Cover LAP UTAMA Ver 1 - Citarum

97
LAPORAN UTAMA EKSPEDISI CITARUM WANADRI ( SEGMEN 1, 4, DAN 6 ) Sekretariat Jl. ACEH 155 BANDUNG

Transcript of Cover LAP UTAMA Ver 1 - Citarum

LAPORAN UTAMA

EKSPEDISI CITARUM WANADRI( SEGMEN 1, 4, DAN 6 )

Sekretariat Jl. ACEH 155 BANDUNG

DAFTAR ISI

• LAPORAN UTAMA • LAMPIRAN 1 KEGIATAN DI SEGMEN 1

• LAMPIRAN 2 KEGIATAN DI SEGMEN 4

• LAMPIRAN 3 KEGIATAN DI SEGMEN 6

• LAMPIRAN 4 JALA APUNG & KONFLIK TATA GUNA AIR DI JATILUHUR

• LAMPIRAN 5 PENCEMARAN DI HULU CITARUM

• LAMPIRAN 6 MENYIMAK RICIK CITARUM DARI SOSOK PEREMPUAN

• LAMPIRAN 7 ANEKA TULISAN MENGENAI EKSPEDISI CITARUM WANADRI

PRODUKSI PETA1. PETA UTM PANJANG LINTASAN SUNGAI CITARUM ( A0 )

2. PETA PEMBAGIAN SEGMEN DAS CITARUM ( A1 )3. PETA LINTASAN SEGMEN 1 ( HULU ) ( A2 )

4. PETA LINTASAN SEGMEN 4 ( TENGAH ) (A2 )5. PETA LINTASAN SEGMEN 6 ( HILIR ) ( A2 )

1

EKSPEDISI CITARUM WANADRI (Segmen 1, 4, dan 6 )

PERSIAPAN Kegiatan Ekspedisi Citarum Wanadri dimulai dari pembahasan lewat email baik antar personil maupun di milis Wanadri, yang kemudian ditindaklanjuti dengan serangkaian pertemuan. Beberapa ide dasar dan bentuk kegiatan banyak dibicarakan. Ide yang bergulir di bulan Februari 2009 dan disepakati di Dies Wanadri bulan Mei 2009, lalu terbentuk panitia pelaksana “bayangan” . Sejak awal sudah disadari bahwa kegiatan Ekspedisi Citarum Wanadri bisa berjalan dengan baik dan dapat mengkombinasikan unsur tua maupun muda di Wanadri, serta bisa melibatkan pihak lainnya di luar Wanadri bila dilakukan dengan jadwal yang flexibel dan dihari libur. Uji coba dan evaluasi kegiatan turun ke lapangan yang dilakukan di bulan Juli 2009 di daerah Muara Bendera , bisa memberikan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana Ekspedisi ini dapat dijalankan. Proposal kemudian dibuat, surat mandat dari DP Wanadri sudah diperoleh, dan ide dasar dari proposal kemudian diedarkan ke institusi potensial yang juga mempunyai program tentang Citarum. Wanadri sadar betul akan keterbatasan diri, sehingga dari rapat intern, yang bisa dilakukan dalam waktu dekat adalah melakukan pengamatan Visual, mendokumentasikan dan mengabarkan tentang kondisi Citarum ke para pihak yang lebih luas agar dapat dilakukan perbaikan mutu dan kuantitas yang stabil dari Citarum. Fokus yang akan didata lebih ke arah badan sungai atau Wilayah Sungai, bukan di Daerah Aliran Sungai ( DAS ) dan anak sungai. Sumber data selain pengamatan visual di lapangan, adalah data sekunder dari laporan laporan penelitian di Citarum yang sudah ada, klipping koran dan majalah, serta dari wawancara dengan para pihak yang kompeten. Road map yang akan dilalui oleh Wanadri dalam berkegiatan di Citarum ini adalah :

1. Pendataan di lapangan dan studi pustaka tentang Citarum 2. Public Campaign dan Awareness tentang kondisi lingkungan Citarum sebagai masalah

bersama 3. Action ( Reduksi pencemaran lingkungan, perbaikan kondisi lingkungan di badan air,

pendidikan dan peningkatan kesadaran lingkungan dan partisipasi parapihak , menjaga kuantitas air yang stabil, dll )

Masing masing tahap ini saling bersinggungan sehingga dalam tahapan pencarian data juga bisa dilakukan “kampanye” peningkatan kesadaran publik terhadap kondisi sungai Citarum yang masih memprihatinkan. Lama kegiatan ini dalam rentang waktu 2 – 3 tahun diharapkan akan terjadi perubahan yang semakin membaik bagi Citarum, dengan jangka waktu menuju kondisi ideal Citarum antara 6 sampai 10 tahun, dengan kualitas air yang cukup memadai untuk bisa digunakan oleh masyarakat dan mempunyai debit air / kuantitas yang stabil, sehingga fluktuasi yang terjadi diharapkan tidak akan menyebabkan bencana bagi masyarakat yang tinggal disekitar Citarum.

2

TUJUAN dan SASARAN TAHAP 1 Tujuan Kegiatan

1. Mendapatkan Data Informasi tentang DAS CITARUM, yang akan diolah untuk menghasilkan Laporan Data Dasar Lingkungan dan Sosial (Base Line Data) sungai Citarum terbaru

2. Memunculkan kesadaran dan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kondisi sungai Citarum

Output Kegiatan

1. Laporan Pendataan lapangan dari ekspedisi Sungai Citarum • Bidang lingkungan : dengan fokus kepada tingkat pencemaran • Bidang sosial ekonomi : tingkat pemahaman masyarakat sekitar Citarum

terhadap kondisi S. Citarum 2. Laporan foto (deskripsi dan situasi berbasis segmen)

RUANG LINGKUP KEGIATAN TAHAP-1

• Studi pustaka pendahuluan • Penyusuran dan pendataan sungai Citarum • Observasi terhadap pemahaman masyarakat sekitar Citarum terhadap kondisi

Citarum • Mempersiapkan materi kampanye kepedulian lingkungan DAS Citarum

Pemahaman terhadap kondisi DAS Citarum saat ini

Membangun kesadaran masyarakat terhadap “kekritisan” kondisi Citarum

AAwwaarreenneessss IInntteerreesstt && DDeessiirree

Tahap 2 6-8 bln

Tahap 3 12-24 bln

o Kampanye / pameran

o Kegiatan lomba dan wisata di DAS Citarum (contoh lomba arung sungai, pemecahan rekor MURI, pasar seni & budaya, dll)

o Community Development

AAccttiioonn

Community & Sustainable development

Sanitation Facility

Waste Management

Green Belt

Tahap 1 3-6 bln

3

TAHAPAN KEGIATAN

Modal dasar yang digunakan sebagai kekuatan pelaksanaan kegiatan adalah jejaring anggota Wanadri, resistensi yang rendah dari para pihak yang “berseberangan “ dan keterikatan batin yang kuat antara Wanadri dengan sungai Citarum . Selain itu, Wanadri sudah pernah melakukan penelitian di Citarum pada tahun 1979 ( dengan pokok bahasan masalah sedimentasi ); tahun 1984 – 1985 ( dengan pokok bahasan masalah kualitas air dan masalah degradasi lingkungan ). Karena posisi Wanadri relatif netral, maka output dari Ekspedisi Citarum Wanadri ini diharapkan tidak sebagai “penuntut umum “ yang biasanya digunakan jalur ini oleh LSM “garis keras” , tetapi lebih mengedepankan penyampaian hasil observasi dan analisis mengenai kondisi Citarum, dan mengharapkan para pihak yang memiliki kontribusi “negatif” pada sistem di Citarum dapat mengurangi kontribusi negatifnya dan lebih mengedepankan akan “kesadaran” para pihak, bahwa perbaikan Citarum dapat dilakukan secara bersama dengan masing masing pihak dapat menjalankan kewajibannya dengan lebih bertanggung jawab dan dilakukan dengan integritas yang tinggi. Dan mendorong pemerintah agar dengan tegas dapat menjalankan salah satu fungsinya sebagai regulator dengan menegakkan aturan main yang adil dan terintegrasi. Penegakan hukum merupakan salah satu pilar penting untuk menuju ke arah perbaikan mutu lingkungan Citarum serta pengaturan pola pemanfaatan ruang dan sumberdaya air sungai Citarum yang lebih adil. Upaya upaya solutif dan peningkatan kapasitas para pihak merupakan agenda utama dan lebih berguna daripada sibuk mempertahankan diri dengan pemikiran diri sendiri yang paling benar serta menyalahkan pihak lain. Tim pelaksana Ekspedisi Citarum Wanadri juga menyadari keterbatasan internal, sehingga perlu dilakukan dengan kerja keras, dengan menyisihkan waktu yang seharusnya buat keluarga, dan membutuhkan “endurance” dengan napas panjang yang agak lama , karena persoalan Citarum tidak hanya dapat diselesaikan dalam hitungan bulan, malahan mungkin dalam hitungan tahun. Sehingga secara internal organisasi Wanadri, juga perlu disiapkan darah segar, tenaga tenaga yang masih muda untuk ikut juga terlibat dalam proses kegiatan, agar disuatu saat dapat dilakukan perpindahan tongkat estafet pengelolaan Citarum ini yang tetap bisa mengikuti alur kegiatan dan tahapan yang sudah dibuat . Dari studi literatur dan pengamatan dilapangan sebelumnya terlihat bahwa perhatian pemerintah dan masyarakat akan Citarum dan upaya untuk melakukan perbaikan sudah dilakukan sejak puluhan tahun lalu, tak kurang beberapa dana besar dan berbagai program sudah dilakukan di Citarum, kegiatan lintas sektoral , partisipasi parapihak juga sudah dilakukan. Salah

• Menentukan maksud dan tujuan

• Pencarian Data Sekunder

• Proposal

• Audiensi dan Perijinan

• Kerjasama

• Penggalangan Dana

Pra Pelaksanaan

Operasional Kegiatan

•Penyusuran Sungai

•Observasi Lingkungan

•Observasi Sosial Ekonomi

•Bakti Sosial

•Seminar 1 ( stakeholder)

•Pengolahan data sekunder

•Penulisan jurnalistik serial

Pelaksanaan

• Pengolahan data operasional

• Penulisan Buku Ekspedisi

• Pembuatan film Dokumenter

• Seminar 2 ( hasil )

• Pameran

• Audiensi dan Presentasi

Pasca Pelaksanaan

TAHAP 1

4

satu kelemahan dari program program yang sudah ada adalah masalah ego sektoral, fokus, komitmen, upaya yang berdaya guna, penegakan hukum, serta program yang berkelanjutan. Permasalahan yang berikutnya adalah pemahaman dan penerapan pengertian “ Partisipasi Masyarakat “ yang salah kaprah. Peran pemerintah masih terlihat dominan, pelibatan masyarakat, dari kacamata Antropologi masih bersifat ” mobilisasi masyarakat ” , dan keberadaan masyarakat cukup di level ”kelengkapan administrasi”. Sehingga dalam usulan yang diusung Wanadri, dikenalkan konsep Citarum yang dibagi menjadi 6 ( enam ) segmen. Pembagian ini lebih dikategorisasikan atas permasalahan dominan, karakteristik daerah dari ciri ekologi, fungsi dan sosial ekonomi. Kemudian secara bersama , para pihak bisa mereview apa saja program yang sudah dilakukan , yang akan dilakukan dan mengevaluasi apakah program yang sudah dilakukan mempunyai nilai yang penting untuk dapat dilakukan perbaikan dan penjagaan mutu dan kuantitas air Citarum. Dengan dibahas lintas sektoral dan juga para pihak lainnya diharapkan bisa muncul prioritas dan mereduksi program yang tumpang tindih. Benang merah dari tahapan persiapan dan konseptual dari Wanadri secara sederhana adalah Wanadri berkegiatan dan bermain di Citarum serta berupaya memperbaiki mutu air dan menjaga kestabilan pasokan air agar tidak menyebabkan bencana bagi masyarakat dengan strategi mengajak sebanyak mungkin orang dan organisasi, instansi untuk terlibat dan peduli terhadap persoalan degradasi lingkungan di Citarum, serta belajar cara mengelola lingkungan dari semua pihak . PELAKSANAAN Kegiatan yang dimulai dari bulan Februari 2009 sampai Juli 2010 adalah berupa diskusi yang intens dan mulai dilakukan pencarian tim pelaksana. Akhirnya disepakati secara internal di Wanadri, pelaksana kegiatan adalah mereka yang sudah melakukan kegiatan di bidang lingkungan dan olah raga air. Setelah terkumpul “tim Bayangan “ , maka disusun rencana kerja dan dilakukan upaya kerjasama dengan berbagai pihak dalam pelaksanaan kegiatan. Kronologi kegiatan di lapangan yang dilakukan oleh Ekspedisi Citarum Wanadri dapat dilihat di tabel berikut. Kegiatan ini melibatkan berbagai pihak seperti dari anggota Wanadri, pemerintahan, penggemar fotografi, wartawan media cetak, wartawan media elektronik dan masyarakat umum. Dari segi misi untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin orang agar tahu apa yang sedang terjadi di sungai Citarum, maka hal ini sudah bisa tercapai, karena dari segi peliputan, kegiatan Ekspedisi Citarum di siarkan oleh dua stasiun televisi nasional yakni TV ONE dalam acara Fakta dan Data ; serta Trans 7, dalam acara Redaksi kontroversi, yang disiarkan secara berseri setiap sabtu dan minggu. Menurut info dari produser acara Redaksi Kontroversi, acara peliputan Citarum mempunyai rating yang tinggi terutama saat menyiarkan kondisi pencemaran di sekitar daerah Hulu dan di Majalaya. Kemudian peliputan di daerah muara mengenai pencemaran dan sanitasi di masyarakat. Dari peliputan media cetak juga dimuat di koran Djakarta Post, Kompas, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Koran Tempo, dan beberapa koran lokal. Penyebaran informasi tidak hanya melalui koran dan televisi, juga melalui radio dan konferensi pers di acara Earth Live di Jakarta, dan juga di beberapa presentasi saat menghadiri undangan dari berbagai instansi dan komunitas. Saat ini yang akan digarap adalah segmen anak muda, dimana presentasi di sekolah sekolah dan Perguruan Tinggi ( ITB dan UNPAD ) , serta mengajakKelompok Ilmiah Remaja ( KIR ) di masing masing sekolah untuk ikut “terlibat” di Citarum seperti ikut mengarungi segmen tertentu, melakukan pengambilan sampel dan penelitian sederhana, dan bila memungkinkan melakukan bakti sosial, dan menuliskan hasil pengamatan mereka tentang kondisi lingkungan dan masyarakat yang tinggal di sekitar Citarum.

5

Tabel Kronologi Kegiatan Ekspedisi Citarum Wanadri SEGMEN TANGGAL LOKASI KETERANGAN

S6 26 JULI 09 Route Cilincing – Muara Bendera – M. Gembong Uji Coba RIB S6 05 AGT 09 Bekasi – Muara Gembong Survey darat ke Muara

Gembong S6 04 OKT 09 Bekasi – Muara Gembong Survey darat ke Muara

Gembong S6 24 OKT 09 Krwg kota, Rengasdengklok, Tanjungpura,

Batujaya Kondisi Citarum surut, perahu sering kandas

- 13 NOV 09 Sekretariat Wanadri - Bandung Surat Mandat dari DP Wanadri

S6 14 NOV 09 Bekasi – Muara Gembong – Kalimati – Muara Bendera pp

Bersama wartawan & rombongan Bappenas/ADB

S6 15 NOV 09 M. Gembong – R. Dengklok Walahar – Karawang Kota ; dan tim darat

Tim dibagi menjadi 3 kelompok

S6 05 DES 09 Cilincing – Muara Bendera – M. Gembong Bersama Dir. SDA & Irigasi Bappenas, wartawan cetak & elektronik

S6 dan S4 06 DES 09 Jalur Jatiluhur – Curug dan seputar Jatiluhur Menginap di dekat Jatiluhur S6 dan S4 26 DES 09 Jatiluhur – Walahar

Jatiluhur – Cirata Tim dibagi 2 kelompok

S6 dan S4 27 DES 09 Walahar – Tj. Pura Jatiluhur – Walahar Jatiluhur - Cirata

Tim dibagi 3 kelompok

S1 16 JAN 10 Seputar Cisanti ; Cisanti – Cibeureum ; FGD Tim dibagi 3 kelompok, bersama wartawan Suara Pembaruan

S1 17 JAN 10 Jalur ke Ciseke Jalur ke Jmbtn Cihawuk

2 kelompok penyusuran darat ; bersama wartawan Suara Pembaruan

S1 30 JAN 10 Strawberry – Wandir Cisanti

Rafting, wawancara

S1 dan S2 31 JAN 10 Balekambang – Majalaya – Sapan Perahu dayung S4 13 FEB 10 Batujajar/Manglid ; Saguling ; Bantar Caringin Observasi, wawancara,

rafting S4 14 FEB 10 Cirata Observasi - 04 MAR 10 Kantor Trans TV Jakarta Presentasi, nara sumber

S1 06 MAR 10 Cisanti - Cibeureum Bersama wartawan Media Indonesia

S4 07 MAR 10 Btr Caringin, Kp. Muhara ; Kp Citembong Bersama wartawan Media Indonesia

S1, S2 dan S3

20 MAR 10 Wandir – Balekambang – Majalaya – Bojong Soang - Kopo

Observasi, nara sumber, wawancara

Ket. Sampai Maret 2010 Pendataan dilakukan dengan menggunakan perahu karet bermotor, perahu karet tanpa motor, RIB, dan juga pendataan dengan jalan kaki menyusuri pinggiran sungai Citarum. Selain itu selama di daerah hulu ( segmen I ) mendapat bantuan dari masyarakat setempat, LSM lokal, dan kelompok Pecinta Alam bernama Garda Ca’ah di Majalaya. HASIL TEMUAN Temuan lapangan kemudian dikelompokkan berdasarkan segmen yang dilakukan pendataan yakni segmen 1 ( Cisanti – Majalaya ) , segmen 4 ( Saguling – Cirata – Jatiluhur ) , dan segmen 6 (

6

Outlet Jatiluhur – Curug - Walahar – Karawang – Tanjungpura – Rengasdengklok – Batujaya – Muara Gembong – Muara Bendera ). Segmen I ( Cisanti – Majalaya ) Temuan yang didapat oleh Tim Ekspedisi berupa potensi dan kondisi dalam pengertian positif dan negatif, yakni :

1. Program Konservasi yang ada di mata air – mata air, dan anak sungai yang merupakan sumber pertama air Citarum di hulu harus dilakukan secara terus menerus, terprogram, dan terintegrasi. Posisi program konservasi saat ini masih dalam kondisi jalan ditempat dan sangat sektoral. Biarpun tampak dari kejauhan sudah hijau, namun sebenarnya semu, karena ”hijau”nya bukan dari tanaman utama melainkan ditanami dengan rumput gajah yang mempunyai nilai konservasi yang rendah. Usaha penghijauan sangat tidak sebanding dengan proses perambahan dan perubahan bentang alam. Program ”penghijauan ” dan revegetasi yang dilakukan juga tidak dengan kerangka yang jelas dan konsisten. Programnya masih terbatas kepada penanaman pohon, sementara kegiatan ”pertanian ” sayuran masih berkembang dengan pesat dan tetap berpeluang untuk masuk ke wilayah hutan, selain juga perlakuan terhadap petani masyarakat dan pemodal besar berbeda. Sebagai contoh daerah daerah dibelakang Situ Cisanti, kalau kita naik dari punggungan di pinggir Ciseke, atau langsung dari Tarumajaya menyisir jalan perkebunan, diketinggian tertentu terlihat kebun kentang yang dikelola oleh pengusaha besar yang mendominasi daerah tersebut , yang keberadaannya memicu perasaan ketidakadilan terutama dari eks penggarap lahan petak 73 ( sekitar Cisanti/Gn Wayang ) yang di relokasi ke sekitar desa Tarumajaya dengan alih profesi. Sementara petak – petak 18 dan 19 yang juga di bawah kewenangan Perhutani, yang berdekatan dengan daerah hulu Citarum ini tetap dibiarkan digarap oleh masyarakat dengan tanaman sayuran umur pendek seperti kentang, wortel, bawang, dll.

2. Konsekuensi dari berkembangnya pertanian di daerah Cisanti dan sekitarnya. Pertanian dan peternakan sapi perah menyebabkan pasokan bahan kimia untuk pertanian dan makanan bagi sapi, meningkat pesat, yang tidak diiringi oleh pengelolaan limbah dari kegiatan tersebut. Maka bisa dibayangkan bahwa tempat pembuangan yang paling mudah dan paling dekat adalah sungai Citarum. Bayangkan jumlah 5200 sapi di desa Tarumajaya dan Cibeureum, dengan taksiran kotoran yang dibuang ke sungai, setiap sapi sekitar +/- 20 kg atau total 10 ton / hari . Bahaya lain yang muncul adalah penggunaan bahan kimia sebagai penyemprot hama, penyubur tanaman, dan sebagainya. Dengan label bahwa produk tersebut sudah aman dan ramah lingkungan , harus dilihat secara faktual dilapangan. Secara alami kalau suatu lahan menerima bahan kimia dalam jumlah yang cukup banyak dan terus menerus mengingat sirkulasi tanaman yang berumur pendek, pasti akan terjadi degradasi ”kesehatan ” tanah di daerah tersebut. Belum lagi pemahaman petani mengenai dosis yang masih belum benar. Masih ada yang beranggapan dengan menggunakan terus menerus dan jumlah lebih banyak akan mendapat hasil panen lebih banyak dan tidak dihinggapi oleh penyakit. Suatu penelitian tentang kesehatan masyarakat terutama usia yang rentan ( anak- anak ) dilakukan oleh peneliti dari Jepang. Sampel darah yang diambil dari anak anak dari beberapa desa di kecamatan Kertasari, menunjukan adanya kandungan bahan kimia yang berasal dari pupuk dan insektisida dengan kadar tertentu. Ini menunjukkan bahwa bahan bahan kimia ini masuk ke jaringan darah penduduk yang tinggal di daerah pertanian tersebut, misal saat penyemprotan dengan tidak memperhatikan arah angin, memegang bahan kimia tidak menggunakan sarung tangan, dan langsung makan; menyimpan bibit kentang yang sudah diberi bahan kimia di rumah dalam waktu yang cukup lama, dan sebagainya.

7

3. Kegagalan utama dalam program konservasi saat ini, adalah karena program tersebut belum melibatkan dan menempatkan masyarakat setempat sebagai pemangku kepentingan utama, namun lebih berorientasi pada proyek. Sebagai contoh: (i) Program penghijauan tidak mendapat dukungan masyarakat karena dianggap mengganggu usaha pertanian masyarakat sehingga setiap kali pohon tumbuh agak besar mereka potong kembali untuk menghilangkan kanopi agar tanaman sayurnya bisa tumbuh dengan baik; (ii) Program mereduksi limbah kotoran sapi yang dibuang langsung ke sungai dengan cara Biogas. Program ini juga gagal dikembangkan di masyarakat karena tidak adanya ketegasan dan sosialisasi yang cukup bagi masyarakat setempat, termasuk tidak adanya pendampingan, pelatihan mengenai pemeliharaan dan ketersediaan suku cadang. Yang lebih menyedihkan, sebagian besar unit yang diserahkan oleh kontraktor pelaksana tidak dapat dijalankan. (iii) Tidak ada keselarasan antara kebutuhan masyarakat dengan resources, dalam hal pupuk hewan. Disatu sisi kotoran sapi yang bisa dijadikan bahan pupuk melimpah (menjadi limbah), namun pupuk yang digunakan kebanyakan berasal dari kotoran ayam.

4. Cisanti dapat dikembangkan sebagai areal wisata alam dan budaya; Danau buatan ini yang dibuat oleh PSDA untuk mengumpulkan air dari 7 mata air di sekitar Gunung Wayang ini, juga menyimpan berbagai cerita yang menarik untuk diteliti dan dikenalkan ke masyarakat . Adanya dua makam dan mata air yang bagi sebagian masyarakat dianggap daerah keramat, panorama danau cukup indah bagi yang melakukan kegiatan di alam terbuka, dan bisa dikembangkan untuk olah raga air dan memancing.

5. Persoalan yang dirasa oleh masyarakat desa Cibeureum dan Tarumajaya adalah keberadaan air bersih dan konservasi sumber air bersih tersebut. Jumlah penduduk kedua desa ini yang cukup padat menyebabkan kebutuhan akan air bersih juga cukup besar. Selama ini dikarenakan sungai Citarum sudah dijadikan tempat pembuangan kotoran sapi, maka air bersih diambil dari mata air yang cukup jauh sekitar 5 – 7 km dengan menggunakan pipa dan selang yang diorganisir oleh Desa dengan pemeliharaan yang seadanya. Selanjutnya penyaluran sekunder dengan selang ke rumah penduduk masih bersifat pribadi dan kelompok keluarga.

6. Secara morfologi, kawasan hulu Citarum ini terletak didaerah yang memiliki kemiringan cukup tinggi, sehingga secara natural juga terjadi erosi dan terkadang longsoran yang dipicu oleh gerakan air. Hal ini di perparah oleh pilihan teknologi pertanian yang digunakan oleh masyarakat yang membuat alur air di kebun yang searah dengan aliran air, dengan maksud agar akar tanaman yang dipelihara tidak mengalami busuk.

7. Secara makro untuk level kecamatan dan juga di tiap desa, belum ada program pengelolaan limbah. Sampah dari aktivitas pasar Kertasari ( di desa Cibeureum ) dibuang ke Citarum di dekat jembatan Cangkuang. Di beberapa lokasi di pinggir sungai juga menumpuk sampah – sampah yang berasal dari rumah tangga masyarakat. Sudah ada usaha kelompok masyarakat dalam mengelola sampah ini tapi kapasitas pengelolaannya masih belum significan dan tidak dilakukan secara terus menerus.

8. Segmen Citarum Hulu di bawah kecamatan Kertasari sampai menjelang masuk Majalaya, relatif sama dengan di hulu, berupa aktivitas pertanian dan tingginya erosi. Beberapa bendungan seperti di bawah Kebun Strawberry, di atas wandir, dan di Wandir sendiri yang dibuat saluran irigasi ke daerah Ciparay. Adanya banjir tanggal 19 Maret 2010, sempat terjadi kerusakan di bendungan Wandir. Disegmen ini , bisa digunakan untuk kegiatan rafting. Kegiatan lainnya adalah pengambilan batu sungai dan pasir seperti di jembatan Cihawuk, dan daerah lainnya yang lebih hilir.

9. Menjelang masuk Majalaya, terutama di daerah Balekambang, masyarakat banyak melakukan kegiatan pengambilan pasir dan batu sungai. Lokasi pengumpulan pasir yang

8

diambil dari Citarum, terletak didekat sungai, beberapa truk akan mengambil pasir tersebut dan mengirimkan sampai ke kota Bandung.

10. Kawasan Balekambang sampai Majalaya, yang ditemui disepanjang pinggir sungai adalah kawasan tekstil yang berasal dari rumah rumah penduduk, dan pabrik pabrik besar penghasil tekstil dan produk tekstil. Persoalan sanitasi masyarakat dan ”kepatuhan ” pengusaha untuk mengelola limbah dari produksi pabrik dan usaha Rumah Tangga, merupakan persoalan yang utama dan mendesak untuk ”diselesaikan” , karena kalau tidak akan menjadi ”bom waktu ” lingkungan.

11. Hal lainnya yang terjadi adalah semakin sering datangnya banjir, terutama untuk daerah Majalaya, meski sudah ada response swadaya suatu kelompok masyarakat , misalnya yang dilakukan oleh Garda Ca’ah yang membuat sistem peringatan dini untuk mengatasi banjir.

Segmen IV ( Saguling – Cirata – Jatiluhur )

1. Mutu air di daerah Manglid yang buruk, berwarna hitam, dan berbau busuk yang menurut masyarakat setempat berasal dari hulu ( seperti Kopo, Bandung, dan anak anak sungai yang didekatnya daerah industri ) . Pusdikpassus yang berlokasi di Batujajar, juga harus memindahkan lokasi latihan yang menggunakan obyek air seperti manuver kapal dan gerakan personil di air ke Carita Banten. Outlet Saguling di Bantar Caringin juga di waktu tertentu akan mengeluarkan warna hitam, berbau busuk, dan mengeluarkan busa. Sementara mutu air di Jatiluhur juga menjadi masalah, dikarenakan di seputar Jatiluhur berdiri industri yang menghasilkan bahan dasar kimia yang digunakan untuk industri lainnya, serta juga dikembangkan industri tekstil dan keramik. Outlet di Cikawao Bandung sepanjang 2 – 3 km masih tercium bau busuk termasuk dengan masuknya anak sungai Cikawao yang dilewati berbagai industri.

2. Usaha Jala Apung di Saguling, meski tidak sebanyak di Cirata dan Jatiluhur, masih mendominasi kawasan Saguling, meski jumlahnya saat ini relatif menurun karena sering terjadinya ”Upwelling” dan gagal panen. Sementara usaha Jala Apung di Cirata dan Jatiluhur relatif masih berkembang. Persoalan keberadaan Jala Apung ini adalah jumlahnya yang jauh diatas ambang batas toleransi sehingga menyebabkan terjadinya gangguan kualitas air bendungan yang digunakan untuk pertanian ( Jatiluhur ), dan pasokan listrik ( Saguling, Cirata, Jatiluhur ) berupa sisa pakan dan sifat limbah yang kaya sulfur dan nitrat yang bisa menyebabkan terjadinya korosif pada benda benda yang mengandung logam di bendungan, seperti pada turbin dan pipa. Keberadaan sisa pakan di dalam air juga meningkatkan keberadaan ganggang air seperti Spyrogira spp. Yang dalam jumlah banyak juga bisa mengganggu operasional bendungan . Sangat perlu dilakukan upaya pengendalian dan pengaturan yang lebih tegas dalam pemanfaatan sumberdaya air di bendungan, berdasarkan atas daya dukung alam .

3. Sedimentasi di Saguling terjadi lebih cepat, juga di Cirata yang menyebabkan umur bendungan lebih cepat dari seharusnya. Sumber sedimen selain dari hulu yang mengalami kerusakan lingkungan , juga dari aktivitas di bendungan seperti jala apung dan juga kontribusi dari anak anak sungai yang berdekatan dengan bendungan . Tingginya sedimentasi ini harus diwaspadai dari kacamata Disaster Management, terutama dengan semakin sering terjadinya banjir baru baru ini .

4. Terganggunya pasokan air ke Bendungan karena degradasi lingkungan di Hulu , berupa fluktuasi air yang diterima oleh bendungan, dimana di musim kemarau, terutama Saguling akan cepat mengalami kekeringan , dan dimusim hujan akan terjadi limpahan air yang

9

cukup besar, sehingga perlu untuk dilakukan pembuangan yang dampaknya cukup terasa oleh masyarakat yang tinggal di bagian bawah bendungan.

5. Aktivitas masyarakat yang tinggal dipinggir sungai yang melakukan pengambilan pasir dan batu. Perlu perubahan paradigma di pemerintah dan pengelola Bendungan mengenai aktivitas pengambilan pasir dan batu yang dianggap negatif, karena usaha ini justru membantu bendungan tidak cepat mengalami sedimentasi. Pemerintah harus melihat bahwa usaha ini justru positif terhadap lingkungan sekitar, bagi pengembangan ekonomi masyarakat, dan juga kepentingan pemerintah dalam menjalankan fungsi yang ada di bendungan .

6. Keberadaan Eceng Gondok ( Eichornia crassipes ) di bendungan dan disungai diantara ke 3 bendungan itu, selain sebagai indikator bahwa perairan tersebut mengandung bahan pencemar logam berat juga dari jumlahnya yang cenderung tidak terkendali dapat dikatakan sebagai gulma air, yang juga memberikan kerepotan yang cukup bagi pengelola bendungan. Beberapa alat mekanik untuk menangkap dan ”memusnahkan ” tanaman ini tampak dipasang di setiap bendungan. Upaya secara ekologi juga pernah dilakukan dengan menebarkan ikan – ikan yang bisa memakan akar tanaman air ini sehingga tidak bisa tumbuh dengan baik. Persoalannya adalah ikan ikan yang secara alami berada di badan air Citarum, ditengarai sudah menghilang, dikarenakan badan air Citarum sudah mengalami pencemaran yang cukup parah. Ada upaya yang dilakukan oleh teman teman dari Enclave Conservation , yang melakukan identifikasi ikan ikan endemik di Citarum, melakukan penangkaran dan kemudian melepaskan kembali di perairan , seharusnya upaya ini didukung oleh semua pihak.

7. Hal yang cukup kontras adalah ditemukan beberapa kampung disekitar Jatiluhur yang mengalami kesulitan air bersih dan belum teraliri listrik . Potret kemiskinan seperti ini juga dilihat secara makro untuk bisnis di jala apung , ketika yang mendapatkan keuntungan cukup besar adalah pemilik usaha ( pemodal ) serta pelaku pemasok kebutuhan usaha Jala Apung ( bibit, pakan, obat ) , serta pedagang besar ( yang membeli hasil panen, untuk kemudian dijual ke daerah lain seperti ke Jakarta, Bandung, dan kota kota besar lainnya ), sementara petugas dan penjaga jala apung yang merupakan jumlah pegawai terbesar yang berasal dari daerah Jawa Tengah dan sebagian dari masyarakat sekitar bendungan , tetap hidup di dalam rentang garis kemiskinan. Sementara pemerintah dalam hal ini badan pengelola bendungan diharuskan melakukan upaya perbaikan mutu lingkungan perairan . Artinya pengusaha Jala Apung tidak melakukan upaya perbaikan lingkungan yang seharusnya merupakan bagian dari Risk usaha Jala Apung. Pemerintah dalam hal ini hanya mendapatkan kontribusi berupa pembayaran pajak dan retribusi.

8. Fungsi utama bendungan Saguling dan Cirata dan juga salah satu fungsi dari bendungan Jatiluhur dan Curug adalah memasok sebagian kebutuhan listrik untuk koneksi Jawa Bali. Meskipun jumlah kontribusi dari bendungan ini relatif kecil dari segi pemenuhan kebutuhan listrik nasional, tetapi juga memiliki nilai strategis dan bisa mempengaruhi kestabilan ekonomi dan politik di Indonesia. Sehingga perhatian dan seharusnya dalam memperlakukan ke tiga bendungan besar ini sebagai instalasi pemerintah yang strategis.

9. Sudah saatnya untuk menempatkan ketiga bendungan ini dalam perencanaan dan perlakuan dari kacamata Disaster Management, mengingat jarak antar bendungan yang relatif dekat dan implikasinya bila terjadi bobolnya bendungan yang bisa melanda daerah yang cukup luas termasuk daerah Jakarta. Perhatian dan pengalaman pejabat teknis yang mengurus Bendungan , saat sekarang juga harus dibekali dengan pemahaman terhadap bencana. Bila satu bendungan yang jebol bisa disetarakan dengan 1000 kali kekuatan perusak seperti di Situ Gintung, maka bisa dibayangkan berapa besarnya energi bila ketiga

10

bendungan tersebut dengan effect multiplier bendungan atas ( Saguling ) yang jebol menyebabkan bendungan dibawahnya ( Cirata ) ikut jebol dan mengalir ke bendungan besar terakhir ( Jatiluhur ) , dengan membawa jutaan kubik lumpur dan energi gerak yang dahsyat, untuk menyapu kawasan utara jawa yang relatif landai.

