy In V.S Ramachaudran (Ed 1).Encyclopedia of

human behavior (Vol.4 pp 71-81) New York: Academic Press (Reprined

in H.Friedman (Ed) Encyclopedia of mental health. San Diego:

Academic Press

Bandura, A., (1997). Self Efficacy: The Exercise of Control. New York:

W.H.Freeman

Bam, T.S., Gunneberg, C., Chamroonsawasdi, K., Bam, D.S., Aalberg, O.,

Kasland, O., ...& Srisorrachatr. S. (2006). Factor affecting patient

adherence to DOTS in urban Kathmandu, Nepal. The International

Jurnal Tuberculosis. Vol. 10 (3) 270-76

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 175: D2049-Tintin Sukartini.pdf

155

Universitas Indonesia

Benzein, E., Johansson, P., Arestedt, K.F., & Saveman, B.I. (2008). Nurses'

attitudes about the importance of families in nursing care; a survey of

swedish nurses. Journal of Family Nursing, 14(2), 162-80.

Budiyono, FX.(2003). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

tuberculosis paru BTA positif di kota Jakarta Timur tahun 2003. Tesis

Universitas Indonesia.

(http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=77746&loka

si=lokal) akses 30 Januari 2011

Carpenter, B. D. (2002). Family, peer, and staff social support in nursing home

patients: contributions to psychological well-being. Journal of Applied

Gerontology, Vol. 21(3), 275-93.

Castelnuovo B. (2010). A review of compliance to anti tuberculosis treatment

and risk factors for defaulting treatment in Sub Saharan Africa. African

Health Sciences. Vol 10 (4) 320-4 Corones, K., Coyer, F. M., & Theobald, K. A. (2009). Exploring the information

needs of patient who have undergone PCI. British Journal of Cardiac

Nursing, vol. 49(3), 123.

Craig G.M., B. H., Story A., Hayward A., Hall J., Goodburn A. & Zumla A.

(2007). The impact of social factor on tuberculosis management Journal

of advanced nursing, Vol 58(5), 418-24.

Darmadi (2000). Analisis kualitatif perilaku kepatuhan menelan obat pasien

tuberkulosis Paru di 4 Puskesmas Wilayah Kabupaten Ketapang tahun

2000(http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=70978

&lokasi=lokal ) akses 30 januari 2011

Daryatmo, T (2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan pasien

tuberculosis paru strategi DOTS di puskesmas dan BP4 di Surakarta dan

wilayah sekitarnya. Tesis Universitas Diponegoro.

http://eprints.undip.ac.id/1436http://eprints.undip.ac.id/14364/1/2003MI

KM1965.pdf 4/1/2003MIKM1965.pdf 30 januari 2011

Daud, I., (2001). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita

TB paru pasien rawat jalan di poliklinik paru RSUD DR. Ahmad

Muchtar Bukit Tinggi tahun 2000. Tesis, FKM-UI

Depkes (2002).Survei kesehatan nasional 2001: laporan studi mortalitas tahun

2001: pola penyakit penyebab kematian di Indonesia, Tim Suskernas,

Jakarta: Depkes

Depkes (2005). Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Jakarta: Depkes.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 176: D2049-Tintin Sukartini.pdf

156

Universitas Indonesia

Depkes (2007). Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Jakarta:

Depkes

Depkes RI & WHO (2008). Lembar Fakta Tuberkulosis. Hari TB sedunia. 24

Maret 2008

Dinkes Jatim (2013). Profil kesehatan jatim 2012.

Duhamel, F., & Talbot, L.R. (2004). A constructivist evaluation of family

systems nursing interventions with families experiencing cardiovascular

and cerebrovascular illness. Jornal of Family Nursing, Vol. 10(1), 12-32.

Endo, E., Nitta, N., Inayoshi, M., Saito, R., dkk (2000). Pattern recognicion as a

caring partnership in families with cancer. Journal of Advanced Nursing,

Vol. 32(3), 603-10.

Erawatyningsih, Purwanta & Subekti, E. (2012) Faktor-faktor yang

mempengaruhiketidakpatuhan berobat pada penderita tuberkulosis paru.

Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat (BKM), 25(3), 117

Fatimah, S., (2008). Faktor kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan

dengan kejadian TB paru di kabupaten Cilacap tahun 2008.

Disertasi.Universitas Diponegoro.

Gagne (1998). Mastering learning and instructional design. Performance

improvement quartely, Vol. 1(1)

Garcia, M.C., Cirina, I.D., Elias, T.M., Lira, A.L., & Enders, B.C., (2014)

Nurse-patient interaction in adhesion to tuberculosis treatment reflection

in light of Imogene King. Journal of Nursing UFPE online, Vol. 8 (7)

Gasalberti, D. (2002). Early detection of breast cancer by self-examination: the

influence of perceived barriers and health conception. ONF, Vol. 29(9),

1341-7.

Grubbs, L., & Carter, J. (2002). The relationship of perceived benefits and

barrier to reported exercise behavior in college undergraduates. Family

Community Health 25(2), 76-84.

Henderson, S. (2003). Power imbalance between nurses and patients: a potential

inhibitor of partnership in care. Journal of Clinical Nursing, 12, 501-

508.

Hendiani, N., Sakti, H. & Widayanti, C. G. (2012). The relationship between

perceived family support as drug consumption controller/ pengawas

minum obat (PMO)’s and self efficacy of tuberculosis patients in BPKM

Semarang region. Jurnal Psikologi, Vol. 1 (1) 94-105

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 177: D2049-Tintin Sukartini.pdf

157

Universitas Indonesia

Hidayat, Hamid & Mustikasari (2014) Hubungan koping individu dengan tingkat

kepatuhan penyandang diabetes mellitus. In prosiding seminar

nasional. Vol. 2 (1)

Hidayati, L. (2012). Pengaruh hypertension self-management program terhadap

perubahan self efficacy, self care behaviour dan tekanan darah penderita

hipertensi di puskesmas Mojo. Tesis, Universitas Airlangga.

Hook, M. L. (2006). Patnering with patients - a concept ready for action. Journal

of advanced nursing, 56 (2), 133-43.

Hutapea (2009). Pengaruh dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum OAT .

Jurnal Respirologi Indonesia. 29 (2).

Ibrahim, K., Wardiah, M., Priambodo, A.P., (2014). Pengetahuan, sikap, dan

praktik kewaspadaan universal perawat terhadap penularan HIV/AIDS.

Jurnal Ners, Vol 9 (1) 11-8

Islami, Asiyah, N., & Wardoyo, N.B. (2011) Hubungan tingkat pendidikan

dengan tingkat pengetahuan ibu tentang pertolongan pertama kecelakaan

anak di rumah desa Sumber Girang RW 1 Lasem Rembang. E-Journal

Stikesmuhkudus. Vol 2(1)

Jonsdottir, H., Litchfield, M., & Pharris, M.D. (2004). The relational core of

nursing practice as partnership. Journal of Advanced Nursing, 47(3) 241-

50.

Jonsdottir, H. (2007). Research-as-if-practice: a study of family nursing

partnership with couples experiencing severe breathing difficulties.

Journal of Family Nursing, Vol.13(4), 443-60.

Johson, R. L., & Nies, M.A. (2005). A qualitative perspective of barriers to

health-promoting behavior of african american ABNF Journal

March/April 39-41.

Kamil, S., Ibnu, I. F., & Rachman, W. A. (2013). Media cetak informasi dan

edukasi (KIE) dalam pengobatan pasien tuberkulosis type multidrug

resistant (MDR) di kota Makasar. Repasitory. Unhas.ac.id

Kaona, F.A., Siziya, S., & Sikaona, L. (2004). An assesment of factors

contributing to treatment adherence and knowledge of TB transmission

among patients on TB treatment. BMC Publich health 4 (1), 68

Kemkes (2010). Laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2010

Kemkes (2011). TB control in Indonesia is approching MDGs target, from

www.Depkes.go.id, diunduh 20 April 2011 jam 19.00

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 178: D2049-Tintin Sukartini.pdf

158

Universitas Indonesia

Kemkes (2011). Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis.

Killen, M. B., & King, I.M. (2007). Viewpoint: use of king's conceptual system,

nursing informatics and nursing classifiation system for global

communication International Journal of Nursing Terminologies &

Classification. Vol. 18 (2).

Kholifah, S.N., (2014). Self management intervention sebagai upaya peningkatan

kepatuhan pada penderita DM. Jurnal Ners, Vol 9 (1) 143-50

Khowaja, K. (2006). Utilization of King's interacting systems framework and

theory of goal attainment with multidisciplinary model:clinical pathway.

Australian Journal of Advanced Nursing, Vol. 24(2), 44-50

Lamak, M.K., Kusnanto, Dewi, Y.S., (2014). Pengetahuan, self efficacy dan

stres pasien kusta melalui penerapan support group dengan pendekatan

teori adaptasi. Jurnal Ners, Vol 9 (1) 49-58

Lemeshow S., H., D.W., Klar, J., & Lwanga, S.K. (2002). Besar sampel dalam

penelitian kesehatan (D. Pramono, & Kusnanto., H., Trans.).

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Loriana, R., Thaha, R. M., & Ramdan, I. M. Efek konseling terhadap

pengetahuan, sikap dan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis di

wilaah kerja dinas kesehatan kota Samarinda. Pasca unhas.ac.id

Marra C., Marra. F., Cox V., Palepu A., & Fitzgerald M. (2004). Factor

influencing quality of life in patients with active tuberculosis. Health and

quality of life outcomes 2(58), 1-10.

Misnadiarly dan Sunarno (2009). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi

tingginya angka kejadian tuberkulosis di Indonesia tahun 2007. Buletin

penelitian kesehatan.

Mohammadi, E., Abedi, H.A., Gofranipour, E., & Jalali, F (2002). Partnership

caring: a theory of high blood pressure control in Iranian hypertensives.

International Journal of Nursing Practice, 8, 324-329.

Mohammadi, E., Abedi, H.A., Gofranipour, E., Jalali, F & Kazemnejad, A.

