Cover VIII
-
Upload
aldiza-nouvellintiane-rahardjo -
Category
Documents
-
view
1.083 -
download
2
Transcript of Cover VIII
SKRIPSI
HUBUNGAN ASUPAN NUTRISI DENGAN STATUS GIZI PASIEN HIV & AIDS
(Studi di UPIPI RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2010)
Oleh :
ALDIZA NOUVELLINTIANE RAHARDJO
UNIVERSITAS AIRLANGGAFAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
SURABAYA2010
i
SKRIPSI
HUBUNGAN ASUPAN NUTRISI DENGAN STATUS GIZI PASIEN HIV & AIDS
(Studi di UPIPI RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2010)
Oleh :
ALDIZA NOUVELLINTIANE RAHARDJONIM. 100610001
UNIVERSITAS AIRLANGGAFAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
SURABAYA2010
ii
PENGESAHAN
Dipertahankan di Depan Tim Penguji Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga dan
diterima untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM)
pada tanggal 22 Juli 2010
Mengesahkan Universitas Airlangga
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Dekan,
Prof. Dr. J. Mukono, dr., M.S., M.PH NIP. 194706171978021001
Tim Penguji : 1. Shoim Hidayat, dr., MS. 2. Prof.R.Bambang W., dr., M.S., M.CN., Ph.D., Sp.GK 3. Enny Sayuningsih, S.KM., M.Kes
iii
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelarSarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM)
Departemen Gizi KesehatanFakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga
Oleh :
ALDIZA NOUVELLINTIANE RAHARDJONIM. 100610001
Surabaya, 2 Agustus 2010
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Departemen, Pembimbing,
Dr. Sri Adiningsih, dr., M.S., M.CN. Prof.R.Bambang W., dr., M.S., M.CN., Ph.D., Sp.GKNIP.195006261978032001 NIP. 194903201977031002
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan sebesar-besarnya kepada Allah SWT atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat terselesaikannya skripsi dengan
judul “HUBUNGAN ASUPAN NUTRISI DENGAN STATUS GIZI PASIEN
HIV & AIDS (STUDI DI UPIPI RSUD DR. SOETOMO TAHUN 2010)”,
sebagai salah satu persaratan akademis dalam rangka menyelesaikan kuliah di
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.
Pada skripsi ini dijabarkan mengenai hubungan antara asupan nutrisi
(energi, protein, lemak, dan karbohidrat) dengan status gizi pasien HIV & AIDS
rawat inap di UPIPI RSUD Dr. Soetomo.
Pada kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada Prof.R.Bambang W., dr., M.S., M.CN., Ph.D., Sp.GK.,
selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi koreksi serta saran hingga
terwujudnya skripsi ini.
Terima kasih dan penghargaan saya sampaikan pula kepada yang
terhormat :
1. Prof. Dr. J. Mukono, dr., M.S., M.PH., selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Airlangga
2. Ibu Dr. Sri Adiningsih, dr., M.S., M.CN., selaku Ketua Departemen Gizi
Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat
3. Erwin Astha T., dr., Sp.PD. selaku Koordinator UPIPI RSUD Dr.
Soetomo beserta stafnya yang selalu memberi motivasi dan saran untuk
penelitian ini.
v
4. Dosen-dosen Dept.Gizi Kesehatan dan departemen lain di FKM UNAIR
5. Harijono Rahardjo (papa) dan Tri Herry Suhartinah (mama) yang selalu
memberi motivasi dan mendoakan yang terbaik untuk saya dimana pun
dan kapan pun hingga detik ini.
6. Neny Tri Utami, Widya Istianingsih, dan Rini Novianti sebagai sahabat
karib yang selalu memberi motivasi sejak awal kuliah
7. Teman-teman Asix IKM 2006 A yang selalu asik dan tetap semangat
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang
telah diberikan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang
memanfaatkan.
Surabaya, Juli 2010
Penulis
ABSTRACT
Malnutrition is still one major problem among hospitalized HIV & AIDS patients. Many factors can interfere malnutrition amongst HIV & AIDS hospitalized patients. Macronutrients intake is one factor which probably related with nutrition status. However it needs a research to find out the relation between macronutrients intake with nutritional status.
The aim of the research was to learn characteristics, macronutritients intake, nutritional status, serum albumin, and to analyze the relation between macronutrients intake (calorie, protein, fat, and carbohidrate) with nutritional status of HIV & AIDS hospitalized patients in UPIPI RSUD Dr. Soetomo.
The research was an observational study with cross-sectional design. The population was HIV & AIDS hospitalized patients who had stayed in hospital since May to June 2010. The samples of this research were hospitalized patients, categorized in inclusion dan exclusion criterias were diagnosed HIV & AIDS, adults (age > 14 years), hospitalized more than 1 day, and would like to fulfil the informed consent. Data collection were consist of HIV & AIDS characteristics within direct interview, macronutrients intake which were collected from form food recall, nutrirional status of which were measured by Body Mass Index, and albumin serum of which were collected from medical records at hospital. Researcher analyzed data using Chi square test then.
The results showed that there was not a correlation (p > 0,05) between macronutrients intake (calorie, protein, fat, and carbohidrate) with nutritional status of HIV & AIDS hospitalized patients.
It can be concluded from the research was that macronutrients intake could not give effect to nutritional status of HIV & AIDS hospitalized patients but wasting syndrome, oportunistic infections, HIV infection, insensitive Body Mass Index to measure calory, protein, fat and carbohidrate changes in HIV & AIDS patients in short term period and there was not a continually monitoring to detect nutritional status changes due to cross-sectional study. The researcher suggested to build a longer research to monitor HIV & AIDS hospitalized patients nutitional status, a deeper research to find out about the accurate and sensitive methods for assessing HIV & AIDS patients, and another research about the correlation between micronutrients (vitamines, minerals, dan fiber) and nutritional status of HIV & AIDS hospitalized patients. Key words : macronutrients intake, HIV & AIDS hospitalized patients, nutritional status
vi
vii
ABSTRAK
Malnutrisi masih merupakan masalah besar di kalangan pasien HIV & AIDS rawat inap. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi malnutrisi pada pasien HIV & AIDS rawat inap tersebut. Asupan nutrisi merupakan salah satu faktor yang mungkin berhubungan dengan status gizi pada pasien HIV & AIDS rawat inap. Namun diperlukan penelitian untuk mecari tahu hubungan antara asupan nutrisi dengan status gizi pasien HIV & AIDS.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik, asupan nutrisi, status gizi, kadar albumin, serta menganalisis hubungan antara asupan nutrisi (energi, protein, lemak, dan karbohidrat) dengan status gizi pasien HIV & AIDS rawat inap di UPIPI RSUD Dr. Soetomo.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain studi cross-sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien HIV & AIDS rawat inap mulai bulan Mei hingga Juni 2010. Sampel penelitian adalah pasien HIV & AIDS yang rawat inap dan memenuhi criteria inklusi dan eksklusi, yaitu pasien yang terdiagnosis HIV & AIDS, dewasa (usia > 14 tahun), pasien yang rawat inap > 1 hari, dan pasien yang menandatangani informed consent. Pengumpulan data meliputi karakteristik pasien HIV & AIDS melalui wawancara langsung, asupan nutrisi diukur menggunakan form food recall, status gizi diukur dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh, dan kadar albumin dilihat dari status (rekam medik) di rumah sakit. Peneliti menganalisis data dengan menggunakan uji Chi square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan (p > 0,05) antara asupan nutrisi (energi, karbohidrat, protein, lemak dan karbohidrat) dengan status gizi pasien HIV & AIDS rawat inap.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan asupan nutrisi tidak mempengaruhi status gizi pasien HIV & AIDS rawat inap tetapi dipengaruhi oleh wasting syndrome, infeksi oportunistik, infeksi HIV itu sendiri, kurang sensitifnya IMT untuk pengukuran status gizi pasien HIV & AIDS karena tidak dapat mendeteksi perubahan kalori, protein, lemak, dan karbohidrat pada pasien HIV & AIDS dalam waktu yang singkat serta tidak adanya pemantauan secara terus-menerus untuk mendeteksi status gizi pada pasien karena jenis penelitian yang cross-sectional. Saran dari penelitian ini adalah dilakukannya penelitian lain yang lebih lama untuk memantau status gizi pasien rawat inap, penelitian yang lebih mendalam mengenai metode yang akurat dan sensitif untuk mengukur status gizi pasien HIV & AIDS selain Indeks Massa Tubuh serta penelitian lebih lanjut mengenai asupan nutrisi yang lain dari gizi mikro (vitamin, mineral, dan serat) dan hubungannya dengan status gizi pasien HIV & AIDS. Kata Kunci: asupan nutrisi, pasien HIV & AIDS rawat inap, status gizi
viii
DAFTAR ISI
COVERHALAMAN JUDUL iHALAMAN PENGESAHAN iiHALAMAN PERSETUJUAN iiiKATA PENGANTAR ivABSTRACT viABSTRAK viiDAFTAR ISI viiiDAFTAR TABEL xDAFTAR GAMBAR xiDAFTAR LAMPIRAN xiiDAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH xiiiBAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 11.2 Identifikasi Masalah 41.3 Rumusan Masalah 4
BAB II TUJUAN DAN MANFAAT 52.1 Tujuan 5
2.1.1 Tujuan Umum 52.1.2 Tujuan Khusus 5
2.2 Manfaat 52.2.1 Bagi peneliti 52.2.2 Bagi institusi 62.2.3 Bagi pasien 6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 73.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS)7
3.1.1 Pengertian 73.1.2 Penularan AIDS 83.1.3 Diagnosis HIV 103.1.4 Stadium HIV 113.1.5 Infeksi Oportunistik HIV 13
3.2 Status gizi 163.3 Asupan Nutrisi Bagi Pasien HIV & AIDS 25
3.3.1 Kecukupan Gizi 29BAB IV KERANGKA KONSEPTUAL 31
4.1 Hipotesis Penelitian 33BAB V METODE PENELITIAN 34
5.1 Jenis Penelitian 345.2 Populasi Penelitian 345.3 Sampel Penelitian 34
5.3.1 Besar Sampel 345.3.2 Cara Pengambilan Sampel 35
5.3 Lokasi dan Waktu Penelitian 365.4 Variabel, Definisi Operasional dan Cara Pengukuran 37
5.4.1 Variabel 37
ix
5.4.2 Definisi Operasional 375.4.3 Cara Pengukuran 39
5.5 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data 395.5.1 Teknik Pengumpulan Data 395.5.2 Instrumen Pengumpulan Data 40
5.6 Teknik Pengolahan dan Analisa Data 40BAB VI HASIL PENELITIAN 42
6.1Gambaran Umum Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo
42
6.1.1 Visi, Misi, Tujuan Dan Motto Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo
42
6.1.2 Kapasitas Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo
44
6.1.3 Kapasitas Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo
44
6.1.4 Sumber Daya Manusia Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo
44
6.1.5 Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo
45
6.2 Gambaran Umum Unit Perawatan Intermediate Penyakit Infeksi (UPIPI)
45
6.2.1 Visi UPIPI 466.2.2 Misi UPIPI 466.2.3 Sumber Daya Manusia di UPIPI 466.2.4 Jenis Pelayanan 476.2.5 Kegiatan Lain 48
6.3 Hasil Penelitian 486.3.1 Karakteristik Pasien HIV & AIDS 486.3.2 Status Gizi Pasien HIV & AIDS 526.3.3 Asupan Nutrisi Pasien HIV & AIDS 536.3.4 Kadar Albumin Pasien HIV & AIDS 556.3.5 Hubungan Antar Variabel 55
BAB VII PEMBAHASAN 637.1 Karakteristik Pasien HIV & AIDS 637.2 Status Gizi Pasien HIV & AIDS 667.3 Asupan Nutrisi 697.4 Kadar Albumin 737.5 Hubungan Asupan Kalori Dengan Status Gizi 757.6 Hubungan Asupan Protein Dengan Status Gizi 777.7 Hubungan Asupan Lemak Dengan Status Gizi 787.8 Hubungan Asupan Karbohidrat Dengan Status Gizi 80
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 828.1 Kesimpulan 828.2 Saran 83
DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Tabel Halaman
3.1 Klasifikasi Klinis Infeksi HIV Menurut WHO (2006) 12
3.2 Kategori Ambang Batas IMT Untuk Indonesia 21
5.1 Tabel Definisi Operasional, Cara Pengukuran dan Klasifikasi, Dan Skala Data 37
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Gambar Halaman
4.1 Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Malnutrisi Pada Pasien HIV & AIDS 31
5.1 Kerangka Operasional 41
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Lampiran
1 Surat Ijin Penelitian2 Hasil Analisis Uji Statistik3 Informasi Pasien dan Lembar Persetujuan4 Kuesioner5 Data Keluhan dan Penyebab Keluhan6 Hasil Rekapan Recall 2X24 Jam7 Hasil Rekapan Kebutuhan Asupan Nutrisi Tiap Pasien Per Hari8 Hasil Rekapan Pengukuran Antropometri dan Biokimia
xiii
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH
Daftar Arti Lambang
& = dan% = persen< = kurang dari< = kurang dari sama dengan> = lebih dari> = lebih dari sama dengan/ = atau/per = alfa
Daftar Singkatan
dl = desiliterg = gramp = signifikansimm = milimeterBB = Berat BadanTL = Tinggi LututTB = Tinggi BadanCMV = CytomegalovirusHIV = Human Immunodeficiency VirusIRS = Instalasi Rumah SakitIRJ = Instalasi Rawat JalanAIDS = Acquired Immuno Deficiency SyndromeKEP = Kekurangan Energi ProteinDNA = Deoxyribose Nucleic AcidPCP = Pneumocystis PneumoniaOAT = Obat Anti TuberkulosisBMI = Body Mass IndexRSUD = Rumah Sakit Umum DaerahUPIPI = Unit Perawatan Intermediate Penyakit InfeksiIDU = Injecting Drug UserWHO = World Health OrganizationODHA = Orang Dengan HIV AIDSLILA = Lingkar Lengan AtasSGA = Subjective Global AssesmentCDC = Central for Disease ControlIMT = Indeks Massa TubuhBEE = Basal Expenditure EnergyMRI = Magnetic Resonance ImagingFAO = Food and Agriculture Organization
xiv
Daftar Istilah
et al = and othersdkk = dan kawan-kawan
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
HIV & AIDS merupakan penyakit yang prevalensinya tinggi dan
distribusi penyakitnya tersebar di berbagai pelosok dunia. Pada tahun
2008, jumlah kumulatif penderita HIV di seluruh dunia berjumlah 33,4
juta jiwa. Jumlah tersebut mencakup anak dan orang dewasa yaitu di
kawasan Sub Sahara Afrika berjumlah 22,4 juta jiwa (peringkat pertama
sebagai kawasan dengan jumlah penderita HIV terbanyak di dunia), Asia
Selatan dan Asia Tenggara 3,8 juta jiwa, Amerika Latin 2 juta jiwa, Eropa
Timur dan Asia Tengah 1,5 juta jiwa, Amerika Utara 1,4 juta jiwa dan
kawasan lainnya. Jumlah total kematian akibat AIDS baik anak maupun
dewasa adalah 2 juta jiwa. Jumlah ini tersebar di berbagai kawasan yaitu
Eropa Utara dan Asia Tengah 87.000 jiwa, Amerika Latin 77.000 jiwa,
Asia Selatan dan Asia Tenggara 270.000 jiwa, Sub Sahara dan Afrika 1,4
juta jiwa (UNAIDS, 2009).
