Copy of Teori+Lapkas CHOLELITIASIS

32
BAB I PENDAHULUAN 1.1 General Anestesi Anestesiologi berasal dari bahasa yunani yang berarti keadaan tanpa rasa sakit. Anastesi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi maupun analgesi, pengawasan keselamatan pasien di operasi atau tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitas), perawatan intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun. 1 Istilah anestesi dikemukakan pertama kali oleh C.W. Holmes yang artinya tidak ada rasa sakit. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu hilangnya sensibilitas setempat tanpa disertai hilangnya kesadaran dan (2) anestesi umum yaitu hilangnya segala modalitas rasa disertai hilangnya kesadaran. Anestesi yang ideal adalah tercapainya anestesi yang meliputi hipnotik, analgesi dan relaksasi otot. 1,2 Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap penatalaksanaan anestesi dan pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi. 3 Tahap pra anestesi merupakan tahap persiapan yang sangat menentukan keberhasilan suatu anestesi. Hal yang penting dalam tahap ini adalah : (1) menyiapkan pasien yang meliputi riwayat penyakit pasien, keadaan umum pasien, dan mental pasien, (2) menyiapkan tehnik, obat – obatan dan macam anestesi yang digunakan, (3) Memperkirakan kemungkinan – kemungkinan yang akan timbul pada 1

Transcript of Copy of Teori+Lapkas CHOLELITIASIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 General Anestesi Anestesiologi berasal dari bahasa yunani yang berarti keadaan tanpa rasa sakit. Anastesi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi maupun analgesi, pengawasan keselamatan pasien di operasi atau tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitas), perawatan intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun.1 Istilah anestesi dikemukakan pertama kali oleh C.W. Holmes yang artinya tidak ada rasa sakit. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu hilangnya sensibilitas setempat tanpa disertai hilangnya kesadaran dan (2) anestesi umum yaitu hilangnya segala modalitas rasa disertai hilangnya kesadaran. Anestesi yang ideal adalah tercapainya anestesi yang meliputi hipnotik, analgesi dan relaksasi otot.1,2 Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap penatalaksanaan anestesi dan pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.3 Tahap pra anestesi merupakan tahap persiapan yang sangat menentukan keberhasilan suatu anestesi. Hal yang penting dalam tahap ini adalah : (1) menyiapkan pasien yang meliputi riwayat penyakit pasien, keadaan umum pasien, dan mental pasien, (2) menyiapkan tehnik, obat obatan dan macam anestesi yang digunakan, (3) Memperkirakan kemungkinan kemungkinan yang akan timbul pada waktu pelaksanaan anestesi dan komplikasi yang mungkin timbul pasca anestesi.3 Tahap pelaksanaan anestesi meliputi premedikasi, induksi dan pemeliharaan yang dapat dilakukan secara intravena maupun inhalasi. Pada tahap ini perlu monitoring dan pengawasan ketat serta pemeliharaan jalan nafas karena pada saat ini pasien dalam keadaan sadar dan kemungkinan komplikasi anestesi maupun pembedahan dapat terjadi.1,2,3 Berdasarkan analisis kata anastesi (an = tidak, aestesi = rasa) dan reanimasi (re = kembali, animasi/ animation = gerak = hidup) maka ilmu anastesi dan reanimasi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tata laksana untuk me matikan rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa tidak nyaman yang lain sehingga pasien nyaman dan ilmu yang mempelajari tata laksana untuk menjaga/mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selam mengalami kematian akibat obat anastesia.3 Berdasarkan batasan tersebut di atas, maka ruang lingkup pelayanan medis yang di cakup cabang ilmu anestesi dan reanimasi meliputi : 1

