Contoh Laporan PKL

63
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu komponen abiotik utama yang memiliki peran penting untuk kehidupan adalah air. Air digunakan oleh semua makhluk hidup untuk proses metabolismenya dan juga dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai modal dasar serta faktor utama pembangunan yang nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, kebersihan air di berbagai habitat harus terjaga. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/menkes/sk/xi/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan industri, terdapat pengertian mengenai air bersih yaitu air yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari dan kualitasnya memenuhi persyaratan kesehatan air bersih sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat diminum apabila dimasak. Parameter kualitas air bersih yang ditetapkan dalam PERMENKES 416/1990 terdiri atas parameter fisik, parameter kimiawi, parameter mikrobiologis. Apabila salah satu parameter di bawah ini tidak terpenuhi, maka air dikatakan tercemar atau terkena polusi. 1. Parameter Fisik 1

description

Untuk yang akan menyusun laporan

Transcript of Contoh Laporan PKL

Page 1: Contoh Laporan PKL

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu komponen abiotik utama yang memiliki peran penting untuk

kehidupan adalah air. Air digunakan oleh semua makhluk hidup untuk proses

metabolismenya dan juga dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai modal dasar serta

faktor utama pembangunan yang nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan umum.

Oleh karena itu, kebersihan air di berbagai habitat harus terjaga. Berdasarkan Keputusan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/menkes/sk/xi/2002 tentang

Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan industri, terdapat pengertian

mengenai air bersih yaitu air yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari dan

kualitasnya memenuhi persyaratan kesehatan air bersih sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan dapat diminum apabila dimasak.

Parameter kualitas air bersih yang ditetapkan dalam PERMENKES 416/1990

terdiri atas parameter fisik, parameter kimiawi, parameter mikrobiologis. Apabila salah

satu parameter di bawah ini tidak terpenuhi, maka air dikatakan tercemar atau terkena

polusi.

1. Parameter Fisik

Parameter fisik yang harus dipenuhi pada air minum yaitu harus jernih, tidak

berbau, tidak berasa dan tidak berwarna. Sementara suhunya sebaiknya sejuk dan tidak

panas. Selain itu, air minum tidak menimbulkan endapan. Jika air yang kita konsumsi

menyimpang dari hal ini, maka sangat mungkin air telah tercemar.

2. Parameter Kimia

Dari aspek kimiawi, bahan air minum tidak boleh mengandung partikel terlarut

dalam jumlah tinggi serta logam berat (misalnya Hg, Ni, Pb, Zn,dan Ag) ataupun zat

beracun seperti senyawa hidrokarbon dan detergen. Ion logam berat dapat mendenaturasi

protein, disamping itu logam berat dapat bereaksi dengan gugus fungsi lainnya dalam

biomolekul. Karena sebagian akan tertimbun di berbagai organ terutama saluran cerna,

hati dan ginjal, maka organ-organ inilah yang terutama dirusak.

1

Page 2: Contoh Laporan PKL

2

3. Parameter Mikrobiologis

Bakteri patogen yang tercantum dalam Kepmenkes yaitu Escherichia

colli, Clostridium perfringens, Salmonella. Bakteri patogen tersebut dapat

membentuk toksin (racun) setelah periode laten yang singkat yaitu beberapa

jam. Keberadaan bakteri coliform yang banyak ditemui di kotoran manusia

dan hewan menunjukkan kualitas sanitasi yang rendah dalam proses

pengadaan air. Makin tinggi tingkat kontaminasi bakteri coliform, makin

tinggi pula risiko kehadiran bakteri patogen, seperti bakteri Shigella

(penyebab muntaber), S. typhii (penyebab typhus), kolera, dan disentri.

Pencemaran air meliputi pencemaran di darat dan di dalam perairan

(air tawar dan air laut). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 82 Tahun 2001 Pasal 1 Ayat 11, pengertian pencemaran air adalah

masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau

komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun

sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai

dengan peruntukannya. Akan banyak organisme yang mati atau mengalami

gangguan ketika air di tempat hidupnya tercemar. Jika masyarakat

menggunakan air yang tercemar sebagai bahan untuk mandi, memasak, dan

mencucui pakaian, maka pencemaran yang ditimbulkannya dapat

mengakibatkan berbagai penyakit akibat bakteri dan virus.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18

Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 1, limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.

Selanjutnya dalam Ayat 2 disebutkan limbah bahan berbahaya dan beracun,

disingkat limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung

bahan berbahaya atau beracun yang karena sifat atau konsentrasinya dan

jumlahnya baik secara langsung atau tidak langsung akan dapat

membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia

serta mahluk hidup lain. Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995)

Page 3: Contoh Laporan PKL

3

ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang

mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity,

flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya

yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak,

mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.

Merkuri atau air raksa merupakan salah satu contoh bahan berbahaya

dan beracun. Merkuri biasa dimanfaatkan orang dalam berbagai keperluan,

meskipun di beberapa industri kini sangat ditekan peredarannya karena

bahaya yang ditimbulkannya. Industri yang memungkinkan menghasilkan

limbah yang mengandung merkuri antara lain industri cat, kertas, peralatan

listrik, pabrik soda kostik, penambangan emas, dan bahkan industri penghasil

produk kosmetik. Diantara industri di atas, penggunaan merkuri yang sangat

tidak terkontrol yaitu pada kegiatan penambangan emas. Usaha pertambangan

emas biasanya dilakukan secara amalgamasi yaitu dengan menggunakan

merkuri sebagai media untuk mengikat emas dan memisahkan emas dari

kotorannya (Setiabudi, 2005).

Dalam habitat perairan, merkuri anorganik dikonversi oleh

mikroorganisme menjadi metal merkuri yang sangat beracun dan mudah

terserap ke dalam jaringan. Bahaya logam berat merkuri tidak hanya

menyerang komunitas biota yang hidup dalam perairan tersebut, tetapi juga

akan membahayakan kesehatan manusia. Semua bentuk merkuri baik dalam

bentuk metil maupun dalam bentuk alkil yang masuk ke dalam tubuh manusia

secara terus-menerus akan menyebabkan kerusakan permanen pada otak, hati

dan ginjal (Roger, et al dalam Alfian, 2006).

Ion merkuri menyebabkan pengaruh toksik, karena terjadinya proses

presipitasi protein menghambat aktivitas enzim dan bertindak sebagai bahan

yang korosif. Merkuri juga terikat oleh gugus sulfhidril, fosforil, karboksil,

amida dan amina, di mana dalam gugus tersebut merkuri dapat menghabat

fungsi enzim. Bentuk organik seperti metil-merkuri, sekitar 90% diabsorpsi

Page 4: Contoh Laporan PKL

4

oleh dinding usus, hal ini jauh lebih besar daripada bentuk anorganik (HgCl2)

yang hanya sekitar 10%. Akan tetapi bentuk merkuri anorganik ini kurang

bersifat korosif daripada bentuk organik. Bentuk organik tersebut juga dapat

menembus barrier darah dan plasenta sehingga dapat menimbulkan pengaruh

teratogenik dan gangguan syaraf (Darmono dalam Alfian, 2006).

Mengingat bahaya logam merkuri bagi hampir semua makhluk hidup,

beberapa negara telah mengembangkan penelitian untuk menguji air limbah

tidak secara fisik dan kimiawi saja tetapi sampai pada uji toksisitas. Sebelum

air limbah dilepaskan ke air penerima misal sungai, air limbah tersebut perlu

diuji efek toksisitasnya pada organisme akuatik. Umumnya, organisme

akuatik yang kerap dijadikan bahan uji toksisitas adalah Daphnia sp. Selain

Daphnia, juga dapat digunakan orgaisme lain dengan syarat organisme

tersebut mudah dikembangkan di laboratorium, sensitive terhadap berbagai

polutan, dan tersedia sepanjang tahun dalam sumber komersil.

B. Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Subyek penelitian yang digunakan adalah Daphnia sp yang berumur < 24

jam.

2. Logam berat yang digunakan adalah merkuri dalam bentuk larutan HgCl2.

3. Toksisitas merkuri diuji pada perairan darat/tawar.

4. Pengujian toksisitas akut dan kronik merkuri terhadap Daphnia dilakukan

berdasarkan standar di laboratorium.

5. Uji toksisitas akut diamati pada nilai lethal concentration 50 (LC50) dan

uji toksisitas kronik diamati pada tingkat reproduksi Daphnia.

C. Rumusan Masalah

Kasus pertambangan illegal di Indonesia bukan merupakan suatu hal

yang baru. Ada banyak jenis-jenis pertambangan ilegal seperti intan, timah,

Page 5: Contoh Laporan PKL

5

batu bara dan termasuk salah satunya adalah Pertambangan Emas Tanpa Ijin

(PETI). Kegiatan PETI ini merupakan kegiatan pertambangan yang dilakukan

masyarakat secara tradisional, tanpa dilandasi aturan hukum pertambangan

resmi Pemerintah Pusat atau Daerah.

Penggunaan merkuri yang berlebihan dan tanpa pemahaman akan

bahanyanya seperti yang terjadi pada kegiatan PETI ini mengakibatkan

penurunan kualitas air, punahnya biota air, kerusakan bentuk lahan, dan

bentang alam serta menimbulkan berbagai macam penyakit bagi manusia.

Para penambang PETI tidak mengolah merkuri yang digunakan sebagai bahan

untuk pengikat emas terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan. Merkuri

tersebut tercampur/terpecah menjadi butiran-butiran halus yang sifatnya sukar

dipisahkan pada proses penggilingan yang dilakukan bersamaan dengan

proses amalgamasi, sehingga pada proses pencucian merkuri dalam ampas

terbawa masuk ke sungai.

Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang

Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dimana kadar Hg

maksimum yang diziinkan untuk berada dalam badan air adalah 0,005 mg/l

(untuk kriteria air kelas 4) dan aturan hukum positif negara (PP Republik

Indonesia Nomor 29 Tahun 1986) serta informasi pencemaran lingkungan

akibat pembuangan limbah/tailing dari proses amalgamasi, maka menjadi

penting bagi para pelaku usaha pertambangan emas untuk menerapkan metode

penanganan limbah secara tepat guna; sehingga tercipta usaha pertambangan

yang berwawasan lingkungan.

