Contoh Kasus Pelanggaran Advokasi

download Contoh Kasus Pelanggaran Advokasi

of 4

description

g

Transcript of Contoh Kasus Pelanggaran Advokasi

Selasa, 12 April 2011Pelanggaran dan Sanksi ADVOKATAdvokatsebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan. Bahwa profesiAdvokatadalah selaku penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya. Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku.Konsekuensi Penghapusan Sanksi Pidana

Dalam Undang-Undang Advokat

Adanya putusan Mahkamah Konstitusi [MK] Nomor 006/PUU-II/2004 yang telah dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2004, Terbit pada hari Selasa tanggal 24 Desember 2004, yang amar putusannya sebagaiberikut :

. Menyatakan, Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

. Menyatakan, Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Dimana ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 mengatur bahwa "Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah".

Putusan MK diatas, sesungguhnya secara tidak langsung telahmengabaikan kepentingan Para Praktisi Advokat berlisensi & telah tergabung pada organisasi Profesi resmi sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang, dan dalam kesehariannya bekerja dan menjalankan profesi Advokat. Karena penghapusan dari keberlakuan Pasal tersebut bisa Mengembalikan keadaan dan berjalannya profesi Advokat kembali seperti dulu sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, yaitu antara lain :

1. Banyak Sarjana Hukum maupun non-hukum yang karena usia, pengalaman, atau karena mengenal banyak orang yang bekerja sebagai praktisi hukum dan pemegang kekuasaan, cukup mengoceh dan contek sana-sini akhirnya bisamemberi saran & pendapat hukum kepada masyarakat yang membutuhkan jasa hukum F patut dipertanyakan apakah pemberian saran & pendapat hukum demikian sudah profesional & searah dengan tujuan dari Undang-Undang Advokat itu sendiri?2. Apabila saran & pendapat hukum ini yang diberikan tidak benar, tentuini akan merugikan masyarakat selaku konsumen pengguna jasa Advokat Non-Lisensi & sekaligus mencemarkan Profesi Advokat itu sendiri diIndonesia. Putusan MK yang menghilangkan ketentuan pidana, telah membuka celah bagi timbulnya kembali praktek Advokat Non-Lisensi merebak dan hidup tumbuh suburkembali di Indonesia walau hanya sebatas Non-Litigasi.

Uniknya tidak satupun ketentuan yang mengatur pemberian sanksi apabila para Advokat "jenis ini" tidak tergabung dalam organisasi profesi. Sehingga penghapusan ketentuan pidana dalam UU Advokat, cepat atau lambat akan mengembalikan keterpurukan Profesi Advokat di mata masyarakat dan semakin merugikan masyarakat itu sendiri selaku konsumen pengguna jasa Advokat dan semakin menimbulkan persaingan tidak sehat antara para Advokat berlisensi & Advokat Non-Lisensi.

Sanksi Jika Terjadi Mall-Praktek

Advokat1. Sanksi Pidana, ada alasan pemberat pidana karena yang bersangkutan menjalankan profesi advokat secara resmi.

2. UU Perlindungan Konsumen- Sanksi Pidana Umum, seperti masyarakat awam lain yang tidak mengerti hukum- Tidak terjerat UU Perlindungan Konsumen karena bukan pemberi jasa

Sanksi Pelanggaran- Pencabutan izin Advokat

Sanksi Dari Organisasi Profesi

Apabila seorang Advokat berlisensi melanggar kode etik profesi, tentu hal ini akan menimbulkan Sanksi yang diberikan oleh Organisasi Profesi. Apakah hal yang sama akan dialami oleh Advokat Non-Lisensi? TIDAK, karena AdvokatNon-Linsensi tidak perlu bergabung dalam Organisasi Profesi, sehingga tidak perlu cemas akan adanya pemberian Sanksi jika melanggar kode etik.Berbeda dengan Advokat ber-lisensi, konsekuensi pelanggaran kode etik mengakibatkan adanya Sanksi Pencabutan Izin Advokat. Contoh-contoh dibawah ini bisa jadi akan terjadi pasca pencabutan sanksi pidana dari Undang-UndangAdvokat, sebagai berikut :

