CRS Pneumothorax

23
LAPORAN KASUS BST Sub.bagian Bedah Thorax dan Kardiovaskuler Periode 16 1! "ebruari #$$6 %isusun oleh & 'eni 'ulia(an)i *11$+$1, N-lvia L. Sard- *11$+$ + %e(i Sekar /ela)i*11$+1+0 'ugo Prabo(o *11$+101 Pe bi bing & dr. Ra2hi Sobarna3 S4BTK5 BA 7AN 7L/U B8%A9 "AKULTAS K8%OKT8RAN UN758RS7TAS PA%:A%:ARAN RU/A9 SAK7T 9ASAN SA%7K7N BAN%UN #$$6

description

A case report

Transcript of CRS Pneumothorax

LAPORAN KASUS BST

LAPORAN KASUS BST

Sub.bagian Bedah Thorax dan Kardiovaskuler

Periode 16 18 Februari 2006

Disusun oleh :

Yeni YuliawantiC1103014

Nylvia L. Sardy C1103093

Dewi Sekar MelatiC1103135

Yugo PrabowoC1103151

Pembimbing :dr. Rachim Sobarna, SpBTKV

BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN

BANDUNG

2006

LAPORAN KASUS BST I

Sub.bagian Bedah Thorax dan Kardiovaskuler

I. IDENTIFIKASI PASIEN

Nama

: Tn. Feri Sopyan

Umur

: 18 thn

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Padasuka RT 07/RW 11 cigadung, Kab. Subang

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Pelajar

Agama

: Islam

Status Perkawinan: Belum Menikah

MRS

: 15 Februari 2006

Tgl pemeriksaan: 16 Februari 2006

II. ANAMNESIS (Auto dan heteroanamnesis)

Keluhan Utama : Luka pada lengan dan tungkai bawah kanan

Anamnesis khusus :

Empat jam SMRS saat os sedang mengendarai motor, mengenakan helm, kecepatan sedang, os tertabrak mobil dengan kecepatan tinggi dari arah depan. Mekanisme jatuh tidak diketahui. Os langsung tidak sadar, perdarahan hidung (-), perdarahan telinga dan mulut (-), muntah (-), sesak nafas (+), nyeri saat bernafas (+). Penderita dibawa ke puskesmas dipasang infus dan oksigen dan dirujuk ke RS Hasan Sadikin.

Anamnesa tambahan :

Di RS Hasan Sadikin os dipasang selang yang dimasukkan ke dada sebelah kanan. Saat ini os merasa sesaknya berkurang.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Primary Survey

A: Clear + C spine control dengan collar splint

B: Bentuk dan gerak tidak simetris, kanan tertinggal

RR : 36 x / menit

VBS kanan menurun, kiri normal

C: TD : 110/70 mm Hg

N : 88

Ongoing bleeding (+)

D: GCS 15 E 4 M 6 V 5, pupil bulat isokor, D 3 mm, RC +/+, parese -/-

STATUS GENERALIS

Keadaan Umum: tampak sakit berat

Kesadaran

: E4M6V5

Gizi

: kesan cukup

TD

: 110/70 mmHg

Nadi

: 92 x/mnt

Suhu

: 36,7 C

RR

: 36 x/mnt

Kepala

: konjunctiva tidak anemis

Leher

: t.a.k

Thorax

: bentuk dan gerak asimetris, kanan tertinggal

Terpasang CTT pada hemothoraks kanan setinggi ICS V garis

midaxillaris

Paru-paru : VF, VR kanan menurun, kiri normal

VBS kanan menurun, kiri normal,ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung : BJ murni regular.

Abdomen

: datar, lembut. BU (+) Normal

Hepar tidak teraba.

Extremitas : Kanan lihat status lokalis, kiri normal

Status Lokalis

a/r Hemithorax sinistra

Excoriasi uk : 2 x 1 cm, 2 x 2 cm, 1x 0,5 cm berwana merah, tepi tidak rata

a/r hemithorax dextra

Gerak tertinggal, VBS menurun, Ronkhi (-)

CTT : undulasi (+), air bubble (+)

a/r Antebrachii dextra

L : swelling (+), deformitas (+), luka ukuran 20 x 15 x 1 cm

F : NT (+), pulsasi a. radialis (+)

M : Gerak elbow joint pain, wrist joint (+)

a/r cruris dextra

L : Swelling (+), deformitas (+), luka ukuran 10 x 8 x 1 cm

F : NT (+), pulsasi a. dorsalis pedis (+) lemah, a. tibialis posterior (+)

M: ROM knee & ankle joint terbatas karena nyeri, hipestesi dari pertengahan cruris ke

distal

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Rontgen Photo : (17 Januari 2006)

Kesan :

Tidak tampak pembesaran jantung.

Lab :

Hb

: 12,2 gr/dl

INR PT : 1,33

L

: 18300 /mm3

PT

: 15

Tr

: 199.000 /mm3

A PTT : 306

Ht

: 38 %

Na

: 130

Ureum : 26

K

: 3,6

Kreatinin : 0,72

V. DIGNOSIS KERJA

Mild Head Injury + Pneumothorax dextra + open fraktur ulnaris dextra sepertiga distal + open fraktur tibia fibula dextra sepertiga distal

VI. PENATALAKSANAAN

IVFD RL

Diet TKTP

Remopain 2 ampul drip

Cefotaxime 2 x 1 gr

Ranitidine 2 x 1 amp

VII. PROGNOSIS

Quo ad vitam

:

Quo ad functionam:

LAPORAN OPERASI

Indikasi : ekspansi paru.