(2006). Evaluation of 'partnership care model' in the control of

hypertension. International Journal of Nursing Practice, 12, 153-159.

Motsomane, S., & Peu, MD (2008). Nurses'views about tuberculosis

patients'discharge plan at Moses Kotana in the North-West Province.

curationis 31(1), 59-67.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 179: D2049-Tintin Sukartini.pdf

159

Universitas Indonesia

Morisky D.E., Mallote. C. K., Ebin V., Davidson P., Cabrena D., Trout P.T &

Coly A. (2001). Behavioral interventions for the control of tuberculosis

among adolescents Public health reports, 116, 568-574.

Muhtar (2013). Pengaruh pemberdayaan keluarga dalam meningkatkan self

efficacy dan self care activity keluarga dan penderita tuberkulosis paru di

kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Tesis, FKp-UNAIR

Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2007). Promosi kesehatan dan ilmu perilaku: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Nugroho (2011). Faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan TB paru.

Jurnal kesehatan masyarakat, Vol.7(1),83-90.

Nurhanah, N., Amirrudin , R., & Abdullah, T., (2010). Faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada masyarakat di

provinsi Sulawesi Selatan 2007. Media kesehatan masyarakat Indonesia,

Vol. 6 (4)

Nursalam (2014). Manajemen keperawatan, konsep dan penerapan dalam

praktik keperawatan. Edisi 4. Jakarta, Salemba Medika.

Osterberg, L. & Blascchke, T (2005). Adherence to medication. NEJM;

353:487-97.

Penuntun Diet (2010). Instalasi Gizi Perjan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo dan

Asosiasi Dietisien Indonesia

Pasek, M. S., Suryani, N. & Murdani, P. (2013). Hubungan persepsi dan tingkat

pengetahuan penderita tuberkulosis dengan kepatuhan pengobatan di

wilayah kerja puskesmas Buleleng. Jurnal Magister Kedokteran

Keluarga. Vol. 1 (1) 14-23

Pembronia (2012). Pengaruh pendekatan motivational interviewing terhadap

motivasi dan kemandirian penderita dalam pengobatan TB paru di

Puskesmas Kopeta Maumere. Tesis. FKp-UNAIR

Peterson, S. J., & Brewdow, T.S, (2004). Middle range theories: application to

nursing research: Lippincott Williams & Wilkins.

Pramonodjati (2010). Pengaruh pembelajaran tuberkulosis terhadap kepatuhan

berobat dan tingkat kesembuhan penderita tuberculosis. Tesis.

Universitas Sebelas Maret.

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 180: D2049-Tintin Sukartini.pdf

160

Universitas Indonesia

Prasad, S. A., Randall, S.D., & Baljour-Lyn, I.A. (2000). Fifteen-count

breathlessness score: an objective measure for children. Pediatric

Pulmonology, Vol. 30, 56-62.

Prayogi, B., (2014). Pengaruh psycoeducative family therapy terhadap dukungan

keluarga dalam upaya meningkatkan kepatuhan minum Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) dan kualitas hidup pasien TB paru. Tesis, FKp-

UNAIR

Rachmawati T.& Turniani. (2006). Pengaruh dukungan sosial dan pengetahuan

tentang penyakit TB terhadap motivasi untuk sembuh pasien TB paru

yang berobat di puskesmas. Buletin penelitian sistem kesehatan, Vol.

9(3), 134-41.

Rankin, S.H., & Stallings, K.D., (2001). Patient education, principle & practice,

4th edition. Lippincott Williams & Walkins

Reck, D. L. H. (2010). Patients’ expectations and satisfaction with nursing care,

and their nurses’ awareness of their expectations Retrieved 1 March

2012, from www.proquest.com/products_umi/dissertations/

Ronis, D. L., Hong, O., & Lusk,S.L. (2006). Comparison of the original and

revised structures of the health promotion model in predicting

construction worker's of hearing protection. Research in Nursing &

Health . Vol. 29, 3-17.

Sastroasmoro (2008). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung

seto.

Sekarsari, R. (2013). Effektifitas model “ProMise” integrasi edukasi dan

konseling terhadap perawatan mandiri, pengetahuan, tahap perubahan,

readmission dan atau kematian pasien gagal jantung. Disertasi,

Universitas Indonesia.

Senewe, F.P. (2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat

penderita tuberkulosis paru di puskesmas Depok. Bulletin penelitian

kesehatan, Vol. 30 (1).

Sivaramalingan, S. (2008). Surgical patients' perceptions of nurse'sroles and

responsibilities Retrieved 1 Mach 2012, from

www.proquest.com/products_umi/dissertations/

Smeltzer S.C., & Bare B.G. (2002). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical-

Surgical Nursing. Lippincot Williams & Wilkins; 9th edition

Sonia, Arifin & Murni (2014). Hubungan mekanisme koping dengan kepatuhan

kemoterapi pada penderita keganasan yang mengalami ansietas dan

depresi. Majalah Kedokteran Andalas. Vol.37 (1)

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 181: D2049-Tintin Sukartini.pdf

161

Universitas Indonesia

Streuebert,H.J.,& Carpenter, D.R. (2003) Qualitative research in nursing:

advancing humanistic imperative. (3rd

ed). Philadelphia: Lippincott

Sutarno, S., & Utama, G. A. & Utama (2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi

motivasi berobat penderita tuberkulosis paru di pekalongan 2012. Tahun

2012. Jurnal Ilmiah Widya, Vol. 1 (1)

Syahrizal (2004). Analisis kepatuhan penderita TBC paru BTA positif dalam

menelan obat di rumah sakit khusus paru-paru provinsi Sulawesi Selatan

tahun 2002. Tesis, FKM-UI

Tobing, T. L. (2009). Pengaruh perilaku pasien TB paru dan kondisi rumah

terhadap pencegahan potensi penularan TB paru pada keluarga di

kabupaten Tapanuli utara tahun 2008. Tesis http: repository.usu.ac.id

diunduh 2 April 2011

Tomey, Marriner A., & Alligood, Martha R. (2006). Nursing theorists and their

work. St.Louis, Missouri: Mosby Inc

Osterberg L., dan Blaschke, T. (2005). Drug therapy: adherence to medication.

The New England Journal of Medicine. 487-497

Usman, S. (2008). Konversi BTA pada pasien TB paru kategori I dengan berat

badan rendah dibandingkan berat badan normal yang mendapatkan terapi

intensif. Tesis http: repository.usu.ac.id diunduh 2 April 2011

Wacharasin, C. (2010). Families Suffering with hiv/aids; what family nursing

interventions are useful to promote healing. Journal of Family Nursing,

Vol.16(3), 302-21.

Wahyono, Tri Y.W. (2003). Faktor risiko yang berhubungan dengan

keterlambatan diagnosa tuberkulosis paru. Tesis, FKM-UI

WHO (2012). Global tuberculosis report 2012. ISBN 978 92 4 156450 2

Widari, N.P., (2010). Perbandingan pengaruh metode penyuluhan dan konseling

terhadap perubahan perilaku pencegahan penularan pada penderita TBC

di Surabaya. Tesis. UNS

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 182: D2049-Tintin Sukartini.pdf

Lampiran 1

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 183: D2049-Tintin Sukartini.pdf

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 184: D2049-Tintin Sukartini.pdf

Lampiran 2

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 185: D2049-Tintin Sukartini.pdf

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 186: D2049-Tintin Sukartini.pdf

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 187: D2049-Tintin Sukartini.pdf

Lampiran 2

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 188: D2049-Tintin Sukartini.pdf

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 189: D2049-Tintin Sukartini.pdf

Lampiran 3

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 190: D2049-Tintin Sukartini.pdf

INFORMED CONSENT / PENJELASAN PENELITIAN TAHAP 1

Pengembangan Model Keperawatan Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori

Sistem Interaksi King dan Pengaruhnya terhadap Kepatuhan Pasien Tuberkulosis

(TB) Paru

Anda diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui lebih jauh tentang faktor-faktor yang menyebabkan kepatuhan dalam

pengobatan TB Paru. Peneliti (Saya) akan memberikan lembar persetujuan ini, dan

menjelaskan bahwa keterlibatan anda di dalam penelitian ini atas dasar sukarela.

Nama saya/peneliti adalah Tintin Sukartini. Saya pengajar di Fakultas Keperawatan

Universitas Airlangga dan sekarang sedang melanjutkan studi S3 di Fakultas

Keperawatan Universitas Indonesia, yang beralamat di Fakultas Keperawatan

Universitas Indonesia kampus Depok, 16424. Saya dapat dihubungi di nomor telpon

081357011444. Penelitian ini merupakan bagian dari persyaratan untuk Program

Pendidikan Doktoral saya di Universitas Indonesia. Pembimbing saya adalah

DR.Ratna Sitorus SKp, M.App.SC, dan Agung Waluyo, SKp, MSc, PhD dari

Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia dan DR. Ede Surya Darmawan, SKM,

MDM dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Penelitian ini melibatkan pasien TB Paru yang berusia 18 tahun atau lebih, telah

berobat di RS Haji minimal 5 bulan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan

pemahaman yang mendalam tentang pengalaman pasien yang berobat dan faktor-

faktor apa saja yang menyebabkan patuh dalam pengobatan. Keputusan anda untuk

ikut atau pun tidak dalam penelitian ini, tidak berpengaruh pada hak anda untuk

berobat di rumah sakit. Dan apabila anda memutuskan berpartisipasi, anda bebas

untuk mengundurkan diri dari penelitian kapan pun. Sekitar 8 Pasien akan

terlibat dalam penelitian ini. Penelitian ini akan dilakukan di RSU Haji Surabaya.

Wawancara akan dilakukan satu kali pertemuan selama 30-45 menit sesuai dengan

kesepakatan, jika ada kekurangan informasi maka akan dilakukan wawancara kedua

dengan waktu yang disepakati dan ditetapkan kemudian.

Saya akan menjaga kerahasiaan anda dan keterlibatan anda dalam penelitian ini.

