cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

114
HAK DALAM KEMELUT HUKUM Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Hal. 95-188 Jakarta Agustus 2013 ISSN 1978-6506 ISSN 1978-6506 Vol. 6 No. 2 Agustus 2013 Vol. 6 No. 2 Agustus 2013 Hal. 95-188 JURNAL YUDISIAL Jl. Kramat Raya 57 Jakarta Pusat Telp. 021 390 5876, Fax. 021 390 6215 PO BOX 2685 email : [email protected] Terakreditasi LIPI No. 507/Akred/P2MI-LIPI/10/2012 KARAKTERISTIK THE MOST SERIOUS CRIME MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-X/2012 Sefriani, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia PROBLEMATIKA KEBERLAKUAN DAN STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 Wisnu Aryo Dewanto, Fakultas Hukum Universitas Surabaya PERLINDUNGAN HAK MEMILIH SEBAGAI HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-X/2012 Janpatar Simamora, Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan MENUJU SISTEM PEMILU DENGAN AMBANG BATAS PARLEMEN YANG AFIRMATIF Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 Wasisto Raharjo Jati, Fakultas ISIPOL Universitas Gadjah Mada PERGESERAN WEWENANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA ATAS PENETAPAN PARPOL PESERTA PEMILU Kajian Putusan PTTUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT W. Riawan Tjandra, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta KEPEMILIKAN HAK CIPTA DALAM PERJANJIAN LISENSI Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 104 PK/PDT.SUS/2011 Hesty D. Lestari, Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Jakarta

Transcript of cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

Page 1: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

HAK DALAM KEMELUT HUKUM

Jurnal Yudisial

Vol. 6 No. 2 Hal. 95-188

JakartaAgustus 2013

ISSN 1978-6506

ISSN 1978-6506

Vol. 6 No. 2 Agustus 2013

Vol. 6 N

o. 2 Agustus 2013 H

al. 95-188J

UR

NA

L Y

UD

IS

IA

L

Jl. Kramat Raya 57 Jakarta PusatTelp. 021 390 5876, Fax. 021 390 6215 PO BOX 2685

email : [email protected]

Terakreditasi LIPI No. 507/Akred/P2MI-LIPI/10/2012

KARAKTERISTIK THE MOST SERIOUS CRIME MENURUT HUKUM

INTERNASIONAL DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-X/2012

Sefriani, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

PROBLEMATIKA KEBERLAKUAN DAN STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011Wisnu Aryo Dewanto, Fakultas Hukum Universitas Surabaya

PERLINDUNGAN HAK MEMILIH SEBAGAIHAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-X/2012Janpatar Simamora, Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan

MENUJU SISTEM PEMILU DENGAN AMBANG BATAS PARLEMEN YANG AFIRMATIF

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012Wasisto Raharjo Jati, Fakultas ISIPOL Universitas Gadjah Mada

PERGESERAN WEWENANG PERADILAN TATA USAHA NEGARAATAS PENETAPAN PARPOL PESERTA PEMILU

Kajian Putusan PTTUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKTW. Riawan Tjandra, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

KEPEMILIKAN HAK CIPTA DALAM PERJANJIAN LISENSI Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 104 PK/PDT.SUS/2011

Hesty D. Lestari, Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Jakarta

Page 2: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

I

Vol. 6 No. 2 Agustus 2013

ISSN 1978-6506

Terakreditasi LIPI No. 507/Akred/P2MI-LIPI/10/2012

Jurnal Yudisial

Vol. 6 No. 2 Hal. 95-188

Jakarta Agustus 2013

ISSN 1978-6506

HAK DALAMKEMELUT HUKUM

Page 3: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

II

DIS

CLA

IME

R

MIT

RA

BE

STA

RI Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas

sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT.

1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Pakar Filsafat Hukum dan Pidana)

2. Dr. Anton F. Susanto, S.H., M.Hum. (Pakar Metodologi Hukum dan Etika)

3. Dr. Yeni Widowati, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Pidana)

4. Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL. (Pakar Hukum Pidana, HAM, dan Gender)

5. Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H. (Pakar Sosiologi dan Filsafat Hukum)

Page 4: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

III

Jurnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini beredar pada setiap awal April, Agustus, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusan-

putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masing-masing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal.

Alamat Redaksi:Gedung Komisi Yudisial Lantai 3

Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat

Telp. 021-3906215, Fax. 021-3906215

Email: [email protected]

DIS

CLA

IME

R

Page 5: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

IV

PE

NG

AN

TARPenanggung Jawab : Ir. Andi Djalal Latief, M.S.

Redaktur : 1. Roejito, S.Sos., M.Si. (Bidang Studi Administrasi Negara dan Kebijakan Publik)

2. Dra. Titik A. Winahyu (Bidang Studi Komunikasi)

Penyunting : 1. Hermansyah, S.H., M.Hum. (Bidang Hukum Ekonomi/Bisnis)

2. Imran, S.H., M.H. (Bidang Hukum Pidana)

3. Nur Agus Susanto, S.H., M.M. (Bidang Hukum Internasional)

4. Muhammad Ilham, S.H. (Bidang Hukum Administrasi Negara)

5. Ikhsan Azhar, S.H. (Bidang Hukum Tata Negara)

Sekretariat : 1. Arnis Duwita Purnama, S.Kom.

2. Yuni Yulianita, S.S.

3. Aran Panji Jaya, S.T.

4. Eka Desmi Haryati, A. Md.

5. Andri Kurniadi, A. Md.

6. Wirawan ND. A.Md.

7. Sri Djuwati

Desain Grafis & Fotografer : 1. Dinal Fedrian, S.IP.

2. Widya Eka Putra, A.Md.

TIM

PE

NY

US

UN

Page 6: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

V

PE

NG

AN

TAR HAK DALAM KEMELUT HUKUM

Mana yang lebih dulu lahir: hak atau hukum? Pertanyaan ini mengawali salah satu isu paling fundamental dalam polemik kaum filsuf hukum. Jika hak yang lebih dulu ada, maka fungsi hukum hanyalah sekadar mengukuhkan

hak tersebut. Hak untuk hidup, misalnya, tidak memerlukan proses positivitas agar ia dapat mengikat. Hak ini sudah eksis bahkan jauh sebelum hukum positif dihadirkan untuk mengeksplisitkannya. Kendati demikian, ada saja hak-hak yang memang harus dikreasikan melalui kerja hukum positif. Artinya, hak-hak ini lahir karena dilahirkan oleh hukum. Hak kekayaan intelektual, seperti hak cipta dan paten, dapat dikategorikan dalam kelompok yang terakhir ini. Dalam komunitas masyarakat yang menjunjung tinggi semangat kolektif, tindakan seseorang untuk tidak mau berbagi hasil kreativitas pribadinya, justru dipandang sebagai tindakan tak bermoral dan anti-sosial.

Perjalanan peradaban manusia ternyata telah mengubah banyak hal. Dewasa ini makin banyak hak yang diciptakan oleh hukum tanpa penelaahan mendalam terkait landasan etis terhadapnya. Padahal, di dalam setiap hak terkandung kepentingan-kepentingan, namun sebaliknya, tidak setiap kepentingan terkandung hak di dalamnya. Dengan demikian, hak-hak yang dilahirkan oleh hukum positif harus diperiksa kembali agar kehadiran mereka tidak sampai merusak tatanan sistem hukum secara keseluruhan. Klaim-klaim kepentingan sesaat dari segelintir golongan masyarakat, tidak boleh sampai merugikan klaim-klaim hak yang diperuntukkan kepada masyarakat luas.

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara yang mendapat limpahan kewenangan untuk mengawal agar tidak terjadi banjir klaim kepentingan tanpa alas hak yang konstitusional. Produk lembaga legislatif berupa undang-undang tidak boleh lahir semata-mata akibat didorong oleh syahwat politik. Mahkamah Konstitusi dibutuhkan peranannya untuk menapis (memfilter) kepentingan-kepentingan kerdil yang dibungkus sebagai rumusan-rumusan hak yang legal.

Hampir keseluruhan dari tulisan dalam edisi jurnal kali ini mengambil objek kajian pada putusan-putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Sekalipun perilaku hakim konstitusi tidak lagi berada dalam radar pengamatan Komisi Yudisial, tetap saja putusan-putusan majelis hakim konstitusi tersebut bersinggungan dengan sistem norma hukum yang penting untuk dicermati. Melalui berbagai perspektif kajian, tulisan-tulisan ini pada hakikatnya ingin mengingatkan bahwa kehadiran peraturan perundang-undangan yang makin menggunung tidak selalu berdampak positif dalam penghormatan hak-hak konstitusional warga masyarakat. Undang-undang tersebut tidak hadir di dalam ruangan hampa, sehingga perlu ada forum---sebagaimana diharapkan melalui jurnal ini---untuk mengkritisinya. Jika tidak, akan persis terjadi kondisi seperti dinyatakan oleh Winston Churchill, “If you have ten thousand regulations you destroy all respect for the law.”

Terima kasih

TertandaPemimpin Redaksi Jurnal Yudisial

Page 7: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

VI

DA

FTA

R IS

I Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013

KARAKTERISTIK THE MOST SERIOUS CRIMEMENURUT HUKUM INTERNASIONAL DALAMPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI ...................................................... 95Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-X/2012Sefriani, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

PROBLEMATIKA KEBERLAKUAN DANSTATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL ................................. 107Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011Wisnu Aryo Dewanto, Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Surabaya

PERLINDUNGAN HAK MEMILIH SEBAGAIHAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA .............................................. 123Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-X/2012Janpatar Simamora, Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Medan

MENUJU SISTEM PEMILU DENGAN AMBANG BATAS PARLEMEN YANG AFIRMATIF ................................... 143Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012Wasisto Raharjo Jati, Fakultas ISIPOL Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

PERGESERAN WEWENANG PERADILAN TATA USAHA NEGARAATAS PENETAPAN PARPOL PESERTA PEMILU ....................................... 159Kajian Putusan PT TUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKTW. Riawan Tjandra, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta

KEPEMILIKAN HAK CIPTA DALAM PERJANJIAN LISENSI ............... 173Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 104 PK/PDT.SUS/2011Hesty D. Lestari, Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jakarta

ISSN 1978-6505

Page 8: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

VII

UDC 343.23: 341.1

Sefriani (Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

Karakteristik The Most Serious Crime Menurut Hukum Internasional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-X/2012

Jurnal Yudisial 2013 6(2), 95-106

The most serious crime adalah satu-satunya kejahatan yang bisa digunakan oleh negara yang masih ingin mempertahankan hukuman mati. Karakteristik the most serious crime dalam hukum internasional di antaranya: tindak pidana yang dilakukan merupakan perbuatan yang keji dan kejam, menggoncangkan hati nurani kemanusiaan; Adanya unsur kesengajaan, terorganisir, sistematis, dan meluas untuk menimbulkan kematian atau akibat-akibat yang sangat serius lainnya; Akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana itu sangat serius terhadap negara atau masyarakat luas. Putusan MK Nomor 15/PUU-X/2012 yang memasukkan tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang menimbulkan luka berat atau matinya orang sebagai the most serious crime tidak sesuai dengan hukum internasional. Hasil penelitian ini membuktikan tidak ada hukum internasional maupun hukum nasional yang memasukkan tindak pidana pencurian dengan kekerasan sebagai the most serious crime.

(Sefriani)

Kata kunci: the most serious crime, pencurian

dengan kekerasan, hukuman mati.

UDC 341.24

Dewanto WA (Fakultas Hukum, Universitas Surabaya, Surabaya)

Problematika Keberlakuan dan Status Hukum Perjanjian Internasional

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011

Jurnal Yudisial 2013 6(2), 107-122

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 33/PUU-IX/2011 memberikan pencerahan kepada berbagai pihak, khususnya akademisi di bidang hukum internasional dan hukum tata negara, mengenai arti dari undang-undang pengesahan perjanjian internasional di Indonesia, apakah sebagai persetujuan DPR kepada Presiden per se ataukah membuat perjanjian internasional tersebut berlaku di Indonesia. Res judicata yang disampaikan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi dengan menolak seluruh permohonan pemohon mengindikasikan bahwa undang-undang pengesahan perjanjian internasional, meskipun berbentuk undang-undang hanya merupakan bentuk persetujuan formal DPR kepada Presiden dalam kaitannya dengan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945. Lebih lanjut, undang-undang pengesahan perjanjian bukan merupakan landasan hukum bagi berlaku perjanjian internasional di Indonesia. Kemudian, perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia hanya mengikat bagi Indonesia, bukan di Indonesia

JURNAL YUDISIAL

ISSN 1978-6506..................................................................... Vol. 6 No. 2 Agustus 2013Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

Page 9: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

VIII

[baca: pengadilan]. Dengan demikian, undang-undang pengesahan perjanjian internasional bukan merupakan obyek pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.

(Wisnu Aryo Dewanto)

Kata kunci: perjanjian internasional, undang-undang pengesahan, judicial review.

UDC 342.8

Simamora J (Fakultas Hukum, Universitas HKBP Nommensen, Medan)

Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-X/2012

Jurnal Yudisial 2013 6(2), 123-142

Optimalisasi peran aktif warga negara dalam sistem demokrasi sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945. Konsep demokrasi langsung ini dipandang sebagai konsep paling ideal. Hanya saja dalam pelaksanaan di lapangan, peran aktif warga negara dalam setiap perhelatan demokrasi justru terbentur dalam sejumlah regulasi teknis. Salah satu regulasi yang menjadi penghambat adalah ketentuan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang mensyaratkan bahwa untuk dapat menggunakan hak memilih, harus terdaftar sebagai pemilih. Ketentuan ini kemudian dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) bertentangan dengan UUD 1945 melalui putusan Nomor 85/PUU-X/2012. Dalam putusannya MK memutuskan bahwa untuk dapat

menggunakan hak pilih, maka warga negara cukup hanya menunjukkan Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga di lingkungan setempat. Putusan ini patut diapresiasi dalam upaya melindungi dan menjamin hak memilih sebagai hak konstitusional sekaligus hak asasi warga negara.

(Janpatar Simamora)

Kata kunci: konstitusi, hak memilih, warga negara, demokrasi langsung.

UDC 324: 328

Jati WR (Fakultas ISIPOL, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas Parlemen yang Afirmatif

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012

Jurnal Yudisial 2013 6(2), 143-158

Tulisan ini menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012. Putusan tersebut memuat dua hal penting. Pertama, adanya penetapan ambang batas parlemen sebesar 3,5%. Ambang batas parlemen yang seharusnya menjadi sarana untuk mengefektifkan pemilu yang berkualitas justru menjadi sarana diskriminasi bagi partai politik lainnya. Penyederhanaan partai politik kemudian diartikan sebagai pembatasan kekuasaan. Suksesi kekuasaan hanya berlangsung pada partai politik lama dan tidak akan beralih pada partai politik baru. Kedua, adanya verfikasi ulang terhadap partai politik peserta pemilu. Verifikasi kemudian menjadi permasalahan lainnya yang membuat keikutsertaan partai politik baru dalam pemilu terasa kian absurd. Verifikasi dengan menyertakan ambang batas

Page 10: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

IX

pemilu merupakan syarat yang berat. Hal itu jelas akan menimbulkan rivalitas antara partai politik menjadi tidak kompetitif. Demokrasi menjadi kian kabur maknanya ketika kekuatan oligarkis sendiri masih berkuasa di parlemen. MK melihat adanya ketidakpastian maupun ketidakadilan hukum dalam substansi Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2012. Inkonsistensi regulasi pemilu yang eksperimental perlu diakhiri demi demokrasi.

(Wasisto Raharjo Jati)

Kata kunci: regulasi pemilu, verifikasi, ambang batas parlemen, demokrasi.

UDC 341.64: 324

Tjandra WR (Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta)

Pergeseran Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara Atas Penetapan Parpol Peserta Pemilu

Kajian Putusan PT TUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT

Jurnal Yudisial 2013 6(2), 159-172

Penyelesaian sengketa tata usaha negara pemilu dalam Putusan PT TUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT atas Gugatan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) menimbulkan problematik tereotis dalam teori hukum acara peradilan tata usaha negara. PKPI adalah salah satu partai baru yang didirikan oleh S yang dalam verifikasi partai politik yang dilakukan oleh KPU yang sempat dinyatakan tidak lolos sebagai peserta Pemilu 2014. Problematik secara teoretis tersebut terlihat dari konsiderasi putusan PT TUN Jakarta yang melakukan penggeseran wewenang peradilan tata usaha negara secara generik yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 jis UU No. 9 Tahun

2004 dan UU No. 51 Tahun 2009 yang membatasi secara restriktif kewenangan peradilan tata usaha negara untuk menguji legalitas Keputusan Tata Usaha Negara baik yang bersifat positif maupun fiktif-negatif menjadi tindakan faktual pejabat tata usaha negara. Di sisi lain, substansi putusan PT TUN Jakarta tersebut juga terkesan justru menguji substansi UU Pemilu sebagai peraturan dasarnya terkait limitasi waktu gugatan sengketa tata usaha negara pemilu. Tidak dipenuhinya secara maksimal standar pengujian berdasarkan kebenaran material dalam sistem peradilan tata usaha negara telah membawa putusan PT TUN Jakarta tidak mampu mewujudkan tujuan peradilan tata usaha negara secara optimal. Tujuan tersebut adalah untuk memberikan keadilan administratif secara substantif dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara berdasarkan kebenaran material.

(W. Riawan Tjandra)

Kata kunci: pemilihan umum, keputusan tata usaha negara, peradilan tata usaha negara.

UDC 347.78

Lestari HD (Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jakarta)

Kepemilikan Hak Cipta dalam Perjanjian Lisensi

Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 104 PK/PDT.SUS/2011

Jurnal Yudisial 2013 6(2), 173-188

Pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dengan imbalan berupa royalti. Pemberian lisensi tersebut dibuat dalam suatu perjanjian lisensi. Isi perjanjian lisensi tidak mengalihkan hak cipta milik pemberi lisensi

Page 11: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

X

kepada penerima lisensi. Salah satu contoh dari perjanjian lisensi di Indonesia adalah pemberian lisensi hak cipta dan merek minuman penyegar Cap Kaki Tiga dari perusahaan Singapura Wen Ken Drug Company kepada perusahaan nasional PT Sinde Budi Sentosa. Perjanjian lisensi yang dibuat tahun 1978 tersebut kemudian diakhiri secara sepihak oleh Wen Ken pada tahun 2008 dan diikuti dengan beberapa sengketa HKI antara Wen Ken dengan Sinde, salah satunya adalah sengketa hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak. Mahkamah Agung dengan Putusan No. 104 PK/PDT.SUS/2011 memberikan hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak pada Sinde selaku penerima lisensi, dan menyatakan bahwa logo tersebut merupakan ciptaan bersama antara Wen Ken, Sinde, dan BY. MA tidak mengakui Wen Ken selaku pemberi lisensi sebagai satu-satunya pemegang hak cipta atas logo tersebut. Salah satu yang menjadi dasar pertimbangan MA dalam putusannya adalah karena Wen Ken tidak memiliki bukti pendaftaran hak cipta atas logo tersebut, baik di negara asalnya Singapura maupun di negara-negara lain.

(Hesty D. Lestari)

Kata kunci: hak cipta, lisensi, pendaftaran ciptaan.

Page 12: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

XI

JURNAL YUDISIAL

ISSN 1978-6506..................................................................... Vol. 6 No. 2 Agustus 2013The Descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge

UDC 343.23: 341.1

Sefriani (Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

The Characteristics of the Most Serious Crime Based on International Law in the Constitutional Court’s Decision

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 15/PUU-X/2012 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2013 6(2), 95-106

‘The most serious crime’ is the term for a category of crime that is used by the country that still retains the death penalty. The definition of the most serious crime according to the International Laws is a heinous and cruel crime, which shook the conscience of humanity. It is intentional, organized, systematic, and widespread causing death or other serious impacts on the state or the public at large. The Constitutional Court Decision Number 15/PUU-X/2012 which categorized a violent theft which has caused serious injury or death as ‘the most serious crime’, is not in line with International Laws. This paper analyzes and resolves that there is nothing in the International Laws or National Laws classifying any violent theft into the category of ‘the most serious crime’.

(Sefriani)

Keywords: the most serious crime, violent theft, the death penalty.

UDC 341.24

Dewanto WA (Fakultas Hukum, Universitas Surabaya, Surabaya)

The Problem of Validity and Legal Status of International Treaties

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 33/PUU-IX/2011 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2013 6(2), 107-122

For the academics, particularly those in the field of International Laws and Constitutional Laws, the Constitutional Court’s Decision Number 33/PUU-IX/2011 has provided insights on what matters about the Ratification Law of International Treaties in Indonesia, whether it is the House of Representative’s approval to the President per se, or rather a means to make the treaty applicable in Indonesia. Res judicata asserted by the Constitutional Court judges rejecting the applicant’s request, indicates that the Ratification Law of International Treaties in Indonesia is only a formal approval of the House of Representatives to the President as stated in Article 11, Paragraph 1 of the 1945 Constitution the Republic of Indonesia. Additionally, the Ratification Law is not a legal basis for the enactment of the international treaty in Indonesia. The international treaties ratified by the Indonesian Government bind for Indonesian only, not in Indonesia [read: court]. Thus, the Ratification Law of International Treaties in Indonesia cannot be an object of judicial review of the Constitutional Court.

Page 13: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

XII

(Wisnu Aryo Dewanto)

Keywords: international treaty, ratification law, judicial review.

UDC 342.8

Simamora J (Fakultas Hukum, Universitas HKBP Nommensen, Medan)

The Protection of Citizen’s Constitutional Right to Vote

An Analysis of the Constitutional Court’s Decision Number 85/PUU-X/2012 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2013 6(2), 123-142

Optimized active role of citizens in every stage of democracy in accordance with the provisions of Article 1 (2) of the 1945 Constitution which places the sovereignty vested in the people and implemented in accordance with the 1945 Constitution. The concept of direct democracy is seen as the most ideal concept. It’s just in the field, the active role of citizens in a democracy every event just hit the number of technical regulations. One of the regulations that a barrier is the provision of Article 69 paragraph (1) of Law No. 32 Year 2004 on Regional Government which requires that to be able to exercise their right to vote, must be registered as a voter. This provision was later declared the Constitutional Court (MK) contrary to the 1945 Constitution through verdict No. 85/PUU-X/2012. In its decision the Court decided that in order to be able to vote, then the citizens enough to show identity cards and family cards in the local environment. This decision should be appreciated in the effort to protect and guarantee the right to vote as well as the constitutional rights of citizens rights.

(Janpatar Simamora)

Keywords: constitution, right to vote, citizen, direct democracy.

UDC 324: 328

Jati WR (Fakultas ISIPOL, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Towards the Affirmative Parliamentary Threshold Election Systems

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 52/PUU-X/2012 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2013 6(2), 143-158

This paper analyzes the Constitutional Court Decision No. 52/PUU-X/2012 which contains two important points concerning the establishment of the parliamentary threshold of 3.5% and re-verification of the political parties contesting the election. The threshold which should be a means to make an effective and qualified election instead became a means of discrimination among the political parties. Simplified model of political party is then interpreted as a means of power limitation. Power succession takes place only on the former political party and will not switch to a new political party. Verification then becomes another problem that makes the participation of new political party in the election seemed increasingly absurd. Verification that includes electoral threshold is a severe condition. This will obviously lead to rivalry between the political parties. The essence of democracy is increasingly blurry as the oligarchic power still in the Parliament. Constitutional Court sees this uncertainty and injustice in the legal substance of Article 8 of Law Number 10 of 2012. The

Page 14: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

XIII

inconsistency of the experimental regulations of election should be ended in favor of democracy.

(Wasisto Raharjo Jati)

Keywords: regulation of election, verification, parliamentary threshold, democracy.

UDC 341.64: 324

Tjandra WR (Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta)

The Shifting of Authority in the Administrative Court on the Determination of Political Parties Elections Participants

An Analysis of Jakarta Administrative Court’s Decision Number 25/G/2013/PT.TUN.JKT (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2013 6(2), 159-172

The settlement of the administrative legal dispute on general election as issued in the decision of the Administrative High Court (PT TUN) of Jakarta Number 25/G/2013/PT.TUN.JKT has resulted in a theoretical problem in terms of administrative procedural law. The legal dispute was initiated by PKPI, a newly established political party founded by former Jakarta’s Governor, Sutiyoso soon after it failed to run in the 2014 legislative race. The theoretical problem can be observed in the PT TUN’s ruling consideration which makes an authority shift in the Administrative Court generically, as regulated on Law Number 5 of 1986, Law Number 9 of 2004, and Law Number 51 of 2009 that restrictively set the authority limit of the Administrative Court to examine the legality of either positive administrative decision or fictive-negative one to become a factual action of the government official. On the other side, the

substance of the decision also seems review the substance of the Election Law as the basic rules regarding time limitations on administrative dispute lawsuit. As the review did not meet the examination standards according to the Administrative Court system, the decision could not reached the optimum objectives set forth in the due process of law. These objectives are to substantially obtain the administrative justice in settling any administrative legal dispute based on material truths.

(W. Riawan Tjandra)

Keywords: general elections, administrative decision, administrative court.

UDC 347.78

Lestari HD (Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jakarta)

Copyright Ownership in the License Agreement

An Analysis of Supreme Court’s Decision Number 104 PK/PDT.SUS/2011 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2013 6(2), 173-188

A copyright holder is entitled to license others to publish or reproduce his creations in return for a royalty. Licensing shall be made in a form of license agreement. A license agreement does not transfer the copyright that belongs to the licensor to the licensee. One example of a license agreement in Indonesia is the licensing of copyright and brand name of Minuman Penyegar Cap Kaki Tiga from Wen Ken Drug Company from Singapore, to a national company, PT Sinde Budi Sentosa in 1978. The licensing agreement was then terminated unilaterally by Wen Ken in 2008, and was followed by a series of Intellectual

Page 15: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

XIV

Property Rights disputes between Wen Ken and Sinde, one of which is the dispute on copyright of the logo. In its Decision Number 104 PK/PDT.SUS/2011, the Supreme Court of the Republic of Indonesia granted the copyright of the logo to Sinde as the licensee and stated that the logo was a joint creation between Wen Ken, Sinde, and BY. The Supreme Court did not acknowledge Wen Ken as the licensor as the sole holder of the copyright to the logo. One of the necessary ruling considerations of the Supreme Court is for the reason that Wen Ken did not posses any evidences of copyright registration for the logo in its home country, Singapore, as well as in other countries.

(Hesty D. Lestari)

Keywords: copyright, license, copyright registration.

Page 16: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

Karakteristik The Most Serious Crime Menurut Hukum Internasional (Sefriani) | 95

dengan kekerasan, hukuman mati.

AbSTRACT

‘The most serious crime’ is the term for a category of crime that is used by the country that still retains the death penalty. The definition of the most serious crime according to the International Laws is a heinous and cruel crime, which shook the conscience of humanity. It is intentional, organized, systematic, and widespread causing death or other serious impacts on the state or the public at large. The Constitutional Court Decision Number 15/PUU-X/2012 which categorized a violent theft which has caused serious injury or death as ‘the most serious crime’, is not in line with International Laws. This paper analyzes and resolves that there is nothing in the International Laws or National Laws classifying any violent theft into the category of ‘the most serious crime’.

Keywords: the most serious crime, violent theft, the death penalty.

ABSTRAK

The most serious crime adalah satu-satunya kejahatan yang bisa digunakan oleh negara yang masih ingin mempertahankan hukuman mati. Karakteristik the most serious crime dalam hukum internasional di antaranya: tindak pidana yang dilakukan merupakan perbuatan yang keji dan kejam, menggoncangkan hati nurani kemanusiaan; Adanya unsur kesengajaan, terorganisir, sistematis, dan meluas untuk menimbulkan kematian atau akibat-akibat yang sangat serius lainnya; Akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana itu sangat serius terhadap negara atau masyarakat luas. Putusan MK Nomor 15/PUU-X/2012 yang memasukkan tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang menimbulkan luka berat atau matinya orang sebagai the most serious crime tidak sesuai dengan hukum internasional. Hasil penelitian ini membuktikan tidak ada hukum internasional maupun hukum nasional yang memasukkan tindak pidana pencurian dengan kekerasan sebagai the most serious crime.

Kata kunci: the most serious crime, pencurian

KARAKTERISTIK THE MOST SERIOUS CRIMEMENURUT HUKUM INTERNASIONAL DALAM

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-X/2012

THE CHARACTERISTICS OF THE MOST SERIOUS CRIMEBASED ON INTERNATIONAL LAW

IN THE CONSTITUTIONAL COURT’S DECISION

SefrianiFakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Jl. Tamansiswa 158 YogyakartaEmail: [email protected]

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 15/PUU-X/2012

Diterima tgl 14 Maret 2013/Disetujui tgl 15 Juli 2013

Page 17: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

96 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 95 - 106

PENDAHULUANI.

Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia kembali menolak menghapuskan hukuman mati dari sistem hukum pidana Indonesia. Hal ini nampak dari putusan MK atas pemohonan judicial review terhadap Pasal 365 ayat (4) KUHP yang diajukan dua terpidana yang divonis hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Pekanbaru, RS alias H alias WA dan RF alias D.

Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun Nomor 178/Pid.B/2009/PN.TBK, tanggal 28 Januari 2010, kedua pemohon dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana Pasal 340 KUHP dan divonis hukuman mati. Di tingkat banding hukuman untuk keduanya tidak berubah meskipun Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor 71/Pid/2010/PT.R, tanggal 19 April 2010 tidak lagi menggunakan Pasal 340 yang mengatur tentang pembunuhan berencana melainkan dengan Pasal 365 ayat (4) KUHP yang menetapkan sebagai berikut:

“Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan.”

Berdasarkan putusan pengadilan tinggi tersebut, keduanya terbukti bersekutu mencuri dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian pada korbannya (Kompas, 19 Juli 2012). Kedua pemohon mendalilkan bahwa hukuman mati yang diatur dalam Pasal 365 ayat (4) KUHP melanggar hak hidup yang dijamin oleh Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pemohon mendalilkan bahwa mencuri dengan kekerasan

yang menyebabkan luka berat atau mati tidak termasuk dalam kategori the most serious crime. Oleh karena itu menurut pemohon, ancaman mati dalam Pasal 365 ayat (4) adalah inkonstitusional. Selanjutnya pemohon memohon pada MK untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 365 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sepanjang mengenai ancaman hukuman matinya adalah tidak berlaku lagi atau tidak mengikat.

Permohonan judicial review tersebut di atas ditolak oleh MK. MK berpendapat hukuman mati tidak bertentangan dengan HAM khususnya hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945. MK menyatakan bahwa hukuman mati tidak melanggar Pasal 28A juga Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 karena pasal-pasal itu harus dibaca secara sistematis. Hak asasi dalam dua pasal itu dibatasi oleh Pasal 28J UUD 1945. Sebagaimana diketahui Pasal 28J UUD 1945 berbunyi sebagai berikut:

1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Hal yang menarik dari Putusan MK Nomor 15/PUU-X/2012 dan yang menjadi obyek kajian penelitian ini adalah penggunaan the most serious crime oleh MK untuk menjustifikasi penerapan

Page 18: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

96 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 95 - 106 Karakteristik The Most Serious Crime Menurut Hukum Internasional (Sefriani) | 97

hukuman mati. Menurut MK tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang termasuk the most serious crime, karena kejahatan tersebut menimbulkan ketakutan yang luar biasa pada masyarakat, yang sama dengan ketakutan terhadap akibat dari narkoba. Oleh karena perbuatan jahatnya menimbulkan efek psikologis yang sama maka wajar manakala ancaman pidananya sama. Ancaman pidana terhadap kedua kejahatan tersebut diharapkan dapat menimbulkan efek jera dan pencegahan untuk melakukan kejahatan baik bagi terdakwa maupun bagi masyarakat.

Menurut MK permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum sehingga dalam amar putusannya MK menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.

Penggunaan the most serious crime untuk menjustifikasi penerapan hukuman mati sebagaimana yang dilakukan oleh MK dalam Putusan MK Nomor 15/PUU-X/2012 ini sesungguhnya sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 6 ICCPR yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005. Pasal 6 ayat (2) ICCPR memang membolehkan negara-negara peratifikasi yang masih menerapkan hukuman mati untuk menerapkan hukuman mati manakala terjadi the most serious crime. The most serious crime adalah satu-satunya alasan yang bisa digunakan oleh negara untuk tetap mempertahankan dan menjatuhkan putusan hukuman mati.

Permasalahan yang muncul adalah apakah tepat untuk memasukkan tindak pidana dengan kekerasan sebagai the most serious crime? Permasalahan ini tidak mudah dijawab mengingat ICCPR sendiri tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan the most serious crime.

Mengingat bahwa istilah the most serious crime yang digunakan MK itu berasal dari ICCPR maka penelitian ini akan mengkajinya dari perspektif hukum internasional.

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan paparan dalam bagian latar belakang masalah di atas bahwa the most serious crime merupakan satu-satunya jenis kejahatan yang dapat digunakan oleh negara peratifikasi ICCPR untuk tetap mempertahankan hukuman mati dan mengingat tidak jelasnya definisi mengenai apa yang dimaksud dengan the most serious crime tersebut maka kembali pada Putusan MK Nomor 15/PUU-X/2012 sebagai obyek kajian penelitian ini maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah karakteristik the most serious crime dalam hukum internasional?

2. Apakah Putusan MK Nomor 15/PUU-X/2012 yang memasukkan pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang sebagai the most serious crime sesuai dengan hukum internasional?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. Karakteristik The Most Serious Crime Dalam Hukum Internasional

Perkembangan hukum internasional menunjukkan bahwa penerapan hukuman mati semakin dibatasi (Truskett, 2004: 563). Pembatasan dimulai dari membatasi penerapan hukuman mati hanya untuk tindak pidana yang masuk kategori the most serious crime sampai pada menghapuskan sama sekali hukuman mati tanpa perkecualian (Fitzpatrick & Miller, 1993: 273). ICCPR merupakan pelopor pembatasan

Page 19: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

98 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 95 - 106

hukuman mati. Instrumen ini mengijinkan penerapan hukuman mati bagi negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati manakala terjadi the most serious crime. ICCPR tidak memberikan batasan apa yang dimaksud dengan the most serious crime. Meskipun negara memiliki diskresi untuk menafsirkan apa yang dimaksud dengan the most serious crime namun komite HAM internasional menegaskan bahwa penafsiran itu harus sejalan dengan hukum internasional. Penafsiran secara luas kriteria the most serious crime akan menggagalkan tujuan menerapkan standar universal penerapan hukuman mati yang digagas oleh pembentuk ICCPR dan akan menjadikan instrumen HAM internasional ini tidak berarti atau meaningless (U.N. Human Rights Council: 2007: 40, U.N. Doc. A/HRC/4/20).

Frasa the most serious crime tidak hanya ada dalam ICCPR tetapi dapat ditemukan dalam dokumen hukum internasional yang lain seperti optional protocol II ICCPR (Lynch, 2009: 539). Instrumen ini bertujuan memberikan penjelasan lebih lanjut tentang hukuman mati yang diatur dalam Pasal 6 ICCPR. Namun demikian ternyata, tidak berbeda dengan dokumen induknya, optional protocol ini juga tidak memberikan batasan apa yang dimaksud dengan the most serious crime. Satu-satunya pasal dalam protocol ini yang bisa memberikan sedikit bantuan untuk memahami apa yang dimaksud the most serious crime adalah Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

No reservation is admissible to the present Protocol, except for a reservation made at the time of ratification or accession that provides for the application of the death penalty in time of war pursuant to a conviction for a most serious crime of a military nature committed during wartime.

Pasal di atas menghubungkan the most serious crime yang menjadi penjustifikasian penerapan hukuman mati dengan kejahatan yang paling serius yang berkarakter militer yang dilakukan pada situasi perang (Zexian, 2005: 3).

Optional Protocol ICCPR ini merupakan perwujudan dari semangat Pasal 3 DUHAM dan Pasal 6 ICCPR yang secara implisit menghendaki penghapusan hukuman mati. Kehendak untuk menghapus hukuman mati ditegaskan pada bagian konsiderans Second Optional Protocol Second Optional. Protocol menerapkan standar yang lebih tinggi daripada Pasal 6 ICCPR. Second Optional Protocol bertujuan untuk menghapus hukuman mati secara total, tanpa pengecualian berdasarkan jenis tindak pidana yang dilakukan.

Bahkan Second Optional Protocol membatasi bahwa reservasi hanya dapat dilakukan di awal, ketika ratifikasi atau aksesi dilakukan dan dibatasi hanya untuk hukuman mati terhadap tindak pidana- tindak pidana yang sangat serius yang terkait dengan militer di masa perang. Dengan demikian, tindak pidana yang terkait dengan narkotika tidak termasuk dalam kategori yang dapat direservasi. Reservasi yang bersifat sangat terbatas ini menunjukkan trend internasional yang sangat kuat untuk menghapus hukuman mati.

Dokumen ketiga yang juga memuat frasa the most serious crime adalah General Comment No. 6 ICCPR. Paragraf 7 instrumen ini menegaskan bahwa:…… the expression “most serious crimes” must be read restrictively to mean that the death penalty should be a quite exceptional measure. Dengan demikian sesungguhnya the most serious crime menurut instrumen ini harus dimaknai secara terbatas. Berarti menurut instrumen ini hukuman mati seharusnya merupakan suatu

Page 20: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

98 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 95 - 106 Karakteristik The Most Serious Crime Menurut Hukum Internasional (Sefriani) | 99

upaya yang sangat luar biasa tidak bisa diterapkan semaunya tanpa pembatasan.

Dokumen keempat adalah the ECOSOC Safeguards the protection of those facing the death penalty in respect of the most serious crimes. Pasal 1 instrumen ini menegaskan bahwa di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, hukuman mati dapat dilakukan hanya terhadap the most serious crimes. Lebih lanjut instrumen ini menyatakan bahwa cakupannya terhadap kejahatan yang dilakukan dengan kesengajaan untuk menimbulkan kematian atau akibat-akibat yang sangat serius lainnya (extremely grave consequences).

Arti dari frasa “the most serious crimes” juga dijelaskan lebih lanjut dalam paragraf 91 Report of Special Rapporteur (E/CN.4/1997/60) komite HAM internasional tanggal 24 Desember 1996. Laporan khusus ini menyatakan bahwa: the scope of crimes subject to the death penalty should not go beyond intentional crimes with lethal or other extremely grave consequences. Dengan demikian yang dimaksud dengan the most serious crime menurut komite HAM internasional tersebut adalah tindak pidana internasional yang dilakukan dengan sengaja atau terencanakan dan menimbulkan akibat yang sangat luar biasa. Hal ini senada dengan pendapat ahli hukum HAM internasional, Philip Alston, yang dituangkan dalam laporan sidang PBB di bulan Januari tahun 2007, pada paragraf 53, yang menyatakan bahwa termasuk dalam kategori the most serious crime adalah tindak pidana-tindak pidana yang melibatkan niat untuk melakukan pembunuhan yang mematikan.

Istilah the most serious crime lebih lanjut juga ada dalam Statuta Roma 1998 tentang pembentukan Pengadilan Pidana Internasional

(ICC). Pasal 5 Statuta Roma 1998 menyatakan bahwa the most serious crime mencakup 4 jenis kejahatan yaitu war crime, genocide, crimes against humanity, dan crime of aggression.