a. Usaha-usaha penanggulangan nyeri dan setres emosional agar pasien merasa nyaman, baik pada keadaan nyeri akut maupun nyeri kronik b. Usaha-usaha kedokteran gawat darurat yang meliputi bantuan resusitasi, PPGD dan terapi intensif c. Usaha-usaha kedokteran perioperatif yang meliputi evaluasi/ persiapan pra operatif, tindakan anestesi dan reanimasi intraoperatif dan tindakan anestesi dan reanimasi pascaoperatif.3 Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi lokal. Anestesi umum adalah bentuk anestesi yang paling sering digunakan atau dipraktekkan yang dapat disesuaikan dengan jumlah terbesar pembedahan. Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi general yaitu tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible.1 1.2 Defenisi3,4 Anestesi umum adalah suatu keadaan di mana hilangnya kesadaran di sertai dengan hilangnya perasaan sakit diseluruh tubuh akibat pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat refersible ( dapat kembali kepada keadaan semula). Komponen anestesi yang ideal terdiri : (1) Hipnotik ( tidak sadarkan diri = mati ingatan) (2) Analgesia ( analgesia bebas nyeri = mati rasa ) (3) Relaksasi otot rangka ( mati gerak ) 1.3 Stadium Dokter atau petugas yang memberikan anestesia sangan penting mengetahui stadium anestesia pada pasien terutama dalam menentukan stadium atau saat yang tepat untuk memulai pembedahan pada pasien. Disamping itu pemahaman tentang perjalanan dari stadium ke stadium berikutnya sangat penting agar petugas mampu mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi dan mampu mengatasi penyulit-penyulit yang mengancam keselamatan pasien selama dibius.3 Parameter yang dipakai pegangan oleh Guedel. Pembagian stadium tersebut adalah sebagai berikut, yaitu:1,3 1) Stadium I, disebut sebagai stadium analgesia. 2) Stadium II, disebut sebagai stadium eksitasi. 3) Stadium III, disebut sebagai stadium pembedahan, di bagi menjadi 2

a. Plana 1 (P1) b. Plana 2 (P2) c. Plana 3 (P3) : optimal untuk operasi d. Plana 4 (P4) 4) Stadium 4, disebut stadium paralisis (kelebihan obat). TABEL : Stadium anestesi menurut Guedel Stadium (St) I: analgesia Respirasi Pupil Ritme Volume ukuran letak sampai Tidak Kecil Kecil Difergen Besar Besar Sedang Sedang Kecil Lebar Kecil Setengah lebar lebar Lebar maksimal pause sampai otot Tidak teratur, nafas cepat dan panjang IV. henti napas-henti jantung 1.4 Metode Metode anestesi umum dilihat dari cara pemberian obat. 1. Parenteral Anestesi umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun intra muskular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk tindakan induksi anestesi. Obat yang umum dipakai adalah tiopental. Kecuali untuk kasus kasus tertentu dapat digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang lama biasanya dikombinasi dengan obat anestesi lain. 3 Difergen Difergen Menetap ditengah Menetap ditengah Menetap ditengah Spingter dan karina ani Faring peritoneum Depresi reflek Tidak ada Bulu mata,

tidak sadar teratur II:sampai pernapasan Tidak teratur atau otomatis teratur III P1: sampai gerakan Teratur bola mata hilang. P2: samapi awal parise Teratur otot lurik P3: sampai otot napas Teratur lumpuh P4: diafragma lumpuh

kelopak mata Kulit konjungtiva Kornea

2. Perektal Anestesi umum yang diberikan melalui rektal kebanyakan dipakai pada anak, terutama untuk induksi anestesi atau tindakan singkat. 3. Perinhalasi, melalui pernafasan Anestesi inhalasi ialah anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestesi yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetika melalui udara pernafasan. Zat anestetika yang dipergunakan berupa suatu campuran gas (dengan O2) dan konsentrasi zat anestetika tersebut tergantung dari tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam jaringan otak menentukan kekuatan daya anestesi, zat anestetika disebut kuat bila dengan tekanan parsial rendah sudah mampu memberi anestesi yang adekuat. Anestesi inhalasi masuk dengan inhalasi / inspirasi melalui peredaran darah sampai ke jaringan otak.2 1.5 Intubasi Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea ke dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira di pertengahan trakea antara pita suara dan bifurcatio trakea. Indikasi intubasi trakea 1. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas, dan lain-lainnya. 2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi Misalnya, saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang. 3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.2 Sebelum mengerjakan intubasi trakea, dipersiapkan peralatan: S = Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. LaringoScope. Pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

4

Gambar 1. Laryngoscope

T = tubes

Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).

Gambar 2. ETT

A = Airway

Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung faring (naso tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas.