Pada tahun 2008 di Asia sekitar 4,7 juta jiwa terinfeksi HIV.
Sebanyak 330.000 orang meninggal karena penyakit yang disebabkan
karena AIDS. Di Cina sedikitnya 1 dari 3 orang terdiagnosis HIV. India
memiliki sedikitnya setengah dari jumlah penderita AIDS di Asia. Di
Myanmar lebih dari 18% pekerja seks wanita terinfeksi HIV. Di Indonesia
prevelensi HIV pada pekerja seks laki-laki jumlahnya mendekati 3 kali
lebih banyak daripada pekerja seks wanita.
2
Di Indonesia pun tidak kalah tinggi prevalensinya. Sejak
ditemukan pada tahun 1978 jumlah kumulatif kasus AIDS di Indonesia
setiap tahunnya meningkat. Jumlah kumulatif kasus AIDS hingga tahun
2007 ada 11.141 kasus, tahun 2008 ada 16.110, dan hingga 30 September
tahun 2009 ada 18.442 kasus. Selama periode Juli hingga September 2009
kasus AIDS bertambah sebesar 743 kasus yang tersebar di 32 Propinsi di
Indonesia. Jumlah kasus AIDS selama tahun 2009 (Januari hingga
September) sebanyak 2.332 kasus (Depkes, 2009). Pada tahun 2009
prevalensi terbanyak terjadi di Jawa Barat yaitu jumlah penderita 3.233
jiwa. Disusul provinsi lainnya yaitu Jawa Timur 3.133 orang, DKI Jakarta
2.811 orang, Papua 2.681 orang, Bali 1.506 orang, Kalimantan Barat 730
orang, Jawa Tengah 669 orang, dan Sumatera Utara 485 orang (Depkes,
2009)
Jawa Timur menempati urutan kedua sebagai provinsi dengan
jumlah penderita AIDS terbanyak tahun 2009. Jawa Timur mengalami
kenaikan jumlah kumulatif kasus AIDS. Pada tahun 2007 ada 1.091 kasus,
tahun 2008 ada 2.591 kasus, dan hingga 30 September 2009 ada 3.133
kasus (Depkes, 2009).
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa HIV & AIDS memang
menjadi penyakit yang banyak terjadi di berbagai wilayah di dunia mulai
Eropa, Asia, hingga Afrika. Prevalensinya pun tinggi. Berbagai cara
penularan dapat menyebabkan terjadinya infeksi HIV. Infeksi HIV sendiri
juga menyebabkan masalah gizi pada penderitanya yaitu status gizi
kurang. Pada penelitian dilakukan di klinik Pokdisus HIV/AIDS dan
3
Klinik Teratai (Ruang BMD) RSCM tahun 2008 ditemukan sejumlah
53,6% pasien HIV/AIDS memiliki IMT rendah (IMT<18,5) dan berstatus
gizi kurang (Mulansari, 2010).
Pada penderita HIV & AIDS mayoritas status gizi pasien kurang
karena pasien mengalami diare kronis yang disebabkan malabsorbsi
asupan nutrisi karena infeksi HIV itu sendiri dan wasting syndrome yang
terjadi secara alami. Menurut Nasronudin (2007) sebanyak 46 % pasien
HIV mengalami “wasting syndrome”. Sedangkan pasien HIV stadium IV
(AIDS) hampir 100% mengalami “wasting syndrome”. Selain itu status
gizi kurang dapat disebabkan karena infeksi oportunistik seperti
tuberkulosis yang menyebabkan pasien sesak di dada, batuk terus-
menerus, dan penurunan berat badan secara alami. Infeksi candidiasis oris
(infeksi jamur di mulut) dan candidiasis esophagus (infeksi jamur di
kerongkongan/tenggorokan) yang menyebabkan penderitanya mengalami
sulit menelan, sulit menelan sehingga nafsu makannya kurang. Namun
dengan adanya asupan nutrisi yang cukup maka diharapkan status gizi
pasien akan baik
Pengukuran status gizi pasien HIV & AIDS dilakukan dengan
pengukuran antropometri (BB dan TB (TL)) dengan metode Indeks Massa
Tubuh (IMT) untuk penentuan status gizinya. Sebenarnya metode ini
memiliki kekurangan yaitu kurang sensitif karena tidak dapat mengetahui
perubahan fisiologis pasien HIV & AIDS namun tetap digunakan karena
keterbatasan kemampuan peneliti dan alat ukur yang tersedia.
4
1.2 Identifikasi Masalah
Dari data Dinas Kesehatan Surabaya diketahui bahwa jumlah
penderita HIV & AIDS sejak 2004 hingga Juni 2009 sebanyak 3.278 jiwa
(Olong, 2009). Sedangkan dari data yang ada di Bagian Rekam Medik
RSUD Dr. Soetomo jumlah kunjungan pasien mulai 5 Desember 2008
hingga 1 Desember 2009 adalah 327 pasien. Data tersebut menunjukkan
pasien HIV disertai komplikasi ada 169 pasien, pasien yang mengidap
HIV disertai infeksi sekunder ada 67 pasien, pasien yang mengalami
komplikasi dan infeksi sekunder ada 50 pasien, dan pasien yang
didiagnosa mengidap HIV ada 41 pasien.
Menurut pengalaman saat magang status gizi kurang (IMT<18,5)
dapat terjadi pada pasien HIV & AIDS. Status gizi kurang dapat
disebabkan karena infeksi oportunistik seperti candidiasis dan
tuberkulosis, diare kronis, wasting-syndrome dan asupan nutrisi. Penelitian
lebih dititikberatkan kepada asupan nutrisi karena pengukurannya paling
mungkin dilakukan oleh peneliti. Lokasi penelitian di RSUD Dr. Soetomo
karena jumlah pasien HIV & AIDS banyak karena RSUD ini merupakan
pusat rujukan pasien HIV & AIDS di Jawa Timur.
1.3 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
dibahas sebelumnya maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut: “Apakah asupan nutrisi berhubungan dengan status gizi pasien
HIV & AIDS di UPIPI RSUD Dr. Soetomo Surabaya ?”
5
BAB II
TUJUAN DAN MANFAAT
2.1 Tujuan
2.1.1 Tujuan Umum
Menganalisis hubungan antara asupan nutrisi dengan status gizi
pasien HIV & AIDS di UPIPI RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
2.1.2 Tujuan Khusus
1. Mempelajari karakteristik pasien HIV & AIDS yang meliputi jenis
kelamin, usia, status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, agama
dan suku
2. Mempelajari asupan nutrisi pasien HIV & AIDS selama rawat inap
3. Menentukan status gizi dari penghitungan Indeks Massa Tubuh pasien
HIV & AIDS saat di rumah sakit
4. Mempelajari kadar albumin pasien HIV & AIDS
5. Menganalisis hubungan antara asupan nutrisi dengan status gizi pasien
HIV & AIDS
2.2 Manfaat
2.2.1 Bagi peneliti
1. Mengaplikasikan ilmu kesehatan masyarakat khususnya ilmu gizi
2. Menambah pengetahuan dan referensi baru mengenai status gizi pasien
HIV&AIDS di rumah sakit
6
2.2.2 Bagi institusi
Menambah sumber data dan informasi baru mengenai asuhan gizi
rumah sakit terutama penyakit HIV & AIDS sehingga dapat menjadi
pedoman untuk penelitian selanjutnya.
2.2.3 Bagi pasien
1. Pasien memahami manfaat asupan gizi terhadap percepatan perbaikan
status gizinya yang pada akhirnya mampu meningkatkan kualitas
hidupnya
2. Pasien termotivasi untuk mencukupi kebutuhan gizinya
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS)
3.1.1 Pengertian
HIV merupakan virus yang menurunkan sistem kekebalan tubuh
manusia. Penyakit HIV terjadi karena adanya virus HIV yang menginfeksi
sel sistem kekebalan tubuh manusia terutama Limfosit T-CD4+. Meskipun
berbagai sel host dapat menjadi target infeksi HIV, terutama sel-sel yang
mampu mengekspresi reseptor CD4+, namun HIV cenderung memilih
limfosit T. Hal ini dimungkinkan karena pada permukaan limfosit T
terdapat reseptor CD4+ yang merupakan pasangan ideal bagi lapisan
glycoprotein dari virus HIV. Meskipun telah sesuai namun masih belum
bisa menyatu bila belum ada peran para ko-reseptor yang ada di
permukaan limfosit T (Nasronudin dkk., 2007).
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yaitu sindrom
menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Orang mengalami infeksi HIV selama
bertahun-tahun dapat memasuki tahap AIDS. Orang yang mengidap AIDS
amat mudah terinfeksi oleh berbagai macam penyakit karena sistem
kekebalan tubuh penderita telah menurun (Imelda, 2009).
8
3.1.2 Penularan AIDS
Sejak pertama seseorang terinfeksi HIV, orang tersebut sudah
berpotensi menularkan HIV kepada orang lain melalui cara penularannya.
Perjalanan HIV menjadi AIDS memerlukan waktu bertahun-tahun dan
sebelum seseorang masuk dalam AIDS orang tersebut tampak sehat tanpa
gejala. Penularan HIV terjadi melalui kontak seksual (cairan sperma dan
vagina), darah dan produknya, dari ibu ke anak selama masa kehamilan,
persalinan dan pemberian ASI. Perlu dicatat bahwa HIV tidak ditularkan
dari orang ke orang melalui bersalaman, berpelukan, bersentuhan, dan
berciuman. Tidak ada data bahwa HIV ditularkan melalui penggunaan
toilet, kolam renang, penggunaan alat makan atau minum secara bersama
atau gigitan serangga seperti nyamuk (Nasronudin dkk., 2007).
Menurut Nasronudin dkk. (2007), virus HIV bisa masuk ke dalam
tubuh manusia melalui 3 cara, yaitu secara vertikal dari ibu ke anak,
transeksual (homoseksual maupun heteroseksual), dan secara horisontal
yaitu kontak antardarah (pemakaian jarum suntik secara bersama-sama
secara bergantian, tato, tindik, transfusi darah, transplantasi organ,
tindakan hemodialisis, perawatan gigi, khitanan masal, dan lain-lain yang
kurang memperhatikan asas sterilitas).
Penularan AIDS terjadi melalui berbagai cara antara lain adalah
dengan:
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita
HIV tanpa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual
9
berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput
lendir vagina, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam
cairan tersebut masuk ke aliran darah (PELKESI, 1995 dalam Nursalam
dkk., 2008). Selama berhubungan seksual bisa juga terjadi lesi mikro pada
dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk
masuk ke aliran darah pasangan seksual (Syaiful dalam Nursalam dkk.,
2008).
b. Penularan dari ibu kepada bayinya
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in-utero).
Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke
bayi adalah 0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum
ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%,
sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya
mencapai 50% (PELKESI, 1995 dalam Nursalam dkk., 2008).
Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui transfusi
fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan
darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Transmisi lain terjadi selama
periode post partum melalui ASI. Risiko bayi tertular melalui ASI dari ibu
yang positif HIV sekitar 10% (Lily V, 2004 dalam Nursalam dkk., 2008).
c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV
Darah dan produk darah yang tercemar HIV sangat cepat
menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan
menyebar ke seluruh tubuh (Nursalam dkk., 2008).
d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
10
Alat pemeriksa kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat
lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi
HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa
menularkan HIV (PELKESI, 1995 dalam Nursalam dkk., 2008).
e. Alat-alat untuk menoreh kulit
Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, atau silet, serta
tindakan seperti menyunat seseorang, membuat tato, memotong rambut,
dan sebagainya bisa menularkan HIV, sebab alat tersebut mungkin dipakai
tanpa disterilkan terlebih dahulu (Nursalam dkk., 2008).
f. Penggunaan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang
digunakan oleh para pengguna narkoba Injecting Drug User (IDU) sangat
berpotensi menularkan HIV. Selain jarum suntik, para pemakai IDU secara
bersama-sama juga menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas
pengoplos obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV
(Nursalam dkk., 2008).
3.1.3 Diagnosis HIV
Pada stadium awal, pemeriksaan laboratorium merupakan cara
terbaik untuk mengetahui apakah pasien terinfeksi virus HIV atau tidak.
(Nursalam dkk., 2008). Diagnosis HIV & AIDS di RSUD Dr. Sooetomo
mayoritas dilakukan dengan pemeriksaan antigen dan pemeriksaan
antibodi. Pemeriksaan antibodi lebih cepat, mudah, dikerjakan, dan sensitif
dan spesifik dibandingkan pemeriksaan antigen. Pada pemeriksaan
antibodi yang diperiksa pada umumnya adalah imunoglobulin (Ig G)
11
melalui metode ELISA dan rapid test. Bila ditemukan antibodi terhadap
HIV berarti terinfeksi HIV (Nasronudin dkk. 2007). Pemeriksaan antigen
merupakan pemeriksaan dini untuk mendeteksi virus HIV dari adanya
antigen p24. Jumlah antigen p24 meningkat pada minggu pertama hingga
minggu ke tiga setelah infeksi. Bila hasil antibodi negatif dan ingin
meyakinkan hasil tes maka tes ini dapat digunakan. Bila hasil tesnya
negatif berarti orang tersebut tidak terinfeksi HIV (AACC, 2010).
Mayoritas pasien memilih pemeriksaan antibodi karena tidak ada
pengeluaran biaya dari pasien untuk pemeriksaan tersebut.
3.1.4 Stadium HIV
Terdapat beberapa klasifikasi stadium HIV & AIDS. Adapun
sistem klasifikasi yang biasa digunakan untuk dewasa dan remaja dengan
infeksi HIV adalah menurut WHO dan Centre for Control and Prevention
(CDC). WHO memiliki klasifikasi laboratorium dan klinis untuk
mengkategorikan Stadium HIV namun Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Soetomo Surabaya menggunakan klasifikasi klinis menurut WHO.
12
Tabel 3.1 Klasifikasi Klinis Infeksi HIV Menurut WHO (2006)
Stadium Skala Aktivitas Gambaran KlinisI Asimptomatik, aktivitas normal
a. Asimptomatikb. Limfadenopati generalisata persistent : kelenjar
multipel berukuran kecil tanpa rasa nyeriII Simptomatik, aktivitas normal
a. Berat badan menurun <10%b. Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti
dermatitis seboroik (lesi kulit bersisik pada batas antara wajah dan rambut serta sisi hidung), onikomikosis, ulkus oral yang rekuren (ulkus pada mulut yang berulang), lesi kulit yang gatal pada lengan dan tungkai.
c. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhird. Infeksi saluran napas bagian atas seperti sinusitis
bakterialisIII Pada umumnya lemah, aktivitas di tempat tidur kurang
dari 50%a. Berat badan menurun >10%b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulanc. Demam berkepanjangan lebih dari 1 buland. Kandidiasis orofaringeal : bercak putih yang
menutupi daerah di dalam mulute. Oral hairy leukoplakia : Garis vertikal putih
disamping lidah, tidak nyeri, tidak hilang jika dikerok
f. Tuberkulosis paru dalam tahun terakhirg. Infeksi bakterial yang berat seperti pneumonia dan
piomiositishh. Hb < 8, leukosit < 500, trombosit < 50.000
IV a. Pada umumnya sangat lemah, aktivitas di tempat tidur lebih dari 50%
b. HIV wasting syndromec. Candidiasis esofagus : nyeri hebat saat meneland. Herpes simplex lebih dari 1 bulan : luka lebar dan
nyeri kronis di genitalia dan / atau anuse. Lymphomaf. Sarkoma kaposi : lesi berwarna gelap (ungu) di kulit
dan / atau mulut, mata, paru,usus sering disertai edema
g. Kanker serviksh. PCPi. Retinitis CMVj. TB Ekstra Paruk. Meningitis kriptokokus : meningitis dengan atau tanpa
kaku kudukl. Abses otak Toksoplasmosism. Encepalopati HIV
13
Keterangan tabel mengenai gangguan klinis lain yang diakibatkan
oleh HIV adalah :
1. HIV wasting syndrome
Berat badan turun lebih dari 10% ditambah diare kronis lebih dari 1
bulan atau demam lebih dari satu bulan yang tidak disebabkan oleh
penyakit lain (Nursalam dkk., 2008).
Terjadinya HIV-wasting syndrome ini karena penurunan asupan
makan, kesulitan menelan akibat infeksi jamur di esophagus, anoreksia,
dan malabsorbsi (Yunihastuti dkk, 2005). Garcia-Prats et al (2003) juga
sependapat bahwa bagi orang dewasa malnutrisi dapat disebabkan karena
wasting syndrome.
2. Ensefalopati HIV
Gangguan kognitif dan/atau disfungsi motorik yang mengganggu
aktivitas hidup sehari-hari dan bertambah buruk dalam beberapa minggu
atau bulan yang tidak disertai penyakit penyerta lain selain HIV (Nursalam
dkk., 2008).
3.1.5 Infeksi Oportunistik HIV
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan
kekebalan tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur,
virus) yang berasal dari luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh,
namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh. Pada
umumnya kematian Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) disebabkan oleh
infeksi oportunistik. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati.
Namun jika kekebalan tubuh tetap rendah, infeksi oportunistik mudah
14
kambuh kembali atau juga dapat timbul infeksi oportunistik yang lain (Evi
dkk., 2005).
Menurut Scrimshaw et al (1959) ada hubungan yang sangat erat
antara infeksi (bakteri, virus, dan parasit) dengan malnutrisi. Mereka
menekankan interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit
infeksi, dan juga infeksi akan mempengaruhi status gizi dan akan
mempercepat malnutrisi (Supariasa dkk., 2002).
Menurut Depkes Afrika (2010) terdapat beberapa penyebab yang
mempengaruhi status gizi kurang pada pasien HIV & AIDS, yaitu virus
HIV itu sendiri yang menyebabkan peningkatan kebutuhan energi dan
protein, demam dan infeksi yang berulang, hilangnya nafsu makan,
berkurangnya asupan nutrisi, penyerapan makanan (absorbsi makanan)
yang kurang baik, hilangnya zat gizi karena pengeluaran urin, pengobatan
medis, depresi dan kelelahan, berkurangnya kemampuan untuk mengurus
dirinya sendiri, kelelahan pada awal stadium, ketersediaan dan
keterjangkauan dalam pemenuhi nutrisi (Anonim, 2010).
Menurut Supariasa dkk. (2002) mekanisme patologis terjadinya
malnutrisi karena infeksi oportunistik bermacam-macam, baik secara
sendiri maupun bersamaan , yaitu :
1. Penurunan asupan zat gizi akibat berkurangnya nafsu makan,
menurunnya absorbsi, dan kebiasaan mengurangi makan pada saat
sakit
2. Peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat diare, mual/muntah, dan
perdarahan yang terus menerus.
15
3. Meningkatnya kebutuhan baik peningkatan kebutuhan akibat sakit
(human host) dan parasit yang terdapat dalam tubuh.
Berikut ini merupakan beberapa penyakit infeksi yang menyertai
AIDS yang sering terjadi dan dapat mempengaruhi penurunan nafsu
makan pasien :
a. Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi oportunistik tersering
pada ODHA di Indonesia (Lydia A. , 1996 dalam Yunihastuti dkk., 2005).
Gejala paru adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu, demam, penurunan
berat badan, nafsu makan menurun, rasa letih, berkeringat pada waktu
malam, nyeri dada dan batuk darah (Depkes, 2003 dalam Yunihastuti
dkk., 2005). Efek samping OAT seperti rifampisin, pirazinamid, dan INH
dapat menyebabkan efek samping seperti mual dan muntah.
b. Kandidiasis
Kandidiasis adalah infeksi oportunistik yang sering terjadi pada
orang yang terinfeksi HIV. Penyakit ini terjadi karena infeksi jamur
candidia. Candida biasanya menginfeksi mulut, kerongkongan dan vagina.
Bila lokasinya di mulut sering dinamakan sariawan. Bila lokasinya lebih
mendalam masuk ke kerongkongan dinamakan esophagitis. Bentuknya
seperti bintik putih. Jamur ini dapat menyebabkan kerongkongan sakit,
sulit menelan dan mengunyah, mual, dan berkurangnya nafsu makan
(Anonim, 2008).
c. Pneumocystis Pneumonia (PCP)
16
Pada awalnya organisme ini ditemukan sebagai protozoa. Pada
tahun 1988 setelah dilakukan analisis DNA, ternyata organisme ini
merupakan jamur. Gejala PCP adalam demam yang tidak tinggi, batuk
kering, nyeri dada dan sesak napas yang terjadi secara sub akut (dua
minggu atau lebih). Jika terjadi sesak napas akut yang disertai nyeri dada
pleuritik harus dicurigai kemungkinan pneumotoraks sebagai komplikasi
(Thomas, 2004 dalam Yunihastuti dkk., 2005).
3.2 Status Gizi
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam
bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk
variabel tertentu. Penilaian status gizi ada 2 macam yaitu penilaian secara
langsung dan penilaian secara tidak langsung. Penilaian secara langsung
dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan
biofisik. Sedangkan penilaian secara tidak langsung dapat dilakukan
dengan survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi
(Supariasa, 2002).
Pada penelitian di Indonesia tahun 2008 yang dilakukan di klinik
Pokdisus HIV/AIDS dan Klinik Teratai (Ruang BMD) RSCM ditemukan
sejumlah 53,6% pasien HIV/AIDS memiliki IMT rendah (IMT<18,5)
(Mulansari, 2010).
Pemandangan berbeda terjadi di Amerika dimana beberapa orang
yang telah terinfeksi HIV, belum sepenuhnya AIDS, mempunyai masalah
obesitas. Penelitian terjadi di Rumah Sakit Navy, San Diego dan Bethesda
17
dimana peneliti melihat catatan kesehatan 663 pasien yang telah terinfeksi
di rumah sakit tersebut. Dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 63 %
pasien HIV mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Hanya sekitar
3 % yang mempunyai berat badan di bawah normal dan selebihnya tidak
tercatat. Yang paling menyedihkan, sebanyak 30 % pasien AIDS
mengalami kelebihan berat badan (RSPISS, 2007). Kondisi yang berbeda
tersebut disinyalir akibat efek obat-obatan yang mengakibatkan kenaikan
berat badan. Kekuatan dari obat tersebut mampu untuk “menjaga” virus
dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Hasilnya banyak pasien HIV
yang hidup lebih lama dibandingkan dengan mereka yang terinfeksi virus
yang sama dua dekade lalu. Disamping itu, ada kecenderungan mereka
mempunyai kebiasaan makan dan sedikit berolahraga. Sementara di
Indonesia, obat ARV jenis ini belum banyak dikonsumsi oleh mereka yang
telah terinfeksi HIV & AIDS. Untuk Indonesia pada lini pertama
menggunakan obat ARV jenis zidovudine, lamivudine, dan nevirapine.
Obat ARV yang banyak dikonsumsi di Amerika tersebut bisa
menyebabkan penimbunan lemak di tempat tertentu. Namun peneliti tidak
menemukan hubungan antara obat AIDS dengan kelebihan berat badan.
Pasien baru mengalami penambahan berat badan sekitar 6,5 kg dalam
waktu 10 tahun. Jadi, efek dari obat-obatan tersebut masih belum terbukti.
Para ODHA telah terinfeksi selama bertahun-tahun. Selain itu mereka juga
memiliki tekanan darah tinggi sehingga lebih berisiko mengalami
kegemukan (RSPISS, 2007).
18
Pengukuran status gizi pada orang dengan HIV & AIDS (ODHA)
diperlukan adanya pengukuran status gizi yang jelas. Pengukuran status
gizi ODHA berbeda dengan pengukuran status gizi orang biasa. Hal ini
jelas dikarenakan kondisi fisik antara penderita HIV & AIDS dengan
orang normal memang berbeda. Pengukuran status gizi untuk ODHA
dapat dilakukan dengan pengukuran status gizi antropometri dan
pengukuran status gizi biokimia.
1. Penilaian status gizi antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau
dari sudut pandang gizi, antropometri gizi berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi. Secara umum antropometri digunakan untuk
melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan
ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti
lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa, 2002).
