CR Danar - Epilepsi Word

download CR Danar - Epilepsi Word

of 28

description

czxczx

Transcript of CR Danar - Epilepsi Word

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS Nama : An. FJenis Kelamin: PerempuanUmur : 7 tahunHubungan dg orang tua: Anak kandungAgama: IslamSuku: JawaAlamat: Jati MulyoTanggal masuk perawatan : 7 Januari 2016Tanggal pemeriksaan : 7 Januari 2016

B. ANAMNESAAlloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal, jam 10:00 di Ruang Anak RS. Ahmad Yani Metro

Keluhan Utama : Kejang

Keluhan Tambahan : -Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD RS Ahmad Yani Metro dengan keluhan kejang 2x karena obat habis 5 hari SMRS, pasien tidak demam. Kejang berlangsung selama kurang lebih 15 menit. Pasien mendadak memejamkan mata dan tak lama kemudian seluruh tubuh pasien kejang lalu kaku selama 15 menit. Saat kejang, pasien tidak sadarkan diri. Pasien merasakan lemas, pegal, dan merasa mengantuk sesaat setelah kejang. Menurut ibu pasien, kejang pertama terjadi saat pasien berusia 8 bulan. Pada saat pasien berusia 6 bulan mulai muncul gejala tidur lama, susah untuk dibangunkan, dan sering lemas. Saat itu sudah berobat di Puskesmas dan pasien tidak kejang lagi, akan tetapi pasien menjadi hiperaktif. Sewaktu SD, pasien menjadi lambat dalam mengikuti pelajaran, meski tidak pernah tinggal kelas dan tidak bisa diam saat belajar di kelas. Pasien mempunya riwayat sepsis saat kelahirannya yang ditolong bidan. Pasien tidak memiliki riwayat trauma kepala, hipertensi, DM, maupun sakit jantung. Pasien sudah pernah menjalani pemeriksaan EEG tidak ada kelainan. Ibu pasien pernah menderita epilepsi, akan tetapi sudah sembuh saat berusia 5 tahun. Pasien susah untuk bergaul dengan orang lain. Daya ingat pasien menurun dan pasien menjadi suka tidak nyambung ketika di ajak ngobrol. Saat ini, kondisi pasien sudah lebih tenang dan kalem. Sepanjang tahun 2015, pasien kambuh kejang 2x. Hingga saat ini, rutin kontrol minimal sebulan sekali ke RS.. Riwayat Penyakit Dahulu : Hipertensi: Tidak ada Diabetes mellitus : Tidak ada Trauma kepala : Tidak ada Sakit kepala sebelumnnya: Tidak ada Kegemukan : Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga : Ibu pasien menderita epilepsi saat berumur 1 tahun. Kejang sembuh saat ibu berusia 5 tahun.

Riwayat Kelahiran / Pertumbuhan / Perkembangan : Pasien diberikan obat luminal, pasien menjadi tidak kejang lagi, akan tetapi pasien menjadi agak hiperaktif. Pasien menjadi lambat dalam mengikuti pelajaran dan daya ingat pasien menurun, meski tidak pernah tinggal kelasC. PEMERIKSAAN FISIKa. Status PresentKeadaan umum: Tampak sakit ringanKesadaran: Compos mentisSuhu: 36,5o CFrekuensi Nadi: 92x / menitFrekuensi Nafas: 24x/menitBerat Badan: 14 KgStatus Gizi : Baik

b. Status Generalis Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil diameter 3 mm bulat isokhor, refleks cahaya (+). Leher : Trakea lurus di tengah, KGB tidak teraba membesarThoraxInspeksi: Bentuk dan gerak dada simetris, tidak ada retraksi.Palpasi: Ictus cordis teraba di Intercostalis 5 kiriPerkusi: Sonor / sonorAuskultasi: BJ I-II tidak murni, reguler, gallop S3 (-), murmur (-), batas jantung

Paru : vocal fremitus, vocal resonance, vesicular breathing sound kanan sama dengan kiri, suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-) Abdomen Hepar : tidak terabaLien : tidak terabaEkstremitas : Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada

