(COVER) - Lit-Z

45
Kajian Terhadap Omnibus Law: Investasi vs Lingkungan Hidup MM UI 2020 (COVER)

Transcript of (COVER) - Lit-Z

Kajian Terhadap Omnibus Law: Investasi vs Lingkungan Hidup

MM UI 2020

(COVER)

Oleh:

Patricia Natasha Natio

1906361525

Fakultas Hukum

Universitas Indonesia

Kata Pengantar

Cerita tentang Papua tak pernah bisa dilepaskan dari cerita tentang HAM, Hukum, dan

Politik. Sudah rahasia umum selama puluhan tahun Papua berdiri dibawah naungan Negara

Kesatuan Republik Indonesia menopang perekonomian negera lewat tambang emasnya. Selain

itu, tak sedikit tokoh-tokoh nasional yang lahir dari tanah Papua. Jika melihat secara historis,

Papua hadir dengan kisah perjuangan besar sebagai “bagian paling akhir” yang bergabung

dengan NKRI karena perjuangannya untuk lepas dari penjajahan Belanda. Namun hingga kini,

Papua dengan segala kisah perjuangan dan kekayaan alamnya tak juga menjadikan rakyatnya

sejahtera. Ketertinggalan di berbagai bidang masih menjadi ancaman nyata didepan mata.

Pemerintah tidak tutup mata akan hal ini, berbagai kebijakan telah dibuat untuk

mengangkat kesejahteraan rakyat Papua. Tetapi berbagai upaya tersebut belum berhasil dan

cenderung beberapa kali mendapat penolakan yang menimbulkan gejolak. Namun tak jarang

perlakuan negara dan rakyat Indonesia non-Papua dalam menyikapi gejolak tersebut justru

tidak tepat karena mengarah pada tindakan rasisme, represif, dan berujung pada potensi

pelanggaran HAM. Melalui kajian ini kita akan melihat pertentangan perspektif antara negara

dan rakyat Papua serta tantangan-tantangan yang harus segera diselesaikan dalam konteks

konflik di tanah Papua. Tak lupa, apresiasi tinggi saya berikan pada penulis yang telah

menyelesaikan kajian dengan sangat baik dan diharapkan dengan rilisnya kajian ini menjadi

refleksi dan renungan untuk bersama-sama mencari solusi terhadap konflik yang terjadi di

tanah Papua.

Tangerang, 3 Oktober 2020

Kepala Divisi Kajian dan Penelitian Hukum

Muhammad Fadhil Pratomo

1

Daftar Isi

Daftar Isi……………………………………………………………………………………... 1

Bab I: Pendahuluan…………………………………………………………………………. 2

A. Latar belakang…………………………………………………………………………. 2

B. Rumusan masalah……………………………………………………………………… 5

Bab II: Isi…………………………………………………………………………………….. 6

A. Latar Belakang Separatisme Papua dari berbagai aspek………………………………. 6

Aspek Historis……………………………………………………………………………. 6

Aspek Sosial dan Rasisme……………………………………………………………….. 9

Aspek Ekonomi…………………………………………………………………………. 12

B. Permasalahan HAM di Papua………………………………………………………... 14

Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Papua dan Proses Penyelesaiannya………………….. 14

Krisis Kemanusiaan Nduga dan Operasi Militer Indonesia di Papua…………………... 17

C. Usaha Pemerintah…………………………………………………………………….. 20

UU Otonomi Khusus…………………………………………………………………….20

Kebijakan Ekonomi dan Pembangunan Infrastruktur…………………………………... 22

D. Mekanisme Terbaik………………………………………………………………….. 24

Melaksanakan UU Otonomi Khusus secara keseluruhan, tepat, dan segera…………… 24

Membuka kembali dialog yang setara, komprehensif, dan terbuka……………………..28

Evaluasi menuju UU Otonomi Khusus Papua Jilid II………………………………….. 31

Bab III: Penutup…………………………………………………………………………….33

A. Kesimpulan……………………………………………………………………………33

B. Saran………………………………………………………………………………….. 34

Daftar Pustaka……………………………………………………………………………… 35

2

Bab I: Pendahuluan

A. Latar belakang

Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik (Pasal 1 UUD NRI 1945)1 dengan

wilayah yang terbentang dari Sabang, Aceh hingga Merauke, Papua. Indonesia merayakan

kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 dan terdiri dari seluruh wilayah bekas Hindia Belanda,

meskipun Papua baru masuk secara resmi sebagai wilayah Indonesia pasca Penentuan Pendapat

Rakyat (Pepera) 1969. Sejak awal kelahiran Indonesia, para bapak bangsa yang merancang

dasar negara dalam sidang BPUPKI juga sudah membahas dilema ini. Setelah perdebatan

panjang. pada rapat BPUPKI 10—11 Juli 1945, diadakan pemungutan suara untuk

memutuskan batas wilayah negara Indonesia. Terdapat 3 opsi yaitu 1) seluruh Hindia Belanda

(Jawa, Sumatera, Madura, Sulawesi); (2) Hindia Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara,

Timor, dan Papua; (3) Hindia Belanda ditambah Malaya dan Borneo Utara minus Papua.

Hasilnya, dari 66 peserta sidang, opsi 1 memperoleh 19 suara, opsi 2 memperoleh 39 suara dan

opsi nomor 3 memperoleh 6 suara.2 Dengan hasil tersebut, BPUPKI sepakat untuk

mengikutsertakan Papua sebagai bagian dari wilayah Indonesia.

Beberapa tindakan Indonesia pada masa awal kemerdekaan, misalnya Trikora oleh

Presiden Soekarno pada Desember 1961 juga berdasarkan kepercayaan bahwa Papua adalah

bagian dari pangkuan NKRI yang patut direbut dari Kerajaan Belanda. Akan tetapi, setelah 50

tahun masuknya Papua sebagai bagian dari NKRI, dan setelah 20 tahun era otonomi khusus

Papua, semangat NKRI tidak diterima dengan sesederhana itu khususnya bagi rakyat Papua.

Prinsip tersebut dianggap bertolak belakang dengan fakta banyaknya konflik dan krisis

kemanusiaan yang dialami Papua selama 50 tahun sebagai bagian dari Indonesia. Isu kesatuan

nusantara dari Sabang sampai Merauke sebagai NKRI dan isu penegakan hak asasi manusia

(HAM) Papua di sisi yang lain selalu menjadi perdebatan, sehingga sudah saatnya seluruh

elemen bangsa mencari penyelesaiannya secara komprehensif.

Konflik berdarah dan gerakan separatisme di tanah Papua sudah berjalan selama 50

tahun dan tidak kunjung selesai. Konflik Papua dimulai pada tahun 1965 sebagai reaksi protes

atas Pepera yang dianggap tidak demokratis dan cenderung menekan Papua (pada saat itu

bernama Irian Jaya) ke dalam wilayah Indonesia. Setelah beberapa dekade, konflik Papua terus

berlangsung dan diwarnai oleh saling serang antara organisasi rakyat separatis dengan personel

1 Indonesia, Un d an g - Und a ng Da sa r 1 9 4 5 , Ps. 1 ayat (1). 2 Martin Sitompul, “Debat Pendiri Bangsa Soal Papua”, https://historia.id/politik/articles/debat-pendiri-

bangsa-soal-Papua-v5EAo, diakses 29 Juli 2020.

3

militer dari kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tidak jarang konflik tersebut

melibatkan dan mengorbankan masyarakat sipil. Berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua

telah tercatat, sebagian diantaranya tidak pernah coba diselesaikan oleh pemerintah, misalnya

seperti kasus penembakan yang menewaskan 4 demonstran oleh personel militer pada 8

Desember 2014 di Kabupaten Paniai, Papua. Kasus tersebut belum diselesaikan dan proses

hukumnya tidak berlanjut.3

Di sisi lain pemerintah Indonesia di zaman Presiden Joko Widodo semakin

mengusahakan pembangunan infrastruktur di tanah Papua sebagai salah satu upaya untuk

menangani separatisme dan meredakan konflik.4 Presiden Jokowi berjanji mengejar

"ketertinggalan masyarakat Papua" dengan berbagai kebijakan pembangunan. Antara lain,

meresmikan proyek pembangunan infrastruktur jaringan tulang punggung pita lebar serat optik

sepanjang 8.772 kilometer Sulawesi-Maluku-Papua Cable System (SMPCS) bernilai Rp3,6

triliun di Manokwari, Papua Barat, 10 Mei 2015.5 Selain itu, Kementerian ESDM juga

mengeluarkan Permen ESDM 36/2016 tentang Percepatan Pemberlakuan Satu Harga Jenis

BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan Secara Nasional. Dengan Permen tersebut,

harga BBM di provinsi Papua dan Papua Barat sama dengan wilayah-wilayah lain di

Indonesia.6 Selain itu, Presiden Jokowi juga telah meresmikan 6 infrastruktur kelistrikan di

Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat senilai Rp989 miliar pada Oktober 2016.7 Terakhir

adalah Jalan Trans Papua 4.330 km yang ditargetkan akan tersambung seluruhnya pada akhir

2019. Pada masa Jokowi, panjang Jalan Trans Papua yang harus dibuka atau ditembus adalah

1.066 km. Sampai akhir 2017, Jokowi sudah membuka jalan 910 km atau 85 persen.8

Meskipun demikian, dalam dua tahun belakangan, kerusuhan dan konflik Papua tidak

mereda bahkan sangat memanas pada Agustus 2019 ketika beredar video perlakuan rasis dan

3 Amnesty International Indonesia, ñSudah, Kasi Tinggal Dia Matiò: P emb u nu h an da n Imp u n ita s d i

P a p u a (Jakarta: Amnesty International Indonesia, 2018), hlm. 6. 4 Mohammad Bernie, "Masalah Papua Tak Selesai Cuma dengan Membangun Jalan",

https://tirto.id/egLa, diakses 13 Juni 2020. 5 Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, “Jokowi Resmikan Kabel Optik Bawah Laut Sulawesi-

Maluku-Papua Rp 3,6 Triliun”, https://www.kominfo.go.id/content/detail/4952/jokowi-resmikan-kabel-optik-

bawah-laut-sulawesi-maluku-Papua-rp-36-triliun/0/sorotan_media, diakses 15 Juni 2020. 6 Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, “BBM Satu Harga: Wujud Nyata Pemerataan Energi di

Indonesia”,https://kominfo.go.id/content/detail/9594/bbm-satu-harga-wujud-nyata-pemerataan-energi-di-

indonesia/0/artikel_gpr, diakses 15 Juni 2020. 7 Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), “Presiden Resmikan 6

Infrastruktur Kelistrikan Papua Dan Papua Barat”,

http://ebtke.esdm.go.id/post/2016/10/18/1385/presiden.resmikan.6.infrastruktur.kelistrikan.Papua.dan.Papua.bar

at, diakses 15 Juni 2020. 8 Humas Sekretariat Kabinet RI, “Jalan Trans Papua Terus Dibangun, Pemerintah Targetkan 2019

Tersambung Semua”, https://setkab.go.id/jalan-trans-Papua-terus-dibangun-pemerintah-targetkan-2019-

tersambung-semua/, diakses 15 Juni 2020.

4

kasar yang dilakukan oleh ormas kepada beberapa mahasiswa Papua di sebuah asrama di

Surabaya. Video tersebut memicu gelombang protes dan anarkisme di berbagai tempat,

khususnya di Surabaya dan di berbagai tempat di Papua. Kerusuhan tersebut berlangsung

selama beberapa minggu dan memakan 32 korban jiwa.9 Pemerintah mengirimkan bantuan

militer serta memblokir internet untuk meredam situasi, suatu kebijakan yang menimbulkan

kontroversi. Sementara itu, pada Mei 2020, PTUN Jakarta telah mengabulkan gugatan

masyarakat terhadap kebijakan pemblokiran internet di Papua pada masa kerusuhan Wamena.

PTUN Jakarta menyatakan tindakan pemerintah pusat tersebut melawan hukum. Tragedi

Wamena mengingatkan kembali seberapa besar pekerjaan rumah yang dipegang pemerintah

dalam menyelesaikan konflik Papua.

Pada bulan Mei akhir 2020, ketika muncul gelombang protes atas diskriminasi terhadap

orang kulit hitam di AS yang dipicu pembunuhan George Floyd oleh anggota polisi,

pembahasan terhadap konflik dan diskriminasi rasisme orang Papua muncul dan memanas

kembali. Masyarakat Indonesia lewat berbagai media massa dan sosial kembali mengangkat

pembahasan tentang diskriminasi, rasialisme, dan isu-isu berkenaan konflik Papua, mulai dari

dugaan pelanggaran HAM, pembangunan yang tidak merata, dsb.

LIPI sendiri menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur tidak cukup untuk

menyelesaikan masalah Papua. Berdasarkan kajian yang dirilis LIPI pada 2009, terdapat empat

akar masalah konflik Papua yang perlu diselesaikan secara sistematis satu persatu, yaitu

Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia yang masih perlu

dibicarakan; Kedua, kekerasan dan pelanggaran HAM yang berlangsung di Papua dari 1965

melalui operasi militer nyaris tak ada pertanggungjawaban dari negara; Ketiga, perasaan

terdiskriminasi dan termarjinalkan yang diakibatkan oleh penyingkiran orang-orang Papua

dalam rumusan pembangunan di tanah mereka; dan Keempat, kegagalan pembangunan di

Papua itu sendiri yang melingkupi bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.10

Peneliti Tim Kajian Papua dari LIPI, Aisyah Putri Budiarti, dalam wawancara dengan BBC

Indonesia menyatakan bahwa langkah strategis yang bisa dilakukan pemerintah adalah

berkonsentrasi pada empat akar masalah tersebut secara seimbang dan tidak setengah-

setengah.11

9 Dhias Suwandi, "Korban Tewas Kerusuhan Wamena Bertambah Jadi 33 Orang",

https://regional.kompas.com/read/2019/09/26/19555801/korban-tewas-kerusuhan-wamena-bertambah-jadi-33-

orang, diakses 16 Juni 2020. 10 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Up d a ting P a pu a Ro a d Ma p: P ea ce P ro ce ss, Yo u th P o litics,

a n d Pa p ua n Dia sp o ra (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Agustus 2017), hlm. 9. 11 Ayomi Amindoni, “Pegiat HAM desak pemerintah akhiri krisis politik dan kemanusiaan di Papua,

supaya orang Papua 'terbebas dari rasa takut”, https://www.bbc.com/indonesia/51432649, diakses 19 Juni 2020.

5

Dengan demikian, konflik separatisme Papua masih terus terjadi dan tidak boleh

diabaikan baik oleh pemerintah, kaum intelektual, serta masyarakat luas. Dunia internasional

mengawasi Indonesia dalam menegakkan HAM di tanah Papua. Menyelesaikan konflik Papua

secara tuntas hingga ke akar-akarnya adalah kunci yang dibutuhkan untuk mewujudkan

kesejahteraan dan perdamaian masyarakat Papua yang sesungguhnya.

B. Rumusan masalah

Argumen untuk mempertahankan Papua sebagai bagian dari NKRI seringkali terbentur

dengan masalah-masalah yang sudah ada sejak awal mulanya, seperti pelanggaran HAM dan

marginalisasi yang sistemik kepada masyarakat asli Papua. Oleh karena itu, menyelesaikan

masalah konflik Papua tidak bisa lewat cara-cara lama, namun memerlukan strategi-strategi

baru yang seimbang dan menguntungkan baik bagi pemerintah pusat yang hendak

mempertahankan keutuhan NKRI, juga untuk masyarakat Papua yang menginginkan keadilan

dan kesejahteraan. Dengan melihat status quo tersebut, rumusan masalah yang hendak

dijabarkan dalam kajian ini adalah;

1. Apa yang melatarbelakangi separatisme di Papua dari berbagai aspek?

2. Bagaimana permasalahan HAM yang terjadi di Papua?

3. Bagaimana kebijakan pemerintah baik di pusat dan daerah dalam menyelesaikan

separatisme di Papua?

4. Bagaimana mekanisme terbaik bagi pemerintah pusat dalam menyelesaikan masalah

separatisme Papua tanpa meninggalkan prinsip NKRI dan HAM?

6

Bab II: Isi

A. Latar Belakang Separatisme Papua dari berbagai aspek

Aspek Historis

Secara historis, ada beberapa peristiwa dan dampak yang ditimbulkan peristiwa

tersebut yang dipakai oleh gerakan separatisme Papua sebagai alasan-alasan dan tuntutan untuk

memerdekakan Papua (f ree w est Papua ). Beberapa diantaranya adalah isu transmigrasi dan

invasi orang-orang non-Papua ke dalam tanah Papua, keabsahan referendum Penentuan

Pendapat Rakyat Papua (PEPERA) 1969, dan invasi militer RI yang dimulai sejak

dikeluarkannya Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961.

