Cultural Studies

download Cultural Studies

of 153

description

apa dadi orang

Transcript of Cultural Studies

Cultural StudiesOleh ANTARIKSA

Birmingham CentreOleh NURAINI JULIASTUTI

Cultural studies (kajian budaya) memfokuskan diri pada hubungan antara relasi-relasi sosial dengan makna-makna. Berbeda dengan "kritik kebudayaan" yang memandang kebudayaan sebagai bidang seni, estetika, dan nilai-nilai moral/kreatif, kajian budaya berusaha mencari penjelasan perbedaan kebudayaan dan praktek kebudayaan tidak dengan menunjuk nilai-nilai intrinsik dan abadi (how good?), tetapi dengan menunjuk seluruh peta relasi sosial (in whose interest?). Dengan demikian setiap pemilahan antara masyarakat atau praktek yang "berkebudayaan" dan yang "tidak berkebudayaan", yang diwarisi dari tradisi elit kritisisme kebudayaan, sekarang dipandang dalam terminologi klas. Bentuk kajian budaya dipengaruhi secara langsung oleh perlawanan untuk mendekolonialisasikan konsep tersebut dan untuk mengkritisi tendensi yang berusaha mempertahankan aturan-aturan yang mereproduksi kelas dan ketidaksamaan lainnya. Maka kajian budaya membangun sebuah kerangka kerja yang berusaha menempatkan dan menemukan kembali kebudayaan dari kelompok-kelompok yang sampai sekarang dilupakan. Inilah awal diperhatikannya bentuk-bentuk dan sejarah perkembangan kebudayaan kelas pekerja, serta analisis bentuk-bentuk kontemporer kebudayaan populer dan media. Tidak seperti disiplin akademis tradisional, kajian budaya tidak mempunyai ranah intelektual atau disiplin yang terdefinisi dengan jelas. Ia tumbuh subur pada batas-batas dan pertemuan bermacam wacana yang sudah dilembagakan, terutama dalam susastra, sosiologi, dan sejarah; juga dalam linguistik, semiotik, antropologi, dan psikoanalisa. Bagian dari hasilnya, dan bagian dari pergolakan politik dan intelektual tahun 1960-an (yang ditandai dengan perkembangan yang cepat dan meluasnya strukturalisme, semiotik, marxisme,dan feminisme) kajian budaya memasuki periode perkembangan teoritis yang intensif. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana kebudayaan (produksi sosial makna dan kesadaran) dapat dijelaskan dalam dirinya sendiri dan dalam hubungannya dengan ekonomi (produksi) dan politik (relasi sosial).Termuat di Newsletter KUNCI No. 1, Juli 1999 1

Siapapun yang belajar kajian budaya mesti mengingat nama Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies baik-baik. Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies, biasa disingkat Birmingham Centre, berada di Universitas Birmingham, salah satu universitas tua di Inggris. Birmingham Centre didirikan pada tahun 1964, sebagai pusat penelitian universitas, dan dipimpin pertama kali oleh Richard Hoggart. Ketika Hoggart meninggalkan Birmingham pada tahun 1968, ia digantikan oleh Stuart Hall. Dibawah Hall, pada tahun 1970-an dan 1980-an, Birmingham Centre menjadi pusat pemikiran intelektual yang paling penting di dataran Eropa dan Amerika. Birmingham Centre mengajarkan kajian budaya baik di tingkat sarjana maupun pasca sarjana dan aktif mempromosikan penelitian di bidang ini. Hall menerbitkan jurnal khusus yaitu Working Papers in Cultural Studies yang dipublikasikan bekerjasama dengan Hutchinson. Selain itu, sejak tahun 1991, Birmingham Centre mempublikasikan jurnal Cultural Studies from Birmingham, dan yang paling baru adalah The European Journal of Cultural Studies yang diterbitkan Sage. Anthony Easthope, sekarang profesor English studies dan cultural studies (kajian budaya) di Manchester Metropolitan University, menilai seluruh karya-karya Birmingham Centre sebagai bentuk intervensi yang paling penting dalam dunia kajian budaya di Inggris. Graeme Turner, editor Australian Journal of Cultural Studies dan tokoh penting perkembangan kajian budaya di Australia mengatakan bahwa Birmingham Centre dapat mengklaim sebagai sebuah institusi kunci dalam sejarah kajian budaya. Sumbangan penting Birmingham Centre dalam kajian budaya adalah kepeloporannya dalam studi subkultur, suara-suara yang marjinal dari budaya dominan. Sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh Matthew Arnold (pelopor English studies) yang terfokus pada konstruksi penyatuan kebudayaan nasional yang ideologinya sangat borjuis dan eksklusif, serta bertujuan utama untuk mengkonstruksikan kebudayaan nasional Inggris yang sesuai dengan kebijakan pemerintah Inggris. Birmingham Centre tidak seperti itu. Studi yang terkenal dari Birmingham Centre adalah tentang ras, kelas dan gender. Kobena Mercer mendeskripsikan studi yang dilakukan Birmingham Centre ini dengan "the all too familiar `race, class, gender' mantra". Tema-tema yang selalu jadi perhatian utama Hall, termasuk juga yang mewarnai kajian-kajian Birmingham Centre adalah yang selalu berkaitan dengan kebudayaan, ideologi dan identitas. Kontribusi pentingnya2

adalah ia berhasil membuat studi untuk mencari makna ideologis dari bentuk-bentuk kebudayaan yang ada. Birmingham Centre juga adalah kelompok yang memelopori pemakaian semiotika dalam cultural studies. Kajian-kajian Birmingham Centre tentang subkultur dan kebudayaan marjinal (marginalized studies) sudah dimulai sejak akhir `60-an. Sebagai contoh, Stuart Hall sudah menulis laporan penelitian "The Hippies: An Amarican Moment" pada tahun 1968. Peneliti Birmingham lainnya, Dick Hebdige, menulis penelitian "Reggae, Rastas and Ruddies: Style and the Subversion of Form" pada tahun 1974, dan John Clarke pada tahun yang sama sudah membuat penelitian "The Skinheads and the Study of Youth Culture" (tahun 1973 ia meneliti "Football Holliganism and the Skinheads"). Tema-tema penelitian Birmingham Centre yang lain misalnya: youth culture, fashion, musik, budaya olah raga, atau karya-karya fiksi. Dengan tema-tema seperti itu wajar saja kalau Birmingham Centre lantas menjadi sumber inspirasi dalam kajian budaya di seluruh dunia. Di tahun `90-an saja tema-tema penelitian Birmingham Centre masih aktual dibicarakan. Sementara di Indonesia studi kebudayaan masih belum lagi memasuki tema-tema kebudayaan marjinal dan "hal yang kecil-kecil" seperti dilakukan Birmingham Centre. Studi kebudayaan di Indonesia masih menekankan kepada tema-tema besar, semisal hubungan negara-masyarakat dsb. Sekarang Birmingham Centre dipimpin oleh Michael Green. Ia memimpin peneliti-peneliti yang sangat berpengaruh dalam kajian budaya sekarang ini: Jorge Larain, John Gabriel, Ann Gray, Gargi Bhattacharyya, David Parker, Jo Van-Every, Malika Mehdid, Mark Erickson, dan Sue Wright. Meskipun gema pengaruh Birmingham Centre masih terasa sampai sekarang, pusat-pusat kajian budaya yang baru pelan-pelan mulai menapakkan jejak kakinya. Beberapa yang bisa disebut di sini antara lain adalah School of Communication Studies di Westminster University yang menerbitkan seri terbitan Media, Culture and Society, pusat kajian budaya di Teeside University yang kemudian menerbitkan jurnal dan buku-buku dengan nama Theory, Culture and Society, bahkan ada juga jurnal internasional, Cultural Studies, dengan grup editor dari Inggris, Amerika, dan Australia, yang telah dipublikasikan oleh Methuen, kemudian oleh Routledge.Termuat di Newsletter KUNCI No. 2, September 1999

Raymond WilliamsOleh ANTARIKSA

Tokoh kita kali ini adalah Raymond Williams, salah satu tokoh yang favorit dikaitkan dengan kelahiran kajian budaya. Ia lahir di daerah perbatasan Inggris-Wales pada 1921 dan meninggal pada 1988. Dalam sejarah kajian budaya, Williams dikenal sebagai seorang pemikir yang teguh, yang berangkat dari tradisi menulis dan membaca sastra, yang kemudian dipadukannya dengan marxisme untuk diterapkan secara lebih luas dalam bidang sosial dan kebudayaan. Pada 1939 Williams mulai belajar bahasa dan sastra di Trinity College, Cambridge tahun 1939. Di sini ia menjadi salah satu murid F.R. Leavis. Gurunya ini adalah salah satu tokoh utama kulturalisme Inggris, yang memahami kebudayaan sebagai kanon sastra dan seni tinggi, karya-karya besar, dan menganggap film dan karya fiksi populer sebagai candu peradaban. Di universitas yang sama, pada tahun 1974, Williams diangkat menjadi Profesor Drama. Dan sungguh ironis, bahwa karya-karya lembaga ini justru tidak ditandai oleh sumbangan pemikiran Williams. Di Cambridge, ia berkarya seorang diri (Garnham 1988). Karya-karya Williams mencakup bidang yang luas. Ia menulis tentang kebudayaan, juga novel dan kritik sastra. Tetapi isu yang selalu menggelisahkan Williams adalah demokratisasi. Demokratisasi bagi Williams juga adalah sebuah komitmen moral, dari mana pemikiranpemikirannya berasal dan bertujuan. Ketertarikannya pada politik kebudayaan sebenarnya baru dimulai pada 1945, saat ia kembali lagi belajar di Universitas Oxford dan kemudian ke Cambridge, setelah menjalani tugas kemiliteran pada Perang Dunia II. Karya-karya politik kebudayaannya pada masa ini secara jelas menunjukkan usahanya untuk selalu mengaitkan kebudayaan, politik, dan kondisi-kondisi sosial. Dan baru secara total menunjukkan pandangan marxisnya yang brilian tentang kebudayaan pada Culture and Society, 1780-1950 (mulai ditulis 1948, terbit 1958) dan The Long Revolution (selesai 1959, terbit 1961).4

3

Kebudayaan sebagai Keseluruhan Cara Hidup Baik Culture and Society maupun The Long Revolution mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam kajian budaya. Sangat berbeda dengan Leavis, dalam karya-karyanya ini Williams tidak memahami kebudayaan dalam perspektif estetis dan ia menolak elitisme kebudayaan. Williams membangun sebuah pemahaman yang lebih menekankan karakter kehidupan sehari-hari, yaitu kebudayaan sebagai keseluruhan cara hidup. Baginya kebudayaan sekaligus meliputi seni, nilai, norma-norma, dan benda-benda simbolik dalam hidup sehari-hari, ia merupakan bagian dari totalitas relasi-relasi sosial. Teori kebudayan dengan begitu didefinisikan sebagai studi tentang relasi-relasi antarelemen dalam hidup sosial. Menurut Williams (1965), kita perlu membedakan tiga tingkat kebudayaan, bahkan dalam definisi yang paling umum. Ada kebudayaan yang hidup pada waktu dan tempat tertentu (lived culture) yang hanya bisa dinikmati secara penuh oleh mereka yang hidup pada waktu dan tempat itu pula. Ada kebudayaan yang terekam dalam segala bentuknya, mulai dari karya seni hingga faktafakta keseharian: ini disebut kebudayaan suatu periode (culture of the periode). Ada juga faktor yang menghubungkan kebudayaan yang hidup pada suatu waktu tertentu dan kebudayaan di suatu periode, ini disebut kebudayaan tradisi yang terseleksi (culture of the selective tradition). Secara khusus perhatian Williams dalam Culture and Society dan The Long Revolution adalah pada pengalaman-pengalaman kelas pekerja dan aktivitas mereka dalam mengkonstruksi kebudayaan. Di sini, Raymond William biasanya dikaitkan dengan nama Richard Hoggart dan Edward Thompson. Ketiganya disebut sebagai trio kulturalisme kiri Inggris. Thompson menulis The Making of the English Working Class (1963); ia dan Williams adalah anggota Dewan Editor New Left Review. Sementara Hoggart menulis tentang budaya kelas pekerja dalam The Uses of Literacy (1957), dan pada 1964 bersama Stuart Hall ia kemudian mendirikan Centre for Contemporary Cultural Studies di Universitas Birmingham. Di kemudian hari, Hall lebih dikenal sebai seorang anti-kulturalis dan cenderung marxisstrukturalis, yang membawa teori-teori Althusser, Derrida, Foucault dan Lacan ke dalam wacana cultural studies, dan secara intelektual posisinya berseberangan dengan Williams, Hoggart, dan Thompson (Milner 1994). Williams sendiri sampai akhir hidupnya tetaplah seorang kulturalis yang teguh, yang tidak terlalu antusias dengan kritisisme teks dari semiotika dan strukturalisme (Murdock 1997).