T = Tape I = Introducer C = Connector S = Suction

Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut. Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan. Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia. Penyedot lendir, ludah dan lain lainnya.1,2

Gambar 3. Pemakaian ETT

5

Komplikasi tindakan intubasi trakea dapat terjadi saat dilakukannya tindakan laringoscopy dan intubasi, selama pipa endotrakeal di masukkan, dan setelah ekstubasi.1 A. Komplikasi tindakan laringoscopy dan intubasi: 1. Malposisi: intubasi esofagus, intubasi endobronkial, malposisi laringeal cuff. 2. Trauma jalan nafas: kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibulae dan diseksi retrofaringeal. 3. Gangguan refleks: hipertensi, takikardi, tekanan intra karnial meningkat, tekanan intraoculern meningkat dan spasme laring 4. Malfungsi tuba: perforasi cuff B. Komplikasi pemasukan pipa endotrakel 1. Malposisi: ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial, malposisi laryngeal cuff. 2. Trauma jalan nafas: inflamasi dan ulserasi mukosa, serta eksoriasi kulit hidung. 3. Malfungsi tuba: obstruksi C. Komplikasi setelah ekstubasi 1. Trauma jalan nafas: oedem dan stenosis (glotis, subglotis atau trakea), suara serak/ parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring 2. Gangguan refleks: spasme laring. Indikasi intubasi nasal: 1. Bila oral tube menghalangi pekerjaan ahli bedah, misalnya tonsilektomi, pencabutan gigi, operasi pada lidah 2. Pemakaian laringoskop sulit karena anatomi pasien 3. Bila direct vision intubation gagal 4. Pasien pasien yang tak sadar untuk memperbaiki jalan nafas.

1.6 Langkah-langkah baku anastesi dan reanimasi Langkah-langkah baku yang selalu dilakukan apabila hendak memberikan pelayanan anestesi-anelgesia pada pasien yang akan dilakukan pembedahan atau prosedur diagnostik lain adalah :

6

A. PERSIAPAN PRA ANESTESI Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah : 1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal. 2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan fisik dan kehendak pasien. 3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology): a. ASA I: Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa disertai kelainan faali,biokimiawi,dan psikiatris. Angka mortalitas 2%. b. ASA II: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%. c. ASA III: Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%. d. ASA IV: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%. e. ASA V: Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%. Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat .2,3 Pada dasarnya persiapan untuk anestesi umum seperti hal hal yang perlu diperhatikan dibawah ini :3 1. Informed consent ( izin dari pasien ). 2. Pemeriksaan keadaan umum pasien: a) Anamnesa b) Pemeriksaan fisik c) Pemeriksaan laboratorium d) Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital e) Menentukan prognosis pasien perioperatif sesuai ASA 3. Persiapan psikis dan fisik 7

Persiapan fisik meliputi menghientikan kebiasaan-kebiasaan buruk, melepas segala macam protesis, tidak menggunakan kosmetik misalnya cat kuku atau cat bibir 4. Puasa dengan aturan Usia 36 1.7 Premedikasi anestesi Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :2 1. 2. 3. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam Makanan formula/ASI 4 jam 6 jam 8 jam 2 jam 3jam 3 jam padat susu Cairan jernih tanpa partikel

4. Memberikan analgesia, misal pethidin 5. Mencegah muntah, misal : cendantron, metoklopropamid 6. Memperlancar induksi, misal : pethidin 7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin 8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin. 9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin. Pemberian premedikasi pada pediatrik sangat beraneka ragam bahkan seringkali premedikasi tidak harus diberikan pada neonates, bayi, pasien gawat jalan dan anak yang sudah besar, kecuali bayi/neonatus dengan kelainan jantung. Beberapa obat pilihan premedikasi yang paling disukai antara lain:

