Cr Jiwa Abdi Meri

36
1 BAB 1 STATUS PASIEN I. IDENTITAS PASIEN Ny. K, perempuan, 24 tahun, Ibu Rumah Tangga, pendidikan terakhir SD, agama Islam, sudah menikah, alamat Way Kepayang Pesawaran, masuk rumah sakit tanggal 5 Agustus 2015. II. RIWAYAT PSIKIATRI ANAMNESIS PSIKIATRI (Allo-Autoanamnesis) Autoanamnesis dilakukan di ruang Melati pada tanggal 7 Agustus 2015 diperoleh dari Ny. K dan Alloanamnesis diperoleh dari Tn. U (ayah dan ibu pasien) via telepon. A. Keluhan Utama Mengamuk dan marah-marah. B. Keluhan Tambahan Sering melamun, sering menyendiri, mudah menangis, sering menyalahkan diri sendiri, ingin bunuh diri, susah tidur, nafsu makan berkurang, merasa memiliki susuk, dan merasa terangsang ketika menempel dengan benda-benda tertentu. C. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien diantar oleh orangtuanya ke RSJ Daerah Propinsi Lampung pada tanggal 5 Agustus 2015 karena mengeluhkan ngamuk dan marah-marah. Pasien merasa sangat bersalah 1

description

sr

Transcript of Cr Jiwa Abdi Meri

1

BAB 1

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Ny. K, perempuan, 24 tahun, Ibu Rumah Tangga, pendidikan terakhir SD, agama Islam,

sudah menikah, alamat Way Kepayang Pesawaran, masuk rumah sakit tanggal 5 Agustus

2015.

II. RIWAYAT PSIKIATRI

ANAMNESIS PSIKIATRI (Allo-Autoanamnesis)

Autoanamnesis dilakukan di ruang Melati pada tanggal 7 Agustus 2015 diperoleh dari

Ny. K dan Alloanamnesis diperoleh dari Tn. U (ayah dan ibu pasien) via telepon.

A. Keluhan Utama

Mengamuk dan marah-marah.

B. Keluhan Tambahan

Sering melamun, sering menyendiri, mudah menangis, sering menyalahkan diri

sendiri, ingin bunuh diri, susah tidur, nafsu makan berkurang, merasa memiliki susuk,

dan merasa terangsang ketika menempel dengan benda-benda tertentu.

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien diantar oleh orangtuanya ke RSJ Daerah Propinsi Lampung pada tanggal 5

Agustus 2015 karena mengeluhkan ngamuk dan marah-marah. Pasien merasa sangat

bersalah terhadap dirinya terutama karena kondisi fisiknya sehingga pasien ingin

pindah dari lingkungan sekitarnya, banyak melamun, merasa kesepian, bersedih dan

menyendiri, bahkan pasien merasa hidupnya sia-sia dan putus asa sehingga timbul

rasa ingin bunuh diri, tapi pasien tidak pernah melakukan percobaan bunuh diri

karena tahu hal tersebut adalah dosa dan tidak menyelesaikan masalah. Pasien juga

mengeluhkan susah tidur dan nafsu makan mulai berkurang. Pasien juga mengatakan

bahwa sering terangsang jika bersentuhan dengan benda tertentu seperti ayunan dan

1

2

buah labu. Keluhan-keluhan tersebut dirasakan kembali sejak 1 minggu terakhir

dikarenakan pasien mulai merasa bosan minum obat dan merasa tidak sakit.

D. Riwayat Gangguan Dahulu

1. Riwayat gangguan psikiatri

4 tahun sebelumnya pasien pernah memiliki gangguan jiwa, ini yang kedua

kalinya dirawat di RSJ Daerah Propinsi Lampung. Pasien juga mengatakan rutin

mengambil obat bulanan.

2. Riwayat gangguan fisik

Riwayat trauma kepala disangkal, riwayat hipertensi disangkal, riwayat kencing

manis disangkal, riwayat infeksi dan penyakit berat lainnya disangkal, riwayat

kejang saat kecil disangkal.

3. Riwayat penggunaan zat psikoaktif / alkohol

Pasien tidak pernah merokok, minum-minuman keras dan alkohol.

E. Riwayat tumbuh kembang

1. Prenatal dan perinatal

Keluarga pasien hanya menyampaikan pasien lahir normal dan dibantu oleh bidan

namun tidak mengetahui berat badan lahir. Pasien lahir dalam keadaan sehat pada

tahun 1991.

2. Masa kanak awal (0-3 tahun)

Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien tidak pernah terdapat masalah

perkembangan.

3. Masa kanak pertengahan (3-11 tahun)

Pada masa ini, pasien tidak memiliki banyak teman karena sering diejek secara

fisik.

2

3

4. Masa kanak akhir dan remaja

Pasien melewati masa kanak dan remaja berbeda dari anak seusianya karena tidak

memiliki banyak teman.

F. Masa-masa dewasa

1. Riwayat pendidikan

Pasien lulusan SD, tidak pernah tinggal kelas selama pendidikan. Ia menempuh

SD dalam kurun waktu enam tahun dan tidak melanjutkan ke jenjang selanjutnya.

2. Riwayat pekerjaan

Pasien seorang ibu rumah tangga.

3. Riwayat Reproduksi

Menarche usia 15 tahun

4. Riwayat Pernikahan

Pasien telah menikah pada tahun 2010.

