Contoh Proposalcontoh proposal kajaian seni

download Contoh Proposalcontoh proposal  kajaian seni

of 101

description

merupakan sebuah contoh format proposal tugas akhir pengkajian seni

Transcript of Contoh Proposalcontoh proposal kajaian seni

PROPOSAL DISERTASI

CONTOH PROPOSALJUDUL; Model Pendidikan Seni Ukir Pada Sanggar Tradisional Di Pandai Sikek Tanah DatarBAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahPendidikan, sebagai salah satu pilar pengembangan sumber daya manusia (SDM) bermakna strategis bagi pembangunan nasional, karena masa depan bangsa sangat bergantung pada penyelenggaraan pendidikan masa kini. Sejauh mana pendidikan itu diselenggarakan menjadi tolok ukur penyiapan generasi penyambut tongkat estapet pembangunan. Menurut Ki Hajar Dewantara Mendidik anak itulah mendidik rakyat. Keadaan dalam hidup dan penghidupan kita pada zaman sekarang itulah buahnya pendidikan yang kita terima dari orang tua pada waktu kita masih kanak-kanak. Anak-anak yang pada waktu ini kita didik kelak akan menjadi warga negara kita (Prayitno, 2005:1) Sejalan dengan itu, Mukhtar Buchori (2001:23) menyatakan bahwa Apa yang terjadi dengan bangsa kita di masa depan, sangat tergantung kepada apa yang kita lakukan sekarang ini terhadap cara-cara kita mendidik generasi muda, dari pendidikan tingkat TK sampai ke pendidikan tingkat Perguruan Tinggi

Melalui semua jenjang pendidikan tersebut, kelangsungan hidup suatu bangsa dapat terjamin sebab pendidikan tidak hanya berfungsi untuk how to know, how to live together, dan how to do, tetapi yang amat penting how to be. Oleh karena itu diperlukan transformasi nilai-nilai pendidikan (Daulay, 2007). Dengan demikian, memaknai pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia harus fokus pada pengembangan potensi manusia itu sendiri, bukan hanya fokus pada pengajaran. Pernyataan memanusiakan manusia seakan-akan menyatakan bahwa sebelum memasuki proses pendidikan peserta didik belum menjadi manusia. Pada hal peserta didik adalah manusia, makhluk yang paling sempurna dari sekian makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sumber daya manusia. Berbagai bentuk pendidikan yang telah dilakukan bangsa Indonesia bertujuan untuk membangun sumber daya manusia, melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal. Penyelenggaraan pendidikan formal dilakukan mulai dari pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi. Dalam undang-undang sistem pendidikan nasional, jalur pendidikan formal terdiri atas pendidikan anak usia dini, berbentuk Taman Kanak-kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA); pendidikan dasar, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Setelah pendidikan dasar dilanjutkan dengan pendidikan menengah yang terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah umum berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA), dan pendidikan menengah kejuruan seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). Pendidikan nonformal berbentuk kursus-kursus singkat (non-ijazah) dan pelatihan-pelatihan terorganisir yang dilaksanakan di luar sistem pendidikan formal. Sedangkan pendidikan informal merupakan pendidikan sepanjang hayat di mana individu memperoleh pengetahuan, norma-norma, dan keterampilan melalui keluarga, tetangga, dan media masa.

Sarana jenis-jenis pendidikan tersebut terkait dengan upaya untuk mengarahkan peserta didik untuk mencapai tahapan yang lebih tinggi dari ketidaktahuan dan kebodohan. Pendidikan tidak sekedar mengumpulkan dan mengoleksi ijazah sebagai tanda lulus, melainkan agar potensi peserta didik dapat dikembangkan dan setelah mengikuti proses pendidikan dia lebih cerdas, lebih terampil, lebih mampu mengendalikan diri, lebih bertanggungjawab, dan berakhlak mulia. Parameter penyelenggaraan pendidikan nasional semestinya tidak sampai melunturkan semangat yang lebih mulia dari sekedar untuk memperoleh tanda lulus dari negara. Ada kecenderungan pendidikan sekarang ini bersifat serimonial belaka dan lari dari substansi pendidikan itu sendiri, sehingga terkesan bahwa pendidikan sekedar rutinitas belajar. Diawali pada setiap awal tahun ajaran dengan merima murid baru, melakukan proses pembelajaran sesuai jadwal, evaluasi kenaikan kelas, proses pembelajaran lagi, dan evaluasi akhir (Ujian Nasional) dan pada akhirnya kepada peserta didik yang lulus diberikan ijazah.

Dengan kondisi seperti itu, pantas akhir-akhir ini gugatan terhadap penyelenggaraan pendidikan persekolahan menjadi lazim terdengar, baik dari kalangan masyarakat, politisi, maupun dari akademisi atau pakar pendidikan sendiri. Berbagai gugatan itu sehubungan dengan tidak baiknya penyelenggaraan pendidikan. Mulai dari gugatan sarana prasarana yang tidak memadai, muatan materi dan pembelajaran yang tidak seimbang antara aspek kognitif dengan aspek lainnya, kualitas atau mutu pendidikan yang masih rendah, kualitas pendidik yang tidak merata antara perkotaan dengan pedesaan, sampai dengan seringnya pelajar melakukan tindakan amoral dan kriminal. Selain itu, ada pernyataan yang keras bahwa pendidikan persekolahan kita melahirkan pengangguran yang sistematis. Gugatan itu tentu terkait dengan kesadaran dan pemahaman masyarakat yang makin tinggi bahwa pendidikan memiliki nilai strategis dan urgent dalam pembentukan karakter bangsa. Kesadaran bahwa melalui pendidikanlah dapat diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki suatu bangsa.

Sebetulnya inti dari pendidikan ada dalam perjalanan hidup manusia karena manusia ingin mencapai hidup yang maju, yang lebih baik dan lebih layak. Dalam hal ini maka pendidikan menjadi komponen penting bagi manusia dalam melangsungkan hidupnya dengan melestarikan dan mengembangkan kebudayaannya, di mana nilai-nilai pendidikan dan kebudayaan tidak sekedar dibicarakan tetapi juga dipraktekkan.

Bila membicarakan pendidikan dan kebudayaan sebenarnya telah ada pegangan kuat yakni Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan nasional harus dilandasi kebudayaan nasional. Demikian juga dalam PP No 29 tahun 1990 tentang Wawasan Wiyatamandala dinyatakan bahwa pendidikan haruslah berdasarkan kebudayaan. Namun menurut HAR Tilaar (2000) tidak ada upaya yang jelas dan konkrit baik peraturan-peraturan maupun implementasinya bahwa pendidikan nasional berakar kepada kebudayaan nasional, sehingga betapa pendidikan nasional kita telah tercabut dari akar kebudayaannya.

Ketidaktercabutan dari akar budaya bukan berarti suatu 'tradisi' harus dipertahankan dengan cara tertutup atau defensif. Pelestarian budaya tradisi tidak berarti wujud fisiknya tidak bisa berubah dan berkembang, walau dalam tataran ide atau nilai-nilainya patut dipertahankan. Menurut Peursen (1988:11-15) tradisi bukanlah sesuatu yang tak dapat diubah; tradisi justru dipadukan dengan keanekaragaman perbuatan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya. Ia juga menyatakan bahwa kebudayaan merupakan cerita tentang perubahan; riwayat manusia yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang sudah ada. Manusialah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu: ia menerimanya, menolaknya, atau mengubahnya. Kebudayaan merupakan ketegangan antara imanensi dengan transendensi sehingga dapat dipandang sebagai ciri khas dari kehidupan manusia. Hidup manusia berlangsung di tengah-tengah arus proses-proses kehidupan (imanensi), tetapi juga selalu muncul dari arus alam raya itu untuk memiliki alamnya sendiri dan mengubahnya (transendensi).

Sebagai sebuah bangsa yang besar diakui bahwa Indonesia memiliki banyak sekali corak dan ragam budaya. Masing-masing suku di Indonesia memiliki berbagai bentuk kebudayaan baik dalam wujud konsep atau gagasan, aktivitas, dan benda-benda (artefak). Dari berbagai macam corak dan bentuk budaya itu menurut Koentjaraningrat (1999) ada tujuh unsur kebudayaan universal yakni; bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian. Dari tujuh unsur itu, khusus kesenian terdapat pula cabang dan bentuk seni yang dimilki Indonesia. Berbagai macam bentuk dan corak seni baik yang modern maupun tradisional, visual arts, audio arts, dan audiovisual art, seni pertunjukan maupun seni nonpertunjukan (senirupa/kriya) semuanya dimiliki bangsa Indonesia. Sebut saja misalnya cabang seni rupa dan seni kriya maka akan ada seni lukis, patung, mozaik, seni batik, gerabah, anyaman, logam, ornamen, dan seni ukir.

Salah satu suku bangsa Indonesia itu adalah Minangkabau, suku ini memiliki berbagai cabang seni, baik seni pertunjukan maupun nonpertunjukkan, baik seni yang modern maupun yang tradisional. Cabang seni rupa atau seni kriya Minangkabau juga banyak seperti arsitektur, tenun, anyaman, gerabah, dan ukiran. Bahkan ukiran-ukiran Minangkabau tidak saja bernilai estetis juga memiliki makna yang tinggi dan berkaitan dengan falsafah adat Minangkabau yaitu alam takambang jadi guru (alam yang terbentang untuk dipelajari). Misalnya motif ukiran sikambang manih (bunga/akar yang cantik), motif yang diambil dari bentuk alam ini melambangkan wajah ceria dari penghuni rumah atas tamu yang datang. Motif pucuak rabuang (pucuk rebung/bambu muda) melambangkan waktu muda adalah saat yang baik menuju ke atas (Tuhan dan cita-cita) tanpa harus banyak cabang, rebung juga bermakna walaupun masih muda namun tetap bermanfaat. Menurut Ibenzani Usman (1985) seni ukir tradisional pada rumah adat Miangkabau, semuanya menampilkan wujud alam flora, yang tidak berperan sebagai hiasan belaka, melainkan juga sebagai simbol. Hampir seluruh motif-motif ukiran mempunyai makna yang berkaitan dengan falsafah hidup orang Minangkabau dengan samboyan belajar dari alam, semboyan itu sesuai dengan pepatah alam takambang jadi guru. Falsafah ini dapat dibuktikan dari karya sastra lama. Kata-kata yang disusun dalam seni sastra seperti petatah-petitih, pantun, syair, gurindam dan kaba bersumber dari kejadian-kejadian yang dekat dengan kita, yaitu alam (Hakimy, 1996). Selain mempunyai nilai falsafah, maka penempatan seni ukir Minangkabau mempunyai aturan tertentu. Seni ukir Minangkabau dapat dijumpai pada rumah-rumah adat dan rumah-rumah masyarakat, kantor-kantor, dan rumah ibadah (mesjid dan surau). Selain rumah-rumah adat yang memang harus berukir, akhir-akhir ini ada kecenderungan masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik (terutama perantau) membuat rumah gadang yang dengan sendirinya rumah tersebut berukir. Hal itu berkaitan dengan fungsi status sosial pemilik rumah di tengah masyarakat. Seni ukir juga dapat dijumpai pada bangunan perkantoran dan hotel baik milik pemerintah maupun bangunan milik swasta yang membuat gonjong (atap runcing ciri khas Minangkabau). Bahkan seni ukir Minangkabau tidak saja dijumpai pada bangunan yang ada di Sumatera Barat melainkan juga di luar daerah.

