contoh skripsi

137
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menjelaskan tentang pembangunan ekonomi Indonesia merupakan hal yang kompleks dan menarik sebab di dalamnya terdiri dari banyak dinamika baik itu secara mikro maupun makro. Suatu negara dikatakan sukses dalam pembangunan ekonomi jika telah menyelesaikan tiga masalah inti dalam pembangunan. Ketiga masalah tersebut adalah angka kemiskinan yang terus meningkat, distribusi pendapatan yang semakin memburuk dan lapangan pekerjaan yang tidak variatif sehingga tidak mampu menyerap pencari kerja. Untuk itu melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi Indonesia merupakan hal menarik guna melihat sejauh mana negara ini mampu melakukan pembangunan ekonomi secara komprehensif. Dalam menyelesaikan masalah tersebut berbagai pendekatan dilakukan termasuk pendekatan pertumbuhan ekonomi digunakan untuk menyelesaikan masalah pembangunan ini.

description

pembngunan ekonomi untuk menuntaskan kemiskinan

Transcript of contoh skripsi

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang MasalahMenjelaskan tentang pembangunan ekonomi Indonesia merupakan hal yang kompleks dan menarik sebab di dalamnya terdiri dari banyak dinamika baik itu secara mikro maupun makro. Suatu negara dikatakan sukses dalam pembangunan ekonomi jika telah menyelesaikan tiga masalah inti dalam pembangunan. Ketiga masalah tersebut adalah angka kemiskinan yang terus meningkat, distribusi pendapatan yang semakin memburuk dan lapangan pekerjaan yang tidak variatif sehingga tidak mampu menyerap pencari kerja. Untuk itu melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi Indonesia merupakan hal menarik guna melihat sejauh mana negara ini mampu melakukan pembangunan ekonomi secara komprehensif. Dalam menyelesaikan masalah tersebut berbagai pendekatan dilakukan termasuk pendekatan pertumbuhan ekonomi digunakan untuk menyelesaikan masalah pembangunan ini.Pasca krisis tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami ekspansi, meskipun belum mampu menyamai pertumbuhan ekonomi pada masa pemerintahan Orde Baru. Saat ini ekonomi Indonesia secara meyakinkan terus mengalami pertumbuhan dengan besaran diatas 5% rata-rata per tahun. Ini menarik perhatian beberapa lembaga rating dan lembaga penelitian internasional yang melakukan prediksi tentang masa depan ekonomi Indonesia. Bank Dunia dalam laporan The New global Economy, lembaga rating G-Sachs dan Standard Chartered Bank untuk Indonesia 2050 membuat analisis, bahwa diperkirakan Indonesia akan masuk dalam salah satu negara pusat pertumbuhan ekonomi dunia (growth pool) pada tahun 2025. Dalam laporan tersebut, juga diperkiran pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 13% pada tahun 2025, dengan syarat pertumbuhan ekonomi riil Indonesia harus berada antara 7-9% pertahun dan berkelanjutan. Selain itu berbagai lembaga riset terkemuka termasuk The Economist edisi bulan Desember 2010 menyatakan bahwa Indonesia akan bangkit sebagai kekuatan ekonomi baru (new emerging economy). Badan Pusat Statistik 2011 melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka 6,1%. Angka yang cukup tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sekitar 4,6%. Perkembangan pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung meningkat tiap tahunya yaitu 6,3% pada tahun 2007, 6,0% pada tahun 2008, 4,6% pada tahun 2009 kemudian naik pada tahun 2010 sebesar 6,1%. Pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil dan konsisten tersebut memasukkan Indonesia sejajar dengan beberapa negara maju seperti Cina, Jepang dan beberapa negara maju lainya. Namun nampaknya diskursus yang sampai saat ini terus berlangsung dan fakta-fakta yang tidak dapat ditolak lagi melahirkan paradoks dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Laporan Bank Dunia menjadi gugatan untuk beberapa negara yang memiliki pertumbuhan yang tinggi namun penduduknya masih tergolong miskin termasuk Indonesia. Dalam teori pertumbuhan ekonomi klasik digambarkan pertumbuhan ekonomi yang tidak lain adalah pertumbuhan output nasional yang merupakan fungsi dari faktor produksi dan fungsi produksi. Semakin cepat laju pertumbuhan ekonomi maka merepresentasikan distribusi pendapatan kepada rumah tangga faktor produksi mengalami perbaikan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan gambaran terhadap kesejahteraan faktor produksi yang turut serta menciptakan kue nasional tersebut. Artinya semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi maka semakin tinggi pula produktivitas faktor produksi dan semakin tinggi pula upah yang diterima oleh para pekerja.Namun tampaknya teori tersebut digugat oleh laporan Bank Dunia tentang kesenjangan antara pertumbuhan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Dalam laporanya dengan tema World Development Report: Sustainable Development In A Dinamic world: Transforming Institutions ,growth, and quality of life pada tahun 2003 melaporkan bahwa ditemukan fakta diberbagai belahan dunia, semua negara telah mencatat laju pertumbuhan ekonomi yang mengesankan dan bahkan berlangsung secara konsisten selama dua dekade, namun tidak diimbangi dengan penurunan angka kemiskinan (pendapatan dibawah 2$). Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa sekitar tiga milyar penduduk dunia masih berada dalam kemiskinan padahal disatu sisi pertumbuhan terus meningkat secara konsisten (Agussalim, 2009).

Tabel 1.1Data pertumbuhan ekonomi dan jumlah orang miskinTahunPertumbuhan PDB (%)Jumlah Orang miskin (juta orang)

19809.942,300,000

19817.940,400,000

19822.223,000,000

19834.237,000,000

19845.835,000,000

19852.533,000,000

19863.231,000,000

19873.630,000,000

19881.928,500,000

19891.426,000,000

19907.127,200,000

19916.626,100,000

19926.326,567,000

19932.225,900,000

19947.523,500,000

19958.234,500,000

19967.836,000,000

19974.934,000,000

1998-13.1349,500,000

19990.7947,970,000

20004.9238,700,000

20013.4537,900,000

20024.3138,400,000

20034.7837,300,000

20045.0336,100,000

20055.6935,100,000

20065.5139,300,000

20076.3237,170,000

20086.0134,960,000

20094.3532,520,000

20105.831,020,000

Dataa diatas menunjukkan ada beberapa tahun tertentu dimana kenaikan pertumbuhan ekonomi tidak diikuti turunya angka kemiskinan, misalnya ditahun 1983, 1990, 1995, 2002 dan beberapa tahun tahun tertentu juga menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang menurun namun kemiskinan juga mengalami penurunan. Kegagalan pertumbuhan ekonomi meretas kemiskinan cenderung disebabkan oleh gagalnya pemerintah dalam mengelolah laju pertumbuhan ekonomi. Kegagalan pemerintah dalam mengatur sistem pemberian upah kepada para pekerja menjadi salah satu pendorong gagalnya pertumbuhan ekonomi meretas kemiskinan. Pekerja di Indonesia mengalami apa yang disebut u pah besi, diamana para pekerja diberikan upah sesuai dengan kontrak kerja yang telah diputuskan bersama antara pengusaha dan pekerja (buruh). Namun upah yang diberikan ternyata secara riil nilainya sangat rendah meskipun secara nominal angkanya mungkin cukup tinggi. Penetapan upah minimum yang dilakukan oleh pemerintah secara tidak sadar telah membuat para pekerja berada dalam kondisi yang sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (primer) yang semakin hari mengalami fluktuasi harga (inflasi). Dampak dari upah besi juga berdampak pada penjatahan pekerjaan oleh pengusaha. Ini dikemukakan oleh Charles Brown (1998). Ia mengatakan bahwa penentuan upah besi akan berdampak pada penjatahan pekerjaan yang akan berdampak pada semakin banyaknya pengangguran. Meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun jika terjadi penentuan upah besi maka kesejahteraan karena pertumbuhan ekonomi tidak akan pernah terwujud. Seharusnya upah ditentukan berdaskan prosuktivitas marginal tenga kerja dengan tetap mempertimbangkan inflasi.Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu syarat tercapainya pembangunan ekonomi, namun yang perlu diperhatikan tidak hanya angka statistik yang menggambarkan laju pertumbuhan, namun lebih kepada siapa yang menciptakan pertumbuhan ekonomi tersebut, apakah hanya segelintir orang atau sebagian besar masyarakat. Jika hanya segelintir orang yang menikimati maka pertumbuhan ekonomi tidak mampu mereduksi kemiskinan dan memperkecil ketimpangan, sebaliknya jika sebagian besar turut berpartisipasi dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi maka kemiskinan dapat direduksi dan gap antara orang kaya dan orang miskin dapat diperkecil (Todaro dan Stephen C. Smith, 2006). Tabel 1.2Data rasio gini dan jumlah orang miskin

TahunRasio Gini (%)Angka Kemiskinan (Juta Orang)