Segmen VI (Jatiluhur – Karawang – Rengasdengklok – Muara Gembong – Muara Bendera )

1. Outlet Jatiluhur, di Cikawao , sebenarnya sudah tidak layak huni, selain sangat padat, letaknya juga terlalu dekat dengan pintu buangan bendungan Jatiluhur. Dari kontur letak kampung Cikawao berada di bagian bawah bendungan, sehingga rawan terhadap air buangan dari pintu outlet Jatiluhur dan juga jika terjadi bencana rusaknya bendungan Jatiluhur, maka daerah di bawah tersebut akan terkena langsung limpasan lumpur dan air dengan energi dan daya rusak yang sangat besar.

2. Kawasan pinggiran antara Jatiluhur sampai bendungan Curug dipenuhi dengan berbagai macam industri. Keberadaan tanaman indikator eceng gondok dan rumput Cyperus sebenarnya menunjukkan adanya buangan dari industri tersebut yang ada di perairan Citarum.

3. Bendungan kecil Curug dan Walahar, yang dibangun sejak jaman Belanda, memang diperuntukkan untuk keperluan pertanian, meski di Curug juga di letakkan pembangkit listrik tenaga MicroHydro untuk keperluan PLN. Problem utama adalah adanya tanaman Eceng Gondok yang sering menyumbat bendungan, meski sudah dilakukan upaya mekanik dengan mengangkatnya dari badan air lalu dikeringkan, tetap saja masih lebih banyak yang ada di air dari pada yang sudah diangkat. Kedua bendungan kecil ini juga mempunyai fungsi sampingan sebagai lokasi wisata bagi masyarakat disekitarnya. Di Walahar maalahan ada rumah makan sunda, H. Dirja yang terkenal akan pepes ikan air tawar.

4. Bendungan Curug merupakan lokasi pemisahan aliran Citarum menjadi 3 bagian yakni ke timur disebut Tarum Timur ( untuk keperluan pertanian ) dan ke Barat disebut Tarum Barat ( untuk keperluan air bersih Jakarta ) . Bendungan Walahar juga terjadi pencabangan aliran Citarum , sebagian akan mengalir ke Klari , Karawang dan seterusnya sampai ke Muara Citarum , sementara cabang lain berupa Tarum tengah yang kemudian bercabang lagi menjadi Tarum Utara yang sebelah barat dan sebelah timur.

5. Mutu air di kawasan industri Klari, sangat buruk, di musim kemarau, tinggi permukaan air Citarum turun drastis, air terkadang tergenang, dari beberapa saluran buangan industri akan masuk air yang berwarna , bau, di beberapa lokasi menunjukkan adanya warna tertentu di tumbuhan akibat dari air buangan tersebut. Ditemukan hewan hewan seperti keong mas yang mati dalam jumlah cukup banyak dimulut outlet dari industri. Ada suatu desa , Kertanegara, dijumpai adanya timbunan debu hasil limbah batubara, yang diletakkan di pinggir sungai Citarum dalam kondisi terbuka. Hal ini bisa terjadi dikarenakan setelah kalangan industri dihadapkan pada pilihan menggunakan listrik dari PLN dengan tarif baru atau menggunakan alternatif lain yakni batubara, tetapi dalam pelaskanaan penggunaan batubara ini kurang dilakukan pengelolaan yang baik terhadap limbahnya , sehingga sering kali dikeluhkan oleh masyarakat adanya kendaraan kendaraan yang sengaja membuang hasil limbah batu bara tersebut di bantaran Citarum.

6. Kawasan kota Karawang terlihat kontras di musim hujan maupun kemarau. Kalau saat kemarau air menjadi surut, kedalaman air sekitar 50 cm, bahkan di beberapa lokasi terlihat sangat dangkal, air tidak mengalir, di dekat jembatan Pindo Delli / Jembatan gantung kuning, air berwarna hitam pekat dengan bau busuk. Tak jauh dari lokasi ini juga ada Rumah Potong Hewan yang juga membuang sebagian hasil limbah RPH ini langsung

11

ke sungai. Sebelumnya ditemukan beberapa kantong pemukiman pemulung yang mengelola berbagai sisa limbah untuk dilakukan pemisahan dan penggunaan bahan yang masih mempunyai nilai ekonomi. Sisa sisa pemilahan dan penumpukan stock para pemulung ini bisa ditemukan di sepanjang sungai Citarum di dalam kota Karawang. Tetapi di musim hujan ketika tinggi air menjadi 2 – 3 meter, maka semua yang tidak indah itu sepertinya lenyap, tinggal air berwarna coklat , tidak ada sampah dipinggir sungai, bau busuk menghilang, dan perjalanan lancar sampai melewati bagian barat kota Karawang ( Tanjungpura )

7. Kawasan Tanjungpura menuju Rengasdengklok, disekitar Tanjungpura, merupakan kawasan padat dan industri, kualitas air cukup buruk, ditemukan banyak kotoran manusia dan hewan di pinggir sungai, di lapangan, dan juga di badan sungai. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan WC relatif minim dan juga masih belum terbiasa masyarakat untuk buang air besar di WC. Sepanjang kurang lebih 15 km jalur sungai didominasi oleh ladang penduduk dan tanaman air di sepanjang tepi sungai. Sesekali ditemukan perahu penyeberang dengan menggunakan tali yang menyeberangkan orang, kendaraan, hasil pertanian dan perdagangan . Kegiatan yang terlihat cukup dominan adalah pertanian, ternak yang dilepas dipinggir sungai, dan para pemancing.

8. Rengasdengklok, merupakan kota kecamatan yang cukup ramai dan mempunyai catatan sejarah yang penting di awal kemerdekaan, ketika Bung Karno di culik oleh sebagian pemuda dan disembunyikan di Rengasdengklok ini. Kemungkinan besar arah pembangunan kota kecamatan Rengasdengklok ini ke arah barat yakni mendekati sungai Citarum. Visual di sepanjang sungai Citarum dari Rengasdengklok sampai Batujaya kemudian Cabangbungin, relatif monoton berupa ladang ladang masyarakat, penggembalaan hewan ternak. Aktivitas penduduk yang MCK di sepanjang sungai Citarum di subsegmen ini cukup dominan bila dibandingkan di kawasan Walahar sampai kota Karawang. Lalu lintas di sungai cukup sibuk untuk membawa kebutuhan masyarakat, kebutuhan air bersih, dan trasnportasi untuk keperluan sekolah atau dinas kantor. Didaerah Pabayuran ditemukan suatu usaha beberapa kelompok masyarakat yang ”menggali ” pasir dengan cara menyedot menggunakan pompa air dari dasar sungai untuk dialirkan di pinggir sungai. Jumlah usaha ini cukup banyak di daerah tersebut. Di Kecamatan Batujaya, ditemukan kompleks percandian yang menurut ahli Purbakala menunjukkan Candi Budha ( salah satunya yang sudah selesai di pugar bernama Candi Jiwa ) , yang menunjukkan sudah adanya peradaban di daerah tersebut sejak jaman prasejarah dari kerajaan Tarumanegara dengan raja purnawarman, dan memiliki keterkaitan dengan temuan situs di Cibuaya , yang candi nya beraliran Hindu.

9. Dari Cabangbungin ke Muara Gembong sudah mulai terasa bahwa daerah tersebut sudah dekat dengan laut, dikarenakan jumlah perahu yang hilir mudik sudah semakin banyak dengan berbagai macam keperluan. Fisik sungai juga sudah ada perbedaan di bandingkan daerah hulu, yakni semakin dalam dan arusnya relatif lebih tenang. Cabagbungin dan Muara Gembong merupakan kecamatan di kabupaten Bekasi yang letaknya cukup jauh dari ibu kota Kabupaten Bekasi yang terletak di Cikarang Pusat. Kesulitas akses transportasi ini yang menyebabkan daerah ini merasa lebih dekat dengan Jakarta ( Cilincing ) yang bisa ditempuh selama 30 – 40 menit dengan perahu, dibandingkan jalan darat menuju Cikarang Pusat yang bisa ditempuh selama 6 – 7 jam. Keterisolasian daerah bisa dirasakan oleh sebagian amsyarakat karena merasa ditinggalkan oleh Provinsi Jawa Barat. Bahkan kalau melihat Rencana Program Prioritas Bappeda Jawa Barat, maka kegiatan di hilir ( Kabupaten Karawang dan Bekasi ) Ciatrum selama tahun 2010 sampai 2015 , tidak akan ditemui program dari Provinsi Jawa Barat.

12

10. Banjir dan keterisolasian daerah merupakan resiko yang sudah lama dihadapi masyarakat Muara Gembong sampai Muara Bendera. Analisis masyarakat menunjukkan bahwa sekarang banjir lebih sering terjadi, selain bersumber dari hulu ( daerah Karawang, Cikarang ), sumber banjir juga dari laut berupa Rob, air laut yang masuk jauh ke dalam sungai. Pola perumahan yang ada pinggir C itarum di daerah muara ini , tidak tertata dengan baik terutama sirkulasi air kotor, sehingga di halaman rumah sering tergenang dengan limbah rumah tangga dan juga terkadang kotoran manusia. Kebanyakan bayi dan anak kecil di Muara ini mengalami gangguan kulit .

11. Didaerah Muara , seperti di desa Pantai Bahagia, merupakan tempat singgah sementara para nelayan asal Indramayu dan Cirebon. Di musim tertentu kalau cuaca di alut tidak memungkinkan melaut, maka perahu – perahu dengan beraneka bendera diparkir dengan rapi didekat pemukiman. Didekat lokasi pemukiman ini ditemukan hamparan tambak yang dari segi kondisi banyak yang terlantar dikarenakan sering sekali terjadi gagal panen karena daerah tersebut terkena banjir. Hasil wawancara dan penelusuran sumber data sekunder lainnya , kawasan muara Bendera ini diminati oleh suatu konglomerat untuk dijadikan suatu kawasan resort. Bahkan di KLH sudah pernah mengeluarkan rekomendasi untuk bisa dilakukan pemanfaatan kawasan tersebut yang sebenarnya statusnya masih merupakan hutan konservasi yang dikelola oleh Perhutani. Dan di muara Bendera ini masih bisa ditemukan dalam jumlah tertentu sekelompok kera ekor pendek ( Macaca fascicularis ) dan Lutung / Owa ( Hylobates moloch ) yang merupakan endemik jawa. Kondisi mangrove yang ada di muara Citarum ini sudah dalam taraf mengenaskan, dari jauh terlihat seperti kawasan hijau yang tebal, setelah dilihat lebih dekat berupa pohon mangrove yang tipis dan di bagian belakangnya sudah merupakan kawasan terbuka dalam bentuk tambak.

HAMBATAN Kendala yang ditemukan selama pelaksanaan dokumentasi di lapangan adalah, karena segmen cukup panjang sehingga perlu dilakukan pengamatan di lapangan dalam beberapa kesempatan yang tidak cukup dalam satu kali saja. Akibatnya biaya yang harus dikeluarkan menjadi membengkak. Secara internal tim , karena yang ikut pelaksanaan dengan beragam pendidikan dan pengalaman, sehingga titik fokus perhatian juga bisa beranekaragam. Meski sejak awal sudah disepakati, Tim Ekspedisi akan fokus kepada dokumentasi masalah pencemaran dan kondisi sosial ekonomi masyarakat dipinggir badan sungai Citarum, dan dalam form yang disertakan pada tim lebih ke arah pengamatan kondisi fisik sungai . Secara internal di Wanadri, kegiatan Ekspedisi Citarum Wanadri ini lebih menarik perhatian anggota Wanadri yang cukup senior, dan kurang dapat tanggapan yang antusias dari anggota yang masih muda. Tercatat yang ikut serta dari angkatan POR ( Adityawarman), LANG ( Popo , Remy ), Hujan Kabut ( Iwan Bungsu, Dudung ), Angin Lembah, Rawa Laut, Kabut Rimba-Kaliandra, Elang Rimba, dan sebagian besar dari angkatan Badai Rimba. Untuk yang lebih muda, yang ikut ke lapangan biasanya cuma dalam satu trip setelah itu tidak ikut kembali.

13

KESIMPULAN

1. Citarum sudah banyak dibahas, diteliti dan dipaparkan diberbagai seminar dan publikasi massa; tetapi setelah dilihat secara intens dan berinterkasi dengan masyarakat setempat, perlu juga dilakukan redefinisi mengenai Citarum mengingat selama ini penilaian terhadap Citarum lebih banyak karena ”menurut pendapat peneliti ” yang secara antropologi disebut dengan Ethic view; tetapi kurang menyertakan ”pendapat masyarakat setempat ” serta cara pandang masyarakat itu sendiri tentang Citarum ( Emic view ) . Salah satu kelemahan munculnya rekomendasi dan kebijakan kebijakan yang kurang tepat karena mereka tinggal di Citarum dalam hitungan hari yang terbatas, sehingga belum terbangun empati, akibatnya rekomendasi yang keluar kurang mengenai sasaran. Salah satu contoh, di hulu disebutkan masalah penggundulan hutan, Solusinya adalah Penanaman pohon, apakah dengan dilakukan penanaman pohon persoalan degradasi lingkungan akan selesai, apakah ada jaminan dengan pohon yang ditanam ini akan terus tumbuh, atau setelah itu akan ditebang karena menghalangi pertanian yang dikerjakan oleh masyarakat setempat. Kemudian muncul rekomendasi ”Relokasi penduduk ” , sebenarnya konsep ini banyak diterapkan oleh Departemen Kehutanan di tahun 1970 sampai 1980an , bahwa pengelolaan hutan yang mutlak di kuasai negara dan dianggap bahwa hutan itu kosong, baru dilakukan pengelolaan, hutan yang ekonomis di buatkan menajdi HPH, hutan konservasi menganggap masyarakat lokal yang tinggal didalamnya adalah illegal. Konsep ini sebenarnya sudah banyak ditinggalkan oleh Kementrian Kehutanan dan yang kemudian digantikan dengan Kemitraan dan Hutan Kemasyarakatan. Kalau rencana Relokasi Pemukiman ini dilakukan berarti suatu kemunduran secara konseptual. Bahwa upaya Penghijauan suatu hutan akan berhasil dan mudah dilakukan, apabila kawasan itu dikosongkan . Rencana Ressetlement ini dengan derajat yang berbeda juga diterapkan oleh Bappenas / ADB di daerah hilir terutama di Tarum Barat. Rencana ini juga harus dikritisi dan perlu diluruskan mengenai beberapa penilaian negatif yang dilakukan oleh konsultan pembangunan terhadap kelompok masyarakat ( etnis) tertentu yang tinggal di pinggir sungai Citarum, karena rekomendasi mereka itu merupakan sesuatu yang tidak tepat. Pendapat yang cukup positif dengan kondisi tertentu disampaikan oleh peneliti Jepang di kawasan industri Cikarang, mengenai aktivitas para pengumpul limbah dan barang bekas.

2. Pengelolaan Citarum untuk menuju yang lebih baik , masih kurang melibatkan dengan porsi yang cukup besar masalah gender dan anak anak. Dari berbagai studi pembangunan ketika keputusan dan kebijakan tentang suatu pembangunan ( dalam hal ini masalah Citarum ) maka kaum perempuan relatif kurang terperhatikan , terutama mereka yang tinggal di pinggir sungai. Jangan lupa , bahwa yang paling banyak mengalokasikan waktu untuk terdedah terhadap air Citarum adalah kaum perempuan dan anak anak. Sehingga mereka sebenarnya lebih sering di air, lebih mengerti tentang Citarum dan sekaligus mereka yang paling rentan terkena pengaruh buruk yang datang dari Citarum seperti limbah dan bencana.

3. Secara konseptual di perencanaan Bappenas dan juga studi studi lainnya , belum secara jelas menempatkan masyarakat disekitar sungai sebagai Pelaku ( yang negatif maupun positif ) yang penting dan sebagai korban (akibat dan resiko tinggal di pinggir sungai ) , tetapi masih lebih sering disebut sebagai pelaku, karena dari kesimpulan kesimpulan yang biasa beredar, disebutkan kontribusi terjadinya degradasi lingkungan di Citarum karena penduduk yang padat dan tinggal dipinggirnya. Seharusnya hal itu harus diteruskan menjadi suatu kondisi sementara ( disaat ini ) dan karena tidak dilakukan penataan yang baik ( termasuk law enforcement ) sehingga mereka membuang sampah, limbah rumah

14

tangga, dan bahkan limbah industri ke dalam badan sungai. Suatu kondisi lainnya yang mirip tapi dengan situasi yang berbeda, adalah pengelolaan sungai sungai di kota kota besar seperti Thames di London, Rhein di Jerman/ Perancis atau yang ada di New York dengan jumlah penduduk yang megapolitan tetapi tidak menyebabkan sungai di kota tersebut kotor, artinya ada peran pemerintah dan juga warga masyarakat yang menyebabkan tidak melakukan pencemaran sungai . Jumlah penduduk yang banyak bukan merupakan penyebab degradasi lingkungan yang terjadi di Citarum ini, yang ada adalah belum adanya Waste Management secara bertahap sampai tingkatan regional yang berjalan bersebelahan dengan water management.

4. Koridor yang ada di pengelolaan Citarum ini untuk Partisipasi Masyarakat masih terbatas pada Mobilisasi , dan cenderung sebagai legitimasi bahwa proses pengelolaan Citarum ini sudah ”partisipatif ” dengan melibatkan seluruh para pihak. Apa benar seluruh pihak? , karena kita tahu bahwa yang selama ini terlibat adalah yang merasa satu ide, dan yang berseberangan akan ditinggal, sehingga LSM yang dianggap radikal atau bukan merupakan mitra ”binaan ” kementrian tertentu tidak akan dikutsertakan. Terlepas apakah yang dikutsertakan itu mempunyai kekuatan real atau pengaruh yang kuat di Citarum , saat ini masih bukan menajdi masalah. Dominasi pemerintah sangat jelas dan mayoritas. Ke depannya perlu dibuatkan mekanisme semakin besarnya peran amsyarakat baik masyarakat umum/ lokal, peneliti/ akademisi, seniman, remaja, tentara, LSM dan kalangan media.

5. Mengingat masalah Citarum adalah masalah yang kompleks dan lintas sektoral dan perlu koordinasi antar pihak, maka sepatutnya bahwa manajemen pengelolaan Citarum secara integral, berkelanjutan dan partisipatif ini harus dikelola oleh sebuah badan permanen yang dikepalai oleh pejabat yang setingkat menteri. Urutan konsentrasi penyelesaian masalah Citarum juga tidak terlepas atas hubungan daerah penyangga dengan daerah inti, antara kawasan luar DAS dengan DAS dan juga wilayah sungai. Persoalan lingkungan yang terjadi di sungai Citarum juga terjadi di anak anak sungai nya , sehingga perhatian untuk penyelesaian masalah lingkungan dan sosial dan kesuksesannya juga harus mengkaitkan ”perbaikan” di badan sungai Citarum dan anak sungainya.

LAMPIRAN

TULISAN 1

KEGIATAN DI SEGMEN 1

( Cisanti, Ciseke, Cihawuk, Strawberry, Wandir, dan Bale Kambang )

I. PENAMPAKAN  

Situ Cisanti 

Dulunya berupa rawa, yang kemudian setelah dibersihkan dan diperluas menjadi sebuah situ seluas 7ha. Namanya Situ Cisanti, terletak di kaki gunung Wayang, menampung 7 mata air yang airnya jernih, mata air  Pangsiraman,  Cihaniwung,  Cikoleberes,  Cikahuripan,  Cikawedukan,  dan  2  buah mata  air  Citarum. Yang terbesar adalah mata air Pangsiraman. 

Nama  Cisanti  sendiri  tidak  jelas  berasal  dari mana.  Beberapa  penduduk  yang  ditanyai  asal muasal  nama  tersebut,  sebagian  menjawab tidak  tahu, sebagian menjawab  itu berasal dari bahasa  India,  mengingat  jaman  dulu  daerah tersebut  merupakan  bagian  kerajaan  sunda yang  beragama  Hindu.  Namun  sebagian  lagi menjawab,    itu nama  seorang wanita  cantik di masa  penjajahan  Belanda  dulu,  yang  sering mandi di sebuah mata air di sekitar daerah situ.     

Pemandangan Situ Cisanti dari arah Timur 

Dikelilingi hutan pohon pinus di sebelah utara, dan pohon‐pohon tinggi lainnya, membuat suasana Situ Cisanti sejuk disiang hari, dan dingin dimalam dan pagi hari. Kondisi sekelilingnya relatif bersih membuat pengunjung merasa nyaman.  

 

 

Pemandangan Situ Cisanti dari arah Barat Laut  

Dibagian barat, dekat dengan mata air  Citarum, terdapat dua buah makam yang oleh penduduk setempat dipercaya merupakan makamnya  Ibu Ratu Ranggawulung Mayang Cinde dan Sembah Dalem  Dipatiukur,  sehingga  tempat  tersebut sering  dikunjungi  orang  untuk  berziarah. Bahkan buat orang yang percaya, mata air nya dianggap memberi berkah awet muda. Sehingga sering  pula  terlihat  peziarah  yang  mandi  dan berendam di mata airnya yang jernih. 

 

Pada  siang  hari,  sering  terlihat  banyak  orang memancing  ikan.  Tempat  ini  juga  sering digunakan untuk berkemah.  

Di  bagian  timur,  terdapat  tiga  pintu  air.  Dua pintu air, di sebelah kanan dan kirinya berfungsi untuk  mengatur  aliran  air  yang  menuju  dan digunakan  untuk  mengairi  ladang  oleh penduduk  kampung  di  sekitarnya.  Sementara pintu  air  yang  di  tengah  adalah  aliran  yang diyakini sebagai cikal bakal sungai Citarum.  

 

Mata air Citarum 

  1

Untuk  menuju  Situ  Cisanti,  dari  Bandung  bisa  melalui  Ciparay  kemudian  desa  Cibeureum  sebelum mencapai  desa Tarumajaya. Atau bisa juga melalui Pangalengan, kemudian masuk melalui perkebunan teh Malabar Kertasari.  Sebagian besar  kondisi  jalan, dari  kedua  arah  tersebut,  cukup baik. Walaupun memang  ada pada bagian‐bagian  tertentu  kondisinya  cukup  rusak,  sehingga pengendara mobil harus berhati‐hati.  Tetapi  pada  dasarnya mobil  atau  kendaraan  bermotor  lain  bisa mencapai  Situ  Cisanti sampai dengan pintu masuknya. 

Pada  pintu  masuk  terdapat  Arbaroteum  Cisanti  milik  Perhutani,  yang  berupa  bangunan  rumah panggung,  mirip  aula.  Bangunan  ini  bisa  dipergunakan  untuk  ruang  pertemuan  atau  juga  untuk menginap. Bisa disewa oleh masyarakat umum.   Bangunan utama  ini memiliki kelengkapan penunjang untuk MCK yang cukup baik dengan air yang jernih, yang tentu saja bersumber dari mata air disitu.  

 

 

Arboretum Cisanti setelah hujan, bangunan sebelah kanan  

 

Sungai Citarum Bagian Hulu 

Saat Tim Wanadri menyusuri sungai Citarum, 16 Januari  2010,  adalah  musim  hujan.  Memulai dari  pintu  air  Situ  Cisanti,  besarnya  seperti selokan.  Menjauh  dari  pintu  air,  terkesan alirannya  mengecil  seolah  sebagian  air  hilang masuk ke dalam tanah. Tidak jauh dari pintu air, terlihat  beberapa  kolam  penampungan  untuk menampung  aliran  air.  Kolam‐kolam  tersebut dijadikan sumber air bagi keperluan sehari‐hari penduduk  setempat.  Ada  juga  kolam  yang dimanfaatkan  untuk  menanam  ikan.  Tidak untuk  berternak  skala  besar,  namun  hanya sekedar di”lumayan”kan. 

 

Kolam‐kolam penampung  

  2

Kurang  lebih  dua  kilometer  dari  pintu  air, saluran yang diyakini sebagai hulu sungai sungai Citarum  memasuki  Kampung    Pajaten.  Patut disayangkan  saat melewati  desa,  di  sepanjang saluran yang lebarnya 0,5 ‐ 1 meter ini,  berdiri  

 

Kandang‐kandang sapi sepanjang saluran bakal sungai Citarum. Selang berwarna hijau adalah selang penghantar air bersih dari sumber di hulu ke rumah‐rumah penduduk 

puluhan  bahkan  ratusan  kandang  sapi  perah dimana  kotorannya  dibuang  ke  saluran  ini. Jumlah  kotoran  yang  mencemari  sungai  bisa lebih banyak  lagi, mengingat  kandang‐kandang sapi  yang  tidak berdiri  tepat di pinggir  saluran pun membuangannya ke sungai Citarum melalui saluran‐saluran  buatan  atau  anak‐anak  sungai Citarum.  Limbah  kotoran  hewan  ternak  pun diperparah  dengan  limbah  kotoran  rumah tangga.  Hal  ini  terlihat  dari  adanya  beberapa WC  berdiri  di  atas  sungai,  juga  bagian‐bagian buangan  rumah‐rumah  penduduk  yang mengarah ke sungai. Tentu saja air yang semula jernih  menjadi  keruh  coklat  kehijauan.  Oleh karena  itu  penduduk  menggunakan  pipa‐pipa selang  untuk  mengangkut  air  bagi  keperluan sehari‐harinya dari sumber yang masih bersih di hulu. Hal ini dilakukan karena air sungai Citarum di  sebelah  rumahnya  sudah  tidak  layak dipergunakan  lagi  untuk  konsumsi  rumah tangga. Usaha  ternak  sapi perah  itu  sendiri, di daerah tersebut sudah ada sejak jaman Belanda dahulu. 

Selepas  Kampung  Pajaten,  sungai  Citarum sedikit  lebih  lebar.  Berliku  menyusuri  pinggir perkampungan,  sehingga  kondisi  pinggir  atau bantaran  sungai  pun  berselang‐seling  antara perumahan  penduduk  dan  ladang‐ladang petani.  Jenis  tanaman  yang  dibudi‐dayakan sebagian  besar  adalah  jenis  sayuran  seperti wortel, bawang daun, kubis dan kentang. Dalam jumlah  kecil,  kadang  ditemukan  pohon‐pohon kopi.  Selain  itu,  di  bagian  selatan  Desa Cibeureum,  ditemukan  beberapa  kolam  besar yang  merupakan  kolam  tangkapan  air,  yang berperan sebagai reservoir. 

 

Kolam‐kolam reservoir 

Dibagian  ini  sungai  makin  melebar  sehingga sudah  layak  untuk  disebut  anak  sungai  dan bukan  selokan  lagi.  Juga  dibeberapa  tempat ditemukan bagian sungai yang dijadikan tempat pembuangan sampah 

  

Sungai Citarum sebagai tempat penimbunan sampah 

  3

Setelah Desa Cibeureum, profil di kiri‐kanan sungai makin  curam,  dan  ladang‐ladang  penduduk  pun mendominasi  kiri‐kanan  sungai.  Yang  cukup menimbulkan  perhatian  sekaligus  keprihatinan adalah  tidak  adanya  “terasering”  pada  ladang‐ladang  sayuran  tersebut. Bahkan  jalur‐jalur untuk saluran  air  searah  dengan  kemiringan  lahan. Akibatnya  bisa  dibayangkan,  air  hujan dipermukaan akan langsung turun ke bawah tanpa ada yang menahannya, dan  tentu  saja berpotensi meng”erosi”  tanah.  Besarnya  kemampuan  erosi akan berbanding lurus dengan kemiringan lahan.    

 

               

Ladang‐ladang sayuran  

Kegiatan  pembukaan  lahan  baru  pun  banyak dilakukan.  Terlihat  dari  adanya  kegiatan pengupasan tebing untuk lahan‐lahan baru.  

Kondisi  air  berwarna  coklat.  Hal  ini  bisa dimengerti,  karena  saat  itu  musim  hujan sehingga banyak lumpur dan butiran tanah yang tererosi  ke  sungai.  Hal  ini  juga  terjadi  pada anak‐anak  sungai  Citarum,  sebagian  besar berwarna coklat.  

Pada  bagian‐bagian  sungai  yang  relatif  tenang terjadi  pendangkalan  dan  penyempitan  akibat endapan  lumpur.  Namun  secara  umum  aliran sungai  relatif  deras  karena  gradient  sungai relatif tinggi. Hal ini memungkin sebagian besar lumpurnya  terbawa  dan  terendapkan  dibagian hilir  yang  relatif  tenang  di  derah  Majalaya‐

Bandung.  Tidak  heran  kalau  pada  musim penghujan, di daerah yang sering terkena banjir seperti  Pacet‐Majalaya‐Bandung,  yang  dialami bukan hanya menerima luapan air sungai, tetapi juga kiriman lumpur.  

  4

 

Sepanjang  lintasan  ini,  sampai  dengan  Jembatan Cihawuk  ada  sekitar  6‐7  anak  sungai  yang bermuara ke  sungai Citarum. Diantaranya Sungai Ciseke  yang  cukup  besar,  yang  letaknya  masih dekat  Desa  Cibeureum,  kemudian    Cikeris, Ciendog. Dari sekian anak sungai itu, hanya Cikeris yang  masih  jernih.  Menurut  penduduk,  mata airnya  masih  dekat‐dekat  situ.  Sehingga  masih 

dapat  dimengerti, mengapa  airnya masih  jernih, karena  tidak  banyak  tercemari  lumpur  atau butiran tanah akibat erosi dari ladang. 

Profil sungai pun semakin ke hilir semakin curam. Walaupun  begitu  pada  bagian‐bagian  lereng sungai  yang  curam  pun  masih  terlihat  usaha‐usaha  perladangan,  dan  sebagian  besar  adalah sayuran. 

 

         

 

Mendekati  Jembatan  Cihawuk  morfologi  kiri‐kanan  sungai  agak  melandai.  Jembatan  ini  merupakan penghubung antara jalan raya Cibeureum‐Sukapura dengan Desa Cihawuk. 

 

 

  5

II. KENYATAAN  

Ketidak‐adilan 

Hal yang dirasakan penduduk Desa Tarumajaya adalah rasa ketidak‐adilan dalam pemilikan  lahan. Mereka yang notabene adalah petani, merasa Perum Perhutani mengusai lahan terlalu luas dan hanya menyisakan sebagian kecil  lahan yang bisa diolah oleh penduduk. Sebagai gambaran untuk Desa Tarumajaya, dimana Situ Cisanti, memiliki  luas +/‐ 2.700 ha dengan penduduk +/‐ 13.000  jiwa, hanya menyisakan 100 ha atau hanya 4% untuk lahan adat yang kemudian diolah oleh penduduk dijadikan ladang‐ladang pertanian. Hal ini terungkap dalam sebuah diskusi dengan pemuka masyarakat dan LSM setempat. 

Rasa diperlakukan tidak adil juga menguat manakala terjadi perlakuan yang berbeda bagi masyarakat atau individu tertentu. Seperti pada saat adanya pelepasan  lahan perkebunan dan pemberian Hak Guna Usaha (HGU)  kepada  sebuah  entitas  bisnis,  PD  Hikmah misalnya,  sementara  penduduk  setempat  tetap  tidak memiliki lahan yang cukup.  

Hal  ini  berpotensi munculnya  gejolak  sosial  dan mendodrong  pendudukan  lahan  oleh  penduduk.  Selain tentunya  mendorong  petani  melakukan  perambahan  ke  tempat‐tempat  yang  seharusnya  tidak diperuntukan bagi perladangan.  

 

Pembukaan lahan 

Di  sepanjang  lintasan pinggir  sungai Citarum banyak  terlihat usaha perluasan  lahan, walaupun di  tempat yang  cukup  membahayakan  sekalipun,  seperti  tebing  curam.  Selain  membahayakan  peladang,  juga menimbulkan potensi longsor yang pada akhirnya merusak  kondisi sungai, selain melalui erosi tanah. 

      

Perladangan di lereng‐lereng Sungai Citarum 

  6

Dengan  makin  berkurangnya  daerah‐daerah  serapan (catchment  area),  akibat  pembukaan  lahan,  selain mengurangi kemampuan penyerapan dan penyimpanan air tanah,  juga  membuat  resiko  longsor  dan  erosi  tanah semakin  besar.  Apalagi  ditambah  dengan  cara  bercocok tanam yang  jalur‐jalurnya searah dengan kemiringan  lahan, yang  akan  memberikan  potensi  tingkat  erosi  yang  lebih tinggi.  

Ketika  hal  ini  ditanyakan  kepada  peladang/petani  yang bersangkutan,  mereka  memang  sengaja  melakukan  pola perladangan  seperti  itu  dengan  alasan  agar  tidak  terjadi genangan  air  yang  dapat  mengakibat  tanaman  sayuran, terutama  jenis umbi‐umbian  seperti wortel,  kentang, mati dan  umbinya  membusuk.  Perlu  adanya  penelitian  lebih lanjut,  yang  diikuti  oleh  penerangan  dan  pelatihan  agar peladang/petani  bisa  tetap  mengolah  lahan  secara ekonomis tanpa harus mengorbankan lahan.  

Hal  ini  cukup  menarik,  mengingat  beberapa  kilometer  di hilir  dari  daerah  tersebut,  di  daerah  Pacet,  terlihat  pola “terasering”  untuk  pola  perladangan  di  lahan miring.  Apa yang menyebabkan kebiasaan yang demikian berbeda ? 

 

Pola dan jenis tanaman juga dianggap memberikan kontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Petani di daerah  Kecamatan  Kertasasari  lebih  menyukai  menanam  sayuran  dibandingkan  tanaman  keras. Walaupun sudah diupayakan ada program alih komoditi, mengganti tanaman sayuran dengan tanaman kopi,  tapi  usaha  tersebut  belum  menunjukkan  perubahan  yang  signifikan.  Sampai  sekarang  hanya kurang lebih 2% saja  luas  lahan yang ditanami kopi atau tanaman keras sejenisnya. Hal ini dikarenakan lamanya musim kering yang hanya 3 bulan saja dalam satu tahun, sehingga perolehan petani lebih kecil dibandingkan dengan apabila mereka menanam sayuran yang siklusnya lebih cepat.   

Yang  juga  terkait,  walaupun  tidak  langsung,  dengan  pembukaan  lahan  adalah  “illegal  logging”, pemotongan kayu secara sembunyi‐sembunyi untuk dijual atau kayu bakar. Hal ini kadang sulit ditangani secara tuntas,   karena pada akhirnya yang mendorong terjadinya pelanggaran  ini adalah bukan karena masyarakat tidak tahu larangan ini, tetapi karena keterpaksaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. 

 

Pemipaan 

Di sepanjang aliran air bakal sungai Citarum, bukan hal yang aneh apabila terlihat bentangan pipa‐pipa atau selang‐selang  air. Ini adalah untuk mengalirkan air bersih dari kolam‐kolam atau sumber air bersih di  hulu  langsung  ke  setiap  rumah  penduduk,  atau  ke  kolam‐kolam  penampung  sementara  sebelum kemudian dialirkan ke rumah‐rumah penduduk.  Hal ini dilakukan karena tidak bisa mengambil langsung air dari sungai Citarum untuk kebutuhan sehari‐hari, karena sudah terkontaminasi oleh  limbah kotoran sapi.  