Adanya permasalahan di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang

uji toksisitas logam merkuri terhadap salah satu organisme aquatik contohnya

Daphnia sp. Dari uji toksisitas ini, maka dapat ditemukan suatu informasi

mengenai kisaran awal konsentrasi merkuri yang mulai memberikan sinyal

bahaya bagi kehidupan ekosistem air tawar.

Page 6: Contoh Laporan PKL

6

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui

konsentrasi merkuri yang dapat menyebabkan dampak toksisitas akut dan

kronik terhadap Daphnia sp.

E. Manfaat Penelitian

Kegunaan penelitian ini diharapkan :

1. Bagi mahasiswa

a) Setelah mengikuti kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) ini

diharapkan mahasiswa dapat mengetahui konsentrasi merkuri yang

dapat menyebabkan dampak toksisitas akut dan kronik terhadap

Daphnia sp.

b) Setelah mengikuti kegiatan PKL diharapkan mahasiswa mampu

melakukan pengujian toksisitas akut dan kronik dengan baik dan

benar.

c) Sebagai syarat untuk lulus salah satu mata kuliah di semester 7 yaitu

Praktik Kerja Lapangan (PKL)

2. Bagi instansi

Yaitu dapat membantu para peneliti dalam melaksanakan penelitian yang

akan dan atau sedang dilaksanakan.

3. Bagi masyarakat

Melalui publikasi dan sosialisasi yang dilakukan mahasiswa kepada

masyarakat, diharapkan dapat memberikan informasi secara khusus

mengenai dampak toksisitas akut dan kronik merkuri terhadap Daphnia sp

dan bagi biota aquatik lainnya secara umum.

Page 7: Contoh Laporan PKL

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pencemaran Air

Suatu planet dikatakan memiliki kehidupan jika di dalamnya ditemukan air. Air

merupakan sumber kehidupan di bumi dan juga merupakan penggerak segala aktivitas

manusia. Di alam semesta ini, air yang ada tidak pernah terdapat dalam bentuk murni,

namun bukan berarti bahwa semua air sudah tercemar. Misalnya, walaupun di daerah

pegunungan atau hutan dengan udara yang bersih dan bebas dari pencemaran, air hujan

yang turun di atasnya selalu mengandung bahan-bahan terlarut, seperti karbon dioksida

(CO2), oksigen (O2), dan nitrogen (N2), serta bahan-bahan tersuspensi misalnya debu dan

partikel-partikel lainnya yang terbawa air hujan dari atmosfir.

Adanya benda-benda asing yang mengakibatkan air tersebut tidak dapat

digunakan sesuai dengan peruntukannya secara normal disebut dengan pencemaran air.

Definisi pencemaran diungkapkan oleh Holdgate (1979) dalam Moore (2003) yaitu

masuknya substansi atau materi ke dalam lingkungan oleh manusia, yang dapat

menimbulkan bahaya bagi kesehatan, merugikan sumberdaya hayati dan sistem ekologis,

merusak strukur dan keserasian, atau bertentangan dengan undang-undang penggunaan

lingkungan. Batas pencemaran untuk berbagai jenis air berbeda mengingat kebutuhan

manusia yang beragam pula. Sebagai contoh, air di pegunungan yang belum tercemar

tidak dapat digunakan langsung sebagai air minum karena belum memenuhi persyaratan

untuk dijadikan air minum.

Bahan pencemar yang dihasilkan oleh aktivitas manusia sangat beragam. Moore

(2003) menjelaskan tipe umum pencemar beracun adalah sebagai berikut:

1) Logam-logam, seperti timbal, nikel, cadmium, seng, tembaga, dan raksa, bersumber

dari banyak proses industri dan pengolahaan pertanian. Istilah logam berat kadang-

kadang tidak begitu tepat, tetapi sebagian besar meliputi logam dengan nomor

atom di atas 20, tetapi di luar logam-logam alkali, akali tanah, lathanida, dan

aktinida.

Page 8: Contoh Laporan PKL

8

2) Senyawaan organik, seperti pestisida organo-chlorine, herbisida, polychlorinated

biphenyl (PCBs), chlorinated aliphatic hydrocarbon, pelarut-pelarut, surfaktan

rantai panjang, petroleum hydrocarbon, polynuclear aromatic, chlorinated

dibenzooxin, organometallic, phenil, formaldehid. Zat ini berasal dari berbagai

macam industri,pertanian, dan bebrapa industri rumah tangga.

3) Gas, seperti klorin dan ammonia

4) Anion-anion, seperti sianidam fluorida, sulfida dan sulfit

5) Asam dan alkali

Efek keberadaan suatu bahan pencemar pada suatu organisme atau komunitas

bergantung pada kadar senyawaan itu dan lamaya pemaparan dengan senyawaan

tersebut (misalnya dosis).

Pemahaman terhadap pencemaran sangatlah penting mengingat berbagai sumber

daya menjadi rusak karenanya. Dengan segala aktivitasnya, manusia menghasilkan

pencemaran. Pengguna-pengguna domestik, industri, dan pertanian menghasilkan

sejumlah besar limbah, dan saluran air merupakan sarana yang murah dan efektif untuk

membuang limbah tersebut. Ketika musim kering tiba, aliran air di sejumlah sungai

hampir merupakan aliran buangan (effluent). Aliran buangan di beberapa kota menjadi

pasokan air kota lainnya di bagian hilir. Keadaan ini menjadikan suatu peringatan bahwa

aliran buangan yang masuk ke dalam saluran air harus terjamin mutunya bahkan

memiliki kualitas tinggi dan tingkat pencemaran tidak melebihi kapasitas pulih diri (self-

purifying) sungai.

B. Logam Berat

Logam berat adalah unsur kimia dengan bobot jauh lebih besar dari 5 gr/cm3,

terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas tinggi terhadap unsur

belerang atau Sulfur (S) dan bernomor atom 22 sampai 29 dari periode 3 sampai 7.

Menurut Allen (1998) logam berat ini cenderung membentuk kompleks atau senyawa

yang kuat dengan komponen organik dan ini menyebabkan logam berat stabil di

lingkungan perairan. Logam berat dapat berbentuk organik, anorganik terlarut, atau

terikat dalam suatu partikel dan tersebar di seluruh permukaan bumi baik tanah, air, dam

udara. Logam berat dapat berinteraksi dengan sel atau jaringan tubuh organisme sehingga

Page 9: Contoh Laporan PKL

9

dapat terjadi akumulasi logam berat dalam tubuh organisme. Di perairan, logam berat

diperlukan dalam jumlah sedikit. Bila kadar logam berat yang terlalu rendah di suatu

perairan dapat menyebabkan kehidupan organisme mengalami defisiensi, namun bila

unsur logam berat dalam jumlah yang berlebihan dapat bersifat toksik.

Menurut Arifin (2008) logam berat terbagi ke dalam dua jenis berdasarkan sudut

pandang toksikologi, yaitu:

1) Logam berat esensial yaitu logam yang sangat dibutuhkan oleh tubuh organisme

dalam konsentrasi tertentu. Jika jumlahnya berlebihan dapat menimbulkan efek racun.

Contoh: Zn, Fe, Cu, dan Co.

2) Logam berat tidak esensial yaitu logam yang tidak dibutuhkan oleh makhluk hidup

karena bersifat racun. Contoh: Hg, Cd, dan Pb. Unsur ini akan menyerang ikatan

belerang dalam enzim, menonaktifkan kerja enzim dan menggangu metabolisme

tubuh sehingga bisa berdampak pada kematian.

Berdasarkan urutan toksisitasnya, dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah

yaitu Hg, Cd, Cu, Zn, Ni, Pb, Cr, Al, dan Co (Abel, 1989).

Logam berat biasanya sangat sedikit dalam air secara ilmiah kurang dari 1 g/l.

Menurut Palar (2004) kelarutan dari unsur-unsur logam dan logam berat dalam badan air

dikontrol oleh : pH badan air dan jenis serta konsentrasi logam. Konsentrasi logam berat

yang terkandung di dalam suatu perairan perlu dikontrol secara kontinu, juga diperlukan

suatu kajian yang melihat seberapa besar pengaruh unsur-unsur logam berat tersebut bisa

mempengaruhi ekosistem perairan terutama yang berhubungan langsung dengan kualitas

airnya.

Pemerintah Indonesia telah melakukan suatu kajian untuk mengetahui ukuran

batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada

dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air yang biasa disebut

dengan baku mutu air. Kajian ini dituangkan dalam PP No 82 Tahun 2001 tentang

pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Dalam peraturan

tersebut dikatakan hasil perhitungan baku mutu air menentukan mutu air. Mutu air

adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter

Page 10: Contoh Laporan PKL

10

tertentu dan metoda tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

(Bab 1 Pasal 1 Ayat 5 PP No 82 Tahun 2001). Klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4

(empat) kelas :

1) Kelas satu : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan

atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan

tersebut;

2) Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi

air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan

atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan

tersebut;

3) Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air

tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang

mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

4) Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untukmengairi pertanaman

dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan

kegunaan tersebut

Pada tabel 1 di bawah ini disajikan data mengenai standar baku mutu air terhadap

logam berat untuk mutu air kelas 2 menurut PP No 82 Tahun 2001 dan EPA. EPA

(Environmental Protection Agency) adalah organisasi dunia yang mengurusi bidang

kesehatan lingkungan. Kadar logam berat yang ditenggang oleh EPA lebih kecil dan

spesifik dibandingkan dengan yang telah ditentukan oleh pemerintah Indonesia.