D. STATUS PSIKIATRITingkah laku : TenangPerasaan hati : HipothymOrientasi : CukupDaya ingat : Kurang

E. STATUS NEUROLOGISKesadaran : Compos Mentis, E4M6V5, GCS 15Sikap tubuh : BerjalanCara berjalan : Normal, tidak ada kesulitan saat berjalanGerakan abnormal: Tidak adaKepalaBentuk : Normocephali Simetris : SimetrisPulsasi : Teraba pulsasi a.temporalis +/+Nyeri tekan : Tidak ada

LeherSikap : NormalGerakan : BebasVertebra : Tidak ditemukan kelainanNyeri tekan : Tidak ada

Gejala Rangsang MeningealKaku kuduk : (-) Kernig test : (-) / (-) Lasegue test : (-) / (-) Brudzinsky I : (-) / (-)Brudzinsky II : (-) / (-)

Refleks PatologisHoffman trommer : (-) / (-)Babinski : (-) / (-)Chaddock : (-) / (-)Oppenheim : (-) / (-)Gordon : (-) / (-)Schaefer : (-) / (-)Rosolimo : (-) / (-)Mendel Bechterew : (-) / (-)Klonus paha : (-) / (-)Klonus kaki : (-) / (-)

SensibilitasEksteroseptif Nyeri : (+) / (+) Suhu : Tidak dilakukan Taktil : (+) / (+)Propioseptif Vibrasi : Tidak dilakukan Posisi : (+) / (+) Tekan dalam: (+) / (+)

Koordinasi dan keseimbangan Test romberg : Tidak dapat dilakukan Test tandem : Tidak dapat dilakukan Test fukuda : Tidak dapat dilakukan Disdiadokinesis : Tidak dapat dilakukan Rebound phenomenon : Tidak dapat dilakukan Dismetri : Tidak dapat dilakukan Tes telunjuk hidung : Tidak dapat dilakukan Tes telunjuk telunjuk : Tidak dapat dilakukan Tes tumit lutut : Tidak dapat dilakukan

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Darah Lengkap Leukosit: 20,74 10^3/uL Eritrosit: 5,00 10^3/uL Hb: 11,3 g/dL Ht: 34,8 % MCV: 70,6 fL MCH: 22,6 pg MCHC: 31,5 g/dL Trombosit: 362.000

H. DIAGNOSISStatus Epileptikus

I. DIAGONSIS BANDING-

J. TERAPINon medikamentosa- Edukasi pada keluarga mengenai penyakit epilepsy karena epilepsy termasuk penyakit kronis- Edukasi pada keluarga mengenai pentingnya minum obat teratur dan kontrol rutin bulanan.Medikamentosa IVFD RL 10 tpm Inj. Ondansentron 2 x 0,9 mg Inj. Ampicilin 2 x 400 mg PCT 3 x cth I Asam valproat 2 x 500 mg p.o

K. PROGNOSAAd vitam: dubia ad bonamAd fungsionam: dubia ad bonamAd sanam: dubia ad bonam

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

DefinisiEpilepsi adalah manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yakni serangan berkala akibat lepas muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksismal. Epilepsi berasal dari kata Yunaniepilambanienyang berarti serangan dan menunjukan bahwa sesuatu dari luar tubuh seseorang menimpanya, sehingga dia jatuh. Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), epilepsi dapat didiagnosis setelah mengalami satu kali kejang, jika seseorang berada dalam kondisi dimana mereka memiliki risiko tinggi untuk menderita kejang lagi. Kejang pada epilepsi mungkin berhubungan dengan trauma otak atau kecenderungan keluarga tetapi kebanyakan penyebab epilepsi tidak diketahui.Bangkitan Epilepsi adalah akibat cetusan sinkron sekumpulan neuron abnormal, hiperaktif, berulang, akibat instabilitas dari membran neuron yang disebabkan oleh kelebihan neuron eksitatorik atau berkurangnya neuron inhibitorik.

