Contoh Proposal Ptk 1

download Contoh Proposal Ptk 1

of 29

Transcript of Contoh Proposal Ptk 1

A. JUDUL PENELITIAN: Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa melalui Metode Bermain Peran pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMKN 3 Padang B. BIDANG KAJIAN : Strategi Pembelajaran C. PENDAHULUAN Kemampuan berbahasa Indonesia merupakan kemampuan yang essensial bagi kehidupan manusia Indonesia. Tanpa menguasai bahasa Indonesia, warga negara Indonesia tidak akan mampu mengembangkan dirinya dan berperan serta dalam laju pembangunan bangsa, sebab bahasa utama untuk keperluan berkomunikasi adalah bahasa Indonesia. Di samping itu, seluruh informasi yang terkait dengan hal-hal formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga menggunakan bahasa Indonesia. Urgensi pembinaan dan pengembangan kemampuan berbahasa Indonesia telah menempatkan pembelajaran bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran wajib di SMK. Mata pelajaran ini harus ditempuh siswa semenjak kelas X s.d. kelas XII. Tujuan pembelajaran bahasa, Indonesia disesuaikan dengan esensi berbahasa sebagai kegiatan komunikasi. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa Indonesia mencakup pembelajaran keterampilan berkomunikasi yang terdiri atas menyimak, berbicara, membaca, dan menulis (Depdiknas, 2006). Keempat keterampilan tersebut hendaknya dikuasai siswa secara memadai. Salah satu keterampilan berbahasa Indonesia yang fungsional adalah keterampilan berbicara. Hal ini bukan hanya dikarenakan aktivitas siswa dalam mengikuti seluruh mata pelajaran pasti terkait dengan keterampilan siswa berbicara, tetapi juga dikarenakan oleh kepentingan kelembagaan. Artinya, tujuan. utama pendidikan di SMK Bisnis seperti SMK Negeri 3 Padang adalah menyiapkan tenaga siap pakai yang

1

2 memiliki keterampilan memadai untuk terlibat dalam dunia bisnis. Pada. kenyataannya, tidak ada satu jenis pun lapangan bisnis yang tidak menuntut kepemilikan keterampilan berbicara orang yang terlibat dalam dunia tersebut. Hal ini juga dikemukakan dalam penjelasan latar belakang pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), yaitu sebagai berikut ini. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran wajib. Melalui penguasaan kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia, peserta didik diarahkan, dibimbing, dan dibantu agar mampu berkomunikasi bahasa Indonesia secara baik dan benar. Pada era global, penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar merupakan syarat mutlak di dunia kerja. Kutipan di atas mengisyaratkan bahwa pembinaan keterampilan berkomunikasi, termasuk di dalamnya keterampilan berbicara bahasa Indonesia merupakan suatu keharusan. Oleh sebab itu, pengembangan dan pembinaan keterampilan berbicara bagi siswa SMK Negeri 3 Padang merupakan sesuatu yang sangat essensial. Sesuai dengan pengalaman di lapangan dalam membina keterampilan siswa kelas I SMK Negeri 3 Padang untuk berbahasa Indonesia melalui pelaksanaan mata pelajaran bahasa Indonesia, diidentifikasikan empat permasalahan yang terkait. Deskripsi singkat permasalahan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, siswa cenderung tidak memiliki keberanian yang memadai untuk mengunjukkan keterampilan berbicaranya ketika diberi tugas untuk menjawab pertanyaan lisan, menanggapi, dan mengajukan pertanyaan. Jika dipersentasekan, rata-rata siswa yang berani mengunjukkan keterampilan berbicaranya hanya 10 s.d 15%. Kedua, dalam berbicara ketika PBM bahasa Indonesia, siswa cenderung mencampuradukkan diksi bahasa Indonesia dengan bahasa daerah (bahasa, Minangkabau). Kecenderungan ini mengakibatkan komunikasi siswa-siswa dan siswa-guru tidak lancar.

3 Ketiga, pengucapan siswa dalam berbicara bahasa. Indonesia cenderung belum standar, belum sesuai dengan pengucapan. bahasa. Indonesia yang baik. Sebagai contoh, siswa cenderung memvokalkan e keras yang seharusnya e lemah seperti dalam kata /mengapa/, /empat/, /enam/, dan sebagainya. Keempat, sistem sintaktis bahasa Indonesia siswa dalam PBM cenderung tidak sesuai dengan kaidah sintaksis bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebagai contoh siswa cenderung mengucapkan, "Tanya satu Bu!". Kata satu dalam tuturan siswa itu cenderung dipengaruhi sistem sintaksis bahasa Minangkabau, "Tanyo ciek, Bu!" Berdasarkan hasil refleksi, diperkirakan lima penyebab kekurangmampuan siswa berbicara dalam mengikuti PBM bahasa, Indonesia. Pertama, siswa kurang diberi motivasi untuk mengunjukkan keterampilan berbicaranya. Kedua, siswa kurang diberi kebebasan untuk menyampaikan ide, gagasan, atau emosinya dalam berbicara. Ketiga, pembelajaran keterampilan berbicara cenderung tidak dikaitkan dengan pembelajaran berinteraksi dengan mitra-tutur lain. Keempat, pembelajaran keterampilan berbicara cenderung tidak dikaitkan dengan pemecahan masalah yang bersifat orisinal, sesuai dengan kemampuan dan minat siswa. Kelima, pembelajaran keterampilan berbicara cenderung tidak mengembangkan rasa senang siswa mengikuti PBM. Berdasarkan hasil pengamatan dan refelksi di atas, dirasa sangat mendesak untuk diadakan pembaharuan dalam metode pembelajaran keterampilan berbicara melalui penelitian tindakan kelas. Metode pembelajaran tersebut hendaknya membuka peluang seluas-luasnya bagi siswa untuk (1) berinteraksi dengan siswa lain, baik dalam kelompok kecil maupun besar, (2) berpusat pada pemecahan masalah komunikasi dalam kehidupan nyata, (3) mengembangkan simpati dan empati dalam berkomunikasi, dan (4) mengunjukkan kemampuan berbicara yang orisinil, spontan, tetapi sesuai dengan