Nama anda tidak akan dicatat dimanapun. Semua kuesioner yang telah terisi dan hasil

wawancara yang direkam hanya akan diberikan nomor kode yang tidak bisa

digunakan untuk mengidentifikasi identitas anda. Apabila hasil penelitian ini

dipublikasikan, tidak ada satu identifikasi yang berkaitan dengan anda akan di

tampilkan dalam publikasi tersebut. Siapa pun yang bertanya tentang keterlibatan

anda dan apa yang anda jawab di penelitian ini, anda berhak untuk tidak

menjawabnya. Namun, jika diperlukan catatan penelitian ini dapat dijadikan barang

bukti apabila pengadilan memintanya. Keterlibatan anda dalam penelitian ini, sejauh

yang saya ketahui, tidak menyebabkan risiko yang lebih besar dari pada risiko yang

biasa anda hadapi sehari-hari.

Walaupun keterlibatan dalam penelitian ini tidak memberikan keuntungan langsung

pada anda, namun hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengetahui lebih

Lampiran 4

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 191: D2049-Tintin Sukartini.pdf

jauh tentang faktor-faktor yang menyebabkan kepatuhan dalam menjalankan

pengobatan.

Apabila setelah terlibat penelitian ini anda masih memiliki pertanyaan, anda dapat

menghubungi saya atau sms di nomer telpon 081357011444.

Setelah membaca informasi di atas dan memahami tentang tujuan penelitian dan

peran yang diharapkan dari saya di dalam penelitian ini, saya setuju untuk

berpartisipasi dalam penelitian ini.

Tanggal

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 192: D2049-Tintin Sukartini.pdf

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI PARTISIPAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama ( inisial ) :

Umur :

Alamat :

Setelah membaca dan mendengarkan penjelasan penelitian ini (terlampir) dan

setelah mendapatkan jawaban dari pertanyaan saya terkait penelitian ini, maka

saya memahami tujuan penelitian ini yang nantinya akan bermanfaat bagi pasien-

pasien lain yang mengalami sakit seperti saya. Saya mengerti bahwa penelitian

ini menjunjung tinggi hak-hak saya sebagai partisipan.

Saya sangat memahami bahwa keikutsertaan saya menjadi partisipan pada

penelitian ini sangat besar manfaatnya bagi pemahaman tentang kepatuhan minum

obat, kepatuhan pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi. Dengan

menandatangani surat persetujuan ini, berarti saya telah menyatakan untuk

berpartisipasi dalam penelitian ini tanpa paksaan dan bersifat sukarela.

Nama dan Tangan Informan Tanggal :

Nama dan Tanda Tangan Peneliti Tanggal :

Lampiran 5

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 193: D2049-Tintin Sukartini.pdf

DATA DEMOGRAFI

Inisial Partisipan :

Umur :

Alamat :

Agama :

Jenis Kelamin :

Suku :

Status Pendidikan :

Pekerjaan :

Nomor Telepon :

Sudah berapa lama menjalani pengobatan ?

Apakah sebelumnya pernah mengalami sakit yang sama?

Kapan terjadi?

Berapa lama pengobatan?

Apakah Bapak/Ibu/Saudara teratur berobat di poliklinik?

Siapa yang mengantar Bapak/Ibu/Saudara berobat dan yang mengingatkan minum

obat di rumah?

Lampiran 6

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 194: D2049-Tintin Sukartini.pdf

Petunjuk Pelaksanaan Wawancara mendalam

Faktor-faktor yang menyebabkan pasien patuh dalam pengobatan

Petunjuk untuk Wawancara mendalam: Pertama-tama di tiap sesi wawancara

saya menyiapkan ruangan, petunjuk dan kisi-kisi wawancara, buku catatan,

informend consent, tape recorder dan kaset. Setelah itu dilakukan sesi

wawancara dengan menjelaskan tujuan dari wawancara dan tanda tangan

informed consent. Kemudian dijelaskan juga agar selama sesi wawancara

partisipan terbuka, jujur dan menyampaikan pengalaman dalam menjalankan

pengobatan.

Sebagai pewawancara saya mendorong partisipan untuk mengungkapkan

pengalamannya secara mendalam dengan memberikan pertanyaan terbuka.

Peneliti mendengarkan dengan empati semua yang yang dijelaskan partisipan

dan berusaha mendapatkan informasi yang jelas dan detail.

Pertanyaan Yang Berkaitan Dengan Kepatuhan Pasien

1. Apa yang membuat Bapak/Ibu/Saudara patuh dalam menjalankan pengobatan TB

paru?

Pertanyaan ini dapat dikembangkan dengan beberapa pertanyaan probing sebagai berikut:

1) Apa yang Bapak/Ibu/Saudara ketahui tentang TB paru?

2) Apa yang membuat Bapak/Ibu/Saudara yakin bahwa penyakit TB paru dapat

disembuhkan?

3) Selama Bapak/Ibu/Saudara sakit apakah merasakan perubahan peran sebagai

suami/istri/orang tua/anak?

4) Selama Bapak/Ibu/Saudara sakit apakah merasakan perubahan pada penambilan

diri?

5) Apakah yang dikatakan oleh perawat kepada Bapak/Ibu/Saudara sehingga patuh

minum obat?

6) Berapa lama waktu yang diperlukan oleh Bapak/Ibu/Saudara untuk berobat agar

sembuh dari TB paru?

7) Bagaimana keadaan lingkungan rumah yang menurut Bapak/Ibu/Saudara dapat

menunjang proses penyembuhan?

8) Apa yang Bapak/Ibu/Saudara lakukan ketika mengalami permasalahan yang

berkaitan dengan sakit yang dialami?

9) Bagaimana komunikasi yang dilakukan perawat terhadap Bapak/Ibu/Saudara

sehingga membuat patuh dalam berobat?

10) Apa saja interaksi yang dilakukan perawat dengan Bapak/Ibu/Saudara sehingga

membuat patuh dalam berobat?

11) Peran seperti apa yang dilakukan oleh Bapak/Ibu/Saudara sehingga patuh dalam

berobat?

12) Selama proses pengobatan apakah Bapak/Ibu/Saudara mengalami permasalahan?

13) Seperti apa masalah yang Bapak/Ibu/Saudara rasakan?

14) Perubahan apa yang Bapak/Ibu/Saudara rasakan setelah menjalani pengobatan

dalam 5-6 bulan terakhir?

15) Dukungan apa yang dilakukan oleh suami/istri/orangtua/anak selama berobat?

Apa yang mereka katakan sehingga Bapak/Ibu/Saudara patuh berobat?

16) Apa saja yang sudah disampaikan pihak RS sehingga Bapak/Ibu/Saudara patuh

dalam berobat?

Lampiran 7

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 195: D2049-Tintin Sukartini.pdf

17) Apakah Bapak/Ibu/Saudara diberdayakan/dilibatkan oleh pihak RS dalam

pengobatan?

18) Dukungan seperti apa yang diberikan oleh masyarkat/lingkungan yang

mendukung Bapak/Ibu/Saudara sehingga patuh dalam berobat?

19) Dalam hal apa Bapak/Ibu/Saudara dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang

berkaitan dengan pengobatan yang dilakukan?

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 196: D2049-Tintin Sukartini.pdf

LEMBAR CATATAN LAPANGAN (FIELD NOTE)

Tanggal :

Waktu (jam) :

Tempat :

Pewawancara :

Informan :

Dihadiri oleh :

Posisi duduk :

Situasi Wawancara :

Karakteristik partisipan (penampilan, pakaian, dll):

RESPON YANG DIAMATI ARTI DARI RESPON

Rencana isi field Note:

Komunikasi non verbal yang sesuai

dengan komunikasi verbal informan

Komunikasi non verbal yang tidak

sesuai dengan komunikasi verbal

informan

Situasi lingkungan saat wawancara

Lampiran 8

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 197: D2049-Tintin Sukartini.pdf

INFORMED CONSENT / PENJELASAN PENELITIAN TAHAP II

Pengembangan Model Keperawatan Peningkatan Kepatuhan Berbasis Teori

Sistem Interaksi King dan Pengaruhnya terhadap Kepatuhan Pasien Tuberkulosis

(TB) Paru

Anda diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui lebih jauh tentang faktor-faktor yang menyebabkan kepatuhan dalam

pengobatan TB Paru. Peneliti (Saya) akan memberikan lembar persetujuan ini, dan

menjelaskan bahwa keterlibatan anda di dalam penelitian ini atas dasar sukarela.

Nama saya/peneliti adalah Tintin Sukartini. Saya pengajar di Fakultas Keperawatan

Universitas Airlangga dan sekarang sedang melanjutkan studi S3 di Fakultas

Keperawatan Universitas Indonesia, yang beralamat di Fakultas Keperawatan

Universitas Indonesia kampus Depok, 16424. Saya dapat dihubungi di nomor telpon

081357011444. Penelitian ini merupakan bagian dari persyaratan untuk Program

Pendidikan Doktoral saya di Universitas Indonesia. Pembimbing saya adalah

DR.Ratna Sitorus SKp, M.App.SC, dari Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia.

Penelitian ini melibatkan pasien yang berusia 18 tahun atau lebih dan telah

dinyatakan positif menderita TB Paru. Keputusan anda untuk ikut atau pun tidak

dalam penelitian ini, tidak berpengaruh pada hak anda untuk berobat di rumah sakit

(RS). Dan apabila anda memutuskan berpartisipasi, anda bebas untuk

mengundurkan diri dari penelitian kapan pun. Sekitar 120 Pasien akan terlibat

dalam penelitian ini. Penelitian ini akan dilakukan di RSU Haji Surabaya dan RSUD

Ibnu Sina Gresik.