Jenis operasi: insersi chest tube.

DO

: ditemukan air bubble (+) dan undulasi (+).

TO :

1. Dilakukan anti dan aseptic di daerah operasi.

2. Dilakukan anestesi local dengan lidocain.

3. Dilakukan insisi sesuai lokasi, kutis dan subkutis diinsisi secara tajam. Lokasi insisi ICS V anterior LMCS. Kemudian dilakukan diseksi tumpul sampai menembus pleura parietal.

4. Dilakukan insersi chest tube. Chest tube difiksasi dengan jahitan matras horizontal menggunakan silk 2/0.

5. Kemudian chest tube dihubungkan dengan botol WSD, tampak DO.

6. Luka operasi ditutup dengan kassa steril dan operasi selesai.

7. Instruksi : observasi tanda vital tiap jam, foto control, analgetik, antibiotic, tidak puasa.

TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan

Trauma toraks mengakibatkan sekitar 25% kematian akibat trauma. Kematian dapat berlangsung segera (dalam hitungan detik hingga menit), cepat (hitungan menit ke jam) dan lambat (hitungan hari hingga minggu). Kematian segera biasanya diakibatkan adanya disrupsi pada jantung atau injuri pada pembuluh darah besar, kematian yang cepat sering diakibatkan oleh obstruksi jalan nafas, tension pneumotoraks, kontusio paru ataupun tamponade jantung. Sedangkan komplikasi paru, sepsis serta injuri yang tidak terdeteksi atau terlewatkan bertanggung jawab terhadap kematian yang lambat. Insiden trauma toraks juga meningkat seiring dengan meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor.

Penyebab :

1. Trauma penetrans

2. Trauma tumpul termasuk ledakan.

Anatomi

Toraks adalah suatu ruangan yang dibatasi oleh dinding di bagian depan belakang dan atas yang terdiri dari otot, tulang dan lapisan kulit, sedangkan di bagian bawah berbatasan dengan rongga abdomen melalui diafragma. Untuk mengetahui penanganan trauma yang dapat menimbulkan kelainan pada organ-organ di dalam rongga toraks, dapat diperkirakan dari proyeksi isi rongga toraks terhadap dinding toraks. Jejas yang terjadi pada permukaan dinding toraks dapat memperkirakan isi rongga toraks yang terkena dampaknya.

Patofisiologi

Pada trauma toraks dapat terjadi 2 keadaan serius yang membutuhkan penanganan segera :

1. Pernafasan yang tidak adekuat, diakibatkan pneumotoraks, open pneumotoraks, tension pneumotoraks, flail chest, contusion pulmonal atau aspirasi.

2. Syok perdarahan, akibat hemotoraks atau hemomediastinum.

Rongga toraks dibatasi oleh 2 struktur utama, yaitu struktur rigid costae, klavikula dan scapula serta kedua yaitu otot-otot pernafasan. Terjadinya ventilasi dan oksigenasi yang adekuat sangat tergantung dari dinding dada yang intak. Trauma yang menyebabkan fraktur serta kerusakan otot dapat menagkibatkan trauma langsung ke jantung, paru, pembuluh darah besar serta visera abdomen bagian atas yang terletak di bawahnya.

Manifestasi utama pada trauma penetrans pada pleura parietalis dan viseralis adalah hilangnya tekanan negatif intrapleura yang menyebabkan timbulnya pneumotoraks. Penting disadari bahwa setiap trauma penetrans pada intercostalis IV ke bawah dapat melewati diafragma sehingga kemungkinan trauma organ intraabdominal harus disingkirkan.

Trauma tumpul toraks mengakibatkan kerusakan lewat 3 mekanisme : rapid deceleration, direct impact serta kompresi. Deselerasi cepat sering diakibatkan kecelakaan pada sepeda motor kecepatan tinggi serta akibat jatuh dari ketinggian. Trauma langsung mengakibatkan fraktur iga, sternum atau scapula dengan kerusakan paru di bawahnya, contusion jantung atau pneumotoraks. Kompresi pada dinding dada oleh objek yang berat mengakibatkan gangguan respirasi dengan peningkatan tekanan darah pada vena, menyebabkan traumatic asphyxia.

Sebagian besar penderita trauma toraks diterapi secara konservatif atau non operatif. Terapi meliputi analgetik yang adekuat, hygiene paru atau pulmonary toilet, intubasi enditracheal serta insersi Chest Tube Thoracostomy (CTT). Hanya 10-15% penderita dengan trauma pada dada membutuhkan torakotomi atau sternotomi.

Pemeriksaan

Pemeriksaan pada trauma toraks meliputi :

1. Evaluasi terhadap jalan nafas, simetri dan stabilitas dinding dada, suara nafas serta bunyi jantung. Adanya emfisema subkutan, distensi vena jugularis, serta deviasi trachea harus dicari sejak awal pemeriksaan.