Materialisme Kultural Pada periode 70-an pemikiran Williams mulai bergeser dari kulturalisme kiri ke neo-Gramscianisme. Ia menyebut bentuk baru pemikirannya dengan materialisme kultural. Ada cara pembacaan atas Gramsci yang berbeda antara Williams dengan Stuart Hall, yang menyangkut pendangan atas hegemoni sebagai sebagai budaya atau hegemoni sebagai struktur, dan strategi apa yang harus diambil dalam aksi counter-hegemony. Jika hegemoni adalah budaya, maka secara material ia adalah produk dari agen yang sadar dan bisa dilawan oleh alternatif sebuah aksi counterhegemony. Jika hegemoni adalah struktur ideologi maka, ia akan menentukan subjektivitas dari subjek dengan cara-cara yang secara radikal mengurangi kemungkinan sebuah aksi counter-hegemony. Hegemoni sebagai budaya adalah masalah produksi material, reproduksi, dan konsumsi. Hegemoni sebagai struktur adalah masalah penafsiran tekstual. Dengan materialisme kultural Williams sekaligus menegaskan kembali bahwa kebudayaan haruslah dimengerti dalam representasi dan praktekpraktek sehari-hari dalam konteks kondisi-kondisi material produksinya, analisis materialisme kultural berarti analisis atas semua bentuk penandaan dalam kondisi dan makna yang aktual ketia ia diproduksi (Williams 1981). Ia kemudian menganjurkan agar kebudayaan diselidiki dalam beberapa term. Pertama, institusi-institusi yang memproduksi kesenian dan kebudayaan. Kedua, formasi-formasi pendidikan, gerakan, dan faksi-faksi dalam produksi kebudayaan. Ketiga, bentuk-bentuk produksi, termasuk segala manifestasinya. Keempat, identifikasi dan bentuk-bentuk kebudayaan, termasuk kekhususan produk-produk kebudayaan, tujuan-tujuan estetisnya. Kelima, reproduksinya dalam perjalanan ruang dan waktu. Dan keenam, cara pengorganisasiannya.Termuat di Newsletter KUNCI No. 6-7, Mei-Juni 2000

New Left ReviewOleh ANTARIKSA

Pertengahan 50-an, pemikiran ilmu sosial, kebudayaan, dan politik di Inggris diwarnai dengan munculnya kekuatan baru para pemikir Marxis yang disebut sebagai Kulturalisme Kiri (Left Culturalism) atau Kiri Baru (New Left). Berbeda dengan pemikir-pemikir Marxis sebelumnya, kelompok baru ini dicirikan dengan independensinya atas Partai Komunis Inggris dan6

5

kritiknya atas pemikiran Marxis Komunis. Figur-figur kuncinya antara lain: Raymond Williams, E.P. Thompson, Perry Anderson, Tom Nairn, dan Terry Eagleton. Di Inggris, para pemikir ini waktu itu mempelopori penjelajahan karya-karya Marx Muda dan Hegel untuk menganalisis politik, masyarakat, dan kebudayaan populer (di Jerman hal yang sama juga dilakukan oleh Kelompok Franfurt sejak tahun 30-an). Harap dicatat bahwa tulisan-tulisan Antonio Gramsci tentang hegemoni dan Kelompok Frankfurt tentang seni dan kebudayaan industri belumlah terlalu populer waktu itu, ketimbang tulisan-tulisan pemikir Marxisme Komunis Inggris, seperti C. Day Lewis, W.H. Auden, Stephen Spender, dll. Titik penting bagi kelahiran cultural studies yang berkaitan dengan kelompok Kiri Baru ini adalah terbitnya jurnal New Left Review (NLR) pada tahun 1960. NLR adalah dari hasil merger dua jurnal dari Swiss dan Hongaria, yaitu Universities and Left Review dan New Reasoner yang populer sebagai pelopor Campaign for Nuclear Disarmament (CND), gerakan anti-nuklir pertama. NLR berpusat di London dan komite editor pertamanya dipimpin oleh Stuart Hall yang sebelumnya adalah aktifis New Left Club. Anggota komite lainnya adalah Tariq Ali, Perry Anderson, Gopal Balakrishnan, Robert Brenner, Alexander Cockburn, Mike Davis, Peter Gowan, dan Julian Stallabrass. Edisi pertama NLR memuat debat antara E.P. Thompson, Charles Taylor dan Alastair MacIntyre tentang humanisme Marxis, tulisan Raphael Samuel dan Isaac Deutscher, dan yang paling penting sumbangan dan pengaruhnya bagi cultural studies adalah diskusi antara Raymond Williams dengan Richard Hoggart tentang budaya kelas pekerja. Pada dua tahun pertama (edisi no. 1-12) NLR langsung menunjukkan "progresivitasnya" sebagai jurnal berhaluan kiri dengan menampilkan tema kebudayaan populer dan proposal-proposal yang sangat inovatiif bagi demokrasi dan industri komunikasi modern. Stuart Hall dan Raymond Williams melahirkan pemikiran-pemikiran yang paling berpengaruh dalam dua tema tadi. Artikel C. Wright Mills, "Letter to the New Left", di NLR edisi no.5 juga berperan penting bagi kelahiran gerakan Kiri Baru di Amerika. Tahun 1962 Hall menyerahkan jabatannya kepada Perry Anderson. Kemudian, bersama Richard Hoggart, Hall mendirikan Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies pada 1964, sebuah lembaga yang juga pelopor kajian budaya, dan ia lantas menjadi direkturnya sejak 1968.7

Di bawah Anderson secara jelas orientasi NLR dipusatkan ke Marxisme strukturalis yang diperkenalkan pemikir Perancis Louis Althusser. Proyek utama Anderson adalah mengimpor teori-teori Neo-Marxisme Barat (juga disebut "Western Marxism", tokoh-tokohnya antara lain: Georg Lukacs, Antonio Gramsci, Louis Althusser, dan Kelompok Franfkfurt) untuk diterjemahkan dan diadaptasi ke Inggris, dan diseleksi dengan menitikberatkan orientasi Althusserian. Antara 1962-1963 NLR memuat tulisan-tulisan R.D. Laing, Ernst Mandel, bahkan strukturalis Perancis Claude Levi-Strauss. Pada tahun 1964 hingga awal 70-an tulisan dan terjemahan Hall, Gramsci, Althuser, Kelompok Frankfurt menjadi alat utama bagi NLR untuk mengkritisi film, budaya kerja, dan politik (ide Raymond Williams yang sangat penting tentang "materialisme kultural" juga dimuat NLR pada masa ini). Setelah 1975 sebenarnya program Neo-Marxisme Barat NLR sudah selesai, dan sejak saat itu NLR mulai memperluas wilayah tema-temanya ke gerakan perdamaian, revolusi di "dunia ketiga", gerakan perempuan, tetapi NLR tetap juga menampilkan pemikir-pemikir terkini seperi Edward Said, Habermas, Fredric Jameson (artikel pentingnya tentang postmodernisme dimuat NLR). Ide-ide mutakhir Williams, Hall, dan Anderson juga masih terus mengalir dari NLR. Sejak 1970 NLR mendirikan divisi penerbitan buku yang diberi nama New Left Books (NLB). Divisi ini terkenal dengan reputasinya dalam menerjemahkan dan menerbitkan karya figur-figur utama dalam ilmu sosialhumaniora, cultural studies, sejarah, sastra dan kritik sastra, filsafat, sosiologi, dan politik: Jean-Paul Sartre, Walter Benjamin, Louis Althusser, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, Tariq Ali, Benedict Anderson, Eric Hobsbawm, Victor Kiernan, Steven Lukes, dll. Di kemudian hari, dan hingga sekarang, NLB diganti namanya menjadi Verso. Sejak 80-an, ketika jumlah terbitan Verso per tahunnya sudah melebihi 40 judul, buku-buku yang diterbitkan tidak lagi sepenuhnya bersesuaian dengan program-program NLR, melainkan meliputi bidang yang jauh lebih luas (layaknya penerbit buku lain). Di antara terbitan dan terjemahan mutakhir Verso yang masih merefleksikan program-program NLR antara lain adalah Norman Geras, Ellen Meiksins Wood, Tariq Ali, Giovanni Arrighi, Guy Debord, Giles Deleuze, Che Guevara, Carlo Ginzburg, Andre Gorz, Jrgen Habermas, Jean Baudrillard, Noam8

Chomsky, Frederic Jameson, Paul Virilio, Edward Said, Gabriel Garca Marquez dll.Termuat di Newsletter KUNCI No. 3, November 1999

1960-an dengan judul The Civic Culture sampai sekarang masih menjadi rujukan utama pembahasan kebudayaan politik Politiknya kajian budaya sama sekali berbeda ilmu politik mainstream ini. Kajian budaya justru ingin menelusuri bagaimana sebuah nilai dan orientasi terbentuk, operasi kekuasaan seperti apa yang berlangsung, dalam situasi apa pula ua berlangsung dengan proses hegemoni atau dominasi, atau bahkan koersi dalam proses produksi nilai tersebut, pengetahuan seperti apa yang menopang atau tidak menopang nya, dst. Politik dan budaya menjadi hancur lebur batasnya dalam kajian budaya. Suatu hal yang justru dipertahankan dalam ilmu politik Karakteristik ilmu politik mainstream yang demikian tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan disiplin sebelum perang dunia II. Periode itu merupakan masa pembentukan identitas politik sebagai sebuah disiplin keilmuan. Sebagai ilmu yang lahir di tengah-tengah dominasi ilmu ala, pertanyaan bernada gugatan yang meragukan eksistensi keilmuan sangat mengganggu dan menggelisahkan. Semangat zaman yang serba naturalis kala itu menjadi dasar interogasi disiplin ini terhadap keilmuan lainnya. Ilmu politik dalam pandangan tradisi tersebut, khususnya dari kalangan ilmu sosial kala itu, dianggap bukanlah ilmu yang sebenar-benarnya dengan alasan tiadanya subject matter yang jelas. Ilmu politik hanya memakai disiplin ilmu lain untuk menjelaskan fenomena kekuasaan. Respon para pengusung ilmu politik kala itu adalah mengikuti logika keilmiahan saat itu. Jadilah ilmu politik menjadi ilmu salah satunya dengan meminjam tradisi positivistik dalam melihat fenomena politik sekaligus untuk membedakan dirinya dengan periode sebelumnya yang dianggap terlalu di atas langit, yang melihat politik sebagai idealisme-idealisme kosong. Semua fenomena dikuantifikasikan, terukur dan karenanya terprediksi semua kemungkinannya, khususnya terhadap perilaku individu. Tradisi ini dikenal sebagai tradisi behavioralis, atau dikenal juga sebagai mazhab Chicago, tempat kajian dilakukan. Berbagai kritik terhadap tradisi ini muncul silih berganti. Kritik ini direspon dengan terus memperbaiki perangkat metode tanpa melepaskan dasar keinginan menjadikan ilmu politik sebagai ilmu yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Kritik terhadap cara pandang ilmuwan politik yang melihat seperangkat nilai hanya sebatas produk adalah Antonio Gramsci. Lewat konsepsi hegemoni, Gramsci sesungguhnya ingin mengatakan bahwa ada operasi kekuasaan yang berlangsung baik dalam proses maupun produk sebuah kebudayaan politik, karenanya membatasi kajian politik hanya sebatas pada produk10

Dari Negara ke Coca-Cola: Merintis Kajian Budaya dalam Ilmu Politik di IndonesiaOleh AMALINDA SAVIRANI