5. Riwayat Kehidupan Keluarga

Pasien merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Pasien tinggal dengan

kedua orangtuanya sejak lahir. Pasien telah bercerai dari suaminya sejak 2013.

Sebelum masuk RSJ pasien hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga, kurang aktif

dalam organisasi sosial apapun yang ada di lingkungannya. Pasien termasuk hidup

dalam status ekonomi cukup, kedua orang tua pasien bekerja sebagai petani.

Pasien juga tidak terlalu dekat dengan saudara ataupun anggota keluarga lain yang

tinggal serumah dengan pasien.

3

4

Tn U Ny. M

Ny.KTn S

Ket:

: Laki- laki

: Perempuan

: Laki- laki sudah meninggal

: Perempuan Sudah meninggal

Ny.K: Penderita dengan gangguan mental

: Sudah Terpisah

: Tinggal Serumah

6. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga tidak ada yang mengalami keluhan gangguan jiwa, riwayat DM,

Hipertensi dan penyakit berat lainnya disangkal.

4

5

7. Aktivitas sosial

Pasien memiliki hubungan sosial yang kurang baik dengan lingkungan tempat

tinggal pasien mengaku bahwa sering menjadi bahan ejekan oleh masyarakat

lingkungan sekitarnya karena tampilan fisiknya. Pasien sering menyendiri dan

merasa kesepian di rumah karena pasien merasa orang tua dan keluarga juga

tidak pernah mendukung dan lebih sering memarahinya, sehingga pasien merasa

lebih baik pindah dari lingkunganya, pasien juga sering merasa lebih baik mati

daripada harus menghadapi lingkungan dan keluarganya. Pasien juga merasa

memiliki susuk yang tidak mau dilepas oleh pamannya sehingga pasien sering

malas untuk melakukan aktivitas apapun, sehingga pasien sering melamun.

8. Riwayat sosial ekonomi

Pasien saat ini tidak bekerja, sehari- hari hanya tinggal di rumah dan kadang-

kadang membantu orang tuanya.

9. Riwayat agama

Pasien beragama Islam.

F. Persepsi Pasien tentang dirinya

Pasien merasa dirinya tidak mengalami gangguan jiwa, pasien selalu merasa dirinya

jelek dan tidak menarik serta memiliki banyak kekurangan. Ia juga merasa orang lain

tidak mengerti tentang dirinya dan tidak menyukai dirinya.

III. STATUS PSIKIATRI

A. Deskripsi Umum

1. Penampilan :

Seorang perempuan terlihat sesuai usianya memakai seragam RSJ Prov.

Lampung, penampilan cukup rapih, perawakan pendek, kurus, kulit kuning

langsat, rambut hitam tidak panjang dan rapi, kuku pendek dan kebersihan diri

baik

2. Kesadaran : compos mentis

3. Perilaku dan aktivitas psikomotor

5

6

Selama wawancara pasien duduk dengan tenang dan kontak mata dengan

pemeriksa baik, terlihat bisa terawa, tersenyum dan mampu menyampaikan apa

yang dirasakan.

4. Pembicaraan

Spontan, intonasi cukup, volume cukup, kualitas cukup, kuantitas cukup,

artikulasi cukup jelas.

5. Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif

B. Suasana perasaan

1. Mood : Hipotimia

2. Afek : Terbatas mengarah ke tumpul

3. Keserasian : appropiate

C. Fungsi kognitif (Intelektual)

1. Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan keceradasan : sesuai dengan taraf

pendidikan pasien

2. Daya konsentrasi : baik

3. Daya Ingat : jangka segera, jangka pendek, jangka panjang baik

4. Orientasi : waktu, tempat, orang : baik

5. Pikiran abstrak : baik

D. Persepsi

1. Halusinasi : Tidak ditemukan

2. Ilusi : tidak ada

3. Depersonalisasi : tidak ada

4. Derealisasi : tidak ada

E. Pikiran

1. Bentuk pikir :

Non-Realistik

2. Proses berpikir

Produktivitas : baik

Kontuinitas: koheren

Relevan : relevan

Hendaya berbahasa : tidak ada

6

7

3. Isi pikiran

Waham bersalah (-)

Ide suicide (+)

4. Daya Nilai

Norma sosial : baik

Uji daya nilai : baik

Penilaian realitas : baik

F. Tilikan

Tilikan derajat 1, pasien menyangkal dirinya sakit jiwa dan pasien tidak mengetahui

apa penyakitnya sehingga dibawa ke rumah sakit.

IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

a. Tanda-tanda vital:

TD = 130/80 mmHg

N = 80x/menit

P = 16x/menit

S = afebris

b. Pemeriksaan Fisik

Mata : tidak ditemukan kelainan

Hidung : tidak ditemukan kelainan

Telinga : tidak ditemukan kelainan

Paru : tidak ditemukan kelainan

Jantung : tidak ditemukan kelainan

Abdomen : tidak ditemukan kelainan

c. Status Neurologis

Sistem sensorik : dalam batas normal

Sistem motorik : dalam batas normal

Fungsi luhur : dalam batas normal

d. Pemeriksaan Laboratorium

7

8

Tanggal 05 Agustus 2015

Hemoglobin : 13 g/dl

Eritrosit : 4,1 juta sel/mm

Leukosit : 7.500 sel/mm

Trombosit : 302.000 sel/mm

SGOT : 39 U/I

SGPT : 47 U/I

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA

Ny. K, perempuan, 24 tahun, Ibu Rumah Tangga, pendidikan terakhir SD, agama

Islam, sudah menikah, alamat Way Kepayang Pesawaran, masuk rumah sakit tanggal

5 Agustus 2015.

Seorang perempuan terlihat sesuai usianya memakai seragam RSJ Prov. Lampung,

penampilan cukup rapih, perawakan pendek, kurus, kulit kuning langsat, rambut

hitam tidak panjang dan rapi, kuku pendek dan kebersihan diri baik. Pasien diantar

oleh orangtuanya ke RSJ Daerah Propinsi Lampung pada tanggal 5 Agustus 2015

karena mengeluhkan ngamuk dan marah-marah. Pasien merasa sangat bersalah

terhadap dirinya terutama karena kondisi fisiknya sehingga pasien ingin pindah dari

lingkungan sekitarnya, banyak melamun, merasa kesepian, bersedih dan menyendiri,

bahkan pasien merasa hidupnya sia-sia dan putus asa sehingga timbul rasa ingin

bunuh diri, tapi pasien tidak pernah melakukan percobaan bunuh diri karena tahu hal

tersebut adalah dosa dan tidak menyelesaikan masalah. Pasien juga mengeluhkan

susah tidur dan nafsu makan mulai berkurang. Pasien juga mengatakan bahwa sering

terangsang jika bersentuhan dengan benda tertentu seperti ayunan dan buah labu.

Keluhan-keluhan tersebut dirasakan kembali sejak 1 minggu terakhir dikarenakan

pasien mulai merasa bosan minum obat dan merasa tidak sakit.

4 tahun sebelumnya pasien pernah memiliki gangguan jiwa, ini yang kedua kalinya

dirawat di RSJ Daerah Propinsi Lampung. Pasien juga mengatakan rutin mengambil

obat bulanan. Riwayat trauma kepala disangkal, riwayat hipertensi disangkal, riwayat

kencing manis disangkal, riwayat infeksi dan penyakit berat lainnya disangkal,

8

9

riwayat kejang saat kecil disangkal. Pasien tidak pernah merokok, minum-minuman

keras dan alkohol.

Pasien merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Pasien tinggal dengan kedua

orangtuanya sejak lahir. Pasien telah bercerai dari suaminya sejak 2013. Sebelum

masuk RSJ pasien hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga, kurang aktif dalam

organisasi sosial apapun yang ada di lingkungannya. Pasien termasuk hidup dalam

status ekonomi cukup, kedua orang tua pasien bekerja sebagai petani. Pasien juga

tidak terlalu dekat dengan saudara ataupun anggota keluarga lain yang tinggal

serumah dengan pasien.

Riwayat prenatal dan perinatal pasien lahir dalam keadaan sehat Pada masa kanak

awal, pasien tidak pernah terdapat masalah perkembangan. Pada masa kanak

pertengahan hingga remaja pasien berbeda dari anak seusianya di mana pasien tidak

memiliki banyak teman karena sering diejek secara fisik. karena tidak memiliki

banyak teman. Pasien menempuh pendidikan SD selama enam tahun dan tidak

melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.

Pasien memiliki hubungan sosial yang kurang baik dengan lingkungan tempat tinggal

pasien mengaku bahwa sering menjadi bahan ejekan oleh masyarakat lingkungan

sekitarnya karena tampilan fisiknya. Pasien sering menyendiri dan merasa kesepian di

rumah karena pasien merasa orang tua dan keluarga juga tidak pernah mendukung

dan lebih sering memarahinya, sehingga pasien merasa lebih baik pindah dari

lingkunganya, pasien juga sering merasa lebih baik mati daripada harus menghadapi

lingkungan dan keluarganya. Pasien juga merasa memiliki susuk yang tidak mau

dilepas oleh pamannya sehingga pasien sering malas untuk melakukan aktivitas

dengan sekitarnya dan sering melamun.

Dari status mental, kesadaran pasien compos mentis, sikap pasien selama wawancara

kooperatif. Selama wawancara pasien tenang. kontak mata dengan pemeriksa baik,

terlihat bisa terawa, tersenyum dan mampu menyampaikan apa yang dirasakan. Pasien

berbicara spontan, intonasi cukup, volume cukup, kualitas cukup, kuantitas cukup,

artikulasi cukup jelas. Mood pasien hipotimia dengan afek terbatas mengarah ke

tumpul dan serasi. Bentuk pikiran nonrealistik, arus pikir koheren, produktivitas baik,

9

10

dengan kontinuitas baik, dan tidak didapatkan hendaya berbahasa. Pada isi pikir

terdapat waham bizar, ide bunuh diri. Pada penilaian fungsi kognitif, daya konsentrasi

baik, orientasi waktu,tempat dan orang baik, daya ingat jangka panjang, daya ingat

jangka menengah baik, jangka pendek, dan jangka segera juga baik. Penilaian pasien

dalam norma sosial, uji daya nilai tidak terganggu. Pasien merasa dirinya tidak sakit

hanya orang lain saja yang tidak mengerti akan dirinya.