Perbedaan ini disebabkan karena pemerintah Indonesia telah melakukan penelitian

pengukuran sendiri yang disesuaikan dengan kondisi perairan Indonesia baik secara

faktor biotik dan abiotiknya

Tabel 1. Standar Baku Mutu Air Terhadap Logam Berat

Standar Baku

Logam Simbol Perikanan (mg/l)1 EPA (ppm)2

Kadmium Cd 0.01 0.0043

Krom Cr 0.05 0.016

Page 11: Contoh Laporan PKL

11

Timbal Pb 0.01 0.065

Seng Zn 0.02 0.12

Merkuri Hg 0.002 0.0014

Keterangan :

1. PP No 82 tahun 2001

2. Environmental Protection Agency. 1973. Water Quality Criteria

C. Merkuri (Hg)

Raksa (nama lama: air raksa) atau merkuri atau hydrargyrum (Hg) adalah unsur

kimia pada tabel periodik dengan simbol merkuri dan nomor atom 80 dengan berat

atom 200,59 g/mol, titik beku -390C dan titik didih 356,60C. Merkuri merupakan satu-

satunya logam yang berbentuk cair pada suhu 250 C, terletak di urutan ke tiga

golongan IIB dalam sistem periodik unsur (Moore,1984). Hg tahan terhadap basa

, larut dalam asam sulfat atau asam nitrit tetapi sukar larut dalam pelarut-pelarut

yang umum seperti air dan aseton. Hg juga mempunyai kecenderungan untuk

menguap lebih besar, mudah bercampur dengan logam-logam lain menjadi logam

campuran (Amalgam/Alloi), dan dapat mengalirkan arus listrik sebagai konduktor

baik tegangan arus listrik tinggi maupun tegangan arus listrik rendah (Alvian Zul, 2006).

Potensial oksidasi Hg yitu 0,799 volt. Potensial oksidasi yang rendah ini

menyebabkan raksa tidak dapat bereaksi dengan oksigen pada suhu kamar, dan tahan

terhadap korosi (Hutagalung, 1985). Pada suhu sekitar titik didihnya, merkuri dapat

bereaksi dengan oksigen membentuk HgO yang berwarna merah. Senyawa HgO ini tidak

begitu stabil, sehingga bila dipanaskan pada suhu yang lebih tinggi (sekitar 500°C),

oksigen akan dilepaskan kembali. Bila dalam merkuri terkandung sedikit logam lain,

misalnya Zn atau Pb, maka merkuri menjadi sensitif terhadap O2. Raksa bereaksi cepat

dengan gas-gas Cl2, S, Br2, J2 dan N2O, tetapi tidak dapat bereaksi dengan air, uap, alkalis

atau asam-asam yang bukan oksidator kuat (Durrant, 1960 dalam Hutagalung, 1985).

Kelimpahan merkuri di kerak bumi menempati urutan ke 67 diantara elemen

lainnya. Di alam, merkuri jarang ditemukan dalam bentuk bebas, melainkan berupa bijih

Page 12: Contoh Laporan PKL

12

cinnabar (HgS). Untuk mendapatkan logam merkuri dari bijih sinnabar, maka perlu

dilakukan pemanasan bijih sinnabar dengan menggunakan O2 pada suhu 8000 C. Berikut

persamaan reaksinya ; HgS + O2 Hg + SO2. Merkuri (Hg) yang telah dilepaskan

kemudian dikondensasi, sehingga diperoleh logam cair murni. Logam cair inilah yang

kemudian digunakan oleh manusia untuk bermacam-macam keperluan.

Secara umum ada tiga bentuk mekuri (Hammond dan Beliles, 1980 dalam Zul

Alfian, 2006) yaitu:

1) Unsur Merkuri (Hg0)

Mempunyai tekanan uap yang tinggi dan sukar larut dalam air. Pada suhu kamar

kelarutannya kira-kira 60 mg/l dalam air dan antara 5- 50 mg/l dalam lipida.

Jika ada oksigen, merkuri diasamkan dalam bentuk ionik. Uap

merkuri hadir dalam bentuk monoatom yang apabila terserap

ke dalam tubuh akan dibebaskan ke dasar alveolar.

2) Merkuri Anorganik (Hg2+ dan Hg22+)

Di antara dua tahapan pengoksidasian, Hg2+ adalah lebih reaktif. Ia dapat membentuk

kompleks ligan organik, terutama golongan sulfurhidril. Contohnya HgCl2 yang

sangat larut dalam air dan sangat toksik, sebaliknya HgCl tidak larut dan

kurang toksik. Selain itu, ada pula Hg(ONC)2 yang biasa digunakan

sebagai bahan detonator, dan HgS digunakan untuk pigmen cat berwarna merah

dan bahan antiseptik.

3) Merkuri Organik

Senyawa merkuri yang berikatan dengan senyawa karbon, contohnya metil merkuri,

fenil merkuri, etil merkuri,dll. Saluran pernapasan merupakan jalan utama

penyerapan raksa dalam bentuk unsur. Tingkat pengendapan dan akumulasinya adalah

tinggi, lebih kurang 80%, karena sifatnya yang larut di dalam lipida. Dalam bentuk

unsur penyerapannya melalui saluran gastrointestin sangat sedikit, mungkin kurang

dari 0,01%, karena merkuri berbentuk partikel globular yang besar, oleh karena itu

sukar melintasi selaput mukosa. Merkuri mungkin dapat melintasi kulit tetapi belum

dapat dibuktikan (Berlin, 1979 dalam Zul Alfian, 2006).

Page 13: Contoh Laporan PKL

13

Merkuri anorganik dapat berubah menjadi merkuri organik yaitu metil merkuri

(CH3-Hg) dengan melibatkan aktifitas mikroorganisme. Metil merkuri mempunyai sifat

toksik, daya ikat yang kuat dan kelarutan yang tinggi terutama dalam tubuh hewan

air. Hal tersebut mengakibatkan merkuri terakumulasi melalui proses bioakumulasi

dan biomagnifikasi dalam jaringan tubuh hewan-hewan air, sehingga kadar merkuri

dapat mencapai level yang berbahaya baik bagi kehidupan hewan air maupun

kesehatan manusia, yang makan hasil tangkap hewan-hewan air tersebut (Budiono,

2003 dalam Sembiring Rodieiser, 2009).

Sanusi (1980) dalam Sembiring (2009), mengemukakan bahwa terjadinya proses

akumulasi merkuri di dalam tubuh hewan air karena laju pengambilan merkuri

oleh organisme air lebih cepat dibandingkan dengan proses ekskresi. Senyawa merkuri

yang masuk bersama makanan, akan mengalami absorbsi di usus kemudian akan dibawa

ke hati oleh vena porta hepatik. Selanjutnya di dalam hati, Hg mengalami proses ionisasi

lambat menjadi Hg2+. Hg2+ yang masuk ke hati dapat menghambat enzim proteolitik

karena ion merkuri ini dapat terikat oleh gugus sulfhidril, fosforil, karbosil, amida, dan

amina yang terkandung di dalam enzim tersebut dan kemudian menyebabkan kerusakan

sel. Merkuri yang masuk ke dalam hati akan terbagi dua yaitu sebagian akan

terakumulasi pada hati, sedangkan sebagian lainnya akan dikirim ke empedu. Dalam

kantong empedu, akan dirombak menjadi senyawa merkuri anorganik yang kemudian

akan dikirim lewat darah ke ginjal, di mana sebagian akan terakumulasi pada ginjal dan

sebagian lagi dibuang bersama urin (Palar, 1994 dalam Yuniar Vika, 2009).

Jalur masuk merkuri ke tubuh hewan air selain melalui saluran pencernaan juga

bisa masuk melalui saluran pernafasan (insang). Zat tersebut akan masuk melalui insang

yang langsung bersentuhan dengan lingkungan air. Setelah melewati insang, merkuri

akan ikut ke dalam sistem pernafasan sampai akhirnya menembus sel epitelendothelial

kapiler darah untuk masuk ke dalam darah. Selanjutnya akan masuk ke dalam aliran

darah dan akhirnya ikut dalam proses metabolisme.

Toksisitas merkuri terhadap kehidupan avertebrata perairan bergantung pada

jenis spesies, tahap perkembangan hewan, dan kondisi lingkungan. Masing-masing

Page 14: Contoh Laporan PKL

14

spesies biota akuatik memiliki daya tahan yang berbeda-beda terhadap zat toksik yang

masuk ke perairan. Satu spesies pun bisa memberikan respon yang berbeda terhadap

zat toksik yang konsentrasinya sama. Perbedaan ini disebabkan adanya faktor fisiologis

yang berbeda di satu spesies. Faktor fisiologis ini dipengaruhi oleh gen, usia, hormon,

tingkat stress, dan nutrisi yang masuk.

Jika tabel 1 hanya mencantumkan batasan kadar merkuri yang boleh ada di mutu

air kelas 2, berikut disajikan tabel 2 yang menjelaskan lebih spesifik mengenai kadar

logam merkuri yang diperbolehkan ada di tiap kelas. Pada penjelasan sebelumya sudah

dijelaskan mengenai mutu air yang tergolong kelas 1, 2, 3, dan 4.

Tabel 2. Kadar Logam Berat Merkuri Berdasarkan Kelas

Selain itu, WHO juga turut menetapkan batasan kandungan merkuri maksimal adalah

0,0001 ppm untuk air (Slamet, 1984). Jika kadar merkuri pada perairan sungai telah

melebihi batas seperti ketentuan yang telah diatur oleh PP No 82 Tahun 2001, maka

dapat dikatakan bahwa perairan tersebut telah tercemar logam merkuri. Sebagai

konsekuensi dari pencemaran ini, maka Pemerintah mengeluarkan aturan tentang sanksi

bagi yang melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang diatur dalam

PP No 82 Tahun 2001.

D. Toksisitas

Toksisitas adalah kemampuan suatu molekul atau senyawa kimia dalam

menimbulkan kerusakan pada bagian yang peka di dalam maupun di bagian luar tubuh

makhluk hidup (Durham, 1975 dalam Vika Yuniar, 2009). Seperti yang sudah

disinggung di atas, bahan yang dapat menimbulkan pencemaran disebut polutan. Polutan

digolongkan toksik jika pada konsentrasi terkecil mengakibatkan timbulnya pengaruh

pada organisme uji. Pengaruh yang timbul dapat berupa kematian, pengaruh terhadap

fisiologi maupun pertumbuhan organisme. Polutan toksik dapat memaksakan efeknya

PARAMETER SATUANKELAS

I II III IV

MERKURI Mg/L 0,001 0,002 0,002 0,005

Page 15: Contoh Laporan PKL

15

dengan berbagai cara tergantung pada karakteristik racun, jenis air penerima, dan

komunitas biologis di perairan itu (Abel, 1989).