19800.3442,300,000

19810.3340,400,000

19820.323,000,000

19830.3137,000,000

19840.3235,000,000

19850.36433,000,000

19860.3331,000,000

19870.3230,000,000

19880.3228,500,000

19890.3326,000,000

19900.3427,200,000

19910.3326,100,000

19920.3326,567,000

19930.3625,900,000

19940.3423,500,000

19950.3434,500,000

19960.3636,000,000

19970.3734,000,000

19980.3249,500,000

19990.31147,970,000

20000.3238,700,000

20010.337,900,000

20020.32938,400,000

20030.3237,300,000

20040.3236,100,000

20050.34335,100,000

20060.35739,300,000

20070.37637,170,000

20080.36834,960,000

20090.35732,520,000

20100.33131,020,000

Sumber: Badan Pusat statistikKondisi ini mengharuskan pemerintah untuk melakukan koreksi terhadap kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika tidak, maka kemiskinan dan ketimpangan pendapatan akan tetap menjadi masalah pembangunan ekonomi dimasa depan. Beberapa kecenderungan menunjukkan bahwa kenaikan pertumbuhan ekonomi tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap perbaikan taraf hidup masyarakat miskin dijelaskan oleh berbagai literatur dan hasil penelitian. Faisal Basri dan Haris Munandar (2006) dan Ahmad Erani Yustika (2010) misalnya memasukkan masalah ini menjadi salah satu masalah struktural dalam perekonomian Indonesia yang selama ini tidak disadari oleh pemerintah dan merupakan ancaman yang berbahaya bagi perekonomian Indonesia. Mereka mengemukakan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia belum bisa menekan angka kemiskinan, karena yang menjadi leading sektor dalam pertumbuhan ekonomi tersebut adalah sektor non tradable yang padat modal. Sektor tersier (non tradable) yang memberikan kontrbusi besar dalam pertumbuhan ekonomi ternyata hanya mampu menyerap sedikit dari sekian banyak tenaga kerja yang ada di Indonesia. Setiap tahunya angkatan kerja meningkat sekitar rata-rata 80 juta angkatan kerja dari tahun 1989-1999, sementara orang yang mencari pekerjaan sektar 40 juta jiwa dari tahun yang sama. Pencari kerja yang terus meningkat simultan dengan pertumbuhan ekonomi yang mengalami ketimpangan. Secara perlahan namun konsisten, sektor industri dan jasa mulai menggantikan peran sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia.Kontribusi sektor non tradable dalam struktur PDB Indonesia membesar seiring proses perekembangan Indonesia sebagai negara yang berkembang dan ingin melalui masa transisi menuju negara maju (pra kondisi menuju lepas landas). Secara perlahan namun konsisten, kontribusi sektor non tradable (sektor perdagangan, hotel dan restoran) mulai meningkat dan menggantikan peran sektor pertanian dan industri. Secara teoritis pergeseran struktur ekonomi menjadi syarat suatu negara dikatakan negara maju ketika sektor jasa berkontribusi besar terhadap PDB. Namun jika tidak dapat dikelola dengan baik maka perubahan struktur ekonomi akan berdampak pada munculnya masalah baru seperti pengangguran dan distribusi pendapatan yang timpang serta memburuknya angka kemiskinan.Gambar 1.1aPerkembangan GDP per sektor

Sumber: BAPPENASPerkembangan sektor tersier dalam perekonomian Indonesia menunjukkan kontraproduktif dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Peran sektor tersier dalam perekonomian Indonesia hanya menyerap sebagian kecil dari angkatan kerja di Indonesia karena basis dari sektor tersebut hanya didorong oleh sub sektor jasa yang padat modal. Seharusnya yang mengalami pertumbuhan saat ini adalah sektor yang padat tenaga kerja. Lewis dalam Todaro (2006) menjelaskan perubahan struktur ekonomi dengan mengasumsikan bahwa sektor pertanian yang padat tenaga kerja mengalami over employment dan MPL=0 (Marginal Productivity of Labor). Untuk memanfaatkan tenaga kerja yang berada pada sektor pertanian maka sektor perkotaan (industri) harus ditingkatkan dan memberikan gaji yang paling tinggi 30% diatas rata-rata gaji pada sektor pedesaan. Namun kritikan untuk teori ini muncul, mengatakan bahwa teori Lewis melakukan penyederhanaan sehingga tidak realistis dalam pencapaiannya. Tidak mudah memindahkan masyarakat desa ke kota yang telah terbiasa bekerja pada sektor tradisional. Banyak pertimbangan (budaya, keluarga dsb) yang membuat mereka harus bertahan di desa dan tetap bekerja pada sektor tradisional sehingga memindahkan mereka merupakan hal yang sulit dan memerlukan banyak biaya.Perkembangan sektor tersier dalam perekonomian Indonesia menimbulkan banyak pertanyaan. Jika sektor padat tenaga kerja yang dibutuhkan mengapa yang berkembang pesat justru sektor yang padat modal (Faisal Basri, 2006) . Ini berkaitan dengan kendala yang dihadapi oleh sektor padat tenaga kerja. Sektor ini sering menemui kendala umum misalnya dalam proses produksi sering kalah bersaing oleh sektor yang padat modal yang memiliki teknologi canggih. Selain itu menurut Faisal Basri (2006) sektor tersier bisa berkembang lebih cepat karena pada umumnya pelaku usaha tidak mengalami kendala berat akibat ketebatasan supply maupun kualitas infrastruktur. Sektor jasa juga terhindar dari carut-marut kepabeanan, buruknya pelayanan pelabuhan, pungutan dijalan raya dan praktik ekonomi biaya tinggi lainya. Disebabkan semua keuntungan yang diperoleh oleh sektor tersier secara umum disebabkan karena sektor tersebut mampu menghindar dari beberapa kendala yang tidak mampu dihindari oleh sektor primer.Pergesaran struktur ekonomi tersebut mengharuskan terjadinya proses industrialisasi. Proses industrialisasi yang cepat juga menjadi pemicu matinya sektor pedesaan yang menyerap hampir 50% orang miskin. Namun menurut Oshima (1989) kegagalan beberapa negara berkembang untuk memperbaiki ketimpangan dan menurunkan tingkat kemiskinan tidak disebabakan oleh kegagalan teori trickle down effect tapi karena kegagalan pemerintah yang tidak mampu melanjutkan proses industrialisasi. Proses ini yang nantinya akan meyebarkan kesejahteraan ditiap daerah dalam satu negara. Namun sampai saat ini paradigma pemerintah nampaknya masih berorientasi pada pertumbuhan, meskipun kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia belum mampu mengentaskan kemiskinan dan justru memperbesar gap antara kaum miskin dan kaya. Ini dapat dilihat dari strategi pembangunan yang digunakan pemerintah yaitu triple track strategy. Triple track strrategy lebih mengedapankan pertumbuhan (pro growth) diatas lapangan pekerjaan dan kemiskinan (pro job dan pro poor). Ini memberikan indikasi bahwa pemerintah masih mempercayai efektifitas pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu variabel yang dapat menekan angka pengangguran dan kemiskinan serta memperbaiki distribusi pendapatan. Dalam lima belas program prioritas yang disebutkan dalam Nota Keuangan tahun 2010 salah satunya adalah pertumbuhan ekonomi yang akan terus dtingkatkan sampai mencapai minimal 7 % sehingga kesejahteraan rakyat juga lebih meningkat, termasuk untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Masalah lain yang menarik perhatian dalam pembangunan ekonomi Indonesia adalah pengeluaran pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Dari tahun ke tahun pemerintah telah mengeluarkan banyak anggaran untuk menekan angka kemiskinan (pendapatan dibawah 2$/hari). Namun jika dilihat lebih teliti anggaran yang meningkat begitu besar hanya mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar paling besar 1%.Tabel 1.4Pengeluaran pemerintah dan kemiskinan

TahunPengeluaran PemerintahAngka Kemiskinan

19801,501,600,000,00042,300,000

19816,399,200,000,00040,400,000

19828,605,800,000,00023,000,000

19839,290,250,000,00037,000,000

198410,459,300,000,00035,000,000

198510,647,000,000,00033,000,000

19868,296,000,000,00031,000,000

19877,756,600,000,00030,000,000

19888,897,600,000,00028,500,000

198912,480,200,000,00026,000,000

199016,225,000,000,00027,200,000

199119,997,700,000,00026,100,000

199222,912,000,000,00026,567,000

199325,227,200,000,00025,900,000

199427,398,300,000,00023,500,000

199530,783,500,000,00034,500,000

199634,502,700,000,00036,000,000

199728,880,800,000,00034,000,000

199849,391,700,000,00049,500,000

199982,448,300,000,00047,970,000

200041,605,700,000,00038,700,000

200152,299,100,000,00037,900,000

200252,299,100,000,00038,400,000

200366,146,100,000,000.0037,300,000

200418,000,000,000,00036,100,000

200523,000,000,000,00035,100,000

200642,000,000,000,00039,300,000

200756,000,000,000,00037,170,000

200862,000,000,000,00034,960,000

200966,200,000,000,00032,520,000

201094,000,000,000,00031,020,000

Sumber: Nota Keuangan dan BAPPENASKondisi ini memberikan indikasi bahwa sebagian besar anggaran pemerintah yang dijadikan program belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Bahwa belanja untuk program kemiskinan terus bertambah belum menjadi ukuran prestasi. Lagi pula tingkat kemiskinan terendah pada masa pasca krisis masih cukup jauh jika dibandngkan dengan tingkat kemiskinan terendah pada masa sebelum krisis (Faisal Basri, 2006). Hal ini juga diakui oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), bahwa meskipun angka kemiskinan menurun tapi penurunannya mengalami pelambatan jika dibandingkan pada masa sebelum krisis dan tidak sesuai jika dibandingkan dengan kenaikan jumlah anggaran yang telah dikeluarkan (Vivi Yulaswati, 2009)

