Cr Mola Marie

download Cr Mola Marie

of 38

Transcript of Cr Mola Marie

1

Presentasi Kasus

MOLA HIDATIDOSA

Oleh

Mariana Marpaung

Preceptor

dr. Zulkarnain Husein, Sp.OG (K)

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSUD dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG Desember 2011

2

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang World Health Organization Scientific Group on Gestational Trophoblastic Diseases menerbitkan rekomendasi spesifik mengenai terminologi untuk definisi, klasifikasi dan penentuan stadium penyakit trofoblastik. Secara mendasar penyakit trofoblastik gestasional dapat dibagi menjadi mola hidatidosa dan tumor trofoblastik gestasional. Istilah neoplasia trofoblastik gestasional tidak lagi digunakan karena mola invasif bukan suatu neoplasma sejati. (1) Mola hidatidosa merupakan penyakit trofoblas gestasional terbanyak. Frekuensi mola umumnya pada wanita di Asia lebih tinggi (1 per 120 kehamilan) daripada wanita di negara-negara Barat ( 1 per 2000 kehamilan) kehamilan di Meksiko (4). Frekuensi mola hidatidosa pada kehamilan yang terjadi pada awal atau akhir usia subur relatif lebih tinggi. Efek paling berat dijumpai pada wanita dengan usia lebih dari 45 tahun dengan ferekuensi lesi relatif lebih dari 10 kali lipat dibandingkan dengan usia 20 sampai 40 tahun. Kasus mola hidatidosa banyak dijumpai pada wanita berusia 50 tahun atau lebih. (1) Kekambuhan mola hidatidosa dijumpai pada sekitar 1-2 %. Dalam suatu kajian terhadap penelitian pada hampir 5000 kelahiran, frekuensi mola rekuren adalah 1,3 %. Kim dkk mendapatkan angka kekambuhan 4,3 % pada 115 wanita di Seoul, Korea. Tuncker dkk menyimpulkan dalam kejadian mola hidatidosa berulang tapi dari pasangan yang berbeda, mungkin permasalahan terdapat pada oosit primer. (1)(2) (3)

Dilaporkan

prevalensi mola hidatidosa di Indonesia ialah 1 dari 100 kehamilan dan 1 dari 200

3 1.2. Tujuan Pada laporan kasus kali ini akan dibahas lebih lanjut mengenai mola hidatidosa terkait alur penegakan diagnosis dan penatalaksanaannya.

4

BAB II LAPORAN KASUS

Identitas Nama Usia Jenis kelamin Pekerjaan Status Agama Alamat : Ny. Irasanti : 27 tahun : Perempuan : Ibu Rumah Tangga : Menikah : Islam : Jl. Adi Sucipto GG. Serumpun I Kebon Jeruk, Bandar Lampung Tanggal masuk : 28 November 2011, pukul 12.40 WIB

I. Anamnesa Keluhan utama : Kontol konsulen dengan hamil anggur

RPP : 3 bulan SMRS Os tidak menstruasi, R/ payudara tegang (+), R/ mual muntah (+). R/ keluar darah dari kemaluan (-). Os lalu ke bidan dan dikatakan hamil. Kemudian Os ke SpOG untuk control dan dikatakan hamil anggur, Os dianjurkan dirawat di RSAM. Os mengaku hamil 3 bulan. PP test (+). R/perut mules (-). Perdarahan dari kemaluan (-). Nyeri perut hebat (-)

Riwayat Haid Menarche Siklus haid Lamanya HPHT : 12 th : teratur (30 hari) : 5 hari : 30-08-2011

Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat tekanan darah tinggi sebelumnya (-). Riwayat mola sebelumnya (-)

5

Riwayat Perkawinan Menikah Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat Obstetri Tanggal 23 Januari 2011 lahir bayi perempuan dengan berat badan 2000 gram presentasi bokong ketika lahir, ditolong oleh bidan, anak meninggal 2 jam setelah lahir. September 2011 hamil ini Riwayat Kontrasepsi : -

II. Pemeriksaan Fisik Status Present KU Kesadaran Tekanan Darah Nadi RR T Status Generalis : Kepala Mata Thorax Jantung Paru Ekstremitas Akral agak dingin, edema tungkai (-/-) : S1S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-) : Simetris hemidiafragma sinistra et dextra Retraksi ICS (-). Vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-) : normochepali : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik(-/-) : tampak sakit sedang : Compos mentis : 90/60 mmHg : 120 x/menit : 28x/menit : 38,30C

Telinga/Hidung/Tenggorokan/Leher: tidak ditemukan kelainan

6 Status Ginekologi : PL : - Abdomen datar, lemas, simetris - Tinggi fundus uteri 2 jari di bawah procexus xiphoideus - Massa (-), Nyeri tekan (-) - Tanda cairan bebas (-) - Ballotement eksterna (-) - DJJ (-) Pemeriksaan inspekulo Porsio OUE Flour Fluksus Erosi Laserasi Polip : livide : tertutup : negatif : negatif : negatif : negatif : negatif

Pemeriksaan Dalam : - Mukosa licin - Porsio lunak - Posterior - OUE tertutup - CUT sesuai 20 minggu - AP kanan/kiri lemas - CD tak menonjol.

III. Pemeriksaan Penunjang Darah Rutin Hb pre operatif Hb post operatif Hematokrit LED Leukosit : : 9,5 g/dl : 7,3 g/dl : 24% : 75 : 5500/ul

7 Hitung jenis Trombosit Kimia Darah SGOT SGPT Ureum Creatinin Gula darah sewaktu Urin Lengkap Berat jenis Keton Hb Warna Kejernihan pH Protein Glukosa Bilirubin Urobilinogen Hasil USG Hasil foto toraks Laboratorium Hormon Tiroid Tanggal 29 November 2011 Hasil 7,5 nmol/L >24,9 g/dl 3nmol/L Hipertiroid : >10,85 g/dl Hipotiroid : 7 mIU/L : 1.015 : : +4 : kuning : keruh : 6 : + : : : : gambaran snow storm atau badai salju :Sel epitel leukosit eritrosit silinder kristal bakteri PP test : + : 5-10 /lpb : banyak : : : : (+) : 211 u/l : 480 u/l : 19 mg/dl : 0,4 mg/dl : 83 mg/dl : 0/2/0/77/18/3 : 123.000/ul

T3 T4 TSH

8 Tanggal 3 Desember 2011 Hasil 3,9 nmol/L 22,1 g/dl 3nmol/L Hipertiroid : >10,85 g/dl Hipotiroid : 7 mIU/L

T3 T4 TSH

Pemeriksaan imunologi dan serologi tanggal 29 November 2011 : Titer HCG : 26.214.400 mIU/ml

IV. Diagnosa Klinis Suspek Mola Hidatidosa disertai hipertiroid

V. Penatalaksanaan Terapi: - Perbaikan KU - Obs. Tanda vital ibu - Periksa Lab, Darah, Urin, HCG - R/ thoraks foto - R/ USG konfirmasi, konsul PDL - Periksa T3-T4 - Inj. Viccilin - O2 3 liter/mnt - Siapkan darah WB 2 kolf - Kuret hisap