Agak berbeda dengan daerah lain, ukiran Minangkabau tidak hanya terdapat pada perabot rumah tangga tetapi lebih banyak dijumpai pada rumah-rumah adat dan bangunan lainya. Ukiran Minangkabau tidak sekedar ornamen hias saja, ia mempunyai makna filosofis dan aturan tata letak. Misalnya motif kaluek paku (relung pakis) bermakna tanggung jawab sosial seseorang di tengah masyarakat baik kewajiban dan hak terhadap anak, kemenakan, dan orang kampung dan bahkan negara. Waktu muda pakis bergelung ke dalam dan setelah tua bergelung ke luar, hal ini bermakna waktu muda periksa diri sendiri terlebih dahulu dan baru memeriksa orang lain, (Ibenzani, 1985). Motif sikambang manih diletakkan pada dinding bagian depan rumah adat. Sikambang manih merupakan julukan untuk gadis cantik yang mulai dewasa. Motif ini bermakna bahwa si penghuni rumah panyuko tamu nan tibo (suka dengan tamu yang datang) atau sebagai simbol dari keramahtamahan masyarakat dalam menerima setiap tamu yang datang, (Sri Sundari, 2000).

Walaupun masing-masing daerah tidak sama persis tata letak motif ukirannya, namun tetap punya ketentuan penempatan motif ukiran. Perbedaan itu sebagai kekhasan masing-masing daerah. Pada awalnya, ada tiga daerah di Sumatera Barat yang menggali dan mengembangkan seni ukir Minagkabau. Ketiga daerah itu secara kultural disebut dengan luhak nan tuo (daerah yang tua/asal) yakni Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Limo Puluh Kota. Masing-masing daerah ini mempunyai style atau gaya masing-masing. Gaya tersebut bukan disebabkan perbedaan motif ornamen akan tetapi pengaruh teknik dan peralatan yang digunakan. Misalnya, ukiran Pandai Sikek Tanah Datar akan tampak lebih runcing karena pengaruh penggunaan pahat layang-layang.

Dari tiga daerah ini muncul tokoh atau guru yang mengajarkan seni ukir pada murid-muridnya. Beliau-beliau itulah yang pertama sekali mengajarkan seni ukir pada muridnya di sanggar-sanggar ukiran. Menurut Ibenzani Usman (1985) ketiga guru atau tokoh seni ukir itu yakni Ramli Dt. Rangkayo Sati lahir 1917 di Pandai Sikek kabupaten Tanah Datar dengan muridnya sebanyak 7 orang, Marzuki Malin Kuniang lahir 1897 di IV Angkek Canduang dengan muridnya berjumlah 5 orang, dan Sabirin Sutan Muncak lahir 1937 di Banuhampu Sungai Puar kabupaten Agam dengan muridnya berjumlah 4 orang.

Untuk saat ini, tidak semua daerah itu yang masih menggali dan mengembangkan seni ukirnya. Daerah yang masih eksis dan cukup baik dalam mewariskan seni ukirnya pada generasi muda hanyalah Pandai Sikek. Seni ukir dari kabupaten Lima Puluh Kota hampir-hampir tidak terdengar lagi (punah), sanggar seni ukir daerah ini termasuk IV Angkek Candung sudah banyak beralih ke usaha perabot. Sedangkan seni ukir di kabupaten Agam amat sedikit upaya regenerasi. Keberlanjutan seni ukir di Pandai Sikek Kabupaten Tanah Datar terus berjalan walaupun tidak sebaik pengembangan seni ukir Bali dan Jepara.

Kesinambungan seni ukir di Pandai Sikek sekarang ini lebih banyak atas inisiatif masyarakat dan sedikit sekali adanya perhatian dan pembinaan dari pemerintah. Perhatian dari pemerintah diberikan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tanah Datar berupa pendataan jumlah sanggar dan pengerajin, pembinaan keindustrian dan perdagangan. Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tanah Datar tahun 2009 terdapat 4 buah sanggar seni ukir di Pandai Sikek dengan jumlah murid (sekaligus pekerja) sekitar 55 orang. Pembinaan yang telah dilakukan berupa pelatihan disain mobiler dan diikutsertakan dalam pameran perdagangan.

Bila dilihat dari ilmu kependidikan, alangkah baiknya pembinaan dan pelatihan bagi pengukir di Pandai Sikek di bawah koordinasi Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Datar. Karena jika pelatihan dilakukan oleh dinas Perindustrian dan Perdagangan ada kemungkinan yang dilakukan tidak menerapkan prinsip-prinsip ilmu kependidikan. Menurut Prayitno (2008) pendidikan tanpa ilmu pendidikan akan mengkerdilkan kehidupan pendidikan, terjadi kecelakaan pendidikan yang melecehkan peserta didik, terhambatnya bahkan hilangnya kesempatan dan hak-hak pendidikan peserta didik. Misalnya seorang pendidik atau pelatih yang tidak memahami pilar high-touch (kewibawaan) tentu tidak memahami perbedaan potensi peserta didik, juga tidak mampu memberikan kasih sayang dan kelembutan, tidak jelas peserta didik harus diberi penguatan, serta tidak tahu kapan tindakan tegas yang mendidik dilakukan. Secara umum jika prinsip-prinsip ilmu kependidikan tidak diterapkan tentu proses pembelajaran (pelatihan), dan pewarisan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam seni ukir bukan saja tidak bernilai budaya, tetapi juga tidak diwariskan kepada genarasi baru.

Di sisi lain diyakini bahwa ada bentuk atau model transformasi keterampilan, pengetahuan, dan filosofi seni ukir oleh guru pada muridnya pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek. Keyakinan itu berdasarkan masih adanya sanggar seni ukir dan masih ada beberapa generasi muda yang tampak mengukir di sanggar-sanggar seni ukir di Pandai Sikek. Sampai saat ini belum ada upaya dinas terkait untuk menelusuri bagaimana model pendidikan atau pelatihan seni ukir sehingga seni ukir Pandai Sikek tatap eksis dan berkembang. Jika hal ini di biarkan terus-menerus ada kemungkinan seni ukir sebagai salah satu kekayaan budaya Minangkabau akan punah, karena semakin hari semakin sedikit saja generasi muda yang mempelajari seni ukir. Pada akhirnya bisa jadi seni ukir Minangkabau tidak lagi dikerjakan oleh putra Minangkabau. Bila hal ini terjadi ada harapan jalan diasak urang lalu, cupak diganti urang panggaleh (jalan ditukar orang yang lewat, takaran diganti oleh si pedagang).

Guru tuo (pakar/ahli) seni ukir Pandai Sikek, Ramli Dt. Rangkayo Sati telah meninggal, dan yang mengajarkan seni ukir itu sekarang adalah murid-muridnya. Bagaimana model, pola, dan cara beliau-beliau mengajarkan keterampilan seni ukir pada muridnya belum diketahui. Menurut informasi dari salah satu murid Ramli Dt. Rangkayo Sati, ia mempunyai kiek-kiek dalam mengajar seni ukir dan kebiasaan beliau itu tidak seluruh dan sepenuhnya diteruskan oleh muri-mridnya. Dahulu ada tahapan-tahapan dan persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh setiap murid dalam belajar seni ukir. Misalnya seorang yang akan belajar seni ukir harus dengan kesadaran penuh dan disarahkan (diantar lansung) orang tua. Pada tahap awal murid seni ukir hanya membantu-bantu pekerjaan di sanggar, terkadang pekerjaan itu tidak berhubung langsung dengan kegiatan mengukir, seperti membersihkan pekarangan rumah guru. Untuk belajar falsafah ukir adakalanya dibawa lansung ke objek, seperti belajar falsafah motif pucuak rabuang maka murid dibawa ke rumpun bambu. Sekarang ini pemebelajaran tidak dilakukan seperti dulu lagi, misalnya untuk mengajarkan falsafah cukup dengan diceramahkan dan didiskusikan sambil mengukir. Cara-cara pembelajaran di sanggar tardisional seperti ini tampak spesifik.

Dari pengamatan terdapat perbedaan pembelajaran seni ukir pada sanggar-sanggar tradisional dengan pembelajaran seni ukir melalui persekolahan. Pembelajaran seni ukir di sanggar tradisional tidak hanya melatihkan keterampilan tetapi juga diajarkan falsafahnya. Pembelajaran pada sanggar seni ukir diajarkan murid sampai pada mampu menjadi tukang ukir atau mengukir layak jual. Sedangkan di sekolah formal hanya mengajarkan keterampilan mengukir sampai pada batas terpenuhi standar kompetensi atau syarat lulus. Artinya pada sekolah formal murid tidak dipersyaratkankan untuk menjadi tukang ukir. Filosofi motif dan penempatan motif ukiran juga tidak diajarkan pada sekolah formal.

Ada beberapa pendidikan formal di Sumetera Barat yang mengajarkan seni ukir yaitu; SMK Negeri 4 Padang, SMK Negeri 8 Padang, SMK Negeri I Ampek Angkek Agam, INS Kayu Tanam, Jurusan Kriya STSI/ISI Padangpanjang, Jurusan Seni Rupa dan Kerajinan UNP. Pembelajaran seni ukir pada pendidikan formal telah ditetapkan tujuan yang akan dicapai setiap semester, dari isian kurikulum dirinci ke dalam satuan pembelajaran mingguan (sekitar 17 kali tatap muka), dibuatkan jadwal belajar/kuliah, dilakukan evaluasi atau ujian, dan diberi nilai. Ada tugas-tugas terstruktur yang diberikan pada peserta didik. Metode mengajar yang digunakan guru/dosen umumnya ceramah dan demonstrasi. Evaluasi dilakukan pada pertengan semester dan akhir semester, kepada peserta didik yang telah memenuhi standar kelulusan diberikan nilai berupa angka atau huruf.

Dari pengamatan selintas, perlakuan di sekolah formal tidak ditemui pada pendidikan nonformal terutama pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek. Pembelajaran berlangsung tanpa terikat dengan jadwal yang telah ditentukan dan juga tidak harus 17 kali pertemuan atau tatap muka. Murid tidak dikelompokkan dalam bentuk klasikal, artinya antara satu murid dengan lainnya dapat berbeda-beda materi yang diberikan walaupun mereka dalam satu ruangan, misalnya ada yang pada taraf pengenalan alat, mulai mengukir kasar (tingkat dasar), dan ada yang taraf halus. Evaluasi tidak ada yang terjadwal dan terstruktur sehingga tidak ada nilai akhir berbentuk huruf atau angka. Akan tetapi sebagai sebuah pendidikan nonformal maka dalam penyelenggaraannya tetap memiliki sistem pembelajaran yang terlembaga. Jika dilihat dari hasil akhir, terutama kemapuan mengukir dan memahami falsafah seni ukir, maka keluaran sanggar tradisional seni ukir lebih terampil dan menguasai falsafah ukiran dibandingkan lulusan sekolah formal.

Sebagai buktinya adalah hasil karya pengukir dari sanggar tradisional Pandai Sikek lebih diminati. Karya-karya mereka tidak saja disalurkan di daerah Sumatera Barat akan tetapi sampai diberbagai daerah Indonesia bahkan sampai ke Malaysia. Hasil karya pengukir dari sanggar ukir tradisional lebih diterima pasar atau konsumen. Jika karya mereka dapat diterima konsumen, maka usaha atau kegiatan seni ukir cukup baik.