Politik sesungguhnya sangat dekat dengan Kajian Budaya, bahkan bisa jadi lebih dekat ketimbang dengan ilmu politik sendiri. Sejarah perkembangan kajian budaya adalah sejarah perlawanan terhadap dominasi/kekuasaan sebuah tradisi ilmu pengetahuan. Kajian budaya muncul dari pemikiran sekelompok orang yang meyakini bahwa bangun teori adalah sebuah praktek politik sehari-hari manusia (Barker, 2000). Ilmu pengetahuan bagi kajian budaya selanjutnya adalah sesuatu yang tidak netral, obyektif, melainkan sesuatu yang berhubungan dengan posisi tempat seseorang berbicara, kepada siapa sasaran pembicaraannya dan situasi tertentu yang melingkari. Politik yang dirujuk oleh kajian budaya bukan politik sebagaimana yang dipelajari dalam ilmu politik. Operasi kekuasaan dalam Ilmu politik telah tergumpal dalam persoalan mencapai sistem demokrasi yang ideal. Impian menuju demokrasi mewujud dalam kajian tentang aktor-aktor politik, (lembaga dan atau individu), kualitas lembaga kepresidenan, lembaga perwakilan, partai politik, atau kualitas warganegara seperti elit dan warganegara biasa. Atau juga dalam bentuk kajian tentang produk-produk kebijakan, dll. Kekuasaan telah tersistematisasi dalam wilayah-wilayah yang sangat definitif. Selanjutnya, pendukung penting bagi keberhasilan demokrasi adalah sebuah kebudayaan politik, satu kajian khusus dalam ilmu politik. Kebudayaan bermakna orientasi, nilai dan seperangkat kepercayaan tertentu yang dimiliki oleh warganegarai. Dari sini tampak jelas bahwa kebudayaan bagi ilmu politik adalah suatu produk jadi, given. Political culture sebagai sebuah fokus kajian makin kukuh setelah dua ilmuwan terkenal dari universitas Chicago melakukan penelitian di lima Negara (Amerika, Inggris, Jerman, Italia dan Meksiko). Karya yang terbit pada9

akhir sangat mereduksi kompleksitas fenomena politik. Kritik Gramsci dan ilmuwan politik di kampus-kampus di Amerika sendiri mulai wacana-wacana tandingan dalam bidang ini. Sampai saat ini kajian politik di Indonesia masih didominasi oleh tradisi behavioralis. Hal ini bisa dipahami dengan melihat kenyataan puluhan mahasiswa yang belajar di universitas-universitas bertradisi behavioralis di Amerika membawa pulang main set behavioralis setidaknya dalam tesis atau disertasi mereka. Akhirnya studi ilmu politik di kampus-kampus utama Indonesia terwarnai habis-habisan oleh tradisi ini sampai sekarang. kurikulum-kurikulum jurusan ilmu politik masih dalam makna politik dalam kerangka klasik untuk tidak menyebutnya kuno. Kenyataan ini tidak bisa dipisahkan dari target pendidikan untuk mahasiswa strata satu di negeri ini. Target bahwa mahasiswa dapat berfikir logis dan fokus pada bidang yang dikajinya membuat peluang untuk melakukan perkawinan-perkawinan antara berbagai pendekatan terbuka minim. Cultural Studies dengan sendirinya keluar dari peluang pilihan. Tujuan pendidikan seperti ini sesungguhnya telah merugikan kemajuan ilmu politik di Indonesia hampir separuh abad. Perkembangan studi disiplin yang sama tidak bisa begitu saja direspon di dalam negeri sendiri, termasuk perkembangan fenomena politik sangat pesat ditandai dengan kemunculan studi-studi seperti feminisme. Fenomen politik kontemporer ini bukan tidak dialami di negeri ini. Perselisihan di daerah berbasis etnis dan mewujud dalam gerakan etnonasionalisme berlangsung cukup merata di tanah air. Dan sangat tidak memadai menjelaskan hal ini dari tradisi behavioralis, mengingat kompleksnya persoalan ini karena menyangkut pula asal-usul sosial. Pada saat yang sama karya pekerjaan rejim orde baru yang otoritarian selama lebih dari 30 tahun telah tidak hanya pembatasan partisipasi warga negara melainkan juga membelasuknya kekuasaan ke dalam ruang-ruang yang tak terbayangkan akan sebelumnya. Politik masuk ke tempat tidur karena program Keluarga Berencana pemerintah Orde Baru tegas mengatur berapa banyak yang boleh dimiliki oleh pasangan suami-istri. Politik masuk dapur dan menggelisahkan ibu-ibu muslim karena label halal sebuah produk bumbu masak yang diragukan keabsahannya, akibat inkonsistensi dalam lembaga sertifikasi produk halal. Fenomena keseharian seperti ini sekali lagi tidak memadai kalau masih mau dilihat dengan cara lama.

Kalau yang berlangsung di kampus sedemikian tertinggalnya, kajian ilmu politik lebih berwarna-warni di luar kampus. karya-karya ahli Indonesia di luar negeri sejak lama telah melepaskan dari landasan-landasan lama. Demikian juga dengan lembaga kajian independen. Salah satunya penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi Realino (LSR), yang dibukukan dalam seri penerbitannya. Karya-karya LSR menulis fenomena politik dengan cara yang segar dalam cukup kontributif meramaikan wacana. Salah satu buku tersebut bermaksud menggugat peran dwifungsi ABRI, sama dengan banyak karya penelitian lembaga penelitian nomor satu di Indonesia yakni LIPI. Cara kajian ini sangat khas, ia memanfaatkan kajian semiotik yang menarik dan jelas basis argumentasinya. Porsi sebagian besar perhatian tidak diberikan pada ABRI sebagai lembaga an sich yang sama kuatnya dengan negara orde baru, tapi pada pelacakan masyarakat melihat hal ini, pada bagaimana siasat massa rakyat terhadap dominasi ini. Studi politik di Indonesia yang didominasi oleh kajian-kajian klasik Politik tidak bisa dilepaskan dari hiruk pikuk politik nasional. Jauh lebih menantang dan laku sebagai komoditas untuk menebak-nebak susunan kabinet Gotong Royong Megawati ketimbang mengurusi bagaimana siasat massa rakyat pendukung NU dalam menerima kekalahan Abdurrahman Wahid yang telah mereka anggap sebagai wakil Tuhan di dunia. Dalam keterbatasan ini ilmu politik mungkin bisa bertemu dengan kajian budaya. Ilmu politik di Indonesia perlu insyaf dengan melebarkan makna kekuasaan di luar pagar-pagar formal kelembagaan. Di sisi lain kajian budaya bisa lebih berdamai akan keperluan praktis studi politik atas keperluan perangkat kerja yang terinci. Bukan demi mereproduksi gaya berfikir positivistik melainkan demi mengikuti semangat kehati-hatian tradisi ini yang telah teruji. Dan tentu saja demi membuka selebar-lebarnya ruang pluralitas dalam pendekatan dalam ilmu politik di negeri sendiri.AMALINDA SAVIRANI, pengajar pada Jurusan Ilmu Pemerintahan, UGM. Termuat di Newsletter KUNCI No. 10, Januari 2002.

11

12

Budaya sebagai Medan Pertarungan KuasaOleh ANTARIKSA

ternyata buta huruf dalam wilayah ini: ia tak mengenal dan tak bisa membayangkan makanan yang terdaftar di menu. Ia juga tak tahu bagaimana menyesuaikan jenis anggur dengan jenis makanan yang dipilih. Akhirnya ia memesan makanan dan anggur sekenanya. Semua anggota kelompok ini, kecuali satu orang saja, sama-sama buta hurufnya dan memilih hidangan dengan mengikuti pilihan pemimpinnya. Pesanan terakhir dari seorang pebisnis muda, sangat berbeda dengan pesanan lainnya. Pesanannya menunjukkan bahwa ia sangat melek huruf dalam makanan dan anggur Perancis. Ia tampak tenang mengahadapi menu, membaca dan menganalisisnya, dan menunjukkan betapa ia sangat tahu akan semua yang dilakukannya. Ia berbicara sebentar dengan pelayan, mengajukan beberapa pertanyaan "bermutu", dan akhirnya menjatuhkan pilihan yang sangat "berselera". Semua koleganya sangat terkesan dan ini membuka peluang yang lebih baik buat si pebisnis muda itu meningkatkan posisinya dalam dunia bisnis. Lantas bagaimana kemelek-hurufan budaya diterjemahkan ke dalam tindakan seseorang? Untuk menjelaskannya, kita memerlukan 3 konsep lagi dari Bourdieu: 'medan budaya' (cultural field), habitus, dan 'modal budaya' (cultural capital). Bourdieu mendefinisikan medan budaya sebagai institusi, nilai, kategori, perjanjian, dan penamaan yang menyusun sebuah hierarki objektif, yang kemudian memproduksi dan memberi "wewenang" pada berbagai bentuk wacana dan aktivitas; dan konflik antarkelompok atau antarindividu yang muncul ketika mereka bertarung untuk menentukan apa yang dianggap sebagai "modal" dan bagaimana ia harus didistribusikan. Yang disebut modal oleh Bourdieu meliputi benda-benda material (yang bisa mempunyai nilai simbolis), prestise, status, otoritas, juga selera dan pola konsumsi. Kekuasaan yang dimiliki seseorang dalam sebuah 'medan' (field), ditentukan oleh posisinya dalam medan itu, yang pada gilirannya akan menentukan besarnya kepemilikan modal. Kekuasaan itu digunakan untuk menentukan hal-hal macam mana yang bisa disebut modal (keaslian modal). Modal selalu tergantung dan terikat pada medan tertentu, ia bersifat partikular. Dalam medan gaya hidup remaja Indonesia sekarang misalnya, pengenalan akan film dan musik Amerika, kemampuan berbahasa gaul, atau berdandan dengan gaya tertentu, bisa disebut sebagai modal.14

Banyak karya kajian budaya memahami komunikasi sebagai tindakan produksi makna, dan bagaimana sistem-sistem makna dinegosiasikan oleh pemakainya dalam kebudayaan. Kebudayaan bisa pula dimengerti sebagai totalitas tindakan komunikasi dan sistem-sistem makna. Posisi seseorang dalam kebudayaan akan ditentukan oleh 'kemelek-budaya-an' (cultural literacy), yaitu pengetahuan akan sistem-sistem makna dan kemampuannya untuk menegosiasikan sistem-sistem itu dalam berbagai konteks budaya. Pandangan yang melihat komunikasi sebagai sebuah tindakan budaya, yang memerlukan berbagai bentuk kemelek-hurufan budaya, sangat dipengaruhi oleh pemikiran sosiolog Perancis Pierre Bourdieu. Ide-idenya sangat berguna karena ia mengatakan bahwa 'tindakan' (practice) atau apa yang secara aktual dilakukan seseorang, merupakan bentukan dari (dan sekaligus respon terhadap) aturan-aturan dan konvensi-konvensi budaya. Salah satu cara memahami hubungan kebudayaan dengan tindakan adalah mengikuti pengandaian Bourdieu tentang perjalanan dan peta. Kebudayaan adalah peta sebuah tempat, sekaligus perjalanan menuju tempat itu. Peta adalah aturan dan konvensi, sedangkan perjalanan adalah tindakan aktual. Apa yang disebut dengan kemelek-hurufan budaya adalah "perasaan" untuk menegosiasikan aturan-aturan budaya itu, yang bertujuan untuk memilih jalan kita dalam kebudayaan. Tindakan adalah performance dari kemelek-hurufan budaya. Kemelek-hurufan budaya misalnya dapat dilihat dalam sebuah film Jepang Tampopo, dalam adegan ketika sekolompok pebisnis Jepang makan bersama di sebuah restoran Perancis yang mahal. Perilaku kelompok dalam budaya bisnis Jepang dikenal bersifat sangat hirarkis. Dalam acara makan bersama macam ini, kebiasaan yang umum berlaku adalah seseorang yang dianggap superior dalam kelompok akan terlebih dulu memesan makanan, kemudian orang lain tinggal mengikutinya saja. Kebiasaan itu jadi berubah ketika mereka harus "tampil" di sebuah restoran Perancis, yang tentu saja menuntut kemelek-hurufan dalam makanan dan anggur Perancis. Seseorang yang dianggap pemimpin dalam kelompok ini13

Bagaimanapun, kemampuan-kemampuan ini, bukanlah modal, misalnya saja, dalam medan pelayanan diplomatik. Pemahaman seseorang akan modal berlangsung secara tak sadar, karena menurut Bourdieu dengan cara begitulah ia akan berfungsi efektif. Seperangkat pengetahuan, aturan, hukum, dan kategori makna yang ditanamkan secara tak sadar ini oleh Bourdieu disebut habitus. Habitus bersifat abstrak dan hanya muncul berkaitan dengan putusan tindakan: ketika seseorang dihadapkan pada masalah, pilihan atau konteks. Dengan begitu habitus bisa juga dimengerti sebagai " feel of the game ".Termuat di Newsletter KUNCI No. 11, Februari 2002.

