Corfu-Channel-Case-1949
-
Upload
akhmad-purbo-sudiro -
Category
Documents
-
view
399 -
download
19
description
Transcript of Corfu-Channel-Case-1949
BAB IPENDAHULUAN
Meskipun suatu negara adalah berdaulat, namun dengan adanya kedaulatan tersebut tidaklah
berarti bahwa negara bebas dari tanggung jawab. Yang menjadi latar belakang timbulnya
tanggung jawab negara dalam hukum internasional yaitu bahwa tidak ada satu negara pun
yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain.
Menurut Rosalyn Higgins, hukum tentang tanggung jawab negara tidak lain adalah hukum
yang mengatur akuntabilitas terhadap suatu pelanggaran hukum internasional. Jika suatu
negara melanggar suatu kewajiban internasional, negara tersebut bertanggung jawab untuk
pelanggaran yang dilakukannya.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai kasus Selat Corfu, Trail Smertel, dan Barcelona
Traight, Light, and Power Company. Ketiga kasus ini akan memberikan gambaran
mengenai bagaimanakah tanggung jawab negara atas kasus yang terjadi di wilayahnya?
Makalah ini bertujuan sebagai salah satu kelengkapan tugas Hukum Internasional. Semoga
makalah ini dapat digunakan sebagai referensi mata kuliah hukum internasional dalam
kasus-kasus yang berkaitan.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
II.1. TEORI KESALAHAN
Doktrin hukum internasional mengenai apakah perlu atau tidaknya unsur
kesalahan dalam melahirkan tanggung jawab negara terbagi ke dalam dua teori,
yaitu:
I.1 Teori Subjektif (School of Liability for Fault)
Menurut teori subjektif, tanggung jawab negara ditentukan oleh adanya unsur
kesalahan, yaitu keinginan atau maksud untuk melakukan suatu perbuaan atau
kelalaian pada pejabat atau agen negara. Pendukung dari teori ini misalnya
Grotius, Oppenheim, Fauchille, Lauterpacht.
I.2. Teori Objektif
Teori objektif lahir sebagai kritik terhadap teori subjektif. Pencetus teori ini
adalah Anzilotti pada tahun 1902. Teori ini mendapat dukungan dari antara lain
Brownlie, Hans Kelsen, Jimenez Arechaga, O’ Connell, Schwarzenberger.
Menurut teori objektif, tanggung jawab negara adalah selalu mutlak. Unsur
kesalahan bukan prasyarat untuk terjadinya tindakan atau perbuatan yang salah
secara objektif. Jika pejabat atau agen negara telah melakukan tindakan yang
merugikan orang (asing) lain, maka negara bertanggung jawab menurut hukum
internasional tanpa dibuktikan apakah tindakan tersebut terdapat unsur kesalahan
atau kelalaian.
II.2. TANGGUNG JAWAB PERDATA DAN PIDANA
Menurut sarjana-sarjana penganut aliran hukum internasional tradisional,
sepanjang menyangkut perbuatan atau tindakan suatu negara yang bertentangan
2
dengan hukum internasional, maka tanggung jawab yang lahir daripadanya selalu
akan berupa tanggung jawab perdata.
Namun, penulis-penulis modern berpendapat bahwa pembedaan tersebut (pidana
dengan perdata) sebaiknya diadakan. Pendapat ini didasarkan pada adanya
perkembangan serta perubahan yang terjadi dalam konsep hukum internasional
khususnya sejak tahun 1945. Perkembangan yang dimaksud yaitu:
1. Perkembangan konsep Jus Cogens
2. Lahirnya tanggung jawab pidana individu menurut hukum internasional
3. Lahirnya Piagam PBB dan ketentuan-ketentuannya untuk tindakan
penegakan hukum terhadap suatu negara sehubungan dengan tindakannya
yang mengancam atau melanggar perdamaian atau tindakan agresi.
Tanggung jawab negara di bidang pidana dapat diwujudkan ke dalam tanggung
jawab pejabat pemerintahnya (yang berkuasa pada waktu pelanggaran hukum
internasional terjadi). Tanggung jawab perdata tampak misalnya dari tanggung
jawab negara terhadap negara lain atau pengusaha asing sehubungan dengan tidak
dipenuhinya kewajiban-kewajibannya dalam pelaksanaan perjanjian atau kontrak
komersial.