Menurut penelitian Amnesty International, masyarakat asli Papua mengalami

marginalisasi akibat transmigrasi berkepanjangan yang dilakukan oleh pemerintah, baik Hindia

Belanda kemudian pemerintah Indonesia. Kebijakan transmigrasi dimulai pemerintah RI tahun

1963 dan berhenti pada tahun 2000, namun akibat proses yang telah berjalan selama 37 tahun,

komposisi penduduk asli Papua mengalami penurunan signifikan dibandingkan populasi

penduduk non-Papua. Pada tahun 1959, jumlah penduduk non Papua hanya mencapai angka

2% dari seluruh populasi kemudian naik menjadi 4% pada tahun 1971 lalu pada tahun 2000,

komposisi warga non-Papua di Papua sudah mencapai angka 35%. Pada tahun 2010, Badan

Pusat Statistik (BPS) memperkirakan jumlah penduduk non Papua mencapai angka 23,8% dari

total 2,83 juta penduduk di Provinsi Papua dan mencapai 47,7% dari total 760 ribu penduduk

di Provinsi Papua Barat, sementara beberapa peneliti lain mengajukan angka persentase yang

lebih tinggi.12

Dalam kacamata masyarakat umum transmigrasi orang-orang non-Papua ke Papua

bukanlah isu utama yang menyebabkan separatisme. Transmigrasi ini justru memberikan andil

kepada pertumbuhan ekonomi, berkembangnya pendidikan, serta pembangunan infrastruktur

di daerah Papua. Akan tetapi, kebijakan para investor dan pemerintah daerah untuk

mengutamakan orang-orang non-Papua untuk mengisi berbagai profesi penting dalam aktivitas

ekonomi industri pertambangan, telah mempertajam isu rasisme di Papua. Orang Papua

menganggap kedatangan para transmigran tidak mengembangkan perekonomian masyarakat

asli Papua, melainkan menganaktirikan dan meminggirkan orang asli serta di sisi lain

memanfaatkan kekayaan tanah Papua untuk kepentingan investor serta para pendatang.

12 Amnesty International Indonesia, ñSudah, Kasi Tinggal Dia Matiò: Pembunuhan dan Impunitas di

P a p u a (Jakarta: Amnesty International Indonesia, 2018), hlm.16.

7

Transmigrasi telah dipandang sebagai bentuk invasi yang mengurangi secara signifikan

prospek pekerjaan bagi orang asli Papua serta meminggirkan orang Papua di tanahnya sendiri.

Isu historis lainnya yang dipermasalahkan adalah rancunya keabsahan PEPERA 1969

yang menelurkan hasil bergabungnya seluruh wilayah Papua ke dalam wilayah RI. PEPERA

1969 dilaksanakan di tanah Papua dengan sistem musyawarah dengan dibentuknya Dewan

Musyawarah Pepera (DMP) beranggotakan 1.025 orang Papua yang mewakili sekitar 800.000

penduduk Papua. PEPERA ini dilaksanakan secara bergiliran di delapan kabupaten di Irian

Barat, yaitu pertama di Merauke pada 14 Juli 1969, terakhir di Jayapura pada 2 Agustus 1969.

Hasil Pepera diumumkan pada 2 Agustus 1969, menetapkan Irian Barat sebagai bagian dari

Indonesia. Pada 19 November 1969, Majelis Umum PBB mengesahkan hasil tersebut setelah

melakukan pemungutan suara pada seluruh negara anggota dengan hasil 84 suara mendukung,

30 suara abstain serta tidak ada negara yang menolak hasil.13

Akan tetapi, pelaksanaan PEPERA ini bukan tanpa protes sebab berbagai tokoh Papua

maupun tokoh HAM internasional mempelajari, mencurigai, dan mengklaim bahwa

pelaksanaan PEPERA tidak sah karena melanggar ketentuan-ketentuan Act of Fre e C hoic e

Internat iona l, melanggar Perjanjian New York, serta dalam penemuan lainnya, sarat dengan

tekanan militer RI dan manipulasi oleh pemerintah. Dengan demikian, beberapa tokoh Papua

bersama dengan gerakan kemerdekaan Papua Barat menganggap hasil dari PEPERA bukanlah

suara masyarakat Papua yang sesungguhnya.

Berdasarkan Perjanjian New York 1962, Pepera akan dilaksanakan dengan mekanisme

umum internasional, yaitu one man one vote (satu orang satu suara)14. Namun demikian,

mekanisme PEPERA 1969 di Indonesia akhirnya diganti menjadi musyawarah dengan

perwakilan berjumlah 1024 orang. Penyelenggaraan PEPERA lewat mekanisme musyawarah

ini dianggap melanggar Perjanjian New York 1969, khususnya poin nomor 18.15 Menurut Filep

Karma, aktivis Papua, menyatakan bahwa pada saat itu Indonesia menganggap mekanisme on e

man one vote tidak cocok untuk Papua karena dianggap masih terbelakang, belum siap buat

referendum.16 Selain itu, pada Mei 1967, Jusuf Wanandi yang dikirim ke Papua untuk

mendalami persiapan PEPERA melaporkan pengamatannya kepada Pemerintah pusat bahwa

13 Fajar Riadi, “Setengah Abad Papua bersama Indonesia”, https://historia.id/politik/articles/setengah-

abad-Papua-bersama-indonesia-DAk1P, diakses 16 Juli 2020. 14 Perserikatan Bangsa-Bangsa, A g ree men t b etwee n th e R ep ub lic o f I n do n esia an d th e King d o m o f th e

Neth erla n d s co n ce rn in g West New Gu in ea , Perjanjian No. 6311, 15 Agustus 1962, artikel 18 poin D. 15 Pdt. Socratez Sofyan Yoman, “Ketidakadilan dan Kepalsuan Sejarah Integrasi Papua ke Dalam

Wilayah Indonesia Melalui Pepera 1969”, http://suarabaptis.blogspot.com/2011/02/ketidakadilan-dan-kepalsuan-

sejarah.html, diakses 16 Juni 2020. 16 Filep Karma, S ea ka n Kito ra ng S eten ga h B ina ta ng , cet. 1 (Jayapura:Deiyai, 2014), hlm. 2.

8

jika diadakan pemungutan suara pada 1968, hasilnya pasti orang Papua akan memilih merdeka

sebagai negara independen. Laporan ini dispekulasi menyebabkan kepanikan bagi Indonesia

akan kehilangan Papua sehingga segeralah diperjuangkan cara “kekeluargaan” yakni

musyawarah yang hanya diwakili orang-orang tertentu saja.17

Selain itu, tindakan pemerintah pusat dalam memberikan tekanan militer bagi para

anggota Dewan Musyawarah Pepera juga tidak boleh dikesampingkan. Tertulis dalam laporan

PBB, pada Pepera pertama yang diikuti 175 anggota dewan di Merauke pada tanggal 14 Juli

1969, hadir kelompok besar tentara Indonesia di dalam ruangan musyawarah.18 Pasukan

tentara Indonesia juga hadir di agenda pepera selanjutnya, yang meskipun hadir dengan alasan

“pengamanan”, di sisi lain juga memberikan tekanan batin bagi anggota dewan musyawarah.

Seorang jenderal yang diutus Presiden Soeharto, Ali Moertopo, bertugas untuk memastikan

agar anggota dewan musyawarah adalah orang-orang Papua yang mendukung integrasi dan

bukan kemerdekaan. Para wakil warga Papua yang hadir di Pepera ini juga beberapa kali

diberikan bantuan oleh pemerintah pusat berupa sembako atau barang mewah lainnya.19

Alhasil, integritas dari hasil mufakat, dimana 100% peserta mendukung integrasi, bisa

dipertanyakan oleh pihak yang mengklaim pemerintah Indonesia melakukan upaya-upaya

tidak adil untuk mempengaruhi hasil Pepera.

Melihat fakta-fakta tersebutlah yang membuat LIPI memberikan salah satu

rekomendasi bagai pemerintah pusat yakni meneliti dan mengkaji lebih lanjut apabila terjadi

pelanggaran demokrasi dan kecurangan dalam pelaksanaan PEPERA dan mendukung

pemerintah pusat untuk mengulang PEPERA tersebut sebagai referendum. Sayangnya,

menkopolhukam RI Mahfud MD ketika ditanya tentang kemungkinan referendum untuk

kemerdekaan Papua, Mahfud MD menganggap hal tersebut tidak mungkin dilakukan sebab

tidak pernah diatur dalam konstitusi Indonesia mengenai referendum dan fakta bahwa Papua

adalah wilayah Republik Indonesia merupakan harga mati yang tidak mungkin diubah lagi.20

Ditambah lagi, menurut Guru Besar Hukum Internasional FHUI, Prof. Hikmahanto

Juwana, PEPERA 1969 tidak mungkin dibatalkan. Hasil PEPERA telah dikukuhkan oleh

Majelis Umum PBB dengan Resolusi 2504 (XXIV), sehingga meskipun terjadi penyimpangan,

17 Petrik Matanasi, “Pepera, Cara Indonesia Siasati Potensi Keok Saat Referendum”, https://tirto.id/b6eH,

diakses 16 Juli 2020. 18 Laporan resmi PBB, A n n ex 1 p a ra g ra f 1 89 - 20 0 19 Redaksi Tempo, “ Op era si Kh u su s: Ko ma n do S er ib u Ma ta - Ma ta ”, Majalah Tempo Edisi Khusus:

Rahasia-Rahasia Ali Moertopo, (14 Oktober 2013), hlm. 71. 20 Achmad Nasrudin Yahya, “Mahfud MD Sebut Upaya Referendumkan Papua Bentuk Perlawanan

terhadap Pemerintah”, https://nasional.kompas.com/read/2019/12/17/12211721/mahfud-md-sebut-upaya-

referendumkan-Papua-bentuk-perlawanan-terhadap, diakses 16 Juli 2020.

9

Majelis Umum PBB telah menerima hasil Pepera tersebut. Selain itu, tidak ada satu negara pun

yang menentang hasil PEPERA tersebut (84 suara setuju, 30 suara abstain, 0 suara menolak)

yang menunjukkan bahwa hasil Pepera telah diterima oleh masyarakat internasional. Prof.

Hikmahanto Juwana menambahkan, bahwa dalam perspektif hukum internasional, tidak ada

preseden ataupun opsi untuk membatalkan resolusi Majelis Umum PBB.21

Kelompok separatisme Papua juga mempermasalahkan peristiwa historis tentang

“penjajahan” serta pelanggaran militer RI kepada Papua, yang dimulai pada operasi Trikora

untuk mempertahankan tanah Papua dari cengkraman Belanda.22 Invasi militer Trikora

dianggap sebagai permulaan dari kehadiran personel militer di dalam wilayah Papua, yang di

satu sisi memiliki fungsi penjaminan keamanan dan stabilitas masyarakat Papua yang

merupakan unsur wajib agar ekonomi dan investasi tetap terus berlangsung di Papua, di satu

sisi lain juga menjadi penyebab munculnya ketakutan bagi orang asli Papua serta sumber

terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM, pembunuhan di luar hukum, dan tindakan

represif serta rasis yang dilakukan polisi dan TNI terhadap orang asli Papua. Pembahasan

tentang Operasi Militer yang diselenggarakan di Papua oleh aparat TNI/Polri bersama dengan

kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua akan dibahas lebih lanjut di bagian selanjutnya dalam

kajian ini.

Aspek Sosial dan Rasisme

Isu rasisme terhadap orang Papua sudah berlangsung cukup lama dan memiliki berbagai

alasan yang rumit. Beberapa bukti utama yang dapat dilihat adalah beberapa kali terjadi

persekusi dan pengepungan mahasiswa Papua oleh ormas ataupun aparat kepolisian di

beberapa daerah, seperti di Yogyakarta (Asrama Kamasan I, Juli 2016),23 Manado (Asrama

Kamasan V, September 2017), Tomohon dan Bandung (Oktober 2017),24 lalu Tambaksari

Surabaya (Juli 2018). Terakhir, pada Agustus 2019, terjadi pengepungan besar Asrama Papua

di Surabaya. Pada kasus terakhir, terjadi persekusi kepada mahasiswa Papua terjadi berupa

teriakan kata-kata yang bernada rasis (bersifat merendahkan karena ciri-ciri fisik tertentu) oleh

oknum berseragam tentara. Video rekaman kejadian tersebut dengan cepat tersebar di internet

21 Andi Saputra, “Pepera Papua 1969 Tidak Bisa Dibatalkan”,

https://news.detik.com/berita/d-4704752/pepera-Papua-1969-tidak-bisa-dibatalkan, diakses 16 Juli 2020. 22 Bernard Agapa, “Makna 1 Desember 1961 Bagi Rakyat Papua”,

https://suaraPapua.com/2015/11/29/makna-1-desember-1961-bagi-rakyat-Papua/, diakses 16 Juli 2020. 23 Raynaldo Ghiffari Lubabah, “Kronologi Pengepungan Mahasiswa Papua di Yogyakarta”,

https://www.merdeka.com/peristiwa/kronologi-pengepungan-mahasiswa-Papua-di-yogyakarta.html, diakses 16

Juli 2020. 24 Orang Papua Dibalik Jeruji, I n timid a si da n Kek era sa n terh a da p Ma h a siswa d an Kelo mp o k

Ma sya ra ka t S ip il P a pu a , [s.l.: s.n., Desember 2017], hlm. 2-4.

10

serta hingga memantik kerusuhan yang menjalar hingga Malang, Makassar, serta kota-kota

lainnya di Papua dan Papua Barat.25

Peristiwa rasisme ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih memiliki banyak

pekerjaan rumah dalam mengkampanyekan kesetaraan dan penghargaan terhadap ras

Melanesia (orang Papua). Tanpa disadari, sejumlah masyarakat non-Papua, turut andil dengan

pembentukan persepsi melihat orang-orang asli Papua sebagai bukan siapa-siapa tanpa bantuan

yang dikirimkan oleh Jakarta, baik dalam sistem pendidikan, infrastruktur dan ekonomi. Pola

pikir ini masih hidup dalam oknum aparat keamanan, yang seringkali dilaporkan bertindak

seolah-olah orang Papua merupakan masyarakat kelas bawah yang lebih primitif, bodoh, dan

kasar.

YLBHI mencatat selama tahun 2017—2019, telah terjadi 30 kasus pelanggaran HAM

terhadap mahasiswa Papua, dengan beragam tindakan berupa intimidasi, tindakan rasial,

penggerebekan, penyerangan asrama, pembubaran diskusi, serta pembubaran aksi.26 Prasangka

buruk dari aparat kepolisian serta masyarakat umum terus menghantui orang-orang asli Papua,

seperti yang dialami dalam kasus-kasus ini, serta perlu disayangkan bahwa seringkali dialog

umum, diskusi, ataupun demonstrasi yang diadakan mahasiswa Papua langsung dituduh

separatis dan diancam dengan tuduhan tindak pidana makar. Menurut laporan Koalisi Penegak

Hukum dan HAM Papua, dalam kurun waktu 1 Januari—31 Desember 2019 terdapat 72

aktivis Papua yang menjadi terdakwa atau tersangka atas pasal makar.27 Contoh kasus terbaru

ialah vonis terhadap tujuh tahanan politik Papua dalam sidang putusan di PN Balikpapan,

(17/6/2020). Majelis hakim memutus para terdakwa bersalah karena tindak pidana makar

dalam aksi unjuk rasa di Jayapura sebagai bentuk.28 Meskipun vonis yang dijatuhkan majelis

hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (tuntutan Jaksa 10—17 tahun penjara,

vonis hakim 10—11 bulan penjara), putusan bersalah atas tindakan makar tersebut perlu

diperhatikan.

25 CNN Indonesia, “Kronik Rusuh Papua, dari Malang Menjalar Hingga Makassar”,

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190819200236-20-422845/kronik-rusuh-Papua-dari-malang-

menjalar-hingga-makassar, diakses 16 Juli 2020. 26 Keterangan tertulis Kepala Bidang Pengembangan Organisasi YLBHI, Febionesta, seperti yang

diberitakan di https://www.suara.com/news/2019/08/23/073302/ylbhi-33-pelanggaran-ham-timpa-mahasiswa-

Papua-paling-banyak-di-surabaya, diakses 17 Juli 2020. 27 Emanuel Gobay, “72 Aktivis Papua Jadi Korban Kriminalisasi Pasal Makar”,

https://suaraPapua.com/2020/06/24/1-januari-31-desember-2019-72-aktivis-Papua-jadi-korban-kriminalisasi-

pasal-makar/, diakses 20 Juli 2020. 28 Achmad Nasrudin Yahya, "Vonis 7 Tapol Papua atas Kasus Makar yang Dinilai sebagai "Shock

Therapy"...",https://nasional.kompas.com/read/2020/06/18/11225861/vonis-7-tapol-Papua-atas-kasus-makar-

yang-dinilai-sebagai-shock-therapy?page=all, diakses 20 Juli 2020.

11

Jumlah kasus mahasiswa Papua yang melakukan unjuk rasa sebagai tindak pidana

makar tersebut sangat tinggi dibandingkan minimnya penindakan hukum terhadap aksi unjuk

rasa organisasi masyarakat lain yang mempromosikan penggantian dasar negara Pancasila.