B. PERSIAPAN ANESTESI 8

INDUKSI

Pasien diusahakan tenang dan diberikan O2 melalui sungkup muka. Obat-obat induksi dapat diberikan secara: Intravena a. Tiopental Dosis : 3 7 mg/ KgBB Efek : Hipnotik kuat, Analgetik sedikit, menimbulkan sedasi b. Propofol Dosis : 2 3 mg/ KgBB Efek : Hipnotik murni, Depresi respirasi, Depresi sistem kardiovaskuler c. Ketamin Dosis : 1 2 mg/KgBB Efek : Hipnotik kurang, Lakrimasi, Halusinasi, Simpatonimatik Intramuscular Dengan menggunakan ketamin (ketalar) denghan dosisi 5-7 mg/kgBB dan setelah 35 menit pasien tidur. Inhalasi Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan Halotan ( fluotan ) atau sevofluran. Cara induksi ini biasa diberikan pada bayi dan anak yang belum terpasang jalur vena, atau pada dewasa yang takut disuntik. Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan teopental atau midazolam.2 MUSCLE RELAXANT Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan memberikan pelumpuh otot. Pelumpuh otot terbagi 2 : 1. Pelumpuh otot depolarisasi Bekerjanya seperti acetil colin, tetapi dicelah saraf otot tidak dirusak oleh polinesterase sehingga cukup lama berada dicelah sinapstik dan terjadilah depolarisasi ditandai oleh vasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik. Termasuk golongan pelumpuh otot depolarisasi ialah succinil cholin dan dekametonium. 2. Pelumpuh otot non depolarisasi Pelumpuh otot non depolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik- cholinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi acetil cholin 9

menempatinya, sehingga aceti cholin tidak dapat bekerja. Pelumpuh otot non depolarisasi digolongkan menjadi : Bensiliso kuinolinum : d tubokurarin, metokurin, atrakurium, doksakurium, mivakurium. Steroid : pankuronium, vekuronium,pipekuronium, ropakuronium,rokuronium. Eter fenolik : gallamin Nortoksiferin : alkuronium

Penawar pelumpuh otot atau anticholinesterase bekerja pada sambungan saraf otot mencegah acetil cholinesterase, sehingga acetil cholin dapat bekerja. Anticholinesterase yang paling sering digunakan ialah neostigmin ( prostigmin) = 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin= 0,1-0,4 mg/kg, dan endrophonium= 0,5-1,0 mg/kg. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga pemberiannya harus disertai oleh obat vagolitik seperti atropin dosisnya 0,01-0,02 mg/kgBB.(2) RUMATAN ANESTESI

Rumatan (Maintenance ), biasanya mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (Hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusakan pasien agar selama di bedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan Anestesi dapat dilakukan secara: a) Intravena Menggunakan opioid dosis tinggi, fentanyl 10-50 g/kgBB. Rumatan intra vena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa,tapi pasien di tidurkan dengan infus propofol 4- 12 mg/kg BB /jam b) Inhalasi Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 di tambah halothan 0,5 -2 volt% atau enflurant 2 -4 volt% atau isofluran 2-4 volt% atau sefofluran 2-4 vol%. Bergantung apakah pasien bernafas spontan, dibantu , dikendalikan. 2 TERAPI CAIRAN

Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk: 10

1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. 2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan. Pemberian cairan operasi dibagi : Pra operasi Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstriktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 C kebutuhan cairan bertambah 10-15 %. Selama operasi Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi : Ringan = 4 ml/kgBB/jam. Sedang = 6 ml / kgBB/jam Berat = 8 ml / kgBB/jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang. Setelah operasi Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien. C.PASCA ANESTESI Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.1

11

BAB II PEMBAHASAN MASALAH Batu empedu merupakan penyakit yang sering ditemukan di negara maju dan jarang ditemukan di negara-negara berkembang. Dengan membaiknya keadaan sosial ekonomi, perubahan menu makanan ala barat serta perbaikan sarana diagnosis khususnya

12

ultrasonografi, prevalensi penyakit batu empedu di negaranegara berkembang cenderung meningkat.4 Di amerika serikat, 10% populasi menderita kolelitiasis dengan batu empedu kolesterol mendominasi yang terjadi dalam 70% dari semua kasus batu empedu. Sisanya 30% dari batu pigmen dan komposisi yang bervariasi.5 2.1 Defenisi Batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya.3

Gambar 4. Gambaran batu dalam kandung empedu (Emedicine, 2007) 2.2 Anatomi kandung empedu Kandung empedu merupakan kantong berbentuk alpukat yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung nya buntu dari kandung empedu. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung empedu.4 Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati sebagai duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus.5