  7

Pola pemanfaatan dan pengelolaan air seperti ini, menurut Dede – salah  seorang pemuka  LSM  setempat,  ternyata memberi dampak negatif  secara  tidak  langsung  terhadap  kualitas  sungai  Citarum. Karena petani dan penduduk setempat sudah tidak menggunakan air  secara  langsung dari  sungai atau parit‐parit buatan, perhatian mereka  terhadap  pemeliharaan  parit  dan  sungai  ini  menjadi berkurang,  bahkan  cenderung  diabaikan.  Akibatnya  parit‐parit tersebut menjadi  tidak  terpelihara dan  rusak. Sehingga pada  saat musim  penghujan,  maka  aliran  air  menjadi  tidak  terkendali, meluap dan membawa lumpur ketika masuk ke dalam sungai. Yang pada akhirnya mengurangi kualitas air Sungai Citarum. 

Pemipaan,  telah  mengubah  kebiasaan  dan  tatanan  masyarakat, yang  sebelumnya memberi  perhatian  kepada  pemeliharaan  parit menjadi  tidak  peduli,  karena  seolah‐olah  kebutuhannya tergantikan oleh adanya pipa‐selang air.  

 

 

III.  USAHA PERBAIKAN & HARAPAN 

Banyak  sudah  usaha‐usaha  perbaikan  lingkungan,  baik  yang  dilakukan  oleh  pemerintah  maupun masyarakat  setempat.  Ada  yang  berhasil,  dan  ada  pula  yang  belum  berhasil.  Salah  satu  yang  bisa dikatakan berhasil adalah penghijauan kembali Gunung Wayang oleh kelompok Petak 73.  

Sejak tahun 1997, Gunung Wayang mengalami penggundulan sebagai akibat dijadikannya lahan tersebut sebagai area hutan industri, yang selanjutnya dijadikan lahan oleh para petani setempat. Kemudian pada tahun  2005,  sebuah  kelompok,  Petak‐73,  yang  dikomandani  oleh Agus  dari  LMDH memulai  program penghijauan. Untuk mendukung program penghijauan di area tersebut, maka digulirkan program 3‐Alih ; (1) Alih profesi, (2) Alih komoditi, (3) Alih lokasi. 

Tidak  semua  program  berjalan  lancar  pada  awalnya,  tapi  dengan  ketekunan  program  penghijauan Gunung Wayang bisa dikatakan berhasil, sehingga dijadikan proyek percontohan bagi daerah lain. Hal ini bisa dilihat dari kondisi Gunung Wayang sat ini yang sudah menghijau. 

Selain  itu  ada  juga  program  pengelolaan  limbah  kotoran  hewan,  khususnya  sapi.  Pada  awalnya masyarakat  setempat mengajukan permohonan bantuan pengelolaan untuk  dijadikan pupuk organik. Namun kemudian bantuan pemerintah yang datang adalah berupa pengelolaan untuk dijadikan biogas. Program  ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan, karena dari 7  instalasi biogas yang dibangun, saat  ini hanya  satu  saja  yang  aktif. Dengan  sendirinya hanya  sedikit  kotoran  sapi  yang bia ditangani. Padahal dari perkiraan kasar, berdasarkan jumlah populasi sapi yang ada di daerah itu sekitar 4000 sapi, dengan asumsi setiap ekor sapinya membuang kotoran 2 kali setiap harinya dengan berat 2 ‐ 5 kg setiap kali buang kotoran, maka akan akan terkumpul sebanyak 20 ton kotoran sapi per hari. Tidak heran air sungai Citarum terlihat hijau keruh, karena setiap hari menampung kotoran sapi yang masih dibuang ke sungai karena belum adanya proses yang memadai untuk menangani limbah ini. 

  8

Hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam melakukan program selanjutnya, adalah agar betul‐betul memperhatikan  aspirasi  masyarakat.  Belum  diketahui  pasti,  alasan  kegagalan  program  biogas  ini, apakah  karena  tidak mendapat dukungan masyarakat  yang notabene memerlukan dan menginginkan program yang berbeda, atau karena sosialisasi yang kurang, atau hanya karena  implementasi program yang  amburadul,  sehingga  sebagian  besar  instalasi  biogas  yang  dibangun  tidak  layak  teknis  yang mengakibatkan  tidak  berjalannya  program  seperti  yang  diharapkan  (?).  Yang  jelas,  muncul  suatu ungkapan di masyarakat, “Yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah program, dan bukannya proyek”. Ini  untuk membedakan antara harapan masyarakat, program ‐ yaitu sesuatu yang berkelanjutan, artinya setelah  serah‐terima dilanjutkan dengan penerangan dan pelatihan  yang diperlukan  agar masyarakat mampu  menangani  instalasi  yang  dibangun  dengan  sebaik‐baiknya.  Namun  yang  diberikan  adalah “proyek”  karena  yang  terjadi  adalah,  setelah  “sesuatu”  dibangun  lantas  ditinggal,  tanpa masyarakat dibekali dengan pengetahuan yang semestinya.   

Saat  ini  sudah  ada beberapa  inisiatif untuk memulai  kembali penanganan  limbah  kotoran  sapi untuk menjadi pupuk organik. Namun belum mencapai skala besar. Perlu adanya dukungan pemerintah dan pihak‐pihak  lembaga  masyarakat,  selain  untuk  koordinasi  dengan  pihak‐pihak  terkait,  juga  untuk memfasilitasi  terjadinya  rantai  produksi,  konsumen‐produser  yang  kontinyu.    Dengan  demikian  bisa diandalkan sebagai kegiatan ekonomi bagi masyarakat setempat. 

Menyusuri Ciseke 17 Januari 2010 Ciseke merupakan anak sungai Citarum yang berada disamping Cisanti dan bertemu dengan Citarum di perbatasan antara desa Tarumajaya dan Cibeureum. Pelaksana kegiatan kunjungan lapangan  adalah  A.R Natanegara, Abrar Prasodjo ( Wanadri ) , Bunga Safari ( NGO Bandung), Kiki ( YPBB ), Eunjang Fendi (MPSA) , Faishal Muharram, Adrian Nadim Mustafa  , Farhan Muhammad . 

Mobil  yang beriringan  setelah  keluar dari Cisanti dan masuk desa Tarumajaya, didekat  jembatan ada lahan  cukup  luas, dan beberapa orang nampak  sedang meletakkan  karung  karung  plastik putih  yang penuh  berisi  wortel.  Karung  karung  tersebut  dikumpulkan  sambil  menunggu  datangnya  truk pengangkut. Mobil yang membawa  rombongan  kemudian di parkir agak dipinggir  jembatan disebuah tanah  lapang  dan  dilakukan  persiapan  menyusuri  sungai  Ciseke  yang  berada  dekat  lokasi  parkir. Rombongan diantar oleh pak Eunjang  yang  semalam  juga  ikut diskusi. Anak‐  anak  yang  ada di mobil 

semua  juga  ikut ke atas bersama  istri saya, Bunga. Perjalanan cukup terjal, disebelah kanan nampak sungai Ciseke dengan gemuruhnya suara air akibat arus  yang  deras    membawa  butiran  tanah  dan  berwarna  coklat.  Sambil berjalan,  kang  Dudung  juga  menerangkan  kondisi  setempat,  kebetulan sebelumnya kang Dudung juga mengunjungi daerah ini beberapa waktu lalu. Diseberang sungai  terlihat beberapa petani sedang memanen kentang dan wortel  yang  sudah  bersih  dikumpulkan  di  dalam  karung  –  karung  plastik. Letak ladang pertanian saya lihat juga dilakukan di daerah yang sangat terjal dan ada juga yang persis di pinggir sungai. Petak yang ada disebelah kanan Ciseke, adalah petak 18 dan 19 , dan terlihat sampai di atas daerahnya agak terbuka  ,  ada  beberapa  pohon  ,  tetapi  di  bawahnya  ada  pertanian  sayur mayur seperti kol, wortel, cabai, dan kentang .  

  9

Sementara di sebelah kiri Ciseke, ditemui ada beberapa kolam/ balong yang menurut keterangan pak Eunjang  sudah berstatus  sertifikat hak milik. Kehadiran beberapa  selang dan pipa air  yang  terkadang menempel di dinding sungai yang terjal  lalu dikomentari oleh pak Eunjang, bahwa sistem pengambilan air  ini masih belum  terpadu,  lebih ke arah  inisiatif beberapa orang atau kelompok masyarakat. Tetapi  dari pihak desa tiap bulannya juga mengutip retribusi Rp. 10.000,‐ / bulan. Diskusi cara pengorganisasian serta pengelolaan sistem air desa dilakukan di pinggir sungai. Pengalaman istri saya bersama suatu LSM dalam mengelola air bersih disuatu pulau terpencil  , termasuk proses pembuatan perda tentang air di beberapa  desa    ,  bagaimana  menerapkan  sangsi,  siapa  petugas  air,  dan  bagaimana  melakukan  perawatan sistem air yang relatif sederhana. Pak Eunjang nampak tertarik dengan informasi tersebut karena selama ini menurut dia, yang belum pernah ada yakni masalah perawatan (maintenance ) ,  dan  disebutkan  juga  :”  kalau  iurannya mah  tetep  aja  ditarik, kalau  giliran  untuk merawat  pipa  dan  selang  agar  tidak  bocor tidak dilakukan, diserahkan ke masing‐ masing. . . “. 

Perjalanan  terkadang  di  interupsi  sejenak  dikarenakan berpapasan dengan penduduk yang sedang turun sambil memikul hasil pertanian,  sementara  lokasi  jalan di pematang  lahan yang  cukup  sempit dan mengharuskan kita harus turun sejenak dari pematang tersebut. Bila menemukan kubangan air di dekat pematang, malahan jadi  serbuan  anak‐  anak  yang  ikut  sambil  sengaja melewati  dengan mencipratkan  lumpur  tersebut sambil  tertawa  gembira,  akibatnya  kaos dan  celana  ketiga  anak  tersebut pada  kotor dengan  lumpur. Mereka berlarian dan berusaha menangkap  capung yang ada diudara dan  terkadang hinggap diujung rumput.  Kalau  anak  anak  riang  gembira,  sementara  yang  dewasa  pada  sibuk  atur  nafas.  Kegiatan berhenti  dan  ”pura  pura  ” menanyakan  sesuatu  ke  pak  Eunjang merupakan  jurus  jitu  untuk  ”ambil nafas” .  

 

 

 

 

 

 

Pada suatu tempat , dilakukan diskusi dengan penduduk setempat mengenai pemanfaatan kolam yang ada  didaerah  tersebut. Menurut mereka,  balong/  kolam masih  belum  dijadikan  sumber  pendapatan utama,  pertanian  sayur masih menjadi  sumber  penghasilan  pertama  baru  jenis  lainnya  seperti  dari tanaman  keras  ,  yang    juga  ditanam  disela  tanaman  sayur mereka  ,  dan  juga  dari  kolam.  Persoalan utama  untuk  pengembangan  perikanan  dengan  menggunakan  kolam  adalah  masalah  modal  dan pengadaan bibit  ikan. Selama  ini kolam tersebut di  isi  ikan Nila, Mujaer, Emas, dan Koi. Ada beberapa 

  10

kolam  kecil  yang difungsikan  sebagai  kolam bibit  ikan, ada beberapa  yang digunakan  sebagai  tempat pemeliharaan ikan. Dan info dari masyarakat juga menunjukkan ada program dari pemerintah ( Pemkab Bandung  )  yang  membagikan  bibit  ikan,  tetapi  menurut  mereka  tidak  tepat  sasaran,  karena  ada beberapa keluarga yang tadinya tidak masuk dalam pendataan yang akan menerima bantuan , ternyata mendapat bantuan tersebut, sementara yang sudah ada di daftar ada yang tidak dapat, yang akhirnya dilakukan musyawarah bibit tersebut dibagi merata, dengan tiap petani menerima  jumlah  lebih sedikit dari  seharusnya  karena  jumlah  yang  menerima  menjadi  lebih  banyak.  Penduduk  yang  akan mengembangkan usaha di kolam saat  ini  juga mengharapkan adanya  investor yang  tertarik kerjasama dengan masyarakat setempat baik masalah pasokan bibit dan pakan ikan , juga nantinya apabila sudah di panen.  

 

 

 

 

 

 

Disuatu  ketinggian  dipinggir  sungai  nampak  terlihat  jelas  adanya longsoran di petak 18 dan 19, karena  lokasinya memang  sangat  terjal. Pak  Eunjang  juga  memberikan  penjelasan  :  ”  jaman  saya  kecil  pak, sering  suara  sungai  terdengar  dengan  jelas  dari  rumah,  waktu  itu kedalaman  sungai  Ciseke  ini  di  beberapa  tempat  cukup  dalam;  dan kalau musim hujan menjadi berwarna coklat membawa butiran  tanah. Sebelum kita berladang di hutan petak 73, 18 dan 19, daerah  itu  juga sudah ada erosi. . . ”. Sekarang dengan adanya pembukaan pertanian di daerah atas, terjadinya erosi semakin parah.  

Sekitar  1  jam  perjalanan  akhirnya rombongan  sampai  disuatu  reservoar  yang cukup  luas,  yang  menurut  info  dari  pak 

Eunjang, dimiliki oleh pak Dedi yang semalam  juga  ikut dalam pertemuan. Anak‐ anak kemudian diijinkan berenang, dan  langsung mereka mencopot pakaian semua, untuk berenangnya. Sambil menunggu anak anak berenang, diskusi dilanjutkan sambil melihat pemandangan ke arah petak 73, yang di beberapa  tempat  terlihat  ada  daerah  terbuka  yang  menurut  info  pak Eunjang  ,  yang  membuka  daerah  tersebut  bukan  dari  kelompok  eks penggarap  petak  73  sebelumnya.  Mungkin  penduduk  yang  menggarap melihat bahwa daerah petak 18 dan 19 tetap dilakukan aktivitas peladangan 

  11

dan  sepertinya  dibiarkan  oleh petugas  Perhutani,  ehingga mereka  lalu  menggarap  lahan yang  pernah  ditinggalkan  tahun 2006 – 2007  itu.  Selain  itu  yang selalu dianggap pembenaran dan rasa  ketidakadilan  ole arga adalah  diberikanny   dalam bentuk  ”sewa”  suatu  lahan  eks perkebunan yang sudah habis Hak Guna Pakai dan dikembalikan ke Perhutani , kepada pengusaha besar, PD Hikmah   seluas 25 Ha. Yang  lokasinya berbatasan  langsung dengan  lahan milik penduduk. Lahan 25 Ha  tersebut  ditanami  dengan  kentang.  Perjalanan  diputuskan  tidak  dilanjutkan  ke  danau Aul  karena waktu  sudah  semakin  siang,  sementara mobil  harus menjemput  tim  susur  sungai  ke  arah  Cihawuk. Perjalanan  kemudian  dilanjutkan menuju  desa  Tarumajaya  dengan menembus  jalan  setapak  ke  arah bekas  jalan  perkebunan.  Sambil  menunggu  jemputan  kendaraan,  rombongan  melihat  aktivitas  di Tarumajaya seperti pengangkutan hasil panen pertanian,  jual beli barang pokok, aktivitas pembersihan kandang  sapi.  Setelah  rombongan membersihkan  kaki dari  lumpur  ,  kemudian perjalanan dilanjutkan kembali  ke  desa  Cibeureum, menjelang masuk  desa  Cibeureum,  rombongan  berpisah  dengan  kang Dudung  yang masih  ada  kegiatan  dengan  tamu  yang  akan  datang  dari  IPB  Bogor.    Setelah mampir sebentar di daerah pasar , perjalanan dilanjutkan kembali menuju titik penjemputan tim susur sungai ( Asep  dkk  )  di  jembatan  Cihawuk.  Sambil menunggu  tim  susur  sungai  yang  belum  datang,  dilakukan pengamatan  di  sekitar  jembatan,  ada  aktivitas  pengambilan  batu  (  setelah  sebelumnya  dilakukan pemecahan  dari  batu  besar menjadi  ukuran  yang  lebih  kecil  )  kemudian  diangkut menuju  truk  yang sudah ada di dekat jembatan, kemudian ada aktivitas pengangkutan hasil pertanian, ada truk besar yang menunggu di dekat jembatan  

 

 

 

 

s

h  wa

 

 

Aktivitas pengambilan batu kali di jembatan Cihawuk 

 

 

 

  12

 

emudian datang beberapa kendaraan pick up yang lebih kecil dengan muatan hasil pertanian yang lalu dipindah ke truk besar. Sekitar jam 14.00 , tim susur sungai sudah sampai di jembatan, setelah istirahat ebentar  ,  dengan  mengendarai  2  mobil,  perjalanan  dilanjutkan  menuju  tempat  makan  didaerah ebelum Maruyung. Sambil makan dilakukan diskusi mengenai hasil baik di tim yang ke Ciseke dengan tim susur sungai. Tim media yang ikut juga dengan semangat menceritakan selama mengikuti perjalanan an berharap mendapat tugas lagi dari kantor redaksi untuk meliput kegiatan pendataan yang dilakukan 

oleh Ekspedisi Citarum Wanadri. Selama perjalanan pulang, anak anak tertidur pulas, mungkin kelelahan 

erupakan perintis kegiatan penyusuran Citarum dari Wanadri  . Berbekal perahu karet dan minimnya pengetahuan merka mulai melakukan penyusuran kegiatan tersebut selama kurang  lebih sebulan, dan 

ng masuk  Jatiluhur  ( dimana di  tahun 1969 – 1970‐an  ; waduk Cirata belum dibangun ) , dikarenakan perahu masuk jeram yang dahsyat dan menjungkirbalikkan isi perahu. Maka isi 

 dan tim darat  dengan jumlah orang sekitar 35 orang , sekitar jam 11 an dilakukan persiapan akhir setelah bendungan kecil. Level air terlihat lebih tinggi dari biasanya, tetapi 

 

k

ss

d

karena sejak pagi sudah berlarian dan melakukan perjalanan menuju reservoar di atas desa Tarumajaya.  

 

Rafting di Hulu Citarum 

Bagi Adityawarman dan Popo Kramadibrata  ( keduanya berusia diatas 60  tahun  ), kegiatan menyusuri Citarum  di  daerah  hulu  sepertinya mengingatkan mereka    akan  peristiwa    40  tahun  yang  lalu  ketika mereka  bersama  Salmon,  dr.  Asmardin  dan  Yayak  ’Kuya’ menyusuri  pertama  kali  Citarum. Mereka m

sempat  terhenti menjela

perahu berupa perbekalan, dokumentasi selama kegiatan penyusuran tertelan air Citarum, dan perahu mengalami  kerusakan  yang  cukup  parah.  Setelah melakukan  konsolidasi  di  kota  Purwakarta, mereka kemudian melanjutkan perjalanan penyusuran Citarum menggunakan perahu penduduk sampai menuju muara Citarum  ( Muara Bendera  ).   Cerita  ini didapatkan  langsung dari pelaku sejarah saat  itu yang di tahun 2010  ini melakukan penyusuran kembali di hulu menggunakan perahu karet ( River Boat )   yang didesain khusus untuk arus deras.  

Tanggal 30 Januari 2010, tim dari Jakarta dan dari Bandung , bersepakat untuk ketemu di Ciparay ( kota kecamatan di sebalah selatan timur dari kota Bandung ), sementara tim advance yang berangkat  lebih awal  dengan membawa  2  perahu  serta menjemput  teman  teman  dari  Garda  Caah Majalaya  sudah sampai di lokasi start di bawah dari kawasan wisata kebun strawberry ( dibawah daerah Pacet ). Lokasi start berjarak kira kira 4 – 5 km dari  jembatan Cihawuk ke arah hilir. Setelah perahu siap difungsikan, dan semua tim baik yang di perahu

masih masuk  toleransi  untuk  bisa  diarungi.  Rombongan  di  air  dibagi  kedalam  dua  perahu,  dengan kapten  masing  masing    Terry  dan  Pipin.    Saya  mendampingi  kedua  orang  perintis  Citarum, Adityawarman dan Popo bersama tim media, sementara group lainnya juga diisi oleh sebagian dari tim media dan anggota Wanadri yang masih muda.  

 

  13

 

 

 

 

 

 

 

 

Perahu  sudah  meny coklat,  jeram  pertama erbentuk tikungan, dan di  jeram pertama  ini sudah ada beberapa orang yang terlempar dari perahu. aya  lihat  kedua  perintis  Citarum meski  sudah  berusia  senja masih  terlihat  tegar  dan  tenang.  Jeram jeram berikutnya dengan susah payah berhasil dilalui. Beberapa kejadian perahu tersangkut di bebatuan dikarenakan  terlambat mengantisipasi  jalur yang harus dilalui.  Istirahat  sejenak di daerah yang  cukup landai,  terjadi  pergeseran  personil  yang  pindah  perahu.  Dehidrasi mulai  terasa  dan  dilawan  dengan minum air mineral yang dalam beberap  ke anggota tim. Sekitar 2 jam, perahu 

 

Rafting di hulu Citarum 

usuri  Citarum  dengan  arus  yang  cukup  deras  berwarna bS

a botol dibagikan meratakemudian menepi di sebelah kanan  sungai, karena sebentar lagi akan masuk turunan di desa Sukarame berupa bendungan dengan  ketinggian 2 meter  kurang. Berbagai persiapan dilakukan, para  fotografer mengambil  sudut  yang  strategis  ,  beberapa  anggota  tim  tidak  ikut  turun  di  bendungan  tersebut, diputuskan  hanya  satu  perahu  yang  menuruni  bendungan  tersebut.  Setelah  ditunggu  cukup  lama, perahu  tersebut  akhirnya muncul  dan memasuki  bendungan  dan  di  hempasan  pertama    3  personil memutuskan  keluar  dari  perahu  menuju  tepian,  sementara  2  orang  masih  ada  di  perahu,  setelah bersiap,  perahu  kemudian  melewati  turunan  berikutnya  dan  memasuki  daerah  penyempitan  yang menyebabkan  arus  semakin  deras.    Perahu  kemudian  dievakuasi  didaerah  sebelum Wandir  oleh  tim darat.  Sementara  itu  kedua  perintis  Citarum  (  Adityawarman  dan  Popo  )  bersama  beberapa  orang dievakuasi menuju ke Cisanti untuk dilakukan wawancara oleh tim media. Dari wawancara tersebut juga terungkap  bahwa,  Adityawarman  juga  bekerja  di  tahun  1980an  di  Bendungan  Saguling  bersama  tim Konsultan dari Perancis, dan terlibat dalam pembangunan bendungan Cirata di tahun 1983 – 1985.  

Jalur  selanjutnya  untuk  rafting  ini  kemudian  dilanjutkan  di  waktu  lainnya  oleh  Tim  Arung  Jeram gabungan sampai ke Wandir ( berupa bendungan ) di desa Maruyung. Kondisi Wandir yang merupakan bangunan peninggalan  jaman Belanda, diperkirakan dibangun di  tahun 1907 an  , dan baru mengalami kerusakan  ketika  terjadi  banjir  besar  sehari  sebelum  dikunjungi  oleh  Tim  dari  Ekspedisi  Citarum Wanadri, pada  tanggal 20 Maret 2010. Terlihat beberapa batu kali di bendungan yang  terkelupas dan 

  14

rusak akibat derasnya terpaan air Citarum.   Dalam semalam, penduduk yang mengumpulkan pasir dari pintu air Wandir yang mengarah ke Ciparay sudah mendapatkan lebih dari 20 kubik pasir, belum dengan batu kali yang mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi.  

 

 

 

Kiri : pintu air Wandir ke Ciparay, sudah diambil pasirnya ; Kanan : jembatan di Wandir yang mengalami  kerusakan setelah banjir tanggal 19 Maret 2010 

 

 

 

 

 

 

 

 

Atas : Banjir  19 Maret 2010 berhasil menerobos barikade yang dibuat masyarakat Balekambang Bawah : bekas sampah yang teringgal di bambu 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  15

 

Efek  dari  banjir  besar  pada  tanggal  19 Maret  2010  ini  ternyata  juga  sampai  ke  daerah Majalaya. Di Balekambang dan daerah sebelumnya yang dikenal sebagai penghasil pasir dan batu, ternyata banjir ini isa menerobos tumpukan karung pasir yang sudah disediakan oleh penduduk dan masuk ke beberapa 

rumah p er, dan banjir  tersebut  datang mulai  lam  lalu  surut  sampai  besok aginya  . Didaerah  sebelum  Balekambang,  banjir menyebabkan  rusaknya  beberapa  sawah  dan  jalan 

  daerah

Tumpukan pasir disebelah jembatan Majalaya, hasil dari pengerukan Citarum 

ontributor  Penulisan Segmen 1  

okumentasi : Adi M; Engkan M; Asep Syaefuddin; Bunga Safari; Aunurran W ; Maya ; Abrar Teks : Asep Syaefuddin dan Abrar Prasodjo  

benduduk dengan ketinggian air bervariasi dari beberapa centimeter sampai yang 1 met

sore  hari  dan  puncaknya  pada  jam  22 mapyang tergerus  oleh  derasnya  air  Citarum.  Sampah  sampah  yang  terbawa  dari    hulu  terlihat tersangkut di cabang cabang pohon bambu. Dan bagi penduduk di Balekambang yang menggantungkan nasib dari penggalian pasir, banjir juga berarti tersapunya kumpulan pasir yang sudah diambil beberapa waktu  sebelumnya yang disimpan oleh penduduk di  suatu  lapangan di pinggir  jalan besar, menunggu giliran pembeli yang datang dan membawa pasir tersebut dengan truk.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

K

D

 

 

  16

LAMPIRAN

TULISAN 2

KEGIATAN DI SEGMEN 4

( Batujajar, Bantar Caringin, Muhara, Citembong, Cirata,dan Jatiluhur )

Bendungan Cirata ‐ Waduk Jatiluhur 

Secara visual air buangan waduk Cirata berwarna coklat, tumbuhan di bukit-bukit sekitar berwarna hijau subur. Tak jauh dari bagian bawah bendungan, telah terlihat kegiatan masyarakat setempat mengambil kayu-kayu dari sekitar dan mengolah ladang mereka. Hampir setiap kilometer pada sungai tersebut ada nelayan yang memasang jala selebar sungai sepanjang hari dan secara berkala mememeriksa apakah ada ikan yang tersangkut pada jalanya.

Gambar :

Bagian bawah bendungan Cirata

Gambar :

Aktifitas perladangan

Secara umum lingkungan sepanjang sungai antara bendungan Cirata dan waduk Jatiluhur masih asri. Tidak ada buangan yang berbahaya maupun beracun yang masuk ke sungai. Namun tampak disana-sini sampah organik sebagai dampak dari aktifitas perladangan, bertebaran di badan sungai.

Hampir semua kegiatan disekitar sungai adalah kegiatan pertanian dan perikanan.

Gambar :

Sampah organik dari aktifitas peladangan

Menjelang masuk daerah waduk jatiluhur, warna air berubah dari coklat menjadi hijau dan tercium bau. Juga terdapat daerah yang dangkal, apakah sebagai akibat pendangkalan (?), perlu pengamatan lebih jauh, yang jelas kondisi ini menyebabkan beberapa kali RIB (perahu motor) harus berjalan secara perlahan. Teramati semakin banyaknya nelayan yang menangkap ikan dan juga semakin banyak ladang-ladang terutama di pinggiran sungai yang morfologinya relatif datar. Didaerah sekitar tersebut, teramati pula lokasi

  1

yang telah dapat dimasuki oleh truk besar melalui jalan tanah untuk mengangkut hasil budi daya masyarakat setempat, yaitu ikan, termasuk juga yang berasal dari peternakan ikan dengan jala apung serta hasil ladang dari sepanjang aliran sungai.

Dari informasi masyarakat, ternyata di beberapa tempat, sebagai contoh di desa Parung Banteng,sering terjadi kekurangan pasokan air bersih dan listrik. Ini cukup ironis mengingat tempat tersebut dekat dengan sumber air dan sumber pembangkit tenaga listrik.

Gambar :

Aktifitas penampungan dan jual-beli hasil budi daya masyarakat sekitar sungai

Gambar :

Aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan perahu dan kecrik

  2

Waduk Jatiluhur  

Secara visual kondisi lingkungan waduk Jatiluhur masih terlihat baik. Bukit dan hutan disekelilingnya masih terlihat hijau. Walaupun di beberapa tempat sudah terlihat pembukaan lahan, seperti di bukit sebelah utara desa Madang, Cikahuripan. Seperti juga di daerah hilir Bendungan Cirata, hal ini pun harus segera mendapat perhatian dari aparat setempat dan melakukan kontrol, jika tidak ingin kondisi ini berlanjut dan berkembang secara berlebihan, yang dapat mengakibatkan timbulnya erosi dan akhirnya pendangkalan waduk Jatiluhur.

Kondisi air waduk Jatiluhur sendiri hijau tua dibagian tengah dan agak kecoklatan dibagian pinggir. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyak aktifitas di wilayah pinggir, seperti untuk wisata air, olah raga, jala apung, dan pencarian ikan dengan menggunakan perahu kecil dan jala oleh nelayan setempat.

Untuk mendukung aktifitas masyarakat, terdapat beberapa dermaga, yang juga sekaligus merupakan tempat wisata. Di sekitar dermaga juga ada beberapa hotel untuk mendukung kegiatan wisata daerah Jatiluhur, juga tempat bersandarnya perahu, baik untuk kegiatan wisata maupun olahraga air.

Gambar : Waduk Jatiluhur, tampak dari salah satu dermaga

Yang juga menonjol di waduk Jatiluhur adalah aktifitas peternakan ikan denganmenggunakan jala apung. Kumpulan jala apung, seperti perkampungan tersendiri. Konon ada sekitar 13.600 petak jala apung disana. Jala apung-jala apung itu membentuk blok dan koridor, dimana setiap bloknya terdiri dari beberapa ratus petak, yang setiap ujungnya biasanya ada rumah, atau paling tidak ada pos penunggunya. Luas dan jumlahnya, malah melebihi besarnya kampung di daratan sekitar Jatiluhur. Sebagian besar jala apung ini menduduki wilayah barat waduk jatiluhur, melebar samapi ke tengah danau.

Gambar

Perkampungan jala apung

Berdasarkan obrolan dan diskusi dengan penduduk setempat, baik itu para motoris perahu di daerah wisata, maupun karyawan jala apung atau bahkan pemilik salah satu jala apung disana, diperoleh informsi bahwa mayoritas pengusaha jala apung adalah pendatang, bahkan ada yang dari Kalimantan. Seperti yang terjadi di

  3

komunitas bisnis yang lain, etnis Cina menjadi mayoritas, dan penduduk lokal banyak yang hanya menjadi penonton. Hal ini terjadi karena pendatang relatif memiliki dukungan modal yang kuat. Yang menjadi karyawan pun, yang bertugas untuk menjaga dan member pakan ikan, banyak juga yang berasal dari pendatang.

Bisnis jala apung terbukti menarik, buktinya terus berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir ini. Sehingga tanpa kontrol yang ketat akan terjadi “over populated”, yang akan merugikan semua pihak karena akan melebihi kapasitas daya dukung waduk, jumlah kotoran ikan dan sisa pakan mengurangi kualitas air yang dapat menyebabkan kerusakan peralatan pembangkit tenaga listrik. Oleh karena itu diperlukan kerjasama antara pihak-pihak terkait seperti Pemda setempat, Dep pertanian & perikanan, PJT-2 sebagai badan pengelola Jatluur, PLN, dlsbnya.

Di antara dermaga-dermaga itu ada dermaga yang namakan sebagai dermaga “Service”, yang merupakan titik simpul kegiatan ekonomi perikanan. Dari tempat ini lah ikan-ikan hasil Jatiluhur dijual keluar dan di distribusikan ke daerah lain.

Di tempat lain juga ditemukan tempat-tempat wisata lokal, yang perlu penanganan yang baik sehingga bisa memberikan kontribusi maksimum bagi perekonomian penduduk setempat, seperti di desa Madang, Cikahuripan. Namun ironisnya di tempat yang berdekatan juga terlihat usaha pembukaan lahan, terlihat dari gundulnya bukit diseberang desa Madang.

Bendungan Saguling – Bendungan  Cirata 

Pendataan di  segmen 4  jalur  Saguling – Cirata  ini dilakukan dengan melihat  kondisi di  sekitar daerah  latihan Kopassus di Pusdikpassus Batujajar, didaerah bernama Manglid.  Lokasi Citarum  ini  sejak beberapa  tahun  lalu sudah tidak dilakukan  latihan air oleh Kopassus dikarenakan kualitas airnya yang sangat buruk. “kita perhatian pada  nasib  anak  didik  kita,  jangan  sampai  terminum    air  yang  tidak  baik  itu  “    :  kata  Kapten  Ucun,  yang merupakan perwira pelatih di Pusdikpassus. Kemudian dengan perkembangan  seperti  itu, maka  latihan di air bagi personil Kopassus dilakukan di daerah Banten, di Cirata. Dari wawancara dengan penduduk yang berprofesi sebagai perahu penyeberang antar kampung di depan Manglid, disebutkan terutama di musim kemarau, ketika pasokan air dari atas berkurang maka didaerah  tersebut akan  tercium bau busuk dan warna air akan menajdi hitam. Sumber msalah  itu diduga oleh  tukang perahu tersebut selain yang berasal dari atas  ( hulu/ Bandung  ) juga dari kawasan industri di dekat Batujajar, dimana berdiri industri tekstil, farmasi, makanan dan sebagainya. Padahal  kawasan    industri  ini  juga  berdekatan  dengan  suatu  kompleks  perumahan  yang  mewah,  Bumi Parahyangan.  

Selanjutnya  tim memutar  ke  bagian  bawah  dari  bendungan  Saguling,  karena  untuk  data  penggunaan  air  di Saguling  sudah  didapatkan  dari  berbagai  wawancara  dan  data  sekunder.  Dari  wawancara  tersebut  didapat bahwa usaha beternak ikan dalam karamba , dimana pernah mengalami jaman ke emasan di awal tahun 1990‐an  , sekarang sudah mengalami penurunan yang significant, hal  ini disebabkan terjadinya   beberapa kali gagal panen  akibat  fenomena  Upwelling,  kualitas  air  yang  diterima  Saguling,  serta  terjadinya  pendangkalan dikarenakan banyaknya partikel tanah yang terbawa oleh arus air, menyebabkan kekeruhan semakin berat.  

Untuk outlet dari Saguling sebenarnya merupakan transmisi yang di bawa oleh jaringan pipa pejal yang terisi air untuk menggerakkan turbin air , dan pipa ini ditaksir sepanjang 2,5 km menuju  Power House yang berdekatan dengan outlet Saguling. Sementara jalur aslinya sungai Citarum ini di Citarum lama  mengalami kekeringan dan 

  4

di beberapa tempat ditemukan  berbetuk rongga gua. Padahal di jaman sebelum bendungan Saguling di bangun ( sekitar tahun 1983 – 1984 an ) , ada  lokasi yang dikenal oleh penggiat Olah Raga Arus Deras (ORAD )  memiliki riam yang sulit ditaklukkan. Ada 3 nama yang sampai sekarang dikenal masyarakat setempat seperti Sanghyang  Poek, Sanghyang Tikoro, dan Sanghyang Tikenit.  