Gambar1.1bPerkembangan jumlah orang miskin

Sumber: Presentase Bappenas pada saat Rakornas II TKPK Provinsi Jakarta, 2 Desember2009Program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah menemui berbagai kendala yang mendasar dan sangat penting guna ketercapaian tujuan program tersebut. Ada berbagai program pengentasan kemiskinan yang terangkum dalam Program Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM). Dalam menyusun program pengentasan kemiskinan, pemerintah mengalami kesulitan dalam memaksimalkan peran masyarakat untuk melakukan penyusunan program pengentasan kemiskinan. Meskipun secara konseptual, diberlakukan Musrembang (musyawarah perencanaan pembangunan) ditiap tingkatan masyarakat, namun dari sisi realisasi belum maksimal. Program partisipasi masyarakat yang diklaim pemerintah telah berhasil ternyata belum dapat memberikan hasil yang memuaskan.Selain faktor tersebut, ada program yang memang hanya bersifat jangka pendek. Program ini pada prinsipnya hanya mengangkat orang miskin dari posisi miskin menjadi hampir miskin. Ini dipertegas dengan temuan Afrizal. Berdasrkan penelitian yang dilakukan ia menemukan bahwa Raskin dikatakan sebagai bantuan-batuan habis sesaat. BLT/SLT pada umumnya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari dan tidak membuat mereka dapat menyimpan karena adanya bantuan tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena bantuan tersebut terlalu kecil, sedangkan pendapatan mereka tidak mampu menutupi kebutuhan dasarnya. Untuk itu beberapa masalah pembangunan yang tidak kunjung selesai harus diberikan solusi guna memecahkan masalah pembangunan yang mulai asimetris dengan indikator keberhasilan pembangunan. Maka dari itu berdasarkan pemaparan latar belakang masalah tersebut maka judul penelitian Dampak Pembangunan Ekonomi Terhadap Upaya Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia Periode 1980-2010 memberikan analisis tentang beberapa masalah yang terjadi dalam pembangunan ekonomi Indonesia.1.2 Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang masalah diatas maka dirumuskan masalah pokok dalam penelitian ini yaitu:1. Apakah pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan?1.3 Tujuan PenelitianUntuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini dirumuskan tujuan penelitian yaitu:1. Melakukan analisis hubungan antara pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan terhadap kemiskinan1.4 Kegunaan PenelitianPenelitian ini dapat digunakan untuk beberapa kalangan diantaranya:1. Bagi mahasiswa, penelitian ini bermanfaat sebagai literatur tambahan dalam memahami kondisi pembangunan ekonomi Indonesia2. Bagi masyarakat, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan refleksi tentang pembangunan ekonomi yang selama ini djalankan.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori2.1.1 Konsep tentang pertumbuhan ekonomi dan kemiskinanPembangunan ekonomi Indonesia telah berlangsung cukup lama. Selama itu pula pembangunan ekonomi dijalankan dengan berbagai macam teori dan pendekatan yang diadopsi, namun belum mampu meyelesaikan masalah pembangunan yang mengancam keberlangsungan pembangunan ekonomi Indonesia. Ketidakmampuan berbagai macam pendekatan tersebut menarik perhatian banyak akademisi untuk melakukan penelitian guna mencari akar permasalahan tersebut. Pembangunan ekonomi berhubungan erat dengan masalah kemiskinan. Sebab tujuan utama dari pembangunan adalah meningkatkan kemakmuran masyarakat atau pemerataan kesejahteraan. Jadi negara dikatakan telah berhasil melakukan pembangunan ketikan ketiga masalah dalam pembangunan dapat diselesaikan, yaitu kemiskinan, distribusi pendapatan dan pengangguran.Landasan teori dari beberapa penelitian memberikan kesimpulan yang beragam. Apa yang dikemukakan oleh Todaro (2009) menjadi entry point dalam melihat hubungan antara pertumbuhan dan kemiskinan. Menurutnya Gross Domestic Produk/Product Domestic Bruto (pertumbuhan ekonomi) yang cepat menjadi salah satu syarat tercapainya pembangunan ekonomi. Namun masalah fundamental bukan hanya menumbuhkan GNI, tetapi siapakah yang akan menumbuhkan GNI tersebut, sejumlah orang yang ada dalam suatu negara ataukah hanya segelintir orang saja. Jika hanya segelintir orang yang menubuhkan GNI ataukah orang-orang kaya yang jumlahnya sedikit, maka manfaat dari pertumbuhan GNI itu pun hanya dinikmati oleh mereka saja sehingga kemiskinan dan ketimpangan pendapatan pun akan semakin parah (Todaro dan Stephen C.Smith, 2006, Dawey, 1993). Untuk itu hal yang paling penting dalam pertumbuhan adalah siapa yang terlibat dalam pertumbuhan ekonomi tersebut atau dengan kata lain adalah tingkat kualitas pertumbuhan tersebut. Apa yang dikemukakan oleh Todaro sebelumnya dijelaskan oleh teori distribusi pendapatan klasik dan pertumbuhan output dalam Mankiew (2006). Dalam teori distribusi pendapatan klasik dan pertumbuhan output dijelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak lain adalah pertumbuhan output nasional merupakan fungsi dari faktor produksi. Semakin cepat laju pertumbuhan ekonomi maka seharusnya aliran pendapatan kepada rumah tangga faktor produksi mengalami perbaikan. Tingginya pertumbuhan output suatu negara diakibatkan oleh tingginya produktivitas input dalam penciptaan barang dan jasa. Peningkatan output tersebut dapat memperluas lapangan pekerjaan dan meningkatkan upah dan pada akhirnya memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat.Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Ravalion (1997), Son dan Kakwani (2003) dan Bourguignon (2004) juga memberika kesimpulan yang secara keseluruhan mendukung teori Todaro dan Mankiew. Menurut Ravalion (1997), Son dan Kakwani (2003) dan Bourguignon (2004) setelah mekakukan analisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan dan kemiskinan menemukan bahwa dampak pertumbuhan terhadap angka kemiskinan hanya terjadi jika ketimpangan relatif tinggi. Dengan kata lain bagi negara-negara yang mempunyai tingkat ketimpangan sedang atau rendah dampak pertumbuhan terhadap kemiskinan relatif tidak signifikan (Agussalim, 2009). Dengan menggunakan garis kemiskinan internasional USD 1 per orang maka Squaire (1993) melanjutkan dengan melakukan studi ekonometrik dengan analisis regresi antara tingkat penurunan kemiskinan dengan tingkat pertumbuhan. Menurutnya, jika terjadi kenaikan 1% dalam pertumbuhan ekonomi maka akan mengurangi jumlah penduduk miskin (pendapatan dibawah USD 1 per orang per hari) sebesar 0,24%. Untuk itu Bourgoignon (2004) mengeluarkan fungsi untuk menjelaskan secara sedehana tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dimana change in poverty = (growth, distribution, change in distribution).Pendapat Bourgoignon dijelaskan lebih jauh oleh Dollar dan Kray (2001) dalam Agussalim (2006). Menurut Dollar dan Kray pertumbuhan ekonomi akan memberikan manfaat kepada warga miskin jika pertumbuhan ekonomi tersebut disertai dengan berbagai kebijakan seperti penegakan hukum, disipin fiskal, keterbukaan dalam perdagangan internasional dan strategi penanggulangan kemiskinan. Negara yang berhasil dalam pertumbuhan ekonomi kemungkinan besar juga akan berhasil dalam menurunkan angka kemiskinan, apalagi jika terdapat dukungan kebjakan dan lingkungan kelembagaan yang tepat (Bigsten dan Levin, 2001). Adams (2004) juga melihat hubungan yang kuat antara pertumbuhan dan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan kemiskinan ketika pertumbuhan ekonomi diukur berdasarkan pendapatan rata-rata. Terdapat hubungan yang kuat secara statistik antara pertumbuhan ekonomi dan kemiksinan. Untuk itu Hasan dan Quibria (2002) mengatakan bahwa tidak adalagi yang meragukan pentingnya pertumbuhan ekonomi bagi penurunan angka kemiskinan. Apa yang dikemukakan oleh Adams, Hasan dan Quibria dipertegas kembali oleh Siregar dan Wahyuniarti. Ia menemukan bahwa setiap pertumbuhan 1 Triliun dalam output akan menurunkan sekitar 9.000 orang miskin.Fakta pendukung peran pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan angka kemiskinan dijelaskan oleh Bank Dunia dalam World Development report (1990). Bank Dunia memberika rekomendasi kebijakan yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi agar tercipta lapangan kerja dan pemanfaatan tenaga kerja guna mengentaskan angka kemiskinan. Pentingnya pertumbuhan ekonomi untuk menurunkan angka kemiskinan dijelaskan secara teoritis melalui virtous circle oleh Sagir (2009). Ia mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi pemicu atau indikasi dunia usaha mengalami tingkat produktivitas yang tinggi dan kemudian akan berdampak pada luasnya lapangan pekerjaan yang tersedian seiring peningkatan kapasitas produksiNamun tidak semua hasil penelitian menemukan hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan. Beberapa temuan juga mengatakan bahwa pertumbuhan berhubungan positif terhadap kemiskinan. Misalnya apa yang dikatakan oleh Ahluwalia dan Chenery (1974) bahwa sudah jelas sekarangbahwa lebihdari satu dekadepertumbuhan ekonomi yang cepatdi negara-negara terbelakang hanya memberikansedikit manfaatatau tidak sama sekali memberikan manfaat terhadap sekitarsepertiga daripopulasi mereka". Gagalnya pertumbuhan mereduksi kemiskinan disebabkan oleh gagalnya proses trickle down effect. Gagalnya kesejahteraan (kue pembangunan) menetes kebawah membuat kemiskinan semakin dalam meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat setiap tahun. Artinya hubungan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan bukan hubungan kausalitas karena kenaikan pertumbuhan ekonomi tidak mutlak menurunkan angka kemiskinan. Ada banyak hal/syarat yang harus terpenuhi untuk membuat pertumbuhan ekonomi itu inklusif dalam artian pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua kalangan masyarakat bukan hanya kelas sosial tertentu dalam masyarakat.

