Crohn's Disease

33
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Crohn Disease Crohn’s Disease merupakan salah satu Inflammatory Bowel Diseases (IBD), yaitu penyakit peradangan granulomatosa kronik yang mengenai traktus gastrointestinal, mulai dari mulut hingga anus. Namun, lebih sering mengenai bagian ileum terminalis sampai colon bagian awal. Peradangan ini mencakup seluruh bagian dinding usus dari superficial hingga profundal (CCFA, 2013). B. Anatomi Histologi normal Ileum Sistem digestorium terbentang dari mulut hingga anus. Ileum adalah bagian dari intestinum tenue (usus halus), setelah duodenum dan jejunum. Ileum adalah sebuah saluran yang befungsi untuk 1

description

referat crohn's disease

Transcript of Crohn's Disease

Page 1: Crohn's Disease

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Crohn Disease

Crohn’s Disease merupakan salah satu Inflammatory Bowel

Diseases (IBD), yaitu penyakit peradangan granulomatosa kronik yang

mengenai traktus gastrointestinal, mulai dari mulut hingga anus. Namun,

lebih sering mengenai bagian ileum terminalis sampai colon bagian awal.

Peradangan ini mencakup seluruh bagian dinding usus dari superficial

hingga profundal (CCFA, 2013).

B. Anatomi Histologi normal Ileum

Sistem digestorium terbentang dari mulut hingga anus. Ileum

adalah bagian dari intestinum tenue (usus halus), setelah duodenum dan

jejunum. Ileum adalah sebuah saluran yang befungsi untuk pencernaan

makanan, absorpsi zat makanan, cairan dan elektrolit (Snell, 2004).

1

Page 2: Crohn's Disease

Gambar 1. Anatomi dan Histologi Ileum

Secara histologis dinding ileum terdiri dari 4 lapisan, yaitu tunika

mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa. Tunika

mukosa ileum melipat ke lumen dan membentuk struktur vili yang tinggi

dan banyak mengandung sel goblet. Di antara vili-vili terbentuk Kripte

Lieberkuhn, yang di dasarnya terdapat kelenjar intestinal atau Sel Paneth

Gambar 2. Histologi Ileum

C. Anatomi Histologi Ileum pada Crohn Disease (Patologi)

Gambar 3. Makroskopis Crohn’s Disease

Gambaran makroskopis Crohn’s disease di atas menunjukkan

bagian tengah dengan penebalan dinding dan mukosa kehilangan lipatan-

2

Page 3: Crohn's Disease

lipatan mukosanya. Permukaan serosa tampak jaringan lemak kemerahan

dan mengeras. Tampak gambaran Cobblestone Appearance.

Salah satu komplikasi Crohn’s disease adalah pembentukan fistula.

Tampak fisura meluas dari mukosa menuju submukosa sampai muskularis.

Fistula dapat terbentuk antara usus dengan usus, kandung kemih dan kulit.

Bila mengenai usus besar dapat terjadi fistula peri-rektal.

Gambar 4. Mikroskopis Crohn’s Disease

D. Etiologi

Penyebab pasti belum diketahui, namun beberapa ahli menduga

banyak faktor risiko yang dapat menyebakan Crohn’s disease seperti

genetik, mikroba, imunologis, lingkungan, diet, vaskular dan faktor

psikososial seperti merokok, penggunaan kontrasepsi oral dan penggunaan

Non steroid anti-inflammatory drugs (NSAID) (Thoreson, 2007).

Pada bidang genetika telah ditemukan pada kromosom 16 (IBD

gen) yang diidentifikasi sebagai gen penyebab Crohn’s disease, yaitu

NOD2 gene (CARD15). Gen ini terlibat dalam system imunitas tubuh

manusia. Penelitian di Jerman dan Norwegia mengemukakan bahwa orang

3

Page 4: Crohn's Disease

yang memiliki gen alel CARD15 lebih berisiko terkena penyakit pada

ileum dan colon (Hampe et al, 2002).

