D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau...

32
JURNAL TRANSFORMASI WARUNG WEDANGAN SEBAGAI RUANG PUBLIK (Studi Kasus di Kota Surakarta) Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Seelas Maret Surakarta Diajukan oleh: Putri Rizky Pradani D1216049 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

Transcript of D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau...

Page 1: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

JURNAL

TRANSFORMASI WARUNG WEDANGAN SEBAGAI RUANG PUBLIK

(Studi Kasus di Kota Surakarta)

Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana

Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Seelas Maret Surakarta

Diajukan oleh:

Putri Rizky Pradani

D1216049

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2019

Page 2: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

TRANSFORMASI WARUNG WEDANGAN SEBAGAI RUANG PUBLIK(Studi Kasus di Kota Surakarta)

Putri Rizky PradaniPawito

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan PolitikUniversitas Sebelas Maret Surakarta

Abstrac

Wedangan stalls in Surakarta City have shifted its functions into public sphere for the community. Public sphere is a place for all levels of society to gather and hold various critical discussions freely without pressure from the authorities. The existence of modernization began to influence the metamorphosis of wedangan. Various transformations were carried out by traders in the area to produce various types and forms of wedangan stalls. This research examines traditional wedangan, middle-level wedangan (developing), and modern wedangan. This study aims at describing the significance impact of transformation on the wedangan as public sphere; physical wedangan stalls, visiting participants, exchanged messages, languages used and the developing atmosphere within them.

This is a qualitative research with the use of quasi-participant-observation methods and in-depth interviews in a structured manner at nine sites from three categories of wedangan stalls. The data source is people with theoretical construct sampling technique by determining certain aspects of the concept used. Data is also supported by various literature studies. Data analysis techniques is interactive analysis models; data reduction, data presentation and conclusion drawing.

The result shows that the three types of wedangan stalls still retained public sphere, despite having differences in terms of size, public composition, work style, peak debate, and differences in topic orientation. Traditional and developing wedangan stalls have three institutional criteria or three basic characteristics of public space, namely democracy, meaningfulness and responsiveness. Although it is known that public sphere in the wedangan stalls are developing into squares because of the vast land that does not allow all people who come to the area to join in a discussion, visitors tend to be with their groups. Whereas transformation in modern wedangan stalls seems to have an effect on pseudo public sphere. The transformation towards modernity blurs the value of public sphere as a forum for the unity of citizens without carrying any attributes to conduct critical discussions about public anxiety and the formation of a public opinion as a form of deliberative democracy.

Keyword: public sphere, transformation, warung wedangan, traditional, developing, modern

1

Page 3: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

Pendahuluan

Perkembangan warung hik saat ini megalami kemajuan dan bertransformasi

menjadi warung wedangan. Sebutan warung wedangan merujuk pada warung yang

menetap tanpa melupakan ciri khas warung hik sebagai penjual wedang (minuman)

panas, sego kucing (nasi bungkus dengan sambal dan sedikit ikan bandeng) dan

jajanan tradisional yang cocok untuk mendampingi minuman panas tersebut.

Perbedaan yang nampak dari adanya transformasi warung hik menjadi warung

wedangan terlihat dari cara berdagang ataupun dari segi waktu.

Transformasi warung hik menjadi warung wedangan juga mempengaruhi kesan

dan pola konsumtif masyarakat. Jika warung hik lebih terkesan maskulin karena

konsumen didominasi kaum lelaki dewasa dan dibuka pada malam hari dengan

penerangan minim. Warung wedangan justru bertransformasi ke dalam format yang

lebih menarik dan dapat dinikmati oleh masyarakat dari berbagai rentang usia serta

status ekonomi sosial. Saat ini telah banyak bermunculan warung wedangan ala café

dengan mengusung berbagai konsep tema, yaitu adat jawa yang kental, urban

modern, vintage, dan sebagainya, namun tetap memusatkan pada sajian kuliner

tradisional khas warung wedangan.

Transformasi warung wedangan juga membuat pergeseran pada sistem budaya

sosial di masyarakat, karena selain untuk pemenuhan kebutuhan biologis seperti

makan atau minum, warung wedangan mulai beralih fungsi menjadi tempat

pemenuhan kebutuhan sosial. Pada umumnya motivasi orang datang ke warung

wedangan adalah keinginan untuk berkomuniaksi secara “asli”, “utuh”, “berasal dari

sumber pertama” dan manusiawi. Warung wedangan menjadi wadah yang

memfasilitasi komponen masyarakat untuk berkomunikasi, bertukar pendapat,

berinteraksi sosial secara informal tanpa ada batasan substansi pesan yang akan

disampaikan, mulai dari hal pribadi hingga masalah ekonomi politik. Pengunjung

dapat menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk duduk bersama dan membahas

berbagai isu tanpa ada batasan untuk mengutarakan pendapat. Warung wedangan

juga dikenal sebagai tempat yang egaliter karena pembeli datang tanpa membedakan

2

Page 4: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

strata sosial, suku, agama dan ras. Hal tersebut yang merubah wedangan yang

awalnya sebagai tempat makan menjadi “ruang publik”.

