Contoh Teori Hukum

31
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini, konflik pertanahan dirasa semakin meningkat dengan kegunaan tanah yang memiliki nilai ekonomis, memiliki nilai sosi politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. Menurut Farkhani dari per konflik pertanahan yang terjadi dapat disimpulkan bahwa konflik pertana menurut bentuk atau sifatnya dapat diklasifikasikan dalam dua hal. (Far 2012, http!!stainsalatiga.a".id!mengenal#hak#atas#tanah#dan#konf pertanahan#di#indonesia!$ Pertama, konflik %ertikal (struktural$ yakni pertanahan yang melibatkan antara penguasa dan rakyat. &edua, konflik hori'ontal, yakni konflik pertanahan yang melibatkan antar anggota masyarakat, baik antara satu orang dengan satu orang yang lain, satu or berhadapan dengan kelompok masyarakat atau kelompok masyarakat kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. &onflik %ertikal dalam pertanahan salah satu penyebabnya a mun"ulnya hunian#hunian liar di tanah negara. hunian liar dalam karater hukum digambarkan ketiadaan hak milik terhadap lahan yang dipergunakan untuk membangun rumah. ( tty )ulistyowati, 200* 10+$ al ini terjadi p lahan kosong milik pemerintah atau umum, di sebidang tanah seperti bant sungai, bantaran waduk, bantaran relkereta api,tanah rawa#rawadan sebagainya. &emudian ketikalahan tersebut tidakdipergunakan oleh pemiliknya, maka diambil oleh pemukim liar untuk membangun rumah. &eberadaan adanya hunian#hunian liar di tanah negara dapat member dampak negatif terhadap tata ruang kota yaitu mengurangi ruang hijau, sistem drainase semakin buruk yang pada akhirnya akan mengakibat banjir di daerah tersebut, dan menyebabkan sirkulasi transporta daerah akan terganggu jika hunian liar berada pada jalur#jalur seperti jalur kereta api dan pinggir jalan tol. ( tty -sworo, 2012 + )alah satu daerah yang tersebar meningkatnya kawasan hunian liar tanah negaraadalahkawasan bantaran sungai/engawan )olo di kota )urakarta. )ungai /engawan )olo merupakan sungai terbesar di Pulau awa 1

description

Contoh Teori Hukum

Transcript of Contoh Teori Hukum

BAB I

PENDAHULUANA. Latar BelakangPada saat ini, konflik pertanahan dirasa semakin meningkat seiring dengan kegunaan tanah yang memiliki nilai ekonomis, memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. Menurut Farkhani dari perbagai konflik pertanahan yang terjadi dapat disimpulkan bahwa konflik pertanahan menurut bentuk atau sifatnya dapat diklasifikasikan dalam dua hal. (Farkhani, 2012, http://stainsalatiga.ac.id/mengenal-hak-atas-tanah-dan-konflik-pertanahan-di-indonesia/) Pertama, konflik vertikal (struktural) yakni konflik pertanahan yang melibatkan antara penguasa dan rakyat. Kedua, konflik horizontal, yakni konflik pertanahan yang melibatkan antar anggota masyarakat, baik antara satu orang dengan satu orang yang lain, satu orang berhadapan dengan kelompok masyarakat atau kelompok masyarakat atau kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya.

Konflik vertikal dalam pertanahan salah satu penyebabnya adalah munculnya hunian-hunian liar di tanah negara. hunian liar dalam karateristik hukum digambarkan ketiadaan hak milik terhadap lahan yang dipergunakan untuk membangun rumah. (Etty Sulistyowati, 2007: 109) Hal ini terjadi pada lahan kosong milik pemerintah atau umum, di sebidang tanah seperti bantaran sungai, bantaran waduk, bantaran rel kereta api, tanah rawa-rawa dan sebagainya. Kemudian ketika lahan tersebut tidak dipergunakan oleh pemiliknya, maka diambil oleh pemukim liar untuk membangun rumah.

Keberadaan adanya hunian-hunian liar di tanah negara dapat memberi dampak negatif terhadap tata ruang kota yaitu mengurangi ruang terbuka hijau, sistem drainase semakin buruk yang pada akhirnya akan mengakibatkan banjir di daerah tersebut, dan menyebabkan sirkulasi transportasi di suatu daerah akan terganggu jika hunian liar berada pada jalur-jalur transportasi seperti jalur kereta api dan pinggir jalan tol. (Etty Isworo, 2012: 96)

Salah satu daerah yang tersebar meningkatnya kawasan hunian liar di tanah negara adalah kawasan bantaran sungai Bengawan Solo di kota Surakarta. Sungai Bengawan Solo merupakan sungai terbesar di Pulau Jawa, terletak di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan luas wilayah sungai 12% dari seluruh wilayah Pulau Jawa pada posisi 11018 BT sampai 112045 BT dan 6049LS sampai 8008 LS. (Satuan Kerja Bina Pengelolaan SDA Direktorat Bina Penatagunaan Sumber Daya Air, Kementrian Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2013, http://sda.pu.go.id:8181/sda/?act=peraturan_ws_detail&wid=19&gid=6)

Sungai Bengawan Solo dengan curah hujan tahunan rata-rata 2.100 mm merupakan sebuah sumber air yang potensial bagi usaha-usaha pengelolaan dan pengembangan sumber daya air, untuk memenuhi berbagai keperluan dan kebutuhan, antara lain untuk kebutuhan domestik, air baku air minum dan industri, irigasi dan lain-lain. Karena banyaknnya manfaat dari sungai Bengawan Solo tersebut, maka dibutuhkan pelestarian dari sungai tersebut.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, memberikan definisi mengenai bantaran sungai yaitu ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul sebelah dalam yang terletak di kiri dan/atau kanan palung sungai. Jika menelaah definisi dari tersebut, wilayah di sekitar ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul haruslah steril dari bangunan apapun terutama hunian tempat tinggal. Hal tersebut karena jika bantaran sungai ditempati oleh bangunan maka akan berpotensi mempersempit daerah aliran sungai, dan akan berakibat merusak ekosistem sungai selain itu, akibat yang sering ditimbulkan karena sempitnya Daerah Aliran Sungai yaitu terjadi banjir di wilayah-wilayah yang dilewati aliran sungai Bengawan Solo.

Ada enam kelurahan di Kota Surakarta yang merupakan kawasan bantaran sungai Bengawan Solo antara lain Kelurahan Pucang Sawit terdiri dari 300 Rumah, Kelurahan Sewu terdiri dari 363 Rumah, Kelurahan Sangkrah terdiri dari 294 Rumah, Kelurahan Semanggi terdiri dari 339 Rumah, Kelurahan Joyosuran terdiri dari 57 Rumah dan Kelurahan Jebres terdiri dari 218 Rumah. Dampak yang terjadi ketika berkembangnya kawasan bantaran sungai Bengawan Solo di kota Surakarta adalah ketiadaannya lahan atas resapan air yang menimbulkan banjir keenam kelurahan di sekitar hunian liar bantaran sungai Bengawan Solo.