1. Ketika terjadi musyawarah [negosiasi penyelesaian damai untuk kepentingan klien] antara seorang Advokat Berlisensi dengan seorang Advokat Non-Lisensi, maka apabila Advokat Non-Lisensi melakukan suatu ancaman akanmelakukan upaya Hukum yang tidak perlu dan tidak beralasan [unnecessary bluffing], dimana ancaman upaya hukum ini diselundupkan dengan unsur pemerasan, apakah si-Advokat Berlisensi boleh menegur Advokat lawan yang telah melakukan pelanggaran kode Etik, dan membawa perkara pelanggaran kode etik ini ke muka Dewan Kehormatan? Jawabannya mudah, tidak bisa.karena Advokat Non-Lisensi tidak memiliki Organisasi Profesi dan tidak memiliki Dewan Kehormatan yang akan menegurnya. Terlebih lagi "ancaman" tersebut bisa saja disembunyikan dengan dalil bahwa tidak seorang-pun dianggap melakukan perbuatan melawan hukum, dalam rangka mengambil suatu tindakan hukum.

2. Ketika pada tahap penanganan non-litigasi, akan terjadi kemungkinan tercipta kondisi sebagai berikut :a. A adalah seorang klien yang didampingi oleh Advokat-A Ber-Lisensi, untuk bermusyawarah dengan pihak lawan yaitub. B yang didampingi oleh Advokat-B [yang Non-Lisensi].

Maka pada pertemuan demikian akan dimungkinkan terjadi pelanggaran kode etiksebagai berikut :a. Advokat-B akan berbicara menegur secara keras dan langsung kepada A tanpa melalui Advokat-A [padahal tindakan Advokat-B adalah bentuk pelanggaran kode etik] ; atau yang extrimnyab. Advokat-B yang akhirnya mengenal A, berdaya-upaya mempengaruhi A dan menawarkan jasanya selaku Advokat, sehingga A terpedaya yang akhirnya menggunakan jasa Advokat-B.

Kedua contoh pelanggaran kode etik diatas, sesungguhnya sangat merugikan para Praktisi Advokat Ber-lisensi yang tunduk pada ketentuan Kode Etik Profesi Organisasi, dimana dengan dihapusnya ketentuan pidana pada Pasal 31Undang-Undang Advokat dan ketiadaan kewajiban Advokat Non-Lisensi untuk tergabung dalam Organisasi Profesi, niscaya hal-hal pelanggaran kode etik, maupun pelayanan jasa hukum kepada masyarakat bisa semakin terpuruk karena ulah dari Advokat Non-Lisensi ini yang berpraktek dan berkeliaran di masyarakat.

Mengenai keberadaan Lembaga-Lembaga Bantuan hukum diUniversitas, hal ini tidak bisa dipungkiri, bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Advokat khususnya Pasal 31, telah membatasi ruang-gerak LBH-Kampus sebagai organisasi nir-laba, dalam memberikan jasa bantuan hukum baik litigasi maupun non-litigasi, bahkan cenderung menciptakan kevakuman bagi LBH kampus. Namun secara sederhana hal ini bisa diatasi dengan meminta Surat Penunjukkan dan/atau bekerja sama dengan Persatuan Advokat Indonesia [PERADI] agar bersedia memberi Surat izin bagi LBH-LBH kampus dimaksud untuk jangka waktu dan kurun waktu tertentu, yang bisa diperpanjang lagi sesuai kebutuhan, agar LBH ini bisa kembali memberikan jasa hukum kepada masyarakat baik untuk berlitigasi maupun non-litigasi.

Kami selaku Advokat melalui tulisan ini tidak bermaksud meremehkan peranan LBH-Kampus ini yang sesungguhnya telah menjalankan pemberian jasa hukum yang mulia dan sekaligus sebagai gerbang awal bagi para Calon Sarjana Hukum untuk terjun langsung dan bergabung untuk menjalankan profesi Advokat secara mandiri & profesional di Indonesia. Kami menyampaikan pendapat melalui tulisan ini, semata-mata untuk mendeskripsikan bahwa adanyapenghapusan sanksi pidana dalam Undang-Undang Advokat, besar kemungkinan akan menciptakan peluang pelanggaran kode etik Profesi yang dilakukan oleh Advokat Non-Lisensi, serta bisa mengabaikan kepentingan para Advokat berlisensi yang secara penuh tunduk pada ketentuan Undang-Undang Advokat itu sendiri.

Sumber : Advokat-Konsultan Hukum RGS & Mitra