Oleh karena orientasi karya dapat diterima pasar maka pembelajaran pada sanggar tradisional di Pandai Sikek menyentuh aspek ekonomi. Artinya kegiatan pembelajaran tidak hanya pada aspek keterampilan seni ukir dan pewarisan nilai-nilai budaya, tetapi sekaligus diajarkan enterpreneurship. Dengan demikian murid yang telah menguasai keterampilan seni ukir ia akan mandiri, karena keterampilan yang dimilikinya perlu dan bermanfaat untuk dirinya bahkan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pasal 1 ayat 1 Undang-undang No 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan adalah... agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki ... keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Sehubungan dengan banyaknya aspek yang dapat digali dari seni ukir, maka pewarisan dan pengembangannya sangat diperlukan. Telah ada beberapa peneliti dan penulis yang meneliti tentang seni ukir Minangkabau dan seni ukir daerah lainnya. Marjani Martamin dan Amir B (1978) meneliti Ukiran Rumah Adat Minangkabau dan Artinya. Dalam laporan penelitiannya dijelaskan berbagai bentuk motif ukiran yang terdapat pada rumah adat Minangkabau. Penjelasan motif itu terkait dengan nama-nama motif ukiran, jenis motif ukiran, dan arti motif ukiran. Selain menjelaskan motif yang lazim dalam ukiran pada rumah adat Minangkabau, dalam penelitian ini juga disebutkan nama-nama motif Minangkabau yang tidak ditempatkan pada rumah adat. Ibenzani Usman (1985) Seni Ukir Tradisional Pada Rumah Adat Minangkabau: Teknik, Pola, dan Fungsinya. Dalam disertasi ini hanya membahas tentang teknik yang meliputi tentang penggunaan bahan, alat, dan cara yang berorientasi kepada sistem penalaran Minangkabau (alur dan patut), tentang pola-pola motif seni ukir Minangkabau, dan fungsi ukiran pada rumah adat Minangkabau. Sri Sundari (2000) meneliti Seni Ukir Pandai Sikek Dalam Masyarakat Minangkabau yang Berubah dibahas bahwa ukiran Pandai Sikek tidak hanya untuk rumah adat saja, sekarang sudah untuk kantor, toko, restoran, rumah pribadi, perabot rumah tangga, dan cenderamata. Perubahan itu seiring dengan masuknya pariwisata di Sumatera Barat. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perubahan disebabkan motif ekonomi. SP Gustami (2000) meneliti Seni Kerajinan Mebel Ukir Jepara Kajian Estetik Melalui Pendekatan Multidisiplin. Penelitian ini dilakukan tahun 1999 dan dicetak menjadi buku tahun 2000 yang membicarakan tentang; (a) sejarah perkembangan seni ukir Jepara mulai dari zaman Belanda sampai zaman orde baru dengan berbagai persoalan sosial, politik, ekonomi, budaya dan kehidupan beragama, (b) peran tokoh-tokoh wanita dalam perkembangan seni kerajinan khususnya seni ukir, seperti peran R.A. Kartini dan Tien Soeharto, (c) proses pelembagaan dan pembauran gaya seni yang berkaitan dengan mebel ukir Jepara, sehingga hadirnya berbagai macam ragam hias, jenis produk, pola penerapan ornamen, teknik mengukir, keragaman disain, dan bentuk mebel yang diproduksi, (d) eksistensi produk mebel ukir Jepara dari lokal menjadi pemasaran global, dan (e) pola perkembangan dan penyebaran yang berkaitan dengan tradisi pewarisan keahlian, pembiasan prilaku perajin, pembinaan dan pengembangan mebel ukir Jepara. Harisman (2001) meneliti Ukiran Masjid Tradisional Minangkabau di Tanah Datar, Propinsi Sumatera Barat; Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna. Dalam tesis ini dijelaskan bahwa bentuk ukiran pada masjid tradisional di Minangkabau tersusun dari kesatuan, kompleksitas, dan intensitas yang merujuk pada pola ukiran rumah adat. Dijelaskan juga bahwa fungsi ukiran merupakan media pendidikan, media pengalaman estetis, pengintegrasian masyarakat, dan fungsi keindahan sebagai kebutuhan masyarakat. Penjelasan pada makna dikaitkan pada persoalan kearifan tradisional dalam kehidupan masyarakat Minangkabau yang tersimpul sebagai makna denotatif dan konotatif. Suardi (2000) meneliti Studi Tentang Ukiran Tradisional Pada Bangunan Masjid di Kabupaten Kerinci. Temuannya menjelaskan bahwa ukiran pada bangunan Masjid di Kerinci menggunakan bentuk motif tumbuh-tumbuhan, geometris dan bentuk gabungan tumbuh-tumbuhan dan geometris. Penyusunan dengan pilin ganda, lingkaran, simetris dan asimetris. Penampang ukiran segi tiga, datar dan gabungan segi tiga, datar dan miring. Penggolongan nama motif berasal dari nama tumbuh-tumbuhan, binatang dan alam benda, perwujudan merupakan stilirisasi dan meniru sifat asal nama motif tersebut. Makna motif dikaitkan dengan adat, agama, sosial budaya, dan sosial masyarakat pendukungnya. Ukiran menggunakan teknik ukiran tembus, rendah dan utuh. Nofrial (2009) meneliti Seni Ukir Rumah Larik Kerinci; Kajian Estetika dan Budaya. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa secara budaya Kerinci dikelompokkan atas hulu, tengah dan hilir, masing-masingnya memiliki rumah larik yang berukir. Daerah tengah dan hilir lebih kaya seni ukirnya dibandingkan daerah hulu, baik dari jumlah motif, warna dan teknik penggarapan. Akan tetapi motif ukiran mereka sama yakni, sama-sama mengambil bentuk tumbuh-tumbuhan dan geometris, serta unsur atau nama binatang. Dalam hal teknik pembuatan juga hampir sama, yang menghasilkan bentuk ukiran garis, ukiran rendah, ukiran sedang, dan ukiran tinggi, serta sama-sama tidak terdapat ukiran tembus. Beberapa hasil penelitian di atas tidak ada yang membahas lansung tentang model pendidikan atau cara mengajarkan keterampilan mengukir pada generasi selanjutnya. Oleh karena belum adanya penelitian dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan bagaimana seni ukir diajarkan, maka perlu adanya penelitian tentang model pendidikan seni ukir. Hal ini agar seni ukir Minangkabau khususnya seni ukir Pandai Sikek tidak hilang dan jika perlu dapat berkembang. Penelitian ini nanti diharapkan dapat mengukapkan cara mengajarkan seni ukir baik dari segi keterampilan maupun nilai-nilai yang terdapat di dalamnya kepada generasi muda. Model pendidi seni ukir pada sanggar tradisional yang ada di Pandai Sikek menjadi menarik dan perlu untuk diteliti, karena pewarisan seni ukir daerah ini tetap eksis dan lebih baik dari daerah lain di Sumatera Barat. Bagaimana model yang dilakukan dalam pewarisan seni ukir di Pandai Sikek sehingga dapat bertahan menjadi bahan perbandingan untuk daerah-daerah lain. Pendidikan seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek juga dapat menjadi model dalam pengembangan cabang-cabang seni lainnya.

B. Identifikasi Masalah

Dari konteks penelitian yang telah dilakukan tentang seni ukir dan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, ternyata banyak persoalan dan masalah yang timbul. Berbagai permasalahan itu terkait dengan model pembelajaran seni ukir pada sanggar tradisonal di Pandai Sikek Sumatera Barat. Agar permasalahan itu lebih fokus pada pembelajaran seni ukir di sanggar tradisional Pandai Sikek, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut;

1. Sanggar seni ukir di Pandai Sikek telah ada semenjak beberapa puluh tahun yang lalu. Saat ini ada 4 sanggar seni ukir yang masih aktif dengan sekitar 55 orang murid. Guru yang pertama mengajarkan seni ukir telah meninggal dunia, pendidikan seni ukir dilakukan oleh sebahagian generasi ke dua yang telah mendirikan sanggar dan menjadi guru seni ukir. Bahkan ada juga generasi ketiga yang telah mendirikan sanggar dan menjadi guru seni ukir. Apakah sama model pendidikan yang diberikan oleh semua guru seni ukir pada sanggar-sanggar tradisional di Pandai Sikek? Apakah model pendidikan yang diterima ketika mereka jadi murid sama dengan yang diberikan ketika mereka jadi guru seni ukir? Adakah terdapat inovasi dalam pendidikan seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek?

2. Guru atau pendidik pada sekolah formal telah dibekali dengan ilmu kependidikan, dan bahkan dilakukan penyegaran dengan berbagai pelatihan, penataran, workshop tentang cara mendidik. Guru bahkan juga dituntut untuk profesional terutama dalam ilmu kependidikan. Sedangkan guru seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek tidak tamatan lembaga kependidikan. Bagaimana model guru pada sanggar tradisional di Pandai Sikek mentransformasi keterampilan dan ilmu seni ukir pada muridnya? Sejauhmana komponen high-touch dan high-tech diterapkan pada pendidikan seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek?

3. Materi pendidikan seni ukir pada sekolah formal telah dituntun dengan kurikulum dan silabus. Guru memberikan materi dalam beberapa semester agar murid menguasai materi sehingga terampil dalam mengukir. Pada tahap awal pada pendidikan formal murid diperkenalkan dengan bahan dan alat, dijelaskan berbagai motif, kemudian mengukir dasar, dan setelah itu baru pemberian tugas-tugas. Pada pendidikan formal ada kompetensi tertentu yang harus dicapai atau dengan istilah kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Pada sanggar seni ukir tentu juga ada kurikulum dan tahapan-tahapan tertentu sehingga murid mampu menjadi ahli ukir. Bagaimana model kurikulum seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek? Apakah ada pentahapan-pentahapan materi atau kompetensi tertentu yang diberikan guru? Apa saja materi pelajaran seni ukir yang diberikan guru pada tahap awal? Kapan materi filosofi seni ukir diberikan pada murid?

4. Dalam pendidikan formal dilakukan evaluasi guna menentukan berhasil atau tidaknya pelaksanaan pembelajaran. Ada acuan evaluasi, ada teknik evaluasi, dan waktu pelaksanaan evaluasi bisa dilakukan diawal, dipertengahan dan pada akhir kegiatan. Hakikatnya evaluasi untuk mendapatkan sejauh mana penguasaan murid atas materi yang telah disajikan. Pada sanggar seni ukir tradisional Pandai Sikek tentu ada bentuk evaluasi yang diberikan sehingga murid dapat diberikan materi selanjutnya. Bagaimana model evaluasi seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek?

Diyakini masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang patut dikemukakan dan dapat diteliti sehubungan dengan model pendidikan seni ukir pada sanggar tradisonal di Pandai Sikek. Namun demikian agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka perlu dilakukan pembatasan masalah.

C. Fokus MasalahBerdasarkan tinjauan tentang pentingnya pewarisan seni ukir sebagai salah satu kekayaan budaya dan upaya mentransformasikan keterampilan mengukir pada generasi selanjutnya banyak permasalahan yang muncul. Dari sekian banyak permasalahan tersebut maka penelitian ini difokuskan pada bagaimana model pendidikan seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek yang tercakup pada; (1) tahapan proses pembelajaran (pre, while, dan post), (2) materi-materi ajar yang diberikan, (3) penerapan high-touch dan high-tech dalam proses pembelajaran, dan (4) evaluasi hasil belajar untuk dapat ditentukan sebagai pengukir layak jual.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan maka rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut;

1. Bagaimana pentahapan proses pembelajaran seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek?

2. Bagaimana bentuk-bentuk materi ajar seni ukir yang diberikan setiap tahapan pada sanggar tradisonal di Pandai Sikek?

3. Sejauhmana penerapan komponen high-touch dan high-tech dalam proses pembelajaran seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek?

4. Bagaimana bentuk evaluasi hasil belajar yang dilaksanakan pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek?

E. Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, yakni;

1. Untuk mengetahui pentahapan proses pembelajaran seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek.

2. Untuk mengungkap bentuk-bentuk materi ajar seni ukir yang diberikan pada setiap tahapan pada sanggar tradisional di Pandai Sikek.

3. Untuk melihat penerapan komponen high-touch dan high-tech dalam proses pembelajaran seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek.

4. Untuk mengungkap bentuk evaluasi hasil belajar yang dilaksanakan pada sanggar tradisional di Pandai Sikek.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi;

1. Pemerintah Tanah Datar (Dinas Pendidikan, Dinas PERINDAG, dan Dinas BUDPAR) dalam membina dan mengembangkan seni ukir Pandai Sikek sebagai salah satu aset budaya.