EpidemiologiHingga 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif, dengan 20-50 pasien baru terdiagnosis per 10.000 per tahunnya. Perkiraan angka kematian pertahun akibat epilepsi adalah 2 per 100.000 kematian dapat berhubungan langsung dengan kejang atau jika terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma. Data dari WHO menyebutkan bahwa dari banyak studi menunjukkan rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2 per 1000 penduduk, sedangkan angka insidensi mencapai 50 per 100.000 penduduk. Meskipun di Indonesia belum ada data pasti tentang prevalensi maupun insidensi, tapi sebagai suatu negara berkembang yang berpenduduk berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami bangkitan atau membutuhkan pengobatan berkisar 1,8 juta.Penilitian epidemiologi tentang insiden dan prevalensi terjadinya psikopatologi diantara serangan kejang masih sedikit. Namun penelitian yang ada memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi problem psikiatri di antara pasien-pasien epilepsi dibandingkan pada pasien tanpa epilepsi.Epilepsi di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatn apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi pada anak berusia dibawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan usia lanjut diatas 65 tahun (81/100.000 kasus).Epilepsi lobus temporal memiliki 3 efek fungsi kognitifditandai dengan sklerosis hipokampus, kejang fokal dengan tanda kepribadian lobus temporal sebelah medial. Hipokampus dan sekitarnya adalah komponen terbesar dalam sistem frontotemporal.

EtiologiEpilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome. Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekuensi serangan epilepsi. Secara sederhana etiologi epilepsi dapat dibagi kedalam tiga kategori, yaitu:1. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologik.2. Simtomatik: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada otak, misalnya cedera, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif.

KlasifikasiKlasifikasi menurut Etiologi1. Epilepsi Primer (Idiopatik)Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.2. Epilepsi Sekunder (Simptomatik)Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.

Klasifikasi UmumAda dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun 1981 dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi): 1. Serangan parsial a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik) - Dengan gejala motorik - Dengan gejala sensorik - Dengan gejala otonom - Dengan gejala psikis b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu) - Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran - Gangguan kesadaran saat awal serangan c. Serangan umum sederhana - Parsial sederhana menjadi tonik-klonik - Parsial kompleks menjadi tonik-klonik - Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik

2. Serangan umum a. Absens (Lena) b. Mioklonik c. Klonik d. Tonike. Atonik (Astatik) f. Tonik-klonik

3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang lengkap). Klasifikasi ILAE tahun 1981 ini (lihat tabel 1) lebih mudah digunakan untuk para klinisi karena hanya ada dua kategori utama, yaitu : serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir di otak. Dan serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas pada kedua belahan otak.

Tabel 1. Klasifikasi Epilepsi menurut ILAE 1981CLASSIFICATION OF SEIZURES1. Partial seizuresa. Simple partial seizures (with motor, sensory,autonomic, or psychic signs)b. Complex partial seizuresc. Partial seizures with secondary generalization

2. Primarily generalized seizuresa. Absence (petit mal)b. Tonic-clonic (grand mal)c. Tonicd. Atonice. Myoclonic

3. Unclassified seizuresa. Neonatal seizuresb. Infantile spasms

PatogenesisEpileptogenesis adalah proses transformasi saraf yang normal kepada saraf yang hipereksitibilitas. Ini disebabkan oleh akibat terjadi trauma, strok, atau infeksi. Akibat daripada kerusakan jaringan otak yang disebabkan oleh perkara tadi, terjadi reorganisation atau sprouting syaraf yang belum rusak. Akibat daripada proses ini, eksitabilitas syaraf berubah menjadikan seseorang itu lebih senang untuk mendapat kejang. Selain daripada terjadi kerusakan otak dan menyebabkan berubahnya struktur saraf, epilepsi juga disebabkan oleh faktor genetik dimana terjadi perubahan pada fungsi ion channel. Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.PatofisiologiOtak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah: Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains inhibitory neurotransmitter. Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut. Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu: Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik. Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak. Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait : Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsik dari sel untuk menimbulkan bangkitan. Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron. Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul.Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain. Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesadimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya.Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion. Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.