Tolok ukur pengujian daya racun suatu polutan bisa dilakukan dengan uji

toksisitas. Uji toksisitas adalah suatu uji yang digunakan untuk mengevaluasi konsentrasi

bahan kimia dan lamanya pemaparan yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu karena

uji kimia dan fisik tidak mampu mengetahui efek potensial yang terjadi pada makhluk

hidup. Prinsip dari uji toksisitas adalah mengidentifikasikan bahan kimia yang dapat

menimbulkan dampak negatif bagi biota perairan (Hindarti, 1997).

Uji toksisitas perairan dapat dikategorikan menurut respon organisme yang diuji

(Palar, 2004) sebagai berikut :

1) Uji toksisitas akut, yaitu suatu uji untuk melihat respon organisme terhadap keadaan

yang cukup parah dan diindikasikan dengana 50 % respon umumnya dalam

waktu 96 jam atau kurang misalnya LC50, efek berupa kematian.

2) Uji toksisitas subakut, yaitu suatu uji yang melihat pengaruh kondisi yang kurang

parah pada organisme, dibandingkan dengan pengaruh akut, dan dalam waktu

yang lama.

3) Uji toksisitas kronik, merupakan uji yang melihat respon organisme terhadap kondisi

berkesinambungan. Umumnya 10% organisme bertahan hidup. Efek berupa

penurunan pertumbuhan dan reproduksi maupun aktivitas enzim.

Sparague (1969) memberikan definisi yang berguna untuk digunakan dalam penelitian uji

toksisitas, yaitu :

1) Akut (accute) yaitu datang dengan cepat pada tingkat kritis.

2) Kronis (chronic) yaitu berlanjut dalam waktu yang panjang.

3) Mematikan (lethal) yaitu menybabkan kematian, atau cukup menyebabkan kematian

dengan pengaruh langsung.

4) Semimematikan (sublethal) yaitu di bawah tingkat yang secara tidak langsung

menyebabkan kematian.

5) Kumulatif (cumulative) yaitu mengakibatkan atau meningkat dalam kekuatan dengan

pertambahan berlanjut.

Page 16: Contoh Laporan PKL

16

American Public Health Association et al (1976) turut mengeluarkan beberapa istilah

yang digunakan untuk mendeskripsikan secara kuantitatif hasil dari penelitian daya

racun. Adapun istilah yang dimaksud antara lain :

1) Kadar mematikan (Lethal concentration) (LC) merupakan kriteria daya racun,

hasilnya dapat dinyatakan dalam suatu jumlah (LC50, LC70) dan menunjukkan

presentase dari hewan uji yang terbunuh pada kadar tertentu. Waktu yang digunakan

untuk pemaparan dalam mempelajari daya racun harus dinyatakan. Misal LC50 48

jam artinya kadar dari satu bahan racun yang membunuh 50% jumlah hewan uji

dalam waktu 48 jam.

2) Kadar efektif (Effective concentration) (EC) adalah istilah yang digunakan jika uji

toksistas yang dilakukan mempelajari hal lain diluar kematian, sebagai contoh

tekanan respirasi, perkembangan abnormalitas, atau perubahan-perubahan perilaku.

Hasilnya dinyatakan dengan pola yang sama dengan kadar mematikan, misal 48 jam

EC50.

3) Tingkat kematian awal (Incipient lethal level) adalah kadar daya racun akut tidak

terjadi, biasanya diambil sebagai kadar 50% dari populasi hewan uji dapat hidup

selama waktu yang tidak ditentukan.

4) Kadar aman (Safe concentration) adalak kadar maksimum dari satu toksikan yang

tidak mempunyai pengaruh yang dapat diobservasi pada satu spesies setelah jangka

waktu pengamatan yang panjang melebihi satu atau lebih generasi.

5) Kadar racun maksimum yang diizinkan (Maximum allowable toxicant concentration)

adalah kadar toksikan yang mungkin ada pada perairan penerima tanpa menyebabkan

bahaya terhadap produktivitas dan penggunaannya.

Tahap awal uji toksisitas adalah uji pendahuluan akut terlebih dahulu. Uji

pendahuluan akut ini bertujuan untuk mencari nilai LC50 tentative. Kemudian dilanjutkan

dengan uji definitif akut guna menemukan nilai LC50 yang sebenarnya. Uji definitf ini

didasarkan dari nilai LC50 tentative yang konsentrasinya diturunkan dan dinaikkan secara

geometrik. Selain mengetahui LC50 yang sebenarnya, dari uji definitif akut ini juga bisa

didapatkan nilai LOEC dan NOEC tentatif. Lowest Observed Effect Concentration

(LOEC) adalah konsentrasi terendah yang memberikan efek dan variabel terikat yang

diteliti memiliki hasil yang berbeda secara signifikan dengan kontrol. Sedangkan, No

Page 17: Contoh Laporan PKL

17

Observed Effect Concentration (NOEC) adalah konsentrasi di bawah LOEC yang tidak

memberikan dampak atau tidak berbeda dengan hasil uji di kontrol. Setelah uji toksisitas

akut selesai, maka pengujian bisa berlanjut ke uji toksisitas subakut atau kronik. Dari uji

inilah, nilai LOEC dan NOEC sebenarnya dapat ditemukan.

E. Daphnia sp

Nama lokal Daphnia adalah kutu air. Daphnia termasuk dalam golongan udang-

udangan dan tidak ada hubungannya dengan kutu secara taksonomi. Menurut Pennak

(1989), Daphnia magna diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Subfilum : Crustacea

Kelas : Branchiopoda

Subkelas : Diplostraca

Ordo : Cladocera

Subordo : Eucladocera

Famili : Daphnidae

Subfamili : Daphnoidea

Genus : Daphnia

Spesies : Daphnia magna

Daphnia merupakan udang-udangan renik air tawar dari golongan Branchiopoda.

Disebut kutu air karena morfologi dan gerakannya tampak "meloncat" seperti seekor

kutu. Binatang ini berenang dengan berbagai gaya menggunakan antenanya sehingga

terkadang antennanya disebut sebagai kakinya.

Daphnia adalah krustasea berukuran kecil yang habitatnya di air tawar mulai dari

kolam kecil hingga danau luas dengan rentang daerah tropis hingga artik. Dari lima puluh

spesies  genus ini di seluruh dunia, hanya enam spesies yang secara normal dapat

ditemukan di daerah tropika. Salah satunya adalah spesies Daphnia magna (Delbaere &

Gambar 1 Daphnia magna betina

Sumber Clare, 2002

Page 18: Contoh Laporan PKL

18

Dhert, 1996). Daphnia bersifat planktonik hanya mengikuti arus air (Isnansetyo dan

Kurniastuti, 1995) ada juga beberapa yang bersifat bentik.

Ukuran tubuh Daphniidae bermacam-macam, tergantung pada spesiesnya.

Biasanya, Daphnia berukuran 0.1 – 3 mm (Pangkey, 2009). Bentuk tubuhnya mirip

ginjal, mempunyai satu mata majemuk (namun, mereka juga mempunyai satu osellus

yaitu mata sesungguhnya dan masih sangat sederhana), sepasang antenna (ukurannya bisa

setengah lebih pendek/panjang dari panjang tubuhnya), dan di sebelah dalam karapaks

ada anggota tubuh yang bentuknya mirip daun berfungsi untuk menciptakan arus air guna

mengangkut makanan dan oksigen ke dalam mulut dan insang (Clare, 2009).

Sebagian besar tubuhnya transparan sehingga detak jantungnya bisa terlihat dari bawah

mikroskop dan terkadang makanan terakhirnya pun dapat diketahui (usus berwarna hijau

menandakan ia telah memakan alga).

Tubuhnya tersusun bersegmen-segmen dan jarak antar segmen sangat berdekatan

sehingga hampir tak terlihat. Kepala menyatu, dengan bentuk membungkuk ke arah

tubuh bagian ventral. Anggota tubuh dilindungi oleh karapaks. Ruang antara cangkang

dan tubuh bagian atas (dorsal) merupakan tempat pengeraman telur. Pada ujung post

abdomen terdapat dua kuku yang berduri kecil-kecil yang berfungsi untuk membersihkan

karapaks dari sampah.

Page 19: Contoh Laporan PKL

19

Masa hidup Daphnia mulai dari telur hingga dewasa dan mati tergantung pada

jenis spesiesnya dan kondisi lingkungan (Pennak, 1978). Biasanya, umur lebih lama jika

suhu agak rendah dan mengakibatkan aktivitas metabolism turun. Ada 4 periode dalam

kehidupan Daphnia yaitu telur-larva-muda-dewasa. Waktu untuk sampai ke periode

dewasa biasanya ketika Daphnia telah berumur 6-10 hari ( Clare, 2009).

Daphnia memakan krustasea, rotifer kecil,alga uniseluler, dan berbagai macam

detritus organik termasuk protista dan bakteri. Daphnia juga memakan beberapa jenis

ragi, tetapi hanya berlaku bagi mereka yang hidup di lingkongan terkontrol seperti

laboratorium. Daphnia mengambil makanannya dengan menyaring makanan atau filter

feeding. Partikel makanan yang tersaring kemudian dibentuk menjadi bolus yang akan

turun melalui rongga pencernaan sampai penuh dan melalui anus ditempatkan di bagian

ujung rongga pencernaan. Partikel makanan yang tidak terserap akan dikeluarkan ke

lingkungan melalui arus kecil yang tercipta akibat pergerakan sepasang kaki pertama dan

kedua. Organ Daphnia untuk berenang didukung oleh antenna kedua yang ukurannya

lebih besar. Gerakan antenna ini sangat berpengaruh untuk gerakan melawan arus

(Waterman, 1960).