Penulis tidak menemukan tuduhan pasal makar untuk ormas-ormas tersebut yang pada

umumnya hanya dibubarkan atau dicabut izinnya oleh pemerintah tanpa konsekuensi pidana

bagi anggota-anggotanya. Sementara itu, pasal makar yang dikenakan kepada 7 tahanan politik

Papua tersebut adalah pasal 106 KUHP, yang kira-kira berbunyi ñMakar é. dengan maksud

untuk memisahkan sebagian dari wilayah negaraéò diancam dengan pidana seumur hidup

atau maksimal 20 tahun penjara.29 Tindakan para aktivis Papua dalam berdemonstrasi secara

damai dalam mayoritas kasus, membuat pilihan penggunaan pasal makar tersebut patut dikaji

lebih lanjut. Menurut peneliti Imparsial, Ardi Manto Adiputra, proses penegakan hukum 7 tapol

Papua di Balikpapan tersebut dari awal hingga vonis hukuman memiliki tendensi bias rasial.30

Selain itu, penulis menemukan ketidakseimbangan dalam menjatuhkan vonis hukuman

bagi pelaku rasisme dan diskriminasi, dengan para mahasiswa yang melakukan demonstrasi

untuk memprotes tindak rasisme tersebut. Contohnya, hasil penindakan pasca kerusuhan di

asrama Papua (Surabaya) yang menyebar ke berbagai daerah di Agustus 2019. Beberapa orang

yang memulai kerusuhan dengan tindakan rasis adalah Syamsul Arifin, seorang PNS di Pemkot

Surabaya (mengepung asrama, mengumpat "monyet" ke mahasiswa Papua) yang dihukum lima

bulan penjara dan denda Rp1 juta serta seorang tentara bernama Serda Unang Rohana yang

saat pengepungan berteriak-teriak dan menendang pagar asrama, divonis dua bulan penjara.

Dibandingkan para pelaku rasisme, vonis lebih berat jatuh terhadap Arina Elopere, Dano Anes

Tabuni, Paulus Suryanta Ginting Surya, Ambrosius Mulait, dan Charles Kossay yang

berdemonstrasi damai dengan tuntutan utama menolak rasisme. Para mahasiswa ini dituntut

atas tindak pidana makar dan harus mendekam sembilan bulan penjara.31

Ketidakseimbangan ini menunjukkan terdapat rasisme tanpa sadar yang dimiliki bangsa

Indonesia dalam mencap setiap aksi yang dilakukan oleh orang Papua sebagai tindakan

separatis yang diperlakukan sebagai makar yang mengancam negara, dibandingkan hanya

sebagai pelaksanaan hak warga untuk berpendapat di muka umum (Pasal 28 E ayat (2) dan ayat

29 Kita b Un d a n g - Und a ng Hu ku m P id a n a [ Wetb o ek va n S tra ftrec h t ], diterjemahkan oleh Moeljatno,

(Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), Ps. 106. 30 Achmad Nasrudin Yahya, “Imparsial Kritik Vonis Makar terhadap 7 Tapol asal Papua",

https://nasional.kompas.com/read/2020/06/17/20133091/imparsial-kritik-vonis-makar-terhadap-7-tapol-asal-

Papua, diakses 20 Juli 2020. 31 Adi Briantika, "Timpangnya Putusan Hukum Pelaku dan Pemrotes Rasisme ke Orang Papua",

https://tirto.id/fF6j, diakses 20 Juli 2020.

12

(3) UUD NRI 1945)32. Di sisi lain, pemerintah belum serius dalam menindak tindakan rasis

atau penyebaran kebencian yang dilakukan terhadap orang Papua, padahal tindakan-tindakan

tersebut menjadi latar belakang kemarahan rakyat Papua serta menyulut kerusuhan besar pada

Agustus 2019 lalu.

Bangsa Indonesia, khususnya pemerintah dan para penegak hukum sepatutnya lebih

tegas dalam menindak segala tindakan rasis agar orang-orang Papua lebih merasa setara

sebagai warga negara Indonesia dengan seluruh hak dan kewajiban yang patut dihormati.

Indonesia sudah memiliki dasar hukum untuk menindak perlakuan diskriminasi dan rasis yaitu

UU No. 40 Tahun 2008. Dalam UU tersebut, pelaku yang menunjukkan kebencian atau rasa

benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis diancam dengan hukuman

penjara maksimal 5 tahun dan denda paling banyak 500 juta rupiah33. Penggunaan UU tersebut

dapat lebih dioptimalkan untuk menjatuhkan hukuman yang memberi efek jera sebagai salah

satu cara menghapus tindak rasisme di Indonesia. Negara perlu menyadari bahwa konflik

Papua tidak dapat diselesaikan secara tuntas jika tidak diikuti dengan usaha menghilangkan

tindakan dan persepsi rasis terhadap orang-orang asli Papua.

Aspek Ekonomi

Jika membicarakan latar belakang separatisme Papua perlu juga membahas lambatnya

pemerataan infrastruktur sosial-ekonomi kepada masyarakat Papua. Meskipun setiap tahun

meningkat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) provinsi Papua dan Papua Barat selalu berada

di angka terendah, yang pada 2019 berangka 60,84 dan 64,70.34 Lebih lanjut lagi, terdapat

ketimpangan IPM yang sangat tinggi antar kabupaten/kota. Badan Pusat Statistik (BPS)

mencatat IPM kabupaten Nduga hanya 30,75 (kategori rendah) sementara IPM Kota Jayapura

berada di kisaran 80,16.35 Sementara itu, pada Januari 2020, BPS mencatat angka kemiskinan

tertinggi di Indonesia juga dipegang oleh Provinsi Papua dan Papua Barat. Papua masih duduk

di persentase kemiskinan yang tertinggi dengan angka 26,55 persen, disusul oleh Papua Barat

dengan angka 21,51 persen. Melihat fakta Papua yang masih relatif tertinggal dibandingkan

provinsi lain di Indonesia tidak seiring dengan jumlah dana yang digelontorkan pemerintah

32 Indonesia, Un d an g - Und a ng Da sa r 1 9 4 5 , Ps.28E ayat (2) dan (3). 33 Indonesia, Un d an g - Un d an g P en g h ap u sa n Diskrimin a si R a s d a n E tn is , UU No.40 Tahun 2008, LN

No.170 Tahun 2008, TLN No. 4919, Ps. 16. 34 Kumparan Bisnis, “Pembangunan Manusia di Papua Terendah se-Indonesia”,

https://kumparan.com/kumparanbisnis/pembangunan-manusia-di-Papua-terendah-se-indonesia-1srFEyMKIPh,

diakses 17 Juli 2020. 35 Vincent Fabian Thomas, "Indeks Pembangunan Manusia 2019 di Bawah Target, Papua Terparah",

https://tirto.id/ezzq, diakses 17 Juli 2020.

13

pusat untuk Provinsi Papua dan Papua Barat dapat meningkatkan pembangunan. Sejak 2002,

menurut data dari Kementerian Keuangan, pemerintah pusat telah menyalurkan dana Otonomi

Khusus (Otsus) untuk Provinsi Papua dan Papua Barat sebesar Rp 126,99 triliun.36

Dalam hal ini, Freddy Numberi, tokoh Papua dan mantan Gubernur pada 1998,

menyatakan bahwa melihat dan mengembangkan Papua harus menggunakan kacamata Papua.

Selama ini, bagi Freddy, bangsa Indonesia melihat Papua dari kacamata Jakarta, dan dengan

demikian terkadang kebijakan yang diberikan kepada Papua jadi kurang pas.37 Pemerintah

perlu meningkatkan pendidikan dan membangun ekonomi yang berpihak kepada orang asli

Papua serta tradisi adatnya. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan tanpa memperhatikan

hak adat masyarakat serta wilayah tempat tinggal orang Papua dapat berujung pada

kesalahpahaman dan berakhir pada anomali penolakan masyarakat dengan alasan bahwa

pembangunan tersebut malah merusak hutan dan kehidupan masyarakat adat yang bergantung

pada hutan tersebut.

Selain itu, pemerintah pusat dan daerah yang mengelola dana otsus untuk pembangunan

Papua perlu menganalisis dengan hati-hati agar alokasi pemanfaatan dana yang berjumlah

sangat besar itu dapat memberikan dampak positif kepada ekonomi orang asli Papua secara

langsung dan efektif. Menurut peneliti LIPI, Adriana Elisabeth, pembangunan infrastruktur

yang digalakkan oleh pemerintah di Papua adalah suatu terobosan positif yang patut

diapresiasi. Meski demikian, pemerintah juga harus menyelaraskan pembangunan infrastruktur

tersebut dengan pembangunan sumber daya manusia Papua.38 Bagi Adriana, sangat penting

bagi pemerintah untuk memastikan orang asli Papua bisa merasakan manfaat meningkatnya

daya beli karena pembangunan infrastruktur.39 Jangan sampai manfaat dari dana Otsus dan

DAK Papua malah hanya dinikmati oleh para masyarakat pendatang berinvestasi di tanah

Papua. Jika demikian, pada akhirnya suntikan dana untuk Papua hanya menambah lebar jurang

disparitas ekonomi dan IPM antara orang asli Papua dengan para pendatang.

36 Grace Olivia, “Sejak 2002, Pemerintah Pusat sudah Kucurkan Rp 127 Triliun untuk Dana Otsus

Papua”, https://nasional.kontan.co.id/news/sejak-2002-pemerintah-pusat-sudah-kucurkan-rp-127-triliun-untuk-

dana-otsus-Papua, diakses 17 Juli 2020. 37 Program Mata Najwa, Ma sa Dep a n P a pu a , disiarkan di Trans7 pada Rabu, 4 September 2019, pukul

20.00 WIB. 38 Amriyono Prakoso, “Peneliti LIPI: Operasi Militer di Papua Tak Akan Selesaikan Masalah”,

https://www.tribunnews.com/nasional/2018/12/08/peneliti-lipi-operasi-militer-di-Papua-tak-akan-selesaikan-

masalah, diakses 21 Juli 2020. 39 Nicky Aulia Widadio dan Muhammad Nazarudin Latief, “Riwayat konflik Papua, tanah kaya di ujung

timur Indonesia”, https://www.aa.com.tr/id/berita-analisis/riwayat-konflik-Papua-tanah-kaya-di-ujung-timur-

indonesia/1635906, diakses 28 Juli 2020.

14

B. Permasalahan HAM di Papua

Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Papua dan Proses Penyelesaiannya

Kasus Pelanggaran HAM di Papua terjadi di setiap masa, baik kasus lama dan baru,

baik kasus biasa ataupun berat. Catatan Komnas HAM RI Perwakilan Papua, sepanjang 2019

terdapat 154 pengaduan terkait pelanggaran HAM di Bumi Cenderawasih. Jumlah ini

mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2015 sebanyak 103 pengaduan, tahun 2016

sebanyak 124 pengaduan, tahun 2017 sebanyak 89 pengaduan, dan 2018 sebanyak 68

pengaduan.40

Pelanggaran HAM yang akan dibahas disini terjadi dari dua pihak secara dua arah, baik

yang dilakukan oleh personil militer RI yang ditugaskan di Papua, maupun kelompok

separatisme kemerdekaan Papua yang bersenjata dan bergerilya. Akan tetapi, perlu juga

ditekankan di sini bahwa ketidakhadiran hukum dalam kasus-kasus pelanggaran HAM di

Papua dianggap memberi andil memperburuk konflik Papua, akibat tidak adanya penegakan

keadilan dan supremasi hukum yang adil. Selama beberapa dekade sejak bergabungnya Papua

ke wilayah RI, sudah banyak LSM dan organisasi lainnya, baik di Indonesia maupun dunia

internasional yang menyuarakan keprihatinan terhadap pelanggaran HAM serius yang terjadi

di Papua. Beberapa contohnya yaitu Laporan Tahunan mengenai kekerasan pada perempuan,

oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Pada Perempuan dan Laporan HAM oleh Komnas

HAM.

Amnesty International mencatat terdapat 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum

oleh aparat keamanan di Papua antara Januari 2010—Februari 2018, dengan memakan 95

korban jiwa. Pembunuhan ini terjadi terutama dalam konteks penggunaan kekuatan yang

berlebihan terhadap aksi protes massa, selama operasi tugas atau karena motif personal. Dalam

34 kasus, tersangka pelaku dari kepolisian, dalam 23 kasus pelaku berasal dari militer, dan

dalam 11 kasus kedua aparat keamanan diduga terlibat bersama-sama, sementara satu kasus

melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Sebagian besar korban jiwa, 85 dari

mereka, merupakan orang asli Papua.41

Kasus pelanggaran HAM di Papua memang menjadi masalah yang pelik yang bahkan

juga menjadi seringkali menjadi topik diskusi dalam peninjauan kondisi HAM Indonesia yang

40 Fahzian Aldevan, “Potret Buram Pelanggaran HAM di Papua,” https://www.tagar.id/potret-buram-

pelanggaran-ham-di-Papua, diakses 26 Juli 2020. 41 Amnesty International Indonesia, ñSudah, Kasi Tinggal Dia Matiò: Pembunuhan dan Impunitas di

P a p u a (Jakarta: Amnesty International Indonesia, 2018), hlm. 7-8.

15

dilakukan oleh badan-badan HAM PBB. Misalnya, terdapat laporan resmi oleh PBB yang

mengangkat hubungan antara pembunuhan di luar hukum dengan upaya negara membatasi hak

kebebasan berpendapat dan berkumpul secara damai orang Papua.42 Terbaru, Komisi Tinggi

PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) membuka suara menanggapi kerusuhan di Papua

dan Surabaya yang telah berlangsung sejak pertengahan Agustus 2019. Komisioner HAM PBB

Michelle Bachelet dalam situs resminya menyatakan keprihatinannya atas kerusuhan yang

terus bereskalasi Papua, memperingatkan kemungkinan kebijakan pembatasan internet di

Papua untuk memperburuk konflik, serta seruan untuk melaksanakan dialog antara pemerintah

dengan rakyat Papua. Di situs resmi tersebut Bachelet juga meminta rasisme untuk ditangani

sebagai masalah "serius dan telah lama terjadi" di wilayah paling timur Indonesia itu.43

Di sisi lain, Pemerintah Indonesia melalui pernyataan Menteri Luar Negeri, Retno

Marsudi dalam Sidang United N ati ons 3 rd C ycle Universal Periodi c R e view (Sidang UPR)

yang diadakan di Jenewa pada 3 Mei 2017, sempat menyampaikan akan menyelesaikan

berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua.44 Menlu mengklaim bahwa

Kejaksaan Agung sedang mempersiapkan untuk memproses kasus pelanggaran HAM Wamena

dan Wasior di lingkungan Pengadilan HAM di Makassar. Namun hingga saat ini, penyelidikan

terhadap dua kasus pelanggaran HAM tersebut belum rampung.

Investigasi terhadap laporan pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan di Papua

memang tidak diperhatikan secara optimal, bahkan seringkali diabaikan begitu saja. Dari 69

insiden pelanggaran HAM, hanya enam kasus yang pelakunya sudah bertanggung jawab di

hadapan hukum lewat proses pengadilan militer yang sah. Sisanya terdiri dari 25 kasus yang

tidak ada investigasi sama sekali, bahkan investigasi internal pun tidak ada. Sementara itu

dalam 26 kasus lain, pihak kepolisian maupun militer mengaku telah melakukan penyelidikan

internal tetapi memilih tidak mengumumkan hasilnya ke publik. Beberapa kasus lainnya

diselesaikan lewat penyelesaian secara adat maupun mekanisme disiplin internal kepolisian.45

Lewat data ini dapat dilihat bahwa tidak ada mekanisme yang independen, efektif, jelas, dan

42 Perserikatan Bangsa-Bangsa, a R ep o rt o f th e UN S p ec ia l R a p po rteu r o n th e rig h ts to free d o m o f

p ea ce fu l a ssemb ly a nd o f a sso cia tio n ( A dd en du m) on the Ob serva tio n s o n co mmu n ica tio n s tra n smitted to

Go ve rn men ts a n d rep lies rec eive d , 31 Mei 2017, UN Doc. A/HRC/35/28/Add.3, para. 337-341. 43 CNN Indonesia, “PBB Angkat Suara Tanggapi Kerusuhan di Papua”,

https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190904165639-106-427529/pbb-angkat-suara-tanggapi-

kerusuhan-di-Papua, diakses 18 Juli 2020. 44 Yati Andriyani, “15 Tahun Peristiwa Wamena Berdarah Pengadilan HAM Hanya Janji Manis

Diplomasi”,https://kontras.org/2018/04/04/15-tahun-peristiwa-wamena-berdarah-pengadilan-ham-hanya-janji-

manis-diplomasi/, diakses 18 Juli 2020. 45 Amnesty International Indonesia, ñSudah, Kasi Tinggal Dia Matiò: Pembunuhan dan Impunitas di

P a p u a (Jakarta: Amnesty International Indonesia, 2018), hlm. 7-8.

16

imparsial untuk menindak dan menyelesaikan pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan.

Fenomena menyedihkan ini telah meninggalkan banyak korban yang tidak mendapat keadilan

dan pemulihan hak (reparasi).

Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat menyatakan bahwa Komnas HAM sudah

mengesahkan 3 peristiwa di Papua sebagai kasus pelanggaran HAM berat, yaitu tragedi Wasior

(2001) dan Wamena (2003), dan tragedi Paniai (Desember 2014).46 Komnas HAM memiliki

tugas melakukan proses penyelidikan atas kasus dugaan pelanggaran HAM berat sesuai dengan

ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 26

tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kemudian, berkas hasil penyelidikan

tersebut diberikan ke Kejaksaan Agung untuk dinaikkan ke tahap penyidikan. Akan tetapi,

dalam pelaksanaannya mekanisme ini mengalami hambatan. Misalnya Komnas HAM telah

dua kali melengkapi berkas perkara untuk Tragedi Paniai, namun berkas tersebut dua kali pula

dikembalikan oleh Kejaksaan Agung karena bukti diklaim tidak kuat.47

Selain itu, menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Yuspar

mengatakan hingga saat ini pihak Kejagung tidak menemukan unsur-unsur pelanggaran HAM

berat dalam tragedi Paniai, sehingga sulit untuk meningkatkan status kasus ke tahap

penyidikan. Apabila suatu kasus-kasus tidak memenuhi unsur pelanggaran HAM berat yang

tercantum dalam UU No. 26 tahun 2000, maka kasus tersebut tidak dapat diproses di

Pengadilan HAM, melainkan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer.48

Sementara itu, dikarenakan wewenang yang terbatas dalam penyidikan pr o just i sia, Komnas

HAM membutuhkan perintah dari Jaksa Agung yang berotoritas penuh dalam penyidikan

kasus Pelanggaran HAM Berat. Maka, koordinasi dan kerja sama dari kedua lembaga ini sangat

dibutuhkan untuk mempercepat proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Papua.49

Jika Kejaksaan Agung maupun Komnas HAM tidak melakukan pembahasan bersama secara

menyeluruh, kejadian oper-operan berkas kasus pelanggaran HAM Papua akan terus terjadi.

Sesungguhnya, pemerintah lewat UU Otonomi Khusus Papua sudah mengukuhkan

dasar hukum dan mekanisme yang lebih efektif dan sah untuk menyelesaikan pelanggaran

46 Heyder Affan, “Janji penyelesaian 11 pelanggaran HAM di Papua”,

https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160518_indonesia_ham_Papua, diakses 22 Juli 2020. 47 Haris Prabowo, "DPR Kritik Buruknya Koordinasi Kejagung-Komnas HAM usut Kasus HAM",

https://tirto.id/fMgh, diakses 30 Juli 2020. 48 Paparan Direktur HAM Berat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Yuspar dalam

webinar “Masa Depan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Papua”, Kamis, 18 Juni 2020, difasilitasi oleh

Perkumpulan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). 49 Paparan Komisioner Komnas HAM, M. Choirul Anam dalam webinar “Masa Depan Penyelesaian

Pelanggaran HAM Berat di Papua”, Kamis, 18 Juni 2020, difasilitasi oleh Perkumpulan Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat (ELSAM).

17

HAM di Papua. Mekanisme tersebut dicantumkan pada pasal 45-46 UU Otonomi Khusus

Papua, berupa pembentukan perwakilan Komnas HAM, Komisi KKR, dan Pengadilan HAM

di Papua. Proses pengadilan HAM harus diadakan di Tanah Papua, dan bukan Ibukota Jakarta

demi memudahkan akses para korban dan saksi untuk tampil di muka pengadilan tanpa

akomodasi yang berlebihan dan berbahaya. Mekanisme pengadilan HAM Papua ini akan

dibahas lebih lanjut dalam bagian berikutnya di kajian ini.

Namun seperti yang diketahui, mekanisme pengadilan HAM tidak dilaksanakan secara

serius. Akibatnya, kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah Indonesia terus menerus

berkurang. Pemerintah Indonesia kerap kali berjanji untuk menjamin HAM di tanah Papua,

namun di sisi lain juga lewat tindakan atau pernyataan, berusaha mengubur pelanggaran HAM

tersebut. Terbaru, dalam wawancara tanggal 4 September 2019, Menteri Koordinator Bidang

Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengajukan pembuatan Dewan Kerukunan Nasional

(DKN) untuk membuka ruang rekonsiliasi dan mediasi untuk menyelesaikan utang

pelanggaran HAM masa lalu dengan mengedepankan mekanisme non-yudisial.50 Ide ini

ditolak oleh keluarga korban kasus pelanggaran HAM dan berbagai kalangan lain karena

memiliki kecenderungan untuk memberikan impunitas atau pengampunan kepada pelanggar

HAM, tanpa mendapatkan penegakan hukum yang sepantasnya.

Krisis Kemanusiaan Nduga dan Operasi Militer Indonesia di Papua

Sejak akhir Desember 2018 hingga penghujung 2019, krisis kekerasan di Nduga,

Papua, belum memperlihatkan tanda-tanda membaik. Krisis Nduga bermula pada 2 Desember

2018 dengan peristiwa kekerasan bersenjata oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/

Organisasi Papua Merdeka (TPNPB/OPM) pimpinan Ekianus Kogoya yang menewaskan 16

pekerja PT Istaka Karya.51 Dua hari kemudian, pemerintah pusat memberlakukan operasi

militer TNI-Polri untuk merespon peristiwa itu, diikuti oleh pengungsian besar-besaran warga

Nduga menuju Wamena dalam ketakutan akan meletusnya konflik bersenjata yang lebih

parah.52 Kontak bersenjata di Papua, baik dimulai oleh pihak TPNPB maupun TNI, bukanlah

pertama kali terjadi. Bahkan, keberadaan kelompok milisi bersenjata OPM diklaim pemerintah

sebagai alasan terlibatnya personel TNI untuk mengerjakan proyek Jalan Trans Papua (yang

50 Program Mata Najwa, Ma sa Dep a n P a pu a , disiarkan di Trans7 pada Rabu, 4 September 2019, pukul

20.00 WIB. 51 Haris Prabowo, "Nestapa Nduga Selama 2019: 37.000 Orang Mengungsi, 241 Orang Tewas",

https://tirto.id/epPx, diakses 20 Juli 2020. 52 BBC Indonesia, “Buntut penembakan pekerja di Nduga, 2.000 orang mengungsi ke Wamena, Papua”,

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47411590, diakses 20 Juli 2020.

18

ditargetkan selesai akhir 2020) di sejumlah titik rawan, khususnya karena sebagian besar

kontraktor merasa tidak aman melangsungkan pekerjaan di daerah tersebut.53

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Feri

Kusuma pada 13 Desember 2018 mengatakan, pemerintah tidak sepatutnya membuat Nduga

sebagai Daerah Operasi Militer. Jika melihat pembentukan DOM di Aceh pada 1990—1998

dan 2001—2004 serta Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma di Papua 1996, pengiriman

pasukan militer tak terbukti dapat menyelesaikan masalah namun malah menambah rumit

penyelesaian konflik akibat semakin banyaknya kekerasan. Pendekatan operasi militer

sungguh sangat berbahaya dan berpotensi menambah konflik-konflik selanjutnya.54 Terbukti,

setelah setahun berlalu, operasi militer TNI ini tidak berhasil menjamin kedamaian dan

keamanan di Nduga, melainkan mendorong berlanjutnya konflik bersenjata yang berlarut-larut

serta meninggalkan masyarakat sipil sebagai korban. Menurut Direktur Yayasan Keadilan dan

Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, ada tiga aktor kekerasan dalam krisis Nduga, yaitu

masyarakat sipil, TNI-Polri, dan OPM.55

Per 27 Desember 2019, melalui Laporan Tim Relawan Kemanusiaan, jumah warga

Nduga yang terpaksa mengungsi mencapai 45.000 jiwa. Krisis kemanusiaan Nduga juga sudah

memakan 241 korban jiwa. Tidak sedikit warga Nduga yang meninggal di pengungsian, rata-

rata disebabkan oleh sakit. Banyak di antara pengungsi enggan datang ke fasilitas kesehatan

karena ketakutan, sementara beberapa lainnya yang pergi ke layanan kesehatan pemerintah

tidak dilayani karena tidak terdaftar secara administratif sebagai penduduk setempat atau tidak

memiliki kartu identitas.56

Sebelumnya pada Agustus 2019, pemerintah Kabupaten Nduga meminta pusat untuk

secepatnya menarik personel TNI/Polri yang sedang menggelar operasi militer di Nduga sejak

awal Desember 2018. Menurut Bupati Nduga Yairus Gwijangge, keberadaan personel militer

di Nduga membuat hidup masyarakat tidak tenang. Masyarakat mengosongkan 11 distrik di

Nduga dan belum bisa kembali ke rumah. Sementara itu, TNI lewat Kodam

53 Dhias Suwandi, “TNI Direncanakan Garap Pengerjaan Trans Papua di Kawasan Rawan KKB”,

https://regional.kompas.com/read/2019/12/03/15212881/tni-direncanakan-garap-pengerjaan-trans-Papua-di-

kawasan-rawan-kkb, diakses 27 Juli 2020. 54 Dimas Jarot Bayu, "Operasi Militer Bukan Solusi Tepat Selesaikan Konflik di Papua" ,

https://katadata.co.id/hariwidowati/berita/5e9a558c7f903/operasi-militer-bukan-solusi-tepat-selesaikan-konflik-

di-Papua, diakses 21 Juli 2020. 55 Ansel Deri (Sekretaris Papua Circle Institute), “Mengurai Kekerasan di Nduga”,

https://mediaindonesia.com/read/detail/280569-mengurai-kekerasan-di-nduga, diakses 20 Juli 2020. 56 Albertus Vembrianto dan Adi Renaldi, “Mengungsi di Tanah Sendiri: Setahun Berlalu, Para Pengungsi

Nduga Masih Didera Nestapa”, https://www.vice.com/id_id/article/xgqgmj/mengungsi-di-tanah-sendiri-setahun-

berlalu-para-pengungsi-nduga-masih-didera-nestapa, diakses 20 Juli 2020.

19

XVII/Cenderawasih menyatakan tidak akan memenuhi permintaan tersebut karena Nduga

merupakan satu kesatuan dari NKRI. Keberadaan TNI di Nduga diklaim bukan untuk menakut-

nakuti rakyat, melainkan pertimbangannya adalah melindungi rakyat yang terancam akibat

ancaman milisi bersenjata OPM.57 Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada September

2019 juga mempertanyakan permintaan penarikan aparat militer di Papua dan Papua Barat.

Mengutip pidato Presiden Megawati Soekarnoputri saat kunjungan ke Papua (2004), Menhan

menyatakan jika satu kali TNI ditarik dari tanah Papua, maka Papua akan merdeka esok

harinya. Tambahnya, terdapat banyak kelompok pemberontak bersenjata yang ingin

memisahkan diri dari Indonesia, sehingga sudah menjadi tugas TNI sebagai alat keamanan

negara untuk menjaga keselamatan NKRI.58

Operasi militer dan pengiriman personil militer ke wilayah Papua bukanlah kebijakan

baru. Pemerintah Indonesia dalam kurun waktu 1963 – 2004 sudah melakukan Operasi Militer

di Papua sebanyak 15 kali. Beberapa diantaranya yaitu, Operasi Sadar (1965-1967), Operasi

Baratayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Militer di Jayawijaya (1977),

Operasi Sapu Bersih I dan II (1980), dan Operasi Militer Pembebasan Mapenduma

(1996).59Operasi-operasi militer tersebut bukannya berjalan mulus tanpa cela dalam

memerangi kelompok bersenjata separatis OPM serta memberikan keamanan bagi Papua.

Banyak saksi menyatakan bahwa dalam setiap operasi militer yang dikirim pusat tersebut,

terdapat banyak penduduk sipil Papua jatuh sebagai korban jiwa di desa-desa sekitar wilayah

operasi militer tersebut.60

Untuk merumuskan pembentukkan Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi lewat UU Otonomi Khusus untuk Papua, Agus Sumule merinci jumlah korban

selama Operasi Militer di Papua antara tahun 1969—1997 di Paniai ialah 614 korban jiwa, 13

orang hilang dan 80 korban pemerkosaan (1980—1995). Operasi militer pada 1979 di Kelila

(Jayawijaya) memakan 201 korban jiwa, serta tahun 1977 di Asologaiman, memakan 126

korban jiwa, dan di Wasi 148 korban jiwa.61

57 Dhias Suwandi, “Bupati Minta Semua Pasukan Ditarik dari Nduga, Ini Pernyataan TNI",

https://regional.kompas.com/read/2019/08/07/14415941/bupati-minta-semua-pasukan-ditarik-dari-nduga-ini-

pernyataan-tni?page=all#page3, diakses 20 Juli 2020. 58Alfian Putra Abdi, "Soal Penarikan Tentara, Menhan: Sekali TNI Ditarik, Papua Merdeka",

https://tirto.id/ehBB, diakses 27 Juli 2020. 59 Komisi Nasional HAM, S top S u d ah ! Kesa ksia n P eremp ua n P a p u a Ko rb a n Kek era sa n & Pela n g ga ra n

HA M 1 9 6 3 - 20 0 9: Ha sil Do ku men ta si b ersa ma ke lo mp o k ke rja p en d o ku men ta sia n ke ke ra sa n d an p ela n g g a ran

HA M P eremp u a n P a pu a 2 0 09 ï 2 01 0 (Jayapura: Komisi Nasional HAM, 2010), hlm.7. 60 Amiruddin al Rahab, “Operasi Militer Papua: Pagar Makan Tanaman”, Ju rna l P en elitia n P o litik LIP I ,

(Volume 3 no. 01 tahun 2006), hlm.19. 61 Agus Sumule, Men ca ri Ja lan Ten g a h : Oton o mi Kh u su s P ro vin si P a p u a (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2003), hlm. 233— 234.

20

Konflik bersenjata di Papua memang sudah lama berlangsung antara TNI dan TPNPB,

serta telah memberikan dampak traumatis yang akan membekas lama di tanah Papua. Pengamat

Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, mengatakan

bahwa konflik bersenjata ini dipertajam dengan keinginan sejumlah kelompok untuk

memisahkan diri dari Indonesia serta ketidakpuasan pihak TPNPB terhadap pemerintah.62

Pemerintah disarankan untuk bersedia membuka ruang dialog, sebab jika konflik diselesaikan

dengan kekerasan, tidak akan pernah selesai. Peneliti LIPI lainnya, Adriana Elisabeth,

mengingatkan bahwa tindakan represif dari personil militer justru membuat kelompok

bersenjata cenderung semakin membalas. Pendekatan keras malah memberikan dampak buruk,

sementara orang Papua hanya ingin negara memenuhi kewajiban mengembangkan

pembangunan manusia, seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan.

Pendekatan lunak (soft approach) dianggap akan jauh lebih efektif dalam menyelesaikan

konflik Papua dibanding melakukan operasi militer.63 Apabila baik pemerintah Indonesia

maupun kelompok bersenjata OPM masih enggan mengalah dan memulai dialog, masyarakat

Papua akan terus menjadi korban, terpaksa mengungsi dan terlunta-lunta di tanah sendiri.

C. Usaha Pemerintah

UU Otonomi Khusus

Pada tahun 2001 Pemerintah RI mengeluarkan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) yang berisi berbagai ketentuan yang luas untuk

menangani masalah Papua dari berbagai aspek, yaitu ekonomi, politik, sosial, pengelolaan

SDA, HAM, dan aspek lainnya. Setelah itu, Presiden SBY pada 2008 mengeluarkan revisi UU

agar Provinsi Papua Barat tercakup sebagai wilayah otonomi khusus.64 UU Otonomi Khusus

Papua bertujuan untuk memberdayakan martabat orang asli Papua, salah satunya yang berhasil

adalah dalam bidang pemerintahan. Parlemen di Provinsi Papua dan Papua Barat yang disebut

sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat

(DPRPB) sudah memiliki representasi masyarakat adat sementara Gubernur dan Wakil

62 Callistasia Wijaya, “Papua: Konflik bersenjata di Tembagapura, warga sebut 'anak-anak dan ibu-ibu

bisa trauma, bisa jadi gila”, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51799006, diakses 21 Juli 2020. 63 Amriyono Prakoso, “Peneliti LIPI: Operasi Militer di Papua Tak Akan Selesaikan Masalah”,

https://www.tribunnews.com/nasional/2018/12/08/peneliti-lipi-operasi-militer-di-Papua-tak-akan-selesaikan-

masalah, diakses 21 Juli 2020. 64 Indonesia, Un d a ng - Un da n g P en eta p an P erp p u No mo r 1 Ta h u n 2 0 08 Ten ta n g P eru b a h an A ta s

Un d a n g - Un da n g No mo r 2 1 Ta h u n 2 00 1 Ten ta n g Oto nomi Kh u su s B a g i P ro v in si P a p u a Men ja d i Un d an g -

Un d a n g , UU No.35 Tahun 2008, LN No.57 Tahun 2008, TLN No. 4842, Penjelasan Umum.