Ruang publik bukan representasi status aristokrasi ataupun tindakan elit politis

yang terjadi di dalam apa yang disebut dengan ‘ruang politik borjuis’, melainkan

partisipasi warga dalam memperbincangkan persoalan-persoalan publik. Menurut

Habermas “hak-hak komunikatif para warganegara terlaksana terutama di dalam

diskursus-diskursus informal yang dapat dilaksanakan secara inklusif dan dapat

mempersoalkan segala tema relevan yang mungkin.” (Hardiman, 2009:133).

Indonesia sebagai negara demokrasi pasca rezim pemerintahan Orde Baru

membutuhkan pembumian makna di mana setiap perilaku yang terkait dengan publik

dan interaksi sosial politik di dalamnya didasari atas sesama, toleransi, penghargaan

atas pendapat orang lain dan kesamaan atau kesederajatan sebagai warga (Arif

2013:78-82). Keberhasilan demokrasi tidak ditentukan dari semata-mata partisipasi

masyarakat dalam suatu pemilihan saja, melainkan lebih dari itu, syarat terpenting

dalam sebuah demokrasi adalah ruang publik yang utuh dimana hak-hak berpendapat

secara bebas diutarakan, terutama dalam diskursus-diskursus informal. Cukup jelas

bahwa ruang publik bukanlah sekedar ‘tempat fisik’, melainkan komunikasi warga itu

sendiri yang memproduksi ruang diantara mereka.

Fenomena diatas menarik perhatian penulis untuk mendalami bagaimana

sebuah warung wedangan yang notabennya sebagai ruang publik terus berkembang

dan bertransformasi menjadi lingkup yang lebih luas. Transformasi warung

wedangan dirasa memiliki persoalan yang menarik untuk dikaji, baik dari budaya

masyarakat maupun dari imaji ruang publik itu sendiri. Berdasarkan hal diatas, maka

penulis ingin tuangkan dalam tulisan yang berjudul “Transformasi Warung

Wedangan Sebagai Ruang Publik di Kota Surakarta”

Rumusan Masalah

Berdasarkan dari paparan latar belakang diatas, maka pertayaan khusus

penelitian yang dikemukakan dalam studi ini ialah: Bagaimana transformasi

3

Page 5: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

modernisasi warung wedangan khususnya di Kota Surakarta dan bagaimana

perubahan bentuk serta peran ruang publik yang mengikuti didalamnya?

Dilihat dari perspektif komunikasi, maka penelitian dibatasi oleh lima aspek

yaitu: (1) Bagaimana transformasi warung wedangan secara fisik? (2) Bagaimana

karakteristik pengunjung warung wedangan? (3) Apa saja topik bahasan yang

diperbincangkan oleh sesama pengujung warung wedangan? (4) Bahasa apa yang

sering digunakan pengunjung ketika berinteraksi mengenai berbagai isu? (6)

Bagaimana atmosfer yang dibangun dan berkembang diantara pengunjung warung

wedangan?

Telaah Pustaka

1. Ruang Publik

Ruang publik bagi Arendt dan Habermas bukanlah sebuah ruangan secara

fisik, namun lebih menekankan pada komunikasi yang dilakukan oleh warga

untuk menciptakan sebuah ruang di antara mereka. Habermas menganalisis

fenomena sosial yang terjadi di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18 (zaman

Aufklarung) dimana literary salon (salon) dan café (kedai kopi) digunakan oleh

warga sebagai tempat berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis

warga. Kedai-kedai kopi dan salon telah beralih fungsi menjadi ruang diskusi

bahkan berfungsi pula sebagai “tempat oposisi” dari ruang-ruang yang tidak

dapat diakses oleh masyarakat umum, seperti istana, gedung parlemen, maupun

teater musik kaum ningrat. Tempat-tempat seperti itu yang kemudian disebut

sebagai “ruang publik” oleh Habermas.1 Hadirnya ruang publik ini mampu

menampung seluruh lapisan masyarakat dalam sebuah diskusi kritis dan diwarnai

dengan wacana-wacana yang menarik, baik mengenai isu politik maupun sastra.

Masyarakat dari kalangan yang tidak diperhitungkan sebelumnya mulai merasa

mendapatkan tempat yang bebas untuk berdiskusi mengenai berbagai isu dan

wacana. Ruang publik memberikan kesempatan bagi warganegara untuk 1 Jurgen Habermas, Op.Cit, Hlm. 32

4

Page 6: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

menggalang gerakan solidaritas dan partisipasi politis sebagai aksi melawan

dominasi, represi dan marginalisasi (Hadriman, 2009:185-186).