2. Mulai resusitasi selama melakukan prosedur diagnostik lain. Pemberian oksigen melalui high flow non rebreathing mask. Bila penderita tidak merespon adekuat resusitasi cairan (hipotensi yang persisten, asidosis dan defisit basa) pertimbangkan kemungkinan adanya ongoing bleeding serta reevaluasi terhadap kemungkinan terdapatnya tamponade jantung, tension pneumotoraks serta kardiogenik akut.

3. Monitor dengan oxymetri serta EKG secara kontinyu.

4. Pemeriksaan foto toraks. Tempat masuknya benda asing atau trauma penetrasi dapat diidentifikasi menggunakan masker radio-opak yang terbuat dari metal.

5. Identifikasi indikasi untuk dilakukannya operasi segera (torakotomi) :

Hemotoraks massif (>1500mL darah inisial dari pemasangan CTT).

Ongoing bleeding dari rongga dada (>200mL/jam, dinilai selama 4 jam).

Tamponade jantung.

Perubahan, kondisi umum yang cepat akibat trauma penetrans transmediastinal.

Disrupsi dinding dada.

Kebocoran udara masif dari CTT atau adanya mayor tracheobronchial injuri.

Injuri vascular pada thoracic outlet dengan hemodinamik yang tidak stabil.

Injuri esophagus.

Temuan ahli radiologi terhadap adanya trauma pembuluh darah besar.

Dugaan terdapatnya emboli udara.

Luka tusuk atau tembak di dada.

I. PNEUMOTORAKS

Pneumothoraks adalah suatu keadaan ditemukannya gas atau udara di dalam rongga pleura, terjadi karena adanya hubungan terbuka antara rongga dada dan dunia luar. Hubungan mungkin melalui luka di dinding dada yang menembus pleura parietalis atau melalui luka di jalan nafas yang sampai ke pleura visceralis.

Dalam keadaan normal pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada. Pada pneumothoraks, udara masuk ke dalam rongga pleura melalui 3 jalan, yaitu :

1. Udara dari luar dan terdapat penetrasi dinding dada,

2. Udara dari dalam yang masuk melalui robekan dinding alveoli dan seterusnya ke interstitial paru dan ke pleura. Dapat juga udara berasal dari esophagus atau viskus abdomen (amat jarang),

3. Pembentukan gas/udara oleh mikroorganisme dalam dinding pleura pada penyakit empiema.

KLASIFIKASI PNEUMOTHORAKS

A. Pneumothoraks spontan/ non traumatik

Primer (penyebab patologis tidak dapat diidentifikasi)

Sekunder (akibat penyakit paru obstruktif kronis, TBC aktif/inaktif)

Katamenial

Neonatal

B. Pneumothoraks traumatik

Cedera tembus atau cedera tumpul pada thoraks

Iatrogenik : Ventilasi mekanik, prosedur monitoring, post operatif

Pneumothoraks diagnostic

PNEUMOTHORAKS TRAUMATIK

Pneumothoraks terjadi akibat adanya trauma. Pneumothoraks jenis ini dapat terjadi akibat trauma tumpul (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian) atau trauma tembus (akibat luka tembak, luka tusuk).

1. Tension pneumothoraks

Keadaan ini terjadi jika terdapat fenomena ventil (one way valve), dimana terjadi kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada, masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi sehingga tekanan di intrapleura akan meninggi dan paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi yang sehat dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return) serta menekan paru kontralateral.

Penyebab tersering adalah sebagai akibat komplikasi penggunaan ventilator dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura visceralis, akibat komplikasi dari pneumothoraks sederhana karena trauma tembus dengan perlukaan pada paru-paru, cara menutup luka pada dinding thoraks yang salah, fraktur tulang iga belakang, thoraks yang mengalami pergeseran atau akibat pemasangan kateter subclavia vena jugularis. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension pneumotoraks, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut (occlusive dressing) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme flap-valve. Tension pneumotorak juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fracture). Diagnosis tension pneumotoraks ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan terapi tidak boleh terlambat oleh kaerna menunggu konfirmasi radiologi. Tension pneumotoraks ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distress pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakhea, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis merupakan manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension pneumotoraks dengan tamponade jantung sering membingungkan tetapi dari perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada salah satu hemitoraks yang terkena pada tension pneumotoraks dapat membedakan keduanya. Tension pneumotoraks membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga 2 garis midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumotoraks menjadi pneumotoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemasangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 diantara garis anterior dan midaxillaris.

2. Pneumothoraks terbuka (sucking chest wound)

Adanya defek atau luka yang besar pada dinding dada yang terbuka, dimana tekanan dalam rongga pleura akan menjadi sama dengan tekanan atmosfer. Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu dan menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.

3. Pneumothoraks Sederhana

Pneumotoraks diakibatkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal dapat juga ditemukan bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab dari pneumotoraks akibat trauma tumpul.

Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara dalam di dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi.

Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada perkusi hipersonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu diagnosis.

Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube pada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis midaxillaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau aspirasi, maka akan mengandung risiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan dengan WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembalian paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan pneumotoraks traumatik atau pada penderita yang memiliki risiko terjadinya pneumotorak intra operatif yang tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest tube. Pneumotoraks sederhana dapat tension pneumotoraks yang mengancam jiwa, terutama jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan ventilasi positif diberikan. Toraks penderita harus didekompresi sebelum penderita ditransportasi/rujuk.

GEJALA KLINIK

Keluhan dan gejala-gejala klinik pneumothoraks amat bergantung pada besar-kecilnya lesi pneumothoraks dan ada tidaknya komplikasi penyakit paru. Beberapa pasien menunjukkan keadaan asimptomatik dan kelainan hanya dapat ditemukan pada pemeriksaan foto dada rutin. Pada beberapa kasus, pneumothoraks terluput dari pengamatan.

Gejala utama adalah adanya rasa sakit yang tiba-tiba, bersifat unilateral serta diikuti sesak nafas. Kelainan ini ditemukan pada 80-90% kasus. Gejala ini akan nampak jelas pada saat penderita melakukan aktivitas berat. Namun rasa sakit tidak selalu timbul, dapat menghebat atau menetap bila telah terjadi perlengketan antara pleura parietalis dan visceralis. Pada tekanan kuat pneumothoraks suatu saat perlengketan ini dapat sobek sehingga terjadi perdarahan (hemopneumothoraks).

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan perkusi yang hipersonor, fremitus yang melemah sampai menghilang pada sisi yang sakit. Pada lesi yang lebih besar atau pada tension pneumothoraks, trakea dan mediastinum dapat terdorong ke sisi sakit/kontralateral. Diafragma tertekan ke bawah dan gerak pernfasan tertinggal pada sisi yang sakit. Fungsi respirasi menurun dan cardiac output menirun.

DIAGNOSIS

Pemeriksan foto roentgen dada merupakan prosedur standar untuk menegakkan diagnosa pneumothoraks. Sebaiknya dilakukan foto dada tegak dengan posisi PA (Posteroanterior) karena dengan posisis semi supine dan AP tidak selalu tampak pada kedua thoraks. Bila penderita tidak dapat tegak dilakukan foto dengan poisisi lateral dekubits dengan sisis yang tekena di bagian atas. Pemeriksaan CT Scan dapat membantu karena mahal.

Foto rontgen penderita pneumotoraks

Dapat terjadi pengumpulan cairan pada pneumothoraks yang terjadi lebih dari 24 jam. Cairan ini biasanya jernih dan tidak perlu dilakukan analisa cairan. Kejadian efusi pleura pada penderita pneumothoaks spontan berkisar antara 15-20 %. Efusi yangn luas dengan cairan > 200 cc sering kemerahan akibat robeknya pembuluh darah. Pada giant bullae pemakaian chest tube tidak berguna, oleh karena itu harus dapat dibedakan dengan pneumothoraks.

Akibat pneumothoraks bervariasi, mulai dari tanpa gejala hingga yang mengancam jiwa, tergantuing usia, luas pneumothoraks, jenis dan keadaan lain yang menyertainya.

PENGOBATAN

Pneumothoraks spontan yang kecil pada penderita dengan keadaan umum baik dapat hanya diobservasi saja sehingga terjadi resolusi atau pada penderita dengan kolapas paru 20 % dan gejala minimal serta tidak ada kemajuan/ progress dari pneumothoraks. Laju penyerapan udara di dalam rongga pleura sebanyak 1,25 1,50 % per hari atau 50 75 ml per hari. Aktifitas sebaiknya dibatasi dan diperlukan perawatan di rumah sakit selama 2- 3 hari, untuk memastikan tidak timbul komplikasi. Pemberian oksigen ekstra secara teoritis dapat mempercepat terjadinya absorpsi karena pemberian tambahan O2 akan menurunkan PO2 pada darah kapiler dan meningkatkan perbedaan tekanan parsial antar rongga pleura dengan kapiler pleura.

Aspirasi jarum atau kateter kecil pada pneumothoraks spontan dengan derajat ringan sedang akan mempercepat resolusi. Bila tidak ada kebocoran udara yang menetap (persistent air lake).

Penggunaan closed tube drainage apabila :

Untuk mempercepat perawatan

Kolaps > 20 % pada foto dada yang pertama

Tension pneumothoraks

Disertai penyakit pada paru kontralaeral

Ditemukan gejala dan penambahan pneumothoraks pada foto rontgrn berikutnya

KOMPLIKASI

1. Tension pneumotoraks

Kejadian ini terjadi pada 3 5 % penderita pneumotoraks. Tekanan udara yang terdapat pada tension penumotoraks adalah + 10 s.d 25 cm H2O. Nilai ini jelas berbeda dengan tekanan subatmosfir yang biasanya terdapat pada pneumotoraks biasa.

Pengobatan adalah segera melakukan dekompresi dengan jarum, kateter kecil atau pipa interkostalis dan dihubungkan dengan water sealed drainage.

2. Pyo-pneumotoraks

Ditemukan pneumotoraks disertai dengan empiema secara bersamaan pada satu sisi paru. Infeksi berasal dari mikroorganisme yang membentuk gas atau dari robekan jaringan paru atau esophagus ke arah rongga pleura. Kebanyakan dari abses subpleura dan sering membuat fistula bonko-pleura. Jenis kuman yang sering terdapat adalah Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Klebsiella, M. ruberculous.