E. Patogenesis dan Patofisiologi

(Ghazi et al, 2013)

4

Sitokin pro inflamasi (IL12 & TNF α)

Asam arachidonat, protease, platelet activating factor, radikal bebas

Intestinal Injury

mikroba rokok dietNSAID

antigen

APC

TH 1

Genetik

Integritas barrier epitel abnormal

Defisiensi reseptor imun innate

Maslah diferensiasi limfosit

Inflamasi kripteGranuloma non

kaseosa

Ulserasi mukosa superficial profunda

inflamasi transmural

Fistula (enteroenteral, enterovesica, enterovagina,

enterocutan

Ulkus + agregasi limfoid red spot + mukosa

depresi

Cobblestone Appearance

Edema dinding usus menebal , lumen

menyempit

Ileus obstruksi

Page 5: Crohn's Disease

Inflamasi kronik yang disebabkan oleh aktivasi Sel T merupakan

pathogenesis dari Crohn’s disease. Zat yang menyebabkan inflamasi

seperti mikroba, virus, rokok dan dari diet akan dianggap sebagai antigen

dan dibawa oleh Antigen Presenting Cell (APC) menuju ke sel T helper 1.

Sel T helper akan mengeluarkan sitokin –sitokin pro inflamasi seperti (IL1

& TNF α) yang akan merangsang pengeluaran asam arachidonat, protease

dan radikal bebas secara local di bagian ileum terminal (Ghazi et al, 2013)

Pada beberapa orang yang secara genetik sudah diturunkan gen

CARD 15, bagian ileum dan colon lebih rentan terjadi ‘injury’, selanjutnya

akan terjadi inflamasi pada bagian kripte yang berupa inflamasi

granulomatosa. Inflamasi dengan infiltrasi sel limfoid akan meluas ke

seluruh dinding intestinal, mesentrium dan limfa nodi regional, inflamasi

ini disebut inflamasi transmural (Ghazi et al, 2013)

Inflamasi kronik akan menyebabkan terjadinya ulserasi di mukosa

superficial dan berlanjut ke profunda sehingga terbentuk ulkus, fisura dan

meluas sampai lapisan submukosa, muskularis bahkan sampai menembus

dinding luar intestinal sebagai fistula (Ghazi et al, 2013)

Pada kasus lanjut mukosa mempunyai penampilan “coblestone

appearance”. Hal ini terjadi akibat ulkus superficial mukosa bergabung

dengan agregasi sel-sel limfoid sehingga menimbulkan titik merah dan

lapisan yang bergelombang pada dinding intestinal (Ghazi et al, 2013)

5

Page 6: Crohn's Disease

F. Penegakkan Diagnosis

Diagnosis Crohn Disease ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala yang

didapat berikut ini :

1. Anamnesis

Pasien paling banyak mengeluhkan sakit perut dan diare

berkepanjangan yang kadang disertai darah, selain itu keluhan yang

sering timbul adalah (Wilkins, 2011) :

a. Demam

b. Malaise

c. Mual muntah

d. Berat badan turun

e. Depresi dan cemas

f. Konstipasi dan obstipasi

2. Pemeriksaan Fisik

a) Tanda vital : normal, kadang takikardi dan demam

b) Gastrointestinal : nyeri tekan abdomen, pada pemeriksaan rektal

dapat ditemukan fistula, ulkus, abses, tonus sphincter abnormal,

mukosa rektal abnormal, hematochezia

c) Genitourinary : ditemukan fistula, abses dan ulkus pada region

perianal

d) Dermatologi : ulkus mukokutan, eritema nodosum, pioderma

6

Page 7: Crohn's Disease

3. Pemeriksaan Penunjang

a) Laboratorium

Darah lengkap : anemia, leukositosis

Elektrolit : hipoalbumin, penurunan serum Fe,

Inflammatory marker : CRP meningkat

Serologi : Antibodi sacromyces , antibody eschericia coli

b) Radiologi

1) Foto polos abdomen

Foto polos abdomen merupakan tes yang tidak spesifik

untuk melihat inflamasi pada saluran cerna. Namun,

pemeriksaan ini dapat bermanfaat pada penderita ‘Crohn

Disease’ dengan eksaserbasi akut. Dapat ditemukan obstruksi,

perforasi ataupun distensi colon (Panes et al, 2011).