VI. FORMULASI DIAGNOSIS

Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan perasaan atau mood, gangguan persepsi,

dan isi pikir yang bermakna serta menimbulkan suatu distress (penderitaan) dalam

kehidupan sosial pasien sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien ini mengalami

gangguan jiwa.

Berdasarkan data-data yang didapat memelalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan

rekam medik, tidak ditemukan riwayat demam tinggi atau kejang sebelumnya ataupun

kelainan organik. Hal ini dapat menjadi dasar untuk menyingkirkan diagnosis

gangguan mental organik (F.0) dan penggunaan zat psikoaktif (F.1). Diagnosis

ditegakkan berdasarkan anamnesis dengan pasien dan keluarga. Pada pasien

didapatkan gangguan afektif yaitu mood hipotimia, afek terbatas mengarah ke tumpul

dan kesesuaian appropriate. Keluhan disertai dengan perasaan sedih, murung, merasa

bersalah, hidup sia-sia, serta putus asa bahkan terlintas dipikirannya untuk mati, nafsu

makan berkurang. Dari gejala diatas didapatkan afek terbatas mengarah ke tumpul

yang menonjol disertai dua gejala depresif yang menonjol yaitu pasien tidak mampu

meneruskan kegiatan sosial, harga diri serta kepercayaan diri berkurang, gagasan

tentang rasa bersalah dan tidak berguna, gagasan untuk membahayakan diri, tidur

terganggu, dan nafsu makan berkurang yang terjadi lebih dari 2 minggu. Pada pasien

juga ditemukan gejala khas skizofrenia yaitu “delution of influence” di mana pasien

merasa dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan dari luar berupa susuk dan “delution

of perception” berupa anggapan suatu benda bisa membuatnya terangsang a sehingga

didapatkan aksis I diagnosis skizoafektif tipe depresi (F.25.1).

Aksis II tidak ada diagnosis dikarenakan pada autoanamnesis tidak didapatkan

gangguan tumbuh kembang pada usia kanak-kanak dan remaja. Pasien menyelesaikan

10

11

pendidikan SD nya dengan baik. Hal ini menyingkirkan diagnosis retardasi mental

(F.70).

Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan riwayat penyakit fisik. Maka,

pada aksis III tidak didapatkan gangguan medis umum.

Aksis IV stresor masalah ada pada masalah lingkungan sosial.

Aksis V GAF 60-51 pada saat pemeriksaan. Penilaian terhadap kemampuan pasien

untuk berfungsi dalam kehidupannya menggunakan skala GAF (Global Assessment of

Functioning). Pada saat dilakukan wawancara, skor GAF 60-51 = gejala sedang

(moderate) disabilitas sedang.

VII. EVALUASI MULTIAKSIAL

Aksis I : skizoafektif tipe depresif (F25.1), DD : depresif berat dengan

gejala psikotik (F32.3)

Aksis II : tidak ada diagnosis

Aksis III : tidak ada diagnosis

Aksis IV : masalah lingkungan sosial

Aksis V : GAF60-51 (saat ini)

VIII. DAFTAR PROBLEM

a. Organobiologik:  tidak ditemukan adanya kelainan fisik yang bermakna, tetapi

diduga terdapat ketidakseimbangan neurotransmitter.

b. Psikologik : ditemukan gangguan afektif berupa mood hipotimia dan afek

terbatas mengarah tumpul, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, ide

bunuh diri, delution of influence and perception.

c. Sosiologik : ditemukan kesulitan dalam berhubungan sosial dengan lebih suka

meyendiri sehingga dibutuhkan sosioterapi.

IX. PROGNOSIS

Faktor yang meringankan :

1. Tidak ada riwayat keluarga

Faktor yang memperberat:

1. Tidak ada dukungan lingkungan

2. Serangan berulang

3. Kesadaran akan penyakitnya kurang

11

12

a. Quo ad vitam : ad bonam

b. Quo ad functionam : dubia ad bonam

c. Quo ad sanationam : dubia ad malam

X. RENCANA TERAPI

a. Psikofarmaka :

Golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)

Sertraline 1 x 25 mg (pagi)

Golongan atipikal

Risperidon 2 x 1 mg selama 5 hari, dipertimbangkan peningkatan dosis berdasarkan

tanda dan gejala yang ditemukan

b. Psikoterapi Supportif

a. Pengenalan terhadap penyakitnya, manfaat pengobatan, cara pengobatan dan

efek samping pengobatan

b. Memotivasi pasien agar minum obat secara teratur dan rajin kontrol.

c. Membantu pasien untuk menerima kenyataan dan menghadapinya.

d. Mendorong pasien agar dapat kembali melakukan aktivitas sehari-hari

secara bertahap.

e. Menggali kemampuan yang ada pada diri pasien agar bisa dikembangkan.

c. Psikoedukasi

Kepada keluarga :

a. Memberikan pengertian dan penjelasan kepada keluarga pasien tentang

gangguan yang dialami pasien.

b. Menyarankan kepada keluarga pasien agar lebih berpartisipasi dalam

pengobatan pasien secara teratur seperti memberikan suasana/lingkungan

yang kondusif bagi penyembuhan dan pemeliharaan pasien, mengingatkan

pasien agar teratur minum obat, serta mengantar pasien saat pasien kontrol

12

13

BAB 2

PEMBAHASAN

a. Apakah diagnosis sudah tepat?