Manifestasi KlinisGambaran serangan epilepsi secara klinis tergantung pada fungsi daerah otak yang tersangkut lepas muatan listrik epileptis, sehingga dapat dijumpai bermacam gejala. Epilepsi lobus temporalis mempunyai simtomatologi tersendiri dan sering bersifat kompleks. Serangan epilepsi lobus temporalis dapat menjelma sebagai suatu serangan sederhana apabila lepas muatan listrik fokus epileptogen tidak terlampau keras atau meluas, misalnya serangan oditoris, olfaktoris dan sebagainya. Apabila lepas muatan listrik meluas dan menyangkut daerah yang lebih luas maka simtomatologi akan lebih kompleks misalnya berupa halusinasi, gejala otonom, psikomotor, reaksi afektif, otomatisme dan sebagainya yang disertai perubahan kesadaran dan amnesi mengenai serangan.

Faktor PencetusBeberapa pencetus terjadinya epilepsi adalah sebagai berikut:1. CahayaCahaya tertentu dapat merangsang terjadinya serangan; epilepsi ini disebut sebagai epilepsi fotosensitif atau fotogenik. Epilepsi jenis ini berkaitan dengan epilepsi umum idiopatik. Pada remaja, 18% di antaranya bersifat fotosensitif. Cahaya yang mampu merangsang terjadinya serangan adalah cahaya yang berkedip-kedip dan/atau yang menyilaukan. Keadaan demikian ini sering terjadi pada anak berumur 6 12 tahun. Prinsip fotosensitif dipakai untuk pemeriksaan elektro-ensefalografi ialah dengan memberi rangsangan cahaya berkedip-kedip (photic stimulation)

2. Kurang tidurKurang tidur maupun pola tidur yang tidak teratur dapat merangsang terjadinya serangan. Diduga bahwa kurang tidur dapat menurunkan ambang serangan yang kemudian memudahkan terjadinya serangan. Dengan demikian kepada penderita perlu ditekankan untuk tidur secara teratur dan terjaga jumlah jam tidurnya. kurang tidur dapat memperberat dan memperlama serangan. Fenomena ini dapat digunakan untuk stimulasi penderita sebelum dilakukan pemeriksaan EEG.

3. Faktor makan dan minumFaktor makan dan minum sehari-hari dapat menjadi masalah pada penderita epilepsi : makan dan minum harus teratur, jangan terlalu lapar, terlalu haus, dan sebaliknya: jangan terlalu kenyang, terutama terlalu banyak minum. Hipoglikemia dapat memicu terjadinya serangan. Hipoglikemia maupun hiperglikemia dapat memunculkan serangan pada orang yang tidak mengalami epilepsi. Sementara itu ada penderita yang sensitif terhadap mentega, coklat, atau keju.

4. Suara tertentuSuara tertentu dapat merangsang terjadinya serangan. Epilepsi jenis ini disebut epilepsi audiogenik atau epilepsi musikogenik. Suara dengan nada tinggi atau berkualitas keras dapat menimbulkan serangan. Begitu mendengar suara yang mengejutkan maka penderita langsung mengalami serangan yang sangat mendadak sehingga mengejutkan orang lain.

5. Reading dan eating epilepsyReading epilepsy berarti serangan dirangsang oleh kegiatan membaca. Bahan yang dibaca dapat berupa bacaan biasa (berita, cerita) maupun bacaan yang memberi persoalan sehingga penderita harus berpikir. Eating epilepsy menunjukkan bahwa serangan terjadi pada saat penderita mengunyah makanan. Ada yang berpendapat bahwa faktor pencetusnya bukan kegiatan mengunyah tetapi bahan makanan yang dikunyah.

6. Lupa dan/atau enggan minum obatPenderita epilepsi harus diberitahu secara jelas bahwa lupa dan/atau enggan minum OAE dapat menimbulkan serangan dan bahkan serangan yang muncul dapat lebih lama atau lebih berat. Lupa minum obat paling sering terjadi pada penderita yang minum obat dengan dosis tunggal. Sebaliknya, minum obat 2 atau 3 kali sehari dapat menimbulkan rasa bosan sehingga penderita enggan minum obat.