2) Barium Kontras

Barium enema adalah tindakan non invasif yang biasanya

digunakan untuk mengevaluasi adanya pseudodivertikel,

fistula, dan panjang striktur pada colon. Namun, tindakan ini

kontraindikasi jika diketahui terdapat perforasi. Walaupun pada

masa lalu barium kontras adalah pemeriksaan penunjang

pilihan untuk ‘Crohn Disease’ , kini sudah mulai ditinggalkan

(Panes et al, 2011).

Pada pemeriksaan radiografi ditemukan edema dan ulserasi

pada mukosa intestinal yang ditunjukkan dengan penebalan dan

distorsi dari intestinal. ‘Cobblestone appearance’ terlihat

7

Page 8: Crohn's Disease

sebagai ulkus dalam yang berbentuk transversal maupun

longitudinal (Panes et al, 2011).

Gambar 5. Cobblestone Appearance

Gambar 6. Ulsearasi, inflamasi dan penyempitan pada

colon ascendens pada Crohn’s Disease

8

Page 9: Crohn's Disease

Gambar 7. Fistula Enterocolon

3) CT enterografi

Pada pemeriksaan CT enterografi dapat dinilai

penebalan dinding intestinal, obstruksi, edema mesentrium,

abses dan adanya fistula. CT enterografi lebih sensitif

ketimbang pemeriksaan barium kontras (Kidd et al, 2000).

Gambar 8. Inflamasi intestinal pada Crohn’s Disease

4) Colonoskopi dan Endoskopi

Colonoskopi dinilai lebih sensitif dan spesifik sebagai

alat untuk diagnosis dan manajemen yang dicurigai mengalami

inflamasi saluran cerna bagian bawah. Prosedur ini dapat

diambil biopsi jaringan, untuk menilai lesi dan dibandingkan

dengan yang lain (Wilkins et al, 2011).

Endoskopi dengan biopsi dapat membantu diagnosis

Crohn’s Disease yang disebabkan oleh NSAID, bakteri

Helicobacter pylori atau dari jamur dan virus lain (Leighton et

al, 2006).9

Page 10: Crohn's Disease

5) Biopsi jaringan

Hasil patologi anatomi dari biopsi jaringan menunjukkan

inflamasi transmural dimana infiltrasi oleh sel limfoid ke

seluruh dinding intestinal yang menimbulkan granuloma non

kaseosa. Definisi dari granuloma dalah kumpulan sel monosit

atau makrofag dan sel inflamasi lain, dengan atau tanpa ‘Giant

Cell’ (Ghazi et al, 2013).

Gambar 9. Mikroskopis Crohn’s Disease

G. TERAPI

Tujuan umum dari pengobatan Crohn’s Disease yang pertama

adalah mendapatkan hasil perbaikan klinis, laboratorium dan histologis

yang terbaik untuk mengontrol inflamasi dengan efek samping yang

minimal. Kedua, membuat pasien dapat beraktivitas senormal mungkin

dan yang ketiga adalah agar anak-anak dapat tumbuh dan mendapatkan

10

Page 11: Crohn's Disease

nutrisi yang adekuat. Berikut beberapa terapi pilihan untuk Crohn’s

Disease (Ghazi et al, 2013).

1. Farmakoterapi

a. Antidiare : loperamid, difenoksilate.

Pada pasien dengan Crohn’s disease terjadi inflamasi

dinding usus yang menyebabkan tidak dapat mengabsorbsi cairan

secara normal. Antidiare seperti difenoksilat dan loperamid bekerja

dengan cara memperlambat motilitas saluran cerna dengan

mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus (Robinson,

1997).

Dosis pemberian loperamide 2-4mg diberikan sampai 4x

sehari, difenoksilat 40-60 mg / hari. Obat dapat diberikan sampai

diare berhenti (Ghazi et al, 2013).

b. Derivate agen asam 5-aminosalisilat (5-ASA) : sulfasalazine,

mesalamine, balsalazide)

Pengobatan dengan menggunakan 5-ASA adalah pilihan

pertama untuk pasien Crohn’s Disease. 5-ASA bekerja sebagai

agen anti inflamasi. Obat ini dapat terus digunakan setelah

tindakan pembedahan untuk mencegah terjadinya inflamasi ulang

(Lim, 2010).