2.1.2 Konsep tentang distribusi pendapatan dan kemiskinanTodaro (2009) menjadi landasan penting dalam melihat hubungan antara distribusi pendapatan dan kemiskinan. Menurutnya Gross domestic Produk/Product Domestic Bruto (pertumbuhan ekonomi) yang cepat menjadi salah syarat tercapainya pembangunan ekonomi. Namun Masalah dasarnya bukan hanya menumbuhkan GNI, tetapi juga siapakah yang akan menumbuhkan GNI tersebut, sejumlah orang yang ada dalam suatu Negara ataukan hanya segelintir orang. Jika hanya segelintir orang yang menubuhkan GNI ataukah orang-orang kaya yang berjumlah sedikit, maka manfaat dari pertumbuhan GNI itu pun hanya dinikmati oleh mereka saja sehingga kemiskinan dan ketimpangan pendapatan pun akan semakin parah (Todaro dan Stephen C.Smith, 2006, Dawey, 1993). Untuk itu hal yang paling penting dalam pertumbuhan adalah siapa yang terlibat dalam pertumbuhan ekonomi tersebut atau dengan kata lain adalah tingkat kualitas pertumbuhan tersebut. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pertama kali dikemukakan oleh Simon Kusnets. Dalam Todaro (2009) Kusnets mengatakan bahwa hubungan antara pertubuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan berbentuk kurva U-Shape terbalik. Dasar dari hipotesis Kusnetz adalah ketimpangan yang rendah yang terjadi dipedesaan dengan sektor yang mendominasi adalah pertanian dibandingkan dengan perkotaan yang didominasi oleh sektor jasa dan industri yang tingkat ketimpangan pendapatanya tinggi. Ia mengatakan, terjadi transformasi ekonomi dari sektor pertanian ke sektor jasa. Transformasi ekonomi tersebut membuat upah yang diterima oleh pekerja disektor pertanian lebih rendah dari upah yang diterima oleh pekerja disektor jasa. Untuk itu pada tahap awal pembangunan, ketimpangan pendapatan masih rendah. Kemudian pada tahap selanjutnya ketimpangan pendapatan mengalami peningkatan seiring perubahan struktur ekonomi (Institut Pertanian Bogor).Namun beberapa penelitian yang lian menemukan hal yang berbeda. Misalnya apa yang dikemukakan oleh Ravallion yang mengatakan bahwa antara distribusi pendapatan dan kemiskinan tidak terdapat hubungan yang sistematis.2.1.3 Konsep tentang pengeluaran pemerintah dan kemiskinan kemiskinan. Dalam pembangunan ekonomi, peran pemerintah melalui kebijaksanaan fiskal sangat dibutuhkan untuk menekan angka kemiskinan. Namun program yang dibuat harus melalui analisis kebutuhan yang jelas agar anggaran yang digunakan efektif dalam menurunkan angka kemiskinan. Menurut Dollar dan Kray (2001) setelah melakukan pengamatan terhadap stabilitas makro, disiplin fiskal dan belanja publik untuk kesehatan dan pendidikan menemukan bahwa kuat dugaan kebijakan pro poor seperti belanja publik untuk kesehatan dan pendidikan tidak mempunyai dampak yang signifikan terhadap pendapatan kaum miskin. Sebaliknya pendapatan kaum miskin memiliki hubungan yang sistematis terhadap kebjakan publik misalnya disipln fiskal, stabilitas makro ekonomi, penegakan hukum dan keterbukaaan dalam perdagangan internasional. Menurut mereka seringkali di negara berkembang kebijakan pro poor tersebut hanya dinikmati oleh kelompok menengah dan kaya dari pada kelompok miskin. Ini terjadi misalnya pada subsidi BBM (bahan bakar minyak) atau listrik dimana sebagaian besar yang menikmati subsidi terbut hanya mereka yang berpendapatan menegah keatas. Menurut World Bank dalam laporan Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia (2006) bahwa disamping pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, dengan menentukan sasaran pengeluaran untuk rakyat miskin, pemerintah dapat membantu mereka dalam menghadapi kemiskinan (baik dari segi pendapatan maupun non-pendapatan) dengan beberapa hal. Pertama, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan dari segi pendapatan melalui suatu sistem perlindungan sosial modern yang meningkatkan kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi. Kedua, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk memperbaiki indikator-indikator pembangunan manusia, sehingga dapat mengatasi kemiskinan dari aspek non-pendapatan. Membuat pengeluaran bermanfaat bagi masyarakat miskin merupakan syarat harus untuk menekan angka kemiskinan saat ini, terutama mengingat adanya peluang dari sisi fiskal. Hendri Saparini (2008) mengatakan bahwa pemerintah harus memprioritaskan alokasi anggaran untuk program-program pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Selain itu, pernerintah harus memperbesar alokasi belanja modal dan mengurangi biaya birokrasi. Ini dikarenakan kecenderungan anggaran yang meningkat namun tidak signifikan menurunkan angka kemiskinan. Peran pemerintah dalam mempengaruhi kemiskinan termasuk dalam mengantisipasi kegagalan pasar dalam perekonomian sangat penting. Peranya melalui kebijakan fiskal ditargetkan dapat menyelesaikan masalah pembangunan (kemiskinan, pengangguran dan distribusi pendapatan). Inilah yang mendasari Keynes mengeluarkan teori yang memberikan peran yang besar bagi pemerintah untuk memberikan stabilisasi, redistribusi pendapatan dan alokasi dalam perekonomian suatu negara. Keynes mengatakan pada tingkat makro, pemerintah harus secara aktif dan sadar mengendalikan perekonomian ke arah posisi Full Employment, sebab mekanisme otomatis kearah posisi tersebut tidak bisa diandalkan secara otomatis atau diserahkan pada mekanisme pasar. Untuk itu peran pemerintah melalui kebijaksanaan fiskal untuk melakukan distribusi pendapatan termasuk melalui mekanisme pajak, sangat penting karena ketidakmampuan mekanisme pasar dalam meyelesaikan masalah kesejahteraan. Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Iradian (2005). Ia mengatakan bahwa selain ketimpangan pendapatan, pengeluaran pemerintah juga memiliki pengaruh terhadap penurunan kemiskinan.Pemerintah memiliki perangkat kebijakan fiskal untuk mempengaruhi tujuan pembangunan suatu negara. Kebijakan fiskal terdiri atas dua instrumen utama yaitu kebijakan pajak dan pengeluaran pemerintah (Mankiw, 2003; Turnovsky, 1981). Sama seperti Keynes, Maipita, Jantan, Razak mengemukakan peran pemerintah melalui kebijakan fiskal dengan tiga tujuan yang masing-masing memiliki sasaran yang berbeda-beda. Fungsi alokasi berhubungan dengan persediaan barang-barang sosial dan proses pemanfaatan sumber daya secara menyeluruh untuk produksi barang-barang swasta, barang-barang sosial, dan kombinasi dari barang-barang sosial yang telah dipilih. Fungsi distribusi berhubungan dengan persamaan kesejahteraan dan distribusi pendapatan dalam masyarakat. Fungsi stabilisasi ditujukan untuk menstabilkan atau mempertahankan rendahnya tingkat pengangguran, harga atau tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi yang telah ditargetkan.2.2 Penelitian Terdahulu2.2.1 Hubungan pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinanDalam mengamati perkembangan pembangunan ekonomi Indonesia ada banyak peneliti yang memberikan perhatian terhadap ketimpangan pembangunan ini. Misalnya menurut Klassen (2005) dalam Agussalim (2009) pertumbuhan hanya dapat disebut pro poor jika tingkat pertumbuhan orang miskin berada diatas tingkat pertumbuhan pendapatan rata-rata. Dengan kata lain pertumbuhan relatif bisa berpengaruh terhadap orang miskin dalam artian pendapatan mereka relatif meningkat dibandingkan dengan kelompok pendapatan masyarakat lainya. Hal tersebut senada namun dalam konteks yang lebih jelas dengan apa yang dikatakan oleh Ravalioon (1997), Son dan Kakwani (2003) dan Bourgoignon (2004) bahwa dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan angka kemiskinan hanya terjadi jika ketimpangan relatif tinggi. Artinya bagi negara yang memiliki tingkat ketimpangan sedang apalagi rendah dampak pertumbuhan terhadap kemiskinan relatif tidak signifikan. Dalam studi lain yang melihat hubungan pertumbuhan dengan kemiskinan dilakukan oleh Squire (1993) dalam Agussalim (2009). Ia melakukan studi ekonometrik dengan melakukan analisis regresi antara tingkat penurunan kemiskinan dengan tingkat pertumbuhan. Hasilnya, jika terjadi kenaikan 1% dalam pertumbuhan ekonomi akan mengurangi jumlah penduduk miskin (pendapatan dibawah 1$/hari) sebesar 0,24%. Kemudian studi Squire dilanjutkan oleh Bruno, Ravallion dan Squire (1998) dengan melakukan analisis regresi terhadap 20 negara berkembang selama periode 1984-1993 menunjukkan bahwa proporsi penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan (1$/hari) secara statistik dapat turun sebesar 2,12%. Dan dipertegas dengan hasil penelitian Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya tentang dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan jumlah penduduk miskin menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh secara signifikan dalam mengurangi kemiskinan, namun magnitude dari pengaruh tersebut relatif tidak besar. Secara umum ditemukan bahwa kemiskinan tidak dapat dipecahkan hanya dengan mengharapkan proses trickle down effect dari pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan untuk mengurangi kemiskinan.Dengan menggunakan garis kemiskinan internasional USD 1 per orang maka Squaire (1993) melanjutkan analisis untuk meilhat korelasi antara pertumbuhan dan kemiskinan. Dengan melakukan studi ekonometrik dengan analisis regresi antara tingkat penurunan kemiskinan dengan tingkat pertumbuhan menunjukkan jika terjadi kenaikan 1% dalam pertumbuhan ekonomi maka akan mengurangi jumlah penduduk miskin (pendapatan dibawah USD 1 per orang per hari) sebesar 0,24%. Namun penelitian yang dilakukan oleh Deininger dan Squire (1995-1996) tidak menemukan keterkaitan yang sistematis dan korelasi antara pertumbuhan dan kemiskinan. Studi mereka ini yang juga menggunakan data lintas negara sangat menarik karena tidak menemukan suatu keterkaitan yang sistematis walaupun relasi antara pertumbuhan PDB dan pengurangan kemiskinan positif. Kemudian dipertegas oleh Fields dan Jacobson (1989) dan Ravallion (1995) justru menemukan hal yang lebih ekstrim. Mereka mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan. Apa yang dikemukakan Ravallion, dipertegas temuan Kakwani (2000). Dengan menggunakan data lintas negara di Asia (Thailand, Philipina Laos dan Korea), Kakwani mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dapat mengatasi kemiskinan. Menurutnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya dinikmati oleh masyarakat non miskin sedangkan penduduk miskin tidak mengalami keuntungan yang sama besarnya dengan penduduk non miskin. Implikasi dari temuan itu, Kakwani menyarankan bahwa pemerintah harus menerapkan pro poor-grwoth strategy.Hal yang berbeda temukan oleh Penelitian Saeful Hidayat (2007) yang berjudul Pertumbuhan Ekonomi Ketidakmerataan Pendapatan dan Kemiskinan: Estimasi Parameter Elastisitas Kemiskinan Tingkat Provinsi Di Indonesia Tahun 1996-2005. Penelitian tersebut membahas tentang hubungan pertumbuhan ekonomi, ketidakmerataan pendapatan dan kemiskinan. Penelitian ini menggunakan panel data dan memberikan kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan ketidakmerataan pendapatan tetapi disisi yang lain pertumbuhan ekonomi mampu mengurangi kemiskinan, bahkan peningkatan ketidakmerataan pendapatan yang merupakan dampak dari pertumbuhan ekonomi tidak mengganggu efektifitas pengurangan kemiskinan. Artinya penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi memberikan dampak pada ketidakmerataan pendapatan namun ketidakmerataan pendapatan tersebut tidak berdampak signifikan terhadap angka kemiskinan. Meskipun terjadi ketimpangan pendapatan tetapi ini tidak berpengaruh pada efektifitas penurunan angka kemiskinan. Hal ini juga dikemukakan oleh Hermanto Siregar dan Dwi Wahyu Winarti (2008) dengan judul penelitian Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. Temuannya juga mengatakan bahwa Dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan jumlah penduduk miskin menunjukkan bahwa pertumbuhan berpengaruh signifikan dalam mengurangi kemiskinan, namun pengaruhnya relatif tidak besar. Pertumbuhan tersebut menjadi syarat harus untuk mengentaskan kemiskinan namun syarat penunjangnya juga harus tetap terpenuhi untuk mengentaskan kemiskinan secara efektif. 2.2.2 Hubungan pengeluaran pemerintah untuk kemiskinan terhadap kemiskinanPeran pemerintah dalam pengentasan kemiskinan sangat dibutuhkan, sesuai dengan peranan pemerintah yaitu alokasi, distribusi dan stabilisasi. Peranan tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi jika tujuan pembangunan yaitu pengentasan kemiskinan ingin terselesaikan. Anggaran yang dikeluarkan untuk pengentasan kemiskinan menjadi stimulus dalam menurunkan angka kemiskinan dan beberapa persoalan pembangunan yang lain.Penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan (2005) dalam Alawi (2006) menegaskan peranan anggaran untuk pengentasan kemiskinan. Temuan penelitian tersebut menjelaskan hubungan yang negatif antara anggaran pendapatan terhadap jumlah orang miskin. Artinya semakin tinggi jumlah anggaran pendapatan maka akan menurunkan tingkat kemiskinan. Tentu anggaran yang dimaksud dialokasikan guna membuat program pengentasan kemiskinan baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Apa yang ditemukan oleh Hasibuan diperkuat oleh Alawi (2006). Alawi menemukan bahwa alokasi anggaran untuk program pemberdayaan masyarakat memiliki korelasi yang negatif terhadap tingkat keparahan kemiskinan. Artinya semakin tinggi alokasi anggaran untuk program pemberdayaan masayarakat maka akan menurunkan tingkat keparahan kemiskinan.

