cover good governance -...

35
Good Governance MODUL KHUSUS PEMDA DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM Direktorat Jenderal Cipta Karya Pelatihan Dasar P01 PNPM Mandiri Perkotaan

Transcript of cover good governance -...

  • Good Governance

    MODUL KHUSUS PEMDA

    DEPARTEMEN

    PEKERJAAN

    UMUMDirektorat Jenderal Cipta Karya

    Pelatihan DasarP01

    PNPM Mandiri Perkotaan

  • Modul 1 Good Governance 1

    Kegiatan 1: Diskusi Kelompok Analisa Sewindu Reformasi Indonesia 2

    Kegiatan 2: Diskusi Good Governance 4

  • 1

    Modul 1 Topik: Good Governance

    Peserta memahami dan menyadari:

    1. paradigma governance dan good governance.

    2. hubungan antara masalah good governance dengan kemiskinan

    3. masalah – masalah yang terjadi dalam pencapaian good governance

    Kegiatan 1: Diskusi Kelompok Analisa Sewindu Reformasi Indonesia.

    Kegiatan 2 : Diskusi Good Governance

    4 Jpl ( 180 ’)

    Bahan Bacaan :

    1. Good Governance

    2. Pengertian Masyarakat Warga Dan Hubungan Masyarakat Dengan Negara Dan Swasta (Modal)

    Media Bantu - Good Governance

    Lembar Kasus – Sewindu Reformasi

    • Kerta Plano, Kuda-kuda untuk Flip-chart

    • LCD

    • Metaplan, Spidol, selotip kertas dan jepitan besar

    • Papan Tulis dengan perlengkapannya

  • 2

    Diskusi Kelompok Analisa Sewindu Reformasi Indonesia 1) Buka pertemuan dengan salam singkat dan uraikan kepada peserta bahwa kita akan memulai

    modul Good Governance, dan apa yang menjadi tujuan modul ini, yaitu : Peserta memahami paradigma governance dan good governance Peserta mengetahui hubungan antara masalah good governance dengan kemiskinan Memahami masalah – masalah yang terjadi dalam pencapaian good governance

    2) Jelaskan kepada peserta bahwa kita akan memulai kegiatan 1, yaitu berdiskusi mengenai

    permasalahan dan kondisi pembangunan di Indonesia saat ini. 3) Bagikan bahan diskusi “Sewindu Reformasi, Mencari Visi Indonesia 2030’” kepada seluruh

    peserta. Mintalah mereka membacanya selama 15 menit. 4) Bagi seluruh peserta ke dalam 4 kelompok. Jelaskan bahwa setiap kelompok akan membahas

    bahan diskusi yang telah mereka baca dari bidang yang berlainan : • Kelompok 1 : Membahas masalah kesehatan • Kleompok 2 : Membahas masalah pendidikan • Kelompok 3 : Membahas masalah kehutanan dan pertanian • Kelompok 4 : membahas masalah ekonomi

    5) Beri waktu 30 – 40 menit kepada setiap kelompok untuk berdiskusi menjawab pertanyaan –

    pertanyaan pokok berikut : • Apa gambaran masalah dalam bidang kesehatan/pendidikan/pertanian-

    kehutanan/ekonomi? Apakah ada keterkaitan antara masalah yang satu dengan masalah lainnya? Apa yang menjadi penyebab permasalahan – permasalahan yang terjadi? Apakah dari keempat masalah yang dibahas ada penyebab yang sama? Apakah ada implikasinya terhadap kemiskinan ?

    • Apakah ada perubahan – perubahan sebelum reformasi dan pasca reformasi? (apa saja yang berubah dan apa yang tidak berubah?) Mengapa demikian?

    • Faktor – faktor apa saja yang harusnya berubah untuk mencapai “Masyarakat Indonesia yang Sejahtera”?

    6) Setelah semua kelompok selesai berdiskusi, mintalah mereka secara bergilir untuk menyajikan

    hasil diskusi kelompok masing – masing. Setiap satu kelompok selesai menyajikan hasil diskusinya beri kesempatan kepada kelompok lain untuk bertanya.

    7) Catat pokok – pokok hasil diskusi setiap kelompok di kertas plano (papan tulis) dan ajak

    peserta untuk mengidentifikasi : • Faktor – faktor yang mempengaruhi lambannya perubahan pasca reformasi (politik,

    sosial, sikap, perilaku, kepemimpinan, dan lain sebagainya). • Faktor utama apa yang menyebabkan semua persoalan yang terjadi? • Apa yang harus diperbaiki? Siapa saja yang seharusnya berubah? (masyarakat,

    pemerintah atau pihak swasta)

  • 3

    8) Simpulkan hasil pembahasan kelas bersama – sama, dengan penekanan pada hal hal berikut :

    Permasalahan – permasalahan yang terjadi di setiap bidang pada dasarnya terjadi karena berbagai persoalan yang relatif sama yaitu : • Sentralisasi kekuasaan baik di tingkat pusat dan daerah maupun pada masing – masing

    pelaku pembangunan. Legislatif saat ini mempunyai power politik yang lebih kuat dibandingkan dengan eksekutif, sektor swasta yang mempunyai modal lebih kuat dibandingkan dengan masyarakat sipil. Kekuatan – kekuatan ini kemudian cenderung diselewengkan, kerjasama yang terjadi berbentuk kolusi dan nepotisme yang merugikan banyak pihak terutama kaum marginal.

    • Belum terbukanya ruang bagi publik untuk berkiprah dalam penentuan keputusan dan kebijakan. Pembangunan masih ditentukan oleh pihak yang paling kuat. Masyarakat mempunyai posisi yang paling lemah. Hal ini berhubungan dengan partisipasi dan demokrasi, yang artinya menafikan hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah esensi dari demokrasi. Hak asasi manusia itu pula yang menjadi tolok ukur seseorang atau suatu kelompok bisa menghargai manusia lainnya. Membangun demokrasi sama dengan melawan kecenderungan otoriter dalam diri setiap manusia.

    • Terjadi eksploitasi dari pihak – pihak yang mempunyai kekuasaan dan akses kepada kekuasaan, sehingga makin memiskinkan pihak – pihak yang lemah.

    • Krisis kepemimpinan, pemimpin saat ini masih banyak yang lebih mementingkan diri sendiri, dibanding mengayomi masyarakat. Sehingga pemimpin bukan menjadi pelayan masyarakat akan tetapi ingin dilayani oleh masyarakat. Bagaimana mungkin mengharapkan keadilan dari pemimpin – pemimpin seperti ini?

    • Etos bangsa masih rendah, hal ini menunjukkan sumberdaya manusia Indonesia yang masih rendah.

    Apabila kita refleksikan lebih jauh semua permasalahan tadi bermuara pada sikap dan perilaku para pelaku pembangunan. Eksploitasi terjadi karena keserakahan dan mementingkan diri sendiri, ini yang menjadi sumber ketidakadilan. Manusia sudah menafikan hati nuraninya, sehingga tidak lagi peduli pada penderitaan pihak lain yang ditimbulkan olehnya. Padahal tanpa perubahan sikap mental pada tataran individual, tidak akan menimbulkan transformasi di masyarakat ke arah yang lebih baik. Bagaimana mungkin partisipasi dan demokrasi bisa terjadi apabila masing – masing pihak masih mementingkan diri sendiri? Bagaimana mungkin keadilan bisa terjadi apabila masing – masing pihak masih serakah? Bagaimana mungkin kue kekuasaan harus dibagikan apabila kekuasaan dipandang sebagai alat untuk mencapai kepentingan individual? Ujung dari semua permasalahan yang ada adalah terjadinya kemiskinan. Artinya tanpa perubahan sikap mental, Indonesia masa depan seperti yang diharapkan adalah omong kosong belaka.

  • 4

    Diskusi Good Governance 1) Jelaskan kepada peserta bahwa kita akan memulai kegiatan 2 dalam modul ini, yaitu

    mendiskusikan good governance dan good local governance. 2) Ingatkan kembali peserta pada pembelajaran yang diperoleh dari kegiatan 1, bahwa harus

    terjadi perubahan di dalam pembangunan termasuk dalam pelayanan publik. Perubahan – perubahan ini sebenarnya juga terjadi dalam tataran global bukan hanya di Indonesia, hanya saja kedalamannya berbeda – beda. Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan pada dekade ini adalah terjadinya transformasi dari government ke governance.

    3) Pakailah Media Bantu yang telah disediakan untuk menjelaskan mengenai transformasi yang

    terjadi dan menjelaskan good governance kepada peserta. 4) Setelah selesai menjelaskan, bahas bersama peserta dan simpulkan bersama

  • 5

    Bahan diskusi ini merupakan rangkuman dari berbagai tulisan dalam Harian Kompas, Jum’at 19 Mei 2006 ditambah oleh pengayaan dari perangkum.

    SEWINDU REFORMASI MENCARI VISI INDONESIA 2030

    Pengantar Redaksi

    Harian Kompas pada tanggal 8 dan 9 Mei 2006 di Jakarta menyelenggarakan diskusi dengan tema ”Sewindu Reformasi Mencari Visi 2030”. Paparan para panelis, pendapat para peserta diskusi, ditambah pengayaan dari para wartawan Kompas, dituangkan dalam lembaran khusus terbitan Jumat (19/5) 32 halaman serta terbitan Sabtu (20/5) 24 halaman.

    Tulisan tersebut juga dimuat dalam laporan khusus KOMPAS Cyber Media. Untuk itu kami mengundang pengunjung situs kami berpartisipasi dengan memberikan komentar atau saran setelah membaca laporan tersebut. Kami menyediakan form tempat memberi komentar/saran yang akan kami tayangkan mengiringi laporan tersebut.

    Panelis dan Moderator:

    Ahmad Syafi’i Ma’arif (pengamat politik, Jakarta), Ignas Kleden (pakar budaya, Jakarta), Moeslim Abdurrahman (pakar budaya, Yogyakarta), Nirwan Arsuka (budayawan, Jakarta), Budi Susanto (filsafat sosial, Yogyakarta), Darma Putra (pengamat budaya, Denpasar), Wiku Adi Sasmito (konsultan pendidikan, Jakarta), Fasli Jalal (birokrat pendidikan, Jakarta), Nanang Fattah (pakar pendidikan, Bandung), Azyumardi Azra (pakar pendidikan, Jakarta), Anita Lie (pengamat pendidikan, Surabaya), Miftahul Thoha, Mochtar Pabottingi (pengamat politik, Jakarta), Amin Abdullah (sejarawan, Jakarta), Francisia SSE Seda (pengamat ekonomi, Jakarta), Denny Indrayana (hukum tata negara, Yogyakarta), Yusny Saby (pendidik, DI Aceh), Johanes Gluba Gebze (Bupati Merauke, Papua), Mestika Zed (sosiologi politik, Padang), Gregor Neonbasu (pengamat sosial, Kupang), Ruhaini Dzulhayatin (pengamat masalah jender, Yogyakarta), Yusuf Serang Kasim (Wali Kota Tarakan), Ari Kuncoro (ekonom, Jakarta), Sudhamek Agung WS (pelaku ekonomi, Jakarta), Rasoeli Moeloek (pelaku ekonomi, Jakarta), Revrisond Baswir (pengamat ekonomi, Yogyakarta), Siswono Yudo Husodo (pengusaha, Jakarta), Yohanes Surya (pengajar Olimpiade Fisika, Jakarta), Philip S Purnama (pengusaha, Jakarta), Retno Sulistyowati (eksportir, Surabaya), Edy Suandi Hamid (pendidik, Yogyakarta), Wiranto (mantan Panglima ABRI, Jakarta), Akbar Tandjung (mantan Ketua DPR, Jakarta), Moerdiono (mantan Menteri Sekretaris Negara, Jakarta), dan Adnan Buyung Nasution (ahli hukum, Jakarta).