13

Gambar 5. Gambaran anatomi kandung empedu (Emedicine, 2007) 2.3 Fisiologi Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya antara 6001200 ml/hari6. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di sini mengalami pemekatan sekitar 50 %. Fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 8090%.7,8 Menurut Guyton &Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu : Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak, karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati. Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin, hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit setelah makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding kandung empedu, tetapi 14

efektifitas pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam.9 Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan.6 2.4 Epidemiologi Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangka angka kejadian di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara (syamsuhidayat). Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang disebut 5 Fs : female (wanita), fertile (subur)-khususnya selama kehamilan, fat (gemuk), fair, dan forty (empat puluh tahun).10 Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko. Namun, semakin banyak faktor resiko, semakin besar pula kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis.8, Faktor resiko tersebut antara lain: 1. Genetik Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk batu empedu bisa berjalan dalam keluarga10. Di negara Barat penyakit ini sering dijumpai, di USA 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu. Batu empedu lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga sering ditemukan di negara lain selain USA, Chili dan Swedia.13 2. Umur Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun. Sangat sedikit penderita batu empedu yang dijumpai pada usia remaja, setelah itu dengan semakin bertambahnya usia semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan batu empedu, sehingga pada usia 90 tahun kemungkinannya adalah satu dari tiga orang.6,9 15

3. Jenis Kelamin Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan perbandingan 4:1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu, sementara di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki. Sementara di Indonesia jumlah penderita wanita lebih banyak dari pada laki-laki.10 4. Beberapa faktor lain Faktor lain yang meningkatkan resiko terjadinya batu empedu antara lain: obesitas, makanan, riwayat keluarga, aktifitas fisik, dan nutrisi jangka vena yang lama.10,13 2.5 Patogenesis Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mucus.5 Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garamgaram empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. 6 Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus.3 2.6 Patofisiologi batu empedu 16

a. Batu Kolesterol Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari 90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan lesitin.10 Menurut Meyers & Jones, 1990 Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat tahap: Supersaturasi empedu dengan kolesterol. Pembentukan nidus. Kristalisasi/presipitasi. Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan senyawa lain yang membentuk matriks batu. b. Batu pigmen Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika Serikat. Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel, sangat keras dan penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu tersebut mengandung dalam jumlah bervariasi kalsium bilirubinat, polimer bilirubin, asam empedu dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai 26%) dan banyak senyawa organik lain. Didaerah Timur, batu kalsium bilirubinat dominan dan merupakan 40 sampai 60 % dari semua batu empedu. Batu ini lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai hitam.10 Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinan mencakup sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen abnormal yang mengendap dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris merupakan predisposisi pembentukan batu pigmen. Pasien dengan peningkatan beban bilirubin tak terkonjugasi (anemia hemolitik), lazim membentuk batu pigmen murni. Di negara Timur, tingginya insiden batu kalsium bilirubinat bisa berhubungan dengan invasi bakteri sekunder dalam batang saluran empedu yang di infeksi parasit Clonorchis sinensis atau Ascaris Lumbricoides. E.coli membentuk Bglukoronidase yang dianggap mendekonjugasikan bilirubin di dalam empedu, yang bisa menyokong pembentukan kalsium bilirubinat yang tak dapat larut.14 c. Batu campuran 17

Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme yang sama dengan batu kolesterol.10 2.6 Manifestasi klinis A. Batu Kandung Empedu (Kolesistolitiasis) 1. Asimtomatik Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode wakti 5 tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu empedu asimtomatik.4 2. Simtomatik Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris.6,7 3. Komplikasi Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita usia pertengahan dan manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam infundibulum. Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di daerah epigastrium post prandial. Nyeri ini bertambah saat inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar kepunggung atau ke ujung skapula. Keluhan ini dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan pada kanan atas abdomen dan tanda klasik Murphy sign (pasien berhenti bernafas sewaktu perut kanan atas ditekan). Masa 18