2. Pemerintah Sumatera Barat (Dinas Pendidikan, Dinas PERINDAG, dan Dinas BUDPAR) sebagai salah satu model dalam menumbuhkan, mengembangkan dan membina aset budaya khususnya seni ukir daerah lain yang hampir punah pada beberapa daerah di Sumatera Barat.

3. Lembaga pendidikan formal Sumatera Barat khususnya baik tingkat SLTA maupun perguruan tinggi yang mengajarkan seni ukir sebagai sebuah model perbandingan dalam memberikan materi seni ukir.

4. Lembaga pengelola pendidikan nonformal sebagai salah satu model dalam membina dan mengembangkan seni tradisional.

5. Bagi peneliti-peneliti selanjutnya baik dalam bidang seni maupun dalam pendidikan nonformal.

6. Bagi peneliti sendiri sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan sekaligus sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Doktor bidang ilmu pendidikan pada Pasca Sarjana UNP.

KAJIAN PUSTAKAPada bagian ini akan dikemukakan beberapa pendapat, hasil penelitian, dan teori yang berkaitan dengan fokus penelitian. Teori-teori yang disajikan tidak dimaksudkan untuk menguji kebenarannya, melainkan sebagai landasan pijak yang dikaitkan antara fokus penelitian dengan variabel-variabel pendidikan seni ukir pada sanggar tradisional. Untuk itu, secara berturut-turut dikaji tentang; (1) hakikat pendidikan, (2) hakikat pembelajaran, (3) kebudayaan Minangkabau, (4) seni dan pendidikan seni, dan (5) model pendidikan.

1. Hakikat Pendidikan

Negara Indonesia menjamin seluruh rakyatnya secara konstitusi untuk mendapat pendidikan. Jaminan itu tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Isi dari amanat pembukaan UUD 1945 itu adalah bahwa negara berupaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kesadaran yang tinggi dari founding father menggambarkan bahwa begitu pentingnya arti pendidikan bagi bangsa Indonesia. Untuk mewujudkan amanat pembukaan UUD 1945 tersebut maka dibuatkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pendidikan agar rakyat Indonesia dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam era globalisasi yang sarat dengan persaingan. Upaya ini tentu dengan harapan anak bangsa Indonesia pada suatu saat dapat bersaing dan bersanding dengan bangsa lain dalam artian duduk sama rendah tegak sama tinggi. Dalam pasal 1 ayat 1 UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dari pengertian pendidikan ini ada beberapa hal yang perlu dipahami. Pertama pendidikan adalah usaha sadar yang terencana, berarti proses pendidikan (formal, nonformal, dan informal) bukanlah proses yang dilaksanakan secara asal-asalan, tetapi proses yang bertujuan. Proses pendidikan itu diarahkan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran. Hal ini dimaksudkan bahwa pendidikan harus memperhatikan proses belajar guna mencapai hasil belajar. Dengan demikian, dalam pendidikan antara proses dan hasil belajar harus berjalan secara seimbang. Kedua suasana belajar dan pembelajaran diarahkan dalam upaya mengembangkan potensi murid. Artinya proses pendidikan itu harus berorientasi kepada peserta didik (student active learning). Dengan demikian, murid harus dipandang sebagai organisme yang sedang berkembang dan memiliki potensi. Pendidik berkewajiban mengembangkan potensi yang dimiliki murid, tidak sekedar menjejalkan materi ajar atau memaksa mereka dapat menghafal data dan fakta. Kemudian ketiga pengertian pendidikan dinyatakan menjadikan murid memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini berarti proses pendidikan berujung kepada pembentukan sikap, pengembangan kecerdasan intelektual, emosional, serta pengembangan keterampilan dan kreativitas murid. Menurut Suprioyono (2006) bahwa pendidikan pada mulanya adalah upaya mewariskan pengetahuan, keterampilan, dan sikap orang tua kepada anak-anak mereka. Pewarisan budaya itu tidak saja dimaknai sebagai orang tua biologis kepada anak-anak mereka, melainkan juga dilakukan oleh generasi yang lebih tua kepada generasi muda dalam sebuah komunitas melalui interaksi keseharian. Menurut Ansyar (1989:2) pendidikan bukan saja dimaksudkan masyarakat untuk mewariskan kebudayaan kepada anak-anak generasi penerus mereka itu, tetapi juga merupakan suatau cara untuk mentransformasikan kebudayaan masyarakat itu. Bila dilihat secara antropologis dari dau pendapat ini dapat disimpulkan bahwa aktivitas pendidikan yang dilakukan suatu masyarakat merupakan kegiatan kebudayaan dalam upaya untuk mewariskan dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap, generasi selanjutnya. Transformasi kebudayaan itu tidak saja harus dari orang tua biologis kepada anaknya akan tetapi bisa dari orang yang telah mengetahui. Hal ini berbeda dengan orang primitif yang mendidik anaknya tanpa mendirikan intitusi pendidikan, karena orang tua dapat melakukan pewarisan budaya kepada anaknya (Ansyar, 1989). Searah dengan itu, Taba (1962) mengemukakan tiga fungsi utama pendidikan, yakni, (a) pendidikan sebagai pemelihara dan penerus kebudayaan, (b) pendidikan sebagai alat bagi usaha transformasi kebudayaan, dan (c) pendidikan sebagai alat bagi pengembangan individual anak. Berangkat dari tiga fungsi yang dikemukakan oleh Taba, maka kegiatan yang terdapat di sanggar seni ukir tidak lepas dari kegiatan pendidikan. Artinya bahwa terdapat fungsi pemeliharaan kebudayaan pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek di mana seni ukir masih ajeg sampai sekarang. Dalam mewariskan kemampuan seni ukir terus dilakukan transformasi mengukir dari guru pada muridnya baik yang berkaitan dengan keterampilan maupun falsafah seni ukir. Pada akhirnya setiap individu murid yang telah belajar mengukir dapat berguna bagi diri dan masyarakatnya.

Menurut Tilaar (2004:54) bahwa pendidikan tidak dibatasi sebagai shooling, sebab pendidikan ternyata tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan hidup masyarakat, atau dengan kata lain merupakan sebahagian dari kebudayaan. Namun tingkat ketergantungan sebahagian besar masyarakat Indonesia dengan persekolahan masih tinggi. Sebagaimana dinyatakan oleh Surjadi (1994) bahwa umumnya masyarakat kurang menghargai pendidikan masyarakat yang diselenggarakan secara lokal, hal ini tidak lain karena ketergantungan masyarakat pada lembaga pendidikan sekolah atau pendidikan formal masih tinggi. Pernyataan Surjadi ini tidak sepenuhnya benar, hal ini dapat dilihat bahwa ada kesadaran masyarakat untuk mendapat pendidikan yang lebih baik dan bermutu dari hari ke hari. Orang tua dan peserta didik tidak puas dan memadai saja pendidikan persekolahan. Orang tua mengikutkan anak-anaknya pada lembaga-lembaga baik untuk tambahan materi ajar persekolahan seperti matematatika, fisika, dan bahasa Inggris maupun non materi ajar seperti kursus piano, tari, dan melukis. Selain itu ada juga orang tua yang menggugat penyelenggaraan pendidikan persekolahan dengan mendatangkan guru atau pendidik ke rumah seperti kasus home schooling. Pendidikan nonformal seperti kursus menjahit dan kursus montir juga diminati masyarakat, termasuk belajar mengukir.

Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa ada tiga jalur pendidikan yakni jalur pendidikan formal, nonformal, informal. Memperhatikan Undang-Undang Sisdiknas ini maka yang termasuk pada pendidikan formal atau juga dinamakan pendidikan persekolahan mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai pada pendidikan tinggi baik yang negeri maupun swasta, baik yang berbasis agama maupun umum. Untuk pendidikan nonformal di Indonesia berbentuk kursus-kursus singkat (non-ijazah) dan pelatihan-pelatihan. Sedangkan pendidikan informal disebut pendidikan sepanjang hayat yang tidak bisa dipisahkan dengan sistem pendidikan formal dan nonformal, (Mustofa Kamil, 2009). Dengan demikian, proses penyelenggaraan pembelajaran pada sanggar seni ukir seperti di Pandai Sikek termasuk pada bentuk pendidikan nonformal.Banyak istilah yang digunakan untuk menyebut pendidikan nonformal seperti mass education, adult educaton, lifelong education, learning society, out-of-school education, social education (Mustofa Kamil, 2009). Kemudian ia juga menjelaskan bahwa pendidikan nonformal dalam proses penyelenggaraannya memiliki suatu sistem yang terlembagakan, yang didalamnya terkandung makna bahwa setiap pengembangan pendidikan nonformal perlu perencanaan program yang matang, melalui kurikulum, isi program, sarana, prasarana, sasaran didik, dan sumber belajar. Menurut Hamojoyo (1973:23) pendidikan nonformal adalah usaha yang terorganisir secara sistematis dan kontiniu di luar sistem persekolahan, untuk membimbing individu, kelompok dan masyarakat agar memiliki sikap dan cita-cita sosial guna meningkatkan taraf hidup di bidang materi, sosial dan mental dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan nonformal penyelenggaraannya terlembaga dalam sebuah sistem yang terencana, artinya mempunyai kurikulum, sarana, dan prasarana untuk mewujudkan kesejahteraan hidup baik materi, sosial dan mental peserta didik. Berdasarkan pendapat ini maka kegiatan-kegiatan yang terorganisir dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan peserta didik seperti sanggar seni ukir di Pandai Sikek termasuk pada pendidikan nonformal. Pendapat ini dapat dipakai untuk melihat sejauh mana kelembagaan dan perencanaan penyelenggaraan pendidikan pada sanggar tradisional seni ukir di Pandai Sikek sebagai sebuah intitusi pendidikan.

Menurut Mustofa Kamil (2009) tujuan dari pendidikan nonformal bersifat jangka pendek dan spesifik bukan asas kepercayaan, waktunya relatif singkat/berulang/paruh waktu, isi bersifat individual/keluaran, sistem rekrutmen siswa menentukan syarat masuk, kontrol bersifat membangun diri/demokratis. Kurikulum pendidikan nonformal bersifat fleksibel memperhitungkan kondisi daerah (masyarakat). Bila merujuk pendapat ini, maka ada beberapa tujuan pendidikan nonformal yang searah dengan kegiatan sanggar seni ukir. Pertama waktu penyelenggaraan bersifat jangka pendek artinya pendidikan seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek tidak sama dengan sekolah formal (tiga tahun). Kedua bidang ilmu yang diajarkan punya spesifik yaitu seni ukir lebih khusus seni ukir Minangkabau. Ketiga perlakuan terhadap murid bersifat individual walaupun penyelenggaraan dalam suatu ruangan. Kemudian kepada murid diberikan kepercayaan untuk dapat kontrol diri sendiri guna membangun diri.

Bila dilihat dari segi bentuk dan karakternya, tampak bermacam-macam model pendidikan akan tetapi hakikatnya satu. Menurut Prayitno (2008:1) Pendidikan itu bermacam-macam akan tetapi pada hakikatnya satu, yaitu upaya untuk memuliakan kehidupan manusia. Memperhatikan pendapat Prayitno ini, maka manusia dalam konteks pendidikan merupakan unsur terpenting. Ia dapat sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek pendidikan dan dapat berperan sebagai pelaksana pendidikan (pendidik/guru) dan sekaligus sebagai peserta didik (siswa). Kegiatan pendidikan pada dasarnya adalah dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Dalam hal pendidikan manusia sekaligus sebagai sumber, sarana, dan pelaksana pendidikan itu sendiri. Dengan demikian manusia memiliki potensi untuk berkembang dan dikembangkan kepada hal-hal yang bersifat positif dan negatif. Agar manusia cenderung berkembang ke arah perilaku yang positif atau baik, maka diperlukan adanya proses pendidikan yang menyentuh terhadap hakikat kemanusiaan itu sendiri.

Pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya sadar dan terencana untuk memuliakan harkat martabat manusia, (Prayitno, 2008). Proses pendidikan memungkinkan potensi seseorang dapat dikembangkan secara optimal sehingga ia dapat berkembang secara utuh dan pada akhirnya dapat eksis di tengah masyarakat dan berhasil menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan. Menurut Ansyar (1985) ... yang jelas adalah pendidikan dapat memenuhi semaksimal mungkin keinginan masyarakat, kebutuhan individu untuk hidup layak ... bagi pembentukan manusia yang dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik. Mempedomani pendapat ini dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri keberhasilan pendidikan dalam mematangkan pribadi adalah apabila seseorang tersebut dapat hidup layak dan baik, serta dengan tenang menghadapi setiap persoalan atau masalah, melakukan analisa secara jernih, dan secara matang merumuskan berbagai alternatif pemecahan masalah yang dihadapinya.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan itu ada yang berbentuk formal, informal, dan nonformal. Kegiatan yang berlangsung pada sanggar seni ukir tradisional di Pandai Sikek termasuk pada pendidikan nonformal. Manusia dalam hal ini peserta didik dan guru menjadi amat penting dalam penyelenggaraan pendidikan, ia dapat sebagai objek dan subjek. Sebegitu pentingnya manusia dalam keterlibatannya pada perencanaan, proses, dan menentukan keberhasilan pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal, maka perlu dibahas dan dikaji hakikat manusia. Jika diurut dan dikemukakan sebenarnya sudah banyak kajian pakar tentang manusia dan pendidikan. Kajian-kajian para pakar tentang manusia dalam kaitan dengan pendidikan pada umumnya masih berkisar mengenai manusia dengan diri sendiri dan lingkungannya. Belum banyak kajian yang menjangkau hakikat manusia secara utuh dalam pendidikan, baik sebagai makhluk ciptaan tuhan, diri sendiri dan sebagai makhluk sosial. Pemikiran itu belum menjelaskan secara penuh harkat martabat manusia, padahal harkat dan martabat manusia itulah yang benar-benar membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain.

a. Harkat dan Martabat Manusia

Ada banyak makhluk yang diciptakan Tuhan seperti; batu, air, api, tumbuh-tumbuhan, hewan, setan, jin, manusia, dan malaikat. Akan tetapi manusialah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan makhluk-makhluk lainnya. Kemulian dan kesempurnaan manusia tidak hanya pernyataan manusia saja akan tetapi banyak dijelaskan tuhan dalam firmaNya, di antaranya;

Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkat mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (QS 17: 70) Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (QS 95:4).Sejalan dengan itu, Prayitno (2008:19) menyatakan bahwa hakekat manusia adalah makhluk yang paling indah dan sempurna dalam penciptaannya, paling tinggi derajatnya, khalifah di muka bumi, makhluk yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan pemilik Hak Azasi Manusia (HAM). Mempedomani pendapat ini maka pernyataan bahwa pendidikan memanusiakan manusia tidaklah tepat, sebab sebelum memasuki proses pendidikan peserta didik (murid pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek) sebenarnya telah sempurna dan mulia. Akan tetapi potensi-potensi yang ada pada diri peserta didik perlu dikembangkan, diasah dan dimatangkan. John Dewey dengan gerakan progresifnya mengingikan peranan yang lebih kreatif dari sekolah untuk pengembangan individu. Maksudnya pemusatan pengembangan potensi individu, terutama kemampuan kreativitas, kebebasan berpikir, penemuan sendiri, serta pengembangan potensi fisik dan mental (Ansyar, 1989). Selain dari kesempurnaan fisik, manusia dibekali Tuhan dengan akal, hati, dan nafsu. Manusia juga punya budi nurani yang menjadikan manusia punya rasa, karsa, dan cipta. Sehingga dengan bekal itu manusia mampu merancang sendiri segala kebutuhannya. Menurut Prayitno (2008) bahwa kebutuhan dan pengembangan manusia dari, untuk, dan oleh manusia sendiri. Selain memandang sisi keduniaannya manusia juga merancang kehidupan akhiratnya. Keseluruhan pandangan ini menjadikan manusia memiliki harkat dan martabat, karena manusia tidak sekedar punya kebutuhan akan tetapi dengan akalnya mampu merancang kebutuhannya yang sekarang dan masa depan. Berangkat dari pendapat di atas bahwa pendidikan yang berlangsung pada sanggar seni ukir tradisional di Pandai Sikek merupakan kegiatan pengembangan potensi diri murid. Kreativitas murid-murid pada bidang seni diarahkan pada kegitan mengukir.

Kajian tentang hakikat manusia secara menyeluruh, akan mencakup harkat dan martabat manusia, yaitu bahwa manusia adalah (1) makhluk yang paling indah dan sempurna dalam penciptaannya, (2) makhluk yang paling tinggi derajatnya, (3) khalifah di muka bumi, (4) makhluk yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (5) pemilik hak-hak asasi manusia (Prayitno, 2008:19). Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa dari awal penciptaan manusia sampai dengan perjalanannya kembali ke hadapan sang pencipta, kelima butir konsep dasar harkat martabat manusia itu tetap melekat pada dirinya. Implementasi dari lima konsep dasar yang selalu melekat pada dirinya, maka manusia terus berusaha mengembangkan kehidupannya di atas bumi. Modal keimanan dan ketaqwaannya ditunaikan melalui peribadatan yang tulus dan ikhlas dalam mencapai redhaNya. Bekal kesempurnaan dan keindahannya diwujudkan melalui penampilan budaya dan peradaban yang terus berkembang. Adanya ketinggian derajat ditampilkan melalui upaya menjaga kehormatan dan menolak hal-hal yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaannya. Kekhalifahan diselenggarakan melalui penguasaan dan pengelolaan atas sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk kehidupan yang damai dan sejahtera dalam alam yang nyaman dan tenteram. Sedangkan modal hak asasi manusia dipenuhi melalui saling pengertian, saling memberi dan saling menerima serta saling melindungi, mensejahterakan dan membahagiakan.

Menurut Nasution (1995:49), tujuan pendidikan pada dasarnya mengacu pada tujuan hidup manusia. Tujuan tersebut adalah kesempurnaaan manusia sesuai dengan harkat dan martabat serta ketinggian derajat yang dimilikinya. Selajan dengan itu, Mukhtar (20001:7) menyatakan bahwa pembahasan tentang tujuan pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan tentang tujuan hidup manusia sesuai dengan hahikat kemanusiannnya. Dengan teraktualisasikan harkat dan martabatnya, manusia akan dapat menemukan kehidupan di dunia dan di akhirat sesuai dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu kehidupan yang mulia, bermartabat dan membahagiakan. Kehidupan demikian itu diatur dengan memenuhi hak-hak asasi masing-masing individu dalam keseluruhan dimensi kemanusiaannya. Berkaitan dengan pendidikan, maka hakikat manusia sangat perlu diketahui guna mencapai tujuan pendidikan.

b. Panca DayaSelain dari konsep dasar tentang harkat dan martabat kemanusian maka ada beberapa dimensi yang melekat pada manusia. Menurut Prayitno (2008:21) dimensi-dimensi itu berkaitan dengan manusia sebagai hamba tuhan, sebagai diri sendiri, dan sebagai makhluk sosial. Dimensi itu dalam upaya pengembangan diri dan kehidupan selanjutnya. Dimensi-dimensi itu adalah (1) dimensi kefitrahan, (2) dimensi keindividualan, (3) dimensi kesosialan, (4) dimensi kesusilaan, dan (5) dimensi keberagamaan. Dengan mempedomani dimensi ini maka pembelajaran pada sanggar seni ukir akan menjadi lebih baik sebab proses pendidikan didasari dengan pemahaman manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial. Hal ini sejalan dengan salah satu harapan PBB (UNESCO, 1996) bahwa pendidikan untuk semua; learning to live together, to live with others. Kemudian diyakini bahwa pendidikan yang dilakukan pada prinsipnya bertujuan agar manusia dapat memelihara kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

Menurut Prayitno (2008:26) guna merancang hidupnya yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih berarti baik dunia maupun akhirat maka manusia juga dibekali dengan kekuatan atau daya pengembangan. Untuk memungkinkan perkembangan individu ke arah yang dimaksud itu, manusia dikaruniai oleh Sang Maha Pencipta lima jenis bibit pengembangan, yang disebut panca daya, yaitu: (1) daya taqwa, (2) daya cipta, (3) daya karsa, (4) daya rasa, dan (5) daya karya. Kajian panca daya ini dapat dijelaskan bahwa; daya taqwa merupakan basis dan kekuatan pengembangan yang secara hakiki ada pada diri manusia untuk mengimani dan mengikuti perintah dan larangan dan Tuhan Yang Maha Esa. Daya cipta bersangkut paut dengan kemampuan akal, pikiran, fungsi kecerdasan, dan fungsi otak. Daya cipta, ini seringkali disebut sebagai komponen kognitif pada diri individu, dengan penekanan lebih besar pada unsur-unsur kreativitas. Daya rasa mengacu kepada kekuatan perasaan atau emosi dan sering disebut sebagai unsur afektif. Hal-hal yang terkait dengan suasana hati dan penyikapan termasuk ke dalam daya rasa. Daya karsa merupakan kekuatan yang mendorong individu untuk melakukan sesuatu secara dinamis bergerak dan satu posisi ke posisi lain, baik dalam arti psikis maupun keseluruhan dirinya. Kemampuan atau keinginan berbuat dan semangat (termasuk di dalamnya prakarsa) merupakan isi daya karsa. Daya karsa ini mengarahkan individu untuk mengaktifkan dirinya, untuk berkembang, untuk berubah dan keluar dan kondisi status quo. Daya karya mengarah kepada dihasilkannya produk-produk yang secara langsung dapat digunakan atau dimanfaatkan baik oleh diri sendiri, orang lain, dan/atau lingkungan. Produk-produk yang berupa barang-barang konsumsi, produk-produk teknologi dan seni, produk keilmuan, berbagai jenis pelayanan dan penampilan. Daya karya juga melahirkan produk yang paling sederhana sampai yang paling canggih, dari yang tradisional sampai yang modern. Menurut Kavlan (2000) dengan daya karya manusia menghasilkan berbagai produk baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, baik untuk komersil maupun untuk pewarisan nilai budaya. Dapat disimpulkan bahwa, daya-daya itu sangat diperlukan manusia dalam menghasilkan berbagai produk baik yang modern maupun yang tradisional, baik untuk kebutuhan pribadi maupun yang komersial, termasuk dalam hal ini produk seni ukir. Kegiatan mengukir di sanggar tradisional di Pandai Sikek merupakan salah satu bentuk kegiatan daya karya manusia.Menurut Waras Kamdi (2008) dalam paradigma pendidikan Indonesia manusia tidak dipandang sebagai alat produksi tetapi harus dipandang sebagai sumber daya yang utuh. Manusia yang utuh itu sendiri dalam paradigma baru pendidikan Indonesia adalah yang berfikir kreatif, yang mandiri, dan yang dapat membangun dirinya dan masyarakat (Tilaar, 2000:21). Sejalan dengan itu Prayitno (2008) menyatakan bahwa panca daya itulah yang menjadi isi hakiki kekuatan pengembangan keseluruhan dimensi kemanusiaan. Dalam kajian dewasa ini, panca daya sering dimanifestasikan sebagai kemampuan dasar yang disebut intelegensi spiritual, dimensi rasional, intelegensi emosional, dan intelegensi instrumental. Mempedomani ini betapa pentingnya memahami hakikat panca daya terutama dalam penyelenggaraan pembelajaran pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek.