    Adapun bertindak selalu moderator adalah Masdar F Mas’udi (Jakarta), Komarrudin Hidayat (Jakarta), Ikrar Nusa Bhakti (Jakarta), Daniel Sparringa (Surabaya), AB Susanto (Jakarta), Chatib Basri (Jakarta), dan Eros Djarot (Jakarta).

  • 6

    Ketika gelombang reformasi berhasil memaksa Presiden Soeharto membacakan pidato pengunduran dirinya di Istana Merdeka pada tanggal 21 Mei 1998, harapan bangsa ini untuk membangun masa depan yang lebih baik, lebih adil, lebih makmur, dan lebih sejahtera langsung membumbung tinggi. Sayangnya , sampai sekarang reformasi yang terjadi tidak membawa banyak perbaikan bagi kehidupan rakyat. Pemerintahan yang silih berganti itu hanya melaksanakan agenda pembangunan yang bersifat reaktif terhadap kondisi yang dihadai. “ Ketika orde baru turun, mutu pendidikan saat itu sudah mencapai titik nadir. Setelah sewindu reformasi, saya justru melihat titik nadir itu bergeser ke bawah. Apakah proses ini masih berjalan ke bawah ataukah kita masih berharap titik nadir itu berhenti?” kata mantan Rektor IKIP Jakarta Winarno Surakhmad. Padahal salah satu kunci untuk mencapai kemajuan adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari hari ke hari tidak pernah sepi berita soal sekolah ambruk, gonta – ganti buku pelajaran, pungutan di sekolah, kekurangan guru, keberadaan guru yang tak layak mengajar, atau anak – anak miskin yang tidak bersekolah. Potensi yang dimiliki oleh insan bangsa tidak punya ruang untuk muncul karena sistem dan pengelolaan pendidikan yang buruk serta tidak ada iklim yang bisa menarik anak – anak muda berbakat untuk terjun dalam pengembangan ilmu dan teknologi. Pendidikan runyam karena terjadi kepentingan – kepentingan politik yang mengangkangi pendidikan sejak Orde Baru sampai sekarang , persoalan itu makin runyam ketika liberasisasi pendidikan dikibarkan sehingga akses pendidikan bermutu untuk masyarakat kebanyakan makin tertutup. Dengan alasan kekurangn dana, pemerintah mengibarkan privaittisasi dan liberalisasi pendidikan. Privatisasi itu bukan hanya dengan membuka pintu seluas-luasnya bagi swasta di dalam dan luar negeri untuk menawarkan jasa pendidikan, tetapi juga memaksa institusi – institusi pendidikan negeri mencari dan menghimpun dana dari mahasiswa dan murid. Dengan berbagai dalih, universitas – universitas negeri yang selama ini diunggulkan membuka jalur-jalur khusus, menyejajarkan kompetisi kecerdasan dengan kompetisi kantong. Padahal jangankan dari segi kualitas, dari segi kuantitas jumlah penduduk berpendidikan tinggi di Indonesia pun masih bermasalah. Jumlah doktor di Indonesia hanya 65 orang per satu juta penduduk, coba bandingkan dengan India yang telah mencapai 1.300 orang per satu juta penduduk. Kelangkaan penduduk yang berpendidikan tinggi jelas tidak sesuai dengan dengan kebijakan privatisasi yang dilakukan di perguruan tinggi yang berakibat meningkatnya beban masyarakat untuk membiayai pendidikan tinggi. Alokasi dana pemerintah untuk pendidikan tinggi per mahasiswa dibandingkan produk domestik bruto (PDB) per kapita tahun 2002 sangat rendah, yakni hanya 12,3%. Tanpa kebijakan dan strategi yang jelas untuk mencerdaskan warga negara, jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar dapat menjadi bom waktu. Pembangunan manusia harus benar-benar digarap dengan serius dan berkesinambungan. Pengalokasian dana 20% dari APBN dan APBD untuk pendidikan tidak boleh dikalahkan karena alasan apapun. ”kalau ini tidak kita segera mulai, kita akan semakin tertinggal jauh dari negara-negara lain” kata Sudhamek. Dunia pendidikan membutuhkan pemimpin-pemimpin yang visioner, dari tingkat pemimpin nasional , menteri, kepala dinas, hingga kepala sekolah. Kerunyaman dunia pendidikan semata –mata bukan karena tidak ada uang, tetapi lebih – lebih karena tidak adanya visi dan komitmen.

  • 7

    Tidak jauh dengan pendidikan, kesehatan pun masih banyak masalah. Angka kematian Ibu (AKI) melahirkan, mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menurut Badan Pusat Statistik dan ORC Macro. Angka tersebut jauh lebih tinggi daripada angka negara –negara Asia linnya. Padahal AKI 307 itu pun sebenarnya dapat lebih tinggi lagi karena belum memasukkan data dari Papua, Maluku, Maluku Utara dan Aceh. Masalah tingginya angka kematian ibu sebenarnya baru sebagian kecil dari masalah kesehatan reproduksi secara menyeluruh yang merupakan satu siklus hidup dari sejak lahir hingga lanjut usia. Tingginya angka kematian ibu sangat tergantung kepada kesehatan ibu sebelumnya. Padahal dalam diskusi terungkap, kebijakan yang maskulin dan tidak sensitif jender menyebabkan layanan kesehatan tidak terpenuhi. Selain angka kematian ibu, angka kematian bayi juga masih cukup tinggi yaitu ..... . angka yang tinggi ini disebabkan oleh gizi yang buruk, kurangnya pengetahuan dan kesadaran akan kesehatan, dan lainnya. Pelayanan kesehatan juga belum menunjukan kualitas yang ideal, kasus – kasus malpraktek dari hari ke hari malah tambah mencuat ke permukaan. Otonomi setelah reformasi juga membawa persoalan tersendiri terhadap layanan kesehatan dan keluarga berencana. Tidak sedikit kabupaten yang melihat layanan kesehatan bukan sebagai hak masyarakat yang harus diberikan, tetapi sumber pendapatan asli daerah. Pendekatan liberal seperti ini menyebabkan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) pun terkena target menaikkan penerimaannya dari tahun ke tahun. Di beberapa kabupaten, anggaran untuk kesehatan angkanya amat kecil karena sebagian besar anggaran digunakan untuk biaya rutin. Masalah lain terjadi juga di berbagai bidang, seperti pertanian dan kehutanan. Lihatlah nasib masyarakat agraris di tepi bengawan Solo mulai Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Dua puluh tahun silam mereka mengenal musim Pladu (ikan mabuk karena air keruh hujan) sebagai andalan menutupi kebutuhan gizi keluarga sekaligus sumber rezeki. Berkah pladu tidak lagi mereka nikmati karena sungai berubah fungsi menjadi saluran limbah ribuan industri. Ladang tepi bengawan yang mengharap kesuburan lumpur kiriman kini tak lagi produktif dan ikut menghitam mengeluarkan bau limbah. Trickle down effect (tetesan ke bawah) industrialisasi Indonesia benar – benar mereka rasakan dalam bentuk negatif seperti yang sering dikhawatirkan para pengkiritk ”developmentalism”. Kali ini bukan sekedar tetesan , melainkan benar-benar aliran deras berupa limbah yang mengganggu keseimbangan ekologi negeri. Situasi di luar Jawa, seperti Kalimantan, juga setali tiga uang. Sungai tidak lagi menghasilkan ikan dan hutan tak lagi menjadi padang ilalang. Pohon terus ditebang baik secara legal maupun ilegal. Sebagian tanahnya dikeruk secara sewenang-wenang, diambil hasil tambangnya , dan tidak direklamasi. Karena itu, bencana membayangi. Sebagian elite, umumnya pendatang bahkan orang asing melalui korporasi-korporasi multinasional, menikmati berkah sumberdaya alam Kalimantan, sedangkan sebagian besar masyarakat lokal hanya jadi penonton. Setelah sungai menjadi saluran limbah dan hutan tinggal nama, baru disadari terjadi kesenjangan dan ketidakadilan. Konflik pun terjadi diam-diam di hampir semua wilayah Indonesia yang kaya sumber daya alam. Penguasaan SDA oleh korporasi-korporasi internasional sudah lama ditengarai menyebabkan makin meningkatnya kemiskinan penduduk lokal, seperti di daerah tambang minyak dan batubara yang rata – rata merupakan kantong kemiskinan. Sejak awal sudah diidentifikasi rakyat biasa tidak memiliki akses untuk mengelola kakyaan alam. Namun kemampuan identifikasi itu tidak pernah

  • 8

    disertai dengan upaya mencari solusi. Sumberdaya manusia setempat tetap bodoh dan karena itu menjadi alasan kehadiran perusahaan multinasional yang dianggap mumpuni. Pada masa tahun 1980-an pembangunan sektor pertanian sedang gencar-gencarnya. Fokus pemerintah pada waktu itu, dalam membangun sektor pertanian sangat jelassehingga swasenbada beras dapat dicapai pada tahun 1984. Sekarang kenyataannya pertanian memang tidak lagi menarik. Meski pemerintah dan para politisi berteriak akan mengembangkan pertanian sebagai ujung tombak pembangunan, kenyataannya tidak pernah terbukti sektor pertanian yang disebut beberapa kalangan kebal krisis, belum menggerakkan pemerintah untuk mengurus secara serius sektor ini. Kebijakan makro dan moneter masih berpihak pada sektor lain. Contoh yang paling baru adalah ketika pemerintah memilih impor beras untuk mengendalikan harga di dalam negeri. Dalam hal ini pemerintah menginginkan memiliki indikator makro yang baik, yaitu angka inflasi yang renah dibandingkan dengan membri iklim yang baik bagi usaha tani. Pemerintah ’diikat’ untuk fokus mengurusi eknomi makro sehingga sektor riil, termasuk pertanian, tidak mendapat perhatian memadai. Dalam hal ini dibutuhkan lompatan untuk mengurusi sektor pertanian di tengah target indikator makro yang ideal. Proses reformasi juga melahirkan dampak ketika otonomi daerah diberlakukan, infrastruktur yang memburuk terjadi di pedesaan karena minimnya pemeliharaan oleh pemerintah daerah. Angka – angka yang ada menunjukkan kerusakan fasilitas irigasi dan jalan desa besar dibandingkan dengan perbaikannya. Dari areal irigasi seluas 6,7 juta hektar, sebanyak 1,5 juta hektar di antaranya rusak karena minimnya perbaikan. Di sisi lain pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan otonomi dan dana dekonsentrasi tidak menggunakan dana yang ada untuk perbaikan irigasi serta jalan desa dan juga jalan distribusi produk pertanian. Tidak mengherankan, bila ongkos transportasi produk pertanian pun menjadi sangat mahal. Salah satu contoh adalah membawa sapi dari Darwin, Australia ke Jakarta 85% lebih murah dibandingkan dengan jika membawa sapi dari Bima, NTB ke Jakarta. Masalah lainnya adalah kecenderungan untuk memilih mengimpor dinadingkan dengan memproduksi sejumlah komoditas pertanian di dalam negeri. Pilihan kebijakan untuk impor dengan alasan lebih murah dan produksi dalam negeri tidak mencukupi kebuthan menjadi pilihan pemerintah. Gertak sambal pedagang lebih didengar daripada jeritan petani yang akan emrugi bila produk impor itu masuk. Masalah yang timbul setiap wilayah kedalamannya berbeda – beda, ada sebagian wilayah di Indonesia yang masih tertinggal, pembangunan tersendat, dan masyarakatnya sangat miskin. Pertanyaan yang pasti muncul, mengapa otonomi daerah yang sudah berjalan lima tahun tidak juga mempercepat proses pembangunan daerah? Kenyataan yang sering kita temui, masih banyak daerah tertinggal dan ditinggal dengan jarak kesenjangan yang bisa dikatakan lumayan jauh. Data dari Kementrian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (PPDT), menyebutkan ada 199 kabupaten yang masuk kategori derah tertinggal.