Fakta empiris telah menunjukan bahwa penduduk di DAS Bengawan Solo terus bertambah dan tinggal di daerah rawan banjir. Tahun 1980 ada 13,5 juta jiwa, tahun 1990 menjadi 14,7 juta jiwa, dan tahun 2005 ada 17,5 juta jiwa. Tutupan hutan hanya 13,6% dari luas DAS. Erosi tanah mencapai 3,14 mm/tahun yang melebihi erosi yang ditoleransikan. Kondisi ini menyebabkan banjir setiap tahun di Bengawan Solo. (BNPB, 2013, http://bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/cover/567.pdf)

Dalam rangka mengatasi banjir tahun 2007, pada masa pemerintahan Joko Widodo telah menerapkan konsep relokasi. Pada saat itu, relokasi dilakukan karena peristiwa bencana banjir yang menimpa Kota Surakarta dan konsep tersebut terus dipertahankankan hingga saat ini pada masa pemerintahan Walikota Surakarta FX. Rudyatmo. Namun, konsep relokasi ini masih menimbulkan pertanyaan apakah telah ada landasan yuridis yang memberikan legalitas atas konsep relokasi tersebut atau tidak.

Dalam Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya (untuk selanjutnya disebut UU No. 51/PRP/1960) menyatakan bahwa penguasa Daerah dapat mengambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, yang ada didaerahnya masing-masing pada suatu waktu.

Selanjutnya dalam Ayat (2) UU No. 51/PRP/1960) juga menyatakan bahwa penyelesaian tersebut pada ayat (1) pasal ini diadakan dengan memperhatikan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No. 51/PRP/1960, seharusnya Pemerintah Kota Surakarta melakukan tindakan-tindakan yang sewajarnya untuk menyelesaikan permasalahan hunian liar di bantaran sungai dengan tujuan untuk merevitalisasi sungai. Pada kenyataannya tindakan-tindakan yang dilakukan Pemerintah Kota Surakarta adalah dengan melakukan penggusuran atas hunian liar.

Penggusuran yang dilakukan sangatlah tidak memperhatikan Hak Asasi Manusia mengenai hak atas tempat tinggal sebagaimana diatur dalam Pasal 28H Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Penggusuran dengan kata lain tidak memberikan pilihan kepada korban penggusuran dan tidak memberikan alternatif kehidupan yang lebih baik. Adalah sebuah pelanggaran HAM, apabila membuat manusia menurun derajat hidupnya. Para korban penggusuran tidak diberikan alternatif untuk menjalankan kehidupan yang lebih layak, dalam hal ini mereka hanya diberikan sosialisasi mengenai penggusuran yang akan dilakukan terhadap mereka, mengingat mereka tidak memiliki izin untuk menempati tempat tersebut. Tetapi hak asasi manusia, dalam hal ini, tidak menonjolkan kepemilikan tanah, melainkan menonjolkan sisi kemanusiaan. (Siti Manggar, 2011: 218)

Rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah Kota Surakarta dapat suatu model pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak terhadap masyarakat yang menempati hunian liar di kawasan bantaran sungai Bengawan Solo yaitu relokasi. Relokasi adalah membangun kembali perumahan, harta kekayaan, termasuk tanah produktif dan prasarana umum di lokasi atau lahan lain. (Rina Kemala Sari, 2006: 2) Hal ini diperkuat oleh Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah memberikan landasan yuridis dimana setiap RAPBD harus menyediakan anggaran yang berkaitan dengan pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak.

Berdasarkan uraian diatas, maka menjadi penting untuk dikaji masalah hukum dengan judul RELOKASI SEBAGAI MODEL PENYELESAIAN HUNIAN LIAR YANG HUMANIS DALAM PEMENUHAN HAK-HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA (STUDI PENYELESAIAN SENGKETA ATAS HUNIAN LIAR DI BANTARAN SUNGAI BENGAWAN SOLO).

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan argumentasi cerdas mengenai penyelesaian hunian liar di bantaran sungai Bengawan Solo yang humanis. BAB II

TINJAUAN PUSTAKAA. Teori Penyelesaian Sengketa

Teori penyelesaian sengketa dikembangkan oleh Ralf Dahrendof pada tahun 1958. Teori penyelesaian sengketa beroreintasi pada struktur dan institusi sosial (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2007: 153-154). Ralf Dahrendof berpendapat bahwa masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu:

1. Sengketa; dan

2. Konsesensus.

Selanjutnya Simon Fisher mengemukakan enam teori yang mengkaji dan menganalisis penyebab terjadinya sengketa, antara lain: (Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013: 144-146)1. Teori hubungan masyarakat

Teori hubungan masyarakat berpendapat bahwa penyebab terjadinya sengketa adalah polarisasi (kelompok yang berlawanan) yang terus terjadi, ketidak percayaan dan permusuhan di dalam kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.

2. Teori negosiasi prinsipTeori ini menganggap bahwa penyebab terjadinya sengketa adalah dikarenakan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang sengketa oleh pihak-pihak yang mengalami sengketa. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:

a. Membantu pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap; dan

b. Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.

3. Teori identitas

Teori ini berasumsi bahwa terjadinya sengketa disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan masa lalu yang tidak diselesaikan

4. Teori kesalahpahaman

Teori kesalahpahaman antar budaya berasumsi bahwa sengketa terjadi disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda.

5. Teori transformasi sengketa

Teori ini berasumsi bahwa senketa terjadi disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.

6. Teori kebutuhan manusia

Teori ini berasumsi bahwa terjadinya penyebab sengketa adalah oleh kebutuhan dasar manusia, baik fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:

a. Membantu pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu; dan

b. Agar pihak-pihak yang mengalami sengketa mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.

Dean G, Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin mengemukakan sebuah teori tentang penyelesaian sengketa yang disebut dengan teori strategi penyelesaian sengketa, yaittu: (Dean G, Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, 2004: 9-10)1. Contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan suatu solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lainnya.2. Yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia kurang dari yang sebetulnya diinginkan.3. Problem solving (pemecahan masalah), yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak.4. With drawing (menarik diri), yaitu memilih meninggalkan situasi sengketa, baik secara fisik maupun psikologis.5. Inaction (diam), yaitu tidak melakukan apa-apa.

B. Teori Utilitarianisme

Utilitarianisme dalam bentuknya yang matang dikembangkan oleh filsuf Inggris, Jeremy Bentham (1748-1832), sebagai sistem moral bagi abad baru, melalui bukunya yang terkenal Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Menurut Bentham, utilitarianisme dimaksudkan sebagai dasar etis-moral untuk memperbaharui hukum Inggris, khususnya hukum pidana. Dengan demikian, Bentham hendak mewujudkan suatu teori hukum yang kongkret, bukan yang abstrak. Ia berpendapat bahwa tujuan utama hukum adalah untuk memajukan kepentingan para warga Negara dan bukan memaksakan perintah-perintah Tuhan atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Oleh karena itu, Bentham beranggapan bahwa klasifikasi kejahatan dalam hukum Inggris sudah ketinggalan zaman dan karenanya harus diganti dengan yang lebih up to date. Melalui buku tersebut, Bentham menawarkan suatu klasifikasi kejahatan yang didasarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan yang terakhir ini diukur berdasarkan kesusahan dan penderitaan yang diakibatkannya terhadap para korban dan masyarakat (K. Bertens, 1997: 247). Menurut Bentham, pada dasarnya setiap manusia berada di bawah pemerintahan 2 penguasa yang berdaulat: ketidaksenangan (pain) dan kesenangan (pleasure).