Dua penelitian diatas menjelaskan teori yang dikemukakan Todaro. Todaro (2001) dalam Alawi menjelaskan bahwa tingkat kemiskinan dipengaruhi oleh salah satunya tingkat pendapatan rata-rata daerah tersebut. Semakin tinggi tingkat pendapatanya maka potensi untuk mengalokasikan anggaran guna menyelesaikan masalah kemiskinan akan semakin besar. Namun alokasi tersebut tentu harus tepat sasaran, jika tidak justru akan menyebabkan kemiskinan akan semakin memburuk dan akan menghasilkan kekacauan sosial (social chaos).Dalam temuan lain yang mempertegas beberapa temuan diatas yaitu temuan dari Fan (2004). Ia membuktikan bahwa pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur dan jasa di daerah pedesaan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan di sektor pertanian yang menjadi sektor terbesar terjadinya kemiskinan di negara berkembang. Selain itu pengeluaran pembangunan untuk teknologi dan modal manusia juga merupakan faktor yang berpengaruh dalam pengentasan kemiskinan di negara berkembang, khususnya negara-negara di Afrika. Dalam penelitian sebelumnya Fan (et all 1999) menemukan bahwa pengeluaran pemerintah memiliki dampak secara langsung dan dampak tidak langsung terhadap penduduk miiskin. Ia mengatakan dampak langsung pengeluaran pemerintah adalah manfaat yang diterima penduduk miskin dari berbagai program peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pekerja, serta skema bantuan dengan target penduduk miskin. Dampak tidak langsung berasal dari investasi pemerintah dalam infrastruktur, riset, pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi penduduk, yang secara simultan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di seluruh sektor dan berdampak pada penciptaan lapangan kerja yang lebih luas dan peningkatan pendapatan terutama penduduk miskin serta lebih terjangkaunya harga kebutuhan pokok. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan beberpa kelemahan dari pengeluaran pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan pada sisi implementasi program. Penelitian yang fokus pada implementasi program pengentasan kemiskinan memberikan hasil yang berbeda yang menunjukkan bahwa tidak mutlak pengeluaran pemerintah dapat menurunkan kemiskinan. Misalnya yang dilakukan oleh dalam penelitan yang dilakukan oleh Agus Purbathin Hadi (2008) terkait implementasi program PPK menemukan bahwa terdapat kekurangan dalam proses implementasi program pengentasan kemiskinan yaitu PPK (Program Pengembangan Kecamatan). Dalam pelaksanaanya PPK menyediakan dana bantuan secara langsung bagi masyarakat (BLM) sekitar Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar per kecamatan, tergantung dari jumlah penduduk dari suatu daerah. Uang yng dikeluarkan untuk program ini dimaksudkan agar proses pembangunan yang bersifat partisipatif dimana masyarakat terlibat langsung dalam proses pembangunan dapat terwujud. Namun dari beberapa propnsi yang ada di Indonesia yang menjalankan program ini mendapat berbagai kendala teknis seperti pada enam propinsi yang telah melaksanakan PPK menunjukkan adanya kelemahan-kelemahan, baik itu dari segi manajemen pelaksanaan, kesiapan masyarakatnya dan lebih-lebih proses sosialisasinya (Menayang dkk , 2001). Kelemahan ini sangat menentukan hasil apakah kemiskinan dapat diturunkan sesuai dengan harapan atau tidak mengalami perubahan. Selain itu dimungkinkan juga karena kurang memperhatikan kondisi masyarakat seperti halnya pada konteks sistem komunikasinya, struktur masyarakatnya dan fungsi institusi/lembaga lokal masyarakat setempat. Sekalipun para petugas lapangan (pendampingan) telah dilatih keterampilan berkomunikasi dan atau kemampuan bersosialisasi, tetapi tanpa mengenal, memahami dan menggunakan peta komunikasi sosial, serta pengetahuan tentang struktur masyarakat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat, maka kemungkinan besar mereka akan menuai kegagalan (Gunawan, 2008).Kelemahan PPK lainnya di awal-awal program adalah pada perekrutan dan lemahnya pembekalan fasilitator. Tugas dan peran fasilitator dalam pendampingan masyarakat membutuhkan lebih dari sekedar kecakapan teknik dan penguasaan metodologi, namun juga empati dan keberpihakan dari para fasilitator. Empati semacam itu tidak bisa ditumbuhkan hanya dengan seminggu pelatihan fasilitator. Pengalaman di Desa Aik Berik, fasilitator tidak tinggal di desa yang didampingi, padahal empati dan keberpihakan yang otentik hanya bisa tumbuh manakala fasilitator live in, tinggal bersama masyarakat yang didampingi (Agus Purbathin Hadi, 2008). Selain program PPK, pemerintah saat juga membuat program P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan). Tentu tujuan dari dibuatnya program ini semata-mata untuk memperkuat kelembagaan masyarakat agar kedepan dapat melewati fase kemiskinan dan sampai pada tahap terberdayakan. Namun sama seperti program PPK, program P2KP juga menemui kedala yang menentukan berhasil atau tidak program tersebut. Masih lemahnya kelembagaan BKM dan KSM karena belum mampu berfungsi optimal dan kurang optimalnya peran fasilitator (Faskel) dalam pendampingan masyarakat akibat lemahnya pemahaman ideologi pembangunan berbasis komunitas dan lemahnya pemahaman community development di antara pelaku P2KP utamanya para konsultan pendamping (Agus Purbathin Hadi, 2008). Temuan ini juga dipertegas oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudarini (2001) di kelurahan Lenteng agung, dimana temuan ini menunjukkan masih terdapat beberapa kendala salah satunya kendala dalam hal fasilitator yang dapat mendampngi masyarakat untuk membuat program pembangunan. Sealin itu beberpa anggota masyarakat yang terlibat dalam program ini adalah anggota masyarakat yang telah memiliki uaha yang relatif stabil sehingga tidak memungkinkan terjadi kegagalan, padahal yang seharusnya menjadi sasaran dalam program ini adalah masyarakat yang tidak mampu. Kesungguhan masyarakat untuk mengikuti program ini juga menjadi faktor penghambat dalam implementasi program tersebut. Ini dikarenakan dana yang ditunggu oleh masyarakat dicairkan dalam waktu yang belum diketahui oleh masyarakat. Dari segi fasilitator, juga menemui beberapa masalah diantaranya fasilitator hanya mengemukakan hal-hal yang bersifat administrasi namun tidak mengarahkan masyarakat pada pengenalan potensi mereka dan mecoba mengidentifikasi permasalahan yang ada.Dalam kasus kegagaln program pengentasan kemiskinan yang lain yaitu IDT (Inpres Desa Tertinggal) juga terjadi di Desa Gunung Berita Kecamatan Namorambe Kabupaten Deliserdang. Kegagalan program ini deteliti oleh Sumandar Sitomorang (2001). Dalam hasil penelitianya ditemukan beberapa kegagalan program diantaranya bahwa pendapatan yang diterima dari hasil usaha yang dibuat melalui program IDT ini tidak mencukupi untuk menggeser kedudukan masyarakat dari masyarakat miskin menuju masyarkat sejahtera. Artinya dari semua hasil penelitian yang dirilis mengemukaan faktor yang menyebabkan kegagalan program pengentasan kemiskinan, namun jika ada perubahan pada angka kemiskinan/penurunan maka beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat miskin dapat bergerak sendiri tanpa bantuan dari pemerintah Ini dipertegas oleh temuan lembaga penelitian SMERU pada annual report tahun 2007. Temuan itu mengatakan bahwa Temuan studi menunjukkan bahwa keberhasilan kelompok mover lebih banyak ditunjang oleh faktor kemampuan pribadi, baik perseorangan maupun kolektif dari pada struktur peluang yang ada. Kemampuan pribadi antara lain memiliki ketrampilan, bimbingan orang tua, bekerja mulai usia muda, bekerja keras, memiliki motivasi yang kuat untuk maju, dan mampu memperoleh tambahan penghasilan dari non pertanian. Kemampuan kolektif mencakupi jaringan dan hubungan sosial yang baik. Penelitian ini dilakukan di tiga daerah di Indonesia yaitu Jawa Timur, Maluku dan NTT.Di Daerah lain di Kalimantan Tengah temuan dari hasil monitoring Yessi (2000) juga menemukan hal yang sangat mencengangkan terkait dengan pelaksanaan program pengentasan kemiskinan Jaring Pengaman sosial (JPS). MIisalnya pemberian dana besa siswa dari Dikti untuk peserta didik yang tidak mampu ditemukan beberpa permasalahan diantaranya: Penerima program bea siswa tidak tepat sasaran karena berasal dari keluarga yang mampu dan pegawai negeri sipil (PNS), sistem rekrutmen calon penerima beasiswa dipenuhi oleh kolusi dan nepotisme, pengelolaan dana bantuan oprasional tidak dapat dilacak karena pihak-pihak yang ditemui rata-rata tidak mengetahui penggunaan dana tersebut dan beberpa orang terkesan menghindar untuk ditemui.Selain program tersebut beberapa program yang lainya juga mengalami permasalahan yang sama, misalnya untuk program operasi pasar khusus beras (OPK Beras) beberapa temuan diantaranya: Data penduduk miskin penerima bantuan ini tidak akurat. Ada beberapa orang yang seharusnya mampu tetapi ikut menikmati program beras murah tersebut, terjadi pengurangan pada timbangan beras namun tetap membayar sesuai dengan kuantitas beras yang dipesan, di beberapa desa ditemukan harga beras yang lebih mahal di badingkan harga dasarnya, rata-rata kenaikan harga sebesar Rp.250-Rp750, pengeloalaan program belum tersosialisasi dengan baik sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengatahui.Hasil penelitian ini juga senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Adi Widodo (2011) yang menunjukkan bahwa alokasi pengeluaran pemerintah sektor publik tidak secara langsung mempengaruhi IPM ataupun kemiskinan. Hal ini berarti bahwa pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan tidak bisa berdiri sendiri sebagai variabel independen dalam mempengaruhi kemiskinan, namun harus berinteraksi dengan variabel lain (variabel IPM). Artinya ada faktor lain yang lebih mempengaruhi penurunan angka kemiskinan diluar pengeluaran pemerintah (Lestari, 2008, Mulyaningsih ). Hasil penelitian yang berbeda dikemukakan oleh Iskana (2009) dan Rudiningtyas (2010). Ia menemukan bahwa pendapatan dan belanja tidak berpengaruh terhadap kemiskinan selama tahun anggaran 2004 sampai dengan 2008. Hal ini dikarenakan salah satu sumber pendapatan nasional berasal dari rakyat dalam bentuk pajak. Pajak merupakan iuran wajib yang bersifat memaksa artinya pajak wajib dibayar tanpa memperdulikan apakah rakyat punya uang atau tidak, sehingga semakin besar pendapatan daerah berarti semakin banyak pula hasil pajak yang terkumpul dari rakyat2.2.3Pengaruh distribusi pendapatan terhadap kemiskinanDistribusi pendapatan menjadi gambaran tersendiri jika ingin melakukan analisis korelasi dengan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan memperbaiki kesejahteraan masyarakat jika distribusi pendapatan mengalami ketimpangan. Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (2004) mengemukakan 8 faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara sedang berkembang, diantaranya Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita, Inflasi di mana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang., ketidakmerataan pembangunan antar daerah, investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (capital intensive), sehingga persen-tase pendapatan modal dari tambahan harta lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah, rendahnya mobilitas sosial, pelaksanaan kebijak-sanaan industri substitusi impor yang meng-akibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis, memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan permintaan negara-negara terhadap barang ekspor negara-negara sedang berkembang dan hancurnya industri-industri kerjainan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga.Signifikansi pengaruh distribusi pendapatan terhadap penurunan kemiskinan dijelaskan melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Daniel Suryadarma, dkk (2005), dalam penelitiannya berjudul A Reassessment of Inequality and Its Role in Poverty Reduction in Indonesia, bertujuan untuk mengetahui bagaimana keadaan ketimpangan pada saat Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi dan saat terjadi krisis, serta menguji apakah ketimpangan berhubungan dengan kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini memberikan gambaran tentang ketimpangan di Indonesia selama periode tahun 1984 hingga 2002 dengan menggunakan beberapa pengukuran ketimpangan yaitu Gini Rasio, Generalized Entropy (GE) Index, dan Atkinson Index. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa walaupun ketika terjadi krisis semua metode pengukuran menunjukkan penurunan ketimpangan, namun sebenarnya terjadi peningkatan tetapi dibawah garis kemiskinan. Penelitian ini menunjukkan adanya penjelasan penting yaitu bahwa tingkat kemiskinan menurun dengan cepat antara tahun 1999 dan 2002, yang disebabkan karena ketimpangan selama krisis pada tahun 1999 berada pada tingkat paling rendah. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh R. Gunawan Setianegara (2008), dalam penelitiannya berjudul Ketimpangan Distribusi Pendapatan, Krisis Ekonomi dan Kemiskinan, bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketimpangan pendapatan yang dipengaruhi oleh krisis ekonomi mempengaruhi jumlah penduduk miskin di Indonesia. Dalam penelitian ini juga menggambarkan bagaimana keadaan ketimpangan pendapatan Indonesia dimulai dari tahun 1960-an hingga akhir tahun 1999 menggunakan alat pengukur ketimpangan yaitu Gini Rasio. Menurut Gunawan, ada banyak analisis yang membuktikan bahwa walaupun tingkat pertumbuhan tinggi akan selalu menyebabkan tingkat ketimpangan pendapatan tinggi. Selain itu jumlah penduduk miskin di Indonesia juga akan selalu berubah seiring tinggi rendahnya tingkat ketimpangan pendapatan. Ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Perry at All (2006).2.3 HipotesisBerdasarkan latar belakang masalah dan landasan teori maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:1. Diduga terdapat pengaruh yang negatif dan signifikan secara matematis antara variabel pengeluaran pemerintah untuk kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan. Artinya jika pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan dan kemiskinan menurun memberikan dampak yang positif dalam pembangunan ekonomi2. Diduga terdapat pengaruh positif dan signifikan secara matematis antara variabel distribusi pendapatan terhadap kemiskinan. Artinya jika distribusi pendapatan mengalami peningkatan dan kemiskinan meningkat memberikan dampak yang negatif dalam pembangunan ekonomi

PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA2.1a Gambar Kerangka Pikir

Pembangunan ekonomi Indonesia telah menetapkan sasaran tersendiri untuk menetapkan indikator pembangunan ekonomi. Berangkat dari landasan yang dikemukakan oleh Prof.Dudley Seers dalam Todaro (2006) tentang indikator pembangunan ekonomi suatu negara. Menurutnya jika ada negara yang mengklaim telah melakukan pembangunan, maka patut dipertanyakan terkait dengan masalah kemiskinan, pengangguran dan distribusi pendapatan negara tersebut. Untuk itu Indonesia menetapkan salah satu sasaran pembangunan adalah pengentasan kemiskinan dan dijadikan salah satu variabel dalam penelitian ini.Pengentasan kemiskinan yang ditergetkan membutuhkan begitu banyak perangkat analisis guna melihat apa saja yang harus dilakukan untuk mencapai salah satu tujuan pembangunan tersebut. Dalam berbagai literatur dan penelitian, secara umum kebijakan yang cenderung diambil selalu diarahkan pada pertumbuhan ekonomi, anggaran untuk mengentaskan kemiskinan dan perbaikan distribusi pendapatan. Ini dikarenakan peran vaiabel tersebut dalam pengentasan kemiskinan memiliki peran yang besar.Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2006) Ravalioon (1997), Son dan Kakwani (2003) dan Bourgoignon (2004) yang menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat berperan besar dalam pengurangan kemiskinan, meskipun bukan satu-satunya cara untuk mengurangi kemiskinan. Inilah kemudian yang menjadikan beberapa negara termasuk Indonesia menggunakan pendekatan pertumbuhan ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan.Selain pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah untuk pengentasan kemiskinan juga menjadi stimulus yang terus meningkat seiring komitmen pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Ini tentu didasari oleh teori yang mengatakan bahwa peran pemerintah dalam perekonomian sangat penting termasuk dalam penyelesaian kemiskinan. Menurut Hasibuan (2005) dalam Alawi (2006) semakin tinggi tingkat pendapatan rata-rata pemerintah, maka potensi penyelesaian kemiskinan akan semakin besar. Ini tentu disebabkan oleh adanya korelasi yang signifikan antara jumlah dana yang dikeluarkan untuk mengentaskan kemiskinan dengan jumlah orang miskin.Sedangkan untuk distribusi pendapatan dijelaskan oleh teori distribusi pendapatan klasik dalam Mankiew (2006). Teori tersebut menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi dtentukan oleh seberapa besar produktifitas tenaga kerja atau MPL (Marginal Productiviy of Labour). Jika Y dilihat dari sisi penerimaan dengan persamaan Y= w+r+i+p yang masing-masing variabel tersebut merupakan penerimaan dari tiap-tiap faktor pruduksi. Artinya semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, maka distribusi pendapatan seharusnya akan membaik dan lebih merata. Tentu dengan asumsi bahwa sektor yang pertumbuhannya cepat adalah sektor yang padat karya (tenaga kerja).Proses pembangunan yang melibatkan tiga variabel independen pertumbuhan ekonomi, anggaran untuk kemiskinan dan distribusi pendapatan diarahkan untuk satu tujuan pembangunan, yaitu penurunan angka kemiskinan. Karena landasan teori dan penelitian sebelumnya menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ketiga varibel independent tersebut dengan variable dependen, meskipun ada juga yang menemukan hal yang berbeda maka dibuatlah kerangka berfikir dari penelitian ini sesuai dengan konstruktsi teori dan hasil penelitian sebelumnya.