Pengobatan dengan chest tube untuk mengeluarkan cairan pus dan udara dari fongga pleura sehingga paru dapat mengembang kembali. Diberikan pula antibiotic sistemik, kadang diperlukan pembilasan rongga pleura dengan cairan antiseptic dan pemberian antibiotic secara local ke dalam pleura.

3. Hidropneumotoraks / hemopneumotoraks

Pada 25% penderita penumotoraks ditemukan sedikit cairan dalam rongga pleura. Biasanya bersifat serosa, seroanguinus atau kemerahan (berdarah). Jika pneumotoraks baru saja terjadi, hendaknya segera ditentukan apakah terjadi juga hidrotoraks. Untuk itu perlu dilakukan tindakan torakosentesis. Hidrotoraks dapat timbul dengan cepat setelah terjadinya pneumotoraks pada kasus-kasus trauma, perdarahan intra pleura atau perforasi esophagus (cairan lambung masuk dalam rongga pleura).

Bila terjadi hemopneumotoraks pemasangan chest tube dipertahankan untuk mengembangkan paru dan mengukur jumlah darah yang hilang. Pada penumotoraks spontan perdarahan terjadi karena robeknya bagian perlengketan (adhesi) antar pleura.

Pada pneumotoraks traumatic perdarahan terjadi pada dinding dada (jarang) dan jaringan paru (lebih sering). Sesudah paru kembali mengembang biasanya perdarahan intra pleura akan segera berhenti. Tetapi bila tetap bila tetap berlanjut setelah dilakukan terapi konservatif perlu dipertimbangkan torakotomi untuk mengikat pembuluh darah yang bocor.

4. Pneumomediastinum dan emfisema subkutan

Adanya pneumomediastinum dapat ditentukan dengan pemeriksaan foto dada. Insidensinya 1 % dari seluruh penumotoraks.

Kelainan dimulai dari robeknya alveoli ke dalam jaringan interstitial paru dan kemudian diikuti oleh pergerakan udara yang progresif ke arah mediastinum (pneumomediastimum) dan ke arah lapisan fasicia otot-otot leher (emfisema subkutan).

Pneumomediastinum jarang menumbulkan kelainan-kelainan klinis walau secara potensial dapat menimbulkan tamponade saluran darah besar. Untuk mencegah komplikasi yang jarang terjadi ini dilakukan tindakan dekompresi pada mediastinum tersebut.

5. Pneumotoraks simultan bilateral

Pneumotoraks yang terjadi pada kedua paru secara serentak terdapat pada 2 % dari kejadian pneumotoraks. Keadaan ini timbul sebagai kelanjutan pneumomediastinum yang secara sekunder timbul dari emfisema jaringan interstitial paru. Sebab lain bisa juga dari emfisema mediastinal yang berasal dari perforasi esophagus.

Pengobatan tergantung dari berat ringannya gejala. Bila ringan pengobatan sama dengan penumotoraks spontan primer lainnya. Bila berat, disertai sesak nafas perlu torakotomi untuk mengobati sumber penyebabnya atau melakukan obliterasi secepatnya pada salah satu rongga pleura yang terkena.

6. Pneumotoraks kronik

Dinyatakan kronik bila tetap ada selama waktu > 3 bulan. Pneumotoraks kronik ini terjadi bila fistula bronco-plelura 5 % dari seluruh penumotoraks.

Faktor penyebabnya adalah :

perlengketan pleura yang menyebabkan robekan paru tetap terbuka

adanya fistula bronco-pleura yang melalui bulla atau kista

adanya fistula bornko-pleura yang melalui lesi penyakit seperti nodul rematoid atau tuberkuloma.

Pengobatan yang terbaik adalah dengan menutup fistula bronco-pleura.

II. WATER SEALED DRAINAGE (WSD)

DEFINISI

WSD ialah suatu unit peralatan system drainase tertutup dan kedap udara atmosfer yang terus-menerus. Cairan tubuh terutama udara dapat keluar melalui system ini tetapi tidak dapat masuk kembali ke dalam tubuh. Sistem drainase tersebut dibutuhkan untuk drainase rongga pleura.

Jumlah kateter interkostal dapat lebih dari 1 sesuai dengan kebutuhan yang ditentukan saat operasi. Ukuran yang digunakan bervariasi dalam bilangan unit French (18F-36F). Lokasi drain yang paling sering dijumpai adalah:

1.Apikal, dipasang pada dada anterolateral untuk mengeluarkan udara.

2. Basal, dipasang pada bagian dada posterolateral (bagian pleura paling bawah)

MANAJEMEN WSD

1. Pasien dengan WSD yang dipindahkan dari satu ruangan ke ruangan lain, harus diklem tube-nya kecuali terdapat kebocoran udara. Sebelum klem dilepas harus dipastikan konektor terpasang erat, ujung rod dalam botol minimal 2,5 cm di bawah permukaan air dan tidak boleh menyentuh dinding dasar atau tepi botol, panjang selang dari botol ke pasien tidak boleh menghambat gerak pasien.