Gambar 1 Daphnia magna betinaSumber Clare, 2002

Summ

Keterangan B : otak BC : kantung telurC : digestive caecumCE : mata majemukF : formiksFA : antennula (antenna pertama)H : jantungINT : ususO : osellusOV : ovariumR : rostrumSG : kelenjar cangkang

Gambar 2 Anatomi Daphnia pulex betina Sumber Storch, 1925 dalam Clare, 2002

Summ

Page 20: Contoh Laporan PKL

20

Fase aseksual berupa partenogenesis terjadi

ketika kondisi lingkungan menguntungkan, di mana

kualitas air sesuai dan pakan terpenuhi. Dalam

kondisi demikian hampir semua Daphnia yang

diproduksi adalah betina. Telur yang tidak dibuahi ini

berkembang di dalam kantung telur induk kemudian

berubah menjadi larva. Seekor Daphnia dapat

menghasilkan telur setiap 2-3 hari sekali. Umumnya

di dalam kantung telur terdapat 6-10 telur (Clare,

2009). Dalam waktu 60 hari seekor betina bisa

menghasilkan 13 milyar keturunan yag semuanya

betina. Tentu saja tidak semua jumlah ini bisa hidup

hingga dewasa, keseimbangan alam telah

mengaturnya sedemikian rupa dengan diciptakannya berbagai predator Daphnia untuk

mengendalikan populasi mereka (Mundayana, 2006).

Apabila kondisi lingkungan hidup tidak menguntungkan, beberapa Daphnia akan

memproduksi telur jantan. Keberadaan jantan ini diperlukan untuk membuahi telur, yang

selanjutnya akan berubah menjadi telur tidur (kista/aphippa). Telur hasil reproduksi

seksual ini mempunyai cangkang tebal dan dilindungi dengan mekanisme pertahanan

terhadap kondisi buruk. Kista dapat bertahan dalam lumpur, es, dan kekeringan serta

dapat tertiup angin kemana-mana, sehingga wajar saja kalau tiba-tiba dalam genangan air

di sekitar rumah ditemukan Daphnia. Telur ini bisa bertahan selama lebih dari 20 tahun

dan menetas setelah menemukan kondisi yang sesuai (O-FISH, 2002). Selanjutnya

mereka hidup dan berkembang biak secara aseksual. Bentuk tubuh Daphnia muda hampir

mirip dengan bentuk dewasanya tetapi belum dilengkapi dengan antenna.

Warna tubuh Daphnia merupakan salah satu bentuk adaptasi fisiologis. Di

lingkungan yang kadar oksigennya minim, Daphnia memproduksi hemoglobin dalam

jumlah berlebih guna meningkatkan akdar penyerapan oksigen di lingkungannya. Pada

kasus demikian, tubuh Daphnia cenderun berwarna merah. Sebaliknya, jika kadar

oksigen di lingkungannya melimpah, tubuhnya berwarna kuning atau tidak berwarna

Gambar 3 Daphnia yang bertelurSumber Pangkey, 2009

Page 21: Contoh Laporan PKL

21

sama sekali (transparan). Selain itu, warna tubuh juga menandakan jenis makanan

Daphnia. Jika makanannya alga, maka tubuhnya berwarna hijau transparan, tetapi jika

makanannya bakteri tubuhnya berwarna pink salmon.

Selang suhu optimum bagi pertumbuhan dan perkembangan Daphnia adalah 18-

24°C. Di luar selang tersebut, Daphnia akan cenderung dorman. Daphnia membutuhkan

pH sedikit alkali yaitu antara 6.7 sampai 9.2. Daphnia diketahui sangat sensitif terhadap

ion-ion logam, seperti Mn, Zn, dan Cu, dan bahan racun terlarut lain seperti pestisida,

bahan pemutih, dan deterjen. Selain itu, mereka juga membutuhkan vitamin dan mineral

dari dalam air. Mineral yang harus ada dalam air adalah kalsium, Unsur ini diperlukan

dalam pembentukan "cangkang"nya. Oleh karena itu, dalam wadah pembiakan akan

lebih baik apabila ditambahkan potongan batu kapur, karang (koral) batu apung dan

sejenisnya. Selain dapat meningkatkan pH bahan tersebut akan memberikan suplai

kalsium yang cukup bagi Daphnia. Beberapa jenis kotoran hewan yang sering dijadikan

media tumbuh Daphnia seringkali telah mengandung kalsium dalam jumlah cukup,

dalam kondisi demikian kalsium tidak perlu lagi ditambahkan.

Menurut Greenberg dkk (2005), jenis Daphnia yang biasa digunakan sebagai

subjek uji toksisitas perairan adalahh Daphnia pulex dan Daphnia magna.

Daphnia pulex betina memiliki ukuran tubuh 2.5 - 3.5 mm dan jantan bisanya 1.5 mm,

umurnya bisa mencapai 50 hari pada suhu 200 C. Sedangkan ukuran tubuh Daphnia

magna betina 3-5 mm dan jantan sekitar 2 mm, hidup sampai umur 40 hari pada suhu

250 C atau 56 hari pada suhu 200 C. Daphnia magna lebih sering digunakan sebagai

subjek uji toksisitas perairan daripada Daphnia pulex karena ukuran tubuhnya yang lebih

besar sehingga mudah diteliti. Walaupun begitu, bukan berarti Daphnia pulex tidak

memiliki kelebihan. Populasi Daphnia pulex lebih banyak dibandingkan Daphnia magna

dan mudah dikultur.

Page 22: Contoh Laporan PKL

22

Page 23: Contoh Laporan PKL

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Praktek Kerja Lapangan

Praktek kerja lapangan dilaksanakan di Laboratorium Toksikologi Pusat

Penelitian Limnologi LIPI Cibinong, Bogor, Jawa Barat dari tanggal 8 Juli – 4 Agustus

2013. Waktu bekerja mulai hari Senin-Jumat jam 08.00 – 15.00 WIB dan Sabtu-Minggu

jam 07.00-09.00 WIB.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah wadah bening kapasitas ±100 ml,

wadah plastik besar, saringan, centong, botol kaca, sendok, tip, corong, wadah limbah,

jerigen, lemari asam, gayung ukur 2 L, gayung ukur 3 L, labu erlenmeyer 1 L, timbangan

digital, alas timbangan plastik, botol plastik, makropipet 5 ml, beaker glass, labu ukur

100 ml, labu ukur 250 ml, botol semprot, botol schott, nampan, meja pengamatan, dan

mikropipet 100-1000 µl. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Daphnia sp,

HgCl2, air kolam biakan Daphnia sp, HNO3 10%, yeast, dan akuades.

C. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen. Konsentrasi logam

merkuri (Hg) digunakan sebagai variabel bebas dan toksisitas akut dan kronik pada

Daphnia sp sebagai variabel terikat.

Design penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL).

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahapan yaitu uji toksisitas akut berupa jumlah kematian

Daphnia sp selama 24 jam dan uji toksisitas kronik berupa jumlah reproduksi Daphnia sp

selama 3 kali reproduksi. Pengujian dilakukan dalam waktu yang berbeda dengan

menggunakan 140 ekor Daphnia sp pada uji toksisitas akut dan 50 ekor Daphnia pada uji

toksisitas kronik.

Petunjuk uji toksisitas akut berdasarkan OECD Guidelines for the Testing of

Chemicals; Daphnia sp; Acute Immobilisation Test, 2004 dan uji toksisitas kronik

berdasarkan OECD Guidelines for the Testing of Chemicals, Guidelines 211:

Page 24: Contoh Laporan PKL

24

Daphnia magna Reproduction Test, September 1998. Hasil dari uji toksisitas akut

digunakan sebagai dasar untuk uji toksisitas kronik untuk mencari nilai LOEC dan NOEC

yang sesungguhnya.

D. Prosedur Kerja

1. Pembiakan anakan Daphnia.

Wadah plastik bening berkapasitas ± 100 ml diisi dengan air kolam biakan Daphnia

sp yang berada di rumah kaca Puslit Limnologi LIPI Cibinong. Volume air yang

dimasukkan ± 50 ml. Setelah itu, seekor induk Daphnia dimasukkan ke dalam wadah

dan diletakkan di dalam papan kolam biakan. Induk Daphnia sp yang disiapkan

berjumlah 100 untuk tiap uji.

2. Persiapan wadah hewan untuk uji toksisitas.

Wadah yang digunakan untuk uji toksisitas juga terbuat dari plastik yang berkapasitas

±100ml. Sebelum digunakan, wadah harus dicuci terlebih dahulu. Pencucian wadah

meliputi beberapa tahapan. Pertama, wadah dicuci dengan sabun cair kemudian

dibilas dengan air mengalir untuk membersihkan sisa kotoran yang masih terdapat

pada wadah tersebut. Kedua, wadah dikeringkan di dalam lemari asam dengan

menekan tombol blower pada lemari asam. Ketiga, setelah kering maka wadah

tersebut dicuci kembali dengan HNO3 10%. HNO3 ini berfungsi untuk menghilangkan

sisa logam berat yang tertinggal pada uji sebelumnya. Terakhir, wadah tersebut

dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan kembali.

3. Pembuatan pakan hewan uji.

Pakan hewan uji dibuat dari ragi atau yeast. Konsentrasi yeast yang digunakan 2,5

gr/L. pelarut yang digunakan adalah akuades. Satu induk biakan Daphnia sp diberi

pakan sehari sekali dengan takaran 0.5 ml.

4. Pelaksanaan uji pendahuluan toksisitas akut.

Uji pendahuluan dilaksanakan untuk menentukan rentang umum nilai LC50 dengan 7

perlakuan yang terdiri dari 6 tingkat konsentrasi dan 1 kontrol dengan dua ulangan.