21

Gubernur di Tanah Papua juga sudah diwajibkan merupakan orang asli Papua. Ada pula

Majelis Rakyat Papua (MRP) juga menjadi lembaga yang terdiri dari berbagai tokoh adat dan

agama yang merepresentasikan kekayaan kultural orang Papua. Fungsi susunan pemerintahan

di Provinsi Papua dan Papua Barat sudah relatif membaik sesuai dengan karakteristik

masyarakat Papua.65

Sejak pemberlakuan UU Otsus Papua pula, proses pembentukan provinsi,

kabupaten/kota, distrik dan desa baru terus dilakukan. Pada 2003 terbit Inpres Nomor 1 Tahun

2003 yang merupakan dasar hukum bagi pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, yang

kemudian menjadi daerah otonomi khusus setelah terbitnya UU Nomor 35 Tahun 2008. Sampai

sekarang, pemerintah pusat terus mendorong pemekaran daerah di Papua menjadi daerah

otonom baru. Pada 11 Desember 2019, ada dukungan Komisi II DPR RI atas pembentukan

Provinsi Papua Selatan setelah sebelumnya komisi itu juga menyatakan mendukung

pembentukan Provinsi Papua Tengah.6667 Pemerintah mengklaim pemekaran yang merupakan

respons dari aspirasi tokoh Papua, akan meningkatkan efektivitas pengelolaan pembangunan

serta membangun iklim politik yang lebih kondusif. Namun Peneliti LIPI Adriana Elisabeth

mengatakan pemekaran wilayah otonom tidak cukup menyelesaikan konflik di Papua

melainkan hanya akan memuaskan kelompok tertentu. Akar masalah, misalnya demografi di

akar rumput lebih penting untuk diperhatikan selain hanya memekarkan wilayah.68

Namun demikian, masih sangat banyak ketentuan dalam UU ini yang sangat diabaikan

pelaksanaannya. Menurut Gubernur Papua, Lukas Enembe dalam wawancara tertanggal 21

Agustus 2019, menyebutkan UU Otonomi Khusus untuk Papua sebenarnya tidak berjalan.

Gubernur Lukas mengklaim bahwa pemerintah pusat hanya memberi uang, namun

kewenangan otonomi khusus tidak ada bagi pemerintah daerah. Belum ada perda khusus yang

disahkan, sementara PP yang berhasil dibentuk hanya PP tentang Majelis Rakyat Papua,

sementara peraturan pelaksana otonomi khusus lainnya belum ada.69

65 Agus Sumule, “Evaluasi Otsus Papua: Tinjauan Bab Per Bab (Bagian I)”,

https://suaraPapua.com/2020/05/22/evaluasi-otsus-Papua-tinjauan-bab-per-bab-bagian-i/, diakses 20 Juli 2020. 66 Antara, “Komisi II DPR Mendukung Pembentukan Provinsi Papua Tengah”,

https://nasional.tempo.co/read/1274445/komisi-ii-dpr-mendukung-pembentukan-provinsi-Papua-tengah, diakses

29 Juli 2020. 67 Nur Azizah Rizki Astuti, “Pimpinan Komisi II: Semua Anggota Dukung Usul Provinsi Baru Papua

Selatan”,https://news.detik.com/berita/d-4818567/pimpinan-komisi-ii-semua-anggota-dukung-usul-provinsi-

baru-Papua-selatan, diakses 29 Juli 2020. 68 Nicky Aulia Widadio dan Muhammad Nazarudin Latief, “Riwayat konflik Papua, tanah kaya di ujung

timur Indonesia”, https://www.aa.com.tr/id/berita-analisis/riwayat-konflik-Papua-tanah-kaya-di-ujung-timur-

indonesia/1635906, diakses 28 Juli 2020. 69 Program Mata Najwa, Nya la P a p u a , disiarkan di Trans7 pada Rabu, 4 September 2019, pukul 20.00

WIB.

22

Pemerintah RI pada masa Presiden Joko Widodo sudah berjanji untuk menyelesaikan

kasus pelanggaran HAM Papua, misalnya ketika Jokowi berkunjung ke Papua pada 27

Desember 2014 pasca tragedi Paniai serta 3 tahun kemudian disampaikan Jokowi saat bertemu

dengan pengurus Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) di Istana Merdeka, Jakarta, Senin

(31/7/2017).7071 Sementara itu, Presiden Joko Widodo juga sudah berusaha untuk

mengembangkan infrastruktur Papua secara signifikan, berupa jalan, listrik, dst.

Meskipun demikian, para akademisi dan pegiat LSM pada umumnya juga menegaskan

bahwa masalah separatisme Papua tidak dapat selesai dengan cara sesederhana membangun

infrastruktur. Gerakan separatisme Papua sudah hidup selama 50 tahun dan tuntutannya bukan

hanya pembangunan ekonomi dan infrastruktur, melainkan juga penanganan kasus

pelanggaran HAM di tanah Papua, diskriminasi yang keras kepada masyarakat Papua, serta

kondisi masyarakat yang termarginalisasi dari penduduk pendatang di Papua. Tokoh-tokoh

Papua, misalnya Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib, bersikeras bahwa

Pemerintah Pusat tidak boleh membiarkan masalah HAM di Papua dan hanya fokus pada

proyek-proyek pembangunan infrastruktur.72 Kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua harus

secara serius ditangani dengan adil. Selain itu, Presiden sudah sepatutnya membuka lebar ruang

dialog kepada masyarakat Papua serta mengurangi pergerakan personel militer di Papua yang

seringkali hadir secara agresif dengan alasan “keamanan dan ketertiban” publik.

Kebijakan Ekonomi dan Pembangunan Infrastruktur

Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2015 menyatakan bahwa infrastruktur Papua

yang baik menjadi kunci untuk ekonomi yang lebih cepat tumbuh.73 Papua sendiri adalah

wilayah yang pembangunan infrastrukturnya paling gencar dikebut. Hal ini tercermin dari

alokasi anggaran infrastruktur Kementerian PUPR yang sangat besar untuk Papua, yakni

sebesar Rp 5,66 triliun pada 2015, lalu pada 2016 sebesar Rp 5,06 triliun, kemudian pada tahun

2017, alokasi untuk Papua sebesar Rp 4,96 triliun. Selain itu, ada pula Dana Alokasi Khusus

70 BBC Indonesia,“Presiden Jokowi minta kasus Paniai dituntaskan”,

https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/12/141228_jokowi_Papua_natal, diakses 17 Juli 2020. 71 Ihsanuddin, "Setelah Infrastruktur Beres, Jokowi Janji Selesaikan Masalah HAM di Papua",

https://nasional.kompas.com/read/2017/07/31/14453541/setelah-infrastruktur-beres-jokowi-janji-selesaikan-

masalah-ham-di-Papua, diakses 17 Juli 2020. 72 Benny Mawel,“MRP ingin Jokowi bangun manusia Papua dan menyelesaikan kasus pelanggaran

HAM di Papua”, https://jubi.co.id/mrp-ingin-jokowi-bangun-manusia-Papua-dan-menyelesaikan-kasus-

pelanggaran-ham-di-Papua/, diakses 30 Juli 2020. 73 Humas Sekretariat Kabinet, “Presiden Jokowi: Infrastruktur, Kunci Pertumbuhan Ekonomi Papua”,

https://setkab.go.id/presiden-jokowi-infrastruktur-kunci-pertumbuhan-ekonomi-Papua/, diakses 27 Juli 2020.

23

untuk dua provinsi di Papua yang mencapai Rp1,59 triliun pada tahun 2015, lalu pada tahun

2016 meningkat pesat menjadi Rp 6,35 triliun dan sebesar Rp 2,18 triliun pada 2017.74

Terdapat pula proyek prioritas nasional yang tertuang dalam Perpres No. 3 Tahun 2016

tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN), antara lain pembangunan

jalan trans Papua, jalan lintas perbatasan, serta pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN)

Skouw, Jayapura. Jalan Trans Papua sendiri merupakan jalan nasional yang membentang dari

Sorong, Papua Barat ke Merauke, Papua, serta direncanakan memiliki panjang 2.345 km.75

Pembangunannya sudah dimulai sejak era pemerintahan Presiden B.J. Habibie, dikebut mulai

2014 dan ditargetkan selesai di akhir 2020 pada pemerintahan Joko Widodo. Jalan Trans Papua

akan menjadi penghubung antar daerah, termasuk daerah terisolasi di Papua. Terdapat juga

proyek jembatan, misalnya Jembatan Holtekamp yang dibangun di atas Teluk Youfeta yang

menghubungkan Holtekamp dan Hamadi.76

Tak hanya jalan, pemerintah juga membangun infrastruktur kelistrikan di Papua. PT

PLN meresmikan pengoperasian tiga infrastruktur kelistrikan berupa sistem 150 kV pertama

yang berlokasi di Jayapura dan Holtekamp. Pembangunan ini menelan anggaran sebesar Rp341

miliar.77 Ada pula PLBN Terpadu Skouw seluas 10,7 hektar dan berbatasan langsung dengan

Papua Nugini.78 Bandara juga tak lepas dari pembangunan infrastruktur di Papua. Salah

satunya adalah Bandara Nop Goliat di Yahukimo, Papua yang merupakan bandara perintis

dengan landasan pacu sepanjang 1.950 meter serta sudah bisa dilewati pesawat ATR 72. Selain

Bandara Nop Goliat, ada juga Bandara Utarom di Kaiman, Papua Barat dan Bandara Domine

Eduard Osok di Papua.79

Manfaat pembangunan infrastruktur dan suntikan dana kepada Papua juga sudah mulai

terlihat. Angka penurunan persentase penduduk miskin di Papua dan Papua Barat selama Maret

74 Eduardo Simorangkir, “Ada Faktor Infrastruktur dalam Peningkatan Kualitas Hidup Orang Papua”,

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4512558/ada-faktor-infrastruktur-dalam-peningkatan-kualitas-

hidup-orang-Papua, diakses 27 Juli 2020. 75 Agne Yasa, “Segera Tersambung, Jalan Trans Papua Bakal Tekan Disparitas Harga”,

https://ekonomi.bisnis.com/read/20200303/45/1208532/segera-tersambung-jalan-trans-Papua-bakal-tekan-

disparitas-harga, diakses 31 Juli 2020. 76 Berita PUPR, “Pembangunan Jembatan Holtekamp Dukung Pengembangan Kota Jayapura”,

https://pu.go.id/berita/view/15573/pembangunan-jembatan-holtekamp-dukung-pengembangan-kota-jayapura,

diakses 27 Juli 2020. 77 Pebrianto Eko Wicaksono, “Infrastruktur Listrik Tegangan Tinggi Pertama Resmi Beroperasi di

Papua”, https://www.liputan6.com/bisnis/read/3626930/infrastruktur-listrik-tegangan-tinggi-pertama-resmi-

beroperasi-di-Papua, diakses 27 Juli 2020. 78 Humas Sekretariat Kabinet, “Wajah Baru Pos Lintas Batas Negara Skouw, Jayapura, Jadi Incaran

Wisatawan”, https://setkab.go.id/wajah-baru-pos-lintas-batas-negara-skouw-jayapura-jadi-incaran-wisatawan/,

diakses 27 Juli 2020. 79 Arie Dwi Budiawati, “Deretan Megaproyek Infrastruktur di Papua yang Sedang Dibangun”,

https://www.dream.co.id/dinar/deretan-proyek-infrastruktur-ini-dibangun-di-Papua-181204r.html, diakses 27

Juli 2020.

24

hingga September 2019 menduduki peringkat tercepat yakni untuk Papua di angka 0,98 persen

poin dan Papua Barat di angka 0,66.80 Pada 2018, provinsi Papua mencatatkan pertumbuhan

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) paling signifikan, yakni sebesar 1,64%. Hal ini membuat

status IPM Provinsi Papua berubah dari rendah menjadi sedang. Meskipun demikian, ada poin

positif, di mana Menurut Kepala BPS Suharyanto, IPM merupakan indikator penting untuk

mengukur seberapa jauh program pembangunan yang telah dilakukan pemerintah untuk dapat

meningkatkan kualitas hidup manusianya. Beberapa bukti misalnya, umur harapan hidup di

Provinsi Papua meningkat 0,22 tahun, kemudian harapan lama sekolah naik 0,29 tahun dan

rata-rata lama sekolah naik 0,25 tahun dibanding tahun 2017. Sedangkan pengeluaran per

kapitanya meningkat Rp 163.000 menjadi Rp 7.159.000 per kapita/tahun. Setidaknya ada tiga

indikator dalam mengukur IPM. BPS menggunakan indikator ekonomi, kesehatan dan

pendidikan. Bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, semua indikator tersebut membaik dengan

signifikan dari 2017 menuju 2018.81

Meskipun begitu, Direktur Institute for Development of Economics and Finance

(INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan terdapat ketimpangan IPM antara orang asli Papua dan

pendatang ke Papua. Peningkatan IPM Papua secara keseluruhan didominasi oleh penduduk

pendatang dengan jumlahnya yang semakin banyak terutama di kota-kota untuk

mengembangkan perdagangan dan industri. Sementara itu, orang asli Papua tidak mengalami

peningkatan IPM yang signifikan. Tren perbaikan IPM secara keseluruhan patut diapresiasi,

akan tetapi perbaikan penduduk asli di masing-masing daerah juga perlu diperhatikan.82

D. Mekanisme Terbaik

Melaksanakan UU Otonomi Khusus secara keseluruhan, tepat, dan segera

UU Otonomi Khusus Papua sudah mengandung hal yang diperlukan untuk

menyelesaikan konflik Papua dari berbagai sektor dan akar permasalahan. UU ini memberikan

berbagai ketentuan yang dapat membangun Papua dari bidang ekonomi, pendidikan,

pemberdayaan orang asli Papua, serta menyelesaikan permasalahan kemanusiaan. Akan tetapi,

80 CNN Indonesia, “Papua Masih Jadi Provinsi dengan Angka Kemiskinan Tertinggi”,

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200115174641-532-465658/Papua-masih-jadi-provinsi-dengan-

angka-kemiskinan-tertinggi, diakses 17 Juli 2020. 81 Eduardo Simorangkir, “Ini Bukti Kualitas Hidup Orang Papua Makin Baik”,

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4511323/ini-bukti-kualitas-hidup-orang-Papua-makin-baik,

diakses 27 Juli 2020. 82 Eduardo Simorangkir, “Benarkah Kualitas Hidup Orang Papua Makin Baik?”

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4512345/benarkah-kualitas-hidup-orang-Papua-makin-baik,

diakses 27 Juli 2020.

25

pelaksanaan UU tersebut sangat jauh dari sempurna. Beberapa amanat UU Otsus yang sudah

dilaksanakan oleh pemerintah adalah mengenai suntikan dana otsus, perkembangan

infrastruktur dan pemanfaatan SDA, pemekaran daerah otonom baru, serta susunan

pemerintahan daerah yang lebih berpihak pada orang asli Papua. Namun sementara itu, banyak

sekali amanat lainnya dari UU tersebut yang tidak direalisasikan dengan baik bahkan tidak

dilaksanakan sama sekali. Agus Sumule dalam dua tulisannya menjabarkan setiap bab dalam

UU Otsus dan evaluasi pelaksanaannya.83 Beberapa poin contoh kegagalan pelaksanaan UU

Otsus menurut Sumule adalah:

● Pemda belum mengusulkan kawasan khusus untuk dikembangkan dalam kepentingan

strategis tertentu misalnya pelestarian sumber daya hutan (Bab III)

● Belum ada inisiatif Pemerintah pusat untuk mendelegasikan kewenangan pembangunan

secara nyata ke pemda yang seharusnya memegang kewenangan besar sebagai daerah

otonomi khusus. (Bab IV)

● Belum ada penyesuaian yang optimal terhadap perangkat pemerintahan dengan

kebutuhan daerah. (Bab VI)

● Belum ada pembentukan Dana Abadi. (Bab IX)

● Pembangunan pengolahan lanjutan atas hasil SDA untuk meningkatkan nilai tambah

belum optimal. (Pasal 39)

● Belum ada legislasi yang dikeluarkan oleh pemda untuk mengutamakan pengusaha asli

Papua dalam melaksanakan proyek yang dibiayai oleh Dana Otsus (Pasal 62 ayat (2).

● Pengaturan pemanfaatan SDA dengan menghormati masyarakat hukum adat sebagai

pemilik SDA belum optimal.

Selain poin-poin tersebut, berikut beberapa poin lainnya yang lebih berkaitan dengan

konflik Papua serta perlu segera dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan

amanat UU Otsus Papua:

a. Meresmikan Lambang Daerah

Dalam Pasal 2 UU Otsus Papua tertulis bahwa Provinsi Papua dapat memiliki lambang

daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam

bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai bendera kedaulatan. UU

Otsus telah memberikan kesempatan untuk mengesahkan lambang daerah Papua, meskipun

83 Agus Sumule, “Evaluasi Otsus Papua: Tinjauan Bab Per Bab (Bagian II)”,

https://suaraPapua.com/2020/05/30/evaluasi-otsus-Papua-tinjauan-bab-per-bab-bagian-ii/, diakses 20 Juli 2020.

