Cover Laporan

of 30 /30
1. Tes Widal Suatu jenis pemeriksaan serologi. Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.Thyphi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.Thyphi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu : 1. Aglutinin O (dari tubuh kuman) 2. Aglutinin H (flagela kuman) 3. Aglutinin Vi (Simpai kuman) Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640. Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+). Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+). 1

Embed Size (px)

Transcript of Cover Laporan

1. Tes Widal Suatu jenis pemeriksaan serologi. Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.Thyphi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.Thyphi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu : 1. Aglutinin O (dari tubuh kuman) 2. Aglutinin H (flagela kuman) 3. Aglutinin Vi (Simpai kuman) Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640. Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+). Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+). Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+) pada pasiendengan gejala klinis khas. 2. Pemeriksaan Feses Pemeriksaaan Makroskopik Pemeriksaan makroskopik tinja meliputi pemeriksaan jumlah, warna, bau, darah, lendir dan parasit (Gandasoebrata R, 1970). a. Jumlah Dalam keadaan normal jumlah tinja berkisar antara 100-250gram per hari. Banyaknya tinja dipengaruhi jenis makanan bila banyak makan sayur jumlah tinja meningkat (Hepler OE, 1956). b. Konsistensi Tinja normal mempunyai konsistensi agak lunak dan bebentuk. Pada diare konsistensi menjadi sangat lunak atau cair, sedangkan sebaliknya tinja yang keras1

atau skibala didapatkan pada konstipasi. Peragian karbohidrat dalam usus menghasilkan tinja yang lunak dan bercampur gas (Hepler OE, 1956). c. Warna Tinja normal kuning coklat dan warna ini dapat berubah mejadi lebih tua dengan terbentuknya urobilin lebih banyak. Selain urobilin warna tinja dipengaruhi oleh berbagai jenis makanan, kelainan dalam saluran pencernaan dan obat yang dimakan. Warna kuning dapat disebabkan karena susu,jagung, lemak dan obat santonin. Tinja yang berwarna hijau dapat disebabkan oleh sayuran yang mengandung khlorofil atau pada bayi yang baru lahir disebabkan oleh biliverdin dan porphyrin dalam mekonium. Kelabu mungkin disebabkan karena tidak ada urobilinogen dalam saluran pencernaan yang didapat pada ikterus obstruktif, tinja tersebut disebut akholis. Keadaan tersebut mungkin didapat pada defisiensi enzim pankreas seperti pada steatorrhoe yang menyebabkan makanan mengandung banyak lemak yang tidak dapat dicerna dan juga setelah pemberian garam barium setelah pemeriksaan radiologik. Tinja yang berwarna merah muda dapat disebabkan oleh perdarahan yang segar dibagian distal, mungkin pula oleh makanan seperti bit atau tomat. Warna coklat mungkin disebabkan adanya perdarahan dibagian proksimal saluran pencernaan atau karena makanan seperti coklat, kopi dan lain-lain. Warna coklat tua disebabkan urobilin yang berlebihan seperti pada anemia hemolitik. Sedangkan warna hitam dapat disebabkan obat yang yang mengandung besi, arang atau bismuth dan mungkin juga oleh melena (Hepler OE, 1956). d. Bau Indol, skatol dan asam butirat menyebabkan bau normal pada tinja. Bau busuk didapatkan jika dalam usus terjadi pembusukan protein yang tidak dicerna dan dirombak oleh kuman. Reaksi tinja menjadi lindi oleh pembusukan semacam itu. Tinja yang berbau tengik atau asam disebabkan oleh peragian gula yang tidak dicerna seperti pada diare. Reaksi tinja pada keadaan itu menjadi asam (Hepler OE, 1956). e. Darah Adanya darah dalam tinja dapat berwarna merah muda,coklat atau hitam. Darah itu mungkin terdapat di bagian lua rtinja atau bercampur baur dengan tinja. Pada perdarahan proksimal saluran pencernaan darah akan bercampur dengan tinja dan warna menjadi hitam, ini disebut melena seperti pada tukak lambung atau varices2