VI. Laporan Operasi Diagnosis Pre-Operatif : Mola Hidatidosa Diagnosis Post-Operatif : Mola Hidatidosa

9 Macam Operasi : Kuretase Tanggal Operasi : 8 Desember 2011 Jam Operasi Dimulai : 10.30 WIB Jam Operasi Selesai : 11.30 WIB

Langkah operasi : - Dilakukan sepsis dan antisepsis - Pasang doek steril - Jepit porsio dengan cunam - Sondase uterus 18 cm. - Evakuasi jaringan dengan abortic tang. - Dilanjutkan dengan kuret tajam sampai kesan bersih. - Jaringan 400 cc, perdarahan : 150cc - Dilakukan pemeriksaan PA dari jaringan tersebut. Terapi Post Operasi - RL drip Ketorolac 1 amp - Cefotaxim 3x1 gr i.v. - Methergin 3 x 1 - SF 2 x 1 - Observasi keadaan umum, vital sign, kontraksi,perdarahan. - Transfusi WB hingga Hb > 8 gr/dl

VII. Hasil pemeriksaan patologi anatomi tanggal 10-12-2011 : Diterima jaringan tak teratur 60 cc sebagian terdapat jaringan bulat yang menyerupai buah anggur putih abu-abu kecoklatan rapuh. Sediaan menunjukkan jaringan desidua dengan villi chorialis yang stromanya mengalami degenerasi hidropik, dijumpai pula proliferasi trofoblas ringan. Tidak didapatkan tanda ganas. Kesimpulan : Mola hidatidosa

10 VIII. Prognosis Quo ad Vitam dubia ad bonam Quo ad fungtionam dubia ad bonam

IX. Follow Up Waktu Observasi Keluhan

09-12-11 Post kuretase hari I : sesak nafas, pusing, perdarahan pervaginam (-),

keluar jaringan seperti buah anggur (-), demam (+), flatus (+), BAK (+) normal, BAB (+) Keadaan umum: tampak sakit sedang Vital sign :

- Nadi: 120 kali per menit - Tekanan Darah: 90/40 mmHg - Pernafasan 40 kali per menit - Suhu 38,6oC Mata Abdomen Genitalia Terapi : : Konjungtiva anemis (+/+) : bising usus (+) normal : BAK (+), BAB (+) normal

IVFD RL xx gtt/menit Transfusi darah WB 1 kolf Oxygen 3L/menit Paracetamol 500mg Ciprofloxasin 500mg Metergin 2x1 tab PTU 100mg tab Propranolol 10 mg tab B complex tab cek HCG kuantitatif

11

Waktu

Observasi Keluhan

10-12-11 Post kuretase hari II : sesak nafas, pusing, perdarahan pervaginam (-),

keluar jaringan seperti buah anggur (-), demam (+), flatus (+), BAK (+) normal, BAB (+) Keadaan umum: tampak sakit sedang Vital sign :

- Nadi: 112 kali per menit - Tekanan Darah: 90/50 mmHg - Pernafasan 32 kali per menit - Suhu 38,3oC Mata Abdomen Genitalia Terapi : : Konjungtiva anemis (-/-) : bising usus (+) normal : BAK (+), BAB (+) normal

IVFD RL xx gtt/menit Oxygen 3L/menit Paracetamol 500mg Cefadroxil 500mg Metergin PTU 100mg tab Propranolol 10 mg tab B complex tab

Waktu

Observasi Keluhan

10-12-11 Post kuretase hari III : sesak nafas (-), pusing (-), perdarahan pervaginam (-

), keluar jaringan seperti buah anggur (-), demam (+), flatus (+), BAK (+) normal, BAB (+) Keadaan umum: tampak sakit sedang Vital sign :

12 - Nadi: 88 kali per menit - Tekanan Darah: 100/60 mmHg - Pernafasan 24 kali per menit - Suhu 37,3oC Mata Abdomen Genitalia Terapi : : Konjungtiva anemis (-/-) : bising usus (+) normal : BAK (+), BAB (+) normal

Cefadroxil 500mg PTU 100mg B complex tab (pasien boleh pulang oleh dokter ruangan)

Rencana setelah pasien pulang Kontrol ke poli kandungan dan kebidanan Cek kadar HCG serum tiap minggu selama 3 minggu berturut-turut Tiap 2 minggu sampai bulan ke 2 dan 3 Tiap bulan sampai bulan ke 4 Tiap 3 bulan sampai 2 tahun.

II. Analisa Kasus 1. Apakah diagnosis kasus ini sudah tepat ? Penderita didiagnosis suspek mola hidatidosa + hipertiroid+ anemia Dikatakan suspek mola hidatidosa karena pada pasien hanya ditemukan gejala klinis yaitu amenore 3 bulan, hiperemesis, uterus lebih besar dari usia gestasi. Hipertiroid didiagnosa karena 7% penderita mola disertai hipertiroid. Dari gejala klinis didapatkan tanda gangguan kardiorespirasi yaitu sesak nafas, takipnea (40x/menit), takikardi ( N=120X/m), palpitasi, keringat berlebih. Dikatakan anemia karena dari hasil lab didapatkan Hb sebesar 9,5 g/dl.

13 2.Apakah penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat ?

Analisa Tindakan yang diambil sudah tepat karena pada kasus mola hidatidosa yang disertai dengan hipertiroid telah dilakukan : 1. Perbaikan keadaan umum Pemberian transfusi darah untuk mengatasi syok atau anemia dan menghilangkan atau mengurangi penyulit yaitu tirotoksikosis. 2. Pengeluaran jaringan mola Melakukan kuret hisap 3. Mengatasi hipertiroid - Pemberian Profil Tio Urasil 100mg tiap 6 jam - Pemberian propranolol 10-40 mg tiap 6 jam

14

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi Mola Hidatidosa Mola hidatidosa ialah kehamilan abnormal dengan ciri-ciri hampir seluruh vili chorialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik. Secara

maskroskopik mola hidatidosa mudah dikenali berupa gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih dengan ukuran bervariasi dari beberapa millimeter sampai 1 atau 2 cm. Gambaran histopatologik yang khas dari mola hidatidosa ialah edem stroma vili, tidak ada pembuluh darah pada vili/degenerasi hidropik dan proliferasi sel-sel trofoblas. (2) (5)

3.2. Epidemiologi Telah diketahui bahwa insidens molahidatidosa di berbagai negara berlainan, bahkan perbedaannya sangat menyolok. Di Indonesia dan negara sedang berkembang terutama Asia dan Afrika insidensnya masih sangat tinggi bila dibandingkan negara maju. Mengapa terdapat perbedaan yang demikian sampai saat sekarang belum diketahui dengan jelas. Perbedaannya dapat kita lihat di bawah ini. Tabel 1. Insidens molahidatidosa di beberapa kota di Indonesia No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Kota Bandung Jakarta Menado Padang Palembang Surabaya Semarang Ujung Pandang Yogyakarta Insidens 1 : 63 kehamilan 1 : 31 kehamilan 1 : 141 kehamilan 1 : 53 kehamilan 1 : 114 kehamilan 1 : 55 kehamilan 1 : 55 kehamilan 1 : 51 kehamilan 1 : 89 kehamilan