Ada beberapa istilah lain yang sering digunakan dan dianggap memiliki arti yang serupa adalah gross violation of human rights. Keduanya dipandang sebagai ‘extraordinary crimes’ sebab apa yang dilakukan merupakan perbuatan yang keji dan kejam, dapat menggoncangkan hati nurani kemanusiaan (deeply shock the conscience of humanity) dan dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional (a threat to international peace and security) (Muladi, 2005: 11).

Adapun Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan terhadap korban perang tidak menggunakan istilah the most serious crime ataupun gross violation tetapi grave breaches of Geneva Conventions 1949. Hukuman mati diatur dalam Konvensi III dan IV Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan terhadap korban perang. Konvensi III tentang perlindungan terhadap tawanan perang menyebutkan bahwa hukuman mati dapat diterapkan terhadap tawanan perang yang ditahan oleh negara penawan (detainer power) yang melakukan grave bereaches apabila hukum nasional negara ini memang masih memberlakukan hukuman mati. Sama dengan instrumen hukum internasional lainnya instrumen ini juga tidak memberikan batasan apa yang dimaksud dengan grave breaches.

Meskipun demikian konvensi memberikan alternatif seperti pertukaran tawanan perang untuk mengurangi penerapan hukuman mati. Adapun Konvensi IV tentang perlindungan terhadap penduduk sipil melarang hukuman mati terhadap anak di bawah 18 tahun. Negara pendudukan (occupying power) tidak boleh menjatuhkan

Page 21: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

100 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 95 - 106

hukuman mati kepada penduduk sipil di negara yang mereka duduki apabila hukum nasional mereka sendiri telah menghapuskan hukuman mati.. Konvensi IV juga melarang hukuman mati kepada wanita hamil dan ibu yang masih memiliki bayi yang sangat bergantung kepadanya (dependent infant) (Schabas, 1998: 816).

Istilah grave breaches juga digunakan dalam statuta ICTY dan ICTR. Hanya saja ada sedikit perbedaan, di mana pada Statuta ICTY dan ICTR membagi dua jenis kejahatan perang yaitu kejahatan perang yang merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 (grave breaches of Geneva Conventions 1949) yang diatur dalam Pasal 2 Statuta ICTY dan pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan perang (violations of laws or customs of war) yang diatur dalam Pasal 3 Statuta ICTY (Wongkar, 2006: 19).

Penafsiran tentang the most serious crime dalam praktek antara lain pernah dilakukan oleh komite HAM internasional dalam kasus Zambia (Hum. Rts. Comm: 1995: Communication No. 390/1990 1995). Dalam kasus ini komite menyatakan bahwa penerapan hukuman mati terhadap pelaku perampokan dengan kekerasan yang menggunakan senjata api tidak sesuai dengan Pasal 6 Paragraf 2 ICCPR (Schmidt, 1997: 483). Hal ini berarti menurut komite HAM internasional perampokan dengan kekerasan tidak termasuk kategori the most serious crime.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa the most serious crime dalam hukum internasional sangatlah terbatas, mengandung karakteristik sebagai berikut:

1. Tindak pidana yang dilakukan merupakan perbuatan yang keji dan kejam, menggoncangkan hati nurani kemanusiaan

(deeply shock the conscience of humanity) dan dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional (a threat to international peace and security).

2. Adanya unsur kesengajaan, terorganisir, sistematis, dan meluas untuk menimbulkan kematian atau akibat-akibat yang sangat serius lainnya (extremely grave consequences).

3. Akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana itu sangat serius terhadap negara atau masyarakat luas seperti mengganggu ketertiban umum, melibatkan jumlah uang yang ekstra besar seperti kejahatan ekonomi, dilakukan dengan cara yang sangat buruk (crimes with extremely heinous methods) dan kejam di luar batas perikemanusiaan serta menimbulkan ancaman atau membahayakan keamanan negara.

B. Putusan MK Tidak Sesuai dengan Hukum Internasional

Dalam putusannya Nomor 15/PUU-X/2012, MK menyatakan bahwa tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan luka berat atau matinya korban sebagai the most serious crime. MK menyamakan efek yang ditimbulkan oleh tindak pidana pencurian dengan kekerasan ini dengan tindak pidana narkotika. Penyamaan ini menurut MK dikarenakan efek yang ditimbulkan semua tindak pidana itu adalah sama yaitu menimbulkan ketakutan atau efek psikologis yang luar biasa pada masyarakat, serta menimbulkan “adversarily affect the economic, cultural and political foundation of society” dan membawa “a danger of incalculable gravity” yang sama (risalah sidang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007: 426).

Page 22: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

100 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 95 - 106 Karakteristik The Most Serious Crime Menurut Hukum Internasional (Sefriani) | 101

Dalam putusan tahun 2012 MK menyatakan bahwa karena perkara permohonan penghapusan hukuman mati yang dinilai melanggar hak konstitusional pemohon sudah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 bertanggal 30 Oktober 2007, maka semua pertimbangan hukum yang digunakan MK dalam putusan 2007 tersebut berlaku mutatis mutandis terhadap putusan tahun 2012.

Dalam putusan MK tahun 2007 efek dari tindak pidana narkotika disamakan dengan tindak pidana terorisme, korupsi, juga pelanggaran HAM yang berat. Dengan demikian karena pertimbangan hukum yang digunakan putusan 2007 berlaku mutatis mutandis terhadap putusan tahun 2012 maka artinya MK juga menyamakan tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan kematian dengan tindak pidana narkotika, korupsi, terorisme dan pelanggaran HAM yang berat. Semua tindak pidana itu dikategorikan sebagai the most serious crime menurut MK.

Dalam putusan tahun 2007 MK menyebutkan bahwa parameter yang digunakan MK untuk memasukkan suatu tindak pidana sebagai the most serious crime adalah hukum internasional dan hukum nasional yang berlaku saat tindak pidana itu dilakukan. Apa yang dikemukakan MK ini adalah hasil dari rujukan MK terhadap Pasal 6 ayat (2) ICCPR yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present Covenant and to the Convention on the

Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. This penalty can only be carried out pursuant to a final judgement rendered by a competent court.

Mahkamah berpendapat bahwa frasa “tindak pidana yang paling serius” (“the most serious crimes”) dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR di atas tidaklah boleh dibaca terpisah dengan frasa berikutnya, yaitu “sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat tindak pidana itu dilakukan” (“in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime”) baik hukum nasional maupun internasional.”

MK bisa menyebutkan sumber-sumber hukum yang dimaksud dalam putusan tahun 2007 tersebut, terkait narkotika, perjanjian internasional yang dirujuk oleh MK adalah United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotrophic Substances 1988 yang telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun1997. Selanjutnya, terkait pelanggaran HAM berat, MK merujuk pada Rome Statute Of The International Criminal Court 1998 (Statuta Roma); Adapun terhadap tindak pidana korupsi,perjanjian internasional yang dijadikan rujukan adalah: United Nations Convention Againts Corruption 2003 (UNCAC) yang telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Selanjutnya untuk tindak pidana terorisme MK merujuk pada beberapa perjanjian internasional seperti:

1. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected persons, Including Diplomatic Agents 1973;

2. International Convention Againt the Taking of Hostages 1979;

Page 23: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

102 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 95 - 106

3. International Convention for the suppression of Terrorist Bombings 1997;

4. International convention for the suppression of the suppression of the financing of terrorism, 1999;

5. Convention on Offences and certain other acts committed on board aircraft, 1963;

6. Convention for the suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, 1970;

7. Convention for the suppression of unlawful acts against the safety of civil aviation, 1971;

8. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, 1980;

9. Protocol for the supression of unlawful acts of violence at airports serving International Civil Aviation supplementary the convention for the suppression of unlawful acts against the safety of civil aviation, 1971;

10. Convention for the supression of unlawful acts against the safety of Maritime Navigation, 1988;

11. Protocol for the supression of unlawful acts against the safety of fixed platforms located on the continental shelf, 1988;

12. Convention on the marking of plastic explosives for the purpose of identification, signed at monteral 1981.

Instrumen-instrumen hukum internasional tersebut memang menyebutkan tentang efek tindak pidana yang dimaksud dan mewajibkan negara untuk serius menanggulanginya. Konvensi Narkotika dan Psikotropika misalnya menyebutkan bahwa tindak pidana narkotika merupakan particulary serious crime dan hal itu dapat disamakan dengan tindak pidana korupsi,

terorisme juga pelanggaran HAM yang berat. Kesemuanya dapat dikategorikan sebagai the most serious crime menurut MK.

Apabila dalam putusan tahun 2007 MK bisa menyebutkan berbagai sumber hukum internasional yang berlaku dan mengikat Indonesia sebagai rujukan bahwa tindak pidana narkotika, terorisme, korupsi dan pelanggaran HAM yang berat merupakan the most serious crime, sebaliknya terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang menimbulkan matinya korban tidak ada satupun perjanjian internasional yang dirujuk oleh MK. Hal ini karena memang tidak ada satupun instrumen hukum internasional yang dapat dijadikan rujukan untuk memasukkan tindak pidana pencurian dengan kekerasan termasuk kategori the most serious crime atau particularly serious crime seperti empat tindak pidana lainnya. Tidak ada hukum yang sedang berlaku saat tindak pidana dilakukan baik hukum nasional maupun internasional yang mendukung bahwa tindak pidana pencurian dengan kekerasan sebagai the most serious crime.

Terlepas dari benar tidaknya penafsiran MK dalam putusan tahun 2007 yang menyamakan tindak pidana narkotika dengan tindak pidana narkotika, terorisme, korupsi, dan pelanggaran HAM yang berat dan memasukkan semua tindak pidana tersebut sebagai the most serious crime, penyamaan secara mutlak antara tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya korban di satu sisi, dengan tindak pidana narkotika, korupsi, terorisme dan pelanggaran HAM yang berat di sisi lain sesungguhnya tidak bisa dilakukan mengingat kedua kelompok tindak pidana tersebut berbeda karakteristiknya. Karakteristik the most serious crime sebagaimana telah dirinci dalam subbab sebelumnya tidak terpenuhi jika diterapkan terhadap tindak pidana

Page 24: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

102 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 95 - 106 Karakteristik The Most Serious Crime Menurut Hukum Internasional (Sefriani) | 103

pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya korban.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa dari perspektif hukum internasional tindak pidana pencurian dengan kekerasan tidak termasuk the most serious crime. Ada beberapa argumen untuk mendukung statemen ini. Pertama, tindak pidana ini memang merupakan tindakan yang keji dan kejam tetapi belum sampai pada taraf menggoncangkan hati nurani kemanusiaan (deeply shock the conscience of humanity) dan tidak mengancam perdamaian dan keamanan internasional (a threat to international peace and security). Kedua, tidak adanya unsur kesengajaan, terorganisir, sistematis, dan meluas untuk menimbulkan kematian atau akibat-akibat yang sangat serius lainnya (extremely grave consequences).

Kematian korban pada umumnya bukan tujuan utama pelaku. Luka berat atau matinya korban pada umumnya merupakan kejadian yang bersifat eksesif tidak terencana. Pada umumnya munculnya kematian akibat tindakan pencurian itu dikarenakan adanya perlawanan dari korban yang berusaha mempertahankan harta bendanya yang akan dicuri oleh pelaku. Hal ini berbeda dengan tindak pidana pembunuhan berencana yang tujuan utamanya adalah matinya korban di mana hal ini dapat dikatakan sebagai kekejaman yang luar biasa dari pelaku (Hamzah & Sumangelipu, 2009: 53-57). Komisi HAM internasional secara konsisten selalu menolak memasukkan tindak pidana yang tidak ada unsur kesengajaan untuk menghilangkan nyawa korban sebagai the most serious crime (Lynch, 2009: 538).

Ketiga, tindak pidana pencurian dengan kekerasan tersebut memang menimbulkan akibat yang sangat serius pada korban tetapi tidak

menimbulkan akibat yang sangat serius terhadap negara atau masyarakat luas seperti mengganggu ketertiban umum, tidak melibatkan jumlah uang yang ekstra besar seperti kejahatan ekonomi, juga tidak dilakukan dengan cara yang sangat buruk atau kejam di luar batas perikemanusiaan (crimes with extremely heinous methods) serta tidak mengancam atau membahayakan keamanan negara. Dengan demikian tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 ayat (4) tidak termasuk the most serious crime dalam hukum internasional sehingga tidak bisa digunakan untuk menjustifikasi penerapan hukuman mati dijatuhkan oleh pengadilan berdasarkan Pasal 6 ayat (2) ICCPR .

Sebenarnya meskipun tidak menjadi kajian utama dari penelitian ini, memasukkan tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang menimbulkan matinya korban ke dalam kategori the most serious crime tidak hanya tidak tepat dalam perspektif hukum internasional tetapi juga dalam kacamata hukum nasional Indonesia sendiri khususnya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM.

Meskipun tidak menggunakan istilah the most serious crime namun UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menggunakan istilah pelanggaran HAM yang berat (Gross violation) yang merupakan padanan kata dari the most serious crime. Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini menyatakan bahwa:

Pelanggaran HAM yang berat adalah pembunuhan massal (genoside), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, diskriminasi

Page 25: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

104 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 95 - 106

yang dilakukan secara sistematis (systematic descrimination).

Apa yang diatur oleh Pasal 104 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 ini, berbeda dengan pengertian pelanggaran HAM berat yang dimaksud dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menurut UU Nomor 26 Tahun 2000 pelanggaran HAM berat meliputi; genoside dan tindak pidana terhadap kemanusiaan. Pelanggaran HAM yang berat merupakan “extra ordinary crimes” dan berdampak secara luas, baik pada tingkat nasional maupun internasional, dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immaterial yang mengakibatkan perasaan tidak aman, baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Jelaslah bahwa berdasarkan dua undang-undang nasional Indonesia di atas tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya korban tidak termasuk kategori the most serious crime.

Dengan demikian tindak pidana pencurian dengan kekerasan bukan the most serious crime menurut hukum yang berlaku saat tindak pidana dilakukan, baik hukum internasional maupun hukum nasional sehingga sesungguhnya apabila MK konsisten dengan parameter yang dirujuknya yaitu Pasal 6 ayat (2) ICCPR bahwa hukuman mati hanya dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang termasuk kategori the most serious crime maka sesungguhnya ancaman hukuman mati terhadap tindak pidana pencurian dengan

kekerasan yang mengakibatkan matinya korban tidak bisa dipertahankan lagi karena tindak pidana ini tidak termasuk the most serious crime baik menurut hukum internasional maupun hukum nasional yang berlaku saat tindak pidana itu dilakukan.

Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya korban tidak bisa disamakan dengan tindak pidana narkotika atau pelanggaran HAM yang berat yang umumnya terorganisir, meluas, sistematis, melibatkan jaringan internasional, menimbulkan dampak buruk dalam skala luas terhadap pondasi politik, budaya dan ekonomi masyarakat serta menimbulkan bahaya yang sedemikian besar sehingga tidak dapat dikalkulasi besarnya.

SIMPULANIV.

A. Simpulan

1. Dari penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa karakteristik the most serious crime dalam hukum internasional adalah sebagai berikut:

a. Tindak pidana yang dilakukan merupakan perbuatan yang keji dan kejam, menggoncangkan hati nurani kemanusiaan (deeply shock the conscience of humanity) dan dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional (a threat to international peace and security).

b. Adanya unsur kesengajaan, terorganisir, sistematis, dan meluas untuk menimbulkan kematian atau akibat-akibat yang sangat serius lainnya (extremely grave consequences).

c. Akibat yang ditimbulkan dari tindak

Page 26: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

104 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 95 - 106 Karakteristik The Most Serious Crime Menurut Hukum Internasional (Sefriani) | 105

pidana itu sangat serius terhadap negara atau masyarakat luas seperti mengganggu ketertiban umum, dilakukan dengan cara yang sangat buruk (crimes with extremely heinous methods) dan kejam di luar batas perikemanusiaan serta menimbulkan ancaman atau membahayakan keamanan negara.

2. Putusan MK Nomor 15/PUU-X/2012 yang memasukkan tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang menimbulkan luka berat atau matinya orang sebagai the most serious crime tidak sesuai dengan hukum internasional. Hasil penelitian ini membuktikan tidak ada hukum internasional maupun hukum nasional yang memasukkan tindak pidana pencurian dengan kekerasan sebagai the most serious crime. Unsur-unsur atau karakteristik the most serious crime dalam hukum internasional sebagaimana telah disebutkan pada simpulan pertama tidak terpenuhi oleh tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya korban. Demikian pula tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang tidak termasuk kategori pelanggaran HAM yang berat, yang merupakan padanan kata dari frasa the most serious crime, dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

B. Saran

Perlu aturan hukum di tingkat nasional yang memberi parameter the most serious crime sehingga tidak menimbulkan multitafsir dalam pengimplementasiannya.

DAFTAR PUSTAKA

Fitzpatrick, Joan & Alice Miller. 1993. International Standard on the Death Penalty: Shifting Discours. 19 Brook. J. Int’l L. 273.

Hamzah, Ali dan A. Sumangelipu. 2009. Pidana Mati di Indonesia, di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan. Cet. Keempat. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Jaksa Agung: Hukuman mati bukan isu HAM. 20 Februari 2008. Akses 14 November 2012. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15115/jaksa-agung-hukuman-mati-bukan-isu-ham.

Kompas. 19 Juli 2012.

Lynch, Colman. 2009. Indonesia use of Capital Punishment for Drug-Trafficking Crimes Legal Obligations, Extra Legal Factors, and The Bali Nine Case, dalam 40 Colum. Hum. Rts. L. Rev. 523.

Muladi. 2005. Mekanisme Domestik unstuck Mengadili Pelanggaran HAM berat Melalui Sistem pengadilan Atas Dasar UU 26/2000. Seri Bacaan Kursus HAM untuk pengacara. ELSAM.

Schabas, William A. 1998. International Law and Abolition of Death Penalty. 55 Wash. & Lee L. Rev. 797.

Schmidt, Markus G. 1997. Universality of Human Rights and The Death Penalty-The Approach of The Human Rights Committee, 3 ILSA J. Int’l & Comp. L. 477.

Truskett, John Paul. 2004. The Death penalty, International Law and Human Rights, 11 Tulsa J. Comp. & Int’l L. 557.

Page 27: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

106 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 95 - 106

Wongkar, Vonny A. 2006. “Tanggung Jawab Komando Terhadap Pelanggaran HAM yang Berat dan Kejahatan Perang dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia.” Thesis Magister Ilmu Hukum PPS Universitas Diponegoro.

Zexian, Chen. 2005. Restrictions on the Imposition of the Death Penalty; A paper for International Symposium on Death Penalty (Dec. 9-10, 2005). China.

Page 28: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

106 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 95 - 106 Problematika Keberlakuan dan Status Hukum (Wisnu Aryo Dewanto) | 107

ABSTRAK

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 33/PUU-IX/2011 memberikan pencerahan kepada berbagai pihak, khususnya akademisi di bidang hukum internasional dan hukum tata negara, mengenai arti dari undang-undang pengesahan perjanjian internasional di Indonesia, apakah sebagai persetujuan DPR kepada Presiden per se ataukah membuat perjanjian internasional tersebut berlaku di Indonesia. Res judicata yang disampaikan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi dengan menolak seluruh permohonan pemohon mengindikasikan bahwa undang-undang pengesahan perjanjian internasional, meskipun berbentuk undang-undang hanya merupakan bentuk persetujuan formal DPR kepada Presiden dalam kaitannya dengan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945. Lebih lanjut, undang-undang pengesahan perjanjian bukan merupakan landasan hukum bagi berlaku perjanjian internasional di Indonesia. Kemudian, perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia hanya mengikat bagi Indonesia, bukan di Indonesia [baca: pengadilan]. Dengan demikian, undang-undang pengesahan

perjanjian internasional bukan merupakan obyek pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Kata kunci: perjanjian internasional, undang-undang pengesahan, judicial review.

AbSTRACT

For the academics, particularly those in the field of International Laws and Constitutional Laws, the Constitutional Court’s Decision Number 33/PUU-IX/2011 has provided insights on what matters about the Ratification Law of International Treaties in Indonesia, whether it is the House of Representative’s approval to the President per se, or rather a means to make the treaty applicable in Indonesia. Res judicata asserted by the Constitutional Court judges rejecting the applicant’s request, indicates that the Ratification Law of International Treaties in Indonesia is only a formal approval of the House of Representatives to the President as stated in Article 11, Paragraph 1 of the 1945 Constitution the Republic of Indonesia. Additionally,

PROBLEMATIKA KEBERLAKUAN DANSTATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011

THE PROBLEMS OF VALIDITY ANDLEGAL STATUS OF INTERNATIONAL TREATIES

Wisnu Aryo DewantoFakultas Hukum Universitas Surabaya

Jl. Raya Kalirungkut SurabayaEmail: [email protected] atau [email protected]

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 33/PUU-IX/2011

Diterima tgl 12 Juni 2013/Disetujui tgl 15 Juli 2013

Page 29: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

108 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122

PENDAHULUANI.

Judicial review yang dilakukan oleh Perkumpulan Institut Keadilan Global bersama-sama dengan LSM-LSM lainnya terhadap UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Piagam ASEAN merupakan titik kulminasi ketidakjelasan status hukum perjanjian internasional di Indonesia selama ini dan makna dari undang-undang pengesahan perjanjian internasional yang dibuat oleh DPR bersama-sama dengan Presiden. Ketidakpahaman pemohon dalam perkara ini sangat masuk akal karena di dalam Pasal 10 ayat (1) butir a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.” Selanjutnya, Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengatur bahwa “Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden [baca: peraturan presiden].” Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 10 dan Pasal 11 UU Nomor 24 Tahun 2000 bilamana perjanjian internasional harus disahkan menggunakan undang-undang, dan bilamana perjanjian tersebut harus disahkan melalui keputusan presiden [baca: peraturan presiden].

Untuk perkara Nomor 33/PUU-IX/2011 ini, pemohon mendalilkan bahwa karena bentuk pengesahannya menggunakan undang-undang yang mana di dalamnya dilampiri dengan Piagam ASEAN, maka pemohon bisa mengajukan judicial review sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 10 ayat (1) butir a UU Nomor 24 Tahun 2003. Lebih lanjut, asumsi pemohon adalah makna undang-undang pengesahan perjanjian internasional [baca: UU Nomor 38 Tahun 2008] adalah untuk membuat perjanjian internasional [baca: Piagam ASEAN] berlaku di Indonesia.

RUMUSAN MASALAHII.

Dari uraian latar belakang di atas, terdapat beberapa pertanyaan yang bersifat ontologi, epistimologi dan axiologi yang muncul: bagaimana status perjanjian internasional dalam sistem hukum di Indonesia pasca putusan MK tersebut?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional merupakan Persetujuan DPR kepada Presiden dalam Konteks Pasal 11 UUD 1945 sebagai Treaty-Making Power

Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat

the Ratification Law is not a legal basis for the enactment of the international treaty in Indonesia. The international treaties ratified by the Indonesian Government bind for Indonesian only, not in Indonesia [read: court]. Thus, the

Ratification Law of International Treaties in Indonesia cannot be an object of judicial review of the Constitutional Court.

Keywords: international treaty, ratification law, judicial review.

Page 30: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

108 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122 Problematika Keberlakuan dan Status Hukum (Wisnu Aryo Dewanto) | 109

perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.” Pasal ini merupakan pengejawantahan dari konsep Montesquieu yaitu pemisahan kekuasaan berdasarkan fungsi dan konsep legal system yang disampaikan oleh Lawrence M. Friedman.

Berdasarkan konsep pemisahan kekuasaan berdasarkan fungsi, tiap-tiap lembaga negara memiliki tugas dan fungsi masing-masing tanpa saling mempengaruhi. Namun, keberadaan konsep pemisahan kekuasaan ini lebih ditujukan pada pemisahan kekuasaan lembaga yudikatif dari lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dengan harapan bahwa putusan-putusan pengadilan tetap netral tanpa adanya intervensi dari kedua lembaga tinggi negara tersebut (Willem & Kiiver, 2007: 8-10). Di dalam sistem hukum internasional kekuasaan eksekutif memiliki fungsi untuk membuat, menandatangani dan meratifikasi perjanjian internasional di tingkat internasional (external affairs) dan kekuasaan legislatif berperan untuk menyetujui dan/atau menolak pemberlakuan perjanjian internasional di tingkat nasional (internal affairs). Kedua proses ini, oleh Kaczorowska, disebut dengan ‘ratification in international law’ dan ‘ratification in municipal law’. Makna dari ‘ratification in international law’ yaitu suatu prosedur yang harus dilakukan agar perjanjian internasional dapat berlaku di level internasional. Untuk istilah ‘ratification in municipal law’ dimaknai sebagai tindakan persetujuan formal yang dilakukan oleh suatu lembaga yang berwenang [baca: legislatif] dalam suatu negara (Kaczorowska, 2002: 227-228). Dari pengamatan praktik ketatanegaraan di negara-negara, ada dua model pemisahan kekuasaan, yaitu pemisahan kekuasaan secara murni dan pemisahan kekuasaan berdasarkan sistem checks and balances (Dewanto, 2011: 124-177). Hampir sebagian besar negara-negara menggunakan

sistem pemisahan kekuasaan secara murni, di mana lembaga eksekutif dalam membuat perjanjian internasional hingga meratifikasi tidak melibatkan lembaga legislatif, seperti di Perancis, Belanda, Australia dan Kanada. Semisal di Kanada, sistem ketatanegaraan di negara ini ada pemisahan kekuasaan antara Pemerintah Federal dengan Parlemen Federal. Pemerintah Federal dapat membuat, menandatangani dan bahkan meratifikasi perjanjian internasional, tetapi Pemerintah Federal tidak dapat memastikan apakah perjanjian internasional tersebut dapat berlaku di Kanada atau tidak. Ini disebabkan oleh adanya pembedaan kewajiban tugas dan fungsi kedua lembaga tinggi negara tersebut, yang mana kewajiban di tingkat internasional dibebankan kepada Pemerintah Federal, sedangkan untuk kewajiban di tingkat nasional menjadi kewenangan Parlemen Federal. Oleh karena itu, setiap perjanjian internasional yang diratifikasi oleh Pemerintah Federal harus mendapat persetujuan dari Parlemen Federal dan Provinsi jika ingin diberlakukan di wilayah hukum Kanada. Sistem pemisahan kekuasaan ini bertujuan untuk mencegah Pemerintah Federal mengesampingkan kekuasaan yang dimiliki oleh Parlemen Federal maupun Provinsi dengan menjadi pihak di setiap perjanjian internasional tanpa memperhatikan situasi dan kondisi nasional negara (Mallet, 2007: 2).

Selanjutnya, dalam konsep legal system yang ditulis oleh Lawrence M. Friedman, bahwa sebuah sistem hukum terdiri dari tiga komponen utama, yaitu substance, structure dan culture (Friedman, 1975: 16). Permasalahan dengan sistem hukum internasional adalah lemahnya relasi antara hukum internasional dengan hukum nasional. Ditinjau dari sisi substance, Pasal 2 ayat (1) Piagam PBB mengatur bahwa “The

Page 31: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

110 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122

Organisation is based on the principle of the sovereign equality of all Members.” Pernyataan ini secara tidak langsung berpengaruh pada hubungan kelembagaan (structure) antara negara dengan hukum internasional di mana hubungan keduanya bersifat koordinasi atau sejajar. Dengan demikian, perjanjian internasional tidak dapat secara otomatis menjadi bagian dari hukum nasional suatu negara sebelum adanya persetujuan dari lembaga legislatif dari negara yang bersangkutan. Selain itu pula, dapat atau tidaknya substansi perjanjian internasional diterima atau disetujui oleh lembaga legislatif sangat bergantung pada culture dari negara yang bersangkutan. Istilah culture dapat dimaknai sebagai kepentingan nasional dari negara, karena hukum internasional merupakan kumpulan dari kepentingan negara-negara di seluruh dunia, maka akan sulit substansi hukum internasional diterima atau disetujui oleh negara jika substansinya tidak mencerminkan atau mengakomodir culture dari negara yang bersangkutan dan sebaliknya (Dewanto, 2011: 90-91). Profesor Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa persetujuan lembaga legislatif atas ratifikasi perjanjian internasional merupakan bentuk dari fungsi kontrol kepada lembaga eksekutif (Asshiddiqie, 2010: 299-300).

Dari penjelasan konsep-konsep di atas, maka hal yang dapat dijelaskan dari Pasal 11 UUD 1945 adalah DPR dan Presiden tidak dalam fungsi sebagai legislative power sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 20 UUD 1945 tetapi sebagai treaty-making power sehingga kedua lembaga tinggi negara ini sama-sama memiliki kewenangan untuk membuat termasuk di dalamnya meratifikasi perjanjian internasional, dan memberlakukan perjanjian di wilayah hukum Indonesia. Sebagai bagian dari treaty-making power, persetujuan dari lembaga legislatif ini

mutlak diperlukan tanpa melihat tradisi hukum yang dianut oleh negara-negara karena lembaga legislatif berfungsi sebagai filter agar ketika diberlakukan tidak membebani dan merugikan kepentingan nasional. Di beberapa negara, kewenangan lembaga legislatif ini juga bertujuan untuk melindungi tatanan hukum yang secara tradisi diakui dan berkembang menjadi bagian dari masyarakat dan membatasi penerapan perjanjian-perjanjian internasional di pengadilan (Damrosch, 1991: 527-531). Secara yuridis, persetujuan dari DPR tersebut dibuat dalam bentuk undang-undang pengesahan dan jika tidak melalui DPR maka bentuknya adalah keputusan presiden [baca: peraturan presiden] sebagaimana yang diminta oleh Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2004. Berbeda di Belanda, menurut Profesor Andre Nollkaemper, persetujuan yang diberikan oleh Tweede Kamer atas perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Perdana Menteri biasanya dalam bentuk tertulis, tetapi tidak menutup kemungkinan persetujuan tersebut dalam bentuk lisan. Hal ini dikarenakan prosedur terpenting dari berlaku atau tidaknya perjanjian internasional adalah publikasi dalam lembaran negara yang diatur di dalam Pasal 93 Grundwet.

Penulis sebenarnya kurang sependapat dengan istilah undang-undang pengesahan karena bisa memunculkan makna atau interpretasi yang berbeda. Pengesahan disamakan artinya dengan ratifikasi, sehingga ada yang menyebut undang-undang ratifikasi, kemudian mereka berasumsi bahwa yang meratifikasi adalah DPR. Ketidakpahaman ini muncul pada saat proses persidangan perkara ini di Mahkamah Konstitusi di mana kuasa hukum pemohon sempat bertanya, ”Apa konsekuensinya jikalau DPR tidak meratifikasi Piagam ASEAN?” (Risalah Persidangan Perkara Nomor 33/PUU-IX/2011,

Page 32: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

110 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122 Problematika Keberlakuan dan Status Hukum (Wisnu Aryo Dewanto) | 111

2011: 26). Penulisan pengesahan di dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional secara normatif bertentangan dengan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 karena di dalam pasal tersebut tidak pernah menuliskan kata ‘pengesahan’ melainkan ‘persetujuan’.

B. Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional Bukan Menjadi Dasar Pemberlakuan Perjanjian Internasional di Indonesia

Res judicata yang disampaikan Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Profesor Mahfud M.D. pada tanggal 26 Februari 2013 bahwa “Majelis menolak untuk seluruh permohonan Pemohon” memberikan indikasi yang kuat bahwa undang-undang pengesahan bukan merupakan dasar hukum bagi berlakunya perjanjian internasional di Indonesia. Meskipun demikian, perdebatan masih tetap bergulir ketika beberapa pakar hukum beranggapan bahwa undang-undang pengesahan perjanjian internasional merupakan undang-undang yang membuat perjanjian internasional berlaku di Indonesia.

Sebenarnya pemikiran di atas tidak sepenuhnya keliru karena kalimat dalam undang-undang pengesahan ataupun keputusan presiden [baca: peraturan presiden] dapat dimaknai berbeda oleh setiap orang. Pada awalnya, penulis juga menganggap bahwa undang-undang pengesahan atau keputusan presiden [baca: peraturan presiden] berfungsi untuk membuat perjanjian internasional berlaku di Indonesia. Namun, praktik yang berjalan tidak menunjukkan bahwa undang-undang pengesahan maupun keputusan presiden [baca: peraturan presiden] digunakan oleh hakim sebagai landasan hukum untuk menyelesaikan perkara di pengadilan. Lebih lanjut, substansi

perjanjian internasional yang ada di dalam undang-undang pengesahan atau keputusan presiden [baca: peraturan presiden] sangat jarang digunakan oleh hakim, baik sebagai sumber hukum maupun dasar hukum. Sebagaimana diketahui bahwa substansi dalam setiap undang-undang pengesahan maupun keputusan presiden [baca: peraturan presiden] sangat singkat, hanya terdiri dari 2 (dua) pasal, dan dilampiri oleh perjanjian internasional yang dimaksud di dalam undang-undang pengesahan atau keputusan presiden [baca: peraturan presiden]. Secara khusus Pasal 2 dari undang-undang pengesahan maupun keputusan presiden [baca: peraturan presiden] menyatakan “undang-undang ini berlaku pada saat tanggal diundangkan.” Bagi kalangan akademisi, khususnya hukum tata negara dan hukum internasional, istilah ‘berlaku’ dapat dikonotasikan sebagai peraturan yang memberikan kekuatan hukum pada perjanjian internasional tersebut sehingga substansi perjanjian internasional dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan perkara di pengadilan nasional.

Ada satu kemungkinan untuk menjawab keraguan di atas melalui pendekatan sejarah di mana kronologis permasalahannya ditarik dari awal ketika Indonesia berdiri menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Jika melihat sejarah berdirinya Indonesia dan sistem hukum yang berlaku di Indonesia, maka sistem hukum Perancis dan Belanda yang paling mendekati sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu sama-sama menganut codified Roman law yang menetapkan hukum tertulis memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum tidak tertulis, meskipun di Perancis, hukum tidak tertulis masih tetap digunakan dengan catatan tidak boleh bertentangan dengan Konstitusi Perancis

Page 33: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

112 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122

(Erhmann, 1976: 143). Seiring berjalannya waktu, sistem ketatanegaraan di Indonesia lebih banyak mengarah pada sistem ketatanegaraan yang dipraktikkan di Amerika Serikat, salah satunya adalah model sistem checks and balances. Berdasarkan sistem ini Presiden Amerika Serikat hanya berwenang untuk membuat dan menandatangani perjanjian internasional namun tidak boleh meratifikasi sebelum mendapat persetujuan dari Senat Amerika Serikat. Begitu pula pada saat Presiden membuat executive agreements dengan negara lain, harus mendapat persetujuan dari Kongres sebagai bentuk dari penerapan sistem checks and balances dengan tujuan untuk melindungi hak dan kewajiban Amerika Serikat dalam perjanjian tersebut (Damrosch, 1991: 527-531).

Dalam praktik pengintegrasian perjanjian internasional di Indonesia, tahap-tahap persetujuan hingga ratifikasi yang berjalan tidak jauh berbeda dengan praktik di Amerika Serikat, namun memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat mengatur bahwa “...all Treaties...shall be the supreme law of the Land.” Situasi ini menggambarkan bahwa perjanjian internasional yang diratifikasi oleh Amerika Serikat memiliki status hukum lebih tinggi daripada hukum nasional sehingga jika ada substansi yang bertentangan di antara keduanya maka perjanjian internasional yang lebih diutamakan. Berbeda dengan praktik di Indonesia, UUD 1945 hanya mengatur hubungan antara Presiden dan DPR sebagai lembaga treaty-making power, yang termaktub dalam Pasal 11 UUD 1945 tanpa menjelaskan lebih lanjut hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional jika terjadi konflik. Namun dari putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan di Indonesia dan pendapat para ahli, serta peraturan hukum

yang berlaku, tampaknya sifat dualisme sangat kuat dipraktikkan di Indonesia. Ketika Indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958 melalui Keppres Nomor 34 Tahun 1981, Mahkamah Agung menetapkan “Dengan keluarnya Keppres Nomor 34 Tahun 1981, tidak membuat Konvensi New York 1958 berlaku karena belum ada peraturan pelaksanaannya” (Gautama, 1992: 17-18). Selanjutnya, pendapat dari Hj. Suparti Hadhyono dalam sebuah tulisan yang berjudul ‘Praktik Penerapan Perjanjian Internasional dalam Putusan Hakim’ menjelaskan bahwa hakim tidak terikat secara mutlak oleh perjanjian internasional bila dianggap tidak sesuai dengan kondisi, tertib hukum dan rasa keadilan masyarakat Indonesia (Hj. Suparti Hadhyono, http://www.scribd.com, 21 Juni 2010). Kemudian, Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa “Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: (a) UUDNRI 1945, (b) Tap MPR, (c) UU/Perpu, (d) PP, (e) Perpres, (f) Perdaprov, dan (g) Perdakab/kota.” Dari pasal tersebut di atas, jelas bahwa perjanjian internasional bukan merupakan sumber hukum bagi hakim sebagai dasar hukum untuk memutus perkara. Proses integrasi perjanjian internasional harus melalui proses transformasi dari sebuah perjanjian internasional menjadi sebuah peraturan hukum yang diakui sebagai sumber hukum yang sah di Indonesia.

Berkaitan dengan nomenklatur persetujuan DPR kepada Presiden yang berbentuk undang-undang telah menimbulkan kebingungan dan kesalahpahaman bagi akademisi karena undang-undang pengesahan dianggap memiliki status yang sama dengan undang-undang pada umumnya yang memiliki kekuatan untuk mengatur (power to prescribe). Hal ini yang

Page 34: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

112 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122 Problematika Keberlakuan dan Status Hukum (Wisnu Aryo Dewanto) | 113

menjadi concern Mahkamah Konstitusi pada saat memutus perkara Nomor 33/PUU-IX/2011 yaitu bentuk persetujuan DPR kepada Presiden tidak harus berbentuk undang-undang. Bapak Hamdan Zoelva dan Ibu Maria Farida Indriati memberikan dissenting opinion yang sangat menarik, yaitu persetujuan DPR atas perjanjian internasional merupakan persetujuan biasa sehingga tidak harus berbentuk undang-undang, dan seharusnya permohonan atas judicial review UU Nomor 38 Tahun 2008 tidak dapat diterima oleh Mahkamah karena undang-undang persetujuan DPR kepada Presiden tidak dapat dijadikan obyek pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Lebih lanjut, Ibu Maria Farida Indriati berpendapat bahwa undang-undang pengesahan bukan perundang-undangan yang substansinya bersifat normatif yang dapat langsung ditujukan kepada setiap orang, melainkan hanya merupakan persetujuan dari DPR atas perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah untuk memenuhi Pasal 11 UUD 1945 dengan diberi ‘baju’ berupa undang-undang.

Dari hasil putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi jelas bahwa undang-undang pengesahan bukan merupakan “baju baru” dari proses transformasi perjanjian internasional ke dalam sistem hukum di Indonesia. Dengan demikian, istilah ‘berlaku’ di dalam undang-undang pengesahan sebenarnya ditujukan kepada DPR dan Presiden pada saat kedua lembaga tinggi negara ini berniat untuk membuat peraturan hukum, mereka harus mengingat kembali dan melihat bahwa terdapat norma-norma hukum internasional yang telah mereka setujui bersama untuk diberlakukan di Indonesia (Dewanto, 2012: 27). Sebagai contoh ketentuan dalam Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works yang disahkan melalui

Keppres Nomor 19 Tahun 1997 selanjutnya dingejawantahkan dalam UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Selain itu, substansi dari United Nations Convention on Climate Change yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 6 Tahun 1994 berlaku pada saat diundangkannya UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Dewanto, 2012: 27). Bahkan, beberapa substansi dari konvensi-konvensi hak asasi manusia, seperti International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang disahkan melalui UU Nomor 11 dan 12 Tahun 2005 diadopsi langsung oleh UUD 1945.