dalam oesophagus. Sedangkan pada perdarahan di bagian distal saluran pencernaan darahterdapat di bagian luar tinja yang berwarna merah muda yang dijumpai pada hemoroid atau karsinoma rektum (Hepler OE, 1956). f. Lendir Dalam keadaan normal didapatkan sedikit sekali lendir dalam tinja. Terdapatnya lendir yang banyak berarti ada rangsangan atau radang pada dinding usus. Kalau lendir itu hanya didapat di bagian luar tinja, lokalisasi iritasi itu mungkin terletak pada usus besar. Sedangkan bila lendir bercampur baur dengan tinja mungkin sekali iritasi terjadi pada usus halus. Pada disentri, intususepsi dan ileokolitis bisa didapatkan lendir saja tanpa tinja (Hepler OE, 1956). g. Parasit Diperiksa pula adanya cacing ascaris, anylostoma dan lain-lain yang mungkin didapatkan dalam tinja (Hepler OE, 1956). Pemeriksaan Mikroskopis Pemeriksaan mikroskopik meliputi pemeriksaan protozoa, telur cacing, leukosit, eritosit, sel epitel, kristal dan sisa makanan. Dari semua pemeriksaan ini yang terpenting adalah pemeriksaan terhadap protozoa dan telur cacing (Hyde TA, Mellor LD, Raphael SS, 1976). a. Protozoa Biasanya didapati dalam bentuk kista, bila konsistensi tinja cair baru didapatkan bentuk trofozoit (Hematest, Leaflet, 1956). b. Telur cacing Telur cacing yang mungkin didapat yaitu Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan sebagainya (Hematest, Leaflet, 1956). c. Leukosit Dalam keadaan normal dapat terlihat beberapa leukosit dalam seluruh sediaan. Pada disentri basiler, kolitis ulserosa dan peradangan didapatkan peningkatan jumlah leukosit. Eosinofil mungkin ditemukan pada bagian tinja yang berlendir pada penderita dengan alergi saluran pencenaan (Hematest, Leaflet, 1956).

3

d. Eritrosit Eritrosi thanya terlihat bila terdapat lesi dalam kolon, rektum atau anus. Sedangkan bila lokalisasi lebih proksimal eritrosit telah hancur. Adanya eritrosit dalam tinja selalu berarti abnormal (Hematest, Leaflet, 1956). e. Epitel Dalam keadaan normal dapat ditemukan beberapa sel epite lyaitu yang berasal dari dinding usus bagian distal. Sel epitelyang berasal dari bagian proksimal jarang terlihat karena sel inibiasanya telah rusak. Jumlah sel epitel bertambah banyak kalau ada perangsangan atau peradangan dinding usus bagian distal (Hematest, Leaflet, 1956). f. Kristal Kristal dalam tinja tidak banyak artinya. Dalam tinja normal mungkin terlihat kristal tripel fosfat, kalsium oksalat dan asam lemak. Kristal tripel fosfat dan kalsium oksalat didapatkan setelah memakan bayam atau strawberi, sedangkan kristal asam lemak didapatkan setelah banyak makan lemak. Sebagai kelainan mungkin dijumpai kristal Charcoat Leyden Tinja LUGOL Butir-butir amilum dan kristal hematoidin. Kristal Charcoat Leyden didapat pada ulkus saluran pencernaan seperti yang disebabkan amubiasis. Pada perdarahan saluran pencernaan mungkin didapatkan kristal hematoidin (Hematest, Leaflet, 1956). g. Sisa makanan Hampir selalu dapat ditemukan juga pada keadaan normal, tetapi dalam keadaan tertentu jumlahnya meningkat dan hal ini dihubungkan dengan keadaan abnormal. Sisa makanan sebagian berasal dari makanan daun-daunan dan sebagian lagi berasal dari hewan seperti serat otot, serat elastisdan lain-lain. Untuk identifikasi lebih lanjut emulsi tinja dicampur dengan larutan lugol untuk menunjukkan adanya amilum yang tidak sempurna dicerna. Larutan jenuh Sudan IIIatau IV dipakai untuk menunjukkan adanya lemak netral seperti pada steatorrhoe. Sisa makanan ini akan meningkat jumlahnya pada sindroma malabsorpsi. (Hematest, Leaflet, 1956).

4

3. Pembentukan bilirubin Eritrosit secara fisiologis dapat bertahan/ berumur sekitar 120 hari, Sel-sel eritrosit tua dikeluarkan dari sirkulasi dan dihancurkan oleh limpa. Proses penghancuran eritrosit yang terjadi karena proses penuaan disebut proses senescence, sedangkan destruksi patologik disebut hemolisis. Hemolisis dapat terjadi intravaskular dapat juga ekstravaskuler, terutama dalam sistem RES, yaitu limfa dan hati. Hemolisis eritrosit akan menyebabkan terurainya komponen-komponen hemoglobin menjadi berikut :1.