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 

Lokasi Manglid  ‐Saguling( Kiri ) dan perjalanan menuju kampung Citembong ( Kanan ) 

 

Apabila dilihat dari hulu ( dari arah Bandung )  , urutan tempat   rongga gua di Citarum  lama di sekitar Saguling  selatan yang sudah tidak dilairi air Citarum karena dibendung menuju bendungan Saguling sekarang adalah yang pertama Sanghyang Poek, merupakan gua bawah tanah, dengan kondisi sekarang sudah tidak dialiri air Citarum karena  sungai  yang  lama  di  belokkan masuk  ke  bendungan  Saguling.    Sebelumnya  ,  aliran  air  Citarum  lama masuk ke mulut gua ini, sekarang aliran air berasal dari rembesan air dari atas, dan mengaliri bekas ”under cut ”  . Tetes air diantara stalaktit dan stalagmit  ini berwarna  jernih, dan proses geologi yang terjadi didalam gua  ini berlangsung ribuan tahun, sehingga perlu dijaga keasrian  lokasi, karena kalau sempat dihancurkan oleh tangan jahil dalam waktu sesaat maka terhenti lah proses alami yang sudah berlangsung cukup lama itu.  

Selanjutnya  ke hilir berjarak sekitar 475 meter dari Sanghyang Poek, bekas aliran Citarum lama akan masuk ke suatu rongga gua juga dimana di dalamnya berasal dari percabangan dua jalur, bernama Sanghyang Tikoro. Di jaman ORAD    dilakukan  sebelum  pembangunan  Saguling,  daerah  ini  termasuk  angker,  karena muncul  suara derasnya aliran air yang masuk ke  lorong  ini. Saat  ini masih ditemukan aliran air sungai yang kotor   bercampur dengan aliran air yang berasal dari Sanghyang Poek. Dari catatan sejarah dan geologi, banyak ahli yang menduga bahwa  di    Sanghyang  Tikoro  ini  dulunya merupakan  salah  satu  tempat  bobolnya  danau  Bandung  Purba,  di ketinggian 300 – 400 meter dpl. Tidak jauh dari lokasi ini terdapat pasir yang dikenal penduduk setempat dengan nama pasir Sanghyang Tikoro dengan ketinggian 392 meter dpl.   

Semakin ke hilir  , keluar dari Sanghyang Tikoro   berjarak sekitar 545 meter dpl., akan ditemui  , sungai bawah tanah  bernama  Sanghyang  Kenit.   Di  dalamnya  bisa  ditemukan  aliran  air  sungai  yang  cukup  tenang,  dan  di mulut gua  terdapat reruntuhan bongkahan batu kapur yang menyebabkan aliran air sungai membentuk  leuwi yang cukup dalam. Ketiga Sanghyang ini letaknya tidak terlalu jauh dari bendungan Saguling, dan dapat dijadikan 

  5

geowisata  untuk menjelaskan  proses  geologi  dan  salah  satu  tempat    yang menajdi  bagian  tepi  dari  danau Bandung Purba. Wisata kebumian  ini  sekarang  sudah dijalankan oleh  teman  teman   dari KRCB dengan nama Geotrek, yang dipelopori oleh T. Bachtiar dan Budi Brahmantyo.  

Tidak  jauh dari outlet Saguling bisa ditemui  lokasi yang akrab bagi penggiat ORAD, yakni Bantar Caringin, yang dari 5  kali  kunjungan  tim  Ekspedisi Citarum Wanadri,  ada  kejadian banjir besar  tanggal 19 Maret 2010  yang menyebabkan  jembatan  di  kampung  Bantar  Caringin  ini  putus  dan  menyebabkan  terisolasinya  daerah diseberangnya  yang merupakan wilayah  administratif  Cianjur. Disekitar  daerah  ini  ditemukan  beberapa  riam dengan  tingkat  kesulitan  yang  rendah.  Setelah  sungai  berkelok membentuk  huruf  S,  akan  dijumpai  sungai Citarum yang relatif  tenang, hal  ini akan terus terjadi sampai ditemukan Bendungan Cirata. Daerah yang akan dilewati antara lain jembatan Citarum lama , jembatan Citarum baru, jembatan rel KA, dan di Muara Citembong akan  ditemui  hamparan  luas  eceng  gondok  yang  menurut  informasi  penduduk, memang  sengaja  dipasang sebagai penyaring agar  tidak masuk ke Cirata. Panjang  lintasan Citarum yang dipenuhi oleh Eceng Gondok  ini sekitar 4 km .  

Sungai  Citarum memiliki  sejarah  yang  penting  bagi  perkembangan ORAD  di  Indonesia,  dimana  pertama  kali diselenggarakan Citarum Rally  I  , bulan April  tahun 1975 yang saat  itu memakan korban adanya peserta yang tewas  dan  seluruh  peserta mengalami  perahu  terbalik  dikarenakan  ganasnya  riam  yang  dihadapi.  Lomba  ini dimulai dari pertemuan anak sungai Citarum dekat  jembatan Lama dan direncanakan finish di Jatiluhur, dibagi dalam  3  ettape. Meskipun  terjadinya  kecelakaan  dan  setelah  berdiskusi  dengan  panitia,  penyelenggara  dan peserta, akhirnya  lomba dilanjutkan kembali secara simbolis dengan meniadakan etape 2, dan semua peserta ditarik menggunakan perahu motor untuk sampai ke  lokasi Finish di Bendungan Jatiluhur. Wanadri merasakan bahwakejadian  ini  merupakan  pelajaran  pahit  dan  bertekad  untuk  memperbaiki  di  masa  depan,  sehingga dengan  dukungan  berbagai  pihak maka  diselenggarakan  kembali  Citarum  Rally  II  tahun  1977  ,  dengan  lebih menekankan  terhadap aspek  safety  serta  lebih menyiapkan  calon peserta untuk memperdalam pengetahuan dan  skill mengenai ORAD.    Lomba berjalan dengan  sukses dan  aman, meskipun  kembali  terjadi  korban   dari penonton yang tenggelam setelah lomba usai. Sehingga dalam perjalanan kegiatan olah raga arus deras ini maka kedua  kegiatan  rintisan  di  Citarum  ini  dijadikan  tonggak  awal    berkembangnya  ORAD  di  Indonesia.  Sampai sekarang melalui  Federasi  Arung  Jeram  Indonesia  (  FAJI  )  ,  sudah  dilakukan  berbagai  lomba  ORAD  dengan beberapa  kategori  di  Citarum  ,  dengan  pusatnya  di Bantar  Caringin  yang  terletak  di  sebelah  hilir  dari  outlet power house Saguling. 

Kendala  yang  selalu  ditemui  oleh  penggiat ORAD  adalah masalah  kualitas  air  sungai  yang  di waktu  tertentu menyebarkan bau busuk dan berwarna pekat serta disertai kulit yang terkena air akan mengalami  gatal‐ gatal. Perlu dilakukan sinergi kerjasama yang lebih baik antara badan pengelola Bendungan Saguling dengan penggiat ORAD yang akan berlatih maupun berlomba di Bantar Caringin. Karena kegiatan   ORAD  ini baik sebagai wisata maupun sebagai olah raga, memiliki efek yang positif bagi perkembangan ekonomi masyarakat setempat. Para pelaku  bisnis  di  Bantar  Caringin,  salah  satunya  adalah  Yayasan  Kapinis,  juga  mempekerjakan  masyarakat setempat  sebagai  operator ORAD  ,  dan  pemasok  kebutuhan  logistik  kegiatan  seperti  tempat menginap  dan konsumsi selama mengikuti kegiatan.  

Dekatnya lokasi Bantar Caringin dari Outlet Saguling , juga harus diwaspadai dari segi Pengelolaan Bencana . Hal ini dibuktikan, ketika    tanggal 19 Maret 2010, kawasan Bendungan Saguling mengalami  intensitas hujan yang 

  6

terus menerus  selama  beberapa  hari  dan Bendungan  juga menerima  luapan  air  dari  daerah Bandung, maka dilakukan  upaya membuka  saluran  air  agar  tinggi muka  air  di  Saguling  bisa  dalam  batas  yang masih  dapat ditolerir. Akibat  dibukanya  sebagian  pintu  air, menyebabkan  roboh  dan  hanyutnya  jembatan    besi  di Bantar Caringin. Rumah yang ada di kampung tersebut terendam setinggi 1 meter  lebih dan penduduknya  diungsikan ke  tempat  yang  lebih  aman.  Kejadian  ini menyebabkan  terisolasi  penduduk  yang  tinggal  di  seberang  Bantar Caringin yang masuk ke dalam wilayah kabupaten Cianjur. Rusaknya  jembatan dan  terisolasi penduduk akibat luapan  air  Citarum  ini  sempat menjadi  headline  surat  kabar  dan media  televisi,  karena  berlangsung  dalam beberapa hari.  

 

 

 

 

 

 

 

Gambar Aktivitas pengambilan pasir ( kiri ) dan Kegiatan pemecahan batu split  di Kampung Muhara  

Didaerah  Jembatan  lama  Rajamandala,  di  pertigaan  pertemuan  anak  sungai  dengan  Citarum,  ketika  dahulu dijadikan  tempat  start    Lomba  Citarum  Rally,  saat  ini    penduduknya  hidup  dari  pertanian,  dan  sebagian menggantungkan  pada  pengambilan  pasir  dan  batu  kali.  Di  kampung  Muhara  misalnya,    di  depan  rumah penduduk  terdapat  papan  peringatan  dari  pengelola  Bendungan  Cirata  yang  melarang  penduduk  untuk mengambil pasir dan batu dari dalam  sungai Citarum,  tetapi kampung Muhara  ini merupakan  sentra penting kebutuhan pasir dan batu untuk pembangunan yang  tidak hanya di sekitar daerah  tersebut, karena  truk yang datang mengambil  kebutuhan  ini  bisa  berasal  dari  Bandung maupun  dari  Karawang  dan  Bekasi.  Pekerjaan membelah batu kali yang masih berukuran besar menjadi  lebih kecil   menggunakan martil besi, dilakukan oleh warga termasuk ibu ibu dan remaja putri di halaman rumah sambil dengan mengasuh anak mereka. Sementara pengambilan batu dan pasir dilakukan menggunakan perahu ke bagian tengah sungai, yang biasanya dilakukan oleh paling sedikit dua orang. Dalam sehari, satu KK bisa mendapatkan   Rp. 100 ribu sampai Rp. 200 ribu dari pasir  dan batu.  

 

 

 

 

 

  7

 

 

 

 

 

Gambar Jembatan Baru Rajamandala ( kiri ) dan Jembatan Rel KA ( kanan )  

Perjalanan berikutnya  ke arah hilir ( menuju Cirata dari Saguling ) , setelah melewati di bawah  jembatan   lama, di kiri kanan sungai terdapat tebing tebing tanah yang cukup asri. Tak berapa lama perahu Tim Ekspedisi Citarum Wanadri  sudah melewati  Jembatan baru Rajamandala.  Sebelah  kiri  terdapat  air  terjun  sementara  di  sebelah kanan  , dekat dengan  jembatan Baru,  terdapat  lokasi  istirahat  yang  sengaja dibangun oleh  Jasa Marga  . dan dilokasi  itu juga Wanadri membangun tugu peringatan peristiwa Citarum   di atas tanah seluas 1,5 x 1,5   meter persegi. Selama perjalanan bisa dirasakan dikiri kanan sungai merupakan daerah yang relatif terisolasi dan  lalu lalang  penduduk menggunakan  perahu  dengan membawa  berbagai    keperluan  hidup.  Tumpukan  kayu  yang sudah  dibelah  dengan  rapi,  yang  akan  digunakan  sebagai  bahan  bakar masak  di  rumah  banyak  ditemukan dipinggir  sungai.  Setalh  jembatan  rel  KA,  ditemukan  cabang  sungai  dari  kanan  yang menyebabkan  aliran  air menajdi keruh kecoklatan . 

Perjalanan akhirnya  terhenti di kampung Citembong, dikarenakan  sungai Citarum dipenuhi dengan hamparan Eceng Gondok  sepanjang 3 – 4 km sampai ke Cirata. Karena perahu tidak bisa melewati, maka perahu akhirnya menepi  di  sebelah  kanan  dan  melakukan  wawancara  dengan  beberapa  penduduk  yang  kebetulan  sedang berkumpul di ladang dekat sungai. Ada sekitar 16 orang berasal dari kampung tersebut yang dipekerjakan untuk mengambil hamparan Eceng Gondok tersebut, dengan dibayar upah kerja mereka harian dan diambil di kantor Cirata, diakhir bulannya. Proses kerja  ini berlangsung cukup  lama  sudah 3 – 4  tahun, di  saat awal, hasil kerja merka berupa kumpulan Eceng Gondok yang diangkat dari badan  sungai,  sudah ada yang menampung untuk dijadikan  bahan  pembuatan  tas  dan  asesoris  lainnya  yang  berbahan  dasar  Eceng Gondok  yang  dikeringkan  . Tetapi  setelah  bisnis  daur  ulang  ini meredup,  pengusaha  yang  biasanya mengambil    hasil  kumpulan  Eceng Gondok  ini  jarang datang  , bahkan  setahun  terakhir  ini  tidak  ada  lagi  yang mengambil. Hasil  kumpulan  yang mereka angkat dari air sebenarnya cukup besar sekitar satu orang dalam 20 hari bisa mengangkat   200 – 400 kubik Eceng Gondok. Tetapi hal itu masih kalah cepat dengan kedatangan Eceng Gondok dari Saguling, terutama saat  terjadi  banjir  atau  hujan  besar.  Keberadaan  hamparan  Eceng  Gondok  ini  di mulut  Cirata  secara  tidak langsung membantu pengusaha Jala Apung di Cirata, karena tertahannya di ujung Cirata menyebabkan kualitas air di areal  jala apung menjadi  lebih baik. Eceng Gondok dipercaya sebagai penyaring  limbah yang berasal dari daerah hulu, ( Saguling dan Bandung ) .  

 

 

 

  8

Bendungan Cirata 

Merupakan bendungan  termuda di aliran Citarum  ini  , yang dibangun dari  tahun 1984, kemudian dilairi air di tahun 1989. Persoalan utama yang dihadapi oleh Cirata adalah tingginya sedimentasi yang menyebabkan   usia bendungan  menjadi  lebih  cepat  dari  yang  direncanakan.  Sama  seperti  Bendungan  Saguling  dan  Jatiluhur, sebagian besar area perairan di Bendungan banyak dilakukan   usaha ekonomi berupa jala apung. Jumlah   yang ada di Cirata masih lebih banyak dari yang ada di Saguling. Dari hasil wawancara dengan pelaku bisnis jala apung di Cirata, mereka menyebutkan bahwa resiko di Saguling lebih tinggi karena mendapatkan pasokan air dari hulu yang penuh dengan limbah, sehingga sering terjadi keracunan masal karena mutu air yang buruk.  Sementara di Cirata merasa cukup aman, bahwa air yanng kotor tersebut dapat tertahan di Saguling, meski menurut mereka yang ideal adalah di Jatiluhur.  

Fenomena  Upwelling,  dimana  lumpur  yang  ada  di  dasar  bendungan  tiba  tiba  terangkat  ke  atas  yang menyebabkan  kandungan oksigen  terlarut di dalam   air menyusut drastis, menyebabkan  terjadinya  kematian massal pada ikan yang ada di permukaan. Fenomena alam ini sebenarnya di picu oleh perbedaan strata suhu air antara  yang  di  permukaan  dengan  di  dasar.  Proses  kesetimbangan  energi  bila  selisih  air  permukaan  dengan dasar  cukup  jauh  sehingga  terjadi  arus  vertikal.  Pemicu  lainnya  adalah  ketebalan  substrat  di  dasar  yang menyebabkan  suhu  di  dasar menjadi  lebih  stabil  cepat  dingin,  sehingga  di  awal  bisnis  jala  apung  ,  kejadian Upwelling  sekali  dalam  setahun  di  bulan  Desember/  Januari,  dalam  5  tahun  terakhir  bisa  terjadi  2  –  3  kali setahun. Meskipun  dengan  berkembangnya  IPTEK,  para  pengelola  jala  apung  ini  sudah  bisa mengantisipasi dengan melihat faktor suhu air dan tingkat kecerahan di bagian tengah  kedalaman. Bila ditemukan gejala akan terjadi  Upwelling,  maka  dilakukan  pemanenan  ikan  lebih  awal  dari  jadwal.  Hal  ini  ditempuh  agar  tidak mengalami kerugian yang lebih besar karena terlambat mengetahui kapan terjadinya Upwelling.  

Menarik untuk dibahas adalah mengenai komposisi pemilik  jala apung. Ketika kasus daya dukung Bendungan mengalami penurunan dikarenakan jumlah jala apung terlalu banyak, maka yang dimunculkan adalah usaha ini merupakan  padat  karya  dan  dilakukan  oleh masyarakat  sekitar  Bendungan. Meskipun  dari  hasil  kunjungan lapangan menunjukkan  kepemilikan  sebailknya,  dimana  lebih  dari  80  %  dikuasai  oleh  pemodal  besar  yang berasal dari Jakarta dan juga daerah di luar pulau Jawa ( umumnya dari Kalimantan dan Sulawesi ). Kepemilikan oleh  pemodal  besar  ini  terjadi  juga  di  Saguling  dan  jatiluhur. Hal  ini  harus  dikaji  lebih  arif  dikarenakan  ada beberapa  pihak  yang  dirugikan  dengan  berkembangnya  bisnis  jala  apung  ini,  dan  sebagian  lagi  ada  yang hidupnya  tergantung  pada  sukses  tidaknya  usaha  jala  apung, meski  kemakmuran  dari  jala  apung  ini  tidak hinggap pada penduduk lokal yang ada disekitar bendungan, karena lebih banyak ke pemilik modal dan pemasok utama  pakan  ikan  ,  obat  dan  bibit  ikan.  Sementara  biaya  pemulihan  lingkungan  akibat  bisnis  Jala  Apung  di kawasan tersebut   seperti sifat toksin dari sisa pakan,  laju endapan organik di dasar bendungan serta sifat sisa  pakan  yang  menyebabkan  korosifitas  pada  benda  benda  di  pembangkit  yang  terbuat  dari  logam,  akan ditanggung akibatnya oleh pengelola kawasan dalam hal ini Jasa Tirta II dan PLN  .  

 

 

 

  9

  Tabel 1. Perbandingan Bendungan Besar di Citarum 

BENDUNGAN  JATILUHUR  CIRATA  SAGULING 

TAHUN  1957 ‐ 1967  1987  1985 

USIA WADUK ( THN )  100  80 ( 60 )  80 (53) 

KAPASITAS TAMPUNG ( M3)  3500 JUTA  2165 JUTA  609 JUTA 

LUAS (KM2)  83  62  53 

KEDALAMAM MAX (M)  107  106  92 

DEAD STORAGE (M3)  900 JUTA  79 JUTA  167.7 JUTA 

LAJU ENDAPAN  1 mm/thn  3.24 mm/thn  4.2 JUTA kubik/thn

VOLUME ENDAPAN (M3)  500JUTA (2000)  62.8 JUTA (2000)  84 JUTA ( 2008 ) 

  Sumber : Kompilasi data dari berbagai sumber ( 2010 ) 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar Hamparan Enceng Gondok menjelang masuk Cirata ( kiri) dan Perkampungan Jala Apung di Cirata ( kanan )  

 

Kontributor Penulisan Segmen 4   : Asep Syaefuddin, Bunga Safari, dan Abrar Prasodjo 

Editor dan Tata Letak       : Abrar Prasodjo 

  10

LAMPIRAN

TULISAN 3

KEGIATAN DI SEGMEN 6

( Muara Bendera, Muara Gembong, Pabayuran, Rengasdengklok, Tanjungpura, Karawang, Walahar,

dan Curug )

 

Bendungan Jatiluhur – Bendungan Walahar 

Air  sungai  Citarum  selepas  pintu  air  bendungan Jatiluhur  berwarna  hijau  tua,  alirannya  tenang.  Di kiri‐kanan  sungai  tumbuh  lebat  rimbunan  pohon bambu. Setelah bertemu dengan anak sungai Cikao  yang melewati kota Purwakarta, warnanya berubah kecoklatan.  Kira‐kira  1.5  km  dari  bendungan, disebelah kanan mulai terlihat pabrik berdiri megah, bercat  biru,  pabrik  tesktil  Indobarat.  Selanjutnya masih  pabrik  tesktil,  Pacific.  Sementara  di  sebelah kiri  masih  didominasi  oleh  hutan  pohon  bambu. Selepas pabrik‐pabrik  tersebut, di kiri kanan sungai mulai  terlihat  persawahan  yang  berselang‐seling dengan  kebun  palawija  dan  rimbunan  pohon bambu.  Sementara  pada  aliran  sungai,  dipinggir‐pinggirnya  mulai  ditemukan  tumbuhan  air  eceng gondok  ( Eichornia  crassipes  )dan  rumput Cyperus alternifolia. Tumbuh suburnya kedua tumbuhan air ini  merupakan  indikator  bahwa  air  ditempat tersebut  memiliki  kandungan  logam  yang  relatif 

cukup tinggi.   Selain  itu  juga terlihat beberapa pipa instalasi serta bangunan gardu tempat pompa yang menunjukkan air  sungai  ini  juga digunakan  sebagai sumber  air  untuk  keperluan  industri.  Seperti  pada +/‐  km  4,  terdapat  instalasi  penyedot  air  untuk keperluan pabrik pupuk Kujang. 

Gambar Pabrik dipinggir sungai Citarum (terlihat tumbuhan eceng gondok yang subur di pinggir sungai)

 Gambar  Aktifitas penyusuran sungai dengan menaiki perahu, dimana di beberapa tempat                                          kadang terpaksa harus menaikkan perahu  

Pada  lintasan  ini  juga  terdapat  jembatan  gantung  yang  sudah  tidak  begitu  baik,  dengan  ponton  rusak  yang teronggok sebelah kanan sungai. Juga kadang terlihat burung belibis putih terbang bergerombol dan hinggap di rimbunan pohon bambu.  

Kira‐kira 6 km  setelah bendungan  Jatiluhur    terdapat pintu air Curug‐Klari, penduduk  setempat menyebutnya sebagai bendungan atau pintu air TB‐1. Bendungan  ini selain untuk mengontrol aliran sungai untuk keperluan irigasi,  juga dipergunakan untuk pembangkit  tenaga  listrik 2X1.3 MW. Di bendungan Curug  inilah air Citarum sudah mulai dibagi, ke sebelah timur dinamai saluran air Tarum Timur yang diperuntukkan untuk pertanian di daerah Karawang bagian timur serta daerah Subang dan Indramayu, sementara yang ke sebelah barat menjadi Tarum Barat, dan diperuntukkan sebagai bahan air bersih bagi daerah Jakarta dan sekitarnya.  

  1

Gambar Bendungan Curug 

Selepas  bendungan  Curug,  aliran  sungai  tetap  tenang,  berwarna  coklat,  dan  banyak  sampah  organik  seperti potongan  tumbuhan  dan  eceng  gondok.  Topografi  di  sebelah  kann‐kiri  sungai  secara  umum  landai  yang didominasi oleh persawahan dan kebun palawija penduduk. Pada lintasan ini banyak terlihat aktifitas penduduk untuk MCK (Mandi‐Cuci‐Kakus) 

Di  kilometer  5  setelah  bendungan  Klari,  di  Cigoong,  terdapat  peternakan  ikan  dengan  Karamba.  Tempat  itu berupa cerukan sungai, disebelah kanan, keluar dari aliran utama sungai sehingga kondisi airnya tenang karena tidak dipengaruhi oleh  aliran  sungai. Airnya berwarna hijau  tua, menunjukkan bahwa  air di  tempat  tersebut ditumbuhi ganggang. Tempat itu dulunya merupakan bekas tempat galian pasir sungai. 

Menjelang bendungan Walahar, disebelah kiri juga ada fasilitas olah raga air, yang memanfaatkan aliran sungai Citarum  , dimana aktivitas olah  raga air yang dikelola pemerintah Kabupaten Karawang dilakukan. Sementara selepas Cigoong, terlihat bagian belakang dari beberapa bangunan industri, yang sebagian besar tertutup rapat oleh  pagar  dan  semak  semak  yang menjulang  tinggi. Di  pinggir‐pinggir  sungai,  di  antara  bangunan  tersebut dengan badan sungai banyak terlihat beberapa gubuk dengan tumpukan‐tumpukan material padat disekeliling gubuk tersebut, terlihat seperti bengkel. Diduga tempat tersebut merupakan tempat penimbunan sampah dari industri.  Namun disuatu tempat terlihat jelas usaha penimbunan sampah yang melibatkan beberapa alat berat, seperti dump‐truck, back‐hoe dan bulldozer .  

Gambar Aktifitas penimbunan sampah industri di bantaran sungai Citarum 

  2

Bendungan Walahar adalah tempat mengontrol jumlah dan aliran sungai Citarum. Di tempat ini aliran air sungai Citarum  di  bagi,  selain  ke  sungai  Citarum  itu  sendiri  juga  ke  saluran  buatan  Tarum  Tengah  yang  kemudian dipecah menajdi dua menjadi Tarum Utara . 

Walahar – Tanjungpura 

Jalur ini merupakan jalur cukup panjang sekitar 30 km an yang di awal penelusuran yang dimulai dari Walahar ini akan membelah kota Karawang, meskipun di akhir perjalanan akan dijumpai pemandangan yang relatif monoton sebelum  akhirnya memasuki  kawasan  industri  di    sebelah  barat  kota  Karawang  yang  bernama  Tanjungpura.  Selepas bendungan Walahar,  akan ditemui  kawasan  industri Klari,  yang dipenuhi dengan pabrik  keramik dan pabrik pembuat bahan dasar kimia  industri . Route ini sebenarnya pernah dijelajahi oleh tim Ekspedisi Citarum Wanadri sebanyak dua kali, yakni dimusim kemarau dan musim hujan. Ternayata ada perbedaan yang significant berupa hilangnya bau busuk dan warna air sungai yang hitam pekat ( di musim kemarau ). Pada musim kemarau, perahu  banyak mengalami  hambatan,  karena menemui  dasar  sungai  yang  dangkal,  kurang  dari  50  cm  ,  dan akhirnya route ini tidak bisa diselesaikan dengan sempurna karena perahu mengalami kerusakan pada propeler yang  sudah  patah  4  kali  terkena  benda  asing  di  dasar  sungai.    Perahu  ditarik menjelang  jembatan  kuning  ( jembatan gantung di dalam kota Karawang  ). Selama penelusuran  tim mendapatkan  saluran   buangan pabrik yang di badan  sungai Citarum ditemukan banyak keong  /  siput air yang mati dan agak dihilir ditemukan  ikan dasar sungai yang dikenal tangguh dan bisa hidup diperairan yang tercemar, mengapung disekitar aliran air yang berwarna  kabut  susu  kecoklatan.    Sampah  tentu  saja  ditemukan  dibeberapa  tempat  dengan  kondisi  yang  memprihatinkan.  

Sementara  di musim  hujan  ,  route  ini  dapat  dilalui  dengan  sempurna  sampai  Tanjungpura,  dengan  waktu tempuh mulai jam 11 siang dan berakhir jam 14.00. selain sampah ditemukan aktivitas pemulung yang setelah melakukan pemilahan barang,  yang masih ekonomis dijual  sisanya ditumpuk di pinggir badan  sungai. Rumah Pemotongan  Hewan  (  RPH  Karawang  )  ,  yang  dimusim  kemarau  mengeluarkan  bau  busuk  dan  daerah disekitarnya air tidak mengalir, tergenang dengan warna hitam pekat, hal  ini tidak ditemukan di musim hujan. Debit  air  yang  cukup besar menyebabkan  tinggi muka  air di daerah  sekitar RPH   naik    sekitar 1 – 1.5 meter dibanding musim kemarau. Dan hujan sudah mengguyur kawasan  ini sehingga di bagian belakang RPH terlihat bersih, dan beberapa lokasi ditemukan binatang yang mati, di perjalanan kedua tidak ditemukan.  

Setelah melewati daerah jembatan gantung dan pabrik pulp dan kertas, tim mendapatkan suatu kawasan yang relatif  tidak  dihuni manusia  ,  lebih  alami,  banyak  pepohonan  ,  dan  kualitas  air  terlihat  sepertinya  sedang melakukan  proses  pemulihan  diri  (  Self  recovery  ). Hal  ini  ditemukan    sepanjang  sisa  perjalanan  dan  cukup monoton sampai menjelang Tanjunpura, dimana terlihat aktivitas industri dan adanya instalasi pasokan air baku bagi PDAM Karawang.   Setelah  itu dijumpai beberapa  jembatan termasuk rel KA, dan tim sudah ditunggu oleh tim darat   dan  itu berarti penelusuran  route dari Walahar menuju Tanjungpura  sudah  selesai dilakukan oleh Abrar Prasodjo, Katya Gaus, Indera Helmi dan satu motoris dari Boogie.  

 

 

 

  3

Perjalanan  Rengasdengklok – Tanjung Pura  Perjalalanan dilakukan dengan melawan arus sungai, dilakukan oleh satu perahu motor dengan penumpang dua, yakni saya ( Abrar ) dan Gatot FX, sementara sebagai juru mudi adalah Awan dari crew Boogie. Saat itu, tanggal  24 Oktober  2009,  sungai  Citarum  dalam  kondisi  surut,  terlihat  jelas  di  pinggir  sungai  ada  batas  antara  saat Citarum meluap, saat normal dan saat surut. Perahu yang berangkat melawan arus ini bertolak belakang dengan rombongan lain yang menyusuri arus menuju Batujaya.  Selama  perjalanan  ,  pemandangan  sekitar  sungai,  didominasi  oleh  pertanian masyarakat  secara  berladang, terlihat  juga  bahwa masyarakat menggunakan  air  Citarum  untuk mengairi  ladang  pertanian mereka,  yakni dengan  cara menggunakan pompa penyedot air, bahkan ada beberapa  yang menggunakan pompa  ini  secara serial  .  Citarum  yang  dalam  kondisi  surut,  menyebabkan  petani  harus  menambah  panjang  selang  untuk menjangkau  badan  air.  Sesekali  terlihat  hewan  hewan  yang  dipelihara  penduduk  dan  dilepaskan  di  pinggir sungai  seperti  ayam,  kambing, dan  sapi.  Setiap  lintasan  sungai  selalu didapati  adanya perahu  tambang  yang menyeberangkan  selain manusia, bahan perdagangan dan pertanian  juga menyeberangkan kendaraan  seperti motor  dan  mobil.  Usaha  ini  cukup  menjanjikan,  dari  wawancara  dengan  pelaku    bisnis  Penyeberangan menggunakan tambang dan perahu ini , bisa balik modal dalam waktu kurang dari satu tahun. Umumnya modal yang disediakan untuk membuat 1 – 2 perahu  ,  tali dan  asesori  lain  sekitar 40 – 60  Juta  rupiah,  serta biaya operasional termasuk bayar ijin dan honor petugas yang menyeberangkan perahu, dapat tertutupi dengan cepat dikarenakan usaha ini dilakukan non stop selama 24  jam yang dioperasikan oleh 2 shift tim . Tarif yang berlaku untuk manusia  adalah  Rp.    1000,‐  sementara  sepeda motor  Rp  2000,‐  sementara mobil    Rp.  10.000,‐  . Alat penyeberangan  ini  bekerja  berdasarkan  prinsip  mekanik  dan  menggunakan  arus  sungai.  Simpul,  roda  as, terkadang dengan dorongan bambu pada dasar sungai   dan  juga sudut kemiringan   menyebabkan tenaga yang dikerahkan petugas tidak sebesar beban yang ada di atas perahu.                   

Gambar Perahu Tambang ( kiri ) dan melawan arus yang cukup deras ( kanan )        

  4

 Selama perjalanan menuju Tanjungpura didapati ada 3  jeram kecil yang cukup deras arusnya sehingga perahu motor harus di  tarik dan seluruh penumpang harus keluar dari kapal. Arus yang deras    ini  terlihat menggerus bagian pinggir  sungai,  sehingga nampak menjadi  lebih  luas. Di beberapa  lokasi nampak para pemancing, baik yang  secara  profesional  (  dilihat  dari  jenis  alat  pancing  dan  peralatan  pendukung  termasuk  payung  yang melindungi dari terik matahari )  maupun pemancing amatir dengan peralatan yang sederhana. Para pemancing tidak hanya dari kaum laki‐ laki, di beberapa lokasi ditemukan pemancing perempuan.  Selama  di  perjalanan  ,  kualitas  air  cukup  homogen  berwarna  coklat,  karena  didominasi  oleh  pertanian  dan jarang ditemukan pemukiman yang  langsung dipinggir  sungai,  sehingga  secara visual  , Citarum  tampak cukup bersih  layaknya  sungai  sungai  lainnya  di  pulau  Jawa.  Tetapi  2  –  3  kilimeter menjelang masuk  Tanjungpura, nampak tercium bau yang kurang sedap, dan aliran air terlihat adanya busa. Sampah yang ikut mengalir bersama aliran air  juga mulai banyak ditemukan  . di beberapa  lokasi mulai ditemukan aliran air Citarum yang   nampak diam,  bau  busuk  semakin  menyengat,  di  kejauhan  sudah  terlihat  bangunan  bangunan  pabrik    dengan cerobongnya  yang  mengeluarkan  asap.  Sore  hari,  perahu  berhasil  merapat  di  bawah  jembatan  jalan  raya Tanjunpura,  didekat  sebuah  pasar,  dan  lokasi  pendaratan  perahu  juga  dipenuhi  dengan  kotoran manusia,, dipinggir sungai dan juga di darat sampai menuju perkampungan yang terletak   diatas jalan menanjak. Dengan susah  payah,  3  orang  tersebut membawa  perahu motor  dan  semua  asesories  nya menuju  jalan  aspal  dan menunggu datangnya mobil jemputan. Badan terasa gatal dan bau kotoran, sehingga tim harus  membersihkan di kamar mandi umum yang ada di daerah pasar tersebut.                           

Gambar Pompa air ( Atas kiri ) dan Pemancing perempuan ( Atas kanan )  Citarum juga berfungsi untuk MCK penduduk ( bawah ) 

  

  5

Perjalanan Muara Gembong ‐ Rengasdengklok  Penambang Pasir Hari  ini, minggu 15 November 2009, saya    (  Jumiko  ) dan 4  teman  termasuk motoris akan mencoba  jalur "Up Stream" Muara Gembong  ‐ Eretan 1 Rengasdengklok,  sepanjang kurang  lebih 60 km. Diawali dengan briefing dan pembagian tugas, selesai do'a bersama...saya dan team segera memasuki perahu karet berkekuatan mesin 25 PK dan tepat jam 8.15 perjalanan dimulai.  Di  awal  perjalanan  hampir  tidak  ada  yang  istimewa,  seperti  informasi  awal  yang  kami  dapatkan  bahwa sepanjang  kedua  sisi  sungai  akan  didominasi  peladangan,  perjalanan  cenderung monoton  di  atas  arus  yang sedikit  kencang  akibat  hujan  semalam.  Sesekali  berjumpa  dengan  perahu  yang  sedang  menarik  kumpulan bambu dalam jumlah banyak.   Tapi selepas kampung Puteran, tempat  istirahat pertama setelah 2  jam pengarungan,mulailah team mendapat pemandangan yang agak mencolok mata. Di sisi kiri, pinggiran sungai berupa tebing2 terjal setinggi kurang lebih 5 meteran,  terhampar belasan mesin penyedot pasir di bawahnya. Sementara di sisi kanan hampir  tidak  jauh berbeda, belasan mesin penyedot pasir  juga  terlihat bekerja.Hanya di kanan  ini  tidak  terlalu bertebing karena pinggiran  sungai  landai,  yang  tercipta  justru  teluk2  kecil  yang masuk  ke  sempadan  sungai,  sehingga bentang sungai jadi melebar.                