Menurut kodratnya, manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Oleh karena kebahagiaan merupakan tujuan utama manusia dalam hidup, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Moralitas suatu perbuatan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia, bukan kebahagiaan individu yang egois sebagaimana dikemukakan Hedonisme Klasik. Dengan demikian, Bentham sampai pada prinsip utama utilitarianisme yang berbunyi: the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar). Prinsip ini menjadi norma untuk tindakan-tindakan pribadi maupun untuk kebijakan pemerintah untuk rakyat (Jeremy Bentham, 2000: 14).

Menurut Bentham, prinsip utilitarianisme ini harus diterapkan secara kuantitatif. Karena kualitas kesenangan selalu sama, maka satu-satunya aspek yang bisa berbeda adalah kuantitasnya. Dengan demikian, bukan hanya the greatest number yang dapat diperhitungkan, akan tetapi the greatest happiness juga dapat diperhitungkan. Untuk itu, Bentham mengembangkan Kalkulus Kepuasan (the hedonic calculus). C. Konsep Relokasi

Dalam buku yang berjudul Analisis dan Evaluasi Hukum Tertulis Tentang Cara Kegiatan Perombakan Rumah Pemukiman Kumuh Didalam Perkotaan (Paulus Wirotomo, 1996: 11), menjelaskan bahwa pengertian relokasi adalah perumahan dan pemukiman kumuh yang lokasinya tidak sesuai dengan tata ruang wilayah yang telah ditentukan, penanganannya dilakukan dengan relokasi ke lokasi perumahan dan pemukiman lain yang telah ditentukan dan dipersiapkan sesuai dengan peruntukkannya.

Untuk melakukan analisis terhadap pelaksanaan relokasi, maka prosedur yang dapat ditempuh yaitu: (Mustianto Sepriyansyah, 2014: 2101)1. Pendekatan yang interaktif kepada masyarakat yang terkena relokasi dalam rangka menginformasikan rencana proyek relokasi tersebut.

2. Pembentukan forum diskusi warga sebagai wadah untuk menggali respon, aspirasi warga dan peran serta warga dalam proyek relokasi. Kegiatan forum diskusi ini dilaksanakan mulai dari perencanaan hingga terlaksananya proyek.

3. Pekerjaan fisik berupa pengukuran yang bermanfaat bagi penentuan besarnya kompensasi bagi masing-masing warga, penyiapan prasarana dan sarana lingkungan dilokasi yang baru.

4. Penyusunan rencana penempatan lokasi rumah tempat tinggal baru dengan memperhatikan aspirasi warga.D. Kajian Mengenai Hak Asasi ManusiaSejarah mengenai perkembangan pemikiran hak asasi manusia telah berlangsung lama dari yang sangat sederhanya yang mewakili zaman awal dan yang sangat kompleks yang mewakili zaman modern. Karel Vasak seorang sarjana berkebangsaan Perancis mengemukakan suatu model perkembangan hak asasi manusia dikutip oleh Jimly Asshidiqie yaitu: (Jimly Asshidiqie, 2005: 211) Generasi Pertama, mewakili hak-hak sipil dan politik yakni hak asasi manusia yang klasik. Puncak perkembangan generasi pertama hak asasi manusia ini adalah pada persitiwa penandatanganan naskah Universal Declaration of Human Rights Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948. Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.Generasi Kedua, hak-hak generasi kedua pada dasarnya tuntutan akan persamaan sosial yang sering dikatakan sebagai hak-hak positif karena pemenuhan hak-hak tersebut sangat membutuhkan peran aktif negara. Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan ditandatanganinya International Couvenant on Economic, Social and Cultural Rights pada tahun 1966. Kemudian pada tahun 1986, muncul pula konsepsi baru hak asasi manusia yaitu mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau rights to development. Konsepsi baru inilah yang oleh para ahli disebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Ketiga. Hak-hak dalam bidang pembangunan ini antara lain: (Jimly Ashidiqqie, 2008: 625) (1) Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat; (2) Hak untuk memperoleh perumahan yang layak; (3) Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai.E. Hak Dasar Perumahan yang LayakHak perumahan adalah HAM. Secara normatif, instrumen internasional memberikan pengakuan yang kuat terhadap eksistensi hak perumahan. Hak perumahan merupakan konstruksi terpenting dalam mengokohkan terpenuhinya hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak atas perumahan menandakan upaya nyata bagi terjamin dan terpenuhinya hak hidup yang layak. Dengan kata lain, hak perumahan merupakan unsur esensial yang dapat memperkuat terpenuhinya hak-hak fundamental lainnya, seperti hak pangan, kesehatan dan sebagainya. (Majda El Muhtaj, 2008: 141-142)Dalam kajian hukum HAM, istilah hak perumahan dikenal dengan beberapa istilah seperti the human right to an adequate housing; the right to housing dan lain sebagainya. Dalam pasal 25 ayat 1 UDHR tahun 1948 memberikan sandaran hukum internasional bahwa hak atas perumahan berkaitan erat dengan pemenuhan standar kehidupan yang layak (as part of the right to an adequate standart of living). (Majda El Muhtaj, 2008: 145)Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menegaskan bahwa penyelenggaraan rumah dan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya dalam Ayat (2) penyelenggaraan rumah dan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Selain itu Pasal 50 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman juga menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal atau menghuni rumah. Hal tersebut juga diatur tegas dalam Pasal 129 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Pemenuhan hak atas perumahan dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menjelaskan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H Ayat (1) menyebutkan, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain itu sebagai tujuan Negara Republik Indonesia Negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia.

Negara juga bertanggung jawab dalam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman serta keswadayaan masyarakat. Ketentuan tersebut memberikan penegasan penting bahwa hak atas perumahan merupakan HAM yang tidak saja memenuhi unsur kepastian hukum dan aksesibilitas, tetapi juga aspek budaya yang memastikan taraf keselarasannya dengan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan aman.

F. Tinjauan Pemenuhan Hak atas Lingkungan Hidup dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Penegasan hak atas lingkungan hidup berawal ketika lahirnya Deklarasi Stockholm pada 5 Juni 1972. Prinsip pertama deklarasi itu menyatakan, man has the fundamental right to freedom, equality and adequate conditions of life, in an environment of a quality that permits a life of dignity and well-being. Deklarasi ini memantapkan langkah penghormatan dan perlindungan integritas dari lingkungan global dan sistem pembangunan. Hal itu menegaskan bahwa pemerintah berkewajiban untuk menjamin pemenuhan lingkungan hidup yang sehat dan bersih. (Majda El Muhtaj, 2008: 205).Di Indonesia pemenuhan atas hak atas lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dalam pasal 9 ayat (3) menegaskan: setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal tersebut dipertegas dan dikuatkan, dalam Pasal 28 H Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Konstitusionalitas HAM atas lingkungan hidup semakin dipertegas dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menghadirkan pengakuan dan jaminan perlindungan HAM atas lingkungan hidup. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Lidup menyatakan, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Adapun yang dimaksud dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Penegasan penting lainnya, sebagaimana tercantum pada Pasal 3 huruf g Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup. bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untu menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia. (Majda El Muhtaj, 2008: 199