15 Tabel 2. Insidens molahidatidosa di berbagai negara No 1. 2. 3. 4. 6. 7. Negara Amerika Serikat Australia Belanda Filipina Jepang Malaysia Insidens 1 : 2500 kelahiran 1 : 695 kehamilan 1 : 1200 kehamilan 1 : 200 kehamilan 1 : 232 kelahiran 1 : 765 kehamilan

Dikutip dari Barnas B.9

Terlihat bahwa insidens molahidatidosa sangat tinggi di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara maju. Umumnya di negara kita diagnosis molahidatidosa dibuat berdasarkan gambaran makroskopik yang kemudian diperkuat dengan pemeriksaan patologi anatomi.8,9,13 Bila semua kasus abortus dilakukan

pemeriksaan patologi anatomi tentu akan ditemukan insidens yang lebih tinggi sesuai dengan pendapat Meyer, Mall dan Loa SB.30 Sedangkan frekuensi tertinggi molahidatidosa meningkat pada penderita berumur 20 30 tahun. Menurut Yen dan Mac Mahon, risiko menderita molahidatidosa lebih tinggi pada penderita berumur lebih dari 40 tahun. DiSaia mendapatkan insidens molahidatidosa lebih tinggi pada penderita berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun. Umur termuda dilaporkan 12 tahun dan umur tertua 57 tahun.10,20 Beberapa penulis mendapatkan hubungan molahidatidosa dengan paritas. Mathieu mendapatkan frekuensi tertinggi pada primigravida, sedangkan Tan dan Lean mendapatkan frekuensi tertinggi pada paritas 6 atau lebih.31 Junaidi dan Martaadisubrata mendapatkan frekuensi tertinggi pada paritas 4.4 Harahap

menyatakan bahwa kemungkinan menderita molahidatidosa makin besar dengan meningkatnya paritas.9 Tetapi Meir Matalon dan Yen menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kenaikan insiden molahidatidosa dengan peningkatan paritas.31

16 Penderita dengan kehamilan mola mempunyai risiko untuk terjadinya kehamilan mola juga pada kehamilan berikutnya. Insiden molahidatidosa ulangan tersebut dilaporkan sebesar 0,6-2,0% dari seluruh kehamilan yang terjadi setelahnya di Amerika Utara dan Asia. Penderita dengan kehamilan molahidatidosa ulangan tersebut mempunyai risiko yang meningkat menjadi penyakit trofoblas ganas yang persisten pada fase penyakit mola berikutnya.32

3.3. Patofisiologi Mola Hidatidosa Mola hidatidosa diduga muncul dari trofoblas ekstraembrionik, yang terbentuk pada peristiwa fertilisasi abnormal, mola muncul dari jaringan fetal pada maternal host. Jaringan ini terbentuk dari sel sinsisiotrofoblas dan sitotrofoblas. Persamaan histologis antara vesikel mola dan vili korionik mendukung pernyataan bahwa vesikel mola terbentuk dari vili korionik. Penelitian morofologi lebih mendalam tentang ini dari spesimen histerektomi yang mengandung mola hidatidosa in toto menghasilkan konsep terbaru mengenai mola, yaitu berasal dari transformasi embryonic inner cell mass pada stadium sebelum melekat pada endoderm. Pada stadium embriogenesis ini, inner cell mass memiliki kemampuan untuk membentuk trofoblas, ektoderm atau endoderm. Kemampuan diferensiasi inner cell mass untuk menjadi ektoderm embrionik dan endoderm terganggu sehingga terbentuk jalur lain yang abnormal, jalur ini mengakibatkan perubahan trofoblas (dari inner cell mass) untuk menjadi sitotrofoblas dan sinsisiotrofoblas. Diferensiasi yang adekuat akan

mengakibatkan perubahan ekstraembrionik mesoderm dan vesikel mola dengan loose primitive mesoderm yang berada dalam inti villus. (3) (6) Janin biasanya meninggal akan tetapi villus yang membesar dan edematous tetap hidup dan terus tumbuh, gambaran yang ditunjukkan ialah seperti buah anggur. Jaringan trofoblas pada villus kadang berproliferasi ringan, namun kadang berproliferasi berat dan mengeluarkan hormon human chorionic gonadotropin (HCG) dalam jumlah yang lebih besar daripada kehamilan normal. (2)

17 Ada beberapa teori yang dianjurkan untuk menerangkan patogenesis dari penyakit trofoblas. (7) 1. Teori missed abortion Mudigah mati pada kehamilan 3-5 minggu (missed abortion). Hal ini mengakibatkan gangguan peredaran darah sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari villi dan akhirnya terbentuklah gelembunggelembung. Menurut Reynolds, kematian mudigah itu disebabkan kekurangan gizi berupa asam folat dan histidin. Hal ini kemudian menyebabkan gangguan angiogenesis. 2. Teori neoplasma Teori yang disampaikan oleh Park ini mengatakan bahwa sel trofoblas yang abnormal memiliki fungsi yang abnormal pula, dimana terjadi resopsi cairan yang berlebihan ke dalam villi sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigah.

3.4. Faktor Risiko Mola Hidatidosa Adapun faktor risiko terjadinya mola hidatidosa antara lain ialah : usia ibu, riwayat abortus sebelumnya, riwayat mola sebelumnya, kondisi geografis yang dikaikaitkan dengan nutrisi yang kurang baik, khususnya terjadi defisiensi diet protein, asam folat dan karoten.(3) (8)

Berikut adalah tabel yang menggambarkan

meningkatnya risiko terjadinya mola hidatidosa pada usia yang lebih tua. (9) Tabel 3. Hubungan antara Usia dengan Risiko Terjadinya Mola Hidatidosa Usia < 20 tahun 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 >50 Risiko 1.53 1.17 1 1.04 1.33 2.66 24.89 80.76

18 Risiko terjadinya kekambuhan sebesar 1-2 %. Setelah 2 atau lebih kehamilan mola maka risiko kekambuhan dilaporkan sebanyak 1 dari 6,5 hinga 1 dari 17,5.(10)

Ovum pada wanita lanjut usia lebih rentan terhadap fertilisasi yang(6)

abnormal.

3.5. Klasifikasi Mola Hidatidosa Mola biasanya terletak di rongga uterus, namun kadang-kadang mola terletak di tuba falopii dan bahkan ovarium. Ada tidaknya janin atau unsur embrionik pernah digunakan untuk mengklasifikasikan mola menjadi mola sempurna (komplit) dan parsial. Namun seperti ditekankan oleh Benirschke dan Kaufmann hal ini sulit dilakukan pada banyak kasus. (1) Secara sitogenetik mola hidatidosa dapat dibedakan menjadi dua macam yakni mola hidatidosa parsial dan sempurna atau komplit. Untuk memudahkan klasifikasi dapat dilihat pada tabel dibawah ini : (1) (11) (6) Tabel 4. Gambaran Mola Hidatidosa Parsial dan Sempurna Gambaran Kariotipe Mola parsial Umumnya 69 atau 69 XXY Patologi Janin Amnion, sel darah merah janin Edema vilus Proliferasi trofoblas P57Kip2 immunostaining Gambaran klinis Diagnosis Ukuran uterus Missed abortion Kecil untuk Gestasi mola masa 50 % besar untuk masa kehamilan Bervariasi, fokal Bervariasi,fokal, ringan sampai sedang Negatif Difus Bervariasi, sampai berat Positif ringan Sering dijumpai Sering dijumpai Tidak ada Tidak ada Mola Sempurna

XXX 46 XX atau 46 XY

kehamilan

19 Jarang Kista teka lutein Penyulit medis Penyakit pascamola Jarang Kurang dari 5-10 % 25-30 % Sering 20 %

a.

