COVER DEPAN -...

301
COVER DEPAN

Transcript of COVER DEPAN -...

Page 1: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

COVER DEPAN

Page 2: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Page 3: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL

Inovasi Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Jilid 3

Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Komoditas Peternakan dan Lainnya

Hotel Santika Bengkulu, 08 November 2016

Kementerian Pertanian

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu

Kerjasama dengan

FAPERTA Universitas Bengkulu

FAPERTA Universitas Muhammadyah Bengkulu

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Statistik Daerah Provinsi Bengkulu

Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI)

Page 4: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL Inovasi Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Jilid 3 Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Komoditas Peternakan dan Lainnya Hotel Santika Bengkulu, 08 November 2016

Tim Penyunting :

Dedi Sugandi Umi Pudji Astuti Supanjani Eva Oktavidiati Shannora Yuliasari Ahmad Damiri Ruswendi Sri Suryani M Rambe

Redaksi Pelaksana :

Taufik Hidayat Taupik Rahman

Desain/Tata letak :

Agus Darmadi

ISBN 978-602-9064-38-4

Diterbitkan oleh:

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Balitbangtan Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu 38119 Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 E-mail:[email protected] Hak cipta ada pada penulis, tidak diperkenankan memproduksi sebagian atau keseluruhan isi

prosiding ini dalam bentuk apapun tanpa izin dari penulis.

Page 5: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

iii

KATA PENGANTAR

Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan pertanian kedepan akan semakin beragam

dan komplek, untuk itu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dituntut untuk mampu

melaksankan seluruh program kerjanya untuk mendukung empat suskes kementerian pertanian dengan

melakukan koordinasi, sinkronisasi dan sinergi dengan Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi,

BUMN/swasta dan petani pengguna. Untuk itu, melalui penyelengggaraan seminar inovasi ini

diharapkan menjadi momentum yang tepat untuk penyebarluasan hasil-hasil penelitian, pengkajian,

pengembangan dan penerapan (litkajibangrap) BPTP Bengkulu, maupun lembaga-lembaga penelitian

lainya yang ikut serta dalam kegiatan ini.

Seminar Nasional dengan tema “Inovasi Teknologi Pertanian Modern Mendukung

Pembangunan Pertanian Berkelanjutan”, yang telah diselenggarakan pada tanggal 8 November 2016

bertujuan untuk menyebarluaskan inovasi hasil penelitian, pengkajian dan diseminasi teknologi

pertanian spesifik lokasi kepada seluruh pemangku kebijakan bidang pertanian dan pengguna di

Provinsi Bengkulu, serta publikasi imiah dalam bentuk prosiding makalah yang disajikan pada saat

seminar. Seminar Nasional ini terselenggara atas kerjasama antara Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Bengkulu - Badan Penelitian dan Pengembangangan Pertanian, Universitas Bengkulu,

Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Badan Penelitian Pengembangan dan Statistik Daerah Provinsi

Bengkulu dan Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI).

Makalah yang telah dipresentasikan dan memenuhi syarat, diterbitkan dalam prosiding

seminar. Prosiding dibagi menjadi 3 (tiga) jilid buku yang memuat makalah dalam bidang (1)

Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Komoditas Tanaman Pangan, (2) Pengkajian Teknologi

Spesifik Lokasi Komoditas Perkebunan dan Hortikultura, (3) Pengkajian Teknologi Spesifik

Lokasi Komoditas Peternakan dan Lainnya. Apresiasi dan ucapan terimakasih kami sampaikan

kepada semua pihak yang telah berpartisipasi menyumbangkan pikiran, tenaga dan waktunya selama

penyelenggaraan seminar maupun dalam proses penyelesaian prosiding ini. Semoga buku prosiding ini

bermanfaat bagi pembaca dan pengambil kebijakan.

Bengkulu, 3 Februari 2017

Kepala BPTP Bengkulu,

Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP

Page 6: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

iv

LAPORAN KEPALA BPTP

EKSPOSE INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN SPESIFIK

DI PROVINSI BENGKULU

Assalammualikum warahmatulahi wabarokatuh....

Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua...

Yang Terhormat Bapak Kepala Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian RI

Yang Kami Hormati :

Komandan Korem 041 Garuda Emas

Kepala Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu

Kepala Badan Litbang Statistik Daerah Provinsi Bengkulu

Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP)

Dekan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Universitas Muhammadiyah

Bengkulu, Universitas Dehasen, Universitas Prof. Dr. Ir. Hazairin, Universitas Ratu

Samban.

Kepala Balai Pengkajian dan Teknologi Pertanian (BPTP) seluruh Indonesia

Kepala SKPD di lingkup Pemerintah Provinsi Bengkulu dan Kabupaten/Kota di

wilayah Bengkulu

Narasumber/Pemakalah Utama, Peneliti/Penyuluh/Dosen dan seluruh peserta ekspose

serta hadirin yang berbahagia.

Puji syukur marilah senantiasa kita panjatkan kehadhirat Allah SWT, karena atas limpahan

rahmat dan karunia-Nya kita masih diberi kesehatan dan kesempatan sehingga dapat hadir pada acara

Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi Bengkulu.

Bapak Kepala Balitbangtan yang kami mulyakan dan Bapak/Ibu hadirin yang kami hormati,

Pembangunan Pertanian Nasional tidak lepas dari pengaruh global menuju pertanian modern

(modern agriculture). Ketahanan pangan, bioenergi, pelestarian lingkungan, dan peningkatan

kesejahteraan petani adalah tujuan utama pembangunan pertanian yang perlu terus dilanjutkan.

Pertanian modern merupakan suatu cara optimalisasi usahatani untuk menghasilkan bahan pangan

yang bermutu, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, termasuk inovasi teknologi pertanian agar

berjalan lebih efektif dan efisien. Teknologi pertanian yang inovatif tidak hanya bertujuan untuk

peningkatan produksi, tetapi juga meningkatkan kualitas dengan melakukan pengolahan terhadap

produk pertanian.

Posisi Balitbangtan akan semakin strategis dalam pembangunan pertanian nasional dengan

adanya koordinasi dan dukungan intensif lintas sektoral. Hasil inovasi teknologi harus didiseminasikan

secara aktif, dimana harus melibatkan peneliti/penyuluh ataupun Perguruan Tinggi sebagai bagian dari

diseminasi aktif yang progresif. Untuk itu Badan Litbang Pertanian melalui BPTP Bengkulu

menyelenggarakan kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi Bengkulu,

bekerjasama dengan Universitas Bengkulu, Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Badan Penelitian,

Pengembangan dan Statistik Daerah Provinsi Bengkulu, dan Perhimpunan Agronomi Indonesia.

Melalui kegiatan ini diharapkan terbangunnya komunikasi dan umpan balik antara pakar, peneliti,

penyuluh, akademisi, petani, praktisi dan penentu kebijakan lainnya dalam mempercepat pencapaian

diseminasi inovasi teknologi pertanian di Provinsi Bengkulu.

Bapak Kepala Balitbangtan yang kami hormati,

Perlu kami laporkan bahwa kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi

Bengkulu, meliputi 3 (tiga) kegiatan, yaitu (1) Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian

Page 7: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

v

Modern Menuju Pembangunan Pertanian Berkelanjutan” yang dilaksanakan pada hari ini, tanggal 8

November 2016, (2) Pengukuhan Pengurus Komisariat Daerah Bengkulu Perhimpunan Agronomi

Indonesia (PERAGI) Masa Bhakti 2016 - 2019, yang dilaksanakan pada hari ini tanggal 8 November

2016, dan (3) Gelar Teknologi dan Temu Lapang Inovasi Teknologi Model Sistem Pertanian

Bioindustri, yang dilaksanakan pada tanggal 9 November 2016, di Kabupaten Seluma.

Kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian akan dibuka secara resmi oleh Bapak Kepala

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian RI, sekaligus sebagai keynote

speaker dengan materi “Inovasi Teknologi Pertanian Modern Menuju Pembangunan Pertanian

Berkelanjutan”.

Pada acara seminar nasional ini akan dipresentasikan 4 makalah utama dengan topik:

1. Arah dan Strategi Pembangunan Pertanian Masa Depan, dalam hal ini akan

disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Pantjar Simatupang (Pusat Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian RI)

2. Kesiapan Pemerintah Daerah dalam Mendukung Pembangunan Pertanian

Berkelanjutan Berbasis Teknologi Pertanian Modern di Provinsi Bengkulu (Kepala

Bappeda Provinsi Bengkulu)

3. Peran Perguruan Tinggi dalam Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

oleh Prof. Dr. Ir. Dwinardi Apriyanto, M.Sc (Guru Besar Universitas Bengkulu)

4. Peran Peragi dalam Mendukung Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan, yang

akan disampaikan oleh Prof. Dr. Alnopri, M.Sc (Ketua Komda PERAGI Bengkulu)

Perlu kami laporkan juga bahwa makalah penunjang yang akan diseminarkan berjumlah 162

makalah. Makalah berupa hasil penelitian/pengkajian, konsep pemikiran/gagasan dalam bentuk review

atau tinjauan, yang terdiri dari beberapa bidang bahasan yaitu bidang tanaman pangan, bidang sosial

ekonomi, diseminasi penyuluhan dan kebijakan, bidang hortikultura, bidang peternakan, perkebunan,

serta pascapanen dan pengolahan pangan. Seluruh makalah tersebut akan dipresentasikan baik secara

oral maupun poster. Seluruh makalah yang akan dipresentasikan pada seminar nasional ini telah

melalui dua kali proses evaluasi yang cukup ketat, yaitu evaluasi tahap abstrak dan evaluasi makalah

lengkap. Proses evaluasi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas makalah. Pada awalnya, abstrak

yang masuk berjumlah 278 abstrak. Setelah melalui proses evaluasi, sebanyak 225 abstrak dinyatakan

diterima dengan beberapa saran perbaikan. Pada tahap evaluasi makalah lengkap, sebanyak 162

makalah diterima untuk dipresentasikan dari 184 makalah yang masuk ke panitia. Kami mohon maaf

karena berdasarkan hasil evaluasi tim evaluator ada beberapa makalah yang tidak dapat kami

akomodir dalam seminar nasional ini.

Jumlah peserta yang mengikuti seminar pada saat ini adalah 220 orang, berasal dari berbagai

kalangan yang terdiri dari unsur birokrat, peneliti/penyuluh lingkup Kementerian Pertanian,

Kementerian Ristek, Dosen dan Mahasiswa Perguruan Tinggi, Pengambil Kebijakan, Pemerintah

Daerah, Perwakilan Petani dan Organisasi Profesi, yang berasal dari berbagai wilayah di seluruh

Indonesia antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Kepulauan Riau,

Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,

Jawa Timur, Yogyakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,

Gorontalo, Bali dan Nusa Tenggara Barat.

Untuk itu kepada para peserta dari luar daerah Bengkulu kami ucapkan Selamat Datang di Kota

Bengkulu.

Pada kesempatan ini juga akan dilaksanakan Pengukuhan Pengurus Komisariat Bengkulu

Perhimpunan Agronomi Indonesia Masa Bhakti 2016 – 2019 oleh Ketua Umum Perhimpunan

Agronomi Indonesia (PERAGI) Pusat Bapak Dr. Ir. Muhammad Syakir, MS. Pembentukan Komda

Bengkulu PERAGI diinisiasi oleh BPTP Bengkulu bekerjasama dengan Fakultas Pertanian Universitas

Bengkulu dan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu, dan telah ditetapkan

berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Pusat PERAGI No. 02/SK/PERAGI/KOMDA/IX/2016, pada

tanggal 6 September 2016. Pengurus Komda PERAGI Bengkulu Masa Bhakti 2016 – 2019 terdiri dari

34 orang ahli agronomi yang berasal dari berbagai instansi lingkup Provinsi Bengkulu, antara lain

Perguruan Tinggi, Dinas Pertanian Provinsi Bengkulu, dan BPTP Bengkulu. Kepengurusan Komda

Page 8: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

vi

Bengkulu BERAGI meliputi 4 (empat) bidang, yaitu Bidang Penelitian dan Pengembangan,

Pengabdian dan Kerjasama, Komunikasi dan Publikasi, serta Bidang Kajian Kebijakan dan Sertifikasi.

Pada kegiatan Gelar Teknologi dan Temu Lapang Inovasi Teknologi Model Sistem Pertanian

Bioindustri, yang akan dilaksanakan esok hari pada tanggal 9 November 2016, di Kabupaten Seluma,

jumlah peserta yang akan hadir adalah 250 orang, berasal dari Jajaran Pemerintah Daerah Kabupaten

Seluma, Kepala SKPD di lingkup Pemerintah Provinsi Bengkulu dan Kabupaten/Kota di wilayah

Bengkulu, Penyelia Mitra Tani, Ketua Gabungan Kelompok Tani, dan perwakilan manajemen Hotel

dan Restoran di Kota Bengkulu.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut

andil mendukung terselenggaranya kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi

Bengkulu ini, antara lain kepada: Badan Litbang Pertanian, BBP2TP, segenap panitia seminar dari

BPTP Bengkulu, mitra kerjasama Universitas Bengkulu, Universitas Muhammadiyah Bengkulu, BPP

Stada Provinsi Bengkulu, dan PERAGI. Demikian juga kami sampaikan terima kasih kepada Santika

Hotel, dan semua pihak yang telah membantu demi suksesnya Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian

ini.

Bapak Kepala Balitbangtan yang kami hormati,

Pada saatnya nanti mohon kiranya Bapak berkenan memberikan sambutan dan arahan,

sekaligus membuka acara Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian ini secara resmi.

Akhir kata, kepada para peserta saya ucapkan selamat mengikuti seluruh rangkaian kegiatan

dengan harapan semoga kegiatan ekspose ini mampu menghasilkan rekomendasi yang bermanfaat dan

ada tindak lanjut yang konkret dari seluruh stakeholder sebagai upaya kita untuk mewujudkan

pembangunan pertanian berkelanjutan melalui penerapan inovasi teknologi pertanian modern. Kami

mohon maaf, jika dalam penyelenggaraan acara ini masih ada hal-hal yang kurang berkenan bagi

Bapak/Ibu.

Demikian laporan yang kami sampaikan, lebih dan kurang kami mohon maaf.

Bilahi taufik wal hidayah wassalammualaikum warohmatulahi wabarakatuh.

Bengkulu, 8 November 2016

Kepala BPTP Bengkulu,

Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP

Page 9: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

vii

SAMBUTAN

KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

pada

PEMBUKAAN SEMINAR NASIONAL

INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN MODERN MENDUKUNG PEMBANGUNAN

PERTANIAN BERKELANJUTAN

Bengkulu, 8 November 2016

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh,

Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua

Yang saya hormati,

Komandan Korem 041 Garuda Emas atau yang mewakili

Kepala Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu

Kepala Badan Litbang Statistik Daerah Provinsi Bengkulu

Dekan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Universitas Muhammadiyah

Bengkulu, Universitas Dehasen, Universitas Prof. Dr. Ir. Hazairin, dan Universitas

Ratu Samban

Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian dan pejabat struktural dan fungsional

lingkup Balitbangtan

Kepala SKPD di lingkup Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/kota se-Provinsi

Bengkulu

Ketua dan Anggota Komda Peragi Provinsi Bengkulu

Narasumber, Peneliti, Dosen, Penyuluh dan Perekayasa, peserta seminar serta hadirin

yang berbahagia.

Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu WaTa’ala,

yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga pada hari ini kita dapat

bertemu dan bersilaturrahmi dalam keadaan sehat wal’afiat, pada acara Ekspose dan Seminar dengan

tema ”Inovasi Teknologi Pertanian Modern untuk Mendukung Pembangunan Pertanian yang

Berkelanjutan”.

Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, Universitas Bengkulu, Pemprov Bengkulu, khususnya

Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu, Badan Litbang Statistik Daerah

Provinsi Bengkulu, Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) atas inisiatif kolaborasi dan

prakarsanya dalam menyelenggarakan acara ini.

Page 10: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

viii

Bapak/Ibu dan hadirin yang saya hormati,

Ekspose dan seminar yang kita laksanakan merupakan salah satu upaya diseminasi hasil

penelitian dan pengembangan yang dihasilkan oleh para peneliti, dosen dan mahasiswa dari

Balitbangtan dan Perguruan Tinggi kepada pembuat kebijakan, pelaksana dan pengguna teknologi di

bidang pertanian. Pada forum ekspose dan seminar ini diharapkan terjadi pertukaran pengetahuan,

pengalaman, dan informasi antara para peneliti maupun dengan praktisi dan pengambil kebijakan.

Kehadiran berbagai pihak yaitu para pakar, pengambil kebijakan dan praktisi, diharapkan

dapat mendorong pengembangan teknologi pertanian spesifik lokasi yang modern dan inovatif

berkelanjutan berbasis sumberdaya lokal khususnya untuk wilayah Provinsi Bengkulu dan sekitarnya.

Bapak/Ibu dan Hadirin sekalian yang saya hormati,

Pardigma baru ”Penelitian untuk Pembangunan” (Research for Development) mempunyai

makna bahwa Balitbang berkomitmen kuat dan memberikan perhatian yang besar terhadap

pendayagunan hasil penelitian dan mempercepat proses penerapannya di lapangan. Hal ini berarti

inovasi hasil penelitian dan pengkajian pertanian yang telah banyak dihasilkan, perlu dikemas

sedemikian rupa sehingga dapat secepatnya sampai kepada khalayak pengguna. Seminar ini

merupakan salah satu media untuk mendiseminasikan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh

Balitbangtan dan penelitian lainnya. Selain menyebarkan hasil-hasil penelitian, melalui forum ini juga

diharapkan adaanyaa umpan balik dari para pengguna teknologi untuk perbaikan program penelitian di

masa depan.

Selain melalui seminar, untuk lebih mempercepat proses diseminasi teknologi ini juga

dilakukan melalui berbagai media dan metode lainnya. Salah satunya adalah melalui gelar lapang

agroinovasi yang merupakan wahana untuk implementasi teknologi hasil penelitian dan pengkajian

pertanian yang dilaksanakan di lahan petani dalam skala yang luas. Kegiatan ini diharapkan dapat

dijadikan sebagai salah satu media yang dapat mempertemukan langsung antara sumber teknologi

dengan penyuluh sebagai pengguna antara dan petani sebagai pengguna akhir. Balitbangtan juga terus

melakukan pembaharuan inovasi yang telah diluncurkan dan dipublikasikan melalui berbagai media

termasuk menyediakan informasi dalam bentuk yang mudah dipahami calon pengguna atau petani.

Bapak/Ibu, serta hadirin yang saya hormati,

Pada kesempatan yang baik ini, sebagai Kepala Badan yang sekaligus juga sebagai Ketua

Umum Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) periode 2016-2021, menyampaikan apresiasi

yang sebesar-besarnya dengan terbentuknya Komda Peragi wilayah Bengkulu. Oleh karena itu, kami

tetapkan tahun ini sebagai tonggak kebangkitan kembali Komda PERAGI yang diawali dengan

pelantikan KOMDA PERAGI wilayah Kalsel pada Agustus lalu, wilayah Maluku pada 12 Oktober,

Lampung pada 19 Oktober 2016, dan kali ini Bengkulu pada 8 November 2016. Kami berharap

kebangkitan Komda di Kalsel, Maluku, Lampung, dan Bengkulu mampu mendorong kebangkitan

Komda PERAGI di wilayah lain di Indonesia. Amin.

PERAGI dibentuk dengan maksud menghimpun masyarakat profesi Agronomi di Indonesia.

Agronomi adalah ilmu yang mempelajari segala aspek biofisik yang berkaitan dengan usaha

penyempurnaan budidaya tanaman. Sedangkan tujuannya adalah: a) Membina dan mengembangkan

ilmu dan profesi Agronomi di Indonesia; b) Menciptakan sarana dan wahana untuk lebih

meningkatakan dan pengamalan ilmu para anggota bagi pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia,

dan c) Lebih mempererat hubungan dan kerjasama antara anggota masyarakat Agronomi di Indonesia.

Ekspose inovasi spesifik lokasi ini merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan

mulia PERAGI yaitu dengan mempererat kerjasama antara anggota dan antara organisasi dengan

Page 11: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

ix

lembaga dan organisasi lain yang mempunyai sifat dan tujuan yang sama, milik pemerintah ataupun

swasta serta menyelenggarakan pertemuan ilmiah di tingkat daerah, nasional, regional maupun

internasional.

Bapak/Ibu dan hadirin yang saya hormati,

Demikian yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, mudah-mudahan berguna bagi

upaya kita dalam mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan melalui teknologi modern dan

inovatif dalam rangka mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan. Semoga Allah Subhanahu

Wa Ta’alla senantiasa memberikan bimbingan dan petunjukNYA kepada kita semua, sehingga apa

yang kita rencanakan dapat terselenggara dengan baik, Amin Ya Robbal ‘Alamin.

Wa Billahi taufiq wal hidayah

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi

Wabarakatuh

Kepala Badan

Dr. Ir. H. Muhammad Syakir, MS

Page 12: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

x

Page 13: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

xi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ iii

LAPORAN PANITIA PENYELENGGARA ....................................................................................... iv

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN ............... vii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................................... xi

KEYNOTE SPEECH

Inovasi Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Kepala Badan Litbang Pertanian ............................................................................................................ 1

MAKALAH UTAMA ................................................................................................................. ......... 5

Arah dan Strategi Pembangunan Pertanian Masa Depan

Prof. Dr. Ir. Pantjar Simatupang (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP)

Kementerian Pertanian) ......................................................................................................................... 7

MAKALAH PENUNJANG ....................................................................................................... ......... 33

Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Peternakan dan Lainnya 1. Analisis Keberlanjutan Sistem Integrasi Tanaman Padi dengan Ternak Sapi pada Lahan

Sawah

(Dedi Sugandi) ................................................................................................................................. 35

2. Teknologi Pendeteksi Tingkat Kekeringan Tanah secara Langsung di Lapangan

(Bandi Hermawan, Sukisno, Indra Agustian dan Hery Suhartoyo) ................................................ 42

3. Peningkatan Produktivitas Kambing Lokal Melalui Kawin Silang dengan Kambing

Unggul di Desa Tembeling Kabupaten Bintan Kepulauan Riau

(Yayu Zurriyati dan Dahono) .......................................................................................................... 48

4. Efek Penggunaan Limbah Sayuran Fermentasi terhadap Kecernaan Bahan Kering

(KCBK) dan Kecernaan NDF Secara In-Vitro serta Pengaruhnya terhadap Konsumsi

dan Pertambahan Berat Badan (PBB) pada Kambing Peranakan Etawa (PE)

(Neli Definiati, Nurhaita, Suliasih, dan Afrianto)........................................................................... 53

5. Peranan Metode Demplot terhadap Peningkatan Produksi, Pendapatan dan Perilaku

Petani Padi Sawah di Kota Bengkulu

(Umi Pudji Astuti dan Sundari) ....................................................................................................... 62

6. Kemampuan Limbah Tanaman Pangan Sebagai Sumber Pakan Mendukung

Pengembangan Ternak Sapi Potong di Sumatera Barat

(Rahmi Wahyuni dan M. Ichwan) .................................................................................................... 70

7. Produksi dan Analisa Ekonomi Sapi Simental dengan Pemberian Pakan Kulit Buah

Coklat

(Ratna AD, Rahmi W dan Yanovi Hendri) ...................................................................................... 80

8. Percepatan Pertumbuhan Sapi Potong Berbasis Pakan Lokal di Sumatera Barat

(Rahmi Wahyuni, Ratna AD dan Y. Hendri) .................................................................................... 86

9. Pemanfaatan Bahan Lokal dalam Meningkatkan Kualitas Telur Ayam Buras

(Nyoman Suyasa dan Iap Parwati) .................................................................................................. 91

10. Pengaruh Pemberian Probiotik pada Karkas dan Potongan Bagian Karkas pada Ayam

Buras

(Ida Ayu Parwati dan N. Suyasa) .................................................................................................... 98

11. Pemanfaatan Pakan Lokal Lengkap (Complette Feed) untuk Meningkatkan Produktivitas

Pedet Kembar Prasapih Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

(Erni Gustiani,Yayan Rismayanti dan Liferdi) ................................................................................ 104

12. Analisis Pendapatan Melalui Pendampingan Kawasan Rumah Pangan Lestari di

Kabupaten Sleman

(Murwati dan Sutardi) .................................................................................................................... 111

Page 14: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

xii

13. Tingkat Partisipasi Anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) dalam Program Model

Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) di Desa Campang, Kecamatan Gisting,

Kabupaten Tanggamus

(Nasriati, dan Siswani Dwi Daliani) ............................................................................................... 118

14. Produktivitas Ternak Kambing yang Diberi Pakan Tepung Limbah Kopi Terfermentasi

(Anak Agung Ngurah Badung Sarmuda Dinata, Suprio Guntoro dan Jhon Firison) ..................... 125

15. Pemanfaatan Silase Kulit Kakao untuk Pakan Ternak Mendukung Pengembangan

Ternak Kambing di Propinsi Lampung

(Elma Basri dan Suryani) ................................................................................................................ 131

16. Efektifitas Trichoderma SP dan Beberapa Mikro Organisme Lokal (MOL) Sebagai

Dekomposer Alami pada Kompos Jerami

(Widia Siska, Sumilah1 dan M. Pramayufdy) ................................................................................... 137

17. Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Petani dalam Memanfaatkan Limbah Ternak dan

Perkebunan di Kabupaten Rejang Lebong

(Linda Harta dan Umi Pudji Astuti) ................................................................................................ 145

18. Efisiensi Protein, Energi, dan Pakan pada Pertumbuhan Ayam Leher Gundul dan Ayam

Normal

(Harwi Kusnadi, J. H. P. Sidadolog, dan Zuprizal) ......................................................................... 153

19. Peran Penyuluhan terhadap Respon dan Tingkat Pengetahuan Petani Ternak di

Kabupaten Tulang Bawang

(Suryani dan Gohan Octora Manurung) ......................................................................................... 161

20. Profil dan Analisis Usaha Ternak Kerbau di Kabupaten Padang Lawas, Provinsi

Sumatera Utara

(Sri Haryani Sitindaon, Khairiah, dan Jhon Firison) ...................................................................... 166

21. Peluang Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berbasis Limbah Kelapa Sawit di

Kabupaten Seluma

(Zul Efendi dan Dedi Sugandi) ....................................................................................................... 173

22. Efektivitas M-Deck terhadap Kematangan Kompos Kotoran Ayam

(Hasrianti Silondae, dan Tri Wahyuni) ........................................................................................... 181

23. Performans Ayam Arab yang Diberikan Pakan Solid Fermentasi pada Fase Pertumbuhan

(Wahyuni Amelia Wulandari dan Erpan Ramon) ............................................................................ 187

24. Inventarisasi Metana dari Fermentasi Enterik Ternak di Kalimantan Selatan

(Anggri Hervani, Miranti Ariani, Ika Ferry Y, Sri Wahyuni, dan Prihasto Setyanto) .................... 194

25. Pengkajian Keragaan Produktivitas Inseminasi Buatan (IB) Sapi Potong di Kabupaten

Bantul

(Wiendarti I W, Sugiyanti, Anthony M, dan Sri Budhi) ................................................................... 200

26. Pemanfaatan Media Informasi oleh Petani di Pedesaan Menuju Petani yang Modern dan

Berwawasan Bisnis

(Nia Rachmawati dan Hamdan) ..................................................................................................... 208

27. Analisis Persepsi Anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) terhadap Teknologi

Pemanfaatan Lahan Pekarangan Ramah Lingkungan di Kota Sawahlunto

(Sumilah dan M. Ichwan) ................................................................................................................ 218

28. Peningkatan Produktivitas Sapi Bali dengan Pemberian Pakan Tambahan Konsentrat dan

Probiotik Bioplus pada Lahan Sub Optimal di Provinsi Kepulauan Riau

(Salfina N Ahmad, Apriyani NS, Melli Fitriani dan Zulfawilman) .................................................. 227

29. Karakteristik Sifat Kualitatif Sapi Kaur Betina di Provinsi Bengkulu

(Erpan Ramon, Zul Efendi dan Wahyuni Amelia Wulandari) ......................................................... 233

30. Pemberdayaan Kelompok Peternak melalui Usaha Pembuatan Pupuk Organik di

Kabupaten Sleman

(Sri Budhi Lestari, Ari Widyastuti dan Endang Wisnu Wiranti) ..................................................... 241

31. Pengaruh Fermentasi Pakan Berbasis Hijauan dan Jerami terhadap Pertambahan Bobot

Badan Sapi dan Efisiensi Ekonomi

(Aulia Evi Susanti dan Agung Prabowo) ......................................................................................... 247

32. Analisis Potensi Lahan Pertanian dengan Menggunakan Teknologi Inderaja dan Sig di

Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat

Page 15: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

xiii

(Fitria Zulhaedar dan Yulie Oktavia) .............................................................................................. 252

33. Respon Peternak dan Penyuluh terhadap Teknologi Pembuatan Pakan Ternak Berbasis

Limbah Tanaman Jagung di Kecamatan Kedurang Ilir

(Siswani Dwi Daliani, Linda Harta dan Engkos Kosmana) ............................................................ 260

34. Performan Pertumbuhan Kambing Peranakan Etawa (PE) melalui Teknologi Inseminasi

Buatan (IB) dengan Kambing Boer di Kabupaten Konawe Selatan

(Wa Ode Aljumiati, Miftah Hidayat dan Jhon Firison) ................................................................... 266

Penutup

Daftar Pertanyaan

Rumusan Hasil Seminar Nasional

Daftar Hadir

Page 16: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

xiv

Page 17: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

1

Keynote speech

Kepala Badan Litbang Pertanian

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEPALA BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada

SEMINAR NASIONAL BPTP BENGKULU 2016

“Inovasi Teknologi Pertanian Modern

Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan”

PENDAHULUAN

Perkembangan lingkungan strategis untuk mewujudkan kedaulatan pangan adalah

membangun pertanian modern ramah lingkungan. Pertanian modern merupakan suatu cara

optimasilsasi usahatani untuk menghasilkan bahan pangan yang bermutu, baik dari segi kualitas

maupun kuantitas, termasuk usaha teknologi pertanian agar berjalan lebih efektif dan efisien.

Teknologi pertanian yang modern dan inovatif tidak hanya bertujuan untuk peningkatan produksi,

tetapi juga meningkatkan kualitas dengan melakukan pengolahan terhadap produk pertanian.

Ilmu pengetahuan dan teknologi modern merupakan salah satu unsur penting dalam

mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan. Peran teknologi selain untuk meningkatkan

produktivitas, juga untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan mutu produk yang pada gilirannya

akan meningkatkan daya saing produk pertanian khususnya di pasar global.

Sebagai salah satu lembaga penghasil teknologi pertanian modern, Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah menunjukkan peranannya yang nyata dengan

menghasilkan berbagai teknologi yang telah dimanfaatkan dalam pembangunan pertanian, baik berupa

varietas dan benih unggul, pupuk, biopestisida, teknologi pengolahan serta alat dan mesin pertanian.

Potensi Balitbangtan sangat besar karena didukung oleh sumberdaya yang memadai. Balitbangan juga

memiliki kemampuan yang memandai dalam kegiatan diseminasi inovasi, baik secara mandiri maupun

bekerjama dengan pihak lain.

Program Strategis Penelitian dan Pengembangan Pertanian Modern mendukung Pembangunan

Pertanian Berkelanjutan yang dlaksanakan oleh Balitbangtan difokuskan untuk komoditas padi,

jagung, kedelai, tebu, sapi, bawang merah dan cabai di samping komoditas unggulan lain yang

menjadi priotas program strategis daerah. Sedangkan litbang tematik strategis yang dikembangkan

oleh Balitbangtan sebagai berikut:

1. Litbang produksi benih melalui somatik embryogenesis (SE)

2. Litbang nano teknologi untuk produksi pangan dalam bentuk nano selulosa, nanonutrien,

maupun nanofortifikan.

3. Litbang transgenik yang dikembangkan untuk pengembangan komoditas dengan karakteristik

khusus.

4. Litbang bahan bakar nabati, yang memfokuskan pada penyediaan varietas unggul, teknologi

budidaya, pengolahan dan pengelolaan sumber BBN.

5. Pengembangan model pertanian bioindustri berbasis sumber daya lokal dan agroekologi di 33

provinsi.

Pertanian ke depan harus menjadi leading sector dalam memenuhi tuntutan kebutuhan pangan

dan energi. Transformasi energi berbasis fosil perlu dilakukan ke arah bioenergi. Badan Litbang dalam

perspective ke depan harus berada di garda terdepan untuk menjawab tantangan/masalah di masa akan

datang melalui risetnya.

Indonesia sebagai negara equator penghasil pangan dan energi harus waspada terhadap remote

penduduk di luar equator (sebagai salah satu strategi jangka panjang dalam memperebutkan negara

equator penghasil pangan dan energi). Paradigma Balitbangtan dalan pengembangan pertanian sudah

mulai bergeser pada lahan suboptimal di samping optimasi sumber daya genetik pangan. Potensi

sumber daya genetik tanaman perludilakukan revolusi melalui peran teknologi bidang agronomi untuk

menghasilkan pa ngan dan energi yang berkelanjutan. Kita harus dapat memanfaatkan bonus

Page 18: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

2

demografi untuk pengembangan sektor pertanian. Kurikulum dalam pendidikan bidang pertanian perlu

dilakukan sesuai dengab perkembangan lingkungan strategis. Pertumbuhan pangan nasional harus

kuadratik, tidak boleh linier agar dapat mengimbangi cepatnya pertumbuhan penduduk. Pertanian

modern dalam perspektif bioekonomi tidak mengenal limbah, namun biomassa yang dapat diolah

menjadi produk yang memiliki nilai tambah yang bernilai ekonomi. Implementasi teknologi pertanian

inovatif modern perlu segera dilakukan dalam skala masif (minimal 10 ha). Hilirisasi teknologi

pertanian modern perlu dilakukan dari hulu sampai pada akses pasar dengan berbasis Teknologi

Informasi.

Tantangan sektor pertanian, pada tahun 2050 pendudk dunia mencapai 9,6 Trilyun. Pada tahun

2015 penduduk dunia mencapai 7,3 T (60% Di Asia), indonesia: No 4 setelah tiongkok, india dan

USA). Untuk itu, pada tahun 2050 produksi pangan harus meningkat minimal 70%. Beberapa hal yang

menjadi tantangan, yaitu lahan subur (arable land) terbatas, peningkatan kebutuhan terhadap air bersih

(aktivitas pertanian menghabiskan 70% suplai air dunia), perubahan iklim, terbatasnya pasokan energi,

dan pengelolaan SDM dan pemerataan kesejahteraan.

Kebijakan Pembangunan Pertanian

Kebijakan Kementerian Pertanian, meliputi (1) Peningkatan produksi dan provitas; fokus tujuh

komoditas, regulasi/deregulasi, membangun infrastruktur, mekanisasi, penguatan on-farm, kredit,

asuransi, dan penanganan pascapanen, (2) Hilirisasi produk pertanian; mendorong investasi industri

gula, jagung dan sapi, hilirisasi produk kelapa sawit, kakao, kopi, KUR untuk kopi, kakao, kopi,

pengolahan hasil padi, jagung dan pangan lainnya, integrasi sawit-sapi, pangan-ternak, (3) Tata niaga

domestik; fokus pada 11 Komoditas pangan strategis, regulasi/deregulasi,HPP , memperpendek rantai

tata niaga dan stabilisasi harga, sinergitas dengan Kemendag dan Bulog, tokoh Tani Indonesia (TTI),

dan (4) Kendalikan impor dan dorong ekspor; Fokus pada 11 Komoditas komersial/ekspor,

regulasi/deregulasi pengendalian impor, regulasi/deregulasi mendorong ekspor, peningkatan mutu dan

daya saing produk, dan sinergitas Kemendag dan Kemenperin.

Indikator Kesejahteraan Petani 2014-2015 adalah NTP dan NTUP tahun 2015 meningkat,

kecuali subsektor perkebunan rakyat menurun karena komoditas orientasi ekspor (sawit, karet, kopi,

kakao, dll) akibat harga dan krisis global. NTP : Nilai Tukar Petani, indeks yang diterima petani dibagi

indeks yang dibayarkan untuk seluruh pengeluaran rumah tangga petani. NTUP: Nilai Tukar Usaha

Pertanian, indeks diterima petani dibagi indeks yang dibayarkan untuk usaha pertanian.

Pertanian Modern dalam Perspektif Bioekonomi, meliputi Prospective Bio-economi; Securing

global nutrition, Ensuring sustainable agricultural production, Producing healthy and safe foods,

International cooperation, Technology transfer, Developing biomas-based energy carriers, Using

renewable resource for industry. Dengan landasan strategisnya adalah pertanian modern dam

implementasi bioekonomi yang meliputi Bioscience, Bioengineering, Automatization, Social

engineering, Bioinformatics. Strategi pertanian modern yang inovatif dan berdaya saing di Era MEA,

antara lain :

Produksi pangan berkelanjutan; Lahan dan air, Rekayasa teknologi produksi, Peningkatan nilai

tambah dan daya saing, Global value change and market intelligence, dan Rekayasa sosial

Energi terbarukan; Bioenergi berbasis tanaman pertanian, dan Pengembangan energ terbarukan

berbasis biomassa

Strategi Penelitian dan Pengembangan untuk Implementasi Pertanian Modern yang Inovatif;

yaitu (1) Nilai tambah dan daya saing produk, (2) Rekayasa teknologi produksi, (3) Bio-prospecting,

(4) Keanekaragaman hayati, (5) Lahan dan air, (6) Rekayasa sosial, (7) Global value chain, (8)

Bioenergi, (9) Market intelligence

Lahan dan Air

Identifikasi, pencegahan dan mitigasi ancaman terhadap kualitas sumberdaya lahan dan

biodiversitas dengan pengembangan alert system, serta peningkatan kualitas lahan produktif

dengan memanfaatkan nanoteknologi dan bioteknologi

Pengembangan sistem informasi land use dan land cover (peta, citra, database, decision support,

atau alert system)

Page 19: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

3

Studi dampak lingkungan terhadap perubahan land use dan land cover.

Networking database monitoring untuk pengembangan regulasi terkait pengelolaan sumberdaya

lahan dan lingkungan.

Rekayasa Teknologi Produksi

Eksplorasi, konservasi dan karakterisasi plasma nutfah tanaman dan hewan.

Perakitan kultivar dan ras unggul berpotensi hasil tinggi.

Pengembangan produk transgenik yang aman dan berpotensi tinggi.

Advanced technology, seperti somatic embryogenesiss (perbanyakan benih), nanocoating

(viabilitas benih), nanofluidics (proses fertilisasi), produksi benih secara in vitro, media tanam &

packaging

Advanced urban farming system; pengembangan controled environmental agriculture (CEA), dan

fully computerized multi-storey plant factory (biosensing, dan nano solar cells)

Peningkatan Nilai tambah dan Daya Saing Produk

Penanganan pascapanen dengan rendeman yang tinggi serta mutu yang seragam: sensing

technology (sortasi & grading), nano-bio-preservative (kesegaran produk pert)

Pengembangan pangan sehat: fortifikasi, modifikasi struktur pangan & nano-delivery system dan

penemuan sumber pangan baru (biota laut)

Pengembangan produk non pangan dengan produk-produk turunan yang bernilai tinggi (teknologi

bioproses, separasi, & isolasi yang efisien).

Pengembangan material maju berbasis komposit biomassa (serat selulosa)

Teknologi Pertanian Modern yang Diimplementasikan dalam Pembangunan Pertanian Terkini

Penelitian dan Pengembangan untuk swasembada beras telah dilakukan pada (1)

pengembangan Varietas Unggul Baru (VUB), yaitu Padi amphibi: 9t/ha dan tahan bias, Padi rawa:

8t/ha toleran Fe dan tahan blas, Hibrida:>12-13 t/ha dan tahan HDB/blas, Inbrida:10-11 t/ha dan tahan

WBC dan HDB, Padi fungsional ;6-7 t/ha, Fe tinggi (>20 ppm), (2) Pendampingan UPSUS di 31

provinsi, (3) Penyediaan benih sumber (BS, FS, SS):1.194 ton, (4) Teknologi PTT lahan sub optimal,

pascapanen dan Alsin 99 teknologi), (5) Sistem informasi Katam dan Standing crop, dan (6)

Revitalisasi PPK meningkatkan renemen beras 4% (13 provinsi). Penelitian dan Pengembangan untuk

swasembada Jagung 2017 dilakukan dengan (1) pengembangan Varietas unggul baru (VUB) yaitu 3

varietas hibrida genjah umur <100 hari dan potensi hasil 12 t.ha, satu varietas inhibrida toleran

kekeringan, dan satu VUB komposit asam amino tinggi; anti oksidan tinggi, (2) Pendampingan

UPSUS di 8 provinsi, (3) Penyediaan benih sumber (95 ton), (4) Teknologi budidaya, pascapanen dan

alsin, (5) Peta kesesuaian lahan (120 kabupaten), dan (6) Model penanganan pascapanen jagung (4

provinsi).

Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi bawang merah, antara lain (1)

Varietas unggul baru (VUB) off season, Adaptif musim hujan, dan Provitas >24 t/ha, (2) Diseminasi

dan pengawalan UPSUS bawang merah (6 propinsi), (3) Penyediaan benih sumber (BS: 36 ton), (4)

Teknologi perbenihan, budidaya, dan pascapanen, dan (5) Peta kesesuaian lahan.

Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi kedelai, yaitu (1) pengembangan

Varietas unggul baru (VUB) adaptif lahan pasang surut dengan provitas 2,5 t/ha, dan adaptif lahan

kering dengan tahan pecah polong dan provitas 3 t/ha, (2) Pendampingan UPSUS di 12 provinsi, (3)

Penyediaan benih sumber (662 ton), (4) Teknologi budidaya pascapanen dan alsin, dan (5) Model

penanganan pascapanen kedelai

Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi cabai, yaitu (1) pengembangan

Varietas unggul baru (VUB) off season, adaptif musim hujan, dan provitas > 18 t/ha, (2) diseminasi

dan pengawalan UPSUS cabai di 4 provinsi, (3) penyediaan benih sumber (36 kg), (4) peta kesesuaian

lahan, dan (5) teknologi budidaya pascapanen dan alsin.

Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi daging, antara lain (1)

pengembangan galur unggul sapi dengan Bobot lahir 25-27 kg: bobot sapi 125-142 kg dan jarak

beranak < 14 bulan: konsumsi pakan lebih efisien, (2) Variasi tanaman pakan ternak, tahan lahan salin,

Page 20: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

4

lahan masam dan tahan naungan, (3) Model pengembangan integrasi sapi-sawit dan bioindustri

berbasisi ternak (2 model), (4) Penyediaan pejantan unggul sap PO (20 ekor), (5) Pendampingan

UPSUS 26 provinsi, (6) Teknologi pemuliaan, pakan, reproduksi, veteriner, dan pascapanen (14

teknologi), dan (7) Rekomendasi kebijakan peternakan dan veteriner (4 rekomendasi).

Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi Gula melalui (1) pengembangan

Varietas unggul baru (VUB) dengan provitas >120 t/ha dan rendemen 14%, (2) Pendampingan

UPSUS, kawasan pengembangan tebu, (3) Penyediaan benih unggul (3 juta budset tebu), (4) Sistem

informasi tebu terpadu: peta kesesuaian lahan 1:50.000, dan (5) Teknologi budidaya pascapanen dan

alsin.

Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi bahan bakar nabati, yaitu (1)

pwngembangan Varietas unggul (kemiri sunan, jarak pagar) dengan kadar minyak dan provitas tinggi,

(2) Tanaman BBN potensial: kelapa sawit, tebu, kelapa, shorgum manis, jarak pagar, kemiri sunan, ubi

kayu, sagu, (3) Penyediaan benih unggul dengan teknologi SE, (4) Teknologi pengolahan : Biogas cair

(kriobenikembagan), bioetanol fuel grade, bioavtur, biodiesel (distilasi reaktif), bensin

nabati/biogasoline, dan (5) Penyediaan teknologi on farm (sambung pucuk pada kemiri sunan dan

jarak pagar, teknologi budidaya di lahan bekas tambang)

Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi komoditas strategis lainnya, yaitu

Penciptaan: Varietas/galur unggul, teknologi budidaya/pakan, pengembangan model tanaman pangan :

kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, sorgum, gandum tropika, peternakan: kambing,

domba, ayam, itik, babi, tanaman perkebunan: kakao, jambu mete, lada, nilam, jahe, kapas, kelapa,

kopi, jarak pagar, kemiri sunan, dan hortikultura : jeruk, mangga, kentang, krisan .

Penelitian dan Pengembangan transgenik dilakukan pada tanaman padi untuk menghasilkan

benih golden rice dengan kandungan vitamin A tinggi; efisien pemupukan N; toleran kekeringan,

tanaman kedelai dengan umur genjah dan efisiensi pemupukan N, tebu dengan rendemen tinggi,

kentang yang tahan busuk dan phytoptora, jarak pagar yang toleran kekeringan, gandum yang adaptif

iklim tropis, nilam yang tahan penyakit sclerotium Rolfsii, kapas yang toleran kekeringan, dan jahe

yang tahan terhadap pseudomonas sp.

Penelitian dan Pengembangan Nano Teknologi pada kemasan (nanoselulosa, nanofilm),

pangan (nano selulosa, nanonutrien, nanofortifikan), pupuk (nano zeolit, nano pupuk), pPestisida

(biopestisida). Litbang produksi benih melalui somatik Embriogenesis (SE), tebu, kopi, jahe, jeruk,

bawang merah, nilam, dan kakao.

PENUTUP

Inovasi teknologi pertanian modern yang perlu dikembangkan untuk mendukung

pembangunan pertanian berkelanjutan adalah berbasis bioekonomi yang terintegrasi dengan

Biosciense, Bioengineering, social engineering & bioinformatics

Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan memperkuat jejaring pasar produk pertanian menjadi fokus

dalam mendorong produk pertanian untuk tetap menjadi andalan di pasar domestik maupun mampu

berkompetisi di pasar global

Page 21: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

5

MAKALAH UTAMA

Page 22: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

6

Page 23: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

7

ARAH DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN MASA DEPAN

DIRECTION AND STRATEGY OF FUTURE AGRICULTURE DEVELOPMENT

Pantjar Simatupang

Peneliti Utama pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSKP).

Jl. Tentara Pelajar No. 3B, Bogor 16111,

Email: [email protected]

ABSTRAK

Arah dan strategi dapat dipandang sebagai acuan dalam penyusunan kebijakan program pembangunan

jangka panjang sebagai salah satu komponen esensial dari tata kelola pembangunan yang baik. Tulisan

ini menguraikan dinamika jangka panjang konteks yang memengaruhi kinerja pertanian global, status

perkembangan pertanian Indonesia, dan pemikiran tentang arah dan strategi pembangunan pertanian

Indonesia masa depan yang disusun berdasarkan tujuan menurut amanat konstitusi, analisis konteks

dan prospek perkembangan tersebut. Perubahan iklim, pertumbuhan penduduk dan kemajuan ekonomi

global diperkirakan akan menimbulkan skenarion badai sempurna (perfect storm): krisis pangan, air

dan energi pada 2030. Walau terkesan pesimistik, Indonesia haruslah mengantisipasi ancaman ini

dalam penyusunan arah kebijakan dan strategi pembangunan pertanian masa depan. Untuk itu, strategi

yang dipandang tepat ialah pengembangan sistem pertanian bioindustri. Untuk itu, strategi

pembangunan nasional mestilah mengadopsi paradigm pertanian untuk pembangunan dan

mengadopsi pendekatan agrobiobisnis. Selain untuk penyusunan suatu dokumen perencanaan

strategis, tulisan ini diharapkan juga bermanfaat sebagai bahan referensi bagi para peneliti dan

pendidik pertanian.

Kata Kunci : Pertanian Masa depan, Strategi,

ABSTRACT

Directions and strategies can be seen as a reference in long-term policy making development program

as one of the essential components of the development of good governance. This paper outlines the

context of the long-term dynamics that affect the performance of global agriculture, the status of

development of agriculture in Indonesia, and thoughts about the direction and strategy of the future

agricultural development in Indonesia organized by destination according to the constitutional

mandate, the analysis of the context and the development prospects. Climate change, population

growth and advancement of the global economy is expected to lead to a perfect storm scenario

(perfect storm): the food crisis, water and energy by 2030. Although impressed pessimistic, Indonesia

must anticipate these threats in the preparation of policy and strategy of agricultural development in

the future. Due to that reason appropriate strategy is the development of agricultural systems

bioindustry. Therefore national development strategies must necessarily adopt agricultural paradigm

for development and the approach adopted agrobiobussines. In addition to the preparation of a

strategic planning document, this paper is also expected to be useful as reference material for

researchers and educators agriculture.

Keywords : Future agriculture, Strategy,

Page 24: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

8

I. PENDAHULUAN

Planning without action is futile, action without planning is fatal Cornelius Fichtner1

Adagium “rencana tanpa dikerjakan adalah sia-sia, bekerja tanpa perencanaan adalah fatal”

merupakan prisip dasar terkenal bagi para perencana dan manajer kebijakan, program atau proyek

pribadi, perusahaan, organisasi masyarakat atau pemertintah. Adagium itu menyatakan bahwa setiap

pekerjaan mestinya direncanakan. Pekerjaan tanpa direncakan tidak saja berpeluang besar gagal tidak

efektif dan tidak efisen, atau tidak berhasil mewujudkan tujuannya tetapi bahkan dapat menimbulkan

bencana atau kerugian tak terduga. Setiap manajer kebijkan, program atau proyek haruslah

direncanakan. Sebaliknya, perencanaan yang tidak ditindaklanjuti dengan kegiatan implementasi

adalah sia-sia belaka, hanya membuang tenaga, dana dan waktu belaka. Perencanaan dapat dipandang

sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan. Perencanaan berbasis ilmu pengetahuan dan data

faktual mutlak perlu apalagi berkaitan dengan kebijakan dan program yang menyangkut penggunaan

dana besar dan kepentingan orang banyak. Pandangan “kerja,kerja dan kerja” haruslah dipandang

sebagai amanat untuk melaksanakan sutau kebijakan, program atau proyek yang sudah direncanakan

dengan baik berdasarkan pengetahuan (logis) dan realitas (fakta).

Pada masa Orde Lama, pembangunan pertanian dan pembangunan nasional didasarkan pada

suatu perencanaan sistematis dan berjenjang yang mencakupRencana Pembanghunan Jangka Panjang

(RPJP) untuk selama 25 tahun dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang disusun oleh MPR

berdasarkan UUD 1945,selanjutnya oleh Presiden sebagai mandataris MPR dijabarkan kedalam

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Era Reformasi, GBHN ditiadakan

berdasarkan UUD 1945 perubahan, RPJP diganti dengan sebutan Rencana Pembangunan Jangaka

Panja Nasiopnal (RPJPN) untuk selama 20 tahun berdasarkan UU 17/2007, Repelita diganti dengan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang disusun oleh Presiden terpilih

yang kemudian dijabarkan menjadi Rencana Strategis Kementerian/Lembaga. Masalahnya ialah

RPJPN itu amat umum sehingga dalam praksis RPJMN disusun seolah-olah tidak berkaitan satu sama

lain. Akibatnya, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kemungkinan besar tidak konsisten dan

koheren dalam jangka panjang.

Pembangunan pertanian amat penting untuk menjamin ketahanan pangan dan gizi seluruh

rakyat, kesejahteraan ratusan juta rakyat dan fasilitator, dan dinamisator pembangunan nasional,

sementara kinerjanya sangat dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersifat eksternal dan tidak

menentu. Perencanan jangka panjang amat diperlukan dalam tatakelola pembanganan pertanian jangka

panjang. Arah dan strategi adalah landasan perumusan kebijakan dan program dalam suatu dokumen

perencanan strategis. Berikut ini diuraikan analisis tentang konteks yang memengaruhi kinerja

pertanian global, status perkembangan pertanian Indonesia, dan pemikiran tentang arah dan strategi

pembangunan pertanian Indonesia masa depan yang disusun berdasarkan tujuan menurut amanat

konstitusi, analisis konteks dan prospek perkembangan tersebut. Selain untuk penyusunan suatu

dokumen perencanaan strategis, tulisan ini diharapkan juga bermanfaat sebagai bahan referensi bagi

para peneliti dan pendidik pertanian.

1Cornelius Fichtner on Twitter: ":-) Planning without action is futile ...

https://twitter.com/corneliusficht/status/2515541824, diunduh pada 31 Oktober 2016

Page 25: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

9

II. DINAMIKA LINKUNGAN STRATEGIS GLOBAL

2.1 Kekuatan utama penentu dinamika pertanian global

Perubahan demografis

Penduduk dunia diproyeksikan akan meningkat sekitar 2,3 milyar jiwa, dari 7,0 miliar jiwa

pada 2011 menjadi 9,3 miliar jiwa pada 2050 atau dengan laju pertumbuhan sekitar 0,72 persen per

tahun. Hampir seluruh peningkatan penduduk tersebut terjadi di negara-negara berpendapatan rendah.

Penduduk negara-negara maju sudah mendekati tahapan stasioner, sedangkan penduduk negara-negara

berkembang dan terbelakang berturut-turut meningkat 0.83 %/tahun dan 1,77 %/tahun. Jika dilihat

menurut kawasan, pertambahan pendududuk tersebut sebagian besar (89,24 %) terjadi di Afrika dan

Asia. Pertambahan penduduk di dua benua ini Penduduk Afrika meningkat 1,1 miliar jiwa, dari 1,04

milyar jiwa pada 2011 menjadi 2,2 miulyar jiwa pada 2050 atau 1.85 %/tahun. Penduduk Asia

meningkat 935 juta atau 40,09 % dari pertambahan penduduk dunia namun pertumbuhannya hanya

0,5 %/tahun, jauh lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk Afrika (Tabel 1).

Tabel 1. Proyeksi pertumbuhan penduduk dunia 2011-2050

Wilayah Jumlah (juta

jiwa)

Pangsa (%) Pertumbuhan

(%/tahun)

% Usia lanjut

( >60 tahun)

2011 2050 2011 2050 2011-2050 2011 2050

Dunia 6974 9306 100 100 0.72 11 22

Negara-negara maju 1240 1312 17.8 14.1 0.14 22 32

Negara-negara berkembang 5734 7994 82.2 85.9 0.83 9 20

Negara-negara paling terbelakang 851 1726 12.2 18.6 1.77 5 11

Negara-negara berkembang lain 4883 6268 70.0 67.4 0.62 10 23

Afrika 1046 2192 15.0 23.6 1.85 6 10

Asia 4207 5142 60.3 55.3 0.50 10 24

Eropa 739 719 10.6 7.7 -0.07 22 34

Amerika Latin dan Karibia 597 751 8.6 8.1 0.58 10 25

Amerika Utara 348 447 5.0 4.8 0.63 19 27

Oseania 37 55 0.5 0.6 0.99 15 24

Source: United Nations (2011)

Dimensi kedua perubahan struktur demografi yang dipandang paling berpengaruh terhadap

permintaan pangan ialah urbanisasi yang berlangsung beriringan dengan transformasi struktur

ekonomi. Penduduk perkotaan di negara-negara maju meningkat dengan laju 0.52 %/tahun pada 2011-

2030 dan kemudian melambat menjadi 0.29 %/tahun pada 2030-2050 dengan kecepatan urbanisasi

0.29 %/tahun pada 2011-2030 dan 0,23 %/tahun pada 2030-2050. Laju pertumbuhan penduduk

perkotaan di negara-negara berkembang meningkat jauh lebih cepat dari pada di negara-negara maju,

yakni dengan laju 2.02 %/tahun pada 2011-2030 dan kemudian melambat menjadi 1,34 %/tahun pada

2030-2050 dengan laju 0.95 %/tahun pada 2011-2030 dan 0,69 %/tahun pada 2030-2050.

Perubahan kesejahteraan ekonomi

Hukum Engel mengatakan bahwa jumlah maupun kualitas konsumsi pangan meningkat

namun pangsa nilai pengeluaran pangan menurun seiring dengan peningkatan pendapatan pangan.

Dengan hukum ini dapat disimpulkan bahwa konsumsi pangan per kapita meningkat seiring dengan

peningkatan pendapatan per kapita namun besaran peningkatannya cenderung menurun. Dengan

perkataan lain, elastisitas permintaan pangan terhadap pendapatan lebih tinggi di negara yang

pendapatan per kapitanya lebih rendah. Hukum kedua yang dapat digunakan untuk menjelaskan

perubahan pola konsumsi pangan seiring dengan perubahan pendapatan ialah hukum Bennet: apabila

pendapatannya meningkat maka rumahtangga akan melakukan substitusi bahan pangan pokoknya

dengan mengurangi sumber karbohidrat bermutu rendah (ubikayu, barley, sorgum, jagung) dan

menambah sumber karbohidrat bermutu tinggi (beras, terigu) dan selanjutnya akan mengurangi

sumber karbohidrat maupun sumber protein nabati dan menambah sumber protein (daging, telur,

susu) maupun sayuran dan buah-buahan. Hukum Bennet dapat dipakai untuk menjelaskan bahwa

diversifikasi pangan akan berjalan seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita (Thomson and

Page 26: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

10

Metz, 1988). Berdasarkan penelitian empiris dengan menggunakan data sejumlah negara Cranfield,

et.al. (1998) menggolongkan tiga pola konsumsi menurut tingkat pendapatan (Tabel 2)

Tabel 2. Komposisi umum bahan pangan menurut tingkat pendapatan

Peringkat nilai

pengeluaran

Tingkat pendapatan perkapita penduduk

Rendah Menengah Tinggi

1 Biji-bijian Produk ternak Produk ternak

2 Produk ternak Biji-bijian Pangan lainnya

3 Sayur dan buah Sayur dan buah Sayur dan buah

4 Pangan lainnya Pangan lainnya Biji-bijian

Sumber: Cranfield, et.al. (1998)

Globalisasi dan diet westernization

Globalisasi perdagangan dan investasi telah membuat setiap negara terbuka terhadap investasi

asing dalam bidang industri makanan dan minuman, restoran, perdagangan eceran (super markets) dan

pertanian. Globalisasi telah menciptakan gelombang “westernization of diet” yang dicirikan oleh

transformasi pola pangan dari berbasis diet tradisional menjadi berbasis diet barat (Pingali, 2004).

Gelombang westernization of diet dapat diamati dari pertumbuhkembangan restoran cepat saji

multinasional seperti McDonald, Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, yang kini sudah ada di hampir

seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Lebih jauh, Kelly, et al (2010) menyatakan bahwa

konvergensi pola pangan ke arah diet barat pada tataran global juga diikuti oleh divergensi menurut

status sosial ekonomi. Pada awalnya, diet barat diadopsi oleh kelompok penduduk berpendapatan

tinggi. Pada tahapan pembangunan yang lebih tinggi, kelompok penduduk berpendapatan tinggi, yang

lebih sadar akan resiko kesehatan diet barat dan lebih berkemampuan dalam mengatur pola

pangannya, akan cenderung menghindari diet barat sedangkan kelompok penduduk berpendapatan

rendah terus meningkatkan adopsinya terhadap diet barat. Fenomena inilah yang disebut divergensi

diet . Berdasarkan hipotesis konvergensi dan divergensi diet yang diajukan oleh Kelly, et al (2010),

substitusi pola pangan tradisional dengan pola pangan barat (konvergensi ke diet barat) terutama

terjadi di negara-negara sedang berkembang. Konvergensi diet yang terjadi menurut status sosial

ekonomi penduduk domestik akan menyebabkan kelompok penduduk miskin terperangkap dalam

pola pangan barat yang beresiko tinggi menimbulkan sindroma obesitas dan penyakit terkait makanan

lainnya.

Kelangkaan lahan dan air

Peningkatan kelangkaan lahan pertanian merupakan fenomena global. Berikut adalah faktor-

faktor utama penyebab penurunan luas lahan pertanian. GiovannuccI, et. al (2012) mengemukakan

bahwa sekitar 20.000-50.000 km2

lahan potensial produktif hilang tiap tahun karena erosi dan

degradasi dan 2.9 km2

dinilai berisiko tinggi berubah menjadi padang pasir, sejumlah besar

diantaranya di negara-negara berkembang. Erosi dan degradasi serta konversi ke penggunaan non

pangan diperkirakan menurunkan ketersediaan lahan untuk pangan sebesar 8-20 % hingga

2050.Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3, pertumbuhan lahan pertanian global mengalami

perlambatan dari 0,17 %/tahun pada 1990-2005 menjadi 0,10 %/tahun pada 2015-2050. Lahan

pertanian mengalami pertumbuhan positif dengan laju yang menurun tajam dari 0,65 %/tahun pada

1990-2005 menjadi 0,10 %/tahun pada 2015-2050. Namun di negara-negara industri dan transisi

ekonomi mengalami pertumbuhan negatif. Lahan pertanian di Afrika Utara juga menurun dengan laju

yang semakin tinggi sejak tahun 1990an. Pertumbuhan lahan tertingi ialah di Sub-Sahara Afrika yang

mencapai 1,07 %/tahun pada 1990-2005 namun menurun tajam menjadi 0,10 %/tahun pada 2015-

2050. Amerika Latin menduduki peringkat laju pertumbuhan tertinggi kedua pada periode 2015-2050

dengan laju 0,55 %/tahun. Laju pertumbuhan di Asia Timur menurun tajam dari 1,12 %/tahun

(peringkat tertinggi pertama) pada 1990-2005 menjadi 0,02 %/tahun pada 2015-2050.

Page 27: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

11

Tabel 3. Perluasan lahan pertanian global 1961/63-2050

Area Tanah pertanian yang digunakan (juta ha) Pertumbuhan (%/tahun)

1961/63 1989/91 2005 20015 2030 2050 1961-

2005

1990-

2005

2015-

2050

Sub-sahara Afrika 133 161 193 236 275 300 0.80 1.07 0.55

Amerika latin 105 150 164 203 234 255 1.01 0.64 0.52

Afrika utara 86 96 99 86 84 82 0.34 -0.02 -0.11

Asia selatan 191 204 205 206 211 212 0.15 0.07 0.07

Asia timur 178 225 259 235 236 237 0.99 1.12 0.02

China 73 94 102 105 109 112 0.85 0.71 0.15

Negara

berkembang

693 837 920 966 1040 1086 0.67 0.65 0.27

China dan India 426 536 594 666 740 789 0.75 0.66 0.39

Negara industri 388 401 388 388 375 364 -0.02 -0.21 -0.15

Negara transisi 291 277 247 247 234 223 -0.32 -0.90 -0.23 Dunia 1375 1521 1562 1602 1648 1673 0.30 0.17 0.10

Source: Bruinsma (2011)

Pertanian merupakan pengguna air terbesar. Kedepan, pertanian akan menghadapi masalah

kelangkaan air yang kian ketat sebagai konsekuensi dari perpaduan dua kecenderungan berikut.

Pertama, peningkatan permintaan air untuk non-pertanian sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan

kemajuan ekonomi. Kedua, penurunan pasokan baku air sebagai akibat dari perubahan iklim dan

degradasi alam. Seperti halnya lahan, nilai manfaat (rente) penggunaan air untuk pertanian secara

umum lebih rendah daripada untuk non-pertanian. Oleh karena itu, pertanian akan terus mengalami

tekanan kelangkaan air yang semakin berat. GiovannuccI, et. al (20120) mengemukakan bahwa

kelangkaan air boleh jadi merupakan faktor yang paling kuat dalam menurunkan hasil pertanian.

Kelangkaan air, yang diperburuk oleh tekanan hama dan penyakit tanaman dan hewan, dapat

menurunkan hasil pertanian antara 5-25 %. Insiden kekeringan dalam 30 tahun terakhir telah

membunuh sekitar 20 %-62 % ternak dan memicu kelaparan di 6 negara Afrika.

Perubahan iklim global

Dampak utama perubahan iklim global mencakup (Hoffmann, 2011, Keane, et. al. , 2009):

1. Peningkatan suhu mempengaruhi kesehatan tanaman, hewan dan petani, meningkatkan hama-

penyakit, menurunkan pasokan air meningkatkan resiko perluasan ariditas dan degradasi lahan.

2. Perubahan pola presipitasi akan memperkuat kelangkaan air dan tekanan kekeringan terhadap

tanaman dan mengubah pasokan air.

3. Meningkatkan frekuensi kejadian iklim ekstrim berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman

dan ternak serta merusak infrastruktur pertanian.

4. Meningkatkan konsentrasi C02 atmosfir dalam jangka pendek dapat meningkatkan fertilisasi

karbon yang berarti meningkatkan produktivitas tanaman (namun dalam jangka panjang dapat

menurunkan produktivitas tanaman).

5. Meningkatkan permukaan air laut yang dapat mengurangi luas lahan dan ketersediaan air tawar

untuk pertanian, mengubah kondisi produksi akuakultur dan mengubah infrastruktur perdagangan

pertanian.

6. Mempersulit perencanaan produksi pertanian.

Tidak dapat dipungkiri, sebagian elemen perubahan iklim dapat berdampak positif terhadap

produksi pertanian. Peningkatan konsentrasi C02 atmosfir sampai kadar tertentu dapat fertilisasi

karbon yang berarti meningkatkan produktivitas tanaman tertentu. Namun secara keseluruhan dapat

disimpulkan bahwa perubahan iklim berpengaruh negatif terhadap produksi pangan global. Seperti

yang ditunjukkan pada Tabel 4, perubahan iklim dapat menurunkan secara nyata produksi pangan

global. Pada periode 2000-2050, perubahan iklim diperkirakan akan dapat menurunkan produk beras -

12.7 %, gandum -25.3 %, jagung -0.1%, millet -7.7% dan sorgum -2.5 %. Secara umum, dampak

negatif perubahan iklim ternyata lebih buruk di negara-negara sedang berkembang daripada di negara-

negara maju. Kiranya dapat diperhatikan bahwa dampak perubahan iklim secara umum lebih parah

terhadap makanan pokok di setiap kawasan. Sebagai contoh, untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik,

dampak negatif terparah ialah untuk beras yang merupakan bahan pangan pokok di kawasan tersebut.

Page 28: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

12

Untuk Asia Selatan, dampak negatif terparah ialah untuk gandum, beras dan jagung sedangkan untuk

kawasan Eropa dan Asia Tengah dampak negatif tertinggi ialah untuk gandum dan jagung yang

kesemuanya adalah pangan pokok di masing-masing kawasan. Persebaran demikian memperparah

dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan global.

Tabel 4. Dampak perubahan iklim terhadap produksi pangan 2000-2050 (tanpa penyerbukan karbon) (%)

Wilayah Beras Gandum Jagung Millet Sorghum

Asia Selatan -14.4 -46.2 -13.7 -14.2 -15.9

Asia Timur dan Pasifik -9.7 1.8 -1.9 6.25 4.05

Eropa dan Asia Tengah -0.5 -47.2 -28.6 -4.75 -6.5

Amerika Latin dan Karibia -20.5 14.4 -2.15 8.0 3.3

Timur Tengah dan Afrika Utara -36.3 -6.9 -16.6 -4.1 0.5

SubSahara Afrika -14.8 -34.6 -8.3 -7.2 -2.6

Negara-negara berkembang -11.2 -9.4 6.65 -4.3 -5.2

Negara-negara maju -12.8 -31.3 -6.15 -7.7 -2.0

Dunia -12.7 -25.3 -0.1 -7.7 -2.5

Keterangan: Rata-rata proyeksi model CSIRO dan NCAR Sumber: Nelson, et.al. 2009.

Pada tahap awal ini akan terjadi persaingan antara pemenuhan kebutuhan pangan dan

pemenuhan kebutuhan bioenergi. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi hayati dan

bioenjinering, bioenergi dapat pula dihasilkan dari sampah organik, selulosa (generasi kedua) dan alga

(generasi ketiga), tidak perlu lagi menggunakan bahan pangan sehingga pemenuhan kebutuhan

pangan dan bioenergi tidak lagi bersifat trade-off. Oleh karena itulah penggunaan bahan pangan tidak

berubah atau bahkan menurun pada periode 2030-2050.

2.2 Ancaman badai sempurna (The perfect strorm): Krisis pangan, energi dan air

Perpaduan antara peningkatan kelangkaan dan harga bahan bakar fosil dan kemajuan dalam

ilmu pengetahuan dan teknologi biorefinery telah mendorong peningkatan pesat produksi bioenergi.

Pada periode 2015-2050, permintaan komoditas pangan untuk bioenergi diproyeksikan akan tumbuh

2,55 %/tahun sedangkan untuk pangan hanya tumbuh 0,79 %/tahun (Deutsche Bank, 2009). Pangsa

permintaan bioenergi meningkat dari 13,36 % pada 2015 menjadi 18,61 % pada 2050. Pada tahap

awal, produksi bioenergi masih menggunakan teknologi generasi pertama dengan feedstock komoditas

pangan utamanya jagung, kedelai, tebu, ubikayu dan tanaman minyak (khususnya kelapa sawit).

Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9, penggunaan beberapa komoditas pangan untuk bionergi

meningkat sangat tajam: serealia meningkat dari 65 juta ton pada 2005/2007 menjadi 182 juta ton pada

2050, minyak sayur meningkat dari 7 juta ton pada 2005/2007 menjadi 29juta ton pada 2050, tebu

meningkat dari 28 juta ton pada 2005/2007 menjadi 81 juta ton pada 2050, dan ubikayu meningkat

dari satu juta ton pada 2005/2007 menjadi delapan juta ton pada 2050 (Tabel 5).

Tabel 5. Penggunaan Komoditas Pangan untuk Bioenergi 2005/2007-2050

Komoditas Satuan 2005/ 2007 2030 2050

Serealia Juta ton 65 182 182

Serealia Persentase dalam total penggunaan 3.2 6.7 6.1

Minyak sayur Juta ton 7 29 29

Minyak sayur Persentase dalam total penggunaan 4.8 12.6 10.3

Sugar (equiv. tebu) Juta ton 28 81 81

Sugar (equiv. tebu) Persentase dalam total penggunaan 15.1 27.4 24.3

Ubikayu (segar) Juta ton 1 8 8

Ubikayu (segar) Persentase dalam total penggunaan 0.4 2.3 1.8

FAO (2012)

Proyeksi Idso (2011) menunjukkan bahwa dengan menerapkan Iptek maju total produksi

pangan dapat meningkat 0,84 %/tahun sementara bila penerapan Iptek maju dikombinasikan dengan

fertilisasi C02 maka total produksi pangan dapat meningkat 1,26 %/tahun (Tabel 6). Fertilisasi C02

sangat penting dalam peningkatan produksi pangan. Jelaslah kiranya bawa produksi pangan dunia

tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Professor John Beddington(2009) kepala dewan ilmuan

Page 29: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

13

(Chief Scientist) Kerajaan Inggris bahkan memperkirakan scenario badai sempurna (the perfect storm

scenario) pada 2030 yang pada intinya memperkirakan bahawa permintaan pangan akan meningkat

1,5 %/tahun, energi 1,5 %/tahun dan air 0,9 %/tahun (akibat petumbuhan penduduk, perubahan

struktur demografi, pertumbuhan ekonomi sebagaimana telah dijelaskan di muka), sementara kapasitas

produssi pangan dan air cederung menurun (akibat perubahan iklim) dan cadangan energi fosil kian

menipis shingga pada 2030 akan terjadi krisis pangan, air dan energi pada tataran global.

Tabel 6. Proyeksi Penawaran Pangan Global 2009-2050

Tanaman Pangsa

produks

i (%)

Produksi

2009 (juta

ton)

Produksi 2050 Pertumbuhan 2009- 2050

(%/tahun)

Iptek maju

(juta ton)

Iptek maju + fertilisasi

C02 (juta ton)

Iptek

maju

Iptek maju +

fertilisasi C02

Tebu 21.24 1.607 1.979 2.243 0,56 0,97

Jagung 10.28 801 1.283 1.366 1,47 1,72

Beras 9.44 667 867 982 0,73 1,15

Gandum 9.37 649 869 970 0,82 1,21

Kentang 4.87 329 416 466 0,64 1,01

Gula bit 3.88 233 440 515 2,17 2,95

Ubikayu 2.98 235 396 412 1,67 1,84

Kedelai 2.84 237 289 342 0,53 1,08

K. sawit 2.25 212 359 404 1,69 2,21

Barley 2.22 144 194 221 0,85 1,30

Ubijalar 1.97 109 42,2 60,0 -1,49 -1,10

Melon 1.22 106 192 203 1,97 2,23

Pisang 1.13 92,4 147,6 167 1,46 1,97

Jeruk 0.98 66,5 52,6 66,8 -0,51 0,01

Anggur 0.97 68,5 88,0 111 0,69 1,51

Apple 0.94 68,7 151 166 2,92 3,45

Kubis 0.93 73,8 67,0 82,0 -0,22 0,27

Lettuce 0.30 24,7 24,5 28,7 -0,02 0,39

Total 95.0 7.046 9.474 10.677 0,84 1,26

Sumber: Idso (2011)

Walau terkesan pesimistik, Indonesia haruslah mengantisipasi ancaman ini dalam penyusunan

arah kebijakan dan strategi pembangunan pertanian masa depan. Untuk itu, strategi yang dipandang

tepat ialah pengembangan sistem pertanian bioindustri. Untuk itu, strategi pembangunan nasional

mestilah mengadopsi paradigm pertanian untuk pembangunan dan mengadopsi pendekatan

agrobiobisnis Semua itu akan dibahas dalam bagian berikut.

III. PERUBAHAN KONTEKS DAN KONTEN PEMBANGUNAN AGRIBISNIS

Kemajuan peradaban pada tataran global dalam enam dekade terakhir, telah menyebabkan

perubahan mendasar dalam context dan content pembangunan agribisnis. Perubahan context berkaitan

dengan perubahan lingkungan strategis sementara perubahan content berkaitan dengan berubahan

karakter internal dari sistem agribisnis. Perubahan context dan content telah mengubah arah, issu dan

kebijakan, yang berati pula paradigma pembangunan yang tepat untuk memahami dan mengelola

pembangunan agribisnis. Faktor-faktor pendorong utama (key drivers) yang mendorong perubahan

tersebut diuraikan berikut ini (Simatupang, 2015).

Pertama, perubahan tataran persaingan dari persaingan antar perusahaan menjadi persaingan

antar rantai nilai. Perubahan ini merupakan konsekuensi dari globalisasi perekonomian dan perubahan

preferensi konsumen hasil usaha agribisnis. Seperti yang dijelaskan oleh Simatupang (1995),

globalisasi ekonomi dicirikan oleh liberalisasi perdagangan dan investasi sehingga dayasaing menjadi

kunci bagi setiap perusahaan agar dapat bertahan hidup dan tumbuh-kembang. Liberalisasi

perekonomian merupakan konsekuensi dari kesepatan World Trade Organization (WTO) dan Tripple-

T Revolution (Telecommunication, Transportasi, Tourism). Perubahan preferensi konsumen dicirikan

oleh perubahan preferensi konsumen dari permintaan terhadap komoditas atau produk menjadi

Page 30: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

14

permintaan terhadap atribut produk. Selain itu, konsumen juga menuntut adanya transparansi dan

ketelusuran (traceability) penggunaan input, produsen dan proses produksi serta sistem logistik hingga

produk sampai ke konsumen akhir. Hal ini hanya dapat diwujudkan melalui pengelolaan rantai nilai

secara eksklusif.

Kedua, kesadaran baru tentang orientasi pembangunan. Kini semakin disadari bahwa

orientasi kehidupan manusaia, yang berarti juga orientasi pembangunan setiap negara, bersifat multi-

dimensi. Tidak hanya berdimensi ekonomi, tetapi juga berdimensi sosial dan lingkungan. Dimesi

sosial mencakup antara lain keadilan dan pemerataan pembangunan (justice and equity), partisipasi

demokratik, dan hak azasi manusia (bahkan juga hewan). Dimensi lingkungan mencakup

keberlanjutan sumberdaya alam serta kesehatan, kenyamanan, dan keindahan lingkungan hidup.

Seiring dengan itu, usaha agribisnis tidak boleh lagi berorientasi pada perolehan laba sebesar-besarnya

(dimensi ekonomi), tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan hidup, keadilan dan pemerataan

pembagian hasil usaha, dan hak azasi pegawainya, turut bertanggung jawab atas penghidupan

masyarakat sekitar (dimensi sosial), serta bertanggunggung jawab atas kelestarian sumberdaya alam

dan lingkungan hidup. Keberlanjutan eksistensi perusahaan ditentukan oleh pelaksanaan ketiga

dimensi tersebut. Indikator kinerja perusahaan ini dikenal dengan konsep Profit (Ekonomi)-People

(Sosial)-Planet (Lingkungan Hidup). Dengan demikian, kesadaran baru itu telah mengubah orientasi

nilai manfaat yang diciptakan oleh perusahaan agribisnis dari semata-mata nilai ekonomi menjadi nilai

ekonomi plus nilai sosial dan nilai lingkungan hidup.

Ketiga, pandangan baru bahwa iklim global adalah barang publik global (global public good)

yang kini sudah mengalami perubahan yang mengancam eksistensi kehidupan di bumi. Iklim global

adalah barang publik global, yang berarti bahwa iklim mempengaruhi kehidupan setiap orang dimana

saja, sehingga setiap orang dimana saja turut beranggung jawab untuk memeliharanya. Penelitian

menunjukkan bahwa perubahan iklim sudah mendekati titik kritis, yang mengancam kenyaman dan

eksistensi manuasi dan mahluk hidup hidup secara umum. Perubahan iklim juga juga telah

menyebabkan penurunan produksi pertanian global. Perubahan iklim global tersebut merupakan

indikasi dari kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Setiap usaha agribisnis berkewajiban

untuk turut serta dalam memelihara iklim global.

Keempat, kebangkitan bioekonomi. Mengingat bahan fosil diperkirakan akan semakin langka

dan mahal sepanjang abad ke-21 dan akan habis keseluruhannya di awal abad ke-22, maka ke depan,

perekonomian setiap negara haruslah ditransformasikan dari yang selama ini berbasis pada sumber

energi dan bahan baku asal fosil menjadi berbasis pada sumber energi dan bahan baku baru dan

terbarukan, utamanya bahan hayati. Era revolusi ekonomi yang digerakkan oleh revolusi teknologi

industri dan revolusi teknologi informasi berbasis bahan fosil telah berakhir, dan akan digantikan oleh

era revolusi bioekonomi yang digerakkan oleh revolusi bioteknologi dan bioenjinering yang mampu

menghasilkan biomassa sebesar-besarnya untuk kemudian diolah menjadi bahan pangan, pakan,

energi, obat-obatan, bahan kimia dan beragam bioproduk lain secara berkelanjutan (Kementerian

Pertanian, 2014). Bioekonomi itu pastilah berbasis agribisnis penghasil biomassa (agrobiomassa).

Banyak negara telah mempersiapkan diri untuk mengambil kesempatan lebih awal dari kebangkitan

revolusi bioekonomi tersebut dengan menyusun rencana strategis dan melaksanakannya dengan road

map yang komprehensif (Albrecht and Ettling, 2014). Era revolusi bioekonomi menjadi momentum

bagi kebangkitan kembali (renaissance) pertanian dan ilmu ekonomi pertanian (Sexton, 2013).

Kelima, saturasi teknologi Revolusi Hijau dan kebangkitan Revolusi Hayati. Pingali (2012)

mengatakan bahwa periode Revolusi Hijau generasi pertama telah berakhir pada paruh pertama

dekade 1980’an. Penelitian Grassini, Eskridge, and Cassman (2013) menunjukkan bahwa tren

produktivitas padi, jagung dan gandum menunjukkan tren pertumbuhan menurun sejak akhir dekade

1990’an. Kemajuan bioscience dan bioengineering telah mendorong tumbuh kembangnya Revolusi

Hayati (Biorevolution) menggantkan Revolusi Hijau (Green Revolution) yang kini telah mengalami

pemudaran atau bahkan telah berubah menjadi sumber permasalahan bagi pertanian. Ciri-ciri

Revolusi Hayati itu dan perbandingannnya dengan Revolusi Hijau ditampilkan pada Tabel 1.

Penggerak utama Revolusi Hayati itu ialah Revolusi Bioekonomi (sebagaimana diuraikan di atas);

Peningkatan kebutuhan pangan, pakan, energi dan serat. Perubahan iklim global dan internalisasinya

dalam sistem ekonomi-politik; Peningkatan kelangkaan sumberdaya lahan dan air; Peningkatan

permintaan terhadap jasa lingkungan; Peningkatan jumlah petani marginal. Kementerian Pertanian

(2014) telah menyusun kerangka dasar atau strategi induk pembangunan pertanian dalam rangka

Page 31: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

15

mengambil kesempatan pertama dari kebangkitan Revolusi Hayati tersebut. Namun demikian, kita

masih menunggu respon positif dari Pemerintah dan para pihak terkait dalam pelaksanaan gagasan

besar tersebut.

IV. ARAH DAN STRATEGI

4.1 Arah pembangunan pertanian jangka panjang

Pembangunan pertanian adalah bagian integral dari pembangunan nasional Indonesia untuk

melaksanakan amanat konstitusi menjadi negara yang merdeka, berdaulat dan turut aktif dalam

menjaga ketertiban dunia, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta menjamin pekerjaan, penghidupan

yang layak dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejalan dengan itu maka dalam jangka

panjang pembangunan pertaniqan diarahkan untuk mewujudkan Pertanian Indonesia yang

Bermartabat, Mandiri, Maju, Adil dan Makmur(Kementerian Partanian, 2014).

Pertanian yang bermartabat berkenaan dengan tingkat harkat kemanusiaan petani Indonesia.

Petani Indonesia memiliki kepribadian luhur, harga diri, kebanggaan serta merasa terhormat dan

dihormati sebagai petani. Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk menjamin kedaulatan petani

dalam mengelola usahanya serta memberikan perlindungan dan pemberdayaan sehingga berusahatani

merupakan pekerjaan yang layak untuk kemanusiaan dan dapat menjamin penghidupan yang sejahtera

bagi seluruh keluarga petani.

Pertanian yang mandiri tercermin pada kedaulatan negara dalam pembuatan kebijakan,

kedaulatan petani dalam mengelola usahatani, dan kemampuan sektor pertanian. Pada tataran

kebijakan, pertanian mandiri berarti bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki

kebebasan dan kedaulatan penuh dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembangunan

pertanian.Dalam hal petani dan usahataninya, pertanian mandiri berarti bahwa petani Indonesia

memiliki kemerdekaan dan kedaulatan dalam mengelola usahataninya. Secara sektoral, pertanian

mandiri berarti bahwa bahan pangan pokok, bahan baku industri maupun bahan baku energi hayati

(bio-energy) dapat dipenuhi dengan sebesar-besarnya mengandalkan pada hasil produksi pertanian

dalam negeri.

Pertanian maju terkait dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi di sepanjang rantai

nilai usaha perrtanian (business governance),tatakelola pembangunan (development governance), dan

tingkat kesejahteraan petani. Pertanian maju menerapkan inovasi berbasis ilmu pengetahuan dan

teknologi terbaru. Pertanian maju juga dicirikan oleh derajat modernisasi tatakelola pertanian yang

dibangun oleh pemerintah dengan membuat regulasi dan standar, membangun infrastruktur publik,

menyediakan insentif usaha dan menjamin persaingan usaha yang sehat, yang secara keseluruhan

disebut lingkungan pemberdaya agribisnis (agribusiness enabling environment). Peningkatan nyata

kesejahteraan petani yang terbebas dari ancaman kerawanan pangan dan kemiskinan merupakan ciri

mutlak dari suatu pertanian yang maju. Pada tahapan yang lebih tinggi, pertanian maju dicirikan oleh

tingkat kesejahteraan petani yang setara dengan tingkat penghidupan warga negara yang bekerja di

sektor-sektor lainnya.

Pertanian yang adil berkaitan dengan pemerataan kesempatan berusahatani, berpolitik, dan

akses terhadap jaminan penghidupan (livelihood) secara horizontal antar individu petani, secara

spasial antar wilayah (desa-kota, antar pulau, antar kawasan), dan secara sektoral antar bidang

pekerjaan. Pemerataan kesempatan berusahatani mencakup pemerataan akses terhadap komponen-

komponen utama usahatani yang mencakup lahan, sarana dan prasarana, teknologi, modal, dan pasar.

Pemerataan kesempatan berusahatani, berpartisipasi politik dan memperoleh penghidupan saling

menguatkan satu sama lain. Pemerataan kesempatan berusahatani merupakan kunci untuk

mewujudkan pemerataan memperoleh pekerjaan dan pendapatan (penghidupan), sementara

pemerataan kesempatan berpartisipasi politik merupakan kunci untuk mewujudkan pemerataan

kesempatan berusaha bagi petani. Selain itu, pemerataan kesempatan berusahatani juga bermanfaat

untuk mewujudkan pemerataan memperoleh kesempatan berpartisipasi politik.

Pertanian yang makmur dicirikan oleh kehidupan seluruh petani yang serba berkecukupan

terbebas dari ancaman rawan pangan dan kemiskinan. Pertanian yang makmur merupakan resultante

dari pertanian yang bermartabat, mandiri, maju, dan adil. Selanjutnya, pertanian yang makmur ini

merupakan instrument dalam mewujudkan kedaulatan pangan nasional. Sehingga secara keseluruhan,

Page 32: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

16

pertanian yang bermartabat, mandiri, maju, adil dan makmur merupakan cita-cita luhur pembangunan

pertanian sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Karakteristik pertanian yang bermartabat,

mandiri, maju, adil dan makmur saling menguatkan satu sama lain. Kelima karakteristik pertanian ini

terrefleksikan dalam perwujudan kedaulatan pangan dan kesejahrteraan petani. Oleh karena itu

kiranya dapat dipahami kenapa visi Rencana Strategis Kemeterian Pertanian dirumuskan sebagai

berikut: “Terwujudnya Kedaualatan Pangan dan Kesejahteraan Petani”

4.2 Peran strategis sektor pertanian dalam pembangunan nasional

Sektor pertanian dapat diarahkan untuk mengemban paling sedikit sepuluh fungsi strategis

dalam pembangunan nasional (Kementerian Pertanian, 2014):

1. Ketahanan pangan;

2. Penguatan ketahanan penghidupan keluarga (household livelihoodsecurity);

3. Pengembangan sumberdaya insani;

4. Basis (potensial) untuk ketahanan energi (pengembangan bioenergi);

5. Pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan;

6. Jasa lingkungan alam (ekosistem);

7. Basis (potensial) untuk pengembangan bioindustri;

8. Penciptaan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan;

9. Penguatan daya tahan perekonomian nasional (economic resilient);

10. Sumber pertumbuhan berkualitas.

Ketahanan pangan memiliki nilai intrinsik dan nilai instrumental. Secara intrinsik, ketahanan

pangan bermanfaat untuk menjamin eksistensi hidup, mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat, dan

mencerdaskan kehidupan bangsa yang berarti pula bermanfaat untuk mewujudkan tujuan akhir

pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan konstitusi. Secara instrumental, ketahanan pangan

bermanfaat untuk menjaga keamanan dan ketertiban sosial serta untuk menjamin keberadaan insan

berkualitas tinggi yang merupakan prasyarat pembangunan nasional secara umum.

Pertanian di Indonesia masih akan merupakan jangkar atau landasan ketahanan penghidupan

(livelihood security) bagi puluhan juta keluarga di Indonesia hingga beberapa dekade mendatang.

Sebagai jangkar penghidupan keluarga berarti bahwa pertanian merupakan tumpuan utama dalam

memenuhi kebutuhan dasar keluarga yang meliputi pekerjaan yang layak, akses pangan yang terjamin

dan pendapatan yang cukup untuk mengakses kebutuhan dasar lainnya. Selain itu, pertanian

merupakan bagian dari kegiatan sosial dan budaya bagi penduduk perdesaan. Bagi sejumlah besar

petani marginal, pertanian bahkan menjadi andalan untuk dapat bertahan hidup layak. Bagi mereka,

pertanian merupakan masalah hidup-mati (survival).

Ketahanan pangan juga esensial untuk peningkatan kapasitas insani yang menjadi subjek,

objek dan pemanfaat pembangunan nasional. Menurut definisi, ketahanan pangan adalah kondisi

terjaminnya akses pangan yang cukup gizi bagi setiap orang untuk setiap waktu, aman bagi kesehatan

serta sesuai nilai sosial, agama dan kepercayaan agar dia dapat hidup sehat dan produktif. Rawan

pangan akan menyebabkan berbagai sindroma penyakit kurang gizi, termasuk kecerdasan otak,

kemantapan psikologis dan kekuatan fisik yang berarti pula penurunan kesejahteraan hidup rakyat

sebagai penikmat hasil pembangunan dan kapasitas insani selaku subjek dan objek pembangunan.

Energi merupakan kebutuhan dasar kehidupan rakyat dan sarana esensial dalam proses

produksi barang dan jasa. Perkembangan terbaru telah membuktikan bahwa perekonomian yang

sangat tergantung pada energi asal fosil (Bahan Bakar Minyak, Batubara) akan terus mengalami

penurunan daya saing dan hambatan pertumbuhan akibat peningkatan dan instabilitas harga energi

seiring dengan kelangkaan dan ketidakpastian pasokan. Ke depan, energi yang berasal dari biomassa

(bioenergi) merupakan tumpuan utama sumber pasokan energi terbarukan. Biomassa bahan baku

energi dapat dihasilkan oleh usaha pertanian. Dengan demikian, fungsi strategis pertanian yang akan

terus meningkat di masa datang ialah pemantapan ketahanan energi.

Kemajuan ilmu pengetahuan hayati (bioscience) dan enjinering hayati (bioengineering) telah

memungkinkan biomassa untuk diolah menjadi bionergi dan berbagai bioproduk (bioproducts) seperti

biomedikal, biokemikal, dan bio-material lainnya. Bioekonomi yang ditopang oleh sistem pertanian

ekologis yang juga menghasilkan berbagai jasa lingkungan (ecological services) maupun biomassa

sebagai feedstock untuk biorefinery (bioenergi, biofarmaka-biomedika, bioindustri) telah berkembang

cepat di banyak negara dan akan menjadi sumber utama pertumbuhan baru perekonomian. Ke depan,

Page 33: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

17

fungsi bisnis dan ekonomi pertanian akan mengalami proses transformasi dari perspektif agribisnis

menjadi biobisnis dan dari agro-industri menjadi bioindustri.

Fungsi pertanian dalam penguatan kesehatan masyarakat merupakan resultante dari fungsi

pertanian dalam pemantapan ketahanan pangan, pengembangan industri biofarmaka-biomedika serta

kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Fungsi pertanian sebagai penggerak, tumpuan, tulang

punggung atau poros, pembangunan nasional berkaitan dengan dampak pertumbuhan sektor pertanian

terhadap pertumbuhkembangan sektor-sektor lain dalam perekonomian. Pertumbuhan sektor pertanian

mendorong tumbuh-kembangnya kegiatan ekonomi di sektor-sektor lainnya. Dampak ini lebih dikenal

sebagai dampak pengganda sektor pertanian.

Dampak pengganda sektor pertanian bersumber dari hasil sinerginya dengan sektor-sektor lain

melalui berbagai media, seperti: (1) Keterkaitan faktor produksi (tenaga kerja, energi dan modal); (2)

Keterkaitan input-output antar industri (sektor) dan antar spasial; (3) Keterkaitan konsumsi;

(4)Keterkaitan melingkar.

Keterkaitan faktor produksi terjadimelalui realokasi antar wilayah,utamanya desa-kota.

Keterkaitan input-output (keterkaitan Johnston-Mellor) terjadi melalui peningkatan penggunaan hasil-

hasil sektor non-pertanian sebagai input dalam usaha pertanian (kaitan ke belakang) dan penggunaan

hasil pertanian sebagai input bagi sektor-sektor non-pertanian (kaitan ke depan). Berbagai penelitian

menunjukkan bahwa sektor pertanian tergolong sektor kunci (key sector) atau sektor pemimpin

(leading sector) dilihat dari kemampuannya dalam menciptakan nilai tambah dan lapangan kerja dalam

perekonomian melalui keterkaitan input-output yang terbukti secara empiris relatif lebih tinggi

dibanding sektor-sektor lainnya. Keterkaitan konsumsi tercipta melalui penggunaan nilai tambah yang

dihasilkan secara langsung maupun tidak langsung oleh sektor pertanian untuk membeli hasil produksi

seluruh sektor dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Keterkaitan melingkar

(keterkaitan Timmer) berkaitan dengan perbaikan kegagalan pasar berkat kebijakan dan hasil

pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian yang dapat menciptakan stabilitas sosial-ekonomi

dan politik bermanfaat dalam mengurangi resiko usaha sehingga ongkos untuk perlindungan terhadap

resiko usaha dapat diminimalisasi.

Kualitas pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kemampuannya dalam penciptaan lapangan

kerja, penanggulangan kemiskinan, pemerataan pembangunan dan pemeliharaan lingkungan hidup.

Penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu tujuan akhir pembangunan sebagai pelaksanaan

amanat konstitusi bahwa negara wajib menyediakan lapangan kerja dan penghidupan yang layak bagi

seluruh rakyat. Pemerataan pembangunan merupakan pelaksanaan amanat konstitusi untuk

mewujudkan keadilan sosial. Pemeliharaan lingkungan hidup merupakan bagian dari upaya

mewujudkan kesejahteraan hidup dan terjaminnya kelangsungan pembangunan secara berkelanjutan.

Dengan demikian, tujuan pembangunan ekonomi tidaklah untuk meraih laju pertumbuhan yang

setinggi-tingginya melainkan pertumbuhan tinggi berkualitas, laju dan kualitas pertumbuhan sama-

sama tinggi. Inilah yang disebut prinsip jalur ganda pembangunan: Pro-pertumbuhan (pro-growth), pro

warga miskin (pro-poor), pro-lapangan kerja (pro-job) dan pro-keberlanjutan lingkungan hidup (pro-

sustainability).

Penelitian di banyak negara, termasuk Indonesia, telah membuktikan bahwa pertumbuhan

sektor pertanian adalah yang paling efektif menurunkan prevalensi kemiskinan dibandingkan dengan

pertumbuhan seluruh sektor dalam perekonomian. Pertumbuhan sektor pertanian tidak saja efektif

menurunkan prevalensi kemiskinan di wilayah perdesaan tetapi juga di wilayah perkotaan.

Keunggulan sektor pertanian dalam menciptakan lapangan kerja terwujud tidak saja karena intensif

menggunakan tenaga kerja tetapi juga karena memiliki dampak pengganda output antar sektor yang

besar. Pertumbuhan sektor pertanian meningkatkan pemerataan pendapatan baik di dalam sektor

pertanian sendiri, antar sektor maupun antara wilayah (utamanya desa-kota). Oleh karena berkaitan

dengan pengelolaan lahan dan air untuk budidaya tanaman, ternak dan ikan, dengan pengelolaan yang

baik maka pembangunan pertanian dapat berfungsi untuk melindungi, memelihara dan meningkatkan

kualitas lingkungan hidup. Dengan demikian, memacu pembangunan pertanian merupakan strategi

yang tepat untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi.

Penguatan daya tahan perekonomian nasional berkaitan dengan daya lenturnya (resilient),

kemampuannya dalam mengurangi ancaman, menyesuaikan diri dan pulih kembali dari goncangan

eksternal. Pengalaman telah membuktikan bahwa sektor pertanian merupakan jangkar penguat daya

tahan dan katup pengaman dalam menghadapi goncangan perekonomian.Tatkala diterpa oleh krisis

Page 34: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

18

multidimensi pada periode 1997-2000, seluruh sektor dalam perekonomian Indonesia anjlok drastis,

bahkan mengalami pertumbuhan negatif kecuali sektor pertanian. Tidak saja yang paling rendah

penurunan laju pertumbuhannya, sektor pertanian adalah juga yang paling cepat pulih dari terpaan

krisis. lentur terhadap goncangan dan fleksibilitas dalam penyerapan tenaga kerja. Sektor pertanian

berfungsi sebagai jangkar penguat dan katup pengaman di masa krisis.

4.3 Paradigma pembangunan nasional: Pertanian untuk pembangunan

Fungsi ganda pertanian dalam pembangunan berubah menurut tahapan pambangunan. Telah

lama diketahui bahwa pembangunan pertanian yang kuat merupakan prasyarat untuk dapat tumbuh

berkembang menjadi negara maju. Sementara itu, fakta empiris juga menunjukkan bahwa peran dan

fungsi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi menurun seiring dengan kemajuan ekonomi.

Oleh karena irtu, landasan pikir yang paling pas untuk pembangunan ekonomi suatu negara yang

berawal dari dominasi pertanian ialah paradigma Pertanian untuk Pembangunan (Agriculture for

Development), yang menekankan fungsi ganda pertanian dan oleh karena itu pembangunan pertanian

dilaksanakan terpadu antar sektor dan berdasarkan pada tahapan perkembangan pembangunan

nasional. Sudah barang tentu, penekanan dari setiap fungsi disesuaikan dengan tahapan perkembangan

perekonomian. Fungsi penciptaan lingkungan kondusif bagi pembangunan, penggerak pertumbuhan

dan penambah kualitas pertumbuhan akan menurun seiring dengan tahapan kemajuan transformasi

ekonomi menjauh dari basis pertanian menuju basis industri, jasa dan ilmu pengetahuan serta

peningkatan kesejahteraan sehingga seluruh rakyat terbebas dari ancaman rawan pangan dan

kemiskinan. Pada tahapan lanjut, pertanian mungkin lebih baik diposisikan sebagai jangkar penguat

ketahanan pangan serta pelestarian lingkungan hidup dan sosial budaya nasional.

Pada tataran makro, paradigm Pembangunan Untuk Pertanian dilaksanakan dengan strategi

transformasi struktural berimbang dan menyeluruh, yang pada intinya merupakan landasan untuk

menetapkan posisi sektor pertanian dalam pembangunan nasional, yang berarti pula landasan untuk

menetapkan strategi, kebijakan dan program pembangunan pertanian. Transformasi yang esensial

dalam merancang rencana jangka panjang pembangunan pertanian mencakup (Kementerian Pertanian,

2014):

1. Transformasi demografi;

2. Transformasi ekonomi (intersektoral);

3. Transformasi spasial;

4. Transformasi institusional (sosial-budaya);

5. Transformasi tatakelola pembangunan.

Transformasi demografi berkaitan dengan pengendalian jumlah dan laju pertumbuhan

penduduk menurut jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan wilayah tempat tinggal.

Dalam hal pemanfaat hasil pembangunan, jumlah dan pertumbuhan penduduk perlu dikendalikan

untuk mengurangi tekanan dalam pemenuhan kebutuhan penyediaan pangan dan kebutuhan dasar

lainnya, lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai subjek dan objek pembangunan, jumlah,

tingkat pendidikan, ketrampilan dan angkatan kerja yang sesuai merupakan kunci keberhasilan

transformasi sektoral, transformasi spasial, transformasi institusi, transformasi tatakelola

pembangunan dan transformasi pertanian. Secara umum, population dividend dan demographic

window merupakan kesempatan yang perlu dioptimalkan dalam perencanaan pembangunan jangka

panjang.

Transformasi ekonomi (intersektoral) berkaitan dengan perubahan struktur dan relasi antar

sektor dalam perekonomian nasional. Fakta terpola berdasarkan pengalaman bangsa-bangsa

menunjukkan bahwa peta jalan kemajuan setiap perekonomian diawali dengan dominasi sektor

pertanian (perekonomian berbasis pertanian), dan bahwa kemajuan perekonomian berjalan seiring

dengan penurunan peran sektor pertanian dalam penciptaan PDB dan lapangan kerja, yang secara

bertahap posisi dominan diambil alih oleh sektor industri (perekonomian berbasis industri), lalu oleh

sektor jasa (perekonomian berbasis jasa), dan selanjutnya oleh sektor industri dan jasa berbasis inovasi

ilmu pengetahuan dan teknologi maju. Penurunan secara absolut jumlah tenaga kerja di sektor

pertanian (Titik Belok Lewis) merupakan penanda dari keberhasilan transformasi intersektoral.Hingga

tahun 2013, Indonesia belum berhasil mencapai Titik Belok Lewis. Kegagalan dalam mewujudkan

transformasi intersektoral berimbang menyebabkan semakin meningkatnya jumlah petani gurem,

munculnya fenomena kemiskinan endemik petani dan perdesaan serta semakin besarnya jenjang

Page 35: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

19

ketertinggalan kesejahteraan petani dibanding dengan kelompok penduduk lainnya. Akar penyebabnya

ialah kesalahan industrialisasi, khususnya penempatan sektor pertanian dalam proses industrialisasi.

Transformasi spasial berkaitan dengan perubahan lokasi, aglomerasi dan relasi geografis

kegiatan ekonomi dan pemukinan penduduk. Fakta berpola pengalaman bangsa-bangsa, termasuk

Indonesia, menunjukkan bahwa setiap perekonomian diawali dengan dominasi wilayah perdesaan

yang ditopang oleh sektor pertanian, dan bahwa kemajuan perekonomian berjalan seiring dengan

penurunan peranan wilayah perdesaan dalam penciptaan PDB dan lapangan kerja yang secara bertahap

posisi dominan diambil alih oleh wilayah perkotaan yang ditopang oleh sektor industri dan atau jasa.

Proses transformasi spasial desa-kota terjadi beriringan dengan transformasi sektoral. Di satu sisi,

perpindahan urbanisasi merupakan kunci dari pertumbuhan perekonomian perkotaan, utamanya

melalui pertumbuhan sektor industri dan jasa. Di sisi lain, urbanisasi merupakan jalan keluar dari

cengkeraman kemiskinan bagi penduduk perdesaan, termasuk petani. Urbanisasi juga merupakan

proses untuk mencapai Titik Belok Lewis yang juga merupakan prasyarat terjadinya titik belok

kecenderungan peningkatan petani gurem. Semakin tingginya senjang kesejahteraan penduduk

perdesaan dengan penduduk perkotaan merupakan penanda dari kegagalan transformasi spasial.

Mewujudkan transformasi spasial desa-kota yang berimbang dan serasi dengan transformasi

perekonomian secara sektoral merupakan agenda pembangunan nasional jangka panjang.

Mengintegrasikan perekonomian perdesaan-sektor pertanian-perkotaan merupakan strategi yang tepat

untuk itu.

Insitusi adalah norma, dalam pengertian peraturan dan organisasi yang menentukan relasi dan

pertukaran, sebagai mekanisme untuk mengatasi masalah aksi kolektif (antar sektor, antar pekerjaan

antar perusahaan, antara perusahaan dan pekerja, antara perusahaan dan pemerintahan). Institusi

merupakan modal pembangunan yang menentukan pertumbuhan ekonomi dan distribusi hasil-

hasilnya. Institusi pembangunan mencakup aturan perundangan resmi (modal regulasi), karakter dan

organisasi sosial-budaya (modal sosial), dan organisasi advokasi bisnis (modal politik). Transformasi

aturan perundangan diarahkan untuk menciptakan lingkungan yang memberdayakan dunia bisnis,

termasuk menjamin keamanan dan ketertiban umum, perlindungan hak kepemilikan, menjamin

kepastian berusaha, mencegah praktek usaha tidak sehat, yang kesemuanya merupakan prasyarat

tumbuh-kembangnya usaha ekonomi swasta, mengurangi ongkos transaksi dan instrumen serta

mencegah dan memperbaiki kegagalan pasar.Transformasi modal sosial dilakukan dengan

menumbuhkembangkan karakter bangsa, yang terkenal terpercaya, pekerja keras, disiplin,

bersemangat kerjasama dan peduli sesama, sebagai habitus seluruh rakyat, yang kesemuanya

merupakan modal dasar untuk meningkatkan produktivitas, memacu inovasi dan menurunkan biaya

transaksi serta penguatan modal politik. Transformasi politik diarahkan untuk menciptakan sistem

pembentukan kebijakan dan tatakelola pemerintahan yang baik, termasuk pembentukan dan

pemberdayaan organisasi petani untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan dan dukungan

politik para anggotanya.

Tatakelola pembangunan (development governance) adalah proses kolektif dalam

pengambilan keputusan, pelaksanaan dan perbaikan kebijakan dan program pembangunan. Sebagai

suatu proses kolektif, tatakelola pembangunan merupakan penerapan otoritas ekonomi politik dan

administrasi dalam mengelola pembangunan. Tatakelola pembangunan meliputi mekanisme, proses

dan institusi melalui mana setiap warga negara, kelompok dan perserikatan memperjuangkan

kepentingan, melaksanakan hak-hak hukum dan melakukan kewajiban masing-masing serta mencari

resolusi perbedaan diantara mereka. Transformasi tatakelola pembangunan ialah proses dalam

mewujudkan tatakelola pembangunan yang baik (good development governance). Transformasi

tatakelola pembangunan mencakup transformasi birokrasi pemerintahan sebagai penanggung jawab

administrasi pembangunan dan transformasi proses perumusan kebijakan pembangunan. Dalam hal

birokrasi pemerintahan, desentralisasi sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundangan

merupakan salah satu perwujudan dari transformasi tatakelola pembangunan yang secara teoritis lebih

baik dari sentralisasi. Penerapan tatakelola pembangunan yang baik dalam desentralisasi pemerintahan

merupakan kunci keberhasilan pembangunan pertanian di masa datang.

Paradigma Pertanian untuk Pembangunan berpandangan bahwa strategi yang tepat untuk

mewujudkan transformasi ekonomi berimbang itu ialah dengan menjadikan transformasi pertanian

sebagai poros transformasi pembangunan nasional. Usaha pertanian terdiri dari usahatani rakyat dan

perusahaan besar pertanian, dan kemitraan antara usahatani rakyat dan perusahaan besar pertanian.

Page 36: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

20

Mengingat peranannya dalam menentukan hajat hidup rakyat yang jauh lebih besar, maka perhatian

pemerintah mestilah lebih difokuskan untuk pengembangan usahatani rakyat dan kemitraan antara

usahatani rakyat dan perusahaan besar pertanian. Transformasi pertanian diarahkan untuk

mempercepat komersialisasi usahatani rakyat dalam rangka peningkatan efisiensi, daya saing dan

peningkatan skala usahatani. Transformasi pertanian mencakup perubahan orientasi, skala, bentuk,

cakupan bidang dan manajemen rantai pasok dan teknologi usaha pertanian menurut komoditas, sub-

sektor, sektor dan lokasi spasial. Paradigma Pembangunan untuk Pertanian, berpandangan bahwa

transformasi pertanian merupakan poros penggerak transformasi pembangunan nasional secara

keseluruhan. Dengan paradigma ini, proses transformasi pembangunan nasional dikelola sedemikian

rupa sehingga dapat berlangsung dengan terpadu, sinergis, selaras dan berimbang dengan proses

transformasi pertanian (Gambar 1).

Gambar 1. Transformasi Pertanian sebagai poros transformasi pembangunan nasional

(Kementerian Pertanian, 2014)

4.4 Paradigma pembangunan pertanian: Pembangunan Sistem Pertanian-Bioindustri

Berkelanjutan

Indonesia merupakan salah satu negara yang dinilai dapat memanfaatkan teknologi Revolusi

Hijau pada akhir tahun 1960-an hingga akhir 1980-an. Teknologi Revolusi Hijau telah memungkinkan

sektor pertanian, utamanya subsektor padi-beras, tumbuh sangat pesat dan meraih swasembada beras

pada tahun 1984. Kini teknologi Revolusi Hijau telah mengalami saturasi hasil dan bahkan telah

menimbulkan dampak ikutan sindroma overintensifikasi sehingga hasil uasahatani padi mengalami

stagnasi atau bahkan cenderung turun. Pingali (2012) mengatakan bahwa periode Revolusi Hijau

(generasi pertama) ialah 1965-1985. Penelitian Grassini, Eskridge, and Cassman (2013) menunjukkan

bahwa tren produktivitas padi, jagung dan gandum menunjukkan tren pertumbuhan menurun sejak

akhir dekade 1990’an. Indonesia dan Negara-negara berkembang lainnya, kini sangat membutuhkan

terobosan (revolusi) teknologi baru pasca Revolusi Hijau (Pingali, 2013).

Oleh karena itu, masa depan pertanian Indonesia sangat ditentukan oleh keberhasilan kita

dalam mentrasformasi teknologi Revolusi Hijau menjadi teknologi Revolusi Hayati. Teknologi

Revolusi Hijau sangat berbeda dari teknologi Revolusi Hayati Tabel Kesatuan usahatani hayati

(biofarming), biomedis dan bioindustri akan menciptakan suatu sektor perekonomian yang sangat

dinamis (yang disebut bioekonomi) dan akan menjadi basis utama perekonomian setiap negara maju di

masa mendatang. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan sektor pertanian Indonesia sehingga

mampu mengemban multi-fungsinya serta menjadi poros transformasi dan motor penggerak pem

bangunan nasional sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam membangun bioekonomi nasional.

Kemajuan bioscience dan bioengineering telah mendorong tumbuh kembangnya Revolusi Hayati

(Biorevolution), yang akan mendorong perubahan mendasar dan cepat pada pertanian global di masa

Page 37: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

21

datang. Tenaga penggerak utama Revolusi Hayati antara lain: Kecenderungan semakin langkanya

energi asal fosil; Peningkatan kebutuhan pangan, pakan, energi dan serat; Perubahan iklim global dan

internalisasi dalam sistem ekonomi-politik; Peningkatan kelangkaan sumberdaya lahan dan air;

Peningkatan permintaan terhadap jasa lingkungan; Peningkatan jumlah petani marginal. Konsekuensi

dari setiap tenaga penggerak utama tersebut ditampilkan pada Tabel 8.

Tabel 7. Perbandingan Ciri-ciri Revolusi Hijau dan Revolusi Hayati

Aspek Revolusi Hijau RevolusiHayati

1.Sasaran output Bahanpangan(beras, terigu,

jagung)

Biomassa (bahanpangan, feedstock

biorefinery)

2.Sifatteknologi

Input

Pengolahan lahan

Toleransi lingkungan

Tinggi, eksternal

Intensif

Rendah, lingkungan

disesuaikan dengan teknologi

Rendah, internal

Minimal

Tinggi, atau teknologi disesuaikan

dengan lingkungan

3. Sistemusahatani Monokultur Sistemplurifarmingterpadu

4. Cakupankomoditas Tanamanpanganpokok: padi,

jagung, gandum

Tanamanpangan, tanaman hutan,

rumput, cacing, mikroba, ternak, ikan

5. Industripengolahan Industripangandanpakan Bioindustri

6. Produk Pangandanpakan Pangan, pakan, bionergi, biokimiawi,

enzim, biomaterial (plastik,

biomedikal, biopartikel)

7. Kepemilikanteknologi Terbuka Tertutup

8. Pelakudisseminasi Pemerintah Swasta, komunitas, individu, keluarga

9. Dampaksosial-ekonomi Kontroversial Kontroversial

10. Dampaklingkungan Kontroversial Kontroversial

(Kementerian Pertanian, 2014)

Tabel 8. Driving Force Revolusi Hayati

No Tren Besar Konsekuensi

1. Kelangkaan energi asal fosil

makin langka

Urgensi sumber energi terbarukan dan berkelanjutan (bio-

energi)

2. Peningkatan kebutuhan pangan,

pakan, energi dan serat

Trade off food-feed-fuel-fibre berbasis bahan pangan dan

petrokimia: urgensi pengembangan bio-produk, perubahan

pola hidup, pola konsumsi (bio-kultura)

3. Perubahan iklim global dan

internalisasi dalam sistem

ekonomi-politik

Peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi sistem pertanian

4 Peningkatan kelangkaan

Sumberdaya lahan dan air

Urgensi efisiensi dan konservasi: pengendalian konversi lahan

dan perbaikan jaringan irigasi, pertanian dengan limbah

minimal, pertanian dengan minimum input, pertanian ramah

lingkungan

5 Peningkatan permintaan terhadap

jasa lingkungan dan jasa ameniti

Peluang pengembangan pertanian ekologis,

Kualitas- lansekap pertanian (landscape quality agriculture)

6 Peningkatan petani marginal Urgensi pengembangan pluriculture

(sistem biosiklus terpadu)

(Kementerian Pertanian, 2014)

Kunci utama untuk dapat mewujudkan Revolusi Hayati itu ialah keberhasilan dalam

menumbuhkembangkan Biokultura yakni, kesadaran, semangat, nilai budaya, dan tindakan (sistem

produksi, pola konsumsi, kesadaran akan jasa ekosistem) memanfaatkan sumberdaya hayati bagi

kesejahteraan manusia dalam suatu ekosistem yang harmonis.Biokultura menjadi dalam merumuskan

etika dalam mengkaji ulang kondisi saat ini, mengevaluasi kondisi mendatang secara kritis dan

menyusun kebijakan kebijakan untuk mewujudkan dan menjaga kelestarian ekosistem.

Pada tataran praktis, transformasi pertanian dilaksanakan dengan pendekatan Sistem

Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan yang mencakup Sistem Usaha Pertanian terpadu (integrated

Page 38: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

22

farming system) pada tingkat mikro, Sistem Rantai Nilai Terpadu (integrated value chain) pada tingkat

industri atau rantai pasok dan Sistem Agribisnis Terpadu pada tingkat industri atau komoditas. Sistem

Usaha Pertanian Terpadu yang berlandaskan pada pemanfaatan berulang zat hara atau pertanian

biosiklus (bio-cyce farming) seperti sistem integrasi tanaman-ternak-ikan dan sistem integrasi usaha

pertanian-energi (biogas, bioelektrik) atau sistem integrasi usaha pertanian-biorefinery yang termasuk

Pertanian Hijau (Green Agriculture) merupakan pilihan sistem pertanian masa depan karena tidak saja

meningkatkan nilai tambah dari lahan tetapi juga ramah lingkungan.Pengembangan klaster rantai nilai

dilaksanakan dengan mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian dan komponen-komponen

penunjangnya dalam satu kawasan guna memanfaatkan ekonomi aglomerasi.

V. STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN MASA DEPAN

5.1 Redefinisi pertanian

Pertanian pada hakekatnya ialah kegiatan budidaya yang sengaja dilakukan untuk

menghasilkan biomassa dan atau mengolah biomassa menjadi bahan pangan, pakan, energi dan

beragam bioproduk bernilai tinggi serta jasa lingkungan yang berguna untuk kelangsungan hidup

manusia yang sehat dan sejahtera. Kata kuncinya ialah menghasilkan dan atau mengolah biomassa.

Dalam hal ini tidak dipersoalkan jenis makhluk hidup yang dibudidayakan. Pertanian pada dasarnya

adalah proses produksi biomassa dari segala jenis organisma yang terdiri dari lima kerajaan (Wayne's

Word, 1998):

1. Monera: Organisme satu sel yang tidak memiliki nucleus, termasuk bakteri murni (eubacteria)

dan cyanobacteria (blue-green algae)

2. Protista: Organisme memiliki sel, termasuk protozoa satu sel dan algae satu sel atau multi-sel

3. Fungi: Termasuk berbagai jenis jamur

4. Tanaman: Termasuk tanaman biomassa, tanaman khusus energi, serta tanaman pangan,

hortikultura, perkebunan, dan tanaman obat konvensional

5. Hewan: Termasuk cacing, serangga, moluska, serta ikan dan ternak yang konvensional

Pengertian di atas di satu sisi konsisten dengan pengertian pertanian modern sebagai:

“Agriculture is the art and science of growing plants and raising animals for food, other human needs

or economic gain.” (Bareja, 2008). Dalam definisi ini tidak ada pembatasan mengenai jenis tanaman

dan hewan yang dibudidayakan. Kata kunci pertanian ialah kemahiran dan kreativitas (seni) dan

penerapan ilmu dalam praktek budidaya tanaman dan hewan yang berguna untuk pangan, kebutuhan

manusia lainnya atau nilai tambah ekonomi. Jenis tumbuhan dan hewan yang dibudidayakan tidak

dibatasi. Budidaya cacing, serangga, moluska dan segala macam hewan atau tanaman non-

konvensional lainnya tercakup dalam arti pertanian modern. Namun demikian, organisme yang

dibudidayakan masih terbatas pada tanaman dan hewan. Sebagaimana diketahui, bidaya jamur sudah

lama dikenal sebagai salah satu jenis usaha pertanian yang cukup penting. Jamur memiliki kerajaan

sendiri, tidak termasuk kerajaan tanaman maupun kerajaan hewan. Perspektif Sistem Pertanian-

Bioindustri Berkelanjutan berpandangan bahwa budidaya mikroorganisme, bahkan organisme satu sel

pun, termasuk monera, protista dan fungi (bakteri, algae, bakterti, jamur, kapang) termasuk dalam

definisi pertanian.

Pertanian lazimnya dimaknai sebagai terjemamahan dari bahasa Inggris “agriculture”. Kata

“culture” dalam agriculture mengandung dua makna (Munck, 1990). Pertama, cuture diartikan

sebagai budaya sosial (makna orisinal). Dengan makna ini, pertanian berfungsi sebagai bagian dari

kebudayaan yang direfleksikan dalam tradisi bercocok tanam, budaya pangan, warisan keunikan

geografis (varietas tanaman, cita rasa hasil pertanian, panorama alam, kenyamanan lingkungan hidup).

Kedua, pertanian dapat pula diartikan sebagai budidaya organisme. Jenis organisme yang

dibudidayakan tidak dibatasi, mencakup kelima kerajaan: tanaman, hewan, fungi, protista (algae) dan

monera (bakteri). Dengan makna ini, pertanian berfungsi untuk menghasilkan komoditas yang bernilai

ekonomi, yaitu biomassa yang dapat bermanfaat langsung sebagai bahan pangan, pakan, dsb, atau

sebagai bahan baku bioindustri untuk menghasilkan pangan, pakan, energi dan beragam bioproduk.

Perspektif Sistem Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan berpandangan bahwa sebagai budidaya

organisme, pertanian tidak saja menghasilkan komoditas, tetapi juga berfungsi dalam menghasilkan

Page 39: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

23

jasa ekologi2. Sistem pertanian dapat direkayasa sedemikian rupa sehingga menciptakan siklus bio-

geo-kimia yang tertutup sehingga berperan dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam dan

lingkungan. Dengan demikian, pertanian memiliki tiga fungsi yakni fungsi ekonomi, fungsi sosial-

budaya dan fungsi ekologis. Pertanian adalah upaya manusia dalam mengelola ekosistem dan

skalanya sehingga dapat menghasilkan produk-produk yang lebih bermanfaat untuk peningkatan

kesejahteraannya. Pertanian adalah ekosistem buatan manusia yang disebut agroekosistem. Ilmu dan

teknologi yang berkaitan dengan perancangan dan pengelolaan pertanian berbasis prinsip-prinsip

ekosistem disebut agroekologi. Pertanian yang dirancang berdasarkan prinsip ekologi disebut sistem

pertanian ekologis atau sistem agroekologi.

Agroekologi didefinisikan sebagai koherensi seluruh dan setiap hal yang membuat sistem

pertanian dapat dirancang sebagai perangkat untuk memanfaatkan fungsionalitas yang disediakan oleh

ekosistem, mengurangi tekanan pada lingkungan hidup dan melindungi sumberdaya alam. Walau

beragam, definisi agroekologi memiliki beberapa kesamaan prisip dasar dalam rangka merekonsiliasi

tantangan triple trade-off keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan (Schaller, 2013):

1. Memanfaatkan fungsi ekosistem semaksimal mungkin

2. Maksimisasi biodiversitas fungsional melalui pertanaman campuran, diversifikasi antar petakan

dan pergiliran tanaman, serta diversifikasi usahatani (komplementaritas usahatani tanaman,

ternak, ikan, serangga, dsb).

3. Memperkuat regulasi biologis melalui penataan rantai makanan di dalam ekosistem. Untuk

pengendalian hama-penyakit tanaman misalnya, disarankan untuk menggunakan bilangan ganjil

(3,5,7 dsb) dalam menentukan jumlah level rantai makanan. Untuk tiga level rantai makanan,

misalnya, promosi rantai makanan level pertama (tumbuhan) dapat dilakukan dengan membatasi

keberadaan level kedua (predator) dengan menggunakan level ketiga (serangga bermanfaat).

Dengan lebih rinci, Altieri (2012) menjabarkan prisip dasar sistem pertanian ekologis sebagai berikut:

1. Daur ulang biomassa, dengan maksud optimasi dekomposisi bahan organik dan siklus nutrisi

2. Memperkuat sistem immun dari sistem pertanian melalui penguatan biodiversitas fungsional,

musuh alami, antagonis, dsb.

3. Menyediakan kondisi lahan yang baik untuk pertumbuhan tanaman, khususnya dengan mengelola

zat organik dan memperkuat aktivitas biologi tanah

4. Meminimumkan kehilangan energi, air, zat hara, dan sumberdaya genetik dengan memperkuat

konservasi dan regenerasi lahan, air, dan agro-biodiversitas

5. Meningkatkan diversitas spesies dan sumberdaya genetik di dalam agroekosistem menurut waktu

pada level usahatani dan kawasan lansekap.

6. Memperkuat interaksi dan sinergi bermanfaat diantara sesama komponen agro-biodiversitas,

sehingga dengan demikian mempromosikan fungsi-fungsi dan proses-proses ekologis utama.

Berdasarkan tujuannya, sistem pertanian ekologis dapat dibedakan menjadi sistem pertanian

konservatif ekologis dan sistem pertanian intensif ekologis. Sistem pertanian konservatif ekologis

berorientasi pada kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, dan proses produksinya

mengandalkan pada input internal agroekosistem. Sistem pertanian intensif ekologis berorientasi

untuk menghasilkan nilai tambah usahatani sebesar mungkin, termasuk dengan cara menggunggakan

input eksternal, namun dengan dampak minimal terhadap kelestarian sumberdaya alam dan

lingkungan. Sistem pertanian konservatif ekologis tidak efektif untuk peningkatan pendapatan petani

dan memacu pertumbuhan pertanian secara agregat sehingga kurang sesuai untuk Indonesia hingga

beberapa tahun ke depan. Model ini mungkin cocok bagi Negara-negar yang sudah maju.

Pertanian intensif ekologis adalah rekaya biosistem. Sebagai sebuah sistem, arsitektur

pertanian intensif ekologis dirancang dalam dua tahapan. Pertama, penetapan batas-batas lokasi serta

karakteristik sumberdaya dan lingkungan strategis sosial ekonomi tapakan lokasi pengembangan

sistem pertanian intensif ekologis tersebut. Batas-batas tapakan, karakteristik sumberdaya dan

lingkungan strategis tapakan merupakan penentu skala pengembangan dan alternatif struktur biosistem

yang layak dikembangkan di lokasi tersebut. Dalam batas inilah biosistem direkayasa sehingga

berkelanjutan secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Skala pengembangan sistem pertanian intensif

ekologis dapat mencakup satu perusahaan (usaha pertanian rakyat, perusahaan besar pertanian),

2 Uraian tentang jasa ekologis dapat dibaca pada Millenium Ecosystem Management ( 2005)

Page 40: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

24

komunitas usaha (kelompok perusahaan, termasuk kelompok tani, kemitraan petani rakyat dan

perusahaan besar pertanian), kawasan pengembangan khusus (klaster, zona), kawasan ekologis atau

lansekap.

Langkah kedua dalam perekayasaan sistem pertanian intensif ekologis ialah rekayasa

arsitektur struktur organisme di lokasi pengembangan. Struktur dimaksud mencakup jenis dan

populasi setiap spesies dan atau varietas (variasi genetik dalam satau species) sesuai dengan fungsi

ekologis masing-masing sehingga terjalin interrelasi harmonis dalam mewujudkan ciri-ciri tersebut di

atas. Secara umum, bauran biodiversitas sistem pertanian ekologis tersebut disebut organisme sekawan

(companion organisms). Salah satu contohnya ialah budidaya padi dengan pegendalian hama

berdasarkan strategi rekayasa ekologis (Heong, 2013), dengan menanam tanaman bunga nektar

(tanaman wijen, bunga matahari) yang berfungsi sebagai penarik dan tempat bernaung (refugia)

organisme pengganggu di sekeliling petakanan tanamam padi (Winarto, dkk 2013).Fungsi-fungsi

ekologis setiap jenis organisme dalam rumpun organisme sekawan tersebut mencakup:

1. Pemanfaatan optimal ruang budidaya: Organisme dapat dibudiyakan secara bersama-sama karena

mereka tidak saling bersaing atau bahkan sinergis karena berbeda dalam kebutuhan lahan, hara,

air dan matahari, berbeda kedalaman perakaran, berbeda ketinggian, berbeda musim tanam, dsb.

2. Pengendalian hama: Organisme yang bermanfaat dalam pengendalian hama-penyakit, misalnya

karena bersifat penarik (pest attractor) atau pemerangkap hama (pest trap), penjauh (pest

repellant)

3. Pendukung pollinasi: Organisme yang berkontribusi dalam peningkatan penyerbukan melalui

serangga atau organisme lain, termasuk lebah madu dan serangga lainnya serta tanaman penarik

serangga

4. Hewan herbivora dan omnivora (ternak dan ikan): Ternak ruminansia, unggas

5. Organisme dekomposer: Jamur, cacing, lalat, dsb untuk media budidaya dan sekaligus mengurai

sisa dan limbah biomassa hasil pertanian menjadi bahan pangan, pakan dan pupuk yang

selanjutnya dipergunakan dalam budidaya tumbuhan.

6. Sinergi habitat: Integrasi budidaya berbasis lahan dan berbasis air (akuakultur) dalam rangka

membangun rantai pangan (food chain) antar organisme budidaya serta daur bahan organik, daur

ulang air dan hara.

Gambar 2. Sketsa arsitektur umum sistem pertanian intensif ekologis

Page 41: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

25

Sistem pertanian intensif ekologis terdiri dari lima komponen: subsistem budidaya tanaman

darat sekawan, subsistem budidaya ternak, subsistem akuakultur, subsistem budidaya serangga

penyerbuk (pollinator), dan subsistem budidaya dekomposer (Gambar 2). Kelima subsistem tersebut

saling berinteraksi sinergis dalam suatu aliran sirkuler (semi) tertutup biogeokimia (materi biomassa,

hara, air dan energi). Subsistem budidaya tanaman darat sekawan merupakan produsen utama

biomassa primer. Tanaman air dalam subsistem akuakultur juga termasuk produsen biomassa primer.

Biomassa primer digunakan sebagai pakan ternak dan ikan. Salah satu penciri sistem pertanian

intensif ekologis ialah integrasi budidaya pertanian (tanaman-ternak) dengan budidaya perairan

(akuakultur), yang dikenal sebagai sistem integrasi pertanian akukultur yang sudad luas diterapkan di

Tiongkok, Vietnam dan beberapa daerah di Indonesia. Penciri kedua sistem pertanian intensif ekologis

ialah adanya subsistem budidaya serangga (pollinator) yang esensial bagi tanaman budidaya, dan juga

berfungsi sebagai usaha komersial. Penciri ketiga ialah subsistem dekomposer. Sisa dan limbah

biomassa pertanian diolah dalam budidaya dekomposer, yang mencakup budidaya jamur, biodigester

untuk menghasilkan biogas, budidaya cacing, dan budidaya serangga untuk menghasilkan belatung

berprotein tinggi.

5.2 Pergeseran dari paradigma agribisnis ke paradigm agrobiobisnis

Paradigma agribisnis yang dipelopori oleh Davis and Golberg (1957) dan disempurnakan oleh

Davis (1968) dipandang sudah tidak sesuai dengan konteks dan issu pembangunan pertanian

kontemporer dalam abad ke 21 ini. Tidak dapat dipungkiri, paradigma agribisnis telah berjasa dalam

menyususun kerangka teori dan program operasional pembangunan pertanian dalam era tahun 1960’an

hingga tahun 1990’an atau bahkan hingga awal dekade 2000’an, termasuk di Indonesia sejak akhir

decade 1980’an. Paradigm agribisnis berpandangan bahwa pertanian adalah usaha komersial yang

berorientasi pasar, tergantung pada input eksternal yang dihasilkan oleh lembaga atau perusaan-

perusahaan lain, industri pengolahan, dan usaha pemasaran yang dilaksanakan oleh perushaan-

perusahaan lain, fasilitasi dan jasa penunjang yang disediakan oleh lembaga atau perusaan-perusahaan

lain, serta iklim usaha (agribusiness enabling environment) yang menentukan aturan main atau

koordinasi diantara para pelaku usaha (regulasi dan fasilitasi pemerintah, asosiasi bisnis, infrastruktur

bisnis). Dengan demikian, pertanian merupakan subsistem utama dari suatu sistem agribisnis yang

terdiri dari lima subsistem (Gambar 3): Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), Subsistem

agribisnis usahatani (on-farm agribusiness), Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness),

Subsistem usaha penunjang agribisnis (agribusiness-supporting enterprises), dan Subsistem

lingkungan pemberdaya agribisnis (agribusiness enabling environment). Kiranya dicatat bahwa

Subsistem Lingkungan Pemberdaya Agribisnis dapat dipandang sebagai subsistem koordinator

dalalam konsep Goldberg (1968) dan merupakan komponen tambahan terhadap konsep sistem

agribisnis awal yang digagas oleh Davis and Goldberg (1957) dan Saragih (2010).

Perubahan context dan content pembangunan seperti yang diuraikan diatas terus mengikis

relevansi paradigm agribisnis. Paradigm agribisnis konvensional menekankan pengelolaan sistem

agribisnis mulai dari pengadaan prasasaran dan prasana usaha pertanian hingga pengolahan dan

pemasaran komoditas hasil pertanian. Penekanan lebih pada sistem logistik komoditas, bukan produk

akhir hingga titik penjualan akhir. Sistem agribisnis tidak mencakup subsistem konsumen akhir.

Kerjasama antar aktor dalam sistem agribisnis terutama ialah dalam hal informasi pasar, bukan

kerjasama dalam rangka peningkatan nilai pada setiap simpul sistem agribisnis. Tataran persaingan

masih tetap pada tingkat perusahaan dan komoditas. Konsep ini jelas sudah tidak relevan pada saat

persaingan telah bergeser pada tingkat rantai nilai dan poduk spesifik atribut. Oleh karena itulah

paradigm agribisnis telah digeser oleh paradigm rantai pasok dan kemudian rantai nilai pertanian

(agricultural value chain) pada dekade 1990’an hingga 2000’an. Paradigma agribisnis maupun rantai

nilai konvensional menekankan pada laba usaha agribisnis, sama sekali tidak menyebut hal-hal yang

berkaitan dengan nilai sosial dan nilai jasa lingkungan.

Page 42: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

26

Gambar 3. Sistem Agribisnis (Diolah dari Davis, 1968)

Paradigma agribisnis relevan pada era Revolusi Hijau, namun tidak sesuai dalam era Revolusi

Hayati karena beberapa alasan berikut. Pertama, Revolusi Hayati menekankan pentingnya nilai sosial

dan jasa lingkungan, sementara paradigma agribisnis tidak memperhatikan. Kedua, paradigma

agribisnis mekankan aliran linier komodistas sampai titik penjualan akhir, sehingga mengakibatkan

terjadinya aliran keluar zat hara dari kawasan agroekosistem basis usaha pertanian (on farm).

Karakteristik inilah yang menyebabkan lahan pertanian mengalami pemiskinan hara sehingga

memerlukan penambahan hara dan air dari sumber eksternal (pupuk kimia, air) dalam jumlah yang

terus meningkat dan selanjutnya menimbulkan kerusakan lingkungan.

Seiring dengan perkembangan bioekonomi baik dari segi ilmu maupun kegiatan

perekonomian, kini telah berkembang pula konsep baru, yaitu biobisnis. Definisi biobisnis berbeda

menurut perspektif yang digunakan, berbasis teknologi atau berbasis sumberdaya dalam proses

produksinya. Dari perspektif basis teknologi, Willoughby (2011) mendefinisikan biobisnis sebagai

kegiatan ekonomi yang diabdikan untuk pengembangan atau komersialisasi ilmu hayati (bioscience)

atau teknologi berkaitan ilmu hayati, produk atau jasa. Senada dengan Willoughby, Shahi (2006)

mendefinisikan biobisnis sebagai kegiatan komersial yang didasarkan pada pemahaman ilmu-ilmu

hayati dan proses-proses ilmu hayati, yang mencakup: Biomedikal (termasuk pemeliharaan kesehatan,

farmasi, peralatan medis, diagnostik, dll), agri-veteriner dan pangan, lingkungan dan industry, bidang

terkait (bioinformatika, bioengineering, teknologi nano, dll). Pada definisi ini, biobisnis berkenaan

dengan kegiatan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempergunakan atau

dituntun oleh ilmu hayati.

Dari basis sumberdaya, biobisnis didefinisikan sebagai kegiatan komersial yang berkaitan

dengan produksi biomassa serta konversi dan transformasi biomassa tersebut menjadi beragam bahan

pangan, pakan, energi, dan bioproduk (European Commission, 2012). Dengan definisi ini, biobisnis

mencakup kegiatan komersias dalam sektor pertanian (termasuk kehutanan dan perikanan) yang

memproduksi (agro)biomassa, (bio)industri yang mengolah (mengonversi atau mentransformasi)

biomassa, serta logistik dan perdagangan yang menghantarkan produk turunan biomassa tersebut

kepada konsumen. Definisi yang lebih umum ialah menggabungkan perspektif teknologi dan

perpektif basis sumberdaya. Biobisnis ialah kegiatan komersial yang berkaitan dengan pengembangan

atau komersialisasi ilmu dan teknologi hayati serta produksi, konversi dan transformasi biomassa

tersebut menjadi beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk.

