CSS Gawat Darurat Obstetri

26
BAB I GAWAT DARURAT OBSTETRI Indonesia masih mempunyai angka kematian ibu dan bayi dalam kehamilan dan persalinan yang cukup tinggi. Untuk menurunkan angka kematian tersebut, maka dalam menangani kasus yang bersifat kegawatdaruratan obstetri, para petugas kesehatan harus dapat menangani kasus tersebut secara cepat dan tepat. Dibawah ini adalah beberapa kasus kegawatdaruratan obstetri: a. Perdarahan awal kehamilan: - Abortus - Kehamilan ektopik terganggu - Mola hidatidosa b. Perdarahan antepartum: - Plasenta previa - Solusio plasenta - Ruptur uteri c. Perdarahan post-partum: - Atonia uteri - Retensio plasenta - Robekan jalan lahir - Inversio uteri d. Kasus infeksi dengan sepsis: - Abortus septik - Syok septik - Infeksi puerperalis e. Hipertensi dalam kehamilan (Preeklampsi, eklampsi, hipertensi kronis, hipertensi gestasional, superimposed) f. Persalinan terhambat g. Gawat Janin Dari semua bahasan tentang kegawatdaruratan yang telah disebutkan diatas, tidak akan dibahas seluruhnya Maka, pada kesempatan ini hanya akan dibahas: 1. Perdarahan post-partum 2. Hipertensi dalam kehamilan BAB II HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN 2.1 PENDAHULUAN Hipertensi adalah masalah kesehatan yang paling sering ditemui dalam kehamilan. Hipertensi merupakan komplikasi kehamilan kira-kira 7-10% dari seluruh kehamilan. Hipertensi dalam kehamilan (HDK) adalah salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu disamping perdarahan dan infeksi. Pada HDK juga didapatkan angka mortalitas dan morbiditas bayi yang cukup tinggi. Di Indonesia preeklamsia dan eklamsia merupakan penyebab dari 30-40% kematian perinatal, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia telah menggeser perdarahan sebagai penyebab utama kematian maternal. Untuk itu diperlukan perhatian serta penanganan yang serius tehadap ibu hamil dengan penyakit ini. 2.2 KLASIFIKASI Menurut The Working Group Report On High Blood Pressure In Pregnancy (2000) hipertensi dalam kehamilan dapat diklasifikasikan menjadi : 1

Transcript of CSS Gawat Darurat Obstetri

Page 1: CSS Gawat Darurat Obstetri

BAB IGAWAT DARURAT OBSTETRI

Indonesia masih mempunyai angka kematian ibu dan bayi dalam kehamilan dan persalinan yang cukup tinggi. Untuk menurunkan angka kematian tersebut, maka dalam menangani kasus yang bersifat kegawatdaruratan obstetri, para petugas kesehatan harus dapat menangani kasus tersebut secara cepat dan tepat. Dibawah ini adalah beberapa kasus kegawatdaruratan obstetri: a. Perdarahan awal kehamilan:

- Abortus- Kehamilan ektopik terganggu- Mola hidatidosa

b. Perdarahan antepartum: - Plasenta previa- Solusio plasenta- Ruptur uteri

c. Perdarahan post-partum:- Atonia uteri- Retensio plasenta- Robekan jalan lahir- Inversio uteri

d. Kasus infeksi dengan sepsis:- Abortus septik- Syok septik- Infeksi puerperalis

e. Hipertensi dalam kehamilan (Preeklampsi, eklampsi, hipertensi kronis, hipertensi gestasional, superimposed)

f. Persalinan terhambatg. Gawat Janin

Dari semua bahasan tentang kegawatdaruratan yang telah disebutkan diatas, tidak akan dibahas seluruhnya Maka, pada kesempatan ini hanya akan dibahas:

1. Perdarahan post-partum2. Hipertensi dalam kehamilan

BAB IIHIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

2.1 PENDAHULUANHipertensi adalah masalah kesehatan yang paling sering ditemui dalam

kehamilan. Hipertensi merupakan komplikasi kehamilan kira-kira 7-10% dari seluruh kehamilan.

Hipertensi dalam kehamilan (HDK) adalah salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu disamping perdarahan dan infeksi. Pada HDK juga didapatkan angka mortalitas dan morbiditas bayi yang cukup tinggi. Di Indonesia preeklamsia dan eklamsia merupakan penyebab dari 30-40% kematian perinatal, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia telah menggeser perdarahan sebagai penyebab utama kematian maternal. Untuk itu diperlukan perhatian serta penanganan yang serius tehadap ibu hamil dengan penyakit ini.

2.2 KLASIFIKASIMenurut The Working Group Report On High Blood Pressure In Pregnancy

(2000) hipertensi dalam kehamilan dapat diklasifikasikan menjadi :1. Preeklamsi2. Eklamsi3. Hipertensi kronik4. Hipertensi kronis dengan superimposed preeklamsi5. Hipertensi gestasional

2.3 DEFINISI1. Preeklamsi

Ialah timbulnya hipertensi disertai proteinuri akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan.

2. Eklamsi Adalah kelainan akut pada preeklamsi, dalam kehamilan, persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dengan atau tanpa penurunan kesadaraan (gangguan sistem saraf pusat).

3. Hipertensi kronik Adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah ditemukan sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu, dan yang menetap setelah 12 minggu pasca persalinan.

4. Hipertensi kronis dengan superimposed preeklamsiHipertensi kronik yang disertai proteinuria.

5. Hipertensi gestasional

1

Page 2: CSS Gawat Darurat Obstetri

Adalah timbulnya hipertensi dalam kehamilan pada wanita yang tekanan darah sebelumnya normal dan tidak mempunyai gejala-gejala hipertensi kronik atau preeklamsi/eklamsi (tidak disertai proteinuri). Gejala ini akan hilang dalam waktu < 12 minggu pascasalin.

2.4 FAKTOR PREDISPOSISIBanyak faktor yang telah ditemukan berhubungan dengan terjadinya

hipertensi dalam kehamilan. Kebanyakan faktor tersebut termasuk dalam faktor predisposisi, sedangkan sebagian lagi seperti penambahan berat badan dan edema lebih cenderung merupakan akibat dari hipertensi dalam kehamilan

Menurut studi group WHO pada tahun 1987, faktor-faktor predisposisi preklamsi antara lain :1. Umur hamil < 18 tahun atau ≥ 35 tahun2. Paritas3. Suku bangsa4. Keluarga5. Genetik :

- Golongan darah- Konsanguitas- Jenis kelamin janin

6. Nutrisi- Kalori dan protein- Vitamin, mineral- Berat badan

7. Lingkungan- Masa perang, kelaparan dan musim kering- Iklim dan cuaca- Ketinggian- Perkotaan dan pedesaan

8. Kebiasaan dan sosio ekonomi- Merokok - Kegiatan fisik- Sosio-ekonomi

9. Hiperplasentosis- Kehamilan ganda- Hidrops fetalis- Diabetes Melitus- Mola hidatidosa

2.5 PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESISHipertensi dalam kehamilan biasanya terjadi pada wanita :1.Yang terpapar villi chorion untuk pertama kali.2.Yang terpapar villi chorion yang besar seperti pada gemelli atau mola hidatidosa.3.Yang sebelumnya mempunyai penyakit vaskuler.4.Yang secara genetis merupakan predisposisi untuk hipertensi dalam kehamilan.

Teori-teori yang pernah dikemukakan yang diduga berperan dalam patofisiologi terjadinya preklamsi, antara lain :1.Faktor imunologis

Hal ini didasarkan pada pengamatan bahwa HDK sering ditemukan pada nullipara, kehamilan kembar, multipara dengan inseminasi donor, penurunan konsentrasi komplemen C4, wanita dengan fenotipe HLA-DR4, adanya aktivasi komplemen, neutrofil dan makrofag .

2. Faktor genetikHa1 ini didasarkan pada kenyataan bahwa preeklamsi sering ditemukan dalam keluarga tertentu. Beberapa bukti yang ditemukan antara lain preeklamsi di turunkan oleh gen resesif tunggal, penyebabnya multifaktor, diturunkan oleh gen angiotensinogen.

3. Faktor nutrisiAda yang mengemukakan bahwa penyakit ini berhubungan dengan adanya defisiensi kalsium, protein, kelebihan garam natrium atau kekurangan asam lemak tidak jenuh.