Daerah aliran sungai dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.Kartodihardjo menjelaskan bahwa tujuan dari pengelolaan daerah aliran sungai secara biofisik antara lain: Pertama, terjaminnya penggunaan sumber daya alam yang lestari, Kedua, Tercapainya keseimbangan ekologis lingkungan sebagai sistem penyangga kehidupan, Ketiga, terjaminnya jumlah dan kualitas air yang baik sepanjang tahun, Keempat, terkendalinya aliran permukaan dan banjir, Kelima, terkendalinya erosi tanah dan proses degradasi lahan lainnya. Sedangkan kriteria umum yang digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan pengelolaan daerah aliran sungai yaitu dengan tercapainya pembangunan ekonomi dengan mempertahankan kepentingan sosial kemasyarakatan dengan tetap mempertahankan fungsi lingkungan hidup (Astrid damayanti, 2010: 24).Dengan adanya tujuan dan kriteria tersebut maka penghormatan atas hak asasi lingkungan hidup pada daerah aliran sungai menjadi aspek yang sangat penting dan mendasar bahwa lingkungan pun mempunyai keterbatasan, sehingga kontrol atas perilaku manusia dan peranan pemerintah menjadi mutlak adanya.BAB IIIPEMBAHASANA. Relokasi sebagai Model Penyelesaian Hunian Liar yang Humanis dalam Pemenuhan Hak atas Tempat Tinggal yang Layak Bagi Warga Negara Banjir besar pernah terjadi pada tahun 2007 yang berimbas terendamnya enam kelurahan di Kota Surakarta yang merupakan kawasan bantaran sungai Bengawan Solo antara lain Pucang Sawit terdiri dari 300 Rumah, Kelurahan Sewu terdiri dari 363 Rumah, Kelurahan Sangkrah terdiri dari 294 Rumah, Kelurahan Semanggi terdiri dari 339 Rumah, Kelurahan Joyosuran terdiri dari 57 Rumah dan Kelurahan Jebres terdiri dari 218 Rumah. (Data BAPERMAS) Meskipun tidak menyebabkan korban jiwa, namun ratusan rumah rusak akibat bencana banjir yang melanda tersebut. Melihat tatanan empiris bantaran sungai Bengawan Solo, aliran air yang dihasilkan dari sungai Bengawan Solo sangatlah besar. Namun karena kurangnya pengelolaan sungai yang baik, maka berakibat banjir khususnya di daerah bantaran sungai Bengawan Solo. Kondisi ini membuat Pemerintah Kota Surakarta membuat suatu rencana untuk merelokasi rumah-rumah yang berada di bantaran Sungai Bengawan Solo ke daerah yang lebih aman.

Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya (untuk selanjutnya disebut UU No. 51/PRP/1960) menyatakan bahwa penguasa Daerah dapat mengambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, yang ada didaerahnya masing-masing pada suatu waktu.

Selanjutnya dalam Ayat (2) UU No. 51/PRP/1960) juga menyatakan bahwa penyelesaian tersebut pada ayat (1) pasal ini diadakan dengan memperhatikan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No. 51/PRP/1960. Fakta menunjukan bahwa tindakan yang dilakukan pemerintah selama ini adalah dengan melakukan penggusuran yang tidak memperhatikan hak asasi masyarakat. Hal tersebut berakibat terjadinya konflik atau sengketa antara pemerintah dan masyarakat. Menurut Simon Fisher mengenai enam teori penyebab terjadinya sengketa, salah satu teori yang sesuai diantara keenam teori tersebut adalah teori kebutuhan manusia. Teori ini berasumsi bahwa terjadinya penyebab sengketa adalah oleh kebutuhan dasar manusia, baik fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menegaskan bahwa penyelenggaraan rumah dan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya dalam Ayat (2) penyelenggaraan rumah dan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Selain itu Pasal 50 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman juga menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal atau menghuni rumah. Hal tersebut juga diatur tegas dalam Pasal 129 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.Tejadinya sengketa antara masyarakat yang tinggal di hunian liar bantaran sungai Bengawan Solo dikarenakan mereka yang berasal dari golongan ekonomi kecil harus memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu memiliki rumah sehingga mereka memanfaatkan lahan kosong milik pemerintah yang sesungguhnya diperuntukkan untuk Daerah Aliran Sungai. Selama ini jika mengacu pada Pasal 3 UU No. 51/PRP/1960, maka jelas akan menimbulkan sengketa atau konflik antara pemerintah dengan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan alternatif penyelesaian sengketa sebagai solusi selain tindakan yang telah diatur oleh UU No. 51/PRP/1960.

Oleh sebab itu, penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh menurut Dean G, Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin dalam teori strategi penyelesaian sengketa, salah satunya adalah dengan Problem solving (pemecahan masalah), yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak.dalam pemecahan masalah kaitannya dengan kebutuhan manusia tersebut, sasaran yang ingin dicapai adalah:

a. Membantu pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu; dan

b. Agar pihak-pihak yang mengalami sengketa mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.

Salah satu problem solving yang menarik dan dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta adalah dengan melakukan relokasi hunian liar di bantaran sungai Bengawan Solo. Untuk melakukan analisis terhadap pelaksanaan relokasi, maka prosedur yang dapat ditempuh yaitu: 1. Pendekatan yang interaktif kepada masyarakat yang terkena relokasi dalam rangka menginformasikan rencana proyek relokasi tersebut.

Awal ketika Pemerintah Kota Surakarta memberitahukan kepada warga bahwa akan diadakan relokasi, sempat terjadi penolakan oleh warga karena warga trauma, sebelumnya pernah terjadi penggusuran untuk membuatan tanggul. Penolakan itu berhenti setelah warga dikumpulkan di kantor kelurahan kemudian Walikota Surakarta yaitu Joko Widodo dan Wakil Walikota Surakarta yaitu FX. Rudyatmo datang untuk berdialog memberi penjelasan kepada warga dan memberikan solusi untuk merelokasi warga bantaran sungai Bengawan Solo. Selain itu warga dibebaskan untuk memilih lokasi yang diinginkan. (Majalah Novum, 2010: 12)2. Pembentukan forum diskusi warga sebagai wadah untuk menggali respon, aspirasi warga dan peran serta warga dalam proyek relokasi. Kegiatan forum diskusi ini dilaksanakan mulai dari perencanaan hingga terlaksananya proyek. Proses relokasi dimulai tahun 2007. Konsep relokasi dalam Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor 362.05/15/1/2009 yang diterapkan pada waktu itu adalah dengan membentuk kepanitiaan pelaksanaan program relokasi yang terdiri atas:

a. Tim Tingkat Kota

Kelompok Kerja (untuk selanjutnya disebut Pokja) program relokasi pada tingkat kota memiliki tugas dan fungsi: (1) mengkoordinir pelaksanaan pemberian bantuan program relokasi kepada warga penerima; (2) melakukan verifikasi pengajuan permohonan bantuan program relokasi; (3) menetapkan warga penerima program relokasi; (4) melaksanakan sosialisasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan program relokasi; (5) melaksanakan pengadaan tanah dalam rangka untuk merelokasi pemukiman; (6) menyusun guidance dan site plan bangunan relokasi; (7) menetapkan dan menyerahkan ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepas atau diserahkan termasuk bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berada diatas tanah.

b. Kelompok Kerja Tingkat Kelurahan

Kelompok kerja ini dilegitimasi berdasarkan musyawarah bersama warga dengan kelurahan dan LPMK. Kelompok kerja ini memiliki tugas dan fungsi: (1) menginvetarisasi atau mendata warga yang berhak mendapatkan bantuan program relokasi; (2) mengiringi proses relokasi; (3) membuat laporan pertanggungjawaban penyerahan bantuan (SPJ) serta mendokumentasikan semua kegiatan yang telah dilaksanakan.c. Kelompok Kerja Tingkat Kelompok