Kegiatan penambangan pasir menggunakan pompa air  Sepanjang  20  km  perjalanan  ke  depan,  penambangan  pasir  ini  menjadi  pemandangan  yang  mendominasi. Sampai akhirnya kami  tiba pada sebuah pemandangan  luar biasa, selepas sebuah kelokan besar. Di sisi kanan terhampar  sebuah medan  bukaan  tanah  yang  cukup  luas.  Tampak  3  buah  Back  Hoe  (Beko  kata  penduduk) sedang bekerja meratakan tanah persis di sepanjang sempadan sungai. Awalnya saya terpikir bahwa itu adalah proyek penanggulan DAS Citarum di kampung Cecendet (di akhir perjalanan, ternyata pemikiran ini salah sama sekali). Nama Cecendet  sendiri  saya  ketehui  secara  tidak  sengaja,  karena  selepas  2  km  dari  area bukaan  itu perahu mati mesin karena kehabisan bahan bakar. Setelah berhasil menepi, team segera mencari bahan bakar sambil bertanya nama daerah tersebut. Perjalanan dilanjutkan setelah bahan bakar berhasil didapatkan, saya berkesempatan menjadi motoris sampai akhir perjalanan. Kurang lebih 45 menit kemudian tibalah kami pada titik akhir pengarungan di daerah eretan 1 Rengasdengklok, jam 14.00 setelah perjalanan yang hampir 6 jam ini. Perjalanan Subsegmen 6 Ekspedisi Citarum 

  6

Wanadri    ini berakhir, tetapi cerita sesungguhnya tentang seorang tokoh setempat bernama Haji Yasin barulah dimulai.  Orang Kaya  itu Bernama Haji Yasin  Dalam ekspedisi Citarum di segmen 6  ini,  tanpa sengaja saya mendapatkan nama seseorang,  tokoh setempat, yang sangat sohor. Haji Yasin...adalah nama yang cukup menggetarkan seantero daerah sepanjang pengarungan kali  ini.  Nama  ini  muncul  ketika  saya  dan  team  tiba  di  akhir  perjalanan.  Sambil  menunggu  team  darat menjemput, kami beristirahat di warung persis di ujung penyebrangan di sisi kiri sungai.  Sambil comot sana comot sini mengangkat bala‐bala dan kawan2nya ke dalam mulut,meluncur pula tanya sana tanya  sini  sebagai  agenda  pengumpulan  data.  Hadir  dalam  kesempatan  ini  adalah  tokoh  "emak"  pemilik warung,tokoh  "mamang"  penarik  perahu  yang  sedang  off,  serta  tokoh  "engkong"  pengguna  setia  sarana penyeberangan.(tokoh2 ini asli adanya, bukan tokoh fiktif dan rekaan).  Pembicaraan dimulai dengan pertanyaan saya tentang daerah terbuka yang kami temukan tadi, "mak,di atas lagi bikin tanggul ya...?"  ternyata yang  langsung menimpali adalah si mamang "bukan...itu mah haji Yasin  lagi bikin sawah baru!". Saya tertarik,"haji Yasin siapa mang..?"  Tanpa  diduga  kali  ini  engkong  unjuk  suara  dengan  logat  khasnya,"...ngomongin  haji  Yasin,  keder  kita mah...tanahnya dimana‐mana....hartanya bejibun...!".  Saya semakin tertarik,"..orang kaya kong?" "Bukan kaya lagi, ape nyang disodorin dibeli dah..."kata engkong si mamang menambahkan,"...itu tanah yang disebrang juga punya haji Yasin...!" "Tanahnya ribuan hektar kali...!!"tambah engkong lagi (nah yang ini harus dibuktikan lebih lanjut). "Mang, tadi saya  lihat banyak yang nambang pasir!"  lanjut saya, teringat penambangan pasir yang kami temui tadi. "Iyaa..., itu juga punya haji Yasin.!"jawab mamang.  Semakin penasaran saya dengan tokoh kita ini,"...kong, haji Yasin ini udah lama? rumahnya dimana..?" Engkong menjawab,"..uuudaah,..dari taun 60an, waktu masih make sepedah, blasak blusuk nyari tomat buat dijual lagi,..rumahnya tuh di Pabayuran..!" cerita engkong berlanjut,"..kita lama juga bareng haji Yasin, orangnya emang ulet.." (maksud engkong tentunya tangguh, bukan ulet sebelum jadi kepompong). "DPR kong?", "Bukan,...anaknya nyang DPR.." "Tapi dia pernah kepentok ama Bupati Kerawang!"tambah engkong, "...bekonya disita...disuruh nebus seharga bekonya,...tapi diantepin aja kagak ditebus‐tebus...,kagak berasa dia mah ilang duit segitu..!" Si mamang menimpali,"...kemaren juga didemo ama orang2 Bojong...sambil dibawain golok..!" "Kenapa mang..?" "Orang2 Bojong nggak mau tanahnya di beli haji Yasin..."  Pembicaraan menarik  tentang  tokoh  kontroversi  ini  terhenti  setelah  kedatangan  kapiten  Subur,  yang  kali  ini bertindak sebagai "Non Playing Captain" alias kapten tak bermain yang tidak turun ke air. Selesai segala urusan finansial dengan emak pemilik warung,(yang terlibat obrolan sebatas " sabaraha sadayana mak..?")serta beres melipat  perahu,  berangkatlah  rombongan  via  darat  ke  Karawang  karena  mendapat  informasi  team  "down stream"  (Mas  Iwan  Bungsu  cs) mengalami masalah  diperahunya,  sehingga  harus  ditarik  ke  darat  di  daerah Karawang.  

  7

 Cerita dipercepat...,setelah tiba di Bandung, kembali terpikir tentang Haji Yasin dari Pabayuran. Haji Yasin adalah kontroversi!! Di satu sisi Haji Yasin menunjukkan kehebatan perjuangan seorang manusia, dari "blasak blusuk cari tomat pake sepedah" sampai "kagak berasa ilang bekonya". Di sisi lain, Haji Yasin juga dianggap sebagai Batara Kala (tokoh pewayangan yang suka makan apa saja tapi tidak kenyang2)serta perusak lingkungan karena aktivitasnya itu. Buat kita sekarang,jangan terlalu cepat menjadikan Haji Yasin sebagai "public enemy" (termasuk haji Yasin‐haji Yasin  lain  yang  bertebaran  sepanjang  DAS  Citarum).  Bukankah  lebih  tepat  kita  merangkul  Haji  Yasin  dan merubahnya  "from  zero  to  hero",  dari  perusak  lingkungan  menjadi  pahlawan  lingkungan,  mengingat "kemampuan  hartanya",  "kedekatannya  dengan  aparat  pemda",  serta  "kekuasaannya  terhadap rakyatnya"(bagaimanapun juga Haji Yasin pastilah memiliki kuasa ini atas orang2 di seantero daerahnya). Harus dicari pendekatan yang  tepat untuk merangkul Haji Yasin ke pihak yang peduli akan perbaikan Citarum, atau paling tidak efek Haji Yasin terhadap lingkungan menjadi positif.  

Antara Muara Bendera , Muara Gembong, dan Batujaya 

Muara Bendera secara administratif masuk ke wilayah Kabupaten Bekasi, merupakan ujung dari sungai Citarum. Muara  Bendera  merupakan  wilayah  yang  terisolasi  dari  ibu  kota  kabupaten,  dan  masyarakat  setempat menggunakan transportasi air untuk menembus keterisolasian daerah tersebut dengan aktivitas perekonomian terutama menjual  hasil  tangkapan  nelayan  yang  dijual  ke  daerah  Jakarta  (  Cilincing  – Marunda  )  yang  juga melakukan  pembelian  aneka  kebutuhan mereka  untuk  dibawa  ke Muara  Bendera.  Daerah Muara  Bendera tadinya merupakan daerah kosong, yang kemudian digunakan tempat singgah sementara beberapa nelayan asal Indramayu, Cirebon dan Tegal. Lambat  ,aun kemudian pemukiman di muara Citarum  ini berkembang, dengan cara  membuka  hutan  mangrove  yang  saat  itu  masih  luas.  Alih  fungsi  hutan  mangrove  ke  lainnya  juga diperkirakan marak  terjadi di   pertengahan dekade 1980‐an ketika usaha pertambakan  sedang  ” booming  ”  .  Untuk selanjutnya daerah pemukiman sementara ini yang  sudah teraliri listrik dari PLN ini berkembang menjadi paling  tidak  ada 2desa definitif  yang masuk dalam  kecamatan Muara Gembong,  yakni Pantai  Sederhana dan  Pantai Bahagia.  

 

 

 

 

 

 

 

Gambar Muara Bendera  merupakan tempat singgah nelayan  asal Indramayu dan Cirebon 

  8

Mata pencaharian pokok masyarakat di   muara Citarum  ini  adalah nelayan, dengan  jumlah perahu  yang  ada diperkirakan  mencapai  600  –  800  perahu  yang  dimiliki  oleh  beberapa  orang  kaya  (  juragan  kapal  )  yang pengoperasiannya masih berdasarkan hubungan kekerabatan dan asal daerah yang sama . Hasil dari tangkapan di laut berupa ikan, udang, kepiting, kerang  dan rajungan, yang kemudian ditampung oleh pedagang ”pengepul” yang  selanjutnya mereka  setorkan  ke  pedagang  besar. Maka  tak  heran  di  sepanjang  pemukiman  di Muara Bendera  ini  banyak  ditemukan  lokasi  lokasi  pengumpulan  yang  ditandai  dengan  kotak  kotak  penyimpan  dan bongkahan  es  yang  siap  diletakkan  di  hasil  tangkapan  untuk  kemudian  dibawa  keluar  dari Muara  Bendera menuju  pasar  besar,  yakni  Jakarta.  Untuk  aktivitas  ekonomi  perdagangan  ikan  skala menengah  dan  kecil  , dilakukan dengan pangsa pasar untuk  kebutuhan  setempat  serta daerah  – daerah  sepanjang  sungai Citarum menuju  Karawang  (  Batujaya,  Rengasdengklok  )  .  Para  pedagang  ikan  dan    hasil  tangkapan  lainnya  ini menggunakan  kendaraan  sepeda motor  yang  dibagian  belakangnya  di  beri  keranjang  untuk memuat  barang dangangan. Kesibukan di pagi hari , di Muara Gembong, selain ada pasar mingguan yang ramai di hari Selasa dan Sabtu,  di  hari  hari  lainnya  selalu  ditemukan  transaksi  perdagangan  hasil  tangkapan  dari  laut  di  pinggir  jalan disekitar pasar sampai ke depan jalan kantor kecamatan  Muara Gembong.  

Hal menarik lainnya di segmen VI  Ekspedisi Citarum Wanadri ini adalah adanya situs purbakala berupa kompleks candi   yang sampai sekarang baru dua yang sudah di ekskavasi. Temuan Candi di daerah di Batujaya Karawang yang nampaknya bakal merupakan  situs paling besar di  Jawa Barat mempunyai hubungan yang   erat dengan Prasasti Tugu, yaitu prasasti yang  terdapat di Desa Tugu, dekat Tanjung Priok  sekarang. Dalam Prasasti Tugu tersebut dinyatakan bahwa Raja Purnawarman memerintahkan untuk menggali dua kanal, yaitu Candrabaga dan  Gomati,  di mana  kedua  kanal  tersebut  alirannya  terlebih  dahulu  dibelokkan  ke  sekitar  istananya  dan kemudian dialirkan kembali ke muara.  

Panjangnya  kanal  tersebut  setelah  digali  sejauh  6.122  tumbak,  oleh  Prof.  Dr.  Poerbatjaraka  diperkirakan panjangnya  11  km.  Jika  perkiraan  Purbatjaraka  ini  digunakan  sebagai  patokan  dalam  menelusuri  bekas reruntuhan  keraton  Tarumanegara, maka  situs  Batujaya  tersebut merupakan  lokasi  yang  paling  tepat  untuk diasumsikan  sebagai  lokasi  bekas  keraton  Raja  Purnawarman  karena  jarak  antara  lokasi  situs  dengan Muara Bendera  (tempat  terpecahnya  aliran  sungai  Citarum menjadi  dua,  yaitu  yang menuju Muara  Pakis  dan  yang menuju Muara  Gembong)  berjarak  sekitar  ±11  kilometer.  Perkampungan  yang  terletak  antara  dua  pecahan aliran  Sungai  Citarum  sampai  bibir  Pantai  Pakis  dan Muara  Gembong merupakan  sebuah  delta  yang  terus mengalami pendangkalan akibat kegiatan sedimentasi fluviatil/erosi yang dibawa oleh aliran Sungai Citarum. 

Dugaan bahwa pantai purba  tempat bermuaranya kanal/sungai Candrabaga dan Gomati yang digali oleh Raja Purnawarman terletak di Muara Bendera, berdasarkan pada kegiatan sedimentasi fluviatil (sungai) yang terjadi pada aliran Sungai Citarum. Dari arah hulu, aliran  sungai membawa  sumber‐sumber endapan  seperti  sampah dan  lumpur  yang  kemudian  membentuk  delta  pada  Muara  Bendera  tersebut.  Akibat  sedimentasi  fluviatil (sungai)  yang  terus menerus  tersebut,  telah memperbesar  areal  delta  dan memecah  aliran  Sungai  Citarum menjadi dua, yaitu yang menuju Muara Pakis dan yang menuju Muara Gembong sekarang. Penelitian lebih dari 20 tahun ini tentu telah menghasilkan beberapa kesimpulan sementara, yaitu : (1) situs ini berumur di ambang pra‐sejarah dan sejarah Indonesia (abad ke‐4 dan ke‐5 Masehi, saat ini batas pra‐sejarah dan sejarah Indonesia adalah tahun 400 Masehi), (2) Candi Batujaya terbuat dari batamerah dan mempunyai ciri‐ciri candi Budha, (3) tembikar dan manik‐manik yang ditemukan adalah dari masa Neolitikum, (4) votive tablets (semacam meterai) dari  tanah  liat  bakar  bertuliskan  tulisan  pendek  dalam  aksara  Palawa  .  

  9

Implikasi  penemuan  situs  Batujaya  ini  sangat  penting  bagi  perkembangan  kepurbakalaan  Indonesia,  Jawa khususnya.  Situs  di  pinggir  Citarum  ini  menunjukkan  bahwa  masyarakat  purbakala  Indonesia  telah  cukup terorganisasi dan siap untuk meningkatkan peradaban. 

Jarak antara Muara Bendera ke Muara Pakis sekarang sekitar 12 km dan yang menuju Muara Gembong kira‐kira berjarak 15 km. Penelitian geologi di daerah sekitar Muara Bendera mungkin akan memberikan  jawaban yang lebih  akurat  tentang  dugaan  letak  muara  purba  seperti  yang  tertulis  dalam  Prasasti  Tugu. Dugaan bahwa  kawasan Muara Bendera  , Muara Gembong  sampai Batujaya merupakan  kawasan peradaban masa  lalu di awal sejarah Indonesia, semakin kuat, karena ditemukan juga beberapa benda benda peninggalan masa  lalu  di  daerah  Cibuaya  yang merupakan  prasasti  jaman  prasejarah.  Selain  itu  dengan melihat  catatan perjalanan pengelana asal Cina dan  India   di awal masehi, dimana disebutkan di   bagian utara  jawa barat  ini mereka  juga berinterkasi dengan masyarakat yang sudah ada saat  itu. Bukti  lainnya yang menguatkan   bahwa kawasan muara Citarum sudah ada aktivitas manusia terutama pelayaran dan perdagangan adalah   ditemukan bangkai kapal  di depan pantai utara Karawang , baik yang berasal dari Cina maupun jaman Belanda di saat saat awal dalam mendirikan Batavia.  

Kompleks  Percandian  Batujaya  Berada  di  dua wilayah  administratif, Desa  Segaran,  Kecamatan  Batujaya  dan Desa  Talagajaya,  Kecamatan  Pakisjaya,  Kabupaten  Karawang,  Jawa  Barat.  Luas  situs  Batujaya  sendiri diperkirakan Sekitar Lima Km2 adalah sebuah suatu kompleks sisa‐sisa percandian Buddha kuna yang terletak di Kecamatan  Batujaya  dan  Kecamatan  Pakisjaya,  Kabupaten  Karawang,  Provinsi  Jawa  Barat.  Situs  ini  disebut percandian  karena  terdiri  dari  sekumpulan  candi  yang  tersebar  di  beberapa  titik.  Dalam  Radius  lima  km2 diperkirakan terdiri dari 24 lokasi candi, 13 lokasi berada di Desa Segaran dan 11 lokasi di Desa Telagajaya. Dari 24  lokasi  ini, baru 10  lokasi yang digali dan diteliti dan baru 2 candi yang dipugar, serta baru satu yakni candi Jiwa  yang  sudah  rampung,  satunya  lagi  candi Blandongan belum  rampung. Diyakini  kompleks pencandian  ini adalah berlatarkan agama Buddha. Situs percandian Batujaya ini diketemukan pada 1984 namun dipugar untuk pertama kalinya baru pada tahun 1996. 

 

 

Kontributor tulisan Segmen 6  : Jumiko Yusuf, Asep Syaefuddin, dan Abrar Prasodjo 

Editor dan Tata Letak : Abrar Prasodjo 

 

  10

LAMPIRAN

TULISAN 4

JALA APUNG DAN KONFLIK TATA GUNA AIR DI JATILUHUR

Oleh

Dr. Ir. Erwin Fahmi, MURP

Jala Apung dan Konflik Tata Guna Air di Jatiluhur 

Oleh Erwin Fahmi *) 

 

Tampaknya,  hidup  Sulis  (36  tahun),  seorang  pemilik  16  petak  jala  apung  di  bendungan Jatiluhur,  masih  harus  berjalan  setapak  demi  setapak.  Sampai  kini,  ia  belum  mampu menebar benih ikan meski jala apung telah dimilikinya sejak 6 tahun silam. Mahalnya harga bibit dan pakan  ikan, ditambah risiko  investasi yang tidak kecil, membuatnya harus cermat menghitung  untung‐rugi  investasi.  Namun,  ia  tetap  optimis:  suatu  hari  nanti,  dana  dan pengetahuannya akan cukup untuk mengelola jala apungnya dengan semestinya. Untuk saat ini cukuplah ia hidup mengandalkan warung terapung yang dikelola bersama istri dan ketiga anaknya yang belum remaja.  

 

Bendungan dan Jala Apung 

Sulis  jelas  tidak  sendiri.  Sejak  Jatiluhur  dikenal  sebagai  tempat menebar  jala  apung  pada awal 1990‐an,  secara bertahap  semakin banyak warga yang  juga menebar harapan  sama: bahwa setahap demi setahap mereka dapat memperbaiki hidupnya melalui usaha perikanan intensif  itu.  Bendungan  adalah  tempat  yang  ideal  untuk  mengusahakan  jala  apung:  air tenang, dalam, kaya nutrien ikan, tempat relatif leluasa, dan tidak diperlukan investasi awal yang terlalu besar untuk memulai usaha. Bagi Sulis dan lainnya, usaha jala apung dan usaha‐usaha pendukungnya juga menawarkan banyak kesempatan kerja. 

Perikanan  jala apung di  Jatiluhur merupakan usaha padat karya sekaligus padat modal. Di sana terlibat banyak pihak: pengelola perahu – yang mengantarkan anak Sulis dan pengguna jasa lainnya ke sekolah, pasar, atau ke tempat lainnya; penjual keperluan pokok sehari‐hari, baik berupa warung terapung maupun pedagang keliling bersampan: dari kopi sampai sabun mandi,  dari  beras  sampai  rokok;  pedagang  bibit  dan  pakan  ikan,  serta  penampung  hasil panen; pegawai  jala apung dan buruh pembantu panen;  serta,  tidak ketinggalan, petugas pemungut  retribusi  dan  petugas  keamanan. Mereka  bukanlah  pihak‐pihak  yang  terpisah; mereka  terikat  dalam  suatu  jaringan  pembeli‐pedagang‐produsen  barang  dan  jasa  yang saling membutuhkan.  Jaringan  itu  berkembang  sejalan  dengan  perubahan  bertahap  dari kultur  pertanian‐darat  (agri‐culture)  menjadi  kultur  pertanian‐air  (aqua‐culture).  Untuk bertahan hidup, warga mengadopsi strategi yang telah berkembang di tempat  lain, antara lain jala apung itu. Kalaupun usaha itu kini berkembang pesat melalui keterlibatan pemodal besar  dari  kota,  hal  ini  dimungkinkan  karena  adanya  kesesuaian  kepentingan:  yang  satu untuk bertahan hidup, yang lain untuk membiakkan modal.  

Sebagai  usaha  padat modal,  skala  usaha  tiap  pemodal  tidak  lagi  terbatas  pada  beberapa petak, namun bisa mencapai puluhan. Bahkan, seorang pengusaha, Iwan misalnya, diketahui 

1  

memiliki 160 petak  jala dalam 2 rangkaian. Secara keseluruhan, putaran uang dalam usaha ini tidaklah kecil. Jika, untuk gampangnya, satu petak memerlukan bibit dan pakan seharga Rp6  juta  dan menghasilkan  panen  seharga  Rp18  juta  dalam waktu,  katakanlah,  4  bulan, maka dalam siklus 4 bulan  itu telah beredar uang Rp84 M untuk bibit dan Rp252 M untuk hasil panen, dari hampir 14  ribu petak  jala apung yang ada saat  ini di  Jatiluhur.  Ini belum termasuk pengeluaran untuk keperluan  lainnya. Karena  itu,  ibarat gelembung,  jaringan  ini bersifat  sangat  dinamis,  melebar  dan  belum  menunjukkan  tanda‐tanda  akan  berhenti berkembang. Tidak heran jika dalam masa 20 tahun, jala apung di bendungan Jatiluhur telah berkembang dari beberapa puluh menjadi hampir 14.000 petak. Pertanyaan baku kepada pendatang yang mengunjungi mereka adalah: “mau beli atau bikin jala apung, Pak?”.  

Usaha jala apung berkembang karena memang menguntungkan bagi para pelakunya. Secara kasar, kalkulasinya lebih kurang seperti ini. Dalam satu petak, Anda dapat memelihara ikan secara  ‘tumpang  sari’, misalnya  ikan mas  di  atas  dan  ikan  nila merah  di  bawah.  Kedua lapisan dipisahkan oleh  jala.  Jika,  secara kasar kita menghitung keuntungan  satu  lapis  jala adalah Rp6 juta/4 bulan, maka 2 lapis akan memberi keuntungan Rp12 juta/petak/4 bulan. Masih  dianggap  kecil?  Bayangkan  jika  Anda memiliki  150  petak,  dan  bukan  sekedar  1‐2 petak. Tambahan lagi: keuntungan di atas adalah keuntungan bersih, setelah dikurangi biaya pembelian  bibit,  pakan,  dan  biaya  operasional  lainnya.  Jika  investasi  awal  untuk membangun komponen‐komponen  jala apung, yaitu  rakit,  jaring,  jangkar, pelampung dan gubug  penjaga,  adalah  sekitar  Rp6  juta/petak,   modal  operasional  Rp6  juta/petak  untuk bibit,  pakan  dan  gaji  penjaga,  serta  hasil  panen  Rp18  juta/petak, maka  dapat  dikatakan bahwa dalam waktu 4 bulan modal secara keseluruhan telah kembali, ditambah keuntungan sebesar setengah nilai investasi total.   

Selain itu, usaha perikanan ini tentu juga menguntungkan bagi perekonomian daerah. Jika 1 rangkaian  jala apung rata‐rata terdiri atas 50 petak  jala apung, dan 1 rangkaian memiliki 4 pekerja yang bekerja secara bergiliran dalam 24  jam, maka secara keseluruhan di Jatiluhur terdapat 1120 pekerja yang menangani hampir 14000 petak. Ditambah pekerja pada usaha pendukung sebanyak kira‐kira 2 kali jumlah pekerja di bisnis inti, maka keseluruhan kegiatan jala  apung  ini melibatkan  hampir  3.500  tenaga  kerja!  Tenaga  kerja  yang membelanjakan pendapatannya  (upah  terendah:  Rp900.000/bln),  selain  belanja  untuk  keperluan  usaha perikanannya, memberikan efek pengganda yang tidak kecil bagi perekonomian setempat. 

Tentu ada risiko yang harus diperhitungkan oleh setiap pengusaha (dan pekerja) jala apung. Di antaranya, potensi  ikan mati massal  jika terjadi pembalikan  lapisan air ( Upwelling ).  Ini risiko  yang  tidak main‐main,  karena  seluruh  bibit  yang  ditanam  bisa  hilang  tak  bersisa. Namun, risiko ini dapat diperhitungkan. Pembalikan lapisan air tidak terjadi setiap saat dan bukan  tanpa‐sebab. Pembalikan  lapisan air hanya  terjadi pada waktu  suhu permukaan air dan  lapisan di dalamnya berbeda secara signifikan. Pada waktu suhu permukaan air turun, misalnya pada puncak musim hujan  atau  ketika  suhu  sangat dingin pada  awal  atau  akhir  musim kemarau, maka  lapisan air dari dasar danau naik dengan membawa NH3, H2S dan 

2  

CO2.  Gas  dan  zat  beracun  itu  terakumulasi  dari  proses  pembusukan  anaerob  di  lapisan bawah,  terutama akibat  sisa pakan dan kotoran  ikan. Karena  itu, bagi pekerja  jala apung, fenomena  pembalikan  lapisan  air  dikenal  biasa  terjadi  pada  2  kesempatan:  saat  puncak musim hujan, yaitu di  sekitar hari  raya  Imlek  (Januari – Februari); atau pada akhir musim  kemarau. Demikianlah, maka dengan mengetahui penyebab dan ancer‐ancer waktu  risiko itu  terjadi,  dapat  dilakukan  antisipasi  dan  langkah‐langkah  pencegahan.  Di  antaranya, pelepasan  bibit  diatur  sedemikian  sehingga  dapat  dipanen  sebelum  bulan  Januari,  atau paling lambat sebelum memasuki bulan Februari!  

Risiko  lain  adalah  jika  ikan  ditolak  pasar  karena  isu  kandungan  logam  berat  (mercury, timbal). Namun, isu ini lebih jarang lagi terjadi. Juga, karena pemasaran ikan air tawar telah sangat  luas,  mulai  dari  Muara  Angke  di  Barat  Jatiluhur  sampai  Semarang  di  Timurnya, sehingga isu yang merebak di satu wilayah dapat saja ditanggapi adem ayem di wilayah lain. Ikan air tawar  juga “tidak membawa KTP”. Artinya,  ikan  Jatiluhur dapat saja diaku sebagai ikan  dari  kolam  (balong)  pribadi,  atau  lainnya,  yang  lebih  aman  dikonsumsi.  Lebih‐lebih, berapa banyak sih konsumen yang benar‐benar perduli dengan isu logam berat ini? 

Demikianlah,  maka  keuntungan  yang  relatif  besar  di  satu  sisi  dan  risiko  yang  dapat diminimalkan  di  sisi  lain,  menjadikan  usaha  perikanan  jala  apung  sangat  menarik  bagi investor,  besar  dan  kecil.    Sulis  hanya  salah  satunya.  Investor  lain  bahkan  datang  dari tempat‐tempat jauh, seperti Jakarta dan Kalimantan. Di kalangan pengusaha ikan air tawar, usaha jala apung dikenal luas dan telah menyebar di banyak bendungan dan danau utama, di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Seorang  investor yang dianggap besar di Jatiluhur, bisa memiliki ratusan petak jala apung, dengan modal awal dan modal operasional ratusan juta rupiah.  Kejadian  matinya  ikan  ratusan  ton,  atau  kadang‐kadang  merebaknya  isu  logam berat, tidak pernah mematikan hasrat berinvestasi.  

Konteks  inilah  yang  diduga  melatarbelakangi  suburnya  pertumbuhan  jala  apung  di bendungan Jatiluhur. Praktik yang bermula di bendungan Saguling pada tengah 1980‐an ini, dengan jumlah petak sekitar 200‐an buah pada 1986, pada 2006 jumlahnya telah mencapai 48  ribu  petak.  Karena  itu,  tidaklah  mengherankan  jika  praktik  ini  juga  menyebar  ke  2 bendungan  lain di  sepanjang S. Citarum: Cirata dan  Jatiluhur. Di  Jatiluhur,  setelah muncul pertama kali pada awal 1990‐an,  sejak   2002‐3 usaha  ini mulai menarik  investor dari  luar kawasan, sehingga dengan cepat terjadi ledakan populasi jala apung sebagaimana kita lihat kini.  Tidak mengherankan  jika  kini  jala  apung  telah mengubah  lanskap  ketiga  bendungan tersebut. Dari kejauhan, jala apung terlihat seperti permukiman besar di tengah bendungan. Pada hari  libur, aktivitas di  sekitar  jala apung  Jatiluhur  riuh karena datangnya pemancing, wisatawan dan  atlit olah  raga dayung  yang  sama‐sama memanfaatkan bendungan  seluas 8.300 Ha itu.  

Perkembangan  terakhir  di  Saguling  dan  Cirata  menunjukkan  usaha  jala  apung  menjadi kurang  diminati  karena  mereka  menyadari  bahwa  persoalan  utama  adalah  kualitas  air Citarum  semakin memburuk  dan  terlalu  seringnya  terjadi  upwelling  dalam  satu  perioda, 

3  

sehingga pelaku  jala apung sering mengalami kerugian gagal panen. Aliran air Citarum dari hulu ( Kabupaten Bandung )  akan mengalami tampungan pertama dari limbah yang dibawa nya  dari  kawasan  industri mulai  dari Majalaya,  Dayeuhkolot,  Kopo,  Batujajar  adalah    di bendungan  Saguling.  Setelah  terjadi  pengendapan  dan  sedimentasi,  air  yang  lolos  dari bendungan  Saguling  menuju  Cirata,  dan  dirasa  oleh  pelaku  jala  apung  masih  belum membawa perbaikan mutu secara berarti, sehingga banyak dari pelaku ini kemudian pindah ke Jatiluhur. Perubahan jumlah pelaku jala apung yang dramatis memang terjadi di Saguling, sementara di Cirata relatif berkurang sedikit dibanding dekade sebelumnya. 

Konflik Tata Guna Air 

Bendungan  Jatiluhur  tentu  tidak dibangun untuk menjadi tempat pembiakan  ikan dan  jala apung  semata.  Pemeliharaan  ikan memang  disebutkan  sebagai  salah  satu  fungsi,  namun gagasan  awalnya  bukanlah  budi  daya  ikan  secara  intensif  sebagaimana  berkembang sekarang.  Gagasan  awalnya  adalah  pelepasan  ikan,  yang  setelah  beberapa  lama  dapat dipancing atau dijala oleh siapa saja. Usaha pemeliharaan  ikan secara    intensif dengan  jala apung  merupakan  fenomena  yang  relatif  baru,  yang  berkembang  karena  kreativitas bertahan hidup atau pembiakan modal. 

Sebagaimana  banyak  bendungan  lainnya,  Jatiluhur  memang  dimaksudkan  sebagai bendungan serba guna. Mulai dioperasikan pada 1967, saat  ini bendungan  itu memainkan peran  sebagai: pembangkit 180 MW  listrik, pemasok air  irigasi bagi  lebih dari 240.000 Ha sawah dan lahan pertanian lainnya, memenuhi 80% kebutuhan air baku Jakarta dan Bekasi, salah  satu  tempat  wisata    dan  kegiatan  olahraga  air  terpenting  di  Utara  Jawa  Barat, pengendali banjir, dan tentu fungsi perikanan. Sebagai PLTA, bendungan Jatiluhur memasok 1,1%  kebutuhan beban puncak  sistem  kelistrikan  Jawa – Bali  (Mei 2009).  Ini  jumlah  yang sekilas  terdengar  kecil,  namun  jika mengingat  bahwa  sistem  kelistrikan  itu  saat‐saat  ini masih kritis karena memakai hampir seluruh pasokan  listrik yang tersedia, maka gangguan pada  pembangkit  yang  meski  kecil  dapat  saja  mengganggu  keseluruhan  sistem. Menggunakan ungkapan seorang peneliti sosial, sistem kelistrikan  Jawa – Bali ibarat orang berjalan  di  dalam  air  sebatas  leher:  bahkan  gelombang  (baca:  gangguan)  sekecil  apapun sudah dapat menenggelamkan orang itu. Demikianlah, maka meskipun kecil, PLTA Jatiluhur tetaplah berperan penting.  

Jika konteks diperluas, yakni menjangkau seluruh bendungan‐bendungan di Sungai Citarum, maka  gambaran  dapat  menjadi  dramatis:  3  PLTA  itu  memasok  1880  MW  ke  sistem kelistrikan  Jawa – Bali  itu.  Ini  jelas kontribusi  yang  tidak  kecil,  karena besarnya  lebih dari 10% total kebutuhan pada beban puncak. Sementara, sistem kelistrikan Jawa – Bali sendiri dikenal  sebagai  pemakai  sekitar  80%  pasokan  listrik  nasional  untuk  keperluan  industri, rumah tangga dan lainnya. Karena itu, sistem ini sangat sentral posisinya bagi perekonomian maupun  perpolitikan  Indonesia.  Setiap  gangguan  sebagaimana  dikatakan  di  atas  akan membawa dampak penting.  

4  

Pengembangan suatu bendungan serba guna tentu berangkat dari anggapan bahwa fungsi‐fungsi  yang  beragam  itu  dapat  saling mendukung,  atau  sekurang‐kurangnya  tidak  saling menafikan. Sayangnya, indikasi saling mengganggu itu sudah terlihat di Jatiluhur: jala apung yang  meningkat  pesat  populasinya  mengganggu  fungsi  wisata;  jala  apung,  yang meningkatkan  kadar  plankton  dalam  air,  mungkin  telah  mengganggu  kerja  peralatan pendingin  turbin.  Bahkan,  ada  indikasi  bahwa  meningkatnya  keasaman  air  bendungan, dapat  pula mempercepat  korosi mesin  turbin  PLTA. Dengan  kata  lain,  insentif  pada  satu fungsi ternyata dapat berarti dis‐insentif bagi fungsi lainnya. 

Perihal  gangguan  terhadap  pendingin  turbin,  tidak  diperoleh  informasi  yang  spesifik  dari bendungan‐bendungan di S. Citarum. Namun, sebagai bandingan, Kepala PLTA Riam Kanan di Kalimantan Selatan pernah menyampaikan bahwa akibat peningkatan populasi plankton yang memenuhi peralatan pendingin  turbin, PLTA  tersebut harus mengeluarkan biaya dan tenaga ekstra untuk melakukan perawatan rutin (Radar Banjarmasin, 29 Sept 2009).  