Komponen protein yaitu globin yang akan dikembalikan ke pool protein dan dapat dipakai kembali

2. Komponen heme akan pecah menjadi dua, yaitu : a. Besi : yang akan dikambalikan ke pool besi dan dipakai ulang b. Bilirubin : yang akan di sekresikan melalui hati dan empedu.

Di dalam limpa, sel darah merah yang tidak dipakai lagi terus menerus dipecahkan menjadi pigmen berwarna kuning kehijauan yaitu bilirubin. Bilirubin ini larut dalam lemak, tidak dalam air dan dapat masuk kedalam sel. Dalam sel akan bersifat toksik. Bilirubin diangkut oleh vena lienalis kedalam hati. Karena bilirubin bersifat sangat toksik terhadap sel-sel otak dan sel-sel tubuh lainnya, makapengangkutan berlangsung dalam bentuk ikatan yang kuat dengan albumin. Didalam hati bilirubin dilepaskan oleh hepatosit dari ikatan albumin dan disalam sel hati dirobah menjadi bentuk yang tidak toksik sehingga dapat di eksresi kedalam empedu. Didalam kolon bilirubin ini dirobah lagi menjadi pigmen cokelat oleh bakteri usus yang menyebabkan tinja berwarna cokelat. Pigmen ini tidak lagi merupakan bilirubin dan disebut sterkobilin yang hampir identik dengan urobilin.

5

Eritrosit hemolisis atau proses penuaan

Hemoglobin

Globin

Protoporfirin

Asam amino

Fe CO Bilirubin indirek HATI

Pool protein

Pool besi Disimpan/ digunakan lagi

Disimpan/ digunakan lagi

Bilirubin direk

EMPEDU

Feses Sterkobilinogen

Urine Urobilinogen

4. Pemeriksaan laboratorium fungsi hati SGOT dan SGPT secara rutin diperiksa sebagai salah satu pemeriksaan untuk mengetahui keadaan hati. Fungsi hati adalah mengolah serta menyimpan bahan makanan. Karbohidrat yang di absorbsi sebagai glukosa disimpan dalam hati sebagai glikogen. Glukosa dilepaskan sesuai dengan kebutuhan. Protein yang diabsorbsi sebagai asam amino, tidak dapat disimpan dalam hati. Setelah memakan protein, hampir semua asam amino mengalami proses deaminasi dalam hati. Golongan asam amino dirubah dalam ureum yang di eksresi melalui ginjal, rantai karbon yang tersisa mengalami oksidasi menjadi CO2 dan air. Sebagian dari asam amino akan memasuki sirkulasi sistemik, tetapi perlu disadari bahwa jumlahnya sangat kecil. Kadar asam amino yang tinggi dalam peredaran darah6

dapat menjadi racun yang merusak fungsi otak. Asam amino yang berjumlah 22 macam dipergunakan di dalam tubuh sebagai bahan-bahan dasar untuk membangun protein. Beberapa macam dari ke 22 asam amino ini tidak dapat dibuat dalam tubuh sehingga harus diperoleh dari makanan, yang disebut asam amino essensial. Asam amino lainnya dapat dirubah dari satu bentuk ke bentuk lain dengan bantuan enzimenzim khusus dalam sel-sel tubuh, terutama dalam sel hati. Enzim-enzim ini disebut transaminase. Dua dari enzim ini yakni SGOT dan SGPT secara rutin dapat diperiksa. 5.Penatalaksanaan pada demam Tifoid Tujuan penatalaksanaan: 1. 2. 3. 4. Mengatasi gejala Membasmi infeksi salmonella Mencegah komplikasi yang mungkin timbul Mencegah relaps

Prosedur penatalaksanaan 1. Rawat umum a. Tirah baring selama demam masih ada b. Diet ( boleh makan padat, namun rendah serat) c. Demam sebaiknya cukup dengan kompres dingin saja d. Jika pasien tampak toksik ,diberi hirokotison dosis 100 mg IV/ 8 jam e. Dilakukan upaya mencegah dekubitus 2. Obat pilihan a. Kloramfenikol 50-100 mg/KgBB selama 2 lekosit selama 5-7 hari. b. c. Amoksisilin 2 dd 2000 mg atau Ampisillin 4 x sehari 1-2 gram (14 hari) Kortimoksasol 2 x 2 tab ( 10-14 hari)7

minggu. Kontrol jumlah

d.