4. Faktor hormonalHal ini dihubungkan dengan kadar hormon progesteron yang semakin meningkat pada kehamilan normal. Progesteron bersifat diuretikum ringan, sehingga sedikit saja natrium yang dikeluarkan melalui urin. Bila kadar progestron menurun, maka natrium akan banyak diekskresikan sehingga reseptor arteriol di juxtaglomeruler akan terangsang untuk menghasilkan renin, angiotensin I dan angiotensin II yang bersifat vasokonstriktor. Aldosteron juga akan dihasilkan sehingga akan terjadi retensi natrium dan cairan. Kadar renin plasma telah dibuktikan rendah pada penderita preeklamsi. Namun, kadar progesteron tidak ditemukan menurun dengan jelas pada penderita preeklamsi-eklamsi.

5. Komponen vasoaktifPada mulanya faktor ini dianggap sebagai penyebab dari penyakit ini karena akan bertanggung jawab langsung pada kejadian vasokonstriksi dan hipertensi. Meskipun demikian, ternyata kemudian, ada faktor lain yang mendahuluinya yang menyebabkan dikeluarkannya zat-zat vasoaktif ini.Endotelin merupakan vasokonstriktor yang kuat yang dihasilkan oleh endotel pembuluh darah. Plasma endothelin-1 dilaporkan meninggi kadarnya dalam darah ibu dengan preeklamsi. Sebaliknya nitrit oksida (NO) yang dulunya dikenal

2

Page 3: CSS Gawat Darurat Obstetri

sebagai EDRF (endothelium derived relaxing factor) ditemukan menurun kadarnya atau menghilang dalam serum penderita preeklamsi .Nitrit oksida merupakan vasodilator yang kuat yang disintesis dari L-arginine oleh sel eadotel. Hambatan pada produksi NO akan menyebabkan peninggian tekanan arteri rata-rata, penurunan frekuensi denyut jantung, dan meningkatkan kepekaan pembuluh darah pada zat-zat vasokonstriktor.

6. Faktor endotel dan plasentaAkibat defisiensi imunologis pada plasenta yang menyebabkan gangguan invasi trofoblas pada arteri spiralis akan terjadi gangguan perfusi unit uteroplasenta. Hal ini akan menyebabkan dilepaskannya faktor-faktor yang bersifat cytotoxic yang akan menyebabkan kerusakan atau jejas pada endotel. Kerusakan pada endotel pembuluh darah akan mengaktifkan proses pembekuan darah dan meningkatkan kepekaan pada zat-zat vasokonstriktor, bersamaan dengan pelepasan komponen vasoaktif di atas.

Preeklamsi adalah suatu penyakit yang merupakan manifestasi dari gangguan fungsi banyak organ akibat vasospasme yang disebabkan oleh kerusakan sel-sel endotel. Berdasarkan rangkaian peristiwa yang menjadi patofisiologi preeklamsi di atas, dapat dirangkaikan kemungkinan patogenesis preeklamsi sebagai berikut : Reaksi imunologis akibat penolakan ibu terhadap jaringan janin (yang

mengandung antigen paternal) diduga merupakan awal terjadinya maladaptasi dan menghambat invasi sel-sel sitotrofoblas secara endo dan perivaskuler. Akibatnya, ada arteriol rahim yang masih memiliki tunika muskularisnya sehingga tahanan perifer di tempat tersebut tetap tinggi dan menyebabkan terjadinya hipoksia.

Keadaan hipoksia baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menghasilkan radikal bebas akan menyebabkan kerusakan endotel bersamaan dengan pelepasan matriks ekstraseluler (ECM) dan molekul perekat sel (CAM) ke dalam darah.

Kerusakan endotel merupakan pemicu runtutan peristiwa selanjutnya, yaitu : o terjadi peningkatan aktivitas trombosit dan agregasi trombosito berkurangnya produksi vasodilator, seperti : prostasiklin, dan nitrit oksidao meningkatnya produksi vasokonstriktor, seperti tromboksan, katekolamin

dan endotelino meningkatnya respons pembuluh darah terhadap zat vasokonstriktoro vasokonstriksi yang menyeluruh akan merangsang pengeluaran renin dan

pengaktifan RAAS (Renin-Aldosterone-Angiotensin System) yang menambah beratnya vasokonstriksi, hipertensi, retensi natrium, dan edema

o terpaparnya trombosit dengan jaringan kolagen pembuluh darah menyebabkan terjadinya trombosis yang dapat menutup aliran darah ke perifer sehingga dapat terjadi infark. Lebih lanjut dapat terjadi DIC dan

penekanan sistem fibrinolitik. Vasokonstriksi dan kerusakan endotel yang menyeluruh akan meyebabkan

kerusakan atau gangguan fungsi pelbagai organ vital termasuk ginjal, hati, paru-paru, otak, jantung, mata, dan sebagainya.

2.6 DIAGNOSISPreeklamsi ringanDiagnosis preeklamsi ringan didasarkan atas : hipertensi (sistolik antara 140 - <160 mmHg dan diastolik antara 90-<110

mmHg) proteinuri (> 300 mg/24 jam, atau >1 + dipstick) Edema (lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria diagnostik kecuali

anasarka)

Preeklamsi beratBila didapatkan satu atau lebih gejala di bawah ini preeklamsi digolongkan berat.1. Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg. 2. Proteinuri > 2 g/24 jam atau > 2 + dalam pemeriksaan kualitatif (dipstick)3. Kreatinin serum > 1,2 mg% disertai oliguri (< 400 ml/ 24 jam)4. Trombosit < 100.000/mm35. Angiolisis mikroangiopati (peningkatan kadar LDH)6. Peninggian kadar enzim hati (SGOT dan SGPT)

3

Page 4: CSS Gawat Darurat Obstetri

7. Sakit kepala yang menetap atau gangguan visus dan serebral8. Nyeri epigastrium yang menetap9. Pertumbuhan janin terhambat10. Edema paru disertai sianosis11. Adanya “HELLP Syndrome” (H : Hemolysis; EL : Elevated liver enzymes LP :

low platelet count)

EklamsiTerjadi kejang – kejang, yang tidak disingkirkan oleh penyebab lain, pada penderita preeklamsi. Kejang – kejang bisa terjadi sebelum, selama, atau segera setelah persalinan.

Hipertensi kronis dengan superimposed preeklamsiHipertensi kronik yang disertai proteinuria.

Hipertensi kronisDitemukannya hipertensi pada saat sebelum kehamilan atau sebelum

kehamilan berumur 20 minggu, atau setelah kehamilan berumur lebih dari 20 minggu atau menetap hingga 12 minggu pasca persalinan.

Hipertensi Gestasional1. Tekanan darah mencapai ≥ 140/90 mmHg untuk pertama kalinya dalam

kehamilan2. Proteinuri (-)3. Transient hipertensi jika tidak berkembang menjadi preeklamsi dan TD kembali

ke normal dalam 12 minggu post partum4. Diagnosis terakhir hanya bisa dibuat setelah post partum5. Yang paling penting ialah wanita dengan hipertensi gestasional dapat mengalami

tanda – tanda yang berhubungan dengan preeklamsi, misalnya nyeri ulu hati atau trombositopenia.

2.7 TERAPIPreeklamsi ringan1. Rawat inap. Istirahat (tirah baring/ tidur miring kekiri). Rawat jalan dilakukan

apabila pasien menolak rawat inap. Dilakukan pemantauan tekanan darah dan protein urine setiap hari.

2. Pantau tekanan darah 2 kali sehari, dan proteinuri setiap hari.3. Dapat dipertimbangkan pemberian suplementasi obat-obatan antioksidan atau

anti agregasi trombosit4. Roboransia5. Diberikan kortikosteroid pada kehamilan 24-34.

6. Berikan Methyl Dopa 3 x 250 mg apabila tekanan diastol diantara 100-110 mmHg.

7. Dilakukan pemantauan kesejahteraan janin dengan pemeriksaan USG (Doppler) dan CTG.

8. Jika tekanan diastol turun sampai normal, pasien dipulangkan dengan nasihat untuk istirahat dan diberi penjelasan mengenai tanda-tanda preeklamsi berat. Kontrol 2 kali seminggu. Bila tekanan diastol naik lagi, pasien dirawat kembali.