26

hingga saat ini belum ada perda khusus yang mengaturnya. Sejumlah kalangan berpendapat

bahwa lambang daerah yang seharusnya disahkan adalah bendera Bintang Kejora dan lagu Hai

Tanahku Papua, meskipun ada pihak yang tidak setuju dengan alasan lambang tersebut dinilai

terafiliasi dengan gerakan separatis. Sebetulnya, jika disahkan sebagai lambang daerah lewat

perda khusus, arti dan penggunaan kedua lambang akan tunduk pada pengaturan dalam UU

Otsus, sehingga kekhawatiran separatisme dapat diselesaikan sebagai solusi dari kontroversi

bendera Bintang Kejora itu sendiri.84

Tanpa adanya kepastian lambang daerah Papua yang sah, lalu diikuti dengan

dibentuknya PP 77/2007 yang intinya melarang penggunaan lambang gerakan separatis sebagai

lambang daerah, tidak heran apabila aparat keamanan hingga sekarang masih bereaksi keras

terhadap setiap bentuk penggunaan bendera Bintang Kejora. Padahal jika dibandingkan dengan

kasus bendera eks GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang telah ditetapkan sebagai Bendera Aceh

sesuai dengan Qanun Nomor 3/2013, penetapan Bintang Kejora sebagai lambang daerah dapat

menjadi opsi solusi yang baik, meskipun perlu didahului oleh dialog Jakarta-Papua yang

menyeluruh.

b. Pembentukan Peraturan Pelaksana dari Ketentuan-Ketentuan UU Otonomi Khusus

Terdapat banyak ketentuan dalam UU Otsus Papua yang sangat positif dan bermanfaat

bagi Papua apabila dilaksanakan secara efektif. Akan tetapi, ketentuan-ketentuan tersebut

untuk bisa direalisasikan, mensyaratkan dibentuknya peraturan yang lebih spesifik mengatur

pelaksanaan ketentuan tersebut. Peraturan pelaksana tersebut dapat berupa Peraturan

Pemerintah (PP), Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi), Peraturan Daerah Khusus (Perdasus),

dan Keputusan Gubernur. Perdasus sendiri adalah perda yang dibentuk dalam rangka

pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam UU Otsus Papua.

Salah satu contoh ketentuan UU Otsus Papua yang tidak bisa dilaksanakan akibat tak

adanya peraturan pelaksana adalah pembentukan partai politik (parpol) lokal.85 Parpol lokal

Papua ditujukan agar orang asli Papua dapat berpartisipasi sebesar-besarnya dalam

pengambilan keputusan politik bagi kemajuan Tanah Papua. Dalam pasal 28 ayat (1)

dinyatakan bahwa penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik.86 Akan tetapi,

ketika satu parpol lokal di Papua bernama Partai Papua bersatu datang untuk melakukan

84 Agus Sumule, “Evaluasi Otsus Papua: Tinjauan Bab Per Bab (Bagian I)”,

https://suaraPapua.com/2020/05/22/evaluasi-otsus-Papua-tinjauan-bab-per-bab-bagian-i/, diakses 20 Juli 2020. 85 Agus Sumule, “Evaluasi Otsus Papua: Tinjauan Bab Per Bab (Bagian II)”,

https://suaraPapua.com/2020/05/30/evaluasi-otsus-Papua-tinjauan-bab-per-bab-bagian-ii/, diakses 20 Juli 2020. 86 Indonesia, Un d an g - Und a ng Oto n o mi Kh u su s b a g i P ro vin si P a p u a , UU No.21 Tahun 2001, LN No.135

Tahun 2001, TLN No. 4151, Ps. 28 ay. 1.

27

verifikasi peserta pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua menolak dengan

alasan belum ada ketentuan hukum yang spesifik mengatur tentang parpol lokal di Papua.

Sayangnya, tidak ada upaya serius oleh pemerintah daerah maupun pusat untuk memfasilitasi

pembuatan ketentuan hukum tersebut, jika dibandingkan dengan keberadaan PP No. 20 Tahun

2007 yang sudah berlaku untuk mengatur parpol lokal di Aceh.

c. Pengadilan HAM

Setelah Orde Baru runtuh, pemerintah Indonesia mencoba langkah-langkah politik

yang bertujuan mengembalikan rasa keadilan kepada masyarakat Papua. Langkah politik

tersebut diformalkan menjadi UU Otonomi Khusus bagi Papua. Dalam latar belakang UU

tersebut tercantum “bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di

Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya

memungkinkan tercapainya kesejahteraan, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya

penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap HAM.”87

Melalui latar belakang tersebut, secara tidak langsung pemerintah Indonesia mengakui adanya

ketidakadilan dan dugaan pelanggaran HAM bagi orang Papua. Khusus untuk topik HAM

dalam pasal 45—46 ditegaskan bahwa akan masalah HAM Papua akan diselesaikan lewat

pembentukan tiga lembaga yang harus dibentuk oleh Pemerintah Pusat di Papua yaitu: (1)

perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; (2) Pengadilan Hak Asasi Manusia; dan (3)

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Khusus untuk Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi, bertugas melakukan klarifikasi sejarah Papua serta merumuskan dan menetapkan

langkah-langkah rekonsiliasi.88 Akan tetapi, semangat reformasi dan kehadiran landasan

hukum yang jelas menuju penyelesaian kasus HAM Papua ini ternyata diabaikan negara begitu

saja.

Meskipun Perwakilan Komnas HAM sempat dibentuk, dengan tugasnya mencakup

Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, pemerintah pusat dan daerah tidak memfasilitasi dan

mendukung perwakilan Komnas HAM tersebut dengan baik, sehingga keberadaannya tidak

berdampak signifikan. Usaha pelembagaan demi penyelesaian dan penegakan HAM di Papua

tidak berjalan sama sekali. Pemerintah enggan mengambil langkah institusional terhadap

kasus-kasus PHB di Papua, sehingga persoalan HAM, Papua dapat dikatakan sama kondisinya

dengan keadaan sebelum era reformasi. UU Otsus yang dilihat sebagai harapan, jalan tengah,

87 Indonesia, Un d an g - Und a ng Oto n o mi Kh u su s b a g i P ro vin si P a p u a , UU No.21 Tahun 2001, LN No.135

Tahun 2001, TLN No. 4151, menimbang diktum.7. 88 Indonesia, Un d an g - Und a ng Oto n o mi Kh u su s b a g i P ro vin si P a p u a , UU No.21 Tahun 2001, LN No.135

Tahun 2001, TLN No. 4151, Ps. 45—46.

28

dan solusi dua dekade lalu, pelaksanaannya telah macet.89 Tidak mengherankan jika

masyarakat Papua kerap meluapkan kekecewaan kepada pemerintah khususnya atas tidak

tuntasnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM masih terus terjadi hingga saat ini.

Membuka kembali dialog yang setara, komprehensif, dan terbuka

Ide untuk mengadakan dialog untuk menyelesaikan konflik Papua sudah sering

digaungkan oleh berbagai kalangan selama bertahun-tahun. Berbagai usaha dialog pun juga

sudah dilakukan misalnya dalam ketika Joko Widodo bertemu dan mendengar aspirasi 61

orang 'Tokoh Papua' di Istana Negara, Jakarta, September 2019 pasca kericuhan di Surabaya.

Pertemuan ini dikecam sebab tokoh Papua tersebut telah dipilih terlebih dahulu oleh Badan

Intelijen Negara (BIN), serta diadakan tanpa mengundang pemerintah provinsi Papua dan

Papua Barat ataupun Majelis Rakyat Papua (MRP)--lembaga representatif kultural orang asli

Papua.90 Peristiwa ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat belum membuka diri sepenuhnya

pada kesempatan dialog yang riil dengan semua pihak yang terkait berkenaan konflik Papua,

bahkan kalangan separatis yang menjadi permasalahan utama saat ini. Dialog untuk

menyelesaikan konflik Papua juga seringkali gagal dimulai karena keengganan baik dari

pemerintah pusat maupun OPM untuk berdialog dengan posisi yang setara. Dalam beberapa

kesempatan, pemerintah pusat menyatakan bahwa pembahasan berkenaan referendum ulang

(seperti yang dituntut oleh OPM) tidak akan pernah terjadi, sebab wilayah Papua sudah secara

sah merupakan wilayah NKRI.91 Negara tidak punya kewajiban untuk bertemu ataupun

berkompromi dengan kelompok separatis yang dianggap mengancam keutuhan bangsa.92

Dengan posisi tersebut, bukan berarti dialog bagi kalangan masyarakat Papua yang

masih mendukung persatuan dengan NKRI menjadi lebih mudah. Sikap pemerintah pusat yang

seringkali tidak bersedia menyejajarkan diri dan mendengarkan tuntutan rakyat dari segala

aspek, bukan hanya pada aspek tertentu saja, juga menghambat terjadinya dialog. Menurut

Adriana Elisabeth, dialog nasional tidak mungkin berhasil apabila kedua pihak bersikeras

mempertahankan posisi antara NKRI harga mati atau kemerdekaan Papua. Dialog nasional

adalah soal mencari titik temu atas pemahaman yang berbeda misalnya mengenai akar masalah

89 Amiruddin al-Rahab, “Pelanggaran HAM yang Berat di Papua: Konteks dan Solusinya”, Ju rn a l HA M

Ko mn a s HA M (Volume 12 tahun 2016), hlm. 31—32. 90 Dieqy Hasbi Widhana, "Kontroversi 61 Tokoh Papua Bentukan BIN yang Dialog dengan Jokowi",

https://tirto.id/eifn, diakses 27 Juli 2020. 91 CNN Indonesia, “Di PBB, Indonesia Tegaskan Mustahil Ulangi Referendum Papua”,

https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190913121912-106-430189/di-pbb-indonesia-tegaskan-

mustahil-ulangi-referendum-Papua, diakses 31 Juli 2020. 92 Pijar Anugerah, “Pemerintah Indonesia 'tidak akan berkompromi' dengan kelompok separatis Papua”,

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46588755, diakses 31 Juli 2020.

29

konflik Papua, dan mencari solusinya.93 Dialog nasional sangat perlu diadakan secara resmi

dengan dukungan semua pihak khususnya pemerintah pusat agar hasil dialog dapat

diimplementasikan. Berbagai dialog yang dilakukan sebelum ini tidak memberikan

penyelesaian yang tuntas karena hanya membahas suatu masalah atau aspek tertentu saja atau

hanya mengundang kalangan tertentu saja.

Pater Dr. Neles Tebay Pr, Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) memberikan solusi

berupa dialog sektoral. Dialog sektoral yang dimaksudkan adalah suatu forum yang membahas

suatu sektor tertentu, misalnya pendidikan, kesehatan, kehutanan, perkebunan, pertambangan,

perikanan, dan lainnya masing-masing dibahas dalam satu dialog. Dialog ini harus dihadiri

oleh pihak-pihak terkait, mencakup Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi,

Pemda Kabupaten/Kota, para ahli, praktisi, Perguruan Tinggi, pihak swasta, lembaga

keagamaan, dan lembaga adat.94 Dialog sektoral ini sangat penting dikarenakan rakyat Papua

belum banyak dilibatkan dalam pembahasan program pembangunan di Papua. Hal ini membuat

rakyat Papua belum sepenuhnya memahami kontribusi yang bisa dilakukan untuk membantu

pembangunan. Sementara dalam dialog, semua pemegang kepentingan harus bersedia

mengidentifikasi masalah, melihat kebutuhan yang perlu dipenuhi, menyepakati solusi yang

tepat, membuat perencanaan, dan menetapkan target-target jangka pendek hingga jangka

panjang secara bersama-sama.95

Pemerintah saat ini dapat melanjutkan usaha dan itikad baik dari Presiden RI yang ke-

4, KH Abdurrahman Wahid, (Gus Dur) dalam membuka dialog dengan masyarakat Papua.

Pada 30 Desember 1999, Gus Dur melakukan dialog dengan berbagai elemen di gedung

pertemuan Gubernuran di Jayapura. Menindaklanjuti dialog tersebut dan demi mengangkat

derajat martabat orang Papua, Gus Dur mengembalikan nama Irian menjadi Papua, dengan

alasan bahwa nama Irian memiliki makna yang merendahkan.96 Gus Dur juga dikenal

mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora dibawah Bendera Merah Putih, menganggap

bendera tersebut sebagai bendera budaya khas Papua. Gus Dur menganggap, yang tidak bisa

93 Wawancara khusus Tempo dengan Adriana Elizabeth, Ketua Tim Peneliti Papua di gedung LIPI,

Jakarta, Jumat, 8 April 2016. 94 Arnold Belau, “Pater Neles Tebay: Presiden Jokowi Mendukung Dialog Sektoral untuk Papua”,

https://suaraPapua.com/2017/09/05/pater-neles-tebay-presiden-jokowi-mendukung-dialog-sektoral-untuk-

Papua/, diakses 24 Juli 2020. 95 Fathiyah Wardah, “Pemerintah akan Lakukan Dialog Sektoral untuk Papua”,

https://www.voaindonesia.com/a/pemerintah-akan-lakukan-dialog-sektoral-untuk-Papua/4081405.html, diakses

24 Juli 2020. 96 Fathoni, “Alasan Gus Dur Ubah Nama Irian Jaya Menjadi Papua”,

https://www.nu.or.id/post/read/100191/alasan-gus-dur-ubah-nama-irian-jaya-menjadi-Papua, diakses 27 Juli

2020.

30

didialogkan adalah kemerdekaan Papua, sementara sisanya bisa, bahkan termasuk

mengadaptasi bendera bintang kejora sebagai bendera daerah Papua.97

Neles Tebay, pada Februari 2018 menyatakan bahwa dialog sektoral Papua sudah siap

dimulai, dengan tiga alasan pokok yang menunjangnya. Alasan pertama, Presiden Joko

Widodo sudah menyambut baik gagasan dialog sektoral untuk mempercepat kemajuan tanah

Papua. Proposal dialog sektoral telah disampaikan oleh empat belas tokoh agama dan adat

Papua dalam pertemuan dengan Presiden di Istana negara, Jakarta, (15/8/2017).98 Presiden

juga telah menunjuk tiga orang fasilitator untuk mengurus pelaksanaan dialog sektoral tersebut,

yakni Pater Neles Tebay di Jayapura, Teten Masduki selaku Kepala Staf Presiden kala itu, dan

Wiranto sebagai Menkopolhukam.

Kedua, adanya dukungan dari masyarakat sipil Indonesia. Dialog kini sudah diangkat

oleh banyak kalangan sebagai kunci penyelesaian konflik Papua setelah sebelumnya dipandang

sebagai tabu. Kalangan masyarakat sipil tersebut terdiri dari akademisi, politisi, tokoh agama,

serta pegiat LSM dari berbagai provinsi. Pada survei daring yang dibuat LIPI bersama

Change.org selama November 2017, dukungan tersebut sudah terlihat. Survei tersebut diikuti

27 ribu orang, 95 persen respondennya merupakan warga di luar Papua. Hasil survei itu

menunjukkan 93% responden merasa dialog nasional untuk mengatasi masalah-masalah Papua

penting bahkan penting sekali.99

Ketiga, proposal dialog sektoral telah didukung oleh berbagai kalangan masyarakat di

Tanah Papua, seperti DPR Papua, DPR Papua Barat, Majelis Rakyat Papua (MRP), pimpinan

agama, tokoh adat, akademisi setempat, para tokoh perempuan, organisasi-organisasi

kepemudaan, serta berbagai organisasi massa lainnya. Ditambah lagi, sejumlah pimpinan

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), selaku sayap militer dari OPM, juga

sudah menyatakan keinginannya untuk menyelesaikan masalah Papua melalui dialog.100

Bahkan, Ketua Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) Benny Wenda sudah

mempertimbangkan opsi berdialog dengan Presiden sekaligus memberikan enam syarat,

termasuk pembebasan tahanan politik, hadirnya mediator, penarikan pasukan TNI dari Papua,

97 Budiarti Utami Putri, “Kisah Gus Dur Anggap Bendera Bintang Kejora Sebagai Umbul-Umbul”,

https://metro.tempo.co/read/1242746/kisah-gus-dur-anggap-bendera-bintang-kejora-sebagai-umbul-

umbul/full&view=ok, diakses 27 Juli 2020. 98 Arnold Belau, “Pater Neles Tebay: Presiden Jokowi Mendukung Dialog Sektoral untuk Papua”,

https://suaraPapua.com/2017/09/05/pater-neles-tebay-presiden-jokowi-mendukung-dialog-sektoral-untuk-

Papua/, diakses 24 Juli 2020. 99 Riani Sanusi Putri, “LIPI: Ada Perbedaan Persepsi Soal Kondisi Papua”,

https://nasional.tempo.co/read/1042407/lipi-ada-perbedaan-persepsi-soal-kondisi-Papua, diakses 28 Juli 2020. 100 Win Goissler, “Pastor Neles Tebay: Dialog Papua bisa Dimulai”, http://www.satuharapan.com/read-

detail/read/pastor-neles-tebay-dialog-Papua-bisa-dimulai, diakses 24 Juli 2020.

31

serta poin-poin lainnya.101 Melihat adanya dukungan-dukungan ini, menurut Neles Tebay,

sudah tiba saat yang tepat untuk memulai dialog Papua.