Kiat sukses berkarir begituan dapat dengan gampang dijumpai di bacaanbacaan untuk orang muda yang diterbitkan dari Jakarta, setidaknya sejak dekade 1990-an yang lalu. Bayangan akan sukses itu juga dapat dilacak dari sepenggal kisah debut seorang penyanyi berusia 15 tahun yang dalam sebuah edisi majalah remaja putri di bulan Pebruari 2002 diceritakan " baru aja ngerilis album terbarunya " dan berujar, " Nyanyi itu adalah sesuatu yang paling berarti dalam hidupku.....Dari kecil, aku memang udah pengen banget jadi penyanyi. Percaya nggak, waktu masih kelas 1 SD aku pengen banget kayak Eno Lerian, bisa masuk TV, dan nyanyi di depan orang.....Mmm, insya Allah kalau aku dikasih kesempatan aku pengen banget belajar di London, soalnya kan sekolah seni di London itu terkenal bagus banget ". Orang muda lain dipaparkan dalam liputan utama tentang "pasar remaja" oleh sebuah majalah bisnis edisi akhir tahun 2000 sebagai seorang pelajar kelas III SMU dari jurusan IPA yang termasuk 10 besar di kelasnya. Diceritakan, sejak kecil cowok Jakarta kelahiran tahun 1983 yang -kononpunya IQ 146 ini menyukai semua pelajaran berhitung. Maka, ia pun bertekad masuk kelas IPA saat SMU. Selanjutnya selepas sekolah menengah nanti ia ingin sekali kuliah di Fakultas Teknik Kimia ITB. Untuk itu doi rela mengurangi kegiatan keluar rumah biar bisa drilling pelajaran buat persiapan EBTA dan UMPTN di waktu favoritnya untuk belajar ......sejak jam 3 pagi ! Pemandangan yang tak jauh berbeda terjadi di kalangan yang disebut 'profesional muda'. Idam-idaman kaum berdasi ini ternyata adalah "perusahaan yang menyediakan jenjang karier jelas, gaji tinggi, memberi kesempatan belajar dan dikelola secara profesional". Setidaknya begitulah yang dilaporkan oleh sebuah majalah ekonomi dari Jakarta pada edisi Oktober tahun 2001. Ada 12 jago di puncak idam-idaman itu, terdiri dari 5 BUMN, 5 perusahaan multinasional, dan 2 swasta nasional: "Karier jelas, Gaji Besar, Masa Depan OK. (1) PT Telkom; (2) Pertamina; (3) PT. Caltex Indonesia; (4) Bank BNI; (5) PT. Astra International; (6) Citibank (Indonesia); (7) PT Freeport Indonesia; (8) PT Unilever Indonesia; (9) PT Indosat; (10) PT Bakrie & Brothers; (11) PT. Coca Cola Indonesia; (12) PT PLN". Bagaimanakah ragam profesi yang tak terbayangkan bahkan oleh kaum kohor kelahiran 1950-an itu dapat digambarkan suasana 'perasaan'nya?16

Arus Mimpi Perkotaan di Negara Bekas JajahanOleh PRIMANTO NUGROHO

Karier, gaji, dan masa depan. Bagaimanakah di tengah arus krisis yang menyapu isi 1 negeri ini dapat diterima akal maupun budi dan bahasa tentang adanya suatu karier dengan gaji yang dapat menghidupi masa depan? Kisah seperti apakah yang dapat disusun untuk menyampaikan kabar perasaan orang yang dari saat ke saat terus terhimpit dalam hidup kesehariannya namun sekaligus juga dipacu untuk mau percaya bahwa karier dan masa depan ada dalam genggaman? Segenap cara bercerita berikut konseptualisasi ide yang di masa sebelum krisis menerjang dapat diyakini untuk menentramkan hidup bermasyarakat kini rontok; baik pelembagaan bernegara, berbangsa, berkeluarga, beragama, bersekolah, berkesenian,... amblas disapu angin, hilang otoritasnya. Maka yang tinggal adalah igauan, gossip, ceracauan, ramalan, dan bisik-bisik. Dalam arus itulah mimpi mendapat tempatnya. Inilah cerita tentang mimpi. Yang Diimpikan Tersebutlah di selembar halaman majalah remaja pria tahun 2001 bahwa ada 3 cara untuk mengawali sukses sebagai sutradara. Pertama, masuk sekolah film. Kedua, langsung jadi sutradara. Atau terakhir, meniti karir dari awal. Untuk yang paling bontot ini ada langkahnya, sejak dari asisten sutradara, penulis skenario, atau director of photography .15

Ia erat dengan 'sekolah ke luar negeri', atau 'fasih berbahasa asing', serta keakraban dengan perangkat komputasi. Buah teknologi, dari telepon genggam sampai kamera, diterima dan digauli sebagai perangkat netral yang seolah-olah lepas dari gelombang kritik teknokrasi di Eropa dan Amrik yang sudah memuncak pada tahun 1968. Dalam arus yang seolah-olah netral tak bergejolak itulah film dan sandiwara menjadi ibarat paling gamblang tentang mimpi massal. Pemain film (kalau sebelum 1998 dikenal dengan istilah 'insan perfilman'. Wuih .....insan ! ) adalah hal penting dalam jagad mimpi. Siapa bilang bintang film berakting di depan kamera? Justru di depan kamera itulah praktek hidup kesehariannya terjadi. Sedangkan ketika berada di rumah, di jalan, atau di mall si bintang itu sedang terus-menerus mencocokkan diri dengan yang dibayangkan dalam arus massal tentang suatu jagad ideal seorang public figure . Sejak dari menata tebal daging yang melekat di tulang-belulang tubuhnya sampai ke tentang betapa pentingnya siraman nilai agama untuk kehidupan rohaninya, semua dirancang dengan sepenuh perasaan. Keseriusan si bintang dalam mempersiapkan diri untuk tampil dalam relasi sosial tak kalah keras dengan keseriusan si pelajar kelas III SMU ber-IQ 146 di atas yang sampai bangun jam 3 pagi untuk drilling agar bisa masuk ITB ! Dengan sepenuh perasaan entah itu drilling agar menjadi orang ITB, ataukah agar bisa menjadi orang Telkom, orang Freeport, atau dengan sekolah menyanyi di London untuk berkarier di dunia bintang penyanyi, maupun berkarier di jalur teknologi informasi, desain pakaian, sampai aktivis LSM dst. dilakukan. Rancangan hidup dibikin dengan nalar perasaan. Bahkan kerja intelejensi pun tak lagi melulu berurusan dengan intellegence qoutient (alias IQ) melainkan sudah dengan nalar perasaan (yang sama sekali tak terbendung lagi dengan dikurung oleh label emotional quotient ataupun spiritual quotient ). Dan panggung sandiwara? Masih bisakah dibedakan lagi dengan gampang naskah-naskah dan pementasan Teater Koma, Teater Gandrik, atau Teater Garasi dengan gejolak hidup berpolitik yang terjadi sehari-hari di luar ruang panggung sandiwara? Politik menjadi panggung sandiwara, sementara sandiwara dilakoni sebagai politik mempertaruhkan makna hidup. Yang Bermimpi Tak disangsikan lagi bahwa 1 lapis warga Republik Indonesia dari kohor kelahiran paska 1965 telah beranak-pinak sebagai 'keluarga muda'. Anakanak dari kalangan inilah yang lahir sejak dekade 1980-an hingga 1 dasawarsa sesudahnya disapih selaku warga negeri mimpi dan sekaligus17

dihimpit dalam putaran roda ekonomi yang digerakkan oleh 'hukum siluman'. Segenap imajinasi yang hidup dalam bawah sadar kolektifnya ketika menjadi bocah seperti dipicu saat mereka masuk ke alam remaja. Dekade 1990-an adalah masa puncak pembusukan seluruh sendi bermasyarakat di Republik Indonesia. Segenap mimpi tentang 'pemurnian praktek dasar negara dan konstitusi' maupun tentang fase 'tinggal landas' yang diumbar sejak 20-an tahun sebelumnya menghadapi jalan buntu. Kolaps terjadi pada bulan Mei 1998, dan tidak cukup kuat ada pertanda bahwa struktur pembusukan di tingkat negara maupun bangsa itu menemukan titik terangnya, hingga hari ini. Paradoks paling fatal justru terjadi pada titik yang paling dipicu habishabisan di seantero kehidupan negeri yakni hasrat untuk menjadi orang modern. Hasrat beginilah yang menjadi inti suatu 'kultur kota'. Menjadi modern dengan seluruh atribut identitasnya pada kurun antara 1970 hingga 30 tahunan sesudahnya berarti menemukan diri sendiri berada dalam lingkungan yang penuh dengan impian akan rasa maju, bangga dengan kuantifikasi numerik, laju pertumbuhan, prestasi. Wujud paradoks itu terus terjadi hingga kini tanpa tanda berhenti. Umpama, selalu diyakin-yakinkan betapa dengan banjir peralatan komunikasi bernama telepon dan komputer maka kesenjangan informasi bakal sirna. Namun yang terjadi justru banjir bandang perangkat komunikasi itu tak berkaitan sama sekali dengan keberadaan informasi, karena jalur komunikasi secanggih apapun malah menjadi ajang mengedarkan gossip. Manakala dimasukkan ke media massa maka yang menggerakkan pun tetap hukum besi dunia industri. Informasi dikalahkan oleh kalkulasi laba perolehan iklan. Bersamaan dengan dikosongkannya informasi dari tubuh masyarakat itu, terjadi kebiadaban tanpa darah melalui pelembagaan sekolah. Jutaan anak sekolah di seluruh pelosok negeri seperti masuk ke dalam mesin cuci raksasa untuk dibina kesadaran kolektifnya. Otonomi masyarakat setempat untuk melakukan pendidikan diambil alih oleh tangan panjang birokrasi persekolahan. Secara kognitif para pelajar itu dipenuhi hapalan-hapalan pengetahuan. Sementara pada saat yang sama nalurinya untuk berimajinasi dipancung menjadi paket-paket lomba dan kejuaraan. Dua poros pengosongan makna inilah yang menyapih orang muda yang benaknya kini penuh dengan mimpi untuk menjadi web-designer, excecutive di MNC dan BUMN, artis film yang juga sekolah filsafat,...18

Ruang hampa inilah yang tidak terjadi ketika Tirtoadisuryo, Tjiptomangunkusumo, maupun Siti Soendari pada perempat pertama abad 20 sebagai orang muda semasa menggerakkan masyarakat melalui badanbadan ekonomi, dengan pendampingan legal, plus memproduksi informasi sendiri melalui media semacam Medan Prijaji . Pada jaman bergerak itu simbol modernisasi ditangkap dan dibalikkan untuk melakukan counter atas birokratisasi oleh gubernemen Hindia Belanda. Kuasa Mimpi Pertama, tentang mimpi. Dan mimpi pun yang terjadi secara massal. Ia sungguh-sungguh menembus batas. Entah batas warna kulit, entah berasal dari Jakarta Pusat atau Digul, entah kendaraannya saban hari angkudes atau sedan pribadi, entah cowok, cewek, atau jiwa cowok dalam tubuh cewek dan kebalikannya, ..... semua sekat itu diterabas. Semua berpartisipasi dalam menyusun suatu mimpi besar. Berprestasi. Berkarier. Menjadi juara, pemenang, yang terbaik, yang tercepat aksesnya, yang paling praktis,... Otak dan jiwa jadi sangat sibuk, sementara tubuh jarang bergerak. Semakin aktif seseorang dalam dunia mimpi, semakin tubuhnya bergerak lepas dari aktivitas batinnya. Acapkali terjadi imajinasi melesat lebih cepat ketimbang gerak dengkul. Bahasa ungkapnya secara lisan menjadi kedodoran. Yang diucapkan melalui bibir menjadi terpisah lepas dari yang mengalir deras dalam batin orang. Bahkan kosakata yang tersedia dalam bahasa yang diresmikan oleh pusat pembinaan bahasa pun menjadi tidak memadai lagi. Hiduplah plesetan di Jogja, walikan dari Malang, bahasa prokem, slang , dan yang dimediasi habis-habisan saban detik melalui televisi adalah bahasa Jakarta. Hal kedua, bahkan untuk bermimpi pun butuh syarat. Siapa saja yang berani bermimpi untuk masuk ke dalam pusaran arus pasar tenaga kerja 'terdidik' tak bisa lain berhadapan dengan tuntutan syarat. Dua syarat pokok masuk ke alam mimpi massal ini ialah akses kembar ke jalur manipulasi peralatan sektor jasa (ini namanya bisa sekolah, short-course , long distance learning, on the job training , sampai ke kursus dari kursus kepribadian sampai kursus bahasa) serta ke modal (bisa uang, bisa bakat bawaan, maupun relasi sosial). Tanpa akses, kewarganegaraan dalam jagad mimpi jadi cacat.19

Termuat di Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003.