2. Klem harus selalu diletakkan tidak jauh dari WSD maupun pasien agar bila dibutuhkan secara darurat klem dapat dijangkau dengan mudah dan cepat.

3. Pemantauan mengenai ciri-ciri/jenis maupun jumlah drainase harus dicatat tiap 30 menit tanpa perkecualian.

Udara yang keluar. Hal ini dinilai dari gelembung udara (bubble) yang terdapat pada botol WSD. Gelembung udara akan berhenti jika sobekan pada paru menutup dan paru berhasil mengembang. Walaupun sulit untuk menentukan jumlah gelembung udara yang keluar, secara kasar dapat ditentukan apakah bocor udara bersifat masif. Secara kualitatif dicatat sebagai berikut:

+ + + + = large amount, terdapat bubble terus menerus

+ + + = moderate amount, terdapat bubble setiap saat

+ + = minimal amount, terdapat bubble hanya saat ekspirasi pernafasan dan batuk

+= slight amount, terdapat bubble hanya bila batuk

-= nil, tidak terdapat bubble

Undulasi

Oleh karena tekanan intrapleura adalah tekanan negatip, maka cairan yang terdapat pada rod akan bergerak turun-naik (gerak oscillation) seiring dengan siklus pernafasan (naik saat inspirasi, turun saat ekspirasi). Gerak osilasi ini disebut undulasi, dimana bila tekanan intrapleura makin negatif, maka makin tinggi derjat undulasi tersebut. Undulasi ini hanya dapat terlihat bila mesin atau unit suction tidak dihidupkan dan vent terbuka ke tekanan atmosfer.

Bila vent tidak terbuka ke atmosfer, dan terlihat bubble yang artinya suatu bocor udara (air liak), maka kejadian ini pertanda bahwa selang dalam keadaan paten tanpa ada kerusakan (lubang / keretakan pada konektor / selang).

Bila terdapat undulasi derajat tinggi saat mesin / unit suction dihidupkan, maka perihal ini pertanda terjadinya atelektasis paru pada pasien.

Drainase (produksi)

Volume cairan di atas water seal level adalah jumlah drainase yang harus dicatat. Untuk 2 jam pertama setelah operasi / pemasangan WSD volume cairan / drainase (di atas water seal level) harus dicatat setiap 30 menit. Bila tidak terdapat drainase yang berlebihan (kriteria ditentukan oleh dokter ahli bedah), maka pencatatan dilaksanakan tiap 2 jam dan akhirnya tiap 4 jam. Pada umumnya volume drainase akan berkurang dalam waktu 48 jam.

Drainase berupa darah sebanyak 200 ml, dalam waktu 1 2 jam pertama pertanda suatu pendarahan yang berlebihan dan harus dilaporkan segera ke dokter ahli bedah (transfusi darah maupun tindakan bedah kemungkinan harus dilaksanakan segera).

Uraian pada tiga hal yang tersebut pada butir 1, 2 dan 3 di atas merupakan bagian keperawatan yang sangat penting. Pemantauan / pencatatan tersebut bila diabaikan atau dilaksanakan secara ceroboh pada umumnya akan mengakibatkan komplikasi / penyulit yang sangat serius dan mencerminkan keterbelakangan pada suatu unit keperawatan dalam suatu rumah sakit.

Pemantauan pada status selang dan konektor. Selang dan konektor harus dipantau ulang terutama pada setiap pergantian tugas atau duty shift. Bekuan darah, pus dsb. dapat menghambat drainase dan mengakibatkan komplikasi berupa hemopneumothorax (darah + udara menetap di dalam rongga toraks), maupun subcutaneous emphysema (udara terperangkap pada jaringan subkutan). Untuk menghindar masalah tersebut perlu diperhatikan.

Panjang selang tidak boleh menghambat gerak pasien dan pula tidak boleh mengkibatkan putaran (looping). Looping mengakibatkan hambahat drainase yang dikenal dengan istilah fluid lock.

Selang tidak boleh terjepit atau melintir.

Selang harus diperas (milking) untuk menghindari terjadinya bekuan darah.

Suction selalu dihidupkan untuk memperlancar drainase.

Pada suatu keadaan tekanan intrapleura meningkat dan mengakibatkan undulasi yang berlebihan. Bila hal tersebut terjadi periksa unit suction. Bila unit suction berjalan baik maka kemungkinan terdapat atelektasis atau obstruksi saluran pernafasan. Untuk memastikannya diperiksa foto toraks.

Bila undulasi negatif kemungkinan tubuh pasien menekan selang, terdapat sumbatan pada selang atau paru sudah mengembang seluruhnya.

PEMASANGAN CHEST TUBE

Alat yang dibutuhkan :

Satu buah Artery forcep

Dua buah Dissecting forceps

Empat buah Towel Clips

Satu buah Leur-lock syringe (10 ml)

Dua buah SS Bowl 3

Gown, hand towel, drape area towel

Tiga buah Silk-0 curve end 10 cutting needle

Botol WSD

500 mL H2O steril

Dua ampule Procain 5% (5 Ml dan 10 mL)

Disposable scapel

Dua buah masker

Gloves

Dua buah Howard Kelly Clamps

Thoracic Catheter No. 16 F, 20 F dan 28 F jenis ARGYLE

Persiapan pemasangan

Informed consent

Pasang infuse, beri antibiotic 1 jam sebelum tindakan

Beri analgesi yang adekuat karena tindakan ini sangat menyakitkan. Bila perlu dapat diberikan morfin sulfat atau sejenisnya i.m 15 30 menit sebelum tindakan.