Kuesioner yang akan saya berikan terdiri dari 8 bagian. Bagian pertama berisi

pertanyaan tentang demografi seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, staus

perkawinan. Bagian kedua berisi pertanyaan tentang pengetahuan TB Paru. Bagian

ketiga berisi pertanyaan tentang keyakinan diri. Bagian ke empat berisi pertanyaan

tentang motivasi, bagian kelima berisi tentang kepatuhan pencegahan penularan,

bagian ke enam berisi tentang kepatuhan nutrisi dan bagian terakhir bagian ke lima

berisi tentang kepatuhan minum obat. Diharapkan anda dapat menyelesaikan

pengisian kuesioner ini antara 30-45 menit.

Saya akan menjaga kerahasiaan anda dan keterlibatan anda dalam penelitian ini.

Nama anda tidak akan dicatat dimanapun. Semua kuesioner yang telah terisi hanya

akan diberikan nomor kode yang tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi

identitas anda. Apabila hasil penelitian ini dipublikasikan, tidak ada satu identifikasi

yang berkaitan dengan anda akan di tampilkan dalam publikasi tersebut. Siapa pun

yang bertanya tentang keterlibatan anda dan apa yang anda jawab di penelitian ini,

anda berhak untuk tidak menjawabnya. Namun, jika diperlukan catatan penelitian ini

dapat dijadikan barang bukti apabila pengadilan memintanya. Keterlibatan anda

dalam penelitian ini, sejauh yang saya ketahui, tidak menyebabkan risiko yang lebih

besar dari pada risiko yang biasa anda hadapi sehari-hari.

Walaupun keterlibatan dalam penelitian ini tidak memberikan keuntungan langsung

pada anda, namun hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengetahui lebih

Lampiran 9

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 198: D2049-Tintin Sukartini.pdf

jauh tentang pengetahuan, keyakinan diri, motivasi, kepatuhan minum obat,

kepatuhan pencegahan penularan, kepatuhan nutrisi dan kualitas hidup pada pasien

TB Paru.

Apabila setelah terlibat penelitian ini anda masih memiliki pertanyaan, anda dapat

menghubungi saya atau sms di nomer telpon 081357011444.

Setelah membaca informasi di atas dan memahami tentang tujuan penelitian dan

peran yang diharapkan dari saya di dalam penelitian ini, saya setuju untuk

berpartisipasi dalam penelitian ini.

Tanggal

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 199: D2049-Tintin Sukartini.pdf

SURAT PERSETUJUAN

Setelah mendapatkan penjelasan maksud penelitian dan tindakan yang akan

dilakukan selama penelitian (pengukuran Tinggi badan, Berat Badan, pertanyaan

pengetahuan, pernyataan mengenai self-efficacy, motivasi, kepatuhan

pencegahan penularan dan kepatuhan nutrisi dan kepatuhan minum obat) dan

lamanya penelitian maka dengan ini saya menyatakan PERSETUJUAN untuk

dilakukan pemeriksaan pemeriksaan dan menjawab pertanyaan seperti tersebut di

atas guna mengetahui status penyakit Tuberkulosis paru saya dengan segala

akibatnya.

Demikian surat persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran.

Surabaya, 2012

Yang memberi Persetujuan

(___________________________)

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 200: D2049-Tintin Sukartini.pdf

LEMBAR KUESIONER

Isilah tanda silang ( X ) pada kotak yang telah disediakan sesuai dengan pertanyaan

berikut :

No Responden :

A . Data Demografi

1. Jenis kelamin :

1) Laki – laki

2) Perempuan

2. Pendidikan :

1) Tidak sekolah

2) SD

3) SMP

4) SMA

5) Pendidikan Tinggi

3. Umur :

1) 18 - 25

2) 26 - 35

3) 36 –45

4) 46-55

5) 56-65

4. Status perkawinan :

1) Menikah

2) Belum menikah

3) Janda/duda

5. Pekerjaan sebelum sakit:

1) Tidak bekerja

2) PNS/POLRI/TNI

3) Swasta

Lampiran 10

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 201: D2049-Tintin Sukartini.pdf

4) Buruh/Tani/Nelayan

5) Pensiunan

6. Agama / Kepercayaan :

1) Islam

2) Kristen

3) Hindu

4) Budha

5) Lain – lain

7. Minuman yang dikonsumsi

1`. Minuman beralkohol

Lainnya, sebutkan

10. Status gizi: TB:........cm BB:.............kg

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 202: D2049-Tintin Sukartini.pdf

KUESIONER PRE TEST

PETUNJUK PENGISIAN: BERILAH TANDA (V) PADA PERNYATAAN

1. PENGETAHUAN

No Pernyataan Benar Salah

1 Penyakit TB paru disebabkan oleh kuman

2 Gejala sakit TB Paru yang paling sering adalah batuk lebih dari 2

minggu

3 Penyakit TB paru tidak dapat ditularkan kepada orang lain

4 Pengobatan TB paru memerlukan waktu minimal 6 bulan

5 Makanan bergizi seperti nasi, lauk pauk, sayur, buah dan susu dapat

memperbaiki kesehatan

6 Membuang dahak harus dilakukan pada tempat tertutup dan diberi

desinfektan

7 Saat batuk atau bersin maka mulut dan hidung harus ditutup

8

Rumah yang memiliki ventilasi yang baik dan mendapat sinar

matahari yang cukup dapat menbantu pencegahan penularan penyakit

TB paru

2. SELF EFFICACY

SS: sangat setuju; S; setuju; RR: ragu-ragu, TS: tidak setuju; STS: sangat tidak setuju

No Pertanyaan SS

(5)

S

(4)

RR

(3)

TS

(2)

STS

(1)

1 Saya yakin kalo saya bisa mendapatkan informasi tentang

sakit TB paru dari sumber-sumber di masyarakat sekitar

rumah

2 Saya yakin keluarga dan teman-teman dapat membantu saya

melakukan pekerjaan saya ketika sedang sakit

3 Saya yakin keluarga dan teman-teman mau memdengarkan

keluhan saya dan memberi dukungan emosional kepada saya

4 Saya yakin dapat meminta informasi dari dokter dan perawat

tentang penyakit yang mengkhawatirkan saya.

5 Saya yakin bahwa saya dapat mengetahui gejala sakit saya dan

kapan saya harus kembali ke dokter untuk mendapat bantuan.

6 Saya yakin dapat mengurangi gangguan emosi yang

disebabkan oleh kondisi kesehatan saya sehingga tidak

mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

7 Saya yakin dapat mengatasi ketidaknyamanan fisik atau rasa

sakit yang saya alami selama sakit.

8 Saya yakin dapat mengontrol batuk dan sesak napas (jika ada)

ketika melakukan kegiatan sehari-hari.

9 Saya yakin dapat menyimpan perasaan sedih atau tak bahagia

yang saya alami karena sakit.

10 Saya yakin dapat melakukan sesuatu untuk membuat diri saya

merasa lebih baik ketika saya merasa sakit, sedih atau tak

bahagia.

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 203: D2049-Tintin Sukartini.pdf

3. MOTIVASI

SS: sangat setuju; S; setuju; RR: ragu-ragu, TS: tidak setuju; STS: sangat tidak setuju

NO Pernyataan SS

(5)

S

(4)

RR

(3)

TS

(2)

STS

(1)

1 Saya percaya bahwa sakit yang yang saya alami merupakan

cobaan dari YME dan bukan kutukan atau hukuman

2 Setelah diberi penjelasan tentang lama pengobatan, saya

tidak yakin kalo saya mampu berobat sampai 6 bulan

3

Saya harus berusaha untuk makan makanan yang bergizi

secara teratur agar membantu proses penyembuhan saya

4 Menyelesaikan pengobatan adalah hal yang penting buat saya

walaupun memerlukan waktu yang lama

5 Bagi saya melakukan pencegahan agar tidak menulari

keluarga dan orang lain adalah hal yang penting agar mereka

tidak sakit seperti saya.

6 Saya harus menjaga lingkungan rumah saya agar cahaya

matahari pagi dan udara bisa masuk ke dalam rumah.

7 Saya harus datang secara rutin ke puskesmas atau rumah sakit

untuk kontrol dan mengambil obat.

8 Saya mencemaskan biaya pengobatan penyakit saya karena

tidak tahu biaya yang harus saya keluarkan

9 Saya akan meminta keluarga untuk selalu mengingatkan saya

untuk minum obat

10 Saya tidak akan berhenti minum obat sesuai aturan sampai

dokter menyatakan saya sembuh.

4. KEPATUHAN PENCEGAHAN PENULARAN

No Pernyataan Tidak

pernah

(1)

Jarang

(2)

Kadang

kadang

(3)

Sering

(4)

Selalu

(5)

1. Saat batuk dan bersin saya tidak menutup mulut

dengan tissue atau saputangan

2. Saat bepergian ludah dan dahak yang keluar saya

buang ditempat sembarangan

3. Tissue bekas bersin dan batuk saya langsung buang

di tempat sampah umum tanpa tanpa dibungkus

plastik

4. Pintu dan jendela rumah saya buka setiap hari agar

udara masuk ke dalam rumah

5. Seluruh ruangan rumah mendapat sinar matahari

yang cukup di pagi hari

6. Saya tidak berhadapan langsung ketika berbicara

dengan orang lain karena takut menulari

7. Di rumah saya membuang dahak pada tempat khusus

yang diberi desinfektan (lisol, dll) atau langsung ke

saluran air pembuangan

8. Kasur dan bantal saya jemur di bawah sinar matahari

9. Saya menggunakan masker jika dahak saya positif

kuman

10. Saya tidur terpisah jika dahak saya positif kuman

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 204: D2049-Tintin Sukartini.pdf

5. KEPATUHAN NUTRISI

No Pernyataan Tidak

pernah

(1)

Jarang

(2)

Kadang

kadang

(3)

Sering

(4)

Selalu

(5)

1. Saya makan minimal 3x sehari

2. Saya makan nasi atau pengganti nasi setiap

hari

3. Saya makan makanan yang mengandung

protein seperti: daging, ayam, tahu, tempe,

ikan atau telur setiap kali makan

4. Saya makan sayur-sayuran setiap kali makan

5. Saya makan buah-buahan setiap hari

6. Saya minum susu setiap hari

7. Saya minum vitamin yang diberikan oleh

dokter setiap hari

8. Saya jarang makan dan setiap makan selalu

sedikit

9. Saya tidak makan goreng-gorengan atau

minum es setiap saya batuk

10. Saya tidak mau banyak makan karena takut

gemuk

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 205: D2049-Tintin Sukartini.pdf