    Selama ini banyak aturan otonomi daerah yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk menjembatani kepentingan pusat dan daerah. Aturan pemerintahan daerah yang pertama sekali adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang diterbitkan setelah kemerdekaan. Kemudian menyusul UU No 22/1948, UU No 1/1957, dan ketika reformasi bergulir, aturan dipecah menjadi dua. Dua bagian besar itu, tentang pemerintahan dan perimbangan keuangan pusat-daerah, menjadi UU No 22/1999 dan UU No 25/1999. Pada masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri diubah lagi menjadi UU No 32/2004 dan UU No 33/2004 yang masih berlaku hingga kini.

  • 9

    Namun, tetap saja daerah merasakan ketidakadilan pemerataan pembangunan. Pulau Jawa mengalami pembangunan yang pesat, di sisi lain daerah Sabang dan Merauke masih saja berkutat dengan berbagai upaya pengentasan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur.

    Paling tidak ada tiga faktor yang menjadi penyebab kesenjangan pembangunan pusat dan daerah. Ketiga faktor itu adalah lembaga, sistem, dan orang. Di pusat ada lembaga dan di daerah ada lembaga penghubung pemerintah pusat, yang disebut provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan. Kedua lembaga ini seharusnya bisa bersinergi untuk satu tujuan, kebutuhan masyarakat terpenuhi. Tetapi, sering sekali pusat memerintahkan ”A”, namun daerah menerjemahkannya menjadi ”B”. Selanjutnya, faktor sistem apa yang diterapkan dalam mekanisme lembaga: apakah sentralisasi, desentralisasi, otonomi, kemudian ditambah pelayanan, apakah mengutamakan yang dilayani atau mengutamakan milik dari segala alat hegemoni kekuasaan. Faktor yang tak kalah penting adalah sumber daya manusia. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang melayani lembaga itu di dalam sistem tersebut. Di sini, orang-orang itu diharapkan mempunyai potensi moral, kemauan dengan segala kelebihannya untuk melayani hubungan pusat dan daerah Setelah delapan tahun reformasi , harapan untuk membangun masa depan yang lebih baik, lebih adil, lebih makmur , dan lebih sejahtera masih tetap tinggal harapan. Pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa gelombang reformasi itu seperti bola salju : jika dibiarkan menggelinding tanpa terkendali, bola salju yang semakin lama semakin besar itu akan menggelinding semakin cepat , melindas dan menghancurkan apa saja yang berada di depannya. Pengalaman gelombang Glasnost dan perestroika (keterbukaan dan restrukturisasi) yang berlangsung di Uni Soviet ambruk dan terpecah – pecah. Keadaan yang berbeda beralngsung di China dan Vietnam, reformasi yang terjadi tidak dibiarkan lepas tanpa kendali. China dan Vietnam melakukan reformasi dengan cepat tanpa menganggu bangunan politiknya sehingga gelombang reformasi tetap terkawal. Akan tetapi di Indonesia berbeda, keadaannya berbeda, sejak awal telah disepakati bahwa sistem politiknya harus direformasi. Persoalannya, jika sistem dan bangunan politiknya direformasi, maka bagaimana mengendalikan gelombang reformasi. Thailand, China dan belakangan juga Afrika Selatan memperlihatkan bahwa kehadiran figur kuat seperti Raja Bhumibol Adulyadej di Thailand, Deng Xiaoping di China, dan Nelson Mandela di Afrika Selatan, bisa mengawal agar reformasi terkendali. Keitiadaan figur yang kuat untuk mengawal gelombang reformasi di negara ini sesungguhnya bisa diatasi apabila setiap pemerintahan yang berkuasa di negeri ini menjalankan mandat Undang – Undang Dasar 1945, yang pada ingtinya melindungi segenap bangsa Indonesia. Pada kenyataannya pergantian presiden demi presiden tidak membawa perbaikan bagi kehidupan rakyat. Pemerintahan yang silih berganti itu hanya melaksanakan agenda pembangunan yang bersifat reaktif terhadap kondisi yang dihadapi. Mereka sama sekali tidak memiliki cetak biru (blue print) pembangunan nasional atau perencanaan pembangunan untuk 10 atau 25 tahun ke depan.

    Dalam situasi seperti ini, tidak mengehrankan apabila krisis kepemimpinan diajdikan biang keladi atas semua masalah transisional. Ini. Yang dihadapi pemimpin di masa seperti ini adalah berbagai paradoks. Rakyat menginginkan pemimpin yang kuat yang mampu menyelesaikan masalah, tetapi rakyat juga takut dia menyalahgunakan kekuasaan. Rakyat ingin presiden yang menyatu dengan rakyat, tetapi juga bisa mengambil tindakan-tindakan visioner. Rakyat ingin presiden yang mengatasi semua golongan, tetapi kantor presiden dipenuhi masalah dan pikiran yang sarat kepentingan. Rakyat menginginkan pemimpin yang mempersatukan, tetapi tiap keputusan harus selalu bisa memenangkan satu pihak dan mengalahkan pihak lain. Rakyat ingin presiden yang punya program jelas dan sistematis, tetapi juga tanggap pada suara-suara rakyat yang sama sekali tak peduli pada program yang jelas dan sistematik itu.

  • 10

    Menggantungkan semua penyelesaian masalah transisional ini kepada pemimpin nasional mungkin menjadi terlalu naif karena yang mestinya dibangun di masa reformasi ini adalah rekonstruksi pemerintahan, pengembangan masyarakat madani, dan rekonstruksi ekonomi. Secara bertahap perubahan institusional harus meliputi ketiga hal itu.

    Artinya, titik berat bukan pada kebijakan pemerintah dan inisiatif pemimpin nasional, tetapi juga sinergi dengan masyarakat madani, dan pasar. Namun, tentu saja, pemimpinlah yang harus mengambil prakarsa untuk menawarkan konsep dan visinya ke depan. Dan yang mungkin perlu didorong, agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lebih proaktif, tegas, dan berani melakukan terobosan.

    Pesimisme dan optimisme, merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami persoalan dengan cara pikir positif. Selalu masih ada harapan untuk mencapai ke arah yang lebih baik. Harapan tersebut adalah negara ini akan tetap eksis, berkembang lebih cepat, asal diselenggarakan dan dipenuhi dengan sejumlah syarat, diantaranya mengembangkan keunggulan – keunggulan yang dikaruniakan Tuhan berikut etos kerja yang mengedepankan kepentingan rakyat banyak dengan asas dan prinsip keadilan.

    Apa yang harus paling awal dilakukan adalah membangun visi bersama. Visi menjadi sesuatu yang penting , karena visilah yang akan menjadi petunjuk arah yang dibutukan bagi setiap pihak yang berada di dalamnya untukm menjalankan kegiatan. Banyak pihak tidak berani menetapkan masa depan yang hendak dituju karena takut akan adanya kesenjangan antara apa yang diinginkan di masa yang akan datang dan relaitas yang terjadi. Sepanjang dilakukan dengan pikiran terbuka (open mind) dan hati terbuka (open heart), maka visi ke depan bisa ditetapkan. Apalagi jika diiikuti dengan kemauan terbuka , maka visi itu akan bisa diaplikasikan

    Peningkatan sumberdaya manusia menjadi kunci utama, karena mereka yang mampu memprediksi apa yang terjadi di depan, dan merealisasikan apa yang menjadi kebutuhan ke depan akan memetik manfaat paling maksimal. Semangat inovasi, reformasi dan kreatif yang berpijak pada pembangunan sumberdaya manusia yang andal sangat dibuthkan di tengah arus perubahan yang berlangsung begitu cepat, bahkan jauh lebih cepat daripada perkiraan siapa pun. Siapa yang tidak mau berubah akan punah.

    Perlu membangun etos kerja baru, Kepemimpinan yang kuta dan berwibawa, ditambah etos kerja yang tinggi telah mendorong China melesat maju. Kebudayaan kita lebih memberi perhatian kepada etos produksi kekuasaan dan produksi keindahan, maka perlu dikembangkan etos produksi kesejahteraan. Sebuah reformasi di bidang kebudayaan baru bisa bergulir apabila nilai – nilai di dalam masyarakat bisa dikukuhkan menjadi sebuah etos. Kebudayaan menyangkut pengetahuan dan nilai – nilai, sedangkan pengetahuai akan berarti apabila menjadi pegangan dalam perilaku sehari – hari. Siapa pun di negara ini memeilki pengetahuan bahwa korupsi itu dilarang, namun mengapa sampai kini Indonesia tetap menjadi salah satu negara terkorup di dunia?

    Ketimpangan antara kata dan perilaku lama kelamaan memupuk rasa tidak percaya dalam masyarakat. Semakin tinggi ketidakpercayaan, semakin dalam hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya. Rasa percaya adalah modal suatu bangsa untuk bekerjasama. Dengan turst , kompleksitas persoalan bisa direduksi dan biaya sosial dikurangi.

    Seperti juga pengetahuan yang harus diterjemahkan menjadi pandangan hidup, nilai – nilai kebudayaan juga harus diterjemahkan menjadi etos agar berfungsi. Namun, nyatanya, sedikit sekali nilai yang telah diterjemahkan. Etos menjadi pentirikanng karena dia memberikan kriteria dalam setiap perilaku dan mendefinisikan seseorang berdasarkan apa yang dilakukannya.

  • 11

    Perlu perubahan di bidang politik. Pada awalnya reformasi politik di Indonesia diasumsikan akan mampu membawa negara pada sisten demokrasi yang berdasarkan sistem checks and balances (kontrol dan penyeimbang). Nyatanya yang terjadi malahan terjadinya penguatan konsentrasi kekuasaan, terutama di bidang politik lokal maupun nasional. Bahkan terlihat gejala bahwa konsentrasi kekuasaan, modal dan prestise hanya pada sekelompok elite yang sama.

    Artinya reformasi politik tanpa perubahan menyeluruh tatanan masyarakat, perubahan sikap mental pada tataran individual, tidak akan menimbulkan trasnformasi politik, apalagi perubahan politik. Untuk itu semua pihak harus melakukan terobosan. Gagasan yang disodorkan adalah bagaimana mengupayakan persebaran distribusi kekuasaan yang lebih luas dan merata , untuk ini diperlukan sebuah perubahan struktural dan institusional.

    Seorang panelis menawarkan ”Politik jalan ketiga” dari Anthony Giddens (1998), yang untuk konteks Indonesia dinilai cukup relevan., khususnya untuk jangka pendek, yaitu rekonstruksi pemerintah , pengembangan masyarakat madani , dan rekonstruksi ekonomi.

    Pertama – tama yang dibutuhkan adalah kepercayaan dari pemerintah terhadap pemerintah daerah bahwa pemerintah daerah mampu memberikan kontribusi signifikan untuk pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi tugas pemerintah. Di sisi lain pemerintah daerah pun tidak perlu berprasangka bahwa pemerintah (pusat), mau menangani semuanya sendirian. Indonesia yang begitu luas dan besar dari segi geografis dan demografis ini sebenarnya bisa dipandang sebagai entitas keluarga besar. Pemerintah adalah kepala keluarag, pemerintah daerah dengan berbagai strtanya adalah anak sulung hingga anak bungsu. Dengan menganggap dan percaya bahwa anak – anaknya sudah dewasa, laik kiranya kepala keluarag memberikan kepercayaan kepada masing – masing anak untuk melakukan tanggungjawab keluarga agar entitas tersebut sejahtera hidupnya. Intinya pemerintah dan pemerintah daerah harus sinergis . kata yang terkhir itu implikasinya semua pihak harus mampu mengakui kelemahan sendiri dakui kelebihann mengakui kelebihan pihak lain.