Posisi pasien duduk dengan sudut 45o

Cuci daerah toraks dengan sabu Hibiscrub

Tindakan pencegahan infeksi oleh operator

Teknik Pemasangan

Daerah bedah diolesi alcohol kemudian dipasang duk bolong

Berikan obat anestesi

Insisi kulit yang diperlebar dengan Spencer Wells Forceps atau gunting curve Mayor Metzenbaum

Letakkan jahitan matras pada luka

Chest tube didorong dengan trokar atau klem melalui lajur luka hingga menembus pleura parietal ke rongga pleura. Pada pnemotoraks terdengar bising udara keluar, pada hematotoraks darah segera keluar.

Dokter menyangga chest tube, perawat menghubungkan chest tube pada konektor yang telah terpasang sebelumnya pada selang.

Fiksasi jahitan diikat, luka ditutup dengan kasa dan plaster.

Konektor antara chest tube dan selang diperkuat dengan plaster.

Pangkal chest tube diikat verban, dikaitan pada baju pasien dengan peniti untuk mengurang daya tarik pada dada, menghalangi lekukan selang dan mempelancar arus drainase.

Pemantauan setelah pemasangan:

Pencatatan nadi, suhu dan tekanan darah tiap 2 jam

Pantau air bubble, undulasi dan drainase tiap 1 jam selama 4 jam kemudaian tiap 4 jam sampai chest tube di cabut.

Pemeriksaan foto roentgen toraks untuk mengetahui posisi chest tube.

Pasien dianjurkan berlatih mengambil nafas dalam dan batuk tiap 2 jam.

Obat analgesi harus tersedia. Pasien yang kesakitan tidak akan mau mengambil nafas dalam atau batuk. Akibatnya dapat terjadi atelektasi dan suhu akan meningkat.

Pasien dianjurkan duduk dan mulai jalan dengan bantuan secepat mungkin bila kondisi memungkinkan.

Harus tersedia klem didekat pasien. Hal ini penting terutama bila selang terlepas atau botol pecah.

Komplikasi yang mungkin terjadi :

1. Primer :

Pendarahan bila arteri dan vena interkostal terluka

Edem paru

2. Sekunder :

Infeksi (empyema)

PENCABUTAN CHEST TUBE

Chest tube biasanya dicabut 24 48 jam paska bedah kecuali jika terdapat kebocoran udara yang presisten. Indikasi pencabutan chest tube : Paru telah mengembang lengkap, atau tujuan pemasangan sudah tercapai (contoh evekuasi pus pada empyema).

Teknik pencabutan:

1. Pasien duduk bersandar pada meja, atau berbaring miring menjauhi lokasi chest tube.

2. Plaster dan verban dibuka, kulit dibersihkan dengan cairan antiseptic.

3. Jahitan fiksasi dilepas, pasien diminta untuk bernafas dalam, mengeluarkan nafas dan menahan nafas saat chest tube dicabut.

4. Jahitan purse string diikat secepat mungkin menutup luka.

5. Luka ditutup dengan kasa yang diolesi dengan salep betadin dan plaster.

6. Jahitan luka dicabut 5 6 hari kemudian.

III. INSISI TORAKALIS

TORAKOTOMI LATERAL

Anterolateral. Insisi ini mulai dari tepi sterum di atas sela iga interostal keempat ke garis aksilaris mediana. Insisi ini membutuhkan pemisahan muskulus pektoralis mayor dan minor dan seratus anterior. Insisi ini memungkinkan masuk ke dalam dada lebih cepat pada penderita dengan posisi semi dekubitus. Karenanya, merupakan insisi pilihan untuk trauma dan pederita yang keadaan hemodinamiknya tidak stabil. Lapangan operasi cukup adekuat untuk perasi mediastinal, untuk operasi jantung, dan untuk reseksi lobus medius dan superior paru-paru.

Posterolateral. Insisi ini kebanyakan digunakan untuk reseksi pulmonary, untuk operasi esophagus, dan pendekatan menuju mediastinum posterior dan kolumna vertebralis. Insisi kulit mulai dari garis aksilaris anterior tepat di bawah puting payudara, menuju ke posterior di bawah ujung scapula, dan naik di antara scapula dan kolumna vertebralis. Bagian dari muskulus seratus anterior, latisimus dorsi, dan trapezius terpotong, dan rongga toraks biasanya dimasuki melalui sela iga kelima.

Midlateral. Tidak ada kelompok muskulus utama yang ipoton, sehingga penutupan lebih cepat dan engurangi ketidaknyamaan penderita. Pajanan yang baik dicapai dengan vetilasi paru tungal.