Agrobiobisnis adalah bagian dari biobisnis yang biomassanya adalah hasil usaha pertanian

(agrobiomassa). Berdasarkan definisi biobisnis di atas, agrobiobisnis ialah usaha komersial yang

berkaitan dengan sistem rantai nilai agrobiomassa (biomassa hasil pertanian) dan sistem ilmu

pengetahuan dan inovasi pendukung rantai nilai agrobiomassa tersebut. Sistem rantai nilai

agrobiomassa mencakup usaha pertanian penghasil agrobiomassa, agrobioindustri yang mengonversi

dan mentransformasikan agribiomassa menjadi beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk,

serta agrobiologistik dan pemasaran yang menghantarkan produk turunan agrobiomassa tersebut

kepada konsumen. Sedangkan sistem ilmu pengetahuan dan inovasi mencakup pengembangan,

Page 43: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

27

komersialisasi atau diseminasi, dan penyuluhan ilmu pengetahuan dan innovasi yang dipergunakan

dalam rantai nilai agrobiomassa.

Paradigma agrobiobisnis disusun dengan lima pilar pemikiran (Simatupang, . Pertama,

agrobiobisnis berorientasi untuk memaksimalkan nilai tambah (laba) ekonomi, manfaat sosil-

politik, dan jasa lingkungan lingkungan hidup secara berimbang berdasarkan prinsip bisnis

berkelanjutan. Konsep ini berbeda dengan paradigma agribisnis konvenvensional yang hanya

berientasi pada perolehan laba ekonomi sebesar-besarnya. Orientasi manfaat sosil-politik dan jasa

lingkungan lingkungan hidup secara berimbang dengan laba ekonomi merupakan salah satu pembeda

utama paradigm agobiobisnis dari paradigm agribisnis.Paradigma agrobiobisnis berpandangan bahwa

nilai tambah sosial-politik dan jasa lingkungan tidak saja secara intrinsik bernilai kebajikan dari

perspektif publik bagi masyarakat umum, tetapi juga bernilai instrumental finansial dari perspektif

privat bagi perusahaan sendiri. Jasa lingkungan juga bernilai finansial bagi perusahaan karena tiga

alasan berikut. Pertama, usaha jasa lingkungan itu sendiri merupakan bidang usaha komersial.

Sebagai contoh, pertanian landsekap yang mencipatkan udara sehat serta panorma nyaman dan indah

dapat dijadikan sebagai bisnis pariwisata. Usaha jasa pengolahan limbah dan reklamasi lingkungan

juga dapat menjadi usaha komersial yang menguntungkan. Kedua, perusahaan dapat memperoleh

insentif atau imbalan finansial atas kontribusnya dalam menjaga dan meningkatkan kelestarian sumbar

daya alam dan lingkungan hidup, seperti carbon credit, carbon trade, dll. Ketiga, kapitalisasi reputasi

perusahaan di mata konsumen yang tercermin dalam harga atau permintaan produk yang lebih tinggi.

Landasan pemikiran kedua paradigma agrobiobisnis ialah bahwapertanian adalah rekayasa

agroekosistem untuk menghasilkan biomassa dan jasa ekosistem. Perspektif agrobiobisnis

berpandangan bahwa pertanian adalah ekosistem buatan manusia yang disebut agroekosistem. Ilmu

dan teknologi yang berkaitan dengan perancangan dan pengelolaan pertanian berbasis prinsip-prinsip

ekosistem disebut agroekologi. Pertanian yang dirancang berdasarkan prinsip ekologi disebut sistem

pertanian ekologis atau sistem agroekologi (Gambar 2). Dalam perspektif praksis, agroekologi

didefinisikan sebagai koherensi seluruh dan setiap hal yang membuat sistem pertanian dapat dirancang

sebagai perangkat untuk memanfaatkan fungsionalitas yang disediakan oleh ekosistem, mengurangi

tekanan pada lingkungan hidup dan melindungi sumberdaya alam.

Ketiga, seluruh agrobiomassa yang dihasilkan dikonversi dan transformasi menjadi

beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk, oleh fasilitas pengolahan terpadu

berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Fasilitas pengolahan demikian secara agregat

disebut agrobioindustri dan secara mikro perusahaan disebut kilang agrobioindustri (agrobiorefinery).

Agrobioindustri tidak sama dengan agroindustri. Dari segi cakupan bahan baku atau feedstock,

bioindustri lebih luas dari agroindustri. Agroindustri hanya menggunakan sebagian hasil pertanian

sebagai bahan bakunya, sementara agrobioindustri menggunakan segala jenis biomassa hasil

pertanian, termasuk sisa dan limbah. Dari segi tujuan, agrobioindustri berorientasi pada nilai tambah

sebesar-besarnya dengan menghasilkan beragam produk bernilai tinggi dari feedstock biomassa yang

digunakan dan dengan dampak lingkungan sekecil-kecilnya. Kilang agrobioindustri paling sesuai

dengan konsep industri berkelanjutan. Pertama, perdefinisi kilang agrobioindustri mengintegrasikan

beberapa alur proses (platform) pengolahan biomassa untuk menghasilkan beragam produk, sehingga

lebih banyak jenis biomassa yang diolah dan menghemat penggunaan input, termasuk feedstock,

energi dan input lainnya. Kedua, biokilang dapat mencakup proses pengolahan kembali atau

menggunakan kembali sisa dan limbah dari proses pengolahan lainnya. Sebagai contoh, onggok sisa

pengolahan ubikayu segar menjadi pati dapat diolah menjadi bahan pakan atau biogas. Ketiga,

biokilang dapat menghasilkan produk yang dapat digunakan sebagai input dalam menghasilkan

feedstock. Sebagai contoh, sisa dan limbah proses pengolahan olahan ubikayu menjadi pati, termasuk

produk ikutan biodigester, dapat diolah menjadi pupuk yang digunakan sebagai input pada usahatani

ubikayu (Gambar 4). Kesatuan sistem pertanian (Gambar 2) dan agrobiobioindustri (Gambar 4)

ekologis dalam suatu sistem tertutup disebut sistem pertanian-bioindustri berkelanjutan (Simatupang,

2014) atau Sistem Pertanian Bio-Siklus (Agus, 2014).

Keempat, sistem pertanian intensif ekologis dan agrobioindustri ekologis akan berhasil

ditumbuh-kembangkan bila dilaksanakan dengan pendekatan atau paradigma sistem

agrobiobisnis. Komponen sistem agrobiobisnis terdiri dari lima blok, yaitu blok Sistem Ilmu

Pengetahuan dan Inovasi Agrobiobisnis (Agrobiobusiness Knowledge and Innovation System), Sistem

Rantai Nilai Tambah Agrobioproduk, Sistem Industri Pendukung Agrobiobisnis, Sektor Masyarakat

Page 44: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

28

Konsumen, dan Sistem Iklim Usaha Agrobiobisnis). Kelima blok tersebut saling berhubungan secara

sirkuler dalam mengalirkan produk dagangan (input-ouput), informasi dan aturan main (Gambar 4).

Gambar 4. Sketsa arsitektur agrobioindustri ekologis

Blok Sistem Ilmu Pengetahuan dan Inovasi Agrobiobisnis berfungsi untuk menyediakan

teknologi dan pengetahuan yang diperlukan oleh keempat blok lainnya. Di dalam blok ini termasuk

lembaga pendidikan, penelitian, serta pengembangan, komersialisasi dan penyuluhan teknologi. Blok

Sistem Rantai Nilai Tambah Agrobiomassa berfungsi untuk meghasilkan agrobiomassa (pertanian, on-

farm), mengonversi dan mentransformasi agrobiomassa (agrobioindustri) menjadi beragam bahan

pangan, pakan, dan bioproduk bernilai tinggi (agrobioindustri), serta menghantarkannya

(agrobiologistik dan pemasaran) kepada konsumen. Sistem Industri Pendukung Agrobiobisnis adalah

sektor usaha swasta yang memberi dukungan untuk kelancaran usaha Sistem Ilmu Pengetahuan dan

Inovasi Agrobiobisnis dan Sistem Rantai Nilai Tambah Agrobiomassa. Sistem Iklim Usaha

Agrobiobisnis adalah elemen-elemen pembentuk konteks lingkungan strategis bagi keempat blok

lainnya. Termasuk dalam blok ini ialah standar, regulasi dan fasilitasi pemerintah, asosiasi bisnis,

organisasai konsumen, dan organisasi masyarakat sipil.

Kelima, pembangunan inklusif berkelanjutan. Pembangunan agrobiobisnis adalah pilar

utama pembangunan nasional dalam mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat secara adil dan merata

untuk sepanjang waktu. Kesejahteraan rakyat itu bersifat multi-dimensi, meliputi kesejahteraan

ekonomi, sosial-politik, dan lingkungan alam. Kesejahteraan ekonomi tercermin dari tingkat

pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kesejahteraan sosial politik tercermin

terutama dari partisipasi dalam pembangunan, sosial dan politik, pemerataan pembagian manfaat

pembangunan, kebebasan dalam aktualisasi diri. Kesejahteraan terkait lingkungan hidup termasu

antara lain kesehatan, kenyamanan dan keindahan lingkungan hidup serta kepastian akan kelestarian

sumberdaya alam dan lingkungan sepanjang masa. Dengan perkataan lain, pembangunan

berkelanjutan berlandaskan pada tiga pilar: Manfaat Ekonomi (Profit), Kemanusiaan dan Keadilan

Sosial (People), dan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (Planet).

Page 45: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

29

Gambar 5. Sketsa Sistem Agrobiobisnis

Dengan demikian, pembangunan agrobiobisnis diarahkan untuk peningkatan nilai tambah

dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi (pro growth), dengan partisipasi sosial-politik yang adil

dan merata antar individu, golongan dan wilayah (inclusive, pro-equity), dan memelihara atau bahkan

meningkatkan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup (pro environment). Kiranya

dicatat bahwa satu-satunya sektor yang secara alamiah dapat berfungsi untuk meningkatkan kualitas

lingkungan hidup ialah pertanian (dalam arti luas, termasuk kehutanan dan perikanan). Oleh karena

itu, tidak boleh tidak agrobiobisnis haruslah dijadikan sebagai tulang punggung pembangunan

berkelanjutan (Sustainable Development) atau ekonomi hijau (Green Economy) yang menjadi arus

utama arah pembangunan saat ini hingga mesa mendatang.

PENUTUP

Perubahan iklim, pertumbuhan penduduk dan kemajuan ekonomi global diperkirakan akan

menimbulkan skenarion badai sempurna (perfect storm): krisis pangan, air dan energi pada 2030.

Walau terkesan pesimistik, Indonesia haruslah mengantisipasi ancaman ini dalam penyusunan arah

kebijakan dan strategi pembangunan pertanian masa depan. Selain mengantisipasi perubahan

lingkungan strategis, pembangunan pertanian hendaklah ditempatkan pada fungsinya yang bersifat

ganda. Pertanian tidaklah semata-mata untuk mewujudkan swasembada pangan dan stabilisasai harga

komoditas pangan volatile determinan inflasi. Pembangan pertanian hendaklah ditempatkan sebagai

poros dan mesin penggerak transformasi pembangunan nasional menuju negara maju berpendapatan

tingggi. Untuk itu, strategi yang dipandang tepat ialah pengembangan sistem pertanian bioindustri.

Untuk itu, strategi pembangunan nasional mestilah mengadopsi paradigm pertanian untuk

pembangunan dan mengadopsi pendekatan agrobiobisnis. Dokumen Strategi Induk Pembangunan

Pertanian 2015-2045: Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan, Solusi Pembangunan Indonesia Masa

Depan yang telah disusun oleh Kementerian Pertanian dapat dijadikan sebagai referensi utama dalam

penjabaran lebih lanjut konsep tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, C. 2014. Desain Dan Pola Pengelolaan Sistem Pertanian Bio-Siklus Dalam Mendukung

Kemandirian Pangan Dan Energi. Makalah utama pada Seminar Nasional memperingati

Hari Pangan Sedunia ke 34, Hotel Grand Clarion, Makassar, 4 November 2014.

Page 46: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

30

Altieri, M. A. 2012. The scaling up of Agroecology: Spreading the Hope for Food Sovereignty and

Resilience. SOCLA Rio+20 Position Paper.

Albrecht, K. and S. Ettling. 2014. Bioeconomy Strategies Across Globe. Rural 21 March 2014: 10-

13.

Bareja, B.G. 2010. So, What is Agriculture? What is the Definition of Agriculture?

http://www.cropsreview.com/what-is-agriculture.html; 20 juli 2014.

Beddington, J. 2009. Food, Energy, Water and the Climate: Aperfect stormof global events?

webarchive.nationalarchives.gov.uk/.../perfect-storm-paper.pd.. Diunduh pada 30

Oktober 2016.

Bruinsma, J. 2011. The Resource Outlook 2050: By How Much do Land, Water and Crop Yields Need

to Increase by 2050?’, In P. Conforti.Looking ahead in world food and agriculture:

Perspectives to 2050, pp. 233-278. Food And Agriculture Organization, Rome.

Cranfield, J. A. L; T.W. Hertel ; J.S. Eales; and P.V. Preckel. 1998. Changes in the Structure of

Global Food Demand. GTAP Working Papers.

Davis, J.H. and R.A. Goldberg. 1958. A concept of Agribusiness. Boston : Division of Research,

Graduate School of Business Administration, Harvard University, xiv, 136 p.

Deutsche Bank. 2009. Investing in Agriculture: Far-Reaching Challenge, Significant Opportunity.

European Comission. 2012. Strategy for Innovating for Sustainable Growth: A Bioeconomy for

Europe. Staf Working Dokumen (2012) 11 Final. European Comission COM (2012) 60

Final.

Gill, T. G. (2013). Case studies in agribusiness: An interview with Ray Goldberg. Informing Science:

the International Journal of an Emerging Transdiscipline, 16, 203-212.

Giovannucci, D., S. Scherr, D. Nierenberg, C. Hebebrand, J. Shapiro, J. Milder, and K. Wheeler. 2012.

Food and Agriculture: the future of sustainability. A strategic input to the Sustainable

Development in the 21st Century (SD21) project. Department of Economic and Social

Affairs, Division for Sustainable Development, United Nations : New York.

Goldberg, R.A. 1968. Agribusiness Coordination: A Systems Approach to the Wheat, Soybean, and

Florida Orange Economies. Harvard Business School, Boston, xix + 256 pp.

Grassini, P., K.M.Eskridge, and K.G. Cassman. 2013. Distiguishing between yield advanses and

yield plateaus in historical crop production trend. Nature Communication,December: 1-

11.

Heong. K.L. 2012. Three planks in ecological engineering for rice pest management.

http://ricehoppers.net/2012/05/three-planks-for-ecological-engineering-for-rice-pest-

management/; Di unduh pada 7 Juni 2014.

Hoffmann , U. 2011. Assuring Food Security in Developing Countries under the Challenges

ofClimate Change: Key Trade and Development Issues ofaFundamental Transformation

ofAgriculture. UNCTAD Discussion Papers No. 201.

Idso, C.D. 2011. Estimates of Global Food Production in the Year 2050: Will We Produce Enough to

Adequately Feed the World? Center for the Study of Carbon Dioxide and Global Change.

Keane , J., S. Page, ,A. Kergna and J. Kennan. 2009. Climate Change and Developing Country

Agriculture: An Overview of Expected Impacts, Adaptation and Mitigation Challenges,

and Funding Requirements. ICTSD/International Food & Agricultural Trade Policy

Council, Issue Brief No. 2

Kelly, M., C. Banwell, J. Dixon, S. Seubsman, V. Yiengprugsawan, and A. Sleigh. 2010. Nutrition

transition, food retailing and health equity in Thailand . Australas Epidemiol 17(3): 4–7.

Kementerian Pertanian. 2014. Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2015-2045: Pertanian-

Bioindustri Berkelanjutan, Solusi Pembangunan Indonesia Masa Depan. Biro

Perencanaan. Jakarta.

Kruse, J. 2010. Estimating Demand for Agricultural Commodities to 2050. Global Harvest Initiative

Millenium Ecosystem Management. 2005. Ecosystem and Humen Well-being: Synthesis. Island

Press, Washington, D.C.

Munck, L. 1990. From Biotechnology to Agriculture, from Biorefineries to Agri-industry: An outline

of options for cooperation. In L. Munck and R. Rexen (Eds). Agricultural Refineries_a

bridge from farm to industry. Department of Biotechnology, Carlsberg Research Centre,

Copenhagen, Denmark. Pp.1-29

Page 47: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

31

Pingali, P. 2012. Green Revolution: impacts, limits, and the path ahead. Proceedings of the

National Academy of Science (PNAS), Vol. 109, no. 31, July: 123022-12308.

Pingali, P. L. 2013. Green Revolution: Impacts, limits, and the path ahead. Proceedings of the

National Academy of Sciences of the United States of America 109 (31, July): 12302-

12308.

Saragih, B. 2010. Agribisnis Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. IPB

Press : Food and Agribusiness Centre, Bogor, 286 p.

Schaller, N. 2013. Agroecology: Different Definitions, Common Principles. Analysis No. 52.

Centre for Studies and Strategic Foresight. France.

Sexton, R. 2013. The Renaissance of Agricultural Economics. The President’s Column, The

Exchange, newsletter of the AAAE, May-June 2013. Accessed at http://www.

aaea.org/publications/the-exchange/newsletter-archives/mayjune-2013/presidentscolumn

on December 3, 2013.

Shahi, G. 2006. Some Considerations: Biobusiness in Developing Countries. 3 rd Asian

Biotechnology Conference, Manila, November 10, 2006. Global BioBusiness Institute.

Simatupang, P. 1995. Industrialisasi Pertanian Sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan

Pertanian dalam Era Globalisasi. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Pusat

Penelitian Sosial Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Simatupang, P. 2010. Introduksi dan Praksis Paradigma Agribisnis di Indonesia: Kontribusi Profesor

Bungaran Saragih. Dalam R. Pambudy, F.B.M. Dabukke, dan B. Krisnamurthi (Eds.).

Refleksi agribisnis : 65 tahun Profesor Bungaran Saragih. Institut Pertanian Bogor Press,

Bogor.

Simatupang, P. 2014. Perspektif Sistem Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan. Dalam Haryono

(Ed)“Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian”, hal 61-79.

IAARD Press, Jakarta.

Simatupang, P. 2015. Transformasi Paradigma Pembangunan Pertanian: Dari Paradigma Agribisnis

ke Paradigma Agrobiobisnis. Dalam F.B.M. Dabukke (Ed), “Membumikan Paradigma

Agribusiness: 70 tahun Profesor Bungaran Saragih, hal 271-292. Pusat Pangan

Agribisnis-Gaung Persada (GP) Pers, Jakarta.

Thomson, A. and M. Metz. 1988. Implications of Economic Policy for Food Security : A Training

Manual. Training Materials For Agricultural Planning 40. FA0,Rome.

United Nations. 2011. World Population Prospects: The 2010 Revision. Population Division of the

Department of Economic and Social Affairs of the United Nations Secretariat.New York.

Wayne's Word. 1998. The Five Kingdoms of Life. http://waynesword.palomar.edu/trfeb98.htm;

Diunduh pada 11 Juni 2014.

Winarto, Y.T., R. Ariefiansyah and J.J. Fox. 2013. Indonesia experiments with sesame in ecological

engineering in Indramayu Regency, West Java. http://ricehoppers.net/2013/08/indonesia-

experiments-with-sesame-in-ecological-engineering-in-indramayu-regency-west-

java/;Diunduh pada 29 Agustus 2013.

Willoughby, K. W. 2011. Biobusiness 2010: Minnesota’s Competitive Position in the Biobusiness

Technology Industries. BioBusiness Alliance of Minnesota. Saint Louis Park,

Minnesota, USA.

Page 48: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

32

Page 49: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

33

MAKALAH PENUNJANG

Page 50: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

34

Page 51: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

35

ANALISIS KEBERLANJUTAN SISTEM INTEGRASI TANAMAN PADI DENGAN TERNAK SAPI PADA LAHAN SAWAH

ANALYSIS OF SUSTAINABILITY INTEGRATED RICE CROPS WITH LIVESTOCK SYSTEM IN PADDY FIELD

Dedi Sugandi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu

ABSTRAK

Penerapan sistem integrasi tanaman dengan ternak secara empiris telah terbukti dapat meningkatkan produktivitas dan keuntungan bagi petani, namun kenyataan di lapangan masih ditemukan petani yang tidak lagi menerapkan sistem tersebut. Untuk itu dilakukan kajian dengan bertujuan untuk mengetahui tingkat keberlanjutan penerapan sistem dalam upaya mendukung percepatan pencapaian program swasembada pangan. Penelitian dilakukan di Kecamatan Binong dan Sagalaherang, Kabupaten Subang, dan Kecamatan Sukaraja dan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat, serta Kecamatan seluma, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, menggunakan metode survey. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara multi stage random sampling terhadap petani padi yang memelihara ternak sapi sebayak 160 orang petani di Kabupaten Subang, dan 120 orang petani di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, dan 80 orang petani di Kabupaten Seluma, Bengkulu, yang pernah menerapkan SITT, serta 40 orang petani di Kabupaten Subang, dan 40 orang petani di Kab Tasikmalaya yang tidak menerapkan SITT. Data dianalis dengan metode akuntansi menggunakan tabulasi data untuk menghitung total keuntungan, komponen biaya, total penerimaan, total produksi, dan total penggunaan input. Selanjutnya akan dilakukan pula pengujian dengan uji-t terhadap rata-rata nilai penerimaan, biaya, dan pendapatan ushatani. Untuk mengukur tingkat keberlanjutan penerapan sistem integrasi tanaman padi dengan ternak sapi (SITT) diukur dengan metode pengukuran nilai indeks keeratan siklus (IKS) terhadap rasio penggunaan input-output internal dalam proses produksi sistem integrasi tanaman dengan ternak. Hasil kajian menunjukan Sistem integrasi tanaman padi dengan ternak sapi (SITT) pada lahan sawah di lokasi pengkajian secara ekonomi layak untuk dilanjutkan. Sistem integrasi tanaman padi dengan ternak sapi (SITT ) pada lahan sawah memiliki nilai indeks keeratan siklus input internal (IKS) > 0,5, berpeluang untuk dilanjutkan.

Kata kunci : keberlanjutan, indeks, integrasi, tanaman, ternak.

ABSTRACT

Implementation of the system integration of crops with livestock empirically has been proven to increase productivity and profitability for farmers, but in reality, there still found farmers who no longer apply the system. Due to that reason, it is essential to do a study with the aim to determine the level of sustainability of the implementation of the system in an effort to support the acceleration to achieve food self-sufficiency program. The study was conducted in the Binong sub-district and Sagalaherang sub-district, Subang regency, and the Sukaraja sub-district and Manonjaya sub-district, Tasikmalaya Regency, West Java Province, and also Seluma sub-district, Seluma Regency, Bengkulu Province, using a survey method. The sampling technique was conducted by a multi-stage random sampling of rice farmers who keeps cattle 160 farmers in Subang regency, 120 farmers in Tasikmalaya regency, West Java Province, and 80 farmers in Seluma regency, Bengkulu Province. Data were analyzed by accounting method using data tabulation to calculate the total profit, component costs, total revenue, total production and total use of inputs. Further testing using t-test against the average value of revenues, costs, and farm income. To measure the level of sustainability of the implementation of the system integration rice crops with cattle (SITT) was measured by the method of measuring the index value the closeness of the cycle (IKS) to the input-output ratio of the use of internal production process plant integration system with livestock. The study results showed that the system integration rice crops with cattle (Sitt) in paddy fields at the site assessment is economically feasible to continue. System integration rice crops with cattle (SITT) in paddy fields have index values of closeness internal input cycle (IKS)> 0.5, a chance to continue.

Keywords: Sustainability, indexes, integration, crops, cattle

Page 52: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

36

PENDAHULUAN

Dalam rangka percepatan pencapaian swasembada pangan, Pemerintah melalui Kementrian Pertanian telah meluncurkan program upaya khusus terhadap tujuh komofitas utama meliputi komoditas padi, jagung, kedelai, bawang merah, cabai, sapi potong, dan tebu. Sejalan dengan program tersebut penerapan sistem integrasi tanaman-ternak dapat diterapkan khususnya untuk komoditas padi dan sapi potong, karena ciri utama sistem integrasi tanaman ternak adalah adanya sinergisme yang saling menguntungkan guna memberikan nilai tambah yang optimal.

Sistem integraasi tanaman dengan ternak mampu menjamin keberlanjutan produktivitas lahan melalui kelestarian sumber daya alam yang ada. Sistem tersebut dikenal sebagai crop-livestock system (CLS), dan sudah banyak dikembangkan diberbagai negara Asia (Dwiyanto dan Haryanto, 2003). Menurut Fagi et al (2004), Sistem integrase tanaman ternak memiliki ciri utama adanya keterkaitan antara tanaman dan ternak, dimana limbah tanaman sepeti jerami digunakan sebagai pakan, begitupun sebaliknya kotoran ternak dapat digunakan sebagai pupuk organic untuk tanaman. Pupuk organic diperlukan untuk meningkatkan hasil padi, memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah (Syam dan Sariubang, 2004), juga dapat menekan penggunaan pupuk an-organik (Sutardi et al, 2004). Nurawan et al (2004) menyatakan pupuk organic dapat meningkatkan hasil padi sebesar 0,9 ton/ha dibandingkan tanpa pupuk organik. Selanjutnya Handaka et al (2009) menyatakan bahwa keuntungan sistem integraasi tanaman dengan ternak adalah (1) diversifikasi penggunaan sumberdaya, (2) mengurangi resiko usaha, (3) efisiensi penggunaan tenaga kerja, (4) efisiensi penggunaan input, (5) mengurangiketergantungan energy kimia, (6) ramah lingkungan, (7) meningkatkan produksi, dan pendapatan.

Manfaat lain dalam penerapan sistem integrasi tanaman dengan ternak, petani dapat mengatasi permasalahan ketersediaan pakan dengan memanfaatkan limbah tanaman seperti jerami dan dedak, juga mampu menghemat tenaga kerja yang biasa digunakan untuk mencari rumput dapat digunakan untuk kegiatan lain yang lebih produktif. Dari sisi peternakan, selain menghasilkan produk utama, ternak juga dapat menghasilkan faeses dan urine yang selama ini menjadi masalah, melalui penerapan inovasi sederhana dapat diubah menjadi kompos yang bermutu tinggi. Penggunaan kompos pada lahan pertanian juga akan mendukung kelestarian lingkungan sekaligus mewujudkan Organic Farming yang berdaya saing tinggi (Badan Litbang Pertanian, 2000).

Dari aspek peningkatan produksi dan pendapatan¸berdasarkan hasil empiris Kariyasa dan Pasandaran (2004), menunjukan bahwa usahatani padi yang dikelola tanpa dipadukan dengan ternak hanya mampu berproduksi sekitar 4,4 – 5,7 ton/ha, sementara usahatani padi yag pengelolaannya dipadukan dengan ternak sapi mampu berproduksi sekitar 4,7 – 6,2 ton/ha. Artinya bahwa usahatani poadi yang dipadukan dengan peternakan melalui pemanfaatan pupuk kandang dapat berproduksi lebih tinggi disbanding usahatani padi yang diusahakan parsial tanpa menggunakan pupuk kandang. Demikian juga dengan usaha ternak yang dikelola secara terpadu dengan usahatani padi yaitu dengan memanfaatkan jerami dan dedak sebagai pakan, membutuhkan biaya tenaga kerja lebih hemat sebesar 35,44 – 44,22 persen disbanding usaha ternak sapi dengan pengelolaan parsial. Dengan demikian sitem integrasi tanaman dengan ternak dapat diartikan sebagai solusi terhadap permasalahan pakan, memperbaiki kondisi lahan, dan dapat memperkuat ketahanan pangan (Yuliani D, 2014)

Atas dasar potensi di atas, menunjukan bahwa penerapan sistem integrasi tanaman dengan ternak secara empiris telah terbukti dan dapat dipertanggungjawabkan, namun kenyataan di lapangan masih ditemukan adanya petani yang tidak lagi menerapkan SITT. Untuk itu kajian keberlanjutan penerapan sistem integrasi tanaman-ternak khususnya pada komoditas padi dan sapi potong masih perlu dilakukan guna mendukung percepatan pencapaian program swasembada pangan.

Page 53: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

37

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Kecamatan Binong dan Sagala herang Kabupaten Subang, Kecamatan Manonjaya Kabupaten Tasikmalaya. Propinsi Jawa Barat, dan Kecamatan Seluma, Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Metode yang digunakan adalah metode survey. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Subang merupakan salah satu lokasi yang pernah digunakan untuk menerapkan program Sistem Integrasi Tanaman Padi dengan Ternak Sapi Potong pada lahan sawah yang berawal dari program bantuan pemerintah, selanjutnya disebut dengan istilah SITT program. Sedangkan Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, dan Kabupaten Seluma, Bengkulu dipilih sebagai lokasi yang memiliki banyak petani menerapkan SITT pada lahan sawah yang berawal dari modal sendiri untuk menghasilkan produk padi yang mengarah pada padi organik, selanjutnya disebut SITT non-program.

Jumlah sampel 160 orang dari Kabupaten Subang, 120 orang dari Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, dan 80 orang dari Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Rincian jumlah dan status petani sampel dari masing-masing loksi disajikan pada tabel 1.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh melalui teknik wawancara dengan berpedoman pada daftar pertanyaan berupa kuesioner. Pengisisan kuesioner selain melalui teknik wawancara juga berdasarkan hasil pengamatan dilapangan.

Tabel 1. Jumlah dan Komposisi Petani Sampel setiap Cluster di Masing-masing Lokasi.

No. Cluster Petani Jumlah Petani Sampel di Kabupaten Total

Subang Tasikmalaya Seluma

1. SITT Program - Masih berlanjut - tidak berlanjut

40 40

40 -

- -

80 40

2. SITT non-Program - berlanjut - tidak berlanjut

40 -

40 -

40 -

120

- 3 Non-SITT 40 40 40 120

Data yang dikumpulkan antara lain data identitas petani, jenis dan luas lahan garapan, jenis,

jumlah dan komposisi ternak yang dipelihara, jenis, jumlah, dan harga input yang digunakan, serta jenis, jumlah, dan harga produk yang dihasilkan. Data sekunder adalah data yang digunakan untuk menunjang data primer, diperoleh dengan cara mencatat informasi yang berasal dari instansi yang terkait dengan objek penelitian (Singarimbun dan Pasandaran, 1989). Data yang berhasil dikumpulkan selanjutnya dianalis dengan mengacu pada pernyataan Simatupang (1988) dalam Fanani (1998), yaitu analisis permintaan terhadap masukan, analisis biaya dan pendapatan, serta efisiensi usaha. Metode yang digunakan dalam analisis adalah metode akuntansi, yaitu metode analisis dengan menggunakan tabulasi data untuk menghitung total keuntungan, komponen biaya, total penerimaan, total produksi, dan total penggunaan input. Selanjutnya akan dilakukan pula pengujian dengan uji-t terhadap rata-rata nilai penerimaan, biaya, dan pendapatan ushatani yang dilakukan petani SITT dibandingkan dengan petani non-SITT.

Untuk mengukur tingkat keberlanjutan penerapan sistem integrasi tanaman padi dengan ternak sapi (SITT) pada lahan sawah diukur dengan metode pengukuran nilai indeks keeratan siklus (IKS) terhadap rasio penggunaan input-output internal dalam proses produksi sistem integrasi tanaman dengan ternak (Sugandi D, 2010). Dalam penelitian ini input-output internal tersebut adalah input usaha ternak yang berasal dari usahatani padi berupa jerami dan dedak untuk pakan, serta input usahatani tanaman yang berasal dari ternak berupa pupuk kandang dan tenaga ternak untuk membantu pengolahan lahan. Bila input ternak yang berasal dari tanaman diberi notasi XIP, dan input tanaman dari sapi diberi notasi XIT, maka notasi output ternak untuk tanaman adalah YTP dan output tanaman untuk ternak adalah YPT. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :

Page 54: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

38

mn1

HX

PY

HX

PYIKS

1 IT

m

PT

1 IP

n

TP

Keterangan : IKS : Indeks keeratan siklus input-output internal YTP : output usaha ternak (tenaga kerja ternak dan pupuk

kandang) sebagai input internal usahatani padi YPT : output usahatani padi (jerami dan dedak) bagi input internal

usaha ternak (kg) XIT : input internal usaha ternak (kg) XIP : input internal usahatani tanaman (kg) P : Harga out put (Rp) H : Harga input (Rp) N : jumlah komponen input dari ternak untuk tanaman M : jumlah komponen input dari tanaman untuk ternak

n + m : total komponen input dalam siklus Skala IKS : 0 < IKS < 1

Jika nilai IKS : 0 < IKS < 0,5 maka peluang keberlanjutan SITT lemah Jika nilai IKS : 0,5 < IKS < 1 maka peluang keberlanjutan SITT kuat

Selanjutnya akan dilakukan pengujian menggunakan analisis independent sample t-test dengan kriteria penolakan satu arah terhadap rata-rata nilai IKS pada petani yang pernah menerapkan SITT namun tidak berlanjut, dibandingkan dengan rata-rata IKS pada petani yang masih berlanjut menerapkan SITT, baik yang berawal dari program pemerintah (SITT lanjut-program), maupun non program/mandiri yang selanjutnya disebut dengan SITT lanjut non-program.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Ekonomi Penerapan SITT pada Lahan Sawah.

Keragaan ekonomis usahatani padi dengan ternak sapi potong yang dilakukan petani SITT dan non-SITT pada lahan sawah di lokasi penelitian disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Keragaan Ekonomis Usahatani Integrasi Padi dengan Ternak Sapi pada Petani SITT dan Non-SITT.

No.

Parameter

Status Petani

SITT Non SITT

1. Biaya Produksi (Rp/ha) a. Biaya Tunai/eksternal : 4.387.571,8 5.292.123,1 b. Biaya tidak tunai/internal 2.851.986,0 142.500,0 Biaya Produksi Total 7.307.325,1 5.467.123,1 2. Nilai Produksi (Rp/ha) 21.554.037,0 16.635.375,0 3. Nilai Pendapatan (Rp/ha) Dengan biaya total 14.246.712,7 11.271.812,5 Dengan biaya tunai 17.328.216,4 11.414.312,5 4. Nilai Efisiensi (B/C Ratio) Dengan biaya total 2,02 2,08 Dengan biaya tunai 5,52 2,17

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa biaya produksi total (gabungan biaya tunai dan biaya non-tunai) pada usahatani yang dilakukan petani SITT lebih tinggi di banding total biaya produksi usahatani yang dilakukan oleh petani non- SITT, namun secara statistik tidak menunjukan perbedaan yang nyata pada derajat kepercayaan 95 %, sedangkan berdasarkan alokasi penggunaan biaya tunai tanpa biaya tersamar, menunjukan kondisi yang sebaliknya, yaitu biaya produksi pada usaha yang dilakukan petani SITT lebih rendah dibandingkan dengan petani non-SITT. Keadaan ini menunjukan bahwa kehadiran ternak sapi pada usahatani padi dapat menghemat pengeluaran biaya yang berasal dari luar seperti biaya untuk pupuk (Kariyasa, 2005).

Page 55: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

39

Nilai penerimaan usahatani pada petani SITT merupakan gabungan dari nilai produksi usahatani padi dan ternak sapi, nilainya lebih tinggi dan secara statistik sangat nyata dibandingkan dengan nilai penerimaan usahatani yang dilakukan petani non-SITT. Demikian pula dengan nilai pendapatan, petani SITT lebih tinggi dari non SITT, baik melalui perhitungan biaya tunai maupun biaya total.

Nilai efisiensi usaha yang diecerminkan dari angka BC rasio, bila biaya yang digunakan dalam perhitungan berupa biaya total, maka BC rasio pada petani SITT lebih rendah dari petani non-SITT, namum secara statistik tidak berbeda nyata, sedangkan bila menggunakan biaya tunai maka BC rasio usahatani SITT lebih tinggi dari non SITT dengan perbedaan yang nyata, ini menunjukan bahwa penerapan sistem integrasi tanaman padi dengan ternak (SITT) pada lahan sawah terbukti dapat meningkatkan pendapatan sebesar 26,4 – 51,8 %, namun masih lebih rendah dari hasil penelitian Dwiyanto dan Haryanto (2001) yang melaporkan dapat meningkatkan pendapatan petani hingga 100%.

Keberhasilan penerapan SITT yang terbukti secara empiris dapat meningkatkan nilai penerimaan maupun pendapatan bagi petani, menunjukan bahwa pola tersebut secara ekonimi mampu menjamin keberlanjutan usaha.

Keberlanjutan Penerapan Sistem Integrasi Tanaman Padi dengan Ternak Sapi (SITT) pada Lahan Sawah

Tingkat keberlanjutan penerapan sistem integrasi tanaman padi dengan ternak sapi (SITT) yang diukur berdasarkan capaian nilai IKS pada tabel 3, diketahui bahwa nilai IKS pada petani SITT-tidak lanjut rata-rata sebesar 0,26 lebih rendah dibandingkan dengan IKS pada petani SITT lanjut, baik yang berawal dari program bantuan pemerintah sebesar 0,51 maupun SITT non-program sebesar 0,52. Kondisi tersebut menunjukan bahwa SITT dengan nilai IKS rendah cenderungan tidak dapat dilanjutkan, sebaliknya SITT dengannilai IKS tinggi memiliki peluang besar untuk dilanjutkan.

Tabel 3. Nilai IKS pada Petani yang menerapkan SITT

No. No. Nilai IKS SITT tdk lanjut SITT-lanjut Program SITT-lanjut non-Program

1. Rata-rata 0,26 0, 51 0,52 2. Maksimum 0,42 0,69 0,70 3. Minimum 0,25 0,28 0,29 4. Standar deviasi 0,0378 0.1263 0,1403 Jumlah Sampel 40 80 120

Tabel 4, menyajikan data hasil pengelompokan nilai IKS berdasarkan peringkat rendah, sedang dan tinggi pada petani yang menerapkan SITT lanjut maupun tidak lanjut. Pengelompokan ini didasarkan pada angka rata-rata pada SITT tidak lanjut sebagai batas peringkat rendah, angka rata-rata IKS lanjut sebagai batas peringkat tinggi, sedangkan peringkat sedang adalah angka yang berada diantara batas tersebut.

Tabel 4. Nilai IKS Berdasarkan Peringkat (Rendah, Sedang, dan Tinggi) pada Petani yang Menerapkan SITT.

No. Nilai IKS

SITT tdk lanjut SITT lanjut Program

SITT lanjut non-Program

jumlah % Jumlah % Jumlah %

1. Rendah ( < 0,26) 34 85 0 0 0 0 2. Sedang (0,26 – 0,52) 6 15 39 49 49 41 3. Tinggi ( > 0,52) 0 0 41 51 71 59 Total 40 100 80 100 120 100

Hasilnya menunjukan bahwa sebagian besar (85 %) petani SITT tidak lanjut memilki nilai IKS rendah (< 0,26) dengan kata lain keeratan siklus input-output internal SITT tidak lanjut adalah lemah. Sebaliknya kelompok petani yang menerapkan SITT lanjut sebagian besar (51 % pada SITT program, dan 59 % pada SITT non-program) memiliki nilai IKS > 0,51 selebihnya berada pada peringkat sedang. Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi nilai IKS maka keeratan siklus input-output internal yang digunakan dalam proses produksi SITT akan semakin kuat, sehingga peluang keberlanjutan penerapan SITT akan semakin tinggi.

Page 56: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

40

Selanjutnya untuk memperkuat dugaan adanya hubungan yang kuat antara nilai IKS terhadap keberlanjutan penerapan SITT, dilakukan pengujian menggunakan alat analisis independent sample t-test dengan kriteria penolakan satu arah. Analisis uji t dilakukan untuk melihat ada tidaknya perbedaan nilai IKS pada SITT lanjut dan tidak lanjut disajikan pada Tabel 5

Tabel 5. Hasil Uji Beda Nilai IKS antar kelompok Petani yang menerapkan SITT.

No. Variabel t Signifikansi

1. SITT tdk lanjut-SITT lanjut Program -11,065 0,000 2. SITT tdk lanjut - SITT lanjut non-Program -7,829 0,000 3. STT lanjut Program - SITT lanjut N.Program -1,851 0,000

Keterangan : Derajat kepercayaan 95 %.

Data pada tabel 5 menunjukan bahwa nilai IKS rata-rata pada SITT tdk lanjut adalah 0,26

menunjukan perbedaan sangat nyata terhadap SITT lanjut, baik yang termasuk dalam katagori SITT program senilai 0,51 maupun SITT non program senilai 0,52. Gambaran tersebut menunjukan bahwa tingkat keberlanjutan penerapan SITT dapat diukur dengan menggunakan indeks keeratan siklus (IKS). Semakin tinggi nilai IKS maka semakin besar peluang keberlanjutan penerapan Sistem integrasi tersebut.

Selanjutnya dapat dilihat juga bahwa nilai IKS pada SITT program dan non program tidak

menunjukan perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan = 0,05, ini dapat diartikan bahwa pada

tingkat IKS tertentu (IKS 0,52) tidak terjadi perbedaan pengaruh antara program dan non program terhadap keberlanjutan penerapan SITT. Implikasi dari keadaan tersebut adalah penerapan sistem integrasi tanaman dengan ternak berpeluang untuk dapat dilanjutkan melalui optimasi pemanfaatan input internal yang mengarah pada prinsip zero waste.

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian tentang Analisis Keberlanjutan Penerapan Sistem Integrasi Tanaman Padi dengan Ternak Sapi pada Lahan Sawah, adalah sebagai berikut :

1. Sistem integrasi tanaman padi dengan ternak sapi (SITT) pada lahan sawah di lokasi pengkajian secara ekonomi layak untuk dilanjutkan.

2. Sistem integrasi tanaman padi dengan ternak sapi (SITT )pada lahan sawah memiliki nilai indeks keeratan siklus input internal (IKS) > 0,5, berpeluang untuk dilanjutkan.

SARAN

Saran-saran berkaitan dengan hasil penelitian ini adalah :

1. Sistem integrasi tanaman padi dengan ternak sapi (SITT) pada lahan sawah dapat direkomendasikan sebagai salah satu alternatif model usahatani untuk mendukung percepatan pencapaian swasembada padi dan sapi potong.

2. Metode perhitungan nilai indeks keeratan siklus penggunaan input pada sistem usaha integrasi tanaman dengan ternak dapat dijadikan alternatif untuk penentuan kebijakan para praktisi dan penentu kebijakan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasi disampaikan kepada Kapala BPTP Jawa Barat yang telah membantu dan fasilitasi selama pelaksanaan pengkajian di Kabupaten Subang dan Tasik Malaya Jawa Barat, kapada Dr Wahyu Wibawa penanggung jawab kegiatan bioindutri berbasis padi-sapi BPTP Bengkulu yang telah membantu dalam pelaksanaan pengkajian di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2000. Integrasi Sapu di Lahan Pertanian (Crop Livestock Production Systems).Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Page 57: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

41

Dwiyanto, K. and B. Haryanto. 2001. Importance of integration in sustainable farming system. In: Integration of Agricultural and Environmental Policies in an Environmental Age. KREI/FFTC-ASPAC, Seoul, Korea. Pp. 97-111.

Dwiyanto K dan B Haryanto. 2003. Integrasi aternak dengan Usaha Tanaman Pangan.akalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi di BPTP Kalimantan Selatan, 8-9 Desember 2003, di Banjar Baru, Kalimantan Selatan.

Fagi, A.M., I.G. Ismail, dan S Kartaatmadja. 2004. Evaluasi pendahuluan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak di Bebebrapa Kabupaten di Jawa tengah dan Jawa Timur. Dalam Fagi, AM., dan Hermato (eds) Sistem Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian.

Fanani Zaenal., 1998., Optimasi Usahatani Terpadu Tanaman dengan Sapi Potong di Daerah Lahan Kering Kecamatan Kalipare Malang Selatan., Disertasi, Universitas Padjadjaran Bandung.

Handaka, agung Hendriyadi, dan T Alamsyah. 2009. Perspektif Pengembangan Mekanisasi pertanian dalam Sistem Integrasi Ternak-Tanaman berbasis Sawit, padi, dan Kakao. ProsidingWorkshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak-Tanaman: Padi, Sawit, Kakao, (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Kariyasa K. dan E. Pasandaran. 2004. Dinamika Struktur Usaha dan Pendapatan Tanaman Ternak. Proyek PAATP. Jakarta.

Kariyasa K. 2005. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak dalam Perpektif Reorientasi Kebijakan Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Petani. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3. No 1. Pusat Penelitian Sosial Ekonomindan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Nurawan, AH, H Hadiana, D Sugandi, dan Saeful Bachrein. 2004. Sistem Usahatani Integrasi Tanaman-Ternak di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, BPTP Bali, dan Casren.

Singarimbun. M, dan E. Pasandaran, 1989. Metode Penelitian Sosial. Penerbit LP3ES, Jakarta.

Sugandi D. 2010. Kajian Ekonomi Keberlanjutan Sistem Integrasi Tanaman Padi dengan Ternak sapi pada Lahan Sawah. Disertasi. Universitas Padjadjaran, Bandung.

Sutardi A., A Musofie, dan Soeharsono. 2004. Optomalisasi Produksi Passdi dengan Pemanfaatan Pupuk Organik dalam Sistem Integrasi padi- Ternak pada Agroekosistem sawah. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, BPTP Bali, dan Casren.

Syam, A, dan Sariubang. 2004. Pengaruh Pupuk Organik (kompos kotoran sapi) terhadap Produktivitas Padi di Lahan Irigasi. Prosiding Seminar Nasional Sisitem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, BPTP Bali, dan Casren.

Page 58: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

42

TEKNOLOGI PENDETEKSI TINGKAT KEKERINGAN TANAH SECARA LANGSUNG DI LAPANGAN

TECHNOLOGY TO DETERMINE SOIL DRYNESS DIRECTLY IN THE FIELD

Bandi Hermawan1, Sukisno

1, Indra Agustian

2 dan Hery Suhartoyo

3

1Program Studi Ilmu Tanah,

2Program Studi Teknik Elektro,

3Jurusan Kehutanan Universitas

Bengkulu Jl. WR. Supratman Kandang Limun, Bengkulu, Telp (0736)-21290

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Kekeringan tanah yang sering terjadi selama musim kemarau biasanya dapat dideteksi dari kondisi pertumbuhan tanaman yang ada diatasnya atau ditetapkan secara gravimetrik di laboratorium menggunakan contoh tanah. Penelitian ini bertujuan untuk merakit teknologi sederhana, murah dan ramah lingkungan dalam mendeteksi tingkat kekeringan tanah secara langsung di lapangan. Sebuah instrument dirancang khusus untuk dapat menghantarkan arus listrik pada frekuensi 1,0 kHz menembus profil tanah melalui sepasang kabel yang dimasukkan ke dalam tanah pada kedalaman yang diinginkan, serta mampu membaca karakteristik dielektrik yang muncul di dalam tanah. Nilai dielektrik yang terbaca oleh instrument adalah impedensi listrik Z dengan satuan Ω, yang selanjutnya dapat dikonversi menjadi kadar air tanah θ (g/g) menggunakan persamaan regresi nonlinear θ = a.Z

b

dimana a dan b adalah konstanta yang bergantung pada karakteristik tanah yang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa instrument yang dirakit dapat digunakan untuk mendeteksi kadar air tanah mulai dari kondisi kapasitas lapang sampai titik layu permanen dengan akurasi diatas 60 persen. Teknologi yang dihasilkan dapat digunakan untuk memonitor kelembaban tanah secara periodik sehingga memudahkan petani dalam menentukan waktu pemberian dan jumlah air irigasi yang harus diberikan agar air tanah selalu tersedia bagi tanaman.

Kata kunci: air tanah, dielektrik, kekeringan, teknologi

ABSTRACT

Soil dryness occurred in the dry seasons can usually be predicted from the crop performance and measured gravimetrically using soil samples in the laboratories. This research aimed to create a simple, cheap and environmentally friendly technology to determine soil dryness directly in the field. A tool was designed specially to inject the electrical current at 1.0 kHz frequency to travel along the soil profile to a certain depth and be able to read dielectricvalues in the soil. Dielectric values read by the instrument were electrical impedances Z (in Ω), then were converted into soil water content θ (in g/g) using a nonlinear regression of θ = a.Z

b, where a and b were constants influenced by other

soil characteristics. Results showed that the instrument was able to detect soil water content ranging from field capacity to permanent wilting points with the accuracy of more than60 percent. Technology resulted in this study may be useful to monitor soil wetness periodicall, therefore may help farmers in determining timing and amount of irrigation application.

Keywords: dielectric, dryness, soil water, technology

PENDAHULUAN

Salah satu faktor utama yang berperan dalam proses budidaya tanaman adalah iklim yang berdampak pada kekeringan tanah selama musim tanam. Kekeringan tanah yang sering terjadi selama musim kemarau biasanya dapat dideteksi secara kualitatif oleh petani dari kondisi pertumbuhan tanaman yang tumbuh diatasnya. Pengetahuan tentang fluktuasi kadar air di dalam tanah sangat dibutuhkan dalam pengelolaan lahan, termasuk pengelolaan air berkelanjutan pada berbagai jenis usaha tani (Dhakal et al., 2015). Berbagai pendekatan telah dilakukan peneliti untuk memprediksi dinamika air di dalam tanah diantaranya pemodelan retensi air tanah berbasis rasio pori dan padatan sebagaimana dilaporkan Sysuev et al. (2013).

Secara kuantitatif, tingkat kekeringan tanah ditetapkan secara gravimetrik di laboratorium menggunakan contoh tanah. Penetapan jumlah air yang ada di dalam tanah dengan metode ini diawali dengan pengambilan contoh tanah pada kedalaman tertentu, penimbangan dan pengeringan di dalam oven hingga tidak ada lagi air yang tersisa di dalam contoh tanah (Gardner, 1986). Kadar air tanah

Page 59: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

43

dihitung berdasarkan rasio berat air yang hilang dari tanah akibat pengeringan di dalam oven dan berat tanah kering oven. Penetapan kekeringan tanah secara gravimetrik memiliki beberapa kelemahan meskipun hasil yang diperoleh sangat akurat. Waktu dan tenaga yang dibutuhkan sangat banyak untuk mendapatkan satu nilai kadar air tanah sebagai penduga tingkat kekeringan tanah. Untuk mengeringkan contoh tanah di dalam oven dibutuhkan waktu 24 sampai 48 jam bergantung pada ukuran sampel tanah. Pengambilan contoh tanah juga menimbulkan masalah ketika harus diambil dari lokasi yang sulit dijangkau atau yang dapat menimbulkan kerusakan zona perakaran seperti pada lokasi tanaman semusim yang belum dipanen.

Dalam tiga dekade terakhir, para ahli ilmu tanah sudah mengembangkan teknologi pendeteksi kekeringan tanah secara tidak langsung, yakni melalui pengukuran sifat-sifat tanah yang berhubungan dengan air tanah. Top et al. (1980) mengembangkan alat bernama Time-Domain Reflectrometry, teknologi elektromagnetik untuk mengukur waktu travel listrik di dalam tanah dan menghubungkannya dengan kandungan air tanah. Sementara Cheng et al. (2012) dan Franz et al. (2016) menyempurnakan instrumen bernamaNeutron Probe yang memanfaatkan radio isotop untuk menduga kadar air tanah di lapangan. Shen et al. (2015) telah memanfaatkan isotop hidrogen dan oksigen untuk melacak penyerapan air oleh tanaman padi sawah yang digenangi dan tidak digenangi air. Namun kedua jenis instrumen tersebut sangat mahal dan penggunaannya membutuhkan keterampilan yang tinggi sehingga sangat sulit untuk diterapkan di level petani di Indonesia.

Sejak tahun 2000 penulis telah merintis pengembangan teknologi pendugaan kekeringan tanah melalui pengukuran salah satu sifat dielektrik tanah, yakni impedensi listrik (Hermawan et al., 2000). Impedensi diketahui memiliki hubungan yang sangat erat dengan kadar air tanah secara nonlinear, dimana perubahan nilai impedensi per unit perubahan kadar air tanah cenderung meningkat dengan semakin keringnya tanah. Secara matematis, hubungan tersebut digambarkan sebagai berikut: θ = a.Z

b, dimana θ adalah kadar air tanah gravimetrik (satuan g/g), Z adalah impedensi listrik (satuan Ω), a

dan b adalah konstanta. Model pendugaan kekeringan tanah melalui pengukuran impedensi listrik tanah berhasil diterapkan untuk menilai keseimbangan air tanah serta menduga kebutuhan air bibit kelapa sawit di persemaian (Hermawan, 2016). Namun penelitian terdahulu belum menghasilkan nilai tunggal konstanta a dan b sehingga teknologi yang telah diperoleh belum dapat diaplikasi secara langsung di lapangan.

Penelitian ini bertujuan untuk merakit teknologi sederhana, murah dan ramah lingkungan dalam mendeteksi tingkat kekeringan tanah secara langsung di lapangan.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di lahan bekas tambang batubara PT. Bukit Asam, Sumatera Selatan, dan di Laboratorium Ilmu Tanah Universitas Bengkulu pada bulan Maret sampai Agustus 2016. Sebuah instrumen dirancang khusus untuk dapat menghantarkan arus listrik pada frekuensi 1,0 kHz dan menembus profil tanah melalui sepasang kabel yang dimasukkan ke dalam tanah pada kedalaman yang diinginkan, serta mampu membaca karakteristik dielektrik yang muncul di dalam tanah (Gambar 1). Prinsip kerja alat ini adalah besaran impedensi listrik di dalam tanah bergantung pada proporsi jumlah air dan udara yang ada di dalam pori-pori tanah, nilai impedensi meningkat dengan bertambahnya proporsi udara, karena udara adalah penghambat listrik yang besar, yang menggambarkan meningkatnya derajat kekeringan tanah.

Page 60: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

44

Gambar 1. Komponen elektronik (kiri) dan instrumen pendeteksi kekeringan tanah melalui

pengukuran impedensi listrik (kanan, warna biru).

Nilai dielektrik yang terbaca oleh instrument adalah impedensi listrik Z dengan satuan Ω, yang selanjutnya dapat dikonversi menjadi kadar air tanah θ (g/g) menggunakan persamaan regresi nonlinear θ = a.Z

b dimana a dan b adalah konstanta yang bergantung pada karakteristik tanah yang

lain. Instrumen ini paling cocok digunakan untuk memonitor laju pengeringan tanah di lapangan mulai dari kondisi tanah pada kapasitas lapang (sesaat setelah kejadian hujan) hingga kekeringan mendekati kondisi titik layu permanen ketika tanaman mulai menunjukkan gejala layu. Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan konstanta a dan b dengan cara mengukur nilai Z dan berat sampel tanah pada kondisi jenuh untuk penghitungan kadar air tanah secara gravimetrik (θ). Sampel tanah yang digunakan diambil pada kedalaman 0-20 cm dari lahan reklamasi bekas tambang batubara PT. Bukit Asam, Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Setelah pengukuran pertama, air pada sampel tanah dibiarkan menguap, lalu pengukuran Z dan θ diulangi sampai tingkat kekeringan sampel tanah mendekati titik layu permanen. Pasangan data Z dan θ dianalisis menggunakan persamaan diatas untuk mendapat kontanta a dan b.

Kalibrasi instrumen sebagaimana dilakukan dalam penelitian ini sudah umum dilakukan dalam penelitian sebelumnya. Mortlet al. (2011), misalnya, melakukan kalibrasi terhadap alat pengukur kadar air berbasis dielektrik ketika diaplikasikan pada tanah yang banyak mengandung garam di daerah pesisir. Setelah diperoleh konstanta a dan b untuk lokasi tertentu, sepasang kabel dimasukkan ke dalam tanah hingga kedalaman yang diinginkan, ujung kabel di dalam tanah dikupas sepanjang 5 cm dan bertindak sebagai sensor, sedangkan ujung bagian yang diatas tanah dikupas 2 cm untuk dihubungkan dengan instrumen (Gambar 2). Instrumen terlebih dahulu dihubungkan dengan sepasang kabel yang sudah dimasukkan ke dalam tanah lalu dinyalakan, nilai Z (dalam Ω) muncul di layar LCD. Nilai yang terbaca dikonversi menjadi kadar air tanah sesaat θ dengan menggunakan persamaan θ = a.Z

b dimana a dan b untuk tanah yang dimonitor sudah diketahui.

Page 61: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

45

Gambar 2.Sketsa pemasangan instrumen untuk mendeteksi kekeringan tanah di lapangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konstanta a dan b pada beberapa jenis tanah

Hasil kalibrasi alat menggunakan 20 sampel dari berbagai lokasi lahan bekas tambang yang sudah direklamasi menunjukkan bahwa konstanta a bervariasi dari 1,47 sampai 7,24 dengan nilai rata-rata 4,74 (Tabel 1). Sementara konstanta b berkisar antara -0,61 sampai -0,29 dengan rata-rata -0,44. Berdasarkan hasil kalibrasi laboratorium sebagaimana disajikan pada Tabel 1, teknologi yang dihasilkan pada penelitian ini sudah dapat diterapkan untuk pengukuran tingkat kekeringan tanah secara langsung di lapangan. Namun perlu diingat bahwa teknologi ini baru dapat dilakukan untuk memonitor kekeringan tanah secara temporal pada suatu lokasi dimana konstanta a dan b sudah ditetapkan di laboratorium. Dengan demikian, teknologi ini sangat sesuai digunakan dalam menentukan waktu pemberian dan jumlah air irigasi yang diberikan oleh petani.

Tabel 1. Sebaran konstanta a dan b pada 20 sampel tanah yang diambil dari lahan bekas tambang batubara PT. Bukit Asam, Sumatera Selatan

No. Sample Konstanta a Konstanta b Nilai Z (Ω) Koefisien Korelasi R2

1 5,4 -0,55 73 0,82

2 3,26 -0,36 94 0,71

3 6,96 -0,61 166 0,85

4 7,04 -0,52 116 0,98

5 2,54 -0,36 159 0,83

6 6,7 -0,6 95 0,93

7 5,13 -0,43 656 0,88

8 1,93 -0,39 240 0,85

9 6,89 -0,50 158 0,99

10 1,47 -0,29 451 0,88

11 2,23 -0,41 586 0,85

12 5,02 -0,31 321 0,95

13 3,21 -0,47 667 0,76

14 3,17 -0,34 837 0,98

15 3,92 -0,35 105 0,99

16 6,7 -0,52 55 0,91

17 4,15 -0,45 304 0,86

18 6,7 -0,52 181 0,91

19 5,13 -0,4 563 0,97

20 7,24 -0,39 177 0,90

Rerata 4,74

(Sd 40%)

-0,44

(Sd 20%) - -

Sumber : Data primer (2016)

Profil tanah Instrumen pembaca Z

Bagian kabel yang

dikupas (sensor), 5 cm

Page 62: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

46

Mengingat pengoperasian model pada teknologi ini berdasarkan nilai rata-rata dari konstanta a dan b, akurasi instrumen dapat diketahui dengan menghitung standar deviasi terhadap rata-rata kedua konstanta tersebut. Standar deviasi dari nilai rata-rata a adalah 1,89 atau terjadi penyimpangan sebesar 40 persen dari nilai rata-rata tersebut. Sedangkan nilaistandar deviasib adalah-0,09 atau sebesar 20 persen dari nilai rata-ratanya. Berdasarkan nilai-nilai standar deviasi tersebut, dapat diperkirakan bahwa akurasi teknologi yang dihasilkan berkisar antara 20 sampai 40 persen. Artinya, ketika instrumen digunakan untuk menduga kandungan air di dalam tanah, dari 100 sampel yang diukur akan ada 20 sampai 40 data yang menyimpang dari hasil dugaan menggunakan rata-rata a dan b.

Pemanfaatan teknologi sebagai pendeteksi kekeringan di lapangan

Aplikasi suatu teknologi di lapangan membutuhkan informasi tentang akurasinya agar petani dapat menggunakannya tanpa menderita kerugian akibat data yang dihasilkan terlalu tinggi (overestimated) atau terlalu rendah (underestimated) dari kondisi sebenarnya. Oleh sebab itu, ketika diaplikasikan di lapangan maka operator harus mengetahui perkiraan besaran simpangan hasil pembacaan terhadap kondisi sebenarnya di lapangan. Dalam penelitian ini, nilai standar deviasi sebagaimana diuraikan diatas dapat dijadikan pedoman bagi operator dalam membuat interpretasi terhadap data yang dibaca oleh instrumen. Sebagai contoh, ketika diperoleh informasi bahwa tingkat kekeringan kritis, yakni setara dengan kadar air pada kondisi titik layu permanen, di suatu lokasi adalah 0,2 g/g dan pada kapasitas lapang sebesar 0,4 g/g, maka petani dapat memberikan toleransi sekitar 20 sampai 40 persen, penyiraman dapat dilakukan ketika kadar air sudah turun menjadi sekitar 0,28 g/g (asumsi masih ada 40 persen air tersedia sebelum mencapai titik layu permanen). Dengan interpretasi yang demikian, kematian tanaman akibat kekeringan yang terjadi sebagai dampak dari akurasi teknologi dapat dihindarkan.

Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa instrumen yang dirakit dapat digunakan untuk mendeteksi kadar air tanah mulai dari kondisi kapasitas lapang sampai titik layu permanen dengan akurasi diatas 80 persen. Teknologi yang dihasilkan dapat digunakan untuk memonitor kelembaban tanah secara periodik sehingga memudahkan petani dalam menentukan waktu pemberian dan jumlah air irigasi yang harus diberikan agar air tanah selalu tersedia bagi tanaman. Teknologi yang dikembangkan dapat pula digunakan petani dan pengusaha di bidang budidaya pertanian untuk mengatur strategi dan menentukan teknik konservasi air karena efisiensi penggunaan air di lapangan sangat menentukan produktivitas lahan sebagaimana yang dilaporkan oleh Murtilaksono et al. (2011) pada lahan kelapa sawit. Dinamika air tanah pada zona perakaran belum banyak diketahui (Li et al., 2015) sehingga metode yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat digunakan dalam mengatasi masalah air tanah di lapisan perakaran. Apabila tingkat kekeringan tanah dapat diukur secara cepat, maka kandungan air higroskopis yang terdapat dalam pori-pori mikro dapat pula digunakan sebagai penduga kandungan liat di dalam tanah (Wuddivira et al., 2012).

KESIMPULAN

Instrumen pendeteksi kekeringan yang dirakit melalui penelitian ini dapat digunakan untuk mendeteksi kadar air tanah mulai dari kondisi kapasitas lapang sampai titik layu permanen dengan akurasi diatas 60 persen. Teknologi yang dihasilkan dapat digunakan untuk memonitor kelembaban tanah secara periodik sehingga memudahkan petani dalam menentukan waktu pemberian dan jumlah air irigasi yang harus diberikan agar air tanah selalu tersedia bagi tanaman. Namun petani harus memberikan toleransi penyimpangan data sebesar 20 sampai 40 persen agar tidak menimbulkan kerugian akibat pertumbuhan tanaman yang terganggu. Disarankan agar keputusan petani menyiram tanaman dilakukan ketika air yang tersedia bagi tanaman, atau selisih antaran kadar air kapasitas lapang dan titik layu permanen yang terbaca oleh alat, masih tersisa sekitar 40 persen. Pemberian air irigasi pada tingkat kekeringan mendekati titik layu permanen dapat menimbulkan resiko bagi pertumbuhan dan hasil tanaman.

Page 63: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

47

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Syahdano Yamadasi (mahasiswa Jurusan Teknik Elektro Universitas Bengkulu) yang telah membantu perakitan instrumen, serta Zainal Arifin dan Umu Kalsum (alumni dan mahasiswa Jurusan Budidaya Pertanian Universitas Bengkulu) untuk bantuan penyiapan sampel dan pengumpulan data. Penelitian ini didanai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, melalui program Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi tahun 2016.

DAFTAR PUSTAKA

Cheng, C.L., M. Kang, E. Perfect, S. Voisin, J. Horita, H. Bilheux, J.M. Warren, D.L. Jacobson, and D.S. Hussey. 2012. Average soil water retention curves measured by neutron radiography. Soil Science Society of America Journal: 76 (4): 1184-1191.

Dhakal, R.S., G.Syme, E. Andre, and C. Sabato. 2015. Sustainable water management for urban agriculture, gardens and public open space irrigation: A case study in Perth. Agricultural Sciences: 6: 676-685.

Franz, T.E., A. Wahbi, M. Vreugdenhil, G. Weltin, L. Heng, M. Oismueller, P. Strauss, G. Dercon, and D. Desilets. 2016. Using cosmic-ray neutron probes to monitor landscape scale soil water content in mixed land use agricultural systems. Applied and Environmental Soil Science. http://dx.doi.org/10.1155/2016/4323742. [Diunduh Tgl 30 September 2016].

Gardner, W., 1986. Water content. In A. Klute (Ed). Methods of Soil Analysis. Part 1: Physical and Mineralogical Methods. Second edition. ASA, Inc., SSSA, Inc., Madison, Wisconsin, USA. pp. 493 – 544.

Hermawan, B. 2016. Teknik penetapan kebutuhan air bagi tanaman melalui pengukuran sifat dielektrik tanah. Dalam Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 5-6 Agustus 2016 di Lhokseumawe, Prosiding SEMIRATA BKS barat ilmu-ilmu pertanian (dalam proses penerbitan).

Hermawan, B., Z. Bahrum, dan Hasanudin, 2000. Pendugaan nilai kepadatan tanah melalui pengukuran sifat dielektrik: suatu teknik analisis tanah baru berwawasan lingkungan. Laporan Akhir Hibah Bersaing VIII. Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu.

Li, X., H. Shi, J. Simnek, X. Gong, and Z. Peng. 2015. Irrigation Science: 33: (4): 289-302.

Mortl, A., R. Muñoz-Carpena, D. Kaplan, and Y. Li. 2011. Calibration of a combined dielectric probe for soil moisture and porewater salinity measurement in organic and mineral coastal wetland soils. Geoderma: 161: 50–62.

Murtilaksono, K., W. Darmosarkoro, E.S. Sutarta, H.H. Siregar, and Y. Hidayat. 2011. Feasibility of soil and water conservation techniques on oil palm plantation. Agrivita: 33 (1): 63-69.

Shen, Y. J., Z. B. Zhang, L. Gao, and X. Peng. 2015. Evaluating contribution of soil water to paddy rice by stable isotopes of hydrogen and oxygen. Paddy Water Environment: 13: 125–133. http://e-resources.perpusnas.go.id:2071/docview/1641600583?pq-origsite=summon. (Diunduh tgl 30 September 2015).

Topp, G.C., J.L. Davis, and A.P. Annan. 1980. Electromagnetic determination of soil water content: Measurements in coaxial transmission lines. Water Resources Research: 16: 574–582.

Sysuev, V.A., I.I. Maksimov, V.V. Aleks eev, and V.I. Maksimov. 2013. Soil water retention curves based on idealized models. Russian Agricultural Sciences: 39 (5–6): 522-525.

Wuddivira, M.N., D.A. Robinson, I. Lebron, L. Bréchet, and M. Atwell. 2012. Soil Science Society of America Journal: 76 (5): 1529-1535.

Page 64: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

48

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KAMBING LOKAL MELALUI KAWIN SILANG DENGAN KAMBING UNGGUL DI DESA TEMBELING KABUPATEN BINTAN

KEPULAUAN RIAU

PRODUCTIVITY IMPROVEMENT OF LOCAL GOAT THROUGH CROSSBREEDING WITH SUPERIOR GOAT AT TEMBELING VILLAGE BINTAN REGENCY OF RIAU ISLAND

PROVINCE

Yayu Zurriyati dan Dahono

Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) Kepulauan Riau

Jl. Pelabuhan Sungai Jang no 27 Tanjung Pinang-Kepulauan Riau

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Peningkatan mutu genetik ternak dapat dilakukan melalui dua cara yaitu seleksi dan perkawinan silang, yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas ternak. Tujuan kegiatan untuk meningkatkan produktivitas kambing lokal melalui perkawinan silang dengan kambing unggul yaitu kambing Peranakan Ettawah (PE). Kegiatan dilaksanakan di Desa Tembeling, Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau melibatkan 20 ekor ternak kambing lokal betina umur ± 1.5 tahun dan 2 ekor pejantan yaitu 1 ekor pejantan PE dan 1 ekor pejantan lokal umur 1.5 - 1.8 tahun. Pakan berupa rumput lapangan dan urea molases blok (UMB) sebagai pakan tambahan. Ternak induk betina dibagi dalam dua perlakuan, 10 ekor dikawinkan dengan pejantan PE (perlakuan A) dan 10 ekor dikawinkan dengan pejantan lokal (perlakuan B). Perkawinan terjadi secara alami setelah tampak tanda-tanda berahi dari ternak betina. Data dikumpulkan meliputi: distribusi tipe kelahiran, litter size dan bobot lahir anak. Analisis data menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan distribusi tipe kelahiran pada perlakuan A adalah kelahiran tunggal 22 %, kembar dua 78 %. Sementara pada perlakuan B, tipe kelahiran kembar dua 75 % dan kembar tiga 25 %. Litter size pada perlakuan A =1.80 dan B= 2.30. Bobot lahir pada perlakuan A, anak tunggal = 2.45 ± 0.35, anak kembar dua=1.90±0.14. Pada perlakuan B, bobot lahir anak kembar dua = 1.35±0.47, kembar tiga= 1.0±0.2. Bobot lahir anak hasil persilangan kambing lokal dengan pejantan PE lebih tinggi sebesar 41%. Bobot lahir yang tinggi berkorelasi positif pada bobot sapih dan perkembangan ternak selanjutnya.

Kata kunci: Kawin silang, Produktivitas, Kambing Unggul

ABSTRACT

Improvement genetic quality can be done in two ways, selection and crossbreed. Through improvement genetic quality is expected to increase the productivity of livestock. This research was aim to improvement genetic quality of local goat through cross breeding with superior goat Peranakan Ettawah (PE). The activities was conducted at Tembeling village, Bintan regency of Riau Islands province involving 20 local female goats, age ± 1.5 years old belonging the farmer . The feed given consist of native grass and urea molasses block (UMB) as a feed supplement. The female goat was divided into two treatment, with 10 mating crossbreed with PE (A) and the other mated with local goat (B). Mating was done natural system. Data collected include type birth distribution, litter size and birth weight. Data was analyzed statistic descriptively. The results showed that, treatment A, single birth weight = 2.45 ± 0.35 kg / animal, twin birth weight =1.90±0.14 kg / animal. While in treatment B, twin birth weight = 1.35±0.47, triplet birth weight=1.0±0.2. Birth weight at treatment A was higher than treatment B (41%). The higher birth weight could be positive correlation with grow up of the goat.

Keywords: Quality of genetic, Cross breeding, Superior goat

Page 65: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

49

PENDAHULUAN

Upaya pemenuhan kebutuhan daging nasional diantaranya berasal dari ternak kambing. Secara umum ternak ini sangat efisien dalam mengubah hijauan pakan menjadi protein hewani, reproduksi lebih cepat dibandingkan ternak besar dan cukup adaptif terhadap berbagai kondisi lingkungan. Dari populasi kambing yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, hampir seluruhnya berupa usaha peternakan rakyat dengan skala pemeliharaan sekitar 2 – 7 ekor serta produktivitasnya relatif masih rendah. Sementara itu konsumsi daging kambing baru sekitar 40% yang dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri (Ditjennak, 2009). Permintaan daging kambing terutama akan meningkat pada saat adanya perayaan keagamaan seperti idul Adha. Disamping permintaan akan kambing hidup dari negara-negara di Timur Tengah dan Malaysia belum dapat dipenuhi oleh Indonesia, karena persyaratan berat hidup ternak kambing 40 kg/ekor (Rusdiana et al., 2004). Menurut Sumoprastowo (1988) dalam Magdalena, S., (2009) bahwa rata-rata berat lahir kambing lokal sebesar 1-2 kg, dan laju pertambahan berat badan ternak kambing lokal adalah sebesar 43 gram/ekor/hari.

Populasi ternak kambing di Provinsi Kepulauan Riau saat ini tercatat 20.941 ekor. Jumlah ini mengalami penurunan sebesar 2,9 % dibanding tahun sebelumnya yaitu 21.558 ekor.Sementara populasi ternak kambing di Kabupaten Bintan, sebagai salah satu kabupaten yang harapkan sebagai wilayah pengembangan ternak, tercatat hanya berjumlah 1.129 ekor (BPS Kepri, 2015). Rendahnya populasi ternak kambing ini diduga karena tingkat produktivitas ternak yang rendah.

Peningkatan produktivitas ternak dapat dilakukan melalui perbaikan mutu genetik dan lingkungan tempat ternak tersebut dipelihara. Menurut Subandrio (2005), Perubahan performan yang diperoleh dari perbaikan lingkungan, misalnya perbaikan nutrisi atau manajemen, bersifat sementara. Performan ternak akan kembali ke keadaan semula apabila perubahan yang disebabkan oleh perbaikan lingkungan tersebut dihentikan. Persilangan, merupakan salah satu cara untuk memperbaiki mutu ternak, yaitu dengan mengawinkan ternak dari bangsa yang berbeda. Kawin silang antar bangsa yang berbeda adalah sistem persilangan yang banyak dilakukan di negara-negara sedang berkembang, dilakukan dengan tujuan untuk mengambil keuntungan dari gejala heterosis dan kualitas-kualitas baik dari dua bangsa atau lebih yang mempunyai tipe yang jelas berbeda yang terdapat di dalam kombinasi yang saling melengkapi (Martojo, 1992; Bourdon, 1997 dalam Rahmad D, et al., 2006). Leymaster (2003) mengemukakan bahwa dengan persilangan diharapkan performa generasi pertama akan melebihi rataan performa tetuanya, sehingga untuk mengevaluasi hasil persilangan secara sederhana dapat dilakukan dengan membandingkan performa ternak hasil persilangan dengan salah satu tetuanya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat produktivitas ternak kambing hasil persilangan antara kambing lokal dengan kambing PE yang dilaksanakan pada peternakan rakyat di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.

METODE PENELITIAN

Kegiatan dilaksanakan di Desa Tembeling, Kampung Siantan, Kecamatan Teluk Bintan,Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.Kegiatan ini melibatkan petani kooperator dari kelompok Cahaya Purnama. Jumlah ternak kambing milik kooperator yaitu kambing betina 20 ekor umur ± 1.5 tahundan 2 ekor pejantan yaitu 1 ekor pejantan PE dan 1 ekor pejantan lokal umur 1.5 - 1.8 tahun. Ternak dipelihara dalam kandang panggung. Pakan yang diberikan berupa rumput lapangan dan urea molases blok (UMB) sebagai pakan tambahan yang diberikan tiap 3 hari sekali. Kandungan UMB tersebut adalah dedak, konsentrat, mineral, molases dan mineral.

Ternak induk betina dibagi dalam dua perlakuan, dimana 10 ekor dikawinkan dengan pejantan PE (A) dan 10 ekor dikawinkan dengan pejantan lokal (B). Perkawinan antar ternak dilakukan secara kawin alam setelah tampak tanda-tanda berahi dari ternak kambing betina. Pemberian pakan 2 kali sehari (pagi dan sore). Air minum diberikan secara ad libitum.

Perkawinan silang dilaksanakan jika telah tampak tanda-tanda birahi pada ternak kambing betina, yaitu gelisah, nafsu makan menurun, sering kencing, kemaluan bengkak, merah dan berair serta mau/diam bila dinaiki. Perkawinan silang dilakukan secara kawin alam, dengan cara memasukkan betina berahi dalam kandang pejantan.

Data yang dikumpulkan meliputi: distribusi tipe kelahiran, jumlah anak perkelahiran (litter size) dan bobot lahir anak. Penghitungan masing-masing variabel tersebut adalah:

Page 66: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

50

1. Distribusi tipe kelahiran : dihitung persentasekelahiran tunggal , kembar dua dan kembar tiga dari total induk yang melahirkan

2. jumlah anak per kelahiran : dihitung dari total jumlah anak yang lahir dibagi jumlah induk

yang melahirkan

3. Bobot lahir : berdasarkan hasil penimbangan bobot badan saat lahir.

Data selanjutnya dianalisis menggunakan statistik deskriptif (Steel and Torrie JH. 2001).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tipe kelahiran dan litter size

Kebuntingan pada ternak kambing dapat diketahui jika ternak betina tidak menunjukkan gejala berahi kembali pada bulan setelah terjadi proses perkawinan. Pada kelompok betina yang dikawinkan dengan pejantan PE (perlakuan A) didapatkan rataan lamanya kebuntingan 153 ± 1.2 hari, sementara pada perlakuan B, lamanya kebuntingan tercatat 154 ±1.0. Sementara tipe kelahiran dari kedua kelompok perlakuan tersebut disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi tipe kelahiran (%) dan rataan jumlah anak sekelahiran (ekor/kelahiran)

Perlakuan Tipe kelahiran (%) Jumlah anak sekelahiran

Tunggal Kembar dua Kembar tiga

A 22 78 - 1.80

B - 75 25 2.3

Pada Tabel 1. terlihat bahwa persentase kelahiran kembar dua pada perlakuan A maupun B cukup tinggi yaitu masing-masing 78% dan 75 %. Bahkan pada perlakuan B terdapat kelahiran kembar 3 sebesar 25%. Sementara kelahiran tunggal didapatkan hanya pada perlakuan A sebesar 22%. Kelahiran kembar pada kambing menunjukkan bahwa secara genetik induk yang digunakan berasal dari turunan kembar. induk yang berasal dari kelahiran kembar akan menurunkan anak kembar lebih banyak dibandingkan dengan induk yang berasal dari kelahiran tunggal, demikian juga pejantan yang berasal dari kelahiran kembar akan menurunkan anak kembar yang lebih banyak dibandingkan dengan pejantan yang berasal dari kelahiran tunggal (Bennet et al., 1991). Litter size menunjukkannya jumlah anak yang dilahirkan dibandingkan jumlah induk yang beranak. Semakin tinggi nilai litter size, semakin baik, artinya lebih banyak anak yang dilahirkan pada satu kelahiran. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Sarwono (2010), bahwa keunggulan dari kambing lokal yaitu mempunyai sifat yang prolific dan mempunyai kelahiran yang pendek

Bobot Lahir

Bobot lahir anak kambing pada kegiatan ini ditimbang sesaat setelah anak kambing tersebut dilahirkan. Hasil penimbanan bobot lahir anak kambing disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan bobot lahir anak kambing pada kelahiran tunggal dan kembar

Perlakuan Tipe kelahiran

Tunggal Kembar dua Kembar tiga

A 2.45 ± 0.35 1.90±0.14 -

B - 1.35±0.47 1.0±0.2

Pada Tabel 2. terlihat bahwa rataan kelahiran tunggal menghasilkan bobot lahir yang lebih tinggi dibandingkan kelahiran kembar. Terdapat kecenderungan dengan semakin banyaknya anak yang dikandung akan mengahasilkan bobot lahir yang semakin rendah. Pada tabel diatas terlihat rataan bobot lahir pada kembar tiga menghasilkan nilai terendah. Tipe kelahiran berpengaruh terhadap bobot lahir baik jantan maupun betina, bobot lahir pada tipe kelahiran tunggal baik jantan maupun betina lebih tinggi bila dibandingkan dengan bobot lahir pada tipe kelahiran kembar (Rahmad D, et al., 2006) . Makin banyak anak yang dilahirkan makin ringan rata-rata bobot lahir anak yang dicapai (Ramsay et al. 2000). Keadaan tersebut terjadi karena volume uterus induk terbatas, sehingga bila di dalam uterus terdapat lebih dari satu fetus, maka pertumbuhannya akan terganggu karena keterbatasan jumlah makanan dan ruang yang tersedia.

Page 67: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

51

Pada kelahiran kembar dua, perlakuan A menghasilkan rataan bobot lahir anak yang lebih tinggi sebesar 41% dibandingkan perlakuan B. Hal ini menunjukkan adanya efek heterosis pada perkawinan silang, sehingga bobot lahir persilangan lebih tinggi dari perkawinan antar ternak lokal. Dalam kegiatan peternakan, bobot lahir anak merupakan faktor yang sangat menentukan bagi kelangsungan usaha peternakan tersebut, karena bobot lahir berkorelasi positif yang nyata dengan pertumbuhan dan perkembangan ternak setelah lahir (Rahmad D, et al., 2006).

Bobot lahir anak kambing hasil persilangan kambing lokal dengan kambing PE pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan bobot lahir kambing persilangan kambing Kacang yang dikawin silang dengan pejantan Boer seperti yang dilaporkan oleh Mahmilia, et. al (2004) yaitu sebesar sebesar 1,85 ± 0,153 kg. Sementara Pamungkas et al. (2007) mendapatkan Rataan bobot lahir anak hasil persilangan kambing kacang dengan kambing Boer sebesar 2,08 ± 0,53 Kg.

KESIMPULAN

Perkawinan silang antara ternak kambing lokal dengan pejantan PE menghasilkan performa anak persilangan yang lebih baik dibandingkan jika ternak lokal dikawinkan dengan sesamanya. Keunggulan hasil persilangan tersebut pada penelitian ini adalah bobot lahir yang lebih tinggi sebesar 41%. Bobot lahir yang tinggi berkorelasi positif pada bobot sapih dan perkembangan ternak selanjutnya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih disampaikan kepada tim kegiatan kajian peningkatan produktivitas kambing lokal Povinsi Kepulauan Riau atas kerjasamanya dalam kegiatan lapangan. Penelitian ini didanai dari DIPA LPTP Kepri Tahun Anggaran 2016.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau. 2015. Kepulauan Riau Dalam Angka 2015. Bappeda Provinsi Kepulauan Riau.

Bennett GL, AH Kirton, DL Johnson, H Carter. 1991. Genetic and environmental effect on carcass characteristic of Southdown x Romney lambs: (1) Growth rate, sex, rearing effects. J. Anim Sci 69:1858-1863

Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Bina Produksi Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

Leymaster, K.A. 2003. Fundamental Aspects of Cross Breeding of Sheep. Use of Breed Efficiency of Meat Production. J. Sheep and Goat Vol 17 No 3.

Magdalena, S. 2009. Pemanfaatan Limbah dan Hasil Ikutan Perkebunan Kelapa Sawit untuk Pakan Kambing Kacang. Pusat Kajian Peternakan, Perikanan Sumberdaya Pesisir dan Laut. Fakultas Peternakan. Univ. HKBP Nommensen medan.

Mahmalia, F. 2007. Penampilan Reproduksi Kambing Induk: Boer, Kacang dan Kacang yang disilangkan dengan Pejantan Boer. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007: 485-490.

Pamungkas, A. F., Fera Mahmilia. 2007. Fluktuasi Bobot Hidup Kambing Kacang Induk yang dikawinkan dengan pejantan boer dari kawin sampai anak lepas sapih. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007: 481-484.

Rahmat, D., Tidi Dhalika, Dudi. 2006. Evaluasi Performa Domba Persilangan Barbados dengan Domba Priangan sebagai Sumber bibit Unggul. J. Ilmu Ternak vol 6 no 2: 96-101.

Ramsay K, D Swart, B Oliver and G Hallowell. 2000. An Evaluation of The Breeding Strategies used in The Development of the Dorper Sheep and The Improved Boer goat of South Africa. Di dalam: Galal S, Boyazoglu J, Hammond K, editor. Proceedings of theWorkshop on Developing BreedingStrategies for Lower Input AnimalProduction Environments; Bella, Italy, 22-25 September 1999. Hal 339-345.

Rusdiana, S., L.Praharani, U. Adiati. 2014. Prospek dan Strategi Perdagangan Ternak Kambing dalam Merebut Peluang Pasar Dunia. J. Agriekonomika. vol. 3 no 2: 204-223.

Sarwono. 2010. Beternak kambing unggul. Penerbit penebar swadaya. Jakarta.

Page 68: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

52

Subandriyo, 2005. Strategi Pemanfaatan Plasma Nutfah Kambing Lokal Dan Peningkatan Mutu Genetik Kambing di Indonesia. Balai Penelitian Ternak,Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Lokakarya Nasional Kambing Potong. Hal 39-50.

Steel GD, Torrie JH. 2001. Principles and Procedure of Statistics. A Biometrical Approach, Mc Graw-Hill Inc. New York.

Page 69: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

53

EFEK PENGGUNAAN LIMBAH SAYURAN FERMENTASI TERHADAP

KECERNAAN BAHAN KERING (KCBK) DAN KECERNAAN NDF SECARA IN-VITRO SERTA PENGARUHNYA TERHADAP KONSUMSI DAN PERTAMBAHAN BERAT BADAN

(PBB) PADA KAMBING PERANAKAN ETAWA (PE)

THE USE OF WASTES VEGETABLE FERMENTATION INFLUENCE OF DRY MATTER AND NEURAL DETERGENT FIBER IN VITRO AND PERFORMANCE OF GOATS PERANAKAN

ETAWA (PE)

Neli Definiati1, Nurhaita

1, Suliasih

1, Afrianto

2

Prodi Peternakan Fakultas Pertanian1

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat2

Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Kampus 1:Jalan Bali Po. Box 118 Bengkulu Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu upaya penyediaan pakan hijauan, seiring semakin luasnya pembangunan danmasih rendahnya pengetahuan masyarakat untuk memanfaatkan limbah sayuran yang mengandung kadar air yang tinggi serta bertujuan untuk melihat pengaruh teknologi fermentasi pada limbah kebun sayuran terhadap kecernaan bahan kering dan kecernaan NDF secara in-vitro serta pengaruhnya terhadap konsumsi dan pertambahan berat badan harian pada kambing Peranakan Etawa (PE). Penelitian ini diharapkan bisa menjadi acuan sebagai salah satu upaya penyediaan bahan pakan alternatif dan upaya meningkatkan nilai ekonomis dari limbah kebun sayuran.Penelitian dilaksanakan di desa Kuto Rejo Kecamatan Kepahiang Kabupaten Kepahiang. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan 4 perlakuan dan 4 ulangan.perlakuan yang digunakan:A = 60% rumput alam+40% kosentrat, B=40% rumput alam+20% limbah sayuran fermentasi+40% kosentrat, C=30% rumput alam+30%limbah sayuran fermentasi+40% kosentrat, D=20%rumput alam+ 40% limbah sayuran fermentasi +40% kosentrat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang sangat nyata pada tingkat KCBK dan KCNDF (Neutral Detergen Fiber), semakin tinggi level penggunaan limbah kebun sayuran fermentasi, semakin tinggi pula tingkat KCBK dan KC NDF (Neutral Detergen Fiber) serta perbandingan konsumsi hijauan dan kosentrat mencapai 50:40 dengan pertambahan berat badan harian berkisar41,96–75,00 gr/ekor/hari pada penambahan limbah sayuran fermentasi sebesar 40%dalam ransum menghasilkan pertambahan berat badan tertinggi yaitu 75,00gr/ekor/hari. Kesimpulan dari penelitian ini limbah kebun sayuran memiliki potensi yang baik sebagai pakan alternatif pengganti hijauan alam, yang dapat meningkatkan kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan NDF (Neutral Detergen Fiber) serta dapat meningkatkan pertambahan berat badan ternak.

Kata kunci: fermentasi, konsumsi ransum, pertambahan berat badan, peranakan etawa ABSTRACT

This research was showed as a way to provide forage; the background of this study is still a lack of knowledge communities to use vegetable waste. This study aims to look at the effect of fermentation technology on waste vegetable of digestibility the dry matter (KCBK) and (KCNDF) in in-vitro methods and the effect on consumption and daily weight gain of goats Peranakan Etawa (PE). This research is expected to be a reference to providen an alternative feed of waste vegetable gardens.This research was conducted in the village of Kuto Rejo district, Kepahiang, Bengkulu Indonesia. This research using completely randomized design with 4 treatments and 4 replications, the treatment are used: A = 60% grass + 40% concentrate; B = 40% grass + 20% waste vegetable fermentation + 40% concentrate; C = 30% grass + 30% waste vegetable fermentation + 40% concentrate; D = 20% grass + 40% vegetable waste fermentation + 40% concentrate.The results of this study indicate that there are significant in the level of digestibility of dry matter, the higher the level dry matter (KCBK) and dry matter of NDF as well as of the consumption, the comparison 50:40 of forage and concentrate reached with daily weight gain ranged from 41.96 to 75.00 g / head / day.The conclusion of this study is waste vegetable garden has good potential as a feed alternative to change grass, which can increase the digestibility of dry matter and digestibility dry matter of NDF and increase the weight gain for goats.

Keywords: fermentation, dry matter, feed consumption, body weights, etawa goat

Page 70: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

54

PENDAHULUAN

Produktivitas ternak sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, baik secara kualitas maupun kuantitas.Kelemahan sistem produksi peternakan umumnya terletak pada ketidakpastian tatalaksana pakan dan kesehatan. Keterbatasan pakan menyebabkan daya tampung ternak pada suatu daerah menurun atau dapat menyebabkan gangguan produksi dan reproduksi yang normal.

Pengembangan ternak ruminansia di masa datang akan menghadapi permasalahan yang cukup serius karena semakin sulitnya mendapatkan hijauan terutama di daerah yang padat penduduknya sehingga menyebabkan semakin sedikitnya areal untuk penanaman hijauan makanan ternak. Salah satu sumber pakan yang mempunyai potensi besar dan dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia adalah limbah tanaman sayuran.

Kambing Peranakan Etawa (PE) merupakan salah satu jenis ternak ruminansia sebagai sumber penghasil daging segar yang potensial, memiliki nilai gizi tinggi dan sangat bermanfaat bagi kesehatan masyarakat oleh karena itu usaha kambing (PE) harus terus dikembangkan hal ini memerlukan kesediaan pangan yang baik dan cukup sepanjang tahun.

Populasi ternak kambing di Bengkulu selama 4 tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifikan, pada tahun 2011 adalah 199.027 ekor dan menjadi 255.487 ekor pada tahun 2014. Penyebarannya cukup merata di setiap kabupaten di Provinsi Bengkulu. Introduksi teknologi tepat guna dikembangkan pada tahun 2015 untuk meningkatkan populasi kambing di kepahiang (Sinar Tani, 2015).

Berdasarkan hasil penelitian Definiati, Nurhaita, dkk. (2013) di Propinsi Bengkulu pada musim kemarau didapatkan limbah sayuran yang dihasilkan pada lahan petani sayuran mencapai 754,57 ton bahan kering/tahun, dapat memenuhi kebutuhan 236,27 satuan ternak/tahun dengan Hasil analisa laboratorium menunjukkan bahwa limbah kebun sayur memiliki kandungan serat kasar berkisar dari 5,01 - 52,73%; Protein kasar 8,72- 23,83% dan energi 3474-4266 kkal/kg. Kondisi ini tentunya berbeda pada saat musim penghujan dan dapat di prediksi produksi limbah lebih tinggi pada saat musim penghujan. Sehingga produksi limbah kebun sayuran ini sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber pakan ternak baik secara ketersediaannya maupun kualitas gizi yang dimiliki.

Hasil panen usaha pertanian merupakan peluang dalam penyediaan pakan hijauan ternak, yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh petani sebagai pakan ternak mereka. Kendala pemanfaatan limbah pertanian sayuran ini adalah beraneka ragamnya limbah hasil tanaman syuran yang harus diolah sedemikian rupa sehingga tahan lama dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber hijauan alternative (BPTP Bengkulu, 2009).

Tabel 1. Rata-rata perubahan kandungan nilai gizi limbah sayuran fermentasi (%)

Jenis limbah sayuran Perubahan kandungan nutrient (%)

BO** PK** LK** SK**

(A) Wortel 1,37 21,00 3,15 23,42

(B) Ubi Jalar 4,36 20,33 3,52 28,46

(C) Sai Putih 3,95 20,21 4,10 24,87

(D) Kol 4,17 27,80 3,16 20,36

(E) Sawi Hijau 2,52 25,99 3,94 21,31

Sumber: Inventarisasi ketersediaan hijauan pakan ternak pada lahan petani sayuran di Kecamatan Kabawetan Kabupaten Kepahiang (Definiati, Nurhaita, dkk 2013)

Limbah sayuran akan bernilai guna jika dimanfaatkan sebagai pakan melalui pengolahan. Hal

tersebut karena pemanfaatan limbah sayuran sebagai bahan pakan dalam ransum harus bebas dari efek anti-nutrisi, terlebih toksik yang dapat menghambat pertumbuhan ternak yang bersangkutan. Limbah sayuran mengandung anti nutrisi dan rentan oleh pembusukan karena kadar air yang terkandung tinggi sehingga perlu dilakukan pengolahan ke dalam bentuk lain agar dapat dimanfaatkan secara optimal dalam susunan ransum ternak dan dapat disimpan dalam kurun waktu yang cukup lama sebagai cadangan pakan ternak saat kondisi sulit mendapatkan pakan hijauan.

Fermentasi adalah proses pengolahan bahan dengan bantuan mikroba yang mampu memecah komponen komplek menjadi bentuk yang lebih sederhana, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi glukosa. Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh teknologi fermentasi pada limbah kebun sayuran terhadap kecernaan bahan kering dan kecernaan NDF secara in-vitro serta pengaruhnya terhadap konsumsi ransum dan pertambahan berat badan (PBB) pada kambing Peranakan Etawa (PE).

Page 71: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

55

METODE PENELITIAN

Penelitian di lakukan di desa Kutorejo Kecamatan Kepahiang Kabupaten Kepahiang Propinsi Bengkulu, penelitian ini mengaplikasikan hijauan fermentasi tersebut untuk mengamati pertambahan berat badan ternak dan pengamatan kecernaan BK ransum (KCBK) dan kecernaan Neural Deterjen Fiber (KCNDF) hijauan fermentasi. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai dengan Oktober 2015.

1. Alat dan Bahan Penelitian

Alat:

Kandang dan peralatannya. Timbangan analitik untuk menimbang ransum, feces. Timbangan 5 kg dan 2 kg untuk menimbang bahan. Parang untuk mengambil limbah sayuran dan mencacah limbah sayuran. Terpal untuk mengaduk limbah yang akan difermentasi. Kantong plastik sebagai tempat proses fermentasi. Tali rafia untuk mengikat plastik fermentasi.

Bahan:

Enam belas ekor kambing Peranakan Etawa. Limbah kebun sayuran (wortel, ubi jalar, sawi putih, kubis, sawi hijau). Feses sapi (5%) dari substrat sebagai inokulum/sumber mikroba. Urea ( l %) dari substrat sebagai aditif. Gula pasir (1%) dari substrat sebagai additif Dedak (10%) dari substrat sebagai aditif.

2. Tahapan Penelitian

Pembuatan pakan limbah sayuran fermentasi dilakukan dengan pencacahan ± 5-7 cm dan pengurangan kadar air 60% dengan penjemuran serta menggunakan bahan tambahan 1% gula, 1% urea, 10% dedak padi dan 5% feses sapi sebagai inokulum. Setelah pakan fermentasi dibuat dengan fermentasi selama 7 hari dilakukan pengambilan sampel untuk diuji kecernaan secara in-vitro. Konsentrat yang diberikan adalah dedak padi dengan campuran 1% garam, 1% kapur pertanian.

Lima jenis limbah hasil pertanian fermentasi yang memiliki nilai gizi dan kecemaan bahan kering dan kecernaan bahan ogranik tertinggi dicobakan secara in -vivo dengan menggunakan enam belas ekor kambing Peranakan Etawa. Hasil fermentasi ini digunakan untuk menggantikan 50% hijauan dalam ransun. Ransum terdiri dari hijauan dan konsentrat dalam perbandingan 60% : 40%.

3. Rancangan Penelitian

Percobaan mengunakan Rancangan Acak lengkap 4x4 dengan 4 perlakuan dan 4 kali pengulangan, dengan perbandingan hijauan dan kosentrat sebesar 60% : 40%. Peubah pengamatan pada ternak adalah penggantian rumput dengan limbah sayur fermentasi.

4. Rancangan Penelitian

Rancangan yang digunakan Rancangan Acak Lengkap dengan empat perlakuan dan empat ulangan, 4x4 setiap ulangan terdiri dari 1 ekor kambing dan ransum perlakuan terdiri dari empat macam ransum yang terpilih dari hasil percobaan in-vitro pada percobaan tahap I. Susunan ransum perlakuan yang di ujikan adalah sebagai berikut:

- A = Tanpa limbah sayuran fermentasi +Rumput 60% +Kosentrat 40%. - B = Limbah sayuran fermentasi 20%+ Rumput 40% +Kosentrat 40%. - C = Limbah sayuran fermentasi 30%+ Rumput 30% +Kosentrat 40%. - D = Limbah sayuran fermentasi 40°/o+Rumput 20% +Kosentrat 400%.

Semua data yang diperoleh dianalisis dengan analisis varian (Anova) perbedaan antar perlakuan diuji dengan uji DMRT.

Data pertambahan berat badan ternak dihitung dalam g/ekor/hari, penimbangan berat badan dilakukan pada akhir adaptasi dan akhir penelitian. Data sisa konsumsi diambil dalam kurun waktu 24 jam dengan pemberian pakan secara ad-libitum.

Page 72: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

56

5. Parameter yang diukur

Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah : jumlah konsumsi bahan kering (BK), konsumsi bahan kering hijauan, konsumsi bahan kering kosentrat, konsumsi bahan kering ransum, kecernaan bahan kering ransum (KCBK), kecernaan neural deterjen fiber (KCNDF) dan pertambahan berat badan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Bahan Kering Ransum

Konsumsi merupakan tolok ukur penilaian palatabilitas suatu bahan pakan, apakah bahan pakan tersebut cukup palatabel atau tidak akan terlihat dari tingkat konsumsi suatu bahan pakan. Tingkat konsumsi bahan pakan pada penelitian dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini:

Tabel. 2. Rata-rata konsumsi bahan kering selama penelitian (gram/ekor/hari)

Perlakuan Konsumsi bahan kering (gr/ekor/hari)

Hijauan

Konsentrat Ransum Rasio Hijauan : Konsentrat

A 204,49c

101,72b

306,21c 66,78 : 33,22

B 173,91b

78,89a

252,80a 68,79 : 31,21

C 167,88b

126,19c

294,08bc 57,09 : 42,91

D 145,88a

131,51c

277,39ab 52,59 : 47,41

Sumber: Data Primer (2015)

Berdasarkan hasil analisa sidik ragam berpengaruh nyata (P<0,05) tehadap konsumsi BK

hijauan. Uji lanjut DMRT memperlihatkan konsumsi BK hijauan pada perlakuan D nyata lebih rendah dari tiga pelakuan lainnya. Sementara pada perlakuan B dan C memiliki tingkat konsumsi Bk hijauan yang sama pada kedua perlakuan ini dan lebih rendah dari perlakuan (A) konsumsi BK hijauan tanpa Limbah sayuran fermentasi (LSF).

Pengaruh perlakuan pada penelitian ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi level penggunaan LSF semakin rendah konsumsi BK hijauan. Hal ini menggambarkan bahwa LSF kurang disukai ternak dan rendah palatabilitasnya.

Rendahnya tingkat konsumsi BK hijauan pada ransum perlakuan D kemungkinan disebabkan belum terbiasanya ternak dengan kondisi pakan baru. LSF adalah pakan baru yang belum terbiasa dikonsumsi oleh ternak dan membutuhkan masa adaptasi yang lebih panjang. Jumlah limbah sayuran fermentasi pada perlakuan D lebih mendominasi dibandingkan jumlah rumput alam sehingga menyebabkan turunnya palatabilitas. Faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah palatabilitas, jumlah makanan yang tersedia, dan kualitas atau komposisi kimia bahan makanan (Katongole, C.B., Sabiiti, E.N., et al. 2009).

Faktor kesehatan merupakan hal lain yang menyebabkan rendahnya konsumsi BK hijauan. Pada penelitian hampir 40% ternak percobaan menderita sakit mata pada minggu 2-3 masa perlakuan. Hal ini berdampak negatif terhadap tingkat konsumsi ransum. Secara umum ternak ruminansia yang normal (tidak dalam keadaan sakit atau sedang berproduksi), mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhannya untuk mencukupi hidup pokok. Hal ini sejalan dengan pendapat (Dietz, T.H., Scott, C.B., Campbellet al., 2010) yang menyatakan bahwa konsumsi setiap ekor ternak berbeda-beda, dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks yang terdiri dari ternak, pakan yang diberikan dan lingkungan tempat ternak tersebut dipelihara.

Tidak terjadinya perbedaan konsumsi yang nyata pada perlakuan B dan C menunjukkan bahwa limbah fermentasi dapat disubstitusikan 33,33%-50% dalam ransum untuk menggantikan rumput alam sebagai pakan alami ternak, ini menandakan bahwa limbah fermentasi memiliki potensi sebagai pakan alternatif pengganti rumput alam sampai dengan 50%. Hal ini juga diperkuat dengan hasil uji kecernaan bahan kering secara in-vitro bahwa semakin tinggi jumlah limbah sayuran fermentasi yang diberikan maka semakin tinggi tingkat kecernaan bahan kering.

Hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap konsumsi BK konsentrat dan menghasilkan pengaruh yang tidak berbeda nyata untuk tingkat konsumsi kosentrat pada perlakuan C dan D, dari hasil Uji lanjut DMRT menunjukkan konsumsi BK konsetrat pada

Page 73: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

57

perlakuan B nyata lebih rendah dari ketiga perlakuan lainnya. Konsumsi bahan kering konsentrat pada penelitian ini berkisar 78,89gr – 131,51gr per ekor per hari, konsumsi tertinggi pada perlakuan D. Pada tabel 2 di atas terlihat bahwa semakin tinggi jumlah LSF yang diberikan dalam ransum maka tingkat konsumsi kosentrat semakin meningkat.

Tingginya tingkat konsumsi BK Kosentrat pada ransum perlakuan C dan D dikarenakan rendahnya konsumsi BK hijauan pada kedua perlakuan ini, ini membuktikan bahwa ternak selalu berusaha untuk mencukupi kebutuhan zat-zat makanannya, ini sesuai dengan pendapat (Wallie M, Mekasha Y, et al 2012) yang menyatakan bahwa penambahan konsentrat dalam ransum ternak merupakan suatu usaha untuk mencukupi kebutuhan zat-zat makanan, sehingga akan diperoleh produksi yang tinggi. Selainitu dengan penggunaan konsentrat dapatmeningkatkan daya cerna bahan keringransum, pertambahan berat badan sertaefisien dalam penggunaan ransum.

Pendapat (Wallie M, Mekasha Yet al., 2012) juga sejalan dengan hasil yang didapatkan pada pengamatan pengamatan tingkat konsumsi BK ransum penelitian, berdasarkan hasil sidik ragam yang dilakukan memperlihatkan bahwa tingkat konsumsi BK konsentrat berbanding lurus dengan konsumsi BK ransum pada perlakuan penelitian ini. Uji DMRT yang dilakukan memperlihatkan konsumsi BK ransum perlakuan B (252,80gr/ekor/hari) lebih rendah dari ketiga perlakuan lainnya (Perlakuan A (306,21gr/ekor/hari),C (294,08 gr/ekor/hari) dan D 277,39 gr/ekor/hari). Rendahnya konsumsi BK ransum pada perlakuan B ini disebabkan oleh rendahnya konsumsi BK kosentrat pada perlakuan B yang hanya 78,89 gr/ekor/hari lebih rendah bila di bandingkan dengan jumlah konsumsi BK Kosentrat perlakuan A (101,72 gr/ekor/hari), C (167,88 gr/ekor/hari) dan D (131,51 gr/ekor/hari).

Perbandingan konsumsi hijauan dan konsentrat pada penelitian ini berkisar antara 52,59:47,41 pada perlakuan D sampai dengan 68,79 : 31,31 pada perlakuan B dan memperlihatkan terjadi perubahan perbandingan konsumsi bahan kering hijauan dan konsumsi bahan kering konsentrat. Semakin tinggi level penggunaan LSF maka semakin rendah konsumsi bahan kering hijauan dan sebaliknya pada konsumsi bahan kering konsentrat, sehingga imbangan konsumsi BK hijauan dan konsentrat menjadi lebih sempit.

Tingkat konsumsi bahan kering ransum dalam penelitian ini ditinjau dari berat badan metabolic dan persen berat badan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel. 3. Rata-rata konsumsi bahan kering ransum penelitian (gr/ekor/hari)

Konsumsi BK Perlakuan

A B C D

- gr/ekor/hari 306,21b

252,80a

294,08b

277,39b

- gr/Kg W0,75 44,68 39,54 47,54 45,68

- % BB 2.50 2.17 2.60 2.49

Sumber: Data Primer (2015)

Konsumsi bahan kering ransum pada penelitian ini berkisar 252,80-306,21 gr/ekor/hr dan

hasil ini lebih rendah dari konsumsi bahan kering yang diperoleh Nurhaita (2010) yaitu 307,25 – 375,79 gr/ekor/hari pada ternak yang diberi ransum daun sawit amoniasi yang mendapatkan konsumsi bahan kering sebesar 363-478 gr/ekor/hari pada ternak kambing yang diberi ransum daun sawit dan pengolahan kelapa sawit.

Konsumsi bahan kering ransum dalam berat metabolik pada penelitian ini berkisar 39,54 - 47,54 gr/Kg W

0,75. Hasil ini lebih rendah dari batasan yang dikemukakan oleh Suparjo, K. G. Wiryawan, et

al (2011) bahwa kebutuhan bahan kering adalah 60-78 g.Konsumsi bahan kering kambing yang dilaporkan oleh beberapa peneliti bervariasi, perbedaan konsumsi bahan kering disebabkan oleh kandungan nutrien, terutama kandungan protein dan energi pakan, status fisiologis, jenis kelamin ternak, dan bahan pakan penyusun ransum (Lewis, R. M. & G. C. Emmans. 2010).

Kecernaan Bahan Kering

Kecernaan suatu pakan merupakan bagian dari pakan yang tidak diekskresikan melalui feses dan diasumsikan bahwa bagian tersebut diserap oleh hewan.Nilai koefisien cerna bahan kering maupun organik menunjukkan derajat cerna pakan pada alat-alat pencernaan serta seberapa besar manfaat pakan bagi ternak (Katongole, C.B., Sabiiti, E.N., et al. 2009).

Page 74: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

58

Tabel 4. Rata-rata kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan Neutral Deterjen Fiber (KCNDF) ransum percobaan (%)

Kecernaan Invitro Perlakuan

A B C D - KCBK 61,94

a 64,48b 67,93

c 70,55d

- KCNDF 35,45c 31,18

a 33,56b 35,13

c

Sumber: Data Primer (2015)

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, kecernaan bahan kering pada ransum A sebesar 61,94% (BK) sedangkan ransum yang menggunakan limbah sayuran fermentasi mengalami peningkatan kecernaan bahan kering tertinggi sebesar 70,55 % (BK) yaitu pada ransum D. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kecernaan bahan kering ransum limbah sayuran fermentasi melebihi batas normal seperti yang dikatakan oleh Ali U. (2012) nilai kecernaan bahan kering dalam batas normal berkisar antara 65–69%. Pakan yang difermentasi akan memiliki nilai gizi yang lebih baik dari pada bahan asalnya, mudah dicerna, mempunyai cita rasa atau flavour yang lebih baik, selain itu beberapa hasil fermentasi seperti alkohol dan asam dapat menghambat pertumbuhan mikroba pathogen di dalam pakan.

Mikroorganisme menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi yang telah lebih dahulu dipecah menjadi glukosa dan penambahan bahan-bahan nutrient ke dalam media fermentasi dapat menyokong dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai sumber nitrogen pada proses fermentasi adalah urea. Urea yang ditambahkan kedalam medium fermentasi akan diuraikan untuk enzim urease menjadi ammonia dan karbondioksida selanjutnya aman digunakan untuk pembentukan asam amino.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian limbah sayuran fermentasi pada ransum memberikan dampak yang signifikan terhadap kecernaan bahan kering. Pakan yang diberikan perlakuan memberikan profil yang lebih baik yang menandakan bahwa organisme selulotik pada ransum perlakuan dapat bekerja lebih baik dalam mencerna pakan sehingga kecernaan akan meningkat.

Peningkatan nilai rataan KCBK pada penelitian ini berkisar 61,94%-70,55% sedangkan penelitian Andayani, J (2010) mendapatkan rataan KCBK berkisar antara 32,96%-39,85% pada kulit buah jagung yang di amoniasi, serta mendapatkan rataan KCBK 54,27%(inokulum lactobacillus collinoides), 56,53% (inokulum lactobacillus delbrueckii), 55,26% (inokulum campuran) pada silase hijauan gebilina menggunakan inokulum lactobacillus collinoides dan lactobacillus delbrueckii. Peningkatan kecernaan bahan kering pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan Andayani, J (2010).

Mc.Donald PRA, Edwards, et al (2010) menambahkan bahwa pakan tropik memiliki nilai kecernaan berkisar antara 40 – 60% sedangkan pakan subtropik 50 – 80%. Kadar dinding sel pakan mempengaruhi nilai KCBK pakan, dan pada akhirnya dapat mempengaruhi jumlah konsumsi.Selanjutnya dijelaskan bahwa kandungan lignosellulose lebih tinggi pada tanaman pakan yang tumbuh di daerah tropik dibandingkan dengan daerah subtropik. Nilai kecernaan dalam penelitian limbah sayuran fermentasi berkisar antara 61,94 – 70,55%, hal ini menandakan pakan yang dibuat dalam penelitian ini memiliki kualitas yang baik, diatas tingkat kecernaan bahan kering pada daerah tropik dan mendekati tingkat kecernaan pada daerah subtropik.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Kecernaan NDF Pada Limbah Sayuran Fermentasi

Hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap daya cerna NDF, dari hasil Uji lanjut DMRT menunjukkan kecernaan NDF pada perlakuan A dan D lebih tinggi dari perlakuan B dan C. Daya cerna NDF pada penelitian ini berkisar 31,18%– 35,45%, dengan daya cerna NDF terendah pada perlakuan B dan daya cerna NDF tertinggi pada perlakuan A dan D. Dari Tabel 4 terlihat bahwa semakin tinggi jumlah LSF yang diberikan dalam ransum maka daya cerna NDF pada ransum semakin meningkat.

Rata rata kecernaan NDF pada ransum perlakuan limbah sayuran fermentasi mengalami peningkatan 2% sampai dengan 4% seiring dengan penambahan persentase limbah yang diberikan. Ini menunjukkan bahwa adanya interaksi antara persentase pemberian limbah sayuran fermentasi dalam ransum terhadap kecernaan NDF akibat dari meningkatnya aktivitas mikroba rumen menyebabkan naiknya laju fermentasi dan laju digesta dalam, sehingga kecernaan NDF meningkat. Peningkatan ini

Page 75: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

59

sejalan dengan peningkatan sintesis protein mikroba (Nurhaita, N. J., Warly, et al. 2010) yang menunjukkan adanya peningkatan populasi dan aktivitas mikroba dalam rumen karena tersedianya nutrient untuk pertumbuhannya secara cukup dan seimbang. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa suplementasi nutrient tertentu harus disesuaikan dengan ketersediaan nutrient lainnya.

Kecernaan pakan tergantung pada aktivitas mikroorganisme rumen karena mikroorganisme rumen berperan dalam proses fermentasi, sedangkan aktivitas mikroorganisme rumen itu dipengaruhi oleh zat zat akan yang terdapat dalam pakan. Perlakuan D yang hanya diberi 40% limbah sayuran fermentasi dapat menyamai tingkat kecernaan NDF pada perlakuan ransum A yang diberikan rumput alam. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian limbah fermentasi pada ransum sangat efektif dalam meningkatkan kecernaan NDF. Fermentasi secara tradisional dapat memperbaiki sifat tertentu dari bahan, seperti lebih mudah dicerna, lebih tahan disimpan dan dapat mengurangi senyawa racun sehingga nilai ekonomisnya menjadi lebih baik.

NDF merupakan bagian dari fraksi serat yang sulit di cerna oleh mikroorganisme rumen. Hal ini disebabkan karena NDF merupakan komponen penyusun dinding sel terbesar yang terdiri dari sellulosa, hemisellulosa, lignin, silica, serta beberapa protein dinding sel. Penurunan NDF pada LSF pada penelitian ini sebesar 7,35%- 13,56% ini berdampak positif terhadap peningkatan kecernaan NDF sampai sebesar 11,24%.

Pengaruh Perlakuan Limbah Sayuran Fermentasi Terhadap Pertambahan Berat Badaan Kambing Peranakan Etawa

Tabel 5. Rata rata pertambahan berat badan harian kambing Peranakan Etawa yang diberikan limbahkebun sayuran fermentasi

Perlakuan Rata rata PBB(gr/ekor/hari)

A 62,79b

B 41,96a

C 58,03b

D 75,00c

Sumber: Data Primer (2015)

Penggunaan limbah kebun sayuran fermentasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan berat badan harian kambing PE, terlihat padaTabel 5 pertambahan berat badan harian kambing PE meningkat secara significant seiring dengan ditambahnya level penggunaan limbah kebun sayuran fermentasi. Pertambahan berat badan terendah ditemukan pada perlakuan B sebesar 41,96 gr/ekor/hari, dan tertinggi pada perlakuan D sebesar 75 gr/ekor /hari. Tabel 5 memperlihatkan pertambahan berat badan harian meningkat secara signifikan seiring meningkatnya level penggunaan LSF. Peningkatan pertambahan berat badan pada perlakuan D dibandingkan dengan perlakuan A adalah sebesar 16,28% (75,00 gr/ekor/hari vs 62,79 gr/ekor/hari) sedangkan bila dibanding dengan perlakuan B peningkatannya sebesar 44,05% (75,00 gr/ekor/hari vs 41,96 gr/ekor/hari).

Pertambahan berat badan pada penelitian ini merupakan refleksi dari peningkatan kecernaan ransum. Pertambahan berat badan tertinggi pada perlakuan penggunaan limbah fermentasi pada level 40% dalam ransum yang memberikan respon terbaik diantara perlakuan lainya, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan fermentasi limbah kebun sayuran dapat meningkatkan nilai gizi dan kecernaan ransum.

Urutan peningkatan pertambahan berat badan pada masing-masing perlakuan berbanding lurus dengan peningkatan jumlah konsumsi bahan kering ransum, pada hasil penelitian ini terlihat dari data rata-rata konsumsi bahan kering ransum terjadi peningkatan rata-rata konsumsi bahan kering ransum diiringi dengan peningkatan rata-rata pertambahan berat badan ternak percobaan, dengan demikian dapat diartikan bahwa jumlah konsumsi ransum mempengaruhi pertambahan berat badan ternak kambing semakin banyak pakan yang dikonsumsi akan meningkatkan pertambahan berat badan sesuai dengan pendapat Wallie M, Mekasha Y, Urge M, et al. (2012)

Kisaran pertambahan berat badan harian yang diperoleh pada penelitian ini antara 41,96–75,00 gr/ekor/hari, lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Raya (2015) yang hanya mencapai 51,59 gr/hari/ekor yang diberi pakan silase daun singkong dan rumput lapangan. Ini berarti pemanfaatan limbah kebun sayuran fermentasi masih memberikan peluang untuk meningkatkan produktivitaspada ternak kambing PE.

Page 76: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

60

KESIMPULAN

Penggunaan limbah sayuran fermentasi dapat dijadikan alternatif dalam pengganti hijauan alam, fermentasi yang dilakukan dalam limbah sayuran dapat meningkatkan kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan NDF (Neutral Detergen Fiber) serta dapat meningkatkan pertambahan berat badan ternak.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis penulis ucapkan pada: Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas bidang Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat yang telahmendanai pelaksanaan kegiatan penelitian ini serta semua pihak yang berperan serta dalam penyelesaian tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, U. (2012). Pengaruh penggunaan onggok dan isi rumen sapi dalam pakan komplit terhadap penampilan kambing Peranakan Etawah. Majalah Ilmiah Peternakan, 9(3).

Andayani, J. (2010). Evaluasi Kecernaan In Vitro Bahan Kering, Bahan Organik dan Protein Kasar Penggunaan Kulit Buah Jagung Amoniasi dalam Ransum Ternak Sapi. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, 252-259.

Bengkulu Ekspress.com. Bantuan 200 ekor kambing etawah.http://bengkuluekspress.com/bantuan-200-ekor-kambing-etawa/. [Diunduh Tanggal 25 Februari 2015.

BPTP. 2009. Teknologi Pakan Berkualitas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Bengkulu

Dietz, T.H., Scott, C.B., Campbell, E.J., Owens, C.J., Taylor, C.A. & Brantely, R. 2010. "Feeding Redberry Juniper (Juniperus pinchotii) at Weaning Increases Juniper Consumption by Goats on Pasture", Rangeland Ecology and Management, vol. 63, no. 3, pp. 366-372.

Definiati,N. Nurhaita, Zurina.R, Suliasih. 2013. Inventarisasi ketersediaan hijauan pakan ternak pada lahan petani sayuran di Kec. Kabawetan Kab. Kepahiang.Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I (Pertama)

Definiati,N. Suliasih, Afrianto, Jafrizal. 2014. Pemanfaatan Hijauan Pakan ternak pada lahan Petani Sayuran tehadap Performance Kambing peranakan Etawah(PE) di Kecamatan. Kabawetan. Kabupaten Kepahiang. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun II (kedua)

Katongole, C.B., Sabiiti, E.N., Bareeba, F.B. & Ledin, I. 2009, "Performance of growing indigenous goats fed diets based on urban market crop wastes", Tropical animal health and production, vol. 41, no. 3, pp. 329-36.

Lewis, R. M. & G. C. Emmans. 2010. Feed intake of sheep as aff ected by body weight, breed, sex, and feed composition. J. Anim. Sci. 88:467-480

Márquez, ,M.A., Diánez, F., & Camacho, F. (2011). The use of vegetable subproducts from greenhouses (VSG) for animal feed in the poniente region of almería. Renewable Agriculture and Food Systems, 26(1), 4-12.

Mc.Donald PRA, Edwards, and Greenhalgh JDF, Morgan CA. 2002.Animal Nutrition.Sixth Edition.Pretice Hall.Gosport. London.

Nurhaita, N. J., Warly, L.& Mardiati, Z. (2010).Sintesis protein mikroba pada domba yang mendapat ransum daun sawit amoniasi yang disuplementasi mineral S, P dan daun ubi kayu. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains, 12, 107-114.

Raya, F. P. U. K. P. (2015). Karakteristik fisik silase campuran daun ubikayu (Manihot esculenta) dan rumput Kumpai (Hymenachine ampleexicaulis). Jurnal Ilmu Hewani Tropika Vol, 4(2).

Retnani Yuli, I.G Permana, N.R Kumalasari, Taryati. 2014. Teknik membuat biskuit pakan ternak dari limbah pertanian. Penebar Swadaya Jakarta, 2014.

Sinar Tani. 2015. Teknologi ternak kambing.http://m.tabloidsinartani.com/index.php?id=148&tx _ttnews%5Btt_news%5D=2780&cHash=9438c9c6537e7cacf49a6e059d3e71e8. [Diunduh Tanggal 14 Februari 2015.

Page 77: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

61

Suparjo, K. G. Wiryawan, E. B. Laconi, D. Mangunwidjaja (2011). Performa kambing yang diberi kulit buah kakao terfermentasi.Media Peternakan. vol. 34, no. 1, 35-41

Wallie M, Mekasha Y, Urge M, Abebe G, Goetsch AL (2012) Effects of form of leftover khat (Catha edulis) on feed intake, digestion, and growth performance of Hararghe Highland goats. Small Rumin Res 102:1–6.

Page 78: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

62

PERANAN METODE DEMPLOT TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI, PENDAPATAN DAN PERILAKU PETANI PADI SAWAH DI KOTA BENGKULU

ROLE OF DEMONSTRATION-PLOT TO PRODUCTIVITY INMPROVEMNT, INCOME AND BEHAVIOUR OF FARMRS IN PADDY FIELD FARMERS

Umi Pudji Astuti1 dan Sundari

2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu, Jl. Irian Km.6,5 Bengkulu 38119

2Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl. Tentara Pelajar Cimanggu Bogor

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Penyuluhan pada hakekatnya adalah suatu cara proses penyebaran informasi yang berkaitan dengan upaya perbaikan cara-cara bertani dan berusaha tani demi tercapainya peningkatan produktivitas, pendapatan petani dan perbaikan kesejahteraan masyarakat atau keluarga yang diupayakan melalui kegiatan pembangunan pertanian. Penyebaran informasi yang dimaksud mencakup informasi tentang ilmu dan teknologi inovasi yang bermanfaat, analisis ekonomi dan upaya rekayasa sosial yang berkaitan dengan pengembangan usaha tani serta peraturan dan kebijakan pendukung. Perbaikan teknologi dan sistem budidaya padi melalui demonstrasi plot (demplot) diharapkan dapat meningkatkan produktivitas yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan petani, dan prilaku petani. Peningkatan perilaku petani melalui peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan merupakan salah satu strategi untuk mempercepat transfer teknologi pertanian kepada pengguna. Pengujian ini bertujuan untuk :1) menganalisis peranan demplot terhadap peningkatan produksi dan pendapatan petani padi; 2) menganalisis tingkat pengetahuan petani terhadap teknologi PTT padi sawah di Kota Bengkulu. Pengujian dilaksanakan pada bulan Mei - September 2015 di Kecamatan Singaran Patih Kota Bengkulu. Petani kooperator sebanyak 1 orang dan 20 orang petani padi sawah di Kecamatan Singaran Pati. Data yang dikumpulkan adalah komponen hasil padi, analisis usahatani dan data karakteristik responden dan pengetahuan petani terhadap teknologi budidaya padi sawah melalui pendekatan PTT. Di samping analisis usahatani, data prilaku petani dianalisis menggunakan interval kelas. Hasil pengujian menunjukkan bahwa apabila dibandingkan dengan petani sekitarnya, 1) demonstrasi plot PTT padi sawah meningkatkan produktivitas sebesar 55,88% dan pendpaatan petani sebesar 147,6% ;2) peningkatan pengetahuan petani sebelum dan sesudah temu lapang PTT Padi Sawah sebesar 30,65%.

Kata kunci : demplot, produktivitas, pendapatan, pengetahuan, padi sawah

ABSTRACT

Extension is essentially a means of information dissemination process related to efforts to improve farming methods in order to achieve increased productivity, farmers' income and improving the welfare of people or families who pursued through agricultural development activities. Technological improvements and rice cultivation systems through demonstration plots (plots) is expected to improve productivity and ultimately increase the income of farmers, and farmer behavior. Improved the behavior of farmers through increased knowledge, attitudes, and skills is one of the strategies to accelerate the transfer of agricultural technology to the user. This study aims to: 1) analyze the role of pilot project to increase rice production and farmers' income; 2) analyze the level of knowledge of farmers to PTT technology paddy fields in the city of Bengkulu. The study was conducted from May to September 2015 in Singaran Pati subdistrict of Bengkulu city. Farmer cooperators as many as 1 and 20 farmers of paddy in the district Singaran Pati. The data collected are rice yield components, farm analysis and data characteristics of respondents and knowledge of farmers on rice cultivation technology through PTT approach. In addition to the analysis of farming, farmers behavior data is analyzed using the class interval. The test results showed that when compared to the surrounding farmers, 1) a demonstration plot paddy PTT increase productivity by 55.88% and amounted to 147.6% farmers income; 2) increasing farmers' knowledge before and after the PTT paddy meeting at 30.65 %.

Keywords : Demoplot, productivity, income, knowledge, paddy

Page 79: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

63

PENDAHULUAN

Metode penyuluhan pertanian erat kaitannya dengan metode belajar orang dewasa (andragogy). Penyuluh, yang menjalankan tugas utamanya sebagai pendidik, pengajar dan pendorong, selalu berhubungan dengan sasaran penyuluhan yang biasanya adalah para petani, peternak, dan nelayan dewasa. Menurut Mardikanto (1993), sebagai suatu proses pendidikan, maka keberhasilan penyuluhan sangat dipengaruhi oleh proses belajar yang dialami dan dilakukan oleh sasaran penyuluhan. Dalam pelaksanaan penyuluhan, pemahaman proses belajar pada orang dewasa serta prinsip-prinsip yang harus dipegang oleh seorang penyuluh dalam menjalankan tugasnya menjadi sangat penting peranannya karena dapat membantu penyuluh dalam mencapai tujuan penyuluhan yang telah ditentukannya.

Penyuluhan pada hakekatnya adalah suatu cara proses penyebaran informasi yang berkaitan dengan upaya perbaikan cara-cara bertani dan berusaha tani demi tercapainya peningkatan produktivitas, pendapatan petani dan perbaikan kesejahteraan masyarakat atau keluarga yang diupayakan melalui kegiatan pembangunan pertanian. Penyebaran informasi yang dimaksud mencakup informasi tentang ilmu dan teknologi inovasi yang bermanfaat, analisis ekonomi dan upaya rekayasa sosial yang berkaitan dengan pengembangan usaha tani serta peraturan dan kebijakan pendukung.

Demonstrasi merupakan suatu metode penyuluhan di lapangan untuk memperlihatkan/ membuktikan secara nyata tentang cara dan atau hasil penerapan teknologi pertanian yang telah terbukti menguntungkan bagi petani – nelayan. Berdasarkan sasaran yang akan dicapai demonstrasi dibedakan atas demostrasi usahatani perorangan (demplot), demonstrasi usahatani kelompok (demfarm), demonstrasi usahatani gabungan kelompok (dem area). Tujuan demonstrasi plot yaitu untuk memberikan contoh bagi petani di sekitarnya untuk menerapkan teknologi baru di bidang pertanian (hhtp… 27 juni 2016).

Padi merupakan tulang punggung pembangunan subsektor tanaman pangan dan berperan penting terhadap pencapaian ketahanan pangan secara nasional. Padi memberikan kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional (Wibawa, W., 2010). Sebagai bagian dari revitalisasi pembangunan pertanian, pemerintah telah bertekad untuk meningkatkan produktivitas padi nasional menuju swasembada berkelanjutan. Program ini harus didukung oleh semua pihak yang terkait, dalam proses produksinya. Arifin et al. dalam Sirappa (2012) melaporkan bahwa jika tidak terdapat terobosan teknologi yang efektif dan efisien, maka keamanan pangan akan terganggu. Cara yang efektif dan efisien untuk meningkatkan produksi padi nasional secara berkelanjutan adalah meningkatkan produktivitas melalui ketepatan pemilihan komponen teknologi dengan memperhatikan kondisi lingkungan biotik, lingkungan abiotik, serta pengelolaan lahan yang optimal oleh petani termasuk pemanfaatan residu dan sumberdaya setempat yang ada (Makarim & Las dalam Sirappa, 2012).

Potensi peningkatan produksi padi di Kota Bengkulu masih cukup besar mengingat ketersediaan lahan sawah yang belum dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu tahun 2013, tingkat produktivitas padi sawah di Kota Bengkulu yaitu 3,90 ton/ha, masih di bawah rata-rata produktivitas padi di Provinsi Bengkulu yaitu 4,03 ton/ha. Produktivitas tersebut masih dapat ditingkatkan, salah satunya adalah dengan melakukan perluasan areal tanam dan peningkatan adopsi atau penggunaan teknologi pertanian.

Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas padi adalah dengan menerapkan teknologi yang spesifik lokasi dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang merupakan suatu pendekatan inovatif dan dinamis melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani yang meliputi: varietas unggul baru, benih bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami atau pupuk kandang ke sawahdalam bentuk kompos, pengaturan populasi tanaman secara optimum, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah, pengendalian OPT (organisme pengganggu tanaman) dengan pendekatan PHT (pengendalian hama terpadu), pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, penggunaan bibit muda (<21 hari), tanam bibit 1-3 batang per rumpun, pengairan secara efektif dan efisien, penyiangan dengan landak atau gasrok, serta panen tepat waktu dan gabah segera dirontok (Badan Litbang Pertanian, 2010).

Penerapan teknologi yang masih rendah di tingkat petani, berakibat pada rendahnya produktivitas dan pendapatan petani. Perbaikan teknologi dan sistem budidaya padi melalui peningkatan pengetahuan petani diharapkan dapat meningkatkan produktivitas yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan petani. Peningkatan perilaku petani melalui peningkatan pengetahuan,

Page 80: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

64

sikap, dan keterampilan merupakan salah satu strategi untuk mempercepat transfer teknologi pertanian kepada pengguna.

Dalam akselerasi pembangunan pertanian, pengetahuan petani mempunyai arti penting, karena pengetahuan petani dapat mempertinggi kemampuannya untuk mengadopsi teknologi baru di bidang pertanian. Sangat penting arti peningkatan pengetahuan sebagai tahap awal dalam suatu proses adopsi inovasi. Peningkatan pengetahuan petani dalam inovasi teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah diharapkan dapat melahirkan sikap positif terhadap teknologi yang disampaikan, yang pada akhirnya dapat memperbaiki keterampilan petani dalam aplikasi teknologi yang telah didiseminasikan. Sehingga diperlukan kajian/pengujian apakah metode demplot mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani serta pengetahuan petani terhadap teknologi PTT padi sawah. Kajian dan pengujian ini bertujuan: 1) menganalisis peranan demplot terhadap peningkatan produksi dan pendapatan petani padi; 2) menganalisis tingkat pengetahuan petani terhadap teknologi PTT padi sawah di Kota Bengkulu.

METODE PENELITIAN

Pengkajian dilaksanakan pada bulan Mei - September 2015 di Kecamatan Singaran Pati Kota Bengkulu. Metode penyuluhan yang digunakan dalam pengkajian ini adalah demplot PTT padi sawah serta metode komunikasi tatap muka melalui apresiasi teknologi dan wawancara terstruktur kepada petani contoh dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Petani kooperator adalah 1 petani kooperator yaitu Bapak Syahabudin anggota Kelompok Tani Gambung Jaya, sedangkan petani responden sebanyak 20 orang berasal dari pengurus kelompok tani Gambung Jaya, Pungguk Mentari, Lembak AO, dan Cuguk Kecil. Responden dipilih secara sengaja (puposive) dengan pertimbangan responden merupakan petani kooperator kegiatan dan petani hamparan di sekitar demplot.

Indikator dan data yang diamati adalah data komponen hasil padi, data input ouput usahatani padi sawah pada MT Asep 2015 (MK I). pengumpulan data dilakukan sesuai tahap pertumbuhan tanaman dan saat panen. Data prilaku petani diukur tingkat pengetahuan petani terhadap budidaya padi sawah dengan pendekatan PTT diukur dari 5 indikator, yaitu: (1) Olah tanah; (2) Varietas Unggul Baru serta benih bermutu dan berlabel; (3) Penyemaian; (4) Penanaman; dan (5) Sistem tanam jajar legowo. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara terstruktur menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) untuk mengumpulkan data dan informasi dari responden yang telah ditetapkan.

Budidaya padi sawah di tingkat petani diuraikan secara deskriptif, analisis pendapatan petani dilakukan dengan membandingkan usahatani demplot PTT dan non demplot PTT. Sedangkan pengetahuan petani terhadap padi sawah melalui pendekatan PTT dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dan interval kelas. Pertanyaan pada setiap indikator dibagi menjadi 5 skor: 1 (sangat tidak tahu); 2 (tidak tahu); 3 (cukup tahu); 4 (tahu); dan 5 (sangat tahu). Menurut Nasution dan Barizi dalam Rentha, T (2007), penentuan interval kelas untuk masing-masing indikator adalah:

NR = NST – NSR dan PI = NR : JIK

Dimana : NR : Nilai Range; PI : Panjang Interval: NST : Nilai Skor Tertinggi; JIK : Jumlah Interval Kelas: NSR: Nilai Skor Terendah

Secara ringkas metodologi dapat disampaikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis dan sumber data, teknik pengambilan sampel, jumlah sampel serta serta teknik analisis dan sumber acuan teknik analisis

Tujuan Jenis dan Sumber Data

Teknik Pengambilan

Sampel

Jumlah Sampel

Teknik Analisis dan Sumber Acuan Teknik Analisis

Mengetahui tingkat pengetahuan petani terhadap budidaya padi sawah melalui pendekatan PTT

Data primer bersumber dari responden

Pengambilan sampel secara sengaja (purposive sampling)

20 orang Analisis deskriptif untuk keragaan budidaya padi sawah eksisting dan interval kelas untuk analisis pengetahuan petani: Nasution dan Barizi dalam Rentha, (2007)

Page 81: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

65

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komponen hasil yang diamati selama penanaman adalah tinggi tanaman, jumlah rumpun per hektar, jumlah anakan per rumpun, jumlah malai per rumpun, berat 1000 butir serta produksi (hasil ubinan). Komponen hasil yang diamati secara rinci tersaji pada Tabel 2.

Tabel.2 Kompenen Hasil Budidaya Padi di Lahan Sawah Kecamatan Singaran Patih Kota Bengkulu, Mei-September 2015.