Dosis pemberian mesalamin 800 mg, diberikan 3x sehari.

Penggunaan derivate 5-ASA ini pada prinsipnya dalah pengobatan

11

Page 12: Crohn's Disease

jangka panjang untuk mencegah kambuhnya peradangan (Lim,

2010).

c. Kortikosteroid : prednisone, metilprednisolon, budesonide

Crohn’s disease dengan gejala sistemik sedang sampai

berat seperti timbul demam, mual-muntah, dan berat badan turun,

dapat menggunakan kortikosteroid. Prednisone biasa digunakan

pada inflamasi akut tanpa tanda-tanda infeksi. Dosis pemberian

prednisone adalah 40-60 mg/ hari Budenoside menginduksi

perbaikan sel-sel pada daerah inflamasi. Kombinasi antara

kortikosteroid dan antibiotik seperti ciprofloxaxin atau

metronidazole lebih menguntungkan dibanding penggunaan

tunggal (Ford et al, 2011)

Pada prinsipnya penggunan kortikosteroid hanya untuk

pasien dengan gejala sedang sampai berat. Kortikosteroid tidak

diindikasikan untuk pengobatan jangka panjang. Jika kondisi

pasien membaik, kortikosteroid dihentikan (Ford et al, 2011).

d. Agen imunosupresan: mercaptopurin, methotrexat (6-MP)

Apabila penggunaan kortikosteroid tidak menimbulkan

perbaikan, dapat digunakan agen imunosupresan. Azathioprine

dengan bahan aktif metabolit 6-MP dapat digunakan dengan

catatan dalam pengawasan 3-6 bulan. 6-MP bekerja dengan cara

12

Page 13: Crohn's Disease

menekan pembentukan sel-sel imun yang dalam jangka waktu

lama dapat mensupresi sumsum tulang (Turner, 2007).

Dosis pemberian methotrexate adalah 25mg/minggu dan

diberikan selama 4 bulan kemudian dievaluasi kembali (Mcdonald,

2012).

2. Pengobatan biologis

Pengobatan secara biologis pada Crohn’s Disease yaitu dengan

cara memberikan antibodi monoklonal (anti-TNFα-antibodi) seperti ;

Infliximab, Adalimumab, Natalizumab .

a. Infliximab

Infliximab adalah antibodi monoclonal yang merupakan antagonis

TNFα. Bekerja pada permukaan sel makrofag dan sel T,

menghambat pembentukan TNFα (Lichteinstein, 2006).

Dosis pemberian 3-10 mg/kg/ hari, dapat diberikan sampai 6 tahun

lamanya dan dilihat perbaikan klinis pasien (D’Haens, 2011).

b. Adalimumab

Adalimumab adalah antibodi monoclonal immunoglobulin

rekombinan (igG1) yang cara kerjanya mengikat dengan afinitas

yang kuat dengan TNFα (Peyrin, 2007).

Dosis pemberian 160 mg/hari, ditrunkan menjadi 80mg/hari pada

minggu ke 2, diturunkan lagi menjadi 40 mg/hari pada minggu

selanjutnya (D’Haens, 2011).

c. Natalizumab

13

Page 14: Crohn's Disease

Natalizumab adalah antibodi monoclonal yang bekerja melawan

alpha4 integrin yang menghambat adhesi dan migrasi leukosit ke

area inflamasi (Sandborn et al, 2005).

Dosis pemberian natalizumab adalah 300mg setiap 4 minggu sekali

selama 1 tahun, kemudian di evaluasi kembali (Sandborn et al,

2005).

3. Tindakan pembedahan

Pada prinsipnya tindakan pembedahan pada Crohn’s Disease tidak

dapat menyembuhkan, namun berikut adalah keadaan-keadaan yang

direkomendasikan untuk dilakukan pembedahan pada Crohn’s Disease

(ASCRS, 2007) :

a. Gagal pengobatan : tidak ada perubahan secara klinis

b. Komplikasi : abses, fistula

c. Obstruksi : striktur colon

d. Inflamasi : kolitis, peritonitis

e. Hemoragik : perdarahan intra abdomen

f. Perforasi

g. Neoplasia

h. Hambatan tumbuh kembang

Intervensi pembedahan pada ileum terminal, ileocolon, dan colon

dapat dilakukan (ASCRS, 2007) :

a. Reseksi bagian intestinal yang terkena inflamasi

14

Page 15: Crohn's Disease

Tindakan pembedahan untuk membuang bagian intestinal yang

terkena inflamasi. Sebelumnya didahului dengan pemeriksaan

biopsi jaringan, untuk mengetahui daerah yang inflamasi.