KUESIONER POST TEST

PETUNJUK PENGISIAN: BERILAH TANDA (V) PADA PERNYATAAN

1. PENGETAHUAN

No Pernyataan Benar Salah

1 Penyakit TB paru disebabkan oleh kuman

2 Gejala sakit TB Paru yang paling sering adalah batuk lebih dari 2

minggu

3 Penyakit TB paru tidak dapat ditularkan kepada orang lain

4 Pengobatan TB paru memerlukan waktu minimal 6 bulan

5 Makanan bergizi seperti nasi, lauk pauk, sayur, buah dan susu dapat

memperbaiki kesehatan

6 Membuang dahak harus dilakukan pada tempat tertutup dan diberi

desinfektan

7 Saat batuk atau bersin maka mulut dan hidung harus ditutup

8

Rumah yang memiliki ventilasi yang baik dan mendapat sinar

matahari yang cukup dapat menbantu pencegahan penularan penyakit

TB paru

2. SELF EFFICACY

SS: sangat setuju; S; setuju; RR: ragu-ragu, TS: tidak setuju; STS: sangat tidak setuju

No Pertanyaan SS

(5)

S

(4)

RR

(3)

TS

(2)

STS

(1)

1 Saya yakin kalo saya bisa mendapatkan informasi tentang

sakit TB paru dari sumber-sumber di masyarakat sekitar

rumah

2 Saya yakin keluarga dan teman-teman dapat membantu saya

melakukan pekerjaan saya ketika sedang sakit

3 Saya yakin keluarga dan teman-teman mau memdengarkan

keluhan saya dan memberi dukungan emosional kepada saya

4 Saya yakin dapat meminta informasi dari dokter dan perawat

tentang penyakit yang mengkhawatirkan saya.

5 Saya yakin bahwa saya dapat mengetahui gejala sakit saya dan

kapan saya harus kembali ke dokter untuk mendapat bantuan.

6 Saya yakin dapat mengurangi gangguan emosi yang

disebabkan oleh kondisi kesehatan saya sehingga tidak

mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

7 Saya yakin dapat mengatasi ketidaknyamanan fisik atau rasa

sakit yang saya alami selama sakit.

8 Saya yakin dapat mengontrol batuk dan sesak napas (jika ada)

ketika melakukan kegiatan sehari-hari.

9 Saya yakin dapat menyimpan perasaan sedih atau tak bahagia

yang saya alami karena sakit.

10 Saya yakin dapat melakukan sesuatu untuk membuat diri saya

merasa lebih baik ketika saya merasa sakit, sedih atau tak

bahagia.

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 206: D2049-Tintin Sukartini.pdf

3. MOTIVASI

SS: sangat setuju; S; setuju; RR: ragu-ragu, TS: tidak setuju; STS: sangat tidak setuju

NO Pernyataan SS

(5)

S

(4)

RR

(3)

TS

(2)

STS

(1)

1 Saya percaya bahwa sakit yang yang saya alami merupakan

cobaan dari YME dan bukan kutukan atau hukuman

2 Setelah diberi penjelasan tentang lama pengobatan, saya

tidak yakin kalo saya mampu berobat sampai 6 bulan

3

Saya harus berusaha untuk makan makanan yang bergizi

secara teratur agar membantu proses penyembuhan saya

4 Menyelesaikan pengobatan adalah hal yang penting buat saya

walaupun memerlukan waktu yang lama

5 Bagi saya melakukan pencegahan agar tidak menulari

keluarga dan orang lain adalah hal yang penting agar mereka

tidak sakit seperti saya.

6 Saya harus menjaga lingkungan rumah saya agar cahaya

matahari pagi dan udara bisa masuk ke dalam rumah.

7 Saya harus datang secara rutin ke puskesmas atau rumah sakit

untuk kontrol dan mengambil obat.

8 Saya mencemaskan biaya pengobatan penyakit saya karena

tidak tahu biaya yang harus saya keluarkan

9 Saya akan meminta keluarga untuk selalu mengingatkan saya

untuk minum obat

10 Saya tidak akan berhenti minum obat sesuai aturan sampai

dokter menyatakan saya sembuh.

4. KEPATUHAN PENCEGAHAN PENULARAN

No Pernyataan Tidak

pernah

(1)

Jarang

(2)

Kadang

kadang

(3)

Sering

(4)

Selalu

(5)

1. Saat batuk dan bersin saya tidak menutup mulut

dengan tissue atau saputangan

2. Saat bepergian ludah dan dahak yang keluar saya

buang ditempat sembarangan

3. Tissue bekas bersin dan batuk saya langsung buang

di tempat sampah umum tanpa tanpa dibungkus

plastik

4. Pintu dan jendela rumah saya buka setiap hari agar

udara masuk ke dalam rumah

5. Seluruh ruangan rumah mendapat sinar matahari

yang cukup di pagi hari

6. Saya tidak berhadapan langsung ketika berbicara

dengan orang lain karena takut menulari

7. Di rumah saya membuang dahak pada tempat khusus

yang diberi desinfektan (lisol, dll) atau langsung ke

saluran air pembuangan

8. Kasur dan bantal saya jemur di bawah sinar matahari

9. Saya menggunakan masker jika dahak saya positif

kuman

10. Saya tidur terpisah jika dahak saya positif kuman

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 207: D2049-Tintin Sukartini.pdf

5. KEPATUHAN NUTRISI

No Pernyataan Tidak

pernah

(1)

Jarang

(2)

Kadang

kadang

(3)

Sering

(4)

Selalu

(5)

1. Saya makan minimal 3x sehari

2. Saya makan nasi atau pengganti nasi setiap

hari

3. Saya makan makanan yang mengandung

protein seperti: daging, ayam, tahu, tempe,

ikan atau telur setiap kali makan

4. Saya makan sayur-sayuran setiap kali makan

5. Saya makan buah-buahan setiap hari

6. Saya minum susu setiap hari

7. Saya minum vitamin yang diberikan oleh

dokter setiap hari

8. Saya jarang makan dan setiap makan selalu

sedikit

9. Saya tidak makan goreng-gorengan atau

minum es setiap saya batuk

10. Saya tidak mau banyak makan karena takut

gemuk

6. KEPATUHAN MINUM OBAT

1. Dosis:

1) Seharusnya: ....tab.

2) Yang diminum ....tab, sisa obat: ....tab

2. Cara:

1) Satu waktu: jam....

2) Beberapa waktu: pagi jam ..., siang jam ....., malam jam ....

3. Waktu

1) 1 jam sebelum makan

2) Setelah makan

4. Pemantauan :

Formulir TB-01

Formulir TB-02

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 208: D2049-Tintin Sukartini.pdf

Analisis tema dan sub tema berdasarkan penelitian kualitatif

Variabel Tema Sub tema Kategori

Kepatuhan

berdasarkan

sistem

personal

pasien

1. Persepsi yang

positif

tentang TB

paru

Pengobatan TB

paru Penyebab TB paru

Lama pengobatan

Cara minum obat

Nutrisi selama sakit

Efek samping obat

Pencegahan

penularan Cara batuk dan bersin

Cara buang dahak

Nutrisi Makanan untuk

membantu

penyembuhan

Makanan yang

dilarang

2. Kesadaran

diri untuk

sembuh

Yakin sakit TB paru

bisa disembuhkan

Patuh berobat walau

datang sendiri ke RS

3. Tumbuh

kembang

optimal

Harapan masa

depan yang

lebih baik sesuai

tumbuh

kembang

Masih bisa sekolah

mencapai sarjana

Masih bisa mencapai

keinginan memiliki

anak

Mampu

menjalankan

tugas

perkembangan

Mampu merawat

keluarga

Mampu merawat anak

balita

4. Gambaran

diri positif

Tidak malu berat

badan turun

Tidak malu memakai

masker

5. Lingkungan

yang sehat Nyaman saat

berada di

ruang poli

paru

Nyaman saat berada di

ruang poli paru

Ruang di

rumah

menunjang

penyembuhan

Tiap ruang di rumah

memiliki jendela

Ruang tanpa jendela

memiliki genting kaca

Ada ruang sendiri

untuk tidur

6. Disiplin

minum obat

Waktu minum obat 1

jam sebelum makan

Alarm sebagai

pengingat

7. Koping yang

efektif

Menerima

kondisi yang

dialami

Selalu tabah menjalani

takdir dari Tuhan

Mendekatkan diri ke

Lampiran 11

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 209: D2049-Tintin Sukartini.pdf

Tuhan dengan rajin

beribadah

Berfikir positif Berfikir bisa sembuh

asal rajin berobat

Berfikir sakit sebagai

cobaan

Kepatuhan

berdasarkan

sistem

interpersonal

pasien

1. Komunikasi

yang terbuka

antara pasien

dengan

petugas

kesehatan dan

pasien

dengan

keluarga.

Komunikasi

terbuka pasien

dan petugas

kesehatan

Perawat dan dokter

menyampaikan

informasi tentang sakit

yang dialami

Perawat dan dokter

mendengar keluhan

Komunikasi

terbuka pasien

dan keluarga

keluhan sakit

disampaikan ke

keluarga

berdiskusi dengan

keluarga tentang

pengobatan

2. Menjalankan

perannya

selama sakit

Melakukan

pekerjaan

sehari-hari

Bersekolah

Bekerja seperti biasa

Mengerjakan

pekerjaan rumah

Melakukan

kegiatan di

masyarakat

Ikut arisan

Ikut pengajian

3. Mengelola

stres selama

sakit

Stress yang

dialami Penurunan berat badan

Jenuh minum obat

Jenuh bolak-balik ke

RS

Penyebab stress Waktu pengobatan

yang lama

Penanganan

stress Anggap rekreasi

Berdiskusi dengan

keluarga

Berdiskusi dengan

sesama pasien

Kepatuhan

berdasarkan

sistem sosial

pasien

1. Mengetahui

birokrasi

pelayanan

kesehatan

Mengetahui

tentang

organisasi

pelayanan di

poli paru

Alur pengobatan di RS

Fasilitas yang dimiliki

RS

SDM yang dimiliki RS

Mengetahui

wewenang dan

kekuasaan RS

Pihak RS yang

menyatakan sembuh

Pemberian OAT sesuai

Program

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 210: D2049-Tintin Sukartini.pdf

Pasien terdaftar dalam

program pemerintah

Obat gratis

Menyadari

statusnya

sebagai pasien.