9. Jika tekanan diastol naik dan disertai dengan tanda-tanda preeklamsi berat, pasien dikelola sebagai preeklamsi berat.

10. Bila umur kehamilan > 37 minggu, pertimbangkan terminasi kehamilan.11. Persalinan dapat dilakukan secara spontan.

Preeklamsi BeratRawat bersama dengan Bagian yang terkait (Penyakit Dalam, Penyakit Saraf, Mata, Anestesi,dll).A. Perawatan aktif

a. Indikasi Bila didapatkan satu/lebih keadaan di bawah ini :

i. Ibu :1. kehamilan > 37 minggu2. adanya gejala impending eklamsiii. Janin :1. adanya tanda-tanda gawat janin2. adanya tanda-tanda IUGRiii. Laboratorik :adanya HELLP syndrome

b. Pengobatan medisinal1. Infus larutan ringer laktat 2. Pemberian obat : MgSO4Cara pemberian MgSO4 :1. Pemberian melalui intravena secara kontinyu (infus dengan infusion

pump):a. Dosis awal :

4 gram (20 cc MgSO4 20 %) dilarutkan kedalam 100 cc ringer lactat, diberikan selama 15-20 menit.

b. Dosis pemeliharaan:10 gram dalam 500 cc cairan RL, diberikan dengan kecepatan 1-2 gram/jam ( 20-30 tetes per menit)

4

Page 5: CSS Gawat Darurat Obstetri

2. Pemberian melalui intramuskuler secara berkala :a. Dosis awal:

4 gram MgSO4 (20 cc MgSO4 20%) diberikan secara i.v. dengan kecepatan 1 gram/menit.

b. Dosis pemeliharaan Selanjutnya diberikan MgSO4 4 gram (10 cc MgSO4 40%) i.m setiap 4

jam. Tambahkan 1 cc lidokain 2% pada setiap pemberian i.m untuk mengurangi perasaan nyeri dan panas.

Syarat-syarat pemberian MgSO41. Harus tersedia antidotum MgSO4, yaitu kalsium glukonas 10% (1 gram

dalam 10 cc) diberikan i.v dalam waktu 3-5 menit.2. Refleks patella (+) kuat3. Frekuensi pernafasan > 16 kali per menit4. Produksi urin > 30 cc dalam 1 jam sebelumnya (0,5 cc/kg bb/jam)

Sulfas magnesikus dihentikan bila :1. Ada tanda-tanda intoksikasi2. Setelah 24 jam pasca salin

3. Dalam 6 jam pasca salin sudah terjadi perbaikan tekanan darah (normotensif)

3. Diuretikum tidak diberikan kecuali bila ada a. edema paru b. payah jantung kongestif c. edema anasarka

4. Antihipertensi diberikan bila :1. Tekanan darah :

- Sistolik > 180 mmHg- Diastolik > 110 mmHg

2. Obat-obat antihipertensi yang diberikan :- Obat pilihan adalah hidralazin, yang diberikan 5 mg i.v. pelan-

pelan selama 5 menit. Dosis dapat diulang dalam waktu 15-20 menit sampai tercapai tekanan darah yang diinginkan.

- Apabila hidralazin tidak tersedia, dapat diberikan : Nifedipin : 10 mg, dan dapat diulangi setiap 30 menit (maksimal

120 mg/24 jam) sampai terjadi penurunan tekanan darah. Labetalol 10 mg i.v. Apabila belum terjadi penurunan tekanan

darah, maka dapat diulangi pemberian 20 mg setelah 10 menit, 40 mg pada 10 menit berikutnya, diulangi 40 mg setelah 10 menit kemudian, dan sampai 80 mg pada 10 menit berikutnya.

Bila tidak tersedia, maka dapat diberikan : Klonidin 1 ampul dilarutkan dalam 10 cc larutan garam faal atau air untuk suntikan. Disuntikan mula-mula 5cc i.v. perlahan-lahan selama 5 menit. Lima menit kemudian tekanan darah diukur, bila belum ada penurunan maka diberikan lagi sisanya 5 cc i.v. selama 5 menit. Kemudian diikuti dengan pemberian secara tetes sebanyak 7 ampul dalam 500 cc dextrose 5% atau Martos 10. Jumlah tetesan dititrasi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan, yaitu penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) sebanyak 20% dari awal. Pemeriksaan tekanan darah dilakukan setiap 10 menit sampai tercapai tekanan darah yang diinginkan, kemudian setiap jam sampai tekanan darah stabil.

5. KardiotonikaIndikasi pemberian kardiotonika ialah, bila ada : tanda-tanda payah jantung. Jenis kardiotonika yang diberikan : Cedilanid-D

Perawatan dilakukan bersama dengan Sub Bagian Penyakit Jantung6. Lain-lain

1. Obat-obat antipiretikDiberikan bila suhu rektal di atas 38,5 0 CDapat dibantu dengan pemberian kompres dingin atau alkohol

2. Antibiotika Diberikan atas indikasi3. Antinyeri

Bila pasien gelisah karena kontraksi rahim dapat diberikan petidin HCl 50-75 mg sekali saja.

c. Pengelolaan ObstetrikCara terminasi kehamilanBelum inpartu :1. Induksi persalinan : amniotomi + tetes oksitosin dengan syarat skor Bishop > 62. Seksio sesarea bila ;

a. Syarat tetes oksitosin tidak dipenuhi atau adanya kontra indikasi tetes oksitosin

b. 8 jam sejak dimulainya tetes oksitosin belum masuk fase aktifPada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan seksio sesarea.

Sudah inpartu :Kala IFase laten : Amniotomi + tetes oksitosin dengan syarat skor Bishop > 6.

5

Page 6: CSS Gawat Darurat Obstetri

Fase aktif :1. Amniotomi2. Bila his tidak adekuat, diberikan tetes oksitosin.3. Bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan lengkap,

pertimbangkan seksio sesarea.Catatan : amniotomi dan tetes oksitosin dilakukan sekurang-kurangnya 15

menit setelah pemberian pengobatan medisinal.Kala II :Pada persalinan pervaginam, maka kala II diselesaikan dengan partus buatan.

B. Pengelolaan konservatifa. Indikasi :

Kehamilan preterm (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda impending eklamsi dengan keadaan janin baik

b. Pengobatan medisinal :Sama dengan perawatan medisinal pengelolaan secara aktif. Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v cukup i.m saja.(MgSO4 40%, 8 gram i.m.). Pemberian MgSO4 dihentikan bila sudah mencapai tanda-tanda preeklamsi ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.

c. Pengelolaan obstetrik1. Selama perawatan konservatif, tindakan observasi dan evaluasi sama seperti

perawatan aktif, termasuk pemeriksaan tes tanpa kontraksi dan USG untuk memantau kesejahteraan janin

2. Bila setelah 2 kali 24 jam tidak ada perbaikan maka keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan medisinal dan harus diterminasi. Cara terminasi sesuai dengan pengelolaan aktif.

EklamsiRawat bersama di unit perawatan intensif dengan bagian-bagian yang terkait.Pengobatan medisinal1. Obat anti kejang :

Pemberian MgSO4 sesuai dengan pengelolaan preeklamsi berat. Bila timbul kejang-kejang ulangan maka dapat diberikan 2 g MgSO4 40%

i.v selama 2 menit, sekurang-kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Dosis tambahan 2 g hanya diberikan sekali saja. Bila setelah diberi dosis tambahan masih tetap kejang maka diberikan amobarbital 3-5 mg/kg/bb/i.v pelan-pelan

2. Obat-obat supportif3. Perawatan pasien dengan serangan kejang :

a. Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang.b. Masukkan sudip lidah ke dalam mulut pasien.

c. Kepala direndahkan : daerah orofaring dihisap.d. Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor guna menghindari fraktur.e. Pasien yang mengalami kejang-kejang secara berturutan (status konvulsivus),

diberikan pengobatan sebagai berikut : Suntikan Benzodiazepin 1 ampul (10 mg) i.v perlahan-lahan. Bila pasien masih tetap kejang, diberikan suntikan ulangan Benzodiazepin i.v setiap 1/2 jam sampai 3 kali berturut-turut. Selain Benzodiazepin, diberikan juga Phenitoin (untuk mencegah kejang

ulangan) dengan dosis 3 x 300 mg (3 kapsul) hari pertama, 3 x 200 mg (2 kapsul) pada hari kedua dan 3 x 100 mg (1 kapsul) pada hari ketiga dan seterusnya.

Apabila setelah pemberian Benzodiazepin i.v 3 kali berturut-turut, pasien masih tetap kejang, maka diberikan tetes valium (Diazepam 50 mg/5 ampul di dalam 250 cc Na Cl 0,9%) dengan kecepatan 20-25 tetes/menit selama 2 hari.

f. Atas anjuran Bagian Saraf, dapat dilakukan : Pemeriksaan CT scan untuk menentukan ada-tidaknya perdarahan otak. Punksi lumbal, bila ada indikasi. Pemeriksaan elektrolit Na, K, Ca, dan Cl; kadar glukosa, Urea N, Kreatinin,

SGOT, SGPT, analisa gas darah, dll untuk mencari penyebab kejang yang lain.

4. Perawatan pasien dengan koma :a. Atas konsultasi dengan bagian Saraf untuk perawatan pasien koma akibat edema

otak: Diberikan infus cairan Manitol 20% dengan cara : 200 cc (diguyur), 6 jam

kemudian diberikan 150 cc (diguyur), 6 jam kemudian 150 cc lagi (diguyur).