Page 25: Contoh Laporan PKL

25

Larutan uji berupa HgCl2 dengan volume 20 mL di setiap konsentrasi. Penentuan

konsentrasi uji pada uji ini ditetapkan secara geometric series (OECD, 2004), yaitu

kontrol (0 mg) 0,25 mg/L; 0,5 mg/L; 1 mg/L; 2 mg/L; 4 mg/L; 8 mg/L. Waktu

pelaksanaan selama 24 jam. Syarat uji pendahuluan dimulai adalah ketika anakan

Daphnia yang dibiakkan jumlahnya mencapai 140 ekor dengan pola masng-masing

induk memiliki anak 7 ekor dan umur anakan < 24 jam. Jadi setidaknya ada 20 induk

Daphnia yang memiliki 7 anak berumur < 24 jam. Dalam uji ini agar hasilnya dapat

diterima, maka kematian hewan uji dalam kontrol tidak boleh lebih dari 20%. Data

dari hasil pengamatan tersebut dimasukkan ke dalam tabel pengamatan dan dihitung

dengan menggunakan Software Trimmed Spearman Karber sehingga diketahui nilai

LC50 24 jam yang dihasilkan pada uji pendahuluan yaitu 0,38 ppm.

5. Pelaksanaan uji definitif toksisitas akut.

Nilai LC50 24 jam sebesar 0,38 mg/L dijadikan sebagai pedoman awal dalam

menentukan konsentrasi HgCl2 di uji definitif akut. Nilai tersebut ditetapkan secara

geometric series sebagai nilai pertengahan konsentrasi (OECD, 2004), yaitu

konsentrasi ke 3 dengan rumus ar0 atau 0,38 mg/L, konsentrasi ke 1 dengan rumus ar-

2, konsentrasi ke 2 dengan rumus ar-1, konsentrasi 4 dengan rumus ar1, konsentrasi 5

dengan rumus ar2. Dengan begitu, konsentrasi yang digunakan adalah kontrol (0

mg/L); 0,1 mg/L; 0,2 mg/L; 0,4 mg/L; 0,8 mg/L; 1,6 mg/L. Konsentrasi awal HgCl 2

yang digunakan adalah 4 mg/L kemudian diencerkan dengan aquadest 100 mL dan

dibuat larutan dengan konsentrasi seperti di atas. Rumus pengenceran : V1 M1 = V2 M2.

Jumlah anakan Daphnia yang digunakan juga 140 ekor dengan pola yang sama seperti

uji pendahuluan. Dalam uji ini agar hasilnya dapat diterima, maka kematian hewan uji

dalam kontrol tidak boleh lebih dari 20%.

Setelah dilakukan uji definitif akut selama 24 jam, tidak ditemukan nilai LC50

sebenarnya karena anakan Daphnia di konsentrasi 0,1-1,6 ppm mati semua.

Kemudian dilakukan uji ulang dengan konsentrasi yang sama tetapi konsentrasi awal

HgCl2 yang digunakan sebelum pengenceran yaitu 0,25 mg/L. Hasil uji yang

didapatkan pun sama, tidak ditemukan nilai LC50 karena pola kematian yang naik

turun dari konsentrasi rendah ke tinggi.

Page 26: Contoh Laporan PKL

26

Pengulangan ke tiga pun dilakukan dengan tetap menggunakan HgCl2 0,25 mg/L

sebagai konsentrasi awal kemudian diencerkan konsentrasinya menjadi 0,02 mg/L;

0,04 mg/L; 0,06 mg/L dan 0,1 mg/L. Jumlah anakan yang mati di kontrol tidak boleh

> 20% . Uji definitif akut menghasilkan nilai LC50 24 jam sebesar 0,08 mg/L dan

LOEC 0,02 mg/L .

6. Pelaksanaan uji toksisitas kronik.

Uji toksisitas kronik dilakukan dengan menghitung jumlah anakan Dhapnia sp

dalam 3 kali reproduksi. Penelitian ini terdiri dari 5 perlakuan konsentrasi yaitu 4

konsentrasi HgCl2 yang perhitungannya didasarkan pada hasil LOEC uji definitive

akut, satu kontrol yaitu hanya menggunakan akuadest dan masing-masing perlakuan

terdiri dari 10 ulangan. Tiap wadah uji terdiri dari 1 ekor Daphnia sp dan volume

HgCl2 20 mL. Penentuan konsentrasi uji pada uji kronik ditetapkan secara geometric

series (OECD, 1998) yaitu konsentrasi 4 dengan rumus ar0 atau 2x nilai LOEC dari

uji definitif akut, konsentrasi 1 dengan rumus ar-3, konsentrasi 2 dengan rumus ar-2,

konsentrasi 3 dengan rumus ar-1. Wadah diganti setiap 2 hari sekali dan pemberian

pakan dilakukan sehari sekali dengan takaran 0,15 ml. Dalam uji ini agar hasilnya

dapat diterima, maka kematian hewan uji dalam kontrol tidak boleh lebih dari 20%.

E. Hipotesis Statistik

Perumusan hipotesis statistik dalam penelitian ini adalah:

1. Uji toksisitas akut

Ho : µ1 = µ2 = µ3 = µ4 = µ5 = µ6

H1 : salah satu perlakuan tidak sama

Dimana µ1 - µ6 adalah rata-rata kematian anakan Daphnia sp di perlakuan 1,2,3,4,5,

dan 6.

2. Uji toksisitas kronik

Ho : µ1 = µ2 = µ3 = µ4 = µ5 = µ6

H1 : salah satu perlakuan tidak sama

Dimana µ1 - µ6 adalah rata-rata kematian anakan Daphnia sp di perlakuan 1,2,3,4,5,

dan 6.

Page 27: Contoh Laporan PKL

27

F. Teknik Analisis Data

1. Uji toksisitas akut

Analisis data pada uji toksisitas akut merkuri (Hg) pada Daphnia sp dilakukan

dengan menggunakan perangkat Software EPA Probit Analysis Program Version 1.5

untuk mengetahui nilai LC50 24 jam dan Software Toxstat Version 1.5 untuk

mengetahui nilai LOEC. Menurut EPA (2002), penentuan LC50 dari berbagai macam

konsentrasi uji toksisitas akut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 4 Penentuan Nilai LC50 dari Berbagai Macam Konsentrasi Uji Toksisitas Akut (Sumber: EPA, 2002)

2. Uji toksisitas kronikAnalisis data pada uji toksisitas kronik merkuri (Hg) pada Daphnia dilakukan

dengan menggunakan perangkat Software Toxstat Version 1,5. Analisi data tersebut

untuk mengetahui nilai LOEC dan NOEC. Analisis statistik nilai NOEC dan LOEC

uji toksisitas kronik dapat dilihat pada gambar 5.

Data Mortalitas (Jumlah Kematian)

Apakah Sesuai dengan Model Probit ?

Metode Probit Metode Trimmed Spearman Karber

Ya

LC-50 dengan selang kepercayaan (α) = 95%

Tidak

Page 28: Contoh Laporan PKL

28

Gambar 5 Analisis Statistik LOEC dan NOEC (Sumber: EPA, 2002)

Distribusi Normal

Data Reproduksi (Jumlah Anakan)

Transformasi Arc Sine Uji Shapiro-Wilk’s

Homogenitas beragam (Uji Bartlett)

Homogenitas beragam (Uji Bartlett)

Uji Dunnet Uji Steel’s Many One Rank

ESTIMASI NOEC dan LOEC

Tidak Ya

Normalitas

Parametrik

Variansi sama

Distribusi Tidak Normal

Non-Parametrik

Variansi berbeda

Page 29: Contoh Laporan PKL

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Uji Toksisitas Akut Merkuri (Hg) Terhadap Daphnia sp

Hasil uji toksisitas akut berupa jumlah kematian hewan uji selama 24 jam pada

logam berat Hg dalam bentuk larutan HgCl2 dengan jumlah hewan uji sebanyak 10 ekor

tiap konsentrasi larutan uji dapat dilihat pada tabel 3- 6.

Tabel 3 Hasil Uji Pendahuluan Toksisitas Akut

Konsentrasi(mg/L)

Ulangan

Jumlah Daphnia yang mati (1-24 jam) Rata-Rata Kematian Daphnia

selama 24 jam

1 2 4 24

01 0 0 2 3

22 0 0 0 0

0,25 1 0 0 0 21

2 0 0 0 0

0,51 0 0 2 7

92 0 3 0 10

11 0 4 6 10

102 0 6 7 10

21 0 5 6 10

102 2 5 7 10

41 2 6 8 10

102 4 7 8 10

81 10 10 10 10

102 10 10 10 10

Hasil uji pendahuluan akut menunjukkan bahwa kematian hewan uji pada

konsentrasi 0 ppm (kontrol) selama 24 jam menunjukkan angka 15% dengan demikian

hasil uji pendahuluan akut dapat diterima. Berdasarkan tabel 4, terlihat bahwa mulai dari

konsentrasi 0,25 mg/L logam berat merkuri telah berhasil mematikan populasi Daphnia

100%, kemudian turun sedikit menjadi 85% pada konsentrasi 0,5 mg/L dan kembali naik

100% pada konsentrasi 1-8 mg/L.

Nilai LC50 24 jam diperoleh dari perhitungan analisis dengan menggunakan

Software EPA Probit Analysis Program Version 1,5 melalui metode Spearman-Karber.

29

Page 30: Contoh Laporan PKL

30

Alasan menggunakan metode Spearman-Karber karena rata-rata data yang didapatkan

dari konsentrasi terendah sampai ke konsentrasi tertinggi naik turun. Jika rata-rata

Daphnia yang mati mengalami kenaikan/penurunan secara konstan maka data diolah

dengan metode Probit.

Data yang dimasukkan ke dalam perhitungan statistik berdasarkan data rata-rata

kematian Daphnia selama 24 jam. Hasil pengolahan data toksisitas akut melalui metode

Spearman-Karber dapat dilihat pada lampiran 1. Berdasarkan hasil penghitungan,

nilai LC50 24 jam yang diperoleh adalah 0,38 mg/L. Konsentrasi merkuri yang dapat

mematikan populasi Daphnia hingga 50% berkisar pada nilai 0,38 mg/L. Jika diuji

ulang, kemungkinan hasil yang didapatkan juga tidak akan jauh dari 0,38 mg/L .Iini

dapat dilihat dari penghitungan 95% lower and upper confidence. Jadi, nilai LC50

jika diuji ulang berkisar diantara 0,05 - 0,72 mg/L.