Pengukuran status gizi untuk pasien rumah sakit pada umumnya
adalah antropometri, laboratorium, dan konsumsi makanan atau diet serta
tanda fungsional untuk tingkat gizi. Tujuan pengukuran status gizi rumah
sakit adalah :
a. Untuk menentukan secara akurat status gizi pasien
b. Menentukan tanda klinis yang berhubungan dengan malnutrisi
c. Untuk memonitor perubahan status gizi selama mendapat asuhan gizi
di rumah sakit.
19
Berbagai macam metode dan alat untuk mengukur status gizi
pasien HIV & AIDS. Masing-masing metode memilik kelebihan dan
kekurangan. Menurut Kelly (2006) ada beberapa metode untuk mengukur
status gizi pasien HIV & AIDS yaitu :
1. Pengukuran LILA
Menurut Kelly pengukuran LILA (Lingkar Lengan Atas) adalah
alat yang baik untuk skrining pada orang dewasa. Alat ini ringan, mudah
dibawa, mudah digunakan, dan dapat mendeteksi perubahan massa otot
skeletal. Namun ada kemungkinan salah dalam membaca hasil. Ada
pendapat lain dari Supariasa (2002) yang menyatakan bahwa pengukuran
LILA digunakan untuk mengetahui risiko terjadinya Kekurangan Energi
Protein dan tidak dapat memantau perubahan status gizi dalam jangka
pendek. Pengukuran LILA sensitif pada golongan anak (prasekolah) tetapi
kurang sensitif pada golongan dewasa. Tidak demikian dengan
pengukuran berat badan.
2. Subjective Global Assasment (SGA)
SGA relatif baru untuk pengukuran status gizi pasien HIV. Metode
ini tidak semahal BIA dan tidak membutuhkan peralatan mekanik. Sejauh
ini penelitian menyatakan bahwa alat ini baik untuk mendeteksi awal
terjadinya hilangnya otot tubuh (loss of muscle) yang mengindikasikan
terjadinya kehilangan massa sel tubuh (loss of body cell mass).
Menurut Lukman dkk. (2010) SGA merupakan penilaian status gizi
secara klinis berdasarkan riwayat medis, gejala klinis dan pemeriksaan
fisik. Pengukurannya dilakukan secara wawancara klinis dan pemeriksaan
20
medis. Kemudian dikelompokkan menjadi SGA A (normal), SGA B
(malnutrisi ringan hingga sedang), dan SGA C (malnutrisi berat)
berdasarkan riwayat medis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik.
3. Bioelectrial Impedance Analysis (BIA)
BIA merupakan alat yang baik untuk mendeteksi hilangnya massa
sel tubuh pada orang HIV-wasting syndrome. Timbangan ini relatif murah
(diperkirakan sekitar £ 700) dan mudah dibawa. Subjek yang akan diukur
harus puasa (tidak minum dan makan) dan tidak beraktivitas selama 24 -
48 jam sebelum pengukuran. Menurut Sukmaniah (2009) pengukuran
massa tubuh tanpa lemak (lean body mass) dapat diukur dengan Body
Impedance Analysis. Pengukuran kehilangan massa sel tubuh merupakan
indikator yang tepat untuk perubahan komposisi tubuh pada pasien HIV
(Paton et al,1999 dalam Paton et al, 2006).
4. Pengukuran Lemak Tubuh dengan Skinfold Calipers
Skinfold Calipers merupakan alat yang baik untuk massa lemak
dan perubahan dalam massa lemak. Namun alat ini tidak cocok untuk
mengukur otot tubuh bebas lemak (fat free muscle) atau massa tubuh tanpa
lemak (lean body mass) pada pasien HIV (Paton et al, 1999 dalam Paton et
al, 2006).
5. Indeks Massa Tubuh
Indeks untuk penilaian status gizi antropometri yang digunakan
untuk menentukan status gizi ODHA adalah Indeks Massa Tubuh (IMT).
IMT ini merupakan alat yang sederhana untuk mengetahui status gizi
orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan berat badan
21
atau kelebihan berat badan. Menurut Kelly (2006) Indeks Massa Tubuh
tidak cukup sensitif untuk memperhitungkan fisiologi pasien HIV. Metode
ini tidak sensitif terhadap perubahan dalam massa otot tanpa lemak yang
merupakan indikator yang lebih akurat dalam perubahan status gizi.
Namun rumah sakit menggunakan metode ini karena alat ukurnya
(timbangan berat badan dan midline) praktis, mudah dibawa dan
dipindahkan dan sangat sesuai dengan kondisi pasien yang tirah baring.
Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur > 18
tahun. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, balita, anak, remaja, ibu
hamil dan olahragawan. Disamping itu IMT tidak dapat diterapkan pada
keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti adanya edema, asites, dan
hepatomegali (Supariasa, 2002).
Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut :
IMT = Berat badan (kg) . Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)
Tabel 3.8 Kategori Ambang Batas IMT Untuk Indonesia
Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0-18,5
Normal >18,5-25
GemukKelebihan berat badan tingkat ringan >25-27Kelebihan berat badan tingkat berat >27
Sumber : Depkes, 1994
Untuk pasien HIV & AIDS yang rawat inap pengukuran tinggi
badan secara langsung agaknya sulit. Pasien tidak sanggup untuk berdiri
sehingga tinggi badan diwakili oleh tinggi lutut. Penghitungan rumus
22
tinggi lutut yang dikonversikan ke tinggi badan menggunakan rumus
CHUMLEA yaitu sebagai berikut :
1. Pasien laki-laki
Tinggi Badan = (2,02 x Tinggi Lutut) – (0,04 x Usia) + 64,19
2. Pasien perempuan
Tinggi Badan = (1,83 x Tinggi Lutut) – (0,24 x Usia) + 84,88
2. Penilaian status gizi biokimia
Penilaian status gizi biokimia merupakan penilaian yang melakukan
pemeriksaan secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan
tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain adalah darah, urine, tinja,
dan juga beberpa jaringan seperti hati dan otot. Metode ini digunakan sebagai
peringatan kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah
lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik maka penentuan kimia faali
dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang
spesifik (Supariasa, 2002).
Menurut Depkes (2003) pemeriksaan laboratorium yang biasa
dilakukan untuk pasien HIV/AIDS adalah pemeriksaan Hb, albumin dan
prealbumin, kholesterol, trigliserida, fungsi hati, dan kadar zat gizi mikro
dalam darah misalnya: zat besi, magnesium, asam folat, vitamin B12, vitamin
A, dll. Pemeriksaan kadar hemoglobin untuk mengetahui apakah ODHA
menderita anemia atau tidak. Pemeriksaan albumin dan prealbumin dianjurkan
pada ODHA dengan penyakit ginjal dan hati, untuk mengetahui apakah terjadi
peningkatan atau penurunan kadar albumin. Pemeriksaan laboratorium lain
seperti kolesterol, trigliserida, enzim hati, kadar besi, magnesium dan apabila
23
mungkin asam folat, vitamin B12 dan vitamin A (retinol) dilakukan untuk
mengetahui profil lipid, fungsi hati, kekurangan vitamin serta mineral dalam
tubuh. Kadar serum ferritin akan meningkat pada fase akut infeksi HIV.
Literatur internasional menganjurkan bahwa penilaian biokimia pada
pasien AIDS harus dilakukan dengan pengambilan serum albumin, transferin,
protein total, kolesterol, hemoglobin, dan hematokrit. Dari pemeriksaan
tersebut dapat diketahui adanya kekurangan protein atau anemia
(McCorkindale, Dybevik, Coulston & Sucher, 1990 dalam Nursalam dkk.,
2008). Selain itu beberapa sumber menyebutkan bahwa penilaian gizi pada
pasien AIDS harus meliputi pengukuran komposisi tubuh dan analisis
parameter gizi termasuk albumin, transthyterin, dan protein reaktif C
(Salomon, Truchis, & Melchior, 2002). Namun kerusakan metabolisme yang
diakibatkan stres yang dialami pasien AIDS dapat mengganggu konsentrasi
zat tadi (Slobodianik, 2003 dalam Nursalam dkk., 2008). Pemeriksaan kadar
albumin pada pasien HIV & AIDS dapat diketahui adanya kekurangan protein
(McCorkindale, Dybevik, Coulston & Sucher, 1990 dalam Nursalam dkk.,
2008). Pada penelitian yang dilakukan di Spanyol tahun 1993, diketahui
bahwa pasien HIV yang terserang diare kronis dan memiliki kadar albumin <
2,5 g/dl sebanyak 53 % sedangkan sisanya adalah pasien HIV dengan kadar
albumin > 3,5 g/dl. Hal tersebut menunjukkan bahwa albumin rendah secara
signifikan berhubungan dengan diare kronis (Castro M. et.al, 1993).
Pada pasien HIV & AIDS sering terjadi anoreksia yaitu penurunan
nafsu makan. Protein yang dikonsumsi oleh pasien sedikit sehingga terjadi
penurunan sintesis protein. Penurunan sintesis protein ini menyebabkan asam
24
amino yang dipecah menjadi berkurang kadarnya dalam tubuh. Kadar asam
amino yang kurang menyebabkan penurunan serum albumin (Ester, 2000).
Albumin merupakan protein yang dibuat oleh organ hati. Uji albumin
mengukur jumlah protein dalam darah. Tes tersebut bermaksud membantu
menentukan apakah pasien memiliki penyakit liver, penyakit ginjal, atau tubuh
tidak dapat menyerap cukup protein. Kadar albumin yang rendah juga dapat
disebabkan karena asupan diet rendah protein (McCorkindale, Dybevik,
Coulston & Sucher, 1990 dalam Nursalam dkk. 2008). Secara umum kadar
albumin normal adalah 3,4 – 5,4 gr/dl. Namun di tiap instansi standarnya
berbeda-beda (Zieve et al., 2009).
Kadar serum albumin rendah pasien tersebut mengalami defisiensi
protein. Defisiensi protein merupakan salah satu indikator terjadinya
malnutrisi pada pasien AIDS. Bila terjadi malnutrisi maka akan
mempengaruhi status gizi pasien AIDS tersebut. Kadar albumin normal yang
ada di RSUD Dr. Soetomo Surabaya adalah 3,8 – 4,4 g/dl. Kondisi dibawah
kadar albumin menyebabkan pasien menderita hipoalbumin atau status gizi
kurang. Defisiensi ini menyebabkan penurunan serum albumin karena protein
yang dikonsumsi oleh pasien sedikit sehingga terjadi penurunan sintesis
protein. Penurunan sintesis protein ini menyebabkan asam amino yang
dipecah menjadi berkurang kadarnya dalam tubuh. Kadar asam amino yang
kurang menyebabkan penurunan serum albumin (Ester, 2000).
25
Asupan Nutrisi bagi pasien HIV & AIDS
Pemilihan makanan berkaitan dengan pemenuhan makanan sehari-
hari. Pengetahuan gizi yang cukup diharapkan dapat mengubah perilaku
seseorang yang kurang benar sehingga dapat memilih bahan makanan
bergizi serta menyusun menu seimbang sesuai dengan kebutuhan dan
selera serta dapat mengetahui adanya kurang gizi (Siregar, E. R., 2008).
Menurut Dudek (1993) dalam Ester (2000) dengan meningkatnya
penghasilan, asupan protein akan meningkat pula sementara asupan
karbohidrat akan menurun.
Dukungan nutrisi adalah bagian dari terapi yang berperan penting
dalam kesembuhan pasien. Dengan dukungan nutrisi yang optimal akan
meningkatkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit. Bagi pasien
HIV & AIDS dukungan kalori sangat penting untuk menghasilkan energi
dan meningkatkan sistem imunnya (Lipoeto, 2006).
Nutrisi yang sehat dan seimbang harus selalu diberikan kepada
pasien HIV & AIDS pada semua tahap infeksi. Untuk memenuhi nutrisi
yang seimbang itu semua pasien HIV & AIDS harus mengkonsumsi
makanan minimal 3 kali sehari dengan 3 kali selingan makanan (Nursalam
dkk., 2008). Gizi yang cukup, yang dapat dicapai dengan mengonsumsi
asupan yang seimbang, penting bagi kesehatan pasien HIV & AIDS
(WHO, 2003).
Nutrisi yang sehat dan seimbang harus selalu diberikan pada klien
dengan HIV & AIDS pada semua tahap infeksi HIV. Perawatan dan
dukungan nutrisi bagi pasien berfungsi untuk :
26
1. Mempertahankan kekuatan tubuh dan berat badan
2. Mengganti kehilangan vitamin dan mineral
3. Meningkatkan fungsi sistem imun dan kemampuan tubuh untuk
memerangi infeksi
4. Memperpanjang periode dari infeksi hingga menjadi penyakit AIDS
5. Meningkatkan respons terhadap pengobatan, mengurangi waktu dan
uang yang dihabiskan untuk perawatn kesehatan
6. Menjaga orang yang hidup dengan HIV & AIDS agar dapat tetap aktif,
sehingga memungkinkan mereka untuk merawat diri sendiri, keluarga
dan anak-anak mereka
7. Menjaga orang dengan HIV & AIDS agar tetap produktif, mampu
bekerja, tumbuh baik dan tetap berkontribusi terhadap pemasukan
keluarga mereka (FAO-WHO, 2002 dalam Nursalam dkk., 2008)
Selain itu pasien HIV & AIDS menjadi malnutrisi karena gangguan
psikologis. Pasien dengan malnutrisi menjadi apatis, lemah, depresi, dan
kehilangan semangat untuk sembuh sehingga meningkatkan morbiditas
dan mortalitas (Singh et al, 2006 dalam Ninuk Dian Indrawaty, 2005).
a. Energi dan protein
Menurut Cunningham-Rundles (1984) kekurangan energi dan
protein jelas akan menimbulkan keadaan imunodefisiensi. Selain itu di
negara dunia ketiga kerentanan terhadap penyakit serta infeksi ini telah
mengakibatkan komplikasi dan kematian pada banyak orang (Ester, 2000).