Total pemberian 500 cc dalam sehari. Pemberian dilakukan selama 5 hari. Dapat juga diberikan cairan Gliserol 10% dengan kecepatan 30 tetes/menit

selama 5 hari. Dapat juga diberikan Dexamethason i.v 4 x 2 ampul (8 mg) sehari, yang

kemudian di tappering off.b. Monitoring kesadaran dan dalamnya koma dengan memakai "Glasgow-Pittsburgh-Coma Scale".c. Pada perawatan koma perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan

pasien. d. Pada koma yang lama, pemberian nutrisi dipertimbangkan dalam bentuk NGT

(Naso Gastric Tube).

5. Pengobatan Obstetrik :

6

Page 7: CSS Gawat Darurat Obstetri

Sikap terhadap kehamilana. Sikap dasar :

Semua kehamilan dengan eklamsi dan impending eklamsi harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin.Gejala impending eklamsi, adalah :- Penglihatan kabur- Nyeri ulu hati- Nyeri kepala yang hebat

b. Saat pengakhiran kehamilan : Terminasi kehamilan pasien preeklamsi dan impending eklamsi adalah

dengan seksio sesarea. Persalinan pervaginam di pertimbangkan pada keadaan-keadaan :- Pasien inpartu, kala II.- Pasien yang sangat gawat (terminal state), yaitu dengan kriteria Eden yang

berat.- HELLP syndrome- Komplikasi serebral (CVA, Stroke, dll)- Kontra indikasi operasi (ASA IV)

Hipertensi Kronik dalam Kehamilana. Pemberian medikamentosa

Indikasi pemberian antihipertensi adalah :Risiko rendah hipertensi:

1. Ibu sehat dengan desakan diastolik menetap ≥ 100 mmHg2. Dengan disfungsi organ dan desakan diastolik ≥ 90 mmHg

Obat antihipertensi :1. Methyldopa : 0,5 – 3,0 g/hari, dibagi dalam 2 – 3 dosis (pilihan pertama)2. Nifedipine : 30 – 120 g/hari dengan slow release tablet (p.o)

b. Pengelolaan terhadap kehamilannya- Kehamilan dengan hipertensi kronik ringan yaitu konservatif (dilahirkan

pervaginam dengan kehamilan aterm)- Kehamilan dengan hipertensi kronik berat yaitu aktif

2.8 PENYULITSindroma HELLP, gagal ginjal, gagal jantung, edema paru, kelainan

pembekuan darah, perdarahan otak.

Sindroma HELLP

Weinstein 1982 yang mula-mula menggunakan istilah Hellp syndrome untuk kumpulan gejala Hemolysis, Elevated Liver enzym, dan Low Platelets yang merupakan gejala utama dari sindroma ini.

Diagnosis laboratorium : Hemolisis :

- adanya sel-sel spherocytes, schistocytes, triangular dan sel burr pada hapus darah perifer

- kadar bilirubin total > 1,2 mg% Kenaikan kadar enzim hati :

- kadar SGOT > 70 IU/l- kadar LDH >600 IU/l

Trombositopeni :- kadar trombosit < 100 x 103/mm3

Klasifikasi berdasarkan pada beratnya trombositopeni (Mississippi) :1. Kelas 1 : kadar trombosit < 50x103/mm3

Serum LDH ≥ 600.000 IU/l AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l

2. Kelas 2 : kadar trombosit 50-100 x 103/mm3

Serum LDH ≥ 600.000 IU/l AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l

3. Kelas 3 : kadar trombosit > 100 x 103/mm3

Serum LDH ≥ 600.000 IU/l AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l

Klasifikasi berdasarkan lengkap/ tidaknya gejala (Memphis):1. Complete Hellp:

- Anemia hemolitik mikroangiopatik pada PEB- LDH > 600 IU/L- SGOT > 70 IU/L- Trombositopenia < 100.000/mm3

2. Partial Hellp :- Bila ditemukan satu atau dua gejala diatas.

Pengelolaan :Pada prinsipnya, pengelolaannya terdiri dari :

a. Atasi hipertensi dengan pemberian obat antihipertensi b. Cegah terjadinya kejang dengan pemberian MgSO4c. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

7

Page 8: CSS Gawat Darurat Obstetri

1. Hemoterapi dengan pemberian transfusi trombosit apabila kadar trombosit <30.000/mm3 untuk mencegah perdarahan spontan.

2. Terapi konservatif dilakukan apabila umur kehamilan < 34 minggu, tekanan darah terkontrol < 160/110 mmHg, normourine, kenaikan kadar enzim hati yang tidak disertai nyeri perut kuadran atas kanan atau nyeri uluhati.

3. Pemberian kortikosteroid, terutama pada kehamilan 24-34 minggu atau kadar trombosit < 100.000/mm3. Diberikan dexametason 10 mg IV 2 x sehari sampai terjadi perbaikan klinis (Trombosit > 100.000/mm3, kadar LDH menurun dan diuresis > 100 cc/jam). Pemberian dexametason dipertahankan sampai pasca salin sebanyak 10 mg IV 2 kali sehari selama 2 hari, kemudian 5 mg IV 2 kali sehari selama 2 hari lagi.

4. Dianjurkan persalinan pervaginam, kecuali bila ditemukan indikasi seperti serviks yang belum matang (bishop score < 6), bayi prematur, atau ada kontraindikasi.

5. Bila akan dilakukan operasi SC, kadar trombosit < 50.000/mm3 merupakan indikasi untuk melakukan transfusi trombosit. Pemasangan drain intraperitoneal dianjurkan untuk mengantisipasi adanya perdarahan intra abdominal. Bila ditemukan cairan ascites yang berlebihan, perawatan pasca bedah di ICU merupakan indikasi untuk mencegah komplikasi gagal jantung kongestif dan sindroma distres pernafasan.

2.9 PROGNOSISPada preeklamsi umumnya lebih baik dibandingkan dengan keadaan yang

sudah memasuki eklamsi, namun hal tersebut bergantung pada penanganan yang adekuat, cepat dan tepat serta penyulit atau komplikasi yang menyertai.

BAB IIIPERDARAHAN POSTPARTUM

3.1 PENDAHULUANKehamilan dan persalinan menimbulkan risiko kesehatan yang besar

termasuk bagi perempuan yang tidak mempunyai masalah kesehatan sebelumnya. Kira-kira 40% ibu hamil mengalami masalah kesehatan yang berkaitan dengan kehamilan dan 15% dari semua ibu hamil menderita komplikasi jangka panjang atau yang mengancam jiwa. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa dalam tahun 1995 hampir 515.000 ibu hamil meninggal karena komplikasi kehamilan dan persalinan. Sebagian besar kematian tersebut terjadi di negara-negara berkembang karena ibu hamil kurang mendapatkan akses terhadap perawatan penyelamatan hidup (life saving care). Di negara berkembang, ibu hamil cenderung lebih mendapatkan perawatan antenatal dibandingkan post natal. Nyatanya, lebih dari separuh jumlah seluruh kematian ibu terjadi dalam 24 jam setelah melahirkan yang disebabkan ibu terlalu banyak mengeluarkan darah. Perdarahan hebat adalah penyebab paling utama dari kematian ibu di seluruh dunia. Di berbagai negara, paling sedikit seperempat dari seluruh kematian ibu disebabkan oleh perdarahan. Proporsinya berkisar antara kurang dari 10% sampai hampir 60%. Walaupun seorang ibu hamil dapat bertahan hidup setelah mengalami perdarahan pasca persalinan, namun dia akan mengalami anemia berat dan masalah kesehatan yang berkepanjangan.

Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya. Paling sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai meninggal. Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu empat jam setelah melahirkan dan merupakan akibat dari masalah yang timbul selama persalinan kala tiga. Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Babinszki et.al. pada tahun 1999 terhadap 5800 wanita di RS angkatan udara Amerika Serikat menunjukkan bahwa insidensi terjadinya perdarahan pasca persalinan pada wanita dengan paritas yang rendah sekitar 0,3% namun meningkat 1,9% pada wanita yang telah melahirkan empat kali atau lebih.

3.2 DEFINISIPerdarahan pasca persalinan adalah perdarahan yang lebih dari 500 ml yang

terjadi setelah janin lahir.Berdasarkan waktu terjadinya, perdarahan pasca persalinan dibagi menjadi

dua yaitu : 1. Perdarahan pasca persalinan dini atau primer yaitu perdarahan yang terjadi dalam

24 jam setelah persalinan.

8

Page 9: CSS Gawat Darurat Obstetri

2. Perdarahan pasca persalinan lambat atau sekunder yaitu perdarahan yang terjadi setelah 24 jam persalinan. Ada beberapa literatur yang mengatakan bahwa tenggat waktu dari perdarahan pascapersalinan ini sampai 5 bulan setelah persalinan.