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN3.1 Jenis dan Sumber Data 3.1.1 Jenis DataJenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder yang bersifat time series. Data ini didapatkan dari beberapa hasil penelitian sebelumnya termasuk dalam jurnal, skripsi, tesis, buku dan karya ilmiah yang lain yang mendukung penelitian ini. Selain itu data tersebut juga diperoleh dari situs resmi Badan Pusat Statistik dan Bappenas yang diterbitkan secara resmi. 3.1.2 Sumber DataSumber data dalam penelitian ini terdiri dari berbagai macam sumber seperti data dari BPS, jurnal, buku, skripsi dan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang dapat mendukung penelitian ini.3.2 Model AnalisisUntuk melihat hubungan antara pertumbuhan ekonomi, anggaran kemiskinan dan distribusi pendaptan terhadap angka kemiskinan, digunakan model dasar sebagai berikut:Y=(X1t, X1t-1, X1t-2, X1t-3, X2, X3 . 1Dari fungsi sederhana tersebut, kemudian dibuat model regresi berganda dengan menggunakan time lag sebagai berikut:Y = 0x11t x21t-1 x31t-2 x41t-3 e1 X25x36..(2)LnY=Ln0+1X1t+2X1t-1+3X1t-2+4X1t-3+5LnX2+6 X3+1..(3)Dimana:Y = KemiskinanX1t X1t-1 X1t-2 X1t-3= pertumbuhan ekonomi dengan time lag X2= Pengeluaran Pemerintah untuk kemiskinanX3 = Distribusi pendapatan0 = Konstanta = koefisien regresi 1 = error term

3.3 Metode AnalisisMetode yang digunakan dalam peneltian ini adalah metode regresi berganda. Untuk memudahkan dalam menganalisis data maka penelitian ini menggunakan bantuan software SPSS.3.4 Uji Kesesuaian1. R2 (koefisien determinan) ditujukan untuk melihat kerikatan antara variabel bebas dan variabel terikat2. T-test dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi koefisien regresi. Jika hasilnya t hitung>t table maka H0 ditolak dan H1 diterima

3.5 Uji Asumsi Klasik1. Uji MultikolinearitasMultikolinearitas merupakan kondisi dimana terdapat hubungan antara variabel independen (bebas). Untuk itu uji multikolinearitas bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara satu variabel bebas dengan variabel bebas yang lain. Seharusnya model regresi yang baik, tidak terdapat hubungan antara variabel bebas.3.6 Defenisi OprasionalDefenisi oprasional dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui batasan variabel yang ingin diteliti. Untuk itu defenisi oprasional variabel dalam penelitian ini adalah:1. Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan jumlah output yang diproduksi dalam suatu negara pada suatu periode tertentu yang diukur dengan GDP harga konstan dari tahun 1980-20102. Kemiskinan adalah jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (pengeluaran 2.100 kalori/hari) dari tahun 1980-20103. Ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi dimana jumlah penduduk yang memiliki pendapatan tinggi lebih besar proporsinya dibandingkan jumlah penduduk yang berpendapatan rendah (diukur dari rasio gini) dari tahun 1980-2010.4. Pengeluaran pemerintah untuk kemiskinan adalah jumlah uang yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menekan angka kemiskinan dari tahun 1980-2010.

BAB IVGAMBARAN UMUM INDIKATOR PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA

4.1 Fluktuasi pertumbuhan ekonomi IndonesiaPasca transisi politik dari masa pemerintahan Soeharto yang dikenal dengan masa Orde baru menuju pemerintahan reformasi. perekonomian Indonesia mulai mengalami perbaikan yang fundamental. Salah satu indkator makro ekonomi Indonesia yang mengalami perbaikan adalah pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini dengan jelas digambarkan oleh beberapa instansi pemerintah (BPS dan Bank Indonesia). Setelah dihantam badai krisis pada tahun 1997-1998 yang berimprlikasi pada penurunan angka perumbuhan ekonomi yang menyentuh angka -13% pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami ekspansi meskipun dalam perjalanannya cenderung fluktuatif tapi secara rata-rata mengalami peningkatan.Pengalaman buruk pada saat pemerintahan Orba mewariskan beberapa permasalah ekonomi, termasuk bagaimana memepercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sampai saat ini kondisi tersebut mengalami fluktuasi yang cukup signifikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, apalagi Indonesia mengalami determinisme ekonomi terhadap beberapa Negara maju. Kontraksi perekonomian global tidak dapat dihindari memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2009. Hal itu menyebabkan ekspor yang mencatat pertumbuhan negatif sejalan dengan dampak kontraksi pertumbuhan ekonomi dunia. Perlambatan ekonomi domestik akibat kontraksi ekspor tersebut serta suku bunga perbankan yang masih tinggi pada gilirannya berkontribusi pada melambatnya pertumbuhan investasi. Dengan penurunan ekspor dan investasi tersebut, pertumbuhan ekonomi tahun 2009 secara umum banyak ditopang oleh kegiatan konsumsi domestik, baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah. Peran konsumsi secara keseluruhan masih mampu menopang kegiatan ekonomi Indonesia tahun 2009 untuk tetap tumbuh positif sebesar 4,5%. Meskipun lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar 6,1%, pertumbuhan ekonomi tahun 2009 masih lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan awal tahun 2009 sebesar 4,0%.19 Pertumbuhan ekonomi tahun 2009 juga lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi negara lain yang sebagian besar mencatat kontraksi.(Bank Indonesia)Meskipun gambaran untuk tahun 2009 pertumbuhan ekonomi masih cukup kuat untuk bertahan ditengah pengaruh negatf krisis keuangan global namun beberapa pola yang negatif pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kontribusi sektor kunsumsi yang menopang 50% PDB Indonesia membawa pengaruh buruk. Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor konsumsi dapat disebut pertumbuhan ekonomi semu karena sektor tersebut tidak produktif. Sebaiknya pertumbuhan ekonomi ditopang oleh sektor produksi atau sektor investasi (PMTDB) yang jelas memberikan efek multiplier yang besar. Investasi diprakirakan meningkat dan tumbuh sebesar 10,0%-10,5% pada tahun 2010, terutama sebagai respons dari kuatnya konsumsi dan solidnya kinerja ekspor. Prospek investasi tersebut didorong oleh berbagai faktor lainnya, antara lain tetap terjaganya stabilitas makroekonomi, potensi perbaikan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade, perbaikan iklim investasi dan birokrasi pemerintahan, serta besarnya potensi pasar di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara.Pada Triwulan I-2010, sektor ekonomi yang memiliki peranan terbesar adalah sektor industri pengolahan yaitu sebesar 25,4 persen, diikuti oleh sektor pertanian sebesar 16,0 persen, Sektor Perdagangan-Hotel-Restoran sebesar 13,9 persen, dan Sektor Pertambangan-Penggalian 11,2 persen, serta Sektor Konstruksi sebesar 10,0 persen. Secara keseluruhan kelima sektor tersebut mempunyai andil peranan sebesar 76,5 persen dalam PDB. Sedangkan empat sektor lainnya mempunyai peran masing-masing kurang dari 10 persen. Sementara itu peranan seluruh sektor ekonomi tanpa migas pada triwulan I-2010 sebesar 91,8 persen.4.1a Gambar Pertumbuhan ekonomi dari supply side dan demand side

Sumber: Kementerian keuangan

Sumber: Bank Indonesia4.2 Kondisi pemeretaan pendapatan/distribusi pendapatanSalah satu indicator pembangunan yang juga mengalami kondisi yang stagnan adalah distribusi pendapatan. Perbaikan distribusi pendapatan yang diukur dengan angka rasio gini menunjukkan belum adanya perbaikan minimal 5 tahun terakhir. Ini menujukkan bahwa pembangunan cenderung dinikmati oleh sebagian kalangan (orang kaya). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat Indonesia yang diukur menggunakan rasio gini (gini ratio) pada 2010 masih tinggi, yaitu pada level 0,331, meskipun telah membaik jika dibandingkan dengan pada 2009 di posisi 0,357.Data BPS menunjukkan perbaikan pendapatan hanya terjadi di perkotaan, dari 0,362 pada 2009 menjadi 0,352 pada 2010. Sebaliknya, ketimpangan pendapatan masyarakat di perdesaan justru semakin melebar dengan rasio gini sebesar 0,297, naik dari posisi 2009 yang mencapai 0,288. Sementara itu, jika dibandingkan dengan posisi 5 tahun terakhir yang berada di level 0,343, rasio gini pada tahun ini relatif tidak menunjukkan perubahan signifikan (Agus Supriadi).Pola distribusi yang menetes dari atas kebawah (trickle down effect) sepertinya mengalami stagnasi. Pendekatan dalam distribusi yang digunakan pada masa Orde baru nampaknya sampai saat ini belum mampu melakukan perbaikan dalam kesetraan yang dnikmati oleh masyarakat terkait pembangunan ekonomi. Ini disebebkan karena distribusi alat-alat produksi lebih banyak dikuasai oleh sebagian orang saja. Perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi terutama kepemilikan barang modal (capital stock). Pihak (kelompok masyarakat) yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula.Pada tahun 1969 1970, Gini cooficient pengeluaran konsumsi per kapita di pedesaan Indonesia 0,34, yang mengindikasikan tingkat ketidakmerataan yang sangat tinggi di pedesaan. Hal ini sedikit lebih rendah di daerah perkotaan, dimana berdasarkan survey tentang biaya hidup pada tahun 1968 969 menunjukan bahwa Gini coefficient pendapatan rumah tangga sebesar 0.4 di Jakarta, Manado dan Yogyakarta, walaupun Gini cooficient di Bandung dan Surabaya, dan kebanyakan kota besar diluar jawa lebih rendah. Kesenjangan pengeluaran juga meningkat antara 1969-1970 hingga 1976, baik di perkotaan maupun pedesaan (Mizan Asnawi dkk). 4.3 Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Untuk Pengentasan KemiskinanUntuk melihat sejauh mana tingkat keseriusan pemerintah untuk meneyelaikan masalah kemiskinan beberpa indkator dapat dijadikan dasar peniliaian, salah satunya adalah seberapa besar pengeluaran pemerintah yang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan. Data yang dirilis oleh Bappenas menunjukkan setidaknya 10 tahun terakhrir pengeluartan pemerintah untuk pengentasan kemiskinan mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Setidaknya perkembangan pengeluaran pemerintah rata-rata diatas 100% selama tahun 2004-2010. Ini tentu menunjukkan keseriusan pemerintah untuk menelesaikan masalah kemiskina di Indonesia.Setidaknya dengan anggaran yang mengalami peningkatan, pemerintah dapat membuat berbagai program pengetasan kemiskinan baik yang bersifat jangka panjang maupun jangkan pendek. Terhitung dari sejak rezim Orde Baru ada beberapa program pengentasan kemiskina yang dilakukan. Misalnya program Inpres Desa tertinggal (IDT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang menekankan pada pentingnya pemerina dana bergulir kepada masyarakat melalui pemebrian dana secara langsung. Selain itu ada juga Program Pengembangan Kawasan Desa-Kota Terpadu dimana program ini bertujuan untuk mengembangkan desa yang memiliki potensi ekonomi yang besar namun masih mengalami ketertinggalan. Ditambah lagi beberpa program yang sampai saat ini masih dijlankan, misalnya Bantuan Langsung Tunai, Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Sekolah Gratis, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) yang menjadi wadah untuk semua program pengentasan kemiskian. Banyaknya program yang dibuat dan fokus pemerintah untuk membentuk berbagai lemabaga non kementrian menunjukkan bahwa masalah kemiskinan harus mendapat perhatian yang khusus. Namun sampai saat ini angka kemiskinan masih diatas 30 juta orang miskin. Sejak masa reformasi pegetasan kemiskinan di Indonesia mengalami pelambatan. Artinya semua program yang direncanakan pemerintah belum maksimal dalam menurunkan angka kemiskinan. 4.1TabelData Pengeluaran pemerintahTahunJumlah Anggaran (Rp. Trilyun)Persentase Kenaikan Anggaran (%)