Ruang-ruang publik yang dianalisis Habermas, yaitu obrolan di coffe

house (Inggris), salons (Prancis) dan tichgesllschaften atau himpunan masyarakat

meja (Jerman) mungkin memiliki perbedaan dalam segi ukuran, komposisi

publik, gaya bekerja, puncak perdebatan, maupun perbedaan dalam orientasi

topik, namun ada tiga kriteria intitusional atau tiga ciri dasar ruang publik yang

umum ditemui, yaitu: Pertama, para aktornya bukan berasal dari birokrasi atau

dari kalangan bisnis, melainkan orang-orang privat atau warga biasa sehingga

komunikasi yang dibangun berciri otonom dari otoritas; Kedua, terjadi sebuah

pemberdayaan yang disebut dengan ‘public use of reason’ dimana para aktor

tanpa rasa takut menyampaikan pemikiran rasional mereka secara publik yang

dilandasi rasa prihatin atas persoalan yang merugikan publik dan kegelisahan

warga yang meghendaki adanya perubahan; Ketiga, ruang publik menjadi

mediasi antara isu privat para aktor yang kemudian diatasi lewat pencarian

kepentingan publik. Proses yang sama yang mengubah budaya kedalam

komoditi, pada dasarnya ruang publik bersifat inklusif.

2. Komunikasi

Harold Laswell yang mengatakan bahwa komunikasi adalah proses

penyampaian pesan/informasi dari komunikator kepada komunikan melalui

media tertentu yang menimbulkan efek, yang digambarkan dengan menjawab

pertanyaan Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?

(Effendy, 2005:12) Komunikasi secara luas dapat diartikan sebagai “berbagi

pengalaman” sampai batas tertentu. Komunikasi yang dilakukan di warung

wedangan (sebagai ruang publik) juga menjadi wadah bagi pengunjung

(partisipan) untuk saling bertukar lambang (ide/gagasan/pendapat) serta menjadi

wadah untuk saling berbagi pengalaman atau memahami pengalaman lawan

bicara dan dari komunikasi yang dijalin tersebut akan membentuk pengalaman

baru yang bermakna.

5

Page 7: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

3. Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal (interpersonal communication) dalam arti luas

adalah interaksi antara dua orang atau lebih tanpa mempersoalkan kenal atau

tidak dengan lawan bicaranya, dan terjadi dalam segala setting kehidupan sosial.

(Suranto, 2011:53) Pengertian komunikasi interpersonal dalam arti luas sesuai

dengan apa yang terjadi di dalam ruang publik warung wedangan dimana

masyarakat umum berdatangan dan saling menjalin komunikasi tatap muka tanpa

mempersoalkan siapa lawan bicaranya dan status sosialnya. Komunikasi

interpersonal merupakan proses penggunaan informasi secara bersamaan, dimana

pelaku komunikasi memperoleh kerangka pengalaman yang sama dimana

kerangka pengalaman ini merupakan kumpulan pengetahuan, nilai-nilai,

kepercayaan dan sifat lainnya dalam diri seseorang (Wiryanto, 2004:37). Melalui

proses komunikasi yang terjalin, setiap orang akan menyesuaikan dirinya dengan

orang lain lewat peran yang disebut dengan transmitting (mengirim pesan) dan

receiving (menerima pesan) dalam rangka untuk mencapai tujuan dalam

komunikasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa komunikasi interpersonal memegang

peranan penting dalam perkembangan masyarakat kita. Tanpa komunikasi

interpersonal, orang tidak akan saling memahami, saling bekerjasama dan

mendorong perkembangan masyarakat tanpa henti (Wang, 2009:155). Pemaparan

dari Hiyan Wang tersebut sejalan dengan konsep ruang publik, sebuah ruang

yang menjadi wadah pertemuan seseorang dengan orang lain untuk berkumpul

bersama dan menciptakan hubungan yang bermakna melalui komunikasi

antarpribadi yang mereka jalin, salah satunya mampu membentuk sebuah opini

publik yang diharapkan mampu memberikan perubahan bagi kepentingan

masyarakat luas.

4. Warung Wedangan Sebagai Ruang Publik

6

Page 8: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

Demokrasi memang mengandaikan kebebasan untuk berpikir, berbicara

dan berkomunikasi tanpa diskriminasi, manipulasi dan represi. Sehingga ruang

publik yang utuh dan otonom dari imperatif-imperatif pasar dianggap sebagai

syarat terpenting bagi terwujudnya sistem demokrasi. Indonesia sebagai negara

demokrasi nampaknya masih memiliki ruang-ruang publik yang dapat digunakan

oleh masyarakat umum serta memiliki aksesibilitas yang mudah dijangkau oleh

semua kalangan, salah satunya yaitu warung wedangan. Para pengunjung warung

wedangan bertemu satu sama lain, berbincang mengenai persoalan yang menarik

bagi mereka, dan bahkan semuanya dilakukan dengan leluasa tanpa ada tekanan.

Interaksi yang terjalin di ruang publik seperti warung wedangan, merupakan

pemenuhan akan kebutuhan sosial dan hak tiap individu sebagai warga negara

yang demokratis. Interaksi juga dapat berupa perdebatan, terutama perdebatan

yang bersifat non-formatif sesuai dengan sifat ruang publik yang bebas.