Anak Kota Punya GayaOleh ALIA SWASTIKA

Banyak orang percaya bahwa anak muda identik dengan aktivitas untuk mencari kesenangan. Anak muda selalu dikaitkan dengan waktu luang, kebebasan, dan semangat pemberontakan. Media massa dan industri menciptakan "kebutuhan" anak muda demi kepentingan pasar, yang dikampanyekan sebagai cara bagi anak-anak muda untuk keluar dari identitas yang diinginkan oleh orang tua. Akhirnya budaya anak muda sangat identik dengan penampilan sebagai representasi identitas. Budaya anak muda adalah fesyen, musik dan pesta. Dan tentu, anak-anak muda di kota adalah kelompok yang memiliki akses paling terbuka ke sumber informasi. Mereka memungut informasi di mana saja, dari televisi, majalah, radio bahkan sobekan poster di pinggir jalan. Mereka punya kesempatan untuk memanfaatkan waktu luang di pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan dan ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka untuk melakukan interaksi dan pertukaran informasi. Anak muda di kota selalu punya cara untuk tampil beda. Meski tidak selalu orisinil, karena banyak mengadopsi gaya selebritis yang mereka lihat di majalah dan televisi, tapi anak kota selalu berusaha untuk terus memperbaharui penampilannya. Yang disebut penampilan, bukan saja apa yang melekat pada tubuh semata, melainkan juga bagaimana keseluruhan "potensi" dalam diri memungkinkan mereka untuk menampilkan citra diri tertentu. Dan bahasa, dianggap salah satu hal penting yang akan memberikan ciri khusus pada anak kota. Cara, logat dan pilihan kata dalam berbicara, adalah salah satu dari usaha anak kota untuk membentuk citra tertentu melalui penampilannya. Maka mereka punya istilah "norak" atau "kampungan" untuk gaya-gaya tertentu, yang mereka anggap ingin tampak trendi, namun tidak pantas (dalam bahasa mereka: nggak matching ). Istilah ini sekaligus menunjukkan bagaimana mereka memandang anak muda di wilayah bukan kota (untuk tidak menyebutnya desa) sebagai kelompok yang "lebih rendah" dibanding mereka. Biyan, seorang perancang muda menyatakan bahwa semangat kebebasan, sikap cuek alias tidak terlalu peduli pada aturan formal, dan berani menjadi satu karakter khas yang selalu ditampilkan dalam gaya fesyen anak muda. Gaya anak muda tidak lagi mengacu pada perancang yang dulu20

legitimasinya sangat besar. Anak muda pasca '50-an dan '60-an masamasa generasi baby boomers yang mulai menikmati kemakmuran setelah berakhirnya resesi pasca perang dunia- menciptakan modenya sendiri. Kita bisa menelusurinya dari bagaimana anak muda dicitrakan di media dari masa ke masa, kemudian bagaimana citra itu merambah ke dalam kehidupan sehari-hari. Dan menarik juga mencermati bagaimana media massa telah menciptakan satu ikon anak muda tertentu pada tiap jaman. Di Awal '80-an, budaya remaja mulai marak di Indonesia setelah kemunculan tabloid dan majalah khusus remaja, terutama Hai dan Gadis . Tak lama setelahnya, sekitar pertengahan dekade, muncul tokoh Boy, melalui film "Catatan Si Boy" garapan sutradara Nasri Cheppy. Tokoh Boy diperankan oleh Onky Alexander. Boy digambarkan sebagai anak kota dari kelas atas yang kaya raya, tampan, dandi (penampilannya rapi dan "berkelas"), jagoan (selalu menang kalau berkelahi dengan "musuhnya"), playboy dan pintar. Saat itu, Onky memperkenalkan gaya celana jeans, kaos oblong yang kemudian dibalut kemeja yang tak dikancingkan. Rambutnya rapi, agak mengkilap (disebut gaya wet-look) karena minyak rambut. Boy juga identik dengan mobil mewah berwarna cerah, serta kaca mata hitam yang tak pernah ketinggalan saat ia ada di jalanan. Gaya Boy inilah yang disebut dengan gaya '80-an ala Indonesia. Karakter tokoh ceweknya tak jauh beda dengan Boy; populer, cantik, berdandan modis, cewek baik-baik dan disukai banyak laki-laki. Mereka tampil dengan gaya '80-an yang kental dengan warna-warna cerah semacam kuning, merah atau oranye, celana model baggy (paha lebar dan menyempit di bagian bawah), memakai banyak aksesoris--kalung, gelang dan anting yang dipakai bersamaan--kemeja longgar yang terkadang ujungnya diikat serta sepatu olah raga yang santai. Pada saat itu, mulai dikenal juga kebiasaan mengecat rambut menjadi berwana kemerahan atau sedikit pirang. Dalam film ini, anak kota masih bicara dengan bahasa Indonesia yang cukup formal, namun terkesan cukup santai. Mereka menyebut diri dengan kata "saya" dan menggunakan kata "kamu" untuk menyebut lawan bicaranya. Sebenarnya cara mereka bicara dalam film tak terlalu berbeda dengan generasi yang lebih dewasa. Kalimat seperti "Jadi, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" atau "Tunggu ya, nanti malam saya akan jemput kamu!" menjadi dialog yang biasa, yang mungkin akan terasa asing bila didengarkan oleh anak kota sekarang. "Catatan si Boy" juga memberi kita gambaran bagaimana anak kota menghabiskan waktu luang: clubbing di tempat umum macam Ancol atau Blok M, atau membuat pesta dengan breakdance di dalamnya.21

Setelah Boy, muncul tokoh Lupus di akhir '80-an dan awal '90-an. Tokoh ini adalah hasil rekaan Hilman, yang muncul pertama kali sebagai serial di majalah Hai . Lupus muncul sebagai tokoh yang sangat bertolak belakang dengan Boy. Kalau Boy berdandan rapi, Lupus cenderung slenge'an . Rambutnya agak gondrong, dan diberi ciri khas jambul, suka memakai celana jeans, kaos oblong dan kadang kemeja tak dikancingkan, serta sepatu kets. Lupus juga tampak berseberangan dengan Boy dari kelas sosial, ia "cuma" anak seorang pengusaha katering kecil-kecilan yang hidup sederhana. Kalau Boy digambarkan dengan mobil mewah, Lupus naik sepeda balap. Akhirnya Lupus muncul juga di layar lebar. Diperankan oleh Ryan Hidayat, ditemani Nike Ardila sebagai Popi (pacarnya) dan Firda Razak (sebagai Lulu, adiknya). Secara umum, gaya berpakaian Lupus dkk. dalam film ini tak jauh beda dengan era si Boy. Juga tentang kebiasaan mereka dalam melewatkan waktu luang. Yang menarik adalah mulai munculnya bahasa slang dan prokem dalam buku dan film-film Lupus. Lupus juga sangat identik dengan remaja yang lucu dan konyol. Jadi jangan heran kalau isi buku ini penuh dengan humor dan lelucon. Kata "gua" untuk menyebut diri dan "elu" untuk lawan bicara mulai populer sebagai gaya baru di buku dan film. Mereka juga mulai menggunakan dialog sehari-hari remaja semacam "Jangan gitu dong!" atau "Lu jangan ke mana-mana, tunggu aja di sini, ntar gua balik kok!". Bahasa prokem anak muda juga dicomot dari kelompok-kelompok yang dianggap terpinggir dan kampungan, misalnya dialog golongan homoseksual atau dialog dari warga Betawi asli. Seera dengan Lupus, muncul tokoh Olga yang mewakili remaja perempuan di masa itu. Boleh dibilang, ia versi cewek dari Lupus. Di sela-sela mereka, dalam masa yang sama, anak kota punya panutan lain. Namanya si Roy. Ia memberi alternatif bagi remaja pria, yang saat itu cenderung mengikuti gaya Boy atau Lupus. Roy, sangat bertolakbelakang dengan keduanya. Ia memberi gambaran tentang kegagahan yang lain dengan Boy, meskipun sama-sama digambarkan sebagai jagoan yang suka berkelahi. Roy digambarkan sebagai pendaki yang suka memakai tas ransel besar dan sepatu gunung. Baju flanel dan jaket tebal mulai dikenal saat itu. Menjelang dan di awal abad ke-21, representasi anak kota Indonesia muncul dalam film-film independen. Kebanyakan film ini digarap oleh para sineas muda yang sangat "melek" trend terbaru. Dian Sastro, yang muncul pertama kali di film "Bintang Jatuh", dan kemudian kembali melejit lewat "Ada Apa dengan Cinta", jadi idola baru remaja. Gang ceweknya di "Ada Apa dengan Cinta", memberi gambaran tentang gambaran mutakhir anak kota. Mereka berseragam putih abu-abu, dengan rok yang cukup pendek,22

dan kaos kaki yang hampir mencapai batas lutut. Atasannya menempel ketat di tubuh. Saat ini rambut panjang hitam lurus dan rambut pendek yang tak beraturan jadi "tampilan wajib". Secara bahasa era ini tak jauh beda dengan Lupus. Tapi makin banyak kata-kata dalam bahasa prokem yang digunakan. Kebanyakan kata-kata ini digunakan sebagai ungkapan kaget atau seruan. Misalnya, "Najong deh, gue!" yang berarti jijik, atau "Garing!" untuk merespon lelucon yang dianggap tidak lucu. Atau juga "Bete!" untuk menyebut keadaan yang tidak mengasikkan. Harus diakui, bahasa anak Jakarta lah yang selama ini mendominasi penggunaan bahasa lisan anak muda Indonesia. Bagaimana bahasa prokem Jakarta tersebut tersebar? Jawabannya mudah. Ada media massa-yang secara umum bisa dikatakan berpusat di Jakarta--yang membawa bahasa lisan ini ke seluruh pelosok melalui perangkat-perangkatnya. Menurut Dede Oetomo (1986) peran Jakarta sebagai ibukota, tempat orang-orang Indonesia yang memang atau dianggap paling berkuasa, paling cantik, paling kaya dan sebagainya berada, penting dalam menyebarkan bahasa Indonesia. Media dan perangkatnya--terutama televisi dan radio--telah membuat logat Jakarta menjadi logat yang seolaholah paling keren dan paling enak didengar. Di Indonesia, bukan hal yang aneh kalau kita mendengar radio-radio di daerah (bukan Jakarta) yang segmennya anak muda, penyiar-penyiarnya berbicara dengan dialek yang seragam. Seolah-olah, kalau tidak memakai gaya Jakarta, itu bukan gaya anak muda.Termuat di Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003.

Pemikiran Romawi tidak memandang tubuh dengan negatif. Sebagian besar orang Romawi sangat percaya dengan astrologi dan memandang tubuh dan jiwa adalah bagian dari kosmis. Kemudian tibalah jaman Renaisans yang mengakhiri ide dasar bahwa "tubuh adalah musuh", dan mulailah bergulir gagasan bahwa tubuh adalah sesuatu yang indah, bagus, personal, privat, dan sekuler. Pada abad ke-20, dengan berkembangnya ilmu kedokteran, antropologi, dan psikologi, tubuh tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan atau yang dianggap secara potensial berbahaya dan perlu selalu diawasi, tetapi tubuh dianggap sebagai sesuatu untuk dinikmati, sesekali memang dapat "rusak", tapi dengan cepat bisa segera disembuhkan atau diperbaiki. Pada perkembangannya yang terakhir tubuh tidak lagi bisa dianggap sebagai sekedar pemberian Tuhan, tetapi dianggap sebagai plastik dan bionik, dengan alat pacu jantung, katup buatan, silikon, transplantasi mata dan telinga, pendeknya sesuatu yang dapat dibentuk sesuai keinginan manusia. Antropologi: Titik Awal Studi Tubuh Modern Tubuh manusia sudah jadi topik penting dalam kajian antropologi sejak awal abad ke-19. Ada empat alasan yang bisa menjelaskan kenapa tubuh menempati posisi penting dalam antropologi: 1) Pembahasan antropologi filsafat tentang tema ontologi manusia. Tema ini otomatis menempatkan perwujudan bentuk manusia dalam posisi sentral. 2) Asal-usul manusia yang berasal dari spesies mamalia adalah pertanyaan penting dalam antropologi. Apakah yang kemudian membatasi alam dan kebudayaan? 3) Sejak masa Victoria telah berkembang telaah evolusi dalam antropologi (darwinisme sosial), yang memberi kontribusi pada studi tubuh. 4) Karena dalam masyarakat pramodern tubuh adalah penanda penting bagi status sosial, posisi keluarga, umur, gender, dan hal-hal yang bersifat religius. Abad baru, dengan pandangan tentang tubuh yang baru, membuat para antropolog berhenti untuk melihat tubuh secara fisik dan mulai melihat tubuh sebagai alat untuk menganalisa masyarakat. Margaret Mead misalnya mengatakan bahwa pembedaan kepribadian dan aturan-aturan dari 2 jenis seks yang berbeda itu diproduksi secara sosial. Robert Hertz percaya bahwa pola pikiran masyarakat terefleksikan dalam tubuh. Persoalan-persoalan kosmologi, gender, dan moralitas mewujud menjadi persoalan-persoalan yang dialami tubuh. Tubuh fisik adalah juga24