Almatsier (2005) juga menambahkan bahwa protein sangat berguna untuk
mengganti dan memelihara sel tubuh yang rusak sehingga cocok bagi
27
pasien HIV & AIDS yang sistem kekebalannya menurun akibat infeksi
virus dan jamur. Menurut Stroud (2003) dengan kurangnya asupan energi,
metabolisme tubuh yang berjalan terus-menerus tanpa dibarengi dengan
asupan nutrisi yang cukup, dapat mengakibatkan pemecahan protein
menjadi glukosa (glukogenesis) untuk pemenuhan kebutuhan akan glukosa
(energi). Lebih jauh lagi akan terjadi defisit protein, sehingga
pembentukan enzim, albumin dan imunoglobulin akan terganggu. Daya
tahan tubuh akan menurun, sistem respon imun humoral (imunoglobulin)
dan selularnya berespon lambat terhadap antigen yang masuk, pasien
menjadi beresiko terkena penyakit lain selain penyakit dasar yang
membuat dia dirawat di rumah sakit. Pemecahan protein berlebihan juga
berakibat penurunan cadangan protein yang jelas terlihat di otot, pasien
akan terlihat kurus kering atau kakeksia (Lipoeto, 2006). Pada infeksi
HIV, McCallan et al (1992) menemukan laju pergantian protein lebih
tinggi daripada pasien yang terinfeksi HIV (Ester, 2000). Selain itu
penurunan asupan energi dan protein dapat disebabkan karena wasting
syndrome. Wasting syndrome disebabkan karena penurunan massa tubuh
tanpa lemak pada karena miopati HIV (sakit dan kelemahan otot yang
terjadi pada pasien HIV) pada kejadian wasting syndrome (Simpson et al,
1991 dalam Ester, 2000).
Diare terjadi karena infeksi HIV ke saluran pencernaan dan
mengurangi kemampuan individu untuk mencerna dan mengabsorbsi zat
gizi dari makanan termasuk protein. Protein digunakan sebagai pertahanan
tubuh karena protein memproduksi antibodi. Kemampuan tubuh untuk
28
memerangi infeksi bergantung pada kemampuannya untuk memproduksi
antibodi terhadap organisme yang menyebabkan infeksi tertentu atau
terhadap bahan asing yang masuk ke tubuh. Dalam keadaan kurang protein
kemampuan tubuh untuk menghalangi pengaruh toksik bahan racun ini
berkurang. Seseorang yang menderita kekurangan protein lebih rentan
terhadap racun dan obat-obatan (Almatsier, 2003).
b. Lemak
ODHA harus mendapatkan makanan yang mengandung
karbohidrat, protein, lemak, dan antioksidan (Bimantoro, 2009). Lemak
juga penting bagi pasien HIV & AIDS karena berfungsi untuk
memperbaiki fungsi kekebalan (Almatsier, 2005). Pada orang terinfeksi
HIV, kenaikan kadar trigliserida dapat diperantarai oleh -interferon dan
mencerminkan penurunan pemecahan trigliserida atau peningkatan
sintesisnya dalam hati. Berkurangnya pemecahan trigliserida menjadi
asam lemak bebas menunjukkan bahwa tubuh memecah karbohidrat dan
protein sehingga terjadi pula penurunan massa tubuh tanpa lemak.
Kemungkinan lainnya adalah ketidakmampuan untuk mengubah
metabolisme ke arah oksidasi asam lemak yang menghasilkan energi
(Grunfeld et al, 1981 dan 1991 dalam Ester, 2000).
c. Karbohidrat
Karbohidrat adalah salah satu penghasil energi terbesar bagi
manusia. Semua karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan (Almatsier,
2003). Karbohidrat digunakan untuk sumber energi utama yang menjadi
bahan bakar bagi berbagai proses dalam tubuh (Ester, 2000). Kebutuhan
29
zat gizi makro tersebut diatas harus dipenuhi untuk mencegah terjadinya
penurunan berat badan yang drastis (Depkes, 2003 dalam Nursalam dkk.,
2008).
Kecukupan Gizi
1. Kebutuhan Energi
Kebutuhan energi pasien dihitung berdasarkan jenis kelamin, tinggi
badan, berat badan, serta usia (Ester, 2000). Dalam memperkirakan
kebutuhan energi pasien digunakan BEE (Basal Energy Expenditure) atau
pengeluaran energi basal. BEE adalah pengeluaran energi secara teoritis
dalam keadaan puasa dan istirahat tanpa stres. Persamaan Haris – Benedict
dapat digunakan untuk menghitung BEE (Hartono, 2000).
Persamaan Harris – Benedict :
a. Laki-laki
b. Perempuan
Untuk memperkirakan kebutuhan total energi pasien, BEE
dikalikan dengan faktor aktivitas dan faktor injuri sebagaimana yang
ditunjukkan oleh status masing-masing pasien.
Pada pasien HIV & AIDS faktor aktivitas adalah 1,2 untuk pasien
yang tirah baring total. Sedangkan untuk pasien yang ambulansi (bisa dan
diperbolehkan turun dari tempat tidur) faktor aktivitasnya adalah 1,3.
Untuk faktor injuri kebutuhannya bervariasi menurut gejala infeksi, yaitu
BEE (kal/hari) = 66,47 + (13,75 x berat (kg)) + (5,0 x tinggi (cm)) – (6,76 x usia (tahun))
BEE (kal/hari) = 655,1 + (9,56 x berat (kg)) + (1,85 x tinggi (cm)) – (4,68 x usia (tahun))
Total Energi = BEE x faktor aktivitas x faktor injuri
30
1,2 hingga 1,3 dan bisa mencapai 1,5 bila ada wasting syndrome (Ester,
2000).
2. Kebutuhan Protein
Kebutuhan protein bagi pasien HIV & AIDS tinggi yaitu antara
1,1,-1,5 gr/kg BB/hari. Protein ini berguna untuk memelihara dan
mengganti jaringan sel yang rusak (Almatsier, 2005).
3. Kebutuhan Lemak
Kebutuhan lemak bagi pasien HIV & AIDS cukup yaitu antara 10-
15 % dari kebutuhan energi total (Almatsier, 2005).
4. Kebutuhan Karbohidrat
Pasien dengan infeksi HIV lanjut memerlukan 100 hingga 150
kalori karbohidrat (Ester, 2005).
Perhitungan Persentase Kecukupan Gizi diperoleh dari
perbandingan antara asupan nutrisi dari recall 2X24 jam pasien dengan
kebutuhan nutrisinya dalam bentuk persen (%).
Hasilnya dimasukkan dalam kategori Persentase Kecukupan Gizi berikut :
Kategori Interval
Baik >100 %
Normal 80-99%
Kurang 70-80%
Defisit <70%
%Kecukupan Gizi = Asupan Nutrisi x 100%Kebutuhan Nutrisi
31
BAB IV
KERANGKA KONSEPTUAL
Gambar 4.1. Faktor yang menyebabkan terjadinya malnutrisi pada pasien HIV & AIDS
Pasien HIV
Malabsorbsi
Gangguan Metabolisme
dan Penyimpanan
nutriea
Diare
Kondisi Psikologis Malnutrisi
Rasa Obat
Asupan Nutrisi
Absorbsi Makanan
Pasien HIV & AIDS
Replikasi HIV
Sistem Imun
Stres Oksidatif
Lama Sakit
Defisiensi Nutrisi
Infeksi Oportunistik
32
Keterangan :
Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti
Orang yang terinfeksi HIV mengalami gangguan metabolisme dan
penyimpanan, diare, malabsorbsi, penurunan status imun, dan kondisi psikologis
yang kurang baik. Gangguan metabolisme dan penyimpanan, diare, dan
malabsorbsi dapat menyebabkan terjadinya defisiensi nutriea. Apabila hal tersebut
terjadi maka akan menurunkan sistem imun serta menaikkan stres oksidatif
(keadaan dimana jumlah radikal bebas di dalam tubuh melebihi kapasitas tubuh
untuk menetralisirnya). Apabila sistem imun terganggu dapat menurunkan jumlah
sel imun. Hal tersebut dapat menyebabkan replikasi HIV meningkat dan juga
kemungkinan terkena penyakit semakin meningkat. Adanya penyakit ini yang
menyebabkan seseorang menjadi AIDS. Penyakit ini dapat mempengaruhi
absorbsi makanan ke dalam darah kemudian menyebabkan penurunan asupan
nutrisi.
Orang yang terinfeksi HIV mengalami kondisi psikologis yang kurang
baik seperti merasa takut, depresi, kelelahan, dan cemas. Hal ini dapat
mempengaruhi keinginan penderita HIV/AIDS untuk tidak makan sehingga dapat
mempengaruhi asupan nutrisinya. Asupan nutrisi juga dipengaruhi rasa obat yang
dikonsumsi penderita HIV/AIDS.
Gejala dan penyakit yang berpengaruh pada asupan nutrisi yang bisa
mempengaruhi status gizi pasien HIV/AIDS antara lain adalah anoreksia atau
kehilangan nafsu makan, diare, demam, mual dan muntah yang sering, infeksi
33
jamur, dan anemia. Gejala dan penyakit tersebut juga bisa menyebabkan
gangguan asupan nutrisi penderitanya.
4.1 Hipotesis penelitian
Asupan nutrisi memiliki hubungan dengan status gizi pasien HIV
& AIDS di UPIPI RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
34
BAB V
METODE PENELITIAN
5.1 Jenis Penelitian
Berdasarkan klasifikasi penelitian ini merupakan penelitian
observasional, sedangkan berdasarkan tipe penelitian adalah penelitian
analitik karena bermaksud menganalisa pengaruh variabel faktor asupan
nutrisi dengan status gizi pada pasien HIV & AIDS rawat inap.
Pengumpulan datanya dilakukan secara cross-sectional.
5.2 Populasi Penelitian
Populasi pada penelitian adalah pasien HIV & AIDS rawat inap
dari bulan Mei hingga Juni 2010. Rata-rata pasien per bulan yang rawat
inap bulan Januari hingga April tahun 2010 adalah 43 orang. Rata-rata
pasien ini digunakan untuk menghitung cara pengambilan sampel
menggunakan teknik systematic random sampling.
5.3 Sampel Penelitian
5.3.1 Besar Sampel
Penentuan besar sampel dilakukan dengan metode penentuan besar
sampel tidak berpasangan berikut (Kuntoro, 2008):
35
(Z1- + Z(1-))2
n = + 3Z0
2
= (1,64 + 1,285) 2
(0,536) 2
= 8,56 0,29
= 33 orang
Keterangan :
n = jumlah pasien HIV&AIDS yang dijadikan sampel penelitian
Z1- = harga kurva normal yang tergantung dari harga = 5%, derajat
kepercayaannya = 95% 1,64
Z1- = harga kurva normal yang tergantung dari harga = 10%, derajat
kepercayaan = 90% 1,285
Z0 = harga kurva normal yang tergantung dari harga r = 0,49 0,536
Jumlah sampel yang diteliti dalam penelitian ini adalah 33 orang.
5.3.2 Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel akan dilakukan dengan teknik systematic
random sampling dengan rata-rata jumlah pasien HIV & AIDS rawat inap
dari bulan Januari hingga April 2010 yaitu 43 orang (N = 43 orang). Besar
sampel adalah 33 orang (n = 33), maka k = interval = N /n = 43/33 = 1,2 =
2. Diambil secara acak antara angka 1 hingga 2 terpilih angka 1 sehingga
36
angka yang terpilih selanjutnya adalah 1 + 2 = 3, kemudian 3+2 = 5, dst.
hingga terpenuhi sampel 33 orang.
Sampel yang mengikuti penelitian memiliki kriteria inklusi dan
eksklusi. Kriteria inklusi yaitu :
1. Pasien yang terdiagnosis HIV & AIDS
2. Pasien dewasa (berusia >14 tahun)
3. Pasien yang baru masuk rawat inap > 1 hari
4. Pasien yang menandatangani informed consent
Kriteria eksklusi yaitu :
1. Pasien yang KRS < 2 hari
2. Pasien yang tidak sadar > 2 hari
5.3 Lokasi Dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini di Unit Perawatan Intermediate Penyakit
Infeksi Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya. Dipilihnya
lokasi penelitian di RSUD Dr. Soetomo karena RSUD Dr. Soetomo
merupakan rumah sakit yang ditunjuk pemerintah sebagai pusat perawatan
dan pengobatan, pusat pendidikan dan pelatihan, serta pusat rujukan
penderita HIV dan AIDS di Jawa Timur. Selain itu penelitian ini belum
pernah dilakukan di RSUD Dr. Soetomo. Waktu penelitian yang
dibutuhkan adalah sekitar bulan Mei hingga Juni 2010.