Metodologi Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai adalah studi kasus. Teknik pengumpulan data

menggunakan metode observasi dan wawancara. Metode quasi-participant

observation dipilih karena peranan peneliti sebagai pengamat tidak sepenuhnya ikut

berperan serta dalam kelompok masyarakat yang diteliti (tidak melebur dalam arti

sesungguhnya) dan metode in-depth interview (wawancara mendalam) yang

dilakukan secara terstruktur. Sumber data berupa manusia dengan teknik theoretical

construct sampling dengan menetapkan aspek-aspek tertentu dari konsep yang

digunakan. Data juga didukung dengan berbagai studi literatur. Teknik analisis data

menggunakan model analisis interaktif dimulai dari reduksi data, penyajian data dan

penarikan kesimpulan. Sedangkan validitas data menggunakan triangulasi sumber

(data) dan triangulasi metode.

Sajian dan Analisis Data

7

Page 9: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

Dalam penelitian ini akan menitik beratkan pada bagaimana transformasi

warung wedangan sebagai ruang publik (khususnya di Kota Surakarta) dan

dampaknya terhadap ruang publik yang mengikutinya. Sejauh apa perbedaan maupun

persamaan diantara berbagai jenis warung wedangan, yang dalam penelitian ini

dikategorikan kedalam tiga jenis yaitu warung wedangan tradisional, warung

wedangan berkembang dan warung wedangan modern. Penelitian ini dilakukan di

sembilan situs dari tiga kategori warung wedangan di Kota Surakarta, (1) kategori

warung wedangan tradisional, diantaranya warung Wedangan Mbah Trimo, warung

Wedangan Nolid dan warung Wedangan Jebres; (2) kategori warung wedangan

berkembang, diantaranya warung Wedangan Pak No, warung Wedangan Kapal ISI

dan warung Wedangan Lingkar Selatan; (3) kategori warung wedangan modern

diantaranya warung Wedangan Omah Lawas, warung Wedangan Cangkir Blirik dan

warung Wedangan Omahe Whawin.

1. Transformasi Warung Wedangan Secara Fisik

Antoniades (1992:66) menjelaskan pengertian transformasi sebagai sebuah

proses perubahan secara berangsur-angsur sehingga pada tahap ultimate (tahap

yang paling optimal), perubahan dilakukan dengan cara memberi respon terhadap

pengaruh unsur eksternal dan internal yang akan mengarahkan pada perubahan

dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui proses menggandakan secara

berulang-ulang atau melipatgandakan. Pengaruh unsur eksternal maupun internal

dalam perubahan secara fisik dalam proses transformasi disebabkan oleh adanya

kekuatan non fisik, seperti perubahan budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini

juga terjadi pada warung hik (yang dalam penelitian ini disebut dengan

‘wedangan’) yang di’sulap’ oleh para pemodal menjadi ruang yang lebih akrab

oleh khalayak luas seiring dengan budaya modernitas. Mengamati keberadaan

yang dalam penelitian ini di istilahkan sebagai “wedangan”, ditemukan kenyataan

bahwa terdapat beragam jenis dan atau tingkatan yang kemudian dikerucutkan

8

Page 10: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

dalam tiga ketegori berbeda, yaitu warung wedangan tradisional, warung

wedangan berkembang dan warung wedangan modern.

Warung wedangan mulai mengalami perubahan yang sangat kentara yaitu

warung hik sudah tidak dijajakan dengan cara berkeliling dan dipikul lagi namun

sudah menetap di satu lokasi dengan menggunakan gerobak, tenda sebagai atap,

serta lampu yang tidak terlalu terang. Lokasi yang dipilih umumnya berada di

perkampungan yang mudah dijangkau oleh warga sekitar dengan berjalan kaki.

Pada awal abad ke-20, beberapa penjaja wedangan tradisional mulai

mengembangkan usahanya dari yang awalnya hanya menggunakan gerobak

dorong dengan sistem bongkar pasang, kini sudah menetap di suatu titik/lokasi

(umumnya di pinggir jalan) dengan bangunan semi permanen atau ruko dengan

sistem kontrak. Selain itu dilihat dari ruang yang awalnya hanya memuat delapan

hingga dua belas orang, sekarang mampu memuat lebih dari seratus orang dengan

menggunakan dua tipe tempat duduk. Tempat duduk berupa kursi dan meja

(indoor) dan lesehan diletakkan di area sekitar wedangan (outdoor). Warung

wedangan berkembang juga telah meperluas usaha dengan membuka cabang di

daerah lain. Ciri khas tersebut yang menandai transformasi warung wedangan

berkembang dalam skala yang lebih besar. Menginjak abad ke-21 para pemodal

mulai menyulap warung wedangan dengan kelas yang lebih ‘mewah’ layaknya di

restauran atau café. Berbagai konsep mulai diterapkan oleh masing-masing warung

wedangan modern, seperti urban modern, vintage, Jawa tempo dulu, hingga

perpaduan Jawa dan Bali. Selain itu lahan yang digunakan merupakan lahan milik

pribadi dengan bangunan bersifat permanen. Penataan tempat duduk di warung

wedangan sudah dibentuk dengan memberikan ruang privasi pada tiap meja.

Transformasi juga mengalami pergeseran dalam segi waktu atau jam kerja

dan sistem kerja. Warung wedangan yang identik dengan budaya lek-lekan atau

begadang sepanjang malam hingga pagi kini justru bertransformasi dengan

merubah jam buka mulai dari sore hari (rata-rata buka pukul 17.00 WIB) hingga

tengah malam saja. Namun ada beberapa juga yang masih mempertahakan budaya

9

Page 11: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

lek-lekan ini, ada juga warung wedangan modern yang beroperasi dari pagi hari.