Gambar 10. Reseksi Ileum, Ileocolon dan Colon

b. Ileostomi

Ileostomi berasal dari kata ‘Ileum’ dan ‘Stoma yang artinya adalah

tindakan operasi membuat mulut buatan di bagian ileum , untuk

membuang zat sisa tubuh, dikarenakan bagian distal ileum tidak

dapat bekerja normal (Cima, 2010).

15

Page 16: Crohn's Disease

Gambar 11.c. Strikturplasti

Strikturplasti adalah tindakan bedah yang dilakukan untuk

mengatasi jaringan parut yang terbentuk pada dinding intestinal

akibat kondisi inflamasi kronik pada Crohn’s Disease. Jaringan

parut menyebabkan striktur (penyempitan lumen intestinal).

Striktur dapat menyebabkan isi lumen masuk ke dalam ulkus dan

fisura yang dapat memperburuk peradangan pada Crohn’s Disease.

Tindakan strikturplasti yaitu membuat pasase intestinal lancar

tanpa membuang segmen menyempit (reseksi usus). Segmen usus

yang menyempit diinsisi kemudian dilebarkan dengan membuat

potongan memanjang sepanjang satu sisi usus, kemudian dijahit

(Jobanputra, 2007).

16

Page 17: Crohn's Disease

Gambar 12. Strikturplasti

d. Dilatasi Balon Endoskopi

Dilatasi Balon Endoskopi adalah pilihan terapi non bedah

untuk penanganan striktur pada Crohn’s Disease. Komplikasi yang

mungkin terjadi adalah risiko perforasi dan striktur rekurens.

Striktur didefinisikan sebagai penyempitan yang menghalangi

pasase usus sebesar 14 mm atau kurang. Teknik ini dilakukan

melalui colonoskopi, mencari bagian yang striktur kemudian

dilakukan dilatasi melalui balon-endoskopi. Antibiotic diberikan

selama pengerjaan dan 7 hari setelah tindakan (Ajlouni, 2007).

17

Page 18: Crohn's Disease

Gambar 13. Dilatasi Balon Endoskopi

e. Manajemen Fistula

Komplikasi dari Crohn’s Disease adalah terjadinya fistula.

Fistula dapat terjadi antara intestinal (ileoileal, ileocecal,

ileosigmoid, enterovesica, enterocutaneus, cologastric,

coloduodenal) (Strong, 2007).

Tindakan pertama yang dilakukan adalah mencegah dan

mengatasi infeksi dengan menggunakan antibiotik seperti

metronidazole atau ciprofloxaxin. Kemudian memperbaiki

keseimbangan cairan dan elektrolit, mengusahakan perbaikan gizi

serta merawat kulit di sekitar fistel (Sjamsuhidajat, 2003).

Keputusan diambilnya tindakan bedah ditunggu sekurang-

kurangnya 3-4 minggu. Fistula dapat terjadi penutupan spontan

biasanya sekitar minggu keempat. Bila setelah itu fistula masih

tetap ada, penanganan sepsis sudah dilakukan cukup baik, maka

tindakan bedah harus segera dilakukan (Sjamsuhidajat, 2003).

H. PROGNOSIS

Prognosis Crohn’s Disease dikarakteristikkan dalam periode

perbaikan dan kekambuhan. Pada tahun pertama setelah diagnosis, angka

kekambuhan mencapai 50% dengan 10% masuk kategori kronik. 5 tahun

setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah 49%. 10 tahun

setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah 62%. 15 tahun

18

Page 19: Crohn's Disease

setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah mencapai 70%

(Munkohlm, 2003).

BAB III

KESIMPULAN

1. Crohn’s Disease merupakan salah satu Inflammatory Bowel Diseases

(IBD), yaitu penyakit peradangan granulomatosa kronik yang mengenai

traktus gastrointestinal.