Dengan demikian, keberadaan undang-undang pengesahan bukan merupakan landasan hukum bagi berlakunya perjanjian internasional di Indonesia karena undang-undang tersebut hanyalah merupakan bentuk formal dari persetujuan DPR kepada Presiden Republik Indonesia yang akan dan/atau ingin meratifikasi perjanjian internasional.

C. Perjanjian Internasional yang Diratifikasi Berlaku bagi Indonesia, bukan di Indonesia [baca: Pengadilan]

Jika memahami lebih dalam mengenai makna ratifikasi di dalam Pasal 2 ayat (1 ) butir b Konvensi Wina 1969 tentang The Law of Treaties yang menyatakan bahwa “...ratification, acceptance, approval and accession mean in each case the international act so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty”, maka Pasal 2 ini secara tegas mengakui adanya perbedaan peran dan fungsi antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif dalam hal

Page 35: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

114 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122

proses pembentukan perjanjian internasional. Ratifikasi hanya mengikat bagi negara pada tingkat internasional dengan tujuan untuk membuat perjanjian internasional yang dimaksud berlaku atau entry into force sebagaimana yang selalu disyaratkan di dalam setiap perjanjian internasional. Merujuk pada konsep pemisahan kekuasaannya Montesquieu dalam sistem hukum internasional bahwa lembaga eksekutif berperan aktif dalam pembuatan perjanjian internasional (external affairs), sedangkan lembaga legislatif menjalankan tugas-tugasnya di level nasional (internal affairs) atas perjanjian internasional yang telah dibuat dan/atau diratifikasi oleh lembaga eksekutif.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa undang-undang pengesahan perjanjian internasional merupakan persetujuan per se sebagai perwujudan dari Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 sebagai treaty-making power tanpa memiliki substansi yang bersifat normatif, maka perjanjian internasional yang telah diratifikasi tetap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat di Indonesia [baca: pengadilan] sebelum dibuatkan implementing legislation [baca: undang-undang] yang memberikan kekuatan hukum pada substansi perjanjian internasional tersebut. Melihat situasi ini, maka DPR akan bekerja dua kali, yaitu pertama sebagai treaty-making power, yang mana DPR membuat undang-undang pengesahan yang substansi hanya menyetujui per se sebagai pelaksanaan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 dan kedua sebagai legislative power di mana DPR akan membuat undang-undang sebagai pengejawantahan dari norma-norma hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 20 UUD 1945. Kritik dari Mahkamah Konstitusi yang disampaikan oleh Dr. Harjono,

S.H., M.C.L. kepada DPR adalah nomenklatur dari persetujuan atas keinginan Presiden untuk meratifikasi perjanjian internasional tidak perlu berbentuk undang-undang karena tidak sesuai dengan peruntukannya. Undang-undang lazimnya memiliki sifat mengatur hak dan kewajiban individu, namun undang-undang pengesahan perjanjian internasional tidak memiliki sifat tersebut.

Proses di atas sebenarnya menggambarkan posisi Indonesia sebagai negara dualisme dengan keutamaan pada hukum nasional. Dalam hal pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional, Indonesia cenderung menggunakan model hard transformation yang berarti bahwa hukum internasional hanya dapat menjadi bagian hukum nasional Indonesia melalui tindakan legislatif saja (Mitchell, 2000: 26). Proses transformasi perjanjian internasional tersebut wajib dilakukan di Indonesia bagi setiap perjanjian internasional agar memiliki kekuatan hukum yang mengikat karena Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak mengakui perjanjian internasional sebagai landasan hukum di Indonesia [baca: pengadilan]. Tidak dipungkiri ada juga negara dualisme, seperti Kanada dan Australia menggunakan model pengintegrasian soft transformation di mana hukum internasional dapat menjadi bagian dari hukum nasional mereka melalui tindakan legislatif dan tindakan yudikatif (Mitchell, 2000: 26). Pengintegrasian perjanjian internasional melalui tindakan yudikatif ini merupakan jalan tengah atas pembedaan tugas dan fungsi lembaga eksekutif dan lembaga legislatif di mana lembaga eksekutif telah meratifikasi perjanjian internasional, namun belum berlaku di level nasional karena belum ada persetujuan dari lembaga legislatif. Dalam hal ini

Page 36: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

114 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122 Problematika Keberlakuan dan Status Hukum (Wisnu Aryo Dewanto) | 115

peran hakim sangat vital karena hakim diizinkan untuk menggunakan perjanjian internasional tersebut sebagai acuan atau pedoman untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional. Semisal, kasus Suresh di Kanada (Suresh v. Canada, 2002, SCC 1, File No. 27790) hakim memiliki peran yang sangat penting untuk memberikan interpretasi hukum atas peraturan-peraturan hukum nasional yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Federal Kanada (Kindred, 2006: 402-403). Juga kasus Teoh di Australia (Teoh v. Commonwealth, (1995) 23 NSWLR 304) bahwa undang-undang keimigrasian Australia harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Commonwealth Australia, meskipun konvensi tersebut belum disetujui untuk menjadi bagian dari hukum nasional Australia (Legg, 2002: 392).

Gambaran proses pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional di Indonesia sama dengan proses pengintegrasian di Amerika Serikat di mana Presiden harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari lembaga legislatif (Senat/DPR) sebelum meratifikasi perjanjian internasional. Namun hal yang paling membedakan adalah ketika proses pemberlakuan perjanjian internasional pasca ratifikasi. Di Amerika Serikat perjanjian internasional yang telah diratifikasi secara ipso facto berlaku di pengadilan, kecuali ditentukan lain oleh Senat. Di Indonesia perjanjian internasional yang telah diratifikasi hanya berlaku bagi Indonesia di level internasional yang bertujuan untuk membuat perjanjian internasional tersebut berlaku. Untuk berlakunya perjanjian internasional di Indonesia [baca: pengadilan] harus ada implementing legislation

[baca: undang-undang] atau yang lazim disebut undang-undang transformasi. Di kalangan akademisi isu bahwa perjanjian internasional di Indonesia selalu membutuhkan undang-undang transformasi disangkal dengan keras karena mereka beranggapan ada beberapa konvensi yang tidak memiliki undang-undang transformasi tetapi dapat diterapkan secara langsung di pengadilan Indonesia seperti Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler dan Konvensi New York 1969 tentang Misi Khusus. Sebenarnya untuk memberikan legal effect pada substansi perjanjian internasional, negara tidak harus membuat undang-undang transformasi yang baru tetapi bisa dengan proses interpretasi hukum melalui peraturan perundang-undangan yang ada. Pendapat bahwa konvensi-konvensi tersebut di atas berlaku secara langsung di pengadilan Indonesia sebenarnya tidak berdasar karena ada peraturan hukum di Indonesia yang memberikan legal effect bagi berlakunya konvensi-konvensi tersebut di pengadilan Indonesia yaitu Pasal 9 KUHP yang mengatur “Berlakunya pasal-pasal 2-5, 7 dan 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan, yang diakui dalam hukum antar negara.” Lebih lanjut di dalam penjelasannya dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan di dalam Pasal 2-5, 7 dan 8 memiliki sangkut paut dengan negara-negara lain maka ada kemungkinan pemberlakuannya bertentangan dengan hukum antar bangsa tersebut. Oleh karena itu, bila ternyata bertentangan maka menurut Pasal 9 ini pasal-pasal 2-5, 7 dan 8 dinyatakan tidak berlaku (Soesilo, 1996: 34).

Substansi Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat yang memberikan status yang tinggi pada perjanjian internasional memunculkan pertanyaan bagi para hakim di Amerika Serikat apakah semua perjanjian internasional yang diratifikasi oleh

Page 37: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

116 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122

Pemerintah Amerika Serikat dapat diterapkan secara langsung di pengadilan nasional atau tidak. Pertanyaan ini selanjutnya menciptakan istilah ‘self-executing treaty’ dan ‘non-self-executing treaty’ di pengadilan. Pembahasan mengenai sifat self-executingness dari perjanjian internasional ini tidak dapat dilepaskan dari fungsi yudikatif karena sifat self-executingness ini merupakan pertanyaan di level nasional berkaitan dengan apakah perjanjian internasional dapat diterapkan secara langsung atau tidak di pengadilan. Jawaban atas pertanyaan ini yang nantinya akan memunculkan dua jenis negara, yaitu monisme dan dualisme. Sebagai sebuah konsep, self-executing treaty didefinisikan sebagai perjanjian internasional yang secara ipso facto dapat diterapkan secara langsung di pengadilan nasional tanpa implementing legislation [baca: undang-undang]. Selanjutnya, non-self-executing treaty dimaknai sebagai perjanjian internasional yang tidak dapat diterapkan secara langsung di pengadilan nasional tanpa implementing legislation [baca: undang-undang] (Buerghental, 1997: 368).

Situasi ini berawal dari kasus Foster di mana Hakim Marshall menyatakan “Perjanjian internasional dapat digunakan secara langsung bilamana perjanjian tersebut dapat berlaku tanpa adanya bantuan dari peraturan hukum nasional” (Halberstam, 1997: 234). Dalam hal suatu perjanjian internasional dianggap non-self-executing maka pengadilan akan menolak untuk menggunakan pasal-pasal tersebut sebagaimana yang diajukan oleh pemohon (Sloss, 1999: 144). Dalam kasus Whitney v. Robertson (124 US 190 (1888)) pengadilan menyatakan bahwa “When the treaty stipulations are not self-executing, they can only be enforced pursuant to legislation to carry them into effect...” (Sloss, 1999: 146).

Pemahaman sifat self-executingness dari perjanjian internasional di Amerika Serikat dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Vazquez menjelaskan bahwa perjanjian self-executing adalah “A treaty that may be enforced in the courts without prior legislation by Congress” (Vazquez, 1995: 695). Paust berpendapat bahwa “Setiap perjanjian internasional seharusnya memiliki sifat self-executing, kecuali beberapa bagian dari perjanjian tersebut mensyaratkan implementing legislation untuk pemberlakuannya (Paust, et.al., 2000: 178). Lebih lanjut, Jackson memberikan pemahamannya bahwa “Perjanjian internasional self-executing sama dengan direct application di mana norma-norma hukum internasional dianggap memiliki status hukum sama dengan peraturan hukum nasional (statute-like-law) tanpa memerlukan act of transformation” (Jackson, 1992: 310-311).

Ada beberapa kategori yang dapat digunakan oleh hakim-hakim di Amerika Serikat untuk menentukan sifat self-executingness dari suatu perjanjian internasional, antara lain: doktrin intend-based, doktrin justiciability, doktrin constitusionality dan doktrin private right of action (Vazques, 1995: 695). Menurut Cinotti, pada umumnya pengadilan akan menentukan sifat-self-executingness dari perjanjian internasional berdasarkan doktrin intend-based, yakni melihat maksud dan tujuan dari dibuatnya perjanjian internasional tersebut, doktrin justiciability, yakni melihat apakah substansi perjanjian internasional tersebut mengatur hak dan kewajiban bagi individu atau tidak, dan doktrin constitutionality, yakni kewenangan pemberlakuan, apakah perjanjian internasional yang dibuat masuk dalam kewenangan treaty-maker atau law-maker. Kemudian, Vazquez menarik sebuah kesimpulan dari pernyataan di atas bahwa sifat

Page 38: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

116 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122 Problematika Keberlakuan dan Status Hukum (Wisnu Aryo Dewanto) | 117

self-executingness dari perjanjian internasional sangat ditentukan oleh perjanjian internasional itu sendiri (the treaty itself is not justiciable) dan substansi dari perjanjian internasional tersebut (the treaty provisions are not justiciable) (Cinotti, 2004: 1279-1280).

Sebagai contoh dari kesimpulan Vazquez yang pertama bahwa ‘the treaty itself is not justiciable’ adalah ICCPR di mana Pasal 2 dari ICCPR mengatur “Each Party to the present Convention undertakes to take necessary steps in accordance with its constitutional process and with the provisions of the present Covenant, to adopt such legislative or other measures as may be necessary to give effect to the rights recognised [in the Covenant].” Namun demikian, sebagaimana penulis sebutkan di atas bahwa untuk menentukan sifat self-executingness dari perjanjian internasional merupakan pertanyaan di tingkat nasional sehingga pemberlakuannya dikembalikan pada putusan pengadilan masing-masing negara. Situasi ini terlihat di Jepang bahwa Pengadilan Tinggi Jepang menetapkan bahwa ICCPR merupakan self-executing treaty di Jepang sehingga siapapun dapat menggunakan pasal-pasal dalam ICCPR secara langsung tanpa memerlukan implementing legislation [baca: undang-undang] (Port, 1991: 153).

Amerika Serikat secara konsisten menerapkan sistem checks and balances dalam penerimaan perjanjian internasional karena persetujuan dari Senat Amerika Serikat akan membuat perjanjian internasional berlaku di Amerika Serikat [baca: pengadilan] kecuali Senat membuat pengecualian atau yang dikenal dengan istilah RUDs (reservations, understandings dan declarations). Meskipun Konstitusi Amerika Serikat mengindikasikan bahwa Amerika Serikat adalah negara monisme, tetapi dalam

praktiknya Amerika Serikat tampak seperti negara dualisme karena RUDs tadi menghalangi berlakunya perjanjian internasional diterapkan secara langsung di pengadilan Amerika Serikat. Kritik yang sangat keras kepada Amerika Serikat adalah beberapa Konvensi HAM yang telah diratifikasi oleh Presiden tidak dapat berlaku secara langsung di pengadilan tanpa adanya implementing legislation [baca: undang-undang] karena Senat memberikan persetujuan dengan melampirkan RUDs (Paust, et.al., 2000: 219-220). Ketika Presiden Amerika Serikat akan meratifikasi ICCPR, Senat mengajukan reservasi terhadap Pasal 6 ayat (5) dengan tujuan agar Pemerintah Amerika Serikat tetap diizinkan menjalankan hukuman mati terhadap anak-anak yang di bawah usia 18 tahun. Selain itu, Senat juga melampirkan deklarasi yang menyatakan bahwa “to clarify that the Covenant will not create a private cause of action in US courts.” Dengan demikian, ICCPR dianggap sebagai perjanjian yang bersifat non-self-executing (Fox, 2003: 304-308). Implementasi RUDs ini dapat dilihat dalam kasus Domingues (Domingues v. Nevada, 114 Nev. 783, 961 P.2d 1279 (1998), cert. Denied 526 US 1156, 120 S.Ct. 396, 145 L.Ed.2d 309 (1999)) di mana Domingues divonis hukuman mati atas pembunuhan tingkat pertama. Ia mengajukan keberatan melalui Pasal 6 ayat (5) ICCPR tetapi Pengadilan Nevada menolak dengan alasan bahwa ketika Pemerintah Amerika Serikat meratifikasi ICCPR, Pemerintah juga mengajukan reservasi untuk pasal tersebut sehingga vonis hukuman mati yang dijatuhkan adalah sah (Fox, 2003: 319). Demikian pula dengan Konvensi Anti Penyiksaan, Senat juga mengajukan deklarasi bahwa “United States declares that the provisions of Article 1 through 16 of the Convention are not self-executing.” Selanjutnya, Konvensi Genosida juga dideklarasikan sebagai non-self-executing

Page 39: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

118 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122

dengan menyatakan bahwa “The President will not deposit the instrument of ratification until after the implementing legislation [baca: undang-undang] referred to in Article V has been enacted” (Damrosch, 1991: 520). Alasan utama Senat Amerika Serikat harus sangat berhati-hati terhadap norma-norma hukum internasional adalah untuk melindungi hak-hak Amerika Serikat agar perjanjian internasional yang diratifikasi tidak menggantikan hukum federal atau kebijakan negara yang telah dibuat, dan untuk membatasi kekuasaan pengadilan dalam menggunakan ketentuan-ketentuan hukum internasional untuk menyelesaikan perkara-perkara di persidangan (Damrosch, 1991: 527-531).

Berdasarkan praktik yang berlangsung di Indonesia, terdapat dilema akademik dalam memahami sifat self-executingness dari perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia yaitu munculnya pemahaman yang berbeda dalam mendefinisikan self-executing treaty dan non-self-executing treaty. Pemahaman yang berbeda berasal dari penafsiran istilah ‘legislative action’ di mana beberapa pakar hukum memahaminya sebagai tindakan pengesahan/ratifikasi yang dilakukan oleh DPR sehingga tidak salah juga ketika kuasa hukum pemohon dalam kasus ini menganggap bahwa yang meratifikasi perjanjian internasional adalah DPR, bukan Presiden.

Pada akhirnya, pemahaman yang keliru tersebut memunculkan definisi yang keliru juga dalam memahami sifat self-executingness dari perjanjian internasional. Self-executing treaty dimaknai sebagai perjanjian internasional yang berlakunya hanya mensyaratkan proses penandatanganan saja tanpa ratifikasi dan non-self-executing treaty diartikan sebagai perjanjian internasional yang berlakunya memerlukan

proses ratifikasi. Pemahaman ini sangat berbeda dengan pemahaman awal dari sifat self-executingness dari perjanjian internasional yang telah dijelaskan di atas. Selain itu, makna dari istilah ‘legislative action’ bukan DPR meratifikasi perjanjian internasional, melainkan DPR membuat implementing legislation [baca: undang-undang] untuk membuat substansi perjanjian internasional tersebut berlaku di pengadilan nasional Indonesia.

Dalam memahami ke-monisme-an atau ke-dualisme-an suatu negara, selain melihat keutamaan hukum yang digunakan di negara yang bersangkutan, juga dapat dilihat melalui teori delegasi yang disampaikan oleh J.G. Starke dengan mencermati konstitusi masing-masing negara (Starke, 1984: 73-74). Pada umumnya, negara-negara monisme membuat ketentuan yang sangat jelas dalam konstitusi negara mereka, seperti dalam Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat, Pasal 15 ayat (4) Konstitusi Rusia 1993, Pasal 94 Konstitusi Belanda (Grundwet), Pasal 55 Konstitusi Perancis 1955 dan Pasal 98 ayat (2) Konstitusi Jepang.

Bagi negara-negara dualisme, yang memberikan keutamaan pada hukum nasional, tidak mengatur secara spesifik, seperti Pasal 11 UUD 1945, s. 51 Konstitusi Australia, Malaysia, Kanada dan Inggris. Khusus untuk Inggris, meskipun tidak memiliki konstitusi, namun tradisi yang berkembang di Inggris menunjukkan ke-dualisme-annya di mana perjanjian internasional yang diratifikasi oleh lembaga eksekutif bukan merupakan bagian dari hukum Inggris karena adanya pemisahan kekuasaan (Nazarova, 2002: 1360). Oleh karena itu, di negara-negara dualisme semua perjanjian internasional bersifat non-self-executing karena memerlukan implementing legislation [baca: undang-undang], hal ini juga

Page 40: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

118 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122 Problematika Keberlakuan dan Status Hukum (Wisnu Aryo Dewanto) | 119

berlaku di negara-negara monisme, karena tidak semua perjanjian internasional yang telah diratifikasi bersifat self-executing, ada juga yang bersifat non-self-executing. Namun pada kenyataannya tidak ada satu negara pun yang melaksanakan faham-faham tersebut secara murni sehingga doktrin Fitzmaurice menyatakan bahwa yang terpenting adalah jangan sampai terjadi ‘a conflict of obligation’ atau ‘inability of a State on the domestic plane to act in the manner required by international law’ (Harris, 1998: 70).

Hukum internasional memiliki peran yang sangat penting untuk pembangunan dan pengembangan hukum di Indonesia karena mungkin saja terdapat peraturan-peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh DPR berisi ketentuan-ketentuan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan substansi perjanjian internasional di mana Indonesia menjadi negara pihak di dalamnya. Semisal, Pasal 73 ayat (3) UNCLOS 1982 mengatur “Coastal State penalties for violation of fisheries laws and regulations in the EEZ may not include imprisonment, in the absence of agreements to the contrary by the States concerned, or any other form of corporal punishment.” Seandainya terdapat peraturan hukum nasional yang menetapkan sanksi pidana berupa kurungan kepada pelaku pencurian ikan di ZEE, maka hakim dapat menggunakan ketentuan Pasal 73 ayat (3) UNCLOS 1982 sebagai alat bantu untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional yang tidak sesuai tersebut dengan menyatakannya dalam ratio decidendi.

SIMPULANIV.

Dari keseluruhan uraian dan pembahasan di atas, maka mengenai permasalahan tentang Status Perjanjian Internasional di Indonesia pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 33/PUU-IX/2011, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut:

A. Kesimpulan

a. Undang-undang pengesahan perjanjian internasional yang dibuat oleh DPR merupakan bentuk formal dari persetujuan DPR kepada Presiden yang akan dan/atau ingin meratifikasi perjanjian internasional sebagaimana diatur di dalam Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. DPR dan Presiden dalam posisi ini melaksanakan fungsinya sebagai treaty-making power, bukan law-maker, sebagaimana diatur di dalam Pasal 20 UUD 1945.

2. Undang-undang pengesahan perjanjian internasional bukan merupakan landasan hukum bagi berlakunya perjanjian internasional di Indonesia sehingga undang-undang pengesahan tidak bisa dijadikan obyek pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.

3. Status perjanjian internasional yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia hanya berlaku bagi Indonesia, bukan di Indonesia [baca: pengadilan] tanpa adanya implementing legislation [baca: undang-undang], atau dengan kata lain, semua perjanjian internasional di Indonesia bersifat non-self-executing.

B. Rekomendasi

1. Dengan adanya putusam Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011,

Page 41: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

120 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122

khususnya pada pertimbangan Mahkamah yang disampaikan oleh Hakim Dr. Harjono, S.H., M.C.L., maka nomenklatur persetujuan DPR kepada Presiden untuk meratifikasi perjanjian internasional tidak harus berbentuk undang-undang, agar tidak terjadi kesalahpahaman. Oleh karena itu, DPR dapat memberikan persetujuannya dalam bentuk surat atau lisan karena undang-undang pengesahan tidak memiliki makna apapun kecuali sebatas persetujuan per se.

2. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia harus segera melakukan perubahan/amandemen terhadap UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional, khususnya Pasal 9 ayat (2), karena istilah ‘pengesahan’ tidak sesuai dengan istilah ‘persetujuan’ yang terdapat di dalam Pasal 11 ayat (1) UUD 1945. Pengesahan disamaartikan dengan ratifikasi sehingga bagi akademisi yang awam dengan hukum internasional, maka DPR dianggap sebagai lembaga legislatif yang meratifikasi perjanjian internasional, padahal seharusnya Presiden sebagai lembaga eksekutif.

3. Untuk menghormati pemisahan kekuasaan dan sistem checks and balances di Indonesia, maka persetujuan perjanjian internasional melalui keputusan presiden [baca: peraturan presiden] tidak lagi diperbolehkan karena tidak mungkin lembaga eksekutif menilai dirinya sendiri, seharusnya lembaga yang lain yaitu legislatif.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 2010. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT. Rajagrafindo Perkara.

Buerghental, Thomas. 1997. “Modern Constitution and Human Rights Treaties.” 36 Colum. J. Transnat’l L. 211, Columbia Journal of Transnational Law.

Cinotti, David N. 2004. “The New Isolationism: Non-Self-Executing Declarations and Treaties as the Supreme Law of the Land.” 91 Geo. L.J. 1277, Georgetown Law Journal.

Damrosch, Lori Fisler. 1991. “The Role of the US Senate concerning ‘Self-Executing and Non-Self-Executing Treaties.” 67 Chi.-Kent L. Rev. 515, Chicago-Kent Law Review.

Dewanto, Wisnu. 2011. “Implementing Treaties in Municipal Courts.” Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 1, Februari 2011. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Dewanto, Wisnu. 2011. Perjanjian Internasional Self-Executing dan Non-Self-Executing di Pengadilan Nasional. Disertasi, Program Doktor, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Dewanto, Wisnu. 2012. “Memahami Arti Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia.” Opinio Juris, Volume 04, Januari-April 2012. Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

Erhmann, Henry W. 1976. Comparative Legal

Page 42: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

120 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122 Problematika Keberlakuan dan Status Hukum (Wisnu Aryo Dewanto) | 121

Culture. Mew York: Prentice-Hall.

Fox, Chrissy. 2003. “Implication of the US’ Reservation and NSE Declaration to the ICCPR for Capital Offenders and Foreign Relations.” Comments, 11 Tul. J. Int’l & Comp. L. 303, Tulane Journal of International & Comparative Law.

Friedman, Lawrence M. 1975 The Legal System: A Social Science of Treaties, dalam Evan, Malcolm D. (Ed.) 2003. International Law. First Edition. Oxford University Press.

Gautama, Sudargo. 1992. Indonesia dan Arbitrase Internasional. Bandung: Alumni.

Hadhyono, Hj. Suparti. “Praktik Penerapan Perjanjian International dalam Putusan Hakim.” http://www.scribd.com.

Halberstam, Malvina. 1997. “United States Ratification of the Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women.” 31 Geo. Wash. J. Int’l & Econ. 49, George Washington Journalof International Law and Economics.

Harjono. 1994. Aspek-Aspek Yuridis Pembuatan Perjanjian Internasional dalam Sistem UUD 1945. Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya.

Harris, D.J. 1998. Fifth Edition. Cases and Materials on International Law. London: Sweet & Maxwell.

Jackson, John H. 1992. “Status of Treaties in Domestic Legal Systems: A Policy Analysis.” 86 Am. J. Int’l L. 310, American Journal of International Law.

Kaczorowska, Alina. 2002. Public International Law. London: Old Bailey Press.

Kindred, Hugh M. 2006. The Challenge of Internalizing International Conventional Law: The Experience of Australia, England and Canada with Ratified Treaties, dalam Waters, Christopher P.M. (Ed.), British and Canadian Perspectives on International Law. Leiden-Boston: Martinus Nijhoff Publishers.

Legg, Michael. 2002. “Indigenous Australians and International Law: Racial Discrimination, Genocide and Reparations.” 20 Berkeley J. Int’l L. 387, Berkeley Journal of International Law.

Mallet, Melanie. 2007. “A Primer on Treaty Making and Treaty Implementation in Canada.” Original Contribution.

Mitchell, Andrew D. 2000. “Genocide, Human Rights Implementation and the Relationship between International and Domestic Law: Nulyarimma v. Thompson.” 24 Melb. U. L. Rev. 15, Melbourne University Law Review.

Nazarova, Ina. 2002. “Alienating ‘Human’ from ‘Right’: US and UK Non-Compliance with Asylum Obligations under International Human Rights Law.” 25 Fordham Int’l L. J. 1335, Fordham International Law Journal.

Nollkaemper, Andre. 2008. “The Application of Treaties in the Netherlands”, Working Paper. Amsterdam Center of International Law, Universiteit van Amsterdam.

Paust, Jordan J. et.al. 2000. International Law and Litigation in the US. United States of America: West Group.

Paust, Jordan J., Fitzpatrick, Joan M. & Van

Page 43: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

122 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122

Dyke, Jon M., 2000, International Law and Litigation in the US, West Group, USA.

Port, Kenneth L. 1991. “The Japanese International Law ‘Revolution’: International Human Rights Law and Its Impact on Japan.” 28 Stan. J. Int’l L. 139, Stanford Journal of International Law.

Sloss, David. 1999. “The Domestication of International Human Rights: Non-Self-Executing Declarations and Human Rights Treaties.” 24 Yale J. Int’l L. 129, Yale Journal of International Law.

Soesilo, R. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bogor: Politeia.

Starke, J.G. 1984. Introduction to International Law. Butterworth.

Vazquez, Carlos Manuel. 1995. “The Four Doctrines of Self-Executing Treaties.” American Journal of International Law, Volume 89, Issue 4.

Willem, Aalt & Phillip Kiiver. 2007. Constitutions Compared: An Introduction to Comparative Constitutional Law. Intersentia, Antwerpen.

Page 44: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

122 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122 Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora) | 123

ABSTRAK

Optimalisasi peran aktif warga negara dalam sistem demokrasi sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945. Konsep demokrasi langsung ini dipandang sebagai konsep paling ideal. Hanya saja dalam pelaksanaan di lapangan, peran aktif warga negara dalam setiap perhelatan demokrasi justru terbentur dalam sejumlah regulasi teknis. Salah satu regulasi yang menjadi penghambat adalah ketentuan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang mensyaratkan bahwa untuk dapat menggunakan hak memilih, harus terdaftar sebagai pemilih. Ketentuan ini kemudian dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) bertentangan dengan UUD 1945 melalui putusan Nomor 85/PUU-X/2012. Dalam putusannya MK memutuskan bahwa untuk dapat menggunakan hak pilih, maka warga negara cukup hanya menunjukkan Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga di lingkungan setempat. Putusan ini patut diapresiasi dalam upaya melindungi dan menjamin hak memilih sebagai hak konstitusional sekaligus

hak asasi warga negara.

Kata kunci: konstitusi, hak memilih, warga negara, demokrasi langsung.

AbSTRACT

Optimized active role of citizens in every stage of democracy in accordance with the provisions of Article 1 (2) of the 1945 Constitution which places the sovereignty vested in the people and implemented in accordance with the 1945 Constitution. The concept of direct democracy is seen as the most ideal concept. It’s just in the field, the active role of citizens in a democracy every event just hit the number of technical regulations. One of the regulations that a barrier is the provision of Article 69 paragraph (1) of Law No. 32 Year 2004 on Regional Government which requires that to be able to exercise their right to vote, must be registered as a voter. This provision was later declared the Constitutional Court (MK) contrary to the 1945 Constitution through verdict No. 85/PUU-X/2012. In its decision the Court decided that in order to be able to vote,

PERLINDUNGAN HAK MEMILIH SEBAGAIHAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARAKajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-X/2012

THE PROTECTION OF CITIZEN’SCONSTITUTIONAL RIGHT TO VOTE

Janpatar SimamoraFakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan

Jl. Sutomo No. 4A Medan 20234Email: [email protected]

An Analysis of the Constitutional Court’s Decision Number 85/PUU-X/2012

Diterima tgl 19 Maret 2013/Disetujui tgl 15 Juli 2013

Page 45: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

124 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142

PENDAHULUANI.

Perhelatan demokrasi langsung melalui pemilihan kepala daerah secara langsung begitu marak dilaksanakan di Tanah Air. Namun sangat disayangkan perhelatan demokrasi langsung itu yang semula dimaksudkan untuk mengimplementasikan kehidupan ketatanegaraan yang lebih demokratis seiring dengan tuntutan reformasi yang bergema pada tahun 1997-1998 pada akhirnya belum dapat berjalan dengan mulus sesuai dengan cita-cita konstitusi yang tertuang di dalam amandemen UUD 1945. Hal ini disebabkan munculnya berbagai permasalahan yang cukup kompleks yang mewarnai pelaksanaan demokrasi langsung itu.

Harus diakui bahwa melalui jalur demokrasi langsung tersebut, sejumlah pemimpin terpilih tidak lain dikarenakan mereka merupakan hasil pilihan mayoritas konstituen. Meskipun begitu dalam realitanya, para penguasa yang berhasil merebut simpati masyarakat luas tidak selamanya berkiprah membangun kinerja yang selaras dengan kehendak masyarakat itu. Akan tetapi, harus diakui bahwa jalur keterpilihannya sudah didasarkan pada semangat membangun praktik demokrasi modern.

Hal itu juga sejalan dengan perubahan yang dilakukan dalam UUD 1945 yang mengamanatkan kedaulatan berada di tangan rakyat dan sepenuhnya dilaksanakan berdasarkan UUD. Sebagaimana diuraikan dalam buku “Panduan Pemasyarakatan UUD 1945 dan TAP MPR RI (2012: 67). Perubahan dimaksud

menetapkan bahwa kedaulatan tetap di tangan rakyat, sedangkan lembaga-lembaga negara melaksanakan bagian-bagian dari kedaulatan itu menurut wewenang, tugas dan fungsi yang diberikan oleh UUD 1945.

Setidaknya terdapat beberapa ketentuan dalam UUD 1945 yang dapat dijadikan landasan konstitusional guna menjamin hak politik, khususnya hak warga negara untuk memilih (right to vote). Sejumlah ketentuan dimaksud di antaranya, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Kemudian terdapat pula Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Tentu yang tidak kalah pentingnya adalah ketentuan Pasal 28D ayat (3) yang berbunyi bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Beberapa ketentuan dalam konstitusi tersebut cukup menunjukkan bagaimana sesungguhnya negara menjamin dan melindungi hak konstitusional warga negara, khususnya terkait dengan hak politik dalam memberikan hak pilihnya di setiap pelaksanaan demokrasi langsung.

Hanya saja dalam pelaksanaannya lebih lanjut bahwa seluruh ketentuan dalam konstitusi tidak selalu dimaknai secara komprehensif oleh

then the citizens enough to show identity cards and family cards in the local environment. This decision should be appreciated in the effort to protect and guarantee the right to vote as well as

the constitutional rights of citizens rights.

Keywords: constitution, right to vote, constitutional right, citizen, direct democracy.

Page 46: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

124 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142 Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora) | 125

para pembuat regulasi di tingkatan yang lebih rendah. UU No. 32 Tahun 2004 adalah UU yang pengaturannya bisa menimbulkan masalah dalam penyelanggaraan pemilihan kepala daerah. Padahal UU itu merupakan UU yang termasuk bentuk pengaturan lebih lanjut penyelenggaraan pemerintahan di daerah sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

Menurut ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 bahwa untuk dapat menggunakan hak memilih, maka warga negara Republik Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih. Ketentuan inilah yang merupakan akar persoalan dalam perkara yang diputus oleh MK melalui Putusan Nomor 85/PUU-X/2012 yang diucapkan pada sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada Rabu, 13 Maret 2013 lalu. Pasal 69 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 dianggap bertentangan dengan konstitusi karena berpotensi membatasi pemberian hak pilih bagi warga negara dalam proses demokrasi, khususnya dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

Perkara ini diajukan atau dimohonkan oleh MUH dan SH yang mana keduanya merupakan warga Jakarta yang telah gagal memberikan hak pilihnya pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 11 Juli 2012 lalu. Para pemohon mengajukan permohonan bertanggal 13 Agustus 2012 yang diterima di Kepaniteraan MK berdasarkan Akta Penerimaan Permohonan Nomor 306/PAN.MK/2012 pada tanggal 15 Agustus 2012 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 85/PUU-X/2012 pada tanggal 3 September 2012, yang telah diperbaiki dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 25 September 2012.

Para pemohon telah mencoba untuk menggunakan hak memilihnya pada Pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 11 Juli 2012, yaitu dengan menggunakan dan atau menunjukkan KTP dan Kartu Keluarga yang masih berlaku kepada petugas PPS Kelurahan Cibubur, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, namun demikian para pemohon tetap tidak dapat memilih dikarenakan ditolak oleh petugas PPS tersebut dan petugas PPS tersebut berdalih bahwa penolakan tersebut berdasarkan petunjuk KPU Provinsi DKI Jakarta Timur, yaitu apabila pemilih tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT), sepanjang pemilih terdaftar di Daftar Pemilih Sementara (DPS), dapat menggunakan hak suaranya di TPS dengan menunjukkan KTP dan KK yang asli dan masih berlaku.

Para pemohon ketika itu tidak dapat memilih karena tidak tercantum dalam daftar pemilih, baik dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) maupun Daftar Pemilih Sementara (DPS), walaupun para pemohon telah menunjukkan KTP dan KK aslinya, tetap tidak dapat memilih. Hal ini dikarenakan para petugas di lapangan berpegang teguh pada ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, yang berbunyi: “Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Republik Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.” Atas dasar itu, maka para pemohon merasa bahwa hak konstitusionalnya sebagai pemilih telah dirugikan dan pada akhirnya mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Adapun salah satu pertimbangan hukum MK sebagaimana dituangkan dalam bagian “Pendapat Mahkamah” putusan tersebut adalah bahwa terhadap perkara para pemohon yang pada pokoknya mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU Pemda yang menyatakan “untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara

Page 47: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

126 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142

Republik Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih”, Mahkamah perlu merujuk Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24 Februari 2004, yang pada halaman 35 menyatakan “... bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara”.

Atas dasar pertimbangan dimaksud, maka kemudian MK mengeluarkan amar putusan yang pada intinya menyatakan bahwa Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diartikan tidak mencakup warga negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT, DPS, DPSHP, DPSHP Akhir, dan DP4 dengan syarat dan cara sebagai berikut: menunjukkan KTP dan Kartu Keluarga (KK) yang masih berlaku atau nama sejenisnya; penggunaan hak pilih tersebut hanya dapat dilakukan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya; dan sebelum menggunakan hak pilihnya, yang bersangkutan terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat; pemberian suara dilakukan dalam waktu 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS.

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Apakah pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam mengabulkan permohonan para pemohon sudah tepat?

2. Bagaimana kontribusi putusan hakim dalam perkara tersebut guna menjamin dan melindungi hak warga negara untuk memilih (right to vote) dalam proses demokrasi langsung sebagai hak konstitusional warga negara?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. Studi Pustaka

Sejak UU No. 32 Tahun 2004 diberlakukan, maka sejak saat itu juga terjadi pergeseran yang cukup signifikan terkait dengan sistem pemilihan kepala daerah. Jika sebelumnya pemilihan kepala daerah masih menerapkan model lama, yaitu dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), namun sejak berlakunya undang-undang (UU) dimaksud, model itupun mengalami perubahan dan diganti dengan model pemilihan yang langsung dilakukan oleh rakyat. Implikasi dari pemilihan kepala daerah secara langusng adalah kepala daerah sebagai kepala eksekutif daerah secara langsung bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah secara rutin dan sekaligus juga sebagai pemimpin daerah (Sabarno, 2008: 120).

Dengan format pemilihan secara langsung oleh rakyat, maka tingkat legitimasi kekuasaan yang dimiliki oleh kepala daerah menjadi semakin kuat dikarenakan kepala daerah yang terpilih

Page 48: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

126 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142 Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora) | 127

mendapat mandat secara langsung dari rakyat. Berbeda dengan pola yang berlaku sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah justru hanya memperoleh legitimasi dari DPRD sebagai wakil rakyat di legislatif daerah. Realita ini tentu menjadi salah satu keunggulan dari pelaksanaan demokrasi langsung di tingkat lokal.

Memang ada pihak yang mempersepsikan bahwa sistem pemilihan kepala daerah yang dijalankan oleh DRPD adalah juga merupakan pemilihan berdasarkan kehendak rakyat. Persepsi ini muncul karena mereka menganggap bahwa para wakil rakyat yang duduk sebagai legislator daerah berasal dari pilihan rakyat sehingga menjadi representasi rakyat di parlemen. Dengan demikian, maka DPRD adalah merupakan perpanjangan tangan dari rakyat dalam rangka memilih para pemimpinnya. Meskipun begitu, sistem pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh rakyat tetap memiliki perbedaan yang signifikan dengan sistem pemilihan lewat jalur wakil rakyat. Dalam sistem pemilihan kepala daerah secara langsung, keterlibatan rakyat dalam menentukan sosok ideal kepala daerah dapat dilakukan sesuai dengan kehendak rakyat itu sendiri.

Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung yang diterapkan saat ini di Indonesia sangat selaras dengan semangat otonomi daerah, yaitu pelibatan partisipasi rakyat sudah dilakukan secara transparan. Penyelenggaraan otonomi daerah, termasuk pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi sarana yang sangat mendukung keterlibatan rakyat dalam menjalankan pemerintahan daerah yang lebih demokratis. Menurut Dody Riyadmadji (Cornelis et.al., 2003: 217), dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan lokal di berbagai negara, setidaknya terdapat tiga variasi yang lazim dilaksanakan

dalam rangka pengisian jabatan kepala daerah. Ada yang menerapkan sistem pemilihan langsung oleh rakyat, ada yang dipilih lewat jalur dewan (council) dan ada juga yang diangkat oleh pemerintah pusat. Terhadap sistem ini, di berbagai negara sangat jarang dijadikan perdebatan seperti yang terjadi di Indonesia.

Pasalnya, berbagai negara lebih cenderung melihat perjalanan fungsi-fungsi pemerintahan daerah (protective, publik service and development) (Cornelis et.al., 2003: 218) daripada sekadar mempersoalkan sistem yang dianut. Artinya bahwa sistem apa sajapun yang diterapkan dalam negara yang bersangkutan, sepanjang mampu memberikan pelayanan secara optimal terhadap masyarakat luas maka persoalan itu tidak dianggap sebagai suatu masalah yang patut diperdebatkan. Konteks pemikiran demikian menunjukkan adanya kebijaksanaan publik dalam menilai sukses tidaknya perjalanan suatu pemerintahan daerah.

Hal yang sama juga sebenarnya masih bisa ditemukan di Indonesia. Terjadinya pergeseran sistem pemilihan kepala daerah dari yang awalnya hanya merupakan kewenangan DPRD, kemudian berganti menjadi pemilihan kepala daerah yang secara langsung dilakukan oleh rakyat menunjukkan bahwa persepsi publik terhadap mekanisme sebelumnya ternyata dipandang mengalami kegagalan. Kendati demikian, proses pemilihan kepala daerah secara langsung tidak otomatis akan dapat diklaim sebagai pilihan terbaik, apalagi bila kemudian kontribusi positif dari sistem pemilihan secara langsung ini justru tidak tercapai.

Sebagaimana diungkapkan Kastorius Sinaga (Cornelis et.al., 2003: 234) bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah baik secara

Page 49: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

128 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142

langsung maupun tidak langsung, hanyalah bagian kecil dari peningkatan kualitas demokrasi di tingkat lokal. Proses itu tidak dengan sendirinya menjamin (taken for granted) peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri. Demokrasi di tingkat lokal sangat membutuhkan berbagai persyaratan, khususnya dari kalangan konstituen itu sendiri.

Pada masa-masa yang akan datang, tidak tertutup kemungkinan bahwa proses pemilihan kepala daerah justru mengalami perubahan menuju sistem-sistem berikutnya. Bisa saja suatu ketika, bangsa Indonesia akan menganut sistem pengangkatan oleh pemerintah pusat terhadap posisi kepala daerah. Dinamika politik sangat memungkinkan hal ini terjadi, khususnya melihat fakta akan ketidakberhasilan pemilihan secara langsung dalam menghasilkan pemimpin daerah yang mampu menjawab tantangan otonomi daerah secara menyeluruh dan utuh.

Dody Riyadmadji (Cornelis et.al., 2003: 220) mengatakan bahwa gagasan pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki dukungan yang sangat kuat dari berbagai aspek, di antaranya:

1. rakyat akan dapat berperan secara langsung;

2. peluang terjadinya kasus politik uang kemungkinan akan semakin tipis;

3. terkesan lebih objektif.

Namun demikian, dalam uraiannya lebih lanjut Dody Riyadmadji (Cornelis et.al., 2003: 221) juga mengatakan bahwa dukungan itu belum tentu akan menjadi kenyataan dikarenakan beberapa hal, di antaranya:

1. peran serta masyarakat secara langsung belum tentu positif sepanjang sifat-sifat

rasional belum melembaga, sebaliknya bila sifat primordial dan paternalistik yang mengemuka maka akan sangat rentan melahirkan kekacauan yang lebih parah dari sistem yang dianut sebelumnya;

2. peluang terjadinya politik uang yang semakin menipis juga belum tentu benar, seperti yang terlihat dalam praktik pemilihan kepala desa yang menggunakan cara langsung oleh masyarakat dan juga tidak jarang diwarnai dengan politik uang;

3. lebih objektif, barangkali benar karena lebih banyak orang yang akan menentukan pilihan. Artinya bahwa hanya poin ketiga ini yang memiliki peluang kebenaran cukup tinggi.

Dari sekian faktor yang dipandang sebagai sisi pendukung gagasan pilkada langsung, barangkali hanya persoalan objektivitaslah yang dapat diyakini merupakan dampak positif dari proses pilkada langsung. Seiring dengan keterlibatan rakyat secara langsung dalam proses pilkada, maka nilai objektivitasnya diyakini akan lebih baik. Berbeda dengan proses pemilihan kepala daerah lewat jalur DPRD yang mungkin lebih kental nuansa subjektivitasnya. Namun di luar sisi objektivitas, sisi lain yang dianggap sebagai faktor pendukung gagasan pilkada langsung masih sulit diterima kebenarannya. Adalah fakta yang sulit untuk ditampik bahwa proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah selama ini bukannya semakin mengurangi dan memangkas praktik politik uang, namun justru sebaliknya. Praktik politik uang itu semakin lama semakin subur dan telah melanda ke hampir seluruh penjuru Tanah Air.

Di sisi lain, harapan publik akan terwujudnya perbaikan nasib rakyat pasca

Page 50: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

128 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142 Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora) | 129

penerapan otonomi daerah justru belum terjawab secara utuh. Peningkatan pelayanan publik, harapan akan pemerataan pembangunan dan membentuk daerah untuk lebih mandiri dalam mengelola berbagai sumber daya yang ada masih hanya sebatas sasaran di atas kertas. Pemberian kewenangan secara maksimal di daerah masih saja meninggalkan sejumlah catatan buram yang harus dituntaskan dengan serius.

Melalui proses demokrasi langsung di daerah, mestinya keleluasaan para kepala daerah dalam memajukan program pembangunan dan aktivitas lain pemerintahan mampu mendongkrak daya tahan dan kekuatan yang selama ini belum tergali secara utuh. Ketika pemerintah pusat sudah memberikan keleluasaan melalui perluasan kewenangan kepada daerah, maka harapan awal adalah terciptanya pemerintahan daerah dengan sejumlah manajemen profesional dan lahirnya kebijakan yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan publik semakin terbuka lebar.

Namun fakta menunjukkan bahwa kondisi yang lahir pasca pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung selama ini justru menyisakan sejumlah persoalan baru. Kendati tidak bisa ditampik bahwa sejumlah daerah berhasil mencatat prestasi pasca pelaksanaan otonomi daerah, namun unsur kegagalan justru jauh lebih mendominasi penyelenggaraan roda pemerintahan daerah. Di sisi lain, salah satu faktor yang diduga menengarai kegagalan daerah dalam membangun pemerintahan yang berorientasi pada pencapaian kesejahteraan rakyat adalah mahalnya “harga” dari sebuah proses pemilihan kepala daerah secara langsung.

Bayangkan saja, menurut catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dikutip Femi Adi Soempono (2009: 83) dalam bukunya

“Pemimpin dengan Tahta Rakyat”, hanya untuk pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2009 saja, KPU membeberkan bahwa jumlah anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp. 9,07 triliun. Anggaran itu merupakan bagian dari anggaran KPU tahun 2009 sebesar Rp. 14,1 triliun yang kemudian dipotong oleh pemerintah dan DPR dalam APBN 2009 menjadi Rp. 13,5 triliun. Anggaran itu baru hanya untuk pemilihan presiden, belum lagi pemilihan anggota legislatif dan pilkada di berbagai daerah. Apalagi bila kemudian ditambah dengan cost yang harus ditanggung para kandidat, maka biaya pelaksanaan demokrasi, baik di tingkat nasional maupun lokal bisa mencapai ratusan triliun rupiah.

Pilihan terhadap sistem pemilihan kepala daerah sebenarnya terfokus pada 2 (dua) isu utama, yaitu ”legitimasi” dan masalah ”pembiayaan”. Dalam sistem pemilihan kepala daerah melalui lembaga perwakilan (DPRD), akan menghasilkan kepala daerah yang kurang legitimate, namun efisiensi biayanya akan lebih baik. Dalam sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, legitimasinya sangat kuat dan besar, hanya saja tingkat efisiensi biayanya justru sangat rendah (Prihatmoko, 2008: 240), sebab para kandidat harus mengeluarkan biaya yang lumayan besar dalam menghadapi tuntutan konstituen yang beraneka ragam.

Terkait dengan cost politic yang harus dikeluarkan oleh setiap kandidat calon kepala daerah, baik sistem pemilihan lewat jalur DPRD maupun melalui pilkada langsung sebenarnya sama-sama membutuhkan pendanaan yang sangat besar. Hanya saja, karena pemilik suara lewat jalur DPRD hanya dalam hitungan puluhan atau ratusan orang, maka cost politic-nya menjadi lebih mudah dikalkulasikan. Sementara dalam pemilihan

Page 51: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

130 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142

lewat pilkada langsung, besaran cost politic yang berhubungan dengan kebutuhan konstituen lebih sulit untuk diprediksi. Cost politic yang harus ditanggung setiap kandidat kepala daerah belum berhenti sampai di situ. Dalam rangka memperoleh dukungan partai politik, para kandidat harus terlebih dahulu menyiapkan sejumlah dana untuk ”disumbangkan” ke partai politik guna memenuhi syarat dukungan dari parpol.

Hal ini tidak terlepas dari manajemen dan sistem keuangan atau pendanaan parpol yang tidak jelas. Adanya kewenangan parpol dalam merekrut dan mengusulkan calon kepala daerah sering disalahgunakan sebagian elite parpol sebagai jalan untuk ”memeras” para calon kepala daerah. Maka tidak heran bila kemudian publik mempersepsikan bahwa parpol hanya akan bisa dimanfaatkan sebagai ”perahu tumpangan” politik menuju kursi kekuasaan bila “penumpangnya” mampu menyediakan sejumlah dana bagi kepentingan parpol.

Praktik semacam ini tidak jarang akan berdampak pada proses kaderisasi dan loyalitas pengurus parpol menjadi tidak bermakna, khususnya ketika sudah berhadapan dengan nilai rupiah yang disajikan para kandidat. Di sinilah peran dan tanggung jawab parpol dalam rangka memberikan pencerahan politik terhadap publik menjadi patut dipertanyakan. Padahal, sejak era reformasi, pluralisme partai politik telah dijamin di Tanah Air yang dapat dibuktikan dengan banyaknya partai politik dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Pada era reformasi, parpol dapat mengembangkan basis politiknya hingga ke tingkat bawah (grass root) (Winarno, 2008: 61).

Dalam perspektif historis, pemilihan kepala daerah secara langsung sebenarnya memiliki

beberapa model. Pertama, model two round system. Sistem ini sudah pernah dilakukan pada pemilu presiden 2004 lalu. Dalam sistem ini, pemilih hanya memberikan pilihannya kepada satu calon kepala daerah dan calon kepala daerah hanya dapat menduduki jabatan jika sudah mencapai lima puluh persen plus satu suara. Kedua adalah model approval, model ini memberi peluang bagi pemilih untuk memilih semua calon kepala daerah.

Terakhir adalah model ketiga, yaitu model first past the post. Model ini hampir sama seperti pemilihan kepala desa. Calon yang menduduki peringkat yang ditunjukkan dengan jumlah suara terbesar secara otomatis akan menduduki posisi sebagai kepala daerah (Prihatmoko, 2008: 240-241). Dalam sistem ini, masalah persentase jumlah pemilih yang memberikan hak pilihnya tidak menjadi persoalan. Berapapun jumlah konstituen yang memberikan hak pilihnya tidak akan berpengaruh terhadap kemenangan seorang kandidat kepala daerah. Kuncinya adalah siapa yang berhasil meraih suara tertinggi, maka akan keluar sebagai pemenang. Guna meraih suara tertinggi inilah biasanya muncul berbagai persoalan seperti politik uang, kekerasan dan bahkan kerusuhan.

Dalam khasanah ilmu politik, realitas munculnya pemilihan umum, khususnya di tingkat pemilihan kepala daerah yang berlangsung secara damai sering dikaitkan dengan adanya budaya politik yang baik di dalam masyarakat itu sendiri. Larry Diamond mengemukakan bahwa adanya nilai-nilai tertentu di dalam masyarakat seperti moderation, cooperation, bargaining and accomodation adalah merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam demokrasi. Nilai-nilai yang demikian berlawanan dengan nilai-nilai ekstrimitas dan kaku yang sering dipandang tidak

Page 52: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

130 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142 Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora) | 131

sejalan dengan demokrasi, khususnya demokrasi liberal (Marijan, 2006: 63).

Melalui nilai-nilai yang memiliki corak demokratis, maka proses perjuangan dalam rangka meraih maupun mempertahankan kekuasaan akan dilakukan secara damai, sedangkan budaya kekerasan dalam mencapai tujuan justru akan disingkirkan. Kalaupun kemudian terjadi konflik, maka akan diselesaikan dan dituntaskan melalui lembaga politik yang tersedia. Pemilu merupakan pelembagaan untuk menyelesaikan konflik politik yang berkaitan dengan upaya untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan secara damai dan tenteram (Marijan, 2006: 63).

Sekalipun berbagai persoalan selalu muncul dalam setiap pelaksanaan demokrasi langsung di Tanah Air, namun jujur harus diakui bahwa penerapan demokrasi langsung yang dibangun bangsa ini sudah banyak melahirkan kontribusi positif. Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pada tahun 2004 sebagai pemimpin negeri ini adalah merupakan salah satu fakta nyata dari keberhasilan demokrasi langsung. Ketika itu, pasangan SBY-JK berhasil memenangi pemilu putaran kedua dengan mengantongi 69.266.704 suara atau sekitar 60,62 persen dari seluruh suara sah, sedangkan Megawati-Hasyim Muzadi yang merupakan pesaingnya hanya mampu meraih 44.990.054 suara atau sekitar 39,38 persen dari seluruh suara sah (Soempono, 2009: 10).

Terlepas dari sejumlah plus minus pelaksanaan demokrasi langsung selama ini, setidaknya tingkat kematangan masyarakat luas dalam menghadapi perhelatan demokrasi langsung akan terbangun dengan sendirinya seiring dengan berbagai pengalaman yang ada. Sistem demokrasi langsung juga telah membuka ruang yang begitu luas bagi tampilnya calon pemimpin yang sesuai

dengan kehendak mayoritas rakyat (Mahfud MD, 2007: 133). Oleh sebab itulah, maka demokrasi langsung masih dipandang sebagai jalan paling efektif dalam rangka menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin, baik di daerah maupun di tingkat pusat sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat.

B. Analisis

1. Hak Memilih (Right to Vote) Sebagai Hak Asasi Manusia dan Pertimbangan Hakim MK dalam Putusan Nomor 85/PUU-X/2012

a. Hak Memilih (Right to Vote) sebagai Hak Asasi Manusia

Sebagaimana diuraikan pada bagian pendahuluan penelitian ini, hak warga negara untuk memilih (right to vote) adalah merupakan hak konstitusional warga negara. Kedudukannya jelas diatur dalam konstitusi. Oleh sebab itu, maka hak memilih bagi warga negara perlu mendapat perlindungan maksimal dari pemerintah. Perlindungan dimaksud meliputi jaminan dan kepastian bahwa warga negara berhak turut serta dan berperan aktif dalam proses demokrasi, khususnya demokrasi langsung.

Hal ini juga sekaligus sebagai pembuktian bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan sebagaimana dituangkan dalam UUD 1945 benar-benar dapat merealisasikan hak pilihnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Haposan Siallagan dan Janpatar Simamora (2011: 137-138) bahwa sebagai pemegang kedaulatan, maka rakyatlah yang menentukan corak dan cara serta tujuan apa yang hendak dicapai dalam kehidupan kenegaraan sekalipun harus diakui bahwa teramat sulit untuk memberikan keleluasaan kepada rakyat dalam menjalankan kekuasaan tertinggi itu.

Page 53: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

132 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142

Selain itu, sebagaimana diuraikan pemohon dalam pokok permohonannya bahwa hak memilih adalah suatu bentuk pengejawantahan hak atas kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 yang secara khusus juga diatur dalam Pasal 43 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi: “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Selain itu, sebagaimana disebutkan pada halaman 9 putusan MK dimaksud bahwa hak memilih juga tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Selain itu, dalam perspektif sejarah, bangsa Indonesia juga pernah menerapkan konsep negara hukum (rechtsstaat) yang mana salah satu cirinya adalah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (Librayanto, 2008: 12). Konsep dimaksud sampai saat ini masih tetap dipegang teguh oleh bangsa Indonesia sekalipun UUD 1945 tidak lagi memuat istilah “rechtsstaat”. Didasarkan pada sejumlah ketentuan dan fakta dimaksud, maka sesungguhnya tidak ada ruang bagi pemerintah untuk melakukan pembatasan terhadap hak pilih warga negara dalam sebuah proses demokrasi.

Keberadaan hak memilih warga negara bukan hanya diakui secara nasional, melainkan juga secara internasional telah mendapat payung

hukum yang memadai. Dengan demikian, maka menjadi sangat patut dan beralasan untuk mempersoalkan ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 karena dapat menyebabkan seorang warga negara berpotensi kehilangan hak memilihnya ketika tidak terdaftar sebagai pemilih atau tidak tercantum dalam daftar pemilih.

Ketentuan ini jelas sangat tidak mencerminkan keadilan dan bertentangan dengan jiwa serta semangat yang terkandung dalam UUD 1945. Oleh sebab itu, maka menjadi sangat beralasan bagi pihak pemohon dalam kasus permohonan pengujian Pasal 69 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa ketentuan pasal dimaksud telah membatasi dan bahkan melanggar hak konstitusionalnya sebagai warga negara yang memiliki hak untuk memilih (right to vote). Kalau hak asasi manusia yang sudah ditegaskan dalam konstitusi seperti hak untuk memilih sudah dibatasi dengan perangkat peraturan perundang-undangan, lalu bagaimana mungkin kemudian masyarakat akan meyakini bahwa pemerintah akan mampu melindungi hak-hak warganya?

Hal ini jelas berdampak buruk bagi masa depan hak asasi manusia itu sendiri. Selain itu, pembatasan hak memilih bagi warga negara juga akan berpotensi merusak dan bahkan mengancam keberlangsungan demokrasi itu sendiri. Bahkan regulasi yang membatasi hak memilih warga negara sangat kontraproduktif dengan upaya yang dilakukan pemerintah dengan mendorong dan memotivasi masyarakat untuk berperan aktif dalam setiap perhelatan demokrasi di Tanah Air. Munir Fuady (2009: 136) mengungkapkan bahwa dalam suatu negara demokrasi, partisipasi rakyat merupakan prinsip dasar. Hal ini sesuai dengan pengertian dari istilah “demokrasi” itu sendiri, yaitu pemerintahan oleh rakyat dan

Page 54: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

132 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142 Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora) | 133

untuk rakyat. Jadi sesungguhnya tidak ada ruang untuk menghambat atau menghalangi rakyat untuk berpartisipasi dalam perhelatan demokrasi langsung.

b. Pertimbangan Hakim MK

Berdasarkan rangkaian proses persidangan yang digelar MK dalam perkara pengujian UU No. 32 Tahun 2004, khususnya Pasal 69 ayat (1) terhadap UUD 1945, para pemohon berupaya menguatkan dalil-dalil permohonannya dengan mengajukan sejumlah bukti. Setidaknya ada sekitar 10 bukti penting yang diajukan oleh pemohon dalam perkara tersebut.

Kemudian dalam mengadili perkara pengujian UU No. 32 Tahun 2004, khususnya Pasal 69 ayat (1) terhadap UUD 1945 majelis hakim MK mengemukakan sejumlah pertimbangan hukum. Setidaknya, MK menguraikan sebanyak 20 butir penting yang menjadi pertimbangannya dalam menangani perkara tersebut.

Dengan mendasarkan pada sejumlah alat bukti yang diajukan pemohon, maka kemudian majelis hakim MK menguraikan pendapatnya sebagai berikut:

1. Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden”. Oleh karena pasal tersebut mempergunakan kata “dapat”, maka Mahkamah tidak harus mendengar keterangan Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden dalam melakukan pengujian atas suatu undang-undang. Dengan kata lain, Mahkamah dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh karena permasalahan hukum dalam permohonan a quo sudah jelas, Mahkamah memandang tidak ada urgensi dan relevansinya untuk meminta keterangan dan/atau risalah rapat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, sehingga Mahkamah langsung mempertimbangkan dan kemudian memutus permohonan a quo;

2. Menimbang bahwa para pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU Pemda yang menyatakan, “Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Republik Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.” yang dalam implementasinya mengharuskan warga negara terdaftar sebagai pemilih atau tercantum dalam daftar pemilih untuk dapat menggunakan haknya untuk memilih dalam suatu pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah justru menghilangkan hak konstitusional warga negara untuk memilih. Oleh karenanya, menurut para pemohon, Pasal 69 ayat (1) UU Pemda tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945;

Page 55: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

134 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142

3. Menimbang bahwa terhadap perkara a quo, Mahkamah perlu merujuk Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24 Februari 2004, yang pada halaman 35 menyatakan, “... bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara”;

4. Menimbang bahwa meskipun Pasal 69 ayat (1) UU Pemda yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam perkara a quo adalah berbeda dengan ketentuan yang dimohonkan pengujian dalam Perkara Nomor 102/PUUVII/ 2009 tentang Permohonan Pengujian Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, akan tetapi secara substansi kedua ketentuan tersebut mengatur hal yang pada prinsipnya sama yaitu mengenai hak seseorang untuk memilih (right to vote), sehingga pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 102/PUUVII/ 2009 bertanggal 6 Juli 2009 tersebut mutatis mutandis berlaku pula dalam perkara a quo;

5. Menimbang bahwa dalam konteks Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, serta mengingat urgensi perkara tersebut yang saat itu telah mendekati pelaksanaan pemungutan suara, Mahkamah, dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 a quo, pada paragraf [3.20] dan paragraf [3.23],

telah menegaskan bahwa, “... ketentuan yang mengharuskan seorang warga negara terdaftar sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) lebih merupakan prosedur administratif dan tidak boleh menegasikan hal-hal yang bersifat substansial yaitu hak warga negara untuk memilih (right to vote) dalam pemilihan umum. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat diperlukan adanya solusi untuk melengkapi DPT yang sudah ada sehingga penggunaan hak pilih warga negara tidak terhalangi; ... sebelum memberikan putusan tentang konstitusionalitas pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, agar di satu pihak tidak menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara dan di lain pihak tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Mahkamah perlu memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengatur lebih lanjut teknis pelaksanaan penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT dengan pedoman sebagai berikut:

a. Warga Negara Indonesia yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau Paspor yang masih berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri;

b. Bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK) atau nama sejenisnya;

c. Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang

Page 56: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

134 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142 Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora) | 135

masih berlaku hanya dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya. Khusus untuk yang menggunakan paspor di Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) harus mendapat persetujuan dan penunjukan tempat pemberian suara dari PPLN setempat;

d. Bagi Warga Negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam angka 3 di atas, sebelum menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat;

e. Bagi Warga Negara Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau Paspor dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS LN setempat.”

6. Menimbang bahwa dalam konteks pemilukada, tidak validnya data DPT merupakan salah satu persoalan yang muncul di hampir semua perkara perselisihan hasil pemilukada yang diadili di Mahkamah, bahkan persoalan tersebut juga melebar pada tidak validnya data DPS, data Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP), DPSHP Akhir, hingga data Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4), yang meskipun pada sebagian besar perkara pemilukada tidak dapat dibuktikan secara materiil bahwa hal tersebut memberi pengaruh signifikan terhadap hasil perolehan suara masing-masing pasangan calon, namun tidak dipungkiri bahwa pada kenyataannya persoalan tidak validnya data DPT, DPS, maupun DP4 tersebut tetap ada, setidak-tidaknya di wilayah-wilayah yang menjadi objek sengketa perselisihan hasil

pemilukada yang diadili di Mahkamah. Dalam banyak putusan perkara pemilukada pula, Mahkamah telah berulang kali menyatakan bahwa persoalan DPT bukanlah persoalan yang berdiri sendiri, melainkan terkait dengan persoalan pengelolaan data kependudukan yang masih belum selesai. Kesalahan yang terjadi dalam penyusunan DPT, terutama terkait NIK, adalah karena kekurangsempurnaan pencatatan dalam sistem informasi administrasi kependudukan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi;

7. Menimbang bahwa dalam rangka melindungi dan menjamin terlaksananya hak warga negara untuk memilih dalam pemungutan suara pemilukada, Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 17A Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 72 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Tempat Pemungutan Suara, bahwa:

a. Pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT tetapi namanya tercantum dalam data pemilih/DPS dapat memberikan suaranya di TPS.

b. Apabila nama pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam data pemilih/DPS, Ketua KPPS berdasarkan keterangan Ketua PPS memberikan surat pemberitahuan (Model C6 – KWK.KPU).

8. Bahwa dalam perkembangannya, baik dengan merujuk pada Putusan Nomor

Page 57: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

136 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142

011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24 Februari 2004 maupun Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 bertanggal 6 Juli 2009, Mahkamah, dalam putusan-putusan perkara perselisihan hasil pemilukada pada pokoknya membenarkan praktik-praktik yang dilakukan oleh KPU di daerah yang ditujukan untuk mengakomodasi sebanyak-banyaknya penduduk setempat yang telah memenuhi ketentuan untuk menjadi pemilih dalam pemungutan suara pemilukada. Adapun beberapa contoh putusan Mahkamah tersebut, antara lain: (1) Putusan Nomor 28/PHPU.D-VIII/2010 tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur, Tahun 2010, bertanggal 10 Agustus 2010, pada pokoknya telah menyatakan bahwa warga negara yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan KTP atau paspor yang masih berlaku, sehingga seandainya pun tidak dilakukan penambahan DPT, warga masih dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan identitas yang masih berlaku yakni KTP atau paspor; (2) Putusan Nomor 209-210/PHPU.D-VIII/2010 tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Tangerang Selatan Tahun 2010, bertanggal 10 Desember 2010, pada pokoknya membenarkan tindakan termohon (KPU Kota Tangerang Selatan) yang telah berupaya mencegah hilangnya hak konstitusional warga untuk memilih dengan mengeluarkan surat edaran yang membolehkan penggunaan KTP bagi para pemilih yang tidak mendapatkan undangan dan kartu pemilih; (3) Putusan Nomor 77/

PHPU.D-X/2012 tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2012, bertanggal 7 November 2012, pada pokoknya menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh termohon (KPU Kabupaten Brebes) dalam rangka menjamin dan melindungi hak warga negara untuk memilih (right to vote) yaitu dengan mengakomodasi calon pemilih yang tidak hanya terdaftar dalam DPT, namun juga terdaftar di DP4, DPS, dan DPSHP, adalah sudah tepat;

9. Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076), hakim, termasuk hakim konstitusi, diwajibkan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan maksud agar putusan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat;

10. Menimbang bahwa dalam rangka menjamin hak konstitusional warga negara untuk memilih (right to vote) khususnya dalam pemilukada dan untuk memberikan kepastian hukum yang adil serta memperoleh kemanfaatan seoptimal mungkin dalam penyelenggaraan pemilukada baik bagi pasangan calon peserta pemilukada, penyelenggara pemilukada, maupun warga masyarakat yang akan memberikan hak pilihnya baik yang tercantum datanya dalam DPT, DPS, DPSHP, DPSHP Akhir, dan DP4 maupun yang tidak tercantum dalam data-

Page 58: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

136 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142 Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora) | 137

data tersebut namun memiliki KTP yang asli dan masih berlaku, Mahkamah perlu memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk mengatur lebih lanjut teknis pelaksanaan penggunaan hak pilih bagi warga negara Indonesia baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar dalam DPT, DPS, DPSHP, DPSHP Akhir, dan DP4 dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam amar putusan ini;

11. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas dalam kaitan satu sama lain, menurut Mahkamah, permohonan para pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Didasarkan atas sejumlah pertimbangan dan pendapat itulah, maka kemudian majelis hakim MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, khususnya terkait dengan ketentuan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Mahkamah berkesimpulan bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945 dan berpotensi merugikan warga negara dalam memberikan hak pilihnya.

Bila kemudian dianalisis lebih dalam, maka apa yang menjadi pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana diuraikan di atas cukup selaras dengan upaya bangsa Indonesia dalam mewujudkan negara demokrasi yang sesungguhnya. Karena bagaimanapun harus diakui bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki sejumlah aspek pendukung yang cukup kuat. Pertama, melalui pemilihan kepala daerah secara langsung, maka peran serta rakyat dalam proses demokrasi akan dapat direalisasikan secara langsung. Rakyat akan langsung menentukan pilihan terkait siapa sosok

pemimpin yang dinilai layak mengemban tampuk kekuasaan.

Kedua, pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki aspek objektivitas yang lebih kuat. Ketika rakyat terlibat langsung dalam proses pemilihan, maka sisi objektivitas suatu proses demokrasi akan dapat lebih dipertanggungjawabkan, khususnya bila dibandingkan dengan sistem pemilihan lewat lembaga perwakilan yang sarat dengan nuansa kepentingan politik dan lebih cenderung subjektif.

Ketiga, proses pemilihan secara langsung akan berdampak pada proses pematangan demokrasi itu sendiri. Demokrasi suatu negara diyakini akan matang dan mapan ketika keterlibatan rakyat dalam proses demokrasi itu sendiri dilakukan secara langsung. Karena bagaimanapun, dalam alam demokrasi, rakyatlah yang memegang kunci sentral sebagaimana hakikat demokrasi itu sendiri, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Selain itu, melalui proses pemilihan kepala daerah secara langsung, potensi terjadinya politik uang akan dapat diminimalisir, paling tidak untuk tahapan demokrasi di masa yang akan datang, yaitu setelah rakyat benar-benar matang dan teruji dengan proses demokrasi itu sendiri. Kalaupun fakta yang ada saat ini menunjukkan bahwa proses demokrasi langsung terkesan diwarnai dengan sejumlah kasus politik uang, seyogianya kondisi dimaksud dimaknai sebagai suatu kondisi dan situasi menuju proses pematangan demokrasi itu sendiri.

Keempat, proses pemilihan secara langsung memberikan ruang baru bagi rakyat untuk melakukan kontrol langsung atas kinerja pemerintah yang sedang berkuasa melalui people power. Kalau kemudian rakyat menganggap

Page 59: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

138 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142

bahwa pemerintah yang sedang berkuasa telah melanggar kepatutan yang melukai hati rakyat dan mengingkari “kontrak politik”, maka bukan tidak mungkin bahwa rakyat akan mencabut mandatnya melalui people power (At Thoriq, 2008: 131).

Atas dasar itu, maka putusan MK kali ini patut dimaknai sebagai suatu terobosan penting dalam rangka menjaga dan menegakkan hak konstitusional warga negara. Putusan dimaksud juga merupakan konsekuensi yuridis atas keberadaan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang telah memilih sistem demokrasi, khususnya demokrasi langsung sebagai konsep bernegara yang patut direalisasikan saat ini. Sistem demokrasi yang kita anut sebagaimana digariskan dalam konstitusi bukanlah sebuah istilah yang hanya akan dipajang sebatas naskah di atas kertas semata, namun harus diwujudnyatakan dengan baik. Jadi sesungguhnya tidak ada alasan untuk mengekang hak politik warga negara dengan dalih mengatur mekanisme demokrasi melalui sejumlah regulasi yang justru menjadi penghambat penyaluran aspirasi bagi pemilih.

Selain itu, alasan memilih konsep demokrasi dalam berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia bukanlah lahir dari konsep yang mengada-ada. Pemilihan konsep demokrasi bagi bangsa ini lahir dari pertimbangan bahwa tercatat begitu banyak negara yang berhasil membangun negerinya dengan konsep dan landasan serta sistem demokrasi. Sistem demokrasi juga dianggap lebih relevan dalam rangka membangun dan mewujudkan bangsa Indonesia yang lebih demokratis, berkeadilan, sejahtera dan makmur. Oleh sebab itu, upaya penguatan proses demokrasi perlu dilakukan dengan menghilangkan berbagai prosedur dan mekanisme yang terkesan justru menjadi penghalang bagi masyarakat luas untuk

berpartisipasi secara utuh dalam setiap proses demokrasi, baik demokrasi tingkat nasional maupun lokal.

Sebagaimana dikemukakan Soehino (2010: 139-140) bahwa secara hakiki dan mendasar, sistem demokrasi merupakan sistem pengikutsertaan rakyat dalam hal pengambilan keputusan. Sedangkan implementasi sistem demokrasi itu sendiri adalah pemilihan umum. Dengan demikian, maka pelaksanaan demokrasi, khususnya demokrasi langsung harus benar-benar memberi ruang secara penuh bagi keterlibatan rakyat dalam rangka menentukan siapa yang layak menjadi pemimpinnya. Hal ini perlu dipertegas demi masa depan dan peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri.

2. Kontribusi Putusan Hakim Guna Menjamin dan Melindungi Hak Warga Negara untuk Memilih (Right to Vote) dalam Proses Demokrasi Langsung sebagai Hak Konstutisional Warga Negara

Putusan MK terkait dengan pengujian UU No. 32 Tahun 2004 terhadap UUD 1945 tentu patut diapresiasi sebagai bagian dari upaya memaksimalkan pelaksanaan pemilu dan pemilihan kepala daerah yang lebih demokratis. Putusan ini juga jelas akan berkontribusi besar dalam rangka memaksimalkan peran serta seluruh warga negara yang mempunyai hak pilih untuk memberikan hak pilihnya tanpa hambatan regulasi seperti yang terjadi selama ini.

Sebagaimana dianut dalam prinsip demokrasi substansial bahwa kesetaraan bagi seluruh warga negara dalam melakukan aktivitas politiknya, termasuk dalam memberikan pilihan dalam pelaksanaan pemilu adalah merupakan suatu keharusan (Pahlevi et.al., 2008: 43). Oleh

Page 60: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

138 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142 Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora) | 139

sebab itu, maka semestinya semua warga negara harus diperlakukan setara dalam merealisasikan hak politiknya seperti hak memilih dalam pelaksanaan demokrasi.

Sebenarnya, bila ditelisik lebih jauh bahwa tingginya angka golongan putih (golput) dalam proses demokrasi langsung tidak terlepas dari adanya regulasi yang membatasi kebebasan warga negara dalam memberikan hak pilihnya. Tentu harus diakui bahwa tidak semua pihak yang tidak menjatuhkan hak pilihnya dilatarbelakangi faktor ketidakterdaftaran dalam DPT. Ada banyak warga yang memang sungguh-sungguh tidak bersedia mendatangi TPS. Faktor kejenuhan publik terhadap proses demokrasi, maraknya pejabat publik yang terjerat masalah hukum, tidak kunjung membaiknya sisi kehidupan rakyat adalah merupakan sederet alasan klasik yang kerap mengemuka.

Persoalan inipun pada akhirnya berakumulasi dalam satu kesatuan dengan persoalan ketidakterdaftaran sejumlah warga dalam DPT. Urusan DPT sesungguhnya bukanlah urusan pemilih. Penetapan DPT merupakan bagian dari kewenangan penyelenggara pemilu. Oleh sebab itu, sebenarnya tidak terbuka ruang untuk menyalahkan pemilih melalui pembatasan pemberian hak suara hanya karena persoalan DPT. Hal itu sama saja bahwa yang melakukan kesalahan adalah penyelenggara pemilu, namun yang menanggung akibatnya justru pemilih itu sendiri. Situasi ini kian diperparah dengan kinerja penyelenggara pemilu di sejumlah perhelatan demokrasi, khususnya di tingkat lokal yang jauh dari sikap profesional. DPT yang ada tidak jarang justru sangat amburadul dan tidak valid.

Sebagai konsekuensinya, maka angka golputpun menjadi sangat tinggi. Maka tidak

heran bila kemudian dalam sejumlah pemilihan kepala daerah, khususnya yang baru-baru ini dihelat di sejumlah daerah, persentase golput berada dalam kisaran yang kian memprihatinkan. Bahkan untuk Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara yang dihelat pada 7 Maret lalu, angka golput lebih dari 50 persen (Harian Analisa, Edisi Jumat, 15 Maret 2013). Kalau seumpama golput dipersandingkan sebagai salah satu peserta perhelatan demokrasi, maka kemungkinan besar golongan ini akan selalu menjadi pemenang.

Guna menjamin sepenuhnya keleluasaan para pemilih dalam memberikan hak politiknya, maka MK telah membuka ruang kebebasan melalui penegasan bahwa jika pemilih tidak terdaftar dan berkemauan memberikan hak politiknya, yang bersangkutan dapat mendatangi TPS dengan hanya menunjukkan KTP dan KK yang masih berlaku. Ketentuan ini disyaratkan berlaku sesuai dengan tempat tinggal pemilih yang bersangkutan. Keterbukaan ruang kebebasan pemilih dalam memberikan hak politiknya dengan hanya bermodalkan KTP ditegaskan lewat putusan MK Nomor 85/PUU-X/2012 perihal perkara judicial review atas Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Lewat putusan itu, MK menyatakan bahwa Pasal 69 ayat (1) UU dimaksud adalah konstitusional sepanjang mencakup warga negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT, DPS, DPSHP, DPSHP Akhir dan DP4 yang menunjukkan KTP dan KK. Tidak hanya itu, guna memudahkan teknis pelaksanaan putusan dimaksud, MK juga menguraikan sejumlah pedoman penggunaan KTP dan KK pada saat pemilihan. Pertama, pemilih yang

Page 61: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

140 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142

bersangkutan harus menunjukkan KTP dan KK atau nama sejenisnya yang masih berlaku. Kedua, penggunaan hak pilih tersebut dapat dilakukan di TPS yang berada dalam wilayah RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera dalam KTP. Ketiga, pengguna hak pilih harus terlebih dahulu mendaftarkan diri ke KPPS setempat sebelum menggunakan hak pilihnya. Keempat, pemberian suara dilakukan dalam waktu 1 jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS.

Kasus semacam ini sebenarnya bukan merupakan kasus pertama yang pernah mencuat ke permukaan. Sebelumnya, MK lewat dua putusan terdahulu dengan nomor 011-017/PUU-I/2003 dan nomor 102/PUU-VII/2008 juga pernah menegaskan bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah merupakan hak yang dijamin sepenuhnya oleh konstitusi. Dengan dalil putusan yang demikian, maka segala bentuk pembatasan, pengurangan, apalagi kalau sampai mengarah pada peniadaan dan penghapusan hak dimaksud dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi warga negara.

Sekalipun pada dasarnya perkara semacam ini hanya mencuat dari sekelompok kecil lapisan masyarakat yang merasa dirugikan hak politiknya dan kemungkinan besar tidak bermakna signifikan dalam menggeser peta kemenangan salah satu kandidat dalam perhelatan demokrasi, namun upaya perluasan kesempatan bagi seluruh warga yang hendak memberikan hak pilihnya patut dimaknai sebagai langkah positif membangun demokrasi yang lebih berkualitas. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi jangan sampai hanya sebatas wacana semata. Berbagai regulasi yang ada terkait proses demokrasi, semestinya diperuntukkan dalam rangka meningkatkan

partisipasi masyarakat luas, bahkan memotivasi setiap pemilih untuk memberikan hak politiknya.