Uraian Hasil Pengukuran

Tinggi tanaman 91-93 cm Jumlah rumpun/ha 1808 rumpun Jumlah anakan/rumpun 22-45 anakan Jumlah anakan produktif 13-16 Berat 1000 butir 103 gram Produksi (ubinan) 8,77 ton/ha

Sumber: pengukuran indikator pertumbuhan tanaman

Tabel 2 menunjukkan keragaan tanaman yang cukup, belum menunjukkan keragaan yang bagus karena pengujian dilakukan pada musim kemarau (bulan Juni – September 2015). Padi membutuhkan air dalam jumlah yang cukup selama musim tanam, Menurut Yetti, H dan Ardian (2010), pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor genotip dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Gardner (1991) yang mengatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan tanaman dikendalikan oleh genotip dan lingkungan. Anakan produktif yang dihasilkan merupakan gambaran dari jumlah anakan maksimum yang dihasilkan sebelumnya.

Dari hasil analisis Kelayakan usahatani teknologi PTT padi sawah diukur dengan membandingkan dan melihat perbedaan (selisih) pendapatan antara penerapan teknologi PTT padi sawah dengan penerapan budidaya yang biasa dilakukan petani pada saat sebagaimana Tabel 3.

Tabel 3. Kelayakan Usaha Padi Sawah di Kelurahan Panorama, Kecamatan Singaran Pati, Kota Bengkulu Tahun 2015

No. Uraian Nilai

Teknologi PTT Non PTT

1.

2. 3. 4. 5. 6.

Biaya total (Rp/ha/MT)

- Tenaga kerja

- Benih

- Pupuk

- Pestisida

- Sewa traktor Produksi (kg/ha/MT) Harga jual (Rp/kg) Nilai produksi (Rp/ha/MT) NilaiPendapatan (Rp/ha/MT) R/C

10.093.750 7.733.750

175.000 975.000 508.000 720.000

4.770 4.000

19.080.000 8.986.250

1,89

8.611.000 7.142.500

112.500 366.000 270.000 720.000

3.060 4.000

12.240.000 3.629.000

1,42

7. 8. 9.

Marginal Keuntungan PTT – non PTT Marginal Biaya PTT – non PTT MB/C = (7)/(8)

5.357.250 1.482.750

3,61

Sumber: pengolahan data primer

Tabel 3 menunjukkan bahwa usahatani padi sawah dengan pendekatan PTT memberikan produktivitas dan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani yang biasa dilakukan oleh petani. Produktivitas padi melalui penerapan PTT adalah sebesar 4,77 ton/ha sedangkan produktivitas padi yang biasa dilakukan oleh petani adalah 3,06 ton/ha. Hal ini berarti bahwa penerapan teknologi PTT meningkatkan produktivitas padi sebesar 55,88%. Meskipun penanaman dilakukan pada saat musim kemarau, ada banyak faktor yang mendukung lebih tingginya produktivitas padi melalui pendekatan teknologi PTT dibandingkan dengan sistem budidaya yang biasa diterapkan oleh petani. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah penggunaan varietas unggul, benih bermutu dan berlabel, waktu pemupukan dan kesesuaian dengan status hara dan kebutuhan tanaman, serta yang paling utama adalah penggunan sistem tanam jajar legowo 2:1.

Page 82: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

66

Setyanto dan Kartikawati (2008) menyebutkan bahwa dengan sistem tanam jajar legowo semua barisan rumpun tanaman berada pada bagian pinggir tanaman yang biasanya memberikan hasil lebih tinggi (efek tanaman pinggir). Adanya barisan kosong (legowo) menyebabkan penyerapan nutrisi oleh akar menjadi lebih sempurna sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman padi yang dihasilkan.

Dilihat dari pendapatan yang diterima petani, usahatani dengan pendekatan teknologi PTT lebih besar 147,62% jika dibandingkan dengan usahatani yang biasa dilakukan oleh petani dengan margin pendapatan sebesar Rp. 5.357.250/ha. Hal ini disebabkan karena lebih tingginya produktivitas padi melalui penerapan PTT padi sawah meskipun total biaya yang dikeluarkan lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya yang biasa dilakukan oleh petani, namun keuntungan yang diperoleh masih lebih tinggi. Dari Tabel 4 juga dapat dihitung nilai perbandingan marginal keuntungan dan biaya yang dikeluarkan petani (MB/C) sebesar 3,61 yang menunjukkan bahwa apabila biaya pendekatan PTT (demplot) meningkat dengan kondisi eksternal yang sama masih memberikan keuntungan 3,61 kali lipat.

Menurut Hidayat, Y, dkk (2012), penerapan model PTT padi sawah dengan menggunakan VUB oleh petani kooperator di Kabupaten Halmahera Tengah mampu memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan penerapan teknologi yang biasa digunakan petani di lokasi pengkajian. Pendapat ini juga didukung oleh hasil penelitian Asnawi, R (2014) bahwa produktivitas rata-rata padi sawah pada lokasi SLPTT LL VUB lebih tinggi dari lokasi SLPTT LL non VUB dan non SLPTT. Rata-rata pendapatan usahatani padi pada lokasi SLPTT LL VUB adalah Rp.17.410.000,-/ha (R/C=3,15), lokasi SLPTT LL non VUB Rp. 13.488.806,-/ha (R/C=2,46) dan lokasi non SLPTT Rp.9.885.625,-/ha (R/C=2,34).

Hasil pengujian perubahan prilaku petani diukur dari tingkat pengetahuan dan respon peserta temu lapang PTT padi sawah saat panen. Data yang dikumpulkan antara lain karakteristik petani contoh yaitu umur, tingkat pendidikan, luas lahan, dan status kepemilikan lahan (Tabel 6). Rata-rata umur petani contoh adalah 49,1 tahun dan tergolong usia produktif. Pengelompokkan responden berdasarkan umur, yang terbanyak adalah kelompok umur antara 46 – 60 tahun yaitu sebanyak 8 orang atau 40,00%. Kemudian kelompok umur 61 – 75 tahun, 31 – 45 tahun dan 16 – 30 tahun masing-masing sebanyak 5 orang (25,00%), 4 orang (20,00%), dan 3 orang (15,00%). Tingkat pendidikan responden dibagi menjadi tiga kelompok yaitu Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan tingkat pendidikan mayoritas adalah SMA. Persentase masing-masing tingkat pendidikan petani contoh adalah 30,00% SD, 20,00% SMP, dan 50,00% SMA.

Tabel 4. Karakteristik Petani Contoh di Kecamatan Singaran Patih Kota Bengkulu Tahun 2015

No. Karakteristik Petani Contoh

Kelompok Jumlah (orang) %

1. Umur 16 – 30 31 – 45 46 – 60 61 – 75

3 4 8 5

15,00 20,00 40,00 25,00

Jumlah 20 100,00

2. Pendidikan SD SMP SMA

6 4 10

30,00 20,00 50,00

Jumlah 20 100,00

Sumber : Tabulasi data primer

Tabel 4 menunjukkan bahwa usia petani contoh tergolong usia produktif. Kondisi ini akan mempengaruhi pola pengambilan keputusan serta cara berusahatani yang dilakukan. Usia petani yang tergolong produktif akan mempengaruhi aktivitas mereka dalam berusahatani. Hal ini juga didukung oleh pendapat Cruz dalam Choirotunnisa, dkk (2008) bahwa petani yang lebih muda dalam hal usia dan pengalaman bertani, mempunyai kemungkinan yang lebih besar dia akan menerima ide. Petani muda dapat sedikit meninggalkan metode lama. Hal ini dapat memudahkan untuk berubah dari satu sistem ke sistem yang lain.

Menurut Bandolan, Y (2008), tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap penerimaan teknologi yang diberikan dalam proses berusahatani. Sedangkan Hadiwijaya dan Soekartawi dalam Choirotunnisa (2008) mengemukakan bahwa berbagai macam target produksi pertanian akan berhasil

Page 83: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

67

baik apabila ketersediaan dan keterampilan para petani untuk berproduksi bisa ditingkatkan. Mereka yang berpendidikan tinggi akan relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Begitu pula sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah, agak sulit melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat.

Pengetahuan Petani Terhadap Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah

Komponen teknologi PTT padi sawah yang dijadikan indikator terdiri dari 8 komponen teknologi, yaitu (1) Olah tanah; (2) Varietas Unggul Baru serta benih bermutu dan berlabel; (3) Penyemaian; (4) Penanaman; dan (5) Sistem tanam jajar legowo. Pengetahuan petani terhadap budidaya padi sawah dengan pendekatan PTT secara rinci tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengetahuan Petani Terhadap Teknologi PTT Padi Sawah Tahun 2015

Teknologi Budidaya Padi Sawah Sebelum Sesudah

Skor Kriteria Skor Kriteria

Olah tanah 0,62 Sedang 0,64 Sedang

VUB dan benih bermutu dan berlabel 1,55 Sedang 2,18 Tinggi

Penyemaian 0,85 Rendah 1,18 Sedang

Penanaman 1,72 Tinggi 1,85 Tinggi

Sistem tanam jajar legowo 2,08 Sedang 2,45 Sedang

Jumlah 6,82 Tinggi 8,91 Tinggi

Sumber : data primer terolah

Melalui penerapan demplot padi sawah dengan pendekatan PTT meningkatkan pengetahuan petani sebesar 30,65% dari 6,82 menjadi 8,91 setelah demplot PTT padi sawah (Tabel.5). Peningkatan pengetahuan petani ini menunjukkan bahwa demplot menjadi salah satu metode penyuluhan/diseminasi yang efektif untuk menyampaikan atau mentransfer inovasi teknologi ke pengguna. Penerapan demplot bertujuan agar petani dapat belajar, melihat, dan mempraktekan secara langsung teknologi yang disuluhkan. Metode penyuluhan ini memberikan manfaat dan sesuai dengan karakteristik sasaran dengan tingkat pendidikan dan umur yang beragam.

Tabel 5 memperlihatkan bahwa pengetahuan petani terhadap VUB serta benih bermutu dan berlabel meningkat sebesar 40,65%, paling tinggi dibandingkan dengan komponen lainnya (olah tanah, persemaian, penanaman, dan sistem tanam jajar legowo). Pemahaman petani terhadap VUB serta benih bermutu dan berlabel masih rendah dikarenakan petani terbiasa menggunakan benih dari hasil panen sebelumnya atau dari petani di sekitarnya. Disamping itu masih kurangnya informasi mengenai VUB dan benih bermutu dan berlabel yang sampai kepada petani. Sehingga diperlukan pendampingan dan penyuluhan yang intensif dan efektif kepada petani.

Gambar 1. Grafik peningkatanpengetahuan petani dalam budidaya padi sawah dengan

pendekatan PTT

Peningkatan pengetahuan petani sebagaimana tersaji pada Grafik 1. mencerminkan tingkat kesadaran mereka untuk mencari dan menerima informasi inovasi teknologi. Artinya, pengetahuan yang tinggi dimiliki oleh individu yang mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi pula. Pendapat ini didukung oleh pandangan bahwa individu petani sebagai orang dewasa telah mempunyai konsep diri, pengalaman belajar, dan kesiapan belajar (Apps dalam Sadono D, 2008) sehingga sisi manusianya dan proses belajarnya perlu di kedepankan.

Pengetahuan merupakan tahap awal dari persepsi yang kemudian mempengaruhi sikap dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan (keterampilan). Dengan adanya wawasan petani yang baik tentang suatu hal, akan mendorong terjadinya sikap yang pada gilirannnya mendorong terjadinya perubahan perilaku. Pengetahuan mencerminkan tingkat kesadaran petani untuk mencari

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

3,00

1 2 3 4 5

Sk

or

Pe

ng

eta

hu

an

Teknologi PTT Padi Sawah

Sebelum

Sesudah

Page 84: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

68

dan menerima informasi inovasi teknologi. Artinya, pengetahuan yang tinggi dimiliki oleh petani yang mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi pula. Kesadaran yang tinggi mendorong petani untuk lebih memberdayakan diri mereka sendiri dengan meningkatkan pengetahuannya.

Pengetahuan dan pemahaman petani terhadap suatu inovasi teknologi dapat ditingkatkan melalui peningkatan frekuensi penyuluhan dengan berbagai metode penyuluhan (seperti display/ demplot, temu lapang, dan pertemuan/ anjangsana) dan media penyuluhan (seperti folder, leaflet, poster, dan buku). Peningkatan pengetahuan petani mengenai suatu inovasi teknologi pertanian merupakan bagian yang penting dalam proses adopsi inovasi dan pemberdayaan petani. Dimana petani diberi kuasa, kekuatan, dan motivasi untuk meningkatkan pengetahunnya. Seperti yang dikemukakan oleh Sudarta (2005) bahwa dalam akselerasi pembangunan pertanian, pengetahuan individu pertanian mempunyai arti penting, karena pengetahuan dapat mempertinggi kemampuan dalam mengadopsi teknologi baru di bidang pertanian. Jika pengetahuan tinggi dan individu bersikap positif terhadap suatu teknologi baru di bidang pertanian, maka penerapan teknologi tersebut akan menjadi lebih sempurna, yang pada akhirnya akan memberikan hasil secara lebih memuaskan baik secara kuantitas maupun kualitas.

Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan petani sebagai bagian dari perilaku penerapan inovasi. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah faktor dari dalam diri petani seperti umur, pendidikan, status sosial, pola hubungan sikap terhadap pembaharuan, keberanian mengambil resiko, fatalisme, aspirasi dan dogmatis (sistem kepercayaan tertutup) dan faktor lingkungan seperti kosmopolitan, jarak ke sumber informasi, frekuensi mengikuti penyuluhan, keadaan prasarana dan sarana dan proses memperoleh sarana produksi.

Syafruddin, dkk (2006) menyatakan bahwa setiap individu memiliki kemampuan berbeda untuk mengembangkan pengetahuan. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik individu tersebut. Tiap karakter yang melekat pada individu akan membentuk kepribadian dan orientasi perilaku tersendiri dengan cara yang berbeda pula.Pengetahuan sebagai alat jaminan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang dari pengalaman, dan hasil penelitian membuktikan bahwa perilaku didasarkan atas pengetahuan akan lebih langgeng dibandingkan dengan tanpa didasari pengetahuan. Hanafi (1987) mengemukakan bahwa kerumitan suatu inovasi berhubungan negatif dengan kecepatan adopsi yang berarti semakin rumit suatu inovasi bagi seseorang, maka akan semakin lambat pengadopsiannya. Ditambahkan oleh Soekartawi (2005), bahwa bila memang benar teknologi baru akan memberikan keuntungan yang relatif besar dari teknologi lama, maka kecepatan proses adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat. Makin mudah teknologi baru tersebut dipraktekkan, maka makin cepat pula proses adopsi yang dilakukan petani. Oleh karena itu, agar proses adopsi inovasi dapat berjalan cepat, maka penyajian inovasi baru tersebut harus lebih sederhana.

Pengetahuan yang dimaksud juga memiliki berbagai level. Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang tercakup dalam domain pengetahuan mempunyai enam tingkatan yakni: tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan atau objek yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima (pengalaman). Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang telah diketahui. Oleh karena itu ada ungkapan dalam penyuluhan: Saya dengar, maka saya lupa; Saya lihat, maka saya ingat; Saya mencoba, maka saya tahu; Saya mencoba berulang-ulang maka saya paham.

KESIMPULAN

1. Metode demplot PTT padi sawah mampu meningkatkan produktivitas padi di Kota Bengkulu sebesar 55,88% dan pendapatan petani sebesar 147,6%

2. Metode pertemuan teknologi PTT padi sawah di lokasi demplot meningkatkan pengetahuan petani dari 6,82 menjadi 8,91 atau sebesar 30,65%

3. Pengetahuan petani terhadap teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah berada pada kriteria tinggi dengan skor nilai 8,91.

Page 85: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

69

DAFTAR PUSTAKA

Asnawi, R. 2014. Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di Kabupaten Pasawaran Lampung. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 14 (1): 44-52.

Badan Litbang Pertanian. 2010. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Kementerian Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Bandolan Y, Abd. Aziz, dan Sumang. 2008. Tingkat Adopsi petani Terhadap Teknologi Budidaya Rambutan di Desa Romangloe Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem, Desember 2008, Vol. 4 No.2.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu. 2013. Bengkulu Dalam Angka.Bengkulu. BPS Bengkulu.

Choirotunnisa, Sutarto, dan Supanggyo. 2008. Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Petani dengan Tingkat Penerapan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di Desa Joho Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo. Agritexts No. 24 Desember, 2008.

Cruz, Federico. A. 1987. Adoption and Diffusion on Agricultural Innovations. Hal 97 – 124. dalam Valera. Jaime B. et. al. 1987. An Introduction to Extension Delivery Systems. Island Publishing House. Inc. Manila.

Gardner, P, F, R, B, Perace, dan R, I, Michell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan Oleh H, Susilo. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Hanafi, Abdillah. 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Penerbit Usaha Nasional : Surabaya.

Hidayat, Y, Saleh, Y, dan Waraiya, M. 2012. Kelayakan Usahatani Padi Varietas Unggul Baru Melalui PTT di Kabupaten Halmahera Tengah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vo. 31 No.3 2012.

Makarim, A.K. & I. Las. 2005. Terobosan Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Irigasi Melalui Pengembangan Model Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Dalam Suprihatno et al. (Penyunting). Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan. Puslitbangtan, Badan Litbang Pertanian. Hal. 115-127.

Rentha, T. 2007. Identifikasi Perilaku, Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Irigasi Teknis Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga Pupuk di Desa Bedilan Kecamatan Belitang OKU Timur (Skripsi S1). Universitas Sriwijaya.Palembang.

Sirappa, Marthen P. 2011. Kajian Perbaikan Teknologi Budidaya Padi Melalui Penggunaan Varietas Unggul dan Sistem Tanam Jajar Legowo dalam Meningkatkan Produktivitas Padi Mendukung Swasembada Pangan. Jurnal Budidaya Pertanian 7 : 79 – 86.

Soekartawi. 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Universitas Indonesia. Jakarta.

Sudarta, W. 2005. Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian Hama Tanaman Terpadu (Online). http: //ejournal.unud.ac.id/abstrak/(6)%20soca-sudarta-pks%20pht(2).pdf diakses 30 Desember 2009.

Syafruddin, dkk. 2006. Hubungan Sejumlah Karakteristik Petani Mete dengan Pengetahuan Mereka dalam Usahatani Mete di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Jurnal Penyuluhan Juni 2006, Vol. 2 No.2.

Setyanto, P dan R. Kartikawati.2008. Sistem Pengelolaan Tanaman Padi Rendah Emisi Gas Metan. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan, Vol 27 (3): 154 - 163.

Wahyu, Wibawa. 2010. Petunjuk Pelaksanaan Pendampingan SL-PTT Padi dan Jagung di Provinsi Bengkulu. Bengkulu. BPTP Bengkulu.

Yetti, H dan Ardian.2010. Pengaruh Penggunaan Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah (Oryza sativa L.) Varietas IR 42 dengan Metode SRI (System of Rice Intensification). SAGU, Maret 2010 Vol. 9 No.1: 21-27.

http://ebookinga.com/pdf/metode-demonstrasi-pdf, diunduh 27 Juni 2016

Page 86: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

70

KEMAMPUAN LIMBAH TANAMAN PANGAN SEBAGAI SUMBER PAKAN MENDUKUNG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG DI SUMATERA BARAT

CROPS WASTE CAPACITY AS FEED SOURCE TO SUPPORT DEVELOPMENT OF CATTLE IN WEST SUMATERA

Rahmi Wahyuni dan M. Ichwan

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat, Jalan Raya Padang-Solok km 40, Sukarami, Solok 27366. Telp. (0755) 31122

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Indonesia khususnya Prov. Sumbar diperlukan pengembangan peternakan sapi potong mendukung ketahanan pangan asal ternak. Pengembangan peternakan sapi potong melalui peningkatan produksi dan populasi ternak dengan cara peningkatan kualitas dan kuantitas pakan. Untuk saat ini tidak bisa mengandalkan hanya dari padang rumput sebagai sumber hijauan, karena luas padang rumput relatif kecil sekali yaitu hanya 0,62 % dari total luas lahan yang potensial untuk menghasilkan hijauan. Untuk itu perlu dilakukannya pemanfaatan sumberdaya pakan yang tersedia secara optimal, di antaranya limbah tanaman pangan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui ketersediaan limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak di Sumatera Barat untuk pengembangan ternak sapi potong. Penelitian ini dilakukan di Prov. Sumbar pada bulan Juni tahun 2014. Penelitian ini merupakan penelitian data sekunder, metoda yang di gunakan deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan total kemampuan produksi pakan (Ton BKC) asal limbah tanaman pangan Provinsi Sumbar 479.698,71 Ton BKC/th, sementara total kebutuhan pakan ruminansianya saat ini 459.134,66 Ton BKC/th sehingga dapat diketahui kapasitas penambahan ternak (Ton BKC) 20.564,05 Ton BKC/Th atau 18.034,25 ST. Data ini mencerminkan bahwa kemampuan limbah dari tanaman pangan mampu menampung kebutuhan pakan ternak ruminansia. Kajian ini memperlihatkan bahwa limbah tanaman pangan mempunyai kemapuan sebagai sumber pakan dalam pengembangan ternak sapi potong mendukung ketahanan pangan.

Kata Kunci : Sapi Potong, Limbah Tanaman Pangan, Pakan Ternak

ABSTRACT

Indonesia in particular West Sumatera required the development of beef cattle from cattle to support food security. Beef cattle breeding development through increased production and livestock population by increasing the quality and quantity of feed. For now, it can not rely only on pasture as a source of forage because the vast grassland is relatively small at only 0.62% of the total land area with the potential to produce forage. It is necessary for the recovery of waste available resources optimally feed, including food crop waste. The purpose of this study to determine the availability of crop waste as a source of fodder in West Sumatra for the development of beef cattle. This research was conducted in Prov. West Sumatra in June 2014. This study is a secondary data, the method used quantitative descriptive. The results showed total feed production capability (Ton BKC) from waste food crops of West Sumatra Province BKC 479,698.71 Tons / year, while the total feed requirements ruminants currently BKC 459,134.66 Tons / year so that it can be seen capacity addition of livestock (Ton BKC) 20 564 05 Tons of BKC / Th or 18034.25 ST. This data reflects that the ability of the waste from food crops able to accommodate the needs of ruminant feed. This study shows that food cropswaste have chances as feed for beef cattle development in support of food security.

Keywords: Cattle, Waste Plant Food, Feed

Page 87: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

71

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sehubungan dengan program peningkatan produksidan populasi ternak sapi potong di Indonesia melalui Program Swasembada Daging Sapi, Prov. Sumbar merupakan salah satu provinsi yang berperan dalam pengembangan usaha ternak sapi potong di Indonesia. Peningkatan produksi dan populasi ternak sapi potong ini harus di ikuti dengan peningkatan kualitas dan kuantitas pakan. Untuk saat ini kita tidak bisa mengandalkan hanya dari padang rumput sebagai sumber hijauan, karena luas padang rumput relatif kecil sekali yaitu hanya 0,62 % dari total luas lahan yang potensial untuk menghasilkan hijauan (Sumbar Dalam Angka, 2012).

Pengembangan peternakan sapi potong perlu diupayakan dengan memanfaatkan secara optimal dukungan sumberdaya alam pertanian yang tersedia. Pemanfaatan sumberdaya pertanian sebagai pakan alternatif menjadi pilihan sebagai sumber pakan ternak sapi. Salah satu di antaranya adalah hasil ikutan atau limbah pertanian (Bamualim, 2013).

Selama ini yang terjadi limbah pertanian tidak termanfaatkan oleh petani, penyebabnya adalah : a) umumnya petani membakar limbah tanaman pangan karena secepatnya akan dilakukan pengolahan tanah, b) limbah tanaman pangan bersifat kamba sehingga menyulitkan peternak untuk mengangkut dalam jumlah banyak untuk diberikan kepada ternak, dan umumnya lahan pertanian jauh dari pemukiman peternak sehingga membutuhkan biaya dalam pengangkutan, c) tidak tersedianya tempat penyimpanan limbah tanaman pangan, dan peternak tidak bersedia menyimpan/menumpuk limbah di sekitar rumah/kolong rumah karena takut akan bahaya kebakaran, d) peternak menganggap bahwa ketersediaan hijauan di lahan pekarangan, kebun, sawah masih mencukupi sebagai pakan ternak (Liana dan Febriana 2011).

Melihat potensi yang besar dari limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan, nampaknya dapat mengatasi permasalahan dalam memenuhi kebutuhan untuk penyediaan pakan bagi sejumlah populasi ternak sapi potong. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak sapi potong di Sumatera Barat untuk pengembangan ternak sapi potong.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kemampuan limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak untuk pengembangan usaha peternakan di masa mendatang.

METODOLOGI PENELITIAN

2.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Sumbar pada 2014. Pengambilan data dengan studi kepustakaan dari beberapa literatur.

2.2. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian data sekunder, metoda yang di gunakan deskriptif kuantitatif. Data yang dibutuhkan berupa data sekunder dari data statistik Kab/Kota Sumatera Barat, data statistik Provinsi Sumbar, Lakip dari beberapa Kab/Kota, dan sumber bacaan lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Data yang dibutuhkan terdiri dari : (1) data populasi ternak ruminansi, (2) data produksi tanaman pangan di Prov. Sumbar.

2.3. Analisis Data

Analisis kuantitatif yang digunakan berupa serangkaian perhitungan untuk mendapatkan kemampuan Sumber daya pakan ternak sapi asal limbah tanaman pangan Prov. Sumbar untuk pengembangan usaha peternakan sapi potong dimasa mendatang. Total kemampuan produksi pakan limbah tanaman pangan berasal dari sisa produksi tanaman pangan. Dimana kemampuan limbah tanaman pangan untuk menampung sejumlah populasi ternak dilihat dari ketersediaan limbah tanaman pangan untuk ternak sapi.

Dengan demikian untuk mengetahui nilai dari kemampuan produksi pakan limbah tanaman pangan dibutuhkan serangkaian perhitungan sebagai berikut :

Total Kemampuan Produksi Pakan Ternak dari Limbah Tanaman Pangan (BKC/Thn).

Perhitungan jumlah pakan asal produksi tanaman pangan digunakan seperti tabel 1.

Page 88: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

72

Tabel 1. Karakterisasi pakan limbah tanaman pangan

No. Jenis Limbah Tanaman Pangan

Produksi Tanaman (Ton/th) *

Produksi Limbah (Ton/th)

Daya Cerna Produksi Limbah BKC Ton

(a) (b) (c) (d) (e) (f)

1 2 3 4 5 6 7 8

Padi Sawah Padi Ladang Jagung Kedelai Kacang Hijau Kacang Tanah Ubi Jalar Ubi Kayu

- - - - - - - -

(c) (c) x 2 (c) x 2 (c) x 2 (c) x 2 (c) x 2 (c) / 5 (c) / 3

0,14 0,14 0,15

0,165 0,137 0,137 0,135 0,135

(d) x (e) (d) x (e) (d) x (e) (d) x (e) (d) x (e) (d) x (e) (d) x (e) (d) x (e)

Total Total.1

Sumber: Sumanto dan Juraini (2006) Keterangan : * = Kondisi daerah panalitian (Data Sekunder)

Populasi Ternak Ruminansia dan Kebutuhan Pakannya. Satuan ternak yang digunakan untuk perhitungan daya dukung hijauan pakan adalah berdasarkan satuan ternak (ST), oleh karena itu jumlah ternak dinyatakan dalam satuan ternak. Untuk menentukan nilai faktor konversi ternak ruminansia digunakan koefisien teknis ST menurut Ashari dkk (1996) sebagai berikut :

Untuk sapi / kerbau :

- 1 ST - Satu ekor sapi / kerbau dewasa berumur >2 tahun - ½ ST - Satu ekor sapi / kerbau > 1 tahun,≤ 2 tahun - ¼ ST - Satu ekor sapi / kerbau < 1 tahun (anak)

Untuk domba / kambing :

- 0,14 ST - Satu ekor domba / kambing dewasa - 0, 075 ST - Satu ekor domba / kambing muda (dara) < 1 tahun > 6 bulan - 0, 035 ST - Satu ekor domba / kambing, kecil dari 6 bulan.

Total kebutuhan pakan adalah kebutuhan pakan semua ternak ruminansia yang ada di daerah tersebut.

- Total Kebutuhan Pakan = Populasi Ternak (ST) x 1,14 Ton BKC (Sumanto dan Juraini (2006)).

- Kapasitas Penambahan Ternak (Ton BKC) = Total Kemampuan Produksi Pakan (Ton BKC) – Total Kebutuhan Pakan Ruminansia (Ton BKC)

- Kapasitas Penambahan Ternak (ST) = Kapasitas Penambahan Ternak (Ton BKC) : 1,14 (Ton BKC)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keadaan Umum Daerah Penelitian

1. Geografi dan Topograrafi

Provinsi Sumatera Barat terletak antara 0⁰ 54 LU dan 3⁰ 30 LT, tercatat memiliki luas daerah 42,2 ribu Km

2. Provinsi Sumatera Barat terletak disebelah barat pulau Sumatera dan sekaligus

berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia, Provinsi Riau, Provinsi Jambi, dan Provinsi Sumatera Utara.

Sumatera Barat terdiri dari 19 Kab/Kota dengan Kab. Kepeulauan Mentawai memiliki wilayah terluas, yaitu 6,01 ribu Km

2 atau sekitar 14,21% dari luas Provinsi Sumatera Barat. Sedangkan Kota

Padang Panjang memiliki luas daerah terkecil, yakni 23,0 Km2 (0,05%).

Alam Sumatera Barat meliputi kawasan lindung yang mencapai sekitar 45,17% dari luas keseluruhan. Sedangkan lahan yang sudah termanfaatkan untuk budidaya baru tercatat 23.190,11 Km

2

atau sekitar 54,83% dari kawasan seluruhnya.

2. Penduduk

Page 89: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

73

Jumlah penduduk Sumbar pada tahun 2011 tercatat berjumlah 4,90 juta jiwa terdiri dari 2,43 juta jiwa laki-laki dan 2,47 juta jiwa perempuan yang tersebar di 19 Kab/Kota di Sumbar. Struktur umur penduduk Sumbar masuk kategori kelompok umur penduduk muda dimana persentase penduduk usia mudanya (dibawah 15 tahun) tergolong tinggi yaitu 31,92%, sedangkan komposisi penduduk usia tua (65 tahun ke atas) hanya 5,67%. Secara umum masyarakat Sumatera Barat memiliki pekerjaan utama sebagai petani. Bila kita perhatikan penduduk berdasarkan kelompok umur, memberikan gambaran bahwa sebagian besar penduduk berada pada umur produktif (65,23 %), sesuai dengan ketetapan Biro Statistik yang menyatakan bahwa umur 15 - 64 tahun adalah usia produktif dalam berusaha.

3. Kondisi Kepemilikan Lahan Pertanian

Berdasarkan hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013 (ST 2013) diketahui bahwa jumlah rumah tangga usaha pertanian di Provinsi Sumatera Barat tahun 2013 sebanyak 644.610 rumah tangga, subsektor tanaman pangan 426.135 rumah tangga, hortikultura 261.298 rumah tangga, perkebunan 446.287 rumah tangga, peternakan 280.250 rumah tangga, perikanan 63.252 rumah tangga, dan kehutanan 59.018 rumah tangga.

Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan bahwa rata-rata penguasaan lahan yang dikuasai rumah tangga pertanian pada tahun 2013 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Jika pada tahun 2003 rata-rata lahan yang dikuasai sebesar 4.964,91 m2, maka pada tahun 2013 rata-rata lahan yang dikuasai meningkat menjadi 9.625,99 m2 untuk setiap rumah tangga pertanian. Peningkatan rata-rata lahan yang dikuasai terutama berasal dari peningkatan pengusaan lahan pertanian dari 4.308,03 m2 pada tahun 2003 menjadi 9.378,20 m2 pada tahun 2013(BPS Sumbar, 2014). Hal ini mengindikasikan bahwa besar sekali peluang bagi peternak dalam ketersediaan sumber pakan baik dari limbah pertanian maupun dari lahan potensial dalam menghasilkan hijauan makanan ternak

B. Kemampuan Produksi Pakan Asal Limbah Tanaman Pangan.

Pakan untuk ternak sapi tidak hanya dapat berasal dari hijauan makanan ternak namun juga dapat berasal dari sisa limbah pertanian. Hal ini sesuai dengan pendapat Makka (2004), di kawasan pengembangan peternakan yang terintegrasi dengan subsektor lainnya, perkembangan ternak ruminansia besar seperti sapi dapat memanfaatkan by produck (limbah dan hasil pertanian) yang tersedia dari kegiatan sub-sektor lainnya seperti tanaman pangan hortikultura dan perkebunan.Pakan ternak sapi yang berasal dari limbah pertanian dapat diperoleh dari tanaman pangan seperti padi sawah, padi ladang, jagung, kedelei, kacang hijau, kacang tanah, ubi jalar dan ubi kayu. Tanaman pangan tersebut memberikan nilai kontribusi yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya, seperti yang telah ditetapkan dalam perhitungan Sumanto dan Juarini (2006), yaitu mengenai kontribusi limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak sapi yang dapat dihitung berdasarkan produksi panen, untuk menghasilkan pakan ternak berdasarkan berat kering cerna (BKC). Untuk menentukan potensi pakan asal limbah pertanian, terlebih dahulu harus diketahui produksi pertanian di Prov. Sumbar.

Page 90: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

74

Tabel 2. Produksi tanaman pangan Prov. Sumbar, 2012 (ton/th).

No. KABUPATEN

/KOTA PADI

SAWAH PADI

LADANG JAGUNG UBI

KAYU UBI

JALAR KACANG TANAH KEDELAI

KACANG HIJAU

1 kep.mentawai 579 - 304 5224 1362 39 8 27

2 pesisir selatan 264030 98 81124 15542 1255 1626 467 243

3 solok 304200 - 4354 10467 31939 210 73 49

4 sijunjung 73910 1166 924 4593 147 50 50 11

5 tanah datar 237067 111 16844 16197 16147 2561 5 11

6 padang pariaman 251038 - 6061 20635 283 601 15 -

7 agam 275448 664 33132 20470 29474 1813 124 66

8 50 kota 213693 - 13635 50234 6252 298 - -

9 pasaman 200365 4153 12592 3474 776 467 575 87

10 solok selatan 120746 662 9990 6892 1598 893 156 112

11 dharmasraya 46209 2012 4164 4273 316 121 104 7

12 pasaman barat 93242 16189 285053 10404 6054 3107 321 491

13 padang 74566 - - 6344 434 9 3 1

14 solok 13076 - 1482 1521 478 33 - -

15 sawahlunto 12091 - 127 1468 - - 7 14

16 padang panjang 8945 - 163 520 701 23 - -

17 bukittinggi 4027 - 15 461 807 24 - -

18 payakumbuh 38881 - 1591 11407 98 10 - -

19 pariaman 22434 - 294 1820 - 23 17 2

Total (Ha) 2254547 25055 471849 191946 98121 11908 1917 1121

Sumber : Sumbar Dalam Angka, 2012.

Pada Tabel 2, terlihat bahwa produksi tanaman pangan paling besar berasal dari padi sawah

dengan produksi sebesar 2.254.547Ton/th dan yang paling sedikit adalah kacang hijau sebesar 1.121Ton/th. Dengan diketahuinya produksi tanaman pangan, selanjutnya masing-masing komoditi dapat memberikan kontribusi yang berdeba-beda satu dan lainya sebagai sumber ketersediaan pakan sesuai dengan perhitungan yang telah ditetapkan oleh Balitnak Ciawi-Bogor yang digunakan oleh Sumanto dan Juarini (2006), secara rinci terlihat pada Tabel 3.

Page 91: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

75

Tabel 3. Kemampuan produksi limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan (ton BKC/th)

No. KABUPATEN

/KOTA PADI SWH

PADI LDANG

JAGUNG UBI

KAYU UBI

JALAR KEDELAI

KCNG HIJAU

Jmlh (Ton BKC/Th)

%

1 Kep.Mentawai 81.06 0 91.2 2.64 7.398 36.77 235.08 464.83 0.096

2 Pesisir Selatan 36964.2 27.44 24337.2 154.11 66.582 33.88 699.39 62728.33 13.07

3 Solok 42588 0 1306.2 24.09 13.426 862.35 471.01 45322.62 9.44

4 Sijunjung 10347.4 326.48 277.2 16.5 3.014 3.96 206.68 11194.94 2.33

5 Tanah Datar 33189.38 31.08 5053.2 1.65 3.014 435.96 728.86 40144.87 8.36

6 Padang Pariaman 35145.32 0 1818.3 4.95 0 7.64 928.57 38069.46 7.93

7 Agam 38562.72 185.92 9939.6 40.92 18.084 795.79 921.15 50960.95 10.62

8 50 kota 29917.02 0 4090.5 0 0 168.80 2260.53 36518.50 7.61

9 Pasaman 28051.1 1162.84 3777.6 189.75 23.838 20.95 156.33 33510.36 6.98

10 Solok Selatan 16904.44 185.36 2997 51.48 30.688 43.14 310.14 20766.93 4.32

11 Dharmasraya 6469.26 563.36 1249.2 34.32 1.918 8.53 192.28 8552.02 1.78

12 Pasaman Barat 13053.88 4532.92 85515.9 105.93 134.534 163.45 468.18 104826.12 21.85

13 Padang 10439.24 0 0 0.99 0.274 11.718 285.48 10740.16 2.23

14 Solok 1830.64 0 444.6 0 0 12.90 68.44 2365.63 0.49

15 Sawahlunto 1692.74 0 38.1 2.31 3.836 0 66.06 1803.04 0.37

16 Padang panjang 1252.3 0 48.9 0 0 18.92 23.4 1349.82 0.28

17 Bukittinggi 563.78 0 4.5 0 0 21.78 20.74 617.39 0.12

18 Payakumbuh 5443.34 0 477.3 0 0 2.64 513.31 6439.34 1.34

19 Pariaman 3140.76 0 88.2 5.61 0.548 0 81.9 3323.32 0.69

Total BKC Ton/Th 315636.6 7015.4 141554.7 635.25 307.15 2649.267 8637.57 479698.71 100

Sumber : Data Primer, 2012

Page 92: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

76

Dari pengolahan data tersebut dapat diketahui bahwa kemampuan produksi limbah tanaman pangan Provinsi Sumbar yang dapat dijadikan pakan ternak adalah sebesar 479.698,71 Ton BKC/th. Limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak paling banyak dihasilkan dari limbah padi sawah yaitu sebesar 315.636,6Ton BKC/th (65,79%) dari total produksi limbah tanaman pangan dan paling sedikit berasal dari limbah ubi jalar yaitu 307,15 Ton BKC/th (0,06%). Kab/Kota yang memiliki potensi ketersediaan pakan asal limbah tanaman pangan paling besar adalah Kab. Pasaman Barat yaitu sebesar 104.826,12 Ton BKC/th (21,85%) dan yang paling sedikit adalah Kab. Mentawai sebesar 464,83 Ton BKC/th (0.09 %).

C. Populasi Ternak Ruminansia dan Kebutuhan Pakannya.

Populasi ternak ruminansia yang terdapat pada suatu wilayah akan mempengaruhi kemampuan atau kapasitas penambahan populasi ternak di daerah tersebut untuk masa yang akan datang, sesuai dengan kemampuan wilayah dalam menghasilkan hijauan makanan ternak. Dalam hal ini satuan ternak yang digunakan untuk menghitung potensi ternak ruminansia di Prov. Sumbar secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4:

Page 93: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

77

Tabel 4. Karakteristik potensi ternak ruminansia Prov. Sumbar, 2012.

Sumber : Data Primer, 2012

Keterangan : - Faktor konversi yang digunakan untuk ternak sapi berdasarkan hasil olahan data BPS Sumbar = 0.88

- Faktor konversi untuk ternak kambing kacang = 0.05 (Juarini dan Patheram (1983) dalam Sumanto dan Juarini (2006)).

No. KABUPATEN /KOTA SAPI PERAH SAPI POTONG KERBAU KAMBING DOMBA

jumlah (ekor)

jumlah (ST)

jumlah (ekor)

jumlah (ST)

jumlah (ekor)

jumlah (ST)

jumlah (ekor)

jumlah (ST)

jumlah (ekor)

jumlah (ST)

1 kep.mentawai 0 0 1097 965.36 103 90.64 674 33.7 12 0.6 2 pesisir selatan 0 0 77383 68097.04 8019 7056.72 50007 2500.35 0 0 3 Solok 7 6.16 32891 28944.08 9398 8270.24 16561 828.05 0 0 4 Sijunjung 0 0 14726 12958.88 13550 11924 10220 511 1819 90.95 5 tanah datar 139 122.32 30443 26789.84 10959 9643.92 24421 1221.05 6 0.3 6 padang pariaman 0 0 34129 30033.52 13461 11845.68 31231 1561.55 0 0 7 Agam 39 34.32 28057 24690.16 17921 15770.48 11820 591 22 1.1 8 50 kota 10 8.8 33278 29284.64 13146 11568.48 27218 1360.9 13 0.65 9 Pasaman 0 0 6676 5874.88 3024 2661.12 6767 338.35 195 9.75 10 solok selatan 0 0 7663 6743.44 7000 6160 8378 418.9 0 0 11 Dharmasraya 0 0 26911 23681.68 3850 3388 12797 639.85 43 2.15 12 pasaman barat 0 0 12685 11162.8 1738 1529.44 14351 717.55 25 1.25 13 padang 28 24.64 14002 12321.76 672 591.36 18666 933.3 2519 125.95 14 Solok 0 0 1820 1601.6 37 32.56 2180 109 2 0.1 15 Sawahlunto 37 32.56 6373 5608.24 1780 1566.4 4290 214.5 0 0 16 padang panjang 287 252.56 377 331.76 134 117.92 649 32.45 0 0 17 Bukittinggi 3 2.64 428 376.64 112 98.56 328 16.4 0 0 18 Payakumbuh 0 0 4876 4290.88 356 313.28 5294 264.7 0 0 19 Pariaman 0 0 2991 2632.08 694 610.72 2230 111.5 0 0

550 484 336806 296389.28 105954 93239.52 248082 12404.1 4656 232.8

Page 94: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

78

Jumlah populasi ternak ruminansia di Sumbar yaitu sebesar 402.749,7 Satuan Ternak (ST) yang terdiri dari ternak sapi potong dan sapi perah sebanyak 296.873,3 ST (73,71%), kerbau sebanyak 93.239,52 ST (23,15%), kambing sebanyak 12404.1 ST (3,07%) dan domba sebanyak 232,8 ST (0,05%). Kebutuhan hijauan berdasarkan jenis ternak ditampilkan pada Tabel 5 dibawah ini:

Tabel 5. Kebutuhan pakan ternak ruminansia di Prov. Sumbar.

No. Jenis Ternak

Jumlah (ekor) Jumlah (ST) Rata-rata Kebutuhan Pakan (Ton BKC/ST/th)

Kebutuhan Pakan (Ton BKC/th)

1 2 3 4 5

Sapi Potong Kerbau Kambing Domba

337.356 105.954 248.082

4.656

296.873,3 93.239,52 12.404,1

232,8

1,14 1,14 1,14 1,14

338.435,56 106.293,05

14.140,67 265,39

Total 359.029,4 402749,7 459.134,68

Sumber : Data Primer, 2011

Kebutuhan pakan hijauan minimum dari hewan ternak pemakan hijauan per satu satuan ternak

(ST) di Prov. Sumbar yaitu sebesar 1,14 Ton BKC/ST/th, sehingga dengan jumlah populasi yang ada total kebutuhan pakan hijuan di Prov. Sumbar sebesar 459.134,68 Ton BCK/th. Menurut Sugeng (2003), pakan sapi yang dipelihara secara intensif pada umumnya terdiri dari pakan hijauan dan pakan penguat seperti dedak halus, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, tetes tebu, jagung giling dan lain-lain. Bahan pakan berupa hijauan diberikan sebanyak 10 % dari berat badan dan pakan penguat sebanyak 1 % dari berat badan.

D. Kapasitas Penambahan Ternak

Dilakukan perincian mengenai kapasitas penambahan ternak berdasarkan total kebutuhan pakan ternak ruminansia dan total kemampuan produksi pakan dari limbah tanaman pangan seperti terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kapasitas penambahan ternak.

Populasi Ternak

Rumunansia (ST)

Total Kebutuhan Pakan Ruminansia

(Ton BKC)

Total Kemampuan Produksi Pakan

(Ton BKC)

Kapasitas Penambahan Ternak

(Ton BKC)

Kapasitas Penambahan Ternak

(ST)

402.749,70 459.134,66 479.698,71 20.564,05 18.034,25

Sumber : Data Primer, 2012

Dari Tabel 6 terlihat total kemampuan produksi pakan (Ton BKC) asal limbah tanaman

pangan Provinsi Sumbar 479.698,71 Ton BKC/th, sementara total kebutuhan pakan ruminansianya saat ini 459.134,66 Ton BKC/th sehingga dapat diketahui kapasitas penambahan ternak (Ton BKC) 20.564,05 Ton BKC/Th atau 18.034,25 ST. Data ini mencerminkan bahwa kemampuan limbah dari tanaman pangan mampu menampung kebutuhan pakan ternak ruminansia, hal ini menunjukan bahwa limbah tanaman pangan dapat menjadi solusi dalam keterbatasan hijauan untuk pengembangan peternakan sapi potong kedepannya.

Page 95: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

79

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan total kemampuan produksi pakan (Ton BKC) asal limbah tanaman pangan Provinsi Sumbar 479.698,71 Ton BKC/th, sementara total kebutuhan pakan ruminansianya saat ini 459.134,66 Ton BKC/th sehingga dapat diketahui kapasitas penambahan ternak (Ton BKC) 20.564,05 Ton BKC/Th atau 18.034,25 ST. Data ini mencerminkan bahwa kemampuan limbah dari tanaman pangan mampu menampung kebutuhan pakan ternak ruminansia, hal ini menunjukan bahwa limbah tanaman pangan dapat menjadi solusi dalam keterbatasan hijauan untuk pengembangan peternakan sapi potong kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat. 2012. Sumatera Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat, Padang.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat. 2014. Berita Resmi Statistik BPS Sumatera Barat. http://sumbar.bps.go.id/sumbar/?r=artikel/cat&id=31. Diakses 15 April 2014.

Dinas Peternakan Kabupaten Pesisir Selatan. 2007. Statistik Peternakan Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2007. Dinas Peternakan Kabupaten Pesisir Selatan, Painan.

Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat. 2014. Sumbar Akan Impor 60.000 Sapi dari Australia. http://disnak.sumbarprov.go.id/index.php?disnak=berita&j=1&id=458. Diakses 15 April 2014.

Makka, J. 2004. Prospek Pengembangan Sistem Integrasi Peternakan yang Berdaya Saing. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar, Bali.

Liana dan Febriana. 2011. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ruminansia pada Peternak Rakyat di Kec. Rengat Barat Kab. Inragiri Hulu. Fakultas Pertanian Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Jurnal Peternakan Vol 5 No 1 Februari 2008 (28-37).

Siregar, S. B., Soedirman dan T. Manurung. 1981. Budidaya Ternak dalam Usahatani Ternak dalam Usahatani Terpadu di Daerah Penelitian Peternakan 23-26 Maret 1981, Ilmu Usaha Tani Terpadu dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. Indonesia University Press, Jakarta.

Soetirto, U. 1997. Pemberdayaan petrnakan rakyat dan industri peternakan menuju pasar bebas pokok bahasan ternak potong. Proseding Seminar Nasional Peternakan dan Veterinir. Lembaga Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sumanto dan E. Juarini. 2006. Pedoman Identifikasi Potensi Wilayah. Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor, Bogor.

Sugeng, Y. B. 2003. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.

Tressia. 2008. Analisis potensi wilayah untuk pengembangan usaha ternak sapi potong di Kecamatan Lubuk Alung. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang.

Page 96: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

80

PRODUKSI DAN ANALISA EKONOMI SAPI SIMENTAL DENGAN PEMBERIAN PAKAN KULIT BUAH COKLAT

PRODUCTION AND ECONOMIC ANALYSIS OF SIMENTAL CATTLE BY FEEDING OF COCOA PODS

Ratna AD, Rahmi W dan Yanovi Hendri

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat Jl. Raya Padang – Solok km. 40 Sukarami, Kec. Gng. Talang Kab. Solok sumbar

[email protected]

ABSTRAK

Manajemen peternakan dengan pemberian pakan kulit buah coklat mendekatkan ternak sapi dengan sumber pakan, menekan tingkat pencemaran lingkungan sekaligus mempercepat tercapainya bio-industri pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan melakukan ekonomi sapi simental dengan pemberian pakan kulit buah coklat yang mensubstitusi rumput di musim kemarau. Penelitian menggunakan 18 ekor sapi Simental dengan kisaran umur antara 2-3 tahun dengan bobot badan rata-rata 350 kg. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 3 perlakuan ransum (R) dan masing-masing 6 kali ulangan. Perlakuan adalah ransum R1 (tanpa kulit buah coklat), ransum R2 (dengan kulit buah coklat 5 kg) dan ransum R3 (dengan kulit buah coklat 8 kg). Parameter yang diukur meliputi pertambahan bobot badan harian (PBBH), return over cost ratio (R/C), nilai keuntungan bersih (NKB) dan analisis kelayakan usaha. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa ransum memberikan pengaruh terhadap pertambahan bobot badan sapi. Ransum dengan kulit buah kakao fermentasi (R2 dan R3) menghasilkan pertambahan bobot badan lebih tinggi dari ransum R1. Ransum R2 menghasilkan pertambahan bobot badan lebih tinggi dari ransum R3 dan memberikan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dengan nilai B/C ratio 0,54. Pemanfaatan kulit buah kakao sebagai komponen ransum dapat meningkatkan pertambahan bobot badan ternak sekaligus pendapatan peternak.

Kata kunci: Kulit kakao fermentasi,pertambahan berat badan,sapi,pakan

ABSTRACT

Utilization offermented cocoa pods as cattle feed component efforts toget the low-cost feeding with an in-situ available raw material. This studv aimed to observe the effect of fermented cacao pods utilization on cows weight gain and to assess economic analysis of feed components. The studyused 18 simental cows aged 2-3 years with maintenance period of 4 months. The research was arranged in a randomized block design(RBD), consisted of 3-treatment feeds (R), each treatment was repeated 6 times. Treatment R1 was without fermented cocoa pods, R2 was with 8 kg fermented cacao pods and R3 was with 5 kg fermented cocoa pods. The parameters measured were body weight gained and economic analysis. The results showed that the feed influenced on body weight gainof cows. Feed with fermented cacao pods (R2 and R3) resulted in higher body weight gain compared tothe feed in R1, feed R2 produced body weight higher than feed R3 and also provideshigher level of benefit to the value of B/C ratio of 0.54. This study concluded that the utilization of cocoa pods as ransom component scan increase body weight gainas well asthe income of livestock farmers.

Keywords: Fermented Cocoa Pods, weight gain, Cattle, Feed

Page 97: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

81

PENDAHULUAN

Sapi potong merupakan komoditas peternakan yang memiliki peran strategis dalam aspek ketahanan pangan sebagai penghasil protein hewani terutama daging. Perbaikan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi pangan bergizi meningkatkan kebutuhan daging sebesar 7% (Pasandaran dkk., 2006). Hingga saat ini produsen lokal belum mampu memenuhi permintaan dan pemerintah Indonesia melakukan importasi sebanyak 800 ribu ekor sapi dari Australia dan New Zealand (Ditjennak, 2008). Importasi ternak sapi tersebut meliputi 42% konsumsi daging domestik serta menguras devisa negara (Inounu., dkk. 2008).

Secara umum, peternakan sapi potong di Indonesia berupa peternakan rakyat dengan sistem pemeliharaan konvensional yakni mengandalkan rumput alam di padang penggembalaan sebagai sumber hijauan (Wirdahayati dan Bamualim, 2007). Kondisi musim mempengaruhi produksi rumput demikian juga produktifitas ternak, kekurangan produksi rumput pada musim kemarau mengakibatkan pertambahan bobot badan ternak menurun sekitar 0,1–0,3 kg/hari (Disnak Sumbar, 2008). Selain itu, alih fungsi lahan menjadi areal pertanian dan pemukiman penduduk menyebabkan kapasitas tampung padang penggembalaan tidak lagi seimbang dengan kebutuhan hijauan per satuan ternak (ST). Keterbatasan lahan penggembalaan menjadi faktor penghambat kecukupan hijauan makanan ternak. Oleh karena itu, Buharman (2011) menyatakan peternak sapi perlu mengupayakan pakan pengganti rumput terutama di musim kemarau.

Kulit buah coklat merupakan limbah pertanian potensial dan bisa dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak pengganti rumput. Ismartoyo (2000) menyatakan kulit buah coklat masih mengandung zat-zat makanan dengan kandungan nutrisi terdiri dari protein 8%, serat kasar 40,1% dan TDN 50,8%. Kandungan protein kulit buah coklat kaya asam-asam amino essensial. Zain. (2008) menyatakan penggunaan kulit buah kakao sebagai pakan dapat menggantikan fungsi rumput sebesar 5 – 15%. Hendri.,dkk. (2011) melaporkan pemberian kulit buah coklat terhadap sapi simental meningkatkan produktifitas. Pemberian kulit buah coklat selama 90 hari sebanyak 3 kg/hari menghasilkan pertambahan berat badan sebesar 92,5 kg dan pertambahan berat badan harian sebesar 1,05 kg/hari.

Propinsi Sumatera Barat merupakan sentra produksi coklat di Kawasan Indonesia Barat (KIB). Kawasan pengembangan coklat terdapat di kabupaten Pasaman, Pasaman Barat, Padang Pariaman, Agam, Lima Puluh Kota dan kota Sawahlunto (Anonim, 2009). Pada tahun 2010luas areal pertanaman coklat di Sumatera Barat mencapai 98.706,60 ha dengan kapasitas produksi sebesar 42.606,11 ton (BPS Sumbar, 2010). Dari luasan perkebunan dan produksi coklat tersebut akan menghasilkan kulit buah coklat sekitar 30 ribu ton. Apabila satu ekor ternak sapi mengkonsumsi 3 kg kulit buah coklat per hari, maka sumbangan kulit buah coklat terhadap daya tampung ternak di Sumatera Barat sebesar 30 ribu ekor sapi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa ekonomi sapi yang diberi pakan kulit buah coklat untuk mensubstitusi rumput yang bisa dimanfaatkan terutama pada musim kemarau.

METODOLOGI

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kelompok Sarjana Membangun Desa (SMD) di Desa Rambatan, Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. Sapi dipelihara pada kandang kelompok yang berkapasitas 18 ekor sapi.

Ternak dan Perlakuan Pakan

Penelitian menggunakan 18 ekor sapi Simental jantan berumur 1,5-2 tahun yang memiliki berat rata-rata 300 kg. Pemeliharaan ternak dilakukan selama 4 (empat) bulan dan lama masa adaptasi ternak terhadap pakan yang diperlakukan selama 1 (satu) bulan. Selama penelitian, penimbangan berat badan dilakukan setiap bulan menggunakan timbangan digital. Penggemukan sapi dilakukan selama 4 bulan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan masing-masing terdiri dari 6 ulangan. Perlakuan ransum terlihat pada Tabel 1.

Page 98: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

82

Tabel 1. Perlakuan ransum selama penelitian

Bahan Pakan R 1 (kg) R2 (kg) R3 (kg)

1. Jerami segar 20 2. Jerami fermentasi 10 10 3. Kulit buah kakao fermentasi 8 5 4. Ampas tahu 7 5 7 5.Dedak halus 2 - - 6. Konsentrat 0,5 - 0,5 7. Mineral 0,1 0,1 0,1 8. Starbio 0,01 - 0,01

Harga (Rp) 10.050,- 5.800,- 7.850,-

Ransum (R2 dan R3) sebagaimana tercantum pada Tabel 1, disusun untuk memenuhi kebutuhan seekor sapi dengan bobot badan 300 kg dan target pertumbuhan 1 kg/hari adalah: 7.5 kg BK; 5 kg TDN; dan 0,82 kg Protein Kasar (Kearl., 1982).Kandungan zat makanan pada ransum dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan zat makanan dalam masing-masing perlakuan ransum

Ransum Bahan kering (kg) Protein (kg) Energi (TDN) (kg)

R 1 21,45 1,12 9,75 R 2 13,37 1,83 7,44 R 3 9,32 1,45 5,85

Pada awal penelitian semua ternak diberikan obat cacing (sanbe), sehingga semua ternak bebas dari cacing dan pertumbuhan yang terjadi adalah benar-benar akibat perlakuan. Variabel yang diamati adalah pertambahan bobot badan ternak yang diketahui melalui penimbangan setiap 2 minggu sekali. Data pertambahan bobot badan di analisis dengan analisa sidik ragam dan uji lanjut menggunakan Duncan pada taraf kesalahan α = 5 % (Gomez and Gomez, 1995).

Proses fermentasi kulit buah kakao menggunakan Starter (RAGUR100) yang diproduksi oleh BPTP Sumatera Barat dengan dosis 20 liter/ton. Cara melakukan fermentasi adalah sebagai berikut :

Kulit buah kakao yang telah dicincang ditumpuk pada tempat yang telah disediakan, drum atau karung plastik, selama penyimpanan harus kedap udara

Penumpukan bahan dalam wadah/plastik dilakukan secara bertahap dimana pada setiap tumpukan disiram dengan larutan fermentor (larutan ragi, gula dan urea yang dilakukan dengan proses aerasi selama 24 jam) menggunakan spray atau dipercikkan dengan tangan.

Penumpukan dilakukan sampai ketinggian mencapai 1 meter atau disesuaikan dengan wadah yang digunakan.

Setelah penumpukan wadah ditutup rapat dan dibiarkan selama 6 hari. Setiap 3 hari dilakukan pembalikan wadah agar fermentasi merata.

Setelah 6 hari kulit kakao yang sudah difermentasi dapat dibuka. Hasil fermentasi yang baik ditandai dengan aroma fermentasi yang baik. Hasil fermentasi di keringkan dengan mengangin-anginkan, setelah itu siap untuk diberikan pada ternak.

Untuk mengetahui tingkat keuntungan bagi peternak dengan memanfaatkan kulit kakao fermentasi dilakukan analisis usahatani. Dalam analisis ekonomi terdapat perbedaan biaya antar perlakuan dengan menggunakan cara Analisis Anggaran Persial, merupakan analisis/cara yang paling sederhana dalam evaluasi kelayakan suatu usaha tani.

Page 99: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

83

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertambahan Bobot Badan

Rata-rata pertambahan bobot badan sapi (g/hari) dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa perlakuan ransum kulit kakao fermentasi (R2 dan R3) memberikan pertambahan bobot badan harian lebih tinggi(P<0,05) dibandingkan ransum tanpa kulit kakao fermentasi (R1). Pertambahan bobot badan harian sapi kedua perlakuan ransum dengan kulit kakao fermentasi (R2 dan R3) bervariasi dan pertambahan bobot badan harian cenderung lebih tinggi pada level penggunaan yang lebih banyak. Tabel 3 memperlihatkan bahwa penggunaan kulit buah kakao fermentasi hingga 8 kg dalam ransum (R2) menghasilkan rata-rata pertambahan bobot badan harian 915 g/ekor/hari. Hasil tersebut hampir 3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan ransum yang biasa diberikan oleh peternak (R1).

Tabel 3. Rata-rata pertambahan bobot badan (g/ekor/hari)

Ransum P1 P2 P3 P4 P5 P6 Rata-rata

R1 550 425 308 400 300 342 388b

R2 583 522 711 1375 1014 1286 915a

R3 393 556 455 972 897 655 655ab

P = Penimbangan

Terjadinya variasi pertambahan bobot badan harian sapi kemungkinan disebabkan perbedaan kualitas ransum, dimana ransum dengan kulit kakao fermentasi memiliki kualitas lebih baik terutama dalam hal kandungan protein. Perbedaan bahan pakan dalam ransum juga ikut mempengaruhi, meskipun peternak telah menyusun ransum yang dicampur dengan konsentrat namun komposisi ransum tersebut belum mampu memberikan pertambahan bobot badan sesuai dengan yang diharapkan. Ransum R2 memiliki kandungan protein lebih tinggi akibat terdapatnya kulit buah kakao fermentasi dalam ransum yang mencapai 8 kg/hari. Dengan demikian terdapat asam-asam amino essensial dalam ransum yang memberikan kontribusi nutrisi untuk kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan. Menurut Suparjo dkk. (2009) proses fermentasi akan menghasilkan sel-sel tubuh mikroba dan enzim yang mengandung protein serta metabolit-metabolit lainnya sehingga menghasilkan produk pakan dengan kualitas lebih baik dari segi kandungan protein, serat kasar dan lignin. Padang (2009) menyatakan bahwa protein merupakan zat makanan yang paling penting bagi ternak untuk pembentukan sel-sel baru, pembesaran ukuran sel sebagai penyebab dari pertambahan bobot badan.

Protein tidak dapat langsung dicerna oleh ternak yang bersangkutan akan tetapi terlebih dahulu dirombak oleh mikroorganisme melalui proses fermentasi. Protein makanan pertama kali dihidrolisis oleh mikroba rumen dan dipergunakan oleh mikroba untuk membentuk protein tubuhnya dan sisanya akan diserap melalui dinding rumen. Disamping itu mikroba-mikroba yang mati masuk ke dalam usus menjadi sumber protein bagi ruminansia (65% sumbangan protein bagi ruminansia berasal dari mikroba-mikroba tersebut) (Subagdja2000). Sementara sumbangsih protein untuk pertumbuhan bagi ruminansia berasal dari protein mikroba yaitu sekitar 40-84% dari seluruh protein yang mencapai abomasum. Dengan demikian pertambahan bobot badan yang tinggi pada sapi yang diberi pakan kulit buah kakao fermentasi disebabkan oleh tersedia protein mikroba sisa dari proses fermentasi (Nelson dan Suparjo, 2011).

Tanuwiria(2008) menyatakan prinsip utama pemberian pakan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ternak akan nutrisi atau zat gizi yaitu protein, enersi, mineral, vitamin dan air. Biasanya pakan diformulasi dari beberapa bahan pakan dengan proporsi seimbang dan disesuaikan dengan tujuan usaha. Sugeng (2000) menyatakan semakin tinggi kualitas ransum, maka semakin efisien pula proses pembentukan enersi dan daging. Kadar laju pertumbuhan, nutrisi, umur dan berat badan adalah faktor-faktor yang mempunyai hubungan erat satu sama lain, dan biasanya dapat secara individu atau kombinasi mempengaruhi komposisi tubuh dan karkas. Berat tubuh erat kaitannya dengan komposisi tubuh. Wirdahayati, dkk. (2011) menyatakan bahwa sapi yang semula diberi pakan hanya cukup untuk kebutuhan hidup, kemudian diberi pakan berkualitas nutrisi baik maka akan dipergunakan untuk produksi,dalam hal ini untuk pertambahan berat badannya.

Page 100: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

84

Analisis Ekonomi

Analisa ekonomi penggemukan sapi menggunakan ransum dengan dan tanpa kulit buah kakao fermentasi disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Analisa ekonomi penggemukan sapi menggunakan ransum dengan dan tanpa kulit kakao fermentasi

Parameter R1 R2 R3

Pembelian sapi (6 ekor @ Rp 8 juta)

48.000.000 48 .000.000 48.000.000

Biaya pakan 4 bln (Rp) 1.206.000 696.000 942.000 Biaya total (Rp) 49.206.000 48.696.000 48.942.000 Penjualan sapi (Rp) 70.500.000 75.000.000 72.600.000 Keuntungan(Rp) 21.294.000 26.304.000 23.658.000 R/C Ratio 1.43 1.54 1.48 B/C Ratio 0.43 0.54 0.48

Asumsi: Biaya pemeliharaan dianggap sama

Tabel 4 memperlihatkan bahwa ransum dengan kulit kakao fermentasi (R2 dan R3)

memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ransum peternak (RS1). Ransum dengan kandungan kulit kakao fermentasi yang lebih tinggi menghasilkan keuntungan tertinggi. Apabila dilihat berdasarkan B/C ratio, keuntungan yang diperoleh dari ransum R2 meliputi 50 persen dari modal. Perbedaan keuntungan dari masing-masing perlakuan pakan kemungkinan disebabkan oleh perbedaan harga pakan dimana harga per kilogram pakan ransum R1 lebih tinggi sehingga memberikan keuntungan yang lebih rendah. Selain itu rendahnya keuntungan pada ransum R1 juga disebabkan oleh pertumbuhan ternak yang lebih rendah dibanding ransum R2 dan R3. Hal ini memperlihatkan bahwa pemanfaatan kulit buah kakao sebagai komponen ransum selain meningkatkan pertambahan bobot badan sekaligus juga meningkatkan pendapatan peternak.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan kulit buah kakao fermentasi dalam komponen ransum sapi dapat meningkatkan pertambahan bobot badan. Ransum sapi yang dicampur kulit buah kakao fermentasi hingga 8 kg akan memberikan pertambahan bobot badan 915 g/ekor/hari dengan nilai B/C ratio sebesar 0,54.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian atas bantuan dana penelitian yang diberikan. Kepada Prof. Abdullah, Dr. Wirdahayati dan Nasril selaku tim peneliti ini. Selain itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Endang Tri Margawati yang telah membimbing dalam penulisan karya ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2009. Database Peternakan Sumbar 2008 dan 2009. Disnak Sumbar

BPS Sumbar, 2010. Statistik Sumatera Barat 2009. BPS Sumbar

Buharman, B. 2011. Pemanfaatan teknologi pakan berbahan baku lokal mendukung pengembangan sapi potong di Provinsi Sumatera Barat. Wartazoa 21 (3): 133-144.

Direktorat Jendral Peternakan 2008. Statistik Peternakan .Jakarta: Dirjen Peternakan.

Dinas Peternakan 2008.Statistik Peternakan .Padang: Disnak.

Gomez,K.A and Gomez,A.A.1995.Statistic I Procedures for Agricultural Research.Jhon

Willey and Sons. New york.

Hendri, Y., Azwir dan P. Yufdi. 2010. Sukses Beternak Sapi dengan Pakan Lokal. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat.

Inounu, I., Y.Sani dan A. Piyanti. 2006. Arah Kebijakan Penelitian Peternakan Sapi dan

Kerbau.Dalam: Prosiding Nasional Peternakan Revitalisasi Potensi Lokal untuk Mewujudkan Swasembada Daging 2010 dalam Kerangka Pembangunan Peternakan yang

Page 101: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

85

Berkelanjutan. dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Padang: Fakultas Peternakan Universitas Andalas.

Ismartoyo, 2000. Degradasi dan feremntasi bahan pakan ruminansia oleh mikroba rumen dalam sistim consecutive batch culture (CBC). Buletin Ilmu Peternakan Dan Perikanan, VII (2), Desember, 2000.

Kearl L.C. 1982. Nutrient Requirement of Ruminants in Developing Countries. Utah State University Logan Utah USA.

Nelson dan Suparjo, 2011. Penentuan Lama Fermentasi Kulit Buah Kakao dengan Phanerochaete chrysosporium: Evaluasi Kualitas Nutrisi secara Kimiawi. Jurnal Agrinak1 (1) : 1-10.

Padang. 2009. Respon fisiologis kambing kacang yang diberi kulit buah kakao fermentasis setelah melalui perendaman dan tanpa perendaman dalam larutan KOH. Disertasi, Pascasarjana Fakultas Peternakan. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Pasandaran, E., A. Djajanegara, K. Kariyasa dan F. Kasryno. 2006. Kerangka konseptual integrasi tanaman–ternak di Indonesia. Dalam “Integrasi Tanaman–Ternak di Indonesia” (Eds. E. Pasandaran, F. Kasryno dan A.M. Fagi). Halaman: 11-31. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Subagdja, D. 2000. Peran probiotik untuk ternak ruminansia. Gelar Teknologi Festival Peternakan di Indonesia. Yogyakarta: Dies Natalis UGM.

Sugeng, B. 2000. Sapi Potong. Pemeliharaan, Perbaikan Produksi, Prospek Bisnis dan Analisis penggemukan. Cet, ke-7. Penebar Swadayan.

Suparjo., K.G. Wiryawan, E.B. Laconi dan D. Mangunwidjaja. 2009. Perubahan Komposisi Kimia Kulit Buah Kakao Akibat Penambahan Mangan dan Kalsium dalam Biokonversi dengan Kapang Phanerochaete chrysosporium. Media Peternakan 32 (3) : 204 – 211.

Syahrir dan Abdeli M. 2005. Analisis Kandungan Zat-zat Makanan Kulit Buah Kakao yang Difermentasi dengan Trichoderma sp. sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Jurnal Agribisnis 6 (3) : 157-165.

Tanuwiria U.H. 2008. Kebutuhan Nutrien pada Berbagai Ternak. Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Jatinangor.

Wirdahayati, R.B dan A. Bamualim. 2007. Produktivitas ternak sapi lokal pesisir dan daya dukung lahan penggembalaan di kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor : hal. 122-131.

Wirdahayati R.B., A. Bamualim, Ratna A.D., Agusviwarma, dan Supriyadi 2012. Pendampingan PSDS/K melalui Inovasi Teknologi Pakan Lokal Sapi Potong Berbiaya Murah Memanfaatkan Kulit Kakao Fermentasi. Laporan Hasil Pengkajian BPTP Sumatera Barat TA 2012.

Zain M. 2008. Substitusi Rumput Lapangan dengan Kulit Buah Coklat Amoniasi dalam Ransum Domba Lokal. Media Peternakan 32 (1) : 47-52

Page 102: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

86

PERCEPATAN PERTUMBUHAN SAPI POTONG BERBASIS PAKAN LOKAL DI SUMATERA BARAT

GROWTH ACCELERATION OF CATTLE BASED LOCAL-FEED IN WEST SUMATERA

Rahmi Wahyuni, Ratna AD dan Y. Hendri

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat, Jalan Raya Padang-Solok km 40, Sukarami, Solok 27366. Telp. (0755) 31122

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Pemeliharaan ternak sapi potong di Prov. Sumatera Barat sebagian besar dikelola secara konvensional yang masih mengandalkan rumput dipadang pengembalaan. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat pertumbuhan sapi potong. Oleh sebab itu, diperlukan suatu terobosan baru guna meningkatkan pertumbuhan bobot badan ternak sapi potong melalui inovasi teknologi pakan berbasis sumberdaya pakan lokal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penggunaan pakan berbasis sumberdaya lokal berupa limbah jerami padi (fermentasi jerami) dan bungkil inti sawit (BIS) terhadap peningkatan bobot badan ternak, serta melihat tingkat efesiensi biaya pakan. Kegiatan dilaksanakan di lokasi Kelompok Peternak Fadhilla di Nagari Taram, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota pada bulan Maret sampai Juni 2012. Kegiatan ini menggunakan 6 ekor berumur antara 3-4 tahun. Untuk kontrol menggunakan sapi dari peternak rakyat sebanyak 5 ekor. Ternak dibagi dalam dua kelompok, masing-masing kelompok mendapat jenis pakan yang berbeda, yaitu kelompok I kontrol (5 ekor) diberi pakan yang biasa diberikan peternak, dengan pakan hijauan rumput 15 kg/ekor/hari dan dedak 1 kg/ekor/hari. Kelompok II (6 ekor), mendapat pakan jerami fermentasi sebanyak 10 kg/ekor/hari, BIS 2 kg/ekor/hari dan mineral 0,01 kg/ekor/hari. Hasil dari penelitian menunjukkan (1) pertambahan berat badan menggunakan kontrol (0,25 kg/ekor/hari) dan pakan berbasis Jerami fermentasi dan BIS (0,65 kg/ekor/hari). (2) Biaya pakan ternak yaitu kontrol Rp.12.000 dan berbasis Jerami fermentasi dan BIS Rp. 6.150. Keuntungan penggunaan pakan berbasis jerami fermentasi dan BIS, selain meningkatkan pertumbuhan berat badan ternak sapi potong juga dapat menekan tingkat efesiensi biaya pakan sebesar Rp.5.850.

Kata Kunci: Sapi potong, Pakan Lokal, BIS

ABSTRACT

Maintenance cattle in West Sumatera largely managed conventionally that still rely on grazing meadow grass. This leads to low levels of the growth of beef cattle. Therefore, we need a new breakthrough in order to increase the growth of body weight of cattle through technological innovation based feed local feed resources. This study aims to look at the effect of the use of feed based on local resources in the form of waste rice straw (straw fermentation) and palm kernel cake to the increase in body weight of cattle, as well as see the level of efficiency of feed costs. The activities carried out at the site Fadhilla farmer group in Nagari Taram, District Harau, District 50 Kota in March to June 2012. The project used 6 animals aged between 3-4 years. To control the use of the cattle ranchers of the people as much as 5 animals. Livestock was divided into two groups, each group got kind of different feed, ie group I control (5 mice) were fed traditionally given farmers with forage grasses 15 kg / head / day and bran 1 kg / head / day. Group II (6 animals), got a straw feed fermentation of 10 kg / head / day, PKC 2 kg / head / day and minerals 0.01 kg / head / day. The results show (1) the growth of body weight using the controls (- 0.25 kg / head / day) and feed Straw-based fermentation and PKC (0.65 kg / head / day). (2) The cost of fodder which controls Rp. 12,000 and straw-based fermentation and PKC Rp. 6,150. The advantages of using straw-based feed fermentation and PKC, besides increasing the weight gain of cattle also can reduce the level of efficiency of Rp.5.850 feed costs.

Keywords: Beef cattle, Lokal Feed, palm kernel cake (PKC)

Page 103: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

87

PENDAHULUAN

Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan populasi ternak sapi untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri tanpa harus bergantung dengan pasokan daging impor. Melalui Program SwasembadaDaging Sapi dan Kerbau (PSDSK) berupaya mempercepatan peningkatan produksi daging sapi untuk mencukupi kebutuhan pangan yang berasal dari protein hewani pada tahun 2014.

Populasi sapi potong di Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) diperkirakan mencapai 500 ribu ekor dengan jumlah peternak sebanyak 180.000 KK. Sebagian besar induk sapi potong dikelola secara tradisional dan mempunyai penampilan produktivitas yang kurang optimal sehingga hasil anak sapi masih berada di bawah target yang sebenarnya dapat dicapai (Wirdahayati dan Bamualim, 2006). Oleh sebab itu, diperlukan suatu terobosan baru guna memperbaiki kualitas dan kuantitas induk sapi potong, sehingga bisa ber reproduksi sesuai potensinya. Salah satu terobosan adalah dengan menerapkan inovasi teknologi pakan pada induk sapi menggunakan sumberdaya pakan lokal.

Inovasi teknologi pakan berbasis sumberdaya lokal bertujuan untuk perbaikan dan peningkatan pemberian pakan, baik kuantitas maupun kualitas, sehingga ternak mendapatkan pakan yang optimal untuk keberlangsungan aktivitas reproduksi sesuai potensinya secara normal. Hasil penelitian pemberian inovasi pakan berbasis sumberdaya lokal pada induk sapi Bali dan PO di pulau Timor menunjukkan peningkatan aktivitas reproduksi sapi induk dan menaikkan angka kelahiran anak sapi (Subiarta, 2000). Teknologi pakan berbasis sumberdaya lokal pada induk sapi potong di Sumbar diharapkan dapat meningkatkan angka kelahiran anak sapi yang pada gilirannya akan mempercepat peningkatan populasi sapi potong di Sumbar.

Sumberdaya pakan lokal seperti limbah/sisa pertanian umumnya belum dimanfaatkan secara optimal. Hasil-hasil penelitian dan pengalaman empiris telah membuktikan bahwa pola-pola keterpaduan antara ternak dan tanaman dalam suatu system integrasi merupakan alternatif dalam upaya perbaikan sistem dan usaha agribisnis peternakan sapi potong (Diwyanto dan Haryanto, 2001).

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penggunaan pakan berbasis sumberdaya lokal berupa limbah jerami padi dan BIS terhadap peningkatan bobot badan ternakserta melihat tingkat efesiensi biaya pakan.

METODOLOGI PENELITIAN

Kegiatan telah dilaksanakan di lokasi Kelompok Peternak Fadhilla di Nagari Taram, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota pada bulan Maret sampai Juni 2012.Kegiatan ini menggunakan 6 ekor berumur antara 3-4 tahun. Untuk kontrol menggunakan sapi dari peternak rakyat sebanyak 5 ekor. Ternak dibagi dalam dua kelompok, masing-masing kelompok mendapat jenis pakan yang berbeda, yaitu kelompok I kontrol (5 ekor) diberi pakan yang biasa diberikan peternak, dengan pakan hijauan rumput 15 kg dan dedak 1 kg. Kelompok II (6 ekor), mendapat pakan tambahan BIS2 kg dan mineral 0,01 kg dengan pakan basal jerami fermentasi (JPF) sebanyak 10 kg/ekor/hari.

Parameter yang diamati meliputi pertambahan berat badan ternak serta melihat tingkat efesiensi biaya pakan dari penggunaan masing-masing perlakuan.

Bahan yang digunakan adalah untuk membuat fermentasi 1 ton jerami segar adalah 2,5 kg starbio untuk starter dan 2,5 kg urea. Pertama-tama dilakukan penumpukan jerami setebal 20 cm dalam tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung dan air hujan. Tumpukan diratakan, kemudian ditaburkan urea sekitar 0,5 kg, lalu ditaburkan starbio kira-kira 0,5 kg secara merata. Buat lapis tumpukan jerami setebal 20 cm lagi, lakukan hal yang sama dengan lapisan pertama tadi. Demikian seterusnya sampai semua jerami (1 ton) habis dipakai. Bagian atas ditutup dengan plastic atau jerami saja. Tutupnya tidak perlu kedap udara. Dibiarkan selama 2 minggu, setelah dua minggu, jerami sudah terfermentasi. Pindahkan tumpukan jerami ini untuk di angin-angin kan. Lalu disimpan di tempat yang terlindung dari panas dan hujan. Pemindahan dari tumpukan pertama perlu untuk menghentikan proses fermentasi, kalau tidak proses berlanjut dan jerami akan menjadi lapuk berubah menjadi kompos.

Page 104: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

88

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertambahan Berat Badan Ternak Selama pengkajian

Pertumbuhan berat badan ternak diporoleh dari perlakuan pakan menggunakan pakan berbasis fermentasi jerami padi dan BIS. Pertumbuhan ternak yang diperoleh dibandingkan dengan pertumbuhan berat badan ternak menggunakan pakan yang biasa diberikan peternak, dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

Grafik 1.Data Primer (2012)

Dari Grafik diatas terlihat bahwa dengan penggunaan pakanjerami fermentasi dan BIS dapat meningkatkan berat badan rata-rata sapi potongsebesar (0,65 kg/hari), sementara penggunaan pakan yang biasa diberikan peternak hanya dapat meningkatkan sebesar (0,25 kg/hr). hal ini memperlihatkan bahwa dengan penggunaan pakan berbasis limbah lokal seperti jerami fermentasi dan bungkil inti sawit dapat meningkatkan bobot badan ternak dibandingkan dengan pakan yang biasa diberikan peternak. Penelitian Serli dkk (2012), menyatakan pertambahan berat badan harian ternak yang diberi perlakuan formulasi pakan BIS menunjukkan bahwa sapi mengalami pertambahan berat badan selama kegiatan. Variasi pakan yang diberikan ke ternak sangat berpengaruh terhadap bobot badannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Yanovi et al. (2011) yang menyatakan bahwa perbedaan pertambahan berat badan antar perlakuan kemungkinan disebabkan pengaruh variasi bahan pakan, kualitas dan kuantitas ransum. Pemberian kulit kakao fermentasi sebagai pakan suplemen mengakibatkan penyajian pakan lebih bervariasi dengan komposisi seimbang, sehingga kebutuhan akan nutrisi tercukupi termasuk yang tidak dapat terpenuhi oleh hijauan. Disamping itu sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh BPTP Sumbar pada tahun 2011 di Kabupaten Pasaman Barat (Wirdahayati et al., 2011) bahwa dengan penggunaan BIS pada sapi potong dapat meningkatkan berat badan ternak sebesar (0,6 kg/hari) dan di Kabupaten Dharmasraya (Bamualim et al., 2011) juga menunjukkan hasil yang cukup memuaskan dengan memberi pakan tambahan bungkil inti sawit (BIS) pada ternak sapi dapat meningkatkan berat badan ternak sebesar (0,47 kg/hari).

Kandungan Nutrisi

Limbah pertanian seperti halnya limbah/jerami, limbah perkebunan sawitdan lain-lain sangat potensial untuk pakan ternak karena mengandung bahan-bahan nutrisi yang dibutuhkan ternak dengan melalui proses fermentasi. Fermentasi bertujuan meningkatkan nilai gizi pakan berserat tinggi. Fermentasi dapat menghidrolisis protein, lemak, sellulosa, lignin dan polisakarida lain, sehingga bahan yang difermentasi akan mempunyai daya cerna yang lebih tinggi, selama proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang, selain dihasilkan enzim juga dihasilkan protein ekstraseluler dan protein hasil metabolisme kapang sehingga terjadi peningkatan kadar protein. Fermentasi akan meningkatkan Total Digestible Nutrien (TDN) dari bahan menjadi 70% (Serli et al., 2012).

Pertumbuhan mikroba yang baik akan menyebabkan kecernaan pakan juga menjadi lebih baik (Zein, 2009). Kandungan lignin pada kulit buah kakao fermentasi rendah disebabkan karena perlakuan fermentasi dengan urea mampu melonggarkan ikatan lignin selulosa sehingga lebih mudah dicerna oleh mikroba rumen dan fermentasi dapat meningkatkan kandungan protein yang tinggi (Nguyen et al., 2001; Granzin & Dryden, 2003). Dibawah ini terlihat perbandingan nutrisi pada setiap perlakuan yang diberikan:

250,00

270,00

290,00

310,00

330,00

350,00

370,00

390,00

1 2 3 4 5 6 7

Kontrol

JF _+ BIS

Page 105: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

89

Tabel 1. Kualitas pakan yang diberikan peternak (kontrol=Perlakuan I)

Bahan Jumlah (kg) BK (%) TDN (%)

PK (%)

Rumput lapang 15,0 - 49.65 6.69

Dedak padi 1,0 91,3 55,5 10

Sumber : Wirdahayati (2012).

Tabel 2. Perlakuan II= Pakan demonstrasi Jerami Fermentasi + BIS

Bahan Jumlah (kg) BK (%) TDN (%) PK (%)

Jerami fermentasi 10 50 43,2 11

BIS 2,0 92.5 67.4 14.1

Mineral 0,01 - - -

Sumber : Wirdahayati (2012).

Pada Tabel 1 dan 2 terlihat bahwa perlakuan II memiliki protein ransum dan TDN lebih tinggi lebih tinggi dibandingkan perlakuan I. Kandungan ini telah diatas rata-rata kebutuhan pokok pertumbuhan sapi potong yang terdapat pada Tabel 3.

Menurut Kearl (1982), kebutuhan pakan untuk hidup pokok dan pertumbuhan sapi potong dengan berat badan seperti yang disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Kebutuhan Pakan Untuk Hidup Pokok.

Berat Badan (kg) BK (Kg) TDN(%) Protein (g)

250 6,2 3,3 564

300 7,1 3,8 604

Sumber: Kearl (1982).

Efesiensi Biaya Pakan

Keuntungan penggunaan pakan berbasis pakan lokal seperti jerami fermentasi dan BIS, selain meningkatkan pertumbuhan berat badan ternak sapi potong juga dapat menekan tingkat efesiensi biaya pakan. Sumberdaya pakan lokal seperti limbah/sisa pertanian umumnya belum dimanfaatkan secara optimal, pada lokasi penelitian belum terlalu diperhatikan masyarakat untuk dijadikan pakan ternak sehingga harganya masih relatif murah. Pada tabel dibawah ini menunjukkan tingkat efesiensi biaya pakan pada masing-masing perlakuan.

Tabel 5. Perbandingan Tingkat Efesiensi Biaya Pakan Pada Masing-Masing Perlakuan.

Bahan Pakan

Kelompok I Kelompok II

Biaya (Rp) Jumlah (kg) Biaya (Rp)

Jumlah (kg)

Jerami Fermentasi/JF - - 3000 10 Rumput Lapang 10.000 15 Dedak padi 2.000 1 - - BIS - - 3000 2 Mineral - - 150 0.01 Harga pakan (Rp) 12.000 6.150

Sumber : Data Primer (2012). Hasil penelitian Roswita, dkk (2011) menunjukan bahwa dalam budidaya ternak, pertambahan

berat badan sapi baru mancapai 0,4-0,5 kg/ekor/hari dengan biaya pakan yang cukup tinggi yaitu Rp 10.000,-/ekor/hari. Tetapi dengan pemanfaatan sumberdaya lokal biaya untuk kebutuhan pakan dapat lebih ditekan. Biaya pakan dengan penggunaan jerami fermentasi dan BIS hanya sebesar Rp. 6.150 sedangkan biaya pakan yang biasa diberikan dengan pola petani sebesar Rp. 12.000. data ini membuktikan bahwa dengan penggunaan pakan berbasis bahan pakan lokal seperti jerami fermentasi dan bungkil inti sawit mampu menekan efisiensi biaya pakan sebesar Rp. 5.850. Hal ini disebabkan karena limbah dari pabrik sawit yaitu BIS dengan kandungan protein yang tinggi dapat diperoleh dengan harga yang relatif murah yaitu Rp. 1500/kg dapat kita gantikan dengan dedak yang relatif lebih mahal Rp. 2000/kg. Sementara hijauan yang relatif lebih mahal dapat kita subsitusi dengan jerami padi yang difermentasikan.

Page 106: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

90

KESIMPULAN

1. Pertambahan berat badan harian ternak, berat badan menggunakan kontrol (0,25 kg/hr) dan penggunaan Jerami fermentasi dan BIS (0,65 kg/hr).

2. Biaya pakan dengan penggunaan jerami fermentasi dan BIS hanya sebesar Rp. 6.150 sedangkan kontrol sebesar Rp. 12.000. Ini mampu menekan efisiensi biaya pakan sebesar Rp. 5.850.

DAFTAR PUSTAKA

Bamualim, A., Y. Hendri, Wirdahayati R.B., H. Surya, Aguswarman, Sadar, Ratna A.D., J.M. Muis, R. Wahyuni, Agusviwarman, Nasril dan Supriyadi. 2011. Kajian pemanfaatan nilai jual sapi lokal (40%) dengan perbaikan kualitas dan kuantitas pakan berbasis sawit di Sumatera Barat. Laporan hasil pengkajian BPTP Sumatera Barat TA 2011.

Diwyanto, K dan Haryanto, B. 2001. Importance of integration in sustainable farming system. International Seminar : Integration of Agricultural and Environmental Policies in an Environmental Age. August 20-25 KREI/FFTC-ASPAC. Seoul Korea.

Granzin, B.C. & G. Dryden. 2003. Effect of alkali, oxidants and urea treatment on the nutritive value Rhodes grass (Chloris gayana). Anim. Feed. Sci. Tech.103: 113–122.

Husni, S., Agusviwarman, Nirwansyah, Ermidias, Asmak, Nasril. 2009. Laporan Demostrasi dan Ujicoba Teknologi Pakan Sapi Potong Mendukung Kegiatan FMA. Balai pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat.

Kearl, L.C. 1982. Nutrient Requirement of Ruminants in Developing Countries. Utah State University Logan Utah USA.

Nguyen, X.T.,C.X. Dan, L.V. Ly, & F. Sundstol.2001. Effect of urea concentration, moisture content and duration of treatment on chemical composition of alkali treated rice straw. Livest. Res. Rural. Develop.10 (1). [diakses pada situs http://www.cipav.org.co/lrrd/lrrd10/1/trac101.htm].

Roswita, R., N. Hasan, Hayani, I. Manti, I. Rusli, Buharman, Aryunis, Syafril. 2010. Laporan Studi Dampak dan Pengukuran Indikator FEATI. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat.

Serli dan kawan-kawan, 2011. Kajian pemberian pakan kulit kakao fermentasi terhadap pertumbuhan sapi bali. Jurnal Agrisistem, Vol. 7 No. 2, Desember 2011.

Wirdahayati, dkk. 2012. Pengkajian Teknologi Surge Feeding Pada Induk Sapi Potong Berbasis Pakan Lokal Mendukung Program Kredit Usaha Pembibitan Sapi (Kups) Di Sumatera Barat. Laporan hasil pengkajian BPTP Sumatera Barat TA 2012.

Wirdahayati R.B., Y. Hendri, A. Bamualim, Ratna A.D., J.M. Muis, R. Wahyuni, Ermidias dan Asmak. 2011. Inovasi teknologi peternakan sapi dengan pakan suplemen by-produk agro industri sawit dan jagung mendukung program Pemda Sumatera Barat satu Petani Satu Sapi (SPSS). Laporan hasil pengkajian BPTP Sumatera Barat TA 2011.

Wirdahayati R.B. dan A. Bamualim 2006. Profil Peternakan Sapi dan Kerbau di Propinsi Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan BPTP Sumatera Barat.

Yanovi. H, P. Yufdi, dan Azwir K. 2011. Pengaruh pemberian pakan suplemen (kulit kakao fermentasi) terhadap pertambahan beratbadan sapi persilangan simental. Prosiding Seminar Nasional Pengkajian dan Diseminasi Inovasi Pertanian Mendukung Program Strategis Kementerian Pertanian Buku 1, Cisarua, 9-11 Desember 2010.

Zain, M. 2009. Substitusi rumput lapangan dengan kulit buah coklat amoniasi dalam ransum domba lokal. J.Media Peternakan 32: 47–52.

Page 107: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

91

PEMANFAATAN BAHAN LOKAL DALAM MENINGKATKAN KUALITAS TELUR AYAM BURAS

USE OF LOCAL MATERIALS IN IMPROVING THE QUALITY OF NATIVE CHICKEN EGGS

Nyoman Suyasa dan IAP. Parwati

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali By Pass Ngurah Rai Pesanggaran - Denpasar

Email : [email protected]

ABSTRAK

Kebutuhan daging dan telur akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Sebagai sumber protein hewani,daging, telur dan susu memiliki kandungan protein dan nilai biologis yang tinggi. Salah satu komoditas ternak yang mempunyai prospek cukup bagus dan mampu memberikan sumbangan pada penyediaan pangan bergizi adalah ayam buras/lokal. Masyarakat biasanya memelihara ayam buras sebagai sumber pangan keluarga, baik untuk telur ataupun daging serta sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat diuangkan. Dagingnya yang enak dan telurnya yang legit dan memiliki kandungan protein yang tinggi sehingga sangat disukai masyarakat. Permasalahan utama dalam budidaya ayam buras adalah mahalnya harga pakan dan seringnya terjadi penolakan telur ayam buras karena kualitas yang kurang standar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas telur ayam buras dengan substitusi bahan lokal. Penelitian dilakukan di desa Jehem, kecamatan Tembuku kabupaten Bangli. Menggunakan 160 ekor ayam buras yang dipelihara secara intensif. Pemberian bahan lokal sebagai substitusi pakan bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan menjaga produktivitas tetap stabil. Penelitian menggunakan ayam buras dengan menambahkan bahan lokal kedalam pakan dengan persentase yang berbeda beda. Produktivitas tertinggi dicapai oleh P1 dengan 59,32% dan berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan yang lain dan produktivitas terendah dicapai oleh P0 dengan 49,89%. Dari bobot telur yang dihasilkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) diantara perlakuan dimana P0 ; P1 ; P2 ; dan P3 masing-masing bobot telur mencapai 43,22 ; 43,23 ; 42,28 dan 41,99 gram/butir. Skor warna kuning telur tertinggi dicapai oleh P3 dengan nilai 7,90 dan berbeda nyata (P<0,05) dengan P0 ; P1 dan P2 yang hanya memperoleh skor nilai masing-masing 7,40 ; 7,00, dan 7,60. Pemberian bahan lokal mampu meningkatkan kualitas telur dan menjaga kestabilan produktivitas.

Kata kunci ; Ayam buras, pakan lokal, produktivitas, kualitas telur

ABSTRACT

Demand for meat and eggs will continue to increase in line with population growth. As a source of animal protein, meat, eggs and milk protein content and high biological value. One of livestock commodities that have pretty good prospects and able to contribute to the provision of nutritious food is native chicken. People usually maintain chicken as a source of family food, either for eggs or meat as well as the savings that can be cashed at any time. The meat is tasty and the eggs are sticky, and has a high protein content that is very appreciated by the public. The main problem in the cultivation of domestic poultry is the high price of feed and the frequent rejection of native chicken eggs because of poor quality standardsThe purpose of this research is to improve the quality of substitution native chicken eggs with local ingredients. The study was conducted in the village Jehem, district Tembuku Bangli regency. Using 160 native chickens are reared intensively. Giving local materials as substitutes for feed aimed at improving quality and keeping productivity remains stable. Research using native chicken by adding local ingredients into the feed with different percentages.The highest productivity is achieved by P1 with 59.32% and significantly different (P <0.05) with other treatments and the lowest productivity achieved by P0 with 49.89%. From the weight of eggs produced no significant differences (P> 0.05) among treatments where P0; P1; P2; and P3 each egg weight reaches 43.22; 43.23; 42.28 and 41.99 g / item. The yolk color highest score achieved by P3 with a value of 7.90 and was significantly different (P <0.05) with P0; P1 and P2 have only obtained a score value of 7.40 each; 7.00, and 7.60. Giving local ingredients can improve egg quality and safeguarding the stability of productivity.

Keyword ; Native chicken, local feed, productivity, quality eggs

Page 108: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

92

PENDAHULUAN

Kebutuhan akan daging dan telur ayam buras di Bali sangat tinggi diantaranya untuk konsumsi, bahan pangan olahan dan sarana upacara. Kebutuhan daging dan telur akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Sebagai sumber protein hewani ,daging, telur dan susu memiliki kandungan protein dan nilai biologis yang tinggi. Salah satu komoditas ternak yang mempunyai prospek cukup bagus dan mampu memberikan sumbangan pada penyediaan pangan bergizi adalah ayam buras/lokal, (Setioko dan S. Iskandar, 2004). Ayam buras sudah dibudidayakan sejak lama oleh masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di pedesaan dan di daerah-daerah pinggiran kota (sub urban). Masyarakat biasanya memelihara ayam buras sebagai sumber pangan keluarga, baik untuk telur ataupun daging serta sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat diuangkan. Dagingnya yang enak dan telurnya yang legitdisinyalir memiliki kandungan protein yang tinggi sangat disukai masyarakat, menyebabkan permintaan akan telur dan daging ayam buras oleh masyarakat terus meningkat. Peranan unggas sebagai penyedia daging dan telur untuk memenuhi konsumsi protein hewani sangat berarti terutama bagi masyarakat pedesaan. Sumbangan ayam buras terhadap produksi daging nasional sebesar 11,07% atau sebesar 259,9 ribu ton,sedangkan kontribusi produksi terhadap daging unggas sebanyak 16,9% (Dirjen PKH, 2010 dalam Iskandar, et al. 2013). Dilain pihak produksi telur ayam burastahun2010 baru sebanyak 168,9 ribu ton atau 12,3% terhadap produksi telur secara keseluruhan. Besarnya permintaan akan produk unggas baik dalam bentuk daging maupun telur belum mampu dipenuhi oleh peternak unggas terutama bila permintaan dalam jumlah besar dan kontinyu. Untuk mengatasi masalah ini perlu dicari berbagai alternatif untuk meningkatkan produktivitas unggas.

Ayamburas salah satu jenis unggas yang keberadaannya tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Pada umumnya pemeliharaannya masih dilakukan secara ekstensif tradisional atau secara diumbar di halaman dan di kebun sekitar rumah, sehingga produktivitasnya rendah. Namun apabila dipelihara secara intensif ayam buras memiliki prospek usaha yang berorientasi agribisnis (Diwyanto, et al.2004).

Ayam buras termasuk salah satu ayam bukan ras dan sering juga disebut sebagai ayam buras (Rasyaf, 1995 ; Suyasa et al.2009). Populasi ayam buras di Bali pada tahun 2014 adalah 4.111.438 ekor (Disnakkeswan, 2014), menurun bila dibandingkan populasi tahun 2013. Penurunan populasi ayam buras di Bali terjadi karena terjadinya wabah penyakit serta meningkatnya biaya pakan ayam buras yang terjadi setiap tahun (Sinurat,2013), sehingga tidak mampu ditutupi oleh produktivitas yang dihasilkannya. Tetapi besaran angka penurunan populasi dari tiga tahun terakhir semakin berkurangyaitu sebesar 4,9% pada tahun 2012, 1,5% pada tahun 2013 dan 0,1% pada tahun 2014. Hal itu menunjukkan adanya kegairahan peternak dalam budidaya ayam buras di Bali.

Pemeliharaan ayam umumnya untuk mendapatkan produksi telur serta produksi daging. Dari total produksi telur di Bali sebesar 43.884,22 ton, sekitar 6,77% (2.972,85 Ton) diantaranya adalah produksi telur ayam Buras (Disnakkeswan Bali, 2014). Sedangkan produksi daging ayam buras tahun 2013 adalah 4.753,03 ton dengan jumlah pemotongan ternak sebanyak 6.172.829. Bagi petani, ayam buras di Bali memiliki prospek sosial, ekonomi dan budaya yang sangat penting dalam kehidupannya.Telur ayam buras banyak dikonsumsi untuk bahan jamu atau berbagai kebutuhan upacara serta untuk lauk dalam menu sehari-hari.

Selama ini yang menjadi keluhan peternak ayam buras adalah biaya pakan yang tinggi, yang tidak mampu diimbangi dengan harga jual produksi. Menurut Zainuddin (2004),pada budidaya ternak ayam secara intensif, pakan merupakan biaya terbesar yang dapat mencapai 70% dari biaya produksi. Oleh karena itu harga bahan baku pakan akan sangat menentukan terhadap biaya produksi. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku ini sebagian besar masih diimpor, terutama sumber vitamin dan protein seperti bungkil kedelai dan tepung ikan. Sementara bahan baku lokal kebanyakan merupakan hasil ikutan dari agroindustri, umumnya berkualitas rendah serta kandungan protein dan daya cernanya rendah.

Hal ini menyebabkan banyak peternak yang menurun motivasinya untuk melanjutkan usahanya. Untuk mengatasi masalah pakan tersebut, dapat dilakukan dengan beberapa alternatif, antara lain : (1) mencari formula ransum baru, untuk menggunakan bahan ransum alternatif yang lebih murah, (2) meningkatkan produktivitas (telur, daging) dan atau menekan konsumsi pakan, sehingga dapat menurunkan angka FCR (Feed Convertion Ratio) atau meningkatkan efisiensi penggunaan pakan (Guntoro, et al. 2008).

Page 109: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

93

Empon-empon selama ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan jamu dan bumbu dapur baik sebagai penyedap masakan ataupun meningkatkan stamina tubuh (Zainuddin dan Wakradihardja, 2002 dalam Zainuddin, 2006). Dalam hal ini akan dilakukan pemberian empon-empon (jahe dan lengkuas) yang akan dicampurkan dalam pakan ayam dengan tujuan mampu meningkatkan stamina ayam dalam masa-masa stres akibat peralihan musim, cuaca panas atau dingin yang ekstrim atau akibat yang lainnya. Dengan meningkatnya stamina tubuh ternak diharapkan ternak terhindar dari stres dan dampaknya produktivitasnya tetap stabil. Bahan tersebut dapat dicampur kedalam pakan sebagai feed additive maupun feed suplement yang akan mampu menyebabkan produktivitas menjadi optimal dan meningkatkan efisiensi pakan serta warna kuning telur lebih orange (nilai lebih dari 7) (Zainuddin,2006)

Disisi yang lain warna kuning telur di pasar modern sangat mempengaruhi harga telur dan sebagai salah satu persyaratan agar telur ayam buras yang dihasilkan dapat diterima. Bunga Margot (Marigold Flower) yang memiliki kandungan karoten yang tinggi disinyalir dapat mempengaruhi warna kuning telur yang dihasilkan. Untuk itu dalam kajian ini disubstitusikan juga ekstrak bunga margot pada pakan untuk meningkatkan kadar/warna kuning pada kuning telur yang dihasilkan.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku Kabupaten Bangli, menggunakan 160 ekor ayam buras umur 4 bulan. Pakan yang digunakan merupakan pakan standar ayam petelur yang biasa digunakan oleh peternak untuk ayam buras yang dipelihara secara intensif dalam kandang baterry dengan komposisi 25% konsentrat, 35% dedak dan 40% jagung. Dimana dalam 1 kandang terdapat 1ekor ayam.

Selanjutnya ayam dikelompokan menjadi 4 kelompok berdasarkan perlakuan pakan yang diberikan. Masing-masing kelompok terdiri dari 40 ekor yang dibagi menjadi 8 ulangan, per ulangan terdiri dari 5 ekor. Seluruh ayam diberi 4 perlakuan :

P0 : Sebagai kontrol : menggunakan campuran pakan dasar yang sudah biasa diberikan oleh peternak dengan komposisi dikombinasikan dari beberapa bahan lokal yang akan dianalisis kandungannya di laboratorium agar memenuhi standar nutrisi,

P1 : untuk perlakuan dengan menggunakan pakan P0 ditambah dengan1% empon-empon (jahe dan lengkuas),dalam bentuk ekstrak.

P2 : perlakuan dengan P1 ditambah 1% ekstrak bunga margot (Marigold flower).

P3 : perlakuan ransum dengan P1 ditambah 3% ekstrak bunga margot (Marigold flower).

Pakan diberikan sesuai dengan kebutuhan + 80 gr/ekor/hari.

Semua bahan lokal yang ditambahkan dicampurkan ke dalam pakan dan air minum diberikan secara adlibitum

Metode Analisis

Dari data-data seperti produksi harian, produktivitas, bobot telur, kualitas kuning telur, dan lainnya yang dikumpulkan akan dilakukan analisis berdasarkan perlakuan yang diberikan. Untuk pemanfaatan bahan lokal sebagai pakan tambahan untuk meningkatkan kualitas telur ayam buras akan dianalisis menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan apabila terbukti berbeda nyata akan dilanjutkan dengan Uji BNT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi Harian Ayam Buras (Henday)

Produksi harian atau henday merupakan jumlah produksi telur yang dihasilkan oleh seekor ayam dalam jumlah hariyang ditentukan. Data dalam tabel 1 menunjukkan bahwa produksi harian terendah dicapai oleh P0 yang hanya 50,11% sedangkan produksi harian tertinggi dicapai oleh perlakuan P1 yaitu 59,55% kemudian disusul oleh P2 dan P3 masing-masing memperoleh produksi harian 54,66% dan 51,59%. Produksi harian menunjukkan semakin tinggi persentase henday yang diperoleh menunjukkan semakin sering ayam tersebut bertelur dalam jangka waktu tertentu yang juga berarti produktivitasnya semakin baik. Apabila dilihat dari jumlah telur yang dihasilkan dalam kurun waktu 120 hari masa produksi, maka diperoleh hasil untuk P0 mampu menghasilkan telur 60,16 butir

Page 110: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

94

sedangkan P1 yang tertinggi 72,54 butir untuk P2 dan P3 masing-masing menghasilkan 69,54 dan 61,91 butir. Sedangkan (Suwindra, 1982 dalam Prawirodigdo, 2005) menyatakan bahwa diantara strain ayam lokal memiliki produksi yang bervariasi. Hal ini ditunjukkan pada produksi harian (henday) ayam sayur/buras adalah 41,3% dan Kedu hitam 58,8% serta Nunukan mencapai 50,0% (Craswell dan Gunawan, 1982 dalam Prawirodigdo, 2005)

Pernyataan (Yuwono,1995 dalam Prawirodigdo,2005),bahwa produksi telur ayam buras yang dihasilkan dalam 120 hari mencapai rata-rata 34,10- 40,83% dengan bobot telur mencapai 40,4 – 41,7 gr/butir. Produksi telur yang dihasilkan dalam kajian ini masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh diatas. Hal ini dapat disebabkan karena komposisi pakan yang diberikan berbeda atau adanya penambahan bahan lokal yang dapat menjaga stamina ayam selama berproduksi.

Produktivitas Telur Ayam Buras

Tabel 1. Produksi harian (henday) dan produktivitas ayam buras yang diamatiselama 120 hari

No Perlakuan Produksi harian Henday(Butir)

Produksi Harian (Henday) (%)

Produktivitas (%)

1 P0 60,16a 50.11 49.89

a

2 P1 72,54b 59.55 59.32

c

3 P2 69,54b 54.66 54.66

b

4 P3 61,91b 51.59 54.07

ab

Keterangan : Data Primer 2015.angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji BNT taraf 5%

Produktivitas berarti tingkat produksi yang dicapai oleh ayam tersebut dibagi jumlah hari pengamatan dikalikan 100%. Kalau dalam bentuk kandang batery dalam kelompok maka dihitung berdasarkan jumlah ayam dalam kelompok dan tingkat produksinya dalam kelompok tersebut. Sedangkan produksi harian dalam hal ini adalah jumlah telur yang dihasilkan selama 120 hari masa produksi, umur 6 bulan sampai 12 bulan (awal produksi).

Dari data diatas terlihat bahwa produksi telur ayam perlakuan P1 menunjukkan produksi tertinggi yang mencapai 59,32% tertinggi diantara perlakuan yang lainnya dan berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol (P0). Demikian pula halnya P2 memperoleh produksi 54,66% disusul oleh P3, 54,07 % berbeda nyata (P<0,05) dengan P0. Produktivitas yang dicapai oleh P0 justru produksi yang terendah yaitu 49,89% yang berarti belum mencapai 50% produktivitasnya, juga boleh dikatakan dari jumlah 160 ekor ayam hanya mampu memproduksi dibawah 80 butir per hari atau 79,82 butir per hari. Hasil yang dicapai sudah lebih tinggi dari hasil penelitian sebelumnya dimana hasil dari Muryanto (2005) mengungkapkan bahwa produksi telur ayam lokal (buras) yang dipelihara pada kondisi yang sama 41,3%, dan ayam nunukan 50,0%, sedangkan ayam kedu hitam mampu berproduksi sampai 58,8%. Data ini juga menunjukkan bahwa ayam buras yang dipelihara secara intensif dengan pakan standar ayam petelur mampu berproduksi lebih tinggi dibandingkan dengan hasil kajian yang lainnya.

Kualitas Telur Ayam Buras

Selama ini kualitas telur sangat mempengaruhi harga telur di pasaran, apalagi harga telur ayam buras/buras. Beda sedikit saja dari warna ataupun bentuk telur akan mempengaruhi daya beli masyarakat, karena disinyalir telur tersebut bukan telur ayam buras yang asli, karena memang ada beberapa penjual telur yang berusaha mengelabui pembeli dengan menjual telur ayam ras yang berwarna kecoklatan namun ukurannya kecil sebagai telur ayam buras.

Disamping itu kualitas telur juga ditentukan dari bentuk dan warna kuning telur yang ada di dalamnya. Untuk itu kualitas telur juga menentukan harga dan tingkat pembelian telur, termasuk juga bobot telur yang kurang konsisten akan mempengaruhi pembeli. Sehingga telur yang memiliki bobot seragam akan lebih diminati daripada yang memiliki ukuran yang inkonsisten (tidak teratur).

Dilihat dari bobot telur yang diperoleh dari pengamatan selama 120 hari masa bertelur maka bobot telur yang diperoleh dari masing-masing perlakuan adalah : yang tertinggi diperoleh P1 yaitu 43,23 gram/butir telur sedangkan yang paling rendah bobotnya adalah P3 41,99 gram/butir, sedangkan bobot telur dari perlakuan yang lain P0 dan P2 rata-rata adalah 43,22 ; dan 42,28 gram/butir telur (tabel 2 ), namun secara statistik tidak berbeda nyata (P <0,05) antar perlakuan. Untuk bobot telur ayam buras yang lain seperti ayam Arab Golden atau Arab Merah (nama lokal) rata-rata adalah 45,3 gram dengan bobot minimal 31 gram dan bobot maksimal telur yang dapat dihasilkan 52 gram/butir. Sedangkan ayam Merawang/Asean bobot telur minimal adalah 38 gram dan maksimal 45 gram/butir

Page 111: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

95

sehingga bobot rata-rata telur ayam Merawang adalah 41,5 gram/butir (Abubakar, et al. 2005). Sedangkan Mansjoer dan Martoyo, 1977 dalam Resnawati dan Bintang, (2005) memperoleh bobot telur ayam buras berkisar antara 32,75 – 36,96 gram/butir. Sepertinya telur ayam buras memiliki bobot telur yang beragam seperti yang dikemukakan oleh Wihandoyo dan Mulyadi, 1986 dalam Resnawati dan Bintang, (2005) bahwa bobot telur ayam buras yang dipelihara secara tradisional 37,50 gram/butir sedangkan yang dipelihara secara intensif adalah 45,27 gram/butir.

Tabel 2. Bobot telur, volume putih, volume kuning telur dan warna kuning telur

Perlakuan Bobot telur (gram) Volume Putih Telur (ml) Volume Kuning

Telur (ml) Skor Warna Kuning

Telur

P0 43,22a 23,75

a 14,01

a 7,40

b

P1 43,23a 23,05

a 14,15

a 7,00

b

P2 42,28a 23,40

a 13,70

a 7,60

ab

P3 41,99a 23,10

a 13,25

a 7,90

a

KK % 8,13 9,12 7,99 20,477

BNT 5% 3,17 1,95 1,01 0,006

Keterangan: Data Primer 2015.Angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji BNT taraf 5%

Untuk warna telur secara eksterior, penampakan luar telur ayam buras adalah dominan putih

hanya perlakuan P3 yang memperoleh warna telur kemerahan 80% sedangkan putih hanya 20% sedangkan 3 perlakuan yang lain P0 dan P2 rata-rata 80% warna telurnya adalah putih sedangkan P1 justru 100% putih. Warna putih sampai kemerahan masih dalam kategori warna telur ayam buras, apabila warna kemerahan agak pekat mendekati merah biasanya disinyalir sebagai telur ayam ras (red leghorn) pada awal masa bertelur. Namun warna itu tidak dijumpai pada pengamatan kajian kali ini. Bentuk telur ayam buras cukup beragam hal ini terlihat dimana hampir semua perlakuan memiliki bentuk telur bulat lonjong (oval) 80% sedangkan 20% sisanya memiliki bentuk agak lonjong namun masih dalam kategori normal.

Dari hasil pengamatan jarang dijumpai bentuk telur yang abnormal atau rusak bentuknya. Kebanyakan rusaknya telur karena jatuh atau berbenturan dengan benda keras sehingga pecah. Hal ini membuktikan bahwa telur yang dihasilkan hampir pasti semuanya laku di pasaran hanya yang pecah dan bobot yang tidak memenuhi standar yang tidak laku untuk dijual ke super market tetapi masih laku di warung atau pasar tradisional dalam bentuk dijual kiloan.

Dilihat dari hasil pada tabel 2 menunjukkan bahwa volume putih telur pada telur baik pada perlakuan ataupun kontrol tidak berbeda jauh dengan kisaran 20 – 22 ml per butir telur. Sedangkan untuk volume kuning telur terendah dicapai oleh P2 (12,55 ml) sedangkan tertinggi dicapai oleh P3 (13,85 ml).

Untuk skor warna kuning telur, terendah dicapai oleh P1 yang hanya mencapai 7,00 sedangkan tertinggi skor warna kuning telur dicapai oleh P3 dengan skor 7,90. Skor warna telur yang dicapai oleh P3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) bila dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Peningkatan warna kuning telur disebabkan adanya penambahan ekstrak marigold flower yang mengandung karoteboid yang menyebabkan warna semakin terang (Vargas, 1998).Skor warna telur yang dicapai pada ayam ras petelur (negeri), mencapai 9,94 – 10,01 (Guntoro, et al. 2008). Sedangkan Bintang, et al (2008) memperoleh indek warna kuning telur pada ayam petelur yang diberikan ampas mengkudu 10 dan 15% hanya mencapai 5,35 dan 5,40 . Pigmen pada telur substansi pigmen terdapat pada semua bagian telur, tetapi sifat kimianya sangat berbeda. Pigmen dalam telur paling banyak terdapat pada yolk yaitu 0,4 mg, sedang pada albumen 0,03 mg, dan pada bagian yang lain dari telur hanya sedikit. Pigmen yolk merupakan bagian dari telur yang banyak mengandung pigmen, yaitu 0,02 %. Pigmen yolk diklasifikasikan menjadi lipochrome dan liochrome, Arif Santoso, et al. (2013).

Lipochrome merupakan bagian terbesar dari pigmen yolk yang bersifat larut dalam minyak. Pigmen ini termasuk golongan carotenoid yang banyak terdapat dalam tanaman. Carotenoid merupakan pigmen dari khloroplast yang berwarna merah, oranye dan kuning. Berdasar komposisinya carotenoid terdiri atas carotene dan xanthophylls.Caroten (alpha dan beta) dan xantophyll (cryptoxanthin, lutein dan zeaxanthin) terdapat dalam yolk. Caroten bersifat tidak larut dalam air, asam atau alkali, tetapi larut dalam chloroform dan ether.xanthophylls larut dalam alkohol dan ether, hanya sedikit larut dalam petroleum ether. Xanthophyl terutama lutein dan zeaxanthin mempunyai

Page 112: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

96

intensitas warna dua kali dibandingkan carotene. Pigmen carotenoid dalam yolk sebagian besar dari golongan xanthophylls, perbandingan antara carotene dan xanthophylls adalah 1 : 10, Santoso, et al.(2013)

Penambahan feed additive berupa marigold flower atau bunga Margotyang berwarna kuning – oranye mampu meningkatkan skor warna telur dari rata-rata 7,00menjadi 7,90 walaupun tidak terlalu tinggi perubahannya namun apabila dilihat secara kasat mata perubahan warna kuning telur akan jelas terlihat warnanya lebih kuning. Vargas (1998) menyatakan penambahan bahan lokal marigold Flower yang mengandung karotenoid pada pakan ayam menyebabkan warna kuning telur yang dihasilkan semakin terang bila dibandingkan dengan kontrol.

Secara umum dapat dijelaskan bahwa bobot ayam buras yang telah berumur > 1 tahun rata-rata memiliki bobot diatas 1 kg, dengan kisaran 1092 gram (P)) sampai 1280 gram (P2). Hal ini masuk kategori bobot ayam buras normal karena Gufron dan Ibrahim (2005) memperoleh bobot ayam buras betina dengan kisaran 1,5 – 1,8 kg/ekor. Dan bobot telur yang dihasilkan mencapai kisaran 41,80 – 46,74 gram, bobot ini merupakan bobot yang sangat ideal yang dibutuhkan oleh pasar, terutama pasar modern yang mengutamakan kualitas. Adapun bobot telur yang diterima oleh pasar modern saat ini berkisar 40 – 47 gram/butir. Bila dibawah atau diatas kriteria itu maka otomatis telur akan ditolak atau dikembalikan.Wihandoyo, 1981 dalam Resnawati dan Bintang (2005) menyatakan bahwa bobot telur ayam buras pada masa peneluran ke II mencapai 42,36+4,22 gram. Sedangkan Gufron Dan Ibrahim (2005), memperoleh bobot telur ayam buras dengan kisaran 37,2 – 43,6 gr/butir. Wihandoyo dan Mulyadi (1986), dalam Resnawati,dan Bintang (2005), menyatakan rata-rata bobot telur ayam yang dipelihara secara intensif pada puncak produksi mencapai 45,7 gram/butir sedangkan ayam yang dipelihara secara tradisional hanya mencapai 37,50 gram/butir.

KESIMPULAN DAN SARAN

Produktivitas ayam buras yang dipelihara intensif dan tanpa diberikan tambahan bahan lokal pada pakan hanya mencapai 49,89% (P0), sedangkan yang diberikan tambahan bahan lokal pada pakan mampu mencapai secara berturut-turut 59,32% (P1), 54,66% (P2) dan 54,07% (P3).

Dengan penambahan bahan baku lokal pada pakan ayam buras, kualitas telur yang dihasilkan masuk kategori normal dan standar yang dikehendaki oleh pasar modern seperti bobot telur > 40 – 45 < gram/butir untuk telur ayam ayam buras, dimana bobot telor yang dihasilkan dalam kajian ini adalah 41,99 gram/butir (P3) sampai dengan 44,28 gram/butir (P4)

Penambahan bunga margot/marigold flower dalam ransum mampu meningkatkan kadar kecerahan warna kuning telur, kecerahan warna ini diharapkan akan mampu meningkatkan nilai jual di pasaran, terutama pasar modern.

Untuk mengetahui tingkat pemberian bahan lokal yang sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai kualitas telur yang dibutuhkan perlu dilakukan kajian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar., Gigih Tri Pambudi dan Sunarto.2005. Performans ayam buras dan biosekuritas di balai pembibitan ternak unggul sapi dwiguna dan ayam. Prosiding Lokakarya nasional teknologi pengembangan ayam lokal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak dan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Hal. 61 - 65

Bintang., I.A.K. ; Sinurat.A.P. dan Purwadaria.T. 2008. Penambahan antibiotika dan bioaktif ampas mengkudu terhadap kualitas telur ayam. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.Hal 593-596

Disnakkeswan Prov. Bali. 2014. Informasi data peternakan di provinsi bali tahun 2014. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali. Denpasar.Hal 12-13

Diwyanto, K dan Handiwirawan, E. 2004. Peran litbang dalam mendukung usaha agribisnis pola integrasi tanaman-ternak. Prosiding Seminar Nasional Sistem integrasi tanaman ternak. pusat penelitian dan pengembangan peternakan bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali.

Desmayati, Z. (2006). Tanaman obat meningkatkan efisiensi pakan dan kesehatan ternak unggas. Prosiding lokakarya nasional. Inovasi teknologi dalam mendukung usaha ternak unggas berdaya saing. Semarang, 4, 202-209.

Page 113: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

97

Guntoro,S., N. Suyasa., Rai Yasa.I.M., Dinata, A.A.B.S. 2008. Pemanfaatan probiotik bio l pada ayam ras petelur dan babi untuk meningkatkan produktivitas. Laporan Bappeda Provinsi Bali.Hal 12 - 18

Gufron, AR, LM Dan Ibrahim.T. M, 2005. Potensi ayam tukong sebagai ayam lokal di kalimantan barat. Prosiding lokakarya nasional teknologi pengembangan ayam lokal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak dan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Hal. 196-203

Hidayat,Cecep. Iskandar.S. Dan Sartika.T. 2011.Respon kinerja perteluran ayam buras unggul balitnak (kub) terhadap perlakuan protein ransum pada masa pertumbuhan. JITV Vol. 16 No. 2 Th. 2011: 83-89

Iskandar, S. 2005. Pertumbuhan Ayam-Ayam Lokal Sampai Dengan Umur 12 Minggu pada Pemeliharaan Intensif. Prosiding lokakarya nasional teknologi pengembangan ayam lokal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak dan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Hal. 132-135.

Prasetyo, L. H., & Ketaren, P. P. (2013). Interaksi antara bangsa itik dan kualitas ransum pada produksi dan kualitas telur itik lokal. JITV, 18(2).

Prawiridigdo, S. 2005. Urgensi Evaluasi Bahan Pakan Asli Indonesia Sebagai Pilar Utama Untuk Menopang Usaha Ayam Lokal. Prosiding lokakarya nasional teknologi pengembangan ayam lokal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak dan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang...Hal. 149 – 154.

Resnawati, H dan Bintang.Ida AK. 2005. Produktivitas Ayam Lokal yang Dipelihara secara Intensif. Prosiding lokakarya nasional teknologi pengembangan ayam lokal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak dan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang..Hal. 121 - 124

Santoso A, Ning Iriyanti, Tri Rahardjo S. 2013. Penggunaan Pakan Fungsional Mengandung Omega 3, Probiotik Dan Isolat Antihistamin N3 Terhadap Kadar Lemak dan Kolesterol Kuning Telur Ayam Buras. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3): 848-855.

Setioko, A.R dan Iskandar.S 2005. Review hasil-hasil penelitian dan dukungan teknologi dalam pengembangan ayam lokal. Prosiding lokakarya nasional teknologi pengembangan ayam lokal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak dan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.Hal. 10-16

Sinurat, A. P. (2013). Penggunaan Bahan Pakan Lokal Dalam Pembuatan Ransum Ayam Buras. JITV, 18(2).

Suyasa, N., Parwati, I.A. dan Guntoro, S. 2009. Peningkatan produktivitas ayam bali super yang dipelihara secara intensif. Prosiding seminar universitas politeknik lampung. Hal 125-128

Vargas,F. D.O. Parede Lopez. 1998. Effects of sunlight illumination of marigold flower meals on egg yolk pigmentation.J. Agric. Food Chem., 1998, 46 (2), Pp 698–706

Page 114: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

98

PENGARUH PEMBERIAN PROBIOTIK PADA KARKAS DAN POTONGAN BAGIAN KARKAS PADA AYAM BURAS

PROBIOTICS GIVING EFFECT ON CARCASS AND EXTRACTS FROM THE CARCASS OF NATIVE CHICKEN

Ida Ayu Parwati dan N. Suyasa

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali Jl. By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar Telp (0361)720498

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian dilakukan di desa Tangkas, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung tahun 2015.Sebagai suatu lanjutan dari pengkajian budidaya ayam lokal pengamatan kualitas karkas merupakan hal yang cukup penting terutama dalam upaya penyediaan informasi teknis yang dapat dijadikan gambaran potensi ayam lokal, sehingga mendorong berkembangnya usahatani ayam lokal sebagai suatu komoditas nasional yang harus dikembangkan.Probiotik digunakan sebagai bahan pakan tambahan dalam ransum ayam buras, mengandung mikroba hidup, keberadaannya memperbaiki keseimbangan mikroorganisme dalam saluran pencernaan berfungsi meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit serta memperbaiki mutu karkas ayam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi karkas dan potongan bagian karkas ayam yang diberi ransum mengandung probiotik. Ayam yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam Kampung Unggul Badan Litbang (KUB), sebanyak 90 ekor, umur sehari sampai umur 14 minggu,dibagi kedalam 3 perlakuan pakan P0 : pakan sesuai petani ; P1 :kosentrat (25%), jagung(40%) dan dedak(35%); P2 : seperti P1 + Bio B 2 cc/1 liter air ; jumlah pemberian 50-70 g/ekor/hari. Setiap perlakuan diulang tiga kali dan setiap ulangan berisi 10 ekor anak ayam campuranjantan dan betina. Pada 14 minggu dari masing-masing ulangan dipilih secara acak seekor ayam jantan dan seekorayam betina untuk disembelih, kemudian diukur karkas dan potongan karkasnya. Hasil penelitian menunjukkan pemberian probiotik memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadapkarkas utuh ayam(62% x 56%),namun tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap potongan bagian karkas. Sedangkan untuk non karkaskelompok ayam yang diberi probiotik, berat dari organ-organ non karkas (beratrempela, hati serta lemak abdomen dan lain-lain) lebih ringan (P<0,05) dari kelompok ayam yang tidak diberikan probiotik64,20 g x 74,53g).

Kata Kunci : probiotik, karkas, ayam buras

ABSTRACT

As a continuation of the observation range chicken farming assessment carcass quality is quite important, especially in the provision of technical information that can be used as a picture of the potential of domestic poultry, so as to encourage the development of domestic poultry farming as a national commodity that must be developed. Probiotics are used as supplemental feed material in domestic poultry rations, contain microbial life, its existence to redress the balance of microorganisms in the digestive tract works to increase body resistance to disease and improving the quality of chicken carcasses. This study aims to determine the production of carcasses and carcass parts pieces chickens fed rations containing probiotics. Chickens used in this study is the chicken Kampung Unggul Research Agency (KUB), as many as 90 tails, day old until the age of 14 weeks, divided into 3 treatment P0 feed: feed according farmer; P1: concentrate (25%), corn (40%) and bran (35%); P2: As P1 + Bio B 2 cc / 1 liter of water; the amount of the provision of 50-70 g / head / day. Each treatment was repeated three times and each test contains 10 chickens a mix of males and females. At 14 weeks of each replicate randomly selected a rooster and a hen slaughtered, then measured the carcasses and carcassescuts. The results showed probiotics significant effect (P <0.05) on whole chicken carcasses, but not significant (P> 0.05) of the pieces of carcass. As for the non-carcass chickens fed the probiotic group, the weight of non-carcass organs (severe head, gizzard, liver and abdominal fat and others) lighter (P <0.05) than the group that was not given probiotics chicken.

Keywords: probiotics, carcass, native chicken

Page 115: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

99

PENDAHULUAN

Sebagai suatu lanjutan dari pengkajian budidaya ayam buras, pengamatan kualitas karkas merupakan hal yang cukup penting terutama dalam upaya penyediaan informasi teknis yang dapat dijadikan gambaran potensi ayam buras, sehingga mendorong berkembangnya usahatani ayam buras sebagai suatu komoditas nasional yang harus dikembangkan. Ayam buras merupakan komoditas andalan danmempunyai masa depan yang cukup menjanjikan, baiksecara ekonomi maupun sosial, karena ayam burasmampu mensuplai kebutuhan pangan bergizitinggi berupa daging dan telur (Iskandarat et.al., 2010). Jenis produk yangdihasilkan tersebut dapat memenuhi kebutuhankonsumsi semua lapisan masyarakat dengan harga yangrelatif lebih tinggi daripada produk ayam ras. Ayamburas juga mempunyai daya serap pasar yang cukupbesar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal (Iskanda.2012).

Pangsa pasar nasional untuk daging dan telur ayam burasmasing-masing mencapai 40% dan 30%. Hal ini dapat mendorong peternak kecil danmenengah untuk mengusahakan ayam buras sebagai penghasil daging dan telur (Rohaeni et. al., 2004). Berdasarkan data statistik dari DirektoratJenderal Peternakan, populasi ayam Kampung pada akhir tahun 2009 sebesar 249,963,499 ekor (Ditjennak,2010). Untuk meningkatkan populasi, produksi,produktivitas, dan efisiensi usahatani ayam buras, pemeliharaannya perluditingkatkan dari tradisional ke arah agribisnis (Zakaria, 2004).

Keberhasilan dari usaha ayam buras yang dipelihara secara intensif sangat tergantungpada ketersediaan bahan pakan murah, danmampu memenuhi kebutuhan zat nutrisi ayamburas. Namun ketergantungan ternak unggasterhadap bahan baku pakan impor, telahberdampak pada tingginya biaya produksi (Akhadiarto,2010).Berdasarkan analisis ekonomi diketahui bahwapenggunaan bahan pakan lokal sebagai penggantibahan pakan impor memberikan kontribusi besardalam pengembangan peternakan nasional,khususnya ternak unggas. Ada beberapa kendalapenggunaan bahan pakan lokal yang perludiperhatikan, seperti kualitas yang rendah danketersediaan yang tidak kontinyu, sehingga perludicarikan pemecahan.

Salah satu metode yang dapat digunakan untukmeningkatkan nilai kegunaan pakan adalahmelalui “feed additive” (imbuhan pakan) (Daudetal., 2007).Beberapa feed additive seperti hormon danantibiotik (antibiotic growth promotor atau AGP)telah dilarang penggunaannya di negara majutermasuk Indonesia, karena terkait dengan isuglobal peternakan unggas saat ini, yaitu keamanan pangan hewani dari adanya cemaran dan residuyang berbahaya bagi konsumen, resistensi bakteritertentu dan isu lingkungan.Adanya dampak negatif dari penggunaan AGP,maka para ahli mulai mencari penggantinya yangdifokuskan pada bahan-bahan alami, sepertimikroba. Kelompok dari mikroba-mikroba tersebutdiberi istilah probiotik, yaitu mikroorganisme yangmenguntungkan.

Menurut Kompiang (2006),probiotik adalah mikroba hidup atau sporanyayang dapat hidup atau berkembang dalam ususdan dapat menguntungkan inangnya, baik secaralangsung maupun tidak langsung. Penggunaan probiotik sebagai bahan pakantambahan untuk meningkatkan pertambahan bobotbadan, konversi pakan dan kesehatan ternakmerupakan alternatif yang amankarena aktifitasnya dalam mendukungperkembangan mikroba yang menguntungkan danmenekan pertumbuhan bakteri patogen dalamsaluran pencernaan.

Tujuan produksi pada peternakan ayam adalah telur dan karkas (daging), sedangkan karkas adalah ayam yang sudah dipotongbersih tanpa kepala, cakar dan jeroan (hati,jantung, ginjal, rempela, usus). Berat karkasmerupakan gambaran dari produksi daging dariseekor ternak dan pengukuran berat karkasmerupakan suatu faktor yang penting dalammengevaluasi hasil produksi ternak. Dengansemakin beratnya karkas, maka keuntunganpeternak akan semakin bertambah.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuiperanan dan efektivitas pemberian probiotik, dalam ransum sertapengaruhnya terhadap karkas dan potongan karkas pada ayam buras.

Page 116: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

100

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dikelompok tani Satia Winangun, desa Tangkas, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung, tahun 2015. Menggunakan 90 ekor ayam Kampung Unggul Badan Litbang (KUB) umur sehari sampai umur 14 minggu. Perlakuan pemberian ransumdisusun menurut pola pembesaran ayam ras petelur,yaitu masa pemula (starter) mulai dari 1 hari sampaidengan 6 minggu, kemudian dilanjutkan masapertumbuhan (grower) sampai dengan umur 14 minggu. Jenis dan komposisiransum dan jumlah pemberian yang dibeikan disajikan dalamTabel 1.Penelitian dibagi kedalam 3 perlakuan pakan. Setiap perlakuan diulang tiga kali dan setiap ulangan berisi 10 ekor anak ayam campuran jantan dan betina. Pada 14 minggu dari masing-masing ulangan dipilih secara acak seekor ayam jantan dan seekor ayam betina untuk disembelih, kemudian diukur karkas dan potongan karkasnya. Adapun perlakuan adalah sebagai berikut :

P0 : pakan sesuai cara petani ( sebagai pembanding)

P1 : kosentrat, jagung dan dedak dengan perbandingan 25%:40%:35% sebanyak 50-70 gram/ekor/hari mengacu pada kajian ayam buras bali pada tahun 2009. Sedangkan air minum diberikan secara ad- libitum.

P2 : seperti P1 + Probiotik 2 cc/1 liter air

Probiotik yang digunakan khusus untuk ternak non ruminansia, diproduksi oleh BPTP Bali, cara pemberian yaitu ditambahkan kedalam air minum sebanyak 2 cc per 1 liter air minum.

Parameter yang diamati adalah: berat hidup,berat karkas,berat potongan bagian karkas (paha, betis, sayap), berat non karkas.Rancangan penelitian yang digunakan adalahRancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 perlakuan dan 3 ulangan. Data yang diperoleh dianalisisdengan menggunakan sidik ragam (Analisis ofVariance) dan apabila terdapat perbedaan diantaraperlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncan’s MultipleRange Test menurut STEEL dan TORRIE (1993).

Tabel 1. Pemberian jenis dan jumlah ransum yang diberikan pada ayam pengkajian

Sumber : Data Primer (2015)

Tabel 2. Kandungan gizi pakan pada fase grower

No. Sampel % Bk % Abu % BO % LK %PK %SK GE(Cal/g)

1. P0 91,1815 9.4239 90.5761 4.1867 20.0156 25.0050 2322.1136 2 P1 91.2610 10.4250 89.5750 2.8959 19.0021 27.1169 2108.7538 3. P2 91.1256 11.4167 88.5833 2.6534 19.8875 24.9220 2492.0072

Sumber : Analisis Lab UNUD (2015)

Perlakuan Umur 0-5 minggu Umur 6-14 minggu

Jenis Ransum Jumlah (g)/ekor Jenis Ransum Jumlah (g/ekor)

P0 Konsentrat 10 Konsentrat 15 Jagung 20 Dedak 15 P1 Konsentrat 7,5 Konsentrat 12,5 Dedak 2,5 Jagung 20 Dedak 17,5 P2 Konsentrat 15 Konsentrat 12,5 Dedak 5 Jagung 20 Bio B 1 cc/1 lt Dedak 17,5 Bio B 2cc/1ltr air

Page 117: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

101

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karkas unggas merupakan bagian tubuh yang tersisa setelah dilakukan penyembelihan, pembuluan, dan pembuangan jeroan, serta pemotongan kaki, kepala, dan leher (Saifudin, 2000). Perbandingan bobot karkas terhadap bobot hidup atau dinyatakan sebagai persentase karkas sering digunakan sebagai ukuran produksi. Komponen karkas terdiri atas otot, lemak, kulit, dan tulang yang memiliki kecepatan tumbuh yang berbeda-beda.

Dari data pada Tabel 3 terlihat bahwa sampaidengan umur 14 minggu, perlakuan P0 (cara petani ) yang memberikan ransum dengan kandungan lebih tinggi dari P1( Tabel 1) memberikan berat karkas utuh dan berat dada lebih tinggi (P<0,05) namun tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan potongan karkas bagian paha, betis dan sayap. Untuk perlakuan P2, yang menambahkan probiotik kedalam air minum sebanyak 2 cc/1 liter air minum memberikan bobot paling tinggi dan secara significan memberikan pengaruh nyata pada berat karkas utuh dan berat punggung (P<0,05) demikian juga pada berat paha, betis dan sayap. Sedangkan dari persentase karkas, penambahan probiotik kedalam air minum (P2) memberikan persentase karkas tertinggi walupun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Arief (2000) yang mendapatkan rataan persentase bobot karkas ayam Kampung umur 6 minggu dengan pemberian ransum kombinasi pollard dan duckweed sebesar 56,63-58% sedangkan pada umur 12 minggu berkisar antara 66,49-69,35%. Demikian juga hasil ini lebih tinggi dari hasil penelitian Dadan (2004) yang mendapatkan persentase karkas ayam Kampung umur 9 minggu yang diberi ransum bungkil intisawit berkisar antar 58,05-59,67%.