Patuh pada aturan RS

Penanganan saat

kondisi tak terduga

2. pengambilan

keputusan

oleh pasien

pengobatan di poli

paru

dirujuk ke tempat lain

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 211: D2049-Tintin Sukartini.pdf

Panduan Implementasi Model

TAHAP

INTERVENSI

TUJUAN INTERVENSI PERAWAT POKOK

BAHASAN

WAKTU METODE

Pertemuan 1

(Awal pasien

terdiagnosis)

Waktu: 40-60 menit

1. Menciptakan

ruang yang

nyaman untuk

interaksi perawat-

pasien

1. Perawat mempersiapkan

tempat atau ruang yang

cukup nyaman untuk

interaksi perawat-pasien

dengan didampingi 1 orang

anggota keluarga

2. Siapkan meja dan tempat

duduk khusus bagi perawat

dan pasien untuk berinteraksi

Menyiapkan

tempat/ruang

2. Meningkatkan

komunikasi

terbuka perawat-pasien, pasien-

keluarga

3. Perawat mengucapkan salam

dan memperkenalkan diri

sebagai perawat di ruang poli

paru yang siap membantu

pasien menjalani pengobatan

4. Bina hubungan saling

percaya, saling menerima dan

saling menghargai

5. Gunakan bahasa sederhana dan

mudah dimengerti oleh pasien 6. Libatkan keluarga (PMO)

dalam pertemuan

7. Motivasi pasien agar selalu

terbuka mengenai masalah

kesehatan kepada keluarga,

perawat dan dokter

8. Melakukan kontrak waktu

dengan pasien untuk 6 kali

pertemuan selama di RS

5 menit Wawancara dan

diskusi

Lampiran 12

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 212: D2049-Tintin Sukartini.pdf

3. Memfasilitasi

pengambilan

keputusan pasien

untuk menjalani

pengobatan

9. Menanyakan pada pasien

apakah pasien akan berobat

di RS Haji atau dirujuk balik

ke puskesmas

10. Jika pasien bersedia berobat

di RS Haji lakukan

pencatatan pada form TB-01

11. Tanyakan apakah pasien siap

menjalani pengobatan selama

6-9 bulan dan tidak akan

putus obat

12. Jelaskan bahwa obat yang

diberikan adalah gratis

sehingga tidak perlu takut

memikirkan biaya

13. Jelaskan bahwa jika memilih

pengobatan di RS untuk

selanjutnya harus

melanjutkan pengobatan rutin

di RS, Jika ingin pindah

dapat dilakukan setelah 2

bulan pengobatan.

14. Libatkan keluarga jika pasien

datang ditemani keluarga

(PMO)

5-10 menit Wawancara dan

diskusi

4. Menumbuhkan

persepsi yang

positif tentang TB

paru

15. Menanyakan apa yang

diketahui oleh pasien

mengenai sakit yang diderita

16. Menjelaskan pada pasien

bahwa pasien menderita TB

paru dan harus menjalani

5-10 menit Wawancara dan

diskusi

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 213: D2049-Tintin Sukartini.pdf

pengobatan selama 6-9 bulan

17. Tanda dan gejala hilang tidak

berarti sakit sudah sembuh

18. Hanya dokter yang berhak

menyatakan sembuh melalui

pemeriksaan

5. Meningkatkan

kesadaran diri

untuk sembuh

19. yakinkan pasien agar yakin

sakitnya bisa disembuhkan

dengan cara menunjukkan

pasien yang sembuh/hampir

sembuh yang saat itu sedang

kontrol di RS.

20. diskusikan dengan pasien

sumber-sumber dukungan

yang membantu pasien dalam

pengobatan baik dari dalam

diri maupun luar

21. berikan motivasi pada pasien

untuk terus berobat walau

harus datang sendiri ke RS 22. Jelaskan pada pasien bahwa

sakitnya adalah bukan kutukan

atau hukuman tetapi sebagai

suatu ujian

23. Yakinkan pasien bahwa yg

mengalami sakit bukan hanya

sendiri, tetapi banyak sekali

sehingga bisa berbagi

pengalaman (tunjukkan bahwa

pasien yang berobat di poli

memiliki masalah yang sama)

5-10 menit Wawancara dan

diskusi

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 214: D2049-Tintin Sukartini.pdf

24. Beri contoh banyak pasien yang

asalnya tidak mau minum obat

dengan dimotivasi terus

menerus akhirnya mau berobat

dan bisa sembuhyakinkan

pasien agar yakin sakitnya

bisa disembuhkan dengan

cara menunjukkan pasien

yang sembuh/hampir sembuh

yang saat itu sedang kontrol

di RS.

25. diskusikan dengan pasien

sumber-sumber dukungan

yang membantu pasien dalam

pengobatan baik dari dalam

diri maupun luar

26. berikan motivasi pada pasien

untuk terus berobat walau

harus datang sendiri ke RS

27. Jelaskan pada pasien bahwa

sakitnya adalah bukan kutukan

atau hukuman tetapi sebagai

suatu ujian

28. Yakinkan pasien bahwa yg

mengalami sakit bukan hanya

sendiri, tetapi banyak sekali

sehingga bisa berbagi

pengalaman (tunjukkan bahwa

pasien yang berobat di poli

memiliki masalah yang sama)

29. Beri contoh banyak pasien

yang asalnya tidak mau minum

obat dengan dimotivasi terus

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 215: D2049-Tintin Sukartini.pdf

menerus akhirnya mau berobat

dan bisa sembuh 6. Menumbuhkan

persepsi yang

positif melalui

pembelajaran

yang tepat tentang

TB paru dan

menjelaskan

tentang pentingnya

disiplin minum

obat dan lama

pengobatan

30. Menjelaskan tentang materi

yang akan disampaikan pada

pertemuan pertama yaitu

tentang penyakit TB paru dan

pengobatan TB paru

31. Menjelaskan bahwa nanti

pasien akan minum OAT

yang pertama di hadapan

petugas

32. Menanyakan tentang apa

yang diketahui oleh pasien

tentang penyait TB Paru.

Berikan kesempatan kepada

pasien untuk menjawab

sesuai pemahamannya.

33. Memberikan pujian terhadap

jawaban yang benar yang

diberikan pasien

34. Memperbaiki jawaban pasien

jika keliru

35. Menjelaskan dengan bahasa

yang mudah dimengerti oleh

pasien mengenai:

a. Definisi TB paru

b. Apakah TB paru dapat

disembuhkan?

c. Tanda & gejala TB

paru

d. Diagnosis TB paru

e. Klasifikasi TB

1. Konsep TB

paru

2. Pengobatan

TB paru

3. Praktik minum

obat

10-15 menit Ceramah dan

diskusi dengan

media booklet

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 216: D2049-Tintin Sukartini.pdf

f. Bahaya penyakit TB

paru

36. Menyampaikan materi

tentang pengobatan :

a. Tujuan pengobatan

b. Prinsip pengobatan

c. Fase minum obat

d. Jenis obat

e. Cara dan waktu minum

obat

f. Bagaimana agar tidak

jenuh minum obat

g. Efek samping OAT dan

penatalaksanaan

37. Praktik:

Pasien minum OAT di

hadapan perawat

Memberi tahu waktu kontrol

berikutnya dan kelengkapan

yg harus dibawa pasien

(catatan obat, bungkus obat dan

sisa obat)

7. Meningkatkan

pengetahuan

prosedur pelayanan

di RS : tentang

wewenang dan

kekuasaan RS

38. Beritahukan pada pasien

bahwa selama pengobatan akan

menjalani serangkaian

pemeriksaan seperti Rontgen,

pemeriksaan dahak dan atau

darah yang waktunya akan

ditentukan oleh pihak RS 39. Beritahukan pada pasien

bahwa hanya dokter yang

berhak menyatakan sembuh

Prosedur

pelayanan dan

fasilitas RS

5 menit Wawancara &

diskusi

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 217: D2049-Tintin Sukartini.pdf

Beritahukan pada pasien

bahwa OAT yang diberikan

adalah obat gratis dari

pemerintah

40. Beritahukan bahwa harga obat

mahal, sehingga pasien harus

patuh berobat karena

pemerintah sudah

memprogramkan pemberian

obat secara gratis selama 6

bulan.

41. Beritahukan Obat yang

diberikan pemerintah memiliki

kandungan dan khasiat yang

sama dengan obat paten

42. Beritahukan bahwa OAT

seluruh dunia adalah sama

sehingga berobat dimanapun

akan diberikan obat yang sama

43. Beritahukan pasien bahwa

pengobatan TB paru merupakan

program pemerintah sehingga

nama mereka akan tercatat di

Dinas Kesehatan. 8. Meningkatkan

pengetahuan

pasien tentang

prosedur pelayanan

kesehatan di RS:

organisasi

pelayanan di poli

paru dan fasilitas

RS

44. Menjelaskan pelayanan dan

fasilitas RS Haji:

a. Pelayanan medis

b. Penunjang medis

c. Fasilitas penunjang umum

d. SDM & fasilitas poli paru

e. Waktu pelayanan

poliklinik

f. Waktu pelayanan

pendaftaran pasien

Pelayanan dan

fasilitas RS.Haji

5 menit Ceramah dan

diskusi dengan

media booklet

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 218: D2049-Tintin Sukartini.pdf

g. Tata cara pendaftaran

pasien umum, BPJS dan

asuransi lain

45. Mengakhiri pertemuan dan

menjelaskan gambaran materi

untuk pertemuan ke-2

Pertemuan 2

(Akhir Minggu ke-2)

Waktu: 20-30 Menit

1. Meningkatkan

komunikasi

terbuka perawat-

pasien, pasien-

keluarga.