7. Drug abuseKokain, dengan berbagai bentuk konsumsi. dapat menimbulkan serangan dalam waktu beberapa detik, menit, atau jam sesudah mengkonsumsinya. Serangan sebagai akibat kokain ini dapat disertai dengan serangan jantung. Amfetamin dan metilfenidat sering diberikan pada penderita attention deficit disorder and hyperactivity (ADHD) dan narkolepsi. Apabila kedua jenis obat ini diminum tanpa pengawasan dokter maka dapat menimbulkan gangguan tidur, bingung, dan gangguan psikiatrik. Hal ini apabila terjadi pada penderita epilepsi akan mudah terjadi serangan karena penderita lupa minum obat. Disamping itu secara primer epilepsi merupakan salah satu kontra-indikasi untuk pemberian metilfenidat. Narkotika tidak berkaitan secara langsung dengan munculnya serangan pada epilepsi. Narkotika menyebabkan penderita epilepsi lupa untuk minum obat. Bila narkotika dikonsumsi dalam dosis besar dapat mengurangi penyediaan oksigen ke otak; ini dapat menimbulkan serangan. Sementara itu, hipoksia dapat menimbulkan status epileptikus.

Penegakan Diagnosis1. Anamnesis Karakteristik bangkitan: bentuk, gejala (sebelum, sewaktu dan setelah), suasana, waktu, durasi, frekuensi (progresif/tidak), stereotipik / tidak, faktor pencetus. Usia pertama kali mengalami bangkitan. Adakah defisit neurologis progresif? Riwayat (perinatal, tumbuh kembang, penyakit penyebab, keluarga).

2. Pemeriksaan Fisik Umum Neurologis

3. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan apabila keadaaan memungkinkan. Pemeriksaan ini mencakup:1. Pemeriksaan electro-encephalography (EEG)Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan sutau bangkitan. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal apabila: Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding seharusnya misal gelombang delta. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).

2. Pemeriksaan pencitraan otak (brain imaging)Pemeriksaan CT scan dan MRI meningkatkan kemampuan dalam mendeteksi lesi epileptogenik di otak. Dengan MRI beresolusi tinggi berbagai macam lesi patologik dapat terdiagnosis secara non-invasif.

3. Pemeriksaan Laboratorium

PenatalaksanaanObat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi. Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan kemungkinan terjadinya serangan epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek buruk akibat terapi obat antiepilepsi. Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30-50% pasien tidak berrespon terhadap monoterapi. Tujuan pengobatan epilepsi dengan obat antiepilepsi adalah menghindari terjadinya kekambuhan dengan efek buruk yang minimal (yang dapat ditoleransi). Prinsip-prinsip Terapi Obat Antiepilepsi :1. Menentukan diagnosis yang tepatDiagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosis epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsi akan meminum obat dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya efek yang merugikan akibat obat antiepilepsi.

2. Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat antiepilepsi Salah satu kesulitan yang dihadapi seorang dokter dalam merawat pasien dengan serangan epilepsi adalah memutuskan kapan memulai pengobatan (lihat tabel 2) Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan setelah kejang pertama, menurut Leppik (2001) dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan risiko terjadinya kejang selanjutnya, yaitu treat, possibly treat dan probably treat.Tabel 2. Keputusan Pemberian OAE setelah Kejang Pertama.A. Treat :

1. Jika didapatkan lesi struktural :a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastikb. Malformasi arteriovenosac. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika

2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam pada masa kanak-kanak)d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berate. Todds postical paresisf. Status epileptikus

B. Possibly :

Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas. Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai keuntungan dan risiko dari pengobatan obat antiepilepsi. Pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami bangkitan kedua.