Berdasarkan jumlah darah yang keluar berdasarkan perkiraan perdarahan yang terjadi maka perdarahan pasca persalinan dibagi menjadi dua yaitu :1. Perdarahan sedang yaitu bila jumlah darah yang dikeluarkan lebih dari 500 ml.2. Perdarahan berat yaitu bila jumlah darah yang dikeluarkan lebih dari 1000 ml.

Suatu penelitian kuantitatif telah mengungkapkan bahwa jumlah darah yang hilang pada saat persalinan pervaginam tanpa penyulit pada umumnya lebih dari 500 ml (Pritchard, Baldwin et.al., 1962; Newton, 1966) dan mereka yang menjalani operasi (pembedahan Caesar ) pada umumnya kehilangan 1000 ml atau lebih. Namun sebenarnya hasil perkiraan jumlah rata-rata darah yang keluar tersebut hanya setengah dari jumlah darah yang hilang dan perhitungannya baik secara aktual maupun dengan perkiraan, tetap memerlukan perhatian medis yang serius karena lima persen pasien dengan perdarahan yang signifikan memenuhi kriteria perdarahan pasca persalinan. Bagi ibu hamil dengan anemia berat, kehilangan darah 200-250 ml saja dapat berakibat fatal. Hal ini sangat penting untuk dipertimbangkan karena di negara berkembang terdapat banyak ibu hamil yang menderita anemia berat.

3.3 FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGIBeberapa faktor dapat menjadi faktor predisposisi dan etiologi terjadinya

perdarahan pasca persalinan, antara lain dibagi menjadi tiga bagian besar:a. Perdarahan dari tempat implantasi plasenta

Miometrium hipotonik- atoni uteri Beberapa anestesi umum- hidrokarbon halogen Perfusi miometrium buruk- hipotensi

- Perdarahan- Analgesik konduksi

Overdistensi uterus- anak besar, kehamilan kembar, hidramnion Partus lama Partus presipitatus Induksi persalinan dengan oksitosin Paritas tinggi Riwayat atoni uteri pada kehamilan sebelumnya KorioamnionitisRetensi plasenta Kotiledon tertinggal, plasenta suksenturiata Plasenta akreta, inkreta, perkreta

b. Trauma traktus genitalis Episiotomi yang luas

Laserasi perineum, vagina, atau serviks Ruptur uteri

c. Gangguan koagulopatiPenerbitan terbaru, penelitian dengan populasi besar menunjukkan faktor

risiko yang teridentifikasi adalah sisa plasenta (3,5 x lipat), kegagalan untuk maju dalam kala II (3,4 x), plasenta akreta (3,3 x), laserasi (2,4 x), persalinan dengan alat (2,3 x), bayi yang besar untuk usia kehamilan (1,9 x), kelainan hipertensif (1,7 x), induksi persalinan (1,4 x) dan augmentasi persalinan dengan oksitosin (1,4 x) (Sheiner, 2005).

Untuk mengingat penyebab PPH, digunakan 4 T, yaitu tone (tonus), tissue (jaringan), trauma dan thrombosis. (Society of Obstetricians and Gynecologists of Canada, 2002).Tonus

Atoni uteri dan kegagalan berkontraksi dan retraksi serat otot miometrium dapat menyebabkan perdarahan cepat dan berat serta syok hipovolemi. Peregangan berlebih dari uterus baik absolute atau relative adalah faktor risiko utama untuk atoni. Bisa karena kehamilan multifetus, polihidramnion atau kelainan fetus (mis. hidrosefalus berat); suatu kelainan struktur uterus atau kegagalan melahirkan plasenta.

Kontraksi miometrium yang buruk bias karena lelah yang disebabkan persalinan yang diperpanjang atau persalinan cepat yang dipaksakan, terutama jika distimulasi. Bisa juga karena diinhibisi kontraksinya karena obat semacam gas anastesi halogenasi, nitrat, NSAID, MgSO4, beta-simpatomimetik dan nifedipine. Penyebab lain termasuk tertanamnya plasenta di segmen bawah uterus, toksin bakteri (mis. chorioamnionitis, endomyometritis, septikemia), hipoksia karena hipoperfusi atau uterus Couvelaire pada abruption plasenta dan hipotermi karena resusitasi massif atau ekteriorisasi uterus yang lama. Data terbaru menunjukkan grande multipara bukan faktor risiko independent pada PPH. Tissue (Jaringan)

Kontraksi dan retraksi uterus mengakibatkan pelepasan dan pengeluaran dari plasenta. Pelepasan dan pengeluaran komplit dari placenta mengakibatkan retraksi berlanjut dan oklusi optimal pembuluh darah.

Tertahannya suatu bagian dari plasenta lebih sering terjadi bila plasenta membentuk suatu lobus aksesoris. Setelah persalinan dan terjadi perdarahan yang minimal. Plasenta sebaiknya diinspeksi untuk bukti adanya pembuluh darah fetus berjalan di pinggir plasenta dan berhenti pada robekan di membrannya. Temuan tersebut menunjukkan adanya lobus yang tertahan.

Plasenta lebih sering tertahan pada usia kehamilan preterm yang ekstrim (terutama <24 minggu), dan perdarahan signifikan bias terjadi. Hal ini harus dipikirkan pada setiap persalinan pada umur kehamilan sangat muda, apakah spontan atau diinduksi. Beberapa uji coba menunjukkan penggunaan misoprostol untuk terminasi kehamilan trimester kedua mengakibatkan penurunan pada nilai retensi

9

Page 10: CSS Gawat Darurat Obstetri

plasenta dibandingkan dengan pemberian prostaglandin atau saline hipertonik secara intrauterine. Retensi plasenta yang membutuhkan D & C pada misoprostol oral (3,4 %) dan prostaglandin intraamnion (22,4 %).

Kegagalan pemisahan komplit dari plasenta terjadi pada plasenta akreta dan variannya. Pada kondisi ini, plasenta telah menginvasi melebihi landasan lekukan normal dan secara abnormal adheren. Perdarahan signifikan dari area dimana tertanam normal (dan sekarang terlepas) telah terjadi dapat menandakan akreta parsial. Akreta komplit dimana seluruh permukaan plasenta secara abnormal tertanam, atau invasi yang lebih berat (plasenta inkreta atau perkreta), bisa tidak menyebabkan perdarahan hebat pada awalnya, namun diperlukan usaha lebih agresif dilakukan untuk melepas plasenta. Kondisi ini harus dipertimbangkan mungkin terjadi kapan saja plasenta tertanam di atas jaringan parut uterus sebelumnya, terutama bila terkait plasenta previa.

Semua pasien dengan plasenta previa perlu diberitahukan tentang risiko PPH berat, termasuk perlunya transfuse dan histerektomi. Darah dapat mendistensikan uterus dan menghambat kontraksi efektif "bleeding begets bleeding"). Trauma

Kerusakan pada traktus genital bisa terjadi spontan atau karena manipulasi yang digunakan untuk melahirkan bayi. Kelahiran Cesarean menghasilkan dua kali kehilangan darah dibandingkan kelahiran vaginal. Insisi pada segmen bawah yang kontraktilnya lebih buruk dapat sembuh dengan baik tapi tergantung pada suturasi, vasospasme dan klotting untuk hemostasis.

Ruptur uterine lebih sering pada pasien dengan parut SC sebelumnya. Uterus manapun yang telah melewati prosedur yang mengakibatkan gangguan total atau parsial tebal dinding uterus harus dipertimbangkan berisiko untuk rupture pada kehamilan di masa depan. Termasuk ke dalamnya fibroidektomi, uteroplasti untuk abnormalitas congenital, reseksi ektopik kornual atau servikal dan perforasi uterus selama dilatasi, kuretase, biopsy, histeroskopi, laparoskopi atau pemasangan IUD.

Trauma bisa terjadi setelah persalinan sangat lama atau berat, terutama bila pasien memiliki PSR atau PSA dan uterus telah distimulasi dengan oksitosin atau prostaglandin. Trauma juga bisa terjadi setelah manipulasi ekstrauterine atau intrauterine dari fetus. Risiko tertinggi pada versi internal dan ekstraksi kembar kedua, namun, rupture uterine juga bisa terjadi sekunder dari versi eksternal. Dan yang terakhir trauma bisa terjadi sekunder karena usaha pelepasan retensi plasenta manual atau dengan instrument. Uterus harus selalu dikontrol dengan tangan pada abdomen pada prosedur tersebut.