Selaku  pengelola  bendungan,  PJT  (Perum  Jasa  Tirta)  II  telah melakukan  langkah‐langkah yang diperlukan. Mekanisme yang kini digunakan untuk mengendalikan populasi jala apung adalah Surat Perjanjian Pemanfaatan Areal Perairan Waduk Ir. H Juanda bagi Kegiatan Usaha Perikanan  dengan  Keramba  Jaring  Apung  (SPPAP).  SPPAP  ini  dibebani  biaya Rp100.000/petak/tahun  (Rp55.000/petak/tahun bagi warga  lokal). Namun,  seperti  terlihat pada  hari‐hari  ini,  mekanisme  itu  lebih  bermakna  retribusi  dibandingkan  pengendalian. Mengapa? karena: pertama,  tidak ada batas yang  tegas, yang disimpulkan dari  studi yang dapat dipercaya,  tentang daya  tampung bendungan; dan  kedua, belum pernah dilakukan razia yang tegas, secara terus menerus dan berefek menjerakan bagi pengusaha jala apung yang menyimpang dari kesepakatan. Penambahan jala apung pada rangkai yang sudah ada, atau penambatan rangkaian baru, di dalam zona yang telah dibatasi dinilai dapat diputihkan dengan  “retribusi”  tambahan.  Peringatan  yang  disampaikan  oleh  PJT  pada  Juli  2009 berkenaan dengan  jumlah  jala apung  yang  telah melampaui  target populasi pada  zona 5, nyatanya  belum  diikuti  tindakan  tegas meski  peringatan  tersebut,  secara materiil, masih absyah. 

 

Catatan Penutup 

Fenomena  jala  apung  di  bendungan  Jatiluhur  dan  di  bendungan‐bendungan  lainnya, mengingatkan pada apa yang digambarkan oleh Garret Hardin (Jurnal Science No.162, tahun 1968),  seorang  ekologiwan,  sebagai  fenomena  tragedy  of  the  commons.  Tragedy  terjadi ketika  semua  pelaku  perikanan  jala  apung  terus  membiakkan  jumlah  jala  apung  tanpa memikirkan  ‘kesehatan’  bendungan  secara  keseluruhan.  Akibatnya,  bendungan  dapat mengalami keracunan kronis, sehingga  tidak dapat digunakan  lagi untuk memelihara  ikan. Demikian pula,  tragedi dapat  terjadi  jika, sebagaimana digambarkan di atas, semua  fungsi 

5  

yang  memanfaatkan  air  bendungan  dimaksimalkan  sedemikian,  sehingga  fungsi‐fungsi tersebut saling mengganggu.  

Tragedi  itu harus dihindari. Para ahli, di antaranya pemenang hadiah Nobel Ekonomi 2009, Elinor  Ostrom,  telah  menyampaikan  resep  yang  dapat  dicobakan  untuk  menghadapi kecenderungan populasi berlebih (over‐population) dan menerusnya konflik tata guna air di atas. Resep Ostrom berpusat di  sekitar pengembangan  institusi  sosial  sebagai mekanisme pengelolaan  sumber  daya  bersama.  Namun,  inti  resep  para  ahli  itu  adalah:  penataan kembali  berbagai  fungsi,  baik melalui  penetapan  aturan main maupun  penataan  ruang, sehingga  seluruh  fungsi  dapat  sinergis.  Bottom  linenya,  arah  kebijakan  penataan‐kembali bukanlah meniadakan  jala  apung.  Sulis  dan warga  lainnya,  yang masih menggantungkan hidup di atas jala apung, tetap dapat memelihara mimpinya: suatu hari nanti dapat menebar bibit.  

(Erwin Fahmi adalah anggota Wanadri, kini terlibat dalam Ekspedisi Citarum ‐ Wanadri) 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

6  

LAMPIRAN

TULISAN 5

PENCEMARAN DI HULU CITARUM

Oleh

Maria Jeanindya

(Reporter Media Indonesia )

Citarum, Tercemar Sejak dari Hulu  

Oleh Maria  Jeanindya *) 

   Udara  di  sekitar  Situ  Cisanti masih menusuk  tulang,  padahal  suara  adzan  Dzuhur  baru  saja berkumandang.   Air danau buatan  itu pun tampak jernih hingga kaki Gunung Wayang terpantul sempurna di atasnya. Tak ada sampah menggunung, atau air berwarna susu coklat di sini. Malah beberapa orang tampak asyik memancing di atas sebuah ban yang disulap menjadi perahu siang itu.    Air  di  danau  ini  adalah  cikal  bakal  Sungai  Citarum  yang  mengalir  melalui  kabupaten Bandung, Purwakarta, dan Karawang. Hampir tak percaya air sejernih ini menjadi mata air sungai yang masuk  dalam  daftar  "10  sungai  terjorok  di  dunia"  yang  sering muncul  di  internet,  sejak tahun 2007. di suatu kapal yang ada di Cisanti, didapati ada 3 pemuda yang menggunakan  jala mengambil  suatu  tanaman  yang  tumbuh  di  dasar  dana.  Rupanya  yang  diambil  adalah  sejenis ganggang hijau, yang menurut mereka banyak usaha perikanan air darat di daerah Bandung dan Cimahi yang memerlukan ganggang hijau ini untuk campuran makanan ikan.  Puas menikmati  keindahan  Situ  Cisanti,  tim  dari Media  Indonesia    dan  tim  Ekspedisi  Citarum Wanadri  meneruskan  perjalanan  untuk  menengok  bagian  lain  dari  hulu  Sungai  Citarum.  Selepas Situ Cisanti, aliran yang dipercaya menjadi hulu sungai Citarum  itu  tak  lebih besar dari selokan. Lebar aliran  itu hanya sekitar 1 hingga 1,5 meter saja.   Kampung pertama yang dilalui oleh  sungai  Citarum  bernama  kampung  Pejaten.  Ia  adalah  bagian  dari  desa  Tarumajaya.  "Ada 4000 kepala keluarga di desa ini," ucap Ayi Iskandar, kepala desa Tarumajaya saat ditemui di  rumahnya,  Sabtu  (13/3)  sore.  Dengan  rumah‐rumah  yang  saling  berimpitan,  tak  mengherankan bila Ayi mengatakan  jumlah penduduk di desanya mencapai  lebih dari 17  ribu orang.   Sepanjang melewati  jalan di desa  ini,  rumah yang kami  lihat adalah  rumah  layak huni. Beberapa  rumah malah memanfaatkan  betul  pekarangannya  untuk  ditanami  tanaman  seperti kentang ataupun bawang daun.   Sapi ooh Sapi..  Sebelum  tiba  di  rumah  kepala  desa  Tarumajaya, Abrar  Prasodjo,  ketua  tim  Ekspedisi  Citarum Wanadri menuturkan bahwa menjadi buruh tani dan beternak, adalah mata pencaharian utama di desa Tarumajaya.  "Yang ditanam biasanya kentang. Walau  itu merusak  lingkungan,  tapi dia panennya cepat dan harganya mahal," kata Abrar.   Sementara dalam hal beternak, masyarakat Tarumajaya memilih  sapi  sebagai hewan  ternaknya.  "Ada  tiga  ribu ekor  sapi di desa  ini. Kalau desa sebelah ( desa Cibeureum )   mungkin hanya sekitar seribu ekor saja," Ayi menambahkan.   Dengan demikian, bisa diasumsikan hampir setiap kepala keluarga memiliki satu ekor sapi. Ayi memaparkan, usaha beternak  sapi  sudah dilakukan warga desa Tarumajaya  sejak  tahun 1966. Karena bisa menghasilkan rupiah yang tidak sedikit, beternak sapi menjadi bisnis turun temurun dalam  satu  keluarga.    "Yang  sudah  punya  lebih  dari  lima  ekor  sapi  bisa  dibilang  sejahtera," imbuhnya.   Seekor  sapi  bisa menghasilkan  10  hingga  25  liter  susu  per  hari. Harga  yang  ditawarkan  oleh koperasi KPBS, satu‐satunya penadah di desa, adalah 3.200 rupiah untuk setiap  liternya. "Nanti mereka jual lagi ke pabrik susu Ultra," kata Ayi.  Lina (31), adalah seorang istri dari peternak sapi yang mengakui bahwa usaha  ini mendatangkan untung yang  lumayan.   "Tiap bulan sekitar 1,5 sampai dua juta dari susu sapi," ucap ibu yang memiliki tiga ekor sapi perah itu. Sementara anak sapi perah, dijual seharga 500 ribu per ekor.  Setiap harinya, satu ekor sapi diperah dua kali, pagi dan  sore.  Pemerahan  di  pagi  hari  dilakukan  pada  pukul  enam,  sementara  pemerahan  kedua dilakukan  pada  pukul  empat  sore.    Sebelum  diperah,  pemilik  membersihkan  kandang  sapi berukuran  2,5  x  1,5 meter  tersebut.  Sapi memiliki  kebiasaan  buang  air  besar  dua  kali  sehari. 

1

Setiap  buang  air  besar,  kotoran  yang  dihasilkan  sekitar  3  ‐  5  kilogram.  Karena kandang dibangun di atas  saluran  sebesar  selokan yang dipercaya  sebagai hulu  sungai Citarum tadi, otomatis, saat pemilik membersihan kandang tersebut, semua kotoran akan masuk ke dalam sungai Citarum.   Kegiatan  ini dilakukan secara rutin selama dua kali sehari, tujuh kali seminggu, dan 365 kali selama setahun. "Karena bukan kantoran," canda Ayi. Selain persoalan  sapi, masalah  limbah  pertanian  lainnya  yang perlu disikapi  dengan  bijaksana adalah  penggunaan  pestisida  dan  berbagai  bahan  obat  kimia  lainnya.  Masih  bisa  dijumpai pelaksanaan  pemberian  pupuk  dan  bahan  kimiawi  lainnya  di  lahan  pertanian  tidak  dilakukan dengan  dosis  yang  tepat.  Selama  beberapa  tahun,  didesa  Tarumajaya  dan  Cibeureum  ada peneliti  berkebangsaan  Jepang  yang meneliti  penggunaan  bahan  kimia  dalam  pertanian  yang dikaitkan dengan kesehatan penduduk. Menurut  info dari Kepala desa yang mendapatkan hasil sementara  dari  penelitian  tersebut menunjukkan  kadar  tertentu  dalam  darah  dari  beberapa sampel  darah  yang  diambil  di  kedua  desa  tersebut mengandung  pestisida.  Artinya  pestisida sudah  ditemukan  di  dalam  darah  terutama  pada  anak,  salah  satu  penjelasan  dari  peneliti mengenai  cara masuknya  pestisida  ke  dalam  tubuh manusia  adalah  kebiasaan  tidak mencuci tangan sebelum makan, baik di anak‐ anak maupun orang dewasa.  Pembahasan dengan Kepala desa juga menyangkut masih belum digunakan kotoran sapi sebagai bagian dari pupuk kandang untuk pertanian, karena di Tarumajaya  untuk memenuhi kebutuhan  pertanian akan pupuk kandang masih dipasok dari daerah lain berupa kotoran ayam. Sudah ada kelompok masyarakat  yang menggunakan  bahan  dasar  kotoran  sapi  sebagai  bahan  pembuat pupuk  kandang,  tetapi  jumlahnya masih  belum  significant,  dan  persoalan  yang menghadang adalah  belum  adanya  pembeli  yang menyanggupi membeli  dalam  jumlah  partai  yang  besar.    Mengalir Sampai Jauh Zat  yang  terkandung  dalam  kotoran  sapi  antara  lain  nitrogen, magnesium,  sulfur  oksida,  dan beberapa unsur mikro  lainnya.  Kandungan  ini  ada di dalam hulu  sungai Citarum  yang berupa saluran  kecil  itu.    Kotoran  sapi  ternyata menjadi  sumber  penularan  bakteri  patogen    seperti Escherichia coli . Keberadaan bakteri ini dalam tubuh manusia mampu membuat orang tersebut mengalami diare.   Diare yang ditimbulkan pun beragam. Ada diare berair disertai muntah dan demam,  hingga  pengaruh  pada  usus  besar  yang  bisa  mengakibatkan  diare  berdarah.  Akibat pembuangan limbah cair dan padat para peternak sapi di desa ini, air sungai sudah tidak bisa  digunakan  untuk  kebutuhan  sehari‐hari  lagi.    Kebutuhan  air  bersih  untuk  minum  dan memasak,  didapat  dari  selang  air  yang menjuntai  dari mata  air  di  Situ  Cisanti.  Sementara  air sungai  hanya  digunakan  untuk  mengairi  sawah  dan  ladang  milik  warga.  "Karena air sungai sudah sangat kotor sekali.  Jadi kita ambil  langsung dari mata air," aku Lina. Pencemaran sungai Citarum sudah dimulai sejak di bagian hulu. Bukan berarti sepanjang aliran sungai ini  tanpa pencemaran lain.   Di  desa  Cibeureum,  tetangga  dari  Tarumajaya,  gunungan  sampah  dapat  dengan mudah  kita temui di pinggiran aliran sungai Citarum, di dekat  jembatan Cangkuang  . Sampah yang dibuang penduduk  selain  sampah  dari  rumah  tangga  juga  dibuang  adalah  sampah  dari  aktivitas  pasar yang kebetulan tidak jauh dari lokasi jembatan tersebut. Bila musim hujan tiba, sampah‐sampah yang  menggunung  di  beberapa  titik  akan  tergerus  bersama  arus.    Sampah  domestik  ini sebenarnya  merupakan  potensi  untuk  dikelola  dan  bisa menghasilkan  uang.  Sayangnya  dari wawancara dengan pengelola daerah yang berdekatan dengan lokasi penimbunan sampah, saat ini warga menyerahkan pengelolaan sampah kepada arus sungai Citarum yang akan membawa sampah ke daerah yang lebih rendah.   Belum  lagi  di  bagian  tengah  Cekungan  Bandung  dimana  aliran  sungai  Citarum  telah  banyak didirikan  pabrik‐pabrik.  Limbah  dari  pabrik  yang  dibuang  ke  sungai,  pastinya  memperburuk kandungan air sungai Citarum. Apalagi daftar pabrik yang berada disepanjang Citarum dan anak 

2

sungainya didominasi oleh pabrik  tekstil, dan pabrik pembuat bahan dasar  kimia.   Yang perlu diingat, sungai  ini menjadi pemasok air di beberapa bendungan seperti Waduk Saguling, Cirata dan Waduk Jatiluhur. Beberapa segmen di aliran Citarum  juga menjadi tempat peternakan  ikan dengan teknologi yang dikenal bernama Jala apung. Putaran uang dalam satu petak di jala apung bisa menghasilkan panen seharga 18  juta rupiah dalam kurun waktu sekitar 4   bulan.   Saat  ini, terdapat hampir 14  ribu petak  jala  apung di waduk  tersebut. Bisa dibayangkan berapa milyar nilai  rupiah  yang  berputar  di  jala  apung  itu.  Selain  itu  aktivitas  kegiatan  jala  apung  ini  juga memberikan tekanan lingkungan yang cukup berat seperti semakin meningkatnya sedimentasi di waduk dikarenakan sisa pakan dan kotoran dari jala apung, baik dalam jumlah maupun sifatnya yang  bisa  menyebabkan  terjadinya  percepatan  korosif  pada  berbagai  peralatan  pembangkit listrik yang     adad di waduk. Sementara  ikan yang dihasilkan, dikonsumsi di daerah Purwakarta, hingga  luar  daerah,  dengan  tanpa  dibarengi  informasi  yang  memadai  bagi  calon  konsumen mengenai kemungkinan  ikan tersebut  juga sebagai pembawa material berbahaya seperti  logam berat yang didapat dari perairan yang ada di Citarum.  ([email protected])   Maria Jeanindya merupakan reporter dari Media Indonesia  Keterangan : tulisan ini sudah dilakukan peng‐editan dengan tidak menghilangkan ide dasar dari yang disampaikan oleh penulisnya.  

3

LAMPIRAN

TULISAN 6

MENYIMAK RICIK CITARUM DARI SOSOK PEREMPUAN

Oleh

Nur Azizah

( Jurnalis JURNAL PEREMPUAN )

Menyimak Ricik Citarum dari Sosok Perempuan Oleh: Nur Azizah 

 Pada pertengahan Februari 2010, Jurnal Perempuan bersama tim Ekspedisi Citarum Wanadri menapaki wilayah Daerah Aliran  Sungai  (DAS) Citarum Hulu  yang melingkupi mata  air  sungai Citarum hingga  ke Cirata.  Dengan mobil  salah  seorang  anggota Wanadri  (organisasi  pegiat  lingkungan),  kami,  rombongan  dari Jakarta berangkat sekitar pukul 08.00 WIB dari sebuah pom bensin di seberang Metropolitan Mall Bekasi Barat  di  suatu  Sabtu  13  Februari  2010.  Laju mobil  pacu  perjalanan  kami  tiba  di  daerah    Batujajar  , kabupaten Bandung Barat  , yang  terletak disebelah barat kota   Cimahi. Di  sana kami bertemu dengan rombongan dari Bandung. Tak  lama kemudian bulatan ban mobil bergerak  lagi menuju waduk Saguling (tahun 1985) yang kami tempuh melintasi arena latihan Pusdik Passus. Beberapa bangunan tempat latihan Kopassus perlahan menuntun kami menuju waduk Saguling. Gelaran sawah  di  sepanjang  kanan  kiri  landasan  pacu  bandara  yang  kami  lalui menambah  sedap  perjalanan menuju  lokasi. Setengah  jam kemudian, kami tiba di sebuah ruang yang menghamparkan genangan air, seolah hendak gantikan hamparan sawah, teman perjalanan kami.  Siang baru  saja  tinggalkan pagi  saat kami bergerak dari bantaran hulu Saguling yang  tak  sempat kami akrabi  dengan  perahu.  Perjalanan  berkelok  asik  kami  tempuh  dengan  armada  sewaan.  Kali  ini  alam menyuguhkan pemandangan beragam kepada kami. Mulai dari pepohonan,  jurang,  tebing, pipa besar, tuas pembangkit listrik, sampai sungai ber‐riak, saksikan perjalanan kami menuju suatu perkampungan.   

 Melihat banjir yang sedang terjadi (foto: Dhafi Paparu ) 

  Sebagai  sungai  terpanjang  dan  terbesar  di  propinsi  Jawa  Barat,  Citarum  memiliki  panjang  aliran mencapai  sekitar 308 km. Tutur Parahyangan mengisahkan, Hulu Citarum mengalir dari Cisanti,  lereng Gunung  Wayang  di  sebelah  Tenggara  Kota  Bandung,  di  daerah  Tarumajaya‐Cibeureum,  Kertasari, Bandung.    Anak  sungai  seperti  Cikapundung  dan  Cibeet  juga mengalir menuju  Citarum.  Aliran  dari Citarum menyusur ke arah Barat, menempuh Majalaya dan Dayeuhkolot, berbelok ke arah barat laut dan utara membatasi Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung Barat,  lalui Purwakarta, dan bermuara di Ujung Karawang.  

1

Kini, kami berada di sana, belokan aliran sungai Citarum yang membelah kampung Bantar Caringin Desa Cihea, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur, diantara sebuah  jembatan yang membatasi kampung itu dengan Kabupaten Bandung Barat. Sepanjang sore di kampung itu, mata kami lekat menatap aktivitas beberapa  anak‐anak,  penghuni  kampung.  Mandi  di  sungai,  main  egrang,  bermain  bola,  diselingi beberapa  anak  perempuan  yang  baru  saja  pulang  dari madrasah. Di  sana,  di  pinggir  sungai  Citarum, mereka hidup dan beraktivitas. Seorang  ibu  lekat mengamati kedatangan kami. Pelan  ia duduk di atas bangku  bambu.  “Saya  kesini  baru  13  tahun.  Saya  dari  Plered.  Ikut  suami  yang  asli  orang  sini,”  ucap perempuan bernama Siti Robiah (34 tahun). Rentang 13 tahun tempa kemampuan adaptasi Siti Robiah. Ia pun mulai akrab dengan air Sungai Citarum yang mendampingi Kampung Bantar Caringin. “Air sungai Citarum bagi kita  itu besar sekali manfaatnya. Bukan  hanya  untuk  kehidupan  disini  karena  banyak  yang  dari  Citarum  itu  menghidupi  masyarakat. Apalagi  sekarang  di  sini  udah  dipakai  untuk  sirkuit  arung  jeram.  Jadi menarik  orang  untuk  berpiknik. Makanya kalau ada masyarakat yang merusak lingkungan citarum, kita suka gimana gitu. Jangan sampai lingkungan citarum ini tercemar.” Robiah  sadar benar  jika  tekad menjaga Citarum harus  ia  tularkan kepada yang  lain,  seperti ajakannya kepada  anak‐anak  untuk  tidak  membuang  sampah  ke  sungai  Citarum.  “Kalian  usahakan  jangan membuang  sampah  ke  citarum.  Bikin  tempat  sampah  trus  dibakar  aja.  Karena  itu  kan  Citarum  kita,” ucapnya.  Apalagi  sejak  beberapa  organisasi  pegiat  alam  bebas mulai melirik  Citarum  sebagai media aktivitas arung jeram, Robiah kian rajin mengajak sesamanya untuk menjaga kebersihan Sungai Citarum. “Kan anak‐anak suka mandi di Citarum,  jadi biar nda apa‐apa. Sudah dari sananya kena  limbah, di sini juga ditambah lagi.” Limpahan  air  sungai  Citarum merangsang  nafsu  segelintir manusia  untuk memanfaatkannya. Melalui pembangunan tiga waduk (danau buatan)/ DAM;  PLTA Saguling (bagian hulu), PLTA Cirata, PLTA Jatiluhur, sebagai pembangkit listrik dan irigasi persawahan (wilayah Subang, Karawang, dan Bekasi), manusia bisa melakukan kontrol  terhadap  “karakter” air. Pun  sepanjang aliran  sungai Citarum  telah  sesak oleh  riuh sekitar 500 lebih  industri pabrik.                         

Pemandangan Citarum dari daerah Manglid Batujajar  Adalah UBP (Unit Bisnis Pembangkitan) Saguling memanfaatkan tenaga air Citarum dan anak sungainya sebagai penggerak utama  turbin penghasil  listrik. UBP Saguling mengelola 29 mesin pembangkit yang tersebar di Jawa Barat dengan total kapasitas terpasang 797,36 MW menaungi 8 sub‐unit pembangkitan; PLTA Saguling, PLTA Plengan, PLTA  Lamajan, PLTA Cikalong, PLTA Bengkok dan Dago, PLTA Ubrug, PLTA Kracak, dan PLTA Parakankondang.  “Air ini kan pembuangan dari DAM Saguling. Jadi mungkin semua limbah dari wilayah Bandung masuk ke DAM trus dibuka. Nah  ini kan air pembuangannya. Jadi air  ini tidak bisa banjir karena di turbinnya bisa 

2

dikecilin.  Ini  kan  lagi  kebanyakan airnya. Kalau pas  lagi kecil mah kecil, bisa  sampai kering.  Itu  setahu saya,” ucap Robiah. Robiah hidup dan berkeseharian di sepanjang aliran sungai Citarum, di hilir PLTA Saguling yang memasok listrik se Jawa‐Bali.  Ia menuturkan, “(di sini) sering mati  lampu apalagi sekarang musim hujan. Tapi kan listrik di sini bukan dari Saguling  ini. Kalau dari Saguling  ini,  tenaga  listriknya dikeluarkan ke Bali sama Madura dan sekitar Jawa.”  Melansir Pikiran Rakyat, 2006,  laju sedimentasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum kurun dasawarsa terakhir mengalami peningkatan hampir dua kali lipat. Laju ekspor sedimen tahun 1993 sebesar 1.18 juta ton meningkat menjadi  2.15  juta  ton  di  tahun  2003.  Hal  itu  diduga  karena  kerusakan  ekosistem  di sepanjang DAS, terutama berkurangnya luas hutan di bagian hulu.  Terkait penyebaran  informasi tentang pola merawat air, Robiah menjelaskan, walaupun pihak LSM dan pemerintah  sering  melakukan  penyuluhan    kepada  masryarakat  demi  menjaga  aliran  DAS  namun kesadaran masyarakat  belum  begitu  besar.  “Mungkin  belum maksimal,”  imbuh  perempuan  yang  kini mengelola TK, TPA, bahkan SMP IT. Robiah hanya tamat Sekolah Dasar. Meski demikian keinginannya untuk terlibat demi “kesehatan” ruang hidupnya  terbitkan  inisiatif  Robiah  untuk  menggali  pengetahuan  dari  setiap  hasil  seminar  dan penyuluhan yang diikuti suaminya. Robiah menuturkan, “saya suka nanya ke suami, apa hasil pertemuan tadi. Nanti tugas saya menyampaikan ke ibu‐ibu pengajian. Trus juga ada spanduk‐spanduk panjang 'mari kita  lestarikan  DAS  untuk  anak  cucu  kita.'  Saya  berusaha  menyampaikan  sedikit‐sedikit  kepada masyarakat di majlis‐majlis taklim. Karena kebetulan saya punya majlis taklim. Jadi ibu‐ibu diajak supaya mengerti. Ya, ada yang nurut, ada yang  'gimana atuh nyak kan kita mandi di Citarum.' Saya bilang, ya karena kita mandi di Citarum , nyuci di citarum, segala macam di Citarum, maka kita harus jaga citarum tersebut. Itu yang sering saya sampaikan.”  Robiah  telah  jatuh hati pada DAS Citarum. Kepeduliannya  terhadap  lingkungan  yang bersanding pada tempat  hidupnya  ia  tempakan  dengan  mengajak  masyarakat  lain  untuk  merawat  hutan,  penyangga sekaligus tempat aktivitas mereka.  Kepada  sesama  ibu‐ibu  di majlis  taklim, Robiah mengisahkan  tentang  kondisi  hutan  saat  ini.  “Ibu‐ibu sekarang  kondisi  hutan  sudah  gundul.  Jadi  kita  usahakan  dalam  menggarap  hutan  jangan  sampai menebang pohon, malah kita menanam kembali. Karena disini kan matapencahariannya berladang. Jadi kalau kita  lihat di daerah  sana banjir. Nah kalau   kita  lihat di daerah kita  juga gundul, banjir pun pasti datang  pada  kita.  Trus  kita  di  daerah  sungai  citarum,  kita  juga  harus  menjaga  DAS  itu.  Saya  suka menyampaikan itu di majlis taklim pengajian.”                   

Profil anak di kampung Bantar Caringin    

3

DAS Citarum memiliki  luas sekitar 1.771 km2 merupakan salah satu DAS  terbesar di  Jawa Barat. Guna keperluan pengelolaan (Perum Otorita Jatiluhur, 1990), DAS Citarum Hulu dibagi ke dalam lima sub‐DAS; yakni  Cikapundung,  Citarik,  Cisarea,  Cisangkuy  dan  Ciwidey.  Kondisi  topografi menunjukkan  dominasi pegunungan sepanjang batas DAS. Sedangkan area berupa dataran yang luas berada di tengah DAS. Tata guna lahan masih didominasi pertanian dan hutan. Ini ditunjukkan pada rentang waktu 1994‐2001, luas lahan pertanian bertambah 40% sementara luas hutan berkurang hampir 60%. Menilik data di atas, tak pelak jika Robiah memiliki keberanian untuk bertanya kepada suaminya tentang hasil  pertemuan  dengan  berbagai  instansi  pemerintah  dan  LSM.  “Saya  tahu  posisi  suami  saya  tidak mungkin bisa meraup semua pekerjaan, karena dia kan punya berbagai macam kegiatan. Makanya saya berusaha mendampinginya biar sedikit besarnya informasi dari seminar itu sampai ke masyarakat.”      “Kita  berusaha  supaya  pohon‐pohon  yang  di  pinggir  sungai  Citarum  mah  jangan  ditebang;  untuk serapan, untuk menjaga  longsor. Sebagian masyarakat ada yang nurut yang  sebagian  lagi, yah  ini mah tanah‐tanah kita, pohon‐pohon kita,” pungkas Robiah.  Kesadaran yang Belum Tergali Atau Ketiadaan Informasi  Koordinator Ekspedisi Citarum Wanadri Abrar Prasodjo mengatakan, ada salah satu penelitian yang dirilis ‐kalau tidak salah‐ oleh WJEMP tahun 2004 terkait DAS Citarum mulai dari Hulu, Majalaya, Dayeuhkolot, sampai  ke  arah  Saguling.  “Mereka menemukan  beberapa  limbah  dominan  yang  berasal  dari  limbah domestik;  limbah MCK  dan  dapur,  didominasi  oleh  limbah  organik  yang  jumlahnya  sangat  signifikan. Sehingga  dalam  sehari mencapai  ratusan  ton,”  kata  Abrar  yang  juga  anggota Wanadri.  Persoalannya, lanjut  Abrar, meski  volume  limbah  rumah  tangga  itu  banyak  dan  dapat  terurai  dalam  kurun  waktu tertentu, tetap bermasalah dalam hal jumlah, dan estetika. “Meskipun  itu juga bermasalah dengan bau dan warna,” ungkapnya.  Tak hanya  limbah domestik yang mencemari Sungai Citarum. Limbah  Industri pun  turut menjadi  salah satu polutan berbahaya bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai. Meski, Abrar menambahkan, terkadang masih ada pengertian yang masih kurang tepat dalam masyarakat tentang rupa dan dampak limbah  industri.  Seperti  limbah  logam  berat  yang  masih  diasumsikan  oleh  masyarakat  luas  selalu berwarna gelap dan dapat dilihat secara visual. “Padahal ada beberapa logam berat yang justru cair dan larut dalam air yang tidak terlihat. Nah itu resikonya yang tidak disadari oleh masyarakat,” imbuh Abrar.   Abrar menduga, beberapa  limbah  logam berat yang  terakumulasi di sungai Citarum dalam waktu  lama akan beresiko pada penggunaan air. Terutama, lanjut Abrar, kalangan ibu‐ibu yang melakukan aktivitas di sungai; seperti mencuci pakaian, mencuci masakan, kebutuhan sehari‐hari, dan memandikan anak. “Ibu dan anak ini sifatnya rentan terhadap potensi bahaya dari limbah‐limbah tadi,” tukasnya.   Terkait  limbah organik Abrar menjelaskan, adanya persoalan E. coli  (bakteri yang biasanya muncul dari kotoran manusia yang menyebabkan beberapa penyakit  perut yang jika penanganannya terlambat bisa mengakibatkan  kematian‐red)  yang  tak  sesuai  dengan  syarat  kesehatan  untuk  manusia,  yaitu  nilai keberadaan Ecoli didalam air harus bernilai nol. Abrar menyatakan, peluang siklus E. coli masuk ke dalam tubuh manusia melalui sungai Citarum sangat besar. Dari feses (kotoran) manusia yang dibuang ke sungai  memunculkan  Ecoli.  Sementara  aktivitas manusia  di  sungai  seperti  cuci  beras, mandi,  cuci makanan; menjadi peluang masuknya Ecoli ke dalam tubuh manusia.  “Bahaya  lain  yang  kurang  disadari  oleh masyarakat  adalah  tentang  konsep  perpindahan  logam  berat. Kadang daerahnya kelihatan bersih, karena banyak logam berat yang terserap oleh ikan dan hewan kecil, lalu hewan kecil dimakan oleh hewan besar dan hewan besar suatu saat dimakan oleh manusia. Resiko perpindahan seperti ini yang belum disadari oleh manusia.”  Kesadaran  masyarakat  yang  belum  tergali  atau  ketiadaan  informasi  di  ruang  masyarakat?  Abrar berpandangan, peran pemerintah sebagai regulator seharusnya mempunyai program sosialisasi kepada masyarakat  terutama  tentang  bahaya‐bahaya  dari  kualitas  air  yang  menurut  beberapa  penelitian cenderung  menurun.  “Termasuk  kerja  dari  semua  pihak;  pers,  peneliti,  NGO,  industri,  masyarakat, bagaimana cara mereduksi logam berat yang jumlahnya sudah sangat signifikan.”     

4

Air dan Perempuan; Satu Saudara  Sebagai perempuan Robiah merasa berkewajiban,  turut dan  terlibat mengobati derita  saudaranya, air sungai Citarum. Sungai Citarum yang tak  lagi berdaya menghidupi mereka yang tinggal di setiap aliran, lekuk, dan belokan keberadaannya.  Ia membutuhkan uluran  tangan  saudaranya,  setidaknya keputusan bijak  saudaranya  demi  “kesehatannya.”  Seperti  halnya  Robiah  yang  terus  membutuhkan  informasi sebagai  asupan  pengetahuannya  demi  mengurangi  rasa  sakit  Citarum,  diri  dan  keluarganya,  serta masyarakat sekitar.                   Perempuan  dan  anak‐anak  seperti  diakui  oleh  Abrar  adalah  kelompok  rentan.  Meski  demikian perempuan  juga  sanggup menjadi  sumber  pengetahuan  bahkan  ‐karena  kerentanannya‐  perempuan mampu bertugas sebagai penyambung lidah sekitarnya dalam penetapan kebijakan.  “Misalnya  pengaturan  tentang  pengelolaan  air  bersih.  Pengguna  dan  pengelola  dominan  adalah perempuan.  Jadi  justru  mereka  (perempuan‐red)  yang  seharusnya  ditanya  lebih  detail  sebelum pengambilan kebijakan tentang air ditentukan,” jelas Abrar.    Berkaca  dari  pengalaman  Robiah  mengingatkan  kita  betapa  perempuan  hendak  terlibat  dalam  perubahan.  Dahaga  informasi  yang  terjadi  pada  diri  Robiah menunjukkan,  sudah  saatnya  pintu  dan kesempatan  pengambilan  kebijakan  terbuka  bagi  perempuan. Bukan  sebaliknya.  “Yang  saya  lihat  dari segi  perencanaan  atau  pembuat  kebijakan;  baik  tentang  penataan  sungai  ‐terutama  sungai  citarum‐ maupun  penataan  ruang  di  beberapa wilayah  di  Indonesia,  ada  sesuatu  yang  perlu  kita  pertanyakan secara kritis. Karena umumnya pengambil keputusan di pemerintah dan  level birokrat didominasi oleh laki‐laki,” ungkap Abrar. Padahal, Abrar mengimbuhi, yang mereka atur, yang mereka buat peraturan dan tata kelolanya (Citarum‐red) itu justru lebih banyak perempuan yang terlibat dominan di dalamnya.”      Nur Azizah, jurnalis dari Jurnal Perempuan , ikut berpartisipasi dalam kegiatan Ekspedisi Citarum Wanadri di bulan Februari 2010.   Keterangan  Tulisan ini sudah diedit dari tulisan asli dengan tidak menghilangkan pesan utama dari tulisan tersebut. Kontributor foto adalah Dhafi Papparu, Usep, dan Nur Azizah 

5

LAMPIRAN

TULISAN 7

ANEKA TULISAN MENGENAI EKSPEDISI CITARUM WANADRI

Air Citarum Bercampur Limbah, Tersentuh Kulit Gatal Rabu, 01 September 2010 | 13:58 WIB

Hulu Sungai Citarum. TEMPO/Prima Mulia

TEMPO Interaktif, Bandung - Pantas saja bila Sungai Citarum di Jawa Barat disebut sebagai salah satu tempat terpolutif di dunia. Berdasarkan ekspedisi yang dilakukan Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Indonesia, Wanadri, air sungai itu tak lagi bisa disentuh, terkena uap airnya kulit terasa gatal.