Menurut kami diagnosis pada kasus ini sudah tepat karena:

Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan suasana perasaan serta gangguan persepsi

dan isi pikir sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien ini mengalami gangguan jiwa.

AKSIS I

Berdasarkan data-data yang didapat memelalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan rekam

medik, tidak ditemukan riwayat demam tinggi atau kejang sebelumnya ataupun

kelainan organik. Hal ini dapat menjadi dasar untuk menyingkirkan diagnosis

gangguan mental organik (F.0) dan penggunaan zat psikoaktif (F.1). Diagnosis

ditegakkan berdasarkan anamnesis dengan pasien dan keluarga. Pada pasien didapatkan

gangguan afektif yaitu mood hipotimia, afek terbatas mengarah ke tumpul dan

kesesuaian appropriate. Keluhan disertai dengan perasaan sedih, murung, merasa

bersalah, hidup sia-sia, serta putus asa bahkan terlintas dipikirannya untuk mati, nafsu

makan berkurang. Dari gejala diatas didapatkan afek terbatas mengarah ke tumpul yang

menonjol disertai dua gejala depresif yang menonjol yaitu pasien tidak mampu

meneruskan kegiatan sosial, harga diri serta kepercayaan diri berkurang, gagasan

tentang rasa bersalah dan tidak berguna, gagasan untuk membahayakan diri, tidur

terganggu, dan nafsu makan berkurang yang terjadi lebih dari 2 minggu. Pada pasien

juga ditemukan gejala khas skizofrenia yaitu “delution of influence” di mana pasien

merasa dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan dari luar berupa susuk dan “delution of

perception” berupa anggapan suatu benda bisa membuatnya terangsang a sehingga

didapatkan aksis I diagnosis skizoafektif tipe depresi (F.25.1).

AKSIS II

Aksis II tidak ada diagnosis dikarenakan pada autoanamnesis tidak didapatkan

gangguan tumbuh kembang pada usia kanak-kanak dan remaja. Pasien menyelesaikan

pendidikan SD dengan baik. Hal ini menyingkirkan diagnosis retardasi mental

(F.70).

13

14

AKSIS III

Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan riwayat penyakit fisik. Dari

pemeriksaan laboratorium pasien juga tidak ada yang bermasalah pada aksis III tidak

ada diagnosis.

AKSIS IV

Pasien memiliki hubungan yang kurang baik dengan lingkungan tempat tinggalnya.

Pasien merasakan ketidaknyamanan di lingkungan sosialnya karena pasien sering

mendapatkan ejekan fisik dan intimidasi dari orang-orang sekitarnya sehingga aksis IV

stresor masalah lingkungan sosial.

AKSIS V

GAF60-51 pada saat pemeriksaan. Penilaian terhadap kemampuan pasien untuk

berfungsi dalam kehidupannya menggunakan skala GAF (Global Assessment of

Functioning). Pada saat dilakukan wawancara, skor GAF 60-51 = gejala sedang

(moderate) disabilitas sedang. Hal ini dikarenakan pada saat dilakukan pemeriksaan

kemampuan pasien secara umum cukup baik ditunjukkan dengan kontak mata, sikap,

serta pasien mampu berkomunikasi dengan cukup kooperatif.

b. Apakah rencana terapi sudah tepat?

Rencana terapi pada kasus ini sudah tepat. Berdasarkan buku ajar psikiatri FK UI,

pengobatan depresi adalah dengan farmakoterapi serta psikoterapi untuk menurunkan

banyaknya stressor dalam hidup pasien. Farmakoterapi yang dipilih untuk pasien ini

adalah Sertraline yang merupakan obat antidepresi golongan SSRI (Selective

Serotonoin Reuptake Inhibitors) dan obat antipsikotik golongan atipikal . Sertraline

dipilih karena obat ini memiliki efek kardiologik yang minimal dibandingkan obat

antidepresi golongan yang lain. Selain itu golongan SSRI juga memiliki efek samping

lain yang minimal, spektrum antidepresi yang luas, dengan gejala putus obat sangat

minimal, serta lethal dose yang tinggi (> 6000mg) sehingga relatif aman untuk pasien

ini yang berobat jalan.

Risperidon 2 x 1 mg per hari selama lima hari. Lalu dievalusi setiap dua minggu

mengenai kondisi pasien, naikan sampai dosis optimal, lalu dipertahankan sampai 8-12

minggu lalu diturunkan tiap dua minggu perlahan lahan selanjutnya dipertahankan

sampai dengan dua tahun. Alasan penggunaan risperidon, karena pada pasien ini

14

15

pengobatan yang pertama saat masuk RSJ pertama kali tidak bisa disebutkan oleh

pasien dan keluarga sehingga dipilih obat antipsikotik dengan efek samping yang kecil

dan dimulai dengan dosis paling kecil. Risperidon memiliki efek samping yang kecil

untuk terjadinya sindrom ekstrapiramidal dan efek sedatif, juga tidak membuat

perubahan fungsi kognitif pada pasien, dan obat ini juga mudah didapatkan.