37
5.4 Variabel, Definisi Operasional Dan Cara Pengukuran
5.4.1 Variabel
Dalam penelitian ini variabel dibedakan menjadi 2 yaitu :
1. Variabel tergantung (dependent variable) : status gizi
2. Variabel bebas (independent variable) : asupan nutrisi
5.4.2 Definisi Operasional
Tabel 5.1 Tabel Definisi Operasional, Cara Pengukuran Dan Klasifikasi, Dan Skala Data
No Variabel Definisi operasional Cara pengukuran dan klasifikasi
Skala data
1. Jenis kelamin Ciri karakteristik yang menggambarkan pasien tersebut laki-laki atau perempuan
Kuesioner tertutup dengan kategori : 1. Pria2. Wanita
Nominal
2 Usia Lama waktu hidup sejak lahir hingga saat ini
Kuesioner terbuka, kemudian diklasifikasikan menjadi :1. 18 – < 25 tahun2. 25 – 50 tahun3. > 50 tahun
Interval
3 Status perkawinan
Status pasien dalam pernikahan
Kuesioner tertutup dengan kategori :1. Belum menikah2. Menikah3. Pernah menikah
Nominal
4 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan terakhir yang berhasil diselesaikan
Kuesioner tertutup dengan kombinasi pertanyaan terbuka. Jawaban dikelompokkan menjadi :1. TK2. SD3. SMP/M.Tsanawiyah4. SMA/M.Aliyah5. Universitas / Akademi
Ordinal
5 Pekerjaan Mata pencaharian yang dimiliki pasien
Kuisioner terbuka, kemudian diklasifikasikan menjadi :1. PNS/POLRI/TNI2. Pegawai swasta3. Wiraswasta4. Buruh5. Pensiunan
Nominal
38
6. Tidak bekerja6 Agama Agama atau
kepercayaan yang dianut
Kuisioner tertutup dengan kategori :1. Islam2. Kristen / Katolik3. Hindu4. Budha5. Kong Hu Chu
Nominal
7 Suku Suku daerah pasien Kuisioner tertutup dengan kombinasi pertanyaan terbuka. Jawaban dikelompokkan menjadi :1. Jawa2. Madura3. Tiong Hoa4. Lainnya
Nominal
8
Variabel tergantung
Status gizi Ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan nutriture dalam bentuk variabel tertentu
Menggunakan IMT dengan kategori :1. Kurang (berat) : IMT<172. Kurang (ringan):
17<IMT<18,53. Normal : 18,5<IMT<254. Gemuk (ringan) :
25<IMT<275. Gemuk (berat) : IMT>27
Ordinal
9
Variabel bebas
Asupan nutrisi Masukan berupa makanan baik dari dalam maupun luar rumah sakit yang dikonsumsi pasien saat pasien rawat inap yang berupa asupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat
Hasilnya didapatkan melalui perbandingan antara asupan makan pasien dari Recall 2x24 jam dan kecukupan gizi pasien dalam persen kemudian dikategorikan menjadi persentase kecukupan gizi :
1. Baik : > 100% 2. Normal : 80-99% 3. Kurang : 70-80%4. Defisit : < 70%
(Supariasa, 2002)
Ordinal
10 Kadar serum albumin
Kadar serum albumin pasien AIDS yangmengindikasikan adanya malnutrisi
Dilihat dari data rekam medik rumah sakit dengan klasifikasi :1. Normal : 3,8 – 4,4 g/dl2. Kurang : <3,8 g/dl
Ordinal
39
5.4.3 Cara pengukuran
Cara pengukuran variabel penelitian dilakukan dengan cara :
1. Status gizi pasien HIV&AIDS diketahui dari Indeks Massa Tubuh
yang diukur dari pengukuran berat badan dan tinggi badan (yang
dikonversi dari perhitungan tinggi lutut) kemudian dibandingkan
dengan standar baku.
2. Asupan nutrisi diketahui wawancara melalui kuesioner melalui metode
recall 2X24 jam
5.5 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
5.5.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data diperoleh dari :
1. Data primer
a. Data mengenai jenis kelamin, usia, status perkawinan, tingkat
pendidikan, pekerjaan, tingkat pendidikan, agama, dan suku
diambil dari kuesioner
b. Data mengenai asupan nutrisi diambil dari form asupan makan
dengan metode recall 2X24 jam
c. Data mengenai status gizi diketahui dari pengukuran berat badan
dengan bathroom scale dan tinggi badan yang diwakili tinggi
lutut dengan midline karena pasien berbaring.
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang berasal dari instansi. Data
sekunder yang diperlukan adalah data mengenai kadar albumin.
40
5.5.2 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini,
antara lain :
1. Kuesioner untuk wawancara
Salah satu instrumen yang membantu peneliti dalam pengumpulan
data primer dalam wawancara yaitu kuesioner dan food recall 2x24 hours.
2. Data rekam medik rumah sakit
Data yang diambil dari data rekam medik pasien adalah data
mengenai kadar albumin.
5.6 Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Data yang terkumpul diedit, dikelompokkan kemudian dikoding
dan diolah menggunakan bantuan komputer. Gambaran distribusi
frekuensi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, agama, suku,
kadar albumin, status gizi, asupan nutrisi (energi, protein, lemak, dan
karbohidrat) disajikan dalam bentuk tabulasi silang. Untuk menganalisis
hubungan antara variabel bebas terhadap variabel tergantung digunakan uji
Chi Square dengan = 0,05. Digunakan uji Chi Square karena menguji
hubungan antara 2 variabel bebas dengan skala data kategori.
41
Gambar 5.1 Kerangka operasional
Pasien HIV & AIDS yang baru
rawat inap
KriteriaInklusi/Kriteria
Eksklusi
Masuk Rumah Sakit :1. Pengukuran BB&TB(TL)2. Kuesioner3. Pemantauan hasil albumin
Pengumpulan Data
Analisa Data
Systematic Random Sampling
63
BAB VII
PEMBAHASAN
7.1 Karakteristik Pasien HIV & AIDS
Karakteristik pasien HIV & AIDS dalam penelitian terdiri dari
usia, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan,
agama, dan suku. Secara tidak langsung karakteristik berpengaruh
terhadap asupan nutrisi pada pasien. Setiap pasien membutuhkan
kebutuhan zat gizi yang berbeda-beda berdasarkan jenis kelamin dan usia.
Pasien yang mengonsumsi nutrisi yang baik dipengaruhi oleh pemilihan
makanan yang didasarkan pada status perkawinan, tingkat pendidikan,
pekerjaan, juga pantangan makanan tertentu menurut agama dan suku
asalnya.
Distribusi pasien HIV & AIDS rawat inap menurut usia mayoritas
berusia 25 hingga < 50 tahun yaitu sebesar 81,82%. Sebagian besar pasien
yang ikut dalam penelitian ini adalah pasien dewasa yang rawat inap dan
mengalami stadium HIV tingkat lanjut (stadium III dan stadium AIDS).
Distribusi pasien HIV & AIDS rawat inap berbeda menurut jenis
kelamin. Jumlah pasien laki-laki lebih banyak daripada jumlah pasien
perempuan yaitu 66,67% untuk laki-laki dan 33,33% untuk perempuan.
Pasien tidak dibedakan berdasarkan stadium HIV, infeksi oportunistik
maupun komplikasi, dan kelas rawat inap di rumah sakit.
Kebutuhan energi pasien dihitung berdasarkan jenis kelamin, tinggi
badan, berat badan, serta usia (Ester, 2000). Setiap pasien memiliki
64
kebutuhan energi masing–masing yang nantinya dibandingkan dengan
asupan makanannya saat rawat inap. Pasien yang memiliki asupan yang
baik selama di rumah sakit belum tentu meningkatkan status gizinya
seketika karena perubahan status gizi membutukan waktu yang lama.
Untuk orang sehat pada umumnya berat badan akan naik 0,5 kilogram
dalam kurun waktu satu minggu (Andayani, 2008).
Sebesar 39,40 % pasien mengaku menikah. Sebesar 36,40% pasien
mengaku pernah menikah dan sebesar 24,20% mengaku belum menikah.
Status pernikahan dapat menjadi pertimbangan untuk pengeluaran
makanan sehari-hari. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka
semakin besar pengeluaran untuk makan. Pasien yang sudah berkeluarga
menjadi lebih teratur untuk makan karena ada istri atau anggota keluarga
lainnya yang mengingatkan jadwal makan. Berbeda halnya dengan pasien
yang belum menikah atau hidup sendiri karena makan menjadi lebih tidak
teratur karena tidak ada anggota keluarga yang mengingatkan. Dalam
penelitian ini meskipun mayoritas pasien sudah menikah namun nafsu
makan pasien menurun dikarenakan sakit HIV & AIDS.
Pasien HIV & AIDS rawat inap mayoritas memiliki tingkat
pendidikan lulusan SMA/M.Aliyah yaitu sebesar 45,46%. Pemilihan
makanan berkaitan dengan pemenuhan makanan sehari-hari. Pengetahuan
gizi yang cukup diharapkan dapat mengubah perilaku seseorang yang
kurang benar sehingga dapat memilih bahan makanan bergizi serta
menyusun menu seimbang sesuai dengan kebutuhan dan selera serta dapat
mengetahui adanya kurang gizi. (Enike R. Siregar, 2008)
65
Mayoritas pasien HIV & AIDS rawat inap tidak bekerja atau
berhenti bekerja (33,34%). Hal ini disebabkan pasien tidak mampu untuk
mengerjakan pekerjaannya dikarenakan sakit. Mayoritas pasien yang
mengikuti penelitian ini adalah pasien AIDS (HIV Stadium IV) yang mana
stadium ini memunculkan infeksi oportunistik dan komplikasi yang
mempengaruhi kemampuan tubuhnya untuk beraktivitas. Apabila pasien
tidak bekerja maka dapat menyebabkan tingkat pendapatannya menurun
sehingga dapat menurunkan pula pemenuhan kebutuhan makanannya.
Sebagian besar pasien HIV & AIDS rawat inap yang menjadi
responden penelitian beragama Islam (93,94%). Sebagian besar repsonden
bersuku Jawa (78,79%) juga. Pemilihan bahan makanan dapat pula
dipengaruhi oleh agama dan suku masing-masing. Hal ini berkaitan
dengan pantangan makanan. Namun pasien yang menjadi responden
penelitian mengaku tidak memiliki pantangan apa pun dalam makanan di
rumah sakit maupun makanan luar rumah sakit yang berkaitan dengan
agamanya maupun sukunya.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa mayoritas
pasien HIV & AIDS adalah laki – laki. Mayoritas pasien berusia antara 25
hingga < 50 tahun. Mayoritas pasien berpendidikan tamat SMA/M.Aliyah,
tidak bekerja, beragama Islam dan bersuku Jawa.
66
7.2 Status Gizi Pasien HIV & AIDS
Status gizi pasien dapat mempengaruhi perkembangan penyakit
HIV pada orang dewasa dan kelangsungan hidup orang yang terinfeksi
HIV. Memburuknya status gizi merupakan risiko tertinggi penyakit ini.
Status gizi yang buruk memiliki efek pada fungsi dan pengembangan
sistem imun. Jika status gizi yang baik tidak dijaga maka dapat
meningkatkan resiko infeksi dan rusaknya sistem imun.
Metode penentuan status gizi pasien HIV & AIDS bermacam-
macam. Setiap instansi menggunakan alat yang berbeda-beda tergantung
kemampuan instansi tersebut. Indeks Massa Tubuh merupakan salah satu
metode untuk menentukan status gizi pasien HIV & AIDS. Indeks Massa
Tubuh juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Menurut Kelly (2006),
Indeks Massa Tubuh tidak cukup sensitif untuk memperhitungkan fisiologi
pasien HIV. Metode ini tidak sensitif terhadap perubahan perubahan dalam
massa otot tanpa lemak yang merupakan indikator yang lebih akurat dalam
perubahan status gizi. Namun rumah sakit menggunakan metode ini
karena alat ukurnya (timbangan berat badan dan midline) praktis, mudah
dibawa, mudah dipindahkan dan sangat sesuai dengan kondisi pasien yang
tirah baring.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pasien HIV & AIDS
yang memiliki status gizi kurang tingkat berat berjumlah 11 orang
(33,30%) dan pasien dengan status gizi kurang tingkat ringan berjumlah 7
orang (21,20%). Meskipun 15 orang pasien (45,50%) memiliki status gizi
normal namun bila kategori status gizi kurang tingkat ringan dan berat
67
dijumlahkan maka nilainya akan lebih besar (54,50%). Hal ini berarti
pasien dengan status gizi kurang berjumlah lebih banyak dibandingkan
dengan pasien yang berstatus gizi normal.
Status gizi yang kurang yang terjadi pada pasien HIV & AIDS
dikarenakan terjadinya wasting syndrome. Wasting syndrome adalah
penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronis lebih dari 1
bulan atau demam lebih dari 1 bulan yang tidak disebabkan oleh penyakit
lain (Nursalam dkk., 2008). Pada penelitian ini semua pasien mengaku
mengalami penurunan berat badan > 10% karena pasien merupakan pasien
HIV stadium lanjut (stadium III dan stadium AIDS). Terjadinya HIV-
wasting syndrome ini karena penurunan asupan makan makan yang
kurang, kesulitan menelan akibat infeksi jamur di esophagus, anoreksia,
dan malabsorbsi (Evy dkk, 2005). Garcia-Prats et al (2003) juga
sependapat bahwa bagi orang dewasa malnutrisi dapat disebabkan karena
wasting syndrome. Departemen Kesehatan Afrika Selatan (2001) juga
menyatakan bahwa status gizi yang kurang pada pasien HIV & AIDS
disebabkan karena kurangnya nafsu makan dan absorbsi zat gizi dari
makanan yang buruk.