Selain itu perubahan dari adanya transformasi berdampak pada sistem kerja yang

diterapkan di masing-masing jenis warung wedangan. Semakin modern sebuah

warung wedangan, maka jumlah penjaja (atau pegawai) semakin bertambah

dengan penerapan SOP yang semakin ketat dan penggunaan sistem yang canggih.

2. Karakteristik Pengunjung Warung Wedangan

Warung wedangan tradisional masih sama seperti warung hik pada

umumnya yang lebih terkesan maskulin karena konsumen didominasi kaum lelaki

dewasa dan dibuka pada malam hari dengan penerangan minim. Hal ini

dikarenakan pengunjung yang nongkrong dalam kurun waktu yang lama

didominasi oleh kaum laki-laki (dewasa madya usia 40-60 tahun dan dewasa dini

usia 18-40 tahun). Jenis warung wedangan berkembang dan modern memiliki

pengunjung yang tergolong umum dari segi usia, mulai dari golongan anak-anak

hingga golongan dewasa lanjut terlihat mengunjungi warung wedangan tersebut.

Sedangkan jika dilihat dari jenis kelamin, warung wedangan berkembang memiliki

jumlah pengunjung yang hampir sama antara pengunjung laki-laki dengan

pengunjung perempuan, namun semakin malam akan lebih didominasi oleh kaum

laki-laki. Sedangkan warung wedangan modern memiliki prosentase 60%

pengunjung perempuan dan 40% laki-laki. Hal ini didukung dengan hasil

wawancara bersama Ibu NA, manager warung Wedangan Omahe Whawin yang

mengungkapkan hal serupa.

Dari segi agama, semua tipe warung wedangan memiliki hal yang serupa

yaitu adanya pengunjung yang menggunakan atribut keagamaan seperti hijab bagi

kaum wanita yang menunjukkan identitas agama Islam dan aksesoris salib untuk

menunjukkan pengunjung Kristiani. Dari segi etnis, karena penelitian mengambil

di Kota Surakarta, maka sebagian besar pengunjungnya memiliki etnis Jawa,

Tionghoa dan Arab jika dilihat secara visual. Di teliti lebih lanjut melalui bahasa

dan logat daerah yang dipakai. Warung wedangan tradisional sangat kental dengan

10

Page 12: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

etnis Jawa ditandai dengan penggunaan Bahasa Jawa yang sangat dominan,

meskipun terkadang logat yang digunakan oleh pengunjung tidak medok.

Sedangkan warung wedangan berkembang lebih umum dalam segi etnis

pengunjung dikarenakan pengunjung yang datang tidak hanya warga dari sekitar

warung wedangan, namun masyarakat luar Kota Surakarta, bahkan hingga luar

pulau Jawa. Ada yang merupakan warga negara asing (WNA). Warung wedangan

modern juga memiliki pengunjung dengan etnis yang beragam karena berasal dari

dua golongan, yaitu golongan lokal (masyarakat Kota Surakarta) hingga luar Kota

Surakarta, seperti warga Jakarta dan sekitarnya.

Berdasarkan strata sosial dalam masyarakat, warung wedangan tradisional

memiliki pengunjung dari beragam latar belakang yang hanya dapat diketahui

melalui topik obrolan dan pengakuan mereka secara pribadi. Hal tersebut

dikarenakan pengunjung yang datang ke warung wedangan tradisional telah

melepaskan atribut mereka dan menjadi ‘sama’ atau setara dengan pengunjung

lainnya baik secara visual maupun obrolan. Hampir serupa dengan pengunjung

warung wedangan berkembang dimana pengunjung melepaskan atribut sosial

mereka dan dengan bebas nongkrong di warung wedangan berkembang.

Pengunjung warung wedangan berkembang memiliki pengunjung yang umum dan

diunjungi oleh berbagai golongan strata, mulai dari lower, middle, hingga upper.

Sedangkan warung wedangan modern lebih didominasi dengan golonggan middle-

up (menengah keatas) dimana para pengunjung masih memperhatikan gaya busana

ketika datang ke warung wedangan ala café tersebut. Selain itu masih banyak

pengunjung yang datang dengan membawa atribut mereka secara tersirat, baik

melalui kendaraan, style maupun gaya obrolan.

3. Topik Bahasan atau Obrolan di Warung Wedangan

Topik bahasan atau obrolan yang dibicarakan oleh pengunjung warung

wedangan hampir serupa yaitu topik pribadi (privat) dan topik khusus (sosial-

ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya). Pola yang sering terjadi biasanya

11

Page 13: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

diawali dengan menyampaikan kegelisahan atau cerita mengenai diri sendiri (topik

privat) yang berifat ringan atau sekedar basa-basi yang kemudian akan

berkembang menjadi topik yang lebih serius. Persamaan yang lain pada ketiga

jenis warung wedangan ini adalah topik khusus yang dibicarakan lebih dominan

yang menyangkut tentang sosial-budaya, sedangkan topik sosial-politik lebih

cenderung dihindari oleh pengunjung, bahkan partisipan dapat secara tegas

mengatakan perihal tersebut di ruang publik tanpa ada paksaan atau rasa takut.