Mola hidatidosa sempurna Vili korionik berubah menjadi suatu massa vesikel-vesikel jernih. Ukuran vesikel bervariasi dari sulit dilihat sampai yang berdiameter beberapa sentimeter dan sering berkelompok-kelompok menggantung pada tangkai kecil. Temuan histologik yang diperlihatkan ialah : (1) 1. 2. 3. 4. Degenerasi hidropik dan pembengkakan stroma vilus. Tidak ada pembuluh darah di vilus yang membengkak. Proliferasi epitel trofoblas dengan derajat bervariasi. Tidak adanya janin dan amnion.

Pada pemeriksaan sitogenetik terhadap kehamilan mola sempurna menemukan komposisi kromosom yang umumnya ( 85 atau lebih) adalah 46 XX dengan

kromosom seluruhnya berasal dari ayah. Fenomena ini disebut sebagai androgenesis. Biasanya ovum dibuahi oleh sperma haploid yang kemudian memperbanyak kromosomnya sendiri setelah meiosis sehinga kromosomnya bersifat homozigot. Kromosom ovum tidak ada atau tidak aktif. Kadang-kadang pola kromosom suatu mola sempurna mungkin 46 XY yaitu heterozigot karena pembuahan dua sperma. (1) Lawler dkk melaporkan 202 mola hidatidosa dengan 151 mola sempurna dan 49 parsial. Ploidi genetik mola ini diringkas dalam tabel. Sebagian besar mola sempurna adalah diploid sedangkan sebagian besar mola parsial (86%) adalah triploid. Variasivariasi lain juga pernah dilaporkan misalnya 45 X. Oleh karena itu mola yang secara morfologis sempurna dapat terdiri dari berbagai pola kromosom. Risiko tumor trofoblastik yang berkembang dari mola sempurna adalah sekitar 20 persen. (1)

20

b.

Mola Hidatidosa Parsial Apabila perubahan mola hidatidosa bersifat fokal dan kurang berkembang dan mungkin tampak sebagian jaringan janin, biasanya paling tidak kantung amnion, hal ini diklasifikan sebagai mola hidatidosa parsial. Terjadi pembengkakan hidatidosa yang berlangsung lambat pada sebagian vili yang biasanya avaskular, sementara vili-vili berpembuluh lainnya dengan sirkulasi janinplasenta yang masih berfungsi tidak terkena. Hiperplasia trofoblastik lebih bersifat fokal daripada generalisata. (1) Seperti dipelihatkan dalam tabel kariotipe biasanya triploid 69 XXX; 69 XXY atau 69 XYY dengan satu komplemen haploid ibu dan biasanya dua komplemen haploid ayah. Janin pada mola parsial biasanya memiliki tanda-tanda triploid yang mencakup malformasi kongenital multipel dan hambatan pertumbuhan serta tidak viabel. Dalam laporan oleh Lawler dkk 86 % mola parsial bersifat triploid dan 2 % diploid. Jauniaux melaporkan bahwa 82 % janin dengan kariotipe triploid pada mola parsial memperlihatkan hambatan pertumbuhan simetris. Jauniaux dkk juga melaporkan satu kasus mola parsial dengan trisomi 13. Lembet dkk baru-baru ini melaporkan satu kasus mola hidatidosa parsial dengan kariotipe diploid dan janin hidup. (1) Gestasi kembar dengan mola sempurna serta janin dan plasenta normal kadangkadang salah didiagnosis sebagai mola parsial diploid. Sebaiknya keduanya diupayakan untuk dibedakan, karena kehamilan kembar yang terdiri dari satu janin normal dan satu mola sempurna memiliki kemungkinan 50 % untuk menyebabkan penyakit trofoblastik persisten dibandingkan dengan angka yang jauh lebih rendah pada mola parsial triploid. Van de Kaf dkk menjelaskan manfaat analisis sitogenetika interfase dan analisis sitometri DNA untuk membantu membedakan kedua hal ini. (1) Mola hidatidosa mungkin diikuti oleh tumor trofoblastik nonmetastatik pada 4 sampai 8 % kasus. Risiko koriokarsinoma yang berasal dari mola parsial sangat rendah. Seckel dkk melaporkan 3000 kasus mola parsial dan mencatat hanya 3 kasus koriokarsinoma. (1)

21

Vejerslev mengulas kehamilan dengan mola hidatidosa bersama dengan janin normal. Dari 113 kehamilan, 52 (45%) janin berkembang sampai usia gestasi 28 mingggu dan angka kelangsungan hidupnya 0 %. Karena itu dalam memberi konseling pada wanita yang hamil mola disertai janin, baik hasil pemeriksaan sitogenetik maupun ultrasonografi resolusi tinggi penting untuk dilakukan.(1)

Berikut merupakan gambaran pola fertilisasi mola parsial dan mola komplit :

Gambar 1. Pola fertilisasi mola komplit (A) dan mola parsial (B) (Schorge, 2008) (6)

3.6. Diagnosis Mola Hidatidosa Adanya mola hidatidosa harus dicurigai bila ada perempuan dengan amenorea, perdarahan pervaginam, uterus yang lebih besar dari tuanya kehamilan dan tidak ditemukan tanda kehamilan pasti seperti balotemen dan detak jantung anak. Untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan Human Chorionic Gonadotropin (hCG) dalam urin atau darah, baik secara bioassay, immunoassay maupun radioimunoassay. Kadar HCG pada mola jauh lebih tinggi daripada

22 kehamilan biasa. Peningkatan hCG, terutama dari hari ke 100 sangat sugestif. Bila belum jelas dapat dilakukan pemeriksaan USG , dimana kasus mola menunjukkan gambaran yang lebih khas berupa badai salju (snow flake pattern) atau gambaran seperti sarang lebah (honey comb). (2) (5)

Gejala & Tanda Pada permulaannya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan kehamilan biasa yaitu mual, muntah, pusing dan lain-lain, hanya saja derajat keluhannya sering lebih hebat. Selanjutnya perkembangan lebih pesat, sehingga pada umumnya besar uterus lebih besar dari umur kehamilan. Ada pula kasuskasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besar walaupun jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal ini perkembangan jaringan trofoblas tidak begitu aktif sehingga perlu dipikirkan kemungkinan adanya jenis dying mole. (5) Perdarahan merupakan gejala utama mola. Biasanya keluhan perdarahan inilah yang menyebabkan mereka datang ke rumah sakit. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi antara bulan pertama sampai ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat perdarahan bisa intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak sehingga menyebabkan syok atau kematian. Karena perdarahan ini umumnya pasien mola hidatidosa masuk dalam keadaan anemia. (5) Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein, baik unilateral maupun bilateral. Umumnya kista ini menghilang setelah jaringan mola dikeluarkan, tetapi ada juga kasus-kasus dimana kista lutein baru ditemukaan pada follow up. Dengan pemeriksaan klinis insidensi kista lutein kurang lebih 10,2% tetapi bila menggunakan USG angkanya meningkat sampai 50 %. Kasus mola dengan kista lutein memiliki risiko 4 kali lebih besar untuk mendapat degenerasi keganasan di kemudian hari daripada kasus-kasus tanpa kista. (5) Diagnosis yang paling tepat bila kita melihat keluarnya gelembung mola. Namun bila kita menunggu sampai gelembung mola keluar biasanya sudah terlambat karena pengeluaran gelembung umumnya disertai perdarahan yang banyak dan keadaan umum pasien menurun. Terbaik ialah bila dapat mendiagnosis mola sebelum keluar. (5)