Oleh sebab itulah, maka putusan MK kali ini cukup memiliki kontribusi signifikan dalam rangka membuka ruang kebebasan bagi masyarakat luas guna menyalurkan hak politiknya dalam setiap perhelatan demokrasi di Tanah Air. Putusan ini juga sekaligus mengakhiri dalih pembenar terhadap sejumlah alasan yang sering diajukan publik ke permukaan terkait “keengganan”-nya untuk mendatangi TPS dan memberikan hak pilihnya. Artinya bahwa tidak ditemukan lagi ruang pembenar bagi publik untuk mengklaim bahwa ruang kebebasan demokrasi terbentur dalam sejumlah regulasi prosedural. Sebab fakta terkini pasca putusan Mahkamah Konstitusi kali ini cukup menunjukkan bagaimana sejumlah prosedur penghambat pemberian hak pilih telah dipangkas sedemikian rupa demi upaya lebih mendemokratiskan demokrasi di Tanah Air. Dengan demikian, maka menjadi harapan seluruh elemen bangsa bahwa pasca putusan MK kali ini, proses berdemokrasi di Tanah Air dapat lebih bergairah serta lebih optimal dalam rangka melahirkan pemimpin yang didasarkan pada kehendak mayoritas rakyat.

Kini yang menjadi persoalan kemudian adalah sejauhmana kemudian pemerintah mampu mewadahi seluruh lapisan masyarakat guna mendapatkan KTP dan KK. Pasalnya selama ini, tidak jarang ditemukan warga yang sama sekali tidak memiliki KTP dan KK. Persoalan rumitnya birokrasi dan panjangnya liku-liku administrasi pemerintahan selalu menjadi biang permasalahan yang tak kunjung berkesudahan. Padahal, persoalan KTP adalah persoalan hak sebagai warga negara. Ketika kebebasan demokrasi langsung sudah diperluas dengan kemudahan

Page 62: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

140 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142 Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora) | 141

syarat memilih, maka semestinya tidak ada lagi ruang pembatas bagi warga untuk memberikan hak pilihnya. Jangan sampai kemudian proses pemberian hak pilih dengan menunjukkan KTP dan KK justru tidak berjalan maksimal hanya karena persoalan birokrasi pemerintahan yang tidak kunjung mampu untuk memfasilitasi warganya dengan identitas kependudukan bernama KTP dan KK.

SIMPULANIV.

Adapun hal-hal yang dapat disimpulkan dalam penelitian ini adalah pertama, bahwa majelis hakim MK telah memberikan pertimbangan yang tepat dalam rangka melakukan pengujian Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945. Ketentuan tersebut jelas bertentangan dengan UUD 1945 karena membatasi pemberian hak pilih warga negara dalam proses demokrasi, baik di tingkat lokal maupun nasional. Ketentuan dimaksud juga berpotensi menurunkan kualitas demokrasi langsung yang sedang dibangun bangsa Indonesia.

Kedua, putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam perkara tersebut akan berkontribusi besar dalam rangka membangun demokrasi yang lebih berkualitas. Putusan tersebut dengan sendirinya akan mengurangi angka golongan putih dalam setiap perhelatan demokrasi. Agar kemudian putusan MK kali ini dapat berjalan lebih maksimal, maka seyogianya pemerintah melakukan pembenahan birokrasi, khususnya dalam bidang pelayanan administrasi kependudukan seperti KTP dan KK. Dengan demikian, maka proses demokrasi langsung di masa yang akan datang dapat berjalan lebih maksimal dan lebih berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir. 2009. Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat). Bandung: Refika Aditama.

Harian Analisa. Edisi Jumat, 2013, 15 Maret. (Tajuk Rencana: Meminimalisir Golput dalam Pemilu). Akses, 18 Maret 2013. < http://www.analisadaily.net/news/2013/1438/meminimalisir-golput-dalam-pemilu/>.

At Thoriq, Anthon Kusrinantio. 2008. Demokrasi dan Efektifitas Pemerintahan. Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 28 Tahun 2008.

Cornelis, Lay, et.al. 2003. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Gadjah Mada.

Librayanto, Romi. 2008. Trias Politika dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Makassar: PuKAP Indonesia.

Marijan, Kacung. 2006. Demokratisasi di Daerah: Pelajaran dari Pilkada Secara Langsung. Surabaya: Pustaka Eureka dan PusDeHAM.

Mahfud MD, Moh. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: Pustaka LP3S.

MPR RI. 2012. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Cetakan Kesebelas. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.

Page 63: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

142 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142

Pahlevi, Indra, et.al. 2008. Pemilu 2009 dan Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: P3DI Sekretariat Jenderal DPR RI.

Prihatmoko, Joko J. 2008. Mendemokratiskan Pemilu: Dari Sistem Sampai Elemen Teknis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan LP3M Universitas Wahid Hasyim Semarang.

Sabarno. Hari. 2008. Memandu Otononi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Siallagan, Haposan dan Janpatar Simamora. 2011. Hukum Tata Negara Indonesia. Medan: UD. Sabar.

Soehino. 2010. Politik Hukum di Indonesia. Yogyakarta: BPFE-UGM.

Soempono, Femi Adi. 2009, Pemimpin dengan Tahta Rakyat. Yogyakarta: Galangpress.

_________________. 2009. Indonesia Memilih. Yogyakarta: Galangpress.

Winarno, Budi. 2008. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Cetakan Kedua. Yogyakarta: MedPress.

Page 64: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

142 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142 Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas Parlemen yang Afirmatif (Wasisto Raharjo Jati) | 143

ABSTRAK

Tulisan ini menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012. Putusan tersebut memuat dua hal penting. Pertama, adanya penetapan ambang batas parlemen sebesar 3,5%. Ambang batas parlemen yang seharusnya menjadi sarana untuk mengefektifkan pemilu yang berkualitas justru menjadi sarana diskriminasi bagi partai politik lainnya. Penyederhanaan partai politik kemudian diartikan sebagai pembatasan kekuasaan. Suksesi kekuasaan hanya berlangsung pada partai politik lama dan tidak akan beralih pada partai politik baru. Kedua, adanya verfikasi ulang terhadap partai politik peserta pemilu. Verifikasi kemudian menjadi permasalahan lainnya yang membuat keikutsertaan partai politik baru dalam pemilu terasa kian absurd. Verifikasi dengan menyertakan ambang batas pemilu merupakan syarat yang berat. Hal itu jelas akan menimbulkan rivalitas antara partai politik menjadi tidak kompetitif. Demokrasi menjadi kian kabur maknanya ketika kekuatan oligarkis sendiri masih berkuasa di parlemen. MK melihat adanya ketidakpastian maupun ketidakadilan hukum dalam substansi Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2012.

Inkonsistensi regulasi pemilu yang eksperimental perlu diakhiri demi demokrasi.

Kata kunci: regulasi pemilu, verifikasi, ambang batas parlemen, demokrasi.

AbSTRACT

This paper analyzes the Constitutional Court Decision No. 52/PUU-X/2012 which contains two important points concerning the establishment of the parliamentary threshold of 3.5% and re-verification of the political parties contesting the election. The threshold which should be a means to make an effective and qualified election instead became a means of discrimination among the political parties. Simplified model of political party is then interpreted as a means of power limitation. Power succession takes place only on the former political party and will not switch to a new political party. Verification then becomes another problem that makes the participation of new political party in the election seemed increasingly absurd. Verification that includes electoral threshold is a severe condition. This will obviously lead to

MENUJU SISTEM PEMILU DENGANAMBANG BATAS PARLEMEN YANG AFIRMATIF

Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012

TOWARDS THE AFFIRMATIVE PARLIAMENTARYTHRESHOLD ELECTION SYSTEMS

Wasisto Raharjo JatiFakultas ISIPOL Universitas Gadjah MadaJL. Sosio-Yustisia No. 2 Yogyakarta 55281

Email: [email protected]

An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 52/PUU-X/2012

Diterima tgl 22 Mei 2013/Disetujui tgl 15 Juli 2013

Page 65: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

144 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158

PENDAHULUANI.

Perdebatan mengenai sistem pemilu yang berlaku di Indonesia pasca Orde Baru hingga saat ini belum pernah usai. Beragam metode dan idealisme telah dikerahkan untuk mewujudkan sistem pemilu yang diinginkan. Sepanjang proses tersebut, fondasi dasar sistem pemilu Indonesia belumlah menemui konsensus yang sama. Implikasinya bisa disimak dari berbagai revisi yang senantiasa dilakukan terhadap produk UU Politik sehingga menampilkan sistem pemilu sebagai fondasi demokrasi kita sangat eksperimentatif. Ketiadaan rancang bangun filosofi yang sama itulah berujung pada perumusan sistem pemilu yang eksklusif dan diskriminatif. Dalam hal ini, terdapat upaya membangun aliansi bagi kekuatan politik lama untuk meniadakan suksesi kepemimpinan politis melalui pembahasan rancangan sistem pemilu. Akibatnya, sistem pemilu Indonesia hanyalah manifestasi dari reorganisasi kekuatan partai politik lama dalam panggung demokrasi memanfaatkan saluan konstitusionalnya dalam memberikan pengaruh kepentingan dalam sistem pemilu.

Adanya putusan 52/PUU-X/2012 yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menganulir Pasal 8 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 208 dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 8 Tahun 2012) sangatlah patut diapresiasi. Hal

tersebut merupakan upaya mengikis kesenjangan politik yang dialami antara kekuatan partai politik lama dengan kekuatan partai politik baru. Setidaknya putusan tersebut juga menyiratkan untuk mengurangi rezim oligarki dalam pembentukan UU Politik untuk mengurangi egoisme dalam menjaga kekuasaannya. Adapun pembentukan UU Politik ini sebelumnya mengundang polemik dan kegaduhan politik menjelang Pemilu 2014. Polemik tersebut yang pertama adalah menyoal penetapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 3,5% yang dilakukan dalam proses elektoral baik dalam tingkat lokal maupun nasional. Selain itu, diwajibkan pula adanya aturan verifikasi terhadap partai politik non parlemen sebagai persyaratan ikut dalam Pemilu 2014 juga dinilai untuk menjegal adanya partai baru secara sistematik-konstitusional. Tentunya hal tersebut memancing reaksi keras dari 22 partai kecil yang melihat aturan tersebut sangatlah diskriminatif mengingat hal itu sama saja mengurangi partisipasi aktif warga negara lainnya untuk ikut berpartisipasi dalam proses politik praktis.

Pangkal dari pengajuan judicial review tersebut adalah terletak pada penetapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 3,5% nasional. Adanya ambang batas tersebut sebesar itu sebenarnya merupakan hal yang ganjil dalam negara demokrasi yang mapan. Penerapan ambang batas parlemen sendiri dapat dipahami dalam dua paradigma besar yakni penyederhanaan partai politik dan pengefektifan sistem pemilu.

rivalry between the political parties. The essence of democracy is increasingly blurry as the oligarchic power still in the Parliament. Constitutional Court sees this uncertainty and injustice in the legal substance of Article 8 of Law Number 10 of 2012.

The inconsistency of the experimental regulations of election should be ended in favor of democracy.

Keywords: regulation of election, verification, parliamentary threshold, democracy.

Page 66: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

144 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158 Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas Parlemen yang Afirmatif (Wasisto Raharjo Jati) | 145

Dalam alur narasi pemikiran pertama ambang batas sebagai penyederhanaan partai dimaknai sebagai bentuk kritikan atas sistem multipartai yang selama ini justru membuat peta politik nasional tidak menjadi solid dan terfragmentasi satu sama lain. Hal tersebut bisa juga diartikan sebagai upaya menjaga hegemoni kekuasaan partai politik yang mapan di ranah legislatif maupun eksekutif. Sementara itu dalam narasi pemikiran kedua ambang batas sebagai sarana pengefektifan sistem pemilu bertujuan untuk memaksimalkan jumlah suara pemilih dalam sistem pemilu sebagai entitas keterwakilan majoritarian. Ada sejumlah hak-hak suara yang terbuang karena bukan bagian dari keterwakilan majoritarian tersebut karena mewakilkan suaranya pada partai politik non parlemen.

Putusan majelis hakim konstitusi dalam putusan ini sebenarnya untuk mengatasi kegamangan antara dua paradigma besar tersebut dengan memilih jalan inklusif yakni mengembalikan pemilu sebagai upaya memilih anggota parlemen yang berkualitas. Hal terpenting untuk dimengerti perihal dimensi inklusifitas yang terdapat dalam putusan MK ini adalah pengedepanan prinsip keterwakilan afirmatif dalam sistem pemilu sehingga makna substansif dalam demokrasi tertuang dalam proses tersebut. Adapun pembahasan dimensi inklusifitas ini menjadi urgen dan signifikan dalam putusan MK ini. Pertama, mengetahui landasan filosofis MK dalam menengahi polemik ambang batas parlemen ini. Kedua, memutus adanya perdebatan eksperimental terhadap sistem pemilu dengan berupaya menginjeksi nilai-nilai demokrasi substansif dalam pemilu. Ketiga, mengembalikan kembali makna pemilu sebagai proses keterwakilan warga negara yang bebas tanpa ada halangan apapun.

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan latar belakang di atas, sistem pemilu, keterwakilan, dan prinsip afirmatif menjadi ketiga hal krusial dalam pembahasan masalah ini. Ketiganya sangatlah terkait dengan upaya menghentikan proses eksperimentasi maupun diskriminasi dalam proses pemilu agar keterwakilan dan aksesbilitas warga negara dalam lembaga eksekutif dan legislatif lebih inklusif. Maka rumusan masalah dalam tulisan ini dapat dibagi dalam dua pertanyaan besar:

1. Bagaimana bentuk pengedepanan prinsip afirmatif dalam sistem hukum pemilu yang berlaku di Indonesia melalui putusan MK tersebut?

2. Bagaimana bentuk analisis prinsip keterwakilan dalam sistem pemilu di Indonesia dalam putusan tersebut?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. STUDI PUSTAKA

Dalam menganalisa putusan MK ini, maka diperlukan studi pustaka mengenai sistem pemilu, ambang batas pemilu, dan konteks pemilu di Indonesia sebagai panduan dalam mengkaji putusan MK tersebut.

1. Sistem Pemilu

Pada dasarnya sistem pemilu yang ada diberbagai dunia ini dibagi dua tipe yakni, 1) sistem pemilu organis dan 2) sistem pemilu mekanik yang kemudian akan menghasilkan sistem proporsional dan sistem distrik sebagai acuan penyelenggaraan pemilu kontemporer (Asshiddiqie, 2007: 772). Sistem organis ini melihat bahwa rakyat sebagai individu yang setara dan sederajat kedudukannya dalam persekutuan

Page 67: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

146 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158

masyarakat. Adapun persekutuan masyarakat ini didasarkan pada ikatan genealogis, lingkungan, sosial – kultural, dan sebagainya, Para calon yang diangkat dalam badan perwakilan rakyat dipilih berdasar aspek kewilayahan dan kedekatannya dengan para para pemilih. Selain itu, sistem organis menganut sistem perwakilan umum, artinya semua kepentingan rakyat lebih diagregasi dan dihargai daripada kepentingan pribadi calon yang dipilihnya. Sistem organis inilah yang nantinya menurunkan sistem pemilu distrik modern. Sistem mekanik mengandaikan bahwa rakyat sebagai komunitas artinya mereka

tidak dipandang sebagai pribadi individu akan tetapi dipandang sebagai bagian dari komunitas tersebut.

Mengingat jumlah anggota komunitas yang semakin bertambah, maka dari itu kemudian diperlukanlah institusi yang menampung aspirasi mereka yang populer disebut partai politik. Partai politik inilah yang kemudian menjadi mesin aspirasi yang berwenang untuk mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan rakyat tersebut sehingga sistem ini menganut konsep perwakilan khusus yang artinya tidak semua kepentingan

Tabel 1Kelebihan dan Kekurangan Sistem Distrik

No Kelebihan Kekurangan

1.2.

3.

akuntabilitas calon dan pemilih tinggi.kedekatan antara calon dan pemilih yang begitu dekat baik secara psikologis dan emosional.peran intervensi partai politik yang hampir tidak ada.

rawan praktik politik uang.partai politik yang kecil sulit bersaing karena memiliki sumber daya yang tidak sebanding dengan partai besar.suara kecil tidak diperhitungkan sehingga terjadi praktik pembuangan suara.

Sumber: (Gaffar, 2006: 268; Asshiddiqie, 2007: 777)

Tabel 2Kelebihan dan Kekurangan Sistem Proporsional

No Kelebihan Kekurangan

1.

2.

3.

peranan partai politik kuat karena memiliki kewenangan dalam menentukan redistribusi suara.tidak ada praktik pembuangan suara seperti dalam distrik.partai politik yang kecil dapat bersaing dengan bebas tanpa adanya dominasi dari pihak partai besar.

mudah terjadi perpecahan dalam tubuh partai politik. Hal ini terkait dengan kemunculan faksi-faksi dalam tubuh partai.calon lebih dekat ke partai daripada ke pemilihnya.banyak partai berimplikasi instabilitas pemerintah.

Sumber: (Gaffar, 2006: 269)

Page 68: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

146 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158 Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas Parlemen yang Afirmatif (Wasisto Raharjo Jati) | 147

rakyat dipenuhi, perlu dilakukan skala prioritas terlebih dahulu.

2. Konteks Pemilu di Indonesia

Diskursus akan implementasi sistem distrik dan proporsional yang cocok untuk dikontekskan dalam proses pemilu di Indonesia telah mengemuka sejak lama yakni sejak akan dilangsungkannya Pemilu 1969. Pemerintah Orde Baru lebih menyukai sistem proporsional daripada sistem distrik. Hal tersebut dapat dianalisis dalam berbagai argumentasi.

Pertama, mensyaratkan kematangan berpolitik masyarakatnya sehingga diperlukan sikap kritis masyarakat. Orde Baru menilai sikap kritis ini akan menyulitkan langkah mereka memperpanjang kekuasaannya sehingga sistem ini dipilih di samping kehidupan politik masyarakat Indonesia yang masih bersifat patrimonial dan lebih mengedepankan aspek emosional daripada pilihan rasional.

Kedua, district magnitude dalam setiap daerah pemilihan yang tidak sebanding dengan jumlah keseluruhan kabupaten dan kota seluruh Indonesia. Hal tersebut terkait dengan jumlah populasi demografi antar daerah Indonesia yang tidak seimbang. Bentuk geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan menyebabkan tingkat densitas penduduk berlainan jenis. Hal inilah yang menyulitkan dalam mengonversikan jumlah suara ke jumlah kursi.

Ketiga, prinsip winner takes all yang sangat mementingkan individualisasi dalam berpolitik ini dirasa tidak sesuai dengan budaya orang Indonesia yang lebih mementingkan gotong royong dan semangat kekeluargaan. Spirit tersebut tentu sangatlah inheren dengan kebijakan Orde Baru yang mementingkan stabilitas politik

guna memperkuat stabilitas ekonomi. Adapun prinsip takes all hanyalah akan memancing huru-hara politik yang tentu tidak akan disenangi oleh rezim.

Keempat, rawan munculnya radikalisme daerah yakni muncul ketidakpuasan dari rakyat daerah bila menganut sistem distrik. Kelima, ketidaksiapan dalam pemilu antar personal. Dalam hal ini politik Indonesia yang masih bersifat patrimonial yakni kedekatan antara partai sebagai mesin politik dengan calon daripada kedekatan calon dengan rakyat sebagai mesin suara (Dhurorudin, 1998: 32). Adapun sistem proporsional yang dianut oleh rezim Orde Baru bervariasi mulai dari D’Hondt System pada tahun 1969 hingga berlanjut pada sistem stelsel daftar (List System) (Marsono, 1996: 4). Pemilu yang diselenggarakan dengan pemilu proporsional selama Orde Baru justru menyimpang dari kaidah sistem proporsional tersebut. Sistem dua partai dan satu Golongan Karya yang bertentangan dengan prinsip dari sistem proporsional yang mengedepankan sistem multi partai.

Setelah rezim Orde Baru tumbang, demokrasi menjadi panglima utama dalam mewujudkan kehidupan politik yang sehat. Pemilu kemudian sebagai upaya pencarian wakil rakyat yang peduli pada aspirasi masyarakat luas. Nilai-nilai baru kemudian diletakkan dalam sistem pemilu yang baru seperti halnya menjamin suara parlemen yang diwakili, prosedur pemilu yang tidak terlalu rumit, dorongan kerja sama yang kuat antar peserta pemilu, memperkuat legitimasi pemerintah, mendorong stabilitas politik, mendorong akuntabilitas politik, dan penciptaan oposisi yang sehat.

Dari sekian nilai-nilai tersebut yang menjadi idealisme dalam penyusunan dasar sistem pemilu

Page 69: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

148 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158

pasca reformasi, poin prosedur pemilu yang tidak menyulitkan dan kerja sama kuat antar peserta pemilu menjadi persoalan yang krusial dalam membahas situasi pemilu kontemporer. Pada masa kontemporer sekarang ini mengambil inisiatif penggabungan dua sistem pemilu yakni distrik dan proporsional akan tetapi masih dalam koridor sistem proporsional seperti yang tertera dalam gambar 1.

Adanya penggabungan dari dua paradigma besar sistem pemilu itulah yang sebenarnya ingin dipraktikkan dalam sistem pemilu Indonesia pasca 1999 dengan mengambil sisi positif dari kedua sistem dan memimalkan adanya fragmentasi politik. Adapun tujuan mulia yang ingin dicapai justru berbuah pada efek paradoksal di mana orientasi sistem pemilu di Indonesia menjadi tidak jelas dan kabur makna substansinya. Setidaknya

efek paradoksal tersebut bisa kita simak dari analisa komparasi terhadap sistem Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009 silam yang menggunakan sistem pemilu hibrida tersebut. Sistem pemilihan ini dirasa sangat rumit karena penentuan daftar pemilih ini dirasa sangat dilematis (Pamungkas, 2009: 49). Posisi dilematis terletak pada penduduk pada daerah pemilihan tersebut yakni jika menggunakan sistem proporsionalitas akan lebih efisien karena hanya menggunakan daerah pemilihan yang besar dan tunggal dan tak perlu membuat batas-batas daerah pemilihan lainnya sehingga efisien dan murah. Namun sistem itu tidak memperhatikan aspek sosio kultural, ekonomi, maupun aspek geografis warganya dan terkesan “kurang demokratis” karena daerah pemilihan yang tunggal dan tidak jamak sehingga kurang mampu menjaring aspirasi masyarakat secara luas.

Sistem Proporsional Hibrida

List System:

Pemilih memilih nama calon dari 1. daftar;

Calon yang mendapat suara terbanyak 2. yang menang (prinsip distrik);

Tidak mengetahui calon, bisa 3. memilih gambar partai saja (prinsip proporsionalitas).

Hare System:

Sistem multipartai;1.

Partai politik kecil dapat bersaing;2.

Penggabungan suara;3.

Perhitungan panjang;4.

Rawan pragmatisme politik.5.

Gambar 1Gambaran Sistem Pemilu Paska Orde Baru

Sumber: (Kartawidjaya, 2007: 773)

Page 70: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

148 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158 Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas Parlemen yang Afirmatif (Wasisto Raharjo Jati) | 149

Implementasi sistem distrik, justru yang terjadi adalah kerepotan karena mengurusi dan mengawasi banyaknya daerah pemilihan sehingga sering kali muncul permasalahan seperti data kependudukan maupun administrasi kependudukan tumpang tindih dikarenakan arus mobilisasi penduduk yang begitu dinamis (Nadjib, 2005: 43).

Permasalahan kemudian yang muncul adalah fenomena The Population Paradox yakni kuota kursi di setiap pemilihan sering kali berubah-ubah mengikuti alur dinamisasi penduduk tersebut seperti alur peningkatan dan penyusutan penduduk yang selalu terjadi terutama di bekas daerah konflik (Prihatmoko, 2008: 99). Permasalahan yang jamak terjadi kasus pemilih ganda yang memiliki hak pilih ganda, kasus munculnya pemilih di bawah umur, kasus orang yang sudah meninggal punya hak pilih, anggota TNI/Polri yang punya hak pilih padahal dalam UU dikatakan tidak boleh berpolitik praktis, kasus pemilih yang tak mempunyai hak pilih karena tidak terdaftar dalam data kependudukan.

Selain itu, permasalahan lain yang mucul adalah The Alabama Paradox yang muncul akibat kuota kursi yang tidak tetap (tentatif) menimbulkan kerugian bagi calon maupun partai politik yakni seorang calon yang sudah dipastikan mendapat kursi di daerah pemilihan tersebut sewaktu-waktu bisa hilang serta partai yang mendapatkan “bonus” ekstra karena mendapat limpahan kursi baru yang seharusnya mendapat satu kursi bisa mendapat lebih. Hal ini dikarenakan pergeseran kuota jumlah kursi tersebut yakni bertambah kursinya atau berkurang kursinya. Pengingkaran terhadap sistem distrik telah menimbulkan banyak kekhawatiran yakni kurangnya derajat demokrasi karena berbagai macam partai politik yang kecil justru kalah bersaing dengan partai-partai besar yang sudah mapan sehingga “demokrasi” hanya

berlaku bagi partai besar bukan bagi partai kecil.

Sistem ini belum menjamin hadirnya aktor independen untuk bertarung dalam proses pemilihan umum karena saling tumpang tindih peraturan KPU dan MK yang masing-masing sangat paradoksal. Dalam hal ini MK dalam amar keputusannya memperbolehkan calon independen untuk bertarung dalam pemilu. KPU bersikap “setengah hati” untuk melaksanakannya sehingga mengakibatkan pada hukum pemilu yang bersifat tumpang tindih dengan aturan lainnya. Permasalahan tumpang tindih adalah dalam regulasi terjadi lantaran menganut sistem daftar terbuka yang memberikan keleluasaan dalam memilih calon dan partai. Adapun dalam praktek daftar tertutup yakni praktek nomor urut calon yang potensial meraih suara banyak dan memenangkan partai tersebut akan ditempatkan pada nomor urut yang lebih kecil.

3. Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold)

Threshold, electoral threshold, ataupun parliamentary threshold pada dasarnya sama, yakni ambang batas (syarat) yang harus dilampaui oleh partai politik, untuk dapat mengirimkan wakilnya ke lembaga perwakilan (Mellaz, 2012: 1). Biasanya dinyatakan dengan persentase perolehan suara sah atau di beberapa daerah bisa dinyatakan dalam bentuk perolehan minimal kursi yang dikenal sebagai bilangan pembagi pemilih (BPP). Adapun mekanisme perhitungan tersebut dalam kasus Indonesia biasanya terdapat dalam rumusan 1 per 100 penduduk, 1 per 200 penduduk, maupun 1 per 500 penduduk. Apabila ketentuan tersebut tidak bisa dilakukan, maka akan dilakukan strategi gerrymandering yakni pengelompokan daerah pemilihan karena minimnya populasi yang akan dijadikan daerah pemilihan.

Page 71: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

150 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158

Adapun tujuan diadakannya ambang batas dalam sistem pemilu di suatu negara dikarenakan ada dua hal, yakni: (1) membatasi jumlah partai politik yang memperoleh dukungan tidak signifikan dari pemilih masuk parlemen. Hal ini dimaksudkan karena, berkurangnya jumlah partai politik di parlemen diharapkan dapat meningkatkan efektivitas kerja parlemen. Kondisi tersebut yang kemudian menjadikan fungsi parlemen yakni fungsi legislasi, anggaran, maupun pengawasan karena adanya konflik kepentingan dari berbagai macam banyak partai politik tersebut. (2) menyaring partai politik peserta pemilu berikutnya. Banyaknya partai politik peserta pemilu, tidak hanya berdampak pada membengkaknya dana penyelenggaraan pemilu, tetapi juga membuat pemilih bingung dalam memberikan suara.

Harus diakui ketika negara menetapkan demokrasi sebagai suatu sistem transisi maupun suksesi kekuasaan memang diiringi dengan harga ekonomis prosedural dan administratif yang memakan biaya bermiliaran rupiah (Mellaz, 2012: 4). Ambang batas parlemen sendiri dapat diartikan sebagai parameter nominal angka minimal untuk menentukan kursi di parlemen berdasarkan hasil suara yang diperoleh dalam proses pemilu. Ihwal diterapkannya ambang batas tersebut disebabkan berbagai hal. Seperti halnya, banyaknya jumlah partai politik yang duduk di parlemen membuat pemerintah dalam menjalankan kerjanya kurang efektif sehingga menyebabkan terganggunya stabilitas politik dan pemerintahan. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya “dualisme” dalam sistem pemerintahan Indonesia manakala sistem multipartai dan sistem presidensial tercampuradukkan membentuk pemerintahan kuasi-parlementarian. Sistem multipartai yang dianut sebagai bentuk kebebasan ekspresi

pasca reformasi justru berubah menjadi plural-ekstrim. Perilaku esktrim tersebut dikhawatirkan memunculkan rivalitas laten yang berpotensi menghasilkan adanya huru hara politik seperti tahun 1955. Tentunya, para pegiat reformasi tidak menginginkan adanya hal tersebut berulang pada masa konsolidasi demokrasi ini.

Tercatat bahwa, upaya pembatasan partai politik dan sistem multipartai pluralis-ekstrim tersebut mulai dilakukan semenjak Pemilu 2004 dengan diterapkannya ambang batas pemilu (Electoral Threshold) melalui Pasal 142 dan Pasal 143 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 12 Tahun 2003). Adapun yang menjadi angka minimal sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia. Adanya penerapan electoral threshold ini memang mampu untuk menekan jumlah partai politik yang membeludak menjadi 24 partai saja pada Pemilu 2004 yang dianggap sebagai ideal tersebut.

Pada Pemilu 2004 dikenal istilah electoral threshold dengan menerapkan batas minimum 3% jumlah keseluruhan kursi yang diperoleh setiap partai politik di DPR. Setiap partai politik yang lolos electoral threshold secara otomatis akan mengikuti pemilu berikutnya. Kesuksesan dalam menekan angka keikutsertaan partai politik dari semula 48 partai politik menjadi 24 partai menjadi motivasi tersendiri bagi regulator pemilu untuk menekan jumlah anggota legislator melalui penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Adapun kebijakan ambang batas pemilu tetap diterapkan pada Pemilu 2014

Page 72: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

150 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158 Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas Parlemen yang Afirmatif (Wasisto Raharjo Jati) | 151

sebesar 5%. Bagi partai politik yang tidak lolos baik ambang batas diberikan 3 (tiga) opsi yakni pertama, bergabung dengan partai yang lolos electoral threshold. Kedua, bergabung dengan sesama partai politik yang tidak lolos electoral threshold sehingga mencapai ambang batas suara 3% dan memilih nama salah satu partai politik itu. Ketiga, mendirikan partai politik baru dengan nama dan lambang yang baru.

Penerapan electoral threshold pada Pemilu 2004 diharapkan dapat membatasi jumlah partai politik yang ikut berpartisipasi pada Pemilu 2009. Kebijakan tersebut justru menambahkan jumlah partai politik menjadi 38 partai politik ditambah 6 partai lokal Aceh. Padahal hanya 7 (tujuh) partai politik yang memenuhi standar electoral threshold, hal ini disebabkan karena partai politik yang tidak memenuhi standar 3% cukup mengganti nama partai dan lambang saja untuk ikut pada pemilu berikutnya. Upaya penyerderhanaan partai politik yang dilakukan secara sistematis dan konstitusional menjadi tidak konsisten. Hal tersebut dapat disimak dari komparasi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 10 Tahun 2008) khususnya Pasal 316 dengan UU No. 12 Tahun 2003 yang mana partai yang memiliki kursi di parlemen namun tidak lolos electoral threshold pemilu berikutnya secara otomatis bisa menjadi peserta pemilu pada 2009. Implementasi ambang batas parlemen (parliamentary threshold) merupakan barang baru dalam kancah pemilu di Indonesia. UU No. 10 Tahun 2008 terdapat ketentuan adanya parliamentary threshold sebesar 2,5% dari suara sah nasional.

Melalui ketentuan parliamentary threshold, partai politik untuk dapat duduk di parlemen maka harus mencapai angka 2,5% dari suara sah nasional,

dengan begitu maka partai politik tersebut berhak untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Adanya kenaikan ambang batas parlemen 3,5% pada Pemilu 2014 memang mengindikasikan adanya kepentingan kekuasaan bagi partai politik lama untuk mencegah masuknya partai politik baru. Meskipun alibi yang diajukan adalah memperkuat konsolidasi sistem kepartaian dan sistem demokrasi. Kepentingan menjaga kuasa tetap ada sehingga inilah yang kerap kali disebut sebagai bentuk reorganisasi oligarkis dalam proses elektoral (Abdi, 2012: 536). Kecenderungan menaikkan angka ambang batas justru menimbulkan sentimen paradoks bahwa pembatasan partai politik justru tidak terjadi, malah yang muncul kemudian adalah fenomena atomisasi partai di mana faksionalisasi dalam tubuh partai justru melahirkan banyak partai baru yang mempunyai karakteristik yang sama dengan partai induknya.

B. ANALISIS

1. Substansi Permasalahan Utama

Terdapat tiga permasalahan utama yang diajukan pemohon kepada MK, yaitu pertama, Partai Nasional Demokrat yang mengajukan uji materi Pasal 8 ayat (1) dan (2) yang intinya supaya semua partai politik dilakukan verifikasi dan tidak perlu dibedakan yang lolos parlementary threshold atau tidak ataupun partai baru. Kedua, 11 partai non-parlemen yang menginginkan supaya tidak diperlakukan diskriminatif sehingga tidak perlu ada verifikasi ulang dan ketiga beberapa partai kecil di daerah seperti PDS dan PKNU untuk menguji Pasal 208 dan 209 yang berkaitan dengan rencana pemberlakukan parlementary threshold secara nasional termasuk untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota. Secara lebih lengkap delik permasalahan yang diangkat dapat disimak sebagai berikut ini:

Page 73: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

152 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158

a. Pasal 8 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2012.

b. Pasal 8 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 sepanjang frasa “yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilu sebelumnya atau partai politik baru” dan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa “yang dimaksud dengan “partai politik baru” adalah partai politik yang belum pernah mengikuti pemilu” bertentangan dengan UUD 1945.

c. Pasal 17 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 17 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2012 bertentangan dengan UUD 1945.

d. Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 sepanjang frasa “DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945.

e. Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 sepanjang frasa “DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945.

Pemohon menilai bahwa berbagai pasal tersebut melanggar pasal-pasal yang mendasar dari UU 1945 diantaranya:

a. Pasal 22E ayat (1) yang menyatakan,

“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”

b. Pasal 22E ayat (3) yang menyatakan,

“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.“

c. Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan,

“Segala warga negara kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.“

d. Pasal 28 yang menyatakan,

“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.“

e. Pasal 28C ayat (2) yang menyatakan,

“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.“

f. Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan,

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.“

g. Pasal 28D ayat (3) yang menyatakan,

“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam Pemerintahan.“

h. Pasal 28I ayat (2) yang menyatakan,

“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Dalam hal ini, yang menjadi fokus pengajuan gugatan konstitusional oleh para pemohon adalah pengajuan parliamentary threshold, syarat peserta Pemilu 2014, dan aturan verifikasi yang dinilai menimbulkan diskriminasi antara partai parlemen dan partai non parlemen. Pemohon menilai bahwa terjadi perbedaan konstitusional antara UU No. 3 Tahun 1999 (selanjutnya diganti menjadi UU No. 31 Tahun 2002 dan UU No. 12 Tahun 2003), UU

Page 74: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

152 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158 Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas Parlemen yang Afirmatif (Wasisto Raharjo Jati) | 153

No. 10 Tahun 2008, dan UU No. 8 Tahun 2012 yang menyebabkan adanya hambatan-hambatan sistematis, institusional, maupun konstitusional yang dinilai menghambat pertumbuhan partai baru. Selain itu pula, penerapan adanya electoral threshold pada Pemilu 2004 maupun parliamentary threshold pada Pemilu 2009 dianggap sebagai bentuk pembatasan terhadap ekspresi demokrasi yang seluas-luasnya dan senyata-nyatanya bagi warga negara pasca demokrasi. Ambang batas yang dinilai tinggi justru dinilai pemohon menjadikan partai-partai kecil tidak memiliki kesempatan menjadi partai parlemen.

Pengalaman negara-negara demokrasi yang mapan sendiri menunjukkan bahwa semakin tinggi ambang batas parlemen justru akan mereduksi pilihan politik warga negara. Selain itu pula, pemohon penerapan parliamentary threshold ini bukanlah sebagai legal policy yang konstitusional dikarenakan bertentangan dengan syarat keikutsertaan partai politik. Hal ini dikarenakan electoral threshold yang sebenarnya menjadi legal policy dibandingkan dengan parliamentary threshold hanya mengurus pada aspek pembatasan kuota anggota legislator yang duduk di parlemen (IDEA, 2002: 18). Parliamentary threshold dinilai sebagai proyek klandestin yang membuat partai parlemen yang ingin bertahan dalam lingkup kekuasaannya lebih kerja keras dalam kinerjanya menarik jumlah pengikut sehingga kesungguhannya dalam memperjuangkan suaranya melalui perumusan kebijakan “populis”. Kondisi tersebut dinilai sebagai bentuk persaingan tidak sehat dalam kompetisi elektoral di mana partai baru seolah tidak diberi kesempatan untuk berjuang dalam ranah populis di jalur parlemen.

Pemohon juga mempermasalahkan adanya aturan verifikasi partai politik yang dinilai

bermasalah. Adapun dalam segi konstitusional Indonesia, partai politik harus melewati dua syarat utama menjadi peserta pemilu yakni syarat administrasi pendirian maupun syarat verifikasi. Menurut ketentuan Pasal 8 UU No. 8 Tahun 2012, syarat adanya lolos ambang batas nasional pada pemilu sebelumnya menjadi syarat faktual dalam persyaratan peserta Pemilu 2014 sendiri dinilai tidak adil, dikarenakan hal itu sama saja mengurangi partisipasi publik secara meluas melaui perjuangan partai politik. Adapun mekanisme reward sebagaimana yang didalilkan oleh pemerintah dan DPR tidak bisa diterima begitu saja karena hal tersebut menyinggung banyak hal, misalnya saja hak politik aktif yang terciderai dikarenakan adanya pembatasan tersebut.

Syarat verifikasi berdasarkan UU Pemilu Legislatif terbilang berat bagi partai-partai kecil. Syaratnya di antaranya, memiliki kepengurusan di seluruh provinsi, memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten di provinsi bersangkutan, dan 50% kepengurusan di tingkat kota. Pemohon menilai bahwa syarat tersebut sangatlah berat bagi partai baru yang menjalin jejaring baik di tingkat nasional maupun daerah. Tujuan verifikasi memang dimaksudkan untuk mengecek kebenaran banyak syarat sebagai peserta pemilu baik melalui verifikasi institusional maupun administratif.

Dalam Pasal 8 dalam UU No. 8 Tahun 2012 disebutkan tidak semua parpol memiliki keharusan untuk diverifikasi sebagai peserta pemilu. Dalam hal ini, ketentuan yang termaktub dalam UU No. 8 Tahun 2012 mengategorisasi parpol dalam dua kelompok. Kelompok pertama yakni partai parlemen sendiri langsung dijadikan sebagai peserta Pemilu 2014 sementara kelompok kedua yaitu parpol yang hanya dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi sembilan

Page 75: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

154 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158

persyaratan yang diatur Pasal 8 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012. Parpol yang masuk kategori tersebut ialah parpol yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara parlemen pada Pemilu 2009 dan parpol baru. Pada titik lokus inilah yang kemudian dipermasalahkan dalam putusan sidang konstitusi ini. Maka sangatlah penting disimak bagaimana MK melihat secara afirmatif kedua.