Apabila membicarakan dialog untuk menyelesaikan konflik Papua, prosesnya akan

sangat panjang, akan tetapi perlu dilakukan demi mengurai masalah-masalah yang sudah 50

tahun menggunung di Papua. Pemerintah pusat tidak sepatutnya menghindar dari aspek apapun

dalam masalah tersebut sebab pengabaian pada salah satu aspek akan menghambat proses

rekonsiliasi dan penyelesaian konflik Papua secara tuntas. Pemerintah pusat harus bersedia

membahas aspek-aspek yang seringkali tidak tersentuh, misalnya tentang proses penyelesaian

pelanggaran HAM, isu rasisme kepada orang asli Papua, marginalisasi orang-orang asli Papua

serta perusakan hutan adat yang menjadi harta hidup orang Papua.

Langkah dialog yang menyeluruh perlu dimulai segera dijamin keberlanjutannya, serta

perlu diutamakan dibandingkan langkah operasi militer. Pemerintah pusat perlu belajar dan

penyelesaian konflik GAM Aceh yang sudah selesai dengan baik lewat dialog tanpa

pertumpahan darah. Pemerintah pusat sendiri juga sudah dengan baik memberikan beberapa

kelonggaran bagi Aceh misalnya pendirian partai dan perizinan untuk mengibarkan bendera

GAM sebagai Bendera Aceh di bawah Bendera Merah Putih. Berkaca dari kasus GAM

tersebut, pemerintah pusat dapat mencoba menggunakan cara pandang dialog yang sama dan

mulai melihat dari kacamata Papua, bukan dari kacamata saat ini yang umumnya mencurigai

segala demonstrasi dan diskusi yang diadakan orang asli Papua sebagai gerakan separatisme.

Evaluasi menuju UU Otonomi Khusus Papua Jilid II

UU Otsus Papua yang mengatur berbagai aspek masalah Papua, seperti pembangunan,

ekonomi, pemerintahan, dan HAM ini akan selesai berlaku pada 2021. Oleh karena itu, evaluasi

terhadap pemerintah baik pusat dan daerah dalam melaksanakan amanat UU ini perlu

dilakukan secara menyeluruh dalam setiap aspek – bukan hanya atas aspek-aspek tertentu saja.

Evaluasi yang menyeluruh ini sangat diperlukan, khususnya setelah ada wacana mengesahkan

UU Otonomi Khusus Papua jilid II.

Misalnya saja, hal yang paling umum dilaksanakan pemerintah dalam melaksanakan

UU Otsus adalah memberikan dana otsus Papua. Akan tetapi, pemerintah pusat dan daerah

tidak berkoordinasi dengan baik agar penggunaan dana otsus memberikan manfaat yang

optimal untuk membuat Papua menjadi daerah yang lebih mandiri dan tidak tergantung oleh

101 Adi Briantika "Benny Wenda dan OPM Ajukan Syarat sebelum Berdialog dengan Jokowi",

https://tirto.id/ejoK, diakses 29 Juli 2020.

32

Jakarta. Perbandingan PAD terhadap total APBD di Papua sangat timpang yaitu PAD Provinsi

Papua hanya 7.8% dari APBD; sementara Provinsi Papua Barat hanya 6.6% dari APBD pada

2017. Pada 9 kabupaten di Provinsi Papua dan 6 kabupaten di Papua Barat, PAD-nya kurang

dari 1% dari APBD. Pemda Papua belum bisa mandiri dalam menunjang ekonomi daerahnya

jika dibandingkan dengan PAD Provinsi Aceh yang telah mencapai 15.9%. Bali 55.9% atau

Jawa Barat 71% dari APBD masing-masing.102 Hal ini bisa terjadi karena hampir seluruh dana

otsus di APBD digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah, dan bukan untuk

memanfaatkan peluang bisnis daerah seperti melibatkan BUMD untuk pengelolaan SDA demi

meningkatkan pendapatan daerah. Penggunaan Dana Otsus Papua perlu dievaluasi dengan

sangat komprehensif sebab jika dana otsus tersebut berakhir pada tahun 2021, maka akan

berdampak sangat besar bagi berjalannya pemerintahan Papua.

Pelaksanaan UU Otsus Papua sebelumnya yang sangat tidak sempurna, perlu dikritisi

agar tidak terulang pada UU Otonomi Khusus jilid II. Oleh karena itu, Direktur Eksekutif

Lokataru Foundation, Haris Azhar menyatakan pembahasan Otsus jilid II harus melibatkan

seluruh elemen masyarakat Papua seluas-luasnya.103 Penting diadakan evaluasi pelaksanaan

untuk mengulas semua keberhasilan dan kegagalan dari pelaksanaan UU Otsus Papua jilid I

khususnya dalam persoalan penegakan HAM, ekonomi rakyat, dan identitas orang Papua

sebagai catatan serius. Poin-poin revisi juga perlu dipersiapkan agar UU Otsus jilid II dapat

menjadi momentum dialog serta membangun lagi kepercayaan masyarakat Papua kepada

pemerintah pusat. Namun hal ini bisa terjadi apabila pemerintah pusat bersedia menyesuaikan

isi dan pelaksanaan UU Otsus jilid II seluas-luasnya dengan keinginan rakyat Papua.

102 Agus Sumule, “Evaluasi Otsus Papua: Tinjauan Bab Per Bab (Bagian I)”,

https://suaraPapua.com/2020/05/22/evaluasi-otsus-Papua-tinjauan-bab-per-bab-bagian-i/, diakses 20 Juli 2020. 103 Yance Agapa, “Soal Otsus, Haris Azhar: Pihak Luar Akan Masuk dan Ambil Keuntungan”,

https://suaraPapua.com/2020/07/21/soal-otsus-haris-azhar-pihak-luar-akan-masuk-dan-ambil-keuntungan,

diakses 27 Juli 2020.

33

Bab III: Penutup

A. Kesimpulan

Permasalahan di Papua memang sudah menjadi benang kusut yang sangat rumit dengan

berbagai penyebab, latar belakang, fragmentasi pihak yang berperan, ideologi, maupun tujuan.

Namun paling tidak terdapat 3 poin yang menjadi latar belakang separatisme Papua, yaitu: (1)

fakta sejarah integrasi Papua yang belum menemukan titik terang; (2) pengalaman diskriminasi

sosial dan rasisme yang berlangsung bertahun-tahun; serta (3) ketidakadilan ekonomi bagi

Tanah Papua. Memahami setiap poin latar belakang tersebut adalah langkah penting untuk

memahami gerakan separatisme Papua, melampaui cap pada umumnya sebagai pemberontak,

kelompok kriminal, dan pembuat onar.

Sementara itu, masalah Papua tidak akan pernah lepas dari salah satu akar utamanya,

yaitu pelanggaran HAM yang tak berujung dan tak memiliki solusi. Kasus-kasus pelanggaran

HAM Papua tidaklah sedikit, dan banyak darinya terluntang bertahun-tahun tanpa

penyelesaian. Bersamaan dengan itu, terus terjadi kasus pelanggaran HAM baru hingga masa

ini, membuat HAM menjadi isu yang sangat krusial dalam konflik Papua. Opsi operasi militer

yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di Papua juga patut dibahas sebagai salah satu sebab

dari krisis kemanusiaan Papua yang berkepanjangan. Indonesia sudah terlalu lama

mengabaikan topik HAM Papua, membuat rakyat Papua semakin kehilangan kepercayaan

terhadap pemerintah.

Pemerintah sendiri sudah melakukan beberapa usaha dalam mengurai masalah di

Papua, salah satunya adalah lewat UU Otonomi Khusus bagi Papua. Sayangnya, pemerintah

baik pusat dan daerah belum secara optimal memanfaatkan UU Otsus tersebut untuk

menyelesaikan masalah-masalah di Papua. Sementara strategi kebijakan ekonomi dan

pembangunan infrastruktur yang dipilih Presiden Joko Widodo, meski telah memberikan

dampak pertumbuhan ekonomi yang positif, tidak menyelesaikan masalah akibat pengabaian

isu-isu besar lain.

Konflik Papua, sekali lagi, merupakan benang kusut yang tidak dapat selesai dalam

waktu singkat. Proses rekonsiliasi dan penguraian konflik Papua dapat berjalan bertahun-tahun,

sementara pemulihan Papua dari lingkaran kekerasan bersenjata berdarah dan trauma konflik

mungkin memakan waktu yang lebih lama lagi. Akan tetapi, apabila baik masyarakat Papua

maupun seluruh komponen bangsa Indonesia percaya bahwa orang Papua merupakan bagian

dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dicintai dan dibanggakan, maka semua usaha

34

yang sangat berat untuk mulai menyembuhkan konflik Papua harus segera dimulai. Dengan

begitu, situasi sulit yang selama ini dialami yakni tarik-menarik antara tuntutan kemerdekaan

Papua dengan prinsip mempertahankan persatuan NKRI dapat terurai. Namun, hal tersebut

tidak dapat terjadi tanpa inisiatif pemerintah baik pusat dan daerah, serta kelapangan dada dari

semua pihak untuk membuka kebenaran dan memulai rekonsiliasi.

B. Saran

Ketika penulis melakukan penelitian ini, terdapat ratusan, bahkan ribuan hasil

penelitian, riset, data yang menganalisis berbagai aspek dari konflik Papua, beserta sederet

saran yang dibuat oleh para akademisi, aktivis dan tokoh Papua, serta para pengamat hukum

dan politik. Saran-saran dan mekanisme yang diberikan pun banyak yang senada bahkan sama:

Pembentukan Pengadilan HAM, penindakan pada rasisme, pengutamaan opsi dialog dibanding

operasi militer, dialog nasional yang komprehensif, klarifikasi fakta sejarah, pembangunan

ekonomi berbasis masyarakat adat, dan seterusnya. Hanya saja pemerintah Indonesia beserta

penegak hukum dan personil militer belum optimal dalam melaksanakan saran mekanisme

tersebut secara menyeluruh dan tuntas.

Dalam kajian ini, penulis telah menjabarkan beberapa poin mekanisme. Pemerintah

pusat perlu melaksanakan seluruh aspek UU Otonomi Khusus Papua termasuk aspek yang

jarang disentuh, misalnya adalah mewujudkan Pengadilan HAM demi menyelesaikan kasus-

kasus pelanggaran HAM Papua. Selain itu, usaha dialog yang setara, komprehensif, dan

terbuka perlu segera dilaksanakan, dan salah satunya adalah demi melibatkan masyarakat

Papua dalam mempersiapkan UU Otonomi Khusus Jilid II yang lebih baik serta tidak

mengulangi kesalahan pada UU Otsus Jilid I. Apabila saran-saran tersebut tidak mulai

dilaksanakan dengan keinginan yang tegas dari pemerintah pusat, maka penyelesaian konflik

Papua akan terus berputar dalam lingkaran dan tidak akan mengalami kemajuan signifikan.

35

Daftar Pustaka

I. Buku, Majalah, dan Laporan dari Lembaga

Amnesty International Indonesia. ñSudah, Kasi Tinggal Dia Matiò: Pembunuhan dan

Impunit as di Papua . Jakarta: Amnesty International Indonesia, 2018. Diakses dari

https://www.amnesty.org/download/Documents/ASA2181982018INDONESIAN.PD

F.

Karma, Filep. Seakan K it orang Setengah Binat ang . Cet. 1 (Jayapura:Deiyai, 2014).

Komisi Nasional HAM. Stop Sudah! K esaksian Perempuan Papua K orban K ekerasan &

Pelanggar an HAM 1963 - 2009: Hasil Dokumentasi bersama kelompok kerja

pendokumentasi an ke ker asan dan pelanggar an HAM Perempuan Papua 2009 ï 2010.

Jayapura: Komisi Nasional HAM, 2010.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Updating Papua Road Map: Pea ce Proc ess, Y outh

Polit ics, and Papua n Diaspora. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,

Agustus 2017. Diakses dari http://www.politik.lipi.go.id/downloadpap/newsletter-

preview/Exsum%20Updating%20Papua%20Road%20Map%20-

%20LIPI%202017.pdf.

Orang Papua Dibalik Jeruji. Intimidasi dan K eke rasan terhadap Mahasi s w a dan K elompok

Masyarakat Sipi l Papua . [s.l.: s.n., Desember 2017]. Diakses dari

https://www.Papuansbehindbars.org/wp-content/uploads/2017/12/PBB-Desember-

2017-ID.web_.pdf.

Redaksi Tempo. ’’Op er asi K husus: K omando S eribu Mata - Mat a. ’’ Majalah Tempo Edisi

Khusus: Rahasia-Rahasia Ali Moertopo. (14 Oktober 2013). Hlm. 71.

Sumule, Agus. Mencari Jalan T engah: Otonomi K husus Provinsi Papua . Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2003.

II. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang - Unda ng Das ar 1945.

Indonesia. Undang - Und ang Otonomi K husus bagi Provinsi Papua . UU No.21 Tahun 2001,

LN No.135 Tahun 2001, TLN No. 4151.

Indonesia. Undang - Unda ng Penetapan Perppu N o mor 1 T ahun 2008 T enta ng Perubahan Atas

Undang - Undang N omor 21 T ahun 2001 T entang Otonomi K husus Bagi Provinsi Papua

Menjadi Undang - Undan g . UU No.35 Tahun 2008, LN No.57 Tahun 2008, TLN No.

4842.

36

Indonesia. Undang - Unda ng Penghapusan Diskrimin asi Ras dan Etni s . UU No.40 Tahun 2008,

LN No.170 Tahun 2008, TLN No. 4919.

K it ab Undang - Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straf trecht ]. Diterjemahkan oleh

Moeljatno. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.

III. Dokumen Internasional

Perserikatan Bangsa-Bangsa. Agreem ent betw een the Republi c of Indonesi a and the K ingdom

of the N etherlands concerning Wes t N ew Guinea. Perjanjian No. 6311. 15 Agustus

1962.

Perserikatan Bangsa-Bangsa. a Report of the UN Special Rapporteur on th e right s to freedo m

of peaceful ass embly and of associati on (Ad dendum) on the Obser vati ons on

communications trans mitt ed to Govern men ts and repli es rec eived . 31 Mei 2017. UN

Doc. A/HRC/35/28/Add.3, para. 337-341.

IV. Jurnal dan Makalah

Al Rahab, Amiruddin. “Operasi Militer Papua: Pagar Makan Tanaman.” Jurnal Pen eli ti an

Polit ik LIPI (Volume 3 no. 01 tahun 2006).

Al-Rahab, Amiruddin. “Pelanggaran HAM yang Berat di Papua: Konteks dan Solusinya.”

Jurnal HAM K omnas HA M (Volume 12 tahun 2016).

V. Wawancara dan Seminar

Program Mata Najwa. M asa Depan Papua . Disiarkan di Trans7 pada Rabu, 4 September 2019.

Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=bSlBEEhlQFI&t=573s.

Program Mata Najwa. N yala Papua . Disiarkan di Trans7 pada Rabu, 4 September 2019.

Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=unIoOo4gPGo&t=3665s.

Wawancara khusus Tempo dengan Adriana Elisabeth, Ketua Tim Peneliti Papua di gedung

LIPI, Jakarta. Jumat, 8 April 2016. Diakses dari

http://lipi.go.id/lipimedia/single/Adriana-Elisabeth-Dialog-Nasional-Papua-Tidak-

Bisa-Ditunda/15400.

Webinar “Masa Depan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Papua”. Kamis, 18 Juni 2020.

difasilitasi oleh Perkumpulan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

VI. Artikel

37

Abdi, Alfian Putra. "Soal Penarikan Tentara, Menhan: Sekali TNI Ditarik, Papua Merdeka."

https://tirto.id/ehBB. Diakses 27 Juli 2020.

Affan, Heyder. “Janji penyelesaian 11 pelanggaran HAM di Papua.”

https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160518_indonesia_ham_Pa

pua. Diakses 22 Juli 2020.

Agapa, Bernard. “Makna 1 Desember 1961 Bagi Rakyat Papua.”

https://suaraPapua.com/2015/11/29/makna-1-desember-1961-bagi-rakyat-Papua/.

Diakses 16 Juli 2020.

Agapa, Yance. “Soal Otsus, Haris Azhar: Pihak Luar Akan Masuk dan Ambil Keuntungan.”

https://suaraPapua.com/2020/07/21/soal-otsus-haris-azhar-pihak-luar-akan-masuk-

dan-ambil-keuntungan. Diakses 27 Juli 2020.

Aldevan, Fahzian. “Potret Buram Pelanggaran HAM di Papua.”

https://www.tagar.id/potret-buram-pelanggaran-ham-di-Papua. Diakses 26 Juli 2020.

Amindoni, Ayomi. “Pegiat HAM desak pemerintah akhiri krisis politik dan kemanusiaan di

Papua, supaya orang Papua 'terbebas dari rasa takut’.”

https://www.bbc.com/indonesia/51432649. Diakses 19 Juni 2020.

Andriyani, Yati. “15 Tahun Peristiwa Wamena Berdarah Pengadilan HAM Hanya Janji Manis

Diplomasi.” https://kontras.org/2018/04/04/15-tahun-peristiwa-wamena-berdarah-

pengadilan-ham-hanya-janji-manis-diplomasi/. Diakses 18 Juli 2020.