Studi TubuhBy NURAINI JULIASTUTI

Ada 3 pandangan utama tentang tubuh yang berlaku di Yunani Kuno. Yang pertama, aliran yang didirikan oleh Cyrenaic, percaya bahwa "kebahagiaan tubuh itu jauh lebih baik daripada kebahagiaan mental". Aliran yang kedua, didirikan oleh Epicurus, percaya bahwa "kebahagiaan tubuh memang bagus, tapi masih lebih bagus lagi kebahagiaan mental". Aliran yang terakhir, sekaligus yang paling tidak populer, didirikan oleh Orpheus, mengatakan bahwa "tubuh adalah kuburan bagi jiwa" (the body is the tomb of the soul). Meskipun tak populer, aliran ini sangat mempengruhi filsuffilsuf utama seperti Phytagoras, Socrates, dan Plato.23

tubuh sosial (the physical body is also social). Menurut Marcel Mauss cara untuk mengetahui peradaban manusia lain adalah dengan mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling natural dari manusia, yang dapat dipelajari dengan cara yang berbeda sesuai dengan kultur masing-masing. Studi Tubuh Modern Sebetulnya pada tahun 1970-an sudah mulai bermunculan buku-buku kajian tentang tubuh, misalnya Touching karya Ashley Montagu (1971) atau Social Aspects of the Human Body karya Ted Polhemus (1978). Tapi baru pada tahun 1980-an studi tubuh mulai populer dan berkembang secara sistematis. Mary Douglas adalah orang pertama yang melihat tubuh sebagai suatu sistem simbol. Dalam bukunya Purity and Danger (1966) ia mengatakan, "Sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu". Dan dalam Natural Symbols (1970) ia membagi tubuh menjadi dua: the self (individual body) dan the society (the body politics). The body politics membentuk bagaimana tubuh itu secara fisik dirasakan. Pengalaman fisik dari dari tubuh selalu dimodifikasi oleh kategori-kategori sosial yang sudah diketahui, yang terdiri dari pandangan tertentu dari masyarakat. Nancy Scheper-Hughes dan Margaret Lock membedakan tubuh menjadi tiga: tubuh sebagai suatu pengalaman pribadi, ubuh sebagai suatu simbol natural yang melambangkan hubungan dengan alam masyarakat dan kebudayaan, dan tubuh sebagai artefak kontrol sosial dan politik. Bryan S Turner membuat skema permasalahan tubuh yang disebutnya sebagai "geometri tubuh" (The Body and Society [1984]). Konsep Ini lebih merupakan pemetaan persoalan tubuh 4 dimensi: 1) Kesinambungan dalam waktu: masalah utamanya reproduksi. 2) Kesinambungan dalam ruang: masalah utamanya adalah regulasi dan kontrol populasi, ini yang sering disebut sebagi masalah "politik". 3) Ke-mampuan untuk menahan hasrat: ini adalah persoalan internal tubuh. 4) Kemampuan merepresentasikan tubuh kepada sesama, ini adalah masalah eksternal tubuh. Pemikiran Arthur W. Frank sedikit lebih kompleks ("For a Sociology of the Body: An Analytical Review" [1991]). Menurutnya ada 4 masalah yang berkaitan dengan tubuh yaitu: kontrol, hasrat, hubungan dengan sesama,25

dan hubungan denga diri sendiri, yang pada gilirannya membagi tubuh menjadi 4: the disciplined body, the mirroring body, the dominating body, dan communicative body. Michel Foucault: Bio-politics dan Bio-power Bagi Michel Foucault tubuh selalu berarti tubuh yang patuh. Sumbangan utamanya bagi studi tubuh adalah analisisnya tentang kekuasaan yang bekerja dalam tubuh. Analisis utamanya adalah adanya kekuatan mekanis dalam semua sektor masyarakat. Tubuh, waktu, kegiatan, tingkah laku, seksualitas; semua sektor dan arena dari kehidupan sosial telah dimekanisasikan. Ia mengatakan: jiwa (psyche, kesadaran, subyektivitas, personalitas) adalah efek dan instrumen dari anatomi politik; jiwa adalah penjara bagi tubuh; tapi pada akhirnya tubuh adalah instrumen negara. Semua kegiatan fisik adalah ideologis: bagaimana seorang tentara berdiri, gerak tubuh anak sekolah, bahkan model hubungan seksual. Foucault membuat 3 kategori analisis: 1) Force relations: kekuasaan dalam formasinya yang lokal dan global dalam hukum, negara dan ideologi. 2) The body: anatomi dan perwujudan kekuasaan dalam tingkah laku. 3) The social body: perwujudan kolektif target kekuasaan, tubuh sebagai "spesies". Politik tubuh (bio-politics) dijalankan untuk mempertahankan bio-power. Bio-power dipertahankan dengan 2 metode: pendisiplinan dan kontrol regulatif. Dalam pendisiplinan tubuh dianggap sebagai mesin yang harus dioptimalkan kapabilitasnya, dibuat berguna dan patuh. Kontrol regulatif meliputi politik populasi, kelahiran dan kematian, dan tingkat kesehatan. Bio-power bertujuan untuk kesehatan, kesejahteraan, dan produktiitas. Dan ia didukung dengan normalisasi (penciptaan kategori normal - tidak normal, praktek kekuasaan dalam pengetahuan) oleh wacana ilmu pengetahuan modern, terutama kedokteran, psikiatri, psikologi, dan kriminologi. Banyak karya Foucault yang sangat fenomenal bagi studi tubuh: Madness and Civilization (1961), The Birth of the Clinic (1973), Discipline and Punish (1975), dan The History of Sexuality (1978), The Use of Pleasure (1985), dan The Care of The Self (1986). Tubuh dalam Kebudayaan Konsumen Mike Featherstone mengelompokkan pembentukan tubuh atas dua kategori: tubuh dalam dan tubuh luar ("The Body in Consumer Culture" [1982]). Yang pertama berpusat pada pembentukan tubuh untuk26

kepentingan kesehatan dan fungsi maksimal tubuh dalam hubungannya dengan proses penuaan, sementara yang kedua berpusat pada tubuh dalam hubungannya dengan ruang sosial (termasuk di dalamnya pendisiplinan tubuh dan dimensi estetik tubuh). Menurutnya dalam kebudayaan konsumen dua kategori itu berjalan secara bersama: pembentukan tubuh dalam menjadi alat untuk meningkatkan penampilan tubuh luar. Dalam kebudayaan konsumen tubuh diproklamirkan sebagai wahana kesenangan, ia dibentuk berdasarkan hasrat dan bertujuan untuk mencapai citra ideal: muda, sehat, bugar, dan menarik. Persepsi tentang tubuh dalam kebudayaan konsumen didominasi oleh meluasnya dandanan untuk citra visual (logika kebudayaan konsumen adalah pemujaan pada konsumsi citra). Citra membuat orang lebih sadar akan penampilan luar dan presentasi tubuh. Iklan dan Industri film adalah kreator utama citra tersebut.Termuat di Newsletter KUNCI No. 1, Juli 1999

sangat mungkin berbeda dari mereka yang laki-laki. Laki-laki membayangkan bahwa dengan merokok maka mereka bisa dianggap sudah dewasa, tidak lagi anak kecil, dan bisa memasuki kelompok teman sebaya sekaligus kelompok yang mempunyai ciri gaya tertentu, yaitu merokok. Lain halnya dengan perempuan. Merokok dianggap bukan sesuatu yang lumrah dan lazim dilakukan oleh perempuan, karenanya perempuan yang merokok dianggap sebagai ciri khas yang akan membedakan mereka dari perempuan-perempuan lain yang tidak merokok. Pada beberapa kelompok masyarakat, perempuan perokok bahkan kerap dihubungkan dengan stereotip buruk dan mendiskreditkanbukan perempuan baik-baik, urakan dsb. Keberanian untuk merokok ini akhirnya menjadi sesuatu yang membanggakan dan memuaskan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, karena para orang tua biasanya melarang anakanaknya untuk merokok dan memarahi mereka jika ketahuan merokok. Halhal di atas jugalah yang membuat pengalaman pertama merokok selalu mengandung kesan-kesan heroisme tertentu. Stephen Wearing dan Betsy Wearing (Leisure Studies 19 [1], 2000) melihat merokok sebagai sebuah asesori fesyen pada budaya 1990-an dan dipakai sebagai sumber identitas serta penghargaan diri seseorang, meskipun efek jangka panjangnya berbahaya karena bisa menyebabkan berbagai gangguan dan penyakit. Mereka menghubungkan merokok dengan konsumsi yang menyolok (conspicuous consumption), fesyen, dan identitas mengingat di masa pascamodern ini, representasi dan gambaran identitas berdasar pada simbol-simbol yang kita pakai, barang-barang yang kita kenakan, dan aktivitas-aktivitas yang kita lakukan, terutama aktivitasaktivitas yang sedang populer pada suatu masa tertentu. Thorsthein Veblen mengajukan istilah conspicuous consumption (konsumsi yang menyolok) untuk menunjuk barang-barang yang kita beli dan kita pertontonkan kepada orang lain untuk menegaskan gengsi dan status kita serta untuk menunjang gaya hidup di waktu senggang. Barang-barang yang dibeli atau dikonsumsi biasanya berupa sesuatu yang tidak berguna, yang kadang malah mengurangi gerak dan kenyamanan di tubuh seseorang. Veblen juga mengajukan istilah pecuniary emulation (penyamaan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan uang) dimana golongan yang tidak masuk pada leisure class (lihat KUNCI edisi 4) berusaha menyamai perolehan atau pemakaian benda-benda tertentu dengan harapan bahwa mereka akan mencapai keadaan identitas manusia yang secara intrinsik lebih kaya dari orang-orang lain.

Tubuh yang MenduaOleh NURAINI JULIASTUTI

Saat ini tubuh telah memantapkan posisinya sebagai titik pusat diri. Ia adalah medium yang paling tepat untuk mempromosikan dan memvisualkan diri sendiri. Tubuh adalah bagian yang melekat pada diri kita, sekaligus penyedia ruang-ruang tak terbatas untuk memamerkan segala jenis bentuk identitas diri. Tubuh juga bisa dikatakan sebagai suatu proyek besar bagi seseorang. Ia terus menerus dibongkar-bongkar, ditata ulang, dikonstruksi dan direkonstruksi, dieksplorasi secara besar-besaran: didandani, disakiti, dibuat menderita atau didisiplinkan, untuk mencapai efek gaya tertentu dan menciptakan cita rasa individualitas tertentu. *** Merokok merupakan satu jenis pilihan aktivitas yang populer dilakukan untuk memanfaatkan waktu senggang. Alasan-alasan yang menyebabkan seseorang melakukan pilihan merokok dan membuat merokok menjadi sesuatu yang menggairahkan bisa bermacam-macam dan bersifat pribadi. Alasan-alasan untuk merokok yang dikemukakan perempuan misalnya,27

28

Chris Rojek (Society and Leisure 20 [2], 1998) menggunakan teori Veblen ini untuk menganalisa kegiatan merokok. Rojek mengamati penampilan para bintang film, artis-artis populer, model, atlet-atlet olahraga, tidak ketinggalan para bintang iklan rokok, sebagai figur-figur yang berpengaruh ikut memberikan sumbangan stimulus untuk melakukan pekerjaan merokok. Bintang-bintang iklan rokok biasanya ditampilkan dengan karakter yang smooth, sedang berada dalam situasi santai, bermain kartu bersama teman-teman, minum kopi, atau berada dalam suatu pesta yang ramai. Produser film Titanic, Rae Sanchini, misalnya mengatakan bahwa Leonardo DiCaprio digambarkan sebagai seseorang yang senang merokok untuk mewakili karakter jiwa bebas seorang seniman. Sedangkan Kate Winslet dalam film itu ditampilkan melakukan kegiatan merokok sebagai perwujudan aksi pemberontakannya. Dan stimulus untuk merokok sebagian terbentuk dari hasrat untuk menyamakan tipikal karakter dan pernyataanpernyataan simbolik berupa gambaran atraktif, kesuksesan, kegagahan, popularitas, serta gaya hidup, yang muncul dari tokoh-tokoh pemimpin berupa para bintang iklan, artis-artis, atau kaum selebritis yang disenangi. Sementara itu, Simmel (1978) mengatakan bahwa ada hubungan yang erat antara waktu senggang, fesyen, dan identitas. Untuk mengejar fesyen dan gaya serta imej-imej yang mempesona, Simmel menangkap ketegangan antara pembedaan dan peniruan yang merupakan kebutuhan untuk masuk dalam satu grup sosial tertentu, sekaligus mengekspresikan individualitas seseorang. Dengan demikian merokok dapat dianggap sebagai asesori fesyen yang penuh daya pikat dan terkomodifikasi, dimana seseorang dapat merasakan penegasan ciri individualitas sekaligus dukungan penuh dari suatu grup sosial. Merokok adalah sebuah fesyen sekaligus sesuatu yang fashionable. Menurut Simmel, menjadi fashionable artinya menjadi seorang yang melebih-lebihkan dirinya dan dengan demikian membuat identitasnya tampak begitu menonjol. *** Dari uraian di atas, kita bisa menarik sebuah sikap yang mendua terhadap tubuh. Resiko-resiko merokok yang berbahaya bagi kesehatan tubuh tidak pernah menjadi dasar pertimbangan utama untuk merokok. Contoh sikapsikap yang mendua terhadap tubuh ini juga tampak dalam aktivitas-aktivitas dekorasi tubuh seperti tatto, tindik di puting susu (nipple piercing), atau tindik di bagian-bagian tubuh lain, seperti telinga atau hidung (safety pins). Semua aktivitas dekorasi tubuh atau penciptaan efek gaya tertentu pada tubuh itu dilakukan dengan melukai atau menyakiti bagian-bagian tubuh. Di Indonesia, baik nipple piercing maupun safety pins ini umumnya disebut dengan tindik saja.29