    Perlu adanya reformasi birokrasi, - reformasi birokrasi selama ini masih sebatas reformasi bedak – tetap sebagai pelayan untuk dirinya sendiri dan bukan untuk rakyat, gencarnya upaya pemberantasan korupsi yang dia antaranya mengakibatkan birokrasi kurang berani melangkah, kesan jalan ”jalan di tempat” untuk reformasi di beberapa bidang memperoleh pembenaran. Persoalannya bagaimana psikologi dan kinerja birokrasi yang sudah terlanjur mendek – beku itu bisa direformasi? Birokrasi diharapkan jadi motor, dan tidak tertelikung sendiri oleh motivasi dan etos kerja masa lalu yang kurang memberi makna luhur birokrasi sebagai pelayan masyarakat.

    Bersama – sama birokrasi dan lembaga – lembaga gerakan sosial baru dilakukan satu perimbangan kekuasaan, sinergi antara state – birokrasi (politik), civil society (masyarakat warga), dan eknomi (pasar). Ketiganya merupakan tiga lembaga yang sebaiknya bekerja secara sinergik, bersemangat mengembangkan mutual trust, dengan target arah yang sama. Oleh karena itu, dirasa perlu penguatan dan pengemabngan masyarakat warga, tidak hanya lembaga swadaya masayrakat, melainkan juga revitalisasi asosiasi voluntaristik, keluarga dan asosiasi publik serta peran serta dalam gerakan – gerakan sosial baru, mulai dari lokal, nasional, regional dan global.

    Perlu ditinggalkan sikap, bahwa semua gagasan dan keputusan politik dikuasai oleh hegemoni elite, agar masyarakat mendapat ruang untuk menyatakan diri dan menjadi dirinya sendiri. Partnership antara pemerintah dan masyarakat warga, terutama dunia usaha, merupakan keharusan, yang bisa terjadi apabila ada hubungan kesetaraan. Disiplin menjadi syarat tambahan, yang tidak prima di tingkat rencana dan program kerja, tetapi dalam implementasi dan pelaksanaan.

    Berikan kepercayaan kepada rakyat, mengandalkan sosok kepemimpinan, yang tidak hanya pemimpi – pemimpi dan pembimbang – pembimbang, tetapi mereka bisa menempatkan diri

  • 12

    sebagai konduktor orkestra yang namanya Indonesia; yang tidak hanya mencari dan menemukan kambing hitam, tetapi yang mampu menangkap keunggulan – keunggulan sebagai nilai tambah yang diberi wadah dan suasana yang kondusif, yang tegas mengonduktori musisi memainkan ”instrumen” masing – masing tepat waktu dan tepat sasaran.

    SIAPA PEMIMPIN – PEMIMPIN MASA DEPAN? MEREKALAH, DI ANTARANYA MANUSIA-MANUSIA UNGGUL INDONESIA , YANG TIDAK HANYA UNGGUL OTAK DAN TERAMPIL, TETAPI JUGA UNGGUL DALAM KOMITMEN, TABIAT PERILAKU DAN PUNYA HATI TERHADAP RAKYAT.

    (dirangkum oleh : Marnia Nes, Oktober 2006)

  • 13

    Slide 1 Slide 2

    Slide 3 Slide 4

    Slide 5 Slide 6

  • 14

    Slide 7 Slide 8

    Slide 9 Slide 10

    Slide 11 Slide 12

  • 15

    Slide 13 Slide 14

    Slide 15 Slide 16

    Slide 17 Slide 18

  • 16

    Good Governance, Good Local Governance (Disarikan dari berbagai sumber oleh : Marnia Nes)

    Satu Dari Government ke Governance Pembahasan governance tidak akan terlepas dari paradigma government, karena perkembangan paradigma governance merupakan transformasi government secara bertahap. Perkembangan peran pemerintah bisa kita bahas mulai awal abad ke 20. Tahap I : era abad ke 20 , Era ini ditandai dengan konsolidasi pemerintahan demokratis (democratric government) di dunia Barat. Tahap II : pasca perang dunia ke 1 Pada masa ini ditandai dengan semakin menguatnya peran pemerintah. Pada masa ini pemerintah tampil high profile, berperan melancarkan regulasi politik, redistribusi ekonomi, dan kontrol yang kuat terhadap ruang – ruang politik dalam masyarakat. Implikasinya adalah meningkatnya pengeluaran pemerintah untuk pelayanan publik, meluasnya program2 politik dan intervensi ke dunia pasar. Negara dianggap sebagai kendaraan yang tangguh, absah dan tidak tertandingi untuk membawa perubahan sosial dan ekonomi. Tahap III : era tahun 1960 – 1970 – an Pada era ini perhatian bergeser kepada negara – negara dunia ke 3. Terjadi perluasan proyek developmentalisme (modernisasi) yang dilakukan oleh dunia Barat di dunia ke 3. Padam perkembangannya modernisasi ini juga manjadi westerenisasi, orientasi pembangunan berkiblat ke Barat walaupun belum tentu cocok di negara – negara Asia, Afrika dan Amerika Latin. Pada masa ini merebak pendalaman kapitalisme dan rezim otoritarian di kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika. Akademisi Barat beranggapan bahwa modernisasi dan pembangunan ekonomi akan mendorong birokrasi yang semakin rasional, meningkatkan partisipasi politik dan berkembangnya demokrasi. Teori ini tumbang karena pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang malah diikuti oleh meluasnya rezim otoritarian yang umumnya ditopang oleh aliansi antara militer, birokrasi sipil dan masyarakat bisnis internasional. Fungsi partai politik berubah dari ajang aspirasi dan partisipasi rakyat menjadi alat kontrol korporatis negara terhadap rakyat. Kehidupan politik rakyat mengalami depolitisasi. Persoalan politik rakyat yang paling mendesak telah diredusir, diredam dan bahkan dialihkan dengan menganggap kualitas pengetahuan, teknik dan keterampilan rakyat yang rendah , dan hal ini dianggap hanya dapat dipecahkan oleh pejabat dan kaum teknokrat. Muncul ortodoksi yang berlawanan dengan teori modernisasi, bahwa otoritarianisme politik sebenarnya tidak bertentangan dengan masyarakat dan kebudayaan kapitalis. Tahap IV : memasuki dekade 1980 – an Pada masa ini, mulai terjadi krisis ekonomi dan finansial negara – negara di dunia, termasuk di Indonesia. Krisis ini mendorong cara pandang baru terhadap pemerintah. Pemerintah dimaknai bukan sebagai solusi terhadap problem yang dihadapi, melainkan justru sebagai akar masalah krisis. Untuk mengatasi hal tersebut maka berkembanglah ”penyesuaian struktural” dalam bentuk deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, pelayanan publik yang berorientasi pasar. Peranan

  • 17

    pemerintah menjadi minimal dan peranan swasta dan pasar menguat. Pada masa ini di sektor politik, terjadi gelombang demokratisasi yang dimulai dengan rontoknya sejumlah rezim otoritarian di kawasan Eropa Selatan, Amerika Latin, Eropa Timur, Asia dan negara – negara di Afrika. Dengan runtuhnya rezim otoritarian di belahan dunia, maka ortodoksi akan otoritarianisme sebagai penyangga pendalaman kapitalisme mulai kehilangan pengaruh. Tahap V : era 1990 – an Pada era ini tumbuh cara pandang baru terhadap pemerintahan, yang ditandai dengan munculnya governance dan Good Governance. Perspektif yang terpusat pada government bergeser ke perspektif governance. Awalnya governance dimaknai secara terbatas sebagai kinerja pemerintahan efektif, yang digunakan untuk membedakan pengalaman pemerintahan yang buruk sebelumnya. Gagasan governance yang dipromosikan oleh badan – badan internasional yang mempromosikan reformasi ekonomi dan demokratisasi politik, untuk menciptakan pemerintahan yang baik (good governance). Dua Apa itu Governance ? Seperti telah diuraikan di atas, dalam cara pandang lama pemerintah (government) sangat identik dengan kekuasaan, penguasaan, kewenangan, dominasi, pemaksaan, pemusatan, dll. Pemerintah adalah segala – galanya dan mahakuasa yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Tetapi pada dekade 1990 –an, sejumlah pandangan baru terhadap pemerintah bermunculan, meskipun secara empirik pemerintah belum berubah. Pada dekade ini , para ilmuwan politik mempertanyakan dan memikirkan kembali peran pemerintah. Dalam konteks ini berkembanglah pemikiran baru ideal tentang apa itu pemerintahan, apa yang harus ia lakukan, peran pemerintah dan masyarakat, pandangan baru pada isu – isu abadi tentang bagaimana pemerintah yang terpilih dan bertanggungjawab memainkan peran fasilitasi dalam masyarakat, dan lain – lain. Dari situlah muncul istilah governance, yang lebih menekankan pada interaksi antara negara dan masyarakat sipil. Pemerintah (an) dipandang sebagai proses multiarah, yaitu proses memerintah yang melibatkan pemerintah dengan unsur – unsur di luar pemerintah. Governance tidak sama dengan government (pemerintah) dalam arti sebagai lembaga, tetapi i governance adalah proses kepemerintahan dalam arti yang luas. John Pierre dan Guy Peters, misalnya, memahami governance sebagai sebuah konsep yang berada dalam konteks hubungan antara sistem politik dengan lingkungannya, dan mungkin melengkapi sebuah proyek yang membuat ilmu politik mempunyai relevansi dengan kebijakan publik. Berpikir mengenai governance, berpikir mengenai bagaimana semua pihak mencapai tujuan – tujuan bersama. Unsur utama (domains) yang dilibatkan dalam penyelenggaraan kepemerintahan (governance) menurut UNDP terdiri dari state (negara), private sector (sektor swasta) dan civil society organization (lembaga swadaya masyarakat). The State (Negara) Negara adalah organisasi kekuasaan yang didasarkan pada kewenangan tertinggi dalam suatu wilayah tertentu, serta memiliki sekelompok orang yang mengakui dan taat pada kekuasaan yang ada. Dalam pengertian governance, kekuasaan diartikan secara luas yang mencakup kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pembagian kekuasaan ini, ditujukan bagi terciptanya pemerintahan yang efisien dan efektif dengan mengandalkan mekanisme cheks and balances. Dengan mekanisme cheks and balances tersebut, kontrol antar kekuasaan yang ada senantiasa tebentuk guna menghindari pemerintahan otoriter yang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat dalam penyediaan kebutuhan dan pelayanan publik.