Laserasi servikal lebih sering dihubungkan dengan persalinan forcep, dan serviks sebaiknya diperiksa setelahnya. Kelahiran per vaginam yang dibantu (forcep atau vakum) tidak boleh dilakukan bila serviks belum dilatasi penuh. Laserasi servikal bisa terjadi spontan. Pada kasus-kasus ini, ibu seringkali tidak bisa menahan untuk mengeran sebelum serviks dilatasi penuh. Jarang sekali, eksplorasi manual atau

instrument dari uterus bisa merusak serviks. Lebih jarang lagi, serviks dengan sengaja diinsisi pada posisi jam 2 atau jam 10 untuk memfasilitasi persalinan pada kepala yang terperangkap pada persalinan sungsang (Dührssen incision).

Laserasi dinding samping vaginal sering dihubungkan dengan persalinan vaginal operatif, tapi bisa terjadi spontan terutama bila tangan fetus terpresentasi dengan kepala. Laserasi bisa terjadi selama manipulasi untuk menyelesaikan distosia bahu.

Trauma vaginal bawah terjadi baik spontan atau karena episiotomi. Laserasi spontan biasanya melibatkan fourchette posterior, namun, trauma pada daerah periurethral dan klitoral bisa terjadi dan bermasalah.Trombosis

Segera setelah masa postpartum, gangguan pada sistem koagulasi dan trombosit tidak mengakibatkan perdarahan berlebihan, ini menunjukkan betapa efisiennya kontraksi dan retraksi uterus dalam mencegah perdarahan (Baskett, 1999). Deposisi fibrin di atas tempat plasenta dan bekuan darah di dalam pembuluh yang mensuplainya memainkan peranan penting pada jam-jam dan hari-hari setelah melahirkan, dan kelainan di daerah ini dapat menyebabkan PPH lambat atau mengeksaserbasi perdarahan dari sebab lain, yang paling sering, trauma.

Tingkat fibrinogen meningkat selama kehamilan dan tingkat fibrinogen dalam batas tidak hamil harus diawasi dengan hati-hati. Pada akhirnya, koagulopati dilusional bisa terjadi setelah PPH hebat dan resusitasi dengan kristalloid dan PRC.

Faktor risiko dan kondisi yang berhubungan dengan PPH tertulis di atas, namun sejumlah besar wanita yang mengalami PPH tidak memiliki faktor risiko. Etiologi yang berbeda bisa memiliki faktor risiko yang sama, terutama pada atoni uteri dan trauma pada traktus genital bawah. PPH biasanya memiliki satu penyebab, namun lebih dari satu penyebab juga mungkin terjadi, biasanya persalinan lama yang pada akhirnya dilakukan kelahiran vaginal operatif.

3.4 PATOGENESIS1. Atonia uteri

Atonia uteri adalah suatu kegagalan uterus untuk berkontraksi lima belas detik setelah dilakukan rangsangan taktil terhadap fundus uteri. Atonia uteri dapat pula diartikan sebagai kelelahan pada otot uterus sehingga tidak mampu lagi berkontraksi, padahal kontraksi uterus diperlukan untuk konstriksi pembuluh darah besar yang terbuka akibat pelepasan plasenta.

Secara fisiologis, dalam beberapa menit setelah kelahiran bayi, timbul kontraksi uterus yang kuat dan pengurangan permukaan intrauterin yang mengarah pada pemisahan plasenta dari tempat implantasinya pada desidua maternal. Kehilangan darah 200-400 ml disebabkan terbukanya sinus-sinus plasenta. Pada keadaan normal, jumlah perdarahan dibatasi oleh kontraksi dari serabut miometrium karena pembuluh-pembuluh darah yang menyuplai sinus plasenta dikelilingi oleh

10

Page 11: CSS Gawat Darurat Obstetri

serabut otot polos tersebut dan akan terkompresi bila serabut otot berkontraksi sehingga suplai darah ke sinus menurun.

Pada keadaan tertentu, terdapat gangguan terhadap mekanisme tersebut yang mengarah pada terjadinya atonia uteri. Beberapa faktor predisposisi yang dapat menyebabkan atonia uteri adalah :A. Berasal dari kehamilan sebelumnya :

1. paritas tinggi2. perdarahan pasca persalinan sebelumnya yang disebabkan oleh atonia uteri3. uterine fibroid4. luka parut pada uterus5. anomali pada uterus6. diskrasia darah

B. Berasal dari kehamilan sekarang :1. uterus terlalu teregang (overdistention)2. kelainan persalinan3. tindakan anestetik4. kelainan plasenta5. infeksi uterus6. pembedahan Caesar7. laserasi traktus genitalia

Seorang wanita dengan paritas yang tinggi mempunyai resiko yang lebih besar terhadap terjadinya atonia uteri karena adanya kelemahan serabut miometrium sehingga tidak bisa berkontraksi dengan baik atau secara tidak langsung dikarenakan peningkatan insidensi terjadinya faktor predisposisi lain seperti persalinan yang tidak normal dan plasenta previa sedangkan kelainan uterus ataupun luka parut pasca operasi uterus sebelumnya dapat menyebabkan distorsi anatomi sehingga mengganggu kontraktilitas miometrium.

2. Ruptur uteriRuptura uteri adalah robeknya dinding rahim, pada saat kehamilan atau persalinan dengan atau tanpa robeknya peritoneum. Ruptur uteri merupakan penyebab pendarahan pasca persalinan yang cukup jarang. Insidensinya berkisar 1 dalam 20.000 persalinan. Kejadian ini dapat menyebabkan kematian anak mendekati 100% dan kematian ibu sekitar 30%.

Faktor-faktor yang mengakibatkan ruptura uteri dapat diklasifikasikan menjadi:a. Kelainan sebelum terjadi kehamilan

1. Operasi miometriumOperasi seksio sesar atau histerotomiRuptur uteri sebelumnyaInsisi miomektomi melalui endometrium

Reseksi kornu dalam dari tuba bagian interstitialMetroplasi

2. Trauma uterus koinsidentalAborsi dengan alat: kuretTrauma tajam atau tumpul: kecelakaan, pisau, peluruSilent rupture pada kehamilan sebelumnya

3. Anomali kongenitalb. Kelainan sewaktu kehamilan

1. Sebelum persalinan Kontraksi spontan, persisten, intensif Induksi persalinan : oksitosin, prostaglandin Instilasi intraamnion: salin atau prostaglandin Perforasi oleh tekanan kateter inrtauterin Trauma luar: tajam atau tumpul Versi luar Overdistensi uterus: hidraamnion, kehamilan kembar

2. Sewaktu persalinan Versi internal Persalinan dengan forseps Presentasi bokong Tekanan uterin yang kuat sewaktu persalinan Manual plasenta yang sulit

3. Kelainan didapat Plasenta inkreta atau pankreta Gestasional trophoblastic neoplasia Adenomiosis Retroversi uterus

Ruptura uteri dibagi menjadi tiga berdasarkan tingkatannya :1. Ruptura uteri tingkat satu/incomplete

Fundus uteri rupture sampai menyentuh ostium uteri externa. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan pervaginal dan adanya kesulitan untuk mempalpasi fundus uteri di dinding abdomen. Biasanya ditandai dengan: Nyeri perut mendadak Tidak jelas ada tanda perdarahan intraabdominal Perdarahan pervaginam Dapat terjadi syok His bisa ada/tidak ada BJJ bisa +/- Bagian janin tidak teraba langsung dibawah dinding perut Urin bila bercampur darah

11

Page 12: CSS Gawat Darurat Obstetri

Pada eksplorasi rahim setelah janin lahir terdapat robekan dinding rahim tanpa ada robekan perimetrium.

2. Ruptura uteri tingkat dua/completeSeluruh uterus mengalami rupture sampai ke vagina.

3. Ruptura uteri tingkat tigaSeluruh uterus, cervix dan vagina sampai ke luar vulva.

3. Retensio PlasentaIstilah retensio plasenta dipergunakan jika plasenta belum lahir ½ jam se-

sudah anak lahir.

Gambar cara melakukan pelepasan manual plasenta

Penyebab Retensio Plasenta 1. Fungsional:

a. His kurang kuat (penyebab terpenting).b. Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba); bentuknya

(plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta yang sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab di atas disebut pla -senta adhesiva.

2. Patologi-anatomi :a. Plasenta akreta.b. Plasenta inkreta.c. Plasenta perkreta.

4. Robekan Jalan LahirRobekan jalan lahir adalah kerusakan jalan lahir yang dikarenakan persalinan

Vulva Dan VaginaRobekan pada klitoris atau sekitarnya dapat menimbulkan perdarahan yang

cukup banyak. Robekan perineum sering juga mengenai muskulus levator ani hingga setiap robekan perineum harus dijahit dengan baik agar tidak menimbulkan kelemahan dasar panggul atau prolaps.