23

Berikut adalah gambar makroskopis mola hidatidosa :

Gambar spesimen mola komplit. Perhatikan gambar villi korionik yang . menyerupai satu rangkai buah anggur (Schorge,2008) (6)

Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan hCG Kadar hCG pada mola jauh lebih tinggi daripada kehamilan biasa. Pemeriksaan hCG merupakan cara yang paling bermanfaat baik untuk diagnosis maupun untuk pemantauan pada penderita penyakit trofoblas. Human chorionic gonadotropin adalah hormon glikoprotein yang dihasilkan oleh plasenta yang memiliki aktivitas biologis mirip LH. Sebagian besar hCG diproduksi di plasenta, tetapi sintesanya juga terjadi pada ginjal janin. Begitu pula ada jaringan janin lain yang membentuk baik molekul hCG maupun molekul total hCG. Molekul hCG memiliki 2 rantai asam amino yakni hCG terdiri atas 92 asam amino dan rantai hCG terdiri atas 145 asam amino yang satu sama lain berikatan secara nonkovalen. Ikatan antara kedua rantai adalah dengan gaya elektrostatik dan hidrofobik dan vitro ikatan itu dapat dipisahkan. (11) Pada kehamilan normal pemeriksaan terhadap hCG dengan pereaksi yang menggunakan antibodi monoklonal terhadap hCG cukup dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan urin sebagai spesimen. Pemeriksaan hCG

24 serum secara kuantitatif pada kehamilan normal menunjukkan kadar hCG menunjukkan kadar hCG mencapai puncaknya pada trimester pertama kehamilan, yakni pada hari ke 60-70 kehamilan sebesar 100.000 mIU/ml. Pada mola hidatidosa dan tumor trofoblas gestasional umumnya kadar hCG jauh lebih tinggi daripada kadar puncak hCG pada kehamilan normal. (11) Pada penderita penyakit trofoblas gestasional pemeriksaan hCG serum harus dilakukan secara kuantitatif baik dengan pemeriksaan radio immunoassay maupun enzyme immunoassay. Pemilihan pereaksi untuk pemeriksaan hCG secara kuantitatif pada penyakit trofoblas gestasional harus spesifik terhadap hCG , karena rantai hCG mirip dengan rantai dari FSH, LH dan TSH yang merupakan hormon-hormon glikoprotein yang dihasilkan oleh lobus anterior hipofisis seperti sehinga dapat mengakibatkan terjadinya reaksi silang dengan hormon hipofisis tersebut, dan mengakibatkan kadar yang diperoleh bukan kadar HCG saja (false positive). (11) Berikut adalah gambar kurva regresi hCG normal yang menjadi parameter dalam penatalaksanaan lanjutan mola hidatidosa.

Gambar : Nilai rata-rata dari 95 % confidence limit yang menggambarkan kurva regresi normal gonadotropin korionik subunit pasca mola. (Cunningham, 2005) (1)

25

2. Ultrasonografi Dengan pemeriksaan USG untuk mengetahui terjadinya mola hidatidosa, maka dapat dibedakan antara mola komplit yang menunjukkan gambaran badai salju dan mola parsial yang menunjukkan gambaran Swiss Cheese. Gambaran sonoluscent yang terlihat berupa pulau-pulau kehitam-hitaman menunjukkan adanya perdarahan. Dengan alat USG yang resolusinya lebih baik maka gambaran yang tampak bukan gambaran badai salju melainkan gambaran jaringan vesikuler yang memperlihatkan adanya gelembung-gelembung mola dari berbagai ukuran. (11) Tidak ditemukannya fetus baik secara klinis maupun radiologis disertai dengan perdarahan mengakibatkan digunakannya istilah suspect mola hidatidosa. Pada kehamilan trimester I gambaran mola hidatidosa tidak spesifik, sehingga seringkali sulit dibedakan dari kehamilan anembrionik, missed abortion, abortus inkomplit atau mioma uteri. Untuk membedakan dengan missed abortion dapat digunakan tes sonde dari Acosta Sison. (11) Pada kehamilan trimester II gambaran mola hidatidosa umumnya lebih spesifik. Kavum uteri berisi massa ekogenik bercampur bagian-bagian anekoik vesikuler berdiameter antara 5-10 mm, gambaran tersebut dapat dibayangkan seperti gambaran sarang lebah (honey comb) atau badai salju (snow storm). Pada 20-50 % kasus dijumpai adanya massa kistik multilokuler di daerah adneksa. Massa tersebut berasal dari kista teka-lutein. (5) Apabila jaringan mola memenuhi sebagian kavum uteri dan sebagian berisi janin yang ukurannya relatif kecil dari umur kehamilannya disebut mola parsialis. Umumnya janin mati pada bulan pertama, tapi ada juga yang hidup sampai cukup besar atau bahkan aterm. (5)

26

Gambar sonogram mola komplit . Snowstorm dibentuk oleh vesikel plasenta multipel yang mengisi cavum uterus. (Schorge,2008) (6)

3. Histologis Pada pemeriksaan histopatologik tampak di beberapa tempat villi yang edema dengan sel trofoblas yang tidak begitu berproliferasi, sedangkan di tempat lain masih tampak villi yang normal. Umumnya mola parsialis mempunyai kariotipe triploid. Pada perkembangan selanjutnya jenis mola ini jarang menjadi ganas. (5) Upaya untuk mengaitkan gambaran histologis mola hidatidosa komplit dengan kecenderungan keganasan di kemudian hari umumnya mengecewakan. Hal ini seperti yang dilaporkan oleh Novak dan Seah yang tidak mampu menemukan keterkaitan secara tepat pada 120 kasus mola hidatidosa atau pada jaringan mola dari 26 kasus koriokarsinoma yang timbul setelah mola hidatidosa. (1)

27

Gambar 1. Mola hidatidosa komplit dengan villi hidropik, villi tidak memiliki pembuluh darah, proliferasi sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas yang hiperplastik (Lurain, 2010) (12)

Gambar 2. Mola hidatidosa parsial dengan vili korionik berbagai bentuk maupun ukuran, serta terdapat edem fokal, melibatkan pula stroma trofoblastik, villus aktif serta hiperplasia trofoblastik fokal. (Lurain, 2010). (12)