Pada tingkat kelompok, dibentuk sub Pokja untuk mewakili masyarakat yang menerima program. Dalam menindaklanjuti program relokasi yang telah dilakukan Pemerintah Kota Surakarta pada tahun 2007, selanjutnya Pemerintah Kota Surakarta menetapkan prosedur pelaksanaan lanjutan yang ditetapkan dalam Keputusan Asisten Ekonomi, Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat SEKDA Kota Surakarta Nomor 362/16/1/2009 yaitu sebagai berikut:

1) Rembug warga

Dalam hal ini, lurah memfasilitasi calon warga penerima bantuan relokasi dengan cara menyepakati susunan Pokja Kelurahan tahun 2009. Kemudian dengan adanya petimbangan banyaknya jumlah calon penerima program relokasi dan luasnya wilayah. Selain itu juga melakukan identifikasi data lengkap calon penerima bantuan relokasi yang merujuk pada data korban banjir tahun 2007.

2) Pengajuan proposal

Pengajuan proposal permohonan bantuan kepada Walikota Surakarta dilakukan secara kolektif oleh Pokja dalam berkas pengusulan/proposal yang terdiri atas: (1) daftar calon penerima program relokasi sesuai formulir yang ditentukan disertai dengan foto diri dan foto kondisi rumah; (2) menyerahkan fotocopy KTP dan KK penduduk setempat, disertai dengan surat keterangan dari kepala kelurahan bahwa yang bersangkutan tinggal ditempat; (3) menyerahkan foto rumah kondisi awal serta rencana penggunaan bantuan sesuai dengan formulir yang ada; (4) daftar susunan Pokja kelurahan. Selanjutnya berkas proposal yang diketahui oleh Lurah dan Camat dikirmkan ke BAPERMAS, PP, PA, dan KB untuk diverifikasi oleh Tim Verifikasi.3) Penerimaan berkas pengusulan/proposal

BAPERMAS, PP, PA dan KB menghimpun berkas proposal permohonan dan selanjutnya menyerhakan kepada Tim Verifikasi untuk pengecekan kesesuaian dengan persyaratan yang ada.

4) Verifikasi berkas pengusulan/proposal

Ketua Tim Verifikasi data, dengan anggota tim melakukan verifikasi kepada Ketua Tim Pasca Banjir guna bahan pertimbangan untuk ditetapkan sebagai warga penerima bantuan program relokasi dengan Surat Keterangan Walikota.

5) Pengajuan bantuan hibah

Setelah terbit Keputusan Walikota Surakarta tentang daftar warga yang menerima bantuan pasca banjir 2007 Tahap II tahin 2009, BAPERMAS, PP, PA, dan KB akan mengajukan permohonan pencairan hibah kepada Walikota Surakarta melalui Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Surakarta. Dalam hal ini untuk pembelian tanah dalam program relokasi, warga yang menerima bantuan melalui Pokja masing-masing melengkapi berkas berupa fotocopy Sertifikat tanah yang akan dibeli, site plan tanah pembagian kapling, peryataan siap jual beli Notaris.3. Pekerjaan fisik berupa pengukuran yang bermanfaat bagi penentuan besarnya kompensasi bagi masing-masing warga, penyiapan prasarana dan sarana lingkungan dilokasi yang baru.

Untuk mensukseskan program relokasi tersebut dalam Keputusan Asisten Ekonomi, Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat SEKDA Kota Surakarta Nomor 362/16/1/2009, Pemerintah Kota Surakarta menggelontorkan dana sebesar Rp. 12.000.000,- untuk pembelian tanah seluas 50-60 m2, Rp. 8.500.000,- untuk pembangunan rumah dan Rp. 1.800.000,- untuk fasilitas umum. Jadi setiap rumah mendapatkan dana sebesar Rp. 20.500.000,-. Berdasarkan Keputusan Walikota Surakarta Nomor 466.1/96/1/2012 dana tersebut diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kota Surakarta (APBD) tahun 2012. Program relokasi di Kota Surakarta dikelompokkan menjadi dua, yaitu bangunan yang berada di atas tanah milik Negara yang digolongkan sebagai hunian liar dan bangunan yang berada di tanah bersertifikat Hak Milik. Proses relokasi yang dilakukan berjalan sukses terbukti dengan telah direlokasinya rumah-rumah di bantaran sungai Bengawan Solo antara lain di kelurahan Jebres sebanyak 172 rumah di tanah Negara, kelurahan Pucang Sawit sebanyak 274 rumah di tanah Negara dan 10 rumah yang bersertifikat Hak Milik, kelurahan Sewu sebanyak 249 rumah di tanah negara dan 33 rumah yang bersertifikt Hak Milik, kelurahan Sangkrah sebanyak 111 rumah di tanah Negara dan 28 rumah yang bersertifikt Hak Milik, kelurahan Semanggi sebanyak 170 rumah di tanah Negara dan 84 rumah yang bersertifikt Hak Milik selanjutnya kelurahan Joyosuran sebanyak 48 rumah di tanah negara.

Namun tidak semua rumah di bantaran sungai Bengawan Solo direlokasi pada saat itu. Ada beberapa kelurahan yang belum direlokasi baik rumah yang telah mempunyai sertifikat Hak Milik ataupun hunian liar di tanah Negara. Hunian liar di tanah Negara yang belum direlokasi di kelurahan Pucang Sawit sebanyak 55 rumah, kelurahan Sewu sebanyak 18 rumah, dan kelurahan Semanggi sebanyak 21 rumah. Selain itu, rumah yang telah bersertifikat Hak Milik yang belum direlokasi antara lai di kelurahan Jebres sebanyak 3 rumah, kelurahan Pucang Sawit sebanyak 4 rumah, kelurahan Sewu sebanyak 106 rumah, kelurahan Sangkrah sebanyak 145 rumah, kelurahan Semanggi sebanyak 78 rumah dan kelurahan Joyosuran sebanyak 11 rumah.4. Penyusunan rencana penempatan lokasi rumah tempat tinggal baru dengan memperhatikan aspirasi warga.