Kadang-kadang muskulus levator ani rusak dan menjadi lemah tanpa ter-jadinya ruptur perinei, misalnya jika kepala terlalu lama meregang dasar panggul. Terjadi pula colpaporrhexis, yaitu robeknya vagina bagian atas sedemikian rupa hingga serviks terpisah dari vagina.

Etiologi dan gejala-gejala colpaporrhexis sama dengan ruptur uterus. Untuk mencegah colpaporrhexis yang violent (akibat trauma), jika kita memasukkan tangan ke dalam vagina, hendaknya kita selalu menahan fundus uteri dengan tangan lainnya.

Terapi yang terbaik ialah laparotomi.Serviks Uteri

Robekan yang kecil-kecil selalu terjadi pada persalinan. Oleh karena itu, robe-kan yang harus mendapat perhatian kita ialah robekan yang dalam, yang kadang-kadang sampai ke forniks. Robekan biasanya terdapat di pinggir samping serviks bahkan kadang-kadang sampai ke segmen bawah rahim dan membuka parametrium. Robekan yang sedemikian dapat membuka pembuluhpembuluh darah yang besar dan menimbulkan perdarahan yang hebat.

Robekan semacam ini biasanya terjadi pada persalinan buatan; ekstraksi dengan forseps, ekstraksi pada letak sungsang, versi dan ekstraksi, dekapitasi, perforasi, dan kranioklasi terutama jika dilakukan pada pembukaan yang belum lengkap.

Robekan ini jika tidak dijahit, selain menimbulkan perdarahan juga dapat menjadi penyebab servisitis, parametritis, dan mungkin juga terjadi pembesaran karsinoma serviks. Kadang-kadang menimbulkan perdarahan nifas yang lambat.

Perdarahan paskapersalinan pada uterus yang berkontraksi baik harus me-maksa kita untuk memeriksa serviks uteri dengan pemeriksaan spekulum. Sebagai profilaksis, sebaiknya semua persalinan buatan yang sulit menjadi indikasi untuk pemeriksaan spekulum.

5. Inversio UteriUterus dikatakan mengalami inversi jika bagian dalam menjadi diluar saat

melahirkan plasenta. Inversio uteri jarang terjadi dengan angka insidensi 1 : 20.000 dari persalinan. Dapat terjadi spontan (misalkan pada yang persalinan cepat, akibat tali pusat yang pendek, atau adanya mioma pada fundus) dan iatrogenik (misalkan pada penekanan daerah fundus yang berlebihan atau akibat penarikan tali pusat yang terlalu kuat pada saat melahirkan plasenta).

Derajat Inversio uteri dibagi 3 yaitu:I. Fundus menjadi turunII. Turunnya fundus hingga melewati servik

12

Page 13: CSS Gawat Darurat Obstetri

III. Semua bagian uterus hingga servik mengalami inversi hingga bisa memasuki vagina, bahkan dapat terlihat pada vulva.

Gejala yang didapat adalah rasa nyeri pada perut bagian bawah, sensasi penuh daerah vagina dan perdarahan melalui vagina. Pada pasien bisa terjadi syok akibat perdarahan yang banyak. Pada pemeriksaan didapatkan penurunan dan lekukan pada daerah fundus bahkan dapat menjadi tidak teraba. Inspekulo pada derajat II dan III, dapat terlihat massa lunak berwarna merah.

6. Sisa PlasentaKontraksi dan retraksi uterus mengakibatkan pelepasan dan pengeluaran dari

plasenta. Pelepasan dan pengeluaran komplit dari placenta mengakibatkan retraksi berlanjut dan oklusi optimal pembuluh darah.

Tertahannya suatu bagian dari plasenta lebih sering terjadi bila plasenta membentuk suatu lobus aksesoris. Setelah persalinan dan terjadi perdarahan yang minimal. Plasenta sebaiknya diinspeksi untuk bukti adanya pembuluh darah fetus berjalan di pinggir plasenta dan berhenti pada robekan di membrannya. Temuan tersebut menunjukkan adanya lobus yang tertahan.

7. Gangguan Pembekuan DarahKelainan bisa sudah ada sebelumnya atau didapat. Trombositopenia bisa

dihubungkan dengan penyakit sebelumnya, seperti idiopathic thrombocytopenic purpura atau didapat sekunder pada sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes, low platelet count), abruption plasenta, disseminated intravascular coagulation (DIC) atau sepsis.

Kelainan sistem pembekuan yang sudah ada sebelumnya seperti familial hipofibrinogenemia, bisa terjadi, namun kelainan yang didapat lebih sering bermasalah. DIC akibat abruption plasenta, HELLP syndrome, IUFD, emboli cairan amnion dan sepsis bisa terjadi.

3.5 PEMERIKSAAN KLINISDari gejala dan tanda yang muncul pada penderita, dapat diambil diagnosis

kemungkinan yang paling mungkin terjadi seperti yang tercantum pada tabel dibawah ini.

Gejala dan tandayang selalu ada

Gejala dan tandayang kadang ada

Diagnosis kemungkinan

Uterus tidak berkontraksi dan lembek

Perdarahan segera setelah anak lahir

Syok Atonia uteri

Perdarahan segera Darah segar mengalir

segera setelah bayi lahir

Uterus kontraksi baik Plasenta lengkap

Pucat Lemah Menggigil

Robekan jalan lahir

Plasenta belum lahir setelah 30 menit

Perdarahan segera Uterus kontraksi baik

Tali pusat putus akibat traksi berlebihan

Inversio uteri akibat tarikan

Perdarahan lanjutan

Retensio plasenta

Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap

Perdarahan segera

Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang

Tertinggalnya sebagian plasenta

Uterus tidak teraba Lumen vagina terisi

massa Tampak tali pusat

(jika plasenta belum lahir)

Perdarahan segera Nyeri sedikit atau

berat

Syok neurogenik

Pucat dan limbung

Inversio uteri

Subinvolusi uterus Nyeri tekan perut

bawah Perdarahan >24jam

setelah persalinan. Perdarahan sekunder, bervariasi (ringan atau berat, terus menerus atau tidak teratur) dan berbau (jika disertai infeksi)

Anemia Demam

Endometritis atau sisa plasenta (terinfeksi atau tidak)

Perdarahan segera (Perdarahan

Syok Nyeri tekan

Ruptur uteri

13

Page 14: CSS Gawat Darurat Obstetri

intraabdominal dan/ atau vaginum)

Nyeri perut berat

perut Denyut nadi ibu

cepat

3.6 TERAPIPenanganan perdarahan pasca persalinan memerlukan tindakan segera dan

spesifik menurut penyebabnya masing-masing.

a. Atonia UteriPada atonia uteri uterus gagal berkontraksi dengan baik setelah persalinan. Teruskan pemijatan uterus. Oksitosin dapat diberikan bersamaan atau berurutan.

Jenis Uterotonika dan cara pemberianJENIS DAN

CARAOKSITOSIN ERGOMETRIN MISOPROSTOL

Dosis dan cara pemberian awal

I.V. : Infus 20 unit dalam 1 liter larutan garam fisiologis dengan 60 tetesan permenitI.M. : 10 unit

I.M. atau I.V. (secara perlahan): 0,2 mg

Oral 600 mcg atau rektal 400 mcg

Dosis lanjutan I.V. : Infus 20 unit dalam 1 liter larutan garam fisiologis dengan 40 tetesan permenit

Ulangi 0,2 mg I.M. setelah 15 menit. Jika masih diperlukan, beri I.M./I.V. setiap 2-4 jam

400 mcg 2-4 jam setelah dosis awal

Dosis maksimal perhari

Tidak lebih dari 3 liter larutan dengan oksitosin

Total 1 mg atau 5 dosis

Total 1200 mcg atau 3 dosis

Indikasi kontra atau hati-hati

Tidak boleh memberi I.V. secara cepat atau bolus

Preeklampsia, vitium kordis, hipertensi

Nyeri kontraksi Asma

Antisipasi dini akan kebutuhan darah dan lakukan tranfusi sesuai kebutuhan.

Jika perdarahan terus berlangsung:

- Pastikan plasenta lahir lengkap;- Jika terdapat tanda-tanda sisa plasenta (tidak adanya bagian

permukaan maternal atau robeknya membran dengan pembuluh darahnya), keluarkan sisa plasenta tersebut;

- Lakukan uji pembekuan darah sederhana. Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat pecah dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati.

Jika perdarahan terus berlangsung dan semua tindakan diatas telah dilakukan, lakukan:- Kompresi bimanual internal, atau- Kompresi aorta abdominalis.