yang dapat dipalpasi ditemukan hanya dalam 20% kasus. Kebanyakan pasien akhirnya akan mengalami kolesistektomi terbuka atau laparoskopik.7 B. Batu Saluran Empedu (Koledokolitiasis) Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis. Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma.5 Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu duktus koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen pasien serta dengan adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode parah kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu kecil melalui ampula Vateri sewaktu ada saluran umum diantara duktus koledokus distal dan duktus pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya batu empedu dalam ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif.10 2.7 Penatalaksanaan Konservatif a) Lisis batu dengan obat-obatan Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimtomatik tidak akan mengalami keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak berhubungan dengan timbulnya keluhan selama pemantauan. Kalaupun nanti timbul keluhan umumnya ringan sehingga penanganan dapat elektif. Terapi disolusi dengan asam ursodeoksilat untuk melarutkan batu empedu kolesterol dibutuhkan waktu pemberian obat 6-12 bulan dan diperlukan monitoring hingga dicapai disolusi. Terapi efektif pada ukuran batu kecil dari 1 cm dengan angka kekambuhan 50 % dalam 5 tahun.3 b) Disolusi kontak

19

Metode ini didasarkan pada prinsip PTC dan instilasi langsung pelarut kolesterol ke kandung empedu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi.5 c) Litotripsi (Extarcorvoral Shock Wave Lithotripsy =ESWL) Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien yang benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksilat.10 Penanganan operatif a) Open kolesistektomi Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun angka kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka kematian mencapai 0,5 %.4 b) Kolesistektomi laparoskopik Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,51%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga.16 c) Kolesistektomi minilaparatomi. Modifikasi dari tindakan kolesistektomi terbuka dengan insisi lebih kecil dengan efek nyeri paska operasi lebih rendah. BAB III 20

KESIMPULAN Dalam suatu tindakan anestesi banyak hal yang harus diperhatikan agar tindakan anestesi tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan anestesi. Anastesi umum harus dilakukan dengan mempertimbangkan keamanan pasien. Dalam hal ini pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang baik dan teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya serta dapat menentukan teknik anestesi yang akan dipakai. Selain itu, pemilihan obat dan dosisnya harus benar-benar. Pada presentasi kasus ini disajikan kasus penatalaksanaan general anestesi pada operasi cholelitectomi pada penderita perempuan, umur 23 tahun, status fisik ASA I , dengan diagnosis cholelithiasis. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anastesi berlangsung dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA 21

1. Lunn J. Farmakologi Terapan: Anestesi Umum. Catatan Kuliah Anestesi, Edisi 4 .Jakarta : EGC. 2004 2. Latief S, Suryadi K, Dachlan M. Anestesia Umum. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009. 3. Mangku, Gde.Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi.Macanan Jaya Cemerlang;Jakarta.2010 4. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3.Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. 5. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-9. 6. Schwartz,Seymour I. principles of surgery. 6th edition. United States America : McGraw Hill, 1994. 7. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi.Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 1995. 8. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 1997. 1028-1029. 9. Clinic Staff. Gallstones. Available from: 10. http:/www.6clinic.com/health/digetivesystyem/DG9999.htm. Last update 25 11. Juli 2007 [diakses pada tanggal 16 April 2008] 12. 9. 7. Cholelithiasis. Available from: 13. http:/www.7.com/healthmanagement/ManagingYourHealth/HealthReference/ 14. Disease/InDepth.htm. Last update April 2007 [diakses tanggal 16 April 200]. 15. 10. Sarr MG, Cameron JL. Sistem empedu dalam : Buku Ajar Bedah. Esentials of 16. Surgery, edisis ke-2. Jakarta: EGC, 1996. 121-123 17. 11.Garden Jet et al. Gallstone dalam: Principle and Practice of Surgery. China: 18. Elseiver, 2007. 23. 19. 12.Bateson M. Batu Empedu dan Penyakit Hati. Jakarta: Arcan, 1991. 35-41. 20. 13. Latchie M. Cholelitiasis dalam : Oxford Handbook of Clinical Surgery. 21. Oxford University. 1996. 162 22. 14.Bhangu AA et al. Cholelitiasis and Cholesistitis dalam: Flesh and Bones of 23. Surgery. China: Elseiver, 2007. 123. 24. 15.Kasper DL et al. Cholelitiasis, Cholesistitis, and Cholangitis dalam: Harrisons 22

25. Manual of Medicine, McGraw Hill, 2005, 751. 26. 16. Nealon TF. Kolesistektomi Laparoskopi dalam : Ketrampilan Pokok Ilmu 27. Bedah. Jakarta : EGC, 1996. 394 28. 19

23