C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :

a. Putusnya alkoholb. Penyalahgunaan obat c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemikd. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala)e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna dengan spikes sentrotemporal.f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian

Pemberian OAE setelah Kejang >2 kaliPada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih membutuhkan pengobatan. Pada pasien yang mengalami kejang pertama namun tidak ada faktor risiko satupun yang ditemukan, maka kemungkinan terjadinya kejang yang kedua 10% pada tahun pertama dan 24% pada akhir tahun kedua setelah kejang yang pertama. Risiko terjadinya kekambuhan yang paling besar terjadi pada dua tahun pertama. Kenaikan inhibisi GABA-ergik merupakan salah satu sasaran penanganan epilepsi. Adapun obat-obat yang sesuai (lihat tabel 3).

Tabel 3. Obat-obat Anti Epilepsi

Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan terapi untuk meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang biasanya terjadi pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek samping ini cenderung menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat ditoleransi. Untuk meminimalkan efek samping (lihat tabel 4) pada pemberian awal ini, obat-obat tersebut biasanya diberikan mulai dengan dosis subterapetik dan dinaikkan secara bertahap sampai beberapa minggu tercapainya range dosis yang dianjurkan. Jika efek buruk tidak dapat ditoleransi selama proses titrasi ini, dosis harus kembali pada kadar sebelumnya yang dapat ditoleransi pasien. Setelah simptom menghilang, proses titrasi dimulai kembali dengan menaikkan dosis yang lebih kecil.

Tabel 4. Berbagai Efek Sampiang dari OAEObatDosis awal (mg/hari)Dosis yang paling umum (mg/hari)Dosis maintenance (mg/hari)Frekuensi pemberian (kali/hari)Efek samping

Fenitoin 200300100-7001-2 Hirsutisme, hipertrofi gusi, distres lambung, penglihatan kabur, vertigo, hiperglikemia, anemia makrositik

Karbamazepin 200600400-20002-4Depresi sumsum tulang, distress lambung, sedasi, penglihatan kabur, konstipasi, ruam kulit

Okskarbazepin 150-600900-1800900-27002-3Gangguan GI, sedasi, diplopia, hiponatremia, ruam kulit

Lamotrigin 12,5-25200-400100-8001-2Hepatotoksik, ruam, sindrom steven-johnson, nyeri kepala, pusing, penglihatan kabur

Zonisamid 100400400-6001-2Somnolen, ataksia, kelelahan, anoreksia, pusing, batu ginjal, leukopenia

Ethosuximid 5001000500-20001-2Mual, muntah, BB , konstipasi, diare, gangguan tidur

Felbamat 120024001800-48003gg. GI, BB , anoreksia, nyeri kepala, insomnia, hepatotoksik

Topiramat 25-50200-400100-1002Faringitis, insomnia, BB , konstipasi, mulut kering, sedasi, anoreksia

Clobazam 102010-401-2

Clonazepam 142-81-2Mengantuk, kebingungan, nyeri kepala, vertigo, sinkop

Fenobarbital 6012060-2401-2Sedasi, distress lambung

Pirimidon 125500250-15001-2

Tiagabin 4-104020-602-4Mulut kering, pusing, sedasi, langkah terhuyung, nyeri kepala, eksaserbasi kejang generalisata

Vigabatrin 500-100030002000-40001-2

Gabapentin 300-40024001200-48003Leukopenia,mulut kering, penglihatan kabur, mialgia, penambahan berat, kelelahan