4 lafal, jeda, intonasi, diksi, dan struktur sintaksis bahasa Indonesia. Metode pembelajaran yang memungkinkan hal-hal tersebut adalah bermain peran. D. PERUMUSAN DAN PEMECAHAN MASALAH 1. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pendahuluan, diajukan rumusan permasalahan penelitian tindakan kelas ini, yaitu, Apakah melalui metode bermain peran dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas X-1 Jurusan Akutansi SMKN 3 Padang ? Yang dimaksudkan keterampilan berbicara dalam penelitian ini adalah keterampilan berbicara bahasa Indonesia dalam konteks pembelajaran. Berbicara bahasa Indonesia dalam konteks pembelajaran tidak sama dengan berbicara bahasa Indonesia dalam konteks sehari-hari atau di luar kelas. Hal ini sesuai dengan tuntutan rumusan kompetensi dasar (KD) dalam KTSP SMKN 3 Padang Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, yaitu (1) melafalkan kata dengan artikulasi yang tepat, (2) memilih kata, bentuk kata, dan ungkapan yang tepat, (3) menggunakan kalimat yang baik, tepat, dan santun, dan (4) mengucapkan kalimat dengan jelas, lancar, bernalar, dan santun (KTSP SMKN 3 Padang, 2007). Menurut Sumarsono (1999), yang mengutip pendapat Heidy Dulay, dkk dalam Language Two, ada empat lingkungan makro dan tiga lingkungan mikro yang bisa berpengaruh dalam pembelajaran bahasa, khususnya bahasa kedua dan bahasa asing. Lingkungan makro ialah (1) kealamian bahasa yang didengar; (2) peranan siswa dalam komunikasi; (3) ketersediaan alat acuan untuk memperjelas makna; dan (4) siapa yang menjadi model bahasa sasaran. Lingkungan mikro terdiri dari (1) tonjolan (salience), (2) balikan (feedback), dan (3) frekuensi.

5 Relevan dengan teori tersebut, penerapan metode bermain peran dalam pembelajaran keterampilan berbicara mampu memaksimalkan adanya lingkungan makro karena (1) bahasa yang digunakan siswa merupakan bahasa Indonesia yang akademis-alami sebab diungkapkan siswa secara spontan berdasarkan hasil pemecahan masalah, (2) masing-masing siswa memiliki dan mengunjukkan peran aktif tertentu sesuai dengan perannya masing-masing, (3) kejelasan makna dapat dikembangkan sesuai dengan reaksi mitratutur ketika siswa bermain peran, dan (4) acuan model berbahasa adalah guru dan pengalaman siswa. Selain itu, sumbang saran serta diskusi yang dikembangkan gurusiswa setelah penerapan metode bermain peran juga merupakan contoh lingkungan mikro berbahasa yang kondusif. Sumbang saran dan diskusi tersebut mengandung tonjolan (salience), balikan (feedback), dan penguatan frekuensi (frequence). 2. Pemecahan Masalah Menurut Henry Guntur Tarigan (1990:285) metode pembelajaran bahasa yang relevan dengan hakikat bahasa adalah meto-de-metode pembelajaran bahasa komunikatif. Metode-metode tersebut dilandasi oleh teori pembelajaran yang mengacu pada tiga prinsip. Prinsip-prinsip tersebut adalah (1) prinsip komunikasi: kegiatankegiatan atau aktivitas-aktivitas yang melibatkan komunikasi nyata mampu mengembangkan proses pembelajaran, (b) prinsip tugas: kegiatan-kegiatan atau aktivitasaktivitas tempat dipakainya bahasa untuk melaksanakan tugas-tugas yang bermakna mampu mengembangkan proses pembelajaran, dan (c) prinsip kebermaknaan: bahasa yang bermakna bagi pembelajar turut mengem-bangkan proses pembelajaran. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, Henry Guntur Tarigan (1990:295) menyatakan bahwa materi pembelajaran bahasa hendaknya memungkinkan penerapan metode-

6 metode yang relevan dengan tugas komunikasi. Metode-metode tersebut mencakup metode permainan, bermain peran, simulasi, dan komunikasi pasangan. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan tahap pembelajaran keterampilan berkomunikasi, termasuk di dalamnya keterampilan berbicara, adalah sebagai berikut. Tahap pertama adalah tahap komunikasi awal: guru dan siswa merumuskan tujuan-tujuan pembelajaran, materi, langkah-langkah pembelajaran hingga pengevaluasian dan pemberian umpan-balik. Tahap kedua adalah tahap penugasan: siswa menyepakati tugas komunikatif, yaitu memikirkan, merancang, dan menyiapkan pemeranan sesuai dengan kasus yang akan dimainperankan, termasuk merancang dialog-dialog yang akan digunakan. Tahap ketiga adalah perumusan makna: siswa memaknai dan memerankan tokoh serta membawakan dialog-dialog yang sesuai dengan peran maupun kasus yang akan dimainperankan. Pada tahap pemaknaan ini, kegiatan bermain peran ditindaklanjuti melalui sumbang-saran dan diskusi kelas berkaitan dengan pencapaian indikator pembelajaran yang sekaligus menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini. Indikator keberhasilan pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini disesuaikan dengan rumusan-rumusan kompetensi dasar dalam KTSP SMKN 3 Padang Mata Pelajaran Bahasa Indonesia kelas X, yaitu (1) melafalkan kata dengan artikulasi yang tepat, (2) memilih kata, bentuk kata, dan ungkapan yang tepat, (3) menggunakan kalimat yang baik, tepat, dan santun, dan (4) mengucapkan kalimat dengan jelas, lancar, bernalar, dan santun. Persentase keberhasilan terhadap capaian empat indikator utama tersebut adalah 75%.