Umumnya, terapi respirasi pascaoperasi torakotomilateral adalah lebih penting karena penderita mengalami nyeri yang bermakna dan menghindari penggunaan muskulus-muskulus dadanya. Pasien juga harus berada posisi yang benar unuk mencegah dislokasi bahu dan cedera peksus brakialis.

CEDERA TORAKS

Jenis cedera yang paling banyak dijumpai termasuk luka tusuk kecepatan tinggi (biasanya bersifat militer), pisau atau luka tembak kecepatan rendah (pada orang biasa) dan cedera tumpul akibat kecelakaan kedaraan bermotor dan industri/kerja.

Keadaan-keadaan yang membutuhkan perbaikan segera :

Sumbatan jalan napas. Orofaring harus bersih dari debris dan leher diletakkan dengan gerakan mendorong dagu ke anterior sementara dipasang traksi kontiu cephalad ke kepala. Intubasi nasotrakeal aau orotrakeal atau krokiotirodektomi harus dilakukan bila ada indikasi

Tension pneumothorax. Ketika cedera pada parenkim paru memungkinkan masuknya udara (tapi tidak keluar) ke dalam rongga pleura, tekanan meningkat, menyebabakan pergeseran mediatinum dan kompresi paru kontralateral demikian juga penurunan aliran balik venosa. Mengurangi/melepaskan tegangan dengan pipa torakotomi atau jarum berlubang besar merupakan tindakan yang menyelamatkan nyawa penderita.

Pneumothorax terbuka. Bila satu segmen dada lebih besar daripada daerah potongan melintang trakea mengalami kerusakan, udara masuk ke dalam luka mengenai paru daripada melalui trakea ke alveoli. Sebuah penutup atau pembalut yang kedap atau rapat harus dipasang dan sebuah pipa dipasang ke dalam rongga pleura.

Flail Chest Masif Ketika cedera tumpul berat berakibat fraktur di dua tempat pada empat atau lebih iga, pergerakan dinding dada menjadi seperti menusuk (flail). Pasien tidak mampu untuk menimbulkan tekanan negatif yang cukup untuk mempertahankan intubasi; intubasi dan ventilasi tekanan positif diperlukan.

Hematothorax Masif Jika pada penderita dijumpai perkusi redup pada hemithorax setelah trauma, pipa dada harus dipasang. Jika ditemukan hematothorax (mula-mula lebih dari 1500 ml, atau lebih 200 ml/jam selama 4 jam), maka harus dilakukan eksplorasi.

Keadaan-keadaan yang membutuhkan torakotomi segera

1. Kebocoran udara massif : Hal ini menunjukkan adanya kerusakan pada trakea atau bronkus besar. Lebih dari 80% cedera terjadi dalam jarak 2,5 cm dari carina.

2. Tamponade pericardial setelah adanya trauma

3. Perforasi esophagus

Cedera berbahaya tetapi kurang mendesak

Ruptur diafragma Ruptur paling sering terjadi karena trauma tembus atau cedera hancur. Hemidiafragma kiri lebih mudah ruptur (9 : 1) dibandingkan dengan sisi kiri. Perbaikan dibutuhkan untuk mencegah herniasi isi abdomen yang mana dapat menjerat dan memperforasi atau mencegah ventilasi adekuat dengan mendesak rongga thorax.

Pneumothorax Pneumothorax biasanya diakibatkan oleh cedera pada paru atau cabang trakeobrakial, dan dapat disertai dengan hemothorax. Pada kasus dengan kolaps > 50% yang dengan hemopneumothorax, dan pada penderita dengan luka tembus dada maka kateter interkostal harus dipasang dan dihubungkan dengan penghisap (suction). 10 25 cmH2O jika pneumothorax stabil, maka dapat diawasi dan diresorpsi dengan kecepatan 1,25% per hari.

Emfisema Interstitialis Keadaan ini disebabkan terganggunya saluran pernafasan atau esophagus tanpa masuknya udara ke dalam rongga pleura : Udara menyebar ke dalam mediastinum, bidang jaringan lebih dalam, dan ruang subkutaneus. Pasien tampak mengalami kemunduran jelas, tapi tidak ada alasan untuk mengobati kondisi ini, kecuali mengambil langkah untuk menghentikan udara yang bocor.

Fraktur iga dan cedera yang lebih kurang menusuk utama ialah mengatasi nyeri dan bagi penderita agar didapat ventilasi yang adekuat. Jika ada distress pernafasan, maka diperlukan intubasi dan ventilasi tekanan positif. Faktor-faktor penyerta yang harus diawasi ialah termasuk adanya pneumothorax lambat, hemothorax, contusio pulmonal dan cedera pembuluh subclavia dari fraktur iga I anterior.

Fraktur sternum Fraktur sternum biasanya transversal, terjadi pada atau dekat maubrium sterni dan sangat nyeri. Hal yang penting ialah menyingkirkan adanya cedera struktur dibawahnya, khususnya jantung (echocardiogram, pemantauan EKG terus-menerus selama paling sdikit 24 jam, enzim kreatin fosfokinase).

Hemothorax Pendarahan intrathorakal yang terus-menerus atau masif membutuhkan tindakan torakotomi. Jika sudut kostofrenikus tampak tumpul ( berarti ada darah