Fluoroquinolone generasi III 300mg-1 gr/hari (5-7 hari): Ciprofloxacin 2 x500 mg, prefloxacin1x 400 mg

e.f.

Ceftriakson 20 mg/Kg/BB?hari (3-7hari) Pada sepsis/DIC dapat ditambahkan Deksametason 3 mg/KgBB dosis dalam 30 menit diikuti 1 mg/KgBB per 6 jam selama 24-48 jam

g.

Jika sampai perforasi usus mungkin perlu pembedahaan.

Managemen Nutrisi Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain : a. b. c. d. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein. Tidak mengandung banyak serat. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. Makanan lunak diberikan selama istirahat. Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Syarat-syarat diet sisa rendah adalah :

Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan

serat maksimal 8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi perorangan

Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak8

dengan toleransi perorangan. asam dan berbumbu tajam. terlalu panas dan dingin

Makanan sering diberikan dalam porsi kecil Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus,

diet perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan formula, atau makanan parenteral.

Diet sisa rendah terbagi dua , yaitu:a. diet sisa rendah I

Diet sisa rendah I adalah makanan yang diberikan dalam bentuk disaring atau diblender. Makanan ini menghindari makanan berserat tinggi dan sedang, bumbu yang tajam, susu, daging berserat kasar (liat), dan membatasi penggunaan gula dan lemak. Kandungan serat maksimal 4 gram. Diet ini rendah energi dan sebagian zat gizi. Tabel 1. Bahan Makanan yang Dianjurkan dan tidak Dianjurkan pada diet sisa rendah 1 Bahan makanan Sumber karbohidrat Dianjurkan Tidak Dianjurkan Bubur saring, roti bakar, Beras tumbuk, beras ketan, kentang dipure, makaroni, roti whole wheat, jagung, bihun krakers, rebus, biskuit, ubi, singkong, talas, cake, dodol, tepungtepungan yang dibuat kue berserat kering, kasar, telur tepung-tepungan tarcis,

dipuding atau dibubur Sumber protein hewani

manis. Daging empuk, hati, ayam, Daging ikan atau dalam giling sebagai halus, direbus, ditim, diceplok air di makanan

telur ayam, dan ikan yang diawet, goreng

campuran diceplok, udang dan kerang, dan susu dan produk susu. seperti kacang

Sumber protein nabati

minuman Tahu ditim dan direbus, Kacang-kacangan susu kedelai kacang tanah,

merah, kacang tolo, kacang hijau, kacang kedelai, tempe9

Sayuran Buah-buahan Minuman

Sari sayuran Sari buah Teh, sirup, kopi encer

dan oncom. Sayuran dalam

keadaan

utuh Buah dalam keadaan utuh Teh dan kopi kental, minuman beralkohol dan mengandung soda Bawang, cabe, jahe, merica, ketumbar, cuka dan bumbu lain yang tajam

Bumbu

Garam, vetsin, gula

b. diet sisa rendah II

Diet sisa rendah II merupakan makanan peralihan dari diet sisa rendah I ke Makanan biasa. Diet ini diberikan bila penyakit mulai membaik atau bila penyakit bersifat kronis. Makanan diberikan dalam bentuk cincang atau lunak. Makanan berserat sedang diperbolehkan dalam jumlah terbatas, sedangkan makanan berserat tinggi tidak diperebolehkan. Susu diberikan maksimal 2 gelas sehari. Lemak dan gula diberikan dalam bentuk mudah cerna. Bumbu kecuali cabe, merica dan cuka, boleh diberikan dalam jumlah terbatas. Kandungan serat diet ini adalah 4-8 gram. Tabel 2. Bahan Makanan yang Dianjurkan dan tidak Dianjurkan pada diet sisa rendah II Bahan makanan Sumber karbohidrat Dianjurkan Beras dibubur/ditim, bakar, kentang Tidak Dianjurkan roti Beras tumbuk, beras ketan,

rebus, roti whole wheat, jagung, tarcis, manis. dodol, tepung-

krakers, tepung-tepungan di ubi, singkong, talas, cake, bubur atau dipuding tepungan yang dibuat kue