7 E. TUJUAN PENELITIAN Pelaksanaan penelitian tindakan kelas (PTK) ini bertujuan untuk: a) Meningkatkan keterampilan siswa SMKN 3 Padang dalam berbicara dalam pembelajaran bahasa Indonesia. b) Meningkatkan kreativitas siswa SMKN3 Padang dalam berbicara dalam pembelajaran bahasa Indonesia. F. MANFAAT HASIL PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pihak-pihak berikut ini. 1) Bagi siswa-siswa, khususnya siswa-siswa SMKN 3 Padang untuk meningkatkan kreativitas dan keterampilan berbicara dalam pembelajaran bahasa Indonesia. 2) Bagi guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, khususnya peneliti sendiri untuk meningkatkan kinerjanya dalam mengajar, terutama mengajarkan keterampilan berbicara. 3) Bagi lembaga, khususnya SMKN 3 Padang, untuk dapat meningkatkan keprofesionalan guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dan kemampuan siswa dalam berbicara. G. KAJIAN TEORI DAN PUSTAKA 1. Pembelajaran Bahasa Indonesia Dalam uraian latar belakang KTSP SMKN 3 Padang Mata Pelajaran Bahasa Indonesia (SMKN 3 Padang, 2007) dikemukakan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia dimaksudkan agar siswa mampu menghadapi tantangan masa depan. Untuk menghadapi tantangan masa depan, kemampuan berkomunikasi menjadi salah satu sya-

8 rat keberhasilan bekerja. Karena itu, pelajaran bahasa Indonesia dirancang, dikembangkan, serta diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik mampu berkomunikasi di dunia kerja secara efisien dan efektif. Relevan dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia, yaitu memnumbuhkembangkan keterampilan berkomunikasi, maka induk utama pendekatan pembelajaran bahasa adalah Pendekatan Komunikatif. Brumfit dan Finocchiaro pada tahun 1983 (dalam Richards & Rodgers, 1986:67) mengemukakan ciri-ciri pendekakatan komunikatif dengan mempertentangkannya dengan Metode Audiolingual yang tujuannya adalah untuk menjelaskan konsep pendekatan komunikatif itu. Ciri-ciri pendekatan komunikatif tersebut adalah sebagai berikut (1) makna merupakan hal yang terpenting; (2) percakapan kalau digunakan harus berpusat di sekitar fungsi-fungsi komunikatif dan tidak dihafalkan secara normal; (3) kontekstualisasi merupakan premis utama; (4) belajar bahasa berarti berkomunikasi; (5) komunikasi efektif dianjurkan; (6) latihan penubian (dril) diperbolehkan, tetapi jangan terlalu memberatkan; (7) ucapan yang dapat dipahami sangat diutamakan; (8) setiap alat bantu para pembelajar diterima dengan baik; (9) segala upaya untuk berkomunikasi dapat didorong sejak awal; (10) penggunaan bahasa secara bijaksana dapat diterima bila memang layak; (11) terjemahan boleh digunakan kalau dibutuhkan siswa atau mereka benar-benar memperoleh keuntungan dari itu; (12) membaca dan menulis dapat dimulai sejak awal bila diinginkan; (13) sistem linguistik bahasa target akan dapat dipelajari dengan sangat baik melalui usaha berkomunikasi; (14) kompetensi komunikatif merupakan tujuan; (15) variasi linguistik merupakan konsep inti dalam pengurutan ditentukan oleh pertimbangan mengenai materi dan metodologi; (16) isi, fungsi, atau makna yang

memperbesar minat; (17) guru menolong para pembelajar sedemikian rupa sehingga

9 dapat mendorong mereka bekerja dengan bahasa itu; (18) bahasa diciptakan oleh individu sering melalui proses trial-error; (19) kefasihan dan bahasa yang berterima merupakan tujuan utama, ketepatan dinilai dalam konteks bukan dalam keabstrakan; (20) para siswa diharapkan berinteraksi dengan orang lain melalui kelompok atau pasangan, lisan dan tulis; (21) guru tidak dapat mengetahui secara tepat bahasa apa yang akan dipakai siswa; dan (22) motivasi intrinsik akan muncul dari minat terhadap apa yang dikomunikasikan dengan bahasa itu. Rubin dan Thompson (dalam Tarigan, 1990: 201) mengemukakan bahwa ciriciri pembelajar sesuai dengan konsep pendekatan pembelajaran komunikatif adalah sebagai berikut: (1) selalu berkeinginan untuk menafsirkan sesuatu (tuturan bahasa) secara tepat; (2) berkeinginan agar bahasa yang digunakan selalu komunikatif; (3) pembelajar tidak merasa malu jika berbuat kesalahan dalam berkomunikasi; (4) selalu menyesuaikan bentuk dan makna dalam berkomunikasi; (5) frekuensi latihan berbahasa relatif tinggi; dan (6) selalu memantau ujarannya sendiri dan ujaran penutur lain untuk mengetahui apakah pola-pola bahasa yang dilahirkan tersebut berterima dalam masyarakat bahasa. Berdasarkan konsep pendekatan komunikatif, guru bukanlah penguasa tunggal dalam kelas. Guru bukan satu-satunya pemberi informasi dan sumber belajar, akan tetapi guru juga merupakan penerima informasi dari pembelajar. Jadi, pembelajaran didasarkan atas multisumber atau berbagai sumber belajar yang dapat didayagunakan. Sumber utama pembelajaran adalah guru, siswa dan lingkungan, lingkungan terdekat adalah lingkungan kelas. Chandlin (dalam Tarigan, 1990: 201) menyebutkan dua peran guru dalam proses belajar mengajar berdasarkan pendekatan komunikatif, yaitu (a) pemberi kemudahan dalam proses komunikasi antara sesama partisipan dalam kelas,