200418

20052327,8

200642133,3

200756211,1

200862244,4

200966,2267,8

201094422,2

201186377,8

4.4 Gambaran Umum kemiskinan IndonesiaPada dekade 1990-an pemerintah memunculkan kembali program pengentasan kemiskinan, diantaranya Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT), Tabungan Kesejahteraan Keluarga (Takesra) dan Kredit Keluarga Sejahtera (Kukesra). Adanya program-program tersebut dan program pembangunan lainnya secara perlahan-lahan mampu menurunkan angka kemiskinan. Akan tetapi dengan timbulnya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997, telah menyebabkan bertambahnya penduduk miskin. Akibat krisis ekonomi yang terus berkelanjutan, sampai dengan akhir tahun 1998 jumlah penduduk miskin telah menjadi 49,5 juta jiwa atau sekitar 24,2 % dari jumlah penduduk Indonesia. Perlu dicatat bahwa peningkatan jumlah penduduk miskin tersebut tidak sepenuhnya terjadi akibat krisis ekonomi, tetapi juga dikarenakan perubahan standar yang digunakan (BPS, 2003:575).Laporan Bank Dunia memberikan apresiasi Indoensia sebagai negara yang berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dimana tingkat kemiskinan di Indonesia telah berhasil diturunkan dari sekitar 40% pada tahun 1976 menjadi sekitar 11% pada tahun 1996 berdasarkan data Badan Pusat Statistik. Perhitungan Bank Dunia juga menunjukkan hal yang sama dimana persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan 1 dolar PPP per kapita per hari turun dari 20,6% pada tahun 1990 menjadi 7,8% pada tahun 1996. Akan tetapi ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, tingkat kemiskinan kemabali meningkat. Berdasarkan data BPS, pada tahun 1998 tingkat kemiskinan tercatat sebesar 24,2% yang utamanya disebabkan oleh meroketnya harga-harga komoditas baik makanan maupun non-makanan.Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar pembangunan ekonomi yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun termasuk Indonesia. Permasalahan pembangunan di Indonesia tersebut ditandai dengan jumlah penduduk miskin yang meningkat tajam menjadi 39,05 juta jiwa (17,75 persen) pada tahun 2006. Penduduk miskin meningkat 3,95 juta jiwa dari tahun sebelumnya dimana sebagian besar penduduk miskin berada di daerah pedesaan.Jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia cenderung menurun selama periode 1998-2011 menjadi prestasi tersendiri untuk pemerintah. Pada tahun 1998, persentase penduduk miskin tercatat sebanyak 24,23 persen (49,5 juta orang). Tingginya angka kemiskinan tersebut dikarenakan krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997 yang berakibat pada meroketnya harga-harga kebutuhan dan berdampak parah pada daya beli penduduk miskin. Sejalan dengan harga-harga kebutuhan yang kembali menurun, angka kemiskinan juga menurun. Selama periode 19992002 jumlah penduduk miskin menurun sebanyak 9,57 juta orang dari 47,97 juta orang (23,43 persen dari total penduduk) menjdi 38,4 juta orang (18,2 persen dari total penduduk). Angka kemiskinan terus menurun dan mencapai 35,1 juta orang (15,97 persen dari total penduduk) pada tahun 2005. Sebagai akibat dari kebijakan pemerintah menaikkan harga minyak pada tahun 2005 yang berdampak pada meningkatnya harga-harga kebutuhan dasar, kemiskinan tercatat meningkat menjadi 17,75 persen (39,3 juta orang) pada tahun 2006, atau meningkat sebanyak 4,2 juta orang dibanding tahun 2005. Meskipun demikian selama periode 20072011, angka kemiskinan kembali turun. Pada tahun 2007, penduduk miskin tercatat sebanyak 37,17 juta orang (16,58 persen). Beberapa program pemerintah yang ditujukan bagi penduduk miskin dijalankan pemerintah secara internsif sejak tahun 2005 memiliki dampak positif terhadap penurunan angka kemiskinan. Hal ini dapat dilihat pada terus menurunnya angka kemiskinan, baik dalam jumlah maupun persentase penduduk miskin. Pada 2011, persentase penduduk miskin tercatat menurun menjadi 12,49 persen (30,02 juta orang) (Badan Pusat Statistik). Secara umum angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi. Jika dibandingkan dengan beberpa Negara tetangga Indoensia termasuk Negara yang lambat dalam proses pengentasan kemiskinan. Faktor eksternal lebih banyak menyebabakan lambatnya proses pengetasan kemiskinan seperti krisis moneter dan kenaikan harga minyak dunia yang berpengaruh pada daya beli manyarakat. Untuk itu perhatan pemeritnah seharusnya tertuju untuk mengantisipasi masalah eksternal yang berdampak pada perekonomian Indonesia.

BAB VHASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah dan distribusi pendapatan terhadap kemiskinanUntuk menjelaskan tentang bagaimana signifikansi hubungan antara variabel independen (pertumbuhan ekonomi) terhadap variabel dependen (kemiskinan) maka dilakukan analisis regresi berganda. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan regresi linear dan dilakukan dalam beberapa tahapan untuk mendapatkan hasil hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Hasil regresi tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:ModelUnstandardized CoefficientsStandardized CoefficientstSig.

BStd. ErrorBetadfFSig.

(Constant1)91.98374.211.2390.22961.479.233a

X1T-2.2221.027-0.435-2.1650.04221

X1T1-1.5521.131-0.304-1.3720.18527

X1T2-0.6371.023-0.127-0.6230.54

X1T3-0.2660.994-0.055-0.2680.791

X2-0.0010.017-0.015-0.0770.939

X387.401238.6110.090.3660.718

Hasil analis korelasi yang diperoleh dari pengolahan data menunjukkan korelasi antara pertumbuhan ekonomi pada periode waktu tertentu terhadap kemiskinan diperoleh R2 = 0,297. Angka ini menunjukkan bahwa variabel pengentasan kemiskinan yang dapat dijelaskan oleh persamaan regresi sebesar 29,7% sedangkan selebihnya yaitu 71% dijelaskan oleh variabel diluar persamaan model ini. Nilai R sebesar 0,541 menunjukkan pengaruh antara variable, pertumbuhan ekonomi terhadap angka kemiskinan memiliki pengaruh yang kuat.

5.2.Analisis dan Pembahasan Pengujian Hipotesis Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah apakah variable pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Terkait dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini maka kemudian dibangun sebuah hipotesis yang hendak diuji melalui dalam penelitian ini, yaitu apakah variable pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan.Untuk membuktikan hipotesis tersebut maka akan digunakan uji serempak (uji F) dan uji parsial (uji t). Uji serempak dimaksudkan untuk mengetahui bahwa variable independen secara serempak mempengaruhi penurunan angka kemiskinan. Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan antara nilai F hitung dengan nilai F table pada = (0,05). Sedangkan untuk uji T digunakan untuk mengetahui apakah masing-masing variable independen berpengaruh secara parsial terhadap varabel dependen. Pengejian ini dilakukan dengan membandingkan antara T hitung dengan T table pada = 0,05. Berikut hasil pengujian hipotesis:

1. Pada hasil regresi diatas menunjukkan bahwa F hitung sebesar 1,479 dan F tabel sebesar 1,84. Hasil tersebut menunjukkan bahwa, pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah dan distribusi pendaptan secara serempak tidak berpengaruh signifkan terhadap kemiskinan. Ini ditunjukkan dari Fhitung < Ftabel (1,497Ttabel (2,165 >1,697). Artinya hipotesis dari penelitian ini yang mengatakan bahwa ada pengaruh yang negatif dan signifikan antara pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan diterima .3. Pada variable pertumbuhan ekonomi Time lag satu tahun diperoleh nilai 1,372 sementara t table 1,697. Artinya untuk variable pertumbuhan ekonomi pada time lag ini secara parsial berpengaruh terhadap kemiskinan tidak signifikan pada periode waktu 1983-2010. Ini dapat dilihat dari Thitung < Ttabel (-1.372