Hasil dari perlakuan P2 yaitu penambahan probiotik kedalam air minum hampir sama dengan hasil penelitian Kurniawan (2011) yang memberikan BBJP (Jatropha Curcas L) terfermentasi Rhizopus Oligosporus sampai 12,5% ditambah enzim fitase dan selulosa memberikan bobot karkas sebesar 774 g dengan persentase karkas sebesar 62%. Hal ini disebab karena penambahan probiotik kedalam air minum ayam mampu meningkatkan daya cerna ayam sehingga mampu mencerna nutrisi yang ada pada ransum lebih baik dari ayam yang tidak diberikan probiotik, hal ini didukung oleh penelitian Parwati et.al. (2016), bahwa pemberian probiotik menyebabkan meningkatnya metabolisme tubuh karena Probiotik merupakan mikroorganisme yang hidup dalam makanan yang memiliki efek menguntungkan dalam tubuh dengan meningkatkan keseimbangan mikrooorganisme dalam saluran pencernaan.

Tabel 3. Bobot dan Persentase karkas utuh, potongan karkas bagian dada, paha-betis dan sayap ayam KUB sampai dengan umur 14 minggu

Perlakuan Karkas Utuh dada Punggung Paha atas Paha Bawah Sayap

P0 g 715,10b 230,70

b 130,05

a 134,63

a 112,43

a 107,30

a

% 56,00 32,00 18,00 19,00 16,00 15,00 P1 g 695,00

a 208,75

a 145,00

b 123,75

a 117,50

a 100,00

a

% 59,00 30,00 21,00 18,00 17,00 14,00 P2 g 893,08

c 247,25

b 195,63

c 159,60

b 159,63

b 130,98

b

% 62,00 28,00 22,00 18,00 18,00 15,00

Sumber : Data Primer diolah(2015) Keterangan : Superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukanperbedaan yang tidak nyata (P>0,05)

dan superskrip berbeda padakolom yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Merkley et al. (1980) membagi karkas menjadi lima bagian besar potongan komersial yaitu

dada, sayap, punggung, paha atas, dan paha bawah. Dada merupakan bagian dari tubuh yang paling banyak dagingnya. Potongan komersil punggung 15 adalah bagian karkas yang dipotong pada batas persendian tulang belikat yang berbatasan dengan tulang dada sampai dengan batas persendian tulang paha kiri dan paha kanan. Sayap dipisahkan dari karkas pada persendian bahu. Potongan komersial paha atas adalah bagian karkas yang dipotong sepanjang persendian tulang paha yaitu dari persendian coxae sampai lutut. Potongan komersial paha bawah adalah bagian karkas yang dipotong dari sendi lutut sampai intersica (Bahij, 1991).

Hasil penelitian terhadap bobot dan persentase potongan karkas, pemberian probiotik tidak mempengaruhi persentase potongan bagian karkas (P>0,05), dari ketiga perlakuan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3. Rata- rata persentase potongan dada, punggung, paha atas, paha bawah dan sayap pada ayam KUB umur 14 minggu berturut-turut sebesar 30% ; 20,33%; 18,33%; 17% dan 14,66%, hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil yang didapat oleh Hapsari (2004) pada ayam

Page 118: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

102

kampung umur yang sama(14 minggu), dimana hasil yang didapat pada potongan komersial karkas ayam kampung yang terdiri dari dada, punggung, paha atas, paha bawah dan sayap berturut-turut 23,49%, 25,7%, 18,11%, 18,32% dan 14,11%. Hasil ini didukung oleh penelitian Kurniawan (2011) bahwa pemberian pakan yang ditambahkan enzim fitase dan selulosa tidak berpengaruh nyata terhadap persentase potongan bagian karkas ayam kampung.

Untuk bobot non karkas, bobot jeroan, dalam hal ini merupakan bobot total oesophagus, tembolok, proventriculus, rempela, usus, hati, caeca dan colon, yang relatif bersih dari pakan dan sisa pencernaan. Bobot jeroan dipengaruhi oleh kandungan protein dalam ransum Iskandar, et.al. (2010).Lebih lanjut dikatakan bobot jeroan ayam yang diberi pakan dengan kandungan protein rendah cenderung mempunyai bobot lebih tinggi. Hal ini kemungkinandisebabkan oleh lebih banyaknya kandungan lemak yang terkumpul di sekitar usus, rempela bahkan hati dibandingkan dengan jeroan ayam yang diberi kandungan protein yang lebih tinggi. Hasil penelitian disajikan pada Tabel 4. Hasil menunjukkan perlakuan P2 yaitu kelompok ayam yang diberikan probiotik kedalam air minum, memiliki bobot jeroan, bobot hati, bobot rempela dan lemak abdomen lebih rendah (P<0,05) dari pada kelompok ayam yang tidak ditambahkan probiotik kedalam air minumnya. Peneltian ini didukung oleh Sukadaet.al (2005) menyatakan bahwa melalui proses fermentasi dengan ragi tape pada pollard, kulit ari kacang kedelai, dan pod kakao sebelum diberikan pada itik dapat menurunkan jumlah lemak abdomen dan kadar kolesterol daging itik, hal ini didukung oleh penelitian Parwati etal., (2016), bahwa pemberian probiotik menyebabkan meningkatnya metabolisme tubuh karena Probiotik merupakan mikroorganisme yang hidup dalam makanan yang memiliki efek menguntungkan dalam tubuh dengan meningkatkan keseimbangan mikrooorganisme dalam saluran pencernaan. Di samping itu, probiotik itu sendiribertindak sebagai penyedia protein sel tunggal yang mempunyai nilai gizi tinggi khususnyasebagai penyedia asam amino essensial yang sangat diperlukan dalam sintesis urat dagingserta mampu meningkatkan kecernaan protein.Dilaporkan juga oleh Sibbald dan Wolynetz (l986) dalam Parwati dan Suyasa (2016), bahwa retensi energi sebagai proteinmeningkat dengan semakin meningkatnya konsentrasi protein dalam tubuh.

Tabel 4. Nilai rata-rata jeroan, hati, rempela dan lemak perut ayam KUB sampai dengan umur 14 minggu.

Perlakuan Jeroan (g) Hati (g) Rempela(g) Lemak Abdomen(g)

P0 74,53b 28,55

b 43,50

b 28,73

b

P1 81,13b 36,35

c 49,20

b 19,78

b

P2 64,20a 20,05

a 25,00

a 10,08

a

Sumber : Data Primer diolah(2015) Keterangan : Superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata

(P>0,05)dan superskrip berbeda pada kolom yang samamenunjukan perbedaan yang nyata (P<0,05)

KESIMPULAN

1. Penambahan probiotik sebanyak 2 cc per 1 liter air minum (P2) memberikan bobot paling tinggi pada berat karkas utuh (62%)dibandingkan cara petani (P0) 56% dan P1 (59%), sedangkan pada potongan bagian karkas tidak berpengaruh nyata.

2. Perlakuan P2 yaitu kelompok ayam yang diberikan probiotik sebanyak 2 cc kedalam air minum, memiliki bobot jeroan, bobot hati, bobot rempela dan lemak abdomen lebih rendah (P<0,05) dari pada kelompok ayam yang tidak ditambahkan probiotik kedalam air minumnya

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. D. 2000. Evaluasi ransum yang menggunakan kombinasi pollard dan duckweed terhadap persentase berat karkas, bulu, organ dalam, abdominal, panjang usus, dan sekum ayam Kampung. Skripsi. Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Akhadiarto S.2010. Pengaruh pemberian probiotik temban, biovet dan biolacta terhadap persentase karkas, bobot lemak abdomen dan organ dalam ayam broiler. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 12 ( 1) : 53-59

Page 119: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

103

Bahij, A. 1991. Tumbuh kembang potongan karkas komersial ayam broiler akibatpenurunan tingkat protein ransum pada minggu ketiga-keempat. Karya Ilmiah.Fakultas Peternakan, Insitut Pertanian Bogor

Dadan H. S. 2004. Persentase karkas dan potongan komersial karkas ayam Kampungdengan pemberian pakan mengandung bungkil inti sawit dan enzim. Skripsi.Program Studi Teknologi Produksi Peternakan. Departemen Ilmu ProduksiPeternakan. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Daud, M.,Wiranda G. Piliang Dan I. Putu Kompiang. 2007.Persentase dan Kualitas Karkas Ayam Pedaging yang Diberi Probiotik dan Prebiotik dalam Ransum. JITV . 12 ( 3) : 167-174irektorat Jendral Peternakan (Ditjennak). 2010. Populasi Ternak dan ProduksiDaging, Telur dan Susu Per Provinsi Tahun 2000-2010. Departemen Pertanian Republik Indonesia

Haspari, RR.D.S. 2004. Bobot dan Persentase karkas ayam Kampung jantan umur 14 minggu akibat pemberian tepung daun pepaya dalam ransum. Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang.

Kurniawan H. 2011.karkas dan potongan karkas ayam kampung umur 10 minggu yang diberi ransum mengandung bungkil biji jarak pagar (jatropha curcas l)terfermentasi rhizopus oligosporus.https://www.google.co.id/unduh/52851 (Diunduh Tgl 27 September 2016).

Iskandar S. 2012. Optimalisasi protein dan energi ransum untuk meningkatkan produksi daging ayam lokal. Orasi Profesor Riset Bidang Pakan dan Nutrisi Ternak, Bogor.

Iskandar, S., T. Sartika, C. Hidayat, dan Kadiran. 2010. Penentuan kebutuhan protein kasar ransum ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB) masa pertumbuhan (0-22 minggu). Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. 28 hlm.

Kompiang, IP. 2006. Pemanfaatanmikroorganisme sebagai probiotik untukmeningkatkan produksi ternak unggas diIndonesia. Orasi Pengukuhan Peneliti Utamasebagai Profesor Riset bidang Pakan danNutrisi Ternak, Balitnak, Bogor.

Merkley. J. W., B. T. Weinland. G. W. Malone & G. W. Chaloupka. 1980. Evaluation of commercial broiler crosses. 2. Eviscerated yield and component parts. Poult Sci. 59:1755-1760.

Parwati, I.A. dan Suyasa N. 2016. Peningkatan produktivitas ayam kampung fase stater dengan tambahan probiotik pada air minum untuk mendukung program kedaulatan pangan. Prosiding seminar nasional hasil penelitian pertanian 2015. Fakultas Pertanian : 730-735

Rohaeni, E.S., D. Ismadi, A. Darmawan, Suryana, & A. Subhan. 2004. Profil usaha peternakan ayam lokal di Kalimantan Selatan (Studi kasus di Desa Murung Panti Kecamatan Babirik, Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Desa Rumintin Kecamatan Tambarangan, Kabupaten Tapin). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004. Buku II. Bogor, 4 - 5Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Saifudin. 2000. Perbedaan produksi karkas dan karateristik daging dada dan paha itik dan entok pasca perebusan. Skripsi. Jurusan. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan, Insititut Pertanian Bogor, Bogor.

Sukada, I.K, Bidura, I G. M. Dan Warmadewi, D.A. 2005. Penggunaan pollard, kulit kacang kedelai, dan pod kakao pengaruh terfermentasi dengan ragi tape terhadap karkas dan kadar kolesterol daging itik bali jantan.https://Scholar.google.co.id (Diunduh Tgl 22 Septeember 2016)

STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE. 1993. Prinsip dan prosedurstatistika suatu pendekatan biometrik, jakarta.terjemahan. P.T. Gramedia.

Zakaria, S. 2004. Performans ayam buras fase dara yang dipelihara secara intensifdan semiintensif dengan tingkat kepadatan kandang yang berbeda. BulletinNutrisi dan Makanan Ternak 5(1): 41-45.

Page 120: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

104

PEMANFAATAN PAKAN LOKAL LENGKAP (Complette Feed) UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS PEDET KEMBAR PRASAPIH MENDUKUNG PEMBANGUNAN

PERTANIAN BERKELANJUTAN

THE UTILIZATION OF LOCAL COMPLETE FEED TO INCREASE PRODUCTIVITY PRE-WEANING TWIN CALVES SUPPORTS SUSTAINABLE AGRICULTURAL DEVELOPMENT

Erni Gustiani, Yayan Rismayanti dan Liferdi

1)BalaiPengkajianTeknologiPertanianJawa Barat

e-mail:[email protected]

ABSTRAK

Pembangunan peternakan terutama pengembangan sapi potong perlu dilakukan melalui pendekatan usaha yang berkelanjutan, modern dan professional dengan memanfaatkan inovasi teknologi serta didukung olehi ndustri pakan dengan mengoptimalkan pemanfaatan bahan pakan spesifik lokasi melalui pola yang terintegrasi. Teknologi produksi pedet yang dilahirkan kembar merupakan sebuah paradigma baru dalam manajemen dan produksi sapi potong. Teknologi ini memberikan sebuah solusi dalam upaya meningkatkan efisiensi baik reproduksi maupun ekonomi. Namun kondisi aktual dilapangan menunjukkan bahwa sebagian besar pedet yang dihasilkan dari kelahiran kembar memiliki berat lahir yang lebih rendah dibandingkan pedet dari kelahiran tunggal. Sementara pertumbuhan pedet setelah dilahirkan sangat dipengaruhi oleh berat lahir. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas pedet kembar prasapih dapat dilakukan dengan pemberian pakan lengkap dengan mengoptimalkan bahan pakan lokal yang tersedia. Pengkajian bertujuan untuk mengetahui produktivitas pedet kembar prasapih melalui optimalisasi pemanfaatan pakan lokal yang diberikan dalam bentuk pakan lengkap (complete feed) dan mengetahui nilai konsumsi, kecernaan, dan efisiensi pakan dari kedua kelompok perlakuan pakan. Pengkajian dilakukan di Kabupaten Subang dan Sumedang pada bulan Januari – Desember 2014. Masing-masing perlakuan (di 2 Kabupaten) menggunakan 4 (empat) ekor pedet kembar prasapih. Perlakuan pakan menggunakan 2 formulasi yaitu A= jerami padi fermentasi (100%) + konsentrat ; B = Jerami padi fermentasi (50%) + daun dan pucuk tebu fermentasi (50%)+konsentrat, dengan pemberian pakan sebanyak 3% dari berat badan ternak atau sekitar 2-3 kg/ekor/hari. Parameter yang diukur adalah kualitas pakan, konsumsi pakan, kecernaan bahan kering, PBBH, dan efisiensi penggunaan pakan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa: 1) pedet kembar prasapih yang diberi pakan perlakuan A memiliki PBBH yang lebih tinggi (957,50 g/ekor/hari) dibandingkan dengan PBBH pedet kembar prasapih yang diberi perlakukan B (662,50 g/ekor/hari), 2) nilai rata-rata konsumsi BK pada pakan perlakuan A memiliki kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata konsumsi BK pada perlakuan B yaitu berturut-turut 2.341,90 g dan 2.185,25 g, 3) faktor yang dapat mempengaruhi tingginya konsumsi pada pakan perlakuan A antara lain disebabkan karena pakan perlakuan A memiliki nilai kecernaan BK yang lebih tinggi (88,10%) daripada pakan perlakuan B (84,52%), dan 4) pakan perlakuan A memiliki nilai efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan pakan perlakuan B berturut-turut sebesar 41,02% dan 31,94%.

Kata kunci : pakan lengkap, produktivitas, pedet kembar prasapih

ABSTRACT

Livestock development, especially the development of beef cattle need to be made through a sustained effort, modern and professional to take advantage of technological innovation and supported by feed industry to optimize the use of site-specific feed ingredients through the integrated pattern. The technology of production of twins calves is a new paradigm in the management and production of beef cattle. This technology provides a solution in order to improve the efficiency of both reproductive and economically. But the actual conditions in the field indicate that the majority of calf produced from multiple births have a lower birth weight than a single calf. While the growth of calves after birth is influenced by birth weight. One effort to increase the productivity of pre-weaning twin calves to do with complete feed by optimizing locally available feed ingredients. The assessment aims to determine the productivity of pre-weaning twin calves through optimizing the utilization of local feed and knowing dry matter consumption, dry matter digestibility and feed efficiency both of treatment. Assessment do in Subang and Sumedang in January-December 2014. Each treatment (in 2 districts) using four (4) pre-weaning twin calves. Treatment of feed using two formulations, namely A =

Page 121: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

105

fermented rice straw (100%) + concentrate; B = fermented rice straw (50%) + leaves and shoots of sugarcane fermentation (50%) + concentrates, by feeding as much as 3% of the weight of cattle or about 2-3 kg/head/ day. The parameter measured were feed quality, dry matter consumption, dry matter digestibility and Average Daily Gain (ADG). The study showed that : 1) The treatment feed A given ADG higher (957,50 g/head/day) compared to the treatment of feed B (662,50 g/head/day), 2) the average value of dry matter consumption by using treatment of feed A higher (2.341,90 g) than treatment of feed B (2.185,25 g), 3) Factor can affect the high consumption to the treatment of feed A because the treatment of feed A has dry matter digestibility higher (88,10%) compared to the treatment of feed B (84,52%); 4) Feed efficiency to treatment of feed A higher than treatment of feed B that is 41,02% and 31,94%.

Keywords: complete feed, productivity, pre-weaning twin calves

PENDAHULUAN

Permintaan produk peternakan cenderung terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi masyarakat, perbaikan tingkat pendidikan, serta perubahan gaya hidup sebagai akibat arus globalisasi dan urbanisasi. Pada saat ini, kebutuhan konsumsi daging Jawa Barat belum dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Kemampuan domestik Jawa Barat dalam penyediaan daging sapi, baru mencapai sekitar 20% dari total kebutuhan, sementara sisanya disediakan melalui impor ternak hidup dan daging antar provinsi dan antar negara. Salah satu upaya terobosan dalam rangka mengakselerasi peningkatan populasi sapi potong adalah melalui peningkatan persentase/frekuensi beranak kembar (twinningbirth rate).

Teknologi produksi pedet yang dilahirkan kembar merupakan sebuah paradigma baru dalam manajemen dan produksi sapi potong. Teknologi ini memberikan sebuah solusi dalam upaya meningkatkan efisiensi baik reproduksi maupun ekonomi. Secara alami, sebagian besar induk sapi hanya melahirkan satu ekor pedet atau beranak tunggal. Akan tetapi melalui pemberdayaan teknologi, induk sapi dapat diatur agar mampu bunting dan melahirkan anak sapi kembar untuk mempercepat peningkatan populasi. Peluang terjadinya kelahiran pedet kembar secara alamiah masih sangat kecil, karena sebagian besar induk sapi memiliki sifat hanya melahirkan satu ekor pedet. Meskipun termasuk kategori langka, di Jawa Barat dilaporkan telah terjadi 19 kasus kelahiran kembar pada Tahun 2009 di enam kabupaten, salah satunya adalah Kabupaten Subang.

Kondisi aktual di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar pedet yang dihasilkan dari kelahiran kembar memiliki berat lahir yang lebih rendah dibandingkan dengan pedet yang dilahirkan tunggal. Pedet yang dilahirkan kembar memerlukan perhatian khusus karena beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa pedet dari kelahiran kembar mempunyai berat lahir 10 kg lebih ringan daripada pedet dari kelahiran tunggal. Echternkamp, dkk., (2007) menyatakan bahwa bobot lahir ternak mempengaruhi pertumbuhan pedet. Selain itu, pertambahan berat badan harian (PBBH) yang dihasilkan pedet kembar prasapih lebih rendah daripada pedet keturunan tunggal. Hal tersebut terjadi karena adanya kompetisi diantara pedet kembar dalam mendapatkan susu induk dan kondisi induk yang menurun sehingga berpengaruh terhadap produksi susu yang dihasilkan.

Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas pedet kembar prasapih dapat dilakukan dengan pemberian pakan lengkap (Complette Feed) dan untuk meningkatkan efisensi dalam penggunaan pakan, perlu dioptimalkan teknologi pakan lengkap dengan menggunakan bahan baku pakan lokal yang tersedia di wilayah setempat. Complete feed merupakan inovasi teknologi pakan yang mempunyai nilai nutrisi lebih lengkap dan lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pakan asalnya. Penggunaan complete feed dan undegraded protein (UDP) mampu meningkatkan konsumsi nutrien dan pertambahan berat badan harian sapi PO (Nusi, 2011).

Tujuan pengkajian ini untuk 1) mengetahui produktivitas pedet kembar prasapih melalui optimalisasi pemanfaatan bahan pakan lokal yang diberikan dalam bentuk pakan lengkap (complete feed), 2) mengetahui nilai konsumsi, kecernaan dan efisiensi pakan dari kedua kelompok perlakuan pakan.

Page 122: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

106

METODE PENELITIAN

Pengkajian dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Desember 2014 di kelompoktani ternak sapi potong di Kabupaten Subang dan Sumedang. Lokasi ini dipilih karena memiliki kasus kelahiran kembar paling banyak di Jawa Barat, aspek sumberdaya manusia dan alam yang dapat mendukung pelaksanaan pengkajian, serta pemeliharaan ternak yang dilakukan dalam satu kawasan.

Rancangan pengkajian terdiri dari dua perlakuan (dua formulasi pakan), dimana masing-masing perlakuan akan diujicobakan terhadap empat ekor pedet kembar prasapih (Tabel 1).

Tabel 1. Perlakuan dan Komposisi Pakan yang digunakan dalam Pengkajian

Perlakuan Komposisi Pakan

Serat Kasar Konsentrat

A Jerami padi fermentasi 100% Dedak 75% + tepung daun gamal 24% + mineral mix 1%

B Jerami padi fermentasi 50% + daun dan pucuk tebu fermentasi 50%

Dedak 75% + tepung daun gamal 24% + mineral mix 1%

Tahapan pembuatan complete feed terdiri dari: 1) pemotongan bahan-bahan sumber serat menggunakan chopper menjadi ukuran kecil (0,2-0,4 cm), kemudian dikeringkan sampai kadar air mencapai 10-12%, dan 2) pencampuran bahan-bahan sumber serat, energi, dan protein sampai merata dengan perbandingan antara sumber serat dan konsentrat adalah 70: 30. Complete feed diberikan dalam bentuk kering sebanyak 3% bobot badan/ekor/hari yang diberikan dalam dua kali pemberian yaitu pada pagi dan sore hari.

Sebelum pemberian complete feed, terhadap ternak perlakuan diberikan probiotik pedet untuk mempercepat proses penyapihan pedet dengan mempercepat fungsi rumen. Ternak perlakuan diberi masa adaptasi pakan perlakuan selama 14 hari sebelum dilakukan pengamatan terhadap parameter yang diukur. Pengamatan pemberian complete feed dilakukan selama tiga bulan setelah ternak teradaptasi mengkonsumsi pakan perlakuan.

Parameter yang diukur adalah kualitas pakan, konsumsi pakan, kecernaan bahan kering, PBBH, dan efisiensi penggunaan pakan. Pengukuran kualitas pakan dilakukan tiga kali selama masa pengkajian, kecernaan bahan kering diamati selama tujuh hari, dan PBBH diukur setiap dua minggu selama tiga bulan masa pengkajian. PBBH, Konsumsi BK dan Kecernaan Bahan Kering dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)

= Bobot Akhir – Bobot Awal

Waktu (hari)

Konsumsi BK (kg/ek/hari) = (% BK pemberian x total pemberian) – (%BK sisa x total sisa)

Kecernaan Bahan Kering (%)

= Konsumsi BK (kg) - BK feses (kg)

x 100% KBK (kg)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakterisasi Wilayah

Pengkajian dilaksanakan di Kabupaten Subang (Kecamatan Cipunagara dan Cisalak) dan Kabupaten Sumedang (Tanjungmedar dan Conggeang) meliputi 4 Kelompok tani ternak.

a. Kabupaten Subang Topografi di Kecamatan Cipunagara merupakan dataran dan berada pada ketinggian 70 mdpl, dengan luas pesawahan 459 ha dan lahan kering 833,430. Potensi limbah pertanian di Kecamatan Cipunagara berupa daun dan pucuk tebu yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Sedangkan toprografi di Kecamatan Cisalak merupakan dataran dan berbukit, pada ketinggian 700 mdpl, dengan luas pesawahan 242 ha dan lahan kering 153,017 ha.

b. Kabupaten Sumedang Topografi di Kecamatan Tanjungmedar merupakan dataran dan berada pada ketinggian 700 mdpl, dengan luas pesawahan 203,750 dan lahan kering 90,21 ha. Kecamatan Conggeang berada pada ketinggian 700 mdpl dengan luas pesawahan 116 ha dan lahan kering 50 ha. Wilayah ini memiliki

Page 123: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

107

luas areal pesawahan yang lebih besar dibandingkan dengan lahan kering sehingga potensi limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai pakan ternak adalah jerami padi.

Pakan Lengkap (Complette Feed) dan Kandungan Nutrisinya

Pakan Lengkap merupakan metode atau teknik pembuatan pakan dimana hijauan (sumber serat kasar) dan konsentrat (sumber protein dan energi) dicampur menjadi homogen melalui proses perlakuan fisik dan suplementasi yang dikemas dalam bentuk tertentu agar pemberian kepada ternak efektif dan memudahkan dalam penyimpanan. Pemberian pakan ternak dalam bentuk pakan lengkap memiliki keuntungan antara lain dapat menghemat tenaga kerja, dan bila ditinjau dari aspek nutrisi merupakan program yang sangat baik karena partikel yang dikonsumsi oleh ternak dalam kondisi nutrisi yang seimbang artinya pakan tersebut memiliki kualitas nutrisi yang tinggi (Dhalika., et al., 2010). Pembuatan pakan lengkap sebaiknya menggunakan bahan pakan lokal yang tersedia di wilayah setempat karena dapat menekan biaya pembuatan dan pembelian bahan penyusun pakan.

Kebutuhan nutrisi pedet sangat beragam mulai dari kebutuhan untuk hidup pokok sampai memperoleh pertambahan bobot maksimal yang berasal dari deposit protein dan mineral. Fungsi pakan bagi ternak adalah menyediakan energi untuk produksi panas dan deposit lemak, memelihara sel-sel tubuh, mengatur beberapa fungsi dan aktivitas di dalam tubuh. Pakan dengan kandungan protein yang cukup dapat memperbaiki jaringan, pertumbuhan jaringan baru, metabolisme untuk energi, dan berfungsi sebagai penyusun hormon. Sedangkan pakan dengan kualitas gizi yang rendah dapat mengganggu perkembangan pedet sehingga potensi genetik yang unggul tidak dapat muncul (Hidajati, 1998)

Dalam pengkajian ini pakan yang diberikan untuk ternak berasal dari bahan baku lokal yang tersedia dilapangan yang dicampur sedemikian rupa antara sumber serat kasar dan konsentrat sehingga menjadi pakan lengkap. Kandungan nutrisi pakan lengkap yang berbahan baku serat kasar jerami padi (A) dan berbahan baku serat kasar jerami padi dan daun + pucuk tebu (B) disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Pakan Lengkap (Complete Feed) yang Diberikan Terhadap Pedet Kembar Prasapih

Pakan Perlakuan

BK (%) PK (%) Abu (%) Lemak (%) Serat (%)

A 85,16 9,92 23,76 0,54 10,17

B 87,41 8,22 15,14 2,58 13,09

Sumber : Analisa Proksimat Laboratorium Fisiologi Hasil Balitsa, Lembang. 2014

Hasil analisa proksimat menunjukkan bahwa Kandungan Protein Kasar pakan perlakuan A adalah 9,92% dan pakan perlakuan B adalah 8,22%. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan dengan teknik formulasi ransum dengan metode pearson square, dimana protein kasar (PK) yang diharapkan terkandung dalam pakan lengkap kegiatan pengkajian sebesar ± 10,98%. Hal tersebut dapat terjadi karena jenis-jenis bahan pakan yang digunakan di lapangan memiliki level PK yang berbeda-beda tergantung pada kondisi pertanaman dan kondisi tanahnya. Disisi lain, kadar Serat Kasar pakan perlakuan B relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pakan perlakuan A, yaitu berturut-turut 13,09% dan 10,17%. Hal ini diduga karena sumber serat kasar pakan perlakuan B berasal dari daun dan pucuk tebu yang pada dasarnya memiliki kandungan serat kasar lebih tinggi dibandingkan dengan jerami padi. Pucuk tebu dapat menggantikan peran rumput gajah tanpa memberikan efek negative pada ternak sapi. Kandungan dinding sel yang tinggi menyebabkan rendahnya kecernaan (Kuswandi, 2007). Namun masih lebih rendah jika dibandingkan dengan pakan yang digunakan pada penelitian Dhalika et all (2010) yang mengandung serat kasar sebesar 15,80 – 25,31%. Hal ini disebabkan karena daun dan pucuk tebu pada pengkajian ini telah mengalami pengolahan terlebih dahulu melalui proses fermentasi.

Konsumsi dan Kecernaan Bahan Kering Pakan

Konsumsi merupakan faktor esensial yang merupakan dasar untuk hidup dan menentukan produksi, beberapa faktor yang menentukan tingkat konsumsi adalah hewan ternak, makanan yang diberikan (palatabilitas), daya cerna, bangsa, jenis kelamin, umur dan kondisi kesehatan ternak. Palatabilitas merupakan gambaran sifat bahan pakan yang dicerminkan oleh organoleptik seperti penampakan, bau, rasa (hambar, asin, manis, pahit), tekstur dan temperaturnya sehingga timbulnya rangsangan dan daya tarik ternak untuk mengkonsumsi bahan pakan tersebut (Yusmadi et al., 2008).

Page 124: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

108

Palatabilitas pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya rasa, bentuk dan bau dari pakan itu sendiri.

Pemberian pakan konsentrat dapat meningkatkan daya cerna pakan secara keseluruhan. Meningkatnya kecernaan ransum menyebabkan meningkatnya konsumsi, sehingga laju pengosongan rumen meningkat dan menimbulkan rasa lapar pada ternak untuk menambah konsumsi pakan (Prasetiyono et all., 2007). Rata-rata nilai konsumsi dan kecernaan BK pakan pada pedet kembar prasapih dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata Nilai Konsumsi Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Kering Pakan pada Pedet Kembar Prasapih

Kelompok Pakan Perlakuan Parameter

Konsumsi BK (g) Kecernaan BK (%) A 2.341,90 88,10 B 2.185,25 84,52

Sumber : Data Primer Tahun 2014

Nilai rata-rata konsumsi BK pada pakan perlakuan A memiliki kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata konsumsi BK pada perlakuan B yaitu berturut-turut 2.341,90 g dan 2.185,25 g. Dari faktor yang mempengaruhi konsumsi, hal yang dapat mempengaruhi tingginya konsumsi pada pakan perlakuan A antara lain disebabkan karena pakan perlakuan A memiliki nilai kecernaan BK yang lebih tinggi daripada pakan perlakuan B. Bahan penyusun pakan perlakuan B antara lain daun dan pucuk tebu. Salah satu keterbatasan dari serat limbah tebu dan industri gula adalah daya kecernaan dan konsumsinya yang rendah. MenurutRetnani (2009), rendahnya kadar protein dan kecernaan bahan kering pucuk dan ampas tebu merupakan faktor pembatas penggunaannya.

Pertambahan Bobot Badan Harian, Konversi dan Efisiensi Penggunaan Pakan

Pertambahan berat badan adalah aktifitas fisiologi yang dapat dinyatakan dengan kenaikan berat badan rata-rata persatuan waktu. Respon berat badan merupakan hasil yang diperoleh dari kenaikan berat badan yang diketahui melalui penimbangan secara berulang-ulang selama pengamatan yang berasal dari penimbangan berat badan akhir dikurangi berat badan awal dibagi dengan waktu pengamatan. Rata-rata pertambahan bobot badan harian (PBBH) pedet kembar prasapih yang diberikan pakan lengkap serta konversi dan efisiensi penggunaan pakan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pertambahan Bobot Badan Harian Pedet Kembar Prasapih yang Diberikan Pakan Lengkap serta Konversi dan Efisiensi Penggunaan Pakan

Kelompok Pakan Perlakuan

Parameter

Konsumsi BK (g) PBBH (g/hari) Konversi Pakan (gBK/gPBBH)

Efisiensi Pakan (%)

A 2.341,90 957,50 2,45 41,02 B 2.185,25 662,50 3,15 31,94

Sumber : Data Primer Tahun 2014

Tabel 4 menunjukkan bahwa pedet kembar prasapih yang diberi pakan perlakuan A memiliki

PBBH yang lebih tinggi (957,50 g/ekor/hari) dibandingkan dengan PBBH pedet kembar prasapih yang diberi perlakukan B (662,50 g/ekor/hari). Hasil ini sejalan dengan nilai konsumsi dan kecernaan bahan kering pakan oleh ternak, dimana ternak pada kelompok pakan perlakuan A mengkonsumsi lebih banyak bahan kering dengan daya cerna yang lebih tinggi dibandingkan ternak pada kelompok pakan perlakuan B. Selain itu diduga bahwa pakan perlakuan A memiliki tingkat palatabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pakan perlakuan B. Kurihara, et al. (1999) melaporkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam konsumsi bahan kering dan PBBH pada ternak yang mengkonsumsi pakan berkualitas baik dibandingkan dengan ternak yang mengkonsumsi pakan berkualitas sedang.

Peningkatan bobot badan erat kaitannya dengan kecernaan bahan kering. Bahan pakan yang mengandung serat kasar yang tinggi memiliki ikatan lignoselulosa yang dapat menghambat kecernaan bahan pakan tersebut. Perlakuan fermentasi dapat melonggarkan ikatan lignoselulosa dan lignohemiselulosa sehingga selulosa dan hemiselulosa lebih tersedia sebagai sumber energi, juga terdapat peningkatan protein. Pakan perlakuan yang diberikan, baik jerami padi maupun daun dan pucuk tebu telah mengalami proses fermentasi terlebih dahulu, sehingga terjadi penurunan kadar

Page 125: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

109

hemiselulosa, selulosa dan lignin. Penurunan kadar hemiselulosa, selulosa dan lignin akan berpengaruh terhadap penurunan kadar ADF dan NDF sehingga dapat meningkatkan kecernaan pakan. Proses fermentasi bahan organik oleh bakteri dapat terjadi karena adanya aktivitas enzim (Khuluq, A.D., 2012). Degradasi selulosa dan hemiselulosa disebabkan karena aktifnya enzim endoglukonase dan silanase (Tarmidi dan Hidayat, 2004). Degradasi selulosa menghasilkan karbohidrat sederhana yang mudah dicerna dalam sistem pencernaan hewan

Pertambahan bobot badan harian pedet kembar prasapih pada pakan perlakuan A ini sesuai harapan Puslitbang Peternakan (2010), yaitu pertambahan bobot badan harian pedet prasapih pada sapi silangan > 0,8 kg/ekor/hari dan hasil pengkajian Eriawan, dkk. (2013) mengatakan bahwa PBBH yang diperoleh pedet kembar prasapih sebesar 0,93 kg/ekor/hari. Siregar (2008) mengungkapkan bahwa pertumbuhan yang cepat terjadi pada periode lahir hingga usia penyapihan dan pubertas, namun setelah usia pubertas hingga usia dewasa, laju pertumbuhan mulai menurun dan akan terus menurun hingga usia dewasa. Sejak sapi dilahirkan sampai dengan usia pubertas (sekitar umur 8-10 bulan) merupakan fase hidup sapi yang laju pertumbuhannya sangat cepat. Pertambahan bobot badan sapi ditentukan oleh berbagai faktor, terutama jenis sapi, jenis kelamin, umur, ransum, dan teknik pengelolaannya.

Konversi pakan adalah perbandingan atau rasio antar jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak dengan produk yang dihasilkan oleh ternak tersebut. Konversi pakan sangat dipengaruhi oleh kondisi ternak, daya cerna, jenis kelamin, bangsa, kualiltas dan kuantitas pakan, juga faktor lingkungan. Selain itu, dipengaruhi juga oleh ketersediaan zat-zat gizi dalam ransum dan kesehatan ternak, semakin tinggi nilai konversi pakan berarti pakan yang digunakan untuk menaikkan bobot badan per satuan berat semakin banyak atau efisiensi pakan rendah. Berdasarkan Tabel 4, konversi pakan kelompok ternak pakan perlakuan A lebih rendah dibandingkan kelompok ternak pakan perlakuan B yaitu masing-masing sebesar 2,45 dan 3,15. Konversi pakan ini berhubungan erat dan berbanding terbalik dengan efisiensi pakan.

Efisiensi pakan didefinisikan sebagai perbandingan jumlah unit produk yang dihasilkan (pertambahan bobot badan) dengan jumlah unit konsumsi pakan dalam satuan waktu yang sama.Efisiensi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kemampuan ternak dalam mencerna bahan pakan, pertumbuhan dan fungsi tubuh serta jenis pakan yang digunakan. Semakin baik kualitas pakan semakin baik pula efisiensi pembentukan energi dan produksi . Sejalan dengan nilai konversi pakan, kelompok ternak yang diberi pakan perlakuan A memiliki nilai efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan pakan perlakuan B berturut-turut sebesar 41,02% dan 31,94%. Hal ini menunjukkan bahwa pakan yang diperlukan untuk menaikkan bobot badan ternak pada pakan perlakuan A lebih sedikit atau lebih efisien dibandingkan dengan pakan perlakuan B.

Ternak yang mengkonsumsi pakan dengan nilai gizi dan jumlah yang cukup serta ditunjang oleh faktor lingkungan dan manajemen pemeliharaan yang tepat akan mengalami pertumbuhan yang optimal. Pedet khususnya pedet kembar perlu mendapatkan perhatian khusus, mengingat tingkat kematian dan daya tahan tubuhnya terhadap penyakit. Pemberian pakan bergizi tinggi pada pedet prasapih diharapkan akan memberikan nilai positif saat lepas sapih, dara, dan siap jadi bibit yang prima sehingga produktivitas yang optimal dapat dicapai (Muchamad dan Affandhy, 2013).

KESIMPULAN

1. Pedet kembar prasapih yang diberi pakan perlakuan A memiliki PBBH yang lebih tinggi (957,50 g/ekor/hari) dibandingkan dengan PBBH pedet kembar prasapih yang diberi perlakukan B (662,50 g/ekor/hari).

2. Nilai rata-rata konsumsi BK pada pakan perlakuan A memiliki kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata konsumsi BK pada perlakuan B yaitu berturut-turut 2.341,90 g dan 2.185,25 g.

3. Faktor yang dapat mempengaruhi tingginya konsumsi pada pakan perlakuan A antara lain disebabkan karena pakan perlakuan A memiliki nilai kecernaan BK yang lebih tinggi (88,10%) daripada pakan perlakuan B (84,52%).

4. perlakuan B (masing-masing sebesar 2,45 gBK/gPBBH dan 3,15 gBK/gPBBH) artinya pakan perlakuan A lebih efisien.

Page 126: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

110

DAFTAR PUSTAKA

Dhalika, T, Endang Yuni Setyowati, Siti Nurachma dan Yuli Astuti Hidayati. 2010. Nilai Nutrisi Ransum Lengkap Mengandung Berbagai Taraf Hay Pucuk Tebu (Saccharum Officianarum) pada Domba Jantan yang Digemukkan. Jurnal Ilmu Ternak. Vol 10 No2 Hal 79-84

Echternkamp, S. E., R. M. Thallman, R. A. Cushman, M.F. Allan and K. E. Gregory. 2007. Increased Calf Production in Cattle Selected for Twin Ovulations. J. Anim. Sci. 85: 3239 – 3248.

Eriawan, B., Y. Rismayanti, dan N. Sunandar. 2013. Pengkajian Pemanfaatan dan Peningkatan Produksi Anak Sapi yang Dilahirkan Kembar untuk Memperbaiki Berat Badan (PBBH > 0,4 kg) dan Peluang Beranak Kembar > 50%. Laporan Akhir Pengkajian Tahun 2013. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat

Hidajati N. 1998. Pembesaran pedet betina sapi perah guna menunjang peningkatan produksi susu. Wartazoa. 7:1-3

Khuluq, A.D. 2012. Potensi Pemanfaatan Limbah Tebu Sebagai Pakan Fermentasi Probiotik. Buletin Tanaman Tembakau, Serat dan Minyak Industri 4(1). Hal 37-45

Kurihara, M., T. Magner, R. A. Hunter and G.J. MCCRABB. 1999. Methane Production and Energy Partition of Cattle in the Tropics. British J. Nutrition. 81: 263 – 272.

Kuswandi. 2007. Teknologi Pakan Untuk Limbah Tebu (Fraksi Serat) Sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Wartazoa Volume 17 No 2 Tahun 2007

Muchamad Luthfi dan Affandhy L. 2013. Pertambahan Bobot Badan Harian dan Skor Kondisi Tubuh Pedet Silangan Pra Sapih dengan Teknologi Creep Feeding di Peternakan Rakyat. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Hlm. 122-127.

Nusi, Musrifah. 2011. Penggunaan Tongkol Jagung Dalam Complete Feed dan Undegraded Protein Terhadap Konsumsi Nutrien, Pertambahan Bobot Badan, dan Kualitas Daging Sapi Peranakan Ongole. Tesis. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta.

Prasetiyono, B.W.H.E., Suryahadi, T. Torahmat, dan R. Syarief. 2007. Strategi Suplementasi Protein Ransum Sapi Potong Berbasis Jerami dan Dedak Padi. Media Peternakan. Journal of Animal Science and Technology. Vol 30 (3): 207−217.

Puslitbang Peternakan. 2010. Rekomendasi Teknologi Peternakan dan Veteriner mendukung Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) Tahun 2014. Badan Litbang Pertanian.

Retnani, Y., W. Widiarti, I. Amiroh, L. Herawati dan K.B. Satoto. 2009. Daya Simpan dan Palatabilitas Wafer Ransum Komplit Pucuk dan Ampas Tebu Untuk Sapi Pedet. Media Peternakan Volume 32 No 2. Hal 130-136

Siregar, S.B. 2008. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Tarmidi, A.R dan R. Hidayat. 2004. Peningkatan kualitas pakan serat ampas tebu melalui fermentasi dengan jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Jurnal Bionatura 6 (2): 197–204

Yusmadi, Nahrowi, dan M. Ridla. 2008. Kajian mutu dan palatabilitas silase dan hay ransum komplit berbasis sampah organik primer pada kambing peranakan etawah. Jurnal Agripet 8 (1):31-38.

Page 127: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

111

ANALISIS PENDAPATAN MELALUI PENDAMPINGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI DI KABUPATEN SLEMAN

ANALYSIS OF REVENUES BY REGION HOUSING ASSISTANCE SUSTAINABLE FOOD IN THE DISTRICT SLEMAN

Murwati dan Sutardi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Jl. Stadion Maguwoharjo No.22 Karangsari, Wedomartani Ngemplak,Sleman,Yogyakarta Telp. (0274)

884662. [email protected] [email protected]

ABSTRAK

KawasanRumah Pangan Lestari (KRPL) merupakan programKementerian Pertanian dalam rangka optimalisasi lahan pekarangan yang ramah lingkungan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui berapa jumlah pendapatan Rumah Pangan lestari dalam mengikuti program KRPL .Penelitian dilaksanakan di tiga Desa di Kabupaten Sleman: (1) Desa Wukirsari Kecamatan Cangkringan; (2) Desa Margo Agung Kecamatan Seyegan dan Desa Wukirharjo Kecamatan Prambanan. Ketiga desa tersebut merupakan desa pendampingan kawasan rumah pangan lestari di Kabupaten Sleman oleh Balai Penelitian Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta Tahun 2015. Metode yang digunakan adalah suvei dengan menggunakan kuiseoner terstruktur yang melibatkan 3 kelompok Wanita Tani. Petani dipilih secara sengaja yaitu ke tigaanggorta kelompok wanita, Pengamatan yang dilakukan terhadap pendapatan petani dari program kawasan rumah pangan lestari meliputi berapa jumlah rumah tangga yang mengikuti program KRPL, pendapatan dari kebun bibit deesa (KBD) dan pendapatan dari rumah tangga. Hasil perkembangan jumlah rumah tangga yang mengikuti program KRPl: awal 20 keluarga dan akhir pendampingan 65 keluarga (Desa Wukirsari), awal 20 keluarga dan akhir pendampingan 50 keluarga (Desa Margo Agung), awal 20 keluarga dan akhir pendampingan 35 keluarga (Desa Wukirharjo). Tanaman yang diusahakan sayuran dan buah-buahan dan tanaman obat. Pendapatan yang diperoleh di Desa Wukirsari (pendapatan 65 rumah tangga Rp 21.532.500 dan KBD Rp 2.927.500) ; di Desa Margo Agung pendapatan 50 rumah tangga Rp 3.475.000 dan KBD Rp.927.500) dan di Desa Wukirharjo (pendapatan 35 rumah tangga Rp 9.275.000 dan KBD Rp 709..0000.

Kata kunci: Pendapatan, pendampingan, kawasan rumah pangan lestari

ABSTRACT

Region Sustainable Food House (RSFH) is a program of the Ministry of Agriculture in order to optimize the environmentally friendly yard area. The study aims to determine how much income sustained in the Food House RSFH.The research of program conducted in three villages in Sleman: (1) Village Wukirsari Cangkringan; (2) the District Court Seyegan Margo Village and Village Wukirharjo Prambanan District. All three villages are assisting village home area of sustainable food in Sleman by the AssessmentInstitute for Agricultural Technology (AIAT) Yogyakarta Year 2015. The method used is suvey using structured questionnaire involving three groups of Women Farmers. Farmershave been deliberately namely member into three groups of women, observations made on the income of farmers from the program as a sustainable food home region include how many households who take the program of RSFH, revenue from village nursery gardens (VNG) and income of the household. The result of the development of the number of households who take the program of RSFH: initial 20 families and end mentoring 65 families (village Wukirsari), beginning 20 families and end mentoring 50 families (village Margo Agung), the initial 20 families and end mentoring 35 families (village Wukirharjo). Plants are cultivated vegetables and fruits and medicinal plants. Revenues earned in the village Wukirsari (household income of 65 USD 21.5325 million and 2.9275 million USD (VNG); Margo Agung village 50 household income of Rp 3.475 million and KBD Rp.927.500) and in the village of Wukirharjo (35 household income of Rp 9.275 million and Rp 709..0000 KBD.

Keywords: Income, assistance, home area of sustainable food

Page 128: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

112

PENDAHULUAN

Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) merupakan salah satu program Kementerian Pertanian dalam rangka optimalisasi lahan pekarangan yang ramah lingkungan dalam suatu kawasan. Kawasan RPL (rumah pangan lestari) dapat diwujudkan dalam satu wilayah antara lain wilayah Rukun Tetangga (RT), beberapa RT, wilayah Rukun Warga (RW), wilayah dusun/pedukuhan atau wilayah desa/Kelurahan (Badan Litbang Pertanian, 2012).

Pekarangan merupakan lahan disekitar rumah yang umumnya ditanami dengan beranekaragam jenis tanaman dan jika dimanfaatkan serta dipelihara secara benar dan baik akan memberikan pendapatan dan bermanfaat.Pemanfaatan pekarangan dengan tanaman produktif seperti tanaman hortikultura (tanaman buah-buahan,sayur-sayuran, dan tanaman obat-obatan) memberikan keuntungan yang berlipat ganda. Selain dapat memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga sendiri, juga berpeluang meningkatkan penghasilan rumah tangga, apabila dirancang dengan baik. Upaya tersebut ialah memanfaatkan pekarangan yang dikelola oleh keluarga (Sinartani, 2011)

Rumah pangan lestari adalah rumah yang pekarangannya dimanfaatkan secara intensif, ramah lingkungan dan berkelanjutan, dengan mengacu empat prinsip ketahanan dan kemandirian pangan, diversifikasi pangan dengan berbasis sumber pangan lokal, konservasi sumberdaya genetik, dan upaya lestari melalui kebun bibit desa, menujupeningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani/masyarakat(Anonimus, 2012).

Pembangunan pertanian berwawasan pekarangan perlu mendapatkan prioritas, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa potensi sumberdaya lahan pekarangan di Indonesia tersedia sangat luas tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Intensifikasi pekarangan dimaksudkan sebagai usaha mengoptimalkan pemanfaatan lahan pekarangan serta tenaga keluarga. Salah satu komoditas yang dapat dikembangkan dalam usaha intensifikasi pekarangan adalah tanaman sayuran. Dengan adanya peningkatan produksi sayuran diharapkan kebutuhan gizi dan kesehatan masyarakat juga meningkat, khususnya masyarakat di pedesaan Selain itu lahan pekarangan dapat dijadikan sarana bisnis sayuran untuk meningkatkan pendapatan keluarga(Rukmana, R.2005).

Pendapatan usaha tani yaitu selisih antara total penerimaan dengan total biaya. Sedangkan penerimaan usaha tani adalah produksi dikalikan dengan harga produksi (wwwicalpolekegi.blogspot.co.id/2011/12/ilmuusatani.htp). Tujuan dari penelitian ini adalah untukmenganalisis tingkat pendapatan keluarga dalam usahatani di lahan pekarangan melalui pendampingan kawasan rumah pangan lestari di Kabupaten Sleman.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Sleman meliputi tiga Desa yakni: (1) Desa Wukirsari Kecamatan Cangkringan; (2) Desa Margo Agung Kecamatan Seyegan dan Desa Wukirharjo Kecamatan Prambanan. Ke tiga desa tersebut merupakan desa pendampingan kawasan rumah pangan lestari di Kabupaten Sleman oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta Tahun 2015. Metode yang digunakan adalah suvei dengan menggunakan kuiseoner terstruktur yang melibatkan 3 kelompok Wanita Tani. Petani dipilih secara sengaja yaitu ke tigaanggota kelompok wanita, Pengamatan yang dilakukan terhadap pendapatan petani dari program kawasan rumah pangan lestari meliputi berapa jumlah rumah tangga yang mengikuti program KRPL, pendapatan dari kebun bibit desa (KBD): data produksi komoditas sayuran dan buah yang ditanam responden, harga jual, pengeluaran untuk usahatani komoditas yang ditanam, dan pendapatan rumah tangga tangga. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara dan observasi lapangan dengan jumlah responden sebanyak 30 orang. Data dianalisis menggunakan diskriptif dan analisis usahatani secara sederhana (Rusastro, I.W, 2004); wwwicalpolekegi.blogspot.co.id/2011/12/ilmu-usahatani.htm; dengan rumus sebagai berikut :

Penerimaan usaha tani (Revinue)= P X HP

dimana P = Produksi

HP = Harga Produksi

Sedangkan C = total cost (biaya yang dikeluarkan)

Page 129: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

113

Pendapatan usaha tani yaitu selisih antara total penerimaan dengan total biaya, dengan rumus sebagai berikut :r = TR – TC

dimana r = Pendapatan

TR= Total Revenue (Total penerimaan) diperoleh dari P X HP

TC = Total cost (Total biaya) dari semua biaya

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebelum melakukan analisis pendapatan, perlu diketahui karakteristik wilayah lokasi kegiatan, nama kelompok, perkembaqngan jumlah Rumah pangan lestari (RPL) yang terlibat

1. Karakteristik wilayah lokasi pengkajian : Luas wilayah Kabupaten Sleman 574,82 km2 dan memiliki luas pekarangan lebih dari 18 ribu

hektar yang tersebar di 17 kecamatan (BPS Kabupaten Sleman, 2008). Berdasarkan data statistik Kabupaten Sleman, 2008 bahwa wilayah Kabupaten Sleman terletak pada ketinggian tempat 100 mdpl – 2500 m dari permukaan laut (dpl), dengan rata-rata curah hujan 22,8 mm/bulan, kelembaban 73,0 – 86,0 % dan temperatur udara 25,5

0 C – 27,5

0 C.

Nama kelompok tani, wilayah dan Koordinat lokasi pendampingan tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Nama kelompok tani, wilayah dan Koordinat Lokasi Pendampingan di Kabupaten Sleman 2015

No Kecamatan/ Desa/ Kelurahan Tinggi Tempat (m dpl)

Letak geografis

Garis Bujur Garis Lintang Selatan

1. KWT Tani Mulyo Raharjo dan Kelompok Tani Margo Mulyo di Dusun Cancangan, Desa Wukirsari, Kec. Cangkringan, Sleman

567 110º 26´ 7º 39´

2 KWT “Makmur Lestari”, Dusun Watukangsi, Desa Margo Agung Kec.seyegan, Sleman

196 110º 25.6´ 7 º 45.1´

3 KWT Sekar Arum, Dusun Watukangsi, Desa Wukirharjo Kec. Prambanan, Sleman

227 110º 32´ 7 º 49´

Sumber analisis data primer 2015

Pada Tabel 1. Menunjukkan bahwa Letak wilayah dan kebun bibit desa di Wukirharjo dan Margo Agung termasuk dataran rendah < 400 m dpl dan di Desa Wukirsari termasuk wilayah dataran medium (567 m dpl). Menurut (Sohat, 2004) bahwa wilayah yang memiliki ketinggian tempat 0 – <400 m dpl digolongkan dataran rendah; 400 - 750 m dpl digolongkan dataran medium dan wilayah yang memiliki ketinggian tempat > 750 m dpl digolongkan dataran tinggi. Sayuran yang tumbuh baik pada dataran rendah sampai datatan tinggi (bayam, cabai merah, cabai rawit, kangkung, slada, sledri, terong, timun dan tomat). Sayuran yang tumbuh baik pada dataran medium sampai tinggi (bawang putih, brokoli, bunga kol, kobis). Tanaman empon-empon (jahe emprit, jahe gajah dan jahe merah) tumbuh baik pada ketinggian tempat rendah sampai medium (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009)

2. Perkembangan KRPL Perkembangan KRPL meningkat dari awal kegiatan Perkembangan keluarga yang mengikuti

kegiatan KRPL tertera pada Tabel 2. Pada tabel 2 menunjukan bahwa jumlah keluarga yang mengikuti KRPL betambah, setiap desa pada awal kegiatan hanya 20 KK, pada akhir kegiatan menjadi 65 KK (Desa Wukirsari), 50 KK (Desa Margo Agung) dan 35 KK (Desa Wukirharjo). Pada tahun 2016 ini, meskipun sudah tidak kami dampingi, kegiatan KRPL tersebut masih berjalan. Kegiatan apabila dirasakan oleh masyarakat itu bermanfaat dan meningkatkan pendapatan kegiatan tersebut akan tetap berjalan. Peningkatan jumlah KK diindikasikan bahwa kegiatan tersebut mampu memberikan manfaat bagi petani sehingga kegiatan KRPLdapat berjalan. Menurut (BB2TP, 2014) meliputi tiga aspek yaitu kebun bibit desa, kawasan rumah pangan dan kelembagaan. Jika penilaian dari ke tiga aspek (KBD, kawasan pangan dan kelembagaan) total nilai > 250 (program KRPL berlanjut). Jika total nilai 150-250 (program KRPL berlanjut tetapi tersendat) dan total nilai 100 – 150 (program KRPL tidak berlanjut). Selanjutnya Murwati dan Wiendarti Indri Werdhany (2016) menyatakan bahwa kegiatan KRPL di Desa Wukirsari mempunyai total nilai 253, Desa Margo Agung total nilai 272 dan Desa

Page 130: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

114

Wukirharjo total nilai 274. Dengan total nilai > 250 berarti kegiatan ke tiga desa tersebut masih berlanjut/ masih berjalan.

Tabel 2. Perkembangan keluarga yang mengikuti KRPL 2015

No Lokasi/ Desa Jumlah KK/awal Jumlah KK akhir kegiatan

1. Wukirsari 20 65 2. Margo Agung 20 50 3. Wukirharjo 20 35

Jumlah 60 150

Sumber analisis data primer2015

3. Pendapatan KRPL Pendapatan KRPL diperoleh dari tanaman sayuran seperti tomat, cabai, terong, dan lain-lain. Disamping sayuran ada buah pepaya, jahe tergantung spesifik lokasi. Tanaman yang merupakan wajib ditanam adalah tanaman terong, tomat dan cabai. Pendapatan ini didukung juga oleh pendapatan dari kebun bibit desa (KBD). Petani yang menanam cabai di sawah, sebagian besar membeli bibit di KBD, karena tahu bahwa bibit di KBD itu merupakan bibit sehat, yang ditandai bahwa bibit jika ditanam di lahan sawah kurang terserang penyakit.

3.1. Kawasan Rumah Pangan Lestari di Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.

Analisis pendapatan KRPL di Desa Wukirsari tertera pada Tabel 3 dan Analisis Pendapatan

KBD tertera Tabel 4.Pada tabel 3. Menunjukkan bahwa analisis pendapatan di kawasan Rumah pangan lestari (KRPL) di Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman pada tahun 2015 sebesar Rp 21.532-500,-

Tabel 3. Analisis pendapatan KRPLdi Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman Tahun2015

No Komoditas Hsl/kg Jumlah RPL Jml prod (kg)

Harga satuan (Rp)

Penerimaan (Rp)

Biaya (Rp) Pendapatan (Rp)

1 Tomat 6 65 390 7.500 2.925.000 130.000 2795.000 2 Cabai Merah 5 65 325 12.500 4.0625.00 325.000 3.737.500 3 Terong 16 65 1040 4.000 4.160.000 325.000 3.835.000 4 Bawang daun 10 65 650 8.000 5.200.000 195.000 5.005.000 5 Stroberi phn 1 60 15.000 900.000 150.000 750.000 6 Sawi 5 65 325 5.000 1.625.000 325.000 1300.000. 7 Sledri 2 65 130 12.000 1.560.000 325/000 1.235.000 8 Bawang putih 2 1 2 20.000 40.000 5000 35.000 9 Cabe Rawit 6 65 390 7.500 2.925.000 325.000 2.600.000 10 Kobis 3 30 90 3.500 315.000 75.000 240.000

Total 23..712500 218000 21.532.500

Sumber analisis data primer 2015

Masing-masing tanaman mempunyai umur yang berbeda seperti tomat, cabai, terong, loncang, bawang putih, kobis dalam satu tahun ditanam 2-3 kali, karena umur tanaman 3-5 bulan. Jika Sawi yang ditanam dalam satu tahun 7-8 kali tanam, karena umur tanaman hanya 1 bulan, tanaman sudah dipanen. Selain pendapatan yang berasal dari tanaman sekitar, petani juga memperoleh pendapatan dari KBD yang tertera pada Tabel 4.Pendapatan di KBD Desa Wukirsari sebesar Rp 2.927.500,-Pendapatan tertinggi dari hasil penjualan buah pepaya dan diikuti hasil penjualan bibit cabai. Komoditas kangkung juga disenangi oleh masyarakat yang rasanya manis, dan jika digigit itu renyah apabila masaknya optimal. Tanaman kangkung Varietas Sutera dari Badan litbang Pertanian memberikan hasil yang baik bagi petani

Page 131: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

115

Tabel 4. Analisis pendapatan KBD di Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman 2015

No Jenis

Komoditas Hasil

(kg/ikat) Harga satuan

(Rp) Penerimaan

(Rp) Biaya (Rp)

Pendapatan (Rp)

1 Cabe Rawit 10 7500 75.0000 20.000 55.000

2 Bawang Merah 2 15000 30.000

5.000

25.000

3 Jahe 12 20000 240.000 30,000 210.000 4 Bayam 75 ikt 1500 112.500 5.000 107.500 .5 Cabe Merah 15 12.500 187.500 75.000 112.500

6 Kacang panjang 7 5000 35000

10.000

25.000

7 Kangkung 50 ikt 500 25000 10.000 15.000 8 Terong 4 15000 60000 10.000 50.000 9 Tomat 7 7500 52500 35.000 17.500 10 Pepaya 104 15000/bh 1.560.000 50.000 1.510.000

11

Penjualan Bibit/benih cabai 10.000 120 1.200.000

400.000

800.000

Total 3.5775.00 650.000 2.927.500

Sumber analisis data primer2015

3.2. Kawasan Rumah Pangan Lestari di Desa Margo Agung, Kecamatan Seyegan , Kabupaten Sleman

Analisis pendapatan KRPL di Desa Margo Agung tertera pada Tabel 5 dan Analisis pendapatan dari KBD tertera Tabel 6.

Tabel 5. Analisis pendapatan KRPL di Desa Margo Agung, Sleman 2015

No Jenis Komoditas

Hasil /kg

Jumlah RPL

Produksi (kg)

Harga satuan (Rp)

Penerimaan (Rp)

Biaya (Rp)

Pendapatan (Rp)

1 Tomat 1 50 50 3500 175.000 125.000 50.000 2 Cabe 1 50 50 7500 375.000 125.000 250.000 3 Terung 6 50 300 3000 900.000 100000 800.000

4 Bawang daun 2 50

100 8000 800.000

125.000

675.000

5 Sawi 6 50 300 3000 900.000 50.000 850.000

6 Cabe rawit 4 50 200 4500 900.000

50.000

850.000

Total 4.050.000 575.000 3.475.000

Sumber analisis data primer2015

Pada Tabel 5. Menunjukkan bahwa analisis pendapatan KRPL di Desa Margo Agung Kecamatan Seyegan Kabupaten Sleman sebesar Rp 3.475.000,. -Hasil penjualan terbesar diperoleh dari komoditas cabai rawit dan sawi.

Tabel 6. Analisis pendapatan KBD di Desa Margo Agung, Sleman.2015

No Jenis komoditas Hasil (kg/ikt) Harga (Rp)

Penerimaan (Rp)

Biaya (Rp) Pendapatan (Rp)

1 Cabe Rawit 10 7500 75000 10.000 65.000 2 Bawang Merah 4 15000 60000 10.000 50.000 3 Jahe 12 10000 120000 15,000 105.000 4 Bayam 120 ikat 1500 180.000 10,000 170.000 5 Cabe Merah 12 7500 90000 15,000 75.000 6 Kacang panjang 10 3500 35000 10.000 25.000 7 Kangkung 50/ikt 1000 50000 10.000 40.000 8 Terong 30 5000 150000 15,000 135.000 9 Tomat 7 2500 17500 15.000 2500 10 Jual Bibit 3000 bibit 120 36000 100.000 260.000

Total 1.137.500 210.000 927.500

Sumber analisis data primer2015

Page 132: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

116

Tabel 6 menunjukkan bahwa analisis pendapatan dari KBD di Desa Margo Agung, Kecamatan Seyegan, Sleman sebesar Rp 927.500,-

3.3. Kawasan Rumah Pangan Lestari di Desa Wukirharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman

Analisis pendapatan KRPL di Desa Wukirharjo tertera pada Tabel 7 dan Analisis pendapatani KBD tertera Tabel 8. Pada Tabel 7. Menunjukkan bahwa, pendapatan terbesar pada tanaman jahe. Lokasi ini pada tahun 2015 mendapat juara pertama tingkat propinsi Daerah istimewa Yogyakarta (DIY), dalam mengembangkan tanaman toga, khususnya tanaman jahe.

Tabel 7. Analisis pendapatan KRPLdi Desa Wukirharjo dari komoditas, produksi, jumlah, harga tahun 2015

No Komoditas Rata2 Hasil (Kg)

Jumlah RPl/ KK

Jumlah produksi

Harga satuan (Rp)

Penerimaan (Rp)

Biaya (Rp)

Pendapatan (Rp)

1 Bayam 8 35 280 3000 840.000 175.000 665.000 2 Kangkung 10 35 350 3000 1.050.000 175.000 875.000 3 Cabai 1 35 35 16000 560.000 175.000 385.000 4 Terong 12 35 420 4000 1.680.000 175.000 1505.000 5 Bawang daun 4 35 140 8000 1.120.000 175.000 945.000 6 Tomat 2 35 70 5000 350.000 175.000 175.000 7 Jahe 10 35 350 15000 5.250.000 1.050.000 4,200.000 8 Kunyit 2 35 70 5000 350.000 175.000 175.000 9 Kencur 1,5 35 52,5 10000 525.000 175.000 350.000

Total 11.725.000 2.450.000 9.275.000

Sumber analisis data primer2015

Hasil analisis KBD di Desa Wukirharjo terbesar dari hasil penjualan Timun.. Jenis timun yang ditanaman Varietas Timun Mars yang merupakan varietas dari Badan Litbang Pertanian yang memberikan pendapatan dari KBD 21% dari total pendapatan KBD

Tabel 8. Analisis pendapatan KBD Desa WukirharjoTahun 2015

No

Komoditas

Produksi (Kg/Ikat)

Harga (Rp)

Penerimaan (Rp)

Biaya (Rp) Jumlah Pendapatan

(Rp)

1 Kangkung 500 500 250000 25.000 225.,000 2 Cabe merah 4 16000 64000 50.000 14.000 3 Kacang panjang 5 3000 15000 5.000 10.000 4 Sawi 10 7500 75.000 10.000 65.000 5 Timun 20 8500 170.000 20.000 150.000 6 Bayam 100 2000 200.000 25.000 175.000 7 Jahe 5 15000 75000 5.000 70.000

Total 849.000 140.000 709.000

Sumber analisis data primer2015

Hasil tertinggi dari KBD di Desa Wukirharjo adalah kangkung Varietas Sutra dari Badan Litbang Pertanian yakni sebesar Rp 225,000,- memberikan pwndaptan 31,7% dari total pendapatan KBD. Pendapatan ke tiga desa KRPL yang tertinggi adalah KRPL Desa Wukirsari Rp 21.532.500,- hal ini disebabkan karena komoditas yang ditanam adalah komoditas yang tumbuh baik pada dataran medium (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009)yang umumnya tanaman dataran medium harganya lebih menjanjikan seperti bawang daun, dan stroberi. Selanjutnya pendapatan diikuti oleh KRPL Wukirhajo Rp 9.275.000,-,karena KRPL Wukirharjo mempunyai komoditas andalan yaitu toga (jahe emprit, dan jahe merah). KRPL Wukirharjo ini8 menjadi juara satu tingkat provinsi di Daerah istimewa Yogyakarta pada tahun 2015 (Murwati, dkk, 2015). Sedangkan pendapatan terendah KRPL .Margo Agung Rp 3.475.000,-, karena komoditas yang diusahakan tidak spesifik yakni komoditas yang diusahakan mempunyai penyebaran tumbuh yang sangat luas di dataran rendah sampai tinggi seperti bayam, sawi, cabai, terong (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009), dan ada tanaman bawang daun tumbuh tetapi pertumbuhannya kurang optimal.

Page 133: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

117

Pendapatan dari ke tiga KBD yang tertinggi adalah Desa Wukirsari Rp 2.927.500,- karena ada kerja sama dengan petani yang menanam cabai di sawah. Selanjutnya pendapatan KBD diikuti Desa Margo Agung (Rp 927.500,- . KBD Margo Agung juga menjual bibit cabai merah pada petani sawah, tetapi belum optimal. Pendapatan KBD terendah di Desa Wukirharjo Rp 709.000,-karena beluam ada kerjasama dengan petani yang menanam cabai di sawah (Murwati, dkk,2015).

KESIMPULAN

Hasil analisis pendapatan pendampingan kawasan rumah pangan lestari (KRPL) ke tiga desa di Kabupaten Sleman, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Rumah pangan lestari (RPL) di tiga desa memberikan pendapatan rumah tangga yang bervariasi yaitu Wukirsari mencapai Rp 21.532.500,- diikuti Rp Wukirharjo Rp.9.275.000,- dan terendah DesaMargo Agung sebesar Rp.3.475.000,-

2. Sementara itu pendapatan dari kebun bibit desa (KBD) yang terbesar di Desa Wukirsari sebesar Rp 2.927.500 diikuti Margo Agung Rp.927.500 dan Desa Wukirharjo Rp 709.000,-

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapkan terimakasaih kami sampaikan kepada tim KRPL kabupaten Sleman : Sutarno SST, Heri Basuki SST, dan Charisnalia Setyowati SP. Selanjutnya kami ucapkan terimakasih kepada ke tiga kelompoktani: KWT Mulyo Raharjo di Desa Wukirsari, KWT Makmur Lestari di Desa Margo Agung dan KWT Sekar Arum di Desa Wukirharjo serta Kepala Desa Wukirsari, Margo Agung dan Wukirharjo yang telah mendukung kegiatan KRPL di Kabupaten Sleman.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 2012. Petunjuk pelaksanaan model kawasan rumah pangan lestari, Balai Besar Penelitian dan PengkajianTeknologi pertanian. Badan Litbang Pertanian,Bogor.

Badan Litbang Pertanian. 2012. Pengembangan kawasan rumah pangan lestari. BadanLitbang Pertanian,Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2008. Slemandalam angka. Sleman.

BBP2TP. 2014. Kuiseioner mapping klaster kawasan rumah pangan lestari. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP). Bogor.

Direktorat Jenderal Hortikultura.2009. Vademekum budidaya dan usaha tanaman sayuran dan biofarmaka. Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran Dan Biofarmaka, Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian. Jakarta.

Murwati dan Wiendarti Indri Werdhany. 2016. Titikpointkeberlanjutanprogram kawasanrumahpanganlestari (KRPL) di Sleman. Makalah disampaikan pada seminar nasional di Universitas Sebelas Maret Surakarta, 27 April 2016.

Murwati, Sutardi dan Sutarno. 2015. Evaluasi KRPL Kabupaten Sleman. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta.

Rukmana, R. 2005. Bertanam sayuran di pekarangan. PenerbitKanisius. Yogyakarta.

Rusastro,I.W. 2004. Analisis ekonomi usahatani dan kelayakan Finansiil teknologi pada skala pengkajian pelatihan analisis finansial dan ekonomi bagi pengembangan sistem agribibnis wilayah 29 Nopember-9 Desember 2004.

Sinar Tani, 2011. Melongok kawasan rumah pangan lestari di Pacitan. Edisi 3425. Oktober 2011.

Sohat J., 2004. Buletin pengembangan dan UML, kentang dataran medium Balitsa.Badan Litbang Pertanian. Lembang- Jawa Barat.

http://icalpolekegi.blogspot.co.id/2011/12/ilmu-usahatani.htm. Ilmu Usahatani. ical pole kegiatan mari berkreasi dengan alam sekitar dengan partisipasi kreatifitas , jumat 02 Desember 2011, diunduh 23 Oktober 2016.

Page 134: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

118

TINGKAT PARTISIPASI ANGGOTA KELOMPOK WANITA TANI (KWT) DALAM PROGRAM MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (M-KRPL) DI DESA

CAMPANG, KECAMATAN GISTING, KABUPATEN TANGGAMUS

PARITICIPATION LEVEL MEMBERS OF KWT IN M-KRPL AT CAMPANG VILLAGE, GISTING DISTRICT, TAGGAMUS REGENCY

Nasriati1 dan Siswani Dwi Daliani

2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung

2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu.

Jl. Hi. Za. Pagar Alam No.1A Rajabasa Bandar Lampung 35145 e-mail : bptp [email protected]

ABSTRAK

Dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan,pemerintah berupaya menggerakkan kembali budaya menanam dilahan pekarangan, baik diperkotaan maupun dipedesaan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi tingkat partisipasi anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) dalam program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus pada bulan Nopember 2015. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan lokasi tersebut sebagai lokasi M-KRPL sejak tahun 2013. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey melalui wawancara pada anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) peserta M-KRPL, jumlah sampel sebanyak 22 responden. Metode pengambilan sampel menggunakan Simple Random Sampling. Data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder, data primer diperoleh melalui wawancara langsung pada anggota KWT peserta program M-KRPL dengan menggunakan kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur yang ada. Data yang dikumpulkan meliputi: karakteristik responden, Partisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil, dan evaluasi program kRPL serta permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program KRPL. Analisis data tingkat partisipasi menggunakan metode deskriptif. Sementara data tingkat partisipasi anggota diukur menggunakan skala ordinal yang berpedoman pada Skala Likert. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi secara keseluruhan berada pada kategori tinggi, mulai dari tahap perencanaan sampai dengan evaluasi dengan persentase diatas 50 %. Diketahui bahwa persentase tertinggi ada pada tingkat partisipasi dalam tahap perencanaan yaitu 86,36 %, yang diikuti tingkat partisipasi tahap evaluasi dengan persentase 77,73%. Sementara tingkat partisipasi pada tahap pelaksanaan dan pemanfaatan dengan persentase sebesar 72,27%.

Kata kunci: Partisipasi, program KRPL

ABSTRACT

In order to achieve food self-sufficiency, the government is attempting to reestablish a culture plant grounds in urban and rural areas.This research aims to (1) identify the level of participation of members of Women Farmers Group “Kelompok Wanita Tani” (KWT) in Regions model program Sustainable Food House “Model Kawasan Rumah Pangan Lestari” (M-KRPL) in Campang Village, Gisting district, Tanggamus in November, 2015. The choice of location made intentionally (purposive sampling), with consideration of the location as the location of the M-KRPL since 2013.The method used is survey by interviewing the members of the Group of Women Farmers “Kelompok Wanita Tani” (KWT) participants M-KRPL, the total sample of 22 respondents. The sampling method using Simple Random Sampling. The data collected are primary data and secondary data, primary data obtained through direct interviews with KWT members M-KRPL program participants using questionnaires, while the secondary data obtained from the existing literature. Data collected include: characteristics of respondents, participation in planning, implementation, product utilization, and evaluation of KRPL programs and problems encountered in the implementation of the KRPL programs.Participation level data analysis using descriptive methods. While the data level of member participation is measured using the ordinal scale based on the Likert Scale. It can be concluded that the overall level of participation at the high category, starting from the planning phase to the evaluation at high category with a percentage above 50%. It is known that the highest percentage is in the level of participation in the planning stages, namely 86.36%, followed by the level of participation of the evaluation stage with a percentage of 77.27%. While the level of participation at the stage of implementation and utilization by the same percentage amounted to 72.73%.

Keywords: Participation, KRPL programs

Page 135: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

119

PENDAHULUAN

Kementerian Pertanian melalui Badan Litbang Pertanian telah menyusun konsep yang disebut” Kawasan Rumah Pangan Lestari” yang dibangun dari Rumah Pangan Lestari (RPL) dengan prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga serta peningkatan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkankesejahteraan melalui partisipasi masyarakat. Konsep ketahanan pangan selalu identik dengan ukuran kemandirian pangan, yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan (nasional/kawasan) secara mandiri dengan memberdayakan modal manusia, sosial dan ekonomi yang berdampak pada peningkatan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat/petani.Kemandirian pangan hanya dapat terwujud jika pembangunan /penumbuhan dilaksanakan atas dasar prakarsa (partisipasi aktif) manyarakat sendiri sebagai bentuk kesadaran untuk membangun ketahanan pangan yang handal.

Dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan, pemerintah berupaya menggerakkan kembali budaya menanam di lahan pekarangan, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Untuk menjaga keberlanjutannya, pemanfaatan pekarangan dalam konsep Model KRPL dilengkapi dengan kelembagaan Kebun Bibit Desa, unit pengolahan serta pemasaran (Laporan Tahunan Pendampingan Kawasan Rumah Pangan Lestari, 2015)

Prinsip utama pengembangan KRPL adalah : (1) memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari; (2) meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pekarangan diperkotaan maupun di perdesaan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran dan tanaman obat keluarga (toga), pemeliharaan ternak dan ikan, serta pengolahan limbah rumah tangga menjadi kompos; (3) mengembangkan sumber benih/bibit untuk menjaga keberlajutan pemanfaatan pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal untuk masa depan, serta (4) mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri(Anonimousa, 2011). Lampung memiliki luas lahan pekarangan sekitar 239.386 ha atau 6,78 % dari luas lahan pertanian yang dapat dijadikan sebagai sumber potensial penyedia bahan pangan yang bernilai gizi dan nilai ekonomi tinggi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung, pada tahun 2011 telah melakukan uji coba pengembangan Model - KRPL di 2 Kabupaten, kemudian pada tahun 2012 ujicoba dilakukan di 10 Kabupaten dari 14 Kabupaten/Kota yang ada di Lampung dan pada tahun 2013 pengembangan dilakukan pada seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung, termasuk salah satunya Kabupaten Tanggamus, tepatnya Desa Campang, Kecamatan Gisting, dengan melibatkan Kelompok Wanita Tani (KWT) Srikandi yang dibantu seorang penyuluh pendamping setempat.

Program KRPL merupakan wujud dari pembangunan yang bersifat partisipatif dikarenakan masyarakat diikutsertakan dalam proses pembangunan sehingga masyarakat dapat ikut andil sebagai subjek pembangunan. Partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana keputusan tersebut dilakukan; keterlibatan mereka dalam pelaksanaan program dan keputusan dengan menyumbangkan berbagai sumber daya atau kerjasama dalam organisasi kegiatan yang lebih spesifik; mereka berbagi manfaat dalam program pembangunan; keterlibatan mereka dalam upaya untuk mengevaluasi program. Secara keseluruhan, keempat jenis keterlibatan mencakup sebagian besar yang biasa disebut dengan partisipasi dalam kegiatan pembangunan pedesaan.Indikator keberhasilan dari program ini adalah selain diterapkannya KRPL oleh rumah tangga kooperator, juga diharapkan percontohan ini sebagai media percepatan diseminasi, sehingga M-KRPL dapat berkembang meluas secara cepat dan berjalan secara

kontinyu( Siswani 2013).Melalui program ini diharapkan dapat memberikan hasil yang memuaskan dan mencapai kesejahteraan masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi tingkat partisipasi anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) dalam program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus.

Page 136: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

120

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus pada bulan Nopember 2015. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan lokasi tersebut sebagai lokasi M-KRPL sejak tahun 2013. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey melalui wawancara pada anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) peserta M-KRPL, jumlah sampel sebanyak 22 responden. Metode pengambilan sampel menggunakan Simple Random Sampling. Data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder, data primer diperoleh melalui wawancara langsung pada anggota KWT peserta program M-KRPL dengan menggunakan kuesioner, sedangkan da sekunder diperoleh dari literatur yang ada. Data yang dikumpulkan meliputi: karakteristik responden, Partisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil, dan evaluasi program kRPL serta permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program KRPL.Analisis data tingkat partisipasi dan permasalahan yang dihadapi dalam berpartisipasi menggunakan metode deskriptif, yang merupakan suatu metode dalam menganalisa dan menjabarkan data-data penelitian dengan teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan guna menjawab masalah dan dapat menarik kesimpulan yang disajikan. Sementara data tingkat partisipasi anggota diukur menggunakan skala ordinal yang berpedoman pada Skala Likert.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Kelompok Wanita Tani (KWT) Srikandi di Desa Campang, Kecamatan Gisting merupakan salah satu lokasi program M-KRPL sejak tahun 2013, sebagian besar anggota (100 %) suku jawa). Dari hasil wawancara diketahui karakteristik petani sampel, disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Responden KWT Srikandi, Desa Campang.

Uraian Kisaran Rata-rata Umur (th) 28-50 42,36 Pendidikan (th) 6-17 10,18 Jumlah Tanggungan Keluarga (orang) 2-6 4,2 Luas pekarangan (m2) 12 – 720 196,2 Lama menjadi anggota kelompok (tahun) 3-10 5,59 Pendapatan 480.000-7.500.000 1.907.727

Sumber: Analisis data primer, 2016

Umur

Umur sangat berkaitan dengan kemampuan fisik seseorang dalam kegiatan usaha, pengalaman berusaha dan pengambilan keputusan terhadap suatu kegiatan yang menyangkut dirinya, yang tentunya berpengaruh terhadap pendapatan keluarga. Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa umur rata-rata anggota KWT Srikandi (kooperator MKRPL) Desa Campang 42,36 tahun, berada pada kisaran 28-50 tahun termasuk dalam golongan umur produktif. Menurut Simanjuntak dalam Yasin (2003) penduduk yang memiliki umur berada 15-54 tahun berada pada kisaran produktif, sedangkan umur 0-14 tahun termasuk ke dalam golongan umur tidak produktif. Dengan demikian diperkirakan kooperator memiliki kemauan dan kemampuan yang cukup dalam menyikapi tujuan program.

Pendidikan

Tingkat pendidikan formal merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan berpikir, kreatifitas dan efisiensi serta keefektifan seseorang dalam berusahatani. dan Kualitas sumberdaya yang tinggi dapat ditentukan dengan tingkat pendidikan yang diperoleh seseorang. Pada Tabel 1, menunjukkan bahwa pendidikan rata-rata responden pada anggota KWT Srikandi sekitar 10,18 tahun ( setingkat SMP) sebanyak 36, 36 % yang diikuti dengan pendidikan SD (27,27 %) dan yang berpendidikan SLTA dan S1 dengan persentase yang sama yaitu 18,18 %. Distribusi tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 2.

Page 137: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

121

Tabel 2. Distribusi responden anggota KWT Srikandi berdasarkan tingkatPendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 Tamat SD 6 27,27 2 Tamat SMP 8 36,36 3 Tamat SMA 4 18,18 4 Sarjana (S1) 4 18,18

Jumah 22 100

Sumber: Analisis data primer, 2016

Jumlah tanggungan keluarga

Jumlah tanggungan keluarga dalam suatu keluarga merupakan beban keluarga dalam penyediaan segala kebutuhan hidup, tetapi disisi lain merupakan sumber tenaga kerja untuk melaksanakan kegiatan usaha yang berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Semakin banyak anggota keluarga yang ditanggung akan semakin banyak pengeluaran yang harus dipenuhi.Pada Tabel 1 dapat dilihat, jumlah tanggungan keluarga KWT Srikandi kooperator MKRPL Desa Campang rata-rata 4,2 jiwa berada pada kisaran 2-6 jiwa.

Lama Menjadi Anggota Kelompok

Anggota KWT Srikandi Desa Campang sebagain besar (54,54 %) berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Pengalaman usahatani sudah mereka miliki semenjak mereka bergabung menjadi kooperator program M-KRPL, bahkan sebagian anggota KWT sebelumnya terbiasa berusahatani membantu suami mereka. Pada Tabel 1 menunjukkan rata-rata responden telah menjadi anggota kelompok 5,59 tahun berada pada kisaran 3-10 tahun. Dengan demikian berarti sebagian besar responden menjadi anggota kelompok sejak berdirinya KWT Srikandi yaitu pada tahun 2009 dan sebagian kecil ada yang sudah menjadi anggota KWT sebelum berdirinya KWT Srikandi.

Pendapatan

Pendapatan merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan rumah tangga dalam berusaha dan merupakan indikator kesejahteraan masyarakat dan pendapatan juga dapat berpengaruh pada tingkat partisipasi. Rata –rata pendapatan rumah tangga KWT Srikandi kooperator M-KRPL Desa Campang sebesar Rp. 1.907.727,- berada pada kisaran Rp. 480.000 sampai dengan Rp. 7.500.000,-

Tingkat Partisipasi Anggota KWT

Partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian kewenangan, tanggung jawab dan manfaat (Mardikanto, 2012). partisipasi juga dikemukakan oleh Slameto (1995) yang mengatakan bahwa partisipasi adalah “Pemusatan energi psikis yang tertuju pada suatu obyek, dan juga meliputi banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai sesuatu aktivitas yang sedang dilakukan”.

Juga dikatakan partisipasi adalah keikutsertaan, peranserta atau keterlibatan yang berkitan dengan keadaaan lahiriah. Prinsip partisipasi adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materi (PTO PNPM PPK, 2007). Oleh sebab itu partisipasi merupakan faktor yang paling penting dalam mendukung keberhasilan atau perkembangan suatu program.

Suatu program dalam pengembangannya maupun dalam menjalankan seluruh kegiatannya mutlak memerlukan partisipasi dari seluruh lapisan yang terdapat dalam anggota maupun instansi pendukung lainnya. Melalui partisipasi, segala aspek yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan pencapaian tujuan dapat terealisasi. Dalam penelitian ini partisipasi merujuk pada keikutsertaan anggota KWT dalam mengembangkan Kebun Bibit Desa (KBD), pemanfaatan pekarangan dengan aneka sayuran dan berperan aktif dalam mengambil keputusan serta berpartisipasi dalam menjalankan berbagai kegiatan dalam

Program M-KRPL.

Tingkat partisipasi dalam penelitian ini diwujudkan dalam bentuk perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan yang terakhir dalam bentuk evaluasi program. Uraian tingkat partisipasi anggota KWT Srikandi Desa Campang dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 138: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

122

Tabel 3. Tingkat Partisipasi Anggota KWT Srikandi dalamPerencanaan Program M -KRPL di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus

No Kategori Kisaran skor Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 Rendah 14-28 1 4,54 2 Sedang 28,1 – 42 2 9,09 3 Tinggi 42,1- 56 19 86,36

Jumlah 22 100

Sumber: Analisis data primer, 2016

Perencanaan menjadi suatu tahap awal yang secara sistematis akan menjadi pedoman bagi

keberlangsungan pelaksanaan suatu kegiatan. Melalui suatu perencanaan, semua pelaksanaan kegiatan akan berjalan terstruktur sesuai dengan rencana kerja yang telah ditetapkan bersama-sama oleh kelompok dalam perencanaan. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa tingkat partisipasi anggota KWT Srikandi dalam perencanaan program M-KRPL berada pada kategori tingi (86,36 %), pada kisaran skor 42,1-56. Kemudian sekitar 9,09 % berada pada kategori sedang dengan kisatan skor 28,1 – 42, selanjutnya 4,54 % berada pada kategori rendah, dengan kisaran skor 14-28. Skor rata-rata tingkat partisipasi anggota KWT Srikandi dalam perencanaan program M-KRPL adalah 46,41. Tingginya tingkat partisipasi dalam perencanaan ini dikarenakan sangat tinggi nya partisipasi anggota dalam hal pembentukan kelompok, menghadiri kegiatan sosialisasi program M-KRPL, penentuan lokasi Kebun Bibit Desa (KBD), jenis tanaman yang akan dikembangkan dan penentuan jadwal piket pemeliharaan KBD.

Tabel 4. Tingkat Partisipasi Anggota KWT Srikandi dalam Pelaksanaan ProgramM -KRPL di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus

No Kategori Kisaran skor Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 Rendah 17-29 1 4,54 2 Sedang 29,1 – 41 5 22,72 3 Tinggi 41,1- 53 16 72,73

Jumlah 22 100

Sumber: Analisis data primer, 2016

Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program merupakan bagian keberlanjutan dari

rencana yang telah disepakati sebelumnya, baik yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan maupun tujuan (Cohen dan Uphoff, 1979 dalam Nurjannah dkk, 2015). Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa tingkat partisipasi anggota KWT Srikandi dalam pelaksanaan program M-KRPL berada pada kategori tingi (72,73 %), pada kisaran skor 41,1-53.Kemudian sekitar 22,72% berada pada kategori sedang dengan kisatan skor 29,1 – 41, selanjutnya 4,54% berada pada kategori rendah, dengan kisaran skor 17-29. Skor rata-rata tingkat partisipasi anggota KWT Srikandi dalam pelaksanaan program M-KRPL adalah 42,18. Tingginya tingkat partisipasi dalam pelaksanaan program M-KRPL ini dikarenakan Sangat tinggi nya partisipasi anggota dalam hal pertemuan kelompok, pelatihan teknologi, gotong royong, piket di KBD, pemeliharaan tanaman yang ada di KBD, serta ikut melaksanakan kegiatan teknologi pembuatan kompos, pembuatan pestisida nabati dan penanaman sayuran di pekarangan.

Tabel 5. Tingkat Partisipasi Anggota KWT Srikandi dalam Pemanfaatan Hasil Program M -KRPL di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus

No Kategori Kisaran skor Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 Rendah 11-14 2 9,09

2 Sedang 14,1 – 17 4 18,18

3 Tinggi 17,1- 20 16 72,73

Jumlah 22 100

Sumber: Analisis data primer, 2016

Dalam setiap pelaksanaan program M-KRPL yang dicanangkan pemerintah melalui Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), maka akan diikuti dengan pemanfaatan hasil . Pada indikator pemanfaatan hasil memiliki memiliki 5 aitem pertanyaan dengan nilai rata-rata persentase 72,73 % yang masuk pada kategori tinggi dengan kisaran skor 17,1-20. Kemudian 18,18 yang masuk

Page 139: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

123

kategori sedang dengan kisaran skor 14,1 – 17. Selanjutnya 9,09 % yang masuk kategori rendah dengan kisaran skor 11-14. Skor rata-rata tingkat partisipasi anggota KWT Srikandi dalam pemanfaatan hasil program M-KRPL adalah 42,18. Tingginya tingkat partisipasi dalam pelaksanaan program M-KRPL ini dikarenakan Sangat tinggi nya partisipasi anggota dalam hal pertemuan kelompok, pelatihan teknologi, gotong royong, piket di KBD, pemeliharaan tanaman yang ada di KBD, serta ikut melaksanakan kegiatan teknologi pembuatan kompos, pembuatan pestisida nabati dan penanaman sayuran di pekarangan.Skor rata-rata tingkat partisipasi anggota KWT Srikandi dalam pelaksanaan program M-KRPL adalah 17,81. Tingginya tingkat partisipasi dalam pemanfaatan hasil program M-KRPL ini dikarenakan Sangat tinggi nya partisipasi anggota dalam hal memanfaatkan sarana dan prasarana berupa bantuan yang diberikan oleh BPTP, memanfaatkan hasil sayuran yang ditanam untuk dikonsumsi serta menikmati keindahan pekarangan yang telah ditanami aneka sayuran.

Tabel 6. Tingkat Partisipasi Anggota KWT Srikandi dalam EvaluasiProgram M –KRPLdi Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus

No Kategori Kisaran skor Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 Rendah 21-22 0 0 2 Sedang 22,1 – 23 5 22,72 3 Tinggi 23,1 – 24 17 77,27

Jumlah 22 100

Sumber: Analisis data primer, 2016

Evaluasi pelaksanaan juga merupakan suatu proses umpan balik atas kinerja anggota dalam

pelaksanaan yang telah dilakukan yang berguna untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa tingkat partisipasi anggota KWT Srikandi dalam evaluasi program M-KRPL berada pada kategori tingi (77,27 %), dengan kisaran skor 23,1-24.Kemudian sekitar 22,72 % berada pada kategori sedang dengan kisatan skor 22,1 – 23. Skor rata-rata tingkat partisipasi anggota KWT Srikandi dalam evaluasi program M-KRPL adalah 22,5.Tingginya tingkat partisipasi dalam evaluasi pelaksanaan program M-KRPL ini dikarenakan Sangat tinggi nya partisipasi anggota dalam hal bermanfaatnya program ini dalam memenuhi pangan keluarga, berdampak pada peningkatan pendapatan, berdampak pada peningkatan pengetahuan dan wawasan, mampu memperkuat kelembagaan yang ada serta menjadi tempat percontohan masyarakat sekitarnya.

KESIMPULAN

Hasil penelitian dengan judul “ Tingkat Partisipasi Anggota KWT Srikandi dalam Program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi secara keseluruhan berada pada kategori tinggi. Hal tersebut didasarkan pada tingkat partisipasi anggota KWT peserta KRPL desa Campang terhadap program KRPL, mulai dari tahap perencanaan sampai dengan evaluasi berada pada kategori tinggi diatas 50%. Persentase tertinggi ada pada tingkat perencanaan yaitu 86,36%, yang diikuti tingkat partisipasi tahap evaluasi dengan persentase 77,27% , sementara tingkat partisipasi pada tahap pelaksanaan dan pemanfaatan yaitu 72,73%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami haturkan terima kasih yang sebesarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini dari mulai pengambilan data sampai dengan pembuatan makalah ini. Kepada Bapak Kepala BP3K Kecamatan Gisting, Kabupaten tangamus, Penyuluh lapangan di desa Campang Kabupaten Tanggamus, Tak lupa kami ucapkan terima kasih juga kepada stakeholders yang telah membantu dalam pengisian data kuesioner ini, mudah- mudahan Tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

AFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002. Pedoman Umum Pemanfaatan Pekarangan. http://kambing.ui.ac.id/bebas/v12/ artikel/pangan/DEPTAN/New Folder/II/Pedum Pengembangan Pekarangan.doc.

Badan Litbang Pertanian. 2012. Pedoman Umum Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Jakarta.

Page 140: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

124

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung, 2015. Laporan Tahunan Pendampingan Kawasan Rumah Pangan Lestari. BPTP Lampung. Bandar Lampung, tahun 2015.

BPTP Jawa Tengah 2008. Penyuluh dan Penyebaran Informasi Pertanian pada daerah P4MI. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa Tengah.

Daliani. 2013.Laporan Pendampingan KRPL th 2013.

Fauzia,S.2002. Revitalisasi Fungsi Informasi dan Komunikasi serta diseminasi luaran BPTP . Makalah disampaikan pada ekspose dan seminar teknologi pertanian spesifik lokasi, 14-15 Agustus 2002 di Jakarta. Pusat penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi. Bogor.

Kementerian Pertanian. 2011. Panduan Kawasan Rumah Pangan Lestari. Jakarta.

Mardikanto, 2012. Pemberdayaan Masyarakat Alfabeta, Bandung.

Nurjannah, R. Yulida R, Sayamar, E. 2015. “Tingkat Partisipasi Anggota Kelompok Wanita Tani dalam Program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) di iak.

Page 141: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

125

PRODUKTIVITAS TERNAK KAMBING YANG DIBERI PAKAN TEPUNG LIMBAH KOPI TERFERMENTASI

PRODUCTIVITY OF GOATS THAT FED FERMENTED COFFEE WASTE FLOUR

Anak Agung Ngurah Badung Sarmuda Dinata1, Suprio Guntoro

1 dan Jhon Firison

2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali

Jl. By Pas Ngurah Rai Pesanggaran, Denpasar-Bali, Telp/Fax: 0361-720498 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Suatu penelitian dilakukan untuk mengetahui produktivitas ternak kambing yang diberi pakan tambahan tepung limbah kopi terfermentasi. Penelitian dilakukan selama 4 bulan, menggunakan 16 ekor kambing dengan rataan bobot badan awal 16,12 ± 1,03kg. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas 4 perlakuan dan 4 ulangan. Adapun perlakuan yang diberikan adalah : kambing diberi pakan hijauan sesuai dengan cara petani (P1), kambing diberi pakan hijauan + dedak padi 300 gram/ekor/hari (P2), kambing diberi pakan hijauan + tepung kulit buah kopi 300 gram/ekor/hari (P3) dan kambing diberi pakan hijauan + campuran dedak padi dengan tepung kulit buah kopi 300 gram/ekor/hari dengan perbandingan 1 : 1 (P4). Parameter yang diamati meliputi : (1) bobot badan awal, (2) bobot badan akhir, (3) pertambahan bobot badan, (4) konsumsi pakan dan (5) Feed Conversion Ratio (FCR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan kambing yang memperoleh perlakuan P2 paling tinggi yakni sebesar 53,57 gram/ekor/hari, tetapi tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan P3 dan P4. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kambing yang diberi perlakuan P3 dan P4 memiliki pertambahan bobot badan yang tidak berbeda nyata dengan kambing yang diberi perlakuan P2. Dapat direkomendasikan bahwa pemberian tepung kulit buah kopi terfermentasi sebanyak 50% dan 100% dapat digunakan sebagai pakan tambahan pengganti dedak padi.

Kata kunci : kambing, pakan, tepung kulit buah kopi

ABSTRACT

The research was conducted to determine the productivity of goats that fed fermented coffee waste flour. This research was carried out for 4 months, used 16 goats with the average body weight 16,12 ± 1,03kg. The study arranged with completely randomized design with 4 treatments and 4 replication. Treatment were goats fed with forage according to the way farmers (P1); goats fed equal to P1 + 300 grams of rice bran / head / day (P2); goats fed equal to P1 + 300 grams of fermented coffee waste flour / head / day (P3) and goats fed equal to P2 + 300 grams of fermented coffee waste flour / head / day. Parameters of initial body weight, final body weight, body weight gain, feed consumption and feed conversion ratio (FCR) were observed. The result indicated that P5 treatment was the best productivity with highest body weight gain was 53,57 grams/head/day, but was not significantly higher (P> 0.05) compared to P3 and P4 treatments. This study suggests that goats were given treatments P2 and P3 has not significant body weight gain compared to P2 treatment. It can be recommended that fed of the fermented coffee waste flour as much as 50% and 100% can be used as a supplement for substitute of rice bran.

Keywords: goats, feed, coffee waste flour

Page 142: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

126

PENDAHULUAN

Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang paling banyak dipelihara pada areal perkebunan kopi. Permintaan daging kambing di Bali semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut setiap tahun Provinsi Bali rata-rata memasukkan sebanyak 32.337 ekor kambing (Anon, 2015). Di pihak lain populasi ternak kambing mengalami penurunan 16,95% yakni dari jumlah 75.138 ekor pada tahun 2009 menjadi sekitar 62.402 ekor pada tahun 2013 (Anon, 2014). Selain itu, produktivitas ternak kambing yang dibudidayakan masih rendah sebagai akibat pemberian pakan yang hanya berupa hijauan saja.

Ketersediaan pakan ternak yang murah dan berkualitas merupakan kendala dalam pengembangan usaha peternakan, karena sekitar 60-80% dari biaya produksi diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan pakan (Hardianto et al., 2002). Untuk menghasilkan produktivitas ternak kambing yang baik, perlu disertai dengan pemberian pakan tambahan. Namun, pemberian pakan tambahan belum banyak dilakukan karena memerlukan beban biaya tambahan lagi. Pemberian pakan tambahan menurut persepsi petani akan menurunkan margin keuntungan yang diperolehnya. Dengan demikian pakan yang disediakan hendaknya selain memiliki kualitas yang baik, juga harus ekonomis agar dapat memberikan keuntungan kepada peternak.

Di sisi lain hasil pertanian dan industri pertanian menghasilkan produk limbah dan hasil ikutan dalam volume yang sangat besar dan jenis beragam (Ginting, 2004). Areal perkebunan kopi di Bali seluas 36.597 ha dengan produksi kopi sebanyak 17.317,81 ton/tahun (Anon, 2014). Buah kopi secara fisik proporsinya 51,59% terdiri dari biji dan kulit tanduk sedangkan 48,41 % kulit dan daging buah (Zaenudin et al., 1995). Berdasarkan data tersebut, maka terdapat potensi limbah kopi sebanyak 8.383,55 ton/tahun. Selama ini limbah buah kopi belum dimanfaatkan dan kebanyakan dibuang sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan disekitarnya. Padahal, kulit buah kopi berpotensi besar digunakan sebagai bahan pakan ternak ruminansia khususnya ternak kambing.

Kandungan kulit kopi berturut-turut yakni bahan kering (BK) : 91,77%, protein kasar (PK) : 11,18%, lemak kasar (LK) : 2,5%, serat kasar (SK) : 21,29% dan TDN : 57,20% (Wahyono dan Hardiyanto, 2004).Kandungan nilai energi metabolisnya 2.440 kkal/kg (Ruswendi, 2011) serta mengandung pektin sejumlah 6,52% (Murni dkk, 2008). Selain adanya potensi tersebut limbah kulit buah kopi juga memiliki beberapa kelemahan. Limbah kulit buah kopi mengandung zat anti-nutrisi kafein dan tanin (Zainuddin dan Murtisari, 1995) dan senyawa fenolik primer seperti lignin (Ginting, 2004) yang potensial pengaruhnya dalam menekan nilai manfaat nutrien di dalamnya. Namun, melalui proses fermentasi nilai gizinya dapat ditingkatkan serta zat antinutrisi yang terkandung didalamnya dapat dikurangi (Kompiang, 2000). Dengan inokulan Aspergillus niger, kadar protein daging buah kopi dapat ditingkatkan dari 9,8 % menjadi 12,43 % (Guntoroet al., 2002). Pemberian kulit buah kopi sebesar20% dapat direkomendasikan untuk menggantikan rumput sebagai pakan basal ternak kambing. (Simanihuruk dan Sirait, 2010).

Pemberian pakan tambahan berupa tepung limbah kulit buah kopi terfermentasi akan berpengaruh pada produktivitas ternak kambing. Terkait dengan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui produktivitas ternak kambing yang diberi pakan tambahan tepung limbah buah kopi terfermentasi. Hasil penelitian diharapkan akan bisa digunakan sebagai acuan dalam pemberian pakan tambahan alternatif yang lebih murah, berkualitas dan menguntungkan.

METODOLOGI

Penelitian secara in vivo dilaksanakan di Desa Sanda Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan. Kambing dipelihara selama 16 minggu dengan didahului masa pra penelitian selama 1 minggu.Ternak kambing yang digunakan adalah ternak kambing PE umur 12 bulan berjumlah 16 ekor. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas 4 perlakuan dan 4 ulangan. Adapun perlakuan yang diberikan adalah : kambing diberi pakan hijauan sesuai dengan cara petani (P1), kambing diberi pakan hijauan + dedak padi 300 gram/ekor/hari (P2), kambing diberi pakan hijauan + dedak kulit buah kopi 300 gram/ekor/hari (P3) dan kambing diberi pakan hijauan + campuran dedak padi dengan dedak kulit buah kopi 300 gram/ekor/hari dengan perbandingan 1 : 1 (P4).

Kulit buah kopi yang digunakan adalah berasal dari jenis kopi robusta berumur 5 tahun. Kulit buah kopi yang telah kering difermentasi menggunakan jamur Aspergillus niger dalam media cair. Aspergillus niger dilarutkan dengan air yang sebelumnya ditambahkan gula pasir, urea, dan NPK.

Page 143: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

127

Cairan tersebut kemudian inkubasi disertai aerasi selama 24 jam. Fermentasi limbah kulit buah kopi dilakukan di atas lantai yang dilapisi dengan beton, beratap genteng. Limbah yang telah siap difermentasi ditaburkan pada permukaan media setebal 5 – 10 cm, selanjutnya disiram dengan larutan Aspergillus niger secara merata. Penyiraman dilakukan dengan sprayer. Tumpukan bahan yang telah tersiram larutan Aspergillus niger ditaburkan lagi limbah setebal 5 – 10 cm, selanjutnya disirami larutan Aspergillus niger secara merata. Demikian seterusnya, sehingga bahan habis tertumpuk dan tersiram cairan Aspergillus niger. Tumpukan kulit kopi ditutup dengan terpal yang bersih secara rapat dan difermentasi selama 5 hari. Setelah umur 5 hari dibongkar, selanjutnya dikeringkan. Setelah kering limbah kulit buah kopi tersebut kemudian ditepungkan.

Pakan hijauan yang diberikan berupa jenis hijauan leguminosa semak dengan jumlah 10% dari bobot badan. Pakan hijauan yang diberikan pada masing-masing ternak terdiri atas jenis dan proporsi yang sama. Pemberian pakan hijauan sebanyak 50% dilakukan pada pagi hari dan 50% pada sore hari. Untuk pemberian pakan tambahan dilakukan pada pagi hari sebelum pemberian pakan hijauan. Pemberian pakan tambahan dicampur dengan air sampai membentuk pasta. Air minum diberikan pada waktu yang bersamaan dengan pemberian pakan hijauan secara ad libitum. Adapun kandungan pakan tambahan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kandungan nutrisi pakan tambahan

Nutrient (%)1)

Jenis bahan

A B C

Bahan kering 89,60 86,86 87,96 Proten kasar 9,55 10,23 9,89 Gross Energi (kcal/kg) 3581 3829 3705 Lemak 5,96 1,14 3,55 Bahan organik 85,01 92,04 88,53 Abu 14,99 7,96 11,48 Serat kasar 8,9 29,46 19,18 Kalsium (Ca) 0,88 0,42 0,65 Phospor (P) 0,9 0,12 0,51

Keterangan : 1)

Nutrien diperoleh dari hasil analisa laboratorium Balitnak Bogor A = dedak padi halus B = limbah kulit buah kopi yang difermentasi dengan Aspergillus niger C = campuran B dan C dengan perbandingan 1 : 1

Parameter yang diamati meliputi : (1) bobot badan awal, (2) bobot badan akhir, (3) pertambahan bobot badan, (4) konsumsi pakan dan (5) Feed Conversion Ratio (FCR). Pertambahan bobot badan diketahui dengan menghitung selisih antara bobot badan denganpenimbangan setiap 4 minggu sekali. Pertambahan bobot badan harian didapatkan dari hasil pengurangan bobot badan akhir dengan bobot badan awal ternak dibagi dengan lama penelitian. Konsumsi pakan dihitung mengurangi jumlah pakan yang diberi dengan sisa pakan. Untuk penentuan Feed conversion ratio (FCR) dihitung dengan membagi jumlah konsumsi pakan/ekor/hari dengan tambahan bobot badan /ekor/hari yang didapatkan selama penelitian.Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisis dengan analisa sidik ragam dengan tingkat kesalahan 1-5%. Apabila pengujian sidik ragam menunjukkan pengaruhnyata, maka pengujian diantara rataan dua perlakuan dilakukan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Kaps dan Lamberson, 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perlakuan P2 memiliki pertambahan bobot badan (PBB) paling tinggi yakni sebesar 53,57 gram/ekor/hari, tetapi tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan P3 dan P4 (Tabel 2). Data ini lebih rendah daripada yang didapatkan Guntoro et al. (2004) yang menyatakan pemberian tepung kopi yang difermentasi dengan Aspergillus niger sebanyak 100-200 gram/hari menghasilkan pertambahan bobot badan yang sangat baik (95 gram/hari).

Page 144: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

128

Tabel 2. Produktivitas ternak kambing yang diberi pakan tambahan tepung limbah buah kopi terfermentasi

Peubah1)

Perlakuan Nilai P

P1 P2 P3 P4

Bobot Badan awal (kg/ekor) 16,23 a

15,8a 16,4

a 16,03

a 0,9808

Bobot Badan akhir (kg/ekor) 19,33 a 21,8

a 21,83

a 21,37

a 0,6283

Pertambahan bobot badan (g/ekor/hari) 27,68 b 53,57

a 43,45

a 47,62

a 0,0398*

Konsumsi pakan (g/ekor/hari) 2)

509,5 b 845,4

a 715,37

ab 840,17

a 0,0163**

FCR 18,63 a 19,39

a 16,92

a 18,09

a 0,9868

Keterangan : 1)

Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata 2)

Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata

P1 : Kambing diberi pakan hijauan sesuai dengan cara petani P2 : Kambing diberi pakan hijauan + dedak padi 300 gram/ekor/hari P3 : Kambing diberi pakan hijauan + dedak kulit buah kopi 300 gram/ekor/hari P4 : Kambing diberi pakan hijauan + campuran dedak padi dengan dedak kulit buah kopi 300 gram/ekor/hari

dengan perbandingan 1 : 1

Ternak kambing yang mendapat pakan hijauan seperti cara petani belum mampu memenuhi kebutuhan ternak kambing untuk berproduksi secara optimal. Pemberian pakan tambahan sebanyak 300 gram/ekor/hari menyebabkan pakan yang tersedia menjadi lebih banyak, sehingga lebih banyak juga dapat dikonsumsi oleh ternak. Hal ini dibuktikan dengan lebih tingginya konsumsi pakan perlakuan P2 dan P4 yang sangat signifikan lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan perlakuan P1. Tingkat konsumsi pakan ruminansia dipengaruhi oleh komposisi pakan, jenis pakan, palatabiitas, ukuran tubuh, faktor fisiologis, bentuk pakan dan kapasitas rumen (Tilman et al., 1986). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pakan tambahan berupa tepung limbah kopi terfermentasi dapat digunakan sebagai pengganti dedak padi pada ternak kambing sebanyak 50 hingga 100%.

Konversi pakan adalah gambaran terhadap efisiensi penggunaan ransum. Konversi pakan merupakan pembagian antara jumlah konsumsi per hari dengan pertambahan bobot badan per hari. Paling tingginya konsumsi pakan pada perlakuan P2 menyebabkan feed convertion ratio (FCR) menjadi lebih tinggi. Pada perlakuan P4 FCR-nya masih lebih rendah dibandingkan perlakuan P1. Hal ini disebabkakan PBB-nya lebih tinggi, walupun konsumsi pakannya juga lebih tinggi. FCR paling rendah terdapat pada perlakuan P3. Meskipun PBB-nya lebih rendah, tetapi karena konsumsi pakannya lebih sedikit menyebabkan FCR pada perlakuan P3 menjadi paling rendah. Hal ini menunjukkan bahwa, kambing perlakuan P3 paling efisien dalam memanfaatkan pakan yang dikonsumsi. Kambing yang diberi ransum perlakuan P3 membutuhkan 16,92 kg pakan untuk meningkatkan 1 kg bobot badan.

Lebih rendahnya konsumsi pakan pada kambing yang memperoleh perlakuan P3 disebabkan kandungan serat kasar dalam tepung limbah buah kopi lebih tinggi. Makin tingginya kandungan serat kasar akan menyebabkan pakan memiliki sifat bulky (kemampuan mengisi) lambung lebih tinggi (sutardi, 1995). Menurut Putra (1992) ransum yang sifat bulkynya tinggi menyebabkan ternak akan makan sedikit, karena lambungnya cepat terasa penuh. Selain itu, serat kasar yang tinggi akan menghalangi proses hidrolisis oleh enzim mikroba di dalam rumen, sehingga menurunkan tingkat kecernaan (Tang et al., 2008). Rendahnya konsumsi menyebabkan jumlah pakan yang dapat dicerna semakin rendah sehingga berpengaruh pada PBB-nya lebih rendah.

Lebih rendahnya konsumsi pakan juga disebabkan adanya kandungan zat anti nutrisi di dalam kulit buah kopi. Kulit buah kopi mengandung substansi anti nutrisi seperti kafein, tanin, lignin dan senyawa polifenol (Orozco et al., 2008). Adanya tanin dan kafein menurunkan kesukaan dan palatabilitasnya bagi ternak (Mazzafera, 2002). Tandi (2010) mengemukakan tanin dapat mengikat protein membentuk ikatan kompleks protein tanin sehingga protein tersebut sukar dicerna oleh enzim protease. Tanin juga mempengaruhi metabolisme karbohidrat dengan mengikat pati sehingga sukar dicerna oleh enzim amylase. Badarina et al. (2013) melaporkan bahwa terjadi penurunan kadar lignin kulit buah kopi setelah difermentasi sebesar 31.12%, namun nilai lignin kulit buah kopi masih cukup tinggi yaitu berkisar 45.04%. Arora (1995)menyatakan bahwa pakan dengan kandungan lignin yang tinggi mempunyai palatabilitas dan nilai konsumsi yang rendah.

Pemanfaatan kulit buah kopi terfermentasi tidak menimbulkan perbedaan didalam pH rumen dan produksi N-ammonia tetapi menurunkan produksi VFA dan kecernaan (bahan kering dan bahan

Page 145: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

129

organik) (Badarina et al., 2014). Penurunan VFA total khususnya proporsi propionat dalam produk kecernaan fermentatif memungkinkan ternak kurang mampu menyediakan dan memanfaatkan energi yang cukup dalam upaya meningkatkan bobot badannya. Pakan dengan serat kasar yang lebih tinggi akan semakin lama dicerna dalam lambung. Semakin singkat pakan berada di dalam rumen akan memberikan produk kecernaan yang mengarah ke terbentuknya asam propionat yang lebih tinggi (Putra, 2006)

KESIMPULAN

1. Kambing yang diberi perlakuan P2 dan P3 memiliki pertambahan bobot badan yang tidak berbeda nyata dengan kambing yang diberi perlakuan P1.

2. Kambing yang memperoleh perlakuan P3 memiliki Feed Convertion Ratio paling rendah 3. Pemberian sebanyak 50% dan 100% dapat digunakan sebagai pakan tambahan pengganti dedak

padi

DAFTAR PUSTAKA

Anon. 2014. Bali Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.

Anon. 2015. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2015. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.

Arora, S. P. 1995. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia (2ed

). Yogyakarta : Gajah Mada University Press

Badarina, I., D. Evvyernie, T.Toharmat, E.N.Herliyana, and L.K. Darusman. 2013. Nutritive value of coffee husk fermented with as ruminant feed. Med. Pet. 36 (1): 58-63.

Badarina, I., D. Evvyernie, T.Toharmat dan E.N.Herliyana. 2014. Fermentabilitas Rumen dan Kecernaan In Vitro Ransum yang Disuplementasi Kulit Buah Kopi Produk Fermentasi Jamur Pleurotus ostreatus. Jurnal Sains Peternakan Indonesia. 9 (2) : 102-109

Ginting, S.P. 2004. Tantangan dan peluang pemanfaatan pakan lokal untuk pengembanganpeternakan kambing di Indonesia. Pros. Lokakarya Nasional Kambing Potong. Bogor, 6 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan dan Loka Penelitian Kambing Potong. hlm. 61−77.

Guntoro. S, M. Rai Yasa dan Nym Sugama. 2002. Hasil Pengkajian Pemanfaatan Limbah Perkebunan (Kakao dan Kopi) Untuk Pakan Ternak. Laporan Kegiatan kerjasama BPTP Bali dengan Bappeda Prop. Bali

Guntoro,S., M. R. Yasa, Rubiyo dan N.Suyasa.2004.Optimalisasi IntegrasiUsaha Tani Kambing DenganTanaman Kopi.Pros. SeminarNasional SistemIntergasi Tanaman-Temak. Denpasar,20-22Juli2004.Puslitbang Peternakan,BPTPBalidanCASREN. Pp 389-395

Hardianto, R. DE., Wahyono, C., Aman, Suyamto, G., Kartono dan S. R Sumarsono. 2002. Kajian Teknologi Pakan Lengkap (Complete Feed) Sebagai Peluang Agribisnis Bernilai Komersial di Perdesaan. Makalah Seminar dan ekspose Teknologi Spesifik Lokasi. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Kaps, M. and W.R. Lamberson. 2004. Biostatistic for Animal Science. CABI Publishing, Cambridge, USA.

Kompiang, I.P. 2000. Peningkatan Mutu Bahan Baku Pakan. Makalah Seminar Pengembangan teknologi Pertanian Ramah Lingkungan. 8-9 Maret 2000. IP2TP Denpasar

Mazzafera, P. 2002. Degradation of Caffeine by Microorganisms, and Potential Use of Decaffeinated Coffee Husk and Pulp in Animal Feeding. Scientia Agricola. Vol. 59. N.4 p. 815-821

Murni, R.Suparjo,dkk. 2008. Buku Ajar Teknologi Pemanfaatan Limbah Untuk Pakan. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi.

Orozco, A.L., M.I. Perez, O. Guevara, J. Rodriguez., M. Hernandez, and Gonzales-Vila. 2008. Biotechnology enhancementof coffee pulp residues by solid state fermentation with streptomyces. Py-Gel MS Analysis. J. Anal. Appl. Pyrolysis 81:247-252.

Putra, S. 1992. Evaluasi Komposisi Kimia dan Tingkat Konsumsi 16 Provenance Gamal (Gliricidia sepium) yang Ditanam Pada Lahan Kering di Bali. Tesis, Fakultas Peternakan. Bogor : Institut Pertanian Bogor

Page 146: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

130

Putra, S. 2006. Pengaruh Suplementasi Agensia Defaunasi dan Waktu Inkubasi Terhadap Bahan Kering, Bahan Organik Terdegradasi dan Produk Fermentasi secara In Vitro. Animal Production. Jurnal Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Surakarta. Vol. 8 (2) : 121 – 130.

Ruswendi, 2011. Teknologi Pakan Berkualitas untuk Sapi Potong. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu.

Simanihuruk, K dan J. Sirait. 2010. Silase Kulit Buah Kopi Sebagai Pakan Dasar Pada Kambing Boerka Sedang Tumbuh. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. P. 557-566

Sutardi, T., D. Sastradipradja., E. B. Laconi., Wardhana., I. G. Permana. 1995. Peningkatan produksi ternak ruminansia melalui amoniasi pakan serat bermutu rendah, defaunasi dan suplementasi sumber protein tahan degradasi dalam rumen. Laporan Penelitian, Fakultas Peternakan. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Tandi, E. J. 2010. Pengaruh Tanin Terhadap Aktivitas Protease. Seminal Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Hal: 567-570.

Tang, S. X., G. O. Tayo., Z. L. Tan., Z. H. Sun., L. X. Shen., C. S. Zhou., W. J. Xiao., G. P. Ren., X. F. Han and S. B. Shen. 2008. Effects of Yeast Culture and Fibrolytic Enzyme Supplementation on In Vitro Fermentation Characteristics of Low-Quality Cereal Straws. Journal Animal Science 86: 1164-1172

Tilman. A. D., H. Hartadi., S. Reksohadiprojo., P. Prawirokusumo dan S Lebdosoekorjo. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta : Gajah Mada Universitty Press.

Wahyono, D. E dan R. Hardiyanto. 2004. Pemanfaatan Sumberdaya Pakan Lokal Untuk Pengembangan Usaha Sapi Potong. Pros. Lokakarya Nasional Sapi Potong. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Yogyakarta.

Zaenudin. D., Kompiang. I. P. dan Hamid. H. 1995. Pemanfaatan Kulit kopi dalam Ransum Ayam. Kumpulan Hasil–Hasil Penelitian APBN T.A. 94/95. Balai Penelitian ternak Ciawi-Bogor.

Zaenudin, D., dan T. Murtisari. 1995. Penggunaan Limbah Agro-Industri Buah Kopi (Kulit Buah Kopi) dalam Ransum Ayam Pedaging (Broiler). Prosiding Pertemuan Ilmiah Komunikasi dan Penyaluran Hasil Penelitian. Sub Balai Penelitian Klepu. Ungaran.

Page 147: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

131

PEMANFAATAN SILASE KULIT KAKAO UNTUK PAKAN TERNAK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TERNAK KAMBING DI PROPINSI LAMPUNG

UTILIZATION OF COCOA SILAGE USE SKIN FOR LIVESTOCK DEVELOPMENT SUPPORT ANIMAL FEED THE GOAT IN THE PROVINCE OF LAMPUNG

Elma Basri dan Suryani

Balai PengkajianTeknologi Pertanian Lampung Jl.Hi. Z.APagar AlamNo.1A, Raja Basa, BandarLampung

e-mail :[email protected]

ABSTRAK

Kulit buah kakao (KBK) adalah pakan potensial yang mudah tersedia sepanjang tahun dan mengandung nilaigizi tinggi.Pengkajian tentangPemanfaatan silase kulit kakao untuk pakan ternak mendukung pengembangan ternak kambing di Propinsi Lampung dilaksanakan di Desa Sinar Harapan Harapan, Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung. Tujuan penelitian : untuk mengetahui peningkatan berat badan kambing.Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-November 2014.Sebanyak10 ekor kambing Peranakan Etawa dengan berat badan rata-rata 30kg – 45kg, umur kambing berkisar antara 1,5 hingga 2,0 tahun, dengan perlakuan terdiri dari dua perlakuan dan lima ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah: P0=hijauan segar (cara petani); P1=hijauan segar + silase limbah kulit buah kakao. Kambing ditimbang setiap 4 minggu menggunakan timbangan digital. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap(CRD). Data dianalisis dengan uji T, Hijauan segar diberikan secara adlibitum, silase limbah kulit kakao diberikan sekitar 2 kg / ekor / hr. Parameter yang diukur adalah pertambahan berat badan hidup harian(PBBH) dan konversi pakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan silase limbah kulit buah kakao dapat meningkatan pertambahan berat badan harian 100g / ekor / hr (P1) dibandingkan dengan kontrol (P0) 69 g / ekor/hari. Konversi pakan dari ternak yang diberi silase limbah kulit kakao lebih baik 6,0 dibandingkan dengan tanpa pemberian silase limbah kulit kakao 8,69.

Kata kunci : Pemanfaatan, kulit kakao, pakan ternak, kambing

ABSTRACT

Pod husks (CBC) is a potential feed is readily available throughout the year and contains high nutritional value. Assessment of Pemanfaatan cocoa skin silage for animal feed to support the development of goats in Lampung Province was held in the village of Sinar Harapan Harapan, District Kedondong, Pesawaran District, Lampung Province. Objective: to determine the weight gain of goats. This study was conducted in August-November 2014. A total of 10 goats Etawa breed with an average weight of 30 kg - 45 kg, aged goat ranged from 1.5 to 2.0 years, with treatment consisting of two treatments and five replications.The treatments were: P0 = fresh forage (the farmers'); + P1 = fresh forage silage waste pod husks. Goats were weighed every 4 weeks using digital scales. This study uses a completely randomized design (CRD). Data were analyzed by T- test, green fodder provided ad libitum, waste silage cocoa skin given about 2 kg / head / hr. Parameters measured were weight gain daily living (PBBH) and feed conversion. The results showed that the use of waste silage pod husks can increase daily weight gain of 100g / head / hr (P1) compared with controls (P0) 69 g / head / day. Feed conversion of animal waste by silage 6.0 cocoa skin better than without giving cocoa shell waste silage 8.69.

Keywords:Utilization, cocoa skin, fodder, goat

PENDAHULUAN

Potensi kakao di Lampung pada tahun 2013 sebanyak 27.846 ton (Lampung dalam angka, 2014).Kulit buah kakao merupakan limbah dengan proporsi paling besar dihasilkan. Kulit biji diperoleh dari pengolahan biji yang besarnya sekitar 10% dari berat buah kakao. Buah kakao terdiri dari tiga bagian yaitu kulit buah kasar 74% , plasenta 2% dan biji 24% (Harsini dan Susilowati, 2010). Kulit buah kakao yang begitu banyak bila tidak ditangani dengan baik akan menjadi masalah yang cukup serius bagi lingkungan, padahal ditinjau dari komposisisnya limbah tersebut nutrien sangat dibutuhkan ternak ruminansia. Kulit buah kakao mempunyai komposisi gizi setara dengan komposisi

Page 148: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

132

gizi rumput sehingga biomasa KBK sangat potensial sebagai pakan alternatif untuk menggantikan rumput (Puastuti dan Yulistiani, 2011).

Limbah kulit buah kakao(KBK) adalah pakan potensial karena tersedia sepanjang tahun, mudah tersedia dan tinggi nutrisi. Kakao (Quanto) terdiri 70-80% dari kulit dan plasenta, sisanya adalah biji. Dalam satu hektar perkebunan kakao produktif dapat menghasilkan limbah kulitbuahsegarsebanyak 5ton/ ha/tahun, atau setara dengan812kgtepung.Limbah kulit buah kakao ini memiliki peranan yang cukup penting dan cukup berpotensi dalam penyediaan bahan pakan untuk ternak ruminansia, apalagi pada saat musim kemarau.Pada musim kemarau pertumbuhan rumput terhambat, sehinga ketersediaan bahan pakan hijauan kurang dan kualitasnya rendah. Akibatnya timbul kekurangan hijauan pakan, mengingat ketersediaan hijauan yang terbatas, maka langkah yang strategis yang diambil adalah memanfaatkan limbah kulit buah kakao sebagai pakan ternak.

Kulit buah kakao (cangkang/pod), daun pangkasan tanaman serta hijauan tanaman pelindung/naungan yaitu gamal (Gliricidia sepium) dan lamtoro (Leucaena leucocephala) merupakan limbah agroindustri yang sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia khususnya kambing terutama pada musim kemarau. Kandungan nutrisi pada bahan pakan tersebut dapat dikatakan sebagai bahan pakan berkualitas tinggi. Dimana kandungan protein kasar kulit buah kakao berkisar 10 persen, sedangkan untuk tanaman hijau dari gamal dan lamtoro lebih dari 20 persen.

Limbah kulit kakao memiliki kandungan gizi yang terdiri dari 88% BK, 8% CP, CF 40%, 50,8% TDN, dan penggunaannya oleh ruminansia 30-40% (Sunanto, 1994). Buah kakao yang diberikan langsung kepada hewan akan menurun kualitasnya. Sebelum menggunakan sebagai pakan ternak, limbah kulit buah kakao harus difermentasi terlebih dahulu karena mengandung senyawa anti-gizi.

Pemanfaatan KBK sebagai pakan pengganti rumput ataupun pakan tambahan mampu mendukung produktivitas ternak ruminansia terutama kambing (Suparjo et al., 2011).

Hijauan adalah pakan utama untuk kambing perah. Namun, pakan penguat (konsentrat) diperlukan agar ternak dapat berproduksi secara optimal. Pakan yang diberikan harus minimal memiliki tiga jenis hijauan; jenis rumput, legum (biji) dan daun. Jenis pakan penguatadalah campuran dari beberapa limbah produk pertanian, seperti dedak padi, dedak gandum (pollard), bungkil inti sawit, bungkil kelapa, molasses, mineral dan vitamin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan berat badan kambing dengan memanfaatkan silase limbah kulit buah kakao.

METODE PENELITIAN

Kegiatan penelitian yang dilakukan di Desa Sinar Harapanan, Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran. Desa ini merupakan wilayah yang cukup luas perkebunan kakao. Jumlah petani yang terlibatdalam pengkajian ini berjumlah 10 orang dengan jumlah ternak kambing sebanyak 10 ekor berjenis Peranakan Etawa berusia 1,5 – 2 tahun. Kambing dipelihara dalam sistem kandang panggung secara acak sebanyak 10 ekor kambing.

Perlakuan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

Po=perlakuan dengan rumput segar (cara petani),

P1=perlakuan dengan pemberian silase limbah kulit buah kakao + rumput segar, sebanyak 2 kg

Penimbangan dilakukan setiap 4 minggu dengan menggunakan timbangan digital. Sebelum penelitian semua ternak kambing perlakuan diberikan obat cacing. Jenis,komposisi pakan ternak kambing yang biasanya diberikan pada ternak kambing dari bulan Januari - Juli 2012 (tabel 1).

Page 149: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

133

Tabel 1.Jenis dan komposisi pakan segar yang biasanya diberikan pada ternak Kambing.

Deskripsi Kemarau Hujan

Komposisi(%)

Jenis -Rumput Alam(6 jenis) -Rumput gajah/Rumput raja -Leguminosa herba -Daun gamal -Daun Lamtoro -Jerami kacang tanah -Kulit buah kakao

32,5 5 5

10 5 5

37,5 (20-55)

45 - 5 25 - -

25 (15-35)

Sumber: Prabowo, 2012.

Selain menanam kakao, peternak memiliki usaha sampingan budidaya ternak kambing. Penelitian dilakukan dengan memanfaatkan limbah kulit buah kakao dibuat menjadi silase untuk hijauan pakan kambing di lokasi kegiatan. Pada tahap awal, pembuatan silase yang terbuat dari limbah kulit kakao dicampur dengan dedak padi. Limbah kulit kakao dipotong dengan ukuran 2 cm dan diangin-anginkan dan ditumpuk di terpal, kemudian dicampur dengan dedak padi. Membuat silase sangat mudah, karena mudah mendapatkan bahan baku dari bahan lokal yang tersedia, seperti KBK, dedak padi, dan lain-lain. Silase dari KBK dapat disimpan selama 2-3 bulan dalam kondisi kedap udara.

Proses pembuatan silase limbah kulit buah kakao : 1. Kulit buah kakao segar dicincang dengan ukuran 1-2 cm atau dengan mesin pencacah/ cowper 2. Kulit buah kakao diangin-anginkan dengan sinar matahari sehingga kadar airnya turun menjadi 70

%. 3. Timbang kulit kakao sebanyak 20 kg. 4. Tambahkan dedak padi sebanyak 10-20% dari kulit buah kakao atau 2 kg - 4 kg. 5. Semua bahan diaduk sampai rata. 6. Bahan yang sudah dicampur disimpan dalam kantong plastik yang diikat (dalam Keadaan

kedapudara). 7. Disimpan selama 21 hari atau 3 minggu pada suhu kamar. 8. Penyimpanan dalam kondisi anaerob sebagai cadangan makanan.

Pakan, segar yang merupakan campuran dari hijauan segar dan rumput serta airminum,diberikan secaraadlibitum. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dan menggunakan 10 kandang (1 kambing per kandang sebagai ulangan). Dibandingkan dengan perlakuan Po (tanpa memberikan silase limbah kulit kakao).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penimbangan rata-rata berat badan awal pada perlakuan P1 adalah 31,22kg, dan rata-rata berat badan akhir adalah 43,2kg. Pertambahan berat badan tertinggi terdapat pada perlakuan P1 dengan penambahan silase limbah kulit kakao adalah 12,00 kg, bila dibandingkan perlakuan P0 dengan pemberian pakan rumput segar/cara petani adalah 8,28 kg. Pertambahan berat badan harian/PBHH selama kegiatan penelitian120 hari adalah 69 g/ ekor /hr ( perlakuan P0), tidak berbeda nyata(P>0,05) dengan perlakuan P1) 100 gr//ekor/hari.Pertambahan berat badan rata-rata perlakuan P1 disebabkan pakan yang dikonsumsi ternak kambing lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan P0 (kontrol), serta kandungan protein yang dikandung oleh perlakuan P1 dengan penambahan silase limbah kulit buah kakao (Tabel 2). Menurut Khastrad (2003) dan Chobtang et al(2009) konsumsi protein dan energi yang lebih tinggi akan menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih cepat.

Hasil penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa olahan KBK dengan tambahan dedak padi melalui proses silase mampu menggantikan 100% rumput di dalam ransum kambing Peranakan Etawah (Puastuti et al., 2009). Silase KBK yang dikombinasikan dengan hijauan leguminosa mengandung protein antara 11,9 – 12,8% lebih tinggi dibandingkan silase KBK tanpa hijauan sebesar 9,2% (Puastuti et al ., 2011).

Page 150: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

134

Selain pengolahan dengan penambahan starter mikroba, proses fermentasi dapat terjadi dengan menambahkan sumber energi seperti dedak padi, tepung jagung, tepung singkong atau onggok. Proses fermentasi seperti ini dikenal dengan teknik silase dengan memanfaatkan mikroba indigenous pada KBK, terutama bakteri Lactobacillus sp. Metode silase ini lebih aplikatif di lapang, karena semua bahan tersedia di lokasi dan tidak diperlukan pengeringan maupun penggilingan. KBK yang disilase dapat diberikan padaternak dalam bentuk segar dan memiliki palatabilitas yang tinggi (Puastuti dan Yulistiani, 2011).

Tanaman kakao (Theobroma cacao L), pada perkebunan rakyat menghasilkan limbah kulit buah kakao (cangkang) yang cukup melimpah dan dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak serta selalu tersedia sepanjang tahun. Buah Kakao terdiri dari kulit buah/cangkang (75,65%), biji (21,74%), plasenta (2,59%). Keberadaan limbah kulit buah kakao belum banyak dimanfaatkan, padahal memiliki potensi yang cukup besar sebagai bahan pakan ternak alternatif, Kementerian Pertanian (2012).

Kandungan gizi kulit buah kakao yaituBahan Kering 88%, Protein Kasar 8%, Serat Kasar 40,1%, Total DegrestibleNutrient (TDN) 50,8% dan Lemak 0,90%, Sedangkan Menurut Laconiet al (1998) dalam Merdekawani dan Kaswiran (2013) kandungan gizi kulit buahkakao yaitu Bahan Kering 17,0%, Protein Kasar 7,17%, Serat Kasar 32,5%, Abu12,2%, Total Degrestible Nutrient (TDN) 53,0%, Lemak 0,80% , Kalsium 0,12%,Protein 0,05%, dan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) 32,1%.

Pakan yang dikonsumsi pada perlakuan P1dengan penambahan silase limbah kulit buah kakao sebanyak 6 kg/ekor/hari lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol (P0) rata-rata 5,5 kg/ekor/hari. Sehingga konversi pakan Perlakuan P1 lebih rendah 6,0 bila dibandingkan dengan perlakuan P0 7,97.

Penggunaan kulit buah kakao yang difermentasi dengan kapang P.chrysosporium dapat digunakan sebagai pakan alternatif pengganti rumputgajah bagi ternak kambing tanpa memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadapkonsumsi bahan organik dan pertambahan bobot badan (Murni dkk., 2012).

Tabel2.Data berat badan kambing di Desa Sinar Harapan, Kedondong Kecamatan, Pesawaran

Deskripsi Berat badan (kg / ekor)

P0 P1

Berat badankambing Berat badan awal(kg) 33,00 31,22 Berat badan akhir(kg) 41,28 43,2 Pertambahan Berat badan(kg) 8,28 12,00 Pertambahan bobot badan harian(g) Konsumsi pakan (kg)

69a

5.5 100

b

6,0 Konversi pakan 7,97

b 6,0

a

Tabel 3.Hasil analisis kimia pakan kambing ternak selama musim hujan dan musim kemarau, yaitu kandungan protein pakan di musim hujan 10,02%, yang lebih rendah dari pada musim kemarau yaitu 12,44%, sementara pakan serat kasar yang diberikan di musim kemarau lebih tinggi 30,75%sedangkan pada pada musim kemarau hanya 27,25%. Pada musim hujan lemak dalam pakan ternak 2.93%. Hal ini lebih rendah daripada di musim kemarau, yaitu 3,69%. Tabel 3.

Tabel3. Analisis kimia bahan pakan ternak kambing PE petani kakao di Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran, pada musim hujan dan musim kemarau.