Pregabalin 150300150-6002-3

Valproat 5001000500-30002-3Mual, hepatotoksik

Levetiracetam10002000-30001000-40002

Penggantian ObatPenggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika :a) Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah diberikan dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat antiepilepsi kedua harus segera dipilih. b) Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun efek merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien.Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range dosis yang direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara bertahap selama 1-3 minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi) harus dinaikkan sampai serangan terkontrol atau dengan efek samping yang minimal. Proses ini harus dilanjutkan sampai monoterapi dengan dua atau tiga obat primer gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru politerapi dipertimbangkan.c) PoliterapiKombinasi optimal dicapai dengan menggunakan obat-obat yang: mempunyai mekanisme aksi berbeda, efek samping relatif ringan, indeks terapi lebar, dan interaksi obat terbatas atau negatif. Kombinasi obat hanya dipakai apabila semua upaya monoterapi telah dicoba. Apabila kombinasi dua macam obat lini pertama tidak menolong, obat yang mempunyai efek lebih besar dan efek samping lebih kecil tetap diteruskan, sementara obat yang lain diganti diganti dengan obat dari kelompok lini kedua. Apabila obat lini kedua tersebut efektif, dipertimbangkan untuk menarik obat pertama. Sebaliknya, obat lini kedua tersebut harus dihentikan apabila ternyata tidak juga efektif. Apabila upaya tersebut di atas gagal, kasus tersebut mungkin tergolong dalam epilepsi refrakter, kasus epilepsi yang sulit disembuhkan. Berbagai obat antiepilepsi (OAE) dapat terus dicoba pada kasus itu, atau dipertimbangkan untuk tindakan bedah.

Terapi operatifApabila dengan berbagai jenis OAE dan adjuvant tidak memberikan hasil sama sekali, maka terapi operatif harus diperimbangkan dalam satu dasawarsa terakhir, tindakan operatif untuk mempercepat untuk mengatasi epilepsy refrakter makin banyak dikerjakan. Operasi yang paling aman adalah reseksi lobus temporalis bagian anterior. Lebih kurang 70-80% penderita yang mengalami operasi terbebas dari serangan, walaupun diantaranya harus minum obat OAE. Pendekatan teknik operasi lainnya adalah reseksi korteksi otak, hemisferektomi, dan reseksi multilobular pada bayi dan pembedahan korpus kalosum.

PrognosisDi dalam prognosis epilepsi terdapat dua hal penting, ialah kesempatan untuk mencapai remisi serangan serta kemungkinan terjadinya kematian secara prematur. Data yang lengkap dan teliti tentang kedua hal tadi sangat penting untuk menentukan terapi secara rasional maupun pemberian penyuluhan ataupun nasihat secara tepat. Penelitian tentang prognosis epilepsi belum memberi hasil yang pasti karena masalah metodologi dan adanya fakta bahwa epilepsi merupakan ekspansi dari sekian banyak sindrom dengan faktor penyebab yang berbeda.Risiko kematian pada epilepsi masih menjadi bahan perdebatan. Hal ini disebabkan oleh metodologi yang berbeda serta sebab-sebab kematian pada epilepsi yang bervariasi sehingga menimbulkan pertanyaan apakah kematian tadi secara langsung disebabkan oleh epilepsi. Dari suatu penelitian epidemiologik, frekuensi status epileptikus tiap tahuin di Amerika Serikat berkisar antara 102.000-152.000, dengan 55.000 kematian sebagai akibat dari status epileptikus. Prognosis: sekitar 40-69% penderita epilepsi psikomotor akan terkontrol dengan baik.Daftar Pustaka1. Departemen saraf RSPAD Gatot Soebroto. Pengenalan dan penatalaksanaan kasus-kasus neurologi. Jakarta : Departemen saraf RSPAD Gatot Soebroto, 2007. h. 63-71.2. Papadakis MA, Mcphee SJ. Current medical diagnosis & treatment. USA : McGraw-Hill, 2015. p. 960-6.3. Hauser SL, Josephson SA. Harrisons neurology in clinical medicine. 2nd edision. . USA : McGraw-Hill, 2010. p. 222-33.4. Foldvary N, Nashold B, Mascha E, Seizures outcome after temporal lobectomy for temporal lobe epilepsy: a Kaplan-Meier survival analysis. Neurology 2000 Feb;54(3):630-4.5. Martini FH, Nath JL. Fundamentals of anatomy and phisiology. 8th ed. San Fransisco :Pearson International, 2009. p 569-77.6. Danielson NB, Guo JN, Blumenfeld H. The default mode network and altered consciousness in epilepsy. Behaviour Neurology 2011;24(1):5565.7. Sadler RM. The syndrome of mesial temporal lobe epilepsy with hippocampal sclerosis: clinical features and differential diagnosis. Advances in Neurology 2006;97(1):2737.

1