Kriteria intitusional atau ciri dasar ruang publik yang kedua yang umum

ditemui adalah terjadi sebuah pemberdayaan yang disebut dengan ‘public use of

reason’ dimana para aktor tanpa rasa takut menyampaikan pemikiran rasional

mereka secara publik yang dilandasi rasa prihatin atas persoalan yang merugikan

publik dan kegelisahan warga yang meghendaki adanya perubahan. Ciri ketiga

yaitu ruang publik menjadi mediasi antara isu privat para aktor yang kemudian

diatasi lewat pencarian kepentingan publik. Para peserta diskusi senantiasa

mengaitkan materi diskusi dengan kepentingan masyarakat luas dan isu yang

menjadi bahan diskusi dapat diakses oleh siapa saja serta siapapun dapat

bergabung (Hadirman, 2009:133). Salah satu contohnya yaitu ketika isu mengenai

sosial-ekonomi yang berkaitan langsung dengan kehidupan banyak orang,

kemudian diikuti rentetatan panjang opini dari pengunjung lainnya yang kemudian

menghasilkan suatu opini publik. Skala pembicaraan akan berbeda pada tiap jenis

warung wedangan berdasarkan partisipan yang beropini didalamnya. Contohnya

warung wedangan tradisional akan mengangkat isu-isu berskala lokal yang setiap

hari bersinggungan dengan mereka, seperti harga BBM, sembako, dan kebutuhan

lainnya. Berbeda dengan warung wedangan modern yang mengangkat isu krisis

ekonomi hingga skala internasional seperti kenaikan dollar, jatuhnya rupiah,

export import, bursa saham, dan lain sebagainya. Perbedaan pada latar belakang

partisipan/ pengunjunglah yang mempengaruhi pilihan topik yang dibicarakan.

12

Page 14: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

4. Bahasa Yang Digunakan di Warung Wedangan

1) Bahasa yang digunakan di warung wedangan berbeda-beda tergantung

siapa yang berbicara dan siapa lawan bicara mereka. Rata-rata pengunjung yang

penulis wawancara menggunakan bahasa campuran, entah campuran Bahasa

Indonesia-Jawa, Bahasa Indonesia-Inggris, atau campuran ketiganya dengan

penambahan bahasa gaul seperti “nggak”, “ngapain”, ”bro” dan sebagainya.

Bahasa campuran ini sering ditemui di warung wedangan berkembang

dikarenakan ragam partisipan/pengunjung didalamnya. Sedangkan di warung

wedangan modern lebih cenderung menggunakan Bahasa Indonesia dengan logat

khas orang Jakarta dan terkesan formal. Pengunjung banyak menggunakan bahasa

gaul maupun bahasa asing untuk menjelaskan suatu hal. Pemilihan kata yang

intelek dan penggunaan kata-kata ilmiah juga terkadang terlontar oleh pengunjung

yang sedang membahas topik/isu tertentu. Namun juga tidak dipungkiri masih ada

beberapa pengunjung yang menggunakan bahasa Jawa, baik Bahasa Jawa krama

(halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem

dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih

dominan menggunakan Bahasa Jawa dikarenakan patisipan didominasi oleh etnis

Jawa atau pendatang yang sudah tinggal lama di Kota Surakarta. Namun terkadang

juga menggunakan Bahasa Indonesia ketika mengobrol. Penggunaan prokem

negatif juga sering terdengar sebagai penakanan pada penyampaian ekspresi atau

emosi mereka. Di warung wedangan tradisional lebih cederung tanpa ragu untuk

berkata kasar/sumpah serapah sebagai ungkapan emosi mereka. Begitu juga halnya

di warung wedangan berkembang. Sedangkan di warung wedangan modern

cenderung sungkan untuk berkata kasar secara lantang.

5. Atmosfer Yang Berkembang di Warung Wedangan

Atmosfer dalam warung wedangan merupakan hasil dari adanya interaksi

yang dilakukan antar orang perorangan yang bersifat dinamis, baik antar

pengunjung dengan pengunjung dan atau pengunjung dengan penjaja. Tiap warung

13

Page 15: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

wedangan pasti memiliki atmosfer yang berbeda tergantung siapa yang

berinteraksi didalamnya serta pesan seperti apa yang saling dipertukarkan oleh

partisipan. Selain itu hasil transformasi bentuk warung wedangan nyatanya juga

mempengaruhi atmosfer tersebut. Rata-rata warung wedangan memiliki atmosfer

yang santai dilihat dari kebiasaan pengunjung yang lebih menghabiskan banyak

waktu di warung wedangan hanya untuk sekedar ngobrol.