Setelah uji pendahuluan selesai, maka dilakukan uji definitif toksisitas akut.

Uji definitif toksisitas akut dilakukan dengan 3 kali uji karena nilai LC-50 24 jam tidak

dapat ditentukan secara statistik. Data uji sebenarnya toksisitas akut disajikan pada

tabel 6-8. Pada I , konsentrasi awal HgCl2 sebelum dilakukan pengenceran untuk

konsentrasi yang tertera pada tabel 4 adalah 4 mg/L.

Tabel 4 Hasil Uji Definitif I Toksisitas Akut

Konsentrasi

(mg/L)

Jumlah Kematian Daphnia sp (ekor) selama 24 jam

Ulangan

1

Ulangan

2

Ulangan

3

Rata-Rata

Kontrol (0) 0 0 0 0

0,1 10 10 10 10

0,2 10 10 10 10

0,4 10 10 10 10

0,6 10 10 10 10

0,8 10 10 10 10

Berdasarkan data di atas waktu yang dicatat hanya hingga jam ke 4 untuk konsentrasi

0,2-0,8 mg/L , sedangkan pada konsentrsi 0,1 mg/L populasi Daphnia yang mati

Page 31: Contoh Laporan PKL

31

pada jam ke 24. Uji ini harus diulang kembali karena nilai LC50 uji pendahuluan yakni

0,38 mg/L berada diantara selang 0,2-0,8 mg/L yang seharusnya kematian hewan uji

pada konsentrasi 0,2 mg/L tidak mencapai 100%,.

Kemudian dilakukan uji ulang dengan konsentrasi yang sama tetapi konsentrasi

awal HgCl2 yang digunakan sebelum pengenceran yaitu 0,25 mg/L.

Tabel 5 Hasil Uji Definitif II Toksisitas Akut

Konsentrasi

(mg/L)

Jumlah Kematian Daphnia sp (ekor) selama 24 jam

Ulangan

1

Ulangan

2

Ulangan

3

Rata-Rata

Kontrol (0) 0 0 0 0

0,1 3 2 2 2

0,2 2 5 2 3

0,4 3 2 4 3

0,6 2 3 2 2

0,8 1 1 1 1

Hasil uji yang didapatkan pun sama, tidak ditemukan nilai LC50 karena pola kematian

yang naik turun dari konsentrasi rendah ke tinggi.

Pengulangan ke tiga pun dilakukan dengan tetap menggunakan HgCl2 0,25 mg/L

sebagai konsentrasi awal. Dua kali uji menggunakan konsentrasi 0,1 – 0,8 mg/L tidak

menghasilkan data yang diinginkan. Oleh karena itu, pengubahan konsentrasi uji rasanya

perlu dilakukan. Pengubahan konsentrasi uji pun dilakukan dengan melihat hasil

penghitungan uji pendahuluan kronik pada nilai 95% upper confidence yaitu 0,33 dari

0,38 sebesar 0,05 mg/L,. Kemudian konsentrasi uji ditetapkan menjadi 0,02 mg/L; 0,04

mg/L; 0,06 mg/L; 0,08 mg/L dan 0,1 mg/L, di mana nilai 0,05 mg/L berada di tengah

0,02 – 0,1 mg/L.

Tabel 6 Hasil Uji Definitif III Toksisitas Akut

Konsentrasi

(mg/L)

Jumlah Kematian Daphnia sp (ekor) selama 24 jam

Ulangan Ulangan Ulangan Rata-Rata

Page 32: Contoh Laporan PKL

32

1 2 3

Kontrol (0) 0 0 0 0

0,02 3 2 2 2

0,04 2 5 2 3

0,06 3 2 4 3

0,08 3 2 2 2

0,1 10 10 10 10

Hasil uji definitif III toksisitas akut dapat diterima. Hal ini dikarenakan jumlah

kematian Daphnia pada kontrol tidak melebihi 20% bahkan 0% dan pola kematian

meningkat dari konsentrasi rendah ke tinggi walaupun sempat turun sedikit pada

konsentrasi 0,08 mg/L.

Nilai LC50 24 jam uji definitif III toksisitas akut diperoleh dari perhitungan

analisis dengan menggunakan Software EPA Probit Analysis Program Version 1,5

melalui metode Spearman-Karber. Data yang dimasukkan ke dalam perhitungan statistik

mengacu pada tabel 7. Nilai LC-50 24 jam uji sebenarnya toksisitas akut yang diperoleh

yaitu 0,08 mg/L. Sementara itu, nilai LOEC diperoleh dari perhitungan Software

Toxstat Version 1.5. Konsentrasi 0,08 tidak dimasukkan karena nilai kematian sempat

turun sedikit pada konsentrasi tersebut. Namun pengurangan ini tidak memberikan

pengaruh besar pada kisaran nilai LOEC. Nilai LOEC yang diperoleh yakni 0,02 mg/L.

Hasil penghitungan nilai LC50 24 jam uji definitif III dan nilai LOEC toksisitas akut

bisa dilihat pada lampiran 2.

Berdasarkan uji ANOVA dengan taraf kepercayaan 95% (α = 0, 05) diperoleh

hasil yang signifikan artinya masing-masing perlakuan berbeda nyata, dimana F hitung >

F tabel yaitu 48, 636 > 3, 48. Berdasarkan ini, maka Ho ditolak, terdapat

perbedaan pengaruh konsentrasi logam berat merkuri (Hg) terhadap kematian anakan

Daphnia. Setelah uji ANOVA selesai dilakukan, penghitungan statistik dilanjutkan untuk

uji DUNNET. Uji DUNNET bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh

konsentrasi logam berat Hg dirasakan ada ketika pada konsentrasi yang ke berapa.

Hasil uji DUNNET menunjukan bahwa perbedaan itu dimulai dari konsentrasi 0,02 –

0,1 mg.L (lihat tanda * pada lampiran 2 ). Dapat dijelaskan jika 0,02 mg/L

Page 33: Contoh Laporan PKL

33

merupakan nilai Lowest Observed Effect Concentration (LOEC) yang artinya 0,02

mg/L merupakan konsentrasi terendah yang memberikan efek berbeda secara signifikan

terhadap kontrol. Jadi, perbedaan itu sudah tampak dari konsentrasi terendah. Jika

tanda * mulai ada di konsentrasi 0,06 mg/L, maka 0,06 mg/L merupakan nilai LOEC

dan 0,02 mg/L merupakan nilai No Observed Effect Concentration (NOEC) yaitu

konsentrasi di bawah LOEC yang tidak memberikan dampak atau tidak berbeda dengan

hasil uji di kontrol.

Kematian yang diukur adalah kematian anakan yang berumur < 24 jam. Hasil uji

yang digunakan ialah selama 24 jam sebab tidak ada anakan yang bertahan hidup

lebih dari 24 jam saat uji berlangsung. Oleh sebab itu standar 48 jam pada referensi

diganti 24 jam sesuai kondisi yang ada. Nilai LOEC uji definitif/uji sebenarnya

merupakan nilai yang digunakan sebagai pedoman dalam menentukan konsentrasi

merkuri pada uji kronik.

B. Uji Toksisitas Kronik Merkuri (Hg) Terhadap Daphnia sp

Hasil uji toksisitas kronik berupa jumlah anakan Daphnia sp selama 1 minggu

pada logam berat Hg dalam larutan HgCl2 dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Jumlah Anakan Daphnia sp Selama 1 Minggu pada Logam Berat HgCl2

I IIIII

IV V VI1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A

0

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 010 0

2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 210

0,2

3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 110

0,1

4 1 1 1 5 1 2 1 1 2 1 1 1 1 910

0,9

5 5 1 7 1 1 1 1 1 1 1 7 1 119

10

1,9

6 1 1 5 1 5 1 3 1 6 1 4 1 1 110 1

33

10

3,3

7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 5 1 1 810

0,8

Ʃ 5 7 8 7 6 710 7 6 7 6 7 7 7 1 7

13 7

10 7

72

70

7,2

Page 34: Contoh Laporan PKL

34

I IIIII

IV V VI1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A

0,005

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 010 0

2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 110

0,1

3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 6 1 610

0,6

4 1 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 310

0,3

5 1 7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 7

10

0,7

6 1 1 8 1 1 5 1 4 1 6 1 X 7 1 7 137 9

4,1

7 8 1 6 1 1 4 1 1 1 1 X 1 118 9 2

Ʃ 9 713 7 8 7 4 7 8 7 4 7 6 7 0 5 7 7

13 7

72

68

7,8

I IIIII

IV V VI1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A

0,01

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 010 0

2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 310

0,3

3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 010 0

4 1 6 1 1 1 1 1 1 1 4 1 110

10 1

5 6 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 112

10

1,2

6 1 1 4 1 4 1 4 1 1 1 6 1 6 1 5 1 9 139

10

3,9

7 1 1 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 510

0,5

Ʃ 7 710 7 4 7 5 7 6 7 4 7 7 7 6 7

11 7 9 7

69

70

6,9

I IIIII

IV V VI1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A

0,02

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 010 0

2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 010 0

3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 010 0

4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 010 0

5 1 7 1 1 1 1 1 1 1 7 1 7 1 1,

Page 35: Contoh Laporan PKL

35

0 4

6 1 7 1 4 1 1 4 1 1 5 1 6 1 1 126

10

2,6

7 1 1 1 1 5 1 1 1 1 8 1 4 117

10

1,7

Ʃ 0 714 7 4 7 0 7 9 7 0 7 5 7 6 7 8

13 4 7

50

70

5,7

I IIIII

IV V VI1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A Y A

0,04

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 010 0

2 1 1 1 1 X 1 1 X 1 1 0 8 03 1 1 1 1 X 1 1 X 1 1 0 8 04 1 1 1 1 X 1 1 X 1 1 0 8 0

5 8 1 1 1 1 X 1 1 X 8 1 7 123 8

2,9

6 2 1 1 1 4 1 1 X 3 1 5 1 X 1 115 8

1,9

7 1 1 1 1 X 3 1 1 X 5 1 1 8 8 1

Ʃ10 7 1 7 4 7 0 7 0 1 6 7 5 7 0 1

13 7 7 7

46

58

5,8

`

Keterangan :

I = Konsentrasi IV = Jumlah Anakan A = Adult

II = Hari V = Jumlah Induk Y = Young

III = Reproduksi VI = Anakan/indukan

Gambar 6. Diagram Batang Hasil Uji Toksisitas Kronik

Page 36: Contoh Laporan PKL

36

0 (kontrol) 0,005 0,01 0.02 0.040

10

20

30

40

50

60

70

80

Jumlah Anakan Jumlah IndukanJumlah Anakan/Indukan

Data di atas dianalisis menggunakan program software Toxstat Program Version 1.5

(lihat lampiran 2). Berdasarkan hasil penghitungan, nilai LOEC dan NOEC kronik tidak

dapat ditemukan. Hal ini dikarenakan nilai F hitung < F tabel yaitu 1,02 < 2,61. Nilai

tersebut memberi arti jika semua perlakuan bersifat sama (Ho diterima). Dilihat dari data

mentah pun sebenarnya sudah terlihat karena jumlah anakan/indukan yang ada (Gambar 6)

naik turun.