Safety pins merupakan simbol dari kaum punk. Ia adalah kombinasi dari etos do-it-yourself dan sikap-sikap yang ekstrem. Anting-anting dikenakan di telinga, lubang hidung, bibir, atau bisa juga berupa peniti-peniti yang dipakai untuk menyambung celana atau pakaian yang sobek-sobek. Untuk lagu single grup musik The Sex Pistol, God Save the Queen, desainer grafis grup ini, Jamie Reid, membuat karya kolase fotografi Ratu Elizabeth II yang sedang tersenyum dan mengenakan tindik di lubang hidungnya. Gambar itu kemudian direproduksi di kaos-kaos dan kartu pos-kartu pos, dan membuat safety pins menjadi gaya yang terkenal dimana-mana. Hampir mirip dengan safety pins ini adalah nipple-piercing. Tindik jenis ini banyak dipraktekkan oleh komunitas kaum gay, para penganut sado masokisme, para pengikut fesyen pascapunk, dan para pemuja new age. Film underground tahun 1980-an berjudul Robert Having his Nipple Pierced ikut membantu publisitas praktek nipple-piercing ini. Pemasangan cincin, anting-anting, atau semacam peniti di puting susu yang diikuti dengan pemasangan di organ-organ seks primer dan sekunder ini dipercaya bisa meningkatkan sensitivitas yang menyenangkan di area-area tersebut. Tetapi di beberapa kasus, tindik juga dilakukan untuk memuaskan keberanian dan mencapai kadar eksotisisme tertentu. Tatto atau rajah adalah gambar atau simbol pada kulit tubuh yang diukir dengan menggunakan alat sejenis jarum. Biasanya gambar dan simbol itu dihias dengan pigmen berwarna-warni. Dulu, orang-orang masih menggunakan teknik manual dan dari bahan-bahan tradisional untuk membuat tato. Orang-orang Eskimo misalnya, memakai jarum dari tulang binatang. Sekarang, orang-orang sudah memakai jarum dari besi, yang kadang-kadang digerakkan dengan mesin untuk mengukir sebuah tatto. Kuil-kuil Shaolin malah memakai gentong tembaga yang panas untuk mencetak gambar naga pada kulit tubuh. Murid-murid Shaolin yang dianggap memenuhi syarat untuk mendapatkan simbol itu kemudian menempelkan kedua lengan mereka pada semacam cetakan gambar naga yang ada di kedua sisi gentong tembaga panas itu. Di Indonesia sendiri pernah ada suatu masa ketika tatto dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Orang-orang yang memakai tatto dianggap identik dengan penjahat, gali, dan orang nakal. Pokoknya golongan orang-orang yang hidup di jalan dan selalu dianggap mengacau ketentraman masyarakat. Anggapan negatif seperti ini secara tidak langsung mendapat pengesahan ketika pada tahun 1980-an terjadi pembunuhan terhadap ribuan orang gali dan penjahat kambuhan di berbagai kota di Indonesia. Pembunuhan ini biasa disebut dengan Petrus, neologisme dari kata penembak dan misterius. Tanggapan negatif masyarakat tentang tato dan larangan memakai rajah atau tatto bagi penganut agama tertentu semakin30

menyempurnakan imej tatto sebagai sesuatu yang dilarang, haram, dan tidak boleh. Maka memakai tatto dianggap sama dengan memberontak. Tetapi justru term pemberontakan yang melekat pada aktivitas dekorasi tubuh inilah yang membuat gaya pemberontak ini populer dan dicari-cari oleh anak muda. Hal ini juga terjadi dalam persoalan merokok. Sesuatu yang dianggap berbeda, lain, dan serba kontras dari sesuatu yang biasabiasa saja, selalu punya kecenderungan besar untuk dilakukan banyak orang. Di situ terdapat ambivalensi antara pemberontakan dan gaya. Sesuatu yang dianggap berbahaya dan menyakitkan akan sekaligus dianggap sebagai gaya dan ciri fesyen tertentu justru karena sifat-sifatnya yang khas tersebut. Dan justru di sinilah pengotentikan identitas seseorang itu berasal. Setiap orang punya kebutuhan untuk mengambil jarak dan mengkonsumsi dirinya sendiri justru dari sisi-sisi yang dianggap berseberangan dari orang lain, dan dengan demikian berusaha membuat seragam diri yang otentik. Diatas semuanya, segala sikap mendua terhadap tubuh tidak hanya rute untuk menuju status tertentu dimata orang lain, tetapi juga pernyataan rasa subjektivitas seseorang.

Presley dan Tony Curtis. Setelah itu berlangsunglah era model rambut beatnik look yang dipelopori oleh James Dean dan Marlon Brando. Rambut Panjang vs Rambut Pendek The Hippies yang populer pada tahun 60-an, tidak hanya dikenal berkat gerakan-gerakan protesnya menentang norma-norma seksual yang puritan, etika protestan, gerakan-gerakan mahasiswa menentang perang, anti senjata nuklir, anti masyarakat yang fasis, militeris, birokratis, tidak manusiawi dan tidak natural, tetapi juga mendunia lewat simbol-simbol yang dikenakannya. Kalung manik-manik, celana jins, kaftanjubah longgar sepanjang betisyang pada awalnya merupakan pakaian tradisional Turki, sandal, jaket dan mantel yang dijahit dan disulam sendiri, untuk membedakan mereka dengan golongan orang-orang yang memakai setelan resmi dan berdasi. Kaftan banyak digunakan sebagai pakaian khas orang-orang hippies karena jenis pakaian ini biasanya berharga murah, sehingga tidak berkesan borjuis, dan membebaskan pemakainya dari kungkungan kerah, kancing dan ikat pinggang yang ketat. Dan simbol yang paling mencolok adalah rambut mereka yang panjang dan lurus. Rambutrambut yang natural, tanpa cat, tanpa alat pengeriting, tanpa dihiasi dengan pernik-pernik apapun, tanpa wig. Kaum laki-laki hippies juga memelihara rambut panjang, lengkap dengan janggut dan kumis yang dibiarkan tumbuh lebat tanpa dipotong. Ini yang membedakan mereka dari golongan orang tua mereka. Sepuluh tahun kemudian gaya hippies yang pada awalnya tumbuh untuk menentang kemapanan ini mendapat serangan dari golongan The Skinheads . Sama halnya dengan kaum hippies, orang-orang skinheads juga menentang kemapanan meskipun dengan alasan yang berbeda. Awalnya, skinheads adalah term slang untuk menunjuk pada orang-orang yang botak dan gundul. Kaum skinheads biasanya berasal dari kelas pekerja. Skinheads khususnya ditujukan untuk menentang golongan mahasiswa kelas menengah yang berambut panjang, orang-orang Asia dan kaum gay. Skinheads membenci orang-orang hippies, khususnya kaum laki-laki hippies. Mereka sering mengolok-olok kaum laki-laki hippies sebagai orang yang keperempuan-perempuanan dan aneh: dengan dandanan rambut panjang, pakaian bermotif bunga-bunga, manik-manik, dan sandal, sering membagi-bagikan bunga kepada polisi saat demonstrasi, pasif, malas, dan lemah. Pada awal kemunculannya di tahun 1968 dan 1969 sampai tahun 1970-an awal, skinheads biasanya memakai celana jins pudar yang digulung sampai di atas pergelangan kaki, sepatu militer jenis boover boots atau sepatu boot kulit merek Dr. Marten, t-shirt yang memamerkan slogan afiliasi gerakan politik atau organisasi sepak bola tertentu, jaket yang32

Fesyen dan IdentitasOleh NURAINI JULIASTUTI

Dalam masyarakat modern, semua manusia adalah performer. Setiap orang diminta untuk bisa memainkan dan mengontrol peranan mereka sendiri. Gaya pakaian, dandanan rambut, segala macam asesoris yang menempel, selera musik, atau pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan, adalah bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian diri. Kita bisa memilih tipe-tipe kepribadian yang kita inginkan lewat contoh-contoh kepribadian yang banyak beredar di sekitar kitabintang film, bintang iklan, penyanyi, model, bermacam-macam tipe kelompok yang adaatau kita bisa menciptakan sendiri gaya kepribadian yang unik, yang berbeda, bahkan jika perlu yang belum pernah digunakan oleh orang lain. Anthony Synott (1993) berhasil memberikan penjelasan yang bagus tentang rambut. Dalam beberapa hal, rambut tidak sekedar berarti simbol seks penanda laki-laki dan perempuan. Ia juga simbol gerakan politik kebudayaan tertentu. Menurutnya, model rambut yang berbeda menandakan model ideologi yang berbeda pula. Tahun 50-an yang membawa iklim pertumbuhan dan kemakmuran di Amerika ikut menghembuskan kebebasan ekspresi individual baru termasuk jenis model rambut baru. Model rambut yang dibentuk menyerupai ekor bebek menjadi sangat populer saat itu. Tokoh-tokoh utama jenis rambut ini adalah Elvis31

bertuliskan skins' di belakangnya, dan rambut yang dicukur sangat pendek. Beberapa orang skinheads yang mengenakan sepatu boover boot memang pernah bergabung dengan kesatuan militer, sementara beberapa pemakai yang lain memakainya dengan alasan supaya bisa menendang lebih kuat. Dengan ciri sepatu jenis inilah maka mereka juga mendapat julukan boover boys . Perempuan skinheads juga mengenakan dandanan yang sama, hanya saja biasanya mereka menyisakan sedikit kuncir rambut di bagian belakang dan samping. Pada tahun 1975 muncullah kaum punk . Penampilan kaum punk ini seringkali dikacaukan dengan kaum skinheads. Term punk sendiri adalah bahasa slang untuk menyebut penjahat atau perusak. Sama seperti para pendahulunya, kaum punk juga menyatakan dirinya lewat dandanan pakaian dan rambut yang berbeda. Orang-orang punk menyatakan dirinya sebagai golongan yang anti-fashion, dengan semangat dan etos kerja semuanya dikerjakan sendiri' ( do-it-yourself ) yang tinggi. Ciri khas dari punk adalah celana jins sobek-sobek, peniti cantel ( safety pins ) yang dicantelkan atau dikenakan di telinga, pipi, asesoris lain seperti swastika, salib, kalung anjing, dan model rambut spike-top dan mohican . Model rambut spike-top atau model rambut yang dibentuk menyerupai paku-paku berduri adalah model rambut standar kaum punk. Sementara model rambut mohican atau biasa disebut dengan mohawk yaitu model rambut yang menggabungkan gaya spike-top dengan cukuran di bagian belakang dan samping untuk menghasilkan efek bentuk bulu-bulu yang tinggi atau sekumpulan kerucut, hanya dipakai oleh sedikit penganut punk. Kadangkadang mereka mengecat rambutnya dengan warna-warna cerah seperti hijau menyala, pink, ungu, dan oranye. Fesyen dan Kesenangan Gaya casuals dipelopori oleh kelompok anak muda kalangan atas yang mempunyai tingkat pekerjaan dan pendidikan lebih tinggi sebagai lawan dari kalangan skinheads yang biasanya berada dalam posisi sosial kurang menguntungkan. Mereka biasanya mengenakan setelan pakaian santai atau pakaian sports yang bermerk mahal. Basis pakaian para perempuannya adalah pakaian laki-laki seperti cardigans atau celana pantalon. Suatu jenis gaya atau kelompok yang juga memainkan peranan penting dalam kebudayaan anak-anak muda adalah rockers . Kelompok rockers ini biasanya dijuluki juga sebagai leather boys karena ciri khasnya memakai jaket kulit, celana jins ketat, rambut panjang, asesoris serba metal, pemuja33