Menurunnya status gizi pada pasien HIV & AIDS dapat pula
disebabkan karena pasien mengalami gangguan psikologis seperti rasa
apatis terhadap lingkungannya. Karena dalam kondisi sakit pasien hanya
memikirkan kondisi tubuhnya sehingga tidak mempedulikan asupan
makanannya serta lingkungannya. Pada saat penelitian berlangsung pun
beberapa pasien yang mengalami status gizi kurang mengeluhkan rasa
68
lemas, lemah, badan pegal karena merasakan sakitnya. Bila hal tersebut
berangsur terus-menerus maka tingkat kesakitannya dapat bertambah. Hal
ini sesuai dengan pendapat Singh et al (2006) dalam Indrawaty (2005)
bahwa pasien dengan malnutrisi menjadi apatis, lemah, depresi, dan
kehilangan semangat untuk sembuh sehingga meningkatkan morbiditas
dan mortalitas.
Selain itu status gizi kurang dapat pula disebabkan karena status
gizi pasien sebelum masuk rawat inap sudah tergolong kurang, Hal ini
terlihat dari perbandingan antara BB dan TB pasien yang tidak ideal
walaupun saat sebelum pasien rawat inap di rumah sakit pasien menjaga
pola makan dan memenuhi kebutuhan nutrisinya di rumah.
Pada penelitian di Indonesia tahun 2008 yang dilakukan di klinik
Pokdisus HIV/AIDS dan Klinik Teratai (Ruang BMD) RSCM diketahui
bahwa 53,6% pasien HIV/AIDS memiliki IMT rendah. Sedangkan pada
penelitian pada tahun 2001 yang dilakukan sebuah penelitian di MRC
Clinical Trials Unit London dengan 364 pasien laki-laki dan perempuan
penderita HIV sebanyak 61% memiliki status gizi normal (BMI 18,5-25),
14% mengalami kekurangan berat badan tingkat ringan (BMI 17-18,4),
dan sebanyak 17% mengalami kekurangan berat badan tingkat berat.
Sedangkan dari 55 responden pasien perempuan penderita HIV sebanyak
58% memiliki status gizi normal, 18% mengalami kekurangan berat badan
tingkat ringan, dan sebanyak 13% mengalami kekurangan berat badan
tingkat berat. Dari penelitian ini diketahui bahwa masih ada pasien HIV
69
yang mengalami status gizi normal, status gizi kurang baik tingkat ringan
dan berat. (Paton et al., 2006).
Jadi dapat disimpulkan bahwa status gizi pasien HIV & AIDS
rawat inap sebagian besar adalah status gizi kurang karena disebabkan
wasting syndrome, gangguan psikologis (apatis, depresi, lemah,
kehilangan semangat untuk sembuh), dan status gizi pasien sebelum
masuk rumah sakit. Untuk mendapatkan berat badan yang ideal pasien
dapat diberi makanan tinggi energi tinggi protein, makan secara teratur 3
kali sehari dan makan makanan kecil diantara waktu makan, serta selalu
menyediakan makanan favorit yang siap untuk dimakan (Nursalam dkk.,
2008)
7.3 Asupan Nutrisi
Nutrisi yang sehat dan seimbang harus selalu diberikan kepada
pasien HIV & AIDS pada semua tahap infeksi. Nutrisi yang seimbang
diperlukan pasien HIV & AIDS untuk mempertahankan kekuatan tubuh
dan badan, mengganti kehilangan vitamin dan mineral, meningkatkan
fungsi sistem imun, memperpanjang periode dari infeksi hingga
berkembang menjadi periode AIDS, meningkatkan respons terhadap
pengobatan, mengurangi waktu dan uang yang dihabiskan untuk
perawatan kesehatan, dan menjaga agar pasien HIV & AIDS tetap aktif
dan produktif. (FAO-WHO, 2002 dalam Nursalam dkk., 2008) Untuk
memenuhi itu semua pasien HIV & AIDS harus mengkonsumsi makanan
70
minimal 3 kali sehari dengan 3 kali selingan makanan (Nursalam dkk.,
2008).
Pada penelitian ini total energi dihitung berdasarkan rumus Harris-
Benedict. Pasien yang dapat dan diperbolehkan turun dari tempat tidur
faktor aktivitasnya adalah 1,3. Sedangkan pasien yang tirah baring faktor
aktivitasnya adalah 1,2. Tingkat faktor injuri pasien HIV & AIDS adalah
1,5 karena pasien berada pada stadium HIV lanjut dan muncul infeksi
oportunistik. Dalam penelitian ini digunakan kebutuhan protein bernilai
1,2 g/kg BB untuk mendapatkan hasil tingkat konsumsi baik, sedang, dan
defisit, sehingga dapat diuji menjadi tabel 2X2 Chi Square. Digunakan
nilai kebutuhan lemak 12,5% dari kebutuhan energi pada penelitian ini
untuk mengambil nilai tengahnya. Sedangkan kebutuhan karbohidratnya
sebesar 125 kalori.
Berdasarkan hasil Recall 2X24 jam yang diambil pada saat hari
ketiga pasien rawat inap didapatkan hasil bahwa defisit asupan energi,
protein, lemak, dan karbohidrat terjadi pada mayoritas pasien (97,00% ,
84,80% , 57,60% , dan 60,60%). Defisit energi terjadi karena kebutuhan
energi tiap pasien seharusnya antara 1939,26 – 2940,48 kalori (Tabel no.5
Lampiran) namun rata-rata pasien mengonsumsi sebesar 583,9545 +
485,11293 kalori. Defisit energi ini terjadi sebagian besar energi diambil
dari kebutuhan protein. Namun karena protein juga mengalami defisit
maka mempengaruhi jumlah energi yang dikonsumsi pasien. Beberapa
pasien berpendapat tidak menyukai jenis masakan rumah sakit yang
mengandung tinggi protein misalnya daging dan tempe sehingga proses
71
pembentukan massa tubuh terganggu. Protein diberikan untuk memelihara
dan mengganti sel tubuh yang rusak (Almatsier, 2005). Konsumsi protein
dapat membantu membangun dan mempertahankan otot tubuh (Hembree,
2000). Defisit energi dan protein dikarenakan nafsu makan pasien yang
kurang. Nafsu makan yang kurang ini karena keluhan seperti mual,
muntah, diare, batuk, nyeri perut, gangguan menelan dan mengunyah,
pusing, dan kembung yang menyebabkan enggan untuk mengonsumsi
makanan meskipun makanan dari rumah sakit lezat dan bergizi. Mual dan
muntah terjadi karena gangguan gastrointestinal. Batuk terjadi karena
infeksi oportunistik seperti tuberkulosis dan pneumonia. Gangguan
menelan menguyah terjadi karena infeksi jamur. Diare terjadi karena
berkurangnya penyerapan usus terhadap cairan di dalam usus. Padahal
menurut Cunningham-Rundles (1984) kekurangan energi dan protein jelas
akan menimbulkan keadaan imunodefisiensi. Selain itu di negara dunia
ketiga kerentanan terhadap penyakit serta infeksi ini telah mengakibatkan
komplikasi dan kematian pada banyak orang (Ester, 2000). Menurut
Stroud (2003) dengan kurangnya asupan energi pasien metobolisme tubuh
berjalan terus-menerus yang tanpa dibarengi dengan asupan nutrisi yang
cukup dapat mengakibatkan pemecahan protein menjadi glukosa
(glukogenesis) untu pemenuhan kebutuhan akan glukosa (energi). Lebih
jauh lagi akan terjadi defisit protein, sehingga pembentukan enzim,
albumin dan imunoglobulin akan terganggu. Daya tahan tubuh akan
menurun, sistem respon imun humoral (imunoglobulin) dan selularnya
berespon lambat terhadap antigen yang masuk, pasien menjadi beresiko
72
terkena penyakit lain selain penyakit dasar yang membuat dia dirawat di
rumah sakit. Pemecahan protein berlebihan juga berakibat penurunan
cadangan protein yang jelas terlihat di otot, pasien akan terlihat kurus
kering atau kakeksia (Lipoeto, 2006). Almatsier (2005) juga
menambahkan bahwa protein sangat berguna untuk mengganti dan
memelihara sel tubuh yang rusak sehingga cocok bagi pasien HIV & AIDS
yang sistem kekebalannya menurun akibat infeksi virus dan jamur.
Hasil penelitian menunjukkan pasien yang mengalami defisit
lemak berjumlah 57,60%. Rata-rata konsumsi lemak 20,4606 + 15,74343
g. Pasien mengkonsumsi < 70% dari kebutuhan seharusnya yaitu antara
26,93 – 40,84 g. Lemak juga penting bagi pasien HIV & AIDS karena
berfungsi untuk memperbaiki fungsi kekebalan (Almatsier, 2005). Asupan
yang defisit disebabkan karena nafsu makan pasien yang kurang karena
keluhan penyakit seperti mual, muntah, diare, batuk, gangguan menelan
dan mengunyah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 27,30% pasien
mengalami defisit karbohidrat dikarenakan pasien mengonsumsi makanan
< 70% kebutuhan karbohidratnya. Namun sebanyak 63,60% pasien
mengonsumsi karbohidrat tingkat baik. Rata-rata pasien mengonsumsi
karbohidrat 194,68 g sedangkan kebutuhan karbohidrat seharusnya adalah
125 kalori atau 32,5 g. Hal ini dikarenakan pasien berusaha untuk makan
walaupun sedikit dan tidak teratur dengan bubur halus dan roti.
Karbohidrat digunakan untuk sumber energi utama yang menjadi bahan
bakar bagi berbagai proses dalam tubuh (Ester, 2000). Kebutuhan zat gizi
73
makro tersebut diatas harus dipenuhi untuk mencegah terjadinya
penurunan berat badan yang drastis (Depkes, 2003 dalam Nursalam dkk.,
2008).
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami defisit asupan nutrisi baik energi, protein, lemak, dan
karbohidrat karena nafsu makan pasien yang kurang karena keluhan
penyakit seperti mual, muntah, diare, batuk, nyeri perut, gangguan
menelan dan mengunyah yang menyebabkan enggan untuk mengonsumsi
makanan meskipun makanan dari rumah sakit bergizi.
7.4 Kadar Albumin
Pasien HIV & AIDS rawat inap diperiksa kadar albumin pada saat
masuk rawat inap. Pemeriksaan kadar albumin pada pasien HIV& AIDS
dapat diketahui adanya kekurangan protein (McCorkindale, Dybevik,
Coulston & Sucher, 1990 dalam Nursalam dkk., 2008). Defisiensi protein
merupakan salah satu indikator terjadinya malnutrisi pada pasien AIDS.
Bila terjadi malnutrisi maka akan mempengaruhi status gizi pasien AIDS
tersebut.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 81,82% pasien
memiliki kadar albumin yang tergolong rendah (< 2,8 g/dl) saat masuk
rawat inap. Hal ini hampir sesuai dengan penelitian yang dilakukan Castro
di Spanyol (1993) bahwa sebanyak 53% pasien HIV & AIDS memiliki
kadar albumin < 2,5 g/dl dan pasien menderita diare kronis. Penelitian ini
74
didapatkan pula data bahwa pasien HIV & AIDS yang menderita diare
kronis ada 12 orang pasien (Tabel 10 Lampiran).
Kadar albumin yang rendah dapat disebabkan karena asupan diet
rendah protein (McCorkindale, Dybevik, Coulston & Sucher, 1990 dalam
Nursalam dkk., 2008). Pada penelitian ini mayoritas pasien (84,80%)
mengalami defisit asupan protein. Pasien yang seharusnya mengonsumsi
1,3 gr/kg BB/hari sebanyak 84,80% pasien mengonsumsi < 70%
kebutuhan tersebut. Hal tersebut berarti bahwa mayoritas pasien
mengonsumsi asupan diet rendah protein.
Pada pasien HIV & AIDS sering terjadi anoreksia yaitu penurunan
nafsu makan. Protein yang dikonsumsi oleh pasien sedikit sehingga terjadi
penurunan sintesis protein. Penurunan sintesis protein ini menyebabkan
asam amino yang dipecah menjadi berkurang kadarnya dalam tubuh.
Kadar asam amino yang kurang menyebabkan penurunan serum albumin
(Ester, 2000).
Selain itu kadar albumin yang rendah dapat disebabkan karena
pasien menderita diare kronis. Diare kronis terjadi sebagai tanda klinis
pasien masuk ke stadium HIV lanjut (Stadium III dan IV). Pada penelitian
ini semua pasien adalah pasien HIV stadium lanjut yang mengalami diare.
Diare terjadi karena infeksi HIV ke saluran pencernaan dan mengurangi
kemampuan individu untuk mencerna dan mengabsorbsi zat gizi dari
makanan termasuk protein. Protein digunakan sebagai pertahanan tubuh
karena protein memproduksi antibodi. Kemampuan tubuh untuk
memerangi infeksi bergantung pada kemampuannya untuk memproduksi
75
antibodi terhadap organisme yang menyababkan infeksi tertentu atau
terhadap bahan asing yang masuk ke tubuh. Dalam keadaan kurang protein
kemampuan tubuh untuk menghalangi pengaruh toksik bahan racun ini
berkurang. Seseorang yang menderita kekurangan protein lebih rentan
terhadap racun dan obat-obatan (Almatsier, 2003).