Pada beberapa titik, suhu airnya yang bercampur limbah bahkan pernah terukur hingga 60-70 derajat celcius. “Airnya memang terlihat seperti mendidih,” kata Ketua Pelaksana Ekspedisi Citarum, Abrar Prasodjo, Rabu (1/9). Lokasi itu misalnya berada di daerah Banjaran hingga Kopo Sayati, Kabupaten Bandung. Ekspedisi yang dilakukan sejak akhir 2009 tersebut menyusuri Sungai Citarum dari muara ke hulu. Panjang sungai sesuai hasil pemetaan terbaru mereka, mencapai 308 kilometer lebih. Sejauh ini survey kondisi alam dan masyarakat sekitar sungai itu baru mencapai 60-70 persen atau sekitar 250 kilometer. Beberapa temuan lain yang didapat tim dalam survey tersebut adalah banyaknya saluran siluman pembuangan limbah pabrik, bau menyengat, dan pembuangan limbah langsung ke sungai. “Tahun 90-an kami masih bisa turun latihan di Citarum walau airnya sudah kotor, tapi sekarang tidak bisa,” ujarnya. Selain itu, tim menemukan beberapa kegagalan program pemerintah, diantaranya penghijauan di daerah muara karena pemerintah pilih kasih menentukan petak lahan untuk penghijauan dan tanaman sayur. Di daerah hulu, program pembuatan biogas di masyarakat gagal karena tidak didampingi. “Dari sembilan proyek biogas, tinggal satu yang bertahan,” katanya. Biogas itu sedianya untuk mengolah kotoran sapi yang melimpah. Karena tak berjalan, peternak langsung membuang limbah tersebut langsung ke sungai. “Program bantuan ternak seperti ikan dan ayam gagal karena disunat, dari seharusnya 10 ekor ayam masyarakat cuma dapat sepasang,” katanya.

1

Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung T. Bachtiar mengatakan, kerusakan Sungai Citarum harus diperbaiki dari bagian hulu. Ia mengusulkan agar Gubernur Jawa Barat tak perlu membeli Gunung Wayang, melainkan cukup membebaskan tanah-tanah negara yang disewakan pengusaha besar untuk bertanam sayur mayur. Sebagai gantinya, masyarakat bisa menanaminya dengan pohon produksi yang tidak perlu ditebang, seperti buah-buahan. Tujuannya antara lain untuk mengurangi banjir dan pendangkalan sungai akibat sedimentasi. Namun dia kurang yakin pemerintah daerah akan bersungguh-sungguh melaksanakan program jangka panjang tersebut. “Agak tidak mau karena hasilnya tidak terlihat langsung, misalnya seperti pengerukan sungai,” katanya.

ANWAR SISWADI

- - - - - - - - - - -- - - - -

Pemerintah Tak Bisa Benahi CITARUM Koran Tempo 2 September 2010

Sungai Citarum, yang baru-baru ini ditetapkan sebagai salah satu tempat paling tercemar di dunia versi hufftingtonpost.com, kondisinya memang sangat memprihatinkan. Polusi, baik yang berasal dari limbah pabrik maupun limbah rumah tangga, tumplek di sungai tersebut. Pemerintah Kabupaten Bandung mengakui pabrikpabrik yang berada di daerah aliran Sungai Citarum belum memiliki instalasi pengolahan limbah (ipal). Mereka kebanyakan menggelontorkan limbah pabrik begitu saja ke sungai.

Kepala Subbagian Publikasi dan Pemberitaan Humas Kabupaten Bandung Asep Syahdiana mengakui tidak semua pabrik memiliki ipal. “Mereka langsung membuang limbah ke sungai,”katanya.

Untuk mengatasi pencemaran tersebut, pemerintah, kata Asep, sudah melakukan berbagai upaya, dari pengerukan Sungai Citarum, pembangunan kirmir, dan penawaran kepada pabrik-pabrik untuk membuat ipal bersama. “Untuk pembangunan ipal bersama, hingga sekarang juga masih belum ada kata sepakat dari perusahaanperusahaan,”ujarnya.

Bupati Bandung Obar Sobarna mengatakan, penyelesaian masalah Sungai Citarum tidak bisa dilakukan hanya oleh Kabupaten Bandung. Menurut dia, semua pihak yang berkepentingan harus terlibat.”Baik dari pemerintah provinsi, pusat, maupun daerah serta warga,” katanya saat dihubungi Tempo melalui telepon selulernya kemarin.

Berdasarkan pantauan Tempo, sepanjang aliran Sungai Citarum yang melewati Kabupaten Bandung kondisinya parah. Sungai yang menjadi sumber air bagi 5 juta penduduk di sepanjang

2

alirannya itu terlihat amat keruh. Sampah menutupi sungai. Limbah pabrik yang berwarna merah atau cokelat terlihat jelas bercampur dengan air sungai.

Darma, 60 tahun, warga Desa Cuterep, Kecamatan Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, yang setiap hari mencari cacing di Sungai Citarum, mengatakan warna air sungai itu memang berubah-ubah. “Terkadang kemerahan, tapi seringnya terlihat sangat keruh. Selain itu, baunya tidak sedap,”katanya.

Sebelumnya, Ketua Pelaksana Ekspedisi Citarum dari Kelompok Wanadri Abrar Prasodjo mengatakan pencemaran di Citarum memang parah. Bahkan di beberapa titik air yang bercampur limbah pernah terukur suhunya mencapai 60-70 derajat Celsius. “Airnya memang terlihat seperti mendidih,” katanya. Lokasi itu misalnya berada di daerah Banjaran hingga Kopo Sayati, Kabupaten Bandung.

Secara terpisah, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan pun mengatakan pemerintahnya tak bisa membenahi Citarum karena tak ada anggaran. “Menganggarkan pengerukan tidak bisa, melakukan normalisasi di sana enggak bisa, karena seluruh leading sector-nya adalah pemerintah pusat cq Kementerian Pekerjaan Umum,” katanya di Bandung kemarin.

Menurut Heryawan, pemerintah Jawa Barat sudah mengusulkan kepada pemerintah pusat agar pembenahan Citarum tidak sepotong-sepotong. Konsep itu sudah diserahkannya. “Tapi yang gongnya kan pemerintah pusat,”katanya.

Pembenahan sungai itu tidak sebatas pada fisik sungai, tapi juga kawasan penyangganya. Dia mencontohkan, untuk menghijaukan seluruh daerah penyangga Citarum dan sembilan anak sungainya, dibutuhkan duit Rp 1,5 triliun. “Itu untuk nanam doang,” kata Heryawan. Duit untuk normalisasi sungai itu sendiri, menurut perhitungannya, butuh Rp 2 triliun.”Total Rp 3,5 triliun, siapa yang punya duit itu,”katanya.

ANGGA SUKMA WIJAYA | ANWAR SISWADI | AHMAD FIKRI

3

Key river suffers upstream, downstream pollution The Jakarta Post, Jakarta | Fri, 12/11/2009 11:16 AM | Jakarta

Up a creek without a paddle: A survey team motors through the Citarum River estuary in Muara Gembong district, Bekasi. Despite frequent tidal floods, the river bank is home to many people who come from around the country to earn a living as fishermen. The Citarum River has often been called the world’s dirtiest river. Courtesy of Cita-Citarum/Diella Dachlan

Despite the country’s ambitious plans to provide sustainable access to clean water for 80 percent of the urban population by 2015, its capital is still struggling to fix an enduring problem facing one of its key rivers.

The target, set in the Millennium Development Goals (MDGs), starkly contrasts with the fact that the Citarum River, one of the most vital sources of drinking water for Jakarta, is often referred to as the world’s dirtiest river.

Saiful, the new chairman of the Association of Indonesian Tap Water Companies (Perpamsi), said last Thursday in Batam only 40 percent of the urban population and less than 30 percent of the rural population had sustainable access to clean water.

The Asian Development Bank (ADB) stated the Citarum River Basin Territory supported a population of 28 million people, produced 20 percent of Indonesia’s gross domestic product and provided 80 percent of the surface water supply to the capital.

Director of the National Development Planning Agency’s directorate of water resources and irrigation, M. Donny Azdan, said the river, which flows 300 km from Mount Gunung Wayang in West Java to the Pantai Bahagia coast in Bekasi, faces a multitude of problems, which the country is trying to tackle.

4

“The problem upstream is erosion due to agriculture, which dumps a lot of soil into the river. [Further downstream] there’s also the contamination by farm, domestic and industrial waste that is dumped into the river,” he said.

The Majalaya area in West Java, for example, is home to many textile industries that pollute the river, he said during a river expedition Saturday.

The two-day expedition was set up by the Association of Jungle Explorers and Mountain Climbers (Wanadri).

The Citarum was once a familiar training and exploration area for the association, which conducted its first expedition there in 1985, Abrar Prasodjo, the head of the expedition, said.

“The river is necessary for our purposes. We wanted to conduct a training session in Saguling [West Java] but the water was foamy,” he recalled.

Abrar said the expedition was expected to provide new information that would be relayed to the authorities and the community who would take the necessary steps to improve the state of the river, thus allowing the association’s members and the residents to benefit from Citarum’s water.

One man’s garbage: A man wades in the Citarum River in the Majalaya area, West Java next to a garbage pile on the riverbank. The water is heavily contaminated by untreated waste from textile plants. Courtesy of Cita-Citarum/Steve Griffiths

The heavy pollution of the river is also evident in its estuary in Muara Gembong, Bekasi.

An area in Muara Gembong, ironically named Pantai Bahagia (Happy Beach), constantly suffers from tidal and other floods. The coastline, once thick with mangroves, is now the site of a fishing village where wooden boats have to navigate through a layer of rubbish.

5

“Its as if the ground sinks lower by 10 centimeters each year,” Erik, a resident, said of the increasingly serious floods.

Carsim, another resident who was in an elevated sitting space to avoid coming in contact with the dirty water, said around 20 years ago, the area had not been as crowded as it was now and the mangrove forest dominated the landscape.

Abrar said the constant destruction of the mangrove forest also endangered the area’s ecosystem.

“There used to be a lot of birds and monkeys here, but now the mangrove is very thin,” he said as the expedition team navigated the river.

Donny said the road to restore, or at least improve, the Citarum River was a long and rocky one.

“We calculate there are around 80 separate actions that need to be taken, which will take around 15 to 20 years to do. The cost would be around Rp 35 trillion, [US$3.7 billion]” he said.

Given this estimate and the fact that the country has over 5,000 rivers with eleven of them critically polluted, would fulfilling the MDG for clean water be realistic?

“No,” he said, laughing. “We’re having problems with just one river!” (dis)

============== Kompas CETAK Wanadri Gelar Ekspedisi Citarum Selasa, 10 November 2009 | 14:10 WIB

Bandung, Kompas - Wanadri, perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung, menggelar kegiatan pendataan dan penyadaran masyarakat di sepanjang Sungai Citarum. Pencemaran limbah industri dan rumah tangga disinyalir merusak lingkungan ekologis dan kualitas air Citarum.

"Peranan Citarum vital memberikan pasokan air bagi tiga bendungan besar. Aktivitas bendungan memberikan listrik yang menerangi Jakarta, Banten, dan Jawa Barat," kata Ketua Pelaksana Ekspedisi Citarum sekaligus anggota Wanadri, Abrar Prasodjo di Bandung, Senin (9/11).

Abrar mengatakan, kegiatan ini terbagi dalam tiga tahapan, yaitu mendata dan memantau kondisi fisik Citarum, kampanye penyadaran masyarakat, dan pembangunan fisik bangunan sanitasi hingga penanaman pohon. Diperkirakan, tim yang seluruhnya berjumlah 30 orang, dibantu peneliti dan akademisi, perlu waktu 8-9 bulan guna menuntaskan ekspedisi ini.

"Survei awal oleh Wanadri dilakukan dua bulan lalu. Selanjutnya, akhir November ekspedisi inti berupa pendataan dan pemantauan akan dimulai," katanya.

6

Daerah yang akan disasar dibagi dalam tiga kelompok. Pertama, melihat kondisi di hulu Citarum: Gunung Wayang-Majalaya-Saguling. Kedua, memantau tiga waduk: Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Ketiga, memantau kondisi hilir Citarum, sekitar Kabupaten Bekasi. Saat ini banyak perumahan tumbuh di sekitarnya.

Ia mengatakan, kepedulian terhadap Citarum harus segera dilakukan semua pihak. Data lama Wanadri dan data baru berbagai pihak menunjukkan, kondisi Citarum semakin memprihatinkan. Foto dokumentasi Wanadri tahun 1985 menunjukkan, di sepanjang Citarum minim ditemukan sampah plastik atau limbah industri. Kegiatan pencinta alam dilakukan dengan leluasa.

Namun, hasil pemantauan terakhir pada 2009 memperlihatkan, sampah plastik terlihat merata di sepanjang Citarum. Bau limbah cair pun tercium sejak dari hulu.

Curug Jompong

Selain melihat kondisi pencemaran di sepanjang sungai, tim juga akan melihat kondisi Curug Jompong yang saat ini menjadi polemik. Pemerintah Provinsi Jabar menganggap Curug Jompong adalah biang banjir. Adapun aktivis lingkungan dan beberapa geolog mengatakan, Curug Jompong adalah penghambat membesarnya banjir Citarum. Abrar mengharapkan ekspedisi ini bisa menjadi bahan pertimbangan berbagai pihak pengelola Citarum. Ia ingin semua pihak membuka mata bahwa Citarum kini menjadi penampungan sampah raksasa, yang jika dibiarkan, akan merugikan banyak pihak.

Selain di Citarum, anggota Wanadri juga terjun di dua ekspedisi lain: Garis Depan Nusantara Wanadri-Rumah Nusantara dan Ndugu-ndugu, Papua. Ketua Pelaksana Ekspedisi Irwanto Iskandar mengatakan, tim berangkat pada 15 November, mengunjungi 28 pulau terdepan di kawasan timur Indonesia. Tim Wanadri berjumlah 13 orang dan menumpang kapal pinisi. Mereka menempuh jarak 8.800 kilometer selama empat bulan.

Menurut anggota tim Ndugu-ndugu, Iwan Bungsu, 15 anggota tim telah menggelar persiapan, seperti simulasi di Gunung Gede, Pangrango, Semeru, dan karst Citatah. Harapannya, tim berangkat sebelum akhir 2009. Hingga kini, meski izin informal sudah didapatkan dari Freeport, izin resmi belum turun karena terbentur masalah keamanan di Papua. (CHE)

7

Pangdam terima audiensi Wanadri 30-03-2010, 15:18:25

Pangdam III/Siliwangi Mayjen TNI Pramono Edhie Wibowo menerima audiensi Pengurus Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri bertempat di Ruang Bina Yudha Makodam III/Siliwangi Jl. Aceh 69 Bandung, hari Selasa (30/03).

Pengurus Wanadri yang beraudiensi dengan Pangdam III/Siliwangi dipimpin langsung oleh ketua Umum Wanandri Darmanto didampingi 9 pengurus lainnya. Sementara itu pada kesempatan tersebut Pangdam III/Siliwangi didampingi oleh Asintel Kasdam III/Siliwangi Kolonel Inf Arief Priyatno, S.Ip, M. Hum, Aster Kasdam III/Siliwangi Kolonel Inf Utoh Zaendy, Staf ahli Bidang Sosbud Kolonel Czi Nana Sudjana, Kajasdam III/Slw Letkol Inf Prasodjo BS. dan Kapendam III/Slw Letkol Inf Isa Haryanto.

Ketua Wanadri Darmanto mengungkapkan tujuan melakukan audiensi adalah untuk bersilaturahmi dengan Pangdam III/Siliwangi sekaligus meminta arahan Pangdam III/Siliwingi sehubungan dengan beberapa kegiatan yang sudah dan akan dilaksanakan Wanadri ke depan.

Kegiatan yang akan dilaksankan Wanadri tahun 2010 antara lain : Pendidikan Dasar Wanadri, Dies Natalis ke-46, Penanaman 30.000 pohon, Penjelajahan dan pendataan 92 Pulau terluar, ekspedisi pendakian 7 puncak gunung tinggi di dunia, serta ekspedisi sungai Citarum. Ketua Wanadri pada kesempatan secara khusus meminta kesediaan Pangdam III/Slw untuk memberikan pembekalan kepada calon anggota baru pada acara Pendidikan Dasar Wanadri (PDW) yang akan dilaksanakan pada awal bulan Juli 2010 mendatang.

Pangdam III/Siliwangi Mayjen TNI Pramono Edhie Wibowo menyambut baik berbagai kegiatan positif yang dilaksanakan Wanadri. Kegiatan tersebut menurut Pangdam memberikan arti dan kontribusi bagi masyarakat dan bangsa.

8

Lebih jauh Pangdam mengharapkan agar Wanadri bisa memadukan program kegiatannya dengan program-program yang dilaksanakan Kodam III/Siliwangi seperti penghijauan di sepanjang Daerah Aliran Sungai Citarum yang selama ini telah dilakukan Kodam III/Siliwangi.

Sementara itu, dalam pembinaan kader Wanadri perlu mengembangkan sikap-sikap yang tidak saja mampu menumbuhkan kecintaan terhadap alam dan kelestarian lingkungan, tetapi juga kecintaan dan kepeduliannya terhadap tanah air dan bangsa. (Pendam III/Slw)

--------------------------------------------

Tulisan Pendukung lainnya

--------------------------------------------

Nungky‐Irma Nurmala Pratikto ‐ Anggota Wanadri : W‐512‐Kaliandra  

• Perwakilan Wanadri  untuk  kegiatan  Dow  Life  Earth  Run  For Water  bekerjasama  dengan  Life Earth yang berpusat di Amerika. 

• Anggota  Steering  Committee  Tim  Ekspedisi  Citarum‐Wanadri  yang  diketuai  oleh  Bpk.  Rifai  A.Natanegara 

• Partisipan kegiatan ‘penyelamatan’ sungai, kususnya S.Citarum. 

Bagi Wanadri, Sungai adalah bagian dari alam tempat 'bermain'. Salah  satu  sungai  tempat  kami  bermain,  ber  arung  jeram  dan melakukan  berbagai  kegiatan  adalah S.Citarum.  (Citarum  Rally  diprakarsai  oleh  Wanadri,  dan pertama  kali  diadakan  pada  thn  1975). Tapi, kala  itu S.Citarum masih mengalir  ria..jeram2nya dapat diarungi dgn  ceria..debit air masih besar dan mencukupi untuk mensupply air baku dengan kualitas yang sangat baik. Konon 10 tahun terakhir ini Citarum mengalami kondisi yang semakin memprihatinkan.  Citarum  sakit,  dan  kondisinya  semakin  buruk,  dengan  debit  air  yang  semakin  tidak memadai  untuk kebutuhan  kehidupan  disepanjang   tepi  sungai  dari  hulu  sampai  hilir,  dan  kualitas  air  terus menurun dibawah standar baku mutu air layak minum.  Kondisi  Sungai  Citarum memang  sangat mengkhawatirkan.  Selain  sangat  kotor,  Citarum  pun  terkenal sebagai sungai penyebab banjir di sejumlah kawasan. Hal  ini disebabka karena rusaknya kawasan hulu Citarum dan kegiatan manusia di  sepanjang Daerah Aliran Sungai. Ulah manusia memang menjadikan sungai Citarum ini sebagai tempat sampah dan toilet terpanjang di Jawa Barat.   Saya merangkum beberapa tulisan dari beberapa penggiat di lingkungan alam terbuka , tentang masing2 kegiatan dimana saya terlibat dan berhubungan selama ini, yaitu Wanadri, Bappenas dan Live Earth yang sama‐sama  perduli  untuk menyuarakan  tentang  wacana maupun kegiatan yang  berkaitan  dengan air khususnya di sungai Citarum..  

9

Ketua Umum Dewan Pengurus XXI‐Wanadri  Bayangkanlah kehidupan tanpa air bersih…. Leher tercekik, Bumi kerontang, Tanah pun mengerang… Bayangkanlah…  Kepada Manusia, terutama seperti kita yang hidup di daerah tropis, tanyakankah, dua pertanyaan saja :  

1.      Berapa lama kita kuat bertahan tanpa minum air? 2.      Berapa lama kita nyaman bertahan tanpa mandi, karena tak ada air? 

Cobalah jauhi air, hidup tanpa air. Sepekan, dua pekan, tiga pekan….. Barulah kita akan fahami betapa berharganya air.  Ketua umum XXI Wanadri Darmanto W 735 KL  

Rifai A.Natanegara – W‐161‐Hujan Kabut. Ketua Steering Committee Ekspedisi Citarum Wanadri 

 

Senjakala Citarum 

Ketika Siulan Bencana Alam Berdialog Dengan Gemuruh Perut Kosong 

 

"To  write  history  without  putting  any  water  in  it  is  to  leave  out  a  large  part  of  the  story.  Human experience has not been so dry as that."  

Donald Worster Rivers of Empire, 1985  

 

Peranan  sungai  sebagai penjaga keberlanjutan dari kehidupan dan kesuburan  seluruh mahluk hidup yang berada di darat, selalu tercatat dalam sejarah perkembangan peradaban manusia. Sungai tak hanya berfungsi  sebagai  urat  nadi,  namun  juga  berlaku  sebagai  pemenuh  kebutuhan manusia  dan mahluk hidup  lainnya, mulai dari penyuplai air bersih, penopang makanan, obat‐obatan, serta penyedia bahan dasar dari pembangunan manusia seperti pasir, bebatuan, kayu, dan banyak lagi. 

Namun demikian, sungai juga dapat menjadi  malapetaka. Terutama ketika manusia mulai menganggap segala  kekayaan  dan  kemakmuran  yang  terdapat  di  daerah  aliran  sungai  sebagai  sesuatu  yang  dapat dieksploitasi dan diperlakukan semena‐mena. 

Arti  penting  Citarum,  Sebagai  sungai  terbesar  di  Jawa  Barat  mempunyai  peran  signifikan  dalam menunjang lebih dari 8 juta jiwa manusia yang terhampar dari daerah hulu, di daerah Gunung Wayang, Kab. Bandung,  sampai utara Karawang. Fakta  lainnya adalah, Citarum menyediakan  lebih dari 70% air minum  yang  dinikmati  oleh masyarakat  Jakarta,  beroperasinya  3  PLTA  Saguling,  Cirata  dan  Jatiluhur dengan kapasitas terpasang lebih dari 2000 MW serta menghidupi sebagian besar lahan pertanian yang terhampar di Jawa Barat. 

10

Melihat arti dan peranan yang sangat vital  tersebut,  layaklah kita bertanya, seperti apa kondisi Sungai Citarum sebenarnya, terutama di daerah hulu yang menjadi penentu kualitas daerah aliran sungai (DAS), sampai daerah hilir?  

Banyak  bukti  nyata  dari  petaka  sungai,  bisa  kita  rasakan  ketika  berkunjung  ke  daerah  hulu  Sungai Citarum pada saat musim hujan. Sebagai gambaran  jalan Kertasari yang merupakan  jalan penghubung utama  ke  hulu  Citarum  sering  tidak  bisa  dilewati  karena  adanya  banjir  lumpur  sedalam  50‐60  cm ditengah  jalan  yang  diantaranya  disebabkan  oleh  erosi  tanah  pertanian  akibat  habisnya  hutan  yang berfungsi sebagai resapan air dan penyangga struktur tanah agar tidak mudah terjadi  longsor, dan cara bertani yang kurang mematuhi kaidah pelestarian lahan. Sedimentasi yang tiap tahun makin bertambah juga menyebabkan pendangkalan diderah padat penduduk sepanjang aliran sungai yang menyebabkan banjir  rutin yang  intensitasnya makin menghawatirkan didaerah bantaran sungai dari Majalaya sampai Dayeuh kolot yang menimbulkan kenistaan buat masyarakat yang kebanjiran. Sedimentasi yang  tinggi juga menyebabkan PLTA sepanjang Citarum akan bertambah pendek umurnya dan tidak bisa beropera si sesuai  dengan  kapasitas  awal.  Limbah  domestik  dan  industri  yang  tidak  dikelola  dengan  baik  juga menambah  rusaknya  kualitas  air Citarum    yang  tentunya  suatu  saat  akan makin berpengaruh  kepada siapapun  yang  memanfaatkan  airnya.  Skandal  lingkungan  seperti  Minimata  di  Jepang,  bukan  tidak mustahil suatu saat akan menyergap penduduk cekungan Bandung. 

Persoalan  lingkungan  di  daerah  hulu  Citarum, memang  bukan  persoalan  yang  dapat  dilihat  secara parsial.  Bukti  nyata  bahwa  persoalan  ekologis  sangat  erat  kaitannya  dengan  persoalan  sosial  dan ekonomi, dapat kita saksikan  langsung di sini. Adalah  tidak mungkin bahwa  lahan   pertanian yang ada dapat menghidupi  seluruh warga  Kertasari  dengan  layak.  “Faktanya,  ada  lebih  dari  66.000  ribu  jiwa dengan luas lahan sebanyak 700 hektar. Jika semua orang, jika semua kepala keluarga berprofesi sebagai petani, berapa jumlah lahan yang dapat mereka garap hanya sekadar untuk bertahan hidup?” 

Suatu gerakan akar rumput sepertii Masyarakat Peduli Sumber Air (MPSA), yang berdiri semenjak tahun 2003,  yang  kini  anggotanya  berjumlah  ribuan  orang  di  berbagai  pelosok  Kab.  Bandung  Selatan  telah secara swadaya membuat kolam 2 resapan yang berpungsi menyimpan air.Kalau ada pihak yang tertarik silahkan  lakukan penelitian  ,ikan apa dan cara 2 pemeliharaan bagaimana yang terbaik sehingga fungsi lingkungan jalan sekaligus membantu masyarakat meningkatkan kehidupan  ekonominya. 

Pun sebenarnya masyarakat di daerah hulu Citarum bukan tidak paham terhadap pentingnya menjaga kelestarian hutan di daerah mereka  sendiri. Mereka  sadar betul, bahwa  sebagai  sungai  terpanjang di Jawa Barat, Citarum menjadi sandaran hidup bagi jutaan orang. Dari mulai untuk memenuhi kebutuhan air bersih, listrik, sampai produksi pangan. Mereka sadar betul, bahwa jika tak ada perubahan drastis dan terencana dalam pengelolaan Citarum maka berbagai bencana akan  terjadi semakin sering, dan dalam skala yang semakin besar. 

Menurut  tokoh  tokoh    lingkungan setempat   persoalan warga daerah hulu Citarum sebenarnya sangat klasik dan sederhana, yakni “Bencana lingkungan Vs Perut”.  

“Kami menyadari bahwa menjaga  lingkungan, menjaga keberadaan hutan, adalah penting. Namun mau bicara apa ketika perut kami kosong?”  

Namun demikian,  tokoh  tokoh akar  rumput menyadari betul pentingnya menjaga kelestarian hutan di daerah  hulu  Citarum,  oleh  sebab  itu mereka  giat melakukan  penyadaran  ke masyarakat,  bahwa  arti penting air bukanlah untuk siapa‐siapa, namun untuk mereka sendiri, untuk anak‐cucu mereka. Mereka sendiri juga sudah dan akan merasakan dampak dari segala perilaku yang mereka perbuat.  

Diakui  oleh  mereka  bahwa  kesadaran  masyarakat  untuk  menjaga  sumber‐sumber  air  yang  banyak tersebar di  beberapa  titik hulu Citarum, di  antaranya:  Kertasari,  Pacet,  Ibun, dan Cikancung, menjadi berkurang  setelah  adanya  pipanisasi  yang  dilakukan  oleh  pemerintah  semenjak  tahun  1982.  “Akibat pipanisasi  tersebut,  banyak  selokan  dan  lahan  penyangga  yang  hilang  karena  hubungan masyarakat 

11

dengan  sumber‐sumber  air  tersebut  terputus.  Kini  sebagian  besar masyarakat  hanya  tahu  bahwa  air yang mereka  gunakan  bersumber  dari  pipa  air. Walaupun mereka  tahu  bahwa  hutan  sangat  penting sebagai penjamin sumber air, mereka tak peduli lagi atas keberadaannya.”  

“Padahal, dulu penduduk  lokal yang secara  turun  temurun  telah berprofesi sebagai petani,  tak pernah mengganggu  lahan  penyangga,  mereka  telah  memetak‐metak  lahan  pertanian  sedemikian  rupa, sehingga tak mengganggu hutan yang ada di atas, karena ada kesadaran.” Imbuh mereka lagi. 

 Pemerintah pun sebenarnya tak tinggal diam, semenjak beberapa dekade yang  lalu, tak terhitung  lagi program yang direncanakan oleh pemerintah terhadap perbaikan kualitas hulu Citarum yang fungsinya teramat  penting  bagi  banyak  orang. Dari mulai  pengerukan  dasar  sungai Daerah  Aliran  Sungai  (DAS) Citarum,  sampai program penanaman daerah hulu  yang menghabiskan dana  yang  tak  sedikit. Namun rupanya hal  ini  sama  sekali  tak mengundang  simpati warga. Dimasa  lampau    “Kami  tak pernah diajak berunding,apalagi diajak duduk bersama untuk menentukan program dan kebijakan apa yang kira‐kira dapat berjalan dengan baik. Akhirnya semua jalan masing‐masing.” 

 Padahal, masalah  reboisasi  pun  sebenarnya  tak  sesederhana  seperti  yang  dibayangkan. Masalahnya memang  sederhana,  namun  karena  selama  ini  pemecahan  yang  ditawarkan  hanya  bersifat  parsial, seringkali kita melihatnya  jadi  rumit. Menurut para penggiat  lingkungan  tempatan, pengelolaan hutan yang paling baik adalah yang melibatkan masyarakat sekitar, lalu langkah selanjutnya adalah, pemerintah atau  lembaga  swadaya  masyarakat  (LSM)  yang  punya  keahlian  di  bidang  yang  spesifik  dapat mendampingi  warga  dalam menekuni  profesi  tertentu,  hingga masyarakat  dapat  terus  hidup  tanpa merusak hutan. 

Kec.  Kertasari,  sebagai  hulu  Citarum  sebenarnya  mempunyai  beberapa  potensi  lokal  yang  dapat dikembangkan untuk dapat meningkatkan  kualitas hidup masyarakat  tanpa merusak  lingkungan alam. Kec. Kertasari saat ini masih mendatangkan dari luar pupuk kotoran ayam  sebanyak 40 truk perhari. Dan tentunya  banyak  sekali  pemakaian  pupuk  anorganik,insektisida  ,  fungisida  dll  yang merupakan  bahan yang  tidak  ramah  lingkungan  sedangkan mereka memiliki 8000 ekor  sapi, yang kotorannya berpotensi dijadikan  pupuk  organik  namun  sampai  saat  ini  masih  dianggap  sebagai  sampah.  Sebagian  besar masyarakat  bahkan  hanya  memperlakukan  kotoran  sapi  dengan  cara  membuangnya,  atau menyemprotnya dengan air untukselanjutnya mengalir ria keanak anak sungai Citarum. 

Sebenarnya  beberapa  waktu  yang  lalu  pernah  ada  program  sosialisasi  pemerintah  mengenai pemanfaatan  kotoran  sapi menjadi  biogas.  Namun    program  tersebut  hanya  berjalan  sebentar  dan tersendat  sendat.  Pemerintah  hanya  berinvestasi  di  pengadaan  infrastrukturnya  saja,  tidak  di masyarakatnya. Tidak ada seorangpun warga diplot menjadi teknisi. “Sekarang yang tersisa dari program tersebut  hanya  tinggal  beberapai  reaktor  biogas  bahkan  ada  beberapa  yang  sudah  dibuat  tanpa sekalipun pernah berfungsi.  

Kegagalan  program  tersebut  sebenarnya  sudah  dapat  diprediksi  dari  awal.  Penyebabnya,lagi  lagi masyarakat selalu dijadikan objek. Selama  ini pemerintah selalu merasa dirinya sebagai solusi terhadap segala  permasalahan  yang  dihadapi  oleh masyarakat. Namun  pemerintah  selalu menganggap  rendah kemampuan masyarakat dalam memetakan persoalan dan menelurkan ide‐ide yang dapat menjadi solusi yang  mereka  hadapi  sehari‐hari,  yang  terjadi  adalah  sebaliknya,  masyarakat  kini  menganggap pemerintahlah biang segala masalah yang dihadapi masyarakat.  

Berdasarkan percakapan  singkat,  terlalu  singkat untuk dapat memahami duduk permasalahan  secara jernih, dapatlah kita simpulkan bahwa kegagalan dari berbagai program menyangkut perbaikan kondisi daerah  hulu  sungai  Citarum,  sebagian  besar  adalah  karena  tidak  adanya  dialog  yang  sehat  antara masyarakat dengan pihak pemerintah. Kebijakan‐kebijakan pemerintah yang biasanya hanya solusi yang bersifat  jangka  pendek,  pragmatis,  parsial,  tidak  partisipatoris,  dan  oleh  karenanya  tidak  transparan, dituding masyarakat sebagai penyebab utama dari terjadinya degradasi lingkungan yang semakin parah. 

12

Masyarakat  sebenarnya  hanya  ingin  diajak  duduk  bersama  dalam  memetakan  masalah,  serta merumuskan  solusinya  bersama‐sama. Namun  hal  tersebut  dapat  berjalan  dengan  baik  ketika  semua pihak  terkait  melepaskan  “topeng”nya  masing‐masing  dan  mengenyampingkan  berbagai  motivasi, agenda  tersembunyi  dari  kepentingan  pribadi  dan  golongan  tertentu,  demi  kepentingan  dalam memperbaiki kualitas hidup bersama. 

Sungai  sehat  adalah  jaringan  yang  sangat  kompleks  dari  sistem‐sistem  alam. Air  bukan  hanya  berarti sumber kehidupan, namun juga sumber dari  ilmu pengetahuan yang  luas. Leluhur kita dulu sebenarnya berusaha untuk mengingatkan kita akan arti pentingnya air bagi peradaban manusia, dari hal yang paling sederhana,  melalui  penamaan  daerah  yang  mayoritas  diawali  dengan  “Ci”  atau  air,  sampai  tahap pengembangan mitologi seperti daerah pembagian hutan larangan, hutan garapan, dan lain sebagainya, yang kini cenderung dianggap klenis atau primitif oleh masyarakat modern.  

Segala pertanyaan muncul dengan  jawaban. Permasalahan adalah  ladang untuk terus membangun dan memperbaiki  diri.  Pertanyaan  kemudian  adalah,  apakah  dengan  segala  orientasi  pembangunan  yang cenderung mengintervensi, merekayasa dan mengeksploitasi sungai seperti yang kita lakukan selama ini, maka kualitas kehidupan di masa depan kita akan  semakin baik, atau dengan  segenap kesadaran kita berjalan menuju kehancuran? •  

 ================================= 

 MENGAPA HARUS MENYELAMATKAN CITARUM? 