3 7. Komplikasi Mola Hidatidosa Komplikasi mola hidatidosa berupa perdarahan, preeklampsia, hipertiroidisme dan tirotoksikosis sedangkan komplikasi lanjut ialah terjadinya tumor trofoblas gestasional pascamola, bisa berupa penyakit trofoblas ganas jenis villosum (mola destruens) ataupun penyakit trofoblas ganas jenis non villosum (koriokarsimoma). (11)

28 Perdarahan sering mengancam akibat terlambatnya diagnosis mola ditegakkan, suatu hal yang sering dijumpai di negara-negara yang pelayanan obstetrinya belum baik seperti Indonesia. Pada penelitian Martaadisoebrata hanya 2,5 % dari 126 kasus mola yang tidadak disertai penyulit perdarahan. (11) Preeklampsia pada mola hidatidosa berbeda dengan kehamilan nonmola, preeklampsia pada mola hidatidosa sudah terjadi pada trimester pertama kehamilan. Menurut beberapa peneliti preeklampsia ditemukan pada penderita mola yang ukuran uterusnya lebih dari 24 minggu. Ketika USG sudah menjadi sarana pemeriksaan rutin pada trimester pertama kehamilan kejadian komplikasi ini akan berkurang karena mola hidatidosa akan terdiagnosis pada stadium yang lebih dini. (11) Hipertiroidisme pada mola hidatidosa terjadi akibat tingginya kadar hCG pada mola hidatidosa. Prevalensi hipertriodisme pada mola hidatidosa Berkowitz sebesar 7 % di New England Maartadisoebrata melaporkan sebesar 9,2 % di RSHS Bandung. (11) Pemicu tirotoksikosis atau hipertiroidisme pada mola adalah tingginya kadar hCG. Pada kadar hCG < 100.000 mIU/ml stimulasi tiroid hCG tidak tampak tetapi pada kadar yang sangat tinggi hal ini sangat nyata. Menurut Kariadi bahwa kadar hCG serum (RIA) > 300.000/ml pada penderita mola hidatidosa sebelum evakuasi jaringan mola merupakan faktor risiko yang sangat bermakna untuk terjadinya tirotoksikosis. Gambaran klinis pada mola tidak selalu jelas dan terdapat beberapa tingkat tirotoksikosis. (11) Overt tirotoksikosis : kadar hormon tiroid bebas sangat tinggi, tetapi kadar TSH sangat rendah. Tirotoksikosis klinis : keadaan seperti overt tirotoksikosis namun disertai gambaran klinis. Tirotoksikosis biokimiawi : bila tidak disertai gambaran klinis. Tirotoksikosis subklinis : Bila TSH < 0,10 mIU/ ml dan hormon tiroid normal. Adanya tirotoksiskosis pada penderita mola dapat diduga bila terjadi : (11) Nadi istirahat 10 kali/menit, tanpa adanya sebab yang jelas seperti Hb < 7 g % atau demam. dilaporkan

Trophoblastic Center, sedangkan

29 Besar uterus > 20 minggu. Diagnosis tirotoksis pada mola sangat penting dan perlu diatasi terlebih dahulu sebelum dilakukan upaya evakuasi jaringan, karena bila tidak maka evakuasi akan dapat menimbulkan kematian akibat krisis tiroid atau payah jantung akut.(11)

Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah emboli sel trofoblas ke paru-paru. Sebetulnya pada tiap kehamilan selalu ada migrasi sel trofoblas ke paru-paru tanpa memberikan gejala apa-apa. Akan tetapi pada saat evakuasi mola kadangkadang jumlah sel trofoblas ini terlalu banyak jumlah sel trofoblastik dengan atau tanpa vilus struma yang terlepas dari uterus ke peredaran darah dikarenakan fetal maternal barrier memiliki kebocoran yang cukup besar sehingga elemen sel dan jaringan dapat beredar di sirkulasi. sehingga dapat menimbulkan emboli paruparu akut yang dapat mengakibatkan kematian (1) (3) (5)

3.8. Penatalaksanaan Mola Hidatidosa Pengelolaan mola hidatidosa dapat terdiri atas 4 tahapan berikut ini : yaitu perbaikan keadaan umum, pengeluaran jaringan mola, terapi profilaksis dengan sitostaantika, pemeriksaan tindak lanjut (follow up) : (7) 1. Perbaiki Keadaan Umum Dalam proses perbaikan keadaan umum dapat termasuk pemberian pemberian transfusi darah untuk mengatasi syok atau anemia dan menghilangkan atau mengurangi penyulit seperti preeklampsia atau tirotoksikosis. (5) 2. Pengeluaran jaringan mola Terdapat beberapa cara yaitu vakum kuretase atau histerektomi : a. Vakum kuretase Setelah keadaan umum diperbaiki dilakukan vakum kuretase. Untuk memperbaiki kontraksi diberikan pula uterotonika. Vakum kuretase dilanjutkan dengan kuretase dengan menggunakan sendok kuret biasa yang tumpul untuk mengeluarkan sisa-sisa konseptus dan agar jaringan miometrium yang ditumbuhi jaringan mola ikut terbawa; kerokan perlu

30 dilakukan secara hati-hati karena adanya bahaya perforasi. Sebelum tindakan kuret sebaiknya disediakan darah untuk menjaga apabila terjadi perdarahan yang banyak (11) Tujuh sampai sepuluh hari sesudahnya dilakukan kerokan ulangan dengan kuret tajam agar ada kepastian bahwa uterus sudah benar-benar kosong dan untuk memeriksa tingkat proliferasi sisa-sisa trofoblas dan mengetahui ada tidaknya infiltrasi jaringan mola ke miometrium. Makin tinggi tingkat proliferasi, makin perlu waspada terhadap kemungkinan keganasan. (2) (11) Di RSHS pada era 1970 kuretase dilakukan 2 kali dengan interval 2 minggu. Namun dewasa ini, tindakan kuret cukup dilakukan satu kali saja, asal bersih karena ukuran uterus pada kebanyakan kasus mola hidatidosa tidak terlalu besar seringkali kuretase dengan sendok kuret dilakukan segera setelah pengosongan uterus dengan kuret vakum. (7) (11) Direkomendasikan mengguanakan kanula 12 mm jika uterus lebih besar dari usia gestasi 14 minggu, salah satu tangan diletakkan di fundus uteri dan memijat fundus uteri untuk stimulasi kontraksi uterus dan menurunkan risiko perforasi. USG intraoperatif juga dapat digunakan untuk mendokumentasikan bahwa cavum uteri telah dikosongkan. (6)

b. Histerektomi Tindakan ini dilakukan pada perempuan yang telah cukup umur dan cukup anak. Alasan untuk histerektomi ialah karena umur tua dan paritas tinggi merupakan faktor predisposisi terjadinya keganasan. Batasan dipakai

adalah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang bahwa pada sediaan histerektomi bila dilakukan permeriksaan histopatologi sudah tampak adanya tanda-tanda keganasan berupa mola invasif/koriokarsinoma.(5)

Tujuan histerektomi ialah untuk mengurangi kemungkinan timbulnya keganasan dan bila kemudian terjadi koriokarsinoma maka derajat skor prognostik akan lebih rendah sehingga sitostatika yang diperlukan akan lebih sederhana dan kurang toksis serta biayanya menjadi lebih ringan. (11)