1. Memberi salam

2. Libatkan keluarga dalam

pertemuan

3. Menanyakan keluhan pasien

4. Merespon keluhan pasien

5. Memberi motivasi agar

pasien terbuka kepada

keluarga, perawat dan dokter

mengenai masalah kesehatan

6. Memberi motivasi agar

pasien patuh

7. Menjelaskan tujuan yang

ingin dicapai pada pertemuan

2

8. Menjelaskan tentang materi

yang akan disampaikan pada

pertemuan kedua yaitu

tentang pencegahan

penularan dan lingkungan

rumah yang sehat untuk

pasien

5 menit wawancara

2. Menumbuhkan

kesadaran akan

statusnya sebagai

pasien.

9. Beri penjelasan pada pasien

bahwa sebagai pasien harus

patuh mengikuti aturan di

RS

5 menit Wawancara dan

diskusi

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 219: D2049-Tintin Sukartini.pdf

10. Bantu pasien untuk patuh

pada aturan yang ditetapkan

di rumah sakit seperti harus

menunggu antrian dalam

berobat dengan mengikuti

nomor antrian yang

diperoleh saat daftar.

11. Jelaskan pada pasien bahwa

pasien masih boleh bekerja

dan beraktifitas di masyarakat

jika kondisi kesehatan

memungkinkan

12. Jelaskan pada pasien

walaupun dinas ke luar kota,

bepergian ataupun maka

pasien dapat menjelaskan

kepada dokter agar

pengobatan tidak terputus

13. Dalam keadaan mendesak dan

pasien tidak dapat datang

kontrol, maka keluarga dapat

mewakili pasien datang ke RS

untuk konsultasi dengan

dokter agar pengobatan tidak

terputus. 3. Menumbuhkan

persepsi yang

positif tentang TB

paru melalui

pembelajaran yang

tepat tentang

pencegahan

penularan TB paru

14. Menjelaskan tentang

pencegahan penularan:

a. Orang yang memiliki

resiko tertular

b. Pencegahan penularan

TB paru

c. Sikap saat bersin dan

batuk

Pencegahan

penularan pada

pasien TB paru

5-10 menit Ceramah dan

diskusi dengan

media booklet

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 220: D2049-Tintin Sukartini.pdf

4. Pembelajaran

tentang

lingkungan

rumah yang sehat

15. Mengkaji kondisi rumah

pasien dengan menanyakan

ruang yang ada di rumah,

posisi pintu dan jendela (Buat

denah sederhana)

16. Menjelaskan tentang

lingkungan rumah yang sehat

untuk pasien TB paru:

a. Lingkungan fisik

rumah yang

berpengaruh pada TB

paru

b. Menciptakan kondisi

dan ruang/lingkungan

rumah yang sehat

17. Penutup

Lingkungan pada

pasien TB paru

5-10 menit Ceramah dan

diskusi dengan

media booklet

Pertemuan 3

(Akhir minggu ke-4)

Waktu: 15-20 menit

1. Meningkatkan

komunikasi

terbuka perawat-

pasien

1. Memberi salam

2. Melibatkan keluarga dalam

pertemuan

3. Menanyakan keluhan pasien

4. Merespon keluhan pasien

5. Memberi motivasi agar pasien

patuh

6. Menjelaskan tujuan yang ingin

dicapai pada pertemuan 3

5 menit wawancara

2. Menumbuhkan

persepsi yang

positif tentang TB

paru melalui

pembelajaran

tentang nutrisi

yang dibutuhkan

pasien TB paru

7. Menjelaskan tentang materi

yang akan disampaikan pada

pertemuan ketiga yaitu

tentang kebutuhan nutrisi pada

pasien TB paru:

a. Gizi seimbang

b. Diet pada pasien TB

Nutrisi pada

pasien TB paru

10-15 menit Ceramah dan

diskusi dengan

media booklet

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 221: D2049-Tintin Sukartini.pdf

paru

c. Tujuan diet ETPT

pada pasien TB paru

d. Bahan makanan yang

dianjurkan

e. Bahan makanan yang

tidak dianjurkan

f. Cara makan sehari-hari

8. Penutup

Pertemuan 4

(Akhir minggu ke-6)

Waktu: 15-20 menit

1. Meningkatkan

komunikasi

terbuka perawat-

pasien

1. Memberi salam

2. Libatkan keluarga dalam

pertemuan

3. Menanyakan keluhan pasien

4. Merespon keluhan pasien

5. Memberi motivasi agar

pasien patuh

6. Menjelaskan tujuan yang

ingin dicapai pada pertemuan

4

5 menit Wawancara

2. Membantu pasien

mengelola stres

dan meningkatkan

koping pasien

7. Diskusikan dengan pasien

stres yang dialami pasien

selama sakit

8. Diskusikan dengan pasien

bahwa kejenuhan berobat

bisa diatasi dengan kesabaran

dan mendekatkan diri pada

Tuhan

9. Diskusikan dengan pasien

bahwa dengan kesabaran

pengobatan yang lama pada

akhirnya akan sampai pada

akhir pengobatan

Stres dan koping 10-15 menit Ceramah dan

diskusi dengan

media booklet

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 222: D2049-Tintin Sukartini.pdf

10. Ajarkan pasien untuk

tabah, sabar dan ikhlas

menerima cobaan

11. Memberi pembelajaran

tentang stres:

a. Definisi stres

b. Penyebab stres pada

pasien TB paru

c. Penanganan stres pada

pasien TB paru

12. Anjurkan pasien untuk

berdiskusi dengan sesama

pasien TB sehingga bisa

berbagi pengalaman

13. Ajarkan pasien agar

berobat ke RS dianggap

sebagai rekreasi atau hiburan

sehingga tidak membuat

jenuh

14. Penutup

Pertemuan 5

(Akhir minggu ke-8/

akhir bulan ke-2)

Waktu: 20-35 menit

1. Meningkatkan

komunikasi

terbuka perawat-

pasien

1. Memberi salam

2. Libatkan keluarga dalam

pertemuan

3. Menanyakan keluhan pasien

4. Merespon keluhan pasien

5. Motivasi agar pasien patuh

6. Libatkan keluarga dalam

pertemuan

7. Menjelaskan tujuan yang

ingin dicapai pada pertemuan

5 menit Wawancara

2. Mengoptimalkan tumbuh

8. Tanya dan diskusikan

gangguan tugas

5 -10 menit Wawancara dan

diskusi

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 223: D2049-Tintin Sukartini.pdf

kembang pasien

perkembangan yang

dialami pasien, mis:

gangguan peran dalam

mencari nafkah atau

bersekolah

9. Diskusikan dengan pasien

bahwa saat pengobatan

jika kondisi membaik

masih bisa bekerja dengan

normal dan memenuhi

peran dalam keluarga

maupun masyarakat.

10. Diskusikan dengan pasien

bahwa jika patuh berobat

maka pasien masih bisa

sekolah dan meraih cita-

cita seperti menjadi

sarjana 11. Yakinkan pasien masih bisa

merawat anak (asal memakai

masker jika BTA positif,

sampai BTA negatif)

12. Beritahukan pasien untuk

memeriksakan anak balita

dan orang dewasa yang

memiliki gejala yang sama

yang tinggal 1 rumah 3. Menumbuhkan

gambaran diri

pasien agar

positif.

13. Tanyakan dan monitor

frekwensi pernyataan yang

mengkritik diri sendiri

14. Monitor pernyataan pasien

tentang pernyataan

gambaran diri yang

5-10 menit Wawancara dan

diskusi

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 224: D2049-Tintin Sukartini.pdf

berkaitan dengan bentuk

tubuh dan berat badan

15. Ajarkan pasien bahwa

perubahan gambaran diri

karena TB paru bersifat

sementara dan dapat

kembali ke semula asalkan

patuh dalam pengobatan

16. Ajarkan pasien untuk

merubah gaya hidup

seperti tidak merokok dan

begadang sehingga kondisi

badan menjadi lebih sehat

17. Yakinkan pasien jangan

pernah malu untuk memakai

masker saat bekerja demi

menjaga diri sendiri dan

orang lain agar tidak tertular 4. Mengoptimalkan

perannya pasien

selama sakit

18. Bantu pasien

mengidentifikasi transisi

peran selama sakit

19. Diskusikan dengan pasien

bahwa gangguan peran

sifatnya sementara

20. Diskusikan dengan pasien

bahwa walau sakit dan

memerlukan pengobatan

yang lama, pasien masih

bisa memenuhi peran

sebagai suami atau istri

21. Diskusikan dengan pasien

bahwa selama sakit asal

Tumbuh

Kembang,

Gambaran diri

dan peran

5-10 menit Wawancara dan

diskusi

Media: Booklet

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 225: D2049-Tintin Sukartini.pdf

kondisi sudah membaik

masih bisa bekerja dan

atau sekolah

22. Diskusikan dengan pasien

bahwa saat kontrol berobat

masih bisa ijin kerja dan

ijin sekolah dengan

meminta surat keterangan

dari rumah sakit.