Antara. “Komisi II DPR Mendukung Pembentukan Provinsi Papua Tengah.”

https://nasional.tempo.co/read/1274445/komisi-ii-dpr-mendukung-pembentukan-

provinsi-Papua-tengah. Diakses 29 Juli 2020.

Anugerah, Pijar. “Pemerintah Indonesia 'tidak akan berkompromi' dengan kelompok separatis

Papua.” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46588755. Diakses 31 Juli 2020.

Astuti, Nur Azizah Rizki. “Pimpinan Komisi II: Semua Anggota Dukung Usul Provinsi Baru

Papua Selatan.” https://news.detik.com/berita/d-4818567/pimpinan-komisi-ii-semua-

anggota-dukung-usul-provinsi-baru-Papua-selatan. Diakses 29 Juli 2020.

BBC Indonesia. “Buntut penembakan pekerja di Nduga, 2.000 orang mengungsi ke Wamena,

Papua.” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47411590. Diakses 20 Juli 2020.

BBC Indonesia. “Presiden Jokowi minta kasus Paniai dituntaskan.”

https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/12/141228_jokowi_Papua_nat

al. Diakses 17 Juli 2020.

38

Bayu, Dimas Jarot. "Operasi Militer Bukan Solusi Tepat Selesaikan Konflik di Papua."

https://katadata.co.id/hariwidowati/berita/5e9a558c7f903/operasi-militer-bukan-

solusi-tepat-selesaikan-konflik-di-Papua. Diakses 21 Juli 2020.

Belau, Arnold. “Pater Neles Tebay: Presiden Jokowi Mendukung Dialog Sektoral untuk

Papua.” https://suaraPapua.com/2017/09/05/pater-neles-tebay-presiden-jokowi-

mendukung-dialog-sektoral-untuk-Papua/. Diakses 24 Juli 2020.

Berita PUPR. “Pembangunan Jembatan Holtekamp Dukung Pengembangan Kota Jayapura.”

https://pu.go.id/berita/view/15573/pembangunan-jembatan-holtekamp-dukung-

pengembangan-kota-jayapura. Diakses 27 Juli 2020.

Bernie, Mohammad. "Masalah Papua Tak Selesai Cuma dengan Membangun Jalan."

https://tirto.id/egLa. Diakses 13 Juni 2020.

Briantika, Adi. "Benny Wenda dan OPM Ajukan Syarat sebelum Berdialog dengan Jokowi.”

https://tirto.id/ejoK. Diakses 29 Juli 2020.

Briantika, Adi. "Timpangnya Putusan Hukum Pelaku dan Pemrotes Rasisme ke Orang Papua."

https://tirto.id/fF6j. Diakses 20 Juli 2020.

Budiawati, Arie Dwi. “Deretan Megaproyek Infrastruktur di Papua yang Sedang Dibangun.”

https://www.dream.co.id/dinar/deretan-proyek-infrastruktur-ini-dibangun-di-Papua-

181204r.html. Diakses 27 Juli 2020.

CNN Indonesia. “Di PBB, Indonesia Tegaskan Mustahil Ulangi Referendum Papua.”

https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190913121912-106-430189/di-pbb-

indonesia-tegaskan-mustahil-ulangi-referendum-Papua. Diakses 31 Juli 2020.

CNN Indonesia, “Kronik Rusuh Papua, dari Malang Menjalar Hingga Makassar.”

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190819200236-20-422845/kronik-rusuh-

Papua-dari-malang-menjalar-hingga-makassar. Diakses 16 Juli 2020.

CNN Indonesia. “Papua Masih Jadi Provinsi dengan Angka Kemiskinan Tertinggi.”

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200115174641-532-465658/Papua-masih-

jadi-provinsi-dengan-angka-kemiskinan-tertinggi. Diakses 17 Juli 2020.

CNN Indonesia. “PBB Angkat Suara Tanggapi Kerusuhan di Papua.”

https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190904165639-106-427529/pbb-

angkat-suara-tanggapi-kerusuhan-di-Papua. Diakses 18 Juli 2020.

Deri, Ansel. “Mengurai Kekerasan di Nduga.” https://mediaindonesia.com/read/detail/280569-

mengurai-kekerasan-di-nduga. Diakses 20 Juli 2020.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). “Presiden

Resmikan 6 Infrastruktur Kelistrikan Papua Dan Papua Barat.”

39

http://ebtke.esdm.go.id/post/2016/10/18/1385/presiden.resmikan.6.infrastruktur.kelistr

ikan.Papua.dan.Papua.barat. Diakses 15 Juni 2020.

Fathoni. “Alasan Gus Dur Ubah Nama Irian Jaya Menjadi Papua.”

https://www.nu.or.id/post/read/100191/alasan-gus-dur-ubah-nama-irian-jaya-menjadi-

Papua. Diakses 27 Juli 2020.

Gobay, Emanuel. “72 Aktivis Papua Jadi Korban Kriminalisasi Pasal Makar.”

https://suaraPapua.com/2020/06/24/1-januari-31-desember-2019-72-aktivis-Papua-

jadi-korban-kriminalisasi-pasal-makar/. Diakses 20 Juli 2020.

Goissler, Win. “Pastor Neles Tebay: Dialog Papua bisa Dimulai.”

http://www.satuharapan.com/read-detail/read/pastor-neles-tebay-dialog-Papua-bisa-

dimulai. Diakses 24 Juli 2020.

Humas Sekretariat Kabinet RI. “Jalan Trans Papua Terus Dibangun, Pemerintah Targetkan

2019 Tersambung Semua.” https://setkab.go.id/jalan-trans-Papua-terus-dibangun-

pemerintah-targetkan-2019-tersambung-semua/. Diakses 15 Juni 2020.

Humas Sekretariat Kabinet RI. “Presiden Jokowi: Infrastruktur, Kunci Pertumbuhan Ekonomi

Papua.” https://setkab.go.id/presiden-jokowi-infrastruktur-kunci-pertumbuhan-

ekonomi-Papua/. Diakses 27 Juli 2020.

Humas Sekretariat Kabinet RI. “Wajah Baru Pos Lintas Batas Negara Skouw, Jayapura, Jadi

Incaran Wisatawan.” https://setkab.go.id/wajah-baru-pos-lintas-batas-negara-skouw-

jayapura-jadi-incaran-wisatawan/. Diakses 27 Juli 2020.

Ihsanuddin. "Setelah Infrastruktur Beres, Jokowi Janji Selesaikan Masalah HAM di Papua."

https://nasional.kompas.com/read/2017/07/31/14453541/setelah-infrastruktur-beres-

jokowi-janji-selesaikan-masalah-ham-di-Papua. Diakses 17 Juli 2020.

Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. “BBM Satu Harga: Wujud Nyata Pemerataan

Energi di Indonesia.” https://kominfo.go.id/content/detail/9594/bbm-satu-harga-

wujud-nyata-pemerataan-energi-di-indonesia/0/artikel_gpr. Diakses 15 Juni 2020.

Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. “Jokowi Resmikan Kabel Optik Bawah Laut

Sulawesi-Maluku-Papua Rp 3,6 Triliun.”

https://www.kominfo.go.id/content/detail/4952/jokowi-resmikan-kabel-optik-bawah-

laut-sulawesi-maluku-Papua-rp-36-triliun/0/sorotan_media. Diakses 15 Juni 2020.

Kumparan Bisnis. “Pembangunan Manusia di Papua Terendah se-Indonesia.”

https://kumparan.com/kumparanbisnis/pembangunan-manusia-di-Papua-terendah-se-

indonesia-1srFEyMKIPh. Diakses 17 Juli 2020.

40

Lubabah, Raynaldo Ghiffari. “Kronologi Pengepungan Mahasiswa Papua di Yogyakarta.”

https://www.merdeka.com/peristiwa/kronologi-pengepungan-mahasiswa-Papua-di-

yogyakarta.html. Diakses 16 Juli 2020.

Matanasi, Petrik. “Pepera, Cara Indonesia Siasati Potensi Keok Saat Referendum”,

https://tirto.id/b6eH. Diakses 16 Juli 2020.

Mawel, Benny. “MRP ingin Jokowi bangun manusia Papua dan menyelesaikan kasus

pelanggaran HAM di Papua.” https://jubi.co.id/mrp-ingin-jokowi-bangun-manusia-

Papua-dan-menyelesaikan-kasus-pelanggaran-ham-di-Papua/. Diakses 30 Juli 2020.

Olivia, Grace. “Sejak 2002, Pemerintah Pusat sudah Kucurkan Rp 127 Triliun untuk Dana

Otsus Papua.” https://nasional.kontan.co.id/news/sejak-2002-pemerintah-pusat-sudah-

kucurkan-rp-127-triliun-untuk-dana-otsus-Papua. Diakses 17 Juli 2020.

Prabowo, Haris. "DPR Kritik Buruknya Koordinasi Kejagung-Komnas HAM usut Kasus

HAM." https://tirto.id/fMgh. Diakses 30 Juli 2020.

Prabowo, Haris. "Nestapa Nduga Selama 2019: 37.000 Orang Mengungsi, 241 Orang Tewas."

https://tirto.id/epPx. Diakses 20 Juli 2020.

Prakoso, Amriyono. “Peneliti LIPI: Operasi Militer di Papua Tak Akan Selesaikan Masalah.”

https://www.tribunnews.com/nasional/2018/12/08/peneliti-lipi-operasi-militer-di-

Papua-tak-akan-selesaikan-masalah. Diakses 21 Juli 2020.

Putri, Budiarti Utami. “Kisah Gus Dur Anggap Bendera Bintang Kejora Sebagai Umbul-

Umbul.” https://metro.tempo.co/read/1242746/kisah-gus-dur-anggap-bendera-

bintang-kejora-sebagai-umbul-umbul/full&view=ok. Diakses 27 Juli 2020.

Putri, Riani Sanusi. “LIPI: Ada Perbedaan Persepsi Soal Kondisi Papua.”

https://nasional.tempo.co/read/1042407/lipi-ada-perbedaan-persepsi-soal-kondisi-

Papua. Diakses 28 Juli 2020.

Raharjo, Dwi Bowo. “YLBHI: 33 Pelanggaran HAM Timpa Mahasiswa Papua, Paling Banyak

di Surabaya.” https://www.suara.com/news/2019/08/23/073302/ylbhi-33-pelanggaran-

ham-timpa-mahasiswa-Papua-paling-banyak-di-surabaya. Diakses 17 Juli 2020.

Riadi, Fajar. “Setengah Abad Papua bersama Indonesia.”

https://historia.id/politik/articles/setengah-abad-Papua-bersama-indonesia-DAk1P.

Diakses 16 Juli 2020.

Saputra, Andi. “Pepera Papua 1969 Tidak Bisa Dibatalkan.” https://news.detik.com/berita/d-

4704752/pepera-Papua-1969-tidak-bisa-dibatalkan. Diakses 16 Juli 2020.

41

Simorangkir, Eduardo. “Ada Faktor Infrastruktur dalam Peningkatan Kualitas Hidup Orang

Papua.” https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4512558/ada-faktor-

infrastruktur-dalam-peningkatan-kualitas-hidup-orang-Papua. Diakses 27 Juli 2020.

Simorangkir, Eduardo. “Benarkah Kualitas Hidup Orang Papua Makin Baik?”

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4512345/benarkah-kualitas-hidup-

orang-Papua-makin-baik. Diakses 27 Juli 2020.

Simorangkir, Eduardo. “Ini Bukti Kualitas Hidup Orang Papua Makin Baik.”

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4511323/ini-bukti-kualitas-hidup-

orang-Papua-makin-baik. Diakses 27 Juli 2020.

Sitompul, Martin. “Debat Pendiri Bangsa Soal Papua.” https://historia.id/politik/articles/debat-

pendiri-bangsa-soal-Papua-v5EAo. Diakses 29 Juli 2020.

Sumule, Agus. “Evaluasi Otsus Papua: Tinjauan Bab Per Bab (Bagian I).”

https://suaraPapua.com/2020/05/22/evaluasi-otsus-Papua-tinjauan-bab-per-bab-

bagian-i/. Diakses 20 Juli 2020.

Sumule, Agus. “Evaluasi Otsus Papua: Tinjauan Bab Per Bab (Bagian II).”

https://suaraPapua.com/2020/05/30/evaluasi-otsus-Papua-tinjauan-bab-per-bab-

bagian-ii/. Diakses 20 Juli 2020.

Suwandi, Dhias. "Korban Tewas Kerusuhan Wamena Bertambah Jadi 33 Orang."

https://regional.kompas.com/read/2019/09/26/19555801/korban-tewas-kerusuhan-

wamena-bertambah-jadi-33-orang. Diakses 16 Juni 2020.

Suwandi, Dhias. “Bupati Minta Semua Pasukan Ditarik dari Nduga, Ini Pernyataan TNI."

https://regional.kompas.com/read/2019/08/07/14415941/bupati-minta-semua-

pasukan-ditarik-dari-nduga-ini-pernyataan-tni?page=all#page3. Diakses 20 Juli 2020.

Suwandi, Dhias. “TNI Direncanakan Garap Pengerjaan Trans Papua di Kawasan Rawan

KKB.” https://regional.kompas.com/read/2019/12/03/15212881/tni-direncanakan-

garap-pengerjaan-trans-Papua-di-kawasan-rawan-kkb. Diakses 27 Juli 2020.

Thomas, Vincent Fabian. "Indeks Pembangunan Manusia 2019 di Bawah Target, Papua

Terparah." https://tirto.id/ezzq. Diakses 17 Juli 2020.

Vembrianto, Albertus dan Adi Renaldi. “Mengungsi di Tanah Sendiri: Setahun Berlalu, Para

Pengungsi Nduga Masih Didera Nestapa.”

https://www.vice.com/id_id/article/xgqgmj/mengungsi-di-tanah-sendiri-setahun-

berlalu-para-pengungsi-nduga-masih-didera-nestapa. Diakses 20 Juli 2020.

42

Wardah, Fathiyah. “Pemerintah akan Lakukan Dialog Sektoral untuk Papua.”

https://www.voaindonesia.com/a/pemerintah-akan-lakukan-dialog-sektoral-untuk-

Papua/4081405.html. Diakses 24 Juli 2020.

Wicaksono, Pebrianto Eko. “Infrastruktur Listrik Tegangan Tinggi Pertama Resmi Beroperasi

di Papua.” https://www.liputan6.com/bisnis/read/3626930/infrastruktur-listrik-

tegangan-tinggi-pertama-resmi-beroperasi-di-Papua. Diakses 27 Juli 2020.

Widadio, Nicky Aulia dan Muhammad Nazarudin Latief. “Riwayat konflik Papua, tanah kaya

di ujung timur Indonesia.” https://www.aa.com.tr/id/berita-analisis/riwayat-konflik-

Papua-tanah-kaya-di-ujung-timur-indonesia/1635906. Diakses 28 Juli 2020.

Widhana, Dieqy Hasbi. "Kontroversi 61 Tokoh Papua Bentukan BIN yang Dialog dengan

Jokowi." https://tirto.id/eifn. Diakses 27 Juli 2020.

Wijaya, Callistasia. “Papua: Konflik bersenjata di Tembagapura, warga sebut 'anak-anak dan

ibu-ibu bisa trauma, bisa jadi gila.” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-

51799006. Diakses 21 Juli 2020.

Yahya, Achmad Nasrudin. “Imparsial Kritik Vonis Makar terhadap 7 Tapol asal Papua."

https://nasional.kompas.com/read/2020/06/17/20133091/imparsial-kritik-vonis-

makar-terhadap-7-tapol-asal-Papua. Diakses 20 Juli 2020.

Yahya, Achmad Nasrudin. “Mahfud MD Sebut Upaya Referendumkan Papua Bentuk

Perlawanan terhadap Pemerintah.”

https://nasional.kompas.com/read/2019/12/17/12211721/mahfud-md-sebut-upaya-

referendumkan-Papua-bentuk-perlawanan-terhadap. Diakses 16 Juli 2020.

Yahya, Achmad Nasrudin. "Vonis 7 Tapol Papua atas Kasus Makar yang Dinilai sebagai

"Shock Therapy"..." https://nasional.kompas.com/read/2020/06/18/11225861/vonis-7-

tapol-Papua-atas-kasus-makar-yang-dinilai-sebagai-shock-therapy?page=all. Diakses

20 Juli 2020.

Yasa, Agne. “Segera Tersambung, Jalan Trans Papua Bakal Tekan Disparitas Harga.”

https://ekonomi.bisnis.com/read/20200303/45/1208532/segera-tersambung-jalan-

trans-Papua-bakal-tekan-disparitas-harga. Diakses 31 Juli 2020.

Yoman, Pdt. Socratez Sofyan. “Ketidakadilan dan Kepalsuan Sejarah Integrasi Papua ke

Dalam Wilayah Indonesia Melalui Pepera 1969.”

http://suarabaptis.blogspot.com/2011/02/ketidakadilan-dan-kepalsuan-sejarah.html.

Diakses 16 Juni 2020.