31 Meskipun kemungkinan metastasis setelah dilakukan histerektomi menurun dari 20 % menjadi 3,5 % namun histerektomi tidak dapat mencegah metastasis, sehingga pasien tetap memerlukan tindak lanjut dengan penilaian kadar hCG. (3) Sebelum mola dikeluarkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan rontgen paru-paru untuk menentukan ada tidaknya metastasis di tempat tersebut. Setelah mola dilahirkan, dapat ditemukan bahwa kedua ovarium membesar mejadi kista teka-lutein. Kista-kista ini tumbuh karena pengaruh hormonal, nantinya akan mengecil sendiri. (2) Induksi persalinan dengan prostaglandin, oksitosin, instilasi intramniotik dari prostaglandin atau cairan hipertonik bukan metode yang dapat dilakukan untuk evakuasi mola hidatidosa. (3)

c. Terapi profilaksis dengan sitostatika Terapi profilaksis ini masih kontroversial, kelompok yang setuju menyatakan perlunya pemberian terapi profilaksis pada kasus mola dengan risiko tinggi dan hal ini merupakan kebijakan yang masih diperlukan di negara-negara yang sedang berkembang karena sebagian besar masyarakatnya golongan sosio ekonomi rendah dan ketaatan penderita untuk mengikuti follow up secara ketat sulit diharapkan. Goldstein berpendapat bahwa pemberian sitostatika profilaksis dapat menghindarkan keganasan dengan metastasis serta mengurangi koriokarsinoma di uterus sebanyak 3 kali. (7) (11) Kriteria Mola Hidatidosa Risiko Tinggi di RSHS : (11) Ukuran Uterus > 20 minggu Umur penderita > 35 tahun Hasil PA (kuretase menunjukkan gambaran proliferasi trofoblas berlebihan). HCG preevakuasi 100.000 mIU/ml (RIA/IRMA) Tangtrakul dkk menyarankan pemberian kemoterapi profilakis pada penderita mola pasca evakuasi bila preevakuasi ditemukan uterus yang lebih besar dari umur kehamilan, umur penderita > 40 tahun dan adanya kista lutein. (11)

32 Di RSHS pemberian kemoterapi profilaksis pada mola risiko tinggi dengan pemberian kemoterapi tunggal berupa (11) : - Methotrexate (MTX) 20 mg/hari IM dan asam folat 5mg/hari IM yang diberikan 12 jam setelah pemberian MTX, keduanya diberikan 5 hari berturut-turut - Actinomycin D 0,5 mg/hari IV diberikan selama 5 hari berturut-turut. Kelompok yang tidak setuju terhadap terapi profilaksis sitostatika ini menyatakan bahwa pemberian sitostatika profilaksis dianggap memiliki efek samping obat dan dapat terjadi resistensi bila kelak diperlukan pemberian sitostatika untuk terapi TTG.(11)

Namun berdasarkan pengalaman di RSHS

ternyata efek samping MTX pada 18 penderita yang memperoleh MTX profilaksis hanyalah berupa stomatitis (10 %) dan rambut rontok (2 %), sedangkan sisanya tidak menunjukkan efek samping. (11)

d. Pengamatan Lanjutan Pengamatan lanjutan pada wanita dengan mola hidatidosa yang uterusnya dikosongkan sangat penting karena adanya kemungkinan timbulnya tumor ganas (sekitar 20 %). Anjuran untuk semua penderita pascamola dilakukan

kemoterapi untuk mencegah timbulnya keganasan, masih belum diterima oleh semua pihak. (2) Pada penderita mola risiko rendah follow up (pengamatan lanjutan) dilakukan 2 minggu pasca evakuasi dan pada mola risiko tinggi dimulai 2 minggu setelah mendapat kemoterapi profilaksis. Pada pengamatan lanjutan yang perlu dilakukan : (11)

e. Follow up Mulai minggu ke 2 sampai minggu ke 12 pascaevakuasi penderita dianjurkan untuk melakukan follow up setiap 2 minggu. Pemeriksaan yang dilakukan ialah :(11)

1. 2.

Pemeriksaan hCG dengan cara RIA/IRMA atau EIA Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan :

33 - Besar dan involusi uterus - Ada tidaknya perdarahan (per vaginam dan atau hemaptoe) - Ada tidaknya tanda-tanda metastasis (vagina, paru-paru, dll) Pada kasus yang tidak menjadi ganas kadar hCG cepat turun menjadi negatif dan tetap negatif nantinya. Pada awal pascamola dapat dilakukan tes kehamilan biasa, akan tetapi setelah tes hamil biasa menjadi negatif, maka perlu dilakukan pemeriksaan radio-immunoassay hCG dalam serum. Pemeriksaan yang peka ini dapat menemukan hormon dalam kuantitas rendah. Follow up dilakukan dengan pola yang sama sampai minggu ke-12 pascaevakuasi jaringan mola dan bila pada minggu ke-12 kadar hCG 5mIU/ml dilanjutkan dengan tahapan dibawah ini. (2) (11) Periode paling kritis adalah 4-6 minggu pasca evakuasi. Meskipun kadar hCG biasanya normal kembali dalam dalam 1-2 minggu pasca evakuasi, kadar hCG harus normal antara 8 minggu pasca evakuasi. minggu. (13). Mulai bulan ke-4 sampai bulan ke-6 , tiap bulan dilakukan pemeriksaan dengan tata cara follow up yang sama dengan sebelumnya. Pada bulan keenam dilakukan toraks foto AP untuk menyingkirkan kemungkinan metastasis di paru-paru. Bila perkembangan baik selanjutnya (11) Mulai bulan ke-8 sampai bulan ke-12 dianjurkan follow up setiap 2 bulan. Lalu bulan kedua belas dilakukan lagi foto toraks AP. (11)(3)

Rata-rata

waktu yang

dibutuhkan untuk kadar hCG normal pertama kali setelah evakuasi adalah 9

Namun apabila terdapat pertumbuhan jaringan trofoblas baru yang diketahui dengan tanda klinis dan terdapat peningkatan hCG yang ditetapkan dengan kriteria Mozisuki dkk yakni : (11) Kadar hCG 1000 mIu/ml pada minggu ke-4 Kadar hCG 100 mIu/ml pada minggu ke-6 Kadar hCG 30 mIu/ml pada minggu ke-8

Maka penderita dikelola sebagai tumor trofoblas gestasional. Pemeriksaan CT scan juga dianjurkan bila dicurigai terdapat tanda metastasis ke otak. (11)

34

Setelah periode pemantauan selesai, kehamilan diperbolehkan. Setelah mencapai kadar hCG yang tak terdeteksi, risiko relaps mola hidatidosa sangat rendah dan mencapai nol. Indikasi memulai terapi selama periode pemantau adalah : (1) (3) a. Peningkatan titer hCG selama 2 minggu berturut-turut atau kadar yang konstan selama 3 minggu berturut-turut b. Peningkatan titer hCG pada minggu 15 setelah evakuasi c. Penigkatan titer hCG setelah mencapai level normal d. Perdarahan pasca evakuasi Adanya peningkatan titer hCG menandakan adanya proliferasi trofoblast yang kemungkinan besar maligna terkecuali wanita tersebut mengalami kehamilan (1) Penderita dianggap sembuh bila sampai dengan follow up 12 bulan tidak ada tanda pertumbuhan baru jaringan trofoblas atau bila penderita ternyata sudah hamil normal lagi kurang dari 12 bulan setelah evakuasi mola. Adanya kehamilan normal dibuktikan dengan pemeriksaan, termasuk USG. Pengertian sembuh tidak berarti bahwa tidak mungkin terjadi TTG di masa mendatang karena sifat sel trofoblas dorman. (11)