10 dan antara patisipan dengan kegiatan pembelajaran serta teks atau materi, dan (b) sebagai partisipan mandiri dalam kelompok belajar mengajar. Implikasi dari kedua peran di atas menimbulkan peran-peran kecil lainnya, yaitu sebagai pengorganisasi, pembimbing dalam prosedur dan kegiatan pembelajaran, peneliti, dan pembelajar dalam proses belajar tersebut. Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan hal-hal berikut. Pertama, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk menumbuhkembangkan keterampilan siswa berkomunikasi, termasuk di dalamnya keterampilan berbicara. Kedua, keterampilan berkomunikasi itu mencakup menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Pembelajaran empat keterampilan tersebut bersifat saling mempengaruhi dan saling terkait. Ketiga, sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa, maka pendekatan yang lazim digunakan adalah pendekatan komunikatif. Dalam pendekatan ini, kedudukan antara guru siswa relatif sama, yaitu mengemban fungsi dan peran tertentu dalam berkomunikasi, materi pembelajaran bukan tujuan terpenting karena yang penting adalah penumbuhkembangan keterampilan berkomunikasi, dan pembelajaran lebih banyak dilakukan secara berkelompok karena kelompok akan memicu aktivitas komunikasi. 2. Pembelajaran Keterampilan Berbicara Berbicara merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa. Berbicara adalah keterampilan berbahasa yang berkembang pada diri manusia semenjak anakanak. Keterampilan berbahasa ini didahului oleh keterampilan menyimak, dan pada saat ini pulalah keterampilan berbicara atau keterampilan berujar dipelajari/dimulai. Pada masa anak-anak sebelum mereka terampil berbicara, mereka lebih banyak mendengarkan/menyimak bunyi bahasa yang keluar dari mulut orang tua dan keluarganya. Kalau

11 yang mereka dengan setiap saat dari orang tua dan keluarganya adalah bunyi bahasa ibu, maka si anak pun akan pandai satu-satu mengucapkan bunyi bahasa ibunya tersebut. Jika dalam keseharian orang tua dan keluarganya menggunakan bahasa Indonesia, maka si anak tentulah satu-satu akan mengucapkan bunyi bahasa Indonesia pula. Berbicara sangat erat kaitannya dengan perkembangan kemampuan menyimak anak. Ketepatan melafalkan dan perkembangan kosa kata yang diperoleh anak dipengaruhi oleh kemampuan atau daya simak anak. Setelah anak dewasa, maka kemampuan berbahasa berikutnya yang mereka miliki adalah membaca dan menulis. Kedua keterampilan berbahasa ini biasanya dimiliki oleh anak melalui proses pembelajaran di sekolah. Berbicara bukanlah sekedar mengucapkan bunyi-bunyi atau kata-kata. Berbicara merupakan suatu alat untuk menyampaikan gagasan yang disusun dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pendengar/penyimak. Berbicara merupakan instrumen yang mengungkapkan kepada penyimak hampir-hampir secara langsung, apakah pembicara memahami atau tidak, baik bahan pembicaraan maupun penyimaknya. Serta apakah pembicara dapat menyesuaikan diri/tidak ketika menyampaikan gagasannya. Menurut Tarigan (1983: 15) berbicara adalah kempuan mengucapkan bunyibunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Sebagai perluasan dari batasan ini dapat dikatakan bahwa berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan (visible) yang memanfaatkan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan gagasan/ide-ide yang dikombinasikan. Lebih jauh lagi, berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktorfaktor fisik, psikologis, neurologis, semantik, dan linguistik sedemikian ekstensif,

12 secara luas sehingga dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol sosial. Setiap orang yang berbicara tentu punya tujuan yakni menyampaikan pikiran dan perasaan secara efektif (tujuan umum). Maka seyogyanyalah pembicara memahami benar segala sesuatu yang ingin disampaikan. Pembicara juga harus mampu mengevaluasi efek komunikasinya terhadap pendengaran sesuai dengan tujuan perorangan/pembicara (tujuan khusus). Sebagai alat sosial ataupun sebagai alat perusahaan, maupun profesional maka pada dasarnya berbicara mempunyai tiga maksud umum (Tarigan, 1983:16). Ketiga tujuan tersebut adalah (1) memberitahukan, melaporkan, (2) menjamu, menghibur, serta (3) membujuk, mengajak, mendesak, menyakinkan. Menurut Keraf (1980:320), tujuan seseorang berbicara adalah (1) mendorong, (2) menyakinkan, (3) berbuat dan bertindak, (4) memberitahukan, dan (5) menyenangkan. Mendorong, jika pembicara berusaha untuk memberi semangat, membangkitkan kegairahan atau menekan perasaan yang kurang baik, serta menunjukkan rasa hormat dan pengabdian. Reaksi-reaksi yang diharapkan adalah menimbulkan ilham/membakar emosi para pendengar. Kalau pembicaraan yang bertujuan umum menyakinkan, pembicara berusaha untuk mempengaruhi keyakinan atau sikap mental/intelektual para pendengar untuk tujuan meyakinkan. Alat yang esensial dari pembicaraan ini adalah argumentasi, karena itu biasanya disertai bukti-bukti, fakta-fakta dan contoh-contoh yang konkrit. Dengan demikian reaksi yang diharapkan dari pendengar adalah timbulnya persesuaian pendapat atau keyakinan dan kepercayaan. Seorang pembicara mungkin menghendaki beberapa macam tindakan/reaksi fisik dari para pendengar. Reaksi/tindakan yang diharapkan dapat berbentuk ya atau

13 melakukan sesuatu sesuai isi pembicaraan. Dasar dari tindakan tersebut adalah keyakinan yang mendalam atau terbakarnya emosi, atau kedua-duanya. Oleh karena itu dalam garis besarnya uraian semacam ini dapat berjalan sejajar dengan maksud umum pertama dan kedua di atas. Dengan demikian, ketiga jenis tujuan berbicara di atas disebut sebagai jenis pembicaraan/komposisi peruasif yang artinya tidak lain dari membujuk/ mendorong. Lain halnya dengan tujuan memberitahukan, karena pembicara ingin memberitahukan/menyampaikan sesuatu kepada pendengar agar mereka dapat mengerti tentang sesuatu hal atau memperluas bidang pengetahuan mereka. Misalnya, pembicaraan dosen, guru atau ahli yang menjelaskan cara menggunakan sesuatu. Reaksi yang diharapkan dari jenis uraian ini adalah agar para pendengar mendapat pengertian yang tepat, menambah pengetahuan mereka tentang hal-hal yang kurang atau belum diketahui. Jenis atau sifat pembicaraan ini adalah pembicaraan instruktif atau mengandung ajaran. Pembicaraan yang bertujuan menyenangkan adalah pembicaraan dengan maksud menggembirakan orang yang mendengarkan pembicaraannya, dengan tujuan menyenangkan. Pembicaraan seperti ini biasanya terdapat pada jamuan-jamuan, pesta-pesta, atau perayaan-perayaan dan pertemuan gembira lainnya. Kesegaran dan orisinalitas memainkan pula peranannya dalam pembicaraan ini. Humor merupakan alat yang penting dalam penyajian lisan ini. Reaksi-reaksi yang diharapkan adalah menimbulkan minat dan kegembiraan pada hati pendengar. Oleh sebab itu, pembicaraan seperti ini termasuk pembicaraan yang bersifat rekreatif.