Atmosfer yang berkembang di warung wedangan tradisional sangat santai dan

bebas perbendapat hingga terbentuk suasana kekeluargaan. Penjaja juga ikut

berpartisispasi bahkan membangun obrolan dalam ruang publik agar budaya

wedangan terasa hidup. Pengunjung di warung wedangan berkembang mulai

datang berkelompok namun area tempat duduk yang tidak ada jarak antar

pengunjung membuat pengunjung bisa saling mendapat informasi dari kelompok

lain atau bahkan ikut bergabung untuk mengobrol dengan santai dan bebas.

Pemilik selalu berada di warung wedangan namun komunikasi dilakukan hanya

dengan pelanggan atau pengunjung yang sedang berada didekatnya. Warung

wedangan modern terkesan lebih formal karena bentuk bangunan ala café dan

pengunjung yang memperhatikan penampilan saat datang. Tempat duduk terpisah

antar meja membuat pengunjung hanya fokus dengan kelompoknya layaknya

ruang pribadi (privat). Interaksi dengan kelompok pegunjung lain hanya jika

mengenal dan sebatas salam/sapaan basa-basi yang diakhiri dengan kembali lagi

ke meja masing-masing. Pemilik jarang terlihat berada di warung wedangan

sehingga komunikasi antar pengunjug dan pemilik hanya sebatas kritik dan saran

atau pengunjung yang sudah akrab/kenal. Dari interaksi yang terjalin terdapat hasil

positif berupa bertambahnya wawasan hingga terjadinya kerjasama dan hasil

negatif berupa pertengkaran akibat adu argumen.

6. Transformasi Warung Wedangan Sebagai Ruang Publik

Dari kelima aspek diatas, bisa kita lihat bahwa transformasi karena adanya

modernisasi tidak hanya merubah bentuk warung wedangan secara fisik saja,

14

Page 16: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

namun diikuti oleh perubahan dalam karakteristik pengunjungnya, topik diskusi,

hingga atmosfernya yang membentuk apa yang disebut dalam penelitian ini

sebagai ruang publik.

Ruang publik bukan sekedar ‘ruang fisik’, melainkan interaksi atau

komunikasi warga yang memproduksi ruang diantara mereka untuk mencapai apa

yang disebut demokratisasi. Komunikasi yang dilakukan di warung wedangan

(sebagai ruang publik) juga menjadi wadah bagi pengunjung (partisipan) untuk

saling bertukar lambang (ide/gagasan/pendapat) serta menjadi wadah untuk saling

berbagi pengalaman atau memahami pengalaman lawan bicara dan dari

komunikasi yang dijalin tersebut akan membentuk pengalaman baru yang

bermakna.

Ruang publik yang menurut Arendt dan Habermas merupakan sebuah

wadah imajier yang mampu menampung seluruh lapisan masyarakat untuk

melakukan diskusi kritis mengenai berbagai isu-isu menarik lebih mengarah ke

warung wedangan tradisional dan berkembang. Meskipun keduanya memiliki

perbedaan dalam segi ukuran, komposisi publik, gaya bekerja, puncak perdebatan,

maupun perbedaan orientasi topik, namun keduanya memiliki tiga kriteria

institusional atau tiga ciri dasar ruang publik yaitu Pertama, para aktornya bukan

berasal dari birokrasi atau dari kalangan bisnis, melainkan orang-orang privat atau

warga biasa sehingga komunikasi yang dibangun berciri otonom dari otoritas;

Kedua, terjadi sebuah pemberdayaan yang disebut dengan ‘public use of reason’

dimana para aktor tanpa rasa takut menyampaikan pemikiran rasional mereka

secara publik yang dilandasi rasa prihatin atas persoalan yang merugikan publik

dan kegelisahan warga yang meghendaki adanya perubahan; Ketiga, ruang publik

menjadi mediasi antara isu privat para aktor yang kemudian diatasi lewat

pencarian kepentingan publik. Meskipun diketahui bahwa ruang publik di warung

wedangan berkembang mulai terkotak-kotak karena lahan yang luas yang tidak

memungkinkan semua orang yang datang ke wedangan ikut bergabung dalam

suatu bahasan, sehingga pengunjung nampak lebih bersama kelompoknya.

15

Page 17: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

Sedangkan transformasi warung wedangan modern secara fisik yaitu

penataan kursi yang memiliki jarak atau sekat antar meja satu dengan yang lainnya

-bahkan sekat tembok- berimplikasi pada ruang publik didalamnya yang terkotak-

kotak secara jelas. Hal ini didukung dengan pernyataan para pemilik warung

wedangan modern yang memang menata meja sedemikian rupa untuk memberikan

ruang-ruang privat kepada para pengunjung. Pengunjung datang bersama rekan

satu kelompoknya, memilih tempat duduk yang hanya memuat kelompoknya,

berbincang hanya dengan kelompoknya dan tidak peduli dengan kelompok lain di

sekitarnya. Selain itu, nilai ruang publik yang demokratis juga mulai

dipertanyakan lantaran para aktor tidak tumbuh dari ruang publik itu sendiri,

melainkan muncul di depan publik. Mereka memperalat ruang publik yang telah

ada itu sebagai panggung presentasi kepentingan-kepentingan mereka belaka.