Deskripsi Kemarau Hujan

Komposisi %

Analisis kimia - Bahan kering , % - Protein - Serat Kasar - Lemak - Abu - TDN3

38,40 46,82

% Bahan kering

10,02 30,75 2,93 8,66

58,85

12,44 27,25 3,69 6,93

65,80

Sumber: Prabowo (2012)

Page 151: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

135

Sianipar (2007), menyatakan pada pengelolaan limbah kulit buah kakao menjadi silase dapat meningkatan kecernaan dan kandungan protein, dan penyimpananya juga dapat relative lama yaitu 2-3 bulan. Dan penggunaan optimalnya sebesar 20% bahan kering dalam ransum atau sebesar 60% dalam pakan penguat sebagai pakan kambing lokal yang sedang tumbuh. Menurut penelitian hasil Balitnak Bogor, 2013 Silase Kulit buah kakao BK 22,1 , protein 10,1, lemak 7,9, abu 9,1 , dan 52,2 % NDF.

Tabel 4. Hasil analisis proksimat Silase Kulit Buah Kakao di Desa Sinar Harapan,Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran.

Jenis bahan pakan Air Abu Protein Lemak

Serat Kasar

Karbohidrat

%

Silase limbah kulit kakao 75.10 2.73 6.53 0.44 8.49 6.03

*Hasil analisa Laboratorium Politeknik Negeri Lampung, 2015.

Hasil analisis silase limbah kulit kakao dengan kadar protein 6,53, lemak 0,44, serat kasar 8,49, dan karbohidrat 6,03. Rendahnya hasil analisis silase limbah kulit kakao karena waktu pembuatan silase limbahkulit kakao kadar airnya terlalu tinggi sehingga kadar proteinnya terlihat lebih rendah (Tabel 4).Untuk menurunkan kadar air sebaiknya setelah kulit kakao dicacah kemudian dikeringkan dikeringkan dengan sinar matahari selama 6 jam penyinaran.

Tabel 5. Analisis usahatani ternak kambing di Desa Sinar Harapan, Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran

No. Parameter Fisik Biaya (RP)

A. B. C.

Investasi Pembuatan kandang Pembelian kambing dara Jumlah A Operasional

- Pakan/konsentrat

- Obat-obatan

- Tenaga kerja 0,5 j

- Hijauan Jumlah B Total biaya (A+B) Hasil

- Penjualan kambing induk

- Penjualan kambing anak

- Penjualan pupuk kandang Total hasil Keuntungan R/C ratio

10 Unit @ Rp. 500.000,- 10 ekor @ Rp. 1.000.000 200 kg @ Rp. 2.500 2 paket 360 hr @ Rp. 10.000 15 ekor @ Rp. 1.500.000,- 16 ekor @ Rp. 800.000,- 6.480 kg @ Rp. 500,-

5.000.000,- 10.000.000,- 15.000.000,-

500.000,- 578.000,- 3.600.000,- 4.464.000,- 9.142.000,- 24.142.000,- 22.500.000,- 12.800.000,- 3.240.000,-

38.540.000,- 14.398.000,- 1,59

Analisa pendapatan dari pemeliharaan ternak kambing selama 1 tahun memperoleh tambahan pendapatan sebesar Rp. 14. 398.000,- dari usaha ternak kambing skala usaha 10 ekor. Tingkat efisiensi usaha ternak kambing dihitung dari penerimaan R/C sebesar 1,59. Dengan demikian usaha peternakan kambing dapat memberikan keuntungan bagi peternak dan layak untuk diusahakan (tabel 5).

KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penambahan silase limbah kulit kakao untuk ternak kambing dapat meningkatkanpertambahan berat badan harian ( PBBH ) 100 g / ekor / hari, masa pemeliharaan selama120 hari.Pendapatan usahatani dari pemeliharaan selama 1 tahun memperoleh tambahan pendapatan sebesar Rp. 14.398.000,- dengan R/C ratio sebesar 1,59.

Page 152: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

136

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada Ir. Firdausil A.B. M.Si ataspartisipasi, bimbingan, bantuan dan kerjasamanya selama pengkajian ini dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Pakan Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. 2012. Limbah Kakao Sebagai Alternatif Pakan Ternak. Hal: 1-2.

Harsini T. Dan Susilowati. 2010. Pemanfaatan kulit buah kakao dari limbah Sebagai bahan baku pulp dengan proses organosol V. Jurnal Ilmiah.

Khastrad, 2006. Pertumbuhan, konsumsi, dan konversi ransum sapi pesisir yang digemukkan dengan tingkat pemberian ransum dan lama penggemukan berbeda. Jurnal ilmiahilmu-ilmu Peternakan . 9(3):215-223.

Lampung dalam angka2014. Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung.

Murni, R., Akmal dan Y. Okrisandi. 2012. Pemanfaatan Kulit Buah Kakao Yang difermentasi dengan Kapang Phaenerochaete chrysosporum sebagaipengganti hijauan dalam Ransum Ternak Kambing. AGRINAK. Vol.02 No. 1 Maret 2012:6-10.

Magistrelli, D., L.Malagutti, G. Galassi dan F. Rosi. 2014. Cocoa Husks In DietsOf Italian Heavy Pigs. Journal Of Animal Sciencedoi:10.2527/jas.53970 2012, 90:230-232. berbeda. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan. 9(3):215-223.

Prabowo, A. Firdausil AB. 2012. Laporan Tahunan MP3I tahun 2012. BPTP Lampung, Bandar Lampung.

Puastuti W, Yulistiani D. 2011. Utilization of urea and fish meal in cocoa pod silage based rations to increase the growth of Etawah crossbred goats. In: Ali A, Kamil KA, Alimon AR, Orskov, Zentek J, Tanuwiria UH, editors. Proc 2nd Int Semin AINI Feed Saf Heal Food. Jatinangor, July 6-7, 2011. Bandung (Indonesia): Padjadjaran University. p. 463-469.

Prabowo, A , dan S. Bahri 2002 . Studi Ternak Sistem Pertanian kambing di perkebunan kakao di masyarakat Lampung .Hasil penilaian Laporan TA 2002. BPTP Lampung . Bandar Lampung 16 halaman

Statistik Provinsi Lampung. dalam angka Tahun 2012. Kerjasama Antara Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung Dengan Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Of halaman Lampung Province.586.

Suparjo, Wiryawan KG, Laconi EB, Mangunwidjaja D. 2011. Performans kambing yang diberi kulit buah kakao fermentasi.Media Peternakan. 34:35-41.

Page 153: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

137

EFEKTIFITAS Trichoderma sp dan BEBERAPA MIKRO ORGANISME LOKAL (MOL) SEBAGAI DEKOMPOSER ALAMI PADA KOMPOS JERAMI

EFFECTIVENESS OF Trichoderma sp AND LOCAL MICRO ORGANISM (MOL) AS A NATURAL DECOMPOSERS ON STRAW COMPOST

Widia Siska1, Sumilah

1 dan M. PramaYufdy

2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat

Jl. Raya Padang – Solok, KM.40 Sukarami Kab. Solok, Sumatera Barat 27365 2BadanPenelitian dan PengembanganPertanian Jl. Ragunan 29 Pasar Minggu Jakarta 12540

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Pengomposan jerami padi merupakan salah satu cara untuk mengoptimalkan pemanfaatan jerami padi menjadi pupuk organik. Dalam mempercepat proses pengomposan diperlukan dekomposer. Meskipun Badan Litbang Pertanian sudah mendapatkan dekomposer jerami (PROMI dan M-Dec), namun belum banyak diadopsi petani karena sulit didapatkan di pasaran. Hal yang sama juga terjadi pada Trichoderma sp. Untuk itu, pemanfaatan sumberdaya lokal (MOL) bisa dimanfaatkan petani sebagai dekomposer alami dalam pembuatan kompos jerami. Penelitian bertujuan untuk melihat efektifitas Trichoderma sp dan beberapa mikro organisme lokal (MOL) sebagai dekomposer dalam pembuatan kompos jerami. Pengkajian dilaksanakan bulan September-Desember 2011di Kelompok Tani Fadhila, Taram, Kabupaten Lima Puluh Kota dan Laboratorium Tanah BPTP Sumatera Barat. Rancangan Petak Terpisah (Split Plot), dengan tiga kali ulangan. Perlakuan Petak Utama adalah 5 jenis bahan decomposer dengan MOL yang didapat. Anak petak adalah dosis/kosentrasi MOL yaitu 400 ml; 300 ml; 200 ml; 100 ml per liter air. Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari : Jerami padi, Trichoderma sp., mol rumen sapi, mol keong, mol rebung, mol buah-buahan, gula merah dan air kelapa. Parameter yang diamati : (1) suhu, bau, warna, struktur bahan dan hifa mikroba kompos yang diamati setiap minggu. (2) pH dan kadar hara C, N, P, K, Ca, Mg kompos sesudah dikomposkan. Data diolah secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahan kompos jerami padi dengan dekomposer Trichoderma sp lebih cepat mengalami perubahan sifat fisik dibandingkan Mol lainnya. Kompos jerami padi dengan dekomposer Mol rumen sapi menghasilkan C/N yang lebih rendah dan unsur hara N, P, dan K yang lebih tinggi dibandingkan Trichoderma sp dan mol dekomposer yang lainnya.

Kata Kunci : Jerami padi, kompos, dekomposer, Trichoderma sp, mol

ABSTRACT

Decomposition of rice straw is one way to optimize the utilization of rice straw into organic fertilizer. In accelerating the composting process takes decomposers. Although IAARD already getting decomposers straw (Compromise and M-Dec), but has not been widely adopted by farmers because difficult to find in the market. The same thing happened in Trichoderma sp. To that end, the utilization of local resources (Local Microorganism/LM) can be used by farmers as a natural decomposer in composting straw. The study aims to look at the effectiveness of Trichoderma sp and several local micro-organisms as decomposers in composting straw. The assessment was conducted in September-December 2011 in FadhilaFarmers groups, Taram, District Fifty Cities and Soil Laboratory BPTP West Sumatra. Experimental design used were split plot design, with three replications. Treatment of main plots are 5 types of materials decomposer with LM acquired. The subplots were dose / concentration LM of 400 ml; 300 ml; 200 ml; 100 ml per liter of water. The materials used consisted of: rice straw, Trichoderma sp., Cow rumen LM, mol conch, bamboo shoots LM, LM fruits, brown sugar and coconut water. The parameters were observed: (1) the temperature, smell, color, structural materials and compost microbial hyphae were observed every week. (2) pH and nutrient levels of C, N, P, K, Ca, Mg compost after composted. The data were processed by descriptive qualitative. The results showed rice straw compost material by decomposers Trichoderma sp faster change physical properties compared to other Mol. Rice straw compost with decomposers Mol cow rumen to produce C / N lower and nutrients N, P, and K higher than Trichoderma sp and other decomposers mol.

Keywords : Rice straw, compost, decomposers, Trichoderma sp, local microorganism

Page 154: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

138

PENDAHULUAN

Pupuk organik memiliki kelebihan dalam mengatasi defesiensi hara, menyediakan hara secara cepat, mengandung unsur hara makro dan mikro yang lengkap meski dalam jumlah sedikit, memperbaiki struktur tanah, memiliki daya simpan air yang tinggi, memberi tanaman ketahanan terhadap serangan penyakit, serta dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah (Palupi, 2015).

Kurangnya pengembalian bahan organik kedalam tanah dan intensifnya penggunaan pupuk kimia menyebabkan mutu fisik dan kimia tanah menurun (Sisworo, 2006). Kondisi lahan pertanian di Indonesia saat ini sekitar ±73% memiliki kandungan C-organik tanah <2,00%. (Las and Setyorini, 2010). Padahal untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan C-organik lebih dari 2%(Sri Adiningsih et al., 1995). Oleh karena itu, pemberian pupuk organik mutlak dilakukan.

Salah satu bahan yang sangat berpotensi untuk diolah menjadi pupuk organik adalah jerami. Selama ini, jerami belum termanfaatkan secara optimal. Sebagian besar jerami padi masih dibakar pada areal persawahan. Hal ini akan meningkatkan polusi udara dan berdampak buruk bagikesehatan lingkungan.

Untuk menjadi bahan organik, jerami harus melalui proses pengomposan. Proses pengomposan dipercepat dengan dekomposer.Produk agen dekomposer bertujuan meningkatkan kecepatan dekomposisi, meningkatkan penguraian materi organik, dan meningkatkan kualitas produk akhir.

Meskipun Badan Litbang Pertanian sudah mendapatkan dekomposer yang mampu mempercepat proses pelapukan jerami (PROMI dan M-Dec), namun belum banyak diadopsi petani karena sulit didapatkan di pasaran. Hal yang sama juga terjadi pada Trichoderma sp.Padahal, saat ini beberapa jenis dekomposer dapat dibuat dari bahan-bahan sederhana yang mudah didapat seperti buah, rebung, nasi, rumen sapi dan keong.Bahan-bahan tersebut menjadi sumber mikroorganisme lokal (MOL) yang bisa dimanfaatkan petani sebagai dekomposer alami dalam pembuatan kompos.

MOL adalah cairan yang mengandung mikroorganisme (bakteri) yang berguna untuk tanaman dan kesuburan tanah. Mol mengandung bakteri seperti rhizobium sp, azospirillum sp, azotobacter sp, pseudomonas sp, bacillus sp dan bakteri pelarut phospat. Larutan MOL berpotensi sebagai perombak bahan organik, sehingga MOL dapat digunakan baik sebagai dekomposer (Husen and Irawan, 2010).

Bahan utama MOL terdiri atas beberapa komponen, yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber mikroorganisme. Karbohidrat sebagai sumber nutrisi untuk mikroorganisme dapat diperoleh dari limbah organik seperti air cucian beras, singkong, gandum, rumput gajah, dan daun gamal. Sumber glukosa berasal dari cairan gula merah, gula pasir, dan air kelapa, serta sumber mikroorganisme berasal dari kulit buah yang sudah busuk, terasi, keong, nasi basi, dan urin sapi. Keuntungan MOL yang lain adalah tidak membutuhkan biaya besar dan sangat murah meriah karena menggunakan bahan-bahan yang mudah diperoleh di sekitar kita serta pembuatannya sangat mudah (Hadinata, 2008).Namun, MOL yang telah dimanfaatkan oleh petani ini, belum diketahui efektifitas dan kandungan kimia komposnya.

Penelitian bertujuan untuk mengkaji efektifitas Trichoderma sp dan beberapa mikro organisme lokal (MOL) sebagai dekomposer dalam pembuatan kompos jerami.

METODE PENELITIAN

Pengkajian dilaksanakan bulan September-Desember 2011. Lokasi kajian dilakukandi Kelompok Tani Fadhila, Taram, Kabupaten Lima Puluh Kota dan Laboratorium Uji BPTP Sumatera Barat.Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari : Jerami padi, Trichoderma sp., MOL, rumen sapi, keong, rebung, buah-buahan, gula merah dan air kelapa. Alat yang digunakan terdiri dari : meteran, timbangan, gelas ukur, ember plastik, bak plastik, sabit, golok, goni, dan alat tulis kantor.

Page 155: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

139

Prosedur Pengkajian

Pengujian dilakukan terhadap tiga bahan dekomposer dengan MOL yang telah diidentifikasi untuk mendapatkan dosis dan waktu yang optimal dalam menguraikan jerami padi. Digunakan rancangan Petak Terpisah (Split Plot), dengan tiga kali ulangan. Perlakuan Petak Utama adalah 3 jenis bahan decomposer dengan MOL yang didapat dari pengujian pertama. Anak petak adalah dosis/kosentrasi MOL yaitu 400 ml; 300 ml; 200 ml; 100 ml per liter air. Pembuatan kompos menggunakan bahan untuk setiap jenis dekomposer adalah 1 m

3. Cara pembuatannya yaitu menumpuk

bahan baku selapis demi selapis dimana tebal setiap lapisan sekitar 20 cm, dan pada setiap lapisan disiram dengan bahan dekomposer. Bahan dekomposer dicampur dengan air sesuai perlakuan. Setelah satu minggu dilakukan pembalikkan.

Pengamatan dilakukan terhadap: (1) Kecepatan dan kemudahan proses pelapukan yang diukur dengan nilai C/N mulai minggu kedua setelah pengomposan; (2) Kandungan hara jerami padi hasil pelapukan; (3) Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan kompos hasil pelapukan; dan (4) Mutu kompos yang dihasilkan, sesuai SNI 19-0428-1989

Pembuatan kompos dimulai dengan pengumpulan jerami padi dan kotoran sapi. Bahan yang telah dikumpulkan kemudian dibersihkan dari kotoran-kotoran yang ikut terbawa selama pengumpulan dan pengangkutan. Bahan-bahan yang telah siap sebelum dicampur terlebih dahulu dikering anginkan dengan tujuan mengurangi kadar air agar lebih cepat terdekomposisi.

Pembuatan kompos menggunakan bahan untuk setiap jenis dekomposer adalah 1 m3. Cara

pembuatannya yaitu menumpuk bahan baku selapis demi selapis dimana tebal setiap lapisan sekitar 20 cm, dan pada setiap lapisan disiram dengan bahan dekomposer. Bahan dekomposer dicampur dengan air sesuai perlakuan.

Bahan yang telah ditumpuk kemudian kemudian di tutup dengan terpal plastik. Plastik ditutup dengan rapat agar tidak ada mikroorganisme maupun makroorganisme dari luar yang masuk ke dalam bahan kompos. Kompos diletakkan pada tempat yang teduh terlindung dari cahaya matahari langsung dan hujan. Lama pengomposan adalah 30 hari.

Pengukuran suhu dilakukan dengan tangan pertama kali setelah tumpukan berumur 3 hari untuk mengetahui suhu tumpukan. Setelah itu, pengukuran suhu dilakukan setiap 1 minggu sekali. Suhu dalam tumpukan kompos diukur dengan cara memasukkan tangan pada tumpukan selama 5 menit pada kedalaman 25 cm. Bila temperatur sangat panas dilakukan pembalikan.

Pembalikan dilakukan untuk membuang panas yang berlebihan, memasukkan udara segar kedalam tumpukan bahan, meratakan proses pelapukan di setiap bagian tumpukan, meratakan pemberian air, serta membantu penghancuran bahan menjadi partikel kecil-kecil. Penyiraman dilakukan jika tumpukan bahan kompos terlalu kering dan sebaiknya dilakukan sebelum pembalikan sehingga ketika dilakukan pembalikan, air akan tercampur dengan sendirinya. Kadar air yang ideal selama proses pengomposan adalah 40-60%, dengan nilai optimum 55%. Setelah pengomposan berjalan 30 hari, suhu tumpukan akan semakin menurun hingga mendekati suhu ruangan. Pada saat itu tumpukan telah lapuk, berwarna coklat tua atau kehitaman.

Parameter yang diamati dan diukur meliputi: (1) suhu, bau, warna, struktur bahan dan hifa mikroba kompos yang diamati setiap minggu. (2) pH dan kadar hara C, N, P, K, Ca, Mg kompos sesudah dikomposkan dianalisis di BPTP Sumatera Barat..

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sifat Fisik Kompos Sifat-sifat fisik bahan kompos diamati selama proses pengomposan. Pengamatan dilakukan

setiap minggu, dimulai dari minggu pertama sampai minggu ke empat. Pengamatan sifat-sifat fisik kompos meliputi suhu, bau, warna, struktur bahan dan hifa mikroba, disajikan dalam Tabel 1.

Suhu

Pada minggu 1, suhu kompos jerami dengan Trichoderma sp teraba sangat panas dan berasap. Sedangkan kompos dengan mol hanya panas dan berasap. Pada minggu 2 semua bahan kompos menunjukan peningkatan suhu. Suhu turun pada minggu 3, dan semua bahan kompos sudah stabil dan dingin pada minggu 4.

Peningkatan suhu pada proses pengomposan merupakan hasil aktifitas mikrobiologi dekomposer dalam proses dekomposisi yang menghasilkan energi dalam bentuk panas. Panas yang

Page 156: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

140

dihasilkan sebagai hasil proses dekomposisi perlu dikendalikan supaya tidak melebihi 50ºC yang dapat mengakibatkan penurunan aktifitas biologi dekomposer dengan cara pembalikan bahan kompos (Suyanto and Irianti, 2015).

Bau

Pada minggu 1 awal pengomposan, bahan kompos mengalami proses dekomposisi anaerob, akibat kadar air yang sangat tinggi. Kondisi ini menyebabkan aerasi bahan kompos menjadi tidak baik dan kompos sangat berair. Bahan kompos dari 5 dekomposer Mol mengeluarkan bau menyengat, sedangkan bahan kompos dengan Trichoderma sp mengeluarkan bau sangat menyengat.

Pembalikan dilakukan untuk menurunkan kadar air dan bau menyengat, dan juga untuk merubah dekomposisi secara anaerob menjadi aerob. Bahan kompos dengan Trichoderma sp sudah tidak mengeluarkan bau pada minggu ke-3, sedangkan bahan kompos dengan Mol lainnya tidak mengeluarkan bau pada minggu ke-4.

Page 157: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

141

Tabel 1. Pengamatan Sifat Fisik Kompos

Jenis MOL Suhu Bau Warna

1 msp 2 msp 3 msp 4 msp 1 msp 2 msp 3 msp 4 msp 1 msp 2 msp 3 msp 4 msp

Mol rumen Panas dan berasap

Sangat Panas dan berasap

agak Panas

dingin Bau

menyengat Bau

menyengat Agak Bau

Tidak Bau Kuning

kecoklatan Kecoklatan Kecoklatan

Hitam kecoklatan

Mol keong Panas dan berasap

Sangat Panas dan berasap

agak Panas

dingin Bau

menyengat Bau

menyengat Agak Bau

Tidak Bau Kuning

kecoklatan Kecoklatan Kecoklatan

Hitam kecoklatan

Mol buah Panas dan berasap

Sangat Panas dan berasap

Agak Panas

dingin

Bau menyengat

Bau menyengat

Agak Bau

Tidak Bau Kuning

kecoklatan Kecoklatan Kecoklatan

Hitam kecoklatan

Mol rebung Panas dan berasap

Sangat Panas dan berasap

Agak Panas

dingin

Bau menyengat

Bau menyengat

Agak Bau

Tidak Bau Kuning

kecoklatan Kecoklatan Kecoklatan

Hitam kecoklatan

Mol mikroba 2

Panas dan berasap

Sangat Panas dan berasap

Agak Panas

dingin

Bau menyengat

Bau menyengat

Agak Bau

Tidak Bau Kuning

kecoklatan Kecoklatan Kecoklatan

Hitam kecoklatan

Trichoderma sp sp

Sangat Panas dan berasap

Sangat Panas dan berasap

Agak Panas

dingin

Bau sangat menyengat

Bau menyengat

Tidak Bau

Tidak Bau Kuning

kecoklatan Kecoklatan Kecoklatan

Hitam kecoklatan

Page 158: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

142

Jenis MOL Struktur bahan Hifa mikroba

1 msp 2 msp 3 msp 4 msp 1 msp 2 msp 3 msp 4 msp

Mol rumen Belum lapuk Belum lapuk Lapuk di tarik Lunak, Putus-putus di tarik

mulai tumbuh di tengah tumpukan

Tumbuh banyak di tengah tumpukan

Tumbuh banyak di tengah tumpukan

Mulai buram

Mol keong Belum lapuk Belum lapuk Lapuk di tarik Lunak, Putus-putus di tarik

mulai tumbuh di tengah tumpukan

tumbuh banyak di tengah tumpukan

tumbuh banyak di tengah tumpukan

Mulai buram

Mol buah Belum lapuk Belum lapuk Lapuk di tarik Lunak, Putus-

putus di tarik mulai tumbuh di tengah tumpukan

tumbuh banyak di tengah tumpukan

tumbuh banyak di tengah tumpukan

Mulai buram

Mol rebung Belum lapuk Belum lapuk Lapuk ditarik Lunak, Putus-

putus ditarik mulai tumbuh di tengah tumpukan

Tumbuh banyak di tengah tumpukan

Tumbuh banyak di tengah tumpukan

Mulai buram

Mol mikroba 2 Belum lapuk Belum lapuk Lapuk di tarik Lunak, Putus-putus di tarik

mulai tumbuh di tengah tumpukan

mulai tumbuh di tengah tumpukan

tumbuh banyak di tengah tumpukan

Mulai buram

Trichoderma sp sp Belum lapuk Lapuk di tarik Putus-putus ditarik Lunak sekali Putus-putus

ditarik

Agak banyak di tengah tumpukan

Hifa membalut bahan kompos

Hifa membalut bahan kompos

Kurang terlihat

Sumber : Data Primer, 2011

Page 159: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

141

Warna

Pada pengamatan minggu pertama, warna kompos dari semua dekomposer mulai berubah dari kuning ke kuning kecoklatan dan akhirnya menjadi hitam kecoklatan pada minggu ke-4.

Struktur bahan

Pada minggu pertama proses pengomposan, struktur bahan belum lapuk sama sekali. Di minggu 2, bahan kompos dengan dekomposer Trichoderma sp mulai lapuk ditarik, sedangkan bahan kompos dengan dekomposer mol masih belum lapuk. Bahan kompos dengan mol mulai lapuk di tarik pada minggu 3, dan minggu ke 4 sudah lunak, dan putus-putus ditarik. Sedangkan Trichoderma sp pada minggu ke 3 sudah putus-putus ditarik dan minggu 4 sudah lunak sekali dan putus-putus ditarik.Struktur bahan sangat lunak dan sudah hancur, bila ditarik sedikit saja putus-putus, artinya kompos jerami padi terurai secara sempurna.

Hifa mikroba

Hasil pengamatan bahan kompos minggu 1, bahan kompos dengan dekomposer Trichoderma sp pada tengah tumpukan saat pembalikan hifa mikroba sudah mulai tumbuh agak banyak terutama di tengah tumpukan.Pada minggu 2 dan 3, hifa sudah membalut bahan kompos. Pada minggu 4, hifa sudah kurang terlihat hal ini dikarenakan sebagian sudah membentuk spora, karena bahan yang akan dilapuk sudah hampir habis.

Hifa mikroba pada bahan kompos dengan dekomposer mol, pada minggu 1 mulai tumbuh ditengah tumpukan. Pada minggu 2 dan 3 mulai tumbuh banyak ditengah tumpukan. Dari pengamatan ini dapat disimpulkan sementara bahwa, pada semua jenis mol yang diuji mengandung mikroba fungi yang terlihat dari hifanya berwarna putih disela-sela helaian jerami padi di tengah tumpukan.

Proses dekomposisi akan mengalami peristiwa secara biologi, fisika,dan kimia, di mana pada proses pembusukan sampah secara aerobik memerlukan mikroba pengurai seperti fungi, yeast, dan actinomycetes sp(Rinrin, 2002)

Hasil pengomposan berbahan baku sampah dinyatakan aman untuk digunakan bila sampah organik telah dikomposkan dengan sempurna. Salah satu indikasinya terlihat dari kematangan kompos yang meliputi karakteristik fisik (bau, warna, dan tekstur yang telah menyerupai tanah, pH netral, suhu stabil). (Endah, N Mashita, Devi N, 2007).

B. Sifat Kimia Kompos

Tabel 2.Analisis Kimia Kompos Jerami Padi, 2011

No. Nama pH H20 Unsur Makro (%)

N P K C C/N Ca Mg

1 Jerami.mol rumen sapi 8,82 1,68 0,41 2,42 22,88 13,62 0,37 0,39

2 Jerami. Trichoderma sp 8,74 1,09 0,35 1,51 20,06 18,40 0,42 0,46

3 Jerami. Mol buah 8,93 0,87 0,40 1,67 32,42 37,26 0,45 0,42

4 Jerami. Mol keong 8,87 1,34 0,36 1,67 23,30 17,38 0,40 0,44

5 Jerami. Mol rebung 9,22 1,43 0,38 2,01 32,78 22,92 0,44 0,43

6 Jerami. Mikroba II 8,75 1,15 0,33 1,28 19,94 17,34 0,57 0,57

Sumber : Data Primer, 2011

pH

Berdasarkan hasil analisis Laboratorium (Tabel 2) diketahui bahwa pH kompos yang menggunakan dekomposer asal Trichoderma sp dan MOL memiliki pH alkalis (>8,5). Penelitian Palupi (2005), menggunakan dekomposter MOL asal limbah sayuran dalam pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit juga menunjukan pH >8,5 yaitu 8.59. Nilai pH yang lebih dari 8,0 juga dijumpai pada kompos matang seperti hasil penelitian (Husen and Irawan, 2010) yang bervariasi dari 8,2-8,6.

Kemasaman kompos akan mempengaruhi kemasaman tanah yang akan diberi aplikasi kompos. Dengan kondisi kompos yang tidak masam, akan mengurangi kemungkinan penambahan kemasaman tanah. Menurut kemasaman tanah akan mempengaruhi serapan unsur hara dan pertumbuhan tanaman (Soepardi, 1983)

Page 160: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

142

pH optimum berkisar antara 5,5-8,0. Bakteri lebih menyukai pH netral, sedangkan fungi aktif pada pH agak masam. Pada pH yang tinggi, terjadi kehilangan nitrogen akibat volatilisasi (Setyorini et al., 2006). Tapi menurut (Yang, 1996 dalam Setyorini et al. 2006) Indikator kematangan kompos adalah pH alkalis.

Kandungan bahan organik

Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanamankarena perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan C/N tanah. Rasio C/N merupakan perbandingan antara karbohidrat (C) dan nitrogen (N). Rasio C/N tanah berkisar antara 10-12. Apabila bahan organik mempunyai rasio C/N mendekati atau sama dengan rasio C/N tanah, maka bahan tersebut dapat digunakan tanaman.Rasio C/N jerami tergolong tinggi yakni mencapai 50-70. Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan(Setyorini et al., 2006).

Dalam proses dekomposisi bahan organik, C digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumberenergi dan bersama N digunakan sebagai penyusun selnya. Oleh karena itu hasil analisis C, N,menunjukkan terjadinya penurunan kadar C dan peningkatan kadar N selama proses pengomposan. Kadar C terbesar terdapat pada kompos jerami dengan mol rebung, sedangkan hara N terbesarterdapat pada kompos jerami dengan mol rumen sapi.

Penurunan kadar C dan peningkatan kadar N pada proses pengomposanmenyebabkan terjadi penurunan nisbah C/N.Kompos yang matang selain ditandai oleh warna kompos yang coklat kehitaman danstabilnya suhu, kematangan kompos juga ditandai dengan rendahnya nisbah C/N(Suyanto and Irianti, 2015).

Kandungan C-Organik dalam kompos menunjukkan banyaknya bahan organik yang terdapat dalam kompos selama proses pelapukan berlangsung. Semakin intensif pelapukan bahan organik berlangsung, maka akan semakin sedikit keberadaan karbon organik dalam suatu bahan(Suyanto and Irianti, 2015). Bahan organik tertinggi pada kompos jerami dengan dekomposer Rebung yakni 56,51% sedangkan terendah pada Trichoderma sp yakni 34,58%.

Kandungan N total

Secara kimiawi, bahan organik pada kompos akan terdekomposisi melalui proses mineralisasi dan akan menjadi penyumbang ion-ion hara tersedia seperti Nitrogen. Kandungan N total pada kompos jerami dengan menggunakan MOL rumen sapi sebesar 1,68%, sedangkan pada Trichoderma sp hanya sebesar 1,09%.

Hal ini kemungkinan disebabkan oleh aktifitas bioaktivator MOL asal rumen sapi yang banyak mengandung bakteri yang mampu mensintesis senyawa nitrogen, gula dan substrat bioaktif lainnya. Bakteri tersebut juga mampu membentuk zat-zat yang bermanfaat antara lain asam amino, asam nukleat, zat-zat bioaktif dan gula. Asam amino tersebut merupakan salah satu sumber nitrogen bagi tanah (Yuwono, 2005).

C/N rasio

Besar kecilnya nilai C/N rasio sangat bergantung pada besarnya aktivitas mikroorganisme di dalam tanah. Pada proses pelapukan yang intensif, terjadi perubahan yang terjadi secara cepat di dalam tanah. Flora heterotropik-bakteri, jamur dan actinomycetes, menjadi aktif dan berkembang biak dengan pesat dan menghasilkan banyak CO2. Dalam keadaaan demikian, nitrat menghilang dari tanah disebabkan perkembangan jasad nitro menkonsumsi banyak nitrogen untuk pembentukan tubuhnya(Soepardi, 1983). Keadaan tersebut di atas menjelaskan bahwa semakin rendah C/N rasio berarti semakin intensif terjadi pelapukan.

Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa kompos dengan menggunakan MOL asal rumen sapi C/N nya 14,81% mol mikroba II 17,34%, mol keong 17,38%, Trichoderma sp 18,40%, mol rebung 22,92% dan mol buah 37,26. Keadaan ini dapat dinyatakan bahwa dengan menggunakan dekomposter MOL asal rumen sapi maka pelapukan yang terjadi semakin intensif dibandingkan dengan pelakuan Trichoderma sp.

Semakin besar kecepatan penurunan rasio C/N, maka semakin singkat waktu yang diperlukan untuk mencapai C/N lebih kecil dari 20 yang disebut sebagai waktu pengomposan(Yuniwati et al., 2012). Mutu kompos selain dilihat dari sifat fisik sering dilihat hanya dari nilai C/N ratio dan kandungan unsur hara. Kompos dengan C/N rendah dan memiliki unsur hara yang tinggi, dianggap sebagai ciri kompos yang baik.

Page 161: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

143

Kandungan K2O Total

Kandungan K total pada kompos dengan menggunakan MOL asal rumen sapi (2,42%) adalah lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan Trichoderma sp yaitu 1,51%. Hal ini diduga karena bioaktivator MOL asal rumen sapi mengandung mikroba dan merangsang perkembangan mikroorganisme menguntungkan lainnya sehingga dapat meningkatkan kandungan unsur hara pada kompos.

Kandungan P2O5 Total

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompos dengan menggunakan bioaktivator MOL asal rumen sapi memiliki kandungan P2O5 total yang lebih tinggi (0,41%) dibandingkan dengan perlakuan Trichoderma sp (0,35 %) dan mol lainnya.

Hal ini kemungkinan disebabkan oleh penambahan MOL rumen sapi sebagai penyumbang unsur P ke dalam kompos dan mikroorganisme pada jerami kemungkinan memacu bebasnya unsur P yang terkandung dalam materian kompos. Tingginya kandungan P dalam kompos setelah perlakuan mengindikasikan pengaruh baik yang akan ditimbulkan oleh penggunaan kompos pada tanah. Urine sapi memiliki kandungan unsur hara yaitu 0,52 % N, 0,01 % P, dan 0,56 % K (Parnata, 2010).

KESIMPULAN

Kompos jerami padi dengan dekomposer Trichoderma sp lebih cepat mengalami perubahan sifat fisikdibandingkan Mol lainnya. Kompos jerami padi dengan dekomposer Mol rumen sapi menghasilkan C/N yang lebih rendah dan unsur hara N, P, dan K yang lebih tinggi dibandingkan Trichoderma sp dan mol dekomposer yang lainnya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kegiatan penelitian ini didukung dana APBN TA 2011 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat, Badan Litbang, Kementerian Pertanian. Terima kasih kepada Bapak Ichsan dan anggota kelompok tani Fadhila yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Hadinata, I., 2008. Membuat Mikroorganisme Lokal. Http://ivanhadinata.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 13 September 2016.

Hartatik, W., Setyorini, D., 2011. Pemanfaatan Pupuk Organik untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah dan Kualitas Tanaman 571–582.

Husen, E., Irawan, 2010. Efektivitas dan Efisiensi Mikroba Dekomposer Komersial dan Lokal dalam Pembuatan Kompos Jerami [WWW Document]. http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/prosiding2008pdf/edihusen.pdf.

Las, I., Setyorini, D., 2010. Kondisi Lahan, Teknologi, Arah, dan Pengembangan Pupuk Majemuk NPK dan Pupuk Organik. Hlm 47. Dalam Prosiding Semnas Peranan Pupuk NPK dan Organik dalam Meningkatkan Produksi dan Swasembada Beras Berkelanjutan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertani.

Palupi, N.P., 2015. Karakter Kimia Kompos dengan Dekomposer Mikroorganisme Lokal Asal Limbah Sayuran. Ziraa’ah 40, 54–60.

Parnata, A., 2010. Meningkatkan Hasil Panen dengan Pupuk Organik. AgroMedia Pustaka. Bandung.

Rinrin, S., 2002. Penurunan Berat Sampah Organik Menggunakan Leachate, Sludge dan Cacing Tanah, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro, Semarang.

Setyorini, D., Saraswati, R., Anwar, E.K., 2006. Kompos, Pupuk Organik dan Pupuk Hayati.

Sisworo, W.H., 2006. Swasembada Pangan Dan Pertanian Berkelanjutan. Tantangan Abad 21 ; Pendekatan Ilmu Tanah, Tanaman dan Pemanfaatan Iptek Nuklir. Badan Tenaga Nuklir Nasional. Jakarta.

Soepardi, G., 1983. Sifat dan Ciri Tanah 1. Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

Sri Adiningsih, J., Setyorini, D., Prihatini, T., 1995. Pengelolaan Hara Terpadu untuk Mencapai Produksi Pangan yang Mantap dan Akrab Lingkungan. Prosiding Pertemuan Teknis

Page 162: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

144

Penelitian Tanah dan Agroklimat. Makalah Kebijakan. Bogor 10-12 Januari 1995.

Suyanto, A., Irianti, A.T.P., 2015. Efektifitas Trichoderma sp dan Mikro Organisme Lokal (MOL) Sebagai Dekomposer dalam Meningkatkan Kualitas Pupuk Organik Alami dari Beberapa Limbah Tanaman Pertanian. Agrosains 12, 1–7.

Yuniwati, M., Iskarima, F., Padulemba, A., 2012. Optimasi Kondisi Proses Pembuatan Kompos dari Sampah Organik dengan Cara Fermentasi Menggunakan EM4. J. Teknol. 5, 172–181.

Yuwono, D., 2005. Pupuk organik. Penebar Swadaya. Jakarta.

Page 163: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

145

PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PETANI DALAM MEMANFAATKAN LIMBAH TERNAK DAN PERKEBUNAN DI KABUPATEN REJANG LEBONG

ENHANCEMENT OF KNOWLEDGE AND ATTITUDE OF FARMERS IN USE WASTE OIL IN FEED AND REJANG LEBONG DISTRICT

Linda Harta dan Umi Pudji Astuti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Bengkulu 38119 e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Ternak ruminansia menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair namun limbah tersebut belum dimanfaatkan secara optimal untuk kompos maupun pupuk cair. Demikian juga pada musim panen kopi, kulit kopi masih sedikit dimanfaatkan sebagai kompos dan pakan ternak. Masih rendahnya pengetahuan petani tentang pemanfaatan limbah ternak dan kulit kopi merupakan salah satu faktor permasalahan dalam mengoptimalkan potensi limbah ternak dan perkebunan kopi sebagai kompos dan pakan. Tujuan pengkajian adalah: (1) meningkatkan pengetahuan petani terhadap teknologi pembuatan pakan ternak dan pupuk kompos, (2) mengidentifikasi sikap petani terhadap teknologi pemanfaatan limbah kopi dan ternak. Pendekatan pengkajian melalui pertemuan tatap muka dengan melakukan demontrasi cara tentang pembuatan pakan ternak dari limbah kopi dan kompos berbahan baku kotoran ternak dan kulit kopi. Pengkajian dilaksanakan pada bulan Agustus 2015 dengan responden adalah kelompok Tani Gading Indah Desa Air Meles Bawah Kecamatan Curup Timur kabupaten Rejang Lebong sebanyak 30 orang. Data primer yang diambil meliputi karakteristik petani; pengetahuan sebelum demonstrasi dan setelah demonstrasi; dan respon petani dalam pemanfaatan limbah ternak dan perkebunan. Analisis data secara diskriptif dengan pendekatan interval kelas dan uji statistik nonparametrik test chi square. Hasil kajian memperlihatkan selisih peningkatan pengetahuan petani terhadap pemanfaatan limbah ternak dan perkebunan sebesar 25,71 dan 11,71 dengan kriteria tingkat pengetahuan tinggi. Sikap petani terhadap teknologi pembuatan pakan ternak dan kompos sebesar 4,60 dan 4,44 yang berada pada kriteria setuju. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan demontrasi cara secara signifikan meningkatkan pengetahuan dan respon petani terhadap teknologi pemanfaatan limbah ternak sebagai kompos dan perkebunan sebagai pakan.

Kata kunci : limbah kopi, limbah ternak, pengetahuan dan sikap

ABSTRACT

Ruminants produce waste, either solid or liquid waste, but the waste is not used optimally for compost and liquid fertilizer. When the harvest season of coffee comes, coffee skin is still slightly used as compost and livestock feed as well. The limited knowledge of farmers on the use of animal waste and coffee skin is one of the problems in optimizing the potential of livestock waste and coffee plantations as compost and feed. The purpose of the assessment is (1) to increase the knowledge of farmers for technology manufacture livestock feed and compost, (2) to identify the farmer's attitude towards waste utilization technologies of coffee and livestock. Assessment approach through face to face meetings by way of demonstration on the making of animal feed from coffee waste and compost made from manure and coffee skin. The assessment was held in August 2015 with 30 respondents from farmer groups Gading Indah, Air Meles Bawah village, Curup, Rejang Lebong regency. Primary data captured includes the characteristics of farmers; demonstration of knowledge before and after the demonstrations; and the response of farmers towards the livestock and farm waste utilization. The data analysis by the descriptive approach and the class interval nonparametric statistical test of chi-square test. The study results showed an increase difference farmers' knowledge on the utilization of livestock waste and plantation of 25.71 and 12 with a high knowledge level criteria. Farmer's attitude for technology manufacture livestock feed and compost amounted to 4.60 and 4.44 which are in the criteria agree. The demonstration activity shows of increasing knowledge and farmer's response to technological utilization of waste as compost and farm livestock feed.

Keywords: coffee waste, livestock waste, knowledge and attitudes

Page 164: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

146

PENDAHULUAN

Provinsi Bengkulu merupakan salah satu daerah yang mempunyai potensi pengembangan sapi potong dan perkebunan kopi, salah satunya adalah Kecamatan Curup Timur di Kabupaten Rejang Lebong yang merupakan daerah sentra pengembangan sapi potong dan perkebunan kopi. Mayoritas mata pencaharian masyarakatnya adalah berkebun kopi dengan luasan wilayah perkebunan 9.136 ha, dan sebagian masyarakatnya juga memelihara ternak sapi sebagai tabungan untuk meningkatkan pendapatan. Populasi ternak saat ini mencapai 511 ekor (BPP Kesambe Lama, 2016). Saat ini limbah ternak baik feses maupun urine belum dimanfaatkan secara optimal oleh petani. Seekor ternak sapi dengan berat badan 200 kg yang diberi air minum sebanyak 27 liter perhari akan dikeluarkan dalam bentuk urine sebanyak 13 liter dan menghasilkan feses sebanyak 13 kg/hari (Puslitbangnak, 2012). Kendala yang ada selama ini adalah petani belum memanfaatkan secara optimal limbah ternak baik padat maupun cair sebagai pupuk kompos dan pupuk organik cair untuk menggantikan ketergantungan terhadap pupuk anorganik.

Penggunaan pupuk anorganik secara berlebihan dalam waktu yang lama menyebabkan kondisi fisik tanah semakin buruk dimana bahan organiknya menjadi sangat rendah sehingga menyebabkan kondisi tanah menjadi “sakit”. Adiningsih (2005), menyarankan agar perbaikan kesehatan tanah dan peningkatan produktivitas lahan – lahan pertanian dapat dilakukan melalui pengelolaan tanah secara terpadu yang mencakup aspek kimia, fisik dan biologi tanah, dimana pengelolaan bahan organik merupakan salah satu komponen utama.

Pakan utama sapi potong adalah hijauan, saat ini ketersediaan hijauan semakin terbatas sehingga diperlukan pakan alternatif agar ketersediaan pakan tetap kontinue. Limbah perkebunan yaitu kulit kopi belum dimanfaatkan secara optimal oleh petani baik itu untuk pupuk organik maupun pakan. Ketersediaan kulit kopi pada saat musim panen cukup banyak dan hanya dibiarkan tertumpuk di sekitar pengolahan kopi, hanya sebagian kecil dimanfaatkan untuk pupuk kompos dan pakan ternak.

Peningkatan pendapatan petani kopi dan peternak dapat dilakukan dengan memanfaatkan limbah tanaman kopi dan limbah ternak yang saling berintegrasi antara tanaman kopi dengan ternak sapi. Prospek pengembangan ternak sapi cukup besar untuk memenuhi kebutuhan daging nasional, untuk mendukung program tersebut pendekatan yang dapat diterapkan adalah dengan mengoptimalkan potensi yang tersedia melalui sistem pertanian bioindustri pertanian berkelanjutan berbasis komoditas tanaman kopi diintegrasikan dengan ternak. Tanaman tersebut akan menghasilkan limbah yang sangat potensial untuk pakan ternak sapi, pupuk organik dan bahan pembenah tanah lainnya. Limbah ternak berupa kotoran dapat diproses menjadi pupuk organik untuk memperbaiki produktivitas lahan agar tanaman yang ditanam nantinya dapat berproduksi tinggi.

Untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap petani terhadap teknologi pembuatan pakan ternak dan kompos dapat dilakukan melalui berbagai metode. Salah satu metode pembelajaran yang dapat dilakukan yaitu metode demonstrasi. Demonstrasi merupakan bentuk penyajian materi yang disiapkan secara cermat, tentang cara penggunaan prosedur dalam pelaksanaan suatu kegiatan yang berupa penjelasan mengenai sesuatu hal dengan dibantu media tertentu (Suwandi, 2016). Demonstrasi terdiri dari dua bentuk yaitu demonstrasi cara dan demonstrasi hasil. Dengan metode demonstrasi penyuluh dapat memperlihatkan dengan jelas kepada petani tentang penggunaan teknologi baru dan cara kerja yang lebih baik (demonstrasi cara) atau memperlihatkan hasil suatu cara kerja baru agar para petani mengetahui apakah cocok untuk diterapkan atau tidak (demonstrasi hasil). Menurut Mardiyanto (2015) Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan antara lain adalah pendidikan, umur, pekerjaan, minat, pengetahuan dan informasi.

Dalam rangka mempercepat penyebaran inovasi teknologi ke pengguna di lapang diperlukan metode yang efektif untuk penyaluran inovasi teknologi. Salah satu metode melalui kegiatan demonstrasi diharapkan dapat mempercepat proses transfer inovasi teknologi sehingga mampu meningkatkan pengetahuan dan sikap petani terhadap inovasi teknologi pembuatan pakan dan teknologi pengolahan pupuk kompos. Berdasarkan latar belakang tersebut tujuan kajian ini untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap petani terhadap teknologi pemanfaatan limbah perkebunan untuk pakan ternak (kulit kopi) dan peternakan (feses) melalui kegiatan demonstrasi di Kabupaten Rejang Lebong.

Page 165: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

147

METODE PENELITIAN

Pengkajian dilaksanakan pada bulan Agustus 2015dengan metode pertemuan tatap muka melalui demontrasi cara pembuatan pakan ternak dari limbah kopi dan kompos berbahan baku kotoran ternak dan kulit kopi. Lokasi pengkajian dilaksanakan di pusat kegiatan model sistem pertanian bioindustri berbasis integrasi tanaman ternak di Desa Air Meles Bawah Kabupaten Rejang Lebong. Responden adalah kelompok tani Gading Indah sebanyak 30 orang. Data primer yang diambil meliputi karakteristik petani; pengetahuan sebelum demonstrasi dan setelah demonstrasi; dan respon petani dalam pemanfaatan limbah ternak dan perkebunan.

Data yang dikumpulkan, ditabulasi dan selanjutnya dilakukan analisis terhadap tingkat pengetahuan sebelum dan setelah dilaksanakan demontrasi dan respon petani terhadap metode penyuluhan (demcara) menggunakan statistik deskriptif dan interval kelas. Menurut Nasution dan Barizi dalam Rentha, T (2007), penentuan interval kelas untuk masing-masing indikator adalah :

NR = NST – NSR dan PI = NR : JIK

Dimana :NR: Nilai Range , PI: Panjang Interval NST: Nilai Skor Tertinggi , JIK : Jumlah Interval Kelas NSR: Nilai Skor Terendah

Peningkatan pengetahuan responden dianalisis dengan menggunakan uji statistik non parametrik chi square dengan rumus Martono (2010):

𝑋2 = ∑(𝑓𝑜 − 𝑓ℎ)2

𝑓ℎ

Keterangan : X2 : chi kuadrat

fo : frekuensi yang diperoleh dari hasil observasi sampel (frekuensi observasi) fh : frekuensi yang diharapkan dalam sampel sebagai pencerminan dari frekuensi yang diharapkan

dalam populasi (frekuensi harapan).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Karakteristik responden yang diperoleh antara lain umur dan tingkat pendidikan yang tersaji dalam tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik petani di desa air meles bawah tahun 2015

No. Karakteristik Petani Kelompok (tahun) Jumlah (orang) %

1. Umur 15 – 25 26 – 35 36 – 45 46 – 55 56 – 65

4 6 11 6 3

13,33 20,00 36,67 20,00 10,00

Jumlah 30 100,00

2. Pendidikan SD SMP SMA

S1

9 7 9 5

30 23,33

30 16,67

Jumlah 30 100,00

Sumber : Data primer (2015)

Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata umur responden adalah 39 tahun 4 bulan dan mayoritas responden (36,67%) berumur 36 – 45 tahun. Kondisi ini menunjukkan usia produktif yang secara fisik memiliki kemampuan untuk berusahatani. Menurut Klenden (2014), semakin muda umur responden, semakin tanggap terhadap inovasi baru sehingga semakin tinggi peluang petani mengadopsi inovasi teknologi, sedangkan yang lebih tua pada umumnya bertahan pada sistem yang lama yang sudah biasa diterapkan oleh masyarakat.

Page 166: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

148

Tingkat pendidikan responden sebagian besar SD dan SMA (30%), diasumsikan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan responden. Pendidikan formal sangat mempengaruhi tingkat perilaku (baik pengetahuan, sikap, dan keterampilan) seseorang dalam pengambilan keputusan, dan cara berpikir terhadap informasi inovasi teknologi yang disampaikan. Disamping itu juga semakin tinggi umur petani maka kemampuan belajar semakin rendah. Menurut Nazariah (2015), pendidikan mempengaruhi pola pikir, keterampilan, sikap dan pengambilan keputusan dan tingkat pendidikan juga sangat mempengaruhi dalam menerima informasi, menyerap dan memahami suatu informasi teknologi. Senada dengan hal tersebut, Drakel (2008) menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi cara berpikir terhadap respon-respon inovatif dan perubahan-perubahan yang dianjurkan. Dalam hal menerima inovasi baru, responden dengan kondisi ini tergolong dalam kelompok mudah menerima inovasi baru.

Pengaruh Penyuluhan dengan Metode Demontrasi Terhadap Peningkatan Pengetahuan

Pengetahuan merupakan tahap awal untuk terjadinya persepsi yang akan melahirkan sikap yang diikuti dengan perbuatan. Pengetahuan yang tinggi tentang inovasi teknologi akan mendorong seorang untuk berubah, artinya pengetahuan yang tinggi dimiliki oleh individu yang mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi pula. Menurut Hamtiah, et al. (2012), semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin besar peluang tingkat pengetahuan yang diperoleh dan semakin tua umur peternak yaitu 60 tahun keatas maka daya ingat yang ditangkap berkurang sehingga pengetahuan yang diperoleh tetap. Hal ini juga sejalan dengan Kansrini (2016), menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan petani maka kemampuannya dalam mengadopsi teknologi dibidang pertanian juga tinggi.

Tabel 2 memperlihatkan bahwa pengetahuan petani mengenai pembuatan pakan yang berasal dari kulit kopi meningkat dari 50,86 menjadi 76,57. Selisih peningkatan sebesar 25,71 diduga karena responden belum banyak memahami dan menerapkan pengolahan kompos dan fermentasi kulit kopi untuk pakan.

Tabel 2. Deskripsi tingkat pengetahuan petani terhadap teknologi pembuatan fermentasi kulit kopi tahun 2015

Uraian Skor Pengetahuan Responden*

Sebelum Kriteria Sesudah Kriteria

Manfaat limbah tanaman kopi 57 Sedang 90 Tinggi Limbah tanaman kopi yang bisa dimanfaatkan 50 Sedang 77 Tinggi Teknologi dalam aplikasi pemanfaatan limbah perkebunan

33 Rendah 73 Tinggi

Pengertian fermentasi 50 Sedang 73 Tinggi Kondisi kulit kopi yang akan digunakan sebagai pakan ternak

63 Sedang 77 Tinggi

Keuntungan dari fermentasi kulit kopi 50 Sedang 73 Tinggi Manfaat proses fermentasi kulit kopi 53 Sedang 73 Tinggi Jumlah 356 536

Rata – rata 50,86 Sedang 76,57 Tinggi

Sumber : Data primer (2015) Keterangan * 0,00 ≤ x ≤ 33 = Rendah;33 < x ≤ 67 = Sedang; 67 < x ≤ 1,00 = Tinggi;

Demikian juga setelah data diuji dengan menggunakan analisis statistik non parametrik chi square (Tabel 3) terlihat ada perbedaan yang sangat signifikan pengetahuan petani sebelum dan sesudah penyuluhan, dimana nilai signifikan 0,000 < 0,05, artinya terjadi perubahan yang signifikan tentang pengetahuan teknologi pembuatan pakan ternak.

Page 167: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

149

Tabel 3. Pengetahuan petani sebelum dan sesudah penyuluhan tahun 2015 Pre Post

Chi-Square 19.000a 27.600

b

Asymp. Sig. .004 .000

Sumber : Data primer (2015)

Pengetahuan petani terhadap pembuatan kompos dari kotoran ternak (Tabel 4) meningkat dari 64,43 menjadi 76,14 atau 11,72 diduga disebabkan oleh pengalaman petani yang sudah cukup lama dalam memanfaatkan kotoran ternak yang digunakan sebagai pupuk kompos ke tanaman mereka tetapi petani dari segi teknologi yang digunakan masih rendah karena dalam proses pembuatan kompos tidak menggunakan decomposer. Tingkat pengetahuan petani terhadap teknologi pengawetan dan pengolahan pakan yang berbasis kulit kopi baru sebesar 17,50% dan yang menerapkan hanya 5 % sedangkan yang melakukan pemupukan (anorganik) tanaman kopi sebesar 14% dan tidak melakukan pemupukan sebesar 84% (BPTP Bengkulu, 2015). Melalui metode demontrasi transfer inovasi teknologi pengolahan pakan dan teknologi pengolahan pupuk kompos diharapkan adanya perubahan perilaku petani terhadap penerapan komponen teknologi tersebut.

Tabel 4. Deskripsi tingkat pengetahuan petani terhadap teknologi pembuatan kompos tahun 2015

Uraian Skor Pengetahuan Responden*

Sebelum Kriteria Sesudah Kriteria

Manfaat limbah tanaman kopi 70,00 Tinggi 86,00 Tinggi Manfaat menggunakan kompos 60,00 Sedang 63,00 Sedang Teknologi dalam aplikasi pemanfaatan kotoran ternak 80,00 Tinggi 100 Tinggi Penggunaan decomposer 17,00 Rendah 27,00 Rendah Bahan yang digunakan untuk pembuatan kompos 67,00 Sedang 77,00 Tinggi Tempat pembuatan kompos 77,00 Tinggi 83,00 Tinggi Ciri – ciri kompos yang sudah matang 80,00 Tinggi 97,00 Tinggi

Jumlah 451 533

Rata – rata 64,43 Sedang 76,14 Tinggi

Sumber : Data primer (2015) Keterangan : * 0,00 ≤ x ≤ 33 = Rendah; 33 < x ≤ 67 = Sedang; 67 < x ≤ 100 = Tinggi;

Metode penyuluhan melalui demonstrasi cara dapat meningkatkan pengetahuan petani terhadap teknologi pembuatan pakan yang berasal dari limbah perkebunan, begitu juga dengan teknologi pembuatan kompos. Suwandi (2006), mengemukakan bahwa demonstrasi merupakan bentuk penyajian materi yang disiapkan secara cermat, tentang cara penggunaan prosedur dalam pelaksanaan suatu kegiatan yang berupa penjelasan mengenai sesuatu hal dengan dibantu media tertentu. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sefrizon (2011), menyebutkan bahwa melalui metode penyuluhan ceramah, diskusi kelompok dan demontrasi dapat memberikan perbedaan pengetahuan dan keterampilan.

Peningkatan pengetahuan petani merupakan bagian yang penting dalam proses adopsi inovasi, seperti yang dikemukakan oleh Notoatmodjo dalam Lubis, (2013) salah satu strategi untuk perubahan perilaku adalah pemberian informasi guna meningkatkan pengetahuan sehingga timbul kesadaran yang pada akhirnya orang akan berperilaku sesuai dengan pengetahuannya tersebut. Jika pengetahuan tinggi dan individu bersikap positif terhadap suatu teknologi baru di bidang pertanian, maka penerapan teknologi tersebut akan menjadi lebih sempurna, yang pada akhirnya akan memberikan hasil secara lebih memuaskan baik secara kuantitas maupun kualitas. Syafruddin, et al. (2006) menyatakan bahwa setiap individu memiliki kemampuan berbeda untuk mengembangkan pengetahuan. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik individu tersebut.

Hasil pengkajian setelah diuji dengan menggunakan analisis statistik non parametrik chi square memperlihatkan ada perbedaan yang signifikan pengetahuan petani sebelum dan sesudah penyuluhan (Tabel 5). Dimana nilai signifikan 0,001< 0,05, artinya terjadi perubahan pengetahuan yang signifikan tentang teknologi pembuatan kompos.

Page 168: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

150

Tabel 5. Pengetahuan petani sebelum dan sesudah penyuluhan tahun 2015 Pre Post

Chi-Square 19.000a 27.600

b

Asymp. Sig. .018 .001

Sumber : Data primer (2015)

Tiap karakter yang melekat pada individu akan membentuk kepribadian dan orientasi perilaku tersendiri dengan cara yang berbeda pula. Dengan meningkatnya pengetahuan petani, diharapkan proses transfer teknologi pembuatan kulit kopi untuk pakan ternak dan pembuatan kompos dapat dengan cepat diterapkan dan mengurangi dalam penggunaan pupuk kimiawi, sehingga dapat meningkatkan produktifitas ternak dan dapat meningkatkan perekonomian petani.

Pengaruh Penyuluhan dengan Metode Demontrasi Terhadap Sikap

Hasil kajian terhadap sikap petani terhadap teknologi pembuatan pakan ternak dan teknologi pembuatan kompos tersaji pada tabel 6.

Tabel 6. Deskripsi sikap petani terhadap kegiatan demonstrasi cara di Desa Air Meles Bawah Tahun 2015.

Uraian Respon responden* Kriteria

Teknologi pembuatan pakan ternak 4,60 Setuju Teknologi pembuatan kompos 4,44 Setuju

Jumlah 9,04

Rata – rata 4,52 Setuju

Sumber : Data primer (2015) Keterangan * 3,00 ≤ x ≤ 3,4 = sangat tidak setuju, 3,4 < x ≤ 3,8 = tidak setuju, 3,8 < x ≤ 4,2 =cukup setuju, 4,2

< x ≤ 4,6 = setuju, 4,6 < x ≤ 5,00 = sangat setuju

Hasil analisis data menunjukkan bahwa sikap petani terhadap teknologi pembuatan pakan dan kompos berada pada kategori setuju artinya dengan adanya kegiatan penyuluhan melalui metode demontrasi cara teknologi pembuatan pakan dan teknologi pembuatan kompos secara langsung sudah adanya minat petani untuk merubah perilaku dalam mengadopsi teknologi pembuatan pakan dan kompos.

Perubahan sikap pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor pengetahuan dan keyakinan/kepercayaan yang didapatkan dari hasil penginderaan, yang salah satunya didapat melalui pendidikan atau proses belajar (Lubis et al., 2001). Dari hasil pengkajian Rahmawati, et al. (2007), perubahan sikap dipengaruhi sejauh mana isi komunikasi atau rangsangan diperhatikan, dipahami dan diterima sehingga memberikan respon positif. Selain itu, pembentukan sikap tidaklah mudah karena tidak terlepas dari adanya faktor yang mempengaruhi responden, seperti pengalaman pribadi responden, kebudayaan, media massa serta faktor emosi dalam diri individu.

Hasil evaluasi/analisis melalui demonstrasi cara sebagai metode penyuluhan secara kelompok mengenai teknologi pembuatan fermentasi kulit kopi dan teknologi pembuatan kompos kepada petani dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap petani. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Lubis, et al. (2013) tentang pengaruh penyuluhan dengan metode ceramah dan diskusi terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap anak tentang pengolahan hidup bersih dan sehat (PHBS) di Sekolah Dasar Negeri, penyuluhan melalui metode diskusi dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap anak tentang PHBS. Demikian juga dengan hasil penelitian Far (2014) tentang respon petani terhadap penerapan metode penyuluhan di Kota Ambon, menyebutkan respon petani terhadap metode yang digunakan dalam penyuluhan pertanian lebih banyak menggunakan metode pendekatan secara kelompok karena lebih efisien dari metode pendekatan perorangan dan metode pendekatan massal.

Page 169: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

151

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Pengetahuan petani tentang teknologi pembuatan pakan (kulit kopi) dengan teknologi fermentasi dan teknologi pembuatan kompos melalui kegiatan demontrasi cara meningkat yaitu sebesar 25,71 dan 11,71.

2. Sikap petani terhadap teknologi pembuatan pakan ternak sebesar 4,60 dan kompos sebesar 4,44 yang berada pada kriteria setuju.

3. Kegiatan demontrasi cara secara signifikan meningkatkan pengetahuan dan sikap petani terhadap teknologi pemanfaatan limbah ternak sebagai kompos dan perkebunan sebagai pakan.

4. Peran penyuluh sangat dibutuhkan dalam penyebaran inovasi teknologi pembuatan pakan dan kompos.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Kepala Balai BPTP Bengkulu, Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP, Ir. Sri Suryani Rambe, M.Agr dan teman-teman tim kegiatan bioindustri kopi sapi yang telah membantu dan mendukung dalam penyempurnaan penulisan KTI dan kegiatan pengkajian di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, J. S dan F. Agus. 2005. Petunjuk penggunaan perangkat uji tanah sawah (paddy soil test kit) versi 1.0. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

BPTP Bengkulu. 2015. Laporan Pariticipatory Rural Appraisal (PRA): Model sistem pertanian bio industri berbasis integrasi tanaman-ternak spesifik lokasi di Propinsi Bengkulu Tahun 2015. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Bengkulu.

BPP Kesambe Lama. 2015. Programa balai penyuluhan pertanian tahun 2015. Kecamatan Curup Timur. Kabupaten Rejang Lebong.

Drakel, A. 2008. Analisis usahatani terhadap masyarakat kehutanan di dusun gumi desa akelamo kota tidore kepulauan. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan: 1

Far, R.A. F. 2014. Respon petani terhadap penerapan metode penyuluhan pertanian di Kota Ambon Provinsi Maluku. Jurnal Budidaya Pertanian: 10 (1): 48-51.

Hamtiah, S., Dwijatmiko, S dan Satmoko, S. 2012. Efektifitas media audio visual (video) terhadap tingkat pengetahuan petani ternak sapi perah tentang kualitas susu di indrokilo Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang. Animal Agriculture journal: 1( 2): 322 – 330.

Kansrini, Y. 2010. Kajian pengetahuan dan sikap petani dalam mengendalikan hama penggerek buah kakao (PBK) di Kecamatan Biru – Biru Kabuaten Deli Serdang. www.sttppmedan.ac.id/pdf/jurnal%20vol%205/8-yuli.pdf. [Diunduh Tgl 12 September 2016].

Klenden, Y.L. 2014. Faktor – faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi infus asap di kabupaten timur tengah selatan, NTT – Indonesia. KAWISTARA: 4 (2): 111-224.

Lubis, Z., Akbar, S., Lubis, N., Lumongan dan Syarial, E. 2013. Pengaruh penyuluhan dengan metode ceramah dan diskusi terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap anak tentang PHBS di sekolah dasar negeri 065014 Kelurahan Namogajah Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2013. Jurnal.usu.ac.id/index.php/kpkb/article/download/2085/1127. [Diunduh Tgl 12 September 2016].

Martono, N. 2010. Statistik sosial teori dan aplikasi program SPSS. Penerbit Gava Media. Yogyakarta.

Mardiyanto, T.C,. Prastuti dan Reni, T. 2015. Efektifitas pelatihan teknologi budidaya cabe rawit merah ramah lingkungan dengan metode ceramah di Kabupaten Demak. Dalam Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 24 – 25 Agustus di Bogor, Temu teknis jabatan fungsional non peneliti. Halaman :361-370.

Nazariah. 2015. Percepatan difusi teknologi ptt kedelai di provinsi aceh. Dalam Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 24 – 25 Agustus di Bogor, Temu teknis jabatan fungsional non peneliti. Halaman :93-99.

Page 170: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

152

Puslitbangnak. 2012. Pedoman umum pembibitan dan penggemukan sapi potong. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.

Rahmawati, I., Sudargo, T dan Paramastri, I. 2007. Pengaruh penyuluhan dengan audio visual terhadap peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu balita gizi kurang dan buruk di kabupaten waringin barat provinsi Kalimantan tengah. Jurnal Gizi Klinik Indonesia: 4 (2): 69 – 77.

Rasyid. A. 2012. Metode komunikasi penyuluhan pada petani sawah. Jurnal Ilmu Komunikasi: 1 (1): 1-55.

Rentha, T. 2007. Identifikasi Perilaku, Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Irigasi Teknis Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga Pupuk di Desa Bedilan Kecamatan Belitang OKU Timur (Skripsi S1). Universitas Sriwijaya.Palembang.

Sefrizon. 2011. Pengaruh ceramah, diskusikelompok dan demontrasi terhadap pengetahuan dan keterampilan pencegahan penularan tuberculosis paru pada siswi sekolah dasar di kabupaten solok. Tesis Fakultas Kedokteran UGM. Yogjakarta

Sudarta, W. 2005. Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian Hama Tanaman Terpadu (Online). http: //ejournal .unud. ac.id/ abstrak / (6)%20soca-sudarta-pks%20pht(2).pdf. [Diunduh Tgl 30 Desember 2009].

Syafruddin. 2006. Hubungan Sejumlah Karakteristik Petani Mete dengan Pengetahuan Mereka dalam Usahatani Mete di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Jurnal Penyuluhan Juni 2006: 2(2).

Page 171: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

153

EFISIENSI PROTEIN, ENERGI, DAN PAKAN PADA PERTUMBUHAN AYAM LEHER GUNDUL DAN AYAM NORMAL

THE EFFICIENCY OF PROTEIN, ENERGY, AND FEEDON GROWTH OF NAKED NECK FOWL CHICKEN AND NORMAL CHICKEN

Harwi Kusnadi1, J. H. P. Sidadolog

2, Zuprizal

2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu

Jl. Irian km 6,5 Kota Bengkulu, 38119 2Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada

Jl. Fauna No. 3, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281 Email : [email protected]

ABSTRAK

Penampilan yang kurang optimal dan produktifias yang rendah pada ayam kampung salah satunya disebabkan pemberian pakan dengan nutrisi yang tidak memenuhi kebutuhan ternak, karena biasanya peternak memberi makan ayam dengan sisa makan dan dedak padi sebagai tambahannya.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efisiensi protein, energi, dan pakan pada pertumbuhanayam Leher Gundul dan ayam normal sampai umur 10 minggu. Penelitian ini menggunakan DOC ayam Leher Gundul sebanyak 72 ekor dan DOC ayam normal sebanyak 72 ekor. Pakan perlakuan yaitu tiga macam dengan imbangan kandungan protein dan energi (1:150) yaitu : P1(20,94% protein : 3.139,43 kcal/kg energi), P2(18,91% protein :2.839,20 kcal/kg energi), P3(17,32% protein :2.596,28 kcal/kg energi). Pemberian pakan dan air minum secara adlibitum.Data yang diambil antara lain efisiensi protein, efisiensi energi, dan efisiensi pakan. Data dianalisis dengan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan dengan imbangan protein-energi yang sama tidak berpengaruh nyata terhadap efisiensi protein pada minggu ke (0–2), ke (6–8), dan minggu ke (8–10), tidak berpengaruh nyata terhadap efisiensi energi pada minggu ke (0–2), ke (6–8), dan ke (8–10), berpengaruh sangat nyata terhadap efisiensi pakan kecuali pada minggu ke (8–10). Kesimpulan yang dapat diambil bahwa pakan dengan imbangan protein-energi 20,94% dan energi 3.139,43 kcal/kg paling efisien untuk menghasilkan berat badan dan pertambahan berat badan ayam Leher Gundul maupun ayam normal sampai umur 10 minggu. Kondisi bulu pada ayam Leher Gundul dan ayam normal tidak mempengaruhi efieiensi protein, energi dan pakan pada masa pertumbuhan.

Kata kunci: efisiensi, pertumbuhan, ayam Leher Gundul, ayam normal

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the efficiency of protein, energy, and feed on the growth of naked neck fowl chicken and normal chicken until the age of 10 weeks. This study used 72DOC naked neck fowl chickens and 72DOC normal chickens.Treatment of three feeding with protein and energy content balance (1:150), P1 (20.94% protein : 3139.43 kcal/kg energy), P2 (18.91% protein : 2839.20 kcal/kg energy), P3 (17.32% protein : 2596.28 kcal/kg energy). Feeding and drinking water ad libitum. Data taken include protein efficiency, energy efficiency, and feed efficiency. Experimental design used were complete randomized design with factorial pattern. The results showed that feeding with the same of protein-energy balance did not significantly affect on the protein efficiency in the (0-2) to (6-8)week of age and the (8-10)week of age, did not significantly affect the energy efficiency of (0-2) to (6-8) week of age and (8-10) week of age, very significant effect on feed efficiency except (8-10) week of age. It could be concluded that feed with protein - energy balance (20.94% : 3139.43 kcal /kg) is the most efficient way to produce weight and gain naked neck fowl chicken and normal chicken until 10 weeks of age. Neck feathers conditions in naked neck fowl chickens and normal chicken not affect efficiency protein, energy and feeding on growth.

Keywords: efficiency, growth, naked neck fowlchickens, normal chicken

Page 172: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

154

PENDAHULUAN

Ayam kampung merupakan ayam lokal di Indonesia yang kehidupannya sudah melekat dengan masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan ayam buras (bukan ras) atau ayam sayur. Penampilan ayam kampung sangat beragam, begitu pula sifat genetiknya, penyebarannya juga sangat luas karena dapat dijumpai di kota maupun di desa. Ayam kampung sangat berarti bagi masyarakat karena kontrisbusinya dalam meningkatkan pendapatan keluarga dan memenuhi kebutuhan gizi dari daging dan telur yang dihasilkan. Di beberapa daerah di Indonesia ayam kampung sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam acara keagamaan, adat istiadat dan hobi sehingga pembudidayaannya perlu ditingkatkan (Nitis, 2006).

Penampilan ayam dengan kondisi bulu dan pertumbuhan yang terbatas pada bagian leher dan sekitarnya yang disebut ayam Legund atau Leher Gundul (Naked Neck Fowl) (Sidadolog, 1991).Hal ini menjadikan ayam Legund lebih lancar dalam pembuangan panas tubuh sehingga lebih toleran terhadap lingkungan dengan temperatur tinggi. Kondisi tidak adanya bulu pada leher pada daerah dengan temperatur tinggi menjadikan ayam Legund lebih toleran terhadap pemberian pakan dengan kandungan energi yang rendah dibandingkan dengan ayam bulu normal sehingga dengan pakan yang samamemiliki potensi pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan ayam normal (Sidadolog, 1991).Dengan keistimewaan tersebut ayam Legund mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan di daerah tropis.

Permasalahan utama dalam pengembangan ayam kampung adalah penampilan yang kurang optimal dan rendahnya produktifitas.Penampilan ternak ditentukan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan.Faktor genetik didapatkan dari induk betina dan pejantan tetuanya, sedangkan faktor lingkungan salah satunya adalah pakan. Potensi genetik ternak akan ditampilkan apabila ditunjang dengan nutrisi pakan yang cukup. Penampilan yang kurang optimal dan produktifias yang rendah pada ayam kampung salah satunya disebabkan pemberian pakan dengan nutrisi yang tidak memenuhi kebutuhan ternak karena biasanya peternak memberi makan ayam dengan sisa makan dan dedak padi sebagai tambahannya. Peningkatan populasi, produksi dan efisiensi usaha ayam kampung perlu ditingkatkan dari tradisional ke arah agribisnis (Zakaria, 2004). Tetapi perlu diperhatikandalam biaya produksi sehingga biaya yang dikeluarkan sebanding dengan hasil yang diperoleh.Dalam usaha peternakan unggas biaya untuk pakan mencapai 65–70% dari total biaya produksi (Zuprizal, 2006), sehingga harga bahan pakan sangat menentukan biaya produksi. Oleh karena itu perlu diupayakan penghematan untuk menekan biaya produksi.

Pada fase pertumbuhan ayam memerlukan protein dan energi yang tinggi sesuai dengan kebutuhannya karena protein dan energi merupakan nutrisi makanan yang sangat berperan dalam pertumbuhan. Matitaputty et al. (2011) menjelaskan bahwa pertumbuhanlebih dipengaruhi oleh nutrisi, konversi pakan dan umur potong. Optimalisasi protein dan energi pakan merupakan upaya untuk meningkatkan efisiensi ekonomis penggunaan pakan oleh ternak sesuai dengan kapasitas laju pertumbuhan genetis ternak itu sendiri.Kekurangan asupan protein dan energi menyebabkan tertahannya kapasitas genetik tumbuh sehingga ternak tumbuh kurang optimal. Sebaliknya, apabila asupan protein dan energi berlebihan,ternak akan mengeluarkan kelebihan protein tersebut sehingga merupakan pemborosan(Iskandar, 2012). Protein dibutuhkan sebagai sumber energi utama karena protein ini terus-menerus diperlukan dalam pakan untuk pertumbuhan, produksi ternak, dan perbaikan jaringan yang rusak (Zulfanita et al., 2011).Kebutuhan nutrisi ayam kampung pedaging adalah protein 15-19% dan energi metabolis 2.900 kcal/kg, sedangkan untuk ayam petelur adalah protein 14-15% dan energi metabolis 2.600 kcal/kg (Resnawati, 2012).

Penelitian tentang protein, energi pakan pada ayam kampung telah banyak dilakukan.Akan tetapi pemberian tingkat protein dan energi pakan yang tepat masih perlu dilakukan penelitian sejenis pada berbagai macam jenis ayam kampung diantaranya pada ayam Legund dan dibandingkan dengan ayam normal.Sehubungan dengan uraian permasalahan di atas perlu dilakukan penelitian efieiensi protein, energi, dan pakan pada pertumbuhan ayam Legund dan ayam normal sampai umur 10 minggu.

Page 173: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

155

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di kandang Laboratorium Ternak Unggas Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta pada bulan September sampai Desember 2013. Materi yang digunakan yaitu DOC ayam Legund sebanyak 72 ekor dan DOC ayam normal sebanyak 72 ekor tanpa dilakukan sexing. DOC ayam Legund dan ayam normal merupakan hasil penetasan mesin tetas milik Laboratorium Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, UGM.

Bahan pakan yang digunakan antara lain jagung kuning giling, bungkil kedelai, dedak padi, meat bone meal (MBM), tepung ikan, garam, top mix, CaCO3, Lysin, Methyonin, dan minyak CPO. Pakan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga macam ransum dengan imbangan kandungan protein dan energi (1:150) yaitu : P1 = protein pakan 20,94% dan energi 3.139,43 kcal/kg, P2 = protein pakan 18,91% dan energi 2.839,20 kcal/kg, P3 = protein pakan 17,32% dan energi 2.596,28 kcal/kg.Formula pakan penelitian disajikan pada Tabel 1.

Kandang yang digunakan adalah kandang kelompok yang dibuat dari rangka besi dan strimin kawat. Kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Penerang dan pemanas berupa lampu listrik 15 watt sebanyak 2 buah untuk setiap kandang. Ukuran kandang yaitu 50 cm x 100 cm dengan kapasitas masing-masing 4 ekor.

Tabel 1. Formula pakan penelitian

Bahan pakan Formula pakan penelitian (%)

P1 P2 P3

- Jagung kuning giling 46,50 40,00 29,00 - Bungkil kedelai 28,00 23,00 21,50 - Dedak padi 12,00 27,50 42,50 - Meat Bone Meal 3,00 2,50 1,00 - Tepung Ikan 3,50 2,50 1,00 - Garam 0,25 0,25 0,25 - Top Mix 0,25 0,25 0,25 - CaCO3 1,00 1,00 1,00 - L-lysine-HCL 0,25 0,25 0,25 - DL-methionine 0,25 0,25 0,25 - Minyak CPO 5,00 1,50 0,00 - Filler 0,00 1,00 3,00

Total 100 100 100

Kandungan nutrient - ME (kcal/kg) 3.139,43 2.839,20 2.596,28 - PK (%) 20,94 18,91 17,32 - SK (%) 4,50 7,30 9,90 - LK (%) 3,70 4,20 4,50 - Ca (%) 0,80 0,70 0,70 - Pav (%) 0,30 0,30 0,30 - Abu (%) 5,30 6,40 7,40 - Lisin (%) 1,35 1,27 1,23 - Metionin (%) 0,59 0,58 0,57

Protein : Energi (1:150) (1:150) (1:150)

DOC ayam Legund sebanyak 72 ekor dibagi menjadi tiga kelompok sesuai perlakuan pakan dengan enam kali ulangan sehingga masing-masing kelompok berisi 4 ekor, demikian juga DOC ayam normalsebanyak 72 ekor dibagi menjadi tiga bagian sesuai perlakuan pakandengan enam kali ulangan sehingga masing-masing kelompok berisi 4 ekor. DOC masing-masing kelompok ditempatkan pada kandang kelompok yang dilengkapi dengan tempat pakan, tempat minum dan lampu pijar 25 watt.Pemberian pakan dan air minum secara adlibitum.Penimbangan berat badan dan sisa pakan dilakukan setiap minggu.Ayam dipelihara sampai umur 10 minggu.Data yang diambil meliputi efisiensi protein, efisiensi energi dan efisiensipakan. Data dianalisis dengan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial, kemudian apabila hasil analisis menunjukkan pengaruh yang nyata, dilanjutkan dengan uji Duncan’sNew Multiple Range Test (DMRT).

Page 174: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

156

HASIL DAN PEMBAHASAN

Efisiensi Protein

Efisiensi protein dinyatakan sebagai perbandingan antara pertambahan berat badan (g) dan konsumsi protein (g) dikalikan dengan 100%, sehingga satuan efisiensi protein adalah (g/g)% (Sidadolog dan Yuwanta, 2011). Konsumsi protein kasar dihitung dengan mengalikan konsumsi pakan selamapenelitian (g/ekor) dengan kandungan PK setiap pakan perlakuan(Trisiwi dan Supartini, 2015). Rata-rata efisiensi protein ayam hasil penelitian sampai umur (8–10) minggu disajikan pada Tabel 2.

Tabel2. Rara-rata efisiensi protein (g PBB/g protein)%pengaruh umur, kondisibulu dan pakan

Umur (mg)

Kondisi bulu Pakan Rata-rata

P1 P2 P3

‘0 - 2

Legund 245,37±61,45 216,53±33,14 194,83±30,19 218,91±41,59

Normal 206,79±42,23 214,88±40,49 192,69±49,47 204,79±44,06

Rata-ratans

226,08±51,84 215,71±36,82 193,76±39,83 211,85±42,83ns

‘2 - 4

Legund 205,99±26,50 186,34±33,83 167,83±26,43 186,72±28,92

Normal 181,87±21,68 169,57±41,15 164,36±24,33 171,93±29,05

Rata-rata* 193,94±24,09a 177,96±37,49

bc 166,09±25,38

c 179,33±28,99

ns

‘ 4 - 6

Legund 177,71±17,48 168,28±18,89 146,56±18,01 164,19±18,13

Normal 169,80±22,06 160,94±9,62 137,62±21,64 156,12±17,77

Rata-rata** 173,76±19,77a 164,61±14,25

ab 142,09±19,83

c 160,15±17,95

ns

‘6 - 8

Legund 151,74±41,19 145,17±55,56 128,79±25,13 141,89±40,63

Normal 145,69±61,39 141,72±32,19 130,22±37,12 139,21±43,57

Rata-ratans

148,71±51,29 143,45±43,87 129,50±31,13 140,55±42,09ns

‘8 - 10

Legund 129,05±22,79 135,61±40,19 127,43±29,15 130,69±30,71

Normal 114,82±19,56 126,03±41,78 130,02±32,47 123,62±31,27

Rata-ratans

121,94±21,18 130,82±40,99 128,72±30,81 127,16±30,99ns

Keterangan : a,b,c

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dan sangat nyata (P<0,01)

ns= non significan

* = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan tingkat protein pakan dengan imbangan energi yang samatidak berpengaruh nyata (P>0,05)terhadap efisiensi protein pada minggu ke (0–2), ke (6–8), dan minggu ke (8–10). Hal ini menunjukkan bahwa pada minggu tersebut protein yang dikonsumsi dapat dimanfaatkan sama baiknya untuk menghasilkan pertambahan berat badan pada ketiga perlakuan pakan. Pada minggu ke (2–4) dan ke (4–6) efisiensi protein yang dihasilkan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dimana pada pakan dengan kandungan protein dan energi yang lebih tinggi, nilai efisiensi protein lebih tinggi dibandingkan dengan pada pakan dengan kandungan protein dan energi yang lebih rendah. Pada minggu minggu ke (2–4) dan ke (4–6)pemberian protein pakan sampai 20,94% dapat dimanfaatkan dengan lebih baik untuk menghasilkan pertambahan berat badan. Kandungan protein kasar (CP) dalam ransum tidak memberikan satu efek yang cukup berarti terhadap konsumsi pakan.Untuk itu, maka kandungan protein kasar dalam ransum harus dibedakan antara untuk ternak yang sedang berproduksi, yang sedang bertumbuh atau yang hanya untuk kebutuhan hidup pokok saja (Zuprizal, 2006).Gultom (2014) menyatakan bahwa konsumsi protein yang tinggi akan mempengaruhi asupan protein pula ke dalam daging dan asam-asam amino tercukupi di dalam tubuhnya sehingga metabolisme sel-sel dalam tubuh berlangsung secara normal. Tampubolon dan Bintang (2012) menyebutkan bahwa asupan protein dipengaruhi oleh jumlah konsumsi ransum. Perbedaan tingkat protein dan energi menyebabkan perbedaan tingkat konsumsi pakannya, dimana pakan dengan tingkat protein dan energi lebih rendah, maka konsumsi pakannya lebih banyak sehingga protein pakan yang dikonsumsi pada setiap perlakuan pakan tidak berbeda. Konsumsi protein inilah yang akan mempengaruhi efisiensi protein dalam penambahan berat badan.Ransum yang mengandung energi metabolis sebesar 2900 dan protein sebesar 19%, dengan kandungan energi dan protein yang rendah maka kurang mampu menghasilkan rasio efisiensi protein yang baik untuk ternak (Sari et all., 2014).

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pengaruh kondisi bulu memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) pada efisiensi protein, dimana ayam normal sama baiknya dengan ayam Legund dalam memanfaatkan protein yang dikonsumsi untuk menghasilkan pertambahan berat badan.

Page 175: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

157

Ayam Legund dapat memanfaatkan protein pakan lebih banyak untuk pembentukan daging sedangkan ayam normal masih membutuhkan protein lebih untuk pertumbuhan bulu.

Efisiensi energi

Efisiensi energi merupakan hubungan antara pertambahan berat badan (g) dan konsumsi energi (kalori) dikalikan 100%, sehingga satuan efisiensi energi adalah (g PBB/kalori)%. Rata-rata efisiensi energi ayam hasil penelitian sampai umur (8–10) minggu disajikan pada Tabel 3.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan tingkat protein pakan dengan imbangan energi yang samatidak berpengaruh nyata (P>0,05)terhadap efisiensi energi pada minggu ke (0–2), ke (6–8), dan ke (8–10). Hal ini menunjukkan bahwa pada ketiga perlakuan pakan, energi yang dikonsumsi dapat dimanfaatkan sama baiknya untuk menghasilan pertambahan berat badan. Faktor pembatas utama yang berhubungan langsung dengan nafsu makan adalah kebutuhan energi (Zuprizal, 2006).Kandungan energi yang tinggi dalam pakan akan membuat ayam lebih cepat berhenti makan (Iskandar, 2012). Ayam akan terus mengkonsumsi pakan sampai kebutuhan energinya terpenuhi. Apabila kebutuhan energinya sudah terpenuhi, maka ayam akan berhenti makan sehingga jumlah energi pakan yang dikonsumsi pada setiap perlakuan pakan tidak berbeda. Energi inilah yang digunakan untuk menghasilkan pertambahan berat badan.

Pada minggu ke (2–4) dan ke (4–6) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Uji lanjut dengan DMRT dapat diketahui bahwa pakan dengan kandungan protein dan energi yang lebih tinggi nilai efisiensi energinya lebih tinggi daripada pakan dengan kandungan protein dan energi yang lebih rendah.Hasil ini sedikit berbeda dengan (Sidadolog dan Yuwanta 2011) yang melaporkan pada ayam Merawang efisiensi penggunaan energi tidak berbeda nyata pada minggu ke‐2, ke‐3 dan pada minggu ke‐9, ke‐10 dan ke‐11. Mulai dari minggu ke‐4 sampai dengan minggu ke‐8 dan minggu ke‐12, efisiensi penggunaan energi pada perlakuan pakan konsentrasi protein‐energi tinggi dengan konsumsi energi yang lebih besar ternyata mempunyai efisiensi yang lebih rendah (P≥0,05) dibandingkan dengan perlakuan pakan konsentrasi protein‐energi rendah dan sedang.

Tabel 3. Rata-rata efisiensi energi (g PBB/kalori)%pengaruh umur, kondisi bulu dan pakan

Umur (minggu)

Kondisi bulu Pakan Rata-rata

P1 P2 P3

‘0 – 2

Legund 16,37±4,09 14,42±2,21 12,99±2,02 14,59±2,77

Normal 13,79±2,82 14,31±2,69 12,85±3,29 13,65±2,94

Rata-ratans

15,08±3,46 14,37±2,45 12,93±2,66 14,12±2,86ns

‘2 – 4

Legund 13,74±1,77 12,41±2,25 11,19±1,77 12,45±1,93

Normal 12,13±1,45 11,29±2,74 10,96±1,62 11,46±1,94

Rata-rata* 12,94±1,61a 11,85±2,49

bc 11,08±1,69

c 11,96±1,93

ns

‘4 – 6

Legund 11,85±1,17 11,21±1,26 9,78±1,20 10,95±1,21

Normal 11,33±1,47 10,72±0,64 9,18±1,44 10,41±1,19

Rata-rata** 11,59±1,32a 10,96±0,95

ab 9,48±1,32

c 10,68±1,19

ns

‘6 – 8

Legund 10,12±2,75 9,67±3,70 8,59±1,68 9,46±2,71

Normal 9,72±4,09 9,44±2,14 8,69±2,48 9,28±2,91

Rata-ratans

9,92±3,42 9,55±2,92 8,64±2,08 9,37±2,81ns

‘8 – 10

Legund 8,61±1,52 9.03±2,68 8,50±1,94 8,71±2,05

Normal 7,66±1,30 8,39±2,78 8,67±2,17 8,24±2,08

Rata-ratans

8,13±1,41 8,71±2,73 8,59±2,06 8,48±2,07ns

a,b,c

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dan sangat nyata (P<0,01)

ns = non significan

* = berbeda nyata

** = berbeda sangat nyata

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pengaruh kondisi bulu memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) pada efisiensi energi, dimana ayam normal sama baiknya dengan ayam Legund dalam memanfaatkan energi yang dikonsumsi untuk menghasilkan berat badan. Ayam Legund merupakan ayam yang lebih lancar dalam pembuangan panas karena ada sebagian tubuh tidak ditumbuhi bulu sehingga seharusnya lebih efisien dalam penggunaan energi dari pada ayam normal. Hal ini diduga dipengaruhi juga dengan penggunaan energi untuk aktifitas ayam di kandang.

Page 176: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

158

Efisiensi Pakan

Efisiensi pakan dinyatakan sebagai perbandingan antara pertambahan berat badan (g) dan konsumsi pakan (g) dikalikan dengan 100%, sehingga satuan efisiensi pakan adalah (g/g)%. Rata-rata efisiensi pakan ayam hasil penelitian sampai umur (8– 10) minggu disajikan pada Tabel 4.

Pakan dengan kandungan protein lebih tinggi, maka efisiensi pakannya lebih tinggi dibandingkan dengan pakan dengan kandungan protein yang lebih rendah. Efisiensi pakan P1 lebih tinggi sampai minggu ke-8 mencapai 24,04% sedangkan P2 dan P3 masing-masing 24,74% dan 22,52%.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan tingkat protein pakan dengan imbangan energi yang samaberpengaruh sangat nyata (P<0,01)terhadap efisiensi pakan kecuali pada minggu ke (8–10).

Tabel 4. Rata-rata efisiensi pakan (g PBB/g pakan)% pengaruh umur, kondisi bulu dan pakan

Umur (minggu)

Kondisi bulu Pakan Rata-rata

P1 P2 P3

‘0 – 2

Legund 51,38±12,87 40,95±6,27 33,75±5,23 42,02±8,12

Normal 43,08±8,76 40,63±7,66 33,37±8,57 39,03±8,33

Rata-rata** 47,23±10,81a 40,79±6,96

b 33,56±6,89

c 40,53±8,23

ns

‘2 – 4

Legund 43,14±5,55 35,24±6,39 29,07±4,58 35,81±5,51a

Normal 38,08±4,54 32,07±7,78 28,47±4,21 32,87±5,51b

Rata-rata** 40,61±5,05a 33,65±7,09

b 28,77±4,39

c 34,34±5,51*

‘ 4 – 6

Legund 37,21±3,66 31,82±3,57 25,39±3,12 31,47±3,45

Normal 34,28±4,52 30,43±1,82 23,84±3,75 29,52±3,36

Rata-rata** 35,75±4,09a 31,13±2,69

b 24,61±3,43

c 30,49±3,41

ns

‘6 – 8

Legund 31,77±8,63 27,45±10,51 22,31±4,35 27,18±7,83

Normal 30,51±12,85 26,79±6,09 22,56±6,43 26,62±8,46

Rata-rata** 31,14±10,74a 27,13±8,29

bc 22,43±5,39

c 26,89±8,14

ns

‘8 – 10

Legund 27,02±4,77 25,64±7,60 22,07±5,05 24,91±5,81

Normal 24,04±4,09 23,83±7,90 22,52±5,62 23,47±5,87

Rata-ratans

25,53±4,43 24,74±7,75 22,29±5,34 24,19±5,84ns

a,b,c

Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dan sangat nyata (P<0,01)

ns = non significan

** = berbeda sangat nyata

Uji lanjut dengan DMRT menunjukkan bahwa pakan dengan kandungan protein dan energi yang lebih tinggi menghasilkan nilai efisiensi pakan lebih tinggi dari pada pakan dengan kandungan protein dan energi yang lebih rendah. Kandungan protein dan energi pakan 20,94% dan 3.139,43 kcal/kg sampai minggu ke (6–8) layak diberikan karena masih efisien dalam menghasilkan pertambahan berat badan.Konsumsi pakan merupakan hal yang penting, karena berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan baik untuk hidup pokok maupun produksi (Yantimala,2011).Pemberian pakan dengan nutrisi yang cukup dan tepat pada waktunya akan memberikan nilai efisiensi pakan yang tinggi.Pakan dengan kandungan protein-energi yang rendah mempunyai kepadatan nutrisi yang rendah dibandingkan pakan dengan kandungan protein tinggi (Rosandi, 2005). Oleh karena itu pada perlakuan pakan dengan kandungan protein-energi rendah, maka ayam akan mengkonsumsi pakan yang lebih banyak untuk mencukupi kebutuhannya sehingga nilai efisiensi pakannya lebih rendah.

Dilihat dari semakin bertambahnya umur, maka efisiensi pakan semakin menurun karena beban untuk hidup pokok semakin meningkat seiring meningkatnya berat badan dan untuk pertumbuhan.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pengaruh kondisi bulu memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) pada efisiensi pakan kecuali pada minggu ke (2–4), dimana ayam normal sama baiknya dengan ayam Legund dalam memanfaatkan pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan berat badan. Seharusnya ayam Legund mempunyai efisiensi pakan yang lebih tinggi dibanding ayam normal. Hal ini diduga lingkungan kandang tidak terdapat cekapan panas yang mempengaruhi fisiologi ayam sehingga ayam Legund maupun ayam normal mempunyai kemampuan adaptasi yang sama terhadap lingkungan kandang. Penampilan ayam Leher Gundul (Legund/ Naked Neck Fowl) merupakan ekspresi dari gen Na yang memberi pengaruh tak langsung terhadap toleransi panas

Page 177: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

159

lingkungan. Ini memberi akibat perbaikan dalam pengeluaran panas tubuh melalui permukaan tubuh yang terbuka. Kondisi ini akan memberi pengaruh terhadap fisiologis, produksi dan reproduksinya (Rahayu, 2000).Hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian Galal (2008) yang melaporkan bahwa ayam leher gundul dengan genotip Na/Na nyata lebih baik bobot badan pada umur 8 minggu dari pada ayam bergenotip Na/na dan na/na.

KESIMPULAN

Pakan dengan imbangan protein 20,94% dan energi 3.139,43 kcal/kg paling efisien untuk menghasilkan berat badan dan pertambahan berat badan ayam Legund maupun ayam normal sampai umur 10 minggu. Kondisi bulu pada ayam Legund dan ayam normal tidak mempengaruhi efisiensiprotein, efisiensi energi, dan efisiensi pakanpada pertumbuhan ayam Legund dan ayam normal.Pemunculan interaksi antara pengaruh tingkat protein dengan imbangan energi yang sama dan pengaruh kondisi bulu tidak terjadi pada efisiensi protein, efisiensi energi dan efisiensi pakanpada ayam Legund dan ayam normal sampai umur 10 minggu.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih kami sampaikan kepada teman-teman yang ikut menanganipemeliharaan ayam di kandang, kepada teman dilaboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak UGM atas bantuan analisisproksimatnya, dan semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Iskandar,S. 2012. Optimalisasi Protein dan Energi Ransum Untuk Meningkatkan Produksi Daging Lokal. Balitnak Bogor. Pengembangan Inovasi Pertanian5(2), 2012: 96-107.

Galal, A. 2008.ImmunoCompetence And SomeHematological Parameters Of Naked Neck And Normally Feathered Chicken. J. Poult. Sci., 45: 89 – 95.

Gultom,S.M., Supratman, R.D.H., Abun. 2014. Pengaruh Imbangan Energi Dan Protein Ransum Terhadap Bobot Karkas Dan Bobot Lemak Abdominal Ayam Broiler Umur 3-5 Minggu. Jurnal Fakultas Peternakan, Universitas Padjajaran, Bandung.

Matitaputty, P.R., R.R. Noor, P.S. Hardjosworo, dan C.H. Wijaya. 2011. Performa, Persentase Karkas Dan Nilai Heterosis Itik Alabio, Cihateup Dan Hasil Persilangannya Pada Umur Delapan Minggu. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 16: 90-97.

Nitis, I.M. 2006. Peternakan Berwawasan Kebudayaan. Cetakan Pertama, Arti Foundation. Denpasar.

Rahayu, B.W.I. 2000. Kajian Kematian Ayam Legund (Naked Neck Fowl) Berdasarkan Genotip Pada Fase Embrional. Tesis Program Pascasarjana Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Resnawati, H. 2012. Inovasi Teknologi Pemanfaatan Bahan Pakan Lokal Mendukung Pengembangan Industri Ayam Kampung, Pengembangan Inovasi Pertanian 5(2), 2012: 79-95, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jalan Raya Pajajaran Kav. E-59 Bogor 16152.

Rosandi, H. 2005. Performa Ayam Broiler yang diberi Pakan berbeda dengan Rasio yang sama. Skripsi program S1 Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Sari, K.A., B. Sukamto, dan B. Dwiloka. 2014. Efisiensi Penggunaan Protein pada Ayam Broiler dengan Pemberian Pakan Mengandung Tepung Daun Kayambang (Salvinia molesta). Agripet Vol (14) No. 2 : 76-83

Sidadolog, J.H.P. 1991. Pengaruh Gen Na (Naked Neck) Terhadap Pertumbuhan Ayam Kampung.Laporan Penelitian No 233/P241M/ DPPM/BD/XXI/1989.

Sidadolog, J.H.P. dan T.Yuwanta. 2011. Pengaruh Konsentrasi Protein-Energi Pakan Terhadap Pertambahan Berat Badan, Efisiensi Energi dan Efisiensi Protein Pada Masa Pertumbuhan Ayam Merawang. Animal Production 11 (1) : 15-22. Lab. Ternak Unggas, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada , Yogyakarta.Wahyu, J. 2005. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Tampubolon dan Bintang, P.P. 2012. Pengaruh Imbangan Energi dan Protein Ransum terhadap Energi Metabolis dan Retensi Nitrogen Ayam Broiler. Jurnal Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung.

Page 178: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

160

Trisiwi, H.F. dan N. Supartini. 2015. Pengaruh Dua Jenis Pakan Komersial Dan Pakan Rasional Terhadap Penampilan Ayam Kampung. Buana Sains Vol 15 No 1: 29-34.

Yantimala, D. 2011. Pengaruh Pemberian Tepung Kaki Ayam Broiler Sebagai Subtsitusi Tepung Ikan di Dalam Ransum Terhadap Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Konversi Pakan Ayam Arab (gallus turcicus). Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Sains Dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Zakaria,S. 2004. Performa Ayam Buras Fase Dara Yang Dipelihara Secara Intensif Dan Semi Intensif Dengan Tingkat Kepadatan Kandang Yang Berbeda. Bulletin Nutrisi dan Makanan Ternak. 5 (1): 41 – 51.

Zulfanita, Roisu, E.M., dan Utami, D.P. 2011. Pembatasan Ransum Berpengaruh Terhadap Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler Pada Periode Pertumbuhan. Jurnal Mediagro 7: 59-67.

Zuprizal. 2006. Nutrisi Unggas. Handout.Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.

Page 179: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

161

PERAN PENYULUHAN TERHADAP RESPON DAN TINGKAT PENGETAHUAN PETANI TERNAK DI KABUPATEN TULANG BAWANG

ROLE EXTENSION ABOUT RESPONSES AND KNOWLEDGE LEVEL OF FARMERS OF LIVESTOCK IN TULANG BAWANG DISTRICT

Suryani dan Gohan Octora Manurung

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung Jl. Z.A Pagar Alam No 1A Raja Basa Bandar Lampung

Email : [email protected])

[email protected]

2)

ABSTRAK

Luas Kabupaten Tulang bawang 346.632 Ha, dan tiga puluh persen lebih ditanami ubikayu, pemanfaatan limbah ubi kayu sebagai pakan ternak kambing belum maksimal Pengkajian dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan petani tentang pemanfaatan silase daun ubikayu sebagai pakan alternatif ternak kambing sebelum dilakukan penyuluhan dan sesudah dilakukan penyuluhan, di desa Kampung Tua Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. ada bulan Agustus 2016. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung dan menyebarkan kuisioner serta yang sudah disiapkan berkaitan dengan materi penyuluhan yaitu pemanfaatan silase daun singkong sebagai pakan alternatif ternak kambing sebelum dan sesudah penyuluhan dilakukan, serta data sekunder yang berasal dari Programa kabupaten Tulang Bawang. Petani sampel adalah peserta penyuluhan sebanyak 20 orang. Data Data di analisis dengan menggunakan uji tastistik korelasi Poduck moment. Dari hasil pengkajian di peroleh nilai pre test 579 dan post test 900 kenaikan sekitar 58,1 %pada kategori tinggi.Yang berarti penyuluhantentang pemanfaatan silase daun singkong sebagai pakan alternatif ternak kambing berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan peternak.

Kata Kunci: penyuluhan, pengetahuan, pakan

ABSTRACT

Tulang Bawang Regency has an area of 346.632 ha,and more than thirty percent planted cassava. Waste utilization of cassava as animal feed goats is not maximized. The assessment was conducted to determine the level of knowledge of farmers on the use of cassava leaf silage as an alternative feed for goats before and after counseling, in the village of Kampung Tua Subdistrict Menggala Tulang Bawang District, Lampung Province. The data collection was done by direct interviews and distributing questionnaires that had been prepared on extension materials utilization of cassava leaf silage as an alternative feed for goats before and after counseling. Collecting secondary data drawn from the Programa Tulang Bawang district. Farmers samples are participants extension of 20 people. Data were analyzed using correlation test Poduck. Assessment results obtained from the pre- test and post-test 579. 900 increase of about 58.1% on higher. Which means education about the utilization of cassava leaf silage as an alternative feed for goats affect the level of knowledge of farmers.

Keywords : extension, knowledge, feed

PENDAHULUAN

Penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengkordinasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkankan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraan, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup (Undang-Undang no 16 Tahun 2006 tentang sistim penyuluhan pertanian, perikanan,dan kehutanan (SP3K), (Deptan, 2006).

Agar penyuluhan pertanian dilaksanakan secara efektif dan efisien, diperlukan metode penyuluhan pertanian yang tepat sesuai kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha. Metode penyuluhan pertanian adalah cara/teknik penyampaian materi penyuluhan oleh penyuluh pertanian kepada pelaku utama dan pelaku usaha, (Deptan, 2006). Salah satu metode yang digunakan adalah metode ceramah dan dilanjutkan dengan diskusi dengan memakai metode ceramah diharapkan

Page 180: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

162

informasi-informasi yang di sampaikan lebih lengkap dan cepat dengan penjelasan yang lebih baik dan mendalam.

Kabupaten Tulang memiliki luas 346.632 Ha, dengan lahan kering 179.068,69 Ha,yang sebaian besar ditanami Ubi kayu/singkong dan tanaman karet, kecamatan Menggala sendiri memiliki luas lahan kering 26.302,75 Ha dari luas tersebut lebih dari 30% ditanami ubikayu, semua ikutan dari ubikayu bisa dimanfaatkaan sebagai pakan ternak, baik itu ternak sapi, kambing dan kerbau, selama ini sebagian masyarak Kabupaten Tulang Bawang belum memanfaatkan hasil ikutan ubikayu, terutama daaun singkong masyarakat Tulang Bawang sudah lama memanfaatkan daun singkong sebagai pakan ternak,tetapi belum digunakan sebagai pakan alternatif di musim kemarau, mereka hanya mengambil daun singkong terus di jemur lalu di berikan kepada ternak.

Hal ini terkendala apa bila pada musim hujan peternak tidak dapat menjemur daun singkong dan mengakibatkan daun singkong membusuk dan terbuang begitu saja, Untuk mengatasi salah satu cara yaitu dengan fermentasi atau di buat silase . Silase itu sendiri adalah bahan makanan ternak yang sengaja disimpan dan diawetkan dengan proses fermentasi dengan maksud untuk mendapatkan bahan pakan yang masih bermutu tinggi serta tahan lama agar dapat diberikan kepada ternak pada masa kekurangan pakan ternak.( Hanafi d2006)

Tujuan dari pengkajian ini adalahuntuk mengetahui peran penyuluhan terhadap respon dan tingkat pengetahuan petani tentang pembuatan silase daun singkong sebagai pakan alternatip ternak kambing.

METODOLOGI

Penyuluhan dilaksanakan dengan metode ceramah dan diskusi dengan materi cara pembuatan silase daun ubikayu di Desa kampung Tua Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang Provinsi lampungpada bulan Agustus 2016 dengan jumlah responden 20 orang. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan petani ternak tentang pemanfaatan daun ubi sebagai pakan alternatif ternak kambing, maka sebelum melakukan penyuluhan diawali dengan wawancara dan pemberian kuesioner pre testkepada 20 orang anggota kelompoktani sebagai responden. Untuk mengetahui adanya perbedaan sebelum dan setelah penyuluhan dilakukan pengisian kembali kuesioner post test dengan responden yang sama, setelah penyuluhan dilakukan paramater yang di ukur adalah tingkat pengetahuan tentang pengertian silase, tujuan pembuatan silase,bahan tambahan untuk pembuatan silase, tujuan penambahan bahan tambahan, ciri ciri selase yang baik dan cara penyimpanan silase dengan menggunakan skala likert, tingkat pendidikan dengan menggunakan lama (tahun) dan dilakukan analisis dengan menggunakan indikator penilaian dengan rumus korelasi Poduck moment menurut Arikunto (2002). dan Rumus Soedijanto 2001.

𝑟 =𝑁 ∑ 𝑋𝑌– (∑ 𝑋) (∑ 𝑌)

√[N ∑ X2 − (∑ X) ] [ NΣY2– (∑ Y)2]2

Keterangan: r : Korelasi X : Total hasil pre test setiap responden Y : Total hasil pos test setiap responden N : Sampel dari setiap responden (pre test, post test)

Rumus untuk mencari presentasepeningkatan dengan menggunakan rumus Soedijanto (2001):

Peningkatan= Nilai Post Tes – Nilai Pre Test X 100%

Nilai Pre Test

Dengan Kriteria sebagai berikut

Besarnya Presentase Interpretasi

40.00 – 50.00 Tinggi 30.00 – 39.00 Sedang 20.00 – 29.00 Rendah 10 .00 – 19.00 Sangat rendah

Sumber: Soedijanto (2001)

Page 181: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

163

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Wilayah

Kabupaten Tulang Bawang merupakan kabupaten yang memiliki potensi wilayah dan aspek-aspek pendukung dibidang pertanian, juga memiliki luas areal yang memadai dimana sektor pertanian menjadi mata pencaharian utama masyarakat ini. Kabupaten Tulang Bawang secara geografis terletak pada 105

005’- 105

055’ dengan luas 346.632 Ha, yang terdiri dari 15 Kecamatan, 147 desa dan 4

kelurahan (programa 2015)

Kepemilikan ternak kambing di desa Kampung Tua Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawangrata- rata berjumlah 10 sampai dengan 15 ekor. Dilihat dari skala usahataninyasudah dapat dikatakan lumayan, namun sebagian besar sistem pemeliharaanya masih secara tradisional, Produktivitas usahataninya masih rendah dengan interval kelahiran 10 sampai dengan 12 bulan sekali. Kalau dilihat dari data di bawah ini tingkat pendidikan dari responden cukup bagus begitu juga dengan umur responden rata-rata masih berumur muda atau produktif.

Tabel 1. Data tingkat pendidikan responden

Tingkat Pendidikan Jumlah %

SD 3 15 SMP 1 5 SMA 10 50 S1 6 30

Total 20 100

Sumber : Data Primer (2016)

Tabel satu terlihat bahwa responden yang berpendidikan sekolah dasar hanya sebesar 5%, yang berpendidikan sekolah menengah pertama 15%, berpendidikaan sekolah menengah atas 45% dan berpendidikan sarjana sebesar 35%. responden petani dengan pendidikan yang lebih tinggi diharapkan dapat menyerap materi penyuluhan silase daun ubi kayu dengan baik.

Dilihat dari umur responden menurut Prijono Tjpto Heri 2001 bahwa yang dimaksud dengan usia produktif adalah umur 15 tahun sampaai dengan 64 tahun sedang kan Tua adalah 64 tahun ke atas, kelompoktani ini masuk katagori usia produktif. Tabel satu seluruh pertani responden berada pada usia produktif yang memiliki kemampuan aktif dalam berusahatani. Dalam usia inilah diharapkan petani dapat mengembangkan usahataninya baik dalam bidang peternakan.

Tabel 2. Data tingkatan Umur Responden

Umur Petani Jumlah %

Muda (<15 tahun) 0 0 Produktif (15-64 tahun) 20 100 Tua (>64) 0 0

Total 20 100

Sumber : Data Primer(2016)

Penyuluhan pertanian materi yang disampaikan adalah tentang pemanfaatan daun silase daun

singkong sebagai pakan alternatif ternak kambing. diikuti oleh sekitar 20 Orang peternak kambing, Hasil analisis evaluasi terhadap pengetahuan responden tentang silase daun singkong sebagai pakan alternatif ternak kambing dengan menggunakan analisis Product Moment dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 182: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

164

Tabel 3. Hasil analisis evaluasi terhadap pengetahuan responden tentang silase daun singkong sebagai pakan alternatif ternak kambing

No Uraian Materi Peningkatan

Pre Test Pos Test Korelasi(r) (%) Kriteria

1 Pengertian Silase 54 92 0,31 70 Tinggi 2 Tujuan Utama pembuatan Silase 56 90 021 60,7 Tinggi 3 jenis racun dalam daun singkong 55 84 0,27 52,7 Tinggi 4 Kandungan protein silase daun singkong 64 89 0,03 39,1 Sedang 5 Bahan tambahan yang diperlukan dalam

pembuatan silase daun singkong 61 90 0,007 47,,5 Tinggi

6 Tujuan pemberian bahan tambahan dalam pembuatan silase daun singkong

62 90 0 45,2 Tinggi

7 Perbandingan protein silase daun singkong dg rumput lapang

53 89 0,18 67,9 Tinggi

8 Waktu yg diperlukan dalam pembuatan silase daun singkong

63 89 0,65 41,3 Tinggi

9 Ciri silase yang baik 55 96 0,27 61,8 Tinggi 10 Cara menyimpan silase daun singkong 56 89 0,94 75 Tinggi

Total Pengetahuan 578 914 0,37 58,1 Tinggi

Sumber:Data primer (2016)

Dari data di atas di peroleh nilai masing-masing sebagai berikut, perubahan pengetahuan

tentang pengertian silase pre test 54 dan pos Test 92 teramasuk dalam katagori Tinggi. Penyuluhan tentang materi Pembuatan silase daun singkong mendapatkan peningkatan 70,4% yang berarti mendapatkan respon yang cukup bagus, selama ini materi pembuatan silase daun ubikayu belum banyak petani ternak yang mengetahuinya karena dalam wawancara sebagian peternak menjawab belum mengetahui.

Tujuan pembuatan Silase Pre Test 56 dan Post Test 90 termasuk Katagori Tinggi, mendapatkan peningkatan pengetahuan 60,7%, pemberian materi penyuluhan tujuan pembuatan silase mendapat respon yang cukup bagus juga.Jenis racun yang terdapat dalam daun singkong Pre Test 55 dan Post Test 84 termasuk Katagori Tinggi, mendapat peningkatan 52,7 %, sebagian besar peternak telah mengathui bahwa dalam daun ubikayu mengandung racun namun tidak banyak mengetahui jenis racun yang terkandung didalamnya.

Kandungan protein dari silase daun singkong mendapatkan peningkatan pengetahuan 39,1% yaitu Pre Test 64 dan Post Test 89 termasuk Katagori Sedang, sebagian besar peternak mengetahui bahwa pada daun ubikayu memang banyak mengandung protein yang cukup tinggi, jadi peningkatan pengetahuan tentang kandungan protein yang terkandung pada ubikayu mendapat peningkatan pengetahuan yang sedang.

Jenis bahan tambahan yang harus diberikan dalam pembuatan silase daun singkong mendapatkan peningkatan pengetahuan sebesar 47,5% Pre Test 61 dan Post Test 90 termasuk Katagori Tinggi, peternak belum mengetahui adanya bahan tambahan dalam pembuatan silase daun ubikayu

Tujuan pemberian bahan tambahan dalam pembuatan silase daun singkong mendapatkan tingkat pengetahuan sebesar 45,7% Pre Test 62 dan Post Test 90 termasuk Katagori Tinggi. Berbandingan Protein silase daun singkong dengan rumput lapang mendapatkan peningkatan pengetahuan sebesar 67,9%, Pre Test 56 dan Post Test 89 termasuk Katagori Tinggi

Berapa lama waktu yang diperlukan dalam pembuatan silase dari mulai pembuatan sampe silase siap untuk gunakan mendapatkan peningkatan ilmu pengetahuan sebesar 41,3% yaitu Pre Test 63 dan Post Test 89 termasuk Katagori Tinggi. Ciri-ciri silase yang baik Pre Test 55 dan Post Test 96 termasuk Katagori Tinggi dan mendapatkan peningkatan ilmu pengetahuan sebesar 61,8%. Cara penyimpanan silase supaya silase bertahan lebih lama Pre Test 56 dan Post Test 89 termasuk Katagori Tinggi mendapatkan peningkatan ilmu pengetahuan sebesar 61,8% Tingkat pengetahuan total responden petani ternak tentang pembuatan silase daun ubikayu memiliki persentase pencapaian 58,1 % dengan kategori tinggi. Kategori tinggi menunjukan bahwa penyuluhan yang dilakukan dengan metode ceramah dan diskusi tentang silase daun ubikayu berjalan dengan baik dan mampu meningkatkan pengetahuan petani.

Page 183: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

165

KESIMPULAN

1. Peran penyuluhan terhadap respon tingkat pengetahuan petani ternak di desa kampung tua kecamatan menggala dengan menggunakan metode ceramah sedangkan materi penyuluhan cara pembuatan silase daun singkong sebagai pakan ternak kambing mendapat respon yang sangat bagus dengan rataan masuk katagori tinggi, pre test 578 dan pos test 914 dengan prosentase peningkatan sebesar 58,1% berada pada kategori tinggi. Dengan demikian, diharapkanpenyuluhan

2. Penyuluhan dengan menggunakan metode ceramah dan dapat di lanjutkan dengan metode demcara maupun demplot dapat dilaksanakan secara kontinyu dan berkesinambungan sehingga informasi inovasi atau diseminasi dapat tersebar secara cepat dan luas

DAFTAR PUSTAKA

Arip. 2008. Pemilihan Metode PenyuluhanPertanian.http://masarip.blogs.friendster. com/my_blog/2007/09/ metode_penyuluh.html. (16 Desember 2008).

Arikunto S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipata.

Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. 2003. PedomanUmum Pemilihan Metode Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Departemen Pertanian

[BPSDMP] Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. 2003. PedomanUmum Pemilihan Metode Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Departemen Pertanian

Mardikanto, T dan Sri Sutarni. 1993. Pertunjuk Penyuluhan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Pers

Undang-undang no. 16 2006. tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.

http://akademiternak.blogspot.com/2016/06/pengertian-dan-tujuan-pembuatan- silase.html

http://saymoooranch.com/pembuatan-pakan-ternak-fermentasi-silase/

https://intannursiam.wordpress.com/2010/09/20/pengertian-silase/ (Wikipedia, 2008).

Ahmad Yani. 2015. http://ahmadyanimisraini1965.blogspot.co.id/2015/04/teknologi-pengolahan-pakan-silase.html(diunduh 2 september 2016)

Saragih B. 2001. Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Yayasan Pengembangan Sinar Tani.

Tulang Bawang. 2015. Programa Penyuluhan Pertanian. Kabupaten Tulang Bawang.

Van Den Ban AW dan HS Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Kanisius.

Wardani, 2005. Diktat Metode Penyuluhan Pertanian. Bogor: Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Bogor.

Page 184: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

166

PROFIL DAN ANALISIS USAHA TERNAK KERBAU DI KABUPATEN PADANG LAWAS, PROVINSI SUMATERA UTARA

PROFILE AND EKONOMIC ANALYSIS OF BUFFALOES DEVELOPMENT AT PADANG LAWAS DISTRICT, NORTH SUMATRA

Sri Haryani Sitindaon1, Khairiah

1, dan Jhon Firison

2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara, Jl. A.H. Nasution No. 1, Medan

2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu, Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu

email: [email protected]

ABSTRAK

Kabupaten Padang Lawas merupakan salah satu kabupaten yang memiliki populasi ternak kerbau yang paling besar di Sumatera Utara (Tahun 2015:10.414 ekor) setelah Kabupaten Samosir. Usaha ternak kerbau Kabupaten Padang Lawas masih terus dilakukan masyarakat tanpa memperhitungkan nilai ekonomi dari usaha ternak kerbau yang dilakukan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui profil dan nilai ekonomi usaha ternak kerbau yang dilakukan peternak di kabupaten Padang Lawas. Penelitian dilakukan mulai bulan Nopember 201-Maret 2016. Penelitian merupakan penelitian deskriptif eksploratif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan indept interview melalui pendekatan PRA (Partiicipatory Rural Appraisal). Profil usaha ternak kerbau dilakukan dengan mengamati rata-rata kepemilikan/KK, jenis kerbau yang dipelihara dan sistem pemeliharaan yang diterapkan. Data yang diperoleh diidentifikasi dan dianalisis secara deskriptif. Analisa usaha dilakukan dengan indikator kelayakan teknis dan ekonomis proyek yaitu: Net Benefit Cost Ratio (NBC Ratio) dan Revenue Cost Ratio (RCR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan ternak rata-rata: 5-10 ekor/KK, jenis kerbau yang dipelihara adalah jenis kerbau lumpur (Swamp type) yaitu tipe kerbau potong/pedaging. Sistem pemeliharaan yang dilakukan masih tradisional, tenaga kerja untuk pemeliharaan dilakukan dengan sistem gaduhan, skor kondisi tubuh kerbau yang dipelihara antara sedang sampai dengan gemuk (3-4). Nilai NBC Rasio usaha ternak kerbau yang dilakukan sebesar 0,16 dan RCR 1,16%, hal ini menunjukkan bahwa usaha pembibitan ternak kebau layak dikembangkan. Untuk memperoleh keuntungan atau nilai NBC Rasio dan RCR yang lebih tinggi perlu dilakukan penerapan teknologi manajemen pemeliharaan sehingga terjadi peningkatan efisiensi usaha ternak kerbau di Kabupaten Padang Lawas.

Kata Kunci: Ternak Kerbau, Analisis Ekonomi, Padang Lawas

ABSTRACT

The population of buffaloes Padang Lawas District in 2015 was 10,414 heads. The various reasons that community people buffalo livestock although sometimes farmers do not know how much the advantages income of raising buffalo.The study was conducted to determine the profile of buffaloes livestock at North Sumatra and feasibility analysis conducted for the subsistence farmers to increase the income of farmers. The study was conducted from November 2015-March 2016, in the district of Padang Lawas, North Sumatra Province. The study is a descriptive exploratory study. The collection of data and information are done by direct observation and in-depth interviews. Economic analysis is done with indicators of economic as: Net Benefit Cost Ratio (NBC Ratio) and Revenue Cost Ratio (RCR). Buffalo livestock in the district of Padang Lawas is a type of swamp buffalo this is producer of meat. The average of buffalo ownership is 5-10 head/households. System maintenance is performed is still traditional, workforce for maintaining buffalo is done in partnership. The results of field observations indicate frame size buffalo in Padang Lawas range of medium to fat (3-4) on a 1-5 scale. The results economic analysis of buffalo breeding effort for 4 years, obtained a profit amounting to Rp.70.833/month/head, NBC Ratio of 0.16 and RCR of 1.16%. This shows that the breeding buffalo feasible is worth doing and efforts buffaloes can be maintained as a source of income in rural farmers. To obtain greater profits necessary to increase the population of buffalo maintained, has a technological innovation better maintenance.

Keyword: Buffalo, economic analysis, Padang Lawas

Page 185: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

167

PENDAHULUAN

Kerbau (Bubalus bubalis) adalah ternak ruminansia besar yang mempunyai potensi tinggi sebagai penyediaan daging. Peranan ternak kerbau cukup signifikan dalam menunjang program swasembada daging sapi (termasuk kerbau) tahun 2014, dilihat dari jumlah populasi kerbau sebanyak 2,2 juta ekor dan dihasilkan produksi daging sebesar 46 ribu ton atau sebesar 2% dari jumlah produksi daging nasional, sedangkan kontribusi daging kerbau sebesar 19% (Dwi et al., 2014). Dengan demikian ternak kerbau juga mendukung penyediaan daging di Indonesia. Syafitri et al. (2013) menyatakan bahwa kerbau (Bubalus bubalis) merupakan salah satu ternak ruminansia besar yang memiliki potensi tinggi dalam memberikan daging. Dengan demikian kerbau juga mendukung penyediaan daging di Indonesia.

Ternak kerbau sudah sangat populer bagi masyarakat Sumatera Utara dan budidaya ternak kerbau sudah dilakukan sejak dulu secara turun temurun. Berbagai alasan sehingga masyarakat tetap bertahan memelihara ternak kerbau walaupun kadang peternak tidak mengetahui berapa keuntungan dari beternak kerbau. Secara umum usaha ternak kerbau yang dikembangkan oleh masyarakat sebagai salah satu mata pencaharian dalam skala usaha yang masih relatif kecil.

Produktivitas ternak kerbau di Sumatera Utara relatif rendah, karena secara teknis masih terdapat beberapa kendala yang memerlukan pemikiran untuk mengatasinya. Masalah peternakan kerbau cukup bervariasi antara lain pola pemeliharaan tradisional, berkurangnya lahan penggembalaan, tingginya pemotongan pejantan yang berdampak pada kekurangan pejantan, pemotongan ternak betina produktif, kekurangan pakan dimusim tertentu, kematian anak (pra sapih) yang cukup tinggi (sekitar 10%), rendahnya produktivitas, pengembangan sistem pemeliharaan semi intensif yang masih terbatas (Sari et al., 2014). Namun demikian, usaha ternak kerbau memiliki prospek cukup baik untuk dikembangkan terutama di beberapa wilayah yang memiliki sumberdaya pakan melimpah. Penelitian dilakukan untuk mengetahui profil usaha ternak kerbau yang dilakukan di Sumatera Utara dan analisis kelayakan usaha ternak kerbau yang dilakukan peternak.

METODOLOGI

Penelitian dilakukan mulai bulan Nopember 2015 sampai dengan Maret 2016, di Kabupaten Padang Lawas, Propinsi Sumatera Utara. Lokasi ini merupakan daerah pengembangan ternak kerbau di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian merupakan penelitian deskriptif eksploratif dengan pengambilan sample secara purpose sampling. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara pengamatan langsung (observasi) dan wawancara mendalam (indept interview) menggunakan kuisionerterhadap kelompok peternak melalui pendekatan PRA (Partiicipatory Rural Appraisal).

Profil usaha ternak kerbau dilakukan dengan mengamati rata-rata kepemilikan/KK, jenis kerbau yang dipelihara dan sistem pemeliharaan yang diterapkan, kendala yang dihadapi dalam usaha ternak kerbau disertai dengan diskusi kelompok. Data yang diperoleh diidentifikasi dan dianalisis secara deskriptif. Analisa usaha dilakukan dengan indikator kelayakan teknis dan ekonomis proyek yaitu: Net Benefit Cost Ratio (NBC Ratio) dan Revenue Cost Ratio (RCR). NBC Ratio = jumlah seluruh benefit positif : jumlah seluruh benefit negatif. RCR = penerimaan : pengeluaran x 100%. RCR ini dilakukan untuk menetukan kelayakan suatu usaha yang menguntungkan apabila nilainya lebih tinggi dari suku bunga yang berlaku di perbankan (Kusnadi, 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum dan Daya Dukung Lahan Pertanian

Wilayah geografis Kabupaten Padang Lawas terletak pada 1O26’-2

O11’ Lintang Utara,

91O01’-95

O53’ Bujur Timur dan 0-1,915 m diatas permukaan laut. Luas area ± 4.229,99 km

2 (datar :

26.863 ha (6,35%), landau : 48.739 ha (11,52%), berbukit : 67.664 ha (16%), Bergunung : 279.733 ha (66,13%)). Jumlah penduduk 237.258 jiwa (laki-laki 118.888 jiwa, wanita 118.370 jiwa). Pemerintahan Kabupaten Padang Lawas terdiri dari 12 kecamatan, 303 desa dan 1 kelurahan. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Padang Lawas Utara, sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Riau (Kabupaten Rokan Hulu), sebelah Selaatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat (Kabupaten Pasaman) dan Kabupaten Mandiling Natal (Kecamatan Siabu), sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal (BPS Padang Lawas, 2014).

Sektor pertanian masih mendominasi perekonomian Kabupaten Padang Lawas yaitu tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan kehutanan. Dengan pertimbangan daya dukung lahan yang ada,

Page 186: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

168

sektor tanaman pangan, perkebunan dan peternakan kerbau masih sangat potensial untuk dikembangkan di daerah ini. Penggunaan lahan di Kabupaten Padang Lawas dapat dilihat pada Tabel 1.

Table 1. Kondisi penggunaan tanah di Kabupaten Padang Lawas (ha) 2013.

Kecamatan Lahan Sawah

Pekarangan dan Bangunan

Tegal/Kebun

Ladang/Huma

Penggembalaan Rawa tidak ditanami

Hutan Rakyat

Kolam/ Tebat

Lahan sementara tidak ditanami

Sosopan 350 2.400 9.646 400 - - 2.500 10.072 15.384 Ulu Barumun 1.037 3.963 500 - - 5.000 60 4.137 3.500 Barumun 1.591 500 62 20 350 8.672 6.000 650 45 Barumun Selatan 95 7.758 710 65 520 1.900 1.050 125 37 Lubuk Barumun 1.064 9.159 2.500 1.900 1.500 5.400 8.500 - - Sosa 1.695 18.000 1.612 226 478 32.911 5.133 198 932 Batang Lubu Sutam 375 6.500 8.600 9.000 - 9.375 8.687 9.163 6.500 Hutaraja Tinggi - 4.675 - 356 500 35.124 - 145 - Huristak 2.145 12.743 385 - 112 20.171 175 34 - Barumun Tengah 1.185 13.070 750 354 1.898 7.789 9.219 228 7.600 Aek Nabara Barumun 760 13.057 720 900 6.550 11.855 7.975 38 6.920 Sihapas Barumun 550 3.274 303 170 760 4.965 2.080 19 4.587 Padang Lawas 10.848 95.099 25.788 13.391 12.668 143.162 51.379 24.809 45.855

Sumber: BPS Padang Lawas (2014)

Karakteristik Ternak Kerbau Padang Lawas

Kabupaten Padang Lawas merupakan salah satu kabupaten yang memiliki populasi ternak kerbau yang paling besar di Sumatera Utara setelah Kabupaten Samosir. Populasi ternak kerbau Kabupaten Padang Lawas Tahun 2013 adalah 12.786 ekor. Hamdan et al. (2011) berpendapat bahwa perkembangan populasi ternak kerbau di suatu daerah ditentukan berbagai faktor antara lain: kelahiran, kematian, pemotongan, pemasukan dan pengeluaran. Rincian data perkembangan ternak kerbau Kabupaten Padang Lawas perkecamatan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan populasi ternak kerbau Kabupaten Padang Lawas masing-masing kecamatan Tahun 2013.

Kecamatan Pop. Awal

(Ekor)

Kela- hiran

(Ekor)

Ternak Masuk (Ekor)

Pemotongan (Ekor) Kema- tian

(Ekor)

Ternak Keluar (Ekor)

Pop. Akhir (Ekor)

Prod. Daging (Ton)

Ter catat

Tdk Tercatat Jlh

Huristak 4,044 46 0 0 17 17 10 12 4,051 2.613

Barumun Tengah 2,169 28 1 0 15 15 6 8 2,169 2.305

Sihapas Barumun 2,157 25 0 0 9 9 5 5 2,163 1.383

Aek Nabara Barumun

2,163 23 0 0 8 8 3 3 2,172 1.229

Lubuk Barumun 786 31 0 0 9 9 6 8 794 1.383

Barumun 63 7 3 21 7 28 3 3 39 4.303

Barumun Selatan 51 5 1 0 3 3 1 0 53 0.461

Ulu Barumun 27 3 3 0 2 2 0 2 29 0.307

Sosopan 19 2 0 0 4 4 1 1 15 0.615 Hutaraja Tinggi 669 17 4 0 10 10 7 7 666 1.537

Sosa 552 19 2 0 9 9 5 2 557 1.383 Batang Lubu Sutam

79 6 3 0 3 3 4 3 78 0.461

Jumlah 12,779 212 17 21 96 117 51 54 12,786 17.981

Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Padang Lawas,2013.

Ternak Kerbau yang ada di Kabupaten Padang Lawas adalah jenis kerbau lumpur (Swamp type) yaitu tipe kerbau potong/pedaging. Ciri-ciri spesifik warna tubuh abu-abu cenderung kehitaman, bentuk tubuh: padat, berisi, sedikit lemak, bentuk tubuh tidak terlalu besar, tanduk panjang melengkung ke belakang, artinya jenis ternak kerbau yang ada di Kabuapten Padang Lawas tidak ada yang membedakannya dengan jenis Kebau Lumpur umumnya. Ciri spesifik kuantatif kerbau di Kabupaten Padang Lawas dapat di lihat pada Tabel 3. Keunggulan kerbau di Padang Lawas adalah mampu beradaptasi pada kondisi pakan kualitas rendah, memiliki daya tahan terhadap penyakit tropis tinggi tetapi karena sistem pemeliharaan yang dilakukan secara ekstensif maka ternak kerbau yang di

Page 187: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

169

pelihara memiliki temperamen liar sehingga kesulitan untuk melakukan control kesehatan atau penyakit dan Inseminasi Buatan.

Tabel 3. Ciri-ciri spesifik kuantitatif ternak kerbau di Kabupaten Padang Lawas.

No. Uraian Jantan (n=10) Betina (n=10)

1. Ciri-ciri Morfologi Ekseterior Bobot Badan 500 kg 450 kg Tinggi Badan 125 cm 110 cm Panjang Badan 145 cm 140 cm Lingkar Dada 180 cm 170 cm Produksi Daging 200 kg 150 kg 2. Ciri-ciri Spesifik Reproduksi Dewasa Kelamin 2 tahun 3,5 tahun Umur Sapih 8 bulan 8 bulan

Keterangan = jumlah sampel yang diukur

Skor kondisi tubuh merupakan metode penilaian dengan visual untuk memprediksi skor

kondisi tubuh. Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan skor kondisi tubuh kerbau yang ada di Kabupaten Padang Lawas kisaran antara sedang sampai dengan gemuk (3-4) pada skala 1-5. Keragaan skor kondisi tubuh ternak kerbau di Padang Lawas dapat dilihat pada Gambar 1. Hal ini menunjukkan bahwa skor kondisi tubuh ternak kerbau di Kabupaten Padang Lawas masih dapat di tingkatkan untuk emperoleh produktivitas yang lebih maksimal dengn memanfaatkan segala potensi yang sudah ada.

Gambar 1. Keragaan skor kondisi tubuh dan sistem perkandangan ternak kerbau Padang Lawas

Sejauh ini belum ada peternak yang mengolah susu kerbau. Ternak kerbau di pelihara dalam waktu yang lama dan akan menjualnya untuk keperluan mendesak dan upacara adat (kematian dan perkawinan). Ternak kerbau 10 tahun terakhir sudah tidak digunakan lagi untuk mengolah lahan pertanian. Ternak kerbau dipelihara hanya untuk produksi daging yang dijual melalui agen/pedagang pengumpul kecamatan. Pedagang pengumpul menjual ke pasar hewan atau langsung ke konsumen bahkan ke luar kota/provinsi.

Sistem Pemeliharaan Ternak Kerbau

Sistem pemeliharaan ternak yang diterapkan di Kabupaten Padang Lawas 99% dilakukan secara ektensif. Karena adanya alih fungsi lahan dari padang pangonan umum menjadi lahan perkebunan kelapa sawit menyebabkan akhir-akhir ini ternak kerbau di gembalakan di lahan perkebunan kelapa sawit milik swasta atau BUMN yang terdekat. Hal ini sesuai dengan pendapat Dwiyanto dan Eko (2006) yang menyatakan bahwa dengan adanya pengembangan sarana irigasi telah menyebabkan perubahan peruntukkan padang pangonan menjadi areal persawahan atau perkebunan, sehingga luas pangonan menurun secara signifikan.

Pada saat musim hujan (bulan September-Maret), lahan sawah mulai diolah dan saatnya masyarakat bercocok tanaman padi, maka agar ternak kerbau tidak mengganggu/merusak tanaman padi maka ternak kerbau digiring dan dilepas ke kawasan lahan perkebunan kelapa sawit yang luas atau ke kawasan padang penggembalaan dipinggiran hutan milik pemerintah. Kerbau dibiarkan selama berbulan-bulan dialam lepas sampai menunggu musim panen padi tiba. Areal pertanian letaknya tidak

Page 188: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

170

jauh dari pemukiman masyarakat. Apabila masa panen padi tiba (areal pertanian sudah kosong) maka ternak kerbau dijemput dari alam lepas untuk di gembalakan diareal persawahan. Hal ini biasanya terjadi pada bulan April – Juli, dimana pada bulan ini adalah musim kering/kemarau maka lahan sawah biasanya diberakan sehingga dimanfaatkan sebagai padang penggembalaan ternak kerbau. Saat musim kemarau inilah baru ternak kerbau dibawa ke areal pemukiman, pagi hari (pukul 08.00 WIB ternak kerbau digembalakan dilahan sawah dan sore harinya pukul 17.00 WIB ternak kerbau digiring pulang kekandang yang letakknya tidak jauh dari pemukiman). Kandang kerbau dibuat sangat sederhana, terdiri dari beberapa tiang seadanya dan dikelilingi dengan kawat duri. Dalam satu kandang (barak istilah masyarakat setempat) ternak kerbau digabung yang merupakan milik beberapa peternak. Situasi kandang kerbau yang ada di Padang Lawas dapat dilihat pada Gambar 1.