14 Pelaksanaan suatu kegiatan berbicara didasari oleh delapan hal (Tarigan, 1983: 16). Hal ini dapat dijadikan sebagai landasan penyusunan prinsip umum pembelajaran keterampilan berbicara. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut ini. 1) Membutuhkan paling sedikit dua orang.

Tentu saja pembicaraan dapat dilakukan oleh satu orang dan hal ini sering terjadi, misalnya oleh orang yang sedang mempelajari bunyi-bunyi bahasa serta maknanya. Atau oleh seseorang yang meninjau kembali pernyataan banknya. 2) Mempergunakan suatu sandi linguistik

yang dipahami bersama. Bahkan andaikata pun dipergunakan dua bahasa, namun saling pengertian, pemahaman bersama itu tidak kurang pentingnya. 3) Menerima/mengakui suatu daerah

referensi umum. Daerah itu mungkin tidak selalu mudah dikenal/ditentukan, namun pembicaraan menerima kecende-rungan untuk menemukan satu di antaranya. 4) Merupakan suatu pertukaran antara

partisipan. Kedua pihak partisipan yang memberi dan menerima dalam pembicaraan saling bertukar sebagai pembicara dan penyimak. 5) Menghubungkan setiap pembicara

dengan yang lainnya dan kepada ling-kungannya dengan segara. Perilaku lisan sang pembicara selalu berhubungan dengan responsi yang nyata atau yang diharapkan dari sang penyimak, dan sebaliknya. 6) Berhubugan dengan masa kini. Hanya

dengan bantuan berkas grafik material, bahasa dapat luput dari kekinian dan kesegeraan, bahwa pita atau berkas itu telah mungkin berbuat demikian, tentu saja merupakan salah satu kenyataan keunggulan budaya manusia.

15 7) Hanya melibatkan perlengkapan yang

berhubungan dengan bunyi bahasa dan pendengaran. Walaupun kegiata-kegiatan dalam pita audio-lingual dapat melepaskan gerak visual dan grafik materi, namun sebaliknya tidak akan terjadi, kecuali bagi pantomim/gambar. 8) Secara tidak pandang bulu menghadapi

serta memperlakukan apa yang nyata dan apa yang diterima sebagai dalil. Keseluruhan lingkungan yang dapat dilambangkan oleh pembicaraan mencakup bukan hanya dunia nyata yang mengelilingi para pembicara tetapi secara tidak terbatas dunia gagasan yang lebih luas harus mereka masuki karena mereka dan manusia berbicara sebagai titik pertemuan kedua wilayah ini memerlukan penelaahan, demikian menurut Brooks. Selain itu, perlu dipedomani bahwa pembelajaran berbicara adalah pembelajaran berkomunikasi. Oleh sebab itu, perlu dicermati apa dan bagaimana sebenarnya proses komunikasi tersebut. Suatu proses komunikasi akan terlaksana apabila komponen/unsur-unsur komunikasi ada di dalamnya. Komunikasi akan berhasil apabila mempunyai unsurunsur sebagai berikut. 1) Komunikator, yakni pihak yang

menyampaikan berita atau pesan, dan disebut sebagai sumber berita. Sumber berita ini dapat perorangan, kelompok, suatu badan, atau suatu organisasi. Berita dapat disampaikan secara langsung oleh komunikator kepada komunikan/resipiens melalui proses penyajian lisan yang disebut berbicara. Dan juga pesan dapat disampaikan secara tidak langsung oleh komunikator kepada komunikan/resipiens secara tertulis.

16 2) warta, berita, atau pesan yang Pesan disampaikan (massage/komunike), oleh komunikator adalah kepada

komunikan/resipiens. Warta, berita, atau pesan tersebut dapat berupa lambang, gerak-gerik (mimik dan pantomimik), kode-kode isyarat, suara (sirine), dan bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Dalam komunikasi lisan/berbicara, pesan atau berita itu berupa lambang bahasa/ujaran-ujaran, yang ditunjang oleh gerakan, mimik dan ekspresi. Jadi kesempurnaan komunikasi lisan/berbicara disertai dengan Body Language (BL) atau bahasa tubuh, agar apa yang dimaksud komunikator sama dengan yang diterima/dipahami komunikan/resipiens. 3) Media, merupakan sarana atau saluran

yang dipergunakan sebagai tempat berlalunya lambang-lambang tersebut. Sarana ini dapat berupa radio, telepon, televisi, telegram, surat, surat kabar, majalah, buletin. Dan media juga dapat diartikan sebagai medium, yakni alat yang digunakan untuk menata pesan yang disampaikan oleh komunikator dan untuk menata pesan yang sampai pada komunikan/resipiens. Alat untuk menata pesan tersebut tentunya bahasa yang digunakan dalam komunikasi tersebut. Bahasa yang digunakan ini haruslah bahasa yang sama-sama dimengerti oleh kedua belah pihak. 4) Komunikan, adalah obyek/sasaran dari

kegiatan komunikasi. Komunikan adalah pihak yang menerima pesan disebut juga sebagai recipient (resipiens). Dalam suatu komunikasi, komunikan/resipiens akan berusaha menafsirkan pesan yang disampaikan kepadanya sesuai dengan kemampuan berbahasa yang dimiliki. Oleh karena itu dalam proses komunikasi, komunikator diharapkan mampu menyesuaikan bahasa yang digunakannya dengan tingkat kemampuan berbahasa resipiensnya.