Jadi dapat disimpulkan dari penjelasan tersebut bahwa kurangnya
kadar albumin pasien dapat terjadi karena beberapa hal yaitu asupan
asupan diet rendah protein dan diare kronis.
.
7.5 Hubungan Asupan Energi Dengan Status Gizi
Dukungan nutrisi adalah bagian dari terapi yang berperan penting
dalam kesembuhan pasien. Dengan dukungan nutrisi yang optimal akan
meningkatkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit. Bagi pasien
HIV & AIDS dukungan energi sangat penting untuk menghasilkan energi
dan meningkatkan sistem imunnya (Lipoeto, 2006).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya tidak adanya
hubungan antara asupan energi dengan status gizi (p=1,000). Tidak adanya
hubungan antara asupan energi dengan status gizi pasien dikarenakan
adanya faktor lain seperti infeksi oportunistik yang menyebabkan wasting
syndrome. Wasting syndrome disebabkan karena terjadinya malabsorbsi.
Malabsorbsi terjadi karena infeksi mikroorganisme seperti
cytomegalovirus, Pneumonicystis pneumonia, candidiasis, tuberculosis,
CMV, Mycobacterium avium, giardia lamblia, dan Cryptosporodium sp.
Mikroorganisme tersebut yang menyebabkan infeksi oportunistik seperti
76
candidiasis esofagus, tuberkulosis, PCP, dan CMV. (Wanke CA et al,
2000 dalam Ester, 2000). Mikroorganisme ini meningkat jumlahnya pada
saat jumlah CD4+ dibawah 200/mm3(Ester, 2000).
Selain itu terjadinya tidak adanya hubungan antara asupan energi
dengan status gizi adalah pemantauan status gizi tidak dilakukan dalam
penelitian ini. Data dikumpulkan secara cross-sectional pada satu waktu
dan hasil yang didapatkan hanya menunjukkan status gizi pasien HIV &
AIDS pada waktu itu. Hasil ini hampir sama dengan penelitian yang
dilakukan oleh Lipoeto (2006) pada pasien rawat inap bahwa tidak adanya
hubungan antara asupan energi dengan status gizi karena tidak adanya
pemantauan status gizi karena data dikumpulkan secara cross-sectional.
Dipilihnya penelitian secara cross-sectional karena pertimbangan
keterbatasan kemampuan dari peneliti serta waktu yang cukup lama untuk
pengumpulan sampel penelitian.
Pengukuran kehilangan massa sel tubuh merupakan indikator yang
tepat untuk perubahan komposisi tubuh pada pasien HIV (Paton et al,1999
dalam Paton et al, 2006). Menurut Kelly (2006) pengukuran massa sel
tubuh dapat dilakukan dengan Bioelectrical Impedance Analysis namun
rumah sakit tidak menggunakan alat ini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak adanya hubungan antara
asupan energi dengan status gizi karena infeksi oportunistik, tidak adanya
pemantauan status gizi secara terus menerus, serta tidak dilakukannya
pengukuran kehilangan massa sel tubuh.
77
7.6 Hubungan Asupan Protein Dengan Status Gizi
Gizi yang cukup, yang dapat dicapai dengan mengonsumsi asupan
yang seimbang, penting bagi kesehatan pasien HIV & AIDS (WHO,
2003). Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh
zat gizi lain yaitu membangun serta memelihara sel dan jaringan tubuh
(Almatsier, 2003). Oleh karena itu protein yang memadai sangat baik bagi
pasien HIV & AIDS untuk menggantikan sel yang rusak karena infeksi.
Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa tidak ada
hubungan antara asupan protein dengan status gizi pasien HIV & AIDS
rawat inap (p = 1,000). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pada
asupan protein tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan status gizi
pasien HIV & AIDS rawat inap.
Tidak adanya hubungan antara asupan protein dengan status gizi
pasien HIV & AIDS adalah karena adanya infeksi HIV itu sendiri. Pada
infeksi HIV, McCallan et al (1992) menemukan laju pergantian protein
lebih tinggi pada pasien yang terinfeksi HIV daripada pasien yang tidak
terinfeksi HIV (Ester, 2000). Dari pernyataan ini dapat diketahui bahwa
HIV menyebabkan terjadinya gangguan protein.
Selain itu tidak adanya hubungan antara asupan protein dan status
gizi karena disebabkan terjadinya wasting syndrome. Miopati HIV (sakit
dan kelemahan otot yang terjadi pada pasien HIV) mungkin dapat
menjelaskan penurunan massa tubuh tanpa lemak yang terdapat pada
kejadian wasting syndrome (Simpson et al, 1991 dalam Ester, 2000).
78
Pengukuran massa tubuh tanpa lemak dapat dilakukan untuk mengetahui
terjadinya penurunan status gizi pada pasien.
Dapat disimpulkan bahwa tidak adanya hubungan antara asupan
protein dengan status gizi pasien HIV & AIDS karena wasting syndrome.
7.7 Hubungan Asupan Lemak Dengan Status Gizi
Diperlukan dukungan nutrisi yang baik bagi pengidap HIV &
AIDS. Nutrisi yang baik berarti asupan makanan yang cukup sehingga
meningkatkan berat badan pengidap HIV & AIDS. Efek yang diharapkan
dari keadaan ini adalah kadar imunitas tubuh meningkat. Salah satu syarat
agar ini tercapai adalah konsumsi menu seimbang. ODHA harus
mendapatkan makanan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, dan
antioksidan (Yoga B., 2009).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada hubungan
antara asupan lemak dengan status gizi pasien HIV & AIDS (p=1,000).
Tidak adanya hubungan antara asupan lemak karena infeksi HIV itu
sendiri. Pada orang terinfeksi HIV, kenaikan kadar trigliserida dapat
diperantarai oleh -interferon dan mencerminkan penurunan pemecahan
trigliserida atau peningkatan sintesisnya dalam hati. Berkurangnya
pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas menunjukkan bahwa
tubuh memecah karbohidrat dan protein sehingga terjadi pula penurunan
massa tubuh tanpa lemak. Kemungkinan lainnya adalah ketidakmampuan
untuk mengubah metabolisme ke arah oksidasi asam lemak yang
menghasilkan energi (Grunfeld et al, 1981 dan 1991 dalam Ester, 2000).
79
Selain itu perubahan kadar lemak karena asupan lemak dalam
tubuh perlu diukur dengan metode lainnya. Hal tersebut sependapat
dengan Hecker dan Kotler (1990) yaitu pada pasien HIV dengan
kehilangan berat badan terdapat peningkatan sintesis lipid (lipogenesis)
yang berkaitan dengan peningkatan kadar trigliserida kendati terjadi
penipisan massa jaringan otot (massa tubuh tanpa lemak). Pendapat ini
berbeda dengan pendapat Grunfeld et al (1981, 1991) dimana pemecahan
trigliserida menyebabkan penurunan massa tubuh tanpa lemak. Dalam
penelitian ini jelas diketahui bahwa tidak adanya hubungan antara asupan
lemak dengan status gizi bahwa pengukuran berat dan tinggi badan dalam
waktu singkat bukan merupakan metode yang sensitif untuk menunjukkan
perubahan sintesis lipid atau perubahan trigliserida serta perubahan massa
tubuh tanpa lemak. Untuk menentukan perubahan trigliserida dapat
dilakukan pemeriksaan trigliserida pada pasien. Sedangkan untuk
mengetahui perubahan massa tubuh tanpa lemak (lean body mass) dapat
dilakukan dengan metode lain. Menurut Sumakniah (2009) pengukuran
massa tubuh tanpa lemak dapat diukur dengan Bioelectrical Impedance
Analysis.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak adanya hubungan antara
asupan lemak dengan status gizi karena infeksi HIV itu sendiri. Selain itu
perubahan lemak tidak berpengaruh terhadap perubahan status gizi karena
perubahan lemak berkaitan dengan peningkatan sintesis lipid, peningkatan
kadar trigliserida, dan perubahan massa tubuh tanpa lemak.
80
7.8 Hubungan Asupan Karbohidrat Dengan Status Gizi
Karbohidrat adalah salah satu penghasil energi terbesar bagi
manusia. Semua karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan (Almatsier,
2003). Karbohidrat merupakan salah satu makronutrien yang penting bagi
pasien HIV & AIDS.
Tidak ada hubungan antara asupan karbohidrat dengan status gizi
pasien HIV & AIDS (p=1,000). Hal ini berarti perbaikan asupan tidak
memberikan pengaruh terhadap status gizi.
Pada ODHA terjadi malabsorbsi karbohidrat. Malabsorbsi ini
terjadi karena infeksi HIV itu sendiri. Pada orang normal yang terjadi saat
insufisiensi karbohidrat adalah oksidasi asam lemak dan sedikit oksidasi
nitrogen (protein), sedangkan yang terjadi pada ODHA adalah oksidasi
nitrogen dan karbohidrat hingga mengakibatkan berkurangnya protein otot
(Evy dkk, 2008). Sehingga bila berat badan yang diukur hal tersebut
kurang sensitif karena berat badan mengukur massa tubuh bukan massa
otot tubuh.
Jadi tidak adanya hubungan antara asupan karbohidrat dan status
gizi adalah infeksi HIV itu sendiri dan tidak dilakukannya pengukuran
massa otot tubuh terkait asupan karbohidrat.
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa asupan nutrisi
(energi, protein, lemak, dan karbohidrat) tidak berhubungan dengan status
gizi pasien HIV & AIDS. Hal ini dikarenakan ada faktor lain yang dapat
berpengaruh terhadap status gizi yaitu infeksi HIV itu sendiri, wasting
syndrome, infeksi oportunistik, kurang sensitifnya IMT untuk mengukur
81
perubahan karbohidrat, protein, lemak, dan karbohidrat pasien pada waktu
yang singkat. Apabila ingin dilakukan pengukuran status gizi dengan
menggunakan IMT maka diperlukan waktu penelitian yang lebih lama
untuk mengetahui perubahan massa otot tubuh dan massa otot lemak.
82
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan
Berdasar analisis data dan pembahasan, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Karakteristik responden pasien HIV & AIDS rawat inap di UPIPI
RSUD Dr. Soetomo tahun 2010 sebagian besar berjenis kelamin laki-
laki dengan usia 25 hingga < 50 tahun. Sebagian besar pasien mengaku
pernah menikah sebelumnya. Tingkat pendidikan pasien mayoritas
adalah lulusan SMA/M.Aliyah. Mayoritas pasien tidak bekerja.
Mayoritas agama yang dianut pasien adalah Islam dan bersuku Jawa.
2. Asupan nutrisi sebagian besar pasien HIV & AIDS masih dalam
kategori defisit untuk maronutriennya yaitu energi, protein, dan lemak.
Untuk asupan karbohidrat mayoritas baik.
3. Status gizi sebagian besar pasien HIV & AIDS mempunyai status gizi
normal, meskipun masih ada yang berstatus gizi kurang tingkat ringan
dan kurang tingkat berat.
4. Pasien HIV & AIDS mayoritas memiliki kadar albumin kurang dari
normal.
5. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara asupan nutrisi (energi,
protein, lemak, dan karbohidrat) dengan status gizi pasien HIV &
AIDS rawat inap.
83
8.2 Saran
Dari kesimpulan hasil penelitian di atas maka peneliti menyarankan
sebagai berikut:
1. Peningkatan asupan makan dengan menambah konsumsi makan pada
pasien. Apabila pasien tidak dapat mengkonsumsi makanan yang kasar
(bubur dan nasi) sebaiknya petugas gizi rumah sakit dapat
menggantinya dengan makanan yang lebih lembut seperti sonde dan
susu. Bagi pasien yang tidak dapat makan melalui oral dapat diberikan
makanan parenteral (infus).
2. Adanya dukungan sosial dari keluarga maupun petugas rumah sakit
kepada pasien agar pasien termotivasi untuk mencukupi kebutuhan
gizinya berupa penyuluhan kelompok dan individu.
3. Peningkatan komunikasi antara petugas gizi dengan pasien mengenai
jenis makanan yang dikonsumsi. Petugas gizi sebaiknya juga
mengevaluasi setiap hari apakah makanan rumah sakit tersebut mampu
dikonsumsi pasien. Hal tersebut penting untuk meningkatkan asupan
nutrisi (energi, protein, lemak, dan karbohidrat) bagi pasien agar tidak
nutrisinya tidak defisit dan mencegah adanya sisa makanan (food
waste) rumah sakit.
4. Pasien yang hipoalbumin dapat dianjurkan mengosumsi makanan yang
tinggi protein seperti putih telur dan ekstrak ikan gabus.
5. Pengukuran status gizi menggunakan IMT dirasa kurang sesuai untuk
menggambarkan status gizi dalam waktu yang singkat, sebaiknya
84
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai metode yang tepat untuk
mengukur status gizi pasien HIV & AIDS.
6. Sebaiknya dilakukan pemantauan dalam waktu yang lama untuk
mendapatkan hasil penelitian dan pengetahuan baru yang lebih
mendalam mengenai status gizi pasien HIV & AIDS rawat inap.
7. Penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara asupan nutrisi
dengan status gizi pasien HIV & AIDS rawat inap.