2. Dimensi Afirmatif Keputusan MK

Dalam amar putusannya MK sendiri memutuskan secara afirmatif kedua hal penting yang sekiranya memberikan angin segar bagi eksistensi partai politik baru yang hendak maju dalam Pemilu 2014 nanti yakni: 1) penetapan parliamentary threshold sebesar 3,5% hanya berlaku di DPR, namun tidak berlaku di tingkatan DPD dan DPRD. 2) adanya verifikasi yang harus dilakukan oleh partai politik tanpa terkecuali. Tentunya bagi pemohon, momentum ini merupakan kemenangan penting dalam reformasi Pemilu 2014 serta memupus kepentingan kekuasaan oligarkis partai politik parlemen untuk kian berkuasa. Sementara bagi tergugat, hal tersebut bisa jadi hal yang merepotkan karena diharuskan melakukan verifikasi ulang dan juga memupus keinginan membatasi kontestan partai baru dengan mengatasnamakan pengefektifan system elektoral. Dalam hal ini, MK melihat adanya ketiadakadilan maupun ketidakpastian terhadap substansi pasal-pasal yang diajukan oleh pemohon tersebut yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, MK menetapkan bahwa Pasal 8 ayat 1 maupun Pasal 8 ayat 2 dalam UU No.10/2008 sendiri bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang menjamin adanya kebebasan dalam berekspresi,berserikat, dan berpendapat secara bebas yang dilakukan secara bertanggungjawab. Mahkamah pada dasarnya menyetujui adanya

usaha yang dilakukan oleh pemeirntah maupun parlemen untuk membatasi jumlah parlemen. Namun yang menjadi penekanan adalah penyederhanaan partai politik sendiri seharusnya dilakukan oleh mekanisme ambang batas pemilu (electoral threshold) dan bukan ambang batas parlemen yang menjadi acuan.

Syarat untuk menjadi peserta pemilu sebagaimana yang dikutip dalam Pasal 8 ayat (1) dan ditekankan pada sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dinilai memberatkan kepada bagi partai politik baru. Dalam konstelasi hukum pemilu di Indonesia, persoalan ambang batas dan keikutsertaan partai politik dalam pemilu menjadi dua persoalan politik yang belum selesai hingga saat ini. Adanya partai politik sendiri memang dianggap sebagai manifestasi perjuangan aspirasi masyarakat yang menempuh jalur politik sebagai medianya. Hal itulah yang kemudian sejalan dengan fungsi partai politik yakni: 1) sosialisasi politik; 2) rekrutmen politik; 3) kaderisasi politik dan 4) pendidikan politik. Keempat fungsi inilah yang membuat kehadiran partai politik sendiri sangatlah urgen dan signifikan dalam kehidupan berdemokrasi sekarang ini.

Namun yang menjadi masalah kemudian adalah ketiadaan konsensus bersama di antara para elite politik sendiri untuk menentukan peraturan elektoral yang tetap. Peraturan elektoral yang lazim disebut sebagai Undang-undang Politik seringkali berubah-ubah mendekati event pemilu. Yang seringkali berubah tentunya prasyarat yang dinilai mewakilkan kepentingan tertentu. Hal inilah yang acap kali menimbulkan ketidakadilan bagi MK ini manakala dalam memutuskan bahwa Pasal 8 ayat (1) sendiri bertentangan dengan UUD 1945 dan mengakibatkan adanya disproporsionalitas baik dalam sistem pemilu maupun perhitungan suara

Page 76: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

154 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158 Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas Parlemen yang Afirmatif (Wasisto Raharjo Jati) | 155

(Mellaz, & Supriyanto, 2011: 32-34).

Dalam studi elektoral, kriteria ambang batas sebagai persyaratan pemilu sendiri tergantung pada sistem pemilu yang dianut. Misalnya saja dalam sistem distrik sendiri, ambang batas sendiri kenakan sistem kuota untuk menjamin semua calon anggota parlemen sendiri masuk ke dalam parlemen. Sementara sistem proporsional, ambang batas sendiri dikenakan dua macam yakni ambang batas atas maupun ambang batas bawah. Ambang batas atas memungkinkan partai politik untuk mendapatkan suara lebih sedangkan ambang batas bawah sendiri juga memungkinkan partai politik kecil untuk mendapatkan suara sisa (spoiler voters) yang tidak tersalurkan dalam ambang batas atas.

Hal ini sejalan dengan prinsip sistem proporsional yakni semakin tinggi tingkat populasi penduduk, maka semakin tinggi pula kursi parlemen yang akan didapat. Pengenaan angka ambang batas menjadi kata kunci dalam penetapan kebijakan tersebut yang penentuan angkanya sendiri tidak ada formulasi yang baku, semuanya tergantung pada pembuat kebijakan. Adapun dalam kasus negara-negara penganut sistem demokrasi lainnya, terdapat variasi dalam penentuan ambang batas tersebut. Rata-rata negara demokrasi dunia menganut prinsip 2,5% hingga 3% dalam penentuan angka ambang batas. Belanda sendiri mencatat negara yang paling sedikit yakni sebesar 0,67%, sementara Turki dan Polandia tercatat sebagai negara dengan ambang batas tertinggi yakni sebesar 10% dan 5%.

Dalam penentuan angka batas tersebut sebenarnya tergantung pada konsistensi pada peraturan elektoral yang dibuatnya tersebut (Abidin, 2010: 56). Dalam kasus di negara kita, hukum regulasi elektoral sendiri konsisten dalam

inkonsistensi aturan. Sebelumnya dalam UU Pemilu 1999 dan 2004, standar parliamentary threshold sendiri yang dijadikan standar untuk mengatur jumlah partai politik. Standar tersebut kemudian berubah menjadi parliamentary threshold yang sejatinya digunakan untuk membatasi jumlah anggota parlemen. Dalam hal ini yang menjadi pertanyaan kritis dalam penetapan ambang batas adalah pembatasan partai politik melalui anggota parlemen ataukah pembatasan anggota parlemen melalui partai politik. Kedua premis tersebut sangatlah bertentangan satu sama lainnya sehingga dalam lokus inilah, MK melihat ketidakadilan dalam UU Pemilu ini. Keduanya jelas berbeda sekali dengan tujuan diadakannya ambang batas adalah membatasi guna mengefektifkan sistem elektoral. Tentunya hal tersebut menjadi distorsi dalam implementasi pemilu yang menjadikannya sebagai proyek eksperimentasi politik semata. Maka dalam konteks ini, aturan yang dibuat sendiri justru dilanggar sendiri para regulator pemilu di Indonesia.

Analisa komparasi terhadap aturan elektoral kita memang menunjukkan gejala inkonsistensi tersebut. Misalnya saja dalam UU No. 3 Tahun 1999 (yang kemudian diganti menjadi UU No. 12 Tahun 2003), khususnya Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2003 mendalilkan bahwa partai politik peserta pemilu sendiri sekurang-kurangnya mencapai 3% suara parlemen nasional dan 2% parlemen lokal. Hal tersebut kemudian dipelintir dalam Pasal 615 yang mengatakan bahwa semua partai politik dapat mengikuti pemilu jika memiliki kursi di parlemen hasil pemilu 1999. Hal itulah yang sebenarnya menjadi titik kerancuan awal dilema ambang batas parlemen ataukah ambang batas elektoral dalam lanskap pemilu di Indonesia. Kondisi tersebut sangatlah persis apabila menautkannya dengan Pasal 8 ayat

Page 77: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

156 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158

(1) dan (2) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dengan Pasal 8 dalam UU No.8 Tahun 2012 yang di sana terdapat pembedaan perlakuan verifikasi antara partai politik parlemen dan partai politik non parlemen.

Adapun substansi yang terkandung dalam Pasal 8 dalam UU No. 10 Tahun 2012 disebutkan bahwa syarat-syarat administratif menjadi perserta Pemilu 2014 antara lain:

(1). Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.

(2). Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:

a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;

b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;

c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;

d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;

e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;

f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan

dengan kepemilikan kartu tanda anggota;

g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;

h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan

i. menyerahkan nomor rekening atas nama partai politik kepada KPU.”

Mahkamah sendiri kemudian mengadakan komparasi aturan yang berada di bawahnya yakni ayat (1) dan ayat (2) dalam Pasal 8 UU No 8 Tahun 2012 mendalilkan bahwa keikutsertaan partai politik dalam Pemilu 2014 yakni:

“(1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:

a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;

b. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi;

c. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;

d. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;

e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;

f. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf c; dan

Page 78: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

156 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158 Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas Parlemen yang Afirmatif (Wasisto Raharjo Jati) | 157

g. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.

(2) Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dapat menjadi Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.”

Maka dalam pandangan MK maupun saya pribadi sendiri, terdapat kesenjangan dan ketidakpastian hukum dalam komparasi terhadap dua aturan tersebut. Pada aturan yang pertama yakni Pasal 8 dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Partai Politik disebutkan bahwa partai politik menjadi peserta pemilu sebenarnya hanya terletak pada poin partai politik dapat menjadi peserta pemilu berikutnya jika menjadi peserta pemilu pada pemilu sebelumnya. Pada poin inilah yang sebenarnya menjadi kunci kemenangan konstitusional para pemohon terhadap Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) yang mendalilkan keikutsertaan pemilu sendiri harus memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya. Hal inilah yang mengindikasikan inkonsistensi dan perilaku eksperimentatif sendiri masih ada dan berlaku hingga saat ini dalam perumusan regulasi pemilu.

Adanya perbedaan tafsir itulah yang kemudian menjadi dimensi verifikasi faktual yang ditetapkan dalam perundangan tersebut menjadi salah kaprah dengan verifikasi administratif dalam peraturan tersebut. Maka sangatlah benar keputusan MK untuk meminta semua partai politik untuk diverifikasi ulang baik dari segi legalitas maupun administratif untuk menghindari adanya konflik kepentingan dalam aturan verifikasi dan menghadirkan adanya keadilan yang berimbang di antara semua partai politik. Selain itu pula, aturan Pasal 8 ayat (1) maupun ayat (2) sebenarnya jika

ditinjau dari segi legalitas sebenarnya tidak berlaku secara undang-undang. Hal ini dikarenakan dalam prinsip hukum di Indonesia menganut prinsip “stuffen theory” atau lex superior derogat legi inferiori yang mengatakan bahwa UU yang berada di bawah urutannya dalam urutan perundangan tidak boleh melanggar substansi aturan dalam UU yang berada di atasnya. Maka substansi UU No. 8 Tahun 2012 sendiri lebih tinggi daripada UU No. 10 Tahun 2012, sehingga jika UU ini melanggar UU No. 8 Tahun 2012 maka otomatis gugur secara konstitusional. MK melihat adanya pelanggaran tersebut dengan mendalilkan verifikasi ulang dan penetapan ambang batas 3,5% sebagai ambang batas parlemen dan bukan diberlakukan secara nasional.

SIMPULANIV.

Berdasarkan uraian dan hasil analisis sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan terkait Putusan Nomor 52/PUU-X/2012 sebagai berikut:

1. Pengedepanan prinsip afirmatif yang dilakukan MK dalam putusannya terletak pada mensinergiskan antara verifikasi faktual dan administratif dengan verifikasi legalitas. Verfikasi legalitas tersebut dihasilkan melalui komparasi Pasal 8 dalam UU No. 8 Tahun 2012 dengan UU No. 10 Tahun 2012 di mana terindikasi bahwa keikutsertaan partai politik dalam pemilu terlebih dahulu dilihat dari struktur administratifnya baru kemudian diukur jumlah suara sah nasional. Hal tersebut tentu saja menciderai prinsip kesetaraan jika perolehan suara sah nasional dalam wujud parliamentary threshold terlebih dahulu sehingga akan mematikan potensi partai

Page 79: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

158 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158

politik non parlemen untuk masuk ke arena legislatif maupun eksekutif. Implementasi kebijakan verifikasi ulang bagi semua partai politik juga merupakan manifestasi riil prinsip afirmatif yang dipegang MK bahwa pengenaan verifikasi ulang bagi semua partai untuk memperlihatkan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam proses keikutsertaan partai dalam pemilu.

2. Dimensi keterwakilan dalam putusan MK ini bisa disimak adanya peluang bagi partai politik non parlemen untuk maju dalam pemilu jika memenuhi persyaratan yang berlaku. Adanya partai non parlemen dalam pemilu mendatang tentu akan memenuhi rasa keadilan bagi warga negara dengan adanya kebebasan menyalurkan suara di luar partai parlemen sebagai pilihan alternatif. Keterwakilan partai politik non parlemen tentu akan menyehatkan kontestasi antar partai menjadi lebih kompetitif dan seimbang. Hal tersebut juga untuk menepis adanya kartelisasi maupun oligarki partai politik jika hanya partai politik parlemen saja yang lolos, sementara partai non parlemen tidak lolos sehingga dinilai akan menciderai prinsip demokrasi multipartai yang dianut dalam demokrasi Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdi, Mualimin. 2012. Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan Mahkamah KonstitusiNomor 52/PUU-X/2012. Jurnal Legislasi Indonesia, 9(4), 535-546.

Abidin, Zainal. 2010. Penyederhanaan Partai dalam Sistem Multi Partai: Tidak Konsisten.

Jurnal Legislasi Indonesia, 5(1), 90-100.

Asshiddiqie, Jimly. 2007. Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

Dhurorudin, Mashad. 1998. Reformasi Sistem Pemilu & Peran Sospol ABRI. Jakarta: PT Gramedia.

Gaffar, Affan 2006. Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokratisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

IDEA. 2002. Standar-standar Internasional untuk Pemilihan Umum. Swedia: Halmstead.

Kartawidjaya, Pipit. 2007. Akal-akalan Daerah Pemilihan. Jakarta: Perludem.

Mahkamah Konstitusi. 2012. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012. Jakarta: Kepaniteraan MK RI.

Marsono. 1996. Pemilihan Umum 1997: Pedoman, Peraturan, dan Pelaksanaan. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Mellaz, August & Didik Supriyanto. 2011. Ambang Batas Perwakilan. Jakarta: Kemitraan.

Mellaz, August. 2012. “Ambang Batas Tanpa Batas.” Akses 20 Mei 2013. < http://www.rumahpemilu.org/read/360/Ambang-Batas-Tanpa-Batas-Oleh-August-Mellaz>.

Nadjib, Muhammad. Eds. 2005. Pemilu 2004 dan Implementasi Demokrasi. Yogyakarta: KPU Provinsi DIY.

Pamungkas, Sigit. 2009. Perihal Pemilu. Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM.

Prihatmoko, Joko. 2008. Mendemokratiskan Pemilu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 80: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

158 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158 Pergeseran Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara (W. Riawan Tjandra) | 159

ABSTRAK

Penyelesaian sengketa tata usaha negara pemilu dalam Putusan PT TUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT atas Gugatan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) menimbulkan problematik tereotis dalam teori hukum acara peradilan tata usaha negara. PKPI adalah salah satu partai baru yang didirikan oleh S yang dalam verifikasi partai politik yang dilakukan oleh KPU yang sempat dinyatakan tidak lolos sebagai peserta Pemilu 2014. Problematik secara teoretis tersebut terlihat dari konsiderasi putusan PT TUN Jakarta yang melakukan penggeseran wewenang peradilan tata usaha negara secara generik yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 jis UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009 yang membatasi secara restriktif kewenangan peradilan tata usaha negara untuk menguji legalitas Keputusan Tata Usaha Negara baik yang bersifat positif maupun fiktif-negatif menjadi tindakan faktual pejabat tata usaha negara. Di sisi lain, substansi putusan PT TUN Jakarta tersebut juga terkesan justru

menguji substansi UU Pemilu sebagai peraturan dasarnya terkait limitasi waktu gugatan sengketa tata usaha negara pemilu. Tidak dipenuhinya secara maksimal standar pengujian berdasarkan kebenaran material dalam sistem peradilan tata usaha negara telah membawa putusan PT TUN Jakarta tidak mampu mewujudkan tujuan peradilan tata usaha negara secara optimal. Tujuan tersebut adalah untuk memberikan keadilan administratif secara substantif dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara berdasarkan kebenaran material.

Kata kunci: pemilihan umum, keputusan tata usaha negara, peradilan tata usaha negara.

AbSTRACT

The settlement of the administrative legal dispute on general election as issued in the decision of the Administrative High Court (PT TUN) of Jakarta Number 25/G/2013/PT.TUN.JKT has resulted in a theoretical problem in terms of administrative procedural law. The legal dispute was initiated by PKPI, a newly established political party

PERGESERAN WEWENANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA ATAS PENETAPAN PARPOL PESERTA PEMILU

Kajian Putusan PTTUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT

THE SHIFTING OF AUTHORITYIN THE ADMINISTRATIVE COURT ON THE DETERMINATION

OF POLITICAL PARTIES ELECTIONS PARTICIPANTS

W. Riawan TjandraFakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Jl. Mrican Baru No. 28 YogyakartaEmail: [email protected]

An Analysis of Jakarta Administrative Court’s Decision Number 25/G/2013/PT.TUN.JKT

Diterima tgl 12 Mei 2013/Disetujui tgl 15 Juli 2013

Page 81: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

160 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172

founded by former Jakarta’s Governor, Sutiyoso soon after it failed to run in the 2014 legislative race. The theoretical problem can be observed in the PT TUN’s ruling consideration which makes an authority shift in the Administrative Court generically, as regulated on Law Number 5 of 1986, Law Number 9 of 2004, and Law Number 51 of 2009 that restrictively set the authority limit of the Administrative Court to examine the legality of either positive administrative decision or fictive-negative one to become a factual action of the government official. On the other side, the substance

of the decision also seems review the substance of the Election Law as the basic rules regarding time limitations on administrative dispute lawsuit. As the review did not meet the examination standards according to the Administrative Court system, the decision could not reached the optimum objectives set forth in the due process of law. These objectives are to substantially obtain the administrative justice in settling any administrative legal dispute based on material truths.

Keywords: general elections, administrative decision, administrative court.

PENDAHULUANI.

Putusan PT TUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT atas Gugatan PKPI ternyata justru memicu timbulnya problematika atas konsiderasi dan vonis yang diputuskan di dalamnya. Putusan PT TUN tersebut hadir dan menambahkan kerumitan dalam kajian hukum acara peradilan tata usaha negara karena persinggungan antara persoalan pemilu dengan hukum administrasi negara yang dibuka oleh Pasal 269 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu) yang mangatur bahwa pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 ke pengadilan tinggi tata usaha negara dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (2) telah digunakan.

Putusan PT TUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT jika dicermati menunjukkan beberapa kejanggalan yaitu antara lain: terjadi penggeseran wewenang peradilan tata usaha negara yang dalam UU Peradilan TUN kewenangan pokoknya adalah menilai legalitas suatu KTUN dalam putusan Nomor 25/G/2013/

PT.TUN.JKT justru menilai tindakan faktual KPU, pengujian hakim yang dilakukan justru terhadap peraturan dasarnya (UU Pemilu) bukan KTUN yang diterbitkan KPU atas dasar UU Pemilu dalam verifikasi parpol dan perluasan tenggang waktu gugatan yang bertentangan dengan kriteria tenggang waktu menggugat dalam UU Pemilu.

Lahirnya sengketa tata usaha negara pemilu yang diputuskan melalui putusan PT TUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT disebabkan karena PKPI tidak bersedia menerima tindakan KPU yang menurut PKPI tidak bersedia melaksanakan Keputusan Bawaslu Nomor 012/SP-2/Set.Bawaslu/I/2013. Sementara, tindakan KPU untuk tidak melaksanakan Keputusan Bawaslu tersebut menurut versi KPU adalah karena adanya perbedaan penilaian terkait keterangan KPU Provinsi, bukti-bukti yang disampaikan dalam sidang ajudikasi, dan ruang lingkup tugas Bawaslu yang tidak memiliki wewenang untuk menguji Peraturan KPU terhadap norma UU, berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2), Pasal 259 ayat (1) dan ayat (4) UU Nomor 8 Tahun 2012. Hal itu terlihat dari beberapa pertimbangan putusan PT TUN

Page 82: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

160 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172 Pergeseran Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara (W. Riawan Tjandra) | 161

Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT yang di antaranya menyebutkan:

Menimbang bahwa setelah majelis hakim mencermati peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan pemilu, tidak satu pasalpun yang memberikan kewenangan kepada KPU untuk menguji atau mengingkari keputusan Bawaslu, dan atau tidak satu pasalpun yang tersirat yang memberikan kewenangan kepada KPU untuk menguji keputusan Bawaslu. Baik menurut UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, UU Nomor 8 Tahun 2012, baik dalam peraturan-peraturan KPU yang dibuat sendiri sebagai pelaksanaan dari UU Nomor 8 Tahun 2012, maupun peraturan-peraturan yang dibuat Bawaslu serta Peraturan Keputusan Bersama antara KPU, Bawaslu berupa Kode Etik Penyelenggara Pemilu, tidak satupun yang mengatur yang memberikan kewenangan kepada KPU untuk menguji keberadaan keputusan Bawaslu;

Menimbang, bahwa sarana atau upaya yang diberikan peraturan perundang-undangan untuk mengubah keputusan KPU terhadap penyelesaian suatu sengketa pemilu telah diatur dan ditetapkan dalam Undang-Undang, Peraturan KPU, Peraturan Bawaslu, Peraturan DKPP yaitu melalui keputusan Bawaslu atau Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (3) dan ayat (3) serta Pasal 269 UU Nomor 8 Tahun 2012, sebagaimana dibenarkan oleh tergugat dalam Surat Keputusan Nomor 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 tanggal 8 Januari 2013.

Ditinjau dari teori hukum administrasi negara, sebenarnya kedudukan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus ditempatkan sebagai suatu lembaga ektra struktural (state auxiliaries agency) dalam kerangka hukum tata negara. Hal ini berarti kedudukan dari para komisioner di kedua komisi tersebut harus dilihat sebagai pejabat negara, bukan sebagai pejabat tata usaha negara di lingkungan pemerintah (bestuur). UU No. 8 Tahun 2012 yang memperluas kompetensi peradilan tata usaha negara dengan mengatribusikan sengketa TUN pemilu ke dalam kompetensinya sebenarnya mengubah paradigma mengenai konsep ruang lingkup kewenangan pemerintah (bestuur) dalam Teori Hukum Administrasi Negara.

Hal itu telah membawa institusi peradilan tata usaha negara untuk memasuki wilayah pengujian yang sebenarnya ada di ranah hukum tata negara. Selain itu, subjek yang terkait dengan kewenangan penetapan sengketa pemilu yang pada hakikatnya adalah pejabat negara dan bukan pejabat tata usaha negara telah menggeser kewenangan peradilan tata usaha negara untuk menguji keputusan pejabat negara yang berada di ranah hukum tata negara, bukan lagi keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang menjadi kewenangan generik peradilan tata usaha negara dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara.

Tulisan ini ini akan menganalisis substansi putusan PT TUN Jakarta tersebut melalui metode pendekatan contain analysis dengan mendasarkan pada teori-teori hukum acara peradilan tata usaha negara dan hukum administrasi negara guna mencermati logika hukum yang dikonstruksi dalam putusan PT TUN tersebut.

Page 83: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

162 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, rumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana terjadinya pergeseran wewenang peradilan tata usaha negara yang terdapat dalam putusan PT TUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT atas Gugatan PKPI sebagai pengujian atas sengketa tata usaha negara pemilu sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu berdasarkan teori hukum acara peradilan tata usaha negara jika ditinjau dari empat aspek berikut: (1) limitasi tenggang waktu; (2) objek sengketa; (3) subjek tergugat dan (4) kebenaran material?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. Studi Pustaka

1. Tinjauan Teori mengenai Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara

Tinjauan secara teoretis mengenai kewenangan peradilan tata usaha negara harus dikaitkan dengan ruang lingkup dari kewenangan pemerintah (bestuur) dalam Teori Hukum Administrasi Negara. Groves dan Lee (2007: 1) menyatakan bahwa “administrative law might simply mean a part of public law that do not include constitutional law.” Pendapat itu senada dengan ruang lingkup hukum administrasi negara (bestuursrecht) sebagaimana dikemukakan oleh Goede (1986: 20) yang menyatakan bahwa hukum administrasi negara meliputi keseluruhan peraturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan fungsi pemerintah (het geheel van regels betreffende het besturen). Demikian juga Versteden (1984: 4) pernah mengutarakan bahwa hukum administrasi dapat diuraikan sebagai peraturan-peraturan yang terdapat dalam hukum publik yang berkaitan

dengan pemerintahan umum (het bestuursrecht kan worden omschreven als de regles (van het publiekrecht) welke betrekking hebben op het (openbaar) bestuur).

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup dari kewenangan pemerintah (bestuur) dapat dipergunakan teori residu, yaitu lapangan pekerjaan negara yang tidak termasuk pembuatan undang-undang (regelgeving) dan peradilan (rechtspraak) (Hadjon, 1993: 4). Ruang lingkup pekerjaan pemerintah (bestuur) tersebut yang pada hakikatnya menjadi kompetensi absolut dari peradilan tata usaha negara. Hal itu dapat dibandingkan dengan studi komparasi terhadap kompetensi dan sistem pengujian lembaga-lembaga peradilan tata usaha negara di Jerman, Perancis dan Belanda yang dilakukan oleh Seerden dan Stroink (2002) yang pada prinsipnya menunjukkan bahwa kewenangan pengujian lembaga peradilan tata usaha negara di negara-negara tersebut adalah Keputusan Tata Usaha Negara di lingkungan pemerintah (bestuur) dalam lingkup Hukum Administrasi Negara (Tjandra, 2012: 25-35).

Berkaitan dengan ruang lingkup kewenangan peradilan administrasi, di awal pembentukan peradilan administrasi di Belanda sempat timbul perbedaan mengenai ruang lingkup kewenangan (kompetensi absolut) peradilan administrasi (Kunnecke, 2007: 11-13). Thorbecke berpendapat bahwa sebaiknya kewenangan peradilan administrasi ditentukan berdasarkan letak pokok sengketanya (fundamentum petendi) dalam lapangan hukum publik (kompetensi luas peradilan administrasi). Pendapat tersebut disangkal oleh Buys yang cenderung memperluas kompetensi absolut peradilan umum dengan menyatakan bahwa walaupun pokok dalam

Page 84: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

162 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172 Pergeseran Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara (W. Riawan Tjandra) | 163

perselisihannya (objectum litis) terletak di lapangan hukum publik, bila yang dirugikan adalah hak privat seseorang atau badan hukum perdata yang merasa perlu menuntut ganti rugi, maka kewenangan tersebut terletak pada peradilan umum (kompetensi sempit peradilan administrasi).

2. Posisi Peradilan Tata Usaha Negara dalam Sengketa TUN Pemilu

Posisi peradilan tata usaha negara dalam sengketa TUN pemilu oleh pembentuk UU ingin dikonstruksi melalui model yang sebangun dengan sistem penyelesaian sengketa kepegawaian yang mengintegrasikan penyelesaian sengketa melalui upaya administratif (administratieve beroep) yang merupakan derivat dari teori peradilan administrasi semu dengan proses penyelesaian di peradilan tata usaha negara (PT TUN) yang merupakan derivat dari teori peradilan administrasi murni.

Salah satu karakteristik penyelesaian sengketa TUN melalui peradilan administrasi semu adalah ruang lingkup pengujiannya yang meliputi aspek doelmatigheid (pertimbangan kebijaksanaan dalam penetapan) dan aspek rechtsmatigheid (pertimbangan legalitas) dengan kewenangan yang dapat meliputi kewenangan untuk mengonversi KTUN (beschikking) maupun menganulasi KTUN objek sengketa. Ruang lingkup pengujian dan kewenangan penyelesaian sengketa TUN melalui upaya administratif tersebut lebih luas dibandingkan yang dimiliki oleh peradilan TUN yang hanya memiliki ruang lingkup pengujian dari segi rechtsmatigheid dan kewenangan untuk menganulasi suatu KTUN.

Dalam konteks pengaturan kewenangan penyelesaian sengketa TUN Pemilu dalam UU No. 8 Tahun 2012 tersebut perlu dielaborasi lebih

dalam lagi dari sisi keilmuan hukum: Apakah tepat analogi yang menyamakan penyelesaian sengketa kepegawaian (upaya banding administratif) dengan sengketa TUN pemilu tersebut? Apakah interpretasi ekstensif yang memperluas pengertian “badan atau pejabat TUN” dalam Pasal 1 angka (8) UU No. 51 Tahun 2009 sehingga menempatkan Komisi Pemilihan Umum sebagai “badan atau pejabat TUN” koheren dengan makna “urusan pemerintahan” (bestuurszaak) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka (3) dan Penjelasan pasal tersebut dalam UU No. 5 Tahun 1986? Kiranya problematika paradigmatik yang terjadi terkait putusan PT TUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT atas Gugatan PKPI tidak bisa dipisahkan dengan beberapa persoalan tersebut.

B. Analisis

Meskipun banyak hal yang kiranya bisa ditelaah terkait putusan PT TUN Jakarta itu, terhadap Putusan PT TUN Jakarta tersebut akan dianalisis dengan dibatasi pada 4 (empat) aspek yang dianggap penting, yaitu: 1. limitasi tenggang waktu gugatan; 2. objek sengketa TUN yang diuji; 3. konsiderasi Putusan PT TUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT terkait subjek tergugat (KPU) dan 4. upaya mengungkap kebenaran material (materiele waarheid) dalam pemeriksaan sengketa TUN tersebut.

1. Limitasi tengggang waktu gugatan

Majelis hakim tinggi PT TUN Jakarta dalam salah satu konsiderasi putusannya (hlm. 144) setelah diawali dengan beberapa konsiderasi hukum terkait hal tersebut sebelumnya, akhirnya sampai pada pertimbangan hukum dengan menyatakan bahwa menurut “hemat majelis hakim oleh karena sikap dan tindakan KPU yang tidak melaksanakan Keputusan Bawaslu Nomor

Page 85: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

164 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172

012/SP-2/Set.Bawaslu/I/2013 masih seputar penyelesaian sengketa pemilu, serta dengan tidak ada norma yang mengatur tenggang-tenggang waktu pengajuan gugatan, maka menurut hemat majelis pengajuan gugatan terhadap tindakan yang sedemikian dapat diajukan kapan saja kepada pengadilan tinggi tata usaha negara yang berwenang untuk itu”.

Logika hukum dalam pertimbangan hukum sebagaimana yang dikemukakan majelis hakim PT TUN tersebut (justru) kiranya menimbulkan kerancuan antara kewenangan pengujian hakim TUN yang dalam UU PTUN seharusnya hanya dilakukan terhadap suatu KTUN (beschikking) vide Pasal 1 angka (3) UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka (9) UU No. 51 Tahun 2009 dengan uji material terhadap norma hukum undang-undang. Majelis hakim PT TUN dengan rangkaian konsiderasi yang dikemukakan dalam pertimbangan hukum putusan tersebut justru mengarah pada pengujian terhadap rumusan Pasal 269 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 yang secara eksplisit telah menegaskan bahwa pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah dikeluarkannya Keputusan Bawaslu.

Mencermati logika hukum konsiderasi putusan tersebut tidak salah jika banyak pihak sampai pada asumsi bahwa majelis hakim tinggi PT TUN Jakarta dalam kasus tersebut telah bertindak melampaui kewenangan (abuse of power) dalam memutuskan mengenai tenggang waktu pengajuan gugatan di PT TUN dalam sengketa TUN pemilu sebagaimana secara tegas telah ditentukan dalam Pasal 269 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 sebagai lex specialis dari limitasi tenggang waktu pengajuan gugatan vide Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 (90 hari). Perpanjangan

limitasi tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada Pasal 269 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 hanya dimungkinkan dalam rangka Pasal 269 ayat (3), yaitu guna perbaikan gugatan setelah gugatan didaftarkan di PT TUN yang menyatakan bahwa “dalam hal pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kurang lengkap, penggugat dapat memperbaiki dan melengkapi gugatan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya gugatan oleh pengadilan tinggi tata usaha negara.”

2. Objek sengketa TUN yang diuji

Sehubungan dengan objek sengketa yang diuji dalam sengketa TUN pemilu seharusnya secara yuridis diikuti kompetensi absolut PT TUN sebagaimana diatur pada Pasal 268 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa sengketa tata usaha negara pemilu adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, atau partai politik calon peserta pemilu dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.

Sebenarnya, majelis hakim tinggi PT TUN Jakarta dalam sengketa TUN tersebut telah berupaya mengidentifikasi objek sengketa dalam perkara Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT melalui pertimbangan hukumnya dengan membuat tabel komparasi objek sengketa TUN berdasarkan UU PTUN dan UU No. 8 Tahun 2012 sebagaimana diuraikan pada halaman 139-140 putusan PT TUN Jakarta.

Berdasarkan tabel di bawah ini dapat dicermati bahwa pertama definisi sengketa tata usaha negara yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012 telah memperluas subjek dan objek yang

Page 86: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

164 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172 Pergeseran Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara (W. Riawan Tjandra) | 165

PERBEDAAN

UU Nomor 51 Tahun 2009 UU Nomor 8 Tahun 2012

Pengertian sengketa:

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengertian sengketa:

Sengketa Pemilu adalah sengketa yang terjadi antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.

Surat keputusan bersifat individual dan final. Surat keputusan tidak bersifat individual dan final.

Subjek hukum:

Penggugat adalah seseorang atau badan hukum perdata;

Tergugat adalah badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.

Subjek hukum:

Penggugat adalah organisasi masyarakat (Ormas) partai politik;

Tergugat adalah KPU (khusus sengketa pemilu mengenai verifikasi partai politik dan pencoretan dari daftar tetap anggota DPR, DPD dan DPRD).

Objek sengketa:

Keputusan Tata Usaha Negara yang tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata;

Tidak termasuk tindakan faktual (materiel daad).

Objek sengketa:

Surat Keputusan KPU yang berkaitan dengan verifikasi partai politik peserta pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, meskipun telah melalui banding administratif di Bawaslu;

Tindakan faktual (materiel daad).

Tenggang waktu pengajuan gugatan 90 hari sejak diberitahukannya atau sejak diterimanya atau sejak mengetahui.

Tenggang waktu mengajukan gugatan 3 (tiga) hari kerja sejak keputusan Bawaslu.

Page 87: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

166 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172

lazimnya yang menjadi kriteria penentu kompetensi absolut peradilan tata usaha negara. Kedua, karakter individual dan final yang lazimnya melekat pada unsur KTUN telah diubah dalam UU No. 8 Tahun 2012. Ketiga, terjadi perluasan kriteria penggugat dalam UU No. 8 Tahun 2012 yang menjadi lex specialis dari keharusan subjek penggugat adalah orang atau badan hukum perdata sebagaimana diatur dalam UU Peradilan TUN. Demikian juga penempatan KPU sebagai subjek tergugat telah memperluas makna tergugat yang lazimnya adalah hanya badan atau pejabat TUN (bestuur). Dan keempat, penyempitan tenggang waktu gugatan menjadi hanya maksimal 3 (tiga) hari kerja sejak adanya putusan Bawaslu yang mengubah jangka waktu 90 hari sebagaimana diatur pada Pasal 55 UU Peradilan TUN. Identifikasi perbedaan-perbedaan UU No. 8 Tahun 2012 dengan UU Peradilan TUN oleh majelis hakim sebenarnya sudah mencerminkan perbedaan yuridis antara kedua undang-undang tersebut, namun majelis hakim yang mengidentifikasi adanya tindakan materiil sebagai salah satu karakter dari objek sengketa TUN berdasarkan UU No. 8 Tahun 2012 menurut penulis merupakan kesimpulan yang terlalu jauh yang justru telah menggeser terlalu jauh batas kompetensi absolut peradilan TUN yang hanya dibatasi untuk menguji tindakan hukum administrasi dalam bentuk penetapan. Hal itulah yang sebenarnya menjadi awal dari problematika yang timbul dalam putusan PT TUN Jakarta tersebut.

Namun, setelah melalui beberapa pertimbangan hukum sebelumnya, hal yang kiranya tidak konsisten dengan hakikat kewenangan peradilan TUN sebagaimana dimaksud dalam UU PTUN adalah konsiderasi yuridis majelis hakim tinggi PT TUN Jakarta yang menyatakan bahwa “berdasarkan uraian

di atas dengan demikian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berwenang untuk memeriksa sengketa pemilu dalam bentuk perbuatan faktual, faitelijk handeling, materieldaad yang dilakukan KPU.” Tidak mengherankan, jika kemudian majelis hakim tinggi PT TUN dalam diktum/amar putusannya sampai pada salah satu diktum yang “menyatakan tindakan KPU (tergugat) yang tidak melaksanakan Keputusan Bawaslu Nomor 012/SP-2/Set.Bawaslu/I/2013 tanggal 5 Februari 2013 merupakan perbuatan melawan hukum.” Rumusan semacam itu lazimnya hanya terdapat dalam sengketa perdata dalam rangka onrechtmatig overdheidsdaad (OOD) dan tidak tepat jika digunakan untuk mengualifikasikan tindakan tergugat dalam sengketa tata usaha negara, karena tidak konsisten dengan kompetensi absolut peradilan TUN sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 yang merupakan derivat dari hakikat kewenangan peradilan TUN dalam teori hukum acara peradilan TUN sebagaimana digunakan sebagai acuan dari konstruksi Pasal 268-269 UU No. 8 Tahun 2012.

Sebagai akibat ketidakjelasan dalam penentuan objek sengketa TUN pemilu dalam perkara No. 25/G/2013/PT.TUN.JKT tersebut, majelis hakim tinggi PT TUN terkesan menjadikan rancu objek pengujian sebagaimana seharusnya yang telah digariskan dalam Pasal 268 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2012 (keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota) dengan perbuatan material (materiele daad) KPU yang oleh UU No. 8 Tahun 2012 maupun oleh UU PTUN tidak pernah ditempatkan sebagai kompetensi absolut dari PT TUN.

Pembentuk UU PTUN memilih mendesain kompetensi absolut peradilan TUN yang kiranya justru lebih sempit dibandingkan kompetensi

Page 88: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

166 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172 Pergeseran Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara (W. Riawan Tjandra) | 167

absolut peradilan TUN dalam Teori Thorbecke dan Buys di atas, dengan menentukan bahwa sengketa TUN yang dapat diperiksa di PTUN harus dikaitkan dengan adanya kerugian sebagai akibat penetapan suatu KTUN (Pasal 1 angka (3) jo Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986). Namun, terdapat pembatasan kompetensi absolut PTUN sebagaimana diatur pada Pasal 2 dan Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986. Memang, Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 memperluas ruang lingkup KTUN yang dapat diuji di peradilan TUN, namun yang dimaksud adalah KTUN fiktif penolakan penerbitan KTUN oleh badan atau pejabat TUN, tidak mencakup perbuatan material (materiele daad) badan atau pejabat TUN. Jika dikaitkan dengan landasan teori sebagaimana telah dikemukakan di atas, berdasarkan studi komparasi terhadap kompetensi dan sistem pengujian lembaga-lembaga peradilan tata usaha negara di Jerman, Perancis dan Belanda yang dilakukan oleh Seerden dan Stroink (2002) pada prinsipnya menunjukkan bahwa kewenangan pengujian lembaga peradilan tata usaha negara di negara-negara tersebut adalah keputusan tata usaha negara di lingkungan pemerintah (bestuur) dalam lingkup Hukum Administrasi Negara. Hal itu yang justru terlihat secara eksplit telah dilanggar dalam putusan PT TUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT.