17 Berdasarkan uraian teori di atas, disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, pembelajaran keterampilan berbicara terkait erat dengan pembelajaran keterampilan menyimak, membaca, dan menulis. Kedua, pembelajaran keterampilan berbicara

berarti juga pembelajaran memahami dan menerapkan unsur-unsur komunikasi. Untuk itu siswa hendaknya mampu memahami dan menerapkan peran sebagai komunikator (pembicara) dan komunikan (penyimak) yang mampu mengolah pesan secara baik dan mendayagunakan media secara tepat. Pesan yang baik dirumuskan dalam bahasa yang baik dan terstruktur, sedangkan penggunaan media yang tepat adalah media tubuh dan alat-alat ucap. Ketiga, pembelajaran keterampilan berbicara membutuhkan faktor pemicu yang berupa masalah yang akan dikomunikasikan, mitrabicara, situasi komunikasi, serta tujuan yang jelas. Salah satu metode yang memungkinkan terwujudnya halhal tersebut adalah bermain peran. 3. Metode Bermain Peran Menurut Suyatno (2004:119) tujuan penggunaan metode bermain peran ada dua, yaitu (1) siswa dapat memerankan tokoh tertentu dengan ucapan yang tepat, dan (2) siswa menirukan gaya tokoh yang diidentifikasikan dengan ucapan yang mirip atau sama. Hal itu juga dikemukakan Ermawati Arief (2003: 217) bahwa teknik bermain peran sangat baik dalam mendidik siswa menggunakan ragam-ragam bahasa. Cara berbicara orang tua tentu berbeda dengan cara berbicara anak-anak. Cara berbicara penjual berbeda pula dengan cara berbicara pembeli. Fungsi dan peranan seseorang menuntut cara berbicara dan berbahasa tertentu pula. Dalam bermain peran, siswa bertindak, berlaku, dan berbahasa sesuai dengan peranan orang yang diperankannya. Misalnya sebagai guru, orang tua, polisi, dan sebagainya. Setiap tokoh yang diperankan menuntut karakteristik tertentu pula.

18 Yang dimaksudkan dengan metode bermain peran adalam penelitian tindakan kelas ini bukan semata-mata mengembangkan kemampuan siswa meniru tokoh yang diidentifikasikan. Untuk memicu siswa memikiran dan memecahkan masalah, guru akan memberikan suatu permasalahan. Tentu saja, permasalahan tersebut disesuaikan dengan kemampuan, minat, dan kondisi siswa, misalnya permasalahan tentang apa yang akan dikerjakan seorang siswa SMK setelah menamatkan sekolah, apakah akan terjun ke dunia kerja, melanjutkan kuliah, atau mungkin menikah karena sudah memiliki kekasih. Permasalahan siswa itu bertambah rumit jika ternyata sang bapak menghendaki anaknya melanjutkan kuliah di jurusan tertentu, sang ibu menghendaki anaknya menikah, dan sang kakak menghendaki adiknya bekerja di perusahaannya. Langkah berikutnya adalah membagi siswa dalam kelompok sesuai dengan tokoh yang diidentifikasikan, misalnya tokoh anak (siswa SMK), kakak, ibu, dan bapak. Jadi, satu kelompok terdiri atas empat anggota. Langkah ketiga, masing-masing kelompok mendiskusikan permasalahan yang diberikan guru. Dalam bediskusi, kelompok bukan hanya mengidentifikasikan anggotaanggota sesuai dengan apa yang akan diperankan, termasuk juga merancang dialogdialog yang akan dikemukakan dalam bermain peran. Langkah keempat, masing-masing kelompok bermain peran. Tentu saja, karena tidak ada dialog yang harus dihafal maka masing-masing kelompok didorong untuk mengembangkan kreativitasnya. Tidak ada satu kelmpok pun yang sama dengan kelompok lain. Ketika satu kelompok bermain peran, kelompok yang lain mengamatamati berkaitan dengan: (1) jeda, pelafalan, dan intonasi, (2) diksi atau pilihan kata, (3) stuktur sintaksis yang digunakan, dan (4) kelancaran.

19 Langkah kelima adalah sumbang saran. Guru bersama-sama siswa mengomentari tuturan dan cara bertutur kelompok yang sudah tampil. Komentar dikaitkan dengan empat indikator di atas. Langlah keenam, kelompok lainmenampilkan main peran dan kelompok-kelompok lainnya mengamat-amati. Sesudah itu, kembali diadakan sumbang saran untuk mengomentari penggunaan tuturan dan bahasa yang digunakan kelompok yang tampil. Langkah ketujuh adalah penarikan simpulan. Dalam langkah ini, guru bekerja sama dengan siswa menyimpulkan pembelajaran. Langkah kedelapan adalah refleksi. Guru dan siswa merefleksikan pembelajaran hari itu. Akhirnya, langkah kesembilan adalah penutup dan pemberian tugas untuk pertemuan pembelajaran berikutnya. Rangkuman kerangka pemikiran penelitian tindakan kelas sesuai dengan permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut.No 1 2 3 4 Permasalahan Siswa kurang termotivasi untuk mengunjukkan keterampilan berbicaranya. Siswa kurang diberi kebebasan untuk menyampaikan ide, gagasan, atau emosinya dalam berbicara. Siswa tidak berkesempatan secara memadai untuk berinteraksi dengan siswa lain dalam pembelajaran. Siswa tidak berkesempatan secara memadai untuk mengaitkan pemecahan masalah yang bersifat orisinal, sesuai dengan kemampuan dan minat siswa. Siswa tidak mengembangkan rasa senang dan berbagi pengalaman dalam pembelajaran. Tahap Penerapan Metode Bermain Peran Tahap Memotivasi Siswa Tahap Pemecahan Masalah Tahap Penyajian Bermain Peran Tahap Sumbang Saran