Peternak tidak ada yang memiliki data recording biologis dan fisiologis ternak yang dipelihara dan tidak ada perlakukan khusus terhadap ternak kerbau yang dipelihara, baik pakan tambahan, feed supplement ataupun garam mineral. Pengawasan kesehatan ternak dilakukan saat musim kering/kemarau saja karena pada masa ini pola pemeliharaan dilakukan secara semi intensif. Apabila ada ternak kerbau yang sakit peternak segera melaporkannya kepada petugas teknis kesehatan hewan dari Dinas Peternakan Kabupaten Padang Lawas.

Permasalahan yang muncul akibat ternak kerbau di pelihara secara ekstensif di areal perkebunan swasta milik PT ANJ atau dipadang penggembalaan adalah adanya kasus ternak kerbau yang mati akibat keracunan herbisida dan pupuk Urea. Pasca dilakukan pemupukan di lahan perkebunan kelapa sawit ternak kebau yang berada di kawasan perkebunan akan memakan Urea dalam jumlah yang banyak dan hal ini akan menyebabkan kematian. Begitu juga dengan keracunan herbisida, dimana pihak perkebunan PT ANJ melakukan penyemprotan herbisida, ternak kerbau merumput di sekitar kawasan perkebunan yang disemprot herbisada dan ini juga dapat menyebabkan kematian ternak kerbau. Sejauh ini belum ada data yang menyatakan jumlah ternak kerbau yang mati akibat keracunan herbisida ataupun pupuk Urea, tetapi dari kasus yang pernak dilihat dilapangan, apabila hal ini dibiarkan dapat mengakitbatkan peningkatan mortalitas ternak kerbau produktif. Data mortalitas ternak kerbau Kabupaten Padang Lawas Tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 2. Selain itu kasus kamatian anak kerbau juga akibat tidak adanya penanganan khusus terhadap ternak kerbau yang bunting ataupun yang baru melahirkan mengakibatkan kematian anak pra sapih juga tinggi.

Tenaga kerja untuk memelihara ternak kerbau di Padang Lawas dilakukan dengan sistem kemitraan atau kerja sama yang dikenal dengan istilah gaduhan (owner crooper). Gaduhan yaitu seseorang yang memiliki modal untuk membeli ternak kerbau kemudian kerbau tersebut dititipkan kepada peternak untuk dipelihara, selanjutnya hasil dari ternak selama dipelihara dibagi dua antara pemilik modal dengan peternak (orang yang memelihara kerbau). Proses pemeliharaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang yang memelihara tersebut. Pemeliharaan ternak kerbau dengan sistem mitra seperti ini sudah terjadi sejak lama tanpa ada ikatan/kontrak secara tertulis hanya didasarkan saling percaya tanpa ada surat perjanjian secara tertulis berisi tentang hak dan kewajiban antara pemilik modal dengan peternak. Simatupang (2011) berpendapat bahwa mekanisme gaduhan ini terbukti saling menguntungkan kedua belah pihak dimana orang yang memiliki kehidupan ekonomi yang lebih mapan memberi bantuan modal berupa ternak lalu menitipkannya kepada peternak untuk memeliharaanya sehingga peternak memperoleh upah dari usahannya selama memelihara ternak yang dititipkannya.

Curahan waktu untuk menggembalakan ternak saat musim kemarau lebih panjang dibandingakan saat musim penghujan. Saat musim kemarau 1 orang dapat menggembala 10-20 ekor kerbau selama 8 jam/hari. Musim kemarau dapat berlangsung selama 6 bulan berarti curahan waktu yang digunakan menjadi 1.440 jam. Curahan waktu untuk mengontrol ternak kerbau saat musim penghujan maksimal 1 kali seminggu dalam pengawasan pemilik ternak atau curahan waktu yang digunakan untuk mengontrol ternak hanya 200 jam.

Analisis Ekonomi Ternak Kerbau

Usaha ternak kerbau yang dilakukan di Padang Lawas dilakukan hanya untuk pembibitan, tidak ada untuk penggemukan. Rata-rata kepemilikan 5-10 ekor/KK. Ternak kerbau dipelihara dalam waktu yang lama kemudian apabila ada keturunan ternak kerbau yang jantan sudah berumur kira-kira diatas 2 tahun baru dijual. Umumnya peternak menjual ternak kerbaunya menjelang lebaran haji/Idul Adha dan Idul Fitri karena harganya lebih mahal dibandingkan dengan biasanya. Kerbau betina dijual apabila sudah tua, walaupun peternak tidak memiliki data recording umur ternak yang dipelihara.

Page 189: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

171

Analisis usaha beternak kerbau perlu diketahui untuk memberikan gambaran keuntungan usaha yang dilakukan. Hasil analisis usaha ternak kerbau Kabupaten Padang Lawas untuk pembibitan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Analisis finansial usahatani ternak kerbau di Kabupaten Padang Lawastahun 2016.

Uraian Satuan Volume Harga (Rp) Jumlah (Rp.)

Biaya Produksi - Kerbau bakalan induk betina Ekor 4 12.000.000 48.000.000 - Kerbau bakalan pejantan Ekor 1 15.000.000 15.000.000 - Penyusutan kandang dan alat % 5 1.000.000 5.000.000 - Biaya vitamin dan obat-obatan Paket 1 5.000.000 5.000.000 - Biaya tenaga kerja Gaduhan

36.000.000 36.000.000

Jumlah Biaya Produksi

109.000.000 Penerimaan

- Penjualan induk kerbau Ekor 4 15.000.000 60.000.000 - Penjualan induk pejantan Ekor 1 18.000.000 18.000.000 - Penjualan Anak > 2 bln Ekor 4 12.000.000 48.000.000 - Penjualan Anak < 1 bln Ekor 4 6.000.000 24.000.000 Jumlah Penerimaan

126.000.000

Keuntungan

17.000.000 - Keuntungan per ekor 3.400.000 - Keuntungan per bulan/ekor 70.833

Net Benefit Cost Ratio (NBC Ratio). 0,16

RCR (%) 1,16

Hasil analisis usaha ternak kerbau pembibitan selama 4 tahun, maka diperoleh keuntungan sebesar Rp.70.833/bulan/ekor, NBC Ratio sebesar 0,16 dan RCR sebesar 1,16%. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pembibitan ternak kebau layak dilakukan dan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar perlu dilakukan peningkatan jumlah ternak yang dipelihara, tentunya didukung dengan inovasi teknologi dan pola pemeliharaan yang lebih baik. Diintroduksikan agar peternak memberikan pakan tambahan,budidaya hijauan makanan ternak sumber protein, manajemen kandang yang cenderung semi intensif dan rekording data fisiologis dan biologis yang harus dimiliki setiap peternak. Rusdiana (2008) menyatakan bahwa upaya kerbau dapat dipertahankan sebagai sumber penghasilan di petani pedesaan.

Peternak biasanya menjual ternak kerbau ke pasar ternak yang ada di masing-masing kecamatan. Dipasar ternak agen/pedangang pengumpul kecamatan membeli ternak kerbau dalam keadaan hidup. Pedagang pengumpul kecamatan sebagian menjual kembali ternak kerbau tersebut ke pedagang pengumpul kabupaten/provinsi lain seperti kota Padang Sidimpuan, Medan, Siantar, Sibolga bahkan luar provinsi seperti Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Riau dan sebagian kecil ke Pulau Jawa dan Sulawesi. Pedagang pengumpul ada juga yang langsung menyembelih ternak kerbau ke rumah potong hewan kota Padang Sidimpuan untuk sebagai daging konsumsi yang siap dipasarkan ke konsumen, sedangkan rumah potong hewan yang ada di Kabupaten Padang Lawas belum beroperasi karena umumnya masyarakat Padang Lawas membeli ternak kerbau dalam keadaaan hidup dan disembelih sendiri untuk keperluan upacara adat (pesta pernikahan atau kematian). Harga bobot hidup per ekor kerbau bervariasi untuk kerbau pejantan yang paling besar mencapai Rp.18.000.000 – 20.000.000/ekor, induk betina afkir Rp. 15.000.000/ekor, anakan Rp. 5.000.000 – 7.000.000/ekor, Muda Rp. 10.000.000-15.000.000/ekor. Sedangkan harga daging super untuk konsumen di pasar dengan harga jual Rp.150.000/kg.

Page 190: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

172

KESIMPULAN

Ternak Kerbau yang ada di Kabupaten Padang Lawas adalah jenis kerbau lumpur (Swamp type) yaitu tipe kerbau potong/pedaging. Kepemilikan ternak masih rendah 5-10 ekor/KK. Sistem pemeliharaan yang dilakukan masih tradisional, tenaga kerja untuk pemeliharaan dilakukan secara gaduhan/bagi hasil. Usaha ternak kerbau yang dilakukan di Padang Lawas dilakukan hanya untuk pembibitan dengan skor kondisi tubuh kisaran antara sedang sampai dengan gemuk (3-4). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai NBC Rasio sebesar 0,16 dan RCR 1,16%. Untuk memperoleh keuntungan ataupun nilai NBC Rasio dan RCR yang lebih besar perlu dilakukan peningkatan sentuhan teknologi manajemen pemeliharaan yang lebih.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Padang Lawas dalam Angka 2014.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Padang Lawas. 2013. Statistik Peternakan 2014.

Diwyanto K Dan E. Handiwirawan. 2006. Strategi Pengembangan Ternak Kerbau: Aspek Penjaringan dan Distribusi. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Puslitbangnak. Bogor.

Dwi S, Gatot C Dan Suyadi. 2014. Performan Reproduksi Kerbau Lumpur (Bubalus Bubalis) Di Kabupaten Malang. Brawijaya University. Malang. http://fapet.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/04/Performan-Reproduksi-Kerbau-Lumpur-Bubalus-Bubalis-Di-Kabupaten-Malang.pdf [Diunduh Tgl 27 September 2016].

Hamdan A, A. S. Rohaeni dan Bess T. 2011. Keragaan Usaha Ternak Kerbau Rawa di Kalimantan Selatan. Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Menwujudkan Ketahanan Pangan Nasional. Puslitbangnak. Bogor.

Kusnadi U. 2008. Analysis of Efficiency in Buffaloes Farming. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak, Bogor.

Rusdiana, S. 2008. Profil Dan Analisa Usaha Ternak Kerbau Di Desa Dangdang Kecamatan Cisauk Kabupaten Tangerang. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Sari N, Hamdan dan R Edhy Mirwandhono. 2014. Identifikasi Metode Recording Ternak Kerbau Yang Dilepasliarkan Di Kabupaten Aceh Tengah. J.Peternakan Integratif Vol.2 No.3; 252-263.

Simatupang L. 2011. Penerapan Pola Kemitraan dengan Sistem “Gaduhan” terhadap Kesejahteraan Petani. repository.usu.ac.id/bitstream/.../5/Chapter%20I.pdf

Syafitri W, Hastuti H and S. Purba. 2013. The Potential of Buffalo Livestock Development by Optimizing The Grazing Lands Management in Riau Province. Buffalo International Conference. University Hasanuddin. Indonesia.

Page 191: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

173

PELUANG PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI POTONG BERBASIS LIMBAH KELAPA SAWIT DI KABUPATEN SELUMA

BUSINESS DEVELOPMENT OPPORTUNITIES OF CATTLE BASED ON WASTE OIL PALM IN SELUMA

Zul Efendi dan Dedi Sugandi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian KM 6,5 Bengkulu

Email : [email protected]

ABSTRAK

Industri perkebunan kelapa sawit mempunyai potensi sebagai sumber daya sebagai penghasil sumber pakan yang besar untuk penyediaan kebutuhan untuk sapi potong berupa limbah dari tanaman kelapa sawit. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui peluang pengembangan usaha ternak sapi potong berbasis produk limbah kelapa sawit di Kabupaten Seluma. Pengkajian dilaksanakan di Kabupaten Seluma mulai bulan Mei sampai dengan Juli 2016. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling yang melibatkan 34 orang responden peternak sapi potong. Data yang diamati meliputi data biofisik lokasi pengkajian, karakteristik usaha ternak sapi potong, potensi perkebunan kelapa sawit (luas lahan, pertanaman kelapa sawit, dan produksi limbah yang bisa digunakan oleh pakan sapi). Data yang didapatkan ditabulasi dan dianalisis melalui analisis deskriptif. Hasil yang diperoleh adalah produksi limbah pelepah/daun kelapa sawit di Kabupaten Seluma sebesar 58.597.318 kg/tahun pada perkebunan rakyat dan 27.773.592 kg/tahun pada perkebunan swasta berpeluang menampung ternak sapi potong sebanyak 36.547 ST dan 17.392 ST.

Kata Kunci : Pengembangan sapi potong, pakan dan sawit.

ABSTRACT

Palm oil industry has potential as a resource as a major producer of feed resources to supply the needs for beef cattle in the form of waste from oil palm plantations. The purpose of this study was to determine opportunities for business development of cattle-based oil palm waste products in Seluma. The assessment was conducted in Seluma from May to July 2016. The sampling method is done by purposive sampling involving 34 respondents beef cattle breeders. Observed date biophysical, date location assessment, characteristics of beef cattle business, the potential for oil palm plantations (land, oil palm cultivation, and the production of waste that can be used by cattle feed). The data obtained were tabulated and analyzed through descriptive analysis. The result is the production of waste midrib / palm leaves in Seluma amounted to 58.597.318 kg / year on people's plantation and 27.773.592 kg / year on private estates potentially accommodate as many as 36. 547 cattle and 17.392 ST

Keywords: Development of beef cattle, feed and oil.

PENDAHULUAN

Usaha ternak merupakan suatu proses mengkombinasikan faktor-faktor produksi berupa lahan, ternak, tenaga kerja dan juga modal untuk menghasilkan produk peternakan. Keberhasilan usaha ternak sapi potong bergantung pada tiga unsur yaitu bibit, pakan dan manajemen atau pengelolaan. Unsur manajemen mencakup pengelolaan perkawinan, pemberian pakan, perkandangan dan kesehatan ternak. Selain itu pengelolaan maupun manajemen dalam usaha tenak tidak terlepas dari karakteristik sosial ekonomi peternak sehingga nantinya akan mempengaruhi hasil yang akan diperoleh oleh peternak. Sub sektor peternakan sebagai usaha tani terpadu semakin penting dalam perekonomian nasional baik sebagai lapangan usaha maupun sumber pendapatan bagi rumah tangga. Berdasarkan penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian menyebutkan bahwa sumbangan pendapatan petani miskin terhadap pendapatan nasional sebesar 34%, untuk petani sedang 22% dan untuk petani kaya 14%. Oleh karena itu usaha peternakan sangat membantu petani miskin di pedesaan (Mubyarto, 1993). Menurut Siregar (2002) bahwa bangsa sapi lokal yang diusahakan sebagai sapi potong untuk penghasil daging adalah sapi Bali, sapi Ongole, sapi Madura, dan sapi Peranakan Ongole.

Budidaya sapi potong yang berdaya saing memiliki peluang besar untuk menjawab tantangan sekaligus peluang tersebut. Seiring dengan meningkatnya penggunaan lahan untuk berbagai kegiatan

Page 192: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

174

pertanian, maka pengembangan ternak pada wilayah-wilayah tertentu harus dilakukan secara terintegrasi yang saling menguntungkan. Usaha perkebunan terutama kelapa sawit sangat potensial untuk diintegrasikan dengan budidaya ternak sapi. Menurut Umar (2009), sapi mampu mengkonsumsi pakan berserat tinggi seperti hijauan dan konsentrat dalam jumlah banyak, dimana bahan pakan tersebut dapat disediakan oleh industri kelapa sawit. Mathius (2008) melaporkan bahwa dengan inovasi teknologi yang ada, pemanfaatan limbah dan produk samping industri kelapa sawit dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi potong hingga 72%.

Provinsi Bengkulu merupakan salah satu provinsi pengembangan kelapa sawit. Menurut data BPS Provinsi Bengkulu 2015, luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Bengkulu adalah sebanyak 190.419 ha yang tersebar di delapan kabupaten. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang mempunyai potensi limbah yang besar berupa daun, pelepah, tandan kosong, cangkang, serabut buah, batang, lumpur sawit, dan bungkil kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan, baik untuk unggas maupun ruminansia . Limbah ini mengandung bahan kering, protein kasar dan serat kasar yang nilai nutrisinya dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pakan ternak ruminansia (Purba, dkk, 1997 ; Purba dan Ginting, 1997; Mathius, dkk, 2003).

Populasi ternak sapi pada tahun 2014 sebesar 109.174 ekor (BPS 2015), yang tersebar di semua kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bengkulu. Ternak sapi merupakan salah satu sumber penghasil daging yang potensial dan usaha sampingan dari petani di Provinsi Bengkulu. Salah satu limbah yang berpotensi

untuk digunakan sebagai pakan adalah limbah sawit Potensi ini didukung dengan kondisi di Provinsi Bengkulu yang memprioritaskan kelapa sawit sebagai salah satu komoditas unggulan untuk sub sektor perkebunan. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui peluang pengembangan usaha ternak sapi potong berbasis limbah kelapa sawit di Kabupaten Seluma.

METODOLOGI

Pengkajian ini dilaksanakan di Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu dari bulan Mei-Juli 2016. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Seluma merupakan kabupaten sentra pengembangan ternak sapi potong di Provinsi Bengkulu dan mempunyai potensi yang besar sebagai penghasil limbah kelapa sawit. Jumlah sampel yang diambil adalah 34 orang peternak sapi potong yang ada di Kabupaten Seluma. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei menggunakan kuisioner terhadap peternak dan data skunder diperoleh dari Dinas/Intansi terkait. Data yang diamati adalah data biofisik, lokasi pengkajian, karakteristik usaha ternak sapi potong, data potensi perkebunan kelapa sawit dan data rasio antara potensi limbah kelapa sawit dengan populasi ternak sapi. Data yang diperoleh selanjutnya ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Wilayah

Kabupaten Seluma secara administrasi termasuk ke dalam wilayah Provinsi Bengkulu yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003, tentang pembentukan Kabupaten Mukomuko, Seluma dan Kaur. Secara Geografis Kabupaten Seluma terletak di Pantai Barat Sumatera Bagian Selatan yang berada pada koordinat garis lintang dan bujur, yaitu 03º49’55,66”LS - 04º21’40,22” LS dan 101º17’27,57” BT - 102º59’40,54” BT.

Batas-batas wilayah Kabupaten Seluma adalah sebelah utara dengan Kota Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Utara, sebelah selatan dengan Kabupaten Bengkulu Selatan, sebelah timur dengan Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan dan sebelah barat dengan Samudera Indonesia.

Suhu udara rata-rata di Kabupaten Seluma antara 21ºC-32ºC, kelembaban udara relative antara 85-88%, jumlah curah hujan untuk setiap tahunnya bervariasi antara 1.500-4.500 mm dengan jumlah hari hujan antara 110-230 hari setiap tahunnya, rata- rata 16 hari hujan setiap bulannya.

Dari luas Kabupaten Seluma 240.044 ha mempunyai beberapa jenis tanah utama antara lain: Aluvial, Podsolik Merah Kuning. Latosol dan Podsolik Coklat Litosol, sedangkan jenis tanah yang rata-rata di bawah 10% antara lain Organosol Gley Humus, Podsolik Merah Kuning, Litosol dan Podsolik Merah Kuning Litosol. Tekstur tanah di Kabupaten Seluma umumnya bertekstur agak halus dengan luas 1.112,6ºkm

2 (46,35%), tekstur sedang 607,92 km

2, halus 336,28 km

2 (14,01%), agak kasar

124,85 km2 (5,20%) dan kasar 218,79 km

2 (9,11%).

Page 193: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

175

Karakteristik Responden

Hasil identifikasi yang dilakukan terlihat bahwa 34 orang peternak sapi potong di Kabupaten Seluma, 82,2% termasuk dalam usia produktif yaitu antara 25-55 tahun. Sedangkan 6 orang (17,8%) peternak sudah tidak produktif lagi. Hal ini sesuai dengan pendapat Harjono, dkk (1990) bahwa umur produktif tenaga kerja antara 25-55 tahun, sedangkan menurut pernyataan Soekartawi (1988) bahwa secara praktis pengertian produktif dan bukan produktif hanya dibedakan atas umur, dimana pada umur 20 tahun sampai 65 tahun digolongkan kepada usia produktif.

Tabel 1. Umur Peternak

Umur (tahun) Jumlah Responden (orang) Persentase (%)

25 – 55 28 82,2 56 – 72 6 17,8

Sumber: diolah dari data primer tahun 2016.

Tenaga kerja yang produktif sangat mempengaruhi keberhasilan dari suatu usahatani karena biasanya tenaga produktif memiliki pola pikir yang dinamis dan kemampuan fisik yang prima dalam mengelola usaha ternaknya, sehingga penerapan teknologi pemeliharaan ternak akan lebih mudah, hal ini sesuai dengan pendapat Chamdi (2003) yang menyebutkan bahwa semakin muda usia peternak (usia produktif 20-45 tahun) umumnya rasa keingintahuan terhadap sesuatu semakin tinggi dan minat untuk mengadopsi terhadap introduksi teknologi semakin tinggi. Pendapat tersebut didukung oleh Mardikanto (2009) yang mengatakan bahwa semakin tua seseorang biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat.

Tingkat pendidikan peternak sapi potong di Kabupaten Seluma umumnya masih rendah (berpendidikan SD). Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal yang diperoleh oleh para peternak di Kabupaten Seluma masih rendah, sehingga perlu adanya upaya yang serius dari pemerintah untuk mengadakan bimbingan teknis maupun pelatihan/penyuluhan tentang budidaya ternak sapi guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dari peternak dalam hal melakukan usaha ternak peternakan khususnya ternak sapi. Menurut Murwanto (2008), bahwa tingkat pendidikan peternak merupakan indikator kualitas penduduk dan merupakan peubah kunci dalam pengembangan sumberdaya manusia. Pendidikan peternak yang memadai akan mempermudah dalam proses penerimaan inovasi dan teknologi peternakan sapi potong. Selain itu Soekartawi (2008) menambahkan bahwa mereka yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi relatif lebih cepat melaksanakan adopsi inovasi daripada mereka yang berpendidikan rendah.

Tabel 2. Tingkat Pendidikan

Pendidikan (tahun) Jumlah Responden (orang) Persentase (%)

SD (6) 28 82,2 SMP (9) 4 11,8 SMA (12) 2 5,8

Sumber: diolah dari data primer tahun 2016.

Tingkat tinggi rendahnya pendidikan petani akan menanamkan sikap yang menuju penggunaan praktek pertanian yang lebih modern. Mengenai tingkat pendidikan petani, dimana mereka yang berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi (Ibrahim, dkk, 2003). Hal ini sesuai dengan pendapat Gaold dan Saupe dalam Budiharjo, dkk (2011) bahwa umur, pendidikan dan pelatihan sebagai variabel yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja dalam off-farm, pekerjaan usaha tani dan rumah tangga.

Page 194: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

176

Tabel 3. Pengalaman beternak

Sumber: diolah dari data primer tahun 2016.

Pengalaman seseorang dalam melakoni usahatani memiliki peranan penting dalam terhadap

perolehan informasi terutama terhadap inovasi teknologi yang berhubungan erat dengan usahanya. Lamanya pengalaman usaahatani diukur mulai sejak peternak tersebut aktif secara mandiri mengusahakan usahataninya sampai pengkajian dilaksanakan (Fauzia dan Tampubolon 1991). Pengalaman beternak juga berpengaruh pada skala kepemilikan ternak, sebab semakin lama pengalaman beternak seseorang maka semakin banyak pula pengetahuan yang diketahui oleh peternak yang dapat mendorong perkembangan usaha peternakan. Hal ini sesuai dengan Murwanto (2008) yang mengatakan pengalaman beternak sapi potong merupakan peubah yang sangat berperan dalam menentukan keberhasilan peternak dalam meningkatkan pengembangan usaha ternak sapi dan sekaligus upaya peningkatan pendapatan peternak. Pengalaman beternak adalah guru yang baik, dengan pengalaman beternak sapi yang cukup peternak akan lebih cermat dalam berusaha dan dapat memperbaiki kekurangan di masa lalu.

Karakteristik Usaha Ternak Sapi Potong

Tingkat kepemilikan ternak sapi peternak sapi potong di Kabupaten Seluma dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Tingkat kepemilikan ternak sapi peternak sapi potong di Kabupaten Seluma.

Sumber: diolah dari data primer tahun 2016.

Berdasarkan tabel 4, dapat dilihat bahwa tingkat kepemilikan ternak sapi potong untuk setiap peternak masih rendah (berkisar antara 1-3 ekor), sehingga masih tergolong kepada usaha sampingan. Menurut pendapat Aziz (1993) dalam Prawira, dkk. (2015) bahwa pada tingkat pemeliharaan <6 ekor maka dikategorikan sebagai peternakan sapi potong baru bersifat dimiliki, belum diusahakan, biasanya ternak merupakan status sosial, serta pemasaran yang baru dilakukan apabila ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk kepentingan yang bersifat sosial, budaya atau keagamaan. Sistem pemeliharaan dan perkawinan ternak sapi potong di Kabupaten Seluma dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Sistem Pemeliharaan dan Perkawinan ternak sapi peternak sapi potong di Kabupaten Seluma.

Sumber: diolah dari data primer tahun 2016.

Sistem pemeliharaan ternak sapi potong di Kabupaten Seluma bersifat semi intensif sebanyak 47,1%, dimana ternak sapi pada siang hari diangonkan di kebun kelapa sawit atau di padang pengembalaan dan pada malam hari dikandangkan. Sistem ini biasanya dilakukan pada pemeliharaan ternak sapi indukan atau pengembangan. Untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak sapi, peternak biasanya memberikan pakan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugeng (1996)

Pengamalan (tahun) Jumlah Responden (Orang)

Persentase (%)

0 – 5 16 47,1 5 – 10 6 17,8 >10 12 35,3

Jumlah ternak (ekor) Jumlah Responden (orang) Persentase (%)

1 - 3 20 58,8 4 - 5 10 29,4 6 -10 6 17,6 ’> 10 4 11,8

Jumlah ternak (ekor) Jumlah Responden (orang) Persentase (%)

Sistem Pemeliharaan

Semi Intensif

16

47,1

Intensif 18 52,9

Sistem Perkawinan

Kawin Alam

IB

Campuran

12 16 6

35,3 47,1 17,6

Page 195: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

177

menyatakan sistem pemeliharaan semi intensif yaitu pada siang hari ternak dilepas dikebun atau pekarangan yang rumputnya tumbuh subur, kemudian sore harinya ternak dimasukkan dalan kandang dan pada malam harinya ternak sapi diberi minum berupa hijauan/rumput atau dedaunan. Sedangkan untuk sapi penggemukan, biasanya dilakukan dengan cara mengandangkan ternak sapi baik siang atau malam hari (intensif) sebanyak 52,9%. Pada sistem pemeliharaan dengan sistem intensif ini, ternak sapi diberikan hijauan berupa rumput unggul maupun rumput lapangan sesuai dengan kebutuhan ternak sapi (10%) dari berat badan dan pakan tambahan berupa solid, dedak, ampas tahu,dan lain-lain.

Sistem perkawinan yang dilakukan oleh peterkan sapi potong di Kabupaten Seluma ada 3 macam yaitu kawin alam, IB dan campuran keduanya, dimana perkawinan secara IB lebih sering dilakukan oleh peternak. Hal ini disebabkan karena peternak sudah memahami teknologi IB tersebut lebih menguntungkan dan sebagian disebabkan oleh ketersediaan pejantan yang langka di daerah peternakan mereka.

Potensi Pakan ternak Sapi Berbahan Limbah Kelapa Sawit.

Usaha peternak sapi potong pada kawasan perkebunan kelapa sawit pada intinya merupakan usaha untuk mendekatkan sumber pakan kepada ternak sapi, mengingat usaha tersebut tidak menguntungkan karena biaya pakan yang tinggi (Diwyanto dan Priyanti 2005). Manajemen pemeliharaan biasanya bergantung pada keinginan pemilik kebun kelapa sawit, namun pada prinsipnya dapat dilakukan secara in-situ, atau ex-situ (Djajanegara 2005), yang terpenting siklus biologisnya tidak terputus. Hasil samping/limbah dari satu subsistem produksi menjadi input bagi subsistem produksi lain. Pelepah dan daun kelapa sawit dapat dijadikan sumber pakan untuk ternak sapi, namun daun kelapa sawit masih mengandung lidi yang menyulitkan ternak dalam mengkonsumsinya, selain memerlukan tambahan waktu untuk menghilangkannya. Masalah tersebut dapat diatasi dengan pencacahan yang di lanjutkan dengan pengeringan dan penggilingan untuk dibuat pelet atau balok (Mathius, 2008). Kandungan nutrisi daun tanpa lidi dan pelepah kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan nutrisi daun tanpa lidi dan pelepah kelapa sawit

Kandungan nutrisi Daun tanpa lidi Pelepah

Bahan kering (%) 46,18 26,07 Protein kasar (%) 14,12 3,07 Lemak kasar (%) 4,37 1,07 Serat kasar (%) 21,52 50,94 Kalsium (%) 0,84 0,96 Fosfor (%) 1,07 0,08 Energi (kkal/kg) 4,461 4.841 Produksi (kg BK/ha/tahun 658 1.640

Sumber: Mathius (2003).

Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa untuk setiap pohon kelapa sawit yang sudah berproduksi dapat menghasilkan 22 pelepah, dengan rataan bobot pelepah perbatang mencapai 5 kg (hasil identifikasi oleh Sitompul 2004 bahwa rata-rata berat pelepah adalah 7 kg). Jumlah ini setara dengan 14.300 kg (22 pelepah x 130 pohon x 5 kg) pelepah segar yang dihasilkan untuk setiap ha dalam satu tahun, dengan bahan kering adalah 3.729 kg/ha/tahun. Luasan perkebunan kelapa sawit rakyat dan produksi limbahnya di Kabupaten Seluma dapat dilihat pada Tabel 7 dan luas perkebunan swasta di Kabupaten Seluma pada Tabel 8.

Jika diasumsikan bahwa luasan perkebunan kelapa sawit rakyat yang telah menghasilkan (60%) dari luasan pertanaman kelapa sawit, maka limbah yang bisa peroleh adalah 58.597.318 kg/tahun. Dengan demikian, apabila limbah tersebut diberikan pada ternak sapi sejumlah 50% dari kebutuhan satuan ternak (ST) ruminasia dengan bobot hidup 250 kg (konsumsi bahan kering 3,5% dari bobot hidup), maka daya tampung limbah kelapa sawit dari perkebunan rakyat untuk pakan adalah 58.597.318 kg: 4,375 kg/hari setara dengan 36.547 ST, sedangkan daya tampung dari ternak sapi pada perkebunan besar adalah 27.773.592 kg : 4,375 kg/hari sebanyak 17.392 ST. Menurut Purba dan Ginting (1995) dalam Utomo, dkk (2012) menyatakan bahwa pelepah kelapa sawit dapat menggantikan rumput sampai 80%, namun perlu pakan tambahan berupa rumput atau limbah pabrik kelapa sawit. Sedangkan Mathius, dkk. (2004) membatasi jumlah pemberian pelepah maksimum 33% dari total kebutuhan bahan kering. Namun Azmi dan Gunawan (2005) menyatakan bahwa pemberian pelepah sawit sampai mencapai 55% mampu meningkatkan PBBH sapi menjadi 226,7 gram/ekor/hari dari 216 gram/ekor/hari pada pola petani.

Page 196: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

178

Tabel 7. Luasan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat dan Produksi Limbahnya di Kabupaten Seluma.

No Kecamatan Luas Perkebunan Rakyat (ha) Produksi Pelepah/daun (kg/tahun)

1 Semidang Alas Maras 2.343 5.330.796 2 Semidang Alas 2.276 5.178.355 3 Talo 1.091 2.482.243 4 Ilir Talo 3.682 8.377.286 5 Talo Kecil 1.515 3.446.928 6 Ulu Talo 1.005 2.286.576 7 Seluma 280 637.056 8 Seluma Selatan 1.737 3.952.022 9 Seluma Barat 2.743 6.240.873 10 Seluma Timur 1.262 2.871.302 11 Seluma Utara 805 1.831.536 12 Sukaraja 8.173 18.595.209 13 Air Periukan 3.518 8.140.665 14 Lubuk Sandi 924 2.102.284

Total 31.354 58.597.318

Sumber : Analisis data Skunder dan Primer 2016.

Tabel 8. Luasan Perkebunan Besar di Kabupaten Seluma dan Produksi Limbahnya.

No Nama perusahaan Luas Tanaman (ha)

Produksi Pelepah/daun (kg/tahun)

1 PTPN VII 587 2.188.923 2 PT. Agri Andalas 6.861 25.584.669

Total 7.448 27.773.592

Sumber: Analisis data skunder dan primer 2016

Asumsi:

Daya tampung pohon kelapa sawit 130 batang/ha Produksi pelepah 22 pelepah/pohon/tahun Bobot pelepah: 5 kg/pelepah Solid: 294 kg/1.000 kg TBS Bahan Kering: 26,07%

Peluang Pengembangan Ternak Sapi Potong Berbasis Industri Kelapa Sawit

Makin meningkatnya permintaan pasar akan produk hewani berupa daging akan memicu meningkatnya harga dari suatu komoditas tersebut. Dilihat dari prospek tersebut pengembangan bisnis ternak sapi potong di Kabupaten Seluma sebenarnya cukup prospektif. Hal ini setidaknya dilihat dari (i) ketersediaan lahan pengembangan yang cukup potensial dan dalam skala yang cukup luas, (ii) ketersediaan kebutuhan input produksi ternak seperti limbah perkebunan kelapa sawit rakyat sebanyak 58.597.318 kg/tahun yang diperkirakan dapat menampung ternak 36.547 ST dan (iii) prospek pasar lokal, regional maupun pasar nasional yang masih terbuka lebar untuk komoditas daging sapi. Permasalahan yang timbul dalam menggunakan limbah kelapa sawit (daun dan pelepah) adalah masih belum tersedianya mesin penghancur pelepah dan daun (shreeder) ditingkat peternak, sehingga peternak masih belum banyak yang menggunakan pelepah dan daun kelapa sawit untuk ternak sapinya.

Faktor pendukung dalam penggunaan limbah kelapa sawit sebagai pakan yaitu teknologi pengolahan limbah sudah banyak tersedia seperti silase, amoniasi dan juga fermentasi. Pelepah dan daun kelapa sawit dapat diberikan dalam bentuk segar ataupun diolah terlebih dahulu. Selain perlakuan fisik berupa pengeringan, perajangan, penggilingan dan pembentukan pelet, pengelolaan limbah kelapa sawit berupa daun dan pelepah sebagai pengganti hijauan ternak ruminansia dapat diterapkan dengan proses kimia dan bilologi yaitu perendaman dengan NaOH, amonasi dan selase atau dicampurkan dengan tepung daun singkong atau dengan hasil limbah pertanian seperti BIS (bungkil inti sawit), dedak padi,atau molases.

Page 197: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

179

KESIMPULAN

Limbah perkebunan kelapa sawit berupa pelepah dan daun berpeluang digunakan sebagai bahan pakan ternak sapi potong. Kabupaten Seluma dengan luasan pertanaman kelapa sawit rakyat sekitar 31.354 ha dan perusahaan swasta sebanyak 7.448 ha berpeluang menampung ternak sapi potong sebanyak 36.547 ST pada perkebunan rakyat dan 17.392 ST untuk perkebunan swasta.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu yang mendukung pendanaan pada kegiatan penelitian ini. Kepada Ibuk Zuraini (Kabid. Peternakan) Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Seluma dan petugas lapangan yang telah membantu dalam pengambilan data dilapangan diucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, M.A. 1993. Agroindustri sapi Potong Prospek Pengembangan pada PJPT II. PT.Insan Mitra satya. Jakarta.

Azmi dan Gunawan. 2005. Pemanfaatan pelepah kelapa sawit dan solid untuk pakan sapi potong. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

BPS Kabupaten Seluma. 2014. Kabupaten Seluma Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Seluma.

Budiharjo. K, Handayani. M dan Sanyoto. G. 2011. Analisis provotabilitas usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Gunung Pati Kota Semarang. Jurnal Ilmu-ilmu pertanian (Mediagro) Vol.7. No.1. 2011: hal 1 – 9.

Chamdi, A.N. 2003. Kajian profil sosial ekonomi usaha kambing di Kecamatan Kradenan Kabupaten Grobogan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 29 – 30 September 2003.

Djajanegara, A. 2005. Pembentukan jejaring komunikasi sistem integrasi sawit-sapi . Makalah disampaikan pada Workshop Pengembangan Sistem Integrasi sawit-sapi banjarbaru, 22-23 Agustus 2005.

Diwyanto, K dan A. Priyanti. 2005. Prospek pengembangan ternak pola integrasi berbasis sumber daya lokal. Makalah disampaikan pada Workshop Pengembangan Sistem Integrasi sawit-sapi banjarbaru, 22-23 Agustus 2005.

Harjono, B. S. Wisadirana dan Susilo E. 1990. Analisis Produktif Tenaga kerja dan Kesempatan Kerja wanita Pada Usaha Peternakan Sapi Perah. Laporan Penelitian Pusat Ilmu Sosial. Universitas Brawijaya, Malang.

Ibrahim, J.T., Armand Sudiyono, dan Harpowo. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Banyumedia Publishing. Malang.

Mathius.I.W. 2003. Perkebunan kelapa sawit dapat menjadi basis pengembangan sapi potong. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 25 (5): 1 – 4.

Mathius. I.W, D. Sitompul, B.P. Manurung dan Azmi. 2004. Produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit sebagai bahan dasar pakan komplik untuk sapi. Suatu tinjauan. Hlm 120-128. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa sawit-sapi, Bengkulu . 9 -10 September 2003. Kerjasama Departemen Pertanian. Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT. Agricinal.

Mathius, I. W. 2008. Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit. Pengembangan Inovasi Pertanian 1 (2): 206-224.

Mardikanto, T. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. UNS Press, Surakarta. Mubyarto, 1993. Pengantar Ekonomi Pertanian Edisi Ketiga. LP3ES. Jakarta. Murwanto, A. G. 2008. Karakteristik Peternak dan Tingkat Masukan Teknologi Peternakan Sapi

Potong di Lembah Prafi Kabupaten Manokwari (Farmer Characteristic and Level of Technology Inputs of Beef Husbandry at Prafi Valley, Regency of Manokwari). Jurnal Ilmu Peternakan, Vol. 3 No.1 hal. 8- 15.

Prawira. Y.P, Muhtarudin dan Rudy Sutrisna. 2015. Potensi Pengembangan Peternakan Sapi Potong di Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol.3 (4): 250-255, November 2015.

Page 198: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

180

Purba. A dan S.P. Ginting. 1995. Nilai nutrisi dan manfaat pelepah kelapa sawit sebagai pakan ternak. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 5 (3): 161-177.

Purba, A., S . P . Ginting, Z. Poeloengan, K. Sanihuruk dan Junjungan . 1997 . Nilai nutrisi dan manfaat pelepah kelapa sawit sebagai pakan domba. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 5 (3) : 161-177 .

Purba, A. dan S . P . Ginting. 1997. Integrasi perkebunan kelapa sawit dengan ternak ruminansia. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 5 (2) :55-60.

Umar, S. 2009. Potensi perkebunan kelapa sawit sebagai pusat pengembangan sapi potong dalam merevitalisasi dan mengakselerasi pengembangan peternakan berkelanjutan. Pidato pengukuhan jabatan guru tetap dalam bidang ilmu reproduksi ternak pada fakultas peternakan Universitas Sumatera Utara, Medan.

Utomo. B.N, Ermin. W. 2012. Pengembangan Sapi Potong Berbasis Industri Perkebunan Kelapa sawit. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 31.No 34. Desember 2012: 153-162.

Siregar, S.B. 2002. Penggemukan Sapi. Cetakan ke-6. Penerbit Swadaya, Jakarta. Siregar, N. W.P. 2013. Faktor-faktor yang mempengaruhi usaha ternak sapi potong di Desa Mangkai

Lama Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara Provinsi Sumatera Utara. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Sitompul. D. 2004. Desain pembangunan kebun dengan sistem usaha terpadu ternak sapi Bali. Pros. Lokakarya Nasional sistem integrasi kelapa sawit-sapi. Badan Litbang Pertanian, Pemprov. Bengkulu dan PT. Agricinal. Hlm. 81 – 88.

Soekardono. 2009. Ekonomi Agribisnis Peternakan. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta. Soekartawi, 1988. Ternak Sapi Potong dan Kerja. Yasaguna. Jakarta. Soekartawi. 2008. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Sugeng, B.Y.1996. Sapi potong. Penebar Swadaya. Jakarta. Tangendjaja, 2009. Teknologi pakan dalam menunjang industri peternakan di Indonesia.

Pengembangan Inovasi Pertanian 2 (3): 192-207.

Page 199: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

181

EFEKTIVITAS M-DECK TERHADAP KEMATANGAN KOMPOS KOTORAN AYAM

EFFECTIVENESS OF M-DECK TO MATURITY COMPOST OF CHICKEN MANURE

Hasrianti Silondae1 dan Tri Wahyuni

2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara

2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu

Email: [email protected]

ABSTRAK

Pengomposan merupakan proses biologis dengan kecepatan proses yang berbanding lurus dengan kecepatan aktivitas mikroba dalam mendekomposisi limbah organik. Proses pengomposan pupuk kandang juga bergantung pada faktor lingkungan. Jika kondisi lingkungan semakin mendekati kondisi optimum yang dibutuhkan oleh mikroba maka aktivitas mikroba semakin tinggi sehingga proses pengomposan semakin cepat. Penelitian yang dilaksanakan di Kebun Percobaan Pandu pada bulan Juni sampai bulan Agustus tahun 2012 ini, bertujuan untuk mengetahui kematangan kompos kotoran ayam selama pengomposan dengan menggunakan biodekomposer M-Dec. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan bahan baku kompos kotoran ayam dengan 3 (tiga) ulangan dan kontrol. Pengomposan dilakukan di atas permukaan tanah dalam sangkar kompos yang terbuat dari bambu berukuran 1 meter kubik.Volume bahan yang dikomposkan adalah sekitar 1 m

3/sangkar dan

dilakukan penimbangan berat saat awal pembuatan dan pembalikan kompos sekali seminggu.Pembuatan kompos menggunakan 1 kg M-Dec bagi tiap 1 ton bahan organik.Diketahui bahwa tahapan pengomposan menghasilkan suhu semakin menurun mengikuti lamanya waktu pengomposan. Diperoleh suhu pada ulangan 1 sebesar 41

oC, 39

oC dan 43

oC untuk ulangan 2 dan 3.

Sedangkan perlakuan kontrol mencapai suhu 46oC. Penyusutan berat kompos masih lebih tinggi pada

perlakuan dengan M-Dec dibanding kontrol yaitu U1 (1026 kg), U2 (1022 kg), U3 (825 kg), dan Kontrol (1032 kg). Karakter kompos yang dihasilkan mempunyai ciri tekstur kasar, tidak berbau, tidak ada jamur/hyfa, dan berwarna coklat gelap/kehitaman.

Kata Kunci: kotoran ayam, suhu, tekstur, M-Dec

ABSTRACT

Composting is a biological process with a process speed is directly proportional to the speed of microbial activity in decomposing organic waste. Manure composting process also depends on environmental factors. If the environmental conditions closer to optimum conditions required by microbes, the microbial activity makes so that higher and faster of the composting process.This research conducted at Kebun Percobaan Pandu in June to August 2012, aims to maturity compost of chicken manurefor composting using biodekomposer M-Dec. Research using a completely randomized design with chicken manure compost material with three (3) replicates and controls. Composting is done above ground level in a compost cage made of bamboo measuring 1 cubic meter. The volume of composted material is about 1 m

3/cage and do weighing at the beginning creation and reversal of

compost once a week. Making compost using 1 kg M-Dec for every 1 ton of organic material. It is known that the stages of composting produceheat that raise temperature and then decrease follows the length of the composting time. Retrieved temperature at 41

oC for replay 1, 39

oC and 43

oC to repeat 2

and 3. The control treatment reaches 46oC.Depreciation weight of compost was higher in the

treatment with M-Dec compared to controls, U1 (1026 kg), U2 (1022 kg), U3 (825 kg), and Control (1032 kg).Characters compost produced has the characteristic coarse texture, no smell, no mildew/hype, and dark brown/black.

Keywords: chicken manure, temperature, texture, M-Dec

Page 200: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

182

PENDAHULUAN

Menurut Sihombing (2006)dalam Kusuma (2012), limbah ternak atau peternakan adalah semua yang berasal dari ternak atau petenakan baik bahan padat maupun cair, yang belum dimanfaatkan dengan baik, yang termasuk dalam limbah ternak adalah tinja atau feses dan air kencing atau urin.Kotoran ternak merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dalam pemeliharaan ternak selain limbah yang berupa sisa pakan. Djuarnanietal, (2005) menjelaskan bahwa kompos merupakan hasil fermentasi atau hasil dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau limbah organik.Secara ilmiah, kompos dapat diartikan sebagai partikel tanah yang bermuatan negatif sehingga dapat dikoagulasikan oleh kation dan partikel tanah untuk membentuk granula tanah. Sejalan dengan Crawford (2003) dalam Isroi (2008), bahwa kompos adalah hasil dekomposisi parsial/tidak lengkap, dipercepat secara artifisial dari campuranbahan-bahan organik oleh pupulasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yanghangat, lembab, dan aerobik.Kompos telah digunakan secara luas selama ratusan tahun dan telah terbukti mampu menangani limbah pertanian sekaligus berfungsi sebagai pupuk alami. Prinsip pengomposan adalah menurunkan nilai rasio C/N bahan organik menjadi sama dengan rasio C/N tanah. Rasio C/N adalah hasil perbandinganantara karbon dan nitrogen yang terkandung didalam suatu bahan. Bahan organik yang memiliki rasio C/N sama dengan tanah memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman (Djuarnaniet al, 2005).

Menurut Sutanto (2002), kualitas kompos sangat ditentukan oleh tingkat kematangan kompos, disamping kandungan logam beratnya. Bahan organik yang tidak terdekomposisi secara sempurna akan menimbulkan efek yang merugikan bagi pertumbuhan tanaman. Penambahan kompos yang belum matang ke dalam tanah dapat menyebabkan terjadinya persaingan bahan nutrien antara tanaman dan mikroorganisme tanah.Keadaan ini dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.

Kotoran ayam merupakan salah satu limbah yang dihasilkan baik ayam petelur maupun ayam pedaging yang memiliki potensi yang besar sebagai pupuk organik. Komposisi kotoran sangat bervariasi tergantung pada sifat fisiologis ayam, ransum yang dimakan, lingkungan kandang termasuk suhu dan kelembaban. Kotoran ayam merupakan salah satu bahan organik yang berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan pertumbuhan tanaman. Penggunaan bahan organik kotoran ayam mempunyai beberapa keuntungan antara lain sebagai pemasok hara tanah dan meningkatkan retensi air. Apabila kandungan air tanah meningkat, proses perombakan bahan organik akan banyak menghasilkan asam-asam organik. Anion dari asam organik dapat mendesak fosfat yang terikat oleh Fe dan Al sehingga fosfat dapat terlepas dan tersedia bagi tanaman. Penambahan kotoran ayam berpengaruh positif pada tanah masam berkadar bahan organik rendah karena pupuk organik mampu meningkatkan kadar P, K, Ca dan Mg tersedia. Mikroba perombak merupakan salah satu pupuk hayati yang dapat membantu mempercepat proses pengomposan bahan organik menjadi pupuk organik yang siap diberikan untuk tanaman. Secara alami untuk mendapatkan pupuk organik memerlukan waktu yang cukup lama.Sekarang ditemukan beberapa aktivator yaitu agensia yang dapat mempercepat proses pengomposan sehingga kontinuitas produksipupuk organik lebih terjamin (Warsana,2009 dalam Fitri et al,2012). M-Dec merupakan inokulan perombak bahan organik yang mengandung, Trichoderma sp, Aspergillus sp, dan Trametes sp yang mempercepat proses pengomposan sisa-sisa tanaman pertanian (jerami, seresah jagung), perkebunan (tandan kosong kelapa sawit, blotong), dan hortikultura (sampah sayuran), sampah perkotaan (kertas, daun sisa tanaman, potongan rumput), kotoran hewan, sehingga dapat segera menjadikannya bahan organik tanah yang berfungsi menyimpan dan melepaskan hara di sekitar tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas M-Dec terhadap kematangan bahan kompos kotoran ayam.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Pandu pada bulan Juni hingga Agustus 2012, dengan menggunakan kotoran ayam dan decomposer M-Dec sebagai perlakuan, bambu berbentuk segiempat untuk penyangga dan sirkulasi udara, Sepatu bot, sekop, cangkul, garu, ember dan gayung air, alat pengayak, parang, tongkat kayu, thermometer. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 3 ulangandan kontrol. Data yang diperoleh diuraikan secara deskriptif. Volume timbunan kompostinggi 1 m, lebar 1 m, panjang 1 m. Bentuk timbunan kompos segiempat, terletak di atas tanah dengan diberi penyangga berupa kayu berbentuk segiempat. Proses pembuatan kompos kotoran ayam sebagai berikut :

Page 201: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

183

a. Menyiapkan media yaitu kotoran ayam1 ton dan M-dec sebanyak 1 kg yang dilarutkan kedalam 10 liter air. Tempat pembuatan kompos dilakukan di bawah pohon agar terlindung dari sinar matahari langsung, alas dibuat agak tinggi dan dibuat selokan untuk menghindari genangan air.

b. Dibuat lapisan setinggi 1m, kemudian tumpukan bahan kompos disiram dengan larutan M-Dec secara merata pada bahan dasar kompos, selanjutnya dilapisi lagi setinggi 20 cm dan disiram M-Dec secara merata. Demikian seterusnya dilakukan sesuai dengan kapasitas bahan yang diproses. Kemudian media kompos ditutup dengan terpal agar terhindar dari hujan dan proses dekomposisi dapat berjalan dengan baik.

c. Tumpukan bahan tersebut dibalik seminggu sekali.

Metode analisa

Observasi lapangan meliputi: pengamatan proses pengomposan dari awal sampai akhir pada parametersuhu, penyusutan berat kompos setiap pembalikan, warna dan bau. Pengukuran di lapangan terhadap parameter pengomposan seperti:

1. Suhu

Pengukuran suhu timbunan kompos (Yuwono, 2005). Suhu keempat sudut dan bagian tengah timbunan kompos diukur dengan menggunakan thermometer dan dicatat setiap kali pengamatan dilakukan.Pengukuran suhu dilakukan pada pagi hari pukul 06.00 WITA, sebelum dilakukan penyiraman oleh pekerja pada timbunan kompos dan sore hari pukul 17.00.

2. Penyusutan berat kompos

3. Penampilan warna dan bau kompos melalui pengamatan panca indera.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Suhu

Suhu merupakan parameter penting dalam mengevaluasi proses pengomposan sekaligus menentukan berhasil atau tidaknya proses dekomposisi terhadap bahan kompos. Hasil pengukuran suhu selama proses pengomposan, disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Profil suhu selama pengomposan

Selama proses pengomposan, terjadi pelepasan energi reaksi eksotermik dalam tumpukan.

Kenaikan suhu selama proses pengomposan sangat menguntungkan bagi beberapa jenis mikroorganisme thermofilik, akan tetapi proses pengomposan yang tidak terkontrol, misalkan suhu di atas 65-70°C akan menyebabkan aktivitas populasi mikroorganisme menjadi menurun drastis. Pada kurva suhu tumpukan kompos, terlihat bahwa suhu semakin menurun mendekati suhu lingkungan seiring dengan bertambahnya minggu pengomposan.Perubahan temperatur ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti karakter bahan organik yangdikomposkan, nisbah volumetumpukan atau timbunan yangberbanding dengan permukaan tumpukan.Makin tinggi volumetumpukan maka makin besar isolasi panas yangterjadi dalam tumpukan bahan yangdikomposkan.Perlakuan pembalikan tumpukan kompos akan sangat membantu proses aerasi dan homogenitas suhu dan bahan. Pembalikan secara berkala dan teratur akan membantu pemerataan kondisi terhadap tumpukan kompos bagian bawah, tengah dan atas, namun sebaiknya pembalikan jangan sering dilakukan, terutama fase

0

50

100

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Suh

u o

C

Minggu KeSuhu Kompos Kotoran Ayam (oC) U1Suhu Kompos Kotoran Ayam (oC) U2Suhu Kompos Kotoran Ayam (oC) U3Suhu Kompos Kotoran Ayam (oC) Kontrol

Page 202: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

184

awal/dekomposisi, hal ini untuk menjaga kondisi suhu tumpukan dan aktivitas mikroorganisme dalam tumpukan. Suhu tumpukan yang dingin akan berakibat proses pengomposan menjadi lambat. Profil perubahan suhu selama pengkomposan ditunjukkan dalam Gambar 1.Kahlon & Kalra (1986), menyatakan bahwa aktivitas mikroorganisme ditunjukkan dengan panas yang menyebabkan perubahan suhu dalam timbunan kompos.

Pada Gambar 1 di atas diketahui bahwa suhu kompos pada masing-masing ulangan perlakuan larutan M-Dec maupun tanpa M-Dec (kontrol)tidak mencapai fase termofilik (40-65

oC).Suhu kompos

pada setiap minggunya hanya berkisar antara 31-51oC.Diduga tumpukan bahan yang terlalu rendah

membuat bahan lebih cepat kehilangan panas, sehingga temperatur yang tinggi tidak dapat tercapai meskipun tinggi tumpukan kompos sekitar 1 meter. Diketahui bahwa tinggi maksimum adalah 1,5-1,8 meter (Widarti, 2015). Menurut Bach et al. (1987), penguraian dengan suhu 35-60

oC masih memenuhi

persyaratan optimum. Untuk pengontrolan suhu supaya memenuhi syarat optimum penguraian pada timbunan kompos dilakukan pengudaraan langsung ke timbunan kompos dengan cara pembalikan.

Robinzonet al. (2000), menyatakan bahwa penurunan suhu sebanyak 50oC disebabkan proses

pembalikan. Temperatur yang tinggi pada proses pengomposan sangat penting untuk proses higienisasi, yaitu untuk membunuh bakteri patogen dan bibit gulma, selain untuk memacu proses pengomposan karena pada umumnya proses pengomposan kombinasi suhu termofilik dan mesofilik.

Kurang tingginya suhu kompos disebabkan karena jumlah limbah kotoran ayam yangdikomposkan tidak cukup memberikan proses insulasi panas. Sejumlah energi dilepaskan dalam bentuk panas pada perombakan bahan organik sehingga mengakibatkan naik turunnya temperatur.Peningkatan suhu adanya aktivitas bakteri dalam mendekomposisi bahan organik.Kondisi mesofilik lebih efektif karena aktivitas mikroorganisme didominasi protobakteri dan fungi. Pembalikan yang dilakukan dalam proses pengomposan mengakibatkan temperatur turun dan kemudian naik lagi (Pandebesie, 2012 dalam Widartiet al, 2015).

Penyusutan berat kompos kotoran ayam

Menurut Odum(1971), dekomposisi adalah suatu proses penguraian bahan organik yang berasal dari binatang dan tanaman secara fisik maupun kimia menjadi senyawa-senyawa anorganik sederhana yang dilakukan oleh berbagai mikroorganisme tanah, yang dapat memberikan hasil berupa hara mineral yang dapat secara langsung dimanfaatkan oleh tanaman. Sehingga penyusutan berat kompos merupakan akibat terjadinya proses dekomposisi selama pengomposan berlangsung.

Gambar 2.Penyusutan berat kompos kotoran ayam selama 11 minggu

Sutanto (2002), menyatakan bahwa selama proses pengomposan berlangsung, perubahan secara kualitatif dan kuantitatif terjadi. Pada tahap awal akibat perubahan lingkungan beberapa spesies flora menjadi aktif, makin berkembang dalam waktu yang cepat, dan kemudian hilang untuk memberikan kesempatan pada populasi lain untuk menggantikan. Selama dekomposisi intensif berlangsung, dihasilkan suhu yang cukup tinggi dalam waktu relatif pendek, dan bahan organik yang mudah terdekomposisi akan diubah menjadi senyawa lain. Selama tahap pematangan utama dan pasca pematangan bahan yang agak sukar terdekomposisi menjadi terurai dan terbentuk ikatan kompleks lempung-humus.Pengomposan dari bahan tanaman lebih lama dibandingkan dari kotoran hewan, disebabkan kandungan lignin dan polifenol.

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

0 2 4 6 8 10 12

U1 U2 U3 Kontrol

Page 203: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

185

Dalam penelitian ini diperoleh berat akhir dari kompos dengan tanpa pemberian M-Dec (kontrol) masih lebih tinggi dibanding kotoran ayam dengan pemberian M-Dec, yaitu sebesar 1032 kg dibanding dengan berat kompos ulangan 1, 2, 3, masing-masing sebesar 1026 kg, 1022 kg, dan 825 kg. Kandungan Trichoderma, sp, Aspergillus sp, dan Trametes sp pada M-Dec mempercepat proses pengomposan kotoran hewan, sehingga dapat dijadikan pupuk organik yang memperkaya sumber hara bagi tanaman.

Perubahan bau dan warna

Ciri-ciri kompos yang sudah matang adalah terjadinya perubahan warna menjadi coklat kehitaman, tekstur menjadi lunak dan tidak berbau menyengat. Berdasarkan pengamatan di lapangan kompos kotoran ayam pada minggu 1 sampai minggu 7 pengomposan masih berwarna coklat sesuai warna dasarnya dan masih berbau.Memasuki minggu 8 sampai minggu 11, kompos telah berubah warna dari coklat menjadi warna coklat tua kehitaman dan tidak berbau.Pada saat panen bau kompos menyerupai bau tanah yang menunjukan bahwa materi yang dikandungnya sudah menyerupai materi tanah, dan tidak ada jamur/hyfa.Menurut Isroi (2008), pupuk yang telah matang akan berbau seperti tanah, bila tercium bau tidak sedap berarti terjadi fermentasi anaerobik dan kompos belum matang. Kemudian kompos dikeringkan dengan cara dijemur dan diangin-anginkan supaya mendapatkan hasil yang berkualitas.

Secara umum kompos yang sudah matang dapat dicirikan dengan sifat-sifatsebagai berikut :

1. Berwarna coklat tua hingga hitam dan remah

2. Tidak larut dalam air, meskipun sebagian dari kompos bisa membentuk Suspensi

3. Sangat larut dalam pelarut alkali, natrium pirofosfat atau larutan ammoniumoksalat dengan menghasilkan ekstrak berwarna gelap dan dapat difraksinasilebih lanjut menjadi zat humic, fulvic, dan humin

4. Rasio C/N sebesar 20-40, tergantung dari bahan baku dan derajat humifikasi

5. Memiliki kapasitas pemindahan kation dan absorpsi terhadap air yang tinggi

6. Jika digunakan pada tanah, kompos dapat memberikan efek menguntungkanbagi tanah dan pertumbuhan tanaman

7. Memiliki suhu yang hampir sama dengan temperatur udara

8. Tidak mengandung asam lemak yang menguap

9. Tidak berbau

KESIMPULAN

Berbagai bahan organik dapat dijadikanpupuk organik melalui teknologi pengomposan sederhana maupun denganpenambahan mikroba perombak serta pengkayaan dengan hara lain.Pupuk organik yang berasal dari pupuk kandang merupakan bahanpembenah tanah yang paling baik dibanding bahan pembenah lainnya, disamping kandungan selulosa yang tinggi pada kotoran ayam sehingga bahannya mudah terdekomposisi. Pemakaian M-Dec dapat mempercepat kematangan kompos kotoran ayam meski tidak cukup mencapai fase termofilik disebabkan tinggi tumpukan bahan belum terlalu ideal bagi proses insulasi panas.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis ucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Jaelani, M.Si dan Ibu Ir. Hartin Kasim atas segala dukungan dan diskusi yang bermanfaat, sehingga makalah ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

Page 204: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

186

DAFTAR PUSTAKA

Bach, P.D., K. Nakasaki, M. Shoda & H. Kubota. 1987. Thermal balance in composting operations. J. Ferment, Technol, 65(2):199-209.

Djuarnani N, Kristian, Budi SS. 2005. Cara cepat membuat kompos. Depok:Agro Media Pustaka.

Fitri, ANS, Jayantu, S.C, Budianta, D. 2012. Dinamika mikrobia dari berbagai bahan organik yang didekomposisi menjadi kompos. Agria, Vol 7, No. 2: 208-217.

Isroi, 2008.Manfaat kompos. Link: https://isroi.files.wordpress.Com. (Diakses tanggal 28 September 2016).

Kahlon, S.S. & Kalra, K.L. 1986. Chaetomium globosum, a non-toxic fungus: a potential source of protein (SCP). Agricultural Wastes 18: 207-213.

Kusuma, E.M. 2012. Pengaruh beberapa jenis pupuk kandang terhadap kualitas bokashi. Jurnal Ilmu Hewani Tropika. Vol.1 No.2 : 41-46.

Odum EP. 1971. Fundamental of ecology. Philadhelpia: W.B. Saunders Company.

Robinzon R.,E. Kimmel & Y. Avnimelech. 2000. Energy and mass balance of windrow composting system. Transactions of ASAE Vol. 43:1253-1259.

Sutanto R. 2002. Pertanian organik. Yogyakarta: Kanisius.

Widarti, N.B, Wardhini, K.W, Sarwono, E. 2015. Pengaruh rasio C/N bahan baku pada pembuatan kompos dari kubis dan kulit pisang. Jurnal Integrasi Proses Vol. 5, No. 2 (75 – 80)

Yuwono, D. 2005. Kompos. Seri Agritekno. Jakarta.

Page 205: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

187

PERFORMANS AYAM ARAB YANG DIBERIKAN PAKAN SOLID FERMENTASI PADA FASE PERTUMBUHAN

PERFORMANCE OF ARAB CHICKEN THAT GIVEN FEED FERMENTATION SOLID AT GROWTH PHASE

Wahyuni Amelia Wulandari dan Erpan Ramon

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 Kota Bengkulu 38119

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Solid merupakan salah satu limbah padat dari hasil pengolahan minyak sawit kasar yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan unggas dan belum banyak dimanfaatkan oleh peternak maupun petani yang berada di sekitar pabrik kelapa sawit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performans ayam arab yang diberikan pakan solid fermentasi pada fase pertumbuhan. Materi yang digunakan adalah 48 ekor DOC ayam arab. Bahan pakan yang diberikan terdiri dari konsentrat komersial, dedak padi, jagung giling dan solid fermentasi. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September sampai dengan bulan Desember 2015 di Kandang Percobaan Ternak Unggas, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu.Rancangan penelitiannya menggunakan Rancangan Acak Lengkapdengan 4 perlakuan pakan dan 4 ulangan, tiap ulangan terdiri 3 ekor ayam. Adapun pemberian pakan yang diberikan dengan memanfaatkan bahan pakan lokal berupa solid fermentasi. Perlakuan P1 terdiri dari konsentrat komersial 20%, dedak padi 40%, jagung giling 40%, P2 terdiri dari konsentrat komersial 20%, dedak padi 40%, jagung giling 37,5%, solid fermentasi 2,5%, P3 terdiri dari konsentrat komersial 20%, dedak padi 40%, jagung giling 35%, dan solid fermentasi 5%, P4 terdiri dari konsentrat komersial 20%, dedak padi 40%, jagung giling 32,5%, dan solid fermentasi 7,5%. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian solid fermentasi pada taraf 5% (P3) dan 2,5% (P2) tidak berpengaruh nyata terhadap performans ayam arab dengan yang diberikan pakan tanpa solid (P1) (P<0,5%), namun pemberian solid sebesar 7,5% dalam ransum (P4) berpengaruh nyata terhadap performans ayam arab. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian solidsebagai pakan ayam dapat diberikan pada ayam arab fase pertumbuhan sampai dengan taraf pemberian 5%.

Kata kunci: ayam arab,performance, pertumbuhan, solid fermentasi

ABSTRACT

Solid is one of the solid waste from the processing of crude palm oil which can be used as poultry feed and not yet widely used by breeders and farmers who are in the vicinity of the plant oil palm. This study aims to assess the performance of arab chicken given solid feed fermentation in the growth phase. The materials used are 48 DOC tail arabchicken. The feed material consists of a commercial concentrate, rice bran, corn flour and solid fermentation. This study was conducted from September to December 2015 Poultry Cage Experiment, BPTP Bengkulu. Design research using completely randomized design with 4 treatments and 4 replicates feed, each repetition consists of 3 chickens. This provision of feed given to utilizing local feed ingredients in the form of solid fermentation. P1 Treatment consists of commercial concentrate 20%, 40% rice bran, grits 40%, P2 consists of a commercial concentrate 20%, 40% rice bran, grits 37.5%, 2.5% solid fermentation, P3 consists of concentrate 20% commercial, 40% rice bran, grits 35%, and 5% solid fermentation, P4 consists of a commercial concentrate 20%, 40% rice bran, grits 32.5%, and 7.5% solid fermentation. The results showed that the fermentation solid at 5% level (P3) and 2.5% (P2) did not significantly affect the performance arab chicken with a given feed without solid (P1) (P <0.5%), but the provision solid 7.5% in the ration (P4) significantly affect the performance of arab chicken. Based on these results it can be concluded that the administration can be solid as chicken feed given to chickens arab growth phase up to the level of administration of 5%.

Keywords: arab chicken, performance, growth, solid fermentation

Page 206: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

188

PENDAHULUAN

Industri peternakan unggas di Indonesia masih mengimpor beberapa bahan baku yang harganya berfluktuasi dan mempengaruhi biaya produksi. Kenyataan ini sangat memberatkan peternak ayam yang menggantungkan usahanya pada pakan komersial (pabrik), dan sebagai dampaknya keuntungan yang diperoleh peternak semakin berkurang bahkan banyak peternak yang gulung tikar.

Mahalnya harga pakan komersial tersebut menyadarkan kita betapa pentingnya pemanfaatan sumberdaya lokal sebagai sumber bahan pakan alternatif, terutama bahan baku sumber protein dan energi. Bahan baku dimaksud, tersedia secara kontinyu, melimpah, murah, tidak bersaing dengan manusia, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial dapat diterima masyarakat. Salah satu bahan pakan yang saat ini cukup potensial adalah produk samping perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit di Bengkulu mempunyai potensi daya dukung untuk pengembangan peternakan,yaitu sebagai sumber pakan baik pakan hijauan maupun pakan dari limbah pengolahan minyak kelapa sawit. Salah satu limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak unggas adalah solid.

Solid adalah limbah padat hasil samping pengolahan buah kelapa sawit menjadi crud palm oil (CPO). Bentuk dan konsistensinya padat seperti ampas tahu namun berwarna coklat gelap, tidak berasa, lembut di lidah (lumer), berbau asam-asam manis, dengan kandungan gizi: protein kasar (PK) 12,63-17,41%; serat kasar (SK) 9,98-25,79%; lemak kasar (LK) 7,12-15,15%; energi bruto (GE) 3.217-3.454 kkal/kg bahan kering (Widjaja et al., 2006). Produksi solid di Bengkulu sekitar 15-25 ton/hari per pabrik dan saat ini sudah 41buah pabrik yang beroperasi. Produksi solid akan nertambah sejalan dengan semakin meningkatnya produksi tandan buah segar (TBS), dimana produksi solid yang dapat diperoleh sekitar 3% dari TBS yang diolah. Umumnya pabrik belum memanfaatkan solid secara optimal bahkan dibuang saja (Utomo, 2001; Utomo dan Widjaja, 2004).

Ayam Arab merupakan ayam keturunan Brakel Kriel-Silver dari Belgia. Disebut ayam Arab karena dua hal yaitu pejantannya memiliki daya seksual yang tinggi dan keberadaannya di Indonesia melalui telurnya yang dibawa oleh orang yang menunaikan ibadah haji dari Mekah (Kholis dan Sitanggang, 2002).

Salah satu plasma nutfah ayam buras adalah ayam Arab (Balitnak, 2009). Ayam Arab yang ada sekarang adalah hasil kawin silang dengan ayam lokal (Linawati, 2009). Secara genetik ayam Arab tergolong galur ayam buras yang unggul, karena mempunyai kemampuan produksi telur yang tinggi yaitu mencapai 225 butir per tahun. Ayam Arab mulai bertelur pada umur 4,5 - 5,5 bulan sedangkan ayam kampung/buras setelah berumur 6 bulan. Pada umur 8 bulan produksi telurnya mencapai puncak. Selama usia produktif antara 0,8 - 1,5 tahun, betina ayam Arab terus-menerus bertelur, sehingga hampir setiap hari menghasilkan telur. Pada umur 1,5 - 2 tahun biasanya ayam Arab sudah bisa diafkir (Kholis dan Sitanggang, 2002).

Ayam Arab jantan dewasa dapat mencapai tinggi 30 cm dengan bobot 1,5 - 1,8 kg. Jengger tunggal, tubuh berbentuk segi empat mirip kotak, bulu tebal dan memiliki warna bulu menarik. Tinggi ayam Arab betina dewasa berkisar antara 22 - 25 cm dengan bobot 1,1 - 1,2 kg. Kepala berjengger merah, berpial merah dan badan berbulu tebal. Selama usia produktif, ayam betina dewasa hampir setiap hari bertelur (Sujionohadi, 1995).

Ayam Arab jantan biasanya dipotong pada umur 4 bulan sebagai ayam potong. Kebutuhan nutrisi ayam Arab diperkirakan lebih tinggi dibanding ayam buras lainnya mengingat ayam Arab merupakan jenis ayam buras yang mempunyai genetik unggul. Suprijatna (2008) menyatakan bahwa ayam yang mempunyai genetik unggul kebutuhan nutrsinya lebih tinggi.

Ransum yang baik adalah ransum yang mengandung zat makanan yang dapat digunakan oleh ayam untuk aktivitas, pertumbuhan dan reproduksi. Zat makanan tersebut adalah karbohidrat, lemak, protein, mineral, vitamin, air dan serat kasar (Sarwono, 2002). Pada penyusunan ransum yang utama diperhatikan adalah zat-zat makanan terutama protein dan kandungan energi (Suprijatna, 2008). Dua unsur nutrisi protein dan energi menjadi acuan utama dalam menyusun ransum unggas, karena kedua nutrisi ini sangat penting bagi pertumbuhan (Suthama, 2006).

Ayam mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan energi. Ransum dengan energi tinggi dikonsumsi lebih sedikit dibanding ransum dengan energi rendah (Suprijatna et al. 2005). Jika energi terpenuhi tetapi bahan pembentuk jaringan tubuh kurang maka laju pertumbuhan dan produksi terganggu. Oleh karena itu perlu diperhitungkan keseimbangan antara tingkat energi dengan protein (Suprijatna, 2008).

Page 207: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

189

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ransum yang mengandung solid fermentasi maupun tanpa solid fermentasi terhadap performans ayam arab pada fase pertumbuhan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September sampai dengan bulan Desember 2015 di Kandang Percobaan Ternak Unggas, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Ternak yang digunakan adalah DOC ayam arab yang berasal dari Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sembawa, Sumatera Selatan sebanyak 48 ekor.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kandang ayam, litter dari sekam padi, timbangan digital, timbangan 5 kg, tempat pakan, tempat minum, ember, gayung, sapu lidi dan sekop. Bahan pakan yang digunakan adalah solid fermentasi, jagung giling, dedak padi, dan konsentrat komersial. Kandang yang digunakan adalah kandang berpetak dengan ukuran panjang : lebar : tinggi adalah 2 m : 2 m : 2,5 m sebanyak 4 petak kandang besar dan dibagi lagi menjadi 4 petak kecil yang berisi 3 ekor DOC ayam arab. Sebelum pemeliharaan dilakukan pengapuran pada lantai dan dinding kandang dan bahan litter yang digunakan adalah sekam padi setebal 5 cm. Ayam arab dipelihara dari DOC sampai dengan umur 16 minggu.

Adapun pemberian pakan yang diberikan dengan memanfaatkan bahan pakan lokal berupa solid fermentasi. Selama periode umur ayam dari DOC hingga 4 minggu diberikan pakan konsentrat komersial (pabrik). Selanjutnya ayam mulai diberikan formula pakan perlakuan mulai umur 5 minggu sampai dengan umur 16 minggu. Pemberian pakan diberikan sesuai dengan umur, sedangkan air minum diberikan ad libitum. Penelitian terbagi dalam 4 perlakuan pakan (3 perlakuan pakan dengan bahan pakan solid fermentasi dan 1 perlakuan pakan sebagai kontrol). Tiap perlakuan terdiri dari 4 kali ulangan dan masing-masing ulangan terdiri dari 3 ekor ayam. Perlakuan P1 (tanpa solid fermentasi) terdiri dari konsentrat komersial 20%, dedak padi 40%, jagung giling 40%, P2 terdiri dari konsentrat komersial20%, dedak padi 40%, jagung giling 37,5%, solid fermentasi 2,5%, P3 terdiri dari konsentrat komersial 20%, dedak padi 40%, jagung giling 35%, dan solid fermentasi 5%, P4 terdiri dari konsentrat komersial 20%, dedak padi 40%, jagung giling 32,5%, dan solid fermentasi 7,5%. Ransum yang digunakan mengandung berbagai level protein kasar yaitu P1 sebesar 13,2%, P2 sebesar 12,35%, P3 sebesar 13,27% dan P4 sebesar 13,84%. Energi P1 sebesar 3.460 kcal/kg, P2 sebesar 3.428 kcal/kg, P3 sebesar 3.406 kcal/kg dan P4 sebesar 3.394 kcal/kg. Semakin tinggi pemberian solid fermentasi maka menurunkan pemberian jagung giling. Untuk mengetahui pertambahan bobot badan dilakukan penimbangan bobot badan setiap minggu sekali.

Pengaruh pemberian solid dalam ransum terhadap performans ayam arab fase pertumbuhan dilakukan dengan analisis statistik menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Steel andTorrie, 1991). Data yang terkumpul dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan bila terdapat perbedaan dilanjtkan dengan uni Duncan Multiple Range Test (DMRT). Variabel yang diamati adalah komposisi nutrisi pakan, konsumsi pakan, konversi pakan, bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi nutrisi pakan

Kombinasi 4 perlakuan pakan dan komposisi zat-zat makanan yang disajikan pada Tabel 1. Pemberian solid fermentasi dengan mengurangi pemberian jagung giling dalam pakan dengan jumlah pemberian yang sama pada ayam arab fase perumbuhan tidak menurunkan kandungan nutrisi pakan.

Page 208: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

190

Tabel 1. Komposisi nutrisi pakan perlakuan

Komposisi Bahan (%) Perlakuan

P1 P2 P3 P4

Konsentrat komersial 20,0 20,0 20,0 20,0 Dedak padi 40,0 40,0 40,0 40,0 Jagung giling 40,0 37,5 35,0 32,5 Solid fermentasi - 2,5 5,0 7,5 Komposisi zat-zat makanan Energi metabolis (Kkal/kg)* 3.460 3.428 3.406 3.394 Protein kasar (%)* 13,20 12,35 13,50 12,85 Serat kasar (%)* 9,23 9,50 10,65 12,14 Lemak (%)* 2,05 1,73 1,36 1,78 Abu (%)* 11,29 11,31 11,97 11,90 Ca (%)* 1,52 1,64 1,46 1,62 P (%)* 0,56 0,58 0,60 0,55

* Hasil analisis Lab. Balai Penelitian Ternak Ciawi (2016)

Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan solid fermentasi

dalam ransum menurunkan energi metabolis namun meningkatkan serat kasar (Tabel 1). Ransum yang mengandung bahan pakan solid mempunyai kandungan serat kasar lebih tinggi sejalan dengan makin meningkatnya taraf penggunaan solid. Komposisi ransum pada P1 tanpa solid mengandung energi metabolis tertinggi yaitu 3.460 Kkal/kg dan namun serat kasar terendah yaitu 9,23%. Sedangkan pada P4 yang diberikan solid fermentasi berjumlah tertinggi yaitu sebesar 7,5% mengandung EM terendah yaitu sebesar 3.394 Kkal/kg dan serat kasar tertinggi yaitu sebesar 12,14%. hal ini diduga pengaruh dari pemberian solid fermentasi yang diberikan pada pakan.

Konsumsi dan konversi ransum

Jumlah konsumsi ransum oleh ayam arab dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, lingkungan, imbangan zat-zat makanan, kualitas ransum, bangsa ternak, kecepatan pertumbuhan, bobot badan, tingkat produksi, palatabilitas ransum dan tingkat energi ransum. Ransum dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang diperlukan baik untuk hidup pokok, produksi maupun pertumbuhan ayam. Kelemahan dari pakan berbahan dasar solid adalah warnanya menjadi kehitaman. Hal ini sangat mempengaruhi palatabilitas pakan yang berakibat pada rendahnya nilai konsumsi pakan dan pada gilirannya mempengaruhi bobot hidup.

Rata-rata konsumsi ransum ayam arab jantan sampai umur 16 minggu masing-masing perlakuan berkisar antara 3.890 – 3.948 gram/ekor (Tabel 2). Konsumsi pakan tertinggi tetap pada pakan yang tanpa solid yaitu jagung giling, dedak padi dan konsentrat komersial (Widiadi, 1992; Hastaningrum, 2000; Widjaja et al., 2006) dan semakin tinggi kandungan solid dalam pakan konsumsinya semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa pakan tanpa solid mempunyai palatabilitas yang tinggi. Faktor penyebab tingginya tingkat palatabilitas adalah warna yang cerah dan bentuknya butiran.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan soliduntuk mengurangi penggunaan jagung giling dalam ransum ayam Arab hingga 5%tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap konsumsi dan konversi pakan. Namun pemberian solid fermentasi dalam ransum sebesar 7,5% memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap konsumsi dan konversi pakan. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian solid fermentasi sampai 5% dapat diberikan kepada ayam Arab jantan umur 4 bulan (pembesaran), hal ini terlihat dengan tidak mempengaruhi konsumsi ransum dari setiap perlakuan yang diberikan. Konsumsi ransum untuk masing-masing perlakuan relative sama. Hal ini disebabkan karena ransum yang diberikan mempunyai imbangan protein dan energi yang sama sehingga kandungan zat makanannya seimbang dan sesuai dengan yang direkomendasikan oleh NRC (1994).

Page 209: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

191

Tabel 2. Rata-rata konsumsi, konversi ransum, bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan ayam arab umur 4 bulan yang diberi ransum berbasis solid.

Parameter Perlakuan

P1 P2 P3 P4

Konsumsi pakan (gram/ekor) 3.948a 3.920

a 3.905

a 3.890

b

Konversi pakan 6,00a 6,40

a 6,70

a 7,00

b

Bobot badan akhir (gram/ekor) 1.102,08 1.069,230 1.025,00 1.090,38 Pertambahan bobot badan (gram/ekor) 667,47

a 613,46

a 582,69

a 557,69

b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)

Konversi ransum merupakan salah satu standar produksi untuk menilai efisiensi pakan yang dikonsumsi ternak menjadi daging atau sebagai patokan tingkat produktifitas ayam. Angka konversi ransum yang dihasilkan erat kaitannya dengan jumlah konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan. Jika konsumsi ransum yang tinggi tetapi diikuti dengan pertambahan bobot badan yang tinggi pula, maka angka konversi ransum dikatakan tidak efisien dalam menghasilkan pertambahan bobot badan.

Menurut Rassyaf (2002) bahwa harapan yang dikehendaki adalah pertumbuhan yang relative cepat dengan tingkat konsumsi ransum yang lebih sedikit dimana ransum yang dikonsumsi tersebut mampu menunjang pertumbuhan yang cepat, hal ini menunjukkan efisiensi penggunaan ransum. Sedangkan Anggorodi (1985) menyatakan bahwa peningkatan konsumsi ransum yang diikuti dengan penurunan bobot badan menyebabkan tingginya angka konversi ransum sehingga ransum tidak efisiensi.

Pertambahan bobot badan

Berdasarkan Tabel 3 pemberian pakan konsentrat yang berbasis solid fermentasi yang ditambahkan dengan konsentrat komersial, dedak padi dan jagung giling menghasilkan PBBH ayam arab umur 1 - 4 bulan (fase pertumbuhan) yang tidak kalah dengan ayam arab yang diberikan pakan tanpa solid fermentasi.

Ransum perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan hanya dengan perlakuan P4 yang diberikan solid fermentasi 7,5%, sedangkan kontrol dan yang diberikan solid fermentasi 2,5% dan 5% tidak berpengaruh nyata. Hal ini di duga ada kaitannya dengan kandungan serat kasar ransum (Subiharta et al., 1994).

Ransum perlakuan pada P4dengan pemberian konsentrat di tambah 7,5% solid fermentasi menghasilkan pertambahan bobot badan 557,69 g/ekor, secara statistik berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan yang lain (P<0,05). Keterlambatan pertumbuhan pada perlakuan P4 kemungkinan disebabkan oleh terhambatnya pencernaan zat-zat nutrisi karena serat kasar yang terlalu tinggi dalam pakan yaitu 12,14%. Hal ini menyebabkan terbatasnya kemampuan alat-alat pencernaan pada unggas untuk mencerna serat kasar sehingga penyerapan zat-zat nutrisi pada pakan tidak sempurna (Widjaja et al., 2006).

Ransum perlakuan semakin tinggi level solid kandungan serat kasarnya juga semakin tinggi (Tabel 1). Menurut Sundari (1986) dan Hasanah (2002) kandungan serat kasar yang dapat ditolerir oleh ayam broiler adalah di bawah 10%. Hasil penelitian Sundari (1986) dengan serat kasar ransum sampai tingkat 8,02% masih dapat dicerna ayam sampai umur 8 minggu, sedangkan kandungan serat kasar ransum di atas 10,22% menurunkan pertambahan bobot badan.

Tabel 3. Data rata-rata pertambahan bobot badan

Perlakuan Bobot badan (g/ekor) PBBH (kg/ekor)

BB1 BB2 BB3 BB4

P1 434,62 668,75 937,50 1.102,08 667,47a

P2 455,77 667,31 857,69 1.069,23 613,46a

P3 442,31 634,62 905,77 1.025,00 582,69a

P4 451,92 690,38 973,08 1.090,38 557,69b

Huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) BB1 : Bobot badan umur 1 bulan; BB2 : Bobot badan umur 2 bulan; BB3 : Bobot badan umur 3 bulan; BB4 : Bobot badan umur 4 bulan.

Page 210: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

192

Gambar 1. Grafik sebaran bobot badan selama penelitian

KESIMPULAN

Pemberian pakan solid fermentasi sebagai pakan sehingga mengurangi pemberian jagung giling dapat diberikan sampai pada taraf pemberian sebesar 5%.Pemberian sebesar 5% pada ransum tidak berpengaruhterhadap konsumsi pakan, konversi pakan dan bobot badan akhir ayam Arab jantan umur 4 bulan, namun pemberian solid fermentasi sebesar 7,5% menurunkan pertambahan bobot badan yang nyata (P>0,05%). Semakin tinggi pemberian solid fermentasi dalam ransum menurunkan efisiensi pakan. Konversipakanyang terbaik terdapat pada perlakuan I (P1) yang diberikan pakantanpa solid fermentasi dengan konversi pakan terendah yaitu 6,0.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Dr. Dedi Sugandi selaku Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu atas arahan dan bimbingannya sehingga penelitian ini dapat selesai dengan baik. Kepada rekan-rekan penelitian diantaranya Joko Giyamdin, Zul Efendi, Harwi Kusnadi dan Jhon Firison kami sampaikan terima kasih juga atas bantuan dan kerjasamanya yang baik selama ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi, R. 1985. Ilmu Nutrisi Aneka Unggas. Gramedia, Jakarta.

Hasanah, S. 2002. Pengaruh Pemberian Silase Ikan-Tape Ubi Kayu terhadap Persentase Berat Karkas, Lemak Abdomen dan Organ Dalam Ayam Broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Hastaningrum. 2000. Pemanfaatan Kommpleks Onggok-Urea-Zeolit yang Difermentasikan dengan Aspergillus Niger dalam Ransum Ayam Pedaging. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Kholis dan Sitanggang. 2002. Ayam Arab dan Pocin Petelur Unggul PT. AGro Media Pustaka. Jakarta.

Linawati. 2009. Formulasi strategi pengembangan usaha ayam arab petelur di Trias Farm Bogor. Institut Pertanian Bogor.

National Research Council, 1994. Nutrient Requirement of Poultry. National Academy of Science, Washington.

Rasyaf, M. 2002. Beternak Ayam Pedaging. PT. Penebar swadaya. Jakarta.

Sarwono, B. 1996. Beternak Ayam Kampung. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.

Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. 2 nd Ed. Gramedia, Jakarta.

Subiharta, T. Yuwono dan J. Purba. 1994. Kemungkinan penggunaan isi rumen kering sebagai pengganti bekatul kecil sebagai basis industri peternakan di daerah padat penduduk. Pros. Pertemuan Nasional Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian. Semarang, 8-9 Februari 1994. Sub Balai Penelitian Ternak, Klepu Semarang. hlm 172-177.

Seb

aran

bo

bo

t b

adan

(g)

P1

P2

P3

P4

Page 211: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

193

Sundari, S. 1986. Toleransi Ayam Broiler terhadap Kandungan Serat Kasar, Serat Detergent Asam, Lignin dan Silika dalam Ransum yang Mengandung Tepung Daun Alang-alang. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Suprijatna, E., U. Atmomarsono dan R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas . Jakarta: Penebar Swadaya.

Suthama, N. 2006. Kajian aspek “protein turnover” tubuh pada ayam Kedu periode pertumbuhan. Media Peternakan 29(2):47-5.

Utomo, B.N dan E. Widjaja. 2004. Limbah padat pengolahan minyak kelapa sawit sebagai sumber nutrisi ternak ruminansia. J. Litbang Pertanian 23(1): 22-28.

Utomo, B.N. 2001. Potential of Oil Palm Solid Wastes as Local Feed Resource for Cattle in Central Kalimantan, Indonesia. Tesis. Wageningen Agricultural University, Animal Science, The Netherlands.

Widiadi, AB. 1992. Studi Pemanfaatan Onggok sebagai Pengganti Jagung dalam Ransum Ayam Broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Widjaja, E, dan B.N. Utomo. 2004. Pemanfaatan limbah pengolahan minyak kelapa sawit yang berupa solid untuk pakan ternak (sapi, domba dan ayam potong). Succes Story Pengembangan Teknologi Inovatif Spesifik Lokasi. Badan Litbang Pertanian. Buku I. hlm. 173-185.

Widjaja, E, W.G. Piliang, I. Rahayu dan B.N. Utomo. 2006. Produk samping industri kelapa sawit sebagai bahan pakan alternatif di Kalimantan Tengah: 1. Pengaruh pemberian solid terhadap performans ayam broiler. JITV 11(1): 1-5.

Page 212: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

194

INVENTARISASI METANA DARI FERMENTASI ENTERIK TERNAK DI KALIMANTAN SELATAN

INVENTORY FROM LIVESTOCK ENTERIC FERMENTATION IN SOUTH KALIMANTAN Anggri Hervani, Miranti Ariani, Ika Ferry Y, Sri Wahyuni, Prihasto Setyanto

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Jl. Raya Jakenan-Jaken Km 05 Pati Jawa Tengah 59182

email : [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah memberikan informasi secara berkala mengenai tingkat, status dan kecenderungan perubahan emisi metana dari fermentasi enterik ternak. Sistem metabolisme ternak ruminansia, merupakan sumber emisi gas rumah kaca yaitu gas metana. Sebagai contohnya adalah fermentasi enterik dalam sistem ternak ruminansia dapat memproduksi dan mengemisikan metana. Penelitian ini merupakan penelitian desk study dengan cara melakukan inventarisasi GRK menggunakan IPCC Guidelines 2006.Penelitian dilaksanakan dengan mengumpulkan data aktivitas ternak provinsi Kalimantan Selatan pada bulan Juni tahun 2016 sebagai sumber emisi GRK, serta penetapan faktor emisi berdasarkan IPCC Guidelines 2006. Data aktivitas didapatkan dari data statistik provinsi Kalimantan Selatn. Inventarisasi emisi gas rumah kaca dari fermentasi enterik di Kalimantan Selatan menggunakan Tier 1 dari IPCC Guidelines. Hasil penelitian menunjukkan bahwa emisi terbesar dari fermentasi enterik di Kalimantan Selatan ada pada ternak sapi potong yang menyumbang 78 % total emisi metana, ternak kerbau menyumbang 17 % emisi metana sedangkan untuk ternak kecil adalah kambing yang menyumbang 5 % emisi metana. Ternak sapi perah, kuda, domba dan babi menyumbang emisi metana dari fermentasi enterik yang paling rendah yaitu 0 % dari seluruh total emisi metana dari fermentasi enterik.

Kata kunci : inventarisasi, fermentasi enterik, emisi

ABSTRACT

The research aims to provide regular information on the level, status, and trends of changes in methane emissions from enteric fermentation of livestock. Metabolic system of ruminants is a source of greenhouse gas emissions e.g methane. An example, enteric fermentation in livestock ruminant systems can produce and emit methane. This research is a desk study by conducting GHG inventories using the IPCC Guidelines 2006. The research was conducted by collecting the activity data of livestock at South Kalimantan province in June 2016 as a source of GHG emissions, as well as the determination of emission factors based on IPCC Guidelines, 2006. The activity data obtained from the statistical data of South Kalimantan province. Inventory of greenhouse gas emissions from enteric fermentation in South Kalimantan using Tier 1 of the IPCC Guidelines. The results showed that the largest emissions from enteric fermentation in South Kalimantan come from cattle which accounted for 78% of total methane emissions, buffaloes accounted for 17% of methane emissions, while for small livestock likes goats which accounted for 5% of methane emissions. Dairy cattle, horses, sheep and pigs have a low contribution to methane emissions from enteric fermentation, 0% from total methane emissions from enteric fermentation

Keyword : inventory, enteric fermentation, emissions

PENDAHULUAN

Inventarisasi gas rumah kaca (GRK) adalah kegiatan untuk memperoleh data dan informasi mengenai tingkat, status, dan kecenderungan perubahan emisi GRK secara berkala dari berbagai sumber emisi (source) dan penyerapnya (sink), termasuk simpanan karbon (carbon stock). Emisi GRK adalah lepasnya gas rumah kaca ke atmosfer pada area tertentu dalam jangka waktu tertentu(Republik Indonesia, 2011). Emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian yang utama adalah metana dengan persentase 67 % selanjutnya adalah N2O 30 % dan CO2 3 %. Total emisi gas rumah kaca dalam sektor pertanian mencapai 75.419,73 Gg pada tahun 2000. Sumber utama dari emisi gas rumah kaca ini adalah dari lahan sawah (69%) dan dari ternak (28%)(KLH, 2009).

Emisi dari sektor peternakan berasal dari fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran ternak. Sistem metabolisme ternak, khususnya untuk ternak ruminansia, merupakan sumber emisi gas rumah

Page 213: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

195

kaca. Sebagai contohnya adalah fermentasi enterik dalam sistem ternak ruminansia dapat memproduksi dan mengemisikan metana (KLH, 2012).

Metana dihasilkan oleh hewan memamah biak sebagai hasil samping dari fermentasi enterik, suatu proses dimana karbohidrat dipecah menjadi molekul sederhana oleh mikroorganisme untuk diserap ke dalam aliran darah. Ternak ruminansia (misalnya : sapi, domba, dan lain-lain) menghasilkan metana lenih tinggi dari pada ternak non ruminansia (misalnya: babi, kuda)(KLH, 2012). Metana diproduksi secara normal semala proses pencernaan hewan. Hewan ruminanisa merupakan kontributor uutama emisi metana (sebesar dua per tiga emisi metana atau sekitar 6,8 Tg yr-1 di Uni Eropa; Moss et al, 2000) karena proses pencernaan dimana karbohidrat dipecah oleh mikroorganisme and metan terlepas sebagai produk dari fermentasi enterik (Stevens dan Hume, 1995). Ternak non ruminansia juga memproduksi metana, namun tidak sebesar produksi metana dari ternak ruminansia karena keterbatasan terjadinya fermentasi enterik didalam lambung seperti sekum dan usus besar (Robinson et al, 1989; Sukahara dan Ushida, 2000). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi secara berkala mengenai tingkat, status dan kecenderungan perubahan emisi metana dari fermentasi enterik ternak di Kalimantan Selatan.

METODOLOGI

Inventarisasi GRK menggunakan IPCC Guidelince 2006 dan dilakukan dengan cara pengumpulan data aktivitas ternak sumber emisi GRK, serta penetapan faktor emisi. Untuk faktor emisi yang tidak tersedia datanya maka penghitungan emisi menggunakan faktor emisi dari IPCC. Data aktivitas didapatkan dari data BPS.

Terdapat 3 (tiga) tingkat ketelitian “Tier” dalam metodologi inventarisasi untuk memperkirakan emisi gas rumah kaca. Tingkatan ketelitian dari “Tier dibedakan mulai dari penggunaan persamaam yang sederhana hingga kompleks. Tingkat sederhana menggunakan data default dari IPCC Guidelines 2006 hingga penggunaan data spesifik untuk sistem yang lebih kompleks.

Dalam inventarisasi metana dari fermentasi enterik ternak menggunakan Tier 1 karena belum adanya data spesifik di Kalimantan Selatan. Tier 1 dirancang untuk perhitungan yang sederhana, dimana persamaan-persamaan dan nilai-nilai parameter default (misalnya, faktor-faktor emisi dan perubahan simpanan karbon) telah disediakan dan dapat digunakan, untuk Tier 1 seringkali ada sumber data aktivitas yang tersedia secara global (misalnya, laju deforestasi, statistik produksi pertanian, peta tutupan lahan global, pemakaian pupuk, data populasi ternak dan lain-lain), meskipun biasanya data kasar (KLH, 2012).

Perhitungan yang digunakan menggunakan pedoman IPCC 2006 untuk menghitung emisi GRK adalah dengan mengalikan data aktivitas dengan faktor emisi.

E = DA x FE (1)

Dimana :

DA : Data Aktivitas adalah besaran kuantitatif kegiatan atau aktivitas manusia yang dapat melepaskan dan/atau menyerap GRK.

FE : Faktor Emisi adalah besaran emisi GRK yang dilepaskan ke atmosfer per satuan aktivitas tertentu(KLH, 2012).

Perhitungan emisi metana dari fermentasi enterik ternak di gunakan persamaan berikut :

(2)

Dimana :

Emissions = Emisi metana dari fermentasi enterik, Gg CH4 yr-1 EF(T) = Faktor emisi untuk populasi jenis ternak tertentu, kg CH4 head-1 yr-1 N(T) = Jumlah populasi jenis/kategori ternak tertentu, Animal Unit T = Jenis/kategori ternak (IPCC, 2006).

Untuk faktor emisi yang di gunakan dalam rumus di atas menggunakan faktor emisi dari IPCC 2006 karena masuk katagori Tier 1.

Emissions=EF(T)*N(T)*

10-6

Page 214: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

196

Tabel 1.Faktor emisi ternak untuk menghitung fermentasi enterik dengan Tier 1

No. Jenis Hewan Faktor Emisi

(kg CH4/ ekor/th)

1 Sapi Perah 68 2 Sapi Potong 47 3 Kerbau 55 4 Kuda 18 5 Kambing 5 6 Babi 1 7 Domba 5

Sumber : KLH(2012)

Selain faktor emisi dan data aktivitas, untuk menghitung emisi metana dari fermentasi enterik ternak diperlukan nilai faktor koreksi. Berdasarkan Second National Communication (SNC), ada nilai faktor koreksi untuk ternak sapi potong, sapi perah dan kerbau secara berurutan yaitu 0,72; 0,75 an 0,72.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk menghitung emisi dari fermentasi enterik ternak, maka data yang digunakan adalah data populasi ternak yang dapat diunduh melalui alamat elektonik Badan pusat Statistik. Data populasi ternak disajikan dalam tabel 2 sebagai berikut

Tabel 2. Data Populasi Ternak Untuk Perhitungan Emisi dari Fermentasi Enterik di Kalimantan Selatan 2000-2015.

Jenis ternak

Populasi ternak (Ekor)

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

sapi potong 143.416 146.763 153.147 166.469 173.648 182.639 193.920 202.037 210.633 218.065 228.545 138.691 152.495 115.235 141.446 150.875

sapi perah 59 64 74 79 70 102 133 135 124 96 112 110 209 156 232 220

kuda 1.046 911 835 810 770 730 752 737 624 365 289 221 188 99 105 105

kerbau 35.288 35.513 37.463 37.550 38.488 40.163 41.435 43.096 43.971 44.603 45.109 23.843 25.973 21.686 25.314 27.301

kambing 69.827 73.649 77.757 84.442 91.911 99.271 107.873 111.733 118.240 123.258 126.109 111.161 105.500 66.118 67.098 67.069

domba 3.748 3.602 3.642 3.611 3.419 3.427 3.474 3.462 3.494 3.581 3.820 3.692 3.755 2.393 2.282 3.054

babi 6.657 7.247 7.051 7.202 6.523 6.268 7.436 7.472 5.791 5.733 6.329 5.920 5.257 4.064 3.407 2.979

Sumber : BPS (2016)

Pertumbuhan rata-rata populasi ternak di Kalimantan Selatan untuk sapi potong sebesar 1,56

%, sapi perah sebesar 12,62 %, kambing sebesar 0,55 %. Untuk ternak kuda, kerbau, domba dan babi mengalami rata rata penurunan populasi berurutan sebesar 12,71 %, 0,34 %, 0,42% dan 4,54%. Peningkatan populasi ternak tumbuh mengikuti asumsi pertumbuhan rata rata populasi seperti untuk ternak sapi yaitu 5 %, ayam broiler dan petelur 3 %, kerbau, domba, kambing, babi dan ayam kampung 2 %, untuk kuda dan itik 1 %.

Gambar 1. Emisi Fermentasi Enterik Ternak Besar

Page 215: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

197

Untuk ternak besar, yaitu sapi perah, sapi potong, kerbau dan kuda dari Gambar 1, dapat dilihat bahwa ternak sapi potong sebagai penyumbang emisi dari fermentasi enterik terbesar sebsar 5,13 Gg CH4/th sedangkan sapi perah, kuda dan kerbau mengemisikan metana secara berurutan sebesar 0,01; 0,001; 1,09 Gg CH4/th.

Gambar 2. Emisi Fermentasi Enterik Ternak Kecil

Pada ternak kecil yang disajikan dalam Gambar 2, ternak kambing sebagai penyumbang emisi metana dari fermentasi enterik terbesar. Jika dibandingkan dengan ternak besar maka ternak kecil menyumbangkan emisi metana lebih rendah. Jenis ternak kecil mengalami peningkatan emisi metana dari fermentasi enterik mengikuti peningkatan populasi ternak tersebut. Emisi fermentasi enterik dari ternak kambing, domba dan babi secara berurutan sebesar 0,34; 0,02; 0,003 Gg CH4/th.

Peningkatan emsisi metana di proyeksikan dalam gambar 3. Proyeksi emisi metana dari sektor peternakan tergantung pada peningkatan populasi ternak di Indonesia. Peningkatan emisi metana ini pada tahun 2030 di estimasikan akan menembus angka 1.732 ton/tahun(Permana et al, 2012).

Gambar 3. Proyeksi emisi metana dari sektor peternakan(Permana et al, 2012).

Proyeksi emisi dari sektor pertanian ditunjukkan dalam gambar 4. Sampai tahun 2030, proyeksi emisi gas metana dari lahan sawah mecapai 42000 Gg CO2 eq dengan BAU2(Setyanto et al, 2009).

Page 216: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

198

Gambar 4. Proyeksi emisi gas metan dari lahan sawah beserta aksi mitigasinya(Setyanto et al, 2009)

Gambar 5. Persentase Ternak Penyumbang Emisi Fermentasi Enterik

Dari gambar 5 diketahui bahwa emisi terbesar dari fermentasi enterik ternak di Kalimantan Selatan ada pada ternak sapi potong yang menyumbang 78 % diikuti kerbau sebesar 17% dan kambing sebesar 5%. Sedangkan emisi terendah ada pada ternak sapi perah, kuda, domba dan babi sebesar 0 % dari total emisi yang bersumber dari fermentasi enterik. Total emisi dari fermentasi enterik ternak di Kalimantan Selatan di tahun 2014 dan 2015 sebesar 6,2 dan 6,6 Gg CH4/th.

KESIMPULAN

Emisi terbesar dari fermentasi enterik di Kalimantan Selatan ada pada ternak sapi potong yang menyumbang 78 % total emisi metana, ternak kerbau menyumbang 17% emisi metana sedangkan untuk ternak kecil adalah kambing yang menyumbang 5% emisi metana. Ternak sapi perah, kuda, domba dan babi menyumbang emisi metana dari fermentasi enterik yang paling rendah yaitu 0 % dari seluruh total emisi metana dari fermentasi enterik.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan di Laboratorium Gas Rumah Kaca Balai Penelitian Lingkungan Pertanian atas bantuannya dalam penyusunan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Data Populasi Ternak 2000 – 2015. Di unduh di www.bps.go.id tanggal 10 Juni 2016.

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories – A primer, Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Mwa K., Srivastava N. And Tanabe K. (eds). IGES,Japan.

Page 217: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

199

[KLH] Kementrian Lingkungan hidup. 2009. Summary for Policy Makers : Indonesia Second National Communication Under The United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Jakarta. November 2009.

[KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2012. Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Buku II Volume 3 Metodologi Perhitungan Tingkat Emisi Dan Penyerapan Gas Rumah Kaca Kegiatan Pertanian, Kehutanan, Dan Penggunaan Lahan Lainnya. Kementrian Lingkungan Hidup Press.

Moss, A. R., J. P. Jouany, and J. Newbold. 2000. Methane production by ruminants: Its contribution to global warming. Ann. Zootech. 49:231-253.

Republik Indonesia, 2011. Peraturan Presiden Republik Indoneisa Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca. Lembaga Negara RI tahun 2011, Jakarta : Sekertariat Kabinet Republik Indonesia.

Robinson, J. A., W. J., Smolemski, M. L. Ogilvie, and J. P. Peters. 1989. In vitro total gas, CH4 , H2 , volatile fatty acids and lactate kinetics studies on luminal contents from small intestine, cecum and colon of pig. Appl. Environ. Microbiol. 55:2460- 2467.

Permana., Suryahadi., Boer. 2012. Inventory and Mitigation for Methane Emissions from Livestock in Indonesia. The 10

th Workshop on GHG Inventories in Asia (WGIA10). Vietnam.Juli 10-

12 2012.

Setyanto, P.,E. Surmain dan Boer dalam Kementrian Lingkungan hidup. 2009. Summary for Policy Makers : Indonesia Second National Communication Under The United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Jakarta. November 2009.

Steven, C. E. and I. D. Hume. 1995. Comparative Physiology of the Vertebrate Digestive System. Cambridge University Press, Cambridge.

Sukahara, T. and K. Ushida. 2000. Effects of animal and plant protein on cecal fermentation in guinea pigs (Cavia porclellus), rats (Rattus norvegicus) and chicks (Gallus gallus domesticus). Comp. Biochem. Physiol. A. Mol. Integr. Physiol. 127:139-146.

Page 218: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

200

PENGKAJIAN KERAGAAN PRODUKTIVITAS INSEMINASI BUATAN (IB) SAPI POTONG DI KABUPATEN BANTUL

THE ASSESSMENT OF ARTIFICIAL INSEMINATION (AI) CATTLE PRODUCTIVITY IN THE BANTUL DISTRICT

Wiendarti I W, Sugiyanti, Anthony M, Sri Budhi L

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta

ABSTRAK

Sampai saat ini, Indonesia belum mampu mewujudkan swasembada daging, dan bahkan untuk mengurangi kesenjangan telah dilakukan kebijakan impor ternak hidup dan daging, demikian pula program Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan (GBIB) yang dicanangkan belum sepenuhnya diketahui mampu mencapai tujuan yang diharapkan. Pengkajian bertujuan untuk mengetahui keragaan produktivitas IB sapi potong di tingkat lapangan dan mengetahui permasalahan ditingkat lapangan. Pengkajian dilakukan terhadap60 orang yang terdiri dari 15 orang inseminator, 5 orang petugas kesehatan hewan dari poskeswan, 20 orang peternak dan 20 orang petugas peternakan lapangan dari Kabupaten Bantul. Pengkajian dilakukan dengan metode survei dan pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapang dan teknik wawancara menggunakan kuesioner berstruktur pada bulan Maret sampai dengan Agustus 2016. Data dan informasi yang terkumpul dianalisa secara deskriptif. Hasil menunjukkan dalam program IB, service/conception (S/C) sapi PO maupun non PO mencapai 2, angka konsepsi (AK) 55%. Straw jenis Siemmental paling disuka peternak (100%) dibandingkan jenis sapi PO, meskipun 57,1 % peternak sangat setuju dengan upaya pelestariaan sapi PO. Sebagian besar (60%) menyatakan kualitas straw semen beku bagus, dengan post thawing motility (PTM) antara 40-45%. Beberapa permasalahan yang banyak ditemukan antara lain kualitas pakan bagi sapi pedet lepas sapih kurang bagus, kondisi sapi induk yang kurus atau kurang nutrisi pakan, kemampuan peternak melakukan deteksi birahi serta faktor layanan IB dari inseminator.

Kata kunci : IB, sapi potong, produktivitas

ABSTRACT

Indonesia has not been able to achieve beef self-sufficiency, the import policy of live animals and meat could not reduce the gap between supply and demand, moreover the estrus induction and artificial insemination program has failed to achieve the desired objectives. The purpose of the assessment is to determine the performance of AI productivity of beef cattle and discover the AI program execution problems.It was conducted on 60 people consisting of 15 inseminators, 5 animal health officers from animal health unit, 20 farmers and 20 field farm officials of Bantul area. It was executed by survey and the field observation and interview techniques using a structured questionnaire as mean of data collection, in March to August 2016. The data and information collected were analyzed descriptively. The results showed that in the AI program, service /conception (S/C) PO and non-PO cow reaches the number of 2, conception rates (AK) is 55%. Siemmental straw is most preferred types of breeders (100%) compared to PO type, although 57.1% of farmers strongly agree with the effort of PO cattle preservation. Most (60%) stated that the quality of frozen semen straw is good, with a post-thawing motility (PTM) between 40-45%. Some of the problems which are found among others and the AI program are the poor quality of feed for weaning calves, the thin and malnutrition cows, the farmers ability to estrus detection and AI service factors of inseminator.

Keywords: AI, beef cattle, productivity

Page 219: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

201

PENDAHULUAN

Upaya swasembada sapi potong terkendala oleh beberapa faktor antara lain : rendahnya produktivitas dan reproduktivitas ternak, akibat gangguan reproduksi yang mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam meningkatkan penurunan populasi. Salah satu langkah yang telah diambil Pemerintah dalam upaya mempercepat pertumbuhan populasi dengan melakukan impor sapi indukan Brahman Cross untuk didistribusikan pada kelompok ternak terpilih dan dipelihara secara konvensional. Meskipun hal ini menimbulkan kontroversi mengingat untuk keberhasilan kelompok dalam memelihara sapi jenis ini tentunya masih memerlukan dukungan Pemerintah Daerah terutama untuk penyiapan lahan hijauan sebagai pasokan pakan agar dapat secara tersedia secara kontinyu.

Terdapat dua aspek dalam usaha ternak sapi potong, yaitu produksi bakalan untuk penggemukan dan produksi hasil penggemukan. Dalam produksi bakalan, teknik penguasaan reproduksi sangat menentukan keberhasilan pembiakan sebagai sebuah usaha yang berkelanjutan, seperti pemahaman terhadap kesehatan organ reproduksi dan kemampuan deteksi birahi. Kurangnya pemahaman dinamika dalam bidang reproduksi ini akan beresiko terhadap kegagalan Inseminasi Buatan (IB). Disamping itu, keteraturan dalam pencatatan (recording) terhadap sumber semen beku (straw) dan asal usul semen beku dapat beresiko terhadap terjadinya kawin sedarah (in-breeding) yang berdampak terhadap menurunnya keunggulan mutu genetik yang diwariskan pada anaknya. Hal ini telah nampak pada ternak-ternak persilangan yang banyak dipelihara peternak dengan banyaknya kasus waktu birahi yang semakin panjang pada sapi-sapi persilangan Siemntal maupun Limousin. Pemahaman mengenai manajemen kelahiran yang masih kurang berakibat pada rentannya imunitas anak sapi dan potensi kematian.

Prioritas pengembangan kawasan ternak sapi potong di kab Bantul, di diutamakan dalam meningkatkan produktivitas sapi potong melalui peningkatan laju reproduksi sapi induk dan optimalisasi program inseminasi buatan/IB termasuk melalaui program Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan(GBIB). Guna menunjang kebijakan agar mencapai kinerja secara optimal, perlu diketahui keragaan kinerja yang telah dicapai di tingkat lapangan, permasalahan maupun potensi masalah beserta alternatis solusinya.

Tujuan pengkajian adalah : (1) Mendapatkan informasi keragaan produktivitas program IB hingga Agustus 2016, (2) mengetahui permasalahan lapangan tentang bidang reproduksi ditingkat lapangan.

METODOLOGI

Pengkajian dilakukan di Kabupaten Bantulpada beberapa lokasi sentra sapi potong dengan metode survei. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapang dan teknik wawancara menggunakan kuesioner berstruktur terhadap60 orang yang terdiri dari 15 orang inseminator, 5 orang petugas kesehatan hewan dari poskeswan, 20 orang peternak dari 4 kelompok ternak dan 20 orang petugas peternakan lapangan pada bulan Maret sampai dengan Agustus 2016.

Prosedur pengkajian, merupakan pengkajian deskriptif yang meliputi : (1) kergaan produktivitas IB sapi potong ditingkat kelompok, (2) merumuskan permasalahan dalam program IB di lapangan (3) faktor-faktor potensial meningkatkan efisiensi program IB di kab Bantul. Data primer meliputi antara lain : service per conceptipn (S/C); angka kebuntingan (AK); kualiatas semen dari straw semen beku setelah thawing (post thawing motility = PTM); fasilitas sarana IB; preferensi dan respon peternak terhadap program GBIB dan IB; sistim pelaporan dan permasalah eksternal dan internal program IB. Data dan informasi yang diperoleh dianalisa dan diinterpretasikan secara deskriptif dan perhitungan nilai rata-rata bagi data yang bersifat parametrik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kepemilikan ternak sapi

Sebanyak 20 orang peternak yang di wawancarai dalam survei mewakili 4 kelompok ternak terpilih di kabupaten Bantul, sebagian besar adalah petani yang telah berpengalaman antara 5 – 15 tahun tahun dalam memelihara ternak sapi secara tradisional. Kepemilikan sapi terbanyak antara 1- 5 ekor (80 %), kepemilikan antara 6-10 ekor hanya 20% dan tidak ada yang memiliki lebih dari 10 ekor, atau rerata setiap peternak memiliki 3 ekor ternak sapi. (Tabel 1). Rata-rata kepemilikan sebesar 3 ekor, karena peternak pada umumnya adalah petani sayuran hortikultura (bawang merah dan cabai merah) sehingga sebagian besar waktunya digunakan untuk memelihara tanaman di sawah dan ternak sapi

Page 220: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

202

hanyalah sebagai usaha sampingan. Selain itu peternak tidak sanggup menyediakan pakan berkualitas jika terlalu banyak ternak yang dipelihara.

Tabel 1. Kepemilikan ternak sapi oleh peternak sampai dengan Juni 2016

Jumlah kepemilikan sapi Responden (orang) Persentase (%)

1 – 5 ekor 16 80 6 – 10 ekor 4 20 >10 ekor 0 - Jumlah 20

Sumber : Analisis data primer 2016

Berdasarkan jenis kelamin dan umur ternak yang dipelihara, sesuai dengan tujuan

pemeliharaan adalah untuk mendapatkan bibit, maka sebanyak 54,3 % adalah sapi betina yang telah dewasa dan melahirkan anak dengan umur lebih dari 1,5 tahun, dan 25,7% sapi betina yang berumur antara 6 bln – 1,5 tahun dan 20% pedet betina kurang dari 6 bulan.

Pada umumnya induk dijual setelah beranak 5 kali (25%) atau lebih dari 5 kali (25%) dan sebanyak 3% selama ternak masih dianggap subur sehingga terdapat ternak yang masih dipelihara untuk di IB meskipun telah 7 kali beranak. Sebanyak 12,5% peternak menjual induk setelah 3 kali beranak. Disamping itu dari 20 orang responden, masih memiliki ternak sapi jantan (40 %) yang berumur lebih dari 1,5 tahun, berumur antara 6 – 1,5 tahun (20%) dan pedet berumur 1-6 bulan (40%). (Tabel 2)

Berdasar Tabel 2, terlihat responden masih cukup konsisten dengan tujuan budidaya untuk perbibitan dengan memelihara induk produktif yang lebih banyak. Biasanya kelompok menjual ternak pedet betina nya pada umur 5 bulan. Sedangkan untuk sapi jantan sebagian besar (80%) dijual pada saat telah berumur 8 bulan. Penjualan ternak yang dilakukan oleh peternak karena harga pasar yang bagus (40%), namun pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga (60%).

Tabel 2. Kepemilikan ternak betina dan jantan oleh 20 orang responden

Jenis Kelamin ternak Umur Jumlah (ekor) Persentase (%)

Betina > 1,5 tahun 19 54,3 6 bln – 1,5 tahun 9 25,7 1 – 6 bulan 7 20

Sub total 25 Jantan > 1,5 tahun 4 40 6 bln – 1,5 tahun 2 20 1 – 6 bulan 4 40

Sub total 10

Total 35

Sumber : Analisis data primer tahun 2016

Hasil wawancara untuk mengetahui program Gertak Birahi (GBIB) dan tanggapan peternak

terhadap kegiatan tersebut, menunjukkan bahwa sebagian besar peternak (90%) tidak memahami apa yang dimaksud dengan Gertak Birahi, Tujuannya dan apa yang hendak dicapai dalam program tersebut. Meskipun sebagian besar terlibat dalam program GBIB, namun tingkat keberhasilannya dinilai rendah.

Page 221: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

203

Keragaan aspek reproduksi

Hasil wawancara terhadap 60 orang responden untuk mendapatkan informasi mengenai program IB, aspek reproduksi, serta kondisi ternak milik peternak, didapatkan hasil keragaan sebagaimana Tabel 3.

Tabel 3. Keragaan aspek reproduksi yang diketahui dan dikerjakan oleh peternak

Uraian Persentase (%)

1 Mengetahui ternak sedang birahi Ya 80 Tidak 20

2 Service per conception 1 – 2 kali 40 3 – 4 kali 30 4 – 5 kali 20 >5 kali 10

3 Cara mengawinkan sapi Alam 12,5 IB 87,5

4 Waktu dikawinkan lagi setelah beranak 2 bulan 20 3 bulan 30 4 bulan 30 5 bulan 0 >5 bulan 20

5 Jarak melahirkan 12 bulan 18,1 13 bulan 27,3 14 bulan 27,3 15 bulan 0 >15 bulan 27,3

6 Umur pedet di sapih dari induk 3 bulan 11,1 4 bulan 66,7 5 bulan 11,1 6 bulan 11,1 >6 bulan 0

7 Gangguan reproduksi pada ternak Kemajiran : pernah 13,33 Tidak pernah 86,67 Hypofungsi Ovarium : pernah 21,67 Tidak pernah 78,33 Keguguran : pernah 6,67 Tidak pernah 93,23 Endometritis : pernah 13,33 Tidak pernah 86,67 Distokia : pernah 0 Tidak Pernah 100

Sumber : Analisis data primer tahun 2016

Pemahaman peternak terhadap aspek reproduksi ternak sapi sangat diperlukan untuk dapat

mengenali dan mendeteksi ternak yang sedang birahi, serta perlu perhatian yang terus menerus terhadap ternak yang sedang dipelihara agar dapat dicapai efisiensi reproduksi yang maksimal. Berkat pengalaman yang cukup lama dalam memelihara ternak sapi, sebanyak 80% responden menyatakan telah memahami dan dapat mengenali kondisi ternak yang sedang birahi dengan menyebutkan lebih dari 5 tanda birahi pada induk sapi dan 20% diantaranya dinyatakan belum dapat mendeteksi dengan baik dan hanya dapat menyebutkan 1 tanda birahi. (Tabel 3). Hal ini dapat terjadi mengingat sebagian merupakan peternak yang baru dan belum banyak berpengalaman. Namun demikian hasil wawancara dengan responden yang berasal dari inseminator dan petugas poskeswan, menyatakan bahwa meskipun peternak telah mengetahui, namun sering terlambat melaporkan kepada inseminator dan tidak dapat menjelaskan waktu yang pasti, hal ini menurut sebagian responden (21,4%) merupakan penyebab S/C > 3, disamping pengaruh kondisi induk.

Page 222: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

204

Meskipun telah banyak yang mengikuti program IB (87,5%), namun masih terdapat peternak (12,5%) yang mengawinkan secara kawin alam,dengan alasan karena seringnya terjadi kegagalan IB dan pada lokasi tersebut terdapat pejantan yang dianggap unggul sehingga ketepatan waktu kawin dapat lebih terjamin. Tingkat keberhasilan ternak untuk menjadi bunting pada lokasi pengkajian mencapai >55%. Kinerja program IB dalam GBIB dengan S/C antara 1-2 dengan angka konsepsi mencapai >55%, sudah dianggap bagus untuk kondisi peternak rakyat yang masih tradisional dalam pemeliharaan. Namun demikian dengan periode anestrus post partum (APP) adalah 3 bulan maka diperoleh jarak beranak 12-13 bulan, sebagaimana Tabel 3, hal ini juga meningkatkan tingkat produktivitas ternak dan seharusnya Angka Kebuntingan dapat ditingkatkan hingga mendekati 70% sehingga calf-crop sapi potong di wilayah binaan juga meningkat. Kondisi ini didukung pula oleh kebiasaan peternak yang menyapih pedetnya pada umur 4 bulan.

Gangguan atau hambatan proses reproduksi pada sapi dapat menyebabkan terjadinya kegagalan menunjukkan gejala birahi, kegagalan menjadi bunting, kegagalan memelihara proses kebuntingan dan kegagalan membesarkan anak. Hasil survei dan wawancara dengan peternak, menyatakan bahwa pada umumnya ternak dapat menunjukkan tanda birahi yang baik dan dapat dikenali oleh peternak, hanya saja kasus yang terjadi adalah gagal bunting atau ternak menunjukkan tanda birahi lagi pada siklus berikutnya setelah dilakukan IB. Kemajiran atau gagal bunting disampaikan oleh 13,4% responden, yang ditandai dengan sapi yang berulang kawin atau setelah 3-4 kali IB dan tidak menjadi bunting. Biasanya peternak menjual dan mengganti dengan induk yang leibh sehat. Kondisi ini berdasar informasi dari petugas keswan, sering terjadi karena faktor pakan yang kurang mencukupi dan berkualitas yang berdampak pada terjadinya ketidak seimbangan hormonal atau dapat pula disebabkan oleh faktor keturunan. Kegagalan reproduksi sebagian besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama masalah manajemen dan pemberian pakan yang buruk serta peranan dokter hewan dalam menanggulangi penyakir reproduksi(Toelihere, 1983). Sebagian besar responden (86,67%) menyatakan sapinya tidak pernah majir, namun masih ditemui gangguan dalam proses memelihara kebuntingan atau keguguran sebanyak 6,67%. Keguguran dapat terjadi karena adanya infeksi, diantaranya oleh kuman Brucella. Infeksi kuman penyakit yang menyebabkan kasus endometritis disampaikan oleh 13,3 % responden. Kasus yang cukup banyak ditemukan di lapangan adalah hypofungsi ovarium (21,67%). Hal ini ditunjang penjelasan oleh para petugas medis poskeswan yang menyatakan kasus hypofungsi ovarium merupakan masalah berat di wiayah kerja mereka. Tidak berfungsinya ovarium yang memprodukksi sel telur menyebabkan proses reproduksi tidak dapat berlangsung. Pada umumnya terjadi karena kekurangan nutrisi atau kurang asupan pakan berkualitas dan sebagian karena kongenital. Melalui pemeriksaan per rektal dan pengobatan menggunakan hormonal serta pemberian pakan berkualitas, masih dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki kondisi hypofungsi ovarium. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukukan oleh Wiendarti IW dan Erna W, 2010. beberapa kasus hypofungsi ovarium yang ditemukan dilapangan dan dalam peneriksaan per rektal masih dapat diperbaiki, dapat dipulihkan dengan pemberian hormon ginadotropin. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam optimalisasi pelayanan IB

Bagi keberhasilan perkawinan atau inseminasi buatan, semen harus diproduksi dalam jumlah dan kualitas yang baik, demikian pula dalam penanganan pada saat aplikasi atau melakukan IB di lapangan. Prosedur pemakaian yang benar dan tepat sesuai persyaratan dengan induk yang sehat dan deteksi birahi yang tepat sehingga IB dapat dilakukan pada waktu yang tepat dan berhasil. (Supriatna, 1992)

Survei dan hasil wawancara yang dilakukan kepada responden untuk mengetahui keragaan kualitas semen pada saat melakukan penyimpanan dan handling di tingkat inseminator atau peternak. Sesuai hasil survei dan wawancara yang dilakukan kepada responden, terklarifikasi beberapa hambatan atau masalah dalam upaya optimalisasi program IB sapi potong yang dibagi dalam faktor internal dan faktor eksternal.

Page 223: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

205

Tabel 4. Faktor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap permasalahan IB

Uraian Bermasalah* (%)

Ya Tidak

mb ms mr tm

Kondisi sapi induk (skor kondisi tubuh) 25 50 25 - Kualitas pakan lepas sapih 3,33 53,33 13,33 30 Performance sapi hasil IB - 20 28,33 51,67 Kondisi gangguan reproduksi karena genetik - 50 50 - Kasus hypofungsi ovarium di wilayah kerja saudara 80 20 - - Kasus kegagalan IB di wilayah kerja saudara 30 45 20 5 Ketrampilan peternak mendeteksi sapi birahi - 25 60 15 Ketersediaan kartu IB (recording IB, PKB) 20 65 15

*Catatan : mb : masalah berat; ms : masalah sedang; mr : masalah ringan dan tm: tidak bermasalah

Hasil survei dan pengamatan terhadap performance sapi hasil IB menurut peternak dan petugas lapangan, pada umumnya berat badan normal, dan melihat harga pasar dan ternak jantan lebih mahal daripada betina. Harga jual pada umur 8 – 12 bulan dibandingkan dengan umur 4 – 5 bulan secara ekonomis tidak terdapat kenaikan yang berarti, sehingga peternak lebih menyukai untuk menjual ternak pada umur 5 bulan.

Permasalahan nyata dari faktor peternak yang berat menekan program IB adalah kualitas pakan lepas sapih yang diberikan oleh peternak terhadap sapi hasil IB setelah tidak memperoleh air susu dari induk, sebagian besar bermasalah tingkat sedang (53,33%) dan sebanyak 13,33% bermasalah tingkat berat. Meskipum sebanyak 30% menyatakan tidak menjadi masalah terhadap kualitas pakan bagi pedet hasil IB lepas sapih. Tabel 4. Menunjukkan bahwa sebanyak 50 % responden menyatakan kondisi sapi induk (skor kondisi tubuh) yang dipelihara peternak bermasalah tingkat sedang dan 25% mengklasifikasi dalam masalah ringan dan berat. Skor kondisi tubuh induk sapi potong induk dikategorikan sedang. Hasil wawancara yang dilakukan terhadap petugas poskeswan dan inseminator, pada umumnya peternak kurang memperhatikan mengenai kebutuhan pakan hijauan dan kualitasnya sebagai contoh hanya diberi jerami padi, banyaknya gangguan reproduksi dan peternak senang melakukan IB dengan semen sapi jenis lain (limosin atau siemental). Perlu dilakukan solusi dengan teknologi pakan dan pemberian pakan berkualitas seperti hijauan, konsentrat, IB dengan semen sapi sejenis. Kondisi tubuh induk berpengaruh terhadap angka kebuntingan (AK), semakin rendah skor kondisi tubuh maka semakin rendah peluang untuk mencapai S/C=1.

Kesehatan reproduksi sangat mutlak diperlukan bagi berhasilnya program IB bagi ternak sapi. Gangguan reproduksi yang berakibat pada kegagalan reproduksi, dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal yaitu kegagalan karena faktor pengelolaan, faktor ternaknya, dan faktor lain dari penanganan proses reproduksi. Gangguan fungsional reproduksi yang banyak dijumpai dan merupakan masalah berat adalah pada kasus hypofungsi ovarium (80%) yang sebagian adalah karena faktor genetik yang masuk dalam katagorie bermasalah ringan (50%) dan sedang (50%). Sementara kasus kegagalan IB sebagan besar mengklasifikasikan dalam masalah sedang (45%), dengan tingkat keberhasilan IB untuk sapi jenis PO dapat mencapai 60% dan 50% untuk jenis sapi non PO. Memperhatikan ketrampilan peternak dalam mendeteksi birahi, sebagaian besar (60%) menganggap masalah ringan dan hanya 25% yang memasukkan dalam klasifikasi masalah sedang, bahkan sebanyak 15 % menyatakan tidak bermasalah, maka kemampuan peternak ini bukanlah penyebab dominan terhadap kegagalan IB. Menurut hasil wawancara, gangguan reproduksi dan pakan yang kurang berkualiatas merupakan penyebab utama tinggnya kegagalan IB, disamping peternak tidak melaporkan kasus reproduksi ke puskeswan. Laporan dan pencatatan segala kejadian dan kegiatan dalam proses reproduksi sangat penting untuk keberhasilan program IB. Masalah layanan termasuk didalamnya ketersediaan kartu IB / pencatatan individu sapi (farm recording) yang di IB dan hasil IB diklasifikasikan dalam masalah ringan (65%) dan sudah bukan merupakan masalah sebanyak 15%. Pada umumnya peternak sudah memahami pentingnya pencatatan bagi individu ternaknya dan telah menjadi bagian dari organisasi/kelembagaan kelompok. Menggunakan kartu recording reproduksi tersebut setiap petugas baik inseminator, poskeswan dan instansi manapun dapat mengetahui setiap proses yang sudah berlangsung. Pencatatan sangat diperlukan untuk menentukan maju mundurnya program IB pada individu betina, kelompok ternak betina dalam suatu daerah yang dapat digunakan untuk antara lain (1) menilai ketrampilan inseminator (2) menilai kesanggupan peternak dalam mendeteksi birahi (3). Menentukan sebab-sebab kegagalan, (4) memberi data untuk penilaian hasil IB

Page 224: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

206

dan efisiensi reproduksi, (5) Memperkirakan waktu kelahiran dan (6) informasi tentang identitas induk dan ayah dari anak yang dilahirkan. (Toelihere, WR, 1992)

Permasalahan internal pelayanan IB sapi potong yang ditangani oleh inseminator dapat diperhatikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Faktor-faktor internal optimalisasi pelayanan IB

Uraian Bermasalah* (%)

Ya Tidak

mb ms mr tm

Ketersediaan kontainer di inseminator 100 Ketersediaan N2 cair 100 Kelengkapan fasilitas untuk inseminasi 100 Ketersediaan straw semen beku di lapangan 100 Kualitas straw semen beku di lapangan 100 Kualitas Post Thawing Motility (PTM) - 40 - 60 Ketrampilan inseminator - - 40 60

*Catatan : mb = masalah berat; ms = masalah sedang; mr = masalah ringan; tm: tidak bermasalah.

Tabel 5 menunjukkan, faktor ketersediaan kontainer, N2 cair, kelengkapan fasilitas inseminator, ketersediaan straw smen beku dan kualitasnya bukan merupakan masalah dalam optimnalisasi program IB sapi potong, seluruhnya 1005 tidak bermasalah namun hasil wawancara kepada peternak, sering dijumpai inseminator yang tidak menggunakan fasilitas kontainer berisi N2 cair pada saat ke lapangan dan cenderung hanya menggunakan fasilitas seadanya pada saat akan melakukan IB. Jika diperhatikan pada kualitas post thawing motility (PTM), meskipun 60% menyatakan tidak bermasalah, namu 40% menyatakan PTM merupakan masalah sedang. Hasil klarifikasi kepada petugas poskeswan terhadap data lapangan tersebut, menyatakan bahwa diduga faktor-faktor penyebabnya adalah : 1) suhu dalam termos yang digunakan untuk ke lapangan kurang sesuai atau bahkan suhu dalam kontainer yang digunakan untuk menyimpan straw semen beku dalam waktu lama sudah tidak ideal lagi (pada suhu minus 176

oC) yang disebabkan karena kurangnya

Nitrogen dalam kontainer, atau terjadi kebocoran pads kontainer; 2) terjadi cold shock pada saat pemindahan straw semen beku dari kontainer ke termos atau ke kontainer lainnya serta dalam perjalanan menuju lokasi kandang, yang dapat menurunkan motilitas sperma. 3) petugas IB menjalankan proses IB tidak sesuai prosedur pada saat melakukan thawing.Untuk mempertahankan kehidupan spermatozoa, maka semen beku harus selalu disimpan dalam container berisi nitrogen cair yang bersuhu -196oC dan terus dipertahankan pada suhu tersebut sampai waktu digunakan. Demi menjamin fertilitas yang tinggi, harus dipastikan pencairan kembali semen beku (thawing), apapun caranya harus memperhatikan prinsip kurva peningkatan suhu semen harus meningkat secara konstan sampai waktu Inseminasi. (Toelihere, M. 1992).

Memperhatikan performance sapi hasil IB dan harga jual sapi, pada umunya peternak lebih menyukai straw semen beku dari sapi jenis Limosin, 100 % peternak mengkalasifikasi kesukaan pada jenis sapi Limosin dengan melihat haga jual sapi hasil IB jenis Limosin, meskipun seluruhnya (100%) sangat setuju terhadap upaya pelestraian dengan memelihara sapi jenis PO. Sapi jenis PO bagi peternak tradisional akan lebih mudah dalam pemeliharaannya karena pemberian pakan lebih mudah dan biasanya S/C = 1-2.

KESIMPULAN

1. Produktivitas IB di Kab Bantul didukung oleh aspek ketrampilan peternak dalam mengenail gejala birahi, pencapaian S/C antara 1-2 dan Angka Konsepsi > 55% serta jarak beranak antara 12-13 bulan.

2. Gangguan reproduksi akibat kekurangan pakan berkualitas masih menjadi masalah yang berat seperti hypofungsi ovarium. Sedangkan kegagalan menjadi bunting, kegagalan memelihara kebuntingan/keguguran relatif sedikit dan hanya bersifat individual.

Permasalahan atau faktor eksternal dan internal pada upaya peningkatan kinerja IB adalah :

1. Kondisi sapi induk (skor kondisi tubuh) yang kurus.

2. Kualitas pakan atau ransum bagi sapi hasil IB lepas sapih yang rendah

Page 225: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

207

3. Performance sapi hasil IB yang tidak seragam

4. Kualitas pakan penguat dan hijauan yang kurang memenuhi kebutuhan nutrisi

5. Beberapa inseminator tidak menerapkan SOP secara utuh dan benar dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

6. Kewajiban untuk melaporkan kasus-kasus reproduksi bagi peternak yang belum dilaksanakan dengan penuh.

DAFTAR PUSTAKA

Ditjenakkeswan, 2010. Tiga Tahun Perbibitan. Kinerja Direktorat Perbibitan tahun 2008-2010. Direktorat Jendral peternakan dan Kesehatan Hewan.

Putro, P. P. 2008. Dinamika Folikel Ovulasi dan Korpus Luteum setelah Sinkronisasi Estrus pada Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Puslitbangnak, 2011. Petunjuk Pelaksanaan LL dan SL.PPSP. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan ketiga. Fakultas Kedokteran Veteriner, Jurusan Reproduksi Institut Pertanian Bogor. Mutiara Sumber Widya, Jakarta Pusat.

Salisbury, G.W. dan H.L. Van Denmark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada sapi, Penerjemah Prof Drs R Djanuar. Gadjah Mada University Press Yogyakarta.

Supriatna, I dan Pasaribu, F. 1992. In Vitrro Fertilisasi, Transfer Embrio dan pembekuan Embrio. Pusat Antar Universitas. Bioteknologi. IPB.

Tiesnamurti, b., p. Situmorang dan y. Anggreni. 2010. Petunjuk pelaksanaan kegiatan pengkajian sapi kembar dari aspek pemuliaan, nutrisi dan reproduksi. Puslitbang peternakan. Bogor.

Toelihere, M.R, et all. 1981. Laporan Pilot Proyek Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Ternak di Indonesia. Bogor.

Toelihere, m.r. 1985. Inseminasi buatan pada ternak. Penerbit angkasa Bandung.

Toelihere, m.r. 1985. Fisiologi reproduksi pada ternak. Penerbit angkasa Bandung .

Wiendarti, iw dan erna w. 2010. Upaya memperoleh kelahiran kembar melalui superovulasi. Prosiding seminar nasional bptp ungaran jawa tengah.