Ketidakjelasan dalam penentuan objek sengketa TUN dalam perkara No. 25/G/2013/PT.TUN.JKT sebagaimana terlihat dalam pertimbangan putusan PT TUN Jakarta yang terkesan berubah-ubah dan bahkan berbeda dengan objek yang digugat oleh penggugat (Keputusan KPU Nomor 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2014), menimbulkan penilaian bahwa PT TUN Jakarta bukan saja telah melakukan ultra petita,

namun telah memutuskan sengketa atas objek sengketa yang kabur. Ada beberapa pertimbangan yang diarahkan atas objek sengketa yang berbeda-beda yang dimunculkan oleh majelis hakim tinggi TUN dalam pertimbangan yang tidak muncul di awal gugatan penggugat, yaitu: tindakan tergugat yang tidak melaksanakan Keputusan Bawaslu Nomor 012/SP-2/Set.Bawaslu/I/2013 tanggal 5 Februari 2013, Surat Nomor 94/KPU/II/2013 tanggal 11 Februari 2013, Keputusan KPU Nomor 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2014 dan bahkan timbul penilaian majelis hakim tinggi PT TUN Jakarta dalam perkara tersebut membuat konsiderasi hukum yang mengarah pada uji material sebuah undang-undang. Hal itu terlihat dari salah satu pertimbangan hukum majelis hakim tinggi PT TUN Jakarta halaman 116 yang menyatakan:

“Menimbang, bahwa menurut hemat majelis hakim maksud kata perasa “keputusan Bawaslu merupakan keputusan akhir” dan “mengikat”, “kecuali keputusan terhadap sengketa Pemilu” yang terdapat dalam Pasal 259 ayat (1) adalah semua keputusan Bawaslu tentang penyelesaian sengketa pemilu “tidak tak terkecuali” termasuk berkaitan dengan verifikasi partai politik peserta pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD merupakan keputusan yang terakhir (final) dengan catan “apabila” keputusan Bawaslu tersebut diterima oleh para pihak yang bersengketa atau dengan lewatnya tenggang waktu yang tersedia untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan tinggi tata usaha negara, keputusan Bawaslu tersebut menjadi keputusan yang terakhir (final). Ketika keputusan Bawaslu

Page 89: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

168 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172

merupakan suatu keputusan yang terakhir (final) maka keputusan Bawaslu menjadi mengikat (binding) terhadap pemangku yang berkepentingan. Akan tetapi sebaliknya keputusan Bawaslu tersebut belum yang terakhir (belum final) mana kala para pihak tidak menerima keputusan Bawaslu dengan diwujudkan pengajuan gugatan tertulis kepada pengadilan tinggi tata usaha negara. Dengan diajukannya gugatan kepada pengadilan tinggi tata usaha negara maka keputusan Bawaslu tersebut belum mengikat atau belum yang terakhir atau belum final karena masih ada pihak-pihak yang mengajukan gugatan kepada pengadilan tinggi tata usaha negara. Demikian juga untuk seterusnya, putusan pengadilan tinggi tata usaha negara merupakan keputusan yang terakhir mana kala putusan tersebut diterima dengan baik oleh para pihak atau para pihak tidak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam tenggang waktu yang diberikan undang-undang, sehingga putusan pengadilan tinggi menjadi mengikat (binding).”

Logika hukum dalam pertimbangan hukum putusan tersebut justru sulit disangkal bahwa telah melakukan pengujian material secara vertikal ke atas, yaitu justru turut menguji rumusan normatif suatu ketentuan undang-undang (UU No. 8 Tahun 2012). Bukankah ini berarti majelis hakim tinggi PT TUN Jakarta dalam perkara tersebut telah menggunakan “pedang bermata dua” yang menguji ke bawah (KTUN) dan sekaligus menguji ke atas (peraturan dasar dari suatu KTUN)?

3. Subjek tergugat KPU

Hakikat kewenangan peradilan TUN

dalam penyelesaian sengketa TUN adalah untuk menguji Keputusan TUN (beschikking) sebagai wujud tindakan tata usaha negara yang dilakukan badan atau pejabat TUN. Hal itu dapat disimpulkan dari rumusan Pasal 1 angka (4) UU No. 5 Tahun 1986 jo Pasal 1 angka (10) UU No. 51 Tahun 2009, Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1986 dan Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986. Jika mencermati pertimbangan hukum putusan majelis hakim tinggi PT TUN Jakarta pada halaman 133-134 terlihat justru diarahkan kepada penilaian (subjektif?) majelis hakim tinggi TUN PT TUN Jakarta terhadap subjek tergugatnya, bukan lagi sesuai dengan hakikat kewenangan peradilan TUN di atas yang seharusnya mengacu secara objektif terhadap tindakan hukum TUN tergugat yang dituangkan dalam beschikking. Hal itu dapat dilihat dari beberapa pertimbangan majelis hakim tinggi TUN berikut:

Menimbang, bahwa KPU merupakan representatif dari sekian negarawan sehingga sikapnya haruslah menunjukkan kenegarawanan, bertindak sesuai dengan orang bijak (wise) tidak justru mempertontonkan kepada khalayak ramai (publik) perbuatan yang melawan hukum;

Menimbang, bahwa bila orang-orang terpandang yang menjadi negarawan mempertontonkan di depan umum melakukan suatu pelanggaran hukum (inkonsistensi terhadap negara hukum, kepatuhan hukum, ketidakpastian hukum) bagaimana mungkin rakyat (masyarakat) bisa sadar hukum, justru sudah barang tentu rakyat atau masyarakat ikut-ikutan mempertontontan perbuatan yang melanggar hukum, sebab yang sepatutnya dapat dijadikan sebagai anutan tidak lagi dapat dipercaya sebagai anutan;

Page 90: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

168 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172 Pergeseran Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara (W. Riawan Tjandra) | 169

Menimbang, bahwa agar negara ini merupakan negara hukum yang sadar akan hukum atau tertib hukum, penyelenggara negara tidak terkecuali wajib menunjukkan patuh perintah atas hukum dalam setiap langkah yang dilakukan oleh penyelenggara negara (negarawan) dilakukan secara elegan mematuhi perintah-perintah yang ditetapkan oleh hukum itu sendiri, jangan arogansi sektoral atau primordial sesaat.

Mencermati beberapa bagian pertimbangan hukum majelis hakim tinggi TUN tersebut tidak salah jika ada yang menilai: (1) Telah terjadi pergeseran penilaian majelis hakim tinggi TUN yang seharusnya diarahkan pada objek sengketa TUN yang disengketakan, namun dalam pertimbangan hukum putusan tersebut justru telah menilai kualitas (perilaku) dari subjek sengketa TUN yaitu (anggota-anggota) KPU atau melakukan penilaian (baca: penghakiman sepihak) atas diri para komisioner KPU-nya; (2) Adanya nuansa emosionalitas dalam melakukan penilaian yang semestinya tidak boleh tercermin dalam pertimbangan hukum putusan pengadilan yang seharusnya mengikuti asas-asas peradilan yang baik sebagaimana dikemukakan oleh BWN de Waard yang terdiri dari: decisie beginsel (right to a decision), verdedigings beginsel (a fair hearing), onpaartijdigheid beginsel (no bias) dan motiverings beginsel (reasons and argumentations of decision).

4. Upaya mengungkap kebenaran material (materiele waarheid) dalam pemeriksaan sengketa TUN tersebut

Jika dicermati secara menyeluruh, pertimbangan hukum hakim tinggi PT TUN Jakarta dalam sengketa TUN tersebut terlihat lebih mengandalkan secara mutlak hasil

pemeriksaan yang sudah pernah dilakukan oleh Bawaslu dan dituangkan dalam Keputusan Sengketa Nomor Permohonan: 012/SP-2/Set.Bawaslu/I/2013 tanpa terlihat ada upaya untuk menggali lebih dalam persoalan utama yang menjadi perbedaan pendapat antara temuan KPU dan penilaian Bawaslu terkait hasil verifikasi faktual terhadap PKPI. PT TUN menilai kebenaran hasil pengambilan keputusan yang dilakukan Bawaslu sudah valid (hanya) karena dilakukan secara terbuka untuk umum, bukan berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan PT TUN berdasarkan alat-alat bukti yang diatur dalam Pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986 yang bersifat oral maupun documentary untuk menguji validitas hasil pemeriksaan Bawaslu yang justru masih dipersoalkan oleh KPU (hlm. 124):

Menimbang, bahwa oleh karena prosedur pengambilan keputusan yang dilakukan Bawaslu terhadap sengketa ajudikasi Nomor 012/SP- 2/Set.Bawaslu/I/2013 tanggal 5 Februari 2013 dilakukan secara terbuka untuk umum, sehingga dengan demikian pengujian yang dilakukan Bawaslu dalam persidangan ajudikasi terhadap menerbitkan keputusan Nomor 012/SP-2/Set.Bawaslu/I/2013 tanggal 5 Februari 2012 merupakan hasil proses kajian yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum baik kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.

Sebaliknya, berbagai temuan dari KPU terkait tidak dipenuhinya syarat verifikasi parpol oleh PKPI yang diajukan dalam jawaban tergugat tidak diuji lebih mendalam. Padahal, keluarnya Surat Nomor 94/KPU/II/2013 tanggal 11 Februari 2013 sudah diidentifikasi dalam pertimbangan hukum Putusan PT TUN (hlm. 134) dengan menyatakan:

Page 91: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

170 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172

Menimbang, bahwa tergugat dalam suratnya Nomor 94/KPU/II/2013 tanggal 11 Februari 2013 menyatakan KPU menghormati pelaksanaan tugas dan wewenang Bawaslu dalam penyelesaian sengketa pemilu, akan tetapi KPU tidak dapat melaksanakan keputusan Bawaslu Nomor 012/SP-2/Set.Bawaslu/I/2013 dengan alasan ada perbedaan penilaian terhadap keterangan KPU Provinsi, bukti-bukti yang disampaikan dalam sidang ajudikasi, dan ruang lingkup tugas Bawaslu yang tidak memiliki wewenang untuk menguji Peraturan KPU terhadap norma UU, berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2), Pasal 259 ayat (1) dan ayat (4) UU Nomor 8 Tahun 2012.

Dalam kedudukan PT TUN untuk menguji dari segi rechtsmatigheid objek sengketa TUN berdasarkan kebenaran material, seharusnya PT TUN berupaya untuk memeriksa kebenaran material argumentasi yuridis yang diajukan dalam jawaban tergugat sesuai dengan asas audi et alteram partem. Namun, ternyata PT TUN, justru melanjutkan pertimbangan hukumnya dengan menyatakan (hlm. 135):

Menimbang, bahwa menurut majelis hakim Bawaslu berwenang untuk menguji keadaan faktual yang terjadi di lapangan, perbedaan penilaian terhadap pembuktian antara penggugat dengan tergugat dalam sidang ajudikasi merupakan kompetensi dari Bawaslu. Bawaslu harus bertindak jujur dan adil dalam melakukan penilaian pembuktian. Bawaslu tidak terikat kepada pembuktian formalistik yang diajukan tergugat, bukti-bukti tersebut harus dikaji dan diuji secara komprehensif serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa, meskipun itu kolega atau rekan kerja dari Bawaslu yang sama-

sama penyelenggara pemilu.

Majelis hakim PT TUN dengan konstruksi pertimbangan hukum semacam itu kiranya belum bisa mewujudkan kebenaran material dalam penyelesaian sengketa TUN perkara No. 25/G/2013/PT.TUN.JKT. PT TUN tidak tuntas dalam menyelesaikan perbedaan pendapat antara Bawaslu dan KPU terkait tidak lolosnya verifikasi PKPI dalam Keputusan KPU Nomor 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2014. PT TUN justru cenderung hanya menguatkan saja Keputusan Bawaslu dalam Keputusan Sengketa Nomor Permohonan: 012/SP-2/Set.Bawaslu/I/2013. Bahkan, cukup mengherankan PT TUN dalam pertimbangannya juga terlihat sempat terlalu jauh menafsirkan kewenangan ultra petita (meskipun tidak diakuinya sebagai ultra petita) dengan menyatakan (hlm. 136):

Menimbang, bahwa meskipun Penggugat dalam petitum gugatannya masih mempermasalahkan penerbitan surat keputusan KPU 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 tanggal 8 Januari 2013 akan tetapi menurut hemat majelis karena dalam posita telah menggambarkan secara jelas maksud dari yang di permasalahan Penggugat dalam perkara ini, maka yang menjadi objek sengketa dalam perkara ini adalah tentang ketidak patuhan atau ketidak bersediaan Tergugat melaksanakan surat Keputusan Bawaslu Nomor 012/SP-2/Set.Bawaslu/I/2013.

Jadi, melihat logika pertimbangan hukum majelis hakim tinggi PT TUN di atas, seharusnya PT TUN menyadari bahwa masih ada keraguan beralasan (beyond reasonable doubt) yang berdasarkan tujuan untuk menemukan kebenaran material masih perlu digali lebih mendalam lagi

Page 92: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

170 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172 Pergeseran Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara (W. Riawan Tjandra) | 171

dalam perkara No. 25/G/2013/PT.TUN.JKT tersebut. Cara berpikir semacam itu dalam logika disebut dengan kekeliruan berpikir (fallacy), yaitu petitio principii (begging the question): menganggap benar dan menggunakannya sebagai premis justru kesimpulan yang masih harus dibuktikan (Tjandra, 2011: 116).

SIMPULANIV.

Berdasarkan kajian melalui pendekatan contain analysis atas putusan PT TUN Jakarta No. 25/G/2013/PT.TUN.JKT dapat disimpulkan sebagai berikut:

(1) Mencermati logika hukum konsiderasi putusan tersebut tidak salah jika banyak pihak sampai pada asumsi bahwa majelis hakim tinggi PT TUN Jakarta dalam kasus tersebut telah bertindak melampaui kewenangan (abuse of power) dalam memutuskan mengenai tenggang waktu pengajuan gugatan di PT TUN dalam sengketa TUN Pemilu sebagaimana secara tegas telah ditentukan dalam Pasal 269 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 sebagai lex specialis dari limitasi tenggang waktu pengajuan gugatan vide Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 (90 hari);

(2) Ketidakjelasan dalam penentuan objek sengketa TUN pemilu dalam perkara No. 25/G/2013/PT.TUN.JKT tersebut, majelis hakim tinggi PT TUN terkesan menjadikan rancu objek pengujian sebagaimana seharusnya yang telah digariskan dalam Pasal 268 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2012 (keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota) dengan perbuatan material (materiele daad) KPU yang oleh UU No. 8 Tahun 2012 maupun oleh UU

PTUN tidak pernah ditempatkan sebagai kompetensi absolut dari PT TUN;

(3) Pertimbangan hukum putusan majelis hakim tinggi PT TUN Jakarta pada halaman 133-134 terlihat justru diarahkan kepada penilaian subjektif majelis hakim tinggi TUN PT TUN Jakarta terhadap subjek tergugatnya, bukan lagi sesuai dengan hakikat kewenangan peradilan TUN di atas yang seharusnya mengacu secara objektif terhadap tindakan hukum TUN tergugat yang dituangkan dalam beschikking;

(4) Kebenaran material (materiele waarheid) yang seharusnya menjadi standar tujuan dalam pengujian sengketa TUN belum tewujud, bahkan dari logika pertimbangan hukum yang disusun oleh majelis hakim PT TUN tersebut terlihat adanya fallacy (kekeliruan berpikir) dalam bentuk petitio principii (begging the question).

Perluasan interpretasi badan atau pejabat TUN yang meliputi KPU sebagai subjek sengketa TUN oleh pembentuk UU No. 8 Tahun 2012 telah menimbulkan kerumitan paradigmatik ditinjau dari teori hukum administrasi negara. Hal itu berimplikasi terhadap kerancuan dalam proses peradilan tata usaha negara sebagaimana terlihat dari penyelesaian perkara tersebut. Penyelesaian sengketa TUN pemilu dalam perkara tersebut telah mengindikasikan terjadinya pergeseran wewenang peradilan tata usaha negara dan adanya kelemahan kapasitas peradilan tata usaha negara dalam merespons atribusi wewenang tambahan dalam penyelesaian sengketa TUN pemilu terkait verikasi parpol oleh KPU yang dalam teori hukum administrasi negara sebagaimana diuraikan di atas pada hakikatnya berada di luar wewenang pokok dari peradilan tata usaha negara.

Page 93: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

172 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172

DAFTAR PUSTAKA

Goede, De. 1986. Beeld van het Nederlands Bestuursrecht, VUGA Uitgeverij B.V. ‘s-Gravenhage, Nederlands.

Groves, Matthew & HP Lee. 2007. Australian Administrative Law-Fundamentals, Principles and Doctrines. New York: Cambridge University Press.

Hadjon, Philipus M. 1993. Pengantar Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UGM Press.

Kunnecke, Martina. 2007. Tradition and Change in Administrative Law. Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Tjandra, W. Riawan. 2011. Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara (edisi revisi). Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

_________________. 2012. Demokrasi Melawan Kekuasaan Melalui PTUN. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Seerden, Rene & Frits Stroink. 2002. Administrative Law of The European, its Member States and the United States – A Comparative Analysis. Groningen: Intersentia Uitgevers Antwerpen.

Versteden, CJN. 1984. Inleiding Algemeen Bestuursrecht. Bussum: Samson HD. Tjeenk Willink.

Page 94: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

172 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172 Kepemilikan Hak Cipta dalam Perjanjian Lisensi (Hesty D. Lestari) | 173

ABSTRAK

Pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dengan imbalan berupa royalti. Pemberian lisensi tersebut dibuat dalam suatu perjanjian lisensi. Isi perjanjian lisensi tidak mengalihkan hak cipta milik pemberi lisensi kepada penerima lisensi. Salah satu contoh dari perjanjian lisensi di Indonesia adalah pemberian lisensi hak cipta dan merek minuman penyegar Cap Kaki Tiga dari perusahaan Singapura Wen Ken Drug Company kepada perusahaan nasional PT Sinde Budi Sentosa. Perjanjian lisensi yang dibuat tahun 1978 tersebut kemudian diakhiri secara sepihak oleh Wen Ken pada tahun 2008 dan diikuti dengan beberapa sengketa HKI antara Wen Ken dengan Sinde, salah satunya adalah sengketa hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak. Mahkamah Agung dengan Putusan No. 104 PK/PDT.SUS/2011 memberikan hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak pada Sinde selaku penerima lisensi, dan menyatakan bahwa logo tersebut merupakan ciptaan bersama antara Wen Ken, Sinde, dan BY. MA tidak mengakui Wen Ken selaku pemberi

lisensi sebagai satu-satunya pemegang hak cipta atas logo tersebut. Salah satu yang menjadi dasar pertimbangan MA dalam putusannya adalah karena Wen Ken tidak memiliki bukti pendaftaran hak cipta atas logo tersebut, baik di negara asalnya Singapura maupun di negara-negara lain.

Kata kunci: hak cipta, lisensi, pendaftaran ciptaan.

AbSTRACT

A copyright holder is entitled to license others to publish or reproduce his creations in return for a royalty. Licensing shall be made in a form of license agreement. A license agreement does not transfer the copyright that belongs to the licensor to the licensee. One example of a license agreement in Indonesia is the licensing of copyright and brand name of Minuman Penyegar Cap Kaki Tiga from Wen Ken Drug Company from Singapore, to a national company, PT Sinde Budi Sentosa in 1978. The licensing agreement was then terminated unilaterally by Wen Ken in 2008, and was followed by a series of Intellectual Property Rights disputes between Wen Ken and Sinde, one of which is the

KEPEMILIKAN HAK CIPTA DALAM PERJANJIAN LISENSIKajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 104 PK/PDT.SUS/2011

COPYRIGHT OWNERSHIP IN THE LICENSE AGREEMENT

Hesty D. LestariMagister Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Jakarta

Jl. K.H. Ahmad Dahlan, Ciputat, Jakarta SelatanEmail: [email protected]

An Analysis of Supreme Court’s Decision Number 104 PK/PDT.SUS/2011

Diterima tgl 25 Juni 2013/Disetujui tgl 15 Juli 2013

Page 95: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

174 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188

PENDAHULUANI.

Hak cipta (copyright) merupakan salah satu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang di Indonesia diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC). Sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 butir 1 UUHC, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, pemegang hak cipta memiliki hak eksklusif untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, baik secara sendiri maupun bersama dengan pihak lain. Selain itu, ia juga berhak memberikan izin kepada pihak lain untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Izin tersebut berupa lisensi, dan pemberian lisensi dibuat dalam suatu perjanjian lisensi.

Perjanjian lisensi (licensing agreement) merupakan perjanjian antara pemberi lisensi (licensor) dengan penerima lisensi (licensee). Licensor memberikan izin kepada licensee untuk menggunakan HKI miliknya untuk memproduksi, mendistribusikan, dan memasarkan produk-produk milik licensor, dan sebagai imbalannya licensor mendapatkan royalti dari licensee (Newman, 2013: 1111). HKI yang diberikan

lisensinya dapat berupa hak cipta, merek, paten, rahasia dagang, dan lain-lain.

Perjanjian lisensi dapat berskala nasional maupun internasional. Dalam skala internasional, pemberian lisensi HKI pada perusahaan di luar negeri merupakan salah satu bentuk perdagangan internasional yang bertujuan untuk memperluas pasar di luar negeri tanpa harus membuka cabang perusahaan di luar negeri. Bentuk perdagangan semacam ini banyak dijumpai di Indonesia, di mana perusahaan asing memberikan lisensi HKI kepada perusahaan nasional untuk memproduksi, mendistribusikan, dan memasarkan produk-produknya di Indonesia.

Salah satu contoh dari perjanjian lisensi HKI yang berskala internasional adalah pemberian lisensi hak cipta dan merek minuman penyegar Cap Kaki Tiga dari perusahaan Singapura Wen Ken Drug Company (Wen Ken) kepada perusahaan nasional PT. Sinde Budi Sentosa (Sinde). Wen Ken adalah produsen obat-obatan Cina tradisional dan obat-obatan lainnya dengan merek Three Legs (Kaki Tiga). Salah satu produk Wen Ken adalah Three Legs Cooling Water dengan gambar seekor badak pada labelnya. Untuk memasuki pasar Indonesia, pada tahun 1978 Wen Ken melakukan kerja sama dengan Sinde dengan memberikan lisensi merek “Cap Kaki Tiga” kepada Sinde di wilayah Indonesia.

dispute on copyright of the logo. In its Decision Number 104 PK/PDT.SUS/2011, the Supreme Court of the Republic of Indonesia granted the copyright of the logo to Sinde as the licensee and stated that the logo was a joint creation between Wen Ken, Sinde, and BY. The Supreme Court did not acknowledge Wen Ken as the licensor as the

sole holder of the copyright to the logo. One of the necessary ruling considerations of the Supreme Court is for the reason that Wen Ken did not posses any evidences of copyright registration for the logo in its home country, Singapore, as well as in other countries.

Keywords: copyright, license, copyright registration.

Page 96: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

174 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188 Kepemilikan Hak Cipta dalam Perjanjian Lisensi (Hesty D. Lestari) | 175

Dalam perjanjian lisensi yang ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 8 Februari 1978 tersebut dinyatakan bahwa Wen Ken memberikan lisensi kepada Sinde untuk:

1. memproduksi dan memasarkan produk dengan merek dagang “Cap Kaki Tiga”;

2. mengatur pengurusan pendaftaran Merek dan Hak Cipta “Cap Kaki Tiga” di Indonesia;

3. melakukan pendaftaran produk-produk dengan merek “Cap Kaki Tiga” di Departemen Kesehatan RI.

Berdasarkan perjanjian lisensi tersebut, Sinde sejak tahun 1980 memproduksi, mendistribusikan, dan memasarkan minuman Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga di wilayah Indonesia. Perjanjian lisensi tersebut kemudian didaftarkan Sinde di Direktorat Merek, Ditjen HKI, Departemen Hukum dan HAM tanggal 7 Juli 2008.

Setelah 30 tahun kerja sama antara Wen Ken dengan Sinde berjalan dengan baik, Wen Ken dengan surat bertanggal 4 Februari 2008 memutus perjanjian lisensi secara sepihak. Alasan Wen Ken melakukan hal tersebut adalah karena Sinde tidak membayar royalti dan tidak menyampaikan laporan produksi dan penjualan produk secara periodik, serta menghilangkan Logo Kaki Tiga dari kemasan produk. Wen Ken meminta Sinde untuk tidak lagi memproduksi minuman penyegar merek Cap Kaki Tiga mulai tanggal 7 Februari 2008 dan mengajukan beberapa gugatan pada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengenai pembatalan merek dan hak cipta yang berkaitan dengan produk minuman penyegar Cap Kaki Tiga yang telah didaftarkan oleh Sinde dan Komisaris Utamanya, BY. Salah satu gugatan

tersebut adalah gugatan pembatalan Sertifikat Pendaftaran Hak Cipta No. 015649 tentang Logo Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak yang terdaftar atas nama Wen Ken, Sinde, dan BY.

Dalam gugatannya, Wen Ken (penggugat) memohon kepada Pengadilan Niaga untuk menetapkan bahwa dialah satu-satunya pencipta dan atau pemegang hak cipta atas Lukisan Badak pada kemasan minuman larutan penyegar Cap Kaki Tiga dan membatalkan pendaftaran atas nama Sinde (tergugat I) dan BY (tergugat II) serta mencoret kedua nama tersebut dari Sertifikat Pendaftaran Hak Cipta No. 015649 pada Daftar Umum Ciptaan.

Dalil-dalil yang diajukan penggugat dalam gugatannya, antara lain, adalah bahwa ia telah memproduksi minuman penyegar Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak sejak tahun 1937. Ia jugalah yang pertama kali mengumumkan (to make public) Lukisan Badak yang melekat pada merek Cap Kaki Tiga. Wen Ken menuduh para tergugat memiliki itikad tidak baik dalam mendaftarkan hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak, karena tanpa seizin, persetujuan, dan sepengetahuannya, BY mendaftarkan hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak sebagai milik bersama antara Wen Ken, Sinde, dan BY.

Pengadilan Niaga dengan Putusan No. 31/Hak Cipta/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 21 Juli 2010 mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya. Pengadilan Niaga menetapkan Wen Ken sebagai satu-satunya pencipta dan pemegang hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga, serta membatalkan pendaftaran atas nama Sinde dan BY dalam Daftar Hak Cipta dengan nomor pendaftaran 015649.

Page 97: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

176 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188

Merasa tidak puas dengan putusan Pengadilan Niaga tersebut, Sinde dan BY kemudian mengajukan kasasi ke MA. Sinde dan BY selaku pemohon kasasi dalam permohonan kasasinya menilai, Pengadilan Niaga telah salah dalam menerapkan hukum. Hal ini karena Wen Ken (termohon kasasi) tidak memiliki bukti yang akurat mengenai Lukisan Badak dan Cap Kaki Tiga yang di-claimed telah lama digunakannya. Di sisi lain, yang didaftarkan pemohon kasasi bukanlah semata-mata Logo Cap Kaki Tiga, melainkan Seni Lukis Etiket Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga yang merupakan hasil ciptaan pemohon kasasi yang orisinil (asli) dan pemohon kasasi dapat membuktikan bahwa ciptaannya benar-benar orisinil pada saat pendaftaran hak cipta.

Dalam putusannya MA berpendapat bahwa Pengadilan Niaga telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian. Yang menjadi pertimbangan MA adalah termohon kasasi tidak memiliki bukti sebagai pemegang hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dari Negara Singapura atau negara lainnya. Termohon kasasi juga tidak dapat membuktikan bahwa dialah pencipta Logo Cap Kaki Tiga.

Lebih lanjut MA menolak tuduhan termohon kasasi bahwa pendaftaran hak cipta yang dilakukan oleh pemohon kasasi dilakukan dengan itikad tidak baik, karena pendaftaran tersebut merupakan tindak lanjut dari kesepakatan tanggal 8 Februari 1978 antara termohon kasasi dan pemohon kasasi, di mana pemohon kasasi harus mengatur daftar merek dagang dan hak ciptanya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, MA dengan Putusan No. 768 K/Pdt.Sus/2010 tanggal 30 November 2010 mengabulkan permohonan kasasi dari Sinde dan BY. Dengan demikian, hak cipta dengan nomor pendaftaran 01549 tidak dibatalkan.

Dalam putusan kasasi ini terdapat dissenting opinion dari Hakim Agung Prof. MK. Ia berpendapat, termohon kasasi dapat membuktikan bahwa dialah pemilik hak cipta atas karya lukis Logo Cap Kaki Tiga karena dia yang pertama kali mengumumkan karya cipta tersebut. Apakah hak cipta tersebut harus didaftarkan atau tidak, hal tersebut harus berdasarkan hukum di Singapura. Prof. MK menilai sangat berlebihan untuk meyakini bahwa asal produk dan hak cipta maupun etiket adalah murni milik pemohon kasasi. Lebih lanjut ia berpendapat, bahwa perjanjian lisensi bukanlah perjanjian jual beli, ia hanya izin untuk memproduksi dan memasarkan. Oleh karena itu, Pengadilan Niaga tidak salah menerapkan hukum sehingga permohonan kasasi harus ditolak.

Kalah di tingkat kasasi, Wen Ken kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK). Dalam permohonan PK, Wen Ken (pemohon PK) mengemukakan alasan-alasan diajukannya PK, antara lain karena MA dalam putusannya telah salah dan keliru menerapkan ketentuan pendaftaran hak cipta sebagai kepemilikan menurut UUHC. Pemohon PK berargumen, hak cipta diperoleh dan dimiliki bukan berdasarkan pendaftaran, namun berdasarkan pengumuman ke publik yang pertama kali. Pemohon PK berpendapat bahwa sistem pendaftaran hak cipta di Indonesia adalah sistem deklaratif. Artinya, pendaftaran tidaklah menerbitkan hak, tetapi hanya memberikan dugaan atau sangkaan bahwa si pendaftar adalah pencipta.

Terhadap permohonan PK tersebut, MA berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK yang diajukan pemohon PK tidak dapat diterima. MA menilai, tidak ada kekhilafan/kekeliruan nyata dalam putusan kasasi karena pertimbangannya telah tepat dan benar. MA

Page 98: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

176 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188 Kepemilikan Hak Cipta dalam Perjanjian Lisensi (Hesty D. Lestari) | 177

menegaskan bahwa pemohon PK tidak dapat membuktikan originality Logo Cap Kaki Tiga yang telah terdaftar di Singapura atau negara lainnya. Menurut MA, dalam Perjanjian Lisensi tanggal 8 Februari 1978 pemohon PK hanya sebagai pemilik Merek Cap Kaki Tiga dan tanpa “Lukisan Badak” dan kata “Larutan Penyegar”. Lebih lanjut MA berpendapat bahwa Sertifikat Pendaftaran Hak Cipta No. 015649 dengan judul Seni Lukis Etiket Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga adalah ciptaan bersama antara Wen Ken dan Sinde serta BY. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, MA dalam Putusan No. 104 PK/PDT.SUS/2011 menolak permohonan PK dari Wen Ken. Dengan demikian, Sertifikat Pendaftaran Hak Cipta No. 015649 tidak dibatalkan.

RUMUSAN MASALAHII.

Permasalahan yang akan dibahas dalam artikel ini adalah apakah pemberian hak cipta pada penerima lisensi (licensee) dan tidak diakuinya pemberi lisensi (licensor) sebagai satu-satunya pemegang hak cipta atas ciptaan yang menjadi objek perjanjian lisensi sebagaimana dimaksud dalam Putusan MA No. 104 PK/PDT.SUS/2011 tersebut sudah tepat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut akan dikaji: (1) apakah fungsi pendaftaran hak cipta; (2) bagaimanakah pembuktian keaslian ciptaan; dan (3) apakah licensee berhak mendapatkan hak cipta atas ciptaan yang menjadi objek perjanjian lisensi?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

Putusan MA baik di tingkat kasasi maupun PK memberikan hak cipta pada licensee dan tidak mengakui licensor sebagai satu-satunya pemegang hak cipta atas produk yang menjadi

objek perjanjian lisensi. Untuk menganalisa tepat tidaknya putusan MA tersebut, penulis akan menggunakan tiga variabel, yaitu: a) fungsi pendaftaran hak cipta; b) pembuktian keaslian ciptaan dan c) perjanjian lisensi.

A. Fungsi Pendaftaran Hak Cipta

Dalam mekanisme pendaftaran hak cipta dan HKI lainnya, dikenal dua macam sistem, yaitu sistem konstitutif dan sistem deklaratif (Saidin, 2006: 89). Sistem konstitutif artinya bahwa pendaftaran ciptaan berfungsi untuk melahirkan hak cipta atas ciptaan tersebut. Tanpa pendaftaran, seorang pencipta tidak otomatis berhak atas hak cipta dari ciptaannya. Hak cipta lahir setelah pencipta melakukan pendaftaran dan pendaftaran tersebut memiliki kekuatan. Pendaftaran dalam sistem ini mengakibatkan pendaftar secara de facto dan de jure diakui sebagai pencipta atau orang yang berhak atas hak cipta dari ciptaan yang didaftarkan (Saidin, 2006: 89).

Dalam sistem deklaratif, pendaftaran ciptaan tidaklah melahirkan hak cipta atas ciptaan tersebut. Fungsi pendaftaran dalam sistem ini hanya untuk memberikan dugaan atau sangkaan, bahwa berdasarkan undang-undang, orang yang mendaftarkan suatu ciptaan adalah orang yang berhak atas hak cipta dari ciptaan tersebut (Saidin, 2006: 89). Sepanjang tidak ada orang lain yang membuktikan sebaliknya, maka pendaftar secara de facto diakui oleh UU sebagai pencipta atau pemegang hak cipta. Sebaliknya, jika ada orang lain yang menyangkal, maka pendaftar secara de jure harus membuktikan bahwa dialah pencipta atau pemegang hak cipta (Saidin, 2006: 89).

Sistem pendaftaran hak cipta yang berlaku di Indonesia adalah sistem deklaratif. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ketentuan dalam UUHC. Pertama, ketentuan dalam Pasal 2 ayat

Page 99: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

178 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188

(1) UUHC yang menyebutkan:

“Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hak cipta lahir secara otomatis begitu ciptaan dihasilkan. Lahirnya hak cipta di Indonesia bukan karena pendaftaran (Lindsey et.al., 2006: 107-108).

Kemudian ketentuan mengenai pencipta dalam Pasal 5 ayat (1) UUHC menyebutkan bahwa orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan HAM, atau orang yang namanya disebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai pencipta pada suatu ciptaan dianggap sebagai pencipta, kecuali terbukti sebaliknya. Dengan demikian, pendaftaran suatu ciptaan hanya menimbulkan anggapan atau dugaan bahwa orang yang mendaftar adalah pencipta. Jadi, meskipun seseorang namanya telah tercantum dalam Daftar Umum Ciptaan sebagai pencipta, hal tersebut tidaklah berarti bahwa dia secara de jure adalah pencipta, melainkan secara de facto dia hanya dianggap sebagai pencipta. Jika ada orang lain yang kemudian dapat membuktikan sebaliknya, maka pendaftaran tersebut dapat dibatalkan.

Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UUHC juga menegaskan berlakunya sistem deklaratif dalam pendaftaran ciptaan:

“Pada prinsipnya Hak Cipta diperoleh bukan karena pendaftaran, tetapi dalam hal

terjadi sengketa di pengadilan mengenai ciptaan yang terdaftar dan yang tidak terdaftar ... serta apabila pihak-pihak yang berkepentingan dapat membuktikan kebenarannya, hakim dapat menentukan pencipta yang sebenarnya berdasarkan pembuktian tersebut.”

Dengan demikian, dalam proses pembuktian di pengadilan, hakim tidak boleh menjadikan pendaftaran sebagai salah satu alat bukti yang harus ada agar seseorang dapat dinyatakan sebagai pencipta. Hakim juga tidak boleh beranggapan bahwa pemegang hak cipta yang sah adalah yang terbukti telah mendaftarkan ciptaan, dan orang yang tidak memiliki bukti pendaftaran tidak diakui sebagai pencipta. Hakim harus mempertimbangkan bukti-bukti yang lain untuk menentukan pencipta yang sah atas suatu ciptaan.

Pendaftaran ciptaan memang diatur secara khusus dalam Bab IV (Pasal 35 – Pasal 44) UUHC. Pasal 35 ayat (4) UUHC menentukan bahwa ketentuan tentang pendaftaran tersebut tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan hak cipta. Artinya, untuk membuktikan bahwa seseorang adalah pemegang hak cipta tidaklah harus dengan membuktikan bahwa ia telah terdaftar sebagai pemegang hak cipta. Seorang pencipta tidak harus melakukan pendaftaran untuk diakui sebagai pemegang hak cipta, karena hak cipta lahir secara otomatis. Baik terdaftar maupun tidak terdaftar, pemegang hak cipta berhak mendapat perlindungan (Kariodimedjo, 2010: 274).

Dengan demikian, hak cipta memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan HKI lainnya, seperti paten dan merek. Seorang inventor akan mendapatkan hak paten jika

Page 100: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

178 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188 Kepemilikan Hak Cipta dalam Perjanjian Lisensi (Hesty D. Lestari) | 179

invensinya didaftarkan. Tanpa pendaftaran, invensi tersebut tidak berhak mendapatkan perlindungan. Begitu pula suatu merek akan mendapat perlindungan apabila merek tersebut didaftarkan. Tanpa pendaftaran, pemilik merek tidak berhak mendapatkan hak merek.

Karakteristik hak cipta yang lahir secara otomatis tanpa memerlukan pendaftaran merupakan prinsip universal dan diatur dalam Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1997. Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne menentukan bahwa perlindungan hak cipta tidak memerlukan formalitas apa pun. Artinya, pendaftaran tidak boleh dijadikan syarat untuk mendapatkan perlindungan. Karena fungsi pendaftaran dalam hak cipta tidak wajib, beberapa negara meniadakan atau tidak menyelenggarakan pendaftaran hak cipta. Negara-negara tersebut antara lain adalah Inggris, Jerman, Spanyol, Australia, Mesir, Malaysia, Singapura, dan lain-lain (Wikipedia, 2013: 1-4).

Berkaitan dengan sengketa hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak, MA di tingkat kasasi menyatakan bahwa Wen Ken tidak memiliki bukti sebagai pencipta dan pemegang hak cipta atas logo tersebut dari Negara Singapura atau negara lainnya sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 5 ayat (1) UUHC. Tampaknya MA keliru memahami Pasal 5 ayat (1) UUHC. Pasal tersebut tidak berarti bahwa untuk dinyatakan sebagai pencipta seseorang harus terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan, atau namanya disebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai pencipta pada suatu ciptaan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pasal ini justru menyatakan bahwa orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan, atau orang yang namanya disebut dalam

ciptaan atau diumumkan sebagai pencipta pada suatu ciptaan hanya dianggap sebagai pencipta, kecuali terbukti sebaliknya. Jadi, meskipun Wen Ken tidak terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan, atau namanya tidak disebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai pencipta pada Logo Cap Kaki Tiga, ia tetap dapat diakui sebagai pencipta jika ia dapat membuktikan hal tersebut.