5

Tahap Simpulan dan Refleksi

H. METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

20 Sesuai dengan tujuan penelitian, jenis penelitian yang akan dilaksanakan ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research). Menurut Arikunto (2006: 3), Penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun kelas peristiwa (Nazir, 1993: 63). Dalam penelitian ini tujuan penelitian deskripstif adalah membuat gambaran atau tulisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta serta hubungan antarfenomena yang diteliti. Metode penelitian deskriptif ini digunakan sesuai dengan tujuan penelitiannya yaitu, untuk mendeskripsikan keterampilan berbicara siswa kelas X-1 Jurusan Akutansi SMKN 3 Padang melalui penerapan metode bermain peran. 2. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah siswa siswa kelas X-1 Jurusan Akutansi SMKN 3 Padang. Jumlah siswa di kelas ini adalah 29 orang. Secara teoretis, siswa-siswa di kelas ini seharusnya telah memiliki keterampilan berbicara secara memadai karena kompetensi dasar berbicara sudah dikembangkan semenjak di tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP). 3. Prosedur Penelitian Penelitian tindakan adalah suatu analisis, yang diawali dari upaya menemukan fakta melalui pengamatan, merencanakan, melakukan tindakan, kemudian menemukan dan mengevaluasi temuan. Apabila temuan belum meyakinkan maka dilakukan daur

21 ulang sebagaimana semula. Penelitian tindakan kelas dilaksanakan dalam bentuk siklus (daur ulang) yang menyeluruh dan bertujuan untuk memperbaiki praktik kependidikan. Daur ulang aktivitas dalam penelitian tindakan kelas diawali dengan pengamatan dan perencanaan tindakan (planning), pelaksanakan tindakan (actions), pengobservasian dan pengevaluasian proses dan hasil tindakan (observation and avaluation), dan pelaksanakan refleksi (reflection). Keempat tahap itu terus diulang sampai peneliti meyakini sudah ada perubahan positif aspek yang diberi tindakan tersebut. Gambaran tentang siklus tindakan tersebut adalah sebagai berikut ini.

Siklus I Refleksi

Perencanaan Pengamatan Pelaksanaan

Siklus II Refleksi

Perencanaan Pengamatan Pelaksanaan

?Gambar 1 Siklus Penelitian Tindakan

a. Siklus 1 1) Perencanaan (1) Merancang dan menulis kasus-kasus yang akan dimainperankan dan

instrumen penelitian. Kasus-kasus tersebut dibagi menjadi dua, yaitu kasus yang sangat sederhana dan kasus tingkat menengah. Yang dimaksukan dengan

22 kasus yang sederhana adalah kasus yang hanya melibatkan dua orang pemeran dan mengungkanpkan permasalahan sederhana misalnya tentang perbedaaan pandangan cara berpakaian antara ibu dan anak. Yang dimaksudkan dengan kasus menengah adalah kasus yang melibatkan lebih dari 2 orang pemeran dan permasalahannya cukup rumut. Sebagai contoh, kasus seorang tamatan SMK yang dihadapkan pada pilihan (1) mencari pekerjaan, (2) melanjutkan kuliah, atau (3) mengambil kursus keterampilan singkat. Kasus itu melibatkan siswa yang menamatkan SMK, bapak, ibu, dan kakak. Masing-masing tokoh memiliki pandangan berbeda terhadap kelanjutan masa depan siswa tadi. (2) Mengujicobakan kasus main peran dan instrumen penelitian di

kelas lain yang setingkat. (3) (4) (5) Merevisi kasus serta instrumen yang telah diujicobakan. Menyiapkan media pendukung seperti gambar. Merancang keseluruhan tindakan kepengajaran sesuai dengan hasil

langkah ke-1 s.d. ke-4.

2) Tindakan Pelaksanaan tindakan dalam kelas disesuaikan dengan siklus yang telah direncanakan. (1) Guru mengkomunikasikan tujuan pembelajaran.

23 (2) Bertanya jawab dengan siswa tentang penggunaan keterampilan

berbicara dalam dunia nyata, baik dunia hiburan (seperti drama, sinetron, film) maupun dalam dunia kerja. (3) Guru membagi kelas dalam kelompok-kelompok kecil (satu

kelompok beranggotakan dua orang). Sementara itu, kolaborator berperan serta untuk mengamat-amati dan mencatat proses pembelajaran (pemberian tindakan). (4) (5) Guru memberikan kasus sederhana untuk didiskusikan kelompok. Siswa mendiskusikan kasus tersebut sekaligus menyiapkan dialog

dan peme-ranan. (6) Guru menugasi beberapa kelompok untuk menampilkan hasil

diskusinya dalam bentuk bermain peran. Siswa lain mengamat-amati sesuai dengan format pengamatan yang diberikan guru. (7) Guru dan siswa mendiskusikan pemeranan yang ditampilkan

kelompok. (8) Guru dan siswa merumuskan hasil pembelajaran berkaitan dengan

peng-gunaan (1) jeda, intonasi, dan pelafalan, (2) diksi, (3) struktur kalimat, dan (4) kelancaran. (9) (10) Guru menyimpulkan hasil pembelajaran. Guru dan siswa mengadakan refleksi pembelajaran.

24 (11) Guru dan kolaborator menganalisis hasil observasi proses

pemberian pembelajaran dan merancang perbaikan pembelajaran yang perlu ditempuh pada siklus berikutnya. (12) Guru dan kolaborator merancang siklus ke-2. Pada dasarnya, pelaksanaan siklus ke-1 dan ke-2 dirancang sama, tetapi kasus yang akan diperankan siswa merupakan kasus yang lebih kompleks. Untuk itu, pembelajaran pada siklus kedua akan melibatkan siswa dalam kelompokkelompok menengah (beranggotakan 4 5 orang).