Page 226: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

208

PEMANFAATAN MEDIA INFORMASI OLEH PETANI DI PEDESAAN MENUJU PETANI YANG MODERN DAN BERWAWASAN BISNIS

THE USE OF INFORMATION MEDIA FOR FARMERS IN RURAL TO MODERN AND BUSINESS INSIGHTFUL FARMERS

1 Nia Rachmawati dan

2Hamdan

1PUSTAKA Jl. Ir. H. Juanda No. 20, Bogor 16122

2BPTP Bengkulu, Jl. Irian Km. 6,5 Kelurahan Semarang, Indonesia

e-mail:[email protected]

ABSTRAK

Kebutuhan akan informasi yang cepat, andal, dan akurat dalam kondisi lingkungan yang penuh ketidakpastian mutlak diperlukan oleh setiap orang termasuk petani. Informasi ini termasuk inovasi teknologi pertanian yang dihasilkan oleh Balitbangtan namun masih sedikit yang sampai dan diadopsi oleh pengguna. Inovasi ini disajikan melalui berbagai media dengan tujuan untuk mudah diakses oleh petani dan diterapkan pada usahatani yang sedang dijalankan sehingga dapat menjadi petani yang modern dan berwawasan bisnis. Informasi yang berupa inovasi teknologi ini dapat diakses petani melalui media yang beragam baik tercetak, elektronik, maupun melalui hubungan interpersonal. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan media informasi dan aksesibilitas petani di pedesaan karena masih dipandang minim dan ketersediaan media yang juga terbatas. Kajian dilakukan melalui review terhadap data-data empiris yang didukung oleh beberapa hasil kajian yang relevan. Adapun jenis informasi paling banyak tersedia (56,24%) terkait teknologi produksi, sumber informasi paling banyak (90%) melalui penyuluhan, dan media untuk akses informasi paling banyak digunakan (95%) adalah telepon genggam (HP). Berdasarkan fenomena yang ada, perlu upaya untuk menyediakan informasi melalui media yang mudah diakses dan sesuai dengan kebutuhan serta kondisi petani di pedesaan agar dapat dimanfaatkan secara optimal.

Kata kunci: media informasi, petani di pedesaan, inovasi teknologi

ABSTRACT

The need for rapid information, reliable, and accurate in environmental conditions of uncertainty absolutely necessary by anyone including farmers. This information including technological innovation agriculture produced by IAARD (Indonesian Agency for Agricultural Research and Development) but still less until and adopted by users. This innovation served through some media for the purpose of accessible farmers and applied to the cultivation of being executed so that it can be a farmer modern and insightful business. Information of technology innovation can be accessed farmers through the diverse printed media, electronic, as well as through interpersonal relations. This study seeks to find out the uses of information media and accessibility of farmers in rural areas to be viewed minimal and the availability of media restricted. The study was done through a review on empirical data supported by some studies relevant. As for types of information most widely available (56.24 %) related technology production, a source of information the most (90%) through extension activities, and media to access to information the most used (95 %) are mobile phone. Based on that phenomenon, efforts need to be made to provide information through a media that easy to access and in accordance with their needs and the farmers in rural areas that can be used optimally .

Keywords: information media, farmers in rural areas, technology innovations

PENDAHULUAN

Kebutuhan akan informasi yang cepat, andal, dan akurat dalam kondisi lingkungan yang penuh dengan ketidakpastian mutlak diperlukan (Rahmawati 2008). Seiring dengan perkembangan Iptek bidang pertanian, maka penyajian informasi pun muncul dalam berbagai media, baik media tercetak maupun elektronik. Kedua media ini sangat potensial bagi petani di pedesaan ataupun perkotaan sebagai sumber untuk memperoleh informasi pertanian, namun ketersediaannya tersebut belum dapat menjamin informasi digunakan secara optimal oleh petani. Informasi tidak akan dapat dimanfaatkan dengan mudah apabila tidak dihimpun, diolah, dan disajikan dengan baik sesuai dengan harapan dan keinginan pengguna.

Page 227: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

209

Informasi yang sampai ke petani dapat berasal dari berbagai sumber melalui berbagai cara yaitu secara langsung atau melalui suatu media. Sampai saat ini media massa dianggap sebagai salah satu alat dalam mengarahkan pembangunan, sementara di sisi lain petani adalah sebagai pelaku utama pembangunan, sehingga sudah seharusnya media massa berperan besar bagi petani. Media massa sangat berperan dalam penyebaran informasi dalam hal ini penyebaran informasi yang terkait inovasi teknologi pertanian. Pada hakekatnya penyebaran informasi ini merupakan suatu proses distribusi atau pengiriman informasi tertentu kepada pengguna dari sumber infomasi baik lembaga maupun perorangan (Prytherch 1990). Secara sederhana dapat diartikan sebagai transfer informasi antara pencipta informasi dengan pengguna informasi (Rubin 1998).

Lembaga penelitian seperti Balitbangtan maupun perguruan tinggi ataupun lembaga lain penghasil inovasi adalah sebagai sebagai sumber informasi telah banyak menghasilkan inovasi. Inovasi ini diwujudkan dalam bentuk informasi untuk dapat dimanfaatkan oleh khalayak luas. Namun informasi tersebut belum mencapai sasaran utama yaitu petani (Mulyandari dan Ananto 2005). Untuk mempercepat penyampaian informasi teknologi pertanian dapat dilakukan dengan mengubah paradigma diseminasi dari yang bersifat konvensional kepada yang lebih maju dan cepat dengan memanfaatkan berbagai saluran atau media.

Banyak informasi yang dapat dimanfaatkan petani, diantaranya informasi yang menyajikan inovasi-inovasi teknologi hasil penelitian dari Badan Litbang Pertanian mulai dari varietas, budidaya sampai pasca panen. Inovasi teknologi yang dihasilkan ini harus dapat merespon permintaan pasar sehingga nilai tambah yang dihasilkan dari aktivitas yang ada mampu memberikan kesejahteraan bagi para pelaku yang terlibat didalamnya (Saragih 2004).

Akses pasar dan penguasaan informasi di sektor pertanian menurut Apriantono (2006) masih lemah. Beberapa masalah informasi yang dihadapi pertanian adalah informasi teknologi masih terbatas, informasi stok kebutuhan komoditas belum terbangun, pemanfaatan teknologi informasi belum menyentuh petani, minat petani mencari informasi lemah, dan penggunaan informasi pertanian belum meluas.

Petani yang mayoritas tinggal di pedesaaan memiliki aksesibilitas yang terbatas terhadap informasi dan ini merupakan salah satu masalah yang dihadapi sektor pertanian. Petani memiliki penguasaan dan akses teknologi pertanian yang masih lemah. Hal ini menjadi latar belakang untuk mengetengahkan kajian yang terkait dengan aksesibilitas informasi di tingkat petani di pedesaan untuk mewujudkan petani yang modern dan berwawasan bisnis sehingga untuk ke depannya dapat meningkatkan kesejahteraan. Tujuan yang ingin dicapai dengan mengkaji hal ini adalah untuk mengetahui pemanfaatan media informasi dan aksesibilitas petani di pedesaan terhadap sumber informasi karena dipandang minim dalam mengakses informasi dan media yang tersedia juga terbatas. Selanjutnya lebih jauh diharapkan adanya akses informasi yang lebih mudah bagi petani dan diperolehnya pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi petani di pedesaan.

METODE

Kajian pemanfaatan media informasi oleh petani di pedesaan menuju petani yang modern dan berwawasan bisnis ini dilakukan melalui review terhadap data-data empiris yang didukung oleh beberapa hasil kajian yang relevan. Penulis mencoba untuk mengkaitkan kerangka teoritis dan data-data empiris yang ada berdasarkan pada berbagai hasil penelitian ataupun kajian yang relevan dan telah dilakukan sebelumnya. Analisis diperkaya dengan pembahasan yang bersumber dari pengetahuan dan pemahaman penulis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Inovasi Teknologi Pertanian Badan Litbang Pertanian dan Ragam Media yang Dapat Diakses

Inovasi teknologi hasil penelitian Badan Litbang Pertanian terus bertambah dan berkembang pada berbagai aspek mulai hulu sampai hilir. Secara ringkas beberapa inovasi teknologi yang telah dihasilkan dapat disajikan pada Tabel 1.

Page 228: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

210

Tabel 1. Teknologi inovatif Badan Litbang Pertanian untuk diaplikasi dan diadopsi petani

No. Jenis Informasi Jumlah Informasi yang Tersedia (buah)

1 Informasi dasar (lahan, iklim, model aliran permukaan daerah aliran sungai, dan lain-lain hal terkait)

12

2 Input Produksi a. Tanaman Pangan b. Tanaman Hortikultura c. Tanaman Perkebunan d. Peternakan e. Pupuk dan Pengendali Hayati f. Perangkat uji, alat, dan mesin pertanian g. Pengembangan produk pertanian h. Bioenergi dan lingkungan

95 90 71 38 71 66 50 7

Sumber: data primer dari 500 teknologi inovatif pertanian Balitbangtan diolah (2015)

Berdasarkan tabel 1 informasi yang paling banyak tersedia adalah terkait dengan komoditas tanaman pangan, meliputi berbagai varietas padi untuk berbagai agroekosistem, palawija, gandum, dan sorgum. Beberapa informasi tersebut dapat diakses oleh petani melalui media tercetak maupun melalui media internet.

Inovasi berada dalam suatu sistem yang terkait satu sama lain (Sasmojo 2004). Inovasi yang berkembang dan diadopsi di tingkat petani merupakan satu kesatuan sistem yang utuh bukan hanya sebatas menjalankan usahatani tetapi juga sudah memperhatikan unsur lainnya, seperti aspek pemasaran, akses terhadap informasi teknologi dan lembaga keuangan atau lembaga riset/perguruan tinggi sebagai sumber inovasi. Sistem inovasi dalam hal ini dibangun oleh struktur ilmu pengetahuan, riset, dan teknologi. Dalam suatu sistem inovasi terdapat suatu struktur yang berkaitan satu sama lainnya. Sistem usahatani yang dijalankan petani memiliki keterkaitan erat dengan pihak lain juga seperti swasta yang menyerap produk pertanian dan penyediaan sarana produksi juga lembaga riset/perguruan tinggi yang dapat dijadikan sebagai sumber inovasi yang dapat diakses oleh petani. Model sistem inovasi dapat disajikan secara sederhana pada Bagan 1.

Bagan 1. Model sistem inovasi pertanian saat ini

(sumber: Sasmojo 2004)

Berbagai inovasi teknologi yang telah dihasilkan diharapkan dapat diadopsi untuk diimplementasikan oleh petani pada usahatani yang sedang dijalankannya. Adopsi inovasi teknologi digambarkan sebagai tiga tahap rangkaian,meliputi inisiatif, adopsi, dan implementasi (Thong 1999 dalam Rahab 2009). Selanjutnya Rahab (2009) menjelaskan bahwa tahap inisiatif berkaitan dengan pengumpulan dan evaluasi mengenai inovasi teknologi. Tahap adopsi melibatkan pembuatan keputusan tentang adopsi inovasi teknologi. Selanjutnya tahap implementasi melibatkan implementasi inovasi teknologi di tingkat petani.

Permintaan kualitas produk pertanian

usahatani

Adopsi Iptek

Konsepsi Iptek

Pembiayaan riset

Page 229: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

211

Potret Petani Saat Ini

Sektor pertanian di Indonesia merupakan mesin pertumbuhan yang berperan besar bagi pembangunan desa dalam bentuk penciptaan nilai tambah bagi masyarakat di pedesaan. Pendapatan dari usahatani yang diterima masyarakat desa adalah wujud nyata nilai tambah yang diperoleh dari sektor pertanian (Saragih 2004). Sebagai negara agraris Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah petani yang banyak, namun ironisnya sebagai petani kecil yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan sekitar 19 juta diantaranya tinggal di pedesaan. Petani ini memiliki segala keterbatasan terutama dalam penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi pertanian (Arifin 2012).

Setiap petani pada hakekatnya menjalankan sebuah pertanian di atas usahataninya dengan tujuan ekonomis (Mosher 1978). Kegiatan usahatani yang dimaksud adalah mengusahakan input produksi untuk menghasilkan suatu produk dengan menggunakan sumberdaya hayati yang ada. Sejalan dengan perkembangan zaman input produksi ini didalamnya juga termasuk akses terhadap informasi. Keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki petani akan berpengaruh terhadap pengelolaan usahatani yang dilakukan terutama pada penggunaan teknologi guna meningkatkan produktivitas dan kualitas produk pertanian (Heryanto dan Supyandi 2012).

Teknologi yang digunakan adalah teknologi usatahani yang diartikan bagaimana cara melakukan pekerjaan usahatani (Mosher 1978). Dengan struktur pertanian saat ini cukup sulit untuk dilakukan perbaikan menuju peningkatan kesejahteraan petani melalui usahatani yang dijalankan. Namun berbagai upaya terus dilakukan untuk perbaikan kesejahteraan petani dengan diawali aktivitas untuk perbaikan produktivitas. Peningkatan produktivitas akan dapat terwujud melalui inovasi teknologi, yaitu temuan baru yang mampu menggandakan nilai produk secara besar.

Kontribusi sektor pertanian yang besar ternyata berbanding terbalik dengan kondisi nyata petani umunya di Indonesia hingga saat ini. Data menunjukkan bahwa kelompok masyarakat yang bekerja sebagai petani merupakan kelompok terbanyak yang termasuk ke dalam golongan masyarakat miskin. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan September tahun 2011 tercatat sebanyak 29,98 juta orang yang terdiri dari 10,94 juta orang adalah masyarakat miskin kota, 2,7 juta orang miskin desa non petani dan 16,25 juta orang adalah miskin desa bekerja sebagai petani yang berarti sebanyak 54,37 % masyarakat miskin di Indonesia adalah bekerja sebagai petani (BPS 2012). Umumnya menjalan usahatani secara subsisten hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa memperhitungkan produktivitas tanaman. Sejalan dengan pendapat Mubyarto (1991) bahwa sistem pertanian subsisten memiliki tujuan utama hanya untuk memenuhi keperluan hidup petani dan keluarganya. Kondisi subsisten saat ini salah satunya sapat dicirikan dengan minimnya akses informasi pertanian bagi petani.

Aksesibilitas Petani Terhadap Sumber dan Media Informasi

Dalam era informasi saat ini, petani dapat mengakses informasi melalui berbagai sumber informasi baik lembaga maupun perorangan dan melalui berbagai media baik tercetak, seperti buku, majalah, leaflet, koran maupun buku saku. Berbagai media elektronik yang dapat diakses, seperti televisi, radio, internet maupun telepon genggam. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya petani umumnya masih menghadapi keterbatasan sarana akses informasi online (Tologbonse et al. 2008). Keterbatasan ini menjadi bahan pertimbangan untuk lembaga atau sumber-sumber informasi untuk menyebarluaskan informasi terkait dengan inovasi teknologi pertanian. Media online ini untuk ke depannya akan diperlukan karena seiring dengan tuntutan zaman yang mengikuti perkembangan informasi yang dinamis. Media tercetak dipilih petani dengan beberapa alasan, diantaranya dapat dibaca pada saat ada waktu atau disimpan dan dibaca ulang kembali apabila diperlukan, hal ini sejalan dengan pendapat Mulya (2010) yang mengemukakan kelebihan media tercetak adalah dapat dibaca ulang, memudahkan pengguna mencerna informasi, dan dapat disimpan. Kenyataannya masih sedikit media tercetak dari lembaga penelitian/pengkajian yang tersedia atau dapat diakses dengan mudah dan lengkap serta pada waktu yang tepat diperlukan. Masing-masing media tersebut memiliki keunggulan dan kelemahannya. Petani dapat memilih media yang dianggap efektif untuk mendukung usahatani yang sedang dijalankan.

Dewasa ini media informasi sangatlah beragam, namun media yang sangat berperan dalam pembangunan termasuk pembangunan di sektor pertanian adalah media massa. Media massa sendiri ialah suatu jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melewati media tercetak atau elektronik, sehingga pesan informasi yang sama dapat diterima

Page 230: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

212

secara serentak atau bersamaan dan sesaat. Media massa terdiri dari buku, majalah, koran, film (secara prinsip pada film komersil), rekaman suara (sound recordings), radio, dan televisi (DeFleur & McQuail 1985). Bentuk-bentuk media massa tersebut menurut Dominick (2005) merupakan media massa tradisional. Disebut demikian karena munculnya bentuk baru media massa yang dikenal dengan Internet (Dominick2005). Internet ini terus menyediakan informasi terbaru yang berisi inovasi teknologi yang terus diperbaharui.

Hasil penelitian Andriyati dan Setyorini (2011) mengemukakan bahwa sumber informasi teknologi pertanian yang diakses petani dan tersedia di Kabupaten Magelang, Banjarnegara, Pacitan, dan Malang dalam bentuk media tercetak, siaran radio, dan televisi masih sangat terbatas. Dengan adanya keterbatasan ini, maka perlu adanya upaya lain agar terpenuhi kebutuhan petani akan informasi.

Informasi pertanian bagi pelaku pertanian Indonesia merupakan input yang seringkali terabaikan. Jenis informasi yang dibutuhkan petani secara umum, meliputi informasi teknis, finansial, hukum, internasional, dan lingkungan. Petani sebagai manajer memerlukan informasi khusus yang dapat membantu manajemen usahatani, petani membutuhkan belajar darimana mendapatkan, bagaimana menyimpan, dan merespon serta menggunakannya. Fahmi dan Fauzan (2001) menggolongkan informasi sektor pertanian menjadi dua kelompok, yaitu (1) informasi teknis, yaitu informasi teknis menyangkut cara bercocok tanam, sejak analisis kondisi lahan, metode penyemaian, perawatan tanaman dalam masa tanam, pemupukan, perlindungan dari penyakit (insektisida, herbisida, dan lain-lain), panen hingga pasca produksi, (2) informasi bisnis, yaitu informasi yang menyangkut aspek ekonomi sektor pertanian, mulai permodalan, permintaan dan penawaran bibit, bahan, dan alat-alat, termasuk aspek pasar dan konsumen.

Aksesibilitas petani untuk mencapai sumber-sumber informasi perlu mendapatkan perhatian terutama untuk informasi yang mendukung usahatani yang sedang dijalankan. Media informasi yang tersedia sekarang sudah cukup beragam.Sejalan dengan perkembangan dan kemajuan di bidang teknologi informasi tersaji dalam berbagai bentuk baik offline (buku, majalah, leaflet, dan sebagainya) maupun online (akses melalui internet).

Agar penerapan dukungan informasi secara optimal tepat pada sasaran, maka terlebih dahulu perlu dipahami bagaimana sistem usahatani berfungsi dan bagaimana pengambilan keputusan dalam memanfaatkan sumberdaya yang dilakukan termasuk untuk memanfaatrkan informasi. Keberagaman karajteristik usahatani menyebabkan keragaman kebutuhan informasi (Reijntjes 1999). Dari berbagai kenyataan yang terjadi terbuki bahwa sistem informasi pertanian di Indonesia membutuhkan pembenahan di berbagai sisi.

Berbagai inovasi teknologi yang telah disebarluaskan terus dikembangaka dengan harapan untuk diadopsi oleh petani. Penerapan atau adopsi inovasi juga ditentukan oleh aksesibilitas terhadap inovasi itu sendiri. Sejalan dengan pendapat Ukwu dan Umoru (2009) bahwa pendidikan dan pendapatan berhubungan nyata dengan tingkat aksesibilitas terhadap informasi pertanian. Ketersediaan dan kredibilitas sumber informasi serta sarana untuk mengakses informasi juga akan menentukan kebutuhan informasi pengguna. Hal-hal yang berhubungan dengan aksesibilitas petani terhadap informasi ini perlu dipahami agar informasi dapat efektif dan berdaya guna.

Pemanfaatan Informasi oleh Petani Untuk Usahatani

Menurut Mardikanto (2010) untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan termasuk didalamnya tujuan pembangunan di sektor pertanian memerlukan teknologi tertentu yang sebelumnya telah dipilih sehingga seluruh sumberdaya yang tersedia dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi perbaikan mutu hidup masyarakat. Teknologi ini berasal dari sumber-sumber teknologi dan dapat dimanfaatkan dengan mengaksesnya sebagai informasi yang menyangkut banyak hal.

Berbagai teknologi yang telah hadir sebagai hasil penelitian atau kajian atau pengembangan untuk disebarluaskan kepada masyarakat luas sehingga diadopsi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lingkungan. Teknologi tersebut disajikan dalam bentuk informasi pada berbagai media yang selalu diupayakan untuk mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat luas. Berbagai pendekatan pun diluncurkan dengan menggunakan sumber-sumber informasi yang terdekat dengan petani.

Pemanfaatan informasi menurut Dervin yang dikutip Choo (2006) pencerahan adalah informasi digunakan untuk mengembangkan konteks atau untuk memahami situasi dasar, seperti pengalaman pribadi, pemecahan masalah adalah informasi digunakan dalam cara yang lebig spesifik dari pencerahan, digunakan untuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik dari masalah tertentu,

Page 231: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

213

konfirmasi adalah informasi digunakan untuk memverifikasi sebuah informasi, proyektif adalah informasi digunakan untuk memprediksi apa yang mungkin terjadi di masa depan dan motivasi adalah informasi digunakan untuk memulai atau mempertahankan keterlibatan pribadi dalam rangka untuk terus bergerak sepanjang pada tindakan tertentu.

Hasil penelitian Syatir et al. (2013) menunjukkan sumber informasi yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh petani sayuran di Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Bogor adalah penyuluh dan kelompok tani. Secara keseluruhan responden dapat membaca sehingga dapat mengakses informasi dari media tercetak. Selain itu hampir keseluruhan petani responden memiliki radio sehingga dapat mengakses informasi melalui media elektronik yaitu radio.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Andriaty dan Setyorini (2011) ketersediaan sumber informasi yang dimanfaatkan petani di lokasi penelitian dapat disajikan pada Tabel 2. Jenis informasi yang tersedia di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2 yang ditunjukkan dengan jenis informasi yang paling banyak tersedia (56,25%) adalah informasi yang menyangkut teknologi produksi, sumber informasi yang paling banyak (90%) digunakan adalah melalui penyuluhan, dan untuk media akses informasi yang paling banyak digunakan (95%) adalah telepon genggam (HP).

Penelitian Hapsari (2012) menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan informasi usahatani untuk usahatani yang sedang dijalankan oleh petani sayuran termasuk kategori rendah yaitu mempraktekan satu hingga dua jenis informasi saja. Sebenarnya teknologi menuntut petani untuk mengikuti setiap perkembangan yang ada. Suatu inovasi teknologi akan diterapkan pengguna jika secara teknis mudah dilaksanakan, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial budaya dapat diterima oleh masyarakat.

Tabel 2. Ketersediaan informasi yang dimanfaatkkan petani di Kabupaten Banjarnegara, Magelang, Malang, dan Pacitan tahun 2011

Unsur Informasi yang Diamati Jumlah (buah) Persentase (%)

Jenis informasi a. Teknologi produksi b. Teknologi pengolahan c. Pemasaran d. Lainnya

90 77 69 1

56,25 48,13 43,13 0,63

Sumber informasi a. Penyuluhan b. Kontak tani c. Keagamaan

143 139 125

90

86,88 78,13

Media akses informasi a. Pertemuan b. Telepon rumah c. Telepon genggam (HP) d. Komputer e. Radio f. TV g. Warnet h. Perpustakaan i. Media cetak (Koran, majalah)

144 136 152 44

136 136 28 22 94

90 85 95

27,50 85 85

17,50 13,75 58,75

Sumber: Andriyati dan Setyorini (2011)

Menurut Thompson et al. (1991) faktor sosial mempengaruhi pemanfaatan teknologi informasi yang dikembangkan. Sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Qadri (1997) menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara faktor sosial dengan pemanfaatan teknologi informasi.

Hasil penelitian Prihtanti et al. (2007) di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang menunjukkan bahwa cara budidaya dan pasar merupakan informasi vital bagi petani. Van den Ban dan Hawkins (1999) menjelaskan bahwa informasi pertanian akan menarik bagi para petani apabila mengandung beberapa unsur yang menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan di sekitar dirinya, seperti teman, keluarga, sesuatu yang baru dan menarik. Hal ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk mengemas informasi agar dapat diterima dan diadopsi petani.

Page 232: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

214

Selanjutnya Prihtanti et al. (2007) menjelaskan juga bahwa informasi pertanian yang diperlukan oleh petani pada setiap tahap usahataninya pun berbeda. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa informasi yang dibutuhkan petani pada masa panen adalah informasi harga pasar dan untuk hasil identifikasi ini ditemui pada semua jenis usahatani. Sesuai tempat pemasaran yang biasa dituju, masyarakat petani Getasan cenderung mencari informasi harga pasar lokal (pasar tradisional). Hasil penelitian juga menunjukkan belum banyak media informasi yang dapat ataupun digunakan oleh petani untuk mendukung usahataninya.

Selain media tercetak dan elektronik, petani memiliki media lain untuk mendapatkan informasi yaitu melalui hubungan interpersonal dengan keluarga/teman dan PPL. PPL dipandang petani lebih mudah dihubungi dan rutin mengunjungi wilayah binaannya yang merupakan lokasi tempat petani menjalankan usahataninya. Media ini merupakan media informasi yang dianggap paling bermanfaat dalam memperoleh informasi pada setiap tahapan usahatani. Rendahnya kemanfaatan media informasi lebih disebabkan karena belum banyak petani yang mengakses media yang ada (tercetak maupun elektronik) dan bukan karena belum adanya media masuk desa (Prihtanti et al. 2007).

Petani Modern dan Berwawasan Bisnis Sebuah Tantangan

Mosher (1978) menjelaskan bahwa petani adalah orang yang mengelola sumberdaya alam termasuk di dalamnya tanah, tanaman, dan hewan agar dapat bermanfaat secara optimal. Selanjutnya membagi pertanian menjadi dua golongan, yaitu primitif dan modern. Pertanian modern diartikan sebagai yang menguasai pertumbuhan tanaman dan aktif mencari metode-metode baru serta dapat menerima pembaharuan dalam bidang pertanian. Petani yang menerapkan cara seperti inilah yang dapat berkembang dalam rangka menunjang ekonomi di bidang pertanian.

Petani modern dan berwawasan bisnis adalah suatu harapan yang akan terus diupayakan untuk dapat diraih. Sebagai individu petani selalu berusaha mencari informasi dengan berbagai cara untuk mengembangkan usahataninya. Saat mencari dan mendapat informasi pertanian dapat saja berperilaku pasif atau aktif. Menurut Matindas (2011) pasif yaitu hanya menerima terpaan informasi pertanian serta mempertimbangkan informasi yang didapat. Berperilaku aktif yaitu mencari melalui berbagai saluran atau media dan sumber informasi. Perilaku yang diharapkan dari petani adalah aktif untuk mencari atau mengakses informasi.

Pencarian informasi ini dalam rangka untuk mencari alternatif teknologi yang rendah input tetapi mencapai hasil optimal. Idealnya, kebutuhan teknologi untuk meningkatkan kualitas berasal dari permintaan pasar. Kesenjangan (gap) kualitas antara produk pertanian yang dihasilkan dengan keinginan konsumen harus dapat disesuaikan. Sebagai ilustrasi dinamika perubahan permintaan pasar akan kualitas produk pertanian hortikultura jauh lebih cepat dibandingkan komoditas tanaman pangan seperti padi atau jagung (Sasmojo 2004). Berdasarkan fenomena ini, petani modern dan mandiri harus dapat menangkap pasar dengan mengakses informasi untuk memperoleh teknologi yang dapat menghasilkan produk pertanian dengan kualitas sesuai dengan permintaan pasar.

Petani masa depan diharapkan petani yang modern dengan kemampuan mengakses informasi yang up to date. Ke depannya petani harus mampu untuk mengakses informasi online yang kini sudah dijadikan sebagai alternatif pilihan yang memungkinkan dijangkau oleh petani untuk dapat menjalankan usahatani yang berdaya saing tinggi. Penggunaan telepon genggam atau internet bukan sesuatu yang baru lagi, bahkan tak sedikit petani yang sudah dapat menggunakan android sebagai media untuk mengakses informasi terkait inovasi teknologi pertanian.

Salah satu sumber informasi berupa lembaga yang dapat diakses petani atau didatangi secara langsung adalah unit kerja Kementerian Pertanian yang mempunyai mandat untuk penyebaran teknologi pertanian yang terbuka bagi siapa saja yang memerlukan informasi terkait dengan perkembangan inovasi teknologi pertanian. Tabel 3 menyajikan pangkalan data elektronik yang tersedia di PUSTAKA (Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian) yang membuka layanan untuk semua stakeholders. Pangkalan data yang tersedia di PUSTAKA ini bersifat dinamis dan selalu diperbarui informasinya agar dapat memenuhi kebutuhan pengguna. Informasi yang tersedia bukan hanya untuk kalangan akademisi dan peneliti saja tetapi juga untuk umum termasuk untuk petani yang berupaya mencari informasi terkait inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian atau lingkup Kementerian Pertanian.

Page 233: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

215

Tabel 3. Pangkalan data elektronik bidang pertanian dan bidang terkait yag dimiliki PUSTAKA sampai tahun 2008

Nama Pangkalan Data Terbitan Akses Jenis Informasi

ProQuest 1993-2008 Online Artikel lengkap

Science Direct 1993-2008 Online Artikel lengkap

TEEAL 1993-2005 Offline Artikel lengkap

AGRICOLA 1970-2007 Offline Bibliografis

AGRIS 1975-2008 Offline Abstrak

CARIS 1996-2002 Offline Abstrak

Tropag dan Rural 1995-2007 Offline Abstrak

CAB Abstract 1984-1995 Offline Abstrak

Crops Protection Compendium 1996-1998 Offline Abstrak

Indonesiana 1983-2008 Offline Artikel lengkap

Warintek 2000 Offline Artikel lengkap

Teknologi Tepat Guna 1983-2008 Online Artikel lengkap

Publikasi Badan Litbang Pertanian 1996-2004 Online Artikel lengkap

Kumpulan Berita Surat Kabar 1995-2008 Offline Artikel lengkap

CD-Interaktif 2000-2007 Offline Audio visual

Sumber: Maksum et al. (2008)

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 3 terdapat beberapa alternatif untuk mengakses informasi di bidang pertanian dan bidang terkait lainnya yang tersedia di PUSTAKA. Dengan adanya informasi ini petani dapat mempertimbangkan untuk meningkatkan kapasitas dirinya sehingga dapat mengakses dan mengadopsi inovasi teknologi pertanian dengan informasi yang tersedia.

Pangkalan data ini merupakan salah satu teknologi untuk mengakses informasi secara online. Teknologi dalam bidang informasi terus mengalami perkembangan yang sangat pesat. Melalui teknologi informasi ini petani dapat mengakses informasi yang diperlukan untuk mendukung usahataninya. Sejalan dengan pendapat Bodnar dan Hopwood (1995) teknologi informasi adalah segala acara atau alat yang terintegrasi yang digunakan untuk menjaring data, mengolah dan mengirimkan atau menyajikan secara elektronik menjadi informasi dalam berbagai format yang bermanfaat bagi penggunanya.

Suatu inovasi teknologi termasuk teknologi informasi di bidang pertanian dapat diterima dengan beberapa syarat harus terpenuhi salah satunya tidak rumit atau tidak kompleks. Sejalan dengan penelitian Tornatzky dan Klein (1982) menemukan bahwa semakin kompleks inovasi pada suatu teknologi informasi maka akan semakin rendah tingkat adopsi atau penerimaannya. Demikian halnya dengan penelitian Thompson et al. (1991) mengemukakan terdapat pengaruh yang signifikan dan negatif antara kompleksitas dan pemanfaatan teknologi informasi.

Selain itu juga yang harus menjadi bahan pertimbangan untuk penyebarluasan informasi adalah karakter penggunanya. Berdasarkan karakter pengguna informasi Atherthon dalam Fahmi dan fauzan (2001) mengemukakan terdapat tiga kelompok penting pengguna sistem informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu (1) peneliti, untuk penelitian dasar maupun terapan, (2) praktisi dan teknisi, untuk kegiatan pengembangan dan operasional berbagai disiplin ilmu, seperti teknologi industri, pertanian, kedokteran, dan komunikasi, dan (3) manajer, perencana, dan pengambil keputusan. Berdasarkan kategori tersebut petani dapat dimasukkan ke dalam golongan ke tiga dalam pengguna sistem informasi yaitu sebagai manajer, perencana, dan pengambil keputusan untuk usahatani yang sedang dijalankannya.

Untuk menghadapi tantangan pasar global yang semakin ketat dan kompleks, maka tidak ada pilihan bagi petani di negara berkembang kecuali mengubah secara terencana wajah pertanian dari corak subsisten atau tradisional menjadi pertanian modern yang berdaya saing tinggi (Sudalmi 2010). Demi mewujudkan petani yang modern dan berwawasan bisnis membutuhkan upaya yang keras dan bersungguh-sungguh. Semua aspek harus dilihat termasuk aspek masalah yang biasanya dihadapi oleh petani terkait dengan teknologi sehingga dapat didesain informasi apa yang harus diprioritaskan. Masalah yang umumnya dihadapi oleh petani dalam berusaha tani bervariasi antar lokasi sehingga teknologi yang diperlukan pun berbeda, namun umumnya terkait dengan produksi dan produktivitas. Sejalan dengan hasil penelitian Ukwu dan Umoru (2009) jenis informasi yang diperlukan petani umumnya berkaitan dengan produksi. Untuk membantu mengatasi atau menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi petani di lapangan dalam menjalankan usahataninya, Badan Litbang Pertanian

Page 234: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

216

meluncurkan berbagai inovasi teknologi pertanian yang sampai saat ini telah dihasilkan sebanyak 500 teknologi inovatif di bidang pertanian untuk berbagai aspek dari hulu sampai hilir dan pada berbagai komoditas yang dapat dimanfaatkan dan diadopsi oleh petani sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya di lapangan. tidak menutup kemungkinan teknologi inovatif ini akan terus bertambah dan berkembang (Balitbangtan 2015).

Dalam penerapan suatu teknologi inovatif kenyataannya sering menghadapi kendala, diantaranya gap antara hasil penelitian dengan kondisi riil di lapangan. Sebagai ilustrasi dapat disajikan informasi di lapangan yang terjadi di Provinsi Maluku yang dilaporkan oleh Nurdin (2013) produktivitas padi sawah di Provinsi Maluku tergolong masih rendah dengan kisaran hasil antara 3-4 ton GKP/ha bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang mencapai 7-10 ton GKP/ha. Demikian pula halnya dengan produktivitas padi gogo yang baru mencapai 0,7 ton GKP/ha bila dibandingkan dengn hasil penelitian yang bisa mencapai 3-4 ton GKP/ha. Hal ini dapat menunjukkan bahwa adopsi inovasi oleh petani belum optimal.

Menurut Manwan dan Oka (1991) dalam Nurdin (2013) terdapat empat faktor yang harus tersedia dalam menunjang keberhasilan penyampaian teknologi kepada petani, yaitu (1) teknologi yang telah matang sesuai utuk wilayah pengembangan, (2) dukungan pemerintah daerah dalam bentuk pembinaan dan penyuluhan, (3) ketersediaan sarana produksi dan pemasaran yang kondusif, dan (4) partisipasi petani menerima teknologi. Selain itu juga karakteristik individu petani sangat menentukan untuk diadopsinya suatu teknologi. Salah satunya adalah pendidikan. Sejalan dengan pendapat Syamsudin (1982) bahwa petani yang berpendidikan lebih tinggi relatif lebih cepat untuk mengadopsi inovasi dibandingkan dengan petani yang tingkat pendidikannya lebih rendah.

Beberapa kendala yang melekat pada petani merupakan suatu tantangan untuk meraih mimpi menjadi petani modern dan mandiri. Arifin (2012) berpendapat bahwa dengan keterbatasan mengakses Iptek pertanian, petani dalam menjalankan usahataninya hanya berdasarkan kepada pengalaman tentunya. Pengalaman yang diperoleh secara turun temurun menjadi satu-satunya sarana yang ada yaitu usahatani yang dijalankan secara konvensional. Mau tidak mau dan suka atau tidak suka pengalaman merupakan guru yang dijadikan sebagai acuan atau pedoman. Sementara ini inovasi yang dihasilkan dari pengalaman belum teruji secara empiris.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Petani adalah pelaku utama dalam pembangunan sektor pertanian dan mayoritas tinggal di pedesaan. Dalam menjalankan usahataninya petani memerlukan dukungan input yang memadai salah satunya adalah teknologi. Teknologi yang diperlukan petani adalah teknologi inovatif yang dapat memberikan banyak manfaat terutama dukungan dalam menjalankan usahatani. Teknologi yang ada dan tersedia saat ini merupakan hasil penelitian dan pengembangan yang dapat dimanfaatkan petani yang dikemas menjadi informasi yang dapat diakses oleh petani dimana pun termasuk petani dipedesaan. Pemanfaatan informasi oleh petani umumnya digunakan untuk pemecahan masalah yang dihadapi dalam usahataninya. Petani perlu menambah wawasan, keterampilan, membuka dan memperkaya diri dengan informasi yang terkait dengan usahatani dan informasi lain yang relevan dengan media yang tersedia digunakan secara optimal. Pemerintah perlu memfasilitas atau membuat regulasi yang dapat mempermudah aksesibilitas informasi petani terhadap informasi yang diperlukan. Aksesibilitas petani terhadap informasi dapat ditingkatkan dengan kerjasama semua pihak, memperluas jaringan informasi sampai ke pelosok pedesaan sehingga dapat diwujudkan petani yang modern dan berwawasan bisnis.

DAFTAR PUSTAKA

Andriaty, E. dan E. Setyorini. 2012. Ketersediaan sumber informasi teknologi pertanian di beberapa kabupaten di Jawa. J. Perpus. Pert.: 21 (1) April 2012: 30-35.

Arifin, B. 2012. BBM, ekspektasi inflasi, dan kesejahteraan petani. Kompas.com, analisis ekonomi, Senin, 2 April 2012. http://nasional.kompas.com/read/2012/04/02/03422023/BBM.Ekspektasi.Inflasi.dan.Kesejahteraan Petani. [Diunduh tgl 26 Agustus 2016].

Apriantono, A. 2006. Pembangunan pertanian di Indonesia. www.deptan.go.id. /renbangtan/konsep_pembangunan_pertanian.pdf. [Diunduh tgl 6 Agustus 2016].

Balitbangtan. 2015. 500 Teknologi inovatif pertanian. Jakarta: IAARD Press.

Page 235: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

217

Bodnar and Hopwood. 1995. Accounting information system. Prentice hall Inc.

BPS. 2012. Jumlah penduduk miskin, persentase penduduk miskin, dan garis kemiskinan. https://www.bps.go.id.[Diunduh tgl 17 Juli 2016]

Choo, C., W. 2006. Working with information: information management and culture in a professional services organization. Canada. http//:choo.fis.utoronto.ca/FIS/ResPub/JIS2006.pdf. [Diunduh tgl 30 Juli 2016].

DeFleur & McQuail, D. 1985. Understanding Mass Communication, 2nd

ed.,Houghton Mittlin, Boston.

Dominick, J., R. 2005, The Dynamics of Mass Communication:Media in the Digital Age. McGraw-Hill Company, Inc, New York.

Fahmi, I dan Fauzan, D. 2001. Jaringan perpustakaan digital untuk menunjang jaringan informasi agrikultur nasional desain dan strategi implementasi. Lokakarya jaringan penelitian pertanian nasional, 31 Oktober 2001. Knowledge Management Research Group. Bandung: Institut Teknologi Bandung (ITB).

Hapsari, R., D. 2012. Pemanfaatan informasi oleh petani (Kasus di Desa Ciaruteun Ilir Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. [tesis] Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor .

Heryanto, M., A. dan Supyandi, D. 2012. Peran lembaga riset dalam sistem inovasi frugal sektor pertanian: pendekatan analisis berpikir sistem. Warta KIML: 10 (12): 67-82. LIPI: Pusat Penelitian dan Pengembangan Iptek.

Maksum, Lukman, B., D., dan Prawati, B. 2008. Aksesibilitas informasi, intensitas komunikasi, dan efektivitas layanan informasi digital. Jurnal Perpustakaan Pertanian: 17(2):48-55.

Mardikanto, T. 2010. Komunikasi pembangunan. Surakarta: UPT Penerbitan dan Percetakan UNS.

Matindas, K. 2011. Strategi komunikasi petani sayuran organik dalam mencari dan menggunakan informasi pertanian berbasis gender. [disertasi] Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor .

Mosher, A., T. 1978. Menggerakkan dan membangun pertanian. Syarat-syarat pokok pembangunan dan modernisasi. Jakarta: CV. Yasaguna.

Mubyarto, 1991. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES. Mulya, H. 2010. Kelebihan dan kekurangan media cetak dan televisi. http//www.hendramulya.bogspot.com/2010/07/kelebihan-dan-kekurangan-media-ccetak-dan.html

Mulyandari, R.S.H. dan E.E. Ananto. 2005. Teknik implementasi pengembangan sumber informasi pertanian nasional dan lokai P4MI. Informatika pertanian 14:807-817.

Nurdin, M. 2013. Kajian pola dan faktor penentu distribusi penerapan inovasi pertanian PTT padi sawah di Kabupaten Buru. Jurnal Agribisnis Kepulauan (Agrilan): 2(2) Februari 2013. 1-15.

Prihtanti, T., Maria, dan Yuliawati. 2007. Persepsi petani terhadap informasi pertanian. Jurnal AGRIC: 19 (1): 44-57.

Prytherch, R. 1990. Harrod’s librarian glossary. Ed. 7th. Hants: Gower Publishing.

Qadri, R. 1997. Pengaruh faktor sosial, affect, konsekuensiyang dirasakan dan kondisi yang memfasilitasi terhadap pemanfaatan computer. Tesis Program Pasca Sarjaan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Rahab. 2009. Hubungan antara karakteristik teknologi dengan kemungkinan usaha kecil untuk mengadopsi TI. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (September 2009): 16(2):111-125.

Rahmawati, D .2008. Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemanfaatan teknologi informasi. J. Ekonomi dan Pendidikan: 5(1): 107-118 April 2008.

Reijntjes, C., H. 1999. Pertanian masa depan: pengantar untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Yogyakarta: Kanisius.

Rubin, R. 1998. Foundations of library and information science. New York: Neal-Schuman Publisher, Inch.

Saragih, B. 2004. Membangun pertanian perspektif agribisnis. Dalam: pertanian mandiri pandangan strategis para pakar untuk kemajuan pertanian Indonesia. Jakarta: Penebar Swadaya.

Page 236: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

218

Sasmojo, S. 2004. Sains, teknologi, masyarakat, dan pembangunan. Program Pascasarjana. Bandung: Institut Teknologi Bandung (ITB).

Sudalmi, E., S. 2010. Pembangunan pertanian berkelanjutan. Jurnal inovasi pertanian: 9(2), September 2010. 15-28.

Syamsudin, U. 1982. Dasar-dasar penyuluhan dan modernisasi pertanian. Bandung: Angkasa Offset.

Syatir, Lubis, D., P., dan Matindas, K. 2013. Keterdedahan dan pemanfaatan informasi oleh petani sayuran. Jurnal Komunikasi Pembangunan: 11(2). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Thompson, R., Christoper, A., and Howell Jane.1991. Personal computing: toward a conceptual model of utilization. MIS Quarterly. March 1991.

Tologbonse, D., O. Fashola, and M. Obadiah. 2008. Policy issues in meeting rice farmers agricultural information needs in Niger State. J. Agric. Extension: 12 (2):84-94.

Tornatzky and Klein. 1982. Innovation characteristics and innovation adoption-implementation: A meta analysis of findings. IEEE Transaction on Engineering Management. February 1982.

Ukwu, O.J.and B.I. Umoru. 2009. A study of woman farmer’s agricultural information needs and accessibility: A case study of Apa local government area of Benue State, Nigeria. Afr. J. Agric. Res.: 4(12):1404-1409.

Van den Ban, A., W. dan Hawkins, H., S. 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius.

Page 237: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

219

ANALISIS PERSEPSI ANGGOTA KELOMPOK WANITA TANI (KWT) TERHADAP TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN RAMAH LINGKUNGAN DI

KOTA SAWAHLUNTO

PERCEPTION ANALYSIS OF WOMEN FARMERS GROUP MEMBERS (KWT) BACKYARD OF TECHNOLOGY FRIENDLY ENVIRONMENTIN SAWAHLUNTO CITY

Sumilah dan M. Ichwan

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat, Jl. Raya Padang-Solok KM. 40 Sukarami-Solok, 27366;

email: [email protected]

ABSTRAK

Salah satu program pemerintah untuk mendorong kelompok masyarakat dalam mengkonsumsi aneka ragam pangan lokal serta peningkatan gizi adalah dengan mengadakan Gerakan Nasional Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) dengan prinsip teknologi pemanfaatan lahan pekarangan yang ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga. Agar inovasi dapat dilaksanakan oleh semua anggota KWT harus disebarluaskan dengan tujuan mempercepat alih inovasi teknologi kepada pengguna (petani, penyuluh dan masyarakat). Tujuan dari penelitian ini adalah (a) untuk mengetahui persepsi anggota KWT tentang teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan dan (b) untuk mengenali faktor yang mempengaruhi persepsi anggota KWT terhadap kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan. Penelitian dilaksanakan Januari - Desember 2015 di Desa Lunto Timur Kecamatan Lembah Segar Kota Sawahlunto dengan pemilihan sampel secara sengaja (purposive sampling) 30 anggota KWT pelaksana KRPL. Metode yang digunakan komunikasi langsung melalui wawancara terstruktur kepada anggota KWT.Analisis datadalam penelitian inimeliputi: uji proporsi dan analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwalebih dari 50% anggota kelompok wanita tani mempunyai persepsi yang tinggi terhadap kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto yaitu sebesar 73%. Faktor yang mempengaruhi persepsi anggota kelompok wanita tani adalah tingkat pendidikan dan umur anggota KWT.

Kata kunci : persepsi, KWT, pekarangan

ABSTRACT

One of the government's programs to encourage community groups to consume a variety of local food and nutritional improvement is to hold a National Movement Region Sustainable Food House (RSFH) with the principle of land-use technologies that are environmental friendly yard to meet the needs of food and nutrition. To innovation can be implemented by all member Women farmers groups (WFG) should be disseminated with the aim of accelerating the transfer of technological innovation to users (farmers, extension workers and community). The purpose of this study were (a) to determine the perception of WFGmembers of utilization technologies yards environmentally friendly and (b) to identify factors that influence the perception of WFGmembers on the activities of utilization technologies yards environmentally friendly. The research was conducted from January to December 2015 Lunto East Village District of Lembah Segar Sawahlunto with sample selection intentionally (purposive sampling) 30 members of the executive WFGRSFH. The method used direct communication through structured interviews with members of the WFG. Analysis of the data in this study includes: the proportion of test and multiple linear regression analysis. The results showed that more than 50 % of members of women farmers have a high perception of the activities of utilization technology of environmentally friendly yard area in Sawahlunto, namely by 73%. Factors affecting the perception of members of women farmers is the level of education and age KWT members.

Keywords: perception, Women farmers group, yard

Page 238: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

220

PENDAHULUAN

Salah satu program pemerintah untuk mendorong kelompok masyarakat dalam mengkonsumsi aneka ragam pangan lokal serta peningkatan gizi adalah dengan mengadakan Gerakan Nasional Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) dengan prinsip teknologi pemanfaatan lahan pekarangan yang ramah lingkungan dan dirancang untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, pelestarian tanaman pangan untuk masa depan,serta peningkatan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Kementerian Pertanian, 2011).

Pemanfaatan lahan pekarangan juga berpeluang menambah penghasilan rumah tangga apabila dirancang dan direncanakan dengan baik serta dapat menjaga kelestarian lingkungan (Mardiharini, 2011). Oleh sebab itu, pemanfaatan lahan pekarangan dapat dilaksanakan dengan sungguh - sungguh dan memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Pertanian ramah lingkungan bukan berarti pertanian organik saja yaitu pertanian tanpa menggunakan masukan bahan kimia meskipun intensitasnya mengarah kepada penggunaan komponen organik dan spesifik lokasi, khususnya pestisida dan pupuk (Irawan, 2013).

Perhatian anggota KWT terhadap pemanfaatan lahan pekarangan masih terbatas, akibatnya pengembangan berbagai inovasi yang terkait dengan lahan pekarangan belum mencapai sasaran secara maksimal. Padahal dengan melaksanakan kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan untuk tanaman pangan, tanaman obat, hortikultura berpotensi dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarga.

Mengingat potensi pemanfaatan lahan pekarangan yang cukup bagus, namun pada kenyataannya keberlanjutan pemanfaatan lahan pekarangan masih terdapat beberapa masalah. Beberapa permasalahan pokok dalam pemanfaatan lahan pekarangan yaitu: (a) pilihan jenis komoditas dan bibit terbatas, (b) kurang tersedianya teknologi budidaya spesifik lahan pekarangan, (c) kurang tersedianya teknologi panen dan pasca panen komoditas pangan lokal, (d) bersifat sambilan, dan (e) hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan belum berorientasi pasar.

secara praktis, pemanfaatan lahan pekarangan menghadapi kendala lingkungan, sosial dan keuangan yang mengancam kelanjutan dari kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan. Pemanfaatan lahan pekarangan yang berkelanjutan melalui pemberdayaan kelompok wanita tani membutuhkan peran semua anggota KWT. Peran anggota kelompok wanita tani dalam pemanfaatan lahan pekarangan yang berkelanjutan merupakan suatu perilaku dari anggota kelompok untuk mengajak anggotanya agar tetap melaksanakan kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan. Peran anggota kelompok wanita tani merupakan interaksi antar anggota kelompok wanita tani yang sering melibatkan dalam penataan situasi, persepsi, dan harapan dari anggota kelompok yang mampu saling memberi, mempengaruhi perasaan dan perilaku orang lain, memfasilitasi serta menggerakkan orang lain untuk bekerja menuju sasaran yang diinginkan. Persepsi dapat diartikan juga sebagai perilaku dari seseorang terhadap informasi yang masuk kedalam otak manusia, kemudian diinterpretasikan menjadi suatu makna.

Pekarangan adalah areal tanah yang biasanya berdekatan dengan sebuah bangunan. Jika bangunan tersebut rumah, maka disebut pekarangan rumah. Pekarangan dapat berada di depan, belakang atau samping sebuah bangunan, tergantung seberapa luas sisa tanah yang tersedia setelah dipakai untuk bangunan utamanya (Balitbang Pertanian, 2012).

Di Kota Sawahlunto sendiri, lahan yang diperuntukkan perumahan/ pekarangan seluas 0.05 Km

2 (Bappeda dan BPS Sumbar, 2011). Potensi yang cukup besar ini diharapkan akan mendorong

terjadinya peningkatan produksi dan konsumsi sayur serta buah sehingga meningkatkan pula PPH masyarakat (Ariani, 2010). Teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan banyak dihasilkan. Agar inovasi ini dapat dilaksanakan oleh semua anggota KWT harus disebarluaskan dengan tujuan mempercepat alih inovasi teknologi kepada pengguna (petani, penyuluh dan masyarakat). Tujuan dari penelitian ini adalah (a) untuk mengetahui persepsi anggota KWT tentang teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan dan (b) untuk mengenali faktor yang mempengaruhi persepsi anggota KWT terhadap kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan.

Page 239: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

221

Zhitung =

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan Januari - Desember 2015 di Desa Lunto Timur Kecamatan Lembah Segar Kota Sawahlunto dengan pemilihan sampel secara sengaja (purposive sampling) 30 anggota KWT pelaksana KRPL. Metode yang digunakan komunikasi langsung melalui wawancara terstruktur kepada anggota KWT

Dalam menjawab tujuan dalam penelitian ini, maka dilakukan beberapa metode analisis, yaitu :

1. Tujuan penelitian pertama diuji menggunakan uji proporsi dengan persamaan sebagai berikut :

Ho : P < 50%

Ha : P >50%

Ho : Diduga ≤ 50% petani memiliki persepsi yang tinggi terhadap kegiatan teknologi teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto.

Ha : Diduga > 50% petani mempunyai persepsi yang tinggi terhadap kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto.

Tingkat signifikansi 0,05 (5%), n = 30

Statistik pengujian :

X = jumlah petani sampel yang mempunyai persepsi tinggi terhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto

n = jumlah keseluruhan anggota KWT sampel

Po = 50%

Kriteria Pengujian :

Z hit > Z tabel : Ho ditolak, Ha diterima

Z hit < Z tabel : Ho diterima, Ha ditolak

Untuk metode skoring merujuk kepada Mardikanto (2010), yaitu upaya penyajian dimaksudkan mengungkapkan informasi penting yang terdapat dalam data kedalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana yang pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran. Analisis statistik deskriptif dilaksanakan melalui beberapa tahapan :

a. Penyajian data analisa dengan metode tabulasi b. Penentuan kecenderungan nilai responden untuk masing-masing variabel yang dikelompokkan

ke dalam 3 (tiga) kelas kriteria masing-masing adalah : rendah, sedang, dan tinggi. Interval kelas ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

Nilai tertinggi – Nilai terendah

Klasifikasi

2. Tujuan penelitian kedua untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi anggota KWT terhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto, digunakan analisis regresi linier berganda, dengan persamaan sebagai berikut :

Y = a + b1.X1 + b2.X2 + b3.X3 + €

Keterangan :

Y = Persepsi petani X3 = Luas lahan pekarangan X1 = Tingkat Pendidikan € = Konstanta X2 = Umur anggota KWT b1, b2, b3 = koefisien regresi

x/n – Po

√ Po (1 – Po)

n

Interval Kelas =

Page 240: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

222

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persepsi anggota Kelompok Wanita Tani Terhadap Teknologi Pemanfaatan Lahan Pekarangan Ramah Lingkungan di Kota Sawahlunto

Menurut Anggoro (2004), respon petani dapat diartikan sebagai perubahan sikap petani yang diakibatkan adanya rangsangan (stimulus) dari luar dan dari dalam diri petani, dalam wujud melaksanakan program, memperluas areal tanam, pengorganisasian kelompok, dan mengumpulkan serta menyebarluaskan informasi teknologi. Berdasarkan definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa persepsi petani adalah tanggapan atau reaksi yang dilakukan oleh petani berupa jawaban terhadap suatu rangsangan atau sesuatu hal yang baru, dalam hal ini mengenai respon petani terhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan.

Kelompok wanita tani merupakan wadah bagi wanita tani baik dalam proses pembelajaran maupun untuk meningkatkan produktivitas usaha tani melalui pengelolaan usaha tani secara bersamaan. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan tentang informasi atau stimuli dari lingkungan yang berhubungan dengan pengalaman akan obyek, peristiwa, dan hubungan-hubungan yang diperoleh, kemudian mengubahnya ke dalam kesadaran psikologi (Rakhmat 2007).

Persepsi secara keseluruhan dari aspek sikap petani terhadap komponen teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan dapat dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu respon rendah, sedang dan tinggi. Komponen teknologi yang diintroduksikan yaitu (i). Penyiapan media; (ii). pembibitan; (iii). penanaman; (iv). pemupukan; (v). pengelolaan HPT; (vi). panen. Tingkat persepsi anggota KWT terhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sebaran persepsi anggota kelompok wanita tani terhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto

Kategori Respon Jumlah (orang) Persentase (%)

Rendah 0 0 Sedang 8 27 Tinggi 22 73

Total 30 100

Sumber : Data Primer, 2015

Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa petani yang mempunyai respon yang sedang sebesar

27% dan respon yang tinggi sebesar 73%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anggota KWT di Kota Sawahlunto memiliki tingkat respon dengan kategori tinggi terhadap kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan.

Hipotesis pertama pada penelitian ini adalah diduga lebih dari 50% petani mempunyai respon yang tinggi terhadap kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto. Untuk membuktikan kebenaran hipotesis pertama tersebut, dilakukan dengan menggunakan uji proporsi. Dari perhitungan diatas diperoleh hasil Z hitung sebesar 2,552898 > Z tabel (1,645), sehingga Ho ditolak dan Ha diterima atau hipotesis yang menyatakan bahwa lebih dari 50% anggota KWT mempunyai persepsi yang tinggi terhadap kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto diterima. Hal ini dikarenakan pada variabel komponen teknologi, anggota KWT merespon sangat baik terutama pada tingkat kemudahan dalam penerapan komponen teknologi penyiapan media, pembibitan, penanaman, pemupukan, pengelolaan HPT dan panen. Menurut Rogers (2003) menyatakan proses keputusan inovasi merupakan suatu proses mental sejak seseorang mulai pertama kali mengetahui adanya suatu inovasi, membentuk sikap terhadap inovasi tersebut, mengambil keputusan untuk mengadopsi atau menolak, mengimplementasikan ide baru dan membuat konfirmasi atas keputusan tersebut.

Page 241: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

223

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsianggota KWT Terhadap Kegiatan Teknologi Pemanfaatan Lahan Pekarangan Ramah Lingkungan di Kota Sawahlunto

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi anggata KWT dalam kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto diduga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, umur anggota KWT dan luas lahan pekarangan. Dari analisis linear berganda diperoleh faktor – faktor yang mempengaruhi persepsi petani dalam kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto dapat dilihat pada Tabel 2.

Hasil analisis regresi menunjukan bahwa nilaiAdjusted Rsquare sebesar 0,546. Artinya 54,6% variabel persepsi anggota KWT terhadap kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto dapat dijelaskan oleh ketiga variabel independennya yaitu tingkat pendidikan, umur anggota KWT dan luas pekarangan. Sedangkan 45,4% sisanya dapat dijelaskan oleh faktor-faktor dari luar model.

Tabel 2. Hasil regresi berganda faktor-faktor yang diduga mempengaruhi persepsi anggota KWTterhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto

No Variabel Koefisien Regresi Nilai t Sign

1 Tingkat Pendidikan 0,621 3,638 0,001* 2 Umur Petani 0,393 3,091 0,005* 3 Luas Pekarangan 0,016 0,116 0,909

Konstanta 2,321 0,000 Rsquare 0,593 Adjusted Rsquare 0,546 F hitung 0.535 0,597

Sumber: Data Primer, 2015

Faktor-faktor yang diduga berpengaruh pada persepsi anggota KWT terhadap teknologi

pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto adalah :

1. Tingkat pendidikan (X1)

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa tingkat signifikansi variabel ini sebesar 0,001 lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05 (α = 0,05) dengan nilai t hitung 3,638. Hal ini berarti variabel tingkat pendidikan anggota KWT berpengaruh nyata terhadap persepsianggota KWT, artinya semakin tinggi pendidikan anggota KWT mempengaruhi persepsi anggotaKWT terhadap teknologi pemanfatan lahan pekaranagan ramah lingkungan. Pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianutnya, cara berpikir, cara pandang, bahkan persepsinya terhadap suatu masalah (Simanjuntak et al. 2010).

Tabel 3. Sebaran tingkat pendidikan anggota KWT menurut kategori terhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto

Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)

SD 13 43 SMP 7 23 SMA 8 27

SARJANA 2 7

Total 30 100

Sumber : Data Primer, 2015

Tabel 3 menunjukkan bahwa sebanyak 43% anggota KWT berpendidikan SD, 23%

berpendidikan SMP, 27% berpendidikan SMA dan anggota KWT yang mengenyam pendidikan hingga sarjana hanya sebesar 7%. Berdasarkan respon diketahui bahwa pendidikan yang rendah pada anggota KWT diduga karena faktor ekonomi yang menyebabkan tidak bisa melanjutkan pendidikan lebih lanjut. Umumnya tingkat pendidikan menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki kemampuan untuk mencari, menerima, dan menyerap inovasi untuk dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan. Semakin tinggi pendidikan anggota KWT maka akan berpengaruh terhadap penerimaan inovasi teknologi. Tingkat pendidikan formal petani berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan keterampilannya dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usaha tani (Mulyandari,2011)

Page 242: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

224

Pendidikan merupakan suatu proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan diperlukan oleh setiap manusia. Saat ini pendidikan menjadi perhatian karena disadari bahwa pendidikan sangat penting untuk masa depan. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia.

2. Umur Anggota KWT(X2)

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa didapatkan tingkat signifikasi untuk variabel umur anggota KWT adalah 0,005 lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05 (α = 0,05) dengan nilai t hitung dari variabel umur sebesar 3,091 sehingga variabel umur berpengaruh nyata terhadap persepsi KWT pada kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan.Umur seorang manusia sangat menentukan perkembangan pada dirinya, mengingat banyaknya aspek yang dikembangkan pada diri individu melalui umur yang dimiliki. Umur yang produktif dapat mempengaruhi kemampuan fisik dan pola pikir, sehinga sangat potensial dalam mengembangkan berbagai usaha.

Tabel 4. Sebaran umur anggota KWT menurut kategori terhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto

Umur KWT (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

17 – 33 9 30 34 – 50 17 57 51 – 67 4 13

Total 30 100

Sumber : Data Primer, 2015

Dari tabel 4 menunjukkan bahwa petani berumur 34 tahun sampai dengan 50 tahun jumlahnya

lebih banyak sebagai responden yaitu 17 orang sehingga akan berpengaruh terhadap tingginya persepsi anggota KWT pada kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan. Anggota KWT berumur 17 tahun sampai dengan 33 tahun berjumlah 9 orang, namun anggota kwt pada umur ini masih memiliki keingingan atau motivasi untuk memperbaiki teknologi pemanfaatan lahan pekarangan khususnya dengan teknologi ramah lingkungan, sehingga dari keinginan tersebut juga akan berpengaruh terhadap tingginya persepsi KWT. Sedangkan anggota KWT yang berumur 51 tahun sampai dengan 67 tahun, walaupun memiliki banyak pengalaman, namun terkadang persepsi terhadap inovasi baru lebih cenderung kurang dalam memahami atau menerapkannya. Semakin meningkatnya umur maka semakin meningkat pemanfaatan lahan pekarangan. Ini disebabkan oleh responden yang berumur tua lebih aktif melaksanaakan kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan, karena responden berumur tua sudah terbiasa dengan berusaha tani baik di kebun maupun di pekarangan.

Latifah et al.(2010) menyatakan bahwa semakin bertambah usia seseorang, maka akan semakin banyak alternatif cara yang dilakukan untuk menghadapi permasalahan yang dialaminya. Umur seseorang berhubungan dengan persepsi melalui tahap perkembangan yang harus dijalani seseorang dalam hidupnya, proses inilah yang dapat mengubah persepsi seseorang pada suatu obyek (Gulam, 2011). Hal ini berarti bahwa umur yang produktif biasanya memiliki semangat untuk ingin tahu terhadap obyek yang dapat diamati disekitar lingkungannya, sehingga mereka berusaha aktif mencari informasi, melaksanakan adopsi inovasi.

3. Luas Lahan Pekarangan (X3)

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa didapatkan tingkat signifikasi untuk variabel luas lahan pekarangan adalah 0,909 lebih besar dari taraf signifikansi 0,05 (α = 0,05) dengan nilai t hitung dari variabel luas lahan pekarang sebesar 0,116 sehingga variabel luas lahan pekarangan tidak berpengaruh nyata terhadap persepsi KWT pada kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan.

Page 243: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

225

Tabel 5. Sebaran Luas Lahan Pekarangan milik petani menurut kategori terhadap teknologi Pemanfaatan Lahan Pekarangan

Luas Pekarangan (m2) Jumlah (orang) Persentase (%)

2 – 26 16 54 27 – 49 10 33 52 – 76 4 13

Total 30 100

Sumber : Data Primer, 2015

Sebaran dari segi luas lahan pekarangan terlihat bahwa 54 % kwt memiliki lahan pekarangan

hanya 2 – 26 m2, hal ini akan berpengaruh terhadap rendahnya produktifitas lahan pekarangan dalam

penerapan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan karena memiliki luas lahan pekarangan yang sempit. Jika dilihat luas lahan pekarangan responden masih sedikit/sempit, namun lahan pekarangan yang sempit bukanlah menjadi suatu hambatan dalam pemanfataan pekarangan. Secara teknis pekarangan yang sempit tidak memungkinkan untuk menanam secara langsung ketanah tanpa menggunakan media, karena produksi yang diperoleh akan sedikit. Kondisi ini dapat diupayakan dengan cara menggunakan media yang ada di sekitar lingkungan seperti pot, polybag, talang, botol plastik, dan bambu.

KESIMPULAN

1. Persepsi anggota kelompok wanita tani terhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto lebih dari 50% anggota kelompok wanita tani mempunyai persepsi yang tinggi yaitu sebesar 73%.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi anggota kelompok wanita tani terhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto yakni tingkat pendidikan dan umur anggota KWT.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kegiatan penelitian ini didukung DIPA Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat TA 2015. Terima kasih kepada Bapak Anwar Fadhli yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anggoro, N. 2004. Respon Petani Terhadap Program Konservasi Tanah di Kabupaten Klaten. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada.

Ariani, M. 2010. Analisis konsumsi pangan tingkat masyarakat mendukung pencapaian diversifikasi pangan. Gizi Indon 33(1):20-28

[Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2012. Inovasi Terkini

Budidaya Sayuran. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Bappeda dan BPS Sumbar, 2011. Sumatera Barat dalam angka tahun 2011. Bappeda dan Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Barat. Padang

Gulam PM. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Pemukim di Bantaran Sungai Ciliwung di DKI Jakarta [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Irawan, 2013. Pertanian Ramah Lingkungan : Indikator dan Cara Pengukuran Aspek-Eknomi. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta

Kementerian Pertanian. 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Jakarta

Latifah EK, Hartoyo, Guhardjo S. 2010. Persepsi, Sikap, dan Strategi Koping Keluarga Miskin Terkait Program Konversi Minyak Tanah Ke LPG di Kota Bogor. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, 3 (2) : 122-132.

Mardiharini M. 2011. Model Kawasan Rumah Pangan Lestari dan pengembangannya ke Seluruh Provinsi di Indonesia. Warta Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, 33 (6) : 3-5. http://pustaka.litbang.deptan.go.id [diunduh 1 Februari 2014.]

Page 244: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

226

Mardikanto, T. 2010. Metoda Penelitian dan Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat. Program Studi Penyuluhan Pembangunan/Pemberdayaan Masyarakat Program Pascasarjana UNS. Surakarta.

Mulyandari RSH. 2011. Perilaku Petani Sayuran dalam Memanfaatkan Teknologi

Informasi. Jurnal Perpustakaan Pertanian, 20(1) : 22-34

Rakhmat J. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung (ID): Remaja Rosdakarya.

Rogers. EM. 2003. Diffusion of Innovations. 5th ed. New York (US): Free Pres.

Simanjuntak M, Puspitawati H, Djamaludin MD. 2010. Karakteristik Demografi, Sosial, dan Ekonomi Keluarga Penerima Program Keluarga Harapan (PKH). Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, 3 (2) : 101-113.

Page 245: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

227

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS SAPI BALI DENGAN PEMBERIAN PAKAN TAMBAHAN KONSENTRAT DAN PROBIOTIK BIOPLUS PADA LAHAN SUB OPTIMAL

DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

INCREASING PRODUCTIVITY WITH THE PROVISION OF BALI CATTLE FEED SUPPLEMENT USING CONCENTRATE AND PROBIOTIC BIOPLUS ON SUB-OPTIMAL

LAND IN THE PROVINCE OF RIAU ISLANDS

Salfina N Ahmad, Apriyani NS, Melli Fitriani dan Zulfawilman

Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau [email protected]

ABSTRAK

Inovasi teknologi terhadap sapi potong di Provinvi Kepulauan Riau sangat dibutuhkan guna meningkatkan produktivitas. Sebelum dilakukan penelitian, pertambahan bobot badan sapi hanya sekitar 0,1 – 0,2 kg/hari/ekor dan kematian anak >20%. Secara performan, bulu sapi terlihat kusam dan tidak mengkilat. Penelitian bertujuan untuk meningkatkan pertambahan bobot badan sapi dan mengurangi angka kematian pedet. Penelitian dilaksanakan di Desa Malang Rapat dan Bintan Buyu, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Materi yang digunakan adalah Sapi Bali sebanyak 18 ekor. Sapi dalam keadaan bunting dengan umur kebuntingan 6–8 bulan. P0 = Sapi diberi pakan rumput lapangan + bioplus saja. P1 = P0 + pelepah sawit+dedak+ampas tahu+lamtoro.P2 = P0 + limbah sayuran+dedak +ampas tahu +lamtoro. Selanjutnya semua sapi perlakuan, diberi obat cacing Caprintel Bolus® dengan dosis 2 bolus/ekor. Sebelum perlakuan sapi disuntik dengan vitamin B Compleks dan antibiotik dengan dosis masing-masing sebanyak 5 cc. Pengukuran lingkar dada dilakukan sekali dalam sebulan. Hasil pengukuran kemudian dikonversikanmenggunakan metode Smith. Dari hasil pengkajian terlihat bahwa P0, P1 dan P2menunjukkan angka kematian sebesar 0%. Sedangkan pertambahan bobot badan sapi harian (PBBH) untuk masing – masing perlakuan P0, P1 dan P2 secara berurutan yakni 0,3 kg, 0,66 kg dan 0,59 kg/ekor/hari. Bobot lahir sapi P0, P1 dan P2 secara berurutan masing – masing 10,5 kg, 13 kg dan 12 kg.Secara performan anakan sapi P0 tidak begitu aktif dan agak lemah sedangkan perlakuan P1 dan P2 anakan sapi yang dilahirkan lebih lincah dan kuat.

Kata kunci : Produktivitas, Sapi Bali, Sub Optimal, Sawit dan Limbah Sayuran, Bioplus

ABSTRACT

Innovations and technology to beef cattle in the Riau Islands is urgently needed to increase productivity. Before research, body weight gain of cattle is only about 0.1 to 0.2 kg / day / head and the calves mortality > 20%. In performance of cow fur looks dull and not shiny.The research aims to improve body weight gain and reduced veal calf mortality. The research was conducted in the village of Malang Rapat and Bintan Buyu, Bintan Regency, Riau Islands Province. The material used is 18 heads bali cattle. Cows in a state of gestation pregnant with 6-8 month. P0 = cows fed grass field + bioplus only. P1 = P0 + palm midrib + bran + tofu + lamtoro. P2 = P0 + vegetable wastes + bran + tofu + lamtoro. Furthermore, all the cows treatment, given worm medicine Caprintel Bolus® a dose of 2 bolus / head. Before treating cows injected with vitamin B Complex and antibiotic doses as 5cc. Measurements bust done once a month. The measurement results is then converted using the method of Smith. From the results of the assessment shows that the P0, P1 and P2 showed a mortality rate of 0%. While the daily cattle weight gain for each treatment P0, P1 and P2 respectively are 0.3 kg, 0.66 kg and 0.59 kg / head / day. Birth weight cattle P0, P1 and P2 in sequence are 10.5 kg, 13 kg and 12 kg. The performance of a calf P0 not very active and look weaker while P1 and P2 treatment of a calf that was born more agile and powerful.

Keywords : Productivity, Bali Cattle, Sub-Optimal, and Waste Vegetable Oil, Bioplus

Page 246: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

228

PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian khususnya bidang peternakan di Provinsi Kepulauan Riau masih rendah.Hal ini dikarenakan pertambahan populasi sapi, kambing dan ayam masih rendah ditambah dengan manajemen pemeliharaan yang masih tradisional. Di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau masih banyak petani yang menggunakan cara ini. Maka dari itu diperlukan adanya inovasi teknologi untuk mengubah sistem manajemen pemeliharaan secara tradisional ke sistem pemeliharaan yang intensif.

Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) merupakan provinsi baru hasil pemekaran dari Provinsi Riau. Secara geografis Provinsi Kepulauan Riau berbatasan dengan negara tetangga yaitu Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Luas wilayah Provinsi Kepulauan Riau yakni 252.601 km

2 dimana 95%

bagian wilayahnya merupakan lautan dan hanya 5% berupa daratan. Walaupun demikian masih ada potensi untuk pengembangan pertanian khususnya bidang peternakan. Menurut hasil kajian analisa kebutuhan dan ketersediaan pakan yang dilaporkan oleh Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan Provinsi Kepri (2007), ketersediaan pakan ruminansia dari padang rumput saja di provinsi ini dapat menampung 25 kali lipat dari jumlah populasi ternak ruminansia yang ada. Jumlah tersebut belum termasuk sumber pakan yang berasal dari limbah pertanian berupa hasil limbah tanaman jagung manis serta agroindustri lainnya. Menurut data dari BPS Kepri (2011), produksi pertanian palawija dalam hal ini jagung manis sekitar 924 ton dan kacang tanah 143 ton. Limbah dari tanaman jagung manis dan kacang tanah ini nantinya dapat digunakan sebagai pakan ternak.

Jumlah populasi sapi potong di Provinsi Kepulauan Riau adalah 17.378 ekor (BPS Kepri, 2011). Masih terdapat kesenjangan antara jumlah permintaan daging sapi dibandingkan dengan ketersediaanya. Hal ini yang mengakibatkan harga daging mahal. Rata-rata permintaan dan konsumsi daging sapi di Provinsi Kepulauan Riau meningkat sekitar 9,31% per tahun dimana sebagian besar disuplai dari impor karena daerah tidak dapat memenuhi permintaan tersebut. Rendahnya produktivitas ternak sapi di tingkat petani merupakan salah satu faktor penyebab ketidakmampuan daerah untuk memenuhi permintaan daging sapi. Produktivitas ternak sapi yang tinggi berhubungan dengan ketersediaan pakan yang mencukupi. Hal ini terlihat sebelum adanya penelitian, sapi terlihat kurus dan nafsu makannya berkurang sehingga dengan pemberian pakan standard 10% dari bobot badannya pun masih terdapat sisa.

Di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau, penggunaan limbah perkebunan kelapa sawit dan limbah sayuran sebagai pakan ternak belum pernah dilakukan. Menurut Suyasa dkk, (1999) menyatakan bahwa sapi Bali mempunyai kelemahan yaitu pertumbuhan yang lambat dengan culving interval dengan jarak yang panjang sehingga pertumbuhan populasi terhambat. Diharapkan dengan adanya pemberian pakan tambahan ini nantinya memungkinkan jarak beranak dapat diperpendek.

Kelapa sawit merupakan komoditi perkebunan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Tanaman ini menyumbang 27% dari kebutuhan minyak nabati dunia yang berasal dari buah. Luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kepulauan Riau tercatat sebesar 2.679 ha (BPS Kepri, 2011). Dalam pengolahan kelapa sawit hingga menjadi minyak dihasilkan limbah perkebunan yang dapat digunakan sebagai pakan ternak. Pelepah sawit pun dapat digunakan sebagai pakan tambahan untuk ternak.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sapi potong, meliputi meningkatan pertambahan bobot badan harian, meningkatan bobot badan lahir, meningkatkan birahi kembali dan mengurangi angka kematian.

METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan pada lahan sub optimal, sebelum dilakukan penelitian ternak sapi hanya diberi makan rumput lapangan sedangkan lahan sekitarnya banyak bahan lokal yang dapat digunakan sebagai pakan ternak. Penelitian Integrasi Sapi Sawit melibatkan Kelompok Tani Tunas Jaya yang terletak di Desa Malang Rapat dan Kelompok Tani Tunas Muda di Desa Bintan Buyu, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Agustus 2016.

Sapi yang digunakan dalam pengkajian merupakan sapi bali sebanyak 18 ekor, dimana sapi tersebut dalam keadaan bunting dengan usia kebuntingan 6–7 bulan, dengan perlakuan seperti yang terlihat pada Tabel 1. Sebelum perlakuan, bobot badan sapi diukur dengan cara mengukur lingkar dada (LD) dan panjang badan (PB) kemudian dihitung dengan cara sebagai berikut :

Page 247: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

229

BB = (LD)²x(PB)

104

Keterangan :

BB = Bobot Badan

LD = Lingkar dada

PB = Panjang Badan

Pengukuran bobot badan pertama ini bertujuan untuk mengetahui bobot awal sapi sebelum penelitian. Selanjutnya pengukuran bobot badan sapi dilakukan setiap bulan sekali. Kisaran bobot badan awal sapi yang digunakan dalam pengkajian ini antara 278,850 kg – 372,400 kg. Sedangkan kisaran bobot akhirnya yakni antara 308,850 kg – 451,600 kg.

Limbah sawit yang digunakan yakni pelepah sawit dalam keadaan segar. Pemberian pelepah sawit terhadap ternak dengan cara pelepah sawit dicacah dengan mesin pencacah kemudian dicampur dedak. Bioplus yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Balitnak, Ciawi, Bogor. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan diuji secara statistik yakni uji-t. Sapi tersebut diberikan pakan tambahan berupa dedak, ampas tahu, limbah sayuran, dan pelepah sawit serta probiotik Bioplus seperti terlihat pada Tabel 1 dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan.

Tabel 1. Perlakuan pakan tambahan dan probiotik bioplus pada sapi bali di kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau

No Uraian Perlakuan

Kontrol (P0) Perlakuan 1 (P1) Perlakuan 2 (P2)

1 Dedak (2kg/ekor/hari) - √ √ 2 Limbah sayur 10% - √ - 3 Pelepah daun sawit (30%/ekor/hari) - - √ 4 Bioplus (1 dosis = 0,5 kg diberikan

sebelum pengkajian dan diberikan setelah melahirkan)

√ √ √

5 Obat cacing (2 bolus/ekor) √ √ √ 6 Tetracycline (Dosis 5 cc/ekor) √ √ √ 7 Ampas tahu - √ √ 8 Rumput Lapang √ √ √

Sumber : Data primer 2016

Pelepah sawit segar tersebut dicacah dengan mesin pencacah kemudian dicampur dengan

dedak, rumput lapangan serta kemudian diberikan kepada sapi. Pemberian Bioplus dengan cara dicekokan ke dalam mulut sapi. Bioplus diberikan pada waktu awal pengkajian dan diberikan 2 bulan setelah sapi melahirkan. Sedangkan ampas tahu diberikan pada pagi hari. Sebelum penelitian, dilakukan pemeriksaan telur cacing dengan mengambil feses sapi yang kemudian diperiksa di Laboratorium Kesehatan Hewan Provinsi Type B. Sebelumpengkajian dilakukan sapi diberi vitamin B Komplex dan Antibiotik. Parameter yang diukur adalah bobot badan sapi pada awal dan akhir penelitian, bobot anak lahir, birahi kembali dan kematian pedet. Data yang diperoleh kemudian dianalisa secara statistik dengan Rancangan Acak kelompok kemudian diuji t.

Page 248: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

230

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian dapat terlihat pada Tabel 2.Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa perlakuan P0, P1 dan P2 memberikan penambahan bobot badan masing – masing sebesar 0,3 kg, 0,66 kg dan 0,59 kg per ekor per hari.Adanya pemberian pakan tambahan tersebut secara statistik tidak berbeda nyata.

Tabel 2. Rata-rata produktivitas sapi bali yang dipelihara selama 4 bulan di kabupaten bintan

No Uraian Perlakuan

P0 P1 P2

1 Rata-rata Bobot Badan awal 309,617 kg 328,165 kg 340,191 kg 2 Rata-rata Bobot Badan akhir 343,607kg 427,242 kg 401,008 kg 3 Petambahan bobot badan harian 0,30

akg/ekor/hari 0,66

akg/ekor/hari 0,59

a kg/ekor/hari

4 Rata-rata bobot lahir anak 10,5 kg/ekor 13 kg/ekor 10,5 kg’/ekor 5 Rata-rata kematian pedet 16,55% 0% 0% 6. Birahi kembali 3 ekor 5 ekor 6 ekor

Angka pada lajur diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% Sumber : Salfina, dkk (2016)

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa peningkatan bobot badan harian (PBBH) sapi paling

tinggi adalah P1 yaitu 0,66 kg/ekor/hari dan paling rendah P0 yaitu 0,3 kg/ekor/hari. Akan tetapi secara statistik antara P0, P1 dan P2 tidak berbeda nyata. Hasil tersebut dapat menunjukkan bahwa pemberian limbah pelepah sawit, limbah sayuran, maupun dedak dan ampas tahu memiliki kemampuan untuk meningkatkan bobot badan sapi. Hasil yang dicapai saat ini lebih tinggi daripada yang dicapai Suyasa dkk., (1999) dan Widyazid dkk., (1999) yang masing – masing hanya dapat menambah bobot badan harian sekitar 0,60 kg/ekor/hari dan 0,62 kg/ekor/hari. Nurhayu dkk.,(2015) menyatakan bahwa pemberian pakan tambahan berupa pelepah sawit dapat meningkatkan bobot badan sapi sebesar 0,27 kg/ekor/hari sedangkan menurut hasil penelitian Thony (2007), penambahan pelepah sawit pada sapi peranakan Brahman dapat meningkatkan penambahan bobot badan harian sebesar 0,78 kg/hari/ekor.

Berdasarkan Tabel 2 diatas terlihat bahwa P0 diberi Bioplus dapat meningkatkan bobot badan sekitar 0,3 kg/ekor/hari. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Batubara dkk., (1999) dimana dalam penelitiannya adanya pemberian pakan tambahan pelepah sawit pada sapi bali mampu meningkatklan bobot badan harian sekitar 0,51 kg/ekor/hari. Pemberian pakan tambahan berupa limbah sayuran, dedak dan probiotik mampu meningkatkan rata-rata pertambahan bobot badan harian sapi sekitar 0,59 kg/ekor/hari. Hasil penelitian ini sedikit lebih rendah dibanding hasil penelitian Ketut dkk., (2016) yaitu dengan pemberian limbah sayuran ditambah konsentrat dedak dan probiotik Bio-Cass mampu meningkatkan pertambahan bobot badan sapi sekitar 0,62 kg/ekor/hari.

Probiotik bioplus adalah sumber vitamin, enzim, dan nutrien lain juga berperan dalam peningkatan populasi mikroba rumen. Selain itu, probiotik juga dapat memproduksi enzim pencerna serat kasar. Dengan meningkatnya populasi mikroba rumen (bakteri) dapat menyebabkan peningkatan penggunaan amonia, kecernaan serat, dan sintesis protein mikroba. Peningkatan kecepatan kecernaan serat dan pembentukan protein mikroba akan menyebabkan laju aliran pakan ke usus halus lebih cepat, sehingga dapat meningkatkan jumlah pakan yang dikonsumsi dan pasokan substrat ke usus halus, yang akhirnya dapat meningkatkan laju pertumbuhan (pertambahan bobot badan) ternak. Hasil penelitian Winugroho et.al,. (1995) terlihat denganadanya pemberian dedak/kosentrat kepada induk sapi sebanyak 0,5% dan 1% dari bobot badan ternak menghasilkan berat badan harian masing–masingsebesar 0,38 dan 0,51 kg/ekor/hari.

Meningkatnya PBBH sapi pada P1 dan P2 disebabkan karena adanya penambahan probiotik Bio-Cass dan Bioplus, yang di dalamnya terkandung mikroba yang dapat membantu memecahkan karbohidrat kompleks menjadi senyawa–senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna oleh saluran pencernaan sapi (Ngadiyono dkk, 2001). Hasil penelitian menjelaskan bahwa pemberian pakan tambahan dedak ditambah limbah sayuran dan bioplus mampu meningkatkan pertambahan bobot badan sekitar 0,59 kg/ekor/hari. Ketut dkk., (2003) menambahkan bahwa secara umum penggunaan limbah sayuran memberikan respon pertumbuhan sapi yang cukup baik dibandingkan penggunaan rumput–rumputan sebagai hijauan, berdasarkan pengalaman petani di Baturiti dan sekitarnya penggunaan jenis rumput–rumputan sebagai pakan hijauan memberikan pertambahan bobot badan sekitar 300 – 400 g/ekor/hari sedangkan pemberian hijauan yang sebagian besar berupa limbah sayuran memberikan pertambahan bobot badan 400 g/ekor/hari. Hal ini menunjukkan bahwa limbah

Page 249: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

231

sayuran bisa dijadikan sumber Hijauan Makanan Ternak(HMT) alternatif terutama dimusim kemarau sebagai pengganti rumput.

Flushing pada penelitian ini adalah pemberian pakan tambahan dedak 2 kg/ekor/hari, pelepah sawit, ampas tahu dan limbah sayuran diberikan pada induk sapi yang sedang bunting dengan umur kebuntingan 6 – 7 bulan. Umur kebuntingan 7 bulan merupakan umur kebuntingan yang sensitif terhadap terjadinya perubahan pada janin. Penambahan pakan bernutrisi ini diharapkan dapat diterima oleh janin dalam kandungan sehingga berdampak positif terhadap induk dan janin sapi. Menurut Djagra dan Budiarta (1979) fetus pada sapi bali akan berkembang pesat setelah memasuki umur kebuntingan 30 minggu kondisi induk akan sangat mempengaruhi fetus yang dikandungnya.

Berdasarkan Tabel 2 diatas terlihat bahwa rata-rata bobot anak yang dilahirkan pada induk perlakuan P1dan P2 masing – masing adalah 13 kg dan 12 kg per ekor sedangkan bobot anak yang dilahirkan oleh induk perlakuan P0 sebesar 10,5 kg/ekor. Hasil penelitian ini sesuai dengan Djagra dan Budiarta (1979) bahwa sapi yang dipelihara didaerah kering yang hijauannya terbatas seperti NTT dan NTB mempunyai rataan bobot lahir pedet sekitar 12 – 13 kg/ekor. Hasil penelitian ini didukung Pane (1990), dalam penelitian yang dilakukannya menghasilkan bobot lahir rata – rata pada sapi bali 12 dan 13 kg/ekor. Sebagai tambahan bahwa keterbatasan hijauan yang tersedia akan mempengaruhi pertumbuhan fetus terutama pada masa – masa kritis kebuntingan (umur kebuntingan 30 minggu atau 7 bulan) karena pada fase ini gizi yang dikonsumsi sepenuhnya digunakan untuk pertumbuhan fetus dan induk. Pane (1990) dan Winugroho et.al. (1995) mengatakan bahwa produktivitas indukan sapi bali pada kondisi pedesaan dapat ditingkatkan dengan penambahan dedak padi dan bioplus. Di mana dengan adanya penambahan tersebut dapat menambah bobot badan dan produksi susunya. Hal ini akan berpengaruh terhadap perkembangan anakan sapi (pedet) sehingga diperoleh pertumbuhan yang optimal. Pemberian Bioplus pada ternak sapi akan membantu memecah serat kasar, sehingga pakan yang dimakan dapat diserap lebih sempurna dan berdampak terhadap pertumbuhannya.

Berdasarkan Tabel 2 diatas sapi yang bunting kembali pada perlakuan P0, P1 dan P2 masing masing sebanyak 3 (50%), 5 (80,33%) dan 6 (100%) ekor. Pada perlakuan P1 dan P2 sapi mengalami birahi kembali birahi rata – rata 2 bulan setelah melahirkan sedangkan pada perlakuan P0 lebih dari 2 bulan. Menurut penelitian Suyasa dkk.(1999) dengan pemberian pakan tambahan dapat meningkatkan kesehatan induk dan mempercepat rekondisi organ – organ reproduksi sehingga mempercepat terjadinya birahi kembali. Suyasa dkk., (1999) menyatakan juga bahwa pakan tambahan yang diberikan pada induk memberikan nutrisi yang mampu memenuhi kebutuhan tubuh untuk mempercepat pemulihan organ-organ setelah melahirkan.

Kematian anak sapi (pedet) yang diberi perlakuan P1 dan P2 sebanyak 0% sedangkan pada perlakuan kontrol (P0) kematian anak sapi yaitu 1 ekor (16,66%). Hal ini didukung oleh penelitian Winugrohoet.al.,(1995) yang menyatakan bahwa memberikan pakan tambahan dedak padi dan bioplus pada induk sapi dapat menambah bobot badan dan produksi susunya, yang akan mempengaruhi terhadap perkembangan pedet sehingga diperoleh pertumbuhan yang optimal.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pemberian pakan tambahan berupa dedak, ampas tahu, limbah sayuran, limbah pelepah sawit dan bioplus dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian sekitar 0,3 kg, 0,59 kg dan 0,66 kg.

2. Pemberian pakan tambahan tersebut juga dapat menurunkan angka kematian pada anakan sapi dan meningkatkan bobot lahir anak sebesar 10,5 kg, 12 kg dan 13 kg.

Saran

Beberapa hasil kajian yang ditampilkan belum sepenuhnya memuaskan semua pihak, maka dari itu akan dilakukan kajian – kajian selanjutnya untuk memperoleh data yang lebih lengkap.

DAFTAR PUSTAKA

BPS, 2011. Kepulauan Riau Dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik. Tanjung Pinang.

Batubara, A., I. Kasep, A.A. Kisma A., Irfan H Simanjuntak dan Harahap.1999. Kajian integrasi penggemukan ternak sapi potong di lahan perkebunan sawit. Laporan Hasil Kegiatan BPTP Riau Tahun 2000.

Page 250: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

232

Djagra, dan GK. Budiarta. 1979. Faktor-faktor yang berpengaruh pada berat lahir dan berat sapih sapi bali. Prosiding Seminar Keahlian Dibidang Peternakan Sapi Bali. Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Udayana. Denpasar.

Harmadji, S.G.N. 1990. Prospek sapi bali dalam kaitannya dengan konsolidasi peternakan di Indonesia. Kumpulan Reprint Publikasi Lab. Reproduksi : 1986 – 1990, hal ; 48 – 65. Fapet UNUD. Denpasar.

Ketut, K. I., Guntoro, S., I. B. Aribawa. 2003. Integrasi usaha tani sapi potong dengan sayuran di lahan kering dataran tinggi beriklim basah. Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Halaman 496 – 501. Bogor.

Ngadiyono, N., Hari Hartadi dan M. Winugroho., Deddy Djauhari S., Salfina, NA. 2000. Pengaruh pemberian bioplus terhadap kinerja sapi madura di kalimantan tengah. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6(2). Halaman : 69-75.

Nurhayu, A., A. B. L Ishak., dan Andi E. 2014. Pelepah dan daun sawit sebagai pakan substitusi hijauan pada ternak sapi potong di kabupaten luwu timur. Prosiding Seminar Nasional. Optimalisasi Sumberdaya Lokal Pada Peternakan Rakyat Berbasis Teknologi. Hal 108-115. UNHAS, Makasar.

Pane, I. 1990. Upaya peningkatan mutu genetik sapi bali di P3 Bali. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali. Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Denpasar.

Suyasa, S. Guntoro, Parwati, Suprapto, dan Widiyazid. S. 1999. Pemanfaatan probiotik dalam pengembangan sapi potong berwawasan agribisnis di bali. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Volume 2. No.1. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Tony, FKP. 2007. Pengaruh penggunaan pelepah sawit dalam pakan berbasis limbah perkebunan terhadap performan sapi peranakan brahman lepas sapih. USU Press, Medan.

Widiyazid S., I Kt, Parwati, IA Pt., Suyasa, Nym., Suprio G., Londra Md., Tri Agastia, Km Adnyana, AA Gede. 1999. Laporan akhir usaha pertanian sapi potong berbasis ekoregional lahan kering. IP2TP. Denpasar. Badan Litbang Pertanian.

Winugroho, M. Y., Widiawati dan A. Thalib. 1995. Peningkatan produktivitas sapi potong menunjang pengadaan daging nasional. Prosiding Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 7 – 8 November 1995. Bogor.

Yasa, I. M. R. 1997.Pengaruh perbedaan sistem pemeliharaan dan umur sapi bali terhadap prevalensi infeksi cacing hati. Skripsi Fakultas Kedokteran Hewan, Iniversitas Udayana, Denpasar.

Page 251: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

233

KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF SAPI KAUR BETINA DIPROVINSI BENGKULU

QUALITATIVE NATURE CHARACTERISTICS KAUR COW FEMALE IN PROVINCE BENGKULU

Erpan Ramon, Zul Efendi dan Wahyuni Amelia Wulandari

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu, Jl. Irian KM 6,5 Bengkulu38119. Telp. (0736) 23030, faximile (0736) 345568

Email: [email protected]

ABSTRAK

Sapi Kaur merupakan salah satu jenis sapi lokal yang dimiliki Provinsi Bengkulu, terdapat diKabupaten Kaur, seperti halnya sapi lokal lain, sapi ini dapat dikembangkan untuk perbaikan mutu genetik sapi lokal Indonesia. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mendapatkan informasi akurat mengenai sifat-sifat kualitatif sapi Kaur, sapi kaur diharapkan menjadi plasma nutfah lokal yang berasal dari Provinsi Bengkulu. Data diskriptif di peroleh melalui survey dan 46 ekor sapi kaur betina yang dikumpulkan data kualitatifnya dan disajikan dalam bentuk tabel agar lebih mudah dalam pembahasan dan muda dipahami.Hasil penelitian menunjukan bahwa Sifatkualitatif sapi kaur betina memiliki warna moncong yang dominan adalah warna krim hitam yaitu 41,30% diikuti oleh warna hitam dan putih, warna hidung sangat dominan dengan warna hitam yaitu 91,3%, kelopak mata berwarna hitam diatas 93,48% sedangkan dahi warna krim. Tubuh bagian tengah berwarna terang, profil punggung berbentuk lurus 58,7 %, miring kedepan 36,96 % dan melengkung 4,35 %, sedang kan vulva sapi kaur betina mempunyai warna gelap.

Kata Kunci : Sapi kaur, Karakteristik, kualitatif, Provinsi Bengkulu.

ABSTRACT

Cows Kaur is one of the local cattle owned by the Province of Bengkulu, as well as other local cattle that can be developed to improve the genetic quality of local cattle Indonesia. The purpose of this study is to obtain accurate information about the properties of qualitative Kaur cow, the cow is expected to be local genetic resources originating from the province of Bengkulu. Descriptive data obtained through the survey and 46 cows kaur female qualitative data is collected and presented in tabular form to make it easier in the discussion and the young understood. The results showed that the qualitative nature of cattle kaur females have muzzle dominant color is the color of cream, namely 41.30%, followed by black and white, the color of the nose is very dominant in black that is 91.3%, black eyelid above 93.48 % while the forehead color cream. Middle of the body a light-colored, straight-shaped back profile 58.7%, 36.96% and tilted forward curved 4.35%, while the female vulva kaur cows have a dark color.

Keywords: Cow kaur, characteristics, qualitative, Province Bengkulu.

PENDAHULUAN

Di Provinsi Bengkulu terdapat sapi lokal yang lebih di kenal dengan sapi Kaur karena sapi tersebut terdapat hanya pada Kabupaten Kaur dan sedikit sekali di Kabupaten Bengkulu Selatan,sapi tersebut merupakan sumberdaya genetik (plasma nutfah) yang terdapat diProvinsi Bengkulu.Seperti halnya sapi lokal lain, sapi tersebut dapat dikembangkan untuk perbaikan mutu genetik sapi lokal Indonesia. Statistik Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bengkulu (2013). Mencatat jumlah populasi sapi di Kabupaten Kaurdari tahun 2009 sampai dengan 2013 terus bertambah rata-rata ± 337 ekor/tahun,menurut keterangan tokoh masyarakat dan pemerintah daerah (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kaur) sapi kaur berkembang biak sejak lama, sampai saat ini sapi kaur tersebut sudah lebih dari 5 generasi karena sapi tersebut sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Menurut Noor (2008). Sapi lokal adalah sapi yang terbaik untuk lokal setempat karena sapi tersebut mampu bertahan hidup berdasarkan seleksi alam selama bertahun-tahun. Ditjennak (2009). Menjelaskn juga bahwa sapi lokal adalah ternak hasil persilangan atau introduksi dari luar yang telah di kembangkan diIndonesia sampai dengan generasi ke lima atau lebih yang telah beradaptasi pada lingkungan dan atau manejemen setempat.

Upaya untuk mempertahankan keberadaan ternak lokal di suatu daerah perlu dilakukan, karena ternak-ternak tersebut telah beradaptasi dengan keadaan lingkungan setempat dengan baik, baik

Page 252: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

234

dengan makanan bernilai gizi rendah maupun penyakit didaerah teropis, Azmi, et al, 2007. dijelaskan juga oleh Agustar dan Jaswandi (2008). Mengemukakan bahwa jenis ternak sapi lokal Indonesia juga mempunyai potensi daya reproduksi yang tinggi.

Usaha mempertahankan eksistensi sapi kaur sebagai plasma nutfah indigenous, perlu di lakukan kegiatan penjaringan guna mendapatkan bibit yang berkualitas. Peraturan Mentan No 54/Permentan/OT.140/10/2006 menyebutkan bahwa untuk memilih ternak bibit perlu dilakukan uju performan berdasarkan sifat kualitatif dan kuantitatif meliputi pengamatan, pengukuran dan penimbangan.

Sapi Kaur merupakan kekayaan sumberdaya genetik ternak yang dimilki oleh Provinsi Bengkulu sehingga perlu dikarakterisasi dan ditetapkan sebagai plasma nutfah ternak sapi asli Indonesia yang terdapat di Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu.Karakterisasi merupakan langkah penting yang harus ditempuh apabila akan melakukan pengelolaan sumberdaya genetik secara baik (Chamdi, 2005). Karakterisaasi dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif (Noor, 2008; Abdullah, 2008; Sarbaini, 2004). ekspresi sifat ini ditentukan oleh banyak pasangan gen dan dipengaruhi oleh lingkungan, baik lnternal (umur dan seks) maupun eksternal (iklim, pakan, penyakit dan pengelolaan) (Martojo,1992; Warwick et al., 1995; Noor, 2008).

Sebagai gambaran awal sapi Kaur mempunyai morfologis yang khas, dimana sapi kaur betina mempunyai tanduk yang panjang dan cenderung melengkung ke depan menyerupai sabit dan tidak berpunuk. Sedangkan sapi jantan mempunyai tanduk lebih pendek dan. Selain itu sapi kaur jantan mempunyai punuk dengan ukuran yang kecil. Sapi jantan dan betina mempunyai glambir. Warna bulu sapi kaur dominan warna putih agak kekuningan, merah bata atau kombinasi warna hitam, putih, bercak hitam putih dan merah. Sapi jantan dewasa mempunyai bobot + 400 kg dan betina + 250 kg.

Sementara itu secara ekonomi, petemak harus mengupayakan peningkatan kesejahteraan. Karakterisasi morfologis sapi Kaur diKabupaten Kaur dilaksanakan sebagai bahan masukan untuk pelaksanaan pelestarian plasma nutfah secara lekat lahan (onfarm conservation) dan pembandingannya dengan karakterisasi yang dilakukan peneliti sebelumnya. Dibandingkan dengan sapi exotic, produktivitas sapi Kaur memang relatif lebih rendah terutama bila usaha temak dilaksanakan secara intensif dan komersial. Dilain pihak, sapi Kaur sudah beradaptasi baik dikabupaten Kaur dengan keterbatasan sumberdaya agroekosistem lingkungan, mempunyai materi genetik yang sangat potensial untuk tetap dipertahankan keragamannya dan sekaligus menyediakan materi genetik untuk menciptakan bangsa temak masa mendatang.

Penelitian mengenai karakterisasi sifat kualitatif ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai sifat-sifat kualitatif sapi Kaur yang di harapkan dapat dimanfaatkan sebagai flasma nutfah lokal yang berasal dari Provinsi Bengkulu, penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan program Open Nucleus Breeding Scheme (ONBS) yaitu program perbibitan melalui penjaringan sapi-sapi lokal potensial sebagai sumber bibit.

METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kaur pada dua kecamatanyang merupakan daerah sentra populasi sapi Kaur. Pengkajian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juli 2016. Data keadaan umum lokasi pengkajian di peroleh dari data Pemerintah Daerah, untuk mengetahui sejarah singkat tentang sapi kaur dilakukan diskusi dengan beberapa tokoh masyarakat pada beberapa kecamatan dikabupaten Kaur. Sebanyak 46 ekor sapi Kaur betina, ciri visualnya didokumentasikan, kemudian diamati polawarna tubuh secara keseluruhan, arah tanduk dan telinga, kelopak mata, profil tubuh bagian belakang. Data yang diperoleh selanjutnya ditabulasi dan dihitung Frekuensi fenotipnya kemudian menganalisis variasi sifat kualitatif. Frekuensi fenotip dihitung berdasarkan proporsi fenotip dengan rumus sebagai berikut (Johari et al., 2009):

Page 253: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

235

Σ Sifat A

Frekuensi fenotip sifat A= ------------------- x 100%

N

Keterangan: A = salah satu sifat kualitatif pada Sapi Kaur yang diamati N = total contoh Sapi Kaur yang diamati Perhitungan dari frekuensi fenotip kemudian disajikan dalam bentuk tabel untuk memudahkan dalam pembahasan.

Pengamatan karakterisasi morfologis sapi kaur yang diamati pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Kelam Tengah dan Kecamatan Kaur Selatan. Lokasiyang terpilih adalah desa Rigangan I dan desa Rigangan III kecamatan Kelam Tengah, dengan pola usaha pembibitan dan pengembangan. Desa Selasih Kecamatan Kaur Selatan pola usaha penggemukan dan dipelihara untuk tujuan sebagai sapi pekerja (Pedati). Karakteristik spesifik sapi Kaur didapatkan dengan pengamatan secara langsung dan menggali preferensi peternak atas keragaman sifat kualitatif yang didapatkan. Preferensi petugas lapangan dan peternak dijadikan sebagai bahan pertimbangan penilaian kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan umum lokasi pengkajian

Kabupaten Kaur memiliki lahan kering (Tegal/kebun, Ladang, dan padang penggembalaan) yang luas yakni sekitar 17.214 Ha (BPS Kabupaten Kaur 2015). Melihat keadaan lahan kering yang relatif luas, maka sangat potensial bagi ketersediaan lahan untuk usaha peternakan, dengan kata lain bahwa Kabupaten Kaur disamping merupakan lumbung pertanian juga merupakan lumbung ternak secara regional. Hal ini terlihat dampak positifnya, bahwa usaha pengembangan ternak sapi potong di masyarakat dapat berkembang dengan baik, disisi lain juga mampu memberikan peluang usaha dan pendapatan sebagian masyarakat pedesaan. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kaur mencatat, populasi sapi di Kabupaten Kaur setiap tahun terus bertambah. Hasil pendataan yang dilakukan lembaga itu menunjukkan, populasi sapi di Kabupaten Kaur tahun 2015 mencapai 10.100 ekor. Angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2011 yang hanya mencapai 6.024 ekor.

Oleh karena itu, wilayah pengamatan dapat dikelompokkan sebagai wilayah beragroekosistem lahan sawah dan wilayan beragroekosistem lahan pantai. Sebagian besar (84,9%) tataguna lahan wilayah pengamatan di Kabupaten Kaur berupa lahan tada hujan tegalan, sedangkan di wilayah Kabupaten Kaur sebagian besar (43,3%) berupa sawah tadah hujan dan sebagian lagi (25,8%) berupa lahan tegalan Wilayah pengamatan di Kabupaten Kaur relatif subur. Perbedaan kondisi agroekosistem temyata berpengaruh terhadap pola usaha ternak sapi Kaur.

Berdasarkan hasil diskusi dan pengamatan, peternak memelihara ternak sapi kaur dengan alasan lebih mudah/gampang dalam pemeliharaan, ternak sapi lokal ini merupakan harta warisan yang turun temurun keluarga, hal ini hampir sama dengan hasil penelitian yang di lakukan oleh Zuman., et al. (2012), menyatakan bahwa ada 3 hal peternak mempertahankan ternak sapi lokal, 1. Ekonomi, menambah pendapatan sebagai ternak kerja dan tabungan., 2. Teknis, jinak dan mudah di kendaliakan dan tahan terhadap penyakit dan 3. Sosial, warisan keluarga dan ikut keluarga. Petemak sapi di Kecamatan Kelam Tengah pada umumnya memelihara sapi Kaur dengan tujuan untuk menghasilkan anak (pola usaha pembibitan/pembesaran), sedangkan peternak di Kecamatan Kaur Selatan pada umumnya memelihara sapi Kaur dengan tujuan untuk penggemukan (pola usaha penggemukan) dan dipelihara untuk tujuan sebagai sapi pekerja (Pedati). Tanah yang relatif subur dan ketersediaan hijauan pakan, limbah pertanian juga berkontribusi sebagai sumberdaya pendukung usaha ternak sapi kaur.

Sejarah singkat Ternak Sapi kaur

Sapi lokal provinsi Bengkulu di Kabupaten Kaur sangat unik karena di pelihara oleh masyarakat setempat. Zuman et al, (2012), menjelaskan bahwa sapi kaur dipelihara secara ekstensif disepanjang daerah pantai kabupaten Kaur dalam bentuk ranch-ranch dan sedikit sekali di daerah dataran tinggi. Kelebihan sapi ini adalah dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, berdasarkan pengalaman dan informasi petugas setempat belum ada penyakit yang infeksius, angka fertilitas relatif tinggi, tahan terhadap pakan yang nilai nutrisinya rendah, keberadaan ternak sapi kaur di kabupaten kaur sudah diatas lima puluhan tahun dengan demikian merupakan sumberdaya genetik

Page 254: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

236

(plasma nutfah) yang dapat di kembangakan untuk perbaikan dan perbaikan mutu, tingkat penyebarannya terbatas hanya pada kabupaten kaur dan kabupaten Bengkulu Selatan saja.

Menurut tokoh masyarakat asal-usul sapi kaur berasal dari India dalam rangka penyebarluasan ternak sapi pada zaman kolonial Belanda diawali dengan masuknya pedagang-pedagang zaman belanda, melalui aceh umumnya para pejabat keresidenan belanda menggunakan sapi tersebut sebagai alat transportasi antar keresidenan melalui daerah palembang dan sampai kekabupaten kaur dan menyebar, sapi kaur tersebut berdomestifikasi cendrung ke warna putih, ciri yang mencolok pada sapi betina adalah tanduk mengarah ke depan, ketahanan tubuh sangat baik, ukuran tubuh. Oleh karena itu perlu upaya mempertahankan keragaman genetik melalui konservasi yang merupakan bentuk usaha yang rasional baik ditinjau dari aspek potensi, keilmuan maupun sosio-ekonomi. Pola perkawinan dan seleksi yang tidak terkontrol atau terlalu ketat dapat menyebabkan erosi materi genetik.

Pengamatan Linier Tubuh (Sifat kualitatif)

Profil ternak sapi kaur bertempramen jinak, muka lurus kedepan, bentuk telinga oval dan mengarah ke samping, sapi kaur betina tidak mempunyai punuk, keberadaan tanduk kecil 6,52 %, tidak bertanduk 2,17 % dan ada tanduk normal 91,30 %, warna tanduk coklat kehitam- hitaman 90 % dan coklat muda 10 %, tanduk mengarah ke atas depan 21,74 %, mengarah ke atas 56,52 %, mengarah kesamping dan mengarah ke bawah 2,17 %, mengarah ke bawah samping 4,35 % dan mengarah ke depan 15,22 %. Seperti yang terlihat pada gambar 1.

Keragaman lain yang terlihat di bagian kepala adalah munculnya tanduk yang beragam. Secara umum bentuk tanduk sapi Kaur ada 2 (dua) macam tanduk sapi Kaur yaitu bentuk lurus dan melengkung,sedangkan yang melengkung ada 4 (empat) tipe yaitu melengkung keatas, melengkung kedepan, melengkung kebelakang dan melengkung kebawah. Dari hasil karakterisasi yang dilakukan terdapat (95,23%) sapi Kaur yang memiliki tanduk dan (4,76%) yang tidak bertanduk di Kecamatan Kelam Tengah, sedangkan di Kecamatan Kaur Selatan terdapat (93,22%) sapi Kaur yang bertanduk dan (6,78%) sapi Kaur yang tidak bertanduk, berdasarkan hasil pengamatan tersebut bahwa hal tersebut mempunyai kemiripan dengan sapi katingan hasil penelitian Utomo et al (2012). Menimpulkan bahwa bentuk pertumbuhan tanduk sapi katingan didominasi mengarah melengkung kedepan.

Profil pantat berbentuk datar, ekor mempunyai warna coklat dan panjang termasuk sedang ukuran 68 – 85 cm. Sistem perkawinan ternak seringkali tidak terkontrol oleh peternak dan petugas hal ini di sebabkan oleh sistem pemeliharaan yang masih sistem konfensional, menurut keterangan petugas dan pengalaman peternak sapi kaur sangat toleran terhadap penyakit yang berbahaya dan kondisi kekeringan dan panas, hal ini hampir sama dengan pendapat Setiadi dan Dwiyanto (1997), menerangkan hasil penelitiannya bahwa sapi lokal lebih tahan terhadap keterbatasan sumberdaya lingkungan.

Telinga Kelopak mata

Hidung Dahi sapi kaur

Page 255: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

237

Bentuk tanduk betina Bentuk Muka sapi kaur

Gambar 1 : foto bagian sifat kualitatif sapi kaur betina Hasil pengamatan di jabarkan pada tabel 1 diketahui bahwa sapi kaur betina memiliki warna

moncong yang dominan adalah warna krim yaitu 41,30 % yang di ikuti oleh warna hitam dan putih, warna hidung sangat dominan dengan warna hitam yaitu diatas 90 %, hasil penelitian ini hampir mempunyai kemiripan dengan sapi madura yang dilakukan oleh Setiadi dan Dwiyanto (1997). Menerangkan bahwa sapi madura mempunyai moncong berwarna hitam. kelopak mata sapi kaur di dominasi juga oleh warna hitam diatas 90 % sedangkan dahi terrnak sapi kaur betina adalah didominasi oleh warna krim. Hasil pengamatan ini hampir mirip dengan hasil penelitian yang di lakukan oleh Utomo et al (2012), terhadap sapi katingan betina mempunyai pariasi warna yang relatif tinggi yaitu sembilan pola warna dengan dominasi warna gelap (coklat kemerahan). Hal ini menunjukan bahwa dari pola warna sapi kaur mempunyai kemiripan dengan sapi betina katingan.

Tabel 1. Keragaan warna pada bagian kepala

Moncong

Pola sifat Kualitatif Σ Total ekor Total (%)

Putih 8 17,39 Hitam 10 21,74 Kuning 6 13,04 Coklat 1 2,17 Krim 19 41,30 Abu-abu 2 4,35

46 100

warna Dahi

Pola sifat Kualitatif Σ Total ekor Total (%)

Putih 8 17,39 Kuning 18 39,13 Merah 3 6,52

Hitam 3 6,52

Krim 10 21,74

Coklat 4 8,70

46 100

Kepala

Pola sifat Kualitatif Σ Total ekor Total (%)

Putih 8 17,39

Hitam 5 10,87

Kuning 16 34,78 Merah 3 6,52

Krim 10 21,74

Coklat Kehitaman 3 6,52 Abu-abu 1 2,17

46 100

Berdasarkan Tabel 2 terlihat hasil penelitian pada sampel lokasi penelitian diperoleh bahwa warna badan bagian tengah didominasi oleh warna terang yaituwarna putih sebesar 28,26 % yang di ikuti oleh warna kuning keemasan, kuning bata dan warna krim masing-masing sebesar 23,91 % sedangkan warna lain adalah hitam, abu-abu, coklat dan merah tua. Hasil ini hampir sama dengan hasil penelitian Setiadi dan Dwiyanto (1997). Bahwa sapi madura yang didominasi oleh warna terang. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan, yaitu pada pola warna badan sapi kaur betina di dominasikan oleh warna terang disebabkan oleh daerah kabupaten kaur yang mempunyai suhu yang tinggi dengan hari hujan yang relatif lebih rendah dan ketersediaan sumberdaya

Page 256: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

238

pakan hijauan relatif terbatas. Hal ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Handiwirawan dan Subandrio (2004). Menyatakan bahwa sapi bali betina pada umumnya mempunyai pola warna terang (kuning kemerah-merahan) warna tersebut cocok untuk dijadikan induk betina mempunyai produktifitas reproduksi yang tinggi.

Pada sapi Katingan warna bulu lebih beragam jika dibandingkan dengan warna bulu pada kaur, sapi Bali, PO dan Madura. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis sapi lokal Indonesia lainnya menunjukkan berbagai variasi warna bulu. Namikawa et al. (1982) mengklasifikasi secara fenotip warna sapi-sapi di Indonesia menjadi enam jenis, yaitu hitam, coklat kegelapan, coklat kekuningan, putih keabuabuan, warna seperti Bali dan tipe Bali. Pola warna sapi Katingan ditemukan pada sapi lokal lainnya, seperti sapi Pesisir, sapi Aceh dan sapi Jawa. Sarbaini (2004) mengelompokkan sapi Pesisir ke dalam lima warna utama dan warna yang dominan adalah merah bata. Sedangkan warna bulu sapi aceh dikelompokkan oleh Abdullah (2008) ke dalam delapan pola warna bulu, dan yang dominan adalah warna merah bata dan cokelat muda. Sapi Jawa oleh Soeroso (2004) dikelompokkan ke dalam empat kelompok dengan warna bulu dominan adalah coklat kekuningan. Warna bulu sapi menurut Johari et al. (2009) dapat menunjukkan kemampuan dalam beradaptasi dengan lingkungan

Propil punggung berbentuk lurus 58,70 %, miring kedepan 36,96 % dan yang berpropil melengkung sangat sedikit yaitu sebesar 4,3 %, sedangkan Pada tabel 2 juga terlihat bahwa warna vulva sapi kaur betina 60,87 % berwarna hitam kecoklatan warna coklat 13,04 %, warna hitam oranye, putih totol masing-masing 4,35 %, dan kuning tua 2,17 %. Pengamatan warna vulva ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudrajad dan Adinata (2013) pada sapi PO. Pada umumnya peternak lebih menyukai vulva berwarna gelap (hitam), sebab peternak meyakini bahwa sapi betina dengan vulva warna hitam memiliki kinerja reproduksi yang lebih baik, seperti beranak lebih pendek, hal ini di perlukan dibuktikan denganpenelitian lebih lanjut.

Tabel 2. Keragaan warna pada bagian badan

warna Badan

Pola sifat Kualitatif Σ Total ekor Total (%)

Putih 13 28,26

Hitam 4 8,70

Kuning Keemasan 11 23,91

Merah Tua 2 4,35

Krim 11 23,91

Abu-abu 3 6,52

Coklat 2 4,35

46 100

Profil Punggung

Pola sifat Kualitatif Σ Total ekor Total (%)

Lurus 27 58,70

Miring ke depan 17 36,96

Melengkung 2 4,35

46 100

Warna Vulva

Pola sifat Kualitatif Total ekor Total (%)

Putih Totol 1 2,17

oranye Hitam 1 2,17

Kuning Tua 1 2,17

Hitam kecoklatan 43 93,59

46 100

Page 257: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

239

Potensi Sapi kaur

Sapi kaur mempunyai potensi untuk dibudidayakan secara intensif hal ini dikarenakan sapi tersebut memiliki keunggulan, yakni dapat beradaptasi dengan baik pada keadaan lingkungan yang kurang baik seperti daerah sepanjang pantai Kabupaten Kaur, sapi kaur juga dapat hidup pada daerah pemukiman penduduk pedesaan, sapi kaur juga dapat hidup pada wilayah yang mempunyai keterbatasan sumberdaya pakan, hal ini mempunyai kemiripan dengan keunggulan dari sapi madura yakni dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan panas dan kering serta keterbatasan sumberdaya pakan. Hal ini sama dengan hasil penelitian pada sapi bali yang dilakukan oleh Handiwirawan dan Subandrio (2004). Sebagai sapi asli Indonesia, sapi bali memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan yang kurang baik, namun demikian sapi bali ternyata memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap beberapa jenis penyakit.

Dari hasil pengkajian terlihat bahwa sapi kaur betina mempunyai kemampuan reproduksi yang baik hal ini terlihat dari warna gelap pada vulva (hitam kecoklatan), hal ini sama dengan hasil penelitian yang di lakukan olehSudrajad dan Adinata (2013), menyatakan bahwa peternak lebih menyukai sapi dengan vulva warna hitam, sebab mereka meyakini bahwa sapi dengan warna vulva hitam memiliki kinerja reproduksi yang lebih baik, seperti jarak beranak lebih pendek.

KESIMPULAN

Ternak sapi kaur berasal dari daerah india masuk melalui laut pada zaman hindia belanda, dipelihara oleh peternak sistem kompensional didaerah panas di sepanjang pantai kabupaten Kaur. Sapi kaur mempunyai ketahanan hidup pada daerah dengan keterbatasan sumberdaya agroekosistem lingkungan. Pola warna sapi kaur betina di dominasi oleh warna terang yaitu putih, kuning dan sedikikit sekali warna gelap, sapi kaur betina pada umumnya mempunyai tanduk mengarah keatas depan, warna vulva di dominasi oleh warna gelap (hitam kecoklatan) .

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih penulis sampaikan kepada bapak Dedi Sugandi (kepala BPTP Bengkulu) yang telah membantu memberikan saran pembinaan dan pendapatnya, Dari awal kegiatan pengkajian hingga sampai pada akhir penulisan makalah ini. Ucapan terimakasih juga kepada kami sampaikan kepada penanggungjawab kegiatan Sumber Daya Genetik (SDG)yang telahfasilitasi pelaksanaan kegiatan pengamatan ternak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M.A.N. 2008. Karakterisasi genetik sapi Aceh menggunakan analisis keragaman fenotipk, daerah Dloop DNA mitokondria dan DNA mikrosatelit. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Agustar A, dan Jaswandi. 2008. Melirik potensi sapi lokal dalam upaya mewujudkan kecukupan pangan dan pengembangan kawasan pembangunan peternakan. Dalam Prosiding Seminar Nasional Peternakan Revitalisasi Potensi Lokal. Padang (Indonesia) : BPTP Sumatra Barat. Hlm 27 – 31.

Azmi, Gunawan, Suharnas S. 2007.Study Karakteristik Morfologis dan genetik kerbau Benuang di Bengkulu. Dalam Bamualim AM, Talib C. Handi wirawan E. Herawati T. Penyunting Peningkatan Produktifitas ternak kerbau dalam mendukung swasembada daging sapi tahun 2010. Prosiding seminar dan Lokakarya Nasional Usaha ternak Kerbau Jambi, 22 – 23 Juni 2007. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. Hlm 107 – 112.

BPS Kabupaten Kaur. 2015 Kabupaten Kaur dalam Angka. BAPPEDA dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Kaur.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bengkulu. 2013. Statistik Peternakan Provinsi Bengkulu tahun 2013.

Dirjend Peternakan. 2009. Buku statistik Peternakan Tahun 2008. Departemen Pertanian. Jakarta.

DISTANAK Kabupaten Kaur, Laporan Tahunan, Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kaur 2015.

Page 258: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

240

Hartati, Sumadi dan Hartatik, T. 2009. Identifikasi karakteristik genetik sapi peranakan ongole dipeternakan rakyat. Buletin Peternakan ISSN 0126-4400 Volume. 33 Halaman 64 -73.

Handiwirawan. E. Dan Subandriyo. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi bali. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong Halaman 50 – 60

Johari, S., Sutopo dan A. Santi. 2009. Frekuensi fenotipik sifat-sifat kualitatif ayam Kedu dewasa. Makalah Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan, Semarang, 20 Mei 2009. Universitas Diponegoro, Semarang.

Namikawa, T., J. Amano and H. Martojo. 1982. Coat colour variation of Indonesia cattle. The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock (Part III). Tokyo: The Research Group of Overseas Scientific Survey. pp. 31-34.

Noor, R.R.2008. Genetika Ternak. Ed ke-4. PT. Penebar Swadaya. Depok.

Pundir, RK, Singh PK, Singh, KP, Dangi, PS. kjg2011. Factor Analysis of Bio Metric of Kankrej cow to explainbody confirmation. Asian – Aust J Anin Sci.24: 449 – 456.

Sarbaini. 2004. Kajian keragaman karakteristik eksternal dan DNA ikrosatelit sapi pesisir Sumatera Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Setiadi, B dan K, Dwiyanto. 1997. Karakterisasi Morfologis Sapi Madura. Jurnal Ilmu Peternakan dan Veteriner Vol. 2 No. 4 Halaman: 218 – 224.

Soeroso. 2004. Performans sapi Jawa berdasarkan sifat kuantitatif dan kualitatif. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sudrajad, P., Subiharta dan Adinata Y. 2013. Karakter Fenotipik Sapi Betina Peranakan Ongole Kebumen, Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Halaman 98 - 106.

Utomo. BN., Noor. RR., Sumantri. C., Supriatna.I., Gunardi. E.D. dan Tiesnamurti B. 2012. Keragaman Fenotifik Kualitatif Sapi Katingan. JITV. Volume 17 No 01 Halaman 1 – 12.

Zuman, H., Setianto, J. Dan Utama, P. 2012. Keputusan Peternak Mempertahankan Ternak Sapi Lokal Sebagai Usaha Ternak Di Kabupaten Kaur. Jurnal Penelitian Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Nuturalis. ISSN : 2302-6715 . Volume 1. Nomor 2, Halaman 135 -140.

Page 259: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

241

PEMBERDAYAAN KELOMPOK PETERNAK MELALUI USAHA PEMBUATAN PUPUK ORGANIK DI KABUPATEN SLEMAN

EMPOWERMENT OF FARMER GROUP THROUGH ORGANIC FERTILIZER BUSINESS DEVELOPMENT IN SLEMAN DISTRICT

Sri Budhi Lestari, Ari Widyastuti dan Endang Wisnu Wiranti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta [email protected]

ABSTRAK

Permasalahan yang sering muncul ditingkat peternak antara lain adalah keengganan petani dalam menggunakan limbah kandang sebagai pupuk untuk tanamanya. Beberapa alasan dikemukakan bahwa penggunaan limbah kandang menyulitkan karena membutuhkan banyak tenaga untuk mengangkut dari kandang ke lahan; penggunaan limbah kandang menimbulkan masalah baru yaitu tumbuhnya gulma secara cepat dan menimbulkan bau menyengat. Untuk mengatasi hal ini, perlu dilakukan kajian/penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberdayaan kelompok peternakbaik dari aspek ekonomi maupun dari aspek sosialkhususnya dalam usaha pembuatan pupuk organik padat. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2016 di kelompok peternak Andini Mulyo Desa Purwomartani Kecamatan Kalasan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, yaitu di lokasi kegiatan pendampingan pengembangan kawasan peternakan sapi potong Kabupaten Sleman.Penelitian dilakukan dengan metoda on-farm research. Parameter yang diamati meliputi efisiensi penggunaan input dalam pembuatan POP (Pupuk Organik Padat) dan kapasitas kelompok peternak dalam menjalin kerjasama pemasaran produk POP. Untuk mengetahui efisiensi penggunaan input dilakukan dengan analisis input-output pembuatan POP model petani peternak (model lama) dan model introduksi teknologi pembuatan POP (hemat tenaga) pada kegiatan pendampingan kawasan pengembangan sapi potong. Untuk mengetahui kapasitas kelompok dalam menjalin kerjasama pemasaran produk POP, dilakukan wawancara dan pengamatan selama pendampingan berlangsung. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa terdapat efisiensi input sebesar Rp 340.000,-perperiode produksi. Kelompok mampu menjalin kerjasama pemasaran POP dengan Gapoktan setempat dan Gapoktan se Kecamatan untuk mendukung kegiatan GP-PTT (Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu).

Kata kunci: Kelompok peternak, pupuk organik, pemberdayaan, Sleman.

ABSTRACT

One of problems which often arise among breeders is reluctance of farmers using cages waste as fertilizer for crops. Some reasons of it stated that the use of waste enclosure is difficult because it requires a lot of energy to transport cage to land; the use of waste enclosure creates new problems, namely the quick growth of weeds and a stench production. To overcome this, it is necessary to do research. This study aims to determine farmer group empowerment both from economic and social aspects, specifically in solid organic fertilizer production enterprise. The study is conducted in March 2016 for Andini Mulyo farmers group in Purwomartani Village, Kalasan Sub-District, Sleman Regency, Special Region of Yogyakarta. The location in which this study conduct is determined purposively, ie on-site assistance activities the development of beef cattle breeding in Sleman region. On-farm research method conducts this study. The observed parameters are the efficiency of POP (Solid Organic Fertilizer) making input use and the farmer group capacity in establishing a joint marketing of POP products. To determine of input use efficiency is employed by the POP making an input-output analysis of livestock farmers model (old model) and introduction models of POP making technology (power saving) on area assistance activities of beef cattle development. The group capacity determination in POP product marketing cooperation is conducted by interviews and observations during the mentoring. The results show that there is input efficiency of Rp 340,000,- per production period. That group capable tp establish POP marketing cooperation with local Gapoktan among Sub District to support GP-PTT (Movement Implementation of Integrated Crop Management) activity.

Keywords: group of farmers, organic fertilizer, empowerment, Sleman.

Page 260: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

242

PENDAHULUAN

Kegiatan usaha peternakan di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh peternakan rakyat yang merupakan peternak dengan skala usaha terbatas. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 6 tahun 2013 tentang pemberdayaan peternak, peternak sebagai salah satu tulang punggung dalam mencukupi kebutuhan pangan asal hewan, bahan baku industri dan jasa yang perlu diberdayakan melalui pemberian kemudahan dalam menjalankan usahanya agar mampu mandiri dan berkembang untuk meningkatkan kesejahteraannya (Ditjen PKH, 2016).

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya dalam mengembangkan rencana kerja masyarakat petani agar lebih maju dan mandiri. Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk membuat masyarakat menjadi mandiri, dalam arti memiliki potensi untuk mampu memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi, dan sanggup memenuhi kebutuhannya dengan tidak menggantungkan hidup mereka pada bantuan pihak luar, baik pemerintah maupun organisasi-organisasi non-pemerintah.Permasalahan mendasar yang dihadapi petani adalah kurangnya akses kepada sumber permodalan, pasar dan teknologi, serta organisasi tani yang masih lemah (Nadrayunia, 2012).

Terkait dengan pengelolaan limbah kandang sapi, permasalahan yang sering muncul ditingkat petani antara lain adalah keengganan petani dalam menggunakan limbah kandang sebagai pupuk untuk tanamannya. Beberapa alasan dikemukakan bahwa penggunaan limbah kandang menyulitkan karena membutuhkan banyak tenaga untuk mengangkut dari kandang ke lahan; penggunaan limbah kandang menimbulkan masalah baru yaitu tumbuhnya gulma secara cepat dan menimbulkan bau menyengat.Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan pengelolaan pada limbah kandang yaitu dengan menebarkan bahan decomposit yang dapat mempercepat penguraian limbah kandang. Teknologi ini memerlukan waktu 4 (empat) minggu dan membutuhkan tenaga dalam proses pembalikannya.Dalam perkembangannya, pembuatan pupuk organik dengan decomposer tidak lagi membutuhkan tenaga kerja untuk proses pembalikan. Penggunaan bambu ataupun paralon yang dipasang ditengah tumpukan limbah kandang, dapat melancarkan keluar-masuknya sirkulasi udara, sehingga tidak perlu lagi dibolak-balik. Cara ini mudah dilakukan dan tentu saja akan menghemat tenaga kerja dalam pembuatannya (Murwati, et. al., 2015).

Terkait dengan pendampingan pengembangan kawasan peternakan sapi potong, beberapa kegiatan telah dilakukan, mulai dari teknologi pakan termasuk di dalamnya penerapan budidaya hijauan rumput dan legume serta pemberian pakan tambahan dengan metoda flushing terhadap betina produktif, managemen reproduksi, penataan kandang, dan teknologi pengolahan limbah kandang menjadi pupuk organik. Beberapa kegiatan tersebut dilakukan dengan tujuan agar kelompok dapat mengangkat dirinya sendiri dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada, efisien dalam penggunaan input serta dapat menjalin kerjasama dengan pihak luar terutama dalam pemasaran hasil produsi yang digelutinya. Dalam perjalanannya, apakah tujuan yang ingin dicapai tersebut sudah terwujud?; oleh karena itu, perlu suatu penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi penggunaan input dalam pembuatan POP (pupuk organic padat) sesuai introduksi teknologi dan input pembuatan POP yang dilakukan oleh petani pada umumnya, serta mengetahui kerjasama pemasaran POP yang dilakukan oleh kelompok Andini Mulyo.

METODOLOOGI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi penggunaan input pembuatan POP (pupuk organic padat) sesuai introduksi teknologi pada kegiatan pendampingan pengembangan kawasan pembibitan sapi potong, dan mengetahui kemampuan kelompoktani dalam menjalin kerjasama pemasaran hasil produksi POP. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2016 di kelompok peternak Andini Mulyo Desa Purwomartani Kecamatan Kalasan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, yaitu di lokasi kegiatan pendampingan pengembangan kawasan peternakan sapi potong Kabupaten Sleman.Penelitian dilakukan dengan metoda on-farm research. Parameter yang diamati meliputi efisiensi penggunaan input dalam pembuatan POP (Pupuk Organik Padat), meliputi bahan-bahan untuk membuat POP seperti decomposer, Urea dan alat bantu berupa paralon. Untuk mengetahui kapasitas kelompok dalam menjalin kerjasama dengan pihak lain, dapat diamati dengan cara wawancara dan melihat cacatan siapa dan darimana pembeli berasal.

Untuk mengetahui efisiensi penggunaan input dilakukan dengan analisis input-output pembuatan POP model petani peternak (model lama) dan model introduksi teknologi pembuatan POP (hemat tenaga) pada kegiatan pendampingan kawasan pembibitan sapi potong. Untuk mengetahui

Page 261: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

243

kapasitas kelompok dalam menjalin kerjasama pemasaran produk POP, dilakukan wawancara dan memperhatikan catatan yang kelompok yang terkait dengan transaksi penjualan pupuk, siapa dan darimana pembeli berasal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Potensi Sumberdaya Peternakan di Kabupaten Sleman.

Populasi ternak, sistem perkandangan, sistim pemeliharaan ternak, ketersediaan lahan hijauan, kebiasaan pemberian air minum, kondisi reproduksi induk dan kondisi kelembagaan kelompok di kawasan peternakan sapi potong Kabupaten Sleman, terekam pada Tabel 1.

Tabel 1. Potensi sumberdaya peternakan di lokasi pendampingan pengembangan kawasanpeternakan sapi potong Kabupaten Sleman, tahun 2016.

No Karakteritik Peternak

Karakteristik Kelembagaan kelompok

Populasi (ekor) Perkandangan

1 Umur (th) : 41-60 (85,72%)

Jumlah anggota (21 orang)

anak = 17 Bentuk koloni

2 Pendidikan (th) 6-12 (95,23%)

Kehadiran dalam pertemuan rutin (>85%)

muda = 9 Tanah milik kas desa

3 Pengalaman beternak (th) < 10 (71,42%)

Administrasi (ada, cukup lengkap)

dewasa = 37 Cukup bersih, dilengkapi saluran pembuangan kotoran

4 Unit usaha (2 macam)

Rerata pemilikan = 3

Kapasitas 2-3 ekor/unit/petak

5 Limbah sudah diolah menjadi pupuk

Sumber: Data Primer Terolah, 2016.

Mencermati tabel 1, tingkat kepemilikan ternak hanya berkisar 3 ekor. Hal ini selaras dengan

data BPS D.I.Yogyakarta dalam berita resmi 23 Desember 2014, dipaparkan data terakhir, bahwa dari total rumah tangga peternak sapi potong 88,84%, tingkat kepemilikan tiap rumah tangga peternak pada kisaran 1-2 ekor; selebihnya antara 3-9 ekor dan diatas 10 ekor. Dilihat dari struktur ongkos pengusahaan sapi potong, biaya terbesar adalah untuk pakan yaitu sebesar 62,65% dari total biaya produksi.

Dilihat dari sisi kelembagaan, kelompok Andini Mulyo beranggotakan 21 orang, kegiatan pertemuan rutin dilaksanakan setiap bulan sekali dengan tingkat kehadiran anggota lebih dari 85%. Agenda utama pada pertemuan rutin adalah membahas budidaya peternakan, permasalahan dan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi kelompok.

Beberapa factor yang mempengaruhi tingkat kepemilikan sapi, antara lain adalah ketersediaan bahan pakan lokal, faktor lain adalah kebutuhan petani yang mendesak seperti untuk biaya pendidikan, perbaikan rumah, dan lain-lain.. Keberadaan ternak khususnya sapi potong sangat spesial bagi petani, karena limbah yang berupa kotoran sapi sangat dibutuhkan masyarakat tani sebagai bahan dasar pembuatan pupuk organik yang digunakan untuk memupuk lahan guna meningkatkan kesuburan lahan yang dimilikinya.Rendahnya tingkat kepemilikanjuga disebabkan karena kurangnya kemampuan peternak dalam menyediakan pakan terutama dimusim kemarau sehingga ternak sebagian dijual untuk mencukupi kebutuhan usahanya maupun untuk kebutuhan lain dalam keluarga; bahkan di Kabupaten Gunungkidul ada istilah, sapi makan sapi, artinya menjual sapi (pedet atau bakalan) untuk membeli pakan guna mencukupi kebutuhan pakan ternak yang masih dikelolanya (Lestari, et., al., 2015).

Dalam pemeliharaan ternak, disamping pakan, ketersediaan kandang sangat dibutuhkan, karena kandang merupakan tempat berteduh bagi ternak untuk hidup dan proses produksi. Dengan sistim kandang koloni, dapat mempermudah dalam pengelolaanya, termasuk kontrol terhadap kesehatan ternak, serta penanganan kotoran atau limbah untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan pupuk, terutama POP (Pupuk Organik Padat).