II.3. MACAM-MACAM TANGGUNG JAWAB NEGARA
Secara garis besarnya, tanggung jawab negara dapat dibagi menjadi:
1. Tanggung Jawab Perbuatan Melawan Hukum (Delictual Liability)
a. Eksplorasi Ruang Angkasa
b. Kegiatan Terkait dengan Nuklir
c. Kegiatan-kegiatan Lintas Batas
2. Tanggung Jawab Atas Pelanggaran Perjanjian (Contractual Liability)
a. Pelanggaran perjanjian
b. Pelanggaran Kontrak (Internasional)
3
Tanggung jawab perbuatan melawan hukum dalam kegiatan lintas batas latar
belakangnya adalah bahwa setiap negara harus mengawasi dan mengatur setiap
kegiatan di dalam wilayahnya, baik yang sifatnya public maupun perdata, yang
tampaknya kegiatan tersebut dapat melintasi batas negaranya dan menimbulkan
kerugian terhadap negara lain.
Sistem tanggung jawab yang berlaku bergantung kepada bentuk kegiatan yang
bersangkutan. Jika kegiatan tersebut bersifat berbahaya, maka negara yang
wilayahnya dipakai untuk kegiatan seperti itu dapar bertanggung jawab secara
absolut atau mutlak. Namun, jika kegiatan itu normal/ biasa sifatnya maka tanggung
jawab negara bergantung kepada kelalaian atau maksud/ niat dari tindakan tersebut
beserta kerusakan atau kerugian yang ditimbulkannya.
II.4. EXHAUSTION OF LOCAL REMEDIES
Sehubungan dengan lahirnya tanggung jawab negara ini, hukum kebiasaan
internasional menetapkan bahwa sebelum diajukannya kliam/tuntutan ke pengadilan
internasional, langkah-langkah penyelesaian sengketa (local remedies rule) yang
tersedia atau yang diberikan oleh negara tersebut harus terlebih dahulu ditempuh
(exhausted). Tindakan ini dilakukan baik untuk memberi kesempatan kepada negara
itu untuk memperbaiki kesalahnnya menurut sistem hukumnya dan untuk
mengurangi tuntutan-tuntutan internasional.
Ketentuan Local remedies ini tidak belaku manakala:
1) Suatu negara telah melakukan pelanggaran langsung hukum internasional yang
menyebabkan kerugian terhadap negara lainnya.
2) Ketentuan local remedies ini dapat ditarik berdasarkan suatu perjanjian internasional,
misalnya saja pasal XI ayat (1) Space Treaty 1972.
3) Suatu upaya penyelesaian setempat (local remedies) tidak perlu dipergunakan
manakala pengadilan setempat tampaknya tidak menunjukkan akan memberi ganti-
kerugian.
4
4) Upaya penyelesaian setempat tidak perlu digunakan apabila hasil atau putusan dari
pengadilan setempat sudah dipastikan akan memberi putusan yang sama dengan
putusan-putusan sebelumnya.
5) Upaya penyelesaian setempat tidak perlu dilakukan manakala upaya tersebut
memang tidak tersedia.
6) Apabila suatu pelanggaran dilakukan oleh pemerintah (eksekutif) yang tidak tunduk
kepada yurisdiksi pengadilan setempat.
7) Negara-negara dapat menyepakati untuk menanggalkan upaya penyelesaian setempat
(local remedies).
BAB III PEMBAHASAN
III.1 CORFU CHANNEL CASE 1946
III.1.1 Ringkasan Kasus
Insiden pertama terjadi pada tanggal 15 Mei 1946 Royal Nevy, yaitu HMS Orion dan HMS
Superb, berlayar memasuki daerah Selat Chorfu, wilayah Albania. Kapal tersebut ditembaki
dengan meriam ketika memasuki wilayah laut territorial Albania. Albania pada saat itu
sedang dalam masa Perang dengan Yunani.
Kejadian kedua pada Oktober 1946, Royal Navy menurunkan dua kapal penjelajah, HMS
Mauritius dan HMS Leander dan kapal penyerang HMS Sumarez dan HMS Volage, kapal-
kapal tersebut diperintahkan untuk melintasi Corfu Channel dengan pernyataan perintah
untuk mengecek reaksi Albania atas peristiwa yang lalu. Kru telah diinstruksi untuk
merespon apabila Albania melakukan penyerangan. Kapal-kapal tersebut terlalu dekat
dengan pantai Albania yang ternyata telah tertanam ranjau sehingga kapal tersebut terkena
ranjau dan 44 orang tewas dan 42 terluka, sebagian besar korban adalah kru dari kapal
Saumarez.