3) Observasi dan Evaluasi Observasi (pengamatan) dilakukan oleh kolaborator untuk mengamatamati (mengobservasi) dua hal, yaitu proses pemberian tindakan atau pelaksanaan metode bermain peran dan peran serta siswa dalam pemnbelajaran tersebut. Observasi terhadap proses pembelajaran mencakup (1) kegiatan awal seperti pembukaan dan apersepsi, (2) kegiatan inti dari pengungkapan tujuan hingga pelaksanaan main peran dan tindaklanjutnya, serta (3) penutup yang berisi refleksi dan evaluasi pembelajaran. Observasi terhadap peran serta siswa dalam pembelajaran mencakup (1) antusias atau motivasi siswa, (2) kerja sama, (3) insiatif siswa, dan (4) respons siswa terhadap kelompok maupun terhadap kelas. Evaluasi dilaksanakan oleh guru (peneliti). Evaluasi mencakup indikatorindikator pembelajaran yang mencakup keterampilan siswa dalam (1) melafalkan kata dengan artikulasi yang tepat, (2) memilih kata, bentuk kata, dan ungkapan yang

25 tepat, (3) menggunakan kalimat yang baik, tepat, dan santun, dan (4) mengucapkan kalimat dengan jelas, lancar, bernalar, dan santun. Seluruh instrumen, baik untuk mengamat-amati proses pemberan tindakan maupun melaksanakan evaluasi dilampirkan pada proposal ini. 4) Refleksi Refleksi terhadap capaian yang diperoleh pada siklus 1 didasarkan pada dua hal yaitu terhadap proses dan hasil pemberian tindakan atau hasil pembelajaran. Acuan pokok untuk melakukan refleksi adalah peran serta siswa dalam pembelajaran serta hasil pembelajaran. Norma keberhasilan yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah 75% per individu (siswa) dan 75% per kelas (jika sebanyak 75% siswa telah mencapai ketuntasan belajar 75%). Jika kriteria tersebut belum tercapai, maka diadakan siklus ke-2. b. Siklus 2 Pada siklus kedua, pembelajaran diarahkan untuk memperbaiki hal-hal yang belum tuntas pada siklus ke-1. Selain itu, kasus yang diberikan kepada siswa untuk diperankan lebih kompleks (melibatkan 35 orang siswa per kelompok) dibandingkan dengan kasus pada siklus ke-1 yang hanya melibatkan 2 orang siswa per kelompok. c. Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data dalam penelitian ini terdiri atas empat jenis, yaitu sebagai berikut ini. 1) Format Observasi

26 Format observasi digunakan untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan tindakan dengan rencana yang telah disusun sebelumnya. Di samping itu, juga digunakan untuk mengobservasi tingkat peran serta dan antusias siswa dalam pembelajaran. Observasi dilakukan oleh observer (kolaborator). 2) Catatan Lapangan Catatan lapangan merupakan jurnal harian peneliti yang ditulis secara bebas untuk mencatat setting pembelajaran yang telah dilaksanakan. 3) Angket Angket digunakan untuk mendapatkan informasi bagaimana persepsi

siswa terhadap penerapan metode bermain peran dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Hal ini penting karena siswalah sebagai subjek yang paling berkepentingan untuk mengevaluasi atau menanggapi kekuatan dan kelemahan metode pembelajaran yang digunakan guru. 4) Tes Hasil Belajar Tes hasil belajar digunakan untuk mendapatkan data hasil belajar pada setiap siklus. Tes tersebut dilaksanakan dalam bentuk on-going process menggunakan lembar pengamatan. d. Teknik Analisis Data 1) Analisis Observasi Hasil observasi dianalisis dengan metode analisis deskriptif komparatif. 2) Analisis Catatan Lapangan

27 Catatan lapangan dianalisis dengan cara pengelompokan dan ringkasan

dalam bentuk pernyataan tentang kelemahan dan kebaikan pembelajaran yang telah dilaksanakan. 3) Analisis Angket Analisis angket dilakukan dengan membuat kriteria berdasarkan skor yang diperoleh siswa dan digambarkan dalam bentuk tabulasi. 4) Analisis Hasil Belajar Analisis hasil belajar dianalisis dengan metode statistik deskriptif untuk melihat keberhasilan siswa dalam pembelajaran. Untuk melihat perbedaan hasil belajar setelah tindakan digunakan teknik perbedaan mean score.

5) Analisis Reflektif Analisis reflektif dilakukan untuk melihat pelaksanaan pembelajaran sehubungan dengan kepuasan peneliti dalam penelitian. Dengan penegertian bahwa usaha peneliti mencapai tujuan perlakuan dalam pembelajaran

bagaimana telah mencapai hasil seperti apa serta bagaimana perlakuan dalam pembelajaran berikutnya. I. JADWAL PELAKSANAAN Penelitian dilaksanakan selama 4 (tiga) pertemuan atau empat minggu sesuai dengan porsi waktu pembelajaran keterampilan berbicara dalam silabus, yaitu minggu ke-3 Oktober minggu ke-2 November 2007.

28

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arief, Ermawati. 2003. Pembelajaran Keterampilan Berbicara (Buku Ajar). Padang: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBSS UNP. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Depdiknas. 2006. Silabus Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk SMK/MAK. Jakarta: Dirjen MPDM, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Keraf, Gorys. 1980. Komposisi. Ende-Flores: Nusa Indah Yayasan Kanisius. Nazir, Moh. 1993. Metode Penelitian. Jakarta: Erlangga. Richadrs, Jack C. and Theodore S. Rodgers. 1986. Approachs and Methods in Language Teaching: A Description and Analisys. London: Cambridge Unversity Press.

29

SMKN 3 Padang. 2007. KTSP SMKN 3 Padang. Padang: SMKN3 Padang. Sumarsono. 1999. Peranan Guru sebagai Lingkungan Belajar Bahasa Kedua (Makalah yng disajikan dalam Lokakarya BIPA Regional Bali III, IALF Bali, 11 Desember 1999. Sisingamangaraja: Panitia Lokakarya BIPA Regional Bali III. Suyatno. 2004. Teknik Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Penerbit SIC. Tarigan, Djago, dkk., 1990. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Tarigan, Henry Guntur. 1983. Berbicara: sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. .......... 1990. Metodologi Pengajaran Bahasa: Suatu Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Lembaga Kependidikan.