Di tingkat kasasi pula MA membenarkan dalil yang diajukan oleh Sinde dan BY bahwa yang terdaftar sebagai pencipta dan pemegang hak cipta atas Seni Lukis Etiket Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga adalah Wen Ken, Sinde, dan BY. Oleh karenanya MA tidak dapat membenarkan jika Wen Ken mengajukan gugatan pembatalan hak cipta terhadap Sinde dan BY. Padahal sebagaimana diuraikan di atas, bahwa Daftar Umum Ciptaan hanya menimbulkan anggapan atau dugaan sebagai pencipta. Jadi, walaupun yang terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan adalah 3 orang, jika Wen Ken dapat membuktikan bahwa dialah satu-satunya pencipta dan pemegang hak cipta, maka Sinde dan BY dapat dicoret dari Daftar Umum Ciptaan, tanpa harus meminta persetujuan dari yang bersangkutan.

Salah satu bukti yang diajukan Wen Ken sebagai pencipta Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak adalah fakta bahwa dialah pihak yang pertama kali mengumumkan ke publik logo tersebut. Sinde menolak fakta tersebut dijadikan sebagai alat bukti, dengan alasan bahwa pihak yang pertama mengumumkan ke publik belum tentu pencipta, karena bisa saja ia mengumumkan ciptaan pencipta lain sebelum pencipta tersebut mendaftarkan hak ciptanya. Pendapat Sinde ini dibenarkan oleh MA, padahal pendapat tersebut tidak tepat. Seseorang memang bisa saja mengumumkan ciptaan pencipta lain. Dalam kasus ini menjadi tidak logis, jika Wen Ken yang

Page 101: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

180 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188

sudah menggunakan logo Cap Kaki Tiga sejak tahun 1937 dianggap bukan sebagai pencipta, sedangkan Sinde yang baru menggunakan logo tersebut tahun 1980 dianggap sebagai pencipta. Di samping itu, hak cipta lahir bukan karena pendaftaran. Meskipun Wen Ken tidak pernah mendaftarkan ciptaannya sedangkan Sinde mendaftarkan ciptaannya, pendaftaran tersebut bukanlah bukti absolut untuk menentukan pencipta yang sebenarnya.

Di tingkat PK, MA menyatakan Wen Ken tidak dapat membuktikan originalitas Logo Cap Kaki Tiga yang telah terdaftar di Singapura atau negara lainnya. Pendapat MA tersebut tidaklah sesuai dengan teori dan ketentuan-ketentuan yang berlaku di bidang hak cipta, sebagaimana telah dipaparkan di atas. Wen Ken tidaklah harus melakukan pendaftaran untuk diakui sebagai pencipta atau pemegang hak cipta. Apalagi Singapura tidak menyelenggarakan pendaftaran hak cipta. Dengan demikian walaupun Wen Ken tidak memiliki bukti pendaftaran hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak, ia tetap berhak mendapat perlindungan sebagai pencipta dan pemegang hak cipta.

Putusan MA, baik di tingkat kasasi maupun PK juga kontradiktif. Di satu sisi, MA menyatakan bahwa Wen Ken tidak memiliki bukti sebagai pencipta dan pemegang hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak. Di sisi lain, MA tidak bersedia membatalkan Sertifikat Pendaftaran Hak Cipta No. 015649. Padahal dalam sertifikat tersebut, Wen Ken bersama dengan Sinde dan BY dinyatakan sebagai pencipta dan pemegang hak cipta. MA bahkan secara tegas menyatakan bahwa Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak sebagai ciptaan bersama ketiga pihak tersebut. Artinya MA mengakui bahwa Wen Ken adalah pencipta dan pemegang hak cipta atas logo tersebut.

B. Pembuktian Keaslian Ciptaan

1. Standar Keaslian

Syarat untuk mendapatkan hak cipta atas suatu ciptaan adalah ciptaan tersebut asli (original) karya pencipta. Pasal 1 angka 3 UUHC menentukan: “Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.” UUHC tidak menjelaskan lebih lanjut standar yang digunakan untuk menentukan keaslian suatu ciptaan.

Sementara itu, Pasal 36 UUHC menentukan: “Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan tidak mengandung arti sebagai pengesahan atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari ciptaan yang didaftar.” Penjelasan Pasal 36 UUHC menyatakan: “Direktorat Jenderal yang menyelenggarakan pendaftaran ciptaan tidak bertanggung jawab atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari ciptaan yang terdaftar.” Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pendaftaran ciptaan tidak menjamin bahwa ciptaan yang didaftar adalah benar-benar asli karya pendaftar. Hal ini sesuai dengan sistem pendaftaran yang diterapkan di Indonesia, yaitu sistem deklaratif.

Baik peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi di Indonesia sejauh ini tidak memberikan standar yang digunakan untuk membuktikan keaslian ciptaan. Sebagai referensi, penulis akan membandingkan standar keaslian yang digunakan di Amerika Serikat (AS). Standar keaslian (originality) di AS tidak diatur dalam Copyright Act, namun ditentukan berdasarkan yurisprudensi di AS. Copyright Act tidak menetapkan standar originality dengan maksud untuk memelihara yurisprudensi yang telah lama dibangun oleh pengadilan dalam menetapkan standar keaslian suatu ciptaan (Merges et.al., 2003: 327).

Page 102: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

180 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188 Kepemilikan Hak Cipta dalam Perjanjian Lisensi (Hesty D. Lestari) | 181

Berdasarkan yurisprudensi tersebut, standar originality tidak menuntut adanya unsur kebaruan (novelty), kecanggihan (ingenuity), atau pun fungsi estetis. Originality membutuhkan adanya kreasi independen dari suatu ciptaan yang menampilkan sedikit kreativitas. Kreasi independen ini menunjukkan bahwa pencipta tidak meniru ciptaan pencipta lain, namun ia secara independen menghasilkan kreasi tersebut. Walaupun suatu ciptaan mirip dengan ciptaan lain, jika ciptaan tersebut adalah kreasi independen, maka ciptaan tersebut memenuhi standar originality (Merges et.al., 2003: 327). Begitu pula, jika dalam menghasilkan ciptaannya pencipta terinspirasi ciptaan lain, maka ciptaan tersebut memenuhi standar originality, sepanjang ciptaan tersebut merupakan kreasi sendiri (Rahayu, 2011: 123).

Standar originality dalam hak cipta lebih rendah dibandingkan dengan standar novelty dalam paten (Merges et.al., 2003: 327). Untuk mendapatkan hak paten, seorang inventor dianggap mengetahui adanya invensi-invensi sebelumnya, walaupun pada kenyataannya tidak. Inventor akan mendapatkan hak paten jika invensinya benar-benar mengandung unsur kebaruan (novelty) dan tidak mengandung persamaan dengan invensi-invensi sebelumnya. Untuk mendapatkan hak cipta, seorang pencipta tidak diharuskan mengetahui ciptaan-ciptaan sebelumnya. Bisa saja, seorang pencipta tanpa sengaja menghasilkan ciptaan yang sangat indentik dengan ciptaan dari pencipta lain. Jika ciptaan tersebut adalah kreasi independen, maka pencipta tersebut berhak mendapatkan hak cipta (Ponte, 2006: 527-529).

Standar originality yang rendah tersebut merupakan prinsip yang diterapkan dalam Berne Convention. Dengan demikian, semua

negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut menerapkan standar keaslian yang rendah pula. Jadi meskipun UUHC dan yurisprudensi di Indonesia tidak menetapkan standar keaslian yang digunakan di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa standar keaslian tersebut rendah, tidak seketat standar kebaruan dalam paten. Yang harus ditekankan dalam pembuktian keaslian ciptaan adalah kemandirian atau independensi dari pencipta dalam menghasilkan ciptaan. Dalam kasus Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak misalnya, bisa saja Sinde dan BY mendapatkan hak cipta atas logo tersebut beserta Lukisan Badaknya, walaupun ciptaan tersebut sangat mirip dengan logo dan lukisan badak milik Wen Ken yang telah ada sebelumnya. Dalam kasus ini, unsur independen tidak terpenuhi.

Sinde dan BY tidak independen dari Wen Ken, karena keduanya menerima lisensi merek dan hak cipta dari Wen Ken untuk memproduksi minuman penyegar Cap Kaki Tiga di Indonesia. Artinya Sinde dan BY sudah mengetahui logo yang digunakan Wen Ken pada masa itu. Mereka juga memasukkan logo ciptaan Wen Ken tersebut sebagai bagian dari logo ciptaan mereka. BY pun mendaftarkan hak cipta atas logo tersebut atas nama mereka bertiga. Hal ini menunjukkan tidak adanya kemandirian atau independensi dari Sinde dan BY dalam menciptakan logo tersebut.

Di tingkat kasasi, Sinde dan BY meng-claim bahwa mereka dapat membuktikan keaslian ciptaannya pada saat pendaftaran. Padahal berdasarkan Pasal 36 UUHC, pendaftaran ciptaan tidaklah dimaksudkan untuk mengesahkan keaslian ciptaan. Di samping itu, pendaftaran hak cipta di Indonesia menerapkan sistem deklaratif. Jadi fungsi pendaftaran hanya menimbulkan anggapan bahwa ciptaan yang didaftar adalah asli karya pencipta.

Page 103: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

182 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188

2. Derivative Work

Sinde dan BY berargumen bahwa hak cipta dengan nomor pendaftaran 015649 yang terdaftar sebagai karya bersama antara Wen Ken, Sinde dan BY, bukanlah semata-mata Lukisan Badak dan Cap Kaki Tiga, melainkan “Seni Lukis Etiket” yaitu berupa gambar sebuah etiket dengan paduan warna merah, kuning, putih dan biru, terdiri atas kaligrafi Arab, tulisan Larutan Penyegar, gambar botol, gambar kaki tiga dalam lingkaran, tulisan slogan, dan seni lukis/tulisan lainnya dengan posisi dan komposisi tertentu, sebagai satu kesatuan karya seni lukisan utuh sehingga tidak dapat dipenggal menjadi bagian demi bagian.

Dalam hukum hak cipta, Seni Lukis Etiket tersebut masuk dalam kategori ciptaan turunan (derivative work). Yang dimaksud derivative work adalah ciptaan yang merupakan turunan, pengembangan, atau pun kelanjutan dari ciptaan yang telah ada sebelumnya atau ciptaan asal (Aboud, 2013: 403). Pencipta dari derivative work berhak mendapatkan hak cipta hanya jika derivative work tersebut telah mendapat izin dari Pencipta ciptaan asal. Tanpa izin tersebut maka derivative work merupakan pelanggaran hak cipta sehingga tidak mendapat perlindungan. Akibatnya Pencipta dari ciptaan asal dapat menggunakan derivative work tanpa persetujuan dari pencipta derivative work tersebut. Seandainya derivative work mendapat izin dari Pencipta ciptaan asal, maka hak cipta yang dimiliki Pencipta derivative work hanyalah unsur-unsur tambahan dalam derivative work di luar ciptaan asal (Aboud, 2013: 403).

Salah satu contoh dari kasus derivative work di AS adalah kasus film Rocky IV antara Timothy Anderson melawan Sylvester Stallone

(Anderson v. Stallone) tahun 1989 (Aboud, 2013: 403). Setelah film-film Rocky I, Rocky II, dan Rocky III sukses di pasar, Anderson menulis skenario untuk Rocky IV, dengan harapan Stallone dan Metro-Goldwin-Mayer (MGM) akan menggunakan skenario tersebut untuk sequel Rocky III. Anderson kemudian menyerahkan skenario tersebut pada Stallone dan menandatangani pernyataan yang membebaskan MGM dari segala bentuk tanggung jawab atas penggunaan skenario tersebut oleh MGM. Stallone dan MGM akhirnya menggunakan skenario tersebut untuk Rocky IV. Setelah Rocky IV sukses di pasar, Anderson menggugat Stallone dan MGM atas pelanggaran kontrak dan hak cipta. Pengadilan memutuskan bahwa skenario Rocky IV merupakan unauthorized derivative work atau ciptaan turunan tak berizin, sehingga tidak mendapat perlindungan. Dengan demikian tidak ada pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh Stallone dan MGM (Aboud, 2013: 403).

Berkaca dari kasus tersebut dapat dikatakan bahwa Seni Lukis Etiket merupakan unauthorized derivative work sehingga tidak mendapat perlindungan. Sinde dan BY seharusnya tidak berhak mendapatkan hak cipta atas Seni Lukis Etiket. Seandainya Seni Lukis Etiket mendapatkan izin dari Wen Ken, maka hak cipta yang dimiliki oleh Sinde dan BY hanyalah unsur-unsur tambahan dalam Seni Lukis Etiket di luar logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak.

C. Perjanjian Lisensi

1. Hukum Lisensi

Pemegang hak cipta memiliki hak eksklusif untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu kepada pihak lain dengan persyaratan tertentu. Izin tersebut adalah lisensi dan pemberian izin kepada

Page 104: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

182 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188 Kepemilikan Hak Cipta dalam Perjanjian Lisensi (Hesty D. Lestari) | 183

pihak lain dilakukan dengan suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian lisensi. Berdasarkan perjanjian lisensi inilah licensee berhak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan milik licensor (Jankowski II, 2013: 110).

Dalam Black’s Law Dictionary, lisensi secara umum didefinisikan sebagai (Garner, 2000: 743):

“A revocable permission to commit some act that would otherwise be unlawful; esp., an agreement (not amounting to lease or profit à prendre) that it will be unlawful for the licensee to enter the licensor’s land to do some act that would otherwise be illegal, such as hunting game.”

Dengan demikian, lisensi merupakan izin yang dapat ditarik kembali oleh licensor, yang diberikan kepada licensee untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang berkaitan dengan hak milik licensor, di mana tanpa izin tersebut tindakan-tindakan licensee menjadi tidak sah atau ilegal. Di bidang HKI, tindakan-tindakan tersebut dapat berupa produksi barang atau jasa yang menggunakan HKI milik licensor. Dalam hal ini, licensor memberikan izin kepada licensee tidaklah secara cuma-cuma, melainkan licensee harus memberi imbalan kepada licensor yang berupa royalti (Sujatmiko, Februari 2010: 124). Besarnya royalti tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan antara licensor dengan licensee, biasanya dikaitkan dengan hasil penjualan barang atau jasa selama periode tertentu (Sujatmiko, Februari 2010: 124).

Berkaitan dengan hak cipta, lisensi didefinisikan oleh Pasal 1 butir 14 UUHC sebagai “izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak

ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu.” Berdasarkan ketentuan ini, maka ruang lingkup lisensi hak cipta terbatas pada mengumumkan dan atau memperbanyak ciptaan milik pemegang hak cipta selaku licensor.

Lebih lanjut Pasal 45 UUHC menentukan bahwa pemberian lisensi harus dituangkan dalam bentuk surat perjanjian lisensi disertai dengan kewajiban pembayaran royalti kepada pemegang hak cipta selaku licensor oleh licensee. Besarnya royalti yang wajib dibayarkan kepada licensor oleh licensee adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman pada kesepakatan organisasi profesi. Agar perjanjian lisensi tersebut memiliki akibat hukum terhadap pihak ketiga, maka perjanjian lisensi tersebut harus dicatatkan pada Direktorat Jenderal HKI.

Perjanjian lisensi hak cipta antara licensor dengan licensee berisi pemberian izin dari pemegang hak cipta selaku licensor kepada licensee untuk mengumumkan dan atau memperbanyak ciptaan milik pemegang hak cipta disertai dengan kewajiban pembayaran royalti kepada pemegang hak cipta oleh licensee. Dengan demikian perjanjian lisensi bukanlah perjanjian pengalihan hak cipta (Sujatmiko, Februari 2010: 123).

Dalam perjanjian tersebut, licensor tidak memberikan hak cipta miliknya kepada licensee, melainkan licensor hanya memberikan izin kepada licensee untuk menggunakan hak cipta miliknya (Classen, 2013: 66). Dengan demikian, hak cipta tetap milik licensor dan tidak beralih pada licensee, dan tidak pula menjadi milik bersama antara licensor dengan licensee (Chan, 2013: 268). Artinya, licensee tidak berhak meng-claim sebagai pemegang hak cipta atas ciptaan yang menjadi objek perjanjian lisensi.

Page 105: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

184 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188

Dalam perjanjian lisensi antara Wen Ken dengan Sinde disepakati bahwa Wen Ken memberikan lisensi Cap Kaki Tiga kepada Sinde dan meminta Sinde untuk mengatur pengurusan pendaftaran merek dan hak cipta Cap Kaki Tiga di Indonesia. Untuk melaksanakan perjanjian tersebut, maka Sinde selaku licensee wajib melakukan pendaftaran ciptaan milik Wen Ken selaku licensor di Indonesia. Dalam pendaftaran ciptaan tersebut, Sinde harus menyatakan bahwa pemegang hak cipta adalah Wen Ken. Dengan dalih apa pun tidak dapat dibenarkan jika Sinde mendaftarkan ciptaan tersebut sebagai milik bersama antara Wen Ken, Sinde dan Komisaris Utamanya, BY.

Sinde dan BY berdalih bahwa hak cipta dengan nomor pendaftaran 015649 yang terdaftar sebagai karya bersama antara Wen Ken, Sinde dan BY, bukanlah semata-mata Lukisan Badak dan Cap Kaki Tiga, melainkan “Seni Lukis Etiket” yang merupakan satu kesatuan karya seni lukisan utuh sehingga tidak dapat dipenggal menjadi bagian demi bagian. Dalih semacam ini tentu saja tidak dapat dibenarkan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, suatu ciptaan akan melahirkan hak cipta jika ciptaan tersebut asli. Suatu ciptaan asli karya pencipta jika ciptaan tersebut dihasilkan oleh pencipta secara independen dan tidak menyalin ciptaan pencipta lain. Dalam kasus ini, Sinde dan BY tidak independen karena keduanya memasukkan ciptaan Wen Ken sebagai bagian dari ciptaan mereka. Di samping itu, mereka menerima lisensi merek dan hak cipta dari Wen Ken. Dalam perjanjian lisensi, licensee tidak mungkin independen dari licensor-nya.

Dalih tersebut juga menunjukkan, bahwa Sinde tidak melaksanakan isi perjanjian lisensi yang mengharuskan Sinde mengurus pendaftaran

ciptaan milik Wen Ken. Pada kenyataanya, Sinde tidak pernah mengurus pendaftaran ciptaan milik Wen Ken sebagaimana dimaksud dalam perjanjian lisensi, namun ia justru mengurus pendaftaran ciptaan yang lain yang di-claimed sebagai karya bersama.

2. Hukum Kontrak

Karena pemberian lisensi merupakan suatu perjanjian atau kontrak, maka pelaksanaan perjanjian lisensi harus berpedoman pada hukum kontrak. Prinsip-prinsip hukum kontrak dengan sendirinya berlaku pula dalam perjanjian lisensi (Sujatmiko, Februari 2010: 124). Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip kebebasan berkontrak, prinsip konsensualisme, prinsip kesamaan derajat, prinsip saling menguntungkan, dan prinsip itikad baik (Sujatmiko, Juni 2010: 254-258).

Prinsip kebebasan berkontrak memberikan kebebasan bagi para pihak dalam perjanjian untuk menentukan bentuk dan isi kontrak yang mereka buat. Dalam perjanjian lisensi, licensor dan licensee bebas merumuskan isi kontrak mereka, misalnya berkaitan dengan hak dan kewajiban licensor dan licensee, besarnya royalti yang harus dibayar, jangka waktu pelaksanaan perjanjian lisensi, dan penyelesaian sengketa (Sujatmiko, 2012: 20).

Prinsip konsensualisme sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPer mensyaratkan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak dalam pembuatan kontrak. Dalam perjanjian lisensi, licensor dan licensee harus sepakat mengenai seluruh hal yang diatur dalam kontrak mereka, seperti hak dan kewajiban licensor dan licensee, besarnya royalti yang harus dibayar, jangka waktu pelaksanaan perjanjian lisensi, dan penyelesaian sengketa. Perjanjian lisensi

Page 106: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

184 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188 Kepemilikan Hak Cipta dalam Perjanjian Lisensi (Hesty D. Lestari) | 185

lahir setelah licensor dan licensee mencapai kata sepakat mengenai hal-hal tersebut (Sujatmiko, Juni 2010: 255).

Prinsip kesamaan derajat menempatkan para pihak dalam kontrak pada kedudukan yang sederajat. Dalam perjanjian lisensi, kedudukan licensor setara atau sederajat dengan kedudukan licensee (Sujatmiko, Juni 2010: 256). Dengan demikian hak dan kewajiban licensor harus seimbang dengan hak dan kewajiban licensee. Sebagai pemegang hak cipta, licensor tidak memiliki hak yang lebih besar dari pada hak licensee, dan kewajiban yang lebih ringan dari pada kewajiban licensee.

Prinsip saling menguntungkan menghendaki kedua belah pihak dalam kontrak sama-sama memperoleh keuntungan dari kontrak tersebut. Dalam perjanjian lisensi, licensor memperoleh keuntungan berupa royalti, sedangkan licensee memperoleh keuntungan menggunakan HKI milik licensor yang biasanya sudah terkenal. Berdasarkan prinsip ini, maka perjanjian lisensi tidak boleh merugikan salah satu pihak, apalagi kedua belah pihak (Sujatmiko, Juni 2010: 256-257).

Prinsip itikad baik merupakan prinsip dasar dalam kontrak yang menghendaki kedua belah pihak dalam kontrak memiliki itikad baik dalam pembuatan, pelaksanaan, dan pengakhiran kontrak (Sujatmiko, 2012: 22). Itikad baik diwujudkan dalam perbuatan baik yang sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat. Pelanggaran prinsip itikad baik akan menyebabkan timbulnya sengketa antara kedua belah pihak dalam kontrak. Begitu pula dalam perjanjian lisensi, sengketa atau pengakhiran perjanjian lisensi secara sepihak biasanya diakibatkan karena licensor atau licensee

memiliki itikad tidak baik dalam pelaksanaan perjanjian lisensi.

Dalam kasus Cap Kaki Tiga, perjanjian lisensi antara Wen Ken dengan Sinde sebenarnya telah memenuhi prinsip kebebasan berkontrak, prinsip konsensualisme, prinsip kesamaan derajat, dan prinsip saling menguntungkan. Dalam pelaksanaan perjanjian lisensi terjadi pelanggaran prinsip itikad baik oleh Sinde selaku licensee. Wen Ken menghentikan perjanjian lisensi secara sepihak karena Sinde tidak membayar royalti dan tidak menyampaikan laporan produksi dan penjualan produk secara periodik, serta menghilangkan Logo Kaki Tiga dari kemasan produk. Dengan demikian, Sinde tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakatinya dalam perjanjian lisensi.

Berkaitan dengan sengketa hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak, Wen Ken menuding Sinde memiliki itikad tidak baik dalam mendaftarkan hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak, karena tanpa seizin, persetujuan, dan sepengetahuannya, BY mendaftarkan hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak sebagai milik bersama antara Wen Ken, Sinde, dan BY.

Di tingkat Kasasi, MA menolak tudingan itikad tidak baik tersebut dan menyatakan bahwa pendaftaran yang dilakukan oleh Sinde dan BY merupakan tindak lanjut dari perjanjian lisensi. Pendapat MA tersebut tidak tepat, karena pendaftaran hak cipta yang dilakukan oleh Sinde dan BY bukanlah pendaftaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam perjanjian lisensi. MA seharusnya menetapkan terlebih dahulu, hak cipta atas ciptaan apakah yang dimaksud dalam perjanjian lisensi. Ketika perjanjian lisensi dibuat, tentu saja Sinde dan BY belum menciptakan Seni

Page 107: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

186 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188

Lukis Etiket. Artinya, ciptaan yang dimaksud dalam perjanjian lisensi bukanlah Seni Lukis Etiket, melainkan ciptaan yang telah dimiliki dan digunakan oleh Wen Ken pada masa itu.

Seandainya Sinde dan BY memiliki itikad baik untuk melaksanakan perjanjian lisensi, maka mereka akan mendaftarkan hak cipta milik Wen Ken atas nama Wen Ken. Faktanya mereka tidak melakukan hal tersebut. Tanpa seizin dan sepengetahuan Wen Ken, mereka justru mendaftarkan hak cipta Seni Lukis Etiket atas nama mereka dan Wen Ken. Seandainya mereka memiliki itikad baik, maka pendaftaran Seni Lukis Etiket itu pun harus dengan seizin dan sepengetahuan Wen Ken. Pada kenyataannya hal tersebut tidak dilakukan, sehingga tudingan Wen Ken mengenai adanya itikad tidak baik dari Sinde dan BY dalam pendaftaran hak cipta atas Seni Lukis Etiket tidaklah keliru.

Dalam memutus kasus ini, MA mengabaikan adanya perjanjian lisensi antara Wen Ken dengan Sinde yang melatarbelakangi diproduksinya minuman Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga di Indonesia oleh Sinde. Jika tidak ada perjanjian lisensi tersebut, Sinde tidak akan memproduksi minuman dimaksud. MA hanya memperhatikan prosedural pendaftaran hak cipta. Akibatnya putusan MA menjadi aneh: licensee berhak mendapatkan hak cipta dari ciptaan yang menjadi objek perjanjian lisensi, dan licensor tidak diakui sebagai satu-satunya pencipta dan pemegang hak cipta atas ciptaan yang menjadi objek perjanjian lisensi.

Putusan MA baik di tingkat kasasi maupun di tingkat PK dalam kasus ini dapat menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan perjanjian lisensi di Indonesia. Padahal saat ini banyak perusahaan asing yang memberikan lisensi HKI-

nya pada perusahaan nasional. Jika hukum di Indonesia membolehkan perusahaan nasional sebagai licensee untuk meng-claim HKI milik licensor asing, itu artinya hukum di Indonesia tidak dapat melindungi kepentingan licensor asing atau pemilik HKI dari luar negeri yang memasarkan produknya di Indonesia.

Selama ini, hukum HKI di Indonesia dinilai lemah dan tidak jelas. Kurangnya pemahaman HKI dari aparat penegak hukum dan lembaga peradilan menjadi salah satu penyebab hal tersebut. Meskipun Indonesia telah merevisi hukum HKI-nya agar sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian TRIPS, namun kepastian hukum tetap belum ada (Sinaga, 2013: 160). Banyaknya pelanggaran HKI asing di Indonesia menempatkan Indonesia pada priority watch list di AS.

Sebagai anggota World Trade Organisation (WTO), Indonesia terikat dengan Perjanjian TRIPS yang mengharuskan negara-negara anggota WTO untuk melindungi HKI yang berasal dari negara anggota WTO lainnya (Sangsuvan, 2013: 1-2). Jika Indonesia gagal melindungi HKI dari negara anggota WTO lainnya, maka negara tersebut dapat menggugat Indonesia atas pelanggaran Perjanjian TRIPS di forum penyelesaian sengketa WTO.

SIMPULANIV.

Putusan kasasi dan PK MA yang memberikan hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak pada Sinde dan BY selaku licensee dan tidak mengakui Wen Ken selaku licensor sebagai satu-satunya pencipta dan pemegang hak cipta atas logo tersebut tidak tepat. Penulis sependapat dengan putusan Pengadilan Niaga dan dissenting opinion dari Hakim Agung Prof. MK.

Page 108: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

186 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188 Kepemilikan Hak Cipta dalam Perjanjian Lisensi (Hesty D. Lestari) | 187

Hak cipta memiliki karakteristik yang lain dibandingkan dengan HKI lainnya, karena hak cipta lahir secara otomatis setelah ciptaan dihasilkan tanpa harus didaftarkan. Fungsi pendaftaran ciptaan bukanlah untuk melahirkan hak cipta, namun hanya menimbulkan anggapan bahwa orang yang mendaftar adalah pencipta dan pemegang hak cipta.

Jika ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya, maka pendaftaran tersebut dapat dibatalkan. Jadi pendaftaran hak cipta Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak yang dilakukan Sinde dan BY dapat dibatalkan meskipun Wen Ken tidak memiliki bukti pendaftaran hak cipta atas logo tersebut dari negara Singapura dan negara lainnya, karena Wen Ken telah menggunakan logo tersebut sejak tahun 1937 dan merupakan pihak pertama yang menggunakan logo tersebut.

Suatu ciptaan akan melahirkan hak cipta jika ciptaan tersebut asli karya pencipta. Pembuktian keaslian ciptaan menggunakan standar yang lebih rendah dibandingkan dengan pembuktian kebaruan invensi dalam paten. Suatu ciptaan yang identik dengan ciptaan lain tetap berhak mendapatkan hak cipta, sepanjang ciptaan tersebut dihasilkan secara independen oleh penciptanya tanpa meniru ciptaan dari pencipta lain. Dalam menciptakan Seni Lukis Etiket, Sinde tidaklah independen karena ia meniru Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak milik Wen Ken, dan ia terikat perjanjian lisensi dengan Wen Ken. Karena unsur independensi tidak terpenuhi, maka Sinde dan BY seharusnya tidak berhak mendapatkan hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak. Di samping itu, Seni Lukis Etiket sebenarnya termasuk dalam kategori unauthorized derivative work sehingga tidak mendapat perlindungan.

Dalam perjanjian lisensi, licensor memberikan izin kepada licensee untuk mengumumkan dan memperbanyak ciptaan milik licensor. Perjanjian lisensi tidak mengalihkan hak cipta milik licensor pada licensee. Dengan dalih apa pun, licensee tidak berhak mendapatkan hak cipta dari ciptaan yang menjadi objek perjanjian lisensi. Oleh karena itu, sebagai licensee Sinde dan BY tidak berhak mendapatkan hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak.

DAFTAR PUSTAKA

Aboud, Leslie. Winter 2013. “Who Owns the Ruby Slippers?: An Analysis of the Impact of Warner Bros. v. X One X on Visual Depictions in Copyright Law.” Journal of Corporation Law, Vol. 38.

Chan, Grace K. Winter 2013. “Downstream Alteration of Copyrighted Works in A World of Licensed, Digital Distribution.” Columbia Journal of Law & the Arts, Vol. 36.

Classen, H. Ward. Maret/April 2013. “Assignment Clauses in Intellectual Property Agreements: There Is More Than Meets The Eye.” Maryland Bar Journal, Vol. 46.

Garner, Bryan A. (ed). 2000. Black’s Law Dictionary, 7th ed.. St. Paul, Minnesota: West Group.

Jankowski II, Donald Frank. Winter 2013. “The End of Ownership?” Marquette Intellectual Property Law Review, Vol. 17.

Kariodimedjo, Dina Widyaputri. Juni 2010. “Perlindungan Hak Cipta, Hak Terkait, dan

Page 109: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

188 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188

Desain Industri.” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 22, No. 2.

Lindsey, Tim, et.al. 2006. Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar. Bandung: Asian Law Group Pty. Ltd. & PT Alumni.

Merges, Robert P., et.al. 2003. Intelectual Property in the New Technological Age. 3rd Ed. New York: Aspen Publishers.

Newman, Christopher M. Maret 2013. “A License Is Not A “Contract Not To Sue”: Disentangling Property and Contract in the Law of Copyright Licenses.” Iowa Law Review, Vol. 98.

Ponte, Lucille M. 2006. “The Emperor Has No Clothes: How Digital Sampling Infringement Cases Are Exposing Weaknesses in Traditional Copyright Law and the Need For Statutory Reform.” American Business Law Journal, Vol 43.

Rahayu, Devi. Februari 2011. “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Motif Batik Tanjungbumi Madura.” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 23, No. 1.

Saidin, H. OK. 2006. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Sangsuvan, Kitsuron. Winter 2013. “Separation of Powers in Intellectual Property Rights: Balancing Global Intellectual Property Rights or Monopoly Power in the Twenty-First Century by Competition Law.” New York International Law Review, Vol. 26.

Sinaga, Valerie Selvie. Februari 2013. “Intelectual Property Law in Indonesia After 2001.” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 25, No. 1.

Sujatmiko, Agung. Februari 2010. “Peran dan Arti Penting Perjanjian Lisensi dalam Melindungi Merek Terkenal.” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 22, No. 1.

_______________. Februari 2012. “Permasalahan Yuridis Yang Timbul Terkait Lisensi Merek Terkenal.” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24, No. 1.

_______________. Juni 2010. “Perjanjian Lisensi Merek Terkenal.” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 22, No. 2.

Wikipedia. 2013. Copyright Registration. Akses tanggal 15 Maret 2013. (http://en.m.wikipedia.org/wiki/Copyright_registration).

Page 110: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

188 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188

BIODATA PENULIS

Sefriani adalah staf pengajar hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. S1 ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 1993, S2 BKU Hukum Internasional di PPS Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung pada tahun 2001 dan S3 di Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2012. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected].

Wisnu Aryo Dewanto adalah dosen tetap di FH-Ubaya. Ia menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Pada tahun 1999 Ia lulus program Master of Laws di Macquarie University Faculty of Law, Sydney-NSW, Australia. Kemudian, tahun 2002 Ia mendapat kesempatan untuk mengambil program Master of Laws kedua di University of Washington Law School, Seattle-WA, United States of America melalui program beasiswa ELIPS II Project. Tahun 2006, penulis mengambil S3 di Sekolah Pascasarjana, Program Doktor di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada melalui Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS) Dikti. Saat ini, penulis menjabat sebagai Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan di FH-Ubaya. Penulis juga sebagai dosen luar biasa di FBE-Ubaya khusus untuk kelas internasional dengan bahasa pengantar bahasa Inggris. Penulis juga pernah mengajar di Universitas Pelita Harapan (UPH) dan Universitas Katolik Darma Cendika (UKDC) di Surabaya. Selain aktif menulis, penulis juga aktif menjadi pembicara untuk membahas isu-isu internasional dan juga pernah diminta oleh Kemlu RI untuk memberikan keterangan ahli pada sidang di Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 33/PUU-IX/2011. Ada satu buku yang pernah diterbitkan pada tahun 2005 mengenai Mahkamah Internasional. Penulis sangat senang berdiskusi di bidang hukum internasional dan dapat dihubungi melalui HP: 08179389186 atau email: [email protected] dan [email protected].

Janpatar Simamora, lahir di Desa Jumaramba, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum dengan konsentrasi Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan pada tahun 2005. Selama mahasiswa, pernah menjabat sebagai Wakil Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen dan Pengurus Pusat DPP ISMAHI serta staf khusus di BBH FH UHN. Pendidikan Magister Hukum diselesaikan di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada tahun 2011. Saat ini, (2013) sedang mengikuti Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran Bandung. Beliau merupakan Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan. Selain mengajar, beliau juga aktif sebagai kolumnis di berbagai media cetak, baik lokal maupun nasional. Sampai saat ini, lebih dari 600 tulisan telah dipublikasikan di berbagai surat kabar di Tanah Air serta sejumlah tulisan di berbagai jurnal ilmiah. Di samping itu, beliau juga aktif mengikuti berbagai pertemuan ilmiah dan narasumber pada sejumlah kegiatan seminar, diskusi maupun lokakarya. Beliau juga aktif sebagai Legal Drafter di sejumlah institusi pemerintahan daerah. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected].

Page 111: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

Wasisto Raharjo Jati, lahir di Kota Yogyakarta pada 15 Maret 1990. Pendidikan dasar dan menengah diselesaikan di kota tersebut. Pada tahun 2012, telah menamatkan studi kuliah (S1) di Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada. Aktif menulis di berbagai jurnal ilmiah nasional terakreditasi yang dipublikasikan seperti Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurnal Borneo Administrator, Jurnal Ulul Albab, Jurnal el-Harakah, dan jurnal ilmiah lainnya. Aktif menulis kolom opini juga di berbagai macam media massa baik lokal maupun nasional serta menulis dalam salah satu bab buku berjudul Penelitian Kualitatif: Pengalaman dari UGM (2011) terbitan Center of Politic and Governance Studies, Jurusan Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGM. Saat ini bekerja sebagai peneliti di Center of Politic and Media Research Yogyakarta. Bidang kajian yang kini tengah digeluti adalah globalisasi, politik lokal, ekonomi-politik internasional serta politik budaya. Korespondensi dengan penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected].

W. Riawan Tjandra adalah dosen bidang Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, lulus S1 (cumlaude) dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang tahun 1993, lulus (cumlaude) dari Magister Ilmu Hukum bidang konsentrasi Hukum Kenegaraan pada Program Pasca Sarjana UGM tahun 2003 dan lulus (cumlaude) dari Program Doktor Ilmu Hukum FH-UGM tahun 2009. Sering diminta menjadi saksi ahli di Pengadilan Tipikor, PTUN, dan sidang etik DKPP. Berpengalaman sebagai konsultan bidang pemerintahan dan legal drafter pada penyusunan beberapa RUU dan Raperda. Menulis 15 buku di bidang Hukum Kenegaraan dan lebih dari 150 artikel di berbagai media massa cetak nasional maupun lokal. Penulis dapat dihubungi melalui HP: 08174120158 dan email: [email protected].

Hesty Diyah Lestari adalah dosen tetap di Program Magister Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan dosen tidak tetap di Fakultas Hukum Universitas Nasional dan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (1992), S2 di Faculty of Law, the University of New South Wales, Australia (1998), dan S3 di Juristische Fakultät, Universität Tübingen, Jerman (2006). Penulis memiliki konsentrasi di bidang hukum ekonomi, utamanya hukum perusahaan, HKI, dan persaingan usaha. Penulis pernah bekerja di Sekretariat Kabinet Republik Indonesia sebagai peneliti rancangan peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi, keuangan, dan industri (1993- 2002), dan di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai staf ahli (1995-1997). Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected].

Page 112: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

PEDOMAN PENULISAN

Jurnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan Komisi Yudisial pada bulan April, Agustus, dan Desember, menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court decision) suatu kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri. Penerbitan jurnal ini bertujuan mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil. Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masing-masing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial.

FORMAT NASKAH

1. Naskah diketik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

2. Naskah diketik di atas kertas ukuran A-4 sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 poin.

3. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.

SISTEMATIKA NASKAH

Judul NaskahJudul ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Judul utama ditulis

di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), diletakkan di tengah margin (center text), dan maksimal 12 kata (anak judul tidak dihitung). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:

PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU

Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG

Nama dan Identitas PenulisNama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang.

Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi. Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:

Page 113: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

Mohammad TariganFakultas Hukum Universitas Tarumanagara

Jl. S. Parman No. 1 Jakarta 11440, email [email protected].

Abstrak

Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf.

PENDAHULUAN I.

Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut.

RUMUSAN MASALAH II.

Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab sebelumnya.

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS III.

Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah.

SIMPULANIV.

Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.

PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA

Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut:

Page 114: cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

1. Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ...2. Dua penulis: (Abelson & Friquegnon, 2010: 50-52); 3. Lebih dari dua penulis: (Hotstede et.al., 1990: 23);4. Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).

Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:

Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press.

Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. <http://www.library.cornell.edu/resrch/intro>.

Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall.

Pengacuan pustaka 80% harus dari terbitan lima tahun terakhir dan 80% harus berasal dari sumber acuan primer. Pengacuan pustaka tidak boleh berasal dari blog pribadi, harus dari situs ilmiah yang kredibel.

PENILAIAN

Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.

CARA PENGIRIMAN NASKAH

Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail:[email protected] dengan tembusan ke: [email protected] dan [email protected]

Personalia yang dapat dihubungi (contact persons): Dinal Fedrian (085220562292); atauArnis (08121368480).

Alamat redaksi: Pusat Analisis dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57

Jakarta Pusat 10450, Telp. (021) 390 5876, Fax. (021) 3906215.