5
Atas kejadian ini, Inggris, Royal Navy melakukan pembersihan ranjau-ranjau di Cofu
Channel dengan nama oprasi “Operation Retail”. Berdasarkan Allied Commander-in-Chief
Mediterranean, operasi ini dijalankan tanpa adanya persetujuan Albania.
Hal ini menimbulkan sengketa antara Inggris dengan Albania. Albania merasa tindakan
Inggris yang membersihkan ranjau merupakan perbuatan yang melanggar teritorialnya dan
illegal. Sedangkan Inggris merasa Albania harus bertanggung jawab atas kerusakan dan
korban yang terjadi akibat peristiwa ini. Sengketa ini kemudian diajukan ke ICJ. Keputusan
dari ICJ adalah Albania bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi dengan membayar
ganti rugi US $2,009,437 atau £ 875.000 dan Inggris dinyatakan telah melakukan suatu
tindakan yang illegal, melanggar wilayah territorial, dan ikut campur dalam urusan negara
lain. Akan tetapi Albania menolak untuk membayarnya, akibatnya Inggris menahan 1574 kg
emas milik Albania. Setelah perang mereda dan hubungan diplomatic antara kedua negara
ini membaik, pada tahun 1996 Albania bersedia untuk ganti rugi sebesar US $2,000,000 ,
dan emas yang ditahan Inggris dikembalikan ke Albania.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup internasiona antara Inggris dan Albania didasarkan
pada Prinsip 26 Deklarasi Rio 1992. Prosedur dan mekanisme mengenai penyelesaian
sengketa secara umum diatur oleh Pasal 33 Piagam PBB. Pasal ini mengidentifikasi
beberapa metode atau cara diantaranya negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi,
arbitrasi, penyelesaian pengadilan, upaya badan atau aturan regional, atau pilihan para pihak
III.1.2. Fakta-Fakta Hukum
Pihak-pihak yang bersengketa adalah Inggris dan Albania
Kejadian ini terjadi di Selat Chorfu, wilayah perairan Albania
Insiden pertama terjadi pada tanggal 15 Mei 1946, dimana kapal-kapal Inggris, yaitu
HMS Orion dan HMS Superb yang melewati selat tersebut ditembaki meriam oleh
Albania
Atas insiden yang pertama, Inggris meminta Albania untuk meminta maaf, tetapi
Albania tidak mau karena Albania merasa Inggris memasuki wilayah territorial
Albania tanpa izin
6
Pada 22 Oktober 1946, kapal Inggris, Saumarez dan Volage kembali melintas di
Selat Corfu dan menabrak ranjau-ranjau laut yang tersebar di sepanjang Selat Corfu
Hal ini menyebabkan kapal Inggris tersebut rusak, 44 orang tewas, 42 orang luka-
luka. Antara 42 atau 43 yang tewas adalah awak kapal Saumarez,
Inggris meminta ganti kerugian kepada Albania, namun Albania menghiraukannya.
Akhirnya kasus ini dibawa ke ICJ.
III.1.3. Permasalahan Hukum:
1. Apakah Albania bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pihak Inggris?
2. Apakah Albania wajib untuk membayar ganti rugi kepada Inggris?
3. Apakah Inggris bersalah telah melanggar hukum internasional dengan tindakannya
pada bulan Oktober dan bulan November saat Inggris membersihkan Selat Chorfu
dari ranjau?
III.1.4. Putusan:
1. Ya, Albania bertanggung jawab atas kerugian Pihak Inggris
2. Albania wajib membayar ganti rugi kepada Inggris sebesar £ 875.000
3. Untuk tindakan pada bulan Oktober, Inggris tidak melanggar kedaulatan dari
Albania,tetapi untuk tindakan pada Inggris pada bulan November dinyatakan bahwa
Inggris bersalah telah melanggar kedaulatan Albania.
III.1.5. Analisis
1. Tanggung Jawab Negara
Umumnya para ahli hukum internasional dalam menganalisa tanggung jawab negara telah
mengupayakan untuk mengemukakan syarat-syarat atau karakteristik lainnya tanggung
jawab negara. Menurut Shaw, yang menjadi karakteristik penting adanya atau lahirnya
tanggung jawab (negara) bergantung kepada faktor-faktor dasar berikut:
7
a. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara
tertentu
b. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum
internasional; dan
c. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar
hukum atau kelalaian
Karakteristik ini sering dinyatakan dalam praktek pengadilan dalam menangani
sengketa yang berkaitan dengan tanggung jawab negara. Contoh sengketa yang
mencerminkan karakteristik diatas contohnya adalah The Corfu Channel Case 1949.