3.9. Kontrasepsi Pasca Evakuasi Mola Hidatidosa

Di RSHS selama follow up sampai 12 bulan pasca mola hidatidosa penderita dianjurkan mengunakan KB kondom. Pemakaian IUD tidak dianjurkan karena efek samping perdarahan pada akseptor IUD sehingga akan menyulitkan diagnosis adanya pertumbuhan baru jaringan trofoblas, sedangkan penggunaan KB hormonal tidak dianjurkan karena dampaknya terhadap timbulnya TTG pascamola masih kontroversial, sehingga dianggap lebih aman menggunakan KB kondom. Dikatakan dari penelitian Stone dkk bahwa pil KB dapat memperlambat turunnya kadar hCG. Namun dari penelitian Berkowitz dkk dinyatakan bahwa pil KB tidak meningkatkan kejadian TTG pada penderita pascamola (p > 0,10 ) .(11)

Begitu pula menurut penelitian Deicas dkk

dinyatakan pada 162 wanita dengan mola hidatidosa dan 137 dengan tumor

35 trofoblas ditemukan bahwa 33 % wanita yang menggunakan kontrasepsi oral akan mengalami tumor, sedangkan yang tidak menggunakan akan mengalami tumor sebanyak 57 %. (1) Pemberian pil kontrasepsi estrogen-progesteron berguna dalam dua hal : 1) mencegah kehamilan baru 2) menekan pembentukan LH oleh hipofisis, yang bereaksi silang dengan beberapa tes hCG. Apabila tingkat kadar hCG tidak turun dalam 3 minggu berturut-turut, atau bahkan malah meningkat dapat diberikan kemoterapi ataupun histerektomi. (2) (1)

3.10. Prognosis Mola Hidatidosa Kematian pada mola hidatidosa disebabkan karena perdarahan, infeksi, eklampsia, payah jantung atau tirotoksikosis. Di negara maju kematian karena mola hampir tidak ada lagi, tetapi di negara berkembang masih cukup tinggi yakni berkisar antara 2,2 dan 5,7 %. Sebagian besar dari pasien mola akan sehat kembali setelah jaringannya dikeluarkan, tetapi ada sekelompok wanita yang kemudian menderita keganasan yakni koriokarsinoma. Persentase keganasan yang dilaporkan berkisar antara 5,56 %.(7)

Kecenderungan terjadinya tumor

trofoblas meningkat sebesar 40 % jika terdapat satu dari gejala dibawah ini : (11) - Kadar hCG preevakuasi 100.000 mIU/ml - Besar uterus >20 minggu - Kista teka lutein dengan diameter > 6 cm

Sedangkan yang tidak memiliki salah satu tanda diatas yang hanya memiliki risiko sebesar 4 %. Ekspresi Human telomerase reverse transcriptase (hTERT) pada uterus yang mengalami mola komplit dinyatakan sebagai marker penyakit yang persisten (14) Terjadinya proses keganasan bisa berlangsung antara 7 hari sampai 3 tahun pasca mola, tetapi yang paling banyak dalam 6 bulan. Kemampuan reproduksi pascamola , tidak banyak berbeda dari kehamilan lainnya. Anak-anak yang dilahirkan setelah mola hidatidosa ternyata umumnya normal. (7)

36

BAB IV KESIMPULAN Pasien Ny. I. 27 tahun dikatakan suspek mola hidatidosa karena pada pasien hanya ditemukan gejala klinis yaitu amenore 3 bulan, hiperemesis, uterus lebih besar dari usia gestasi. Berdasarkan pemeriksaan hCG urine diperoleh hasil (+). Hipertiroid didiagnosa karena didapatkan tanda gangguan kardiorespirasi yaitu sesak nafas, takipnea (40x/menit), takikardi ( N=120X/m), palpitasi, keringat berlebih. Dikatakan anemia karena dari hasil lab didapatkan Hb sebesar 9,5 g/dl. Penatalaksanaan yang diberikan ialah perbaikan keadaan umum dengan perbaikan keadaan umum, pengeluaran jaringan mola dengan kuret hisap, dan mengatasi hipertiroid. Setelah kuret dilakukan, lalu jaringan tersebut diperiksa histopatologi kemudian diperoleh hasilnya sebagai mola hidatidosa. Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam.

37

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F. Gary, et al. Obstetri Williams. Volume 2.Edisi 21. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005. 2. Winknojosastro, Hanifa, Saifuddin, Abdul Bari and Rachimhadhi, Trijatmo Ilmu Kandungan.Edisi Kedua.. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2007. 3. De Cherney, Alan H. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth Edition. United States : Mc Graw Hill Companies, Inc, 2007. 4. Moore, Lisa E and Hernandez, Enrique. Hydatidiform Mole. eMedecine medscape, 2010. 5. Saifuddin, Abdul Bari, Rachimhadhi, Trijatmo and Wiknjosastro, Gulardi H. Ilmu Kebidanan.Edisi Keempat. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2008. 6. Schorge, Schaffer,Halvorson,Hoffman,Bradshaw,Cunningham. Williams Gynecology. Mc-Graw Hill's, 2008. 7. Prawirohardjo, Sarwono, et al. Ilmu Kebidanan.Edisi Ketiga. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2007. 8. Vorvick, Linda, Storck, Susan and David, Zieve. Hydatidiform Mole. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000909.htm. [Online] Adam.Inc, 2008. 9. Stenchever, Morton A, et al. Comprehensive Gynecology. 4th Edition. Mosby,Inc, 2002. 10. Sebire NJ, Fisher RA, Foskett M, et al. Risk of recurrent hydatidiform mole and subsequent pregnancy outcome following complete or partial hydatidiform molar pregnancy. s.l. : BJOG, 2003. 110(1):22-6.. 11. Bratakoesoema, Dinan S. Penyakit Trofoblas Gestasional. [book auth.] M.Farid Aziz, Andrijono and Abdul Bari Saifuddin. Onkologi Ginekolgi. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2006. 12. Gestational Trophoblastic Disease I: Epidemiology, Pathology,Clinical Presentation and Diagnosis of Gestational Trophoblastic Disease, and Management of Hydatidiform Mole. Lurain, John R. American Journal of Obstetrics & Gynecolog, 2010, American Journal of Obstetrics & Gynecolog.

38 13 Berek, JS. Berek & Novak's Gynecology.14th edition. Lippincott Williams & Wilkins.USA, 2007. 14. RS, Berkowitz and DS, Goldstein. Clinical Practice : Molar pregnancy. . New England Journal Medicine, 2009. 15. POGI. Standar Pelayanan Medik Obsteteri dan Ginekologi. Jakarta 2006. 16. Roggen, J.F. Graadt and Smit, V.T.H.B.M. Hydatidiform Mole. New England Medical Journal, 2001. Vol 345 No.7.

;