Pelaksanaan kegiatan relokasi dilakukan sesuai hasil kesepakatan rembug warga dan mengacu pada rencana penggunaan bantuan yang telah dibuat sebelumnya serta berdasarkan ketentuan dalam perjanjian. Setelah program relokasi rumah pasca banjir selesai, maka warga yang menerima bantuan melalui Pokja membuat Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) atas penerimaan bantuan oleh masing-masing warga yang dikumpulkan secara kolektif oleh Pokja yang terdiri dari : (1) rincian penggunaan bantuan dengan format terlampir; (2) foto rumah setelah relokasi; (3) menyertakan fotocopy sertifikat tanah atas nama pemilik (warga penerima bantuan) atau surat keterangan sertifikat masih dalam proses dari Badan Pertanahan Nasional setempat.Dengan adanya program relokasi yang dilakukan Pemerintah Kota Surakarta, masyarakat bantaran sungai Bengawan Solo tersebut kemudiann dipindahkan ke lokasi pemukiman yang baru yaitu Kelurahan Mojosongo yang merupakan kawasan yang diperuntukan untuk pengembangan pemukiman dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Kota Surakarta dan pada saat pemindahan tersebut, masyarakat juga memiliki status lahan dan rumah berupa Sertifikat Hak Milik. (Zaini Musthofa, 2011: 96-97) Dengan adanya perubahan status yang awalnya illegal menjadi legal, maka masyarakat mendapatkan kepastian hukum dan masyarakat merasa lebih aman dari ancaman permasalahan di kemudian hari. Selain itu, Pemerintah Kota Surakarta telah menjalankan kewajibannya dalam pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak yang merupakan hak fundamental setiap warga Negara seperti yang tertuang dalam Pasal 28H Ayat (3) UUD 1945. Dalam kaitannya dengan penangan permasalahan perumahan dan pemukiman khususnya hunian liar di bantaran sungai Bengawan Solo, Pemerintah Kota Surakarta mempunyai visi Semua Orang Menghuni Rumah yang Layak dalam Pemukiman yang Sehat. Dari visi tersebut, misi yang ingin dicapai adalah: (1) Mewujudkan masyarakat yang mandiri melalui pembangunan perumahan dan pemukiman; (2) Mendorong pertumbuhan wilayah dan keserasian antar wilayah; (3) Mewujudkan lingkungan pemukiman perumahan yang sehat, aman, teratur, rukun, produktif dan berkelanjutan. (Zaini Musthofa, 2011: 52)Dalam memenuhi hak masyarat atas perumahan yang layak dan sehat maka arah kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kota Surakarta yaitu: (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Surakarta, 2010) (1) Mengembangkan partisipasi masyarakat dalam penyediaan perumahan; (2) Menyempurnakan berbagai peraturan perudang-undangan yang dapat menjamin perlindungan hak masyarakat miskin atas perumahan; (3) Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam pembangunan rumah yang layak dan sehat; (4) Meningkatkan keterjangkauan dan kemampuan masyarakat dalam pembangunan rumah yang layak dan sehat; (5) Meningkatkan ketersediaan rumah yang layak dan sehat bagi masyarakat miskin dan golongan rentan.Asumsi mengenai kata humanis erat kaitannya dengan memberikan kebahagiaan untuk masyarakat. Seperti pada prinsip utama utilitarianisme klasik yang dicetuskan oleh Jeremy Bentham berbunyi: the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar). Model relokasi mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menegaskan bahwa RAPBD harus menyediakan anggaran yang berkaitan dengan pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak karena adanya kebijakan Pemerintah Kota Surakarta mengenai ini telah menimbulkan kebahagiaan bagi masyarakat dalam pemenuhan hak konstitusional mengenai tempat tinggal yang layak.Munculnya solusi humanis ini telah mampu mengurangi konflik yang sering muncul berkaitan dengan penyelesaian hunian liar dengan menerapkan UU No. 51/PRP/1960. Penggusuran dirasa telah memberikan ketidak bahagiaan bagi masyarakat. Konsep relokasi ini tidak hanya memberikan kebahagiaan (kemanfaatan) dalam jumlah terbesar, tetapi juga memberikan kebahagiaan (kemanfaatan) besar bagi masyarakat seluruhnya.Oleh sebab itu, program relokasi yang telah dilakukan Pemerintah Kota Surakarta sejak tahun 2007 hingga saat ini dirasa telah memenuhi hak masyarakat akan tempat tinggal yang layak. Pemenuhan hak tersebut dilakukan dengan cara memberikan program relokasi yang berbasis humanis dan berlandaskan musyawarah yang mufakat sehingga peran Pemerintah Kota Surakarta sebagai fasilitator penyedia hunian bagi masyarakat Kota Surakarta terpenuhi. Dapat dikatakan berbasis humanis karena masyarakat Kota Surakarta juga turut berpartisipasi dalam pemenuhan hak atas hunian yang layak dalam program relokasi tersebut dengan cara membentuk Pokja sebagai perwakilan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi atas relokasi yang diharapkan oleh masyarakat bantaran sungai Bengawan Solo. Sehingga relokasi yang dilakukan tidak menimbulkan konflik sosial.B. Rasionalitas Tindakan Relokasi sebagai Upaya Pemenuhan Konstitusional Warga Negara dalam Hunian Liar

Relokasi sebagai tindakan hukum pemerintah dalam pemenuhan konstitusional warga negara yang bertempat tinggal dalam hunian liar maka perlu dikaji lebih lanjut apakah mempunyai dasar legalitas pelaksanaan tindakan relokasi tersebut. Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa prinsip pokok negara hukum merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara sehingga dapat disebut negara hukum dalam arti yang sebenarnya. Ada dua belas prinsip pokok negara hukum yang dikemukakan yang beberapa diantaranya yaitu asas legalitas, dimana dalam setiap negara segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan, Peraturan perundang-undangan tertulis harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau rules and procedures (regels), serta perlindungan hak asasi manusia, dimana adanya jaminan hukum untuk memperoleh penghormatan dan perlindungan yang adil. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya. (Jimly Asshidiqie, 2008, http://www.jimly.com/pemikiran/view/11)Dalam perkembangannya, penerapan model relokasi masih menimbulkan pertentangan dengan asas legalitas sebagai tindakan hukum pemerintah. Pertentangan tersebut dikarenakan dalam UU No. 51/PRP/1960 ditegaskan pemerintah daerah dapat melakukan tindakan-tindakan untuk mengosongkan tanah yang bersangkutan. Tindakan-tindakan tersebut seringkali hanya menguntungkan bagi pemerintah daerah namun bertentangan dengan Hak Asasi Manusia sepeti melakukan penggusuran, sehingga model relokasi tidak mempunyai perlindungan hukum yang kuat untuk terjaminnya suatu kepastian hukum di dalamnya.

Namun menurut Philipus M. Hadjon dalam hukum administrasi asas legalitas dalam wujud wetmatigheid van bestuur (undang-undang) sudah lama dirasakan tidak memadai, meskipun disadari bahwa asas wetmatigheid menjamin pelaksanaan asas persamaan di hadapan hukum dan asas kepastian hukum (Edi Asadi, 2011:42). Sebaliknya pemikiran negara hukum abad XX lebih mengedepankan doelstelling (penerapan tujuan), normstelling (penerapan norma), plan (rencana), dan beleid (kebijakan) (Edi Asadi, 2011: 42). Landasan yuridis Pemerintah Kota Surakarta menggunakan solusi relokasi adalah pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang memungkinkan Pemerintah Kota Surakarta menciptakan model pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak terhadap masyarakat yang menempati hunian liar di kawasan bantaran sungai Bengawan Solo yaitu relokasi. Relokasi adalah membangun kembali perumahan, harta kekayaan, termasuk tanah produktif dan prasarana umum di lokasi atau lahan lain. (Rina Kemala Sari, 2006: 2) Hal ini diperkuat oleh Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah memberikan landasan yuridis dimana setiap RAPBD harus menyediakan anggaran yang berkaitan dengan pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak. Meskipun tidak di atur secara limitatif, namun dengan dianggarkannya RAPBD untuk pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak, maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk melakukan tindakan penggusuran sesuai dengan UU No. 51/PRP/1960 yang tidak mencerminkan sikap humanis.