Mahkamah Internasional yang menangani kasus ini berpendapat bahwa kerusakan,
kerugian serta meninggalnya beberapa awak kapal Inggris ketika melintasi selat
tersebut disebabkan karena kelalaian yang nyata pemerintah Albania tidak
memberitahukan adanya ranjau-ranjau laut di sepanjang perairannya.
Doktrin Hukum Internasional mengenal apakah perlu atau tidaknya unsur kesalahan
dalam melahirkan tanggung jawab negara yang terbagi atas teori subjektif dan teori
objektif.
Menurut teori subjektif, tanggung jawab negara ditentukan oleh adanya unsur
kesalahan, yaitu keinginan atau maksud untuk melakukan suatu perbuatan atau
kelalaian pada pejabat atau agen negara. Sedangkan menurut teori objektif, tanggung
jawab negara adalah selalu mutlak. Teori ini lahir sebagai reaksi atau kritik terhadap
teori subjektif.
Dalam sengketa ini, Corfu Channel Case, Mahkamah Internasional menyatakan
bahwa tidak adanya upaya dari pejabat Albania untuk mencegah kecelakaan dua
kapal perang Inggris telah melahirkan kewajiban internasional Albania, Mahkamah
menyatakan:
“In fact, nothing was attempted by the Albanian authorities to prevent the disaster.
These grave ommissions involve the international responsibility of Albania..”
2. Prinsip Non-intervensi dan Kedaulatan Wilayah Negara
8
Kedaulatan territorial atau kedaulatan wilayah adalah kedaulatan yang dimiliki
negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksklusif di wilayahnya. Di dalam wilayah
ini negara memiliki wewenang untuk melaksanakan hukum nasionalnya.
Salah satu kedaulatan negara atas wilayahnya adalah kedaulatan negara atas wilayah
laut, misalnya Laut Teritorial. Laut Teritorial adalah laut yang terletak di sisi luar
garis pangkal yang tidak melebihi lebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal.
Meskipun negara pantai mempunyai kedaulatan di laut territorial ini, namun di laut
ini masih dimungkinkan negara lain menikmati hak lintas damai, yaitu hak setiap
negara untuk melewati laut ini. Terkait dengan adanya hak lintas damai ini, Albania
seharusnya membiarkan Inggris untuk melewati Selat Corfu. Tindakan Albania
dengan menembakkan api atau meriam ke kapal-kapal Inggris dan tidak
memberitahukan adanya ranjau-ranjau di Selat Corfu merupakan pelanggaran
terhadap hak damai yang dimiliki oleh Inggris. Selain itu berdasarkan ketentuan dari
Hague Convention VIII tahun 1907, Albania berkewajiban untuk memberikan
peringatan kepada Inggris atas tindakannya memasuki Selat Corfu yang merupakan
bagian dari wilayah Albanian, sebagaimana dinyatakan oleh Mahkamah
Internasional :
“ The Albanian Government didn’t notify the existence of these mines as requires by
Hague Convention VIII of 1907 in accordance with the general principles of
international law and humanity”.
Sedangkan jika kita tinjau dari prinsip non-intervensi dan kedaulatan negara terkait
tindakan Inggris pada bulan November 1946 yang membersihkan ranjau-ranjau di
Selat Corfu tanpa izin dari pemerintah Albania, Inggris dianggap telah melakukan
intervensi dan melanggar kedaulatan dari Albania. Prinsip non intervensi merupakan
kewajiban setiap negara berdaulat untuk tidak melakukan tindakan mencampuri
urusan dalam negeri negara lain dalam relasi antarnegara. Prinsip non-intervensi
sebagai salah satu fondasi dasar dalam hukum internasional. berkaitan erat dengan
prinsip kedaulatan negara. Kelahiran kedaulatan negara berkaitan dengan lahirnya
pejanjian Westhpalia 1648 yang meletakkan dasar-dasar masyarakat internasional
modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Negara nasional (nation-state)
pascaWesthpalia memiliki kedaulatan penuh karena didasari oleh paham
kemerdekaan dan persamaan derajat sesama negara.
9
Prinsip non-intervensi juga menentukan bahwa antarnegara tidak boleh melakukan
intervensi. Hal ini didasari bahwa hubungan antarnegara didasari dari persamaan
derajat dan bebas. Larangan untuk intervensi antarnegara diatur dalam Piagam PBB
Pasal 2 (4). Pasal tersebut berbunyi :“All members shall refrain in their international
relation from the threat or use of force against the teritorial integrity or political
independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of
the United Nations.”
10