Prinsip demokrasi yang diasalkan dari prinsip Kantian bahwa setiap orang yang

dalam hal ini dimaksudkan warga negara seharusnya diperlakukan tidak sebagai

sarana, melainkan sebagai tujuan untuk mencapai apa yang disebut dengan

kedaulatan rakyat.

Selain itu, atmosfer yang terbangun di warung wedangan modern tidak

sebebas di warung wedangan tradisional ataupun warung wedangan berkemabang.

Hal ini disampaikan oleh AD yang merasa di ’telanjangi’ dengan pandangan

pengunjung lain ketika dirinya datang dengan style hariannya yang sederhana,

seperti celana ripped jeans, kaos, sandal jepit, dan rambut gondrong. Jika menurut

RW, perbedaan terdapat dalam kebebasan berekspresi yang minim di warung

wedangan modern karena adanya rasa sungkan ketika ingin berteriak-teriak

bahkan saru-saruan (bercanda dalam konteks negatif/pikiran kotor). RW lebih

memilih wedangan tradisional karena RW dapat mengekspresikan dirinya secara

bebas dan bisa membaur/mengobrol dengan penjaja maupun dengan pengunjung

yang lain. Ia juga menambahkan bahwa dari basa-basi yang ia lakukan di warung

wedangan tradisional, akan ada tanggapan oleh pengunjung lain dan kemudian

16

Page 18: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

obrolan makin meluas hingga munculnya suatu jalinan baru atau kekerabatan baru

diantara mereka. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa informasi lebih banyak

didapat dari warung wedangan tradisional karena omongan ngalor-ngidul yang

dilakukan oleh para pengunjung. AD juga menambahkan bahwa pengunjung yang

datang sangatlah random dan dari berbagai kalangan dan dapat berbicara dengan

gamblang mengenai berbagai isu, bahkan isu sensitif sekalipun.

Kesimpulan

Semua jenis warung wedangan masih bisa dikatakan sebagai ruang publik jika

dilihat sebagai wadah berkumpulnya masyarakat untuk berdialektika. Namun jika

dilakukan pendekatan secara kritis terhadap teori ruang publik, maka ruang publik

yang terbentuk pada awal warung wedangan tradisional itu justru sebenarnya lebih

merepresentasikan ruang publik yang dimaksudkan oleh Habermas karena memiliki

tiga kriteria institusional atau tiga ciri dasar ruang publik yaitu demokrasi,

kebermaknaan dan renponsif. Habermas berpendapat untuk memelihara keutuhan

struktur-struktur komunikasi ruang publik diperlukan peranan masayarakat warga

yang kritis dan aktif. Hal tersebut kurang nampak di warung wedangan berkembang

dan bahkan terasa bias di warung wedangan modern. Jadi dalam penelitian ini dapat

disimpulkan bahwa transformasi warung hik (tradisional) menjadi warung wedangan

(modern) tidak hanya berupa perubahan secara fisik saja, namun berimplikasi juga

terhadap ruang publik yang terbentuk didalamnya. Temuan besar dalam penelitian

ini adalah bahwa ketika semakin warung wedangan sebagai ruang publik itu di

modernisasi, maka komunikasi publik yang tercipta didalamnya akan semakin kaku

dan kabur.

17

Page 19: D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih dominan

Daftar Pustaka

Antoniades, A.C. (1992). Poetics od Archtecture: Theory of design. New York: Van Nostrand Reinhold

Arif, Saiful & Heri Setyono. (2013). Sejarah & Budaya Demokrasi, Manusia Berstatus Warga dalam Kehidupan Bernegara Bangsa. Malang: Averroes Community

BPS Kota Surakarta. (2018). Kota Surakarta Dalam Angka 2018. Surakarta: Badan Pusat Statistik Kota Surakarta

Effendy, Onong Uchana. (2005). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya

Fitriani, Lucky. (2013). Warung HIK sebagai Ruang Publik (Studi Kass Warung Hik sebagai Ruang Publik di Kota Surakarta). Skripsi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Geertz, Clifford. (1973). Penjaja Dan Raja (Perubahan Sosial Dan Modernisasi Ekonomi Di Dua Kota Indonesia). Terjemahan S. Supomo. Jakarta: PT Gramedia

Habermas, Jurgen. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere, dialih bahasa oleh Thomas Burger. Britain: Polity Press

Hardiman, Budi. (2009). Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

_____________. (2010). Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius

Mangkoko. Wedangan dan Hik:Angkringan ala Solo. http://mangkoko.com/jalan-jalan/wisata-kuliner/wedangan-dan-hik-angkringan-ala-solo, diakses pada tanggal 10 Maret 2018, 22.21

Nn. Wedangan. https://menikmatiwaktu.wordpress.com/2011/06/29/wedangan, diakses pada tanggal 11 Maret 2018, 00.09

Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKIS Pelangi AksaraSuranto AW. (2011). Komunikasi Interpersonal. Yogyakrta: Graha IlmuSutopo, H.B. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS PressWang, Haiyan. (2009). Nonverbal Communication and The Effect on Interpersonal

Communiction. Journal of Asian Social Science, Vol.5, No.11, pp. 155-159

Wiryanto. (2004). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Gramedia Widasarana Indonesia

18