Sumber protein hewani

Daging empuk, hati, ayam, Daging ikan direbus, telur

berserat

kasar,

ditumis, ayam, dan ikan yang diawet, direbus, daging babi. dalam

dikukus, diungkep dan di telur diceplok dan dadar, panggang, sebagai makanan ditim, diceplok air atau campuran dan minuman,10

susu

maksimal

2

gelas

perhari. Sumber protein nabati Tahu ditim direbus, ditumis, Kacang-kacangan pindakan, susu kedelai kacang tanah, seperti kacang

merah, kacang tolo, kacang hijau, kacang kedelai, tempe dan oncom. Sayuran Sayuran kacang tomat direbus, ditumis. Buah-buahan yang panjang, masak, dikukus berserat Sayuran yang seperti daun dan berserat daun buah

rendah dan sedang, seperti tinggi muda, bayam, labu siam, pepaya,

buncis singkong, daun katuk, daun wortel melinjo, oyong, pare serta dan semua sayur yang dimakan mentah

Sari buah; buah segar yang Buah yang dimakan dengan matang (tanpa kulit dan biji) kulit, seperti apel, jambu dan pepaya, tidak pisang, banyak biji, dan pir serta jeruk yang jeruk, buah gas yang seperti menimbulkan durian dan menimbulkan gas seperti dimakan dengan kulit ari; avokad, nenas

nangka. Lemak Margaris, minyak terbatas mentega dalam untuk dan Minyak untuk menggoreng, jumlah lemak hewani, kelapa dan menumis, santan

mengoles dan setup Minuman Teh, kopi encer, sirup Teh dan kopi kental,

minuman beralkohol dan mengandung soda Bumbu Garam, vetsin, gula, cuka, cabe, merica salam, laos, kunyit, kunci dalam jumlah terbatas.

11

Untuk kembali ke makanan "normal", lakukan secara bertahap bersamaan dengan mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke-3 makanan biasa, dan seterusnya. 6. Indikasi rawat inap pada pasien demam tifoid adalah: Apabila demam tidak turun Kondisi tidak membaik lebih dari 2 minggu Apa bila demam tifoid berat atau terjadi komplikasi seperti toxic tphoid,sepsis peritonitis atau perforasi Sudah diberi obat selama 3 hari tidak ada perbaikan

7. Penyakit dengan demam lebih dari 2 minggu 1. Demam Tifoid

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.Masa Inkubasinya 1014 hari. Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsurangsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

2. Malaria Masa inkubasi malaria biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung spesies parasit (terpendek untuk Plasmodium Falciparum dan terpanjang Plasmodium Malariae).

12

8. Efek samping obat demam tifoid 1. Kloramfenikol Berikatan dengan %0s bacterial-ribosomal subunit dan menghambat sintesis protein bakteri (bakteriostatik). Efek samping : Mual, muntah, mencret, mulut kering, stomatitis, pruritus ani, penghambatan eritropoiesis, Gray syndrom pada bayi baru lahir, anemia hemolitik, exantema, urticaria, demam, gatal-gatal, anafilaksis, dan terkadang syndrom StevensJonson, Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap kloramfenikol 2. Tiamfenikol Dosis dan keaktifan hampir sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadi anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Efek Samping : Mual, muntah, diare, depresisumsum tulang yang bersifat reversibel, neuritis optis dan perifer, serta dapat menyebabkan Gray baby syndrom. 3. Kotrimoksazol Menghambat sintesis dihydrofolic acid bakteri (bakteriostatik) Efek samping : Thromboplebitis, mual, muntah, sakit perut, mencret, ulserasi esofagus, leukopenia, trombopenia, anemia megaloblastik, peninggian kreatinin serum, eksantema, urtikaria, gatal, demam. 9. Pemeriksaan Laboratorium penunjang Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2)13

pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler. 1. Pemeriksaan darah tepi Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid. a. Identifikasi kuman melalui isolasi/biakan Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteriS. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah. Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana14

dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut. Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 1050% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek seharihari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang. Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita. b. Identifikasi kuman melalui uji serologis Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S.15

typhimaupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX; (3) metode enzyme immunoassay(EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik. Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit). 3.1 UJI WIDAL Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbedabeda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan. Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau nonendemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan. Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam16

penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif

akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).3 Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.

3.2

TES TUBEX Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.

3.3

METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metodeTyphidotM yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik. Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis nontifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan17

dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwaTyphidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat. Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien. 3.4 METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis. 3.5 PEMERIKSAAN DIPSTIK18

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhidengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhisebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.

4. Identifikasi kuman secara molekuler Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan carapolymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.

19