Selain psikofarmaka, psikoterapi dan edukasi juga sangat diperlukan. Menurut

penelitian pengobatan hanya dengan obat tidak cukup untuk kesembuhan pasien, tetapi

juga harus diiringi oleh lingkungan keluarga yang mendukung dan sikap pasien

terhadap penyakit yang diderita. Pada pasien ini pengawasan dan perhatian sangat

kurang dari keluarga, sehingga pasien mengalami keluhan ini, maka itu harus selalu

diberikan edukasi kepada keluarga tentang pentingnya dukungan dari keluarga serta

perlu pengawasan pengobatan terhadap pasien jika kualitas hidup pasien ingin kembali

baik lagi.

c. Apakah prognosis sudah tepat?

Ada beberapa pertimbangan yang memperngaruhi prognosis pasien:

Faktor yang meringankan :

Tidak ada riwayat keluarga (keluarga pasien tidak ada yang mengalami gangguan

yang sama)

Faktor yang memperberat:

Tidak ada dukungan lingkungan

Serangan berulang

Kesadaran akan penyakitnya kurang

Pada pasien ini tidak didapatkan gangguan medis umum yang dapat mengancam

nyawanya maka prognosis quo ad vitam yaitu ad bonam.

Pada prognosis quo ad functionam yaitu dubia ad bonam dikarenakan pasien ini

merupakan pasien yang sebelumnya pernah mengalami keluhan yang sama dengan

respon pengobatan yang baik. Keluhan pada pasien ini berulang dikarenakan putus

obat, maka jika pengobatan dilanjutkan memungkinkan fungsi kembali membaik.

Pada prognosis quo ad sanationam yaitu dubia ad malam dikarenakan stresor pada

pasien berasal dari masalah lingkungan sosial. Selain itu, gangguan pasien ini

termasuk kronik karena sudah lebih dari 4 tahun. Hal ini kemungkinan akan

memperberat kemampuan pasien untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

15

20112010

16

RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT

16

lahir 20 thn 24 thn22 thn

1991 2013 Juli 2015 - sekarang

Keluhan tahun 2011 kembali muncul

Pasien tidak rutin minum obat

Menikah

Suka menyendiri, melamun di rumah

Marah-marah

Perilaku kacau

Merasa tidak berguna dan ingin mati

Susah tidur

Putus asa

19 thn

bercerai

GAF40-31 GAF70-61 GAF50-41 GAF60-51

17

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Gangguan Skizoafektif mempunyai gambaran baik skizofrenia maupun gangguan

afektif. Gangguan skizoafektif memiliki gejala khas skizofrenia yang jelas dan pada saat

bersamaan juga memiliki gejala gangguan afektif yang menonjol. Gangguan skizoafektif

terbagi dua yaitu, tipe manik dan tipe depresif.

Sejarah

Di tahun 1913 George H. Kirby dan pada tahun 1921 August Hoch keduanya

menggambarkan pasien dengan ciri campuran skizofrenia dan gangguan afektif (mood).

Karena pasiennya tidak mengalami perjalanan demensia prekoks yang memburuk, Kirby dan

Hoch mengklasifikasikan mereka di dalam kelompok psikosis manic-depresif Emil

Kraepelin. Di tahun 1933 Jacob Kasanin memperkenalkan istilah “gangguan skizoafektif”

untuk suatu gangguan dengan gejala skizofrenik dan gejala gangguan mood yang bermakna.

Pasien dengan gangguan ini juga ditandai oleh onset gejala yang tiba-tiba, seringkali pada

masa remajanya. Pasien cenderung memiliki tingkat fungsi premorbid yang baik, dan

seringkali suatu stressor yang spesifik mendahului onset gejala. Riwayat keluarga pasien

sering kali terdapat suatu gangguan mood. Kasanin percaya bahwa pasien memiliki suatu

jenis skizofrenia. Dari 1933 sampai kira-kira tahun 1970, pasien yang gejalanya mirip dengan

gejala pasien-pasien Kasanin secara bervariasi diklarifikasi menderita gangguan skizoafektif,

skizofrenia atipikal, skizofrenia dalam remisi, dan psikosis sikloid.4

Epidemiologi

Prevalensi seumur hidup dari gangguan skizoafektif adalah kurang dari 1 persen,

kemungkinan dalam rentang 0,5 sampai 0,8 persen. Namun, angka tersebut adalah angka

perkiraan, karena di dalam praktik klinis diagnosis gangguan skizoafektif sering kali

digunakan jika klinisi tidak yakin akan diagnosis. Prevalensi gangguan telah dilaporkan lebih

rendah pada laki-laki dibandingkan para wanita; khususnya wanita yang menikah; usia onset

untuk wanita adalah lebih lanjut daripada usia untuk laki-laki seperti juga pada skizofrenia.

Laki-laki dengan gangguan skizoafektif kemungkinan menunjukkan perilaku antisosial dan

memiliki pendataran atau ketidaksesuaian afek yang nyata.

17

18

Etiologi

Sulit untuk menentukan penyebab penyakit yang telah berubah begitu banyak dari

waktu ke waktu. Dugaan saat ini bahwa penyebab gangguan skizoafektif mungkin mirip

dengan etiologi skizofrenia. Oleh karena itu teori etiologi mengenai gangguan skizoafektif

juga mencakup kausa genetik dan lingkungan.

Penyebab gangguan skizoafektif adalah tidak diketahui, tetapi empat model

konseptual telah diajukan.

1. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe skizofrenia atau suatu tipe

gangguan mood.

2. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan ekspresi bersama-sama dari skizofrenia

dan gangguan mood.