2. Efisiensi Penggunaan Input dalam Pembuatan Pupuk Organik Padat. Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup, seperti pelapukan sisa-

sisa tanaman, hewan dan manusia.Pupuk organik dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan

Page 262: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

244

untuk memperbaiki sifak fisik, kimia dan sifat biologi tanah.Permasalahan yang sering muncul ditingkat petani antara lain adalah keengganan petani dalam menggunakan limbah kandang sebagai pupuk untuk tanamannya. Beberapa alasan dikemukakan bahwa penggunaan limbah kandang menyulitkan karena membutuhkan banyak tenaga untuk mengangkut dari kandang ke lahan; penggunaan limbah kandang menimbulkan masalah baru yaitu tumbuhnya gulma secara cepat dan menimbulkan bau menyengat.Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan pengelolaan pada limbah kandang yaitu dengan menebarkan bahan decomposit yang dapat mempercepat penguraian limbah kandang. Teknologi ini memerlukan waktu 4 minggu dan membutuhkan tenaga dalam proses pembalikannya.

Ada beberapa keuntungan yang di peroleh dari upaya memanfaatkan kotoran sapi untuk diolah menjadi POP, yaitu (1) kandang menjadi lebih bersih dan sehat;(2) kotoran yang dikumpulkan mengurangi pencemaran lingkungan;(3) mengurangi populasi lalat di sekitar kandang;(4) pembuatan pupuk organik tidak terlepas dari proses pengomposan yang diakibatkan oleh mikroba yang berperan sebagai pengurai atau dekomposisi berbagai limbah organik yang dijadikan bahan pembuat kompos;(5) secara langsung, pupuk tersebut digunakan untuk lahan pertanian atau dapat dijual. Beberapa manfaat POP yang diolah dengan decomposer untuk lahan pertanian, antara lain mampu menggantikan penggunaan pupuk kimia atau mengurangi biaya produksi, bebas dari biji tanaman liar (gulma), menyediakan unsur hara yang seimbang dalam tanah, meningkatkan populasi mikroba tanah sehingga struktur tanah tetap gembur dan dapat memperbaiki PH tanah.

Undang dalam Prihardini dan Purwanto (2007) melaporkan, bahwa seekor sapi muda kebiri akan memproduksi 15-30 kg kotoran per hari. Kotoran yang baru dihasilkan, tidak dapat langsung diberikan sebagai pupuk tanaman, tetapi harus mengalami proses pengomposan terlebih dahulu. Proses pengomposan kotoran sapi jika disimpan akan terurai secara alami sampai menjadi kompos, akan tetapi memerlukan waktu yang sangat lama, untuk mempercepat pengomposan digunakan teknologi pengomposan atau biasa disebut aktifator pengomposan, salah satunya dengan EM4.

Dalam perkembangannya, pembuatan pupuk organik dengan decomposer tidak lagi membutuhkan tenaga kerja untuk proses pembalikan. Penggunaan bambu atau paralon yang sudah dilubangi secara zig-zag, dipasang ditengah tumpukan limbah kandang, dapat melancarkan keluar-masuknya sirkulasi udara, sehingga tidak perlu lagi dibolak-balik. Cara ini mudah dilakukan dan tentu saja akan menghemat tenaga kerja dalam pembuatannya.

Untuk mengetahui besaran input tenaga kerja dalam pembuatan POP hemat tenaga (teknologi introduksi) dengan pembuatan POP yang biasa dilakukan oleh peternak, dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis input-output pembuatan POP introduksi dan POP peternak di kelompok peternak Andini Mulyo Desa Purwomartani Kecamatan Kalasan Kabupaten Sleman.

No

Item Volume POP introduksi POP peternak

Harga satuan (Rp) Nilai (Rp) Harga satuan (Rp) Nilai (Rp)

1 Bahan dan alat - Limbah kandang 8 ton - - - -

- Decomposer *) 32 kg 18.000 576.000 18.000 576.000

- Urea 32 kg 2.500 80.000 2.500 80.000

- Paralon (penyusutan)/bulan

3 batang 80.000 20.000 - -

Jumlah 676.000 656.000 2 Tenaga kerja proses - Tahap awal 8 orang 15.000 120.000 15.000 120.000

- Pembalikan ke 1 8 orang - - 15.000 120.000

- Pembalikan ke 2 8 orang - - 15.000 120.000

- Pembalikan ke 3 8 orang - - 15.000 120.000

- Pembongkaran (tahap akhir)

8 orang 15.000 120.000 15.000 120.000

Jumlah 240.000 600.000 Total biaya 916.000 1.256.000 3 Produksi 6,4 ton 625.000 4.000.000 625.000 4.000.000 Penerimaan 3.084.000 2.744.000 Selisih penerimaan 340.000

Sumber: Data Primer Terolah, 2016. Catatan: *) decomposer PrimaDec.

Page 263: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

245

Tabel 2 menunujukkan, bahwa biaya yang dikeluarkan untuk mengolah 8 ton limbah, sebesar Rp. 916.000,- (POP introduksi) dan sebesar Rp. 1.256.000,- (POP yang biasa dilakukan oleh peternak). Dengan demikian, terdapat efisiensi biaya sebesar Rp. 340.000,-atau sebesar 27,07%, untuk satu kali produksi sebanyak 8 ton. Efisiensi ini berasal dari input tenaga kerja yang seharusnya dikeluarkan sebagai upah atau imbalan kepada anggota kelompok yang melakukan pembalikan (pembalikan dilakukan 3 kali, oleh 8 orang anggota dengan imbalan Rp. 15.000,-/orang/kali pembalikan). Eifisensi biaya ini akan bertambah jika setiap bulan dapat memproduksi lebih dari satu kali, apalagi jika semua limbah kandang/kotoran sapi potong yang ada di wilayah Kabupaten Sleman yang jumlahnya ada 53.022 ekor (Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, 2015) diberdayakan menjadi pupuk organic padat hemat tenaga.Kedua perlakuan pembuatan POP sudah dilakukan uji laboratorium; dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Hasil analisis laboratorium POP yang dilakukan di kelompok Andini Mulyo- Kabupaten Sleman (lokasi pendampingan pengembangan kawasan peternakan sapi potong, tahun 2015).

No Parameter POP peternak

(%) Standar mutu/SNI

(%) POP introduksi

(%)

1 C-organik 23,20 Min 15,00 26,80 2 C/N 20,30 15,00 – 25,00 16,80 3 pH H2O 9,37 4,00 -9,00 8,70 4 N total 1,14 Min 4,00 1,59 P2O5 total 1,35 1,09 K2O total 2,96 3,60

Sumber: Analisis laboratorium tanah BPTP Yogyakarta (2015).

Merujuk pada Tabel 3 tersebut, hasil analisis laboratorium ternyata POP yang dihasilkan

sudah memenuhi Standar Nasional Indonesia, baik teknologi insitu maupun teknologi introduksi (POP hemat tenaga), sehingga layak untuk dimanfaatkan dan dipasarkan secara lebih luas. Introduksi teknologi pembuatan POP hemat tenaga lebih cocok diterapkan pada kelompoL-kelompok peternak yang anggotanya memiliki aktivitas tinggi dan pada kelompok-kelompok yang telah memiliki jaringan pemasaran yang luas, banyak pesanan terhadap hasil produksi pupuk organik tersebut.

3. Kapasitas Kelompok dalam Menjalin Kerjasama Pemasaran Pupuk Organik dengan Pihak Luar

Kapasitas kelompok dalam upaya meningkatkan kerjasama dengan pihak lain, terutama dari aspek pemasaran POP sudah terbangun.Kelompok Andini Mulyo mampu bekerjasama dengan Gapoktan Purwomartani di desa sendiri terutama untuk mendukung GP-PTT (Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi. Kerjasama ini sudah merambah ke Gapoktan desa Selomartani, Tirtomartani dan Tamanmartani yang semuanya berada dalam satu wilayah Kecamatan Kalasan.Adanya pertemuan rutin Gapoktan se Kabupaten Sleman yang diselenggarakan setiap 3 bulan sekali dapat menjadikan wahana untuk memperluas jejaring kerja antar kelompok atau Gapoktan, ataupun membuka peluang pasar secara personal antara petani dengan peternak.

Tingginya perminataan POP dapat memotivasi anggota kelompok untuk selalu memproduksi POP; hal ini kadang menjadikan keterbatasan ketersediaan limbah kandang/kotoran sapi di tingkat kelompok, sehingga untuk mengembangkan unit usaha tersebut, kelompok Andini Mulyo perlu bekerjasama dengan kelompok lain yang ada disektarnya dalam penyediaan bahan baku POP. Keterbatasan bahan baku kotoran sapi di tingkat kelompok, merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh pengurus kelompok agar ketersediaan bahan dasar POP selalu tersedia secara lumintu.Produksi POP kelompok Andini Mulyo, sebagian dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan dijual kepada kelompoktani-kelompoktani yang ada dalam Gapoktan se Kecamatan Kalasan.

Terkait dengan pemasaran produksi POP, beberapa lembaga/institusi yang telah bekerjasama dengan kelompok Andini Mulyo; seperti diagram berikut:

Page 264: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

246

Diagram keterkaitan kerjasama pemasaran POP Kelompok Andini Mulyo dengan Gapoktan se Kecamatan Kalasan

Memperhatikan diagram tersebut, pada uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa sebagai unit produksi, kelompok Andini Mulyo mampu memperkuat, memperlancar dan sekaligus mendorong pengembangan produksi yang dikelola secara bersama.Hal ini selaras dengan pedoman kelompoktani sebagai unit produksi (Kementerian Pertanian, 2012) dan diperkuat oleh Syahyuti (2007), bahwa pembentukan dan pengembangan kelompoktani di setiap desa harus menggunakan prinsip kemandirian lokal yang dicapai melalui prinsip pemberdayaan. Pendekatan yang top-down planning menyebabkan partisipasi kelompoktani tidak tumbuh

KESIMPULAN

Pemberdayaan kelompok peternak melalui pembuatan POP atau pupuk organic padat, dapat dilihat dari aspek ekonomi dan aspek social. Secara ekonomi, kelompok mampu menghemat input tenaga kerja sehingga penerimaan petani atas hasil penjualan POP. Secara social, kelompok mampu menjalin kerjasama pemasaran dengan pihak lain terutama kelompok peternak yang tergabung dalam Gapoktan se Kecamatan Kalasan Kabupaten Sleman.

Agar POP dapat diproduksi secara rutin, kelompok Andini Mulyo dapat mengembangkan kerjasama dalam Penyediaan bahan baku yakni limbah kandang dari kelompok-kelompok yang ada disekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Kabupaten Sleman. 2015. Laporan Akhir Tahun 2015. Sleman.D.I.Yogyakarta.

Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2016.PedomanPelaksanaan Koordinasi/Pembinaan Investasi dan Pengembangan UsahaPeternakan. Jakarta.

Kementerian Pertanian. 2012. Kelompoktani sebagai Unit Produksi. Materi Penyuluhan Pertanian: Penguatan Kelembagaan Petani.

Lestari,S.B., Wiendarti I.W., Ari Widyastuti, Endang W.W., Erna Winarti, Gunawan, Tri Martini. 2015. Pendampingan Pengembangan Kawasan Peternakan Sapi Potong di D.I.Yogyakarta. Laporan Akhir Tahun 2015. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.

Murwati dan Supriyadi.2015. Petunjuk Teknis Pembuatan Pupuk Organik Padat Hemat Tenaga. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.

Nadrayunia. 2012.. Pemberdayaan Masyarakat Petani dalam Meningkatkan Hasil Panen melalui Program Gapoktan di Kecamatan Moyudan. Nadrayunia.blogspot.co.id/2012/06.

Prihandini P.W, Purwanto T, 2007. Pembuatan Kompos Berbahan Kotoran Sapi. Loka Penelitian Sapi Potong Grati. Jawa Timur.

Syahyuti. 2007. Strategi Pengembangan Kelompoktani dalam Mendukung Pembangunan Kawasan Sayuran. Agribisnis Sayuran Organik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

GAPOKTAN

PURWOMARTANI

KELOMPOK

ANDINI

MULYO

GAPOKTAN

SELOMARTANI

GAPOKTAN

TAMANMARTANI

GAPOKTAN

TRITOMARTANI

Page 265: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

247

PENGARUH FERMENTASI PAKAN BERBASIS HIJAUAN DAN JERAMI TERHADAP PERTAMBAHAN BOBOT BADAN SAPI DAN EFISIENSI EKONOMI

EFFECT OF FERMENTED FEED BASED FORAGE-FOODER AND AGRICULTURAL BY PRODUC FOR AVERAGE DAILY WEIGHT GAIN OF CATTLE AND ECONOMIC

EFFICIENCY

Aulia Evi Susanti dan Agung Prabowo

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kol. H. Barlian Km 6 No. 83 Palembang, Sumatera Selatan

Telp. 0711-410155/HP: 081315265391, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh komposisi hijauan dan jerami terhadap pertambahan bobot badan sapi dan efisiensi ekonomi ransum. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Agustus 2016 di Desa Bumi Kencana, Kec. Sungai Lilin, Kab. Musi Banyuasin. Ternak yang digunakan adalah sapi Bali jantan berjumlah 12 ekor dengan kisaranbobot badan 150-200 kg dan berumur sekitar 1-2 tahun. Penelitian ini menggunakan tiga perlakuan, yaitu: 1). ransum yang terdiri dari 3 kg dedak + 13 kg jerami padi + 0,02 kg mineral, 2). ransum yang terdiri dari 3 kg dedak + 6,5 kg rumput + 6,5 kg jerami padi+ 0,02 kg mineral, dan 3). ransum yang terdiri dari 3 kg dedak + 13 kg rumput+ 0,02 kg mineral. Semua ransum perlakuan difermentasi terlebih dahulu selama 21 hari. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan, dimana masing-masing perlakuan terdiri atas 4 ulangan. Analisis statistik penelitian ini menggunakan analisis of varians (ANOVA) dengan tingkat kepercayaan 95% untuk mengetahui pengaruh pakan perlakuan. Apabila ada perbedaan yang nyata diantara perlakuandilanjutkan dengan uji Duncan. Efisiensi usaha tani diperoleh dengan menghitung R/C ratio nya. Hasil analisa proksimat pada persentase protein kasar (PK) masing-masing ransum menunjukkan bahwa pada P1 7,19%; P2 7,39% dan P3 7,95%, perhitungan pertambahan bobot badan harian perlakuan P1 (0, 33 kg/hari), P2 (0, 47 kg/hari), P3 (0,55 kg/hari) tidak berbeda nyata (P > 0,05). Sementara itu analisa efisiensi ekonomi perlakuan P2 (R/C ratio 1,34) lebih menguntungkan dibandingkan perlakuan P1 (R/C ratio 1,27) dan P3 (R/C ratio 1,32). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa perlakuan P2 memberikan keuntungan tertinggi.

Kata kunci: Pakan fermentasi, bobot badan sapi, efisiensi ekonomi

ABSTRACT

This study aims to determine the effect of fermented forage-fooder and agricultural by-product in increasing body weight gain of cattle and economic efficiency ration. The research was conducted from March to August 2016 in the village of Bumi Kencana, district. Sungai Lilin, Kab. Banyuasin. Animals used are male Bali cattle amounted to 12with a weight range of 150-200 kg and approximately 1-2 years old. This study uses three treatments, namely: 1). Feed consisting of bran 3 kg + 13 kg of rice straw + 0.02 kg of minerals, 2). Feed consisting of 3 kg bran + 6.5 kg of rice straw + 6.5 kg of grass+ 0.02 kgminerals, and 3). Feed consisting of bran 3 kg + 13 kg of grass + 0.02 kg mineral. All fermented feed prior treatment for 21 days. This study was conducted using a randomized block design (RAK) with three treatments, with each treatment consisted of four replicates. Statistical analysis of this study using analysis of variance (ANOVA) with a confidence level of 95% to determine the effect of treatment of feed. If there is a significant difference between the treatment continued with Duncan test. Farm efficiency is obtained by calculating the R / C ratio her. Proximate analysis results on the percentage of crude protein (CP) each ration shows that the P1 of 7.19%; P2 and P3 7.39% to 7.95%, the calculation of body weight daily treatment P1 (0, 33 kg / day), P2 (0, 47 kg / day), P3 (0.55 kg / day) were not significantly different (P>0.05). While the analysis of the economic efficiency of treatment P2 (R / C ratio of 1.34) is more beneficial than treatment P1 (R / C ratio of 1.27) and P3 (R / C ratio of 1.32). Based on these results it can be concluded that the treatment P2 provides the highest profit.

Key Words: Fermented feed, daily weight gain, economic efficiency

Page 266: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

248

PENDAHULUAN

Pakan memegang peranan yang cukup penting dalam kehidupan ternak, pakan berguna untuk pertumbuhan bagi ternak muda, untuk mempertahankan hidup dan menyediakan tenaga serta untuk memelihara daya tahan tubuh dan kesehatan (Lubis, 1992). Pakan yang baik mengandung zat gizi yang diperlukan ternak dalam jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan. Biaya pakan merupakan biaya produksi terbesar (70-80%) dari keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan dalam pemeliharaan sapi. Selain harus berkualitas, pakan juga harus ekonomis supaya dapat memberikan keuntungan bagi peternak (Umiyasih dan Yeni, 2007). Limbah pertanian memiliki potensi yang cukup besar sebagai sumber pakan ternak sapi. Limbah yang memiliki nilai nutrisi relatif tinggi digunakan sebagai pakan sumber energi atau protein, sedangkan limbah pertanian yang memiliki nilai nutrisi relatif rendah digolongkan sebagai pakan sumber serat (Mariyono dan Romjali, 2007). Jerami padi merupakan limbah pertanian yang paling potensial dan terdapat hampir diseluruh daerah di Indonesia dengan produksi sekitar 52 juta ton bahan kering per tahun. Kalau diasumsikan 1 Unit ternak sama dengan seekor sapi dengan bobot badan 325 kg dan konsumsi bahan kering 2% bobot badan dan pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak 50%; maka lebih kurang 10 juta unit ternak masih dapat ditampung (Mariyono dan E. Romjali, 2007). Menurut Haryanto et al. (2002), setiap hektar sawah menghasilkan jerami segar 12-15 t/ha/musim,dan setelah itu melalui proses fermentasi menghasilkan 5-8 t/ha, yang dapat digunakan untuk pakan 2-3 ekor sapi/tahun. Hasil Pengkajian di Kabupaten Garut menunjukkan bahwa dari satu hektar sawah dapat menghasilkan jerami padi (setelah difermentasi) sebanyak 2,5-3,5 ton/ha. Bila satu ekor sapi setiap harinya meng-konsumsi jerami fermentasi 4 - 5 kg/hari, maka satu hektar tanaman padi dapat menghidupi 2-3 ekor sapi selama 6 bulan. Jika 50% dari seluruh lahan sawah irigasi yang ditanami padi di Jawa Barat jeraminya dijadikan pakan ternak (400.000 ha) maka dalam 6 bulan (satu musim) dapat dipelihara 800.000 ekor sapi (Suriapermana et al ., 2000). Untuk meningkatkan nilai gizi dan daya cerna jerami padi perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Salah satu cara dalam mengolah jerami padi agar mempunyai kandungan gizi yang tinggi dengan perlakuan fermentasi. Fermentasi merupakan salah satu teknologi pengolahan bahan makanan secara biologis yang melibatkan aktivitas mikroorganisme guna memperbaiki gizi bahan berkualitas rendah. Biasanya bahan produk fermentasi tahan disimpan lama. Fermentasi dapat meningkatkan kualitas nutrisi bahan pakan, karena pada proses fermentasi terjadi perubahan kimiawi senyawa-senyawa organik (karbohidrat, lemak, protein, serat kasar dan bahan organik lain) baik dalam keadaan aerob maupun anaerob, melalui kerja enzim yang dihasilkan mikroba. Menurut Sukaryana (2011), proses fermentasi dapat meminimalkan pengaruh antinutrisi dan meningkatkan kecernaan bahan pakan dengan kandungan serat kasar tinggi yang ada pada dedak padi. Pengembangan teknologi pakan dari limbah pertanian dan sisa hasil industri pertanian sebagai pakan ternak secara langsung akan memberikan sumbangan nyata terhadap penurunan potensi limbah pertanian yang terbuang dan belum dimanfaatkan serta dapat meningkatkan pertumbuhan ternak. Melalui pengembangan tersebut, maka akan tercipta sentra pertumbuhan peternakan baru di mana komoditi ternak dapat menjadi unggulan (solely) dan sebaliknya dapat mendorong yang tadinya ternak sebagai sumber penunjang menjadi unsur pokok (Luthan, 2009).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi hijauan dan jerami terhadap pertambahan bobot badan sapi dan efisiensi ekonomi ransum.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Agustus 2016 di Desa Bumi Kencana, Kec. Sungai Lilin, Kab. Musi Banyuasin. Ternak yang digunakan adalah sapi Bali jantan berjumlah 16 ekor dengan kisaran bobot badan 150-200 kg dan berumur sekitar 1-2 tahun. Penelitian ini menggunakan empat perlakuan dimana masing-masing perlakuan difermentasi selama 21 hari, yaitu: 1). Kontrol (pakan sesuai dengan kebiasaan peternak), 2). Pakan yang terdiri dari 3 kg dedak + 13 kg jerami padi + 0,02 kg mineral, 3). Pakan yang terdiri dari 3 kg dedak + 6,5 kg rumput + 6,5 kg jerami padi+ 0,02 kg mineral, dan 4). Pakan yang terdiri dari 3 kg dedak + 13 kg rumput+ 0,02 kg mineral. Semua pakan perlakuan difermentasi terlebih dahulu. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan, dimana masing-masing perlakuan terdiri atas 4 ulangan. Penimbangan bobot badan dilakukan setiap 2 minggu sekali. Data yang diambil pada sapi perlakuan antara lain bobot badan awal, bobot badan saat penimbangan sehingga dapat dihitung pertambahan bobot badan harian (PBBH). PBBH dihitung dengan rumus = W2- W1 / t2-t1, dimana W2= Bobot badan akhir (kg), W1= Bobot badan awal (kg), t1 = waktu awal pengamatan (hari), t2 = waktu akhir pengamatan (hari), sedangkan data efisiensi ekonomi meliputi

Page 267: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

249

harga sapi bakalan, biaya pakan dan harga daging per kg bobot hidup sapi. Analisa yang digunakan untuk mengetahui pengaruh pakan perlakuan menggunakan analisis of varians (ANOVA) dengan tingkat kepercayaan 95%. Apabila ada perbedaan yang nyata diantara perlakuan dilanjutkan dengan uji Duncan. Analisa ekonomi diperoleh dengan menghitung B/C ratio nya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi dan Kandungan Nutirien Pakan Ransum Penelitian

Masing-masing ransum yang telah disusun dengan memperhatikan kebutuhan pokok harian sapi jantan kemudian dianalisa kandungan nutrien nya. Kandungan nutrien pakan masing-masing ransum penelitian dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kandungan nutrien pakan masing-masing ransum penelitian

Pakan Perlakuan

Bahan penyusun (Kg) P1 P2 P3 Jerami padi 13 6,5 0 Rumput 0 6,5 13 Dedak 3 3 3 Mineral 0,02 0,02 0,02 Jumlah Kandungan nutrien (%) Abu 8,71 12,39 15,57 Lemak Kasar (LK) 2,65 2,66 2,98 Serat Kasar (SK) 32,51 35,67 31,48 BETN 48,94 41,90 42,03 Protein Kasar (PK) 7,19 7,39 7,95

Sumber : Data primer (2016)

Perlakuan fermentasi pada masing-masing ransum dapat meningkatkan nilai gizi dan

kecernaan pakan. Menurut Haryanto (2003) dan Mahendri et al. (2005), kandungan PK jerami padi 3,93%. Kandungan protein kasar jerami padi yang difermentasi meningkat dari 4,2% menjadi 7,19%. Kandungan Protein Kasar (PK) dari rumput Paspalum adalah 5%. Dengan fermentasi kandungan PK nya meningkat menjadi 7,95%. Perbedaan yang paling mencolok antara pakan yang terfermentasi dengan yang tidak terfermentasi adalah pada nilai protein kasarnya. Salah satu tujuan dari perlakuan fermentasi pakan adalah untuk meningkatkan kualitas nutrisi dalam protein kasar (Suwigyo, dkk. 2016).

Pertambahan bobot badan

Pada usaha penggemukan sapi potong pertambahan bobot badan merupakan salah satu tujuan penting yang ingin dicapai. Bobot hidup akhir sangat dipengaruhi oleh jenis, jumlah dan mutu pakan yang diberikan. Jumlah dan kualitas pakan yang baik akan membantu ternak untuk tumbuh dan berproduksi. Pengukuran bobot badan berguna untuk penentuan tingkat konsumsi, efisiensi pakan dan harga (Parakkasi, 1999). Bobot badan ternak dihitung dalam satuan tertentu baik dengan menggunakan timbangan maupun pengukuran ukuran tubuh tertentu sehingga diperoleh angka koefisien yang pasti. Penimbangan bobot badan sapi dilakukan 2 minggu sekali. Rata-rata pertambahan bobot harian sapi (PBBH) sapi Bali yang mendapat perlakuan P1,P2 dan P3 adalah 0,33 Kg; 0,47 Kg; 0,55 Kg (Tabel 2).

Tabel 2. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) sapi perlakuan

Perlakuan P1 P2 P3

PBBH (Kg) 0,33a

0,47a

0,55a

Sumber : Data primer (2016) Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05).

Berdasarkan hasil analisa statistik dari tabel diatas diketahui bahwa ransum yang diberikan

tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap pertambahan bobot harian sapi. Akan tetapi, jika dilihat dari pehitungan terlihat bahwa PBBH terbesar adalah pada perlakuan P3. Komposisi ransum pada P3 adalah ransum yang menggunakan rumput. Berdasar kandungan gizinya, ransum P3 memiliki kandungan protein kasar paling tinggi dan serat kasar paling rendah dibandingan perlakuan lain. Kandungan protein erat hubungannya dengan kandungan serat kasar, dimana makin tinggi kandungan protein dari jenis bahan pakan yang sama, makin rendah kandungan serat kasarnya. Bahan yang

Page 268: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

250

mengandung protein juga lebih mudah dicerna dibandingkan bahan yang mengandung serat kasar. Jadi bila kandungan protein dari bahah pakan tinggi dan serat kasarnya rendah akan lebih mudah dicerna dibandingkan sebaliknya. (Tillman, dkk., 1998).Penelitian penggunaan pakan lokal juga pernah dilakukan oleh Pasambe, dkk (2006), dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan dengan menggunakan materi 18 ekor sapi jantan bakalan milik petani yang dipelihara secara kolektif. Pakan yang diaplikasikan adalah dengan memanfaatkan bahan lokal yaitu rumput lapangan, jerami yang difermentasi dan dedak sesuai dengan fase penggemukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian konsentrat 1% dari bobot badan+rumput lapangan 50%+ fermentasi jerami 50% memberikan pertambahan berat badan harian (PBBH) sebesar 0,387 kg/ekor/hari.

Efisisensi Ekonomi Ransum

Konsep BCR (benefit cost ratio), digunakan untuk mengetahui efisisensi usaha tani. BCR adalah imbangan antara total penghasilan (output) dengan total biaya (input). Nilai BCR >1 menyatakan usaha tersebut menguntungkan. Usaha dikatakan semakin efisien jika BCR semakin besar (Karo-karo et al., 1995). Ransum yang diberikan kepada ternak harus diformulasikan dengan baik dan semua bahan pakan yang dipergunakan dalam menyusun ransum harus mendukung produksi yang optimal dan efisien sehingga usaha yang dilakukan dapat menjadi lebih ekonomis. Semua ransum pakan penelitian kemudian dianalisa efisiensi ekonomi ransum untuk mengetahui ransum perlakuan yang paling ekonomis. Hasil analisa efisiensi ekonomi ransum penelitian disajikan pada tabel 3.

Tabel 3. Efisiensi ekonomi ransum

Biaya (@ 4 ekor sapi) selama 90 hari Perlakuan

P1 P2 P3 Pengeluaran 39.816.000 39.933.000 40.050.000 Pendapatan 50.490.000 53.625.000 52.745.000 B/C 1,27 1,34 1,32

Smber : Data Primer (2016)

Perhitungan pengeluaran pada tabel diatas, hanya memperhitungkan biaya pakan serta harga

bakalan, sedangkan diasumsikan koefisien pada variabel lainnya adalah sama. Dari hasil perhitungan B/C ratio diperoleh bahwa B/C ratio terbesar adalah perlakuan P2 (1,34) yang artinya dalam satu periode produksi dari setiap modal Rp. 100 yang dikeluarkan akan diperoleh pendapatan sebanyak Rp. 134. . Dalam satu hari, peternak dengan menggunakan perlakuan P1 mengeluarkan biaya pakan Rp. 10.600,-/ekor/hari ; P2 Rp 10.925,-/ekor/hari dan P3 Rp 11.250,-/ekor/hari. Biaya pakan tersebut dikalikan dengan lamanya waktu pemeliharaan sapi. Meskipun dari pertambahan bobot badan harian sapi terbesar adalah perlakuan P3, akan tetapi secara ekonomi ternyata biaya pakan untuk menghasilkan 1 kg daging Pada P3 lebih besar dibandingkan dengan P2. Hal tersebut disebabkan karena harga per kilogram rumput lebih mahal dibandingkan per kilogram jerami padi

KESIMPULAN

Hasil penelitian terhadap aplikasi tiga ransum pakan fermentasi, diperoleh kesimpulan bahwa perlakuan fermentasi meningkatkan persentase Protein Kasar (PK) pakan; pertambahan bobot badan harian sapi tidak berbeda nyata pada aplikasi pakan P1,P2 dan P3; dan secara analisa ekonomi pakan P2 lebih menguntungkan dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih kepada ditujukan kepada anggota kelompok Budidoyo, Desa Bumi Kencana, Kecamatan Sungai Lilin, Kab. MuBa serta Petugas Lapang yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Haryanto, B. 2003. Jerami padi fermentasi sebagai ransum dasar ternak ruminansia. Warta Litbang Pertanian. 25(3): 1–3.

Haryanto, B., I. Inounu, I.G.M. Budiarsana, and K. Diwyanto. 2003. Panduan

teknis integrasi padi-ternak (SIPT). Departemen Pertanian.

Page 269: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

251

Karo-karo, Junias and H Knipsheer. 1995. Farmers, Shares, Marketing Margin and Demand for Small Ruminan in North Sumatera, Working Paper No.150 November

Lubis, D.A. 1992. Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit PT. Pembangunan, Jakarta.

Luthan, F. 2009. Implementasi Program Intergrasi Sapi dengan Tanaman Padi, Sawit dan Kakao. Makalah disampaikan pada Whorkshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak-Tanaman: Padi, Sawit, Kakao pada tanggal 10 Agustus di Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor. Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia., Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta.

Mahendri, I.G.A.P., B. Haryanto, E. Handiwirawan, A. Priyanti, L. Natalia, Indraningsih dan R.A. Saptati. 2005.Laporan Inovasi Teknologi Pakan Padi Fermentasi dengan Probion untuk Meningkatkan Kinerja Produksi Ternak Ruminansia. Puslitbang Peternakan, 2005.

Mariyono dan E. Romjali. 2007. Petunjuk Teknis Teknoligi Inovasi ‘Pakan Murah’ untuk Usaha Pembibitan Sapi Potong. Loka Penelitian Sapi Potong. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Deptan.

Parakkasi, A. 1995. Ilmu Makanan Ternak Ruminansia.IPB, Bogor

Pasambe, D., Mathius S dan Nurhayu. 2006. Pengaruh Perbaikan Pakan Terhadap Produktivitas Sapi Bali Jantan yang Sedang Digemukkan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. Bogor

Sofyan M. I., 2004, Kinetika Farmasi Sellulosa Murni Oleh Trichoderma reesei

Qm 9414 menjadi glukosa dan Penerapannya Pada Jerami Padi Bebas Lignin, Agritech, 24(4) ;197-203.

Sukaryana Y., U. Atmomarsono, V. D. Yunianto, E. Supriyatna. 2011. Peningkatan nilai kecernaan protein kasar dan lemak kasar produk fermentasi campuran bungkil inti sawit dan dedak padi pada broiler. JITP, 1(3): 167-172.

Suwigyo, B., Agus, R., Umami, N., Suhartanto, B dan Wulandari, C. 2016. Penggunaan Fermentasi Pakan Komplit Berbasis Hijauan Pakan dan Jerami untuk Pakan Ruminansia. Indonesian Journal of Community Engagement Vol 01, No.02, Maret 2016

Tilman, A. D., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo., S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Umiyasih, U dan Y.N. Anggraeny. 2007. Petunjuk Teknis Ransum Seimbang, Strategi Pakan pada Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Page 270: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

252

ANALISIS POTENSI LAHAN PERTANIAN DENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI INDERAJA DAN SIG DI KABUPATEN LOMBOK UTARA, NUSA TENGGARA BARAT

THE ANALYSIS OF FARM AGRICULTURE POTENTIAL LAND USING TECHNOLOGY OF REMOTE SENSIN AND GIS IN LOMBOK NORTH DISTRIC OF EAST WEST NUSA

Fitria Zulhaedar1 dan Yulie Oktavia

2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB, Jl. Raya Peninjauan Narmada Lombok Barat

NTB 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu, Jl. Irian Km. 6,5 Kelurahan Semarang,

Bengkulu

ABSTRAK

Kabupaten Lombok Utara Merupakan Kabupaten termuda di NTB yang memiliki sumber daya lahan sangat potensial untuk pengembangan pertanian yang merupakan salah satu sektor terpenting di Indonesia karena turut menunjang perkembangan sektor lainnya. Semakin langkanya lahan pertanian yang subur dan potensial serta adanya persaingan antara penggunaan lahan untuk sektor pertanian dan non pertanian, membuat informasi tentang adanya potensi lahan pertanian sangat penting.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi lahan yang potensial untuk komoditas pertanian di Kabupaten Lombok Utara NTB dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dan SIG.Penelitian dilaksanakan pada tahun 2014. Metode yang digunakan adalah pemetaan dengan tiga tahapan pengerjaan yaitu: analisis landform untuk delinieasi satuan lahan melalui interpretasi foto udara atau citra satelit; identifikasi dan karakterisasi sifat fisik dan morfologi tanah di lapang; dan analisis sifat fisik, kimia, dan mineral contoh tanah dan air yang representative di laboratorium. Delinieasi satuan lahan menghasilkan satuan peta tanah yang kemudian digunakan sebagai acuan dalam interpretasi pengelompokan potensi lahan pertanian.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Lombok Utara masuk dalam kategori lahan kering.Seluas 11.811 ha potensial untuk lahan pertanian basah yang diarahkan untuk tanaman pangan, 11.801 ha potensial sebagai pertanian lahan kering yang dapat diarahkan untuk tanaman pangan dan hortikultura.Pertanian lahan kering dengan kondisi lereng 8-15% seluas 7.471 ha dan lereng 15-40% seluas 6.189 ha yang masing-masing dapat diarahkan untuk tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan.Teridentifikasi wilayah konservasi yang merupakan lahan sangat basah dan lahan yang memiliki kelerengan sangat terjal (>40%) sehingga tidak potensial untuk dijadikan sebagai lahan pertanian yaitu masing-masing seluas 672 ha dan 2.699 ha.Pada kawasan hutan seluas 35.744 tidak dilakukan analisis potensi lahan pertanian untuk menjaga keseimbangan ekosistem.

Kata Kunci: potensi, pertanian, lahan kering, kawasan

ABSTRACT

Agriculture is one of the most important sectors in Indonesia because it contributed to the development of other sectors. North Lombok It is the youngest district in NTB wich has potential land resources for agricultural development. The information about its potential agricultural land is very important due to the scarcity of fertile agricultural land and potential as well as the competition between land use for agricultural and non-agricultural sector. The method used in this study is mapping three stages of processing, namely: landform analysis to identify land units through the interpretation of aerial photographs or satellite images; identification and characterization of physical properties and morphology of the soil in the field and analysis of physical, chemical, and mineral water and soil sample representative at the laboratory. The identification of land units produces soil map units are used as a reference in the interpretation of the potential farmland grouping. The results of this study concluded that most areas of North Lombok regency categorized into dry land. Further, area of 11.811 ha of agricultural land potential for wet directed to crops, 11.801 ha of potential as dryland farming that can be directed to food crops and horticulture. Dryland agriculture with the condition of the slopes 8-15% area of 7.471 ha and 15-40% slope area of 6.189 ha each of which can be directed for food crops, horticulture and gardening. Identified conservation areas that are very wetland and land which has a very steep slope (>40%). In summary, it is not potential to use as agricultural land, respectively covering 672 ha and 2.699 ha. In the forest area of 35.744 did not do an analysis of potential agricultural lands to maintain the balance of the ecosystem

Keywords: potential, agriculture, dry land, region

Page 271: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

253

PENDAHULUAN

Sektor pertanian merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, karena hampir seluruh kegiatan perekonomian Indonesia berpusat pada sektor pertanian (Lelono 2016). Sumber daya lahan pertanian merupakan faktor utama dalam pencapaian produksi pertanian yang produktif, efisien, dan menguntungkan, yang meliputi seluruh faktor-faktor penyusunannya yaitu tanah, karakteristik agroekologi, sumber air, tipe iklim, bahan induk tanah, biota, prasarana pendukungnya, status peruntukan, dan hubungannya dengan manusia (Sumarno, 2012). Lebih detil dijelaskan oleh Moniaga (2011) bahwa daya dukung lahan pertanian dalam memenuhi kebutuhan manusia sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu luas panen dan produktivitas pertanian. Dengan demikian secara tidak langsung lahan pertanian memegang peranan penting dalam pencapaian kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sumarlin et. al (2008) mengatakan bahwa semakin tinggi ketergantungan konsumsi masyarakat terhadap beras maka semakin tinggi pula kebutuhan lahan pertanian.

Identifikasi lahan untuk pertanian merupakan upaya penting dalam mensukseskan pembangunan pertanian jangka panjang. Penggunaan lahan untuk pertanian tanpa mengidentifikasi kesesuaian lahan tersebut dapat mempengaruhi nilai produksi komoditas yang diusahakan, juga mempengaruhi kemampuan lahan dimasa mendatang. Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dalam laporan akhir kajian evaluasi revitalisasi pertanian dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani (2010) menjelaskan bahwa salah satu kendala dalam pengembangan pertanian adalah degradasai sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan yang tidak berwawasan lingkungan oleh manusia adalah salah satu faktor terjadinya degradasi tersebut. Disisi lain potensi lahan pertanian di Indonesia terbilang cukup besar (Mulyani dan Agus 2006)

Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu atau teknologi untuk memperoleh informasi atau fenomena alam melalui analisis suatu data yang diperoleh dari hasil rekaman obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Perekaman atau pengumpulan data penginderaan jauh (inderaja) dilakukan dengan menggunakan alat pengindera (sensor) yang dipasang pada pesawat terbang atau satelit (Lillesand dan Keifer 1994). Aplikasi teknologi inderaja telah banyak memberikan informasi tentang sumberdaya lahan, diantaranya untuk analisis daya dukung lahan sektor pertanian (Ernamaiyanti et. al. 2016), mendukung mitigasi dampak perubahan iklim di sektor pertanian (Nugroho dan Wahyunto 2015), mengidentifikasi potensi kekeringan (Raharjo 2010), mengevaluasi potensi degradasi lahan (Sartohadi dan Putri 2008), pemetaan potensi konversi lahan sawah (Barus, et. al. 2012), pendugaan produktivitas tanaman padi sawah (Wahyunto, Widagdo dan Heryanto 2006), inventarisasi daerah rawan bencana longsor (Arifin et. al. 2006), identifikasi pengunaan lahan (Saripin 2003)dan pemantauan tanaman dan lahan pertanian (Shofiyant 2011). Data-data tersebut berasal dari rekaman sensor yang memiliki karakteristik berbeda-beda pada masing-masing tingkat ketinggian yang akhirnya menentukan perbedaan dari data penginderaan jauh yang dihasilkan (Richards and Jia 2006).

Teknologi penginderaan jauh sangat sesuai untuk pemetaan tanah dan evaluasi lahan, terutama di wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena pada wilayah tersebut kendala kondisi wilayah yang sebagian besar masih berupa hutan dan keterbatasan infrastruktur dapat didelinieasi (Djaenudin 2008). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi lahan yang potensial untuk komoditas pertanian di Kabupaten Lombok Utara NTB dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dan SIG.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di daerah Kabupaten Lombok Utara (KLU) yang merupakan kabupaten termuda di NTB. Pelaksanaan penelitian berlangsung pada tahun 2014. Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah peta citra lansat 1000, peta rupabumi digital sala 1:25.000 yang diperoleh dari Badan Informasi Geografik (BIG), peta penggunaan lahan (land use) yang diperoleh dari Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) Badan Litbang Pertanian. Alat-alat yang digunakan adalah software saga gis sebagai alat untuk menganalisis data citra dalam hal ini untuk menurunkan parameter lahan berdasarkan lereng; arcgis sebagai alat untuk digitasi on schreen, editing, dan layout peta; global mapper sebagai alat untuk registrasi dan proyeksi; google earth digunakan untuk visualisasi data geografis sehingga data yang dihasilkan lebih representatif; dan perlengkapan survey untuk pengambilan sampel tanah dan deskripsi morfologi.

Peta rupabumi digital skala 1:25.000 dari Bakosurtanal meliputi garis pantai, hidrologi, jalan, pemukiman, batas desa, batas kecamatan, dan annotasi. Pembuatan peta kerja dilakukan pada skala

Page 272: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

254

1:50.000 sehingga pada proses overlay-nya dilakukan digitasi untuk memperoleh batasan-batasan polygon dari peta hasil analisis terrain citra landsat/foto udara.

Metode yang digunakan adalah pemetaan dengan tiga tahapan pengerjaan yaitu: analisis landform untuk delinieasi satuan lahan melalui interpretasi foto udara atau citra satelit melalui pendekatan desk study; identifikasi dan karakterisasi sifat fisik dan morfologi tanah di lapang; dan analisis sifat fisik, kimia, dan mineral contoh tanah dan air yang representative di laboratorium. Delinieasi satuan lahan menghasilkan satuan peta tanah yang kemudian digunakan sebagai acuan dalam interpretasi pengelompokan potensi lahan pertanian.

Disamping menggunakan data spasial, dalam proses penelitian ini juga menggunakan data-data pendukung dari Badan Pusat Statistik (BPS) KLU dan Provinsi NTB. Salah satu keuntungan penggunaan teknologi penginderaan jauh (inderaja) adalah menghemat waktu pelaksanaan penelitian terutama alokasi waktu untuk melakukan survey awal, tergantung kepada resolusi dan jenis alat yang digunakan sehingga dapat diperoleh hasil yang lebih baik (Goldberg, Perry, dan Anderson).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem proyeksi yang digunakan adalah Universal Transverse Mercator (UTM) zone 50s dan datum yang digunakan adalah WGS 1984. Digitasi peta satuan lahan menghasilkan empat puluh satu satuan lahan dengan karakteristik landform, bahan induk, jenis tanah, dan topografi yang beragam.

Landform

Landform teridentifikasi di lokasi penelitian terdiri dari 14 bentuk yaitu aliran lahar seluas 3.317 ha atau 4,15% dari total luas wilayah KLU, dataran pantai seluas 1.386 ha (1,73%), dataran alluvial 2.135 ha (2,67%), dataran antar perbukitan 210 ha (0,26%), dataran volkan 7.554 ha (9.45%), dataran volkan tua 11.050 ha (13,82%), dinding kaldera 785 ha (0,98%), jalur aliran 369 ha (0,46%), kipas alluvial 642 ha (0,8%), lereng volkan atas 9.554 ha (11,95%), lereng volkan bawah 14.238 ha (17,81%), lereng volkan tengah 10.256 ha (12,83%), pegunungan volkan tua 88.063 ha (10,09%), dan perbukitan volkan tua seluas 9.845 ha atau 12,32% dari total luas wilayah KLU. Terlihat bahwa sebagian besar wilayah KLU masuk kedalam landform torehan pegunungan dengan bentukan wilayah yang rata-rata curam, berbukit, hingga bergunung.

Posisi wilayah KLU yang berada persis di lereng gunung Rinjani bagian utara, sehingga bentuk wilayah yang ada di sebagian besar wilayah bagian selatan bergunung yang tergambar dengan warna merah (gambar 1). Daerah bertopografi datar yang tergambar dengan warna hijau pada peta topografi tersebar di daerah pesisir pantai Kecamatan Pemenang, Tanjung dan Gangga, sebagian kecil berada di dataran rendah Kecamatan Bayan. Hal ini menjadi salah satu unsur penilaian kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian, persyaratan penggunaan lahan dan persyaratan konservasi lahan untuk mencapai pertanian berkelanjutan. Arahan komoditas pertanian pada masing-masing tipologi lahan seyogyanya memperhatikan syarat tumbuh dari masing-masing komoditas yang dinilai, sebagaimana tercantum dalam Permentan No.79 tahun 2013.

Page 273: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

255

Gambar 1. Peta bentuk wilayah Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat

Batuan Induk

Jenis batuan induk merupakan faktor penting lainnya yang diidentifikasi sebagai dasar dalam karakterisasi jenis tanah selain relipef atau topografi, faktor iklim dan waktu. Jenis batuan induk yang ada sangat besar pengaruhnya terhadap tekstur dan kondisi pH tanah. Hasil identifikasi batuan induk di lokasi penelitian menggambarkan keragaman bahan induk yang terdiri dari 10 jenis (gambar 2). Dapat dilihat bahwa jenis bahan induk di lokasi penelitian didominasi oleh breksi lava dengan luas 23.794 ha dan batuapung seluas 18.403 ha yang terdiri dari formasi batuapung; batuapung dan tufa; lava dan batuapung. Fraksi tanah yang terbentuk dari batuapung cenderung memiliki tingkat kesuburan yang relatif rendah baik dari sifat fisik maupun kimia tanah.

Gambar 2. Peta Geologi di Kabupaten Lombok Utara Provinsi NTB

Page 274: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

256

Topografi

Topografi sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi karakteristik tanah yang merupakan media tumbuhnya tanaman, merupakan salah satu unsur yang dinilai dalam menganalisis potensi lahan pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah KLU memiliki topografi >40% yaitu seluas 24.618 ha atau 31% dari total luas wilayah Kabupaten Lombok Utara, sesuai dengan hasil analisis bentuk wilayah KLU yang sebagian besar berbukit dan bergunung. Wilayah yang sesuai untuk pengembangan komoditas pertanian juga terbilang cukup luas yaitu 55% dari total luas wilayah KLU jika mengacu pada Keppres No 32 1990. Namun potensi lahan yang ada akan menjadi aktual jika pemanfaatannya dibarengi dengan upaya perbaikan seperti pembuatan teras, penanaman sejajar kontur, dan penanaman tanaman penutup tanah (cover crop) sehingga laju erosi dapat ditekan.

Laju erosi yang dipengauhi oleh tingkat kemiringan lahan akan berdampak pada persentase kehilangan lapisan tanah di permukaan, sehingga membatasi keberagaman komoditas yang dapat dibudidayakan pada lahan tersebut. Makin ringan tingkat bahaya erosi yang dapat ditekan maka makin kecil pula jumlah tanah permukaan yang hilang.

Luas lahan aktual dan potensial di lokasi penelitian

Penggunaan lahan aktual untuk sawah di KLU selama lima tahun terakhir terlihat mengalami peningkatan terutama pada tahun 2013 karena adanya program pencetakan sawah baru (tabel 1). Begitupula dengan pemanfaatan lahan tegalan atau kebun mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2012. Adanya perluasan ini karena semakin meningkatnya aktivitas perambahan lahan untuk aktifitas budidaya tanaman hortikultura dan beberapa komoditas perkebunan sebagai dampak dari perluasan areal pemukiman secara sporadis oleh masyarakat setempat. Pemanfaatan lahan untuk areal perkebunan terutama perkebunan monokultur mengalami penurunan dimulai sejak tahun 2012, salah satunya karena alih fungsi lahan. Sedangkan luas lahan kering mengalami penurunan sejak tahun 2013 karena faktor campur tangan manusia dalam upaya pengelolaan lahan. Padang rumput di KLU cukup luas dan cenderung tidak berubah sepanjang tahun karena karakteristik lahannya yang kurang subur sehingga sulit untuk dimanfaatkan, disamping karena status kepemilikan dari lahan tersebut.

Tabel 1. Luas lahan aktual pada pemanfaatan pertanian dan perkebunan di Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat

Tahun Lahan kering (ha)

Perkebunan (ha)

Ladang Huma, Padang Rumput (ha)

Tegalan/ Kebun

Sawah (ha)

2010 71,132 15,165 4,125 16,720 8,279 2011 72,487 15,165 4,105 16,720 8,304 2012 73,068 13,113 5,530 19,879 8,210 2013 68,546 13,113 4,105 19,879 8,584 2014 68,590 13,117 4,105 19,919 8,584

Sumber: BPS Kabupaten Lombok Utara (2015)

Laju produksi beberapa komoditas pertanian selama lima tahun terakhir di Kabupaten

Lombok Utara mengalami pola yang beragam (gambar 3). Namun secara keseluruhan hampir semua komoditas mengalami peningkatan seiring bertambahnya waktu meskipun nilai koefisien determinasinya (R

2) terbilang cukup kecil. Hal ini menandakan bahwa produktivitas komodias

pertanian di lokasi penelitian dipengaruhi oleh faktor intensifikasi pertanian. Senada dengan pernyataan Maulana (2004) bahwa pola produktivitas padi sawah tidak dipengaruhi oleh fluktuasi luas lahan, namun salah satunya adalah karena menurunnya kualitas lahan sawah dan mutu usahatani. Diharapkan penggunaan lahan untuk komoditas pertanian kedepan disesuaikan dengan kualitas dan kesesuaian lahan sehingga produksi dan produktifitas komoditas pertanian yang dihasilkan lebih optimal.

Page 275: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

257

Gambar 3. Laju produksi beberapa komoditas pertanian selama lima tahun terakhir di Kabupaten

Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat

Hasil analisis spatial menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Lombok Utara tergolong lahan kering. Luas lahan yang potensial untuk pengembangan pertanian lahan basah adalah 11.811 ha. Komoditas yang dapat diusahakan pada tipologi lahan ini adalah tanaman pangan semusim karena syarat tumbuhnya cenderung tersedia terutama dari segi ketersediaan air, media perakaran, dan kondisi iklim mikro. Beberapa tanaman yang sesuai untuk tipologi lahan ini adalah padi sawah, jagung, kedelai, kacang tanah, cabai, ubi kayu, dan ubi jalar. Kelembaban optimum yang dibutuhkan oleh komoditas tersebut berada pada kisaran 30% hingga 80%. Kebutuhan air yang cenderung tinggi tidak menjadi masalah karena ketersediaan air pada tipologi lahan ini dapat selalu tersedia melalui jaringan irigasi aktual maupun potensial melalui pengelolaan lahan jika dilakukan pembukaan lahan baru. Persyaratan media perakaran baik solum tanah, tekstur dan persentase bahan kasar cenderung terpenuhi karena tipologi lahan ini memiliki kelerengan 0-3% sehingga kondisi tanah yang terbentuk lebih intensif. Dengan demikian ketersediaan unsur hara, retensi hara, dan bahaya erosi cenderung lebih optimum menunjang pertumbuhan beberapa komoditas tanaman pangan semusim tersebut diatas.

Tidak jauh berbeda dengan pertanian lahan basah, potensi lahan yang potensial untuk pertanian lahan kering adalah 11.801 ha. Komoditas yang dapat diusahakan pada tipologi lahan ini diantaranya kacang tanah, kedelai, jagung, ubi jalar, ubi kayu, cabai, pisang dan tanaman hortikultura lainnya. Dari segi jenis tanah tipologi lahan ini tidak jauh berbeda dengan lahan yang potensial untuk pertanian lahan basah, yang membedakan adalah tipe drainase dimana pada lahan yang sesuai untuk pertanian lahan kering cenderung lebih cepat dan tidak terhambat, sehingga ketersediaan oksigen di daerah perakaran lebih maksimal.

Tabel 2. Hasil analisis potensi lahan pertanian di Kabupaten Lombok Utara, NTB

Sistem Pertanian Luas (ha) Keterangan

Pertanian Lahan Basah, Tanaman Pangan 11,811 Semusim lahan basah

Pertanian Lahan Kering, Tanaman Pangan, dan Hortikultura

11,801 Semusim lahan kering

Pertanian Lahan Kering, Tanaman Pangan, Perkebunan, dan Hortikultura

7,471 Lereng 8-25%

Pertanian Lahan Kering, Tanaman Pangan, Perkebunan, dan Hortikultura

6,189 Lereng 15-40%

Hutan Lahan Basah 672 Wilayah konservasi

Hutan lahan kering 2,699 Wilayah konservasi

Kawasan Hutan 35,744

Hutan Produksi 4,967

Hutan Produksi Terbatas 6,830

Hutan Lindung 13,753

y = 4618,6x - 9E+06 R² = 0,6571

y = -237,67x + 486688 R² = 0,0431

y = 3627,6x - 7E+06 R² = 0,4747

y = 1162,8x - 2E+06 R² = 0,6251

y = 1619,9x - 3E+06 R² = 0,0792

y = 60,429x - 121269 R² = 0,1267

-

100

200

300

400

500

600

700

800

-

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

70.000

80.000

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Pro

d. C

abai

(t)

Pro

du

ksi (

t)

Tahun

Padi sawahPadi ladangJagungKacang tanahUbi kayu

Page 276: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

258

Tawan Nasional 9,458

Taman Wisata Alam 22

Taman Wisata Alam Laut 714

Pemukiman 3,558

Sumber: Data primer diolah (2014)

Potensi lahan kering lainnya teridentifikasi seluas 7.471 ha dengan kelerengan 8-25%.

Beberapa komoditas yang dapat diupayakan pada tipologi lahan ini adalah ubi jalar, pisang, durian, kakao, kelapa, kopi robusta, cengkeh, dan tanaman perkebunan lainnya. Sangat tidak dianjurkan untuk tanaman semusim tanpa adanya kombinasi dengan tanaman tahunan untuk menekan laju erosi.

KESIMPULAN

Hasil analisis spasial terhadap data penginderaan jauh dengan menggunakan aplikasi system informasi geospasial menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Lombok Utara masuk dalam kategori lahan kering. Seluas 11.811 ha potensial untuk lahan pertanian basah yang diarahkan untuk tanaman pangan, 11.801 ha potensial sebagai pertanian lahan kering yang dapat diarahkan untuk tanaman pangan dan hortikultura. Pertanian lahan kering dengan kondisi lereng 8-15% seluas 7.471 ha dan lereng 15-40% seluas 6.189 ha yang masing-masing dapat diarahkan untuk tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Teridentifikasi wilayah konservasi yang merupakan lahan sangat basah dan lahan yang memiliki kelerengan sangat terjal (>40%) sehingga tidak potensial untuk dijadikan sebagai lahan pertanian yaitu masing-masing seluas 672 ha dan 2.699 ha. Pada kawasan hutan seluas 35.744 tidak dilakukan analisis potensi lahan pertanian untuk menjaga keseimbangan ekosistem.

UCAPAN TERIMA KASIH

Bapak Dr. Moh.Nazam atas bimbingan dan arahannya sehingga hasil karya tulis ini dapat diselesaikan dengan optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, S., Ita Carolila dan Winarso. 2006. Implementasi penginderaan jauh dan SIG untuk inventarisasi daerah rawan bencana longsor (Propinsi Lampung). Jurnal Penginderaan Jauh 3 (1): 77-86.

BAPPENAS.2010. Laporan akhir kajian evaluasi revitalisasi pertanian dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani. Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Soktoral Kementerian PPN/Bappenas: 69-82.

Barus, B., D. R. Panuju, L.S. Iman, B. H. Trisasongko. 2012. Pemetaan potensi konversi lahan sawah dalam kaitan lahan pertanian berkelanjutan dengan analisis spasial. Dalam Prosiding Seminar dan Kongres HITI X yang diselenggarakan pada tanggal 6-8 Desember 2011 di Solo: 554-561.

Djaenudin, D. 2008. Perkembangan penelitian sumber daya lahan dan kontribusinya untuk mengatasi kebutuhan lahan pertanian di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 27 (4): 137-145.

Ermaiyant, Nur Irfan Asyari dan Tiar Pandapotan Purba. 2016. Analisis daya dukung lahan sektor pertanian berbasis spasial di Nagari Taram Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Gontor Agrotech Science Journal 2 (2): 21-36.

Goldberg, J., J. Perry, And J. Anderson. 1999. Remote Sensing of Natural Areas: Procedures and Considerations for Assesing Vegetation Composition Change, Land Development, and Erosion. Technical Report of Wetland Program School of Marine Science Virginia Institute of Marine Science Collage of William and Mary Gloucestar Point, Virginia: 4 p.

Lelono, G. I. 2016. Pembangunan sektor pertanian dapat meningkatkan ketahanan pangan Nasional. Artikel Ilmiah kategori Hukum Tata Negara/Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Pattimura. http://fhukum.unpatti.ac.id/htn-han/169-pembangunan-sektor-pertanian-dapat-meningkatkan-ketahahan-pangan-nasional. [Diunduh Tgl 23 September 2016].

Page 277: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

259

Lillesand, T.M., dan R.W. Kiefer. 1994. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Alih Bahasa: Dulbahri. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Maulana, Mohamad. 2004. Peranan luas lahan, intensitas pertanaman dan produktivitas sebagai sumber pertumbuhan padi sawah di Indonesia 1980-2001. Jurnal Agro Ekonomi 22 (1): 74-95.

Moniaga, Vicky R. B. 2011. Analisis Daya Sukung Lahan Pertanian. ASE 7 (2): 61-68.

Mulyani, A., dan F. Agus. 2006. Potensi lahan mendukung revitalisasi pertanian. Dalam Prosiding Seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pertanian: 279-295.

Nugroho, K. dan Wahyunto. 2015. Penggunaan citra penginderaan jauh untuk mendukung mitigasi dampak perubahan iklim di sektor pertanian. Jurnal Sumberdaya Lahan 9 (1): 1-14.

Raharjo, Puguh Dwi. 2010. Teknik penginderaaj jauh dan sistem informasi geografis untuk identifikasi potensi kekeringan. Makara, Teknologi 14 (2): 97-105.

Richards, J. A., and X. Jia. 2006. Remote sensing digital image analysis-4th Ed. Springer ISBN 978-

3540251286.

Saripin, I. 2003. Identifikasi penggunaan lahan dengan menggunakan citra landsat thematic mapper. Buletin Teknik Pertanian 8 (2): 49-54.

Sartohadi, J., dan R. F. Putri. 2008. Evaluasi potensi degradasi lahan dengan menggunakan analisa kemampuan lahan dan tekanan penduduk terhadap lahan pertanian di Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo. Forum Geografi, 19 (2): 1-12.

Shofiyanti, Rizatus. 2011. Teknologi pesawat tanpa awak untuk pemetaan dan pemantauan tanaman dan lahan pertanian. Informatika Pertanian, Vol 20 (2): 58-64.

Sumarlin, Yayuk Farida Baliwati dam Ernan Rustiadi. Analisis kebutuhan luas lahan basah pertanian pangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Lampung Barat. Jurnal Gizi dan Pangan 3 (3): 198-204.

Sumarno. 2012. Konsep Pelestraian Sumber Daya Lahan Pertanian dan Kebutuhan Teknologi. Iptek Tanaman Pangan 7 (2): 130-141.

Wahyunto, Widagdo dan Bambang Heryanto. 2006. Pendugaan produktivitas tanaman padi sawah melalui analisis citra satelit. Informatika Pertanian 15: 853-869.

Page 278: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

260

RESPON PETERNAK DAN PENYULUH TERHADAP TEKNOLOGI PEMBUATAN PAKAN TERNAK BERBASIS LIMBAH TANAMAN JAGUNG DI KECAMATAN

KEDURANG ILIR

RESPONSE OF BREEDER AND EXTENSION AGENT TO TECHNOLOGY OF CORN WASTE -BASED ANIMAL FEED IN DISTRICT KEDURANG ILIR

Siswani Dwi Daliani, Linda Harta dan Engkos Kosmana

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Bengkulu 38119

e-mail :[email protected]

ABSTRAK

Tanaman jagung menghasilkan limbah berupa batang jagung , daun pelepah , dan buah jagung muda yang ketersediannya cukup banyak dan belum dimanfaatkan secara optimal. Keterbatasan pakan merupakan salah satu kendala dalam usaha peternakan baik ternak ruminansia besar maupun kecil.Batang jagung bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak, namun yang menjadi kendala yaitu tingginya serat kasar sehingga menyebabkan jerami jagung tidak semuanya dikonsumsi oleh ternak.Masih rendahnya informasi teknologi pengolahan pakan sehingga diperlukannya suatu metode yang tepat dalam penyebaran inovasi teknologi. Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui respon peternak dan penyuluh terhadap teknologi pembuatan pakan ternak.Pengkajian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2016 di Desa Air Sulau Kecamatan Kedurang Ilir dengan melibatkan peternak dan penyuluh di BP3K Kedurang Ilir. Metode Pengkajian yang diterapkan adalah survei dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Data primer yang diambil meliputi karakteristik peternak dan penyuluh, respon petani dan penyuluh dalam teknologi amoniasi jerami jagung. Analisis data menggunakan interval kelas dan analisis deskriptif. Hasil kajian memperlihatkan respon peternak dan penyuluh terhadap teknologi pembuatan pakan sangat tinggi berada pada level sangat setuju 52,9 % dan pada level setuju sebesar 35,3%, serta sisanya pada level cukup setuju. sehingga hal ini menunjukkan respon positif dari petani ternak dan penyuluh terhadap inovasi teknologi pengolahan jerami jagung sebagai pakan ternak.

Kata kunci :jagung, peternak, penyuluh, respon, teknologi pakan

ABSTRACT

Corn plants produce waste in the form of cornstalks availability is quite a lot andhave not been used optimally.Limitations of feed is one of the obstacles in farm businesses both large and small ruminants. Corn stalks can be used as animal feeds, but the constraints that the high crude fiber, causing corn straw is not all consumed by livestock. The low information feed processing technology so that the need for a proper method dissemination of technological innovations. The purpose of the assessment is to determine participants' responses to technology demonstrations way of making animal feed. This assessment was conducted in June 2016 in the village of Air Sulau Kedurang Ilir subdistrict involving cattle farmer and educator in BP3K Kedurang Ilir. Assessment method applied is survey using a structured questionnaire. Primary data captured includes the characteristics of farmers and extension workers, farmers and extension response in corn straw ammoniation technology. The analysis tool uses the class interval and descriptive analysis. Results of the study showed response livestock farmers and extension workers to feed manufacturing technology is very high at the level of 52.9% strongly agree and agree on a level of 35.3%, and the remaining at a level quite agree. so that it shows a positive response from livestock farmers and extension workers to technological innovation straw processing corn for animal feed.

Keywords: corn, farmers, extension workers, response, food technology

PENDAHULUAN

Jagung merupakan salah satu tanaman pangan yang kebutuhannya semakin meningkat.Jagung bukan hanya digunakan sebagai bahan pangan tetapi juga limbahnya dapat digunakan sebagai salah satu bahan pakan ternak.kebutuhan jagung semakin meningkat seiring dengan berkembangnya indutri pakan dan pangan, untuk itu pemerintah melalukan program penanaman jagung. Tanaman jagung

Page 279: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

261

mempunyai limbah yang mana pada saat panen limbah tanaman jagung belum dimanfaatkan secara optimal oleh petani, baik itu untuk pakan ternak maupun untuk dibuat sebagai kompos.

Limbah tanaman jagung terdiri dari batang jagung (seluruh tanaman termasuk batang, daun, buah jagung muda), brangkasan/jerami jagung (batang jagung dan daun jagung), kulit buah jagung dan tongkol jagung ( Tangendjaja, et all, 2010).

Kabupaten Bengkulu Selatan khususnya Desa Air Sulau Kecamatan Kedurang Ilir merupakan salah satu daerah sentra pengembangan ternak sapi potong.Sebagaian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani dan peternak.Saat ini yang menjadi kendala bagi peternak yaitu ketersediaan rumput semakin sulit diperoleh sehingga diperlukan pakan alternatif selain rumput untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok ternak sapi.Saat ini peternak sudah mulai mencoba untuk memanfaatkan jerami jagung sebagai pakan ternak, tetapi belum ada sentuhan teknologi yang digunakan peternak untuk mengolah sebagai pakan tambahan ternak yang berkadar protein cukup.

Peningkatan produktifitas ternak dapat dilakukan dengan cara memberikan penyuluh kepada peternak melalui teknologi pengolahan pakan, sehingga diharapkan adanya respon yang positif terhadap teknologi yang disampaikan. Menurut Berkowizth ( Wirawan, 2005) Respon adalah suatu reaksi yang timbul dari pengamatan pengamatan terhadap objek tertentu. Respon dikatakan sebagai suatu reaksi, dan reaksi tersebut hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu objek atau stimulus yang menghendaki penilaian yang menghendaki penilaian dalam diri individu, sehingga memberikan kesimpulan terhadap objek tertentu dalam bentuk baik atau buruk , setuju atau tidak setuju, yang kemudian mendasar sebagai potensi reaksi, terhadap objek yang dihadapi.Sedangakan menurut Rusmialdi (1997), respon adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh individu akibat merasakan rangsangan. Respon juga dapat diartikan sebagai wujud reaksi (tanggapan) dari interpretasi seseorang mengenai rangsangan yang datang pada dirinya, dalam hal ini indera seseorang

Pentingnya mengetahui respon petani dan penyuluh dalam proses adopsi inovasi adalah untuk mengetahui tanggapan sasaran (calon adopter) berupa umpan balik terhadap inovasi teknologi yang disampaikan. Dari respon sasaran tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan indikator evaluasi perubahan perilaku sasaran penyuluhan yang berupa : Perubahan pengetahuan (kognitif), Perubahan Sikap (afektif) dan perubahan Keterampilan (psikomotorik). (Erwin,2011)

Inovasi merupakan ide atau gagasan, Metode dan produk (barang dan jasa) yang harus mempunyai sifat “Baru”, Sifat “Baru” tersebut tidak selalu bersal dari penelitian mutakhir, hasil penelitian yang sudah lama pun bisa disebut inovasi, apabila di introduksikan kepada masyarakat yang belum pernah mengenal sebelumnya. Jadi sifat “baru” pada satu inovasi harus dilihat dari sudut pandang masyarakat tani (calon adopter) bukan kapan inovasi tesebut dihasilkan (Musyafak, et all. 2005).

Teknologi pembuatan pakan ternak berbasis limbah tanaman Jagung bagi Peternak dan penyuluh di Kecamatan Kedurang Ilir Kabupaten Bengkulu Selatan merupakan inovasi, dimana inovasi teknologi tersebut belum dikenal sebelumnya oleh petani dan penyuluh.teknologi pembuatan pakan ternak berbasis limbah tanaman Jagung merupakan teknologi pakan alternatif dalam pemenuhan sumber pakan bagi ternak baik untuk pakan alternatif ketika terjadi kemarau panjang maupun sebagai pakan subtitusi yang meringankan petani dalam memenuhi pakan ternak sehari-hari.

Berdasarkan hal tersebut, pengkajian ini dimaksudkan untuk mengetahui respon peternak dan Penyuluh terhadap inovasi teknologi pembuatan pakan ternak berbasis limbah tanaman Jagung di Desa Air Sulau Kecamatan Kedurang Ilir Kabupaten Bengkulu Selatan.

METODE PENELITIAN

Pengkajian dilaksanakan pada bulan Juni Tahun 2016 di Desa Air Sulau Kecamatan Kedurang Ilir Kabupaten Bengkulu Selatan.Jumlah responden sebanyak 17 orang yang terdiri dari peternak dan penyuluh pertanian, adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam pengkajian ini adalah survei dengan menggunakan alat bantu kuesioner.Pada pengkajian ini, jenis data yang yang dikumpulkan ada data primer yakni data yang diperoleh langsung dari responden, wawancara degnan cara bertanya langsung untuk mendapatkan informasi langsung dari responden untuk tujuan yang ingin dicapai, kuisioner berguna untuk mengumpulkan data primer yang diperoleh dari hasil responden terhadap pertanyaan yang diajukan.Sampel dalam pengkajian ini adalah warga yang tergabung dalam kelompok tani desa Sulau dan penyuluh pertanian di Kecamatan Kedurang ilir Kabupaten Bengkulu Selatan

Page 280: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

262

Sebelum pengambilan data responpeternak dan penyuluh pertanian, terlebih dahulu dilakukan penyuluhan dengan metode ceramah menerangkan secara teoritis tentang teknologi tersebut, kemudian dilanjutkan dengan demontrasi cara. Setelah dilaksanakan penyuluhan kemudian di lakukan pengambilan data respon petani terhadap teknologi pembuatan pakan fermentasi limbah jagung tersebut dengan 5 kriteria yaitu : 1). Sangat Tidak Setuju, 2). Tidak Setuju, 3). Cukup Setuju, 4). Setuju, 5). Sangat Setuju.

Pengolahan data yang diperoleh dari lapangan dianalisis dengan menggunakan analisis Interval kelas dengan rumus interval kelas.. Menurut Nasution dan Barizi dalam Rentha, (2007), penentuan interval kelas untuk masing-masing indikator adalah:

NR = NST – NSR dan PI = NR : JIK

Dimana :

NR : Nilai Range

PI : Panjang Interval

NST : Nilai Skor Tertinggi

JIK : Jumlah Interval Kelas

NSR : Nilai Skor Terendah

Dengan alat analisis interval kelas maka akan diperoleh frekwensi kecenderungan respon dari petani ternak dan penyuluh terhadap teknologi pembuatan pakan ternak berbasis limbah tanaman Jagung, yang ditunjukan dalam persen, Kemudian dari hasil analisis interval kelas dilanjutkan dengan analisis deskpriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Responden yang diamati dalam pengkajian ini sebanyak 17 orang, yang terdiri dari 9 orang penyuluh pertanian dan 8 orang Petani ternak.Karasteristik responden yang diamati dalam kajian ini meliputi umur responden dan tingkat pendidikan. Kedua karakteristik tersebut dapat mempengaruhi pembelajaran, cara berpikir dan mengambil keputusan, sebagai mana menurut Sukartawi dalam Kartono (2015) variable yang mempengaruhi proses adopsi inovasi diantaranya : umur, tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan/ pengalaman serta latar belakan sosial ekonomi. Hal ini turut didukung oleh Mardikanto dalam Kartono et all.(2015) kemampuan fisik dan berfikir seseorang secara alamiah akan dipengaruhi oleh umur, umur muda biasanya memiliki semangat untuk ingin tahu lebih tinggi, sedangkan yang semakin tua akan lebih lambat meneima hal-hal baru dan cenderung mengikuti kebiasaan. Senada dengan pendapat tersebut Klenden (2014) menyatakan bahwa semakin muda umur responden, semakin tanggap terhadap inovasi baru sehingga semakin tinggi peluang petani mengadopsi inovasi teknologi, sedangkan yang lebih tua pada umumnya bertahan pada sistem yang lama yang sudah biasa diterapkan oleh masyarakat.

Umur responden sangat bervariasi berkisar antara 30 tahun sampai dengan umur 55 tahun, secara umum umur responden berada pada umur produktif, untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam keragaan karakteristik pada tabel 1.

Tabel 1. Tingkat umur responden

No Tingkat Umur Jumlah Persentase (%)

1 30 ≤ x ≤ 35 4 23,5

2 35 < x ≤ 40 2 11,8

3 40 < x ≤ 45 1 5,9

4 45 < x ≤ 50 8 47,1

5 50 < x ≤ 55 2 11,8

Sumber : Data Primer yang telah diolah (Tahun 2016)

Jumlah responden terdiri dari 5 kelas umur, kelas paling banyak responden dengan umur 45

< x ≤ 50 Sebanyak 47,1 %, dan responden paling sedikit pada kelas umur 35 < x ≤ 40 dan 50 < x ≤ 55 sebanyak 11,8 %, untuk umur yang paling muda berada pada kelas 30 ≤ x ≤ 35 sebanyak 23,5% (tabel. 1). Rata-rata umur reponden masih dalam usia produktif . Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram karakteristik responden berdasarkan umur, pada gambar 1.

Page 281: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

263

Gambar 1. Grafik karakteristik responden berdasarkan umur

Tingkat pendidikan responden sangat beragam mulai dari SD, SLTP, SLTA, DIII dan S1, untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Tingkat pendidikan responden

No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)

1 SD 2 11,8

2 SLTP 3 17,6

3 SLTA 6 35,3

4 DIII 2 11,8

5 S1 4 23,5

Sumber : Data Primer yang telah diolah (Tahun 2016)

Jumlah responden terdapat 5 kelas Tingkat pendidikan, kelas paling banyak responden

dengan Tingkat pendidikan SLTA Sebanyak 35,3 %, dan responden paling sedikit pada pada tingkat pendidikan SD dan DIII sebanyak 11.8%. Tingkat pendidikan paling tinggi adalah S1 sebayak 23,5 % serta tingkat pendidikan paling rendah adalah SD sebanyak 11,8 % (Tabel.2). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada diagram karakteristik responden berdasarkan umur, pada gambar 2.

Gambar 2. Grafik karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan

Dari grafik diatas menunjukkan penyebaran tingkat pendidikan responden sangat beragam, dengan demikian penyebaran tingkat pendidikan responden yang bervariasi akan mempengaruhi respon dalam menerima inovasi teknologi.

23%

12% 6%

47%

12%

Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

30 ≤ x ≤ 35

35 < x ≤ 40

40 < x ≤ 45

45 < x ≤ 50

12%

18%

35% 12%

23%

Tingkat Pendidikan responden

SD

SLTP

SLTA

DIII

S1

Page 282: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

264

Respon petani terhadap inovasi teknologi

Teknologi pembuatan pakan ternak berbasis limbah tanaman jagung merupakan salah satu inovasi teknologi yang disampaikan kepada petani ternak dan penyuluh di Desa Air Sulau Kecamatan Kedurang Ilir Kabuapten Bengkulu Selatan, karena kedua potensi tersebut banyak terdapat di daerah tersebut baik potensi limbah jagung, maupun populasi ternak sapi potong. Jika teknologi tersebut dapat di adopsi oleh petani maka sudah dapat di pastikan akan menjadi usaha yang sangat menguntungkan bagi para petani.

Respon petani dapat diartikan sebagai perubahan sikap petani yang diakibatkan adanya rangsangan (stimulus) dari luar dan dari dalam diri petani, dalam wujud melaksanakan program, memperluas areal tanam, pengorganisasian kelompok, dan mengumpulkan serta menyebarluaskan informasi teknologi (Rifki 2011).

Dalam upaya pengenalan inovasi baru kepada petani dapat terjadi respon yang beragam dari calon adopter, beragam respon tersebut dapat menjadi sebuah acuan dasar terhadap sikap petani terhadap inovasi teknologi yang akan di adopsi.

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana respon petani terhadap inovasi teknologi pembuatan pakan ternak berbasis limbah tanaman Jagung, maka diperoleh hasil sebagai berikut ( Tabel 3) :

Tabel 3. Kelas respon petani dan penyuluh

Kelas Batas Kelas Tailly Frekwensi (%)

1 1,00 ≤ x ≤ 1,80 0 0,0

2 1,80 < x ≤ 2,60 0 0,0

3 2,60 < x ≤ 3,40 2 11,8

4 3,40 < x ≤ 4,20 6 35,3

5 4,20 < x ≤ 5,00 9 52,9

Sumber : Data Primer yang telah diolah (Tahun 2016) keterangan :1,00 ≤ x ≤ 1,80 = sangat tidak setuju, 1,80 < x

≤ 2,60= Tidak setuju, 2,60 < x ≤ 3,40= Cukup Setuju, 3,40 < x ≤ 4,20 = Setuju, 4,20 < x ≤ 5,00 = Sangat Setuju

Dari data diatas dapat dilihat bahwa respon petani terhadap teknologi pembuatan pakan ternak berbasis limbah tanaman Jagung tidak banyak bervariasi yakni berkisar antara cukup setuju sampai sangat setuju, dengan paling banyak responden yang menjawab sangat setuju sebanyak 52,9 % dan responden yang menjawab cukup setuju sebanyak 11,8 %, Hal ini menunjukan respon positif terhadap inovasi yang disampaikan kepada responden tersebut karena secara kesuluruhan yang setuju mencapai 88,2%, dari hasil tersebut yang harus menjadi bahan rujukan evaluasi adalah sebanyak 11,8 % responden yang hanya cukup setuju sehingga perlu lebih diyakinkan lagi terhadap inovasi yang akan diintroduksikan.

Perbandingan respon petani dan penyuluh berdasarkan hasil observasi yang telah dilaksankan, bisa kita lihat pada tabel 4 berikut ini.

Tabel 4.Perbandingan kelas respon peternak dan penyuluh

Kelas Batas Kelas Penyuluh Petani

Tailly Frekwensi (%) Tailly Frekwensi (%)

1 1,00 ≤ x ≤ 1,80 0 0,0 0 0,0

2 1,80 < x ≤ 2,60 0 0,0 0 0,0

3 2,60 < x ≤ 3,40 1 5,9 1 5,9

4 3,40 < x ≤ 4,20 4 23,5 2 11,8

5 4,20 < x ≤ 5,00 4 23,5 5 29,4

Sumber : Data Primer yang telah diolah (Tahun 2016)

Dari tabel diatas bisadilihat bawah perbandingannya respon peternak dan penyuluh terhadap

inovasi yang disampaikan, jika kita lihat pada penyuluh responnya seimbang antara yang memberi respon setuju dan sangat setuju yakni 23,5 %, serta yang cukup setuju sebanyak 5,9%, terhadap teknologi fermentasi limbah jagung tersebut sedangkan pada respon petani terlihat sangat variatif yakni paling tinggi petani memberikan respon sangat setuju sebanyak 29,4%, setuju sebanyak 11,8 %, dan cukup setuju 5,9 %. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat padagambar 3 berikut ini.

Page 283: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

265

Gambar 2. Grafik karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan

Respon petani dan penyuluh sangat berimbang yakni sama-sama berada pada kuadran positif dan tidak terdapat respon petani yang berada di kuadran negatif.Jadi dapat diartikan bahwa inovasi teknologi pembuatan pakan ternak berbasis limbah tanaman Jagung mendapat respon yang positif dari penyuluh dan petani.

KESIMPULAN

Respon petani ternak dan penyuluh terhadap teknologi pembuatan pakan sangat tinggi berada pada level sangat setuju 52,9 % dan pada level setuju sebesar 35,3%, serta sisanya pada level cukup setuju hal ini menunjukkan respon positif dari petani ternak dan penyuluh terhadap inovasi teknologi pengolahan jerami jagung sebagai pakan ternak.Sehingga peluang peternak untuk mengadopsi teknologi tersebut cukup besar.

DAFTAR PUSTAKA

Erwin, 2011.Mengevaluasi pelaksanaan penyuluhan pertanian, bahan diklat pertanian level super visor.

Kartono, et all. 2015. Kefektifan pelatihan dalam meningkatakan pengetahuan petani tentang pengendalian hama dan penyakit padi sawah. Dalam Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 24-25 Agustus di Bogor, Temu teknis jabatan pungsional non peneliti : Vol-: 215-221

Klenden, Yasintha L. 2014. Faktor – faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi infus asap di kabupaten timur tengah selatan, NTT – Indonesia. KAWISTARA.Vol. 4.Nomor. 2, 17 Agustus 2014, Hal: 111-224.

Musafak, A., et all. 2005. Strategi percepatan adopsi inovasi dan difusi inovasi pertanian mendukung prima tani.

Rentha, T. 2007. Identifikasi Perilaku, Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Irigasi Teknis Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga Pupuk di Desa Bedilan Kecamatan Belitang OKU Timur (Skripsi S1). Universitas Sriwijaya.Palembang.

Rifki. Dkk. 2011. Respon petani terhadap kegiatan sekolah lapangan pengelolaan tanaman terpadu (SLPTT) di kecamatan ajibarang kabupaten banyumas. Jurnal Pertanian, Jurnal Ilmu-ilmu pertanian MEDIAAGRO Vol 7. No. 2, 2011: HAL 48 – 60

Rusmialdi, R. 1997. Tanggapan Petani Terhadap Iuran P3A di Kabupaten Lampung Tengah, Propinsi Lampung (Antisipasi Terhadap Pengembangan P3A Mandiri).Jurnal Sosial Ekonomika. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Wirawan, S. 2005. Teori-teori Psikologi Sosial. Rajawali Pers. Jakarta.

0

5

10

15

20

25

30

35

STS TS CS S SS

Perbandingan respon penyuluh

dan petani

Penyuluh

Petani

Page 284: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

266

PERFORMAN PERTUMBUHAN KAMBING PERANAKAN ETAWA (PE) MELALUI TEKNOLOGI INSEMINASI BUATAN (IB)DENGAN KAMBING BOER DI KABUPATEN

KONAWE SELATAN

GROWTH PERFORMANCE OF GOAT ETAWA CROSSBREED (PE) THROUGH ARTIFICIAL TECHNOLOGY (AI) WITH BOER CEMEN IN SOUTH KONAWE DISTRICT

Wa Ode AlJumiati1, Miftah Hidayat

1 dan Jhon Firison

2

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara Jln. Prof. Muh. Yamin No.89 Kendari1

Telepon (0401) 3125871 Faximili (0401) 3123180 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jln. Jl. Irian Km. 6,5 Kelurahan Semarang

2

Telepon (0736)23030 Fax. (0736) 345568 [email protected]

ABSTRAK

Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing Etawah dengan kambing lokal.Saat ini di Indonesia, kambing PE dianggap sebagai kambing dwiguna, namun pertumbuhannya relatif lambat, sehingga diperlukan perbaikan teknologi IB untuk meningkatkan performan pertumbuhan kambing PE. Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki performan pertumbuhan kambing PE melalui Teknologi Inseminasi Buatan (IB) dengan semen kambing boer, dilaksanakan pada bulan Apri-Desember 2014 di Kabupaten Konawe Selatan, dengan menggunakan 18 ekor kambing PE dengan dua perlakuan, masing-masing perlakuan menggunakan 9 ekor kambing. Perlakuan A=PE dengan perkawinan alam dengan pejantan PE sebagai kontrol. Perlakuan B=PE dengan perkawinan IB semen Boer dengan parameter yang dimati adalah berat lahir, panjang badan dan tinggi badan, dianalisis dengan menggunakan uji t. Dari hasil penelitian didapat rata-rata berat lahir perlakuan A = 2,06 kg sedangkan perlakuan B = 2,92 kg. Hasil analisis statistik menunjukkan pelaksanaan IB pada kambing PE menggunakan semen kambing Boer nyata meningkatkan berat lahir. Rata-rata panjang badan anak kambing PE dari perkawinan alam sebesar 26,75 cm dan rata-rata panjang badan anak kambing hasil IB sebesar 33,00 cm. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pelaksanaan IB sangat nyata meningkatkan panjang badan. Rata-rata tinggi badan anak kambing PE dari perkawinan alam sebesar 25,50 cm dan rata-rata tinggi badan anak kambing hasil IB sebesar 30,00 cm. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pelaksanaan Inseminasi Buatan pada kambing PE menggunakan semen kambing Boer sangat nyata meningkatkan tinggi badan. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan persilangan kambing PE dengan semen boer dapat memperbaiki performan fisiologi anak kambing PE baru lahir.

Kata kunci : performan pertumbuhan, kambing PE, IB semen boer

ABSTRACT

PE goats is the result of a cross breedbetween Etawa and local goats. Currently in Indonesia, PE goats regarded as a dual-purpose , but the growth is relatively slow, so that the necessary useArtificialInsemination (AI) technology to improve growth performance. This study aims to improve growth performance goat through AI Technology with Boer goat semen, carried out in April to December 2014 in South Konawe, by using 18 goats PE with two treatments, each treatment using a 9 goats. Treatment A = PE with natural mating as a control. Treatment B = PE with IB mating Boer semen with parameters were birth weight, length or height, analyzed using t-test. The result is the average birth weight of treatment A 2.06 kg and for treatment B 2.92 kg. Statistical analysis of the implementation of AI in PE goats using Boer goat semen shows significant to increase birth weight. The average lamb body length of natural mating 26.75 cm and the average lamb body length with AI results of 33.00 cm. Statistical analysis showed that the implementation of AI is very markedly increased body length. The average lamb height with natural mating 25,50 cm and the average lamb height with AI results 30.00 cm. Statistical analysis showed that the implementation of Artificial Insemination in goats using cement Boer is very noticeable increase of height. From the discussion, it can be concluded cross boer goats with cement can improve the performance of the physiology of newborn lambs.

Keywords: performan growth, PE goats, AI boer cement

Page 285: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

267

PENDAHULUAN

Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing Etawah dengan kambing Kacang. Saat ini di Indonesia, kambing PE dianggap sebagai kambing dwiguna, namun pertumbuhannya relatif lambat, yaitu sekitar 30-65 g/hari (Sutama et al., 1994; 1995) dan bobot hidup pada umur satu tahun baru mencapai sekitar 14-17 kg (Sutama, 1996).

Usaha peningkatan produktivitas ternak pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu perbaikan faktor genetik dan perbaikan fakor lingkungan. Faktor genetik merupakan potensi atau kemampuan yang dimiliki oleh ternak, sedangkan faktor lingkungan merupakan kesempatan yang diperoleh ternak tempat ternak itu berada.Usaha perbaikan faktor lingkungan seperti perbaikan kualitas dan kuantitas pakan telah banyak dilakukan. Salah satu cara untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu genetik kambing adalah dengan seleksi ataupun pembentukan bangsa baru melalui introduksi gen dari luar. Usaha ini belum banyak dilakukan secara intensif di Indonesia. Pembentukan bangsa baru, pada umumnya dilakukan dengan cara perkawinan ternak dari bangsa berbeda (crossbreeding) yang disertai dengan kegiatan seleksi. Metode ini merupakan cara yang cepat untuk meningkatkan laju pertumbuhan ternak.

Pemeliharaan kambing Peranakan Etawa (PE) di Sulawesi Tenggara menempati posisi kedua setelah kambing Kacang. Jenis kambing PE dikenal sebagai jenis kambing tipe pedaging dan memiliki bobot badan dewasa tubuh mencapai + 60 kg/ekor, namun tingkat reproduksinya relatif lebih rendah dibanding kambing Kacang.Untuk mengatasi masalah tersebut ada upaya yang dilakukan untuk memperbaiki mutu genetik dan reproduksi melalui perkawinan silang dengan ternak yang produksi dagingnya lebih tinggi (kambing Boer), dengan harapan agar mendapatkan sifat produksi daging yang tinggi dari kambing Boer dan memperoleh penampilan tubuh yang baik dari kambing PE.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan selama 8 bulan mulai bulan April – Desember 2014 di Kecamatan Andoolo, Kabupaten Konawe Selatan.Penelitian ini menggunakan kambing Peranakan Etawa (PE).Untuk meningkatkan mutu genetik pada kambing PE akan diberi perlakuan IB dengan semen kambing Boer. Kambing yang digunakan sebanyak 18 ekor yang terbagi atas dua perlakuan, dimana untuk masing-masing perlakuan menggunakan 9 ekor kambing, sebagai berikut :

1. Perlakuan A Peranakan Etawa (PE) dengan PE sebagai kontrol dengan perkawinan alam

2. Perlakuan BPeranakan Etawa (PE)dengan perkawinan IB semen Boer

Parameter yang diamati adalah berat lahir, panjang badan dan tinggi badan diamati sesaat setelah kambing lahir.

a. Berat lahir (BL) diukur dengan menggunakan timbangan gantung dengan cara menimbang cempe sesaat setelah lahir dengan batas maksimal penimbangan 24 jam setelah cempe dilahirkan

b. Panjang badan (PB) absolut, diukur dengan menggunakan tongkat ukur dengan posisi kambing berdiri tegak dan keempat kaki kambing membentuk empat persegi panjang. Pengukuran dilakukan dari ujung sendi bahu ke bungkul tulang duduk

c. Tinggi badan (TB), diukur dengan menggunakan tongkat ukur dari atas tanah tempat kambing berdiri sampai dengan titik tertinggi pada gumba, pada tulang rusuk ketiga dan keempat.

Posedur Analisis Data

Data yang diperoleh dari perlakuan ditabulasi dan selanjutnya dianalisis statistik menggunakan uji t, (Steel R.G.D and J.H. Torrie, 1995)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Performan pertumbuhan anak kambing hasil pelaksanaan inseminasi buatan semen kambing Boer berdasarkan berat lahir, panjang badan dan tinggi badan disajikan pada tabel berikut :

Page 286: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

268

Tabel 1. Performan mutu genetik kambing hasil pelaksanan inseminasi buatan

Parameter Perlakuan

A B

Berat lahir (kg) Rata-rata

2,06 2,92*

Panjang badan (cm) Rata-rata

26,75 33,00**

Tinggi badan (cm) Rata-rata

25,50 30,00**

Sumber : Data primer (2014) Keterangan : * = nyata

** = sangat nyata

a. Berat Lahir

Tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata berat lahir anak kambing pada perlakuan A kambing PE kawin alamsebagai kontrol sebesar 2,06 kg, sedangkan rata-rata berat lahir anak kambing pada perlakuan B hasil perkawinan IB kambing PE dengan semen kambing Boer sebesar 2,92 kg. Hasil analisis statistik menggunakan uji t menunjukkan bahwa pelaksanaan inseminasi buatan pada kambing PE menggunakan semen kambing Boer nyata meningkatkan berat lahir apabila dibandingkan dengan kambing PE hasil kawin alam.Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Adhianto dan Sulastri (2007) menyatakan bahwa kambing Boerawa memiliki bobot lahir 2,9 kg. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kusuma et al., (2012) didapatkan bobot lahir 3,02 kg dan menurut Sutama et al.,(2003), rata-rata bobot lahir pada persilangan kambing boer dan peranakan etawah adalah 3,86 kg. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Sulastri et al., (2014) berat badan 3,22 kg.

Rendahnya berat lahir anak kambing PE hasil IB semen kambing Boer yang dilakukan kemungkinan disebabkan faktor genetik dan faktor lingkungan tempat dipelihara.Menurut pendapat Kostaman dan Sutama (2005),faktor genetik merupakan potensi atau kemampuan yang dimiliki oleh ternak, sedangkan faktor lingkungan merupakan kesempatan yang diperoleh ternak dimana tempatnya berada.Demikian pula disampaikan oleh (Mahmilia et al., 2010 ; Bharathidhasan et al., 2009; Thiruvenkadan et al., 2008) bahwa perbedaan berat lahir kambing dalam satu penelitian disebabkan oleh adanya perbedaan genetik serta perbedaan manajemen pemeliharaan di lokasi yang berbeda. Perbedaan berat lahir ternak pada bangsa yang sama dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan, perbedaan potensi genetik pejantan dan kondisi lingkungan.

b. Panjang Badan

Rata-rata panjang badan anak kambing PE pada perlakuan A = 26,75 cm dan rata-rata panjang badan anak kambing pada perlakuan B=33,00 cm. Hasil analisis statistik menggunakan uji t, menunjukkan bahwa pelaksanaan inseminasi buatan pada kambing PE menggunakan semen Boer sangat nyata meningkatkan panjang badan anak kambing apabila dibandingkan dengan kambing PE hasil kawin alam. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sulastri et al., (2014) bahwa panjang badan anak kambing persilangan kambing PE dengan kambing boer 25,83 cm, angka ini lebih rendah karena kemungkinan disebabkan oleh faktor lingkungan yang salah satunya adalah jenis pakan yang diberikan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan Sulastri et al., (2014) bahwa perbedaan ukuran-ukuran badan pada kambing disebabkan oleh ketercukupan pakan yang diberikan sehingga dapat memberikan pertumbuhan yang optimal.

Dari perbandingan tersebut, maka panjang badan kambing hasil persilangan Boer dengan lokal adalah lebih mendekat pada berat lahir kambing Boer. Dari kenyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa, ada kecenderungan pejantan kambing Boer memberikan pengaruh yang positif atau dominan terhadap berat lahir anak dari hasil persilangannya

Page 287: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

269

c. Tinggi Badan Rata-rata tinggi badan anak kambing pada perlakuan A= kambing PE dari perkawinan alam

sebesar 25,50 cm dan rata-rata perlakuanB= hasil IB kambing PE dengan semen kambing Boer sebesar 30,00 cm. Hasil analisis statistik menggunakan uji t menunjukkan bahwa pelaksanaan inseminasi buatan pada kambing PE menggunakan semen kambing Boer sangat nyata meningkat, tinggi badan anak kambing apabila dibandingkan dengan kambing PE hasil kawin alam.Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sulastri et al., (2014) bahwa tinggi badan anak kambing persilangan kambing PE dengan kambig boer 28,12 cm.

Besarnya tinggi badan hasil penelitian kemungkinan disebabkan oleh tipe Boer yang digunakan disamping manajemen dan lingkungan yang juga berbeda, Sulastri et al., (2014) kambing Boer juga merupakan kambing pedaging, dibandingkan dengan kambing lokal, persentase daging pada karkas kambing Boer jauh lebih tinggi, (Anonim, 2010), sehingga dari persilangan kambing Boer diperoleh postur badan yang tinggi serta bobot badan yang besar dari kambing PE.

KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa berat lahir, panjang badan dan tinggi badan anak kambing hasil IB kambing PE dengan semen Boer memberikan pengaruh lebih baik terhadap kambing PE kawin alam.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Ir. Muh. Rusman, MP; Ir. Yusuf, M.Si dan La Wangi, S.Pt yang telah membantu dalam penelitian dan pengumpulan data.

DAFTAR PUSTAKA

Adhianto, K., dan Sulastri. 2007 Evaluasi Performan Produksi Kambing Peranakan Ettawa dan Boerawa pada system Pemeliharaan di Pedesaan. Jurnal Agritek-Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, Teknologi Pertanian, Kehutanan, Terakreditasi Ditjen Dikti No.26/DIKTI/KEP/2005, Vol. 15 (3) Juni 2007, Hal 504-506.

Anonim. 2010. Its All About Goat and Sheep. http://id.wikipedia.org.[7 Januari 2010]

Bharathidhasan, A., R. Narayanan, P. Gopu, A. Subramanian, R. Prabakaran, and R. Rajendra. 2009. Effect Non Genetic Factors on Birth Weight, Weaning Weight and Pre weaning Gain of Barbari goat. Tamilnadu. J. Vet. Anim. Sci. 5(3): 99-103.

Kusuma. A,N. Ngadiyono, Kustantinah dan I.G.S. Budisastra. 2012. Lama Keuntingan. Litter Size dan Bobot Lahir Kambing Boerawa pada Pemeliharaan Perdesaan di Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 12 (2): 131-136 ISSN 1410-5020.

Kostaman, T. dan I-K Sutaman. 2005. Laju Pertumbuhan Kambing Anak Hasil Persilangan Antara Kambing Boer dengan Peranakan Etawah pada Periode Pra-Sapih. JITV 10 : 106 – 112

Mahmilia, F., M. Doloksaribu, dan S.Nasution. 2010. Pengaruh faktor non genetik terhadap bobot lahir kambing Boer pada Stasiun Percobaan Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.hal. 477-481.

Sutama, I-K., I.G.M. Budiarsana dan Y. Saefudin.1994.Kinerja Reproduksi Sekitar Puberitas dan Beranak Pertama Kambing Peranakan Etawah.Ilmu dan Peternakan 8: 9-12.

Sutama, I-K., I.G.M. Budiarsana, H. Setianto, dan A. Priyanti. 1995. Productive And Reproductive Performances Of Young Peranakan Etawah does. JITV 1: 81-85.

Sutama, I-K. 1996. Potensi produktivitas ternak kambing diIndonesia. Pros. Seminar Nasional Peternakan danVeteriner.Jilid I. Bogor, 7-8 Nopember 1995.PusatPenelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.hlm.35-50.

Sulastri., Sumadi., T.Hartatik dan N. Ngadiyono. 2014. Performans Pertumbuhan Kambing Boerawa di Village Breeding Centre, Desa Dadapan Kecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamus Povinsi Lampung. Sains Petrnakan Vol. 12 (1), Maret 2014:1-9

Thiruvenkadan, A.K., K. Chinnamani, J. Muralidharan, and K. Karunanithi. 2008. Effect Non Genetic Factors on Birth Weight of Mecheri Sheep of India. Livestock Research for Rural Development.

Page 288: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

270

DAFTAR PERTANYAAN

No.

Makalah

Judul Makalah Saran/Pertanyaan Tanggapan Pemakalah

1 Analisis Keberlanjutan Sistem

Integrasi Tanaman Padi dengan

Ternak Sapi pada Lahan Sawah

1. Apa perbedaan sistem

integrasi dengan

diversifikasi pada usahatani

tanaman dengan ternak.

2. Apakah metode

penghitungan nilai IKS

dapat digunakan pada

sistem usahatani

diversifikasi.

- Perbedaan sistem integrasi

dengan diversifikasi dalam

usahatani tanaman dengan

ternak terletak pada ada

tidaknya keterkaitan

hubungan antar komoditas

yang diusahkan, dan secara

prinsip penerapan sistem

integrasi bertujuan untuk

memperoleh keuntungan yg

optimal melalui efisiensi

pemanfaatan input,

sementara diversifikasi

usaha bertujuan untuk

memaksimalkan pendapatan

melalui penggunaan input

yang sebanyak-banyaknya.

- Metode penghitungan Nilai

IKS digunakan untuk

mengukur tingkat keeratan

siklus penggunaan input

internal antar komoditas

yang memiliki keterkaitan

hubungan antara yang satu

dengan yang lainnya.

Sementara pada sistem

usahatani diversifikasi

secara prinsip tidak dikenal

adanya hubungan

keterkaitan antar komoditas,

dengan demikian metode ini

tidak cocok digunakan.

3 Peningkatan Mutu Genetik

Kambing Lokal melalui Kawin

Silang dengan Kambing Unggul

di Desa Tembeling Kabupaten

Bintan Kepulauan Riau

1. Erpan Ramon

- Berapa produktifitas hasil

penelitian ini?

- Tolak ukur produktivitas

kambing hasil persilangan

pada penelitian ini?

- Dimulai dari jumlah anak

yang dilahirkan dengan

melihat performa cempe,

bobot lahir hasil persilangan

dengan kawin silang

menghasilkan heterosis.

- Produktivitas dilihat dari

anak yang dilahirkan.

4 Pemanfaatan Limbah Kebun

Sayuran terhadap Performance

Kambing Peranakan Etawah di

Kecamatan Kabawetan

Kabupaten Kepahiang

1. Dahono

- Apakah setiap jenis

sayuran memiliki gizi yang

sama dalam meningkatkan

bobot badan kambing?

- Fermentasi memakai

dekomposer apa?

2. Suryani

- Apakah sudah dihitung

efisiensi analisa

usahataninya?

- Sebenarnya kualitas gizi

semua sayuran hampir sama

- Menggunakan

mikroorganisme dalam

rumen/feses yang baru

keluar.

- Belum

5 Peranan Metode Demplot

terhadap Peningkatan Produksi,

Pendapatan, dan Perilaku Petani

Padi Sawah di Kota Bengkulu

1. Ir. Ahmad Damiri

- Pada tabel komponen hasil

terdapat range nilai tetapi

dihasil tidak ada,

Range umur sudah sesuai

dengan buku statistik 15-55

tahun (produktif), <15 tahun

(belum produktif), >55 tahun

Page 289: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

271

(Dr. Umi Pudjiastuti) penggunaan range umur

responden sudah ada

panduannya.

2. Ir. Sri Suryani Rambe

- Kenapa hanya 5 indikator

perilaku petani yang

digunakan? Tabel

komponen hasil sebaiknya

data agronomis dan

komponen hasil, siapa

responden pada kelayakan

usaha tani PTT dan non

PTT? Berapa umur

produktif yang cepat

menerima informasi yang

disampaikan?

(kurang produktif); sebelum

dilakukan penelitian terlebih

dahulu diberikan pemahaman

kepada petani sehingga

diperoleh 5 indikator sesuai

dengan kesepakatan.

17 Peningkatan Pengetahuan

dan Sikap Petani dalam

Memanfaatkan Limbah

Ternak dan Perkebunan di

Kabupaten Rejang Lebong

(Linda Harta Dan Umi

Pudji)

Dr. Wahyu Wibawa

Judul terkesan

membandingkan metode

tetapi tidak sesuai dengan isi

makalah

Ir. Ruswendi, MP

Kajian ini suda dilakukan

ditempat yang sama sudah

lama, tetapi mengapa ada

pengkajian ini tingkat

pengetahuannya masih

rendah?

Yang dilakukan adalah

mencoba metode demcara

bukan berbagai metode

Memang sudah lama

dilakukan, tetapi

penerapan teknologi masih

rendah

18 Efisiensi Protein, Energi, dan

Pakan pada Pertumbuhan

Ayam Leher Gundul dan Ayam

Normal (Harwi Kusnadi)

1. Siti Rosmanah, SP

- Ayam leher gundul dapat

dimanfaatkan untuk apa?

2. Dr. Wahyu Wibawa

- Apa keistimewaan ayam

leher gundul?

Untuk konsumsi

Lebih toleran untuk wilayah

subtropis

21 Peluang pengembangan usaha

ternak sapi potong berbasis

limbah kelapa sawit di

Kabupaten Seluma (Zul

Efendi,S.Pt)

Harwi Kusnadi, M.Sc

Seberapa banyak petani yang

sudah menggunakan limbah

kelapa sawit dari potensi yang

ada

Limbah pelepah sawit belum

bisa dimanfaatkan secara

optimal karena mesin

pencacah pelepah sawit masih

sulit didapatkan

22 Efektivitas M-Deck Terhadap

Kematangan Kompos Kotoran

Ayam

Faktor apa yang membuat

bahan cepat kehilangan panas

pada penelitian ini, sementara

temperatur tinggi dibutuhkan

untuk proses pematangan

kompos?

Diduga tumpukan bahan yang

terlalu rendah membuat

bahan lebih cepat kehilangan

panas, sehingga temperatur

yang tinggi tidak dapat

tercapai meskipun tinggi

tumpukan kompos sekitar 1

meter. Tinggi bahan

maksimum adalah 1,5 -1,8

meter

23 Performans Ayam Arab yang

Diberikan Pakan Solid

Fermentasi Pada Fase

Pertumbuhan (Wahyuni

Amelia)

Zul Efendi, S.Pt

Mengapa penggunaan solid

fermentasi tidak berbeda nyata.

Perlu dilakukan penambahan

literatur yang berkaitan

Hal tersebut merupakan hasil

penelitian yang didapatkan.

Akan dilihat kembali

29 Karakteristik Sifat Kualitatif

Sapi Kaur Betina di Provinsi

Bengkulu (Erpan Ramon)

Harwi Kusnadi, M.Sc

Kenapa yang dikarakteristikasi

hanya sapi betina saja? Apa

alasannya?

Sapi betina lebih mudah

ditemukan dengan umur lebih

dari 2 tahun. Sedangkan yang

jantan sulit ditemukan

Page 290: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

272

30 Pemberdayaan Kelompok

Peternak melalui Usaha

Pembuatan Pupuk Organik

Padat di Kabupaten Sleman

Apa kendala usaha ini apabila

diterapkan pada skala usaha

yang lebih besar?

- Di Kabupaten Gunung

Kidul ternak disana

menyebar maka kendalanya

tidak ada.

33 Respon Petani dan Penyuluh

terhadap Teknologi Pembuatan

Pakan Ternak Berbasis Limbah

Tanaman Jagung di Kecamatan

Kedurang Ilir (Siswani Dwi

Daliani Dan Linda Harta)

Harwi Kusnadi, M.Sc

Seberapa banyak potensi

limbah jagung dan berapa

banyak petani yang sudah

memanfaatkan?

Sri Suryani Rambe,M.Agr

Sebaiknya data penyuluh dan

petani itu dipisahkan

analisisnya karena respon bisa

berbeda?

Potensi jagung bisa dilihat di

latar belakang. Petani sudah

banyak yang memanfaatkan

limbah jagung, tetapi belum

difermentasikan

Analisisnya akan dipisahkan

87 Analisis Persepsi Anggota

Kelompok Tani terhadap

Teknologi Pemanfaatan Lahan

Pearangan Ramah Lingkungan

di Kota Sawahlunto

Dekomposer mana yang paling

baik diterapkan?

- Sebagai pembanding

menggunakan Trichoderma,

penggunaan dekomposer

mol rumen proses

dekomposernya lebih cepat

dan lebih baik.

89 Teknologi Pendeteksi Tingkat

Kekeringan Tanah Secara

Langsung di Lapangan

1. Gohan (BPTP Lampung)

- Pertanyaan : Alat yang

dibuat apakah sudah

portable? Berapa harga alat

tersebut ditingkat petani

dan bagaimana

pemasarannya?

Alat sudah portable dengan

harga ditingkat petani Rp

500.000,00 dan akan

dikembangkan lebih lanjut

sehingga dapat lebih

memenuhi keinginan petani

di lapangan serta diharapkan

dapat bersaing di pasar yang

lebih luas.

Page 291: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

273

RUMUSAN HASIL SEMINAR NASIONAL

Di Hotel Santika Bengkulu, 8 November 2016

1. Seminar Nasional yang dilaksanakan tanggal 8 November 2016 di Hotel Santika bertema Inovasi

Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di buka

oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian merupakan

bagian dari pelaksanaan Kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi

Bengkulu. Seminar Nasional dihadiri 220 orang peserta, berasal dari berbagai kalangan yang

terdiri dari unsur birokrat, peneliti/penyuluh lingkup Kementerian Pertanian, Kementerian Ristek,

dosen dan mahasiswa Perguruan Tinggi, Pengambil Kebijakan, Pemerintah Daerah, Perwakilan

Petani dan Organisasi Profesi yang berasal dari berbagai wilayah (24 Provinsi) di seluruh

Indonesia antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Kepulauan

Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa

Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,

Sulawesi Utara, Gorontalo,Bali dan Nusa Tenggara Barat.

2. Seminar Nasional ini merupakan salah satu upaya mewujudkan dan meningkatkan Scientific

Recognition yang dihasilkan oleh para peneliti, penyuluh, dosen dan penentu kebijakan, pelaksana

dan pengguna teknologi di bidang pertanian. Dari seminar ini diharapkan terjadi pertukaran

pengetahuan, pengalaman, dan informasi antara para peneliti, praktisi dan pengambil kebijakan.

3. Makalah yang diseminarkan terdiri atas 4 makalah utama dan 162 makalah pendukung yang

dibagi dalam 2 kelompok yaitu makalah yang dipresentasikan secara oral dan poster dari berbagai

aspek, bidang tanaman pangan, bidang sosial ekonomi, diseminasi penyuluhan dan kebijakan,

bidang hortikultura, bidang peternakan, perkebunan, serta pasca panen dan pengolahan pangan.

4. Paradigma baru “Penelitian untuk Pembangunan” (Research for Development) mempunyai makna

bahwa Balitbang berkomitmen kuat dan memberikan perhatian yang besar terhadap

pendayagunaan hasil penelitian dan mempercepat proses penerapannya di lapangan.

5. Peranan Inovasi Teknologi menuju Pertanian Modern dan Berkelanjutan mendudukan sektor

Pertanian menjadi Leading dalam memenuhi tuntutan kebutuhan pangan dan energi. Melalui

kegiatan RISETnya, Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian dalam perspective ke depan

harus berada di garda terdepan untuk menjawab tantangan/masalah di masa akan datang.

6. Inovasi teknologi pertanian modern perlu dikembangkan untuk mendukung pembangunan

pertanian berkelanjutan berbasis bioekonomi yang terintegrasi dengan Biosciense, Bioengineering,

social engineering dan Bioinformatics.

7. Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan memperkuat jejaring pasar produk pertanian menjadi

fokus dalam mendorong produk pertanian untuk tetapmenjadi andalan dipasar domestik maupun

mampu berkompetisi di pasar global.

8. Masa depan Pertanian Indonesia sangat ditentukan oleh transformasi teknologi Revolusi Hijau

menjadi Revolusi Hayati (Biorevolution). Kegiatan Biorevolution antara lain : biofarming,

biomedis dan bioindustri yang akan menciptakan suatu sektor perekonomian yang sangat dinamis

(yang disebut bioekonomi) dan akan menjadi basis utama perekonomian negara di masa

mendatang. Oleh karena itu pembangunan sektor pertanian di Indonesia harus mampu berperan

multi-fungsi serta menjadi poros transformasi dan motor penggerak pembangunan nasional.

9. Peran perguruan tinggi dalam mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan antara lain

menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten dalam bidang pertanian dan menciptakan dan

melakukan inovasi teknologi dimulai dari kegiatan riset dasar dan terapan yang mendukung

pertanian berkelanjutan.

10. Peran Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) diharapkan dalam meningkatkan

produktivitas melalui misinya antara mengembangkan peran yang bermakna dalam

Page 292: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

274

pengembangan pertanian nasional dan peningkatan kesejahteraan petani serta mengembangkan

IPTEK pertanian yang selaras dengan kebutuhan masyarakat.

11. Peningkatan produksi dan produktivitas komoditas tanaman pangan dan hortikultura dilakukan

melalui teknologi pengelolaan tanaman terpadu (benih unggul, penggunaan bahan organik,

penggunaan alat mesin pertanian modern, pemupukan spesifik lokasi, pengendalian hama penyakit

secara bijaksana, dan panen yang tepat). Melalui upaya peningkatan produksi, kualitas dan

pendapatan petani bidang perkebunan dilakukan antara lain melalui perbaikan klon unggul,

pemupukan dan panen tepat waktu. Peningkatan produksi dan populasi ternak sebagai sumber

penghasil pangan asal ternak harus diikuti dengan peningkatan kualitas dan kuantitas pakan

melalui optimalisasi pemanfaatan dukungan sumberdaya alam pertanian sebagai pakan alternatif

hasil ikutan atau limbah pertanian dalam mewujudkan pertanian modern berkelanjutan.

12. Dari hasil eksplorasi plasma nutfah diperoleh berbagai komoditas yaitu tanaman pangan, sayuran,

buah-buahan, perkebunan dan peternakan. Tindak lanjut yang diperlukan adalah penelitian

selanjutnya dari Balit komoditas, konservasi tanaman agar tidak punah dan pengembangannya

oleh pemerintah daerah.

13. Hasil kajian bidang penyuluhan menunjukkan bahwa berbagai metode dan media penyuluhan

mampu merubah perilaku sasaran penyuluhan berupa peningkatan pengetahuan petani dan

penerapan inovasi teknologi yang direkomendasikan.Oleh karena itu, metode dan media

penyuluhan perlu terus dikembangkan dengan inovasi terkini yang berbasis IT.

Bengkulu, 8 November 2016

Tim Perumus :

Dr. Rudi Hartono, MP (Ketua)

Dr. Wahyu Wibawa, MP (Anggota)

Dr. Umi Pudji Astuti, MP (Anggota)

Ir. Sri Suryani M.Agr (Anggota)

Ir. Ruswendi, MP (Anggota)

Ir. Ahmad Damiri, M.Si (Anggota)

Dr. Eva Oktafidianti (Anggota)

Dr. Supanajani (Anggota)

Page 293: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

302

DAFTAR HADIR PESERTA

SEMINAR NASIONAL BPTP BENGKULU 2016

No Nama Instansi

1 Moh Takdir Mulyadi BPTP Balitbangtan Jambi

2 Sri Budhi Lestari BPTP Balitbangtan Yogyakarta

3 Yong farmanta BPTP Balitbangtan Jambi

4 Sigid handoko BPTP Balitbangtan Jambi

5 Minangsari Dewanti Balai Penelitian Tanaman Hias

6 Majestika Disnak dan Keswan Prov. Bengkulu

7 Adri BPTP Balitbangtan Jambi

8 Kgs a Koda BPTP Balitbangtan SUMSEL

9 Riadi taregan Bakorluh Prov. Bengkulu

10 Ika ns PUSLITBANGBUN

11 Ragapadmi P BB Biogen

12 Rahmiwati yusuf BPTP Balitbangtan Riau

13 Yossie yumiati UNiversitas Dehasen Bengkulu

14 Darman hary BPPTP Bengkulu

15 Sumilah BPTP Balitbangtan Sumatera Barat

16 Lina widawati Universitas Dehasen

`17 Ratna Andam Dewi BPTP Balitbangtan Sumatera Barat

18 Muhammad ichwan BPTP Balitbangtan Sumatera Barat

19 Dahono LPTP

20 Umi salamah Universitas Ratu Samban

21 Atra Romeida Universitas Bengkulu (UNIB)

22 Farihul ihsan Balitbu Tropika

23 Nofiarli Balitbu Tropika

24 Ika Ferry Y Balingtan

25 Fiana Podesta UNIB

26 Dwi Fitriani UNIB

27 Endang Wisnu BPTP Balitbangtan Yogyakarta

28 Reni Andesta UNIB

29 Imelda Riska Andani UNIB

30 Pantjar Simatupang PSE – KP

31 Busyra BPTP Balitbangtan Jambi

32 Rika Meilasari BALITHI

33 Jonni Firdaus BPTP Balitbangtan SULTENG

34 Rossa Yunita BB-Biogen

35 Lela Nurletina BPTP Balitbangtan Jambi

36 Tri Sudaryono BPTP Baltbangtan Jawa Timur

37 Prasatyo UNIB

38 Linda Harta BPTP Balitbangtan Bengkulu

39 Rika Dwi Yulihartika UNIVED

40 Evi Andriani UNIVED

41 Kiky Nurfitri Sari UNIB

42 Ummul Khair Hade UNIB

43 Wahyuni Amelia Wulandari BPTP Balitbangtan Bengkulu

44 Herlena Bidi Astuti BPTP Balitbangtan Bengkulu

Page 294: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

303

45 Suardi BPTP Balitbangtan Bengkulu

46 Taufik Hidayat BPTP Balitbangtan Bengkulu

47 Eko Kristanto BPTP Balitbangtan Bengkulu

48 Zainani BPTP Balitbangtan Bengkulu

49 Alfayanti BPTP Balitbangtan Bengkulu

50 Kusmea Dinata BPTP Balitbangtan Bengkulu

51 Jhon Firison BPTP Balitbangtan Bengkulu

52 Hamdan BPTP Balitbangtan Bengkulu

53 Rudi Hartono BPTP Balitbangtan Bengkulu

54 Wahyu Wibawa BPTP Balitbangtan Bengkulu

55 Narkum Karantian Pertanian

56 A Sembiring Karantian Pertania

57 Sundari BBP2TP Bogor

58 Anggita T BBP2TP Bogor

59 Tuti Tutuarina UNIB

60 Wawan Eka Putra BPTP Balitbangtan Bengkulu

61 Supanjani UNIB

62 Hertina Artanti BPTP Balitbangtan Bengkulu

63 Liferdi BPTP Balitbangtan Jawa Barat

64 Eva Oktavidianti Universita Muhammadiyah Bengkulu (UMB)

65 Nurhaita UMB

66 M Taufik UNIB

67 Sumardi UNIB

68 Nadrawati UNIB

69 Tunjung Pamekas UNIB

70 Neli Definiati UMB

71 Nasriati BPTP Balitbangtan Lampung

72 Fahrurrozi UNIB

73 Andi Ishak BPTP Balitbangtan Bengkulu

74 Dini Yuliani BB- Padi

75 Nyoman Suyasa BPTP Balitbangtan Bali

76 Ni Putu Suratmini BPTP Balitbangtan Bali

77 Ade Ayu Putu Parwati BPTP Balitbangtan Bali

78 M Taufik UNIB

79 Jemmy Rinaldi BPTP Balitbangtan Bali

80 I Ketut Mahaputra BPTP Balitbangtan Bali

81 Nyoman Ngurah Arya BPTP Balitbangtan Bali

82 Fauziah Dinas Pertanian Prov. Bengkulu

83 Merakati Handajaningsih UNIB

84 Afrizon BPTP Balitbangtan Bengkulu

85 Heryan Iswadi BPTP Balitbangtan Bengkulu

86 Busri Saleh UNIB

87 Yartiwi BPTP Balitbangtan Bengkulu

88 Haryuni UNIB

89 Odit Ferry Kurniadinata Univ Mulawarman KALTIM

90 Hidayat PEMDA

91 Saiful

92 Yayu Zurriyati LPTP Kepri

Page 295: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

304

93 Sarina Univ. Hazairin Bengkulu

94 Fithri Mufriantie Univ. Muhammadiyah Bengkulu

95 Rita Feni Univ. Muhammadiyah Bengkulu

96 Elma Basri BPTP Balitbangtan Lampung

97 Nila Wardani BPTP Balitbangtan Lampung

98 Suryani BPTP Balitbangtan Lampung

99 Gohan Octora Manurung BPTP Balitbangtan Lampung

100 Hengki. S Bapeda Prov. Bengkulu

101 Youzon HP Bapeda Prov. Bengkulu

102 Dothi Suryadi UNIB

103 Djamilah UNIB

104 Rina Delfi Karantina Bengkulu

105 Emperus Sitorus BPPTP Bengkulu

106 Misnarti Bapeda Prov Bengkulu

107 Hotlan Sinurat BPPTP Bengkulu

108 Lukman H UNIB

109 Nana Sutrisna BPTP Balitbangtan JABAR

110 Sukmaya BPTP Balitbangtan JABAR

111 Adetya Rahman BPTP Balitbangtan JABAR

112 Riswita BPTP Balitbangtan SULSEL

113 Liferdi BPTP Balitbangtan JABAR

114 Erni Gustiani BPTP Balitbangtan JABAR

115 Yayan Rismayanti BPTP Balitbangtan JABAR

116 Meksi Dianawati BPTP Balitbangtan JABAR

117 Agus Nurawan BPTP Balitbangtan JABAR

118 Wuri Marsigit UNIB

119 Oswaid M BPTP Balitbangtan JABAR

120 Iskandar Ishaq BPTP Balitbangtan JABAR

121 Ririn Harini Univ. Muhammadiyah Bengkulu

122 Irwansyah BPP STADA Bengkulu

123 Dilisti Univ. Dehasen Bengkulu

124 Erpan Ramon BPTP Balitbangtan Bengkulu

125 Zul efendi BPTP Balitbangtan Bengkulu

126 Yeni Eliza BPTP Balitbangtan SUMSEL

127 Bungati BPTP Balitbangtan SULTRA

128 Bandi Hermawan UNIB

130 R Kiko R Sekretariat Balitbangtan

131 Nila Wardani BPTP Balitbangtan Lampung

132 Suryani BPTP Balitbangtan Lampung

133 Gohan O Manurung BPTP Balitbangtan Lampung

134 Melli Fitriani LPTP Kepri

135 Tofik UNIB

136 Hemey P. Karantina

137 Melda A BAPEDA Prov. Bengkulu

138 Matriyani Dinas Pertanian Kota Bengkulu

139 Endriani BPTP Balitbangtan Lampung

140 Hesti Pujiwati UNIB

141 Syafrizal BKP3 Kota Bengkulu

Page 296: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

305

142 Maya Dhania Sari BPTP Balitbangtan SUMSEL

143 Edi Susilo UNRAS

144 Parwito UNRAS

145 Alnopri UNIB / Ka PERAGI

146 Risuan Anwa R UNIHAZ

147 Novitri Univ. Muhammadiyah Bengkulu

148 Parlin H Sinaga Univ. Muhammadiyah Bengkulu

149 Diahirianti Ka. Komnas SDG Bengkulu

150 Marulak S UNIB

151 Kuswandi BALITBU Tropika

152 Sukarmin BALITBU Tropika

153 Sri Hadiati BALITBU Tropika

154 Harmanto BPTP Balitbangtan SUMSEL

155 Waluyo BPTP Balitbangtan SUMSEL

156 Harwi Kusnadi BPTP Balitbangtan Bengkulu

157 Aulia Evi Susanti BPTP Balitbangtan SUMSEL

158 Zulfa wilman LPTP KEPRI

159 Fahroji BPTP Balitbangtan RIAU

160 Sri Swastika BPTP Balitbangtan RIAU

161 Rachmiwaty yusuf BPTP Balitbangtan RIAU

162 Eliartati BPTP Balitbangtan RIAU

163 Marsid Jahari BPTP Balitbangtan RIAU

164 Ina Zulaehah BALINGTAN

165 Yudi Sastro BPTP Balitbangtan Jakarta

166 Teddy Suparno UNIB

167 Rahmat Wijaya UNIB

168 Nurwati BPTP Balitbangtan Yogyakarta

169 Ari Widyastuti BPTP Balitbangtan Yogyakarta

170 Siti Maryam H BPTP Balitbangtan SUMUT

171 T. Marbun BPTP Balitbangtan SUMUT

172 Yulie Oktavia BPTP Balitbangtan Bengkulu

173 Irma Calista Siagian BPTP Balitbangtan Bengkulu

174 Johardi BPTP Balitbangtan Bengkulu

175 Siswani Dwi Daliani BPTP Balitbangtan Bengkulu

176 Sri S Rambe BPTP Balitbangtan Bengkulu

177 Yahumri BPTP Balitbangtan Bengkulu

178 Wilda Mikasari BPTP Balitbangtan Bengkulu

179 Wahyuni Amelia Wulandari BPTP Balitbangtan Bengkulu

180 Tri Wahyuni BPTP Balitbangtan Bengkulu

181 Emlan Fauzi BPTP Balitbangtan Bengkulu

182 Bambang Harianto Balitbu Tropika

183 Nini marta Balitbu Tropika

184 Mansur Lolit Tungro

185 Nanik Setyowati Universitas Bengkulu

186 Masdar Universitas Bengkulu

187 Lina Ivanti BPTP Balitbangtan Bengkulu

188 Nurmegawati BPTP Balitbangtan Bengkulu

189 Ahmad Damiri BPTP Balitbangtan Bengkulu

Page 297: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

306

190 Murwati BPTP Balitbangtan Yogyakarta

191 Sutardi BPTP Balitbangtan Yogyakarta

192 M. Ghulamahdi BPTP Balitbangtan Lampung

193 Eko sulistyono BPTP Balitbangtan Lampung

194 Muhammad yusuf antu BPTP Balitbangtan Gorontalo

195 Nanang Buri BPTP Balitbangtan Gorontalo

196 Ari Widya handayani BPTP Balitbangtan Gorontalo

197 Miswarti BPTP Balitbangtan Bengkulu

198 Saripah Ulpah BPTP Balitbangtan Riau

199 Maizar BPTP Balitbangtan Riau

200 Ade Yulfida BPTP Balitbangtan Riau

201 Ekaningttyas Kushatanti BPTP Balitbangtan Jawa Tengah

202 Tota Suhendra BPTP Balitbangtan Jawa Tengah

203 Oswald Marbun BPTP Balitbangtan Jawa Barat

204 Catur Herison Universitas Bengkulu

205 Muhammad Chozin Universitas Bengkulu

206 Entang Inoriah Universitas Bengkulu

207 Zainal Abidin BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara

208 Siti Rosmanah BPTP Balitbangtan Bengkulu

209 Sudir BB Padi

210 Lailatul Isnaini BPTP Balitbangtan Jawa Timur

211 Sri Harwanti BPTP Balitbangtan Jawa Timur

212 M. Ferizal BPTP Balitbangtan Aceh

213 Idawanni BPTP Balitbangtan Aceh

214 Fenty Ferayanti BPTP Balitbangtan Aceh

215 Assayuthi Ma’suf BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara

216 Sjamsiar BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara

217 Rahmat Oktavia BPTP Balitbangtan Bengkulu

218 Ina Zulaiehah Balingtan

219 Sukarjo Balingtan

220 Prihasto Setyanto Balingtan

221 Dedi Sugandi BPTP Balitbangtan Bengkulu

222 Ni Ketut Kasih Sukraeni BPTP Balitbangtan Bali

223 Titin Sugianti BPTP Balitbangtan Nusa Tenggara Barat

224 Eni Fidiyawati BPTP Balitbangtan Nusa Tenggara Barat

225 Siti Mutmaidah Balitkabi

226 Evi Silviyani BPTP Balitbangtan Bengkulu

227 Engkos Kosmana BPTP Balitbangtan Bengkulu

228 A. Dalapati

229 Sumarni BPTP Balitbangtan Sulawesi Tengah

230 I Ketut Mahaputra BPTP Balitbangtan Bali

231 Siti Aminah BPTP Balitbangtan Jakarta

232 M. Yanis BPTP Balitbangtan Jakarta

233 T. Ramdhan BPTP Balitbangtan Jakarta

234 Adetiya Racman BPTP Balitbangtan Jawa Barat

235 Riswita Syamsuri BPTP Balitbangtan Jawa Barat

236 Ita Yustina BPTP Balitbangtan Jawa Timur

237 Eli Korlina BPTP Balitbangtan Jawa Timur

Page 298: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

307

238 Yuni Astuti BPTP Balitbangtan Jawa Timur

239 Ari Abdul Rouf BPTP Balitbangtan Gorontalo

240 Hatta Muhammad BPTP Balitbangtan Gorontalo

241 Jonharnas BPTP Balitbangtan Sumatera Utara

242 Novia Chairuman BPTP Balitbangtan Sumatera Utara

243 I Ketut Kariada BPTP Balitbangtan Bali

244 I. B. Aribawa BPTP Balitbangtan Bali

245 Kiagus Abdul Kodir BPTP Balitbangtan Sumatera Selatan

246 Robiyanto BPTP Balitbangtan Bengkulu

247 Hasrianti Silondae BPTP Balitbangtan Sulawesi Utara

248 Maryana BPTP Balitbangtan Sumatera Selatan

249 Shannora Yuliasari BPTP Balitbangtan Bengkulu

250 Bina Br Karo KP Berastagi Balittas

251 Agustina E Marpaung KP Berastagi Balittas

252 Taufiq Hidayat. RS Balai Penelitian Tanaman Serat dan Pemanis

253 Dedeh Hadiyanti BPTP Balitbangtan Sumatera Selatan

254 Suparwoto BPTP Balitbangtan Sumatera Selatan

255 Nia Rachmawati Pustaka

256 Yanto Surdianto BPTP Balitbangtan Jawa Barat

257 Siti Lia M BPTP Balitbangtan Jawa Barat

258 Fiana Pondesta Universitas Muhammadiyah Bengkulu

259 Suryadi Universitas Muhammadiyah Bengkulu

260 Rima Purnamayani BPTP Balitbangtan Jambi

261 Araz Meilin BPTP Balitbangtan Jambi

262 A.A.N.B. Sarmudadinata BPTP Balitbangtan Bali

263 Reni Andista Universitas Bengkulu

264 Usman Kris Joko Universitas Bengkulu

265 Suharjo Universitas Bengkulu

266 Sahrul Hadi Nasution LPTP Kepulauan Riau

267 Anis Fahri BPTP Balitbangtan Riau

268 Heri Widyanto BPTP Balitbangtan Riau

269 Taufik Hidayat BPTP Balitbangtan Riau

270 L.T. Nguyen

271 Taufik Rahman BPTP Balitbangtan Bengkulu

272 Lutfi Ihzar BPTP Balitbangtan Jambi

273 Jondri S BPTP Balitbangtan Jambi

274 Oktariani I S BPTP Balitbangtan Jambi

275 Neni Rostini Balithi

276 Murdaningsih H Balithi

277 Anas K Balithi

278 Ida Bagus Gede Suryawan BPTP Balitbangtan Bali

279 Afrima Sari Universitas Bengkulu

280 Widodo Universitas Bengkulu

281 Bambang Gonggo M Universitas Bengkulu

282 Oktiana Sari Universitas Bengkulu

283 Prasetyo Universitas Bengkulu

284 Enggar Apriyanto Universitas Bengkulu

285 Siswahyono Universitas Bengkulu

Page 299: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

308

286 Makful Balitbu Tropika

287 Sahlan Balitbu Tropika

288 Mega Andini Balitbu Tropika

289 Andre Sparta Balitbu Tropika

290 Yulia Irawati Balitbu Tropika

291 Jhon David BPTP Balitbangtan Kalimantan Barat

292 Yesmawati BPTP Balitbangtan Bengkulu

293 Yuliani Zainudin BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara

294 Yudi Irawan BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara

295 Sudarmansyah BPTP Balitbangtan Bengkulu

296 Yuniarto K Balithi

297 Suryawati Balithi

298 A. Qosim Balithi

299 M. Rachmadi Balithi

300 N. Wicaksana Balithi

301 Bunaiyah Honorita BPTP Balitbangtan Bengkulu

302 Kiki Kusyaeri BPTP Balitbangtan Jawa Barat

303 Meksy Dianawati BPTP Balitbangtan Jawa Barat

304 Oktariani Indri Safitri LPTP Balitbangtan Kepulauan Riau

305 Tini Siniati Koesno BPTP Balitbangtan Jawa Timur

306 Suharyanto BPTP Balitbangtan Bangka Belitung

307 Rubiyo BPTP Balitbangtan Bangka Belitung

308 Rachmiwati Yusuf BPTP Balitbangtan Riau

309 Fitriana Nasution Balitbu Tropika

310 Rahmi Wahyuni BPTP Balitbangtan Sumatera Barat

311 Yanovi Hendri BPTP Balitbangtan Sumatera Barat

312 Suprio Guntoro BPTP Balitbangtan Bali

313 Widia Siska BPTP Balitbangtan Sumatera Barat

314 M. Prama Yufdi BPTP Balitbangtan Sumatera Barat

315 Umi Pudji Astuti BPTP Balitbangtan Bengkulu

316 Jefrey M. Muis BPTP Balitbangtan Sumatera Barat

317 Hermansyah Universitas Bengkulu

318 Susi Handayani Universitas Bengkulu

319 Salfina Nurdin A LPTP Kepulauan Riau

320 Zulfa Willman LPTP Kepulauan Riau

321 Afriyani LPTP Kepulauan Riau

322 Hesti Nur'aini Universitas Dehasen Bengkulu

323 Septi Widiawati Universitas Dehasen Bengkulu

324 Agung Prabowo BPTP Balitbangtan Sumatera Selatan

325 Joni Karman BPTP Balitbangtan Sumatera Selatan

326 Fitria Zulhaedar BPTP Balitbangtan Nusa Tenggara Barat

327 Wa Ode Aljumiati BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara

328 Miftah BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara

329 J. H. P. Sidadolog

330 Zuprizal

331 Khairiah BPTP Balitbangtan Lampung

332 Sri Haryani Sitindaon BPTP Balitbangtan Lampung

333 Hadis Jayanti BPTP Balitbangtan Bali

Page 300: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

309

334 Anggri Hervani Balingtan

335 Miranti Ariani Balingtan

336 Sri Wahyuni Balingtan

337 Wiendharti I W BPTP Balitbangtan Yogyakarta

338 Sugiyanti BPTP Balitbangtan Yogyakarta

339 Anthony Mrt BPTP Balitbangtan Yogyakarta

340 Desi Hernita BPTP Balitbangtan Jambi

341 Ikrarwati BPTP Balitbangtan Jakarta

342 Susi Sutardi BPTP Balitbangtan Jakarta

343 Aris Hairmansis BB Padi

344 Yulianida BB Padi

345 Supartopo BB Padi

346 Suwarno BB Padi

347 Sri Yuniastuti BPTP Balitbangtan Jawa Timur

348 Fuad Nur Aziz BPTP Balitbangtan Jawa Timur

349 Dotti Suryati Universitas Bengkulu

350 Resika Alvionita Universitas Bengkulu

351 Harta Universitas Bengkulu

352 Timbul Marbun BPTP Balitbangtan Sumatera Utara

353 Andriko Noto Susanto BPTP Balitbangtan Sumatera Utara

354 Sudirman Yahya Universitas Bengkulu

355 Sandra Arifin Aziz Universitas Bengkulu

356 Oteng Haridia Universitas Bengkulu

357 Roedhy Poerwanto Universitas Mulawarman

358 Darda Efendi Universitas Mulawarman

359 Ade Wachiar Universitas Mulawarman

360 Willy Bayuardi Universitas Ratu Samban

361 Suwarno Universitas Ratu Samban

362 Hajrial Aswidinnoor Universitas Ratu Samban

363 Ika Mariska BB Biogen

364 Agustin Zarkani Universitas Bengkulu

365 Tri Sunardi Universitas Bengkulu

366 Sukisno Universitas Bengkulu

367 Indra Agustian Universitas Bengkulu

368 Hery Suhartoyo Universitas Bengkulu

369 Salwati BPTP Balitbangtan Jambi

370 Izhar L BPTP Balitbangtan Jambi

371 Marwanto Universitas Bengkulu

372 Raindra Efendi Universitas Bengkulu

373 Jefri Universitas Bengkulu

374 Sihombing Universitas Bengkulu

375 Bona Rosmanton Haloho Universitas Bengkulu

376 Yeni Sariasih Universitas Bengkulu

377 Nofi A Rokhma BPTP Balitbangtan Jakarta

378 Lukman Hakim BPTP Balitbangtan Jakarta

379 Afriyanto Universitas Muhammadiyah Bengkulu

380 Suliasih Universitas Muhammadiyah Bengkulu

Page 301: COVER DEPAN - bengkulu.litbang.pertanian.go.idbengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Buku/pros-peternakan... · Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568 ... Sulawesi Tengah, Sulawesi

Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

310