Secara statistik, perlakuan yang diterapkan pada uji toksisitas kronik ini sama/tidak

berbeda nyata. Secara deskriptif pun,jika tabel 8 diamati lebih lanjut, kita kurang menemukan

perbedaan itu di tiap perlakuan. Hal itu bisa dilihat dari 3 berikut yaitu frekuensi beranak,

jumlah kematian induk, dan waktu reproduksi. Frekuensi beranak kontrol lebih tinggi

dibandingkan yang lainnya. Daphnia yang mengalami reproduksi sebanyak 3 kali hanya ada

di kontrol, selebihnya di semua perlakuan uji hanya mengalami 2 kali reproduksi. Jumlah

kematian induk 0% untuk kontrol, 14% untuk konsentrasi HgCl2 0,005 mg/L, turun kembali

0% pada HgCl2 konsentrasi 0,01 mg/L dan 0,02 mg/L, kemudian naik 30% pada konsentrasi

HgCl2 konsentrasi 0,04 mg/L. Untuk kasus kematian indukan, memang pola kematiannya

tidak begitu baik karena data yang didapatkan naik turun, tetapi yang perlu digaris bawahi

adalah kematian di kontrol 0% dan yang tertinggi ada di perlakuan terakhir yaitu HgCl 2 0,04

Page 37: Contoh Laporan PKL

37

mg/L. Point ke tiga mengenai perbedaan waktu reproduksi. Pada hari ke 2, jumlah indukan

yang sudah beranak yaitu ada 2 indukan pada kontrol, 1 indukan pada perlakuan HgCl 2 0,005

mg/L, dan 3 indukan pada perlakuan HgCl2 0,01 mg/L. Pada hari ke 5, ada 1 indukan yang

berhasil beranak untuk konsentrasi HgCl2 0,02 mg/L dan 3 indukan pada konsentrasi HgCl2

0,04 mg/L.

Terdapat kekurangan dalam uji toksisitas kronik ini karena tidak bisa memberikan

keterangan untuk nilai LOEC dan NOEC. Keadaan ini bukan disebabkan dari kesalahan

penentuan konsentrasi HgCl2 kronik mengingat pada uji sebenarnya toksisitas akut sudah

mengalami 3 kali pengulangan uji hingga dihasilkan nilai LOEC. Faktor fisiologis Daphnia

itu sendiri yang diluar kontrol penguji menjadi salah satu penyebabnya.

Page 38: Contoh Laporan PKL

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Logam HgCl2 memiliki nilai LC50 24 jam pada toksisitas akut sebesar 0,08 mg/L dan

nilai LOEC 0,02 mg/L.

2. Nilai LOEC dan NOEC kronik tidak dapat ditemukan dikarenakan nilai F hitung < F

tabel yaitu 1,02 < 2,61.

B. Saran

Saran yang dapat diberikan adalah dilakukan penelitian lanjut dengan melakukan

uji toksisitas akut dan kronik menggunakan bahan pencemar dan biota air yang sama

dengan rentang waktu uji yang lebih lama, ± 3 bulan. Waktu penelitian yang lebih lama

memberikan nilai yang lebih valid. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lanjut dengan

melalukan uji toksisitas kronik terhadap perubahan morfologi, pertumbuhan dan

perkembangan pada Daphnia sp maupun pada hewan lainnya dengan menggunakan

logam merkuri dan bahan pencemar lainnya.

38

Page 39: Contoh Laporan PKL

DAFTAR PUSTAKA

Abel, P. D. Water Pollution Biology. West Sussex: Ellis Horwood Limited, 1989.

Allen, Hobert E., A, Wayne Garrison., George, W Luther. Metals in Surface Waters. Michigan: Ann Arbor Press, 1997.

Alvian, Zul. “Merkuri: Antara Manfaat dan Efek Penggunaannya Bagi Kesehatan Manusia dan Lingkungan”. Artikel diakses pada 10 Juli 2013 dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/708/1/08E00123.pdf

Ariens, E J., E, Mutschler dan A, M, Simons. Pengantar Toksikologi Umum. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1993.

Chamid, Chusharini., Neni, Yunialita., Puti, Renosori. “Kajian Tingkat Konsentrsi Merkuri (Hg) pada Rambut Masyarakat Kota Bandung”. Artikel diakses pada 29 Juli 2013 dari prosiding.lppm.unisba.ac.id/index.php/Sains/article/download/130/pdf.

Chapman, Deborah. Water Quality Assessments. Cambridge: Great Britain at the University Press, 1996.

Clare, John. “Daphnia: An Aquarist’s Guide”. Artikel diakses pada 15 Juli 2013 dari http://www.cems.uvm.edu/~dhemenwa/WaterGarden/Daphnia%20for%20control%20of%20algae/Daphnia.pdf

Darojatun, Widodo. “Pengaruh Waktu Inokulasi Daphnia sp pada Media Air yang Mengandung 9 g/L Kotoran Ayam dan 6, 75 g/L Tepung Tapioka Terhadap Kelimpahan Daphnia sp”. Skripsi S1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, 2002. Diakses pada 15 Juli 2013 dari http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/15735/C02wda.pdf?sequence=1

F, Mason. C. Biology of Freshwater Pollution. Singapore: Longman Singapore Publishers Ple Ltd, 1988.

Hutagalung, Horas, P. “Raksa (Hg)”. Artikel diakses pada 31 Juli 2013 dari http://www.oseanografi.lipi.go.id/sites/default/files/oseana_x%283%2993-105.pdf

Magdalena, Yulia dan Katharina, Oginawati. “Uji Toksisitas Limbah Cair Industri Bearing Pt. X Terhadap Daphnia magna (STUDI KASUS: PT. X)”. Artikel diakses pada 19 Juli 2013 dari http://www.ftsl.itb.ac.id/kk/teknologi_pengelolaan_lingkungan/wp content/uploads/2010/10/EH1-15304041-Yulia-Magdalena.pdf .

39

Page 40: Contoh Laporan PKL

40

Malins, Donald. C dan Gary,K, Ostrander. Aquatic Toxicology: Molecular, Biochemical, and Cellular Perspectives. USA: Lowis Publisher, 1994.

Moore, James. W dan S, Ramamoorthy. Heavy Metals in Natural Waters: New York: Sprinfer Verlay New York inc, 1984.

Movahedian, H. B, Bina., G, H, Asghari. “Toxicity Evaluation of Wastewater Treatment Plant Effluents Using Daphnia magna”. Artikel diakses pada 26 Juli 2013 dari http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/_/2015.pdf

Newman, Michael. C dan Alan, W, Mclntosh. Metal Ecotoxicology Concepts & Applications. USA: Lowis Publishers, 1991.

Pangkey, Hanneke. “Daphnia dan Penggunaannya”. Artikel diakses pada 26 Juli 2013 dari http://repo.unsrat.ac.id/126/1/DAPHNIA_DAN_PENGGUNAANNYA.pdf.

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air.

Sembiring, Rodiesier. “Analisis Kandungan LoGgm Berat Hg, Cd dan Pb Daging Kijing Lokal (Pilsbryoconcha Exilis) dari Perairan Situ Gede, Bogor”. Skripsi S1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Diakses pada 15 Juli 2013 dari http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/19435/C09rse.pdf

Setiabudi, Bambang Tjahjono. “Penyebaran Merkuri Akibat Usaha Pertambangan Emas Di Daerah Sangon, Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta”. Artikel dikases pada 26 Juli 2013 dari http://psdg.bgl.esdm.go.id/kolokium/Konservasi/61.%20konservasi%20-%20Sangon,%20Yogyakarta.pdf.

Subanri. “Kajian Beban Pencemaran Merkuri (Hg) Terhadap Air Sungai Menyuke dan Gangguan Kesehatan pada Penambang sebagai Akibat Penambangan Emas Tanpa Izin (Peti) di Kecamatan Menyuke Kabupaten Landak Kalimantan Barat”. Tesis Pasca Sarjana Magister Kesehatan Lingkungan, Universitas Diponegoro, 2008. Diakses dari : http://eprints.undip.ac.id/24139/1/Subanri.pdf.

Tanpa nama. “Acute Toxicity for Daphnia”. Artikel diakses pada 26 Juli 2013 dari http://enfo.agt.bme.hu/drupal/sites/default/files/C02web1992.pdf

Tanpa nama. “C 20 Daphnia magna Reproduction Test”. Artikel diakses pada 26 Juli 2013 dari http://enfo.agt.bme.hu/drupal/sites/default/files/C20web2001.pdf.

Yuniar, Vika. “Toksisitas Merkuri (Hg) Terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan, Gambaran Darah, dan Kerusakan Organ pada Ikan Nila Oreochromis niloticus”. Skripsi

Page 41: Contoh Laporan PKL

41

S1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, 2009. Diakses pada 15 Juli 2013 dari http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/14185/C09vyu%20db.pdf?sequence=2