3. Gangguan skizoafektif mungkin merupakan suatu tipe psikosis ketiga yang berbeda,

tipe yang tidak berhubungan dengan skizofrenia maupun suatu gangguan mood.

4. Kemungkinan terbesar adalah bahwa gangguan skizoafektif adalah kelompok

gangguan yang heterogen yang meliputi semua tiga kemungkinan pertama. Sebagian

besar penelitian telah menganggap pasien dengan gangguan skizoafektif sebagai suatu

kelompok heterogen.

Tanda dan Gejala

Pada gangguan Skizoafektif gejala klinis berupa gangguan episodik gejala gangguan

mood maupun gejala skizofreniknya menonjol dalam episode penyakit yang sama, baik

secara simultan atau secara bergantian dalam beberapa hari. Bila gejala skizofrenik dan

manik menonjol pada episode penyakit yang sama, gangguan disebut gangguan skizoafektif

tipe manik. Dan pada gangguan skizoafektif tipe depresif, gejala depresif yang menonjol.2

Gejala yang khas pada pasien skizofrenik berupa waham, halusinasi, perubahan dalam

berpikir, perubahan dalam persepsi disertai dengan gejala gangguan suasana perasaan baik itu

manik maupun depresif.2,3

Gejala klinis berdasarkan pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa

(PPDGJ-III):3 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua

gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):

18

19

a) “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam

kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun

kualitasnya berbeda ; atau “thought insertion or withdrawal” = isi yang asing dan

luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh

sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought broadcasting”= isi pikirannya

tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;

b) “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan

tertentu dari luar; atau “delusion of passivitiy” = waham tentang dirinya tidak

berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara

jelas merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau

penginderaan khusus). “delusional perception” = pengalaman indrawi yang tidak

wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau

mukjizat.

c) Halusinasi Auditorik: Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus

terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien pasein di antara

mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara

halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap

tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau

politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya

mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan

dunia lain).

e) Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh

waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan

afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)

yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau

berbulan-bulan terus menerus.

f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation),

yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme.

g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh

tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.

h) Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons

emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan

penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus

19

20

jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi

neuroleptika.

Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu

bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal). Harus ada suatu

perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dan

beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat,

hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed

attitude) dan penarikan diri secara sosial.

Diagnosis

Konsep gangguan skizoafektif melibatkan konsep diagnostik baik skizofrenia maupun

gangguan mood, beberapa evolusi dalam kriteria diagnostik untuk gangguan skizoafektif

mencerminkan perubahan yang telah terjadi di dalam kriteria diagnostik untuk kedua kondisi

lain.

Kriteria diagnostik utama untuk gangguan skizoafektif (Tabel 1) adalah bahwa pasien

telah memenuhi kriteria diagnostik untuk episode depresif berat atau episode manik yang

bersama-sama dengan ditemukannya kriteria diagnostik untuk fase aktif dari skizofrenia.

Disamping itu, pasien harus memiliki waham atau halusinasi selama sekurangnya dua

minggu tanpa adanya gejala gangguan mood yang menonjol. Gejala gangguan mood juga

harus ditemukan untuk sebagian besar periode psikotik aktif dan residual. Pada intinya,

kriteria dituliskan untuk membantu klinisi menghindari mendiagnosis suatu gangguan mood

dengan ciri psikotik sebagai suatu gangguan skizoafektif.

20

21

Tabel 1. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Skizoafektif (DSM-IV)

Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan Skizoafektif

A. Suatu periode penyakit yang tidak terputus selama mana, pada suatu waktu.

Terdapat baik episode depresif berat, episode manik, atau suatu episode

campuran dengan

gejala yang memenuhi kriteria A untuk skizofrenia.

Catatan: Episode depresif berat harus termasuk kriteria A1: mood terdepresi.

B. Selama periode penyakit yang sama, terdapat waham atau halusinasi selama

sekurangnya 2 minggu tanpa adanya gejala mood yang menonjol.

C. Gejala yang memenuhi kriteria untuk episode mood ditemukan untuk sebagian

bermakna dari lama total periode aktif dan residual dari penyakit.

D. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat

yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum.

Sebutkan tipe:

Tipe bipolar: jika gangguan termasuk suatu episode manik atau campuran (atau

suatu manik

suatu episode campuran dan episode depresif berat)

Tipe depresif: jika gangguan hanya termasuk episode depresif berat.

Tabel dari DSM-IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Ed. 4.

DSM-IV juga membantu klinisi untuk menentukan apakah pasien menderita

gangguan skizoafektif, tipe bipolar, atau gangguan skizoafektif, tipe depresif. Seorang pasien

diklasifikasikan menderita tipe bipolar jika episode yang ada adalah dari tipe manik atau

suatu episode campuran dan episode depresif berat. Selain itu, pasien diklasifikasikan

menderita tipe depresif.

21

22

Pada PPDGJ-III, gangguan skizoafektif diberikan kategori yang terpisah karena cukup

sering dijumpai sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja. Kondisi-kondisi lain dengan

gejala-gejala afektif saling bertumpang tindih dengan atau membentuk sebagian penyakit

skizofrenik yang sudah ada, atau di mana gejala-gejala itu berada bersama-sama atau secara

bergantian dengan gangguan-gangguan waham menetap jenis lain, diklasifikasikan dalam

kategori yang sesuai dalam F20-F29. Waham atau halusinasi yang tak serasi dengan suasana

perasaan (mood) pada gangguan afektif tidak dengan sendirinya menyokong diagnosis

gangguan skizoafektif.