Jika perdarahan terus berlangsung setelah dilakukan kompresi:- Lakukan ligasi arteri uterina dan ovarika;- Lakukan histerektomi jika terjadi perdarahan yang mengancam

jiwa setelah ligasi.

b. Ruptur UteriLangkah-langkah yang harus diambil dalam menangani ruptura uteri:

a. Atasi syok dengan segera, berikan infus cairan intravena, transfusi darah, dan oksigen. Paska operasi pasien diletakkan secara Fowler supaya infeksi terbatas pada pelvis dan diberi antibiotik dalam dosis yang tinggi.

b. Laparotomi. Tindakan histerektomi atau histerorafi bergantung pada bentuk, jenis dan luas robekan

c. Reposisi manual dilakukan tanpa menggunakan tenaga yang kuat. Dalam proses reposisi uterus terdapat beberapa mekanisme yang digunakan, yaitu :

1. Reposisi dengan pendorongan.Reposisi ini dilakukan dengan anastesi umum dan secara bertahap. Penekanan pertama kali dilakukan pada daerah korpus yang terakhir kali mengalami ruptur, sampai pada akhirnya menangani daerah fundus. Bagian paling sulit adalah ketika melewati lingkaran retraksi diantara segmen atas dan bawah uterus. Ketika uterus sudah kembali ke posisi normal, tangan tetap berada didalam rongga uterus sampai ergometri atau oksitosin mulai bekerja dan menghasilkan kontraksi yang adekuat.

2. Reposisi dengan tekanan hidrostatik.

14

Page 15: CSS Gawat Darurat Obstetri

Jika dorongan dengan tangan gagal, maka perlu dilakukan reposisi dengan menggunakan metode O’Sullivan’s hydrostatik. Ujung dari pipa air dimasukkan kedalam fornix posterior dan asisten menutup daerah vulva disekitar lengan operator. Ciran saline hangat dilairkan kedalamnya ( bilas sampai 10 liter) sampai tekanan cairan tersebut akan mengembalikan uterus ke posisi semula.

3. Reposisi dengan melalui rute abdominalJika metode lain gagal maka abdomen harus dibuka. Lingkaran konstriksi harus di insisi kemudian bagian belakang dari lingkaran itu dibagi kemudian fundus ditarik ke atas dan bekas insisi dijahit kembali.

c. Robekan serviks, vagina, dan perineumRobekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan pasca persalinan. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan robekan serviks atau vagina. Periksalah dengan seksama dan perbaiki robekan pada serviks atau

vagina dan perineum. Lakukan uji pembekuan darah sederhana jika perdarahan terus

berlangsung. Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat pecah dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati.

d. Retensio plasentaPlasenta atau bagian-bagiannya dapat tetap berada dalam uterus setelah bayi lahir. Jika plasenta terlihat dalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan.

Jika anda dapat merasakan plasenta dalam vagina, keluarkan plasenta tersebut.

Pastikan kandung kemih sudah kosong. Jika diperlukan, lakukan kateterisasi kandung kemih.

Jika plasenta belum keluar, berikan oksitosin 10 unit I.M. jika belum dilakukan pada penanganan aktif kala tiga.

Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian oksitosin dan uterus terasa berkontraksi, lakukan penarikan tali pusat terkendali. Hindari penarikan tali pusat dan penekanan fundus yang terlalu kuat karena dapat menyebabkan inversi uterus.

Jika penarikan tali pusat terkendali belum berhasil, cobalah untuk mengeluarkan plasenta secara manual. Plasenta yang melekat dengan kuat mungkin merupakan plasenta akreta. Usaha untuk

melepaskan plasenta yang melekat kuat dapat mengakibatkan perdarahan berat atau perforasi uterus, yang biasanya membutuhkan tindakan histerektomi.

Lakukan uji pembekuan darah sederhana jika perdarahan terus berlangsung. Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat pecah dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati.

Jika terdapat tanda-tanda infeksi (demam, sekret vagina berbau), berikan antibiotika untuk metritis.

e. Sisa plasentaSewaktu suatu bagian dari plasenta, baik satu atau lebih lobus tertinggal maka uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif. Raba bagian dalam uterus untuk mencari sisa plasenta. Eksplorasi

manual uterus menggunakan teknik yang serupa dengan teknik yang digunakan plasenta yang tidak keluar.

Keluarkan sisa plasenta dengan tangan, cunam ovum, atau kuret besar.

Lakukan uji pembekuan darah sederhana jika perdarahan terus berlangsung. Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat pecah dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati.

f. Inversio uterusReposisi sebaiknya dilakukan segera. Dengan berjalannya waktu, lingkaran konstriksi sekitar uterus yang terinversi akan mengecil dan uterus akan terisi darah. Jika ibu sangat kesakitan, berikan petidin 1 mg/kgBB (tetapi jangan

lebih dari 100 mg) I.M. atau I.V. secara perlahan atau berikan morfin 0,1 mg/kgBB I.M. Jangan berikan oksitosin sampai inversi telah direposisi.

Jika perdarahan berlanjut, lakukan uji pembekuan darah sederhana. Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat pecah dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati.

Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal setelah mereposisi uterus: - ampisillin 2gr I.V. + metronidazol 500mg I.V. - atau sefazolin 1gr I.V. + metronidazol 500mg I.V.

Jika terdapat tanda-tanda infeksi (demam, sekret vagina berbau), berikan antibiotika untuk metritis.

15

Page 16: CSS Gawat Darurat Obstetri

Jika dicurigai terjadi nekrosis, lakukan histerektomi vaginal. Hal ini mungkin membutuhkan rujukan ke pusat pelayanan kesehatan tersier.

g. Gangguan pembekuan darahRawat bersama dengan bagian penyakit dalam.Tranfusi darah segar, kontrol D.I.C dengan heparin.

h. Perdarahan pascasalin tertunda (sekunder) Jika terjadi anemia berat (hemoglobin kurang dari 8 g/dl atau

hematokrit kurang dari 20%), siapkan transfusi dan berikan tablet besi oral dan asam folat.

Jika terdapat tanda-tanda infeksi (demam, sekret vagina berbau), berikan antibiotika untuk metritis.

Berikan oksitosin Jika serviks masih berdilatasi, lakukan eksplorasi dengan tangan

untuk mengeluarkan bekuan-bekuan besar dan sisa plasenta. Eksplorasi manual uterus menggunakan teknik yang serupa dengan teknik yang digunakan untuk mengeluarkan plasenta yang tidak keluar.

Jika serviks tidak berdilatasi, evakuasi uterus untuk mengeluarkan sisa plasenta.

Pada kasus yang lebih jarang, jika perdarahan berlanjut, pikirkan kemungkinan melakukan ligasi arteri uterina dan utero-ovarika atau histerektomi.

Lakukan pemeriksaan histologi dari jaringan hasil kuret atau histerektomi, jika memungkinkan, untuk menyingkirkan penyakit trofoblas ganas.

3.6 KOMPLIKASIa. Sindrom Sheehan

Perdarahan banyak kadang-kadang diikuti dengan sindrom Sheehan, pada kasus klasik ditandai adanya kegagalan laktasi, amenore, atrofi payudara, rontok rambut pubis dan aksila, superinvolusi uterus, hipotiroid, dan insufisiensi korteks adrenal. Patogenesisnya tidak begitu diketahui karena kelainan endokrin seperti ini tidak terjadi pada kebanyakan wanita dengan perdarahan. Namun pada beberapa kasus ditemukan beberapa tingkat nekrosis hipofisis anterior dengan gangguan sekresi satu atau lebih hormon tropik.

Insidensi sindrom Sheehan diperkirakan 1 dalam 10000 persalinan b. Syok irreversibelc. Sepsis akibat terjadi infeksi.

d. Gagal ginjal akut

3.7 PROGNOSISWanita dengan perdarahan pasca persalinan seharusnya tidak meninggal

akibat perdarahannya, sekalipun untuk mengatasinya perlu dilakukan histerektomi.

LAMPIRAN

16

Page 17: CSS Gawat Darurat Obstetri

Clinical Findings in Obstetric Hemorrhage

Blood Volume Loss

Blood Pressure (systolic)

Symptoms and Signs

Degree of Shock

500-1000 (10-15%)

NormalPalpitations, tachycardia,

dizzinessCompensated

1000-1500 mL (15-25%)

Slight fall (80-100 mm Hg)

Weakness, tachycardia,

sweatingMild

1500-2000 (25-35%)

Moderate fall (70-80 mm Hg)

Restlessness, pallor, oliguria

Moderate

2000-3000 mL (35-50%)

Marked fall (50-70 mm Hg)

Collapse, air hunger, anuria

Severe

Adapted from Int J Gynaecol Obstet 1997 May; 57(2): 219-26

Algorithm for the management of postpartum hemorrhage

17