fanatik musik rock, dan di awal kemunculannya kerap diidentikkan dengan sepeda motor besar. Penampilan mereka yang tampak liar dan keras ini tentu saja secara substansial sangat berbeda dengan penampilan para teddy boy yang sangat dandy dan flamboyan: sepatu kulit mengkilap serta jas dan blazer yang rapi. Semua hal yang telah dipertontonkan lewat tubuh: gaya pakaian, gaya rambut, serta asesoris pelengkapnya, lebih dari sekedar demonstrasi penampilan, melainkan demonstrasi ideologi. Sekaligus menunjukkan kepada kita bahwa globalisasi berperanan besar dalam penyebaran gaya ke seluruh dunia meskipun tidak dalam waktu yang bersamaan. Globalisasi beserta seluruh perangkat penyebarannya, televisi, majalah, dan bentukbentuk media massa yang lain, juga menyebabkan peniruan gaya yang sama, tetapi dengan kesadaran yang samasekali berbeda dengan konteks sejarah awalnya. Jadi, para anak muda yang mengenakan dandanan serba punk di Indonesia ini sangat mungkin diilhami oleh sesuatu yang sangat berbeda dengan generasi punk pendahulu mereka di negara asalnya. Sampai tahap ini, kita bisa melihat adanya hubungan yang kompleks antara tubuh, fesyen, gaya dan penampilan, serta identitas kepribadian yang ingin dikukuhkan oleh seseorang. Pembentukan identitas bukan persoalan sederhana. Ia tidak pernah bergerak secara otonom atau berjalan atas inisiatif diri sendiri, tapi dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang beroperasi bersama-sama. Faktor-faktor tersebut bisa diidentifikasi sebagai kreativitas, bahwa semua orang diwajibkan untuk kreatif supaya tampak berbeda dan dianggap berbeda pula. Kemudian ada faktor pengaruh ideologi kelompok dan tekanan teman sepermainan sebaya. Di sini, persoalan merek sepatu atau jenis pakaian bisa jadi persoalan besar karena ikut menentukan apakah seseorang dianggap memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam kelompok tertentu atau tidak. Faktor-faktor lainnya adalah status sosial, bombardir iklan-iklan media, serta unsur kesenangan ( pleasure dan fun ). Unsur kesenangan ini bisa dipakai untuk menjelaskan dan memahami kelompok anak muda yang mengadopsi, mengkonsumsi atau mencampurkan berbagai macam gaya dengan tanpa referensi jelas terhadap makna asalnya. Gaya menjadi kolase-kolase. Hanya penampilan semata. Hanya fashion. Tetapi hal ini tidak berarti mereduksi gaya menjadi sesuatu yang tidak bermakna. Berakhirnya otentisitas bukan berarti kematian makna. Kolase, peniruan-peniruan, kombinasi, ambil sana-ambil sini, ikut membentuk lahirnya makna-makna baru.Termuat di Newsletter KUNCI No. 6-7, Mei-Juni 2000

34

Subkultur; Yang Melawan, yang TerkomodifikasiOleh: EDNA C PATTISINA

Berbicara tentang musik dan remaja, hampir selalu akan bertemu dengan apa yang disebut subkul- tursatu istilah, katakanlah sikap untuk mengambil posisi alternatif dari arus utama. Hanya saja, subkultur ini pada gilirannya dicaplok industri juga sebagai dagangan. Apa yang terjadi di Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Rabu (12/4), bisa sedikit menyibak hal ini. Awalnya, acara diskusi berjudul "Music, Words, Images and Identity: Youth Rebellion and The Politics of Sub-Culture in Rock- Film", yang merupakan kerja sama dengan British Council, berjalan datar. Dua sutradaraUpi Avianto (Realita, Cinta, dan Rock n Roll) dan Agung Sentausa (Garasi)bersama dua pemusik, Jimi Multhazam (The Upstairs) dan Malvin Tambunan (In Ska We Trust), serta wartawan Junior Eka Putro (Hai) memaparkan sudut pandang masing-masing tentang tema di atas. Upi, misalnya, menyebutkan kalau film Realita, Cinta, dan Rock n Roll tidak bisa dikategorikan film musik seperti film Quadrophenia yang diputar sebelum diskusi. Film Quadrophenia yang berlatar Inggris di era tahun 1950-an bercerita tentang persaingan dua kelompok anak muda. "Kalau film saya itu film keluarga, semangat rock hanya saya pakai untuk menunjukkan betapa dua tokoh remaja dalam film ini sangat menentang segala aturan yang ada," kata Upi. Junaidi, dosen Cultural Studies FIB yang menjadi moderator, lalu memandu diskusi masuk ke acara tanya jawab. Suasana memanas. "Anda tidak mengerti dengan apa yang Anda filmkan. Yang saya tonton adalah sebuah hyperreality yang hanya memunculkan mitos-mitos dan sekadar menggunakan logika kapital saja," seru Arok yang mengaku mewakili komunitas punk ini. Setelah Arok, muncul Liga, yang mengatasnamakan kelompok skin head. Ia mempertanyakan kesahihan diskusi itu karena menurut dia narasumber yang ada tidak kompeten. "Bagi Anda-anda, ini sekadar joke, tapi bagi kami, ini jalan hidup, bahkan lebih penting dari agama. Jangan cuma baca buku tentang skin head dan punk, lalu Anda kira sudah tahu semua," kata Liga.

Arok sendiri menolak untuk diwawancara. Alasannya, kelompoknya punya bentuk media sendiri. "Maaf, saya tidak mau diwawancara yang semuanya sudah kapitalistik. Kalau saya mau diwawancara, berarti saya mendukung kapitalis," kata pemuda yang mengaku mahasiswa Sosiologi UI angkatan 2001 ini. Secara kasatmata, komunitas ini memakai simbol-simbol yang jelas dari segi penampilan, seperti busana dan gaya rambut. Liga, misalnya, identitas skin head-nya terlihat tidak saja dari kepala yang plontos, tetapi juga jaket jins, celana jins ketat, dan sepatu bot Doc Mart yang harganya lebih dari Rp 1 juta. Sejatinya, subkultur sarat dengan simbol-simbol, selain ideologi yang mendasari pergerakannya. Namun, belakangan simbol-simbol ini dengan sigap diraih industri. Pangsa pasarnya, yang sebagian besar remaja, berkaitan dengan proses pencarian identitas ini pun dijejali dengan ikonikon subkultur yang sekadar menjadi aksesori belaka. Hal ini sebenarnya bukan hal yang sama sekali baru. Seperti film Absolute Beginners karya Julien Temple memotret bahwa pada akhir tahun 1950-an di Inggris, setelah perang usai beberapa tahun, remaja mulai ingin tampil beda. Sejak saat itulah mereka dipandang sebagai kelas usia tertentu, yaitu "teenagers" yang merupakan pangsa pasar yang juga butuh penggarapan khusus. Contoh paling klasik adalah komunitas punk di Inggris yang hadir sebagai bentuk dari perlawanan kelas pekerja terhadap kelas pemilik modal. Salah satu ikonnya, Sex Pistols misalnya, pada era tahun 1970-an kerap membuat pernyataan politik yang keras dan satir sebagai bentuk perlawanannya kepada materialisme. Lirik-lirik lagunya kerap membuat kaget dan merah kuping para kaum konservatif di negara ini. Walaupun demikian, pada kenyataannya, kelompok ini pun menjadi penyumbang poundsterling yang cukup besar kepada beberapa label rekaman besar yang pernah menaunginya. Pengaruh perlawanan mereka eksis di kelompok-kelompok seperti Rancid, bahkan Oasis, namun pada kenyataannya kehadiran Sex Pistols yang sarat dengan ideologi punk akhirnya menjadi sebuah komoditas yang dilahap industri musik juga. "Nah, kalau di sini ada komunitas yang menyatakan diri di luar mainstream, pertanyaannya lalu, apa yang mau mereka tuju, atau sekadar fun saja," kata Junaidi, sebagai moderator. Ia menilai, kehadiran Arok dan Liga sebagai bentuk pernyataan bahwa mereka ingin didengar juga.36

35

Seiring dengan kemenangan kapitalisme, kehadiran kelompok-kelompok tersebut malah dipakai dan diadopsi oleh industri. Di tataran produsen, kelompok ini merupakan salah satu jenis aliran musik yang lalu bisa dijual beserta segala aksesori yang menyertainya. Tidak sedikit sesuatu yang dianggap sebagai subkultur kemudian harus terisap masuk ke dalam industri itu sendiri. Sebut saja musik hip hop hingga pesta-pesta rave yang sekarang musim, yang tadinya menjadi kebanggaan kaum muda sebagai identitasnya yang unik dan berbeda, namun kemudian diambil oleh industri sebagai sesuatu komoditas. Pasarnya siapa? Ya, yang melawan itu....https://www.kompas.com/kompas-cetak/0604/16/utama/2587801.htm Minggu, 16 April 2006

Fashion, Kaos, dan Komunikasi Meski sudah mulai mendunia sejak "50-an, konvensi mode dunia tetap saja belum memasukkan kaos ke dalam kategori fashion . Kaos tetap saja dianggap sebagai pakaian dalam yang tidak pantas dikenakan sebagai pakaian luar. Memakai kaos masih juga dianggap sebagai tindakan yang unfashion. Karena itu pada masa musik heavy metal mulai digemari kalangan muda, mereka ini sengaja memilih seragam kaos oblong sebagai bentuk penolakan terhadap konvensi arus utama mode dunia ( high fashion ) (McRobbie, 1999). Menyobek beberapa bagian dari kaos oblong bahkan merupakan bagian dari gaya subkultur punk. Bagi mereka ini bentuk fashion adalah unfashion (Hebdige, 1999). Perubahan dalam bahan dan teknologi produksi kaos turut berperan dalam perubahan makna kaos dalam kehidupan sosial. Ditemukannya polyester dan bahan-bahan fiber artifisial, bersamaan dengan diperkenalkannya bahan drip-dry untuk pembuatan pakaian, penambahan variasi warna, gaya dan tekstur, membuat kaos semakin diterima sebagai pakaian luar. Meski begitu, dalam diferensiasi sistem fashion, hingga sekarang kaos masih digolongkan dalam kategori low fashion ( unfashion? ). [2] Berbeda dengan produk high fashion yang didesain dan dibuat secara khusus untuk orangorang khusus, hampir semua kaos merupakan low fashion yang didesain untuk tujuan diproduksi secara massal. [3] Variasi kaos sebagai pakaian luar sekarang ini sangat beragam. Kaos diproduksi baik dalam warna-warna primer maupun dalam kombinasi yang lebih kompleks, beberapa di antaranya dilengkapi dengan saku untuk menyimpan alat tulis, rokok, atau benda kecil lainnya. Dengan begitu kaos tidak hanya dipakai oleh kalangan muda, laki-laki, atau mereka yang berasal dari golongan bawah saja, tetapi juga dipakai oleh siapa saja. Kita juga melihat kaos dipakai dalam berbagai aktivitas, dari bekerja hingga mengisi waktu senggang, seperti jalan-jalan di pusat pertokoan atau bermain golf. Kaos oblong sekarang ini juga telah menjadi wahana tanda. Kaos, sebagaimana pakaian lainnya, membawa pesan dalam sebuah "teks terbuka" di mana pembaca atau penonton bisa menginterpretasikannya. Berbagai bentuk, gambar, atau kata-kata dalam kaos merupakan pesan akan pengalaman, perilaku dan status sosial. Kaos oblong mengkomunikasikan berbagai lokasi atau identitas sosial: tempat (HRC, Borobudur, Bali, Yogyakarta), bisnis (Coca Cola, Yamaha, Suzuki), institusi (UGM, UI, ITB, De Britto). Kaos oblong lainnya mengkomunikasikan38

Menjadi Modern dengan KaosOleh ANTARIKSA

Dibanding jenis pakaian lainnya, sejarah kaos oblong [1] sebenarnya belumlah terlalu panjang. Kemungkinan besar kaos baru muncul antara akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Kaos berbahan katun biasanya dipakai oleh tentara Eropa sebagai pakaian dalam (di balik seragam), yang fleksibel dan bisa dipakai sebagai pakaian luar jika mereka beristirahat di udara siang yang panas. Istilah "T-Shirt" (metafor yang mungkin diambil berdasar bentuknya) baru muncul di Merriam-Webster's Dictionary pada 1920, dan baru pada Perang Dunia II ia menjadi perlengkapan standar dalam pakaian militer di Eropa dan Amerika Serikat (T-Shirt King). Kaos oblong mulai dikenal di seluruh dunia lewat John Wayne, Marlon Brando dan James Dean yang memakai pakain dalam tersebut untuk pakain luar dalam film-film mereka. Dalam A Streetcar Named Desire (1951) Marlon Brando membuat gadis-gadis histeris dengan kaos oblongnya yang sobek dan membiarkan bahunya terbuka. Dan puncaknya adalah ketika James Dean mengenakan kaos oblong sebagai simbol pemberontakan kaum muda dalam Rebel Without A Cause (1955) (CullumSwan dan Manning, 1990). Teknologi screenprint di atas kaos katun baru dimulai awal "60-an dan setelah itu barulah bermunculan berbagai bentuk kaos baru, seperti tank top , muscle shirt , scoop neck , v-neck dsb.37

kelompok atau kolektivitas (Canissi Seminarium, Pro Iustisia), tim (MU, Inter Milan), konser atau acara kesenian (Jakjazz, Pameran AWAS!), komoditas yang dianggap bernilai (VW, Harley Davidson), pengalaman ceremonial (KKN UGM 2000), sementara banyak