Tabel 2. Pedoman Diagnostik Gangguan Skizoafektif berdasarkan PPDGJ-III

Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala

definitif adanya skizofrenia dan gangguan skizofrenia dan gangguan

afektif sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan (simultaneously),

atau dalam beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode

penyakit yang sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode

penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun episode manik

atau depresif.

Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia

dan gangguan afektif tetapi dalam episode penyaki yang berbeda.

Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah

mengalami suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F20.4 (Depresi

Pasca-skizofrenia). Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif

berulang, baik berjenis manik (F25.0) maupun depresif (F25.1) atau

campuran dari keduanya (F25.2). Pasien lain mengalami satu atau dua

episode manik atau depresif (F30-F33)

Diagnosis Banding

Semua kondisi yang dituliskan di dalam diagnosis banding skizofrenia dan gangguan

mood perlu dipertimbangkan di dalam diagnosis banding gangguan skizoafektif. Pasien yang

diobati dengan steroid, penyalahgunaan amfetamin dan phencyclidine (PCP), dan beberapa

pasien dengan epilepsi lobus temporalis secara khusus kemungkinan datang dengan gejala

22

23

skizofrenik dan gangguan mood yang bersama-sama. Diagnosis banding psikiatrik juga

termasuk semua kemungkinan yang biasanya dipertimbangkan untuk skizofrenia dan

gangguan mood. Di dalam praktik klinis, psikosis pada saat datang mungkin mengganggu

deteksi gejala gangguan mood pada masa tersebut atau masa lalu. Dengan demikian, klinisi

boleh menunda diagnosis psikiatrik akhir sampai gejala psikosis yang paling akut telah

terkendali.

Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai prognosis

di pertengahan antara prognosis pasien dengan skizofrenia dan prognosis pasien dengan

gangguan mood. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif memiliki

prognosis yang jauh lebih buruk daripada pasien dengan gangguan depresif, memiliki

prognosis yang lebih buruk daripada pasien dengan gangguan bipolar, dan memiliki

prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan skizofrenia. Generalitas tersebut telah

didukung oleh beberapa penelitian yang mengikuti pasien selama dua sampai lima tahun

setelah episode yang ditunjuk dan yang menilai fungsi sosial dan pekerjaan, dan juga

perjalanan gangguan itu sendiri.

Data menyatakan bahwa pasien dengan gangguan skizoafketif, tipe bipolar,

mempunyai prognosis yang mirip dengan prognosis pasien dengan gangguan bipolar I dan

bahwa pasien dengan premorbid yang buruk; onset yang perlahan-lahan; tidak ada faktor

pencetus; menonjolnya gejala pskotik, khususnya gejala defisit atau gejala negatif; onset yang

awal; perjalanan yang tidak mengalami remisi; dan riwayat keluarga adanya skizofrenia.

Lawan dari masing-masing karakeristik tersebut mengarah pada hasil akhir yang baik.

Adanya atau tidak adanya gejala urutan pertama dari Schneider tampaknya tidak meramalkan

perjalanan penyakit.

Walaupun tampaknya tidak terdapat perbedaan yang berhubungan dengan jenis

kelamin pada hasil akhir gangguan skizoafektif, beberapa data menyatakan bahwa perilaku

bunuh diri mungkin lebih sering pada wanita dengan gangguan skizoafektif daripada laki-laki

dengan gangguan tersebut. Insidensi bunuh diri di antara pasien dengan gangguan

skizoafektif diperkirakan sekurangnya 10 persen.

23

24

Terapi

Modalitas terapi yang utama untuk gangguan skizoafektif adalah perawatan di rumah

sakit, medikasi, dan intervensi psikososial. Prinsip dasar yang mendasari farmakoterapi untuk

gangguan skizoafektif adalah bahwa protokol antidepresan dan antimanik diikuti jika

semuanya diindikasikan dan bahwa antipsikotik digunakan hanya jika diperlukan untuk

pengendalian jangka pendek. Jika protokol thymoleptic tidak efektif di dalam mengendalikan

gejala atas dasar berkelanjutan, medikasi antipsikotik dapat diindikasikan. Pasien dengan

gangguan skizoafektif, tipe bipolar, harus mendapatkan percobaan lithium, carbamazepine

(Tegretol), valproate (Depakene), atau suatu kombinasi obat-obat tersebut jika satu obat saja

tidak efektif. Pasien dengan gangguan skizoafektif, tipe depresif, harus diberikan percobaan

antidepresan dan terapi elektrokonvulsif (ECT) sebelum mereka diputuskan tidak responsif

terhadap terapi antidepresan.

24

25

DAFTAR PUSTAKA

Buku Ajar Psikiatri. 2013. Edisi 2. Jakarta: FKUI.

Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis edisi 7 jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara.

Maramis W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.

Maslim, Rusdi. 2007. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran jiwa FK Unika Atmajaya.

Maslim, Rusdi. 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropika Edisi Ketiga. Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya : Jakarta.

Sadock, Benjamin James,et al. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition Lippincott Williams & Wilkins. 2007.

25