2. Pasien paling banyak mengeluhkan sakit perut dan diare berkepanjangan

yang kadang disertai darah, selain itu keluhan yang sering timbul adalah

demam, malaise, mual muntah, berat badan turun, konstipasi dan obstipasi

3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan fistula, ulkus, abses pada abdomen

disertai nyeri tekan abdomen.

4. Pemeriksaan penunjang dapat digunakan foto polos abdomen, barium

kontras, CT enterografi, colonoskopi, endoskopi dan biopsi jaringan,

5. Penatalaksanaan dibagia menjadi tiga, yaitu farmakoterapi, agen biologis

dan intervensi pembedahan.

6. Farmakoterapi dapat menggunakan antidiare, antibiotic, anti inflamasi,

kortikosteroid dan imunosupresan

19

Page 20: Crohn's Disease

7. Antibodi monoclonal menggunakan infliximab, adalimumab, dan

natalizumab

8. Berbagai intervensi bedah yang dapat digunakan yaitu, reseksi intestinal,

ileostomi, strikturplasti, dilatasi balon endoskopi dan manajemen fistula.

20

Page 21: Crohn's Disease

DAFTAR PUSTAKA

Ajlouni, Y. Iser, J.H and Gibson, P.R. Endoscopic balloon dilatation of intestinal strictures in Crohn’s Disease : safe alternative to surgery. J Gastroenterol Hepatol. Melbourne, Australia. 2007 Apr;22(4):486-90

ASCRS (The American Society of Colon and Rectal Surgeons) ; Strong SA, Koltun WA, Hyman NH, Buie WD, for the Standards Practice Task Force Practice parameters for the surgical management of Crohn’s disease. Dis Colon Rectum. 2007;50(11):1735-46.

CCFA (Crohn’s and Colitis Foundation of America). What Is Crohn’s Disease?. Available at URL : http://www.ccfa.org/what-are-crohns-and-colitis/what-is-crohns-disease/ .accessed : 30 May 2013.

Cima RR, Pemberton JH. Ileostomy, colostomy, and pouches. In: Feldman M, Friedman LS, Sleisenger MH, eds. Sleisenger & Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease. 9th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2010:chap 113.

D’Haens G, Panaccione R, Higgins P, et al. The London Position Statement of the World Congress of Gastroenterology on Biological Therapy for IBD with the European Crohn’s and Colitis Organization: When to start, when to stop, which drug to choose, and how to predict response? Am J Gastroenterol. 2011;106:199-212.

Duerr RH. Update on the genetics of inflammatory bowel disease. J Clin Gastroenterol. Nov-Dec 2003;37(5):358-67.

Economou M, Zambeli E, Michopoulos S. Incidence and prevalence of Crohn's disease and its etiological influences. Ann Gastroenterol. 2009;22(3):158-67. Available at http://www.annalsgastro.gr/index.php/annalsgastro /article/view/743. Accessed December 11, 2012

Farmer RG, Hawk WA, Turnbull RB Jr. Clinical patterns in Crohn's disease: a statistical study of 615 cases. Gastroenterology. Apr 1975;68(4 Pt 1):627-35.

Ford AC, Bernstein CN, Khan KJ, Abreu MT, Marshall JK, Talley NJ, et al. Glucocorticosteroid therapy in inflammatory bowel disease: systematic review and meta-analysis. Am J Gastroenterol. Apr 2011;106(4):590-9.

Ghazi, L.J. Katz, J. Anand,B.S Balasundaram, P. Coash, M.L. Nachimutu, S. Qureshi, W.A. Rangasamy, P. Raynor, K.M. Talavera F. George, Y.W. 2013. Crohn Disease. Medscape Reference. 25 March 2013

21

Page 22: Crohn's Disease

Hampe J, Grebe J, Nikolaus S, Solberg C, Croucher PJ, Mascheretti S, et al. Association of NOD2 (CARD 15) genotype with clinical course of Crohn's disease: a cohort study. Lancet. May 11 2002;359(9318):1661-5.