Dengan demikian pendidikan pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek perlu memperhatikan harkat dan martabat manusia yang mengandung lima dimensi kemanusiaan dan pancadaya, karena merupakan modal dasar kemanusiaan yang sudah dibawa oleh manusia sejak ia dilahirkan bahkan sejak ia masih berada dalam rahim ibunya. Modal dasar ini yang diarahkan dalam pembetukan manusia yang lebih baik dan lebih utuh. Manusia seutuhnya adalah sosok individu yang harkat dan martabatnya terwujudkan secara penuh melalui pengembangan hakikat manusia dengan kelima dimensi kemanusiaannya melalui pengaktifan panca daya secara optimal. Paradigma pendidikan (formal, nonformal, dan informal) ke depan haruslah dialihkan pada pemuliaan harkat martabat manusia yang dikemukakan. Sejauh mana komponen-komponen ini diterapkan akan di lihat pada objek penelitian.

2. Hakikat Belajar

Pembahasan tentang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kegiatan belajar, karena tidak ada pendidikan tanpa belajar. Menurut Aunurrahman (2009) belajar merupakan kegiatan penting setiap orang, termasuk di dalamnya belajar bagaimana seharusnya belajar. Perintah Iqra (baca!) dalam konsep Islam bermakna belajar, artinya untuk mendapatkan dan memahami suatu makna hanya didapat dengan cara belajar. Dari hasil belajar manusia akan berilmu dan ilmu yang dibarengi dengan iman menjadikan derajat kehidupannya menjadi lebih tinggi. Hal ini dinyatakan Allah SWT dalam Al Quran surat Mujadalah ayat 11: ....niscaya Allah akan meninggikan beberapa derajat kepada orang-orang yang beriman dan berilmu.

Pandangan para ahli tentang konsep belajar cukup beragam, hal ini terlihat dari definisi belajar yang diungkapkannya. Gage (1984) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses di mana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Meyer (1999) melihat belajar dan tiga pandangan yakni (1) belajar sebagai penguatan respon, (2) belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, dan (3) belajar sebagai konstruksi pengetahuan. Bila dicermati pandangan Meyer ini, tanpak bahwa ada 3 paradigma bagaimana konsep belajar diformulasikan. Ketiga paradigma ini adalah paradigma behavioristik, kognitivistik, dan konstruktivistik. Menurut pandangan behavionistik belajar adalah perubahan perilaku peserta didik. Konsepsi utama teori ini adalah stimulus dan respons (S-R) sebagai dasar adanya perubahan perilaku. Orang dikatakan belajar apabila ada perubahan perilaku yang diakibatkan dan dampak stimulus dan respon sehingga menjadi suatu kebiasaan (Schuman, 1996). Pandangan kognitivisme belajar dipandang sebagai proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, informasi dan faktor-faktor lain, stimulus yang diterima disesuaikan dengan struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pengalaman sebelumnya, (Aunurrahman, 2009). Sedangkan paradigma konstruktivisme melihat pengetahuan tidak terlepas dari proses pembentukan (konstruksi) yang terus menurus berkembang dan berubah. Menurut Piaget (1971) pembentukan ini tidak pernah mencapai titik akhir, akan tetapi terus menerus berkembang setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman baru. Bila dikaitkan dengan pembelajaran yang terjadi di sanggar ukir maka ketiga paradigma ini menjadi dasar bagi pembentukan peserta didik.

Proses pembelajaran itu sendiri harus berorientasi kepada pengembangan segenap dimensi kemanusiaan. Menurut Muhibbin (2005) belajar amat penting artinya bagi perkembangan dan kehidupan manusia. Oleh karena belajar manusia dapat berkembang lebih jauh dari makhluk lain, karena belajar juga manusia dapat mengeksploitasi, memilih, dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk mempertahankan kehidupannya dalam persaingan antar bangsa. Memperhatikan hal ini maka proses pembelajaran pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek merupakan upaya untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada dan meneksploitasinya sampai mereka memiliki keterampilan sendiri.

Menurut Muhibbin (2005) bahwa tinggi rendahnya kualitas perkembangan manusia akan menentukan masa depan peradaban manusia itu sendiri. Berdasarkan pendapat ini maka perkembangan berpikir kompleks dan baik tidak akan mungkin terjadi dengan sendirinya tanpa proses belajar. Seorang murid yang belajar dalam situasi baik dan kondisi yang disiapkan akan mendapat hasil maksimal. Sebaliknya pembelajaran yang tidak terencana sulit mendapatkan hasil maksimal. Artinya perkembangan murid akan didapat dari pembelajaran yang terencana dengan baik. Dengan demikian kualitas perkembangan manusia amat tergantung dari apa dan bagaimana ia belajar. Dalam hal ini (Howe, 1980) menjelaskan pendapat pakar teori S-R Bond (E.L. Thorndike) bahwa jika kemampuan belajar umat manusia dikurangi setengahnya saja maka peradaban yang ada sekarang ini tidak akan berguna bagi generasi yang akan datang, bahkan mungkin peradaban itu sendiri akan lenyap ditelan zaman.

Menurut Gagne cara berpikir seseorang tergantung pada keterampilan apa yang telah dimilikinya, dan keterampilan serta hirarki apa yang diperlukan untuk mempelajari suatu tugas. Lebih lanjut dijelaskan bahwa belajar tidak suatu yang terjadi secara alamiah, akan terjadi dengan kondisi-kondisi tertentu. Kondisi itu menurut Aunurrahman (2009) adalah kondisi internal menyangkut kesiapan peserta didik, kondisi eksternal yaitu situasi belajar yang secara sengaja yang diatur oleh pendidik. Jadi, dalam membahas model pembelajaran seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek akan bermanfaat sekali paradigma-paradigma teori belajar yang dikemukan di atas. Teori belajar yang dianggap pas untuk ini adalah perpaduan antara behaviorisme dan kognitivisme.

Untuk mencapai hasil belajar yang ideal tentu tuntutan terhadap tugas guru/ pendidik menjadi amat penting. Tugas guru adalah menyelenggarakan proses pembelajaran agar pada diri peserta didik berkembang suasana belajar. Hal ini sesuai dengan tanggung jawab guru sebagai tenaga profesi, sebagaimana dikemukakan dalam ketentuan etika pendidikan yang menyatakan: bahwa tanggungjawab puncak pendidik berada di dalam proses pembelajaran. Sehubungan dengan komponen-komponen pendidikan tersebut Prayitno (2005 : 15) mengemukakan bahwa interaksi antar komponen pendidikan tersebut terjadi dalam suatu hubungan yang unik, karena tidak terdapat pada kegiatan lain, selain interaksi antara pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Ada dua kandungan pokok yang terdapat pada hubungan pendidikan itu, yakni high-touch (kewibawaan) dan high-tech (kewiyaan).

a. Peran Guru

Menurut Imam Barnadib (1996), guru memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan potensi peserta didik agar mampu kreatif, dan dinamis. Agar potensinya dapat berkembang secara serasi dan maksimal, maka guru harus dapat menerima siswa secara utuh (phisik dan psikis) dalam menjalin intraksi edukatif dalam proses pembelajaran. Berdasarkan pendapat Imam Barnabib, maka sebenarnya tujuan pendidikan syarat dengan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, oleh karena itu peran seorang guru menjadi sangat penting. Sejauh mana pemahaman seorang guru terhadap tujuan pendidikan akan berdampak pada penampilannya dalam mengajar, terutama dalam perlakuannya terhadap peserta didik (murid). Pemahaman guru terhadap hakikat manusia sebagai peserta didik menjadi penting dalam proses pembelajaran. Interaksi edukatif antara guru dengan murid akan tejalin dengan harmonis apabila pemahaman guru terhadap tujuan pendidikan baik. Hubungan yang harmonis dan kondusif antara guru dengan murid memungkinkan pengembangan potensi murid lebih tinggi. Guru tidak saja berperan sebagai pengajar dalam proses transfer materi, akan tetapi juga sebagai pendidik dan pembimbing.

Menurut Nana Sujana (2002) bahwa dalam proses pembelajaran selain tugasnya sebagai pendidik, guru juga bertugas untuk memberikan bimbingan kepada peserta didik dalam proses pembelajaran dan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya sehingga tujuan belajar akan tercapai dengan maksimal. Dengan demikian tugas mendidik akan terlaksana dengan baik apabila guru benar-benar memahami peserta didik, potensi, minat dan bakatnya, keunikannya, perbedaannya, dan latarbelakangnya. Peters (1981) mengemukakan bahwa tugas dan tanggungjawab guru antara lain adalah memberikan bimbingan kepada peserta didik melalui penjabaran kurikulum sehingga maknanya dapat mempengaruhi dan terinternalisasikan dalam diri peserta didik dalam rangka pengembangan minat, bakat dan potensi yang dilikinya secara lebih optimal. Mempedomani pendapat dua pakar ini maka seorang guru seni ukir selayaknya harus memahami potensi yang ada pada muridnya. Minat dan bakat murid yang belajar pada sanggar seni ukir mestinya mampu dikembangkan guna mencapai sasaran.

Menurut Suke Silverius (2003), kegiatan belajar mengajar harus berorientasi kepada pengembangan dimensi-dimensi kemanusian peserta didik. Hal ini antara lain dapat diwujudkan melalui penerapan prinsip belajar yang berpusat pada peserta didik sehingga peserta didik dapat belajar dengan melakukan dan mengembangkan kemampuan sosial; mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah bertuhan; mengembangkan keterampilan pemecahan masalah; mengembangkan kreativitas dan mengembangkan kerjasama. Berangkat dari pendapat di atas maka seorang guru harus benar-benar memperhatikan potensi murid dalam proses pembelajaran, karena potensi masing-masing murid tidak sama. Ada murid yang mempunyai potensi dalam bidang olah raga, ada yang lebih baik dalam matematik, ada yang baik dalam bahasa, dan ada yang berpotensi dalam seni. Perbedaan itu merupakan fitrah manusia dan itulah dimensi kemanusian. Kecepatan untuk menguasai materi ajar antara satu dengan yang lainnya juga berbeda.

Menurut M. Dalyono, (1996) guru dituntut untuk lebih berperan dalam proses pembelajaran. Disadari bahwa proses pembelajaran itu sendiri merupakan kegiatan yang terencana dengan sadar oleh guru guna mencapai tujuan pendidikan. Perencanaan yang sadar bila seorang guru betul-betul memahami fungsinya sebagai sumber belajar dan sekaligus juga pendidik. Untuk itu seorang guru harus memahami hakikat manusia, dimensi kemanusiaan, dan pancadaya. Menurut Prayitno (2008), proses pembelajaran harus didukung dengan pilar kewibawaan dan kewiyataan. Pilar kewibawaan meliputi (1) pengakuan dan penerimaan, (2) kasih sayang dan kelembutan, (3) penguatan, (4) tindakan tegas yang mendidik, dan (5) keteladanan. Sedangkan pilar kewiyataan yang merupakan perangkat praktik pembelajaran adalah (1) materi pembelajaran yang diturunkan dari tujuan-tujuan pendidikan dan dilaksanakan dengan arah pengembangan pancadaya, (2) pengembangan dan aplikasi metode pembelajaran, (3 alat bantu pembelajaran, (3) lingkungan pembelajaran, dan (5) penilaian hasil pembelajaran.