23. Memberi pembelajaran

tentang: Tumbuh

kembang, gambaran diri

dan peran

a. Masalah tumbung

kembang yang sering

dihadapi

b. Upaya

mengoptimalkan

tumbuh kembang

c. Masalah gambaran diri

yang sering dihadapi

d. Upaya meningkatkan

gambaran diri menjadi

positif

e. Masalah peran yang

sering dihadapi

f. Upaya meningkatkan

fungsi peran

24. Penutup

Pertemuan 6

(Akhir bulan ke-3)

Waktu: 10-15 menit

1. Meningkatkan

komunikasi

terbuka

1. Memberi salam

2. Libatkan keluarga dalam

pertemuan

10-15 menit Wawancara dan

diskusi

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 226: D2049-Tintin Sukartini.pdf

perawat-pasien 3. Menanyakan keluhan

pasien

4. Merespon keluhan pasien

5. Motivasi agar pasien patuh

6. Beri pujian atas kepatuhan

pasien

Pertemuan 7

(Akhir bulan ke-4)

Waktu:10-15 menit

1. Meningkatkan

komunikasi

terbuka

perawat-pasien

2. Memberi salam

3. Libatkan keluarga dalam

pertemuan

4. Menanyakan keluhan

pasien

5. Merespon keluhan pasien

6. Motivasi agar pasien patuh

7. Beri pujian atas kepatuhan

pasien

10-15 menit Wawancara dan

diskusi

Pertemuan 8

(Akhir bulan ke-5)

Waktu: 10- 15 menit

1. Meningkatkan

komunikasi

terbuka

perawat-pasien

1. Memberi salam

2. Libatkan keluarga dalam

pertemuan

3. Menanyakan keluhan

pasien

4. Merespon keluhan pasien

5. Motivasi agar pasien patuh

6. Beri pujian atas kepatuhan

pasien

7. Terminasi

10-15 menit Wawancara dan

diskusi

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 227: D2049-Tintin Sukartini.pdf

NO

EVALUASI

PERTEMUAN

I II III IV V VI VII VIII

Y T Y T Y T Y T Y T Y T Y T Y T

1. Pengetahuan :

Pasien mampu menyebutkan

penyebab TB paru

Pasien mampu menyebabkan

tanda-gejala TB paru

Pasien mampu menyebutkan

lama pengobatan TB paru

Pasien mampu menyebutkan

cara penularan TB paru

Pasien mampu menyebutkan

lingkungan rumah yang

sehat

2. Self Efficacy:

Pasien yakin penyakitnya

bisa disembuhkan

Pasien yakin dapat

menerima informasi dari

dokter dan perawat

Pasien yakin mendapat

dukungan dari keluarga

Pasien yakin dapat

mengatasi perasaan sedih

karena sakit

Pasien yakin mengetahui

efek samping obat dan kapan

harus mencari pertolongan

Lampiran 13

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 228: D2049-Tintin Sukartini.pdf

3. Motivasi:

Pasien rutin kontrol ke poli

Pasien percaya bahwa

sakitnya merupakan cobaan

dari Tuhan yang Maha Esa

Pasien tidak

mengkhawatirkan perannya

akan terganggu

Pasien tidak

mengkhawatirkan adanya

gangguan perubahan

gambaran diri

pasien tidak

mengkhawatirkan adanya

gangguan tumbuh kembang

4. Pencegahan Penularan

Pasien dapat menjelaskan

bahwa saat batuk menutup

mulut dengan saputangan

atau punggung tangan

pasien menjelskan bahwa

dahak di buang ke saluran

air

Pasien menjelskan pintu dan

jendela rumah dibuka setiap

hari agar sinar matahari

masuk dan ventilasi lancar

Pasien menjelaskan tidur

terpisah selama BTA masih

positif

Pasien memakai masker jika

BTA positif sampai BTA

negatif

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 229: D2049-Tintin Sukartini.pdf

5. Kepatuhan nutrisi

Pasien menjelaskan makan

sedikit tapi sering

pasien menjelaskan

mengkonsumsi energi tinggi

protein tinggi setiap hari

Pasien menjelaskan

mengkonsumsi sayur-

sayuran setiap hari

Pasien menjelaskan tidak

minum es saat batuk

Terjadi peningkatan berat

badan

6. Kepatuhan pengobatan

Pasien menjelaskan minum

obat sesuai dosis yang

diberikan

Pasien menjelaskan waktu

minum obat 1 jam sebelum

makan

Pasien menjelaskan minum

obat dalam satu waktu yaitu

sore hari

Bungkus dan sisa obat sesuai

Penurunan gejala fisik

Lanjutan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 230: D2049-Tintin Sukartini.pdf

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. KETERANGAN PERORANGAN

1. Nama Lengkap : Tintin Sukartini

2. NIP : 197212170320002001

3. Tanggal Lahir : 17 Desember 1972

4. Jenis Kelamin : Perempuan

5. Instansi : Fakultas Keperawatan

Universitas Airlangga,

Kampus C Mulyorejo,

Surabaya

6. Alamat Rumah : Perum City Home

Regency N12A-Keputih,

Surabaya

7. No. Telepon :081357011444

8. Email : [email protected]

[email protected]

9. Nama Anak : Nada Nur Zahra

2. PENDIDIKAN FORMAL

NO

NAMA

PENDIDIKAN

JURUSAN

STTB/TANDA

LULUS/IJAZAH

TAHUN

TEMPAT

1. SDN NAGRAK III - 1985 Sukabumi

2. SMPN NAGRAK - 1988 Sukabumi

3. SMAN CIBADAK - 1991 Sukabumi

4. Fakultas Ilmu

Keperawatan

Universitas Indonesia

Keperawatan

1997

Jakarta

5. Pasca Sarjana Ilmu

Kesehatan Masyarakat

Universitas Airlangga

Magister

Kesehatan

(Biostatistik)

2005

Surabaya

6. Fakultas Ilmu

Keperawatan

Universitas Indonesia

Program

Doktoral

Keperawatan

2015

Depok

Lampiran 14

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 231: D2049-Tintin Sukartini.pdf

3. RIWAYAT PEKERJAAN

NO TAHUN INSTITUSI JABATAN

1. 1997-1998 Akper Muhammadiyah

Ponorogo, Jawa Timur

Staf Pengajar

2. 1998-2000 Akper Pemda Ponorogo,

Jawa Timur

Staf Pengajar

3. 2000-sekarang Fakultas Keperawatan

Universitas Airlangga

Surabaya, Jawa Timur

Staf Pengajar

4. KEGIATAN PENELITIAN

NO TAHUN POSISI TOPIK SPONSOR

1. 2006 Ketua Manfaat Senam Tera

terhadap kebugaran

Lansia

LPPM-

UNAIR

2. 2014 Anggota Model Intervensi

keperawatan SBE

(Spiritual Breathing

Exercise) terhadap

kualitas fungsi

pernafasan dan modulasi

respons imun pada

penderita TB paru

BOPT

5. PUBLIKASI ILMIAH

TAHUN JUDUL PENERBIT/

JURNAL

2007 Pernafasan Active cycle breathing

meningkatkan aliran ekspirasi

maksimum penderita tuberculosis paru

Jurnal Ners Vol 2

No 2 Oktober 2007

(ISSN 1858-3598)

2007 Oksigenisasi dengan Bag and mask 10

lpm memperbaiki asidosis respiratorik

pada klien edema akut

Jurnal ners Vol 2

No 2 Oktober

2007 (ISSN

1858-3598)

2007 Perilaku pemulung tentang demam

berdarah dengue dengan keberadaan

jentik aedes aegypty

Jurnal ners Vol 2

no 2 Oktober 2007

(ISSN 1858-3598)

2008 Manfaat senam lansia terhadap kebugaran Artikel Penelitian

Pio Ners Cermin

Dunia Keperawatan

ISSN 1907-35

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 232: D2049-Tintin Sukartini.pdf

6. KONFERENSI/LOKAKARYA/SEMINAR/SIMPOSIUM

TAHUN

JUDUL KEGIATAN

PENYELENGGARA

PANITIA/

PESERTA/

PEMBICARA

2001 Lokakarya Program

Pekerti

P4UA (Pusat

peningkatan dan

pengembangan

pendidikan UNAIR)

Peserta

2003 Tata laksana kegawat

daruratan terhadap efek

samping obat

RSU Dr. Soetomo

Surabaya

Peserta

2004 Penanganan trauma

thorax dengan

pemasangan Bullae

Drainage secara

paripurna

RSU Dr. Soetomo

Surabaya

Peserta

2005 Lokakarya kurikulum

berbasis kompetensi

PSIK-FK Unair Pembicara

2005 Lokakarya media

pembelajaran

P4UA (Pusat

peningkatan dan

pengembangan

pendidikan UNAIR)

Peserta

2006 Lokakarya Applied

Approach (AA)

P4UA (Pusat

peningkatan dan

pengembangan

pendidikan UNAIR)

Peserta

2007 The Association of

Indonesia Education

Center (AINEC) “The

study visit to Hongkong

and China”

AINEC Peserta

2008 Lokakarya pengelolaan

dan peningkatan kinerja

Program Studi Ilmu

Keperawatan FK Unair

PSIK-FK Unair Peserta

2008 Simposium Nasional

penyakit Tropik-Infeksi

dan HIV & AIDS dengan

tema “update on tropical

infectious disease dan

HIV & AIDS

FK UNAIR Peserta

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.

Page 233: D2049-Tintin Sukartini.pdf

7. PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

TAHUN JENIS/NAMA KEGIATAN TEMPAT

2004 Diversifikasi pangan produk olahan susu dan

kedelai sebagai alternative penanggulangan diare

balita akibat intoleransi laktosa di Puskesmas

Kembangbahu Lamongan

Lamongan

2004 Penerapan pencegahan pemberantasan penyakit

demam berdarah melalui media pembinaan budi

daya ikan pada masyarakat terjangkit endemik

kabupaten Lamongan

Lamongan

2005 Pelatihan penerapan keamanan pangan sebagai

upaya penanggulangan keracunan pangan di

kecamatan krian Sidoarjo

Sidoarjo

2007 Pelatihan Siswa pemantau jentik (Wamantik)

sebagai upaya peningkatan kesadaran siswa

sekolah dasar akan bahaya demam berdarah

dengue di Surabaya

Gresik

2007 Pelatihan kader Posyandu Lansia sebagai upaya

deteksi dini masalah kesehatan yang terjadi pada

lanjut usia di puskesmas kembangbahu Lamongan

Lamongan

Pengembangan model..., Tintin Sukartini, FIK UI, 2015.