  • 18

    The Private Sector (Sektor Swasta) Pendekatan pasar untuk pembangunan ekonomi berkaitan dengan penciptaan kondisi dimana produksi barang dan jasa (goods and services) berjalan dengan baik dengan dukungan lingkungan yang mapan untuk melakukan aktivitas sektor swasta. Sektor swasta dibedakan dengan masyarakat karena sektor swasta mempunyai hubungan dan pengaruh yang sangat besar terhadap kebijakan sosial, politik, dan ekonomi yang dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pasar dan perusahaan itu sendiri. Sistem pemerintahan yang baik akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi aktivitas pasar dan sektor swasta untuk menciptakan produksi barang dan jasa, agar kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Pemerintah dan sektor swasta memiliki korelasi yang sangat erat dalam suatu bingkai kerja yang disebut “incentives rewards” yang bermanfaat secara ekonomis bagi individu dan organisasi yang memiliki kinerja baik. Civil Society Organizations Penyelenggaraan kepemerintahan (governance) bukan hanya bergantung pada negara yang mampu memerintah dan sektor swasta yang mampu menyediakan pekerjaan dan pengahsilan , akan tetapi juga bergantung pada masyarakat sipil yang memfasilitasi interaksi sosial dan politik, serta yang memobilisasi berbagai kelompok dalam masyarakat untuk terlibat dalam aktivitas sosial, ekonomi dan politik. Organisasi sipil tidak hanya melakukan cheks and balances terhadap kewenangan kekuasaan pemerintahan dan sektor swasta, tetapi mereka juga dapat memberikan kontribusi dan memperkuat unsur utama tersebut. Organisasi masyarakat sipil dapat menyalurkan partisipasi masyarakat dalam aktivitas sosial dan ekonomi dan mengorganisasinya ke dalam suatu kelompok yang lebih potensial untuk mempengaruhi kebijakan publik dalam mencapai kesejahteraan bersama. Perspektif baru tentang pemerintah – perubahan peran pemerintah dalam masyarakat dan kemampuannya mewujudkan kepentingan bersama di bawah internal maupun eksternal – merupakan jantung governance. Intinya adalah melibatkan masyarakat dalam proses pemerintahan. Banyak definisi governance yang dimunculkan oleh berbagai pihak, akan tetapi secara empirik dimensi governance mencakup tiga elemen utama yaitu : • Pengaruh warga negara, bisa diukur dari tingkat partisipasi politik, perangkat artikulasi dan

    agregasi serta metode akuntabilitas publik • Resiprositas sosial, menunjuk pada derajat kesetaraan politik dalam masyarakat, tingkat

    toleransi antar kelompok dan tingkat keterbukaan dalam organisasi – organisasi sosial . • Kepemimpinan yang responsif dan bertanggungjawab, menunjuk pada sikap pemimpin politik

    pada perannya sebagai kepercayaan publik. Indikator yang bisa dipakai adalah tingkat penghormatan pemimpin pada publik, tingkat keterbukaan pembuat kebijakan publik dan tingkat ketaatan pada rule of law.

    Perspektif governance mempunyai sejumlah ortodoksi baru dalam mengelola negara yang bersandar pada enam prinsip utama : 1. Negara tetap menjadi pemain kunci bukan dalam pengertian dominasi dan hegemoni, tetapi

    negara adalah aktor setara (primus inter pares) yang mempunyai kapasitas memadai untuk memobilisasi aktor – aktor masyarakat dan pasar untuk mencapai tujuan bersama.

    2. Negara bukan lagi sentrum “kekuasaan formal” tetapi sebagai sentrum “kapasitas politik”. Kekuasaan negara harus ditransformasikan dari ”Kekuasaan atas” (power over) menuju ”kekuasaan untuk” (power to)

    3. Negara harus berbagai kekuasaan dan peran pada tiga level : ke atas pada organisasi transnasional, ke samping pada NGO dan swasta dan ke bawah pada daerah dan masyarakat lokal.

  • 19

    4. Negara harus melonggarkan kontrol politik dan kesatuan organisasinya agar mendorong segmen – segmen di luar negara mampu mengembangkan pertukaran dan kemitraan secara kokoh, otonom dan dinamis.

    5. Negara harus melibatkan unsur – unsur masyarakat dan swasta dalam agenda pembuatan keputtusan dan pemberian layanan publik.

    6. Penyelenggaraan negara harus mempunyai kemampuan responsif, adaptasi dan akuntabilitas publik.

    Keenam agenda di atas identik dengan membawa negara lebih dekat kepada masyarakat. Hal tersebut bisa diimplementasikan dengan cara : • Peningkatan kapasitas dan efektivitas negara • Pencerahan intervensi pemerintah • Desentralisasi • Akuntabilitas dan transparansi memadukan pelayanan publik dengan preferensi masyarakat

    lokal • Partisipasi warga negara • Kemitraan antara pemerintah, sektor bisnis dan elemen – elemen masyarakat sipil. Peranan negara (pemerintah) dalam proses governance : • Merumuskan rangkaian tujuan proses memerintah • Merumuskan kebijakan publik berdasarkan keinginan dan tuntutan dari masyarakat • Bertanggungjawab dalam implementasi kebijakan, terutama bertanggungjawab dalam hal hasil

    dan dampaknya terhadap masyarakat. • Sebagai fasilitator, yakni memudahkan atau menjebatani permainan aktor-aktor politik dan

    ekonomi dalam masyarakat. Peranan masyarakat dalam proses governance: • Masyarakat bisa menyalurkan keinginan dan tuntutannya kepada pemerintah . • Terlibat aktif dalam proses pembuatan keputusan • Pelaksana utama kebijakan Tiga Good Governance Model governance bisa buruk bisa juga baik. Model yang baik kemudian disebut dengan istilah good governance. Good governance dimaknai secara terbuka dan beragam oleh banyak individu maupun lembaga. Bank Dunia, memberi batasan good governance sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem peradilan yang dapat diandalkan, serta pemerintahan yang bertanggungjawab pada publiknya. Komunitas Eropa merumuskannya sebagai pengelolaan kebijakan sosial ekonomi yang masuk akal, pengambilan keputusan yang demokratis, transparansi pemerintahan dan pertanggungjawaban financial yang memadai, penciptaan lingkungan yang bersahabat dengan pasar bagi pembangunan, langkah – langkah untuk memerangi korupsi, penghargaan terhadap aturan hukum, penghargaan terhadap HAM, kebebasan pers dan ekspresi. Sedangkan UNDP (1997) memberi pengertian good governance sebagai sebuah konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah negara. Hal ini merupakan sebuah dialog yang melibatkan seluruh partisipan. Secara tegas UNDP mengidentifikasi 6 karakteristik good governance : 1) partisipatif 2) transparan 3) efektif dan berkeadilan 4) mempromosikan supremasi hukum 5) memastikan bahwa prioritas sosial, ekonomi dan politik didasarkan pada konsensus dalam masyarakat 6) memastikan bahwa suara penduduk miskin dan rentan didengarkan dalam pengambilan keputusan.

  • 20

    Pada hakikatnya, penyelenggaraan pemerintahan ditujukan kepada terciptanya fungsi pelayanan publik (publik service). Pemerintahan yang baik cenderung menciptakan terselenggaranya fungsi pelayanan publik dengan baik pula. Sebaliknya, pemerintahan yang buruk mengakibatkan fungsi pelayanan publik tidak akan dapat terselenggara dengan baik. Prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, tidak hanya terbatas pada penggunaan peraturan perundang – undangan yang berlaku, melainkan dikembangkan dengan menerapkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang tidak hanya melibatkan pemerintah atau negara (state) semata, tetapi harus melibatkan sistem birokrasi maupun ekstern birokrasi. Good governance bukan semata – mata mencakup relasi dalam pemerintahan, melainkan mencakup relasi sinergis dan sejajar antara pasar, pemerintah dan masyarakat sipil. Gagasan kesejajaran ini mengandung arti akan pentingnya redifinisi peran dan hubungan ketiga institusi ini dalam mengelola sumberdaya ekonomi, politik, dan kebudayaan yang tersedia dalam masyarakat. Para penganjur pendekatan ini membayangkan munculnya hubungan yang sinergis antara ketiga institusi sehingga terwujud penyelenggaraan negara yang bersih – responsif – betanggungjawab, semaraknya kehidupan masyarakat sipil serta kehidupan pasar (bisnis) yang kompetitif dan bertanggungjawab (Rochman Achwan, 2000). Empat Good Local Governance Pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara good governance dan good local governance. Secara teoritis keduanya memiliki materi atau kajian yang inti ataupun fokusnya relatif sama. Perbedaannya terdapat dalam segi aplikasinya, yang satu di tingkat pusat dan yang lainnnya (good local governance) di tingkat daerah. Terciptanya good governance (di tingkat pusat) membuka ruang bagi terciptanya good local governance baik di tingkat provinsi, kabupaten maupun kota. Pemerintah yang baik di tingkat pusat akan memudahkan terciptanya pemerintahan daerah yang baik. Lima Bagaimana Mencapai Good Local Governance ? Dalam prakteknya, perwujudan good local governance tidak hanya terfokus pada domain negara, melainkan juga membutuhkan peran yang sangat penting dari sektor swasta serta masyarakat yang ada di daerah yang bersangkutan. Untuk menuju pemerintahan daerah yang baik adalah dengan menerapkan prinsip – prinsip kepemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan kepemerintahan di daerah dalam segala aspek kehidupan yang sangat luas yang mencakup aspek hukum, politik, ekonomi, sosial, yang terkait dengan tugas dan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif serta melibatkan seluruh pihak. Artinya mutlak diperlukan kerjasama dan hubungan yang sinergis diantara domain governance yang mencakup negara (penyelenggara kekuasaan negara di tingkat lokal), sektor swasta dan masyarakat lokal. Dapat disimpulkan bahwa perwujudan good local governance sangat bergantung kepada : • Sistem pemerintahan daerah yang diberikan oleh pusat • Kapasitas aparatur pemerintahan daerah yang menjalankan kekuasaan di tingkat lokal • Kapasitas sektor swasta di daerah (local private sector) • Kapasitas Organisasi masyarakat sipil di daerah dan kapasitas masyarakat umum.

  • 21

    1. Sistem Pemerintah Daerah dan Pusat

    Korelasi antara good governance dan good local governance dapat dijabarkan secara rinci dengan memahami sistem administrasi negara secara komprehensif. Antara administrasi negara di tingkat pusat dan administrasi negara di tingkat daerah merupakan suatu kesatuan yang sangat erat berkaitan dan tidak dapat dilepaskan satu sama lain.

    Dalam konteks good local governance, domain negara tidak dapat diartikan semata – mata sebagai lembaga pemerintahan daerah (local government), melainkan harus diartikan sebagai suatu kesatuan yang mencakup proses sampai kepada bagaimana institusi pemerintahan daerah tersebut dibentuk. Dengan demikian, konsep good local governance tidak semata melibatkan pemerintah daerah, tetapi juga melibatkan unsur pemerintah pusat sebagai perumus kebijakan mengenai bagaimana suatu pemerintah derah ditetapkan. Oleh karena itu domain negara dalam good local governance tidak dapat digantikan dengan domain pemerintah daerah, walaupun dalam prakteknya pemerintahan daerah merupakan lembaga yang paling berkuasa di daerah.

    Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia dilakukan, baik melalui atribusi kewenangan dalam konstitusi dan perundang – undangan, maupun melalui derivasi kewenangan oleh pemerintah pusat yang dapat berupa mandat dan delegasi. Secara atributif, kewenangan pemerintahan di tingkat lokal bersumber kepada Undang – Undang Dasar 1945, yaitu yang terdapat dalam BAB VI tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 18 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah – daerah provinsi dan daerah – daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap – tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang – undang.

    Pengaturan tersebut ditindaklanjuti dengan Ketetapan MPR No.XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pembagian dan Pemanfaatan Sumberdaya Nasional yang Berkeadilan ; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerahdalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal inikemudian diimplementasikan dengan Undang – undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999, tentang perimbangan antara Keuangan Pusat dan Daerah.