Alasan rasional mengapa tidak digunakan UU No. 51/PRP/1960 sebagai tindakah hukum pemerintah daerah antara lain :

1. Asas Kepercayaan dan Menanggapi Pengharapan yang Wajar

Alasan pertama adalah masyarakat yang tinggal di bantaran sungai Bengawan Solo tidak memiliki sertifikat atau illegal. Lahan yang mereka tempati adalah lahan milik Pemerintah Kota Surakarta. Mereka juga telah lama menempati lahan di bantaran sungai Bengawan Solo, meski mereka sadar bahwa lahan tersebut bukan miliknya, namun karena keterbatasan ekonomi dan melihat adanya lahan kosong, mereka memanfaatkan sebagai tempat tinggal. (Zaini Musthofa, 2011: 95)Fakta empiris tersebut ternyata tidak langsung ditanggapi Pemerintah Kota Surakarta dengan mengimplementasikan UU No. 51/PRP/1960 sebagai solusi yang telah diatur oleh undang-undang. Atas sikap diam yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta hingga tahun 2007 tersebut, maka menimbulkan kepercayaan dan pengharapan yang wajar dengan membiarkan dan memperbolehkan pendirian hunian liar di tanah negara sekalipun hal tersebut tidak memberi keuntungan bagi pemerintah daerah bagi masyarakat untuk mendapatkan tempat tinggal khususnya warga Bantaran Sungai Bengawan Solo.2. Hak Dasar atas Perumahan yang Layak

Alasan kedua Pemerintah daerah tidak melakukan tindakan hukum sesuai UU No. 51/PRP/1960 adalah untuk memberi jaminan hak atas perumahan yang layak bagi masyarakat yang bertempat tinggal di hunian liar. Tindakan hukum yang dapat digunakan adalah tindakan yang bersifat humanis seperti model relokasi. melalui model relokasi yang dilakukan terhadap masyarakat yang bertempat tinggal di hunian liar dapat memberikan pemenuhan hak dasar atas perumahan yang layak dimana sesuai dengan amanat Pasal 25 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights, Pasal 11 ayat (1) International Covenant on Economic, Social, And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 19 ayat (1), Pasal 50 ayat (1) dan pasal 129 huruf a Undang-Undang nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Pemerintah daerah mempunyai kewajiban menghormati (duty to respect), kewajiban melindungi (duty to protect) dan kewajiban memenuhi (duty to fulfill) berdasarkan kesepakatan sukarela untuk memberikan penghormatan kepada masyarakat yang bertempat tinggal di hunian liar untuk dipindah ke pemukiman yang baru dengan status permanen dan mendapatkan kualitas yang lebih baik daripada rumah di hunian liar.

Penyelesaian hunian liar di Bantaran Sungan Bengawan Solo dengan mengimplementasikan UU No. 51/PRP/1960 bukan merupakan solusi efektif dan tidak menunjukan sikap pemerintah yang menjunjung tinggi hak asasi manusi. Memiliki tempat tinggal yang layak adalah kebutuhan pokok manusia yang telah dijamin pemenuhan hak nya oleh UUD 1945. Pelanggaran terhadap hunian liar di Bantaran Sungai Bengawan Solo perlu diatasi dengan cara-cara yang humanis agar tidak terjadi pertentangan hak dan kemanusiaan. Konsep relokasi atas hunian liat ini dirasa menjadi sebuah solusi efektif untuk menghindari konflik sekaligus menjalankan kewajiban pemerintah dalam pemenuhan hak asasi warga Negara khususnya dalam pemenuhan atas tempat tinggal yang layak.3. Hak Dasar atas Lingkungan Hidup yang Baik

Alasan ketiga Pemerintah daerah tidak melakukan tindakan hukum sesuai UU No. 51/PRP/1960 namun melakukan tindakan yang bersifat humanis seperti model relokasi secara langsung dapat menciptakan lingkungan hidup yang baik atas lahan yang dihuni sebelumnya oleh masyarakat yang menempati hunian liar. Hal ini telah sesuai dalam pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan pemerintah daerah adalah membuat dan mengelola perencanaan proyek pembangunan untuk menghindari potensi adanya banjir dengan mengembalikan fungsi daerah aliran sungai terhadap pemenuhan daerah resapan air didalamnya.Pemenuhan hak atas lingkungan hidup tersebut diwujudkan dengan mengembalikan fungsi sungai. Dalam Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Bengawan Solo dijelaskan bahwa tujuan disusunnya Pola Pengelolaan sumber daya air wilayah sungai Bengawan Solo secara umum adalah untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya air yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat dalam segala bidang kehidupan. (Pola Pengelolaan sumber daya air wilayah sungai Bengawan Solo, 2010: 5)Untuk mewujudkan tujuan dari revitalisasi sungai Bengawan Solo, maka Pemerintah Kota Surakarta harus menyelesaikan isu-isu yang dihadapi dalam melakukan pengelolaan sungai Bengawan Solo. Salah satu isu yang harus diselesaikan adalah mengenai hunian liar di bantaran sungai Bengawan Solo. Penyelesaian atas hunian liar di bantaran sungai Bengawan Solo dapat menggunakan konsep relokasi yang telah diterapkan oleh Pemerintah Kota Surakarta pada tahun 2007-2009 lalu. Setelah hunian liar direlokasi, penghormatan atas perelokasian hunian liar adalah dengan membuat taman kota di daerah bantaran sungai Bengawan Solo. Contoh taman kota yang telah ada adalah Taman Ronggowarsito yang berfungsi sebagai penjaga keseimbangan ekosistem bagi lingkungan alam di sekitarnya. Selain itu taman tersebut juga merupakan bagian dari jalur hijau yang menjadi jantung penyuplai udara bersih. Kehadiran pepohonan yang terdapat di dalamnya dapat berfungsi untuk menyimpan suplai air meskipun dalam kapasitas terbatas. Program terbaru Pemerintah Kota Surakarta dalam melakukan revitalisasi bantaran sungai Bengawan Solo adalah membuat desain pilot project fasilitas publik yang akan dibangun di bantaran Sungai Bengawan Solo Pucang Sawit Surakarta. Fasilitas publik tersebut antara lain WC umum, penambahan sumur resapan, prasarana olah raga seperti bola volley, tenis meja, tempat bermain anak-anak yang dipadukan dengan taman serta monumen peringatan terjadinya banjir. Pelaksanaan pilot project ini didanai oleh Departemen Pekerjaan Umum dan JICA. (Artikel DUWRMT, 2013, http://www.duwrmt.org/index.php?option=com_content&view=article&id=119:pilot-project-pengelolaan-kawasan-sungai&catid=3:news)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Secara Normatif yang diatur dalam UU No. 51 PRP Tahun 1960, tindakan yang dapat dilakukan Pemerintah Kota Surakarta dalam mengatasi hunian liar adalah dengan melakukan penggusuran, namun pada faktanya penggusuran tersebut bertentangan dengan hak dasar hunian yang layak maupun hak atas lingkungan hidup. Kemudian Pemerintah Kota Surakarta membuat konsep baru yaitu dengan melakukan relokasi dan hasil yang didapatkan bahwa relokasi yang dilakukan Pemerintah Kota Surakarta sangat berhasil dan sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat Kota Surakarta. Relokasi yang dilakukan juga sangat humanis. Hal tersebut ditunjukan dengan masyarakat bantaran sungai Bengawan Solo yang akan direlokasi diajak berpartisipasi dalam penentuan lokasi relokasi, pembangunan bangunan relokasi, hingga relokasu dilakukan. Kemudian partisipasi masyarakat tersebut dapat ditunjukan dengan dibentuknya Pokja yang merupakan perwakilan dari masyarakat yang akan di relokasi.2. Selain itu, ada beberapa alasan yang menyimpulkan bahwa relokasi merupakan tindakan Pemerintah Kota Surakarta yang efektif dalam mengatasi hunian liat di bantaran sungai Bengawan Solo yaitu Asas Kepercayaan dan Menanggapi Pengharapan yang wajar, hak atas perumahan yang layak dan hak dasar atas lingkungan hidup yang baik. Maka, relokasi yang berbasis humanis atas hunian liar di bantaran sungai Bengawan Solo adalah suatu model yang efektif yang dapat dilakukan dan dipertahankan untuk kedepannya.B. Saran