Mempedomani berbagai pendapat di atas ternyata peran seorang guru dalam proses pembelajaran begitu penting. Maka di samping memahami hakikat kemanusiaan (peserta didik), dimensi kemanusiaan, dan panca daya, maka seorang guru harus menerapkan prinsip high-touch (kewibawaan) dan high-tech (kewiyaan). Menurut Prayitno (2008) motto pendidikan nasional yang dikemukakan Ki Hajar Dewantoro ing ngarso sung tuludo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani menjadi jiwa pilar kewibawaan, ia kait berkait untuk menjangkau (to touch) kedirian peserta didik. Sedangkan falsafah Minangkabau alam takambang jadi guru menjiwai pilar kewiyaaan, ia mengarah pada pembelajaran dengan teknologi yang tinggi (high tech). Dengan demikian sebagai pemegang peran penting dalam proses pembelajaran maka kedua pilar ini mesti dikuasai seorang guru. Hal itu tidak saja pendidik pada lembaga formal termasuk pendidikan nonformal seperti di sanggar ukir.b. KurikulumMenurut Ansyar (1989) kurikulum diartikan berbeda-beda oleh beberapa golongan orang atau masyarakat. Kurikulum juga diartikan berbeda-beda oleh para penulis buku pendidikan. Berangkat dari pendapat Ansyar maka setiap orang dapat memberi makna dan maksud berbeda tentang kurikulum. Walau terjadi perbedaan pendapat tentang kurikulum namun semunya bersepakat bahwa kurikulum tidak terlepas dari kegiatan pendidikan. Hal mana setiap guru dan murid sama-sama menjadikan kurikulum sebagai pedoman menuju tujuan yang akan dicapai. Arti secara harfiah dari kurikulum itu sendiri yang diartikan sebagai lapangan pertandingan, sebagai arena dimana pelajar bertanding untuk menguasai suatu pelajaran guna mencapai garis finis berupa diploma, ijazah, atau gelar kesarjanaan (Zais, 1976: 6).

Menurut Mulyasa (2006), salah satu komponen penting dari sistem pendidikan adalah kurikulum, karena kurikulum merupakan komponen pendidikan yang dijadikan acuan oleh setiap satuan pendidikan, baik oleh pengelola maupun penyelenggara. Ansyar (1989:29) bahwa walau terdapat ketidaksepahaman para ahli mengenai apa yang dimaksud dengan dasar-dasar kurikulum, tetapi sebahagian besar setuju ..... masyarakat dan kebudayaan, individu, serta teori-teori belajar adalah kekuatan-kekuatan yang berpengaruh besar terhadap konsep dan aplikasi kurikulum. Mempedomani pendapat ini dapat disimpulkan bahwa setiap pengelola dan penyelenggaraan pendidikan mesti memiliki kurikulum oleh karena kurikulum merupakan acuan, arahan, dan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan. Mulyasa sendiri tidak membatasi hanya pendidikan formal saja yang harus memiliki kurikulum, melainkan seluruh penyelenggaraan pendidikan. Disisi lain para ahli melihat kurikulum bukan sekedar perangkat mata pelajaran melainkan sebagai pengalaman belajar. Menurut Tyler (1949), pengalaman belajar adalah pengalaman yang diperoleh dan dialami anak-anak didik sebagai hasil belajar dan intraksi mereka dengan konten dan kegiatan belajar. Dengan demikian pendidikan yang berlangsung pada sanggar ukir tradisional di Pandai Sikek diyakini memiliki kurikulum, tetapi kurikulumnya tentu tidak seperti sekolah formal yang telah tersusun dan terstruktur.

Dari banyak difinisi tentang kurikulum, Ansyar (1989) memberikan beberapa konsepsi dasar tentang kurikulum, yakni sebagai program studi, sebagai konten, sebagai kegiatan berencana, sebagai hasil belajar, sebagai reproduksi kultural, sebagai sistem produksi. Konsepsi dasar yang dikemukan Ansyar tentang kurikulum memberikan gambaran bahwa kegiatan apapun yang sekaitan dengan penyelenggaraan pembelajaran memerlukan kurikulum. Konsepsi ini memberikan pemahaman bahwa kurikulum dalam pelaksanaan pendidikan dapat dimaknai berbeda namun yang terpenting adalah tidak mungkin sebuah penyelenggaraan pendidikan tanpa kurikulum. Konsep dasar yang lebih mendekati maksud kurikulum dalam penelitian ini adalah kurikulum sebagai kegiatan berencana, sebagai reproduksi kultural, dan sebagai pengalaman belajar.

Menurut Ansyar (1989) sebagai kegiatan berencana maka kurikulum adalah semua kegiatan yang direncanakan tentang apa yang akan diajarkan dan dengan cara bagaimana hal itu dapat diajarkan dengan berhasil. Dari pendapat ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kurikulum segala perencanaan bahan-bahan atau materi ajar yang akan diajarkan guru dalam proses pembelajaran termasuk ke dalamnya tentang urutan, metode dan teknik penyajian. Dari perencanaan itu diharapkan kegiatan pembelajaran berjalan dengan baik dan berhasil sesuai dengan sasaran. Hal ini sejalan dengan Macdonald (1965) yang mendifinisikan kurikulum sebagai suatu rencana pekerjaan, yaitu rencana yang menuntun pengajran. Taba (1962) menyatakan bahwa kurikulum merupakan rencana untuk membelajarkan pelajar. Jadi memperhatikan proses pembelajaran pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek terdapat perencanaan-perencanaan yang dilakukan guru sehingga kegiatan berjalan dengan baik dan mencapai sasaran. Walaupun perencanaan itu tidak merupakan dokumen tertulis seperti yang terdapat di sekolah formal, namun kegiatan belajar dilakukan sesuai dengan perencanaan guru. Perencanan itu meliputi persiapan materi sesuai dengan tahapan belajar masing-masing murid pada sanggar ukir tersebut. Berkaitan dengan pendapat di atas maka ada kurikulum pada setiap sanggar ukir di Pandai Sikek.

Konsep dasar ke dua adalah kurikulum sebagai reproduksi kultural, maka menurut Ansyar (1989: 15) banyak orang menganggap sekolah adalah bagian dari kebudayaan, sekolah didirikan agar pelajar atau anak didik mendalami pengetahuan, sikap, dan nilai- nilai yang dianut orang tua mereka. Menurut Taba (1962) bahwa sekolah didirikan agar dapat mengajarkan pada anak-anak ilmu pengetahuan, sikap, nilai-nilai, serta teknik-teknik yang diperlukan anak untuk hidup layak di masyarakat, kemudian dapat meneruskan dan bertanggung jawab terhadap pengemabangan kebudayaan masyarakat itu. Berdasarkan pendapat ini dapat dilihat bahwa kegiatan transformasi seni ukir yang terjadi pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek merupakan kegiatan reproduksi kultural. Kepada generasi muda diajarkan keterampilan dan nilai-nilai seni ukir yang merupakan warisan budaya masyarakat setempat.

Bagian ketiga adalah kurikulum sebagai pengalaman belajar. Zais (1976:8) yakin bahwa semua pengalaman yang sesungguhnya diperoleh pelajar dari penerapan kurikulum sekolah merupakan data yang amat berharga bagi penentuan keberhasilan dan efektifitas kurikulum yang direncanakan. Maka dalam hal ini Foshay (1969) mengkonsepsikan kurikulum yang terdiri dari semua pengalaman belajar di bawah pimpinan guru. Memperhatikan pendapat ini maka setiap apa saja yang memberi pengaruh dari proses belajar pada murid merupakan implikasi dari kurikulum. Perubahan itu merupakan hasil bimbingan guru yang terencana, seperti seorang murid yang sebelumnya tidak bisa mengukir menjadi menguasai cara mengukir dan mampu menciptakan motif-motif baru.

Menurut Ansyar (1989) ada dua kelompok yang melihat kurikulum sebagai pengalaman belajar, yakni konsepsi kurikulum dari segi yang sempit (sebagai suatu pelajaran yang diajarkan), dan segi yang luas (semua pengalaman yang diperoleh di sekolah atau di luar sekolah). Kelompok yang mengkonsepsikan secara luas sering menyebutnya dengan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Hal ini berkaitan dengan bagian-bagian tertentu dalam pembelajaran seni ukir tidak senantiasa diperoleh dari aspek-aspek yang direncanakan guru. Kurikulum pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek juga mempunyai dampak nyata tetapi tidak direncanakan seperti kemampuan berwirausaha, bersosialisasi, pemahaman adat dan falsafah.

Menurut Zais (1976) inti dari kurikulum adalah terselenggaranya aktifitas pembelajaran yang bermakna, kurikulum tersebut dapat mempengaruhi pembentukan pengalaman belajar dan pendidikan. Aktifitas belajar yang baik adalah yang melibatkan siswa untuk belajar sendiri melalui pengalaman. Sedangkan untuk mengantarkan siswa pada pengalaman belajar dapat dilakukan dengan memberikan perhatian yang baik, target yang jelas, isi yang baik, prosedur evaluasi yang runtun (Taba, 1962). Jadi kurikulum yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah sejauh mana guru memberikan perhatian, menentukan target, sampai pada prosedur evaluasi untuk mendapatkan aktifitas pembelajaran yang bermakna.

c. Metode Pembelajaran

Ada beberapa istilah yang dalam proses pembelajaran hampir sama artinya, bahkan ada yang sulit membedakannya. Menurut Akhmad Sudrajat (2009) istilah yang memiliki kemiripan makna, sehingga seringkali orang merasa bingung untuk membedakannya adalah: (1) pendekatan pembelajaran, (2) strategi pembelajaran, (3) metode pembelajaran; (4) teknik pembelajaran; dan (5) taktik pembelajaran. (http://www.psb-psma.org/content/blog/pengertian-pendekatan-strategi-metode-teknik-taktik-dan-model-pembelajaran, diambil 13 Februari 2010). Menurut Abdul Azis Wahab (2008) di Indonesia para guru dan pendidik tidak membedakan pengertian metode, strategi, dan teknik mengajar walaupun secara gradual ada perbedaan di antara ketiganya karena itu sering digunakan secara interchangable. Jadi pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, terdapat dua jenis pendekatan pembelajaran, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach). Oemar Hamalik (2008) menyatakan strategi pengajaran merupakan penterjemahan filsafat atau teori mengajar menjadi rumusan tentang cara mengajar yang harus ditempuh dalam situasi-situasi khusus atau dalam keadaan tertentu yang spesifik. Wina Senjaya, (2008) menyatakan strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementasikannya digunakan berbagai metode pembelajaran tertentu. Dengan kata lain, strategi merupakan a plan of operation achieving something sedangkan metode adalah a way in achieving something. Dapat disimpulkan bahwa materi yang telah disiapkan guru disampaikan atau diangkat melalui metode pembelajaran. Jadi metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Akhmad Sudrajat (2009) menyatakan terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8) debat, (9) simposium. Abdul Azis Wahab (2009) menyatakan metode yang cocok untuk mengajar IPS/SS adalah metode ceramah, metode inkuiri menemukan sendiri dan pemecahan masalah, metode diskusi, metode tanya jawab, dan metode simulasi.

Dalam proses pembelajaran pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek akan digunakan berbagai metode. Pemakaian metode guna mengimplementasikan materi yang telah disiapkan guru seni ukir, dari proses pembelajaran diharapkan terjadinya perubahan kognitif, sikap, dan psikomotor. Metode apa saja yang digunakan guru dan kapan metode itu diterapkan akan dicermati pada saat penelitian. Diyakani pada proses pembelajaran terdapat berbagai metode yang digunakan guru.

d. Evaluasi Hasil Belajar

Menurut Aunurrahman (2009) evaluasi menempati kedudukan penting dan bahagian yang utuh dari tahapan dan proses pembelajaran. Ansyar (1989) ... evaluasi menjangkau lebih jauh yaitu untuk mengetahui apa yang terjadi dalam ruang-ruang kelas. Lebih lanjut dijelaskan Ansyar bahwa evaluasi untuk mengetahui keberhasilan belajar, untuk memperbaiki program belajar-mengajar, dan untuk mengetahui pencapaian tujuan pendidikan. Menurut Muhibin Syah (2005) evaluasi adalah penilaian terhadap keberhasilan program belajar siswa, yang bertujuan antara lain untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai siswa. Jadi evaluasi sangat diperlukan dalam setiap proses pembelajaran, tidak terkecuali pembelajaran yang berlangsung pada sanggar seni ukir. Sejauhmana materi-materi yang telah disusun guru seni ukir dapat dikuasai muridnya tentu dilakukan evaluasi sebelum ia memberikan materi lanjutan dan sebelum ia menyatakan muridnya telah menjadi tukang ukir. Jadi dari pendapat ini ternyata evaluasi pendidikan merupakan suatu event yang ganda. Satu sisi merupakan kegiatan untuk mengendalikan mutu pendidikan dan dari sisi lain merupakan upaya untuk pengumpulan informasi tentang pencapaian murid terhadap meteri yang disampaikan pendidik.Menurut Dimyati (2009) ada evaluasi hasil belajar dan ada evaluasi pembelajran, evaluasi hasil belajar menekankan kepada perolehan informasi tentang pencapaian tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Sedangkan evaluasi pembelajaran guna memperoleh keefektifan proses pembelajaran. Menurut Imam (2005) evaluasi hasil belajar adalah memberi nilai atau makna tentang kualitas sesuatu yang dipelajari. Untuk mendapat informasi yang tepat tentang pencapaian tujuan pengajran maka perlu seorang guru memahami tentang teknik dan prosedur evaluasi. Evaluasi hanya mungkin akan tercapai apabila dilakukan dengan mengikuti prosedur dan tehnik yang tepat dan benar melalui bermacam jenis evaluasi, seperti evaluasi konteks, evaluasi input, evaluasi proses dan evaluasi produk.