Jobanputra, S. and Weiss, E.G. Strictureplasty. Clin Colon Rectal Surg. New York, USA. 2007. 20:294-302

Kidd R, Mezwa DG, Ralls PW, Balfe DM, Bree RL, DiSantis DJ, et al. Imaging recommendations for patients with newly suspected Crohn's disease, and in patients with known Crohn's disease and acute exacerbation or suspected complications. American College of Radiology. ACR Appropriateness Criteria. Radiology. Jun 2000;215 Suppl:181-92.

Leighton JA, Shen B, Baron TH, Adler DG, Davila R, Egan JV, et al. ASGE guideline: endoscopy in the diagnosis and treatment of inflammatory bowel disease. Gastrointest Endosc. Apr 2006;63(4):558-65.

Lichtenstein GR, Abreu MT, Cohen R, Tremaine W. American Gastroenterological Association Institute medical position statement on corticosteroids, immunomodulators, and infliximab in inflammatory bowel disease. Gastroenterology. Mar 2006;130(3):935-9.

Lim WC, Hanauer S. Aminosalicylates for induction of remission or response in Crohn's disease. Cochrane Database Syst Rev. Dec 8 2010;CD008870.

Loftus EV Jr, Silverstein MD, Sandborn WJ, Tremaine WJ, Harmsen WS, Zinsmeister AR. Crohn's disease in Olmsted County, Minnesota, 1940-1993: incidence, prevalence, and survival. Gastroenterology. Jun 1998;114(6):1161-8.

Loftus EV Jr. Clinical epidemiology of inflammatory bowel disease: Incidence, prevalence, and environmental influences. Gastroenterology. May 2004;126(6):1504-17.

Lovasz BD, Golovics PA, Vegh Z, Lakatos PL. New trends in inflammatory bowel disease epidemiology and disease course in Eastern Europe. Dig Liver Dis. Sep 22 2012.

Mcdonald, JWD, Tsoulis DJ, Macdonald JK and Feagan BG. Methotrexate for Induction of Remission Refractory Crohn’s Disease. Cochrane Database of Systematic Reviews. Published by JohnWiley & Sons, Ltd. 27 June 2012

Munkholm P, Langholz E, Davidsen M, Binder V. Intestinal cancer risk and mortality in patients with Crohn's disease. Gastroenterology. Dec 2003;105(6):1716-23.

Panés J, Bouzas R, Chaparro M, García-Sánchez V, Gisbert JP, Martínez de Guereñu B, et al. Systematic review: the use of ultrasonography, computed tomography and magnetic resonance imaging for the diagnosis, assessment

22

Page 23: Crohn's Disease

of activity and abdominal complications of Crohn's disease. Aliment Pharmacol Ther. Jul 2011;34(2):125-45.

Peyrin-Biroulet L, Laclotte C, Bigard MA. Adalimumab maintenance therapy for Crohn's disease with intolerance or lost response to infliximab: an open-label study. Aliment Pharmacol Ther. Mar 15 2007;25(6):675-80.

Robinson M. Optimizing therapy for inflammatory bowel disease. Am J Gastroenterol. Dec 1997;92(12 suppl):12S-17S.

Sandborn WJ, Colombel JF, Enns R, Feagan BG, Hanauer SB, Lawrance IC, et al. Natalizumab induction and maintenance therapy for Crohn's disease. N Engl J Med. Nov 3 2005;353(18):1912-25.

Sjamsuhidajat, R. dan de Jong, Wim. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. Jakarta : EGC

Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik Untuk mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC

Strong SA, Koltun WA, Hyman NH, Buie WD. Practice parameters for the surgical management of Crohn's disease. Dis Colon Rectum. Nov 2007;50(11):1735-46.

Thoreson R, Cullen JJ. Pathophysiology of inflammatory bowel disease: an overview. Surg Clin North Am. Jun 2007;87(3):575-85.

Turner D, Grossman AB, Rosh J, et al. Methotrexate following unsuccessful thiopurine therapy in pediatric Crohn's disease. Am J Gastroenterol. Dec 2007;102(12):2804-12 quiz 2803, 2813.

Wilkins T, Jarvis K, Patel J. Diagnosis and management of Crohn's disease. Am Fam Physician. Dec 15 2011;84(12):1365-75

23