    Secara derivatif, distribusi kewenangan pemerintah pusat ke daerah terdiri dari 2 bentuk, yaitu pelimpahan wewenang (mandaatsverlening) dan penyerahan wewenang (delegatie). Dalam konteks pemerintahan daerah, kewenangan yang diberikan melalui sistem mandaat adalah kewenangan yang didasarkan pada asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. (dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah daerah dan atau perangkat pusat di daerah). Sedangkan kewenangan yang diderivasikan melalui sistem delegasi adalah kewenangan yang didasarkan kepada asas desentralisasi. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom (kabupaten dan kota) dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Penerapan asas desentralisasi pada pemerintah kota/kabupaten dimaksudkan kepada terciptanya otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang usaha kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama. Pada dasarnya, makna mendasar otonomi daerah tidak hanya terletak pada “auto money” seperti yang banyak digambarkan oleh banyak orang. Akan tetapi juga menitikberatkan pada “delegation of authority and responsibility” pada unit organisasi yang lebih rendah tingkatannya. Prinsip otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab mendorong

  • 22

    terciptanya pemerintahan daerah yang baik (good local governance), karenanya penyelenggaraan otonomi daerah tidak berhenti pada pemberian kewenangan yang luas kepada daerah , melainkan harus disertai dengan kemampuan dan kesiapan masing-masing daerah dalam mewujudkan good local governance.

    2. Kapasitas aparatur pemerintahan daerah yang menjalankan kekuasaan di tingkat lokal

    Penyelenggaraan good local governance sangat bergantung kepada kualitas aparatur penyelenggaraan kekuasaan negara. Penyelenggaraan kekuasaan negara di tingkat lokal diperoleh melaui atrribusi konstitusi dan derivasi kekuasaan pemerintah pusat. Untuk menyelenggarkan negara di tingkat lokal maka dibentuklah pemerintah daerah. Organisasi Administrasi Daerah merupakan badan/lembaga dalam bentuk pemerintahan Daerah . UU No 22 tahun 1999 menyatakan susunan pemerintahan daerah yang terdiri dari Pemerintah Daerah sebagai badan eksekutif dan DPRD sebagai badan legislatif. Keduanya melaksanakan fungsinya dalam sistem administrasi daerah, sehingga keduanya merupakan organisasi administrasi daerah (OAD). Dalam konteks local governance, di samping kedua lembaga tersebut pemerintahan daerah ditunjang dengan aparatur perekonomian daerah seperti halnya Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Susunan OAD tersebut merupakan birokrasi untuk menjalankan fungsi penyediaan pelayanan publik yang baik. Untuk menciptakan local good governance dibutuhkan birokrasi yang efisien, efektif, solid, bertanggungjawab, serta mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi atau golongan. Dalam hal ini dibutuhkan kualitas pejabat yang tinggi baik dari segi mental maupun kualitas profesionalnya.

    Dengan dipilihnya kepala daerah oleh DPRD, pembentukan struktur pemerintahan daerah yang merupakan kewenangan kepala daerah sebagai top administrator sangat tergantung kepada kualitas moral, kepemimpinan dan keilmuan kepala daerah yang bersangkutan. Pemilihan seorang kepala daerah yang berkualitas serta mampu menciptakan struktur pemerintah atau birokrasi yang baik, sangat bergantung kepada DPRD sebagai lembaga yang memilikinya. Oleh karena itu sejalan dengan otonomi daerah yang luas,nyata dan bertanggungjawab, kiranya perwujudan good local governance, perlu ditekankan kepada efektivitas pengawasan pemerintah pusat serta pemberdayaan DPRD dan jajaran pemerintah daerah.

    3. Kapasitas sektor swasta di daerah (local private sector)

    Pasar dan sektor swasta jelas telah memainkan peranan yang penting dalam pembangunan dengan pendekatan pasar. Pendekatan pasar untuk pembangunan ekonomi berkaitan dengan penciptaan kondisi dimana produksi barang dan jasa berjalan dengan baik dengan dukungan lingkungan yang mapan untuk melakukan aktivitas sektor swasta. Perlu peningkatan kapasitas sektor swasta terutama di tingkat lokal, untuk bersama – sama dengan pemerintah meningkatkan produksi barang dan jasa yang berorientasi pada pelayanan publik dan kebutuhan masyarakat. Peningkatan berbagai bidang dalam sektor swasta akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi pengangguran. Selain menciptakan sistem yang kondusif untuk meningkatkan aktivitas sektor swasta, juga perlu pemberdayaan pada sektor swasta baik dari segi peningkatan kapasitas maupun dari sisi kualitas mental, supaya terjadi kerjasama mutualisme antara pemerintah dan swasta ke arah yang positif. Karena terkadang kerjasama yang terjadi malah merugikan masyarakat. Kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah seringkali dipengaruhi perilaku buruk yang digunakan sebagai alat kolusi dengan sektor swasta untuk meraup keuntungan pribadi atau golongan dengan mengabaikan kesejahteraan bersama.

  • 23

    4. Kapasitas Organisasi masyarakat sipil di daerah dan kapasitas masyarakat umum.

    Pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, dalam konteks good local governance bukan hanya diputuskan oleh pemerintah, akan tetapi harus melibatkan unsur masyarakat di dalamnya. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip partisipasi dalam penyelenggaraan governance. Partisipasi masyarakat bisa dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung sengan melalui lembaga atau organisasi masyarakat sipil. Akan tetapi pada kenyataannya partisipasi masyarakat masih rendah.

    Rendahnya partisipasi masyarakat yang pertama dikarenakan oleh minimnya ruang publik yang dapat dijadikan arena partisipasi masyarakat. Ruang publik dapat dimaknai sebagai arena dimana masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dapat berpartisipasi dalam proses pengelolaan data pemerintah baik pembuatan kebijakan maupun proses pemerintah sehari – hari. Ruang publik seringkali dikaitkan dengan arena pembuatan kebijakan yang transparan, dimana masyarakat dapat hadir dengan menggunakan hak bicara serta hak suara dalam proses tersebut. Pemaknaan atas ruang publik ini tidak hanya terbatas pada makna spasial (berkenaan dengan tempat), tetapi dapat juga berupa forum, pertemuan, maupun media lain yang memberikan peluang publik (masyarakat) untuk mengakses secara terbuka dan adil. Faktor kedua yang mempunyai peran signifikan dalam penguatan (atau pelemahan) partisipasi masyarakat sipil adalah modal sosial (social capital) yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat tertentu. Modal sosial menunjuk pada nilai dan norma yang dipercayai dan dijalankan oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam kehidupan sehari – hari, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup individu dan keberlangsungan komunitas masyarakat. Modal sosial juga termanifestasi melalui kerjasama, mutual trust (kepercayaan), norma, serta pembagian kekuasaan. Padahal pada tingkatan tertentu modal sosial bisa menjadi kekuatan bagi masyarakat untuk mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam dan manusia.

    Melemahnya modal sosial pada masa sekarang ini dan kurangnya ruang publik, menjadikan masyarakat kurang mempunyai kemampuan untuk mengakses sumberdaya dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Bahkan lebih parah lagi masyarakat makin tergantung kepada pihak lain karena selama ini tidak pernah ikut serta memecahkan masalah yang dihadapi. Perlu peningkatan kapasitas masyarakat untuk bisa menggali persoalan dan memecahkan masalah yang dihadapi dengan pemberian kewenangan kepada masyarakat serta pemberian ruang publik yang cukup untuk keterlibatan mereka dalam proses – proses penentuan kebijakan. Akan tetapi pemberian kewenangan kepada masyarakat , seringkali dimaknai keliru dan menjadi kebablasan apabila tidak diberikan pendidikan kepada masyarakat. Untuk itu pemberdayaan masyarakat baik peningkatan kemampuan dalam memecahkan masalah dan pemberdayaan kualitas mental menjadi mutlak dilakukan.

    Disarikan dari : 1. Membangun Good Governance di Desa; AAGN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko 2. Akses dan Indikator Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang Baik, H. Syaukani HR 3. Disciplining Democracy : Development Discourse and Good Governance in Afrika ,

    Rita Abrahamsen, 2000

  • 24

    PENGERTIAN MASYARAKAT WARGA DAN HUBUNGAN MASYARAKAT DENGAN NEGARA DAN SWASTA (MODAL) Masyarakat Warga Beragam definisi tentang masyarakat warga (Civil Society) banyak ditemui dalam buku-buku dan literatur yang membahasnya. Modul ini menggunakan definisi menurut Alexis de Tocqueville (Hikam, 1996) yang cukup terkenal di kalangan aktivis ornop. Alexis dan Tocqueville mengartikan masyarakat warga sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasikan dan bercirikan antara lain : kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswa-dayaan (self-supporting), dan punya kemandirian yang tinggi bila berhadapan dengan negara, serta punya keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti. Sebagai sebuah ruang politik, masyarakat warga merupakan satu tempat yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, serta tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, serta yang penting ia tidak masuk di dalam jaringan kelembagaan politik resmi (negara). Di dalamnya tersirat pentingnya satu ruang publik yang bebas (the free public sphere), tempat dimana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat (Hikam, 1996). Sejalan dengan itu, masyarakat warga merupakan bagian kunci dalam menentukan terwujudnya masyarakat demokratis yang efektif. Dengan demikian, masyarakat warga mungkin ada tanpa demokrasi, tetapi demokrasi tidak bisa ada tanpa masyarakat warga yang kuat. Makanya tidak salah bila masyarakat warga dianggap sebagai “kumpulan seluruh lembaga dan asosiasi non-keluarga dalam suatu negara” yang mandiri, independen dari negara dan mampu secara efektif mampu mempengaruhi kebijakan publik. (Khoiron, M. Nur et.al, Pendidikan Politik Bagi Warga Negara, Yogyakarta: Lkis & Tafs). Siapa Masyarakat Warga? Masyarakat warga meliputi lembaga-lembaga keagamaan, organisasi bisnis, ornop (organisasi non pemerintah), uni dagang, kelompok-kelompok warga negara, media dan sebagainya. Partai politik – karena mempunyai dua peran yaitu dalam negara dan peran lain dalam masyarakat warga – dapat dianggap sebagai bagian masyarakat warga dalam konteks tertentu, dan berkaitan dengan isu tertentu. Secara khusus dalam peran mereka sebagai promotor debat dan mobilisasi publik di sekitar isu-isu kebijakan, partai politik dapat berperan aktif dalam masyarakat warga. Partai juga dapat berperan sebagai penengah antara warga negara dan masyarakat, dan oleh karenanya mereka dapat menjadi fokus yang sangat penting untuk pengembangan demokrasi pada saat hubungan negara dan masyarakat ada masalah. Kemudian, keluarga tidak dianggap sebagai bagian dari organisasi masyarakat warga. Kendati demikian harus dipelajari pentingnya peran keluarga dalam pembelajaran dan sosialisasi, dan seringkali sebagai lingkungan untuk realisasi hidup manusia. Alasan yang bisa diungkapkan adalah karena keluarga hampir tidak pernah menjadi aktor dalam suasana pembuatan kebijakan, bahkan selalu diawasi karena sering menjadi arena penegakan, penolakan dan pelanggaran hak-hak anggotanya, dan sebagai lembaga yang berfungsi dan strukturnya ditentukan oleh kebijakan publik, yang sering dalam skala luas.

  • 25

    Karakteristik Masyarakat Warga yang Demokratis Masyarakat warga demokratis, paling tidak mempunyai ciri sebagai berikut (Khoiron, M. Nur et.al, 2000)

    1. Asosiasi sipil yang secara politik tidak tergantung dari negara. 2. Budaya toleran dan dialog yang berlaku. 3. Perempuan dan laki-laki mempunyai hak politik yang sama, hak untuk memilih dan hak

    untuk menolak pemerintahnya. 4. Organisasi yang aktif dalam semua sektor masyarakat. 5. Konstruksi terus menerus dan pengertian ulang kemandirian politik dalam kaitannya

    dengan negara. 6. Memperluas dan merekonstruksi toleransi dan dialog. 7. Menjamin dan membela kesetaraan akses terhadap negara juga yang lebih besar dalam

    masyarakat warga. Apa yang dimaksud Negara? Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Apa Tugas Negara? Pertama, mengendalikan dan mengatur gejala-gejala yang a-sosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonisme (permusuhan, pertentangan) yang membahayakan. Kedua, mengorganisir dan mengintegrasikan (menyatukan) kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat. Fungsi Apa yang Dijalankan Negara? Pertama, melaksanakan penertiban (law and order) untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat. Kedua, mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Ketiga, pertahanan, untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Keempat, menegakkan keadilan. Dalam ini dilaksanakan melalui badan-badan keadilan. Apa Kewajiban Pemerintah? Ada beberapa komponen dari sifat, ciri-ciri dan kewajiban pemerintah yang baik, diantaranya:

    1. Bersifat menolong. Pelayanan kepentingan umum harus memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi masyarakat yang memerlukan atau menggunakan. Misalnya dalam pengurusan KTP, sertifikat tanah, dll. Dalam hal ini aparat pemerintah (pegawai negeri) berfungsi sebagai pelayan umum.