Menurut Nurkancana (1986), Suharsimi Arikunto (2005), dan Dimyati (2009) fungsi dan tujuan evaluasi hasil belajar adalah untuk diagnostik dan pengembangan, untuk seleksi, untuk kenaikan kelas, dan untuk penempatan. Berdasarkan pendapat ini maka paling tidak fungsi evaluasi diagnostik dan kenaikan perlu diterapkan pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek. Evaluasi diagnostik berfungsi untuk mendiagnosa kelemahan dan keunggulan murid guna meningkatkan hasil belajar murid. Evaluasi kenaikan untuk menseleksi apakah sudah perlu materi lanjutan atau masih tetap materi yang sama, evaluasi kenaikan juga dapat dipakai untuk menyatakan murid telah lulus atau sebagai tukang ukir.

Menurut Suharsimi (2005) evaluasi hasil belajar dapat bermanfaat bagi peserta didik, bagi guru maupun bagi sekolah. Muhibbin Syah (2005) menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar bukanlah sekedar pemberian angka yang berkaitan dengan satu aspek semata, tetapi mencakup aspek yang lebih luas yaitu, kognitif (ranah cipta), afektif (ranah rasa), dan psikomotor (ranah karsa). Memperhatikan pendapat ini maka evaluasi hasil belajar seni ukir pada sanggar tradisional di Pandai Sikek sangatlah berarti sebab evalusi mencakup pada tiga ranah cipta, rasa dan karsa.

Menurut A. Muri (2005) tes hasil belajar (achievement test) merupakan salah satu alat yang dapat digunakan guru disekolah atau dosen di perguruan tinggi, untuk memahami tingkat hasil peserta didik dalam belajar. Tes ini dapat disusun dalam bermacam bentuk namun pilihan bentuk yang tepat adalah sesuai dengan tujuan kegiatan pendidkan/pembelajaran yang telah ditetapkan. Oleh karena itu tes hasil belajar mungkin saja mengukur kecepatan lari, kemampuan mengingat, pemahaman, mengaplikasikan sesuatu, menilai, menciptakan sesuatu atau melahirkan pikiran secara tertulis. Seorang guru atau dosen, mungkin pula menggunakan tes objektif yang telah distandarisasikan untuk mengukur hasil belajar peserta didiknya. Sedangkan guru/dosen yang lain menggunakan tes perbuatan.

Beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi (penilaian) merupakan proses untuk mengambil keputusan berdasarkan informasi yang diperoleh melalui pengukuran berdasarkan instrumen tes maupun non tes. Sedangkan hasil belajar adalah suatu kecakapan nyata yang dapat diukur secara langsung melalui tes. Jadi, evaluasi hasil belajar adalah proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi (data) yang telah diperoleh melaui tes pengukuran hasil belajar, baik yang menggunakan instrumen tes maupun non tes. Tes prestasi belajar dapat berupa tes baku (standardized test) dan dapat juga dengan tes buatan guru (teacher made test), baik berupa tes esai, tes objektif dan tes perbuatan maupun dengan inventory lainnya.

1) Hakikat Evaluasi Hasil Belajar

Dari gambaran di atas tampak dengan jelas bahwa tes hasil belajar bukanlah semata-mata tes yang dilakukan pada akhir semester/tahun ajaran (tes sumatif), tetapi juga tes formatif, diagnostik dan penempatan kalau dilihat dari segi fungsinya (A.Muri, 2005 ; Suharsimi, 2005). Jadi hasil belajar terhadap sesuatu yang sudah dipelajari akan memberikan gambaran tentang pemahaman dan kesukaran atau kekuatan dan kelemahan sesorang dalam bidang tertentu; mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Oleh karena itu tes hasil belajar dapat berupa tes hasil belajar yang telah distandarisasikan (standardized achievenment test), dan tes buatan guru (teacher or locally made test).

Menurut A.Muri (2005) hasil belajar merujuk kepada tingkat hasil peserta didik dalam belajar. Hasil itu tercermin dalam berbagai aspek antara lain (1) kognitif yang meliputi : mengingat, pemahaman, aplikasi, analisis, evaluasi dan kreatifitas, (2) afektif yang meliputi : penerimaan, partisipasi, evaluasi/penentuan sikap (valuing), pengorganisasian nilai (organization), pembentukan pola/karakterisasi nilai, dan (3) psikomotor yang meliputi : persepsi kesiapan (set), mekanisme, respon terbimbing, gerakan/respon terbiasa, adaptasi/penyesuaian pola gerakan, dan originalitas. Jadi hasil evaluasi bukanlah semata-mata pada akhir semester atau caturwulan maupun naik kelas, melainkan dapat dilakukan pada tengah semester, tengah caturwulan, evaluasi tugas-tugas yang diberikan, maupun portofolio yang dikumpulkan. Karena itu evaluasi hasil belajar telah dimulai sejak seseorang mulai belajar. Jadi tes hasil belajar dirancang untuk mengukur apa yang telah dipelajari dalam bidang studi yang bersifat formal. Dengan demikian apabila guru ingin menempatkan peserta didik dalam kelompok belajar maka guru terlebih dahulu mengetahui seberapa jauhkah hasil peserta didik dalam bidang yang akan ditempatinya itu. Guru merancang suatu tes hasil belajar terhadap meteri yang telah lalu. Walaupun tidak dapat dipungkiri untuk keperluan ini dibutuhkan tes jenis lain seperti aptitude test namun tes hasil tidak dapat diabaikan. Apabila guru telah menyelesaikan suatu kegiatan atau satuan pelajaran dan ingin mengatahui tentang tingkat hasil peserta didik dan kesukaran-kesukaran yang dihadapinya, maka dapat pula dilakukan tes hasil belajar.

2) Prinsip-prinsip Evaluasi Hasil BelajarUntuk dapat memberikan gambaran yang maksimmal tentang hasil kegiatan pembelajaran, perlu dilakukan asesmen yang benar, baik ditinjau dari komponen evaluasi itu sendiri maupun dari prinsip-prinsip evaluasi yang dipedomani. Adapun prinsip-prinsip eavaluasi hasil belajar bersifat umum dan khusus.

a) Prinsip-prinsip Umum Evaluasi Belajar

Menurut A.Muri (2005) beberapa prinsip umum evaluasi belajar yang baik adalah (a) evaluasi yang baik bersifat komprehensif, (b) evaluasi hendaklah kontinyu, (c) evaluasi yang baik bersifat objektif, (d) evaluasi yang baik berpijak pada tujuan yang jelas, (e) evaluasi yang baik menggunakan alat ukur yang ganda dan sahih, (f) evaluasi yang baik hendaknya dilakukan oleh suatu tim, dan (g) evaluasi bukanlah tujuan, melainkan adalah cara untuk mencapai suatu tujuan. Prinsip penilaian menurut Zaim (2009) adalah (a) sahih, penilaian berdasarkan data yang mencerminankan kemampuan yang diukur, (b) objektif, penilaian berdasarkan pada prosedur dan kreteria yang jelas tanpa dipengaruhi subjektivitas penilai, (c) adil, penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik, (d) terpadu, penilaian meupakan salah satu komponen pembelajaran, (e) terbuka, prosedur, kreteria dan dasar penilaian dapat diketahui pihak berkepentingan, (f) menyeluruh dan berkesinambungan, mencakup semua aspek kompetensi, (g) sistematis, penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap, (h) beracuan kriteria, penilaian berdasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan, dan (i) akuntabel, penilaian dapat dipertanggungjawabkan. Dari prinsip umum ini dapat dilihat bagaimana penilaian yang dilakukan pada proses pendidikan yang dilakukan di sanggar seni ukir pandai Sikek. Apakah ada alat evaluasi yang sahih, sistematis, berkesinambungan dan dapat dipertanggungjawabkan.

b) Prinsip-prinsip Khusus Evaluasi Belajar

Hasil-hasil belajar akan dapat diungkapkan menurut fungsi yang diharapkan apabila intrumen yang dipakai memenuhi syarat untuk hal tersebut. Tes hendaklah valid dan reliabel. Menurut Asmawi & Noehi (1995) dan A.Muri (2005) ada beberapa prinsip khusus yang perlu diperhatikan dalam menyusun tes hasil belajar yakni: (a) tes yang disusun hendaklah betul mengukur tujuan pembelajaran, (b) tes yang disusun merupakan sampel yang representatif dari semua materi pembelajaran, (c) bentuk/format tes yang dipilih hendaklah sesuai dengan tujuan yang dicapai, dan (d) tes hasil belajar hendaklah seterandal mungkin. Jadi berdasarkan pendapat ini maka evaluasi pada sanggar seni ukir di Pandai Sikek hendaklah sesuai dengan fungsi evaluasi dalam proses pembelajaran (penempatan, diagnosis, formatif dan sumatif). Untuk itu evaluasi pada proses pendidikan/pembelajaran di sanggar ukir hendaklah terkait dan mampu mengungkapkan tujuan itu.

Menurut A.Muri (2005) dari segi hasil peserta didik terhadap tujuan pendidikan/pembelajaran atau terhadap kelemahan-kelemahan dan kekuatan peserta didik dalam aspek tertentu, evaluasi berdasarkan acuan patokan (criterion referenced evaluation) lebih baik dan tepat digunakan sebab guru dapat mengetahui seberapa jauh suatu aspek, telah dikuasai peserta didik dibandingkan dengan patokan yang telah ditentukan sebagai kriteria atau standar minimal hasil seseorang dikaitkan dengan tujuan Sejalan dengan itu Asmawi & Noehi (1995) menyatakan bahwa cara ini dibenarkan untuk menentukan kelulusan seseorang dengan menggunakan sejumlah patokan. Bilamana seseorang telah memenuhi patokan tersebut ia dinyakan berhasil. Jadi prinsip ini menggambarkan bahwa evaluasi dengan menggunakan acuan patokan dapat digunakan. Untuk menyatakan seorang murid telah dapat mengukir tentu ada sacuan yang digunakan guru. Apa bentuk evaluasi itu dalam acuan patokan dan bagaimana bentuk patokan itu akan diobservasi dalam penelitian.

Menurut A.Muri (2005) dan Asmawi & Noehi (1995) pengukuran berdasarkan norma kelompok adalah untuk menentukan kedudukan (relatif) peserta didik dibandingkan dengan temannya yang lain dalam kelompok itu atau bagaimana penampilan seseorang dibandingkan dengan temannya dalam kelompok. Ini berarti normanya adalah norma kelompok, norma teman-temannya yang lain, artinya pemberian nilai mengacu pada perolehan skor di kelompok itu. Tetapi tidak akan menceritakan apa yang dapat dikerjakan seseorang dengan menggunakan krite