UPAYA MENYELURUH DAN TERINTEGRASI UNTUK MENYELAMATKAN SEBUAH SUNGAI VITAL   

by  M. Donny Azdan, PhD Direktur Pengairan dan Irigasi  

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) 

*Anggota Steering Committee Ekspedisi S.Citarum‐Wanadri*   “When the well's dry, we know the worth of water.”         ‐ Benjamin Franklin (1706‐1790), Poor Richard's Almanac, 1746‐   Mengamati keberadaannya barangkali di Indonesia banyak orang masih menyamakan air dengan  udara atau matahari. Seakan‐akan semuanya tersedia tanpa batas. Sumber alam ini dinilai masih kalah prioritas ketimbang  minyak  atau  barang  tambang  lainnya.  Namun  disadari  bahwa  kebutuhan  air  bersih sesungguhnya sangat krusial bagi manusia.   Setiap  orang membutuhkan  setidaknya  50  liter  air  setiap  harinya  untuk minum, memasak, mencuci, sanitasi, dan untuk mengairi pertanian dan perkebunan mereka. Data World Health Organization (WHO) menyebutkan penyakit yang disebabkan oleh kekurangan air bersih seperti diare, membunuh dua  juta orang  setiap  tahunnya. Majalah The Economist pada  Juli 2003 menurunkan  tulisan bahwa, 60 persen penyakit di dunia disebabkan oleh kondisi kekurangan air bersih. The World Water Council pada 2006 sampai pada kesimpulan bahwa, setiap harinya diperkirakan 3.900 anak usia dibawah 5 tahun meninggal dunia karena penyakit terkait kondisi air. Inilah mengapa air sangat penting untuk setiap mahkluk hidup, tanpa harus menyebutkan  lebih dari 60% tubuh manusia terdiri dari air.      

13

Mengapa Citarum Dari sisi sejarah, Citarum amat penting. Pada abad ke‐5, di tepi sungai Citarum ini menjadi pusat kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Hindu  tertua di  Jawa Barat. Sungai  ini  juga memainkan peran penting hingga beberapa masa,  ia menjadi batas wilayah  Kerajaan Galuh dan  Kerajaan  Sunda  (pergantian nama dari Kejaraan Tarumanegara pada 670 Masehi) hingga menjadi batas  administrasi Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten pada abad ke‐15.   Citarum berasal dari dua kata, Ci dan Tarum. ‘Ci’ atau dalam bahasa Sunda ‘Cai’, artinya air. Sedangkan ‘Tarum’ merupakan sejenis tanaman yang menghasilkan warna ungu atau nila. Hulunya berada di daerah Gunung Wayang sebelah selatan kota Bandung, dan mengalir menuju ke utara bermuara di Barat Laut Bekasi.   Mari  kita  tengok  fakta  bagaimana  peranan  sungai  Citarum  dewasa  ini.  Dengan  panjang  sekitar  225 kilometer,  Citarum merupakan   sungai  terbesar  dan  terpanjang  di  Jawa  Barat.  Total  area  sepanjang Daerah  Aliran  Sungai  Citarum mencapai  12  ribu  kilometer  persegi.  Populasi  penduduk   di  sepanjang sungai sebanyak 10 juta (50 persen diantaranya adalah kaum urban). Manfaat Citarum dirasakan  25 Juta penduduk  (15  Juta  Jawa  Barat  dan  10  Juta DKI  Jakarta).  Citarum menghasilkan  tenaga  listrik  sebesar 1.400 megawatt. Ia mengairi areal irigasi seluas 420 ribu hektar. Citarum juga mensuplai air baku untuk 80 persen penduduk Jakarta dengan debit air 16 meter kubik perdetik.   Sungai vital dengan peran penting. Ratusan  ribu hektar sawah dan kebun, sumber air minum  ibu kota Jakarta dan kota Bandung, sumber pembangkit tenaga listrik dari tiga bendungan, sungguh puluhan juta orang bergantung kepadanya. Namun kondisi terkini sungai Citarum ini sungguh menyedihkan.   Sorotan  media  baik  dalam  maupun  luar  negeri  sungguh  menohok.  Beberapa  edisi  surat  kabar internasional,  menyebutkan  Citarum  sebagai  “Sungai  Terkotor  di  Dunia”.  Seperti  yang  dimuat  di International Herald Tribune edisi 5 Desember 2008 dengan  judul “Citarum, The World Dirtiest River” dan  The  Sun  edisi  4  Desember  2009  dengan  judul  “The  Dirtiest  River”.  Surat  kabar  dalam  negeri terkemuka seperti Kompas menulis “Citarum Sungai Limbah” pada edisi 25 November 2009. Sedangkan The  Jakarta Post edisi 12 November 2009 mengangkat Citarum  sebagai,  “Key River Suffers Upstream, Downstream Pollution”. Semuanya dengan foto kondisi terkini Citarum yang amat menyedihkan.    Kondisi Sungai Citarum  cukup mengkhawatirkan. Selain  sangat kotor, Citarum pun  terkenal  sebagai sungai penyebab banjir di sejumlah kawasan. Hal itu disebabkan beberapa hal, diantaranya rusaknya kawasan  hulu  Citarum  dan  kegiatan  manusia  di  sepanjang  Daerah  Aliran  Sungai.  Ulah  manusia memang menjadikan sungai Citarum ini sebagai tempat sampah dan toilet terpanjang di Jawa Barat.   Bukan hanya perilaku membuang sampah dan kotoran saja, itu baru satu problema besar. Kasus Citarum jauh  lebih pelik. Beberapa contoh problem besar  lainnya adalah: erosi dan  lahan kritis di wilayah hulu seperti  yang  terlihat  di Gunung Wayang,  akibat  berkurangnya  areal  hutan  lindung,  hulu  yang  gundul akibat  penebangan  dan  pergantian  fungsi  lahan  kerap  menjadi  penyebab  banjir  rutin  di  beberapa wilayah.  Kemudian  adanya  pencemaran  akibat  kotoran  ternak  sapi  seperti  di  daerah Majalaya,  yang membuat sekitar 190 ton kotoran hewan berpotensi masuk ke sungai setiap hari.   Pencemaran limbah Industri, dengan jumlah pabrik cukup banyak berada di sekitar daerah aliran sungai, yang  langsung  membuang  limbahnya  secara  terang‐terangan  langsung  masuk  ke  sungai.  Warna  air langsung dapat terlihat berubah warna seketika setiap saluran pembuangan limbah pabrik mengucur ke sungai. Kasus  Ikan mabuk  terkontaminasi dan kasus warga sekitar mengalami sakit kulit sangat mudah dijumpai.   

14

 Persoalan  sampah  juga  semakin  memperparah  kondisi,  dengan  tidak  mengindahkan  tata  ruang, menjadikan wilayah pinggir  sungai menjadi kawasan padat penduduk. Kemudian  tidak adanya kontrol ketat  atas  industri perikanan,  yang banyak  terdapat di  sungai Citarum, menyebabkan  sisa pakan  ikan mencemari  sungai  dan waduk  antara  lain  di waduk  Saguling. Di  beberapa wilayah,  seperti  di  Bekasi, sanitasi  yang  sangat  buruk  ikut  memperparah,  perilaku  membuang  sampah,  mencuci  pakaian,  dan sarana buang air besar sekaligus langsung di sungai Citarum.   Menjajak  ke  daerah  hilir  pun,  kondisi  diperparah  dengan  berkurangnya  keanekaragaman  hayati, rusaknya mangrove dan berkurangnya habitat burung, monyet dan  ikan, serta persoalan abrasi pantai. Inilah  semua  sebagian  contoh problem kenapa Citarum yang vital  ini menjadi  sungai dengan air  tidak layak pakai karena   penuh kotoran dan sampah,  terkontaminasi  limbah pabrik, dan menjadi penyebab banjir terus menerus,   Sebuah Upaya Terintegrasi  Dengan  keberadaan  Citarum  yang melintasi  dan  di manfaatkan  oleh  sembilan  Kabupaten  (Bandung, Bandung Barat, Cianjur, Purwakarta, Kerawang, Bekasi, Subang, Indramayu dan Sumedang) dan tiga Kota (Bekasi, Bandung dan Cimahi),  serta perannya yang  sangat penting  sebagai penyedia air baku  ibukota menjadikannya  sebagai wilayah  sungai  strategis  nasional,  sehingga  kewenangan  pengelolaannya  juga berada  di  pemerintah  pusat.  Banyak  daerah  dan  sektor  yang  terlibat  dan  mempunyai  kepentingan dengan  sungai  ini.  Untuk  itu  maka  upaya  penanganannya  harus  melibatkan  semua  pemangku kepentingan dari berbagai sector dan daerah yang terlibat secara terintegrasi.   Semuanya harus  terintegrasi dan  terkoordinasi. Adalah mustahil dalam membersihkan sungai hanya di wilayah hilir saja tanpa membenahi wilayah hulu, atau komitmen satu kementerian/departemen tanpa kerjasama  serupa  dari  kementerian/departemen  lainnya,  juga  tidak  mungkin  suatu  kabupaten mendukung  visi  ini  tanpa  ada dukungan  kongkrit  serupa dari  kabupaten disebelahnya. Upaya  ini  juga tidak akan berhasil tanpa adanya partisipasi masyarakat, kalangan LSM dan kalangan bisnis/swasta.   Sejak  beberapa  tahun  lalu,  sejumlah  instansi  pemerintah  dan  lembaga  swadaya  masyarakat berpartisipasi dalam serangkaian dialog yang pada akhirnya dapat menghasilkan Citarum Roadmap, yaitu suatu  rancangan  strategis berisi hasil  identifikasi program‐program utama untuk meningkatkan  sistem pengelolaan sumber daya air dan memperbaiki kondisi di sepanjang aliran Citarum.   Hingga  kini  telah  teridentifikasi  sebanyak  80  jenis  program  dengan  perkiraan  kebutuhan  pembiayaan mencapai  Rp.  35  triliun  (pada  tahun  2007)  yang  berasal  dari  berbagai  sumber  pembiayaan,  baik  itu anggaran  pemerintah,  kontribusi  pihak  swasta  maupun  masyarakat,  juga  bantuan  dari  lembaga keuangan internasional yang dilaksanakan secara bertahap dalam waktu 15 tahun ke depan.   Citarum Roadmap menggunakan pendekatan komprehensif, multi‐sektor dan terpadu untuk memahami dan memecahkan masalah  kompleks  seputar  air  dan  lahan  di  sepanjang  aliran  Citarum. Pelaksanaan program  ini  dilakukan  melalui  koordinasi  dan  konsultasi  antar  para  pemangku  kepentingan,  serta mengutamakan partisipasi masyarakat dalam menentukan prioritas, rancangan hingga pelaksanaan.  Koordinasi  Program  dilakukan  oleh  Bappenas,  sedangkan  lembaga  pelaksana  kegiatan  dikordinasikan oleh Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum melalui Balai Besar Wilayah Sungai Citarum, dengan  melibatkan  berbagai  Departemen  dan  Kementerian  terkait  baik  di  tingkat  Provinsi  maupun Kabupaten/Kota melalui Dinas‐Dinas terkait.  

15

Adapun tahap pertama Citarum Roadmap terdiri dari sembilan kegiatan antara lain: Rehabilitasi Daerah Aliran  Sungai  Citarum,  Peningkatan  pengelolaan  lahan  dan  air,  Pengelolaan  air  dan  sanitasi  berbasis masyarakat, Rencana aksi peningkatan kualitas air, Perlindungan lingkungan dan keanekaragaman hayati di hulu  sungai, Penataan  ruang, Pengelolaan banjir di kawasan hulu, Desain untuk peningkatan  sistem penyediaan air bersih Kota Bandung, dan Strategi adaptasi terhadap perubahan iklim.  Inisiatif Komunitas, Ekspedisi WANADRI Inisiatif tidak datang dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah saja. Saat ini sudah banyak kegiatan dilakukan oleh Komunitas warga dan Lembaga Swadaya Masyarakat di beberapa daerah dari hulu hingga hilir Citarum. Aksi kepedulian perusahaan swasta yang beroperasi di sepanjang wilayah sungai Citarum juga ikut andil dengan beberapa program corporate social responsibility (CSR) mereka.   Salah satu contoh nyata aksi kepedulian akan Citarum dapat disimak dari Ekspedisi Citarum yang digelar Wanadri. Wanadri  adalah  sebuah organisasi pecinta  lingkungan nasional  yang  telah memiliki  reputasi panjang  di  negeri  ini.  Sejumlah  alumni  senior Wanadri memiliki  ikatan  batin  dengan  sungai  Citarum, karena pada tahun 1975, mereka pernah menggelar ekspedisi serupa di Citarum dengan kondisi sungai yang jauh lebih jernih. Melihat kondisi kritis Citarum dewasa ini, mereka tergerak untuk berbuat sesuatu.   Dalam ekspedisi 2009‐2010 yang saat ini sedang berjalan, Wanadri mencoba mengarungi sungai Citarum untuk mendokumentasikan  titik‐titik permasalahan, baik data  visual dan data Geographic  Information System  (GIS),  juga  kajian  permasalahan  sekitar  daerah  aliran  sungai  secara  sosiologis.  Salah  satu masukan  berharga  dari  Wanadri  kepada  pemerintah,  adalah  pembagian  sungai  Citarum  kedalam  6 segmen sesuai dengan letak wilayah, problem spesifik dan karakteristiknya.  Pada daerah Citarum hulu, Segmen 1 meliputi Gunung Wayang hingga  Jembatan Majalaya. Segmen 2 meiiputi Jembatan Majalaya hingga Jembatan Dayeuh Kolot. Segmen 3 meliputi Jembatan Dayeuh Kolot hingga Ujung Saguling. Pada daerah Citarum tengah, Segmen 4 meliputi tiga bendungan Saguling, Cirata, Jatiluhur.  Segmen  5 meliputi  saluran  pengairan  irigasi  Jatiluhur‐Kerawang.    Dan  pada  Citarum  Hilir, segmen 6 meliputi daerah muara Citarum dan sekitarnya. Pembagian segmentasi sungai Citarum ini, kini menjadi salah satu acuan utama dalam implementasi program terintegrasi pemerintah.              Mencapai impian Bersama, Citarum yang Bersih  Dengan komitmen bersama, Sungai Han di Korea Selatan dapat dibersihkan dan menjadi salah satu icon kebanggaan  negeri  itu.  Sungai  Citarum  dulunya  kaya  akan  ikan.  Selama  berabad‐abad  ratusan  ribu penduduk minum air yang  jernih. Anak‐anak bermain di sungai. Laki‐laki menangkap  ikan. Kini sepatu, popok bayi dan botol plastik mengapung di  air. Nelayan  yang dulu mencari  ikan,  kini mengumpulkan sampah. Satu kilogram plastik menghasilkan hampir 10 sen euro.   Kelok  sungai  citarum melewati  desa‐desa  kecil,  Di  sini  sawah‐sawah  diairi  air  tercemar,  dan  hampir semua air permukaan ibukota berasal dari sungai Citarum. Erosi membuat sungai lebih cepat mengering dan  sampah  tidak  bisa mengalir.  Terutama  di musim  kemarau  sungai mengeluarkan  bau menyengat. Kadang‐kadang bisa membuat penduduk di sekitarnya jatuh pingsan.  Sungai  Thames  di  Inggris  juga  pernah  mengeluarkan  bau  semenyengat  itu,  sehingga  parlemen mempertimbangkan memindahkan gedung pemerintah serta Big Ben dari pusat London. Namun, pada kondisi sekarang  ikan‐ikan kembali berenang di sungai  tersebut. Penduduk sekitar sungai Citarum  juga harus bisa bermimpi suatu saat anak‐anak mereka bisa kembali berenang di dalam air secara aman.  

16

Namun,  ibarat  sebuah  pertunjukan  orkestra,  adanya  seorang  dirigen  yang mumpuni  atau  beberapa pemain biola ulung  saja  tidaklah  cukup. Diperlukan  keterpaduan  kerjasama dan  keselarasan harmoni, tanpa  itu  hanya  akan menghasilkan  nada  sumbang  yang  tidak  sinkron.    Demikian  pula  dalam  upaya mewujudkan cita‐cita akan Citarum yang bersih. Kerjasama dan koordinasi berbagai sektor dalam semua lini adalah kunci segalanya.   

=================================  Rinny Noor – Event Director Live Earth  Building on  the  success of  the 2007  concerts which took place over  the  course of 24 hours, on  seven continents, featuring 150 artists to raise awareness for the  issues and solutions associated ” Live Earth announces  a global  initiative  for  2010  addressing  a  significant  environmental  issues,  the  global water crisis. This year, Live Earth and Dow have partnered together on the Dow Live Earth Run  for Water, a global event aimed at raising awareness and funds to help solve the global water crisis.  In Indonesia, the Dow Live Earth Run for Water will be held on April 18, 2010 at Garuda Wisnu Kencana Cultural  Park  in  Bali.  The  Dow  Live  Earth  Run  for Water, a  series  of  6  km  runs/walks  (the  average distance many women and children walk everyday to secure water), is also featuring concerts and water education activities to raise money to help solve the water crisis.  “Through the Dow Live Earth Run for Water event, people around the world are expected to be aware of  the  threat of  local and global water crisis. For  the  first  time, Indonesia will participate  in  the global event that  is simultaneously performed  in more than 40 countries around the world,” said Rinny Noor, Live Earth’s license holder for Indonesia.  Live Earth also partnered with WANADRI to continuously arouse the awareness that every individual has a primary role in providing water crisis problem solution starts from the simplest effort of saving water in the household to the effort that requires multi‐stakeholders coalition to converse water resources.   Tentang Krisis Air Sedunia Walaupun 70 persen bumi ini diselimuti oleh air, hanya 2,5 persennya sajalah yang layak diminum untuk lebih dari tujuh milyar individu. Langkanya air kini menjadi masalah di beberapa negara, komunitas, dan keluarga  di  seluruh  dunia. Angka  kematian  di Afrika, Amerika  Latin  dan Asia mencapai  1,8  juta  yang disebabkan  oleh  diare  setiap  tahunnya.  Sementara,  terhitung  5.000  anak‐anak  wafat  setiap  harinya karena  kurangnya  sarana  dan  prasarana  air.  Di  daerah‐daerah  ini,  para wanita  dan  anak‐anak  harus berjalan sejauh 6 km setiap harinya untuk mendapatkan air – yang kurang layak untuk diminum. Di negara‐negara berkembang, air keruh menyebabkan 80 persen dari segala penyakit, dan membunuh masyarakat  lebih  banyak  dibandingkan  dengan  kekerasan,  termasuk  peperangan.  Anak‐anak  adalah korban yang paling menderita dari masalah ini. Dari 42.000 kematian yang terjadi setiap minggunya yang disebabkan oleh air keruh, 90 persennya adalah anak balita. Para wanita dan anak‐anak menghabiskan sekitar 40 milyar jam setahunnya untuk mendapatkan air. Itu berarti,  anak‐anak  telah  kehilang  jutaan  waktu  untuk  sekolah,  yang  berimbas  pada  kurangnya pendidikan, dan tentu saja, mengabadikan kemiskinan. Namun, krisis air bukan saja terjadi di negara berkembang. Di beberapa daerah di seluruh dunia, seperti bagian barat Amerika Serikat dan Australia,  langkanya air membuat air dijatahkan, dan meningkatkan 

17

biaya. Sementara, 60 persen kota‐kota Eropa dengan populasi  lebih dari 100.000  individu, air di bawah tanah digunakan lebih cepat daripada pengisiannya. Perubahan  iklim  telah memberi dampak pada persediaan air, dan hal  ini akan  semakin memperburuk masalah di kemudian hari. Seiring dengan perubahan  iklim dan memanasnya  temperatur air  laut, pola curah hujan akan menjadi semakin musiman dan berubah, baik secara lokasi maupun volume. Beberapa daerah yang biasanya mendapatkan musim hujan yang dapat diprediksi akan melihat bahwa pola hujan bergeser ke daerah  lain yang mengubah aliran sungai dan waduk, bahkan mengubah pengisian kembali air  tanah.  Beberapa  daerah  di  dunia  akan  mengalami  curah  hujan  dalam  bentuk  salju,  yang mengakibatkan  air  sungai meluap  dan  banjir  ketika musim  semi,  dan  pada  akhirnya, menekan  angka persediaan  air  dan  menambah  krisis  air  pada  musim  panas.  Di  Amerika  Serikat,  di  bagian  barat Mississippi,  beberapa  daerah  besar  telah  mengalami  krisis  air  yang  sangat  genting  diakibatkan kekeringan yang berkepanjangan: daerah‐daerah ini diprediksi akan tetap kering. Di samping berubahnya persediaan  air,  perubahan  iklim  juga  berdampak  pada  kualitas  air  yang menyebabkan  ekosistem  air menjadi  musnah  atau  berubah,  serta  mempengaruhi  polusi  yang  diperkuat  oleh  banjir  dan  siklus kekeringan. Krisis  air  dapat  diatasi  dengan meningkatkan  kesadaran, membuat  konservasi  air,  dan memberikan investasi yang memadai, berkala dan dapat direplikasikan kepada proyek‐proyek air. Statistik: 

• Tujuh puluh persen dari Bumi diselimuti oleh air: 97,5 persennya adalah air asin. Hal  ini hanya meninggalkan  2,5  persen  –  sebagian  besar  darinya  telah  terpolusi  dan  berbahaya  –  untuk digunakan oleh hampir tujuh milyar individu. 

• Di tahun 2025, dua per tiga populasi bumi dapat menderita krisis air. • Saat  ini,  hampir  satu milyar  individu  (satu  dari  delapan  orang)  tidak memiliki  akses  untuk  air 

bersih yang aman dikonsumsi. • 1,8 milyar  individu  mati  setiap  tahunnya  dikarenakan  diare  yang  sangat  terkait  dengan  air. 

Sembilan puluh persennya adalah anak balita. • 443  juta sekolah kehilangan  jam pelajarannya karena adanya diare yang sangat  terkait dengan 

air. • Lima puluh persen masalah kekurangan gizi diakibatkan oleh diare yang sangat  terkait dengan 

air. 

18

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

E

E

E

EE

EE

EE

E

E

EE

E

E

E

E

EE

EE E E

E E

E

E

EE

E

E EE

EE

EE

E

E

E

E

E

E E E

E

EE

E

EE

E

EE E E

E

E

EE E

E

EE

E

E

EE

E

E

E

E

E

E

E

E

EE

E

EEE

EE

EE

E

E

E

E

EE

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

EEEEEEE

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

EE

EE

EE

E EE E

E

E

EE

EE

E

E

E

EEE

E

E

E

E

E

E

E

EE

E

E

E

E

E

E

E

E

EEE

E

EE

E

E

E

E

E

E

EE

E

EE

E

EE

E

E

E

E E

E E

E

E

E

EE E

E

EE

E

EE

E

E E

EE

E

E

E

E

E

E

E

EE

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

EE

EE

E

EE

EE

E

E

EE

EE E

E E E

E E

E E

EE

EE

EE

E

E

EE

E

EE

E

EEE

E EEE

EE E

EE E

EE

EE

E

E

EE

E EE

EE

E E E E

E E

E

E

BANDUNG

CIANJUR

SUBANG

BEKASI

KARAWANG

BOGOR

GARUT

PURWAKARTA

SUMEDANG

SUKABUMI

INDRAMAYU

KOTA BEKASI

KOTA BANDUNG

KOTA CIMAHI

Sawo

Wadas

Cariu

GARUT

Leles

Tambun

Ciasem

Ciater

Cimahi

BEKASI

SUBANG

Nagrek

Cibuni

Babakan

Kedaung

Cibuaya

Ciredak

Jonggol

Cisalak

Cipanas

Lembang

Cililin

Cibeber

BANDUNG

CIANJUR

Ciparai

Santosa

Cianjur

Soreang

Ciwidey

Campaka

Ciragil

Cibarusa

Majangan

Batujaya

CikarangCilamaya

SukataniPabuaranCikampek

Kalijati

Wanayasa

Cimalaka

KARAWANG

SUMEDANG

Majalaya

Marujung

Banjaran

Cilincing

Sumurgede

Rawamerta

Srengseng

Sukamandi

Cileungsi

Pangkalan

Naggerang

Ciranjang

Batujajar

Pagelaran

Cicalengka

Bojongkole

Padalarang

PURWAKARTA

Celengsing

Gununghalu

Sukanegara

Kedupandak

Ujunggebang

Sungaibambu

Pasirkalong

Tanjungsari

Ujungberung

Pangalengan

Karangbungur

Pangandenbaru

Sangalaberang

Cikalongwetan

Cikalongkulon

Tonjongkarang

Rengasdengklok

Babakan Jampang

987

6

5

4

3

21

99

9897

9695

94

9392

9190

8988

87

86858483

8281

80

79

78

77

76

75 7473

72

71 70 69

68

6766

65

64

63

62

6160

5857

56

55

54

5352

51

504948

47

46454443

4241

4039

3837

36

35343332

31

30

2928

2726

25

2423

222120

1918

17

1615

1413121110

308307 306

305304

303

302

301

300

299

298

297

296

295

294

293

292

291290

289288

287

286285

284

282

281

280279

278277

276

275

274

273272

271270269268267266

265264263

262261260

259

258257

256255

254253252

251250249

248247246245

244243242

241240

239238

237

235

234

233232

231230

229228

227226

225224

223222221220219

218217

216

215

214

213212

211210209

208

187

186185

184183

182

181

180

179

178

177

176175 174

173

172

171

170 169168

167166

165164

163162161160

159158

157156

155154

153

152

151

150

149

148

147

146

145

144

143

142

141

140139 138 137 136 135 134

133132

131

130

129

128127

126

125

124123

122

121

120

119

118

117116

115

114113

112

111110109

108

107

105104103

102

101

100

207206

205

204

203

202

201

200

199198197

196195

194

192

191

190189

188

107°30'0"E

107°30'0"E

107°0'0"E

107°0'0"E

6°0'0"S

6°0'0"S

6°30'0"S

6°30'0"S

7°0'0"S

7°0'0"S

740000.000

740000.000

790000.000

790000.000

9220

000.

000

9220

000.

000

9270

000.

000

9270

000.

000

9320

000.

000

9320

000.

000

Legend

Citarum

Anak Citarum

DAS Citarum

Waduk Citarum

Kota Kabupaten

Sungai CitarumPer-KM

Ekspedisi Citarum Wanadri

Muara Bendera

Cisanti

0 2,500 5,000 7,500 10,000Meters

O

BANDUNG BARAT

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

WW

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

BANDUNG

CIANJUR

SUBANG

BEKASI

KARAWANG

BOGOR

GARUT

PURWAKARTA

SUMEDANG

SUKABUMI

INDRAMAYU

KOTA BEKASI

KOTA BANDUNG

Sawo

Wadas

Cariu

GARUT

Leles

Tambun

Ciasem

Brujul

Ciater

Cimahi

BEKASI

SUBANG

Nagrek

Cibuni

Babakan

Kedaung

Cibuaya

Ciredak

Jonggol

Cisalak

Cipanas

Lembang

Cililin

Cibeber

BANDUNG

CIANJUR

Ciparai

Santosa

Cianjur

Soreang

Ciwidey

Campaka

Ciragil

Cibarusa

Majangan

Batujaya

Cikarang Cilamaya

SukataniPabuaranCikampek

Kalijati

Wanayasa

Cimalaka

KARAWANG

SUMEDANG

Majalaya

Marujung

Banjaran

Cilincing

Sumurgede

Rawamerta

Srengseng

Sukamandi

Cileungsi

Pangkalan

Naggerang

Ciranjang

Batujajar

Cisurupan

Pagelaran

Cicalengka

Bojongkole

Padalarang

PURWAKARTA

Celengsing

Gununghalu

Sukanegara

Kedupandak

Ujunggebang

Sungaibambu

Kampungbaru

Pasirkalong

Tanjungsari

Ujungberung

Pangalengan

Karangbungur

Pangandenbaru

Sangalaberang

Cikalongwetan

Cikalongkulon

Tonjongkarang

Rengasdengklok

Babakan Jampang

Segmen VI

Segmen IV

Segmen I

Segmen IIISegmen II

107°30'0"E

107°30'0"E

107°0'0"E

107°0'0"E

6°0'0"S6°0'0"S

6°30'0"S6°30'0"S

7°0'0"S7°0'0"S

740000.000

740000.000

790000.000

790000.000

9220

000.

000

9220

000.

000

9270

000.

000

9270

000.

000

9320

000.

000

9320

000.

000

Legend

Segmen I ± 25.5 Km

Segmen II ± 26 Km

Segmen III ± 28 Km

Segmen IV ± 97 Km

Segmen VI ± 134 Km

Segmen V ± 243 m

Anak Citarum

DAS Citarum

Waduk Citarum

Kota Kabupaten

Sungai CitarumPer Segmen

Ekspedisi Citarum Wanadri

Muara Bendera

Cisanti

0 2,500 5,000 7,500 10,000Meters

O

Segmen V

BANDUNG BARAT

W

W

W

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

EE

E

PACET

IBUN

KERTASARI

CIPARAY

MAJALAYA

ARJASARI

PASIRWANGI

SAMARANG

PASEH

BALEENDAH

Ciparai

Majalaya

Marujung

308

307306

305

304

303

302

301

300

299

298

297

296

295

294

293

292

291

290

289288

287

286

285

284

282

281

280

279

107°45'0"E

107°45'0"E

107°40'0"E

107°40'0"E

7°5'0"S7°5'0"S

7°10'0"S7°10'0"S

795000.000

795000.000

800000.000

800000.000

805000.000

805000.000

9205

000.

000

9205

000.

000

9210

000.

000

9210

000.

000

9215

000.

000

9215

000.

000

9220

000.

000

9220

000.

000

Legend

Jalan Kabupaten

Citarum

Anak Citarum

Batas Kecamatan

DAS Citarum

Waduk Citarum

Kota Kabupaten

Sungai CitarumSegmen 1

Ekspedisi Citarum Wanadri0 625 1,250 1,875 2,500Meters

O

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

EEEEEE

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

EE

EE

E E

E E

E

E

EE

EE

E

E

E

E

EE

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

EE

E

EE

E

E

E

E

E

E

E

E

E

EE

EE

E

E

E

E

EE

EE E

EE E

E E

E E

EE

EE

E

E

E

E

E

E

E

EE

PANGKALAN

CIPATAT

CILILIN

CAMPAKA

JATILUHUR

MANIISCIKALONG KULON

GUNUNGHALU

MANDE

CIPEUNDEUY

CIPONGKOR

BOJONG

CIKALONG WETAN

BATUJAJAR

BOJONGPICUNG

CIBATU

SUKASARI

CARIU

SUKALUYU

CIAMPEL

DARANGDAN

TEGAL WARU

SUKATANI

CIRANJANG

PADALARANG

PLERED

BABAKANCIKAO

NGAMPRAH

CIBEBER

WANAYASA

KARANGTENGAH

PONDOKSALAM

CISARUA

PASAWAHAN

PURWAKARTA

SOREANG

CILAKU

SINDANGKERTA

PLERED

CIMAHI SELATAN

MARGAASIH

BOJONGMANGGU

KIARAPEDES

CIMAHI TENGAH

CAMPAKA

CIMAHI UTARA

Cimahi

Cililin

Pangkalan

Ciranjang

Batujajar

Bojongkole

Padalarang

PURWAKARTA

Cikalongwetan

240

238

237236

235

234

233232

231230

229228

227226

225224

223222221220

219218

217216

215

214

213212

211210209

208

207

206

205

204

203

202

201

200

199198

197

196195

194193

192

191

190

189

188

187

186

185

184183

182

181

180

179

178

177

176175 174

173

172

171

170 169168

167166

165

164

163162

161160159

158

157156

155154

153

152

151

150

149

148

147

146

145

144

143

142

141

140

139 138 137 136 135 134133

132

131

130

129

128

127

126

125

124

123

107°30'0"E

107°30'0"E

107°15'0"E

107°15'0"E

6°30'0"S6°30'0"S

6°45'0"S6°45'0"S

765000.000

765000.000

9245

000.

000

9245

000.

000

9270

000.

000

9270

000.

000

Legend

Citarum

Anak Citarum

Batas Kecamatan

DAS Citarum

Waduk Citarum

Kota Kabupaten

Sungai CitarumSegmen 4

Ekspedisi Citarum Wanadri0 1,000 2,000 3,000 4,000

Meters

O

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

W

E

E

E

E

E

E

EE

EE E E

E E

E

E

EE

E

E EE

E

E

EE

E

E

E

E

E

EE E

E

EE

E

EE

E

EE E E

E

E

E

E E

E

EE

E

E

EE

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

EE

E

E

E

EE

E

E

E

E

E

EE

EE

EE

E

EE

EE

E

E

E

E E

E E

E

E

E

EE E

E

EE

E

EE E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

E

EEEEEEE

E

E

PANGKALAN

KLARI

CIAMPEL

JONGGOL

PEDES

CIBUAYA

SETU

CARIU

TIRTAJAYA

BABELAN

PAKISJAYA

PEBAYURAN

MUARA GEMBONG

TELUKJAMBE

SUKAWANGI

BATUJAYA

KARAWANG

CIBITUNG

SERANG BARU

KUTAWALUYA

RAWAMERTA

SUKAKARYA

JAYAKERTA

BOJONGMANGGU

CABANGBUNGIN

SUKATANI

KLAPANUNGGAL

CIKARANG BARAT

BANTAR GEBANG

CIKARANG SELATAN

SUKASARI

CIKARANG TIMUR

CIKARANG PUSAT

CIBARUSAH

TEMBELANG

JATILUHUR

TAMBUN SELATAN

TARUMAJAYA

KARANGBAHAGIA

BABAKANCIKAO

TEMPURAN

TALAGASARI

CIKARANG UTARA

TAMBUN UTARA

CIKAMPEK

KEDUNGWARINGIN

BEKASI UTARA

RAWALUMBU

MAJALAYA

BEKASI TIMUR

SUKAMAKMUR

CILEUNGSI

MEDAN SATRIA

BEKASI SELATAN

RENGASDENGKLOK

CAMPAKA

CILINCING

CAKUNG

GUNUNG PUTRI

BEKASI BARAT

LEMAHABANG

JATIASIH

CILEUNGSI

MAJALAYA

SUKAMAKMUR

TIRTAMULYA

Cariu

Tambun

BEKASI

Babakan

Kedaung

Cibuaya

Jonggol

Cibarusa

Batujaya

Cikarang

KARAWANG

Rawamerta

Srengseng

Pangkalan

Sungaibambu

Rengasdengklok

9

7

6

5

4

3

21

99

9897

9695

94

9392

9190

8988

87

8685

8483

8281

80

79

78

77

76

75 74

7372

71 70 69

68

6766

65

64

63

62

6160

5857

56

55

54

5352

51

504948

47

46454443

42

4140

39

3837

36

35

343332

31

302827

2625

2423

222120

19

1817

16

15

141312

1110

141

140

139 138137136

134133

132

131

130

129

128127

126

125

123

122

121

120

119

118

117

116115

114113

112

111110109

108

107

105104103

102

101

100

107°15'0"E

107°15'0"E

107°0'0"E

107°0'0"E

6°0'0"S6°0'0"S

6°15'0"S6°15'0"S

6°30'0"S6°30'0"S

740000.000

740000.000

765000.000

765000.000

9295

000.

000

9295

000.

000

9320

000.

000

9320

000.

000

9345

000.

000

9345

000.

000

Legend

Citarum

Anak Citarum

Batas Kecamatan

DAS Citarum

Waduk Citarum

Kota Kabupaten

Sungai CitarumSegmen 6

Ekspedisi Citarum Wanadri

0 1,500 3,000 4,500 6,000Meters

O

Muara Bendera

2 0 1 0

EKSPEDISI CITARUM WANADRI