1. Saran pertama ditujukan kepada masyarakat baik masyarakat yang menduduki hunian liar di bantaran sungai Bengawan Solo, maupun masyarakat secara umum. Jika masyarakat mengetahui bahwa telah menduduki tanah Negara secara illegal, alangkah lebih baik jika masyarakat sesegera mungkin untuk mecari tempat-tempat yang telah disediakan oleh Pemerintah sebagai lokasi hunian dalam penataan suatu daerah. Karena selain tempat tersebut dapat diduduki secara legal, akan terjamin pula keamanan, ketertiban maupun kesehatan masyarakat.2. Saran kedua ditujukan kepada Pemerintah Kota Surakarta. Jika Pemerintah menemukan hunian liar lain di bantaran sungai Bengawan Solo, maka sesegera mungkin untuk merelokasi masyarakat agar tidak ada suatu harapan bagi masyarakat yang tidak ditindak atas pendudukan hunian di lokasi illegal. Selain itu saran dalam kegiatan relokasi, Pemerintah Kota Surakarta diharapkan untuk melakukan evaluasi maupun pengawasan yang baik agar tidak terjadi penyimpangan atas dana bantuan yang diberikan Pemerintah untuk melakukan relokasi. Selain itu, kami memberi saran kepada Pemerintah Kota Surakarta agar membuat suatu program lanjutan pacsa relokasi seperti memberikan program-program pelatihan keterampilan. Dengan demikian masyarakat akan mempunyai keterampilan khusus dan lokasi pemukiman akan menjadi hunian yang layak.3. Saran yang ketida ditujukan kepada Pemerintah Daerah secara umum. Sebaiknya pemerintah daerah memelihara tanah-tanah yang dikuasainya dengan baik seperti taman kota dan daerah resapan air lainnya untuk mencegah datangnya potensi banjir. DAFTAR PUSTAKA

BNPB. 2013. Sungai Bengawan Solo Kembali Meluap. Diakses dalam http://bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/cover/567.pdf pada tanggal 21 Oktober 2014 pukul 01.34 WIB.Dean G. Pruit dan Jeffrey Z. Rubin. 2004. Konflik Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.Direktorat Bina Penatagunaan Sumber Daya Air, Kementrian Pekerjaan Umum Republik Indonesia. 2013. Latar Belakang Pola PSDA WS Bengawan Solo. Diakses dalam http://sda.pu.go.id:8181/sda/?act=peraturan_ws_detail&wid=19&gid=6 pada tanggal 21 Oktober 2014 pukul 01.26 WIB.

DUWRMT. 2013. Pembahasan Rencana Pembangunan Fasilitas Publik Sebagai Pilot Project Pengelolaan Kawasan Sungai (River Area Management) di Bantaran Sungai Bengawan Solo (Pucang Sawit Surakarta). Diakses dalam http://www.duwrmt.org. pada tanggal 19 Juli 2013 pukul 13.27 WIB.

Edi Asadi. 2011. Hukum Proyek Konstruksi Bangunan. Graha Ilmu: Yogyakarta.

Etty Isworo. 2012. Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Penertiban Hunian Liar di Kota Solo. Jurnal Jurisprudence Universitas Muhammadiyah Surakarta. Volume 1 Nomor 1.

Etty Sulistyowati. 2007. Kebijakan Perumahan dan Permukiman Bagi Masyarakat Urban. Jurnal Ekonomi dan Manajemen Dinamika Universitas Negeri Semarang. Volume 16 Nomor 1.Fakhani. 2012. Mengenal Hak Atas Tanah dan Konflik Pertanahan di Indonesia. Diakses dalam http://stainsalatiga.ac.id/mengenal-hak-atas-tanah-dan-konflik-pertanahan-di-indonesia/ pada tanggal 21 Oktober 2014 pukul 01.21 WIB.

George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Moderen, diterjemahkan oleh Alimandan. Prenada: Jakarta.Jeremy Bentham. 2000. An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Batoche Books: Kitchener.Jimly Asshiddiqie. 2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan 1. Konstitusi Press: Jakarta.

________________. 2008. Pokok-Pokok Negara Hukum. Diakses dalam http://www.jimly.com/pemikiran/view/11 pada tanggal. 21 Juli 201 pukul 19.20 WIB.

K. Bertens. 1997. Etika. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.Keputusan Asisten Ekonomi, Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat SEKDA Kota Surakarta Nomor 362/16/1/2009 tentang Petunjuk Teknis Pemberian Bantuan Hibah Pasca Banjir 2007 Kota Surakarta Tahun 2009. 9 April 2009. Surakarta.

Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 266/KPTS/M/2010 tentang Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Bengawan Solo. 8 Maret 2010. Jakarta.

Keputusan Walikota Surakarta Nomor 362.05/15/1/2009 tentang Pembentukan Tim dan Ketua Kelompok Kerja Penanganan Pasca Bencana Banjir Tahun 2007 Kota Surakarta. 7 April 2009. Surakarta.

Keputusan Walikota Surakarta Nomor 466.1/96/1/2012 tentang Warga Penerima Bantuan Hibah Uang untuk Pembelian Tanah dan Pembangunan Rumah Relokasi Akibat Terkena Banjir Tahun 2007 dan Proyek Pembangunan Parapet Sungai Bengawan Solo di Kelurahan Jebres, Kelurahan Joyosuran dan Kelurahan Pucang Sawit Kota Surakarta. 13 November 2012. Surakarta.

Majalah Novum. 2010. Relokasi Memanusiakan Manusia. No. 20/XX/2010. 8 November. Halaman 11-13. Surakarta.

Majda El Muhtaj. 2008. Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Mustianto Sepriyansyah. 2014. Relokasi Pemukiman Penduduk Bantaran Sungai Karang Mumus di Kota Samarinda. Ejournal Ilmu Pemerintahan.Volume 2 Nomor 2Paulus Wirotomo. 1996. Tata Cara Pemugaran Pemukiman Kumuh di Perkotaan. Penerbit Departemen Kehakiman Indonesia: Jakarta.Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani. 2013. Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Raja Grafindo Persada: Jakarta.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. 12 Januari 2011. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 5 April 2003. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. 15 Oktober 2004. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3 Oktober 2009. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 23 September 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165. Jakarta.

Zaini Musthofa. 2011. Evaluasi Pelaksanaan Program Relokasi Permukiman Kumuh (Studi Kasus: Program Relokasi Pemukiman di Kelurahan Pucang Sawit Kecamatan Jebres Surakarta. Tugas Akhir. Program Sarjana Universitas Sebelas Maret. Surakarta.1