    2. Tergantung pada tata aturan. Keabsahan pemerintah tergantung pada ada tidaknya persetujuan (mekanisme) bagi yang memerintah, dan pemerintahan dapat digantikan melalui proses politik secara damai.

    3. Bersifat terbuka (transparan). Kegiatan pemerintah harus terbuka secara seksama kepada rakyat dan wakil-wakil rakyat yang dipilih. Pemerintah harus mengumumkan kepada publik segala keputusan dan kegiatan yang dilakukannya.

    4. Bertanggunjawab (accountable). Pemerintah yang baik menjamin pejabat/aparat yang bertanggungjawab terhadap suatu keputusan, atau yang mendelegasikan kewenangan dapat dikenali dan dimintai pertanggungjawabannya. Harus ada ukuran-ukuran yang dibuat secara jelas tetang sikap, tingkah laku dan perbuatan dari para pejabat dan politisi.

    5. Menghargai dana publik (uang rakyat). Ini berarti bahwa pemerintah memastikan bahwa dana masyarakat digunakan secara bijaksana dan tepat, baik kepada para pembayar maupun kepada rakyat yang membutuhkan pelayanan. Harus ada lembaga pengawas keuangan yang independen yang mengawasi penggunaan anggaran pemerintah.

    6. Responsif. Pemerintah harus meminta maaf, menjelaskan, mengganti dan memperbaiki jika terjadi kesalah atau tidak mampu memenuhi tugasnya.

  • 26

    7. Menawarkan informasi. Yaitu informasi tentang kegiatan pelayanan aparat pemerintah memberikan peluang bagi masyarakat untuk bersuara lebih kuat mengenai keinginan dan harapan.

    8. Adil, yakni pemerintah melayani secara adil segala macam latar belakang sosial, budaya, politik dan sebagainya.

    Pengertian Hak Hak adalah sesuatu yang mendasar melekat dan dimiliki oleh setiap individu di dalam masyarakat sebagai nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Hak-hak sipil dan hak-hak politik meliputi, antara lain:

    • Hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self determination) • Hak hidup (menolak paham hukuman mati dan pemusnahan salah satu suku bangsa

    dengan cara apapun). • Hak untuk tidak dianiaya dan diperbudak. • Hak atas kebebasan dan keamanan. • Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. • Hak bergerak dengan bebas untuk menentukan tempat tinggal. • Hak atas kebebasan berfikir, hati nurani dan agama. • Hak untuk berpendapat tanpa mengalami gangguan. • Hak untuk berkumpul dan berorganisasi secara bebas. • Hak untuk berpartisipasi dalam menjalankan segala urusan umum. • Hak memilih dan dipilih pada pemilihan yang berkala yang bebas. • Hak mendapatkan pelayanan umum dari negara. • Hak memperoleh jodoh. • Hak milik pribadi maupun kolektif. • Dan lain-lain.

    Apa Hak-hak Dasar Warga Negara? Hak warga negara Indonesia, tercermin dalam UUD 1945.

    1. Hak kewarganegaraan, yaitu menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli (pasal 26).

    2. Hak persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintah (pasal 27 ayat 1). 3. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2) 4. Hak kebebasan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan

    dan sebagainya (pasal 28) 5. Hak mendapatkan pengajaran (pasal 31).

    (lihat “Panduan Pendidikan Politik untuk Fasilitator”. John dan Ramadha (peny.), Yogyakarta: Insist & Pact. 1999). Hubungan Masyarakat dengan Negara Hubungan antara masyarakat warga dengan negara dalam negara demokrasi, ditandai dengan setaranya akses semua kelompok tanpa memandang basis gender, ras, agama, atau idiology terhadap negara. Kendati demikian harus diakui bahwa kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat warga mempunyai akses yang tidak sama untuk mempengaruhi kebijakan publik (Khoiron, M. Nur et.al, 2000). Konsep negara dan masyarakat atau hubungan antara keduanya bisa dilihat dari tiga paham berikut ini. Pertama, negara dipahami secara “legalistik” sebagai organisasi pemerintah yang terdiri dari badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Negara adalah pemerintah itu sendiri. Pada sisi lain, masyarakat (society) adalah semua unsur atau kekuatan-kekuatan yang berada di luar pemerintah, seperti parpol, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan dan rakyat.

  • 27

    Kedua, negara dipahami dengan menggunakan kerangka Marxian dan mengartikan sebagai alat yang digunakan oleh kelas sosial yang berkuasa untuk menindas kelas yang disubordinasikan (dikuasai). Meskipun masyarakat tidak didefinisikan secara jelas di sini, namun dalam tradisi Marxis, masyarakat dipahami sebagai hubungan sosial dalam produksi (social relation of production). Di dalam setiap formasi sosial yang didasarkan pada cara-cara produksi (mode of production) dianggap selalu terjadi pertentangan kelas, yakni antara kelas yang menguasai alat-alat produksi (mean of production) yang dominan dan kelas yang tidak menguasai alat produksi yang tersubordinasikan dan terdominasi. Negara menjadi alat bagi kelas dominan untuk melakukan eksploitasi (penghisapan, pemerasan) kelas bawah. Ketiga, negara dipahami dalam pengertian yang luas – sebagaimana dalam teori Gramscian – tidak terbatas pada sekedar pemerintah, tetapi juga menyangkut kekuatan-kekuatan lain (pengusaha, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, bank) yang lewat “paksaan” dengan menggunakan aparat negara, seperti tentara/polisi, atau bisa juga dengan paksaan secara halus menggunakan idiologi negara seperti Pancasila, pembangunan, yang selalu menghegemoni rakyat. Dalam hal ini negara sebagai pihak penindas, sedang masyarakat adalah yang ditindas. (Umaruddin Masdar, dkk, “Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik”, Yogyakarta: Lkis, 1999. Tulisan di atas ia kutip dari MM. Billah dkk, Ornop Mencari Format Baru: Laporan Pertemuan Cisaruan Bogor, 18-19 Juni 1993). Hubungan Negara, Modal dan Rakyat Dalam analisa sosial yang biasa berkembang dalam melihat posisi aktor yang berpengaruh di kehidupan berbangsa, ada tiga aktor penting yaitu Negara, Modal dan Rakyat. Kenyataan dari ketiga hubungan aktor tersebut biasanya tidak berimbang, yang terjadi kemudian penumpukan kekuatan hanya pada negara dan modal. Sedangkan rakyat terkondisikan dengan keadaan “apa adanya”. Dalam hal pertemuan 3ekuatan tersebut, pengalaman di Indonesia menggambarkan bahwa negara dan modal berkompromi, dan ujungnya menghasilkan pengaturan-pengaturan baru yang menguntungkan kedua aktor tersebut. Hal tersebut terlihat dalam pemanfaatan pengelolaan hasil hutan, penguasaan lahan, penguasaan laut, pertambangan dsb. Sementara rakyat di sisi lain, selalu terpinggirkan dan hanya menjadi korban dari kolusi dan kompromi dua aktor (negara dan modal) tersebut. Dalam konteks aktor negara, bisa berupa militer, departemen-departemen, birokrat dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya. Sedangkan modal bisa berwujud: investor, perusahaan-perusahaan transnasional dan/atau multinasional, tuan tanah, bahkan tengkulak tingkat kampung. Namun begitu, di tingkat lapangan ternyata varian dari tiga aktor di atas memiliki entitas yang lebih banyak. Artinya, aktor negara bisa mewujud banyak dan ujudnya tidak bisa disamaratakan. Begitu pula dalam aktor modal, ia juga bukan sesuatu yang tunggal, dan varian itu mempunyai aturan-aturan sendiri-sendiri. Contoh dari itu adalah aktor negara, semua komponen dalam negara, pada berbagai tingkatan dan sektor, semua ingin menjadi penguasa. Begitu dalam varian modal, semua ingin mengeruk sebesar-besarnya keuntungan dari rakyat. Akibatnya, dalam konteks itu pertikaian dan persaingan antar kepentingan politik dan persaingan antar pemilik modal sering terjadi. Dan celakanya, arena yang digunakan untuk persaingan dan pertikaian itu adalah rakyat. Karena, rakyatlah yang memiliki kekuatanya nyata dalam soal dukung mendukung secara nyata kepada politikus tertentu. (dikutip dari Pengorganisasian Rakyat: Modul Pelatihan, Budi Yana Saefullah et.al, Jakarta: INCIS, 2003)

  • 28

    MENGGADUH SAPI MELALUI PAKET

    Pelibatan masyarakat dalam Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) memang melalui proses panjang, sehingga tidak semua orang siap, sabar dan “tahan” mengikuti atau melaksanakan serangkaian pertemuan/kegiatan. Apalagi, jika yang diharap dan ditanya selalu tentang “pembagian uang”. Namun, warga yang berhasil melalui tahapan siklus dengan tekun, akan menyadari betapa besar manfaat pembelajaran yang diperoleh, termasuk untuk kepentingan kelanjutan jangka panjang.

    Salah satu hasil bagi desa/kelurahan, yang proses kegiatan dan pengelolaannya baik, adalah terbukanya peluang untuk diintegrasikan dengan program sektoral pemerintah daerah (pemda), yang dalam P2KP dikenal dengan sebutan Penanggulangan Kemiskinan Terpadu (PAKET).

    Melalui PAKET ini, Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), yang menjadi wadah berkumpulnya pimpinan kolektif perancang program/kebijakan di tingkat desa/kelurahan memperoleh kepercayaan untuk menyalurkan bantuan dari dinas tertentu bagi warganya yang miskin, dengan memenuhi kriteria/persyaratan teknis lainnya. Program ini ditujukan ke desa/kelurahan yang kegiatan dan kinerja BKM-nya baik/maju dalam memanfatkan dan mengelola Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) P2KP selama siklus pertama.

    PAKET Sapi di Bumi Jaya

    Di Kabupaten Tanah Laut, salah satu PAKET yang sudah dilaksanakan adalah penyerahan sapi yang bersumber dari anggaran pemkab (APBD). Ternak tersebut disalurkan melalui BKM di tiga desa, yaitu Ambungan (9 ekor), Telaga (10 ekor) dan Bumi Jaya (10 ekor), dimana setiap KK memperoleh seekor sapi bibit/induk. Dana APBD yang dikeluarkan dalam kegiatan tersebut adalah sebesar Rp 343.750.000, ditambah BLM PAKET P2KP sebesar Rp 109.100.000 dan swadaya masyarakat sebesar Rp 25.437.500.

    Pengadaan dan penyerahan sapi searah dengan kebijakan pemkab, yang memang mengembangkan ternak besar ini sebagai komoditi unggulan. Menurut data akhir tahun 2006, ternak sapi di Tanah Laut mencapai jumlah 74.874 ekor, atau hampir 40% dari jumlah total sapi di Kalsel. Sementara itu, Kabupaten Tanah Bumbu yang berada pada urutan kedua, populasi sapi terdata 29.303 ekor.

    Dibandingkan dengan jumlah penduduk yang totalnya 251.809 jiwa, maka rasionya menunjukkan 1 ekor sapi : 3,36 orang penduduk. Tetapi, jika dibatasi untuk penduduk dewasa saja, rasionya adalah 1 ekor sapi : 2,2 orang penduduk. (Hasil pemetaan sosial yang dilakukan oleh fasilitator terhadap 18 desa menunjukkan, dari 50.682 jiwa penduduk terdapat 34.009 jiwa penduduk dewasa, atau 67%).

    Besarnya potensi dan prospek perkembangan sapi di kabupaten ini, selain karena kondisi fisik dan geografis yang layak secara teknis, juga karena didukung oleh kemampuan memelihara sapi di kalangan masyarakat yang sebagian besar adalah petani. Keluarga yang beternak sapi memang seperti memiliki tabungan dan dapat menambah penghasilan keluarga, sekaligus juga dapat memanfaatkan ternak tersebut sebagai tenaga kerja untuk mengolah lahan pertanian. Dari 529 KK

  • 29

    di Desa Bumi Jaya (salah satu lokasi P2KP di Tanah Laut) diperkirakan tidak kurang dari 30% penduduk yang aktif memelihara sapi minimal satu ekor.

    Tetapi, pengertian memelihara tidak berarti memiliki, karena status sapi tersebut biasanya hanya sebagai gaduhan dari milik orang lain (famili, teman, atau tetangga), atau ada juga dari pemerintah. Sistim gaduhan ini terutama dimanfaatkan oleh keluarga miskin yang berharap memperoleh pembagian hasil dari “jasa”nya memeliharakan sapi milik orang lain tadi. Contohnya, Keluarga Kardjono yang — menurut pengakuan isterinya — saat ini memelihara lima dari tujuh sapi yang dipelihara berstatus gaduhan, dengan sistem bagi hasil. Lima ekor sapi gaduhan itu terdiri dari dua ekor yang dimiliki anak Kardjono untuk dikembangbiakkan, dua ekor dari Perusda untuk penggemukkan, dan satu lagi dari PAKET P2KP untuk dikembangbiakkan.

    Sapi-sapi betina yang dipelihara penggaduh itu berumur sekitar tiga tahun. Ada yang sudah pernah beranak, tapi ada juga yang masih dara. Jika lahir seekor anak, maka pembagiannya adalah 60% untuk si pemelihara dan 40% untuk pemilik, yang dalam hal ini dipercayakan kepada Panitia Kemitraan (PAKEM), yakni panitia gabungan antara unsur BKM, dinas dan kelompok peduli.

    Jadi, seandainya anak sapi yang telah umur setahun, misalnya, bernilai Rp 2 juta, maka penggaduh memperoleh bagian sebesar Rp 1,2 juta. Hasil ini diperoleh minimal satu tahun kemudian, saat penyerahan sapi induknya sudah hampir melahirkan. Tetapi jika belum hamil, waktunya ditambah masa kehamilan dan masa pemeliharaan sebelum hamil. Anggap saja selama masa tunggu dua tahun, maka uang Rp 1,2 juta itu berasal dari seekor anak sapi umur satu tahun. Selama 23 bulan memang belum ada hasil uang sama sekali, walaupun jika ”diambil” rata-rata hasilnya 1/24 x Rp 1,2 juta = Rp 50.000. a

    Dalam hal ini, Pak Kardjono yang menggaduh tiga sapi bibit, seolah-olah akan memperoleh hasil Rp 150.000 perbulan. Untuk penggemukan (di P2KP tidak ada pola ini) selama tiga bulan, jika pertambahan berat badan atau kenaikan harga senilai uang Rp 750 ribu, maka penerimaan perbulan rata-rata Rp 250 ribu.

    Peluang bagi KK Miskin

    Berdasar hasil pendataan P2KP, warga miskin di Bumi Jaya mencapai 158 KK atau 29,87% dari total KK. Jika setiap KK memperoleh kesempatan menggaduh sapi seperti Kardjono (selain dari program pemkab mengembangbiakkan ternak sapi) dapat dipacu, maka akan semakin banyak penghasilan keluarga miskin yang meningkat. Ini merupakan suatu peluang sinergi yang terbuka lebar, dan masih banyak desa-desa tetangganya yang dapat dimasuki program serupa.

    Hasil rupiah dengan perhitungan kasar yang diuraikan di atas diperoleh hampir oleh setiap keluarga penggaduh. Meski ”orang luar” menganggap nilainya sangat kecil, memelihara sapi jadi semacam ”keharusan” atau kebutuhan, karena dapat digunakan untuk mengolah lahan, dan betul-betul berfungsi sebagai tabungan. Jika hasil pertanian pangan (sayur atau palawija) atau berdagang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, maka hasil penggaduhan sapi diperoleh untuk jangka waktu panjang, paling tidak dua tahun ke atas. Dari hasil itulah keluarga petani dapat memperbaiki rumah, memperluas lahan atau memenuhi biaya sekolah anak-anak mereka.

    Pun, seandainya ada keperluan mendesak (untuk gaduhan secara pribadi) penggaduh dapat menerima (atau meminjam) uang lebih dahulu, yang kemudian diperhitungkan jika sudah ada hasil yang siap dibagi. Yang sering terjadi adalah menunggu sampai memperoleh dua ekor anak, sehingga penggaduh akhirnya memiliki sendiri seekor sapi, meski nantinya ada perhitungan keuangan tersendiri. Apalagi jika anaknya betina, yang kelak dapat dijadikan induk, atau jika jantan kelak akan dijual.

  • 30

    Terobosan Pengembangan Pola

    Uraian di atas unik jika dikaitkan dengan P2KP, yang secara literal dilaksanakan di daerah perkotaan (urban). Tetapi, di beberapa kecamatan P2KP di Kalimantan Selatan, tidak semua lokasi merupakan ”kota”. Bisa saja bernama desa (bukan kelurahan), seperti Desa Bumi Jaya ini, namun dari segi tataguna lahan, infrastruktur dan kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya merupakan cermin sebuah desa (rural). Dengan kondisi seperti itu, maka kegiatan Tridaya, terutama ekonomi tidak dapat lepas dari usaha tani. Akibatnya, sebagian BLM maupun dana PAKET dibelanjakan untuk komoditi pertanian, yakni sapi, ayam, dan mungkin juga bibit tanaman, pupuk, dan sebagainya, selain usaha perdagangan atau jasa, yang tidak berbeda dengan ciri perkotaan.

    Kenyataan ini sebenarnya perlu dijadikan pertimbangan, yakni ketika dana PAKET dibelikan barang (ternak) dan pengembaliannya juga dalam bentuk ternak. Salah seorang anggota PAKEM bernama Baderi mengaku, belum tahu bagaimana pola peminjaman dan pengembalian (angsuran) untuk penggaduhan sapi. ”Karena masih baru. Kita lihat nanti saja,” ujarnya. Di Desa Bumi Jaya, juga Telaga dan Ambungan, penyerahan sapi baru dilaksanakan pada 15 Mei 2007 lalu, dan mungkin baru beberapa ekor sapi yang menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Selain itu, seperti kita kita ketahui penggunaan BLM untuk dana bergulir dalam usaha tani hasilnya baru diperoleh setelah panen (3 bulan, 6 bulan atau 1 tahun), sehingga pola angsuran bulanan perlu ditinjau untuk disesuaikan dengan kondisi riil di lapangan. Jadi, ada tantangan untuk mengembangkan pola spesifik dalam kegiatan ekonomi bagi warga miskin yang tergabung dalam Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Sebagai program yang inovatif, untuk melakukan terobosan, hal ini kiranya tidak terlalu masalah bagi para pelaku P2KP. Bukankah begitu? (Irfani Hazransyah, TA Sosialisasi KMW IV P2KP-2 Kalsel; Nina)

    (Diunduh dari www.p2kp.org)

  • 31

    Jumat, 31 Agustus 2007 13:47:19 Transparansi Melalui Selamat Pagi Bupati. Kategori: Daerah (55 kali dibaca) Jum’at, 31 Agustus 2007 Nasional

    Transparansi Melalui Selamat Pagi Bupati

    Sejak dilantik menjadi Bupati Kebumen, Jawa Tengah, Maret 2000, Rustriningsih, 40 tahun, selalu berusaha bekerja dengan transparan dan bebas dari korupsi-kolusi-nepotisme. Dan hal itu berlaku juga untuk aparat pemerintahnya hingga perangkat desa. Setelah memutar otak, ia menemukan, media adalah kuncinya. Melalui media, ia bisa menyapa semua lapisan masyarakatnya. Ia pun mulai merevitalisasi Radio Siaran Pemerintah Daerah (RSPD) Kebumen dengan modal Rp 675 juta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. "Saya meyakinkan DPRD, uang itu dapat kembali dalam waktu tiga tahun," ujarnya Rabu lalu. Agar lebih akrab di telinga masyarakat, nama radio pun diubah menjadi INFM. Melalui INFM, Rustriningsih menyapa dan berdialog interaktif dengan masyarakat setiap pukul 6 pagi. Selama setengah jam ia menerima keluh-kesah, komentar, dan kritik seputar kinerja aparat pemerintahannya. "Semua (anggota) masyarakat bisa menyalurkan aspirasi tanpa sensor," ujarnya. Materi dialognya? "Bebas," katanya. Sebagai contoh, isu mengenai ujian nasional, kesehatan, dan lainnya. Rupanya, acara ini sukses. Dengan acara itu, seakan tak ada jarak lagi antara bupati dan masyarakatnya. Sukses di radio tak membuat Rustiningsih puas. Pada 2003 ia membuka stasiun televisi lokal yang diberi nama Ratih TV. Sama seperti radionya, setiap pagi stasiun itu menyiarkan acara Selamat Pagi Bupati. Awalnya, kantor pusat stasiun televisi itu menumpang di INFM. Baru setahun kemudian, dengan modal Rp 400 juta, stasiun itu memiliki kantor sendiri. "Siarannya hanya pagi dan sore, pukul 06.00 sampai 07.30 dan 16.00 sampai 18.00. Acaranya hanya menyiarkan dialog interaktif dan berita lokal," katanya. Kedua media elektronik ini, kata dia, menjadi wadah bagi 1,2 juta penduduk. Di stasiun televisi itu juga disediakan press center. Ruang tersebut dikhususkan bagi para wartawan untuk mendapatkan informasi dan narasumber seputar Kabupaten Kebumen. "Daripada mencari sumber dari orang lain," ujarnya. Usahanya tak sia-sia. Sebagai penghargaan, Rustriningsih dianugerahi Tasrif Award dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia pada 24 Agustus lalu. Menurut Ketua Umum AJI Indonesia Heru Hendratmoko, Rustriningsih berhasil mengupayakan pemerintah lokal yang bersih dan membuka ruang transparan. "Ia memberi inspirasi kepada gubernur dan bupati lainnya," ujar Heru.

  • 32

    Penghargaan ini biasanya diberikan kepada individu/kelompok yang membantu dunia pers demi terpenuhinya hak publik atas informasi dan kebebasan berekspresi. Rustriningsih mengaku terkejut dengan adanya penghargaan itu. "Saya surprised karena, di saat publik cenderung tidak percaya kepada aparat pemerintah, AJI ternyata memberikan perhatian kepada pejabat publik," ujarnya. Rustriningsih layak jadi pemenang karena dia adalah orang yang memberikan inspirasi bagi semua pejabat pemerintah yang ada. Siapa mau meniru? SORTA TOBING Koran http://www.korantempo.com/korantempo/2007/08/31/Nasional/krn,20070831,1.id.html

  • DEPARTEMEN

    PEKERJAAN

    UMUMDirektorat Jenderal Cipta Karya

    Perkotaan